Ceritasilat Novel Online

Supernova Partikel 2

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari Bagian 2


Jambul adalah kunci. Kami hanya mencari lewat lubang
kunci yang berbeda. Aku tak kenal satu pun "orang pintar"
Partikel dan aku rasa "orang pintar" paling pintar pun tak akan bisa
menemukan Ayah. Satu-satunya jalur yang bisa, dan sudah
ada di tanganku, adalah tulisan-tulisan Ayah sendiri. Jurnaljurnalnya. Namun, kendala terbesar adalah memahami isi"
nya. Dari umur dua hingga dua belas, aku ditempa lewat se"
kolah informal ala Firas sang Ilmuwan. Jika jurnalnya masih
berhubungan dengan anatomi tumbuhan, analisis teknis me"
ngenai fungi, aku bisa mengikuti meski terbatas. Sementara,
dalam carikan-carikan kertas itu, Ayah menyimpan banyak
kisah dan pengalaman yang serba asing dan tak terdugaduga, bahkan bagiku yang mengikutinya hampir setiap hari.
Jurnal pertama ditulis Ayah sejak petualangan pertama"
nya menembus Bukit Jambul. Inilah jurnal yang paling bisa
kumengerti karena isinya kebanyakan hanya catatan tentang
nama tanaman dan fungi. Yang paling menarik dari jurnal
pertama ini adalah daftar anomali yang ia temukan di pun"
cak bukit. Ia menuliskan antara lain:
Alat rakitanku selesai. Terlalu sederhana. Tapi alat itu sudah
bisa mendeteksi gelombang listrik. Aku membuat uji coba di se"
kitar kabel listrik dan alat elektronik. Berhasil.
Catatan itu bersambung lagi: Sirkuit akhirnya kuganti. Le"
bih sensitif. Sudah kuuji coba di tanaman dan manusia. Berhasil.
Alat itu sekarang cukup sensitif menangkap gelombang listrik
makhluk hidup. Bagian berikutnya: Aku mengetes daerah puncak. Mengeri"
Keping 40 kan. Tidak ada gelombang listrik tertangkap. Zero point. Ada
efek earthing yang kuat tiap aku masuk ke lingkaran. Padahal,
di daerah sekitarnya normal. Hasil uji coba setiap hari sama
100%. Konstan. Di bagian penutup, Ayah menulis: Aku curiga, fenomena
crop circle terjadi karena prinsip yang sama. Prosesnya meng"
ingatkanku pada gelombang mikro yang dihasilkan magnetron
pada oven microwave. Tanaman di bibir lingkaran batangnya
memuai, dehidrasi. Sebagian menunjukkan gangguan pertum"
buhan. Detektor infrared juga menunjukkan perbedaan panas
antara tanaman di bibir lingkaran dengan tanaman sekeliling"
nya. Kandungan air di puncak bukit ekstrem lebih rendah di"
bandingkan tanah sekitar. Ini menjelaskan mengapa tidak ada
tanaman yang berhasil tumbuh di puncak. Aktivitas portal te"
rang-terangan mengisap kandungan air tanah sebagai kompensasi
panas yang tinggi. Pada jurnal kedualah terjadi perubahan besar. Ayah me"
nulis topik-topik di luar bidang ilmunya. Jurnal kedua ini
rangkuman dari riset pustakanya tentang legenda manusia
pertama. Dia bicara bukan soal evolusi Darwin, melainkan
legenda manusia bernama Adam dan Hawa dari berbagai
versi. Ia menulis tentang Eden, tentang Malaikat Shemyaza
yang dikenal dengan banyak nama, salah satunya Azazel,
sosok yang dikenal sebagai penggoda Hawa dengan buah
pengetahuan dalam samaran seekor ular. Ia menulis tentang
ras raksasa bernama Nefilim, tentang ras misterius yang di"
Partikel kenal dengan sebutan Para Pengawas. Semua itu topik asing
bagiku. Aku hanya bisa memastikan, dari cara Ayah me"
nulis, jelas terbaca ketertarikannya yang mendalam.
Jurnal ketiga, Ayah bicara hal lain lagi. Ia menuliskan
perhitungan kalender Maya, menggambar pola-pola geo"
metris, simbol-simbol aneh. Ia bahkan menggambar denah
interior Piramida Giza, seolah ia pernah ke sana. Aku tahu
pasti Ayah tidak pernah ke Mesir. Aku menduga ini hasil
rangkuman risetnya yang ditulis dengan kesungguhan se"
hingga seakan-akan ia mengalami itu semua. Dengan keka"
guman, panjang lebar Ayah menulis tentang Mesir kuno dan
teknologi canggihnya. Jurnal keempat, Ayah menulis topik yang berbeda. Satu
kata di halaman pertamanya langsung menyergapku: enteo"
gen. Setelah kubaca lebih lanjut, barulah aku mengerti bah"
wa enteogen yang dimaksud Ayah adalah tanaman dengan
zat psikoaktif yang bisa mengubah level kesadaran seseorang.
Dalam jurnal keempat ini, Ayah menggambar banyak ta"
naman, struktur kimia, dosis, cara penggunaan, dan tak
ketinggalan pula sejarah tanaman enteogen yang ternyata
sudah dimulai ribuan tahun sebelum Masehi. Jurnal itu di"
tutup dengan kalimat kesimpulan yang dituliskan Ayah de"
ngan guratan tegas: Pengetahuan manusia akan dirinya sendiri
dimulai dengan enteogen. Aku menutup halaman terakhir jurnal keempatnya itu
dengan mulut ternganga. Satu demi satu sisi Firas yang tidak
Keping 40 diketahui orang banyak, termasuk aku, mulai terungkap. Se"
dikit demi sedikit, mulai kupahami mengapa ia menarik diri
dari kampus. Jelas terlihat minat Ayah bergeser jauh. Ke"
empat jurnalnya menggambarkan perjalanan Ayah yang kian
jauh tenggelam dalam dunia yang asing bagi kami semua.
Puncaknya adalah jurnal dia yang terakhir.
Jurnalnya kelima, yang sengaja ia masukkan ke tasku,
seluruh isinya bagaikan log seorang kapten yang berlayar ke
alam antah berantah. Dicekam kengerian, aku menemukan
bahwa Ayah ternyata memang hidup dalam dua dunia. Se"
belah kakinya ada di tempat yang entah di mana.
Dalam salah satu entri, Ayah menulis:
Aku bertemu mereka lagi. Kali ini bentuk mereka lebih jelas
terlihat. Tingginya kira-kira satu meter, kulitnya abu-abu, licin
tanpa bulu. Proporsi kepala mereka sangat besar dibandingkan
tubuhnya. Mata mereka menonjol, besar, iris mata mereka cokelat
gelap atau hitam, bagian sklera hampir tidak kelihatan, atau
mungkin tidak ada. Hidung mereka tidak berbatang, hanya
sepasang lubang tipis. Mulut mereka tampak seperti celah. Tidak
berbibir. Mereka berinteligensi tinggi, aku bisa merasakannya.
Aku curiga pada niat mereka. Ada hal yang mereka inginkan.
Aku tidak merasakan kehangatan. Mereka belum tentu jahat.
Tapi mereka sangat dingin. Seperti robot.
Ayah kemudian membuat sketsa di bawahnya:
Partikel Keping 40 Di catatan lain ia menulis: Aku bertemu jenis yang berbeda.
Tubuhnya terlihat lebih ringan, tidak sesolid manusia. Kalau dia
bergerak, terasa ada kualitas transparan. Sebagian tubuhnya
cahaya. Mungkin seperti itulah penampakan sistem meridian jika
tidak kasatmata. Partikel Di halaman sebelahnya, Ayah menulis tentang makhluk
yang lain lagi: Yang ini menakutkanku. Jelas terlihat mereka
sebangsa reptil. Bipedal, amfibi, beberapa ada yang bersayap.
Mereka punya kemampuan koordinasi tinggi. Tapi mereka hanya
bisa memangsa. Predator murni. Semoga ini kali terakhir aku
bertemu mereka. Keping 40 Lalu, di halaman berikutnya, terlukis sketsa makhluk se"
jenis. Tetapi, jenis ini tampaknya agak berbeda dengan se"
belumnya: Partikel Ayah pun menambahkan: Ternyata aku salah. Ada reptoid
(reptilian-humanoid) yang berinteligensi super dan tidak ber"
bahaya. Mereka justru sangat ramah. Mereka berkomunikasi
secara telepatis denganku. Transfer informasi sepertinya jadi prio"
ritas mereka. Pada halaman-halaman terakhir jurnalnya, Ayah mening"
galkan semakin banyak teka-teki. Isi jurnalnya bukan lagi
serupa log, melainkan curahan hati:
Perjanjian ini terlalu berat. Rasanya tidak mungkin aku
sanggup. Permintaan mereka mustahil. Tapi aku tak bisa mundur lagi.
Dan masih ada beberapa halaman lagi sesudahnya yang
bernada serupa. Di halaman terakhir ia menulis:
Tidak ada pilihan lain. Semoga suatu saat nanti mereka
ingat. Aku ingat. Ingat apa" Siapa yang dimaksud dengan "mereka?" Per"
janjian apa" Pikiranku berputar-putar mengitari kalimat-ka"
limat itu dan tak ketemu-ketemu.
Sedikit demi sedikit, aku mulai bisa berempati kepada
Ibu, Abah, dan Umi. Kepada rasa frustrasi mereka. Sungguh
tak mudah hidup bersama manusia seperti Ayah. Kehidupan"
nya bagai labirin rahasia. Jalan pikirannya tidak terbaca. Aku
tak bisa membayangkan apa yang ia lalui hingga bisa me"
nuliskan itu semua. Aku mulai memahami mengapa kedua kutub itu, Ayah
dan Ibu, nyaris mustahil untuk bersatu. Ayah seolah melihat
Keping 40 realitas dengan lensa yang berbeda dengan kami semua. Jika
kami melihat langit ini biru, di mata Ayah langit tergambar
oranye. Bukan salah langit, atau salah kami. Selama lensa
yang dipakai berbeda, warna langit tak akan seragam bagi
Ayah dan Ibu. Hingga suatu malam di tempat tidur, aku berhenti me"
nangis. Melihat tumpukan jurnal dan berkas-berkas Ayah
yang berhasil kuselamatkan dalam dus, mendadak hatiku
kecut. Aku merasa begitu kecil dan tak tahu apa-apa. Aku
juga berhenti melihat foto-fotoku. Aku muak berduka. Aku
pun harus beradaptasi. Tak bisa terus-terusan begini.
Untuk memahami isi jurnal Ayah demi melanjutkan pen"
carianku, tak bisa lagi aku mengandalkan kemampuan sen"
diri. Aku harus naik tingkat. Ilmuku harus bertambah. Dan
kini aku tak punya guru lagi. Ke mana aku harus mencari"
Esok paginya, Ibu, Umi, dan Abah sedang sarapan di
meja makan. Kuhampiri mereka sambil menguatkan hati.
"Ibu," panggilku. Ketiganya otomatis menoleh. Jantungku
berdebar kencang. "Zarah mau sekolah."
Hening cukup lama mengapung di ruangan hingga akhir"
nya dipecah oleh seruan Umi, "Subhanallah!"
11. Ibu memilihkanku sekolah swasta terkenal yang punya
jenjang lengkap dari SD sampai SMA. Usiaku menjelang
Partikel tiga belas, tepat di perbatasan antara SD dan SMP. Tetapi
tidak ada yang tahu persis kemampuanku.
Kami datang ke sana tanpa selembar pun rapor atau
ijazah. Sang Kepala Sekolah, pria berpeci dan bersafari necis
bernama Pak Yusuf, terlongo-longo ketika Ibu bilang aku tak
pernah sekolah sebelumnya.
"Kenapa bisa sampai begitu, Bu?" tanyanya heran.
"Dulu, ayahnya yang bersikeras mengajar anak-anaknya
sendiri di rumah. Tapi saya yakin, Zarah menguasai pela"
jaran melebihi rata-rata siswa seumurnya, " Ibu berkata man"
tap. "Silakan dites."
Nama Ayah dan titel dosennya agaknya cukup meyakin"
kan sehingga aku akhirnya diperbolehkan ikut tes. Atas
permintaan ibuku, mereka memberikan variasi soal mulai
level 6 SD sampai pelajaran kelas 3 SMA.
Aku mengerjakannya sambil setengah tidak percaya. Un"
tuk inikah anak-anak itu disekap berjam-jam di kelas" Lebih
baik mereka semua ikut Ayah ke Kebun Raya dan mende"
ngarkan cerita-ceritanya tentang alam semesta. Nilaiku sem"
purna. Dengan setengah tidak percaya pula, mereka akhirnya
mengizinkanku bersekolah di sana.
Sempat terjadi proses negosiasi antara Ibu dan pihak se"
kolah. Ibu ingin aku langsung masuk kelas 3 SMA, sesuai
dengan hasil tesku. Sekolah menolak dengan alasan faktor
psikologis. Mereka khawatir pengalaman sosialku yang nol
besar dalam lingkungan sekolah akan menyulitkan. Akhir"
Keping 40 nya, Ibu dan pihak sekolah sepakat untuk menempatkanku
di kelas 1 SMA. Dimulailah sebuah babak baru. Aku, anak setengah
dewa, dicemplungkan ke lautan anak manusia. Setiap detik
berjalan, aku mulai meragukan keputusanku masuk ke situ.
Satu-satunya tujuanku bersekolah adalah mendapat ilmu
untuk memahami jurnal Ayah. Menemukan guru-guru
pengganti yang bisa membimbingku naik tingkat. Tak ku"
temukan semua itu. Aku membenci setiap detik. Kecuali olahraga dan jajan.
Aku benci seragam sekolah. Aku benci pelajaran. Aku benci
pe-er. Aku benci upacara. Aku benci diam di kelas. Guruguruku bikin ngantuk. Aku tidak punya teman. Mereka
semua aneh. Selalu bertanya yang aneh-aneh.
"Agama kamu apa, sih, Zarah" Natalan atau Lebaran"
Kok nggak pernah salat, tapi juga nggak ikut kelas agama
tambahan buat yang non-Muslim?"
"Kamu itu Hindu" Buddha" Atau aliran kepercayaan?"
Aku menggeleng. "Saya ikut Ayahku, dia itu?" aku
mengeja hati-hati, "ateis."
Teman-temanku terpekik, "Kamu PKI?" Lalu mereka
tunggang langgang melapor ke guru. Dan aku terbengongbengong karena tak tahu PKI itu apa.
Besoknya, Ibu dipanggil menghadap Pak Yusuf. Berbusabusa, Ibu pun menjelaskan bahwa itu hanya celetukan asalasalan. Aku cuma pernah mendengar istilah "ateis" lalu iseng
Partikel dicomot tanpa tahu artinya apa. Ibu lantas menyebut-nyebut
Abah sebagai tokoh agama terkemuka di Bogor, jadi mana
mungkin punya cucu ateis"
"Sekarang kamu sudah ngerti apa itu ateis, Zarah?" tanya
Pak Yusuf. Aku mengangguk saja. "Ateis itu tidak percaya Tuhan. Sementara negara kita ini
negara ber-Tuhan. Sila pertama dasar negara kita saja Ke"
tuhanan Yang Maha Esa. Jadi, jangan pernah membahas
ateisme lagi di lingkungan sekolah. Ngerti?"
Aku mengangguk lagi. Pak Yusuf lalu menyarankan Ibu lebih berhati-hati me"
milihkan bacaan untukku. "Jauhkan buku-buku yang ber"
bahaya, Bu Aisyah. Banyak buku berideologi sesat beredar
di pasaran," katanya. "Pikiran anak muda itu labil, Bu. Ja"
ngan sampai Zarah membawa pengaruh buruk buat temantemannya."
Namun, teman-teman kelasku sudah kadung penasaran.
Mereka tak berhenti bertanya-tanya.
"Kamu ibadah di mana dong, Zarah?"
"Di kebun." "Sembahyang di alam terbuka, maksudnya?"
Aku mengangguk.

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan-jangan, kamu sebetulnya aliran animisme-dina"
misme gitu, ya?" Apa pula itu" Aku mengangguk saja.
Keping 40 "Kamu menyembah apa?"
"Jamur." Semenjak hari itu mereka menganggapku sinting. Ke"
untungan di pihakku, karena teror pertanyaan mereka me"
reda. Tetapi masalah tidak berhenti.
Suatu hari waktu pelajaran Agama, guru kami, Bu
Aminah, menjelaskan tentang Adam dan Hawa, manusiamanusia pertama di Bumi; bagaimana Adam dibuat dari
tanah liat kering dan lumpur hitam, lalu diembuskanlah ruh
Allah ke dalamnya sehingga Adam jadi bernyawa. Hawa,
diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah pun menggaris"
kan, Adam dan keturunannya ditakdirkan menjadi penguasa
Bumi. Iblis menolak tunduk pada Adam. Ia memutuskan untuk
menggoda manusia, menggiring mereka ke sebuah pohon
dengan buah terlarang. Satu-satunya buah di Taman Firdaus
yang dititahkan Allah untuk tidak dimakan Adam dan
Hawa. Dalam wujud seekor ular, iblis berhasil membujuk Hawa
untuk memakan buah itu, yang kemudian dibaginya dengan
Adam. Tak lama kemudian, keduanya tersadar bahwa me"
reka telanjang. Mereka malu. Kalang kabut, mereka menu"
tupi aurat mereka. Allah pun tahu, Adam dan Hawa telah
memakan buah terlarang. Maka dikutuklah ketiganya:
Adam, Hawa, dan ular. Mereka dibuang dari Taman Fir"
daus. Adam harus bekerja keras di Bumi, Hawa harus ter"
Partikel siksa saat melahirkan, sementara iblis selamanya akan terba"
kar di api neraka. Aku, yang terkantuk-kantuk di pojok sendirian, men"
dadak melek mendengar kisah itu. Legenda manusia pertama
adalah tema besar di jurnal kedua Ayah. Langsung aku
mengacungkan tangan. "Ya, Zarah?" sahut Bu Aminah.
"Saya pernah baca beberapa versi lain, Bu."
"Versi lain?" Bu Aminah membelalak. "Tidak pernah ada
versi lain," tegasnya.
"Kalau yang saya tahu begini, Bu. Kenapa missing link
dari kera ke manusia belum ketemu-ketemu sampai hari ini"
Karena kita diduga hasil hibrida dengan makhluk ekstra"
terestrial, Bu. Makanya ada loncatan genetika yang tidak
terpecahkan sampai sekarang. Ceritanya begini, makhluk
ekstraterestrial itu datang dari planetnya yang krisis. Mereka
butuh logam emas. Lalu mereka ke Bumi karena ingin me"
nambang emas di sini. Nah, untuk itu mereka butuh pekerja.
Mereka membuat percobaan dengan bermacam-macam spe"
sies di sini, termasuk Homo erectus. Dari sekian banyak per"
cobaan itu, akhirnya satu berhasil. Jadilah kita. Kita ga"
bungan dari tiga spesies, Bu. Homo erectus, makhluk gigantis
ras Nefilim dari planet Nibiru, dan makhluk ekstraterestrial
dari Sirius. Percobaan itu tidak dilakukan di sini, tapi di
Sirius. Setelah berhasil, hibrida-hibrida yang kemudian jadi
nenek moyang kita dibawa kembali ke Bumi."
Keping 40 Bu Aminah ternganga. Begitu juga teman-teman sekelas"
ku. Aku pikir mereka serius mendengarkan, maka aku pun
melanjutkan dengan percaya diri.
"Sejumlah manusia ada yang disimpan di Sirius, di se"
buah tempat bernama E.DIN. Di E.DIN, manusia secara
nggak sengaja mengetahui rahasia tentang reproduksi. Itulah
simbol dari buah terlarang yang dimakan Hawa, yakni pe"
ngetahuan reproduksi. Dengan pengetahuan itu, manusia
berkembang biak sendiri di luar kendali penciptanya. Sejak
itulah kemudian manusia diusir dari E.DIN dan dipulang"
kan ke Bumi." Saking bersemangatnya, aku tak lagi memperhatikan seisi
kelas. Aku terus bercerita, "Versi lain bilang, legenda ma"
nusia pertama sebetulnya terjadi di Bumi. Eden atau Edin
itu tempat yang memang betulan ada, semacam perkebunan
yang sangat maju di daerah Pegunungan Kurdistan. Nah,
jauh sebelum itu, pernah ada peradaban yang lebih maju
daripada peradaban kita sekarang, di suatu tempat namanya
Atlantis. Peradaban itu hampir punah gara-gara bencana
alam. Orang-orang Atlantis yang selamat tersebar ke be"
berapa tempat di Bumi. Mereka lalu bertemu dengan per"
adaban lain yang lebih terbelakang. Orang-orang turunan
Atlantis itu jadi dianggap seperti malaikat, atau dewa, atau
Tuhan. Beberapa dari mereka memutuskan untuk berbaur
dengan masyarakat, menyebarkan ilmu yang mereka punya.
Nah, kenapa di legenda itu jadi dianggap dosa" Karena ter"
100 Partikel jadi perkawinan antara orang-orang dari peradaban maju dan
yang terbelakang. Nggak semuanya setuju, Bu. Mereka ma"
lah dianggap pengkhianat. Pihak yang nggak setuju itu
akhirnya menciptakan legenda tentang ular penggoda, dosa
pertama, dan seterusnya. Itulah yang bertahan di kitab
agama-agama Samawi. Seperti yang Ibu ceritakan tadi."
Di ujung kalimatku, barulah kutersadar, mata Bu Aminah
berkaca-kaca. "Dari mana kamu baca itu semua?" tanyanya
dengan suara tertahan. "Bapak saya yang tulis, Bu."
Tubuh Bu Aminah tampak gemetar, tangannya meng"
acung ke arah pintu. "Keluar kamu, Zarah."
Giliranku yang ternganga. Kupikir mereka menikmati
cerita tadi. Besoknya, Ibu kembali menghadap Pak Yusuf. Menurut ke"
pala sekolahku itu, Bu Aminah sangat marah. Kata Bu
Aminah, aku telah melakukan penghinaan besar atas diri"
nya, atas Alquran, dan atas Islam. Bu Aminah memintaku
diskors. Panik, Ibu lantas memohon beribu maaf dan menjelaskan
ini-itu, antara lain kurangnya pendidikan agama di rumah
selama ini akibat metode pengajaran Ayah.
Pak Yusuf mengangguk-angguk, "Iya, Bu. Yang saya pan"
101 Keping 40 tau dari laporan guru-guru pun Zarah ini memang aneh, Bu.
Di satu sisi, ada pelajaran-pelajaran yang dia kuasai jauh me"
lampaui teman-temannya, tapi ada pelajaran-pelajaran lain
yang dia betul-betul nol. Naif sekali. Dan sering tidak pada
tempatnya." Ibu lalu berjanji akan mengursuskanku mengaji dan men"
daftarkanku ke pesantren intensif saat libur nanti.
Mendengar itu semua, aku tak bisa tinggal diam.
"Pak, saya hanya bercerita. Saya nggak punya niat meng"
hina siapa-siapa," aku membela diri di depan Pak Yusuf.
"Kenapa Bu Aminah harus tersinggung dengan cerita saya"
Kalau beliau nggak percaya dengan cerita saya, kan, saya
juga nggak marah." "Tapi kamu sudah menyinggung masalah SARA," sahut
Pak Yusuf. "Itu masalah besar."
"SARA itu apa?" tanyaku.
"Suku, agama, ras, dan antargolongan."
Aku termenung sejenak. Tetap tak memahami mengapa
keempat hal itu menjadi masalah besar yang mengharuskan
seseorang kena skors. "Ya, tapi kenapa Bu Aminah harus marah" Di mana letak
penghinaannya, Pak?" tanyaku sekali lagi.
"Karena apa yang kamu ceritakan tidak sesuai dengan
pelajaran Agama. Tidak sesuai dengan Islam."
"Cerita saya itu memang belum tentu benar, Pak. Nama"
102 Partikel nya juga cerita. Yang diceritakan Bu Aminah tentang Adam
dan Hawa, kan, belum tentu benar juga?"
"A"apa" Belum tentu benar katamu?" Pak Yusuf melotot.
Aku diskors satu minggu. Plus, sehelai surat rujukan un"
tuk masuk pesantren saat libur kenaikan kelas.
Malamnya, sebuah pengadilan digelar. Aku sebagai ter"
dakwa. Muka Abah merah padam. Ia benar-benar marah. "Hari
ini kamu benar-benar mencoreng muka Abah. Malu Abah
punya cucu kafir!" tukasnya.
"Kafir itu apa, Bah?" tanyaku.
"Tidak beriman pada Islam! Pada Alquran! Kepada Nabi
Muhammad!" bentak Abah sambil menunjuk ke langitlangit.
"Iman itu apa?"
Abah geleng-geleng kepala. Menatap Ibu dengan putus
asa. "Keterlaluan. Benar-benar keterlaluan," ucapnya.
"Iman itu artinya percaya dengan sepenuh hati, Zarah,"
Ibu berkata pelan. "Aku nggak pernah bilang aku beriman pada tulisan
Ayah, aku cuma cerita. Apa salahnya" Kenapa nggak boleh?"
"Karena kebenaran cuma ada satu," potong Abah, "ke"
benaran Allah subhanahu wa taala."
103 Keping 40 "Kalau kebenaran cuma satu, kenapa ada banyak agama"
Abah sendiri bilang, Islam banyak alirannya. Berarti nggak
cuma satu, dong," balasku. "Kalau yang benar cuma Islamnya
Abah, berarti teman-temanku yang dari agama lain, dari
Islam aliran lain, juga harusnya diskors. Kenapa cuma aku"
Padahal, aku nggak percaya apa-apa. Aku cuma mencerita"
kan apa yang kubaca."
"Di situ salahmu, Zarah," Umi menyambar. "Kamu se"
dang berada di dalam kelas yang lagi belajar agama Islam.
Kamu tidak boleh menceritakan sesuatu yang lain dengan
yang diajarkan. Itu menghina namanya."
"Berarti kalau di pelajaran lain boleh?"
"Masya Allah," Abah mengusap mukanya. "Dengar,
Zarah. Kita ini keluarga Islam. Sampai mati, kita semua
tetap Islam. Mulai hari ini, cuma boleh ada satu kebenaran
di rumah ini. Cuma ada satu kebenaran yang kamu bawa ke
sekolah. Dan ke mana pun kamu pergi nanti, kebenaran itu
tidak berubah. Jangan berani-berani kamu pertanyakan.
Mengerti?" Aku menggeleng. Serta-merta, Abah bangkit berdiri. Tangannya melayang.
Ibu menjerit, "Jangan, Abah!"
Abah memukul tembok di atas kepalaku. Ia lalu ambruk
di kursinya, menangis tersedu-sedu. "Abah gagal... Abah ga"
gal," ratapnya. Di tempat dudukku, aku cuma bisa diam dan membisu.
104 Partikel Untuk kali pertamanya aku melihat Abah menangis. Ter"
sedu-sedu serupa anak kecil di hadapanku.
"Di mana tulisan Ayah yang kamu baca itu?" Ibu ber"
tanya, garang. "Sudah disita polisi," gumamku.
"Sana, ke kamar. Besok kamu harus bangun pagi. Ibu
antar kamu ke pesantren."
Semalaman aku tak bisa tidur. Berusaha merunut apa
yang terjadi dan memahami. Mengapa mereka marah"
Mengapa mereka harus merasa terancam" Apa yang sebegitu
salahnya dengan tulisan Ayah" Kenapa berbeda menjadi
begitu menakutkan" Aku berpikir dan berpikir. Dan tetap
aku gagal memahami. Kali ini aku berempati kepada Ayah. Kesulitannya, rasa
putus asanya kepada lingkungan sekitarnya, dan betapa le"
lahnya terisolasi sendiri tanpa ada yang memahami. Ber"
tahun-tahun, Ayah harus berhadapan dengan benteng-ben"
teng batu. Mereka yang tidak bisa dan tidak mau melihat
perbedaan. Persis yang kuhadapi malam itu.
Maka, kuputuskan untuk diam. Untuk apa menabraknabrakkan diri ke benteng batu" Hanya akan mengundang
masalah, dan aku tak punya cukup ruang untuk itu. Tujuan"
ku jelas dan pasti: mencari Ayah. Yang lain hanya ke"
berisikan. Tak perlu kudengar.
Dengan tekad itu, aku menjalani masa pesantrenku se"
lama sebulan penuh tanpa protes sedikit pun.
105 Keping 40 Pesantren yang dirujuk oleh sekolahku ternyata bukan
pesantren biasa. Tempat itu dikenal sebagai tempat rehabi"
litasi. Teman-temanku adalah pecandu narkotika yang masuk
ke sana demi menyembuhkan diri. Aku satu-satunya yang
bukan pecandu. Tapi aku memiliki catatan khusus. Rehabi"
litasi iman. Para pembimbingku mengundangku hampir setiap malam
untuk berdiskusi. Aku iyakan semua yang mereka bilang.
Aku sepakati semua cerita mereka dari mulai penciptaan
alam semesta sampai hari kiamat. Tidak ada argumentasi.
Zarah pulang sebagai manusia baru, demikian yang mereka
katakan kepada Ibu saat menjemputku. Ibu mencium tangan
mereka satu-satu sebagai tanda terima kasih.
Setidaknya mereka benar tentang satu hal. Aku pulang
dengan sebuah kesadaran baru. Aku adalah Firas berikutnya.
Inilah pemberontakan pertamaku.
12. Memasuki semester dua, sebuah kejutan menantiku. Setelah
setengah tahun duduk sendiri tanpa teman sebangku, pagi
itu seorang anak tidak kukenal mengisi kursi di sebelahku.
Tahu-tahu aku punya teman sebangku.
Dia murid baru. Anak perempuan Afrika yang baru pin"
dah dari Nigeria karena ayahnya sedang berbisnis tekstil di
106 Partikel sini. Aku menduga kuat itulah pengalaman pertama satu
sekolahku melihat manusia ras negroid. Kehadirannya selalu
membuat kami terkesiap. Kulitnya yang hitam menonjolkan dua fitur dari wajah"
nya: mata dan gigi. Sepertinya hanya dua itu yang bisa kami
tangkap jika melihatnya dari jauh. Rambutnya keriting besar
seolah ada belukar ditempel di kepalanya. Tubuhnya bongsor
sebesar anak kuliahan. Tinggi dan berotot lencir seperti
atlet-atlet Olimpiade di televisi.


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namanya Kosoluchukwu Onyemelukwe. Anak-anak lakilaki di kelasku memanggilnya "Keselek". Kurasa itu lebih
karena mereka tak pandai berfonetika ketimbang mengejek,
dan bagi yang lidahnya kurang terampil, mengucap nama
Kosoluchukwu memang bisa membuat keselak.
Fisiknya, namanya, dan kegagapan kami menanggapi per"
bedaan, sudah lebih dari cukup untuk membuat Kosolu"
chukwu jadi bulan-bulanan satu sekolah. Hal itu diperparah
lagi dengan faktor bahasa. Kosoluchukwu sama sekali tidak
bisa bahasa Indonesia. Anak malang. Aku tak habis pikir,
kenapa Pak Yusuf mau saja menerima tanpa berpikir panjang
apa akibatnya bagi Kosoluchukwu" Atau mungkin diamdiam Pak Yusuf memang hobi koleksi siswa-siswa aneh. Se"
perti aku. Belakangan kudengar, ayah Kosoluchukwu mem"
bayar mahal demi anak perempuannya diterima di sekolah
kami. Aku sangat senang Kosoluchukwu dipilih menjadi teman
107 Keping 40 sebangkuku. Walau jelas terbaca bahwa memasangkan dia
denganku adalah tanda kami sama-sama anak terbuang. Se"
wajarnyalah mereka yang terbuang lantas beraliansi. Aku dan
Kosoluchukwu langsung berteman baik. Hal yang pertama
kulakukan setelah kami berkenalan adalah meminta izin un"
tuk memanggilnya Koso. Kosoluchukwu tersenyum lebar, "Koso is good."
Dengan bahasa Inggris ala kadar dicampur bahasa isyarat
ala Tarzan, kami pun berkomunikasi walau sebenarnya aku
tidak keberatan mendengarkan Koso mengoceh dalam ba"
hasanya sendiri yang merdu seperti talu-taluan genderang.
Segala sesuatu tentangnya terasa ritmis. Bahkan ketika
bicara, badan Koso bergerak harmonis seperti orang menari.
Tangannya bergerak ekspresif, lehernya membuat gerakan
mundur-maju, kiri-kanan, yang kesemuanya itu membuatku
terhipnotis. Koso dianugerahi kemampuan fisik yang membuat kami
sesak napas karena tak sanggup mengikuti. Ia lari dan me"
lejit seindah kijang. Tarikan otot-ototnya yang membentuk
sempurna ketika mengejang menahan semua mata berkedip.
Lompatannya ketika menolak bola voli atau mengegolkan
bola basket begitu mulus, tanpa usaha bak bajing loncat yang
melompat dari satu pohon ke pohon lain. Terkadang aku
curiga ia bisa terbang betulan.
Berjalan di sebelah Koso membuatku terasa ada yang me"
mayungi. Reputasiku sebagai anak termuda, agak gila, dan
108 Partikel penyembah berhala, tidak lagi menjadi ancaman selama Koso
ada di sisiku. Koso disegani karena kemampuan olahraganya
yang cemerlang, yang secara langsung artinya adalah fisik
yang tangguh. Tidak ada yang berani macam-macam dengan
Koso. Sementara aku disegani karena disinyalir komunis.
Kami adalah kombinasi sempurna.
Agar komunikasi di antara kami semakin lancar, aku dan
Koso janjian kursus bahasa Inggris bersama. Ibu menyambut
baik permohonanku ikut kursus. Ia melihatnya sebagai ke"
majuan positif pascapesantren.
"Zarah sekarang jadi rajin. Dia sendiri yang inisiatif min"
ta les bahasa Inggris," lapor Ibu kepada Abah. Meski diucap"
kan dengan sayup, terdengar jelas ada nada bangga dalam
suara Ibu. "Bagaimana dengan mengaji" Sudah mau dia?" tanya
Abah. Aku pura-pura tak mendengar. Menenggelamkan kepala"
ku dalam buku cerita. Sudut mataku curi-curi mengamati
mereka. Ibu menggeleng. "Pelan-pelan, Bah. Ini juga sudah lu"
mayan." "Kamu terlalu lembek sama anak, Aisyah. Kalau Abah
jadi kamu, sudah kuseret paksa si Zarah dari dulu. Minimal,
ancam dia. Jangan kita yang menuruti maunya terus."
"Seperti dulu Abah mengancam dan menyiksa Firas su"
109 Keping 40 paya nggak menginjakkan kaki ke tempat terkutuk itu?" Ibu
menyindir tajam. Dan Abah terdiam.
Untuk sementara, persahabatanku dengan Koso berjalan
tak terganggu. Kursus bahasa Inggris seminggu dua kali
menjadi dua hari yang paling kunanti. Aku belajar dengan
giat. Sejenak aku melupakan jurnal-jurnal Ayah. Sebagai
ganti, aku membaca kamus bahasa Inggris setiap malam.
Mempelajari kata baru menjadi semacam permainan meng"
asyikkan untukku. "You"re very smart, Zarah," Koso berkata setelah melihat
hasil ujian Bahasa Inggrisku yang sempurna. "Kamu pintar
sekali," ulangnya dalam bahasa Indonesia. "I wish I"m smart
like you." "I wish I"m strong like you," balasku.
Koso menunjuk ke dadaku, "You"re a strong person inside."
Lalu kepalanya menggeleng, "But I can never be smart."
"You wait and see," kataku sambil tersenyum, menutupi
kekhawatiranku. Mengenal Koso beberapa bulan, aku bisa
mendeteksi ia mengalami masalah pelajaran yang cukup
serius. 13. Tadinya kupikir permasalahan Koso terbesar adalah bahasa.
Tepatnya, bahasa Indonesia. Aku salah. Problem Koso lebih
110 Partikel dalam dari itu. Aku mulai mengamati saat kami kursus ba"
hasa Inggris. Koso, yang sudah terbiasa berkeliling meng"
ikuti ayahnya pindah-pindah negara, menguasai bahasa
Inggris jauh lebih baik dariku. Akan tetapi, nilaiku di tem"
pat kursus selalu jauh di atasnya.
Nilai Koso hanya hancur-hancuran begitu ujian tertulis.
Sementara, ujian lisannya selalu bagus. Di sekolah, Koso tak
punya peluang sama sekali. Semua ujian di sekolah tidak ada
yang lisan. Tiap membaca buku atau soal, Koso kerap mentok di satu
halaman yang sama. Lama sekali. Ia lancar berkata-kata, tapi
persis orang buta huruf ketika disuruh membaca.
Kalau masih pilihan berganda, Koso masih bisa menebaknebak jawaban. Begitu memasuki soal esai, Koso mati kutu.
Kadang kertas ujiannya dibiarkan kosong. Koso sering me"
ninggalkan kelas dengan mata berkaca-kaca.
Koso melampiaskan rasa frustrasinya di lapangan olah"
raga. Ia melejit, meloncat, berlari, mengoper dan mensmes
bola dengan kekuatan orang mengamuk. Semua cabang
olahraga didominasinya. Ia selalu jadi yang terdepan dan
terbaik. Sekolah kami seketika melihat potensi Koso dan meman"
faatkannya sebaik mungkin. Koso ada di tim inti hampir
semua cabang olahraga. Ia mirip maskot yang dirangkap
fungsi menjadi atlet. Andai saja tidak ada batasan gender
dalam pertandingan, aku yakin Koso pun akan direkrut oleh
111 Keping 40 tim laki-laki. Kemampuannya mengalahkan semua orang.
Tak terkecuali. Untungnya, Koso sama sekali tak keberatan dieksploitasi
begitu. Ia bahkan menikmatinya. Seolah ia membalas segala
keterbelakangannya di kelas dengan menjadi primadona tim
olahraga. Aku hadir di setiap pertandingan. Berteriak dan bersorak
paling keras. Bukan karena membela almamater. Aku hadir
demi Koso seorang. Aku ingin menyemangatinya agar ia
tahu ada kepintaran lain di luar soal-soal ujian, dan bagai"
mana Koso menguasai koordinasi tubuhnya adalah kepin"
taran yang tak bisa ditandingi kami semua.
Tak urung, saat ujian kenaikan kelas akulah orang yang
paling stres. Bolak-balik aku mengecek Koso, sekadar meng"
amati air mukanya, dan melihat apakah ia kembali bengong
atau mentok di satu halaman. Berkali-kali pula aku kena te"
gur guru pengawas yang mengira aku berusaha nyontek.
Dalam hati aku marah-marah, yang benar saja aku nyontek"
Kalaupun iya, orang yang kusontek tidak mungkin Koso.
Sudah bukan rahasia lagi prestasi buruk Koso dalam pela"
jaran. Dan sudah bukan rahasia lagi, reputasi burukku di
mata guru-guru. Aku ditegur pasti karena faktor sentimen.
Puncak keteganganku adalah pada saat pembagian rapor,
sampai-sampai aku berkeringat dingin. Aku tak peduli isi
raporku. Yang kunanti-nanti adalah kepastian apakah Koso
naik kelas atau tidak. Melihat betapa parahnya nilai-nilai
112 Partikel Koso selama ini, orang waras mana pun pasti bisa berkesim"
pulan Koso tidak mungkin naik kelas.
Nama Koso dipanggil. Berdua, kami membuka rapornya.
Aku membeliak tak percaya. Sederet angka enam tertulis
dari atas sampai bawah, kecuali satu. Nilai sembilan untuk
olahraga. Aku memekik kegirangan. Kupeluk Koso erat-erat.
Sahabatku lolos naik kelas.
Tak lama, kulihat ayah Koso keluar dari ruangan Pak
Yusuf. Mereka berjabat tangan. Aku menduga, kedatangan
ayah Koso berhubungan langsung dengan isi rapornya. Aku
tak ambil pusing. Bisa kembali sebangku dengan Koso tahun
depan adalah segalanya bagiku.
Setelah setahun kami berteman, aku memberanikan diri
mengajak Koso main ke rumah. Aku ingin mengenalkannya
kepada Hara, dan aku pun ingin memperkenalkan Koso ke"
pada Batu Luhur, kepada ladang permakultur peninggalan
Ayah. Hari itu kami menjadi tontonan orang kampung. Berbon"
dong-bondong mereka datang ke ladang, mengintipi Koso
yang tersenyum ramah, memampangkan giginya yang se"
putih susu kepada mereka semua. Hara bangga bukan main
berada di sebelah Koso. Seringan memegang botol kecap,
113 Keping 40 Koso membolak-balik Hara di tangannya, dan adikku itu
tertawa-tawa girang. Bertiga kami pulang ke rumah bergandengan tangan.
Aku bahagia bisa menunjukkan duniaku kepada Koso. Ber"
harap hari itu tidak pernah usai.
Kulihatlah mobil Abah terparkir di depan rumah. Ibu
dan kakek-nenekku menyambut kami di teras.
Sama seperti reaksi semua orang saat melihat Koso, Abah
dan Umi terperangah melihat pemunculan seorang gadis
tinggi besar berkulit hitam.
Sepulangnya Koso, pertanyaan pertama Abah pun melun"
cur, "Orang mana dia, Zarah?"
"Nigeria, Bah. Dia teman sebangku Zarah."
"Nigeria" Apa agamanya?"
Nigeria adalah negara dengan rasio pemeluk agama ham"
pir setengah-setengah antara Islam dan Kristen. Koso terma"
suk yang Kristen. "Kristen, Bah."
"Oh," Abah menyahut datar. Seketika aku bisa menang"
kap makna berlapis dalam "oh" pendeknya.
Malamnya, kembali dalam percakapan bervolume pelan,
terdengar Abah berdiskusi dengan Ibu.
"Kamu harus mulai mencarikan teman-teman Muslim
buat Zarah. Itu anak, kan, landasan agamanya hampir nggak
ada. Kalau dia malah berteman dengan yang nggak seiman,
gawat, bisa-bisa terpengaruh dia," kata Abah.
114 Partikel "Zarah itu susah sekali dapat teman, Bah. Ada satu ini
juga sudah syukur," balas Ibu.
"Kamu itu, Aisyah, selalu saja menyerah sebelum men"
coba. Dulu, hidupmu disetir oleh Firas. Sekarang, hidupmu
disetir oleh anakmu sendiri."
Ibu tak menyahut. Tak lama, Abah pun pulang.
Di tempat dudukku, aku merasakan ketegangan merayap
naik. Kalau sampai mereka berani-berani mengusik persaha"
batanku dengan Koso... aku menelan ludah. Menyadari pe"
rasaan yang mencekamku dan terpana sendiri oleh kekuatan"
nya. Perasaan induk yang rela bertarung habis-habisan demi
melindungi anaknya. Persahabatan ini bagiku ternyata me"
miliki arti yang amat besar bagiku. Ketiadaan Ayah, sahabat
terdekatku selama ini, menjadikan Koso hartaku paling ber"
harga. Dan aku rela berbuat apa saja demi melindunginya.
Pada hari kenaikan ke kelas 3 SMA, aku membuktikan"
nya. 14. Beberapa bulan sebelum kami kenaikan kelas, Pak Yusuf di"
gantikan oleh kepala sekolah baru. Namanya Bu Kartika.
Seorang perempuan separuh baya bertubuh tegap dengan
kerpus senantiasa menutupi rambutnya. Ia berwajah tegas,
berekspresi tegas, dan bersikap sama tegas. Bibirnya menye"
115 Keping 40 rupai garis datar yang ditarik penggaris, hampir tak pernah
melengkung ke atas. Saat berbicara pun Bu Kartika hanya
membuka mulutnya sedikit saja. Ia lebih suka diam. Dan
diamnya itulah yang menundukkan semua orang.
Suatu waktu, aku melihat ayah Koso keluar dari ruangan
kepala sekolah dengan muka memberengut. Berbeda dengan
ekspresinya dulu setiap mengunjungi Pak Yusuf. Ada kete"
gangan antara ayah Koso dan Bu Kartika. Hatiku langsung
kecut. Kenaikan kelas tiba. Ketakutan besarku kali ini mewujud.
Koso tidak naik kelas. Di bahuku, Koso, yang berukuran dua kali lebih besar,
meraung seperti balita berduka.
"Saya tidak mau pisah sama kamu, Zarah," isaknya.
"Cuma kamu yang benar-benar baik sama saya."
Pandanganku kabur oleh bubungan air mata. "Jangan ta"
kut, Koso," kataku dengan suara bergetar, menepuk-nepuk
bahunya. "Saya akan selalu jadi temanmu. Kita akan terus
sebangku." Sementara seragamku lembap oleh air mata Koso,
aku berpikir dan berpikir, apa yang harus kulakukan"
Siang itu juga aku menemui Bu Kartika. Memberanikan


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri menatap langsung matanya yang angker.
"Bu, saya mau izin," kataku, suaraku lebih gemetar ke"
timbang saat tadi bersama Koso.
"Izin apa?" "Saya mau mengulang kelas 2."
116 Partikel "Kamu mau tinggal kelas?"
Aku mengangguk. "Nilaimu bagus, Zarah. Kalau bukan karena nilai PMP
dan agamamu yang jeblok, kamu pasti masuk tiga besar.
Kenapa mau tinggal kelas?"
"Saya mau bantu Kosoluchukwu belajar, Bu."
Meski sekilas, aku yakin baru saja melihat Bu Kartika
tersenyum. Senyum sinis. "Kamu tidak bisa bantu dia. Sekolah ini pun tidak."
"Kenapa begitu, Bu" Apa masalahnya?" sergahku. Ke"
takutanku meluntur, berganti kecurigaan.
"Kosoluchukwu itu disleksia. Kamu tahu itu apa?"
Aku menggeleng. "Itu kelainan otak, Zarah. Kosoluchukwu punya kesulitan
membaca dan mengingat. Karena itu masalah klinis, sekolah
ini bukan sekolah yang tepat untuknya. Sudah saya bilang
juga ke bapaknya. Dia tidak terima. Dia cuma ingin anaknya
lulus, dapat ijazah. Saya nggak bisa bantu." Bu Kartika lalu
berjalan membuka pintu, pertanda ia menyuruhku pergi dari
hadapannya, "Kosoluchukwu butuh bantuan ahli. Bukan
bantuanmu." "S"saya... tetap mau tinggal kelas, Bu," aku tergagap sam"
bil beranjak. Tatapan itu berhasil mendesakku keluar.
Dingin, Bu Kartika kembali memandangku. Lama.
"Terus terang, dalam kasus kamu, saya nggak keberatan.
Usia kamu prematur untuk anak SMA. Dan saya tahu kamu
117 Keping 40 punya masalah dengan beberapa pelajaran dan beberapa
guru. Ekstra bersekolah setahun mungkin bisa membantu
kamu berubah." Begitu kakiku menginjak batas ruangan, Bu Kartika me"
nutup pintu. Aku melanjutkan berjalan masih dengan ter"
longo. Disleksia. Aku tak tahu itu apa dan apa yang harus
kulakukan. Yang jelas, kini aku harus menghadap ke satu
orang lagi. Ibu. Sebagaimana yang sudah kuduga dan kuantisipasi, Ibu
mengamuk habis-habisan. Aku juga tak berupaya menjelas"
kan panjang lebar alasanku. Aku yakin Ibu tak akan me"
ngerti. Alasanku pun memang tak ada yang bisa dipanjang
atau dilebarkan. Aku cuma tidak ingin kehilangan teman
sebangkuku. Sesederhana itu.
Setelah mentok membujuk dan mengamuk, Ibu kembali
mengeluarkan senjata pamungkasnya: Abah.
Di luar dugaan kami, Abah tidak menentang pilihanku
tinggal kelas. Serupa dengan alasan Bu Kartika, Abah ber"
kata, "Biarlah, Aisyah. Zarah masih terlalu muda. Lulus
SMA tahun depan pun dia belum tahu maunya apa. Biar
saja dia sekolah lebih lama. Jadi, kita juga punya waktu un"
tuk memperbaiki akhlaknya."
118 Partikel Itu dia. Agenda klasik Abah. Aku seharusnya sudah bisa
menduga. Kali ini aku terbantu oleh agenda kakekku. Meski terus
bersungut-sungut, Ibu akhirnya meloloskan keinginanku
tinggal kelas. Setahun lagi bersama Koso. Senyumku membersit tanpa
bisa ditahan. Kembali Koso menangis ketika tahu aku tinggal kelas demi
menemaninya. Tangis bahagia. Didekapnya aku sekuat
tenaga, sampai napasku sesak.
"Kamu orang paling gila, Zarah. Orang paling gila dan
paling kuat yang saya tahu," katanya bercampur tangis dan
tawa. "Saya akan bantu kamu belajar, Koso." Dari tas, aku me"
ngeluarkan setumpuk kertas yang sudah kujepit rapi. "Saya
sudah cari tahu soal disleksia. Ada beberapa cara yang bisa
dicoba." Tawa Koso surut. "Kamu tahu dari mana?"
"Bu Kartika." Koso menggeleng, "I told you. I can never be smart, Zarah."
"Yes, you can," aku menggenggam kedua tangannya ken"
cang. "Kamu nggak bodoh, Koso. Kamu lebih pintar dari"
pada banyak orang yang saya tahu. Dari yang kubaca di sini,
119 Keping 40 kecerdasan itu ada banyak jenis," aku membuka-buka bahan
risetku. "Ini, ada kecerdasan yang namanya kecerdasan ki"
nestetik. Ini kecerdasanmu, Koso. Di sekolah kita, kamulah
juaranya! Nggak ada yang mengalahkan kamu!"
Koso tersenyum masam, "Tapi saya tetap nggak naik ke"
las." "Tahun ini kamu akan naik kelas," sahutku mantap.
"How" It"s impossible. Bu Kartika itu keras sekali. Papa
saya sampai mengamuk. Papa bilang Bu Kartika tidak tahu
diri, padahal saya berjuang untuk tim sekolah di semua per"
tandingan. Tapi Bu Kartika tidak peduli. Kata Bu Kartika,
prestasi olahraga saja nggak cukup."
"Kita akan cari cara supaya kamu bisa belajar."
"How, Zarah" How?" keluh Koso.
Aku merangkul pundaknya, "Kamu tenang saja, Koso.
Kita akan belajar sama-sama."
Adik bayiku mati karena kelainan genetik dan hingga
hari ini orang-orang menyalahkan ayahku karena ia disangka
berkolusi dengan setan. Koso dianggap bodoh karena ke"
lainan otak, dan kali ini aku tidak akan membiarkan ke"
tidaktahuan orang-orang menghancurkan hidupnya.
Menjadi mentor Koso ternyata lebih menantang dari yang
kuduga. 120 Partikel Semua pelajaran harus kuterjemahkan menjadi gambar,
diagram, dan warna. Setumpuk kertas polos dan segepok
spidol warna-warni adalah perangkat wajibku. Karena Koso
kesulitan membaca kalimat panjang, aku harus menyarikan
kata-kata kunci yang pendek-pendek, menyusunnya sedemi"
kian rupa hingga menjadi peta yang bisa ia mengerti.
Aku terpaksa belajar teknik-teknik membaca cepat karena
hanya itulah cara membaca yang bisa dipakai Koso. Melihat
kata dan kalimat sebagai blok-blok yang hanya ditangkap
substansinya saja tanpa perlu tersesat dalam rimba huruf. Jika
itu masih terlalu susah, aku harus membantu Koso dengan
menambahkan elemen-elemen taktil seperti potongan gam"
bar, kertas, bahkan malam.
Seminggu sekali, aku membuat simulasi ujian esai buat
Koso agar ia mulai terbiasa memahami soal. Dugaanku ter"
bukti benar. Koso tidak bodoh. Ia berhasil mengingat semua
jawaban. Meski tidak bisa menulis panjang-panjang, jawaban
pendeknya akurat dan runcing. Guru yang waras dan tidak
terkelabui kalimat panjang tanpa isi akan mampu melihat
akurasi jawaban Koso. Dalam tiga bulan, performa studi Koso meningkat jauh.
Lembar jawabannya tak lagi kosong. Aku mulai melihat
Koso mengumpulkan kertas ulangannya dengan senyum per"
caya diri. Nilainya bervariasi dari enam sampai tujuh sete"
ngah. Tidak lagi dua sampai empat seperti dulu"angka121 Keping 40 angka yang dikasih guru lebih sebagai "upah menulis" dan
"upah hadir" belaka.
Pada pergantian semester, Koso menerima rapornya de"
ngan mata berbinar. Kerongkonganku tercekat melihat de"
retan angka enam dan beberapa tujuh. Dan, kami tahu pasti,
angka itu bukan sulapan Kepala Sekolah, bukan sulapan
siapa-siapa, melainkan murni hasil perjuangan Koso.
Di koridor sekolah hari itu, aku berpapasan dengan Bu
Kartika. Mata kami beradu. Kami sama-sama tahu. Hari itu
adalah hari kemenanganku.
15. Tepat seminggu dari hari pertama semester kedua kami di"
mulai, aku dikejutkan oleh Koso yang muncul dengan mata
sembap. Aku bertanya ada apa dan mengapa matanya sem"
bap seperti baru menangis satu ember, Koso menjawab de"
ngan diam. Sesudah istirahat pertama, Koso izin pulang
karena tidak enak badan. Seketika aku tidak enak hati. Ada
yang tidak beres. Tanpa memedulikan diamnya, sepulang sekolah aku men"
datangi rumah Koso. Koso tinggal di perumahan elite di dekat pintu tol Jago"
rawi karena ayahnya sering bolak-balik ke Jakarta. Rumah
besar itu terasa kosong karena hanya dihuni oleh Koso dan
122 Partikel ayahnya. Sementara tiga pembantu bertumplak di area servis.
Aku curiga, ketiga pembantunya lebih disibukkan mengurus
rumah besar itu ketimbang mengurus Koso dan ayahnya.
Ibunya meninggal karena sakit waktu Koso berusia se"
puluh tahun. Koso adalah anak tunggal. Ayahnya seharian
hampir tak pernah di rumah karena sibuk berbisnis. Terka"
dang, aku merasa pemersatuku dengan Koso sesungguhnya
adalah kesepian kami. "Zarah..." Kamu ngapain ke sini?" tanya Koso sambil me"
nuruni tangga rumahnya. "Saya mau tahu apa yang kamu sembunyikan," tandasku
langsung. Langkah Koso terhenti. Di atas tangga itu, Koso tampak
bagaikan tiang hitam menjulang. Kaku menatapku. "Saya
harus pergi dari Indonesia."
Sisa hari itu, akulah yang berubah linglung.
Urusan ayah Koso sudah selesai di Indonesia. Ia berganti
partner. Kali ini ia akan bermitra dengan perusahaan yang
berbasis di Inggris. Koso sempat meminta tetap tinggal di
Bogor, tapi ayahnya tak mungkin melepas anak perempuan"
nya sendirian di negeri orang. Koso harus ikut pindah. Ia
bahkan tak akan menunggu hingga kenaikan kelas. Bulan
depan, Koso berangkat ke London.
123 Keping 40 "Kamu sudah pernah ke London?" tanyaku.
"Belum. Katanya, di sana dingin dan jarang muncul ma"
tahari. Saya nggak suka, Zarah. Saya suka di sini. Hangat,
banyak sinar matahari. Mirip dengan Nigeria." Koso men"
coba tersenyum. "Di London, pasti ada sekolah yang lebih sesuai untuk"
mu," aku ikut memaksakan senyum.
"Ya, kata Papa juga begitu. Tapi, di sini saya sudah punya
guru terbaik. Kamu."
"Kamu akan jadi orang hebat di London, Koso. Saya ya"
kin." Aku berusaha mati-matian tampak tegar.
"Kapan-kapan, kamu mengunjungi saya di London, ya?"
Kepalaku mengangguk, tapi hatiku berteriak protes.
London" Memangnya kamu pikir saya siapa" Bagaimana mung"
kin saya sampai ke sana"
Aku pergi dari rumah Koso dengan perasaan campur
aduk. Sedih, marah, putus asa. Aku merasa dikhianati.
Entah oleh siapa. Karena rasanya aku tak bisa menyalahkan
Koso. Tak ada yang bisa kusalahkan. Namun, aku tetap me"
rasa disalahi. Segala andai-andai menyerbu benakku. Andai saja aku
tidak tinggal kelas, aku tak perlu lagi mengulang pelajaran
sama yang sudah tak ada tantangannya lagi. Andai saja aku
tidak tinggal kelas, dalam enam bulan aku sudah bisa bebas
dari sekolah. Kini, aku harus menjalani satu setengah tahun
lagi bersama kesendirian dan guru-guru yang memusuhiku.
124 Partikel Aku berusaha melawan perasaanku sendiri, aku tidak
ingin menyesal. Tapi semakin kulawan, penyesalan itu se"
makin kuat menggigit. Meracuniku. Membuat hidup ini
semakin getir. Tidak ada yang dramatis dari perpisahanku dengan Koso.
Aku merangkul dan menyalaminya bersama anak-anak lain
di sekolah. Bu Kartika melepas Koso dalam perayaan sebagai
ungkapan terima kasihnya atas sederet trofi yang disumbang"
kan Koso bagi sekolah, atau bisa juga karena ia berlega hati
melepas tanggung jawabnya atas siswa disleksik yang tak
sanggup ia bantu. Kepergian Koso diumumkan saat upacara bendera. Seusai
upacara, kami disuruh membuat lingkaran. Menyalami Koso
satu-satu seperti di kondangan. Bu Kartika berdiri di se"
belahnya dengan sudut bibir yang terangkat, bukan karena
tersenyum, melainkan karena mengernyit diterpa matahari.
Itulah hari terakhir Koso masuk sekolah. Ia menggeng"
gam tanganku lama sebelum masuk ke mobil ayahnya.
"Saya akan kirim surat dari London. Jangan lupa dibalas,
ya," pinta Koso. "Pasti. Saya janji." Kugenggam balik tangannya.
Koso tersenyum manis, memamerkan susunan giginya
125 Keping 40 yang sempurna. Ia melambaikan tangan. Ayahnya ikut me"
lambai dari dalam mobil. Aku membalas. Itulah hari terakhir terjadi komunikasi resiprokal di an"
tara kami. Aku tak ingin mengingkari janjiku, tapi apa yang bisa
kubalas jika suratnya pun tak pernah ada" Sampai hari ter"
akhir aku menyandang status siswa di sekolah, surat dari
Koso tak pernah datang. 16. Empat tahun di SMA terbukti tidak mendatangkan hasil
yang diharapkan Abah dan Ibu.


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menjadi lulusan termuda sekaligus lulusan tersesat.
Termuda karena usiaku belum tujuh belas tahun. Tersesat
dalam arti konsisten mempertahankan gelar sebagai penyem"
bah berhala, dan juga tersesat dalam arti tak tahu dan tak
mau meneruskan sekolah ke mana-mana.
Jika bukan karena numpang tidur dan menemani Hara,
aku hampir tak pernah di rumah. Sengaja kuhindari Ibu dan
duo Abah-Umi yang kerap menginspeksi rumah kami secara
tiba-tiba seperti petugas tramtib. Setiap ada celah, aku selalu
didesak untuk ikut UMPTN, ikut bimbingan belajar, masuk
pesantren, atau les mengaji. Kadang aku merasa kami sedang
126 Partikel melakukan dagelan bersama. Mereka, yang tak bosan-bosan"
nya meminta hal sama. Aku, yang tak henti-hentinya me"
nolak. Bebas dari bangku SMA mengembalikanku pada fokus
yang sempat terbengkalai: Ayah.
Kembali kubongkar jurnal dan timbunan berkas Ayah
yang selama ini kusembunyikan rapi. Membacanya setiap
hari. Tanpa rutinitas sekolah, hidupku menjadi miniatur hidup
Ayah dulu. Kini, aku jadi mentor bagi Hara, menemaninya
belajar dan mengerjakan pe-er. Sisa waktuku kuhabiskan
bersepeda ke Batu Luhur, pergi ke ladang Ayah, atau ke
kaki Bukit Jambul, memandangi rimbunan pohon raksasa itu
sambil membatin, Kapankah gerangan kudapatkan keberanian
untuk memasukinya" Kendati sudah pernah tiba dengan selamat di puncaknya,
ada keseganan besar untukku kembali ke sana. Sesuatu se"
olah berkata, belum waktunya. Aku tak tahu apa yang ku"
tunggu. Kendati demikian, tempat itu tetap menarik seluruh
perhatianku seperti magnet besar.
Suatu hari, sekembalinya aku dari sesi melamun di kaki
Bukit Jambul, aku dikejutkan oleh kehadiran Ibu di saung
ladang Ayah. Hal pertama yang kusadari selain ekspresi Ibu
yang tak bersahabat adalah tangannya yang mengepal, meng"
genggam beberapa helai kertas folio. Berkas Ayah yang tadi
kubaca di saung. Aku terkesiap. Tidak siap.
127 Keping 40 "Kamu bohong sama Ibu," dengan suara rendah Ibu ber"
kata. "Kamu bilang ini sudah disita polisi."
Aku menyesal setengah mati kenapa aku begitu sembrono
meninggalkan kertas-kertas itu di saung. Tanganku diamdiam meraba kantong belacu yang tergantung di bahuku,
memastikan jurnal-jurnal Ayah masih ada.
"Ibu ke sini karena orang-orang kampung lapor, katanya
kamu sering pergi ke dekat Bukit Jambul. Benar itu?"
Lidahku kelu. "Kenapa kamu begitu bodoh, Zarah" Kenapa kamu
begitu keras kepala" Nggak cukup Ayahmu menyiksa ke"
luarga kita" Masih harus kamu ikut-ikutan" Nggak kasihan
kamu sama Ibu?" "Zarah cuma pengin cari Ayah."
"Kalau ayahmu memang sayang sama keluarganya. Tanpa
kita cari, dia akan pulang sendiri. Sudah jelas ayahmu me"
ninggalkan kita semua."
"Ibu tahu dari mana" Belum tentu Ayah sengaja pergi,"
sergahku. "Aku istrinya. Aku tahu seperti apa suamiku."
"Ibu tidak tahu apa-apa tentang Ayah," desisku.
Ibu menatapku tajam. Dapat kubaca gelegak emosinya.
Seujung kuku lagi ia akan meledak.
"Pulang kamu," tegas Ibu.
Dalam kebisuan, kami pulang bersama. Aku dengan se"
pedaku, Ibu dengan sepedanya. Hawa peperangan mem"
128 Partikel bungkus kami berdua. Bergulir dan menggulung seiring
dengan putaran roda sepeda.
Kusiapkan mentalku untuk persidangan malam ini.
Abah, Umi, dan Ibu, duduk berjajar di kursi rotan meja
makan. Aku duduk sendiri di sisi seberangnya, menanti
Abah dan Umi membaca berkas Ayah secara bergantian.
Abah mengusap kumisnya yang lebat dan sudah beruban,
"Sudah jelas sekarang. Si Firas memang sudah gila."
"Pasti gara-gara baca tulisan Firaslah Zarah jadi seperti
sekarang," lanjut Umi.
"Ternyata ini yang bikin dia diskors dulu, Bah," sambar
Ibu. Berkas yang mereka baca adalah sekelumit hasil riset
Ayah tentang legenda manusia pertama, yang entah dari
mana saja sumbernya, tapi sanggup membuat siapa pun yang
membacanya meradang. Kecuali aku.
"Abah sudah pernah dengar ada yang bilang manusia per"
tama itu monyet. Tapi yang ini Abah belum pernah memba"
yangkan. Bisa-bisanya bilang Firdaus itu tempat di Bumi, iblis
itu manusia biasa. Lalu bilang lagi kalau manusia itu dicipta"
kan makhluk luar angkasa. Ini jelas teori-teori orang gila!"
"Ayah, kan, hanya mencari tahu. Apa yang salah?" sahut"
ku. 129 Keping 40 "Itu hanya kerjaan orang kafir. Apa lagi yang perlu kita
cari tahu" Kitab suci adalah sumber ilmu, Zarah. Segala ke"
benaran ada di sana. Lihat saja, nanti ilmu pengetahuan
akan membuktikan bahwa semua yang diturunkan kepada
Rasul ribuan tahun yang lalu itu adalah kebenaran."
"Untuk membuktikan, orang butuh bertanya, Abah. Ka"
lau cuma diam dan menunggu, bagi saya, itu yang bodoh."
Di atas meja, aku dapat melihat tangan Abah membentuk
bogem. Tanda ia mulai gusar.
"Hamba Allah akan selalu mendapat hidayah. Dia tidak
perlu sampai menyesatkan dirinya sendiri. Seharusnya Firas
memanfaatkan kecerdasannya untuk menyelami agama. Bu"
kan malah cari-cari yang begini."
"Jangan sampai kamu ikut-ikutan sesat, Zarah. Kami
cuma mau bantu kamu," Umi menambahkan.
"Kalau Abah, Umi, dan Ibu memang mau bantu saya,
biarkan saja saya cari sendiri. Kalau memang Allah ada, biar
saja Allah yang bantu saya. Abah, Umi, dan Ibu nggak perlu
repot. Kita nggak harus ribut terus kayak begini."
"Apa maksud kamu "kalau memang Allah ada?" Astagfi"
rullah. Istigfar, Zarah!" seru Umi.
"Lho, apa salahnya bilang begitu?" tanyaku bingung.
"Memang apa buktinya Allah pasti ada?"
Abah menatapku murka. Tangannya yang sedari tadi me"
ngepal ia bantingkan ke meja. "Buktinya" Seluruh alam raya
130 Partikel ini adalah buktinya! Lihatlah sekelilingmu, lihatlah ciptaanNya, sebut nama-Nya. Itulah bukti Allah!"
"Kenapa harus begitu" Mobil ada penciptanya, telepon
ada penciptanya. Kalau kita mau tahu siapa pencipta telepon,
ada namanya, fotonya, mukanya. Kenapa ciptaan sepenting
dan sebesar ini tapi penciptanya nggak bisa dilihat" Nggak
bisa dibuktikan" Kenapa?" balasku gusar.
"Karena itulah kita butuh iman," sela Ibu, "supaya kita
bisa percaya apa yang tidak terlihat."
Kalimat itu sangat membingungkan bagiku. "Kalau
begitu, gimana caranya kita tahu kita nggak dibohongi" Ka"
lau ternyata semua yang dibilang oleh agama itu bohong,
orang yang telanjur beriman bagaimana nasibnya" Minta
pertanggungjawaban kepada siapa?"
"Kurang ajar kamu, Zarah!" bentak Umi.
"Dasar anak ateis!" bentak Abah.
Aku pun merasakan luapan amarah dalam hatiku. Menga"
pa mereka harus meradang karena pertanyaan-pertanyaanku"
Seolah-olah semua yang kuucapkan adalah hinaan" Kenapa
mereka tidak bisa melihatnya semata-mata sebagai per"
tanyaan" Mengapa kata "agama" dan "Tuhan" menyulut api
dalam setiap hati orang yang kutemui" Dan sungguh aku
muak dengan kata satu itu. Ateis. Bagiku, ini bukan soal per"
caya atau tidak percaya, melainkan tidak adanya kesempatan
untuk mempertanyakan. 131 Keping 40 "Aku bukan ateis. Aku percaya sama alam ini, tapi aku
nggak peduli siapa yang bikin."
"Itu namanya panteisme, tahu kamu" Panteisme itu me"
nyembah alam. Artinya, kamu memuja ciptaan Allah, bukan
Allah-nya sendiri. Sama saja dengan memuja berhala.
Musyrik!" sentak Abah lagi.
Panteisme. Ateisme. Animisme. Dinamisme. Komunisme.
Sungguh aku muak dengan isme-isme yang dilekatkan ke"
padaku. Ke mana pun aku pergi, apa pun yang kukatakan,
selalu ada stempel yang mengikuti. Muak.
"Kalau Abah cuma bisa mengutip isi kitab, apa bedanya
Abah dengan saya yang juga ngutip tulisan Ayah" Kita sama
saja, Bah. Nggak ada yang lebih benar."
"Abah bicara isi kitab suci! Kamu bicara tulisan orang
yang sudah gila!" "Setidaknya yang gila itu usaha sendiri. Bukan seperti
Abah, bisanya menadah sejarah. Cuma karena ada jutaan
orang lain lagi yang punya kepercayaan sama seperti Abah,
bukan berarti Abah jadi yang paling benar, kan?"
Setidaknya tiga hal terjadi nyaris bersamaan. Debup kursi
jatuh. Sekelebat bayangan Abah di tembok yang sontak ber"
diri. Jeritan Ibu dan Umi. Dan, yang kulihat berikutnya
adalah ubin. Sekali ayun, tangan Abah yang lebar dan besar
menghantamku. Aku terkapar mencium lantai.
Mataku mengerjap-ngerjap. Pandanganku berkunang-ku"
132 Partikel nang. Tapi bisa kulihat jelas tetesan darah segar di lantai.
Darahku sendiri. Mengucur dari hidung.
"Dengan segala kesombonganmu, kamu boleh menghina
siapa pun di muka bumi ini, Zarah. Tapi jangan sekali-kali
kamu menghina agamaku dan Rasulku," suara Abah yang
menggelegar terdengar gemetar. "Kamu... bukan cucuku
lagi!" Dari tempatku terkapar, kulihat kakinya beranjak pergi.
Disusul kaki Umi. Ada tangan mungil yang kemudian mem"
bantuku bangkit. Hara. "Kenapa Kak Zarah selalu melawan Abah?" tangis Hara.
Kulihat Ibu terkulai lemas di tempat duduknya. Matanya
nanap memandangi ruang kosong. Ia bahkan tak peduli de"
ngan keberadaanku. Diiringi Hara yang terisak-isak, aku masuk ke kamar.
Aneh. Aku tidak ingin ikut menangis. Tak kurasakan sedih
sama sekali. Kami berdua duduk di atas ranjang. Tanganku sebelah
menepuk-nepuk kepala Hara yang terus terisak di bahuku,
dan tanganku sebelah lagi menyumbat cucuran darah dengan
bekapan sapu tangan. Selain hidungku yang berdenyut linu,
sungguh tak kurasakan apa-apa lagi. Perbedaanku dengan
Abah adalah jurang yang tidak akan ada jembatannya.
Akhirnya, kuterima itu sepenuh hati.
133 Keping 40 17. Esok harinya, aku baru pulang menjelang malam. Aku harus
memenuhi panggilan wawancara dari tempat kursus bahasa
Inggrisku. Tak lama setelah lulus SMA, aku menamatkan kursusku
hingga level terakhir. Ketika melihat pengumuman lowongan
guru dibuka sebulan lalu, tanpa pikir panjang aku mendaftar.
Tentu aku tidak optimistis akan diterima. Siapa pula yang
mau diajar guru yang belum punya KTP"
Di luar dugaanku, ternyata aku salah satu kandidat yang
dipanggil. Mereka berencana menempatkanku di kelas anakanak yang baru akan diresmikan bulan depan.
Dengan hidung memar, aku menjalani wawancara dengan
mulus. Mereka amat terkesan dengan metode pengajaran
yang kuajukan. Mereka menganggapku sangat kreatif. Salah
satu dari pengujiku bahkan yakin aku punya pengalaman
mengajar yang kusembunyikan, mungkin karena kerendahan
hati. Tak kuungkap fakta bahwa pengalaman mengajarku
terbatas pada dua orang saja. Koso dan Hara. Koso, khusus"
nya, telah memaksaku menguasai berbagai metode penga"
jaran. Direktur tempat kursus, Pak Ishak, mewawancaraiku
langsung. Hari itu juga ia mengonfirmasi posisiku sebagai
guru. Tak perlu menunggu panggilan berikutnya. Aku di"
terima. 134 Partikel Ini akan jadi kejutan buat Ibu. Walau aku sudah dicoret
dari daftar cucu Abah, mungkin pengumuman aku akan jadi
guru muda bisa menghiburnya.
Baru saja sepedaku memasuki pekarangan, Hara meng"
hambur keluar. Ia sudah bersiaga menunggu kedatanganku.
"Kakak... jangan masuk dulu."
"Kenapa" Kamu nggak apa-apa?"
"Ibu," ucapnya. Mata Hara membundar panik.
Aku tak lagi menunggu penjelasannya, langsung menero"
bos masuk ke rumah. Di halaman belakang, kulihat siluet
Ibu yang berdiri di depan kobaran api. Ada sesuatu yang
terbakar dari dalam gentong besi tempat sampah kami.
"Seharian Ibu bongkar seisi rumah," jelas Hara terbata,
"dan tadi, di kamar Kakak...."
Refleks, kepalaku menoleh ke belakang. Ke arah pintu
kamarku. Pintu kamarku sudah terbuka. Barang-barangku berse"
rakan di lantai. Aku menerjang masuk. Apa yang kulihat
membekukan detak jantungku.
Kasurku sudah terbalik. Baju-baju dari lemariku berta"
buran di lantai. Semua laci terbuka. Dus tempatku menyim"
pan semua berkas dan jurnal Ayah ada di tengah keporak"
porandaan itu. Kosong. Kekuatan dari tubuhku seperti disedot habis seketika.
Kugapai pegangan pintu agar bisa terus berdiri. Api itu. Api


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu! 135 Keping 40 Aku berteriak kencang tanpa bisa kutahan. Sebuah ke"
kuatan entah dari mana melesatkan tubuhku berlari ke ha"
laman belakang. Kudorong gentong besi itu hingga jatuh ke
tanah. Bau asap dan minyak tanah meruap ke udara. Ter"
gulingnya gentong besi tadi ikut menjatuhkan jeriken mi"
nyak tanah yang terparkir di sebelahnya. Aku tak peduli.
Perhatianku terpusat pada sampul jurnal-jurnal Ayah yang
dilalap api. Kuinjak-injak api itu. Dan kudengar lengkingan Hara dan
jeritan Ibu, bercampur dengan suara teriakanku sendiri.
Halaman belakang kami yang mungil hanya berjarak se"
lebar satu kotak keramik dari pintu. Dari ekor mataku, tibatiba kulihat api menyambar kosen kayu pintu belakang. Dan
aku tersadar. Rumah kami dalam bahaya.
Refleksku berikutnya adalah menyambar selang air. Ku"
sirami api yang menjilati kosen pintu hingga padam. Api
terus berkobar di halaman, dan selangku beralih arah. Tak
ada lagi pilihan. Dengan hati remuk redam, kusiram sebaran
api yang menjilati rumput dan menelan jurnal-jurnal Ayah.
Hara dan Ibu sudah datang membantu dengan ember dan
gayung. Api padam. Berganti asap dan jelaga hitam di manamana. Kami bertiga berdiri dengan napas memburu.
Kupandangi kertas-kertas yang sudah hancur oleh api dan
air. Tak ada lagi yang tersisa. Satu-satunya kunci untuk me"
nemukan Ayah telah musnah. Kesadaran itu merambat
136 Partikel pelan-pelan, bagaikan bisa yang melemahkan tubuhku, dan
pada puncaknya aku jatuh berlutut. Meraung dan menangis.
Ibu dan Hara diam mematung. Tak berani mendekat.
"I"ini demi kebaikanmu...." Terdengar suara Ibu yang ge"
metar. Sebagai jawaban, teriakanku lantang menyobek malam.
Aku berteriak bagai hewan buas yang terluka.
"Sadar kamu, Zarah! Buku-buku itu sesat!" jerit Ibu.
Aku berteriak lagi, dan lagi, dan aku berteriak di depan
wajah Ibu. Ia meringkuk ketakutan.
"Kakak, cukup," Hara membisik parau.
Kutelan teriakan yang sudah ingin meluncur dari teng"
gorokan. Bergegas pergi dari situ. Kusambar sepedaku di
teras, kukayuh dengan segala amarah, segala pedih. Rasa
percayaku pada Ibu musnah bersama jurnal Ayah yang di"
bakarnya. Dua orang terpenting dalam hidupku, kedua
orangtuaku sendiri, dengan cara dan waktu yang berbeda
menghancurkanku sekali jadi.
Entah berapa jam aku mengayuh sepedaku berkeliling
tanpa tujuan. Hingga jalanan melengang, lampu rumah-ru"
mah menggelap. Pada waktu yang kuduga sudah lewat tengah malam, se"
pedaku berhenti di pohon salam. Di kaki Bukit Jambul.
Kupandangi julangan bebayang hitam di hadapanku.
"Aku tidak takut lagi." Aku berkata. Entah kepada siapa.
137 Keping 40 18. Hubunganku dengan Ibu berubah sejak malam itu. Dengan
segala perbedaan kami, berdebat dan bertengkar adalah ru"
tinitas yang sudah biasa kami jalani. Semua itu berhenti.
Komunikasi di antara kami membeku. Hara adalah satusatunya alasan mengapa aku masih bertahan di rumah. Kami
semua tahu itu. Abah dan Umi juga menghentikan segala inspeksi men"
dadak mereka. Kini, mereka akan janjian terlebih dulu kalau
ingin mampir ke rumah, memastikan aku sedang tidak ada.
Aku semakin lihai mencari kegiatan di luar. Pertama, aku
menawarkan diri untuk mengajar bahasa Inggris setiap hari
di tempat kursus. Kedua pihak diuntungkan karena mereka
tak perlu merekrut banyak pengajar, dan aku bisa memper"
oleh honor ekstra. Anak-anak sangat suka dengan cara
mengajarku yang memakai banyak warna, gambar, dan per"
nak-pernik. Beberapa orangtua memintaku untuk mengajar
privat di rumah mereka. Kusambut tawaran-tawaran itu de"
ngan senang hati. Kedua, aku menyiapkan diri keluar dari rumah. Selepas
tiga bulan mengajar, aku punya cukup tabungan untuk
membeli barang-barang yang menjadi targetku selama ini:
perlengkapan berkemah. Aku membeli tenda, sleeping bag,
hammock, kompor kecil, jaket, dan senter berkualitas baik.
138 Partikel Kemudian aku menghadap Pak Ishak, memohon izin untuk
memiliki fasilitas loker agar bisa menyimpan semua perleng"
kapan mengajarku, termasuk buku-buku. Sebagai pengajar
yang paling rajin muncul, dengan mudah kudapatkan izin
itu. Pak Ishak meminjamiku sebuah lemari berkunci di per"
pustakaan. Setelah semua persiapan kurasa cukup, aku lalu berbicara
kepada Hara. Di luar dugaan, Hara sangat tenang meng"
hadapi rencanaku keluar rumah.
"Kakak jangan khawatir. Hara sudah bisa belajar sendiri."
Itulah hal pertama yang ia katakan.
"Jangan pernah mengira Kakak ingin meninggalkan
kamu, ya." Hara mengangguk sambil tersenyum. "Biar Hara yang
jaga Ibu," ucapnya. Saat seperti inilah adik kecilku menunjukkan kedewasaan
yang jauh melampaui usianya. Segala peristiwa yang keluarga
kami lalui menempa Hara sedemikian rupa.
"Kakak nggak takut sama Bukit Jambul, ya?"
"Sekarang nggak. Dulu iya," jawabku. "Dulu Kakak takut
banget." "Hara kepingin jadi pemberani kayak Kakak. Sekarang
Hara masih takut. Ayah ada di sana ya, Kak" Di Bukit Jam"
bul?" "Kakak nggak tahu. Tapi Kakak akan selalu cari Ayah."
"Semalam Hara mimpi. Kakak bakal pergi jauh."
139 Keping 40 Aku membelai rambutnya, "Kakak cuma di Batu Luhur.
Kamu bisa nengok Kakak kapan saja. Kamu juga bisa datang
ke tempat Kakak mengajar."
Hara menghambur mendekapku. Apa yang ia bilang ten"
tang mimpinya tahu-tahu mengusikku. Kupeluk adikku erat.
"Kakak nggak akan pernah pergi jauh dari kamu, Hara,"
kataku lagi. Upaya afirmasi. Karena tiba-tiba saja muncul
firasat bahwa adikku benar.
Kepergianku dari rumah hanya ditandai secarik kertas yang
kuletakkan di meja makan: Zarah di Batu Luhur. Tidak usah
disusul. Belakangan kusadari, kalimat kedua itu tidak perlu. Me"
mang tak ada yang menyusul. Orang-orang kampung juga
tak mengusikku. Seolah mafhum atas apa yang terjadi, me"
reka membiarkanku menggelar sleeping bag di saung ladang
Ayah tanpa bertanya. Peralatan berkemahku teronggok di
sana setiap hari tak terganggu.
Setiap pagi aku ikut mandi di pemandian umum. Mem"
beli pisang goreng dan segelas teh manis di warung Mak
Turi untuk sarapan. Dengan menggendong ransel di pung"
gung, aku bersepeda ke tempat kursus. Muncul di sana se"
perti anak baru turun gunung. Satpam di tempat kursus
sudah maklum melihatku datang sepagi petugas bersih140
Partikel bersih. Aku lalu berganti baju, duduk di perpustakaan, me"
nyiapkan bahan-bahan untuk mengajar seharian. Saat isti"
rahat siang, aku tergeletak tidur di musala beralaskan sa"
jadah. Meski hidup menggelandang, bersepeda lebih dari 40
kilometer setiap hari, tidur di saung bambu tak berdinding,
untuk kali pertama setelah sekian lama kutemukan ke"
damaian. Ketenangan. Kebebasan.
Aku pun bersiap untuk tujuanku berikutnya. Bukit Jam"
bul. 19. Pada satu hari Minggu, satu-satunya hari kosongku, aku
berangkat ke Bukit Jambul. Dini hari, aku berjalan kaki ke
sana supaya sepedaku tak mengundang kecurigaan warga.
Langit masih gelap, hanya kokok ayam sesekali yang mem"
beri petunjuk bahwa kegelapan ini bukan lagi milik malam.
Hasil dari berkali-kali mengitari kakinya, aku hafal di
mana letak pohon puntodewo yang menjadi patokan jalan
masuk. Kumasuki Bukit Jambul dengan badan terbungkus.
Belukar rapat setinggi dagu menyambutku. Ranting-ran"
ting tajamnya mulai tersangkut-sangkut di baju. Ketika su"
dah terasa terlampau rapat, terpaksa kukeluarkan parang dan
menebas sedikit-sedikit. 141 Keping 40 Entah karena tubuhku yang sudah membesar sejak empat
tahun lebih lalu, rasanya perjalanan menempuh lima puluh
meter belukar neraka ini tidak sesusah dan selama dulu saat
kali pertama kumasuki Bukit Jambul.
Ketika tanah yang kuinjak tak lagi berisik dan peng"
lihatanku melapang, aku tahu aku telah tiba dalam perutnya.
Tanpa dicekam ketakutan seperti dulu, dengan tenang ku"
sorotkan senterku ke sekeliling, mempelajari apa yang ku"
lihat. Sinar bulan pucat yang masih bertengger di langit me"
nembusi pohon dan dedaunan, menciptakan siluet abstrak
keperakan. Kumatikan senterku. Melebur dalam remang hu"
tan. Segalanya terasa indah.
Jalur setapak kecil yang dulu kulalui masih terdeteksi wa"
lau sebagian besar sudah tertutup. Jalur itu membelah rapat"
nya hutan seperti seutas benang berkelok. Aku memilih
untuk tidak tergesa, berjalan lambat sambil terus mem"
pelajari isi perut Bukit Jambul.
Tak terasa, langit di atas sana, yang hampir tak terlihat
karena tertutup kanopi dedaunan, mulai menerang. Dalam
hitungan menit, bahkan detik, wajah Bukit Jambul terus
berubah. Mulai terlihat selimut lumut yang menutupi batang
pepohonan tua dengan diameter rata-rata lebih dari lima pu"
luh senti itu. Aku melihat tanaman-tanaman epifit mencuat
dari sana sini, pakis-pakis raksasa yang menghampar bagai
kipas mekar, anggrek-anggrek hutan yang sebagian mulai
142 Partikel berbunga. Dan ketika kulihat ke bawah, tampaklah pi"
ringan-piringan besar jamur Trametes versicolor yang tumbuh
seperti trap tangga di kaki pohon.
Belum kulihat cukup banyak hutan dalam hidupku, tapi
aku yakin hutan primer di Bukit Jambul ini adalah satu yang
terindah. Semakin dalam aku masuk, semakin aku terpukau.
Bagaimana batang pepohonan membentuk barisan seolah
acak tapi terasa harmonis, bagaimana tetumbuhan di bawah"
nya tumbuh meliuk dan melekuk demi menggapai sinar
matahari yang terbatas, bagaimana elevasi tanahnya menan"
jak lembut dan bersahabat, membuatku merasa Bukit Jambul
ditata oleh ahli lanskap dan tukang taman jempolan. Seolah
hutan ini diciptakan untuk menghibur dan mencengangkan
pengunjungnya, yang ironisnya nyaris tak ada itu.
Kor tonggeret mulai membahana dari segala penjuru,
mengiringi langkahku menaiki punggung Bukit Jambul. Aku
tak merasakan hawa angker sama sekali. Seluruh hutan ini
terasa ramah, bahkan melindungi.
Udara mulai hangat. Aku membuka bungkusan baju, sa"
rung tangan, kaus kaki panjang, menyisakan hanya kaus
oblong dan celana panjang. Dengan menyandang ransel, aku
berjalan ringan ke puncak. Bersepeda puluhan kilometer per
hari berhasil membuat napasku terjaga baik. Aku sama sekali
tidak kelelahan. Puncak yang berupa tanah lapang bundar itu mulai ter"
143 Keping 40 lihat. Dan, begitu aku tiba di tepiannya, aku ambruk ke
tanah. Semaput. Persis kejadian empat tahun silam, lututku melunglai
begitu saja. Dadaku sesak. Sesuatu dalam atmosfer tempat
itu menekan punggungku, menahanku dalam posisi teng"
kurap. Kalap, kulepaskan ransel dari bahuku. Berusaha me"
ngurangi beban yang begitu mengimpit, tapi sia-sia. Aku
berusaha bangkit, menegakkan lutut-lututku, tapi dalam
waktu singkat, aku kembali terkapar.
Rasa takut merambat naik, dan aku mulai panik. Berbeda
dengan dulu, kali ini kekuatan itu seperti benar-benar ingin
melumpuhkanku. Berkali-kali aku mencoba merangkak maju,
tapi sebelum tungkai-tungkaiku membuat gerakan berarti,
aku kembali mencium tanah.
Keringatku mulai membanjir. Napasku tersengal-sengal.
Putus asa, aku pun teriak meminta tolong. Tak peduli ke"
pada siapa. Dan darahku berdesir ketika aku sadar suaraku
pun hilang. Aku menganga selebar mungkin, mengirimkan
jeritan sekencang yang kubisa, dan tak ada suara yang keluar.
Tempat apa ini" Aku meratap dalam hati. Meminta tolong.
Memohon. Mataku tiba-tiba menangkap sesuatu di arah kiri. Se"
kelompok jamur yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Tumbuh merumpun begitu saja di tanah.
Entah karena aku yang sedang semaput sehingga peng"
lihatanku terpengaruh, aku amat yakin jejamuran itu ber"
144 Partikel sinar. Entah dorongan dari mana yang menggerakkan ta"
nganku menggapai rumpun jamur tadi. Kurenggut dengan
sisa tenaga yang ada hingga sebagian besar dari mereka ter"
cabut. Kudekatkan genggamanku yang kini berisi beberapa
kepala jamur dan, tanpa berpikir dua kali, aku memasukkan"
nya ke mulut. Aku mengunyah, dan mengunyah. Rasanya
seperti sedang memakan bantal gurih. Mirip daging ayam
yang tak diberi garam. Dalam keadaan tengkurap rata dengan tanah, aku ter"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baring pasrah. Tak ada lagi kekuatanku untuk melawan. Aku
diam di tempat. Perspektifku akan waktu mulai goyah, tak bisa lagi ku"
ukur berapa menit telah berlalu. Yang kurasa hanya... lama.
Seiring dengan itu, ketakutan yang tadi mengunciku per"
lahan meluntur. Napasku mulai kembali normal.
Pelan-pelan, kembali kurasakan tenaga di badanku. Beban
yang tadi mengimpit telah sirna. Aku mulai bisa bergerak.
Kubalikkan punggungku, menghadap langit. Dan tiba-tiba
aku menyadari terjadi perubahan di alam sekelilingku.
Langit yang kupandang menjadi bergelombang, bagai riak
di kolam. Aku menoleh ke tanah, mendapatkannya juga ber"
gelombang dan seperti bernapas. Kuangkat kepalaku, meng"
hadap hutan, dan aku menyadari hutan itu memendarkan
cahaya. Aku mengamati lebih tajam. Dedaunan bergerak bukan
karena tertiup angin. Mereka menggeliat. Batang pohon
145 Keping 40 tampak mengembang mengempis halus. Dan aku tercengang
oleh suara burung dan tonggeret yang mulai membubung
dalam kesadaranku, karena mereka seperti berkata-kata. Aku
tak bisa memahaminya, tapi apa yang tadinya terdengar se"
kadar bebunyian, kini bagaikan sahut-sahutan. Percakapan.
Mereka berkomunikasi. Dan hutan ini... hutan ini hidup.
Setelah lama terkesima oleh pemandangan hutan, aku pun
beralih ke atas. Ke arah langit.
Sorot matahari ditumpulkan oleh kelompok awan yang
menutupinya. Perlahan, aku menyadari awan-awan itu pun
bergerak tidak seperti biasanya. Mereka berdenyut. Yang le"
bih aneh lagi, aku mulai merasa ketersambungan yang ter"
cipta antara aku dan awan. Tepatnya, mereka bergerak sesuai
dengan gerakan batinku. Ketika napasku melambat, denyut
mereka ikut melambat. Saat kucepatkan irama napasku, de"
nyut mereka bertambah cepat. Aku mencoba tersenyum, dan
aku merasa awan ikut merekah.
Detik itu, sebuah gelombang perasaan besar melandaku
bagai air bah. Aku, hutan, dan awan bergerak dalam sebuah
kesinambungan. Kami adalah satu. Batinku mulai gamang
karena rasanya aku tidak lagi merasakan seseorang bernama
Zarah. Zarah telah lebur bersama arus ini. Arus, yang entah
apa, tapi semua kehilangan identitas di dalamnya. Semua
menjadi satu. Setelah lama terkesima oleh hutan dan langit, perhatianku
beralih ke depan. Ke arah lapangan.
146 Partikel Di tengah lapangan bundar itu, aku melihat sebuah pen"
daran sinar. Kukedipkan mataku berkali-kali, memastikan
sinar itu memang betulan ada di sana. Setiap mataku mem"
buka, pendaran itu terus ada. Kutajamkan mataku. Pendar
sinar itu ternyata berbentuk kumparan. Ada pola lingkaran
yang teratur dengan pusat di tengah-tengah. Aku mengirangira besar lingkaran itu selebar tampah beras.
Tanpa ragu, aku bangkit untuk mendekatinya. Baru se"
langkah kakiku maju, aku langsung berhenti. Tenagaku tidak
lagi disedot habis seperti sebelumnya, tapi aku masih terhu"
yung. Dunia seperti miring dan berputar-putar, dan rasanya
aku ingin kembali berbaring. Maka, tiaraplah aku di atas
perut. Memandangi kumparan itu.
Keanehan yang sama kembali berulang. Kumparan itu
ternyata berdenyut sinkron dengan batinku. Ketika tanganku
menggapai berusaha meraih, kumparan itu mendekat. Bagai"
kan tali karet yang elastis, jarak di antara kami memelar dan
merapat. Kadang ia menjauh sedikit, mendekat lagi, amat
dekat hingga terasa sudah di depan ujung jariku, lalu men"
jauh lagi. Dalam hati aku memohon, izinkan saya masuk.
Tiba-tiba kudengar suara yang merespons secepat kilat,
atau bahkan lebih cepat, karena aku merasa suara kami tum"
pang tindih. Suara itu muncul dari dalam batinku, tapi rasa"
nya bukan aku. Dia berkata: cukup sampai di sini.
Tak lama setelah kudengar suara itu, kumparan sinar tadi
147 Keping 40 memudar. Seolah diisap masuk oleh udara, ia berangsur
menghilang. Aku melihat ke langit. Denyut awan juga me"
lambat. Tanah dan hutan tidak lagi bernapas.
Perlahan aku bangkit duduk. Berusaha mencerna apa
yang terjadi. Untuk kali pertama aku melihat dunia yang
berbeda. Dunia yang hidup dalam arti sebenar-benarnya.
Tidak ada benda yang "mati". Dalam arus tadi, kami semua
sejajar, tidak ada yang lebih istimewa daripada yang lain.
Kami hidup dan berdenyut bersamaan. Jika selama ini Ayah
selalu mengajarkan untuk hidup harmonis dengan alam, aku
mengerti maksudnya, baru kali inilah aku mengalaminya
secara utuh. Bukan lagi kata-kata. Segenap sel tubuhku me"
rasakannya. Kutebarkan pandanganku sekali lagi, merasakan badanku
sendiri. Segalanya sudah normal. Dan, itu membuatku patah
hati. Keajaiban yang barusan kusaksikan kini tersembunyi.
Entah oleh apa. Aku pun teringat jamur yang tadi kurenggut. Beberapa
masih tersisa di tanah, tak lebih dari tiga batang. Kuper"
hatikan mereka baik-baik. Siapa kamu" Kenapa bisa ada di
sini" Sungguh belum pernah kulihat jamur seperti ini sebelum"
nya. Bentuknya sangat cantik. Tudungnya bulat berwarna
merah cerah dengan bintik-bintik putih. Besarnya bervariasi.
Yang paling besar di situ kira-kira-kira setinggi telapak ta"
148 Partikel ngan. Semakin kecil ukurannya, semakin merah warna tu"
dungnya. Aku berusaha mengingat-ingat, berapa banyak yang ku"
jejalkan ke mulutku tadi. Sepertinya tak lebih dari empat
tudung berukuran kecil. Kulihat sekeliling. Tak kutemukan
lagi jamur sejenis dekat-dekat situ. Tebersit keinginan tinggal
lebih lama di puncak itu untuk melihat-lihat, tapi hatiku
menegaskan cukup. Kupetik satu batang yang berukuran se"
dang, kumasukkan ke kantong.
"Terima kasih," bisikku.
Rasa haus yang menggigit merenggut atensiku. Kuteng"
gak botol berisi air minum sampai tandas. Iseng, kurogoh
jam tangan yang tersimpan di kantong ransel, dan terkejut"
lah aku. Setengah dua belas siang"
Aku tiba di puncak tidak mungkin lewat dari pukul sete"
ngah tujuh pagi. Aku yakin itu. Jadi, bagaimana mungkin
aku terkapar selama itu" Sesaat kemudian aku meragu. Atau
mungkin" Berarti telah terjadi distorsi besar-besaran atas per"
sepsiku akan waktu. Aku bangkit berdiri dan mulai menuruni bukit. Sungguh
awal yang misterius sekaligus menyenangkan dengan Bukit
Jambul. Aku tak sabar untuk kembali.
Sekelumit misteri Bukit Jambul telah berhasil kukantongi.
149 Keping 40 Beberapa hari berikutnya kepalaku didominasi pengalaman
hari Minggu di puncak Bukit Jambul. Dalam benakku, aku
merekonstruksi kejadian itu berulang-ulang. Mengingat-ingat
betapa magisnya bisa menyadari bahwa segala sesuatunya
hidup. Segala sesuatunya satu. Dan ketika kurunut satu demi
satu mata rantai kejadian itu, kembali aku terpentok di ja"
mur bertudung merah yang belum kuketahui identitasnya.
Hara sudah kutugasi untuk membongkar ruang kerja
Ayah, tapi sayangnya ensiklopedia fungi dan buku-buku se"
jenisnya sudah terangkut oleh polisi. Aku sudah mencoba
menghubungi beberapa dosen di IPB, tapi entah pesanku
yang tak disampaikan, atau mereka memang enggan me"
nemuiku, tetap tak ada tanggapan.
"Miss Zarah." Suara anak perempuan mengusik. Meng"
ingatkanku bahwa aku sedang berada di ruang kelas bersama
murid-muridku. Muridku, Mimi, anak berusia sembilan tahun, mengham"
piri sambil membawa buku cerita. Teman-temannya yang
lain masih asyik membaca. "I finished the story," lapor Mimi,
" but I don"t like the kurcaci."
"Dwarf," aku mengoreksi.
Mimi menggeleng, "Not " dwarf ", Miss," ia lalu menunjuk
satu kata dalam teks cerita yang ia maksud, "I don"t know
how to say this." Aku membaca kata yang ditunjuknya. Gnome.
"How to say it?" desak Mimi.
150 Partikel "It"s like "nowm". Silent "g"," jelasku.
"I don"t like gnome," tandas Mimi.
Aku ingin kembali ke lamunanku, tapi Mimi adalah anak
yang harus terus diladeni sampai puas baru bisa diam. "Would
you like to tell me why?" tanyaku sambil menghela napas.
"Because gnome is..." Mimi berpikir, "pelit."
"Stingy?" ulangku. "He doesn"t want to share?"
Mimi mengangguk. "Fairies cannot come to his house."
"I see," aku tersenyum. "Well, maybe because his house is
small." "No, Miss," Mimi menggeleng tak setuju. "It"s big." Ta"
ngannya menunjuk-nunjuk ke gambar.
"Yes, you"re right," aku tertawa kecil. "It"s a big mushroom
house." "Gnome is stingy," tegas Mimi lagi. "I don"t want to be his
friend." "OK. Now, can you find another book to read, please?"
Mimi mengangguk dan menutup buku itu. Meninggal"
kanku sendiri lagi. Akhirnya.
Anak-anak kembali membaca, dan aku kembali berpikir
ke mana harus mencari tahu. Mungkin aku langsung saja
datang ke IPB, cari cara sendiri untuk bisa ke perpustakaan,
atau mencegat dosen-dosen teman Ayah di parkiran, atau....
"Mimi," panggilku, "may I see that gnome again?"
Mimi datang lagi membawa bukunya. Cepat, kusibak ha"
laman yang berisikan gambar rumah kurcaci tadi.
151 Keping 40 Tidak salah lagi. Napasku tercekat. Menyadari bahwa apa
yang kucari ternyata adalah objek yang sudah sering sekali
kulihat. Hampir semua jamur dalam ilustrasi dongeng di
buku anak yang pernah kutemui digambarkan demikian.
Rumah kurcaci itu adalah jamur bertudung merah dengan
bintik-bintik putih. 20. Sepulang dari tempat kursus, kusiapkan lagi peralatanku ke
dalam ransel. Seminggu berlalu setelah petualanganku ke
Bukit Jambul. Minggu besok dini hari, aku berencana kem"
bali mendaki. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh kedatangan Hara di saung.
Membawa sepeda Ibu, adikku datang dengan ekspresi mis"
terius. "Kakak, Ibu mau ketemu," katanya. "Ada barang di ru"
mah untuk Kakak." Sudah berbulan-bulan aku tak bertemu Ibu. Masih ku"
rasakan tebalnya lapisan enggan jika membayangkan meng"
injakkan kaki ke rumah. "Barang apa?" "Hara nggak tahu. Pokoknya, Kakak harus ke rumah."
"Nggak bisa kamu antar ke sini saja?"
"Kata Ibu, jangan."
152 Partikel Dengan berat, aku menyambar sepedaku. Berdua kami
bersepeda beriringan ke rumah.
Begitu tiba, Ibu langsung membukakan pintu. Tanpa
suara, ia berjalan ke ruang makan. Di sana, tampak meja
makan kami sudah berhiaskan makan malam lengkap de"
ngan tiga piring. Ibu menuangkan teh hangat ke tiga gelas
yang sudah disiapkannya. "Assalamualaikum, Bu," sapaku. Kulihat Ibu sejenak ber"
henti menuangkan teh dan seperti ingin menyodorkan ta"
ngannya. Rikuh, aku membungkuk, meraih telapak tangan"
nya dan menyentuhkannya ke dahiku. Sebagaimana yang
selalu kulakukan tiap kali berangkat dan pulang ke rumah
ini. Refleks yang ternyata masih kami berdua pelihara.
"Waalaikumsalam," balasnya pelan. "Ayo, kita makan
dulu." Kami bertiga duduk di posisi biasa yang telah kami ja"
lani. Ibu di kepala meja sementara aku dan Hara berhadapan
di sisi kiri dan kanannya. Kulihat Ibu dan Hara mengucap
doa. Untunglah aku sempat menahan diri tidak langsung
menyambar makanan. Di hadapan kami tersedia ikan kembung goreng masak
sambal, sayur bayam dimasak bening bersama potongan ja"
gung, dan setumpuk tahu goreng yang masih hangat. Ada
sepiring kecil berisi kue lapis cokelat-pandan. Aku mengenali
kombinasi menu itu dengan sangat baik. Semuanya adalah
makanan kesukaanku. 153 Keping 40 Tak bisa kusembunyikan lapar dan kangenku pada ma"
kanan-makanan itu. Aku makan dengan tempo dua kali lipat
lebih cepat dibanding Hara dan Ibu, sudah menambah dua
kali sementara porsi pertama mereka saja belum habis.
Makan malam kami steril dari segala obrolan hingga po"
tongan kue lapis terakhir ludes kusikat.
Ibu membuka percakapan lebih dulu. "Bagaimana di tem"
pat kursus" Betah mengajar?"
Aku, yang sedang menenggak teh hangatku, cukup ter"
sentak dengan pertanyaan itu. Baru terpikir ibuku pasti su"
dah lama tahu dari Hara. Ketika mau kujawab, yang keluar
dari mulutku adalah bunyi serdawa. Keras dan panjang.
Sontak, Hara terbahak. Aku tak tahan untuk tidak ikut
tertawa. Ibu pun tak bisa menyembunyikan senyum kecilnya.
Untungnya, kami berdarah Arab. Abah paling senang jika


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami serdawa setelah makan di rumahnya. Baginya, itu
adalah pujian bagi masakan Umi. Abah bilang, demi sopan
santun kepada tuan rumah, selalulah serdawa sehabis makan.
Baru setelah besar aku tahu, peraturan itu tidak berlaku di
semua rumah. Gas dari perutku ternyata sanggup mencairkan suasana
kaku di meja makan. Kami bertiga jadi lebih relaks.
"Betah, Bu," jawabku. "Zarah mengajar tiap hari. Yang
privat ada tiga." "Sibuk kamu sekarang, ya," gumam Ibu. Tidak jelas itu
pertanyaan atau pernyataan.
154 Partikel Aku menanggapinya dengan anggukan kecil.
"Kamu bisa tinggal di rumah Batu Luhur. Nggak perlu
tidur di saung lagi," kata Ibu.
Tawaran itu betulan mengagetkanku. Cepat, aku meng"
geleng. "Jangan, Bu. Itu, kan, tempatnya Abah?"
"Rumah itu sudah lama diwariskan ke Ibu," potongnya.
"Siapa yang bisa tinggal di sana adalah hak Ibu untuk me"
nentukan." "Zarah pikir-pikir dulu, Bu," ucapku pelan.
"Sebentar," Ibu bangkit berdiri. "Ada yang harus Ibu ka"
sih untukmu." Setelah sejenak menghilang masuk kamar, Ibu datang lagi
membawa sebuah dus dan sebuah kantong kertas.
"Ini. Untukmu. Ada yang kirim kemari."
Aku menerimanya dan langsung membelalak ketika me"
nyadari benda berat apa yang ada di tanganku itu. Kamera.
Bermerek Nikon. Ada tulisan: FM2/T. Dari dus luarnya,
aku langsung tahu itu bukan barang baru. Ketika dibuka,
tampaklah sebuah boks kayu licin mengilap. Isinya adalah
kamera yang benar-benar mulus seperti baru. Bodinya ber"
warna hitam dengan aksen emas pucat. Mentereng. Terukir
tulisan FM2/T bersebelahan dengan gambar kepala serigala.
"Ini, ada yang lain-lainnya lagi," kata Ibu, menyerahkan
kantong kertas. Aku melongok melihat isinya. Ada tas kamera, tali ber"
tulisan Nikon, dan satu dus berisi lensa.
155 Keping 40 "I"ini semua dari mana, Bu?" tanyaku bingung.
"Ibu nggak tahu, Zarah. Barang-barang itu sampai di sini
kemarin lusa, dikirim kurir."
"Tapi, harusnya bisa ditanya namanya dong, Bu?"
Ibu menggeleng. Ia melirik Hara. Aku ikutan melihat ke
adikku. Dan kelihatanlah air muka Hara yang panik.
"Maaf, Kak. Waktu itu Hara yang terima. Orangnya
cuma bilang, ada kiriman untuk Kak Zarah."
"Dan nggak ada nama pengirimnya, alamatnya?"
"Hara nggak ngerti," kata Hara takut-takut. "Kata orang"
nya memang nggak ada identitas pengirim."
Aku berdecak gemas. "Ini bukan barang sembarangan,
Hara. Yang ngirim pasti punya maksud dan tujuan yang je"
las." "Hara, kan, nggak tahu isinya apa, Kak. Jadi Hara terima
saja," sahut Hara memelas.
Aku terdiam. Percuma mendesak Hara atau Ibu. Ada se"
seorang di luar sana yang menginginkanku menjadi pemilik
kamera ini. Itu saja yang bisa dipastikan.
Hara permisi ke kamarnya dan kembali lagi menggeng"
gam gumpalan kertas dan selembar resi.
"Ini, resi dan bekas pembungkusnya. Mungkin Kak Zarah
bisa cari tahu. Hara sudah bolak-balik bungkus itu, memang
nggak ada keterangan pengirimnya."
Aku menerimanya dengan hela napas berat. Satu lagi
teka-teki. 156 Partikel "Ibu nggak ngerti soal kamera, tapi Ibu yakin itu barang
mahal, jadi kamu jangan sembarangan simpan," cetus Ibu.
"Mulai malam ini kamu pindah saja ke rumah Batu Luhur."
Ibu menggeser sebuah anak kunci ke hadapanku.
Sebagian dari diriku merasa enggan, tapi aku tahu Ibu
benar. Kuraih anak kunci itu. Menyisipkannya ke dalam
kantong. "Makasih, Bu," gumamku.
Ibu mengangguk sekilas. "Ibu mau pergi pengajian dulu.
Hara jaga rumah, ya. Zarah, kamu jangan pulang terlalu
malam." Aku menyadari kecanggungan dalam suara Ibu. Anaknya
punya tempat lain untuk "pulang".
Di teras depan, saat aku sudah siap duduk di sadel se"
pedaku, Ibu keluar dengan kerudung biru mudanya. Entah
sudah berapa kali dalam hidupku, aku dibuat terpana oleh
kecantikan ibuku sendiri. Rambutnya yang hitam legam ter"
urai dari sebelah bahunya, matanya yang besar tampak ber"
kilau dibingkai sepasang alisnya yang lebat, kulitnya bersih
dan cemerlang tanpa pulasan make-up. Rumitnya kehidupan
keluarga kami mungkin sering meredupkan sinar bahagianya,
tapi tak pernah menyurutkan kecantikannya.
"Ibu duluan," ujarnya. "Baik-baik di rumah, Hara. Hatihati di jalan, Zarah."
Kuparkirkan lagi sepedaku untuk mencium punggung
tangannya. Bergantian dengan Hara.
157 Keping 40 Sembari menggumamkan bismillah, Ibu menaiki sepeda"
nya, "Assalamualaikum," pamitnya.
"Waalaikumsalam," jawabku dan Hara berbarengan.
Sembari mengayuh, Ibu sempat melirikku dan berkata
selewat, "Selamat ulang tahun."
Aku bengong di tempat. Hara melonjak. "Masya Allah. Kak Zarah ulang tahun
hari ini, ya?" serunya. Ia pun menghambur mendekapku.
Kupandangi Ibu yang pergi menjauh, Hara yang sem"
ringah dalam rangkulanku, dan tersadarlah aku. Ayah ada di
sini. Ikut merayakan ulang tahunku bersama kami. Ia hadir
dalam bentuk sebuah kamera. Bukti dari janji yang berhasil
ia tepati. 21. Pendakian ke Bukit Jambul terpaksa kubatalkan. Aku punya
agenda lain yang lebih mendesak.
Alih-alih bersepeda ke arah hutan, pada hari Minggu itu
aku justru bersepeda menuju jantung Kota Bogor. Tepatnya,
menuju Kebun Raya. Hari Minggu begini, Kebun Raya ada"
lah tempat yang paling kuhindari karena tidak tahan hirukpikuk orang yang datang membeludak ke sana. Namun, aku
tak punya pilihan. Dialah satu-satunya orang yang bisa ku"
mintai tolong dalam hal ini. Dan menemuinya di Kebun
158 Partikel Raya adalah satu-satunya cara yang kutahu untuk bisa me"
nemukannya. Semoga saja tempat mangkalnya belum ber"
ubah. Aku langsung bersepeda menyusuri rute ketiga Kebun
Raya, menuju Jembatan Merah.
Doaku terkabul. Di sana, tampaklah seorang bapak-bapak
kurus, usianya lebih tua daripada Ayah, rambutnya tersemir
rapi. Dengan celana kain cokelat dan kemeja krem yang di"
masukkan, sebatang sisir putih tampak mencuat dari kantong
belakangnya. Jemarinya semarak oleh tiga cincin batu akik.
Ia sedang memotret sepasang laki-laki dan perempuan yang
berpose mesra di tengah jembatan.
"Ditunggu sebentar, ya." Terdengar logat Jawanya yang
medok. "Pak Kas!" panggilku.
Sambil mengipasi lembaran film instan yang dimuntah"
kan kamera Polaroid-nya, Pak Kas berseri menghampiriku,
"Zarah. Apa kabar kamu, Nduk?"
Pak Kas adalah satu-satunya manusia di Bumi ini yang
memanggilku "Nduk". Aku dan Ayah telah berkawan lama
dengan Pak Kas, bernama panjang Kastunut, nama keramat
yang diberikan oleh Sri Sultan, demikian Pak Kas pernah
bercerita tentang namanya yang unik. Satu gigi taringnya
diganti gigi palsu berwarna emas. Aku masih ingat bagai"
mana dulu aku menanti-nanti saat Pak Kas tertawa supaya
bisa mengintip gigi yang menurutku spektakuler itu.
159 Keping 40 Pak Kas sudah lebih dua puluh tahun mencari nafkah
dengan menjadi tukang foto keliling. Kamera Polaroid bekas
yang pernah dihadiahkan kepadaku itu dibeli Ayah dari Pak
Kas. Ayah amat senang berkawan dengan Pak Kas. Padahal,
jarang-jarang Ayah menyukai kehadiran sesama manusia.
Setiap Ayah mengajakku ke Kebun Raya, ia selalu menyem"
patkan diri mencari Pak Kas. Ayah mentraktirnya makan
atau sekadar minum kopi. Ayah bilang, Pak Kas adalah pen"
dengar yang baik. "Sekarang ini, sulit mencari orang yang benar-benar mau
mendengar," kata Ayah dulu. "Pak Kas itu mendengar de"
ngan sepenuh hati." Aku bertanya, "Bisa tahu bedanya yang mendengar se"
penuh hati dan nggak, gimana caranya, Yah?"
"Kalau lawan bicaramu mendengar dengan sepenuh hati,
beban pikiranmu menjadi ringan. Kalau kamu malah tambah
ruwet, meski yang mendengarkanmu tadi seolah serius men"
dengar, berarti dia tidak benar-benar hadir untukmu," jawab
Ayah. Aku belum cukup lama menghabiskan waktu berdua de"
ngan Pak Kas untuk menguji teori itu. Sekarang pun aku
menemuinya bukan untuk didengar, melainkan diberi peng"
arahan. Aku ingin belajar memotret. Dan Pak Kas adalah
satu-satunya fotografer yang kutahu.
160 Partikel Setelah menjelaskan maksud dan tujuanku, aku menge"
luarkan kamera baruku dari ransel.
Pak Kas memegangnya sambil menganga. "I"ini kamera
luar biasa bagus!" serunya.
"Pak Kas pernah pakai kamera seperti ini, kan?" tanyaku.
"Dulu, waktu masih kerja di studio. Tapi ndak sebagus
ini." "Jadi, Bapak bisa ajari saya?"
Dia tersenyum lebar, memperlihatkan taring emasnya,
"Ya, sebisanya. Ilmu saya pas-pasan, Nduk."
"Ilmu saya nol, Pak," balasku.
"Cocoklah kita," Pak Kas terkekeh lalu menyalakan seba"
tang kereteknya. "Ayo, kita mulai."
Aku bangkit penuh semangat.
"Sekarang, kamu naik sepedamu dulu," Pak Kas menepuk
bahuku. "Terus, kamu cari tempat yang jual film. Beli be"
berapa. Mana bisa motret tanpa film" Saya tunggu di sini."
Pelajaran pertamaku. Seharian itu, aku membuntuti Pak Kas ke mana-mana se"
perti aku membuntuti Ayah dulu. Setiap ada waktu luang
saat ia tidak memotret, itulah waktuku belajar.
Pak Kas bercerita tentang cahaya. Bagaimana memotret
itu sesungguhnya adalah ilmu tentang cahaya, tepatnya pen"
161 Keping 40 cahayaan. Jika seseorang menguasai pencahayaan, ia akan
menguasai fotografi. "Kamu harus peka lihat arah cahaya itu ke mana dan ba"
gaimana. Jangan jidat orang kamu tegak luruskan dengan
sinar matahari, nanti mukanya belang-belang. Jangan orang
suruh menentang matahari, nanti matanya nyureng. Jelek.
Kalau matahari sudah terlampau tinggi dan kuat, cari tempat
yang agak teduh biar fotomu ndak terlampau kontras. Ba"
gusan, ya, matahari jam segini. Sore-sore atau pagi-pagi, atau
waktu langit berawan."
Kemudian, Pak Kas bercerita tentang komposisi.
"Di sini, tukang foto Polaroid ndak cuma satu. Ada ba"
nyak. Tapi kamu boleh adu, mana fotonya yang paling enak
dilihat, pasti hasil fotoku," ia terkekeh, gigi emasnya ber"
kilau. "Orang tuh banyak yang ndak ngerti, kalau motret
haruuus... saja objeknya di tengah-tengah. Padahal itu ndak
bagus. Mata kita ndak suka lihatnya. Kamu harus geser se"
dikit. Ini, bandingkan," ia lalu memotretku tanpa aba-aba.
Dua kali. Dua lembar foto Polaroid itu lalu kami pelajari. "Nah,
yang ini yang umum dilakukan orang-orang. Aku bikin
kamu di tengah-tengah. Bandingkan dengan yang ini," kata"
nya sambil menunjuk foto kedua, "kamu ndak di tengah, tapi
kira-kira di sepertiga bidang foto. Lebih bagus, kan" Itu ka"
rena mata kita secara alami menyukai komposisi sepertiga
begini." 162 Partikel Di kesempatan lain ia bercerita tentang ilmu dasar me"
nguasai kamera. Dengan menggunakan sebatang ranting, ia
gambarlah segitiga di atas tanah.
"Hasil fotomu itu ditentukan oleh tiga hal ini, Nduk," ia
menunjuk segitiganya. "ASA film-mu, diafragma, dan ke"
cepatan lensa kameramu. Hasil keseimbangan tiga hal ini
namanya exposure. Kalau tiga hal tadi pas, maka exposure-mu
seimbang. Fotonya pasti bagus dan jelas. Kadang orang se"
ngaja pengin lebih terang, berarti buatlah proporsi segitiga
yang menghasilkan exposure yang tinggi. Kadang orang se"
ngaja cari hasil foto yang gelap remang-remang, ya, buatlah
proporsi yang menghasilkan exposure rendah. Tiga inilah
yang bisa kamu mainkan. Kalau fotonya terlampau terang
atau terlampau gelap" Berarti ada yang salah di ketiga hal
ini." Pak Kas kemudian menjelaskan tentang ruang tajam foto.
"Kalau kamera Polaroid begini hasilnya, ya, rata saja. Tapi
dengan kameramu, kamu bisa punya ruang tajam. Tergan"
tung jenis lensa yang kamu pakai. Punyamu itu 50 milimeter
f/1.4, berarti maksimal kamu bisa setel diafragma kameramu
di 1.4. Itu bagus. Makin kecil angka f-nya, kamu bisa motret
di tempat yang kurang cahaya. Dan kamu punya ruang ta"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jam yang lebih leluasa."
"Maksudnya "ruang tajam" itu apa, Pak?"
"Ini, lho, anu, waduh, gimana jelaskannya, ya?" Pak Kas
kebingungan sendiri, ia lalu berjongkok di depan semak
163 Keping 40 kembang sepatu kuning. "Jadi, misalnya aku mau motret bu"
nga kuning ini, nah, yang kelihatan jelas bunga satu ini saja,
yang belakangnya kabur-kabur butek, begitu. Itu artinya,
lensa yang kamu pakai sanggup mengejar fokus yang tipis.
Objek kamu jadi seolah-olah nongol sendiri. Kalau semua
objek jelas, itu sebaliknya. Ruang tajamnya tebal, makanya
fokusnya jadi rata. Ya kembang, ya daun, ya pohon di bela"
kangnya, sama-sama jelas."
Aku mengangguk-angguk. Pura-pura mengerti.
"Selain ganti-ganti setelan diafragma, kamu bisa atur
ruang tajam fotomu menggunakan sebuah alat bernama
ka?"" Pak Kas menanti jawabanku. Dan aku hanya be"
ngong. "Kaki!" serunya. "Maju atau mundur. Begitu lho, Nduk.
Lensamu itu lensa fixed namanya. Jadi, kamu harus atur
jarakmu sendiri. Kalau lensa zoom bisa kamu mainkan jarak"
nya, tinggal putar-putar setelannya. Tapi, kalau aku lebih
suka lensa macam punyamu. Hasilnya lebih bagus. Kaki kita
juga olahraga." Selebihnya adalah menerjemahkan apa yang seharian di"
paparkan oleh Pak Kas ke dalam praktik. Aku menghabiskan
dua rol film hari itu. Puas rasanya.
Kamera memberi saluran bagi kegemaranku mengamati
tekstur tanah, kulit pohon, liukan daun, dan warna bunga.
Rasanya seperti mendapat sepasang mata baru. Dan lewat
mata baruku itu, aku melukis cahaya di atas rol film.
164 Partikel Ditemani Pak Kas, aku mencetak hasil kerjaku hari itu. Tak
sabar ingin melihat foto-foto perdanaku.
Seolah ingin menguji kesabaran, Pak Kas malah menyem"
bunyikan foto-foto itu, melihatnya sendirian, kemudian
membaginya menjadi dua kelompok. Ia sembunyikan satu
tumpukan di balik punggungnya, dan memberiku tumpukan
satunya lagi. "Monggo, dilihat dulu," ujarnya berseri-seri.
Aku mengamati satu-satu, terpukau dan terpana. Lukisan
cahayaku indah-indah. Dengan hati berbunga-bunga aku
mengakui, Ayah benar. Aku betulan berbakat.
"Gimana. Puas?" tanya Pak Kas lagi.
"Bagus-bagus, Pak," aku berdecak. "Saya nggak nyangka."
"Ya, terang saja bagus. Wong itu aku yang motret. Punya"
mu yang ini!" Pak Kas mengeluarkan tumpukan foto dari
balik punggungnya. Foto paling atas dari tumpukan itu adalah foto rusa...
yang seperti diguncang gempa, lalu ketumpahan tinta hitam
dari langit. Singkat kata, goyang dan gelap.
165 Keping 40 22. Hari Senin keesokannya, aku mohon izin tidak masuk
mengajar. Hari itu aku pergi menaiki KRL ke Jakarta, me"
nuju kantor pusat perusahaan kurir yang tercantum di resi.
Ternyata Hara benar. Orang yang mengirimkan paket itu
menggunakan layanan jasa pengiriman anonim. Ia sengaja
tidak ingin dilacak. Kamera itu setidaknya telah berpindah
dua negara sebelum sampai ke Indonesia. Satu-satunya kete"
rangan yang bisa kudapat adalah, sebelum Indonesia, negara
terakhir yang dimampiri paket itu adalah Hong Kong. Ke"
terangan yang tidak punya arti apa-apa karena segala rantai
pengiriman dilakukan antarperusahaan. Tidak ada nama.
Aku kembali pulang ke Bogor dengan tangan hampa.
Meski gagal melacak pengirim paket, aku tak mau mem"
buang waktu liburku. Begitu juga Pak Kas.
Sesampainya aku di stasiun, Pak Kas menungguku di
gerbang. Kami sudah janjian untuk pergi ke suatu tempat.
Pelajaranku berikutnya. Angkot kami berhenti di dekat Pasar Bogor. Di antara
jongko penjual baju dan buah, ada sebuah kios terbuat dari
kayu dicat kuning. Banyak batang stempel bergantung dan
beberapa pigura foto berisi barisan pasfoto. Di badan kios itu
166 Partikel tertulislah dengan cat merah: "Apdruk Poto Kilat & Stemfel:
UJANG KRIBO". "Sep! Asep!" Pak Kas mengetuk-ngetuk warung yang ter"
tutup rapat itu. Dari dalam terdengar, "Bentar, Pak! Lagi cuci negatip,
ini!" "Tak" tunggu di luar, ya," sahut Pak Kas. Ia pun jongkok
santai sambil menyalakan kereteknya. Aku ikut jongkok.
Lima menit kemudian, keluarlah pria bernama Asep dari
dalam kios. Rambut kribonya yang besar langsung menarik
perhatianku. Begitu kontras dengan tubuhnya yang kerem"
peng. Asep menyambut Pak Kas dengan tawa lebar.
"Asep ini dulu kerja di studio bareng aku sebelum tempat
itu bangkrut. Aku kenal Asep dari dia cuma bisa ngepel
lantai sampai jadi tukang cuci cetak. Sudah seperti keluarga
sendiri," Pak Kas menepuk bahu Asep. "Nah, Sep, ini lho,
Zarah yang kuceritakan itu. Bapaknya kawan baik sama aku.
Zarah ini lagi belajar fotografi. Aku bawa dia ke sini supaya
dia bisa belajar sama kamu. Aku bilang ke dia, fotografer itu
harus bisa cuci cetak film sendiri. Hasilnya lebih puas, dan
lebih mu?"" Pak Kas melirikku. Menungguku meneruskan
kalimatnya. "Mulus," tandasku.
"Murah!" Pak Kas terkekeh.
Asep membuka kios kecilnya bagi kami. "Kotak" kayu itu
ternyata masih dibagi lagi menjadi dua sekat. Satu sekat ada"
167 Keping 40 lah kamar gelap untuk pencucian film. Dan satu sekat lagi
adalah tempat Asep mengerjakan stempel sekaligus tempat
untuknya tidur"dalam posisi meringkuk. Kedua sekat ter"
sebut dibatasi sehelai tirai.
Dalam sekat yang diperuntukkan sebagai kamar gelap,
peralatan yang ada hanyalah baki-baki plastik tempat rol ne"
gatif direndam dan disulap menjadi foto. Di pojokan tampak
jeriken plastik berisi cairan emulsi dan rol kertas foto. Ter"
dapat pula beberapa bentangan benang dan jepitan jemuran
tempat menggantung dan mengeringkan foto-foto.
Di dalam kamar gelap itu, kami harus melipat badan
rapi-rapi agar bisa muat duduk berdua. Saat Asep harus
menggoyang-goyangkan baki berisi cairan emulsi dan kertas
foto, aku terpaksa mengungsi ke sekat sebelah dan melo"
ngokkan kepalaku saja untuk mengintip.
"Gimana, gampang, toh?" kata Pak Kas yang menunggu
di luar sejak tadi. Aku menggeleng. "Ya, sudah. Begini saja, besok kamu gantikan Asep nung"
gu kios, jadi langsung praktik. Gimana?"
Asep menggeleng. Pak Kas berpikir sejenak. "Saya punya usul lain. Begini.
Kalau memang kamu serius mau belajar cuci cetak film, se"
baiknya kamu bikin kamar gelap sendiri di tempat tinggal"
mu. Jadi, Asep dan saya tetap bisa bantu, tapi kamu juga
bebas praktik sendiri. Gimana?"
168 Partikel Aku dan Asep berpandang-pandangan. Tanpa diskusi le"
bih lanjut, kami sepakat itulah jalan terbaik.
Pada pertemuan kami selanjutnya, sebuah kamar gelap pun
resmi berdiri di rumah panggung di Batu Luhur.
Saat itu kerjaku masih berlepotan dan sering menempel"
kan filmku terbalik. Aku juga belum setelaten Asep untuk
meratakan cairan dan mengerik sisa emulsi dari kertas foto.
Seiring dengan waktu, aku menyadari bahwa satu-satunya
cara untuk menguasai itu semua adalah dengan sering ber"
latih dan sering gagal. Lama-kelamaan, membuka film, memasukkannya ke gu"
lungan dan memprosesnya ke dalam kontainer menjadi akti"
vitas biasa. Lama-kelamaan, menyetel pencahayaan, menjaga
fokus, membidik, menjadi pekerjaan yang tak sulit lagi.
Hingga akhirnya kegiatan memotret dan mencuci-cetak film
menjadi rutinitas harianku selain mengajar.
Lama-kelamaan, Bukit Jambul menjadi tempat yang tidak
lagi mengerikan. Di sanalah tempatku berekreasi setiap akhir
pekan. Di sanalah surga bagi hobi fotografiku, tempat objekobjek fotoku berkumpul dan memunculkan dirinya dengan
ajaib dan tak terduga. Belukar yang tadinya seperti neraka menjadi gerbang yang
familier. Telah kutemukan tidak hanya satu jalan setapak di
169 Keping 40 Bukit Jambul, tetapi empat, melingkupi bukit itu bagai empat
jalur benang tipis. Keempat jalur yang bertujuan akhir sama:
puncak. Kini, sudah amat sering kuinjakkan kaki di tanah
lapang tak berpohon di puncak bukit itu. Dan tak sekali pun
ia menyedot energiku seperti dulu. Seolah ditundukkan man"
tra penetral, tempat itu berubah total. Ia menjadi lapangan
biasa. Ketika aku akhirnya memiliki sebuah alat yang bisa men"
dokumentasikan dengan baik apa yang kulihat, tak pernah
lagi kutemukan jamur merah bertotol putih itu. Tidak di
puncaknya, dan tidak juga di sekujur Bukit Jambul.
Di mata penduduk, Bukit Jambul tetap bertahan menjadi
tempat angker. Bagiku, Bukit Jambul adalah tempat piknik.
Betapapun aku mengapresiasi keindahannya, diam-diam ter"
nyata aku merindukan sisi misteriusnya. Dan entah kapan
lagi sisi itu sudi menyuguhkan misterinya kepadaku.
Melihat lagi ke belakang, aku rasa Bukit Jambul sengaja
menahan diri. Ada kejutan lain dari paket hidupku yang su"
dah menunggu gilirannya muncul.
e1996"1999f Suatu hari, Hara menungguku di rumah panggung dengan
mata berbinar, menggenggam sehelai majalah yang tak ku"
kenal. Tak kubayangkan saat itu, dan pastinya Hara pun
170 Partikel tidak, bahwa majalah itu akan membawa perubahan besar
dalam hidupku. "Kak Zarah sudah lihat ini?" tanyanya.
Sampul majalah itu memajang remaja perempuan berkucir
dua dengan baju warna-warni. "Kamu langganan majalah
Kunanti Di Gerbang Pakuan 1 Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Mencari Bende Mataram 11

Cari Blog Ini