Ceritasilat Novel Online

Di Tepi Jeram Kehancuran 3

Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W Bagian 3


Ayah tahu sekali berapa gajinya. Rianti menyesal juga selalu berterus terang pada Ayah. Mengapa tidak dikorupsinya sedikit" Ayah tidak pernah mau mengerti kesulitannya!
Sampai Pak Ariffin masuk ke kamar kerjanya, Rianti belum selesai juga mengetik. Tetapi bukan itu yang membuat Pak Ariffin kelihatan gusar. Bet . c gitu masuk, bukan surat itu yang ditanyakannya. Dia malah melemparkan sebuah amplop ke atas meja Rianti.
Sekali lirik saja, Rianti mengenali amplop itu. Amplop uang gajinya yang diberikan kepada Pak Ario kemarin sebagai pembayar utang!
Dari Pak Ario, kata Pak Ariffin tanpa menyembunyikan perasaan jengkelnya.
Rianti meraih amplop itu dan langsung membukanya. Isinya masih lengkap. Tiga ratus ribu. Cuma ada tambahan nota singkat pada sehelai kertas memo.
Simpan saja dulu sampai Pak Ras membayar utangnya padamu.
Rianti hampir melonjak kegirangan. Tidak terasa air matanya menitik haru. Sekali lagi si tunggul jadi penyelamat! Tapi desah kelegaan yang hampir terlepas dari celah-celah bibirnya membeku kembali mendengar pertanyaan Pak Ariffin.
Mengapa harus pinjam pada Pak Ario" Kamu bisa pinjam di kas!
Saya sudah mengambil bon empat puluh ribu rupiah kemarin, Pak, sahut Rianti tersendat.
Tapi kamu tidak punya hubungan apa-apa dengan Pak Ario! Pegawai bukan, keluarga pun bukan. Mengapa pinjam uang padanya" Jangan gampang-gampang menerima kebaikan orang! Di balik kebaikan kadang-kadang tersembunyi maksud tertentu.
t . c Rianti terbelalak kaget. Hampir tidak percaya pada telinganya sendiri. Pak Ariffin yang dihormatinya itu sampai hati menjelekkan teman sendiri" Ya Tuhan! Dunia apa yang dihuninya ini! Mengapa setiap manusia cenderung menjadi serigala bagi manusia lain"
Jangan salah paham. Suara Pak Ariffin melunak kembali melihat reaksi Rianti. Saya sudah menganggapmu sebagai anak saya sendiri. Karena itu saya selalu ingin melindungimu. Kamu masih terlalu muda. Masih hijau. Belum berpengalaman. Saya tidak mengatakan Pak Ario itu jahat. Tapi dia sudah enam tahun menduda. Laki-laki kesepian sering iseng. Saya tidak mau kamu jadi korban.
Pak Ariffin mungkin bermaksud baik. Tetapi bagaimanapun, Rianti tak dapat mengusir perasaan itu dari hatinya. Sejak saat itu, respeknya terhadap majikannya berkurang dengan sendirinya. Bagaimana dia dapat menghormati orang yang mencela teman sendiri di depan orang lain"
Berapa uang yang kaubutuhkan" Ini memo dari saya. Bawa ke kas. Ambil berapa saja yang kamu butuhkan. Kamu boleh mencicilnya tiap bulan dari gajimu. Tapi kembalikan uang itu hari ini juga! Kamu tidak bisa menampik permintaan orang yang meminjamkan uang padamu. Dan itu membuat saya kuatir!
Siang itu juga Rianti kembali ke rumah Pak Ario. Seorang pembantu membukakan pintu untukt . c nya. Tetapi begitu melihat Rianti, Bu Danu langsung menyongsongnya.
Silakan masuk, katanya tajam. Ada perlu apa lagi"
Ingin mengembalikan ini, Bu, sahut Rianti setelah mengucapkan selamat siang. Kepada Pak Ario.
Uang itu lagi" Bu Danu mengerutkan dahi setelah mengenali amplop itu. Berapa sebenarnya yang kamu pinjam dari Ario"
Tiga ratus ribu, Bu, sahut Rianti terus terang. Ini uang yang saya kembalikan kemarin. Tadi Pak Ario menitipkan uang ini kembali kepada Pak Ariffin. Kata beliau, boleh saya pakai dulu. Tapi kebetulan saya boleh meminjam di kantor, Bu. Jadi ingin saya kembalikan lagi uang ini pada Pak Ario.
Hm. Suara Bu Danu sama curiganya dengan matanya. Rumit benar tampaknya. Padahal Ario biasanya orang yang praktis.
Permisi, Bu. Saya harus kembali ke kantor. Tunggu dulu. Saya ingin bicara denganmu. Mari masuk.
Ada perintah yang tak dapat dibantah tersirat dalam suara yang berwibawa itu. Terpaksa Rianti ikut masuk walau tak ingin.
Seorang pembantu menyuguhkan teh dalam cangkir antik yang sangat indah. Rianti harus melipatgandakan kehati-hatiannya supaya cangkir itu jangan sampai terlepas dari tangannya dan pecah.
t . c Kurang gula" Bu Danu menyodorkan tempat gula dari seperangkat tea set yang sama.
Cukup, Bu. Terima kasih, sahut Rianti mengelakkan kemungkinan memegang tempat gula yang indah itu. Lebih baik kurang manis sedikit daripada menanggung beban mental takut memecahkannya.
Bagaimana pendapatmu mengenai Ario" tanya Bu Danu, langsung ke sasaran seperti biasanya. Membuat yang ditanya menjadi agak gelagapan.
Pak Ario" Rianti menggagap bingung. Beliau sangat baik. Agak angkuh dan dingin untuk orang yang baru pertama kali mengenalnya. Tapi sebenarnya hatinya baik. Suka menolong orang dengan diam-diam&
Hm. Bu Danu menghirup tehnya dengan gaya yang membuat Rianti iri. Begitu anggun dan memesona. Dia hanya suka menolongmu.
Sekali lagi Rianti tertegun. Apakah di sini dia juga akan bertemu dengan seorang ibu yang suka mencerca anak sendiri di depan orang lain" Berapa lama kamu kenal Ario"
Dua bulan, Bu, sahut Rianti, seperti seorang pasien di depan meja dokter.
Itu artinya kamu belum mengenal dia. Tapi saya percaya Pak Ario orang yang baik. Kata-katamu membuktikan bahwa kamu masih hijau. Belum berpengalaman. Laki-laki tak dapat dikenal hanya dari penampilan luarnya saja. Apalagi dalam dua bulan.
t . c Maksud Ibu" desah Rianti bingung. Kamu tahu Ario sudah duda"
Rianti mengangguk tak mengerti. Mau ke mana ini"
Istrinya seorang Indo. Ayahnya orang Indonesia. Ibunya Jerman asli. Sejak kecil ikut ibunya. Mereka bertemu di M"nchen tujuh tahun yang lalu, ketika Ario ikut kongres di sana. Kebetulan Karin menjadi guide rombongan Indonesia. Mereka jatuh cinta. Cinta kilat tentu saja. Cinta tanpa perhitungan. Karin memutuskan menyusul Ario ke Jakarta dua bulan kemudian. Mereka menikah. Dan tinggal di sini.
Tidak sadar Rianti melemparkan tatapannya ke sekeliling. Tetapi tidak ditemukannya satu pun foto perempuan yang bernama Karin itu. Seperti apakah dia" Cantikkah" Entah, mengapa, ada perasaan tidak enak menyelusup ke relung-relung hati Rianti.
Karin membawa anak mereka ke Jerman ketika berpisah. Tapi setahun belakangan ini, sudah dua kali dia menulis surat pada Ario.
Apa maksudnya menceritakan soal yang tak ada sangkut pautnya dengan diriku ini, pikir Rianti bingung.
Ario orang yang sulit. Bekas istrinya juga tak kalah membingungkannya. Perempuan itu sering melakukan hal-hal yang tak terduga. Kamu masih terlalu muda. Jangan menceburkan dirimu dalam persoalan mereka.
t . c Maksud Ibu" Aku yang harus bertanya. Apa maksudmu mendekati Ario"
Kali ini Rianti benar-benar tercengang. Selama beberapa saat dia tidak mampu mencetuskan sepatah kata pun.
Bu Danu mengawasi sebentuk paras remaja yang sedang tertegun kebingungan itu. Benarkah" Dia sebodoh tampaknya" Atau& dia justru pandai bermain sandiwara"
Aku tidak tahu kamu berpura-pura atau tidak, kata Bu Danu dingin. Tapi aku kenal anakku. Dia tidak bisa membohongi aku. Dia sedang jatuh hati kepadamu.
Si tunggul jatuh hati padanya" Rianti hampir pingsan mendengarnya. Mungkinkah di balik sikap acuh tak acuhnya yang menjengkelkan itu dia... dia& Ah.
Tapi kuperingatkan kamu, Nak. Jangan lekas tergoda oleh penampilan yang gagah, titel yang mentereng, atau harta yang melimpah. Aku pernah menjadi remaja seumurmu juga. Pangeran Tampan dari Negeri Dongeng tidak datang semudah dalam mimpi!
Aku tidak peduli, teriak Rianti dalam hati. Kalau benar dia mencintaiku, aku tidak peduli apa pun yang akan menghalangiku, aku akan berjuang untuk mempertahankannya!
t . c * * * Rianti pulang dengan wajah berseri-seri. Bukan hanya Bu Danu yang merasa tidak enak melihat mata Rianti yang berbinar-binar itu. Ayahnya juga. Tidak biasanya Rianti segembira ini. Pasti ada apaapa.
Tentu saja. Rianti menyodorkan amplop gajinya kepada Ayah. Ini gaji saya yang pertama, Ayah! Masa saya tidak boleh senang"
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Rianti baru tertegun. Bagaimana dia dapat berdusta selancar ini" Tentu saja dia gembira menerima gajinya yang pertama. Tapi bukan itu sebabnya yang utama!
Keriangan yang dibawa Rianti menular ke seluruh rumah. Uang seolah-olah menyembuhkan kembali rumah mereka yang sakit. Ayah menjadi lebih ramah. Adik-adiknya yang menuntut minta ditraktir oleh Rianti tidak dimarahi. Mereka malah pergi bersama-sama menjemput Ibu. Dan makan di luar.
Malam itu semua bergembira. Ibu yang terlihat amat berbahagia menyembunyikan linangan air mata keharuannya di balik senyumnya yang terusmenerus merekah.
Ayah sudah mulai mau bergurau dengan Yan. Yos bisa makan sepuas-puasnya tanpa harus dipelototi karena mencuri jatah saudara-saudaranya. Lestari tidak takut lagi merengek minta dibelikan
t . c sepatu baru. Hesti pun tidak tanggung-tanggung minta dua gelas es krim.
Di balik kegembiraan yang mewarnai suasana malam itu, cuma Ibu yang cukup arif untuk melihat kegembiraan Rianti yang berlebihan. Dan Ibu menyelidikinya dengan caranya sendiri.
Malam itu, sesudah semua orang tidur, Ibu mendekati Rianti. Kebetulan Rianti masih duduk di meja makan. Menyelesaikan surat yang belum selesai juga. Mesin tik portabel yang dipinjamnya dari kantor bertengger di atas meja di hadapannya.
Rianti memang sering menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung di rumah. Karena itu dia dapat menyelesaikan pekerjaan lebih banyak daripada rekan-rekannya.
Tidak heran kalau Pak Ariffin menjadi lebih sering menugaskannya membuat sesuatu. Lebih banyak pekerjaan yang dilimpahkan kepada gadis itu. Tetapi Rianti tidak pernah mengeluh. Semua pekerjaan selalu beres. Yang mengeluh justru rekanrekannya di kantor. Mereka merasa tersisih karena tak ada lagi pekerjaan yang harus dirampungkan. Semua telah diselesaikan oleh Rianti.
Masih banyak pekerjaan" tanya Ibu sambil duduk di samping Rianti.
Ah, tinggal sedikit, Bu. Sebentar juga selesai. Bagaimana di kantor"
Semua baik-baik saja, Bu.
t . c Teman-temanmu tidak iri lagi"
Rianti tidak pedulikan. Sesuai dengan saran Ibu. Pokoknya pekerjaan Rianti beres. Dan Rianti selalu baik pada mereka.
Itu bagus, Nak. Bagaimana dengan direkturmu"
Pak Ariffin" dahi Rianti langsung berkerut. Dia teringat kata-kata Pak Ariffin siang tadi. Tentang Pak Ario. Dan Ibu cukup jeli untuk melihatnya.
Ada apa" tanya Ibu hati-hati. Dia mencela pekerjaanmu"
Dia mencela orang yang Rianti kagumi, Bu. Rianti kesal. Dan kehilangan respek padanya.
Laki-laki yang datang kemari mengantarkanmu itu" desak Ibu lebih hati-hati lagi. Yang meminjamkan uang pada Ayah"
Rianti menatap ibunya dengan heran bercampur kagum.
Dari mana Ibu tahu" Pengalaman.
Pak Ario itu teman baik Pak Ariffin, Bu. Mereka partner kerja pula. Sudah lama berteman. Masa Pak Ariffin masih sampai hati memburuk-burukkannya di depan saya!
Barangkali dia hanya ingin memberitahukan sesuatu kepadamu. Supaya kamu hati-hati. Sekali lagi Rianti terperangah heran. Bagaimana Ibu tahu"
Ibu cuma tersenyum. t . c Ibu kan sudah bilang. Pengalaman.
Pak Ariffin itu sebenarnya orangnya baik, Bu. Dia selalu memerhatikan saya. Selalu ingin membantu.
Kamu masih muda, Rianti. Semua orang tampak baik di matamu.
Dia memang baik kok, Bu! Dia memindahtugaskan sekretarisnya ke Surabaya supaya dapat mempekerjakan saya! Padahal apa kelebihan saya" Saya belum punya pengalaman apa-apa!
Oh, Ibu tidak mengatakan bosmu itu jahat! Tapi hati-hatilah, Rianti. Banyak orang yang tampaknya baik. Tapi di balik kebaikan itu, tersembunyi niat yang kurang baik. Mereka merencanakan sesuatu untuk menjebakmu dengan kebaikan-kebaikan mereka.
Tiba-tiba Rianti tertegun. Mengapa kata-kata Ibu sama persis dengan kata-kata Pak Ariffin" Apakah memang demikian pendapat orang-orang yang sudah berpengalaman" Tak ada lagi kepercayaan yang tulus kepada sesama manusia"
Pak Ras belum membayarmu, kan" Ibu membelokkan percakapan ketika melihat perubahan air muka Rianti.
Saya tidak berani menemuinya lagi, Bu. Malu. Lalu dari mana kamu memperoleh uang untuk mengganti pinjamanmu pada Pak Ario"
Pak Ariffin menyuruh saya meminjam di kas, Bu. Bisa dicicil setiap bulan.
t . c Ibu menghela napas. Kamu jadi terlibat utang.
Jangan kuatir, Bu. Bisa saya ganti kok. Minggu depan ada tugas ke Surabaya. Uang sakunya cukup besar. Pak Ariffin itu orangnya royal.
Dengan siapa kamu ke sana"
Dengan Pak Ariffin. Dia punya proyek baru di sana. Perumahan sederhana untuk karyawan salah satu instansi. Minggu depan proyek itu diresmikan.
Cuma berdua" tanya Ibu sambil menjaga suaranya terdengar tetap wajar.
Pejabat yang akan meresmikannya ikut bersama istrinya.
Pak Ariffin sendiri tidak disertai oleh istrinya" Wah, saya kurang tahu, Bu. Saya malah belum pernah melihat istrinya!
Tidak ada karyawan lain yang ikut" Di sana sudah ada kantor cabang, Bu. Lalu untuk apa kamu ikut"
Tentu saja saya harus ikut, Bu. Saya kan sekretaris Pak Ariffin. Saya membereskan semua keperluannya, mengatur jadwal kesibukannya& Ibu menghela napas panjang.
Hati-hatilah, Rian. Apa pun yang akan kamu lakukan di sana, ingatlah, kamu mempunyai seorang ibu yang sedang menunggu dengan gelisah di rumah.
Jangan kuatir, Bu. Rianti kan sudah besar. Sut . c dah pandai menjaga diri. Ibu jangan terlalu banyak pikiran. Kalau Rianti dapat uang saku nanti, akan Rianti belikan Ibu baju ya"
Lho. Ibu tersenyum menahan haru. Baru lima menit yang lalu kamu bilang, uang saku itu akan kamu pakai untuk mencicil utangmu!
Ah, Ibu! Rianti merangkul ibunya dengan manja. Rianti ingin membelikan Ibu sesuatu! Dengan gaji Rianti sendiri!
Ibu membalas rangkulan anaknya dengan lembut. Dipejamkannya matanya. Dibiarkannya dua tetes air mata mengalir ke pipinya.
Kamu anak baik, Rian, bisiknya dalam hati. Semoga Tuhan melindungimu. Kamu masih terlalu muda. Belum tahu apa-apa. Belum tahu jahatnya dunia! Di matamu, semua orang sebaik dirimu!
* * * Tentu saja Rianti melihat perubahan air muka Pak Ario ketika Pak Ariffin memaparkan rencana peresmian proyek itu dalam suatu pertemuan di kantornya.
Pak Ario tidak perlu hadir jika berhalangan, ujar Pak Ariffin. Yang penting, pihak subkontraktor mengirimkan wakil untuk hadir dalam upacara itu. Ya, untuk formalitas saja. Saya tahu Pak Ario repot.
Pak Ario mengatupkan rahangnya rapat-rapat sebelum menjawab.
t . c Saya pasti hadir. Tolong booking-kan tiket pesawat untuk saya. Saya pasti ikut bersama rombongan Pak Ariffin.
Tentu saja Rianti gembira. Perjalanan menjadi lain jika si tunggul ikut. Tetapi mengapa Pak Ario tidak mau melepaskannya pergi berdua saja dengan Pak Ariffin" Apakah dia juga menguatirkan keselamatan Rianti"
Dia sedang jatuh hati padamu& terngiang lagi kata-kata Bu Danu di telinga Rianti. Tidak sadar, parasnya langsung memerah. Dan matanya berbinar memendam kebahagiaan.
Padahal saya tahu sekali, minggu depan dia harus mengadakan pembicaraan penting dengan perusahaan asing, gerutu Pak Ariffin. Tentu saja setelah Pak Ario pergi. Heran. Biasanya dia paling malas ikut upacara.
Mengapa Pak Ariffin juga kesal kalau Pak Ario ikut" Benarkah kedua pria itu mempunyai maksudmaksud tertentu di balik kebaikan mereka" Yang mana sebenarnya di antara mereka berdua yang benar-benar ingin menolongnya"
* * * Selesai upacara yang melelahkan itu, Pak Ariffin sebetulnya bermaksud mengajak Rianti makan malam di luar. Tiba-tiba saja pejabat itu membatalkan niatnya untuk pulang ke Jakarta seusai upacara
t . c peresmian. Istrinya masih ingin bermalam di Surabaya. Terpaksa malam itu Pak Ariffin menemani mereka.
Ikut, Pak Ario" tanya Pak Ariffin dalam mobil yang membawa mereka pulang ke hotel selesai upacara. Cuma makan malam. Tidak resmi.
Saya malas, sahut Pak Ario sambil menguap. Lebih baik saya tidur.
Kamu ikut, Rianti" Pak Ariffin berpaling pada Rianti yang duduk di sebelahnya. Santai saja. Pertemuan tidak resmi kok.
Rianti sudah janji akan pergi makan malam bersama saya, cetus Pak Ario, datar saja suaranya, seolah-olah dia cuma mengatakan sesuatu yang biasa.
Padahal di telinga Rianti, kata-kata itu terdengar seperti ledakan meriam. Ditatapnya Pak Ario antara terkejut dan bingung. Main-mainkah dia"
Tetapi laki-laki itu menoleh pun tidak. Dia duduk di muka, di samping pengemudi. Karena dia tidak berpaling ke belakang, Rianti yang duduk tepat di belakangnya tak dapat melihat wajahnya.
Yang terkejut ternyata bukan hanya Rianti. Pak Ariffin juga. Bedanya dia terkejut bercampur kesal. Katanya Pak Ario mau tidur!
Oh, saya kira saya tidak harus melaporkan apa yang akan saya lakukan sebelum tidur, kilah Pak Ario tenang-tenang saja. Boleh kan mengajak sekretaris Pak Ariffin pergi di luar jam dinas"
t . c * * * Masih ada waktu beberapa jam sebelum makan malam. Tetapi Rianti sudah tak dapat tidur. Benarkah si tunggul mengajaknya makan" Atau& dia cuma tidak ingin Rianti pergi dengan Pak Ariffin" Heran. Mengapa kedua lelaki itu sama-sama ingin menyingkirkan dia dari sisi yang lain"
Pukul enam Rianti sudah selesai mandi. Sudah rapi berdandan. Dia tidak tahu lagi harus melakukan apa. Surat kabar pagi sudah habis dibaca. Sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Sekarang dia terpaksa menelusuri iklan pula. Hanya untuk mengisi waktu.
TV memang ada. Ada siaran pula. Tetapi menunggu setengah tujuh masih lama. Sebelum itu, televisi hanya dapat menghibur anak-anak kecil. Program video belum muncul pula. Padahal film mungkin dapat menghibur hati Rianti yang gundah. Meredakan ketegangan sarafnya.
Dan pukul enam lewat dua puluh menit, telepon di samping tempat tidurnya berdering. Tidak terlalu nyaring sebenarnya. Tetapi untuk Rianti yang sarafnya tegang, dering telepon itu hampir merontokkan jantungnya.
Refleks tangannya menyambar tangkai telepon. Dan tanpa menyebutkan nama pun Rianti sudah dapat mengenali suara di ujung sana.
Sudah bangun, Rianti"
t . c Baru saja, Pak. Wah, mengapa dia kini jadi pandai berdusta" Enak tidurnya"
Lumayan, Pak. Dusta lagi. Dia tidak tidur sekejap pun! Saya berangkat sekarang.
Kosong. Rianti tidak tahu harus memberi komentar apa.
Jadi pergi makan dengan Pak Ario nanti" Belum tahu, Pak. Mungkin jadi. Pak Ario belum menghubungi saya lagi.
Benar kalian sudah berjanji makan malam bersama"
Benar, Pak. Aduh, mengapa harus berdusta lagi" Tidak pantas mendustai orang sebaik Pak Ariffin! Tetapi Rianti harus bagaimana lagi"
Saya kira Pak Ario bohong. Tentu saja tidak, Pak. Hati-hati, Rianti.
Terima kasih, Pak. Saya dapat menjaga diri. Selesai menemani mereka makan, saya akan langsung pulang.
Tak ada komentar. Habis Rianti harus memberi komentar apa" Laki-laki itu bukan suaminya. Bukan pula ayahnya. Dia tidak berhak mengatur waktunya di luar jam dinas.
Baiklah, Rianti, saya pergi sekarang.
t . c Terima kasih, Pak. Selamat sore.
Rianti meletakkan telepon dengan perasaan bersalah. Mengapa harus mendustai orang sebaik Pak Ariffin" Dia memang segan makan malam bersama mereka. Sudah seharian ini dia harus tersenyum terus kepada mereka. Sampai pegal bibirnya. Tentu saja dia lebih suka pergi dengan Pak Ario. Tetapi&
Dering telepon menyentakkannya lagi. Langsung dijawabnya sebelum telepon itu sempat berdering untuk kedua kalinya. Dan mendengar suara di ujung sana, Rianti menyesal telah mengangkat telepon secepat itu. Pak Ario bisa salah sangka! Dikiranya Rianti sudah berjam-jam duduk menunggu di samping telepon! Ah.
Tidak keberatan pergi makan malam bersama saya" suara Pak Ario terdengar amat resmi.
Tentu saja tidak, Rianti berusaha menjawab seresmi mungkin pula. Disembunyikannya kegugupannya. Suaranya sama sekali tidak boleh terdengar gemetar. Bukankah kita sudah berjanji"
Untuk pertama kalinya Pak Ario tertawa perlahan. Rianti demikian bahagia mendengarnya. Kebekuan suasana di antara mereka perlahan-lahan mencair dengan sendirinya.
Kita akan makan di warung yang dulu juga, kata Pak Ario sebelum menutup pembicaraan. Kamu boleh pakai sandal. Saya jemput pukul tujuh. Oke"
t . c Tentu saja Rianti tidak mau memakai sandal. Dia mengenakan sepatu. Yang bertumit tinggi pula supaya Pak Ario tidak tampak terlalu menjulang di sampingnya. Dia sudah berdandan secantik-cantiknya. Sudah mengenakan pakaian yang terbaik pula untuk makan malam yang istimewa ini. Tetapi ketika Pak Ario muncul di ambang pintu, mereka berdua sama-sama tertegun.
Laki-laki itu cuma mengenakan kaus biru tua dengan gambar seekor buaya kecil berwarna hijau di dada sebelah kiri. Celananya putih. Demikian pula sepatu ketsnya. Dia tampak santai. Segar. Dan bertambah muda lima tahun.
Rianti sebaliknya. Dia tampak anggun dalam gaun terusan dengan rok overslag-nya yang berwarna gelap. Sepatunya yang bertumit tinggi sewarna dengan tas bertali yang tergantung di bahunya. Makeup tipis yang menghiasi wajahnya membuat parasnya lebih semarak.
Sekejap Pak Ario sampai lupa berpura-pura tak acuh. Dia tertegun mengagumi kecantikan gadis itu. Rasanya dalam beberapa jam saja, gadis yang baru lulus sekolah ini sudah menjelma menjadi seorang wanita dewasa yang tahu sekali bagaimana harus memamerkan daya tariknya.
Melihat sinar kekaguman yang bersorot di mata Pak Ario, tiba-tiba saja pipi Rianti terasa panas. Tak sadar dia menunduk sedikit.
Sudah siap" Pak Ario lekas-lekas memperbaiki
t . c sikapnya melihat wajah gadis itu berubah kemerahmerahan.
Rianti cuma mengangguk sedikit.
Tidak lelah memakai sepatu bertumit tinggi begitu" Saya ingin mengajakmu berjalan kaki mumpung udara cerah.
Saya memakainya juga ketika di padang pasir dulu.
Asal jangan dijinjing saja kalau kakimu lecet nanti.
Jangan kuatir. Saya tidak akan merepotkan Bapak lagi seperti dulu.
Seharusnya saya mengajakmu makan di tempat yang lebih sesuai dengan pakaianmu.
Saya bisa makan di mana saja dengan pakaian ini.
* * * Seperti dulu juga, Rianti memesan soto sulung, sementara Pak Ario menikmati nasi rawon. Hanya saja kali ini mereka bersikap lebih santai. Dan Rianti dapat menikmati sotonya dengan lebih berselera.
Saya harap Ibu tidak bersikap kasar ketika kamu datang ke rumah, kata Pak Ario ketika mereka sedang menelusuri kaki lima menuju ke hotel setelah makan.
Lampu-lampu mobil yang datang dari arah det . c pan sekali-sekali menerangi wajah Rianti. Tetapi tidak ada perubahan di wajah itu.
Oh, ibu Pak Ario baik sekali. Suaranya sewajar sikapnya. Saya malah diajak masuk, minum teh,
Ibu pasti banyak bercerita. Banyak bertanya pula.
Kami ngobrol cukup lama. Ibu cerita tentang bekas istri saya" Ya.
Apa katanya" Istri Pak Ario sekarang tinggal di Jerman. Bersama anak Pak Ario.
Cuma itu" Ibunya wanita Jerman. Ayahnya Indonesia. Dia tinggal di sana sejak kecil.
Cuma itu" Pak Ario bertemu dengan dia ketika mengikuti suatu kongres di Jerman. Kebetulan dia menjadi guide rombongan Indonesia.
Cuma itu" Sekarang Rianti berpaling. Tetapi paras Pak Ario terlalu gelap untuk dianalisis. Apalagi dia tidak menoleh. Hanya memandangi debu di bawah kakinya.
Apa lagi yang Pak Ario harapkan" Ibu Pak Ario tidak menjelek-jelekkan siapa pun. Beliau hanya bercerita.
Pak Ario menghela napas panjang. Terlalu keras untuk luput dari telinga Rianti yang berjalan begitu dekat di sisinya.
t . c Mari kita menyeberang, katanya akhirnya. Di sini" ulang Rianti ngeri.
Di sana ada zebra cross. Tapi mobil di sini sama galaknya dengan di Jakarta!
Mereka harus memperlambat kecepatan bila ada zebra cross.
Tapi apakah mereka melihat kita" Pakaian kita sama gelapnya!
Jangan kuatir. Saya akan melindungimu. Pak Ario mengambil tangan Rianti. Membimbingnya di sebelah yang aman. Dan membawanya ke seberang. Walaupun bukan untuk pertama kalinya tangan mereka bersentuhan, Rianti merasa dadanya berdebar-debar. Lebih-lebih ketika sesampainya diseberang pun Pak Ario belum mau melepaskan tangannya. Dibimbingnya tangan Rianti sepanjang jalan. Dan Rianti tidak berusaha untuk menariknya. Dia sedang sibuk berusaha menenangkan debar jantungnya sendiri.
Dingin" tanya Pak Ario, ketika dirasanya tangan mungil di dalam genggamannya itu bergetar sedikit.
Rianti langsung menggeleng. Dia memang bukan kedinginan! Tetapi setelah menggeleng, dia baru menyesal. Bukankah lebih baik jika Pak Ario mengira dia gemetar karena kedinginan"
Kita sudah hampir sampai.
Ya, sahut Rianti meskipun dia mengharapkan
t . c sebaliknya. Mengapa hotel mereka begitu dekat" Dia masih ingin menikmati saat-saat yang indah ini lebih lama lagi! Dibimbing oleh laki-laki yang dikaguminya. Menikmati malam penuh kesan yang belum pernah hadir dalam hidupnya selama ini&
Capek" Untuk pertama kalinya suara lelaki itu terdengar lembut. Amat lembut. Rianti sendiri sampai takjub mendengarnya. Benarkah si tunggul yang bersuara" Bagaimana orang seperti dia dapat bersuara selembut itu" Kakimu tidak lecet"
Sekali lagi Rianti menggeleng. Cuma itu yang dapat dilakukannya. Menggeleng. Mengangguk. Menggeleng lagi. Entah pergi ke mana suaranya.
Saya ingin mengajakmu makan es krim di coffee shop, kata Pak Ario begitu hotel mereka telah tampak di depan mata. Masih takut gemuk"
Tidak, sahut Rianti mantap. Seandainya kauajak aku makan di luar sekali lagi pun aku tak akan menolak! Tambah gemuk dua kilo pun aku tak peduli! Aku tidak ingin malam yang indah ini cepat-cepat berakhir!
Bagus, Pak Ario tidak berusaha menyembunyikan nada gembira dalam suaranya. Padahal biasanya dia selalu dingin. Mudah-mudahan Pak Ariffin tidak sedang menunggu kita di sana! Saya bosan melihatnya!
Bagaimana kalau Pak Ariffin ada di sana" tanya Rianti penasaran.
t . c Lebih baik saya intip dulu. Kalau dia ada di sana, kita kabur!
Kenapa" potong Rianti, garang seperti harimau yang diusik. Saya memang karyawatinya. Tapi ini bukan jam dinas!
Pak Ario menoleh dengan takjub. Matanya bersorot gembira.
Seperti bukan kamu yang mengatakannya. Kata Pak Ario, diri saya adalah milik saya, bukan"
Saya senang mendengarnya. Tetapi kalau majikanmu di sana, dia bisa merusak suasana. Saya lebih suka menghabiskan malam ini berdua saja. Lebih baik, kita cari tempat lain!
* * * Untung Pak Ariffin belum pulang. Mereka dapat menyelinap ke coffee shop dengan aman. Tanpa dikenali siapa pun.
Coffee shop itu tidak terlalu ramai lagi. Mungkin karena hari telah malam. Hampir pukul sepuluh. Waktu makan malam sudah lewat. Hanya tinggal satu-dua pasangan lagi yang sedang menikmati santapan malamnya. Pasangan lain telah berpindah ke bar. Atau ke diskotek.
Pak Ario memilih tempat di sudut. Di sana suasananya amat nyaman. Agak tersembunyi. Dan penerangannya pun tidak terlalu terang.
t . c Mau es krim apa" tanya Pak Ario begitu pelayan datang.
Rianti memilih banana split. Pak Ario minta peach melba.
Pak Ario tidak kangen pada anak Pak Ario" cetus Rianti sesaat sebelum es krimnya datang.
Pak Ario seperti terpukul mendengar pertanyaan itu. Rianti menyesal sekali telah menanyakannya. Mengapa harus merusak suasana malam yang seindah itu"
Maaf jika pertanyaan saya terlalu lancang, sambung Rianti penuh penyesalan.
Saya hanya kaget kamu berani menanyakannya.
Sejak ibu Pak Ario bercerita tentang anak itu, saya selalu memikirkannya. Saya juga telah kehilangan ayah waktu masih anak-anak&
Jadi" Pak Ario menatap Rianti dengan terkejut. Ayahmu&
Ayah tiri. Rianti mengangguk lirih. Saya telah merasakan pahitnya hidup bersama ayah tiri. Jadi maafkan kalau saya begitu tertarik ingin mengetahui tentang anak Pak Ario.
Anak laki-laki yang cakap. Pak Ario merenungi es krimnya yang baru saja datang. Seolah-olah membayangkan seorang bayi di atas potongan peach-nya yang berwarna kuning tua itu. Waktu itu umurnya baru enam bulan. Bayi yang montok dan lucu.
t . c Mengapa Pak Ario sampai hati melepaskannya"
Kami sama-sama menginginkan anak itu. Tetapi akhirnya saya mengalah. Seorang anak lebih membutuhkan ibunya, bukan"
Seorang anak membutuhkan kedua orangtuanya, Pak Ario.
Tapi perceraian kami tak dapat dihindarkan lagi. Pak Ario menyendok es krimnya dengan lesu. Begitu banyak perbedaan pendapat. Ketika cinta masih membakar sukma, perbedaan-perbedaan itu tidak tampak. Larut dalam manisnya madu cinta. Tetapi begitu mulai berumah tangga, saya baru merasakan betapa sulitnya mengawini seorang perempuan yang dibesarkan di belahan dunia yang berbeda dengan kita.
Perbedaan itu harus dijembatani dengan cinta, Pak Ario! Bukankah cinta dapat mengalahkan segala-galanya" Berapa banyak pasangan campuran yang dapat hidup bahagia sampai tua dalam biduk perkawinan mereka"
Sudah kami coba. Tapi perbedaan itu kian hari kian mencolok. Lebih-lebih dengan adanya Ibu di antara kami.
Ibu Pak Ario" Saya anak tunggal. Ibu sangat dekat dengan saya. Lebih-lebih setelah Ayah meninggal. Kadangkadang Ibu tak dapat mengatasi emosinya sendiri. Dia tak dapat menerima anak laki-lakinya harus


Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

t . c membagi cintanya dengan perempuan lain. Di pihak lain, istri saya tidak dapat mengerti mengapa seorang laki-laki yang telah menikah masih tinggal bersama ibunya. Mengapa dia masih harus membagi cinta suaminya dengan perempuan lain, meskipun perempuan itulah yang melahirkan suaminya. Sekarang kamu mengerti mengapa kami bercerai" Dan mengapa sampai sekarang saya masih menduda" Saya tidak berani membawa seorang perempuan lagi ke hadapan ibu saya. Sebelum saya yakin tak akan menyakiti hati dua orang wanita yang saya cintai.
Saya yakin suatu hari kelak Pak Ario akan menemukan perempuan itu.
Saya harap sekarang saya telah menemukannya. Pak Ario menatap Rianti dengan tatapan yang sulit dilukiskan. Membuat yang ditatap menjadi salah tingkah. Ketika pertama kali saya melihatmu, sebenarnya saya telah tahu, saya telah menemukan perempuan yang saya cari. Tetapi baru sekarang saya berani menanyakannya padamu. Beranikah kamu mencoba menjinakkan ibu saya, merebut kasihnya pula seperti kamu telah merampas hati saya"
* * * Rianti tidak tahu dengan cara bagaimana dia naik ke atas. Bagaimana dia dapat sampai di depan kat . c marnya. Semuanya seperti terjadi dalam mimpi. Dia bagaikan melayang di udara. Di antara gumpalan-gumpalan awan kebahagiaan.
Pak Ario mengantarkannya sampai di depan kamarnya. Tetapi sesaat sebelum dia menutup pintu, Pak Ario memanggilnya. Untuk pertama kalinya dia menyebut nama Rianti.
Bergetar hati Rianti mendengar suara yang amat lembut itu. Lebih-lebih melihat tatapan matanya ketika mereka bertemu pandang. Lalu semuanya terjadi dengan sendirinya. Terlalu cepat untuk diceritakan. Terlalu indah untuk dilukiskan.
Tiba-tiba saja Rianti merasa dirinya telah berada dalam pelukan laki-laki itu. Tubuhnya didekapkan hangat ke dadanya. Dan bibir Pak Ario menyentuh lembut bibirnya.
Rianti memejamkan matanya rapat-rapat. Agar dapat menikmati saat yang paling indah itu. Sukmanya serasa tidak berada lagi dalam tubuhnya. Sudah melayang-layang ke angkasa. Menggelepargelepar menggapai kemesraan. Menggeliat nikmat di sela-sela tebaran mega impian.
Tak terasa kedua belah lengannya naik merangkul leher laki-laki itu. Dan desah tertahan meluncur dari celah-celah bibirnya. Merangsang Pak Ario untuk mengulum bibir Rianti lebih mesra lagi. Membiarkan cinta yang terpenjara selama ini lepas bebas merentangkan sayap. Tak ada lagi kepura-puraan. Tak ada lagi sikap acuh tak acuh yang palsu itu!
t . c Dia tak dapat lagi membohongi dirinya sendiri! Dia menginginkan gadis ini. Mencintainya!
Selamat malam, bisik Pak Ario, terengah-engah menahan gejolak perasaannya sendiri. Dilepaskannya dekapannya. Ditatapnya gadis itu dengan hangat. Tidur yang nyenyak.
Rianti masih bersandar di dinding. Lemas dan separuh sadar. Dia harus mengumpulkan semangatnya dulu sebelum menemukan dirinya kembali.
Pak Ario mendorongnya lembut ke dalam kamar. Dan menutupkan pintu itu. Lalu dia kembali ke kamarnya sendiri. Dengan dada yang masih menggelegak menyimpan kemesraan.
Beberapa saat lamanya Rianti masih bersandar lemas di balik pintu. Seluruh tubuhnya terasa aneh. Terasa asing bagi dirinya sendiri. Segenap jaringan saraf di tubuhnya berpijar, menimbulkan sensasi aneh yang belum pernah dirasakannya.
Kedua lututnya terasa lemas. Jari-jarinya mati rasa. Tangannya lumpuh, tak mampu digerakkan lagi. Seluruh rambut di tubuhnya meremang.
Tetapi dadanya terasa penuh. Sesak. Hangat. Bergelora oleh suatu perasaan nikmat yang menggelegak mendambakan pelepasan.
Sekarang Rianti baru dapat mengerti, baru dapat merasakan sendiri, betapa mudahnya seorang gadis tergelincir menyerahkan dirinya dalam keadaan seperti itu.
Untung Pak Ario tidak menghendakinya. Kalau
t . c dia mau, masih mampukah Rianti menolak" Masih sanggupkah dia melawan keinginannya sendiri"
Tiba-tiba saja Rianti teringat Ibu. Hampir saja dia mengecewakan Ibu. Menyia-nyiakan pesannya. Dan dia bersyukur kepada Tuhan yang telah mencegah mereka berdua melakukan perbuatan yang melampui batas itu.
Tanpa dapat menahan dirinya lagi, Rianti menghambur ke tempat tidur. Melemparkan dirinya begitu saja. Dan membiarkan tetes-tetes kebahagiaan mengalir dari matanya. Biar seluruh dunia tahu, betapa bahagianya dia saat ini!
Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan! Si tunggul diam-diam mencintainya pula. Dia hanya tidak berani mengumbarnya akibat trauma perkawinannya yang lalu. Dan dia serius. Terlalu serius malah. Dia telah melamarnya!
Oh, Ibu! pekik Rianti sambil memeluk bantalnya erat-erat. Tahukah Ibu betapa bahagianya Rianti malam ini"
* * * Pagi itu, Rianti terlambat bangun. Tidurnya terlalu lelap. Mimpinya terlampau indah. Sarat dengan kebahagiaan.
Dia terlonjak kaget ketika mendengar dering bel. Mula-mula dikiranya dering telepon. Refleks tangannya menggapai telepon itu. Kosong. Diliriknya jam tangannya. Astaga! Hampir pukul delapan!
t . c Cahaya terang dari luar membayang di balik tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Musik lembut mengalun halus dari radio yang lupa dimatikan di samping tempat tidur. Selain itu, semua sepi. Hanya dengung pendingin ruangan yang terdengar. Bunyi apa yang didengarnya tadi" Mimpikah dia"
Lalu pintu diketuk dua kali. Tidak terlalu keras. Tetapi cukup untuk menyentakkan Rianti. Sekarang dia sadar. Ada seseorang sedang menunggu di depan pintu kamarnya!
Aduh! Mudah-mudahan bukan salah satu dari kedua orang laki-laki itu& Betapa malunya&
Buru-buru Rianti menyibakkan selimutnya. Melompat dari ranjang. Dan bergegas ke depan pintu. Dibukanya pintu itu sedikit. Tanpa melepaskan rantai pengamannya.
Selamat pagi, sapa roomboy itu sopan. Ada kiriman bunga dari tuan di kamar sebelah.
Rianti melepaskan rantai pengaman. Melebarkan pintu. Dan menerima bunga itu. Sebuah buket bunga mawar yang indah. Warnanya yang merah menyegarkan mata Rianti yang masih mengantuk.
Terima kasih, sahutnya gugup, masih terpesona oleh kejutan yang tidak disangka-sangka itu. Dia sampai lupa memberikan tip. Ditandatanganinya saja tanda terima yang disodorkan laki-laki itu.
Seumur hidup dia belum pernah dikirimi bunga. Apalagi oleh seorang laki-laki. Mawar merah pula& Dibacanya kartu kecil yang terselip di antara kuntum-kuntum mawar yang semarak itu.
t . c Selamat pagi. Cuma itu. Rianti tersenyum sendiri. Si tunggul masih tetap pelit dengan kata-kata. Tetapi betapa uniknya caranya mengucapkan selamat pagi! Betapa mahalnya harga salam selamat pagi itu!
Rianti menutup pintu dengan kakinya. Didekapnya bunga itu erat-erat ke dadanya. Dibawanya ke tempat tidur. Dipandanginya dengan mesra. Seolaholah si tunggullah yang kini berbaring di sisinya.
Cinta, pikirnya sambil menelungkup menatap bunga yang teronggok di hadapannya. Begitu banyak keindahan yang engkau miliki! Hal-hal yang sederhana pun tampak memikat bila engkau sudah datang!
* * * Pagi itu Rianti bukan saja terlambat bangun. Dia juga terlambat mandi. Terlambat sarapan. Dan terlambat berkumpul di lobi. Pak Ariffin sampai menyusul ke kamarnya.
Astaga, kukira kamu diculik Pak Ario! gerutu Pak Ariffin separuh bergurau. Semua sudah kumpul di lobi. Kita ke kantor dulu. Siang baru ke airport.
Maaf, Pak. Saya terlambat! cetus Rianti kemalu-maluan. Kesiangan bangun!
Pasti karena pulang terlalu malam, gerutu Pak
t . c Ariffin sambil mengambil koper kecil yang dijinjing Rianti. Mari saya bawakan.
Di lobi, Agatha sedang duduk mengobrol bersama Pak Ario. Mereka langsung bangkit melihat Pak Ariffin datang dengan Rianti. Seorang pelayan langsung mengambil koper kecil yang dibawa Pak Ariffin. Dan membawanya ke mobil yang sedang menunggu di depan pintu.
Selamat pagi, sapa Pak Ario kepada Rianti. Suara dan sikapnya wajar saja. Tidak terlalu formal. Tapi juga tidak sehangat tadi malam. Nyenyak tidurnya"
Terima kasih bunganya, Pak, sahut Rianti tersipu-sipu.
Kamu masih memanggil Bapak pada orang yang telah menciummu" gurau Pak Ario perlahan.
Saat itu Agatha telah berjalan ke depan untuk menanyakan kepada sopir kantornya apakah semua barang mereka telah masuk ke dalam bagasi mobil. Tetapi Pak Ariffin masih berada cukup dekat untuk mendengar pembicaraan mereka. Tidak terlalu jelas untuk menangkap semuanya. Tetapi cukup terang mendengar kata bunga .
Bukan main, cetusnya separuh menggoda, separuhnya lagi kurang senang, entah karena apa. Romantis amat Pak Ario sekarang! Mengirim bunga segala!
Wanita senang diperhatikan, Pak Ariffin. Di
t . c luar dugaan Pak Ario menanggapi kelakar rekannya. Apalagi oleh hal-hal yang romantis. Mereka umumnya perasa.
Asal jangan tiap hari mengirim bunga ke kantor, sambung Pak Ariffin sambil berjalan bersamasama mereka ke depan. Alergi lho saya!
Jangan kuatir, Pak Ariffin. Rianti tidak lama lagi menjadi sekretaris di sana.
Yang terkejut bukan cuma Pak Ariffin. Rianti juga. Dia sampai hampir terjerembap. Langkahnya terhenti dengan sendirinya. Napasnya juga. Tertahan tegang menanti kelanjutan kata-kata laki-laki itu.
Saya telah melamarnya, sambung Pak Ario tenang-tenang. Seolah-olah dia cuma mengucapkan kata-kata yang tidak penting. Tentu saja saya tak akan mengizinkan istri saya menjadi sekretaris di perusahaan orang lain.
Sekarang Pak Ariffin benar-benar tertegun. Ditatapnya Pak Ario dengan tatapan tak percaya. Tetapi Pak Ario tidak menghiraukannya. Ditepuknya bahu Pak Ariffin dengan tenang.
Ini bukan April Mop, bisiknya sambil tersenyum.
Dibukakannya pintu untuk Rianti.
t . c I bu Rianti tidak terkejut ketika mendengar ada seorang laki-laki yang akan datang melamar putri sulungnya. Sejak dia menemukan sebuah buket bunga dalam koper Rianti sepulangnya gadis itu dari Surabaya, dia telah menduga, seorang laki-laki sedang menunggu di depan pintu. Siap untuk masuk ke dalam kehidupan mereka.
Ibu menerimanya dengan pasrah. Separuh terharu. Separuh bahagia. Dia hanya merasa cemas ketika mendengar laki-laki itu seorang duda cerai. Istrinya masih hidup. Dan mereka sudah punya anak. Lebih kuatir lagi ketika mengetahui Rianti akan tinggal bersama ibu mertuanya. Dan suaminya anak tunggal.
Naluri tajam seorang ibu membisikkan firasat yang kurang baik. Tetapi melihat betapa besarnya
BAB VI t . c cinta Rianti kepada laki-laki itu, Ibu hanya dapat berdoa dan menasihati.
Perkawinan tidak seindah cinta yang kamu lihat dan rasakan waktu pacaran, Rianti. Tapi sekali kamu sudah memilihnya sebagai suamimu, peliharalah perkawinan kalian sebaik-baiknya. Tabahlah menghadapi badai apa pun yang mencoba menenggelamkan bahtera kalian.
Mula-mula Ayah pun menentang. Rianti baru saja bekerja. Baru saja mendapat gaji untuk meringankan hidup mereka. Masa sekarang sudah mau menikah"
Dia masih terlalu muda, kilahnya tanpa tahu berapa sebenarnya umur Rianti.
Tetapi ketika didengarnya calon menantunya itu direktur PT Buana Kencana, dia malah menganjurkan agar Rianti cepat-cepat menikah. Barangkali menantunya dapat memberikan lapangan kerja baru untuknya. Akan ditinggalkannya usaha jahitnya yang selalu gagal sampai menimbulkan utang yang bertumpuk itu. Dia sudah bosan ditagih melulu. Tiap hari ada saja orang yang datang marah-marah ke rumahnya. Huh.
Cuma ibu Pak Ario yang tetap tidak setuju. Katamu dulu umur kalian berbeda dua puluh tahun!
Sampai sekarang pun begitu, sahut Pak Ario acuh tak acuh. Dia sudah merasa cukup matang untuk menentukan sendiri persoalan pribadinya.
t . c Ibu sendiri yang bilang, umur tidak menjadi penghalang!
Mentalnya belum matang untuk berumah tangga!
Ibu yang bilang begitu. Bagaimana kau bisa mengharapkan perkawinan yang langgeng dengan perempuan yang belum matang!
Saya pernah menikah dengan perempuan yang sudah matang, tapi perkawinan saya gagal pula. Semuanya kesalahan perempuan itu! Kesalahan Ibu juga. Dan kesalahan saya pula. Kita semua terlalu egois. Sekarang saya sudah siap untuk mencoba lagi. Saya akan belajar dari pengalaman yang lalu.
Tapi gadis itu masih anak-anak!
Cuma anak-anak yang dapat menyelip di antara kita, Bu, sahut Pak Ario tenang tapi mantap. Karena kita berdiri terlalu dekat!
* * * Jadi kamu akan berhenti kerja, Rian" tanya Dila bersemangat.
Mereka kebetulan bertemu di kantor Pak Ras ketika Rianti membagikan undangan pernikahannya kepada Bu Titi. Sudah hampir setahun sejak mereka bertemu di sini terakhir kali ketika sama-sama mencari pekerjaan. Saat itu, hanya ada satu lowongan
t . c ke Kairo. Dan Rianti yang memperolehnya. Sampai sekarang, Dila belum juga mendapat pekerjaan. Tentu saja Rianti ikut prihatin mendengar nasib temannya.
Sebenarnya aku ingin terus bekerja, Dila, sahut Rianti terus terang. Kalau suamiku mengizinkan.
Buat apa" Suamimu kan kaya" Harapan yang telah mengedip di depan mata itu padam kembali. Dan Dila merasa kecewa. Akibatnya kata-katanya menjadi sinis. Berikanlah kesempatan pada yang masih memerlukannya!
Aku bekerja karena tidak ingin tergantung pada suami, Dila. Dan karena aku ingin punya karier sendiri.
Diam-diam Bu Titi menatap Rianti dengan kagum. Dalam setahun saja gadis itu telah banyak berubah. Dia telah bertambah dewasa. Kepribadiannya semakin memukau. Rianti bukan lagi remaja pemalu yang serbacanggung kalau berhadapan dengan orang lain.
Suamimu kan direktur. Kalau ada lowongan di kantornya, ingat aku ya, Rian!
Aku berjanji akan minta pada Mas Ario untuk mencarikan pekerjaan untukmu, Dila. Percayalah.
Selamat pagi, sapa seseorang di ambang pintu.
Rianti tidak perlu memalingkan mukanya untuk melihat siapa yang datang. Setahun yang lalu, suara
t . c itu adalah suara dewa yang berkuasa menentukan hitam-putih hidupnya.
Rianti" tegur Pak Ras antara terkejut dan heran. Tumben kamu masih ingat kemari!
Tentu saja dia masih ingat, gerutu Bu Titi dalam hati. Uangnya masih ada padamu!
Apa kabar" Pak Ras menjabat tangan Rianti dengan keramahan berlebihan, seakan-akan dia sudah sepuluh tahun menantikan pertemuan ini. Maaf, belum sempat mengembalikan uangmu. Saya tidak tahu rumahmu. Dan kamu sendiri tidak pernah muncul lagi.
Tapi Bu Titi tahu sekali di mana rumahku, geram Rianti dalam hati. Dia hanya tidak tahu kamu mau membayar atau tidak!
Rianti tidak memerlukannya lagi, Pak, seperti hendak melampiaskan kejengkelannya yang telah lama terpendam, Bu Titi mengibaskan kartu undangan di tangannya. Suaminya direktur!
Pak Ras meraih undangan itu. Dan langsung membacanya.
Ir. R.M. Ario Sugiharto& Dia mengerutkan dahinya dengan rasa tidak percaya. Direktur P.T. Buana Kencana"
Betul, Bu Titi pula yang menyahut. Yang lain seperti sudah kehilangan suara. Langganan kita juga, Pak. Tapi entah mengapa sudah hampir setahun ini Buana Kencana tak pernah minta jasa business service kita lagi!
t . c Nanti tentu akan banyak permintaan, kata Pak Ras seperti tidak merasakan sindiran dalam suara Bu Titi. Rianti akan memiliki Buana Kencana. Tentu dia akan ingat kita. Banyak temannya yang masih mencari pekerjaan di sini. O ya, saya dengar kamu juga bekerja pada Bumi Makmur kan, Rian" Nah, itu perusahaan besar! Langganan kita juga.
Saya permisi pulang dulu, Pak, cetus Rianti serbasalah. Mau membagikan undangan lainnya. Kalau Bapak dapat hadir, tentu merupakan suatu kehormatan bagi saya.
Lho, kok buru-buru" Baru saja bertemu! Sudah berapa lama kita tidak saling bersua" Setahun ya" Nah, ngobrollah dulu! Saya ingin mentraktirmu di warteg di seberang! Hitung-hitung mengucapkan selamat!
Terima kasih, Pak. Maaf, saya sedang buruburu.
Cukup sekali saja aku dimaki-maki istrimu, gerutu Rianti dalam hati. Dihampirinya Bu Titi. Digenggamnya tangannya penuh permohonan. Betul ya, Bu. Datang sama Bapak, ya" pintanya sungguh-sungguh.
Insya Allah, Rian. Saya akan kecewa sekali kalau Bu Titi tidak hadir pada pernikahan saya. Lalu sambil berpaling pada Dila, katanya, Kamu juga ya, Dila"
Asal kamu janji akan memberikan pekerjaan! jawab Dila tegas, entah bergurau, entah tidak.
t . c Tentu. Percayalah padaku. Akan kuusahakan sebisanya.
* * * Kamu ini aneh! Pak Ario menggeleng-gelengkan kepalanya. Orang lain kamu masukkan di perusahaan kita. Kamu sendiri masih bekerja di perusahaan orang lain!
Dila orangnya baik, Mas, kata Rianti sambil meletakkan kue sus yang baru saja dibuatnya sendiri di atas meja di depan Pak Ario. Dia teman baik saya.
Saya percaya. Pak Ario mengambil kue itu dan mencicipinya sedikit.
Enak" tanya Rianti harap-harap cemas. Sudah dua kali calon suaminya datang ke rumah. Sudah dua kali pula Rianti menyuguhinya dengan kue-kue buatannya sendiri. Tetapi yang lalu, kue susnya bantat. Vlanya terlalu manis pula. Terpaksa Rianti belajar lagi baik-baik dari Ibu, seolah-olah dia akan maju ujian. Membaca resep-resep dari majalah wanita saja rupanya belum cukup.
Nah, yang ini baru laku kalau dijual! Cuma itu komentar Pak Ario. Tapi dia memang begitu! Rianti sudah hafal sekali sifatnya. Itu berarti kuenya enak. Dan dia menyukainya.
Pak Ario sudah mengambil satu lagi walaupun mulutnya masih penuh. Dan Rianti menghela napas lega. Duh, sulitnya menjadi calon istri.
t . c Cobalah satu. Pak Ario menyodorkan sebuah kue ke mulut Rianti. Hasil karyamu sendiri.
Sudah bosan. Rianti memiringkan wajahnya, mengelakkan kue itu. Sudah mencicipi terus dari tadi di dapur.
Cobalah sedikit! Sekarang Pak Ario berdiri. Dipegangnya dagu Rianti dengan lembut. Disodorkannya kue itu ke mulutnya. Enak kok.
Terpaksa Rianti membuka mulutnya. Dan menggigitnya sedikit walaupun tak ingin. Mas Ario memang sulit dibantah. Kemauannya harus selalu dituruti.
Hesti dan Lestari yang sedang mengintai di balik pintu tertawa cekikikan sambil menutup mulut mereka dengan tangan.
Kok belum jadi pengantin sudah main suapsuapan ya" bisik Hesti geli.
Hus, anak kecil! Tahu apa sih kamu"! Lestari memukul bahu adiknya, menyuruhnya diam. Takut ketahuan mengintip.
Dila diterima ya, Mas" Rianti merengek manja. Kasihan dia. Anaknya tidak bodoh kok. Rajin. Baik pula. Cuma penampilannya kurang.
Mengapa tidak ditukar saja" Dia bekerja pada Pak Ariffin. Kamu jadi sekretaris saya!
Lho, nanti Mas bilang cepat bosan! Di kantor di rumah sama saja yang dilihat!
Pantas kamu kirim temanmu untuk memataimatai saya di kantor. Pak Ario menggigit lagi kue
t . c susnya yang ketiga. Yang istimewa pula supaya tidak perlu dicurigai menggoda suamimu.
Ah, Mas ini! Rianti memukul bahu Pak Ario yang sudah duduk di kursi kembali. Serius nih, Mas! Beri Dila pekerjaan ya" Apa saja. Asal kerja.
Suruh saja menggantikanmu. Kamu tidak usah kerja lagi.
Pak Ariffin bisa ngamuk, Mas! Pekerjaan sedang banyak-banyaknya!
Kalau perlu dia bisa menarik Agatha kembali. Tahap ketiga sudah hampir selesai kok.
Kan masih ada tahap keempat, Mas. Masih lima puluh rumah lagi yang harus diselesaikan.
Masih lama. Teken kontrak saja belum. Tanahnya belum dibebaskan. Masih ada yang harus diselesaikan dengan Pemda.
Tapi akad kredit sudah ditandatangani, Mas. Pak Ariffin bisa mengambil tanah yang di seberang kali itu dulu. Lagi pula saya masih ingin kerja, Mas. Meniti karier. Masa sekolah bertahun-tahun hanya boleh dicicipi hasilnya dalam sepuluh bulan" dengan manja Rianti merangkul leher calon suaminya dari belakang. Boleh ya, Mas" Kita kan tidak langsung punya anak. Rianti janji begitu hamil, Rianti akan langsung berhenti kerja!
Tiba-tiba saja Rianti merasakan tubuh calon suaminya mengejang dalam pelukannya.
Mengapa, Mas" cetus Rianti heran. Mas Ario tidak setuju"
t . c Nantilah kita pikirkan lagi. Dengan dingin Pak Ario melepaskan rangkulan calon istrinya di lehernya. Dia langsung bangkit. Mengambil rokoknya. Dan menyulutnya. Padahal kue sus keempat baru saja dipegangnya.
Kalau Mas tidak setuju Rianti bekerja sesudah menikah, Rianti akan berhenti, ujar Rianti mantap. Rianti tidak akan bekerja tanpa seizin Mas Ario.
Yang penting ambillah cuti dulu. Pak Ario mengembuskan asap rokoknya tanpa menoleh kepada Rianti. Saya tidak ingin bulan madu kita terganggu oleh tugasmu di kantor.
Tentu saja, Mas. Rianti menghambur ke dalam pelukan calon suaminya. Rianti sudah mengajukan surat cuti kok. Tiga minggu. Cukup"
Pak Ario menerima tubuh calon istrinya dalam rangkulannya.
Nanti kita lihat cukup tidak. Yang penting, saya tidak ingin kamu mimpi sedang mengetik dalam pelukan saya!
Tentu saja tidak. Mas ini ada-ada saja! Pak Ariffin mengizinkan sekretaris kesayangannya cuti sampai tiga minggu" tanya Pak Ario sambil melepaskan pelukannya. Dia langsung berbalik sehingga Rianti tidak dapat melihat air mukanya.
Mula-mula sih hanya diberi dua minggu. Maklum Mas, di kantor sedang repot-repotnya. Minta berhenti saja kalau tidak diizinkan!
t . c Jangan begitu, Mas. Sekarang Pak Ariffin sangat membutuhkan tenaga saya.
Dia bisa mencari orang lain.
Pekerjaan bisa terbengkalai bila ditinggalkan begitu saja.
Mengapa kamu begitu memerhatikan dia" Saya tak dapat melupakan budinya, Mas. Pada saat tidak ada orang yang mau menolong saya, hanya Pak Ariffin yang mengulurkan tangan untuk membantu saya.
Saya juga bisa menolongmu kalau kamu minta!
Bagaimana mungkin saya berani memintanya" Saat itu, Mas tidak pernah mengacuhkan saya!
Saya sudah tertarik padamu sejak pertama kali melihatmu. Saya hanya tidak ingin terpikat. Saya belum siap untuk berumah tangga lagi. Pak Ariffin selalu membuat saya cemburu.
Rianti tersenyum. Dirangkulnya pinggang calon suaminya dari belakang. Sekarang tidak lagi kan, Mas" Sebentar lagi, saya akan menjadi milikmu.
* * * Huh, sekarang untuk teman baiknya, komentar Bu Danu setelah mencuri dengar pembicaraan Pak Ario melalui telepon kepada Bagian Personalia Buana Kencana. Nanti tinggal bapaknya! Calon mertuamu itu juga tidak ada kerjaan, kan" Anaknya
t . c banyak. Pasti dia juga bakal minta pekerjaan di kantormu!
Biar saja, sahut Pak Ario acuh tak acuh. Dia tidak minta jadi direktur kok.
Setiap bulan kita pasti terpaksa menyumbang uang untuk mereka.
Itu memang kewajiban saya sebagai menantu. Jumlahnya pasti besar. Cuma ibu mereka yang bekerja, kan" Padahal keempat adik calon istrimu masih sekolah. Hm, lihat saja nanti! Pasti banyak permintaan. Uang bangku. Uang sekolah. Uang gedung&
Rianti masih ingin bekerja. Dia tidak ingin tergantung pada saya.
Pasti ada alasan lain. Dia ingin bebas. Mana ada perempuan zaman sekarang yang mau terkurung di rumah tiap hari" Bosan kan mengurus rumah tangga terus!
Ibu, Pak Ario menatap ibunya dengan serius, Ibu tahu saya tak dapat berpisah dengan Ibu. Tapi jangan memakai alasan itu untuk meneror perkawinan saya. Saya tidak mau bercerai lagi. Apalagi gara-gara Ibu.
Ibu cuma tidak ingin kamu jadi sapi perahan! Tidak rela!
Ibu cuma tidak ingin saya menikah. Siapa bilang" Ibu rela kamu menikah, tapi jangan dengan perempuan pemeras begitu! Keluarganya akan jadi benalu bagimu!
t . c Buang jauh-jauh pikiran itu dari kepala Ibu! Cuma akan menyakiti diri sendiri saja. Dan membuat posisi saya jadi sulit!
t . c S eusai upacara perkawinan, kedua mempelai langsung menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta. Pak Ario menginginkan bulan madu mereka di Kairo. Di tempat yang penuh kenangan untuk mereka berdua.
Perjalanan dalam pesawat yang dulu terasa menjengkelkan bagi Rianti, kini manis penuh madu. Dia masih duduk di samping jendela seperti dulu. Pak Ario duduk di sampingnya. Tetapi sekarang, tidak ada orang ketiga. Dan Pak Ario tidak tidur lagi. Tungkainya yang panjang masih tetap menghalangi jalan. Namun kini Rianti tidak perlu lagi melompatinya bila ingin keluar.
Dia tidak perlu bingung bagaimana harus membangunkan si tunggul bila ingin ke belakang. Suaminya malah ikut mengantarkan ke sana, seolah-olah dia kuatir pesawat mereka akan terbelah
BAB VII t . c dua sebelum Rianti kembali dan mereka terpaksa berpisah.
Mereka bercengkerama terus sepanjang perjalanan sehingga perjalanan yang meletihkan itu menjadi tak terasa. Pak Ario begitu lengket pada istrinya sampai dia terpaksa minta tukar tempat. Pinggangnya sakit akibat duduk miring terus ke arah Rianti.
Ketika Rianti tidak dapat menyantap makanan yang terlalu berlemak untuknya, Pak Ario menyuapkan bagiannya ke mulut Rianti. Terpaksa Rianti membuka mulutnya. Hanya supaya tidak mengecewakan suaminya.
Kamu harus makan, kata Pak Ario seperti kepada anak berumur lima tahun. Dipecahkannya sebuah roti. Disuapkannya ke mulut istrinya. Masa baru sampai sudah sakit" Bukan bulan madu lagi namanya kalau sakit. Ini makan rotinya sedikit. Supaya tidak terlalu berminyak.
Saya tidak bisa makan lagi. Sudah muak, keluh Rianti.
Paksakan sedikit. Pak Ario mengerat daging dari piringnya. Dengan garpu dibawanya potongan daging itu ke mulut istrinya. Itu tandanya perutmu sudah penuh angin. Kalau tidak diisi makanan, kamu bisa sakit.
Terpaksa Rianti membuka mulutnya pula. Dan aneh. Sampai habis seperempat porsi, dia tidak muntah. Padahal kalau makan sendiri, pasti dia sut . c dah berhenti sejak tadi. Rupanya perutnya pun mengerti, apa artinya dimanjakan oleh suami.
Pak Ario dengan telaten menyuapi istrinya. Mulai dari roti, daging, kentang, sampai puding dan buah. Rasanya seumur hidup, belum pernah Rianti makan sebanyak itu.
Tengah malam, ketika lampu-lampu dalam pesawat telah dipadamkan dan sebagian penumpang sedang asyik menonton film sementara yang lain sudah tidur nyenyak, Pak Ario masih sibuk mencari pramugari minta secangkir teh panas untuk Rianti.
Supaya perutmu hangat, katanya sambil merangkul leher istrinya dan membantunya minum, seolah-olah Rianti baru saja sembuh dari sakit tifus dan tidak boleh banyak bergerak.
Walaupun tidak ingin minum, Rianti terpaksa meneguknya juga. Rupanya sesudah menikah, perut pun bukan miliknya lagi. Sebagian sudah menjadi milik suami.
Enak" bisik Pak Ario, begitu dekat di telinga Rianti, sampai seluruh rambut di tubuhnya meremang. Darahnya mendesir lebih cepat. Dan dia terpaksa buru-buru mengangguk. Takut tersedak kalau menjawab.
Mau lagi" Rianti cuma menggeleng seperti tiba-tiba saja dia kena penyakit bisu. Pak Ario meletakkan cangkir itu di meja kecil di depannya dengan sebelah tangan. Tangannya yang lain masih merangkul leher
t . c Rianti. Kemudian dia menunduk sedikit. Mengecup bibir istrinya sambil memadamkan lampu kecil di atas kepala mereka.
* * * Saat itu, hujan tidak turun lagi di Kairo. Seluruh kota panas terik dan berdebu. Lalu lintas masih tetap macet dan semrawut. Manusia-manusia berjubah tradisonal bercampur baur dengan saudarasaudaranya yang berpakaian modern, berdesak-desakkan di terminal bus. Semuanya masih tetap seperti dulu. Kecuali Rianti dan Pak Ario.
Bagi mereka, Kairo hari ini tersenyum manis, menjanjikan bulan madu yang indah. Pak Ario memilih hotel yang sama. Minta tingkat yang sama pula. Sayang, tidak dapat memperoleh kamar yang sama. Kamar mereka mempunyai balkon yang menghadap ke Sungai Nil.
Tetapi kini, Rianti tidak tegak seorang diri lagi di antara langit dan bumi, di ketinggian kamarnya yang berada di tingkat dua puluh satu. Dia berada dalam pelukan suaminya, menikmati malam-malam yang penuh bintang.
Suasana begitu damai. Sepi. Cerah. Keramaian lalu lintas nun jauh di bawah sana tidak terdengar lagi walaupun mobil masih terlihat antre seperti ular. Kelap-kelip lampu dari restoran terapung di punggung Sungai Nil ibarat lirikan mata Cleopatra
t . c yang iri melihat kemesraan dua makhluk yang tengah memadu cinta di atas sana.
Rianti sudah memasrahkan dirinya ketika suaminya yang masih merangkulnya dari belakang mulai meraba-raba daerah-daerah yang paling sensitif di tubuhnya. Dibiarkannya bibir dan tangan suaminya membangkitkan respons dari ujung-ujung sarafnya yang mulai berpijar menantang rangsangan yang lebih hebat lagi.
Ketika kakinya mulai terasa lemas menyangga tubuh yang telah panas membara, suaminya mendukungnya ke dalam kamar. Membaringkannya di tempat tidur. Dan membimbingnya ke puncak kenikmatan yang belum pernah dicicipinya selama ini.
Erang tertahan yang lepas dari celah-celah bibir Rianti ketika puncak itu telah sama-sama mereka raih berakhir dalam desah kelegaan dua bibir yang berpaut dan tangan-tangan terentang saling remas. Ibarat cinta mereka yang merentangkan sayap terbang lepas bebas ke angkasa sementara hati mereka saling berpaut di dasar samudra yang paling dalam.
Di luar, biduk-biduk kecil masih melayari Sungai Nil. Membawa semua hambatan hanyut ke laut lepas. Tetapi& masih adakah kiambang bertaut menanti di Jakarta"
* * * t . c Sekarang Pak Ario tidak usah malu-malu lagi kalau hendak mengabadikan istrinya di depan sphinx atau piramida. Dia dapat memerintahkan Rianti berdiri di mana saja supaya mendapat objek foto yang sebaik-baiknya.
Setelah bosan mengurung diri di kamar selama dua hari dua malam sehingga sarapan pun harus diantar ke kamar, mereka bernostalgia ke Luxor. Kali ini mereka bermalam di sana. Dan mengunjungi Kuil Karnak tatkala subuh baru saja merangkul bumi.
Di sinilah pertama kali saya merangkulmu, bisik Pak Ario. Saat itu mereka sedang duduk bersandar ke tiang-tiang raksasa yang menciptakan bayang-bayang yang memesona di ambang fajar. Ketika tubuhmu terkulai lemah dalam pelukan saya, matamu terpejam pasrah seperti Putri Aurora dalam dongeng Sleeping Beauty, saya ingin sekali mengecup bibirmu. Sayang, di sana terlalu banyak orang. Dan godfather-mu yang tidak tahu diri itu tidak pernah mau jauh dari sisimu. Dia selalu membuat saya cemburu. Dari semula saya benci melihat perhatiannya yang berlebihan padamu.
Ah, Pak Ariffin hanya ingin menolong. Jangan merusak suasana, Mas! Nanti Mas Ario jadi uringuringan lagi!
Pak Ario meraih istrinya ke dalam pelukannya ketika dilihatnya Rianti bergetar sedikit. Dingin"
t . c Rianti cuma mengangguk sambil mengerutkan tubuhnya dalam dekapan suaminya. Ada perasaan hangat dan aman yang sulit dilukiskan setiap kali dia berada dalam pelukan Mas Ario. Dan perasaan takut kehilangan apa yang telah dimilikinya itu selalu timbul setiap kali dia merasakan kehangatan cinta suaminya.
Kok malah melamun" bisik Pak Ario di telinga istrinya. Dikecupnya bibir Rianti dengan mesra.
Enak" bisik Pak Ario lembut. Digelitiknya bibir istrinya dengan ujung bibirnya.
Mmm, Rianti menggumam sambil memejamkan matanya.
Ngng& nanti ketagihan. Biar. Dari suami sendiri, kan" Nanti cepat bosan.
Bisa bosan" Rianti membuka matanya dengan terkejut. Ditatapnya suaminya dengan serius.
Tetapi Pak Ario cuma tersenyum. Membuat Rianti tambah penasaran.
Betul bisa bosan, Mas" Kalau keseringan.
Tidak, selama kita saling mencintai, kan" Lama-lama cinta kan tidak menyengat lagi. Semuanya akan menjadi rutin. Itu kan hukum alam yang tak dapat dihindari. Mana ada makanan yang panas terus"
Mas Ario pembosan" Usahakanlah supaya Mas-mu ini tidak sampai bosan!
t . c Ah! Rianti pura-pura merajuk. Didorongnya dada suaminya. Dan dia pura-pura hendak melepaskan diri dari dekapan laki-laki itu. Tetapi Pak Ario malah merangkulnya lebih erat lagi.
Memang kelihatannya dia cuma main-main. Tetapi bagaimanapun Rianti mencoba menenangkan hatinya, kerisauan ini selalu kembali lagi menggoda.
Sebelum ini, dia belum pernah bercinta. Mas Ario adalah cintanya yang pertama. Mudah-mudahan yang terakhir pula. Dia belum pernah mencicipi kenikmatan dari laki-laki lain. Yang diperolehnya dari Mas Ario adalah yang terbaik dan satu-satunya pula.
Tetapi suaminya sudah duda. Dia pernah mencicipi kenikmatan dari perempuan lain. Pernah merasakan cinta seorang istri. Dia dapat membandingkan apa yang diperolehnya dari Rianti. Dia dapat merasa kurang. Dapat merasa bosan. Dan& mencari yang lain!
* * * Giza merupakan bekas pemakaman kuno di luar kota Kairo. Pada dataran seluas kurang-lebih dua ribu meter itu terdapat sphinx dan tiga piramida raksasa. Di sana mereka mencoba naik unta meskipun mula-mula Rianti menolak.
Dia berteriak-teriak ketakutan ketika unta yang
t . c ditungganginya bangkit berdiri setelah dia naik ke atas punggungnya. Terpaksa Pak Ario ikut naik ke belakang. Dan memeluk istrinya.


Di Tepi Jeram Kehancuran Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pegang punuknya itu erat-erat! perintah Pak Ario kepada istrinya, sesaat sebelum unta itu bergerak bangun. Jangan membungkuk. Miringkan tubuhmu ke belakang. Tidak usah takut. Pasti tidak jatuh. Kan ada saya.
Tetapi ketika unta yang tinggi besar itu bergerak bangkit, tak urung Rianti mendesah ketakutan juga. Tubuhnya terasa terdorong ke depan. Hampir tersungkur kalau dia tidak buru-buru menegakkannya kembali. Dipegangnya erat-erat punuk unta itu dengan kedua belah tangannya.
Pak Ario tertawa geli melihat tingkah istrinya. Tetapi Rianti tidak peduli. Dia memang takut kok!
Sesudah unta itu berjalan, baru Rianti dapat menarik napas lega. Binatang itu berjalan tenang. Setindak demi setindak. Nyaman rasanya teranggukangguk di punggung yang kokoh itu. Menikmati piramida raksasa yang menjulang di sebelah kanannya, dan bus-bus turis yang meluncur di sebelah kirinya.
Lambaikan sebelah tanganmu, Rianti! pinta Pak Ario tiba-tiba. Kameraku sudah kuberikan kepada tukang unta itu. Sekarang dia akan memotret kita.
Tidak ah, takut jatuh! sahut Rianti ngeri. Sebaliknya dari melepaskan tangannya untuk met . c lambai, dia malah memegangi punuk unta itu lebih erat lagi. Sampai sakit rasanya tangannya. Apalagi saat itu sang unta sedang meniti jalan yang agak menurun. Bagaimanapun suaminya memaksanya, Rianti tetap tak mau melepaskan pegangannya.
Rianti, Rianti! keluh Pak Ario kecewa. Kapan kamu baru mau memercayai suamimu"
* * * Namun beberapa bulan setelah masa bulan madu mereka lewat, ternyata ketidakpercayaan Rianti terhadap suaminya memang beralasan. Sudah dua kali Rianti menelepon suaminya di kantor. Tetapi lakilaki itu tidak berada di tempat.
Menjemput temannya dari luar negeri, jawab Dila di ujung telepon. Ke airport.
Tolong sampaikan kalau dia kembali, Dila, pinta Rianti sungguh-sungguh. Ibu jatuh. Sudah dirontgen. Kata dokter, tulangnya patah. Harus digips.
Rianti memang sedang kebingungan. Pembantunya menelepon dari rumah tadi. Ibu jatuh terpeleset di kamar mandi. Kakinya bengkak. Tidak bisa jalan. Terpaksa Rianti meninggalkan tugasnya. Dan terburu-buru pulang dari kantor.
Ibu sudah berbaring di tempat tidur. Si Romah sedang mengurut-urut kaki Ibu dengan beras kencur yang dicampur minyak kayu putih.
t . c Ibu! sergah Rianti iba. Aduh! Kenapa bisa jatuh"
Orang jatuh kok malah ditanya kenapa jatuh, gerutu Ibu kesal.
Yang sakit rupanya hanya kakinya. Mulutnya tidak. Ibu masih dapat mengomel sepintar biasa. Si Romah sudah bising mendengar omelan-omelannya. Apa pun yang dikerjakannya pasti salah. Tapi Ibu masih menyuruhnya juga mengurut-urut mata kakinya yang bengkak.
Jangan diurut, Bu. Rianti pura-pura tidak mendengar gerutuan ibu mertuanya. Enam bulan hidup bersama perempuan ini, dia telah terlatih mengganti gelombang bila datang angin kencang. Sekarang dia bukan saja sudah terbiasa untuk tidak melayani gerutuan Ibu. Dia pun sudah mahir menulikan telinga seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Semua yang tidak enak didengar lewat begitu saja. masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Saraf pendengarannya telah terlatih untuk menyaring bunyi yang merdu saja untuk disalurkan ke otak.
Biar bengkaknya hilang. Ini kan pengobatan tradisional.
Tapi bengkaknya besar sekali, Bu. Jangan-jangan ada yang patah. Kalau diurut bisa makin bengkak.
Ah, sok tahu kamu. Seperti dokter saja. Lebih baik kita ke rumah sakit, Bu. Biar diperikt . c sa dokter. Difoto rontgen seperti adik saya dulu. Waktu jatuh dari sepeda.
Ibu cuma terpeleset. Bukan jatuh. Ayo, Romah, urut lagi. Tenagamu ke mana saja" Kok loyo amat!
Jangan, Bu. Jangan diurut lagi, Romah! Rianti menarik tangan pembantu yang sudah bersiap-siap mengerahkan segenap tenaganya itu. Lebih baik kita ke dokter dulu. Kamu cari taksi, Romah! Kita ke rumah sakit.
Bu Danu sendiri sampai heran. Tidak biasanya menantunya yang penurut ini membantah. Sekarang dia malah seperti mengatur ibu mertuanya! Berani menyuruh pembantu di depannya! Hah.
Tetapi kemarahan Bu Danu surut dengan sendirinya ketika melihat perhatian menantunya. Entah dia pura-pura atau tidak, dia begitu telaten melayaninya. Menggantikan bajunya. Mengambilkan syal. Bahkan memapahnya bersama si Romah ke dalam taksi.
Bu Danu terpaksa melompat-lompat dengan satu kaki karena kaki kirinya sama sekali tidak bisa digerakkan. Sakitnya bukan main.
* * * Ujung tulang panjang di mata kaki yang sebelah kiri ini patah, Bu, kata Dokter Gunawan sambil mengawasi foto yang terpampang di hadapannya.
t . c Jadi benar patah, Dok" sergah Bu Danu kaget. Tapi saya cuma terpeleset& .
Tulang pada orang tua lebih rapuh, Bu. Lebih mudah patah.
Jadi bagaimana, Dokter" sela Rianti cemas. Harus digips.
Nanti tulang yang patah itu bisa menyambung kembali, Dokter"
Mudah-mudahan begitu. Karena Ibu sudah berumur, mungkin proses penyambungan kembali tulang tersebut tidak secepat anak-anak muda. Tapi kita lihat dulu saja dalam sebulan ini. Sekarang Ibu pergi ke kamar sebelah untuk digips. Ini resep obatnya. Kembali kemari bulan depan.
Sementara Ibu digips, Rianti kembali menelepon suaminya. Tetapi kata Dila, dia belum datang juga.
Mungkin ada relasi penting yang harus dilayani, pikir Rianti menghibur diri. Mas Ario memang sibuk. Ada saja yang harus dikerjakannya.
Terpaksa Rianti mengurus semua keperluan ibu mertuanya seorang diri. Setelah kakinya digips, Bu Danu tidak dapat dipapah lagi seperti tadi. Dia harus didorong dengan kursi roda. Lalu diangkat ke dalam taksi.
Dengan bantuan sopir taksi itu pula, Ibu berhasil dipindahkan ke kursi makan di rumah mereka. Dan didorong ke kamar. Memang bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi mulut Ibu menggerutu terus.
t . c Ada-ada saja, keluhnya penasaran. Dasar sedang sial! Cuma terpeleset saja kok bisa patah tulang! Hhh!
Sabarlah, Bu, hibur Rianti sambil menyuguhkan secangkir teh panas. Anggap saja cobaan Tuhan. Orang kecelakaan kok Tuhan yang disalahkan! Tetapi meskipun mulutnya mengomel terus, hati Bu Danu sudah mulai terjerat oleh sikap dan perhatian menantunya. Rianti memang menarik. Sifat dan penampilannya memaksa orang untuk menyukainya walaupun tidak ingin.
Dalam keadaan tidak berdaya, Bu Danu semakin tidak dapat menghindari pesona dan daya tarik yang dipancarkan menantunya. Kalau dulu dia selalu mencari-cari peluang untuk mendiskreditkan Rianti di depan putranya, kini dia malah merepotkan Rianti dengan kemanjaannya.
Sifatnya menjadi persis seperti anak kecil. Rewelnya bukan main. Apa-apa mesti Rianti yang mengerjakan untuknya. Kalau menantunya pergi ke kantor, dia seperti kehilangan kakinya yang sebelah lagi.
Rianti sendiri heran bagaimana penyakit dapat membuat seorang tua yang tangguh seperti Bu Danu kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Dia malah menyuruh Rianti mengambil cuti supaya dapat melayaninya dengan lebih baik. Padahal Pak Ario sudah mengusulkan untuk mencari seorang perawat saja.
t . c Kamu terlalu capek, keluh Pak Ario malam itu. Ibu kan cerewetnya luar biasa. Tidak sakit saja sudah cerewet. Apalagi sakit. Tambah susah diurus. Tapi Ibu tidak mau diurus oleh perawat, Mas. Mungkin perawatnya juga tidak ada yang tahan.
Biar saya saja yang melayani Ibu. Besok saya minta cuti dua minggu.
Tetapi sekarang Pak Ariffin-lah yang keberatan. Dua minggu" Dia mengerutkan dahi seperti orang sakit kepala. Kamu kan tahu pekerjaan sedang begini banyak! Bisa berantakan semua urusanku!
Tapi Ibu sedang sakit, Pak. Tidak dapat meninggalkan tempat tidur kalau tidak didorong dengan kursi& .
Pak Ario kan masih sanggup menggaji sepuluh orang perawat!
Tapi Ibu yang tidak mau, Pak!
Begini saja. Pak Ariffin menghela napas kesal. Tiap hari kamu masuk dua jam. Instruksikan kepada Nur apa yang mesti dikerjakannya hari itu. Dia tidak punya inisiatif sama sekali. Tinggalkanlah bayimu di rumah untuk dua jam saja! Masa dia tidak mau"!
Rianti menjadi serbasalah. Di rumah, suaminyalah yang marah-marah mendengar permintaan Pak Ariffin itu.
Dia punya dua puluh orang karyawan! Masa
t . c tidak ada yang dapat menggantikanmu dua minggu saja" Keterlaluan! Dia menindasmu.
Tapi pekerjaan itu tanggung jawab saya, Mas. Tidak dapat saya tinggalkan begitu saja. Biarlah saya masuk dua jam tiap hari. Sesudah itu saya cepat-cepat pulang untuk mengurus Ibu. Pekerjaan tidak terbengkalai, Ibu pun senang.
Tapi kamu terlalu capek! Rianti memang lelah. Bukan itu saja. Gairahnya untuk melayani suami pun mau tak mau berkurang. Padahal sebelumnya, dia melayani semua keperluan suaminya mulai dari meja makan sampai ke tempat tidur sedemikian rupa sampai Bu Danu pun tidak mempunyai peluang untuk mencelanya.
Ketika kesibukannya mulai berkurang karena Bu Danu telah diperbolehkan berjalan dengan tongkat dua bulan kemudian, Rianti baru menyadari perubahan sikap suaminya. Tetapi ketika itu, dia sudah terlambat.
* * * Karin mencium bibir bekas suaminya dengan mesra. Begitu mesranya sampai Pak Ario tak mampu meninggalkan tempat tidur. Bekas istrinya ini memang pencinta yang ulung. Bercinta dengan dia selalu membuat Pak Ario ketagihan.
Dia bukan saja memiliki segala teknik yang tak dimiliki Rianti untuk membangkitkan kejantanan
t . c partnernya. Dia pun memiliki sesuatu yang tidak dipunyai Rianti. Sesosok daging bernyawa seberat seperempat kwintal. Cerdas. Lucu. Dan darah daging Pak Ario sendiri.
Kini anak itu telah berumur enam tahun. Lebih tinggi dan lebih besar sedikit dibandingkan anakanak Indonesia seumurnya. Lebih pandai bicara pula. Sayangnya, dia tidak begitu pandai berbahasa Indonesia.
Dua bulan tinggal di negeri ayahnya, kemajuan berbahasa Indonesianya memang pesat. Tentu saja bahasa Indonesia yang patah-patah. Kadang-kadang tata bahasanya jungkir balik pula.
Dididik sebagai anak Jerman, ibunya lebih bersikap terbuka terhadapnya. Awan tahu orangtuanya telah bercerai. Dan dia menanggapinya sebagai hal yang lumrah. Tidak perlu malu. Dan tidak pula merasa tertekan.
Di kelasnya saja, ada lima orang temannya yang tidak mempunyai ayah. Beberapa orang lagi tinggal bersama laki-laki yang bukan ayahnya. Entah berapa orang lagi yang tinggal bersama orangtua yang tidak pernah menikah.
Ketika ibunya mengatakan mereka akan ke Indonesia untuk menemui ayahnya dalam liburan musim panas ini, Awan sangat gembira. Bukan karena ingin melihat ayahnya. Tetapi karena dapat melihat negeri tropis di garis khatulistiwa yang kabarnya selalu bermandikan cahaya sang surya itu. Dia ment . c ceritakan rencana liburannya itu kepada temantemannya dengan bangga. Dan anak-anak yang tak dapat membedakan Indonesia dari Fiji itu membayangkan pantai bermandikan cahaya matahari dengan nyiur melambai dan gadis-gadis cantik menari hula-hula seperti di Hawaii.
Awan sendiri heran ketika di lapangan terbang tidak menjumpai seorang pun gadis berpakaian tradisional yang mengalungkan bunga lei ke leher tamu-tamu yang baru datang, seperti yang pernah dilihatnya di salah satu film di televisi.
Laki-laki yang menyambut mereka itu, kata Mama itulah ayahnya, hanya menyerahkan sebuah buket bunga segar yang entah apa namanya kepada Mama. Laki-laki yang mengecup bibir Mama itu sebenarnya Mamalah yang mencium bibirnya langsung menjabat tangannya sambil tersenyum. Dia mengucapkan salam dalam bahasa Jerman yang kaku. Tapi suaranya yang besar itu cerah dan enak didengar. Ramah. Tapi jantan.
Terus terang Awan sendiri tidak menyangka segagah itulah ayahnya. Tubuhnya tinggi besar. Wajahnya tampan. Rambutnya hitam kelam. Kumisnya yang tipis amat memesona. Kulitnya tidak terlalu putih. Tetapi pada kulit yang cokelat kemerahan seperti warna tembaga itu, Awan mengimajinasikannya sebagai Samson, seorang pahlawan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Diam-diam dia merasa bangt . c ga memiliki ayah seperti itu. Apalagi melihat mobilnya.
Di negerinya pun, mobil seperti ini masih cukup mahal harganya. Dia lebih takjub lagi melihat begitu banyak mobil bagus lalu-lalang di Jakarta. Dan sangat terkesan melihat cara mereka mengemudikan mobilnya.
Awan baru merasa pengap ketika lalu lintas yang macet di mana-mana menyekapnya selama hampir dua jam di dalam mobil. Dia lebih pusing lagi melihat orang-orang yang menyeberang seenaknya di jalur cepat. Bukan di zebra cross yang telah disediakan.
Ada lagi kendaraan kecil beroda tiga yang memotong sana menyikat sini seperti mobil-mobilan dalam arena bermain anak-anak yang dikenalnya. Bukan itu saja. Ada pula motor yang melenggang di tengah jalan dan bus yang berhenti seenaknya, tak cukup ke pinggir untuk dilewati. Wah, ini pasti lalu lintas paling semrawut yang pernah dilihatnya!
Awan berteriak gemas setiap kali ayahnya terpaksa menginjak rem karena jalanan mereka diserobot begitu saja. Hatinya baru terhibur ketika sampai di sebuah hotel yang terlalu bagus menurut bayangannya.
Dia tidak menyangka ada hotel sebagus itu di sini. Kata teman-temannya, di negeri ini orang masih harus buang air di kebun atau di sungai. Tapi
t . c kenyataannya, dia mendapat sebuah kamar yang memiliki kamar mandi yang lebih bagus dan lebih bersih daripada di apartemennya.
Kekuatirannya tentang makanan pun ternyata tak beralasan. Makanan apa pun yang ada di negerinya dapat diperolehnya juga di sini. Tak kalah lezatnya pula.
Pada minggu kedua, Awan malah sudah berani mencicipi makanan lokal. Mula-mula rasanya memang aneh. Tapi lama-lama enak juga. Dia suka sekali gado-gado dan sate, asal tidak terlalu pedas bumbunya.
Awal bulan kedua, ayahnya memboyong mereka ke sebuah rumah yang sangat besar menurut pendapat Awan. Rumah itu luasnya lebih dari lima ratus meter. Bertingkat pula. Kamarnya banyak. Kebunnya luas. Dan perkakasnya lebih modern daripada perkakas yang ada di apartemen mereka di M"nchen.
Mama begitu gembira. Entah apa yang dikatakannya pada Papa. Mereka bicara dalam bahasa Indonesia yang terlalu cepat untuk dimengerti.
Tetapi satu hal dapat dimengerti oleh Awan. Mama ingin berdua saja dengan Papa. Karena itu, dia pergi bermain-main di kebun.
Di negerinya sendiri, cuma orang yang sangat kaya yang memiliki rumah dengan kebun seluas ini. Keluarga menengah yang hanya tinggal berdua saja seperti mereka paling-paling cuma memiliki sebuah flat dengan dua buah kamar tidur.
t . c Awan menikmati kebunnya yang pertama ini dengan sepuas-puasnya. Apalagi ketika Papa menghadiahkan sepeda baru untuknya. Bukan sepeda yang hanya memiliki sebatang besi dengan dua buah roda seperti yang dikenalnya selama ini.
Sepeda buatan Jepang ini mempunyai peralatan seperti sebuah motor. Lengkap dengan accu-nya segala. Entah mengapa benda ini masih disebut sepeda. Dia lebih mirip motor. Hanya bentuknya kecil.
Awan sangat gembira menikmati libur musim panasnya di negeri ini. Papa sangat ramah. Sangat baik. Sangat royal. Apa pun permintaannya pasti dikabulkan. Yang tidak dimintanya pun diberikan juga.
Awan tidak merasa heran kalau dalam seminggu hanya semalam saja Papa tinggal di rumah mereka. Orangtuanya toh sudah bercerai. Sudah seharusnya mereka berpisah.
Dia malah lebih heran melihat tiga orang wanita yang ditaruh Papa di rumah mereka. Yang seorang bertugas membersihkan rumah. Yang seorang lagi membuat dan menyiapkan makanan. Yang ketiga dia sendiri tidak tahu apa tugasnya. Mereka bertiga bisa disuruh-suruh melakukan apa saja. Wah, Awan merasa sudah menjadi jutawan di sini. Karena di negerinya, cuma jutawan yang bisa menggaji tiga orang pembantu.
Pada minggu yang ketiga, Awan sudah lupa
t . c bagaimana harus menyiapkan makanan sendiri seperti yang sering dilakukannya di negerinya. Mama pun tidak pernah lagi mencuci piring. Kerjanya tiap hari hanya bersolek menunggu Papa datang.
Kalau tidak pergi, Papa dan Mama pasti masuk ke kamar. Lalu tidak keluar-keluar lagi dari sana. Seperti hari ini.
Awan sedang asyik memainkan Atari-nya ketika Papa tergesa-gesa keluar dari kamar Mama. Papa memang selalu begitu. Dia senantiasa tampak terburu-buru.
Awan sudah pernah dibawa Papa ke proyeknya. Papa membuat banyak rumah. Pantas saja dia selalu bergegas-gegas.
Diam-diam Awan sangat mengagumi ayahnya. Papa sangat pandai. Bukan hanya pandai membuat rumah saja. Papa pandai dalam segala hal. Termasuk bermain. Permainan apa pun dikuasainya.
Sayang sekarang Papa tidak ada waktu untuk menemaninya main Atari. Papa cuma mencium keningnya dan menjanjikan mainan baru untuknya. Lalu dia bergegas ke pintu.
Mama menyusul dari belakang. Mereka berciuman lama di pintu seolah-olah sudah enam tahun tidak bersua. Mesra sekali.
Awan heran bagaimana pasangan yang demikian saling mencintai seperti mereka dapat berpisah. Kelihatannya mereka begitu lengket. Akan ditanyakannya pada Mama nanti waktu makan siang.
t . c * * * Pak Ario mengemudikan mobilnya dengan tergesagesa. Pagi ini dia ada janji dengan pimpinan bank yang akan memberikan kredit kepada perusahaannya. Jangan sampai dia terlambat sehingga sekretarisnya sempat menelepon ke rumah. Wah, bisa runyam! Kepada Rianti dia mengatakan pergi ke Surabaya. Urusan proyek. Apa lagi.
Sudah dua bulan dia hidup bersama Karin lagi. Meskipun dengan melancarkan perang gerilya. Tapi entah mengapa, bukannya bosan, semakin hari mereka malah semakin rapat. Rasanya susah sekali berpisah dengan Karin. Seperti tadi pagi.
Pak Ario sudah bangun sejam sebelumnya. Tetapi Karin masih mencumbunya. Akibatnya dia terlambat ke kantor. Sampai tidak sempat sarapan. Barangkali yang mencuri-curi itu memang selalu lebih enak. Rasanya jadi tidak pernah bosan. Padahal di rumah menunggu istrinya yang cantik. Tetapi Rianti memang tidak dapat dibandingkan dengan Karin.
Karin memang masih tetap sepanas dulu. Menurut pendapat Pak Ario, perempuan itu malah semakin agresif. Semakin terbuka. Apa saja yang diinginkannya, dimintanya tanpa malu. Dan diambilnya tanpa ragu.
Karin tahu bekas suaminya sudah beristri lagi. Tetapi dia tidak peduli. Dia hanya memerlukan bet . c berapa hari saja untuk meruntuhkan kesetiaan lakilaki itu terhadap istrinya.
Begitu dia berhasil membawa bekas suaminya ke kamar tidurnya, benang yang telah putus itu pun tersambung kembali. Apalagi di sana ada Awan. Seorang anak laki-laki yang terlalu menarik untuk disepelekan begitu saja oleh ayahnya.
Hari-hari selanjutnya, Karin tak perlu bersusah payah lagi. Laki-laki itu sendiri yang mengarang dusta untuk istrinya. Dari satu dusta dia jatuh ke dusta yang berikutnya.
Dan hari-hari penuh dusta itu berakhir dalam suatu tabrakan yang membawa Pak Ario ke rumah sakit. Ketika dia sedang terburu-buru menuju ke kantor, dia menabrak sebuah bus yang tidak berhenti walaupun lampu lalu lintas telah berubah menjadi merah.
Pak Ario ke Surabaya. Rianti menjawab telepon sekretaris suaminya. Sejak kemarin siang. Katanya hari ini kembali.
Ke Surabaya" Rianti mendengar nada heran dalam suara sekretaris itu. Tapi hari ini Pak Ario ada janji dengan Pak Siregar, Bu. Pukul sembilan. Penting sekali. Soal penandatanganan akad kredit.
Mungkin langsung ke kantor, saya kurang tahu. Rianti mengerutkan dahi dengan perasaan tidak enak. Coba saja minta pada Pak Siregar untuk menunggu sebentar.
t . c Rianti meletakkan telepon itu dengan dahi masih berkerut. Dan Ibu muncul terlalu cepat walaupun dia masih menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.
Siapa, Rian" Dari kantor, Bu. Cari Mas Ario.
Pulang saja belum. Masa mereka tidak tahu Ario ke Surabaya"
Rianti tidak berkata apa-apa. Sudah dua hari dia merasa tidak enak badan. Karena itu hari ini dia tidak masuk kerja. Tetapi sekarang yang tidak enak bukan hanya badannya. Hatinya juga. Sebenarnya dia menelepon Pak Ariffin hanya untuk minta izin satu hari saja. Tetapi laki-laki itu malah menanyakan suaminya.
Ke Surabaya, kata Rianti. Tanpa prasangka apaapa. Sejak kemarin.
Dia sering ke Surabaya" Suara Pak Ariffin demikian tidak enak didengar. Menambah kerisauan hati Rianti.
Hampir tiap minggu, sahut Rianti polos. Masih tetap tanpa curiga sedikit pun.
Dia punya proyek apa di sana"
Sekarang Rianti terdiam. Tertegun. Baru sekarang terpikir olehnya. Tahap ketiga telah selesai. Tahap keempat masih menunggu pemasaran tahap-tahap sebelumnya yang agak tersendat. Jadi untuk apa dia ke Surabaya"
t . c * * * Rianti masih terbungkuk-bungkuk di kamar mandi ketika Ibu memergokinya sedang muntah-muntah di sana.
Kamu sakit, kata Bu Danu setelah menyuruh si Romah membuatkan secangkir teh panas untuk Rianti.
Ah, paling-paling cuma masuk angin, Bu, sahut Rianti sambil menggosok dadanya dengan minyak angin.
Jangan-jangan kamu hamil!
Hamil. Melintas kata itu di kepala Rianti. Menyentakkan kesadarannya. Benarkah dia hamil" Haidnya memang sudah terlambat dua minggu. Tapi sejak dulu, haidnya memang sering terlambat&
Kantor sudah menelepon lagi, kata Bu Danu sambil duduk di tepi pembaringan. Katanya Ario belum datang juga.
Mungkin pesawatnya terlambat, Bu. Apa ada pesawat dari Surabaya pagi-pagi begini"
Telepon sudah berdering sebelum Rianti sempat menjawab.
Dari rumah sakit, Bu, lapor Romah dari ambang pintu. Tuan kecelakaan!
* * * t . c Luka Pak Ario memang tidak parah, walaupun mobilnya rusak cukup hebat. Yang parah justru luka di hati Rianti. Sekarang dia tahu, suaminya berdusta.
Mas Ario tidak ke Surabaya. Dan kalau laki-laki yang telah beristri mulai berdusta, hanya ada satu jawabannya. Ada perempuan lain yang disembunyikannya.
Sebenarnya sudah lama ingin kukatakan padamu, keluh Dila penuh penyesalan. Tapi Pak Ario sangat baik padaku. Aku tidak tega mengkhianatinya.
Siapa perempuan itu" tanya Rianti pedih. Temannya dari Jerman. Hans pernah melihat Pak Ario membawa anak temannya itu ke proyek. Rum pernah disuruh Pak Ario membayar tagihan listrik rumahnya yang di Cinere.
Jadi suaminya sudah punya rumah lagi di sana! Dia sudah punya simpanan, bukan sekadar kekasih! Sudah sejauh itukah hubungan mereka"
Hari itu Rianti pulang sambil menangis. Ibu mengira dia menangis karena kecelakaan yang menimpa suaminya.
Parahkah lukanya" desak Bu Danu cemas. Tidak begitu parah, Bu. Kata dokter, besok juga sudah boleh pulang.
Kalau begitu, jangan menangis! Ibu sampai kaget&
Saya sedih, Bu& Rianti tidak dapat menahan air matanya lagi.
t . c Namanya juga kecelakaan. Kita berdoa saja supaya suamimu lekas sembuh. Sudahlah.
Seperti seorang anak kecil yang minta pertolongan ibunya, Rianti menghambur ke dalam pelukan mertuanya. Dan aneh. Bu Danu tidak menolaknya. Dia malah membalas rangkulan Rianti.
Itulah pertama kali mereka saling berpelukan. Dan Bu Danu belum pernah merasa hatinya sedekat ini dengan menantunya. Tembok penghalang yang selama ini membentenginya telah runtuh sama sekali.
Bu Danu tidak perlu lagi berpura-pura tidak menyukai Rianti. Dan dia tidak perlu lagi bersaing dengan perempuan ini untuk memiliki kasih sayang putranya.
Beberapa bulan tinggal bersama, Bu Danu akhirnya menyadari Rianti seorang wanita yang benarbenar berbudi. Dia membalas perlakuan mertuanya yang kurang ramah itu dengan perawatan yang telaten selama dia sakit.
Rianti juga tidak pernah berusaha memonopoli suaminya. Ternyata mereka dapat hidup bertiga tanpa mengurangi kasih sayang yang telah ada di antara Bu Danu dan anaknya.
Ario benar. Cuma seorang anak yang dapat menyelip ke tengah-tengah mereka. Dan karena Rianti polos dan murni seperti anak-anak, dia mampu melakukan itu.
Bu Danu hanya belum tahu, tangis Rianti bukan cuma karena suaminya masuk rumah sakit. Tetapi
t . c karena ada seorang wanita lain yang telah masuk ke dalam hati suaminya.
* * * Rianti tidak menanyakannya sama sekali. Ditunggunya sampai suaminya sendiri yang berterus terang. Sikapnya memang menjadi lebih dingin. Tetapi pelayanannya tidak berkurang.
Rianti menjenguk suaminya di rumah sakit, menanyakan kesehatannya, membawakan buah-buahan, bahkan mengupaskannya dan menyuapkannya juga. Ketika suaminya sudah diperbolehkan pulang, Rianti pula yang menjemputnya. Di rumah pun dia merawat suaminya dengan baik. Sedikit pun Rianti tidak menyinggung-nyinggung dusta suaminya. Apalagi menanyakan tentang wanita itu.
Bu Danu yang berhidung tajam pun sampai tidak mencium ada yang tidak beres di antara mereka. Pak Ario memang agak berubah. Lebih pendiam. Lebih tertutup. Seperti memendam sesuatu.
Tetapi Bu Danu mengira hal itu karena kecelakaan yang menimpanya. Rianti sebaliknya. Di depan Bu Danu, dia bersikap sangat wajar, seolah-olah tidak ada apa-apa.
Akhirnya Pak Ario-lah yang tidak tahan. Dia tahu Rianti sudah mencium perbuatan serongnya. Tetapi mengapa dia tidak menegur, tidak menyinggung-nyinggung sama sekali soal itu"
t . c Pak Ario merasa berdosa kepada istrinya. Rianti begitu sabar. Begitu telaten. Begitu baik hati. Begitu setia. Mengapa dia tega mengkhianatinya"
Lebih baik rasanya bagi Pak Ario kalau Rianti menegurnya sambil marah-marah daripada mendiamkannya seperti ini. Dia merasa tambah tersiksa. Tambah merasa berdosa.
Saya harus mengakui sesuatu padamu, Rianti, katanya ketika Rianti memadamkan lampu dan naik ke tempat tidur. Pak Ario sudah lama berbaring di sana. Rianti malah mengira dia sudah tidur.
Tidak perlu, Mas, sahut Rianti lirih. Saya sudah tahu. Dan saya tidak mau mendengarnya lagi.
Kamu tahu siapa perempuan itu" Perlukah saya tahu"
Kamu tidak peduli siapa dia" Adakah bedanya untuk saya"
Tidak ada bedanya kalau kamu tahu dia bekas istriku sendiri"
Bayang-bayang belati yang telah lama bermain di depan mata Rianti kini menikam dalam ke jantungnya. Dia merasa pedih. Sakit. Sakit sekali. Dia ingin menjerit. Ingin berteriak. Ingin menumpahkan perasaan yang telah lama menyesakkan dadanya. Tetapi dia tidak dapat.
Di kamar sebelah ada Ibu. Rianti tidak ingin Ibu mengetahui persoalan mereka. Dia tidak rela kalau
t . c Ibu tahu seperti apa sebenarnya putranya. Akan runtuhkah kebanggaan yang telah dibangunnya selama empat puluh tahun"
Sambil mengatupkan rahangnya erat-erat, Rianti memalingkan wajahnya ke dinding. Matanya terasa panas. Tetapi ditahannya air yang hampir mengalir bergulir di sana. Dia tidak ingin menangis di depan suaminya.
Tangan Mas Ario terasa hangat melingkari bahunya. Namun tak ada lagi gairah yang meletup seperti dulu setiap kali suaminya memeluk dirinya.
Kini yang ada cuma perasaan muak. Dengan tangan itu pulalah Mas Ario memeluk perempuan itu. Perempuan yang ternyata masih bertakhta dengan megah di hati suaminya! Ah.
Mas Ario benar. Ada bedanya bila kekasihnya itu bekas istrinya sendiri. Cintanya yang pertama. Ibu anaknya. Dan perbedaan itu adalah perbedaan yang amat buruk!
Rianti tidak menepiskan rangkulan suaminya. Tidak pula membalasnya. Dia membeku dalam kepahitannya sendiri.
Maafkan saya, Rianti, bisik Pak Ario, lebih tersiksa lagi melihat sikap istrinya. Saya menyakiti hatimu.
Saya hanya tidak menduga secepat ini Mas merasa bosan pada saya. Suara Rianti getir dan basah.
Ini bukan karena kebosanan, Rianti. Pak Ario
t . c melepaskan rangkulannya. Dia berbaring telentang menatap langit-langit kamarnya. Ini soal cinta. Ternyata masih ada cinta di hati saya yang tersisa untuk Karin. Saya pun tidak dapat melenyapkan Awan dari hati saya. Dia darah daging saya sendiri. Masa depan saya. Sekarang dia sudah besar. Dia tahu saya ayahnya. Dia membangkitkan naluri saya sebagai seorang ayah! Dan saya melupakanmu&
Sekarang kita sama-sama belum dapat berpikir, Mas. Rianti menggigit bibirnya menahan tangis. Hati kita masih dipenuhi emosi. Biarlah waktu yang akan mengambil alih persoalan ini. Kalau kita telah dapat berpikir lagi, akan kita cari jalan keluarnya. Yang terbaik untuk kita semua.
Rianti& bisik Pak Ario terharu. Kamu bijaksana dan berbudi luhur. Saya lebih merasa lagi sebagai binatang di hadapanmu!
t . c P ak Ario membanting map surat-surat perjanjiannya ke atas meja dengan geram.
Jadi Pak Ariffin akan memakai subkontraktor lain untuk tahap keempat"
Itu hak saya, sahut Pak Ariffin dingin. Dia duduk dengan santai di balik meja tulis dalam kamar kerjanya. Saya sudah membuat perjanjian kerja sama dengan CV Alam Semesta. Untuk tahap keempat, merekalah subkontraktor saya.
Baik. Pak Ario membereskan kertas-kertasnya dengan marah. Jika Pak Ariffin sudah tidak memercayai saya lagi, hanya sampai di sini kerja sama kita.
Ketidakpercayaan itu muncul dari tindak tanduk Pak Ario sendiri. Anda tidak dapat dipercaya!
Pak Ario menatap Pak Ariffin dengan berang. Matanya berapi-api. Tinjunya terkepal erat. RahangBAB VIII t . c nya terkatup rapat. Menyimpan kemarahan yang hampir meledak.
Jangan campuri urusan pribadi saya! geramnya sambil menghantam meja dengan tinjunya.
Jangan siksa Rianti seperti itu! Pak Ariffin balas menggebrak meja sambil berdiri. Dia perempuan paling baik yang pernah saya temui!
Sesaat keduanya saling tatap dengan geram. Sesaat kedua sahabat itu seperti hendak saling memukul. Lalu Pak Ario-lah yang lebih dulu menjatuhkan dirinya ke kursi. Ditopangnya dahinya dengan tangannya. Ditundukkannya kepalanya dengan murung.
Semua salah saya, keluhnya getir. Rianti yang menceritakannya pada Anda"
Rianti tidak pernah menceritakannya pada siapa pun. Pak Ariffin pun duduk kembali dengan lesu. Tapi saya sudah tahu lama sebelum dia mengetahuinya.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya merasa berdosa pada Rianti.
Jangan bodoh, Pak Ario. Mudah sekali memecahkan masalah ini. Tinggalkanlah perempuan itu.
Tapi dia membawa anak saya!
Dia telah membawa pergi anak itu enam tahun yang lalu!
Tapi kini mereka telah kembali. Karin telah insaf. Dan dia ingin hidup bersama saya lagi.
t . c Sudah terlambat! Anda sudah beristri, Pak Ario!
Saya bingung, Pak Ariffin. Benar-benar bingung!
Saya pikir Rianti pasti tidak mau dimadu. Lebih baik Anda menceraikannya. Masih banyak lakilaki yang dapat memberinya kebahagiaan yang tidak dapat lagi Anda berikan. Dia masih muda. Cantik. Baik hati pula. Saya percaya dia dapat memperoleh suami yang jauh lebih baik.
Pendekar Laknat 3 Strangers Karya Barbara Elsborg Maut Buat Madewa Gumilang 2

Cari Blog Ini