Ceritasilat Novel Online

Warisan Terkutuk 1

Pendekar Rajawali Sakti 188 Warisan Terkutuk Bagian 1


. 188. Warisan Terkutuk Bag. 1 - 4
16. April 2015 um 01:08
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Warisan Terkutuk
?Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Di luar hujan masih seperti tadi. Rintik-rintik. Sesekali diiringi desau angin kencang yang merontokkan dan menerbangkan dedaunan. Senja baru saja berlalu. Dan malam mulai merayap pelan-pelan. Dalam keadaan begini orang-orang enggan keluar. Mereka lebih senang berlindung di balik selimut di atas pembaringan.
Sebuah pondok yang berdiri di pinggiran Desa Sabrang Lor tampak semakin kuyup oleh hunjaman titik-titik air. Atapnya yang dari rumbia menciptakan butir-butir air yang kemudian bergantian jatuh ke bumi.
Di dalam pondok, suatu suara aneh membangkitkan gairah terdengar bagai tak peduli dengan keadaan di luar. Suara rintihan yang diselingi erangan nikmat, meningkahi suara desau angin. Bahkan sesekali terdengar desahan napas garang, bagai kuda tengah berpacu ke atas bukit.
"Aaahhh...!"
Desahan bernada penuh kepuasan terdengar. Entah, apa yang terjadi di dalam pondok. Bahkan seekor serangga yang kebetulan melihat enggan menceritakannya, karena malu.
Rintik hujan di luar membuat suara-suara di dalam terdengar semakin samar. Dan ketika hujan mulai reda, suara-suara aneh itu pun terhenti pula. Hening sejenak.
"Kau tak menyesal, Ambar...?"
Terdengar suara lirih, memecahkan keheningan. Suara yang menuntut penegasan atas jawaban yang akan diberikan.
"Tidak, Kakang Kuntadewa...," sahut suara lain, mendayu-dayu. Suara seorang wanita.
"Kita akan kawin. Aku akan meminangmu tidak lama lagi!" lanjut suara yang agak berat, suara yang dipanggil Kuntadewa.
Sementara gadis yang dipanggil Ambar terdiam. Dan sesaat, tidak ada jawaban yang diberikan selain tertunduk dengan wajah lesu.
"Kenapa, Ambar" Kau tidak suka bila aku meminangmu?" tanya Kuntadewa dengan kening berkerut.
"Bukan itu, Kang...!" sanggah Ambar, lesu.
"Lalu apa?" desak Kuntadewa.
"Ayah...!"
Kuntadewa yang masih berusia dua puluh empat tahun menarik napas. Kepalanya menengadah ke langit-langit pondok dengan wajah pilu. Kemudian kembali dipandangnya wajah gadis pujaannya.
"Ya. Ayahmu tidak merestui. Bahkan sangat membenciku. Dalam kebahagiaan tadi, aku sempat melupakannya."
Mereka berdua terdiam beberapa saat.
"Sudahlah. Pakai bajumu dulu. Nanti kalau ada yang lihat, bisa gawat kita," ujar Kuntadewa.
"Bagaimana kalau kita kawin lari saja, Kang?" usul Ambar sambil mengenakan pakaiannya.
Pemuda berwajah tampan ini tercekat. Kembali dipandangnya gadis itu dengan mata tak berkedip.
"Kenapa, Kang" Kau tidak setuju?" tanya Ambar, langsung menghentikan pekerjaan memakai bajunya.
"Kau bersungguh-sungguh, Ambar"!" tukas Kuntadewa.
"Aduh, Kakang Kuntadewa! Apakah Kakang masih meragukan cintaku padamu?"
"Tidak, Ambar. Sedikit pun tidak. Hanya saja..., aku ini memang tolol dan tidak terpikir ke arah itu."
"Jadi Kakang setuju?"
Kuntadewa mengangguk, membuat wajah Ambar berseri.
"Kalau begitu, buat apa lama-lama, Kang" Lebih baik sekarang saja!"
"Iya, iya!"
"Ayo, Kang!" ajak gadis itu seraya bangkit berdiri sambil cepat-cepat membenahi bajunya lagi dengan wajah kian berseri-seri.
Wajah Kuntadewa pun ikut berseri. Buru-buru pemuda itu bangkit sambil merapikan bajunya. Bergegas mereka keluar. Namun baru saja hendak membuka pintu, mendadak Kuntadewa ingat sesuatu. Dia terdiam di belakang pintu dengan wajah bimbang.
"Kenapa, Kang?" tanya Ambar, bingung.
"Anjani...," gumam pemuda itu lirih.
Ambar terdiam mendengar nama itu.
"Aku khawatir akan keselamatannya. Walung Turangga berusaha mencari kesempatan untuk memperdayainya...," lanjut Kuntadewa.
"Hm, begini saja. Kakang pergi lebih dulu, sementara aku akan menyusul bersama Anjani. Bagaimana?" usul Ambar.
"Mana bisa begitu" Mestinya kau yang pergi dulu. Dan nanti, kami menyusul. Tunggulah di bawah pohon mangga yang ada di simpang jalan," sergah Kuntadewa.
"Kakang! Kalau kau yang pergi bersama Anjani, maka yang lain akan curiga. Dan disangka kalian mau melarikan diri. Tapi kalau kami yang keluar, mereka tidak akan menyangka begitu. Aku bisa punya alasan. Misalnya, karena takut tidur sendiri. Maka, kuminta Anjani menemani. Nah, pergilah Kakang lebih dulu!" tegas Ambar.
Kuntadewa terdiam dan belum juga bergerak.
"Ayolah, Kakang! Apalagi yang dipikirkan" Percayakan keselamatan Anjani padaku! Bukankah ini demi kita juga" Ayo.... Jangan buang-buang waktu lagi!" desak Ambar.
"Baiklah...."
Meski dengan perasaan berat, akhirnya Kuntadewa setuju juga. Bersama-sama mereka melangkah keluar dari pondok. Namun baru melangkah sekitar lima tindak, mendadak beberapa sosok tubuh telah mengepung. Dari depan, samping kiri, kanan, serta dari belakang. Salah seorang menyalakan obor. Dan yang lain pun menyusul. Kini mereka tahu, siapa orang-orang itu.
"Walung Turangga...!" desis Kuntadewa kaget.
? *** "Mau ke mana kalian" Mau coba-coba melarikan diri, he"!" dengus pemuda kekar berambut keriting yang pertama kali menghidupkan obor.
Pemuda itu memakai rompi hitam dengan gagang golok terselip di pinggang Kumisnya tipis dan panjang, sehingga bergerak-gerak ketika berbicara. Dialah yang bernama Walung Turangga.
"Itu tidak benar...!"
"Tutup mulutmu, Kuntadewa!"
Kuntadewa coba membela diri, tapi langsung dibentak oleh Walung Turangga.
"Kau melakukan banyak kesalahan, Kuntadewa. Dan kesalahan yang terbesar adalah apa yang kau lakukan saat ini!" lanjut Walung Turangga.
"Kakang Walung Turangga! Apa-apaan kau ini"! Jangan seenaknya menyalahkan orang. Kau kira apa yang kami kerjakan di sini"!" tukas Ambar, sengit.
"Jangan dikira kami semua bodoh, he"! Apa yang terjadi di dalam pondok antara laki-laki dan perempuan pada saat gerimis seperti ini"! Kalian kira bisa mengelabui kami, he"! Tangkap mereka!"
"Hup! Yeaaa...!"
Ambar dan Kuntadewa mundur ke belakang, merapat ke pintu pondok. Untuk sesaat Kuntadewa jadi bingung. Kalau tidak melawan, mereka pasti akan meringkus dan mungkin menghajar atas perintah Walung Turangga. Tapi kalau melawan, berarti mesti berhadapan dengan saudara-saudara seperguruannya. Keadaannya terjepit. Kalau Guru tahu, dia akan lebih disalahkan. Apalagi, berani melawan mereka.
"Kakang! Kita harus melawan mereka!" bisik Ambar.
"Tapi...."
"Kau ingin mereka menangkap lalu menyiksamu lagi seperti yang sudah-sudah"!" potong Ambar.
"Tentu saja tidak."
"Nah! Kalau begitu, lawan mereka!"
Kuntadewa tidak sempat menjawab karena beberapa orang telah coba meringkus Ambar. Tapi gadis itu melawan dengan sengit. Dan ketika beberapa orang lagi berniat meringkusnya, hati Kuntadewa tergerak. Dan secepat kilat tubuhnya berkelebat seraya menangkis dan balas menghajar.
Plak! Duk! "Akh!"
Seorang pengeroyok berhasil dijatuhkan. Dan itu membuat yang lain menjadi marah.
"Kurang ajar! Kau berani melawan, Kuntadewa"!" hardik Walung Turangga, geram.
"Terpaksa. Kalian hendak menangkap kami...."
"Kurang ajar! Kalau begitu, biar aku sendiri yang akan meringkusmu!" dengus Walung Turangga.
Pemuda kekar berambut keritis itu segera melesat. Langsung dikirimkannya tendangan kilat ke arah Kuntadewa.
Namun, Kuntadewa segera berusaha menangkis dengan mengibaskan tangan kanannya.
Plak! "Ohh...!"
Tubuh Kuntadewa bergetar. Dia merasakan kalau tenaga dalam Walung Turangga amat kuat. Cepat pemuda ini melompat ke belakang.
Namun, Walung Turangga terus mengejar seraya melepas tendangan, menyambar ke batok kepala.
Kuntadewa merunduk. Namun Walung Turangga menggunakan serangan yang luput untuk berputar sambil melepaskan hantaman ke dada.
Buk! "Aaakh!"
Kuntadewa mengeluh tertahan begitu dadanya terhantam pukulan telak. Tubuhnya terjajar ke belakang dengan mulut meringis. Namun baru saja dia hendak bersiap lagi, beberapa orang telah meluruk maju dengan hantaman bertubi-tubi.
"Kau tak bisa ke mana-mana!"
Buk! Buk! "Aaakh...!"
Jerit kesakitan dari mulut Kuntadewa langsung memecah keheningan malam. Tubuhnya terhuyung ke sana kemari. Sekali terjajar ke satu arah, satu-dua pukulan atau tendangan mendarat di tubuh.
"Hentikan! Hentikan penyiksaan itu...! Hentikan...!" jerit Ambar, tak tahan melihat kekasihnya jadi bulan-bulanan.
Gadis itu berusaha mencegah tindakan brutal itu. Tapi, beberapa tangan kokoh telah mencegahnya.
"Jangan ikut campur urusan ini!" hardik salah seorang.
"Kalian biadab! Terkutuk! Hentikan penyiksaan ini...!"
Tapi, siapa yang peduli dengan jeritan wanita itu" Malah tindakannya disambut gelak tawa serta keluh kesakitan yang diderita Kuntadewa.
Kuntadewa terengah-engah ketika para pengeroyok melepaskannya. Wajahnya berlumuran darah. Dan dari mulutnya masih meleleh cairan darah segar. Isi dada dan perutnya seperti remuk menerima pukulan dan tendangan bertubi-tubi. "Ohh...!"
"Kau rasakan bagaimana akibatnya bila berani mengganggu calon istriku!" desis Walung Turangga, dingin.
Tapi Kuntadewa tak lagi mampu menyahut, selain mengerang kesakitan.
Walung Turangga kembali melepas tendangan ke pantat Kuntadewa.
Pak! "Seret dia ke hutan! Biar kawanan serigala berpesta-pora dengan tubuh busuknya itu!" perintah Walung Turangga.
"Beres!"
Lima orang segera bergerak menyeret tubuh Kuntadewa. Dan sebentar saja mereka lenyap diiringi jerit tangis Ambar.
"Tidak! Tidaaak...! Kalian tidak boleh berbuat begitu! Kakang Kuntadewa...!"
"Pegang dia kuat-kuat!"
"Jangan khawatir, Walung! Dia tidak akan bisa lepas!" sahut seorang kawannya.
"Hmm!"
Walung Turangga tersenyum seraya mendekati gadis itu.
"Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka. Apalagi, kepada anak bedebah itu!" desisnya.
"Aku akan melaporkan semua ini pada ayahmu!" balas Ambar sengit.
"He he he...! Kau tidak akan melapor pada siapa-siapa!" sahut pemuda itu, yakin.
Kemudian Walung Turangga menoleh ke arah kawan-kawannya.
"Bawa dia!"
"Beres!"
Mereka langsung menyeret gadis itu ke satu arah, di pinggiran hutan.
"Walung keparat! Lepaskan! Lepaskaaan...!" teriak Ambar, berusaha meronta-ronta.
"Ha ha ha...!"
*** Percuma saja Ambar berteriak-teriak, karena hanya membuat Walung Turangga semakin girang saja. Meski begitu, Ambar tak patah semangat. Dia berontak untuk melepaskan diri.
"Lebih baik kau tidak melawan, Ambar. Sia-sia saja. Kau tidak bisa lepas dariku!" Walung Turangga memperingatkan.
"Terkutuk kau, Walung! Kalau ayahku tahu, kau akan binasa meski sembunyi di lubang jarum sekalipun!" maki Ambar.
"Tapi sayangnya, ayahmu tidak akan tahu. Jadi, aku tak perlu bersembunyi," sahut Walung Turangga, enteng.
"Setan!"
"Ha ha ha...!"
Mereka telah tiba di sebuah pondok lain yang agak jauh dari padepokan. Letaknya pun dekat dengan hutan. Ke dalam pondok itu Ambar dibawa masuk.
Di dalam pondok terdapat sebuah dipan agak lebar yang pada masing-masing sudutnya terdapat tonggak besi setinggi satu jengkal.
"Ikat dia di situ!" perintah Walung Turangga.
"Jangan lupa bagian kami, Walung!" sahut seorang kawannya sambil cengar-cengir dan mengikat sebelah tangan gadis itu ke tonggak.
"Jangan khawatir. Kalian akan mendapat giliran. Tapi, aku dulu yang pertama!" sahut Walung Turangga santai saja.
"Dan aku dapat giliran terakhir"!" teriak seseorang yang bertubuh kecil dan kurus.
Suaranya bernada tak senang, karena mendapat giliran terakhir. Memang, untuk segala urusan seperti ini dia selalu dapat giliran paling buncit. Dan kebanyakan tidak enak!
"Jadi maumu yang pertama" Menggantikan Walung, begitu"!" ejek yang lain.
"Yaah, paling tidak ketiga atau keempat...."
"Ha ha ha...!"
Orang-orang itu hanya tertawa, membuat pemuda bertubuh kecil itu jadi kesal sendiri.
"Sudahlah! Jangan mimpi. Lebih baik berjaga-jaga di luar. Siapa tahu bertemu kuntilanak yang naksir padamu. Kau bisa menggarapnya pertama kali!" sahut salah seorang.
Pemuda bertubuh kecil itu mendongkol, tapi tak berani lagi buka mulut. Bersama yang lain dia keluar, setelah Walung Turangga memberi isyarat.
Dalam ruangan kini tinggal Walung Turangga dan Ambar. Wajah gadis itu tampak pucat menyiratkan ketakutan. Namun sorot matanya beringas. Meski kedua tangan dan kakinya terikat di atas dipan tapi dia berusaha melepaskan diri. Walaupun..., sia-sia!
"Sekarang kau tahu, bukan" Tidak ada yang bisa kau perbuat lagi, selain meladeni keinginanku...," kata pemuda itu disertai seringai lebar. Jakunnya pun turun naik. Seperti tak kuasa menahan liurnya.
"Apa maumu, Walung?"
"Kau tentu tahu nantinya!" sahut pemuda itu, enteng.
Diam-diam Ambar bergidik ngeri melihat seringai Walung Turangga yang seperti harimau kelaparan melihat korbannya. Apalagi ketika pemuda itu mendekat, lalu membelai-belai wajahnya.
"Hm, wajah cantik...," desah Walung Turangga.
"Lepaskan tanganku, Walung! Aku jijik melihatmu!" bentak Ambar.
"Kalau begitu tidak usah melihat, tapi rasakan saja," sahut pemuda itu. Dan tangannya semakin nakal bermain di leher gadis ini, lalu terus ke bawah.
Dan..., menetap untuk beberapa saat!
"Keparat terkutuk! Lepaskan tanganmu! Lepaskan tanganmu. Keparat! Lepaskaaan...!" teriak Ambar garang Tubuhnya bergetar laksana ribuan lintah menempel di kulitnya.
Tapi pemuda yang tengah kerasukan nafsu iblis itu mana mau melepaskannya begitu saja" Teriakan Ambar malah membuatnya semakin bergairah.
"He he he...! Dalam keadaan begini kau semakin cantik saja, Sayang."
"Iblis terkutuk! Aku bersumpah akan mencincangmu menjadi serpihan kecil! Terkutuk! Bangsat! Hentikan perbuatan busukmu!" teriak Ambar berulang-ulang.
Walung Turangga hanya terkekeh dan membuka pakaiannya satu persatu. Matanya tak lepas memandang tubuh gadis yang tergolek menantang.
"Sekarang giliranmu...."
"Lepaskan tanganmu, Iblis Terkutuk!" maki Ambar ketika tangan pemuda itu yang lincah mulai mempreteli pakaiannya satu persatu.
"Kau tahu, tak ada gunanya berteriak. Lebih baik, pasrah saja. Simpan tenagamu untuk lima belas orang lagi."
"Terkutuk kau, Walung!"
"Terserah apa katamu. Yang jelas, aku mesti mendapatkan apa yang kuinginkan. Dan, jangan mimpi untuk balas dendam padaku. Karena, setelah ini kau hanya tinggal nama!"
"Belum tentu!"
"Heh"!"
Mendadak terdengar sahutan dari belakang, membuat Walung Turangga terkesiap. Dan belum juga keterkejutannya hilang....
"Hiih!"
Jrot! "Aaakh...!"
Tepat ketika Walung Turangga menoleh, sebuah hantaman tangan mendarat di wajahnya....
*** ? 2 ? Brosss...! Walung Turangga terpental menghantam dinding pondok hingga jebol. Dari hidungnya mengucur darah segar. Pandangan matanya berkunang-kunang. Namun dengan membawa kemarahan, dia berusaha menguatkan diri. Dan secepatnya pemuda berompi hitam itu bangkit seraya menerobos ke dalam.
"Bedebah! Siapa yang mau berani mampus mencampuri urusanku"!"
"Aku! Belum puas hidungmu patah" Aku bisa mematahkan lehermu!"
Tahu-tahu di dalam pondok telah berdiri seorang gadis belia berwajah cantik sambil berkacak pinggang.
Gadis itu kelihatan masih kanak-kanak. Tapi, Walung Turangga merasakan tenaga hebat ketika mukanya terhajar. Tapi mana mau dia berpikir ke situ" Yang jelas gadis itu telah mengganggu kelancaran niatnya. Apalagi ketika saat ini Ambar pun telah lepas dari ikatan dan telah berpakaian kembali.
"Walung keparat! Rasakan pembalasanku ini!" desis Ambar, kalap.
Sekali melompat, Ambar langsung mengirimkan tendangan bertenaga dalam kuat ke dada pemuda itu. Tapi Walung Turangga bukan orang sembarangan Dia adalah murid seorang tokoh persilatan yang memimpin sebuah padepokan.
Plak! Telapak tangan kiri Walung Turangga cepat menghadang, lalu menangkap pergelangan tangan gadis itu.
Tap! "Hiih...!"
Ambar terkejut, karena tiba-tiba pemuda itu melintir tangannya. Dan bersamaan itu, Walung Turangga melepas satu tendangan ke perut.
"Hiih!"
Tapi sebelum serangan itu sampai gadis yang menolong Ambar melompat seraya melepas tendangan keras bertenaga dalam tinggi ke dada Walung Turangga. Mau tak mau pemuda itu melepas cekalan tangannya pada tangan Ambar, dan berusaha menangkis.
Plak! Tapi, pemuda berompi hitam itu terkejut ketika merasakan tangannya kesemutan. Bahkan dia segera melompat ke belakang ketika gadis berwajah seperti anak-anak itu melanjutkan serangan.
Gadis itu terus melesat dengan kepalan tangan ke depan, laksana seekor walet yang melesat menyambar-nyambar. Beberapa kali Walung Turangga menangkis. Tapi ketika itu juga tangannya terasa kesemutan.
"Heaa...!"
Gadis itu terus menggebrak. Begitu tangannya menghentak dari telapaknya mencelat selarik cahaya merah laksana nyala api.
"Aaah...!"
Walung Turangga mencelat kaget. Langsung dia membuang diri ke samping. Tapi gadis itu cepat berputar. Segera dilepaskannya tendangan mendatar, tepat ke arah dada. Sehingga....
Dukk! "Aakh...!"
Walung Turangga memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar menghajar dinding pondok sampai roboh. Sementara gadis yang menyerangnya tidak membiarkannya. Dia terus mengejar.
"Heaaat!"
Meski dadanya terasa remuk dan dari mulutnya muncrat cairan darah, tapi Walung Turangga menyadari bahaya yang akan menimpa dirinya. Secepatnya tubuhnya bergulingan. Tapi hanya sekali itu dia luput. Karena selanjutnya gadis itu pun menjatuhkan diri seraya bergulingan. Begitu Walung Turangga bangkit, kedua kaki gadis itu langsung terangkat seperti seekor kuda tengah menyepak.
Des! Begkh! "Aaa...!"
Walung Turangga memekik kesakitan begitu kedua kaki gadis itu berganti menghajar dadanya Tubuhnya langsung terjengkang ke tanah, mulutnya kembali memuntahkan darah kental. Matanya membelalak. Dan wajahnya terlihat tegang. Pemuda itu terkulai lesu, dan nyawanya melayang!
"Huh! Hukuman ini masih terlalu enak buatmu!" dengus gadis itu.
"Mati..."!" desis Ambar yang tiba di tempat itu.
Wajah gadis ini tampak kaget. Matanya menatap tak berkedip pada mayat Walung Turangga. Dia memang ingin menghajar Walung Turangga, karena kelakuan pemuda itu barusan. Bahkan ingin pula membunuhnya. Tapi melihat telah jadi mayat, mau tak mau timbul pula kekhawatiran di hatinya.
"Apa yang kau pikirkan" Dia patut mati setelah apa yang hendak dilakukannya padamu!" lanjut gadis penolong itu.
"Eh, ng.... Yang lainnya ke mana?" tanya Ambar seraya menatap ke sekeliling.
Tapi setelah berada di luar begini agaknya, Ambar tak perlu lagi mendengar penjelasan gadis penolongnya. Di sekeliling pondok terlihat kawan-kawan Walung Turangga tergeletak tak sadarkan diri. Entah pingsan atau mati!
"Mereka kulumpuhkan. Tapi beberapa orang ada yang mampus!" sahut gadis penolong itu tanpa ditanya.
Dan itu membuat Ambar terkejut. Tidak sembarang orang bisa mengalahkan orang sebanyak ini. Tapi gadis di hadapannya"
"Nisanak. Siapa kau sebenarnya?" tanya Ambar.
"Namaku Ratmi. Dan kau?"
"Ambar Ningrum. Tapi, panggil saja Ambar...."
"Hm.... Sebentar lagi hujan akan turun kembali. Mungkin lebih deras. Kau harus pulang ke rumahmu. Ayo, kuantar!" ajak gadis penolong yang mengaku bernama Ratmi.
"Rumahku jauh...," tolak Ambar, halus.
"Aku membawa kuda. Kita bisa memacunya dengan kencang."
"Baiklah. Tapi..., aku mesti mencari seseorang."
"Siapa?"
"Kakang Kuntadewa...."
"Kekasihmu?"
Ambar tak menjawab. Tapi senyumnya membuat Ratmi mengerti.
"Baiklah. Kita cari dia. Tapi, di mana?" kata Ratmi, menyetujui.
"Mereka membawanya ke hutan."
"Hm.... Perjalanan yang tak mudah malam-malam begini," gumam Ratmi. "Tapi, tak apalah. Ayo naik!"
Ratmi lantas melompat ke punggung kuda yang tertambat di dekat pondok.
Dengan sigap Ambar melompat ke belakang Ratmi. Begitu digebah, kuda tunggangan itu berlari kencang meninggalkan tempat ini. Dari kejauhan terlihat cahaya petir seperti membelah angkasa!
? *** Gerimis yang tadi reda kini berubah menjadi deras. Bahkan bersamaan dengan gemuruh serta kilatan petir yang sambung-menyambung. Di antara curah hujan, tampak beberapa sosok tubuh berjalan memasuki hutan. Salah seorang memanggul satu sosok yang agaknya tengah tak sadarkan diri.
"Kita campakkan saja di sini!" kata sosok yang tengah memanggul.
"Ya. Biar mampus di makan serigala...!" sambut yang lain.
"Mungkin juga dipatuk ular! Sudahlah! Ayo, kita pergi!" timpal seorang lagi.
Bruk! Seperti memperlakukan batang pisang, mereka mencampakkan tubuh yang dipanggul tadi begitu saja. Menimpa tanah lembab dan becek, dan tak mempedulikannya. Kelima orang itu cepat menghilang, ketika kilatan petir terlihat sekali.
Sosok tubuh itu tetap diam tak bergerak. Dari hidung dan mulutnya masih meneteskan darah, bercampur air hujan. Sehingga, membuat air di sekitarnya menjadi merah.
Glarrr...! Guntur meledak keras tatkala cahaya petir membelah angkasa. Dan hujan semakin deras. Namun, tubuh itu tidak juga bergeming.
Pada saat seperti itu entah dari mana terlihat cahaya merah bergerak-gerak gesit bagai sebuah obor. Cahaya merah itu meliuk-liuk, kemudian diam menggantung di angkasa, tepat di atas sosok tubuh tadi. Dan.,..
Siuuut! Blep! Cahaya itu melesat turun bagai kilat dan sirna di dalam tubuh sosok yang tergolek. Kini sosok itu seperti terselimut cahaya merah.
"Akh!"
Sosok itu tersentak seperti disodok sesuatu. Tubuhnya bergulingan ke kanan dan kiri sambil mengerang kesakitan. Dan tiba-tiba saja dia melompat ke atas sambil jungkir balik. Dari mulutnya terdengar raungan laksana seekor harimau liar.
"Graungrrr...!"
Tap! Sosok tubuh itu mendarat manis dan berdiri di atas kedua telapak kakinya. Kelihatan kokoh laksana batu karang. Sepasang matanya berkilau seperti mata kucing di kegelapan. Dan rambutnya yang panjang sepunggung, riap-riapan diterpa angin dan air hujan. Sebagian bajunya tampak robek-robek. Darah di hidung dan mulutnya telah berhenti. Dan yang tersisa adalah kerak-kerak merah yang kehitam-hitaman.
"Kau Kuntadewa putra Bagus Perkasa?"
Terdengar suara tanpa wujud. Terdengar dekat sekali. Seperti dari dalam dada sosok ini.
"Benar," sahut sosok yang ternyata Kuntadewa.
"Kasihan nasibmu, Cucuku...!" lanjut suara tanpa wujud.


Pendekar Rajawali Sakti 188 Warisan Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa kau?" tanya Kuntadewa.
"Aku Ki Maung Lugai."
"Hm! Ayahku pernah cerita. Jadi, inikan saat itu?"
"Ya! Salah satu dari kalian harus menerimanya. Dan agaknya, kau yang ditakdirkan untuk menerimanya. Sudah mengertikah kau apa yang akan dirasakan nantinya?"
"Ibu pernah cerita sebelum kematiannya...."
"Bagus! Maka, lapangkan dadamu menerima kehadiranku," ujar sosok tanpa wujud yang bernama Ki Maung Lugai.
Kuntadewa langsung berlutut dan terus bersujud ke satu arah. Tak peduli jidatnya mencium lumpur.
"Eyang.... Terimalah sembah sujudku! Aku telah siap segalanya. Dan siap pula menanggung segala akibatnya!" ucap Kuntadewa.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus, Cucuku! Itu baru namanya keluarga Maung Lugai sejati!" sambut Ki Maung Lugai penuh semangat.
"Aku harus balas pada orang-orang terkutuk itu!" desis pemuda ini dengan wajah kalem.
"Ya! Orang-orang seperti mereka harus mendapat balasan setimpal. Pergilah sekarang juga. Mulai kini aku akan terus menyertaimu sampai ajalmu tiba!" ujar Ki Maung Lugai.
"Baik, Eyang!"
Kuntadewa berbalik. Dan seketika dia berlari gesit meninggalkan tempat itu. Sebentar saja, tubuhnya sudah jauh menerobos hujan yang masih turun, walaupun mulai reda.
Langkah Kuntadewa terhenti. Matanya tajam memandang ke depan, di balik semak-semak. Tampak sembilan orang tengah berdiri di dekat sebuah pondok kecil, yang sebagian porak-poranda. Kakinya perlahan-lahan melangkah semakin mendekat ketika mengenali orang-orang itu.
"Keparat terkutuk! Siapa yang melakukan semua ini! Hm.... Siapa pun orangnya dia akan berhadapan denganku, Si Angwatama!" hardik seorang laki-laki tua bertubuh tinggi besar, terbungkus pakaian jubah putih.
Tak seorang pun yang berdiri di dekat laki-laki tua itu berani menjawab. Mereka tertunduk lesu dengan wajah sedikit ketakutan.
Sementara laki-laki tua yang menyebut dirinya Angwatama masih berjongkok memandangi mayat seorang pemuda kekar berompi hitam yang terbaring dengan tulang dada remuk. Dari mulut dan hidungnya masih terlihat sisa-sisa darahnya yang terus mengalir. Pelan-pelan diangkatnya mayat itu, dan dipondongnya dengan tubuh gemetar menahan amarah.
"Aku bersumpah! Siapa pun yang membunuh putraku, Walung Turangga, harus mati!" desis Ki Angwatama menahan geram.
"Guru...."
"Hmm!"
Seseorang memberanikan diri untuk angkat bicara. Namun suaranya tersendat di tenggorokan ketika mendengar sahutan Ki Angwatama berupa dengusan sinis.
"Apa yang akan kau bicarakan, Samparan?" tegur laki-laki tua berjubah putih itu.
"Hmm!"
"Guru tahu sendiri. Meskipun Ambar telah dijodohkan dengan Walung Turangga, tapi secara diam-diam dia sering berdua-duaan dengan Kuntadewa."
"Kuntadewa tidak akan mampu membunuh anakku!" tepis Ki Angwatama.
"Memang benar, Guru. Tapi kuat dugaan kami, dia menghasut Ambar. Dengan segala kekayaan yang dimiliki orangtuanya, Ambar bisa menyewa jago-jago silat berilmu tinggi untuk menghabisi nyawa Walung Turangga," kata Samparan, terus membakar amarah laki-laki tua itu.
"Tidak mungkin! Kami telah sepakat soal perjodohan itu!"
"Betul, Guru! Tapi bukankah Guru pun tahu kalau Ambar tak bersedia dijodohkan dengan Walung Turangga" Dia amat mencintai Kuntadewa. Maka kemungkinan Kuntadewa menghasut gadis itu sudah pasti ada, karena Walung Turangga dianggap penghalang cita-cita mereka."
Ki Angwatama bergumam untuk sesaat, memikirkan apa yang dikatakan Samparan.
"Panggil Kuntadewa sekarang juga!"
"Kami telah memeriksa kamarnya sebelum ke sini, Guru. Dan ternyata dia tak ada. Kuat dugaan kami kalau dia telah melarikan diri," jelas Samparan.
"Keparat! Kalau begitu cari dia sampai ketemu!" dengus Ki Angwatama.
"Mencarinya mungkin akan sulit, Guru. Mungkin saja dia telah pergi jauh...," kata pemuda lain, memberi alasan.
"Aku tak peduli!" tukas Ki Angwatama dengan suara keras. "Pokoknya cari dia sampai ketemu!"
"Kenapa tidak dengan cara yang mudah saja, Guru?" usul Samparan.
"Apa maksudmu?"
"Bukankah bisa kita tanyakan pada Anjani" Sebagai adik, tentu dia tahu ke mana kakangnya pergi."
"Kalau begitu cepat tanyakan Anjani!"
"Baik, Guru!"
Samparan segera membawa tiga orang pemuda murid Ki Angwatama lain, untuk berangkat lebih dulu. Sedangkan Ki Angwatama serta empat murid yang lain menyusul belakangan Namun baru beberapa langkah....
"Aaa...!"
"Heh"!"
Ki Angwatama dan empat muridnya terkejut ketika mendadak terdengar jeritan panjang saling bersahutan. Arahnya berasal dari selatan, di mana keempat muridnya tadi berkelebat.
"Celaka! Apa yang terjadi terhadap mereka!" seru seorang murid seraya menggenjot tubuh dan tergesa-gesa menghampiri asal suara.
Tapi mereka tak perlu terburu-buru. Sebab sesaat langkah orang-orang itu terhenti ketika sesosok tubuh tahu-tahu telah menghadang.
"Hmm!"
"Siapa kau"!" bentak seorang murid.
"He, bukankah dia si Kuntadewa"!" seru murid lain setelah meneliti wajah pemuda di depannya.
"Benar! Dia Kuntadewa!"
Mendengar itu, Ki Angwatama melompat ke depan setelah menyerahkan mayat putranya pada seorang murid yang bersamanya.
"Kuntadewa anak celaka! Apa yang telah kau perbuat terhadap Walung Turangga, he"!"
Ki Angwatama seperti menemukan orang yang tepat untuk melampiaskan kemarahannya. Maka tanpa basa-basi lagi langsung kepalan tangan kanannya disorongkan ke depan pemuda itu dengan pengerahan tenaga kuat. Rasanya kalau pemuda itu tidak menghindar mungkin akan binasa dihantam tenaga dalam tinggi.
Plak! Wuuut! "Uhh...!"
Tapi yang terjadi justru di luar perhitungan. Dengan telapak kiri terkembang, Kuntadewa menahan kepalan Ki Angwatama, lalu mendorongnya.
Ki Angwatama sendiri tidak habis pikir ketika tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, merasakan tenaga dorongan yang begitu kuat.
"Anak celaka! Beraninya kau melawanku, he"!" bentak Ki Angwatama, garang.
"Angwatama! Keparat! Hari ini kau akan mati di tanganku!" desis pemuda itu dengan suara serak.
"Guru! Biar kami saja yang membereskannya!" kata salah seorang murid.
Tapi Ki Angwatama tidak mempedulikannya. Orang tua itu sudah langsung menyerang dengan sebuah tendangan menggeledek.
"Heaaat..!"
Namun, Kuntadewa tentu saja tak tinggal diam. Tubuhnya cepat menggeser ke samping seraya memapak tendangan dengan tangan kiri.
Plak! Plak! Tendangan geledek yang dilancarkan laki-laki tua itu tertahan. Dan secepat kilat tangan kanan Kuntadewa yang membentuk cakar menyambar ke dada.
Wuutt! Dengan gerakan kilat Ki Angwatama mengibaskan tangan untuk menangkis. Tapi pada saat yang sama, Kuntadewa melepas tendangan menyodok ke bawah perut.
"Hup...!"
Terpaksa Ki Angwatama melompat ke belakang.
"Iblis! Dari mana kau belajar ilmu iblis itu"!" desis laki-laki tua itu dengan wajah kaget, begitu mendarat di tanah.
Darah Ki Angwatama seperti tersirap melihat cara Kuntadewa menyerangnya. Ganas dan bertenaga kuat. Menyerang tanpa mempedulikan tata cara gerak-gerak silat. Apa saja yang terdekat dengan jangkauannya, maka itulah yang menjadi sasaran.
"Kau tak perlu tahu, Tua Bangka! Persiapkan saja kematianmu!" desis Kuntadewa.
"Guru! Biar kami bantu kau meringkus murid celaka ini!" teriak seorang murid.
Dan tanpa menunggu jawaban gurunya, pemuda murid Ki Angwatama ini telah menyerang Kuntadewa bersama tiga orang kawannya.
"Yeaaat...!"
"Grrrng...!"
Kuntadewa menggeram buas. Tubuhnya berbalik cepat, memapak serangan.
Prak! Bret! "Aaa...!"
"Hei"! Celaka!" seru Ki Angwatama dengan wajah semakin pucat melihat apa yang dilakukan Kuntadewa pada keempat muridnya.
Hanya sekilas ketika kedua tangan dan kaki pemuda itu yang kokoh melabrak empat muridnya. Terdengar pekik kematian saling susul-menyusul. Keempatnya tewas dengan tubuh tercabik-cabik oleh kuku-kuku yang tajam dan kuat.
*** ? 3 ? Agaknya bukan cuma Ki Angwatama saja yang kecut nyalinya. Demikian empat muridnya. Mereka tidak menyangka kalau Kuntadewa memiliki kesaktian begitu hebat.
