Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W Bagian 2
Tanpa berpikir dua kali, Rianti langsung menghambur ke luar.
Mari saya tolong, katanya sopan. Diambilnya anak kunci dari tangan laki-laki itu. Dimasukkannya ke lubang. Namun berkali-kali diputarnya anak kunci itu, pintu tetap tak mau terbuka.
Dicobanya sekali lagi. Dipaksanya memutar kunci dengan lebih kuat. Sampai sakit tangannya. Akhirnya pintu memang terbuka. Tetapi dari dalam. Dengan tiba-tiba pula. Dan laki-laki yang sedang menyandarkan berat badannya ke pintu itu langsung tersungkur ke dalam.
Rianti memekik tertahan. Dia mencoba menolong membangunkan laki-laki itu. Tetapi tubuhnya terlalu berat. Dan kedua orang laki-laki yang baru muncul dari dalam kamar itu segera membantunya.
Ada apa" tanya Pak Santoso heran, masih dalam pakaian tidur.
Tiba-tiba dia jatuh, Pak, sahut Rianti terbatabata.
t . c Sekarang dia baru dapat mengenali si tunggul. Lampu kamar yang menyala cukup terang menyinari wajahnya yang kemerah-merahan.
Pak Santoso segera berlutut di samping laki-laki itu. Dan membantunya bangun.
Mabuk, katanya sambil menghela napas. Pasti dia kalah main lagi. Kalian dari kasino"
Rianti spontan menggeleng. Dia baru ingat, pakaiannya masih pakaian kerja. Pasti Pak Santoso mengira dia baru pulang!
Ayo, Pak Ario, kita ke kamar sebelah. Pak Santoso memapah laki-laki itu ke luar. Pak Bambang segera turun tangan membantu. Anda salah kamar!
Ada yang dapat saya bantu, Pak" tanya Rianti serbasalah.
Tolong saja ketukkan pintu kamar sebelah. Buru-buru Rianti memutar tubuhnya dan keluar. Tetapi di ambang pintu kamar, telah tegak Mbak Sri, masih dalam piama tidurnya.
* * * Benar-benar tak tahu malu! Mau apa kamu di kamar mereka"
Saya membantu Pak Ario, sahut Rianti, jengkel karena merasa tidak bersalah. Dia mabuk!
Itu bukan urusanmu! Bukan tugas seorang sekretaris!
t . c Tapi tugas sesama manusia, Mbak Sri! Apa kata orang kalau melihat kamu pagi-pagi buta begini berada di kamar seorang pria" Saya hanya ingin menolongnya! Tidak perlu! Panggil saja roomboy!
Ya Tuhan, keluh Rianti dalam hati. Begitu keraskah moral membatasi perikemanusiaan"
Jangan merusak nama baik delegasi Indonesia! Sikap dan perbuatanmu di sini menjadi bahan sorotan!
Dan ocehan Mbak Sri tambah seru ketika keesokan harinya tersebar desas-desus yang cukup memerahkan telinga Rianti. Barangkali Pak Santoso yang menyebarkan berita itu. Siapa lagi. Dia memang cerewet seperti perempuan. Dan sudah dua kali mencoba mengajak Rianti keluar malam. Selalu ditolak. Kali ini, rupanya dia menemukan kesempatan untuk membalas dendam.
Benar waktu itu pukul tiga pagi, Mbak" bisik Bu Darsono dengan mata bersinar-sinar, entah karena apa.
Benar, sahut Mbak Sri jengkel. Tapi Rianti hanya menolong mengantarkan Pak Ario ke kamarnya! Saya sendiri ada di sana kok!
Mereka baru pulang" desak Bu Tjitjih penasaran.
Sudah saya katakan tidak! bantah Mbak Sri tegas. Rianti sedang bekerja bersama saya di kamar. Kami sedang menyelesaikan tugas yang diberikan Pak Agus!
t . c Sampai jam tiga pagi" sindir Bu Hasan. Tugas apa itu, Mbak Sri"
Tanya saja pada Pak Agus.
Diam-diam Rianti berterima kasih pada si angin puyuh. Meskipun judes, dia mati-matian membela Rianti.
Hari itu memang Pak Ario tidak ikut konferensi. Dia malah tidak keluar sama sekali dari kamarnya. Makan pun tidak.
Tidur terus, Pak Santoso menyeringai sinis. Tidak ditengok, Dik Rianti"
Itu bukan tugas sekretaris, Pak Santoso! Mbak Sri-lah yang menjawab. Suaranya penuh kegemasan.
Lho, mendampingi Pak Ario ke kasino dan ke bar juga bukan tugas sekretaris kan, Mbak"
Jangan menjelek-jelekkan citra sekretaris Indonesia di luar negeri, Pak! Buat apa sih" Kan bikin malu bangsa kita sendiri!
Lho, itu kan biasa, Mbak. Lihat sekretaris dari Filipina itu. Dia juga tiap malam di-book! Tapi kita bukan dia!
Tidak apa-apa toh, Mbak. Pak Ario kan sudah duda! Rianti masih gadis. Tidak ada yang marah kok di rumah!
Lihat" dengus Mbak Sri ketika sedang makan siang dengan Rianti. Semua orang membicarakan kamu! Apa kamu tidak malu"
t . c Tapi saya tidak melakukan apa-apa yang salah! protes Rianti sengit.
Makanya hati-hati dengan segala tindakanmu! Jangan sekali-kali keluar malam dari kamar! Kalau ada apa-apa, panggil saja roomboy!
Juga kalau ada yang meninggal di depan kamarku" geram Rianti dalam hati. Tidak kusangka orang-orang berpredikat eksekutif dengan pengalaman internasional segudang masih punya waktu untuk bergunjing!
t . c P ak Ario atau lengkapnya Insinyur Raden Mas Ario Sugiharto memang berbeda dari peserta konferensi yang lain. Dia pendiam. Dingin. Acuh tak acuh pada sekelilingnya. Dan angkuh.
Kadang-kadang Rianti jengkel padanya. Sejak hari pertama, Pak Ario tak pernah memandang sebelah mata pun padanya. Padahal peserta-peserta yang lain demikian ramah. Beberapa peserta pria malah berlomba-lomba menarik perhatiannya.
Duda beranak satu, komentar Pak Ariin tanpa ditanya. Sudah enam tahun bercerai dengan istrinya. Perusahaannya maju pesat. Tapi perkawinannya gagal. Tidak heran. Orangnya sulit begitu.
Orangnya memang agak aneh, diam-diam Rianti memerhatikan laki-laki yang sedang memutar-mutar mesin jackpot itu. Umurnya barangkali belum ada empat puluh. Perawakannya tinggi besar. Wajahnya
BAB III t . c pun cukup tampan. Kaya. Direktur. Insinyur pula. Lalu mengapa dia seperti menjauhi orang lain" Mengapa dia selalu tenggelam dalam dunianya sendiri"
Mau main" Pak Ariin membuyarkan lamunan Rianti.
Rianti menggeleng sambil tersenyum. Tetapi Pak Ariin memperlihatkan segenggam koin di tangannya.
Kepalang. Sudah dibeli. Main yuk. Tuh, mesin di sebelah Pak Ario kosong.
Entah ada apanya lelaki itu. Tanpa disadari, Rianti sudah melangkah mendekatinya. Halo, sapa Pak Ariin. Menang"
Jackpot Arab! Pelit sekali! gerutu Pak Ario sambil meneguk minumannya. Dari tadi belum pernah jackpot!
Jackpot kosong begini. Pak Ariin memasukkan sebuah koin. Terdengar bunyi berkerontang yang amat nyaring. Mana ada yang mau keluar, Pak Ario"
Sudah hampir dua jam saya isi mesin ini. Belum ada yang keluar juga.
Paling-paling yang keluar uang Pak Ario sendiri! cetus Rianti tak sadar. Ketika dia menyadari telah kelepasan bicara, buru-buru ditutupnya mulutnya.
Tetapi Pak Ario sudah menoleh kepadanya. Dan tatapannya& astaga, dinginnya!
t . c Mengeluarkan uang sendiri pun sulit. Mau coba"
Aneh. Lagi-lagi Rianti sendiri heran. Tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan dirinya. Mengapa tantangan laki-laki itu mencetuskan sebuah keinginan yang aneh di hatinya" Mengapa dia harus mematuhi ajakannya"
Rianti belum pernah memegang setan bertangan satu ini. Tapi dia toh mengambil juga tiga koin yang disodorkan Pak Ario. Padahal kalau orang lain yang menyodorkannya, dia belum tentu mau& Buat apa membuang-buang uang begitu" Mesin itu kan tidak bakal kalah!
Hati-hati Rianti memasukkan koinnya yang pertama. Ketika dia tampak ragu untuk memasukkan koin yang kedua, Pak Ariin mendorong semangatnya.
Ayo, nggak apa-apa! Mesin itu tidak menggigit kok!
Berturut-turut Rianti memasukkan tiga buah koin sekaligus. Dan menarik tongkatnya&
Yang terbelalak bukan hanya Rianti ketika bunyi gemerincing uang yang merdu itu menggema di seluruh ruangan. Memang bukan jackpot. Tetapi Rianti memperoleh lima puluh keping koin. Dan baginya, itu sudah lebih dari cukup.
Tak sadar Rianti melompat-lompat seperti anak kecil. Tawanya yang lepas bebas menggugah Pak Ario dari kebekuannya.
t . c Ambillah semua untukmu, katanya, untuk pertama kalinya dengan suara yang lebih bersahabat. Mainkan lagi.
Mendadak Rianti berhenti melompat. Berhenti tertawa. Ditatapnya laki-laki itu dengan sungguhsungguh.
Tidak. Itu kan uang Pak Ario.
Mainkan lagi saja. Siapa tahu kamu menang lagi! sambung Pak Ario bersemangat.
Tetapi Rianti menggelengkan kepalanya. Saya tidak mau main lagi.
Kenapa" Takut ketagihan. Lalu dengan tatapan sepolos bayi, Rianti mengucapkan selamat malam pada kedua lelaki itu dan kembali ke kamarnya.
Tiba-tiba saja Pak Ario kehilangan gairahnya untuk bermain. Tatapan yang lugu dan jujur itu terus menerus menggoda dirinya. Ditinggalkannya koinnya begitu saja di depan mesin jackpot.
Lho, mau ke mana, Pak Ario" tegur Pak Ariin yang baru mulai main. Ditemani kok malah pergi.
Mainkanlah koin saya, sahut Pak Ario acuh tak acuh. Tanpa menoleh lagi, dia melangkah ke bar.
* * * Sehari sebelum penutupan konferensi, para peserta diistirahatkan dua hari. Pak Agus memimpin delet . c gasinya untuk berekreasi ke Luxor, bekas ibu kota Mesir kuno.
Besok kita sarapan di coffee shop pukul empat pagi, kata Pak Agus tegas. Bagi yang merasa tidak sanggup bangun pagi, besok akan diberikan morning call pukul setengah empat. Bagaimana, Pak Ario" Anda juga mau ikut" Atau lebih suka blackjack semalam-malaman"
Lihat saja besok, sahut Pak Ario acuh tak acuh. Kalau besok saya bisa bangun, ya pergi.
Kami tunggu dalam bus di depan hotel sampai pukul lima, kata Pak Agus kepada seluruh peserta. Pesawat kita take off pukul setengah tujuh.
Dan bus mereka baru berangkat pukul lima lewat lima menit. Soalnya ada dua orang peserta yang terlambat. Yang seorang malah sudah duduk dalam bus sepuluh menit sebelumnya. Tetapi tibatiba menghambur ke luar lagi dengan alasan sakit perut.
Tidak sadar Rianti mencari-cari Pak Ario dengan tatapan matanya. Sejak di coffee shop tadi dia tidak melihat laki-laki itu. Pasti dia tidak ikut. Terlambat bangun.
Waktu saya turun tadi dia masih pulas, sahut Pak Ariin ketika Bu Hasan menanyakan teman sekamarnya.
Tidak dibangunkan, Pak"
Ketika morning call berbunyi tadi dia sudah melek kok!
t . c Diam-diam Rianti membayangkan lelaki itu. Sedang meringkuk dengan lelapnya berkalang selimut. Dia memang tukang tidur. Rianti ingat malam pertama mereka di pesawat terbang. Hampir sepanjang perjalanan, dia tidur terus. Hanya bangun untuk makan dan ke WC.
Tidak sadar Rianti menghela napas panjang. Ada perasaan kosong yang tiba-tiba menyelinap ke sudut hatinya yang paling dalam. Seminggu mereka selalu bersama-sama dalam konferensi. Selama itu, Rianti tidak pernah memendam perasaan apa-apa terhadap Pak Ario. Mereka jarang bicara.
Pak Ario sendiri lebih senang minta tolong pada Mbak Sri daripada Rianti. Kelihatannya, dia memang sengaja menghindar. Tetapi hari ini, ketika tiba-tiba dia harus kehilangan laki-laki itu, mengapa ada perasaan hampa yang sulit diterangkan di dalam hatinya"
Bus sudah mulai bergerak perlahan-lahan keluar dari halaman hotel. Pak Bambang, orang yang terakhir melompat ke dalam bus, langsung disambut komentar separuh isi bus. Ada yang menggerutu. Ada pula yang menertawakan.
Makanya kalau mau bepergian pagi-pagi jangan kebanyakan makan, Pak Bambang!
Lha, pagi-pagi begini minum air jeruk sampai enam gelas! Menyikat apel tiga buah. Masih bisa menghabiskan semangkuk peach! Bagaimana perutnya nggak protes"
t . c Duh, Pak Bambang ini memalukan saja! Apa di Indonesia tidak ada buah-buahan"
Gara-gara dia rakus, kita jadi terlambat lima menit! komentar Mbak Sri, orang yang paling senang berhitung dengan waktu. Tentu saja dengan suara perlahan. Tidak heran kalau dialah orang pertama yang menginjak bus ini setengah jam yang lalu.
