Ceritasilat Novel Online

Bajang Menggiring Angin 6

Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata Bagian 6


Anggada, tak ada gunanya semua peristiwa sedih itu kita datangkan kembali. Subali ayahmu telah berada dalam alam kebahagiaannya. Jangan kau bersedih Anggada, marilah sekarang kita bersiap-siap menghadapi Rahwana, kata Rama. Lalu berpalinglah ia kepada balatentara kera.
Hai para balatentara Kera, sekarang nyatalah bagi kita sikap Rahwana. Ia telah menipu dan menjerumuskan dutaku Anggada. Artinya, ia tidak bersedia diajak berdamai. Maka persiapkan dirimu, tiba saatnya kita menyerang Alengka. Usirlah balatentara raksasa yang kini mengacau Suwelagiri, supaya Rahwana tahu, tidak mudahlah kita diperdaya olehnya, perintah Rama.
Paduka, ijinkan sekarang juga hamba melabrak balatentara Rahwana yang menyertai hamba, sebagai bukti betapa hamba menyesali perbuatan hamba, sela Anggada.
Tanpa menunggu jawaban Rama, Anggada sudah melesat secepat kilat, hendak menghancurkan balatentara Sayungsrani dan Kala Sraba. Para balatentara kera pun segera mengikutinya, membantu rekan-rekan mereka yang dari tadi bertempur dengan para raksasa. Pasukan Sayungsrani dan Kala Sraba kelabakan, mereka tidak mengira demikian mendadak bantuan ribuan kera datang menyerangnya.
Anggada mengamuk tiada tandingnya. Dihajarnya para raksasa dengan gadanya. Setelah menembus lapisan barisan para raksasa, ditemuilah raksasa Sayungsrani. Anggada melemparkan gadanya. Dengan tangan kosong, dihajarnya Sayungsrani. Sebelum raksasa yang terhuyung-huyung itu rebah, datanglah tendangan Anggada secepat kilat. Badan raksasa itu melenting di udara, tepat pada saat itulah Anggada memungut gadanya, menimpukkannya ke tubuh Sayungsrani yang melayang-layang di atas tanah. Tubuh Sayungsrani hancur berantakan. Serpihserpih daging dan tetesan darahnya runtuh tercecer di dataran Gunung Suwela.
Para raksasa ketakutan, melihat kematian Sayungsrani. Mereka hendak pergi menyelamatkan diri, tapi para kera serentak mengepung mereka. Hanya sebagian raksasa yang dapat menyelamatkan diri, mengikuti Kala Sraba yang syukur dapat lolos dari kepungan para kera lalu lari terbirit-birit, pulang ke Alengka.
Paduka, celaka, Paduka. Anggada malah berbalik menyerang kami, dan binasalah Sayungsrani olehnya, kata Kala Sraba terengah-engah di hadapah Rahwana.
Uah, bangsat. Dasar monyet pengkhianat, budak satria penjelajah rimba. Menyesal aku tak membunuhmu tadi, sahut Rahwana marah.
Paduka, sungguh luar biasalah kekuatan balatentara Ramawijaya. Pasukan raksasa diobrak-abriknya. Hanya beberapa sajalah yang dapat menyelamatkan diri dari amukan mereka. Paduka, sebentar lagi balatentara kera dari Gunung Suwela pasti menyerang Alengka. Apa yang harus kita perbuat, Paduka" kata Kala Sraba, belum hilang ketakutannya.
Kala Sraba, enyah kau, hai Penakut! bentak Rahwana. Ia menjadi sangat geram lalu menghunus kerisnya.
Ampun, Paduka, hamba hanya melaporkan apa yang terjadi sebenarnya, kata Kala Sraba. Pucat wajahnya, dan beringsutingsut ia mundur.
Bedebah, kau bangsat Kala Sraba! Hanya inilah yang pantas menjadi pengampunan bagi ketakutanmu. Mati kau, Kala Sraba, teriak Rahwana menggelegar. Lalu dengan muka merah, dihunjamkannya kerisnya ke dada Kala Sraba. Kala Sraba berteriak mengerikan, ia binasa seketika. Darahnya mengalir, permadani balairung istana Alengka ternoda dengan warna merah menakutkan.
Rahwana segera kembali ke singgasananya. Geram dan nafsu amarahnya sudah sampai ke kepala. Inilah hari Rahwana hendak menuntun Alengka menuju kehancurannya. Maka beralihlah wajah Rahwana menjadi sepuluh muka, tanda nafsu amarahnya sudah sampai di ubun-ubunnya. Merah darah matanya. Tenggorokannya kering, namun liurnya bertetesan dalam rupa titik-titik darah. Rahwana haus, ingin meneguk lebih banyak darah.
Hai Rakyat dan Prajurit Alengka! Bersiaplah sekarang juga. Kita akan berperang melawan balatentara Ramawijaya. Jangan kau berkecil hati. Jadikanlah perang ini pemuas dahaga dan lapar kita. Siapkan semua senjata, dan majulah ke benteng kota, Rahwana memerintahkan dengan penuh kuasa. Perintah Rahwana ini disambut dengan teriakan gegap-gempita oleh para prajurit Alengka. Perang, perang, demikianlah teriakan mereka sampai ke sudut-sudut kota. Maka bende ditabuh di mana-mana. Suaranya keras menggetarkan. Sangkakala ditiup terus-terusan, menimbulkan suara bergidik anjinganjing hutan. Perang akan dikobarkan! Maka turunlah hujan darah di Alengka. Anak-anak bayi menangis di dekapan ibunya, seakan merasa sebentar lagi mereka akan kehilangan bapanya. Para ibu meraung-raung sedih, merasa tak lama lagi ditinggalkan suaminya. Tapi teriakan perang, perang , terus menggelora menjadi pengisi alam. Suara kesedihan anak bayi dan wanita itu ditelan dalam panasnya malam pesta yang haus darah.
Tujuh S urya baru saja merekah. Pintu benteng kota Alengka seperti
terbuka dengan sendirinya ketika balatentara raksasa keluar bagaikan air bah. Bendera-bendera bergambar sepuluh muka Rahwana dikibar-kibarkan ke angkasa.
Sangat menakutkan dan dahsyatlah keadaan barisan raksasa ini. Wajah mereka seram menyeringai. Taring-taringnya berkilapan berpantulan dengan cahaya matahari merah. Gerakan mereka bagai gelombang lautan darah karena merah-merahlah busana mereka. Beborehan bunga kuburan dioleskan ke badan mereka sehingga udara menusuk dengan wewangian para peri perayangan.
Debu berkepul-kepul di jalanan karena gegap-gempita derap langkah raksasa berjalan dan kuda-kuda perang. Mereka meneriakkan pekik kemenangan, sambil mengacung-acungkan tombak, gada, dan pedang. Pekik menyeramkan itu bagai nyanyian maut karena bercampur dengan gemerincing perisai-perisai yang bersentuhan.
Di pinggiran jalan berjajar-jajar para wanita. Melambai-lambai tangan mereka, mengucapkan selamat jalan bagi suaminya yang sedang berangkat ke medan perang.
Hai para prajurit, ke mana langkahmu dan lari kuda-kudamu" Kau permainkan nyawa dengan berenang-renang dalam lautan darah" Jangan kau gugah tangis kami menjadi megamega susah, kata para wanita ini. Lalu mereka menaburkan kembang kenanga, sambil bercucuran air matanya. Bayi-bayi menangis, ketika ibu-ibu mengangkatnya ke atas, supaya terlihat oleh bapaknya. Sementara anak-anak kecil memanggil-manggil, ayah, ayah , bersama suara burung-burung cucur yang berduka. Namun suara mereka lenyap dalam derap dahsyat kuda-kuda dan bunyi gemuruh roda-roda kereta.
Pasukan berbaris megah dalam aba-aba panglimanya. Indrajit melejitkan keretanya yang ditarik sembilan singa. Putra-putra Rahwana: Dewantaka, Narantaka, Trisirah, dan Trikaya naik kereta kencana berupa naga. Di belakangnya Prahasta duduk di punggung gajah raksasa. Lalu berderaplah kuda-kuda ditungganggi senapati Alengka lainnya, Wirupaksa, Mintragna, Jambumangli, Asanipraba, Brajamusti, Pragasa, Prajangga, Dumraksa, dan Akampana.
Mendekati Gunung Suwela, mereka berteriak bagai guntur memecah langit. Tambur dan bende ditabuh keras, dibarengi suara sangkakala yang menjerit-jerit menyayat hati. Gemuruh suara mereka sampai mengeburlah gelombang samudra dan jagad seperti terbelah sementara langit bagai akan jatuh ke bawah.
Di Gunung Suwela para kera sudah siap siaga. Panas dan merahlah telinga mereka mendengar tantangan raksasa Alengka. Balatentara kera ini menjerit-jerit geram. Ingin rasanya mereka segera diperbolehkan menghadapi lawannya. Maka tampillah Sugriwa dengan gagah ke muka.
Hai para prajurit Kera, sudah tiba saatnya! Berangkatlah kalian ke medan perang. Jangan takut dan gentar. Tumpaslah balatentara Alengka sekarang juga, perintah Sugriwa.
Maka berangkatlah para balatentara sambil tertawa ria. Melompat mereka dari pohon ke pohon untuk mengisi perutnya dengan buah-buah. Lalu dicabutnya pohon-pohon dan dedahanan sebagai senjata. Ada pula yang membawa senjata dari batu-batu pecah. Mulut-mulut mereka bercelotehan menyanyikan lagu-lagu gembira.
Kera-kera kelabu berkumpul menjadi satu. Yang coklat berkumpul yang coklat. Demikian pula yang kuning dan yang hitam. Lalu mengalirlah mereka berbarengan seperti burung kepodang terbang dinaungi pelangi.
Sangat indahlah barisan para kera ini. Apalagi di tengah-tengahnya ada warna bagai kapas beterbangan. Dialah Anoman, sang Kera Putih. Di kejauhan juga nampak setitik hijau kebirubiruan mengkilat bersama warna merah lemah, Anila dan Anggada berjalan dengan mata menyala dalam sinar matahari. Sementara para pimpinan kera membimbing mereka penuh semangat. Mereka adalah Kapi Menda, Kapi Jembawan, Kapi Nala, Gawaksa, Indrajanu, Sampati, Pralambodara, Sabodara, Wresaka, Gandawadana, Dariwardana, Danurdara, Saraba, dan Kapi Drawida.
Hujan gerimis ketika balatentara kera meninggalkan Suwelagiri. Burung-burung beterbangan, berkicau dan menyanyi sepanjang perjalanan mereka. Gelap sejenak, dan anjing-anjing hutan sebentar berteriak. Lalu cahaya terang dari langit jatuh menerangi balatentara kera ini. Dan turunlah hujan bunga dari langit ke atas mereka.
Rama, inilah pertanda kita akan unggul dalam peperangan. Langit terbuka dengan senyum para dewa. Bidadari berarak di angkasa. Dewa-dewa merestui kita, Rama, kata Wibisana kepada Rama. Rama menengadahkan kepalanya ke langit, mengucapkan pujian agar dewa-dewa benar-benar menyertai balatentaranya.
Matahari bagai turun dari sandarannya, sinarnya panas menyengat ketika para balatentara kera sudah berhadapan dengan balatentara Alengka. Maka mulailah pertempuran pada hari yang pertama.
Kera-kera melompat-lompat berbaur di medan laga. Menggigit-gigit dan mencakar-cakar musuh-musuhnya. Para raksasa mengayun-ayunkan tombaknya, dan berkelabatanlah sinar-sinar tajam menyilaukan mata. Medan perang segera riuh gemuruh, karena jeritan seram para lawan dan ringkikan kuda-kuda.
Ribuan raksasa berteriak menyayat-nyayat, roboh binasa karena terhantam oleh batu-batuan pecah yang dilemparkan para kera. Sangat mengharukanlah keadaan para raksasa ini. Tangannya patah, telinganya putus, dan dadanya berlumuran darah.
Balatentara kera berteriak-teriak, melihat lawannya ambruk bertumpang-tindih. Mereka sedikit lengah, sampai tak memperhatikan para raksasa membabi-buta karena amarah. Maka dibantinglah para kera ke tanah sampai hancur berkeping-keping badan mereka. Para raksasa lari tanpa arah seperti kalap, menghantam ke kanan-kiri, sampai buyarlah balatentara kera.
Ada kera-kera yang memukulkan dahan dan ranting-ranting ke kepala raksasa, tapi para raksasa sempat pula menerkam mereka lalu menggigit dengan taringnya, mengoyak-oyak tubuhnya dan menghisap darahnya. Kera-kera lari kalang kabut, lalu binasa terinjak-injak kaki gajah dan kuda-kuda.
Penglihatan menjadi gelap karena debu yang bercampur dengan darah. Sementara petang pun tiba, dan malam pun datang memisahkan mereka. Para balatentara kera mundur ke Suwelagiri, dan raksasa kembali ke perkemahannya di depan benteng kota Alengka.
Tanggal lima pada paro petang bulan yang kelima. Sunyi sepi dan gelap-gulita. Bangkai para prajurit berserakan di manamana, di tengah tumpukan bangkai gajah dan kuda-kuda. Angin berhembus pelan membawa bau anyir darah. Ada gumpalan darah para prajurit yang membentuk karang padang berwarna merah. Lalu bagai sungai tanpa suara, mengalir darah-darah mereka. Maka terdengarlah suara rumput-rumput lelah, bersama nyanyian burung-burung malam yang berduka.
Laksmana, baru perang hari yang pertama. Sudah ribuan balatentara kita yang binasa. Kau lihat bukit-bukit karang di samudra sana" Mereka kukuh, meski gelombang laut tanpa henti menghantamnya dan amatilah air terpecah-pecah digerakkan mereka. Laksmana, pimpinlah pasukan esok pagi dengan siasat bukit karang gelombang pasang, kata Rama. Malam bertambah larut. Maka tertidurlah balatentara kera di tempat peristirahatannya.
Sangkakala ditiup berbarengan dengan kokok ayam yang pertama. Di sana matahari sudah tersembul di balik megamega. Kera-kera terbangun lalu bersiap-siap lagi ke medan laga. Belum ada kegentaran dalam hati mereka, meski sudah banyak kawan-kawannya yang binasa.
Pagi ini mereka berangkat dengan amat bersemangat. Teriakan makin menjadi-jadi ketika bendera bergambar kera-kera diacung-acungkan ke langit, sampai tergetarlah saptapratala. Mengalir mereka ke medan laga bagai yamakingkara, hambahamba dewa maut pencabut nyawa.
Begitu tiba di tengah medan, balatentara kera ini segera bergerak dalam siasat pertempuran bukit karang gelombang pasang seperti diperintahkan Ramawijaya. Laksamana dan Wibisana mengendarai gajah, sehingga menyerupai bukit karang yang tinggi di tengah lautan para kera. Para prajurit kera bergerak secepat kilat, mengalir dalam gelombang yang tiada henti sehingga menyerupai pasang samudra pada terang purnama. Makin jauh dari bukit karang tempat Laksmana dan Wibisana memimpin pasukan, kera-kera mengalir dalam gelombang-gelombang kecil dari atas Suwelagiri, sehingga menyerupai riak-riak samudra.
Kekuatan siasat bukit karang gelombang pasang ini sungguh dahsyat dan mengerikan. Balatentara raksasa bingung kewalahan karena aliran lawan yang tak mungkin tertahankan. Bagai gelombang mereka menghayutkan para raksasa yang hancur binasa. Ada raksasa-raksasa yang mencoba menahan gerakan mereka, tapi mereka malah terkurung dalam kerubutan kera, yang satu persatu naik lewat kepala mereka sambil menggigitgigit dan memukul mereka.
Naik-turunnya para kera karena melewati para raksasa sungguh membuat medan laga bagaikan samudera. Dari jauh sangat indahlah pemandangannya. Gerakan kera itu bagaikan alun menggelombang dengan aneka warna. Sementara dari Suwelagiri, mereka turun dengan cepat hingga menyerupai kelebat warna putih yang kelihatan seperti air terjun. Tapi dalam pemandangan yang indah inilah terdengar suara meronta-ronta serta raungan kesakitan para prajurit raksasa.
Di angkasa pemandangan pun menjadi memikat mata. Hijauhijau daun-daun ranting-ranting berputar-putar di angkasa, bersama dengan gemerlap pedang dan tombak-tombak. Sementara panah-panah melesat kian kemari seperti lidah kilat memecah langit. Dan ketika panah-panah berbenturan mencuatlah cahaya api merah, mengurangi terang matahari yang bersinar putih, dan bertambah indahlah keadaan siang bagai mengandung anak-anak senja.
Di siang dengan duka mega-mega darah ini, kematian menjadi bunga-bunganya. Kematian tanpa kesedihan. Kematian tanpa harapan. Malaikat pencabut nyawa lari-lari payah dengan sayapnya yang lelah. Mereka ini bagaikan bertanya, hai prajurit, mengapa kau datang terlalu pagi dan suka membuat kami lelah, nyawamu berlari kencang padahal tiada tempat baginya kecuali istana duka-duka hitam"
Gelombang balatentara kera mendesak terus. Prajurit raksasa terhalau mundur. Melihat keadaan ini majulah ke depan Prajangga, raksasa tua yang berjasa dalam perang Lokapala. Prajangga menggeram seram, rambut dan jenggotnya menjadi kaku karena amarah. Ia membabi-buta dengan gadanya, dan remuklah ribuan kera dalam seketika.
Keganasan Prajangga segera dihadapi Sampati, kera yang berkepala dan bercakar burung. Seperti terbang, Sampati cepat mencakar leher Prajangga dan sebelum raksasa tua ini mengetahui siapa penyerangnya, Sampati tiba-tiba sudah mematuk mata kanannya sampai terlepas. Prajangga terhuyunghuyung kesakitan dan makin kalap mengayun-ayunkan gadanya. Hampir saja Sampati tersambar, tapi untung ia cepat menghindar lalu hinggap di sebatang pohon. Sampati turun dan mencabut sebatang pohon. Ketika Prajangga bingung mencarinya, Sampati segera menimpakan pohon itu ke kepalanya. Prajangga binasa, remuk kepalanya dan muncrat darah dan otaknya.
Uah, keparat kau Sampati. Binasa kau hari ini, teriak pemimpin raksasa Putadaksi dan Pratapanaksi melihat kematian Prajangga. Dua raksasa ini bersahabat sehidup semati, dan mempunyai kesaktian menyemburkan api. Banyak kera mati terbakar oleh semburan api mereka. Maka datanglah dari pihak balatentara Suwelagiri, Kapi Nala, kera yang dilahirkan dalam api.
Api tak berdaya membakar Kapi Nala. Malah makin besarlah nyala api yang disemburkan Putadaksi dan Pratapanaksi karena api yang keluar dari badan Kapi Nala. Terjadilah pertempuran dalam nyala api. Tak kelihatan bagaimana pertempuran mereka karena makin teballah nyala api. Tiba-tiba nampak Kapi Nala melesat ke atas sambil menjungkirkan kepala Putadaksi. Putadaksi dilepaskannya, lalu kepalanya pecah berantakan membentur bumi. Pratapanaksi masih ternganga melihat kematian kawannya, sekonyong-konyong ia dihajar oleh tendangan dahsyat Kapi Nala sampai binasa.
Minggir, minggir! terdengar teriakan para raksasa, setelah kematian Putadaksi dan Pratapanaksi. Ternyata Jambumangli lari dari belakang, memecah barisan raksasa, begitu ia mendengar kematian Prajangga. Jambumangli adalah raksasa sebesar Gunung Anakan. Ia masih keturunan Arya Jambumangli, paman Dewi Sukesi, yang dulu tewas oleh Begawan Wisrawa. Para kera mundur ke belakang, karena ketakutan. Kini baik prajurit Alengka maupun Suwelagiri menjadi penonton, ketika Anoman menghadang amukan Jambumangli. Anoman berkalikali mengelak dari serangan gada Jambumangli. Lalu larilah Anoman ke sebelah barat, menjebol sebuah bukit. Begitu Jambumangli datang, ia segera melemparkan bukit itu. Badan Jambumangli lebur tertindih bukit tadi.
Kera-kera bersorak melihat kemenangan Anoman. Tapi di tengah sorakan gembira ini, mendadak terdengar jerit menyayat, ratusan kera tewas karena terhajar gada yang diayunayunkan Mintragna, yang hendak menuntut balas matinya Jambumangli.
Berhenti kau Mintragna! kata Wibisana menghadang. Bangsat, dulu kau atasanku, Wibisana. Sekarang kau harus mati di tanganku, hai Satria pengkhianat. Biar puas hati Rahwana, junjunganku, teriak Mintragna marah.
Raksasa Alengka itu langsung memukulkan gadanya ke badan Wibisana. Wibisana tak mengelak. Dibiarkannya gada Mintragna menghajar dadanya berulang kali. Setelah melihat Mintragna kelelahan, Wibisana segera menghantam gada saktinya ke usus perut Mintragna. Perut raksasa ini pecah, keluar usus-ususnya kena gada Wibisana.
Tak jauh dari tempat Mintragna binasa, terdengarlah suara gada patah. Ternyata Sugriwa sedang menyongsong amukan raksasa Pragongsa. Mereka berperang tanpa senjata, setelah gada mereka saling patah. Meski Pragongsa tinggi besar luar biasa, Sugriwa dengan mudah menewaskannya.
Ha, ha, ha, para Kera! Kerubutlah aku kalau kau mau binasa, teriak raksasa Brajamusti. Raksasa ini selalu tertawa, bila ke medan laga. Tak henti-hentinya ia meneguk minuman keras, sampai terhuyung-huyung mabuk. Kera-kera mengerubutinya. Naik ke punggungnya dan memegang kakinya. Brajamusti memegang ekor-ekor mereka, lalu sambil terbahak-bahak ia memutar-mutarkan kera itu ke udara. Tiba-tiba ia merasa diseruduk sepasang tanduk.
He, Kambing! Habiskanlah rumput-rumputan ini daripada kau berperang dan mati melawan aku, bentak Brajamusti kepada Kapi Menda, yang menyeruduknya. Kapi Menda memang kera yang berkepala kambing. Tak peduli akan ejekan Brajamusti, Kapi Menda mundur sejenak, lalu lari sekencang-kencangnya menyeruduk Brajamusti yang tak sempat mengelakkan diri. Masih sempat terdengar tawa terbahak-bahak raksasa pemabuk ini ketika ia mencoba memegang tanduk Kapi Menda, tapi ia tiba-tiba rebah ke tanah, dadanya pecah kena tanduk Kapi Menda.
Demikianlah banyak pimpinan Alengka tewas, di tengah amukan balatentara kera yang memakai siasat perang bukit karang gelombang pasang, di bawah pimpinan Wibisana dan Laksmana. Setelah Brajamusti tewaslah kemudian Kala Pragalba oleh Anila, Wirupaksa oleh panah Laksmana dan Asanipraba binasa oleh Kapi Drawida.
Melihat para pimpinan raksasa tewas, Indrajit mengamuk. Melecut keretanya. Sembilan singa yang menarik keretanya mengaum-aum lapar akan mangsa, melesat masuk ke medan laga. Putra Alengka ini melepas panah saktinya, yang bisa menjadi ribuan anak panah di angkasa. Prajurit kera lari tungganglanggang, banyak di antara mereka yang binasa.
Anggada sangat marah. Putra Subali yang brangasan ini segera terjun membawa gadanya. Akan dihajarnya kepala Indrajit, untung Indrajit cepat melompat keluar kereta. Gada Anggada memukul kereta sampai berantakanlah keadaannya. Indrajit lari melihat Anggada kesetanan. Sembilan singa keretanya mengikutinya. Sepanjang jalan singa-singa ini menjadi liar, menerkam raksasa-raksasa Alengka sendiri.
Maka kacaulah keadaan balatentara Alengka. Mereka mundur ke perkemahannya. Untunglah hari sudah petang kembali. Dan kera-kera kembali ke Suwelagiri, gembira karena kemenangannya.
T anggal enam paro petang bulan yang kelima. Bulan belum
waktunya tanggal, meski tak gemilang cahayanya. Maka dalam remang-remang sinar purnama terlihatlah medan pertempuran menjadi lautan darah.
Daun-daun pepohonan gugur. Penghiasnya adalah kain-kain para prajurit yang koyak-koyak karena senjata. Batangnya berlilitkan usus-usus yang melingkar-lingkar pada dahan-dahannya digantungkan burung gagak yang kekenyangan daging manusia.
Hantu-hantu tak berkepala berkumpul riang gembira di tepitepi pantai lautan darah. Anak-anaknya berkecimpung dalam telaga-telaga darah. Mereka mengusik burung-burung gagak yang tanpa henti berusaha meminumnya. Maka berkaok-kaoklah burung-burung gagak marah, hingga makin seramlah suasana.
Burung cucur menangis tiada henti karena ditinggal kekasihnya berupa bau harum kembang-kembang sedap malam yang kini telah berubah menjadi bau bangkai yang membusuk. Suara mereka bagai kesedihan wanita yang hidup dalam malam duka bulan-bulan. Bersama tangis mereka bergiringlah angin mengelam dalam malam kelam tanpa bayangan, membawa sisa-sisa suara prajurit yang dihadang ajal di depan mata.
Di tengah malam demikian, keluarlah Indrajit dari tendanya. Panas hatinya karena panglima dan prajurit Alengka yang tewas berlaksa-laksa. Maka bersemadilah ia menghadap lautan darah. Tiba-tiba ia menjadi makhluk kecil yang tak mungkin tampak oleh mata. Besarnya serupa dengan sebutir debu yang terbang di awang-awang.
Kera-kera sedang tertidur nyenyak di pesanggrahan Suwelagiri. Indrajit menyusup ke tengah-tengah mereka. Lalu ia mengeluarkan daya kesaktiannya, berteriak sekeras halilintar
di masa kesembilan. Bumi pun bergoncang, langit seperti mau pecah.
Kera-kera terbangun dan kaget luar biasa. Bingung mereka lari ke mana-mana. Apalagi suara halilintar itu makin lama makin mengerikan. Suara itu pecah berbaur dengan jeritan jutaan brekasakan, gandarwa, dan jin setan perayangan. Sementara seakan ada terang berkelebatan dari sayap engklek-engklek, banaspati, dan balangatandan, yang menukik ke bawah membawa gelegar suara geledek, mengancam siap menyedot ubunubun makhluk hidup.
Makin ketakutanlah para kera. Mereka berlindung di pohonpohon, tapi pohon-pohon itu berguncang roboh karena dahsyatnya suara tak terduga di waktu malam. Kacau-balau mereka menyelamatkan diri. Dalam keadaan inilah Indrajit melepas senjata saktinya, panah Nagapasa.
Panah melesat di udara. Dan berubahlah panah itu menjadi jutaan naga. Naga-naga ini terbang dengan mulutnya yang menganga. Lidahnya menjulur-julur merah, bisanya tersembur ke mana-mana. Mata naga-naga itu berkilapan dengan api Candradimuka. Sisiknya gelap dalam warna-warna hitam, hijau, dan merah.
Berbarengan dengan suara seram para makhluk halus yang penasaran, naga-naga menukik ke bawah. Lalu melilit semua penghuni Gunung Suwela. Sangat rakuslah naga-naga itu akan mangsanya, sampai mereka saling berebut untuk melilit para kera. Ada naga yang melilit sampai sepuluh kera. Ketika kawannya datang, ia mengusiknya dengan kebasan ekornya. Naga yang terusir ini lalu mencari mangsanya yang lain. Mereka ini mendesis-desis marah, seakan kurang puas meski sudah mendekap seekor kera dalam lilitannya.
Satu per satu kera telah terlilit oleh naga-naga jahat yang dilepaskan oleh panah Indrajit. Kera-kera ini berteriak kesakitan karena makin lama makin kuatlah lilitan para naga, sampai tulang-tulang terasa patah. Rama, Laksmana, dan para pimpinan kera juga terlilit oleh naga-naga. Mereka ini langsung terhempas ke tanah, tak berdaya. Hanya Anoman dan Wibisana-lah yang bisa meloloskan diri dari lilitan naga.
Indrajit, betapa pengecut kau, menyerang lawan yang sedang tertidur di waktu malam, tanpa seorang pun tahu, kata Wibisana yang mengetahui malapetaka ini pasti berasal dari ulah keponakannya sendiri. Namun ia dan Anoman tak berdaya apa-apa untuk membebaskan kawan-kawannya.
Indrajit sangat gembira menyaksikan penderitaan para kera. Ia sengaja tak memerintahkan naga-naganya untuk membinasakan mangsanya pada malam itu juga, karena ia ingin ayahnya, Rahwana, bisa menyaksikan kebinasaan Rama dan balatentaranya keesokan harinya.
Malam itu juga, ia kembali ke Alengka, memberitahu ayahnya. Rahwana gembira bukan buatan. Langsung ia menyuruh penduduk Alengka melangsungkan pesta menyambut kemenangan anaknya.
Indrajit, anakku yang sakti dan gagah! Ternyata cukup kau saja yang memusnahkan Ramawijaya dan balatentaranya. Layaklah kau menjadi putra mahkota, kata Rahwana sambil mengelus-elus kepala Indrajit. Putra Alengka ini bangga luar biasa akan kelicikannya. Di tengah-tengah pesta meriah ini, tiba-tiba bergelagak lagi nafsu Rahwana akan Dewi Sinta.
Hai Prajurit, pergilah malam ini juga ke Taman Argasoka. Ajaklah Sinta mendekati Suwelagiri, supaya ia bisa menyaksikan kekasihnya tak berdaya akan binasa. Kalau ia sudah tahu akan kekalahan Rama dan balatentaranya, pasti mudah aku mempersuntingnya, perintah Rahwana kepada kusir kereta istana.
Dewi Sinta sedang ditemani Trijata malam itu di Taman Argasoka. Mereka terkejut melihat kusir istana tiba-tiba mendatanginya. Mereka sama sekali tak percaya pada berita yang disampaikan oleh si kusir. Selama ini mereka sudah mendengar balatentara Ramawijaya telah sampai ke Suwelagiri. Malah dalam hari-hari terakhir sudah banyak pula cerita kemenangan Rama sampai ke telinga mereka. Maka mereka khawatir jangan-jangan kali ini Rahwana menipunya lagi.
Kalau Paduka tak percaya, marilah ikut hamba ke Suwelagiri, supaya Paduka dapat menyaksikan sendiri Rama dan balatentaranya telah tak berdaya, kata si kusir.
Sinta dan Trijata menuruti permintaan itu, untuk membuktikan sendiri kebenaran berita sedih tadi. Kereta kencana ini ditarik sepuluh kuda yang dapat terbang amat cepat, sehingga Sinta dan Trijata dapat sampai ke Suwelagiri dalam sekejap.
Kereta kencana ini bersinar keemas-emasan, sehingga nampaklah pemandangan sedih di Suwelagiri. Pemandangan itu makin jelas ketika sang kusir menyalakan obornya. Mata Sinta seakan tak percaya, bahwa di hadapannya para balatentara Rama sudah tak berdaya karena lilitan naga-naga, seolah mereka sudah binasa. Masih sempat terdengar rintihan kesakitan para kera, lalu badan Sinta serasa lunglai, hatinya luluh, dan segera ia pingsan tak sadarkan diri. Sinta dan Trijata segera dibawa pulang ke Taman Argasoka.
Sang Dewi, sadarlah! Jangan tinggalkan hamba, teriak Trijata khawatir melihat keadaan Dewi Sinta. Trijata mengguncang-guncangkan badan Dewi Sinta, tapi belum juga ia sadar kembali. Lama barulah Sinta sadar, gelungnya terurai lepas, matanya basah oleh air mata.
Oh, Dewa, biarlah hamba mati sekarang juga. Kupertahankan hidupku karena pengharapanku yang masih bernyala, suatu hari aku dipertemukan kembali dengan suamiku. Kini ia telah tiada, lalu apa gunanya hidupku ini" Ijinkan hamba mati, hai Dewa, supaya hamba bisa menyusul Rama di alam sana, kata Sinta merintih-rintih.
Sang Dewi tenangkanlah hati Paduka! Benarkah Prabu Rama telah tiada" Sang Dewi belum menemui sendiri apakah ia sungguh telah berpulang meninggalkan Paduka" kata Trijata menghibur.
Trijata, tidakkah kau saksikan sendiri di Suwelagiri, Rama dan balatentaranya telah binasa dililit naga-naga" tanya Sinta menyeka air matanya.
Hamba belum percaya Paduka, sebelum hamba melihat mayat kekasih Paduka. Maka biarlah hamba pergi lagi ke Suwelagiri. Seingat hamba naga-naga itu berasal dari kakak hamba sendiri, Indrajit. Percayalah, ayah hamba pasti tidak akan terlilit oleh naga-naga itu, karena sangat besarlah cintanya kepada Indrajit keponakannya di masa kecilnya. Maka hamba yakin dapat menjumpainya, sehingga hamba tahu apakah Ramawijaya sungguh telah tiada, kata Trijata.
Jangan Trijata, cegah Dewi Sinta.
Jangan Paduka khawatir, akan selamatlah hamba sampai pulang kembali ke sini, kata Trijata. Lalu pergilah Trijata dari Taman Argasoka.
Burung gagak berkaok-kaok makin keras di malam yang mengerikan itu, ketika Trijata di medan pertempuran. Ia merasa ngeri ketika hantu-hantu penghisap darah berkeliaran membayangi perjalanannya. Sesekali anak-anak hantu menggelayut di dadanya, matanya merah bermandikan cahaya lautan darah. Angin lewat di bukit-bukit, gemertak dengan tangisan mayatmayat.
Berulang kali Trijata tersandung bangkai kuda dan gajah. Dingin ia merasa ketika kakinya tecelup di sungai darah. Wahai putri Wibisana, mencari siapakah kau di malam yang ngeri ini" Demikian suara banaspati yang menari-nari di permukaan bulan tanpa tepi, dengan rambutnya menyala bagaikan api. Trijata merasa nyeri ketika kakinya tertusuk gigi-gigi tajam yang meringis hitam.
Terengah-engah ketakutan, Trijata sampai di kaki Suwelagiri. Suara makhluk-makhluk halus yang gentayangan makin terdengar hiruk-pikuk. Trijata melewati kera-kera yang merintih-rintih dililit naga. Ada naga-naga yang mencoba mendekatinya, namun mereka segera menjauh dari Trijata. Trijata terkejut karena ada naga merah yang melilitnya. Sejenak ia kaget tak sadarkan diri karena ketakutan, tapi lihatlah naga itu melilitnya dengan mesra, membuai Trijata dengan kasih sayang bagai naga wanita mengelus-elus anaknya.
Trijata, mencari siapakah kau di malam penuh hantu dan naga-naga jahat ini" tanya suara makhluk tiba-tiba.
Takut dan terkejut Trijata mendengarnya. Siapakah gerangan yang menyapanya di tengah kesunyian yang menakutkan ini" Jangan-jangan suara arwah penasaran, atau hantu tak berkepala, atau banaspati marah, yang ingin menuntut balas kepada siapa saja, termasuk dirinya. Tapi tidak, suara itu demikian merdu memanggilnya. Meski demikian Trijata tidak berani berhenti dan menoleh. Dengan nafas terengah-engah dipercepatlah langkahnya. Tapi langkahnya bagai ditahan seribu setan gentayangan serentak ia memikirkan suara halus yang memecah kesunyian itu. Tiba-tiba Trijata menjerit ketakutan. Ia hendak menghindar dari bangkai raksasa yang tergeletak, baunya busuk menusuk hidung. Malang bagi putri cantik ini, ternyata ia malah terjerumus ke dalam mulut mayat raksasa yang menganga penuh darah. Taring mayat raksasa ini menusuk nyeri ke kakinya yang halus.
Oh Dewa, tolonglah aku, jerit Trijata sambil berusaha melepaskan diri dari mulut raksasa yang telah menjadi mayat mengerikan itu.
Trijata, mengapa kau sendiri di malam yang ngeri ini" tanya suara halus yang menyapanya tadi.
Trijata makin takut. Namun demikian mesra suara itu menyapanya. Ia mencoba memberanikan diri. Ia berpaling ke belakang. Ketakutannya sirna dalam seketika. Ternyata Anoman telah berada di belakangnya. Betapa bahagianya Trijata. Ditatapnya Kera Putih itu. Pandangan mereka beradu, memancarkan sinar penuh harapan, dalma cahaya remang-remang bulan. Trijata lupa, kakinya masih terbenam dalam mulut raksasa yang menganga bagaikan gua.
Anoman, antarkanlah aku ke ayahku, pinta Trijata dengan manja.
Anoman segera menarik Trijata keluar dari mulut raksasa. Lumuran darah membekas di kain putri Wibisana. Anoman menuntunnya dengan penuh kasih sayang. Dibawanya Trijata ke sebuah sungai jernih yang belum terjamah oleh darah peperangan. Trijata menceburkan diri, membersihkan bekas-bekas darah. Segera ia menggandeng tangan Anoman erat-erat, dan berdua pergilah mereka menghadap Wibisana. Wibisana sama sekali tak mengira, diusapnya matanya, seakan tak percaya anaknya yang tercinta berdiri di hadapannya.
Ayah! teriak Trijata, sambil langsung mendekap Wibisana. Ayah dan anak yang telah lama berpisah ini segera berpelukpelukan.
Trijata, bagaimanakah kabarmu" tanya Wibisana sambil menyeka air mata di pipi anaknya.
Ayah, aku rindu padamu. Syukurlah, kau masih selamat sejahtera, kata Trijata.
Mengapa kau datang sendiri ke Suwelagiri di malam begini"
Ayah, Dewi Sinta pingsan tak sadarkan diri, ia ingin bunuh diri setelah dengan kereta Uwa Rahwana ia dibawa menyaksikan malapetaka di Suwelagiri. Sungguhkah Prabu Rama, kekasihnya, telah mati"
Trijata, pulanglah secepatnya. Katakan pada Dewi Sinta, belum saatnya tiba bagi Rama untuk berpulang ke alam baka. Masih banyaklah tugasnya bagi dunia. Sebagai titisan Dewa Wisnu, ia harus menegakkan kembali kekacauan dunia yang disebabkan oleh kejahatan Uwamu Rahwana. Maka katakanlah pada Dewi Sinta, dewa-dewa pasti akan menolongnya keluar dari malapetaka ini. Ia sedang mendapat cobaan untuk menguji ketabahannya.
Semoga semuanya itu terjadi, Ayah. Aku sendiri yakin Prabu Rama memang masih akan dipertemukan kembali dengan Dewi Sinta. Maka biarlah aku pulang untuk memberitahu kabar ini bagi Dewi Sinta, kata Trijata gembira.
Hati-hatilah Trijata. Percayalah, sebentar lagi kita juga akan bertemu di Alengka. Pulanglah, Nak, kata Wibisana mempererat pelukannya. Seakan ia tidak tega melepas kembali anaknya.
Trijata, bolehkah aku mengantarmu" terdengar suara Anoman memecah kesunyian. Trijata berpaling kepada kera yang tampan itu. Kepalanya mengangguk senang. Wibisana pun mengijinkan.
Anoman segera mengantar Trijata pergi. Diterbangkannya Trijata melewati awan-awan. Maka inilah malam dengan seribu bulan. Malam penuh janji dan kebahagiaan. Angkasa seakan mekar dengan kuning-kuning kembang kenanga. Harum dengan tetesan air mata bunga kanigara. Langit berjaga dengan bintang-bintangnya, bertaburan di anak-anak mega. Dinginlah udara dalam mekarnya asmara kembang angsana. Maka mendekaplah Trijata di dada Anoman, terpejam bahagia matanya. Terasa kehangatan badan sang kera, seperti ketika ia mengelus-elusnya sebagai rase di bawah pohon nagasari.
Anoman, ke manakah kita akan pergi" Lihatalah, ada taman sari dari mega, bidadari menyanyi gembira dalam terang purnama, meski patah tali-tali siternya" kata Trijata bahagia.
Trijata, maukah kau ke sana" Tidakkah permata malam sedang meleleh dalam cahaya kunang-kunang" Mari kurangkaikan karangan bunga pada dadamu, sebelum hari keburu pagi, jawab Anoman.
Mengapa kau takuti hari yang menjadi pagi, Anoman" Aku takut akan bayang-bayang, Trijata. Pagi dengan mataharinya yang indah selalu menyusahkanku karena bayang-bayang yang ditimbulkannya.
Sungguhkah kau takut akan bayang-bayang" Anoman terdiam.
Tapi bayang-bayang apa, Anoman" Kau boleh takut akan bayang-bayangmu. Tapi perlukah kau takut akan bayang-bayang cintamu" Jangan takut, Anoman. Lihatlah di malam ini sedusedan derita siang hari pun telah reda tertidur dalam pelukan bulan-bulan, kata Trijata.
Anoman tersentuh oleh dahaga asmara, ketika mendengar ucapan Trijata itu. Diterbangkannya Trijata makin tinggi, lalu di mega-mega yang indah mereka berhenti. Trijata memeluknya makin erat, lembut pipinya menyentuh hangat. Sentuhan yang menyirnakan segala duka dan kerinduan bayang-bayang.
Ada kabut biru pecah oleh cahaya bulan yang malu-malu. Bagai wanita yang terkena asmara, bunga-bunga mega telah membuka dadanya. Gugurlah dedaunan pohon-pohon, mohon jatuh ke segarnya dada-dada kelopak bunga. Pada saat inilah terdengar desau memohon seekor kera.
Trijata, bolehkah aku mencintaimu" tanya Anoman. Tiada terdengar jawaban. Hanya terasa sebuah ciuman mesra di pipi Anoman. Ciuman yang meninggalkan sentuhan hati yang dalam. Ciuman yang mengusir segala bayang-bayang. Maka terdengarlah suara burung tadahasih yang sedang berkasih-kasihan di waktu malam, bagai menyanyikan harapan, rasa sayang tiada akan lenyap meski pagi telah mengundang bayang-bayang.
Trijata, tidakkah aku hanya seekor kera" tanya Anoman. Tapi hatimu lebih dari manusia, Anoman, jawab Trijata. Pada saat inilah Anoman merasa apa artinya hidup sebagai manusia. Manusia itu bukan lagi suatu kerinduan, saat ia menerima cinta. Dan wujud apa pun, bahkan seekor kera, bukan lagi suatu kekurangan, ketika sesama makhluk menerima dan mengakui keluhurannya. Tiada kebahagiaan seperti malam yang indah itu bagi Anoman.
Trijata, lihatlah ke bawah. Samudra biru dengan permatapermata di dasarnya. Maukah kau terjun ke dalamnya"
Anoman, kulihat ada boneka putih seperti kencana menangis di pangkuan seekor naga. Matanya seakan menahan rindu, melihat kita berdua di atas mega. Aku ingin menggendongnya, Anoman. Bawalah aku ke sana, ajak Trijata.
Anoman mendadak teringat akan boneka yang bermain-main di mulut naga, waktu ia bertemu dengan Hyang Baruna. Ia ingin terjun ke samudra bersama Trijata. Tapi di ufuk sana, fajar sudah hampir merekah. Anoman ingin agar bulan yang lelah jangan terburu membangunkan matahari, supaya hari tidak keburu pagi. Ia ingin rasanya senantiasa berada bersama Trijata. Tapi dilihatnya, di bawah sana kera-kera Suwelagiri sedang merintih-rintih sedih, sementara medan pertempuran mulai terang dengan keganasannya.
Trijata, sayang kita tak boleh berlama-lama. Ini adalah saat peperangan yang tak boleh kutinggalkan. Mari kuantar kau secepatnya ke Taman Argasoka. Aku harus pulang ke Suwelagiri sebelum matahari benar-benar terbangun dari tidurnya, kata Anoman dengan hati yang berat.
Anoman, seakan tak terasa baru saja aku ngeri melewati lautan darah malam yang lalu. Mengapa semuanya menjadi demikian indah, padahal kita sedang berada dalam kengerian peperangan ini" Antarlah aku ke Taman Argasoka. Dan semoga kau selamat sejahtera, Anoman, sahut Trijata seperti terbangun dari mimpinya.
Maka sampailah mereka ke Taman Argasoka. Kera dan manusia ini berpisah tanpa kata-kata. Hanya rasa haru dan bahagia ada dalam hati mereka. Anoman segera terbang kembali ke Suwelagiri. Dan Trijata menceritakan pada Dewi Sinta, sesungguhnya Rama belum mati. Sinta terhibur, meski hatinya tak berhenti memohon keselamatan bagi suaminya.
F ajar remang-remang merah ketika Anoman sampai kembali ke
Suwelagiri. Kebahagiaannya semalam serasa hilang, direnggut
susahnya kabut-kabut, hinggap pada pohon-pohon karinaga di pucuk dahan-dahannya.
Fajar berbisa, fajar ular-ular raksasa dan naga-naga! Di hadapan Anoman tergeletak jutaan kera tak berdaya dililit naga. Ribuan dari mereka bahkan sudah tampak binasa, merayap naga-naga di antaranya, menimbulkan suara berisik yang menggelikan telinga, memperebutkan mayat-mayatnya.
Mata naga-naga ini mencorong merah, seakan mau mengalahkan sinar surya, supaya pagi cepat tiba dan mereka dapat melahap mangsanya selekasnya. Rama dan Laksmana nampak lunglai terbelit naga. Mereka mencoba membuka matanya untuk menatap surya di ufuk sana.
Laksmana, binasalah kita semua hari ini. Aku tak berdaya apa-apa, Laksmana, Rama mengeluh putus asa. Laksmana hanya bisa mendengarkannya dengan iba.
Sugriwa, saudaraku, maafkanlah aku. Betapa besar pengorbanan para kera bagiku. Aku merasa berdosa Sugriwa, karena aku tak dapat membalas pengorbanannya, keluh Rama lagi. Sugriwa terdiam, hatinya ikut terharu. Sementara terdengar ratapan Rama meratap langit.
Oh Dewa, apa dosaku, sehingga kau hukum aku dengan percobaan yang demikian berat ini" Kera-kera ini mau membantuku, karena mereka percaya akulah raja yang perkasa. Tapi kini aku tak berdaya apa-apa untuk menolong mereka. Biarkanlah aku mati, oh Dewa, supaya terpejam mataku terlebih dahulu, daripada harus melihat kera-kera yang tak berdosa ini mati digigit naga, kata Rama.
Rama, jangan kau berputus asa. Apa jadinya dunia ini jika kau menyerah sebelum waktunya" Ingatlah Rama, kau adalah titisan Wisnu yang harus menegakkan kebaikan di dunia, kata Wibisana menghibur.
Wibisana, masih percayakah kau padaku" Kau tinggalkan negerimu tercinta hanya untuk mengabdi kepada raja yang tidak bisa memberi perlindungan bagimu. Lihatlah, sebentar lagi aku akan binasa bersama seluruh balatentaraku, kata Rama berpaling ke Wibisana.
Rama, sabarlah kau terhadap penderitaan ini. Cobaan berat memang harus kau hadapi, karena sungguh besarlah tugas yang harus kau selesaikan. Rama, lihatlah surya tertawa, memberi harapan akan tibanya pagi bagi para makhluknya, masihkah kau mau terbenam dalam malam yang sudah ditinggalkannya" jawab Wibisana tabah.
Rama memandang surya yang makin merekah sinar-sinarnya. Berkilau-kilau merah warnanya serupa bibir ratna indah. Dipucuk sana, Suwelagiri menantang langit dengan puncaknya yang menjulang megah.
Rama, lihatlah keindahan di puncak Suwelagiri. Fajar memandikan manikam dukula bagai memanjakan putri raja. Permata bader lumut dan jemerut berenang-renang dalam cahaya biru laut. Kalpika widuri menjadi mata pagi, menghembuskan angin manik-manik ringin, kata Wibisana.
Wibisana, mengapa mataku seperti buta terhadap keindahan permata di waktu fajar" tanya Rama keheran-heranan.
Rama, fajar adalah sebagian dari perjalanan malam, maka dalam malam pun ada keindahan. Bagi fajar, malam adalah danau yang memberi hidup kepada ikan bader bang kencana. Maka malamlah yang menyembunyikan rahasia keindahan fajar yang merekah dengan permata.
Jadi, malam itu tidak menyimpan gelap dan derita, Wibisana"
Malam memang menyimpan dan mengandung gelap dan derita. Tapi beradalah dalam malam itu, Rama. Maka di sanalah kau akan berhadapan dengan derita, karena dalam malam itu kau hanya akan menjumpai gulita. Kau tak berdaya apa-apa, kau dipaksa untuk menanggalkan segala kegagahan dan kelebihanmu. Kau menjadi orang tanpa arti. Tapi di sanalah kau menyadari dirimu sebagai ciptaan yang ilahi, dan hanya bisa hidup karena yang ilahi.
Wibisana, perlahan-lahan mataku seperti bisa menatap fajar yang merekah dengan permata, kata Rama.
Itulah makna malam, Rama. Itulah artinya percobaan hidup ini. Kini dewa-dewa sedang menenggelamkanmu dalam malam, justru supaya kau dapat keluar melihat fajar merekah dengan permata. Maka jangan kau berputus asa, Rama. Kalau demikian kau tak tahu makna dari cobaan hidup yang kini sedang kau hadapi. Bangkitlah Rama, dan percayakan dirimu pada tuntunan yang ilahi, kata Wibisana.
Masih dalam lilitan naga, tiba-tiba Rama bangkit dan duduk bersemadi. Diheningkannya ciptanya, untuk merenungi percobaan hidup yang sedang dihadapi. Penuh syukur ia memuji kepada yang ilahi, lalu dengan segala daya kepercayaannya ia mengerahkan harapannya akan tuntunan yang ilahi.
Tiba-tiba terdengar suara para hantu penghisap darah mengaduh-aduh. Gelap sejenak, dan suasana gegap-gempita dengan jeritan gentayangan para brekasan, peri perayangan, "ngkl"k"ngkl"k, dan banaspati, serta balangatandan yang semalam menikmati kehangatan darah dan bangkai-bangkai. Mereka lari ketakutan, seperti dikejar-kejar oleh bidadari-bidadari suci berpedang, mengendarai kuda-kuda sakti, diiringi dengan auman singabarong yang lembut, diapit gajahmeta di kanan-kiri, di depan mereka terbang para nagaraja.
Gegap-gempita yang memekakkan telinga reda. Dan terdengarlah suara merdu para bidadari melagukan pujian abadi, beriringan dengan fajar yang makin merekah. Bau harum tertabur di mana-mana. Dan lihatlah, ketika Rama membuka matanya, maka melesatlah di udara seekor garuda raksasa, diikuti ribuan garuda.
Garuda-garuda itu mengepakkan sayapnya, mengibasibaskannya, menimbulkan gemuruh angin, sampai gugurlah kabut-kabut pagi, melayang-layang rendah, hinggap di dahandahan pohon bagai kapas-kapas ringan. Garuda-garuda itu lalu menukik turun, mematuk naga-naga yang melilit Rama dan balatentaranya. Naga-naga binasa, sebelum Indrajit menyuruh mereka melebur mangsanya.
Sangat mengerikan pemandangan di Suwelagiri. Bangkaibangkai naga bertumpang-tindih, ada yang masih menggelepargelepar kesakitan karena patukan dahsyat paruh-paruh garuda. Darah mereka mengalir bagai air terjun di kaki Gunung Suwela. Pemandangan mengerikan ini sirna ketika timbul angin prahara yang diakibatkan sangat kencangnya terbang para garuda. Bangkai-bangkai naga musnah sekejap mata, dan hilang pula garuda-garuda penolong Rama dan balatentaranya. Dan pagi pun mekar dengan cerahnya.
Kera-kera berteriak gembira. Semangat mereka membara. Dan tak henti-hentinya mereka memuja junjungannya Ramawijaya. Belum diperintah, mereka langsung berbaris, siap turun ke medan laga pagi itu, menuntut balas pada lawan yang mencederainya semalam lalu.
Kali ini balatentara kera ini menyerang dengan siasat garuda nglayang (garuda melayang). Jutaan kera melesat bagai sayap kiri dan kanan seekor burung garuda. Sebagian berlari-lari, mengombang-ambingkan diri bagai ekornya. Paling depan, berbarislah para kera mengendap-endap seperti paruhnya yang mematuk-matuk dengan Anoman sebagai pimpinannya.
Balatentara raksasa sama sekali tidak mengira kera-kera menyerang demikian dahsyat. Mereka lengah dan lelah karena semalam berpesta ria, menyangka pagi ini para kera akan binasa oleh Nagapasa. Bergegas mereka menyiapkan diri, namun tiada semangat pada diri mereka. Sebagian berjalan terhuyunghuyung, karena belum hilang mabuk pesta mereka semalam.
Kera-kera langsung mengamuk. Membabi buta, melampiaskan amarahnya karena semalam terpedaya secara licik. Berantakanlah balatentara raksasa seketika. Terpental roboh mereka karena desakan kera-kera yang bagai sayap garuda menimbun mereka. Sementara kera-kera di bagian depan menyerang ganas, bagai patuk garuda yang haus mangsa. Pekik sorak balatentara terdengar, ketika Anoman menghajar panglima Alengka, Dumraksa dan Akampana sampai remuk binasa.
Para raksasa yang berhasil menyelamatkan diri lari tungganglanggang masuk ke kota Alengka. Pintu benteng kota Alengka segera ditutup untuk menghindarkan diri dari amukan para kera ini.
Ayah, celaka Ayah. Dewa-dewa berada pada Rama dan balatentaranya. Naga-naga binasa sebelum memusnahkan mereka, kata Indrajit terengah-engah ketakutan menghadap Rahwana.
Rahwana seakan tak percaya akan kejadian yang diceritakan anaknya. Sementara di luar terdengar suara-suara raksasa yang ketakutan. Raja raksasa ini terdiam, nampak sedih wajahnya. Tanpa berkata apa-apa, ia masuk ke istana dengan muka murung. Lama ia termenung, tiba-tiba ia seakan lupa keadaan negerinya sedang dilanda bahaya. Nafsunya bergelegak lagi, teringat akan Dewi Sinta. Ia memutar akal bagaimana menaklukkan hati Dewi Sinta, justru di saat yang genting ini. Maka dipanggillah Patuh Prahasta ke istananya.
Paman, tidakkah Paman mempunyai anak pungut, si kembar Trikala dan Kalaseki, yang wajahnya mirip Rama dan Laksmana" Berikanlah mereka bagiku! kata Rahwana.
Untuk apa, Nak" Dua anak pungutku tiada mempunyai kesaktian apa-apa, bisakah mereka menjadi panglima Alengka" balas Prahasta tak mengerti maksud Rahwana.
Paman, dua anak pungutmu itu akan kupancung kepalanya, dan kuhaturkan pada Dewi Sinta, supaya ia tertipu bahwa Rama dan Laksmana telah binasa.
Oh Dewa, jangan kemalangan ini terjadi. Rahwana, aku tidak mempunyai anak. Trikala dan Kalaseki, dua satria tampan yang kupungut dari Kerajaan Arjunasasrabahu dulu, sangat kucintai sebagai anakku sendiri. Mengapa kau tega untuk memancung kepalanya" Jangan Nak, kasihanilah aku, pinta Prahasta mengharukan hati.
Paman, cintakah kau padaku" Tiada jalan lain untuk menaklukkan hati Dewi Sinta, kecuali dengan meyakinkannya Rama dan Laksmana telah binasa, kata Rahwana tak sabar.
Rahwana, anakku. Negeri sedang terancam musuh, mengapa kau masih tergoda akan Dewi Sinta dengan cara yang mengerikan itu" Pikirkanlah tentang negeri tercinta ini, dan jauhkan hatimu dari wanita.
Paman, baru jika aku mendapat Dewi Sinta, maka aku akan bisa membela negeri ini.
Tapi Nak, mengapa mesti kau bunuh anak pungutku yang kusayangi" Jangan Nak, jangan, kasihanilah aku orang tua yang tak berputra ini.
Paman, diam kau! Atau harus aku pergi sendiri untuk merampas anakmu itu" Boleh tidak boleh, serahkan mereka padaku, bentak Rahwana tanpa belas kasih.
Oh Rahwana, apa salah kedua anak pungutku itu" jawab Prahasta sedih. Namun akhirnya ia pergi, ia takut dan ia tahu tak mungkinlah keinginan Rahwana dihalangi. Di belakangnya mengikut algojo istana, raksasa Warorodra namanya.
Sampai di kediamannya, Prahasta melihat Trikala dan Kalaseki sedang bercengkerama. Hancur hatinya melihat anak pungutnya yang kembar itu. Dua satria tampan itu dipungutnya dari kerajaan Arjunasasrabahu yang dikalahkan Alengka.
Nak, aku sangat mencintaimu. Maafkanlah ayahmu yang kejam ini, kata Prahasta sambil memeluk mereka. Trikala dan Kalaseki tak habis mengerti mengapa ayah angkatnya begitu sedih. Dua satria tampan ini sangat mencintai Prahasta seperti ayahnya sendiri. Ditanyalah Prahasta tentang kesedihannya, namun Prahasta tak bisa menjawab sedikit jua.
Tiba-tiba Warorodra menyeret anak kembar itu. Mengeluarkan goloknya, memancungkan senjata berkilatan itu ke kepala mereka. Trikala dan Kalaseki terpenggal kepalanya di hadapan Prahasta. Prahasta menutup mukanya, seperti pingsan rasanya, melihat dua kepala anaknya tergulung-gulung di tanah. Warorodra segera membungkus dua kepala manusia itu dengan kain putih. Kain putih ini masih bertetesan dengan darah, ketika ia menghaturkan kepada Rahwana.
Rahwana tertawa terbahak-bahak melihat kepala terpancung seperti kepala Rama dan Laksmana itu. Kali ini ia sangat yakin sungguh dapat menaklukkan Dewi Sinta. Maka berdandanlah ia sebagai raja yang megah dan mewah. Memakai makota kencana bersusun tiga. Gelangnya bermatakan permata dari dasar lautan. Telinganya bersumpingkan tanduk naga kembar. Dengan celana cind" puspita, busananya berenda cinala, ditetesi dengan kumala. Berjalanlah ia ke Taman Argasoka, jalannya bagai serigala lupa, mengombang-ambing bagai gajah tertiup angin.
Sinta, adindaku, sambutlah kedatanganku, kata Rahwana. Ia segera menari-nari, merayu Sinta supaya menyerah. Tingkah laku Rahwana ini penuh nafsu, mengeong-ngeong seperti kucing jantan di masa berahinya. Oh, raja yang tak tahu diri, negerinya sedang dilanda malapetaka, kini di Taman Argasoka ia malah membara untuk memiliki wanita yang bukan miliknya.
Sinta, jangan kau membuat dirimu kurus kering karena sedih. Tapi ah, Sinta, kau nampak makin cantik jelita dalam kesedihanmu. Kemarilah, hai Jelita, kupondong kau, kugendong kau dengan selendang tanganku, Rahwana merayu-rayu sambil mengejar-ngejar Dewi Sinta, yang terus mencoba menghindarkan diri.
Rahwana, jangan sentuh aku, Jerit Dewi Sinta ngeri ketakutan.
Uwa Prabu, sabarlah, pinta Trijata meratap di kaki Rahwana.
Trijata, kapan lagi aku mesti bersabar" Tak tahukah kau betapa tak tahan hatiku untuk segera menggendong dan memeluk junjunganmu yang jelita ini. Minggir Trijata, akan kuboyong wanita jelita ini ke istana, bentak Rahwana. Lalu ia berpaling ke Dewi Sinta dan mengejar-ngejarnya. Sinta memberanikan diri untuk memandang raja yang bergelegak nafsunya ini. sinar matanya cemerlang dan makin jelitalah ia karena marah. Sinta bagaikan dewi asmara di hadapan Rahwana yang sedang berenang dalam lautan berahinya. Dikhayalkannya, buah dada dewi asmara itu bagai bulan purnama turun, mekar di dada bunga angsoka. Di mata yang sudah kabur karena nafsu ini, pinggang Dewi Sinta yang lembut serasa sulur pohon gadung yang meraung-raung minta dibukakan kain yang menutupinya. Rahwana ingin menjadi kuda jalang yang menyobek-nyobek busana penutup badan yang halus itu. Matanya menjadi gelap ketika melihat dada anggun itu naik-turun menghembuskan nafas yang harum. Menggigil ia dalam kepanasan nafsunya untuk menjadi boneka lelaki yang menggigit susu ibunya yang terbuka.
Sinta, Sinta, jangan kau lepas busanamu di hadapanku. Marilah, Jelitaku, kupondong kau ke istanaku. Di sanalah kita akan mengenyam asmara. Kemarilah, Dinda, kupasangkan kembali bunga-bunga wiraga yang terlepas jatuh dari kondemu, kata Rahwana tak tertahankan lagi. Dan ditubruknya Dewi Sinta. Trijata cepat menengahinya sehingga jengkellah Rahwana karena yang dipeluknya bukan Dewi Sinta. Sinta sudah menjauh di sudut sana, dan lihatlah pisau burung Jatayu itu sudah hampir di dadanya.
Rahwana, lebih baik aku mati dan tak menjumpai suamiku lagi, daripada aku harus melayani nafsumu, Dewi Sinta menjerit gemetar.
Uah, jangan Jelitaku. Sia-sialah kau membunuh diri. Suamimu sudah mati hari ini, kata Rahwana. Lalu sambil berpaling ke belakang ia berteriak, Warorodra, bawalah kepala Rama dan Laksmana kemari, supaya percaya jelitaku ini.
Warorodra meletakkan kain putih berdarah itu di hadapan Dewi Sinta. Sinta memandang dengan hati berdebar-debar ketika Rahwana membukanya. Pisau bulu Jatayu itu makin dekat ke dadanya. Tiba-tiba nampaklah kepala Rama dan Laksmana, dan Sinta pun rebah di pangkuan Trijata, sebelum pisau sempat menusuk dadanya. Wajahnya pucat pasi, darahnya seperti berhenti. Hanya lewat bibirnya yang indah nampak ia memuntahkan darah beberapa kali.
Uwa Prabu, menyingkirlah sekarang ini, jika kau ingin tetap memiliki pujaanmu ini, kata Trijata berani.
Rahwana menjadi bingung bukan buatan. Sudah beberapa kali ia membuat Dewi Sinta pingsan. Tapi keadaannya tidak mengerikan seperti kali ini. Raja raksasa ini mengerut-erut keningnya, khawatir pujaan hatinya binasa. Ia terpaksa mau mengalah supaya kelak ia dapat memilikinya.
Trijata, kuserahkan jelitaku ini padamu. Jagalah dia, suatu hari aku akan datang kembali lagi ke sini, kata Rahwana sambil pergi meninggalkan Taman Argasoka.
Trijata sangat sedih, melihat Dewi Sinta dalam keadaan seakan tak bisa ditolong itu. Dengan sabar ditungguinya junjungan itu. Lama kemudian, nampak Sinta membuka matanya.
Trijata, betapa kau setia mencintaiku. Tapi hidupku tiada gunanya lagi, Trijata. Ijinkanlah aku mendahuluimu, berikanlah pisau itu padaku, supaya dapat kususul Rama, suamiku, kata Dewi Sinta lirih.
Sang Dewi, sabarlah. Suami Paduka belum mati. Lihatlah, kepala itu bukan kepala Rama dan Laksmana. Rahwana hanya menipu Paduka. Kepala itu adalah kepala anak pungut Paman Prahasta yang tercinta. Hamba mengenalinya. Amatilah Sang Dewi, kata Trijata.
Sinta memberanikan diri memandangi lagi dua kepala manusia tampan di hadapannya. Lama ia tertegun. Ia mengelus dadanya, lega, setelah tahu, kepala itu bukan kepala Rama dan Laksmana. Tapi tak urung ia nampak terharu mengenangkan nasib dua kepala yang tak bersalah itu.
Oh Rahwana, betapa kejam kau! Kau tega dan rela membunuh dua satria malang ini hanya untuk memperdayai aku. Dewa, apa gerangan dosaku, sampai dua satria yang tak bersalah ini harus mati demi diriku" Semoga, oh Dewa, korban dua satria yang tak bersalah ini menjadikan ketabahan bagiku untuk menghadapi segala percobaan hidupku, ratap Dewi Sinta terharu.
Trijata ikut merasakan keharuan itu. Namun ia mencoba untuk tak membiarkan Sinta larut dalam kesedihan dan penyesalannya berlama-lama. Dihiburnya Sinta dengan janji bahwa kelak tiba saatnya arwah dua satria tak bersalah itu menuntut pembalasannya.
Sementara itu di istananya, Rahwana masih terus mencari akal bagaimanakah ia dapat merebut hati Dewi Sinta. Tak ada cara lain, kecuali membinasakan Rama dan balatentaranya. Namun ia menyadari, balatentara Rama ternyata tak mudah dikalahkan. Tiba-tiba dalam mimpinya ia serasa diingatkan, kera-kera itu dapat dibinasakan asal ia dapat merusak Kembang Dewaretna, bunga kehidupan para kera, yang kini tertanam di kahyangan para dewa. Hari itu juga terbanglah raja raksasa ini mencari Kembang Dewaretna.
S ela Matangkep tertutup rapat ketika Rahwana tiba di ambang
kahyangan. Ada raksasa kembar, Cingkarabala dan Balaupata, menjaga di kanan-kiri pintu. Lidah mereka berjilatan dengan emas jingga, dan di telinganya bersarang bremara dan bremari, kumbang jantan dan betina.
Gada Cingkarabala berlapiskan manikam lirang bang, dan gada Balaupata berteretesan permata caweli. Diayun-ayunkan gada itu, sehingga warna menjadi pelangi karena dekatnya bulan dan matahari. Bidadari-bidadari berenang-renang dalam sungai pelangi itu, keluar-masuk melalui Sela Matangkep bagaikan capung-capung surgawi.
Pintu kahyangan itu begerit-gerit bersama dengung bremara dan bremari, menimbulkan suara yang tak dapat dimengerti oleh hati insani. Berulang kali Rahwana mengetuk pintu itu, hanyalah terdengar sahutan menolak dari dewa pencabut nyawa Batara Yamadipati. Rahwana mundur dan mendadak ia rebah dihantam gada Cingkarabala dan Balaupata, Rahwana marah, mau dibalasnya Cingkarabala dan Balaupata, namun kedua raksasa ini tak kelihatan, tenggelam dalam warna lirang bang dan caweli.
Maka geramlah raja raksasa ini. Dengan mata gelap ditubruknya Sela Matangkep sekuat tenaga. Pintu kahyangan ini terbuka, dan Rahwana berhadapan dengan gelap di mana-mana. Silau pula mata raja raksasa ini, karena sebentar-sebentar kilatkilat berbenturan. Di bawah, jagad berguncang-guncang, mengeluarkan api. Dan samudra pun bagai mengebur-ebur dengan air dahana yang mendidih.
Angin ribut bertiup dari belakang, mendorong Rahwana yang kehilangan keseimbangannya. Tiba-tiba suasana menjadi terangbenderang keputih-putihan, dan lihatlah Lembu Andini sedang berlari-lari seperti terbang, dikejar-kejar anak bajang. Rahwana mengikuti mereka dari belakang.
Anak-anak bajang itu lari kencang melewati beberapa perempatan jalan. Dan sampailah pula Rahwana di Lingga Hubaya. Betapa luhur keadaan di sana. Aroma puspita mengambarambar, kumkuma mewangi dari bunga selasih dan cendana, dan gemericiklah sebuah sungai kecil dengan air kembang mawar. Di pucuk-pucuk mandira, burung jalak dan perenjak berjingkrak-jingkrak, seakan mengucap selamat datang. Burung merak terbang rendah dengan sayap yang mengepak-ngepak, dihadang-hadang burung kepodang.
Rahwana tertegun. Tapi tiba-tiba keadaan menjadi sunyi-senyap. Hilang semua keluhuran tadi, dan keadaan sekitar pun seperti tiada berisi. Dan tampak dari utara dan selatan, berlarilarilah dua anak bajang. Anak bajang dari utara membawa tempurung bocor hendak menguras samudra raya. Anak bajang dari selatan membawa lidi sebatang, hendak menyapu jagad raya. Berlari amat kencang mereka, dan bertabrakanlah mereka ketika sampai di Lingga Hubaya. Maka gulitalah keadaan jadinya.
Rahwana terkejut melihat ulah anak bajang tadi. Tapi matanya sudah keburu kabur. Dan ketika ia membukanya kembali, ada sebuah kepala bergantung menjadi dian yang suram-suram bagi gulita di sekitarnya. Sangatlah seram kelapa yang menjadi dian itu, cahayanya adalah mata balangatandan. Dian yang sudah suram ini makin menjadi kelam karena bertetesanlah darah-darah daripadanya.
Cahaya suram ini menjadi terang bagi keadaan sekeliling yang sangat seram. Rahwana seakan mau menutup matanya ketika ia melihat berbagai jenis binatang merayap menggelesah di tanah. Ular-ular berbisa bertumpang-tindih dengan buaya-buaya. Katak-katak dikerumuni kalajengking. Semut-semut raksasa berebut makanan dengan ketonggeng-ketonggeng.
Rahwana menjadi amat takut, dan sangat terkejutlah dia ketika di tengah sana ada pemandangan yang tidak bisa dipercaya mata: ada seekor katak akan menelan naga berbisa. Naga itu menjerit-jerit kesakitan, sementara si katak terus mencoba menelannya tanpa belas kasihan. Makhluk-makhluk merayap di sekitar seakan bertepuk tangan melihat kekejaman sang katak.
Rahwana, mengapa kau heran melihat aku bisa menelan naga, tanya si katak.
Biasanya, dan di mana pun justru nagalah yang menelan katak. Tak pernah ada katak menelan naga, jawab Rahwana terheran-heran.
Rahwana, mengapa kau ukur kebiasaan itu dari alammu saja" Mengapa si lemah mesti selalu kalah dengan yang kuat" Hidup ini berisi banyak kebalikan-kebalikan, Rahwana, maka tidak mustahillah katak menelan naga.
Namun, apakah artinya seekor katak"
Rahwana, katak pun juga ciptaan ilahi. Ia tidak berhak untuk hanya diinjak-injak, untuk sekadar pengisi perut naga-naga pelahap. Ia adalah besar, justru dalam kekecilannya. Tidakkah itu kau lihat sendiri hari ini.
Rahwana, kalau demikian, apa yang harus kuperbuat terhadap naga ini" tanya sang katak lagi.
Kau menang, maka telanlah naga itu, jawab Rahwana. Oh Rahwana, anakku, kau katakan sendiri tentang kekalahanmu. Kau hanya melihat kehidupan ini dari kemenangan, siapa menang dan berkuasa, berhaklah dia melakukan apa saja. Kau ingin menjadi naga, ketika kau berkuasa, tapi kau ingin pula menjadi katak, bila si naga kalah. Tak mungkin, Nak, tak mungkin kau ingin menjadi kedua-duanya, ingatlah, Nak, hidup ini adalah cakra manggilingan, yang selalu berputar. Ketika kau sedang berada di bawah tak mungkin kau berada di atas sekaligus. Seharusnya kau justru berharap dan minta belas kasih kepada yang di atas, jika hidupmu sedang di bawah. Kalau kau ingin senantiasa berkuasa di atas, samalah artinya kau ingkari hidupmu yang sedang berada di bawah. Maka, Nak, itu artinya sama juga dengan kau mengingkari hidupmu sendiri, kata sang katak.
Rahwana seakan tak percaya, setelah berkata demikian tibatiba katak itu berubah menjadi Sang Hyang Girinata, raja para dewa, dan naga berubah menjadi Batara Narada. Buru-buru Rahwana melakukan sembah.
Nak, camkanlah apa yang baru kau alami. Kau akan mati karena keinginanmu sendiri. Kau tak pernah mengandaikan sang katak, lawan dari naga itu, masih bisa mempunyai belas kasih. Maka inilah Nak, kebalikan hidup yang tak pernah kau pikirkan juga.
Bagimu, katak harus menelan naga, kalau ia menang. Itu bukan katak, Nak, tapi naga sendiri. Katak justru bisa merenung, kalau ia menelan naga, ia akan hancur dengan sendirinya. Katak itu berhati bening, tak perlu kejam terhadap lawan karena ia pernah mengalami kekejaman yang menyakitkan. Adalah katak yang tak tahu diri bila ia berani menelan naga, karena itu akan mengakibatkan berantakan perutnya sendiri. Sekali lagi katak yang demikian bukan katak, tapi naga yang tak tahu diri. Maka ingatlah, bila kelak ada lawan yang membunuhmu, sebenarnya bukan lawan itu yang membunuhmu, tapi kau sendiri yang menghancurkan hidupmu. Kau ingin menjadi katak yang waktu itu menang, padahal dirimu sedang berwujud naga yang seharusnya minta belas kasihan, dan di situlah terjadi kau menjadi naga yang bunuh diri. Kekuasaan itu memang sering-sering membunuh dirinya sendiri, Nak. Maka Nak, pikirkanlah katak itu dari hati seekor katak, meski kelihatan ia sedang berkuasa, jangan kau pikirkan katak dari keganasan seekor naga, kata Sang Hyang Girinata.
Rahwana tak mempedulikan nasihat dewa, pikirannya langsung melayang kepada kebutuhannya sendiri. Kebetulan di hadapannya berdiri Batara Guru, maka dimintalah Kembang Dewaretna yang diperlukannya untuk membunuh pasukan kera.
Dewa, berilah aku Kembang Dewaretna. Aku ingin memusnahkan para kera itu dengan menghancurkan bunga kehidupannya, pinta Rahwana.
Rahwana belum kau pertimbangkan nasihatku, sudah kau lanjutkan keinginanmu sendiri. Jangan, Nak..., kata Batara Guru.
Dewa, berikan hari ini juga Kembang Dewaretna. Kalau tidak, kuobrak-abrik kahyangan ini, kata Rahwana mengancam. Batara Guru tahu kesaktian Rahwana, beberapa kali ia membuat onar kahyangan. Dewa-dewa pun berkecil hati padanya.
Rahwana, Kembang Dewaretna berada di tangan kakakmu Danareja, kata Batara Guru. Rahwana segera melesat pergi, tanpa minta pamit lagi, ingin cepat-cepat menemui Danareja, yang kini sudah berada di alam dewa.
Purnama kahyangan sedang timbul, dengan warna hijau berayun-ayun. Bidadari memetik siternya, merdu suaranya bagaikan angin dari gunung yang sedang turun. Dan mengambar-ambarlah bau harum. Kembang Dewaretna, betapa kau indah dan anggun. Oh, bunga kehidupan dari para makhluk yang rendah hati! Aneka warna kehidupan lembar-lembur daunnya. Benang sarinya terurai bagai rambut wanita yang sedih karena ditinggalkan anak-anaknya. Ada gerimis menitik dari bulan, meleleh menjadi air mata kelopak bunganya, maka malam turun sudah dalam linangan keindahan tangisnya. Seekor bremara, mengisap-isap madunya, mencumbunya dengan mesra dalam dengung-dengung asmaranya, menghibur kesepian hatinya.
Bisikan mereka bagaikan nyanyian kekasih, yang menemani suara siter para bidadari. Makin eloklah Kembang Dewaretna, ketika ia seperti terkena birahi mempersilakan bremara membuka helai-helai daun busananya. Bidadari-bidadari seakan iri, ditinggalkannya siter-siternya, lari mendekati mereka, seakan ingin mengintip putri yang terpejam bahagia dengan bremara di dadanya yang menantang purnama. Dibisikkanlah suara lembut kepada sang bremara, anak-anaknya sedang berjuang di dunia, maka janganlah dia ditinggalkan sendiri ditelan malam purnama.
Tak jauh dari Kembang Dewaretna ini berjalan-jalanlah Danareja dalam kemuliaannya. Dibelainya kembang yang indah itu, dan wajah Danareja pun bersinar-sinar cemerlang, seakan ada beribu kehidupan memancar daripadanya. Malam adalah kebahagiaan Danareja dan Kembang Dewaretna. Tiba-tiba terdengarlah suara keras di kejauhan sana.
Danareja, kakakku, aku datang! Serahkanlah Kembang Dewaretna bagiku, kata Rahwana. Sejenak raja raksasa ini terkesiap, nafsunya luluh ketika bau harum kehidupan mewangikan hidungnya. Dan sangat kagumlah ia ketika ditatapnya Danareja yang menjadi pengawal bunga kehidupan itu.
Rahwana, belum kumengerti, apakah maksud kedatanganmu ini, tanya Danareja. Rahwana tidak segera menjawab, hatinya masih terbuai oleh kehidupan yang indah di sekitarnya. Mengapakah manusia menginginkan kematian, bila kehidupan ini sesungguhnya demikian indah, seperti keluhuran Kembang Dewaretna"
Rahwana, mengapa kau kelihatan kagum, seakan belum pernah menjumpai kehidupan" Matamu redup, Rahwana, seakan menyerah ketika kau memandangi Kembang Dewaretna, kata Danareja.
Kembali Rahwana tidak menjawab. Hatinya merasa, seakan hidupnya sampai kini adalah kematian belaka. Adakah kehidupan ini kematian kalau ia dijalankan dalam nafsu dan kejahatannya" Kalau tidak, mengapa baru sekarang ia seakan merasakan apa sebenarnya kehidupan" Ia teringat akan kata-kata Batara Guru lagi, ada banyak kebalikan dalam kehidupan ini: ia yang merasa berkuasa atas hidupnya dan menikmati hidup karena kuasanya sebenarnya adalah ia yang dicekam oleh kematian dan menderita ketidakbahagiaan karena tiada berdaya apa-apa di hadapan kehidupan yang sesungguhnya, seperti sekarang dirasakannya di hadapan Kembang Dewaretna.
Rahwana, mengapa kau terdiam dari tadi" tanya Danareja. Rahwana segera sadar, dan sirnalah segala kebahagiaan dan keindahan yang baru dinikmatinya, ketika ia menuruti kembali kematian dalam hidupnya.
Danareja, kakakku, serahkan bunga kehidupan para kera ini kepadaku. Akan kuhancurkan bunga yang indah ini, supaya binasalah para kera, kata Rahwana. Danareja terkejut.
Rahwana, sudah segala milikku kuserahkan padamu. Aku kehilangan calon isteriku Dewi Sukesi demi kelahiranmu. Cintaku dicuri Wisrawa, ayahku sendiri, demi kebesaranmu. Dan Kerajaan Lokapala kuserahkan padamu, demi keinginanmu. Aku telah memberimu segala-galanya, Rahwana, tapi kali ini takkan aku menuruti permintaanmu, jawab Danareja.
Danareja, kakakku, kalau tak kau serahkan, akan kurebut Kembang Dewaretna itu, bentak Rahwana marah.
Rahwana, takkan kuserahkan kehidupan pada kematian. Tak ingin aku melihat kera-kera binasa karena hasrat kematianmu itu, jawab Danareja.
Maka mengamuklah Rahwana, dan menyerang Danareja. Kembali pertempuran saudara seayah ini terjadi. Namun Rahwana lupa, kini Danareja sudah berada dalam alam halusnya. Tidak mudah mengalahkan Danareja dalam keadaan demikian. Sejenak Rahwana mencurahkan ciptanya, lalu menghilanglah ia dari hadapan Danareja. Secepat kilat ia menyambar Kembang Dewaretna, dan mencabutnya. Buyarlah keindahan pada malam itu, ketika Kembang Dewaretna sudah di tangan Rahwana. Hanya terlihat sang bremara terbang karena ditinggal kekasihnya. Lalu gelaplah suasana. Dan ketika Danareja sadar, Rahwana sudah menghilang dari hadapannya. Bukan main sedih hati Danareja, matanya hanya bisa memandang kumbang yang berdengung-dengung sedih di dekatnya. Danareja duduk termenung, dan gelap pun makin turun. Dan kumbang itu pun makin jauh berdengung.
Sesampainya di Alengka. Rahwana memanggil Patih Prahasta menghadap ke istana.
Paman, jagalah Kembang Dewaretna ini. Hati-hatilah, jangan sampai terlena. Aku menunggu beberapa hari lagi, sampai bulan bergeser ke utara. Pada hari itulah aku akan meremasremas Kembang Dewaretna dalam suatu upacara. Kira-kira dua hari lagi, dengan demikian balatentara Rama akan habis binasa, kata Rahwana lega. Prahasta pergi ke kediamannya, menjaga Kembang Dewaretna.
Sementara itu di Suwelagiri, kera-kera menjadi sedih tanpa ketahuan sebabnya. Mereka mondar-mandir ke sana kemari tak tahu apa yang harus dibuatnya. Semangat mereka luntur, tak ada gairah. Rama bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan yang terjadi" Kera-kera ini seakan kehilangan sesuatu pada diri mereka sendiri.
Bulan makin bergeser ke utara, perlahan-lahan jalannya. Langit berjaga dengan setia, menjadi taman bagi ratunya. Tibatiba terdengar suara sedih seekor kumbang jantan yang mendengung-dengung. Suaranya memilukan hati, seperti sendar"n tertiup angin.
Mendengar suara kumbang ini, kera-kera serasa makin disedihkan pula hatinya. Mengapakah ada bremara menangis, membuat hati teriris-iris di malam begini" Bertanya demikian, kerakera ini seakan dibawa ke masa lalunya, masa lalu yang tak pernah ada, namun memberi daya kehidupan bagi diri mereka. Kera-kera ini lalu merenungkan kehidupannya sendiri, kehidupan yang tiba-tiba semata-mata disadarinya sebagai anugerah dari yang ilahi. Dan makin dekatlah dengung kumbang yang memilukan hati itu.
Hai Kumbang, mengapa kau terbang menangis di malam begini" tanya Anoman, ketika kumbang itu lewat di dekatnya.
Anoman, aku kehilangan kekasih hatiku, Kembang Dewaretna. Tahukah kau, Kembang Dewaretna itu adalah kehidupan para kera" Sekarang ia dicuri Rahwana. Raja raksasa itu akan meremas-remasnya bila bulan sudah berada di utara. Antarkan aku menemui Kembang Dewaretna ke istana Rahwana. Aku tidak tega ia binasa. Dan ingatlah Anoman, kehancuran Kembang Dewaretna berarti juga kebinasaan para kera, kata sang bremara, yang menjelajah ke mana-mana sejak Kembang Dewaretna meninggalkannya.
Anoman merasakan kesedihan bremara itu. Kesedihannya adalah kesedihannya sendiri pula. Maka dipungutlah bremara tadi. Ketika tangan Anoman menyentuh sang bremara, berubah bremara itu menjadi kera dengan wajah seekor kambing jantan. Anoman segera menghaturkan kera yang berwajah kumbang jantan itu kepada junjungannya.
Siapakah Anoman, kera yang berwajah bremara ini" tanya Rama.
Dia adalah kekasih Kembang Dewaretna. Ketahuilah Paduka, Kembang Dewaretna adalah bunga kehidupan para kera. Rahwana telah mengetahuinya, maka ia pergi ke kahyangan dan mencuri bunga kehidupan kami dari tangan kakaknya Danareja. Tak lama lagi, raja raksasa itu akan merusak dan memusnahkannya. Kami, para kera ini akan binasa bersama musnahnya Kembang Dewaretna. Bremara yang telah menjadi kera ini akan segera mencari kekasihnya di istana Rahwana, tutur Anoman menerangkan makna dan peristiwa hilangnya Kembang Dewaretna.
Syukurlah, hai Bremara, kau datang sebelum kehancuran para kera terjadi. Aku heran mengapa kini kera-kera Suwelagiri bersedih hati seperti akan mati. Kini aku tahu, berkat kedatanganmu, para kera bersedih karena merasa akan kehilangan kehidupannya, setelah Rahwana merampas bunga kehidupannya. Cepatlah kau pergi ke Alengka, dan rebutlah kembali kekasihmu Kembang Dewaretna, kata Rama.
Rama sangat lega, karena kera berwajah bremara inilah yang kiranya bakal dapat menyelamatkan para kera yang tiba-tiba terancam hidupnya. Rama mengucap syukur, dan diberinya kera itu nama Kapi Pramuja. Dan Rama memerintahkan Anila untuk menemaninya pergi ke Alengka, merebut kembali kekasihnya Kembang Dewaretna.
M alam kesedihan Kembang Dewaretna. Langit lelah dengan
bulan yang berair mata. Halimun lemah terbang merendah dengan sayap-sayap burung cengga. Sedu-sedan malam belum reda, ketika terkuak warna-warna jingga dari darah-darah kehidupan yang menahan derita.
Mata Prahasta bagai bulan yang mandi di pasir-pasir, pandangannya bermain-main dalam kerut-kerut kematian di selasela kehidupan. Adakah kematian ini anak kehidupan" Ataukah kehidupan ini anak kematian"
Dari bawah cakrawala yang tak mengenal batasnya berarakaraklah bidadari-bidadari, rambutnya mengurai bagai benangbenang sari permata caweli. Datang menyusui Kembang Dewaretna yang bersedih hati. Maka tiada lagi kematian, yang ada hanyalah sastra gumelar, kehidupan indah yang dituliskan oleh tangan para pujangga.
Mengapa Prahasta tiba-tiba merasa asing di tengah sastra gumelar itu" Ia bagai peronda yang dari malam senantiasa berjaga, tapi ketika fajar tiba matanya yang lelah hanya menatap lorong sempit yang gelap-gulita, istana serangga dan ular-ular berbisa.
Dan lihatlah, serasa ada burung cengga yang terbang berlomba dengan cahaya yang mau memandikan Kembang Dewaretna. Tapi Prahasta serasa berjalan terlalu lambat untuk mengangkat jiwanya, padahal di lembah-lembah pohon karinaga sudah dibuka rahasia keindahan hidup oleh tangan yang tak tampak oleh mata.
Prahasta lari dengan kudanya, menyandang pedang dari halilintar neraka, walau hati tak menyadarinya. Ia menjerit-jerit mengutuki kesatriaannya yang megah, namun ia tak berdaya, seakan menjadi tawanan para durjana yang menindasnya. Ditebasnya kepala-kepala manusia, padahal kepala-kepala itu adalah makota bunga padma. Prahasta menangis, namun kesatriaannya menyepak-nyepak dan mendorong-dorongnya untuk terus menghiasi diri dengan darah. Sambil terdengar suara Rahwana yang mencaci kelemahannya.
Malam bertambah malam. Di saat-saat akhir yang mengancam hidupnya, Kembang Dewaretna makin mekar dengan sangat indahnya. Mata Prahasta mulai mengantuk, sementara lamunannya belum berakhir juga. Aroma Kembang Dewaretna menyebar ke mana-mana. Dan Prahasta menikmati bau harum tiada tara.
Akhirnya raksasa tinggi besar ini tiada kuat lagi berjaga, mengatupkan matanya, pulas tertidur. Prahasta bermimpi ngeri, kudanya lari kencang, tiba di hadapan Kembang Dewaretna, dihunusnya pedangnya, hendak dipenggalnya Kembang Dewaretna. Namun terdengarlah tangisan Kembang Dewaretna, tangisan kehidupan sendiri. Prahasta tak jadi memenggal Kembang Dewaretna, karena ia merasa tidak tega untuk memenggal leher kehidupan sendiri.
Maka duduklah Prahasta membelai Kembang Dewaretna. Bagai seorang pujangga digelarkannya Kembang Dewaretna pada sebuah tugu yang mirip nisan. Sastra gulemar, alangkah indahnya kehidupan ini sebenarnya. Kehidupan itu adalah aroma Kembang Dewaretna yang harum, mengusir bangkai-bangkai kejahatan. Kehidupan itu adalah kelopak bunganya yang tersenyum, membuat keagungan yang sombong bergulung-gulung. Kehidupan itu adalah kesejukan helai-helai daunnya yang menerima tetesan embun, melelehkan nafsu kekerasan yang tertimbun-timbun.


Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak pernah Prahasta merasakan keindahan yang membahagiakan itu. Nisan yang serasa sudah bergambar Kembang Dewaretna itu dipandangnya. Dan kematian pun lalu menjadi sangat indah. Kematian itu membuka bibirnya mencium Prahasta dengan amat hangat. Prahasta menjadi rindu pada ciuman itu, ciuman seorang ibu yang merindukan kedatangan putranya, ciuman yang dinanti-nantinya selama di dunia. Pada saat itu tiada lagi kehidupan dan kematian, yang ada hanyalah pertemuan bahagia antara kehidupan dan kematian.
Tiba-tiba Prahasta dikejutkan dari mimpinya, ketika terjaga Kembang Dewaretna sudah hilang dari hadapannya. Sejenak sempat dilihatnya Kembang Dewaretna berada di tangan kera berwajah bremara. Sang kera itu menciumnya berulang-ulang, lalu lenyaplah ia menjadi bremara yang hinggap mengisap Kembang Dewaretna, kemudian terbanglah mereka kembali ke tempat asalnya, tumbuh di taman Danareja.
Prahasta tidak tahu, justru tengah ia bermimpi, datanglah Kapi Pramuja, sang bremara, diantar oleh Anila untuk mendapatkan lagi kekasih hatinya, Kembang Dewaretna. Patih Prahasta ketakutan luar biasa, dengan lesu dan terhuyunghuyung pergilah ia menghadap Rahwana.
Rahwana, anakku, celaka, Nak, Kembang Dewaretna hilang dari tanganku, kata Prahasta.
Apa Paman" Kembang Dewaretna hilang" tanya Rahwana hampir tak percaya.
Paman tertidur, Nak, karena tiada kuat lagi berjaga. Kembang Dewaretna dicuri kera, yang berubah menjadi bremara.
Uah, Orang tua bodoh, tidak bisa dipercaya! Tidakkah Paman tahu, sebenarnya hari ini juga aku akan merusak Kembang Dewaretna" bentak Rahwana tanpa belas kasih terhadap pamannya sendiri.
Nak, maafkanlah Paman..., pinta Prahasta.
Paman, kau telah bersalah sangat besar bagiku dan negeri ini. Tidak ada tebusan untuk kesalahan itu, kecuali hari ini juga kau menjadi panglima Alengka, berangkat ke medan laga, untuk menahan barisan para kera. Kalau kau mati, itulah balasan dari kesalahanmu sendiri, Rahwana masih membentak-bentak marah.
Nak, sudah banyak penderitaanku bagimu. Kau bunuh kedua anak pungutku. Hatiku sakit melihat kau membawa negeri tercinta ini menjadi cela di mana-mana. Sekarang kau caci aku dengan begitu nista. Ingatlah, Nak, bukan demi dirimu, tapi demi negeri tercinta ini aku berani membuat segala-galanya. Tak perlu kau perintah aku untuk mati demi negeri ini! Sekarang juga aku akan mempertaruhkan nyawaku demi tanah wutah ludiraku (tanah tumpah darahku) ini. Minta pamit, Nak, dan saat ini juga aku berangkat, kata Prahasta tabah, memilukan hati.
Balatentara Alengka bersorak, ketika melihat Prahasta berangkat sebagai panglima. Sorak-sorai mereka itu adalah keyakinan, takkan ada yang bisa mengalahkan Prahasta, patih Alengka yang sakti, adik Dewi Sukesi ini. Panji-panji kemenangan dikibarkan.
Dengan megah, Prahasta menunggang gajah. Raksasa sebesar gunung anakan ini memimpin pasukannya dengan penuh semangat. Tak ada kegentaran sedikit juga nampak di wajahnya. Sementara di kejauhan sana keluarlah anjing-anjing hutan, melolong-lolong memilukan hati, tanda ada kesedihan dalam kemegahan ini.
Prahasta tidak mempedulikannya, niatnya sudah bertekad untuk mati demi negerinya. Maka digelarnya para prajuritnya dalam siasat perang hardacandra, dengan siasat itu barisan bergerak dalam bentuk paro purnama di malam remang-remang. Siasat warisan ayahnya, Prabu Sumali itu, baru kali ini ditunjukkan keampuhannya.
Barisan para kera, yang di hari-hari terakhir banyak menikmati kemenangan, kini kalang-kabut menghadapi balatentara Prahasta. Mereka seperti kehilangan akal, masuk terjebak dalam perangkap siasat paro purnama itu. Kelihatan terang bagi mereka, seakan hanya ada segerombol prajurit raksasa di hadapannya. Tapi begitu menyerang, datanglah arus ratusan raksasa yang menghancurkan mereka. entah dari mana datang arus dahsyat itu, mereka hanya merasa seperti tertipu oleh remang-remang purnama.
Prahasta sendiri mengamuk tiada tandingnya. Diangkatnya beberapa kera sekaligus, lalu dibantingnya sampai berantakan ke tanah. Gajahnya juga tak kalah ganasnya, menginjak-injak barisan kera sampai binasa. Sementara ia terus mengayunayunkan gadanya, menghajar lawan-lawan yang berani mendekatinya.
Melihat amukan dahsyat patih Alengka ini, majulah Anila, kera anak Batara Narada. Anila melesat naik di kepala gajah, lalu menyerang Prahasta. Tak sedikit pun bergoyah Prahasta oleh serangan Anila. Anila mencari akal, digodanya gajah Prahasta dari belakang. Gajah dahsyat itu mengamuk, menyabetkan belalai ke belakang. Secepat kilat Anila menghindarkan diri, dan belalai itu menghantam Prahasta sendiri sampai terjungkal ke tanah. Ketika Prahasta mencoba bangun, Anila langsung menghajarkan gada ke kepala Prahasta.
Bukan main geramnya Prahasta. Kepalanya masih pening, ia sudah membalas serangan Anila. Anila merasa tidak bisa menandinginya, maka larilah ia menjauh. Tapi patih Alengka ini tak melepaskannya. Dikejarnya anak Batara Narada itu.
Tiba-tiba Anila melihat ada sebuah tugu batu, yang berlumut tak terpelihara. Serasa ada ajakan suara yang menderita menarik Anila ke sana. Dengan berputar-putar menghindar di keliling tugu batu, Anila membuat Prahasta kewalahan dan sulit untuk menangkapnya.
Raksasa dahsyat itu kelihatan lelah, keringatnya bercucuran di sekujur badannya. Ia menghening sejenak, ketika ia memandang tugu batu bagai berisi Kembang Dewaretna dalam mimpinya. Sementara Anila pun sudah habis nafasnya karena lelah terus-menerus memutari tugu batu. Anila berhenti sebentar, kembali serasa ia mendengar suara menderita memanggilnya dari dalam tugu batu
Mendadak Prahasta menyerangnya, tanpa berpikir lagi Anila secepat kilat mencabut tugu batu berlumut itu. Dihajarkannya tugu batu yang kedengaran bersuara itu ke badan Prahasta. Langit terang dengan halilintar, dan tiada terduga sama sekali, badan Prahasta pun lebur binasa, bersama hancurnya tugu yang serasa bersuara.
Alangkah ajaibnya kehancuran itu! Tugu batu berubah menjadi Dewi Windradi, istri Resi Gotama, ibu Sugriwa, Subali, dan Retna Anjani. Bertahun-tahun Dewi Windradi menderita dan berprihatin sejak ia dikutuk menjadi tugu batu karena membisu ketika Resi Gotama marah atas peristiwa perebutan Cupu Manik Astagina oleh anak-anaknya. Kini ia lepas dari penderitaannya, kembali kepada keilahiannya, ketika Anila menghajarkannya ke badan Prahasta, yang kini juga indah dalam alam ilahinya.
Penderitaan yang bisu dari Dewi Windradi akan tiada akhirnya jika tiada ketulusan hati Prahasta yang membebaskannya. Sebaliknya, penderitaan itu menjadi senjata yang kuat dan tabah untuk menghadapi dan mengalahkan apa saja, juga kesaktian Prahasta yang tak ada tandingannya.
Itulah sastra gumelar yang penuh rahasia, seperti ketika Prahasta melukiskan Kembang Dewaretna, bunga kehidupan para kera, di atas batu nisan kematiannya. Maka turunlah hujan bunga yang ditaburkan para dewa. Di tengah-tengahnya nampak bayang-bayang Prahasta dalam busana keilahiannya, memandang Dewi Windradi, ibu dan leluhur para kera, yang tersenyum bahagia. Berdua mereka diarak naik para bidadari surga.
Prahasta telah menjalankan hidupnya dengan tulus dan pasrah, tanpa keraguan apa pun jua. Dan Dewi Windradi tabah menderita sampai bagai mati rasa hidup ini baginya, demi perjuangan anak-anak kera menghancurkan kejahatan di dunia. Maka bagi Dewi Windradi dan Prahasta, tiada lagi kematian dan kehidupan. Kehidupan dan kematian itu saling membebaskan. Maka terdapatlah pertemuan antara kematian dan kehidupan di alam kebahagiaan. Dan terlukislah di langit keindahan berupa Kembang Dewaretna. Senja pun tiba dengan warna jingga, membawa berjuta rahasia bahagia.
Anila tertegun dan takjub memandang keindahan peristiwa yang baru dialaminya. Sementara balatentara Alengka lari tunggang-langgang karena gugurnya Patih Prahasta.
Rahwana bingung mendengar gugurnya Prahasta. Ia merasa kehilangan panglima perang yang diandalkannya. Namun tiada penyesalan dalam hatinya atas segala perbuatannya yang tanpa belas kasih terhadap pamannya sendiri. Tiba-tiba balairung istana dikejutkan oleh kedatangan dua tamu tak diundang. Seorang satria gagah perkasa, lainnya seekor kera putih yang masih muda.
Hamba bernama Bukbis Mukasura, dan ini adik hamba, Trigangga, kata satria itu, sambil memperkenalkan kera putih yang ternyata adalah saudaranya.
Apakah maksud kedatanganmu berdua" tanya Rahwana. Menurut ibunda Dewi Ganggangwati, Paduka adalah ayah hamba. Adik hamba Trigangga juga sedang mencari ayahnya, hamba yakin Paduka juga ayah Trigangga, jawab satria bernama Bukbis Mukasura itu.
Hai satria, jangan seenaknya kau mengaku aku ayahmu. Tak pernah aku merasa mempunyai anak seperti dirimu, apalagi seekor kera adikmu itu, jawab Rahwana marah.
Paduka, maafkanlah hamba bila hamba terpaksa membuka masa lalu Paduka, balas Bukbis Mukasura.
Masa lalu apa" Aku tak mempunyai masa lalu yang berhubungan dengan dirimu, bentak Rahwana.
Paduka, ingatlah waktu Paduka terbuai asmara akan Dewi Widowati, setelah ia menceburkan diri ke dalam api karena menolak cinta Paduka. Setelah itu Paduka mengembara ke mana-mana, mengejar bayang-bayang Dewi Widowati. Kata ibunda, Paduka bagai orang hilang ingatan. Bila bayang-bayang Dewi Widowati serasa berlindung di dalam batu, Paduka pun memondong batu seperti memondong wanita yang cantik itu. Bila bayang-bayang Dewi Widowati masuk ke dalam tumbuh-tumbuhan, Paduka juga, mengelus-elusnya dengan belaian asmara. Bila bayang-bayang yang menggoda Paduka itu menyelinap ke dalam seekor hewan tak peduli hewan itu singa atau lembu, Paduka pun merayu-rayu dan menggendong hewan-hewan itu dengan niat untuk berbuat asmara, sampai hamillah mereka. Suatu hari Dewi Widowati serasa menyusup
dalam ganggang. Paduka mencumbu ganggang itu dengan nafsu asmara yang berkobar-kobar. Ganggang yang suci dan tak mengerti apa-apa itu menolak, tapi Paduka tidak kuasa lagi menahan nafsu Paduka. Ganggang itu adalah ibunda Dewi Ganggangwati, yang melahirkan hamba. Siapa tahu Paduka pun bercumbu dengan seekor kera..., kata Bukbis Mukasura. Rahwana serasa dibawa ke masa lalunya yang nista, ketika ia hanya mengikuti nafsu akan Dewi Widowati.
Sudah, sudah, jangan kau lanjutkan ceritamu. Bukbis, tutup mulutmu. Jangan kau permalukan aku di depan punggawa balairung ini, sela Rahwana yang terpaksa mengakui kebenaran cerita itu dengan penuh rasa malu.
Tapi, hai Satria, jangan menyangka aku mau mengakuimu sebagai anakku, sebelum kau buktikan kesaktianmu. Aku tak mungkin mempunyai anak yang kesaktiannya tak menyerupai kesaktianku, kata Rahwana tak tahu diri.
Paduka, hamba khawatir melukai Paduka, jawab Bukbis Mukasura.
Uah, Bedebah, sombong sekali kau Satria, tak tahukah kau, aku sangat kebal dan takkan terluka oleh kesaktian apa pun jua. Mati pun aku tak bisa. Apalagi berhadapan dengan anak ingusan seperti kau, bentak Rahwana marah.
Maafkan hamba, Paduka, kata Bukbis Mukasura, sambil memakai topeng perunggu, senjata saktinya. Dari balik topeng perunggu itu mata Bukbis Mukasura mencorong tajam, memandang Rahwana yang tertawa sombong di singgasananya.
Tiba-tiba topeng perunggu itu berkilat-kilat menyerupai halilintar, dan keluarlah api menjilat-jilat daripadanya, menelan Rahwana. Makin tajam mata Bukbis Mukasura memandang, makin berkobarlah api membakar tubuh Rahwana.
Cukup, Bukbis, cukup. Redakan apimu, kalau tidak akan hangus badanku, teriak Rahwana ketakutan, meloncat ke luar dari singgasananya yang sudah menjadi dahana. Bukbis Mukasura menanggalkan topeng perunggu itu, dan redalah api seketika.
Ha, ha, Bukbis, kau sungguh-sungguh anakku. Aku bangga mempunyai anak seperti dirimu. Akan habislah balatentara Rama oleh api topeng perunggumu, kata Rahwana tak tahu malu. Dipeluknya Bukbis Mukasura yang tadi dicacinya. Sungguh tak tahu diri! Tapi tiba-tiba raja raksasa ini berpaling kepada Trigangga dengan geramnya.
Hai Monyet kecil, meski sudah kuakui kakakmu Bukbis sebagai anakku, jangan kau kira aku juga mau mengakuimu. Jangan seenaknya kau mengaku-aku anakku. Tak pernah aku merasa mempunyai anak kera, binatang rendah, seperti dirimu ini, kata Rahwana.
Hamba adalah adik kakak hamba Bukbis Mukasura. Sudah lama hamba berdua mengembara ke mana-mana mencari ayah, kata Trigangga penuh harapan.
Monyet celaka, diam kau. Tak pernah aku mau mengakuimu sebagai anakku. Namun bila kau dapat membawa Rama dan Laksmana hidup-hidup kemari barulah kau boleh menjadi anakku, kata Rahwana yang selalu mencari untung bagi dirinya sendiri.
Trigangga sangat panas hatinya. Ia merasa dipermalukan, padahal sudah lama ia mengharap seorang ayah dengan penuh kerinduan. Dengan perasaan jengkel dan tanpa bicara, melesatlah kera muda ini meninggalkan Alengka, pergi ke Suwelagiri, untuk membuktikan kesaktiannya, sesuai dengan keinginan Rahwana.
H ari sudah malam ketika Trigangga tiba di Suwelagiri. Kerakera masih terjaga meski bulan sudah menjauh ke utara. Kerakera peronda hilir-mudik kian-kemari, menjaga ketat perkemahan Suwelagiri.
Tak mungkin Trigangga menerobos penjagaan itu. Maka ditidurkannyalah bulan dengan bahasa malam dari lautan. Dan langit pun serasa penuh dengan ikan. Ada anak kera berjalanjalan, kakinya dari lumut-lumutan. Angin datang, menerpa bagai gelombang. Tidurlah bulan, di balik karang-karang awan. Karena daya kesaktian Trigangga ini, berkedipanlah mata-mata kera Suwelagiri dengan bulan yang telanjang berenang dalam malam dari lautan. Terlalu eloklah keindahan ini untuk dipandang, tapi lebih indahlah pemandangan itu untuk dikenang, dalam mimpi akan bulan yang tenggelam dalam lautan. Maka lelap tertidurlah kera-kera Suwelagiri.
Anoman, mengapa gerangan tiba-tiba malam menjadi sangat mengantukkan" Lihatlah, kera-kera tertidur sebelum waktunya, kata Rama.
Paduka, jangan-jangan ada malapetaka datang. Sangat indahlah malam ini, seakan tak pernah terjadi keadaan ini, kecuali dalam mimpi, jawab Anoman.
Anoman, tak tahan mataku melihat keindahan ini. Rasanya ingin sekali ia terpejam, kata Rama kembali.
Paduka, untuk berjaga-jaga, sudilah Paduka dan adik Paduka berlindung di dalam cupu hamba ini, supaya selamatlah Paduka berdua, pinta Anoman.
Rama dan Laksmana hanya sempat mengangguk setuju, lalu lelap tertidurlah mereka karena daya Triggangga. Anoman segera mengambil cupu pemberian saudaranya, Satubanda. Diheningkan ciptanya, maka Rama dan Laksmana menjadi sekecil semut, seperti pernah dialaminya sendiri ketika ia masuk ke dalam gua Satubanda. Lalu Anoman memasukkan Rama dan Laksmana ke dalam cupu ini.
Anoman sendiri mencoba bertahan, namun rasa kantuk menyerangnya bukan buatan, kantuk dari bulan dalam malam dari lautan, yang menerpanya perlahan-lahan. Merasa tidak mungkin lagi terjaga, Anoman kembali mengheningkan ciptanya. Lalu terjadilah sangkar kaca yang tertutup rapat melindungi dirinya. Dan Anoman pun tertidur dalam sangkar kaca buatannya, dengan cupu berisi Rama dan Laksmana tergeletak di sisinya.
Trigangga mencari ke mana-mana, tapi belum juga ditemuinya Rama dan Laksmana. Sangat aman ia berjalan, karena balatentara kera sudah tertidur semuanya. Lama berjalan, mendadak ia mendapati sangkar kaca yang melindungi Anoman.
Trigangga segera menghajar sangkar kaca itu, tapi tak pecah sedikit jua. Ia curiga, jangan-jangan Rama dan Laksmana berada dalam sangkar kaca itu. Maka ia mengubah dirinya menjadi makhluk kecil sebesar jarum. Dicari-carinya sela-sela lubang yang bisa dimasukinya.
Akhirnya kera muda ini berhasil masuk ke dalam sangkar kaca. Cahaya bulan buyar dalam keindahan di sangkar kaca itu. Bulan bagai bertakhta di istananya. Dunia bulan, dunia malam, menghampar di sekelilingnya. Setangkai kembang tunjung putih tertera di hatinya, menggambarkan jagad yang pada hakekatnya adalah bunga-bungaan.
Bisakah kutidurkan bulan dalam malam dari lautan, sebab di hadapanku kini justru malam dari lautan yang tenggelam dalam bulan" Tanya Trigangga dalam hatinya. Trigangga seakan dihadapkan pada rahasia kebesaran, yang menaklukkan segala kesombongan dan kesaktian dirinya sendiri.
Dan betapa terkejut ia ketika melihat seekor kera putih seperti dirinya terbaring dalam kebesaran itu. Demikian iba dan kasihan keadaan Kera Putih, namun justru dalam kesederhanaannya itu tertelanlah kebesaran menjadi keindahan yang tak terbilang, mengalahkan keindahan dunia bulan, dunia malam. Adakah kebesaran itu sesungguhnya kesederhanaan" Di tengah keadaan ini menjeritlah hati Trigangga, memanggilmanggil seorang ayah yang bisa menerangkan rahasia yang menyesakkan hatinya tadi. Tiada jawaban lain untuk menerangkan pertanyaannya, kecuali mencuri Rama dan Laksmana seperti diperintahkan Rahwana. Tapi dalam sangkar kaca, Trigangga serasa berputus asa, karena belum juga didapati manusia yang harus dicurinya.
Oh, Dewa, tunjukkan jalan pada hambamu ini. Di manakah Rama dan adiknya Laksmana" Betapa sulitnya mencari seorang ayah... keluh Trigangga sedih.
Anoman, lupakah kau" Kau sendiri menaruh kami berdua dalam cupumu. Mengapa kau cari-cari kami" tiba-tiba terdengar suara Rama dalam cupu. Rama mengira suara putus asa tadi berasal dari Anoman.
Bukan main gembiranya hati Trigangga. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan lagi. Disambarnya cupu yang tergeletak di sisi Anoman, lalu secepat kilat ia pergi.
Anoman terjaga ketika merasa ada angin hebat keluar dari makhluk sebesar jarum. Diusap-usapnya matanya dan sangat terperanjat ia ketika melihat cupu sudah hilang dari hadapannya. Sangkar kaca ditabraknya sampai berantakan, suaranya menggelegar dahsyat, membangunkan kera-kera yang terbius tidur. Keadaan menjadi kacau-balau, ketika mereka menyadari Rama dan Laksmana telah diculik maling. Sementara Anoman terus mengejar pencurinya dalam remang-remang malam. Trigangga lari ke Alengka. Dan balairung istana Rahwana dikagetkan dengan kedatangannya.
Hai Monyet, pergilah kau dari sini. Jangan kau menghadapku lagi dengan tangan kosong. Kalau tidak kusuruh punggawa-punggawa ini menyeretmu keluar dari sini, bentak Rahwana bangkit dari singgasananya.
Sabarlah Ayah..., kata Trigangga.
Bedebah, ayah mulutmu" Jangan kau panggil aku ayah. Mana Rama dan Laksmana"
Hamba telah berhasil mencuri Rama dan Laksmana. Uah, Monyet celaka. Bangsat penipu, kau! Kau tak membawa apa-apa kemari, masih juga kau berani bilang telah berhasil menangkap Rama dan Laksmana. Hai Bukbis, hajarlah monyet biadab yang katanya adikmu ini. Tak pantas kau mempunyai adik monyet goblok ini, teriak Rahwana marah. Trigangga terkejut melihat kekasaran raksasa yang hendak diakuinya sebagai ayahnya itu. Namun dihilangkannya perasaan itu karena hatinya betul-betul rindu akan seorang ayah.
Paduka, Rama dan Laksmana berada dalam cupu ini, kata Trigangga sabar. Ditunjukkannya cupu ke Rahwana.
Mana" kata Rahwana tak sabar, aku tidak percaya sebelum dua manusia celaka itu berada di hadapanku.
Trigangga segera membuka cupu, dan keluarlah Rama dan Laksmana.
Ha, ha, ha, akhirnya kulihat juga kau Rama. Nantikan ajalmu sekejap lagi. Dan akhirnya aku berhasil pula menggendong jelitaku Dewi Sinta, kata Rahwana terbahak-bahak. Raja tamak yang ingat kepentingan dirinya sendiri itu lupa bahwa semuanya itu adalah hasil jerih payah Trigangga yang dicacinya.
Paduka, bolehkah kini aku memanggil Paduka ayah" tanya Trigangga mengingatkan.
Uah Trigangga sudah tentu kau anakku. Kusejajarkan kau dengan Indrajit dan Bukbis Mukasura, kakakmu. Tapi sebentar, Nak, biar aku bicara dengan dua satria celaka ini, kata Rahwana yang sungguh tak tahu diri.
Rama, ternyata hanya sedemikian kesaktianmu, terhadap anakku Trigangga saja kau tak dapat menandinginya, lalu mengapa kau berani menantang aku, raja perkasa ini" Oh Sinta, terhadap diri satria macam inikah kau pertaruhkan nyawamu" kata Rahwana memandang tajam Rama.
Dasamuka, hanya karena kau kuat dan berkuasakah, maka kau merasa berhak merebut istri orang, dan mempertaruhkan seluruh negerimu bagi hasratmu pribadi" kata Rama dengan tabah.
Diam, Setan. Jangan kau kurang ajar terhadap raja agung seperti aku. Sudah sepantasnyalah Dewi Sinta menjadi permaisuriku. Tapi ia selalu mengharapkan kedatanganmu. Inilah saatnya aku dapat mempersuntingnya, karena saat inilah ia tahu kau mati di tanganku, kata Rahwana sombong.
Dasamuka, betapa liciknya kau. Kau menangkapku dengan cara yang tak tahu malu. Kini aku sudah menjadi tawananmu, perbuatlah sesuka hatimu, kata Rama menantang.
Oh, Satria penjelajah rimba, tak usah kau menyuruh aku, sebentar lagi akan habis nyawamu. Trigangga, penjarakanlah dua satria celaka ini. Akan kupancung kepala mereka di hadapan jelitaku Dewi Sinta, kata Rahwana memerintah Trigangga.
Trigangga memandang tidak tega Rama dan Laksmana. Sementara matanya menatap Rahwana dengan penuh tanda tanya, sungguhkah raksasa jahat itu ayahnya" Namun dengan serta-merta diseretnya dua satria tampan itu ke penjara luar kota, semata-mata hanya karena keinginannya telah terkabul, telah bertemu dengan ayah yang dicari-carinya, tak peduli siapa dia. Bagi Trigangga kebutuhan akan seorang ayah memang melebihi segala-galanya, tak peduli betapa pun jahat dia.
Ketika itu kabar terculiknya Rama dan Laksmana telah sampai ke telinga Trijata. Putri Wibisana ini ragu-ragu, janganjangan kabar itu hanya bohong belaka, seperti suka dilakukan Rahwana. Tanpa memberitahu kepada Dewi Sinta, maka berangkatlah Trijata untuk membuktikan sendiri kebenaran berita itu. Di tengah kesedihannya tiba-tiba ia melihat Anoman bersembunyi di semak-semak pinggir sebuah sendang yang berada dekat penjara Rama dan Laksmana.
Anoman, apa gerangan yang terjadi" tanya Trijata. Kebetulan kau datang Trijata. Kedua junjunganku berada dalam penjara yang dijaga prajineman Alengka berwujud kera seperti aku. Berpura-puralah kau mengunjunginya untuk mengantarkan air bagi Prabu Rama dan Raden Laksmana. Aku akan masuk ke dalam bumbung airmu untuk membebaskan mereka berdua, pinta Anoman.
Anoman, bisakah aku ke penjara yang dijaga ketat itu" Kau seorang wanita, Trijata. Dan entah kenapa hatiku merasa pasti, prajineman kera itu pasti akan meluluskan permintaanmu, Anoman meyakinkan.
Maka Trijata mengisi bumbungnya dengan air sendang, dan Anoman pun masuk ke dalam bumbung itu dalam wujud seekor ikan kencana yang hampir tak tampak oleh mata. Dengan ragu-ragu berangkatlah Trijata ke penjara yang dijaga Trigangga.
Hai Wanita, berhentilah. Jangan kau lewat di penjara ini, bentak Trigangga. Trijata ketakutan, ditatapnya kera itu. entah kenapa, mendadak hatinya merasa diliputi kasih sayang ketika tatapannya beradu dengan mata Trigangga.
Hai Kera, ijinkanlah aku mengantarkan barang seteguk air kepada dua satria yang sebentar lagi akan binasa itu. Tidakkah kau mempunyai sedikit saja rasa kasihan kepada mereka" kata Trijata terbata-bata. Trigangga tersentuh sekali akan suara Trijata itu, seakan ia adalah suara yang dirindu-rindukannya. Namun kembali muncul kekerasan hatinya, ia tidak mau tertipu oleh siapa pun juga, demi kesetiaan pada perintah ayahnya.
Wanita, tak seorang pun boleh masuk ke penjara itu. Serahkan bumbung itu padaku, biar dua satria itu mati kehausan seperti perintah ayahku, kata Trigangga keras sambil merebut bumbung Trijata.
Trigangga terkejut ketika ia melihat ikan kencana bersinarsinar di dalam bumbung air. Makhluk gemerlapan itu nampak bagaikan ibu Bukbis Mukasura yang telah berubah menjadi ikan kencana di dasar lautan tempat ia dibesarkan. Namun kera yang cerdik ini segera curiga, jangan-jangan ikan kencana itu adalah musuh yang menyamar. Maka direnggut ikan kencana itu hendak dibantingnya. Dan betapa kaget ia ketika serentak ikan kencana itu berubah menjadi Anoman.
Tanpa berpikir panjang Anoman segera menyerang Trigangga. Geramnya bukan buatan karena Trigangga-lah pencuri Rama dan Laksmana. Dan Trigangga pun memberikan perlawanan.
Maka terjadilah pertempuran seru antara dua ekor kera itu, keduanya sama-sama sakti dan sulit dikalahkan. Sementara Trijata kebingungan, karena dua kera itu sulit dibedakan, hampir serupa bentuk dan wajah mereka. Berulang kali Trijata menjerit, ketika melihat mereka mencoba saling melukai.
Anoman, Trigangga, hentikanlah pertengkaran kalian, tibatiba terdengar suara Batara Narada dari langit. Dua ekor kera itu saling menjauh dan melakukan sembah.
Anoman, Trigangga adalah anakmu. Bersujudlah Trigangga, karena Anoman adalah ayahmu, kata Batara Narada. Anoman terheran-heran, namun hatinya seakan diingatkan ketika ia berkejaran dengan bayang-bayang cintanya akan Trijata sepulang dari Alengka dan akan boneka kecil yang bermain-main di mulut naga di istana Hyang Baruna.
Dewa, dari manakah hamba mempunyai seorang anak" tanya Anoman tak mengerti.
Anoman, pandanglah Trijata yang kini ada di sisimu, dan kau akan tahu segala jawabannya. Ingatlah Nak, waktu kau sebagai rase putih jatuh di pangkuan Trijata. Ketika itu cinta meliputimu dan asmaramu keluar berupa cahaya putih yang mengenai badan Trijata. Cahaya itu kemudian terpantul dari badannya, melesat jauh ke dasar samudra, jatuh di hadapan Hyang Baruna, Hyang Baruna memelihara cahaya cinta itu, dan jadilah ia Trigangga, anakmu ini, kata Batara Narada.
Anoman, tidakkah benar kataku ketika dulu kita terbang di atas mega, kau tak perlu takut akan bayang-bayang cinta" sela Trijata bahagia.
Benar Anoman, cinta itu besar, melebihi kenyataan dirimu. Berhadapan dengan Trijata kau boleh merasa wujudmu tak mungkin menghasilkan putra. Tapi ingatlah Nak, bukan wujudmu yang membuat segala-galanya mungkin, melainkan cintalah yang bisa membuka dan melahirkan segala rahasia kemustahilan hidup ini. cinta itu ingin berbuah, Nak, maka cintalah yang melahirkan anakmu ini. Terimalah dia sebagai anugerah cinta, Nak, kata Batara Narada sambil segera kembali ke kahyangan.
Ayah, maafkanlah aku! Sejak kecil, aku selalu mengharapkanmu. Namun Bukbis Mukasura telah menipu aku. Ibunya, Dewi Ganggawati, selalu mengingatkannya agar ia tak mencari ayahnya Rahwana yang jahat itu. Dewi Ganggawati sangat membenci Rahwana, karena raja raksasa itu menodai kesuciannya. Dan betapa menderita hidupnya, sampai dewadewa berbelas kasih padanya dan diubahnya ia menjadi ikan kencana yang jelita. Ikan kencana itulah yang sering menemani aku dan Bukbis Mukasura. Sayang Bukbis Mukasura sombong hatinya, ia malah bangga mempunyai ayah yang katanya gagah seperti Rahwana. Ia tidak menuruti perintah ibunya, dan dicarilah Rahwana. Aku terpaksa mengikuti dia, Ayah, karena aku juga merindukan seorang ayah. Aku telah tertipu oleh kerinduanku itu. Maafkanlah aku, Ayah, kata Trigangga penuh penyesalan.
Anoman merangkul putranya dengan penuh rasa haru. Pikirannya melayang ketika ia menikmati pelbagai rahasia di samudra raya. Tak heranlah betapa ikan kencana itu mau menolongnya, karena ia sangat membenci Rahwana yang menodai kesuciannya, dan karena ia tahu anak yang diasuh Hyang Baruna adalah putranya sendiri.
Trigangga, betapa aku ingin menggendongmu ketika aku melihatmu dari atas mega sedang bermain-main di dasar samudra. Serasa waktu itu kau bagaikan boneka yang menjeritjerit minta menyusu padaku. Kemarilah, Nak, peluklah ibumu ini, kata Trijata yang dari tadi membisu karena terharu.
Ibu! jerit Trigangga bahagia. Dipeluknya Trijata erat-erat, dan Trijata membelainya dengan berlinangan air mata. Inilah saat matahari kehilangan tepi-tepinya, cahayanya terang menguakkan cinta, pada melambai-lambai renda-renda busananya, dan ketiga insan yang bahagia itu mandi dalam telaga cinta yang bagaikan tabir dikuakkan rahasianya.
A lengka muram, di langitnya mengelam dendam berbulan-bulan
hitam. Malam terluka dalam duka-dukanya, hujan rintik-rintik air mata bunga jangga, malam hujan, hujannya lidah menyala nagaraja taksaka.
Bukbis Mukasura telah gugur di medan laga. Dikobarkannya api dari topeng perunggunya, berjilat-jilat bagai ombak dahana melembak-lembak. Trigangga membentangkan tabir gelombang samudra, membiru dingin laksana tiupan beringin kuning. Maka bercampurlah ombak dahana dan samudra. Tiada laut tiada darat, tiada angin, tiada panas, hanyalah kesombongan membara dalam kedinginannya, dan kesejatian meleleh dalam kepanasannya, menjadi keindahan menikam samudra. Keindahan ini akan tiada habisnya bila Laksmana tidak memanahkan kaca benggala. Kaca benggala dipungut Bukbis Mukasura untuk berkaca, dan api topeng perunggu dipantulkan daripadanya, menjilat hangus badan Bukbis Mukasura sampai binasa. Mengiringi kematian Bukbis Mukasura gugur pula kedua putra Kumbakarna. Aswani Kumba binasa oleh Sugriwa dan Anoman menewaskan Kumba Aswani.
Indrajit, anakku. Rama dan Laksmana sudah lepas dari penjara. Putraku Bukbis Mukasura telah hangus binasa oleh kaca benggala. Dan Aswani Kumba dan Kumba Aswani gugur di medan laga. Anakku, siapa lagi yang dapat menjadi panglima Alengka, kecuali pamanmu Kumbakarna yang kini bertapa di Panglebur Gangsa" Bangunkan dia, aku membutuhkan pertoAnoman dan Trigangga segera melepaskan Rama dan Laksmana dari penjara. Setelah diperkenalkan kepada Rama dan Laksmana, Trigangga melesat berangkat ke Alengka, hendak melabrak Bukbis Mukasura yang telah menipunya.
longannya, kata Rahwana. Kembali raja raksasa ini lupa bahwa ia telah berjanji takkan membutuhkan Kumbakarna yang telah diusirnya. Namun kepentingan dirinya berada di atas rasa malunya, maka disuruhnya Indrajit memanggil Kumbakarna.
Kumbakarna, jangan kau terbangun dari tidurmu! Beradalah dalam malammu, yang gulita tapi tenang dan aman, yang tak kelihatan tapi terang. Bawalah dunia yang kejam tanpa harapan dalam mimpimu, sudahlah dekat amarah satwa cengga, ingin mandi dengan kumkuma madu-madu air para bremara di bunga padma.
Alang-alang Pangleburgangsa bagai paha-paha jelita menaunginya, membalik siang menjadi seribu malam dengan budak-budak bidadari wangi yang terbang dengan sayap burung perenjak. Badan raksasa ini rusak dimakan tapanya yang dahsyat, namun wajahnya bersinar bagai lidi jantan, memeluk dunia dalam bulan-bulan. Wahai malam yang lebih dari malam, yang menanggalkan siang dan fajar dengan pedang-pedang bintang, jadilah kau kekasih yang menidurkan raksasa ini bagaikan bayi. Maka dari hatinya akan mengalir air terjun dari embunembun, yang melelehkan fajar lebih daripada malam, yang mendendangkan kedatangan cahaya daripada surya, yang mengharapkan senja lebih daripada burung perenjak, yang memeluk kedamaian dalam kebahagiaan duka-duka bunga dunia.
Indrajit menangis ketika melihat pamannya yang menderita karena tapanya. Dan entahlah dari mana permata air mata itu tiba-tiba datang di mata Kumbakarna. Permata air mata itu bagaikan bersuara, serupa kesedihan bremara yang terbang dalam kebebasan tapi tiba-tiba terluka dan terpenjara dalam rupa senyum dari bibir bunga yang menderita.
Senyum itu seakan-akan mengatakan, hati ciptaan itu sebenarnya adalah bremara yang terbang dalam kebebasan, tapi kini terpenjara dalam kelemahan badan dunia. Kumbakarna seakan menjelajah ke alam kebebasan yang dulu dinikmatinya, namun kini ia dibelenggu oleh segala keterbatasan dan aturan manusia. Ia adalah kebaikan yang kini dirantai oleh kejahatan. Ia adalah kebijaksanaan yang kini ditundukkan kepada kebodohan. Ia adalah keilahian yang kini diseret kepada kefanaan. Ia adalah kesucian yang dihukum oleh kedosaan. Ia adalah kesederhanaan yang dipaksa sombong oleh kesatriaan. Ia adalah hati yang telah hilang! Maka menangislah Kumbakarna dengan permata air mata.
Para raksasa membangunkan Kumbakarna dengan membunyikan suara pelbagai rupa. Bende dan gong ditabuh, tamburtambur dipukul, sangkakala ditiup. Suaranya bagaikan gemuruh halilintar di masa ke sembilan. Namun Kumbakarna belum terbangun juga dari tidurnya. Adakah keramaian dapat membangunkan orang yang berada dalam kedamaian"
Maka para raksasa itu naik ke badannya. Ada raksasa dengan menunggang kuda menginjak-injak badannya. Sementara gajah-gajah perang diperintahkan berjalan-jalan ke badan Kumbakarna. Raksasa dahsyat ini belum juga terbangun. Adakah kekuatan dapat menarik orang yang sedang menikmati keabadian" Tak ada yang bisa membangunkan Kumbakarna, kecuali keabadian sendiri, maka ketika keabadian itu menggugahnya bagai kematian yang tersenyum indah yang terkilas dalam mimpinya, bangun sendirilah raksasa dahsyat ini. Bumi bergoncang ketika Kumbakarna terbangun, seakan mencegahnya untuk meninggalkan tidur kedamaian hatinya.
Paman Kumbakarna, Alengka dalam bahaya, ayah menyuruhku memanggil Paman menghadap ke istana, pinta Indrajit sambil melakukan sembah.
Kumbakarna sadar akan janjinya. Maka tanpa bertanya-tanya, berangkatlah ia ke istana Rahwana. Jalannya tehuyung-huyung karena lapar perutnya setelah sekian lama bertapa dalam tidurnya.
Kumbakarna, kelihatan lemah tubuhmu karena bertapa. Aku butuh pertolonganmu. Tapi sebelumnya, makan dan kenyangkan dirimu terlebih dahulu, supaya segar keadaanmu, kata Rahwana mengucap selamat datang.
Kumbakarna sengaja melupakan semua ucapan Rahwana yang berjanji takkan meminta pertolongannya. Ia sudah mengenal watak kakaknya yang tak tahu diri itu.
Serikat Candu Iblis 1 Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan Kisah Si Pedang Kilat 6

Cari Blog Ini