Ceritasilat Novel Online

Pusaka Lidah Setan 1

Pendekar Rajawali Sakti 192 Pusaka Lidah Setan Bagian 1


" . 192. Pusaka Lidah Setan Bag. 1 - 4
30. April 2015 um 10:09
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Pusaka Lidah Setan
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 "Ampun, Tuan..., ampun..., jangan bunuh kami.
Ratapan memelas ini meluncur dari dua orang laki-laki berpakaian bangsawan. Sambil berkata demikian, mereka berlutut dan menyembah-nyembah pada seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba hitam. Tak jauh dari mereka, sebuah kereta kuda tampak hancur berantakan. Masih di sekitar tempat itu, seorang gadis dalam keadaan tak berdaya didekap seorang laki-laki bertampang bengis.
"Percayalah, Tuan. Kami tidak punya apa-apa lagi, selain yang berada dalam kotak itu...!" tegas salah seorang berpakaian bangsawan itu dengan suara mantap.
"Ha ha ha....! Aku Kaswa Tama, Kepala Gerombolan Singo Garong tentu saja percaya dengan ucapanmu, Orang Kaya. Ha ha ha...!" sahut laki-laki berpakaian hitam, dengan tubuh tinggi tegap. Wajahnya angker dan hanya mempunyai sebelah mata. Dia tadi mengaku bernama Kaswa Tama. "Cambuk mereka!"
Tiga orang serentak maju ke depan begitu mendapat perintah Ketua Gerombolan Singo Garong ini. Cambuk mereka langsung terayun, dan menghantam kedua bangsawan ini.
Ctar! Ctarrr...!
"Aaakh...!"
"Jangan..., jangan kalian sakiti saudara-saudaraku...!" ratap gadis yang berada dalam dekapan seorang anggota Gerombolan Singo Garong penuh permohonan.
Kaswa Tama tersenyum dingin. Matanya jelalatan ketika melihat gadis itu. Segera dihampirinya gadis itu, langsung dicium pipinya dengan kasar.
"Jangan kau pikirkan saudara-saudaramu yang bodoh! Mereka memang tidak pantas hidup lebih lama...!" desis Kaswa Tama.
"Kalian adalah iblis keji!" teriak gadis berpakaian indah dan mewah itu penuh marah.
Namun teriakan maupun caci maki gadis ini sama sekali tidak digubris Kaswa Tama dan anggotanya. Bahkan Kepala Gerombolan Singo Garong ini segera memberi aba-aba dengan menjentikkan ibu jari dan jari tengah.
Tak! Set! Begitu terdengar jentikan, seorang anggota Gerombolan Singo Garong ini mencabut sebuah golok besar. Dan senjata yang berkilatan tertimpa sinar matahari tiba-tiba berkelebat, menyambar kepala kedua laki-laki malang ini. Lalu....
Cras! "Aaa...!"
Jerit kematian terdengar disusul menyemburnya darah dari batang leher mereka. Melihat nasib dua saudaranya yang mengenaskan, tangis gadis bangsawan ini kontan meledak bagai bendungan jebol. Saat itu juga, dia tidak sadarkan diri. Pingsan!
"Ha ha ha...!"
Kaswa Tama tertawa tanpa ada rasa kasihan sedikit pun. Wajahnya tetap dingin, ketika memberi isyarat untuk bergegas pergi menuju tempat persembunyian yang terletak di Bukit Kapur. Meninggalkan dua sosok mayat dengan kepala terpisah, di pinggiran kota Kerajaan Prabu Mulih. Sebuah Kerajaan yang semula aman tenteram, gemah ripah lok jinawi, kini berubah menjadi kerajaan semrawut, penuh kebengisan, kekuasaan, kelicikan, dan kesewenang-wenangan.
? *** ? Semula, Kerajaan Prabu Mulih diperintah Gusti Prabu Siwanada, seorang raja yang adil dan bijaksana. Tak heran kalau rakyatnya merasa tenteram penuh kesejahteraan. Namun setelah terjadi pemberontakan berdarah oleh seorang patih bernama Antasena yang kemudian menikahi Permaisuri Dewi Trijata, keadaan berubah tak menentu.
Begitu Gusti Prabu Siwanada dikabarkan tewas setelah terjadi pemberontakan, kesengsaraan mulai menggerogoti kesejahteraan rakyat. Kejahatan timbul di mana-mana. Keselamatan dan keamanan rakyat mulai terancam. Apalagi, Gusti Prabu Antasena yang berkuasa sekarang, seperti tak mempedulikan rakyatnya. Bahkan konon, raja itu lebih suka hidup bermewah-mewah bersama para pembesar kerajaan yang berjiwa penjilat. Mereka lebih suka berasyik ria bersama gadis-gadis pemuas nafsu, serta minum-minuman keras.
Keadaan semakin tak menentu, setelah puluhan prajurit kerajaan dikabarkan hilang secara aneh. Kendati demikian, banyak pembesar istana yang seperti tak mempedulikan. Mereka seakan pasrah terseret nafsu kekuasaan serta gelimang harta.
Tapi tentu saja, tak semua pembesar istana yang bersikap pasrah seperti itu. Seorang patih yang dikenal bernama Ki Kusuma, agak termasuk orang yang peduli pada kesengsaraan rakyat Kerajaan Prabu Mulih. Bila untuk melawan raja sudah tak mungkin, maka kepeduliannya diungkapkan lewat penyambungnya ke rumah-rumah penduduk yang tergolong miskin sambil berderma.
Di samping itu, Ki Kusuma juga merasa tertarik dengan hilangnya para prajurit Kerajaan Prabu Mulih. Maka dia pun berniat menyelidikinya.
Ke manakah hilangnya para prajurit itu"
? *** ? Senja terasa hangat. Siang tadi, matahari bersinar terik sekali. Sehingga saat-saat seperti ini, yang tertinggal adalah suasana hangat. Dan itu sangat dirasakan betul oleh seorang laki-laki tua berpakaian kebesaran kerajaan, yang tengah memacu kudanya meninggalkan benteng Kerajaan Prabu Mulih.
Tak ada yang begitu memperhatikan laki-laki tua itu. Sementara suasana kota Kerajaan Prabu Mulih tampak lengang. Memang harus diakui, sejak tewasnya Gusti Prabu Siwanada di tangan Antasena saat terjadi pemberontakan, suasana kota tidak seramai dulu. Bahkan boleh dikatakan sangat sunyi. Penduduk kota yang masih tetap tinggal dan bertahan jarang yang berani keluar rumah kalau tidak ada keperluan yang mendesak. Karena, begitu banyak kejadian yang tidak terduga dapat mengancam keselamatan.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Tiba di luar batas kota, laki-laki tua berpakaian kerajaan dengan pangkat patih ini menghentikan lari kudanya di depan sebuah bangunan yang tampak porak-poranda.
"Hm.... Aku tadi seperti melihat ada orang lewat sini! Mengapa begitu cepat menghilang dari pandanganku?"
Baru saja gumaman laki-laki tua berpakaian kerajaan ini menghilang....
Buk! Tiba-tiba saja suatu benda jatuh terhempas di depan kaki kuda patih Kerajaan Prabu Mulih itu. Ketika memperhatikan dengan teliti, dia tampak terlihat terkejut dengan mata melotot. Tampak kepala manusia yang masih berlumuran darah seperti sengaja dilemparkan seseorang padanya.
Set! Set! Belum habis keterkejutan patih itu, dari atas bangunan yang porak-poranda meluncur benda-benda yang sama ke arah pati itu. Laki-laki tua ini cepat berusaha menghindari dengan melenting ke belakang dan langsung berkelit lincah.
"Gila! Siapa yang telah berbuat begini kejam"! Apakah mungkin ada manusia memakan manusia"!" dengus patih itu.
"Grauung...!"
Belum terjawab pertanyaan patih itu, terdengar sebuah raungan panjang seperti suara auman harimau. Dan itu seakan menjawab pertanyaan yang menggganjal hati patih kerajaan ini. Tanpa menunggu lebih lama, patih ini berkelebat ke arah datangnya suara tadi.
"Aku harus melihat, apakah itu suara binatang buas atau manusia yang sengaja menakut-nakuti aku!" gumam patih itu pelan sambil berkelebat.
Sampai di dalam bangunan yang kosong, laki-laki tua ini melihat tulang-belulang berserakan dalam jumlah lebih besar lagi. Dia terkejut sekali, karena juga melihat pakaian prajurit-prajurit Kerajaan Prabu Mulih berserakan di situ.
"Siapakah yang telah melakukan perbuatan gila ini"! Mustahil ada harimau berkeliaran di kota ini"!" desisnya.
Tanpa disadari, bulu tengkuk laki-laki tua ini meremang berdiri. Sekujur tubuhnya terasa tegang. Jelas sudah banyak kejadian ganjil di kota Kerajaan Prabu Mulih.
"Hauuummm...!"
Sekali lagi terdengar suara raungan. Dinding-dinding ruangan bergetar. Dari kegelapan di dalam ruangan, orang tua ini melihat dua pasang mata berwarna merah bagaikan nyala api yang tengah memperhatikannya diwarnai nafsu membunuh.
"Hm.... Sebaiknya aku kembali dulu, untuk memberi laporan pada Gusti Prabu...," gumam patih ini.
Tanpa membuang-buang waktu lagi patih Kerajaan Prabu Mulih ini berbalik dan berkelebat keluar dari bangunan yang porak-poranda ini.
Baru saja beberapa tombak laki-laki ini keluar bangunan, dari kanan-kiri bermunculan tidak kurang dari lima orang prajurit kerajaan. Patih ini segera mengenali kalau prajuti yang menghadangnya tidak lain adalah yang menghilang beberapa hari lalu. Hanya yang menjadi pertanyaan, tampaknya ada sesuatu yang tidak wajar pada diri mereka.
Para prajurit ini tampak tidak hormat. Bahkan terkesan dingin, dengan maksud tak baik.
"Kalian mengapa di sini?" tanya patih itu.
"Ha ha ha...! Raja memberi perintah agar kami bertugas di sini, Kusuma!" tegas salah seorang prajurit, mewakili kawan-kawannya.
"Heh..."!"
Patih Kerajaan Prabu Mulih yang tak lain Ki Kusuma terkejut melihat cara para prajurit yang sama sekali tidak mengenal tata krama dan peradatan sama sekali saat berhadapan dengannya. Sikapnya tidak hormat pada atasan. Anehnya lagi, mereka tetap tersenyum dingin!
"Raja tidak pernah memberi perintah pada kalian supaya berjaga-jaga di sini. Kalian harus kembali ke istana, kalau tidak ingin mendapat hukuman berat!" perintah Patih Kusuma tegas.
Prajurit-prajurit itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka menggelengkan kepala berulang-ulang.
? *** ? "Kami memang sudah ditempatkan di sini. Jadi tidak mungkin kalau menyalahi peraturan!" sergah prajurit yang berbadan kekar.
"Peraturan mana yang mengharuskan kalian berada di sini?" tukas Patih Kusuma, semakin heran.
"Peraturan mana saja yang kami suka!" jawab prajurit itu, seenaknya.
Patih Kusuma menjadi berang dibuatnya. Jelas ada yang tidak beres telah terjadi pada mereka. Apa sebabnya, patih ini tidak tahu.
"Kalian sudah pada gila rupanya!" bentak Patih Kusuma, marah.
"Heh..., Kusuma! Jangan berani kurang ajar kepada kami, ya" Nanti kupatahkan batang lehermu!"
"Kurang ajar! Seharusnya kalian yang menghormat padaku! Bahkan sebaliknya!" geram Patih Kusuma.
Tanpa diduga-duga para prajurit itu langsung mencabut pedang.
"Bunuh dia!" perintah prajurit yang berbadan tegap sambil menudingkan pedangnya.
"Hiyaaa!"
Serentak para prajurit menyerang Patih Kusuma dari semua penjuru. Pedang dan tombak di tangan mereka menderu, mencari sasaran.
Patih Kusuma tidak tinggal diam. Dia merasa yakin prajurit-prajurit yang telah berubah menjadi liar ini memang sulit diajak bicara lagi. Maka langsung disambutnya serangan dengan jurus-jurus tangan kosong.
Tentu saja Patih Kusuma bukan tandingan prajurit-prajurit yang berkepandaian pas-pasan ini. Terbukti ketika senjata-senjata mereka meluncur deras ke bagian-bagian yang mematikan, dengan gerakan ringan Patih Kusuma mampu menghindar sekaligus menangkis.
"Huup!"
Trak! Trak! Tiga orang prajurit terdorong mundur. Senjata mereka ada yang berpelantingan. Tapi anehnya, mereka cepat meluruk kembali ke arah Patih Kusuma. Luncuran senjata mereka lebih cepat Bahkan dirasakan Patih Kusuma sebagai sesuatu yang tidak wajar.
Para prajurit itu sekarang seperti mempunyai kekuatan berlipat ganda.
"Heaaa...!"
Patih Kusuma tiba-tiba saja mengibaskan tangannya ke empat penjuru.
Wusss...! Seketika bertiup angin kencang menderu disertai hawa panas bukan main. Sementara para prajurit itu sudah tidak menyelamatkan diri lagi. Maka....
Glarrr! "Wuaakh...!"
Lima orang prajurit kontan menjerit keras. Tubuh mereka berpelantingan dalam keadaan hangus. Patih Kusuma melihat kelima prajurit itu tidak bangun-bangun lagi.
"Aku harus melaporkan kejadian ini pada raja secepatnya!" kata Patih Kusuma.
Saat itu juga Patih Kusuma berkelebat, menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan, dia melompat ke punggung kuda dan langsung menggebahnya.
Di luar pengetahuan laki-laki tua itu, kiranya para prajurit yang dalam keadaan hangus dan tidak bernyawa bangkit kembali. Mereka dengan seenaknya berjalan menuju ke satu tempat di sudut kota.
*** ? 2 ? Seorang laki-laki tua bertopi caping berjalan santai di jalan utama menuju kota Kerajaan Prabu Mulih. Umurnya kira-kira sudah delapan puluh tahun. Wajahnya bulat. Rambutnya putih. Perutnya besar, cocok dengan badannya yang tegap tinggi. Bibirnya selalu tersenyum dengan mata bulat, penampilannya jadi terkesan lucu.
Di bahu laki-laki tua berperut besar ini tersampir dua buah rantai baja yang selalu bergemerincingan. Satu hal yang menjadi kebiasaannya, dia selalu mengusap-usap perutnya yang bundar.
Udara terasa penat siang ini. Kegersangan di sekelilingnya membuat laki-laki tua itu cepat bosan. Untuk menghilangkan kebosanan, mulutnya mendendangkan tembang dengan kacau dan tidak sedap didengar.
Baru beberapa kejap kakek gendut ini menembang....
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras yang disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari kiri dan kanan jalan yang ditumbuhi semak.
Namun kakek gendut itu bersikap acuh. Dia terus saja menembang tanpa menghentikan langkahnya. Seorang laki-laki berbaju hitam yang agaknya jadi pemimpin melompat ke tengah jalan.
"Berhenti kataku!" bentak laki-laki berbaju hitam ini marah.
Kakek perut gendut ini menghentikan langkahnya dengan kening berkerut. Diperhatikannya orang di depan dengan bibir tetap menghiaskan senyum.
"Siapa kau" Mengapa lancang benar menghentikan langkah si Candra Kirana...?" tanya kakek gendut yang mengaku bernama Candra Kirana tidak senang.
"Ha ha ha...! Orang tua berperut besar! Kalau kau mau tahu, akulah Kaswa Tama, Ketua Gerombolan Singo Garong," jelas laki-laki berbaju hitam yang tak lain Kaswa Tama.
"O, hanya tikus comberan yang kuhadapi. Kukira kau raja yang patut kuhormati. Tidak tahunya, hanya maling pasar yang berani mementang kumis di depan Candra Kirana! Ho ho ho...! Mimpi apa kau semalam" Apa yang dapat kuberikan padamu, Singo?" tukas Candra Kirana, masih tetap tersenyum.
"Jika kau bermaksud ke kotaraja, sebaiknya tinggalkan barang berharga pada ketua kami. Dengan demikian, keselamatanmu dijamin...?" ujar salah seorang anak buah Kaswa Tama.
"Begitu?" tukas Candra Kirana sambil tetap mengumbar senyum.
"Ya...! Hanya itu satu-satunya cara jika perjalananmu tak ingin terganggu!" tegas Kaswa Tama.
"Aku tahu, kalian adalah pemeras tengik. Kalau kalian punya satu cara, maka aku punya banyak cara untuk menyingkirkan kalian! Cepat enyahlah! Aku tidak punya barang apa-apa, kecuali pakaian yang melekat di badanku. Juga, rantai baja yang pasti kalian tidak menyukainya!" ujar Candra Kirana, tegas.
Merasa disepelekan, Kaswa Tama kontan melotot dengan gigi bergemelutuk. Amarahnya telah naik sampai ubun-ubun. Segera diberinya isyarat pada kedua anak buahnya untuk melakukan penggeledahan.
Dengan patuh pula dua dari kelima anggota Gerombolan Singo Garong bermaksud melakukan pemeriksaan. Namun mana sudi Candra Kirana diperlakukan begitu rupa" Saat tangan kedua pemuda anak buah Kaswa Tama mulai memeriksa, dengan gerakan cepat luar biasa kedua tangannya mengibas..
Plak! Plak! "Wuaagkh...!"
Kedua pemuda itu kontan menjerit keras dan melompat ke belakang sejauh dua tombak. Mereka segera memeriksa tangan masing-masing.
"Tanganku...!" pekik keduanya hampir bersamaan.
Ternyata kedua tangan mereka tak bisa digerakkan lagi. Tulang mereka hancur. Kejadian yang berlangsung singkat ini tentu saja sangat sulit dipercaya Kaswa Tama.
"Kurang ajar! Kau telah membuat cedera kawan-kawanku, Keparat!" maki Ketua Gerombolan Singo Garong dengan mata melotot.
"Siapa berani mendekat, berarti cari penyakit Kalian manusia kurang ajar yang tidak tahu bagaimana menghormati orang tua sepertiku...!" balas Candra Kirana seenaknya.
"Gendut gila! Bunuh dia...!" teriak Kaswa Tama, sambil memberi aba-aba pada anak buahnya.
Serentak tiga anggota Gerombolan Singo Garong menyerbu. Berbagai macam senjata segera menghujani Candra Kirana. Namun kakek berperut gendut ini melayani serangan sambil tertawa-tawa.
"Hiyaaa...!"
Wut! Tiga buah senjata meluncur deras ke arah Candra Kirana. Dengan gerakan ringan sekali, kakek berperut gendut melenting ke udara seraya berjumpalitan. Maka, senjata-senjata itu hanya membabat angin kosong setengah jengkal di bawah kaki.
Ketika meluncur deras ke bawah, tangan kakek berperut gendut ini menjulur ke bagian kepala salah seorang pengeroyok. Dan....
Frak! "Aaa...!"
Seorang anggota Gerombolan Singo Garong ini menjerit keras.Tubuhnya terpelanting, dan roboh ke tanah dengan kepala pecah mengucurkan darah.
"Ho ho ho...! Siapa yang sudah bosan hidup, cepat maju! Malim Jenaka dengan senang hati aku bersedia mengirim kalian ke lubang kubur!" ejek Candra Kirana yang ternyata berjuluk Malim Jenaka ini sambil tertawa-tawa.
Tangan anak buahnya dibuat remuk saja Kaswa Tama marahnya bukan main, apalagi sekarang melihat salah satu anak buahnya tewas dengan kepala pecah mengerikan. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuhnya meluruk ke depan disertai teriakan keras. Tinju kanan-kiri menjulur ke arah perut Candra Kirana.
Malim Jenaka membiarkan luncuran tinju itu. Sementara tangannya menghantam dua lawan di depan. Tidak diduga-duga salah seorang lawan menyabetkan goloknya ke bagian tangan. Sehingga terpaksa kakek berambut putih ini menarik kembali tangannya. Sedangkan tinju Kaswa Tama tanpa ampun lagi menghantam perutnya.
Buk! "Ho ho ho...!"
Bukannya terjajar, Candra Kirana malah mengusap-usap perutnya yang terkena tinju Kaswa Tama sambil tertawa-tawa kegelian. Ini sungguh membuat kaget Ketua Gerombolan Singo Garong ini. Padahal setengah dari tenaga dalamnya telah dikerahkan. Namun, justru dirinya sendiri yang terjajar.
"Gelitikanmu sungguh membuatku geli, Singo Jelek. Coba gelitik aku lagi. Tapi, aku harus membuat mampus kawan-kawanmu dulu. Barulah setelah itu, kita bebas berbuat apa saja!" ejek Malim Jenaka lantang.
Selesai Candra Kirana berkata, tubuhnya yang gemuk meluruk ke depan. Gerakannya ringan, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat sempurna.
Dua anak buah Gerombolan Singo Garong terkejut, tetapi juga merasa senang karena sekarang dengan leluasa dapat menyodokkan golok ke tubuh laki-laki tua gendut itu.
Buk! Buk! "Heh..."!"
Dua anak buah Kaswa T^ma terkejut setengah mati. Karena senjata mereka sama sekali tidak dapat menembus atau melukai tubuh Candra Kirana.
Dalam keadaan terperangah begitu, tiba-tiba Malim Jenaka menjulurkan kedua tangannya ke arah mereka.
Tap! Tap! Dalam waktu yang sekedipan mata, dua anak buah Kaswa Tama telah berada dalam cengkeraman Candra Kirana. Saat itu juga, laki-laki tua gemuk ini membenturkan dua tubuh itu satu sama lain.
Dan.... Prak! Proook! "Wuagkh!"
Wajah kedua anak buah Kaswa Tama kontan hancur akibat benturan satu sama lain. Begitu Candra Kirana melepaskannya, maka kedua pemuda ini jatuh terduduk tidak bangun-bangun lagi.
"Orang tua gila! Matilah kau! Heaaa...!" teriak Ketua Gerombolan Singo Garong dengan mata melotot.
? *** ? Kaswa Tama tiba-tiba saja mencabut tombak pendek bermata ganda dari pinggangnya. Tindakannya ini disertai lesatan tubuhnya ke arah Candra Kirana. Tombaknya meluncur deras menusuk ke bagian lambung.
Malim Jenaka tentu tidak tinggal diam. Langkahnya cepat bergeser ke samping kiri sejauh dua tindak. Sehingga, mata tombak membeset tempat kosong. Sementara Kaswa Tama sendiri terbawa luncuran senjatanya yang cukup berat. Melihat kesempatan baik ini, Malim Jenaka jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tangannya seketika berkelebat. Dan....
Krak! "Aaa...!"
Kaswa Tama kontan menjerit sekeras-kerasnya. Pinggangnya tahu-tahu terhantam tinju Candra Kirana hingga patah. Saat itu juga. Kaswa Tama ambruk, tanpa mampu melakukan perlawanan lagi.
Melihat ketuanya tidak berdaya, dua orang anak buah Kaswa Tama yang tangannya hancur langsung berlutut di depan Candra Kirana.
"Ampun.... Kami mengaku kalah!" ucap kedua pemuda itu ketakutan.
"Kalian sudah kalah. Ha ha ha...! Lalu kalian menginginkan apa lagi dariku?" tanya kakek berwatak jenaka ini sambil mengusap perutnya yang bundar.
"Ka..., kami hanya ingin selamat saja. Beri kami keselamatan hidup agar dapat memperbaiki segala kesalahan yang pernah kami lakukan!" ratap salah seorang pemuda penuh permohonan.
"Kalian memang tikus pengecut! Aku mana mungkin dapat melepaskan tawananku begitu saja" Semua harus ada syaratnya," sahut kakek bercaping ini tanpa menghilangkan senyumnya.
"Apa syaratmu, Tuan...?" tanya Ketua Gerombolan Singo Garong sambil menahan sakit luar biasa di pinggang.
"Ha ha ha. Bagus! Kiranya kau masih dapat bicara. Jawaban yang jujur turut menjadi pertimbanganku, apakah aku harus mematahkan lehermu atau tidak!" tegas Candra Kirana, bernada mengancam.
"Baik! Kalau aku tahu tentu aku segera menjawab dengan jujur," sahut Kaswa Tama pasrah.
"Hm.... Apakah kalian tahu, siapa saja yang telah mengadakan kekacauan di Prabu Mulih?" tanya Candra Kirana.
"Kami sama sekali tidak tahu. Akhir-akhir ini, kota Prabu Mulih yang menjadi pusat kerajaan memang dalam keadaan tidak aman. Kotaraja yang telah berubah menjadi kota menyeramkan. Banyak orang yang hilang di sana. Beberapa pendatang juga tidak kembali. Kota itu telah berubah menjadi kota hantu. Kalau Tuan sudi mendengarkan aku, sebaiknya jangan coba-coba pergi ke sana!" saran Kaswa Tama, yang kini memanggil Candra Kirana dengan sebutan Tuan.
"Ho ho ho...! Mana mungkin aku membatalkan niatku" Aku punya tugas khusus di sana," sahut Candra Kirana.
"Terserahlah. Sebagai pecundang, tentu kami tidak dapat melarangmu. Aku telah memberi peringatan yang terbaik!"
"Ya..., bagus! Kalian telah memberi peringatan padaku. Lain hari, kalau kulihat kalian menempuh jalan sesat lagi, maka aku tidak segan-segan menghabisi kalian bertiga!" ancam Candra Kirana, bersungguh-sungguh.
"Mana kami berani melakukan kejahatan lagi?"sahut Kaswa Tama sambil menundukkan kepala.
Ketika ketiga laki-laki itu mengangkat wajah kembali. Namun Malim Jenaka sudah tidak berada di situ lagi. Dia telah berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.
? *** ? Di atas singgasana,Gusti Prabu Antasena duduk angkuh. Kecongkakan dan ketamakannya jelas tercermin di matanya yang beredar ke sekitarnya. Sedangkan di sampingnya duduk Permaisuri Dewi Trijata. Permaisuri bekas istri almarhum Gusti Prabu Siwanada ini memang lebih banyak diam. Wajahnya selalu murung. Sehingga penampilannya beberapa tahun lebih tua dari usia yang sebenarnya.
Permaisuri Dewi Trijata memang tidak pernah cinta pada raja yang dulunya adalah patih ini. Dia menjadi istri Gusti Prabu Antasena karena terpaksa. Dan memang tidak ada pilihan lain baginya. Sebab Gusti Prabu Antasena yang congkak ini pernah mengancamnya. Jika wanita ini tidak mau menjadi permaisuri, maka Gusti Prabu Antasena akan menghukumnya dengan cara merusakkan wajah yang cantik itu.
Jika ancaman itu berupa hukuman pancung, Permaisuri Dewi Trijata tidak takut mati. Tapi jika harus cacat sepanjang sisa hidupnya, maka dengan terpaksa pilihan kedua diterimanya. Dan sebenarnya pada dasar lubuk hatinya dia menyimpan dendam pada Gusti Prabu Antasena.
Di hadapan Gusti Prabu Antasena, duduk bersila Patih Kusuma yang menghadap untuk melaporkan kejadian yang menimpa prajurit-prajurit Prabu Mulih. Selain laki-laki tua itu, hadir pula panglima perang yang baru. Namanya Panglima Ubudana. Laki-laki muda yang satu ini diakui kalau mempunyai ilmu olah kanuragan cukup tinggi. Itu terlihat dari sorot matanya yang tajam mengandung kekuatan kasat mata.
"Apa yang ingin kau sampaikan padaku, Patih?" tanya Gusti Prabu Antasena.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba ingin menyampaikan kabar tentang hilangnya prajurit-prajurit kita selama ini. Setelah hamba mengadakan penyelidikan, ternyata setelah ditemukan mereka telah berubah aneh. Saat ini mereka berada di pinggiran kota Prabu Mulih. Selain itu hamba juga melihat tulang-belulang berserakan dan beberapa pakaian prajurit. Seakan, kota ini telah dipenuhi binatang buas!" lapor Patih Kusuma, panjang lebar.
Mendengar laporan Patih Kusuma, Panglima Ubudana tampak terkesiap. Selama ini, dia memang kurang peduli terhadap hilangnya para prajurit yang sangat aneh ini.Di luar perhitungannya, rupanya Patih Kusuma telah melakukan penyelidikan!
"Benarkah prajurit-prajurit Kerajaan Prabu Mulih ini hilang, Panglima?" tanya Prabu Antasena sambil memandang Panglima Ubudana.
"Hamba.kira berita ini terlalu dibesar-besarkan, Baginda. Memang hamba akui, ada beberapa prajurit dan perwira kerajaan yang tewas. Namun semua itu terjadi karena mereka berjuang membela keutuhan kerajaan ini dari rongrongan pihak pemberontak!" sanggah Panglima Ubudana.
Gusti Prabu Antasena tersenyum. Sebuah senyum penuh arti. Apalagi dia sadar betul kalau selama naik takhta, Patih Kusuma kurang menyukainya. Patih tua ini masih merupakan orang-orangnya Gusti Prabu Siwanada. Bagaimanapun, sudah tentu bisa menjadi duri dalam daging, jika Gusti Prabu Antasena tidak menyingkirkannya.
"Paman Patih! Kusesalkan tindakanmu yang terlalu tergesa-gesa memberi laporan. Sangat mustahil kota Prabu Mulih ini telah kedatangan penyusup! Apalagi, binatang buas pemakan manusia!" kata Gusti Prabu Antasena, seakan-akan mendukung penyataan Panglima Ubudana.
"Hamba tidak pernah mengada-ada. Apa yang hamba lihat, terbukti kebenarannya. Jika Baginda kurang percaya, dapat melakukan penyelidikan!" saran Patih Kusuma dengan suara tegas.
"Ampun, Gusti Prabu. Hambalah yang akan melakukan penyelidikan langsung! Gusti Prabu cukup menunggu hasil penyelidikan dari kami!" serobot Panglima Ubudana mencari muka.
"Bagus, Panglima. Sekarang kau boleh pergi. Lakukan penyelidikan sekarang," sambut Gusti Prabu Antasena.
"Sendika, Gusti Prabu. Hamba berangkat sekarang," sahut Panglima Ubudana, seraya menghormat dengan merapatkan telapak tangan di depan hidung. Lalu dia bangkit dan beranjak pergi.
Diam-diam Permaisuri Dewi Trijata tidak suka dengan sikap panglima perang yang suka mencari muka itu. Matanya sempat melirik, saat panglima itu menghilang dari ruangan ini.
Sekarang, di dalam ruangan itu hanya tinggal beberapa orang saja.
"Patih! Lain kali berhati-hatilah dalam memberikan laporan.Di lingkungan kerajaan ini, masih banyak orang yang kucurigai. Bahkan bisa-bisa kumasukkan ke dalam penjara," sindir Gusti Prabu Antasena.
Diam-diam Patih Kusuma terkejut juga. Hanya perasaannya itu berusaha disembunyikan. Dari awal, patih ini mencium ketidakberesan, termasuk bagaimana tiba-tiba Gusti Prabu Antasena punya senjata yang sangat ampuh. Sehingga, mampu mengalahkan senjata pusaka milik Gusti Prabu Siwanada.
"Hamba akan mengingatnya, Gusti Prabu. Hal-hal seperti ini hamba berjanji tidak akan mengulanginya lagi," sahut Patih Kusuma sambil menundukkan kepala dalam-dalam. "Sekarang hamba mohon diri...."
Patih Kusuma merapatkan telapak tangan di depan hidung, lalu mengundurkan diri dari hadapan Gusti Prabu Antasena. Sementara Gusti Antasena memandangi kepergiannya sampai patin itu hilang dari pandangan.
"Kanda terlalu menyudutkan Paman Patih Kusuma," kata Permaisuri Dewi Trijata.
"Menyudutkan bagaimana, Dinda?" tanya Gusti Prabu Antasena.
"Semestinya Kanda tidak bicara begitu. Siapa tahu laporan Paman Patih Kusuma benar."
"Semuanya akan kita ketahui dari Panglima Ubudana nanti. Jadi, Kanda harap Dinda tidak usah turut campur dalam hal pemerintahan!" sergah Gusti Prabu Antasena tidak senang.
Permaisuri Dewi Trijata hanya diam membisu. Dia memang tidak pernah sependapat dengan laki-laki ini yang telah membunuh suaminya terdahulu. Dalam hati, dia selalu berdoa semoga perubahan segera terjadi. Sebab walau bagaimanapun, di luar sepengetahuan Gusti Prabu Antasena, Patih Kusuma sesungguhnya masih saudara kandung Gusti Prabu Siwanada.
? *** ? 3 Seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung menginjakkan kakinya di gerbang kota Prabu Mulih di pagi ini. Suasana kota yang terasa sunyi menimbulkap berbagai pertanyaan di benaknya sekaligus kecurigaan. Biasanya sebuah kotaraja, di pagi buta sudah dipenuhi para pedagang, petukang, maupun para penduduk itu sendiri yang mencari nafkah. Tapi di sini"
Kecurigan pemuda ini makin bertambah, ketika semakin memasuki jantung kota yang tak terlalu besar ini. Ternyata, rumah-rumah kedai dan penginapan di kota Prabu Mulih banyak yang tertutup. Sulitnya, tidak ada orang untuk disapa.
Kotapraja Prabu Mulih telah berubah seperti kota tanpa penghuni. Di jalan-jalan sepi yang dijumpainya hanya tulang-belulang berserakan. Walau begitu pemuda yang tak lain Rangga yang terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti ini sadar betul ada beberapa pasang mata yang terus memperhatikan gerak-geriknya dari tempat-tempat tertentu.
Setelah agak lama berjalan menelusuri suasana kota yang terasa menyeramkan, Rangga menghampiri sebuah penginapan. Tempat ini walau tidak ramai betul, tapi masih ada juga orang yang lalu-lalang. Segera dimasukinya penginapan itu.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghampiri seorang pelayan yang bertugas pada bagian penerimaan tamu.
"Masih ada kamar kosong, Kisanak?" tanya Rangga, ramah.
Laki-laki setengah baya ini tidak langsung menjawab. Matanya malah memperhatikan Rangga dengan alis berkerut.
"Kamar satu-satunya terletak dekat gudang. Kalau berkenan, boleh memesan. Biayanya dua keping perak!" jelas pelayan ini. Nada suaranya terdengar angkuh.
Tanpa tawar-menawar lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengeluarkan dua keping perak dari balik celana.
"Apakah mau tidur sekarang?" tanya pelayan.
"Hari masih pagi. Rasanya, aku belum mau tidur. Mungkin nanti sore baru kemari lagi," sahut Rangga.
"Sekarang mau ke mana?" tanya si pelayan lagi.
Rangga memperhatikan pelayan itu dengan pandangan menyelidik. Dia merasa heran, mengapa pelayan penginapan di kota ini serba ingin tahu urusan orang lain"
"Maaf, Kisanak. Kami selalu menghormati tamu-tamu. Kota ini sangat berbahaya bagi pendatang, maupun penduduk sini. Kalau boleh aku sarankan, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya jangan pergi ke mana-mana!" ucap pelayan ini, seperti bisa membaca pikiran Rangga.
"Terima kasih atas peringatanmu. Aku hanya ingin melihat-lihat suasana di sini tanpa maksud apa-apa," jawab Rangga.
Pelayan penginapan tidak bicara apa-apa lagi dan segera mengantarkan Rangga ke kamar yang akan ditempati. Setelah itu, dia pergi kembali ke tempat tugasnya.
Pendekar Rajawali Sakti segera memeriksa kamarnya. Ruangan yang akan ditempatinya cukup terawat walaupun sempat tercium bau cukup aneh. Punggungnya segera direbahkan di atas ranjang kayu. Namun dia segera bangkit berdiri ketika teringat sesuatu yang mengganggu pikirannya begitu menginjakkan kaki di kota ini.
"Hmm.... Sebaiknya aku segera melakukan penyelidikan. Jika malam hari, kurasa semakin sulit bagiku untuk mengetahui apa yang terjadi di Prabu Mulih ini," gumam Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti memilih jalan belakang untuk keluar dari penginapan agar tidak diketahui penjaga di depan. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna, tubuhnya melompat ke atas atap bangunan di samping penginapan. Hanya dalam waktu sebentar saja, dia telah berada di jalan.
Tetapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kaki di jalan yang sepi, dari balik pepohonan dari semak berlompatan beberapa sosok tubuh mengepungnya. Rangga sedikit terkejut. Para pengepungnya ternyata terdiri dari prajurit-prajurit kerajaan, dan juga orang-orang biasa yang tampaknya dari golongan persilatan.
"Orang asing! Sebaiknya menyerah pada kami untuk menghadap pimpinan kami!" bentak seorang prajurit yang bertubuh tinggi tegap.
"Kalian memerintahkan aku menyerah" Rasanya, aku merasa tidak berbuat kesalahan apa-apa?" tukas Rangga, kalem.
"Jangan bodoh! Kau telah memasuki Prabu Mulih tanpa seizin raja kami. Ini merupakan pelanggaran yang tidak bisa dimaafkan!" tegas laki-laki yang berpakaian sebagaimana orang persilatan.
"Siapakah raja kalian?" tanya Rangga menyelidik.
"Huh...! Antasena bukan raja kami! Dia hanya budak! Dan pimpinan kamilah yang berkuasa...!" dengus prajurit tinggi tegap.
Tanpa disadari prajurit itu telah kelepasan bicara. Sedikit banyaknya, Rangga mulai mengerti.
"Aku tidak mungkin menuruti perintah kalian. Kota ini terbuka bagi siapa saja. Mengapa sekarang ada larangan?" tolak Rangga, tenang.
"Dulu memang begitu. Tapi sekarang, siapa pun yang berani memasuki kota ini harus ditangkap dan diadili!" tegas prajurit itu semakin tidak sabar.
? *** ? "Larangan kalian benar-benar tidak masuk akal. Maaf, aku tidak dapat memenuhi keinginan kalian!" jawab Rangga disertai senyum.


Pendekar Rajawali Sakti 192 Pusaka Lidah Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para prajurit dan orang-orang persilatan yang tergabung menjadi satu saling pandang sebentar. Tetapi kemudian salah seorang langsung memberi isyarat untuk menyerang pemuda berbaju rompi putih ini.
"Heaaa...!"
Tidak dapat dihindari lagi, pertarungan sengit terjadi. Para prajurit maupun orang-orang berpakaian persilatan menghujani Pendekar Rajawali Sakti dengan berbagai macan senjata. Dan walaupun mereka mempunyai ilmu olah kanuragan tidak seberapa tinggi, namun karena jumlah mereka cukup besar dalam waktu sekejap Rangga telah berada dalam kepungan.
Dalam menghadapi serangan-serangan cukup ganas ini, Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib". Dengan gerakan-gerakan kaki yang begitu lincah sambil meliuk-liukkan tubuhnya, setiap serangan yang datang berhasil dihindari.
Melihat tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh jubah pemuda tampan berbaju rompi putih ini, maka para pengeroyok semakin bertambah marah. Mereka segera mulai meningkatkan serangan.
Dari gerakan-gerakan yang kaku, Rangga menduga kalau orang-orang yang menyerangnya memang seperti ada yang mengendalikan. Bahkan serangan-serangan mereka tampak membabi buta. Dan Pendekar Rajawali Sakti jelas tidak mungkin menghindar terus. Tiba-tiba....
"Hiyaaa...!"
Dibarengi teriakan keras, Rangga melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk seraya mempergunakan jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa". Saat itu juga, kakinya menyambar ke bagian kepala lawan-lawannya.
Prak! Prak! "Aaa...!"
Tiga orang prajurit dan satu dari rimba persilatan kontan menjerit keras, ketika kaki Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung tenaga dalam tinggi menghantam remuk kepala mereka. Darah langsung mengucur bercampur otak yang berhamburan.
Melihat hal ini, para pengeroyok yang lain tampak terkejut Tetapi itu terjadi tidak lama. Dua orang prajurit yang mempunyai tingkat kepandaian lebih tinggi segera meluruk deras ke arah Rangga. Tombak salah seorang meluncur deras ke bagian dada. Sedangkan yang satu lagi mengancam bagian selangkangan.
Pendekar Rajawali Sakti cepat menggeser langkahnya kesamping. Tubuhnya dimiringkan, tanpa sempat diketahui lawan.
Wut! Wut! Begitu serangan kedua prajurit luput, Rangga melihat sebuah peluang cukup baik. Sebelum mereka sempat berbalik dan melakukan serangan lagi, kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang terkepal sudah menjulur menghantam punggung.
Buk! Buk! "Hugkh...!"
Kedua orang itu kontan jatuh tersungkur disertai semburan darah segar. Jelas sekali prajurit kerajaan ini menderita luka dalam yang tidak ringan.
"Heaaa...!"
Melihat dua orang roboh yang lainnya bukan menjadi jera, bahkan berubah beringas. Kembali berbagai senjata menghujani Rangga.
Sementara itu, lama-kelamaan Pendekar Rajawali Sakti menjadi jengkel juga. Habis sudah kesabarannya.
"Kalian memang sulit mengerti rupanya. Baiklah.... Kalau ini memang maunya kalian, jangan salahkan aku jika terpaksa harus membunuh!" desis Rangga dingin.
Dengan cepat Rangga melenting ke belakang. Begitu mendarat tenaga dalamnya disalurkan ke bagian tangannya dengan kuda-kuda kokoh. Saat itu juga Rangga berputaran sambil menghentakkan kedua tangan ke seluruh penjuru.
"Aji "Bayu Bajra"! Heaaa...!"
Segulung angin kencang langsung menghantam prajurit dan orang-orang persilatan, hingga berpentalan jauh bagai tersapu angin topan.
Duk! Duk! "Aaa...!"
Terdengar jeritan di sana-sini, begitu tubuh para pengeroyok menghantam pohon hingga roboh. Mereka tak bangun-bangun lagi dengan bagian dalam tubuh remuk.
? *** ? Seorang laki-laki tua berbadan tinggi besar dengan perut bundar berjalan sambil terus menggerutu. Terkadang mempermainkan caping bambunya atau mengipas-ngipasnya ke bagian kepala yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut putih.
"Banyak orang sengsara di kota mati ini. Semua ini karena ulah orang gila. Gila harta, gila kedudukan, dan gila perempuan! Karena ulahnya, aku terpaksa meninggalkan Lembah Tengkorak. Mana mungkin kubiarkan semua ini" Mereka setengah manusia setengah binatang...!" gumam laki-laki tua berperut bundar yang tidak lain Candra Kirana atau lebih dikenal sebagai Malim Jenaka.
Malim Jenaka termasuk sesepuh rimba persilatan. Hanya saja tak ada seorang pun yang tahu berada di mana golongannya. Kadang ikut membantu melenyapkan tokoh sesat. Tapi di lain waktu bentrok dengan tokoh lurus. Tingkahnya konyol dan lucu. Wataknya angin-anginan.
Sementara itu tidak jauh di depan jalan yang dilalui Candra Kirana, berjalan seorang pemuda berbaju rompi putih dengan arah berlawanan. Melihat pedang berhulu kepala burung rajawali, Candra Kirana langsung menggelengkan kepala.
"Ho ho ho...! Rupanya begini besar urusan di Prabu Mulih ini. Sehingga aku hari ini bertemu pendekar besar sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti"!"
Rupanya walaupun belum pernah bertemu. Candra Kirana telah mengenalinya. Dia sering mendengar kehebatan pemuda ini dalam membasmi kejahatan di rimba persilatan.
Rangga yang telah sampai di depan Malim Jenaka jelas tidak mampu menyembunyikan rasa kagetnya. Rangga memang belum pernah bertemu dengan kakek tinggi besar berperut bundar ini sebelumnya. Bagaimana mungkin orang tua ini mengenalinya"
"Maaf... Siapa kau ini, Orang Tua" Kalau boleh tahu apa nama besarmu?" tanya Rangga ramah sambil menjura dalam-dalam.
"Ha ha ha...! Pendekar Rajawali Sakti memang manusia rendah hati. Aku tak memiliki nama besar. Hanya orang mengenaliku sebagai Malim Jenaka...!" sahut Candra Kirana memperkenalkan diri dengan sikap merendah pula.
Rangga lebih terkejut lagi mendengar pengakuan Candra Kirana. Seingatnya, tokoh sakti yang jenaka ini tinggal di Lembah Tengkorak. Lantas, ada urusan apa dia sampai datang ke Prabu Mulih"
"Hmm.... Tidak kusangka hari ini aku bertemu seorang tokoh besar rimba persilatan. Maaf, apakah ada sesuatu yang ingin diselesaikan di sini?" tanya Rangga.
Malim Jenaka mengusap-usap perutnya yang bundar. Matanya berkedip-kedip, seakan sedang memikirkan sesuatu.
"Pendekar Rajawali Sakti.... Entah, bagaimana aku harus mengatakannya padamu. Mungkin aku tidak pernah mengatakannya. Aku malu untuk berterus-terang padamu. Aku hanya dapat memberi peringatan padamu kalau ada tiga bahaya besar yang sedang mengancam.Maksudku, mengancam keselamatan orang banyak!" jelas Candra Kirana.
Kening Rangga berkerut dalam. Sama sekali tidak dapat dipahami kata-kata Malim Jenaka. Entah, apa yang dimaksudkan dengan tiga bahaya besar itu"
"Dapatkah kau menjelaskannya padaku, Kakek Malim Jenaka?" tanya Rangga penasaran.
"Sudah kukatakan, aku sulit mengatakannya. Bahaya ini akibat ulah seseorang. Jadi, bukan kehendak siapa-siapa. Dan kalau bisa, tanganilah masalah Gusti Prabu Antasena. Sedangkan aku yang menyelesaikan dua persoalan lainnya," tegas Malim Jenaka.
"Aku semakin tidak mengerti maksud ucapanmu, Kek," sergah Rangga berterus terang.
Malim Jenaka bukannya menjawab pertanyaan Rangga, tapi malah tertawa-tawa. Perutnya terguncang. Air matanya sampai bercucuran. Di lain kejap dia malah menangis tersedu-sedu. Pendekar Rajawali Sakti jadi bingung melihat perubahan yang mendadak ini.
"Semua ini bukan salahku, Pendekar Rajawali Sakti. Tolong kau ringkus si Antasena itu demi aku. Demi keselamatan semua orang di Prabu Mulih ini," pinta Malim Jenaka, setelah tangisnya berhenti.
"Apa kesalahannya?" tanya Rangga. "Dan kau sendiri, apa yang akan kau lakukan?" tanya Rangga.
"Antasena punya dosa tujuh lapis langit! Kau boleh menanyakannya pada orang yang tepat. Sedangkan urusanku sendiri, untuk sementara tidak dapat kukatakan padamu...!" jawab Candra Kirana tegas.
"Baiklah.... Aku tidak bisa memaksa. Aku akan menyelidiki keanehan-keanehan yang terjadi di kotaraja ini," desah Rangga tak begitu menjanjikan.
"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti...."
Setelah berkata demikian, Malim Jekana berkelebat melanjutkan perjalanannya.
? *** ? Rasanya Rangga harus mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri, tentang keanehan-keanehan yang terjadi di kota Prabu Mulih ini. Malim Jenaka yang dijumpainya ternyata tidak mau berterus-terang. Di dalam kamar penginapan yang ditempatinya, hingga menjelang larut malam Pendekar Rajawali Sakti baru saja pulas. Namun baru beberapa kejapan tertidur, sayup-sayup telinga Rangga yang tajam mendengar suara langkah kaki mendekati kamarnya.
Rangga yang memang telah mematikan lampu segera mengerahkan aji "Tatar Netra". Sebuah ajian yang dapat dipergunakan untuk melihat dalam kegelapan. Ketika pintu perlahan-lahan terbuka, Pendekar Rajawali Sakti tetap berbaring sambil bersiap. Tampak sesosok berbaju hitam sedang mendekatinya perlahan-lahan dengan golok terhunus. Lalu...
"Hup!"
Mendadak Pendekar Rajawali Sakti bangkit. Tetapi, sosok yang menghampiri cepat melancarkan serangan dengan golok.
"Aku harus dapat menangkapnya, siapa pun dia!" desis Rangga sambil berkelit dan langsung melancarkan serangan balasan.
Sosok berbaju serba hitam itu hanya mendengus, serangannya semakin diperhebat. Namun, Rangga sudah tidak ingin mengulur waktu lagi.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Rangga melompat ke depan. Kakinya bergerak menghantam ke bagian wajah lawannya.
"Hup...!"
Tetapi sosok berbaju hitam ini cepat melompat mundur, sehingga tendangan Rangga hanya mengenai tempat kosong. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti berusaha melanjutkan serangan dengan hantaman tangan kanan, golok orang itu menyodok ke bagian dada.
"Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti terpaksa membuang diri ke samping, lalu berguling-guling. Dan baru saja Rangga bangkit, sosok serba hitam itu telah meluruk kembali dengan serangan mematikan.
Dalam keadaan terdesak seperti ini, Pendekar Rajawali Sakti jelas tidak punya pilihan lain lagi. Seketika tangannya membentuk paruh rajawali disertai tenaga dalam tinggi. Akibatnya, kedua tangannya berubah merah membara. Begitu serangan datang, Rangga mengegos sambil berputar ke kanan dengan kaki kiri sedikit terangkat. Dan tiba-tiba tangan kirinya mengibas ke belakang. Lalu....
Desss...! "Aaa...!"
Tidak ampun lagi, tubuh orang itu terguling-guling disertai jerit kematian. Rupanya, Rangga telah mempergunakan jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali" untuk menghentikan perlawanan yang hampir saja membuatnya celaka.
? *** 4 Rangga segera memeriksa sosok yang menyerangnya. Sulit dikenali, karena tubuhnya telah berubah hangus. Segera diperiksanya bagian-bagian lain untuk mencari petunjuk. Dan ternyata pada salah satu saku sosok mayat ini ditemukan sebuah benda berbentuk kepala serigala terbuat dari perak berwarna putih. Rangga segera membawanya ke tempat yang terang untuk menelitinya lebih seksama.
"Ini semacam perkumpulan. Atau, boleh jadi gerombolan tertentu. Kurasa mereka berada di kota Prabu Mulih ini juga. Mungkin inilah salah satu ancaman berbahaya yang dimaksudkan Malim Jenaka. Tetapi mengapa Malim Jenaka sampai mau bersusah payah turun tangan?" gumam Rangga pelan.
Setelah memasukkan lambang serigala itu, Rangga segera menuju tempat pelayan bagian penerima tamu. Tetapi, betapa terkejutnya pemuda berbaju rompi putih ini ketika melihat pelayan itu telah jadi mayat, tergolek di atas meja kerjanya. Tubuhnya koyak berlumur darah, nyaris tinggal tulang-belulang saja!
Geram bukan main Rangga melihat pemandangan yang sangat mengerikan, sekaligus mengenaskan ini. Wajahnya sempat berubah tegang. Segera matanya beredar ke sekelilingnya.
"Hei..., berhenti...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba, begitu melihat satu sosok tubuh berkelebat di bagian depan penginapan.
Rangga segera berkelebat mengejar keluar. Namun begitu tiba di luar, dia kehilangan jejak. Sosok bayangan yang baru dilihatnya barusan menghilang begitu saja dalam kegelapan. Bahkan ketika Rangga mengerahkan aji "Tatar Netra" tak ada sesuatu pun yang terlihat, kecuali pepohonan dan rumah-rumah penduduk.
Sekejap tadi, Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat sepasang mata berwarna merah menyala dari sosok yang bertubuh tinggi besar. Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah apa yang dilihatnya barusan tadi ada hubungannya dengan laki-laki yang tewas di tangannya" Lalu, siapa yang telah memangsa pelayan penginapan" Melihat tubuhnya yang nyaris tinggal tulang-belulang, pastilah yang memangsa pelayan penginapan adalah binatang buas yang sangat besar. Kalau tidak harimau. Ya beruang!
Semakin dalam saja Rangga terhanyut dalam persoalan-persoalan yang masih diselubungi teka-teki,sejak kedatangannya di kota Prabu Mulih.
Begitu banyak keanehan demi keanehan yang terjadi. Namun paling tidak Rangga sudah dapat mengambil kesimpulan, apa yang harus dilakukannya.
"Bunuh! Cincang Patih Kusuma yang gila itu!"
Pada saat Rangga tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras yang diwarnai munculnya cahaya obor di sana-sini. Juga terdengar derap langkah kaki kuda.
"Jangan beri kesempatan meloloskan diri! Dia bisa mendatangkan penyakit di kemudian hari!" teriak seorang laki-laki berpakaian kebesaran kerajaan dengan pangkat panglima yang berada di punggung kuda.
Laki-laki di atas kuda berbulu putih itu tidak lain dari Panglima Ubudana. Rupanya panglima licik ini sedang mengejar Patih Kusuma. Dia dibantu oleh perwira tinggi kerajaan dan prajurit-prajurit bersenjata lengkap.
Sementara di depan para pengejar, Patih Kusuma dalam keadaan terluka parah. Dia terus berusaha menyelamatkan diri. Namun karena telah kehilangan tenaga dan darah yang mengalir dari luka-lukanya, maka gerakannya menjadi semakin lemah.
Rangga melihat pemandangan yang sungguh menyedihkan ini. Tanpa pikir panjang lagi, tiba-tiba tubuhnya melesat ke arah Patih Kusuma dengan kecepatan luar biasa.
Bet! Langsung Pendekar Rajawali Sakti menyambar sekaligus memondong patih yang terluka itu. Selanjutnya tubuhnya terus berkelebat membawa Patih Kusuma ke tempat yang aman dengan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat tinggi.
Melihat buruannya diselamatkan seseorang yang tidak dikenal, Panglima Ubudana menjadi marah sekali.
"Kejar! Bunuh kedua-duanya...!" teriak panglima itu memberi perintah.
Sangat disayangkan orang yang dikejar terus berkelebat secepat terbang. Hingga dalam waktu yang tidak lama, Panglima Ubudana beserta anak buahnya telah kehilangan jejak.
"Celaka! Kalau patih keparat itu dapat menyelamatkan diri, suatu saat pasti akan menjadi ancaman!" pikir Panglima Ubudana cemas.
Dalam pada itu, salah seorang perwira tinggi kerajaan sudah datang memberi laporan.
"Ampun, Panglima. Buruan kita berhasil meloloskan diri. Hamba kira dia hampir tertangkap. Tapi, seseorang tidak dikenal telah menyelamatkannya!"
Panglima Ubudana berusaha menyembunyikan kekesalan dan rasa kecewanya. Rahangnya bertonjolan pertanda ia sedang menahan amarah.
"Sudahlah....Kita harus memberi laporan pada Gusti Prabu secepatnya. Semua pasukan kembali ke benteng istana!" bentak Panglima Ubudana geram.
? *** Pendekar Rajawali Sakti dengan telaten membersihkan luka-luka di tubuh Patih Kusuma. Terpaksa beberapa bagian luka dibalut. Setelah diobati dengan daun-daunan yang mempunyai khasiat tinggi.
Matahari sudah mulai tinggi. Embun di ujung daun perlahan-lahan menguap. Di bawah sebuah pohon rindang, tubuh lemah Patih Kusuma terbaring tidak berdaya. Sesekali terdengar suara erangannya yang lemah.
Tampaknya, laki-laki tua ini memang menderita lahir dan batin. Masih untung Rangga dapat menyelamatkan, sehingga jiwanya sempat tertolong. Sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh Patih Kusuma. Ini dilakukannya semata-mata adalah untuk mempercepat kesembuhan.
"Oh...!"
Terdengar desahan Patih Kusuma. Agaknya dia mulai sadarkan diri. Perlahan-lahan matanya terbuka.Mula-mula yang dilihatnya samar-samar adalah seorang pemuda berbaju rompi putih berwajah tampan. Tampak pedang berhulu kepala burung rajawali tersembul di balik punggungnya.
Patih Kusuma segera dapat menduga pemuda berompi putih inilah yang telah menyelamatkan jiwanya.
"Oh..., di mana aku" Siapakah kau, Anak Muda?" tanya Patih Kusuma dengan suara perlahan.
"Paman patih berada di tempat aman. Namaku Rangga," jelas pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti. "Sebaiknya Paman jangan banyak bergerak dulu. Luka-lukamu memerlukan penyembuhan secepatnya!"
Patih Kusuma terkejut. Karena, ternyata pemuda berbaju rompi putih di depannya mengetahui dirinya yang sebenarnya. Namun hatinya merasa bersyukur, karena pemuda yang tidak dikenalinya telah menyelamatkan selembar jiwanya.
"Bagaimana kau mengetahui siapa aku, Rangga?" tanya Patih Kusuma heran.
Rangga tersenyum, tidak langsung menjawab pertanyaan Patih Kusuma. Diperhatikannya patih itu dengan perasaan iba.
"Aku melihat paman dikejar-kejar panglima kerajaan dan bala tentaranya. Apa sebenarnya yang terjadi" Padahal, Paman sendiri adalah patih kerajaan pula?" tanya Rangga, penuh rasa ingin tahu.
"Banyak kejadian mengerikan berlangsung setelah Gusti Prabu Siwanada yang bijaksana tewas di tangan Antasena keparat itu!" geram Patih Kusuma.
"Jadi, Antasena menjadi raja setelah membunuh Gusti Prabu Siwanada?" desis Rangga dengan kening berkerut.
Patih Kusuma akhirnya menceritakan segalanya pada Rangga. Karena dia merasa yakin, pemuda itu pasti bersedia membantunya. Juga tidak lupa diceritakan tentang Raja Antasena yang sungguh menjijikkan. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti sendiri terus mendengarkan dengan seksama.
"Begitulah, Rangga. Tidak ada tempat yang aman di Prabu Mulih ini. Kotaraja telah berubah menjadi kota mati. Penduduk telah lama meninggalkannya, karena dihantui ketakutan!" tutur patih ini, mengakhiri ceritanya.
"Sejak kapan Paman menemukan orang-orang dimangsa makhluk yang sempat kulihat itu?" tanya Rangga.
"Sejak Antasena menjadi raja. Makhluk pemakan manusia itu apa pun namanya, mulai mencari sasaran. Bahkan tidak pernah berhenti memangsa siapa saja yang dijumpainya."
"Aku sendiri melihat apa yang Paman katakana di penginapan. Satu hal lagi, aku pernah dikeroyok prajurit kerajaan yang bergabung dengan orang-orang dari persilatan. Mereka kuanggap aneh, karena katanya Raja Antasena hanya Raja Boneka! Ini sama artinya bahwa mereka mempunyai pimpinan sendiri!" urai Rangga.
"Ya...! Dua kekuatan yang tidak terlihat ini datang pada waktu hampir bersamaan. Kerajaan Prabu Mulih dalam bahaya besar, Rangga. Raja Antasena tidak bisa dibiarkan berkuasa terus. Aku mencium gelagat kalau senjata ampuhnya yang bernama Lidah Setan itu pasti ada hubunganya dengan kehadiran dua kekuatan yang kukatakan tadi," tambah Patih Kusuma.
"Apakah Paman sendiri masih punya pengikut-pengikut yang setia?" tanya Pendekar Rajawali Sakti ingin tahu.
"Sebagian prajurit yang tergabung dalam pasukan Antasena ada yang berada di pihakku. Aku sendiri sebenarnya adalah adik Gusti Prabu Siwanada. Untungnya sejak dulu aku selalu merahasiakannya. Hanya beberapa orang yang tahu. Jadi para pengkhianat itu tidak tahu siapa aku yang sebenarnya. Dalam keadaan begini, tentu saja aku mencemaskan keselamatan Gusti Ratu. Aku ingin menyelamatkannya!" tandas Patih Kusuma.
"Untuk saat sekarang, sebaiknya jangan dulu. Kita perlu mengatur siasat untuk merebut takhta Kerajaan Prabu Mulih. Kalau mungkin, tanpa harus mengorbankan nyawa!" sergah Rangga.
"Usulmu memang baik. Tapi, kita tidak mungkin dapat mengalahkannya tanpa menghancurkan senjatanya Lidah Setan!" tukas Patih Kusuma khawatir.
"Nanti akan kita pikirkan semua itu. Sekarang yang terpenting adalah keselamatan Paman dulu. Jika Paman sudah sembuh, tentu tidak ada halangan lagi bagi kita untuk menyusun rencana yang lebih baik!"
? *** ? Di pinggiran kota Prabu Mulih sebelah timur, Malim Jenaka tiba di sebuah bangunan besar yang sudah tak terawat lagi. Semak belukar tumbuh di mana-mana. Lumut-lumut menutupi dinding bangunan ini.
Satu langkah laki-laki tinggi besar berperut gendut itu mundur, seperti mengambil ancang-ancang di depan pintu. Lalu....
Brakkk! Dan pintu kayu jati pun terbuka lebar begitu Candra Kirana menendangnya. Dari dalamnya menebarkan bau busuk yang sangat mengganggu pernapasan. Kakek bercaping ini terpaksa menutup jalan napasnya.
Rumah besar seperti yang telah ditinggalkan pemiliknya ini dalam keadaan gelap sama sekali. Sehingga, Candra Kirana alias Malim Jenaka terpaksa menyesuaikan penglihatannya.
Namun, sedikit pun Candra Kirana tidak menggeser tubuhnya dari depan pintu yang terbuka. Sehingga bila dilihat dari dalam ruangan, sosoknya tidak jauh berbeda dengan malaikat pencabut nyawa. Setelah lama memperhatikan ruangan yang gelap di depannya, tiba-tiba....
"Boma...!" teriak Malim Jenaka dengan suara lantang. "Aku tahu, kau berada di sini. Aku tahu, kau mendengarku! Aku datang memberi peringatan kepadamu, agar segera meninggalkan kota Prabu Mulih. Kuharap kau berhenti memangsa manusia. Kau harus pulang ke Lembah Tengkorak secepatnya, untuk menjalani masa hukuman yang dijatuhkan Guru padamu! Aku datang membawa perintah yang tidak bisa ditawar. Dari sekarang, waktumu tinggal sepekan lagi. Kalau dalam waktu yang kutentukan tidak juga menyerahkan diri secara sukarela, maka jangan salahkan, jika aku terpaksa bertindak kasar!"
Suara Malim Jenaka menggema ke seluruh ruangan yang sangat besar. Setelah gema suaranya menghilang, keadaan di sekelilingnya berubah sunyi kembali. Hanya beberapa saat saja keheningan berlangsung. Setelah itu....
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa seperti rentetan halilintar. Bangunan itu pun tergetar. Jelas, tawa itu disertai tenaga dalam tinggi. Hebatnya, Malim Jenaka sama sekali tidak terpengaruh. Bibirnya malah tersenyum-senyum.
"Kakang Malim Jenaka! Sekarang aku sudah berada di dunia bebas, bukan di Lembah Tengkorak lagi. Kakang tidak bisa memerintah seperti itu. Di sini aku punya janji. Di sini pula banyak makanan yang sangat kusukai. Mana mungkin aku meninggalkan kesenangan ini" Ha ha ha...!"
Begitu suara tawa itu lenyap, terdengar kata-kata keras, sehingga bergema. Suaranya bagai datang dari segala penjuru. Begitu angker dan mendirikan bulu kuduk.
"Mungkin apa yang kau katakan memang betul. Tapi masa hukumanmu di dalam penjara Kutukan belum berakhir. Kau harus kembali sesuai yang Guru pesankan kepadaku!" sahut Malim Jenaka, tak kalah keras.
Suatu hal yang sangat aneh. Jika Malim Jenaka saja pada saat ini telah berumur delapan puluh tahun, dapat dibayangkan usia gurunya. Mungkin telah berumur lebih dari seratus dua puluh tahun.
"Ha ha ha...! Mana bisa, Kakang Candra Kirana! Jika Kakang tetap memaksaku untuk kembali ke Lembah Tengkorak yang paling sangat kubenci, lebih baik aku bertarung denganmu sampai seribu jurus...!" sergah suara yang dikenali Candra Kirana sebagai suara adik seperguruannya yang bernama Boma.
"Kau mau melawanku, Serigala Putih" Kau pikir walaupun kau memakan daging manusia, aku takut padamu" Sekali-kali tidak, Serigala Putih. Aku tahu asal-usulmu. Kau manusia terkutuk, dari keturunan terkutuk pula. Dulu Guru telah berkenan mengambilmu sebagai seorang murid, semata-mata untuk menghilangkan kutukan yang telah menimpa keluargamu. Tapi kau ingkar janji...!" tukas Malim Jenaka, memanggil julukan Serigala Putih pada Boma.
"Cukup!" teriak Serigala Putih di kejauhan. "Aku tidak suka mendengar segala ocehanmu. Datanglah beberapa pekan lagi kemari, jika ingin menjemputku. Semoga keputusanku tidak terlalu buruk bagimu...!" tukas Boma.
Candra Kirana tersenyum kecut. Tangannya mengusap-usap perut beberapa kali. Tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya berbalik dan melangkah ke pintu yang terbuka.
Pintu jati menutup sendiri dengan hempasan yang sangat keras. Seakan ada kekuatan tidak terlihat yang telah mendorongnya. Malim Jenaka sendiri tanpa menghiraukan apa yang terjadi di belakangnya segera berkelebat pergi.
Hanya dalam waktu sekejap, Candra Kirana telah sampai di sebuah bangunan lain yang berukuran lebih besar dari yang didatanginya pertama tadi. Segera dihampirinya pintu yang tertutup. Namun belum sampai di depan pintu, beberapa sosok tubuh telah berkelebat ke arahnya dan langsung mengepung dari seluruh penjuru.
"Ha ha ha...! Pedut Ireng! Aku tahu, kau bersembunyi di dalam rumah itu. Satu pertanyaanku, untuk apa kau mengumpulkan prajurit kerajaan dan orang-orang persilatan di sini" Apakah kau ingin membangun pasukan?"
Sambil berkata demikian, Malim Jenaka, mengedarkan pandangan. Seolah-olah, dia tahu kalau ada sosok lain yang dicarinya di tempat ini.
"Ha ha ha...! Ternyata Kakang Candra Kirana menyusulku kemari. Pasti Guru yang telah memerintahmu ke sini, bukan?"
Benar saja, tak lama dari dalam bangunan terdengar suara sahutan.
"Memang benar! Apa tanggapanmu jika aku mengajakmu kembali ke Lembah Tengkorak, Pedut Ireng?" tanya Malim Jenaka tegas.
"Aku jelas tidak mau. Aku bosan menjalani hukuman di Lembah Tengkorak. Aku ingin bebas seperti sekarang ini. Akan kutunjukkan padamu, bahwa aku telah dijanjikan Raja Antasena untuk medirikan sebuah kerajaan berdampingan dengan Kerajaan Prabu Mulih!" sahut suara yang dikenali Candra Kirana sebagai suara adik seperguruannya yang bernama Pedut Ireng.
"Kau titisan iblis yang lugu. Janji manusia adalah janji pura-pura. Rupanya, kau telah bekeija sama dengan Antasena yang lalim itu dengan meminjamkan Pusaka Lidah Setan!" tebak Malim Jenaka.
"Kakang cukup cerdik! Antara aku dengan Antasena telah terjalin persahabatan cukup lama. Tidak ada salahnya kami saling percaya...!"
"Sebaiknya kau hentikan rencana gilamu, Pedut Ireng!" bentak Malim Jenaka.
"Mana bisa"! Semuanya telah kususun rapi. Mustahil aku menarik diri dari semua rencana yang telah kujalankan," bantah Pedut Ireng.
"Baiklah.... Aku memberimu waktu dua pekan. Nanti, aku akan datang kemari lagi untuk membawamu kembali ke Lembah Tengkorak!" tegas Malim Jenaka.
Candra Kirana berbalik dan bermaksud berlalu dari tempat itu. Tapi tiba-tiba....
"Semua bawahanku! Beri pelajaran pada orang yang berani memberi perintah pada ketua kalian! Bunuh dia...!" perintah Pedut Ireng.
Malim Jenaka tertawa-tawa melihat belasan pengawal yang telah berhasil dipengaruhi titisan iblis ini menyerang secara serentak.
"Kau telah berani melawanku, Titisan Siluman"! Hal ini hanya membuat hukumanmu di penjara bertambah panjang!" seru Candra Kirana lantang.
"Sudah, jangan banyak bicara! Bunuh orang tua gendut itu...!"
Sekali lagi terdengar ucapan bernada perintah Pedut Ireng dari dalam rumah.
Berlomba-lomba para prajurit dan orang-orang persilatan menyerang Malim Jenaka. Kakek bercaping bambu ini tiba-tiba berjumpalitan di udara.
"Hiyaaa!"
Sing! Dalam keadaan berjumpalitan, capingnya cepat dilemparkan ke arah penyerang.
Para pengeroyok berusaha menghindari sambaran caping Malim Jenaka yang dapat bergerak aneh. Tetapi usaha yang dilakukan rupanya sia-sia saja. Buktinya caping bambu itu seperti mempunyai mata saja, menyambar wajah dan leher. Dan....
Cras! "Wuaagkh!"
Beberapa prajurit berpelantingan dengan leher hampir putus disertai darah yang terus mengucur. Melihat kawan-kawannya tewas di tangan kakek berperut bundar ini, yang lainnya bukan menjadi jera, tapi mulai melancarkan serangan dengan kekuat an berlipat ganda.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 192. Pusaka Lidah Setan Bag. 5 - 6
30 ?"?"?" 2015 ". " 10:15
? 5 Candra Kirana malah tertawa-tawa mendapat serangan yang semakin menghebat. Namun tiba-tiba tubuhnya meluruk deras ke depan dengan tangan terjulur untuk menangkis senjata lawan-lawannya. Sedangkan kakinya berputar, sekaligus melepaskan tendangan berantai. Plak!
Buk! Buk! Buk! "Wuaaagkh...!"
Kembali prajurit-prajurit yang telah berada di bawah pengaruh iblis bernama Pedut Ireng itu terpelanting roboh. Mereka menjadi kocar-kacir. Namun karena setan telah menguasai hati dan jiwa mereka, maka sedikit pun tidak mengenal rasa takut.
"Pedut Ireng! Kalau kaki tanganmu kubunuh semua dengan pukulan "Penakluk Iblis", kau tidak akan dapat membangkitkan mereka lagi. Mereka mati dan tidak ada kebangkitan kedua. Cepat perintahkan mereka mundur. Atau, kau akan menyesal!" dengus Malim Jenaka lantang.
"Kakang Candra Kirana! Banyak yang dapat kau lakukan dengan ilmumu yang segudang itu. Tetapi kau tidak bisa menakut-nakuti aku!" sahut Pedut Ireng, dari tempat persembunyiannya.
Malim Jenaka merasa tidak punya pilihan lagi. Tiba-tiba dia melompat mundur sejauh dua batang tombak. Kedua tangannya langsung dirangkapkan ke depan dada. Tubuhnya kemudian bergetar.Perlahan-lahan keringat mulai membasahi pakaiannya.
"Hiyaaa....!" teriak Malim Jenaka, seraya mengeluarkan pukulan "Penakluk Iblis"nya ke segala arah.
Biar! Blarrr! "Aaakh...!"
Bukan main dahsyat serangan Candra Kirana. Prajurit-prajurit beserta orang-orang persilatan yang berada di dalam kekuasaan Pedut Ireng langsung berpelantingan roboh, bagaikan daun-daun hijau diterjang topan. Dan mereka tidak mampu bangkit lagi.
"Biarkan aku yang menghadapi si gendut, Ketua!"
Terdengar suara lain dari dalam bangunan.
"Jangan, Algojo. Biarkan dia pergi. Belum waktunya bagi kita untuk membunuhnya. Dan pekan nanti, dia akan menerima giliran dari kita!" sahut Pedut Ireng.
"Jangan coba-coba menggertakku! Aku segera datang menepati janji bila sudah sampai waktunya nanti!" dengus Malim Jenaka, seraya berkelebat dari tempat ini.
? *** ? Di Istana Kerajaan Prabu Mulih, Panglima Ubudana sedang menghadap Gusti Prabu Antasena. Pertemuan singkat itu berlangsung cukup tegang. Gusti Prabu Antasena bahkan berulang kali menggeleng-gelengkan kepala seakan tidak percaya.
"Jadi, kau gagal menangkap Patih Kusuma?" tanya Gusti Prabu Antasena, seperti ingin penegasan.
"Ampun, Gusti Prabu. Sebenarnya kami hampir berhasil menangkapnya. Malah dia telah teriuka. Tetapi, seseorang yang tidak kami kenal tiba-tiba saja muncul menyelamatkan patih itu," jelas Panglima Ubudana dengan wajah tertunduk dalam.
"Kau tahu siapa orang itu, Panglima?" tukas Gusti Prabu Antasena mendengus curiga.
"Hamba sama sekali tidak mengenalnya!" jawab Panglima Ubudana, tegas.
Untuk yang pertama kalinya, Gusti Prabu Antasena merasa ada sebuah kekuatan yang mengancamnya. Baginya, Panglima Ubudana bukan orang lemah. Kepandaiannya tinggi. Ilmu olah kanuragan yang dimilikinya juga tidak sembarangan. Jika seseorang mampu menyelamatkan Patih Kusuma dari maut, berarti orang itu mempunyai kepandaian jauh lebih tinggi dari panglima perangnya.
"Panglima...!" panggil Gusti Prabu Antasena.
"Hamba, Paduka."
"Aku menginginkan Patih Kusuma hidup atau mati. Dan, cari pemuda yang telah menyelamatkannya. Kalau perlu, bunuh kedua-duanya!" tegas Gusti Prabu Antasena.
"Perintah segera hamba laksanakan, Gusti. Hamba mohon diri!"
Setelah menghaturkan sembah, panglima perang ini segera berlalu dari hadapan rajanya.
Kini Gusti Prabu Antasena termenung sendirian, memikirkan apa yang bakal dihadapinya. Sesungguhnya, dia tidak takut dengan ancaman apa pun. Hatinya selalu yakin dengan kemampuan diri sendiri. Apalagi kini mempunyai Pusaka Lidah Setan yang telah dipinjam dari dua titisan iblis Pedut Ireng dan Serigala Putih. Senjata maut ini telah membuktikan keampuhannya saat melakukan pemberontakan beberapa purnama yang lalu. Dan bahkan Gusti Prabu Siwanada yang terkenal kesaktiannya tewas di tangannya berkat Pusaka Lidah Setan.
Itu sebabnya, laki-laki setengah baya ini terpaksa harus memutuskan untuk melenyapkan Patih Kusuma ketika melaporkan adanya binatang buas yang telah membantai penduduk. Juga kabar tentang prajurit-prajurit yang hilang dan dijumpai lagi dalam keadaan buas.
Secara tidak langsung, Gusti Prabu Antasena merasa ditolong oleh kedua titisan iblis itu. Tidak heran sebagai imbalannya, dia membebaskan mereka dari hukuman kutukan di Lembah Tengkorak. Bahkan mengizinkan Pedut Ireng dan Serigala Putih tinggal di Prabu Mulih.
Tetapi, kini datang lagi persoalan baru. Pemuda berbaju rompi putih yang telah menyelamatkan Patih Kusuma itu secara tidak langsung menjadi ancaman. Terutama jika Patih Kusuma membeberkan seluruh peristiwa yang terjadi di Prabu Mulih. Mau tidak mau, demi mempertahankan takhta yang telah didudukinya selama ini. Raja ini harus bersikap waspada.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti dengan setia menunggu kedatangan Malim Jenaka yang diketahuinya tinggal di sudut kota Prabu Mulih. Cukup lama juga dia duduk termenung di situ, sampai akhirnya merasa bosan sendiri. Ingin rasanya Rangga meninggalkan tempat itu. Namun baru saja hendak beranjak...
"Siapa yang telah berani memasuki tempat tinggalku" Lancang betul!"
Terdengar sebuah suara keras, membuat Rangga tersentak. Dan ketika berbalik di depan Pendekar Rajawali Sakti tahu-tahu telah berdiri seorang kakek bercaping bambu. Wajahnya yang selalu tersenyum tampak lebih tegang.
Tapi, laki-laki tua yang tak lain Candra Kirana langsung tertawa ketika melihat siapa yang telah memasuki gubuknya.
"Kau datang tak diundang dan masuk tanpa permisi. Dua kesalahan ini, seharusnya harus ditebus dengan kepalamu!" tegur Malim Jenaka.
"Maaf, Kek. Aku tergesa-gesa. Lagi pula, kau tidak terlihat berada di tempat ketika aku datang. Jadi, aku terpaksa masuk begitu saja," jelas Rangga
"Hm...," gumam Candra Kirana tidak jelas.
Laki-laki tua ini kemudian merebahkan tubuhnya di balai-balai bambu. Matanya berkedip-kedip, seakan sedang menghadapi sebuah persoalan yang cukup memusingkan kepala.
"Berita apa yang kau bawa, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Malim Jenaka, acuh.
"Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu, Kek. Kuharap, kau suka berterus terang!" sahut Rangga.
"Kepalaku sedang pusing. Aku tidak mau mendengar segala macam pertanyaan yang hanya membuatku tidak bisa tertawa," tolak Malim Jenaka, seenaknya saja.
"Aku melakukan semua ini demi keselamatan orang lain, Kek. Sebab aku yakin, apa yang terjadi Prabu Mulih ini ada kaitannya satu sama lain," jelas Rangga.
Istana Yang Suram 8 Dewi Ular Misteri Santet Iblis Pendekar Super Sakti 6

Cari Blog Ini