Mbak Sri memang tidak suka banyak makan. Kadang-kadang Rianti sendiri bingung. Dia cuma minum segelas sari jeruk. Makan sebutir telur setengah matang. Sebuah apel. Dan secangkir kopi. Tanpa susu. Bukan main. Padahal dia begitu sibuk. Dari mana diperolehnya energi sebanyak itu kalau makanannya hanya sekian"
Tetapi mungkin karena dietnya yang ketat itulah, Mbak Sri masih tetap awet muda meskipun umurnya sudah lebih dari empat puluh tahun. Tubuhnya belum segembrot Bu Hasan, padahal umur mereka sama.
Perut bukan celengan yang bisa diisi tabungan makanan untuk besok, komentarnya, ketus seperti biasa.
Tanpa memperlihatkan kejemuannya, Rianti menoleh sekali lagi ke belakang. Ke hotel yang mereka tinggalkan. Di salah satu kamar di atas sana& dan sesosok bayangan hitam tampak semakin jelas mengejar bus mereka.
Jantung Rianti mendadak berdebar makin cepat.
t . c Orang itu pasti bukan pelayan! Tangannya melambai-lambai minta agar bus terhenti&
Stop! Stop! seru Rianti tiba-tiba, dengan penuh semangat. Ada yang mau ikut!
Hampir seisi bus menoleh ke belakang. Dan hanya Pak Santoso yang cukup cepat mengenali orang itu.
Pak Ario! cetusnya keheran-heranan. Mau apa dia"
Stop! perintah Pak Agus kepada sopir bus. Tolong bukakan pintu. Itu anggota rombongan kami.
Dengan satu lompatan panjang Pak Ario melompat ke dalam bus.
Maaf, saya terlambat! katanya terengah-engah. Dijatuhkannya dirinya di kursi yang paling dekat.
Kami tidak tahu Pak Ario mau ikut, kilah Pak Ariin dalam nada membela diri. Sudah makan, Pak"
Tidak keburu. Tidur melulu sih!
Kasihan Pak Ario. Pak Agus tersenyum geli. Sampai ngos-ngosan begitu!
Pukul lima tepat saya masih ada di depan pintu lift di tingkat dua puluh satu. Dan lift sialan itu tidak mau datang-datang!
Jadi" Hampir serentak isi bus itu berbunyi. Terpaksa turun tangga!
Masya Allah! Berlari-lari turun dari tingkat dua
t . c puluh satu" Ampun, Pak Ario! Untung tidak putus jantungnya!
Heran, pikir Pak Ariin, orang yang paling mengenal adat laki-laki aneh itu. Biasanya dia paling malas ikut tur begini! Ada apa tiba-tiba saja dia ngotot ingin ikut"
Tidak sengaja mata Pak Ariin melirik Rianti yang duduk tepat di seberang bangkunya. Gadis itu memang tidak berkata apa-apa. Tidak ikut memberi komentar. Tidak ikut bertanya.
Tetapi belum pernah Pak Ariin melihat wajah Rianti demikian sumringah. Matanya yang sepolos mata bayi itu tak mampu menyembunyikan gairah kebahagiaan yang sedang menggelegap di dadanya. Mata yang bening itu membiaskan apa yang tersirat di hatinya. Padahal baru beberapa menit yang lalu Pak Ariin melihat wajahnya demikian suram diselubungi mendung kelabu. Jadi apa yang menyebabkan perubahan secepat itu"
Dengan perasaan curiga Pak Ariin menoleh lagi ke depan. Ke tempat Pak Ario. Dia sedang bersandar kecapekan di kursinya. Sedetik pun dia tak pernah berpaling ke belakang. Jangankan menoleh. Melirik pun tidak.
Aneh. Ada perasaan apa antara kedua orang ini" Mereka jarang bicara. Karena itu sulit mengungkapkan hubungan apa yang ada di antara mereka sebenarnya. Tapi entah mengapa, irasat Pak Ariin berkata lain.
t . c Rianti sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Apalagi orang lain. Dia tidak tahu mengapa kehampaan yang tadi menyelimutinya mendadak lenyap.
Mengapa perjalanan ini serasa lebih menggairahkan sekarang" Karena kehadiran laki-laki itu" Lakilaki yang sekali pun tak pernah memerhatikannya"
O, sungguh pandir! Untung Mbak Sri tidak tahu. Kalau dia sampai tahu& Uh, Rianti sudah bosan dikuliahi terus! Heran, mengapa dia begitu ngotot mencegah hubungan Rianti dengan lakilaki"
Hatinya sebenarnya baik. Dia seolah-olah ingin melindungi Rianti. Tetapi melindungi dengan cara menakut-nakuti yang berlebihan begitu tentu saja keliru!
Mereka semua baik-baik kok. Tidak pernah ada yang kurang ajar. Minta yang bukan-bukan. Atau mengajak melakukan sesuatu yang amoral. Yang melewati batas.
Tentu saja cuma satu-dua orang yang berani mengajaknya nonton. Tari perut. Tari telanjang. Atau cuma sekadar show. Tapi mereka tidak pernah marah kalau ditolak. Mereka masih dapat saling bergurau sesama sendiri kalau Rianti menolak.
Anak kecil diajak nonton begituan! gerutu Pak Rustam. Nanti pingsan dia!
Justru karena dia belum pernah lihat! Kapan
t . c lagi kalau tidak sekarang" Mumpung nggak ada yang larang!
Dan mumpung istrimu tidak ikut"
Ala, Pak Rustam ini! Kayak yang tidak tahu saja! Di konferensi-konferensi internasional begini memang harus pergi sendiri! Jangan bawa-bawa rantang dari rumah! Berabe! Ini kan kesempatan untuk bebas lagi seperti jejaka!
Kata-kata mereka memang brengsek. Tapi Rianti tahu, mereka suami-suami yang setia. Hanya di mulut saja mereka mengumbar laga. Seperti layaknya laki-laki, mereka memang gemar mengagumi wanita. Apalagi wanita yang mempertontonkan kecantikan tubuhnya. Wanita asing pula. Tontonan langka di negeri sendiri.
Tapi ulah mereka cuma terbatas pada tontonan. Pulang ke rumah, mereka sudah menjadi suami yang alim kembali. Tentu saja itu pendapat Rianti. Selama berada di negeri orang, dia memang tidak pernah mendengar mereka melakukan sesuatu yang melanggar susila.
Jadi Rianti tidak takut pada mereka. Mbak Srilah yang ngeri. Dan repot memberi petuah. Entah apa yang diketahuinya yang tidak dilihat Rianti.
* * * Sambil membagikan boarding pass, Pak Agus sudah memperingatkan, Lekas-lekas naik ke pesawat.
t . c Tempat duduk kita tidak ada nomornya! Jangan salahkan saya kalau Anda terpaksa berdiri!
Tentu saja Rianti mula-mula tidak percaya. Yang benar saja! Mereka kan naik pesawat. Bukan bus kota! Masa ada yang berdiri"
Tetapi begitu pintu dibuka dan penumpang yang berjejal-jejal itu, kebanyakan turis, berlomba-lomba menghambur ke dalam pesawat, Rianti jadi tertegun bengong. Dan seseorang mendorong punggungnya dari belakang.
Ayo, lari! Perjuangkan tempat dudukmu sendiri!
Ketika Rianti menoleh, Pak Ariin sudah kabur menjinjing kameranya.
Iya, kamu kan masih muda. Napas masih panjang. Tenaga cukup. Ayo lari, sediakan tempat buat kami!
Yang bicara itu pasti Bu Hasan. Soalnya dia yang paling tidak ada harapan. Jangankan lari. Jalan saja sudah terengah-engah.
Terpaksa Rianti ikut berlari. Dan rasa herannya semakin bertambah melihat para direktur yang dihormatinya itu berlari-larian berebut tempat! Termasuk Mbak Sri. Biarpun sudah empat puluh, larinya masih lumayan.
Hari ini Mbak Sri mengenakan celana panjang putih, blus putih, topi lebar, dan kacamata hitam. Sepatunya yang bertumit tinggi sudah ditukarnya dengan sepatu kets. Larinya kelihatan lincah sekali.
t . c Rianti menyesal sekali tidak membawa sepatu bututnya. Terpaksa dia lari terseok-seok dengan sepatu bertumit tinggi! Padahal orang lain tidak ada yang memakai sepatu semacam ini!
Rianti sudah mencapai anak tangga pertama ketika seorang mendorongnya.
Sorry! Turis bule itu menyeringai minta maaf. Dan dia segera melompat ke atas tanpa memerhatikan Rianti lagi.
Rianti tergelincir. Kehilangan keseimbangan. Dan terhuyung ke samping. Untung seseorang memegang lengannya.
Belum sempat Rianti mengucapkan terima kasih, orang itu telah menyelinap naik ke atas. Dan mulut Rianti yang sudah separuh terbuka, terkatup kembali ketika mengenali laki-laki itu. Si tunggul!
Ayo naik, kok bengong" tegur Bu Sanusi yang baru sampai dengan napas terengah-engah. Dia lari lebih dulu dari Rianti. Pakai sandal pula. Tetapi karena mesinnya sudah tua, menekan pedal gas sampai ke dasar pun percuma.
Berdesak-desakan Rianti memanjat tangga pesawat. Dia baru menghela napas lega ketika tiba di dalam kabin. Tetapi napas lega yang baru dihirup separuhnya itu segera tertahan kembali. Kursi sudah penuh. Tak ada lagi bangku kosong!
Di sini, Rianti! seru Pak Ariin dari deretan bangku belakang.
t . c Begitu Rianti mengangkat mukanya, bangku itu telah diduduki oleh Bu Sanusi.
Aku dulu ya, Pak" Napasku sudah hampir berhenti nih! Rianti kan masih muda. Tenaga masih cukup. Yang mau memberi tempat pun banyak! Maklum masih gadis! Manis lagi!
Merasa disindir, Pak Ariin jadi mati langkah. Lagi pula, bagaimana caranya mengusir Bu Sanusi" Kan tidak sopan!
Sini duduk di tempatku saja.
Pak Rustam langsung berdiri. Memberi tempat untuk Rianti.
Ah, jangan, Pak! Biar saja! sanggah Rianti malu.
Nggak apa-apa kok! Ayo duduk!
Ibu pun kalau tidak diberi Pak Rustam tidak dapat tempat duduk, kata Bu Tjitjih. Ayo, Rianti, duduk sini! Nanti diambil orang!
Terpaksa Rianti duduk. Baru juga lima detik dia duduk, Bu Hasan datang dengan napas terengahengah.
Wah, sudah penuh! keluhnya antara kesal dan kecewa. Benar-benar gila! Naik kapal kok seperti naik bus!
Silakan duduk di sini, Bu. Rianti langsung bangkit.
Lho, Nak Rianti nanti duduk di mana" Ada perasaan heran, terkejut bercampur haru, di dalam suara Bu Hasan. Selama ini dia selalu ment . c curigai sekretaris muda yang satu ini. Dia selalu mengembus-embuskan itnah keji di antara sesama ibu-ibu dalam delegasi mereka. Sekarang, pada saat dia dalam kesusahan, hanya Rianti yang rela menyerahkan tempatnya.
Ah, tidak apa-apa. Ibu duduk saja dulu. Kelihatannya capek.
Suara Rianti biasa saja. wajar. Tapi tulus. Dan tetap sopan. Padahal dia bukannya tidak tahu siapa biang gosip di hotel mereka!
Terima kasih! Sambil menjatuhkan dirinya ke kursi, Bu Hasan menghela napas lega. Aduh, Jeng, rasanya jantungku sudah mau permisi!
Kakiku juga, Mbak! sambung Bu Tjitjih tak mau kalah. Ini benar-benar keterlaluan lho!
Duduk di sini saja, Neng! Tiba-tiba Pak Bambang mencolek bahu Rianti dari belakang. Biar Oom-mu yang berdiri.
Terima kasih, Pak. Jangan sama saya. Tuh, dia yang punya kursi! Pak Bambang menunjuk ke belakang.
Rianti menoleh. Dan tatapannya beradu dengan tatapan Pak Ario. Tapi cuma sedetik. Di detik lain, Pak Ario sudah membuang muka. Dan pura-pura menyapa pramugari yang lewat.
Kami harus duduk di mana" Apa boarding pass ini palsu"
Ada tujuh orang yang tidak kebagian tempat duduk, sahut pramugari itu. Tenang-tenang saja. Tanpa perasaan bersalah sedikit pun.
t . c Barangkali memang bukan salahnya. Dan boarding pass tanpa nomor tempat duduk memang salah satu kebiasaan di sini. Aneh buat kita. Tidak aneh buat mereka.
Bagaimana mungkin" desak Pak Ario kesal. Kalian menjual tiket lebih banyak daripada kapasitas tempat duduk di pesawat ini"
Ada tujuh orang yang mendapat waiting list. Karena kesalahan administratif, mereka diperbolehkan masuk. Percayalah, semua akan beres.
Beres dengkulmu! gerutu Pak Bambang tentu saja dalam bahasa Indonesia.
Pramugari itu tahu Pak Bambang marah, tapi tidak mengerti apa yang diucapkannya. Dia buruburu saja menyingkir.
Lha, sudah tahu penumpang penuh begini kok bisa-bisanya tidak diberi nomor tempat duduk! Masih penasaran, Pak Bambang mengomel terus.
Satu menit lagi pesawat berangkat, kata Pak Ario sambil melirik jam tangannya. Saya ingin tahu di mana mereka akan menempatkan kita.
Barangkali diikat di sayap pesawat! gerutu Pak Bambang separuh bergurau. Atau dijejalkan di tempat koper.
Atau diberangkatkan besok pagi, komentar Bu Tjitjih. Kasihan, kalian terpaksa bangun pagi-pagi lagi.
Barangkali kalian terpaksa naik unta! Biarlah, laki-laki semua kok! Biar sekali-sekali mencoba menjadi sheik!
t . c Tetapi semua dugaan mereka ternyata keliru. Beberapa orang penumpang kelas satu diminta untuk turun lebih dulu. Sementara mereka sedang bersungut-sungut di samping pesawat, para kru bekerja keras menambahkan beberapa buah kursi baru di kabin kelas satu. Akhirnya mereka semua mendapat tempat duduk. Dan pesawat berangkat setengah jam kemudian.
Pengalaman baru. Pak Bambang menyeringai masam setelah diperbolehkan duduk. Beli tiket kelas ekonomi tapi duduk di kelas satu.
Pak Ario tidak menjawab. Dipalingkannya kepalanya ke belakang. Pura-pura mencari pramugari untuk minta minum. Sekali lihat saja dia sudah dapat memandang Rianti. Gadis itu duduk di belakang, dekat jendela. Dia sedang asyik memandang keluar.
Pesawat mereka terbang tidak begitu tinggi di atas gurun pasir. Ke mana pun mata memandang, hanya cokelatnya pasir yang tampak.
Alangkah panasnya di bawah sana, pikir Rianti. Sedikit ngeri. Di mana-mana gersang dan tandus. Diam-diam dia bersyukur dianugerahi tanah air yang subur dan indah, tempat hijaunya hutan bertemu dengan birunya bukit dan laut.
Kalau kita sudah pernah ke mana-mana kita memang baru tahu cantiknya negeri kita sendiri, komentar Bu Tjitjih.
Tapi saya kira setiap tempat punya keindahan
t . c tersendiri yang tidak dimiliki tempat lain, sela Bu Hasan.
Benar, sambung Pak Agus. Kalau kita melihat keindahan alam, kita baru menyadari betapa besarnya kekuasaan Tuhan. Dan betapa kecilnya kita ini di alam semesta.
* * * Pesawat mendarat di lapangan terbang Luxor setengah jam kemudian. Dengan sebuah bus mereka dibawa ke tepi sungai. Jalan sempit berdebu yang mereka lalui menyajikan pemandangan yang mengingatkan mereka pada cerita-cerita seribu satu malam.
Penduduk berpakaian tradisional, pria berjubah putih dengan sorban dan wanita berkerundung hitam, beberapa di antaranya menuntun atau menunggang keledai, berjalan santai di sisi jalan yang mereka lewati. Seorang anak kecil berkepala botak dan berjubah putih melambai-lambaikan tangannya dengan bersemangat dari atas keledainya ketika para wisatawan membidikkan kamera ke arahnya.
Bus berhenti di tepi sungai. Dan dengan sebuah feri butut mereka dibawa menyeberangi sungai itu. Susah mencari tempat duduk yang masih baik. Joknya yang berwarna merah kehitam-hitaman itu hampir tidak ada yang belum robek. Catnya telah terkelupas di sana-sini. Kayunya pun telah lapuk dimakan air.
t . c Tetapi untuk sebuah bekas ibu kota yang telah berumur sekian ribu tahun, tampaknya angkutan sungai yang dibuat seprimitif mungkin malah sesuai. Orang tidak melihat hebes untuk mencari sesuatu yang modern. Objek wisata di tempat ini memang hanya patung-patung dan kuburan yang telah berumur sekian ribu tahun.
Rianti merasa dirinya amat kecil ketika berdiri di muka patung Firaun setinggi dua puluh meter di Colossi Memnon. Kedua patung raksasa itu seperti menyembul begitu saja di tengah-tengah lautan pasir yang amat luas. Rianti heran bagaimana patungpatung sebesar dan setinggi itu tidak ambruk meskipun setiap hari diembus angin padang pasir.
Jangan terlalu lama melihat ke atas, nanti semaput! kata Pak Ariin yang tahu-tahu sudah tegak di belakangnya. Mengapa tidak pakai kacamata hitam" Di sini amat silau. Banyak debu pula. Nanti matamu sakit.
Entah mengapa Pak Ario langsung menyingkir ke dalam bus begitu mendengar kata-kata itu. Padahal tadinya dia sedang asyik memotret. Tetapi Pak Ariin seperti tidak memaklumi perasaan temannya. Dia malah minta Rianti berpose untuk dipotret. Dan tanpa malu-malu minta Pak Bambang tolong menjepretkan mereka berdua.
Kurang dekat berdirinya, Pak Ariin! gurau Pak Bambang sambil membidikkan kameranya. Sekali lagi tanpa malu-malu, Pak Ariin melingt . c karkan lengannya di bahu Rianti. Sambil tersenyum lebar dia menyambut olok-olok teman-temannya. Sikapnya memang kebapakan. Kehangatan rangkulannya tidak mengesankan kemesraan. Tetapi tak urung Rianti menunduk tersipu-sipu. Apalagi ketika bapak-bapak yang lain ikut menggodanya.
Sekali lagi sama saya ya, Rianti! gurau Pak Bambang. Biar adil!
Nanti ada yang marah di rumah, Pak! komentar Bu Tjitjih.
Ya fotonya jangan dibawa pulang! Disimpan dikantor saja!
Nah, belum apa-apa sudah punya simpanan! Baru setahun jadi direktur!
Simpanan foto saja kan tidak apa-apa, Bu! Sampai masuk kembali ke dalam bus, mereka masih saling menggoda. Cuma dua orang yang tetap bungkam. Mbak Sri. Dan Pak Ario.
Kalau saya tahu kamu tidak punya kacamata, saya belikan di Kairo kemarin, Pak Ariin masih juga menggerutu, meskipun bukan dengan perasaan kesal. Dan justru karena tidak ada nada kesal dalam suaranya, Rianti jadi canggung. Merasa serbasalah. Dia kan bukan anak kecil lagi! Apalagi ketika dengan sudut matanya Rianti melihat Pak Ario menyingkir ke bangku belakang. Dan menyulut rokoknya.
Kok pindah, Pak Ario" tanya Pak Ariin, tanpa merasa tersinggung.
t . c Pak Ario hanya menunjukkan rokoknya. Tanpa menjawab sepatah pun. Tak seorang pun melihat kemarahan yang berkobar matanya. Mata yang dingin itu tersembunyi di balik kacamata hitamnya yang gelap pekat.
Tetapi Rianti dapat merasakan ketidaksenangan laki-laki itu. Dia duduk tepat di samping Pak Ariin. Dapat mendengar pertanyaan laki-laki itu tetapi tak dapat mendengar jawaban Pak Ario. Apakah dia tidak menjawab" Mengapa"
Tentu saja Rianti tidak berani menoleh ke belakang. Pak Ario memang aneh. Dia tidak pernah mengajak Rianti bicara. Tetapi entah mengapa, Rianti merasa Pak Ario selalu memilih berada di dekatnya.
Dalam menjepret objek-objek fotonya pun dia selalu mengambil objek yang sedekat-dekatnya dengan Rianti. Merasa tidak enak kalau dirinya ikut terpotret, pura-pura tidak sengaja tentu saja, Rianti selalu cepat-cepat menyingkir.
Pak Ario memang tetap menjepret objeknya sekalipun Rianti sudah menjauhkan diri. Namun, naluri kewanitaan Rianti membisikkan, Pak Ario selalu berusaha untuk memasukkan dirinya ke dalam foto-foto yang dibuatnya. Rianti merasa malu mempunyai perasaan demikian. Tetapi dia tidak dapat menyingkirkannya.
* * * t . c Hampir pukul satu siang ketika mereka meninggalkan Lembah Raja-raja menuju Kuil Luxor. Dari sana perjalanan masih diteruskan menelusuri deretan sphinx sepanjang tiga kilometer menuju ke Kuil Karnak.
Rianti sudah merasa sangat letih. Kakinya sudah tak mau diangkat lagi. Bibirnya kering. Matanya pedih. Pandangannya berkunang-kunang. Tetapi anggota rombongan yang lain belum ada yang meminta istirahat.
Mereka masih terpukau melihat keagungan Mesir di masa lalu. Kalau di Kuil Luxor tadi patung Ramses II beserta obelisc-nya menyita perhatian mereka, kini di Kuli Karnak tiang-tiang raksasa setinggi dua puluh tiga meter membuat mereka berdesah kagum.
Sibuk membuat foto menyebabkan mereka melupakan rasa haus dan lapar. Beberapa orang anggota rombongan memang ada yang membawa air. Tetapi Rianti segan memintanya. Bagaimana caranya minum" Mereka tidak membawa gelas. Semuanya minum langsung dari botol.
Lapat-lapat Rianti masih mendengar Pak Agus mengusulkan agar mereka mencari makanan dulu sambil beristirahat. Tetapi saat itu sudah terlambat bagi Rianti. Ketahanan isiknya sudah ambruk sama sekali. Sekujur tubuhnya terasa dibanjiri keringat. Kakinya lemas. Pandangannya gelap.
Pak Ariin berdiri cukup dekat dengan gadis itu.
t . c Namun dia kurang cekatan. Lagi pula dia masih asyik menceritakan apa saja yang diketahuinya mengenai Kuil Karnak. Dia masih sibuk menunjuknunjuk ketika Rianti terhuyung lemas hampir jatuh.
Saat itu, ada seseorang yang menangkap tubuhnya. Menopangnya kuat tapi lembut. Namun saat itu Rianti sudah tidak sempat lagi mengenali siapa yang menolongnya.
Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa berkata sepatah pun pada Pak Ariin yang sedang menatap mereka antara terkejut dan bingung, Pak Ario memapah Rianti ke tempat teduh. Ketika Rianti sudah tak mampu lagi menahan berat tubuhnya dan terkulai lemas dalam rangkulan lengan-lengan yang menopangnya, tanpa ragu-ragu Pak Ario segera menggendongnya.
Rombongan itu menjadi panik. Semua ikut mengerubungi. Tetapi hanya Mbak Sri yang cukup terampil melakukan penolongan pertama. Begitu tubuh Rianti dibaringkan di tempat teduh, dia langsung melepaskan ikat pinggang dan kancing bra gadis itu. Lalu dia mengeluarkan sebotol eau de cologne dari tasnya. Mengoleskannya ke dahi, pelipis, dan bawah hidung Rianti. Ketika bibir Rianti yang pucat-pasi itu mulai bergerak-gerak, Mbak Sri mengambil botol airnya sendiri dan membasahi bibir Rianti dengan air.
Tatkala lambat-lambat Rianti membuka matanya, desah kelegaan terlompat dari setiap mulut. Rianti
t . c sendiri masih menatap sekelilingnya dengan bingung. Belum menyadari benar apa yang telah terjadi. Dia menurut saja ketika Mbak Sri menopang kepalanya dan menyuruhnya minum. Rianti merasa sebagian kekuatannya pulih kembali tatkala air yang hangat itu mengalir membasahi kerongkongannya.
Panas di sini memang jahat sekali, komentar Pak Agus. Saya lupa memperingatkan Rianti agar membawa minuman. Tubuh kita kekurangan air karena penguapan yang hebat. Harus segera minum bila merasa haus.
Bagaimana kalau kita pulang saja" usul Pak Ariin yang masih jongkok di samping Rianti.
Lebih baik kita makan dulu sambil beristirahat, sahut Pak Agus tegas. Bagaimana, Rianti, sudah bisa jalan"
Saya masih kuat menggendongmu, potong Pak Ariin, langsung kepada Rianti.
Duh, Pak Ariin! sindir Bu Tjitjih separuh berkelakar. Memang maunya!
Lho, cuma sekadar menawarkan jasa baik kok, Bu!
Coba kalau aku yang pingsan, Pak Ariin! gurau Bu Hasan, yang badannya seperti sapi Australia. Mau Bapak menggendongku"
Teman-temannya tertawa geli. Pak Ariin tersenyum kemalu-maluan.
Bukannya tidak mau, Bu! Cuma perlu bantuan!
t . c Saya kira Rianti tidak perlu bantuan, kata Mbak Sri tegas.
Dibantunya gadis itu bangkit. Bu Sanusi ikut mengulurkan tangan untuk membantu. Pak Ariin tentu saja tidak mau ketinggalan.
* * * Restoran itu terletak di lantai dasar sebuah hotel bergaya arsitektur kuno. Suasananya nyaman. Sejuk karena atap yang tinggi dan tembok putih yang tebal. Masih dibantu pula oleh pengatur udara yang mendinginkan ruangan.
Suasana nyaris hening karena tidak ada orang lain yang makan di sana. Hanya denting gelas yang terdengar ketika pelayan membagikan minuman. Pak Ariin langsung menyodorkan segelas sari jeruk kepada Rianti.
Masih pusing" tanya Pak Ariin yang memilih duduk di samping Rianti.
Wah, Pak Ariin dapat anak lagi! gurau Bu Hasan, yang paling merasakan perhatian Pak Ariin terhadap Rianti.
Kalau anak sih tidak apa-apa, Bu! sambar Bu Tjitjih yang juga sudah mulai mencium sesuatu. Asal jangan&
Lho, saya kan cuma ingin membantu, Bu! sanggah Pak Ariin kemalu-maluan. Boleh kan"
Asal ingat yang di rumah, Pak! komentar Pak Bambang.
t . c Wah, kalau yang di rumah sampai dengar, exit permit bakal tidak keluar lagi nih, Pak Ariin!
Saya benar-benar cuma ingin membantu, kilah Pak Ariin. Rianti yang paling muda di antara kita. Belum pengalaman pula. Dia harus dibantu&
Paling cantik pula, Pak! Membantu sih boleh, Pak Ariin. Asal jangan keterusan!
Tetapi Pak Ariin memang bukan hanya membantu sampai di sana saja. Dia malah menawarkan pekerjaan kepada Rianti.
Kalau belum ada pekerjaan yang lebih baik, kamu boleh mencoba di perusahaan saya, katanya ketika mereka sedang makan malam berdua. Di depan sana seorang penari perut yang sudah tidak muda lagi sedang meliuk-liukkan perutnya yang tiga perempat terbuka.
Rianti hampir tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Suasana di sana memang berisik. Lagu-lagu berirama padang pasir yang mengiringi tarian itu makin lama makin keras. Tetapi Pak Ariin berada cukup dekat. Ketika dia berbicara, wajahnya didekatkannya ke wajah Rianti. Jadi tidak mungkin dia salah dengar. Pak Ariin memang menawarkan pekerjaan!
Ya Tuhan! Ayah pasti gembira! Dan Ibu& Bagaimana" desak Pak Ariin ketika tidak didengarnya jawaban gadis itu. Sudah ada orang lain yang menawarkan pekerjaan kepadamu"
t . c Oh, belum, sahut Rianti gugup. Bapak membutuhkan seorang sekretaris"
Kalau Rianti belum ada pilihan lain. Terima kasih, Pak! sergah Rianti terharu. Soal gaji dan persyaratan lain dapat kamu bicarakan dengan bagian personalia.
Saya tidak perlu dites lebih dulu"
Saya sudah melihat hasil kerjamu di sini. Semua peserta puas.
Tapi itu berkat bantuan Mbak Sri, Pak! Nonsens! Dia memang pandai. Tapi tak cukup pandai untuk menutupi hasil karyamu. Saya sudah cukup berpengalaman. Pak Agus malah sudah memutuskan untuk memintamu lagi dalam konferensi yang akan datang di Bali. Tapi kalau kamu sudah bekerja pada saya, dia harus memilih sekretaris lain.
* * * Sebagian rombongan memisahkan diri dalam perjalanan pulang. Mereka melanjutkan perjalanan ke beberapa negara Eropa. Dalam pesawat yang hampir separuh kosong itu, Rianti dapat memilih kursi yang disukainya. Tentu saja di sebelah jendela.
Pak Ariin memilih duduk di sebelah Rianti, meskipun kursi di belakang mereka masih kosong. Mau tak mau Rianti jadi teringat pada penerbangant . c nya yang pertama sepuluh malam yang lalu. Waktu itu si tunggul yang duduk di sampingnya.
Sekarang dia memilih duduk jauh di belakang. Seorang diri. Mungkin supaya dapat tidur sepuaspuasnya. Tanpa diganggu siapa pun. Tungkainya yang panjang dilunjurkannya ke bangku sebelah.
Ada perasaan sedih menyelinap ke hati Rianti saat itu. Padahal ketika berangkat dulu, dia begitu kesal pada si tunggul. Mengapa dia kelihatannya demikian tidak bersahabat" Bencikah dia pada wanita"
Tetapi pada peserta wanita yang lain sikapnya biasa saja. Tawar memang. Tapi tidak dingin. Dia memang selalu tidak mengacuhkan orang-orang di sekelilingnya. Tidak akrab dengan siapa pun.
Namun Rianti mempunyai perasaan lain. Dia merasa si tunggul benar-benar tidak menyukainya. Padahal Rianti merasa dia tidak mempunyai kesalahan apa-apa. Apakah karena dia seorang gadis" Begitu besarkah dendamnya kepada wanita" Mungkinkah karena perceraiannya dengan istrinya" Perceraian yang menimbulkan trauma yang membekas sampai sekarang.
Duda beranak satu. Sudah enam tahun bercerai.
Terngiang kembali kata-kata Pak Ariin di telinganya. Heran. Kata-kata itu tak mau hilang juga dari benaknya. Selalu kembali dan kembali lagi. Rianti sendiri heran. Perasaan apa yang selalu bert . c kecamuk di hatinya setiap kali melihat laki-laki itu"
Dia memang tampan. Gagah. Tapi sikapnya dingin. Selalu acuh tak acuh. Dan kadang-kadang malah menyebalkan.
Lain dengan Pak Ariin. Pak Agus. Atau pesertapeserta yang lain. Mereka penuh perhatian. Selalu ramah. Selalu ingin membantu. Tetapi mengapa justru orang yang selalu acuh tak acuh itu yang paling diperhatikannya"
Dia yang menolongmu, melintas lagi ucapan Bu Hasan di benaknya. Si tunggullah yang merangkulnya ketika Rianti hampir jatuh pingsan di Luxor dua hari yang lalu. Jadi benarkah Pak Ario tidak memperhatikannya" Atau& dia cuma berpura-pura"
Jika Rianti masih letih, boleh istirahat dulu, entah sudah berapa lama Pak Ariin bicara seorang diri. Kasihan juga. Terpaksa Rianti menggebrak perhatiannya yang sudah berkeliaran ke mana-mana untuk kembali memerhatikan pembicaraan laki-laki itu. Tidak usah langsung masuk kerja. Kapan saja Rianti boleh datang ke kantor saya. Berikan surat ini ke bagian personalia.
Terima kasih, Pak. Rianti menerima surat itu dengan penuh perasaan terima kasih. Alangkah baiknya orang ini! Dalam hati Rianti berjanji untuk bekerja sebaikbaiknya. Agar tidak mengecewakan Pak Ariin!
t . c R ianti kembali ke rumah seperti seorang pahlawan yang pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan gilang-gemilang. Orangtua dan adikadiknya menyambutnya dengan gembira.
Ibu khusus mengambil cuti sehari untuk membuatkan sambal goreng tempe kesukaan putri sulungnya. Cuma Ayah yang belum puas. Dia masih menunggu-nunggu honor Rianti. Uang. Itu yang paling penting baginya.
Tidak heran kalau Rianti hampir tidak sabar menunggu matahari terbit. Begitu pagi tiba, dia langsung menuju ke kantor Pak Ras.
Bu Titi menyambutnya dengan gembira. Lebihlebih ketika Rianti tidak lupa membawakan oleholeh dari Mesir. Cuma sebuah sphinx kecil dari alabaster seharga beberapa ribu rupiah saja. Tetapi untuk Bu Titi, perhatian Rianti-lah yang paling
BAB IV t . c penting. Wajahnya yang berseri-seri baru berubah ketika Rianti menanyakan honornya.
Pak Ras belum masuk hari ini, Rian. Sabarlah.
Rianti menghela napas berat. Dadanya terasa pengap.
Berapa lama biasanya, Bu"
Tidak tentu. Tergantung panitianya. Ada yang cepat. Ada pula yang lambat. Ayahmu sudah menanyakannya"
Rianti cuma mengangguk. Matanya menekur ke lantai. Lesu. Bu Titi merasa iba melihatnya. Ah, seandainya dia punya uang! Akan dipinjamkannya dulu kepada gadis ini. Supaya dia tidak kena marah ayahnya lagi.
Tetapi Pak Ras seperti tidak mengerti kesulitan gadis itu. Bahkan setelah uang honor itu diselesaikan, dia masih belum membayarkan bagian Rianti.
Dipakai Pak Ras dulu, kata Bu Titi sedih, pada hari ketujuh Rianti datang ke kantornya. Coba tanyakan langsung padanya.
Sejak saat itu, Rianti mempunyai kesibukan baru. Mengejar-ngejar Pak Ras. Tiap hari. Untuk menanyakan honornya. Memang tinggal seratus tiga puluh ribu lagi. Tetapi digabungkan dengan sisa uang sakunya, masih ada dua ratus ribu. Barangkali cukup untuk membeli sebuah mesin jahit&
Tolonglah saya, Pak, pinta Rianti separuh meratap.
t . c Sudah seminggu lebih dia mengejar-ngejar Pak Ras. Sudah bosan rasanya. Hampir tiap hari Pak Ras mengajaknya keluar. Ke pantai. Ke warung tegal. Ke bioskop. Tetapi honornya belum juga diberikan.
Saya sangat membutuhkan uang itu. Ayah saya&
Sabarlah, Rian, bujuk Pak Ras tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Minggu depan uang kongres di Surabaya itu masuk. Pasti saya bayar. Masa kamu tidak percaya pada saya"
Bukan tidak percaya, Pak. Tapi saya benar-benar membutuhkan uang itu&
Saya juga sedang perlu uang, Rian. Istri saya sakit. Anak-anak masuk sekolah pula. Mesti ada uang sumbangan gedung, uang bangku, uang sekolah, entah uang apa lagi& Wah, saya benar-benar pusing!
Tetapi yang pusing bukan hanya Pak Ras, Rianti juga. Ayahnya sudah tidak dapat diberi pengertian lagi. Ayah malah tidak bersedia lagi diajak bicara. Pokoknya, Rianti harus pulang dengan membawa uang.
Ayah malah sudah mendatangi sendiri kantor Pak Ras. Untung Pak Ras tidak ada di tempat. Kalau ada, entah bagaimana jadinya.
Mula-mula Ayah mencurigai Rianti-lah yang telah memakai uang itu. Tiap hari dia pergi dari pagi sampai malam. Mungkin dia berfoya-foya
t . c menghabiskan uangnya! Hhh, dasar anak tidak tahu diri!
Baru setelah Bu Titi menjelaskan semuanya, Ayah percaya Rianti tidak bersalah. Kemarahannya beralih pada Pak Ras. Dia telah bertekad untuk menemui laki-laki itu. Dan tidak mau pulang sebelum bertemu dengan Pak Ras.
Masa sudah dua minggu lebih masih belum bisa bayar juga"! geram ayah Rianti jengkel. Biar Ayah yang bicara padanya!
Tapi jangan marah-marah, Ayah, pinta Rianti separuh meratap. Pak Ras itu bekas guru saya& Guru apa seperti itu! Memberi contoh jelek! Berjanjilah, Ayah, kalau Pak Ras datang nanti. Ayah tidak akan marah-marah!
Lho, kok malah aku yang tidak boleh marah" Aku berhak untuk marah! Orang itu menggelapkan uang kita! Merampas hakmu! Masa aku tidak boleh marah" Huh, kamu terlalu sabar! Terlalu penakut! Sampai mempertahankan hakmu sendiri saja tidak berani!
Pak Ras tidak mengambil uang itu, Ayah& Habis apa namanya kalau tidak mengambil"! Pak Ras hanya meminjamnya& dia dalam kesulitan uang!
Dan kita tidak" Begitu maksudmu" Kalau sudah ada, pasti akan dibayarnya, Ayah. Kalau belum ada"
Kita harus memakluminya, Ayah. Dia telah menolong Rianti&
t . c Menolong" Menolong apa" Kamu kerja untuknya! Bukan menolong!
Tapi kalau tidak ada Pak Ras, Rianti belum tentu memperoleh pekerjaan itu!
Jadi kamu merasa berutang budi padanya" Dan membiarkan uangmu dipakainya begitu saja"
Pak Ras sudah berjanji akan mengembalikannya, Ayah&
Kapan" Sesudah dia punya uang. Mungkin minggu depan&
Tidak! Ayah akan menagihnya sekarang! Enak saja dia memakai uang orang!
Tapi tolonglah jangan ribut, Ayah! Sekarang air mata Rianti sudah benar-benar meleleh. Jangan marah-marah pada Pak Ras. Rianti malu. Di sini banyak teman-teman&
Lho, kok jadi kamu yang malu" Seharusnya dia yang malu!
Dia juga harus malu! Begitu muncul, perempuan muda itu langsung menunjuk muka Rianti. Tidak tahu malu, menggoda suami orang!
Bukan hanya Rianti yang tersentak. Bu Titi juga. Mereka menoleh dengan terkejut. Dan paras Bu Titi memucat demi melihat istri Pak Ras sedang menatap Rianti dengan geram.
Ke mana saja kamu pergi dengan suamiku seminggu ini"
Rianti yang masih tertegun kaget tidak mampu
t . c menjawab sepatah pun. Hanya wajahnya yang berubah. Berganti warna dari pucat ke merah untuk kemudian kembali memucat. Bibirnya bergetar menahan tangis. Tidak mampu mencetuskan sepatah kata pun.
Dila yang sudah muncul di ambang pintu tak jadi masuk melihat kehadiran istri Pak Ras. Dia sudah buru-buru menyingkir melihat gelagat yang kurang baik itu. Istri Pak Ras ini memang sudah terkenal tukang bikin ribut. Lebih baik lekas-lekas menyingkir daripada ikut didamprat.
Lain halnya dengan Luki. Dia tidak peduli. Dengan tenang dia melangkah masuk. Langsung menyapa Bu Titi seolah-olah tak ada orang lain di sana.
Begitu melihat Luki, kemarahan istri Pak Ras seperti api disiram bensin. Tetapi ayah Rianti juga tidak mau tinggal diam. Dia yang datang menagih utang. Mengapa datang-datang perempuan ini melotot pada Rianti" Marah-marah tidak ada ujung pangkalnya!
Oh, jadi bapak ini ayahnya" geram istri Pak Ras menahan marah. Kebetulan! Saya mau memberitahu Bapak, anak ini main gila dengan suami saya. Sudah seminggu mereka pesiar berdua. Ke pantai, ke rumah makan, ke bioskop, ke hotel, entah ke mana lagi!
* * * t . c Jadi itu kerjamu seminggu ini! Dengan sengit Ayah menampar pipi Rianti. Mereka baru saja sampai di rumah. Dan Ayah tidak menunggu lagi untuk melampiaskan kemarahannya. Bukan menagih utang, malah pesiar!
Rianti tidak dapat menjawab sepatah pun. Dia sudah tidak mampu lagi membuka mulutnya untuk membela diri. Dia hanya dapat menangis. Menyesali nasibnya.
Di kantor tadi istri Pak Ras sudah memaki-makinya dengan kata-kata yang paling menyakitkan hati. Kini Ayah menuduhnya pula. Dia merasa malu. Amat malu. Rasanya dia ingin bunuh diri saja kalau tidak ingat Ibu. Mengapa dunia begini kejam padanya" Apa sebenarnya kesalahannya"
Dia memang pergi dengan Pak Ras. Tiap hari. Tetapi dia tidak pernah melakukan apa-apa yang dituduhkan oleh istri Pak Ras. Mereka hanya makan bersama. Mengobrol. Menonton ilm. Dan belum pernah pergi ke hotel! Astaga. Mengapa Bu Ras begitu keji menuduh suaminya sendiri"
Pak Ras memang pernah memegang tangannya. Dalam bioskop. Ketika ilm sedang diputar. Dan suasana sudah gelap. Tetapi Rianti buru-buru menarik tangannya. Dia tidak pernah memberikan kesempatan pada Pak Ras untuk berlaku tidak sopan. Dan inilah yang diperolehnya. Dia dituduh menggoda suami orang! Siapa yang sebenarnya menggoda" Dia hanya datang untuk menagih utang!
t . c Pantas kamu tidak berhasil menagih uangmu sendiri! Sekali lagi Ayah menamparnya dengan gemas. Begitu kerasnya sampai Rianti terjajar ke belakang. Dan jatuh terduduk di kursi.
Sakit rasanya pipinya. Tapi lebih sakit lagi hatinya. Rasanya lebih baik ditampar sekali lagi daripada didamprat dengan kata-kata yang demikian menyakitkan hati. Demikian menghina.
Kesedihannya semakin bertambah ketika melihat Ibu ikut menangis. Ibu baru saja pulang. Tetapi Ayah tidak memberikan kesempatan lagi padanya untuk melepas lelah. Ayah langsung membeberkan apa yang dituduhkan istri Pak Ras.
Jika sampai besok dia tidak berhasil menagih uang itu, lebih baik dia tidak usah pulang!
Pak! cetus Ibu antara terkejut dan sedih. Sampai hati kau bertindak demikian! Dia anak kita&
Hhh, bikin malu saja! Cari uang tidak bisa, malah main gila dengan suami orang!
Aku tidak percaya Rianti sampai bertindak sejauh itu, Pak. Jangan terburu nafsu memercayai omongan orang!
Omongan orang katamu" Istri laki-laki itu sendiri yang datang mendampratnya!
Dia kan bisa saja keliru, Pak!
Kalau keliru, mengapa Rianti tidak membantah" Diam saja seperti patung!
Aku kenal Rianti seperti aku mengenal diriku sendiri, Pak!
t . c Ah, kau memang selalu memanjakan anakanakmu! Lihat apa akibatnya! Mereka jadi rusak semua!
Ibu tidak mampu berkata apa-apa lagi. Tanpa menjawab sepatah kata pun, dia masuk ke kamar Rianti. Meninggalkan suaminya yang masih menggerutu melampiaskan kemarahannya.
Melihat Ibu datang dengan berlinang air mata, Rianti langsung menghambur ke dalam pelukannya. Dan menangis tersedu-sedu.
Tak ada yang dapat diucapkannya. Tetapi sambil memeluk tubuh putrinya yang bergetar diguncang tangis, Ibu sudah bertekad untuk meninggalkan suaminya bila Rianti diusir esok. Dia yakin, Rianti tidak bersalah. Akan dibawanya anak-anaknya pergi. Menyingkir dari laki-laki yang sudah tak dapat diharapkan menjadi seorang ayah yang baik itu.
* * * Rianti tidak pernah kembali lagi ke kantor Pak Ras. Dia malu menemui Bu Titi. Tidak ada muka lagi menemui orang-orang di kantor itu. Dia bahkan malu menemui Pak Ras. Menemui temantemannya.
Dia pergi ke kantor Pak Ariin. Sayang, laki-laki yang baik itu tak dapat ditemui. Dia sedang rapat. Tak dapat diganggu. Apalagi cuma oleh seorang gadis calon karyawati seperti Rianti!
t . c Tidak perlu bertemu Pak Ariin, kata Pak Tjokro tegas. Cukup dengan saya saja. Pak Ariin kan sudah memberikan surat pengantar ini. Anda boleh kembali besok pagi. Langsung bekerja disini.
Gampang ya cari pekerjaan, bisik seorang gadis yang sedang mengetik kepada teman di sebelahnya. Suaranya agak terlalu keras untuk didengar. Apalagi oleh Rianti yang kebetulan sedang lewat di depan meja mereka.
Tentu saja. Koneksi Bos! Cantik ya"
Lumayan. Asal otaknya jangan di dengkul saja. Kasihan Pak Ariin.
Mereka tertawa perlahan. Ujung sepatu Rianti tersandung permadani. Hampir saja dia jatuh tersungkur. Buru-buru diperbaikinya keseimbangan tubuhnya.
Lihat saja, lagaknya masih seperti anak sekolah begitu! Bisa kerja apa"
Tampangnya juga masih tampang sekolahan! Jangan-jangan mengetik saja belum bisa.
Rianti melangkah secepat-cepatnya meninggalkan ruangan itu. Mukanya sudah terasa panas sampai ke telinga. Warnanya pasti sudah sama merahnya dengan permadani di bawah kakinya.
Rianti baru mencapai puncak tangga ketika lift di samping tangga itu terbuka. Beberapa orang laki-laki keluar dari sana. Dan orang yang paling
t . c depan langsung memanggil namanya. Rianti menoleh dengan terkejut seperti dipatuk ular.
Rianti! tegur Pak Ariin gembira. Jadi benar kamu!
Selamat siang, Pak, sapa Rianti gugup. Seperti ada magnetnya, matanya langsung melekat pada igur di balik tubuh Pak Ariin. Sekejap mereka saling pandang. Rianti merasa dadanya berdebar aneh. Gelisah. Gugup. Tapi nikmat. Bahagia. Rasanya ada perasaan& ah, entah apa namanya perasaan ini& rindukah nama perasaan yang sedang berkecamuk dalam hatinya sekarang"
Bayangan laki-laki berkacamata hitam yang membatu seperti tunggul itu kembali lagi menyergap benaknya. Kabin pesawat yang sempit. Malam yang gelap. Lalu panorama Mesir yang indah&
Laki-laki yang jatuh karena mabuk di depan kamarnya& dan sepasang lengan kuat tapi lembut yang menopangnya di Luxor ketika kesadaran terakhir meninggalkan dirinya& Ah, hampir tiap malam Rianti mengenangnya& merindukannya&
Mari ikut kami, Rian! entah sudah berapa banyak pertanyaan Pak Ariin yang tidak terjawab. Kebetulan kami baru selesai menandatangani sebuah kerja sama yang hebat. Pak Ario dan saya memang sudah merencanakan untuk merayakannya bersama.
Mulut Rianti sudah terbuka untuk menolak. Tetapi tidak ada suara yang keluar. Lelaki itukah
t . c sebabnya" Atau& ayahnya yang menunggunya di rumah seperti harimau lapar" Nasibnya ditentukan hari ini. Nasibnya tergantung belas kasihan Pak Ariin!
Saya ambil tas sebentar, kata Pak Ariin lagi ketika tidak didengarnya jawaban Rianti. Pak Ario ke mobil saja dulu bersama Rianti. Oke"
Seperti biasa, si tunggul tidak banyak bicara. Dia menekan tombol lift. Dan menyilakan Rianti masuk lebih dulu dengan gerakan tangannya.
Tunggu saya, Pak Ario! seru Pak Ariin sesaat sebelum pintu lift tertutup. Saya segera ke sana. Jangan ditinggal lho! Nanti lupa!
Mereka hanya berdua di lift yang sempit itu. Tetapi tak ada seorang pun yang bicara. Pak Ario membiarkan Rianti keluar lebih dulu. Lalu dia membuntuti dari belakang. Sikapnya masih sama seperti dulu. Tidak berubah sedikit pun. Dingin. Acuh tak acuh. Agak angkuh pula. Diam-diam. Rianti merasa sedih. Tidak rindukah si tunggul padanya"
Mobil saya di sana, katanya seperlunya saja. Dia mendahului Rianti menuju ke mobilnya. Membukakan pintu belakang untuk Rianti. Dan menunggu di samping pintu itu.
Tanpa berkata apa-apa Rianti masuk. Setelah menutupkan pintu untuk Rianti, dia menuju ke balik kemudi. Mengambil rokoknya. Dan menyulutnya tanpa menawarkannya kepada Rianti.
t . c Kerja di sini" Rianti sendiri hampir tidak menyangka akan mendapat pertanyaan. Dia hampir tidak memercayai telinganya sendiri. Apalagi laki-laki itu menoleh pun tidak. Dan dia mengembuskan pertanyaan itu bersama asap rokoknya.
Pak Ariin menawarkan pekerjaan kepada saya ketika masih di Kairo.
Oo. Si tunggul mengisap rokoknya dengan acuh tak acuh. Saya tidak menyangka Pak Ariin masih memerlukan seorang sekretaris.
Pak Ariin hanya ingin menolong saya. Entah mengapa Rianti merasa jengkel. Dan kejengkelannya tersirat dalam suaranya. Cuma beliau yang mau menolong saya.
Barangkali yang lain tidak tahu kamu perlu ditolong.
Tentu saja. Yang lain tak pernah memerhatikan saya!
Rianti sendiri terkejut. Sesudah mengucapkan kata-kata itu dia baru menyesal. Mengapa harus menjawab seperti itu" Si tunggul bisa salah sangka!
Dia berkata demikian hanya terdorong oleh rasa kesalnya. Tapi mengapa harus kesal"
Mari kita berangkat, cetus Pak Ariin begitu tiba di samping Pak Ario. Dia langsung duduk di depan. Di samping pengemudi. Tetapi tubuh dan lehernya segera diputar ke belakang. Ke arah Rianti.
t . c Kamu kelihatannya kurang sehat, Rian. Sakit" Ah, saya cuma capek, Pak.
Capek" Masa gadis semuda kamu sudah begitu loyo" Pak Ariin tertawa renyah. Tawanya baru berhenti ketika dirasanya hanya dia sendiri yang tertawa. Kan sudah istirahat dua minggu lebih! Atau& kamu ikut konferensi lagi"
Rianti tidak menjawab. Dia cuma tersenyum. Dan senyumnya langsung mengambang ketika dirasanya ada sepasang mata yang sedang mengawasinya dari kaca spion. Dia tidak berani menoleh ke kaca itu. Takut Pak Ariin mengetahui apa yang dilihatnya. Dan takut beradu pandang lagi. Jadi Rianti pura-pura tidak tahu saja. Susahnya, dia menjadi bertambah salah tingkah.
Sudah saya tunggu-tunggu kedatangan Rianti, kata Pak Ariin lagi. Saya kira sudah ada yang menawarkan pekerjaan yang lebih menyenangkan.
Sebuah jip memotong jalan di depan mobil mereka. Pak Ario menekan klakson dengan jengkel.
Sabar, Pak Ario. Pak Ariin menoleh pada rekannya. Nanti kita tidak sampai!
Ke mana kita" Suara Pak Ario sedingin matanya. Pak Ariin merasa tidak enak mendengar suara temannya.
Tidak keberatan kan Rianti ikut kita" Oh, tentu saja tidak! Dia sekretaris Pak Ariin, kan" Mulai sekarang dia harus ikut ke mana pun Pak Ariin pergi.
t . c Hanya dalam tugas. Biar saya turun di sini saja, Pak, pinta Rianti sambil mencoba menyembunyikan perasaan kesalnya. Rumah saya sudah dekat.
Ah, mengapa harus begitu" protes Pak Ariin kecewa. Kita sudah lama tidak bertemu. Kebetulan saya dan Pak Ario sedang senggang. Kami sudah merencanakan untuk pergi minum merayakan kerja sama kami yang baru. Bumi Makmur menang tender. Saya sebagai developer proyek itu. Pak Ario sebagai subkontraktornya. Nah, kerja sama ini harus dirayakan! Bukan begitu, Pak Ario"
Pak Ario tidak menjawab. Dia pura-pura sibuk mendahului sebuah bus. Rianti-lah yang membuka mulut.
Kalau saya mengganggu&
Oh, tentu saja tidak! Lagi-lagi Pak Ariin-lah yang menjawab. Kebetulan Rianti juga datang hari ini. Nah, pertemuan ini harus dirayakan pula! Iya kan, Pak Ario"
Ke mana kita" tanya Pak Ario setelah tak ada lagi mobil yang dapat dilewati.
Pak Ariin menyebutkan nama coffee shop di hotel langganan mereka.
Sirloin steak-nya sedap. Ini kan sudah siang. Kita sekalian makan saja.
Tetapi Pak Ario hanya minum.
Belum lapar, katanya sambil memesan segelas gin tonic. Dia menyulut rokoknya. Dan menatap
t . c jauh ke seberang sana. Tanpa memandang Rianti yang duduk tepat di depannya. Di samping Pak Ariin.
Rianti memesan segelas soft drink dan seporsi nasi goreng. Pak Ariin minta sirloin steak dengan segelas anggur merah.
Makan yang banyak, Rian, kata Pak Ariin selesai memesan makanan. Jaga kondisimu baik-baik. Bekerja pada saya capek lho! Sibuk terus. Iya, Pak.
Lusa saya dan Pak Ario sudah harus berangkat ke Surabaya untuk meninjau lokasi proyek kami. Saya ingin Rianti ikut. Supaya dapat mempelajari tugas-tugas yang harus dikerjakan dari sekretaris senior saya.
Agatha mau digeser" sela Pak Ario dengan perhatian yang tiba-tiba terlalu besar.
Bukan digeser. Dipindahtugaskan. Saya akan menempatkannya di Surabaya. Proyek kita membutuhkan tenaga terampil seperti dia.
Saya baru hendak memungutnya kalau-kalau sudah tidak terpakai lagi.
Mana mungkin" Selama ini pekerjaannya selalu beres!
Ah, siapa tahu, Suara Pak Ario biasa saja. Datar. Tawar. Tapi Rianti seperti mendengar nada sinis dalam suaranya. Sudah ada yang baru.
Saya seperti kehilangan tangan kanan kalau Agatha keluar.
t . c Dan Pak Ariin menggeser sekretarisnya yang hebat itu, pikir Rianti dengan perasaan tidak enak. Apakah karena aku"
Saya belum berpengalaman, Pak, desah Rianti bingung. Alangkah baiknya kalau Mbak Agatha mau membimbing saya& .
Jika proyek raksasa ini telah berjalan, tugas paling berat berada di Surabaya. Karena itu Agatha saya pindahkan ke sana. Rianti tidak usah kuatir. Proyek di Jakarta sudah berjalan lancar. Tinggal meneruskan. Tidak ada kesulitan apa-apa.
Pak Ariin memang sangat baik. Walaupun agak merasa malu, Rianti telah bertekad untuk meminjam uang padanya. Hari ini juga, dia harus membawa pulang uang. Dan cuma Pak Ariin yang dapat diharapkan mau menolongnya.
Tetapi sayang sekali, seorang tamu telah menunggu di kantornya ketika Pak Ario mengantarkan mereka kembali ke sana. Dan karena tamu itu seorang pejabat yang penting bagi kelangsungan perusahaannya, dia terpaksa menitipkan Rianti pada Pak Ario.
Tolong antarkan Rianti pulang, Pak Ario. Ah, tidak usah, Pak! bantah Rianti segera. Jangan merepotkan!
Merepotkan apa! Pak Ariin-lah yang menjawab. Padahal Rianti mengharapkan yang lain. Sekalian lewat kan, Pak Ario" Sampai besok, Rianti! Pak! panggil Rianti tersendat.
t . c Pak Ariin menoleh. Wajahnya yang bulat melukiskan keramahan. Matanya bersorot sabar. Ada apa"
Boleh saya bicara sebentar" Tentu. Soal apa"
Ngngng& Rianti menatapnya dengan raguragu. Boleh bicara sebentar di dalam, Pak"
Tentu saja, tapi apa tak dapat ditunda sampai besok" Tamu saya sudah menunggu. Besok kita punya banyak waktu untuk bicara. Oke"
Rianti terpaksa mengangguk. Meskipun sebelumnya ia ingin menggeleng. Wajahnya memucat. Air matanya berlinang. Tetapi Pak Ariin sudah tidak melihatnya lagi. Dia sedang terburu-buru.
Pak Ario-lah yang diam-diam memerhatikan bagaimana sebentar-sebentar Rianti menyeka air matanya. Dia membisu sepanjang jalan. Seolah-olah sedang terbenam dalam dunianya sendiri.
Ke mana" tanya Pak Ario separuh terpaksa. Sebenarnya dia tidak ingin mengganggu. Tetapi dia tidak tahu ke mana harus membawa gadis itu. Bapak lewat mana" Suara Rianti basah. Jadi dia benar-benar menangis! Ada apa, pikir Pak Ario bingung. Mengapa tiba-tiba dia menangis" Ah, perempuan memang makhluk yang aneh! Tak dapat dimengerti. Tak dapat diselami.
Bisa lewat mana saja. Pak Ario berusaha menutupi kebingungan dalam suaranya dengan ketidakacuhan. Di mana rumahmu"
t . c Gang Mesjid. Di depan itu, belok ke kiri, Tanpa berkata apa-apa lagi Pak Ario meluncurkan mobilnya sesuai dengan petunjuk Rianti.
Berhenti di sini saja, Pak, pinta Rianti ketika melihat ayahnya sedang mengobrol dengan Pak Harun, tetangga sebelah rumahnya.
Ayah pasti sedang menunggunya! Ah. Rianti menghela napas panjang. Dadanya terasa sesak diimpit duka. Dia gagal lagi membawa pulang uang. Dan Ayah sudah bilang, kalau tidak membawa uang, lebih baik dia tidak usah pulang!
Sambil menahan tangis, Rianti mengucapkan terima kasih. Membuka pintu mobilnya. Dan menghambur ke luar.
Ayah sudah melihatnya. Tetapi Rianti tidak berhenti berlari. Dia tidak mau dimarahi di depan Pak Ario! Kalau Ayah mau memukulnya, mengusirnya, bahkan membunuhnya sekalipun, biarlah di dalam rumah saja.
Tetapi Ayah tidak mengejarnya. Ayah malah menghampiri mobil Pak Ario. Karena dia melintas di depan mobil, Pak Ario tak dapat meluncurkan mobilnya.
Ayah Rianti langsung mendekati pintu mobil. Mencoba membukanya. Ketika pintu itu ternyata terkunci, dia mengetuk-ngetuk kaca jendela. Terpaksa Pak Ario menurunkan kaca.
Ada apa" tanyanya heran. Saudara yang bernama Pak Ras"
t . c Pak Ras" Pak Ario mengerutkan dahi. Yang berutang tiga ratus ribu pada anak saya dan tidak mau mengembalikannya sampai sekarang"
* * * Rianti melemparkan dirinya ke tempat tidur. Dan menangis tersedu-sedu. Sudah sejak tadi dia ingin menangis. Alangkah payahnya menahan tangis agar tidak pecah di depan Pak Ario. Sekarang dia dapat menumpahkan perasaannya sepuas-puasnya.
Ibu yang sudah pulang dari tempat kerjanya dia sengaja mengambil cuti setengah hari tertegun di ambang pintu kamar. Tidak perlu pertanyaan lagi. Melihat keadaan Rianti, dia sudah tahu. Anaknya gagal lagi. Dan apa yang ditakutinya itu akan terjadi juga. Suaminya pasti akan mengusir Rianti!
Tanpa berkata apa-apa, Ibu menurunkan sebuah koper tua dari atas lemari. Diambilnya beberapa potong pakaian Rianti. Dimasukkannya ke dalam koper.
Merasakan kehadiran ibunya, Rianti langsung berbalik. Melihat apa yang sedang dilakukan Ibu, tak tahan lagi Rianti menubruknya sambil menangis.
Tabahlah, Nak. Ibu membelai-belai kepala Rianti dengan air mata berlinang. Ibu juga akan pergi bersamamu& .
t . c Lama mereka berpelukan sambil menangis. Tak ada seorang pun yang bicara. Karena tak perlu lagi kata-kata. Ayahlah yang datang memecahkan kesedihan itu.
Akhirnya dia mau bayar juga, katanya puas. Mula-mula memang dia masih mencoba mungkir. Macam-macamlah alasannya. Tidak kenallah. Tidak bawa uang kontanlah. Akhirnya setelah kudesak terus, mau juga dia menulis cek! Huh, awas kalau cek ini sampai kosong!
Tangis Rianti berhenti dengan sendirinya. Dia mengangkat mukanya dengan heran. Tetapi Ibu sudah langsung merangkulnya lagi. Tangisnya meledak lebih keras daripada tadi. Tetapi kali ini tangis kelegaan.
* * * Rianti hampir tidak sabar menunggu kedatangan Pak Ariin di kantornya. Pak Ario pasti sudah menceritakan peristiwa yang memalukan itu! Dia harus menjelaskan semuanya kepada Pak Ariin!
Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah diajar bagaimana menata meja yang baik, kan" tegur Agatha datar. Dia seorang perempuan muda yang gesit. Tidak terlalu cantik. Tapi menarik.
Gayanya profesional. Gerak-geriknya mencerminkan perempuan yang tahu apa yang mesti dilakukan. Umurnya sekitar dua lima. Tetapi karena dia
t . c memakai kacamata putih, dia tampak sedikit lebih tua.
Telepon harus terletak di sebelah kiri meja. Alat-alat tulis di kanan. Dia menunjuk sebuah meja di dekat pintu. Itu mejamu. Kamu boleh mulai mengaturnya. Sebentar lagi Pak Ariin datang. Sebaiknya sudah rapi supaya dia tambah senang kepadamu.
Bagaimanapun Rianti menafsirkannya, dia tidak mendengar nada iri atau sinis dalam suara Agatha. Tetapi dia tetap merasa tidak enak. Sudah tahukah Agatha dia akan dipindahtugaskan ke Surabaya" Sebentar lagi, mejanya akan menjadi milik Rianti.
* * * Pak Ariin datang pukul sepuluh lewat sedikit. Tetapi sejak datang sampai selesai memimpin rapat, dia tidak menyinggung-nyinggung persoalan kemarin. Mungkinkah dia belum bertemu dengan Pak Ario"
Ketika sedang mendiktekan surat yang harus dibuat, sikapnya sangat serius, sehingga Rianti tidak mempunyai kesempatan untuk bertanya. Tetapi tatkala sedang menikmati makan siangnya di kantin, sikapnya sudah kembali santai seperti biasa.
Pak Ariin memang bukan majikan yang bersifat feodal. Bukan kepada Rianti saja dia bersikap ramah. Kepada karyawan-karyawannya yang lain pun
t . c dia tidak mengambil jarak. Dalam waktu santai, dia bergaul dengan mereka seperti seorang bapak. Dia sudah biasa duduk makan bersama karyawan-karyawannya jika tidak pergi makan di luar. Akibatnya, Rianti tidak mempunyai kesempatan untuk bertanya. Terlalu banyak orang di sana. Kesempatan itu baru datang ketika Pak Ariin sendiri yang menanyakannya.
Bagaimana kemarin" Pak Ario mengantarkanmu sampai ke rumah"
Rianti tersentak kaget. Keterkejutannya dianggap terlampau berlebihan oleh Agatha. Tetapi Rianti tidak sempat memedulikannya. Dia benar-benar terperanjat.
Apa kata Pak Ario, Pak" tanyanya gugup. Dia tidak bilang apa-apa. Mengapa" Bapak sudah bertemu Pak Ario pagi ini" Belum. Tapi tadi pagi dia sudah menelepon. Pak Ario tidak mengatakan apa-apa tentang saya"
Tidak. Ada apa sebenarnya" Dia menyinggung perasaanmu" Ah, jangan terlalu dipikirkan! Dia memang orangnya begitu. Dari dulu. Sudah tujuh tahun saya mengenalnya. Adatnya memang aneh.
Jadi dia tidak mengatakan apa-apa! Hampir bersorak Rianti. Ternyata si tunggul itu baik juga! Dia tidak mempermalukan Rianti di depan Pak Ariin. Dan dia rela meminjamkan tiga ratus ribu rupiah! Sungguh bukan jumlah yang sedikit. Untuk Rianti tentu saja.
t . c Ayah memang keterlaluan. Enak saja dia menggarap orang. Tetapi sesudah mempunyai modal untuk memulai usahanya, sikapnya menjadi lebih lunak. Dia terlalu sibuk memulai usaha jahitnya sehingga tidak mempunyai waktu lagi untuk marah-marah.
Rumah mereka menjadi lebih damai. Ibu pun dapat pergi bekerja dengan lebih tenang. Dalam usianya yang muda belia, Rianti baru dapat memahami betapa besar kekuasaan dewa yang bernama uang itu. Dia dapat memorak-porandakan sebuah keluarga. Dapat pula mendamaikannya.
* * * Mereka naik pesawat terbang ke Surabaya, tetapi kali ini sikap Rianti sudah tidak memalukan lagi. Dia dapat sampai di kursinya dengan aman.
Agatha sudah memilih kursi dekat jendela. Terpaksa Rianti duduk di sebelahnya.
Pak Ariin dan Pak Ario duduk di belakang mereka. Sejak bertemu keduanya sudah terlibat pembicaraan penting. Rianti sama sekali terluput dari perhatian mereka.
Pak Ario malah hanya sempat mengucapkan salam selamat pagi. Rianti tidak mempunyai kesempatan untuk memulai pembicaraan. Lagi pula sikap Pak Ario biasa saja. Acuh tak acuh. Dan sedikit dingin. Dia tidak memedulikan Rianti sama
t . c sekali. Jadi dari mana Rianti harus memulai" Padahal Rianti ingin sekali mengucapkan terima kasih. Dan menjelaskan kekeliruan ayahnya.
Di dalam pesawat pun kedua laki-laki itu sibuk membicarakan proyek mereka. Agatha juga sibuk mencatat apa-apa yang harus dikerjakannya di sana. Dia benar-benar seorang sekretaris yang terampil. Apa pun yang diperintahkan oleh Pak Ariin dikerjakannya dengan cepat.
Sesampainya di Surabaya, Pak Ariin dan Pak Ario langsung menuju ke lokasi. Agatha dan Rianti menuju ke kantor cabang Bumi Makmur. Sampai sore, Rianti sibuk membantu Agatha membenahi kantornya yang baru.
Agatha memang tidak kelihatan tersisih. Dia malah tampak seperti karyawati yang naik pangkat karena prestasinya yang baik. Dia diberi rumah dinas yang cukup memadai di Surabaya. Gajinya dinaikkan satu setengah kali lipat. Dan Pak Ariin menjanjikan akan membelikan sebuah mobil dinas pula.
Direktur kantor cabang itu masih keluarga Pak Ariin juga. Seorang insinyur muda yang berbakat. Dia sudah kenal Agatha. Sudah mengetahui pula reputasinya yang gemilang sebagai sekretaris eksekutif. Dia merasa mendapat tenaga yang sangat bermanfaat untuk tugas barunya.
Karena tidak merasa tersisih, sikap Agatha kepada Rianti cukup wajar. Dia malah sering mengt . c ajarkan apa-apa yang harus dilakukan oleh penggantinya yang baru lulus sekolah itu.
Rianti merasa amat berterima kasih padanya. Dia sudah menganggap Agatha sebagai pembimbingnya. Dan baru merasa kecewa ketika kebetulan menangkap pembicaraan Agatha dengan Pak Ariin di lorong di depan kamar mereka di hotel.
Masih belum begitu terampil. Mula-mula Rianti tidak menyangka, dialah yang sedang dibicarakan. Masih belum pengalaman.
Maklum, masih baru. Pak Ariin menimpali dengan suaranya yang sudah dikenali Rianti. Waktu baru masuk dulu, kamu juga masih canggung. Pekerjaanmu masih banyak yang salah.
Tapi saya rasa Bapak perlu seorang sekretaris lagi. Suara Agatha terdengar kurang senang karena merasa dibanding-bandingkan dengan Rianti. Dia masih terlalu muda untuk mengelola semuanya seorang diri. Pekerjaan bisa berantakan semua. Sudah kurang cekatan, belum pengalaman pula.
Sudah sepuluh hari saya bersama dia di Kairo. Saya tahu kemampuannya.
Sesudah itu Rianti tidak mendengar apa-apa lagi. Keduanya sudah berjalan menuju ke lift. Sedangkan Rianti masih bersembunyi di balik pintu yang seperempat terbuka. Tiba-tiba saja dia merasa amat terpukul. Ternyata pembimbing yang dihormatinya itu juga bukan seorang sahabat sejati. Dia menusuk dari belakang. Padahal sudah tiga hari ini mereka bekerja bersama-sama. Saling membantu.
t . c Irikah Agatha" Di kantor banyak sekretaris lain. Mengapa seorang sekretaris yang baru lulus sekolah justru yang terpilih untuk menggantikan tempatnya"
Mungkin dia dulu telah bersusah payah untuk meraih jenjang yang kini diduduki Rianti. Sekarang gadis itu enak saja menduduki tempatnya. Padahal apa sebenarnya keahliannya"
Dia cuma lulusan kursus sekretaris. Bukan akademi! Baru pengetahuan praktis saja yang diketahuinya. Pengalaman pun belum ada. Dia belum pernah bekerja. Umur pun masih demikian muda. Mengapa Pak Ariin begitu bermurah hati padanya" Keluarga bukan, kenalan pun bukan!
Tidak turun" sapa seseorang di luar pintu. Rianti tersentak kaget. Tetapi Pak Ario cuma memandangnya sekilas. Acuh tak acuh. Rianti yang sudah telanjur membuka pintu tanpa berniat untuk melangkah ke luar menjadi salah tingkah.
Menunggu seseorang" Pak Ariin sudah turun.
Tanpa berkata apa-apa lagi Pak Ario melangkah menuju ke lift. Langkah-langkahnya yang panjang membuat sebentar saja dia sudah sampai di muka pintu lift. Ditekannya tombol. Ketika dia sedang menunggu di sana, Rianti baru ingat, ada sesuatu yang ingin dibicarakannya dengan laki-laki itu. Buru-buru dia menghambur ke lift.
Pak Ario baru saja masuk. Pintu lift sedang bert . c gerak menutup. Rianti menerjang masuk begitu saja. Walaupun terkejut, Pak Ario masih sempat menekan tombol open . Tetapi tak urung bahu Rianti terbentur pintu. Untung lift itu kosong.
Pak, sergah Rianti tanpa sempat mengatur napasnya lagi. Terima kasih telah meminjami saya tiga ratus ribu. Bulan depan saya lunasi. Maafkan kekasaran ayah saya. Ayah salah mengerti&
Sekejap Pak Ario tertegun. Tetapi di detik lain, dia telah kembali ke sikapnya yang biasa. Acuh tak acuh.
Siapa Pak Ras itu" Suaranya sedingin tatapannya. Apa Pak Rasid yang mengelola Business Service Harapan"
Pintu terbuka. Dua orang laki-laki asing melangkah masuk. Mereka menyapa Rianti dengan salam selamat malam. Rianti membalas dengan sewajarnya. Dan dia kehilangan kesempatannya untuk menjawab. Pada lantai berikutnya masuk lagi dua orang Indonesia. Lalu mereka sudah tiba di lantai yang dituju.
Pak Ario menyilakan Rianti keluar lebih dulu. Dan Pak Ariin yang sedang menunggu di lobi langsung menyongsong mereka.
Selamat malam. Bagaimana tidurnya, Rianti" Enak"
Tidak sempat tidur, Pak. Cuma keburu mandi. Pak Ariin tertawa cerah. Dia berpaling kepada Pak Ario.
t . c Ke mana kita, Pak Ario"
Saya mau makan di coffee shop saja, sahut Pak Ario singkat.
Bagaimana kalau saya membawamu makan di luar, Rianti" tanya Pak Ariin sambil menoleh kepada gadis itu. Bosan kan makan nasi goreng terus" Sekali-sekali kita coba nasi rawon! Saya tahu tempatnya.
Maaf, Pak, saya tidak suka nasi rawon. Bukan cuma Pak Ariin yang terkejut. Pak Ario juga. Tidak menyangka Rianti berani menolak. Saya agak lelah. Biarlah saya makan di kamar saja.
Biar saya yang menemani Pak Ariin, sela Agatha sebelum ditanya. Bukan karena dia lebih menyukai nasi rawon daripada nasi goreng. Tetapi karena jemu mendengar cara Pak Ariin memanjakan sekretaris barunya! Baru bekerja keras sedikit saja sudah lelah. Banyak tingkah!
Pak Ariin jadi kehilangan kesempatan untuk membatalkan niatnya. Terpaksa dia menemani Agatha makan di luar.
Pesan saja melalui telepon di kamarmu, pesan Pak Ariin sebelum meninggalkan Rianti. Sikapnya yang terlalu menaruh perhatian membuat muak kedua orang yang berada di dekatnya. Pak Ario dan Agatha. Rianti kan bukan anak kecil lagi! Tetapi Pak Ariin seperti tidak merasa. Pesan apa saja yang kamu suka. Jangan segan-segan. Kamu harus makan banyak supaya tidak sakit!
t . c Gadis seumur dia mana berani makan banyak, Pak! potong Agatha sambil menyembunyikan kekesalannya. Takut gemuk!
* * * Pak Ario baru mulai menyantap pizza-nya ketika terjadi kegaduhan di hotel itu.
Seorang tamu melapor, ada asap di lantai lima, kata gadis yang melayaninya. Dia melihat asap itu keluar dari salah satu kamar&
Mengapa tidak dibunyikan alarm" potong Pak Ario gugup. Dia langsung ingat Rianti. Kamar mereka di tingkat enam. Dan gadis itu berada di dalam kamar. Mungkin sedang tidur&
Pimpinan menganggap tak perlu membuat tamu hotel panik.
Lebih baik mereka panik daripada hangus! dengan geram Pak Ario mendorong kursinya dan berlari-lari ke luar.
Orang-orang berkerumun di lobi. Mereka terdiri atas para tamu dan karyawan hotel itu. Lift telah diblokir. Semua orang harus menggunakan tangga.
Mau ke mana, Pak" cegah seorang pelayan yang berdiri di tangga.
Teman saya masih di atas, sahut Pak Ario sambil menyingkirkan lelaki yang menghalangi jalannya itu. Tanpa dapat dicegah lagi, dia melompati dua anak tangga sekaligus dan berlari-lari ke atas.
t . c Orang-orang sudah bergerombol di lantai lima. Beberapa orang petugas sedang mencoba membuka pintu kamar tempat asal api. Asap tebal telah menyelubungi lorong di depan kamar itu.
Mula-mula mereka membuka pintu dengan kunci duplikat. Tetapi karena rantai pengaman masih terpasang, mereka harus berusaha melepaskan rantai itu pula. Sementara itu, petugas-petugas yang memegang alat pemadam api telah bersiap-siap menunggu pintu terbuka.
Pak Ario tidak sempat menonton lama-lama. Dia langsung menuju ke lantai enam. Dan menggedorgedor pintu kamar Rianti.
Rianti melompat bangun dari tempat tidurnya. Karena lelahnya, dia langsung tidur tanpa memesan makanan lagi. Begitu mendengar suara Pak Ario, dia lari ke pintu tanpa sempat mencari sandalnya lagi.
Ada apa" tanyanya ketika pintu terbuka. Matanya yang masih mengantuk menatap laki-laki itu dengan bingung.
Ada kebakaran di lantai lima! Oh!
Kita harus cepat turun ke bawah!
Releks Rianti sudah hendak menghambur ketika tiba-tiba dia ingat sandalnya.
Tunggu! pintanya sambil lari kembali ke dalam. Belum pakai sandal!
Tas dan kunci kamarmu sekalian! seru Pak Ario dari ambang pintu. Cepat!
t . c Bergegas Rianti memakai sandalnya. Menyambar tas dan kunci kamarnya. Lalu dia berlari-lari mengikuti Pak Ario.
Lewat tangga! Pak Ario menarik tangan Rianti dengan tidak sabar.
Beberapa orang petugas pemadam kebakaran mulai berdatangan. Api mulai merambat ke kamar sebelah. Sia-sia petugas hotel itu berusaha memadamkannya.
Ketika pintu kamar berhasil dibuka, api telah menjilat ke mana-mana. Penghuni kamar ditemukan pingsan di tempat tidur. Mungkin mulanya dia mabuk. Kemudian pingsan karena terlalu banyak mengisap asap.
Pak Ario membimbing tangan Rianti di tengahtengah orang banyak yang sedang turun dan naik tangga. Ketika mereka mencapai lantai empat, alarm tanda bahaya baru dibunyikan.
Diam-diam Rianti bersyukur dalam hati. Seandainya Pak Ario tidak datang menjemputnya, dapat dibayangkan betapa paniknya dia mendengar bunyi alarm tanda bahaya itu!
Kita minum dulu, kata Pak Ario sambil membawa Rianti menyelinap di antara kerumunan orang, melewati lobi menuju ke coffee shop. Karena bingung, Rianti menurut saja. Dia malah tidak sadar, betapa eratnya tangannya menggenggam tangan Pak Ario.
Coffee shop yang tadi separuh penuh itu kini
t . c kosong melompong. Tidak ada seorang petugas pun yang melayani mereka. Semuanya sedang sibuk menonton. Berbaur dengan tamu hotel.
Pak Ario membawa Rianti ke bekas mejanya tadi. Di atas meja itu ada segelas air es.
Duduk, katanya sambil mendorong Rianti ke kursi yang paling dekat. Minumlah. Kamu pasti kaget.
Seperti robot, Rianti mematuhi perintah itu. Diteguknya separuh isi gelas yang disodorkan kepadanya. Pak Ario sendiri menghabiskan isi gelas anggurnya. Untung pelayan belum sempat membereskan mejanya.
Kamu pasti langsung tidur, komentar Pak Ario setelah Rianti agak tenang. Tidak makan lagi.
Saya mengantuk sekali, kilah Rianti kemalumaluan. Terima kasih telah membangunkan saya&
Sekonyong-konyong Rianti melihat piring Pak Ario yang masih teronggok di depan mereka. Piring itu masih penuh berisi pizza. Jadi laki-laki itu sedang makan ketika mendengar berita kebakaran itu& dia meninggalkan makanannya dan lari ke atas untuk memberitahu Rianti&
Tiba-tiba saja jantung Rianti berdegup aneh. Mengapa laki-laki ini mendadak demikian memerhatikannya" Atau& ketidakacuhannya selama ini memang hanya pura-pura belaka" Semacam perisai pelindung diri terhadap pesona wanita yang dianggap mengancam ketenangan dunianya"
t . c Kamu pasti lapar, kata Pak Ario, masih dalam sikap acuh tak acuhnya yang paten itu. Lebih baik saya temani kamu makan di luar. Di sini tidak ada yang melayani.
Sekali lagi Rianti terperanjat. Si tunggul mengajaknya makan di luar" Bukan main! Tetapi ketika melihat kegugupan Rianti, Pak Ario telah memotong lagi.
Pak Ariin" Kita bisa meninggalkan pesan pada resepsionis.
Pak Ariin" Astaga! Dalam keadaan seperti ini siapa yang teringat pada Pak Ariin"
Saya cuma memakai sandal& sahut Rianti setelah tidak tahu lagi harus menjawab apa.
Siapa yang peduli pada sandalmu" Kita bisa memilih warung kecil di pinggir jalan.
* * * Rianti sendiri hampir tidak percaya, seorang direktur seperti Pak Ario dapat makan dengan santainya di warung kecil di pinggir jalan. Dia menyantap nasi rawonnya dengan lahap.
Tidak mau coba" tanyanya pada Rianti yang sedang menikmati soto sulungnya.
Lain kali saja. Sudah kenyang. Kenyang" Kamu baru saja mulai! Rianti cuma tersenyum.
Betul kata Agatha, kamu takut gemuk"
t . c Ah, siapa bilang. Saya memang tidak bisa gemuk kok.
Karena ayahmu galak"
Tiba-tiba saja Rianti tertegun. Tidak jadi menyuapkan sotonya.
Pak Ario meliriknya sekilas. Tetapi dia meneruskan makannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Benar, kan, ayahmu galak"
Bapak dimarahi" tanya Rianti tersendat. Nafsu makannya yang bangkit melihat selera Pak Ario yang begitu hebat, langsung mengendur separuh.
Ah, tidak. Dia cuma menagih utangmu. Dikiranya saya Pak Ras. Benar Pak Rasid dari business service itu menggelapkan uangmu"
Bukan menggelapkan. Cuma meminjam. Istrinya sedang sakit. Anak-anaknya masuk sekolah& Tapi dia tidak pantas meminjam dari kamu! Dia tidak tahu keadaan saya&
Saya juga tidak tahu keadaanmu! Tapi kalau saya mau meminjam uang, saya akan cari orang lain!
Pak Ras sangat baik pada saya. Dia memilih saya untuk dikirim ke Kairo, padahal banyak calon lain yang lebih pantas. Lebih pandai. Lebih berpengalaman&
Tapi dia tidak pantas berbuat begitu padamu! Tidak membayarkan honor yang sudah menjadi hakmu, apa pun alasannya, sama saja dengan menipu!
t . c Jangan berkata begitu, Pak! Pak Ras bekas guru saya. Orangnya sangat baik&
Kamu yang terlalu baik! Orang bisa menjadi khilaf melihat kebaikanmu dan menyalahgunakannya. Menginjak-injak hakmu semaunya saja.
Rianti meletakkan sendoknya. Dia sudah kehilangan selera makannya. Mengapa tiba-tiba saja si tunggul begitu memerhatikannya" Dia demikian bersemangat mengkritik Pak Ras!
Ibumu masih ada" Ibu yang bekerja selama Ayah belum mendapat pekerjaan baru.
Saudara-saudaramu" Empat orang. Masih sekolah. Kamu yang sulung"
Rianti mengangguk. Dia menunduk sambil memainkan sendoknya di atas meja.
Makanlah sedikit lagi. Kalau belum habis, kamu tidak akan saya ajak pulang!
Rianti mengangkat mukanya dengan kesal. Mengapa Bapak perlakukan saya seperti anak kecil"
Karena kamu memang masih anak-anak, sahut Pak Ario tenang. Kamu sendiri yang minta diperlakukan demikian.
Saya sudah dewasa! Nah, tunjukkanlah pada saya. Bagaimana"
Bersikaplah dewasa! t . c Caranya" Pertama, jangan segan mempertahankan hakmu!
Saya tak dapat memaksa Pak Ras.
Kalau begitu, jangan mau dipermainkan! Buat apa kamu temani dia seminggu lebih" Dia yang harus membayarmu!
Untuk kedua kalinya Rianti tertegun. Siapa yang mengatakannya pada Bapak" gumamnya antara kesal dan malu. Ayah"
Tidak penting siapa yang mengatakannya. Mulai sekarang, dirimu adalah milikmu. Bersikaplah dewasa. Jangan biarkan siapa pun, termasuk majikanmu, memperlakukanmu seperti anak kecil! Saya ingin pulang.
Permulaan yang baik. Tunggu sebentar. Saya akan bayar dulu pesanan kita.
* * * Pak Ariin masih menunggu di lobi. Begitu mereka muncul, dia langsung menyongsong. Air mukanya jelas menampakkan ketidaksenangan, walaupun belum sampai di gelombang kemarahan. Pak Ario hanya meninggalkan sepotong pesan pendek pada resepsionis: Kami makan di luar. Tentu saja dia kesal.
Katanya tidak mau makan di luar, protes Pak Ariin, entah kepada siapa.
t . c Tidak ada yang melayani di coffee shop, sahut Pak Ario, acuh tak acuh. Dia toh cuma membawa sekretarisnya, bukan istrinya, mengapa Pak Ariin kesal" Semuanya sedang sibuk menonton kebakaran.
Tidak jadi makan di kamar" kali ini Pak Ariin langsung bertanya kepada Rianti. Tetapi kali ini pun, Pak Ario yang menjawab. Roomboy-nya sedang repot memadamkan api. Tanpa mengacuhkan Pak Ariin lagi, Pak Ario menyuruh Rianti naik ke kamarnya.
Tidurlah. Kamu pasti lelah.
Tetapi Rianti belum ingin meninggalkan Pak Ariin. Dia masih mempunyai perasaan bersalah. Masih ingin menjelaskan duduk persoalannya. Tetapi tatapan Pak Ario menghalangi niatnya. Mata itu seolah-olah berkata, dirimu adalah milikmu.
Kita minum dulu, Pak Ariin" tanya Pak Ario seolah-olah tak memedulikan kekesalannya.
Saya sudah terlalu banyak minum. Lebih baik saya naik bersama Rianti.
Kalau begitu, saya juga ikut mengantarkan. Rianti menjadi serbasalah. Dia tidak tahu dari mana harus memulai pembicaraan. Untung lift cukup penuh. Dan topik yang sedang mereka bicarakan cukup menarik. Tentang kebakaran tadi. Ikut terlibat dalam pembicaraan itu, ketegangan yang sedang menyelubungi mereka bertiga mencair dengan sendirinya.
t . c J adi kamulah gadis dalam foto itu, cetus perempuan tua yang menyambut Rianti di ruang tamu rumah Pak Ario.
Ketika Rianti menampakkan wajah bingung, tidak tahu apa yang dimaksudkannya, ibu Pak Ario menunjuk foto berukuran cukup besar yang terpampang di atas rak buku.
Rianti menoleh. Dan melihat foto pemandangan di Colossi Memnon. Patung Firaun terpampang megah, menjulang tinggi ke udara. Di samping, agak ke depan, ada foto dirinya. Kecil. Namun amat jelas. Tidak melihat ke lensa. Tapi tiga perempat wajahnya terlihat jelas dari depan. Dalam ketajaman fokus yang baik pula. Seolah-olah dialah fokus foto itu. Colossi Memnon dengan patung Firaun-nya cuma latar belakangnya!
Sudah kuduga, gumam perempuan itu perBAB V t . c lahan, seperti kepada dirinya sendiri. Gadis dalam foto itu pasti bukan cuma kebetulan terjepret oleh kamera Ario. Tiga puluh sembilan tahun aku hidup bersamanya. Dia tidak bisa membohongi diriku.
Rianti berpaling kembali kepada ibu Pak Ario. Tidak tahu harus mengatakan apa. Semuanya terjadi dengan tiba-tiba. Tanpa persiapan apa pun dia dihadapkan pada perempuan tua yang anggun dan masih tampak berwibawa ini. Tanpa terduga pula, dia menemukan dirinya dalam foto di rumah Pak Ario. Padahal dia datang kemari cuma untuk mengembalikan uang.
Rianti baru saja menerima gajinya yang pertama. Dan dia memakai kesempatan istirahatnya untuk berkunjung ke rumah Pak Ario.
Rianti tahu pasti, Pak Ario tidak ada di rumah. Tidak disangka, dia malah bertemu ibunya. Dan perempuan ini tampaknya memiliki sifat yang sama sulitnya dengan anaknya.
Dalam usia enam puluh tahun, kecantikannya masih jelas tampak tersisa. Tubuhnya masih terpelihara baik. Sama sekali belum bungkuk. Kulit wajahnya yang sudah mulai mengendur, belum banyak dihiasi keriput. Mungkin akibat perawatan yang cermat dengan ramuan tradisional. Rambutnya yang sudah mulai berwarna dua, tersisir rapi dalam sebentuk sanggul yang anggun. Matanya yang bersorot tajam di balik kacamata putihnya melukiskan inteligensi yang tinggi.
t . c Semua gerak-gerik dan sikapnya menampilkan potret utuh seorang wanita keturunan ningrat yang terpelajar dan berwatak teguh pula. Sayang, dia tidak terlalu ramah pada tamu.
Silakan duduk. Suaranya melunak kembali ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Rianti yang polos dan bingung. Wajah remaja yang masih kebocahan itu menampilkan kesan tidak tahu apaapa yang murni.
Terima kasih, Bu, sahut Rianti begitu menemukan suaranya kembali. Saya harus cepat-cepat kembali ke kantor. Hanya ingin menitipkan ini untuk Pak Ario.
Rianti menyodorkan amplop berisi uang tiga ratus ribu itu dengan sopan. Walaupun amplop itu tertutup, sekali sentuh saja ibu Pak Ario telah dapat menduga, isinya pasti uang.
Uang apa ini" tanyanya tegas, tanpa berputarputar lagi.
Uang yang saya pinjam dari Pak Ario, Bu, sahut Rianti jujur. Tanpa menutup-nutupi lagi.
Mengapa tidak dikembalikan di kantor saja" Suara perempuan itu mengingatkan Rianti pada suara gurunya ketika di SD. Tegas. Berwibawa. Sedikit menakutkan.
Takut mengganggu kesibukan Pak Ario, Bu, sahut Rianti apa adanya.
Hm, perempuan itu memperdengarkan dengung sengau dari hidungnya. Tatapannya yang
t . c serba menilai melekat erat di wajah Rianti. Membuat yang ditatap jadi merasa tidak enak.
Permisi, Bu, kata Rianti sesopan-sopannya. Saya harus kembali ke kantor. Terima kasih atas bantuan Ibu.
Kamu bekerja di kantor Ario"
Bukan, Bu. Di kantor Pak Ariffin. Bumi Makmur. Permisi, Bu.
Ibu Pak Ario mengikuti Rianti dengan tatapan matanya sampai tubuh gadis itu lenyap dalam bajaj yang membawanya pergi. Tetapi bayangan gadis itu tidak mau lenyap dari pikirannya. Dia mempergunakan kesempatan pertama yang diperolehnya untuk mengorek informasi mengenai Rianti. Begitu anaknya duduk di meja makan malam itu juga, Bu Danu langsung menusuk ke titik sasaran.
Tadi gadis yang dalam foto itu datang kemari, katanya sambil meletakkan sebuah amplop di atas meja di dekat piring Pak Ario. Bu Danu yang sedang mengamat-amati wajah anaknya langsung melihat perubahan di wajah itu. Pak Ario meletakkan sendoknya. Menatap amplop itu sebentar, dan segera membukanya. Katanya dia ingin mengembalikan uang yang dipinjamnya.
Oo. Cuma itu yang keluar dari mulut Pak Ario yang masih separuh penuh nasi. Diletakkannya kembali amplop itu dengan acuh tak acuh. Dia cantik, sambung Bu Danu pula. Tetapi tak
t . c ada nada kagum dalam suaranya. Apalagi memuji. Cuma masih terlalu muda.
Sekretaris Pak Ariffin, sahut Pak Ario tanpa memindahkan tatapannya dari piring di hadapannya. Sikapnya masih tetap acuh tak acuh. Mengapa meminjam uang padamu" Sekarang Pak Ario menatap ibunya dengan tajam.
Mengapa pula pikir Ibu"
Tidakkah aneh dia meminjam uang padamu, bukan pada bosnya"
Ibu jangan terlalu curiga. Saya hanya meminjamkan uang. Tidak lebih.
Dan bagaimana dia bisa berada hampir di setiap foto yang kaubuat di Mesir"
Cuma kebetulan. Jangan bohongi Ibu. Kau seorang fotografer yang ahli. Kau takkan membiarkan objek yang tidak kaukehendaki merusak hasil karyamu.
Pak Ario meletakkan sendoknya dengan keras. Ditatapnya Ibu dengan kesal.
Ibu, katakan saja, apa maksud Ibu sebenarnya" Kau telah enam tahun menduda.
Maksud Ibu, saya mengingini gadis itu" Apakah Ibu tidak melihat, dia masih begitu muda" Umur kami berbeda dua puluh tahun!
Umur tidak menjadi penghalang. Kelihatannya dia gadis yang baik. Tapi masih terlalu hijau. Kau tidak dapat mengharapkan seorang gadis seumur
t . c dia bisa menjadi seorang istri yang baik. Mentalnya belum matang. Dia belum siap untuk berumah tangga.
Saya pun belum siap untuk beristri lagi. Saya tidak ingin dilukai untuk kedua kalinya.
Jangan samakan setiap wanita dengan istri pertamamu.
Saya kira sama saja. Selama Ibu masih menganggap setiap wanita yang menjadi istri saya sebagai rival, tidak ada perempuan yang mau tinggal di sini.
Jadi masih kausalahkan juga ibumu ini" Padahal sejak Karin masuk ke rumah ini, tidak henti-hentinya dia berupaya untuk menyingkirkan Ibu.
Karin sudah biasa hidup di luar negeri, Bu. Di sana suami-istri hanya tinggal dengan anak-anak mereka. Perlu waktu untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan kita di sini. Dia tidak mengerti mengapa seorang ibu tak dapat berpisah dengan anak laki-lakinya yang sudah menikah!
* * * Belum gajian" tegur Ayah begitu Rianti pulang kerja.
Beberapa hari ini Ayah mulai uring-uringan lagi. Pakaian jadi yang sudah selesai bertumpuk di sudut rumah, dekat mesin jahitnya. Tetapi belum ada pesanan yang masuk.
t . c Kata Bang Tohir, temannya yang sudah belasan tahun berdagang pakaian di Tanah Abang, pasaran pakaian jadi memang sedang sepi. Entah kapan ramainya.
Ayah sudah mencoba menawar-nawarkan jasa pada tetangga. Barangkali ada yang ingin membuat pakaian padanya. Tetapi mereka lebih suka membeli pakaian jadi. Lebih murah, kata Bu Sosro.
Semangat Ayah yang menyala-nyala ketika memulai usahanya perlahan-lahan meredup kembali. Sekarang dia lebih suka duduk-duduk mengisap rokok di depan rumah sambil menunggu anak-anak pulang. Dan kesalahan-kesalahan kecil anak-anaknya mulai terlihat lagi di depan mata seorang penganggur.
Belum, sahut Rianti bingung. Dari mana dia dapat memperoleh uang kalau Pak Ras belum juga mau membayar utangnya"
Rianti memang tidak berani lagi datang ke kantor Pak Ras. Tetapi dia yakin, kalau Pak Ras sudah berniat membayar utangnya, Bu Titi pasti akan mengantarkan uang itu ke rumahnya. Respek dan hormatnya yang terakhir kepada bekas gurunya itu punahlah sudah. Telah sebulan lebih Pak Ras menahan uangnya. Mustahil dia masih belum punya uang juga!
Ini kan tanggal satu. Perusahaan apa Bumi Makmur itu" Masa tanggal satu belum bisa bayar gaji pegawai" Apa cuma direkturnya saja yang mau makmur"!
t . c Sabarlah, Ayah& Rianti ngeri jangan-jangan Ayah akan datang ke kantornya dan marah-marah seperti di kantor Pak Ras dulu. Aduh, malunya! Bagian keuangannya sedang sakit&
Kan ada wakilnya! Besok mungkin dibayar, Ayah. Sabarlah. Apa artinya terlambat sehari"
Apa artinya" Kamu belum pernah terlambat makan sehari"
* * * Sehari itu Rianti tak dapat berkonsentrasi pada pekerjaannya. Surat yang sedang dibuatnya berkalikali harus diperbaiki. Salah melulu.
Dari mana dia dapat memperoleh uang untuk Ayah" Seluruh gajinya, termasuk uang lembur ditambah sisa uang saku dari Kairo, sudah dibayarkannya pada Pak Ario. Itu pun masih harus meminjam empat puluh ribu rupiah di kas untuk menggenapkannya menjadi tiga ratus ribu. Dari mana dia memperoleh uang sebanyak itu dalam sehari"
Pedang Naga Kemala 11 Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran Pendekar Pedang Sakti 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama