Ceritasilat Novel Online

For Better Or Worse 5

For Better Or Worse Karya Christina Juzwar Bagian 5


Bagaimana kamu bisa yakin" Karena aku mencintaimu, July.
Aku menggelengkan kepala. Tapi, kamu sudah menyakiti hatiku, Martin. Meski kamu mengatakan tidak ada apa-apa, kamu tidak menyukainya, apa yang aku lihat itu ... bukan hal yang bisa diterima. Apa pun yang kamu lakukan dengannya itu selingkuh. Ya, bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dia mencintaiku kalau dia sudah mengkhianatiku"
Martin segera meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Babe, aku tahu aku sudah melakukan kesalahan yang sebenarnya nggak layak untuk dimaafkan oleh siapa pun, terutama kamu. Tapi, sekarang aku hanya bisa jujur. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku akan melakukan apa saja agar kamu bisa memaafkan aku. Dia ... perempuan itu ... hanya menjadi kesalahanku yang paling aku sesali. Aku melarikan diri dari masalah keluarga kita ke arah yang salah. Aku benar-benar khilaf. Kalau kamu mau memberikan aku kesempatan, Jul, aku berjanji untuk memperbaiki kesalahanku, terutama terhadap kamu dan anak-anak.
Tanpa sadar aku menahan napas selama Martin menjelaskan semuanya. Apakah aku bisa memercayai kamu"
Martin memajukan badannya, lalu mengecup jemariku, yang di salah satu jarinya melingkar sebuah cincin emas, pengikat pernikahan kami. Aku ikutan menatap cincin tersebut. Aku berharap kamu bisa. Tapi, aku nggak mau memaksa kamu untuk percaya. Tapi, kamu bisa pegang janjiku. Kita harus jalani supaya aku bisa membuktikan bahwa kamu bisa percaya aku.
Aku menghela napas, mengarahkan mataku ke atas untuk menahan air mata yang mendadak mengambang di pelupuk mata. Aku membalas genggaman tangan Martin, Aku ingin
t . c bisa percaya lagi sama kamu .... Aku tahu ....
Tapi, nggak semudah itu ....
Aku tahu, Babe, ujar Martin dengan sabar. Semua sekarang bergantung kamu. Aku nggak mau memaksa.
Aku dan Martin saling bertatapan. Mata kami saling menyelami perasaan masing-masing. Kami menutup erat kedua mulut kami sampai aku menghela napas dan bertanya kepadanya. Apa, sih, sebenarnya yang terjadi di antara kita, Tin"
Martin terdiam. Genggaman tangan Martin kurasakan semakin erat, lalu aku melihat Martin menatap tanganku serta menyahut, Hanya dua orang yang sedang terpuruk ... aku rasa ... dan aku pikir ... apa yang terjadi dengan kita adalah kesalahpahaman. Mungkin karena kita kurang komunikasi ....
Mataku memanas. Aku mengangguk membenarkan Martin. Kita terlalu fokus dengan masalah kita sendiri sehingga ... kita membiarkan masalah keluarga kita terbengkalai begitu saja ....
Kamu benar, Jul. Aku menatap Martin dengan mata berkaca-kaca. Sejak kamu berubah & aku kehilangan kamu. Kamu bukan Martin yang aku kenal sembilan tahun yang lalu. Kamu menjauh, tidak jelas, luntang-lantung tanpa pekerjaan, uring-uringan, kasar, dan tidak mau membantuku yang begitu ribet karena pekerjaan dan anak-anak .... Air mataku membuncah seiring keluarnya gumpalan di dasar hatiku.
Martin mengangguk. Matanya ikut berkaca-kaca. Aku sadar sikapku sudah berubah sejak aku berhenti bekerja. Aku menjadi ... orang yang menyebalkan, berengsek .... Aku begitu stres ketika kerjaan tidak kunjung diterima. Itu bukan aku, Jul. Aku adalah orang yang kamu hadapi sekarang ini, orang yang sama dengan sepuluh tahun lalu saat kita kali
t . c pertama bertemu. Maafkan aku, ya, ucapku lirih.
Martin terkejut mendengarnya. No, it s all my fault, Jul. Aku sudah ngecewain kamu dan anak-anak.
Aku sudah merenungkan banyak hal, Martin. Aku bukan malaikat. Aku juga sudah egois berusaha mempertahankan mobil itu meski jelas-jelas kita butuh uang. Aku juga nggak sabar menghadapi kekacauan ini. Aku dan kamu sama-sama keras kepala ....
Hingga memicu pertengkaran .... Martin meneruskannya serta mengangguk mengerti. Kami pun terdiam. Tangan Martin masih menggenggam tanganku. Tak lama kemudian, dia pun berkata, Aku hanya bisa memohon supaya aku mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku akan buktikan. Kita memulainya dari awal lagi, Jul. Tapi, sekali lagi, it s up to you. Aku terima apa pun keputusan kamu. Tapi, aku mau kamu tahu, aku ingin mempertahankan keluarga kita.
Aku mengangguk. Jari telunjukku menyeka air mata. Akan aku pikirkan.
Martin memanggil pelayan untuk membayar. Tak lama kemudian, kami keluar dari restoran.
Kamu kemari naik apa" Aku bertanya kepadanya. Taksi.
Aku antar, ya. Martin menolak. Nggak usah, Jul. I m okay. Di sini cari taksinya gampang.
Aku antar, Tin. Tapi, kamu yang nyetir, ya.
Martin menyerah dan mengambil kunci mobil yang ada di genggamanku. Ketika mobil sudah menggelinding di jalan raya, kami berdua lebih banyak diam.
Begitu sudah sampai di rumah, sebelum turun, Martin mengambil tanganku dan menggenggamnya erat. Setelah itu,
t . c dia mengecup jemariku lembut. Kalau saja aku tahu kepercayaan itu harganya sangat mahal dan, kalau saja, aku menyadarinya lebih awal untuk memperbaiki sikapku sebelum keluarga kita menjadi benar-benar pecah ..., semua ini pasti tak akan terjadi. Tapi ..., aku juga nggak bisa memutar waktu. Aku nggak sempurna, Jul. Sekali lagi maafkan aku, ya. Aku berharap kamu mau memaafkan aku.
Aku termenung sesaat. Aku juga nggak sempurna ..., maafin aku juga, ya .... Lalu, aku menghela napas. Tapi, bayangan kamu dengan perempuan itu ... masih menghantuiku, Tin ....
Martin terdiam. Seketika wajahnya murung kembali. Kepalanya lunglai. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Martin berkata perlahan. Kapan kamu mau pulang"
Aku menatapnya dengan sedih. Sori, Tin, tapi aku nggak bisa .... Aku masih belum bisa ....
Martin menatapku dengan sendu, lalu dia mengangguk. Tergores kekecewaan di matanya. Nggak apa-apa. Aku akan menunggu.
Aku menelan ludah. Aku nggak bisa memberikan kepastiannya, Martin.
Suaranya sangat mantap. Aku akan menunggu. Sampai kapan pun.
Sepanjang perjalanan pulang, kata-kata terakhir Martin begitu lekat di pikiranku. Namun, hatiku masih memberontak. Hingga aku pulang dan berbaring di tempat tidur, benakku masih berputar tanpa arah dan membuatku mumet. Hasilnya, aku hanya bisa berguling-guling di tempat tidur.
TOK! TOK! Jantungku hampir copot mendengar ketukan pintu yang
t . c tiba-tiba. Ketika pintu terbuka, ada kepala kecil yang melongok dari balik celah pintu.
Mami udah tidur" Aku segera bangkit berdiri dari ranjang. Loh, Kakak" Kok, bangun"
Aku tambah kaget begitu melihat di belakang Ernest ada Emilia yang matanya masih setengah terpejam. Emili" Kalian ngapain kemari"
Emili nyariin Papi dan Mami. Makanya, aku bawa kemari, jawab Ernest.
Aku segera menyuruh mereka masuk. Keduanya naik ke ranjang dan aku pun menyusul, berbaring di sebelah Emilia yang posisinya berada di tengah. Tangannya memeluk boneka kudanya.
Mami, aku mau Papi. Kok, Papi nggak pulang-pulang" rengek Emilia dengan mata yang masih terpejam.
Mam, kapan kita pulang ke rumah" Ernest ikutan bertanya. Aku pengin pulang.
Duh, rasanya aku ingin sekali membuat tubuhku ambles menembus ranjang hingga ke dalam tanah. Aku sungguh berharap mereka tidak pernah menanyakan hal tersebut. Namun, aku tidak kuasa menghentikan mereka untuk tidak bertanya.
Aku dilema. Aku sudah merasa lebih lega karena kami berdua sudah saling terbuka satu sama lain tentang apa yang kami rasakan. Aku juga belum memutuskan untuk berpisah. Hanya saja, aku belum sanggup kembali ke sana. Semua ini masih terlalu rumit. Apalagi bayanganku akan kemesraan Martin dengan perempuan itu tak kunjung hilang.
Nanti, Kak, nggak sekarang, ya. Aku memberanikan berkata jujur kepadanya. Emilia tidak menyahut karena sepertinya dia sudah tidur. Sementara itu, mata Ernest masih terbuka lebar. Kakak nggak tidur"
Ernest hanya menyahut singkat, Oke. Lalu, tubuhnya
t . c berputar memunggungiku. Bagiku, yang paling menyedihkan adalah ketika aku tidak bisa mengabulkan permintaan anakanakku dan membuat mereka jadi kecewa dan sedih.
Masih mengenakan pakaian yang basah oleh keringat dan tak sempat aku ganti, aku terburu-buru pulang dari latihan yoga karena sudah berjanji untuk membantu Ernest mengerjakan pe-er-nya.
Ah! Akhirnya, aku sampai di rumah tepat waktu. Ternyata, Martin sudah ada di sana, sedang membantu Ernest mengerjakan pe-er-nya.
Hai! Keduanya menoleh dan tersenyum. Ernest menyapaku, Hai, Mami!
Mami nggak terlambat, kan" Aku jadi sangsi melihat Martin sudah nongol lebih dahulu.
Nggak, kok. Tapi, nggak apa-apa. Papi udah bantuin aku, kok. Mami mandi aja.
Eh" Aku tidak salah dengar, kan" Aku disuruh mandi sama Ernest" Dia tidak mau aku bantuin"
Kamu istirahat dulu, Jul. Biar aku yang bantuin. Martin ikut meyakinkan aku.
Aku kembali mengingat-ingat. Rasanya tadi aku tidak melihat motor Martin berada di luar. Mungkin aku juga nggak sempat melihatnya karena terburu-buru. Pakaian yang dikenakan Martin-lah yang menarik perhatianku. Kemeja berwarna merah dengan lengan yang digulung, serta celana panjang bahan berwarna hitam. Rapi sekali. Dari mana, ya"
Dengan pertanyaan yang masih bergelayut aku pun meninggalkan mereka dan pergi mandi. Aku kembali mendatangi mereka setelah selesai mandi. Aku melihat mereka sedang tertawa-tawa dengan pensil yang masih tergenggam di tangan masing-masing.
t . c Emili mana, Kak" Ada di kamar Kak Jessie. Tante Jeni"
Sama Emili juga. Mulutku membulat. Lalu, aku meninggalkan mereka berdua saja. Aku duduk tak jauh, yaitu di ruang makan, sehingga aku bisa mengawasi mereka berdua dan melihat sesuatu yang baru pada hubungan Ernest dan papinya. Aku baru menyadari itu setelah memperhatikan keduanya selama beberapa saat.
Keduanya terlihat begitu dekat, bahkan jauh lebih dekat daripada sebelum Martin terkena PHK. Dahulu, terkadang aku melihat seperti ada celah kecil di antara keduanya. Entah Ernest yang enggan mendekati Martin atau begitu pula sebaliknya. Aneh, ya" Padahal, semestinya seorang ayah dan anak lelakinya bisa sangat dekat, tetapi tidak terjadi antara Ernest dan papinya. Situasinya malah terbalik karena Emilia-lah yang lebih dekat dengan Martin dan Ernest lebih lengket kepadaku. Namun, sekarang" Mereka begitu akrab.
Ada suara yang bergaung dari ruang keluarga dan menyadarkanku. Aku melongok dan tersenyum. Martin dan Ernest-lah yang membuat keributan itu. Dengan menggunakan pensil keduanya asyik bertarung seolah pensil tersebut adalah pedang. Mereka asyik bermain di selasela kesibukan membuat pe-er. Senyum pun tidak lepas dari bibirku melihat pemandangan yang menyenangkan itu.
Mami" Ya, Kak" Kami sedang duduk di belakang dekat kolam ikan. Berdua saja. Emilia sedang tidak ada di rumah karena ikut dengan Kak Jeni, Jessie, dan Jeinita ke salon untuk memotong rambut. Karena Ernest enggan untuk pergi, aku
t . c jadi menemaninya. Kami duduk di belakang sambil memberi makan ikan. Malam itu cuaca cerah, dengan bulan purnama yang bersinar sangat terang serta beberapa bintang yang menemani rembulan.
Ernest-lah yang mengajakku keluar untuk melihat bulan. Sebentar lagi, kan, aku ulang tahun.
Aku tersenyum, sedangkan Ernest nyengir. Mami ingat, kan"
Aku mengusap rambutnya. Ya, iyalah, masa nggak ingat"
Aku ada permintaan, boleh, nggak"
Tanganku terangkat dan merangkul pundaknya. Boleh, dong. Kakak mau minta kado apa"
Aku punya dua. Salah satu alisku terangkat. Dua"
Anggukan kepala Ernest mantap. Aku mau sepeda. Oke, yang satu lagi"
Kaki Ernest bergoyang-goyang di dalam air sehingga terdengar suara kecipak dan menciptakan ombak kecil di sekelilingnya. Matanya menatapku dengan sedikit takut dan penuh harap. Aku mau & Mami dan Papi baikan.
Aku menahan napas. Aku tidak menyangka permintaan kado dari Ernest begitu ... menyentuh sekaligus menyesakkan. Aku langsung memeluknya erat sembari menahan air mata yang merebak.
Kira-kira ... bisa nggak, Mam"
Aku sadar bahwa kebersamaan kami begitu penting untuk Ernest. Mungkin segalanya. Aku mencium keningnya. Semoga aku tidak salah mengambil keputusan.
Hari berikutnya, Martin datang lagi mengunjungi kami. Aku memutuskan untuk mengajaknya berbicara. Tin, bisa bicara
t . c sebentar" Martin mengerutkan keningnya. Dia pun menurunkan Emilia. Bisa.
Dengan sedikit membungkuk, aku berbicara kepada Emilia. Emili main sama Kakak dulu, ya. Lalu, aku beralih kepada Ernest. Kak, ajak Emili main dulu, gih. Oke, Mam.
Sambil bergandengan tangan, keduanya berlari ke dalam. Aku mengajak Martin keluar dan berbicara di pinggir kolam renang. Setelah memastikan anak-anak sudah masuk, aku segera berkata, Kemarin Ernest bicara kepadaku.
Kerut di kening Martin semakin dalam. Oh, ya" Bicara apa" Dia ada masalah"
Nggak, cuma ada permintaan buat kado ulang tahun. Martin terlihat menarik napas lega. Dia minta apa" Sepeda.
Martin mengangguk. Feeling-ku tepat. Aku juga baru mikir mau belikan Ernest sepeda sebagai kado ulang tahunnya. Soalnya sepedanya, kan, udah rusak.
Dan, dia minta kita baikan, tambahku dengan suara datar.
Senyum Martin memudar. Wajahnya melembut. Dia yang ngomong begitu"
Aku mengangguk. Tanganku bersedekap di depan dada. Aku rasa ... nggak ada alasan untuk mengecewakannya. Jadi" tanya Martin dengan nada waswas.
Sebenarnya, dia tidak boleh meminta itu, Tin. Dia masih terlalu kecil untuk ikut merasakan semua yang terjadi di antara kita. Aku terdiam dan memandang lekat ke wajah & suamiku. Aku rasa kesempatan kedua itu berhak dimiliki oleh siapa pun. Milik Ernest, Emilia, aku, dan ... kamu.
Martin tercekat. Binar di matanya bersinar-sinar. Benarkah"
t . c Aku tersenyum kikuk serta mengangguk. Aku memutuskan untuk memaafkanmu. Tapi, aku minta kita tidak memulainya dengan terburu-buru. Semua perlahan ....
Martin ikut tersenyum. Senyum yang begitu lega dan bahagia. Perlahan ... aku setuju.
Aku mengangkat bahuku pelan. Aku belum bisa percaya sepenuhnya, Tin. Tapi, aku berharap luka di hatiku akan sembuh dengan berjalannya waktu ....
Martin berjalan mendekat dan memelukku erat sebagai ungkapan lega serta syukurnya.
Terima kasih, ya, Babe. Terima kasih ....
Pelukan Martin kali ini menghancurkan jarak yang selama ini terbentang di antara kami. Aku bisa mencium wangi parfumnya yang samar bercampur dengan keringat yang sudah begitu familier. Aku memejamkan mata dalam-dalam. Aku kangen bau ini. Aku kangen Martin. Martin yang aku kenal selama ini. Aku kangen sentuhan dan pelukan seperti ini.
Martin melepaskan pelukannya, lalu mengecup pipi dan keningku. Sedetik kemudian aku merasa malu dan canggung. Ini seperti kencan pertama. Setidaknya, aku merasakan seperti itu.
Jadi, ini sebuah awal" tanya Martin seolah membaca isi benakku.
Ya, sebuah awal yang baru. Aku menyetujuinya. Kemudian, aku mundur beberapa langkah untuk mengatakannya sekali lagi agar semuanya menjadi lebih jelas, Tapi, aku mau kamu mengerti ... aku ingin semuanya perlahan karena aku juga sekaligus menyusun serta mengembalikan rasa percaya itu menjadi utuh. Jadi, tolong maklum kalau aku masih agak ... menjaga jarak dan mungkin sedikit canggung ....
Martin membelai pipiku. Aku akan menunggu, Babe .... Aku mengangguk dengan lega. Martin menaruh kedua
t . c tangannya di pundakku, lalu perlahan turun untuk membelai lenganku dan berakhir di telapak tanganku. Kedua tangan kami menyatu. Kehangatan dengan cepat menyebar. Jemari kami saling bertaut.
Jadi, kalian akan pulang" bisik Martin di telingaku. Kedua tanganku membalas genggaman tangan Martin lebih erat. Soon. []
t . c epasang tangan mendarat di bahuku, juga kecupan di puncak kepala. Morning, Babe.
Tubuhku seperti terkena setruman listrik, yang mengalir cepat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rasanya aku belum terbiasa mendapatkan kembali kemesraan ini dari Martin.
Kami memang hanya berpisah selama dua bulan. Namun, dua bulan itu penuh duka, air mata, pertimbangan, dan penyadaran diri. Dua bulan yang membuat Martin menyadari kesalahannya dan aku juga menyadari kesalahanku. Dua bulan yang membuatku berani memberi maaf. Dua bulan yang memaksa kami untuk kembali ke sembilan tahun yang lalu.
Kami kembali ke titik nol. Pernikahan ini harus kami mulai dari awal.
Di sinilah kami berada sekarang. Kembali berada di satu rumah yang sudah kami tempati sejak awal pernikahan. Aku dan anak-anak sudah kembali kemari selama satu minggu. Jangan ditanya betapa canggungnya ketika aku harus kembali kemari.
Aku melirik ke arah Martin yang sekarang duduk tepat di
t . c hadapanku sambil menyesap kopinya. Martin menangkap lirikan mataku dengan cepat. Tangannya terulur meraih tanganku. Kamu kenapa" Kok, diam aja"
Aku menggeleng sambil tersenyum singkat. Aku melanjutkan apa yang aku kerjakan sebelum Martin muncul, yaitu mengoleskan roti dengan selai cokelat kacang untuk Emilia dan Ernest. Sejujurnya, aku masih sedikit menjaga jarak. Aku tahu bahwa kami sudah sepakat untuk memulai segala sesuatunya dari awal. Hanya saja, aku butuh waktu untuk mengembalikan setidaknya rasa percaya diriku, juga kepercayaanku kepada Martin.
Babe" Aku mengangkat kepalaku, Hm" Kamu yakin nggak apa-apa" Beneran.
Yakin" Banget. Martin menyunggingkan senyumnya. Aku menatapnya dengan heran karena nggak mengerti arti senyumnya tersebut. Kenapa"
Martin menggeleng sambil menggigit roti selai cokelat kacang yang sudah dicomotnya sebelum aku melarangnya. Aku hanya bisa tambah melotot melihat tangan sudah siap mencomot lagi roti yang sudah tersusun rapi tersebut. Dengan cepat aku memukul tangannya. He! Itu untuk anakanak. Jangan dicomotin terus, dong.
Martin tertawa. Aku jadi sedikit risi karena Martin menatapku sedemikian rupa sehingga dia terlihat ingin sekali menelanku bulat-bulat.
What" Aku mendelik. Nggak apa-apa.
Jadi, jangan ngelihatin aku kayak gitu! Kayak gitu gimana"
t . c Kayak kamu mau makan aku! gerutuku kesal. Martin tertawa terbahak-bahak. Dia berdiri dan berlutut di sampingku sebelum memutar tubuhku agar menghadap kepada dirinya. Pada saat bersamaan dia menggenggam tanganku. Aku akan merebut kembali hati kamu ... dan menempatkannya pada tempat yang disebut kepercayaan. Bagaimanapun caranya. Seberapa rumit dan susahnya akan aku jalani.
Kupandangi jemari Martin yang sekarang menyelimuti jemariku. Anggukan kecil kepalaku mampu membuat senyum begitu lebar di bibirnya.
Kamu mau nunggu" Aku terbuka dengan perasaanku yang sesungguhnya. Hatiku masih terluka dan sekarang dalam proses penyembuhan. Kapan sembuhnya" Hanya Tuhan yang tahu. Semuanya butuh waktu.
Sampai kapan pun. Martin memajukan tubuhnya serta mengecup pipiku ringan, lembut, dan manis. Aku begitu terlena sehingga begitu Martin menarik kepalanya, aku masih merasakan rasa kecupan itu tertinggal di pipiku. Aku bisa merasakan wajahku memerah ketika menyadari bahwa aku begitu terbuai dengan kecupannya. Setelah itu, dia membelai kedua pipiku, lalu mengecup keningku.
Martin kembali duduk di bangku, bertepatan dengan munculnya Emilia, yang bisa ditebak, langsung gelendotan di pangkuan papinya. Ernest duduk di sebelahku. Dia menikmati sarapannya dalam diam, sedangkan Emilia terus nyerocos meskipun mulutnya penuh dengan roti. Aku dan Martin hanya tersenyum dalam diam mendengarkan celotehannya yang ngalor-ngidul dan lucu.
Aku menangkap lirikan mata Martin yang ditujukan kepadaku dari balik rambut Emilia. Dia mengedipkan matanya, yang langsung menciptakan sebentuk senyuman di bibirku.
t . c Mami" Ya, Kak" Aku menoleh ke Ernest.
Jadi, kita nggak akan pindah lagi, kan" Mami dan Papi udah baikan"
Refleks mataku melirik ke arah Martin, yang ternyata sedang memandangku juga. Aku menarik Ernest mendekat dan mencium puncak kepalanya.
Kita akan baik-baik saja, Kak.
Jadi, aku dapat kado ulang tahun lebih awal" Wow! Ernest mengungkapkan kebahagiaannya.
Aku tertawa. Martin memeluk Emilia dan melahap roti yang dipegang Emilia sehingga malaikat mungil itu protes. Aku harus membuatkannya kembali roti berlapis selai cokelat kacang yang sudah disantap oleh papinya.
Ayo, sekarang berangkat! Emilia melompat dari pangkuan papinya dan Ernest mengambil tasnya. Aku mengantar mereka ke depan. Anakanak sudah mendahului Martin. Aku tak sempat mengelak ketika dia berbalik serta memeluk pinggangku.
Aku pergi dulu, Babe. Satu kecupan lagi mendarat di pipiku. Lalu, dia melepaskan pinggangku dengan senyum dan kedipan mata yang jenaka.
Hati-hati, ya! Ketiganya melambaikan tangan dengan riang dan meninggalkan aku terpaku menatap kepergian mereka. Aku menyentuh pipiku yang terasa hangat. Begitu juga hatiku.
Ini awal segalanya, sekaligus melanjutkan yang pernah terputus ....
Aku menggigit bibirku, lalu tanpa bisa aku cegah, senyumku tersungging.
Atau .... t . c Menambal yang pernah pecah atau retak dan perlahan menjadi sembuh.
Aku pun masuk kembali ke dalam dan tak pernah merasa seringan ini.
Aku sedang bersiap-siap untuk melakukan yoga. Kali ini di rumahku sendiri karena Paula sedang ke luar kota untuk memberikan pelatihan di salah satu pusat pelatihan yoga ternama. Aku berniat untuk mengulang pelajarannya kembali sebelum dia akan mengujiku apakah aku sudah siap untuk mengajar atau tidak.
Aku, sih, merasa belum siap. Argh, rasanya tidak bakal siap.
Rumah yang tenang membantuku untuk bisa lebih berkonsentrasi. Aku mengambil tempat di dalam kamar dengan cara menggeser tempat tidurku agar bisa mendapatkan ruangan yang lebih lega.
Kemudian, aku meredupkan lampu kamar dan membiarkan sinar matahari yang masuk ke dalam kamar menjadi cahaya penerangan. Setelah siap dengan tempat, aku meneguk air putih dan melakukan pemanasan.
Latihanku berjalan dengan lancar. Aku bisa mengingat hampir semua gerakan hingga yang terumit sekalipun. Aku mulai bisa merasakan tubuhku terbiasa olehnya. Ketika aku sedang melakukan warrior pose, aku menutup mataku, meresapi semua gerakan hingga ke dalam otot. Lalu, aku mengubah posisiku menjadi child pose. Ketika aku mengangkat tubuh serta membuka mataku, Martin sudah berdiri di depan pintu.
Aku nggak dengar kamu masuk.
Martin berdiri di depan pintu dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana jinnya.
Kamu kelihatan tenang. t . c Aku menyetujuinya. Yoga memang menenangkan. Aku mulai melakukan pendinginan, kemudian mengambil air minum dan menyalakan lampu kamar.
Entah kenapa, aku senang melihat kamu melakukan yoga.
Kamu suka melihat aku yang keringetan seperti ini dan melakukan pose-pose aneh" You weird.
Martin mengembuskan tawa. Kamu ... bersinar. Sekarang giliran aku yang tertawa. Bohlam, dong. Beneran, Babe. Kamu, kan, nggak tahu berapa lama aku berdiri di sini. Aku memperhatikan kamu dan kecantikan kamu benar-benar terpancar.
Makasih, ya, sahutku sedikit malu. Perasaanku agak aneh ketika Martin memujiku. Mungkin karena belum terbiasa.
Martin berjalan mendekat. Ada yang ingin aku omongin.
Aku mengangguk. Aku juga. Yuk, keluar saja. Di sini panas.
Kamu dulu, ujar Martin ketika kami sudah di luar kamar dan duduk di kursi ruang makan. Martin duduk tak jauh dariku setelah sebelumnya dia meminta Mbak Nani mengambilkan semangkuk bubur kacang hijau yang sudah didinginkan di kulkas untuk Martin.
Sebentar lagi Ernest ulang tahun.
Sebuah senyum tersungging di bibir Martin, yang membuatku jadi bertanya-tanya. Kenapa" Kok, malah senyum"
Aku juga hendak membicarakan hal yang sama. Aku mengulum senyumku. Rupanya otak kita terkoneksi satu sama lain.
Kayak bluetooth. Aku tertawa. Kamu ingat, kan, dulu aku pernah cerita"
t . c Ernest pernah bilang dia ingin sepeda baru.
Martin mengangguk setuju. Kita bisa membelikannya sepeda baru.
Aku menggigit bibirku. Kamu yakin" Aku sudah sempat browsing, kelihatannya mahal-mahal.
Nggak apa-apa. Lagian, aku sudah menjual mobilku. Jadi, nggak ada salahnya mengambil sedikit untuk membeli sepedanya.
Tapi, cara lainnya, kan, kita bisa menjelaskan kepada Ernest atau membelikannya hadiah yang lain.
Jangan khawatir. Nanti aku cari yang murah saja. Lagian, sepedanya memang sudah harus diganti. Sudah kekecilan dan rusak pula. Ernest pasti nggak nyaman. Kamu lihat nggak kalau dia sudah tambah tinggi"
Tingginya hampir mengalahkan tinggiku. Jangan-jangan dia bakal jadi jangkung.
Pasti akan ngalahin aku. Martin ikut nyeletuk. Oke. Jadi, menurutku, kita nggak usah pergi makan keluar. Aku nanti akan masak dengan Mbak Nani saja. Kalau kue, kita beli aja.
Martin tertawa. Nggak usah maksain diri, kok, Babe. Kita beli saja kuenya. Yang biasa-biasa aja, nggak seberapa mahal, kali.
Bubur kacang hijau sudah dihidangkan oleh Mbak Nani. Ternyata, Mbak Nani membawakan untukku juga. Kami asyik menyantapnya berdua diselingi percakapan yang ringan.
Bagaimana kalau kita nonton nanti malam" Martin memberi usul.
Aku berhenti menyendokkan bubur kacang hijauku. Nonton" Rasanya sudah lama sekali aku mendengar kata yang menjadi hobiku dan Martin itu.
Ke bioskop. Martin memperjelasnya. Anak-anak, kan,
t . c bisa sama Mbak Nani. Seperti dulu lagi. Aku kangen pergi kencan berdua saja dengan kamu.
Aku tertawa. Kita bukan remaja lagi, loh. Kencan rasanya bukan kata yang tepat.
Martin tidak menggubris perkataanku. Mau, ya" Kita memang udah bukan ABG lagi, tapi nggak apa-apa, kan, sekali-kali bertingkah kayak mereka. Satu alisnya terangkat, mencoba untuk menggodaku.
Aku tertawa terbahak-bahak dan berseru, Gila kamu. Ngaca, dong.
Aku, sih, pede-pede aja. Biarin aja mukaku dibilang tua. Itu namanya nggak tahu diri.
Jadi, mau nggak malam Selasa-an denganku" Dijamin pulangnya akan membawa senyum lebar di wajah kamu.
Bibirku mengulum senyum. Oke. Kita pacaran nanti malam.
Kursinya nomor berapa" Aku lupa.
F8 dan F9. Aku memberitahunya setelah memperhatikan tulisan di dua lembar tiket yang sedang aku pegang. Martin duduk di pinggir dekat lorong dan aku menghempaskan diri di sebelahnya. Aku menyodorkan popcorn kepada Martin, yang dengan cepat digenggamnya, sedangkan minuman dingin aku taruh di tempat minum di ujung kursi.
Penonton mulai berdatangan dan memenuhi bioskop. Tangan kami berebutan masuk ke dalam kotak popcorn. Kami sempat saling mendorong tangan kami satu sama lain sebelum akhirnya dengan gemas aku merebut kotak tersebut karena Martin terlalu memonopolinya dan membuatku hampir tidak kebagian.
Rakus, bisik Martin di telingaku. Aku melotot di tengah kegelapan, mencari matanya dan balik berbisik, Kamu yang
t . c rakus! Tangan kamu, kan, besar. Aku jadi kalah sama kamu.
Tanpa kuduga dia malah mengecup pipiku dengan cepat. Nyosor tepatnya. Sesudah melakukannya, dia bersandar lagi di kursi, malah tersenyum lebar.
Dasar iseng! He, this is our second first date, boleh, dong .... Aku merengut, sedangkan Martin tertawa. Begitu film benar-benar dimulai, kami mulai serius menontonnya. Setelah selesai menonton, kami berpisah ke toilet. Namun, begitu aku keluar, aku tidak menemukan Martin di mana-mana. Ampun, deh! Seperti anak bocah saja menghilang begitu saja. Aku mulai meneleponnya. Tak diangkat. Aku malah menerima SMS darinya.
Ketemu di toko buku, Babe. Bentar, ya, ada yang mesti aku beli buat Emili dan Ernest.
Mengapa tidak bilang dari tadi, sih" Aku segera pergi menuju toko buku. Sesampainya di sana, Martin belum terlihat. Untuk membunuh waktu aku masuk ke untuk cuci mata. Namun, Martin tidak juga datang. Aku keluar dari toko buku dan ... itu dia!
Martin berjalan dengan santai menuju arahku. Kok, manyun" sapa Martin.
Kamu ke mana aja" Lama banget.
Martin tersenyum sambil memeluk pundakku dan kami berjalan meninggalkan toko buku. Begitu sampai di mobil, secara mengejutkan, Martin mengeluarkan kotak mungil. Apa ini"
Hadiah kecil buat kamu. Aku membukanya dan begitu melihat isinya, aku tersenyum penuh haru. You shouldn t have, Tin. Aku
t . c memandangi cincin itu dengan senyum merekah. Cincin itu bukanlah cincin emas bermata berlian, melainkan cincin perak dengan gambar malaikat di atasnya.
Kamu suka" Aku mengangguk. Thanks, ya.
Kenapa kamu belikan aku cincin ini" Mataku beralih dari cincin kepada Martin.
Karena ... kamu malaikatku.
Aku tertawa mendengus, sedikit sinis mendengar katakatanya. Hari gini masih gombal" Ketinggalan zaman, deh.
Martin tidak tersinggung. Dia malah mengecup jariku, Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan kalau nggak ada kamu, Babe. Aku tidak mungkin akan jadi seperti ini. Aku bersyukur punya seorang malaikat yang menerima aku apa adanya. Itu kamu. Aku pernah menyakitimu, tapi kamu mau memaafkan aku dan bersedia untuk mengarungi hidup ini bersamaku lagi.
You re welcome, Hon. Raut wajahnya berubah, rasa terkejut campur haru. Aku kembali bingung. Kenapa" Ada apa"
Ini kali pertama kamu kembali memanggilku Hon setelah ... kejadian itu. Tangan kami saling bergenggaman sepanjang perjalanan pulang. Tiba-tiba Martin menyemburkan tawa. Kita kayak ABG, ya.
Aku mengelus cincin baruku. We are. []
t . c da apa, sih, Mam .... Mata Ernest masih setengah terpejam. Dengan suara serak dia protes karena dibangunkan pada pagi buta. Aku membimbingnya berjalan terseok-seok menuju ruang keluarga. Aku sengaja membangunkannya pada pukul 5.00 pagi.
Mamiii ... aku masih ngantuk ....
Ssstt & jangan berisik, Emili masih bobok. Aku berbisik di telinganya.
Mami nggak adil, kenapa aku aja yang dibangunin" Emili aja masih bobok. Ernest bertambah protes. Langkahnya terhenti ketika dia melihat sesuatu di ruang keluarga. Matanya yang tadi masih menyipit karena menahan kantuk sekarang terbuka melebar. Dia menguceknya berkali-kali. Sepeda ..., dia berdesis pelan.
Di sana sudah ada sepeda keren berwarna hitam dan merah. Sepeda itu dipegang oleh Martin yang juga sudah menunggu di sana. Kepalanya menoleh dengan cepat kepadaku.
Mami .... Happy birthday, Sayang .... Aku mengecup pipinya dan memeluknya erat.
t . c Happy birthday, boy! Ayo, sini, coba sepeda baru kamu. Martin yang berdiri di sebelah sepeda itu memanggil Ernest.
Aku sampai harus mendorong bahunya dengan lembut karena dia begitu terpana melihat hadiah ulang tahun yang kami berikan kepadanya.
Wow .... Mulut Ernest komat-kamit tanpa suara. Dia benar-benar mengagumi sepeda barunya. Martin mengecup puncak kepalanya dan memeluknya dari belakang.


For Better Or Worse Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Ernest yang cemerlang bergantian menatapku, sepeda, dan papinya. Dari mulutnya terus-menerus mengucapkan kata wow. Senyum superlebar tak lepas dari wajahnya.
Bilang apa, dong, Kak, ke Papi" Papi yang cariin, loh. Aku mengingatkan Ernest.
Ernest berbalik ke Martin dan berkata, Terima kasih, Papi.
Sana peluk Mami kamu dulu. Mami yang mengusulkannya, seru Martin. Ernest berlari kepadaku. Aku memeluknya erat. Lalu, Ernest kembali lagi ke sepedanya.
Boleh nggak aku coba sekarang, Mam"
Aku mengangguk. Tapi, jangan berisik, ya. Di depan aja.
Sini, Papi temenin. Dari balik jendela aku menyempatkan diri untuk memperhatikan mereka. Pancaran bahagia tercetak di wajah masing-masing. Ikatan di antara mereka semakin kuat dan dekat. Aku rasa keduanya sudah menerima kembali posisi masing-masing di hati mereka.
Sebagai ayah dan anak lelakinya. Kado ini bukan hanya untuk Ernest. Melainkan, juga untukku.
t . c Ernest menampakkan senyumnya yang paling lebar dan tawanya yang paling keras ketika malam harinya kami merayakan ulang tahunnya. Pestanya sederhana, kami hanya merayakannya di rumah, berempat saja. Aku keluar dari dapur dengan seloyang kue strawberry cheesecake kesukaan Ernest. Lilin-lilin berjumlah sembilan yang menyala di atas kue bergoyang ke sana kemari bak cahaya peri yang menari-nari.
Kami menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dan Emilia membuat segalanya menjadi meriah. Nada suaranya naik-turun tak keruan dan kami tak bisa menyanyikan lagu dengan benar karena diselingi tawa. Martin yang sedang memegang kamera untuk merekam acara ulang tahun pun ikut terbahak. Aku berani jamin, hasil rekamannya pasti tidak akan sempurna karena tangannya terus bergoyang.
Setelah selesai meniup lilin, kami pun menikmati makan malam. Emilia sudah tidak sabar untuk memakan kue ulang tahun Ernest sehingga dia memilih untuk mencomot buah stroberinya. Martin harus menahan Emilia sebelum dia menghabiskan semua buah stroberi yang ada. Cepat-cepat aku memotong dan membagikan kue tersebut sebelum menjadi berantakan karena ulah Emilia.
Mamii! Nambah! Aku juga! Ernest tidak mau kalah menyodorkan piringnya yang sudah kosong. Aku hanya bisa menggelenggelengkan kepala. Hari ini adalah hari yang istimewa. Jadi, aku berbaik hati dengan memotong kembali kue, lalu menaruhnya di piring mereka sembari berkata, Satu saja lagi, ya! Nggak boleh banyak-banyak. Habis ini jangan lupa sikat gigi!
Oke, Mami! Keduanya menyahut berbarengan. Setelah selesai makan, sementara aku membantu Mbak
t . c Nani beres-beres, Martin mengajak keduanya bermain. Ernest kembali mencoba sepeda barunya. Emilia tidak mau kalah ikut menaiki sepeda mininya yang berwarna pink.
Seperti perkiraanku, mereka cepat tidur karena kelelahan dan kekenyangan, menyisakan rasa lelah sekaligus kelegaan yang sangat menyenangkan. Aku bahagia jika melihat orangorang yang aku cintai juga bahagia.
Aku terduduk kelelahan dengan kaki selonjor di sofa. Aku mengangkat tanganku dan menggenggam bantal yang menopang kepalaku. Ah, enak sekali rasanya bisa meluruskan seluruh badan. Aku memejamkan mataku tanpa mematikan televisi agar tidak terasa sepi.
Baru beberapa menit aku mencium aroma kue yang aku kenal. Aroma kue tersebut begitu menggoda. Aku membuka mata dan melihat ternyata kue itu begitu dekat dengan wajahku.
Pantas saja aku rasanya mencium bau kue. Martin menyodorkan piring kecil berisi kue kepadaku. Aku bangun dari posisi tubuhku yang berbaring dan menerimanya. Sepotong kecil aku sendokkan untuk Martin yang langsung dilahapnya. Kami menikmatinya bersamasama. Martin mengambil kakiku, menaruhnya di pangkuannya dan mulai memijatnya perlahan.
Mau nonton film" Martin mengusulkan begitu melihat tayangan televisi yang membosankan. Aku mengangguk. Dia mulai memilih DVD yang akan ditonton dan menyalakannya.
Film horor" Tunjukku ke layar televisi begitu mulai terlihat jelas awal filmnya.
Biar nggak gampang ngantuk. Nggak romantis.
Martin mengerling. Akan jadi romantis kalau kamu ketakutan dan memelukku.
Aku mencibir. Sooo ABG!!
t . c Kan, sudah aku bilang, aku ABG.
Aku memutar bola mataku. Namun, aku tetap ikut menontonnya. Film Woman in Black memang mencekam, tetapi mataku tetap terbuka untuk menontonnya karena aku memang menyukai film horor. Ketegangan yang disajikan oleh dark movie seperti ini memang dari awal hingga akhir. Pada pertengahan film Martin meremas telapak kakiku. Babe.
Ya" balasku dengan mata tetap tertuju pada film yang kutonton. Kue yang diambilkan oleh Martin sudah habis sedari tadi dan aku sedang berkonsentrasi penuh sampai Martin merusaknya.
Martin melepaskan kacamata yang dia kenakan. Ada yang ingin aku kasih tahu ....
Ucapan Martin yang sedikit menggantung membuatku menoleh serta menatapnya. Tampak Martin juga sedang menatapku. Aku meneliti wajahnya dengan saksama. Jantungku berdegup kencang. Berita baik atau buruk, ya" Aku masih menerka-nerka maksud terselubung pada kalimat Martin.
Soal" Sebenarnya, aku mau kasih tahu tadi sore, tapi kamu lagi sibuk, jadi ....
Aku merasakan kakiku dipijat kembali. Bukannya menenangkanku, yang ada aku malah jadi gugup. Kamu tahu Kak Andre"
Kak Andre" Bodoh amat kalau sampai aku tidak tahu. Tentu saja aku tahu meskipun aku tidak begitu dekat dengannya. Kak Andre adalah sepupu Martin yang keluarganya cukup berada. Dia sekarang memimpin perusahaan ayahnya setelah ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu.
Tahu, dong. Memangnya kenapa dengan Kak Andre" Aku sempat menghubunginya beberapa waktu yang lalu.
t . c Sempat ngobrol banyak. Terus tadi siang dia menghubungiku. Kak Andre menawariku pekerjaan. Di perusahaannya.
Di Fast Cars" tanyaku untuk memastikannya. Perusahaan yang didirikan oleh pamannya Martin, Om Jerry, ini sudah berusia cukup lama. Perusahaannya sendiri tidak terlalu besar dan pada dasarnya menjadi perusahaan keluarga yang isinya kebanyakan sepupu atau saudara dari pihak keluarga ayah Martin. Fast Cars adalah distributor aksesori mobil.
Martin mengangguk, Yes. Dia memintaku membantu mereka untuk marketing-nya yang agak kedodoran. Padahal, mereka sedang maju dan banyak produk baru. Aku harus membuat marketing plan yang baru dan juga promosinya.
Jadi ..." Martin mengulum senyumnya. Jadi & besok aku akan mulai bekerja.
Senyumku ikut mengembang. Hatiku membuncah dengan rasa bahagia dan lega yang luar biasa. Aku bangun dari dudukku dan melempar diriku ke arah Martin serta memeluknya erat.
I m so happy for you! bisikku penuh haru. Martin membalas pelukanku. I m so happy for us, Babe.
Aku mengendurkan pelukanku dan mengecup pipinya. Hari yang menyenangkan, bukan"
Hari yang tak terlupakan, ujar Martin. And & Babe" Hm"
Martin menggenggam tanganku lembut dan berkata, I love you.
Aku tersenyum. Hari ini menjadi hari yang superdupermenyenangkan. Ulang tahun Ernest, senyum yang akan terus aku ingat ketika dia menerima kadonya, makan
t . c malam yang fun, kue yang lezat, dan ditutup dengan kabar baik dari Martin.
I couldn t ask for more ....[]
t . c erlahan keluarga kami yang sempat berantakan mulai menyatu dan merekat lagi satu sama lain. Martin sudah kembali bekerja. Meskipun gajinya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, setidaknya mencukupi. Martin juga tidak mengeluh akan hal itu. Aku melihat dia cukup menikmati pekerjaan barunya.
Tak terasa dua bulan sudah berlalu. Jadwal harian di rumah pun tersusun dengan rapi dan disepakati oleh seluruh anggota keluarga. Setiap pagi Martin-lah yang mengantar anak-anak sekolah, sedangkan aku ke rumah Paula untuk berlatih yoga. Setelah selesai latihan, aku menjemput anakanak dan menghabiskan waktu bersama mereka. Namun, terkadang aku berlatih bersama Paula pada sore hari jika jadwal Paula tidak memungkinkan.
Bicara soal sesi pelatihanku bersama Paula, latihan yoga yang aku terima semakin intensif. Paula sendiri yang menyarankan agar aku berlatih setiap hari untuk mempersiapkan diri menjadi pengajar. Di sela-selanya dia juga mulai membimbing agar aku memberanikan diri mengajar di studionya. Tidak setiap hari, kira-kira seminggu sekali, tentu saja dengan bimbingan dirinya juga. Selain itu, di sesi pelatihan privat aku dan dirinya, dia membiarkan aku
t . c berdiri di depan seolah aku sedang membimbing pelatihan yoga untuk dirinya.
Gimana, Darl" Sudah pede belum kalau gue lepas untuk ngajar" tanya Paula tak lama setelah sesi latihan berakhir. Sendiri"
Yup. Masa mau gue tongkrongin melulu"
Aku memandang Paula dengan ragu, lalu menutupinya dengan senyum yang lebar. Pede is not my middle name.
Paula tertawa. Dia tampak sedang membersihkan peluh di wajah dan tangannya. Wajahnya jadi bersemu kemerahan.
Ayolah. Murid privat gue udah banyak banget dan hampir nggak kepegang. Studio juga butuh guru baru, loh. Paula membujukku.
Nggak tahu, Pol. Bukannya nggak bisa, tapi gue memang kurang pede. Aku berterus terang kepadanya. Oke, gini aja. Bagaimana kalau lo bareng kita-kita" Kita"
Anggukan kepala Paula tambah semangat. Kalau kamu masih belum pede, kita bisa jadi murid pertama lo. Kita itu siapa" tanyaku kebingungan. Gue, Gita, dan Bu Mala.
Aku tertawa. Namun, itu bukan ide yang buruk, kok. Maka, aku pun menyetujuinya. Aku mengacungkan jempol kepadanya. Segera Paula menelepon kedua sahabat kami yang lain.
Seperti usulan Paula, satu minggu kemudian, aku dan ketiga sahabatku kembali berkumpul di rumah Paula untuk sesi yoga yang menjadikanku sebagai gurunya. Ketika bertemu, kami saling menyapa dengan riang. Kami memang sangat senang karena sudah jarang lagi berkumpul.
Lo tambah kurus, kata Mala dengan nada prihatin.
t . c Mala menatapku dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Ceking, tambah Gita ikut-ikutan.
Aku mengecup pipi Gita dan memeluk erat Mala. Seketika rumah Paula menjadi ramai meskipun sesekali Gita menghilang untuk merokok di luar karena Paula tidak mengizinkan Gita merokok di dalam rumah.
Gitaaa & ayo, buang rokok lo! Paula berteriak keluar ketika sesi latihan yang dipimpin olehku akan segera dimulai. I m coming! balas Gita dari luar.
Kami semua sudah siap di dalam studio yang terletak di rumah Paula. Gita muncul belakangan dengan bau rokok. Paula mendelik dan segera menyemprot ruangan untuk mensterilkan bau yang tidak mengenakkan itu. Dia juga memberikan body mist kepada Gita.
Buat apa" Gue nggak bau badan.
Iya, gue tahu. Tapi, lo bau rokok. Itu lebih parah daripada bau badan.
Gita hanya mendengus dan untuk menyenangkan hati Paula, dengan setengah hati dia pun menyemprotkannya ke tubuhnya.
Aku dan ketiga sahabatku pun memulainya. Aku sangat beruntung karena mereka serius melakukannya seolah aku adalah guru mereka. Bahkan, Paula pun juga berlaku layaknya muridku. Ketika aku berkeliling untuk mengawasi gerakan mereka, aku membetulkan posisi Paula dan dia tidak protes sedikit pun. Yang terdengar hanyalah sedikit erangan dari Gita yang bersusah payah melakukan gerakan yang sebenarnya tidak begitu sulit.
Setelah satu jam, latihan pun berakhir. Gita dan Mala terkapar di atas matras yoga, sedangkan Paula mendekatiku. Dia menyodorkan tangannya. Selamat, ya, Guru. Aku tersentak.
Lo yakin, Pol" t . c Banget. Lo udah harus mulai mengajar beberapa sesi sebelum lo bisa terima sertifikat dan lo resmi menyandang guru yoga.
Aku pun menjabat tangannya dengan haru, lalu Paula memelukku. Suasana haru dan bahagia itu langsung hilang begitu mendengar teriakan Gita. Lo berdua udah nyiksa gue! Sumpah gue nggak bakal ikutan ginian lagi!
Aku dan Paula jadi tertawa mendengarnya. Paula menunjuk Gita dan berkata, Itu buktinya kalau lo bisa ngajar dengan bagus.
Untuk newbie yang mau privat, gue akan mengarahkannya ke lo. Sedangkan untuk studio di Menteng, lo bisa mulai ngajar satu sesi tiap minggunya. Kali ini tanpa bimbingan gue. Oke"
Sebenarnya, aku masih ragu, tetapi keyakinan dan kepercayaan yang ditularkan oleh Paula menambah amunisi semangatku. Perlahan kepercayaan diriku bertambah. Aku yakin, cepat atau lambat, aku pasti akan bisa.
Begitu aku pulang ke rumah, perasaanku jadi tidak enak ketika menemukan Emilia belum mandi sore. Laporan Mbak Nani lebih mengejutkan. Emili panas, Bu. Makanya saya nggak mandiin.
Aku bergegas masuk ke kamar. Emilia sedang tiduran dengan lemas. Aku memegang keningnya dan terkejut. Panas sekali!
Kok, nggak kabari saya, Mbak"
Emili juga baru bangun, Bu. Saya juga baru sadar waktu saya bangunin buat mandi.
Aku jadi senewen. Perasaan sewaktu aku tinggal ke rumah Paula tadi tidak panas meskipun Emilia agak sedikit diam. Aku mengecek suhu tubuhnya dahulu dengan termometer.
Aku semakin kaget ketika suhu tubuhnya menunjukkan 40 derajat. Aku sempat bimbang. Menelepon Martin sempat
t . c menjadi pertimbanganku juga, tetapi aku sadar jika aku melakukannya, tidak akan menyelesaikan masalah karena Martin tidak akan bisa kemari.
Aku pun memberinya obat penurun panas. Setelah beberapa saat, perasaanku masih gamang. Emilia sudah tidur, tetapi panasnya tidak turun. Aku memutuskan untuk tidak beranjak dari sisinya. Saking kelelahannya, aku ketiduran hingga Martin pulang.
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu yang dibuka perlahan.
Hai ..., sapa Martin pelan dan duduk di ranjang Emilia. Aku mengusap wajahku. Kayaknya aku ketiduran. Emili sakit. Panas. Aku sudah kasih obat penurun panas.
Martin mengusap punggungku sebelum menggendong Emilia yang terbangun mendengar suara papinya. Manjanya kumat. Martin menggendong dan menimangnya. Dari balik rambut Emilia, Martin bertanya, Kamu sudah mandi"
Aku menggeleng. Sepulang dari berlatih yoga aku memang belum sempat mandi. Martin menyuruhku untuk mandi dahulu dan makan. Maka, aku pun pergi mandi. Sesudahnya, sementara Emilia masih dipegang oleh Martin, aku membantu Ernest untuk belajar karena besok ada tes. Ketika sedang mengulangi pelajaran, aku melihat Martin keluar dari kamar anak-anak.
Tidur lagi" Martin menggeleng. Tadi aku cek lagi suhu tubuhnya. Sudah turun. Sekarang 39. Sekarang lagi tidur-tiduran. Aku mandi dulu.
Aku meminta Mbak Nani untuk menemani Emilia sebentar, sementara aku mengajari Ernest yang bahan belajarnya tinggal sedikit lagi. Setelah selesai, aku, Ernest, dan Martin makan malam. Aku jadi kepikiran untuk membuatkan Emilia bubur. Maka, aku meminta Mbak Nani untuk membuatkan Emilia bubur.
t . c Martin segera kembali ke kamar Emilia untuk menemaninya. Aku ikut masuk.
Papi, temenin Emili di sini, ya. Iya, Papi di sini, kok.
Aku bertanya kepada Emilia. Emili makan, ya" Mbak Nani lagi buatin bubur, tuh.
Nggak mau. Harus makan, dong. Biar cepat sembuh. Bubur nggak enak.
Kalau Papi yang suapin, mau nggak" Mau, ya" Emilia langsung terdiam dan berpikir. Akhirnya, dia mengangguk. Tapi, sama Papi ya.
Martin-lah yang mengurus dan menemani Emilia sepanjang malam itu. Meskipun kelelahan terpancar di wajahnya, dia terlihat begitu sabar. Tak sekali pun dia beranjak dari kamar demi menemani Emilia. Mulai dari menggaruk punggungnya, menyuapinya, memberi obat, dan mengajaknya bermain.
Hingga pukul 10.00 malam, aku melongok ke dalam kamar anak-anak. Ernest sudah tertidur pulas, begitu juga Emilia. Di sampingnya ada Martin yang juga sudah tertidur. Aku membangunkannya.
Hon, pindah saja ke kamar.
Mata Martin menyipit. Lalu, dia menggeleng, Nggak usah, aku tidur di sini saja. Biar aku yang jaga Emili. Kamu yakin"
Kamu tidurlah, Babe. Martin kembali meringkuk di sebelah Emilia dan tak lama ikutan pulas. Aku sempat menempelkan tanganku di kening Emilia. Sudah tidak terlalu panas. Semoga saja besok panasnya sudah hilang.
t . c Aku terbangun ketika merasakan pinggangku dipeluk, padahal aku masih di tempat tidur. Aku pun menoleh dan mendapatkan Martin sudah tidur di belakangku. Jam berapa"
Jam enam. Aku terbangun. Sudah jam enam" Emili"
Panasnya sudah turun. Tadi aku cek sudah 37,5. Tapi, untuk jaga-jaga, lebih baik Emili jangan ke sekolah dulu. Biar istirahat satu hari saja.
Aku merebahkan tubuhku kembali ke ranjang dengan lega, lalu berputar agar bisa menghadap ke Martin. Bagaimana tidurmu"
Seperti tidur sama Emili, sahut Martin dengan mata yang masih terpejam.
Aku tertawa dan mengerti apa yang dimaksud oleh Martin. Tidur sama Emili berarti tidur bersama pendekar dengan tangan kaki yang menendang ke sana kemari. Kalau kamu"
Nyenyak. Thanks, ya, sudah mau nungguin Emili.
My pleasure, Babe. [] ~289~pustaka-indo.blogspot.comh
t . c ku bernapas lega ketika rumahku sudah terlihat dari kejauhan. Macetnya hari ini sungguh keji. Untuk pulang kemari saja harus menghabiskan waktu selama satu jam. Begitu mobil sudah terparkir di garasi, anak-anak langsung berhamburan keluar. Mungkin sudah bosan dan kelaparan. Mamiii & ada Papii!
Aku terkejut mendengarnya. Keningku berkerut dan hati yang bertanya-tanya. Martin sudah pulang" Sekarang, kan, masih siang. Buat apa dia pulang ke rumah jam segini" Karena penasaran, aku pun segera turun dari mobil dan bergegas masuk. Emilia sudah berada di pangkuan Martin yang sedang duduk santai di sofa. Pakaian kerjanya sudah berganti dengan pakaian rumah.
Hai, Hon. Hai, sapa Martin agak lesu. Kok, sudah pulang" Kamu sakit" Jul, duduk sini. Aku mau bicara.
Oh-oh. Ini bukan model bicara yang aku atau semua orang inginkan. Auranya tidak enak, firasatku buruk. Memang, sih, kita tidak boleh berprasangka buruk dahulu, tetapi aku kenal Martin. Aku duduk di sebelah Martin dengan
t . c perasaan gelisah yang mulai merayap, perlahan tetapi pasti, mulai dari ujung kakiku.
Aku mau jelasin sesuatu. Tapi, tolong, jangan marah. Semua ini juga di luar dugaanku .... Martin menahan napas, membuat penjelasannya jadi sedikit menggantung. Hatiku ikut tergantung dengan tali tipis yang siap putus. Aku menunggu dengan cemas sambil berharap bahwa firasatku semuanya salah. Namun, ....
Hari ini aku sudah nggak kerja dengan Kak Andre lagi. Dia memintaku keluar.
Tes! Tali yang menggantung hatiku putus seketika. Bahkan, aku bisa mendengarnya jatuh berdebum ke kakiku.
Martin di-PHK lagi" Aku menggelengkan kepala karena PHK ini rasanya tidak masuk akal. Martin, kan, kerja dengan saudaranya. Sepupunya sendiri. Hatiku meradang. Sumpah, ini keterlaluan! Lebih mengenaskan daripada kita sudah bekerja selama berpuluh-puluh tahun lalu didepak begitu saja. Kenapa" Aku menahan diri untuk tidak berteriak. Martin mengembuskan napas. Sebenarnya, aku udah feeling, sih, Babe. Ada yang nggak suka ketika aku bergabung di sana.
Martin pun bercerita apa yang sebenarnya jadi permasalahan. Karena memang perusahaan keluarga, banyak dari pihak ayah Martin yang membantu di perusahaan tersebut, termasuk adik-adik ayahnya, yaitu omnya Martin. Rupanya om-nya ini, yang merupakan salah seorang direktur di sana, merasa terancam dengan masuknya Martin yang notabene masih muda dan ternyata pintar karena ide-idenya yang cemerlang. Martin sebenarnya sudah merasa karena sering kali disindir mengenai posisinya di perusahaan itu.
Tetap saja, sebagai orang baru di sana yang butuh bekerja, Martin tidak berkutik. Meskipun dia menyandang titel saudara, sebagai orang baru yang bergabung di
t . c perusahaan tersebut, belum tentu Martin dipercaya begitu saja.
Benar saja, Kak Andre ternyata lebih memercayai omnya yang memang sudah lama ikut bersama perusahaan tersebut.
Aku, sih, mengendus adanya konspirasi, Babe. Mungkin dia menghasut Kak Andre dengan mengatakan hal-hal buruk tentang aku.
Aku masih sulit untuk berkata-kata. Aku sudah tak lagi meradang, tetapi siap meledak. Ingin rasanya aku mencekik seseorang. Aku sungguh tidak percaya ada orang yang menjelek-jelekkan Martin. Aku tahu banget bahwa Martin bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh.
Kamu mau aku bicara dengan dia" Rasa gemasku sudah sampai ke ubun-ubun. Ingin rasanya aku pergi ke rumah om-nya Martin itu, memakinya, berteriak, dan memintanya untuk tahu diri. Saudara, sih, saudara, tetapi kelakuannya benar-benar keterlaluan. Itu, kan, sama saja dia mengambil rezeki orang lain dan membuat satu keluarga kehilangan pemasukan!
Martin menggenggam tanganku. Buat apa" Nggak akan menyelesaikan masalah, kan" Terima sajalah. Lagian Om Jon memang sudah jadi orang yang dipercaya di sana. Aku mau bicara sampai berbusa juga nggak akan didengar.
Kemarahanku meluap. Spontan aku berdiri. Setidaknya, aku bisa ngajarin dia untuk nggak jadi orang yang rakus! Dia, kan, semestinya sudah waktunya pensiun! Masalah lainnya, Kak Andre juga udah kayak kebo dicucuk hidungnya, sih, mau aja dengerin si tua bangka itu! seruku dengan suara yang tinggi.
Kalau kesalku sudah pecah begini, aku ingin menangis saja. Mataku berkaca-kaca dan aku meremas kedua tanganku hingga buku-bukunya memutih. Aku sangat kecewa dan kesal. Kalau dia menyebut dirinya saudara, dia
t . c pasti tidak akan menjatuhkan Martin. Melihat emosiku masih meluap-luap, Martin memberiku pelukan untuk menenangkanku.
Kenapa dia bisa tega gitu, Hon" tanyaku lemas. Tega memang kata yang tepat. Bagaimana tidak" Membayangkan Martin yang jobless untuk kali kedua sungguh tidak enak. Kejadian yang lampau kembali mengulang di benakku. Martin di-PHK karena kantornya bangkrut dan menyebabkan keluarga kami sempat terpacah-belah. Mataku terpejam mencoba mengusir bayangan itu. Gimana kalau ... semua terulang lagi" Ya Tuhan, rasanya aku tidak akan sanggup untuk melewatinya sekali lagi ....
Martin memberiku senyuman yang menenangkan, Meskipun saudara, tidak berarti dia akan memperlakukan kita sebagai saudara, Jul. Dia, kan, tetap manusia yang punya sisi serakah.
Kepalaku pening. Apakah belum cukup aku, Martin, keluargaku harus tersiksa seperti ini" Dua kali di-PHK" Apakah akan ada kali ketiga"
Jadi, sekarang bagaimana"
Sekarang kita jalani saja. Aku akan mencari pekerjaan lagi. Mudah-mudahan akan mendapat yang lebih baik. Kamu, konsentrasi dengan kegiatan yoga kamu. Kamu bilang akan segera mengajar bukan" Kita jalani jalanan ini, Jul, aku tahu memang berliku, tetapi aku ada di samping kamu. Begitu juga anak-anak. Kita lalui bersama, ya.
Aku mengangguk. Dalam hati aku sudah membulatkan tekad bahwa aku akan serius menekuni yoga. Pelajaran hidup yang sudah aku dan Martin lalui menjadi pelajaran berharga untukku. Sekarang musibah menimpa kami sekali lagi, tetapi aku bertekad bahwa masalah yang lalu tidak akan terulang kembali. Aku akan terus mendukungnya, apa pun yang terjadi.
t . c Kita memang tidak bisa menghindari takdir. Setidaknya, itu yang aku pelajari dalam hidup ini. Hidupku dan hidup keluargaku. Aku tidak tahu apa yang menantiku di ujung jalan berliku ini, tetapi aku sudah melihat cahaya di ujung sana. Masih jauh, sih, aku juga tidak tahu rintangan apa yang menantiku dan keluarga di sana. Aku tetap memegang katakata Martin bahwa aku tidak sendirian. Ada keluargaku yang selalu berjalan beriringan bersamaku, saling bergandengan tangan dan menopang satu sama lain. Namun, bukan itu saja. Meskipun begitu banyak orang yang berusaha menjatuhkan kami, aku merasa aman karena aku tahu pasti di belakangku ada orang-orang yang mendukung dan mencintaiku. Mereka adalah para sahabatku dan Kak Jeni.
Martin memegang janjinya. Masa lalu bukan untuk sesuatu yang diulangi, melainkan dijadikan pelajaran. Dia sungguh membantu mengurus keluarga karena aku harus bekerja.
Seperti sudah diatur oleh Tuhan, ternyata aku mampu menjalankan rutinitas sebagai guru yoga. Aku bisa mendapatkan tiga orang murid privat dan satu kelas di studio milik Paula. Hm, not bad untuk pemula.
Aku benar-benar menikmati aktivitas ini. Tidak seperti pekerjaanku yang dahulu, yang mengharuskan aku berada di kantor nine to five sehingga waktu untuk keluarga berkurang. Sekarang aku bisa mengatur waktuku sendiri hingga ada banyak waktu yang bisa aku luangkan untuk keluargaku. Pemasukan yang aku terima memang tidak banyak. Namun, setidaknya ada dan sungguh menolong di situasi seperti sekarang.
Ini sebagai bukti bahwa di balik setiap kesusahan, pasti akan ada jalan. Sekecil apa pun, seperti cuaca yang panas menyengat menggila, pasti akan ditutup dengan rintik hujan yang menyejukkan.
t . c Begitu juga kehidupan berkeluarga.[]
t . c esember. Penghujung tahun memang selalu membuat segalanya terasa lebih cepat. Hari, jam, dan segalanya. Rasanya semua serbakurang. Ingin rasanya aku menambahkan waktu sendiri hingga sehari menjadi 48 jam. Ada perayaan Natal, malam Tahun Baru, kelas-kelas yoga yang privat maupun di studio Paula. Pokoknya, sibuk, sibuk, dan sibuk. Belum lagi anakanak yang libur pasti akan menjadikan rumah menjadi ramai. Sumpah, 24 jam rasanya tak cukup bagiku.
Tentu saja ada hari-hari yang penuh teriakan, tangisan, dan keruwetan. Namun, tidak ada yang lebih istimewa dengan berkumpul bersama keluarga. Bagiku, Desember selalu menyenangkan. Aku menyebutnya bulan liburan.
Mengapa bulan ini terasa istimewa" Karena Emilia akan ikut serta dalam pentas Natal pertamanya di sekolah. Dia mendapat peran sebagai seekor domba. Emilia bangganya bukan main.
Aku akan jadi domba! Nanti Emili pakai baju domba yang ada buntutnya, Mami!
Ketika mendengar Emilia bercerita, Ernest memutar bola matanya. Domba, kan, nggak ngapa-ngapain. Cuma
t . c bersuara mbek-mbek , terus mondar-mandir. Nggak seru!
Aku memperingatkan Ernest dengan menggeleng sebagai isyarat untuk tidak berkata apa-apa lagi. Gara-gara komentar Ernest, bisa jadi semangat Emilia tadinya di puncak gunung jadi secepat kilat terjun bebas. Jadi, lebih baik Ernest tidak berkata macam-macam. Ernest pun mengerti isyarat yang aku berikan dan merapatkan mulutnya dengan agak dongkol.
Dia ikut berkata seolah tak mau kalah. Lebih bagusan aku, dong. Aku nanti jadi pemeran utama, loh, Mam, seru Ernest seakan tidak mau kalah.
Ha" Pemeran" Drama" Pentas" Jadi, Ernest akan main drama juga" Aku tidak mengerti dan menoleh penuh rasa ingin tahu. Pemeran utama maksudnya apa, ya, Kak"
Ernest memberikan tatapan yang sama seperti yang dia berikan kepada Emilia barusan. Sama kayak Emilia, Mami. Aku main sebagai Yosef, nanti aku pakai rambut palsu dan baju jubah gitu .... Pokoknya, bakal mirip, deh, Mam. Oh, ya, aku juga bawa tongkat ....
Aku masih tersesat di percakapan ini. Jadi, Kakak ada acara pentas juga"
Mami lupa, ya" Ada acara Natal di sekolah. Aku main drama. Ingat, kannn?""
Oh no. Aku lupa. Aku benar-benar lupa. Kalender meja yang berada di dekatku segera aku sambar dan aku segera memeriksanya. Betul saja. Padahal, aku sendiri yang menandainya. 18 Desember. Aku benar-benar perlu obat penguat ingatan, deh.
Mami beneran lupa, ya" Nada suara Ernest sedikit menuduh. Aku menggeleng karena aku tidak mau mengecewakannya. Ingat, kok, Kak. Tuh, kan, sudah Mami tulis di kalender.
Pokoknya, Mami nanti harus datang, ya.
Pasti dong. Papi juga. Aku mengulurkan tangan untuk membelai kepalanya. Gigi putih Ernest tampak begitu dia
t . c tersenyum lebar. Lalu, dia mulai mengoceh tentang drama tersebut, serta perannya yang terdengar hebat. Aku tahu dia sangat bersemangat dan tidak sabar menanti drama sekolah ini. Aku hanya diam dan tersenyum mendengarkannya.
Jadi, sepertinya perkiraanku salah. Kesibukanku akan bertambah dengan harus menghadiri pentas drama Ernest juga.
Namun, kali ini kesibukan ini malah terasa menyenangkan. Meskipun Martin tidak bekerja, kami bisa mengatur segalanya dengan baik. Ketika aku mengajar, Martin-lah yang mengurus anak-anak, begitu juga ketika aku kelelahan, Martin juga yang menjaga mereka. Semua itu adalah inisiatifnya sendiri.
Aku merasakan keseimbangan yang jauh berbeda dari yang dahulu pernah aku lewati. Aku juga tetap mendukung Martin untuk mencari pekerjaan di waktu luangku dan berusaha mengomunikasikan segala hal.
I m a busy mom and I love it.
Oke, selesai. Terima kasih, Ibu Sri.
Seorang wanita berumur 50-an menarik napas lega dengan peluh membanjiri wajahnya. Dengan susah payah dia berdiri dari matras yoganya. Kausnya yang berwarna merah sudah basah oleh keringat.
Thanks juga, July, sahutnya setelah mengelap wajahnya dengan handuk kecil dan meminum air putih.
Kelas privat yoga di rumah Ibu Sri baru saja selesai. Aku beristirahat sejenak setelah berganti baju, disusul dengan membereskan barang-barang yang hendak aku masukkan ke dalam tas. Sepatu, matras yoga, dan baju kotor.
Bagaimana, Bu" Sudah mulai terbiasa dengan gerakan yang baru"
Aduh, rasanya bakal lama terbiasa sama gerakan plow
t . c pose itu, Jul. Susah banget! Badan rasanya kaku. Rasanya, kok, bokong saya nggak bisa keangkat.
Aku tertawa dan membesarkan hatinya. Nanti juga akan terbiasa, kok, Bu. Yang penting dilatih dan dibawa relaks. Kalau belum bisa, jangan dipaksain. Perlahan saja.
Aku sudah menjadi pelatih yoga privat untuk Ibu Sri selama dua bulan. Dia juga merupakan murid pertamaku. Selama dua bulan ini, Ibu Sri yang memang ingin sekali bisa yoga sehingga dia berniat latihan intensif dan privat supaya aku sebagai guru bisa berkonsentrasi penuh untuk membimbingnya.
Oh, ya, Jul. Hampir saya lupa kasih tahu kamu. Jadwal tanggal 15 Desember diundur ke tanggal 18, ya. Saya ada acara dan mengundang teman-teman arisan saya untuk ikutan kelas yoga di sini. Sebagai selingan saja. Bosan, kan, kalau ngumpul-ngumpul begitu aja. Oke, ya, Jul" Nggak masalah, Bu.
Kalau soal fee jangan dipikirin, Jul. Nanti saya tetap minta saweran buat kamu. Ngajar satu orang, kan, beda sama ngajar sepuluh orang, ujar Ibu Sri penuh pengertian. Aku jadi tidak enak. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur dengan kesigapan dan kesadaran Ibu Sri untuk menjelaskan perkara honor ini kepadaku.
Terima kasih ya, Bu. Baru saja hendak pulang, aku langsung teringat, tanggal 18" Aduh! Tanggal 18, kan, ada acara pentas drama sekolahnya Ernest! Aku bergegas masuk kembali ke dalam rumah.
Ada yang ketinggalan, Jul" Bu, tanggal 18 itu sudah fix"
Ibu Sri mengangguk. Iya. Semua teman arisan sudah oke. Ngumpulin mereka, kan, susah banget, Jul. Kalau hari ini ada yang bisa, yang lain nggak. Seperti itulah. Aku mengerti karena aku sendiri pernah mengadakan
t . c arisan dengan ketiga sahabatku. Aku coba bernegosiasi, Nggak bisa diganti pengajar lain, Bu"
Ibu Sri tersenyum. Saya sudah cocok sama kamu, sih, Jul. Saya udah kasih tahu ke teman-temen saya, loh, kalau kamu yang bakal ngajar. Nggak tiap bulan, kok. Ini kebetulan aja kita lagi bosan.
Jam berapa, Bu" Jam sembilan.
Aku menelan ludah dan mencoba tersenyum. Aku pulang dengan gundah. Aku masih berharap bahwa jam latihan yoganya tidak akan bentrok dengan pentas drama sekolah Ernest. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya berdoa supaya jadwalnya berjauhan. Namun, belum saatnya doaku itu dikabulkan.
Aku langsung mengecek untuk memastikan waktu pementasan drama sekolahnya Ernest. Aku mengambil buku tugas dan membacanya dengan pasti. Mataku terpejam rapat dan terduduk dengan lemas. Pentas drama Ernest juga akan dimulai pukul 9.00 pagi.
Kepalaku langsung migrain. Duh, kalau tubuhku bisa dibagi dua, aku pasti akan membaginya. Masalahnya, aku jadi serbasalah. Di satu sisi, aku sudah berjanji akan datang pada pentas drama itu dan aku yakin sekali Ernest bisa marah besar kalau sampai aku tidak datang. Namun, di sisi lainnya, tawaran Ibu Sri sangatlah menggoda karena fee yang aku terima bisa dua kali lipat. Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Andai saja kloningan itu bisa dilakukan pada manusia, ya.
Secepat mungkin aku mendiskusikan keadaan darurat ini kepada Martin. Sesudah makan malam, aku segera menariknya ke dalam kamar. Aku tidak bisa menunggu lama, bahkan satu menit pun.
t . c Keadaan darurat apa, Babe" Pokoknya darurat.
Kamu hamil" Aku mendelik dan memukul pundaknya. Orang lagi serius malah dibercandain.
Aku nggak bercanda! Martin mengangkat bahunya dan tersenyum. Aku juga nggak.
Urgh! Gemas banget rasanya. Sebelum dia makin bertanya yang aneh-aneh, cepat-cepat aku menjelaskan keadaan darurat -ku. Aku nggak hamil, tapi aku terancam nggak bisa datang ke pentas dramanya Ernest. Martin mengernyit. Kenapa nggak bisa"
Aku menghela napas dengan frustrasi. Jadwalnya bertabrakan dengan jadwal privat yoga Ibu Sri. Nggak bisa diundur" Kan, fleksibel, Babe.
Aku memijat keningku. Seharusnya bisa. Tapi, dia aja udah mundurin karena harus pergi ke luar kota. Terus, tanggal 18 itu dia menjadwalkan arisan sekaligus yoga. Jadi, ada kelas yoga sehari bersama teman-teman arisannya. Kenapa aku pusing" Fee-nya lumayan, bisa dua kali lipat.
Martin terdiam. Dia sibuk berpikir. Melihatnya diam saja, aku jadi tidak sabar. Jadi, gimana, dong" Ada solusi, nggak" Jujur aja aku nggak bisa memilih. Kalau aku milih datang ke pentas drama, aku akan kehilangan pemasukan yang besar. Tapi, kalau aku memilih melatih yoga, aku seperti orangtua yang nggak peduli dan nggak bertanggung jawab sama anak, keluhku panjang lebar.
Jangan pesimis dulu. Tapi, benar, kan, Hon" Aku terjebak di tengah-tengah. Kita coba bicarakan dengan Ernest, ya. Siapa tahu dia akan mengerti.
Aku mengembuskan napas. Gambaran yang ada di
t . c kepalaku membuatku enggan untuk maju. Stempel pengecut memang baru saja dicap ke dahiku. Namun, cepat atau lambat, aku memang harus menjelaskan kepada Ernest kondisi yang ada. Jadi, tidak selamanya rencana yang sudah dibuat akan berjalan dengan mulus. Begitu juga keinginan kita, tidak akan selalu terpenuhi.
Yuk, kita bicarakan sekarang. Martin sudah berdiri dan berjalan keluar kamar. Aku segera menyusulnya dan menahan langkahnya. Sekarang" Aku belum siap! seruku panik.
Eh, yang ada, suamiku yang penuh pengertian ini malah tertawa. Ayo, dong, Babe. Kalau ditunda-tunda nanti malah lupa. Ernest akan semakin nggak mau ngerti kalau kita memberi tahunya terlalu mepet.
Dia benar. Jadi, siap tidak siap, aku harus memberi tahunya. Hari ini juga.
Kak" Sini, yuk, Mami mau bicara.
Aku dan Martin mengajaknya berbicara di ruang makan. Kami duduk membentuk segitiga. Ernest duduk paling ujung, di antaranya ada kami berdua.
Ada apa, Mam" Aku berdeham dan membasahi bibirku dengan gelisah, Kak, Mami mau bilang bahwa & Mami nggak bisa datang ke pentas drama sekolah Kakak.
Hatiku menciut begitu melihat raut wajah Ernest yang perlahan berubah menjadi murung. Kenapa nggak bisa"
Karena Mami harus mengajar yoga. Kebetulan kelasnya bentrok.
Ya, Mami bolos aja, usul Ernest dengan polos. Aku melirik Martin sambil tersenyum. Martin mengangguk untuk menguatkanku.
Kan, nggak boleh bolos, Kak. Sama kayak sekolah. Lagi pula kita, kan, butuh bayarannya. Kakak, kan, pernah Mami dan Papi ceritain, sekarang Mami dulu yang cari uang,
t . c sedangkan Papi gantian nemenin Kakak dan Emili di rumah.
Pertahananku runtuh seketika ketika melihat mata Ernest yang berkaca-kaca, terlebih ketika dia mengatakan, Tapi, aku pengin Mami ada di sana ....
Dadaku terasa sesak. Mami tahu, Kak. Mami juga pengin banget ada, lihat Kakak di panggung. Tapi, kan, kita bisa mikirin solusinya. Papi pasti ada di sana, Emili juga. Papi akan rekam acara itu dan Mami juga bisa nonton bareng Kakak setelah selesai.
Tapi, beda, kan, Mam! Aku maunya Mami ada di sana! seru Ernest ngotot. Aku menghela napas. Aku ingin menangis dan memeluknya, serta mengucapkan beribu maaf. Maafin Mami, ya, Kak.
Spontan Ernest berdiri dan berjalan menjauh dariku. Aku benci Mami! Mami nggak sayang aku!
BRAK! Pintu kamar sukses dibanting olehnya. Aku lemas. Aku merasa sudah menjadi ibu yang paling jahat sedunia. Kemudian, aku merasakan bahuku diremas lembut. Aku menatap Martin dengan pasrah. Ernest akan membenciku selamanya.
Aku akan coba bicara dengan dia.
Aku menenangkan diri ke kamar. Aku tak melakukan apa-apa selain melamun. Beberapa saat kemudian, Martin masuk. Aku segera melemparkan pertanyaan, Gimana" Kamu sudah bicara dengan Ernest"
Martin menaruh ponsel yang sedang dipegangnya. Sudah. Tapi, masih ngambek.
Ck. Mengapa bentrok ini harus terjadi, sih" Sekarang hatiku semakin rontok karena rasa bersalah. Kayaknya aku nggak punya pilihan lain, Hon ....


For Better Or Worse Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Martin memelukku. Kasih dia waktu dulu, ya. Kita lihat saja besok.
t . c Dari kejauhan cicit burung menyapa pagi. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya berkumpul aku pergi ke kamar anak-anak untuk membangunkan mereka. Ernest ternyata sudah bangun dan Emilia setengah terbangun karena masih berguling-guling di ranjang.
Bangun, yuk. Nggak mau, ah, Mami .... Aku mendekati Emilia. Ayo, dong, masa anak Mami malas sekolah. Aku menepuk pantatnya. Sekarang kita mandi!
Emilia mengerang protes karena masih kepingin tidur. Ernest tidak ada di tempat, mungkin dia sudah pergi mandi. Ernest masih menutup rapat mulutnya dan tak mau berbicara denganku. Ketika Emilia sedang dibantu bersiap-siap oleh Mbak Nani, aku mengecek Ernest apakah dia sudah siap. Aku mencarinya, ternyata dia masih ada di dalam kamarnya. Sudah siap, Kak"
Ernest tidak menyahut, tetapi dia malah memanggilku, Mami"
Ya" Kenapa, Kak" Aku duduk di sebelah Ernest. Kakak nggak apa-apa"
Mami, maafin aku, ya. Kemarin aku udah ngomong kasar sama Mami. Nada suaranya bergetar seperti ingin menangis.
Aku tertegun, tidak menyangka akan mendengar permintaan maafnya pada pagi hari. Aku memeluknya. Mami yang mestinya minta maaf karena udah ngecewain Kakak.
Kemarin Papi bilang mestinya aku bangga sama Mami karena Mami sudah bersusah payah mencari uang, untuk aku dan Emilia.
Mataku berkaca-kaca. Setitik air mata sudah hampir meluncur dari ujung mataku. Kakak perlu tahu, Mami akan melakukan apa pun untuk bisa bikin Kakak dan Emilia
t . c senang. Tapi, terkadang situasinya, kan, memang nggak pas, nggak cocok.
Ernest mengangguk. Aku ngerti, kok, Mami. Kalau Ernest masih mau Mami datang, Mami akan datang ....
Ernest malah menggeleng. Jangan. Mami ngajar aja. Nanti kita nonton bareng di laptop aja, ya.
Pelukanku bertambah erat. Makasih, ya, Kak, atas pengertiannya. Mami janji kita akan nonton sama-sama. Oke. Kami pun berpelukan erat.
Aku memegang janjiku. Dua malam setelah pementasan Ernest, aku dan Ernest duduk berdua, menonton pentas drama yang sudah direkam oleh Martin. Kami berdua menontonnya lewat laptop. Aku bangga setengah mati melihat Ernest yang sudah besar dan tampil begitu percaya diri di atas panggung itu. Setelah selesai, kami berdua bertepuk tangan dengan sangat keras.
Gimana, Mam" Aku mengecup puncak kepalanya. Baguusss! Kakak keren! Mami bangga banget sama Kakak.
Benar bagus" Mata Ernest bercahaya penuh rasa bangga. Aku mengangguk dengan mantap dan senyum yang lebar. Tak lama kemudian, Emilia dan Martin ikut bergabung dan saling seru mengomentari dan menimpali penampilan Ernest. Kami juga harus berdesakan untuk melihatnya karena layar laptopnya memang kecil dan suaranya tidak begitu jernih. Namun, buatku tidak jadi masalah karena yang penting aku tetap mendapatkan kesempatan untuk melihat dan menontonnya bersama orang-orang yang tepat. Kesempatan inilah yang tidak akan tergantikan.[]
t . c ul, saya mau bicara sebentar, boleh"
Aku menaruh tas olahragaku kembali. Ibu Sri sudah duduk di ruang tamunya. Rumah ini sangat besar, aku tak henti terkagum-kagum dengan barang-barang berharganya yang bertebaran. Ada keramik China yang antik, pajangan kristal berbentuk kuda, dan kain yang melapisi bantal di sofa terbuat dari sutra.
Sini duduk, Jul. Ibu Sri menepuk sofa berwarna putih yang tidak berani aku dekati saking terlalu bersih. Aku duduk di samping Ibu Sri.
Ada apa, Bu" Sudah berapa lama, ya, saya latihan dengan kamu" Aku berpikir sesaat, antara memikirkan kapan aku mulai melatihnya dengan memikirkan mengapa dia bertanya seperti itu. Sekitar dua bulan lebih sedikit.
Ibu Sri manggut-manggut. Aku tidak bisa menebak raut wajahnya. Terkadang dia bisa begitu ceria dan banyak bicara, tetapi ada kalanya dia juga begitu serius, terkadang berkelana sendiri dengan pikirannya.
Selain mengajar, kamu tertarik untuk melakukan apa lagi"
t . c Aku tidak bisa menangkap arah pembicaraannya. Hm ... rasanya yoga sudah menjadi dunia saya. Tidak ada yang lain lagi. Lagi pula, saya melakukannya karena tidak terikat oleh waktu seperti jam kantoran sehingga saya tidak kehilangan waktu dengan anak-anak.
Ibu Sri diam saja. Pandangannya tidak mengarah kepadaku, tetapi tertuju ke suatu tempat. Sepertinya, dia sedang berpikir keras. Pada saat seperti ini, aku memanfaatkan kesempatan memperhatikan detail wajahnya. Ibu Sri wanita berumur 50-an, tetapi bagiku penampilannya jelas tidak seperti wanita setengah abad karena dia menerapkan hidup sehat dan tidak pernah menyentuh operasi plastik. Kerutan mengisi ujung mata dan ujung bibirnya, yang bukan menguranginya, malah menambah kecantikan alaminya. Tubuhnya juga masih langsing. Penggemar sepatu ini adalah seorang vegetarian.
Rumah sebesar ini hanya dia tinggali berdua dengan suaminya karena ketiga putrinya bersekolah di luar negeri. Sementara itu, suaminya sibuk dengan perusahaannya. Aku rasa dia agak kesepian meskipun dia punya grup arisan yang berkumpul tiap bulannya.
Saya sedang berpikir, Jul. Bukan, bukan berpikir. Saya sudah berencana untuk membuat sebuah tempat yoga, yang lain daripada biasanya. Ada studionya, ada halaman belakang yang luas untuk yoga dengan suasana outdoor. Sebuah tempat yang menenangkan dan menyejukkan hati. Bukan buat saya saja, loh, tapi juga buat semua pencinta yoga.
Aku mengangguk. Aku belum paham ke mana arah pembicaraannya. Jadi, aku diam saja dan menunggu. Ibu Sri menegakkan punggungnya dan menggenggam tanganku, July, saya mau kamu tahu saya menikmati setiap sesi yoga yang dibawakan oleh kamu. Saya bersyukur bisa bertemu denganmu.
Hatiku tersentuh mendengarnya. Saya juga senang bisa
t . c melatih Ibu. Karena itu, aku mau minta tolong ke kamu, apakah kamu mau membantu saya untuk mengurus tempat yoga baru milik saya itu" Di sana kamu akan menjadi penanggung jawab, sekaligus guru. Tentu saja bukan hanya kamu yang mengajar, ada beberapa guru lainnya.
Aku melongo. Mulutku benar-benar terbuka lebar saking tidak menyangka apa yang diminta oleh Ibu Sri. Yang ... benar, Bu"
Ibu Sri mengangguk. Tentu saja. Tempatnya sudah jadi, tinggal membereskan beberapa hal kecil saja. Saya ingin ada orang yang bisa saya percaya. Itu kamu, Jul.
Aku speechless dan sungguh tersanjung mendengarnya. Tapi, saya tidak sehebat yang Ibu kira. Saya banyak kekurangannya.
Ah, semua juga begitu. Yang penting harus terbiasa dulu, kan" Jika sudah terbiasa, semua akan berjalan dengan lancar. Kita sama-sama baru, Jul, sama-sama belajar. Kita maju bersama.
Kenapa tidak ... hm ... Paula"
Paula sudah terlalu sibuk. Saya maunya kamu. Jadi, gimana" Kamu bisa mengatur sendiri waktu kamu. Kamu tidak harus terus berada di sana karena kamu akan punya asisten. Kamu bisa mengawasinya sekalian kamu mengajar. Yang penting, jadikan tempat itu seperti layaknya milikmu sendiri. Sayangi tempat itu seolah tempat itu bernyawa.
Air mataku hampir jatuh. Aku sungguh tidak percaya kesempatan sebesar ini datang kepadaku pada saat aku dan keluargaku membutuhkannya.
Jul, jadi mau, ya" Ibu Sri menatapku penuh harap. Aku tersenyum lebar dan mengangguk mantap.
Tentu saja. Saya mau membantu Ibu.
t . c Hai, Babe. So glad you are home!
So glad" Benarkah Martin begitu senang melihatku pulang" Ah, aku juga bahagia. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Ibu Sri, aku tidak berhenti tersenyum. Senyumku bahkan belum hilang sesampainya di rumah. Rupanya keceriaanku ini menarik perhatiannya. Martin memperhatikanku dengan lekat sampai aku merasa risi.
Kok, lihatin aku begitu" Akhirnya, aku bertanya karena Martin terus saja menatapku seolah aku baru saja turun dari Planet Mars.
Kamu nggak berhenti tersenyum. Masa, sih"
Sejak kamu sampai di rumah. Senyum itu .... Martin menunjuk wajahku. It must be a great news.
Aku mengerang, sebal betapa Martin mengenal diriku begitu dalam. Nggak asyik, deh! Kok, tahu"
Martin tidak menjawab, dia malah menaruh kedua telunjuknya di ujung bibirnya dan dia memperlihatkan senyumnya yang superlebar dengan sedikit kocak. Saat itu juga aku tahu dia sedang meledekku. Aku memukul lengannya, tetapi bukannya manyun, senyumku malah bertambah lebar.
Nah! Jari Martin spontan menunjuk ke wajahku. See" Kamu harus ngaca, deh, Jul. Kamu, tuh, nggak bisa sembunyikan perasaan kamu sendiri. Karena itu, aku tahu, kabar baik itu tertulis di muka kamu. Martin menggodaku secara terus terang.
Aku memegang kedua pipiku yang memerah karena malu dan bahagia. Dengan perasaan yang sangat gembira aku menarik lengan Martin dan mengajaknya duduk di sofa. Aku jadi penasaran, nih, celetuknya kembali. Stop it! Jangan ngeledek terus, dong! Aku pura-pura marah dan mulutku melengkung manyun.
t . c Oke. Oke. I ll zip my lips. Oke, gini. Kamu tahu Ibu Sri" Murid privat kamu"
Benar. Dia baru saja mengajakku untuk bekerja. Kening Martin malah mengernyit. Bekerja" Kamu, kan, sudah bekerja & mengajar dia. Martin menekankan kata mengajar .
?"Aku tahu. Tapi, dia memintaku untuk mengurus tempat yoganya yang baru, sekaligus mengajar di sana. Mengurus dalam arti bertanggung jawab sepenuhnya di sana.
Martin terpana. Mulutnya pun membulat. Wow! That s great!
Aku sudah mengatakan bersedia untuk membantunya. What do you think"
Aku pikir kamu sudah mengambil keputusan yang tepat.
Kamu yakin nggak apa-apa" Karena waktuku akan tersita meskipun sementara saja untuk awal-awalnya. Setelah settle, aku yakin pasti akan lebih banyak waktu luang karena aku bisa mengatur waktuku sendiri.
Martin menginterupsi perkataanku yang mengalir tiada henti dengan meraih kedua pipiku dan menatapku langsung. Aku bisa melihat matanya yang tersenyum dan sorot matanya memancarkan kehangatan. Babe, jangan khawatir. Kita harus fokus dengan apa yang akan menanti di depan kita, jangan terikat terus dengan masa lalu. Aku bangga kepadamu, July Bernadeth.
Aku mengerti apa yang dia maksud. Masa laluku, masa lalunya, masa lalu kami. Biasanya perasaanku menjadi tidak enak jika ada sesuatu yang buruk akan terjadi, tetapi kali ini hatiku lega, membuncah bahagia.
Sebenarnya, aku juga punya kabar bagus.
t . c Aku mengatupkan bibirku rapat hingga membentuk garis lurus. Mataku menyipit. Dengan cepat aku tersadar dengan sapaan aneh ketika aku pulang tadi. Karena itu kamu bilang, so glad that you are home" What is the big news"
Martin melirikku penuh makna. Aku akan mulai kerja minggu depan.
Aku terkesiap sampai harus menutup mulutku yang spontan menganga lebar. Benar, Hon" bisikku haru.
Martin mengangguk dengan mantap. Perusahaan yang cukup besar, posisi yang bagus, dan gaji yang oke. Perusahaan apa"
Perusahaan IT terbesar di Indonesia, kamu tahu portal web Yellow, kan, yang asalnya dari Amerika" Mereka menerimaku. Perusahaannya berbeda dari yang dulu, tapi ini tantangan yang baru untukku, Jul.
Tapi ..., kamu yakin bahwa .... Bahuku terangkat menandakan keraguan.
Babe, kita, kan, nggak akan pernah tahu apa yang ada di depan kita. Semuanya masih misteri. Kalau kita mau tahu, kita harus melewatinya dulu. Kamu tahu, kan, maksudku" Aku mengangguk.
Trust me, Babe. Awan hitam nggak selalu diam di tempat. Semua akan segera berlalu. []
t . c awa renyah dan geli menarikku untuk pergi ke halaman belakang rumah. Aku berlalu dari ruang makan, lalu berhenti tepat di depan pintu yang terbuka lebar. Di sana ada seorang pria tampan yang basah kuyup bersama dua anak kecil yang tak kalah basah karena asyik bermain air. Slang, ember, gayung, bertebaran di mana-mana. Belum lagi mainan dan benda-benda kecil lainnya.
Cuaca yang panas seketika menjadi sejuk ketika air menciprati rumput berwarna hijau yang menghiasi sebagian besar pekarangan.
Mami, ayo, ikut sini main air!
Emilia yang menyadari kehadiranku segera memanggil dan mengajakku turut serta. Aku tertawa ketika Ernest dan Emilia kejar-kejaran, sementara Martin terus menyirami air ke mereka.
Nggak, ah. Aku menolak ketika Ernest ikut membujukku. Untuk beberapa saat aku menikmati keriuhan di belakang rumah ini. Aku menggelengkan kepala. Ya, ampun, rambut Emilia sudah kusut karena basah. Sekarang Ernest sedang duduk di ember besar yang berisi air dan Martin sedang asyik menyirami tubuhnya sendiri seperti sedang mandi. Padahal, mereka semua memakai baju
t . c lengkap. Aku jadi mendapatkan ide. Cuaca sebegini cerah mengapa harus mengurung diri di dalam rumah" Mengapa tidak ke taman saja" Maksudku, bukan taman di kompleks rumah, melainkan taman luas seperti yang ada di Menteng atau Kelapa Gading, yang jaraknya cukup terjangkau dari rumah.
Kita pergi ke taman, yuk. Aku mencetuskan ideku. Spontan ketiganya menoleh.
Yuuukk! Hore!!! teriak Ernest dan Emilia berbarengan. Mereka segera melempar ember, gayung, dan selang air, lalu berjingkrakan gembira. Tanpa bersusah payah disuruh, Emilia dan Ernest segera mandi dan berganti baju. Mbak Nani kelimpungan memungut pakaian mereka dan menyusul Emilia untuk memandikannya.
Jadi, kita ke taman mana" tanya Martin ketika aku membantunya membereskan peralatan perang yang barusan mereka pakai. Ember-ember aku tumpuk jadi satu, juga gayung. Martin sendiri sedang menggulung slang dan mengikatnya di pojok dekat keran air.
Kita ke Taman Menteng aja. Pulangnya bisa sekalian makan di daerah situ.
Oke. Tak terkirakan betapa senangnya Emilia dan Ernest. Kami berjalan mengelilingi taman sebelum akhirnya aku duduk di sebuah bangku besi bersama Martin. Tak jauh dari tempat kami duduk, Ernest dan Emilia berlarian dengan girang dan tawa yang tak lepas.
Mami, lihat! Emilia menunjukkan keahlian barunya, yaitu melompat-lompat dengan satu kaki. Aku mengangkat kedua jempolku. Tiba-tiba tanganku diraih oleh Martin dan dia menggenggamnya erat.
Are we doing okay" tanyaku.
Martin mengecup tanganku. We are doing great.
t . c Aku memperhatikan ke sekeliling taman yang sejuk, nyaman, dan anak-anak yang gembira. Aku akan betah jika harus berlama-lama di sini karena suasananya lebih santai dan banyak tanaman yang bisa dilihat dibandingkan dengan pergi ke mal yang terlalu ramai. Tidak perlu melakukan kesibukan yang berat, cukup memperhatikan sekeliling atau membaca buku. Aku yakin kewarasan kita bakal kembali 100% jika kita melakukan ini setidaknya seminggu sekali.
Segera aku menuangkan pemikiranku itu kepada Martin yang menanggapinya dengan terkekeh pelan. Pengaruh yoga cukup besar untuk kamu, Babe.
Nggak ada hubungannya dengan yoga, sahutku sewot. Martin ada-ada saja. Ngapain dihubungkan dengan yoga" Ini hanya apa yang aku rasakan ketika berada di taman seperti ini. Suasananya berbeda jika kita ke mal.
Martin terkekeh lagi. Kamu benar, kok. Meskipun ramai, di sini menyenangkan. Enak berada di luar.
Kamu pernah bayangin nggak kalau kita terus begini sampai kakek-nenek" Santai berdua saja di taman menikmati suasana" Anak-anak sudah besar, sibuk dengan kerjaan dan keluarga masing-masing, meninggalkan kita berdua saja melewati umur senja" tanyaku iseng kepada Martin.
Sudah tercetak di ingatanku sejak aku menikahi kamu, Babe.
Benarkah" Belum pernah terhapus sedikit pun. Pokoknya tunggu aja. Kita bakal ngerasain honeymoon ketiga.
Ngitung aja nggak benar masih mau honeymoon. Kedua aja belum. Aku bersungut-sunggut. Martin hanya tersenyum jail. Aku tahu dia sedang menggodaku. Lebih baik aku diamkan saja. Kalau diladeni, malah semakin menjadi. Urat isengnya bakal semakin panjang.
t . c Minggu pagi. Semestinya menjadi Hari Bangun Siang saat aku bisa bercengkerama dengan kasur lebih lama. Namun, hari ini aku malah terbangun pukul 6.00 pagi. Di sebelahku Martin masih tidur dengan nyenyak.
Dari balik jendela aku melihat matahari sepertinya masih malu-malu karena aku melihat belum sepenuhnya terang. Hanya ada awan hitam yang menggantung bahagia di atas langit. Sepertinya, bakal turun hujan. Sebenarnya, paling enak meringkuk lagi, tetapi dorongan untuk mandi lebih kuat. Setelah sepuluh menit bengong di atas tempat tidur tanpa tujuan, aku pun pergi mandi. Kepalaku sudah gatal karena tidak sempat keramas kemarin malam.
Setelah keluar dari kamar mandi, aku heran. Martin sudah tidak ada. Namun, kemudian akal sehatku bekerja. Mungkin dia sudah bangun dan keluar dari kamar. Meskipun begitu, aku agak curiga. Tempat tidur sudah bersih rapi dengan seprai yang licin dan bed cover yang tertata apik. Aku terpaku menatap tempat tidur dan keraguan menyelimutiku. Ada yang tidak beres ... mustahil kalau Martin yang membersihkannya. Dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya.
Buru-buru aku menyisir rambut dan keluar dari kamar. Aku melongo. Di luar tidak ada orang sama sekali. Kok, sepi begini" Aku diam di depan pintu. Aku tahu mereka pasti sudah bangun. Lampu ruang keluarga yang menyala menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Namun, aku belum menemukan satu makhluk hidup juga. Refleks aku berjalan ke kamar anak-anak. Siapa tahu Martin ngelindur dan tidur di sana. Begitu masuk ke kamar mereka, alisku terangkat. Kali ini aku bertambah bingung. Kamar anak-anak tidak ada bedanya dengan kamarku. Rapi, bersih, dan kosong. Tidak ada penghuninya satu orang pun. Tanganku langsung merinding. Aku menggelengkan
t . c kepala untuk menghilangkan pikiran aneh-aneh dan tak masuk akal. Aku berjalan ke belakang dan ....
SURPRISEEE!!! Hampir saja aku jatuh terjengkang ke belakang begitu mendengar teriakan suara sopran dan bas yang sangat keras. Aku memegang dadaku untuk menenangkan jantungku yang ikut melompat-lompat. Martin, Ernest, dan Emilia berlari, lalu memelukku erat.
Happy Anniversary, Babe. Martin mengecupku lembut.
Selamat Ulang Tahun Pernikahan, Mami. Ernest bersorak.
Happy birthday, Mami! Emilia ikut berteriak. Ernest menyikut Emilia pelan. Salah! Bukan ulang tahun! Tapi, anniversary. En-ni-ver-se-ri. Eja Ernest dengan lucu dan sok hebat. Emilia tidak terima diralat dan menjulurkan lidahnya.
Aku tertawa ketika semua berebutan untuk menciumku. Ini pasti ide konyol kamu, suaraku sedikit menuduh serta melirik Martin.
Konyol, tapi berhasil membuatmu terkejut, kan" Aku pikir kalian diculik sama alien.
Martin tertawa. Aku punya kejutan. Martin menggandengku untuk masuk ke dalam ruang makan dan di sana terdapat kue dengan lilin yang sudah menyala.
Mami, aku, loh, yang nyalain lilinnya, ujar Emilia dengan bangga. Ernest merengut. Bukan kamu, aku yang nyalain lilinnya.
Aku juga ikut nyalain. Martin melerai keduanya. Sudah, sudah. Ayo, tiup lilin. Kami semua mendekat ke kue tersebut. Di atasnya ada tulisan berwarna merah:
Happy 10 th Anniversary t . c Sweetheart. Aku melirik Martin dengan penuh haru. Aku mendekat, lalu memeluknya sambil berbisik, Happy anniversary, Hon. Terima kasih untuk kejutannya.
Martin tersenyum. Tiup lilinnya sama-sama, ya. Kami, termasuk Emilia dan Ernest, agak membungkuk ke dekat kue tersebut, lalu ... satu, dua, tiga, puffhh!! Kami meniup lilin tersebut bersamaan.
Horeee!! Kedua malaikat mungilku bersorak begitu semua lilin mati.
Kita makan kue! Mami, aku minta yang gede, ya. Teriakan Emilia yang polos membuat semua orang jadi tertawa. Kami pun asyik menikmati sarapan pada Minggu pagi yang istimewa, yaitu kue opera cake yang lezat. Sesudah perut mereka kenyang, Emilia dan Ernest bermain bersama di halaman belakang.
Baru saja hendak membereskan dapur, aku merasakan tubuhku kehilangan keseimbangan dan akhirnya limbung.
Aw! Begitu aku menyadari, ternyata pinggangku ditarik oleh Martin, membuatku terjatuh di pangkuannya. Aku memutar tubuhku hingga aku duduk dalam posisi miring. Kedua lenganku pun aku lingkarkan di lehernya. Jadi, kamu sudah rencanakan ini"
Martin menyipitkan matanya, pura-pura berpikir. Hm, sepertinya iya.
Senyumku terkulum. I love it. Masih ada lagi ....
Apa" Kejutannya"
Martin menyodorkan sebuah amplop kepadaku. Aku menatapnya dengan penuh kecurigaan. Apa ini" Buka aja.
Aku membuka amplop tersebut dan terkesiap. Aku memandang amplop dan Martin bergantian. Kamu yakin"
t . c Kenapa nggak" Tapi ..., ini, kan, mahal, Hon.
Martin mencium pipiku, Nggak, ah. Tahu nggak yang mahal apa"
Apa" Kamu. Aku tersenyum. Thank you ... again.
Kan, sudah aku bilang ... kalau nanti kita jadi kakeknenek, ada honeymoon ketiga berarti ....
Aha! Sekarang aku sudah mengerti maksudnya. Martin tidak hanya menggodaku, tetapi dia sudah punya rencana. Pintar sekali!
Jadi, kita siap untuk honeymoon kedua" Tentu saja! Bali Lombok, here we come!
Mami sama Papi berduaan terus aja, nih. Aku mau ikut, dong! Gendong aku! Ternyata, Emilia sudah muncul di dekat kami. Aku memeluknya, kemudian Ernest juga nimbrung. Kami berpelukan bersama.
Aku tak akan melepaskan mereka untuk selamanya.[] ~318~pustaka-indo.blogspot.comh t t p
t . c Tentang Penulis Christina, akrab disapa Tina, punya list spesial, yaitu orangorang penting dalam hidupnya.
Punya anak bernama Kimi yang diambil dari nama
pembalap F1, Kimi Raikonnen. Punya dua sahabat satu bertanggal serta bulan lahir
yang sama dan satunya lagi bernama sama. Punya oma bintang film dan opa sutradara. Mendiang mamanya seorang guru kecantikan. Kakak dan kakak ipar yang keduanya seorang dokter
gigi. Lahir berbeda sembilan menit dengan saudara
kembarnya. Punya papa yang sama-sama kutu buku.
Tina juga sudah menerbitkan dua kumcer kolaborasi, satu kumcer sendiri, dan lima novel, antara lain: Seoul, I Miss You (Bentang Belia) dan Lovely Proposal (Bentang Pustaka). For Better or Worse ini adalah buku kesembilannya.
Tina bisa dihubungi di: Twitter: @Christinajuzwar FB: Christina Juzwar
Surel: christina_juzwar@yahoo.com
t . c t . c t . c t . c Pedang Darah Bunga Iblis 15 Dewa Linglung 25 Prahara Pulau Naga Jelita Munculnya Si Pamungkas 2

Cari Blog Ini