"Kau..., kau.... apa hubunganmu dengan Ki Bagus Perkasa"!" seru Ki Angwatama sambil mundur perlahan-lahan.
"Dia orangtuaku," sahut Kuntadewa mantap.
"Hmm! Pantas. Tapi..., kenapa kau mendendam padaku, Kuntadewa" Aku tidak tahu-menahu tentang kematian orangtuamu," kilah Ki Angwatama.
"Aku tak peduli. Kau memperlakukan aku dan adikku seperti budak di Padepokan Karang Gelam, Angwatama! Padahal perhiasan-perhiasan ibuku cukup untuk membiayai hidup kami di padepokan sampai kami dewasa dan mampu berdikari. Dan terakhir, perlakuan Walung Turangga padaku! Huh! Tidak akan pernah kumaafkan! Sayang dia sudah mampus, kalau tidak akan kucincang tubuhnya menjadi sobekan-sobekan kecil. Tapi untuk menutupi kekecewaanku maka kau harus mati! Kau harus menanggung dosa-dosanya!" desis Kuntadewa.
"Tidak! Kau tidak bisa menyamakannya denganku!" sergah Ki Angwatama, yang ternyata adalah Ketua Padepokan Karang Gelam.
"Dia anakmu! Dan kau amat menyayanginya serta mendukung segala perbuatannya baik salah maupun benar! Dengarkan, wahai anjing tua busuk! Bersama murid-murid lain. Walung Turangga menghajarku sampai nyaris mati. Lalu bagai seekor anjing buduk aku diseret ke hutan dan dibiarkan dalam keadaan hidup dan mati. Siapakah yang mempunyai watak seperti itu selain binatang"! Dan kau, ayah dan anak sama saja! Bersiaplah untuk mati!"
Begitu kata-katanya habis, secepat kilat Kuntadewa melompat ke arah Ketua Padepokan Karang Gelam dengan kedua tangan terpentang membentuk cakar.
"Graungrrr...!"
Raungan pemuda itu laksana seekor harimau kelaparan yang haus darah. Bahkan laki-laki tua yang juga guru Kuntadewa sendiri sampai bergetar hatinya. Dan nyalinya semakin ciut saja.
Wut! Bet! Dengan mengerahkan segala kemampuan, Ki Angwatama berusaha menghindar serangan-serangan. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena beberapa saat kemudian, keadaannya sudah terdesak hebat. Tidak sampai tujuh jurus!
"Hiih!"
Ketika cakar Kuntadewa hendak merobek tenggorokan, Ki Angwatama nekat menangkis dengan tangan kiri.
Tak! "Uts!"
Bahkan laki-laki tua itu berhasil mengelakkan sambaran cakar yang satu lagi dengan menggeser tubuhnya ke samping. Namun hal itu harus dibayar mahal, sebab mendadak Kuntadewa memutar tubuhnya seraya melepas tendangan kaki kanan. Bukan telapaknya yang mengancam tetapi kuku-kuku kakinya yang runcing bagai mata pedang. Sehingga....
Bret! "Aaakh...!"
Ki Angwatama menjerit kesakitan ketika kuku-kuku itu merobek perutnya. Kedua tangannya langsung mendekap perut sambil terhuyung-huyung. Sementara dari sela-sela jarinya menetes deras cairan darah.
"Graungrrr...!"
Kuntadewa tidak berhenti sampai di situ. Langsung diterkamnya Ketua Padepokan Karang Gelam ini dengan cakar-cakarnya yang runcing.
Bruk...! Bret! Bret! "Aaa...!"
Tanpa belas kasihan tubuh tua yang telah terjatuh di tanah itu dicabik-cabik cakar Kuntadewa sampai tak berbentuk lagi. Ki Angwatama memekik setinggi langit. Tapi hanya sesaat, sebelum tenggorokannya putus dirobek cakar muridnya sendiri.
? *** Wajah Ambar tampak suram dan kusut. Sejak tadi gadis ini berdiam diri. Sementara Ratmi di sebelahnya justru kebalikannya. Wajahnya selalu riang, sehingga kecantikannya seperti bersinar. Apalagi dengan pakaian merah ketat yang dikenakannya saat ini. Beberapa pemuda yang berpapasan mendecah kagum. Dan tak jarang yang tergerak mulutnya untuk menggoda. Dan sejauh itu hanya sesekali gadis ini menimpalinya.
"Lihatlah, Ambar! Hari ini terasa indah kalau kita berusaha menikmatinya!" ujar Ratmi yang periang.
Yang diajak bicara menoleh sekilas, lalu tersenyum pahit. Dan kembali matanya lurus menatap ke depan.
"Apalagi yang kau pikirkan" Laki-laki di dunia ini tidak hanya satu. Dengan wajah cantik. Orangtuamu kaya-raya. Kau bisa mendapatkan pemuda yang lebih tampan lebih dari sepuluh orang dalam sekejap!" desah Ratmi.
"Aku tidak bisa melupakan Kakang Kuntadewa...," desah Ambar.
"Begitu cintanyakah kau padanya?"
"Mungkin dia tidak akan selamat di tangan mereka...," gumam Ambar tak mempedulikan pertanyaan kawan seperjalanannya.
"Kenapa tidak kembali saja ke padepokan dan meminta pertanggungjawaban gurumu" Kalau dia macam-macam, biar kuhajar orang tua itu!" tukas Ratmi, memberi usulan.
"Tidak! Ki Angwatama tidak akan peduli!"
"Huh! Guru seperti apa itu" Mestinya dia bersikap bijaksana meski kepada putra sendiri! Tanganku gatal dan ingin menghajar orang seperti itu!" dengus Ratmi, geram.
"Kau mungkin saja hebat. Tapi, beliau tidak sendiri. Muridnya banyak. Dan dia bisa berbuat apa saja."
"Kau bermaksud melaporkan kejadian ini pada orangtuamu?"
"Entahlah. Ayahku terlalu akrab dengannya. Beliau sangat mempercayainya. Maka tidak heran kalau aku dijodohkan dengan Walung Turangga. Padahal, aku sama sekali tidak menyukainya."
"Kenapa tidak keluar saja dari padepokan itu?"
"Tidak bisa. Mereka mengawasiku siang dan malam. Sepertinya, aku ini tawanan."
"Hm, kasihan sekali...!"
Ambar tersenyum getir.
"Eh! Ngomong-ngomong, masih jauhkah rumahmu?" tanya Ratmi.
"Kira-kira setengah hari perjalanan lagi dari sini," sahut Ambar, menduga-duga.
"Lumayan jauh juga. Alangkah baiknya kita mampir sebentar di kedai. Kebetulan perutku mulai menggeliat minta diisi."
"Baiklah..."
? *** Pengunjung kedai kelihatan sepi. Hanya ada satu atau dua orang yang terlihat. Sehingga, Ambar dan Ratmi yang duduk di dekat pintu masuk leluasa mengedarkan pandangan.
"Ah! Ternyata dia!" seru Ratmi dengan wajah berseri.
Pandangan gadis itu tak berkedip memandang sesosok tubuh memakai baju rompi putih yang tengah membelakanginya.
"Ada apa?" tanya Ambar.
"Kau tunggu sebentar di sini!" sahut Ratmi seraya bangkit, langsung menghampiri sosok berompi putih itu.
Langkah Ratmi kelihatan girang. Dan senyumnya terkembang ketika mendekati sosok berompi putih.
"Kakang Rangga!" teriak gadis ini seraya menepuk pundak orang yang dituju.
Niat Ratmi jelas untuk membuat kaget. Tapi ketika orang itu menoleh, justru gadis ini yang dibuat kaget.
"Oh! Maaf, kukira Kisanak kawanku...!" seru Ratmi ketika melihat seraut wajah penuh bekas luka, yang dikira Rangga.
Orang itu menyeringai lebar, memperlihatkan sederetan gigi-giginya yang hitam dan kuning.
"He he he...! Tidak apa, Nisanak! Aku pun bersedia menggantikannya!" kata orang ini.
Ratmi buru-buru hendak berlalu, tapi langkahnya terhenti karena pergelangan tangan kirinya dicekal pemuda itu.
"Mau ke mana" Jangan buru-buru! Kebetulan aku makan sendirian. Kau bisa menemaniku!"
"Maaf, Kisanak. Aku bersama kawanku. Lagi pula, aku tak berniat duduk bersamamu!" sahut gadis itu kesal.
"Tapi aku berminat!" tukas laki-laki itu seraya menyentakkan tangan gadis ini.
Set! "Hup! Kurang ajar!"
Ratmi terpaksa melompat melewati meja kalau tak ingin terjerembab. Tapi tangan kiri orang itu seketika memapas lutut bagian dalam hingga tertekuk. Lalu telapak tangan laki-laki itu bergerak cepat, menekan perutnya hingga terhempas ke bawah, tepat di atas kursi.
Gabruk! "Diamlah di situ. Dan temani aku makan!" ujar laki-laki itu, kasar dengan seringai memuakkan.
"Tak sudi!" hardik Ratmi seraya melayangkan kepalan tangan kiri ke wajah laki-laki bertampang kasar ini.
Laki-laki itu menggeser sedikit, sehingga kepalannya luput dari sasaran. Sebaliknya tangannya cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu.
Meski berusaha berontak, tapi Ratmi merasakan genggaman lelaki itu seperti catut baja. Dengan kesal kepalannya yang satu lagi dilayangkan.
Tap! Namun, nasibnya sama saja. Laki-laki itu menangkap dan menyatukannya dengan tangan yang satu lagi. Sehingga kedua pergelangan tangan gadis itu dicengkeram dengan satu tangan.
"Keparat! Apa yang kau lakukan"! Lepaskan aku. Monyet buduk! Lepaskan!" maki Ratmi.
"Ha ha ha...!"
Tapi orang itu hanya tertawa kegirangan. Namun....
"Kisanak, tolong kau lepaskan dia!"
Mendadak terdengar seruan bernada perintah. Dan seketika laki-laki itu merasakan pundaknya seperti ditepuk.
Plak! "Hei"!"
? *** Tepukan barusan ternyata bukan sembarangan. Karena laki-laki yang mencengkeram tangan Ratmi merasa pundaknya bagai diganduli beban yang beratnya lebih dari delapan puluh kati. Dan mau tak mau, terpaksa cekalannya pada Ratmi dilepaskan. Kemudian kepalanya menoleh ke belakang. Dan kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Ratmi. Sebelah kakinya mendadak melesat ke perut laki-laki itu.
Des! "Aaakh...!"
Gubrakkk! Karuan saja laki-laki bertampang seram ini terjungkal roboh, menghajar beberapa buah meja dan kursi. Tapi secepat kilat dia bangkit dengan pandangan tajam.
"Kakang Rangga...! Ah! Kau rupanya!" seru Ratmi ketika melihat siapa yang telah menolongnya.
Tanpa canggung-canggung gadis itu memeluk pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung. Dan itu membuat pemuda yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti jadi jengah.
"Ratmi.... Apa-apaan kau ini" He, malu dilihat orang!"
"Apa" Oh, iya! Maaf..., maaf!"
Gadis itu melepaskan pelukannya dengan wajah tersipu-sipu. Dia jadi jengah sendiri ketika beberapa pasang mata memperhatikan. Apalagi Ambar yang telah berdiri di dekatnya juga ikut tersenyum. Untuk sesaat wajahnya yang berubah merah dadu dipalingkan. Tapi untung saja hal itu tak berlangsung lama, ketika....
"Hmm! Rupanya kau sudah menemukan orang yang dicari. Dan kekasihmu ini ditendang begitu saja."
"Tutup mulutmu! Sudah untung aku tidak menghajarmu sampai babak belur!" bentak Ratmi, seperti mendapat pelampiasan mendengar sindiran barusan.
"Kau" He he he...!" laki-laki itu terkekeh, meremehkan.
"He, kau kira aku tak bisa menghajarmu"!" bentak Ratmi lagi, makin garang.
"Percuma saja. Bahkan kekasihmu yang baru ini pun belum tentu bisa menghajarku!"
"Bangsat rendah! Rupanya kau tak kenal siapa dia, hingga berani gegabah!"
"Kalong Wetan tidak pernah gegabah, Anak Manis," sahut laki-laki itu tersenyum-senyum.
"Kakang! Kenapa tidak kau hajar saja dia" Orang itu telah menganggap enteng padamu!" desak Ratmi, begitu menatap Rangga.
"Itu tidak jadi masalah bagiku. Biarlah dia bicara apa saja. Sebaiknya tidak usah diladeni. Mari kita makan," ajak Rangga, malah tidak mempedulikan laki-laki yang merendahkannya.
"Nah! Dengar, kan" Dia takut setelah mendengar namaku"!" celetuk laki-laki yang ternyata berjuluk si Kalong Wetan.
"Kakang! Orang ini betul-betul menyebalkan. Kau tidak boleh mendiamkannya!" sentak Ratmi.
Kali ini Rangga menoleh dan memandang si Kalong Wetan dengan tersenyum manis.
"Kisanak! Aku tidak ingin mencari keributan di sini. Lagi pula ilmu silatku tidak seberapa. Jadi tak mungkin aku bisa menang bila menghadapimu," kata Rangga merendah.
Mendengar itu si Kalong Wetan malah semakin penasaran. Ketika pundaknya ditekan tadi, jelas dia merasakan tenaga dalam yang hebat sekali. Dan sekarang, pemuda itu seenaknya saja mau mengalah dan mengatakan dirinya berilmu rendah.
Kekesalan itu agaknya dirasakan pula oleh Ratmi. Dia tahu kalau Rangga berilmu tinggi. Tapi menghadapi orang seperti si Kalong Wetan ini, malah merendah.
"Kakang, kenapa kau ini"! Bangsat rendah ini jelas-jelas menantangmu, tapi kau malah mengalah. Di mana kehebatan namamu yang menjulang tinggi itu" Bahkan ayahku sendiri pun segan setelah kuberitahu tentang dirimu!" kejar Ratmi.
"Huh! Kekasihmu itu hanya punya nama kosong untuk menakut-nakuti orang!" dengus si Kalong Wetan.
Rangga menoleh dan memandang tajam. Raut wajahnya seketika memancarkan perbawa menggetarkan. Kali ini hatinya mulai terbakar oleh omongan si Kalong Wetan yang sepertinya terus membuka tantangan walau tak secara langsung.
"Kisanak! Kedai ini terasa sempit oleh kehadiran kita. Kalau tidak keberatan, tolong ajari aku barang satu atau dua jurus ilmu silatmu yang hebat itu di luar sana!" kata Rangga dingin.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi Rangga melangkah keluar, diikuti Ratmi dan Ambar.
Beda halnya dengan si Kalong Wetan. Tubuhnya langsung mencelat ke luar, menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dia lebih dulu tiba.
"Silakan, Kisanak," ujar Rangga, tenang.
"Baiklah. Akan kuajarkan padamu, bagaimana caranya menjatuhkan lawan secepatnya!" dengus si Kalong Wetan.
Dan seketika laki-laki itu melompat menyerang dengan kepalan tangan kanan lurus menghantam dada.
"Yeaaat!"
Ternyata gerak itu hanya tipuan. Karena ketika hampir dekat, si Kalong Wetan merubah serangan. Kali ini, kaki kirinya yang menyodok ke perut.
Rangga mengegos ke samping seraya menepis dengan tangan kiri.
Plak! Namun secepat itu, si Kalong Wetan berbalik, kaki kanannya dikibaskan menyambar ke leher. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti menunduk, hingga tendangan si Kalong Wetan menghantam angin. Lalu sebelah kaki Rangga mengait sebelah kaki laki-laki itu.
*** ? 4 ? Plak! "Uhh...!"
Sebelah kaki si Kalong Wetan tertekuk, tapi tidak membuatnya jatuh. Sebaliknya laki-laki itu mencelat ke atas. Dan tiba-tiba tubuhnya menukik tajam, menyambar Pendekar Rajawali Sakti lewat tendangan kilat.
Rangga kembali mengegos sedikit ke samping, hingga tendangan itu luput. Lalu secepatnya dibalasnya serangan itu dengan tendangan lurus ke perut. Kalong Wetan melompat ke belakang, tapi Rangga terus memburunya dengan tendangan beruntun. Maka terpaksa laki-laki itu menangkis.
Plak! Baru saja terjadi benturan, secepat kilat pula kaki Rangga yang sebelah lagi menghantam dada tanpa bisa dielakkan.
Desss...! "Aaakh...!"
Kalong Wetan mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sebelah tangannya mendekap dada yang terasa nyeri.
"Hm! Kurasa pelajaran yang kau berikan hari ini cukuplah, Kisanak," kata Pendekar Rajawali Sakti datar, seraya hendak meninggalkan tempat itu.
"Aku belum kalah, Kisanak!" dengus si Kalong Wetan geram, membuat Rangga mengurungkan niatnya.
"Kalah" Sepertinya kita tidak bertarung sungguh-sungguh" Bukankah aku hanya sekadar mendapatkan pelajaran darimu?" sahut Rangga, dengan kening berkerut.
"Jangan bersilat lidah, Kisanak! Terima seranganku ini!" desis si Kalong Wetan semakin geram.
Begitu habis kata-katanya, si Kalong Wetan mengembangkan kedua tangannya ke kiri dan kanan sejajar pundak. Sebelah kakinya ditekuk dan lututnya sejajar perut. Kemudian kedua tangannya bergerak saling menyilang dengan cepat, lalu meluruk maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut! "Hmm!"
Gerakan laki-laki berwajah angker ini cukup beragam dan sulit diterka. Namun Rangga meladeninya dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib". Meski terus menghindar, tapi saat itu justru Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengetahui kelemahan-kelemahan jurus si Kalong Wetan.
Plak! Plak! Beberapa kali kedua tangan mereka saling berbenturan. Demikian pula kedua kaki. Dan Rangga merasakan tenaga dalam laki-laki itu bertambah dua kali lipat dari semula.
"Hm! Dengan jurusnya ini dia berusaha menekanku!" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Dugaan Rangga agaknya sedikit meleset. Sebab si Kalong Wetan tidak sekadar ingin menekannya, tapi juga hendak menjatuhkannya. Dan kalau perlu menghajarnya habis-habisan sampai babak belur. Mungkin juga sampai mati! Itu terlihat dari serangan-serangan yang cepat dan terus dibarengi pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Heaaat...!"
Rangga melompat ke belakang untuk mulai menyiapkan jurus menyerang. Sementara si Kalong Wetan menyangka pemuda itu mencari kesempatan untuk lolos dari tekanannya. Maka secepat kilat dia lompat mengejar dengan sebuah tendangan lurus.
Plak! Rangga menepis tendangan itu dengan tangan kiri. Dan bersamaan dengan itu tubuhnya yang membungkuk berputar. Langsung dilepaskannya satu hantaman ke perut.
Si Kalong Wetan terkejut. Cepat dia melompat ke atas, sehingga hantaman itu luput. Namun dengan bertumpu pada tangan di tanah, Rangga melepas tendangan bertubi-tubi lewat kedua kakinya yang terangkat tinggi-tinggi.
Begkh! Des! "Aaakh...!"
Dua tendangan berturut-turut menghantam telak perut si Kalong Wetan. Laki-laki itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang sejauh beberapa langkah.
"Uhh...!"
Dengan wajah meringis menahan rasa sakit, si Kalong Wetan bangkit dan menatap nyalang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak" Belum pernah si Kalong Wetan dipermalukan begini sebelumnya!" tanya laki-laki itu penuh tekanan.
"Makanya kalau mau bertingkah lihat-lihat dulu!" dengus Ratmi. "Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti" Ah! Pantas saja aku tidak mampu mengalahkanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak merasa malu dijatuhkan olehmu. Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan padaku," desah si Kalong Wetan seraya menjura hormat.
"Kau pun hebat, Kalong Wetan.... Tidak perlu merendah!" kilah Rangga, tak ingin membuat si Kalong Wetan kehilangan muka.
"Maaf, Pendekar Rajawali Sakti! Aku telah mempermalukan diriku sendiri. Kuharap kau tidak mendendam dan menyudahi urusan ini."
"Hm! Aku tidak mendendam, Kalong Wetan! Kalau kau bermaksud menyudahinya, maka itulah yang terbaik."


Pendekar Rajawali Sakti 188 Warisan Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku mohon diri dulu. Mudah-mudahan di lain kesempatan kita bisa bertemu lagi!" lanjut si Kalong Wetan, bergegas meninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu!" teriak Ratmi, mencegah.
"Sudahlah, Ratmi. Tidak perlu diperpanjang urusan tadi," lerai Rangga.
"Kau tidak merasakan bagaimana rasanya dihina, bukan"! Nah, aku merasakannya, Kakang! Dia tak boleh pergi begitu saja!" tukas Ratmi.
"Kalau kau terus begini, maka urusan tidak akan selesai."
"Aku tidak peduli!"
"Hm! Ternyata kau masih keras kepala. Kalau begitu terserahmu saja. Aku akan melanjutkan perjalanan," kata Rangga pendek, seraya menghampiri Dewa Bayu yang tertambat di depan kedai.
"Hei, tunggu dulu! Mau ke mana kau"!" teriak Ratmi.
"Aku tidak mau ikut campur urusanmu yang bukan-bukan. Kalau kau mau mengejarnya, silakan saja. Selesaikan sampai tuntas. Dan aku tidak akan melarangnya," sahut Rangga enteng.
"Hhh...!"
? *** Ratmi menggerutu kesal. Bukan saja kesal karena merasa dipermainkan, tapi juga kesal karena harus ditinggal Rangga. Padahal telah beberapa lama pemuda itu dicari-carinya. Dan, baru hari ini mujur bisa ketemu. Lagi pula kalau mengejar si Kalong Wetan, belum tentu sakit hatinya bisa terbalaskan. Padahal, dia ingin sekali menghajar laki-laki itu sampai memohon-mohon minta ampunannya. Maka betapa mendongkol hatinya mendengar jawaban Rangga yang tidak mendukung niatnya.
"Aku ikut...!" kata Ratmi ketus.
"Kau tengah berjalan bersama kawanmu. Tidak baik kalau ditinggalkan sendiri," sahut Rangga.
"Eh, tidak apa! Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula perjalananku tidak seberapa jauh lagi!" timpal Ambar cepat.
Melihat sikap Ratmi pada pemuda penolongnya itu, Ambar menduga kalau ada apa-apa di antara mereka. Apalagi dengan permintaan Ratmi barusan. Maka kehadirannya hanya akan mengganggu ketenangan mereka berdua.
Lagi pula, ada hal tertentu yang membuatnya ingin sendiri. Yaitu, kehilangan orang yang dicintainya. Ratmi tidak menghiburnya selama di perjalanan. Makanya untuk beberapa lama dia ingin sendiri. Merenungi kemalangannya.
"Mana bisa begitu" Kalian bepergian berdua. Maka sampai ke tujuan pun harus berdua," tukas Rangga.
"Tidak mengapa. Lagi pula aku lebih senang jalan sendiri," sahut Ambar.
"Benarkah" Kau tidak keberatan kalau kutinggal, bukan?" tambah Ratmi.
"Tidak, Ratmi. Tidak apa-apa. Silakan. Aku akan jalan sendiri saja," sahut Ambar.
Gadis ini lalu memberi hormat sebelum berlalu dari tempat ini.
"Hm! Dia jadi tidak melanjutkan makannya," gumam Rangga.
"Ambar memang tidak lapar. Yang lapar justru aku. Dalam keadaan begitu, dia akan tahan lapar selama beberapa hari. Mungkin juga sebulan. Atau bahkan lebih!" jelas Ratmi, seraya menaiki kudanya.
"Memang ada apa?" tanya Rangga seraya menggebah kudanya pelan, diikuti Ratmi.
"Kekasihnya dianiaya orang. Entah di mana sekarang. Mungkin sudah mati," sahut Ratmi seenaknya.
"Kenapa?"
"Entah. Mungkin karena cemburu!"
"Hm."
"Ke mana saja Kakang selama ini" Sulit betul mencari orang terkenal!"
"Kau mencari-cariku" Hm, sayang sekali. Kalau kutahu tentu akan kudatangi sejak kemarin-kemarin!" sahut Rangga sambil tersenyum lebar. "Bagaimana keadaan orangtuamu" Apakah mereka sudah rujuk lagi?" (Untuk lebih jelas tentang Ratmi baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah: "Penghuni Kuil Emas").
"Aku tidak tahu. Terakhir bertemu, mereka masih bertengkar. Aku kesal melihat kelakuan mereka. Sudah tua-tua tidak juga akur!"
"Lalu ke mana kawanmu yang..., pendek itu?"
"Entahlah. Sejak itu aku belum bertemu dengannya. Mungkin dia kembali ke tempat ayahku...."
Rangga mengangguk pelan, lalu menoleh pada gadis itu. Bibirnya lantas tersenyum manis.
"Kenapa" Bersyukur atas kemalangan yang menimpaku?" tanya Ratmi, tak senang.
"Bukan," sahut Rangga pendek.
"Lalu kenapa senyam-senyum?"
"Ya! Kenapa, ya?" Rangga pura-pura mengalihkan perhatian dengan garuk-garuk kepala. "Aku sendiri bingung. Terakhir bertemu, kau masih galak. Dan sekarang tahu-tahu kau memelukku. Gejala apa ini?"
"Huh! Siapa sudi memelukmu"!" semprot Ratmi dengan wajah jengah.
"Lho" Yang di kedai tadi itu apa namanya?"
"Aku tak merasa memelukmu!"
"O, kalau begitu kau pasti memeluk si Kalong Wetan! Kelihatannya dia tergila-gila padamu. Dan kurasa, kau pun sama."
"Kakang Rangga! Apa-apaan kau ini"!"
Rangga terkekeh. Dan lari kuda Dewa Bayu dipercepat, ketika gadis itu mengejarnya dengan muka gemas.
"Kalau kena kuhajar kau!" ancam Ratmi.
"Dari dulu kau memang selalu banyak mulut!" ejek Rangga.
"Brengsek! Heaaa...!"
Gadis itu menggebah kudanya kencang-kencang. Lalu ditunjukkannya kemahiran berkuda. Tubuhnya dimiringkan, lalu dipungut beberapa buah kerikil sambil berkuda. Secepat kilat dikeluarkannya senjata anehnya yang kerap kali terselip di pinggang. Sebuah ketapel!
Siuuut! Siuuttt!
Bet! "Uhh! Dasar gadis liar...!" umpat Rangga dongkol melihat beberapa buah kerikil melesat mengejar punggung dan batok kepala.
Rangga mengegos ke samping hingga kerikil-kerikil itu terus menghantam angin.
Tapi gadis itu tidak putus asa. Dalam kejar-kejaran itu beberapa kali dipungutnya kerikil. Dan lantas dibidik buruannya. Namun sejauh itu Rangga berhasil menghindar. Hal ini tentu saja membuat gadis itu semakin kesal saja.
Sampai suatu saat....
Siuut! Mendadak melesat satu sosok bayangan hijau dari balik semak-semak. Tubuhnya langsung meliuk-liuk di udara, seraya menangkap kerikil-kerikil yang melesat.
Tap! Tap! "Hei"!"
Rangga terkesiap. Cepat dihentikannya laju Dewa Bayu. Demikian pula Ratmi. Di depan mereka kini berdiri seorang wanita cantik berusia setengah baya berbaju serba hijau. Dandanannya amat medok. Bibir merah menyala tak beraturan. Sepasang alis hitamnya saling bertaut. Namun yang menyolok adalah rambutnya yang sepunggung dan awut-awutan seperti tak terurus. Warnanya pirang!
"Siapa yang hendak bermain-main denganku"!" tanya wanita itu datar.
Sepasang mata wanita ini nyalang menatap Rangga dan Ratmi. Lalu tiba-tiba saja tangannya mengebut, membuat dua buah kerikil melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Ratmi.
Siuuut! "Hei"!"
? *** Tap! Tap! Rangga bergerak cepat menangkapnya. Namun dia sempat terkejut ketika tangannya terasa kesemutan saat menangkap kedua kerikil itu.
"Hm! Siapa wanita ini" Tenaganya kuat sekali!" gumam Rangga memuji.
"Hi hi hi...! Rupanya kau yang melemparku tadi, Bocah Tampan" Siapa pun tidak boleh memperlakukanku seperti itu. Kau harus kuhajar!"
Dan tiba-tiba saja wanita ini bergerak hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi....
"Tunggu dulu!" cegah Ratmi.
"Hm! Ada apa, Bocah Ayu?" tanya wanita berbaju hijau itu, seraya menahan gerakannya.
"Bukan dia yang melempar batu-batu itu."
"Lalu siapa?"
"Burung-burung di atas! Coba lihat. Mereka banyak sekali, bukan?" tunjuk Ratmi ke atas.
Wanita itu menengadah. Matanya memang menyaksikan belasan ekor burung besar berterbangan. Dahinya berkerut dan memandang aneh pada Ratmi.
"Burung-burung" Belum pernah kudengar burung-burung menjatuhkan batu?" tukas wanita itu.
"Itu karena kau belum pernah mengalaminya. Kami sering mengalaminya. Dan hari ini, agaknya pengalaman itu menimpamu," jelas Ratmi.
"Apa benar?"
Gadis itu mengangguk cepat.
"Kurang ajar! Kalau begitu burung-burung keparat itu mesti menerima pembalasan dariku!" dengus wanita ini geram.
"Mestinya memang begitu. Nah, tunggu apa lagi" Ayo, kejar mereka sebelum jauh!" seru Ratmi.
"Iya, iya! Kau benar! Aku mesti mengejarnya sekarang juga!" kata wanita itu.
Seketika wanita itu berkelebat sambil berteriak-teriak.
"Hei, turun kalian! Turun, Keparat! Akan kuhajar kau! Kuhajar kau...!"
Dahi Rangga berkernyit melihat kelakuan wanita itu. Wajahnya yang cantik mengesankan kalau dia terpelajar. Tapi berteriak-teriak pada kawanan burung dan memaki-makinya, bukanlah tindakan orang waras.
"Dia memang sinting...," jelas Ratmi seperti menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Kau kenal dengannya?" tanya Rangga.
"Ya. Dia adalah Dukun Gila Berambut Pirang. Ayahku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Orang itu memang sinting. Tapi, dia berilmu tinggi. Bersama ayahku, mereka pernah membunuh seorang tokoh sesat beberapa waktu lalu," jelas Ratmi lagi.
Rangga mengangguk. "Nama itu pernah kudengar. Siapa yang mereka bunuh saat itu?"
"Kalau tidak salah namanya..., Ki Bagus Perkasa. Orang itu betul-betul iblis! Dia membunuh orang sebagaimana layaknya seekor harimau kelaparan."
"Apa maksudmu seperti harimau kelaparan?" tanya Rangga, makin tertarik.
"Dia mencabik-cabik lawan-lawannya. Ayahku bilang, orang itu memiliki ilmu iblis. Dia dikuasai ilmunya itu, sehingga kelakuannya mirip binatang."
"Hm, aneh...!" gumam Rangga.
"Kenapa?" tanya Ratmi.
"Belum lama ini kutemukan beberapa sosok mayat dalam keadaan seperti itu di pinggiran hutan."
"Mati dengan tubuh terkoyak-koyak"!"
Rangga mengangguk.
"Pada mulanya, aku punya dugaan kalau mereka diterkam harimau kelaparan. Tapi luka yang dialami lebih mengerikan. Dan tidak kutemukan jejak-jejak harimau atau kawanan serigala. Juga, tidak terdapat bulu-bulu mereka yang tertinggal. Jadi kuat dugaanku kalau mereka bukan dibunuh binatang buas," jelas Rangga.
"Astaga! Mungkinkah Ki Bagus Perkasa hidup lagi"!" sentak Ratmi kaget. "Di mana Kakang temukan mayat-mayat itu?"
"Di pinggiran Hutan Petijah."
"Hm.... Dia kutemukan tidak seberapa jauh dari Padepokan Karang Gelam."
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Ambar. Dia berasal dari sana."
"Ambar" Gadis yang tadi bersamamu itu?"
Ratmi mengangguk cepat.
"Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya!"
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Entahlah. Kekasihnya diculik di depan matanya. Lalu, menghilang. Mungkin mati. Kemudian terjadi pembunuhan seperti yang baru saja Kakang ceritakan. Kenapa mesti di sana" Atau hanya kebetulan belaka?"
"Ratmi! Aku tidak mengerti apa yang tengah kau pikirkan."
"Aku juga!" sahut gadis itu enteng sambil cengar-cengir. "Tapi, sudahlah. Buat apa diambil pusing. Toh, itu bukan urusan kita."
"Kalau saja ini berlangsung terus, maka aku tidak bisa berdiam diri," tegas Rangga.
"Terjadi apa" Pembunuhan itu?" tukas Ratmi.
Rangga mengangguk.
"Kenapa mesti repot-repot" Orang lain yang punya urusan, maka mereka yang menjadi korban. Asal saja tidak mengganggu kita, buat apa ikut campur segala"!"
"Apakah ayahmu pun berpikir begitu?"
"Jangan samakan aku dengan ayahku!" sahut gadis itu dengan muka masam.
"Tidak! Aku tidak menyamakan kau dengan beliau. Tapi hanya ingin tahu, apakah watakmu sama dengannya" Maksudku, misalnya dalam soal tadi, selalu tak peduli terhadap urusan atau kemalangan yang menimpa orang lain?"
"Kurasa begitu."
"Lalu, kenapa ayahmu turun tangan dalam menumpas pembunuh itu?"
"Pembunuh yang mana?"
"Pembunuh kejam yang mengoyak-ngoyak tubuh korban-korbannya."
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 188. Warisan Terkutuk Bag. 5 - 8 (Selesai)
16. April 2015 um 01:14
? 5 ? "Itu persoalan pribadi," kata Ratmi.
"Sejauh mana pribadinya?" kejar Rangga.
"Soal dendam. Beberapa tahun sebelumnya, Ki Bagus Perkasa pernah dikalahkan ayahku. Tapi belakangan, setelah memiliki ilmu iblis itu, dia datang menantang ayahku. Kebetulan, saat itu banyak berkumpul tokoh silat yang mendendam pada Ki Bagus Perkasa. Walhasil, ketika mereka bertarung, maka tokoh-tokoh silat lainnya mengerubuti Ki Bagus Perkasa," jelas Ratmi singkat.
Rangga mengangguk mengerti.
"Hei"!"
Mendadak Pendekar Rajawali Sakti tersentak. Sejenak kepalanya miring ke kiri, seperti berusaha menajamkan pendengarannya. Sehingga, membuat Ratmi bertanya-tanya.
"Ada apa?" tanya Ratmi.
"Kudengar suara pertarungan di depan sana!" jelas Rangga.
"Ah! Peduli apa" Lebih baik jangan ikut campur," ujar Ratmi.
"Tidak! Itu arah Dukun Gila Berambut Pirang menghilang tadi. Aku khawatir dia menghajar sembarang orang," sergah Pendekar Rajawali Sakti.
"Biarkan saja! Kalaupun orang sampai mampus dihajarnya berarti nasibnya yang memang apes."
"Kalau begitu terserahmu. Aku ke sana! Heaaa!"
Begitu kata-katanya habis, Rangga menggebah kudanya.
"Kakang, eh tunggu...!" seru Ratmi.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tak menoleh lagi. Dewa Bayu terus dipacu dengan kencang. Sehingga, mau tak mau terpaksa gadis itu mengikuti meski menggerutu kesal.
"Huu! Brengsek...!"
Begitu cepat lari Dewa Bayu, sehingga sebentar kemudian Rangga tiba di sebuah tempat yang agak luas. Kemudian, menyusul Ratmi dengan kudanya yang mendengus-dengus kelelahan. Di situ terlihat dua orang saling bertempur hebat. Sementara di sekitarnya sepuluh orang memperhatikan dari jarak agak jauh. Sedangkan di dekat pertempuran terlihat beberapa sosok tampak dalam keadaan mengerikan.
"Tubuh mereka terkoyak-koyak...!" desis Ratmi ketika melihat pemandangan itu.
"Tahukah kau, siapa yang bertarung melawan si Dukun Gila Berambut Pirang itu?" tanya Rangga datar.
Ratmi memperhatikan dengan seksama seorang laki-laki tua dengan guci arak di tangannya. Gerakannya gesit, tapi juga aneh. Dan wajahnya kelihatan lucu. Sesekali dia mengejek lawannya. Padahal yang dihadapi bukanlah tokoh sembarangan.
Iblis Seruling Maut 2 Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Hong Lui Bun 7

Cari Blog Ini