Pendekar Rajawali Sakti 194 Utusan Dari Andalas Bagian 2
Datuk Pamuncak bukan saja sebagai pembantu Upik Sibirantulang, tapi juga pengawal pribadinya. Dan Ratu Mudo Nagari Nan Ampek, orang tua Upik Sibirantulang menitipkan keselamatan putrinya pada orang tua itu. Maka tidak heran kalau dia terus menjaganya. Baik siang maupun malam, serta meski terlelap atau terjaga.
"Hmm...," gumam orang tua itu, pelan.
Wuuuttt...! Tiba-tiba tangan kiri Datuk Pamuncak bergerak bagai seekor ular menyengat.
Tap! Tahu-tahu sebilah pisau kecil melekat erat di antara jari telunjuk dan tengah orang tua ini.
"Keluarlah! Kau inginkan patung mu, bukan" Ambil dari tanganku!"
Mendadak terdengar sebuah suara halus bagai lebah berdengung menyambar telinga Datuk Pamuncak.
"Hup!"
Dengan satu gerakan indah, Datuk Pamuncak berkelebat cepat bagai kilat, melompati jendela yang bagai membuka sendiri, sebelum dilewati. Sebuah pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa.
Begitu mendarat, Datuk Pamuncak mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seketika, dia melihat sesosok bayangan mencelat menjauh. Saat itu juga Datuk Pamuncak berkelebat mengejar secepat kilat.
Kejar-mengejar di antara mereka berlangsung singkat. Gerakan orang tua dari negeri Andalas itu tiba-tiba meliuk-liuk bagai sambaran angin topan. Dan tahu-tahu telah berdiri menghadang sosok tubuh dengan kedua tangan bersedekap di dada.
"Hei..."!"
Sosok yang dikejar terpaksa menghentikan lari dengan seruan kaget memandang Datuk Pamuncak.
"Hmm...! Apa maksudmu mengaku sebagai pencuri patung" Kau belum pernah datang ke Andalas!"
Suara yang keluar dari kerongkongan Datuk Pamuncak seperti berputar-putar di dalam rongga mulut. Tak terlihat ada gerakan di bibirnya sedikit pun.
"Ternyata kau hebat juga, he"!" dengus sosok yang dihadang. Dia adalah seorang laki-laki setengah baya bertubuh agak kurus terbungkus pakaian merah. Wajahnya dipenuhi brewok.
"Terima kasih atas pujian mu, Kisanak. Dan kehadiranku ke sini bukan sekadar menerima pujian, tapi menanyakan patung yang tadi kau bicarakan!" sahut Datuk Pamuncak.
"Patung apa?" tanya laki-laki brewok ini.
"Datuk Nan Tongga...."
"Ha ha ha...! Aku ke sini untuk membuat contoh patung dirimu, sebagai kenang-kenangan setelah kematianmu sebentar lagi!"
"Hmm!"
"Kau akan mati, hei orang asing! Sebelum mati, biar kuingat-ingat bentuk wajahmu agar bisa dibuat patung untuk dipulangkan ke negerimu!" dengus laki-laki setengah baya ini dengan suara serak tak enak didengar.
Tiba-tiba saja laki-laki setengah baya ini memandang Datuk Pamuncak sambil menggeram. Kedua tangannya terangkat. Dan....
Slap! Tubuh laki-laki berbaju serba merah ini bergerak cepat menyerang Datuk Pamuncak.
Dengan gerakan cepat Datuk Pamuncak mengibaskan sebelah tangannya sambil berkelit ke samping.
Plak! Benturan antara kedua tangan terjadi. Suaranya seperti dua batang kayu keras yang saling beradu. Selanjutnya terlihat keduanya bergerak gesit, saling serang.
Sosok berpakaian serba merah ini kelihatan begitu bersemangat untuk menghabisi nyawa Datuk Pamuncak. Serangannya terasa berat, penuh tenaga dalam kuat. Beberapa batang kayu yang terkena pukulannya hancur berantakan. Begitu juga batu-batu yang terkena pukulan nyasar. Tapi sejauh lima jurus berlalu, Datuk Pamuncak belum kelihatan ingin membalas.
"Cukup, Kisanak! Kini rasakan balasanku!" dengus Datuk Pamuncak seraya menangkap telapak tangan kiri orang itu yang coba menggedor dadanya.
Paaar! Terdengar suara benturan keras ketika telapak tangan mereka saling beradu.
"Hup!"
Sosok berbaju merah melompat ke belakang. Sementara Datuk Pamuncak terus mengejar. Namun Datuk Pamuncak harus membatalkan serangannya ketika....
Siut! Siut! "Hmm!"
Mendadak, dari arah depan beberapa batang anak panah melesat ke arah Datuk Pamuncak. Orang tua ini mendengus geram sambil mengibaskan sebelah tangan.
Wuusss...! Tak! Tak! Belasan batang anak panah yang datang dari arah depan itu kontan rontok terhempas badai topan ciptaan Datuk Pamuncak.
"Yeaaa...!"
Pada saat yang sama, orang berbaju merah tadi telah kembali menyerang dari samping. Secepat kilat, Datuk Pamuncak berbalik dan menangkis.
Plak! Set! Set! Baru saja tubuh satu sama lain terjajar, meluncur puluhan anak panah dari segala penjuru.
Kini Datuk Pamuncak mendapat gempuran puluhan batang anak panah. Belum lagi, dia harus memusatkan perhatian terhadap serangan gencar sosok berbaju merah yang berniat melenyapkannya secepat mungkin.
"Huh! Kedot juga rupanya kau! Tapi jangan kira aku tak bisa membunuhmu!" dengus sosok itu.
Setelah berkata demikian, orang berbaju merah itu mencelat ke belakang sambil merangkapkan kedua tangan.
"Hiyaaa...!"
Dengan satu bentakan keras orang ini kembali melompat menyerang Datuk Pamuncak. Maka secepat kilat, laki-laki tua ini menggeser kakinya ke samping seraya menangkis.
Plak! "Heh"!"
Datuk Pamuncak terkejut. Baru saja menepis kepalan tangan sosok itu, terjadi keanehan. Lawannya kini berubah menjadi dua yang serupa baik wajah maupun pakaian. Matanya langsung diusap-usap beberapa kali seperti hendak meyakinkan pandangan.
"Hiyaaa...!"
Dua orang yang sama persis ini menyerang bersamaan. Dan dengan gesit, Datuk Pamuncak menangkis dengan tangan dan kaki.
Plak! Plak! Tapi setiap benturan yang terjadi, masing-masing sosok berbaju merah ini seperti terpecah dan membentuk kembaran baru dalam waktu singkat. Kini, lawan Datuk Pamuncak telah menjadi empat orang. Bukan saja bentuk serta wajah yang sama, tapi kepandaiannya pun sama.
"Gila! Ilmu apa yang dipakai jahanam ini!" desis Datuk Pamuncak geram.
"Ha ha ha...! Kini kau rasakan aji "Pecah Raga" milikku ini. Kalau kau kira hanya ada satu yang asli, maka rasakan saja kematianmu oleh kami semua. Ha ha ha...!"
"Hup!"
Datuk Pamuncak melompat ke belakang ketika keempat lawannya mengejar. Tubuhnya terpaksa jungkir balik menghindari setiap serangan berhawa murni. Orang tua itu merutuk habis-habisan. Namun begitu, tidak satu serangan pun yang mampu melukainya.
"Kenapa" Mulai takut mati" Ayo, serang aku lagi seperti tadi! Atau barangkali kau takut melihat keampuhan ajianku ini"!" ejek sosok berbaju merah ini sambil terkekeh.
"Huh! Apa hebatnya ajian busukmu itu! Aku bahkan punya yang lebih hebat ketimbang itu!" dengus Datuk Pamuncak.
Saat itu juga laki-laki berbaju merah yang kini memiliki "kembaran empat" langsung menyerbu dengan kecepatan serta kekuatan penuh.
"Hiih!"
Tapi.... *** ? "Heh..."!"
Datuk Pamuncak tetap di tempatnya dan tidak berusaha mengelak, membuat lawannya terkesiap kaget.
Namun laki-laki berbaju merah ini terus melanjutkan serangan dengan hantaman bertubi-tubi.
Pias! Pias! Tapi pukulan yang dilakukan keempat orang kembar itu tidak mampu melukainya. Bahkan mereka seperti memukul angin. Berulang-ulang hal itu dilakukan, hasilnya tetap sama.
"Ha ha ha...! Kini kau baru tahu rasa, Setan Keparat! Jangan dikira hanya kau saja punya kehebatan!" ejek Datuk Pamuncak.
"Brengsek! Seumur hidup belum pernah Jagat Awang dipermainkan begini!" dengus keempat orang kembar itu, bersamaan.
"Ha ha ha...! Ayo, kenapa diam" Seranglah aku! Pukul dengan seluruh kekuatanmu!"
Mendadak, terdengar suara lain dari belakang.
"Hei"!"
Betapa terkejutnya orang itu. Tadi dia sempat melihat Datuk Pamuncak. Namun bibir laki-laki tua dari tanah Andalas itu tak bergerak sama sekali. Jadi, siapa yang bicara"
"Ayo, pukul aku! Serang...! Atau, kau yang akan kubunuh"!" teriak suara dari arah lain.
Kembali laki-laki berbaju merah kembar empat yang mengerahkan aji "Pecah Raga" dan tidak lain dari Ki Jagat Awang terkejut. Apalagi ketika melihat seolah-olah pohon-pohon di sekeliling bergerak-gerak dan bicara padanya. Begitu pula batu-batuan besar. Benda-benda di sekitarnya pun turut pula mempengaruhi pandangannya. Berkali-kali matanya dipejamkan lalu dibukanya lagi, melihat ke sekelilingnya. Namun hasilnya sama. Mereka semua bergerak mengurung diiringi suara tawa Datuk Pamuncak.
"Ha ha ha...! Kenapa diam" Kau ingin mampus sekarang" Baiklah!"
Pohon-pohon di sekelilingnya terus bergerak. Cabang serta ranting-ranting bergerak-gerak seperti ular meliuk, bermaksud melilit tubuh Ki Jagat Awang beserta kembarannya.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan keras Ki Jagat Awang menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh.
Pias! "Hei"!"
Ki Jagat Awang lagi-lagi terkejut. Ternyata pukulannya seperti menerabas angin. Pohon-pohon dan batu-batu tetap bergerak mengurung. Dia juga menyerang Datuk Pamuncak lewat pukulan jarak jauh, tapi hasilnya nihil. Pukulannya seperti menghantam tempat kosong.
"Keparat!" desis laki-laki ini geram.
Belum lagi Ki Jagat Awang sempat berbuat apa-apa, mendadak beberapa ranting pohon melilit tangan dan kakinya.
Krap! Tap! "Hiih!"
Keempat orang kembaran Ki Jagat Awang menggeram dan menyentak keras-keras. Tapi, tidak satu pun dari ranting-ranting itu yang berhasil diputuskannya. Dia seperti menyapu angin. Namun, ranting-ranting itu terasa betul membelit kedua tangan dan kaki. Bahkan yang lain mulai bergerak membelit pinggang dan leher, serta membelenggu anggota tubuhnya yang lain.
"Aaakh!"
Ki Jagat Awang mengeluh tertahan. Akalnya buntu, tak tahu harus berbuat apa. Segala tenaga telah dikerahkannya untuk menghantam pohon-pohon serta batu-batu menghimpit. Namun sia-sia saja. Benda-benda itu seperti mimpi, namun mampu menyiksanya. Ki Jagat Awang seperti melawan hantu-hantu yang mampu mencekiknya, tapi tak mampu dibalas.
"Aku tidak bermaksud membunuh. Tapi kalau terpaksa, tentu akan kulakukan!" kata Datuk Pamuncak, datar. "Kami datang ke sini hanya menginginkan patung Datuk Nan Tongga. Jangan permainkan kami. Kalau kau tahu, katakanlah!"
"Huh! Aku tak tahu menahu soal patung yang kau bicarakan!" dengus Ki Jagat Awang.
"Kalau begitu, kenapa mengajakku keluar?" tukas Datuk Pamuncak.
"Karena..., aku tidak suka dengan kehadiranmu!"
"Kami tak mengganggu. Juga, tidak ingin membuat keributan. Kami datang hanya meminta hak kami!"
"Apa peduliku tentang hak kalian"! Aku tak tahu menahu soal patung yang kau sebutkan!"
"Kalau begitu, jangan salahkan kalau aku bertindak keras padamu!"
Setelah Datuk Pamuncak selesai dengan kata-katanya, mendadak ranting-ranting pohon yang membelit tubuh Ki Jagat Awang semakin beringas.
"Aaakh...!"
Satu persatu, ketiga kembaran laki-laki berbaju merah ini menghilang. Kini yang tinggal adalah Ki Jagat Awang yang asli. Dia masih berusaha membebaskan diri, tapi sia-sia saja. Ranting-ranting yang membelitnya tidak juga mau terlepas.
"Aaakh...!" "
"Katakan, di mana patung itu berada! Atau, kau mati sekarang juga"!"
Ki Jagat Awang tak peduli. Sifatnya memang keras kepala. Mana sudi dia tunduk" Kalau mengatakan di mana patung itu berada, sudah barang tentu artinya menyerah. Sedangkan dia tak mau menyerah.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan! Kau boleh mati sekarang!" dengus Datuk Pamuncak.
Tapi sebelum menghabisi Ki Jagat Awang dengan caranya yang aneh mendadak Datuk Pamuncak terkesiap. Kepalanya menoleh ke belakang. Lalu, tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat secepat kilat dari tempat itu.
"Hup!"
"Hmm!"
Bersamaan dengan perginya Datuk Pamuncak, maka keadaan kembali seperti semula. Pohon-pohon dan batu-batuan yang tadi mengurung Ki Jagat Awang, menyingkir. Ranting-ranting yang membelenggunya melepaskan diri.
Ki Jagat Awang mengusap-usap lehernya. Baru saja dia selamat dari maut. Entah kenapa, Datuk Pamuncak tidak meneruskan niatnya. Tapi dia tidak banyak berpikir. Sesaat kemudian, kakinya melangkah meninggalkan tempat itu, mengikuti arah yang tadi ditempuh Datuk Pamuncak.
? *** 6 ? Kalau saja tidak terjadi sesuatu yang penting, tidak mungkin Datuk Pamuncak meninggalkan lawannya begitu saja. Nalurinya mengatakan, ada bahaya yang tengah mengancam junjungannya. Dan ketika tiba di istana, ternyata hal itu benar. Di istana terjadi keributan dan para prajurit ramai berkumpul!
"Itu dia satu lagi! Tangkap...!" teriak seseorang, ketika melihat kehadiran Datuk Pamuncak.
"Hmm!"
Datuk Pamuncak terkesiap. Puluhan prajurit istana tahu-tahu telah mengejar ke arahnya dengan senjata terhunus. Mereka membuat pengepungan yang rapi dengan barisan pelempar tombak, pemanah, maupun barisan penyerbu. Dalam sekejap, orang tua itu terkurung rapat.
"Menyerahlah, Orang Asing! Kau tidak akan bisa lari lagi!" bentak seorang prajurit.
"Tunggu dulu! Apa maksud kalian ini?" tanya Datuk Pamuncak, bingung.
"Kedua kawanmu mencuri benda-benda kerajaan. Kalian kami tangkap!" tuding prajurit itu, langsung.
"Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!" bantah laki-laki dari tanah Andalas itu.
"Kau boleh berkata apa saja. Tapi nyatanya memang begitu. Banyak saksi mata yang melihat. Dan bukti yang paling penting, benda-benda pusaka kerajaan yang dicuri ada di kamar kalian!" tegas prajurit berbadan kekar ini.
"Itu bukan berarti mereka yang melakukannya!" sanggah Datuk Pamuncak.
"Bukti telah bicara dan tidak bisa dipungkiri. Mereka telah mencuri benda-benda pusaka kerajaan!"
"Aku harus bicara pada mereka!"
"Kalau begitu jangan melawan. Ikutlah dengan kami ke penjara. Di sana, kau bisa bebas bicara dengan mereka!"
"Kalian tidak bisa memenjarakan aku. Juga, kedua kawanku!" dengus Datuk Pamuncak.
Kebo Bangah, Ki Lola Abang, dan Ki Pranajaya yang ada di tempat ini. Mereka saling berhadapan dengan Datuk Pamuncak.
"Datuk! Kami kecewa sekali melihat sikap kalian...," desis Kebo Bangah sinis.
"Apa maksudmu?" tanya Datuk Pamuncak, minta penjelasan.
"Jauh-jauh kalian datang ke sini, lalu menuduh kami mencuri barang berharga milik negeri kalian. Ternyata kini kita tahu, siapa pun sesungguhnya yang menjadi pencuri. Diam-diam, kedua kawanmu mengumpulkan benda-benda pusaka kerajaan. Sedangkan kau telah menyiapkan perahu. Sehingga bila esok pagi kalian pamit meninggalkan istana, maka seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi untung saja, kebusukanmu dapat kami ketahui. Kini menyerahlah. Dan, terima hukuman!" tuduh Kebo Bangah.
"Pencuri terkutuk! Apakah kau hendak membela diri"!" bentak Ki Sedopati yang tiba-tiba sudah muncul dengan wajah garang.
"Datuk! Sebaiknya kau tidak memperkeruh suasana. Menyerahlah, dan jangan melawan...," himbau Ki Lola Abang yang berjuluk si Tombak Maut dengan suara lebih lunak.
"Kami bukan bangsa pencuri. Sesuatu telah terjadi. Dan ada seorang yang tidak ingin kedoknya terbongkar, sehingga memfitnah kami!" kilah Datuk Pamuncak.
"Huh! Banyak alasan! Setelah kedokmu terbongkar, kau mau cari kambing hitam"!" dengus Kebo Bangah.
"Apa kau kira kami bisa dikibuli, he"!" bentak Ki Sedopati.
"Aku ingin bicara dengan Tuan ku Prabu Arya Dwipa!" pinta Datuk Pamuncak, lantang.
"Beliau tak ada waktu mengurusi pencuri-pencuri seperti kalian!" sahut Kebo Bangah dengan suara tidak kalah lantang.
"Kenapa mesti banyak bicara padanya"! Tangkap saja pencuri busuk ini!" bentak Ki Sedopati.
"Tangkaaap...!" perintah Kebo Bangah.
"Heaaa...!"
Seketika para prajurit penyerbu bergerak cepat, hendak meringkus Datuk Pamuncak. Namun laki-laki dari tanah Andalas ini mencelat ke belakang. Seketika tubuhnya berputar di udara beberapa kali.
"Awas! Dia mau kabur!"
"Panaaah!" teriak Kebo Bangah.
Siut! Siut! Puluhan anak panah langsung melesat begitu pasukan pemanah melepaskannya. Namun Datuk Pamuncak mengibaskan sebelah tangan begitu mendarat di tanah.
Wesss...! Tak! Tak! Serangkum angin kencang dari kibasan tangan Datuk Pamuncak langsung merontokkan anak panah itu. Sementara, tubuh Datuk Pamuncak langsung telah bersiap kembali.
"Menyerahlah, Datuk! Jangan paksa kami bertindak keras padamu!" teriak si Tombak Maut seraya memburu dengan senjata tombak terhunus.
"Aku bukan pencuri! Dan aku tidak sudi dituduh sebagai pencuri!"
"Yeaaa...!"
Kebo Bangah dan Ki Sedopati agaknya tidak mau berbasa-basi. Serentak mereka menyerang Datuk Pamuncak dengan ganas.
Tapi, Datuk Pamuncak tetap tidak menyerah begitu saja. Meski terkepung, sikapnya tetap tenang. Dan dia berusaha mencari celah untuk meloloskan diri.
"Maaf, Datuk! Kami terpaksa ikut menangkapmu!" seru Dewa Api, ditemani seorang laki-laki berusia empat puluh enam tahun. Kulitnya hitam dengan rambut keriting. Namanya Ki Jayawane.
Kini ada lima tokoh silat kerajaan yang menyerang Datuk Pamuncak. Kalau Kebo Bangah dan Ki Sedopati menyerang dengan bermaksud menghabisi, maka lain halnya dengan tiga tokoh lainnya. Mereka hanya bermaksud melumpuhkan Datuk Pamuncak. Tapi kedua pekerjaan itu bukan hal yang mudah. Karena sejauh ini lelaki dari tanah Andalas itu tetap mampu menahan serangan.
"Heaaa...!"
Dalam pada itu, mendadak satu sosok bayangan merah bergerak cepat ke arahnya. Dari angin serangannya, meskipun masih jauh, bisa diketahui kalau sosok merah itu memiliki tenaga dalam kuat. Maka secepat kilat Datuk Pamuncak mengerahkan tenaga dalam untuk menangkis.
Plak! *** ? Sosok berbaju merah yang tak lain Ki Jagat Awang terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh tertahan. Sementara Datuk Pamuncak terjajar dua langkah ke belakang. Tapi bersamaan dengan itu Ki Sedopati telah berkelebat seraya menghantam punggung Datuk Pamuncak disertai tenaga dalam tinggi.
Duk! "Aaakh...!"
Datuk Pamuncak mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke samping.
Kebo Bangah tidak menyia-nyiakan kesempatan. Pedang di tangannya langsung menyambar perut.
"Uts!"
Sret! Datuk Pamuncak kembali mengeluh kesakitan. Meski berusaha menghindar, tapi tak urung kulit perutnya masih tersambar ujung pedang Kebo Bangah.
"Yeaaa...!"
Dengan sisa tenaga yang ada, Datuk Pamuncak mencelat ke atas seraya berputaran di udara. Seketika tubuhnya meluruk, berusaha melewati tembok pagar istana setinggi tiga tombak.
"Heaaa...!"
Kebo Bangah dan Ki Sedopati agaknya tidak mau membiarkan buruannya lepas begitu saja. Seketika keduanya mengejar penuh bersemangat
"Paman, kejar dia! Bunuh pencuri itu...!" teriak Kebo Bangah pada Ki Jagat Awang yang tiba-tiba tadi menyerang Datuk Pamuncak.
"Sudah! Diamlah kau! Jangan cerewet!" bentak Ki Jagat Awang sambil ikut mengejar Datuk Pamuncak.
Bersamaan dengan itu yang lain pun tidak mau ketinggalan. Sehingga malam yang tadi sepi, kini ramai oleh teriakan-teriakan para pengejar.
Meski darah terus menetes dari luka di perutnya, namun Datuk Pamuncak terus memaksakan diri menjauhi tempat itu secepatnya.
"Itu dia! Kejar ke sana...!" teriak Ki Jagat Awang, yang berada paling depan.
"Jangan biarkan pencuri itu lolos...!" lanjut Kebo Bangah.
"Yeaaa...!"
Bukan hanya Kebo Bangah saja yang agaknya bernafsu untuk membunuh Datuk Pamuncak. Demikian pula Ki Sedopati, dan Ki Jagat Awang. Mereka berdua merasa dipecundangi dan tidak mau terima karena pernah dikalahkan orang tua perkasa dari negeri Andalas itu.
"Kau tidak bisa kabur lagi sekarang!" desis Ki Jagat Awang ketika jaraknya dengan Datuk Pamuncak mulai dekat.
"Hemm! Menyesal aku tidak lebih dulu membunuhmu!" dengus Datuk Pamuncak.
"Sesal kemudian tiada guna!"
Isi dada Datuk Pamuncak penuh amarah. Namun dia berusaha menahan diri, dan terus berlari.
Yang berhasil mengejar Datuk Pamuncak hanya kelima tokoh silat kerajaan. Dan yang paling dekat jaraknya hanyalah Ki Jagat Awang. Kalau mereka menyerang bersamaan, mungkin sulit baginya untuk bertahan lama. Tapi kalau hanya Ki Jagat Awang, laki-laki ini yakin mampu menahannya. Maka, Datuk Pamuncak sengaja mempercepat larinya agar yang tinggal hanya dia dan Ki Jagat Awang.
Ki Jagat Awang sendiri bukannya tidak terpikir tentang kemungkinan itu. Tapi dia yakin, mampu menghabisi lawannya yang dalam keadaan terluka. Tentunya dengan sedikit perjuangan. Itulah sebabnya dia tidak merasa terlalu khawatir.
"Sekarang tinggal kita berdua! Kau boleh mampus sekarang juga!" dengus Datuk Pamuncak, langsung berhenti berlari.
Setelah keadaan memungkinkan seperti yang direncanakannya, tiba-tiba Datuk Pamuncak berbalik. Langsung diserangnya Ki Jagat Awang.
"Hup!"
Ki Jagat Awang ternyata tidak kalah sigap. Tangannya seketika mengibas, menangkis.
Plak! Bahkan kemudian, Ki Jagat Awang membuat serangan balik. Kaki-kakinya silih berganti menyodok ke perut dan dada.
"Hup!"
Datuk Pamuncak melompat ke atas saat itu juga, telapak tangannya dihantamkan ke batok kepala. Sebaliknya, Ki Jagat Awang cepat merendahkan tubuh, lalu bergerak ke samping sambil memapak.
Plak! Plak! "Uhhh...!"
Kedua tokoh persilatan ini sama-sama terhuyung-huyung ke belakang ketika benturan terjadi. Ki Jagat Awang yang mengetahui kalau laki-laki dari negeri Andalas itu berilmu tinggi, tidak mau gegabah. Itulah sebabnya tenaga dalamnya dikerahkan pada tingkat tertinggi.
"Heaaa...!"
Ki Jagat Awang kembali menyerang. Tak tanggung-tanggung, segera dilepaskannya pukulan "Samber Nyawa". Sebuah pukulan yang mengeluarkan cahaya keperakan. Hawa panas yang ditimbulkannya terasa menyengat, membuat kering rerumputan serta daun-daun di sekitarnya.
"Uhh...!"
Datuk Pamuncak menjatuhkan diri, lalu bergulingan menjauhi. Namun, malang bagi orang tua itu karena para pengejar yang lainnya segera muncul.
Ki Sedopati langsung mengayunkan tendangan, namun berhasil dihindari Datuk Pamuncak dengan melenting ke belakang. Sementara itu Kebo Bangah telah menunggu. Pedangnya bergerak cepat, menebas ke leher.
"Hup!"
Datuk Pamuncak langsung melenting ke atas. Pada saat yang sama Ki Jagat Awang memang telah menunggu kesempatan ini. Seketika tubuhnya melesat sambil melepas tendangan terbang. Dan....
Desss...! "Aaakh...!"
Telak sekali tendangan geledek Ki Jagat Awang menghantam dada Datuk Pamuncak. Orang tua itu mengeluh kesakitan. Tubuhnya terlempar beberapa langkah ke belakang. Sementara itu Ki Sedopati sudah menunggu dengan kepalan maut yang akan menghabisi.
"Mampus...!"
Di saat yang gawat bagi Datuk Pamuncak, berkelebat satu bayangan putih yang langsung memapak sambil menyambar tubuh laki-laki tua itu.
Plak! "Setan! Siapa kau"!" bentak Ki Sedopati.
Wajah laki-laki ini tampak geram ketika menyadari serangannya gagal. Tapi sebelum dia sempat mengenali, sosok itu telah berkelebat pergi membawa tubuh Datuk Pamuncak.
*** ? Dengan bernafsu, Kebo Bangah dan Ki Sedopati mengejar. Demikian pula Ki Jagat Awang yang seperti mengenali penyerang gelap itu.
"Aku tahu siapa dia!" dengus Ki Jagat Awang.
"Siapa, Paman?" tanya Kebo Bangah.
"Bocah brengsek itu! Kali ini dia tidak akan lepas dariku!" dengus Ki Jagat Awang lagi.
"Pendekar Rajawali Sakti"!" seru Kebo Bangah agak kaget.
Tapi melihat Ki Jagat Awang dan Ki Sedopati tak peduli lawan yang dikejar, semangatnya pun naik lagi. Segera dia mengejar penuh semangat.
"Ayo, Kakang! Kenapa tidak mengejarnya"!" tanya Ki Lola Abang alias si Tombak Maut, pada di Dewa Api. Tapi, Ki Pranajaya agak ragu.
"Kenapa, Kakang" Kau tak mau mengejar pencuri itu" Dia akan kabur kalau tak dikejar. Apalagi ada seseorang yang menyelamatkannya. Aku yakin itu kawannya. Sekalian saja kita ringkus mereka!" timpal Ki Jayawane.
"Aku tidak ingin terlihat bentrokan dengannya...," desah Ki Pranajaya.
"Apa maksud Kakang?" tanya Ki Lola Abang dengan dahi berkerut.
"Tidak tahukah kau apa yang ku maksud?" Ki Pranajaya malah bertanya.
Ki Lola Abang dan Ki Jayawane memandang si Dewa Api dengan kening berkerut.
"Yang menolongnya adalah pemuda itu...."
"Pemuda mana?" tanya Ki Jayawane, bingung.
"Si Pendekar Rajawali Sakti...."
"Hmm!"
Mendengar itu, Ki Lola Abang maklum. Ki Pranajaya bukan takut pada pemuda itu. Demikian pula si Tombak Maut. Mereka memiliki perasaan sama, yaitu sungkan. Bagaimanapun, mereka pernah bekerja sama dalam memerangi musuh yang sama. Dan kini, pemuda itu menyelamatkan Datuk Pamuncak. Kalau mereka berkeras menghalangi, pasti akan terjadi bentrokan.
"Lalu apa yang mesti kita lakukan?" tanya si Tombak Maut.
Ki Pranajaya alias si Dewa Api terdiam.
"Kita menerima tugas dari Gusti Prabu, Kang...," ingat Ki Jayawane.
"Ya, aku mengerti."
"Kalau kita tidak membantu Kebo Bangah dan yang lain, bisa-bisa kita dituduh bersekutu dengan musuh," timpal Ki Lola Abang.
"Aku tidak yakin mereka musuh kita...," sahut Ki Pranajaya.
"Tapi nyatanya, kedua kawan mereka telah mencuri benda-benda pusaka kerajaan!" tukas Ki Jayawane.
"Apa kau yakin?"
"Lepas dari persoalan yakin atau tidak, nyatanya bukti-bukti ada di kamar mereka."
"Benar, Kang. Kita tidak bisa membela orang yang berpihak pada musuh kerajaan. Apalagi, seorang pencuri!" kata Ki Lola Abang.
Ki Pranajaya terdiam sebentar. Otaknya menerawang, berpikir.
Pendekar Rajawali Sakti 194 Utusan Dari Andalas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa lagi yang kita tunggu, Kang" Ayo, bantu mereka!" desak Ki Jayawane.
"Kenapa Kebo Bangah begitu bernafsu hendak membunuh orang tua itu?" gumam Ki Pranajaya.
"Jangan pikirkan soal itu, Kang. Kebo Bangah sangat setia pada kerajaan. Musuh kerajaan adalah musuhnya juga. Tak heran kalau dia jadi beringas. "
"Bukan! Bukan begitu maksudku, Jayawane. Tapi ketika pertama kali Datuk Pamuncak mengutarakan maksudnya di hadapan Gusti Prabu, justru dia yang paling menentang...," sergah Ki Pranajaya, tegas.
"Apa yang membuat Kakang heran" Bukankah itu wajar" Seseorang menuduh kita mencuri barang miliknya. Apa kita ini bangsa pencuri" Siapa yang tak tersinggung mendengar tuduhan itu?" tukas Jayawane.
"Mereka tidak menuduh, Jayawane. Beda antara menuduh dengan meminta...."
"Sama saja, Kang! Meminta bahkan melebihi tuduhan. Sudah langsung merasa yakin kalau kita mencuri milik mereka!"
Ki Pranajaya terdiam. Di hela napas panjang.
"Aku tidak mengerti soal-soal itu...," gumam si Tombak Maut. "Tapi kita punya tugas dan harus dilaksanakan apa pun hambatannya. Kalau tidak, maka kita akan dituduh bersekongkol."
"Benar, Kakang! Ayolah!"
"Hmm! Sebenarnya aku mulai tidak yakin. Tahukah kalian, siapa yang menjaga kamar tempat pusaka-pusaka ditempatkan?" tanya Ki Pranajaya.
"Pasukan Kebo Bangah tentunya!" sahut Jayawane.
"Nah! Itulah maksudku, Jayawane!"
"Aku tak mengerti maksudmu, Kakang?"
"Mereka pasti mengetahui keluar dan masuknya pusaka-pusaka kerajaan. Kalau pusaka-pusaka itu dibawa mereka, kenapa tidak ditangkap saja ketika mereka masuk ke dalam kamar itu" Tapi mengapa justru Kebo Bangah dan pasukannya menangkap mereka di kamarnya" Padahal, kedua orang itu tertidur pulas. Aku yakin ini perbuatan Kebo Bangah!"
"Kalau Kakang bicara pada Ki Sedopati atau yang lain, mungkin akan terjadi keributan. Kakang mencurigai Kebo Bangah. Dia salah seorang kepercayaan Gusti Prabu. Sangat berbahaya, Kakang!" ingat Ki Jayawane.
"Benar, Kakang. Jangan pikirkan soal itu! Sudah.... Mari kita susul yang lain."
"Ayo, Kakang! Lupakan saja kecurigaan yang tidak beralasan itu!" desak Jayawane, seraya angkat kaki dari tempat itu.
Ki Lola Abang mengikuti. Sehingga mau tidak mau, Ki Pranajaya pun terpaksa ikut mesti dengan hati berat.
*** ? 7 ? Sosok bayangan putih yang membawa Datuk Pamuncak terus melesat cepat bersama kuda hitamnya. Tiba di sebuah jalan bercabang, sosok itu turun dari kuda hitamnya, diikuti Datuk Pamuncak. Sementara kuda hitam itu terus berlari, mereka berbelok ke kiri menuju sebuah tanah lapang yang agak luas. Ternyata di tempat itu telah menunggu seekor burung rajawali raksasa.
Sosok yang membawa Datuk Pamuncak memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Tadi setelah menyambar Datuk Pamuncak Rangga langsung menaiki Dewa Bayu. Di tengah perjalanan, pemuda ini menjelaskan pada Datuk Pamuncak, agar jangan banyak bertanya. Yang penting, dirinya selamat lebih dahulu.
Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya juga telah memanggil Rajawali Putih tunggangannya, untuk mencari keberadaan Pandan Wangi. Namun setelah berputar-putar si Kipas Maut tak ditemukan, Rangga dari angkasa melihat sebuah pertarungan di depan Istana Kerajaan Swama Pura. Maka bergegas dia menurunkan Rajawali Putih di luar kotaraja.
Setelah Rajawali Putih disuruh menunggu, Rangga memanggil Dewa Bayu yang terus mengikutinya dari darat. Segera dia melesat bersama Dewa Bayu menuju tempat terjadinya pertarungan. Untung saja, kedatangannya tak terlambat.
"Rajawali Putih! Bantu kami dari kejaran orang-orang itu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Datuk Pamuncak hanya tertegun, tak melanjutkan langkahnya. Dia memperhatikan Rangga menepuk-nepuk leher burung raksasa itu dengan tenangnya. Bahkan dinaikinya burung itu.
"Ayo, Datuk ! Kenapa malah bengong" Jangan takut. Ini sahabatku...!" ujar Rangga.
Dengan langkah ragu-ragu dan takut-takut, Datuk Pamuncak menghampiri Rajawali Putih. Dan ketika burung raksasa itu tak menunjukkan tanda-tanda liar, laki-laki tua ini segera naik ke punggungnya.
"Kraaagkh...!"
Rajawali Putih berteriak parau seperti memberi isyarat agar Datuk Pamuncak jangan takut. Kedua sayapnya lantas melebar. Dan sekali kepak rajawali raksasa ini telah melambung ke atas menimbulkan angin menderu kencang.
"Hebat kau, Rangga! Belum pernah seumur hidupku melihat rajawali sebesar ini!" puji Datuk Pamuncak dengan suara keras untuk mengalahkan deru angin di angkasa.
"Ini terpaksa sekali, Datuk...," jelas Rangga, juga dengan suara keras.
"Kenapa kau katakan terpaksa?" tanya Datuk Pamuncak.
"Biasanya sahabatku jarang kuperlihatkan pada orang lain. Tapi kalau kita terus berlari atau berkuda, aku khawatir mereka bisa menyusul...," jelas Rangga.
"Berarti aku termasuk istimewa bisa melihat kawanmu ini."
Rangga tersenyum ketika merasakan kalau orang tua di belakangnya itu ikut tersenyum.
"Kenapa mereka menyerangmu, Datuk?" tanya Rangga.
"Mereka menuduh kami pencuri...," sahut Datuk Pamuncak.
"Mencuri" Apa yang dicuri?"
"Aku sendiri tidak tahu! Katanya, pusaka-pusaka kerajaan...," sahut Datuk Pamuncak. Lalu diceritakannya peristiwa yang tadi terjadi secara singkat dan jelas.
"Betul-betul telengas orang tua itu!" dengus Rangga geram setelah mendengar penuturan Datuk Pamuncak.
"Siapa namanya?" tanya Datuk Pamuncak.
"Ki Jagat Awang. Aku pernah berseteru dengannya," kata Rangga lalu menceritakan perselisihannya dengan Ki Jagat Awang.
"Jadi kau..., kawan-kawan mereka juga?"
"Datuk! Dengan Ki Pranajaya dan Ki Lola Abang, aku kenal. Mereka bukan orang jahat. Sedangkan Kebo Bangah dan yang lainnya, aku tidak terlalu mengenalnya. Ini petunjuk penting agar kau tidak mencurigaiku. Tapi kalaupun kau curiga dan was-was, tidak apa."
"Aku selalu menilai orang dengan naluri serta akal. Aku percaya padamu, Rangga."
"Terima kasih, Datuk. Percayalah. Kalau benar kau tidak bersalah, maka sampai kapanpun aku tetap membelamu."
"Terima kasih juga, Rangga."
"Jadi, siapa di antara mereka yang kau curigai?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Setelah mendengar ceritamu dengan Jagat Awang, aku semakin yakin kalau dialah orangnya," sahut Datuk Pamuncak.
"Siapa?"
"Kebo Bangah."
"Dari mana kau begitu yakin?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
"Ingat ceritaku tadi" Jagat Awang memancingku keluar. Sementara aku bertarung, dari balik semak-semak melesat hujan anak panah yang persis sama dengan yang dipakai prajurit kerajaan. Tidak berhasil membunuhku, maka dia memfitnah dengan menuduh kami sebagai pencuri," urai Datuk Pamuncak dengan wajah geram.
"Lalu, bagaimana pusaka-pusaka kerajaan bisa berada di kamar kalian?" cecar Rangga.
"Kalau di kamarku, mungkin mudah dimasukkan, karena aku tidak di dalam. Namun yang kuherankan, kenapa mereka bisa memasuki kamar Upik Sibirantulang dan Sutan Pamenan" Mereka bukan anak kemarin sore yang bisa dipecundangi begitu saja?" papar laki-laki dari tanah Andalas.
"Untuk yang satu ini, kita tak bisa memecahkannya. Tapi nanti aku akan cari tahu. Sekarang, apa yang akan Datuk lakukan?"
"Aku mesti ke perahu."
"Untuk apa?"
"Menyiapkan anak buah serta memperingatkan Datuk Mangkuto Alam. Aku khawatir, mereka diserbu prajurit-prajurit kerajaan. Bisakah kau antar aku ke sana?" tanya Datuk Pamuncak, bernada memohon.
"Tentu saja, Datuk. Tapi, maaf. Aku tidak bisa turunkan tepat di dekat perahumu," ucap Rangga.
"Ya. Aku mengerti. Kau tentu tak ingin sahabatmu ini jadi pusat perhatian, kan?" duga laki-laki itu.
"Syukurlah...."
"Ke arah sana!" tunjuk Datuk Pamuncak.
Rangga mengangguk, lalu memberi isyarat pada Rajawali Putih. Dengan kecepatan terbang yang dahsyat, sebentar saja mereka tiba di pesisir. Dari ketinggian terlihat sebuah perahu besar yang ramai oleh teriakan serta orang-orang hilir-mudik.
Datuk Pamuncak terkejut dan coba menajamkan pandangan.
"Itukah perahumu, Datuk?" tanya Rangga.
"Ya!" sahut Datuk Pamuncak, pendek.
"Kelihatannya ada yang tak beres. Mereka sedang bertempur."
"Kurang ajar! Ini pasti perbuatan Kertapati!"
"Siapa?"
"Kertapati, bajak laut yang pernah dihajar Upik Sibirantulang. Cepat turunkan aku, Rangga! Mereka mesti dihajar adat!"
"Tapi, Datuk! Kau tengah terluka...."
"Jangan khawatirkan! Aku masih sanggup menghajar mereka semua!"
"Baiklah. Akan kubantu kau menghajar mereka!"
*** ? Begitu turun dari leher Rajawali Putih, Datuk Pamuncak berlari cepat mendekati perahu. Rangga menyusul, setelah menyuruh rajawali raksasa itu melesat kembali ke angkasa.
Pertarungan antara kedua belah pihak di perahu itu berlangsung alot dan seru. Banyak korban yang jatuh di pihak bajak laut Kertapati. Tapi anak buah perahu besar itu pun mengalami korban yang banyak pula.
Rangga dan Datuk Pamuncak cepat mengayuh perahu kecil. Tapi, laki-laki dari tanah Andalas ini agaknya tidak sabaran. Tiba-tiba dia meloncat dan..., berlari-lari di atas air!
"Hm! Alangkah hebatnya ilmu meringankan tubuh Datuk ini!" puji Rangga, bergumam dalam hati.
Sebentar saja Datuk Pamuncak sudah menghajar beberapa orang bajak laut. Rangga jadi bersemangat. Maka perahunya dikayuh lebih kencang.
"Hup! Yeaaa...!"
Begitu dalam jarak jangkauan, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Dia berputaran di udara, lalu mendarat di bibir perahu. Seketika tubuhnya meluruk, melepas serangan.
Duk! "Aaakh...!"
Beberapa orang bajak laut anak buah Kertapati menjadi korban. Menghadapi dua pendatang yang berilmu tinggi, membuat para bajak laut itu mulai kewalahan.
"Datuk! Tangkap si jahanam Kertapati itu!" terdengar teriakan seseorang.
"Hmm!"
Datuk Pamuncak menggeram. Matanya liar memandang ke sekeliling. Dan ketika melihat beberapa anak buahnya tengah mengeroyok seseorang, secepat kilat dia beranjak ke sana.
"Jahanam Kertapati! Hadapi aku!" dengus Datuk Pamuncak.
"Eeeh...!"
Melihat gerakan Datuk Pamuncak yang cepat, Kertapati gelagapan dan cepat melompat ke belakang, berusaha menghindar. Tapi, laki-laki dari tanah Andalas itu terus mengejar. Kaki kanannya seketika melayang ke dada.
Dengan sigap Kertapati menangkis, menggunakan tangan kanannya.
Plak! Meski serangan berhasil ditangkis, tapi Datuk Pamuncak tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya langsung berputar. Sedangkan kaki kirinya bergerak menyambar pangkal leher.
Duk! "Aaakh...!"
Kertapati tersedak disertai jerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang dan tertahan bibir perahu.
"Yeaaa...!"
Datuk Pamuncak tak memberi kesempatan lagi. Dengan wajah geram kaki kanannya bergerak kembali sambil berputar.
"Uts...!"
Kertapati berusaha menghindar dengan menunduk, lalu melompat ke samping. Tendangan itu memang luput. Tapi mendadak, Datuk Pamuncak meliukkan tubuhnya seraya melepas hantaman ke dada.
Desss...! "Aaakh...!"
Kertapati menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal membentur sisi perahu kembali, lalu terpuruk di hadapan Datuk Pamuncak.
"Kau boleh mampus sekarang, Jahanam!" bentak Datuk Pamuncak seraya mengangkat kakinya hendak menginjak.
"Ampun Datuk! Ampuuunnn...!" ratap Kertapati, langsung mencium kaki Datuk Pamuncak.
"Setelah itu apa yang akan kau lakukan pada kami"!" dengus Datuk Pamuncak.
"Ampunkanlah aku, Datuk! Aku mengaku bersalah...."
"Suruh anak buahmu menyerah!"
"Ba..., baik, Datuk!"
Kertapati berteriak pada anak buahnya. Maka, mereka langsung meletakkan senjata. Anak buah Datuk Pamuncak langsung meringkus mereka.
"Tahukah kau, Kertapati" Kau membuat kesalahan besar dengan menyerang kami" Mestinya orang sepertimu lebih baik mati!" dengus Datuk Pamuncak geram.
"Datuk.... Apakah kau tak mengampuni aku...?" keluh Kertapati dengan suara lirih. "Aku hanya kesal karena gadis itu menghajarku. Tapi kini kusadari kekeliruanku...."
"Apa lagi yang ditunggu, Datuk" Orang ini mesti dihukum. Kematian adalah hukuman yang pantas baginya!" sahut Datuk Mangkuto Alam yang telah berdiri di dekatnya.
Tapi sebelum Datuk Pamuncak melakukan sesuatu, Rangga mendekatinya.
"Datuk! Mengampuni musuh yang telah menyerah, kurasa lebih bijaksana. Lagi pula, kau bisa memanfaatkan mereka...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau benar, Rangga. Tapi, apa maksudmu memanfaatkan mereka?" tanya Datuk Pamuncak dengan kening berkerut.
"Anak buah Kertapati kurasa cukup banyak. Kalau mereka mau berjanji membantumu, ampunilah mereka. Bukankah saat ini kita membutuhkan banyak orang untuk...."
"Aku mengerti, Rangga!" sambar Datuk Pamuncak, seraya tersenyum. "Kau benar."
"Apa maksudmu, Datuk" Kau hendak mengampuni mereka"!" seru Datuk Mangkuto Alam dengan wajah bingung bercampur kesal.
"Akan kujelaskan padamu, Datuk Mangkuto Alam! Ayo, mari kita ke dalam!" ajak Datuk Pamuncak. "Kau juga, Rangga!"
"Ada apa sebenarnya, Datuk" Ke mana Upik dan Sutan Pamenan?" tanya Datuk Mangkuto Alam tak sabar, setelah berada di dalam sebuah kamar yang berada di dalam perahu.
"Ini yang hendak kuceritakan padamu. Tapi sebelumnya, kenalkan dulu temanku. Namanya, Rangga. Anak muda ini telah menyelamatkanku," ujar Datuk Pamuncak.
"Aku Rangga...," Rangga tersenyum hormat.
"Datuk Mangkuto Alam," sahut laki-laki setengah baya itu dengan sikap acuh tak acuh.
Agaknya Datuk Mangkuto Alam tidak terlalu percaya dengan ucapan Datuk Pamuncak. Pemuda ini kelihatan biasa saja. Kalaupun membawa-bawa pedang, belum tentu bisa berbuat banyak. Ilmu silatnya pun pasti rendah. Tak mungkin orang sepertinya menyelamatkan Datuk Pamuncak. Tapi, dia agak kaget melihat luka di perut Datuk Pamuncak.
"Datuk, kau terluka"!"
"Ini yang hendak kuceritakan padamu...."
Dan Datuk Pamuncak pun menceritakan kejadian yang menimpa secara singkat.
Wajah Datuk Mangkuto Alam langsung berkerut geram. Kedua tangannya terkepal. Hela nafasnya pun terasa kasar.
"Kurang ajar! Kita bukan pencuri. Seenaknya saja mereka memfitnah kita!" dengus Datuk Mangkuto Alam seraya menarik napas dalam-dalam. "Ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut! Mereka harus mencabut tuduhan itu, dan membebaskan Upik Sibirantulang dan Sutan Pamenan. Serta, mengembalikan patung Datuk Nan Tongga!"
"Saat ini mereka tengah mencariku. Dan kita tak bisa gegabah. Esok, atau mungkin sebelum subuh, mereka pasti ke sini. Kita akan bersiap menyambutnya. Bagaimana menurutmu, Rangga?" tanya Datuk Pamuncak, menatap Pendekar Rajawali Sakti penuh harap.
"Kita jangan bertahan, Datuk. Tapi menyerang!" sahut Rangga, tegas.
"Apa maksudmu" Aku sama sekali tak paham. Dengan kekuatan sedikit, mana mungkin menyerang?" tanya Datuk Pamuncak lagi, heran.
"Kekuatan kita tidak sedikit. Dengan bantuan Kertapati, kita mampu menghadapi prajurit-prajurit kerajaan."
Kemudian Rangga membeberkan rencananya.
Datuk Pamuncak langsung setuju. Demikian pula Datuk Mangkuto Alam. Mereka segera menyusun rencana lebih lanjut, dan bergerak secepatnya.
? *** ? Kebo Bangah yang didukung Ki Sedopati tidak bertindak setengah-setengah. Melihat Datuk Pamuncak berhasil melarikan diri, maka dia segera kembali ke istana untuk mengumpulkan para prajurit guna mengadakan serangan mendadak ke pesisir. Tujuannya, tidak lain untuk merampas perahu asing berikut isinya.
Kebo Bangah dan Ki Sedopati semakin girang saja ketika Gusti Prabu Arya Dwipa memberi izin. Maka dengan membawa pasukan dalam jumlah cukup besar, mereka segera bergerak ke pantai saat itu juga.
Keadaan istana sepi. Namun, para prajurit jaga tetap bertugas seperti biasa. Mereka tidak menyadari kalau pada saat itu sesosok bayangan merah bergerak dari dalam sebuah kamar yang masih berada dalam lingkungan istana kerajaan. Bayangan itu bergerak ke ruang belakang yang dijaga beberapa orang prajurit.
"Berhenti...!"
Beberapa prajurit jaga segera mengacungkan tombak ketika mengenali sosok berbaju merah itu mendekat.
"Ah! Rupanya putri Ki Pranajaya...!" seru salah seorang prajurit yang mengenali sosok yang ternyata seorang gadis.
"Ternyata kalian sigap sekali. Bagaimana keadaan para tawanan kita?" tanya gadis cantik berbaju merah ketat yang memang Ratmi.
"Mereka baik-baik saja," sahut salah seorang prajurit.
"Boleh aku melihatnya?" pinta Ratmi.
"Maaf. Tidak seorang pun yang boleh menjenguk mereka selain Ki Kebo Bangah."
Gadis itu tersenyum kecut
"Kalian memang pantas menjadi prajurit-prajurit setia. Kebo Bangah tentu akan senang. Tapi, beliau akan lebih senang lagi kalau kalian mematuhi perintahnya," kata Ratmi, mulai menyudutkan.
"Tentu saja! Kami selalu patuh pada perintahnya!"
"Kalau begitu, bukakan pintu! Aku akan melihat kedua tawanan itu!" sentak Ratmi.
"Tidak bisa! Dan ini perintah Kebo Bangah!" sahut prajurit penjaga itu berkeras.
"Kebo Bangah memberi perintah padaku! Apakah kau tak mengerti"! Berani benar kau melanggar perintahnya"!" bentak Ratmi.
"Benarkah" Tapi..., tapi Kebo Bangah tidak pesan apa-apa pada kami...," tukas prajurit penjaga itu kaget.
"Jadi kau tak percaya" Kalau begitu, jangan salahkan aku kalau kalian mendapat hukuman!"
"Eh, baiklah. Baiklah, kami percaya...."
"Kalau begitu cepat buka pintu!"
Para penjaga itu mengangguk. Lalu salah seorang dari mereka buru-buru membuka kunci kerangkeng.
Di dalam terlihat Upik Sibirantulang dan Sutan Pamenan tengah diborgol kedua tangan dan kakinya dengan rantai besi. Ujung rantai besi dipaku ke tembok.
"Ratmi...!" seru Upik Sibirantulang dengan wajah berseri.
Ratmi hanya mendengus sinis, lalu berpaling pada para penjaga.
"Buka borgol mereka!" perintah Ratmi.
"Tapi..."
"Kau berani membantah perintah Kebo Bangah"!" bentak gadis itu dengan mata melotot garang.
"Eh, baik. Baik...," sahut penjaga itu terbata-bata. "Tapi, untuk apa borgol mereka dibuka?"
"Mereka harus dihukum mati sekarang juga!" desis Ratmi. "Berikan senjatamu!"
Prajurit itu menyerahkan pedangnya, yang langsung disambar Ratmi. Gadis ini lantas menimang-nimang sebentar pedang di tangannya, kemudian memandang sinis pada Upik Sibirantulang dan Sutan Pamenan.
"Hari ini adalah kematian kalian, Pencuri Terkutuk!" desis Ratmi.
"Ratmi! Apakah kau pun percaya kalau kami mencuri pusaka-pusaka kerajaan!" tanya Upik Sibirantulang, heran. Selama ini, dia menganggap Ratmi adalah gadis baik. Bahkan pernah ditolongnya. Tapi sekarang?"
"Kenapa tidak! Pusaka-pusaka itu berada di kamar kalian. Orang bodoh sekali pun akan tahu apa artinya itu!"
"Tapi, kami tidak tahu mengapa pusaka-pusaka itu berada di kamar...," timpal Sutan Pamenan, membela diri.
"Tidak usah membela diri. Tidak ada gunanya!"
"Sudah selesai...," kata penjaga yang melepaskan borgol kedua tawanan itu.
"Bagus! Kemari kalian semua. Aku khawatir, mereka akan mengadakan perlawanan."
Kelima prajurit penjaga itu segera berkumpul di dekat Ratmi dengan senjata terhunus.
Tapi tanpa disangka-sangka, gadis itu menyerang para prajurit dengan cepat dan ganas.
"Hiih!"
Des! Des...! "Aaakh...!"
Dua orang prajurit langsung jatuh tersungkur. Tiga lainnya terkesima. Dan Ratmi tidak mau berlama-lama. Kakinya cepat menyodok ke ulu hati serta ke perut dua orang prajurit.
Bugkh! Desss...!
"Aaakh...!"
Dua prajurit itu mengikuti jejak kawan-kawannya. Jatuh tersungkur menghajar dinding tembok, lalu terkulai tak sadarkan diri.
"Kau..., kau...!"
Prajurit terakhir terkejut. Dipandangnya gadis itu dengan sorot mata tak yakin. Tapi sesaat kemudian, ujung tombaknya bergerak ke jantung Ratmi.
Gadis itu menggeser tubuhnya ke samping. Sehingga tombak itu lewat di sisinya. Seketika ditangkapnya pangkal tombak.
Tap! "Hiih!"
Dengan satu sentakan kuat, Ratmi menarik tombak, membuat prajurit itu terpuruk maju. Seketika, sikut kanan Ratmi menyodok ulu hati.
Desss! "Ugkh...!"
Prajurit itu terjajar mundur beberapa langkah. Kesempatan ini tidak disia-siakan Ratmi. Langsung tangannya mengibas ke leher. Digkh! "Aaakh...!"
Saat itu juga, prajurit ini ambruk tak berdaya disertai keluhan tertahan.
? *** 8 ? "Ratmi, kau..."!" seru Upik Sibirantulang dengan wajah cerah. Dia tahu, Ratmi berpihak padanya. Hampir saja gadis itu salah sangka melihat sikap Ratmi tadi.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Ratmi.
Upik Sibirantulang menggeleng. "Kenapa kau menolong kami?"
"Karena aku tahu, kalian tidak bersalah," sahut Ratmi, mantap.
"Dari mana kau bisa yakin?"
"Aku lihat sendiri anak buah Kebo Bangah membawa pusaka-pusaka itu ke kamar kalian...."
"Keparat!" desis Sutan Pamenan, menggeram marah.
"Bagaimana mungkin..." Ah! Mestinya kami terjaga...," desah Upik Sibirantulang, menggeleng lemah.
"Kebo Bangah punya aji "Sirep" yang ampuh. Apalagi kalian berdua sangat nyenyak. Maka aji Sirepnya bekerja sempurna."
"Setan!" Sutan Pamenan mengepalkan kedua tangan.
"Sudah. Jangan buang waktu lagi. Saat ini, keadaan istana sepi. Mereka telah berangkat bersama pasukan besar untuk menaklukkan perahu kalian serta isinya."
"Apa"! Astaga! Agaknya mereka tidak puas sekadar menahan kami di sini!" sentak Upik Sibirantulang.
"Mereka mengejar Datuk Pamuncak. Ketika kalian ditahan, Datuk Pamuncak sempat meloloskan diri," jelas Ratmi.
"Hm.... Pantas kami tak melihat Datuk Pamuncak...," gumam Sutan Pamenan.
"Sudahlah. Mari kita tinggalkan tempat ini secepatnya!" ajak Ratmi.
"Tunggu dulu! Suara apa itu"!" desis Upik Sibirantulang.
Ketiga orang ini segera menajamkan pendengaran. Lalu, serentak mereka keluar dari tempat itu dengan terburu-buru.
Begitu di luar, terlihat sisa-sisa pertarungan yang baru saja selesai. Tanpa pertumpahan darah, tanpa korban yang berarti. Beberapa prajurit istana tampak berkumpul di satu tempat dijaga prajurit-prajurit tak bersenjata. Upik Sibirantulang dan Sutan Pamenan langsung mengenali dua orang tua yang ikut berada di tengah-tengah keramaian itu.
"Datuk Pamuncak...! Datuk Mangkuto Alam!" panggil Sutan Pamenan.
"Hei, kalian rupanya!"
Datuk Pamuncak dan Datuk Mangkuto Alam buru-buru menghampiri.
"Kami ditolong Ratmi...," kata Upik Sibirantulang.
"Ratmi.... Kami mengucapkan beribu terima kasih atas pertolonganmu!" ucap orang tua itu dengan nada menghormat.
"Ah, sudahlah! Aku hanya tak ingin melihat kecurangan yang ada di depan mataku."
"Paman.... Pasukan dari mana yang kau bawa?" tanya Upik Sibirantulang.
"Ceritanya begini...."
Lalu Datuk Pamuncak menceritakan secara singkat kejadian yang menimpa dirinya sampai berada di sini lagi.
"Jadi, begitulah. Saat ini terlihat pasukan yang dipimpin Kebo Bangah menuju pesisir, maka kami buru-buru ke sini," tutur Datuk Pamuncak.
"Lalu, ke mana sekarang pemuda itu?" tanya Ratmi.
"Pemuda yang mana?" Datuk Pamuncak balik bertanya. Dahinya berkerut untuk coba menebak maksud Ratmi.
"Rangga...!"
"O, dia sedang di dalam menemui Tuan ku Prabu Arya Dwipa...."
"Apa yang dilakukannya?"
"Entahlah. Mungkin coba meyakinkan beliau bahwa kami tidak bersalah...."
"Hmm...!"
Ratmi bergumam pendek. Tak lama kemudian, mereka melihat beberapa orang keluar dari balairung utama. Rangga bersama Gusti Prabu Arya Dwipa, diiringi beberapa prajurit kerajaan. Salah seorang di antara mereka membawa sebuah patung setinggi kurang lebih lima jengkal yang seluruhnya terbuat dari emas.
"Bagaimana?" tanya Datuk Pamuncak, ketika mereka telah mendekat.
"Syukurlah beliau mengerti...," sahut Rangga sambil tersenyum. Pemuda itu melirik sekilas pada Ratmi serta yang lainnya.
Prabu Arya Dwipa pun melirik ke arah gadis itu lalu berpindah pada kedua tawanannya.
"Aku yang membebaskan mereka...," sahut Ratmi lirih, karena merasa tidak enak melihat tatapan Prabu Arya Dwipa. "Maafkan hamba, Gusti. Hamba merasa yakin mereka tak bersalah."
"Bagaimana caramu membebaskan mereka?"
"Hamba.... Hamba tidak sampai membunuh para prajurit, Gusti...," jelas Ratmi terbata-bata.
"Kau pasti menipu mereka?" duga Prabu Gusti Arya Dwipa.
Gadis ini mengangguk lemah.
"Sudahlah, kumaafkan kelakuanmu itu."
"Terima kasih, Gusti."
"Tapi dia punya berita yang mungkin akan semakin membuat terang persoalan ini," timpal Upik Sibirantulang seraya melirik Ratmi.
Pendekar Rajawali Sakti 194 Utusan Dari Andalas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm.... Soal apa itu, Ratmi?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa, menatap tajam gadis berbaju merah.
*** "Eh, ng...," Ratmi tergagap, tak tahu harus berkata apa.
"Ayo, Ratmi! Katakanlah. Bukankah kau tahu kalau kami bukan pencuri pusaka kerajaan?" desak Upik Sibirantulang.
"O, soal itu! Benar, Gusti!"
"Ceritakanlah. Apa yang kau ketahui!"
"Hamba melihat sendiri ketika saat itu Kebo Bangah menggunakan aji "Sirep" untuk membuat mereka pulas. Lalu setelah itu, dia menyuruh anak buahnya membawa pusaka-pusaka kerajaan ke kamar mereka," jelas Ratmi.
"Kenapa tidak kau laporkan kecurangan itu?" tukas Gusti Prabu Arya Dwipa.
"Mana hamba berani, Gusti" Saat itu langsung terjadi keramaian yang digerakkan anak buah Kebo Bangah. Mereka pura-pura kehilangan pusaka-pusaka kerajaan, lalu menggeledah tiap kamar. Namun sesungguhnya kamar pertama yang digeledah adalah kamar para tamu. Kalau hamba melapor, jangan-jangan hamba dituduh bersekutu. Dan hamba pun bisa ditangkapnya," papar Ratmi membela diri.
"Hm.... Aku mengerti alasanmu. Dan aku juga mengerti alasan Kebo Bangah berbuat demikian...," gumam Gusti Prabu Arya Dwipa.
Lalu Gusti Prabu Arya Dwipa memberi isyarat. Maka prajuritnya maju ke depan, menyerahkan patung emas yang dibawanya pada Upik Sibirantulang.
"Aku sama sekali tak tahu-menahu soal patung itu, sampai hari ini. Terimalah. Dan, maafkan kebodohanku!" ucap Gusti Prabu Arya Dwipa. "Setelah Prabu..., eh! Setelah Rangga mengatakan kalau dia mencurigai Kebo Bangah, maka aku langsung menggeledah rumahnya. Dan, patung itu ternyata memang kami temukan di sana...."
"Terima kasih, Tuan ku Prabu Arya Dwipa...!" ucap Upik Sibirantulang berseru girang mendapatkan patung itu kembali.
"Sampaikan maafku pada Ratu Mudo Nan Ampek! Pencuri itu tidak akan luput dari hukuman. Dia akan dihukum mati!" desis Gusti Prabu Arya Dwipa.
"Maaf, Tuan ku...," sambar Upik Sibirantulang.
"Ada apa?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa.
Upik Sibirantulang terdiam sebentar.
"Kebo Bangah memang bersalah. Tapi orang bersalah masih bisa bertobat. Alangkah baiknya bila dia tidak dihukum mati. Kita tidak berhak atas nyawa manusia. Mungkin, Kebo Bangah khilaf atau silau matanya melihat harta dunia. Tapi bukan berarti dia jahat. Karena itu ampunilah dia, Tuan ku...," ujar Upik Sibirantulang, bijaksana.
"Kau memohon maaf atas orang yang telah memfitnah dan menjebloskanmu ke penjara"!" tukas Gusti Prabu Arya Dwipa, tersentak kaget.
"Benar, Tuan ku."
"Bagaimana mungkin" Mestinya kau yang patut kuberi kesempatan sebagai algojonya."
"Kalau begitu, maafkanlah dia, Tuan ku. Tuan ku boleh menghukumnya. Tapi, harap jangan membunuhnya."
"Hmm...! Ini berat sekali. Kebo Bangah telah merusak citra negeri ini. Mestinya, dia tidak bisa dibiarkan hidup!" gumam Penguasa Kerajaan Swarna Pura itu.
"Tuanku Prabu! Kami pun berpendapat demikian. Nyawa manusia bukan di tangan seseorang. Demikian pula nasib manusia, tak seorang pun yang tahu. Kebo Bangah telah mencuri, itu karena kekhilafannya. Tapi belum tentu dia jahat. Dia hanya tak ingin perbuatan buruknya diketahui, sehingga membuatnya bertambah jahat. Berilah dia kesempatan, Tuan ku...," timpal Datuk Pamuncak.
Gusti Prabu Arya Dwipa merenung beberapa saat kemudian, sebelum menyetujui permintaan itu.
"Terserah kalian saja. Meski ini terasa berat, tapi aku berusaha untuk tidak mengecewakan kalian lagi...," desah laki-laki berusia lima puluh lima tahun ini.
"Lalu, bagaimana menangkap Kebo Bangah?" tanya Ratmi pada Datuk Pamuncak.
"Mereka akan kembali. Saat itu, dia kita tangkap," sahut Gusti Prabu Arya Dwipa.
"Kalau begitu kita bersiap sekarang. Sebentar lagi fajar tiba. Mereka tentu akan kembali," kata Rangga.
Maka Rangga dan Datuk Pamuncak segera menyiapkan pasukan yang dibawa. Sedangkan prajurit-prajurit kerajaan yang tadi sempat ditangkap, dibebaskan dan berjaga seperti semula.
Kini keadaan kerajaan telah kembali seperti semula sebelum terjadi kekacauan kecil tadi.
Mereka membagi pasukan menjadi dua. Satu bersembunyi di dalam istana, dan pasukan lain bersembunyi di sekeliling istana.
? *** Tepat ketika matahari muncul di ufuk timur, Kebo Bangah dan pasukannya telah kembali. Wajah mereka semua tampak muram.
"Buka pintuuu...!" teriak Kebo Bangah lantang.
Dua prajurit tergopoh-gopoh membukakan pintu gerbang. Kebo Bangah serta pasukannya segera masuk ke dalam dengan langkah tegap meski memaksakan diri.
"Hmm...!"
Namun laki-laki ini jadi tersentak, dan tertegun barang beberapa saat melihat Gusti Prabu Arya Dwipa telah berdiri di halaman depan bersama beberapa prajurit. Dengan serta-merta, Kebo Bangah dan yang lain turun dari kuda dan menjura hormat.
"Gusti Prabu, terimalah hormat hamba!" ucap Kebo Bangah.
Yang lainnya pun berbuat sama. Mereka adalah Ki Pranajaya, Ki Lola Abang, Ki Jayawane, dan Ki Sedopati, serta para prajurit.
"Kuterima hormat kalian! Kemarilah!" ujar Gusti Prabu Arya Dwipa.
Kelima orang itu segera mendekat.
"Kebo Bangah, bagaimana tugasmu?"
"Perahu itu telah kosong, Gusti. Tapi, di sana terdapat banyak mayat bergelimpangan. Sepertinya habis terjadi pertempuran seru. Mudah-mudahan saja mereka semua mati. Perahu itu hamba sita untuk kerajaan. Dua puluh prajurit hamba tinggalkan untuk menjaganya...," lapor Kebo Bangah.
"Hm, bagus! Aku terkesan dengan tugasmu. Dan selama ini, aku memang terkesan pada setiap hasil kerjamu!" sambut Gusti Prabu.
"Terima kasih, Gusti!"
"He, ke mana Ki Jagat Awang" Bukankah dia berangkat bersamamu?"
"Beliau pergi mencari Pendekar Rajawali Sakti, Gusti...," sahut Kebo Bangah. "Mungkin ada sedikit urusan."
Gusti Prabu Arya Dwipa mengangguk perlahan. Didekatinya Kebo Bangah lalu ditepuknya sebelah pundaknya.
"Kebo Bangah! Selama ini, aku selalu percaya padamu. Bahkan tak jarang aku bertanya padamu. Demikian pula kali ini. Maukah kau menjawab beberapa pertanyaanku?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa.
"Dengan senang hati, Gusti! Pertanyaan apa gerangan?" sambut Kebo Bangah.
"Hukuman apa yang pantas bagi seorang pencuri?"
Mendengar pertanyaan itu, Kebo Bangah langsung berpikir ke mana tujuan kata-kata Gusti Prabu Arya Dwipa. Dengan adanya tawanan yang dijebloskan ke penjara, maka dia berpikir mungkin Gusti Prabu Arya Dwipa meminta pendapatnya tentang hukuman yang pantas bagi tawanannya.
"Pencuri barang-barang berharga mestinya dihukum gantung, Gusti Prabu! Itu sama artinya mempermainkan kita!" sahut Kebo Bangah, mantap.
"Aku setuju dengan usulmu itu! Nah, bila mereka merusak nama negaranya sendiri, apakah hukuman gantung itu tidak terlalu ringan?"
"Mestinya mereka dicambuk seratus kali. Lalu, potong kedua tangannya. Baru setelah itu digantung!"
"Bagus! Kau telah memilih hukumanmu sendiri!" sambut Gusti Prabu Arya Dwipa kalem.
"Gusti Prabu, apa ini..."!" sentak Kebo Bangah, terkejut setengah mati.
"Tangkap Kebo Bangah!" perintah Gusti Prabu Arya Dwipa.
Meski ragu-ragu, tapi para prajurit tetap meringkusnya juga. Hal ini bukan saja mengagetkan Kebo Bangah, tapi juga yang lainnya.
"Gusti Prabu! Hamba tidak mengerti! Mengapa Gusti menangkap hamba"!" tuntut Kebo Bangah.
"Gusti Prabu, apa yang telah terjadi" Kenapa Gusti menangkap Kebo Bangah"!" tambah Ki Sedopati.
Gusti Prabu Arya Dwipa menepuk beberapa kali. Seketika dari dalam dan luar istana muncul dua pasukan bersenjata lengkap. Juga, Rangga, Upik Sibirantulang, Datuk Pamuncak, Sutan Pamenan, dan Datuk Mangkuto Alam yang segera mendekati mereka.
"Tenanglah! Tidak perlu curiga. Mereka tidak menyerang kita!" teriak Gusti Prabu Arya Dwipa ketika melihat para prajurit yang bersama Kebo Bangah siap menghalau. Keadaan kembali tenang.
"Orang-orang ini justru akan menyingkap kedok busuk Kebo Bangah!" lanjut Gusti Prabu Arya Dwipa. "Kebo Bangah mencuri patung pusaka milik kerajaan mereka. Dan ketika mereka ke sini meminta haknya, Kebo Bangah malah berusaha menutupi diri. Bahkan berusaha mencelakakan mereka dengan segala cara. Tapi, Yang Maha Kuasa agaknya berkehendak lain. Untunglah niat busuknya tidak tercapai."
"Kebo Bangah, benarkah itu?" tanya Ki Pranajaya tak percaya.
Bahkan Ki Sedopati, sekutu dekatnya, ikut terkejut mendengar penjelasan itu. Apalagi, ketika Rangga tampil di depan dan membeberkan apa yang diperbuat Kebo Bangah.
"Yah.... Hal itu memang benar...," desah Kebo Bangah, lirih sambil mengangguk.
Mendengar pengakuan Kebo Bangah maka yang lain berteriak-teriak marah karena merasa diperalat. Gusti Prabu Arya Dwipa cepat mendiamkan mereka sebelum timbul kekacauan.
"Kebo Bangah telah menentukan hukumannya. Bawa dia dan cambuk seratus kali. Lalu, potong kedua tangannya!"
"Gusti...!"
Kebo Bangah terkesiap mendengar hukuman itu.
"Kebo Bangah! Tahukah kau bahwa aku tidak pernah memaafkan pengkhianat" Tapi, para utusan Ratu Mudo Nan Ampek telah meminta agar kau tidak dihukum mati. Padahal, aku ingin sekali menghukummu. Mereka berharap, suatu saat akan berubah dan tidak melakukan perbuatan seperti itu lagi."
"Gusti, ampuni hamba! Ampuni hamba, Gusti! Hamba berjanji tidak akan melakukannya lagi...!" ratap Kebo Bangah.
Tapi Gusti Prabu Arya Dwipa tak mempedulikannya. Dia segera memberi isyarat. Maka para prajurit segera membawa Kebo Bangah ke penjara.
"Kalian lihat, bukan" Aku tidak pilih bulu untuk menghukum orang. Bahkan bila anakku sendiri yang bersalah, tetap mendapatkan hukuman!" tandas Gusti Prabu Arya Dwipa dengan penuh wibawa.
"Terima kasih, Tuan ku Prabu! Mudah-mudahan Tuan ku akan terus dikenang sebagai raja yang adil lagi bijaksana!" ucap Upik Sibirantulang.
"Tinggallah kalian beberapa hari lagi di sini. Aku telah memperlakukan kalian kurang baik. Maka, aku akan merasa bersalah bila belum menjamu kalian dengan baik."
"Baiklah kalau demikian kehendak Tuan ku...."
"Juga kau..., eh! Ke mana dia?"
Gusti Prabu Arya Dwipa mencari-cari ke sekeliling tempat. Namun yang dicari tidak kelihatan batang hidungnya.
"Pendekar Rajawali Sakti telah pergi diam-diam. Agaknya, dia merasa tugasnya telah selesai...," kata Datuk Pamuncak.
"Hm.... Padahal, aku hendak berbincang-bincang tentang banyak hal dengannya," desah Gusti Prabu Arya Dwipa, menyesalkan.
Agaknya bukan hanya Gusti Prabu Arya Dwipa yang kecewa. Yang lain pun merasakan pula. Terlebih-lebih, Ratmi...!
? ? SELESAI ? Segera terbit: PETAKA GELANG KENCANA
? ? ? Tukang Scan: Clickes
Tukang Edit: Aura PandRa
Tukang E-Book: Abu Keisel
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
? 2017 Pendekar Pedang Pelangi 5 Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan Dendam Si Anak Haram 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama