Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata Bagian 3
Karadursana dan Trimurda, meski keduanya raksasa sebesar bukit badannya, adalah laksana semut di kaki Sarpakenaka. Dua raksasa ini semata-mata hanya bekerja untuk melayani hawa nafsu putri raksasa yang gemar lelaki itu. Mereka senantiasa menuruti perintah istrinya yang bernafsu besar itu.
Maka mendengar pengaduan Sarpakenaka, Karadursana dan Trimurda segera berangkat hendak membunuh Rama dan Laksmana. Mereka membawa ribuan serdadu raksasa yang paling ganas dan kejam. Berterbanganlah mereka laksana elang-elang raksasa hitam. Lalu menutup udara Hutan Dandaka sehingga gelap gulita keadaannya.
Raksasa-raksasa ini berteriak memekakkan telinga. Rama dan Laksmana segera mempersiapkan dirinya. Rama lalu melepas salah satu panah saktinya, yang bisa memberi cahaya gilang-gemilang. Kegelapan pun terpecah dan terang di mana-mana. Pada saat inilah Laksmana menarik gandewanya. Panah Laksmana bertaburan jumlahnya, dan seperti diberi petunjuk oleh cahaya panah Rama, taburan panah tepat mengenai sasarannya. Raksasa-raksasa yang menggelapkan Hutan Dandaka itu jatuh terguling-guling dari angkasa. Disertai teriakan mengerikan, darah mereka menjadi sungai-sungai kecil yang mengalir lewat celah-celah lembah.
Bukan main murkanya Karadursana dan Trimurda melihat bala tentaranya binasa. Karadursana menukik turun hendak meremas-remas kepala Rama. Namun dengan gesit, Rama mengelak, demikian indah gerakannya, laksana gerakan tangkai daun tertiup angin, lalu dengan cekatan ia menarik panahnya, tepat mengenai leher Karadursana. Kepala Karadursana melesat ke udara karena daya panah Rama yang sakti. Kepala raksasa ini melesat amat tinggi lalu dengan amat keras menghantam raksasa Trimurda yang mau menukik ke bawah, menarik kepala
B umi Alengka sudah terlalu kenyang dengan darah selama
Rahwana memerintah menjadi raja. Kekejaman Rahwana membuat Alengka selalu panas laksana air Kawah Candradimuka. Rakyatnya tak pernah tentram, senantiasa diganggu oleh para brekasakan, gandarwa, dan banaspati. Roh-roh halus ini adalah arwah makhluk-makhluk yang dibinasakan Rahwana sebelum waktunya.
Bila malam tiba, barisan para brekasakan memancarkan lidah-lidah api merah padam mengerikan. Para brekakasan ini terbang di atas keputrian, memerahkan langit sehingga putriLaksmana. Hantaman kepala Karadursana terasa demikian hebat, hingga terhuyung-huyunglah Trimurda. Pada saat inilah Laksmana menarik gandewa-nya, dan terlepaslah panah bersama angin Hutan Dandaka. Panah Laksmana ini juga tepat mengenai leher Trimurda, hingga binasalah ia.
Rama bersyukur kepada dewa atas kemenangannya. Dan Sinta tak henti-hentinya kagum akan kesaktian suaminya.
Tapi di seberang sana, nampak Sarpakenaka, yang dengan hati remuk mengawasi kematian Karadursana dan Trimurda. Matanya memancarkan dendam, matanya merah sehingga ia melihat Hutan Dandaka seperti lautan darah. Segera ia terbang ke Alengka, untuk mengadukan kejadian ini kepada kakaknya.
Rahwana, kakakku, lihatlah aku datang. Kasihanilah aku dan balaslah kedua satria yang telah mempermalukan aku dan membunuh kedua suamiku itu, kata Sarpakenaka sambil terbang di udara. Suara ini menimbulkan kedukaan para dewa. Hujan air mata para bidadari dari surga. Air mata ini adalah air mata kesedihan, karena sebentar lagi dunia akan meratapi kekejaman Rahwana.
putri istana ketakutan. Banaspati-banaspati melengkingkan suara setan yang ingin membalas dendam, sekonyong-konyong menukik ke bawah menyedot ubun-ubun penduduk Alengka yang mau membantu kekejaman Rahwana. Sedangkan para gandarwa membuat tanah-tanah kuburan merekah, berkeliaran sepanjang malam.
Bayi-bayi sering menangis tanpa alasan. Anak-anak manusia yang belum tahu tentang dosa ini seperti menyoraki para dewa yang kehilangan akal menghadapi kekejaman Rahwana. Tangisan mereka laksana cacian bagi para dewa, mengapa dulu mereka tak menghalangi kekejaman Rahwana.
Sejak masa kecilnya Rahwana sudah melakukan tapa yang keras di Gunung Gohkarna. Rahwana menyendiri lima puluh tahun lamanya. Setiap kali merasa mau mati karena puasanya yang berat, justru pada saat itulah Rahwana bertekad memberikan miliknya yang paling berharga kepada para dewa, supaya dikabulkan permintaannya. Demikianlah yang terjadi, kepalanya yang sepuluh dilepaskan satu per satu sebagai persembahan bagi para dewa.
Para dewa jatuh kasihan ketika kepala Rahwana hanya tinggal satu, saat menjelang akhir tapanya. Rasa kasihan ini membuat kepala-kepala Rahwana bersatu kembali. Wujudnya memang hanya satu, tapi kelak setiap kali Rahwana marah, sepuluh kepala itu keluar dalam wujud yang makin mengerikan.
Tekad anak Wisrawa yang lahir dari darah ini akhirnya menggoncangkan keseimbangan jagad raya. Hujan turun bukan pada masanya. Pageblug minta korban di mana-mana. Siang sakit, malam hari orang sudah mati. Di pesisir-pesisir, banyak anak bajang dengan tempurung bocor hendak menguras air samudera, seperti terjadi ketika Wisrawa mewadarkan Sastra Jendra.
Anakku, hentikan tapamu. Apa yang kau inginkan dengan tapamu yang hebat selama lima puluh tahun ini" kata Batara Guru menghampiri Rahwana.
Aku hanya menuruti kehendak hatiku. Aku ingin memiliki kesaktian tiada tara. Jangan salahkan aku, jika aku ingin melebihi siapa saja bahkan para dewa. Dengan tapaku, aku ingin mencari kesaktianku sendiri. Andaikan para dewa tak memberi pun, aku yakin tapaku ini mampu menggerakkan alam untuk bergabung dengan kehendakku, jawab Rahwana.
Para dewa sebenarnya tak hendak menuruti permintaan Rahwana. Tapi saat itu dunia sedang diselimuti kejahatan. Kebaikan belum lahir, ia masih merupakan senyum di kandungan permaisuri Negeri Ayodya. Para dewa tiba-tiba menyaksikan asap kehitam-hitaman muncul dari mana-mana, lalu menjadi satu serupa naga hitam badannya. Naga hitam itu kemudian menyusup ke dalam Rahwana. Naga hitam itu adalah kejahatan dunia.
Dewa Brahma mengeluarkan apinya yang bernyala-nyala untuk membakar sang naga. Dewa Bayu menghembuskan anginnya untuk mengusir sang naga. Tapi naga hitam itu tak terhalangi oleh apa pun juga, masuk merasuki tubuh Rahwana. Para dewa akhirnya menyadari bahwa kekuatan mereka pun tak mampu menahan daya sang naga hitam. Sebab mereka tahu, dunia sendiri yang menghendaki kejahatan bertakhta atas diri manusia. Kejahatan itu adalah salah satu kekuatan alam yang diciptakan manusia sendiri. Dan kejahatan itu kini menang dalam diri Rahwana. Sementara kebaikan belum berbicara apaapa.
Rahwana, permohonanmu terkabul. Tapi ingatlah, permohonanmu itulah yang membawa penderitaan bagi dunia. Itu adalah keinginanmu sendiri, seperti keinginan nafsu ayahmu ketika ia gagal menghayati Sastra Jendra. Namun akan tiba saatnya, keinginanmu itu akhirnya hanya impian belaka, meski impian itu sempat menjadi kenyataan yang menghancurkan dunia, kata Batara Guru.
Rahwana pulang dari tapanya. Sesampainya di Alengka, ia mendesak agar Prabu Sumali, kakeknya, segera menyerahkan takhta kerajaan kepadanya. Prabu Sumali yang sudah tua itu menuruti kehendak cucunya, apalagi setelah mengetahui bahwa kabarnya tapa cucunya telah dikabulkan.
Sejak saat itulah Alengka berselimut dengan darah. Rahwana yang sakti ini menaklukkan raja-raja di sekitarnya. Menghabisi nyawa mereka, merampas harta benda mereka. Raja-raja yang mau takluk dipaksa untuk membayar upeti yang bukan main banyaknya.
Putri atau istri-istri mereka dibawanya pulang ke Alengka, untuk pemuas hawa nafsunya. Wanita-wanita cantik di Alengka sendiri pun selalu diancam kesuciannya. Sekonyong-konyong mereka harus mau tidur melayani Rahwana. Saat inilah terdengar banyak tangis kanak-kanak yang ditinggal ibunya. Saat ini pula banyak perempuan pulang dari istana dengan tangan hampa karena ditolak suaminya setelah melayani Rahwana. Rahwana sedemikian jahatnya, sampai ia memisahkan wanita dari kekasihnya.
Anakku, akan kau bawa ke manakah Negeri Alengka" Jangan, Anakku, jangan kau hancurkan negeri tercinta ini, kata Prahasta, pamannya yang diangkat sebagai patih Negeri Alengka. Kata-kata Prahasta tak sedikit pun diacuhkan Rahwana. Demikian juga nasib nasihat para bijak lainnya.
Suatu hari datanglah di Alengka seorang utusan dari Negeri Lokapala yang diperintah Prabu Danareja, saudara seayah tapi lain ibu dengan Rahwana. Utusan itu adalah Gohmuka, patih tercinta Danareja.
Baginda, hamba hanya membawa pesan dari kakak Baginda, Danareja. Hendaknya Baginda berkenan menghentikan tindakan Baginda yang menimbulkan cercaan dan penderitaan dunia, kata Gohmuka.
Rahwana menjadi marah bukan kepalang. Lalu ia memutus kepala Gohmuka dan melemparkannya ke Negeri Lokapala, tepat jatuh di hadapan kakaknya, Danareja.
Oh Rahwana, adikku, tak tahukah engkau bahwa aku mencintaimu" Ayah, sudah kau tinggalkan diriku. Kau menjadi pencuri cintaku terhadap Dewi Sukesi yang kini terpaksa menjadi ibu tiriku. Kini kau beri aku adik yang haus darah dan membuat malu bagi dunia. Apakah ini saatnya aku harus melunasi sumpahku" kata Danareja meratap, menatap kepala patihnya tercinta, Gohmuka, yang telah binasa.
Danareja sedih. Kilatan-kilatan pedang persaudaraan seperti membayang di hadapannya. Ia teringat, ketika ia bersumpah di hadapan Wisrawa, ayahnya yang telah mencuri cintanya, bahwa ia suatu hari harus berperang dengan anak Wisrawa dan Dewi Sukesi, sebagai pembalas kesedihannya. Sumpah itu kemudian disesalinya, karena diucapkan saat ia sedang kecewa dan marah. Lama ia melupakan itu semuanya, tapi nampaknya hari ini sumpah itu harus terjadi.
Belum selesai kesedihannya, tiba-tiba datanglah kabar bahwa Rahwana serta pasukannya sudah mengepung Negeri Lokapala. Rahwana datang dengan maksud yang lebih tercela, bukan hanya untuk menantang Danareja, tapi juga hendak merebut Negeri Lokapala yang bukan haknya.
Rahwana, sejahat itukah engkau terhadap saudaramu. Sudah kuhapuskan segala perasaan benciku terhadap ayahku yang mencuri cintaku. Aku juga tak ingin lagi berperang dengan anak ayahku dari Dewi Sukesi. Tapi kini kau malah hendak merebut kerajaanku, kata Danareja penuh kesedihan.
Bedebah kau, Danareja! teriak Rahwana tak mempedulikan kata-kata kakaknya. Ia menyerang Danareja dengan ganasnya. Sementara prajurit Negeri Alengka dan Lokapala segera mencoba untuk mencoba saling membunuh. Darah banyak tertumpah di Lokapala, tanah air Danareja yang suci ini.
Rahwana mengeluarkan segala kesaktiannya. Pedangnya berkilat-kilat, pedang yang sudah mencabut nyawa banyak manusia. Danareja menghadapinya dengan penuh ketabahan. Dalam perang yang kejam ini wajah Prabu Danareja memancarkan cahaya seorang yang belum pernah mengalami kebahagiaan.
Di tengah suara gemuruh suara prajurit yang saling berperang, dan di antara kelebatan cahaya pedang yang menyilaukan mata, mata Danareja seperti berbunga dengan kekecewaan. Kedua saudara seayah ini ternyata sama saktinya. Sehingga peperangan takkan pernah berakhir jika tidak ada Batara Narada yang turun ke dunia untuk memisah mereka.
Cucuku, sudahilah. Lihatlah angsoka itu bertetesan dengan luka di daun-daunnya. Ia tak mau menyaksikan kekejaman darah sesama saudara, kata Batara Narada. Danareja segera melakukan sembah, dan Rahwana bergelegak dalam amarahnya.
Nampaknya sudah saatnya dewa menghapuskan kekecewaan Danareja. Kasihan raja ini, putra pendeta Wisrawa, yang tak pernah bahagia sepanjang umurnya di dunia. Dengan secepat kilat, Batara Narada menerbangkan Danareja ke kahyangan. Danareja kini mengalami kebahagiaan ilahi. Sepeninggal Danareja, maka Negeri Lokapala pun menjadi milik Rahwana.
Rahwana hidup dalam keangkaramurkaannya. Dunia dengan segala isinya mau diletakkan di bawah kakinya. Ia sehari-hari berpesta dalam kenikmatan dan kemewahan istana. Didampingi selir-selirnya, wanita-wanita yang menangisi penderitaannya.
Suatu petang, datanglah adiknya, Sarpakenaka, raksasa wanita menangis tersedu-sedu. Kedatangan Sarpakenaka yang mulutnya berbisa ini membuat layu suasana keindahan Taman Alengka.
Kakakku, tolonglah aku, Sarpakenaka menangis di kaki Rahwana.
Rahwana terkejut melihat hidung adiknya yang sudah tiada. Kenapa, Adikku" Apa yang terjadi, sampai engkau seperti ini" tanya Rahwana keheran-heranan. Dan mulailah lagi Sarpakenaka dengan cerita bohongnya, seperti diceritakannya kepada Trimurda dan Karadursana, suaminya.
Dua satria di hutan Dandaka telah mempermalukan aku. Mereka mencoba memperkosa aku. Karena aku menolak, seorang dari mereka menarik hidungku sehingga keadaanku serupa ini. Suamiku, Trimurda dan Karadursana, yang hendak membalaskan dendamku, kini juga sudah dibinasakan mereka. Tolonglah aku, Kakakku, pinta Sarpakenaka.
Rahwana tidak terlalu peduli dengan cerita Sarpakenaka ini. Meski mereka bersaudara, tak pernah mereka saling memperhatikan satu sama lain. Rahwana dan Sarpakenaka terlalu mengejar kenikmatan sendiri-sendiri. Maka dengan segala akal Sarpakenaka berusaha untuk membujuk Rahwana. Teringatlah dia bahwa kakaknya ini seorang lelaki yang suka memuja nafsunya akan wanita.
Kakakku, boleh kau tidak memperhatikan kepentinganku. Tapi ketahuilah bahwa aku membawa kabar yang mesti menyenangkan hatimu. Dua satria ini membawa serta seorang putri cantik jelita. Tak pernah kusaksikan wanita secantik dia. Ia jelita, tiada bandingnya. Sungguh tak pantaslah bila wanita itu berada di hutan mendampingi dua satria miskin itu. Kau boleh puas dengan semua wanita yang sudah kau miliki, tapi sebenarnya kau belum memperoleh apa yang seharusnya kau miliki. Putri cantik di Hutan Dandaka itu lebih pantas dan harus menjadi milikmu. Ia seperti titisan Dewi Widowati yang kau rindukan tapi belum pernah kau miliki, kata Sarpakenaka.
Rahwana mendengarkan kata-kata Sarpakenaka dengan saksama. Ia terdiam. Tapi begitu Sarpakenaka menyebut nama Dewi Widowati, tersentaklah dia. Tanpa berpikir panjang, ia terbang ke Hutan Dandaka bersama Kala Marica. Nafsunya berkobar-kobar ketika ia membayangkan sebentar lagi ia akan merenggut titisan Dewi Widowati.
A da kijang kencana di hadapan mata Dewi Sinta. Bulunya
keemas-emasan. Tipis dan halus bagai selapis mega kekuningkuningan. Matanya berpendaran. Cantik rupanya. Laksana awan manja tertiup angin, demikian langkahnya di antara semak belukar. Binatang-binatang hutan mengerumuninya. Burung-burung terbang di atasnya. Berdesakkan ingin menyaksikan kecantikan kijang kencana. Hutan Dandaka bersukaria, seperti mendapat tamu binatang kesayangan dewata.
Kijang kencana ini mengeluarkan suara nyaring. Menerobos kerumunan binatang-binatang hutan. Gerakan kawanan binatang ini membuat hutan mekar dalam kedamaiannya, dengan kijang kencana menjadi titik hatinya, sampai tersenyumlah matahari pagi. Kijang kencana itu menari-nari di hadapan Dewi Sinta.
Rama, tak pernah kulihat kijang secantik dia. Lihatlah, lehernya bergerak-gerak seperti ranting pohon gading yang masih muda. Matanya berkedipan, dibelai sinar pagi serasa sentuhansentuhan hati. Rama, aku ingin membelainya. Tangkaplah dia dengan hati-hati, pinta Sinta.
Rama tersenyum. Baginya, makin jelitalah Sinta karena keinginannya untuk memiliki kijang kencana. Ia menengok ke Laksmana. Ia heran kenapa tidak sedikit pun Laksmana tergerak hatinya akan kecantikan kijang kencana. Wajah Laksmana seperti kesedihan burung tadahasih, satu-satunya penghuni rimba yang tidak bersukacita karena kedatangan kijang kencana di Hutan Dandaka. Namun Rama tak mempedulikannya, barangkali Laksmana memang sedang sedih hatinya.
Laksmana, adikku, jagalah kakakmu Sinta di sini. Aku akan segera menangkap kijang yang indah itu, kata Rama. Satria sulung Ayodya ini segera pergi. Binatang-binatang hutan bagai mau bersorak seakan menyetujui sudah selayaknya kijang kencana dibelai tangan Dewi Sinta. Hanya burung tadahasih yang menangis sedih melihat kepergian Rama.
Kijang kencana yang cantik ini ternyata tidak sejinak seperti dikira Rama. Ia lari, melompati semak-semak serentak Rama mencoba menangkapnya. Bagai kuda liar kecepatannya. Rama tak berputus asa mengejarnya. Rama tak mau membidikkan panahnya, karena ia mau menangkap kijang kencana kesayangan kekasihnya hidup-hidup. Makin jauhlah mereka berdua dari tempat Sinta berada. Dan Rama makin dibuat jengkel, karena berulang kali sang kijang menghilang masuk semak belukar. Serentak dia nampak, Rama mengejarnya lagi.
Sinta menunggu kedatangan Rama dengan resah dan tidak sabar. Ia ingin kekasihnya segera pulang membawa kijang kencana. Beberapa kali ia minta agar Laksmana menyusul Rama, tapi Laksmana tak mengacuhkannya. Malah Laksmana memperlihatkan wajah masam setiap kali Sinta berbicara tentang kijang kencana. Sementara di ranting kering pohon beringin, burung tadahasih berkicau tidak seperti biasanya, seperti mengejek Dewi Sinta yang merindukan kijang kencana.
Sulur pohon gadung bagai malas merambat. Dan bersama suara burung tadahasih tiba-tiba terasa Hutan Dandaka menjadi sunyi, seperti menyesali sukacita yang baru saja terjadi karena kedatangan kijang kencana. Sekejap mata Dewi Sinta melihat kegelapan. Di dalamnya menjadi terang sebuah kesedihan seperti yang pernah dibayangkannya ketika ia meninggalkan Ayodya masuk ke dalam kehidupan yang berat di Hutan Dandaka. Tapi Sinta tidak mempedulikan itu semuanya, hatinya penuh dengan keinginan akan kijang kencana.
Laksmana, adikku, mengapa kakakmu belum juga kembali" Dan apa gerangan sebabnya dari tadi kau bermuram durja" Tidakkah kau tahu bahwa kijang kencana itu ingin kujadikan hiburanku di tengah kesepian hutan yang sering terasa mencekam ini" tanya Sinta.
Kakakku, maafkan aku. Mengapa kau masih menginginkan hiburan lain, padahal Rama selalu di sisimu" Tiada makhluk di dunia ini yang cintanya terhadapmu seperti Rama. Dan tidakkah kau pernah berjanji, kau mau menjadi ranting yang setia, tak ingin patah dari pohon yang sedang dilanda badai derita" kata Laksmana.
Laksmana, apa maksudmu" Apakah kau menuduh aku ragu-ragu akan cintaku terhadap Rama" tanya Sinta yang tersinggung hatinya.
Tidak Kakakku, sama sekali aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya hendak mengingatkan, dalam penderitaan sering orang tergoda oleh kerinduan akan bayang-bayang kebahagiaan, padahal kebahagiaan sejati ada dalam penderitaan kita sendiri. Dan dalam kesunyian di mana kita sudah diasingkan dari keramaian ikhwal dunia dengan segala godaannya, bisa saja muncul keramaian yang kita ciptakan dari hati kita sendiri. Keramaian macam itu adalah angan-angan bohong. Kakakku, karena justru pada saat sunyi macam inilah kita seharusnya mengalami hakekat kita yang sejati. Dan kijang kencana itu..., Kata Laksmana.
Sebelum Laksmana melanjutkan kata-katanya tiba-tiba terdengar rintihan di kejauhan. Rintihan yang menyayat hati.
Laksmana, tolonglah aku. Sinta. Sinta..., demikian suara rintihan itu, jelas terdengar di telinga Sinta dan Laksmana.
Laksmana, tolonglah Rama. Dengarlah, ia merintih-rintih memanggilmu. Pastilah ia mendapat celaka. Tolonglah dia segera, pinta Sinta yang sedih mendengar rintihan di kejauhan itu.
Sabarlah, Kakakku. Takkan ada orang atau binatang hutan yang sanggup melukai Rama. Ia terlalu sakti buat mereka, jawab Laksmana tenang. Mendengar semua jawaban Laksmana, Sinta menjadi marah. Hatinya sesak, dan meledaklah kata-katanya yang membuat terkejut diri Laksmana.
Laksmana jawabanmu adalah guruh kepura-puraanmu. Kau selalu menunjukkan sikap setia pada kakakmu, tapi di dalamnya kau ternyata menyimpan nafsu hendak memiliki aku. Kau tidak mau menolong Rama yang kini sedang celaka, karena saat inilah kau dapat melampiaskan nafsumu itu, kata Sinta bercucuran air matanya.
Kakakku, begitu tegakah kau menuduh aku. Kutinggalkan istana untuk menemani kalian berdua. Kutinggalkan segala kehormatan untuk menderita bersama kakakku. Aku mencintai Rama, masakah aku tega mengkhianatinya" Kakakku, sabarkanlah hatimu. Aku harus menuruti perintah Rama supaya menjagamu, jawab Laksmana sedih. Sementara suara merintih di kejauhan makin jelas kedengarannya.
Laksmana hentikan segala omong kosongmu. Lihatlah, disaksikan langit tak sudi aku melayanimu. Dewa akan menolong aku bunuh diri sebelum kau dapat menyentuhku, kata Sinta makin kesal sambil tak merasa sama sekali kata-katanya itu akan berubah menjadi air mata. Laksmana serasa habis kesabarannya. Hatinya memberontak keras. Burung tadahasih berkicau sedih, seakan meminta Laksmana untuk menahan dirinya. Tapi akhirnya terlepaslah kata-kata dari mulut Laksmana.
Sinta, kakakku, sejak muda aku telah berjanji untuk hidup wadat. Mungkin aku bisa mengkhianati kakakku, tapi aku pasti takkan mengkhianati diriku sendiri. Aku takkan ingkar dari janji masa mudaku. Oh, dewa, segala isi dunia tahu, sehingga dunia takkan rela membiarkan aku dituduh demikian. Aku diam, tapi dunialah yang akan membalaskan orang yang berlaku tidak adil kepadaku, kata Laksmana menatap langit.
Suasana menjadi gelap ketika Laksmana mengucapkan katakatanya. Langit membungkuk seperti mangkuk hitam. Di tengahnya ada mata keadilan bersinar marah. Lalu turunlah hujan kembang kenanga yang layu-layu warnanya. Ini adalah pertanda bahwa alam akan melakukan keadilan, juga terhadap Dewi Sinta yang sewenang-wenang menuduh Laksmana. Laksmana sedih melihat semuanya itu, tapi hujan kembang kenanga serasa makin deras, tanda bahwa alam akan berjalan seperti yang telah diputuskan.
Sinta, kakakku, aku akan pergi ke tempat suara merintih. Aku akan membuat gambar lingkaran di sekelilingmu. Janganlah kakakku beranjak keluar dari lingkaran itu, sampai aku dan Rama datang kembali ke sini, kata Laksmana berpamit. Ia segera membuat lingkaran di sekeliling Dewi Sinta. Lingkaran itu adalah kebulatan hati Laksmana yang suci, sehingga siapa berada di dalamnya akan senantiasa selamatlah dia. Lingkaran itu juga perwujudan jagad kecil hati manusia yang tulus, kendati kecil di situlah manusia berkuasa mutlak, sehingga jagad raya yang marah pun takkan mampu mengalahkannya. Laksmana pergi, meninggalkan Sinta seorang diri dalam lingkaran itu.
Tak lama kemudian, Sinta tiba-tiba melihat seorang pendeta tua di hadapannya. Pendeta tua ini sudah reyot badannya. Jalannya tertatih-tatih dibimbing tongkat kayu di tangannya. Wajahnya penuh keriput. Matanya bersinar lemah, seperti menghadapi ajal di depan mata. Dengan terseok-seok si tua ini mendekati Sinta.
Siapa gerangan kamu hai putri jelita yang sendiri di hutan belantara" Tiadakah kamu takut dengan kesunyian hutan yang mencekam bagai gelap yang menakutkan" Tolonglah aku, Nak, aku yang tua renta, yang lapar dan haus dan tidak bisa menemukan makanan lagi, kata pendeta tua itu.
Pendeta tua menginjakkan kakinya ke lingkaran Laksmana, dan sekonyong-konyong ia rebah. Pendeta tua terkejut bukan buatan, ia seperti disambar kilat yang mengerikan. Sinta tidak tahu bahwa itu semuanya adalah berkat kekuatan jagad kecil Laksmana yang tulus. Pendeta tua itu mencoba berdiri lagi.
Nak, berikanlah kepadaku bunga melati yang tersunting di telingamu itu. Aku melihat bunga itu bersinar dengan kesegaran. Sebentar lagi aku binasa, usiaku sudah tidak tahan lagi menanggung kehidupan. Ijinkanlah aku binasa dalam kesegaran karena sekuntum kembang melati yang kau sandang. Kalau tidak, aku akan menjadi arwah yang tak pernah menemukan kedamaian, kata pertapa tua itu.
Sinta kasihan kepada pertapa tua yang lemah itu. Kehalusan hatinya mendorongnya untuk memenuhi permintaan sang pertapa. Tapi lihatlah, mata Dewa Wisnu mencucurkan air mata, ketika Sinta hendak menjalankan niatnya. Mata yang bersusah itu seakan hendak berkata, sesuatu yang menimbulkan belas kasih sering kali berhati kejahatan yang berpura-pura. Dan janganlah cinta tertipu oleh rasa belas kasih belaka.
Datanglah kemari, Pertapa tua. Biar kau ambil melatiku ini, kata Sinta. Dengan wajah gembira. Pendeta tua mengulurkan tangannya. Tapi sekali lagi, ketika tangannya melewati batas lingkaran, ia rebah ke tanah. Kasihan pendeta yang hampir mati ini. Sinta segera mendekatinya hanya karena rasa iba. Putri jelita ini lupa akan pesan Laksmana. Maka Sinta mengulurkan tangannya ke luar dari batas lingkaran untuk memberikan kembang melati kepada pendeta tua.
Oh duka, saat inilah ia bercampur dengan derita. Pasir di tanah bergulung-gulung. Tanah menghembuskan nafasnya seperti deru perjalanan Hyang Antaboga. Bumi terbalik, menjadi langit yang mengeluh, dengan hati duka dua orang satria. Wajah sang pendeta tua berubah menjadi sepuluh muka, dengan guratan-guratan darah, hilang semua kesan ibanya. Dewi Widowati naik-turun di sekitarnya, menangis duka. Batara Sambu melapiskan mega-meganya, tapi digulung oleh panas nafsu sang pendeta tua.
Demikianlah awal dari riwayat duka dunia. Terjadilah Sinta mengeluarkan tangannya, keluar dari jagad kecil ketulusan hati Laksmana, keluar dari lingkaran Laksmana. Segeralah sang pendeta tua menarik tangan Dewi Sinta. Kuat sekali! Sinta seperti pingsan dalam mimpi, pendeta tua itu berubah menjadi raksasa jahat dengan sepuluh muka seram. Pendeta tua itu ternyata Rahwana. Dengan tawa yang mengebur air samudera, Rahwana terbang menggendong Dewi Sinta ke Alengka! Sinta menangis di pelukan nafsu angkara murka.
Ternyata ketika tiba di Hutan Dandaka, tadi Rahwana seperti melihat Dewi Widowati menitis dalam diri putri Mantili yang jelita. Ia tidak bisa menguasai nafsunya untuk segera memeluk pujaannya. Ia terus mengintip kecantikan Dewi Sinta. Setelah Laksmana pergi menyusul Rama, ia menyamar sebagai pertapa tua untuk merenggut dan mengelabui Dewi Sinta.
Sementara di kejauhan tergeletak raksasa jahat Kala Marica dengan panah di lehernya. Ternyata tadi Rama tidak sabar dengan kijang yang liar. Ia membidikkan panahnya, sehingga kijang kencana binasa. Maksud Rama, biar tidak memperolehnya hidup-hidup, ia bisa memberi Sinta kulit berbulu emas kijang kencana untuk penghangat tubuh kekasihnya. Ternyata kijang cantik itu adalah Kala Marica, abdi Rahwana. Raja Alengka itu menyuruhnya menyamar menjadi kijang yang menarik hati Dewi Sinta, sehingga Sinta meminta Rama meninggalkan kekasihnya untuk menangkapnya. Kala Marica yang setia kepada kejahatan rajanya, berteriak menipu, menirukan suara Rama, justru ketika ia sendiri di ambang ajal karena bidikan panah Rama. Dengan demikian ia berhasil memancing Laksmana keluar meninggalkan kakaknya, sehingga Rahwana dengan leluasa merenggut Dewi Sinta. Akal licik mereka berhasil, meski berakhir dengan kematian Kala Marica.
Sayup-sayup Rama dan Laksmana mendengar ratapan Dewi Sinta. Sebentar kemudian ratapan itu menghilang ditelan kekuasaan angkasa. Mereka berdua cepat-cepat lari ke tempat Sinta. Sampai di sana, Rama dan Laksmana menyaksikan Sinta sudah tiada. Lama dicari, dan tiada.
Maka pingsanlah Rama dalam bayang-bayang Dewi Sinta. Oh Sinta kakakku, andaikan kau mau percaya pada ketulusan hatiku..., kata Laksmana lirih. Tapi semuanya sudah terjadi. Dan Laksmana pun memeluk Rama dengan bercucuran air matanya.
P intu-pintu langit tertutup, ketika Rahwana menerbangkan Dewi
Sinta dalam pelukannya. Langit menahan air matanya, takut akan nafsu Rahwana. Ia menyimpan kesedihannya berupa mega susah. Maka tiada hujan jatuh, meski bumi seperti terbakar nyala api, kering, karena ditinggalkan kecantikan Dewi Sinta.
