Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata Bagian 4
Anoman, jangan kau kira aku kera ingusan. Berulang kali aku memukulmu, belum juga kau membalasnya. Pukullah aku, takkan bergetar sedikit juga badanku. Pukullah, Kera Putih! tantang Anggada.
Anggada, masakan terhadap saudara sendiri aku harus memukul. Ijinkanku untuk memulangkanmu ke hadapan Paman Sugriwa yang kini tentu mencari-carimu, balas Anoman ramah.
Kera putih ini tidak memukul saudaranya. Ia hanya melilit Anggada dengan ekornya. Demikian halus lilitannya, sehingga Anggada tidak merasa terjepit sedikit jua. Lalu dengan daya luar biasa, Anoman menggerakkan ekornya. Diputarnya badannya sambil melemparkan Anggada dengan kekuatan ekornya. Anggada terlepas dari ekor Anoman, melayang cepat seperti tertiup angin, terus jatuh terduduk di hadapan Sugriwa, ayah angkatnya.
Matahari makin bergeser ke arah timur. Anoman melanjutkan perjalanannya. Gunung Maliawan sudah tertinggal jauh di belakangnya. Ia belum tahu di manakah Negeri Alengka. Namun hatinya belum terlalu resah, masih terlalu besar harapannya akan menemukan Dewi Sinta. Kera Putih ini melompat dari pohon ke pohon, hingga makin cepat pula perjalanannya.
Tak lama kemudian, ia sampai di sebuah dataran luas. Terang suasananya, burung-burung beterbangan bebas di udara, karena tiada lagi pohon-pohon hutan yang besar-besar menghalanginya. Di tengah daratan itu ada pondok kecil mungil. Indah dan rapi kelihatannya. Sebuah sungai kecil yang jernih gemericik di pintu halamannya. Anoman terkejut, tiba-tiba keluar seorang wanita cantik, lemah gemulai jalannya.
Hai Kera, mampirlah ke rumahku. Hari sudah sore, masihkah kau ingin melanjutkan perjalananmu" Selepas daratan ini kau akan menjumpai hutan lebat yang tak mudah dilalui. Bermalamlah di rumahku sampai esok pagi, sapa wanita itu ramah.
Wanita, andaikan aku tidak terburu-buru, kusempatkan diriku untuk mampir ke rumahmu. Namun, barangkali kau tahu, di manakah letak Negeri Alengka" kata Anoman tak tahan hatinya untuk berhenti mengagumi kecantikan wanita itu.
Ah Kera, sering aku ke negeri yang kau cari itu. Tidak jauh dari sini letaknya, seperempat hari perjalanan kau sudah bisa sampai ke sana. Masuklah sebentar, akan kutunjukkan padamu jalan ke Negeri Alengka itu, ajak sang wanita makin ramah.
Anoman lega hatinya. Tiada ia menduga, sedemikian mudah ia menjadi tahu letak Negeri Alengka. Malah ia sempat menjumpai wanita cantik yang ramah. Tanpa ragu-ragu, ia masuk ke dalam rumah yang indah di daratan luas ini.
Siapakah kau, hai Wanita, yang diam sendiri di dataran sunyi ini" tanya Anoman. Ia makin percaya, lalu memperkenalkan dirinya sebagai duta Rama ke Alengka.
Aku Sayempraba. Ayahku seorang pertapa yang sudah lama berpulang meninggalkanku. Makanlah buah-buahan ini, tentu kau lapar karena perjalananmu yang panjang. Sebentar kupergi ke sungai untuk mandi, sebelum matahari terbenam, kata wanita bernama Sayempraba itu.
Anoman terpesona, betapa Sayempraba tidak malu-malu untuk berganti kain di hadapannya. Seakan-akan tiada makhluk lain yang melihatnya. Sayempraba mengenakan kain seadanya untuk mandi di sungai sore hari. Sangat indah dan molek badannya. Ia membawa harum-haruman semerbak menusuk hidung.
Di sungai depan rumahnya, Sayempraba melepas kain. Ah, siapakah yang tidak tertarik, melihat tubuh yang halus disiram air sungai yang bening dan segar. Matahari pun seakan menghentikan langkahnya, meski sudah ingin cepat tiba di peristirahatannya, ketika melihat sang wanita mengundangnya dengan tubuhnya yang jelita. Apalagi buat seekor kera yang merindukan manusia. Dan siapakah tidak tergiur hatinya, menyaksikan seorang wanita yang berbuat seakan menantang perbuatan asmara, tanpa penghalang sedikit jua di kulitnya yang segar meski matahari sedang pudar" Dan lihatlah, betapa Sayempraba ingin mempersembahkan kenikmatan pinggangnya bagi sepasang mata yang dari tadi asyik menginginkannya.
Anoman tidak merasa matahari sedang mempercepat langkahnya untuk terbenam di ufuk barat. Tinggal sedikit cahayanya. Bunga-bunga tersenyum kepada kekasih hatinya yang ingin tidur meninggalkannya. Maka hari pun senja. Dan makin memikatlah kemolekan tubuh Sayempraba di jamah sinar lemah merah-merah.
Riak sungai menerpa betis Sayempraba yang telanjang indah. Dan betapa sungai yang jernih itu menjadi kaca bagi tubuhnya yang kini tanpa selembar kain jua. Awan senja yang muram bergerak naik-turun, menjadi mendung yang melindungi rambut Sayempraba yang mengurai basah. Dan betapa Anoman terpesona, ketika Sayempraba tanpa malu-malu memercikkan air sungai ke buah dadanya yang segar karena
tertimpa cahaya temaram, seakan-akan hendak dipersembahkan kepada Anoman.
Anoman mendekatinya. Sayempraba membiarkan dirinya dipandangi oleh mata birahi. Dan rasakanlah semerbak harum bunga kenanga keluar dari Sayempraba masuk ke dalam mata Anoman. Sejenak mata Anoman sempat menikmati tubuhnya yang molek. Sejenak ia masih bisa melihat cahaya redup dari mata sang surya yang sebentar lagi mengatup. Hanya sejenak saja. Kemudian gelap terasa. Dan Anoman pun menjadi buta.
Bukan main kagetnya Anoman. Ia sudah tidak dapat melihat apa-apa lagi. Meraba-raba ia dalam kegelapan. Burung cucur menangis menyesalkannya. Anoman telah tergoda oleh kemolekan tubuh seorang wanita. Ia belum tahu letak Alengka, padahal matanya sudah buta.
Sekarang sudah benar-benar lingsir diwangkara (matahari sudah terbenam seluruhnya). Tinggal sedikit sisa hari yang dijanjikannya kepada Prabu Rama. Sedih dan menyesal hati Anoman. Malu dan putus asa harapannya. Berjalan tanpa tahu arah, ia tersandung batu-batuan, lalu tersungkur di tanah.
Oh Dewa, sedemikian mudahkah janjiku tergoda oleh wanita" Di mana aku harus menaruh mataku kepada junjunganku" Dewa, bunuhlah aku malam ini. Menjadi arwah penasaran pun aku rela, daripada harus hidup menanggung malu seperti ini, ratap Anoman.
Anoman sudah benar-benar putus harapan. Dalam kegelapan dirabanya sebuah batu besar. Malam terbenam dalam malam. Dengan hentakan luar biasa, kepalanya diayunkannya ke batu besar di hadapannya. Sebelum kepalanya membentur batu, secepat kilat ia disambar burung raksasa, dibawa terbang ke udara.
Tak lama kemudian, Anoman diantarnya ke bumi lagi. Kera Putih ini masih gemetar, dicarinya pegangan. Tanpa sengaja ia memeluk leher sang burung raksasa. Dan ia merasa, burung itu tidak mempunyai bulu-bulu lagi.
Anakku, hidup ini tak mengenal waktu. Terhadap kematian pun ia tak mau menyerah. Mengapa kau justru ingin menyianyiakannya" tanya burung raksasa itu.
Hai Burung, patuklah aku lalu hempaskanlah badanku ke batu-batuan sampai hancur lebur. Atau bawalah aku dengan cakarmu, lalu jatuhkanlah aku dari udara, supaya tubuhku rata dengan tanah. Lebih baik aku mati daripada hidup menanggung malu, pinta Anoman. Kera Putih ini lalu menceritakan kegagalannya sebagai duta Prabu Rama karena godaan Sayempraba. Sambil bercerita, Anoman memeluk leher burung yang gundul bulunya itu.
Putra Anjani, aku sudah tua dan jelek rupa. Penderitaan sudah kutanggung amat lama. Kau rasakan bukan, betapa buluku sudah habis semuanya. Bila malam, aku kedinginan. Siang, aku kepanasan. Sebenarnya, aku lebih berhak untuk mati daripada kau yang masih muda dan gagah ini. Tapi kutahan hidupku karena aku masih merindukan untuk bertemu dengan junjunganku Ramawijaya. Dan kau, Anakku, masakan kau yang masih muda, apalagi kini kau bertugas sebagai duta Ramawijaya, begitu mudah berputus asa" tegur burung gundul itu.
Siapakah kau sebenarnya, hai Burung" tanya Anoman penuh harapan.
Aku Sempati, adik raja burung Jatayu, yang mati oleh Rahwana karena mencoba merebut Dewi Sinta. Dulu aku juga berperang dengan raja raksasa yang jahat itu. Waktu itu Rahwana membunuh Begawan Rawatmeja untuk merebut istrinya yang cantik bernama Dewi Sukasalya. Lalu Rahwana mengejar-ngejar Dewi Sukasalya yang mencoba melarikan diri. Aku datang dan menghajar raja berhati busuk itu. Tapi aku kalah, karena marah ia tidak segera membunuhku, melainkan menyiksa aku dengan mencabuti semua bulu-buluku. Dalam keadaan setengah sadar karena kesakitan, kuminta Dewi Sukasalya mencabut sehelai buluku. Dengan bulu itu, kusuruh ia terbang ke Negeri Ayodya.
Rahwana tidak dapat mengejarnya, karena dengan bulu itu Sukasalya dapat terbang secepat kilat. Atas anjuran dewa, raja Ayodya, Prabu Dasarata memperistrikannya. Maka lahirlah junjungan kita Prabu Ramawijaya. Kuharap dia, karena hanya putra Sukasalya inilah yang dapat membunuh Rahwana. Namun barangkali sudah menjadi kehendak Dewa, aku takkan bertemu dengan Rama. Cukuplah bagiku untuk bertemu dengan utusannya, supaya aku lega karena akhirnya hari pembalasan kejahatan akan segera tiba. Maka betapa sedih hatiku, melihatmu sebagai dutanya yang berputus asa, cerita burung yang bernama Sempati itu. Anoman kagum akan ketabahan burung yang sudah lama menderita ini.
Tapi Sempati, bagaimanakah aku bisa melanjutkan tugasku dalam keadaan buta seperti ini" tanya Anoman.
Kera Putih, masih lebih besarkah harapanmu daripada penyesalan akan kegagalanmu" Sempati balas bertanya. Anoman seakan terjaga dari keputusasaannya, dan ia mengiyakan pertanyaan burung itu.
Anoman, kau berangkat sebagai duta hanya berpegang pada kepercayaan bahwa Hyang Widi Wisesa akan menuntun perjalananmu. Mekarkanlah kepercayaanmu dulu dalam kegelapan matamu kini. Dan percayalah, matamu akan terbuka lagi, kata Sempati. Ia lalu membelai mata Anoman dengan paruhnya. Ada cahaya bulan merambat ke lembah-lembah, dan Anoman melihatnya. Matanya telah terang seperti semula. Tak terbilang rasa terima kasih Kera Putih ini.
Anakku, pengampunan Hyang Murbeng Jagad ini selalu lebih besar daripada kesalahan manusia, asal ia menyesalinya. Belajarlah kau dari pengalamanmu yang menyedihkan itu. Camkanlah ini, sementara sebagai duta mulia, kau harus nutupi babahan hawa sanga (menutupi pintu hawa nafsu yang jumlahnya sembilan: dua lubang telinga, dua lubang hidung, dua lubang mata, lubang mulut, lubang pembuangan, dan lubang kelamin). Maksudnya, tak lain tak bukan adalah ora makerti (tak mau tahu akan godaan nafsu). Jadi, teguhkan dirimu untuk berbuat ana rupa ora dinulu, anak ganda ora ingambu, ana swara ora rinungu (ada rupa jangan ditatap, ada aroma jangan dicium, ada suara jangan didengar, dan seterusnya). Tidakkah, hanya karena nafsu kau jatuh ke dalam godaan wanita Sayempraba" kata Sempati.
Anoman, berangkatlah sekarang juga. Masih banyak hari-harimu, bila kau tetap percaya. Hati-hatilah terhadap para prajineman (raksasa halus) milik Rahwana. Ketahuilah, Sayempraba adalah salah satu dari prajineman itu. Para prajineman itu selalu berusaha dengan segala cara untuk menggagalkan orang yang mau mengalahkan Rahwana. Tugasmu menjadi lebih berat, karena Alengka kini tahu akan datang duta, berkat berita prajineman Sayempraba, lanjut Sempati lagi.
Tapi, bisakah kau, hai Burung yang baik hati dan mulia, menunjukkan jalan ke Alengka" tanya Anoman.
Masihkah kau bertanya Anoman" Aku sendiri tak tahu, kepercayaanmu sendirilah yang tahu, jawab Sempati.
Anoman terdiam. Namun harapannya berenang dalam lautan bulan. Segalanya seperti terang. Dipeluknya Sempati dengan penuh kepercayaan. Dalam sekejap bulu Sempati pulih kembali. Indah bulu-bulunya terbang ke angkasa, kekuning-kuningan cahayanya ditelan malam yang berbintang-bintang. Dan Anoman melanjutkan perjalanannya.
A yam alas ramai berkokok ketika Anoman masih bertanyatanya di mana jalan ke Alengka. Hutan melagukan nyanyian dengan suara dahan-dahan rindang tertiup angin, dengan kicau burung bersahut-sahutan. Bunga-bunga baru saja mandi, segar wajahnya karena belaian embun-embun.
Hari sudah pagi, di ufuk timur, sang surya sedang mengusap-usap matanya, maka cahaya merah-merah bersinar menghiasi mega-mega. Ah, mengapa diwangkara cepat terbangun dari tidurnya, padahal masih jauh jalan ke Alengka"
Anoman mempercepat jalannya. Namun kesegaran alam pagi hari memaksa hati Kera Putih ini untuk resah. Dan sang surya seakan-akan tidak tahu tentang keresahannya. Malah lekas sekali kelihatannya ia beranjak dari kediamannya di ufuk timur. Sinarnya yang merah menjadi keputih-putihan, artinya sudah separuh hari hilang sejak lingsir ngulon diwangkara ketika Anoman berjanji kepada junjungannya di Gunung Maliawan.
Mungkinkah menemukan Alengka dalam hari yang tinggal separuh saja" Sekarang Anoman terpaksa tenggelam dalam rasa putus asa. Kepercayaannya mencair oleh panasnya sinar matahari yang tidak dapat dibendung perjalanannya.
Apakah kelebihan seekor kera sehingga ia bisa menghentikan perjalanan diwangkara" Kebesaran alam seakan mengejeknya, membalikkan harapannya menjadi keputusasaan, menghancurkan kehendaknya yang teguh menjadi hasrat setitik debu. Ah, Sempati mengapa semalam tidak kau beri saja sehelai bulumu yang telah pulih kembali kepada Kera Putih yang terlanjur berjanji akan kembali dari Alengka sebelum lingsir diwangkara" Tidakkah Kera Putih ini harus dapat lebih cepat ke Alengka daripada Dewi Sukasalya yang kau tolong untuk terbang ke Ayodya" Sempati, apa artinya kepercayaan bila ia harus terhalang oleh kelemahan dirinya yang hanya kera tanpa arti" Perjalanan tanpa henti membuat Anoman makin letih. Oh Dewa, habis sudah hari janjiku! kata Anoman sedih. Sejenak ia melompat melewati pohon nagasari yang sudah tua usianya. Pohon nagasari ini tidak sekokoh pohon-pohon lainnya. Tapi buah-buahnya tak kalah segar daripada lainnya. Tidakkah alam selalu menolong apa saja yang masih berhasrat untuk hidup, meski sudah terlalu lelah hidupnya dimakan usia tua" Mulai bangkit sedikit tekad Anoman, ia ingin melanjutkan langkahnya tanpa bertanya, ia mau menghabiskan hari janjinya ke mana kaki menuntunnya.
Matahari tepat berada di atasnya, ketika Anoman sampai di tepi sebuah telaga. Untuk mempercepat perjalanan, Anoman ingin menyeberangi danau itu. Tapi mungkinkah seekor kera kecil menyeberangi telaga seluas itu. Kehendak rasanya memang bisa menginginkan apa saja, tapi keterbatasannya menancapkan ketidakmampuannya terhenti pada cita-cita belaka. Anoman sebentar sadar, betapa kebebasannya sangat terbatas bila berhadapan dengan keagungan alam yang di luar jangkauannya.
Kesadaran itu membawa kera putih ini lari mengenakan masa kecilnya. Dan ia tersenyum pedih. Betapa leluasa dan enak hidup sebagai anak kecil di pangkuan dan belaian ibunya. Ia teringat, ketika dalam pelukan mesra ibunya, Retna Anjani sebelum meninggalkannya, ia dengan yakin mengatakan bahwa ia dapat menelan matahari sehingga hilanglah malam yang menyebabkan ia tidak dapat bermain-main dengan anak-anak binatang seperti di hari siang. Bagi anak kera kecil itu, dulu matahari hanya bagaikan buah delima merah yang sekonyong-konyong dapat ditelannya. Tapi kini ketika ia menjadi besar dan sebatang kara, matahari itu ternyata menjadi penghalang bagi keyakinan dan kesediaannya. Untuk sekadar minta agar matahari diam tak beranjak dalam sehari saja, agar dalam hari itu tiada senja yang menakutkannya, tak mungkin sama sekali rasanya.
Tanpa merasa, Kera Putih yang kecil ini menitikkan air mata. Matahari yang makin meninggi seakan sudah memusnahkan harapannya. Ia lalu memandangi dirinya yang tercermin di air telaga yang bening itu. Ada gambar seorang satria tampan di permukaan itu. Anoman terkejut, bukankah ia hanya seekor kera"
Kera Putih itu tak mendapat jawaban pertanyaannya. Namun ia merasa satria tampan tadi seakan dirinya. Dan bercakapcakaplah Anoman dengan bayang-bayangnya. Kau adalah wajahku yang sejati, satria, mengapa kau melukai wajahnya sendiri menjadi kera sejelek ini" Sinar matamu adalah terang hidupku, mengapa kau antarkan aku di hutan tanpa arah dan jawaban ini" Keperkasaanmu adalah kekuatanku, mengapa kau melemahkan aku dalam keputusasaan ini" Satria yang tergambar dalam permukaan air itu hanya tersenyum saja.
Tiba-tiba Anoman merasa haus. Karena tekad perjalanannya ia tidak merasa dari tadi tenggorokannya sebenarnya sudah kering. Tapi baru ketika berkaca di telaga yang segar dan bening inilah ia ingin melepas dahaganya.
Anoman membungkukkan badannya. Ia ingin menciduk air telaga dengan kedua telapak tangannya. Tapi lihatlah, tiba-tiba ia terjerembab ke dalam telaga.
Mati aku, oh Dewa! masih sempat terdengar suara Anoman, memohon belas kasihan. Tetapi ia tidak dapat menguasai diri lagi, air telaga menyedotnya dengan demikian hebat. Masih ia mencoba melawan, tapi semakin kuat tarikan air telaga itu. Seperti terjeblos dalam alur yang lurus, Anoman diseret ke dasar telaga.
Anoman merasa segar ketika kakinya menyentuh dasar telaga. Ia seakan berada di dunia lebih daripada malam, lebih daripada dingin, tapi ada mata yang memberi terang dan kehangatan. Jalan-jalannya berpermadani duri emas-emasan, bagai jalan menuju bulan. Dari jauh tercium wangi dupa ratus. Nyalanya berkobaran menjadikan pelangi-pelangian.
Kera Putih ini mendekati kobaran dupa wangi itu. Ternyata ada naga kembar menjaga di sekeliling nyala api itu. Anoman tak merasakan kepanasan, meski nyala api makin berkobarkobar. Betapa indah keadaan di dalam nyala api itu! Cahaya permata aneka warna berkedipan.
Tak tertahankan lagi, Anoman terjun ke dalam nyala api itu. Tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah benda, pusat dari api dupa ratus yang menyala-nyala. Diraihnya benda itu. Anoman terkejut bukan buatan, saat itulah air telaga bergemuruh bagaikan ombak samudera. Ikan-ikan lari tunggang-langgang tanpa arah. Tumbuh-tumbuhan air yang lunak beterbangan tak menentu. Anoman seakan pulih kekuatannya. Tiada lagi arus yang menyedotnya. Ia melesat dengan benda ajaib itu di tangannya. Dunia yang indah itu kini menjadi miliknya.
Anoman lupa matahari sudah tepat berada di atasnya. Sebentar lagi sudah habis saat janjinya. Perhatiannya tertuju kepada benda yang baru saja diperolehnya. Di dalamnya ia melihat jagad raya seisinya yang sangat indah. Ia tak tahu apa gerangan benda yang menarik hati itu.
Mendadak ia merasa, suasana agak mendung, meski matahari sedang menjadi mata cakrawala. Sinar sang surya pudar, kalah oleh cahaya lembut yang berasal dari benda ajaib itu. Belum habis keheranan sang Kera Putih ini, berkelebat Dewa Surya turun dari langit.
Anoman, anakku, kenapa kau bermain dengan benda yang mengaburkan mataku" tanya Batara Surya. Anoman terkejut, lalu melakukan sembah.
Hamba tak mengeri apakah benda yang hamba pegang ini. Sudilah Dewa memberi tahu apa nama benda ini, Anoman memohon sambil menceritakan kisah yang baru dialaminya.
Anakku, itulah Cupu Manik Astagina. Air kehidupan permata mendung ada di dalamnya. Air kehidupan permata mendung itu diperoleh leluhur para dewa di negeri di mana keadaannya lebih daripada petang, lebih daripada dingin, tapi sang surya selalu bersinar. Aku telah menganugerahkan cupu sakti ini kepada nenekmu, Dewi Windradi. Hatiku berkenan pada nenekmu, maka ia mengandung ibumu Retna Anjani. Cupu itu lalu menjadi rebutan oleh kedua pamanmu Guwarsa dan Guwarsi di Telaga Sumala, sampai mereka menjadi kera dan sejak saat itu mereka bernama Subali dan Sugriwa. Ibumu mencuci muka dengan air telaga dan wajahnya juga berubah menjadi wajah kera, kata Batara Surya menceritakan riwayat sedih perebutan Cupu Manik Astagina oleh putra-putra Resi Gotama.
Berbahagialah Anoman, kaulah akhirnya yang memiliki benda sakti itu. Tutup cupu ini telah tercebur menjadi Telaga Nirmala di Ayodya, di mana junjunganmu Ramawijaya dimandikan sejak masa kecilnya. Pamanmu Subali telah berpulang ke alam baka. Sugriwa telah mengabdi kepada satria yang akan mengalahkan kejahatan dunia. Dan ibumu Retna Anjani telah berbahagia sejak tapanya yang berat dikabulkan oleh para dewa. Maka air kehidupan permata mendung yang sejak sesepuhmu itu berdosa bercampur menjadi Telaga Sumala, kini telah bersatu kembali di dalam wadah cupu itu. Cupu ini adalah anugerah. Berdosalah siapa yang ingin memilikinya, bila memang mereka tidak dianugerahi. Itulah kesalahan pamanmu Sugriwa dan Subali. Sedang ibumu Retna Anjani memang belum waktunya untuk memilikinya. Kaulah Anoman yang berhak atas anugerah itu, lanjut Batara Surya.
Apakah khasiat cupu ini, ya Dewa" taya Anoman. Bukan terutama kesaktian, tapi hikmahlah yang diberikan oleh cupu itu kepada pemiliknya. Ketahuilah di dalam cupu ini berisi jagad dalam keadaan ilahinya, jagad tidak dalam badan wadagnya, jagad yang ada sebelum makhluk-makhluk berdosa. Ada rahasia di dalamnya, karena siapakah yang akan mengerti makna suatu keadaan yang lebih daripada petang, lebih daripada dingin, tapi surya selalu bersinar seperti yang tergambar oleh air kehidupan permata mendung ini" Hanya kepercayaanlah yang akan menyingkapkan tabir rahasia ini. Hanya kepercayaan pula yang akan menuntunmu kelak untuk menyelam masuk ke dalam kehidupan rahasia ilahi itu. Dan kepercayaan itu membawa perintah, agar selama hidupmu di dunia, kau senantiasa mengusahakan dunia berubah menjadi seperti jagad ilahi itu.
Percayakah kau, Anoman" tanya Batara Surya. Hamba percaya, oh Dewa, kata Anoman tanpa raguragu.
Kalau demikian, cupu ini benar-benar menjadi milikmu sekarang. Dan camkanlah, makin dimiliki suatu rahasia, makin tak terpahami pula rahasia itu. Maka makin besar pula dituntut darimu untuk mempercayainya. Karena sudah menjadi milikmu, kini mandilah kau dengan air kehidupan permata mendung yang ada dalam cupu itu, kata Batara Surya.
Anoman segera menyiramkan isi cupu sakti itu ke sekujur badannya. Kesegaran dan kehangatan suatu kehidupan seperti merambati dirinya. Hatinya seperti merasakan suatu keadaan di mana bidadari-bidadari malam kedinginan, terselimut dalam kehangatan sinar matahari yang menggantikan bulan. Anoman merasakannya sebagai kebahagiaan, namun budinya tak dapat memahaminya, apalagi menerangkannya. Begitu air kehidupan permata mendung habis dituangkan, wadahnya lebur menjadi aneka berlian, dan kemudian aneka berlian ini meleleh menjadi gerimis yang warnanya melebihi pelangi, lalu jatuh menyiram tubuh Anoman. Rahasia air kehidupan permata mendung dari Cupu Manik Astagina seluruhnya masuk ke dalam hati Anoman.
Anakku, kini kau akan dapat terbang secepat kilat. Dan tubuhmu takkan leleh dimakan api. Sudahlah Anakku, kini apa yang kau minta dariku" tanya Batara Surya bahagia.
Hamba berjanji akan balik ke Maliawan sebelum matahari terbenam. Kini matahari sedang dalam perjalanan ke peristirahatannya, padahal hamba belum tahu di mana Alengka letaknya. Hamba percaya, Dewa dapat membantu hamba, jawab Anoman.
Anoman, masih ingatkah kau akan masa kecilmu, ketika kau ingin menelan matahari supaya tiada peredaran hari-hari dan kau bisa bermain-main dengan binatang hutan sesuka hati" Apakah artinya semua peristiwa itu, bila kini kau memikirkannya kembali"
Hamba mengira, matahari adalah bagian dari alam hamba. Maka seharusnya janganlah bagian dari alam hamba itu malah menjadi penghalang bagi cita-cita kejujuran hati hamba. Anakku, kalau demikian, kenapa dalam khayal masa kanakkanakmu pernah kau merasa bisa menelan matahari bagaikan buah delima, kenapa kini kau tak mau menganggapnya saja sebagai permainan anak-anak laksana buah delima yang menyala sehingga kau tetap dapat memasangnya sebagai daun yang memberi terang ketika kau membutuhkannya"
Hamba merasa tidak mampu lagi, oh Dewa, karena hamba telah meninggalkan khayalan kanak-kanak hamba.
Apa yang menyebabkan kau meninggalkan khayalan kanakkanakmu, Anoman"
Pengetahuan hamba. Mengapa pengetahuanmu meniadakan khayalanmu" Karena di dalam pengetahuan itu hamba tidak dapat pasrah.
Maka, Anakku, hiduplah dalam ketidaktahuan, karena ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang mudah pasrah pada sesuatu yang tidak diketahuinya. Pasrahkanlah dirimu kepada alam yang kaya dengan rahasia yang tak terjangkau oleh pengetahuanmu, maka alam pun akan memeliharamu dan mencintai dirimu, lalu menjadi bagian dari dirimu, dan karena menjadi milikmu, alam takkan lagi menghalangi cita-cita kejujuranmu. Berhadapan dengan rahasia alam yang besar, seperti matahari yang kau rasakan menghalangi cita-citamu hari ini, demikian hakekat pengetahuan ini, Anoman. Bahwa pengetahuan itu justru ketidaktahuan, dan bahwa pengetahuan itu bukan untuk menguasai tapi untuk pasrah. Memang kedengarannya seperti suatu kemustahilan, Anakku. Tapi maukah kau percaya pada kemustahilan itu, dan pasrah dalam kemustahilan itu, supaya alam bisa dengan leluasa mencintai dirimu"
Hamba bersedia, oh Dewa. Kalau demikian, hari ini juga kau akan mengalami berkah kepasrahan dirimu. Lihatlah, sejak saat ini akan kutahan matahari pada tempatnya seperti sekarang. Sampai kau berhasil pulang dari Alengka, baru kujalankan matahari ke tempat peristirahatannya di ufuk barat. Takkan ada senja sampai kau pulang dari perjalananmu sebagai duta, kata Batara Surya, dewa yang berkuasa atas matahari itu.
Terima kasih, oh Dewa. Hamba haturkan rasa terima kasih hamba yang tak terkira, jawab Anoman penuh rasa syukur.
Maka keadaan akan menjadi siang senantiasa. Dan Batara Surya pulang ke kediamannya. Mata Anoman bersinar-sinar bahagia, kini tiada lagi penghalang bagi perjalanannya, dan tiada lagi ia takut akan senja yang mengancamnya. Takkan pernah ada senja tiba selama ia mencari Negeri Alengka.
Kera yang kini merasa diri kecil karena ketidaktahuannya itu menatap jauh ke seberang langit sana, ibunya Retna Anjani yang cantik jelita nampak tersenyum bahagia. Anoman merasakan, ia seperti hidup lagi dalam masa kanak-kanaknya, serasa ia bisa menginginkan apa saja dalam belaian ibundanya. Pada saat inilah Anoman menyadari bahwa dirinya adalah manusia seperti bayang-bayangnya ketika ia bercermin di Telaga Sumala sebelum ia menemukan Cupu Manik Astagina.
Kemudian Kera Putih ini melesat terbang ke angkasa. Hatinya berkobar menyala untuk segera menemukan Negeri Alengka. Samudra luas tak menjadi halangannya. Malah ia sempat menyaksikan keindahan gelombang-gelombangnya yang berbuih-buih dari lapisan mega. Ia melewati sebuah gunung yang menjulang tinggi di tengah samudra. Tinggi sekali gunung itu, sampai Anoman hampir menyentuhnya, meski terbangnya seakan sudah di dekat bibir langit. Sekonyongkonyong ia merasa ada tenaga dahsyat yang menariknya ke bawah. Anoman tak kuasa melawannya maka ia pun terseret ke bawah.
Saudaraku, singgahlah turun ke kediamanku. Sudah rindu aku menantikanmu, terdengar suara memanggilnya. Siapa memanggilku di kesunyian ini" balas Anoman. Aku, saudaramu, jawab suara tak dikenal itu. Suara itu ternyata berasal dari gunung yang menariknya. Mungkinkah gunung bisa bersuara"
Aku adalah Gunung Maenaka, penjelmaan wahyu Bayu Gunung. Bersama Bayu Gajah dan Bayu Putih, aku diturunkan ke dunia. Aku adalah saudaramu tunggal Bayu (satu Bayu), sebab bukankah kau adalah penjelmaan Bayu Putih" kata gunung itu. Anoman lalu jatuh ke pelukan Gunung Maenaka itu.
Saudaraku, berhati-hatilah bila kelak kau masuk ke Alengka. Sebaiknya kau masuk ke sana lewat pintu timur yang dijaga para prajineman Rahwana. Dengan akalmu mereka mudah ditipu. Jangan kau lewat pintu utara yang dijaga anakanak Rahwana, atau pintu barat yang dijaga seratus suami Sarpakenaka, atau lewat pintu selatan yang dijaga para balatentara raksasa. Hindarkanlah peperangan dengan mereka sebelum kau bertemu dengan Dewi Sinta, kata gunung itu. Lalu ia memberi makanan daun-daunan kepada Anoman, sehingga kera putih ini bertambah kekuatannya.
Di manakah letak Alengka, Saudaraku" tanya Anoman. Pergilah ke arah timur sana, tunjuk Bayu Gunung, saudaranya itu. Dari jauh Anoman melihat negeri keemas-emasan. Lega hatinya karena sebentar lagi ia akan sampai ke Alengka.
Anoman, di sanalah kau akan bertemu dengan saudara-saudara sekandungmu, kata Bayu Gunung lagi.
Bukankah aku anak kera yang sebatang kera" Mana mungkin aku mempunyai saudara-saudara sekandung ibuku" tanya Anoman terheran-heran.
Jangan bertanya, Saudaraku. Kau akan segera menjumpai mereka, jawab Bayu Gunung. Gunung Maenaka ini bergerak sebentar. Seperti ada tangan keluar dari punggungnya, tangan itu segera memegang Anoman, lalu dengan sekuat tenaga, Anoman dilemparkannya. Maka Kera Putih ini pun melesat seperti halilintar yang dibidikkan Dewa Indra.
L aksana terbakar keindahan Negeri Alengka karena matahari
tak mau surut dari peredarannya. Gapuranya yang keemas-emasan bagai berubah menjadi pintu yang menjilat-jilat dengan api. Di puncaknya ada permata-permata berlian sebesar buah waluh. Biasanya bila malam cahaya permata berlian itu bagaikan terang yang merebut sinar-sinar bintang dan bulan.
Tapi tiada malam dengan kesejukan. Dan cahaya permatapermata berlian itu seperti meleleh menjadi manik-manik panas karena bagaskara yang senantiasa bersinar. Penjaga gapura adalah gambar dari dua raksasa kembar yang melambangkan Cingkarabala dan Balaupata, dua saudara raksasa kembar yang menjaga pintu Sela Matangkep. Biasanya gambar raksasa kembar itu senantiasa nampak tersenyum memberi perlindungan.
Tapi tiada kesegaran sejak diwangkara tak mau padam. Dan kedua raksasa itu menjadi sangat menyeramkan. Rambutnya menjadi gelombang-gelombang api. Matanya merah darah bagaikan hati mega yang marah. Giginya laksana kilat yang meringis, memancarkan sinar yang menyilaukan mata. Gadanya seperti mau jatuh, meremukkan Negeri Alengka.
Menghilangkah keindahan Negeri Alengka yang dipuja rajaraja di mana-mana" Dulu danaunya bertepian bunga-bunga kemuning, airnya jernih. Sekarang hanyalah rawa-rawa curam yang memberi sedikit kesegaran bagi penghuninya. Pada waktu Prabu Sumali menjadi raja, di sekitar istana ada pelataran yang berpermadani bunga bertebaran aneka warna, sehingga bila raja turun dari dampar kencananya dan melewatinya, bungabunga itu berpencar, berpendar, menimbulkan pemandangan seperti kartika berebutan singgasana. Kini permadani itu hanyalah rerumputan kering dengan bunga-bunga layu yang melambarinya.
Pada saat diwangkara sedang marah ini, Rahwana sedang mengadakan permusyawaratan agung dengan seluruh punggawa istananya. Tiada senyum di hati raja Alengka yang sedang angkara ini. Busananya yang indah gemerlapan menambah kekejaman nafsunya. Makotanya yang bersusun tiga tergeleng-geleng, bagaikan istana beraja serigala yang lapar akan kekuasaan dewa. Makota itu diikat sehingga berbentuk garuda mungkur, yang mau terbang tanpa arah. Hadir dalam permusyawaratan agung ini pamannya Patih Prahasta, adiknya Wibisana, dan segenap putra-putra Alengka.
Hai para Punggawa, Paman Prahasta, adikku Wibisana, dan semua putra-putraku, tahukah kalian bagaimana caranya aku menaklukkan hati Dewi Sinta" Sudah lama dewi jelita itu berada di Alengka, tapi tak sekejap pun ia mau meladeni aku, kata Rahwana dalam suara menggelegar marah.
Binatang memang satria Ramawijaya itu! Ia selalu menjadi kerinduan hati pujaanku, Dewi Sinta. Akan kubunuh satria Ayodya itu, baru dengan demikian aku dapat memperistri Dewi Sinta, gumam Rahwana lagi.
Hadirin terdiam. Semuanya berpikir untuk membantu menyenangkan hati rajanya. Tiba-tiba terdengar suara lembut yang memecahkan suasana, suara satria bijaksana Alengka, Arya Wibisana, adik Rahwana sendiri.
Sabarlah, Kakakku. Mengapa berkobar-kobar nafsumu hendak merebut kekasih hati orang lain" kata Wibisana. Wibisana, apa katamu" tanya Rahwana geram. Tenangkan hatimu, Kakakku. Perkenankan aku bicara barang sejenak saja, pinta Wibisana dengan tenang. Rahwana terdiam, ia tahu kebijaksanaan adiknya yang tampan ini memang bagaikan rembulan.
Kakakku, mengapakah bunga rangin di Alengka seperti tuli terhadap angin" Dan apa artinya kumbang-kumbang yang diam tak mendengung meski ia sudah haus akan madu-madu bunga sirih" Pratandanya sudah jelas, Kakakku, Batara Surya bagai hendak membakar negeri kita yang tercinta ini, masihkah kau ingin memuaskan dirimu yang menginginkan hati wanita yang bukan hakmu" kata Wibisana.
Kakakku, pikirkan negeri yang sedang dilanda kesedihan ini daripada kau memuaskan hatimu dengan seorang wanita. Kini rakyat ketakutan hanya karena kekuasaanmu. Dan mereka menjadi jahat hanya karena menuruti perintahmu.
Ketahuilah, Kakakku, nenek moyang kita membangun negeri ini agar ia menjadi negeri yang panjang apunjung, pasir awukir, loh jinawi, gemah aripah, tata tur raharja. Panjang, artinya hendaklah negeri ini menjadi kenangan yang lestari karena kebaikannya. Tidakkah kini Alengka malah menjadi ketakutan bagi dunia karena kejahatannya. Punjung, artinya hendaklah negeri ini luhur kewibawaannya. Tidakkah kini, Alengka menjadi kenistaan yang hina. Pasir, artinya hendaklah negeri ini menjadikan laut sebagai kehidupannya. Tidakkah kini kekeringan melanda seakan laut sudah habis airnya" Wukir, artinya hendaklah negeri ini menjadikan gunung-gunung sebagai punggung-punggung kesegarannya. Tidakkah kini gunung-gunung gundul karena keserakahan para penghuninya" Loh, artinya hendaknya negeri ini mengalir bagaikan sungai yang memberi kehidupan bagi apa saja yang ditanamnya. Tidakkah kini negeri ini seperti mau mati karena tiada kehidupan yang mengalirinya" Jinawi, artinya negeri ini hendaknya bermurah pula terhadap kesejahteraan penduduknya. Tapi tidakkah Alengka kini menekan penduduknya sampai menjadi miskin, mereka yang sebenarnya kaya raya akan harta negerinya.
Tiada penghalang dan kekacauan menghentikan perjalanan para nakoda, siang-malam mengalir mereka tiada hentinya karena keamanan negeri, meski demikian tiada rusak jalanjalan yang dilalui mereka. Itulah artinya gemah, Kakakku. Tapi tidakkah kini di Alengka muncul pelbagai kejahatan dan perampokan yang mengganggu perjalanan mereka" Dan karena ripah, berbondong-bondong orang asing datang ke negeri ini, sampai beradu atap-atap rumah mereka. Itu semuanya terjadi karena negeri ini tata tur raharja. Tapi tidakkah kini tiada lagi orang asing yang mau datang ke Alengka" Kakakku, mungkinkah kini Negeri Alengka tidak lagi menjadi negeri yang panjang apunjung, pasir awukir, loh jinawi, gemah aripah, tata tur rahaja"
Kakakku, negeri di dunia ini tiada lain daripada gambar dari kerajaan ilahi yang tenteram abadi. Itulah sebabnya, nenek moyang kita melukiskan di negeri ini hewan-hewan ternak, seperti sapi, lembu, kambing, ayam, dan bebek tak pernah dikekang di kandangnya, tiap pagi mereka pergi mencari makan, dan bila sore mereka kembali ke kandangnya sendiri-sendiri. Di sanalah para warganya, mulai dari atasan sampai rakyat jelata, bijaksana semuanya, dan unggul keutamaannya.
Negeri inilah negeri yang padang obor", membawa terang di mana-mana. Sampai-sampai negeri tetanggannya ibarat menjadi ranting-rantingnya, dan negeri-negeri yang jauh ibarat daun yang tertarik kepadanya. Raja-raja asing tunduk dan patuh kepadanya, bukan karena ketakutan akan kekuasaannya, tapi karena kagum akan keutamaan dan kebijaksanaan yang tidak mereka miliki.
Maka, Kakakku, pada waktu negeri ini ada, pada hakekatnya baik dan indahlah keadaan semua warganya. Sebenarnya tak perlu diperintahlah mereka, karena mereka sudah dapat memerintah dirinya sendiri. Memang mereka tetap memerlukan raja, tapi bukan raja yang menguasainya melainkan mengaturnya supaya menjadi makin baik dan indah keadaan mereka.
Mereka adalah bunga-bunga yang subur tersebar di dunia. Tapi tidakkah mereka akan menjadi lebih indah dan baik bila mereka diatur menjadi taman-taman bunga" Mengatur untuk semakin indah itulah tugas seorang raja, Kakakku. Itulah arti memerintah yang sebenarnya. Jadi tugas seorang raja bukan untuk berkuasa melainkan untuk memerintah. Wahyu yang kau terima adalah wahyu untuk memerintah, bukan untuk berkuasa. Maka bisa terjadi seorang raja kelihatan memerintah, tapi sebenarnya tidak memerintah. Itulah raja yang hanya mengandalkan kekuasaannya. Raja yang memerintah akan dicintai rakyatnya, tapi raja yang berkuasa akan dibenci mereka. Akan tiba saatnya kekuasaan itu ambruk dengan sendirinya. Karena kekuasaan itu semata-mata hanya kekuatan manusia, sedangkan pemerintahan selalu datang dari kebaikan ilahi. Bila raja hanya berkuasa, mau tak mau wahyu untuk memerintah sudah meninggalkannya. Lalu apa arti kekuatan manusia tanpa daya ilahi itu"
Tidakkah kini saatnya kau menyadari, Kakakku, bahwa kekuatan ilahi itu sedang meninggalkanmu, karena semata-mata kau memerintah berdasarkan keinginanmu pribadi" Negeri sedang gawat karena amarah dewa yang disebabkan kejahatanmu, masihkah kau menuruti nafsumu akan Dewi Sinta" tanya Wibisana.
Wibisana, diam kau! Begitukah sikap dan wejanganmu terhadap kakakmu. Tutup mulutmu, kalau tidak kuseret kau keluar dari permusyawaratan agung ini! bentak Rahwana.
Tengah hadirin ketakutan, tiba-tiba masuklah seorang punggawa Rahwana menerobos ke permusyawaratan agung. Ia adalah prajineman Sayempraba, terengah-engah nafasnya.
Sang Prabu yang mulia, ada kabar buruk bagi Alengka. Sebentar lagi mungkin akan datang duta dari Ramawijaya. Hamba telah membuat buta matanya, tapi tidak mustahil ia akan segera menjelajah Alengka, kata Sayempraba melapor. Rahwana terkejut, dan lupalah ia akan segala nasihat Wibisana.
Hai para warga Alengka, siapkanlah dirimu. Jangan sampai duta satria Ramawijaya itu berhasil masuk ke Alengka. Berjagajagalah. Para prajineman, hendaklah kalian bersiaga di pintu timur. Dan kalian, putra-putraku yang sakti, berjagalah di benteng sebelah utara. Adik-adikku, para suami Sarpakenaka, amankanlah pintu kota sebelah barat. Sisanya, hai Prajurit raksasa, makanlah sekenyang-kenyangnya, lalu berangkatlah ke pintu selatan. Tangkaplah duta Maliawan itu dan bunuhlah! Rahwana memerintah marah.
Rahwana, Kakakku, urungkanlah niatmu. Dengarkanlah aku, pinta Wibisana.
Binatang, kau Wibisana! Anak ingusan, apalagi petuah bijak yang hendak kau katakan. Pergilah kau! bentak Rahwana. Raja Alengka ini segera menghampiri adiknya, untunglah ada Patih Prahasta yang mencegahnya.
Anakku, jangan kau lukai adikmu. Biar aku yang bicara padanya, pinta Patih Prahasta. Lalu ia mendekati Wibisana dan mengelus-elusnya.
Wibisana, anakku yang tampan. Sudahlah, hentikan kau berkata-kata. Tidakkah kau tahu, apa akibatnya bila kakakmu marah. Siapa saja bisa menjadi celaka olehnya, kata Patih Prahasta.
Paman Prahasta, biar kutanggung semuanya, kata Wibisana dengan berani. Lalu ia berpaling kepada kakaknya. Dilihatnya sepuluh muka Rahwana muncul karena amarah. Tapi dengan tabah ia menyambung pembicaraannya.
Kakakku, ijinkanlah aku bicara sejenak saja. Masih ingatkah kau akan petuah ayah kita, Wisrawa, sebelum ia meninggal dunia. Dengan kepalamu yang sepuluh, sebenarnya terkandung dalam dirimu sejarah manusia yang hendak mencapai kesempurnaannya. Kepalamu yang sepuluh bukan hanya lambang sepuluh sifat manusia, melainkan juga lambang bakat-bakat kebaikan yang hendak menuju kesempurnaannya.
Maka dalam dirimu ada eka, bumi; dwi, paksa; tri, dahana; catur, samudra; panca, dunya; sat, pangonan; sapta, pandita; hasta, tawang; nawa, dewa; dasa, ratu, kata Wibisana
Ingatlah petuah ayah kita, Kakakku. Pada dirimu ada gambar kuda liar terkurung di dalam kandang. Itulah bumi yang eka itu. Watak dari eka itu adalah bumi gumingsir (bumi berpindah).
Maka padamulah ada raja berkepala satu. Maknanya, dalam dirimulah ada pendiri kerajaan yang bijak dalam budinya tapi masih terkekang dalam kelobaan nafsunya.
Pada dirimu pula ada gambar kumbang menatap langit, terbang tanpa hinggapan. Itulah paksa (sayap) yang dwi itu. Watak dari dwi itu adalah kusuma mekar di angkasa laksana kartika. Maka padamulah ada raja berkepala dua. Maknanya, dalam dirimulah ada kerajaan di mana penduduknya bergantung pada keilahiannya.
Pada dirimu ada pula gambar kemustahilan berupa lembu yang menyusu pada anaknya. Itulah dahana (api pemusnah) yang tri itu. Watak dari tri itu adalah anak-anak yang memusuhi ibu-bapanya. Maka padamulah ada raja berkepala tiga. Maknanya, dalam dirimulah ada negeri di mana punggawa-punggawanya memerangi rakyatnya, dan rakyat tiada patuh pada punggawanya, karena tiada lagi kaum bijaksana.
Pada dirimu ada gambar perahu terbebani air lautan. Itulah samudra yang catur itu. Watak dari catur itu adalah kesejukan hati air di dalam badan api. Maka padamulah ada raja berkepala empat. Maknanya, dalam dirimulah ada kekuasaan rakyat yang lemah-lembut tanpa tepi memerintah rajanya yang terbakar oleh ketamakan dan kenikmatan diri.
Kakakku, padamulah ada gambar lima raksasa, dari tanah, dari air, dari sinar, dari angin, dan dari hawa asalnya. Itulah dunya kejadian cipta yang panca itu. Watak dari panca itu adalah keterbalikan, manusia berenang di daratan, berjalan di lautan, mencari petang dalam cahaya, menghirup hawa kehidupan dalam badai taufan. Maka pada dirimulah ada raja berkepala lima. Maknanya, padamulah ada kerajaan di mana rakyatnya memandang langit di bawah, menatap samudra di atas, dan terjadilah geger dan keributan luar biasa.
Padamu, Kakakku, terlukis gambar hewan-hewan liar dijinakkan oleh kasih sayang anak bajang di padang bunga-bungaan. Itulah pangonan (hewan peliharaan) yang sat itu. Watak dari sat itu adalah malam bermalam, bintang berbintang, bulan berbulan dan bidadari-bidadari yang mandi dalam kesegaran telaga mawar. Maka padamulah ada raja berkepala enam. Maknanya, karena dirimulah maka rakyat kerajaanmu hidup dalam kebahagiaan dan ketenteraman.
Padamu, Kakakku, ada gambar pertama yang bersemadi di tengah kenikmatan sejuta perempuan-perempuan jelita yang telanjang. Inilah pandita yang sapta itu. Watak dari sapta itu adalah orang suci yang lari dari pertapaannya. Maka padamulah ada raja berkepala tujuh. Maknanya, padamulah ada kerajaan di mana penduduknya memuja berhala kejahatan.
Padamu, Kakakku, ada gambar orang mencari api dengan damar, menimba air dengan pikulan. Itulah tawang yang hasta itu. Watak dari hasta itu adalah karang yang tenggelam dalam lautan, batu hitam yang terapung di permukaan gelombang. Maka pada dirimulah ada raja berkepala delapan. Maknanya, padamulah ada kerajaan di mana rakyatnya percaya bahwa takkan ada kedamaian negeri tanpa ada ketenteraman hati masingmasing warganya, dan hanya karena mempunyai ketentaraman hati itulah mereka bisa menyelam dalam kedamaian.
Padamu pula, Kakakku, ada gambar setan menangis di kahyangan. Itulah dewa yang nawa itu. Watak dari nawa itu adalah dewa-dewa yang menjadi budak di kerajaan jin, setan, peri perayangan. Maka padamulah ada raja berkepala sembilan. Maknanya, karena dirimulah maka kemuliaan rakyatmu akan menghilang, dan berubahlah kebahagiaan menjadi kesengsaraan, dan kegembiraan menjadi tangisan di tengah perang bubat yang membawa kelaparan dan kesusahan.
Akhirnya, padamulah, Kakakku hidup gambar sembilan kereta sastra (kehidupan) yang berjalan pulang ke negeri berajakan takhta kesempurnaan diri. Itulah ratu yang dasa itu. Watak dari dasa itu adalah manusia dan dewa yang bersatu dalam kebahagiaan ilahi. Maka padamulah, Kakakku ada raja berkepala sepuluh. Maknanya, negerimu akan lebih dari panjang apunjung, pasir awukir, loh jinawi, gemah aripah, tata tur rahardja.
Wibisana, putra Alengka yang bijaksana itu, hendak melanjutkan kata-katanya, tapi seperti hadirin lainnya, ia terkejut melihat sepuluh muka Rahwana menggelegak karena menahan amarahnya.
Wibisana, kau kira aku mendengar segala petuahmu yang konyol itu" Bagiku, kata-katamu hanyalah ringkikan anak kuda yang ketakutan, tak ubahnya suara angsa yang sambat karena takut disembelih. Lanjutkan kata-katamu, maka gada Alengka akan jatuh ke kepalamu, bentak Rahwana.
Wibisana, anakku, sudahlah, lebih baik kau berdiam diri. Aku takut kau akan celaka akibat kata-katamu sendiri, Patih Prahasta mencegah Wibisana. Tapi Wibisana tak mau mengacuhkannya.
Kakakku, semua yang kukatakan hanyalah petuah ayah kita sebelum ia berpulang ke alam baka. Jangan kau lupakannya, Kakakku. Itu semua adalah arti sejati dari kepalamu yang sepuluh, milikmu sendiri. Maka sebenarnya padamulah tercakup sejarah perjalanan manusia dalam negeri, mulai dari asalusulnya, sampai suka dan deritanya, menuju kepada kebahagiaannya. Kau mempunyai riwayat itu, Kakakku, mengapa tiada kau wujudkan kesempurnaan sebagai akhir dari perjalanan manusia-manusia rakyatmu dalam negeri ini, seperti bakat dalam kepalamu yang sepuluh itu" kata Wibisana berani.
Biadab kau, Wibisana, negeri sedang diancam musuh, malah kau mencaci aku dengan nasihat tiada guna. Remuk mulutmu oleh gada ini, Binatang, amarah Rahwana sudah membara bagaikan api. Raja raksasa ini menarik nafas-nafas dalam, seakan masih mencoba membendung kegeramannya, tapi sementara itu sudah mengumandang suara Wibisana kembali.
Kakakku, urungkan niatmu untuk menangkap duta Maliawan itu. Kalau tidak, akan terjadi malapetaka besar di negeri ini. Mimpiku mengatakan, Negeri Alengka akan menjadi lautan api, bahkan sebelum kehancurannya yang sejati, bila kau tidak mau berbaik hati, tutur Wibisana tabah.
Itulah arti mimpimu yang sejati itu, Wibisana, kukepruk kau dengan gadaku ini. Habis riwayatmu, Binatang, suara Rahwana menggelegar. Dan raja raksasa ini lari dari singgasananya, hendak menghantamkan gada ke kepala Wibisana yang bersila di hadapannya.
Wibisana, anakku, keluar, keluarlah secepatnya dari pertemuan agung ini. Larilah, Nak, kalau tidak kau akan mati hari ini juga, syukur terdengar suara Patih Prahasta di tengah keadaan yang menakutkan itu. Adik Dewi Sukesi yang sabar ini mencoba menahan tubuh Rahwana, sementara Wibisana menyingkirkan diri.
Paman, mengapa kau halangi aku membunuh adikku yang penakut itu" Lepaskan aku, kalau tidak kuhajarkan gada ini ke kepalamu sendiri, kata Rahwana meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari pegangan Prahasta.
Sabarlah, Nak, jangan kau tandai Negeri Alengka ini dengan perpecahan persaudaraan. Siapa tahu Wibisana kini sedang memikirkan kembali kata-katanya untuk menarik kembali. Kau membutuhkannya, Nak, Wibisana adalah satria yang sakti, kelak ia dapat membantumu mempertahankan negeri tercinta ini, bujuk Patih Prahasta.
Baik Paman, kali ini aku menuruti kata-katamu. Jangan tahan aku lagi, kalau Wibisana yang penakut itu mencoba menghalangi niatku sekali lagi, kata Rahwana, yang syukurlah mau luluh hatinya.
Hadirin menarik nafas lega, karena urunglah terjadi peristiwa berdarah di permusyawaratan agung Alengka yang membara ini. Betapapun mereka memang sangat menyayangi Wibisana, satria satu-satunya di Alengka.
A lam tetap membisu dalam kekeringannya. Tiada angin menembus mega-mega, sampai jatuh hujan-hujannya. Sunyi-senyap lambaian pohon-pohon beringin, langit merah merenggut kesegarannya. Seribu kembang kenanga layu bercucuran air matanya. Manakah jalan menuju malam yang bermatakan manik-manik purnama dingin" Betapa kejam kau siang yang tegar, belumkah hancur belas kasihmu bagi bunga selasih yang ingin bermandikan tetesan embun pagi"
Di kejauhan duduk seorang wanita, ia sudah tua dengan kedukaannya. Kesepian bunga-bunga rangin ada di jari-jari tangannya. Disulamkannya pada langit yang hampa. Keriput di wajahnya menyimpan dosa-dosa masa mudanya. Sudah tanggal kecantikannya, laksana renda-renda pagi di siang hari.
Ibu, jangan kau tambah kesedihanmu karena kedatanganku ini, terdengar suara menyapanya. Lalu berdiri Wibisana di hadapannya. Satria bungsu Alengka ini memeluknya erat-erat. Mata wanita tua itu berkaca-kaca, hatinya membaca duka yang akan tiba. Wanita tua itu adalah Dewi Sukesi, yang tinggal menghabiskan hari-hari deritanya di Alengka.
Nak, takkan bertambah kesedihanku, tidakkah hari-hariku sudah senantiasa lewat dalam duka" Apa artinya setitik kesedihan bagi hidup yang sudah kaya dengan penderitaan ini" Katakanlah, Nak, apa maksudmu datang kemari" sapa Dewi Sukesi sambil mengelus-elus pundak putranya.
Ibu, ke mana harus aku pergi, kakakku Rahwana sudah tak mempedulikan aku lagi, kata Wibisana menceritakan pertemuan dengan kakaknya.
Nah, salahkanlah ibumu ini, akulah yang melahirkan kejahatan di Alengka ini. Cinta yang kau inginkan berubah menjadi malapetaka karena nafsuku, ketika aku gagal menghayati Sastra Jendra bersama ayahmu di Taman Argasoka. Malam menangis panjang, ketika rakyat Lokapala mengusirku bagaikan pencuri cinta Danareja, calon suamiku, yang akhirnya menjadi kakakmu, kata Dewi Sukesi.
Ibu, jangan kau persalahkan dirimu. Hiduplah yang terlalu kejam padamu. Biarkanlah masa lampau bersandar di tebingtebing jurang kehancurannya, jawab Wibisana.
Wibisana, permata hatiku, memang tiada gunanya mengenang masa laluku, tapi ketahuilah, Nak, hari-hariku yang lewat justru penuh dengan kerinduan akan masa lalu itu. Ah, betapa bahagia hatiku, bila dunia bisa mengantar menuju masa laluku, di sanalah aku akan berada di ambang pintu kehidupan yang baru. Kini sudah terlalu berat beban dosaku, mana mungkin aku menghadapi hidup yang baru" Percayalah, Nak, masa lalu itu selalu indah, asal ia dikenangkan sebagai awal yang belum tahu apa-apa. Di hari-hari tuaku ini sering aku menginginkan kebahagiaan seorang anak bayi yang dari ibunya hanya mengharapkan kasih. Sayang Nak, kehidupan ini tak bisa diam, hidup ini minta berjalan, dan justru dalam perjalanannya itu ia terbenam dalam dosa dan penderitaan. Mungkinkah awal yang suci itu demikian menentukan, sampai dalam kebahagiaan dan kegembiraan masa sekarang pun aku selalu terpancing untuk memikirkan masa lalu sebagai keindahan meski ia berupa penderitaan dan kesedihan" Aku bertanya-tanya Nak, jangan-jangan bahkan kebahagiaan dan kesenangan masa kini itu pun adalah palsu. Hidup ini berjalan, tapi sebenarnya tiada terjadi sesuatu yang baru, kata Dewi Sukesi.
Ibu, kenapa Ibu berpikir seperti itu" Belum juga kau jawab pertanyaanku, kata Wibisana.
Nak, aku sudah tua, sebentar lagi aku mesti berpulang. Ke manakah pulangku, kalau bukan ke awalku, ke rumahku yang dahulu, ke masa kebahagiaan itu" Mungkinkah kepulangan itu menuju ke tempat yang lain" Ketahuilah Nak, sebenarnya hidup ini hanya menipu. Hidup ini seakan mengantar orang ke tempat yang baru, padahal ia mengembalikan orang pada asalnya yang semula. Perjalanan hidup ini sebenarnya sia-sia. Andaikan aku tetap pada awal itu, barangkali aku takkan mati, atau andaikan aku mesti mati, aku tak takut untuk menghadapinya, karena aku belum terseret dosa ke mana-mana. Kini aku takut, apakah yang akan disajikan kematian bagiku. Kaulah Wibisana, anakku satu-satunya yang bisa memberi terang bagi hari-hariku yang terakhir di dunia ini. Maka camkanlah kata-kataku ini! pinta Dewi Sukesi.
Mata Dewi Sukesi bersinar lembut. Tapi terangnya gemilang dengan mata bunga padma. Mengayun ringan tangannya, meski tiga purnama siang tertahan di tangannya. Di atas daun-daun terbang karena angin yang tiba-tiba menghampirinya. Dadanya harum-harum dengan bunga kenanga, seperti ketika ia hendak memasuki rahasia Sastra Jendra.
Nak, tinggalkan aku, dan pergilah sekarang kau mengabdi kepada Ramawijaya. Pergilah Nak, saatnya sudah tiba, kata Dewi Sukesi dengan tiba-tiba. Wibisana terkejut tak mengira.
Ibu, mengapa aku harus mengabdi kepada orang yang sebentar lagi menjadi musuh negeriku. Jangan Ibu, betapa pun jelek negeriku, tak rela aku menyerahkan kepada lawannya, jawab Wibisana.
Nak, cintakah kau pada negerimu" tanya Dewi Sukesi. Mengapa Ibu masih meragukan kesetiaanku, jawab Wibisana.
Kalau kau cinta pada negerimu, sudah tiba saatnya kini kau menyingkirkan kebanggaanmu sebagai satria. Pikirkanlah negeri dari hati seorang wanita, apalagi jika wanita itu adalah ibumu sendiri. Apakah artinya kebanggaan, jika mengakibatkan kehancuran" Idaman seorang wanita hanyalah kebahagiaan dan ketenteraman, Nak.
Tapi Ibu, tidakkah dunia akan mengejekku sebagai pengkhianat negerinya"
Benar, Nak, aku pun tak rela menyerahkan ibu pertiwiku pada siapa saja yang hendak merebut dan menguasainya. Tapi ingatlah, Ramawijaya tak hendak merebut negeri ini, ia hanya hendak menenteramkan negeri yang sudah haus darah ini. Jangan kau memikirkan dia sebagai penguasa dunia, ia adalah titisan Dewa Wisnu yang hendak mengatur dunia. Ramawijaya adalah kebaikan yang hendak merintis jalannya di dunia. Apakah artinya negeri jika ia harus berhadapan dengan kebaikan itu" Ia harus menyerah Nak, dan pada saat itulah tiada lagi orang berpikir tentang tatanan dunia, karena ia sudah masuk ke rahasia tatanan yang ilahi. Di sanalah tidak lagi orang berpikir tentang berkuasa atau menguasai, ia hanya berusaha bagaimana kebaikan itu harus menjadi raja.
Wibisana mendengarkan kata-kata ibunya dengan hati yang masih bertanya-tanya. Wajahnya menyimpan keraguan yang belum ada jawabnya.
Nak, cintakah kau pada ibumu yang sudah lama menderita karena dosa-dosanya ini" tanya Sukesi lagi. Wibisana tak memberikan jawaban, ia segera memeluk ibunya dengan penuh air mata.
Wibisana, kau satu-satunya permata hati harapanku. Aku telah bersalah melahirkan kejahatan di Alengka ini. Kaulah yang dapat menghapuskan kesalahan masa laluku itu. Dari semua anak-anakku, hanyalah kau yang berwajah manusia, karena kau lahir ketika aku sudah menyesali dosa-dosaku. Mengabdilah kepada kebaikan yang kini sedang bertakhta di hati Ramawijaya, maka akan sempurna sudah penyesalan atas segala kesalahanku. Dewa-dewa akan mengampuni kesalahanku, karena mereka tahu bahwa aku pun bisa melahirkan anak dari cinta, bukan dari nafsu belaka. Tolonglah aku, Nak, pinta Dewi Sukesi.
Ibu, terimalah kasih sayangku. Aku percaya keprihatinanmu akan menjadikan kebahagiaanku, jawab Wibisana.
Berangkatlah sekarang, Anakku, lihatlah di sana, ayahmu sudah lama tiada, meninggal karena kesedihannya melihat kejahatan kakakmu yang dari hari ke hari makin merajalela. Kini ayahmu Wisrawa masih belum masuk ke alam kebahagiaannya. Kau pula, Anakku, yang bisa menolongnya. Kasihan dia, Nak, dia pula yang memberitahuku dalam mimpi saat inilah kau harus mengabdi kepada Ramawijaya, kata Sukesi terharu.
Ibu, apakah jaminan hidupku bila aku sudah meninggalkanmu" tanya Wibisana lagi.
Nak, adakah burung terbang meninggalkan bekas tapak kakinya"
Tidak, Ibu. Nak, adakah isi dari bambu yang berongga" Tidak, Ibu.
Adakah pula batas dari samudra raya" Atau adakah burung yang terbangnya melebihi langit" Adakah punggung dari bundaran batu permata"
Tidak ada, Ibu. Yang tidak ada itulah jaminan hidupmu, sebab yang tidak ada itu sebenarnya ada, hanya tak pernah kau melihatnya. Ia adalah kebaikan ilahi sendiri, ia bagaikan sinar yang tak bisa kau raba tapi senantiasa menghangatkan tubuhmu, ia bagaikan aroma yang bisa kau cium tapi kau tak tahu dari mana asalnya. Sudah lama ia menuntunmu, maka kini hendaklah kau makin menyadarinya. Kebaikan ilahi itulah yang akan menjadi jaminan hidupmu. Sudahlah, Nak, berangkatlah sekarang juga menghadap Ramawijaya di negeri seberang sana, kata Dewi Sukesi.
Tak tertahan kesedihan Wibisana ketika ia berpamit kepada ibunya. Dipeluknya ibunya erat-erat. Cinta seorang anak ini membuat pelupuk mata Batara Surya sejenak basah, hingga jatuh air matanya di sekitar kediaman Dewi Sukesi. Maka mekarlah bunga-bunga kenanga di pelatarannya, seperti ketika Sukesi menikmati rahasia Sastra Jendra. Di puncak ranting beringin, burung tadahasih menangis tak ada habisnya. Wibisana pun mencium ibunya, ia merasa inilah ciuman yang terakhir kali bagi bunda yang dicintainya.
Belum lama Wibisana meninggalkan ibunya, tiba-tiba terdengar suara tajam menegurnya. Sesosok tubuh dengan sepuluh muka marah menghadangnya. Ia adalah Rahwana yang masih panas hatinya.
Berhenti kau, Wibisana, mengapa kau tergesa-gesa" tanya Rahwana. Tak sedikit pun nampak takut wajah Wibisana.
Kakakku, aku hendak pergi dari Alengka. Aku hendak mengabdi pada Ramawijaya, kata Wibisana tabah.
Bedebah, kau Wibisana! Akan kau jualkah negeri ini kepada satria penjelajah rimba itu" bentak Rahwana.
Kakakku, kembalikanlah Dewi Sinta pada Ramawijaya, dan mulai sekarang perintahlah Alengka dengan bijaksana. Hanya syarat itulah yang dapat menahanku di Alengka, sahut Wibisana.
Setan kau Wibisana. Apa katamu, seperti halilintar di siang bolong, kebijaksanaanmu yang gegabah itu!
Kakakku, sebentar lagi akan tiba duta dari Maliawan. Turutilah nasihatku, kalau tidak kau ingin Alengka ini menjadi lautan api. Jangan halangi kepergianku. Tak peduli, apakah aku memang akan menjual Negeri Alengka, jawab Wibisana.
Jin, Setan, Peri Perayangan, Bangsat kau, Wibisana. Daripada kau berdosa menjual negerimu, lebih baik hari ini kau binasa di tanganku, bentak Rahwana geram.
Kemarahan Rahwana sudah tak tertahankan lagi. Ia memukulkan gadanya yang sakti ke tubuh Wibisana. Mata Wibisana berkunang-kunang, ia rebah ke tanah, bagai mati ia layaknya. Dewi Sukesi melihat kejadian itu dari kejauhan, patah sudah harapannya.
Rahwana, anakku, mengapa kau tega membunuh adikmu sendiri" Mengapa mesti kau tambah dosa-dosaku, Rahwana" Dewi Sukesi meratap. Langkah kakinya gontai.
Wibisana, anakku tercinta, ah betapa kejam hidup ini bagimu. Ampunilah, Nak, kesalahanku. Hanya sampai di sinikah perjalanan hidup yang penuh duka dan sengsara ini" Wibisana, belum kau temukan kebahagiaanmu, belum kau dapati pelunasan dosa-dosaku, kini kebinasaan sudah menghadangmu. Wibisana, maafkanlah aku, ratap Dewi Sukesi makin mengharukan hati, ia merangkul Wibisana yang sudah terpejam matanya.
Ibu, tidakkah kau malu mempunyai anak yang hendak mengkhianati negerinya" Mati di tanganku adalah hukumannya. Di manakah akan kusembunyikan maluku terhadap dunia. Aku adalah penguasa dunia, ejekan apa akan kuterima bila raja-raja mengetahui aku mempunyai adik pengkhianat seperti Wibisana" kata Rahwana geram.
Rahwana, sedemikian besarkah salahku sampai aku mengandung anak seperti engkau" Oh Dewa, manakah belas kasihmu" kata Sukesi. Rahwana makin geram mendengar kata-kata ibunya ini.
Ibu, jangan kau sesali kandunganmu. Perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri! Sudah terlambat kau meratap, mengapa tidak kau bunuh aku di dalam kandunganmu. Sudah terlampau perkasa aku untuk runtuh bersama penyesalanmu, kata Rahwana. Sukesi terdiam, hancur berantakan hatinya. Mendadak datanglah Prahasta, adik kandungnya, patih Alengka. Dalam kebingungan, raksasa ini membantu kakaknya berdiri.
Prahasta, masihkah dunia hendak menghukumku lebih lama lagi" Belum cukupkah penyesalanku baginya" Hari-hariku habis dalam penyesalanku. Oh Prahasta, padaku serasa tiada daya lagi untuk menambah penyesalanku. Biarkan aku menyusul Wibisana, Prahasta! meratap Dewi Sukesi di dada Prahasta.
Oh, sabar, Kakakku. Percayalah, kekejaman dunia bisa berubah karena penyesalanmu, kenapa kau tak mau menunggu. Masih ada senyum di mulut putramu yang tampan, Wibisana. Lihtlah, senyum merekah menghibur penderitaanmu, Prahasta mencoba menghibur kakaknya. Tapi ia menjadi khawatir sendiri dengan kata-katanya, ketika ia melihat Wibisana diam tak bergerak. Senyumnya adalah senyum pucat, yang tersungging dari mulut mayat. Prahasta tak tahan melihat pemandangan ini. Dilepaskannya Dewi Sukesi, dan ditelungkupinya mayat Wibisana.
Wibisana, benar-benar matikah kau, Anakku" Bangunlah, Nak, kasihanilah ibumu, kasihanilah aku, pamanmu, yang malang ini. Bangunlah, Nak, jangan tinggalkan kami! Prahasta menggoncang-goncang badan Wibisana. Tapi tak sedikit pun badan itu bergerak.
Oh Wibisana, kenapa tidak kau turuti kata-kataku" Tidakkah aku sudah mengatakan padamu, jangan kau membuat kakakmu marah. Oh, Anakku, kenapa aku terlambat mencegah kematianmu" Oh, Dewa, betapa kejam nasib yang kau timpakan padaku, raksasa yang malang ini, Prahasta mengeluh. Air mata berlinangan dari mata raksasa yang perkasa dan dahsyat ini.
Rahwana, hasrat apa gerangan ada pada dirimu sampai kau tega membunuh adikmu sendiri, dan menambah penderitaan ibumu yang sudah lama menderita karena dirimu" Prahasta meratap, memandang Rahwana dengan matanya yang kosong menatap.
Paman hentikan tangismu. Kau sudah terlalu tua untuk menjadi anak kecil yang merengek-rengek seperti sekarang. Sudah lama kau ikut memerintah Negeri Alengka. Masihkah kau tidak mengerti hukum negeri bagi pengkhianat seperti keponakanmu Wibisana ini" Diamlah kau, Paman, kalau kau tidak ingin menambah kegusaranku. bentak Rahwana keras.
Prahasta tak berani bicara lagi. Ia tidak ingin keponakannya yang jahat itu membuat malapetaka lagi. Dengan terbata-bata digandengnya tangan Sukesi, hendak diajaknya pergi. Tapi Sukesi, perempuan yang malang ini meronta-ronta, gundahgulana, dan putus asa.
Prahasta, biarkanlah aku di sini. Pergilah kau, dan tinggalkan aku di sini. Biar sepuas-puasnya aku memeluk anakku yang telah mati, kata Sukesi memberontak. Dan rebahlah ia menciumi pipi Wibisana, yang telah menjadi mayat.
Paman, jangan kau biarkan pemandangan menjemukan ini berlalu berlarut-larut di hadapanku. Bawalah ibuku pergi dari hadapanku. Cepat, Paman, daripada kusuruh raksasa-raksasa kasar itu menyeret kalian berdua. Jangan kalian membuat gaduh dengan ratap dan tangis, jangan ratap dan tangis kalian berdua jatuh pada manusia Alengka, adikku, bangsat pengkhianat yang telah menjadi mayat, bentak Rahwana tak sabar.
Aduh, Anakku, sabarlah. Jangan kau perlakukan ibumu sekasar itu. Biar aku membujuknya untuk pergi dari sini, Prahasta makin bingung. Makin didesaknyalah Sukesi untuk meninggalkan anaknya yang terlanjur kalap.
Sukesi, kakakku. Kasihanilah dirimu sendiri, jangan biarkan kejadian malang menimpamu lagi. Mari kita pergi dari sini, ajak Prahasta. Tapi Sukesi tak mempedulikannya. Makin keraslah ratap dan tangisnya di dada Wibisana. Rahwana sudah hilang kesabarannya, berteriaklah raja raksasa ini, suaranya menggeledek, memanggil abdinya Wilkataksini, prajineman Alengka yang sakti luar biasa.
Hai Wilkataksini, buanglah mayat Wibisana ini ke laut, biar mayat saudaraku yang tak tahu diri habis ditelan ikan-ikan di samudra. Dan kau sendiri, berjagalah di tengah laut. Kabarnya akan datang duta dari Maliawan. Telanlah dia menjadi makananmu, sebelum ia menjamah bumi Alengka. Rahwana memerintah berapi-api. Tiada belas kasih di hatinya sama sekali.
Dengan kasar Wilkataksini menjalankan perintah junjungannya. Diseretnya mayat Wibisana dari pelukan Dewi Sukesi. Serasa pingsan Dewi Sukesi, lemah lunglai melihat kekejaman anaknya sendiri.
Oh Dewa, lindungilah anakku yang tercinta Wibisana, hanya ini akhirnya kata-kata yang keluar dari hatinya yang telah remuk dan hancur. Dan makin deraslah air matanya mengalir. Maka kilat pun memecah angkasa. Cahayanya menyakitkan mata. Dan siang pun makin membakar marah, apinya bagai menjilat-jilat bumi Alengka. Mata Dewa Brahma tak berkedip dalam kegusarannya. Alengka sebentar lagi akan ditelan lautan api.
Prahasta segera menggendong kakaknya, perempuan tua yang malang itu. Sementara itu Wilkataksini sudah jauh menyeret mayat Wibisana, membawanya pergi ke samudra, dan dibuangnyalah mayat Wibisana di sana. Ombak yang dahsyat menerima Wibisana. Gelombangnya merayap setinggi gunung, lalu menghempaskan Wibisana ke tengah samudra. Di tengah samudra, ombak tenang bergulung-gulung, menjadi hamparan permadani biru yang mengayun-ayunkan Wibisana, bagai ibu yang membuat anaknya terlena dalam pelukannya.
D engkuran guntur dari Bukit Panglebur Gangsa memecah kesunyian langit, ketika Alengka sedang membisu dengan kematian Wibisana. Seorang raksasa lelap tertidur, padahal sudah habis mengucur air mata burung-burung cucur. Duka bunga-bunga pandan menggugah lautan, mengapa hai raksasa kau belum juga terbangun dari impian"
Raksasa itu adalah Kumbakarna, adik Rahwana, yang melewatkan hari-harinya dalam bertapa dengan tidur. Matanya terpejam, dibelai rambut-rambut bidadari yang berjumbai-jumbai. Angin bertiup perlahan, bunga-bunga pudak berjatuhan. Maka terlepaslah awan-awan dari kemarahan langit, lalu turun menjadi embun menyentuh bibir raksasa yang sedang tertidur. Senyum bunga bakung bergerak-gerak di bibirnya. Betapa indah tidur sang Kumbakarna!
Jangan kau terbangun hai Kumbakarna! Dunia ingin damai dalam tidurmu. Tiada lagi melati di perut-perut bumi. Kereta-kereta sudah bernyala-nyala dengan api perang. Malaikat-malaikat mau mengawal dari langit, membawa perisai dan pedang tajam. Wanita-wanita menyesali anak-anaknya yang binasa, berguling-guling dalam sungai-sungai darah, mengalir ke neraka. Dunia ingin damai dalam mimpimu yang indah, Kumbakarna.
Sudah padam pancadriya sang Kumbakarna! Pendengarannya bagai tuli, maka hilanglah watak dan keinginannya yang haus akan kesukaan yang tiada batasnya. Penglihatannya bagai buta, tak terganggu lagi ia oleh kepalsuan benda-benda dunia. Penciumannya bagai mati dari bau, tak tergoda ia oleh keharuman aroma-aroma yang menyesatkan. Pengecapnya bagai mati, tak ingin ia menikmati kenikmatan. Perabanya bagai lumpuh, musnahlah kehendak untuk memanjakan badan dengan meraba-raba kenikmatan.
Pada saat itulah Kumbakarna bermimpi berada dalam alam ketenteraman. Ia sudah terlepas dari badannya, yang bagaikan gunung memenjarakan jiwanya. Ia sudah berbalik dari jagad yang ketiga, lepas dari badan wadagnya. Melayanglah ia kembali ke jagadnya yang kedua, ketika ia berada dalam ketenteraman kandungan ibunya, terasa pula perjalanannya pulang menuju ke badan ayahnya. Dari sana, diterbangkan para bidadari jelita Kumbakarna pulang ke asalnya, ke alamnya yang luhur, lebih luhur dari badan atau kandungan ibunya. Di sanalah ia menikmati kedamaian dan ketenteramannya yang sejati.
Dari alam yang luhur ini Kumbakarna menyadari, sebagian kelahirannya ke dunia adalah karena nafsu. Betapa pun suci cinta ibu-bapanya, nafsu tetap menjadi sumber yang melahirkan dirinya ke dunia. Kumbakarna menyesal, mengapakah ia mesti dilahirkan di dunia dengan dorongan nafsu lelaki dan wanita" Sekelompok bidadari suci datang menghiburnya, mengapa Kumbakarna kau bersedih, tidakkah sudah merupakan keharusan orang lahir juga karena nafsu, tidakkah nafsu dan kehidupan itu seperti dian dan nyalanya" Perjalanan hidupmulah yang harus menghilangkan nafsu itu, supaya kau kembali tanpa nafsu itu, seperti keadaan di alam luhur ini. Kau tidak bisa mengelakkan diri dari kelahiran karena nafsu, tapi kau bisa berusaha agar ketika sampai di sini kau bagaikan nyala api tanpa diannya, hidup tanpa nafsunya. Kau bisa Kumbakarna, karena asal-usulmu yang sejati bukanlah nafsu. Lihatlah di sini berlaksa-laksa nyala ada tanpa diannya. Mereka adalah makhlukmakhluk yang suci setelah perjalanannya di dunia. Justru inilah kemuliaan dari alam luhur ini, bukankah tak terbayangkan oleh manusia ada nyala tanpa diannya"
Kumbakarna sedikit terhiburkan. Tapi terasa tiba-tiba air matanya berlelehan, mengingat kenyataan dirinya yang dilahirkan semata-mata karena nafsu ibu-bapanya, disertai sedikit sekali penyesalan mereka, seperti terjadi ketika mereka gagal memasuki ambang rahasia Sastra Jendra. Badannya yang raksasa sebesar gunung makin menyedihkannya, ia merasa dihukum oleh dosa ibu-bapanya.
Tapi Kumbakarna menghentikan tangisnya, ketika berdiri di hadapannya seorang wanita tua yang prihatin seumur hidupnya, sejak ia melahirkan anaknya. Wanita tua itu adalah Sukesi, ibunya, yang dengan deritanya hendak menghapuskan segala kesalahannya. Dipeluknya Kumbakarna dalam alam luhurnya. Dipujinya Kumbakarna karena hidupnya yang jujur dan penuh tapa serta matiraga. Maka naiklah bulan dari kesepian bintangbintang. Kumbakarna berada dalam alam tanpa bayangan. Nyala-nyala gemerlapan, tanpa dian-dian!
Berada dalam alam tanpa bayangan ini tiba-tiba Kumbakarna tak takut lagi akan kematian. Malah dengan tabah ia memanggil kematian untuk menjemputnya. Kematian menjadi suatu yang indah. Sekarang kematian malah menjadi pemenuhan bagi harapannya. Ia tak mau ditinggalkan kematian, karena kematianlah yang mengantarnya kepada keabadian. Kumbakarna tak takut kematian, karena hidupnya sudah menjadi keabadian. Kematian baginya hanyalah gerbang yang mengantarnya untuk makin masuk ke keindahan yang tiada taranya dalam keabadian.
Kumbakarna, kakakku, ikutkanlah aku dalam mimpimu. Aku bertanya padamu, manakah yang benar, kenyataan ini mimpi, ataukah mimpi itu kenyataan" Siapakah yang bisa menjamin bahwa kenyataan itu sungguh kenyataan dan bukan mimpi" Sebaliknya siapa tahu, jangan-jangan mimpi itu kenyataan" tanya sebuah suara.
Kumbakarna terkejut, suara itu ternyata berasal dari adiknya, Wibisana. Raksasa yang jujur ini sangat mencintai adiknya, satu-satunya saudaranya yang berwajah manusia. Betapa gembira ia menemui Wibisana dalam mimpinya.
Wibisana, mengapa kau bertanya demikian" balas Kumbakarna yang keheranan, karena sehari-hari ia tahu betapa besar kebijaksanaan adiknya ini.
Kakakku, aku sering kecewa, beberapa kali aku mimpi indah dalam tidurku, tapi setelah terbangun, mimpi itu bukan kenyataannya. Kenyataan menjadi menakutkan. Aku ingin selalu berada dalam mimpiku yang indah, tidakkah mimpi itu juga kehidupan, seperti halnya ketika orang terjaga dan sadar juga kehidupan" kata Wibisana.
Adikku, tiada yang tahu, mana kehidupan itu sendiri, mungkin ketika kau bermimpi, mungkin ketika kau terjaga. Tapi andaikan kenyataan itu hidup, kau bisa menjadikannya suatu mimpi indah, asal kau buat hidupmu tenang dan tenteram dalam batinmu, jawab Kumbakarna.
Aku ingin berada dalam alammu, Kakakku. Jangan kau terbangun, Kakakku. Sudah terlalu mengerikan kenyataan yang harus kau hadapi. Ajaklah aku berada dalam alammu! pinta Wibisana.
Mendadak suasana menjadi terang-benderang. Bintang-bintang bagai berjatuhan. Terdengar teriakan garang. Terbang bertebaran daun-daunan hutan. Badan Kumbakarna bergoncanggoncang, digoncangkan oleh abdi setianya, Togog Tejamantri, yang sedari tadi berusaha membangunkannya.
Paduka, bangunlah! teriak Togog Tejamantri sambil terus menggoncang-goncangkan tubuh Kumbakarna.
Raksasa dahsyat sejenak menggeliat. Ia terkejut. Dalam indah mimpinya, ia melihat kilapan pedang tajam. Bayangan hitam dari bulan, menyentakkan tidurnya. Serasa badannya tergoncang makin keras. Dan dalam pejam matanya, betapa ia merasakan adiknya, Wibisana, yang berlumuran darah menimpa dadanya. Ia tidak mengira, goncangan itu berasal dari Togog Tejamantri, yang hampir putus asa membangunkannya.
Oh Wibisana, kemarilah kau, Adikku. Adikku yang tampan. Adikku yang bijaksana, betapa aku merindukanmu. Kau seakan tahu kerinduan kakakmu, raksasa yang jelek ini. Kemarilah, Wibisana! kata Kumbakarna yang belum sadar juga dari tidurnya.
Paduka, sadarlah. Hambalah yang menggoncang-goncangkan tubuh paduka, teriak Togog Tejamantri kebingungan.
Belum terbangun sang Kumbakarna. Seakan ia ingin menahan mimpinya, agar tiada terjadi kenyataan yang mengerikan itu. Tapi mimpinya sudah berjalan di ambang kenyataan. Dan dalam matanya yang remang-remang, ia melihat darah makin keras menderas dari tubuh Wibisana, mengalir basah di dadanya.
Oh, Adikku, kenapa kau datang dengan keadaanmu yang mengerikan ini" Salahkah mimpiku ini" Kenapa kau, hai Wibisana, kenapa kau basahi dadaku dengan tangis air mata darah. Oh, Adikku yang tampan, Adikku yang tercinta, jangan kau ajak aku masuk ke dalam dunia kenyataanmu, jangan kau biarkan mimpi ini menjadi kenyataan, Wibisana, Kumbakarna terus bergumam, ia sudah di ambang alam sadar. Ia terkejut dan terbangun. Matanya terbelalak, melihat Togog Tejamantri di hadapannya.
Togog Tejamantri, salahkah mataku bila aku melihat kau yang berdiri di hadapanku, dan bukan Wibisana, adikku" tanya Kumbakarna.
Benar Paduka, hamba abdi Paduka, Togog Tejamantri. Hamba datang membawa kabar bagi Paduka. Tenangkanlah hati Paduka, sebelum hamba mengatakannya, jawab sang abdi. Togog Tejamantri! Mengapa kau kelihatan gelisah dan terburu-buru membangunkanku. Aku belum mau terbangun dari mimpiku. Biarlah kengerian itu hanya terjadi dalam mimpiku, jangan ia memaksa menjadi kenyataan. Aku bermimpi, badanku tergoncang hebat oleh badan adikku yang tampan, adikku yang bijaksana, Wibisana yang telah berlumuran dengan darah. Kenapa mimpi itu terjadi ketika kau menggoncang-goncang tubuhku" Togog Tejamantri, apakah artinya semua ini, tanya Kumbakarna sedih.
Sang abdi Togog Tejamatri terbungkam mulutnya. Tak hendak ia ingin berkata-kata. Kepalanya menunduk lemas. Pandangan matanya terlempar jauh dari hadapan Kumbakarna.
Togog Tejamantri, katakanlah, apa maksudmu membangunkanku" tegur Kumbakarna. Kini Togog Tejamantri tak mungkin lagi berdiam diri. Dipaksanyalah dirinya berkata-kata dengan berat hati.
Paduka, celaka, Paduka. Adik Paduka telah binasa, kata Togog Tejemantri terbata-bata.
Togog Tejamantri, jangan kau lanjutkan kata-katamu. Kau hanya bermimpi, sela Kumbakarna terkejut.
Mungkin hamba bermimpi, seperti juga Paduka telah bermimpi. Tapi mimpi ini telah menjadi kenyataan, Paduka. Adik Paduka, Wibisana, telah binasa di tangan Rahwana, kakak Paduka sendiri.
Apa, Wibisana binasa oleh kakakku sendiri"
Benar, Paduka, jawab Togog Tejamantri. Maka berceritalah Togog Tejamantri tentang semua peristiwa yang menimpa Wibisana.
Cukup, cukupkanlah kisahmu, kata Kumbakarna. Sejenak raksasa ini terdiam menahan kesedihannya. Dan merataplah ia dalam kegeramannya.
Oh, mengapa akhirnya mimpiku menjadi kenyataan" Aduh Wibisana, adikku yang tampan, adikku yang bijaksana dan tercinta, kenapa kau tinggalkan diriku" Keterlaluan kau Rahwana, kakakku. Betapa kejam kau terhadap adikmu sendiri.
Hari ini juga akan kuratakan Alengka dengan tanah. Biar aku mati menyusulmu, Wibisana, teriak Kumbakarna. Perasaannya bercampur aduk, marah, sedih, dan dendam.
Paduka, tenangkanlah hati Paduka. Jangan berita hamba ini menjadi sebab hancurnya Alengka. Semata-mata hamba hendak memberi tahu Paduka, kata Togog Tejamantri.
Togog Tejamantri, pulanglah kau ke rumahmu. Aku akan turun ke Alengka sekarang juga. Oh Rahwana, habis hari ini juga riwayat negerimu yang penuh darah, Kumbakarna berteriak makin geram. Teriakan mengguntur dalam kesunyian rimba Panglebur Gangsa. Teriakan mengerikan itu terdengar sampai ke Alengka, yang sebentar lagi akan habis oleh amukannya.
Ia segera bangkit dari Panglebur Gangsa. Berjalan terhuyunghuyung ke pusat kota Alengka. Sambil terus berteriak memanggil nama adiknya yang tercinta, Wibisana.
Raksasa sebesar gunung ini mengamuk. Pohon-pohon besar dicabutinya, dilemparkannya ke jalanan kota. Tak ada yang berani menghalanginya, karena takut akan kesaktiannya. Kesaktian Kumbakarna memang luar biasa, Rahwana pun kecil hatinya bila melihat adiknya ini mengamuk.
Kumbakarna pernah membantu kakaknya menghentikan amarah dewa. Waktu itu Rahwana sedang melabrak kahyangan, karena merasa ditipu oleh dewa yang memberinya Dewi Sukasalya palsu. Berkali-kali kepala Rahwana putus oleh panah Batara Indra, meski berkat Aji Pancasona-nya ia dapat hidup kembali. Kumbakarna sebenarnya tak setuju dengan tindakan Rahwana, tapi karena hatinya tak tega melihat nasib kakaknya, ia segera melemparkan gadanya, tepat mengenai badan Dewa Indra, sehingga ia pingsan, dan pertempuran terhenti. Saat itulah Rahwana tahu akan kesaktian Kumbakarna.
Kini Kumbakarna mengamuk tanpa perhitungan, tak ingat apa-apa, kecuali ingin mati bersama Wibisana. Pintu-pintu istana didobraknya. Taman-taman indah diberantakkannya. Siapa saja menghalanginya, dihajarnya.
Rahwana, betapa tega kau terhadap Wibisana! Hanya karena nafsumu akan Dewi Sinta, kau sampai hati membinasakannya. Hadapilah aku, Kakakku, biar aku mati atau kubalaskan nyawa Wibisana. Keluarlah kau dari takhtamu, aku sudah siap menghadapimu! teriak Kumbakarna marah.
Rahwana kebingungan. Ia menyuruh tiga anaknya, Trikarya, Trisirah, dan Dewantaka, menghadapi Kumbakarna. Tapi dengan mudah Kumbakarna mengalahkan mereka. Disuruhnya Indrajit, putranya yang paling sakti.
Indrajit mengeluarkan panah saktinya, Nagapasa. Ribuan naga-naga berapi memenuhi angkasa, hendak menjilat badan Kumbakarna. Tapi dengan suatu teriakan yang memekakkan telinga, Kumbakarna menghalau naga-naga itu kembali kepada Indrajit. Kumbakarna mengamuk terus, dan tiada yang dapat menandinginya.
Rahwana tidak kehilangan akal, dan muncullah kelicikannya. Ia menyuruh kedua putra kembar Kumbakarna, Aswani Kumba dan Kumba Aswani untuk bertempur melawan ayahnya sendiri. Aswani Kumba dan Kumba Aswani mencoba menolak, tapi karena ketakutan akan Rahwana, mereka terpaksa menurut dengan hati gundah-gulana. Kumbakarna terkejut melihat kedua putranya menghadang di depannya.
Nak, mengapa kau mau melawan ayahmu sendiri. Aku sangat mencintaimu, Nak. Mundurlah kau berdua, biar kuhadapi pamanmu. Ah, Rahwana, betapa kejam kau, kau rela menyuruh anak melawan ayahnya! kata Kumbakarna.
Ayah, maafkanlah kami. Kami tak bermaksud melawan Ayah. Tapi kami harus menyelamatkan Alengka dari amukan ayah yang membabi buta. Itulah perintah Paman Rahwana, jawab kedua putranya.
Oh Dewa, ampunilah aku. Perkenankan aku berperang melawan putraku sendiri. Salahkanlah aku, oh Dewa, jangan salahkan mereka berdua yang belum tahu apa-apa tentang kejahatan. Mereka hanya menjalankan perintah, oh Dewa. Mereka akan mati di tangan Rahwana bila mereka tidak mentaati perintahnya. Lebih baik mereka mati di tanganku, daripada kuserahkan mereka ke tangan kejahatan kakakku. Anakku, maafkanlah aku. Wibisana, temanilah aku, kata Kumbakarna.
Hatinya masih kacau dan sedih. Tiba-tiba Aswani Kumba dan Kumba Aswani sudah menyerangnya. Kumbakarna roboh sejenak, karena hantaman kedua putra kembarnya itu, kekuatan mereka memang seperti ayahnya, penuh keraguan ia hendak membalas serangan putranya. Di tengah kekerasan yang berdarah ini, nampak Kumbakarna menyeka air matanya. Siapa tahan harus berperang melawan putranya sendiri, raksasa pun tidak!
Akhirnya dipeluknya kedua putranya, ketika mereka mau menyerang lagi. Aswani Kumba dan Kumba Aswani merasakan kehangatan seorang ayah di tengah amukan badai peperangan. Mereka tidak berdaya melawan kehangatan seorang ayah itu. Tapi ini peperangan, maka dihentakkanlah sang ayah. Kali ini terpaksa Kumbakarna membalas. Dilemparkannya kedua putranya. Siapa saja pasti akan binasa jika Kumbakarna bertindak demikian. Namun Kini ia bertindak dengan kasih sayang. Aswani Kumba dan Kumba Aswani memang tersentak hebat tapi mereka tidak sampai binasa ketika mencium tanah, berkat kasih sayang ayahnya.
Kumbakarna terus mengamuk, begitu kedua putranya sudah jauh menghilang. Badan Wibisana yang berlumuran darah menjadi bayang-bayang kemarahannya. Ditubruknya rumah-rumah penghuni kota Alengka, dinding-dinding remuk berkeping-keping. Dan atap-atap yang roboh disepaknya, beterbangan ke udara, jatuh menimpa penduduk kota yang lari tunggang-langgang karena ketakutan. Prajurit-prajurit istana yang mencoba untuk berani melemparkan segala macam senjatanya, gada, tombak, pedang, tameng ke arah tubuhnya. Tapi dengan mudah dihalaunya senjata-senjata itu, dilemparkannya tanpa tahu siapa yang akan menjadi mangsanya. Beribu-ribu panah menghampirinya, tapi dengan hembusan nafasnya yang dahsyat, panah-panah itu berhamburan patah.
Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kumbakarna sudah sampai di balairung istana. Jika balairung istana itu roboh olehnya, lengkaplah sudah malapetaka menimpa Alengka. Rahwana tahu, amarah adiknya akan bisa membawa kehancuran Alengka. Ia harus menghadapinya, meski hatinya bingung dan takut tak keruan. Baginya, Kumbakarna bukan lawan yang mudah ditaklukkan. Tapi biar bagaimana, ia merasa amukan Kumbakarna harus dihentikan. Maka keluarlah raja Alengka ini dari istananya, menyongsong kedatangan Kumbakarna.
Hai Kumbakarna, berhenti kau! Biadab, akan kau rusakkah negerimu sendiri" Aku sendirilah yang akan menghadapimu. Pergilah tidur ke Panglebur Gangsa, kalau kau tidak ingin mati bersama adikmu, pengkhianat Wibisana, bentak Rahwana.
Rahwana, Kakakku. Sudah menjadi niatku untuk menyusul adikku Wibisana tercinta yang binasa oleh tanganmu. Kau tak perlu menantangku untuk mati. Aku sudah siap, Kakakku. Tapi sebelumnya, aku ingin membalas kematian adikku. Sebelum kau binasa, tak hendak hatiku tentram, juga setelah aku mati. Rahwana, kakakku, mari bersama-sama menyusul adik kita tercinta, Wibisana! balas Kumbara tak kalah garangnya.
Uah, setan kau, Kumbakarna. Mati kau hari ini juga! Rahwana terbang dalam kemarahannya. Sepuluh mukanya keluar, seram dan menakutkan. Mata diwangkara surut sebentar. Bergeser cahaya muram. Datang keteduhan, keteduhan awan hitam, dan langit tersobek dalam celah kematian yang kelam. Berlarilah kedua raksasa, kakak beradik ini hendak bertubrukan, dengan taruhan kebinasaan. Untunglah tiba-tiba datang mencegat di antara mereka berdua, seorang raksasa tua, Patih Prahasta, hendak menghalangi pertempuran kedua keponakannya.
Paman, minggir! Remuk pula kau nanti karena ulahmu sendiri. Biar kuantar mati adikku yang biadab ini, bentak Rahwana.
Nak, tahanlah, Nak. Perkenankan aku berbicara dengan adikmu, jangan kau hancurkan Alengka yang tercinta ini dengan kemarahanmu. Ijinkanlah aku, Nak, pinta Patih Prahasta. Rahwana masih membentak-bentak geram, namun ia mencoba menyabarkan diri, dan membiarkan pamannya berbicara dengan Kumbakarna.
Kumbakarna, anakku, apa jadinya Alengka bila kau terus mengamuk seperti ini" Hentikanlah amukanmu, Anakku. Masakan kau tega merusak tanah kelahiranmu sendiri" sapa Prahasta. Kumbakarna tertegun, dipandanginya pamannya yang bijaksana dan pencinta negeri ini.
Paman, sebenarnya tak ada niat padaku untuk menghancurkan negeriku. Aku hanya ingin membalaskan kematian Wibisana, adikku yang tercinta, jawab Kumbakarna.
Tapi Nak, tidakkah balas dendammu akan membawa kehancuran bagi Alengka pula"
Biar itu terjadi, Paman, daripada bertakhta terus kejahatan di Alengka ini,
Kumbakarna, Anakku! Mungkinkah kejahatan itu tiada, sejauh kebaikan masih bertakhta" Kebaikan itu justru akan makin bersinar cemerlang karena adanya kejahatan anakku. Lihatlah, amarah diwangkara seakan membakar habis semuanya, tapi di tepi Taman Argasoka, setangkai bunga padma mekar dengan indahnya. Dan betapa indahnya bunga padma itu, justru karena Alengka sedang hangus oleh amarah diwangkara. Berilah kesempatan bagi kebaikan itu bertakhta, jangan kau menghalangi kemekarannya dengan meniadakan kejahatan lawannya. Pada hematmu, Alengka ini tempat kejahatan. Pada hematku, justru di Alengka ini kelak kebaikan akan mekar. Siapa tahu, Nak, Alengka yang jahat ini adalah tempat yang paling baik bagi kebaikan untuk bertakhta, meski itu terjadi di kelak kemudian" Maka jangan kau hancurkan Alengka ini, Nak, karena dengan demikian kau menghancurkan pula kebaikan yang ingin bertakhta di atas kejahatan ini.
Itulah, Nak, yang harus menjadi pegangan bagi seorang satria. Dan itu pula yang menjadi alasan mengapa satria harus membela dan memeluk negerinya. Meski negerinya jahat, bukan demi kejahatan itu ia membela negerinya, tapi demi kebaikan yang kelak akan bertakhta di atas kejahatan. Mengertikah kau, Kumbakarna"
Paman, tidakkah dengan demikian satria akhirnya juga harus menerima kejahatan negerinya"
Mengapa kau masih bertanya demikian, Nak" Tidakkah sudah kukatakan, seorang satria mau menerima kejahatan negerinya, justru karena ia tahu di sanalah kebaikan akan makin cemerlang bertakhta" Yang terakhir itulah yang harus menjadi kewajibanmu sebagai satria. Kalau kau berbuat demikian, akhirnya kau akan tahu bahwa sebenarnya tak ada negeri yang jahat. Negeri ini berasal dari kebahagiaan dan kedamaian warganya, atau setidak-tidaknya negeri ini terbentuk karena keinginan warganya yang ingin damai dan bahagia. Nanti kau akan tahu, Nak, kalau negeri ini jahat, sebenarnya bukan negerinya sendiri yang jahat, tapi penguasanyalah yang jahat. Maka hidup seorang satria itu memang berat, Nak. Satria itu harus bertapa di pucuk pedang, jadi sebenarnya lebih berat daripada pendeta yang bertapa di pucuk gunung. Satria itu tahu kejahatan dalam negerinya, tapi toh ia harus mempertahankannya dan mencari kesucian di dalamnya. Kalau tidak, ia bukan seorang satria, Nak.
Paman, kalau begitu apakah kau menyalahkan Wibisana karena ia mengkhianati negerinya"
Tidak, Nak, adikmu merintis jalannya sendiri. Aku sendiri tetap tak mengerti mengapa ada hukum negeri, dan hukum kebaikan ilahi. Wibisana berhati seorang pendeta, maka ia menerima riwayat negeri dalam terang kebaikan ilahi seperti diajarkan ibunya Sukesi. Dan ingin menyelamatkan negeri dari dosa-dosa ibunya. Sedangkan kau dan aku adalah satria-satria yang tak boleh berpikir seperti itu. Apa pun halnya, kita harus menumpahkan darah untuk pertiwi ini.
Paman, manakah yang benar"
Itulah, Nak, teka-teki kehidupan. Salahkah, Nak, jika aku mati bagi pertiwi" Salahkah Wibisana, jika ia menuruti hukum kebaikan ilahi" Semuanya rahasia, Nak! Biarkanlah itu terjadi semuanya. Jangan mencari mana yang benar. Karena sudah bukan rahasia lagi, bila ia terungkap sebagai kebenaran yang pasti! Lakukanlah tugasmu sebagai satria, Nak! kata Prahasta.
Tiba-tiba di belakang terdengar suara membentak tajam. Suara Rahwana yang menahan geram. Paman, cukup sudah nasihatmu bagi si bodoh itu. Percuma kau berkata-kata, takkan adikku yang penidur ini memahaminya. Serahkan dia padaku, kulabraknya sekarang juga, supaya ia bisa menyusul Wibisana, seperti diinginkannya, bentak Rahwana. Prahasta berusaha untuk tak mempedulikannya, raksasa tua itu menepuk-nepuk bahu Kumbakarna, dan ditatapnyalah keponakannya itu dengan mata penuh harapan.
Kumbakarna, anakku. Kabulkanlah, permintaan pamanmu, raksasa yang telah lelah dengan usianya ini. Jangan kau lanjutkan amarahmu, ya Nak. Apa kata dunia jika kau merusak negerimu dan apa jadinya Alengka tercinta ini kalau kau mesti berperang dengan kakakmu. Akan lebur, Nak, Alengka. Pulanglah ke Panglebur Gangsa, Nak, dan leburlah segala amarahmu dan dendammu dalam irama kebeningan budimu. Itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negerimu sekarang ini, pinta Prahasta kepada Kumbakarna.
Kumbakarna terdiam. Ia menengadah ke langit. Dan lihatlah, langit sedang tersobek dalam celah kematian yang kelam, pecah cahaya yang merayap perlahan, menembus keteduhan awan hitam, menjadi bulan malam dalam kegarangan sinar diwangkara yang selalu siang. Kumbakarna terbelalak, seakan ia melihat kebaikan bertakhta di atas kejahatan, dalam rupa permata bulan di singgasana diwangkara yang mau muram. Kumbakarna pun lari memeluk pamannya. Sedu sedannya tak tertahankan. Dan dewa-dewa pun terharu hatinya, menyaksikan dua raksasa sebesar gunung itu saling berpelukan. Maka turunlah hujan bunga dari langit, mengiringi peristiwa yang mengharukan hati ini.
Aduh, Paman, maafkanlah aku. Syukur kau datang menghalangi aku merusak negeriku tercinta ini. Kalau tidak, di mana aku harus menaruh mukaku sebagai satria" Terima kasih, Paman. Sekarang aku pulang ke Panglebur Gangsa. Bangunkan aku, jika Alengka ini akan hancur oleh balatentara Ramawijaya. Saat itulah aku akan menumpahkan darah bagi negeri tercinta ini. Aku minta pamit, Paman, kata Kumbakarna. Ia segera melesat cepat, pulang ke Panglebur Gangsa. Mata Prahasta basah melihat kepergiannya.
Bedebah kau, Kumbakarna. Kau kira aku sudi minta pertolonganmu" Akan kuselamatkan sendiri negeri ini tanpa bantuanmu. Biar kau mati tertidur dalam tapamu, kata Rahwana marah melihat kepergian Kumbakarna. Dan bagaskara pun makin membara, begitu Kumbakarna pulang ke Panglebur Gangsa. Raksasa jujur ini tertidur dalam ketidaktahuannya akan kejahatan yang terjadi di Alengka.
O mbak samudera raya bergulung-gulung dalam kekejamannya.
Gemuruh, jerit teriakannya. Airnya naik hendak merobek langit, yang sedang mencium bumi di cakrawala kasih sayangnya. Langit gemetar berkaca-kaca, terpecik amarah samudra raya. Langit mundur di cakrawala jauh seberang sana, tak terjangkau oleh samudra raya.
Siapakah yang dapat menaklukkan kebesaran langit" Datanglah angin dari keempat penjurunya, bertiup suaranya seperti seruling menenteramkan gelora samudra raya. Gelombang samudra menjadi tenang, reda amarahnya, menjadi harapan yang merindukan tepi-tepinya.
Di samudra raya ini berdiri prajineman Wilkataksini. Badannya kuat, tak terhempaskan gulungan ombak. Wilkataksini ini adalah prajineman raksasa yang sakti luar biasa. Dahulu ia adalah penjaga Negeri Lokapala yang disayangi Prabu Danareja. Setelah Lokapala bedah oleh Rahwana, Wilkataksini dijadikan penjaga Alengka. Kini ia sedang menjalankan perintah Rahwana untuk mencegah duta dari Maliawan yang kabarnya akan tiba menjelajah Alengka.
Matahari sedang bermain-main dengan gelombang samudra. Cahayanya terpercik di air-air bagaikan batu permata. Berkasberkasnya mengurai dalam gulungan ombak yang hendak menyentuhnya, bagai selendang putih kebiru-biruan. Wilkataksini menanti lawannya dalam keindahan samudra raya.
Sudah berhari-hari Wilkataksini membuka mulutnya. Bibirnya yang atas naik hampir menyentuh langit. Bibirnya yang bawah turun hampir menyentuh dasar samudra. Prajineman ini mempunyai daya tak terbilang kekuatannya, ia bisa menyedot siapa saja bila mulutnya menganga. Tapi belum juga tiba duta yang hendak ditelannya.
Tiba-tiba di angkasa ada cahaya keputih-putihan. Melesat seperti halilintar. Membelalak mata Wilkataksini, merah laksana api. Terlihat olehnya, cahaya putih makin mendekat, berbentuk kera putih. Wilkataksini segera tahu, inilah mangsa yang dinanti-nantikannya. Memang kera putih itu adalah Anoman, duta dari Maliawan, yang terbang seperti kilat dari Gunung Maenaka yang melemparkannya.
Wilkataksini segera mengerahkan seluruh tenaganya. Mulutnya menganga keras. Langit dan dasar bumi terhentak karena sepasang bibirnya bagai menjilat serupa lidah seekor naga. Air samudra berdebur-debur disedotnya. Angin dari segala jurusannya berubah ke satu arah, bagai badai ia masuk ke perut Wilkataksini.
Anoman terkejut tak mengira. Tapi sebelum ia sempat berpikir apa-apa, Kera Putih ini sudah kehilangan segala dayanya. Bagai sehelai kapas ia tersedot lewat mulut prajineman Alengka yang sakti itu. Seberkas terang masih sempat dilihatnya ketika ia berada di ambang mulut Wilkataksini, tapi kemudian ia merasakan gelap-gulita di sekitarnya. Kera Putih ini sudah berada dalam perut Wilkataksini.
Sejenak Anoman tak sadarkan diri. Batara Surya selalu menaunginya. Maka sedikit cahaya masuk lewat mulut Wilkataksini. Dan Anoman pun melihat samudera raya seisinya. Senasib dengan dia, makhluk lautan juga tertelan di perut Wilkataksini, ketika sang prajineman mengeluarkan daya kesaktiannya.
Betapa damai keadaan samudra di dalam perut Wilkataksini. Ikan-ikan besar bercanda dengan anak-anak buaya. Kura-kura tertawa ria bertunggangan dengan ikan kuda-kuda. Anak kurakura dibelai buaya-buaya raksasa. Mata-mata udang terkedip berkaca-kaca, terbuai di supit-supit kepiting. Naga-naga laut tertidur dikerumuni belut-belut.
Merambati permadani lumut, bagai pelangkah keadaan ikanikan bintang laut. Hutan ganggang berhiaskan teratai-teratai segar. Pacar-pacar banyu menjadi mainan ikan-ikan bundaran. Anoman terheran-heran, sedamai inikah keadaan lautan. Di depan matanya bercahaya kunang-kunang lautan, menambah kedamaian hati Anoman yang sedang meragukan kasih sayang binatang-binatang lautan. Dan lihatlah, ikan yang kelihatan ganas pun tersenyum dielus-elus ikan bergerigi tajam.
Wilkataksini merasa ia sudah menelan mangsanya. Dengan lega dikatupkannya kembali mulutnya. Sepasang bibirnya menyentak keras, dan terhalanglah sinar Batara Surya. Keadaan di dalam perutnya menjadi sangat gelap-gulita.
Anoman meraba-raba dalam gelap. Sampai sekarang ia belum merasa bahwa dirinya berada dalam perut prajineman raksasa. Mendadak muncullah dari kejauhan cahaya kecil keemas-emasan. Seekor ikan kecil bersisik kencana mendekatinya, dan membuat suasana terang remang-remang.
Anoman, tahukah kau bahwa kau sedang berada di perut seorang raksasa" tanya ikan bersisik kencana itu. Matanya berkedipan basah dengan tenaga air samudra. Anoman segera teringat, tadi dia ditarik oleh tenaga luar biasa ketika ia sedang melesat di angkasa.
Tapi mengapa kulihat keindahan samudra, kalau aku berada di perut raksasa" tanya Anoman.
Ikan bersisik kencana itu tidak memberi jawaban. Ia segera menyelinap di perut naga laut. Keadaan menjadi gelap gulita lagi. Anoman hanya bisa merasa, ia meraba-raba usus-usus raksasa. Bau anyir darah menusuk hidungnya. Anoman merasa ngeri berada dalam keadaan gulita itu.
Anoman, keindahan dan kedamaian itulah rahasia kekayaan samudra raya, kata ikan kencana yang tiba-tiba muncul lagi. Keadaan berubah terang lagi, karena sisiknya yang keemasemasan.
Anoman, renungkanlah rahasia itu. Dan terimalah sisik kencanaku ini. Kebesaran samudra raya akan berada dalam dirimu, kata ikan kencana, sambil mempersilakan Anoman mencabut satu sisiknya. Anoman disuruh menelan sisik kencana itu, sambil hatinya tetap tertuju kepada rahasia yang baru dialaminya.
Tiba-tiba tubuh anoman menjadi makin besar, makin besar. Wilkataksini merasakan guncangan di perutnya. Terkejut prajineman ini ketika dari mulutnya keluar darah. Darah itu ternyata mengalir dari perutnya yang mulai pecah.
Sementara tubuh Anoman terus makin membesar, melebihi kebesaran tubuh Wilkataksini. Ombak-ombak menggulung hebat, ketika tubuh Wilkataksini terguncang-guncang karena hampir tidak kuat lagi menahan tubuh Anoman di dalam perutnya. Dan terlihatlah rahasia kebesaran samudra, ketika Wilkataksini berteriak untuk terakhir kalinya. Teriakan menyayat hati itu dibarengi dengan pecahnya badan Wilkataksini karena daya samudra di dalam diri Anoman yang mendobraknya.
Tubuh Wilkataksini pecah berkeping-keping. Ombak-ombak menjadi merah karena darahnya. Ombak darah ini menggulung badan Anoman yang sudah menjadi kecil lagi. Mengantarkannya ke pantai timur negeri Alengka.
Bulu Anoman yang putih menjadi merah bermandikan darah. Ia terkejut, tapi demikian hebat ombak menggulungnya sampai dia terdampar di tepi sungai.
Ketika sampai di pantai, ia merasa terhampar di permadani merah yang memanjang dari gerbang kota ke tepi pantai. Demikian nikmat permadani itu, sampai Anoman lupa dirinya baru saja terhempas hebat oleh ombak dan darah setelah kematian Wilkataksini.
Anoman terlena, tanpa merasa permadani merah itu menggulungnya perlahan-lahan. Demikian lembut sentuhan permadani, ada rasa kasih sayang terasa di dalamnya. Permadani itu sekaligus memandikannya, sehingga hilanglah darah yang melekat di tubuh Anoman. Anoman menjadi putih seperti sedia kala, ketika ia merasa permadani itu dengan hebat melilitnya.
Permadani itu menghilang, dan Anoman merasa tiba-tiba ia sudah berada di hadapan mulut seorang raksasa. Ternyata permadani itu adalah lidah prajineman Alengka, bernama Ditya Kilatmeja. Ditya Kilatmeja ini adalah prajineman Alengka yang bertugas menjaga pintu kota. Lidahnya bisa menjulur sangat panjang sesuai dengan kehendaknya. Dengan lidahnya inilah ia menggulung musuh yang mau masuk Alengka, tanpa ia menyadari, karena lidah itu nikmat bagaikan hamparan permadani.
Maka Anoman tersadarkan diri. Segera ia menggigit putus lidah prajineman Ditya Kilatmeja. Kilatmeja tewas dan hilang seketika, tapi pada saat itu juga Anoman telah berubah menjadi prajineman raksasa! Anoman tak mempedulikan keadaan dirinya. Ia terus masuk ke gerbang kota. Tak ada yang mencurigainya karena dirinya disangka prajineman Alengka.
Anoman merasa haus. Dan ia melihat buah waluh segar menggelantung di pohonnya. Pohon waluh ini dijaga oleh dua prajineman, yang kebetulan sedang tertidur. Anoman segera memetik pohon waluh itu. Ia merasa dahaganya puas luar biasa, dan ada keadaan dingin merambati tubuhnya.
Kawan, berani benar kau makan buah waluh ini" Buah waluh ini santapan sakti junjungan kita Rahwana. Maafkanlah kami, meski kau adalah rekan kami, kami terpaksa membunuhmu, karena tindakanmu yang gegabah itu, kata dua prajineman yang terjaga dari tidurnya. Mereka adalah Ditya Ramadya dan Ditya Dayapati, dua prajineman kembar Rahwana, yang khusus bertugas menjaga pohon waluh santapannya.
Anoman terheran-heran, mengapa dua prajineman itu menegurnya demikian ramah. Mestinya, mereka marah, karena ia telah membuat kesalahan demikian besar dengan memakan buah waluh Rahwana. Diamatinya lebih dalam kedua prajineman itu. Ramadaya yang kelihatan lelaki, tapi nampak seperti wanita. Dan Dayapati yang kelihatan wanita, tapi nampaknya seperti lelaki. Mata prajineman kembar ini memandangnya dengan minta belas kasihan. Pandangan mata mereka seperti membawa Anoman ke semacam masa silam yang belum datang.
Belum habis keheranannya, prajineman kembar itu segera menyerang Anoman. Anoman mengelak. Maka terjadilah pertempuran, sangat indahlah pertempuran ini, karena baik Anoman maupun prajineman kembar itu senantiasa berusaha saling mengalah. Serasa ada damai dalam pertarungan itu.
Tak lama kemudian Anoman berhasil menangkap kedua bahu mereka. Dipeluknya kedua prajineman itu. Anoman merasakan kehangatan mereka. Tapi ia merasa, tak boleh terlalu lama ia membuang waktu. Dengan cepat, ia mengadu kedua kepala prajineman kembar itu. Kepala mereka pecah. Hilanglah mereka, masuk ke dalam jagad Anoman.
Anoman melewati jalanan panjang. Di sampingnya ada kali dalam. Beberapa wanita sedang mengambil air di kali itu, dikawal seorang prajineman yang menyeramkan. Wanita-wanita itu nampaknya para emban putri istana. Anoman membuntuti mereka, jangan-jangan mereka mencari air untuk mandi Dewi Sinta. Tapi prajineman pengawal memergokinya.
Prajineman pengawal itu adalah Ditya Kala Garba Ludira. Prajineman ini mencurigai Anoman, karena sehari-harinya tak pernah ada makhluk yang berani berkeliaran di jalanan panjang itu. Garba Ludira segera membentangkan tebing darah yang menutupi perjalanan Anoman.
Anoman mengeluarkan Aji Sepi Angin pemberian Dewa Bayu, dan tembuslah tebing darah yang dipasang oleh Garba Ludira yang sakti itu. Tebing darah itu buyar berantakan, dan Anoman terkejut karena tiba-tiba ia berada dalam sebuah padang luas, kali, dan perempuan emban pun menghilang. Ia hanya sempat melihat Garba Ludira berubah menjadi selendang darah, melayang-layang sebentar, lalu masuk ke jagadnya. Dan begitu selendang darah itu hilang, Anoman pun berubah kembali menjadi kera putih seperti asalnya. Betapa aneh kelakukan prajineman Alengka ini, pikir Anoman. Belum habis ia bertanya-tanya tentang semua keanehan yang baru dialaminya, tiba-tiba ada prajineman berwujud buta bajang putih (raksasa bajang putih) menegurnya.
Anoman, aku mau ikut kamu. Dulu aku menangis kau tinggalkan, kini jangan kau pergi Anoman. Tinggallah bersamaku. Sudah lama aku merindukanmu, kata buta bajang putih itu.
Sangat anehlah rupa prajineman ini. Wajahnya seperti kera, mirip dengan diri Anoman sendiri. Ia mempunyai ekor kecil yang sangat indah dan mungil. Warna tubuhnya putih. Besar badannya pun tak seperti raksasa. Tangannya menggengam belalang, dan sebentar-sebentar ia mencaploknya. Pandangan prajineman buta bajang itu seperti terluka oleh harapan yang tak kunjung tiba.
Siapakah kau prajineman yang menyerupai diriku" tanya Anoman
Prajineman buta bajang putih itu tidak menjawab. Malah didekapnya dada Anoman. Dan sambil menggelayut di lehernya, diciumilah pipi Kera Putih itu sepuas-puasnya. Anoman merasakan kehangatan. Dan kera putih yang sebatang kara ini serasa mempunyai saudara yang mencintainya.
Lama Anoman membiarkan dirinya larut dalam kehangatan yang mengherankan itu. Terpejam matanya, tapi ketika ia membuka matanya kembali, lihatlah, matahari gemetar, redup-redup tergoncang, dan cahaya lemah temaram. Temaram gemetar, matahari berenang, mandi dalam kesegaran empat warna cahaya gemilang.
Dari timur cahaya putih merekah, bersinar dalam gelombang air kelapa, di pasang surutnya naik dan turun kembang menur dan melati, matahari terdiam diselimuti. Dari selatan mengalir lautan madu, merah-merah warnanya, datang bersama taburan kembang celung dan krandang, di kibasan sayap-sayap elang. Pasang gelombang dari barat, berbuihan kuning sari manisnya, kembang tunjung dan cempaka mekar terbawa oleh arusnya, terbang dalam sayap burung kepodang yang menaunginya. Dan dari utara, bergulung-gulung ombak lautan nila, mengepakngepak sayap-sayap burung tuhu, dan terhembuslah angin yang menebarkan kembang telung dan temu.
Matahari hilang, hanya temaram cahayanya yang memancar, tapi kemudian tertelan dalam kesegaran gemilang empat warna. Dan dalam pemandangan itu, Anoman melihat seorang makhluk wanita muda telanjang terlentang, makhluk lelaki muda menelungkupinya, membelainya dengan kasih sayang. Nikmat dua insan disaksikan makhluk lelaki tua yang tertunduk membungkuk seperti kematian, dan makhluk perempuan renta yang memeluk lututnya bagaikan kelahiran. Terdengar suara mengaduh-aduh bahagia dan tersentaklah mereka, maka saat pun mundur di waktu kesembilan, dan datang di antara mereka seorang manusia wanita yang mengeluh kesakitan. Anoman seperti mengenal manusia wanita yang mengeluh kesakitan itu, padanya Anoman bagai melihat kelahirannya sendiri. Dan tepat pada saat itulah, Anoman mendengar suara mesra menyapanya.
Anoman, prajineman buta bajang itu adalah Ditya Pulasio. Seperti ke empat prajineman yang telah kau jumpai, ia adalah saudara-saudaramu. Anoman, terimalah dia dalam jagadmu, kata suara yang menyapa Anoman.
Ibu! Betapa aku merindukanmu! teriak Anoman. Ia tidak asing akan suara lembut yang menyapanya. Suara itu adalah suara ibunya Retna Anjani, yang telah lama meninggalkannya.
Maka menengadahlah Kera Putih ini. Ia melihat, bulan telah menjadi mata dari siang. Bidadari berterbangan kencang. Di tengah kegerahan siang, angin kebahagiaan mengelus dedahanan. Ditya Pulasio menghilang, masuk ke jagad Anoman. Dan Retna Anjani pun turun, diiringi bidadari putih, yang menyandang pedang bunga pandan. Senyum Retna Anjani bagai remang-remang kebahagiaan bulan. Dan Anoman dipeluknya dengan kasih sayang.
Nak, ingatkah kau ketika padamu aku menceritakan tentang Purwajati, asal-usulmu yang sejati" tanya Retna Anjani.
Takkan peristiwa itu terlupakan olehku, Ibu, jawab Anoman.
Purwajati itu baru saja kau lihat, Nak. Kau dilahirkan dalam kesatuan dengan jagad semesta. Bapa kawahmu yang timur, ibu darahmu yang selatan, kakek ari-arimu yang barat, dan nenek pusarmu yang utara, serta aku ibumu, kami semualah kekuatan jagad semesta yang telah melahirkanmu. Pada kelahiranmu kekuatan jagad semesta itu menyatu, menjadi milikmu, mewujud dalam rupa kawah, ari-ari, darah, dan pusar. Maka sebenarnya kau lahir bersama kakang kawah, adi ari-ari, getih dan puser, artinya sewaktu kau lahir kau bersaudara lima: kawah, ari-ari (dua kembar), darah, dan pusar. Kelima saudaramu itulah yang menemani kelahiran dan hidupmu.
Ibu, kini kutahu, mengapa saat itu aku sangat merindukan untuk bersatu dengan mereka, sampai aku ingin menelan matahari yang memisahkan kami. Ternyata aku tidak sebatang kara. Kekuatan jagad semesta adalah saudaraku, dan milikku. Tapi Ibu, mengapa aku mesti demikian lama dipisahkan dengan mereka"
Nak, kekuatan-kekuatan jagad raya selalu ingin bersatu dengan dirimu, karena dalam dirimu ia akan mendapat kesempurnaannya. Tapi ketahuilah, Nak, tak mungkin kau bisa menghindar untuk tidak lahir dari dosa, karena demikianlah hakekat kehidupan dunia. Maka ketika kau dilahirkan, saat itu pula kekuatan jagad semesta terpaksa dipisahkan dari dirimu. Dan tersebarlah kawahmu di timur, darahmu di selatan, ari-arimu di barat, dan pusarmu di utara. Karena terpisah darimu, kekuatan jagad itu lalu berada dalam keadaannya yang makin tidak sempurna. Tapi sebenarnya keadaan yang tidak sempurna itu adalah akibat dosa-dosa kehidupan ini, juga kehidupanmu sendiri pada saat kau dilahirkan.
Ibu, tapi mengapa aku dilahirkan dalam rupa bayi, yang lain dengan mereka"
Cinta seorang ibulah yang selalu mencoba untuk mengalahkan dosa-dosa itu, maka mewujudlah cinta itu dalam rupa dirimu yang lahir sempurna sebagai bayi. Maka menjadi keprihatinanku selalu, agar kau juga bisa menyempurnakan kelima saudaramu dalam alamnya yang belum sempurna, supaya hilang dosa-dosa kehidupan pada mereka dan kau sendiri menjadi makin sempurna karenanya. Nak, aku tak ingin mengingat saat itu, ketika kelima saudaramu itu terpaksa dipisahkan darimu, ketika kau dilahirkan. Merengek-rengek mereka ingin mengikutimu, tapi tak mungkin itu terjadi, karena kau masih harus menyempurnakan diri dalam perjalanan hidupmu. Kasihan mereka, Nak.
Ibu, lalu kapankah aku bisa bersatu lagi dengan saudarasaudaraku itu"
Berbahagialah, kau, Anakku! Hari ini kau telah bersatu de-ngan mereka. Ketahuilah, Nak. Kilatmeja adalah kawahmu, Ramadaya, Dayapati adalah ari-arimu. Garba Ludira adalah darahmu, dan Pulasio adalah pusarmu. Sudah lama mereka mengharapkan kesempurnaanmu, supaya lebur bentuk mereka yang tidak sempurna itu. Cintailah mereka, Nak, karena sudah lama mereka ingin bersatu dalam jagadmu. Pada jagadnya sendiri, mereka tidak berdaya apa-apa, malah makin hari makin sengsara hidup mereka, diperalat oleh kejahatan yang memeliharanya. Ketahuilah, pada waktu kau lahir, Rahwana, raja Alengka, sedang memburu Bayu Putih untuk dijadikan penjaga ketenteraman Alengka. Tapi Bayu Putih itu sudah memilih kandunganku yang kemudian melahirkan kau bersama kelima saudaramu. Rahwana terus berkeliaran, dan ditemukanlah kelima saudaramu yang telah terpisah dari dirimu dan menjadi prajineman itu. Rahwana tertipu, ia menyangka kelima saudaramu itu adalah penjelmaan Bayu Putih yang dicarinya. Lalu dibawalah mereka ke Alengka.
Ibu, sungguhkah kini aku tidak sendiri" Sejak kau meninggalkanku, tiada kupernah menemui cinta. Sangat sunyi dan sepilah hidup sebatang kara. Tak mungkin aku hidup bersamamu, Ibu, meski kutahu, dari dirimulah aku mendapatkan cinta dan kehangatan seperti dulu ketika masa kanak-kanakku. Tapi, ketahuilah Ibu, tak tahan rasanya kalau aku harus hidup terus sebatang kara, kata Anoman.
Retna Anjani memandangi anaknya dengan penuh keharuan. Alangkah bahagia hatinya, andaikan ia bisa selalu mencintai anaknya, meski ia harus tidak berada dalam keilahian. Kasih sayangnya serasa tak mau padam. Kasih sayangnya terpaksa padam, hanya karena keilahian telah merenggutnya. Betapa agung cinta dan kasih sayang itu, sampai manusia lebih suka memilihnya bahkan daripada keilahian. Tapi kemudian Anjani sadar, keilahian pun sebenarnya merupakan buah yang tak dapat dihindari, yang justru berasal dari cinta dan kasih sayang itu.
Nak, benar, Nak. Kini kau tidak sebatang kara lagi. Kau tidak bisa hidup bersamaku, karena saatmu belum tiba. Tapi kau tidak perlu merasa sedih, Nak, karena kini kelima saudaramu telah hidup di dalam dirimu. Ketahui, Nak, sejak kau kulahirkan, betapa aku tak menghendaki kau harus hidup sendiri dan sunyi. Sementara aku tahu, tak lama lagi aku bisa menemani hidupmu. Karena itulah, Nak, setiap peringatan hari lahirmu, ketika malam tiba, di muka pondok hutan rumah kita dahulu, kubaringkan kau yang telah tertidur dan telanjang di atas selembar daun pisang. Aku yakin, pada saat itu dan dalam keadaan itu, kelima saudaramu akan datang menemani. Aku membayangkan, pada merekalah kau mengeluh dan mengatakan harapan hidupmu. Dan mereka mendengarkanmu, Nak, karena mereka adalah saudaramu. Mereka adalah kekuatan alam, maka sejak kecilmu sebenarnya tak pernah kau sebatang kara, karena alam adalah saudaramu yang tercinta. Dan kini betapa bahagia hatiku, karena semuanya tadi tidak hanya bayangan dan cita-citaku saja. Kini, semuanya telah menjadi kenyataan, kekuatan lima saudara alammu telah benar-benar masuk ke dalam jagadmu. Dan kini kau sungguh tak sebatang kara lagi.
Anoman, anakku. Betapa bangga dan bahagia hati ibumu ini. Kesucian dan kejujuranmulah yang mempertemukanmu dengan kelima saudaramu itu. Kini mereka telah masuk ke dalam jagadmu. Artinya sudah sempurnalah harapan mereka, karena sebagai kekuatan alam kini mereka ikut menjadi makhluk sempurna dalam dirimu. Nak, lakukanlah tugasmu yang mulia. Aku akan pulang dengan lebih bahagia. Kelima saudaramu sudah sempurna. Maka ingatlah kau selalu, Nak, tidakkah cinta dapat menyempurnakan segala-galanya" Sudahlah, Nak, perkenankan aku pulang meninggalkanmu, kata Retna Anjani. Dibelai dan diciumilah anaknya, sang kera putih itu, dengan rasa sayang yang tak terbilang.
Munculnya Jit Cu Kiong 1 Pendekar Naga Putih 57 Pemburu Nyawa The Name Of Rose 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama