Ceritasilat Novel Online

Pusaka Lidah Setan 2

Pendekar Rajawali Sakti 192 Pusaka Lidah Setan Bagian 2


Barulah Malim Jenaka bangkit dari tidurnya. Diperhatikannya Rangga. Tatapan matanya seolah-olah ingin menembus dasar lubuk hati pemuda berbaju rompi putih ini.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Tentang sesosok makhluk buas yang memakan manusia. Juga, tentang manusia hitam, setinggi kakek," sahut Rangga.
Malim Jenaka mengusap-usap perutnya. Hanya wajahnya tidak lagi secerah tadi.
"Apakah ini yang kau maksudkan dengan tiga bahaya besar?" desak Rangga. "Aku tidak mungkin berperang melawan raja, tanpa dukungan dan penjelasan darimu. Sebaliknya, kau juga tidak mungkin dapat mengatasi persoalan tanpa dukunganku."
"Maksudmu kita saling terikat, bukan?" tebak Malim Jenaka.
"Ya.... Itulah sebabnya, kuharap Kakek mau menjelaskan siapa kedua makhluk aneh yang telah bergentayangan di kota ini!"
"Baiklah. Aku akan mengatakannya padamu...," desah kakek bercaping bambu ini.
"Aku senang mendengarnya."
"Sebenarnya masalah ini adalah masalah yang sangat pribadi. Namun karena menyangkut keterlibatan si Antasena yang sekarang menguasai Kerajaan Prabu Mulih secara licik, maka mau tidak mau aku terpaksa turun tangan untuk menghentikan mereka...."
"Apakah ini menyangkut makhluk pemakan daging manusia itu?" potong Rangga.
"Tepat! Sebenarnya, dia bukan binatang. Namanya, Boma! Wujudnya setengah manusia setengah serigala. Darah iblis telah menitis di tubuhnya. Dia dan Pedut Ireng telah melarikan diri dari penjara kutukan di Lembah Tengkorak," jelas Malim Jenaka.
"Lalu, apa hubungannya dengan Antasena?" tanya Rangga.
"Antasena telah meminjam Pusaka Lidah Setan pada mereka berdua. Sebagai imbalannya, Antasena membebaskan kedua titisan iblis bersaudara itu dari penjara...," tutur Malim Jenaka.
"Siapa yang memenjarakan mereka?" serobot Rangga penuh selidik.
"Guruku, Dewa Langit. Ibu mereka sendiri dulu adalah seorang perempuan cantik yang disukai Iblis Larantuka. Sampai akhirnya, perempuan itu hamil dan melahirkan anak kembar dengan wujud cukup mengerikan. Titisan iblis ini entah mengapa, membunuh ibu kandungnya sendiri. Sampai akhirnya guruku Dewa Langit menemukan mereka. Menurut guruku, mereka bisa menjadi manusia biasa bila selesai menjalani hukuman kutukan. Tetapi, campur tangan Antasena telah membuat niat luhur guruku berantakan. Ini terjadi karena mereka sesungguhnya tidak pintar seperti manusia yang sebenarnya," sesal Malim Jenaka dengan wajah murung.
"Lalu apa kehebatan Pusaka Lidah Setan?" tanya Rangga ingin tahu.
"Pusaka Lidah Setan sudah ada sejak mereka dilahirkan. Senjata itu mengandung racun keji. Siapa pun yang terkena tubuhnya menjadi hangus dan tidak tertolong. Pusaka itu selalu tersimpan di dalam mulut pemiliknya secara tak sengaja, Antasena menemukan penjara mereka di Lembah Tengkorak. Di situ mungkin terjadi kesepakatan. Sehingga, baik Boma maupun Pedut Ireng meminjamkan dua senjata itu. Sekarang sudah jelas bagimu kalau mereka bekerja sama. Tetapi mereka tidak mungkin bersatu. Boma titisan iblis berwujud serigala akan meminta korban lebih banyak lagi. Sedang Antasena tenang-tenang saja."
"Jadi, Boma lebih berbahaya daripada Pedut Ireng?" tanya Rangga perlahan.
"Benar. Tetapi Pedut Ireng sewaktu-waktu dapat menjadi buas. Dia suka meminum darah manusia."
"Gila! Kalau begitu kita harus cepat bertindak. Pertama yang harus kita singkirkan adalah Antasena dan panglima perangnya. Senjata itu harus kita rampas!" tegas Rangga.
"Aku setuju," sahut Candra Kirana. "Boma dan Pedut Ireng hanya takut pada senjatanya sendiri. Karena, kematian mereka memang ditentukan Pusaka Lidah Setan. Maaf, bukan berarti aku mengecilkan kehebatan senjatamu, Rangga."
"Tidak apa-apa," balas Rangga disertai senyum. Kita nanti akan berkumpul di pinggir benteng istana. Sekarang, aku harus kembali menjumpai Patih Kusuma yang bersembunyi di sebuah tempat," Rangga lantas memohon pamit.
Malim Jenaka mengangguk. Setelah Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan pondoknya yang acak-acakan, murid Dewa Langit yang paling jenaka ini merebahkan tubuhnya. Sebentar saja sudah terdengar dengkurnya yang seperti seekor kuda kelelahan.
? *** ? Panglima Ubudana bersama sepuluh perwira tinggi disertai seratus prajurit bersenjata lengkap terus melakukan pelacakan. Semua tempat yang mencurigakan tidak lepas dari pemeriksaan. Namun, tanda-tanda ditemukannya Patih Kusuma masih belum jelas. Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk mencari buronan itu keluar dari kota Prabu Mulih. Para prajurit diperintahkan menyebar. Sedangkan panglima penjilat itu sendiri dengan dikawal sepuluh perwira berkuda, segera menelusuri tempat-tempat yang dicurigai.
Tidak lama mereka menelusuri bukit kapur tersebut Tiba-tiba....
"Tangkap! Bunuh Patih Kusuma...!"
Terdengar teriakan-teriakan membahana.
"Kepung dengan rapat! Jangan kasih kesempatan meloloskan diri untuk yang kedua kalinya!" perintah salah seorang perwira kerajaan sambil melolos pedangnya.
Laki-laki tua yang memang Patih Kusuma. Segera bersiap, setelah tempat persembunyiannya diketahui. Dia tentu saja tidak tinggal diam. Senjatanya segera diloloskan. Karena luka-luka yang diderita memang sudah sembuh, maka dengan leluasa dia berusaha membalas. Senjata di tangannya diputar cepat
Trang! Trang! Cras! "Aaa...!"
Jerit kesakitan terdengar silih berganti, ditingkahi denting pedang beradu. Satu dua orang prajurit roboh menjadi korban ketajaman pedang di tangan patih itu. Mereka tewas dengan luka-luka di dada maupun pada bagian perut.
Satu-dua orang prajurit mati. Tapi yang datang menyerbu puluhan. Mau tidak mau, Patih Kusuma terpaksa menguras seluruh tenaga untuk menghalau setiap serangan. Namun serangan para prajurit yang dipimpin Panglima Ubudana bagaikan air bah. Mereka tidak pernah surut. Sebaliknya hujan berbagai jenis senjata terhadap Patih Kusuma tak pemah berhenti.
"Hiyaaa!"
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, Patih Kusuma bergerak cepat kian kemari. Senjatanya terus meluncur deras, mencari sasaran. Setiap itu pula terdengar teriakan menyayat.
"Perwira! Bantu prajurit-prajurit itu!" teriak Panglima Ubudana memberi aba-aba.
Sepuluh perwira tinggi yang menyertai Panglima Ubudana langsung berlompatan dari punggung kuda tunggangan masing-masing. Dengan turunnya sepuluh perwira tinggi yang rata-rata mempunyai kepandaian lumayan, maka Patih Kusuma dalam waktu tiga puluh lima jurus tampak mulai kerepotan.
Sekarang laki-laki tua ini hanya dapat menangkis setiap serangan yang datang tanpa pemah sempat membalas. Demi mempertahankan keselamatannya, terpaksa seluruh kekuatan yang dimilikinya dikerahkan.
"Manusia keparat! Bangsat tengik! Enyahlah kalian di neraka! Hiyaaa...!" teriak Patih Kusuma.
Dengan kecepatan laksana kilat tubuh patih ini meluruk deras ke depan. Pedang di tangannya meluncur deras ke arah lawan-lawannya.
Cras! "Wuaagkh...!"
Sambil mendekap leher, dua prajurit menjerit kesakitan. Mereka tersungkur roboh tanpa dapat bergerak lagi. Melihat korban terus berjatuhan, para perwira kerajaan sudah tidak sabar lagi. Mereka saling berebut untuk mencincangnya. Ternyata serangan gencar ini cukup berbahaya. Karena, ujung pedang mereka menyambar-nyambar ke bagian-bagian yang sangat mematikan di tubuh Patih Kusuma.
"Heaaa...!"
Salah satu perwira berhasil menyusup ke dalam pertahanan Patih Kusuma. Senjatanya yang berbentuk trisula, menusuk ke arah pinggang. Serangan ini tentu sangat berbahaya, karena di luar sepengetahuan Patih Kusuma yang sedang berusaha menghalau serangan yang datang dari bagian depan.
"Hiaaat...!"
Pada saat keselamatan Patih Kusuma benar-benar dalam keadaan terancam, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat. Seketika disambarnya Patih Kusuma yang terkepung.
Sosok berbaju rompi putih ini bukan saja dapat membebaskan patih dari kepungan. Bahkan sambil melesat, segera dilancarkannya jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa". Kakinya dengan cepat bergerak mengibas menghantam kepala dua orang perwira dan tiga prajurit kerajaan....
Prak! "Aaa...!"
Dua perwira dan prajurit itu melolong kesakitan dengan kepala pecah. Tubuh mereka kontan tersungkur ke tanah, dan tewas seketika dengan luka cukup mengerikan.
? *** ? Mempergunakan kesempatan yang singkat, sosok bayangan putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat membawa Patih Kusuma dari kepungan. Laki-laki tua itu merasa lega, karena Rangga telah menyelamatkan nyawanya untuk yang kedua kalinya. Dari ketinggian bukit, Rangga memandang Panglima Ubudana dengan sorot mata dingin penuh kebencian.
"Kau pengecut! Sebaiknya hari ini menyerahkan diri pada kerajaan! Dosa-dosamu mungkin dapat diampuni raja, jika bersedia menyerahkan Patih Kusuma pada kami!" bujuk Panglima Ubudana.
"Huh...! Siapa yang mau mendengar omong kosongmu, Panglima! Malah, hari ini aku akan mengadilimu, karena fitnahmu pada Patih Kusuma," balas Rangga, tidak kalah sengit.
Mendengar ucapan Pendekar Rajawali Sakti di depan para prajurit dan perwiranya, tentu Panglima Ubudana merasa terhina. Wajahnya seketika berubah merah padam.
"Manusia keparat! Panah dia...!" teriak Panglima Ubudana memberi aba-aba pada sepuluh orang pasukan pemanah.
Rangga bersikap tenang-tenang saja. Sebaliknya, Patih Kusuma langsung mencabut pedang untuk melindungi diri dari serangan anak panah.
Twang! Twang! Twang...!
Puluhan batang anak panah segera melesat cepat dari busur. Patih Kusuma memutar pedangnya. Sedangkan Rangga dengan mempergunakan tenaga dalam tingkat tinggi, menghalau serangan dengan mengibaskan tangannya.
Wusss...! Segulung angin keluar dari tangan Rangga, membuat anak-anak panah itu tersapu habis. Sisanya ditangkap dengan tepat. Dan....
Tap! Tap! Ser! Ser! Ser! Secepat Rangga menangkap, maka secepat itu pula melemparkan kembali anak panah itu ke arah pemiliknya.
"Aaakh...!"
Anak-anak panah kontan menembus pemiliknya dari dada sampai punggung. Mereka hanya sempat menjerit kesakitan. Tubuh mereka kontan terjengkang roboh untuk selama-lamanya.
? *** ? 6 Apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti jelas membuat Panglima Ubudana menjadi marah bukan main. Tiba-tiba dia memberi isyarat pada seluruh pasukannya untuk menyerbu ke atas bukit, dengan tangannya mengibas ke depan.
"Bunuh mereka berdua!" teriak panglima itu lantang.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, prajurit-prajurit itu berserta perwira tinggi kerajaan langsung menyerbu ke atas bukit.
"Aku tidak menghendaki hal ini, Paman Patih! Kalau ada kesempatan, sebaiknya tangkap Panglima Ubudana. Setelah itu, baru kita kuasai prajurit-prajurit ini!" ujar Rangga, menjelaskan rencananya.
Patih Kusuma mengangguk tanda mengerti. Mereka segera menyambut datangnya serangan. Memang, Rangga sebenarnya tidak ingin membunuh prajurit-prajurit itu. Karena, mereka hanyalah alat. Maka dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, Rangga berkelebat cepat ke sana kemari. Langsung dilepaskanya totokan-totokan ke tubuh para prajurit.
Tuk! Tuk! Walaupun beberapa orang telah roboh tertotok, namun lama kelamaan gelombang serangan semakin menggila. Sehingga Pendekar Rajawali Sakti dan Patih Kusuma dalam keadaan terdesak.
"Kita tidak mungkin terus bertahan seperti ini, Rangga! Kita bisa celaka di tangan mereka!" bisik Patih Kusuma.
"Lalu...?" tanya Rangga dengan suara perlahan.
"Kita harus membunuh, atau kita yang terbunuh!" desis patih ini sambil terus menangkis tusukan senjata lawan-lawannya.
Kalau dipikir apa yang dikatakan Patih Kusuma memang masuk akal. Walau rata-rata mempunyai kepandaian biasa-biasa saja, namun jumlah mereka cukup banyak.
Maka kini, Rangga terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan. Dan tiba-tiba saja, dia membuat kuda-kuda kokoh. Lalu....
"Aji "Bayu Bajra"! Hiyaaa...!"
Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Maka saat itu juga meluncur angin topan dahsyat ke arah para pengeroyok. Serangan yang mengandung kekuatan sangat dahsyat ini langsung melempar jauh para prajurit.
"Aaa...! Aaa...!"
Belasan para prajurit kontan menemui ajal begitu terhempas menabrak pohon hingga bertumbangan.
Bukan hanya Patih Kusuma saja yang sangat tertegun. Tapi Panglima Ubudana sendiri sempat terkesiap dengan mata melotot. Untung panglima ini mempunyai tenaga dalam tinggi, hingga tidak ikut terhempas. Dengan kekuatan tenaga dalamnya, dia membuat kaki-kaki kudanya seperti terpatri ke tanah. Walaupun tak urung terseret beberapa tombak.
Panglima Ubudana seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dua puluh orang prajurit binasa dalam waktu yang sekejap saja!
Sementara itu, melihat kematian kawan-kawannya, baik prajurit yang tersisa maupun perwira kerajaan jadi ciut nyalinya. Mereka tidak lagi berani bertindak gegabah. Tetapi, tetap mengurung rapat kedua lawannya.
"Jika kalian sudah bosah hidup, sebaiknya cepat maju ke depan. Tetapi kalau takut mati. Sebaiknya menyingkir dari sini! Aku hanya menginginkan Panglima Ubudana. Kaki tangan pemberontak itu harus mati di tanganku!" ancam Rangga, lantang.
Panglima Ubudana jelas menjadi gusar mendengar ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tangkap dia!" perintah panglima ini pada seluruh pasukannya yang tersisa.
Namun, tidak satu pun dari para prajurit maupun perwira tinggi kerajaan yang bergerak mematuhi perintah Panglima Ubudana.
"Kurang ajar kalian semua! Jangan coba-coba membantah perintahku, kalau tidak ingin kuhukum gantung!" dengus panglima ini.
"Siapa yang mau mendengar Patih Kusuma, maka kalian akan selamat dari kematian! Lebih baik kalian menyerah. Dan, patih akan mengampuni jiwa kalian!" kata Rangga, memberi peringatan.
Tampaknya para prajurit itu seperti yang pernah dikatakan Patih Kusuma, memang cenderung berpihak kepadanya. Terbukti mereka tetap tidak bergerak melakukan sesuatu, sebagaimana yang diperintahkan panglima perangnya.
Panglima Ubudana menjadi gusar melihat pasukannya mogok. Dengan penuh kegeraman, pedangnya dicabut. Sebentar saja, dia sudah menggebah kudanya. Sedangkan di tangannya diayunkan ke segenap penjuru arah hendak menghantam prajurit-prajuritnya sendiri.
Perbuatan Panglima Ubudana ini tentu tidak dibiarkan Rangga. Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Dan laksana kilat, Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabutnya.
"Aku akan menghentikanmu, Orang Gila! Hiyaaa...!" teriak Rangga, seraya melesat memapak serangan Panglima Ubudana.
Panglima Ubudana terkesiap melihat sinar biru yang memancar dari batang pedang pemuda itu. Dengan cepat, tubuhnya melenting meninggalkan kudanya.
Cras! Begitu cepatnya serangan Pendekar Rajawali Sakti ini, sehingga tidak ampun lagi pedang berhulu kepala burung rajawali di tangannya menghantam leher kuda.
Kuda berbulu putih ini kontan tersungkur dengan leher putus tersambar pedang di tangan Rangga. Sementara begitu mendarat, Panglima Ubudana terkesiap melihat semua ini.
Sementara Rangga yang bertekad menyudahi pertempuran sudah berbalik. Dan seketika tubuhnya meluruk deras. Pedang di tangannya berkelebat membelah angin dan mengancam dada.
Panglima Ubudana melihat bahaya besar mengancam keselamatannya. Sedapatnya, pedangnya menangkis. Akibatnya....
Trak! Pedang Panglima Ubudana kontan patah menjadi dua ketika terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara secepat kilat, Rangga memutar pedangnya. Dan kali ini luncuran pedangnya sudah tidak dapat ditahan lagi. Maka tidak ampun lagi....
Blesss! "Aaakh...!"
Tepat sekali pedang Pendekar Rajawali Sakti menembus dada Panglima Ubudana hingga berteriak menyayat, panglima itu kontan terbeliak. Darah mengucur deras dari lukanya. Begitu ambruk Panglima Ubudana tewas seketika.
Melihat kematian panglima perangnya, para prajurit malah berteriak-teriak kegirangan.
"Hidup Patih Kusuma...!" teriak mereka sambil melonjak-lonjak kegirangan.
"Kita harus mengabdi pada Paman Patih!" ujar perwira tinggi kerajaan yang sesungguhnya masih berpihak pada bekas pimpinan yang lama.
Rangga segera menghampiri Patih Kusuma yang terus memandangi penuh rasa terima kasih mendalam.
"Lihat, Paman. Mereka ternyata masih tetap setia pada pemerintahan yang lama. Sekarang pimpin mereka menuju kotaraja. Biarkan aku yang berusaha memancing Antasena keluar dari singgasananya!"
"Hati-hati, Rangga. Dan, tolong lindungi Gusti Ratu Dewi Trijata dari kekejaman Antasena!" pesan Patih Kusuma penuh harap.
"Jangan khawatir, Paman," sahut Rangga menyanggupi.
? *** ? Malim Jenaka terus mengitari benteng istana. Tampak beberapa tempat dijaga ketat oleh pengawal bersenjata lengkap. Malim Jenaka merasa, sekaranglah saatnya turun tangan. Tetapi bila teringat Rangga yang tidak muncul-muncul, dia jadi tidak sabar saja.
"Aku bisa disalahkan jika aku mengambil tindakan sendirian!" pikir Candra Kirana.
Malim Jenaka mengusap-usap perutnya yang bundar. Dan dengan gerakan ringan sekali, tubuhnya segera melesat ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, kedua kakinya menjejak di atas tembok benteng. Lalu tubuhnya meluruk turun dan menyelinap di kelebatan pohon tidak jauh dari benteng istana. Dari tempat itu, diawasinya suasana di dalam benteng.
Jumlah prajurit-prajurit dalam benteng sudah tidak banyak lagi. Mungkin jumlahnya hanya tinggal delapan puluh orang. Malim Jenaka tahu benar, apa sebabnya. Sebagian prajurit itu pasti telah bergabung dengan Pedut Ireng. Mereka telah berada di bawah pengaruh makhluk titisan iblis itu. Sedangkan sebagian lagi tentu sedang mencari patih mereka yang telah melarikan diri. Berarti jika sekarang kakek tinggi besar ini melakukan penyerbuan, kekuatan yang akan dihadapi tidak seberapa besar. Walaupun begitu, dia tetap setia menunggu kedatangan Pendekar Rajawali Sakti. Mengingat, betapa berbahayanya Pusaka Lidah Setan yang sekarang berada di tangan Gusti Prabu Antasena.
*** Sementara itu di atas singgasananya, Gusti Prabu Antasena yang saat itu didampingi Permaisuri Dewi Trijata kelihatan gelisah. Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke pintu utama. Dia sendiri sudah menanyakan kehadiran panglima perangnya pada pengawal di pintu gerbang utama. Tetapi mereka melaporkan, bahwa Panglima Ubudana dan pasukan belum kembali.
"Sudah dua hari mereka melakukan pengejaran. Masa", mengejar satu orang penjahat saja tidak mampu melakukannya?" gerutu Gusti Prabu Antasena.
"Patih Kusuma penjahat! Dia orang terbaik di negeri ini!" sergah Permaisuri Dewi Trijata tidak sependapat.
Gusti Prabu Antasena langsung memandang tajam Permaisuri Dewi Trijata dengan mata melotot tidak suka.
"Jangan sekali-kali membela patih gila itu, Dewi. Aku bisa membuatmu sengsara!" ancam Gusti Prabu Antasena gusar.
"Huh...! Mana yang lebih baik antara patih dengan panglima perangmu yang penjilat itu" Dia bilang, di kotaraja tidak ada kejahatan. Padahal, setiap hari tulang-belulang rakyat yang tidak berdosa bertimbun di sudut kota. Lantas, apa itu namanya" Berapa banyak pula prajurit yang hilang tanpa diketahui?" dengus Permaisuri Dewi Trijata, kehilangan kesabarannya.
"Diam...! Kau tidak usah mengguruiku. Dengan dua senjata Pusaka Lidah Setan, tidak seorang pun berani menentangku! Ingatlah itu...!" bentak Gusti Prabu Antasena, tidak dapat menahan marahnya.
"Aku tidak peduli dengan segala macam senjata yang kau miliki, Kanda. Aku juga tidak peduli dengan nasibku sendiri. Prabu Mulih sekarang telah menjadi kota mati. Penduduk tidak ada yang berani pulang ke rumahnya. Sedangkan Kanda hampir setiap hari hanya berjudi, mabuk, dan main perempuan. Tidak takutkah Kanda kerajaan ini sewaktu-waktu bisa runtuh?"
"Tidak ada yang harus kutakutkan! Cita-citaku menjadi raja sudah terkabul. Jadi, mau apa lagi?" jawab Gusti Prabu Antasena bangga.
Jawaban Gusti Prabu Antasena hanya membuat permaisuri ini menjadi naik pitam. Dia bangkit berdiri sambil memandang tajam.
"Ingatlah! Kanda dulu hanya prajurit biasa. Kemudian, diangkat Gusti Prabu Siwanada menjadi panglima perang. Lalu, kenapa diangkat lagi menjadi patih kerajaan. Padahal, jabatan patih ini sesungguhnya milik Patih Kusuma yang sekarang...."
"Tentu saja aku mengingatnya. Tetapi, kedudukan itu akhirnya kuberikan juga pada Patih Kusuma bukan" Paling tidak, waktu itu dia tidak menjadi perintangku. Setelah aku menjadi raja, mengingat kebaikannya aku mengangkatnya menjadi seorang patih kerajaan. Tetapi sekarang, suasana telah berubah. Dia terlalu banyak mencampuri urusanku. Itu sebabnya, aku merasa perlu menyingkirkannya! Ha ha ha...!"
"Manusia busuk! Arwah suamiku pasti tidak akan senang melihat langkahmu yang sesat ini!" teriak Permaisuri Dewi Trijata.
Diingatkan tentang Gusti Prabu Siwanada yang telah mati di tangannya, Gusti Prabu Antasena menjadi sangat marah. Dihampirinya Permaisuri Dewi Trijata. Namun langkahnya tiba-tiba tertahan saat...
"Heaaa...!"
Trang! Mendadak terdengar teriakan-teriakan disertai denting senjata beradu di halaman istana.
? *** ? Dengan cepat Gusti Prabu Antasena bergegas keluar. Sampai di depan pintu utama, tampak seorang kakek bercaping bambu sedang mengamuk membantai para prajurit yang mengepungnya. Bahkan prajurit-prajurit kerajaan tampak bertarung dengan sesama prajurit pula. Tentu saja laki-laki setengah baya ini menjadi heran sendiri. Apalagi, di tempat ini terlihat seorang pemuda berompi putih dengan pedang di punggung yang berhulu kepala burung rajawali.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi" Rupanya ketika pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti tiba di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Prabu Mulih, Patih Kusuma datang pula bersama prajurit-prajurit kerajaan yang kini telah berbalik membantunya.
Karena Rangga belum mengenal Permaisuri Dewi Trijata, maka Patih Kusuma diperintahkan untuk menyelamatkannya. Sedangkan Rangga sendiri mengambil alih pimpinan dalam penyerbuan. Dengan dibantu Malim Jenaka yang memang telah sampai di tempat itu lebih awal, mereka beramai-ramai menyerang prajurit-prajurit kerajaan yang jumlahnya tidak lebih besar dibanding prajurit-prajurit yang telah berpihak pada Patih Kusuma. Rupanya kenyataan ini yang membuat Gusti Prabu Antasena menjadi kaget.
"Berhenti," teriak laki-laki setengah baya itu dengan suara keras.
Mereka yang sedang terlibat dalam pertarungan pun serentak menghentikan senjata masing-masing.
"Apakah kalian sudah gila bertarung dengan kawan sendiri! Bunuh dua pengacau itu!" perintah Gusti Prabu Antasena.
"Kami tetap setia pada raja yang telah kau bunuh, Antasena! Sekarang, sebaiknya kaulah yang menyerah pada kami! Kepada kawan-kawan sesama prajurit! Sebaiknya, kita tidak usah saling bunuh! Kita pantas bahu membahu mengenyahkan raja keparat itu!" teriak salah seorang perwira tinggi kerajaan, benar-benar mengejutkan Gusti Prabu Antasena.
Pernyataan ini sangat meragukan prajurit yang berada dalam benteng istana. Namun sebagian kecil yang masih setia pada Gusti Prabu Antasena ternyata pantang menyerah. Kembali mereka melakukan perlawanan sengit.Jumlah mereka yang cuma sepertiga dari seluruh jumlah prajurit yang ada, tentu tidak ada artinya menghadapi prajurit-prajurit yang masih setia pada almarhum Gusti Prabu Siwanada.
Maka kini kembali terdengar denting senjata berbaur jerit kematian prajurit yang berpihak pada Gusti Prabu Antasena. Hanya dalam waktu singkat, mereka tewas secara mengenaskan.
Setelah pengikut Gusti Prabu Antasena tidak tersisa, maka para prajurit yang tetap setia pada raja terdahulu serentak mundur membentuk lingkaran.
Kini, di tengah-tengah lingkaran berdiri Pendekar Rajawali Sakti, Malim Jenaka, dan juga Gusti Prabu Antasena. Mereka tampak tegang. Hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang kelihatan agak tenang.
"Aku datang kemari ingin minta Pusaka Lidah Setan yang telah kau pinjam dari Pedut Ireng dan Boma!" kata, Candra Kirana, membuka suara.
"Ha ha ha...!"
Gusti Prabu Antasena yang telah kehilangan seluruh prajuritnya malah tertawa-tawa.
"Kau tidak punya hak apa-apa meminta pusaka itu, Gendut! Sedangkan pemiliknya yang sah saja tidak pernah mempersoalkannya!" desis Gusti Prabu Antasena, sengit.
"Ya..., karena pemiliknya adalah titipan iblis yang bodoh! Sehingga, dengan mudah kau perdayai untuk menjalankan cita-cita busukmu!" geram Malim Jenaka berang.
"Sampai kapanpun, pusaka itu tidak akan kuserahkan pada pemiliknya. Apalagi, pada manusia jelek sepertimu. Dan juga seperti pemuda usilan itu. Lalu, kau mau apa?" tantang Gusti Prabu Antasena begitu angkuhnya.
Rangga terdiam. Sedang, Malim Jenaka mengipas-ngipaskan caping bambunya ke bagian dadanya yang bidang. Matanya berkedap-kedip. Sehingga walau bersikap sungguh-sungguh, raut wajahnya tetap lucu.
? *** ? Sementara itu Patih Kusuma yang ditugaskan menyelamatkan Permaisuri Dewi Trijata sudah sampai di depan singgasana yang biasa dipergunakan sebagai ruangan pertemuan. Beberapa pengawal yang mencoba menghalanginya, tanpa hambatan berarti dapat disingkirkanya.
"Gusti Permaisuri,..! Di manakah, Gusti?" panggil Patih Kusuma sambil mencari-cari.
Namun yang dicari-cari patih ini tidak kelihatan. Malah dari pintu samping muncul dua orang prajurit pengikuat Gusti Prabu Antasena dengan tombak terhunus.
"Mundur! Atau, lebih baik kalian menyerah padaku. Niscaya, hukuman kalian menjadi ringan!" perintah Patih Kusuma tegas.
Ternyata kedua prajurit ini sama sekali tidak mengindahkan peringatan Patih Kusuma. Mereka malah menyerang cepat sekali.
Tentu saja patih ini tidak membiarkannya begitu saja. Pedangnya yang selalu tergantung di pinggang segera diloloskan. Dan ketika dua mata tombak meluncur deras ke bagian dada dan perut, dia melompat mundur seraya mengibaskan senjatanya.
Trang! Kedua tombak kontan terpental. Tangan patih itu sendiri sempat bergetar. Tetapi dia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kembali pedangnya mengibas hingga meluncur cepat kedua arah. Sementara kedua prajurit itu sudah tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Cras! Cras! "Aaa...!"
Kedua prajurit itu kontan menjerit keras dengan tubuh ambruk. Leher mereka terkena tebasan pedang Patih Kusuma. Darah tampak mengucur membasahi lantai.
Patih Kusuma kembali memperhatikan keadaan sekelilingnya. Namun Permaisuri Dewi Trijata tetap tidak kelihatan. Segera dia berlari menuju kamar permaisuri.
Sampai di pintu kamar, Patih Kusuma segera mendorong dengan keras. Dia terkejut melihat permaisuri sedang sibuk mengobrak-abrik peraduannya. Tampaknya, dia sedang mencari-cari sesuatu.
"Gusti Permaisuri! Sebaiknya cepat menyingkir, sebelum Antasena menemukan kita di sini!" ajak Patih Kusuma tergesa-gesa.
Permaisuri Dewi Trijata terkejut karena tidak menyangka ternyata adik almarhum suaminya masih selamat.
"Adik ipar! Puji syukur pada Tuhan, ternyata kau dalam keadaan segar bugar. Tunggu sebentar! Aku sedang mencari Pusaka Lidah Setan yang disembunyikan Antasena di sini!"
"Apakah Gusti Permaisuri sudah menemukanya?" tanya Patih Kusuma.
"Hanya yang satunya saja!" sahut Permaisuri Dewi Trijata.
"Berarti yang satunya lagi ada pada Antasena! Mari kita pergi sekarang juga!" ajak Patih Kusuma.
Permaisuri Dewi Trijata walaupun masih penasaran akhirnya terpaksa menuruti perintah Patih Kusuma. Mereka keluar dari pintu belakang,tanpa mengalami hambatan berarti. Setelah itu, mereka menuju ke halaman depan tempat terjadinya pertempuran.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
? 2017 " . 192. Pusaka Lidah Setan Bag. 7 - 8 (Selesai)
30. April 2015 um 10:16
? 7 ? Pendekar Rajawali Sakti yang memang tidak ingin main keroyok, memberi kesempatan pada Candra Kirana untuk maju menghadapi Gusti Prabu. Maka, Malim Jenaka yang memang menaruh kemarahan tersendiri, tidak memberi kesempatan lagi. Tubuhnya langsung meluncur deras dengan kedua tangan terjulur ke arah kepala Gusti Prabu Antasena.
Tentu saja Gusti Prabu Antasena tidak membiarkan kepalanya menjadi sasaran. Cepat dia merunduk. Tapi walau serangannya luput, tangan lain milik tokoh jenaka itu melakukan serangan susulan. Dengan cepat Gusti Prabu Antasena menjatuhkan diri dan terus berguling-guling, disertai makian panjang pendek.
"Ufh...!"
"Heaaa...!"
Sambil berteriak keras, Malim Jenaka tiba-tiba saja merubah jurus-jurus silatnya. Tubuhnya terhuyung ke kiri dan ke kanan. Sedangkan kakinya terus bergerak lincah. Didahului tawa aneh, tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara.
Dalam keadaan berjumpalitan itu, tiba-tiba Candra Kirana mendorongkan kedua tangannya ke arah Gusti Prabu Antasena.
Wusss...!"
Segulung angin berhawa panas kontan menghantam raja lalim itu. Dan....
Blarrr! "Wuaagkh!"
Laki-laki setengah baya itu jatuh terguling-guling. Tetapi anehnya, tubuhnya tidak mengalami luka sedikit pun. Padahal, pukulan yang menghantamnya tadi termasuk pukulan sangat berbahaya, mengandung tenaga dalam tinggi. Jika tokoh biasa yang terkena pukulan tadi, mungkin sudah binasa. Kini, mengertilah Malim Jenaka kalau yang membuat kebal raja lalim itu adalah senjata Pusaka Lidah Setan!
Sementara itu Gusti Prabu Antasena sendiri menjadi marah bukan main. Segera pedangnya dicabut. Tampaknya jurus-jurus pedangnya yang cukup handal memang sengaja ingin ditujukannya.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan keras, Gusti Prabu Antasena meluruk ke depan. Senjatanya meluncur deras menusuk pada bagian leher. Namun kakek bercaping yang jadi sasaran cepat menggeser tubuhnya ke samping. Maka senjata itu hanya lewat di depan hidung saja.
Pada saat itu, Malim Jenaka melihat kesempatan cukup baik. Tanpa membuang waktu lagi, tangan kanannya menghantam dada Gusti Prabu Antasena.
Buk! "Hugkh!"
Sekali lagi pukulan Candra Kirana menghantam telak dada Gusti Prabu Antasena. Sambil mengeluh untuk kedua kalinya, laki-laki setengah baya itu jatuh terguling-guling. Anehnya, sama sekali tidak mengalami luka sedikit pun.
Malah kini keanehan terjadi. Begitu Gusti Prabu Antasena meraba pinggangnya, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi dua. Seterusnya, menjadi tiga, empat, sampai akhirnya telah berubah menjadi enam orang. Perubahan itu semula hanya seperti bayangan semu tembus pandang. Sosok dan penampilannya, mirip dengan Gusti Prabu Antasena. Bagaikan saudara kembar. Dan lama kelamaan, bayangan semua tembus pandang itu berubah menjadi jasad kasar.
Malim Jenaka sempat kaget juga melihat kenyataan ini. Tetapi segera disadari kalau semua itu karena Pusaka Lidah Setan.
Mau tak mau, Malim Jenaka sekarang harus mencari Gusti Prabu Antasena yang sebenarnya. Ini termasuk pilihan sulit. Karena seluruh tenaga dan pikirannya harus dipusatkan. Sementara, Gusti Prabu Antasena dengan lima kembarannya telah menyerangnya dari empat penjuru arah.
"Kau segera mati di tanganku! Hiyaaa...!" teriak Gusti Prabu Antasena nyaring.
Pedang di tangan enam Gusti Prabu Antasena menderu-deru cepat. Mendapat serangan dari enam penjuru, Malim Jenaka segera melemparkan caping bambunya.
Wuuut! Senjata andalan itu langsung meluncur ke arah sasaran. Gusti Prabu Antasena dan kembarannya tampak terkesiap. Namun setelah itu salah seorang langsung menyambut luncuran caping dengan pedangnya.
Trak! "Heh..."!"
Gusti Prabu Antasena terkejut. Karena, ternyata senjata yang terkandung dalam luncuran caping sangat besar, sehingga membuat tangannya bergetar dan kesemutan.
Tetapi, rupanya Gusti Prabu Antasena tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi. Tiba-tiba saja dicabutnya Pusaka Lidah Setan dari pinggangnya. Namun, daim-diam dia terkejut juga ketika teringat kalau salah satu senjata itu tertinggal di kamar permaisurinya.
Dengan Pusaka Lidah Setan berada di tangannya, maka sekarang sosok-sosok Gusti Prabu Antasena menyatu kembali.
"Aku tidak mungkin unggul menghadapi bangsat ini. Pusaka Lidah Setan adalah senjata yang tidak dapat dianggap main-main," gumam Malim Jenaka.
Apa yang dipikirkan Malim Jenaka segera menjadi kenyataan. Saat Gusti Prabu Antasena mengacungkan Pusaka Lidah Setan, maka kilatan api langsung melesat dari ujung pusaka berbentuk mata tombak itu. Cahaya merah membara itu menyambar Malim Jenaka.
"Heaaa...!" teriak Malim Jenaka, seraya menggunakan aji "Pancasona" dengan mendorongkan tangannya ke depan.
Kakek berperut bundar ini terpaksa pergunakan pukulan andalannya.
Glarrr! "Aaagkh...!"


Pendekar Rajawali Sakti 192 Pusaka Lidah Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malim Jenaka menjerit kesakitan. Aji Pancasona yang dilepaskannya ternyata tergulung kekuatan dahsyat yang keluar dari Pusaka Lidah Setan. Bayangkan! Kakek bercaping bambu yang memiliki kesaktian tinggi ini tidak mampu membendung kedahsyatan pusaka itu. Ini merupakan pertanda kalau pusaka di tangan Gusti Prabu Antasena benar-benar hebat!
Candra Kirana yang berasal dari Lembah Tengkorak jatuh terguling-guling sambil muntahkan darah kental. Sedangkan Rangga yang baru saja bicara dengan Patih Kusuma, segera menerima pemberian Pusaka Lidah Setan yang satunya lagi dari Permaisuri Dewi Trijata.
Saat Gusti Prabu Antasena bermaksud membunuh Malim Jenaka itulah Pendekar Rajawali Sakti bertindak. Tubuhnya seketika meluruk deras ke arah cahaya merah yang meluncur deras menuju Malim Jenaka, seraya menghentakkan kedua tangannya.
"Heaaa...!"
Saat itu juga meluruk segelombang angin topan memapak luncuran lidah api yang berwarna merah membara dari jurus aji "Bayu Bajra". Akibatnya....
Blarrr! "Heh...!"
Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terguling-guling. Dari sudut-sudut bibirnya meneteskan darah kental. Jelas, Rangga menderita luka dalam. Segera dia mengambil sikap semadi, mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka yang diderita.
Pada saat itu pula Gusti Prabu Antasena mengacungkan kembali Pusaka Lidah Setan ke arah Rangga. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti bangkit, dan kembali menjatuhkan diri untuk menghindari serangan maut itu.
Namun, jilatan-jilatan api terus mengejar-ngejar Pendekar Rajawali Sakti. Rangga bergerak bangkit dengan cepat. Tubuhnya segera meliuk-liuk menghindarinya. Namun akhirnya Rangga terpaksa berjumpalitan sambil mengerahkan jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali".
"Hiyaaa...!"
Tangan Rangga yang telah berubah memerah itu dikibaskan ke depan. Seketika sinar merah melesat, memapak sinar merah dari Pusaka Lidah Setan.
Blarrr...! Benturan keras terdengar, ketika dua kekuatan besar bertemu pada satu titik.
Sementara, Rangga kembali terlempar. Sedangkan Gusti Prabu Antasena terus menyerangnya tanpa ampun. Keselamatan Rangga benar-benar terancam. Namun pada saat yang menegangkan, Pendekar Rajawali Sakti mencabut senjata yang sama pemberian Permaisuri Dewi Trijata.
Senjata "Lidah Setan" di tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung diacungkan ke arah Gusti Prabu Antasena. Tidak bisa dicegah lagi, jilatan lidah api meluruk deras memapak kilatan lidah api dari Pusaka Lidah Setan di tangan Gusti Prabu Antasena.
Blarrr! "Aaa...!"
Gusti Prabu Antasena menjerit keras ketika dua kekuatan yang sama bertemu. Tubuhnya terpelanting. Sedangkan Pusaka Lidah Setan di tangannya terpental cukup jauh. Jelaslah, dengan senjata pusaka itu pula Gusti Prabu Antasena ternyata dapat dilukai.
Rangga tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Pedangnya segera dicabut, seketika tubuhnya meluncur deras ke arah Gusti Prabu Antasena dengan pedang yang bersinar biru berkilauan dikelebatkan. Sementara, Penguasa Kerajaan Prabu Mulih itu berusaha meraih senjatanya yang terlempar. Tetapi luncuran Pedang Pusaka Rajawali Sakti ternyata jauh lebih cepat dari gerakannya. Dan....
Cras! "Hugkh...!"
Mata Gusti Prabu Antasena kontan melotot disertai keluhan tertahan. Tangannya berusaha menggapai pedang yang menembus dadanya. Namun gerakannya hanya membuat darah semakin banyak mengucur dari lukanya. Begitu Rangga mencabut senjatanya, nyawa Gusti Prabu Antasena telah melayang.
"Horeee...!"
Suara sorak-sorai terdengar dari prajurit-prajurit maupun perwira tinggi kerajaan yang masih tetap setia pada Patih Kusuma dan almarhum Gusti Prabu Siwanada. Mereka merasa bebas dari belenggu ketakutan yang menekan selama ini.
Sementara itu, Rangga sudah memungut Pusaka Lidah Setan yang telah dipergunakan Gusti Prabu Antasena tadi.
"Hei..., Pendekar Rajawali Sakti! Kedua senjata itu jangan kau simpan. Aku harus membawanya kembali ke Lembah Tengkorak, bersama dua momonganku!"
Pada saat yang bersamaan terdengar suara seruan Malim Jenaka.
Rangga tersenyum. Sedangkan Patih Kusuma maupun Permaisuri Dewi Trijata tampak kaget. Mereka tidak menyangka kalau pemuda rompi putih yang bernama Rangga itu tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan khawatir, Kek. Aku tidak butuh pusaka yang menjadikan malapetaka ini. Aku tetap akan menyerahkannya padamu. Tapi, nanti setelah aku bicara dengan Patih Kusuma!" sahut Rangga, tegas.
"Sebaiknya kakek gendut dan Rangga masuk dulu ke tempat pertemuan. Kalian adalah tamu-tamu yang paling kami hormati!" serobot Patih Kusuma yang diikuti anggukan setuju Permaisuri Dewi Trijata.
"Ho ho ho...! Kalau menyangkut soal makanan, aku setuju saja. Apalagi ada arak wanginya," sahut Malim Jenaka sambil menelan ludah.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti, Malim Jenaka, Patih Kusuma, dan Permaisuri Dewi Trijata berkumpul di dalam ruangan pertemuan. Berbagai jenis hidangan tersedia untuk memeriahkan rasa syukur atas keberhasilan mereka menegakkan keadilan kembali di Kerajaan Prabu Mulih.
Malim Jenaka bagai tidak mengenal rasa kenyang terus melahap semua jenis hidangan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan sambil tersenyum-senyum.
"Ayo, Rangga! Tunggu apa lagi" Semua hidangan ini khusus untuk orang yang hidup. Sedangkan yang bosan hidup seperti si Antasena itu, memang tidak suka lagi makanan enak! Ayo..., sikat saja...!" ujar Malim Jenaka, sehingga membuat Permasuri Dewi Trijata tersenyum.
"Kami pihak kerajaan merasa berterima kasih pada Pendekar Rajawali Sakti dan pada Kakek Malim Jenaka. Tanpa bantuan kalian semua, kerajaan ini pasti akan hancur. Syukurlah keadilan dapat ditegakkan kembali. Kalau bersedia, kau bisa menjadi panglima perang di sini, Rangga...!" ucap Permaisuri Dewi Trijata penuh harap.
Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Sama sekali tidak disangka kalau permaisuri ini memberi keputusan seperti itu.
"Maaf, Gusti Ratu. Hamba bukan bermaksud menolak jabatan terhormat itu. Tetapi, begitu banyak tugas yang harus diselesaikan di rimba persilatan. Gusti Ratu dan Paman Patih Kusuma tentu dapat mengembalikan kepercayaan rakyat yang hampir musnah, sekaligus membangun kerajaan ini!" tolak Rangga, halus. "Hamba yakin, semuanya akan kembali seperti sediakala."
"Betul," sahut Malim Jenaka, "Lagi pula, Patih Kusuma dengan almarhum masih bersaudara. Tidak ada salahnya jika ada kecocokan patih, mendampingi Gusti Ratu menjadi pasangan. Bukan begitu, Rangga...?" saran kakek berbadan besar ini.
Permaisuri Dewi Trijata menundukkan kepala. Sedangkan Patih Kusuma tampak merah wajahnya. Sementara, Malim Jenaka mengusap-usap perutnya yang kekenyangan.
"Urusan hati, kita serahkan pada yang bersangkutan," Rangga menengahi. "Hamba yakin, semuanya dapat diselesaikan dengan baik. Dengan begitu urusan kerajaan sudah selesai. Sekarang, hamba harus menyelesaikan apa yang menjadi tugas Kakek Malim Jenaka. Boma dan Pedut Ireng harus ditangkap untuk dikembalikan ke penjara kutukan di Lembah Tengkorak."
"Betul! Tapi serahkan dulu Pusaka Lidah Setan padakku. Hanya dengan pusaka itu, mereka pasti takut, dan membuat mereka binasa," pinta Malim Jenaka.
"Jangan takut. Ini kukembalikan padamu, Kek!" ujar Rangga sambil menjulurkan tangannya.
Candra Kirana menerima kedua senjata pusaka ini, lalu menyelipkannya di balik pinggang.
"Secepat itukah kalian hendak pergi?" tanya Permaisuri Dewi Trijata keberatan.
"Bukankah semua urusan harus segera diselesaikan, Gusti Ratu" Lagi pula kedua titisan iblis itu harus cepat ditangkap. Aku takut guruku marah-marah nanti!" sahut Malim Jenaka.
"Kalau kalian butuh pasukan, bisa membawa beberapa prajurit untuk membantu!" Patih Kusuma mengajukan tawaran.
"Tidak! Terima kasih, Paman. Biarkan urusan ini kami yang akan menyelesaikannya berdua. Kami mohon diri!" pamit Rangga.
? *** ? Rangga dan Candra Kirana terus menelusuri jalan pintas menuju tempat persembunyian Pedut Ireng. Menjelang senja, barulah mereka berdua sampai di tempat tujuan. Namun, rumah besar itu tampak lebih sunyi dari biasanya.
"Kakek yakin dia bersembunyi di rumah ini?" tanya Rangga perlahan.
"Ho ho ho...! Aku yakin, seyakin-yakinnya. Bau mereka saja masih tercium olehku...!" jawab Candra Kirana, enteng.
"Bagaimana bau Pedut Ireng itu, Kek?" pancing Rangga.
"Baunya" Hmm.... Seperti bau api neraka. Ha ha ha...!" sahut kakek berperut buncit disertai tawa.
"Kalau begitu, Kakek pernah pergi ke neraka. Bagaimana keadaan di sana?" tanya Rangga berkelakar.
"Pokoknya serba sedih dan mengerikan. Aku memang pernah datang ke sana. Tapi, baru dalam mimpi saja," sahut Candra Kirana, seenaknya.
Rangga terdiam. Sikapnya kembali bersungguh-sungguh.Diperhatikannya bangunan sederhana di depannya. Naluri kependekarannya mengatakan, ada yang memperhatikan kehadiran mereka sejak tadi.
"Perintahkan pada tahanan itu untuk menyerahkan diri, Kek!" seru Rangga.
"Kusarankan, kau saja yang masuk ke dalam. Atau kalau perlu, kita masuk bersama-sama," usul Candra Kirana.
"Mari!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, langsung menyetujui.
Selanjutnya mereka berdua menghampiri pintu di depan. Ketika Rangga mendorong pintu sampai terbuka, tiba-tiba....
"Graungrr...!"
Terdengar suara menggeram disertai berkelebatnya sesosok tubuh berkepala botak. Sosok berpakaian hitam ini langsung melepaskan sebuah pukulan ke arah mereka berdua.
"Uts...!"
Untung Rangga dan Candra Kirana telah bersikap siaga sejak semula. Mereka melompat ke kiri dan kanan dengan gerakan indah, sehingga berhasil menghindari serangan sosok bertubuh tinggi besar bagai raksasa, kaki tangan Pedut Ireng. Kini baru terlihat jelas rupa sosok raksasa ini. Wajahnya kasar dengan hidung lebar. Mulutnya pun lebar, dengan taring pada sudut bibirnya. Matanya bulat nyalang, menyorot tajam.
"Graunggrrr...!"
"Tidak ada gunanya kau melawan kami! Suruh keluar Pedut Ireng untuk dibawa kembali ke Lembah Tengkorak!" perintah Pendekar Rajawali Sakti.
Perintah pemuda berbaju rompi putih tersebut sama sekali tidak ditanggapi sosok raksasa berwajah mengerikan. Malah tubuhnya meluruk ke depan menyerang Rangga.
Pemuda ini tidak tinggal diam ketika merasakan sambaran tangan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. Segera dipasangnya kuda-kuda, lalu membuat gerakan-gerakan aneh. Badannya condong ke kiri, dan condong ke kanan. Lalu tubuhnya berputar.
Begitu serangan raksasa ini lewat, Rangga meluncurkan kakinya begitu cepat, sehingga tidak dapat dihentikan lagi. Tidak ampun lagi....
Duk! "Wuaaakh...!"
Tubuh raksasa itu jatuh berdebum disertai erangan keras. Tetapi tendangan Rangga yang mengandung tenaga dalam tinggi tadi tidak berakibat apa-apa bagi sosok mengerikan ini. Bahkan langsung bangkit berdiri.
"Graungggrrr...!"
Disertai teriakan marah, raksasa itu membalas serangan dengan tidak kalah hebatnya. Pemuda berbaju rompi putih segera mempergunakan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" untuk mengelakkan serangan. Sedangkan Malim Jenaka yang mengawasi perkelahian seru bertepuk tangan.
"Pukul anunya, Rangga! Kelemahannya terletak di anunya itu! Kalau tidak, kau bisa hancur diinjak-injaknya...!" teriak Malim Jenaka, memberi petunjuk.
"Tenang saja, Kek!" sahut Rangga.
Rangga tiba-tiba saja meluruk. Tangannya meluncur deras ke bagian terlarang dan juga ke wajah. Tetapi raksasa itu sekarang membuat gerakan-gerakan kacau. Tangan kanannya terpentang ke depan.
"Heaaa...!" teriak raksasa itu seraya menghantamkan tangannya menggunakan pukulan "Geledek".
Demikian cepat serangan itu, membuat Rangga gugup. Namun secepat kilat dia berusaha menghindar ke samping. Akan tetapi hawa dingin tetap menyambar sebagian kakinya.
Blarrr! "Oh...!"
Rangga jatuh terguling-guling. Kakinya terasa membeku. Dengan terpincang-pincang, pemuda berompi putih ini bangkit berdiri. Namun belum lagi siap dengan kuda-kudanya, raksasa itu telah menyerangnya kembali penuh nafsu.
Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam. Segera dikerahkannya jurus "Seribu Rajawali". Rangga seketika berkelebat sedemikian cepatnya, mengitari raksasa itu. Gerakan yang sangat gesit ini, membuat tubuhnya tampak berubah banyak.
Sehingga, membingungkan lawannya.
Namun tidak kalah cepatnya, raksasa itu melepaskan serangan bertubi-tubi dengan menghentakkan tangannya. Tetapi, serangannya tetap mengenai tempat kosong. Sementara Kirana tampak melonjak kegirangan.
"Bagus! Gajah bengkak berkepala gundul mulai bingung, Rangga!" kelakar Malim Jenaka.
Rangga sama sekali tidak menghiraukan ocehan kakek itu. Tubuhnya terus berputar-putar beberapa kali. Dan mendadak kakinya meluncur ke selangkangan. Sedangkan tangannya menghantam ke wajah.
Wuttt! Serangan cepat ini membuat bingung. Namun raksasa itu mencoba melompat mundur, sambil menarik wajahnya ke belakang. Wajahnya yang bundar memang dapat diselamatkan dari kehancuran. Namun luncuran kaki Rangga tidak dapat dicegah lagi. Sehingga....
Jrottt! "Auaaa...!"
Disertai jerit kesakitan, raksasa tangan kanan Pedut ireng jatuh terguling-guling. Tubuhnya berkelojotan seperti orang kesetanan. Apa yang dikatakan Candra Kirana memang benar. Setelah bagian rahasianya hancur, raksasa ini meregang nyawa.
"Ho ho ho...! Betul, bolanya pecah. Nyawanya di situ. Dan sekarang dia telah mati. Pekerjaan yang bagus, Rangga," puji Candra Kirana disertai tawa.
*** ? 8 ? ?"Heh..."!"
Tawa Malim Jenaka seketika lenyap, berganti keterkejutan, saat terdengar deru angin topan dari dalam rumah. Candra Kirana memberi isyarat pada Rangga untuk mundur. Selanjutnya, terdengar suara langkah-langkah kaki menggetarkan tanah yang dipijak. Tak lama, di ambang pintu muncul sosok berbulu hitam. Wujudnya sepintas lalu memang sangat mirip monyet raksasa. Begitu besar dan tinggi.
Rupanya angin yang menderu-deru tadi berasal dari mulut sosok setengah binatang dan setengah manusia ini. Mulut makhluk berbulu hitam ini kembali membulat. Dan....
"Puuuh...!"
Pendekar Rajawali Sakti bergetar tubuhnya, ketika gelombang angin keras yang keluar dari mulut makhluk itu, menghantam dirinya. Untung Rangga sudah mengerahkan tenaga dalam ke bagian kakinya. Sehingga sepasang kakinya seperti terpantek ke bumi.
Sementara Malim Jenaka tertawa-tawa sambil mengusap perutnya yang bundar. Caping bambunya telah melayang jatuh, sehingga rambutnya yang putih berkibar-kibar ditiup angin. Rangga menyadari, sesungguhnya Candra Kirana mengerahkan tenaga dalam juga untuk melindungi diri.
"Hentikan permainanmu ini, Pedut Ireng! Aku datang menagih janji. Sudah kubawa pula rantai neraka untuk membelenggumu. Bagaimana" Apakah kau sudah bersedia pulang bersamaku ke Lembah Tengkorak?" tanya Candra Kirana tegas.
Manusia berwujud monyet raksasa yang ternyata Pedut Ireng ini tidak segera menjawab, melainkan memperhatikan pemuda berompi putih yang telah membunuh raksasa peliharaannya. Kemudian tatapannya beralih pada Candra Kirana. Matanya yang merah memandang penuh murka.
"Aku merasa senang tinggal di dunia bebas! Lembah Tengkorak tidak beda dengan penjara neraka bagiku!" dengus Pedut Ireng, tidak suka.
"Kau di sana hanya untuk menjalani hukuman kutukan. Setelah itu berlalu, kau bebas pergi ke mana saja. Percayalah! Guru memilihkan yang terbaik buatmu!" bujuk Candra Kirana.
"Siapa tahan" Serigala Putih saja tidak tahan. Lagi pula, kesalahanku tidak besar. Salahkah aku jika ingin punya pasukan yang hebat" Coba katakan sejujurnya, Kakang Candra Kirana!" tukas Pedut Ireng tidak sabar.
"Tentu tidak salah. Tetapi, kau harus menjalani apa yang menjadi kewajibanmu dulu!" tegas Candra Kirana.
"Betul. Kau harus menjalani apa yang menjadi hukumanmu," Rangga ikut menimpali.
"Diam kau! Aku tidak ada urusan denganmu!" dengus Pedut Ireng marah.
Rangga tersenyum dingin.
"Akan menjadi urusanku jika kau tidak menuruti perintah kakek gendut ini!"
"Kalau begitu, aku memilih tidak patuh pada siapa pun! Ilmu olah kanuraganku juga tinggi. Kakang Candra Kirana pasti tidak mampu menangkapku!" teriak Pedut Ireng, tanpa mengenal rasa takut.
"Bagaimana kalau aku mempergunakan Lidah Setan" Apakah ini bukan jalan kematian bagimu?" desis Candra Kirana setengah mengancam.
Pedut Ireng memang sempat tertegun. Tapi, walaupun otaknya tidak begitu cerdas, namun dia ingat kalau Pusaka Lidah Setan sekarang sedang dipinjam Antasena. Jadi mustahil Candra Kirana punya dua senjata yang sama.
"Kau hanya bergurau, Kakang. Lidah Setan hanya milik titisan iblis seperti kami. Dan kami tahu, di mana pusaka-pusaka itu sekarang berada. Manusia sejati memang selalu berbohong! Kubunuh kalian berdua!" teriak Pedut Ireng gusar, seraya meluruk dengan serangan dahsyat.
Pendekar Rajawali Sakti mencoba menghadang serangan Pedut Ireng yang ganas. Namun Candra Kirana cepat menahan Rangga agar mundur.
"Sekarang giliranku, Rangga. Kau hanya boleh membantu jika aku benar-benar terdesak!"
Rangga terpaksa melompat mundur. Sedangkan perkelahian sengit mulai berlangsung.
"Kau akan menjadi gading busuk kalau tidak suka menurut perintahku! Heaaa...!" seru Candra Kirana.
"Hhhrrrt!"
Pedut Ireng menggeram. Mulutnya menggembung. Sedangkan bibirnya membentuk bulatan. Lalu....
"Puuuh!"
Dari mulut Pedut Ireng menyembur hawa panas menyengat, meluruk deras ke tubuh Candra Kirana. Bukan main cepat luncuran serangan itu. Namun tidak kalah cepatnya Candra Kirana langsung berjumpalitan menghindarinya.
Serangan makhluk berwujud menyeramkan ini luput. Namun di dalam kesempatan lain, tiba-tiba kedua tangannya mendorong ke arah Candra Kirana.
Wusss...! Segulung angin berhawa dingin meluncur deras ke arah Malim Jenaka. Kali ini kakek bercaping bambu ini tidak tinggal diam. Cepat tangannya mengibas ke arah gundukan angin yang menyerangnya.
Wusss! Sungguh aneh! Serangan balasan yang dilancarkan Candra Kirana seperti mengenai ruangan kosong. Sebaliknya, segulung angin milik Pedut Ireng terus meluncur dan membungkus Candra Kirana.
Rangga jelas dapat melihat kakek berperut bundar itu berusaha membebaskan diri dari kepungan api yang mengurungnya. Tampaknya, usaha itu mengalami kesulitan. Sementara, Pedut Ireng telah bersiap-siap membunuhnya.
Pedut Ireng mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Kedua tangannya yang berwarna hitam semakin berubah hitam saat mengerahkan tenaga dalamnya.
Melihat bahaya yang mengancam, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat diam lebih lama. Tubuhnya meluruk deras ke depan dengan kedua tangan menghentak.
"Hiyaaa...!"
"Wuaaagkh...!"
Sungguh tidak disangka. Aji "Bayu Bajra yang dilepaskan Rangga hanya membuat Pedut Ireng jatuh terguling-guling saja. Rangga memperbaiki sil^ap kuda-kudanya.
Sebelum Pedut Ireng sempat berdiri, Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati Candra Kirana. Namun, orang yang baru saja hendak ditolongnya telah berhasil membuyarkan kabut yang membungkusnya.
"Bagaimana keadaanmu, Kek?" tanya Rangga perlahan, begitu berada di samping Malim Jenaka.
"Hampir mampus!" sahut Candra Kirana dengan napas megap-megap. "Kalaupun Pedut Ireng dapat kau lukai, dia bukan manusia sewajarnya, Rangga. Dia tidak pernah mati, walaupun tubuhnya ditusuk seribu kali. Aku baru ingat untuk mempergunakan Lidah Setan, senjata pamungkas pemiliknya sendiri!"
"Kalau begitu, jangan mengulur-ulur waktu, Kek," sahut Rangga.
Candra Kirana mengangguk perlahan. Kini kakek berperut bundar ini memasang kuda-kuda, seakan bersiap-siap melakukan serangan balasan. Kedua tangannya meraba bagian pinggang.
"Pedut Ireng! Jika kau tidak menginginkan kebinasaanmu sendiri, kuperingatkan padamu untuk menyerah. Pusaka Lidah Setan milikmu dan milik Serigala Putih sekarang berada di tanganku...!" teriak Malim Jenaka memperingatkan.
"Siapa yang percaya ucapanmu, Kakang"! Kalau senjataku ada padamu, mengapa sejak tadi tidak dikeluarkan untuk menghadapi aku?" Tanya Pedut Ireng tidak percaya.
"Aku lupa...," sahut Candra Kirana apa adanya.
"Nyawa sudah hampir sampai di tenggorokan, masa kau lupa?" dengus makhluk berwujud monyet ini mengejek.
"Baru sekarang aku akan mempergunakannya untuk menghancurkan dirimu, jika tidak menuruti apa kataku!" ancam Malim Jenaka.
Tentu saja Pedut Ireng menyangka apa yang dikatakan Candra Kirana hanya omong kosong saja. Sehingga hanya menganggap remeh.
Pedut Ireng yang setengah manusia nekat hendak menyerang Candra Kirana. Namun, tiba-tiba Malim Jenaka telah mencabut dua Pusaka Lidah Setan sekaligus yang langsung disilangkan di depan dada. Sehingga, memancarkan cahaya berwarna merah.
Pedut Ireng langsung menutupi matanya. Tampaknya, dia tidak tahan melihat pancaran cahaya di tangan Candra Kirana yang sebenarnya merupakan senjatanya sendiri. Padahal bila berada di tangannya sendiri, pusaka itu bagai saudara kandungnya!
"Ampun.... wuaah..., tobat! Hentikan! Aku tidak sanggup! Ampun!" teriak Pedut Ireng seperti orang kesakitan.
"Kau masih belum percaya juga padaku, Pedut Ireng?" tanya Malim Jenaka.
"Sekarang, aku percaya!" sahut Pedut Ireng.
"Nah, merangkaklah ke depanku. Tanganmu harus diikat dengan rantai neraka...!" perintah Malim Jenaka tegas.
Pedut Ireng tampak ragu-ragu. Jika telah diikat rantai tersebut, berarti tidak ada kesempatan baginya dapat berkeliaran bebas lagi seperti hari-hari yang lalu.
"Mengapa kau tidak segera melakukannya, Titisan Iblis! Apakah kau lebih memilih kebebasanmu?" desak Malim Jenaka.
"Rasanya tidak adil jika aku saja yang dibawa kembali ke penjara kutukan. Aku tidak terima!" sergah Pedut Ireng.
"Kau merasa iri.... aku tahu itu. Tapi, jangan khawatir. Boma juga akan mendapat giliran!"
Pedut Ireng memang tidak punya pilihan lain, jika tidak ingin binasa oleh senjatanya sendiri. Dia memang harus merelakan kedua tangannya diikat rantai neraka.
Dengan agak ragu-ragu, Pedut Ireng mendekati Malim Jenaka. Kakek berperut bundar ini menyimpan senjatanya lagi. Lalu diambilnya salah satu rantai yang tersampir di bahunya. Dengan rantai itu pula, tangan Pedut Ireng diikat ke belakang.
"Sekarang kita tinggal mencari Boma, Rangga.
Apakah kau tidak keberatan membantuku sekali lagi?" pinta Malim Jenaka.
"Aku tentu saja bersedia, Kek. Tetapi, apakah Pedut Ireng harus dibawa serta?" tukas Rangga.
"Tentu saja. Aku tidak ingin dia melarikan diri. Rasanya aku sudah ingin cepat-cepat kembali ke Lembah Tengkorak. Terlambat sedikit, guruku yang berjuluk Dewa Langit bisa mengemplang kepalaku!" gerutu kakek bercaping bambu ini sambil menyeret rantai baja yang dipergunakan untuk mengikat makhluk titisan iblis bernama Pedut Ireng.
? *** ? Candra Kirana yang memang telah mengetahui tempat persembunyian Serigala Putih langsung memasuki pintu yang terbuka. Tiba di dalam ruangan yang cukup luas, baik Rangga maupun Candra Kirana dengan jeli melakukan pemeriksaan. Bau busuk di dalamnya sudah tidak terkatakan lagi. Tulang-belulang manusia korban Serigala Putih sudah tidak dihiraukan lagi.
Setelah melakukan pemeriksaan di segenap kamar yang ada, ternyata orang yang dicari sudah tidak berada di situ lagi.
"Tampaknya, buruanmu telah melarikan diri, Kek?" duga Rangga.
"Dia tidak bisa jauh dariku. Karena, aku akan terus mencarinya sampai dapat" sahut Malim Jenaka, dengan wajah cemberut.
"Ha ha ha...!"
Pedut Ireng tiba-tiba saja tertawa.
"Mengapa kau tertawa"!" bentak Malim Jenaka.
"Boma adalah manusia licik. Dia titisan iblis yang cerdik. Mana mau dia dibawa kembali ke Lembah Tengkorak" Tidak adil sebenarnya bila mau berpikir lebih luas."
"Kok tidak adil?" tukas Malim Jenaka tidak mengerti.
"Tentu saja! Boma telah banyak melakukan pembunuhan dan memakan daging manusia. Sedangkan aku, sekalipun belum pernah. Seharusnya dialah yang dipenjarakan di Lembah Tengkorak. Bukan aku! Karena, dosa-dosaku masih sedikit!" tandas Pedut Ireng.
"Pandai juga kau berkelakar. Kalian berdua sama saja! Mari kita cari manusia buas itu ke tempat lain, Rangga!" ajak Malim Jenaka.
Mereka keluar lagi dari bangunan yang tidak terurus itu. Baru saja sampai di mulut pintu keluar, Rangga melihat sebuah bayangan hitam berkelebat menjauhi mereka.
"Itu dia...!" seru Rangga, langsung.
Sambil menyeret Pedut Ireng, Rangga dan Candra Kirana segera melakukan pengejaran ke arah bangunan yang terletak di seberang jalan. Begitu cepat mereka berkelebat, sehingga sebentar saja telah sampai di situ. Segera kedua orang ini melakukan pemeriksaan. Tetapi orang yang dicari tidak ditemukan lagi. Padahal, tadi orang itu tampak membelok memasuki salah satu pintu yang terbuka.
"Dia pasti bersembunyi di sekitar sini," bisik Candra Kirana. Suaranya hampir tidak terdengar.
"Katanya, kau mampu mengendus bau siluman itu, Kek" Mengapa sekarang tidak dilakukan?" ejek Rangga.
"Semua siluman memang bau. Tetapi, aku sulit melakukannya karena di sini ada titisan iblis juga," sahut kakek bercaping bambu tersebut seenaknya.
"Siapa" Kau...?" tebak Rangga.
"Pedut Ireng!"
Pendekar Rajawali Sakti menjadi maklum. Segera mereka berpencar dan mencari buruan di dalam bangunan lainnya. Sementara itu, Malim Jenaka terus berputar-putar memeriksa setiap ruangan.
? *** ? Lama kelamaan Pendekar Rajawali Sakti menjadi tidak sabar juga. Dia terus berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Sampai akhirnya, mengendus bau bangkai manusia yang menusuk hidung. Tengkuk Rangga meremang berdiri.
"Aku tahu, kau bersembunyi di rumah ini, Serigala Putih! Tidak ada jalan bagimu untuk meloloskan diri, terkecuali bersedia kembali ke Lembah Tengkorak! Keluarlah. Dan, serahkan dirimu pada Candra Kirana! Semoga Dewa Langit mau meringankan hukumanmu!" teriak Rangga, keras.
Pendekar Rajawali Sakti menunggu sejenak. Suasana sepi terasa mencekam. Begitu sunyinya, sehingga pemuda berbaju rompi putih ini bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
"Titisan iblis! Keluarlah dari tempat persembunyianmu!" perintah Rangga lagi.
Dari sebelah kiri Rangga terdengar suara menggeretak. Lalu terdengar dengusan napas binatang seperti sedang marah. Dan....
"Auuung...!"
Tiba-tiba terdengar lolongan panjang mendirikan bulu roma. Suara itu disusul melesatnya sebuah bayangan abu-abu ke arah Rangga. Pemuda berbaju rompi putih yang memang sudah bersikap waspada segera melompat menuju halaman.
Ternyata, bayangan itu mengikutinya keluar. Begitu bayangan itu mendarat, Rangga melihat sosok di depannya mempunyai wajah dan kepala seperti serigala. Matanya berwarna merah seperti bara. Lidahnya panjang terjulur. Di antara lidah itu terdapat dua pasang taring berwarna putih kemerah-merahan.
Sosok yang dihadapi Rangga memang tidak lebih dari manusia berwujud serigala, karena sosok satu ini berjalan dengan kedua kakinya. Hampir di sekujur badannya ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Kau yang bernama, Boma?" tanya Rangga. Suaranya pelan, namun cukup jelas.
"Ya! Akulah Boma yang berjuluk Serigala Putih! Apakah kau menawarkan dagingmu untukku?" dengus Serigala Putih dengan suara menggiriskan.
Titisan iblis ini menjulurkan lidahnya yang menebarkan bau busuk. Namun Rangga hanya tersenyum. Makhluk yang satu ini besarnya memang luar biasa. Bahkan lebih besar dan lebih tinggi daripada Candra Kirana. Tapi yang jelas, Rangga tidak mau mengulur-ulur waktu lagi.
"Aku sengaja mencarimu bukan untuk menyerahkan diri. Melainkan, membantu Candra Kirana untuk memulangkanmu ke penjara di Lembah Tengkorak," tegas Rangga.
"Kau boleh bermimpi! Tapi, jangan harap aku mau menuruti perintah Candra Kirana. Apalagi perintahmu!" desis Serigala Putih.
"Heh..., begitu" Kalau itu yang kau tempuh, berarti tidak ada cara lagi, selain jalan kekerasan," tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa pun kau, kuperingatkan padamu! Tidak ada senjata atau ajian apa pun yang dapat menghancurkan aku!" dengus Boma, jumawa.
"Jangan sombong! Di atas langit masih ada langit. Kau ingat-ingatlah itu!"
Serigala putih hanya mendengus. Sambil menggeram hebat, tubuhnya meluruk menyerang Rangga dengan buas. Melihat caranya melakukan serangan saja, Rangga sudah dapat merasakan betapa hebatnya titisan iblis satu ini. Untuk itu, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau bersikap setengah-setengah.
Rangga segera mengerahkan jurus-jurus andalan dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti". Dan perkelahian kedua tokoh ini pun berlangsung seru dan cukup menegangkan. Apalagi, Serigala Putih memang bermaksud memangsa Rangga!
"Terimalah kebinasaanmu! Heaaa...!" teriak Boma lantang.
Kembali tubuh Serigala Putih meluruk ke arah Rangga. Tangannya yang berkuku panjang menyambar wajah. Sedangkan mulutnya yang terbuka meluncur deras mengincar bagian leher.
"Uts!"
Rangga cepat menghindar ke samping kiri. Dan belum lagi dia sempat bertindak lebih lanjut, Serigala Putih telah melesat kembali. Sekali lagi pemuda berompi putih berjumpalitan. Walau begitu, kuku Boma masih sempat menyambar bagian dada.
Bret! "Aaakh...!"
Rangga kontan terhuyung-huyung. Darah menetes dari bagian dada yang mengalami luka memanjang. Melihat darah di tubuh lawannya, Boma semakin bersemangat dan berubah menjadi liar.
"Hauung...!"
Disertai raungan keras, Boma meluruk ke depan. Tangannya kembali meluncur deras menghantam leher.
Pendekar Rajawali Sakti terpaksa mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" untuk menghindari serangan ganas ini. Begitu serangan tiba, tubuhnya meliuk-liuk indah. Kadang condong ke depan atau ke belakang, dengan gerakan kaki lincah. Sampai sejauh ini belum ada satu serangan pun yang mendarat di tubuhnya.
Tiba-tiba Rangga membuat gerakan berputar. Kakinya seketika melepas tanpa dapat ditahan lagi.
Buk! "Grrrghh...!"
Hebatnya, Serigala Putih hanya terhuyung-huyung saja. Padahal, tendangan Rangga mengandung tenaga dalam tinggi.
Buk! "Aaakh...!"
Sebaliknya, ketika Boma berbalik melakukan serangan, tanpa ampun lagi Rangga jatuh terjengkang. Tinju Serigala Putih telak sekali menghantam perutnya.
Darah mengucur dari sudut-sudut bibir Pendekar Rajawali Sakti. Namun secepatnya dia bangkit berdiri. Kini wajahnya berubah dingin. Tatapan matanya tajam menusuk. Beberapa gerakan dilakukan. Kedua kakinya membentuk kuda-kuda kokoh. Begitu tenaga dalamnya disalurkan pada kedua tangan, sinar biru langsung membungkus sampai sebatas siku. Dan tiba-tiba Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Heaaa...!"
Saat itu juga meluncur sinar biru dengan pengerahan aji "Cakra Buana Sukma" ke arah Serigala Putih. Boma terkejut melihat apa yang dilakukan lawannya. Tanpa ampun lagi, sinar biru itu menghantam dadanya.
Blarrr! "Aaa...!"
Walau telak sekali sinar biru itu menghantam Serigala Putih, anehnya tubuh titisan iblis itu hanya terbanting saja. Kendati demikian, lukanya cukup parah. Padahal, aji "Cakra Buana Sukma" adalah ajian terdahsyat yang dimiliki Rangga! Selama ini, setiap lawan yang terkena ajian ini pasti hancur berkeping-keping tubuhnya.
Saat itu Boma sudah berdiri lagi, walaupun tubuhnya dipenuhi luka. Tampaknya dia seperti tidak merasakan akibat apa-apa. Dengan lidah menjulur-julur, kedua tangan disilangkannya ke depan dada. Tampaknya dia memang bermaksud melepaskan pukulan yang sangat dahsyat. Terbukti, dari kedua tangannya mengepul kabut tipis berwarna hitam.
Rangga tentu tidak tinggal diam. Dengan sikap waspada, kembali disiapkan ajiannya. Tetapi sebelum niatnya kesampaian....
Set! Mendadak selarik sinar merah melesat ke arah Boma, tanpa seorang pun mampu menghalanginya.
Dan.... Glarrr! "Aaagkh...!"
Ledakan keras disertai jerit menyayat terdengar, ketika sinar merah itu menghantam Boma. Tubuh Serigala Putih kontan terlempar sejauh tiga tombak. Dia tewas seketika begitu tubuhnya menyentuh tanah.
Pendekar Rajawali Sakti cepat menoleh ke arah datangnya sinar merah tadi. Ternyata, di sana telah berdiri Candra Kirana.
"Aku terpaksa membunuhnya, Rangga! Dia tadi hendak melepaskan pukulan paling keji di muka bumi ini. Aku yakin dia tidak pernah menyerah!" tegas Candra Kirana. "Pusaka Lidah Setan ini yang membunuhnya."
Rangga menarik napas lega. Kembali diperhatikannya mayat Boma. Tapi, ternyata mayat tersebut sudah lenyap dari pandangan mata.
"Ingat! Dia titisan! Mayatnya tentu raib begitu saja!"
Sekali lagi Candra Kirana menjelaskan.


Pendekar Rajawali Sakti 192 Pusaka Lidah Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kuucapkan terima kasih atas bantuanmu, Rangga. Sekarang aku harus kembali ke Lembah Tengkorak!" lanjut Malim Jenaka.
"Baiklah, Kek. Kuucapkan selamat jalan," sahut Rangga.
"Selamat bertugas, Rangga."
Malim Jenaka sambil menuntun Pedut Ireng melambaikan tangannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga tersenyum sambil membalas lambaian tangan kakek gendut itu.
? SELESAI ? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Pendekar Pemanah Rajawali 6 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Ksatria Seribu Syair 1

Cari Blog Ini