Di angkasa bebas, tiba-tiba Rahwana menabrak selapis mega putih. Rahwana terkejut, lalu mengamuk. Mengobrak-abriknya dan buyarlah mega putih menjadi duka para bidadari. Dan bintang-bintang pun terkejut, bangun sebelum waktunya. Maka siang pun terburu menjadi malam. Malam yang duka.
Sinta merintih terus. Dipanggilnya nama Rama. Disesalinya kata-katanya terhadap Laksmana. Diingatnya kijang kencana yang membawa derita baginya. Tiada yang mendengarnya. Sementara Sinta makin sesak nafasnya karena nafsu Rahwana. Nafsu raja Alengka itu berbau busuk. Nafsu itu seakan-akan setan-setan telanjang yang menjarahi anak-anak perawan. Di dalam nafsu itu terdengar penyesalan anak-anak perawan yang mengeluarkan darah untuk pertama kalinya. Bukan bagi kekasihnya.
Sinta menangis. Tapi tangisnya ditelan malam yang makin duka. Dan betapa jahatnya Rahwana, di malam yang menangis dengan air mata para wanita itu, nafsunya makin bergelora. Ia seperti melihat taman dengan petiduran di tengah-tengahnya. Di petiduran itu ia ingin segera menyobek-nyobek kain Dewi Sinta. Tiba-tiba ia membayangkan Dewi Widowati terurai rambutnya, telanjang di tepi telaga.
Ha, ha, Sinta, kau ternyata lebih cantik dan menarik melebihi Dewi Widowati. Tidurlah bersamaku, hai Putri jelita, Rahwana merayu, sambil mempererat pelukannya. Bulan menyembunyikan dirinya tak memberi keindahan kepada nafsu Rahwana. Dan permata cubung wulung pecah, daripadanya mengalir air mata alam semesta. Sementara setangkai lambang sari, tanda persatuan sejati lelaki dan wanita, merunduk takut dinodai.
Jeritan Sinta seperti keluhan Dewi Widowati. Dan Rahwana pun makin bernafsu, teringat kegagalannya di Gunung Lokapala.
Pada waktu itu, setelah ia bertempur dengan Danareja, kakaknya seayah, Rahwana terbang di sekitar Gunung Lokapala, jalan yang menghubungkan surga dan dunia. Sekonyong-konyong dilihatnya seorang wanita pertapa, yang masih muda. Cantik jelita wajahnya. Bunga-bunga wiraga mekar di sekitarnya. Kumbang-kumbang mengisap madunya. Setangkai padi menjadi keindahan taman pertapaannya. Dan ketika sang pertapa mengerlingkan matanya setangkai padi itu menjadi Dewi Sri yang menyuburkan alam semesta. Pertapa wanita itu adalah titisan Batari Sri yang sedang mencari Dewa Wisnu, kekasihnya.
Kesuburan alam meresap ke dalam tubuh sang pertapa. Dalam keadaannya yang demikian, tak ada bidadari yang sanggup melebihi kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya. Keindahan semesta pun mengirikannya. Dan lihatlah, daun kelapa gading ingin jatuh di pangkuannya. Mega-mega retak berpisah, dipeluk tangan sang dewi yang sedang bersemedi. Pohon kanigara menjatuhkan embun kecemburuannya di lekuk lembah yang ada di antara buah dadanya, yang menjulang keindahannya.
Rahwana menukik turun, tak sanggup lagi menahan nafsunya yang mengebur seperti Kawah Candradimuka. Tanpa memberitahu, ia langsung berdiri di depan sang pertapa.
Aduh, siapakah engkau, hai Wanita jelita" Kau bersandang sebagai pertapa, tapi aku seperti menggigil melihat keindahan yang ada di balik busanamu. Oh dewi, bahkan Dewa Asmara pun takkan tahan melihat kecantikanmu, meski ia sudah berenang dalam lautan madu, kata Rahwana.
Sang pertapa terkejut. Hai Raja raksasa, tak seorang pun boleh masuk ke pertapaan ini. Mengapa kau demikian berani, apa maksudmu" tanya sang pertapa.
Oh Wanita, suaramu seperti kesepian Gunung Lokapala. Suaramu memeras keinginanku untuk mendekatimu. Jangan kau tersenyum hai wanita, bibirmu merusak hatiku yang sedang kena asmara. Siapakah kau, hai Wanita" kata Rahwana. Matanya makin merah, nafsu sungguh telah menguasainya.
Aku adalah Dewi Widowati, putri Begawan Wrahaspati. Aku bertapa menantikan kekasihku. Tak seorang pun boleh menjamah aku, karena sudah ditakdirkan bagiku, bahwa aku hanya boleh kawin dengan titisan Batara Wisnu. Sebentar lagi aku harus ke Kerajaan Maespati, kekasih hatiku menjadi raja di sana. Pergilah dari sini, hai Raja raksasa, kata sang pertapa, Dewi Widowati, titisan Batara Sri itu.
Rahwana tak peduli. Makin Dewi Widowati melarang, makin besarlah nafsunya. Diraihnya Sang Dewi. Namun dengan gesit Dewi Widowati mengelak. Rahwana menjadi makin linglung, gandrungnya menjadi-jadi. Dewi Widowati ketakutan, maka ia mempunyai akal untuk melepaskan diri dari raja raksasa ini.
Hai Raja Raksasa, tungguhlah sebentar. Biar aku ganti pakaian, tak layaklah bercinta dalam pakaian pertapa. Jangan masuk ke kamar di mana aku ganti pakaian, kata Dewi Widowati.
Ha, ha, Widowati, akhirnya kau tahu juga kenikmatan bercinta dengan Raja Alengka, yang menguasai dunia ini. Cepatlah, hai Wanita jelita, kutunggu kau di depan pintu, jawab Rahwana puas.
Dewi Widowati masuk ke kamarnya. Dan Rahwana pun membayangkan kemolekan Dewi Widowati setelah melepas pakaian pertapanya. Makin tidak tahan rasa hatinya. Terdengar olehnya suara pancuran air di kejauhan. Rahwana membayangkan Dewi Widowati mandi telanjang di tepi telaga, meledaklah nafsu Rahwana, sehingga kumbang-kumbang penghisap madu berterbangan di udara.
Rahwana sudah tidah sabar lagi. Tapi di depannya, daun pintu kamar Dewi Widowati bergerak berlawanan arah. Jika yang satu bergerak ke belakang, yang lain maju ke muka. Makin lama gerakan daun pintu itu kelihatan makin cepat, sehingga sulitlah menerobos di antaranya.
Rahwana terheran-heran. Tapi karena nafsunya, ia lupa akan pesan Dewi Widowati yang melarang masuk ke kamarnya. Ia nekad. Dengan secepat kilat Rahwana mendorong daun pintu. Tiba-tiba cuaca gelap, petir bersambar-sambaran, dan lihatlah bagaikan kekuatan gunung, daun pintu itu menjepit tangan Rahwana. Inilah tanda bahwa dewa marah kepada Rahwana. Raja Alengka ini berteriak kesakitan. Marahnya meluap, didobraknya daun pintu itu dengan segala dayanya sampai berantakan. Tapi tangan Rahwana yang terjepit tadi tak dapat dipulihkan lagi. Sepanjang hidupnya tangan Rahwana yang kiri memang menjadi cacat, di mana-mana ia selalu menyembunyikan tangan kirinya.
Meski demikian, Rahwana tak menghentikan niatnya. Ia segera melabrak masuk. Dilihatnya Dewi Widowati lari ke api pemujaan. Putra Wisrawa yang jahat ini langsung mengejarnya. Tapi apa daya, Dewi Widowati terburu terjun ke api yang menyala-nyala, lalu menghilang dari hadapan Rahwana, menitis kembali kelak untuk menjadi permaisuri Prabu Arjunasasrabahu, Raja Maespati, titisan Batara Wisnu.
Sejak saat itulah Rahwana selalu merindukan Dewi Widowati. Dicarinya impian hatinya ke mana-mana, tapi tak pernah ditemukannya. Kini di malam yang duka di tengah angkasa, tiba-tiba ia merasa Dewi Widowati berada dalam pelukannya, dalam tubuh Dewi Sinta yang bahkan keindahannya melebihi Dewi Widowati. Ia seperti ingin segera memaksa Dewi Sinta melayani nafsunya, di petiduran yang terbentang di angkasa raya.
Sinta menjadi sangat ngeri ketika melihat Rahwana berada dalam puncak nafsunya. Kepala raja raksasa ini berubah menjadi sepuluh. Taringnya tajam keluar, dan mulutnya berbusa darah. Terhimpit di dadanya, Sinta merasa nafsu itu seperti setan-setan yang lari tunggang-langgang mencari mangsa.
Oh Rama, putra Ayodya, tolonglah istrimu ini. Lebih baik aku mati daripada harus melayani nafsu raja yang jahat ini.
Laksmana maafkanlah kakakmu ini, Sinta berteriak memilukan hati. Teriakannya tersebar ke delapan penjuru dunia.
Bersama dengan teriakan Sinta, sekonyong-konyong langit terang dengan api. Api itu ternyata berasal dari paruh burung raksasa yang menyala-nyala. Anehnya, api itu juga bukan api biasa. Nyalanya biru-biru maya. Tapi tiada kalah terangnya daripada nyala api biasa. Malah nyala biru-biru maya sempat membuat kabur mata Rahwana, sehingga angkasa terasa kelam baginya.
Iblis laknat, berapa kali lagi kau akan mengacau dunia, hai Rahwana! kata suara yang menggelegar, memekakkan telinga. Suara itu ternyata datang dari burung raksasa yang paruhnya menyala-nyala. Ia adalah Jatayu, raja dari segala burung, yang menjadi sahabat raja Dasarata, ayah Rama. Ketika ia mendengar jeritan Sinta, ia tahu bahwa ada penderitaan lagi di dunia karena ulah Rahwana.
Rahwana belum sempat bergerak, Jatayu menyambar Rahwana. Sayapnya melebar, menimbulkan angin badai. Paruhnya menganga seram, sehingga nyala api makin besar. Bulunya keemas-emasan, berpantulan dengan nyala biru maya, cahaya keemasan itu menjadikan angkasa sulit diceritakan keadaan warnanya.
Rahwana mengelak, tapi Jatayu segera menukik ke bawah. Ditusuknya Rahwana dengan kuku-kukunya yang tajam. Patuknya menghujami tubuh Rahwana. Darah Rahwana mengalir tertahan mega-mega. Jatayu belum puas. Ia membakar Rahwana dengan nyala apinya, sehingga keringlah darah Rahwana. Raja Alengka ini sebentar lagi akan binasa, tapi dengan cekatan ia memanggil raksasa terbang yang dari tadi mengikutinya dari bawah. Sinta yang jatuh dari pelukannya, segera diboyong oleh para raksasa terbang.
Jatayu makin geram. Ia mengejar raksasa-raksasa terbang. Disambar, dipatuk, dihujami dengan kuku-kuku raksasa-raksasa itu oleh Jatayu, sehingga habis binasalah mereka semua. Dan Sinta pun terlepas dari mereka. Tubuh putri jelita ini melayanglayang di udara. Tapi dengan sigap, Jatayu memondong Sinta di punggungnya, maka selamatlah sang putri dari marabahaya.
Tapi lihatlah, bumi menggeledek ketika Rahwana jatuh di atasnya. Dan begitu mencium bumi, Rahwana hidup kembali. Ia segar bugar seperti sedia kala, sebab ia memiliki Aji Pancasona yang diterimanya dari Resi Subali.
Setelah hidup kembali, Rahwana naik darah bukan buatan. Ia mengejar Jatayu yang menggendong Sinta. Segera ia mengambil senjatanya yang sakti, Candrasa. Lalu dibidikkannya senjata itu ke Jatayu. Sayap burung raksasa penolong Dewi Sinta itu patah. Kasihan sekali keadaannya. Darah terus mengalir, sehingga ia tidak dapat terbang lagi. Tubuhnya menukik ke bawah tanpa daya apa-apa. Paruhnya yang menyala-nyala mengatup, dan makin suramlah warna biru-biru maya.
Anakku, maafkanlah aku, aku tak dapat menolongmu lagi. Maksudku, kau hendak kubawa pulang ke Ayodya. Aku tahu kau adalah putri menantu sahabatku Dasarata, ketika kau menyebut nama anak sulung Dasarata tadi, kata Jatayu.
Sinta merasakan kasih sayang seekor burung. Tapi ketakutannya menjadi-jadi, karena tubuhnya yang digendong Jatayu terus menukik dengan keras, mau membentur bumi. Tiba-tiba timbullah keberaniannya untuk mati.
Hai, Raja burung yang baik hati, biarlah aku mati bersamamu. Apa artinya hidup tanpa Rama di sisiku" Apalagi bila aku harus melayani nafsu raksasa jahat itu" Biarlah aku hancur mencium bumi bersamamu, kata Sinta.
Jangan, hai putri jelita. Masih banyak tugasmu buat dunia. Kau belum boleh mati sekarang. Ingatlah pesanku, hari-harimu akan menjelajah derita, hidup bersama ular berbisa. Namun tabahlah takkan ada ular yang bisa memagut kesucianmu. Ambillah sehelai buluku, cabutlah bulu itu, hai Putri yang berduka sebelum aku binasa. Akan berguna bulu itu untuk menjaga kesucianmu, kata Jatayu terpatah-patah.
Sinta menurut. Dicabutnya sehelai bulu sang Jatayu. Dewadewi menurunkan bunga harum dari surga. Bulu itu tiba-tiba menjadi pisau yang tajam. Sang Jatayu lalu tidak kuasa lagi menahan Dewi Sinta. Dewi Sinta terguling dari punggungnya. Dan raja burung itu menukik ke bumi sekeras-kerasnya. Bulubulunya bertebaran di hutan rimba.
Sementara Sinta masih melayang-layang di udara. Rahwana segera menyambarnya. Dipeluknya erat-erat putri yang malang itu. Dengan mata ganas ia menyaksikan Jatayu yang sebentar lagi akan menemui ajalnya. Setelah puas, bergelora lagi nafsunya, ketika ia merasa Sinta berada di pelukannya. Anak Wisrawa yang lahir dari darah ini cepat-cepat terbang ke Alengka. Di sanalah ia yakin bakal berhasil menikmati Dewi Sinta.
G ending Sandung terdengar di kejauhan. Bukan suara gamelan
istana, melainkan irama alam yang mengalunkan kesedihan. Rama membayangkan Sinta tersandung-sandung dalam perjalanan hidup nestapa.
Buat Rama, Gending Sandung dari irama alam ini menggambarkan suatu peristiwa. Sinta bagaikan setetes embun, permata hati awan yang suci. Badai hitam berhembus, menguakkan awan sehingga hancur menjadi air terjun.
Ah Sinta, betapa awan itu mencintai permata hatinya. Ia ingin setetes embun itu tetap menjadi miliknya. Tapi permata hati itu ternyata ikut jatuh dalam air terjun, kata Rama tak sadarkan diri.
Dan Rama mendengar Gending Sandung itu mendebur. Saat itulah Sinta yang bagaikan setetes embun membentur jatuh ke padas kering. Di tengah air terjun yang telah menjadi telaga, setetes embun itu berenang-renang payah.
Ada batu menjadi jalan ke surga. Naiklah Sinta, biar pun kau hanya setetes embun, naiklah melewatinya. Tinggalkanlah telaga yang dulunya padas kering belaka, Rama melamun terus.
Dan Rama melihat, setetes embun itu merambat perlahan-lahan. Merambat melewati batu-batuan yang diselimuti air terjun. Hijau lumut kelihatan warna batu-batuan itu. Dan licin! Rama yang bagaikan sumber air terjun itu berdiri di atas awan yang dulu memiliki permata hatinya.
Naiklah, Sinta. Naiklah, teriak Rama.
Pada saat itulah, susah payah setetes embun bersama air terjun menimbulkan irama Gending Sandung yang melagukan kehidupan Dewi Sinta yang tersandung-sandung.
Rama membuka tangannya. Tapi Sinta tak kunjung naik merayapi batu-batu jalan ke surga, karena dahsyatnya air terjun turun ke padas kering kejahatan dunia.
Sinta, di manakah kau" Siapakah yang memilikimu kini" Ah Sinta, lebih berbahagialah kau ketika kau bersamaku merabaraba dalam terang bagaikan orang buta yang tidak tahu sinar. Kini betapa menderita hidupmu, karena kau harus berjalan dalam kegelapan, meski matamu sudah membuka lebar. Sinta kembalilah ke masa lalu kita yang penuh bintang, kata Rama makin tidak sadar.
Sinta, apakah kini kau harus menjumpai kehidupan" Ah betapa kejam kehidupan ini. Barangkali cobaan hidup itu akan menambah ketabahanmu. Tapi ketabahan itu menambah deritamu. Dan lihatlah, betapa derita menyuramkan wajahmu yang jelita. Barangkali kini kau tahu arti hidup, ah Sinta, tapi pengetahuanmu itu akan membuatmu mudah berpura-pura. Kembalilah bersamaku Sinta, bersamakulah kau akan tetap jelita meski kau belum tahu ketabahan derita, kau akan jujur tidak berpura-pura meski kau belum tahu arti hidup yang sesungguhnya, dan di sanalah kau akan menjadi karang kuat justru dalam kelemahanmu. Sinta..., Rama menjerit lirih.
Laksmana yang selalu setia menemani kakaknya, merasa hatinya disayat sembilu mendengar kata-kata Rama yang merindukan kekasihnya. Dipandangnya kakaknya dengan susah.
Adikku Laksmana, apa arti hidupku tanpa kakakmu Sinta" Biarlah aku mati di sini. Oh dewa, lebih baik aku tidak dilahirkan ke dunia daripada harus menjumpai hidup seperti ini. Biarlah iblis memakan kelahiranku. Biarlah aku mati di kandungan ibuku, daripada hidupku harus mengutuk ibuku yang melahirkan aku. Apakah dosaku, hai Ayahku Dasarata, sampai kelahiranku menghukum aku seperti ini, Rama mengutuk hidupnya dengan suara gemas dan marah.
Laksmana terkejut mendengar Rama mengeluarkan kata-kata tadi. Dan merekahlah kebijaksanaannya bagaikan mata Hyang Widi Wasesa.
Kakakku, adakah kelopak bunga mekar kalau belum musimnya" Dan masakan mega mengisi angkasa kalau tiada maksudnya" Siapakah yang mempertemukan cinta lelaki dan wanita kalau bukan perpisahan" Hidup ini beredar Kakakku, bagaikan angin Dewa Bayu. Dalam kehidupan yang berjalan inilah pertemuan dan perpisahan berpadu, kata Laksmana.
Maka ingatlah, Kakakku, sebenarnya dalam perpisahan pun berada cinta. Malah cinta itu akan makin mekar di sana. Janganlah kau memisahkan kelemahan dan kekuatan, kejelitaan yang bahagia dan ketabahan yang menderita, kejujuran dan kepura-puraan. Tidakkah kau akan bangga, jika nanti kau melihat kekasihmu kuat karena kesendiriannya daripada lemah karena kalian selalu berdua" Bukankah ketabahan yang menderita akan membuat hatinya menjadi nirmala, melebihi kejelitaan lahirnya yang hanya sepintas kelihatan bahagia. Dan percayalah kejahatan dunia ini adakalanya terpaksa menantang orang untuk berpura-pura cinta terhadap orang lain demi kejujuran cintanya pada kekasihnya, kata Laksmana lagi.
Adikku, apa artinya semuanya tadi" tanya Rama tak mengerti.
Kakakku, camkanlah ini. Cinta itu bukan untuk memiliki kekasih hatinya seperti apa adanya. Cinta itu mengharuskan seorang rela membiarkan kekasihnya berkembang hidupnya. Dan itu semuanya akan makin terjadi justru dalam perpisahan. Percayalah, Dewi Sinta akan makin menjadi wanita sejati ketika sekarang ia harus mengalami cobaan hidupnya yang jauh dari kekasih hatinya. Dan, Kakakku, justru dalam perpisahanmu itulah kau akan merasa apa sesungguhnya cinta, jawab Laksmana.
Rama menjadi makin tenang. Dan ia mengajak Laksmana meneruskan perjalanan. Sepanjang jalan kedua satria Ayodya terdiam dalam Hutan Dandaka yang suram. Tiba-tiba mereka melihat bulu burung bertebaran. Di antaranya tertancap tusuk konde kekasih Rama, Dewi Sinta. Rama berteriak seperti mau mati rasanya.
Sinta, bukankah ini tusuk kondemu yang selalu kupasang digelung rambutmu yang baru terurai jatuh ketika kita mengenyam keindahan cinta. Mari kuharumkan gelungmu dengan aroma bunga wiraga. Biar kupasang kembali tusuk kondemu... tapi Sinta, oh Sinta, kini kau telah binasa, kata Rama sambil memungut tusuk konde Dewi Sinta.
Rama tidak tahu bahwa tusuk konde itu jatuh dari gelung Dewi Sinta ketika ia diperebutkan Jatayu dan Rahwana. Melihat bulu burung yang bertebaran itu, Rama curiga jangan-jangan ada burung yang mencuri Dewi Sinta, tapi kemudian burung itu dianiaya oleh pencuri lain yang melarikan kekasihnya.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Rama melihat Jatayu sedang berada dalam sakratul maut. Sayapnya patah. Paruhnya mengatup lemah, kehilangan daya tenaganya. Kepalanya tunduk meratapi pertiwi. Sebentar lagi burung ini akan mati. Tapi Rama tidak berpikir panjang, ia segera mengambil panah sakti Guwawijaya, hendak membunuh sang Jatayu.
Kakakku, hentikan niatmu. Jangan kau lepas Guwawijaya. Dunia akan mencelamu, Kakakku, belum saatnya dunia hancur karena pusaka saktimu. Tidakkah kau tahu, panahmu itu tidak hanya akan membinasakan burung itu, melainkan juga akan melebur dunia" Tidakkah tugas titisan Wisnu justru membangun dunia" kata Laksmana menghalangi kakaknya yang sedang marah.
Tapi burung itu pasti pencuri Sinta, jawab Rama geram, biar kubunuh dia, meski dengan kematiannya akan ikut lebur seluruh jagad ini karena panahku Guwawijaya.
Tidak, Kakakku, percayalah ia adalah burung yang bijaksana. Pandanglah dengan saksama, dalam sakratul mautnya itu ia sebenarnya memancarkan kesuciannya, kata Laksmana.
Laksmana benar, betapa indah sang burung justru dalam sakratul mautnya. Sayapnya yang tersisa mengepak perlahan, tapi gemuruh langit ditimbulkan. Dan rontoklah dari mega-mega hijau-hijau daun muda.
Kemarilah, Anakku, kata Jatayu lemah. Rama masih ragu-ragu tapi demikian kuat dorongan hatinya untuk mendekatinya. Mata Jatayu bersinar terang ketika Rama sudah di hadapannya.
Aku tak kuat, Anakku untuk menolong kekasih hatimu. Kekasihmu dicuri Raja Alengka. Aku mencoba merebutnya, tapi raja raksasa itu ternyata mencelakai aku, kata Jatayu. Lalu dengan suara tersendat-sendat ia menceritakan peristiwa yang dialaminya. Pergilah ke Alengka, Anakku, tambah Sang Jatayu.
Rama terharu dan menyesal melihat pengorbanan raja burung itu. Ia mengelus sayang sayap Jatayu. Dan inilah yang terjadi. Ia melihat seberkas cahaya ilahi di angkasa. Cahaya ilahi itu menggelombang pelahan membentuk keris dengan tiga luk (lengkungan), masing-masing dalam tiga warna. Rama terheran-heran.
Anakku, cahaya itulah milikmu. Ia adalah lambang senjata Tripurantaka, pusaka Sakti Dewa Wisnu. Tiga gelombang itu adalah tiga gapura, masing-masing dari emas, perak, dan baja. Tiga gelombang itu adalah tridarma satria titisan Wisnu. emas adalah tindak keutamaan yang berasal dari cipta budi wening yang melimpah dengan panembah sejati kepada pencipta. Perak adalah pengetahuanmu yang harus makerti (mengetahui) tanpa pamrih. Dan baja adalah kekuatanmu yang harus menegakkan keadilan dan kebenaran di dunia. Simpanlah dia, Anakku, kata Jatayu.
Cahaya ilahi yang indah itu menghilang, masuk ke dalam diri Rama. Dan Jatayu pun binasa. Tak terbilang rasa terima kasih Rama, meski ia merasa sedih. Dan ketika ia berpaling, Jatayu sudah tiada di hadapannya. Hanya langit berwarna putih bersih dengan gambar burung mengepakakkan sayapnya dengan gagah, lalu tersebarlah aneka warna yang harum beraroma. Rama dan Laksmana bersyukur. Sang Jatayu sudah berpulang ke alam baka.
Perjumpaan dengan Jatayu banyak menghibur hati Rama. Satria sulung Ayodya ini menatap Laksmana, adiknya yang demikian bijaksana baginya. Laksmana hanya tersenyum. Kemudian mereka berjalan lagi mengarungi hutan.
Tak lama kemudian mereka mencium bau dupa mewangi. Ketika mendekat, mereka melihat sebuah pertapaan. Dan betapa terkejut mereka ternyata sang pertapa di dalamnya adalah seekor burung. Tapi sangatlah jelek keadaan burung itu. Bulunya kehitam-hitaman kotor. Mendekam tak bergerak.
Masuklah hai Satria, sudah lama kutunggu kedatanganmu, kata sang burung. Rama dan Laksmana memberanikan diri. Bau harum dupa mewangi.
Siapakah kau, hai Burung" Seperti manusia kau bertapa, tanya Rama.
Aku Suaribranti. Dulu aku mengabdi pada istri Dewa Wisnu. Karena kesalahannya, ia dikutuk menjadi babi hutan. Lalu ia bertapa supaya ia kembali menjadi dewi sempurna lagi. Seharihari aku menemani tapanya yang hebat. Akhirnya tapanya dikabulkan. Ia kembali menjadi dewi. Dan inilah kesalahanku, aku memakan badan wadagnya yang ditinggalkan di dunia. Dewa menghukum aku, hingga keadaanku seperti ini, kata sang burung pertapa.
Kini harinya sudah tiba. Peganglah buluku, supaya aku menjadi pulih seperti semula, dan dapat menyusul junjunganku ke surga, pinta sang burung. Dengan paruhnya ia menambahkan ratus di pedupaannya.
Rama menurutinya. Ia mengelus bulu sang burung. Mendadak sang burung mengibaskan sayapnya, terbang ke angkasa. Berganti warna bulunya, putih bersih kelihatannya. Udara menjadi sejuk. Dan jatuhlah dari langit ribuan kunang-kunang senja. Menabur di lembah-lembah, kabut biru muda. Rebah di mata Rama seberkas wajah yang berkaca pada harapan, bahwa kehidupan adalah cermin kesempurnaan.
Terima kasih satria Ayodya. Sentuhan tanganmu membuat aku bersatu dengan junjunganku. Adakalanya kehidupan ini pernah menjadi permainan yang mengharapkan akhir. Telah tiba saatnya Satria, Alengka yang jahat kau siram dengan sentuhan embunmu. Perkayalah dirimu dengan keyakinan, kekasihmu adalah harapan masa depan dunia. Tugasmu bukan hanya untuk mengambil lagi kekasihmu, malah lebih-lebih untuk mewujudkan masa depan dunia itu. Carilah sekarang kera yang bernama Sugriwa. Dan kau tahu apa yang harus kau kerjakan nantinya, kata sang burung. Ia terbang kembali ke junjungannya yang abadi.
Rama menengadah ke angkasa. Dan ia melihat bintang tunjung putih baru terbangun dari tidurnya. Dan terdengarlah suara, Rama, apa artinya perjumpaanmu dengan burung" Rama terdiam tak mengerti.
Burung-burung itu bukan hewan seperti yang kaubayangkan. Mereka adalah paksi, tujuan akhir kehidupan. Dan itulah kesempurnaan. Tidakkah Jatayu dan Suaribranti telah kembali ke alam gaibnya yang mulia" Maka inilah makna perjumpaanmu dengan mereka. Sudah saatnya kau menguakkan tabir kejahatan dunia, karena inilah hari kesempurnaan ingin tersenyum di dunia, kata suara gaib itu. Dan bulan pun tertawa ria.
M alam hitam ketika Rama dan Laksmana tiba di sebuah jurang yang curam di Hutan Dandaka. Rama tak tahu bagaimana ia harus menyeberangi jurang yang mengerikan itu. Maka ia pun bersamadi. Budi weningnya merasuk ke dalam kalbunya.
Dan musim pun berubah tiba-tiba. Bantala rekah! Inilah tandanya musim berubah kejam terhadap bumi, tanah merekah di mana-mana. Tak lama kemudian dedaunan berguguran dari dahan-dahannya, sehingga gundul pepohonannya. Inilah tanda dunia berada pada masa pertama. Di sanalah permata-permata lepas dari embanannya. Rama merasakan itu semuanya dalam kalbunya.
Dan ia pun masuk ke dalam alam pengalusan dunia bawah. Suara riuh-rendah terdengar. Jurang bergema dengan suara yang mengerikan. Di sinilah Rama melihat pandangan yang seram.
Segala makhluk halus dunia bawah berkeliaran. Peri parahyangan bergandengan dengan kemamang. Engkl"k-"ngkl"k menari dengan para balangatandan. Jerangkong berjalan tertatih-tatih membunyikan gemeretak tulang-tulang bersenda gurau dengan para pocong berpakaian putih-putih selubung orang mati. Dan banaspati terkekeh-kekeh menertawai para bajobarat yang kelaparan. Tangis anak w"w" melengking tajam, minta susu ibunya, padahal tiada siang dengan hujan. Dan gandarwagandarwa berdandan dengan bunga-bunga kuburan.
Rama menjadi ngeri melihat makhluk-makhluk seram dari alam pangalusan dunia bawah itu. Namun ditekuni samadinya. Budi weningnya makin masuk ke dalam kalbunya. Dan dengarlah, ada irama merdu dari binatang-binatang malam. Cengkerik mengerik, gangsir tajam mendesir. Dan garengpong bersuara kesenangan. Inilah tandanya musim telah berubah menuju masa ke sembilan peredarannya. Masa wedaring wacana mulya, saat keluarnya suara-suara kebaikan dunia.
Dan Rama pun telah masuk ke alam pangalusan dunia atas. Suasana menjadi tentram. Makhluk-makhluk halus berdandan dalam keindahannya. Tak terbayangkan wajah-wajah mereka. Busananya pun pelbagai warna. Sebagian memakai busana berwarna kuning dengan kalung kencana yang diteretesi manikmanik ringin. Mereka ini menyilaukan mata, karena warna hijau berkilapan busananya.
Dan makhluk-makhluk yang menyebarkan bau wangi itu, mereka ini memasang di dadanya segala perhiasan emas kencana dengan bulu-bulu merak jantan di kepalanya. Ada makhluk seperti wanita yang menyerupai laki-laki. Ada makhluk lelaki yang menyerupai wanita. Mata mereka adalah kartika. Busana mereka kuning keputih-putihan.
Dan terang bercahaya di mana-mana. Terang dari dian-dian hati para danyang alam pengalusan dunia atas. Dian-dian itu pelbagai bentuknya. Sinarnya pun berwarna-warna. Ada yang memancarkan biru. Ada pula yang hijau dan merah. Rama melhat ada dian besar tergantung seperti bunga teratai di atap langit. Cahayanya bagaikan siang, namun mengandung aneka warna laksana pelangi. Dian-dian itulah hati para makhluk alam pangalusan dunia atas.
Makin Rama merasuki hatinya, makin dalam apa yang dirasakan dan dilihatnya. Tanpa merasa, ia mengeluarkan hawa panas dan dingin, campur dalam satu daya yang luar biasa. Daya ini menyebabkan para makhluk halus lari ketakutan. Suara menjadi luar biasa ribut. Peri yang buta dituntun banaspati yang panas matanya. Brekasakan yang lumpuh digendong para warudoyong. Jerangkong yang kepayahan dibopong pocong. Mereka lari, lari menjauh dari prabawa Rama. Tumpang-tindih mereka di bukit sana, dalam ketakutannya.
Waktu itu di dasar jurang sedang tidur gandarwa raksasa, Kala Dirgabahu namanya. Ia adalah raja para makhluk halus di jurang paling curam Hutan Dandaka. Mendengar jeritan para w"w", balangatan dan "ngkl"k-"ngkl"k, dan kawan-kawannya yang ribut luar biasa. Kala Dirgabahu membuka matanya. Marah ia terganggu tidurnya. Dilihatnya dua satria tampan berdiri di tepi jurang. Raja gandarwa ini bangkit, melesat ke atas. Badannya setinggi bukit. Dan paling menyeramkan, lengannya sangat panjang, memanjang sampai ke ujung kakinya.
He, he, Satria, berani benar kau membuat kawan-kawanku lari tunggang-langgang. Hari inilah kau kulumat menjadi pengisi perutku, kata Kala Dirgabahu. Suaranya bagaikan guntur memecah kesunyian malam.
Rama belum terlalu sadar dari pengalaman batinnya yang baru saja menjelajah alam pangalusan di kedalaman hatinya. Bayang-bayang Dewi Sinta kembali membersit di angan-angannya. Bayang-bayang itu demikian menggoda. Justru karena budi weningnya belum keluar dari kedalaman hatinya. Suara seram yang memecah malam dikiranya suara kekasih hatinya. Ia berjalan terhuyung-huyung, seakan hendak memeluk Dewi Sinta yang tiada.
Laksmana bingung melihat Rama kembali kambuh rindunya akan Dewi Sinta. Cepat-cepat ia menarik kakaknya ke belakang sebelum Kala Dirgabahu menerkamnya. Dan begitu lengan raja gandarwa itu hendak menangkapnya, ia menarik lengan itu dengan kekuatan luar biasa. Kala Dirgabahu hampir tersungkur, lalu Laksmana naik ke bahunya dan mendepak keras mukanya.
Kala Dirgabahu kewalahan hendak menangkap Laksmana. Satria ini berlari-lari di antara kedua bahunya yang lebar, sehingga lengan Kala Dirgabahu yang panjang sulit menjangkaunya. Sesekali Laskmana malah sempat naik ke kepala sang gandarwa raksasa ini, menginjaknya dengan keras sampai mata Kala Dirgabahu berkunang-kunang.
Pada saat itulah Rama tersadarkan diri. Melihat adiknya bertempur, ia segera menghunus keris saktinya. Memotong kedua lengan Kala Dirgabahu yang berbahaya. Jerit menyayat keluar dari mulut sang gandarwa raksasa. Bersama dengan suara yang meledakkan badai keheningan malam itu, turunlah hujan bunga dari langit, serentak Kala Dirgabahu berubah menjadi dewa.
Rama, aku adalah Batara Kangka, dewa segala makhluk yang beterbangan di angkasa. Aku terkutuk oleh dewa dan dihukum menjadi makhluk yang berlengan panjang tadi. Kau potong lenganku yang dulu berbuat dosa. Kini aku pulih menjadi seperti semula. Terima kasih, Anakku, kata Dewa Kangka. Rama dan Laksmana serentak melakukan sembah. Rama, Anakku. Berbahagialah kau, karena baru saja kau mengalami keadaan dirimu yang sesungguhnya. Kau telah memasuki triloka dalam dirimu. Apa yang kau lihat berkeliaran di kedua alam pangalusan adalah kekuatan-kekuatan dirimu sendiri yang tidak kau sadari sebelum kau berada dalam samadi di tepi jurang curam Hutan Dandaka ini, kata Batara Kangka.
Inilah makna triloka yang baru kau alami. Jerangkong, pocong, "ngkl"k-"ngkl"k, dan makhluk yang kau lihat seperti jahat dan menyeramkan tadi adalah kekuatan roh yang harus selalu kau arahkan. Roh-roh itu bukan bekas manusia yang dulunya berdosa. Ia tak pernah menjadi manusia justru karena ia takkan pernah sempurna sebagai manusia yang diinginkan Sang Pencipta. Justru karena ketidaksempurnaannya itu kau lihat sebagai jelek dan buruk wajah atau bentuknya. Tapi mereka itu pada hakekatnya baik, Anakku, justru karena kerinduannya untuk menjadi manusia yang sempurna. Jangan kau salahkan mereka, seakan merekalah penyebab kejahatan. Jangan kau singkirkan mereka, karena dengan demikian kau akan menyingkirkan milikmu sendiri. Mereka hanya harus kau sempurnakan. Mereka adalah makhluk-makhluk yang polos, bagaikan anak kecil yang belum tahu apa-apa. Itulah sebabnya mereka seakan berbuat sesuka hatinya, karena belum ada kesadaran dirinya sebagai manusia. Itulah alam pangalusan yang pertama. Kau tidak boleh hanya menuruti mereka. Karena masih ada yang lain yang melekat di dirimu, yakni alam pangalusan dunia atas.
Alam pangalusan dunia atas kau lihat sebagai makhluk-makhluk yang indah, sudah sempurna kelihatannya. Hati mereka menyala, dan sama sekali tidak menakutkan rupa mereka. Malah kau selalu tertarik kepadanya. Mereka sebenarnya adalah tujuan kesempurnaan dirimu, hai Rama. Memang mereka seakan berada di luar dirimu, tapi sebenarnya mereka adalah milikmu sendiri. Sebab mana mungkin memisahkan tujuan hidup manusia dari hidupmu sendiri" Kau tidak boleh melupakan mereka, karena dengan demikian kau melupakan kesempurnaan hidupmu sendiri. Tapi jangan kau hanya terikat pada mereka, karena dengan demikian kau mengingkari dirimu sebagai manusia yang ada, karena dengan berbuat begitu kau hanya akan hidup dalam cita-cita, Anakku. Cita-cita itu bisa menipu, seakan kau sudah manusia, padahal kau masih sangat belum sempurna sebagai manusia. Cita-cita bisa pula menyebabkan dosa. Tidakkah kepura-puraan hidup itu justru berasal dari kekosongan angan-angan yang menganggap dirinya sempurna" tanya Batara Kangka.
Maka yang paling penting adalah dirimu sendiri. Itulah bagian ketiga dari triloka yang ingin kuterangkan. Dunia yang ketiga ini adalah dunia kesadaran. Maka di sini budi weningmu yang harus berperan. Karena budi weningmu kau tidak akan menuruti begitu saja alam pangalusan dunia atas. Dengan budi weningmu kau lebih suka mengakui bahwa dirimu belum sempurna, daripada kau menipu dirimu sudah masuk ke alam pangalusan dunia atas seluruhnya, justru karena kau masih terikat pada alam pangalusan dunia bawah. Demikian pula, kau tidak akan hanya mau menuruti dunia alam pangalusan dunia bawah, karena dengan demikian kau ingin tetap tidak sempurna.
Jadi Rama, inilah hakekat terakhir dari triloka. Budi weningmu harus menjadi penengah antara kedua alam pengalusan itu.
Jangan kau berat sebelah kepada salah satu dari mereka, karena kau tidak akan seimbang sebagai manusia. Dengan triloka itu kau akan memahami, bahwa baik dan jahat itu berasal dari dirimu sendiri.
Kejahatan itu tidak berasal dari luar, sehingga kau tidak bisa mempersalahkan dirimu jika kau berbuat salah, seakanakan kesalahan itu bukan tanggung jawabmu. Kejahatan itu berasal dari dalam, artinya kau tidak mau menjadikan dirimu sempurna. Kebaikan itu juga bukan semata-mata anugerah dari luar, kebaikan itu berasal dari dalam keinginanmu sendiri untuk makin menjadi sempurna. Jadi inilah makna dan perintah dirimu diciptakan sebagai manusia. Kau tidak diciptakan dalam keadaan baik atau jelek, tapi kau diciptakan dalam keadaan yang masih harus meraih kesempurnaan. Dalam kesempurnaan itu baik dan jelek adalah milikmu sendiri, bukan pemberian dunia luar. Maka triloka adalah dasar pemahamanmu akan keagungan seorang manusia, kata Dewa Kangka, dewa segala makhluk yang beterbangan di langit itu.
Rama mendengarkan itu semuanya dengan saksama. Sudahlah, Anakku, kini tiba saatnya aku harus kembali ke alam dewa. Renungkanlah apa yang telah kukatakan. Dan katakataku itu, bukan semata-mata hadiah. Kata-kataku tadi adalah milikmu sendiri. Kau bisa memahaminya, karena baru saja kau menyelami keadaan dirimu sebagai manusia, katanya lagi.
Sekarang lakukan tugasmu. Pergilah ke bukit Reksamuka. Di sana kau akan berjumpa dengan para kera, di mana Sugriwa menjadi rajanya. Merekalah yang akan membantu kau menaklukkan angkara murka, pesan Dewa Kangka.
Bersama burung-burung malam di langit, Dewa Kangka terbang menghilang dari hadapan Rama. Ribuan angsa putih menyertainya. Gerimis sebentar. Dan angin yang ditimbulkan oleh makhluk beterbangan itu memecahkan kebisuan bukitbukitan. Bulan membentuk bundaran. Warnanya kunang-kunang berpendaran.
S iang menyengat laksana cakar garuda. Mata diwangkara menjamah kaki Gunung Reksamuka. Bagaikan bunga rajasa yang merambat lelah, Rama dan Laksmana mengambang di puncak duka hidupnya. Kera bernama Sugriwa belum dijumpainya, tapi kaki sudah terlalu lelah untuk mengembara. Rasanya, telah bertahun-tahun mereka menjelajah rimba.
Kedua satria tampan yang malang itu lalu berteduh di bawah sebatang pohon nangka. Rama sangat letih. Daun pohon nangka yang rimbun itu menyejukkannya. Maka tertidurlah satria sulung Ayodya ini di pangkuan adiknya Laksmana.
Tiada suara dalam kesunyian ini. Hanya tiupan angin dari sayap-sayap musim kemarau menerpa pucuk-pucuk bungabungaan Reksamuka. Dan alam pun menghembuskan nafas keharumannya.
Tiba-tiba ada setetes air mata jatuh ke pipi Rama. Satria yang sedang putus asa ini segera terbangun dari tidurnya yang pulas. Dipandangnya adiknya dengan sinar mata kosong.
Laksmana, adikku, kenapa kau menitikkan air mata" Tiadakah kau tahu, air matamu itu menambah kesedihanku" Air matamu adalah luapan derita kita. Ah Laksmana, jangankan aku, sedangkan kau sendiri akhirnya tak tahan menanggung penderitaan hidup seperti ini. Laksmana, kenapa kau menitikkan air mata" kata Rama yang bertambah keputusasaannya.
Laksmana terkejut. Sama sekali ia tidak merasa menangis. Dari semula ia selalu mencoba menyimpan air matanya, supaya jangan menambah kesusahan kakaknya. Maka ia bertanya-tanya, siapa gerangan yang mencucurkan air mata" Barangkali alam pun ikut berduka.
Kakakku, tiada yang menangis atau mencucurkan air mata. Tidurlah, Kakakku, jangan bertambah kesedihanmu, hibur Laksmana. Sambil berkata demikian ia mengheningkan cipta. Daya Laksmana yang suci ini tiba-tiba membuat dedaunan di atasnya menguak.
Dan lihatlah, ada seekor kera menitik deras air matanya. Badannya kurus, terjepit di antara dua dahan yang kuat. Makin deras air matanya ketika Rama pun memandangnya. Dan bunga rajasa menjadi kuning, gelisah seekor kera menghentikan kegembiraannya.
Siapakah kau, hai Kera yang menitikkan air mata" tanya Rama.
Aku adalah Sugriwa. Terharu rasa hatiku melihat betapa hidupmu rukun berdua sebagai saudara. Air mataku bercucuran membayangkan kebahagiaanmu tidur lelap di pangkuan adikmu, ketika kau lelah bernaung di bawah pohon nangka ini. Ah manusia, alangkah malang hidupku ini. Tiadakah cinta saudara di antara bangsa kera" Saudaraku Subali telah menjepitku di sini berbulan-bulan lamanya, hanya karena salah paham belaka. Kini ia bertakhta di Gua Kiskenda meninggalkan aku menderita tersiksa di pohon nangka ini. Tolonglah aku, hai Manusia, kata kera yang ternyata Sugriwa itu.
Bukan main bahagia hati Rama. Telah ditemukannya apa yang dicari-carinya. Dipanahnya dahan yang menjepit Sugriwa sampai patah. Sugriwa bergelayutan senang, lalu turun bersujud di hadapan Rama.
Bangunlah Sugriwa. Dewatalah yang mempertemukan kita. Sudah hampir putus asa aku mengarungi hutan untuk mencarimu, ternyata hari inilah kita bertemu, kata Rama.
Maka Sugriwa melanjutkan ceritanya. Sejak ia bertengkar dengan kakaknya Subali karena salah paham di Gua Kiskenda, ia selalu mencoba untuk mengalahkannya. Tapi ia selalu kalah, terakhir Subali malah menjepitnya di dahan pohon nangka itu. Diceritakannya pula, betapa hatinya rindu akan Dewi Tara, isterinya anugerah dewata, yang telah direbut Subali menjadi permaisurinya.
Sebenarnya aku adalah raja kera. Yakinlah Satria, semua balatentaraku akan mengabdimu bila kau dapat membantuku mengalahkan Subali kakakku, kata Sugriwa.
Sugriwa dengan bantuanku kau pasti akan menang melawan Subali. Tapi berjanjilah kepadaku, bahwa kau dan segenap balatentaramu akan sungguh membantu aku mengalahkan Rahwana, raja Alengka, yang telah merebut isteriku, Dewi Sinta, kata Rama memperkenalkan dirinya.
Lalu Rama menceritakan seluruh riwayat hidupnya. Dengan sedih Sugriwa mendengarkannya. Dan serta-merta ia menyanggupkan pertolongannya. Disaksikan kebisuan alam, Rama dan Sugriwa mengangkat sumpah persaudaraan. Terbukalah matamata mega melepas hujan kebahagiaannya. Manusia dan kera ini pun berpeluk-pelukan.
Rama, marilah kita berangkat ke Gua Kiskenda, ajak Sugriwa. Melalui perjalanan panjang, sampailah mereka di mulut Gua Kiskenda. Balatentara kera yang berkeliaran di sekitarnya terheran-heran melihat kedatangan Sugriwa. Tapi nampak kegembiraan di wajah-wajah mereka. Sesungguhnya memang mereka sangat mencintai Sugriwa yang dulu menjadi rajanya itu.
Sejenak Sugriwa menghentikan langkahnya. Keragu-raguan terkilas di wajahnya. Dalam hati ia bertanya-tanya, mampukah satria yang lemah gemulai ini mengalahkan Subali yang sakti" Raja sapi Maesasura hancur otaknya oleh tangan Subali. Raksasa-raksasa jahat yang mengganggu keamanan Gua Kiskenda dileburnya menjadi tumpukan tulang berkeping-keping. Dan bahkan Rahwana, raja Alengka yang sangat sakti, tunduk berlutut di kakinya. Apalagi satria Ayodya yang kelihatan lemah gemulai ini"
Rama membaca keraguan Sugriwa. Ditariknya anak panahnya. Di hadapan Rama ada tujuh pohon beringin raksasa. Seekor naga melingkarinya. Rama membidikkan anak panahnya. Tujuh pohon raksasa itu bersama-sama ambruk, dengan jerit kesakitan naga yang telah menemui ajalnya.
Maafkanlah keraguanku, Rama. Aku percaya kau manusia sakti tiada tandingannya, kata Sugriwa malu. Rama hanya tersenyum. Sugriwa lalu meloncat-loncat makin mendekati gua. Ia berteriak lantang, meminta Subali keluar.
Sugriwa, belum jera juga kau dengan kekalahanmu. Masihkah kau hendak membuktikan kesaktianku. Jangan salahkan aku, Adikku, kalau hari ini nyawamu terbang penasaran, teriak Subali marah di mulut gua.
Subali, sesalilah perbuatanmu selama ini. Kekejamanmu terhadap saudaramu sendiri akan menerima pembalasannya hari ini. Di mulut gua ini, darah Maesasura yang telah kering akan mengalir lagi menjadi sungai yang akan menghanyutkan nyawamu, balas Sugriwa berapi-api.
Dengan kalap, Sugriwa menyerbu Subali. Kedua kera ini bertarung sengit. Gigit-menggigit, cakar-mencakar. Melompat-lompat di pepohonan, sampai gugur dedaunan. Sugriwa sempat menghajar kepala kakaknya dengan sebatang dahan kering yang dipakainya sebagai senjata. Hanya sekejap Subali merasa pusing, lalu ia menendang adiknya sampai merayap-rayap di tanah. Dicakarnya tubuh Sugriwa hingga darah bercucuran dari badannya. Dan dilemparkannya Sugriwa jauh ke seberang sana. Kera yang malang ini jatuh di hadapan Rama.
Rama, kenapa kau biarkan aku dikalahkan Subali" Tiadakah kau menepati janjimu semula" tanya Sugriwa kesal hati. Ia menggelepar-gelepar kesakitan.
Sugriwa, maafkanlah aku. Aku tidak berani membidikkan panahku, karena aku tidak dapat membedakanmu dari Subali, kakakmu. Sekarang, pakailah janur kuning ini di kepalamu, supaya jelas perbedaanmu dari kakakmu. Majulah berperang lagi, kali ini akan tamat riwayat kakakmu, Subali, kata Rama sambil mengikatkan sehelai janur kuning di kepala Sugriwa. Sugriwa maju menyerang lagi. Subali masih lengah dengan kemenangannya. Ia menggelayut lemah di sebatang dahan kering. Dengan satu tendangan seberat gunung, Sugriwa menghajar perut Subali sampai roboh ke tanah.
Pancasona! Bumi memeluk Subali kekasih hatinya. empat penjuru dunia bagaikan menjadi satu mata yang mencintai Subali. Mukjizat di Gunung Sunyapringga, ketika bumi menjanjikan kehidupan abadi terhadap Subali, terulang lagi hari ini. Ketika Subali menyentuh pertiwi, seberkas cahaya ilahi menyala dari mata empat penjuru dunia. Subali hidup kembali! Padahal siapa saja pasti akan mati bila terkena tendangan Sugriwa, sebab tendangan itulah ilmu sakti yang diterimanya sebagai warisan terakhir dari ayahnya, Resi Gotama, sebelum ia menjadi kera karena perbuatan Cupu Manik Astagina. Bahkan Subali pun tidak mendapat warisan sakti itu. Tapi berkat Aji Pancasona, tendangan Sugriwa yang mengantarkan Subali ke pertiwi, tidak berarti apa-apa!
Subali geram bukan main. Dengan hentakan seperti terbang, ia melesat hendak membalas Sugriwa. Tapi bersamaan dengan itu, tiba-tiba berkelebat panah sakti Guwawijaya dari Rama. Loncatan Subali tertahan di udara. Bumi seakan ingin menarik Subali jatuh ke tanah untuk menciumnya. Tapi daya Guwawijaya lebih kuat. Tarik-menarik dua kesaktian ini menimbulkan pemandangan indah. Gambar bumi dalam wujudnya seperti wanita ingin jatuh di pangkuan Guwawijaya dalam wujudnya seperti lelaki.
Subali mencoba memegang panah Guwawijaya yang sakti itu. Tapi ia tak berhasil. Panah itu terlalu kuat bagi tangannya, yang gemetar menahannya. Ada malaikat maut tersenyum di hadapannya, dengan senyum Batara Yamadipati yang ramah. Ajal sudah di hadapan mata Subali. Sejenak ia berpaling ke bawah, dan melihat Rama yang memegang gandewa saktinya.
Satria, apakah dosaku terhadapmu" Kenapa kau membunuhku dalam urusanku dengan adikku Sugriwa" tanya Subali sambil merintih.
Subali, aku adalah Ramawijaya. Tidakkah kau berjanji dulu dalam tapamu di Sunyapringga, bahwa aji pancasona hanya akan kau gunakan dalam laku baik saja. Kenapa kau tidak bisa memaafkan Sugriwa yang mungkin bersalah hanya karena salah paham belaka" tanya Rama.
Subali, persaudaraan itu adalah kedamaian anak bayi dalam guwa garba ibunya. Darah sang ibu yang menderita ketika melahirkannya adalah ikatan yang menyatukannya. Kelak bagaikan tali siter yang mempunyai suara sendiri-sendiri, masingmasing saudara memang mempunyai kehidupannya sendiri-sendiri pula. Tapi semuanya tetap merindukan kedamaian masa sebelum ia berdosa sebagai manusia, masa ketika semuanya masih menjadi satu, dalam rupa kasih sayang seorang ibu yang mengharapkan anak-anaknya. Ah, Subali, andaikan dunia ini tetap bisa menjadi guwa garba seorang ibu, di mana manusia bagaikan anak-anak bayi hanya bisa mengharapkan kehidupan dari ibunya, betapa kedamaian akan tercipta. Tapi Subali, kau telah merusak anugerah ibumu itu dengan memusuhi Sugriwa. Itulah dosamu, Subali, kata Rama lagi.
Di samping itu tidakkah karena kesombonganmu kau telah memberikan sebagian Aji Pancasona kepada Rahwana, raja raksasa yang jahat itu" tanya Rama.
Subali menangis. Ia teringat akan kekejamannya terhadap Sugriwa. Teringat pula ia akan pertemuannya dengan Rahwana. Waktu itu Rahwana sedang menjelajah angkasa, mencari ilmu untuk menambah kesaktiannya. Siapa saja ditantangnya, kalau ia kalah ia mau berguru kepadanya. Subali sedang bersemadi. Daya kekuatan Subali bisa menyedot Rahwana ke bumi. Tersungkur Rahwana di hadapan Subali. Raja jahat ini langsung mengamuk dan menyerang Subali. Berkali-kali ia mematikan Subali. Tapi begitu menyentuh bumi, Subali hidup kembali. Rahwana menyerah. Dan dengan tipu daya ia mau menjadi murid Subali. Karena sombong dan ponggah, Subali menyanggupinya. Tak berapa lama, Subali malah memberi raja Alengka ini sebagian dari Aji Pancasona.
Subali, bumi selalu setia pada janjinya. Tapi bumi dapat pula menangis karena telah menjadi milik kejahatan dunia. Tidakkah kau tahu, kejahatan dunia dengan demikian akan mendapat sifatnya yang abadi karena pemberian Aji Pancasonamu pada Rahwana" Keabadian hidup yang kau peroleh dari bumi dengan tapamu di Sunyapringga adalah hak dan milikmu. Adalah hakmu pula bila kau ingin memberikannya pada orang lain. Sayang, hak itu kau berikan kepada kejahatan. Maka Subali, hari ini pula pembalasan bumi kepadamu, kata Rama.
Dewa, ampunilah dosa-dosaku. Dan Rama, di hadapanmulah aku menyerahkan hidupku. Semoga dengan penyesalanku, dewa-dewa rela menerima aku. Sugriwa, abdikanlah dirimu dan seluruh balatentara kera kepada satria bijaksana ini. Ampunilah aku, Adikku. Aku minta pamit. Asuhlah anakku yang kini ada dalam kandungan Dewi Tara. Anggaplah dia sebagai anakmu sendiri. Bila lahir lelaki, berilah ia nama Anggada, rintih Subali menyayat hati.
Subali, percayalah, panah sakti Guwawijaya takkan membunuh orang yang tak bersalah. Maka terimalah akhir hidupmu hari ini. Berbahagialah dirimu, karena akhirnya kau telah menyesali semua tindakanmu, kata Rama.
Tangan Subali tidak tahan lagi memegang Guwawijaya. Demikian hebat dorongannya, sehingga Subali terayun-ayun di udara. Saat itulah Subali menjerit-jerit memanggil adiknya.
Adikku, Sugriwa, datanglah kemari! Sebelum aku mati, hendak kuberi kau seluruh Aji Pancasona yang kumiliki. Terimalah, Adikku, pinta Subali.
Tapi Sugriwa diam saja. Masih ragu-ragu hatinya. Tiba-tiba di angkasa ada kera seperti Sugriwa. Dengan mata berkaca-kaca kera ini memeluk Subali.
Kakakku Subali, terima kasih atas kebaikanmu. Aku sudah siap, terimakanlah Aji Pancasona bagiku, pinta kera itu. LasA rwah Subali melayang kembali ke kediamannya yang abadi.
Naik kereta awan berwarna hijau dedaunan. Dari gelang tembaga roda-rodanya. Sugriwa menatapnya, dengan tangis bunga padma.
Sugriwa, jangan kau bersedih hati. Karena penyesalannya, Subali sudah mendekati istana cahaya abadi. Di sanalah ia hidup di dunia dengan seribu matahari. Tiada guna kau menyesali Aji Pancasona yang tak kau dapati. Sudah menjadi kehendak dewa, kehidupan yang makin berat harus kau hadapi, kata Laksmana menghibur Sugriwa.
Malam lalu merambat pelahan. Ada kartika membentuk
kar para dewa turun dari langit. Awan-awan mengambang rendah, menambah kegelapan dunia. Guruh bersahut-sahutan. Semuanya hendak menghalangi Subali memberikan Aji Pancasonanya. Tapi sudah terlambat, seberkas cahaya ilahi putih kekuning-kuningan keluar dari kepala Subali masuk ke badan kera tadi. Di seberang sana seekor kera putih mencabut gunung raksasa hendak menimbunkannya ke kera itu. Panah Guwawijaya melayang sendiri dari sarungnya. Tapi semuanya sudah terlambat. Byar, suasana menjadi terang benderang. Dan lihatlah di udara melesat cepat seorang raja raksasa yang telah menerima Aji Pancasona. Ia adalah Rahwana, yang menyamar menjadi Sugriwa. Kini seluruh Aji Pancasona Subali telah menjadi miliknya.
Dengan hilangnya Aji Pancasona, Subali jatuh ke tanah. Tubuhnya membentur keras ke pertiwi. Tiada lagi ia dipeluknya. Subali mati untuk selama-lamanya. Panah Guwawijaya tertancap di dadanya.
senjata. Berjalan dia melewati jembatan dari mega merah. Pemandangan ini bergabung menjadi aksara wa. Dan malam pun menjadi aneka bunga.
Seekor anak kera putih berenang-renang dalam lautan bunga. Bertiris-tiris gerimis samirana kembang angsoka. Ombak lautan berkeburan dengan badai helai-helai daun kembang tunjung putih. Dan kera putih itu menganjrah-anjrah dengan sarwa sari-sarinya.
Datanglah anak-anak bajang bertelanjangan sepasang-sepasang membawa kembang mayang. Mereka membuat permata dari kembang jangga, dan mahkota dari bunga angsana. Dikalungkannya permata jangga ke leher anak kera, dan mahkota angsana ditaruh di kepalanya.
Sukacita menjadikan semerbak lautan bunga. Anak-anak bajang itu menggendong anak kera putih bagaikan rajanya. Bulan bermata matahari terhalang jalannya, sinarnya tersandung ke kaki bukit kembang mayang. Lalu redup-redupan cahayanya, ketika berpantulan dengan anak kera, pujaan anak-anak bajang, menjadi kuning-kuning jangga berlelehan dengan pundak-pundak angsana.
Anak-anak bajang itu lalu menyanyi, karena kera pujaan hatinya telah sanggup menaklukkan sinar raja malam dengan mata terang siang menjadi keindahan bunga-bungaan. Dan terdengarlah cenggaret berpanggil-panggilan, burung-burung cucur menyuarakan tetabuhan barungan, burung beluk dan dares mengengkuk-engkuk, suaranya bagaikan hening-heningnya ombak yang berbahagia ketika selesai perjalanannya lalu menyusu di pelukan teluk-teluk.
Kereta Subali terhenti oleh keindahan itu. Subali tertegun, ketika melihat anak kera dengan sorakan anak-anak bajang merambat melalui jembatan emas yang di bawahnya adalah lautan darah. Kartika yang membentuk senjata diraihnya, lalu dengan waspada dilemparkannya kartika itu ke samudera di bawahnya, dan berubahlah darah menjadi daratan bunga-bungaan. Di sana kerbau-kerbau, sapi-sapi, kambing-kambing, dan bantengbanteng merumput rerumputan bunga. Dan anak-anak gajah, singa, serta serigala minum susu-susu dari sari-sarinya, yang semerbak dengan sengat-sengat manis para bremara. Cacing dan kalajengking merambat di permadani-permadani hijau-hijau daun bunga, dan kelabang serta ular belang menyemburkan bisa-bisa aroma. Di rumah-rumahnya yang beratapkan bunga cempaka, katak-katak terkejut ketika merasakan sejuknya air bunga teratai di telaganya.
Rama, mengapa ada pemandangan seindah malam ini" tanya Sugriwa. Seperti Sugriwa, Laksmana dan balatentara kera Gua Kiskenda, Rama pun sedari tadi tenggelam dalam keindahan malam aneka bunga itu.
entahlah, Sugriwa, aku sendiri tak tahu, mengapa dalam keindahan itu juga ada kartika yang membentuk senjata, dan seekor kera putih memegangnya, dengan waspada merambat di jembatan emas, yang di bawahnya ada lautan darah. Aku tak tahu Sugriwa. jawab Rama.
Kembali terjadi keheningan. Dan tiba-tiba keheningan itu terpecah oleh peristiwa Subali turun dari kereta awannya, memeluk anak kera yang menjadi raja dari malam aneka bunga. Betapa mesra mereka berdua berpelukan, dipayungi lidi-lidi jantan anak-anak bajang. Maka lautan bunga pun tertawa dalam tempurung-tempurung bocor yang dibawa anak-anak bajang. Lalu mereka manyiramkan bunga-bungaan ke kedua kera yang sedang berpelukan. Dan melesatlah sang kera putih, seperti akan terbang ke Gunung Maliawan.
Sugriwa, berakhir sudah pemandangan indah yang menandai persaudaraan kita. sekarang, perkenankan aku bersama Laksmana kembali ke Gunung Maliawan. Puaskan rindumu pada kekasih hatimu, Dewi Tara. Kutunggu kau di sana, sampai saatnya dekat kita pergi ke Alengka, Rama minta pamit. Sugriwa mengucap terima kasih kepada Rama. Dan Rama
D i Gunung Maliawan, secercah harapan muncul dalam hati
Rama. Malam bunga padma, purnama bersandar di dada bukitbukit pegunungan. Pernahkah malam lelap dalam malam" Kencana malam, sedang bertetesan dalam rupa embun dingin Gunung Maliawan. Hinggap di ujung-ujung bunga tunjung, menjadi mata yang segar karena malam telah tertidur dalam malam.
Fajar meneguk kehangatan susu-susu purnama di bukit-bukit dadanya, sampai pucat wajah ibunda malam itu. Kenapa di hari sepagi ini seorang putri jelita sudah melipat tikarnya dari buah bana" Padahal diwangkara belum merah matanya.
Bagaikan boneka kencana, sang putri jelita masuk ke jumbai-jumbai pagi berupa rengga-rengga ratna. Bunga rajasa di tangannya. Ditaburnya alam sehingga pagi menjadi permadani.
Sang putri jelita terbenam dalam semak belukar. Matanya terpejam kelam, terdengar suara hati cemburuan dari sedu-sedan rintihan dedaunan fajar Gunung Maliawan. Ada makhluk berkepala bulan serupa bagaskara yang kehilangan terang memeluk sang putri jelita di balik lebatnya semak belukar. Menyerahkah sang putri jelita melihat sang makhluk yang dadanya merekah dengan nafsu birahinya"
Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laksmana, masih sucikah kakakmu Dewi Sinta" Bertahankah kedukaan di istana kemewahan dunia" Ah Sinta, palingkanlah kesetiaanmu pada kasih sayangku! kata Rama terbenam dalam lamunannya. Tiba-tiba hatinya ragu-ragu akan kesetiaan Sinta karena kerinduannya yang tenggelam hanya dalam lamunan belaka.
bersama Laksmana berangkat malam itu juga ke Gunung Maliawan. Kembali, satria Ayodya ini berada dalam kesunyian harapannya.
Laksmana diam saja. Tiada ia menjawab pertanyaan kakaknya, karena ia yakin akan kesucian Dewi Sinta. Diajaknya Rama mengalihkan lamunannya, supaya lewat hari-hari yang penuh duka dan digugahnya harapan di masa depannya.
Rama, kakakku, ada sesuatu yang lebih besar daripada kasih sayang sepasang lelaki dan wanita. Itulah kehidupan sendiri! Kasih sayang sepasang lelaki dan wanita adakalanya hanya riwayat yang akan tamat. Tapi kehidupan ini terus berjalan dalam musim-musim yang takkan berakhir. Sedangkan kehidupan sendiri mau memaafkan kesalahan seseorang yang mengharapkan masa depan, masakah kau, Kakakku, tidak percaya bahwa Dewi Sinta dapat menyimpan kesuciannya demi kebahagiaan yang akan tiba" Relakan dirimu untuk percaya, kini kehidupan memang sedang merenggutnya, sementara ia menjadi korban demi masa depan dunia. Sekaranglah saatnya kau harus lebih mengandalkan diri pada kepercayaan daripada kasih sayang. Pada saat begini singkirkanlah perasaanmu akan kasih sayang, sebab dunia sedang ingin akan pembebasan, yang hanya bisa diperoleh dengan darah, keberanian, dan pengorbanan. Di saat ini wanita bukanlah tumpahan rasa rindu, ia adalah harapan akan pembebasan masa depan, kata Laksmana meneguhkan keraguan kakaknya.
Seusai Laksmana mengucapkan kata-katanya, sekonyong-konyong ada terang dari langit. Batara Narada turun dari kahyangan. Dengan hangat Rama dipeluknya. Pagi masih juga belum tiba.
Rama, teguhkanlah hatimu! Jangan ragu-ragu hatimu. Sebentar lagi kau akan menghadapi perang besar melawan kejahatan. Bukan belaian yang mendampingimu, tapi sungai-sungai darah. Terimalah anugerah dewa ini. Inilah daun maosadi yang bisa menghidupkan kembali makhluk yang baik bila ia tewas dalam peperangan. Tanamlah daun ini di dekat Gunung Maliawan, pesan Batara Narada. Lalu secepatnya ia kembali ke kahyangan.
Hari berganti hari. Bulan tanggal makin tua. Sugriwa dan balatentara kera belum juga tiba. Padahal sudah masanya pancuran mas sumawur ing jagad (emas-emasan berjatuhan ke dunia). Berarti musim sedang berada dalam mangsa kalima (masa kelima), yang membawa kesegaran di mana-mana karena hujan deras senantiasa turun dari langit.
Laksmana, apakah Sugriwa lupa akan janjinya" Sudah lima bulan sejak pertemuan dengannya, kini ia tidak datang-datang jua, kata Rama penuh harapan.
Lima D i Gua Kiskenda, semarak dan pesta ria berlangsung tiada
habis. Sugriwa seakan lupa akan janjinya. Sehari-hari ia menikmati kegembiraannya, setelah Dewi Tara kembali lagi menjadi kekasihnya. Kera-kera diajaknya terus bersuka-suka merayakan kebahagiaannya.
Sugriwa, lihatlah burung-burung engkuk sedang beterbangan merambati bukit, memindahkan sarang-sarangnya. Dan dari jendela langit sana, mega-mega ingin jatuh melewati pancuran cahaya keemas-emasan karena matahari sebentar lagi meredakan sinar-sinarnya. Artinya, kini sedang masa kelima, sejak masa pertemuan Paduka dengan Sri Rama. Lupakah kau akan janji yang telah kau ucapkan di hadapannya" tegur Kapi Jembawan, kera tua bijaksana, abdi Sugriwa, yang kini telah menjadi raja.
Kapi Jembawan, serasa tiada puas-puasnya aku menikmati kegembiraanku bersama Dewi Tara. Lagipula, sebenarnya aku belum tahu di manakah Negeri Alengka. Jangan kau pedulikan perjalanan waktu yang telah menjadi masa yang kelima. Biarkanlah kutunda janjiku pada Sri Rama, jawab Sugriwa.
Maka Gua Kiskenda kembali menjadi pesta pora. Buah-buahan hutan dipetik, padahal belum masanya. Rumput katang-katang direbahkan menjadi permadani yan ditaburi bunga sridenta dan kembang wuri yang belum cukup usianya untuk bertebaran di tanah menjadi hiasan hijau-hijauan hutan. Kera-kera menarinari, mabuk air kelapa muda. Dan Sugriwa menjadi pongah setelah kebesaran memeluknya.
Sugriwa, lembu-lembu hutan turun, berjalan di celah-celah lembah-lembah mawar yang memudar layu warna helai-helai bunganya. Mereka menangis sedih, karena akan mati sebelum sempat dimandikan hujan yang sebentar lagi tiba. Hentikanlah pesta pora ini dan marilah kita berangkat ke Gunung Maliawan menemui Rama dan Laksmana, pinta Kapi Jembawan yang tak jemu-jemunya mengingatkan janji Sugriwa.
Kapi Jembawan, di manakah harus kutaruh mukaku berhadapan dengan Rama. Aku sungguh belum tahu letak Alengka, tapi dengan mudah aku menjanjikan akan menemukannya, kata Sugriwa.
Tanyakanlah pada balatentara kera, barangkali ada di antara mereka yang mengetahuinya, saran Kapi Menda.
Sugriwa berpaling pada para kera yang memenuhi pelataran Gua Kiskenda. Ia bertanya, tapi tak ada satu pun dari antara mereka yang tahu letak Alengka.
Sugriwa, biarlah kita berangkat ke Gunung Maliawan secepatnya, meski tiada di antara kita yang tahu letak Alengka. Rama dan Laksmana pasti sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan kita. Percayalah takkan mereka berdua menegurmu, asal kau mau lekas-lekas menjumpai mereka, kata Kapi Jembawan.
Baiklah, Kapi Jembawan. Kukira, kini aku harus menuruti saranmu itu. Moga-moga Rama dan Laksmana tidak marah karena aku menunda-nunda janjiku, kata Sugriwa. Lalu ia berpaling lagi kepada balatentara kera.
Hai para Kera, kiranya tak ada alasan lagi bagiku untuk
M atahari sudah menyibakkan selimut awan malamnya. Kejernihan cahaya matanya menembus awan-awan kelam yang mulai beterbangan. Kera-kera Gua Kiskenda terjaga dari tidurnya, ketika di ufuk timur langit bagaikan samudera menerpakan gelombangnya untuk menyegarkan ratu fajar yang masih malas meninggalkan kehangatan malam.
Kukila berkicau, dan anak-anak binatang rimba mulai berlarilarian. Penuh semangat, kera-kera pun bangkit meninggalkan
menangguhkan janjiku pada Rama. Biarlah esok kita berangkat ke Gunung Maliawan untuk menemuinya, meski belum kutahu letak Alengka. Sekarang mundurlah, dan persiapkan dirimu untuk berangkat esok pagi, seiring dengan terbitnya matahari, perintah Sugriwa.
Sangat gaduh keadaan rimba di sekitar Gua Kiskenda malam itu. Modar-mandir para kera mempersiapkan diri. Dipatahkanlah tangkai-tangkai pohon hutan untuk senjatanya. Dengan giginya, sebagian meruncingkan tangkai-tangkai itu seakan-akan ingin membuat pedang-pedangan. Kulit-kulit pohon dikelupasi, dibentuk menjadi tameng-tamengan.
Ada pula yang membuat tali-tali dari pelepah muda, lalu dililit dengan duri-duri mawar hutan. Maksudnya, untuk senjata bagaikan cemeti. Beramai-ramai mereka menganyam bakul-bakul, dan dipenuhilah bakul-bakul itu dengan aneka buah-buahan sebagai perbekalan.
Dua buah bintang bagaikan kalpika bader lumut dan lirang bang turun merendahkan diri. Dan kera-kera pun kelelahan tertidur dalam hijau-hijau telaga di tengah warna merah yang suram berkaca-kaca.
Gua Kiskenda menuju Maliawan. Kesunyian hutan tersentak, ketika para kera lewat berteriak-teriak.
Fajar para kera! Sentuh lemah cahayanya mendandani aneka warna bulu-bulu kera yang melewati rimba raya. Dan jalanan hutan pun bagaikan rangkaian bunga. Warna bulu para kera yang ungu dan kelabu, nila dan coklat muda, merah dan hitam menjadi nagapuspa yang indah merayap-rayap seiring dengan gerakan para kera yang naik-turun di jalanan hutan. Dari jauh amat indahlah pemandangan akan mereka. Dalam urut-urutan panjang berbaris mereka berjajar-jajar. Meliuk-liuk di punggung-punggung bukit. Bagai iring-iringan semut melewati batu-batuan.
Ketangkasan pemimpin-pemimpin mereka sangat kentara. Paling depan berjalan Sugriwa, raja kera yang sangat disegani bawahannya. Wajahnya berapi-api merah. Sebentar-sebentar ia menengok ke belakang, memberi perintah supaya balatentaranya mempercepat jalannya. Lalu Anggada, anak Subali, yang segera menjadi besar sesudah kelahirannya karena dimandikan dengan air gege yang sakti khasiatnya. Anggada yang kini menjadi anak angkat Sugriwa ini mengayun-ayunkan gadanya, dan balatentaranya pun bersemangat makin riuh.
Anila, putra Narada, dengan jenaka melompat-lompat dari pohon ke pohon. Tingkah laku kera gemuk dan pendek ini menjadikan hiburan tawa ria bagi balatentara yang kelihatan sudah lelah. Di barisan tengah, Kapi Menda, kera tua yang bijaksana serta Saraba, Gawaksa, Gawaya menjadi pimpinannya. Masih lagi sederet pimpinan kera, Danurdara, Subodara, Darimuka, dan Gandamendana. Tak kalah gagahnya adalah kera-kera pengangkut bahan-bahan perlengkapan yang dipimpin oleh Kala Wreksa, Mahendrajanu, Wreksaba, Dumagrawa.
Berhari-hari perjalanan balatentara kera. Dan dalam hari-hari itu betapa Rama dan Laksmana merindukan kedatangan mereka. Di pesanggrahannya yang sepi, tak henti-hentinya kedua satria itu berharap mereka segera tiba. Maka terkejutlah mereka ketika mendengar gegap-gempita di kaki gunung. Ternyata beribu-ribu balatentara kera sudah sampai di kaki Gunung Maliawan. Binatang-binatang rimba lari tunggang-langgang, burung-burung beterbangan, dan daun-daunan bertaburan, ketika dengan pekik gembira mereka naik ke punggung Gunung Maliawan. Rama dan Laksmana sangat kagum melihat kekuatan balatentara kera itu. Berdua mereka turun menyambut kedatangan mereka. Sorak-sorai kegembiraan dan kelegaan makin terdengar memekakkan telinga ketika para balatentara kera sudah sampai di pesanggrahan Maliawan.
Rama, saudaraku, maafkanlah aku yang terlambat datang karena menunda-nunda janjiku. Aku belum tahu di manakah letak Alengka, tempat kekasihmu Dewi Sinta disembunyikan Rahwana, itulah sebabnya aku belum berani datang ke hadapanmu, kata Sugriwa terbata-bata.
Sugriwa, memang lama kutunggu kedatanganmu. Jangan kau merasa malu. Aku sudah merasa bahagia, karena akhirnya kau dan balatentaramu datang juga ke Maliawan, sahut Rama tersenyum gembira.
Padamu, Rama, kuhaturkan semua balatentara kera ini. Kini kami semua berada di bawah perintahmu. Semoga kau dengan senang hati menerima bantuan kami ini, kata Sugriwa lega, setelah ternyata Rama tidak menegurnya.
Sugriwa, terima kasih kuucapkan padamu. Tak terbilang rasa syukurku bahwa aku dapat bersaudara denganmu dan memperoleh bantuan berupa prajurit kera yang gagah perkasa ini. Sekarang perintahkanlah agar mereka beristirahat, tentu mereka lelah dalam perjalanan panjang dari Gua Kiskenda ke Maliawan, kata Rama lagi.
Para kera ternyata tidak mau beristirahat. Saling berdesakan mereka ke muka, ingin menatap wajah junjungannya. Berisik suara mereka dan kegaduhan terjadilah, karena mereka saling berebut tempat, mendesak-desak sedekat mungkin ke hadapan junjungannya.
Menjelang sore hari, Rama menyelenggarakan pertemuan agung dengan para kera. Satria Ayodya ini nampak agung duduk di pesanggrahannya, di hadapannya ribuan kera bersila melimpah-limpah. Pepohonan menjadi payung yang menaungi mereka bagaikan mendung. Hutan sedang menyambut kedatangan musim bunga, karena hujan yang sebentar lagi tiba, dan harumlah suasana dengan kesturi bertebaran dengan sari-sari.
Keheningan mencekam, dan kera-kera terdiam. Alam pun seakan tahu, kini sedang berlangsung pertemuan agung. Maka tiada suara di sekitarnya. Bahkan belalang-belalang yang melompat-lompat pun tak terdengar suaranya pula. Daun-daun tidak bergerak, angin seakan tidak berjalan. Hanya di pohon beringin sana berkicau burung jalak, menyanyi bersama burung kutilang dan kepodang, tapi suaranya hanya terdengar sayup-sayup, tertelan dalam kesunyian menjadi irama keheningan.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan. Kera-kera berisik, menoleh ke belakang berbisik-bisik. Mereka terkejut. Seekor kera putih mendadak muncul di belakang mereka. Mereka memandang bertanya-tanya, siapa gerangan kera itu yang berbulu lain sama sekali dari mereka" Selama ini tak pernah terlihat kera berbulu putih di antara mereka. Sugriwa pun terkejut melihat kedatangan kera yang asing itu.
Hai Kera Putih, betapa tidak tahu adat dirimu. Tidakkah kau tahu kini sedang berlangsung pertemuan agung, di mana junjungan kami Sri Rama akan berbicara" Selama ini tak pernah kulihat dirimu berada di antara kami, pantas kalau kau tidak mempunyai adat seperti kami, kata Sugriwa marah, melihat kedatangan kera putih yang mengganggu keheningan suasana pertemuan agung.
Rama, biarlah kuperintahkan beberapa kera untuk menyeret kera putih itu keluar. Sangat memalukan kelakuannya, kata Sugriwa lagi sambil berpaling kepada Rama.
Sugriwa, biarlah kera putih itu duduk di situ. Aku tidak merasa terganggu oleh kedatangannya, balas Rama sabar.
Sugriwa yang panas hati pun untuk sementara menjadi reda amarahnya. Suasana menjadi hening kembali, dan mulailah Rama berkata-kata.
Dengarlah hai para kera, hari ini aku ingin mengirim duta ke Alengka. Tiada ringan tugas duta terpilih nanti. Ia harus mencari Negeri Alengka, tak seorang pun dari kita tahu tempatnya. Lalu ia harus menjelajah negeri Rahwana itu untuk memeriksa keadaannya. Dan aku menginginkannya agar ia bisa menceritakan keadaan Dewi Sinta sekembalinya dari Alengka, kata Rama.
Kera-kera itu mendengarkan kata-kata itu dengan saksama. Dan keadaan menjadi hening.
Siapakah dari kamu semua yang sanggup kupilih menjadi duta" tanya Rama kemudian.
Hamba, Anila sanggup Baginda, kata Anila melakukan sembah.
Berapa lama kau butuhkan untuk sampai kembali ke Gunung Maliawan ini, Anila" tanya Rama.
Hamba membayangkan tiada mudah menemukan Negeri Alengka. Berilah hamba waktu tiga bulan untuk bertugas sebagai duta, jawab Anila. Belum habis Anila berbicara, Anggada bangkit menyanggupkan dirinya.
Tiga bulan terlalu lama buat Baginda yang dirundung rindu akan Dewi Sinta. Ijinkanlah hamba menjadi duta ke Alengka, dalam waktu sebulan hamba pasti sudah tiba kembali ke Maliawan, kata Anggada dengan sombong.
Sunyi-senyap keadaan. Para balatentara kera menunggu tidak sabar. Tapi Rama belum juga menjatuhkan pilihan. Sementara matahari sudah kemerah-merahan, ingin terbenam. Mata Rama tertuju ke kera putih yang baru datang, duduk terdiam di belakang. Dengan penuh hormat, mata sang kera putih itu membalas pandangan Rama.
Hai Kera Putih, nampak kau ingin berkata-kata. Majulah ke depan, dan katakan isi hatimu padaku, perintah Rama.
Rama, aku dan balatentara kera belum pernah mengenal kera putih ini. Kenapa kau memanggilnya. Sama sekali belum terbukti keunggulannya. Jangan kau dikecewakan olehnya, tegur Sugriwa.
Biarlah Sugriwa, menjadi hak untuk setiap kera di sini menanggapi tawaranku. Jangan kau halangi dia, kata Rama. Dan sambil berpaling ke arah para kera ia berkata, Hai para kera, berilah jalan kepada kera putih yang duduk di belakang itu. Biarlah dia maju ke hadapanku.
Para kera beringsut-ingsut minggir, mempersilakan kera putih ke depan. Dan mengendap-endaplah kera putih itu, lalu melakukan sujud di hadapan Rama.
Apa yang hendak kau katakan, hai Kera Putih" tanya Rama.
Baginda, hamba hendak mengatakan kesedihan hamba. Bila Baginda berkenan, hamba sanggup menjadi duta ke Alengka. Saat ini sedang lingsir kulon diwangkara (matahari sedang terbenam ke barat, artinya hari menginjak senja). Pada lingsir kulon diwangkara esok hari, hamba sanggup untuk sudah tiba kembali ke hadapan Baginda, kata kera putih dengan sepenuh hati. Belum sempat Rama menjawab, Sugriwa geram luar biasa.
Hai Kera Putih, betapa lancang mulutmu! Kami belum mengenal sama sekali kesaktianmu, kau sudah membual seenaknya. Tariklah kembali kesanggupanmu itu, jangan kau permalukan aku di hadapan junjunganku. Sedang Anggada yang sakti seperti kakakku Subali hanya sanggup dalam sebulan, kenapa kau kera putih yang belum pernah kudengar kabar beritamu, begitu gegabah mengucapkan janji" Kuusir kau dari pertemuan yang agung ini, kalau tidak kau tarik kata-katamu tadi! bentak Sugriwa marah.
Semata-mata hamba hanya menyatakan keyakinan hamba, sahut Anoman dengan rendah hati.
Diam kau, hai kera kurang ajar... Sugriwa belum sempat melanjutkan makiannya, dan Rama sudah mencegahnya.
Sugriwa, jangan kau turuti kemarahanmu. Biarlah kutanya kera putih ini. Tidakkah aku belum selesai berbicara padanya, tegur Rama.
Hai Kera Putih, sesuai dengan kata-katamu tadi, jadi kau berjanji akan menyelesaikan tugasmu sebagai duta ke Alengka hanya dalam sehari saja" tanya Rama, yang sebenarnya juga tak mengira sama sekali akan keberanian kera putih itu.
Demikian kesanggupan hamba, Baginda, jawab kera putih itu tanpa keraguan.
Para kera terkejut mendengar ketegasan janji kera putih yang asing itu. Sebagian mereka mencemooh keberanian tanpa perhitungan itu. Sebagian lagi jengkel atas ucapan kera putih yang belum terbukti sama sekali. Anggada, anak Subali, merasa dirinya direndahkan. Ingin rasanya ia menantang kera yang berucap sembarangan itu. Dan Sugriwa menjadi makin geram, mukanya merah padam, setelah mendengar ketegasan kera putih itu.
Sugriwa, dan semua balatentara kera, jangan kalian mencela keberanian kera putih ini. Kita harus kagum akan kesanggupannya, tidakkah di antara kalian tiada yang sesanggup dia" kata Rama yang dapat membaca isi hati para kera.
Hai kera putih, siapakah dirimu sebenarnya" tanya Rama.
Hamba Anoman, anak Retna Anjani, adik Paman Sugriwa dan Subali, jawab kera putih.
Sugriwa, ternyata kera putih ini adalah keponakanmu sendiri, kata Rama lagi. Sugriwa tak mempedulikan kata-kata Rama, ia menjadi naik darah, merasa dipermainkan di hadapan Rama. Segera dilabraknya kera putih itu.
Bohong kau, hai Kera Putih! Kapan aku mempunyai keponakan seperti dirimu. Retna Anjani belum pernah bersuami. Dan barangkali adikku yang tercinta itu sudah lama mati, karena tapa nyantuka-nya yang berat sekali untuk memulihkan diri. Jangan kau mengada-ada hai kera putih. Kuhajar kau nanti, bentak Sugriwa berapi-api. Dan padamu Rama, aku meminta, jangan kau percaya pada bualan kera celaka ini, kata Sugriwa, tanpa sadar ia membentak-bentak, padahal kini sedang berlangsung pertemuan agung yang khidmat.
Sugriwa, jangan kau terburu marah dan tidak percaya. Siapa tahu kera putih ini akan membawakan berkah bagi kita" Dan kau Rama, kakakku, tanyailah dia lagi dengan sabar hati, sela Laksmana yang dari tadi berdiam diri. Rama menuruti permintaan adiknya, dan dengan tenang ditatapnya kera putih yang mengaku diri Anoman itu.
Anoman, sungguhkah kau anak Retna Anjani, adik Sugriwa"
Benar, Baginda. Waktu kecil hamba ditinggalkan ibu hamba pulang ke alam kemuliaannya, setelah beberapa saat merawat hamba. Sejak saat itu, hamba menjadi sebatang kara. Dari rimba ke rimba hamba mengembara, dan seperti ajuran ibunda hamba, hamba tak henti-hentinya melakukan tapa, supaya dewa-dewa berbelas kasih pada hamba, kata bunda hamba, hamba mempunyai dua paman, Subali dan Sugriwa namanya. Hamba mencari-cari kedua paman hamba, tapi lama hamba tiada menemukannya.
Lalu siapakah yang menunjukkan jalanmu kemari, dan apa gerangan yang membuatmu yakin bahwa di tempat ini kau akan bertemu dengan pamanmu Sugriwa"
Hamba mengetahuinya lewat mimpi, Baginda. Mendengar jawaban Anoman ini, Sugriwa yang dari tadi terpaksa mencoba menahan diri, kini tak dapat lagi menguasai ledakan amarahnya.
Mimpi, mimpi. Kau mungkin kera pemimpi, hai Kera Putih. Siapakah percaya pada impianmu. Jangan kau mencoba beromong kosong lagi. Dan jangan kau kira, aku akan percaya, hanya karena mimpimu yang konyol itu, kata Sugriwa. Rasanya sudah tidak sabar lagi ia untuk mendepak kera putih itu pergi, meski Rama sedang berada di dekatnya.
Sugriwa, sekali lagi, kuminta kau berdiam diri. Aku masih ingin berkata-kata dengan Anoman ini, tegur Rama dengan nada agak keras daripada biasanya.
Anoman, mimpi apa gerangan yang membimbingmu kemari" tanya Rama lagi.
Dalam malam yang menjadi aneka bunga, hamba melihat kartika yang membentuk aksara wa. Di hadapan hamba, seekor kera tua naik kereta awan. Kereta itu terhenti, terhalang oleh lautan darah, sedangkan hamba tiada merasa terhalang sama sekali olehnya, malah bagi mata hamba serasa ada jembatan emas yang mudah hamba lalui. Kera tua itu terkejut, dan ketika sampai di hadapannya, hamba dipeluknya dengan mesra. Betapa bahagia hamba, ketika kera tua itu memperkenalkan dirinya sebagai paman hamba, Subali. Lalu ia memerintahkan hamba untuk pergi ke bukit Maliawan, dan di sanalah hamba akan bertemu dengan paman hamba, Sugriwa, yang kini sedang mengabdikan diri pada Ramawijaya, tutur Anoman.
Sugriwa, masihkah kau ingat pemandangan malam indah dulu, yang menandai persahabatan kita" Tidakkah di sana kita terkejut karena melihat Subali turun dari keretanya, lalu dipeluknya seekor anak kera putih yang menjadi raja dari malam bunga-bungaan" Pemandangan indah itu berakhir, ketika langit seakan pecah karena ada cahaya berupa kera putih yang melesat laksana anak panah ke arah Gunung Maliawan. Sugriwa, arwah kakakmu Subali mengenal kera putih ini sebagai keponakannya, anak Retna Anjani, adiknya yang tercinta. Arwah Subali-lah yang telah mempertemukan Anoman dengan dirimu, sebagai pamannya. Masihkah kau tidak percaya, Sugriwa" kata Rama.
Hadirin terharu mendengar cerita Anoman dan kata-kata Rama itu. Dan Sugriwa pun mulai percaya, meski belum yakin sepenuhnya. Ia masih ingin melihat, sampai di manakah kesaktian Anoman, sehingga pantas menjadi keponakannya.
Namun ia tidak berani untuk mengatakan keraguannya di hadapan Rama.
Anoman, adakah kau tahu, apa gerangan makna dari kartika yang berjalan lewat jembatan darah, sehingga dalam malam aneka bunga pada mimpimu itu terbentuk aksara wa" tanya Laksmana, yang ternyata sangat mengagumi Anoman.
Menurut hemat hamba, aksara wa itu menerangkan, bahwa kini sudah saatnya kita wani (berani). Dan kartika itu adalah senjata keberanian kita. Dan karena ada jembatan yang di bawahnya sungai darah, di mana ia melewatinya maka aksara wa itu berarti wot (jembatan) di mana kita harus berjalan dengan waspada (berhati-hati). Hanya hamba tidak mengerti, mengapa mesti pemandangan itu menuntun perjalanan hamba kemari" kata Anoman.
Anoman, syukurlah kau bisa menerangkan makna dari pemandangan itu. Sejak malam itu, aku senantiasa memikirkannya, tapi aku tak mengerti juga. Kau bertanya, mengapa pemandangan indah itu menuntunmu kemari. Maknanya bukan hanya diberikan bagi dirimu, tapi bagi kami semua yang ada di Maliawan ini. Dengan demikian, mungkin kini sudah saatnya kita berani, waspada, dan tidak takut darah. Kiranya sangat tepat bagi kita, yang mungkin sebentar lagi harus menghadapi peperangan dengan Alengka, kata Laksmana sambil mengucap terima kasih.
Hadirin mendengar kata-kata itu dengan penuh perhatian. Dan Rama seperti dibangkitkan semangatnya. Di hadapannya seakan sudah terjelma perang besar menghadapi Rahwana. Dan ia serasa diingatkan oleh kata-kata yang pernah diucapkan Laksmana, bahwa tujuan perang besar itu bukan semata-mata untuk merebut kembali kekasih hatinya, Dewi Sinta, tapi mengalahkan angkara murka.
Anoman, mendekatlah kemari. Sungguhkah kau sanggup untuk menjadi dutaku dan menyelesaikan tugasmu dalam sehari saja" Apakah bekalmu sampai kau menyanggupkan diri seperti itu" Apakah kau memang sakti tiada tara" tanya Rama untuk menguji keteguhan hati Anoman kembali.
Tiada hamba sakti, Baginda. Hamba hanya percaya akan Hyang Widi Wisesa yang akan menuntun perjalanan hamba dalam tugas yang mulia ini, jawab Anoman. Sama sekali ia tidak memamerkan kesaktiannya, meski ia telah mendapatkannya dari para dewa karena tak jemu-jemunya ia bertapa selama pengembaraannya.
Rama makin kagum. Dan kini ia benar-benar yakin akan keteguhan hati kera putih itu. Mendengar jawaban Anoman tadi, ia tidak ingin bertanya-tanya lagi.
Baiklah Anoman, kuangkat kau sebagai duta. Dalam sehari kuharapkan kedatanganmu kembali, kata Rama. Matahari belum terbenam, tapi setangkai tunjung putih (lambang kejujuran satria sejati) sudah muncul di timur, ketika Rama menyerahkan kepercayaan pada Anoman untuk menjadi dutanya. Anoman terdiam, penuh terima kasih.
Anoman, bawalah cincinku pada Dewi Sinta. Mintalah ia memakainya. Dan perhatikanlah, bila cincin ini tiada mengeluarkan cahaya putih ketika dikenakan di jari manisnya, lekaslah kau kembali, sebab sia-sialah aku merebutnya kembali, karena ia sudah tidak suci lagi, kata Rama berpesan. Hadirin terharu mendengar pesan Rama ini. Hanya Laksmana yang sedih hatinya, ia menyesal mengapa kakaknya masih juga bimbang hatinya akan kesucian kekasihnya. Namun ia menahan semuanya itu dalam ketenangannya.
Anoman, mari kuangkat kau dalam telapak tanganku. Hendak kutahu seberapa besar daya kesaktianmu, kata Rama sambil menaruh Anoman di telapak tangannya.
Dan lihatlah, kasihan keadaan kera putih ini. Ia tertidur di telapak tangan Rama. Matanya terpejam. Bibirnya tersenyum bahagia. Nafasnya berjalan seiring dengan angin yang menerpa bunga kemuning. Anoman bermimpi ke negeri yang harum bau bor"h anak bayi. Ada senandung seorang ayah di telinganya.
A noman mengusap matanya. Masih terasa kehangatan seorang
ayah di sekujur badannya. Angin yang lengang turun dari puncak Gunung Maliawan. Menyapa lemah di telinga seekor anak kera yang sedang berkhayal merindukan seorang bapa.
Mengapa impianku cepat terjaga" Mengapa keadilan menjadikan nasib yang berbeda-beda" Bagiku dunia hanyalah tempat meratapkan harapan seekor kera sebatang kara. Kenapa dunia yang sama memberi makin banyak kegembiraan dan kebahagiaan bagi manusia yang sebenarnya sudah kenyang dengan anugerah daripada seekor kera" Anoman melamun.
Ketika itu matahari sedang berjalan ke peristirahatannya. Anoman berjalan pelan, tiba-tiba berdiri seekor kera merah menghadangnya. Ia adalah Anggada. Atas perintah Sugriwa, ia menyusul Anoman untuk mencegahnya menjadi duta. Kera putih tak tahu diri. Pulanglah kembali makan buahJangan terjaga kau hai anakku, mari terbang ke negeri sana, di mana susah dan derita tiada nafasnya, ayahmu selalu menciummu, mengantarmu tidur ke musim bunga dengan kumbang-kumbang yang menyelam di hatinya, jangan kau terjaga hai anakku, selagi ayahmu di samping tidurmu. Anoman memang belum pernah merasakan belaian seorang ayah. Tangan Rama bagaikan kehalusan hati seorang ayah yang selalu didambakannya.
Anoman, kau tertidur Anoman. Bagaikan anak bayi kau merasakan belaian. Berjagalah kau, Anoman, tugasmu yang berat sudah menunggu di ambang pintu, kata Rama terharu. Ia seakan bisa merasakan apa yang diinginkan Anoman. Tapi kemudian dilemparkanlah Anoman sekuat tenaga. Sang kera putih ini melesat di udara, jatuh di luar Gunung Maliawan.
buahan hutan. Jangan kau membuat bangsa kera malu! Akulah yang sepantasnya menjadi duta junjunganku. enyahlah kau, kalau tidak kuhajar kau sekarang juga, kata Anggada membentak-bentak.
Anggada, kau kira aku mencari kehormatan dengan menjadi duta" tanya Anoman.
Bedebah kau, Kera Putih! Masihkah kau mengguruiku dengan kebodohanmu itu" enyahlah sebelum kuhajar mulutmu! bentak Anggada.
Sabarlah, Anggada. Aku hanya menjanjikan kesanggupanku. Apabila Prabu Rama tidak memilihku, aku rela untuk tidak menjadi duta, kata Anoman lagi.
Tutup mulutmu, teriak Anggada. Segera ia menyerang Anoman, giginya berkerut-kerut melampiaskan kemarahannya. Sejenak Anoman tersungkur di tanah. Dibiarkanlah Anggada menghajarnya sesuka hatinya. Tiada kera putih ini membalasnya.
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 19 Pendekar Naga Putih 97 Pembalasan Topeng Tengkorak Monte Cristo 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama