Ceritasilat Novel Online

Ranah Tiga Warna 1

Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 1


Mendaki Tiga Puncak Bukit
den1 duduk di sebelah atas ya. Dan seperti biasa, aden
pasti menang!" teriak Randai pongah, sambil memanjat
ke puncak batu hitam yang kami duduki. Batu sebesar gajah
ini menjorok ke Danau Maninjau, dinaungi sebatang pohon
kelapa yang melengkung seperti busur.
"Jan gadang ota. Jangan bicara besar dulu. Ayo buktikan
siapa yang paling banyak dapat ikan," sahutku sengit. Aku
duduk di bagian batu yang landai sambil menjuntaikan kaki
ke dalam air danau yang jernih. Sekeluarga besar ikan supareh2
seukuran kelingking tampak berkelebat lincah, kerlap-kerlip
keperakan. Dengan takut-takut mereka mulai menggigiti selasela jari kakiku. Geli-geli.
Hampir serentak, tangan kami mengayun joran ke air yang
biru. Bukan supareh yang kami incar, tapi ikan yang lebih
besar seperti gariang atau kailan panjang. Randai sedang libur
panjang dari ITB dan aku baru tamat dari Pondok Madani3 di
Ponorogo. Ini saat menikmati kembali suasana kampung kami:
Aden atau den: saya, kata ganti orang pertama. Dipakai hanya kalau berbicara dengan orang seumur atau lebih muda (bahasa Minang). Kata ganti
yang lebih sopan adalah awak atau ambo.
Ikan endemis di Danau Maninjau, mirip ikan tawas, dengan ekor
merah. Cerita Alif dan Pondok Madani ada di novel pertama Negeri 5 Menara.
langit bersih terang, Bukit Barisan menghijau segar, air Danau
Maninjau yang biru pekat, dan angin danau yang lembut
mengelus ubun-ubun.Waktu yang cocok untuk lomba mamapeh atau memancing, persis seperti masa kecil kami dulu.
"Dapat lagi... dapat lagi!" teriak Randai sambil melonjaklonjak. Itu ikannya yang ketiga. Dia menggodaku sambil
menjulurkan ikan kailan panjang yang masih meronta-ronta
ke wajahku. Hampir saja kumis ikan berbadan seperti belut
raksasa ini menusuk hidungku. Amis segar ikan danau yang
terkenal lezat ini merebak.
Aku diam saja sambil menggigit bibir. Heran, dari tadi
pelambungku dari keratan sandal jepit merah belum juga bergoyang sedikit pun. Hanya ikan supareh kecil yang masih rajin
merubungi kakiku. Apa boleh buat, kalau aku kalah memancing, aku harus mentraktirnya dengan pensi, kerang kecil khas
Danau Maninjau. Pensi rebus yang dibungkus daun pisang
dan disirami kuah bumbu mampu membuat lidah siapa saja
terpelintir keenakan. "Eh, Alif, jadi setelah tamat pesantren ini, wa"ang4 masih
tertarik jadi seperti Habibie?" tanya Randai sambil menepuknepuk betisnya yang dirubung agas.
Ini dia. Aku tahu betul pertanyaan ini pasti akan muncul
juga dari mulut Randai. Langsung menikam perasaanku. Aku
menjawab pendek dengan nada yang naik beberapa oktaf,
Wa"ang atau ang: kamu, kata ganti orang kedua. Dipakai hanya kalau berbicara dengan orang seumur atau lebih muda (bahasa Minang). Kata ganti
yang lebih sopan adalah sanak atau awak.
"Tentulah. Aden akan segera kuliah. Kalau aden berusaha, ya
bisa." Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti
tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya selalu
kurang ajar. Aku merasakan pangkal gerahamku beradu kuat. Ujung
joran aku genggam erat-erat. Tiba-tiba aku patah semangat
untuk terus memancing hari ini. Mataku memandang jauh ke
awan-awan yang menggantung rendah di pinggang bukit yang
melingkari danau. Pikiranku melayang kembali ketika aku
dan teman-temanku di PM dulu suka melihat awan dan punya
impian tinggi. Waktu itu impianku adalah menjadi seperti
Habibie dan belajar sampai ke Amerika. Tapi lihatlah aku hari
ini. Memancing seekor ikan danau pun tidak bisa. Apalagi
menggapai cita-citaku. Ketenangan jiwaku pulang kampung
akhirnya harus rusak oleh celoteh Randai dan awan-awan yang
menggantung itu. Dengan gamang aku bertanya pada diriku: bagaimana cara
mengejar impianku ini" Yang menjawab hanya bunyi kecipak
air danau yang dibelah oleh biduk-biduk langsing para nelayan
yang sedang mencari rinuak dan bada5, dua jenis ikan kecil
yang hanya ada di Danau Maninjau, dan teriakan Randai
yang lagi-lagi mendapat ikan yang entah berapa ekor. Kini
dia kembali mendekat ke tempat dudukku. Siap melontarkan
pertanyaan baru. Rinuak: ikan kecil seperti teri dengan panjang cuma 1 sentimeter, yang
hanya ada di Danau Maninjau. Bada adalah ikan sebesar jari tangan, sangat
nikmat digoreng balado begitu dijala di danau.
"Hmm, kuliah di mana setelah pesantren" Emangnya wa"ang
bisa kuliah ilmu umum" Kan tidak ada ijazah SMA" Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?" Pertanyaan Randai berentetan
dan berbunyi sengau. Seperti merendahkan. Rasanya telak
menusuk harga diriku. Darahku pelan-pelan terasa naik ke
ubun-ubun. Kawanan sikumboh6 bersorak dari bukit-bukit di
sekeliling danau. Suara koor mereka yang magis seperti dibawa
angin, melantun-lantun ke segala penjuru danau, seperti ikut
menanyai diriku. "Jangan banyak tanya!" teriakku. "Lihat saja nanti. Kita
sama-sama buktikan!" kataku dengan nada tinggi. Randai mundur beberapa langkah dengan wajah terkesiap, tapi lalu dia
tersenyum. Entah kenapa aku menjadi mudah tersinggung. Aku
buru-buru mengemasi joran dan berlalu pergi meninggalkan
Randai tanpa sepatah kata pun. Hanya pedalaman hatiku
yang bergumam: Akan aku buktikan. Akan aku buktikan.
Sayup-sayup aku mendengar Randai memanggilku dari atas
batu besar hitam itu. Aku tidak peduli. Aku terus berjalan.
Sejak kecil, kami konco palangkin. Kawan sangat akrab.
Pada bulan puasa, kami bahu-membahu menebang betung
untuk membikin meriam bambu. Tapi malamnya kami saling
berlomba membuat meriam yang meletus paling keras. Kami
saling ingin mengalahkan ketika main bola di sawah becek,
pacu renang di danau, sampai main catur di palanta7 dekat Surau
Sikumboh: kawanan kera yang tinggal di bukit selingkar Danau Maninjau,
sering bersuara bersahut-sahutan dan bisa didengar dari berbagai penjuru
danau. Bunyi suaranya umboh...umboh...umboh....
Palanta: bangku panjang tempat duduk.
Payuang. Setiap habis membaca buku komik tentang Indian,
kami meraut bambu untuk membuat panah, kami kejar-kejar
ayam jantan Tek Piyah untuk membuat hiasan kepala ala Indian
dari bulu ekor unggas itu. Kadang-kadang, kami ikatkan sarung
di leher dan luruskan tangan ke depan sambil berlari, sehingga
sarung berkibar-kibar di belakang kami. Rasanya kami terbang
seperti Superman. Siapa yang paling cepat berlari ke tempat
kami berkumpul di batu hitam besar itu, menjadi pemenang.
Yang kalah harus mencari cacing untuk memancing.
Hari ini tampaknya Randai ingin sekali berlomba denganku
lagi. Tapi kali ini bukan masalah remeh-temeh seperti dulu.
Tapi masalah kuliah. Urusan masa depan. Mampukah aku melawan dia"
Ayah mungkin yang paling tahu perasaan yang aku simpan.
Setahun lalu, beliaulah yang datang jauh-jauh dari Maninjau
menemuiku di Ponorogo, hanya untuk menjinakkan hatiku
ketika aku ingin sekali keluar dari Pondok Madani atau
PM. Alasanku waktu itu karena aku ingin kuliah di jalur
ilmu umum, sedangkan PM tidak mengeluarkan ijazah SMA.
Aku setuju menyelesaikan pendidikan di PM setelah Ayah
berjanji menguruskan segala keperluanku untuk memperoleh
ijazah SMA melalui ujian persamaan. Yang aku baru tahu,
ternyata menurut sejarah, tidak banyak alumni PM yang bisa
menembus UMPTN. Kini Ayah menepati janjinya. "Alif, ini semua formulir
yang harus diisi. Waktu ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan
lagi. Sekarang tugas wa"ang untuk belajar keras," kata Ayah
sambil menyerahkan setumpuk kertas.
"Tapi Yah, hanya 2 bulan" Untuk belajar pelajaran 3 tahun?" Aku menghela napas panjang, antara bingung dan gentar. Bisakah aku"
"Tergantung bagaimana keras wa"ang belajar, mengejar ketinggalan pelajaran SMA."
Dengan meyakin-yakinkan diri, aku jawab tantangan Ayah.
"Insya Allah Yah, ambo8 akan berjuang habis-habisan untuk
persamaan ini dan untuk UMPTN9."
Ayah tersenyum dan menatapku lekat-lekat. "Semoga bisa
lulus UMPTN ya, Nak. Hanya biaya kuliah di universitas negeri yang mungkin bisa kita bayar," kata Ayah lirih. Aku paham
betul harapan Ayah dan aku hanya bisa mengangguk-angguk.
Sungguh tantangan yang berat buat aku, seorang lulusan
pesantren yang tidak belajar kurikulum SMA. Mendengar aku
nekat akan mencoba peruntungan ini, keluarga dan temantemanku bersimpati dengan cara masing-masing. Beberapa
orang teman SD-ku yang sekarang sudah kuliah mengajakku
masuk D3 saja. "Aden saja yang lulusan SMA favorit tidak
tembus UMPTN. Berat benar. Coba D3 yang lebih ringan
persaingannya dan bisa cepat kerja," kata Zulman meyakinkan
bahwa aku akan senasib dengannya.
Ambo: kata ganti orang pertama yang sopan, biasa dipakai kalau bicara
dengan orang yang lebih tua.
Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Dulu ini satu-satunya ujian
masuk universitas negeri.
Etek10 Samsidar yang sibuk mengunyah sirih menepuknepuk punggungku dengan simpatik. Mulutnya yang merah
darah terbuka lebar. "Anak Etek yang perempuan, si Reno tu, juga lulus
Madrasah Aliyah11, dia memilih S1 swasta saja di Bukittinggi.
Tes masuknya gampang, tidak berat-berat. Atau kalau mau
bisa pula seperti kemenakan Etek satu lagi, si Yofandri. Pulang
dari pesantren dia langsung jadi imam di masjid dan mengajar
mengaji di Koto Kaciak, kampung di sebelah. Lumayanlah ada
infak dari jamaah untuk kehidupan sehari-harinya."
Selain yang prihatin, ada pula yang meremehkan peluangku
lulus. "Wa"ang, Lif" Mau coba UMPTN" Emang sekolah kamu
di SMA mana?" tanya Armen kawanku dengan tergelak keheranan.
Hatiku panas. Tapi aku mencoba menahan diri dengan hanya mengulum senyum pahit, tanpa suara.
"Setahuku anak pondok itu kan tak pernah belajar matematika, bahasa Inggris, ekonomi, kimia. Iya ndak?"
"Ada pelajaran itu. Tapi tidak sebanyak di SMA."
"Kalau gitu, jauh panggang dari apilah. Aden saja dua kali
mencoba baru tembus. Padahal NEM aden tinggi," cerocosnya
sambil menggeleng-geleng. Menyebalkan.
Ingin aku mau membantah itu tidak benar. Tapi dengan apa
Etek: tante, bahasa Minang.
Madrasah Aliyah: sekolah agama Islam setingkat SMA.
aku bantah" Aku belum membuktikan apa-apa. Jadi, sudahlah.
Aku capek. Biarlah dia meracau semaunya. Armen belum juga
puas rupanya. Dia mendekat dan berbisik ke telingaku sambil
menyeringai. "Kecuali wa"ang pakai joki, Lif."
Joki"12 Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunanya ajaran Amak dan Pondok Madani tentang kejujuran dan
keikhlasan" Randai tidak ketinggalan mencoba memberi masukan.
"Lif, kalau wa"ang mau kuliah juga, datang sajalah ke
Bandung. Banyak akademi, D3, atau sekolah swasta. Atau bisa
juga masuk IAIN yang tentu cocok dengan lulusan pesantren.
Nanti bisalah kita kos bersama supaya murah."
Orang-orang yang aku kenal ini menaruh simpati, kasihan,
bahkan ada yang meremehkanku. Seakan mereka tidak percaya dengan tekad dan kemampuanku. Aku tidak butuh semua
komentar mereka. Aku bukan pecundang. Sebuah "dendam"
dan tekad menggelegak di hatiku. Aku ingin membuktikan
kepada mereka semua, bukan mereka yang menentukan nasibku, tapi diriku dan Tuhan. Aku punya impianku sendiri. Aku
ingin lulus UMPTN, kuliah di jalur umum untuk bisa mewujudkan impianku ke Amerika.
Joki: orang yang mengerjakan ujian untuk orang lain dengan menyamar
sebagai peserta ujian yang sebenarnya dan menerima imbalan uang.
Pagi itu, dengan mengepalkan tinjuku, aku bulatkan tekad,
aku bulatkan doa: aku akan lulus ujian persamaan SMA dan
berperang menaklukkan UMPTN. Aku ingin membuktikan
kalau niat kuat telah dihunus, halangan apa pun akan aku
tebas. Maka malam itu aku susun strategi perang. Pertama, aku
harus memiliki semua senjata. Senjata utama untuk menaklukkan pelajaran SMA adalah menguasai buku wajib siswa SMA
dari kelas 1 sampai kelas 3. Hanya ada kekurangan besar: aku
tidak punya satu pun buku pelajaran SMA dan belum pernah
mempelajarinya. Tiada cara lain, aku harus meminjam. Dasrul, kawanku yang
rumahnya paling dekat dengan rumahku minta maaf karena
banyak bukunya telah dijual sebagai kertas kiloan pembungkus
cabai. Sedang sisanya yang masih ada di rumahnya telah
tamat dimakan rayap. Untunglah Zulman, temanku yang resik
menjaga catatannya, dan Elva, yang punya semua buku SMA,
bersedia meminjamiku. Mereka berdua menyerahkan buku
kepadaku dengan sorot mata sangsi.
Kamarku kini seperti toko barang bekas. Buku dan catatan
usang berceceran di sana-sini. Pelan-pelan, aku tumpuk semua
buku di lantai berdasarkan kelas. Hasilnya, satu bukit buku
untuk pelajaran kelas satu, satu bukit kelas dua, dan satu bukit
kelas tiga. Tiga bukit buku! Aku meneguk ludah. Aku baru
sadar ketiga bukit inilah yang akan aku daki kalau ingin menaklukkan ujian persamaan SMA dan UMPTN.
Dengan bersila di lantai, aku buka sebuah buku dan mulai
membaca. Baru beberapa lembar saja, aku menggaruk-garuk
kepala sendiri sambil mengernyitkan dahi. Walau berulangulang aku baca pelajaran kimia, fisika, dan biologi, tetap saja
keningku berkerut. Randai yang aku minta jadi tutor khususku
tidak kalah frustrasi melihat aku tidak bisa menangkap apa
yang diterangkan. Randai membanting kapur yang digunakan
untuk menulis rumus di dinding papan rumahku. Patah tiga di
lantai. Antara prihatin dan kesal dia berkata, "Setahun pun
aden ajari, tampaknya wa"ang tetap tidak akan bisa menguasai
pelajaran ini." Aku tatap matanya. Dia sungguh-sungguh, tidak sedang bercanda. Aku menjawab keras, "Jangankan setahun, tiga tahun
pun akan aden lakukan demi mencapai cita-cita. Kalau tidak
mau menolong, aden akan tolong diri sendiri." Aku kemudian
bergegas pergi, sementara Randai kembali berteriak-teriak
minta maaf. Aku duduk bermenung di batu hitam besar di pinggir
danau. Aku sangat tersinggung dengan kata-kata Randai. Tapi
yang membuat hatiku lebih perih adalah: aku setuju dengan
Randai. Aku memang keteteran belajar pelajaran hitungan.
Aku yakin bisa, tapi saat ini aku tidak punya cukup waktu untuk mengejar ketinggalanku. Bagaimana akan tembus
UMPTN" Bagaimana aku bisa masuk jurusan Penerbangan
ITB" Aku tepekur. Di air danau yang tenang, aku melihat sebuah bayangan wajah orang yang bingung.
Kalau aku masih ingin kuliah di universitas negeri, aku harus mengambil keputusan besar. Aku akhirnya harus memilih
dengan realistis. Kemampuan dan waktu yang aku punya saat
ini tidak cocok dengan impianku. Dengan berat hati aku
kuburkan impian tinggiku dan aku hadapi kenyataan bahwa
aku harus mengambil jurusan IPS. Selamat jalan, ITB.
Batanggang inding kamar aku tempeli kertas-kertas yang berisi ringkasan berbagai mata pelajaran dan rumus penting. Semua aku tulis besar-besar dengan spidol agar gampang diingat.
Di atas segala macam tempelan pelajaran ini, aku tempel
sebuah kertas karton merah, bertuliskan tulisan Arab tebaltebal: Man jadda wajada! Mantra ini menjadi motivasiku kalau
sedang kehilangan semangat. Bahkan aku teriakkan kepada
diriku, setiap aku merasa semangatku melorot. Aku paksa diriku lebih kuat lagi. Aku lebihkan usaha. Aku lanjutkan jalanku
beberapa halaman lagi, beberapa soal lagi, beberapa menit
lagi. Going the extra miles. I"malu fauqa ma "amilu. Berusaha di
atas rata-rata orang lain.
Kalau aku lihat di cermin, badanku kini mengurus, agak
pucat, dan mataku merah. Tapi aku tidak peduli. Ini perjuangan
penting dalam hidupku. Mungkin menjadi penentu nasib masa
depanku. Amak dan Ayah tampak cemas melihat aku belajar
seperti orang kesurupan. "Nak, jangan terlalu diforsir tenaga


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, jaga kesehatan, jangan sampai tumbang di masa ujian,"
kata Amak ketika datang ke kamarku membawa sekadar goreng pisang atau teh telur.
Ayah kadang-kadang menjengukku yang sedang belajar di
kamar. Tapi komentarnya biasanya tidak ada hubungannya
dengan pelajaran. "Ramai benar ini. Tim kebanggaan kita
Semen Padang akan melawan Arema Malang untuk memperebutkan juara Galatama. Kapan lagi tim urang awak bisa juara,"
kata Ayah. Telunjuknya seperti menusuk-nusuk tabloid Bola,
saking bersemangatnya. Ayah lalu meninggalkan tabloid itu
di meja belajarku. Ingin sekali aku membaca semuanya, tapi
belajarku tidak boleh terganggu. Supaya tidak tergoda, semua
koran dan tabloid yang diberikan Ayah aku lempar ke atas
lemari baju yang tinggi. Akhirnya ujian persamaan sebagai syarat ikut UMPTN
datang juga. Dilepas dengan doa dari Amak dan Ayah aku
merasa siap maju ke medan perang. Aku tidak boleh kalah
dengan keadaan dan keraguan orang lain. Satu per satu aku
jawab soal ujian dengan perasaan panas dingin. Walau hampir
selalu bergadang, belajar kerasku beberapa minggu terakhir
ini tampaknya masih kurang. Banyak soal yang aku sama
sekali tidak tahu entah dari buku mana sumbernya. Dengan
bahu yang menguncup, aku keluar ruang ujian paling terakhir.
Hatiku rusuh dan bergelimang penyesalan. Kenapa aku tidak
belajar lebih keras lagi kemarin" Bagaimana kalau nilaiku tidak
cukup bahkan untuk sekadar mendapatkan ijazah SMA"
Beberapa minggu kemudian, dengan takut-takut aku datang
ke kantor panitia ujian untuk melihat nilaiku. Dengan wajah
meringis, aku balik juga map karton manila kuning itu. Aku
sungguh takut melihat kalau ada tinta merah di dalamnya.
Alhamdulillah, tidak ada merah, semuanya biru. Tapi bukan
biru perkasa, nilaiku cuma rata-rata 6,5.
Aku tidak tahu harus bersyukur atau prihatin. Syukur ka13
rena nilaiku dianggap cukup untuk mendapatkan ijazah setara
dengan SMA. Tapi aku prihatin dengan nilai rata-rataku.
Dengan modal ini bagaimana aku akan bisa lulus UMPTN"
Randai bahkan mungkin akan tergelak atau malah kasihan
melihat nilaiku ini. One down, one more to go. Pertarungan yang lebih ketat
telah di depan mata: UMPTN. Kalau ujian persamaan adalah
pertandingan melawan diri sendiri, maka UMPTN adalah pertandingan melawan diri sendiri sekaligus "musuh" dari seluruh
Indonesia. Yang aku perebutkan adalah sebuah kursi yang juga
diincar oleh ratusan ribu tamatan SMA di seluruh Indonesia.
Aku baca di koran, hanya sekitar 15 persen peserta yang lulus.
Artinya hanya 15 orang yang lulus dari 100 peserta ujian. Jumlah yang mengkhawatirkan hatiku.
Aku membolak-balik lagi lembar buku panduan UMPTN
dan formulir yang baru saja aku beli. Aku takjub tapi juga
bingung. Keningku berkerut-kerut. Begitu panjang daftar
universitas, fakultas, dan jurusan yang ada, dan aku tidak bisa
membayangkan sebetulnya apa yang akan dipelajari di masingmasing jurusan. Jariku kembali mengikuti satu per satu namanama bidang studi yang ada di buku panduan itu. Sastra Arab,
Inggris, Jepang, Administrasi Negara, Ekonomi Pembangunan,
Akuntansi, Hukum, "ah tidak ada yang mengena di hati.
Tiba-tiba jariku berhenti. "Jurusan Hubungan Internasional".
Kok bunyinya keren sekali. Tentulah ini jurusan buat para
diplomat yang berjas rapi dan selalu keliling dunia itu. Tentu
mahasiswanya perlu kemampuan bahasa asing yang baik. Rasarasanya cocok dengan modal yang aku punya sekarang. Dan
yang tidak kalah penting, mungkin bisa mengantarkan aku
sekolah ke luar negeri. Mungkin bahkan ke Amerika. Siapa
tahu. "Jangan diganggu", begitu tulisan besar yang aku tempel di
pintu kamar. Pintu kamar pun aku kunci dan sudah berharihari aku mengurung diri, hanya ditemani bukit-bukit buku.
Bahkan kalau adikku diam-diam mengintip dari balik pintu,
aku halau mereka. "Main jauh-jauh. Abang sedang puasa
bercanda dulu ya, sampai lulus ujian," kataku ketus. Mereka
berdua merajuk dan protes panjang-pendek.
Waktu aku kecil dulu, nenekku ikut Tarikat13 Naqsabandiyah. Bersama guru dan jamaahnya, beliau beberapa kali
mengasingkan diri di Surau Tinggi dekat rumah kami. Selama
berhari-hari, kegiatan mereka hanya berzikir dan beribadah di
dalam surau itu untuk menyucikan diri. Mereka tidak keluar
dari surau kecuali untuk wudu, mandi, dan buang hajat.
Bahkan makanan mereka diantarkan oleh sanak keluarga ke
surau. Mungkin aku harus mencoba gaya nenekku itu. Tentu
bukan untuk zikir, tapi untuk fokus persiapan ikut UMPTN.
Tarikat: jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tarikat adalah
aliran sufisme dalam Islam. Aliran tarikat beragam, salah satu yang terkenal
adalah Tarikat Naqsabandiyah.
Aku akan mengurung diri di kamarku. Proyek belajarku kali
ini harus lebih berhasil daripada ujian persamaan kemarin.
Beberapa hari pertama aku jalani "tarikat" ini dengan sukses. Untuk kesekian kalinya, tumpukan buku kelas 1 SMA
aku libas dengan cepat. Aku semakin percaya diri, karena pelajaran kelas 1 gampang aku pahami. Tapi, lama-lama otakku
terasa melar, mataku pedas, dan konsentrasiku buyar. Aku
seduh kopi sehitam jelaga seperti yang biasa diminum Ayah.
Berhasil, kantukku hilang, tapi selera belajarku tetap kempis.
Setiap melihat buku pelajaran yang bertumpuk-tumpuk, aku
mual. Dril belajar ala Pondok Madani ternyata tidak mempan.
Aku jadi malu pada diriku sendiri, dan lebih malu lagi mengakui semangat belajarku melempem kepada Ayah dan Amak.
Takut mereka kecewa. Aku sudah telanjur berjanji belajar
habis-habisan. Kekhawatiran merayap pelan-pelan ke dalam
kesadaranku. Bagaimana aku bisa lulus UMPTN dengan
malas-malasan seperti ini" Bagaimana aku akan memenangkan
kursi melawan 400 ribu anak SMA yang ikut UMPTN tahun
ini" Aku sungguh tidak tahu. Dengan lesu aku meletakkan
kepalaku di atas meja, berbantalkan buku. Bosan, malas, dan
kantuk berputar-putar, bercampur aduk di kepalaku yang terasa panas ini. Aku pejamkan mata dan lambat laun aku melayang.
Tok... tok... Ketukan cepat di pintu kamarku. Aku yang
setengah tertidur mencelat dari kursi. Dengan tergopoh-gopoh
aku mengusap muka dengan tangan dan merapikan rambut.
Mata aku kejap-kejapkan berkali-kali supaya tidak terlihat
sayu karena ketiduran. Tergopoh-gopoh aku buka pintu. Ayah
berdiri di ambang pintu dengan mata yang lari ke sana-sini,
penuh selidik. Tangannya di belakang. Mungkin beliau mau
inspeksi. "Lagi baca apa?" tanya Ayah pendek.
Aku mengulur waktu dengan melayangkan pandangan ke
mejaku yang penuh tumpukan buku. "Banyak, Yah, semuanya
itu," jawabku defensif.
Ayah diam saja, seperti kurang yakin. Tangan di balik badannya dibawa ke depan dan menyodorkan sesuatu kepadaku.
"Kalau sedang istirahat, ini ada selingan. Tabloid Bola dengan jadwal Piala Eropa dan karupuak sanjai14. Baru Ayah beli
di Bukittinggi." "Terima kasih, Yah. Tapi nanti saja ambo baca. Masih banyak bacaan pelajaran kelas 2." Aku pura-pura serius belajar.
Padahal bosannya minta ampun.
Begitu Ayah keluar kamar, aku serobot tabloid itu dengan
tidak sabar. Aku langsung melahap semua berita dan melihat
dengan cermat jadwal Piala Eropa 1992. Aku butuh pelarian
dari kebosanan dan rutinitas belajarku.
"Minggu ini mulai, Yah, TVRI menyiarkan Piala Eropa ini.
Kita wajib nonton," kataku bersemangat.
Kerupuk singkong, awalnya berasal dari daerah Sanjai dekat Bukittinggi.
Kerupuk singkong yang orisinal tidak dilumuri cabai seperti sekarang.
"Tapi bagaimana persiapan UMPTN wa"ang?" tanya Ayah
dingin. Aku tersenyum kecut. Hatiku tidak enak. Tentu aku
tidak lupa dengan proyek menembus UMPTN-ku.
"Hanya pertandingan yang penting saja, Yah," kataku penuh harap. Ayah menatapku. Mungkin dia melihatku sekarang
telah kurus dan pucat karena kebanyakan belajar. Dia menarik
napas. "Jadi wa"ang pegang siapa, Lif?" Ah, senangnya hatiku mendengar jawaban Ayah.
"Hmmm, ambo pikir-pikir dulu. Siapa ya yang paling tidak
dianggap?" Aku mengambil koran dan melihat lagi daftar negara yang akan bertarung di Swedia ini. Ada sebuah catatan
kaki di jadwal ini. Tim Yugoslavia lolos ke babak "nal, tapi kena sanksi PBB
karena terlibat perang. Posisi ini digantikan oleh Denmark
yang sebetulnya tidak lolos babak penyisihan.
Denmark adalah tim pelengkap yang pasti diremehkan
semua orang. Tanpa pikir panjang, aku bersorak mantap. "Yah,
ambo macik Denmark. Megang Denmark."
"Ayah memegang Jerman. Siapa coba yang bisa mengalahkan sang juara dunia?" tantang Ayah. Kami berdua tersenyum
dan berjabat tangan. Sejak kecil aku sering diajak Ayah menonton pertandingan sepakbola, mulai dari kelas kampung sampai
kabupaten. Selain berburu durian, menonton sepakbola adalah
waktu khusus aku dengan Ayah. Hanya kami berdua saja.
Kalau ada pertandingan dini hari, aku dan Ayah bahumembahu untuk saling membangunkan. Kami berdua beranak
batanggang, atau tidak tidur sampai dini hari, duduk terpaku di
depan TV Grundig 14 inci yang berkerai kayu tripleks, ditemani bergelas-gelas kopi.
Aku terkejut-kejut sendiri dengan Denmark yang aku
jagokan hanya karena dianggap underdog. Tim dari Skandinavia
yang diremehkan semua orang itu ternyata tampil dengan
energi luar biasa. Prancis dilindas mereka dengan skor 2-1.
Aku jatuh cinta pada Henrik Larsen, penyerang tinggi besar
dari Denmark yang berkaus nomor 13.
Alhasil, Denmark menjadi runner-up grup dan melaju
ke semifinal, berhadapan dengan Belanda, juara Eropa. Tim
Belanda dianggap calon juara karena diperkuat trio maut
Gullit, Rijkaard, dan Van Basten. Jadi sudahlah, kalaupun
Belanda nanti menang, aku sudah bangga dengan Denmark.
Pelan-pelan aku merasa menjadi salah seorang dari tim
Denmark yang berseragam merah ini. Aku merasa senasib.
Tim ini mirip dengan aku sendiri yang sekarang diremehkan
banyak orang untuk lulus UMPTN, hanya gara-gara aku
tamatan pondok. Sebuah kaus oblong merah aku keluarkan
dari lemari dan aku tulisi besar-besar di bagian punggung:
Denmark, Alif Fikri, dan nomor 14.
Di Stadion Ullevi Gothenburg, tim berambut pirang ini
meledakkan gawang Belanda hanya dalam 5 menit pertama
melalui tandukan Larsen. 1-0. Aku mengepalkan tangan tinggi-tinggi di udara. "Yes!" teriakku.
Aku lirik Ayah, beliau menggeleng-geleng sambil mendeham.
Kecolongan ini membuat tim Belanda menjadi beringas.
Gullit yang berbadan bongsor melabrak pertahanan berkalikali, mencocor bola, berbagi dengan Rijkaard dan Van Basten.
Aku berkali-kali menahan napas melihat bola berdesing-desing menyerbu gawang Denmark. Setengah jam kemudian,
tiba-tiba Rijkaard menanduk bola, meluncur ke arah Dennis
Bergkamp yang bebas. Tanpa jeda, bola ini disambut sepakan
kencang dari Bergkamp, langsung menusuk ke gawang. Kiper
Schemeichel mencoba menghalau bola, tapi bola berdesing
terlalu cepat. Kiper menerpa angin dan Belanda membalas
kontan gol ini. 1-1. "Iko baru namonyo Bulando. Ini baru Belanda," sembur
Ayah senang. Giliran aku geleng-geleng kepala.
Dinamit dari Skandinavia kor sama kuat memanaskan suhu pertandingan. Kedua
tim jatuh-bangun menghalau dan mengejar bola. Aku
melonjak ketika Larsen kembali mencetak gol. Denmark
memimpin 2-1. Tapi sayang skor bisa disamakan Belanda 22 hanya beberapa menit sebelum peluit panjang. Skor tetap
imbang setelah perpanjangan waktu sehingga nasib kedua
tim akan ditentukan oleh tendangan penalti. Aku meremas
tangan tegang. Sementara Ayah tertawa senang seperti yakin
betul andalannya bisa menang.
Dengan lunglai aku beranjak dari kursi.
"Ke mana, Lif?" tanya Ayah pura-pura. Beliau tentu tahu
aku takut melihat kekalahan.
"Mau dengar hasilnya saja nanti, Yah," kataku. Aku sudah
malas menonton. Tampaknya tim underdog memang masih
perlu belajar banyak. Lebih baik aku kembali masuk kamar dan
belajar untuk UMPTN. Hanya beberapa menit aku bertahan
di kamar. Bunyi sorak-sorai dari TV membuat aku kembali
duduk dengan gelisah di samping Ayah. Adu penalti sedang
berlangsung. Giliran Belanda untuk menendang. Skor 1-1.
Dengan penuh percaya diri, Marco van Basten melangkah
ke titik putih. Dia menunduk sebentar dan menepuk-nepuk
bola. Lalu dia surut beberapa langkah sebelum maju berlari
kencang dan dengan gerakan kilat dia ayun kaki panjangnya,
mengirim bola yang tajam menusuk sudut kanan gawang. Aku
menahan napas. Ini sungguh sepakan yang sempurna. Sudah
sewajarnya gol. Hanya setengah kerjapan mata kemudian, bagai
punya ilmu terbang, badan raksasa Schemeichel mencelat ke
udara untuk merenggut bola di udara. Namun bola terlalu
deras datangnya, tangkapannya gagal. Hanya ujung jarinya
yang menyentuh bola, dan bola terus meluncur deras.
Tapi hanya karena sentuhan sebuku jari inilah bola berbelok arah dan tidak jadi masuk gawang. Van Basten tertunduk
letai. Aku kembali bersorak-sorak hebat di pagi buta ini.
Denmark memimpin 2-1 dan terus memimpin sampai 5-4.
Belanda tumbang dan bagai dalam mimpi, dengan perjuangan
luar biasa Denmark berhak ke final menantang juara dunia,
Jerman. Ayah cuma menggeleng lalu tertawa tawar. Tidak ada
satu media pun yang memperkirakan Belanda akan takluk,
tapi nyatanya yang diremehkan menang. Underdog can win.
Dini hari yang spesial. Kaus merah Denmark hasil coretan
sendiri aku pakai. Aku dengan Ayah, sama-sama berbalut
sarung, mengangkat kaki ke kursi, dan ditemani 2 gelas kopi.
Aku ikut bergidik ngeri melihat para pemain Jerman yang
tinggi tegap memasuki stadion. Mereka seperti panser besi
yang siap menggilas lawan. Inilah pertunjukan abad ini. Bagai
David melawan Goliath. Jerman sang juara dunia versus
Denmark yang pada babak kualifikasi saja tidak lolos.
Kickoff segera disusul dengan serbuan metodis pasukan
panser yang mengerubungi pertahanan Denmark dari segala
arah. Karl-Heinz Riedle, Stefan Reuter, dan Guido Buchwald
berganti-ganti mencocor gawang Schemeichel yang beberapa
kali terjerembap menghalau bola. Seperti hanya menunggu
waktu sampai pecah telur sebelum hujan gol. Aku benar-benar
sudah pasrah melihat jagoanku tersudut. Aku coba menghibur
diri sendiri: masuk final sudah sebuah prestasi hebat. Lebih
dari itu adalah: Mari nikmati saja, batinku.
Komentator tiba-tiba berbicara sampai terpekik-pekik:
"Vilfort merebut bola dari Brehme" lalu dikirim dengan
tumit ke Povlsen... dengan cepat dioper ke Jensen. Dia sepak
kencang sekali dari pinggir kotak penalti. Pemain Jerman
menjatuhkan diri untuk memblok bola. Tapi bola terus meluncur seperti roket. Dan, tidak dapat dipercaya. Gol... gol...
luar biasa... 1-0 untuk Denmark!" Stadion Ullevi yang berbentuk lonjong telur itu bagai akan pecah oleh gaung teriakan penonton.
Aku mengucek-ucek mata tidak percaya. Denmark unggul"
Unggul atas juara dunia" Wow!
Tertinggal 1-0 membuat Jerman seperti banteng luka. Mereka menyerang bergelombang-gelombang membongkar pertahanan Denmark yang mulai kalang kabut. Tapi apa pun
bentuk tendangan yang datang, kiper Peter Schemeichel berdiri
garang menghadang bola, dan dengan tenang menjinakkan
semua dengan lengannya yang besar seperti gada atau kakinya
yang panjang seperti galah. Semua serangan Jerman seperti
menghantam pintu baja. Pelan-pelan Jerman seperti panser kehabisan minyak.
Sebaliknya, tim dinamit mulai meletus-letus kencang. Tim
baju merah ini seperti bermain tanpa beban dan mengurung lapangan. Ledakan dinamit yang paling hebat adalah di
seperempat terakhir pertandingan. Vilfort terus aktif meneror daerah Jerman. Dia kembali mendapat bola. Sedetik kemudian dua orang lawan segera menjepitnya dari kedua sisi
dan menutup ruang tembak. Tapi dengan manis Vilfort mengait bola dengan kaki kanan dan dengan licin berkelit
dari hadangan dua pemain yang terkecoh ini. Seorang pemain bertahan segera menempel ketat dari belakang. Tapi
Vilfort lebih ligat dan langsung melepaskan tendangan keras


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyusur tanah. Kiper Bodo Illgner menghadang dengan tangan kiri.
Aku tidak berani bernapas. Bola seperti akan keluar, tapi ternyata membentur tiang gawang dan bergulir masuk.
Dinamit itu telanjur meledak. Jaring bergetar berayun-ayun.
Stadion nun jauh di sana bagai pecah oleh histeria massa, di
sini aku melonjak-lonjak heboh di atas kursi yang berderikderik. Denmark memimpin 2-0 sampai peluit panjang. Tidak
bisa dipercaya. Denmark juara Eropa! Mereka benar-benar
mengamalkan kata-kata Julius Caesar, veni vidi vici, saya datang, saya lihat, dan saya menang.
Ayah hanya tersenyum hambar melihat para pemain Jerman berjalan dengan bahu turun dan muka tertunduk. Ayah
menyalamiku sportif sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Siapa yang menyangka, underdog pun bisa juara."
"Iya, Yah, siapa saja bisa juara kalau tidak menyerah."
"Sudah habis Piala Eropa, waktu wa"ang kembali belajar
untuk UMPTN." "Siap, Yah. Jadi ambo bertekad akan memaksimalkan usaha
persis seperti Denmark. Membalikkan penilaian semua orang
yang memandang sebelah mata!"
"Ayah dan Amak akan doakan dengan sepenuh hati," kata
Ayah menatapku. Tangannya mengusap kepalaku sekilas.
Pagi-pagi aku lihat selimut dan sepraiku di sekelilingku
kusut masai. Guling dan bantal sudah terbang ke lantai.
Aku ingat semalam bermimpi jadi pemain Denmark dan menyepak-nyepak selama tidur. Pagi-pagi yang dingin itu aku
mendapat semangat baru, aku punya tekad baru, aku punya doa
baru. Aku akan menjadi seperti Denmark dalam menghadapi
UMPTN. Aku bisa menjadi dinamit seperti Denmark. Akan
aku ledakkan sebuah prestasi. Akan aku bungkam semua keraguan. Man jadda wajada.
Panen Raya MPTN tinggal menghitung hari. Untuk kesekian kalinya gunung buku telah aku daki dan taklukkan dengan
napas ngos-ngosan. Bila aku bosan belajar, aku bisikkan ke
diri sendiri nasihat Imam Syafi"i, "berlelah-lelahlah, manisnya
hidup terasa setelah lelah berjuang." Jangan menyerah. Menyerah berarti menunda masa senang di masa datang.
Tapi obat bosan dan malas yang paling mujarab adalah
mengenang perjalanan heroik Denmark yang menjadi juara
Eropa. Aku kenakan kaus merah mereka, aku pejamkan mata,
aku resapi semangat Denmark, aku bayangkan diriku bagian
dari tim itu. Semakin banyak yang melihat aku dengan sebelah
mata, semakin menggelegak semangatku untuk membuktikan
bahwa kita tidak boleh meremehkan orang lain, bahkan tidak
boleh meremehkan impian kita sendiri, setinggi apa pun.
Sungguh Tuhan Maha Mendengar.
Hari pertandingan itu datang juga. Aku duduk di sebuah
aula luas milik IKIP Padang bersama ratusan anak muda lain
dari segala penjuru Sumatra Barat. Inilah hari UMPTN yang
mahapenting. Hari penentuan. Aku harus berani dan tidak
ragu-ragu. Dengan menggumamkan bismillah, mulailah aku
buka lembar pertanyaan yang tertangkup di meja.
Satu lembar, dua lembar, aku bolak-balik soal ujian itu.
Satu-satu butir keringat dingin merambat turun di kening
dan punggungku. Astaghfirullah, banyak soal yang di luar
perkiraanku. Beberapa soal aku sama sekali tidak tahu jawabannya. Beberapa yang lain aku ingat tapi samar-samar. Hanya
sebagian kecil yang aku tahu pasti. Di tengah aula besar ini
aku merasa terdampar di meja kecil dengan hanya bersenjata
sebuah pensil 2B. Aku hanya percaya diri mengerjakan dua mata ujian, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Yang lainnya, hanya Tuhan dan pensilku yang tahu.
Setelah ujian, aku pulang ke Maninjau dengan hati yang
tidak pernah tenang. Berhari-hari tidurku tidak nyenyak, karena aku selalu dikunjungi mimpi tentang ujian. Beberapa
kali penyesalan muncul, kenapa aku tidak belajar lebih rajin,
kenapa aku tidak menjawab soal itu, atau kenapa aku menjawab soal itu.
Semakin dekat waktu pengumuman semakin kacau mimpiku dan semakin tidak enak makanku. Pikiran-pikiran aneh
muncul silih berganti. Bagaimana kalau aku tidak lulus" Bagaimana jadinya kalau nanti aku terpaksa menjadi guru mengaji
di surau di dekat rumahku" Ini tentulah tugas yang mulia,
tapi apakah aku akan tahan mengajari alif-ba-ta kepada anakanak sekampungku" Aku coba usir kekhawatiran ini jauh-jauh
dengan berdoa khusyuk atau sering memancing di pinggir
danau seorang diri karena Randai sudah kembali ke Bandung.
Bunyi gelombang danau yang mengempas halus di bebatuan
biasanya menenangkan hatiku. Kali ini ketenangan ini malah
menggelisahkan. Tanganku tidak tentu arah mencabuti pucukpucuk rumput banto di sekitar kakiku. Pikiranku melayang
jauh entah ke mana. Semakin lama aku duduk memancing,
semakin banyak pikiran tidak lulus menghantuiku. Aku takut
gagal. Takut sekali. Aku coba menghibur diriku. Toh aku telah melakukan
segenap upaya, di atas rata-rata. Telah pula aku sempurnakan
kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan kepada
putusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya.
Sudah berbagai gaya tidur aku coba, menelentang, menelungkup, menungging, menyamping, tapi mataku tidak mau
juga dipicingkan, bahkan sampai ayam jantan dari kandang
belakang rumahku berkokok berkali-kali. Fajar datang dan
hari ini aku akan mengetahui hasil UMPTN-ku. Selepas salat
Subuh, dengan berkelumun sarung, aku dan Ayah telah berdiri
di pinggir jalan aspal satu-satunya di kampungku. Sebentarsebentar aku berjingkat dan memanjangkan leher untuk melihat ujung tikungan, menunggu bus Harmonis paling pagi
turun dari Bukittinggi. Bus ini membawa surat kabar Haluan
yang memuat pengumuman UMPTN hari ini.
Dari jauh, tampak sepasang sinar lampu. Bus Harmonis
pertama! Tapi ketika mendekat rupanya truk bahan bangunan
milik PLTA Maninjau. Ada mobil kedua muncul di ujung
tikungan. Kali ini adalah oplet cigak baruak15 yang menjadi
angkutan antardesa selingkar danau. Aku makin gelisah, waktu
rasanya berdetak pelan sekali. Setengah jam kemudian"yang
rasanya lama betul"akhirnya bus Harmonis itu mencicit
berhenti di depan kami. Sopir yang dikenal baik oleh Ayah
merogoh laci dan menyerahkan koran yang kami nanti-nanti.
Mukaku terasa panas, tapi ujung jariku dingin dan basah oleh
keringat. Ada guruh di dadaku.
Belum bus berjalan jauh, Ayah sudah membentangkan
koran lebar-lebar di tanah di tepi jalan besar. Judul besar
terpampang: Pengumuman Hasil UMPTN. Kami dua beranak
beradu kepala melihat lembar yang memajang hamparan
ribuan nomor peserta ujian yang lulus. Ayah sampai perlu
menyurukkan kepala mendekat ke koran karena kacamatanya
tertinggal di rumah. Dengan gugup aku eja satu-satu, 01520, 01525, 01527,
01540, wah, urutannya sungguh tidak beraturan, begitu banyak yang tidak lulus. Jangan-jangan tahun ini kelulusan kurang dari 15 persen peserta. Semoga nomorku termasuk yang
beruntung. ...01547, 01559, ...sedikit lagi. Ya Tuhan, mohon Engkau
cetaklah nomor ujianku di koran Haluan ini, begitu doaku tak
putus-putus di dalam hati. Mata kami terus menelusuri angka
demi angka dalam diam. Mobil angkutan yang memuat orang bercampur barang. Atapnya
biasa penuh hasil bumi dan penumpang bergelantungan sampai sisi luar.
Umumnya berupa mobil tua seperti mobil bermerek Chevrolet keluaran
tahun 40-an. ...01560, 01575, oh, sebuah lubang besar lagi. Napas Ayah
terdengar memburu di sebelahku.
Aku menahan napas dengan telunjuk gemetar menuruni
kolom ke bawah, 01577, 01579. Aku baca ulang, agar yakin
benar. 01579... Aku rogoh kartu ujianku yang sudah keriput
di saku untuk memastikan. Dan aku geser telunjukku ke
sebelah kanan sejajar. Alif Fikri. Namaku tercetak jelas di
sana. Telunjukku yang gemetar aku geser ke kanan lagi. Dan
tercetaklah di sana nomor kode untuk Hubungan Internasional
Universitas Padjadjaran. Alhamdulillah ya Tuhan. Sebuah senyum terbit di bibir Ayah. Belum pernah aku melihat senyum
Ayah seperti pagi ini. Tanpa suara, tapi sungguh senyum yang
lebar dan terang. Walau bukan Teknik Penerbangan ITB, seperti impian
awalku, Jurusan Hubungan Internasional adalah sebuah rezeki
besar bagi diriku. Beralaskan koran pengumuman, aku sujud
syukur untuk keajaiban ini. Keajaiban tekad dan usaha, keajaiban restu orangtua, keajaiban doa. Di sebelahku, Ayah
juga sujud lama sekali. Beberapa orang yang lewat di jalan
terheran-heran melihat kami berdua menungging di pinggir
jalan. Bangkit dari sujud, ingin rasanya aku meneriakkan ke seluruh dunia apa yang menggelegak di dadaku. Semua pandangan
sebelah mata serta ucapan meremehkan dan belas kasihan,
kini telah aku bayar tuntas. Lunas! Man yazra" yahsud, begitu
pepatah yang diajarkan di PM. Siapa yang menanam akan menuai yang ditanam. Hari panenku tiba pagi ini diangkut bus
Harmonis. Panen raya! Tangan Ayah menggosok-gosok puncak kepalaku beberapa
kali selama kami berjalan kaki menuju rumah untuk mengabarkan berita gembira ini kepada Amak. Sambil menopangkan
tangannya ke bahuku, Ayah bergumam, "Nak, doa Ayah dan
Amak didengar Allah." Ujung sarung bugisnya dibawanya ke
ujung mata. Ada yang meleleh dan disusutnya di ujung sana.
Ayah terbatuk-terbatuk beberapa kali. Bunyi batuknya buruk.
Berdentam-dentam dari dalam dada. Baju dan sarungnya sampai terguncang-guncang.
Sudah beberapa minggu Ayah terserang batuk dan mengeluh
perutnya selalu kembung. Kebiasaannya untuk melap motornya
dengan penuh cinta setiap pagi sampai terganggu dan dia terpaksa mewakilkannya kepadaku. Sebetulnya, Pak Mantri Pian
sudah menganjurkan Ayah banyak istirahat, tapi dia tetap
juga keras kepala untuk batanggang menonton Piala Eropa bersamaku sampai subuh. Aku agak cemas. Sepanjang hidupku,
tidak pernah Ayah sakit lebih dari tiga hari.
Peta Pendekar Shaolin eminggu ini aku rasanya ingin terus mengulum senyum.
Di pelupuk mataku telah terbayang-bayang bagaimana
aku akan dengan gagahnya masuk ke gerbang kampusku nanti
di Bandung. Beberapa tahun lalu ketika menginap di rumah
Atang di Bandung, aku sempat bergumam dalam hati, semoga
aku diberi kesempatan kuliah di kota ini. Walau hanya berbisik
di hati, rupanya Tuhan selalu Maha Mendengar.
Aku mengambil kertas dan mulai menulis surat kepada
kawan-kawan terbaikku selama belajar 4 tahun di PM, para
anggota Sahibul Menara16. Aku ingin berbagi kabar gembira
tentang keberhasilanku lulus UMPTN. Suka dan duka sudah
kami hadapi bersama, mulai dari dijewer berantai sampai
dibotak berjamaah. Rasa-rasanya kami sudah demikian padu
satu sama lain, bahkan mungkin lebih kuat daripada saudara
sedarah. Aku tersenyum sendiri mengingat masa-masa itu.
Sejak tamat dari PM, aku berturut-turut menerima surat
dari Raja, Atang, dan Baso. Raja menulis surat dalam campuran
bahasa Inggris dan gaya Medan. Sedangkan tanda tangannya
memakai tulisan Arab. Tulisannya besar-besar, seakan-akan
Sahibul Menara adalah 6 sekawan yang menjadi tokoh sentral di novel
sebelumnya, Negeri 5 Menara. Mereka adalah Alif, Raja, Atang, Said,
Dulmajid, dan Baso. setiap kalimat ingin berteriak ke kupingku. "How are you
brother" Tidak aku sangka-sangka, Kiai Rais meminta aku
mengabdikan diri barang setahun untuk mengajar di sebuah
pondok di Medan. Alamak, aku gemetar menerima kepercayaan besar ini. What an honor. Aku awalnya juga bingung,
karena aku ingin segera kuliah. Tapi Allah sungguh Mahatahu.
Untunglah, sambil mengajar di sana aku bisa pula kuliah
mendalami bahasa Inggris untuk persiapanku sekolah ke Eropa
nanti. Mantaplah. Pokoknya akan kukejar terus impian kita di
bawah menara PM dulu. Bahkan kalau perlu aku mau jualan
di emper toko untuk mencukupi biaya sekolah. So see you in
Europe, my brother," begitu tulisnya menggebu-gebu. Dalam
hati aku berdoa agar Raja segera bisa melanglang buana. Dengan kapasitas otak dan kemampuan bahasanya, luar negeri
tampaknya akan mudah dijangkau.
Atang juga berkirim surat kepadaku. Beda jauh dengan
Raja, surat Atang penuh tulisan tangannya yang indah dan
bertarikan halus. "Kawanku, Alif Fikri di pinggir Danau Maninjau. Saya ingin mengabarkan bahwa baru saja saya menerima surat penting dari Kiai Rais. Isinya meminta saya
untuk mengabdi atau mengajar di Pondok Madani. Saya juga
diminta untuk meningkatkan mutu drama dan teater yang bercitarasa tinggi di Pondok Madani. Alhamdulillah, ini sesuai
dengan bakat saya. Impian saya untuk belajar ke Al-Azhar di
Kairo tetap hidup. Saya akan mempersiapkan diri untuk tes
beasiswa ke Mesir sambil mengabdi di Pondok Madani," tulis
Atang tidak kalah semangat dengan Raja. Aku bisa merasakan
betapa bahagianya hati Raja dan Atang ketika langsung mendapat kepercayaan khusus dari Kiai Rais, tokoh panutan kami
selama di Pondok Madani. Tapi yang paling unik memang selalu kabar dan surat
karena harus merawat neneknya. Baso tidak lama lagi akan
berhasil menghafal Alquran bulat-bulat. "Insya Allah, tinggal beberapa juz lagi. Tolong aku dibantu dengan doa ya,"
katanya. Setiap aku menerima surat dari dia, setiap kali itu
pula cita-citanya untuk sekolah ke Mekkah atau Madinah
semakin kuat. Baso menulis seperti ini: "Alif, bagiku belajar
adalah segalanya. Ini perintah Tuhan, perintah Rasul, perintah kemanusiaan. Bayangkan, kata-kata pertama wahyu yang
diterima Rasulullah itu adalah iqra. Bacalah. Itu artinya juga
belajar. Makanya, aku akan terus mempraktikkan ajaran Rasul
itu, bahwa kita perlu belajar dari buaian sampai liang lahat.
Aku tidak akan berhenti belajar walau nanti sudah dapat gelar
atau lulus sekolah. Mungkin kamu bingung dengan kegilaanku
belajar. Percayalah, tidak hanya aku yang gila. Ribuan tahun
yang lalu, sekarang, dan di masa depan akan terus ada orang
yang gila ilmu. Ini aku punya contoh. Aku kan senang membaca buku
cerita silat Cina dan aku merasa belajar banyak dari kearifan
mereka. Rupanya sebelum menjadi orang sakti mandraguna,
para pendekar itu awalnya berkeliling naik-turun gunung,
melintas sungai dan laut untuk terus-menerus mencari guru.
Kalau sudah dapat jurus baru dari satu guru, dia akan berangkat
mencari guru lain yang mengajarkan jurus yang lain. Aku
ingin seperti para pendekar Cina itu. Melintas pulau, samudra,
negara, kalau perlu benua, demi menuntut ilmu. Aku sudah
bertekad inilah caraku memahami dan mensyukuri karunia
kehidupan dari Tuhan ini."
Suratnya bersambung ke halaman sebaliknya. Dia selalu
hemat pakai kertas. Ini lanjutan suratnya:
"Tapi tentunya tujuan utamaku tetap Mekkah dan Madinah.
Impianku ingin mendapatkan beasiswa untuk ke sana. Sudah
aku coba surati berbagai pemimpin dan ulama besar baik di
Sulawesi maupun di Jawa untuk meminta sokongan beasiswa,
tapi belum ada jawaban yang memuaskan. Kalaulah mereka
tidak pernah menjawab sama sekali, juga tidak apa-apa. Aku
sudah punya rencana cadangan. Baru saja aku membeli sebuah
peta dunia. Peta itu sudah aku corat-coret dan garisi, untuk
menandai rute dari Sulawesi ke Mekkah. Sungguh, kalau
tiada jalan lain, tiada uang di tangan, aku akan tetap pergi
ke Mekkah. Aku tinggal mengikuti rute yang aku coret di
atas peta itu sedikit demi sedikit. Dengan berjalan kaki. Ya,
berjalan kaki sampai ke Mekkah. Bukankah kata pepatah,
setiap perjalanan panjang harus dimulai dengan langkah pertama?"
Aku merinding membaca suratnya yang bersemangat ini.
Berjalan kaki ke Mekkah" Dia semakin hari semakin bertambah gila ilmu.
Di akhir suratnya, Baso menulis sebuah pesan atau mungkin
sebuah semangat buat dirinya sendiri, "Aku akhirnya sampai
pada kesimpulan bahwa hidup itu masalah penyerahan diri.
Kalau aku sudah bingung dan terlalu capek menghadapi segala
tekanan hidup, aku praktikkan nasihat Kiai Rais, yaitu siapa
saja yang mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka Dia
akan "mencukupkan" semua kebutuhan kita. "Cukup" kawanku.
Itu yang seharusnya kita cari. Apa artinya banyak harta
tapi tidak pernah merasa cukup" Itulah janji Tuhan buat
orang yang tawakal. Aku ingin tawakal sempurna. Aku ingin
dicukupkanNya segala kebutuhan."
Hanya Dulmajid dan Said yang tidak ada kabar beritanya.


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah pernah aku coba berkirim surat kepada mereka, tapi tak
kunjung ada jawaban. Ah, mungkin mereka sibuk atau pindah
alamat. Yang aku baca sekilas dari surat Atang, mereka berdua
langsung mengurus sekolah yang didirikan keluarga Said. Dari
dulu tekad mereka memang ingin membuat sebuah lembaga
pendidikan yang maju. Tetap ada yang hilang. Tetap ada yang terasa kurang. Aku
sekarang tidak lagi bisa bercerita, berdebat, dan bercanda
langsung dengan mereka. Belum lagi masalah kesibukan masing-masing yang membuat kegiatan korespondensi kadangkadang terbengkalai. Aku yakin semua kawanku sekarang
sedang sibuk mengejar "menara impian" masing-masing. Sibuk
dengan perantauan kami masing-masing.
Tapi apa memang persahabatan bisa kendur karena jarak"
Aku yakin inti persahabatan tentu tidak rusak. Tapi jarak dan
tempat tidak bisa berdusta, berpisah secara fisik bisa merenggangkan keintiman persahabatan karena tidak lagi disiram
oleh pertemuan, canda, dan diskusi.
Dalam bayanganku, kami kini bagai para pendekar Kuil
Shaolin yang baru turun gunung dan menyebar ke berbagai
penjuru mata angin untuk mengejar impian dan menjalankan
misi hidup masing-masing. Entah kapan kami akan bisa bertemu lagi.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh syair Imam Syafi"i17
"...Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti kerabat dan
kawan." Imam Syafi"i bahkan menyuruh kita meninggalkan
tempat lama, tempat kita nyaman hidup menuju sebuah tempat
yang penuh tanda tanya: tanah perantauan. Jika merantau,
kita akan mendapatkan pengganti yang kita tinggalkan, yaitu
kawan dan kerabat yang baru, tentu tanpa melupakan kawan
dan kerabat lama. Empat tahun lalu aku merantau ke Pondok Madani. Sebagai ganti kawan yang aku tinggalkan, aku mendapatkan
Raja, Atang, Said, Dulmajid, dan Baso sebagai kawan terbaik.
Sebentar lagi aku akan merantau ke Bandung. Semoga aku
mendapatkan kawan dan kerabat baru.
Lirik lengkap syair ini dimuat di halaman pembuka novel Negeri 5
Menara. Kepala di Ujung Kasur yah membikin sendiri kandang ayam bertingkat 4 dari
bambu. Beliau tidak pernah alpa membuka kandang
ayam setiap pagi dan menutupnya menjelang magrib. Walau
begitu, yang paling disayangnya bukan ayam tapi bebek,
tepatnya motor Honda "70 hijau daun. Setiap hari, dengan
seragam singlet putih dan sarung, Ayah melap motor ini
dengan sungguh-sungguh. Setiap dua hari dia mencuci dan
menyemir setiap jengkal motor ini. Sampai mengilat. Bosan
belajar, sore ini aku ikut membantu Ayah mengurus bebek
hijaunya. Seminggu menjelang aku berangkat ke Bandung, Ayah
menerima seorang tamu berkumis ijuk yang tidak pernah aku
lihat sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang diperbincangkan
mereka. Mereka berbicara pelan-pelan seperti tidak ingin
didengar orang lain. Tapi aku melihat Ayah menyerahkan
seperangkat kunci, bersalaman, dan tamu itu pergi. Sejak hari
itu bebek yang setiap pagi dilap Ayah dengan kasih sayang itu
tidak pernah pulang lagi ke rumah kami.
Ayah tidak bicara apa-apa dan aku bahkan terlalu malu
dan sedih untuk bertanya kepada Ayah dan Amak tentang
ihwal bebek hijau ini. Hanya tangan mereka yang lebih lama
aku cium selepas salat berjamaah. Ayah dan Amak jelas senang sekali melihat anak bujangnya akan kuliah. Tapi aku
membaca tanda-tanda lain dari mata cekung ayahku dan helaan napas panjang Amak.
Ada hal yang lebih tepat dikatakan dengan bahasa hati,
tahu sama tahu. Aku sayang, aku berutang, dan aku mencintai
mereka. Mereka jiwa yang senang tapi mungkin badan yang
letih. Aku menduga keras, Ayah telah melego bebeknya, harta
paling berharganya, demi membiayai kuliah anak bujangnya.
Padahal bukan aku saja beban mereka. Dua adikku sekarang
sudah di SMP dan SMA, dan mereka tentu perlu biaya juga.
Ini membuat hatiku galau.
Dua hari menjelang aku berangkat, Ayah mengajakku
bicara dari hati ke hati. Suaranya lemah, seperti datang
dari pedalaman hatinya. "Nak, rasanya badan Ayah masih
tidak enak dan kepala berat. Ayah mungkin tidak ikut ke
Bandung kalau badan masih lemah begini." Aku prihatin
menatap Ayah. Sudah aku perhatikan sejak beberapa minggu
ini mukanya semakin tirus dan pucat. Aku bahkan tidak
berani meninggalkan Ayah dalam kondisi begini.
"Ambo sudah biasa merantau ke Jawa, jadi janganlah Ayah
khawatir. Tapi melihat kondisi Ayah, malah ambo yang cemas.
Ambo akan tunggu Ayah sehat dulu," jawabku.
"Dengar baik-baik. Jangan hanya gara-gara menunggu
Ayah, wa"ang terlambat mendaftar dan gagal kuliah. Wa"ang
harus pergi tiga hari lagi, bersama Ayah atau tidak," suaranya
malah meninggi. Matanya yang kuyu tiba-tiba nyalang. Aku
hanya diam tidak tahu harus bagaimana.
Sehari menjelang keberangkatanku ke Bandung, Ayah
membawa sebuah kotak karton ke kamarku. Aku penasaran
menatap kotak itu. Bau kulit terasa mengapung di depan hidungku.
"Ayah sengaja memesan ke tukang sepatu dan terompah
di Pasar Ateh. Khusus dari kulit jawi. Asli kulit sapi," kata
Ayah sambil membuka kotak itu. Sambil terbatuk-batuk, beliau mengeluarkan sebuah sepatu hitam berkilat-kilat dan
mendaratkan ke dekat kakiku. Semuanya berwarna hitam
gelap, mulai dari kulit, jahitan, tali, sampai sol. Tukang sepatu
yang Ayah maksud adalah tukang yang terkenal dengan karya
tarompa datuak, yaitu sandal khas yang biasa dipakai oleh para
datuk dan pemuka adat di Minang.
"Coba pakai, pasang dulu kaus kaki ini," Ayah menyodorkan
sepasang kaus kaki hitam yang juga beraroma baru. Dengan
tidak sabar, aku masukkan kakiku yang dibalut kaus kaki ke
dalam sepatu baru ini. Aku kencangkan tali hitamnya. Empuk
dan pas. "Terima kasih, Yah. Kebetulan sol sepatu ambo yang lama
sudah rengkah," kataku girang bukan kepalang.
Mata Ayah berbinar dan mulutnya tersenyum. Tiba-tiba
batuk Ayah kembali menyerobot keluar. Deras berdentam-dentam. Beliau mengernyitkan kening, tapi menggoyang-goyangkan tangan agar aku tidak cemas. "Cuma batuk biasa, angin
danau sedang tidak enak," kata Ayah menenangkanku.
Walau perasaanku tidak enak karena Ayah masih kurang
sehat, aku akhirnya harus berangkat ke Bandung seorang diri.
Empat tahun lalu, aku merantau dengan setengah hati ke
Pondok Madani di ujung Jawa Timur. Tapi hari ini aku melipat baju dengan sepenuh hati untuk kuliah ke Bandung. Sepatu hadiah dari Ayah bahkan sudah aku semir ulang berkilat
gilang-gemilang. Isi ranselku hanya empat helai baju, dua helai celana panjang berbahan tetoron, dan satu plastik rendang yang khusus
dimasak Amak untukku. Di dalam dompetku ada beberapa
helai puluhan ribu hasil berhemat jajan, bekal dari Ayah dan
Amak, serta hadiah dari kakek dan nenekku. Semua milikku
kecil dan sederhana, kecuali hati dan kepercayaan diri yang
menggelembung sebesar gajah.
Di ujung langkan, Ayah mengajak kami sekeluarga berkumpul. "Nak, ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana
bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan lupa menjaga
nama baik dan kelakuan. Elok-elok menyeberang. Jangan
sampai titian patah. Elok-elok di negeri orang. Jangan sampai
berbuat salah." Nasihat singkat itu ditutup Ayah dengan doa bersama
untuk perantauanku. Aku benamkan wajahku ke kedua telapak
tangan dan aku bisikkan "amin" yang bergetar panjang. Doaku
untuk mengobati waswas di hati. Semoga kuliahku tidak putus di tengah jalan karena ekonomi keluarga kami yang paspasan.
"Nak, sudah wa"ang patuhi perintah Amak untuk sekolah
agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu.
Niatkanlah untuk ibadah, insya Allah selalu dimudahkanNya.
Setiap bersimpuh setelah salat, Amak selalu berdoa untuk
wa"ang," kata Amak.
Sedangkan Ayah, entah kenapa irit bicara. Sedikit-sedikit
menatapku lekat-lekat, seakan-akan ingin bicara banyak, tapi
tidak ada kata yang keluar. Sekali keluar suaranya, malah
nasihat aneh, "Jangan lupa semir sepatu hitam kulit jawi itu
paling tidak seminggu sekali ya."
Setelah menguluk salam pada Ayah dan Amak serta mencium kening adik-adikku di pintu rumahku, aku membalikkan
badan tidak melihat ke belakang lagi. Aku tidak mau terbawa
haru melihat empat orang yang aku sayangi melambai-lambaikan tangan tak putus-putus.
Aku hanya menunduk melihat ujung kakiku yang dibungkus
sepatu hadiah dari Ayah. Aku sebut sepatu ini si Hitam, yang
akan menjadi kawanku merantau. "Bismillah. Ayo, kawan
hitamku, kita taklukkan dunia," bisikku. Dalam imajinasiku, si
Hitam mengangguk-angguk tidak sabar. Dengan penuh semangat, aku ayunkan si Hitam melangkah lebar-lebar. Merantau
lagi ke tanah Jawa! Lalu di kepalaku terngiang-ngiang syair Imam Syafi"i yang
telah merasuk ke hatiku: Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Di mana aku akan menginap di Bandung" Awalnya aku
ingin berkunjung ke rumah Atang di Haur Mekar, tepat di
depan Kampus Unpad, Dipati Ukur. Tapi menurut surat Atang
terakhir, keluarganya baru pindah ke Cimahi. Kalau belum
ketemu tempat menginap, aku siap menumpang di masjid
mana saja. Hidup di Pondok Madani sudah mengajariku untuk
bisa tidur di mana saja. Cukup berkemul sarung, beralaskan
sajadah, dan sebuah peci lipat jadi bantal. Nyenyak sudah.
ain Sebelum kembali ke Bandung tempo hari, Randai berkalikali mengajak aku menginap di kamarnya di Dago. "Sampai
wa"ang mendapatkan tempat kos sendiri," katanya sambil
menulis alamat lengkap di selembar kertas. Sebenarnya aku
masih kesal dengan kata-katanya di pinggir danau dulu. Aku
tidak akan lupa pertanyaannya yang meremehkan diriku: "Setelah di pesantren lalu kuliah umum" Emangnya wa"ang bisa?"
Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, Randai tetap kawanku, bahkan kawan terdekatku. Sebaiknya kekesalan ini harus aku
buang. Apalagi sekarang aku sudah berhasil membuktikan
bahwa keraguannya salah. Rem angin bus ANS mendesis-desis ketika mulai memasuki
wilayah Kota Bandung. Cahaya lampu jalan remang-remang
menembus kaca yang buram karena titik-titik air. Gerimis
masih menyerbuk di luar. Kenek bus ANS membangunkan
para penumpang yang masih tertidur, "Panumpang sadonyo, lah
sampai awak di Banduang. Penumpang semua, kita sudah sampai di Bandung."
Aku menggeliat dan melihat jam. Sudah jam 8 malam.
Dengan menyandang ransel, aku turun di depan kantor ANS
yang mirip warung kecil. Hawa kota ini terasa dingin dan kacamataku berembun. Kantor ini ada di sebelah jalan besar yang
gelap tapi berisik oleh truk dan bus yang melintas kencang.
Jalan Soekarno-Hatta. "Naik saja angkot itu ke Kalapa, nanti
baru naik angkot hijau ke Dago," kata kenek ANS menunjuk
angkot yang lewat. Dengan kertas alamat yang aku pegang erat-erat di bawah
rintik gerimis, aku lambaikan tangan ke sebuah angkot yang
mendekat. Karena bertanya sana-sini, aku butuh hampir 2 jam
mencapai daerah yang bernama Pasar Simpang di Dago.
Gerimis berubah menjadi hujan, aku terburu-buru masuk
ke mulut gang di sebelah Pasar Simpang yang menurun. Bunyi
sol sepatu baruku berdekak-dekak melantun dari dinding ganggang kecil dan gelap ini. Rambut dan bajuku basah, tapi aku
tidak berani berhenti karena takut akan semakin kemalaman.
Kalau tidak ada penjual bakso yang berbaik hati menunjukkan
jalan, aku sudah pasti tersesat di gang yang berliku-liku ini.
Akhinya aku sampai di rumah kos Randai, sebuah rumah
yang terjebak di antara rumah-rumah penduduk di salah
satu ujung gang. Aku ketuk pintu tiga kali dan kepala kawanku mencogok dari balik pintu. "Hoi, sampai juo kawan
ko di Banduang. Ah, sampai juga kawan ini di Bandung."
Randai merengkuh bahuku dengan akrab. Dia menyeduh
kopi hangat dan memesan nasi goreng dari sebuah gerobak
yang selalu berbunyi tek-tek-tek. "Ayo, kita makan dulu," kata
Randai ramah. Kami mengobrol panjang, hilir-mudik, sampai
jauh malam. Awalnya posisi kami duduk, lama-lama melorot,
sampai akhirnya kami tertidur lelap.
Aku terbangun oleh pekikan TOA sebuah langgar di samping rumah kos. Lalu terdengar suara orang batuk-batuk kecil,
lalu mendeham kencang, dilanjutkan dengan alunan azan
Subuh. Aku menggeliat kedinginan. Rupanya aku hanya menumpangkan kepala di ujung kasur Randai yang digelar di lantai
dan berselimutkan sarung. Randai masih bergelung di kasurnya.
Sambil mengerjap-ngerjapkan mata aku memperhatikan
satu-satu isi kamar Randai. Di kamarnya yang lapang ada meja
belajar, rak buku, dan peralatan alat musik seperti gendang
dan talempong serta baju silat Minang yang digantung di balik
pintu. Walau di rantau, kecintaan Randai pada seni Minang
tetap tidak berubah. Aku bangkit menuju kamar mandi
mengambil wudu. Air PAM di sini dinginnya terasa menjalar
sampai ulu hati. Lebih dingin dari air danau di kampungku.
Setelah salat, aku berjalan keluar rumah kos. Ke mana pun
aku memandang yang kulihat adalah genteng belang-belang
yang berimpit dengan antena TV yang tumbuh di sana-sini
lengkap dengan beberapa bangkai layang-layang putus yang
tersangkut. Rumah kos ini berada di gang sempit di sebuah
lembah. Sebuah sungai atau mungkin selokan besar mengalir
membelah perumahan ini. Beberapa rumah tampak lebih baru
dan mentereng dibanding yang lain.
Sambil sarapan mi rebus, Randai mengenalkan aku dengan
penghuni yang lain, yang ternyata semuanya adalah mahasiswa
ITB dari berbagai jurusan. Kalau aku tidak mengaku, pasti
semua orang juga mengira aku anak ITB.
Pak Menlu dan Tetangga Berkilau ari pertama kuliah datang juga. Ditemani si Hitam
yang masih memancarkan sinar barunya dengan meyakinkan, aku berdiri di depan kampusku di Dipati Ukur, bukan
di depan Jalan Ganeca seperti yang dulu aku inginkan. Aku
mencoba menghibur diri dengan memutar ingatan ketika Kiai
Rais memberi kami nasihat: "Anak-anakku, sungguh doa itu
didengar Tuhan, tapi Dia berhak mengabulkan dalam berbagai
bentuk. Bisa dalam bentuk yang kita minta, bisa ditunda, atau
diganti dengan yang lebih cocok buat kita." Mungkin yang
aku dapat sekarang paling pas buatku. Pelan-pelan hatiku jadi
tenteram dan sejuk. Di pintu gerbang kampus, aku melihat beberapa orang
berjaket almamater biru berteriak sambil mengibas-ngibaskan
tangan. "Ayo mahasiswa baru, segera bikin barisan. SEGERA!"
Wajah mereka tampak sengaja dibuat berkerut-kerut. Bagai
domba dikejar serigala, beberapa anak baru lari terbirit-birit
masuk ke barisan. Aku" Berjalan cepat saja, tidak usah lari.
Senior melolong, aku berlalu.
Belum beberapa langkah, seorang senior berambut gondrong
berjaket almamater kekecilan menghadangku. "Kamu pelan
sekali. Berbaris di depan sana. Kamu terlambat," sergahnya.
Dia mendelik seakan-akan matanya akan copot dari rongga
kepalanya. Dia pikir aku akan gentar. Aku mendelik balik, lengkap dengan mata yang aku bikin pura-pura juling. "Melawan
kamu ya! Anak baru sudah sok!" suaranya melengking tinggi.
Aku tersenyum dikulum saja. Semakin aku tersenyum semakin tinggi suaranya, sampai serak.
Luar biasa. Pada hari pertama itu aku sudah dihukum bersama belasan anak lain. Kami disuruh berbaris dan mengambil
posisi push-up diiringi teriakan yang melengking-lengking.


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oooh, ini yang namanya ospek. Nama yang asing buatku karena di Pondok Madani aku tidak mengenal kegiatan ini. Apa
ya gunanya" Kenapa para senior berteriak-teriak macam orang
kesurupan" Dan kenapa pula aku harus patuh kepada mereka"
Tapi apa daya, hari ini kegagahanku sebagai mantan siswa
senior di Pondok Madani, yang memakai jas dan dasi, longsor
ke titik paling bawah. Aku seperti mahasiswa baru lain disuruh
berbaju putih, bercelana abu-abu, dan menggantungkan karton
warna-warni di leher, bertuliskan nama, kelompok ospek, dan
fakultas. Yang perempuan harus mengepang rambut dengan
pita merah dan putih. "Ibuku saja tidak pernah membentak-bentak kayak mereka
itu," sungut seorang anak baru ketika kami makan siang lesehan. Papan namanya bertuliskan Wira. Aku mengangguk
setuju dan dua orang lain di sebelahku segera mengiyakan. Aku
mengulurkan tangan mengajak mereka berkenalan. Merekalah
kawan baru pertamaku. Wira dari Malang, Agam dari Palembang, dan Memet asli Sumedang. Obrolan makan siang kami
menghasilkan sebuah kesepakatan: betapa bodohnya kami
mau menaati aturan ospek yang tidak jelas tujuan ini. Sejak
hari itu, kami berempat berteman lengket.
Kami baru bisa bebas dari lolongan para senior ketika
ada acara ceramah umum dari dosen senior. Hari ini aku senang karena kami akan mendapat ceramah dari Profesor Dr.
Mochtar Kusumaatmadja, mantan menteri luar negeri yang
dulu kerap aku lihat di TVRI. Aku terpaksa menjulur-julurkan
leher lebih tinggi untuk melihat beliau naik ke panggung. Kelompok ospekku kebetulan duduk paling belakang dari ribuan
mahasiswa baru. Walau aku bersikeras untuk konsentrasi, nada bicara Pak
Profesor yang datar menghanyutkan kesadaranku juga. Apalagi
kemarin kami bergadang mengerjakan tugas kelompok sampai
larut malam. Semakin banyak kepala yang terangguk-angguk.
Mata Wira dan Agam bahkan sudah tertutup dari tadi dan
mereka sepakat saling bersandar supaya kalau ketiduran tidak
roboh ke lantai. Aku memijit tengkuk sendiri agar tidak terbawa
arus mengantuk massal. Aku memutar otak bagaimana kantuk
ini segera hilang. Aku harus melakukan sesuatu yang berbeda.
Begitu moderator membuka sesi tanya-jawab, aku mengacungkan tangan tinggi-tinggi, bahkan tidak cukup dengan
mengacung, aku sampai berdiri. Melebihkan usaha di atas
orang lain, begitu yang aku pelajari di PM dulu. Mungkin bertanya di kala situasi mengantuk adalah caraku untuk bekerja
di atas rata-rata teman-teman yang tertidur.
Dari panggung, moderator melambaikan tangan ke arahku
dan aku berlari ke depan. Akulah penanya pertama di antara
seribuan lebih mahasiswa baru. Aku salami Pak Mochtar dan
beliau tersenyum senang mendengar pertanyaanku yang menggebu-gebu tentang status Palestina dan pengakuanku telah
menontonnya sejak kecil di TVRI. Dalam sekejap kantukku
sirna. Wira, Agam, dan Memet terkejut melihat aku berlari-lari
ke depan panggung. "Ngapain kamu sibuk maju ke depan segala?" tanya Wira.
"Biar nggak ngantuk dan biar bisa salaman dengan Profesor
Mochtar," jawabku mantap. Mata mengantuk mereka yang
sayu terheran-heran. Bunyi derap langkahnya berbeda. Ketipak-ketipuk sepatunya ringan dan pendek-pendek. Aku lihat ke belakang. Dia
lagi. Beberapa hari terakhir ini, aku tidak sengaja berjalan
seiring dengan orang yang sama dari Tubagus Ismail ke Pasar
Simpang Dago. Seorang gadis bermata bulat dengan bulu
mata lentik, wajahnya lonjong telur. Dia selalu bertopi wol
di atas kepangnya, menggendong ransel hijau tentara dan
berjalan dengan lincah membelah gang sempit. Sesekali dia
meloncati genangan air sisa hujan semalam dengan energik
sekali. Bahkan dengan melihat dia berjalan saja aku bagai ikut
bersemangat seakan-akan ini hari terindah.
Kami tidak janjian, kenal pun tidak, tapi kami sering naik
angkot yang sama dan turun juga di tempat yang sama. Hari ini
aku amati, ternyata dia juga menuju ke arah rumah kos kami.
Tapi dia belok kanan, masuk ke rumah yang berhadapan dengan kos kami. Sebuah rumah yang jauh lebih bagus daripada
tempat kosku dan Randai. Bahkan mungkin yang terbagus di
gang kami. Siapa dia" Aku sebetulnya penasaran, tapi aku juga pantang bertanya lebih dulu. Lebih tepatnya malu untuk bertanya. Selama berhari-hari aku hanya berani mengamati.
Mau tapi malu. Barulah pada hari kelima aku kumpulkan
semua keberanianku untuk mencoba menyapanya. Di sebuah
gang menanjak yang sempit, aku ambil ancang-ancang untuk
mempercepat langkah supaya bisa jalan sejajar dengan dia.
Dia terlonjak kaget ketika tiba-tiba aku muncul di sebelahnya.
Mulutku sudah terbuka dan pangkal lidahku sudah bergerak
untuk menyapa. Tapi bagai ditegur hantu belau, suaraku
mogok untuk keluar. Mampat.
Daripada malu, aku terus mempercepat langkah melewati
dia, dan terus ngebut berjalan sampai puncak gang terjal itu.
Pura-pura tidak peduli. Aku tersengal-sengal sambil merutuk
diri sendiri panjang-pendek. Tenang, masih ada kesempatan di atas angkot. Aku berhasil memproduksi senyum tipis
dan anggukan tanpa suara yang sopan ketika kami duduk
berhadapan di angkot yang padat. Sayang sekali, genggaman kenek yang penuh uang receh tiba-tiba muncul menyerobot di depan batang hidungku. Genggaman itu bergoyanggoyang menuntut diisi oleh para penumpang, tapi sekaligus
menghalangi pandangan antara aku dan gadis itu. Kon50
sentrasiku pecah dan senyumku pun layu sebelum berhasil aku
tembakkan dengan sempurna. Punah tanpa guna.
Selama ini aku tidak pernah punya masalah kalau mau pidato atau mengobrol dengan siapa saja. Tapi itu dulu, di Pondok
Madani yang semua pendengarnya hanya laki-laki. Begitu ada
pendengar perempuan, nyatanya kelincahan lidahku pudar.
Sore itu langit Bandung kelam dan angin datang menderuderu. Dengan tergesa-gesa aku turun dari angkot dan menghambur ke gang menuju rumah kosku. Gerimis halus seperti
tepung mulai hinggap satu-satu di bajuku. Semoga jangan
keburu hujan, karena aku juga tidak punya payung.
Di tengah kekisruhan sore mendung itu, dia muncul lagi.
Gadis periang bermata bulat dan bertopi wol itu beberapa
langkah di depanku. Gerimis makin rapat dan kami semakin
cepat berjalan. Tangannya sibuk menyiapkan payung. Tapi
embusan angin yang kuat membuat dia kesulitan membuka
payung. Angin bertiup lagi dan kali ini menyeret payungnya
yang sudah terkembang. Topi wol hijaunya juga hampir copot.
Dalam sekejap keduanya lepas dan jatuh, dan entah kenapa
berguling-guling tepat ke arahku. Dengan perasaan seperti
pangeran berkuda yang perwira, aku tangkap payung dengan
tangan kanan dan topi wol dengan tangan kiri.
Di tengah gerimis dingin dan angin bersuit-suit, aku merasa
heroik sekali ketika menyerahkan kedua barang ini ke tangan
gadis itu. Dia segera mengenakan topi sambil berkali-kali meng51
ucapkan, "Terima kasih, Mas. Terima kasih, Mas". Payung
dikembangkan untuk menudungi dirinya dari gerimis. Aku,
entah kenapa, mematung tidak tahu mau melakukan apa. Dia
melihat kepadaku dengan mata besarnya yang bertanya-tanya.
"Ayo kita pulang, sebelum basah kuyup," ajaknya dengan senyum lebar, sambil mengayun langkah. Bagai kerbau dicocok
hidung, aku patuh mengikuti langkahnya.
Ah, sekarang kesempatanku terbuka lebar untuk memulai
pembicaraan. Ayo, tanya apa yang ingin kautanyakan, kata
hatiku. "Ehm" ehm... maaf, kuliah di Unpad juga, ya?" aku paksakan suaraku tenang dan berwibawa. Tapi apa daya, yang keluar
dari mulutku suara bergetar yang tipis, kalah oleh deru angin.
Aku bahkan malu sendiri dengan bunyi dan isi pertanyaanku.
Nggak mutu, rutuk hatiku. Tapi sayang, sudah terlambat, gadis
ini telanjur mendengar dan memandangku.
Lensa matanya yang cokelat tua itu melebar. "Iya, sama
kan kita" Dari kemarin kan kita bareng dari Dipati Ukur," jawabnya ringan sambil tersenyum. Mati gaya aku. Aku coba tersenyum, tapi aku yakin senyumku tidak simetris karena malu.
Jangan-jangan dia tahu selama ini aku mengamatinya.
"Aku Raisa. Anak Komunikasi," katanya mendahuluiku
sambil mengangguk. Tangannya terulur.
"Alif, aku ambil HI. Nama yang bagus," jawabku dengan
nada ditegar-tegarkan menyambut salamnya. Dia tersenyum
lagi, kali ini aku lihat pipinya bersemu merah.
"Ehm, terima kasih. Nama itu pemberian nenek. Eh, Alif, kamu yang kemarin bertanya pertama kali pada Pak Menlu itu, ya?"
Apa" Dia tahu" Ooo alamak, dadaku rasanya mengembang
seperti pelampung. Lubang hidungku kembang-kempis dan
rasanya lapang karena mekar. Siapa menyangka, dia mengenaliku di tengah ribuan mahasiswa baru. Ah, bangganya aku...
"He eh, iya. Kebetulan dipilih moderator," kataku merendah.
Mukaku terasa hangat terbakar walau terus ditetesi gerimis.
Kami berjalan menuruni gang sampai rumah kos sambil
mengobrol ringan. Lebih tepatnya aku lebih sering jadi pendengar yang khusyuk. Tetesan gerimis yang turun dari ujungujung rambut tidak aku pedulikan. Sampai di depan rumah
kami, aku belok ke kiri, dia belok ke kanan.
Dia telah hampir sampai di depan pintu, tiba-tiba membalikkan badan. "Besok bareng ya," katanya sambil melambaikan
tangan dan menyiramkan sebuah senyum manis. Mulutku menganga sambil mengangguk-angguk senang.
Randai yang sedang mengetik tampak bingung melihat aku
menerobos ke kamar dengan bersiul-siul dan bersenandung
tak jelas. "Kenapa, Kawan" Habis makan hati burung murai" Bersiulsiul terus?" tanyanya penasaran. Aku ceritakan kepada Randai
perkenalanku dengan Raisa tadi dengan bangga.
Randai tertawa lebar sambil menukas. "Ah, wa"ang terlambat sekali. Sudah lama kami tahu itu. Dia mulai kos di depan
rumah itu sejak beberapa minggu lalu bersama kakaknya yang
mahasiswi ITB. Bukan cerita baru."
Jangan-jangan Randai malah sudah kenal dengan Raisa,
tetangga kami yang berkilau ini.
Pemberontakan dan Bendera Putih emua junior, ambil posisi squat jump!" semprot lima orang
senior bermuka sengak berentetan. Kami, para junior malang, dengan bersungut-sungut kembali bersiap ke posisi yang
memilukan itu. Persis seperti tawanan perang yang nestapa.
Jumbo, julukan seorang senior yang terkenal galak, melangkah cepat ke depan barisanku. Suaranya melengking-lengking,
berteriak menyuruh aku, Wira, dan Agam untuk jongkok lebih
rendah. "Lebih rendah, lebih rendah lagi, junior pemalas!"
Aku menggeretakkan geraham kesal. Setelah ospek universitas, sekarang giliran ospek fakultas. Kami akan terjajah
lagi oleh kegiatan yang tidak jelas kegunaannya. Darahku
menggelegak. Baru sejam yang lalu kami squat jump karena
ada teman yang terlambat. Kini diulang lagi karena ada teman
yang salah pakai kostum. Aku lirik Agam yang berjongkok di kiriku. Dia memandangku sebentar dengan mata berapi-api, giginya gemeletuk,
keringat menyemut di keningnya. Pinggir bibirnya berkedutkedut. Di kananku, Wira si kera ngalam18 yang berparas putih
Kera ngalam: sebutan akrab buat orang Malang. Kebalikan dari kata
"arek Malang". ini telah menjelma seperti udang direbus matang. Merah
padam. Matanya tidak lepas-lepas menantang telunjuk Jumbo
yang menghardiknya. Jumbo kini maju semakin dekat di
depan kami yang mencangkung pasrah. Sepatunya yang lebar
seperti perahu berhenti beberapa senti di depan Wira. Dengan
berkacak pinggang, dia berteriak-teriak tidak tentu.
Sepatu perahu Jumbo beringsut maju dan nyaris menginjak
sepatu Wira. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya komando,
aku melihat Wira berkelebat cepat. Dia bangkit dari jongkok,
menyergap dan menelikung tangan Jumbo. Agam yang jongkok
di kiriku, tidak disangka-sangka juga bergerak. Tangannya
mendarat di leher Jumbo dan memitingnya. Jumbo merontaronta dan melenguh-lenguh seperti kerbau pembajak sawah.
Tapi telikungan Wira dan pitingan Agam di lehernya terlalu
kuat. Aku terbengong sesaat. Tanpa sadar aku ikut berdiri.
Mengacungkan tangan ke atas, mendukung kedua kawanku
memelopori sebuah gerakan kemerdekaan kami para anak
baru di fakultas. Satu barisan senior dengan cemas tampak berlari ke arah
kami sambil berteriak-teriak. Bandana merah, pertanda dari
kesatuan pengamanan, melambai-lambai di lengan mereka.
Gerombolan ini semakin mendekat dengan cepat ke arah
kami bertiga dan tampaknya tidak ada maksud untuk berhenti.
Kami bisa dilindas. Tiba-tiba dari belakang aku merasa ada dorongan yang
kuat. Aku lihat puluhan orang mendorong-dorong ke depan.
Rupanya kawan-kawan kami juga telah kehilangan takut,
yang laki-laki maju menyongsong, yang perempuan berteriak
menyemangati dari belakang. Kini bukan kami bertiga saja
yang ada di barisan depan, semua mahasiswa baru laki-laki
telah berbaris sejajar. Saling mengunci tangan bersama.
"Jangan takut dengan senior. Mari kita bertahan. Kita menang jumlah!" teriak Wira sambil menyeret Jumbo yang masih
ditelikung ke dalam barisan kami.
Bau keringat bercampur aduk dengan debu yang mengambang. Barisan kami semakin rapat, beberapa temanku berteriak
bersahut-sahutan untuk saling menyemangati. Aku bisa merasakan semua uratku mengejang dan tinjuku mengepal. Tapi
barisan senior juga terus merangsek maju. Beberapa detik lagi
pecah adu fisik. "Tahaaan!" seorang senior tiba-tiba berteriak.
Barisan senior ini melambat dan berhenti ragu-ragu setengah
meter di depan kami. Napas mereka memburu, menyemburnyembur sampai terasa ke badanku.
Kedua kubu berhadap-hadapan, tapi tidak ada yang melanjutkan gerakan, juga tidak ada yang beringsut dari posisi
masing-masing. Hanya teriakan memekakkan telinga terdengar
berlomba dari semua arah. Salah satu berteriak, "Kalian mampus, telah melawan senior. Rasakan hukumannya!"
Agam berteriak balik, "Kalian yang mampus, kalau berani
maju satu-satu. Jauh-jauh aku datang bukan untuk ditindas!" Sementara Jumbo yang berbadan besar itu kembali memberontak
dan menggeram keras. Hampir dia lepas. Tapi Agam kembali
menguasai lehernya dan menghardiknya untuk duduk.
"Heh, dengar kau. Bagi orang di kampungku, kalau harga
diri kami disinggung, bisa berakhir dengan tujah.Tahukah kau
apa itu tujah" Tikam dengan pisau," seringai Agam. Mendengar
tentang tikam ini, mata Jumbo yang tadi masih nyalang tibatibanya meredup dengan muka pias. Peluh membuncah di
dahinya. "Tapi jangan takut. Untunglah kau, aku tidak punya
pisau," kata Agam sambil terbahak usil.
Melihat mental Jumbo sudah layu, Agam menepuk-nepuk
puncak kepala Jumbo yang sebesar kelapa sambil terkekehkekeh. "Kakak senior ini gede kali dan sudah tua tapi kok
kurang akal." Seperti gajah jinak ditepuk-tepuk pawangnya,
Jumpo hanya kuyu dan pucat. Kegarangannya telah raib ditelan
angin. Wira tidak mau ketinggalan unjuk gigi. Suaranya parau
dan kencang. "Eh, dengar, kami itu bukan anak kemarin sore.
Jangan main-main ya. Perlakukan kami dengan adil dan manusiawi. Kalau sekali lagi kaurendahkan arek Malang, apa pun
kami libas. Apalagi senior kayak kau!"
Kawan satu angkatanku yang berjumlah ratusan orang bergemuruh berteriak dan bertepuk tangan mendukung kami. Aku
tahu, mereka adalah tawanan yang telah merdeka. Dan orang
merdeka tidak bisa lagi dijajah dengan kata-kata dan intimidasi.
Bahkan ada di antara mereka yang sudah bisa melawan balik.
"Senior nggak berwibawa!" teriak seseorang dari kerumunan
di belakang, lalu disusul dengan lemparan sepatu yang tepat
mengenai salah seorang senior yang berbaris paling depan.
Aku mencium pertumpahan darah. "Kurang ajar, anak
baru lancang!" Kali ini para senior benar-benar melabrak kami. Di tengah hiruk pikuk aku merasa keningku dihantam
sebuah tangan. Panas dan benjol. Keadaan semakin riuh dan
aku khawatir akan banyak korban fisik.
Sekonyong-sekonyong, seseorang menyeruak dari belakangku sambil berteriak melengking-lengking. Nyaris seperti
menangis. "Da... da... damai... damai.... Akang... Teteh... te...
te... teman... da... damai!" Dia menyibak kerumunan, berlari
seorang diri menyeruak di antara barisan senior dan barisan
kami. Beberapa temanku mencoba menariknya kembali ke
barisan, karena khawatir dia dihajar oleh para senior.
Aku melongo. Ya Tuhan, anak yang berperawakan gembul
ini berlari terus berputar-putar dengan lucunya. Bukan putarannya yang aneh yang membuat kami takjub, tapi karena dia
mencopot baju putihnya dan mengibar-ngibarkan kain putih
itu tinggi-tinggi. "Da... da.... mai... damai... Ini be.... bendera
pu... putih... artinya damai!" teriaknya berulang-ulang dengan
bertelanjang dada. Lemaknya bergelambir di perut dan dada.
Melihat adegan buka baju ini, kedua belah pihak yang sedang
emosi menjadi terdiam. Ada yang bingung, tapi beberapa
orang terbahak-bahak melihat adegan ini. Kawanku yang bertelanjang dada ini adalah Memet, si pencinta damai sejati.
Pertikaian hari ini berakhir di kantor dekan. Mahasiswa
baru dan lama dianggap sama-sama salah, karena itu semua
pihak berjanji tidak akan memperpanjang masalah dan menandatangani surat perjanjian damai. Dan sejak hari itu, kami


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dianggap angkatan Malin Kundang, yang berani melawan
senior dan nekat dalam bertindak. Akibatnya jadwal ospek berubah total, tidak ada lagi hukuman dan pemaksaan dan tidak
ada seorang senior pun berani membentak kami lagi.
Sejak hari itu Wira, Agam, Memet, dan aku merasa diri
kami bagai pasukan yang baru menang perang. Kami kerap
pulang bersama dan berkumpul di kos Wira sambil memesan
martabak manis. Berjam-jam kami mengobrol hilir-mudik.
Topik yang paling kami sukai adalah saat Memet maju
mendamaikan dua pihak yang bertikai sambil bertelanjang
dada. Kami lalu terpingkal-pingkal sampai sakit perut setiap
mengulang cerita ini. Jadi, kalaulah ada manfaat ospek bagiku,
yaitu mengakrabkan aku dengan kawan-kawan satu angkatan.
Agam adalah perekat kami. Dia selalu punya humor heboh
untuk diceritakan. Agam suka mengikat tali sepatu orang
lain atau melempar bola kertas untuk mengusili teman yang
mengantuk. Kalau sedang tertawa dengan lawakannya sendiri,
badannya yang gempal seperti beruang madu terguncangguncang heboh. Sesekali dia menjelma menjadi orang berwajah
serius dan bisa berbicara seperti orator ulung, lengkap dengan
acungan kepalan tangan. Saat kami suntuk dengan kuliah, dia berbisik merencanakan
sebuah perjalanan dadakan. "Nanti aku pinjam mobil saudaraku di Buah Batu. Habis kelas terakhir, kita jalan-jalan ke
Tangkuban Perahu." Kami langsung berbinar membayangkan
nanti memamah jagung bakar di tengah dinginnya hawa pegunungan.
Wira pemuda berkulit bersih, berpostur atletis, dan tinggi.
Suaranya lantang tapi parau pecah sehingga selalu membuat
orang kaget atau mungkin terganggu mendengarnya. Tapi
suara itu sungguh modal utamanya untuk membuat orang
melihat ke arahnya kalau lagi bicara. Selain faktor suara,
tampangnya yang sedap dipandang itu membuat banyak mahasiswi baru berbisik cekikikan, bahkan juga beberapa senior
cewek. Wira tampaknya mengerti sekali dengan kelebihan ini.
Semangatnya selalu meluap-luap dan memengaruhi kawan
yang lain. Mungkin karena semua faktor ini Wira terpilih
sebagai ketua angkatan kami.
Memet juga berbadan subur, tapi kebalikan dari Agam.
Dia pencinta damai dan selalu melarang Agam mengganggu
orang lain. Karena itu mereka sering bertengkar. Kegiatan
utama Memet adalah sibuk membantu siapa saja. Kalau kami
kehausan, dia akan dengan senang hati mengangsurkan botol
minum. Dia juga pemotong rambut yang andal. Beri dia gunting
dan sisir, sebutkan model rambut, maka dengan telaten dia
membabat rambut kami sesuai pesanan. Beruntunglah kami
bertiga karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk potong
rambut, karena selalu ada Memet.
Kalau kami semua sedang mati angin, Memet akan merogoh
ranselnya dan mengeluarkan setumpuk kartu atau papan catur
kecil dan menantang siapa saja main. Tapi yang paling dia
banggakan adalah permainan kartu bernama Uno. "Ini baru
ada satu di Bandung, sengaja aku titip kepada om-ku yang
tinggal di Amerika," katanya meyakinkan. Karena sering main
Uno, lama-lama kami menyebut diri sebagai Geng Uno.
Kami berempat suka berkumpul berganti-ganti dari satu kos
ke kos yang lain. Saling berbagi cerita, lawakan, dan rencanarencana masa depan. Mereka ini mungkin yang akan menjadi
saudara-saudara baruku selama kuliah di Bandung. "Saafir
tajid "iwadan amman tufarikuhu," begitu Imam Syafi"i memberi
nasihat. "Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti kerabat
dan kawan." Kawan-kawan terbaikku di Pondok Madani,
Sahibul Menara, telah berpencar merantau untuk mengejar
impian masing-masing. Tapi lihatlah hari ini, tiga kawan baruku
ini mungkin pengganti Sahibul Menara yang aku rindukan.
Semoga para Sahibul Menara juga mendapatkan kerabat dan
teman baru di mana pun mereka sekarang berada.
Awalnya, aku hanya berniat menumpang tinggal barang
satu-dua minggu di kamar Randai, sambil mencari tempat kos
sendiri. Tapi sudah sebulan aku tidak kunjung mendapatkan
kos. Bukan karena tidak ada lagi kamar kos yang tersisa di
Bandung, tapi karena dana yang aku anggarkan terlalu kecil.
Jadi sampai kini aku masih sekamar dengan Randai. Padahal
di kamar ini hanya ada satu kasur yang tidak muat untuk
berdua. Karena berhemat, maka membeli kasur dan bantal
bukan prioritasku. Jadi, aku hanya bisa menumpangkan kepala
di ujung kasur sebagai bantal, menggelar sajadah sebagai alas
tidur dan berkelumun kain sarung.
"Aden belum mendapat tempat kos yang cocok," keluhku
pada Randai. "Cocok apa dulu" Lokasi, fasilitas, atau bayarannya?"
"Ya semuanyalah, terutama bayaran."
"Wah... kalau soal bayaran, memang agak sulit mencari
tempat kos murah." "Tapi aden tidak enak menumpang terus bersama wa"ang."
"Lif, kita kan kawan, tinggal saja dulu di sini sampai ketemu kos yang pas."
"Terima kasih. Tapi ya tidak jelas kapan akan ketemu."
Randai terdiam sejurus dan menatapku dengan sungguhsungguh.
"Atau begini saja. Bagaimana kalau gabung saja dengan
aku di sini, kita bisa patungan bayar berdua kamar ini."
Randai tampaknya kasihan padaku. Dengan senang hati
segera aku terima tawarannya. Tawaran ini jelas yang terbaik,
jauh lebih murah, dan tempat kos tidak jauh dari kampusku
di Dago Atas. Itulah Randai. Sebagai kawan, dia orang yang
setia. Walau di banyak bidang kami bersaing, kami tetap
berusaha akur. Di kos ini aku menyaksikan bahwa ternyata tidak gampang
bertahan menjadi mahasiswa ITB. Mereka jelas orang pilihan
dengan nilai bagus dan otak encer. Walau begitu, dari subuh
mereka sudah belajar, lalu pergi kuliah, pulang sebentar, belajar
lagi berkelompok, lalu malam hari mengerjakan tugas sampai
larut malam. Kesungguhan mereka tidak kalah dengan kami
waktu di Pondok Madani dulu.
Semua teman di kosku rajin belajar, kecuali satu orang.
Siapa lagi kalau bukan kawanku seorang: Randai. Dia belajar
kapan dia mau. Bahkan sering di saat teman lain sibuk belajar, dia malah sibuk merapal petatah petitih Minang atau
memainkan alat musik saluang. Herannya, Randai tetap mendapat nilai lumayan bagus. Tidak beda jauh dengan teman-temannya yang lain di jurusan Teknik Penerbangan.
Tidak hanya kesenian tradisional yang dia suka. Kalau
sedang bangkit semangat bernyanyinya, dia akan putar kaset
rock keras, mengambil gitar bass-nya dengan melonjak-lonjakkan badan seperti gitaris sejati. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar, seiring dengan kepalanya yang digoyang-goyang
seperti orang gila. Kalau saja dia seorang penyanyi, dengan
postur tinggi, berkulit putih, dan rambut gaya begini, tentulah
banyak gadis yang akan lumer hatinya.
Musa dan Khidir ampusku, jurusan Hubungan Internasional, terletak di
pinggang perbukitan Dago, menempel dengan Dago
Tea Huiss. Bangunannya tua, bergaya art deco yang lurus-lurus
dan dinaungi rimbunan pohon-pohon tanjung yang besar.
Jalan aspal mendaki ke kampus ini diseraki daun besar-besar
yang gugur. Burung sibuk bercericit di sana-sini.
Selain kuliah, pada bulan-bulan awal kami sibuk memilih
kegiatan di luar kelas. Karena ingin berolahraga, aku ikut klub
renang yang berlatih di kolam renang di daerah Cipaganti.
Tapi setiap selesai berenang aku pilek dan ingusan. Lebih memalukan, ada putih-putih menyerupai panu tumbuh di punggungku setiap selesai berenang di terik matahari. Mungkin
perpaduan udara Bandung dan air dingin tidak cocok buatku.
Karena itu aku pensiun dini setelah tiga minggu latihan. Wira
masuk klub sepak bola, Agam, di luar dugaan masuk paduan
suara. Siapa menyangka suaranya bagus" Dan Memet masuk
klub budaya Sunda. Aku juga meluangkan waktu 2 jam seminggu untuk
mengajar bahasa Arab di Masjid Salman ITB. Tentu saja
gratis. Ini caraku mengabdikan ilmu yang aku dapat di Pondok
Madani kepada masyarakat. Nasihat Kiai Rais berdengung-dengung di kepalaku, "Jadilah seperti anjuran Nabi, khairunnas
anfauhum linnas, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang
memberi manfaat bagi orang lain."
Tapi di antara semua kegiatan itu, yang paling menarik
hatiku tetap dunia tulis-menulis. Begitu melihat poster penerimaan awak baru majalah kampus, aku langsung mendaftar.
Pada hari pertamaku bergabung dengan majalah Kutub,
aku berdesak-desakan dengan belasan mahasiswa lain di
sebuah kantor sempit penuh tempelan poster dan sebaris
lumut hijau di pojok ruangan. Saking kecilnya ruangan itu,
hanya sebagian yang bisa duduk di dalam, sisanya berdiri atau
duduk di koridor luar. Seorang senior dengan potongan rambut cepak dan dagu
terangkat membuka suara. "Nama saya Togar Perangin-angin,
Pimpinan Redaksi Kutub. Teman-teman semua, selamat bergabung dengan kami, kelompok berotak terbaik di FISIP.
Terbaik karena segala sesuatu yang besar di dunia ini dimulai
dengan tulisan. Maka tulislah hal-hal terbaik." Wajahnya
persegi, suaranya nyaring, matanya berkilat-kilat. Pokoknya
semua unsur percaya diri memenuhi sekujur badannya yang
tegap. Kami para awak baru mengangguk-angguk takzim.
Bang Togar dikelilingi beberapa kakak dewan redaksi.
Mereka semua 3 tahun di atasku. "Bang Togar itu penulis
muda terkenal lho," bisik Mira, seorang senior. Dia bercerita,
Togar masih mahasiswa, tapi telah menjadi penulis tetap
di berbagai media, bahkan menjadi kontributor reguler di
Kompas. "Dosen saja belum tentu bisa tembus Kompas," katanya membanggakan pimpinan redaksinya. Aku mendengar
dengan penuh minat. Siapa tahu Bang Togar bisa jadi guruku
dalam menulis. "Tapi dia sangat keras dan agak sombong.
Banyak yang mau belajar menulis sama dia, tapi sering ditolak
atau orang itu gagal di tengah jalan," kata Mira berbisik.
Jangan-jangan dia salah satu yang ditolak atau gagal, kataku
dalam hati. Setelah perkenalan semua yang hadir, rapat membahas
tema edisi bulan depan tentang Palestina. Sambil mengedarkan
pandangan kepada kami, Bang Togar bilang, "Teman-teman
baru, kalian semua aku tantang. Tulisan terbaik yang masuk
dari kalian akan dipertimbangkan untuk dimuat. Buktikan
kalian mampu menulis, bahkan dari edisi pertama kalian
bergabung." Dalam hati aku terbakar. Aku senang dengan
tantangan seperti ini dan aku bertekad akan menjawab tantangan ini. Insya Allah. Man jadda wajada.
Nasihat Kiai Rais berdering di kepalaku. Selalu pilih teman
dan lingkungan terbaik. Kalau berteman dengan tukang parfum, nanti akan kecipratan wangi. Kalau berteman dengan penulis, siapa tahu aku juga ikut pandai menulis. Apalagi kalau
aku sampai bisa berguru ke Bang Togar. Maka dengan penuh
semangat aku mendekatinya.
"Ada apa kau?" tanyanya mengagetkan aku. Baru mau mendekat saja sudah disalak.
"Ehmm, Bang, aku anak baru..."
"Iya aku tahu. Tadi sudah kenalan, kan?"
"Bang, aku ingin sekali bisa menulis. Tapi menulis sekaliber
Abang. Tidak hanya di majalah kampus, tapi ingin dimuat
media nasional." Dia menatapku sebentar. Mengernyitkan kening, mungkin
tidak yakin dengan apa yang dia dengar.
"Benar, kau ingin menulis bagus?"
"Sudah tujuanku, Bang. Aku ingin belajar sama Abang."
"Menulis kaliber nasional itu butuh kerja keras dan tidak
gampang." "Aku siap kerja keras, Bang."
"Setiap tahun selalu ada yang bilang begini, tapi mereka
gugur dan tidak kuat."
"Aku berbeda, Bang," kataku berani sambil mengangguk
kencang. "Tidak yakin aku. Sudah banyak yang bikin aku kecewa.
Semangatnya cuma seminggu, setelah itu kempis. Malas aku,
capek-capek aku ajar, tak ada hasilnya."
Wah, ternyata orang ini tidak gampang berbagi ilmu. Baik,
aku akan coba jurus yang pernah dipergunakan Baso untuk
bisa mendapat guru terbaik di Sulawesi. Hampir-hampir dia
ditolak, tapi akhirnya hati gurunya luluh dengan jurus ampuh
ini. Maka dengan membulatkan tekad, aku beringsut mendekat
kepada Bang Togar. Aku rendahkan suaraku, hampir berbisik.
"Bang, bagiku Abang seperti Nabi Khidir yang punya banyak ilmu, dan aku adalah Musa. Aku menyerahkan diri dan
ingin patuh kepada Abang, seperti Musa berguru pada Nabi
Khidir. Tolonglah aku dipertimbangkan Bang,19" kataku sungguh-sungguh. Kalau Baso tahu, pasti dia bangga dan senang
aku memakai jurusnya. "Berani-beraninya kau ya. Sampai bawa-bawa nama nabi
segala. Ayo kita coba. Kalau kau benar-benar serius, datang
ke kos aku besok pagi jam 8. Bawa satu tulisan 5 halaman
dengan spasi 2. Tidak boleh terlambat sedetik pun." Matanya
tajam menikamku. Aku menunduk. Belum belajar kok sudah
dapat tugas" "Ehmm, Bang, tapi aku belum tahu mau menulis apa. Bisa
kasih waktu?" Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, dia
menyerobot ketus. "Mau pintar kok pakai tawar-tawar. Tulisan urusan kau.
Kalau serius, datang bawa satu tulisan besok. Kalau tidak bisa,
tidak usah sekalian. Titik."
"Ba... baik, Bang," kataku gelagapan. Mira benar, Bang
Togar keras dan sombong sekali. Tapi aku malah semakin
penasaran. Seberapa keras dia. Akan kulayani kekerasan dia,
dan kita lihat siapa yang paling tahan.
Mira dan kakak-kakak senior lain tersenyum-senyum melihatku diganyang Bang Togar. Mira berbisik lagi, "Apa kataku
tadi. Kami semua pernah mencoba, tapi hampir semua kandas."
"Kamu akan masuk ke sarang singa. Masih ada kesempatan
Terinspirasi hikayat yang terkenal tentang Nabi Musa yang belajar
banyak hikmah dan kebijakan dari Nabi Khidir yang punya ilmu dan kebijakan sedalam samudra.
mundur. Aku dulu tidak jadi belajar karena dia galak banget,"
kata Rudi, satu senior lain berkomentar. Haduh! Tapi aku
sudah kepalang basah. Pantang aku mundur kalau belum
mencoba. Deadline tulisanku jam 8 pagi besok. Padahal saat ini sudah
sore. Aku hanya punya waktu malam ini saja. Janji jalan ke
Bandung Indah Plaza dengan Geng Uno terpaksa aku batalkan. Aku segera berlari ke perpustakaan untuk riset dan
tersaruk-saruk mengejar angkot Dago-Kalapa. Harus segera
pulang ke kamar kos dan mulai menulis. Sekarang juga!
Sambil selonjoran di kamar, beberapa jam aku habiskan
mencorat-coret konsep kasar tulisanku. Beberapa buku referensi dari perpustakaan bertaburan di depanku. Tulisanku
berisi tinjauan historis upaya menuju Palestina yang merdeka.
Randai yang sedang mengerjakan tugas terheran-heran melihat
aku menulis awut-awutan seperti dikejar setan. Menjelang tengah malam, aku menghela napas, naskah tulisan tangan selesai juga. Tinggal mengetik saja.
Aku rogoh dompetku yang kurus tipis. Ini akhir bulan,
duitku tinggal beberapa lembar terakhir saja. Sayang kalau
harus aku pakai untuk mengetik di rental komputer. Aku
putar akal. Kemungkinan lain adalah meminjam komputer
Randai. Tapi aku tahu dia sedang mengejar tenggat tugasnya
besok pagi. Dari tadi pantatnya seperti dilem di kursi, tidak
beranjak dari komputer. Aku lirik lagi dia. Oh, kali ini dia
tidak mengetik seligat tadi. Sedikit-sedikit berhenti, dagunya
turun dan berayun-ayun sementara matanya semakin kuyu,
sekali-sekali mengerjap-ngerjap.
"Oi lah barek bana mato tu. Mata kamu sudah berat tuh.
Sudah lewat tengah malam. Tidur dulu aja," bujukku supaya
dia istirahat dulu. Kalau dia tidur, aku bisa mengetik. Randai
hanya geleng-geleng kepala tak bersuara, antara mengusir kantuk dan tidak setuju usulku. Baru mengetik beberapa ketuk,
kepalanya layu lagi. Aku urut seprainya, aku kibarkan selimut, dan aku tepuktepuk bantal Randai. "Sudah, kasur sudah rapi, pasti enak


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau ditiduri," kataku sambil mengarahkan telapak tangan ke
kasur, bergaya seperti petugas hotel berbintang terbungkukbungkuk menyilakan tamunya masuk.
"Hmmm" saketek lai. Sedikit lagi," katanya mengucek-ucek
matanya yang sudah lengket. Dia belum mau juga menyerah.
"Tidur dululah sebentar, nanti pagi dilanjutkan habis subuh.
Aku pinjam dulu komputermu. Tuh kasur sudah menunggu,"
kataku membujuk rayu dia sambil menepuk-nepuk bantal
lagi. Buk... buk... buk. Siapa yang tahan mendengar rayuan
ini" Randai melihatku sekilas dengan matanya sayu. Aku
tahu hatinya telah goyah, dan bagai batang pisang roboh,
dia menjerembapkan dirinya di kasur, menelungkup seperti
tak mau bangun lagi. Yes! Berhasil..., teriakku dalam hati.
Dengan sukacita aku rebut kendali komputer Randai. Bunyi
dengkuran Randai yang naik-turun setia mengiringi irama
ketukan keyboard-ku. Tulisan pertamaku untuk Bang Togar
harus selesai pagi ini. Tidak gampang membuat tulisan dengan logika jernih
sebanyak 5 halaman pada dini hari. Aku coba pompa semangatku dengan meneriakkan man jadda wajada, namun setelah
beberapa jam, kepalaku terangguk-angguk. Tidak kuat lagi,
aku menggelar tikar, dan terkapar di sebelah kasur Randai.
Aku terlompat dari tidur begitu TOA di mushola sebelah
rumah kembali berdengung. Suara azan Subuh. Mumpung
Randai masih terkapar, segera setelah salat Subuh aku kebut
lagi tulisanku dengan penuh semangat. Tampang Bang Togar
yang sok terbayang-bayang. Aku tidak akan mengizinkan
dia merendahkanku karena tidak berhasil setor tulisan tepat
waktu. Akhirnya, suara yang aku tunggu-tunggu itu terdengar.
Printer dotmatrix ini memekik-mekik gaduh. Tapi suara itu bagai nyanyian merdu di kupingku. Senangnya, melihat lembarlembar ini keluar dari mulut printer. Judul tulisanku pun
mentereng dan provokatif, "Kenapa Arab Gagal Membantu
Palestina". Bang Togar, aku datang.
Aku lirik jam. Tinggal 15 menit lagi aku sudah harus ada di
kos Bang Togar di Dago. Tanpa mandi dan sarapan, serabutan
aku sambar si Hitam, aku kantongi kaus kaki dan berlari
menembus gang sempit menuju jalan besar. Aku empaskan
badan di bangku angkot hijau jurusan Dago, aku sarungkan
kaus kaki di atas angkot dan pura-pura tidak sadar banyak
mata yang terbelalak heran memandangku.
Sayang sekali, angkotku masih belum penuh dan sedikitsedikit sopirnya yang botak dan berkacamata hitam melambailambaikan tangan ke setiap orang di pinggir jalan lalu berhenti
menunggu penumpang. Sopir tidak tahu diri. Satu lampu
merah lewat, tapi lampu merah kedua dia bahkan mematikan
mesin. Aku lirik jam tangan. Lima menit lagi aku akan kena
diskualifikasi Bang Togar. Ya sudah, aku nekat meloncat turun
sambil melempar receh ke sopir. Aku lanjutkan perjalanan
dengan menuruni Jalan Dago sambil berlari lintang pukang di
trotoar. Rasanya napasku mau putus....
Tikaman Samurai Merah engan terengah-engah akhirnya aku sampai juga di depan kos Bang Togar, yang tersuruk di belakang Rumah
Sakit Boromeus. Onde mandeh, dari jauh aku bisa melihat dia
telah tegak mematung di depan kamarnya. Berganti-ganti dia
melihat jam tangannya dan mukaku yang berlelehan peluh.
Mukanya berkerut-merut galak.
"Untung tepat jam 8. Hampir saja kau aku tolak," katanya
singkat. Suaranya keras dan dagunya terangkat 10 senti. "Mana
naskah kau?" sergah dia.
Segera aku rogoh ranselku dan cepat-cepat menyerahkan 5
halaman kertas yang terasa masih hangat keluar dari printer.
Senyumnya yang mahal muncul sekilas di bibirnya.
"Wah, boleh juga kau bisa menulis cepat," katanya sambil
duduk. Dia tidak tahu aku harus sahirul lail20, membujuk
Randai tidur lebih cepat, dan mengetik seperti orang kesurupan
sampai subuh. Tangannya menyeret sebuah kursi plastik hijau tua ke sampingnya. "Coba kau duduk di sini. Kita lihat apa kecepatan
kau ada kualitasnya," katanya dingin. Wajahnya kembali
Sahirul Iail: bekerja sampai jauh malam
serius membalik-balik tulisanku. Lalu dengan cepat tangan
kanannya merogoh saku bajunya, dan sebuah spidol merah
muncul. Dengan gigi, dicabutnya tutup spidol itu. Aku duduk
di sebelahnya mengerut. "Hmmm," geramnya sambil memelototi halaman pertamaku. Belum lagi aku selesai menghela napas, dengan sebuah gerakan kilat spidol merahnya berkelebat mendekat ke halaman
pertama. Aku tahan napas sambil menyeka peluh di dahi
dengan punggung tanganku. Bagian kalimat atau alinea mana
yang akan dikoreksinya"
Tidak. Tidak ada sama sekali kata atau kalimat yang dikoreksi. Yang terjadi adalah spidolnya bagai pedang samurai
tajam, berkelebat dua kali di atas halaman pertama. Menikam
cepat. Membabat ligat. Meninggalkan dua garis merah panjang
diagonal dari ujung atas ke ujung bawah. Berbentuk tanda
silang yang amat besar. Matanya mematut liar halaman kedua. Tangannya yang
menghunus spidol merah menggantung di awang-awang. Dalam pikiranku, dia kini telah menjelma menjadi penghunus
pedang samurai merah yang siap menikam ganas. Aku makin
terbenam di kursi plastik itu.
"Ini apa yang kautulis" Tulisan ilmiah kok macam puisi,"
katanya bersungut-sungut.
Sekali lagi pedang samurai bertinta merah itu beraksi, halaman kedua bernasib sama. Lantas halaman ketiga, halaman
keempat, sampai halaman terakhir. Setiap lembar tulisanku
dicoreng silang besar dari ujung ke ujung. Mulutku menganga
lebar. Tanganku keras mencengkeram ujung kursi.
Ya Tuhan, tulisanku, jerih payah kerjaku semalam suntuk,
kini dicukur gundul oleh pedang samurai bertinta merah
orang sombong ini. "Tidak berkualitas. Nih, ambil lagi semua, dan pelajari
kesalahan kau," katanya melempar naskah ke arahku. Aku
serabutan menangkap kertas yang melayang di udara itu. Semuanya dicorat-coret merah begini. Ada gejolak panas di hatiku. Kenapa kasar betul" Masa setiap lembar tulisanku buruk"
Dia menatapku sambil berkacak pinggang. "Ini tulisan sampah semua. Apa nggak bisa bikin yang lebih bagus" Tulisan
ilmiah tidak mendayu-dayu. Bagian awal harus memiliki pengantar yang kuat, lalu ada logika, terakhir ditutup dengan kesimpulan yang kuat."
"Maaf, Bang, ini pertama kali aku coba menulis artikel. Tolong kasih tahu apa yang perlu aku perbaiki?" tanyaku takuttakut sambil menyabarkan diri. Entah kenapa tiba-tiba aku
merasa terpojok seperti ketika berada di kantor KP atau saat
menghadapi Tyson semasa masih di Pondok Madani21.
"Kalau kau masih mau belajar, perbaiki tulisan ini hari ini
juga. Aku tunggu 4 jam lagi. Jangan terlambat. O ya, baca buku
ini sebagai rujukan," katanya sambil mengangsurkan sebuah
buku berjudul Cara Menulis Ilmiah Populer untuk Media.
Seperti orang kena sirep, aku patuh menerima buku itu, mengemasi 5 halaman yang berserakan dan terbirit-birit pulang
ke tempat kos. Coretan spidol itu tidak hanya menyabet
Ikuti perjalanan Alif waktu belajar di Pondok Madani di novel Negeri
5 Menara tulisanku, tapi juga melukai harga diriku. Aku bertanya pada
diriku sendiri: apakah pantas aku diperlakukan seperti ini"
Aku kan bukan anak bodoh kemarin sore. Aku bahkan pernah ditempa di kawah Pondok Madani sampai jadi seorang
murid paling senior. Lalu kenapa aku kini harus tunduk kepada orang Batak yang kelewat sombong" Mungkin tidak ada
gunanya punya guru yang seperti ini. Cari guru lain saja atau
belajar autodidak. Tapi hatiku mencoba menenangkan perasaanku yang panas.
Mungkin ini bagian dari perjuangan menuntut ilmu. Bukankah Imam Syafi"i pernah menasihati bahwa menuntut ilmu itu
perlu banyak hal, termasuk tamak dengan ilmu, waktu yang
panjang, dan menghormati guru. Kalau dia guruku, aku harus
hormat padanya dan bersabar menuntut ilmu darinya. Peduli
amat, banyak kok guru yang lain. Hatiku lalu bertanya: "Apa
sih niatmu" Kalau ikhlas untuk belajar, ya ikhlaskan niatmu
diajar dia." Akhirnya aku memilih untuk ikhlas saja, walau diperlakukan dengan keras. Hari ini aku sibuk sekali karena harus
memperbaiki naskah, mengetik ulang, mengantar, dan dicoret
Bang Togar lagi. Sampai berulang-ulang. Aku mulai merasa
seperti bola yang diempaskan ke dinding tembok, memantul,
diempaskan lagi, dan memantul lagi.
Ini sudah revisi keempat dan waktu menunjukkan jam 9
malam. Aku duduk di kursi hijau plastik yang sama di sebelah
Bang Togar yang kembali menghunus spidol merahnya. Ya Tuhan, aku tidak mau menyerah, tapi badan dan otakku rasanya
sudah mampet. Semoga tidak ada lagi koreksi. Semoga ini
yang terakhir. Kalau ada revisi lagi, aku rasanya tidak mampu
lagi berpikir hari ini. Spidol merah itu kembali terangkat, mengapung sejenak
di udara, siap menyabet. Aku menahan napas lagi. Tangannya
turun ke kertas. Berkelebat cepat lagi di atas tulisanku. Sreet.
Aku memejamkan mata pasrah. Tampaknya Bang Togar bukan
orang yang gampang dibikin puas. Sudahlah, usahaku sudah
maksimal. Kalau dia masih menganggap hasil kerjaku buruk,
aku mungkin harus menyerah. Aku mungkin tidak cocok atau
tidak sanggup berguru kepada dia.
"Nih, kau lihat baik-baik," katanya menyerahkan artikel
ke tanganku lagi. Dengan malas-malasan aku lihat sekilas. Paling-paling kena coret lagi. Tunggu dulu. Ada yang berbeda.
Ini bukan coretan silang besar seperti tadi. Garisnya ke bawah
dan melengkung ke atas. Ini bukan silang, tapi tanda contreng
BETUL. Aku balik halaman lain, semuanya dicontreng betul.
Hanya halaman 5 ada coretan kecil untuk memperbaiki sebuah
kalimat. "Logika bahasa penutup kau tidak jalan, terlalu lemah.
Tapi yang lain sudah baik," kata Bang Togar.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Bang," kataku girang campur
tak percaya. "Kau telah membuktikan bisa bekerja cepat dan di bawah
tekanan, walau masih sering salah. Perjanjian kita kalau kau
bisa disiplin, aku ajarkan rahasia menulis yang terbaik. Sekarang bawa pulang tulisan ini, bandingkan dengan yang pertama dan pelajari setiap kesalahan. Minggu depan kita ketemu
lagi. Kau harus bikin tulisan baru dengan tema: "Imperialisme
di Dunia Modern"."
Aduh. Baru saja aku senang dengan tulisanku, sudah ada
tugas baru. Mulutku mau mengeluh, tapi aku paksakan hatiku
untuk menerima tantangan ini. Sudah kepalang tanggung,
aku harus hadapi dia. Aku tidak boleh menyerah kalau ingin
dapat ilmu. Memet berlari-lari menyongsongku yang baru mendaki
halaman kampus yang berbukit-bukit. Di tangannya melambai-lambai sebuah majalah. "Hoi, Alif, hebat sekali kamu ya!
Lihat nih, tulisanmu masuk ke majalah kampus terbaru kita,"
katanya berbinar-binar sambil menyibak-nyibak halaman
Kutub, mencari-cari artikelku. Aku terlonjak kaget karena
tidak tahu bahwa tulisan tentang Palestina itu akan dimuat.
Dari jauh aku lihat Wira dan Agam berjalan cepat ke arahku.
Mereka juga menenteng majalah edisi yang sama.
"Wah, sebagai sesama anak baru aku ikut bangga nih," kata
Wira dengan logat Malang yang kental. Agam dan Memet merangkul bahuku, memberi selamat.
Dengan bergegas aku pergi ke kantor redaksi Kutub di
dekat ruang senat serta berpapasan dengan Mira yang tempo
hari membisikkan keganasan Bang Togar. Dia menyapa, "Alif,
tahan juga lu menghadapi si abang itu. Salut deh."
Aku tersenyum-senyum saja. Dia tidak tahu bagaimana
penderitaanku seperti setrikaan mondar-mandir ke kos Bang
Togar dan mengurut dada melihat tulisanku berkali-kali dicoretnya dengan spidol merah. Tapi melihat tulisanku seka78
rang terpampang di majalah kampus, semua rasa capek dan
kesal rasanya terbayar lunas. Benar seperti kata Imam Syafi"i,
"Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang."
Bang Togar sedang menyeruput kopi hitamnya di ujung
ruangan. Lesehan. Wajah kotaknya kali ini berisi senyum.
"Hebat juga kau, Lif. Baru semester pertama, masih ingusan,
tapi tulisanmu sudah dimuat di majalah kampus," katanya dengan senyum tersungging. Tumben dia ramah.
"Terima kasih untuk bimbingan Abang," balasku.
"Tau gak, tidak gampang tembus editingku. Banyak kakak
kelas kau yang gagal, bukan karena tulisan jelek, tapi karena
tidak mau belajar cepat dan spartan," katanya bangga dengan
otoritasnya sendiri. "Aku beruntung bisa belajar langsung."
"Ya kalau kau nggak tahan di hari pertama, sudah kutendang
kau." Aku hanya mengangguk-angguk. Bergidik mengingat gayanya melatih menulis.
"Nah, kau sudah masuk majalah kampus. Jangan senang
dulu. Berikutnya kau harus menulis di media massa. Untuk
itu perlu latihan yang lebih keras, tidak semudah kau belajar
kemarin itu," katanya. Waduh, kalau kemarin disebutnya mudah, bagaimana yang beratnya.
"Terima kasih, Bang. Aku akan mencoba terus menulis
untuk majalah kampus dulu," kataku menolak dengan halus.
Dalam hati aku berjanji tidak akan lagi datang ke dia dan
menjalani gojlokan semena-mena seperti tempo hari. Aku berterima kasih, tapi aku tidak akan mau dikerjai lagi. Aku yakin
bisa belajar sendiri. Bang Togar seperti tidak menghiraukan jawabanku. Dia
bangkit dari duduk dan berjalan ke jendela kaca lalu menempelkan tulisanku di sana. Dari luar ruangan redaksi orang yang
lalu lalang bisa membaca kliping tulisanku dan di atasnya ada
sebuah kertas putih HVS bertulisan besar, "Tulisan pertama
mahasiswa semester 1. Mari berlomba menulis". Gaya Bang
Togar memang keras, tapi rupanya dia mengutamakan juga
apresiasi dan bangga dengan bimbingannya.
Hari ini aku langsung membeli 3 majalah, 1 untuk aku
sendiri, 1 untuk aku pamerkan di depan Randai, dan 1 lagi
tentu saja untuk aku kirim pulang. Aku poskan khusus untuk
Ayah dan Amak dengan secarik surat. Aku tulis dalam surat
itu bagaimana proses belajar menulis ala Bang Togar yang
keras. Dua minggu kemudian surat balasan dari Amak datang.
Kata Amak, Ayah telah memfotokopi tulisanku 2 kali. Satu
untuk ditempel di dinding balerong alias kantor wali nagari
di Bayur. Satu lagi di bawanya ke mana-mana untuk diperlihatkan ke semua temannya dengan bangga.
Raisa segera menjadi topik populer di rumah kos kami yang
semuanya laki-laki. Kadang-kadang, kami mengendap-endap
dari balik gorden kuning pupus hanya untuk mengintip Raisa
yang sedang ngobrol di teras rumah kosnya dengan beberapa
temannya. Pada suatu pagi, Bandung begitu gelap seperti sudah malam. Awan seperti berlapis 7 menutup langit. Lalu kami
mendengar atap kos kami berdentang-dentang seperti dilempar batu kerikil. Preman mana yang iseng menimpuki kami"
Randai penasaran dan naik ke lantai dua. Dari atas dia berteriak ke seluruh rumah, "Hoiii! Hujan es, hujan es!" Butiran
es bening sebesar kelereng luruh dari langit. Dan tidak lama
kemudian hujan es berubah jadi hujan air. Petir menyalaknyalak mengiringi air yang tumpah ruah dari langit dari pagi
sampai sore. Kali kecil yang membelah kawasan kami tidak
mampu mengalirkan kelebihan air. Pelan-pelan air kali meluap dan menggenang di gang depan rumah dan makin lama
makin tinggi. Untungnya rumah kos kami dibangun di tempat
yang tinggi, sehingga tidak kebanjiran. Tapi, rumah Raisa
yang lebih rendah lain lagi ceritanya.
Air terus merambat naik ke pintu kontrakan mereka lalu
menyelusup ke dalam rumah. Penghuni rumah yang semuanya
perempuan berebut keluar rumah. Dengan senang hati, kami
bantu 5 mahasiswi ini memindahkan barang-barang di kamar
Kutukan Bintik Merah 2 Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Interograsi Maut 3

Cari Blog Ini