Asleep Or Dead Karya Bunbun Bagian 2
Acara perkenalan yang santai nan penuh drama bagi Gua, gimana tidak, saat Nenek dan Ayahanda akhirnya memberitahukan bahwa Gua adalah anaknya, Mba Laras hanya tersenyum dan tekekeh lucu, duh Gua yang dikibulin ini ma. Mba Laras sudah tau dari awal bahwa Gua adalah anak Ayah, dan Gua rasa ini perempuan benar-benar niat jadi bagian keluarga.
Kemudian kami semua makan malam bersama dengan menu sederhana di ruang makan. Selesai makan, Gua diajak Ayahanda ke teras lagi, tapi kali ini bersama Om Gua. Sedangkan Mba Laras, Nenek dan Tante masih berada di meja makan.
"Gimana A ?", "Cocok enggak ?", tanya Beliau kepada Gua.
"Cocok Yah cocok banget..",
"Sama aku maksudnya..", jawab Gua jahil.
"Hua ha ha ha ha...", Gua, dan Om pun ikut tertawa melihat wajah Ayahanda yang langsung misuhmisuh enggak jelas.
"Serius Kang mau nikahi gadis itu ?", tanya Om Gua kepada Ayah.
"Serius Aku..",
"Habis lebaran aku lamar dan nikahi dia secara agama dulu..", "Kalau resepsi nyusul saja nantilah, waktunya enggak cukup", "Aku harus berangkat lagi ke New Zealand...", jawab Ayah kepada Om Gua.
"Ya, aku sih mendukungmu Kang",
"Bilang saja apa yang diperlukan, biar aku dan istriku yang siapkan..", ucap Om Gua lagi.
"Iyalah, aku pasti butuh bantuanmu..",
"Enggak akan sungkan aku repotin adik sendiri ha ha ha ha...", balas Ayah meledek Om Gua.
"Hadeuuh.. Bapakmu tuh Za Zaa..",
"Kelakuannya bikin cape Om mu ini, dari dulu tuuh...", ucap Om Gua kepada Gua kali ini.
"Heh! malas kamu Kakaknya mau nikah dan minta tolong nih!", ucap Ayah sambil melotot kepada Om Gua.
"Enggak Kang, Enggak..",
"Mangga Kang, ari upami Abdi tiasa mantuan ma pasti di usahakeun...", jawab Om Gua dengan gesture sopan banget.
"Nah kitu atuh! Ulah nalaktak ka lanceuk te..", "Ha ha ha ha ha...", tawa Ayah puas.
Haish, ngapa jadi ajang cengcengan gini antara kakak-adik seperguruan.. Om Gua yang notabene baju ijo malah jiper ama mafia lintas negara. Ha ha ha ha.
Lain cerita kali ini, ada sedikit wejangan lainnya soal wanita. Dan ini yang gua tunggu-tunggu dari jaman majapahit. Oh Ayahanda turunklah ajian Empu Asmara kepada Ananda. Huehehehe..
"Wow...", "Serius Yah ?", tanya Gua setelah terpana dengan ucapan Ayah kepada Gua.
"Kamu buktiin sendiri..",
"Tapi ingat.. Jangan main-main kepada wanita baik-baik A", ucap Beliau. "Okeh..", jawab Gua tersenyum lebar.
Hati Gua berbunga-bunga di malam takbiran ini, benar-benar The Great Night Ever... Roda kehidupan Gua sedang diatas sekarang. 'Bisnis', tabungan, si black di halaman rumah dan status single memang anugrah. Hingga di lain waktu Gua pun pasti berada pada roda kehidupan dengan posisi dibawah, bahkan terlepas dari pakeumnya.
... Malam ini, Gua ingin jalan-jalan bersama si black, tentunya setelah Ayahanda mengizinkan Gua keluar, karena acara perkenalan Mba Laras sudah selesai. So it's show time beibeh... Nona Ukhti ataupun Mba Yu sudah mudik. Dan hanya satu wanita spesial yang sedang bermuram durja di kamarnya. Sedih hati ini mendengar curhatnya di telpon tadi.
Tanpa babibubebo, Gua pun berangkat ke istananya. Laksana seorang Arjuna yang berniat menghibur Sang Srikandi, panah asmara pun sudah Gua persiapkan dibalik punggung.
Jangan lupa, bekal Ajian Empu Asmara yang baru saja diturunkan Ayahanda kepada Ananda sudah terpatri diotak ini.
Sekarang, Gua masuki ruang kemudi Toyoto Celica dua pintu ini dengan warna full-black. Suara raumannya membahana halaman rumah, lampu sudah menyala ciamik, dengan hati yang mantap, Gua pacu si Black keluar rumah...
. . . . . Tunggu Aa Eza datang ke istana mu Sayang... Huahahahahaha...
PART 7 Deub... Gua tutup pintu kemudi si Black, lalu berjalan kearah gerbang rumahnya.
Ternyata pintu gerbang terbuka sedikit, Gua lewati halaman rumah ini hingga berdiri tepat di depan pintu utama rumah yang terbuka juga. Gua menengok ke dalam, ada asisten rumah tangga keluarganya yang sedang menaruh beberapa toples kue di meja ruang tamu.
"Assalamualaikum..", Gua mengucapkan salam.
"Walaikumsalam..", balas Bibi, "Eh ?",
"A Eza.. Mari masuk A..",
"Kemana aja A " udah lama enggak main kesini...", lanjut Bibi.
"Eh iya Bi... Biasa lagi sibuk awal kuliah kemarin-kemarin..", jawab Gua sambil masuk menghampirinya setelah membuka sepatu.
"Ooh iya, sudah kuliah ya sekarang...", "Sehat A ?", tanyanya lagi.
"Alhamdulilah sehat Bi..",
"Bibi apa kabar ?", tanya Gua balik.
"Alhamdulilah Bibi juga sehat...", "Oh ya",
"Mau ketemu Non ya ?", "Langsung aja gih keatas A..",
"Lagi di kamarnya dari buka puasa tadi, enggak keluar-keluar..", "Kayaknya lagi... Sedih..", jelas Bibi dengan raut wajah yang sedih juga.
"Eumm...", "Iya Bi, ini mau ketemu dia...",
"Papah sama Mamah kemana Bi ?", tanya Gua lagi sebelum beranjak.
"Tuan dan Nyonya sudah pada pulang ke Solo...", "Siang tadi berangkatnya A", jawab Bibi.
"Loch ?", "Kok si Non enggak ikut ?", tanya Gua heran.
Hanya tundukan kepala tanpa suara yang asisten rumah tangga keluarga ini berikan sebagai jawaban untuk Gua. Kalo sudah begini, sepertinya masalah yang Teteh Gua hadapi berat.
Gua pun langsung melangkahkan kaki menuju tangga lantai atas rumah ini, dimana kamar tidurnya berada. Gua ketuk pintu kamarnya tapi belum juga ada jawaban dari dalam ataupun bunyi langkah kaki maupun kunci yang dibuka.
"Teh...", "Ini aku..",
"Eza Teeh...", "Buka pintunya Teh..", ucap Gua di depan pintu kamarnya. Ceuklek... Pintu di depan Gua terbuka sedikit.
Gua memiringkan kepala ke kiri, agar bisa mengintip ke dalam kamar itu. Gelap, tidak ada sedikitpun cahaya dari dalam sana. Pandangan Gua tidak bisa menangkap keadaan di ruangan itu. Akhirnya, Gua dorong perlahan pintu kamarnya ke dalam, agar semakin terbuka lebar. Gua pun mengikutinya berjalan dari belakang. Namun tetap saja, Gua masih tidak bisa dengan jelas melihat kondisi dirinya.
Ya Tuhankuuu... Ada apa ini"!!!
Kamarnya memang gelap gulita, gordin jendela tertutup, lampu kamarnya pun dalam keadaan padam, tapi sedikit cahaya yang masuk karena pintu kamar yang sudah Gua buka lebar tadi cukup menerangi sebagaian ruangan ini.
Pengap, AC nya juga dalam keadaan mati, tisu berserakan di lantai dekat ranjangnya, bed covernya pun berantakan, dan kondisi itu semakin diperparah ketika Gua menyalakan lampu kamarnya...
"TEEH!!", teriak Gua,
"Kamu kenapa "!" Lalu Gua duduk disampingnya, diatas ranjangnya.
Wajahnya tertunduk, juntaian rambut yang kini panjangnya hanya sepunggung lebih sedikit menutupi sisi wajahnya, mahkotanya berantakan, acak-acakan. Ada apa dengan Teteh Gua ini sebenarnya...
"Teh..", "Kenapa sampai begini ?", tanya Gua. "Ada apa sebenarnya Teh ?", "Cerita sama aku..", lanjut Gua.
Echa masih terdiam tak bergeming. Gua lihat tangan kanannya kuat mencengkram sisi ranjangnya, hingga bed covernya berkerut.
Gua menghela napas pelan, lalu gua sibakkan sisi rambut yang menutupi wajahnya... Dan...
Gua terperanjat sedikit memundurkan tubuh, mata Gua terbelalak, napas Gua memburu perlahan lalu kian menderu cepat. Sesak dada ini rasanya.
BAJIINNGGGG****N!!!! "Siapa yang ngelakuin ini sama kamu ?", dengan nada suara yang Gua coba atur selembut mungkin, Gua bertanya kepadanya.
"Jawab..", napas Gua semakin menderu cepat lagi.
"Kalau kamu gak jawab..",
"Cuma dia yang aku tau..", ucap Gua seraya bangkit dari ranjangnya.
Tangannya lalu menahan Gua, dengan wajah yang tetap tertunduk, dia meminta Gua duduk kembali disampingnya tanpa suara. Gua ikuti maunya.
"Evan..", ucapnya dengan suara parau dan serak.
Evan " Siapa laki-laki itu ", Gua baru mendengar namanya. Apakah dia pacaranya Echa setelah putus dengan Heri " Entahlah, Gua tidak perduli. Yang jelas, Evan adalah enemy number one bagi Gua sekarang.
"Kenapa bisa sampai gini ?", tanya Gua lagi.
Tanpa ucapan dan kata-kata lagi, kini Echa langsung memeluk tubuh Gua, dia benamkan wajahnya ke dada ini. Tidak ada suara isak tangis sedikitpun. Gua rasa airmatanya sudah habis tertumpah dari sore.
Gua balas memeluknya, membelai lembut rambutnya, tak terasa airmata Gua pun keluar dari sudut indra penglihatan ini. Gua menelan ludah, napas Gua semakin memburu setelah mendengar perlakuan yang dia terima dari Bajing*n yang bernama Evan itu. Airmata Gua adalah airmata dendam, mungkin kalau Gua bisa melihat kedua bola mata Gua sendiri, Gua yakin putihnya bola mata ini sudah memerah karena emosi.
"Tunjukkin dimana bajing*n itu sekarang juga..", ucap Gua. ...
Gua pacu si Black dengan kecepatan tinggi, mungkin karena jalanan yang cukup lenggang membuat Gua bisa menyalip beberapa kendaraan lain yang ada di depan. Malam takbiran ini, akan Gua buat menjadi malam terakhir untuk bajing*n itu mendengar suara takbir di dunia.
"Zaa..", "Jangan kebut-kebutan..",
"Istigfar...", ucap Echa sambil memegang lengan kiri Gua yang mengendalikan handling.
"Tenang..", "I'm safety driver Sist..", ucap Gua sambil tersenyum tanpa menoleh kearahnya.
Singkat cerita Gua sudah berada di dekat warung tenda roti bakar. Gua hentikan si Black beberapa meter dari kerumunan muda-mudi yang asyik duduk di pinggir jalan sebrang warung rotbak itu. "Yang mana orangnya ?", tanya Gua sambil tetap fokus kepada sekumpulan muda-mudi diluar sana. "Yang pakai kemeja ungu..", jawab Echa.
"Oh..", "Kamu tunggu sini aja Teh..",
"Apapun yang terjadi kamu siap-siap aja di bangku kemudi..", "Transmisinya tiptronic kok",
"Mudah ngemudiinnya..", ucap Gua sambil membuka pintu di sisi kanan Gua.
"Tunggu..", Echa menahan tangan kiri Gua. "Jangan bawa itu..",
"Jangan berlebihan Za..", ucapnya kini sambil menatap benda di genggaman tangan kiri Gua.
"Kamu gak liat itu teman-temannya banyak ?", "Bisa mati konyol aku Teh kalo gak bawa ini..",
"Udah tenang aja, nikmati pertunjukkannya..", jawab Gua sambil tersenyum. Echa tetap menahan lengan kiri Gua, lalu menggelengkan kepala. Kelamaan kalau gini caranya...
Cuupp... Gua cium keningnya lembut.
"Santai aja sayang..",
"Everything is under-control...",
"Just take a breath slowly, and i will show you the best revenge tonight...", ucap Gua sambil melepaskan genggaman tangannya.
Gua tutup pintu kemudi setelah keluar dan memastikan Echa sudah berpindah ke bangku kemudi.
Lalu gua berjalan santai menuju sekumpulan muda-mudi di depan sana, kunci inggris Gua sembunyikan dibalik lengan kiri dengan memasukkannya ke bagian sweater di tangan itu.
Gua lihat ada enam orang yang sedang asyik mengobrol. Camilan seperti kacang kulit, bir botol, piring bekas roti bakar sudah berserakan di depan mereka. Rupanya ada pesta kecil disini. Biar Gua buat meriah sekalian bersama malam takbiran terakhir untuk Bajing*n itu.
Si Bajing*n sudah melirik kearah Gua dengan dua orang temannya, yang lain masih asyik mengobrol tanpa menyadari kehadiran Gua di dekat mereka.
"Ada apa Bos ?", tanya si Bajing*n ketika Gua sudah berdiri tepat di depannya.
Posisi mereka semua duduk berjejer, Gua tepat berdiri di depan si Bajing*n dengan jarak yang sangat dekat, si Bajing*n pun sampai memundurkan tubuh ketika Gua mendekatinya lagi. "Oi, ada perlu apa Lu "!", teriak teman disebelahnya.
Mata Gua hanya fokus menatap wajah si Bajing*n. Tidak Gua perdulikan temannya itu. Lalu, tanpa sedikitpun ucapan yang Gua keluarkan, Gua menyeringai kepada si Bajing*n. DUUAGH!!.. Lutut kanan Gua tepat menghantam dagunya dengan keras.
hantaman lutut Gua membuatnya terjungkal kebelakang, ditambah posisinya yang sedang duduk diatas trotoar jalan. Semakin mudah saja bagi Gua untuk menghabisinya.
Baru saja Gua akan menerjangnya lagi, temannya yang berada di sisi kanan Gua bangkit, tapi sayang, dia kalah cepat dengan reflek Gua, sebelum temannya mendorong tubuh Gua, kunci inggris ditangan kiri ini sudah Gua ayunkan kearahnya.
Bugh.. tepat mengenai pipi kanannya.
Gua langsung menengok ke sisi kiri, menatap tajam temannya yang lain. Dan kampret momen pun terjadi. Gua kira sisa empat orang yang masih sehat wal afiat itu akan berdiri dan mengeroyok Gua. Tapi..
"Sa.. Saya enggak tau apa-apa Bang...", ucap salah satu temannya yang masih duduk dengan wajah pucat pasi.
"Iya Bang... kita enggak tau apa-apa.. Sum.. Sumpah...", timpal teman yang duduk disebelahnya.
Sisa dua orang teman lainnya hanya melongo tanpa bisa mengucapkan apa-apa. Kamprrreeeeeettttt... Enggak ada perlawanan sama sekali ini ma! Syit!.
Gua maju menghampiri si Bajing*n yang tergeletak diatas trotoar, tak ada pergerakan sedikitpun. Gua tendang pinggangnya tanpa tenaga. Masih diam.
Wah bajirut, jangan bilang udah mokat duluan nih anak.
Gua menengok kebelakang, Gua lihat temannya yang terkena kunci inggris masih menggelapar kesakitan di jalan, dua teman lainnya menghampiri dan membantunya berdiri, tapi si pesakitan itu malah meraung-raung menahan perih sepertinya. Dua orang teman lainnya mendekati Gua. Gua ambil posisi siap-siap menghajar mereka.
"Sabar Bang Sabar...", "Kita enggak cari ribut..",
"Kita cuma mau nanya masalahnya..",
"Ada masalah apa Evan dengan Anda Bang ?", tanya salah satu diantara mereka berdua.
"Temen Lu yang Bajing*n ini udah kasar sama Kakak perempuan Gua...", "Kalo Lu berdua enggak percaya..",
"Tuh, mobil hitam disebrang sana..", Gua tunjuk si Black dari sini, "Liat langsung wajah Kakak Gua..", jelas Gua lagi.
Mereka berdua menengok kearah si Black, lalu menengok lagi kearah Gua. "Abang adeknya Elsa ?", tanyanya lagi.
"Iya!", jawab Gua tegas.
Itu kedua temannya, langsung meminta maaf kepada Gua. Lalu Gua diajak ngobrol sebentar oleh salah satunya. Teman satunya mendekati si Bajing*n dan meminta tolong teman lainnya untuk menggotong si Bajing*n. Ternyata si Bajing*n sudah siuman, tapi nampaknya masih belum 100% pulih, dirinya masih kesakitan dengan mata yang terpejam, lalu dibawa pergi entah kemana bersama ketiga temannya dengan menggunakan mobil mereka, akhirnya Gua tau dia dibawa ke rumah sakit. Gua masih disini, bertiga. Dua temannya menjelaskan kelakuannya si Bajing*n selama ini.
"Gua udah kasih tau Evan Bang..", "Jangan kasar ke cewek...",
"Perilakunya dari dulu begitu..", jelas si Cupu 1. (Anggaplah namanya itu).
"Nah! kenapa Lu biarin tuh temen Bajing*n Lu begitu terus..", "Sikat sekali-kali dong! Jangan cuma lewat omongan doang!", "Sekarang korban kekerasannya makin nambah kan "!", "Akhirnya Kakak Gua yang kena juga sekarang!", lanjut Gua emosi.
"Maaf Bang, kita emang enggak pernah berantem fisik.. Enggak pernah begitu..", ucap si Cupu 2 kali ini.
Wah ngehe bener, Cupu semua ini. Jawaban macam apaan kayak gini!
Gua yang masih geram kepada kedua Cupu ini, sampai tidak menyadari kehadiran Echa. Yap, Echa ternyata sedang berjalan kearah kami bertiga. Kalau tidak kedua Cupu di samping Gua ini berdiri dan melihat Echa, mungkin Gua pun sudah menoyor kepala mereka berdua.
"Sa...", "Wajah mu di cakar Evan "!!", tanya si cupu 1. Gua langsung mengeplak kepala belakang Cupu 1. "Enggak usah sok manis Lu!", bentak Gua. "Ma.. Maaf Bang...", ucapnya sambil tertunduk.
"Bilang sama Evan, jangan deketin Aku lagi ya Bud..", ucap Echa kepada si Cupu 1, mungkin namanya Budi atau Bubud, bodo amatlah,
"Kalau sampai dia berani nunjukin mukanya lagi dihadapan aku", "Aku laporin kelakuannya ke Papah Ku..", lanjut Echa.
Si Cupu 1 dan 2 hanya mengangguk cepat lalu meminta maaf kepada Echa. Meminta maaf atas perlakuan temannya yang Bajing*n itu. Dan meminta maaf kepada Gua juga.
"Sampe Gua denger Kakak Gua nangis lagi karena si Bajing*n, Lu semua juga enggak akan selamat!!", ancam Gua sambil menunjuk mereka berdua dengan kunci inggris.
Bubar jalan. Ya sudah begitulah akhirnya, gak asyik. Kurang gereget kalo kata Bang Mad-Dog ma. Kalau dipikir, Gua beruntung sih, mereka semua enggak ada yang berani melawan, satu temannya yang terkena hantaman tadi pun bukan niat menghajar Gua, tapi hanya ingin mendorong Gua. Sisanya " Ya udah ente baca sendiri kan ". Kalo ditanya ada orang lain disekitar situ " pasti ada. Cuma yang sempat Gua lihat hanya orang-orang yang keluar dari warung rotbak dan nonton doang, enggak ada yang memisahkan ataupun ikut campur.
... Gua kembali mengemudikan si Black, tentunya berniat menuju rumah Echa. Kami berdua masih dalam perjalanan pulang.
"Mau ke rumah sakit dulu Teh ?", tanya Gua.
"Enggak usah, ini udah di obatin tadi sore sama Bibi..", jawabnya pelan.
"Maaf ya Teh, tapi untung lukanya cuma dua garis tipis...", ucap Gua lagi sambil menengok sekilas menatap pipi kanannya itu.
"Iya..", "Perih dipipi ini enggak seberapa sakit",
"Tapi perih di hati yang sakit banget..", jawabnya lagi.
Gua menghela napas kasar, tangan kiri Gua membelai lembut atas kepalanya. "Maaf...", ucap Gua.
"Untuk ?", tanyanya sambil menatap Gua.
"Maaf udah lalai ngejagain kamu..", ucap Gua kali ini penuh sesal.
Gua melirik kearahnya, Echa hanya tersenyum dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Maaf juga Teh..", lanjut Gua.
"Untuk apa lagi ?".
"Maaf karena gak jadi bikin si Bajing*n itu enggak bisa ngeliat matahari esok pagi...", jawab Gua sambil tersenyum.
"Iih.. Apaan sih ah..", ucapnya sambil mencubit pipi Gua pelan, "Aku enggak suka kamu berantem terus Za..",
"Walaupun aku tau itu semua karena kamu belain aku..", "Tapi balas dendam belum tentu nyelesaiin masalah kan ?",
"Kalau dia enggak terima, pasti nanti jadi saling balas dendam, dan enggak beres-beres masalahnya...", lanjut Echa.
"Ya kalau dia mau sih silahkan..", "Aku ma ayo ajaa...",
"Ha ha ha ha..", jawab Gua santai lalu tertawa.
"Eh.. Aww.. Aaww.. Ampuuun Teeeh.. Aaww", Gua meringis dan menggeliat karena perut Gua sudah dihujami cubitan manjahnya.
Bukannya berhenti, Echa kini malah menusuk-nusuk perut Gua dengan jari telunjuknnya, otomatis Gua semakin menggeliat, mana bahaya kan Gua lagi nyetir.
"Teeh..", "Udaaah... Ampuun Teeh..",
"Bahaya Oiii... Aku lagi nyetir ini..", ucap Gua sambil tetap menepis tangannya yang semakin jahil.
"Biariiiinn...",
"Abisnya nyebeliinn..", ucapnya dengan nada jutek yang dibuat-buat. "Kok nyebelin ?", tanya Gua lagi ketika tusukkan jarinya sudah berhenti.
"Iya nyebeliin..", ucapnya lagi,
"Aku nya gak dijagain lagi..", ucapnya dengan wajah kesal. ...
"Kangen dijagain kamu kayak waktu kita kecil dulu..", kali ini nada suaranya berbeda, nyaris tidak terdengar.
Gua menengok kearahnya, wajahnya tertunduk, kedua tangannya dikatupkan diatas pahanya, lalu jemarinya bermain-main dengan ujung sweater putih yang ia kenakan.
Gua merasa bersalah lagi. Apa yang dia katakan benar. Di SMP Gua tidak begitu dekat dengannya, dan di SMA malah Gua buat dia menangis. Sekarang, Gua malah semakin jauh dengannya. Gua jahat banget. Apakah ini waktunya untuk Gua menjaganya lagi " Seperti saat kami kecil dahulu ", namun jika sekarang Gua harus menjaganya... Haruskah dengan hubungan yang lebih dari sekedar sahabat masa kecil " Lebih dari sekedar Kakak-Adik ".
"Kok diem ?", tanyanya memecahkan keheningan diantara kami.
Gua tersenyum, lalu Gua usap bahu kanannya perlahan, dan sekarang Gua buka seat-belt yang melingkar ditubuhnya. Echa mengerenyitkan kening menatap Gua. Kemudian sambil tersenyum, Gua tarik lengannya perlahan..
Gua dekap tubuhnya, kepalanya Gua sandarkan di dada ini, Gua usap lembut rambutnya. Lalu Gua kembali fokus dengan jalanan yang sepi ditengah malam takbiran ini...
"Aku janji akan jagain kamu lagi mulai sekarang...", ucap Gua. "Yakin ?", tanyanya dengan wajah yang masih bersandar di dada ini. "Yakin", jawab Gua dengan keyakinan sepenuh hati.
Lalu tangannya melingkar ke pinggang Gua. Dan wajahnya yang mengarah ke handling mobil, kini sudah dibenamkan ke dada Gua.
PART 8 "Wiih.. Baju bauuu...", ucap Gua sambil melirik busana gamis yang berada diatas ranjang kamar ini. "Ssstt.. Berisik..", ucapnya.
"He he he...", "Eh, cukup nih 3 potong baju aja ?", tanya Gua.
"Cukuplah, kan cuma buat tidur malam ini sama besok shalat ied aja..", jawabnya sambil merapihkan pakaiannya ke dalam tas.
"Ada yang ketinggalan tuh..", ucap Gua lagi.
"Heum ?", "Apa yang ketinggalan Za ?", tanyanya sambil melirik kearah Gua.
Gua mendekatinya, berdiri dihadapannya, lalu menunduk, mendekatkan wajah ke sisi wajahnya. Kemudian Gua berbisik tepat di telinganya.
"Underwear...", bisik Gua pelan.
"Iiiiihhhh..!!!",
"Eeezzaaaaaa!!!", teriaknya.
Gua langsung ngacir keluar kamarnya sebelum cubitan dari jemari lentiknya menyambangi tubuh Gua.
... Gua matikkan mesin si Black setelah posisi parkirnya sudah sejajar disamping mobil Holden Statemen 1978 milik Om Gua.
Gua turun terlebih dahulu dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Sang Teteh, berasa romantis padahal kayak gini doang. Echa keluar sambil tersenyum manis menatap Gua. Lalu kami berdua berjalan menuju pintu rumah utama yang masih terbuka. Maklumlah masih malam takbiran, suasananya indah walaupun waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Assalamualaikum..", ucap kami berdua bebarengan ketika memasuki ruang tamu.
"Walaikumsalam..", jawab Ayahanda dan Om Gua yang duduk bersebrangan di sofa ruang tamu.
"Loch Echa ?", "Kenapa Cha kesini tengah malam bawa tas gitu ?", ucap Om Gua. "Pake masker segala kamu..",
"Sakit ?", lanjut Om Gua.
Gua dan Echa pun duduk berdampingan di sofa yang membelakangi kaca rumah. Echa masih diam dan Gua yang akhirnya menjawab pertanyaan dari Om.
"Ooh.. Jadi kamu enggak ikut pulang ke Solo karena lagi kurang enak badan.", ucap Om Gua setelah Gua memberikan alasan yang cukup masuk akal.
"Iya, lebih baik disini, nanti kalau memaksakan juga di perjalanan malah tambah sakit kamu...", timpal Ayahanda.
Kemudian Om Gua menawarkan kami berdua makan sebelum istirahat, jelas Echa menolak dengan halus, biasalah, perempuan, anti makan malam. Kalo Gua ma bodo amat, laper coy. Gua pun beranjak ke dapur sambil memotong ketupat...
"A'..", panggil Ayahanda dari samping Gua yang ternyata ikut ke dapur, "Itu Echa anaknya Om Sigit itu ?", lanjutnya.
"Iya Yah..", "Yang dulu rumahnya di sebelah situ..", jawab Gua.
"Ooh..", "Sudah besar dan cantik ya...", "Ngomong-ngomong..",
"Sakit apa dia ?", tanya Ayah lagi.
"Iyalah, kan diatas aku setahun umurnya Yah..",
"Sakit pilek, kan tadi udah diceritain..", jawab Gua tanpa menatap wajah Ayah. Pukk... Ayahanda merangkul bahu Gua.
Lalu leher Gua dipiting hingga pisau pemotong ketupat terlepas dari genggaman Gua. Kepala Gua sampai menempel di bahu Beliau.
"Jawab yang jujur", ucapnya dengan nada dingin.
"Oo...Oke... Oooke...",
"Lepas duluuu.. Uhuuk...", ucap Gua terbata karena rangkulannya bertenaga. Huuufttt... Kils banget, itu tenaga darimana, ampe eungap Gua.
Gua akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Ayahanda soal kejadian yang menimpa Echa.
Jadi, tadi siang Echa dan si Bajing*n Evan jalan-jalan ke sebuah mall di Jakarta, pulang dari sana, si Bajing*n mencoba mencium bibir Echa di dalam mobil si Bajing*n, itupun lokasinya mobil masih berada di parkiran mall. Masalahnya, Echa dan si Bajing*n hanya sebatas teman kampus, mereka beda kelas di semester tiga tahun ini. Cerita si Bajing*n bisa dekat dengan Echa karena memang awalnya dia baik sebagai teman, maka dari itu si Bajing*n bisa mengajak jalan Echa dengan mudahnya. Belum pernah selama ini si Bajing*n menampakkan tabiat buruknya di hadapan Echa, hingga kejadian tadi siang pun harus dialami Teteh tercinta Gua. Si Bajing*n yang mencoba memaksa mencium Teteh Gua itu mendapatkan perlawanan, Teteh jelas meronta sembari memukul mukul ala perempuan ke arah si Bajing*n, akhirnya satu tamparanpun telak mendarat di pipi si Bajing*n. Eh dasar cupu gak punya tit*t tuh Bajing*n satu, dirinya malah membalas menampar Teteh Gua, bahkan hingga dicakar pipinya. Yang Gua dengar dari Echa, si Bajing*n Evan memang memelihara kuku yang dibiarkan panjang. Hassyyyuuuu, laki kok miara kuku panjang-panjang! Biar Gua kutekkin sekalian nanti pake darahnya kalau ketemu lagi dah!.
Selesai juga Gua menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Ayahanda, termasuk tadi Gua membalas menghajar si Bajing*n dan satu temannya yang cupu.
"Udah ?", "Cuma kamu timpah sama dengkul mu aja tuh dungu ?", tanya Beliau.
"Iya Yah..", "Habis gimana, dia langsung pingsan ternyata..", "Masa mau dihajarin juga ?", jawab Gua pelan.
"Ciih..", "Ambil palu di gudang.." "Taruh di Celica mu...",
"Besok-besok kalau ketemu lagi sama dia, remukin jarinya A..", ucap Ayahanda sambil berlalu meninggalkan Gua.
"SIAP!!", jawab Gua setelah mendengar perintah Beliau. ...
Sekarang Gua berada di kamar depan dekat ruang tamu, kamar yang dulu dipakai Ortu Gua semasa Gua kecil. Gua tidak sendirian, Teteh tercinta sudah duduk manis diatas ranjang kamar ini dengan kaki yang bersila, begitupun dengan Gua yang duduk di didepannya.
"Aaa..", ucap Gua seraya menyuapinya makan. "Eumm", Echa mengunyah ketupat dengan semur daging.
"Hehehe...", "Enggak usah takut gemuk Teh..",
"Eza tetep sayang kok sama Teteh..", ucap Gua menggodanya.
Gua hanya tertawa ketika dirinya hanya bisa mengembungkan pipinya dan memanyunkan bibir.
Yaa Alloh Yaa Rabb... Ini kok rasanya kayak suami-istri yoo. Gua berada diatas kasur menyuapi istri yang sebelumnya sedang bermuram durja, lalu menggodanya, berusaha membuat dia tersenyum kembali. Duuh duuuh... Bahaya, lama-lama jatuh cinta beneran Gua sama perempuan luar biasa di depan Gua ini. Gimana urusannya nanti sama Nona Ukhti " Belum lagi Janji Gua yang mau nikung Mba Yu.. Bisa berabe nih. Jomblo sih jomblo, tapi yang ngantri kok banyak bener yooo.. Ada lagi Neng Kinan sang pengolah roti handal, belum lagi si Lisa anak juragan Kost 40 pintu. Hamsyong gua ini ma.
Gua kan bukan playboy, enggak ahli menduakan kaum hawa, enggak bisa main rapih, eh.. Kecuali ama Tissa, (Maaf Bun keceplosan).
"Udah Za..", "Kenyang aku..", ucap Echa setelah menelan makanannya. "Yaaaa... Baru juga tiga suap Teh..", jawab Gua.
"Enggak ah..", "Cukup, besok lagi aja makannya..", jawabnya lalu mengambil gelas yang berisi air mineral di meja kayu samping kasur.
Selesai menyantap makanan, Gua taruh piring ke dapur, lalu kembali ke kamar dimana Echa akan tidur tadi. Kami berdua mengobrol banyak hal, seputar kegiatannya di kampus, lalu mundur kebelakang, bercerita mengenai kenangan masa kecil kami lagi. Banyak sudut ruangan di dalam rumah ini yang Echa ingat, dimana sepatu roda kami tersimpan, tempat menyembunyikan celengan berbentuk ayam, sampai letak dimana Gua sering menyembunyikan sandalnya dulu pun Echa masih mengingatnya.
Tawa renyahnya seolah-olah telah menutupi kesedihannya hari ini. Kemudian senyuman indah yang ia berikan sebelum tidur mengakhiri obrolan kami di waktu yang sudah terlampau larut untuk memejamkan mata.
"Makasih ya Za..",
"Makasih untuk hari ini..", ucapnya yang telah membaringkan tubuh diatas ranjang. Gua tarik selimut untuk menutupi tubuhnya agar mengurangi hawa dingin dari larutnya malam.
"Sama-sama Teh..",
"Tidur ya, jangan lupa berdo'a..", jawab Gua ketika sudah menarik selimut hingga ke dadanya.
"Iya.." "Kamu juga langsung tidur ya..",
"Biar gak telat nanti shalat subuh dan shalat ied nya...", balasnya. Gua tersenyum menatap wajahnya. Gua belai helaian rambut di keningnya. "Ya udah aku balik ke kamar dulu ya..", ucap Gua sambil bangkit dari ranjang. Tapi tangannya menahan lengan Gua. Echa tersenyum sangat manis. "Janji jagain aku ya Za..", ucapnya penuh harap.
Gua kembali menatapnya, kali ini Gua tatap matanya lekat-lekat. Tersenyum lalu... Cuupp.. Gua kecup keningnya.
"Pasti", jawab Gua, "Mimpi indah ya Teh..". ... ... ...
Gua bangun setelah mengistirahatkan tubuh dalam waktu 4 jam saja. Gua lihat hp, menatap jam digitalnya, pukul 05.18 wib. Gua bangkit dari lantai kamar yang beralaskan karpet. Badan rasanya pegal semua, mungkin karena waktu tidur yang kurang, ditambah alas tubuh Gua hanyalah karpet kamar. Ya, mau enggak mau Gua tidur dibawah, karena Ayahanda sudah mengakuisisi ranjang kamar Gua malam tadi.
Gua lihat beliau baru selesai shalat subuh. Lalu melepaskan kaos yang dikenakannya, namun masih berbalut sarung.
Gua terkesima menatap punggung Beliau. Gambar seekor macan yang full-color memenuhi punggungnya, garang sekali lukisan diatas kulitnya itu. Wajah binatang buas itu berada di pinggangnya, tubuh sang macan terlukis menutupi punggung Beliau, hingga lukisan ekornya sampai ke kulit bahunya. Kemudian beliau mengenakan kaos dalam lalu memakai baju koko berwarna putih.
Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gua menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar, Gua membilas tubuh dan bersih-bersih, lalu mengambil wudhu. Selesai bersih-bersih dan berwudhu, Gua pun melaksanakan ibadah wajib dua raka'at subuh ini.
... Gua, Ayahanda dan Om Gua sudah mengambil posisi duduk di barisan ketiga dari mimbar dalam masjid komplek rumah Nenek. Echa, Nenek Gua, Tante Gua beserta anaknya ada di bagian masjid khusus wanita. Semakin ramai para muslim-muslimah yang mengisi masjid untuk melaksanakan shalat idul fitri berjamaah. Gua melihat ke sisi lain dalam masjid, ada Robi yang sedang 'pesiar' dari masa pendidikkannya, kemudian Dewa, Icol, Unang, dan terakhir Rekti yang Gua lihat semakin menghitam kulitnya, mungkin karena panasnya kota apel saat dia dinas disana selama ini.
Lantunan takbir dari para muslim di dalam masjid tidak cukup membuat mata Gua tetap terjaga, benar-benar ngantuk rasanya pagi ini. Gua pun akhirnya bertopang dagu dengan posisi duduk. Lamakelamaan kelopak mata Gua turun perlahan, lalu menutup.
Sebuah senggolan sikut mengenai lengan kiri Gua yang sedang menopang dagu, Gua kaget dan langsung membuka mata walaupun rasanya perih. Gua tengok ke samping kiri. Ada Ayahanda yang sedang menggelengkan kepala kearah Gua.
"Begadang terus..", ucapnya pelan.
Gua masih mengumpulkan kesadaran dari ketiduran yang kurang dari lima menit tadi. Gua memijat kening sebentar, lalu tersenyum kepada Ayah.
"Hehe..", "Ngantuk banget..", jawab Gua.
Ayahanda hanya menggelengkan kepala lagi lalu kembali menatap ke mimbar di depan.
Singkat cerita shalat ied pun selesai kami laksanakan secara berjamaah, lalu masih di dalam masjid ini, semua muslim saling memaafkan di hari yang fitri, saling berjabat tangan dan berpelukkan sambil mengitari dalam masjid. Gua sengaja menghindari keluarga, Gua hanya menghampiri Bapak-bapak tetangga Nenek. Lalu bergegas keluar masjid.
Ketika Gua lewat rumah Rekti, ternyata sahabat-sahabat Gua sedang berkumpul di depan rumahnya. Ada Dewa, Meli, Icol, Unang, Robi dan tentu saja Rekti. Kami pun saling bersalaman dan meminta maaf satu sama lain.
"Eh ada Meli", ucap Gua kepada Meli setelah menyalami kelima sahabat Gua sebelumnya. "Mohon maaf lahir batin ya Mel", ucap Gua seraya mengulurkan tangan kepada Adik Mba Siska ini.
"Iya Mas Eza..",
"Sama-sama ya Mas..", seraya menyambut tangan Gua, "Mohon maaf lahir batin juga", ucapnya lagi sambil tersipu malu.
"Udaah..", "Jangan kelamaan megang tangannya", sewot Dewa kepada Gua. "Haa haa haa..", tawa Robi kali ini.
"Cemburu terus Lu Wa ama si Eza..", timpal Icol.
"Yang lalu biarlah berlalu Sob, ha ha ha ha..", timpal Unang kali ini.
"Ya gak cemburu sih",
"Cuma takut aja ada yang masih belum bisa lupain..", jawab Dewa sambil melirik pacarnya itu.
"Apaan sih..", "Aku enggak suka diungkit gitu..",
"Udah lama juga kalii..", balas Meli kepada Dewa.
"Udah-udah Ah..",
"Masa lebaran malah pada cemburu..", ucap Rekti kali ini, "Apa kabar Lu Za ?", tanya Rekti kepada Gua.
"Alhamdulilah sehat..",
"Udah pindah dinas Lu kesini ?", tanya Gua balik.
"Insha Alloh minggu depan Za Gua ditempatin di Polres xxx..", jawabnya, "Mba Sherlin apa kabar Za ?", lanjutnya.
"Alhamdulilah sehat juga..",
"Kayaknya.. Ha ha ha...", jawab Gua garing.
"Laah.. Sering-sering kontakan dong..", "Silaturahmi ini kan. He he he..", ucap Rekti lagi.
Lalu kami pun mengganti topik obrolan, dari mulai kegiatan kampus Dewa, Gua, lalu pendidikkannya Robi yang belum selesai, kemudian ada Icol dan Unang yang ternyata sudah merintis usaha warung angkringan di pinggir jalan. Salut untuk kedua sahabat Gua itu.
Btw, gosipnya sih dulu sebelum Dewa memacari Meli, Meli sempat suka ke Gua. Entah gosip darimana, benar atau tidak, Gua sih bodo amat.
"Ngomong-ngomong Mel",
"Mba mu ada di rumah ?", tanya Gua.
"Ada Mas..", "Main Mas kerumah..",
"Mba Siska lagi lepas dinas..", jawabnya sopan pake banget, pake senyum teruss. Panas panas tuh bokinnya ha ha ha.
"Udah sono kerumahnya samperin..", timpal Dewa yang keki kepada Gua, "Kamu disini aja selama si Kadal ketemu Mba mu ya", lanjut Dewa kali ini kepada Meli.
Meli mendengus kesal, lalu memeletkan lidah kepada Dewa yang langsung membuat kami semua tertawa.
"Ya udah, Gua duluan ya Sob, mau silaturahim dulu ke rumah Pak RW..", ucap Gua pamit kepada sahabat-sahabat rumah,
"Hai calon adik ipar...",
"Mau pulang bareng gak ?", goda Gua kepada Meli dan Dewa.
Dewa langsung melepaskan satu sendal yang dipakainya dan hendak melemparkannya kepada Gua. Bersama tawa mereka, Gua pun sudah ngacir ke arah rumah Pak Rw.
"Assalamualaikum..", ucap Gua mengucapkan salam dari ambang pintu rumah Pak Rw yang terbuka. "Walaikumsalam..", jawab seorang perempuan cantik nan manis dengan pakaian gamis.
Benar-benar ya, perempuan muslim kalau mengenakan gamis di hari raya itu auranya berbeda. Bikin meleleh hati Mas Eza aja kamu Mbaaa Mba!. Goyah dah ini ma. Shuuuh!
"Masuk sini Za..",
"Malah diem disitu..", ucapnya sambil berdiri dari duduknya.
"Iya Mba..", Gua pun masuk kedalam ruang tamu rumahnya ini.
"Mba, Mohon maaf lahir batin ya..", ucap Gua sambil menyalaminya dengan mengatupkan kedua tangan.
Lalu disambut oleh Mba Siska dengan mengatupkan kedua tangannya juga kepada Gua. Bersentuhanlah tangan Gua dengan tangannya. Duh lembutnyaaa... Sengaja ah Gua lamain, Gua apit kedua tangannya itu, ngetes nih.
"Sama-sama ya Za",
"Maafin Mba kalo ada salah-salah selama ini..", ucapnya sambil tersenyum. Mba Siska kemudian menarik tangannya dari apitan kedua tangan Gua. Ah elah, gagal deh...
Eits, ternyata ini lebih dari yang Gua bayangkan Gais. Setelah melepaskan tangannya, ternyata eh ternyataaa.. Kedua tangannya di letakkan ke bahu kanan-kiri Gua, alamaak.. Mimpi apa Gua semalem. Wajahnya dicondongkan sedikit ke kanan lalu maju menghampiri pipi Gua.
tepp.. tepp.. Yes! Cipika-cipiki Uhuy, lembut beut dah ah itu pipi mu Mba Polcan.
Gua lihat Mba Siska tersenyum, tangannya sudah terlepas dari bahu Gua. Enggak mungkin kalo Gua gak baper, Gua balas senyumnya. Dan kampretnya ini jivva kadal Gua tiba-tiba mengambil alih kesadaran Gua. Beneran sumpah, bukan Eza ini ma, si kadal ini ma!
"Mba..", ucap Kadal yang telah mengambil alih kesadaran Gua. "Heum ?", Mba Siska hanya memandangi mata Gua.
Kami masih berdiri berhadapan. "Boleh aku cium kening kamu..?".
Ta to the i, taaa****!!! Ini mulut kadal sembarangan kalo ngomong! .
Mba Siska tidak menjawab, dia malah tertunduk, pipinya sempat Gua lihat memerah. Lalu matanya mendelik menatap Gua lagi, bibirnya pun tersenyum. Gua anggap itu sebagai jawaban "Boleh Mas Ezaaa..".
Cup.. Gua kecup keningnya.
Lalu entah awkward momen ini malah membuat kami berdua tertawa pelan. Dan kami berdua pun malah jadi salah tingkah. Gila ini si Kadal kalo udah merasuki jiwa Gua. Bahaya Daaallll Dal!!! Bikin cewek di didepan Gua baper lalu patah hati urusannya Dor ini ma.
"Loch ada tamu toh..", ucap seorang Ibu-ibu dari arah bagian dalam rumah lainnya. Ternyata itu Ibundanya Mba Siska, alias Bu Rw.
"Pagi Budeh...", sapa Gua ketika Ibunya sudah berada di sampingnya. "Pagi Za..", jawabnya sambil tersenyum.
Lalu Gua pun mencium tangan beliau seraya memohon maaf lahir dan batin. Lalu Beliau mempersilahkan Gua duduk, tapi Gua tolak dengan halus, karena Gua harus pulang ke rumah. "Za, nanti aku sms ya..", ucap Mba Siska ketika Gua sedang mengenakan sandal.
"Okeh Mba..", "Hehehe...",
"Aku pulang dulu ya Mba..", ucap Gua kepada Mba Siska, yang langusng dibalasnya dengan senyuman dan anggukan kepala.
"Budeeeh.. Saya pamit dulu ya..",
"Assalamualaikuuumm..", ucap Gua lagi sedikit berteriak kepada Ibunya yang berada di ruang tamunya.
"Oh iya Lee..",
"Walaikumsalam...", jawab Ibu Mba Siska sedikit berteriak juga. ...
Dan sekarang Gua sudah berada di rumah Nenek lagi. Gua masuk lewat pintu rumah utama, di ruang tamu ini sudah berkumpul semuanya, mereka semua duduk di sofa.
Gua langsung bersimpuh dihadapan Nenek yang sedang duduk itu, memohon maaf lahir batin kepadanya, lalu rambut belakang gua pun di usap oleh tangan halus Nenek seraya memaafkan Gua dan juga saling berucap maaf lahir batin.
Kemudian lanjut ke Om dan Tante Gua di sebelah Nenek. Hal yang sama Gua lakukan kepada Adik dan Adik Ipar Ayahanda Gua itu. Lalu Gua menggeser langkah menggunakan kedua lutut Gua ke arah sofa lainnya. Dimana Orangtua Gua satu-satunya sedang duduk sendirian. Beliau tersenyum menatap Gua, tapi kok tiba-tiba hati Gua bergetar ketika pelukkannya mendekap punggung ini. Gua rebahkan lagi kepala ini diatas pahanya. Kembali Gua bersimpuh. Airmata gua tidak terbendung lagi, tumpah sudah membasahi celana jeans Beliau. Gua rasakan telapak tangannya yang besar itu mengusap punggung Gua.
"Maaf ya Yah, kalau A'a ada salah selama ini...", ucap Gua dengan suara parau.
"Sama-sama ya A'..",
"Ayah juga minta maaf..", ucap Beliau,
"Sudah sudah..", ucapnya lagi sambil mengangkat bahu Gua agar Gua bangun dan tidak bersimpuh lagi di pahanya.
"Dah nangisnya, basah nih celana baru Ayah", ucapnya.
Wah bener nih Bokap, malah ngecengin Gua. Padahal ma Gua sempat lihat matanya juga berkacakaca walaupun airmatanya gak tumpah. Tengsin kali depan Gua dan keluarga, he he he. "Udah sana samperin tuh istrimu di dapur..", ucapnya lagi.
Gua menyeuka airmata di pipi, lalu kening Gua berkerut menatap Beliau. "Istri ?", tanya Gua bingung.
"Ituu Echa Za..",
"Lagi siapin makan buat kamu", "Motongin ketupat mungkin..",
"Kami semua udah makan, tinggal kamu sama Echa..",
"Echa mau nungguin kamu katanya, makanya gak makan bareng kami", jawab Tante Gua kali ini menjelaskan.
Gua melirik ke Ayahanda lagi, Beliau tersenyum sambil menaik turunkan alisnya. Gua hanya terkekeh pelan sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Udah sono.. Kelamaan!", teriak Om Gua yang melihat Gua malah salah tingkah. "Iya iya bawel ah..", ucap Gua lalu bergegas ke dapur.
Gua sempat mendengar tawa mereka ketika beberapa langkah meninggalkan ruang tamu. Dih gua malah dicengin lagi, hadeuh.
Gua masuk ke ruang makan dulu, eh ternyata ada perempuan cantik dengan balutan gamis putih sedang berdiri membelakangi Gua. Kain kerudungnya tidak menutupi kepalanya, hanya diselendangkan ke bahu dan tengkuknya. Otomatis mahkota indahnya yang hitam dan lurus itu terlihat jelas hingga sebahu lebih sedikit. Gua dekati dirinya dengan mengendap-ngendap. Ketika tepat berdiri dibelakangnya, Gua melirik sedikit ke depan, oh ternyata benar, dia sedang memotong ketupat. Isengin aaahh
"DORR!!". "ASTAGFIRULLOH!!". Klontaang!
"Hua ha ha ha ha...".
Gua tertawa melihat dirinya tersentak hingga pisau dapur dan ketupat yang digenggamannya terlepas di atas piring. Gua jahil tadi, mengangetkannya dengan menusuk kedua sisi pinggangnya menggunakan kedua jari telunjuk kanan-kiri Gua dengan secepat kilat dari belakang. Otomatis tubuhnya langsung bereaksi tersentak dan kaget.
"Hiiii.. EZAAA!!",
"Ngagetin banget tau gak!", ucapnya dengan raut cemberut.
Gua masih terkekeh melihatnya yang sewot. Wajahnya kini semakin kesal dan marah. Echa menarik kursi makan dengan kasar lalu duduk, kemudian kedua tangannya menopang dagungnya, bibirnya manyun. Gua dekati dirinya, mengusap rambutnya lalu...
Cup.... "Maaf ya". PART 9 Siang hari Gua terbangun dengan kondisi lebih segar. Sebelumnya, tadi pagi setelah makan berdua dengan Echa di ruang makan, kami mengobrol santai seputar acaranya hari ini. Ya karena di rumahnya tidak ada keluarganya, Echa sudah janjian dengan beberapa teman kampusnya untuk berkumpul. Tentunya teman-temannya yang tidak mudik juga. Kemudian setelah itu kami sekeluarga ke makam kakek untuk ziarah, pulangnya Gua langsung merebahkan diri di ranjang kamar.
Gua lihat jam yang berada di dinding kamar, ternyata sudah menunjukkan pukul 11 siang. Sekitar satu setengah jam Gua tertidur tadi. Lalu Gua bergegas ke kamar mandi, Gua pun membilas tubuh di siang hari yang cukup panas ini.
Gua sudah rapih sekarang, memakai kaos oblong putih dan celana long-jeans biru langit. Tidak lupa jam tangan hitam di pergelangan kiri. Gua keluar kamar menuju ruang tamu. Disana Gua hanya melihat Nenek dan Tante Gua bersama anaknya.
"Nek, Echa kemana ?", tanya Gua yang sudah berdiri di samping Nenek.
"Sudah pulang..",
"Diantar Om mu, baru 10 menit lalu berangkatnya", jawab Nenek.
Lah " Kok dianterin pulang sama Om Gua. Katanya mau Gua yang anter abis Gua bangun tidur. Gimana nih si Teteh.
"Kok enggak nungguin aku ?", tanya Gua lagi.
"Teman-temannya sudah nunggu di rumah Echa Za..", "Mau bangunin kamu gak enak, kasihan cape katanya..",
"Jadi Om mu yang antar, karena tadinya Echa mau naik kendaraan umum..", kali ini Tante Gua yang jawab.
Hmmm.. Buru-buru banget itu teman satu genk kampusnya Echa. Katanya janjian sehabis Dzuhur. Ya sudahlah mau gimana lagi. Gua pun duduk di sebelah Tante Gua. Gua lirik anaknya yang tertidur dipangkuan sang Ibunda.
"Te.. Bawa ke kamar Eza aja, kasihan tidur di kursi gini tuh si kecil..", ucap Gua. "Gak apa-apa Za, maunya nempel melulu sama Ibunya..",
"Kalau kebangun gak ada Tante, nangis terus dia gak berhenti-berhenti..", jawab Tante Gua sambil mengusap kening si kecil.
Niat iseng Gua pun mucul. Gua cium pipinya si kecil lama dan dalam, sampai-sampai dia menggeliat, Tante Gua hanya tertawa, tapi tidak dengan Nenek yang melihat kejailan Gua itu.
"Hey! Ezaa..", "Udah ah, iseng kamu tuh..",
"Kasihan baru tidur itu..", ucap Nenek Gua sambil melotot kearah Gua.
Gua hanya terkekeh pelan, lalu berdiri hendak ke teras depan kamar. Tapi sebelumnya Gua menanyakan satu orang hilang dulu nih.
"Te, Ayah kemana ?", tanya Gua kepada Tante.
"Oh, Ayahmu pergi tadi ke rumah Laras, calon Ibu baru mu.. hi hi hi hi", jawab Tante Gua sambil tertawa pelan.
"Hooo... Pantes..",
"Eh iya, Ayah naik apa Te ?", tanya Gua lagi. "Dia bawa mobil mu tadi...", jawab Tante Gua lagi.
"Ooh..", "Ya udah deh, Eza ke teras dulu ya..", ucap Gua lalu berjalan keluar ruang tamu.
Gua duduk di sofa teras depan kamar, lalu membakar sebatang racun. Fuuuhh... Rasanya enggak ngisep nih racun dari tadi malam membuat Gua rindu dengan hembusan asapnya. Siang yang panas di hari lebaran ini malah membuat Gua gak jelas. Mau kemana lagi. Ke makam sang pacar pertama sudah tadi pagi, sekalian dengan ziarah ke makam Kakek lalu Saudara Gua, Topan. Lebaran ke rumah Ukhti Ve dan Mba Yu enggak mungkin karena mereka masing-masing sudah mudik dari dua hari lalu. Kemana ya... Oh iya, dari pagi Gua belum cek hp. Gua pun mengambil hp dari dalam kamar lalu kembali duduk di sofa teras.
Ternyata sudah ada sekian banyak sms yang masuk dari semalam kalau Gua lihat waktunya. Hmm.. Rata-rata dari beberapa teman SMA Gua, termasuk sahabat dekat Gua, Shandi dan Gusmen. Gua baca satu persatu sms yang masuk, lalu Gua balas dengan kalimat yang sama. Isinya "Sama-sama Bro, mohon maaf lahir batin juga ya.. Eza n' Fams...". Dah gitu doang, kampret emang Gua tuh. Gimana enggak, wong sms yang masuk rata-rata ngucapin lebaran/maaf lahir batin dengan sms yang bagus-bagus, kalimatnya dirangkai seindah mungkin, lah Gua ma pan males ngerangkai begitu, apalagi kalo kudu forward kalimat indah dan ngeganti kata terakhirnya, misal, "Budi dan Keluarga", Gua ganti dengan "Eza dan Keluarga" tapi isi sms lebarannya sama, ogah Gua ma. Ha ha ha ha...
Bukan bermaksud malas merangkai kata sih sebenernya, ataupun irit pulsa dan sebagainya. Cuma kalau dipikir-pikir kan yang penting keikhlasan di dalam hati kita memaafkan orang, enggak sekedar isi sms yang indah tapi hatinya ma kagak ikhlas. Sama aja bo'ong. He he he...
Beres membalas semua sms lebaran, termasuk dari Wulan juga, baru lah Gua membalas sedikit berbeda kepada beberapa sms dari pengirim lainnya. Pertama Ukhti Ve, Gua tetap tidak merangkai kalimat indah di sms, namun sedikit berbeda saja. "Hai Ve, sama-sama ya. Selamat hari raya idul fitri juga, dan maafin aku juga kalau ada salah selama ini, salam untuk keluarga kamu disitu. Miss You..". Lalu kepada Mba Yu, "Sama-sama MY-Ku.. Maafin Mas ya kalo ada salah juga, salam untuk Papah, Mamah dan Desi disitu.. Pulangnya hati-hati ya nanti. Oh ya, Mas Eza masih nungguin Mba Yu loch.. Hehehe..". Gitu tuh sms Gua kepada martabak manis 'spesial' bahahahaha, walaupun enggak romantis dan indah, tetep aja tersirat sedikit perasaan Gua untuk mereka. Dan untungnya semua balasan sms Lebaran sudah terkirim sebelum pulsa Gua benar-benar sisa 50 perak.
Nah pulsa sekarat juga, mau beli pulsa mana ada konter pulsa yang buka deket rumah kalo masih Lebaran gini. Gua cukup kesel, karena eh karena.. Gua gak bisa bales sms Echa yang mengatakan bahwa dirinya sudah sampai di rumah dan berkumpul dengan Teman-temannya. Dan yang kedua, Mba Siska sudah sms, menanyakan Gua lagi dimana, lah Gua malah enggak ada pulsa. Gua berpikir sejenak, apa Gua samperin aja lagi kerumah Pak Rw ya.. Boleh juga tuh. Akhirnya setelah menghabiskan sebatang racun, Gua pun keluar rumah, menuju kediaman Mba Polcan anak keduanya Pak Rw.
Gua melewati rumah Icol ketika menuju rumah Pak Rw, dan pemandangan yang tidak biasa pun menyita perhatian Gua. Tumben amat ini depan rumahnya si Icol banyak orang. Enggak banyakbanyak amat sih, ya paling empat sampai lima orang, dan itu para tetangga. Kalau mau lebaran sesama tetangga rasanya kesiangan, karena biasanya pagi hari sudah pada muter tuh ke tetangga sebelah-sebelah rumah.
Gua pun mendekati rumahnya Icol. Lah ternyata si Icol sedang asyik berdiri di ambang pintu dengan hp yang berada di genggamannya. Gua perhatikan dan Gua dengarkan. Wah pucuk dicinta ulam pun tiba ini namanya. Sahabat Gua itu ternyata jualan pulsa. Fix, Icol juragan pulsa di saat lebaran. Beres mengantri dan bertransaksi pulsa dengan Icol, Gua pun pamit kepada Icol. "Thank you Col...", ucap Gua ketika notif pulsa sudah masuk ke hp Gua. "Yoi, tapi bayar dulu atuh..",
"Maen thank you aje Lu",
"Hadeuh...", jawab Icol mengingatkan Gua.
"Oh iya lupa, ha ha ha...", ucap Gua sambil merogoh saku celana.
"Nih, okelah Gua cabut dulu Sob..", lanjut Gua seraya memberikan uang yang pas kepada Icol lalu pamit.
"Oke, makasih juga...", "Eh ?",
"Ooii... Kemane Lu " Kok jalan kesono ?", teriaknya ketika Gua sudah beberapa langkah meninggalkannya.
"Ke rumah Pak Rw mau urus surat nikaah.." jawab Gua sambil tetap berjalan.
"Nikah ?", "Woooiii...",
"Siapa yang mau Nikaahh Zaa ?"?", teriaknya lagi karena Gua semakin menjauh. "Guaaa, ama anaknya yang nomor duaaa...", jawab Gua, lalu berlari, dadah Icol ha ha ha. ...
Gua serasa bodoh sebenarnya, sudah beli pulsa dari si Icol, kok malah tetep nyamperin Mba Siska, bukannya bales smsnya aja terus pulang ke rumah. Tapi kepalang lah, Gua sudah berada di depan pintu rumahnya yang tertutup juga kan, Lalu Gua ketuk tiga kali pintunya sambil mengucapkan salam, beberapa detik kemudia handle pintu pun terbuka. Seorang Perempuan yang tadi pagi Gua kecup keningnya kini kembali berada dihadapan Gua, kali ini dengan busana yang berbeda.
Mba Siska mengenakan kemeja putih lengan panjang, dan hanya kerah kemejanya yang berwarna hitam. Kemudian celana long-jeans berwarna biru laut membalut bagian bawah tubuhnya hingga semata kaki. Aksesoris kalung dengan liontin emas putih berbentuk hati, dibiarkan menggantung keluar di depan kemejanya, membuatnya semakin cantik, dan ternyata ada yang berbeda juga dari bagian wajahnya, selain make-up yang tipis, ternyata Mba Siska juga menggunakan softlens berwarna cokelat.
"Hallo Mba..", sapa Gua lagi setelah Mba Siska menjawab salam Gua sebelumnya.
"Hai Za..", "Aku lagi nunggu balesan sms kamu, eh taunya yang di sms malah datang...", ucapnya.
"Eh iya Mba hehehe...",
"Tadi enggak ada pulsa, lewat rumah Icol beli pulsa dulu..",
"Tapi Eza pikir tanggung mau bales sms, makanya kesini aja sekalian nyamperin kamu Mba hehe...", ucap Gua lagi.
"Oh gitu, ha ha ha..",
"Ya udah, masuk dulu yu Za..", ajaknya kepada Gua.
Kami berdua pun kini sudah berada di ruang tamunya, kami duduk bersebrangan. Gua tersenyum kepada Mba Siska, pastilah Gua selalu terpesona dengan dirinya yang memang sudah cantik sedari dulu. Tapi saat ini pikiran Gua bertanya-tanya, dirinya yang sudah rapih, cantik dan bersolek itu pasti akan pergi keluar.
"Mba, rapih dan cantik banget siang gini...", "Mau pergi keluar ya Mba ?", tanya Gua.
Mba Siska tersenyum lalu mengangguk, "Iya Za, Mba mau pergi keluar..", lanjutnya. "Ooh.. Ganggu dong, Maaf ya Mba..", ucap Gua menanggapinya.
"Enggak ganggu Za", tersenyum,
"Belum tentu jadi pergi sih..", ucapnya lagi.
"Loch ?", "Kenapa emang Mba " Temen atau pacarnya belum ngabarin ?", tanya Gua lagi.
"Orangnya belum bales sms soalnya...", ucapnya tersenyum lagi, "Pacar " Hmmm.. Mba belum punya pacar Za..", lanjutnya.
Wohohoho... Kode ini cuy. Pengalaman Gua udah cukup untuk buat Gua peuka terhadap kodekodean gini ma. Tapi belaga polos dan sok gak tau apa-apa itu juga penting, buat ngorek informasi lagi, karena jangan sampai kita ke Pe'dean. Ikuti aja dulu alurnya.
"Ooh belum bales sms..",
"Berarti janjiannya sama temen ya " Mungkin temennya lagi jalan kesini kali Mba..", ucap Gua lagi.
"Enggak Za..", "Enggak lagi jalan kesini...", jawabnya lagi. "Enggak kesini " Janjian di luar ?", tanya Gua lagi.
"Enggak juga..",
"Orangnya udah disini kok...",
"Lagi ngobrol nih sekarang sama Mba..", ucapnya sambil tersenyum lebar kali ini.
Oh Myyyy... Gua ternyata yang kena modus ini ma. Boleh-boleh-boleh-boleh. Enggak perlu sok polos dan pura-pura.
"Duh Mba bisa aja nih...",
"Mau ajak jalan Aku kemana Mba ?", tembak Gua langsung.
"Cari makan aja Za..",
"Bosan kan menunya daging yang di rendang atau semur sama ketupat..", jawabnya.
Gua pun langsung mengiyakan ajakkannya. Gua kembali ke rumah dulu untuk berganti pakaian, Mba Siska sudah kece badai dandannya, masa Gua pakai kaos oblong doang. Akhirnya Gua memakai polo-shirt berwarna putih, menyesuaikan warnanya dengan kemeja yang Mba Siska pakai. Akhirnya kami pun memakai mobil CRV nya Mba Siska, tentunya Gua sudah pamit terlebih dahulu kepada kedua orangtua Mba Siska serta Nenek dan Tante Gua.
Kami berdua sekarang sudah berada di mobilnya, dan Gua yang mengemudikan roda empat miliknya ini. Gua arahkan mobil ke rumah makan yang menyediakan PSK (Pusat Sate Kiloan). Yap, Mba S iska ingin makan sate dan sop kambing.
Singkatnya kami sudah berada di rumah makan psk ini. Ternyata walupun hari pertama lebaran, rumah makan ini tetap buka dan ramai pengunjung. Beruntung kami masih sempat kebagian tempat duduk, sebenarnya model lesehan sih tanpa bangku.
Kami berdua pun segera menyantap menu sate dan sop kambing yang sudah tersaji diatas meja makan. Sambil menikmati makanan, kami sedikit mengobrol soal pekerjaannya yang telah di pindahkan ke ibu kota beberapa bulan lalu. Mba Siska ternyata jadi juga kontrak sebuah rumah minimalis daerah selatan.
"Deket Mba ke kantor dari kontrakan ?", tanya Gua setelah menelan sate kambing.
"Lumayan deket sih Za..",
"Kalau naik motor mungkin 10 sampai 15 menit sampai..",
"Tapi kan Mba enggak ada motor, adanya mobil, jadi ya tau sendirilah ibu kota, macetnya kayak apa...",
"Bisa setengah jam kalau naik mobil..", jawabnya.
"Ooh.. Ya enggak apa-apalah Mba..",
"Seenggaknya enggak harus PP kayak aku..", ucap Gua.
"Oh ya, kampus kamu kan di selatan juga ya ?",
"Terus kenapa enggak kost Za ?", tanyanya sambil menaruh sendok dan garpu setelah selesai menyantap makanannya.
"Iya Mba di selatan",
"Awalnya sih enggak mau kost, enakkan pulang pergi naik krl aja..",
"Cuma kemarin Ayah bilang katanya aku harus belajar mandiri jadi ya mungkin nanti kalau masuk kuliah lagi, aku mau cari kost-an..", jelas Gua kepadanya.
"Hmm.. Bagus tuh, biar ada pengalaman Za",
"Jadi nanti kamu bisa mulai belajar me-menej diri kamu, belajar disiplin, mengatur keuangan dan keperluan pribadi lainnya..", timpalnya mendukung keinginan Ayahanda.
"Iya Mba, itu juga yang Ayah aku harapin..", jawab Gua.
Selesai makan dan membayar pesanan, kami pun beranjak dari rumah makan ini. Gua sebenarnya hanya iseng ketika mobil baru meninggalkan rumah makan, Gua bilang dari sini Gua ingin ke ibu kota. "Mba, Jakarta kalau lebaran gini pasti lenggang ya ?", tanya Gua sambil fokus kepada jalan raya. "Iya Za, rata-rata penduduknya kan urban, pasti kebanyakan pada mudik", jawabnya. "Ke Jakarta yu Mba..", ucap Gua kali ini sambil menoleh kearahnya dengan tersenyum.
"Heum ?", "Mau ngapain kesana ?", tanyanya heran.
"Main aja..", "Monas atau Ancol..", jawab Gua.
"Duh, kalo ke ancol enggak mungkin sepi Za, rame banget pasti disana..", "Kalo Monas enggak seramai Ancol..", jelasnya kepada Gua. "Terus mau kalo ke Monas Mba ?", tanya Gua lagi. Mba Siska tersenyum lalu mengangguk, "Boleh..", jawabnya.
Gua pun mengarahkan mobilnya ke jalan tol. Ternyata setengah perjalanan di jalan tol ramai juga kendaraan lain. Gua kira beneran lenggang, ya walaupun enggak seramai hari kerja atau hari biasanya yang suka macet.
Singkat cerita mobil sudah keluar dari exit tol Slipi. Nah dari sini Gua enggak tau petunjuk arah walaupun katanya exit tol Slipi paling dekat menuju ke Monas. Untungnya Mba Siska hapal arah jalan, jadi Gua pun mengikuti Mba navigator dadakan disebelah Gua ini. Eh ternyata memang dekat.
Singkat cerita kami berdua sudah berada di area parkiran mobil, kami pun turun dan menuju Monumen Nasional di depan kami. Dan ya, apa kata Mba Siska benar ramai juga pengunjung di hari pertama lebaran ini.
Singkat cerita kami berdua bersama pengunjung lainnya sudah berada dibagian atas monumen setelah elevator mengantar kami keatas sini.
Ramainya pengunjung harus membuat kami bersabar untuk bisa menikmati wajah ibu kota dari ketinggian 132 meter ini. Lalu tiba juga giliran kami meneropong gedung-gedung di luar sana. Selesai menikmati pemandangan dari atas sini, tidak lupa Mba Siska mengabadikan momen liburan kami berdua di dalam monumen. Cakep dikit cekrek, gaya dikit cekrek, tampan banget cekrek, cantik banget cekrek. Dari kamera hpnya itu, cukup banyak foto kenangan kami berdua yang ter-capture. Dari mulai gaya biasa malu-malu sampai gaya gokil dengan memonyongkan bibir pun tidak luput dari kameranya. Kami meminta tolong kepada pengunjung lain untuk meng-capture gaya kami berdua. ...
"Za, kita ke kontrakan ku dulu ya..", ucap Mba Siska ketika kami sudah berjalan pulang ke arah parkiran mobil.
"Oh oke Mba..", jawab Gua tanpa banyak bertanya.
Kali ini Mba Siska yang membawa mobilnya, gantian Gua yang duduk santai di sampingnya. Sebelum kami sampai di kontrakannya, Mba Siska sempat membeli makanan ringan di toko kue pinggir jalan. Mungkin sekitar pukul 18.30 wib lebih kami berdua sudah sampai disebuah rumah minimalis di selatan Jakarta. Warna biru sangat dominan membalut bangunan kontrakannya ini. Mobil sudah terparkir di halaman rumah kontrakannya setelah Gua membuka gembok pagar.
Kini Gua sudah duduk di ruang tamu kontrakannya. Masih banyak bagian rumah yang belum terisi barang-barang, hanya ada lukisan, tv, bangku-meja di ruang tamunya. Gua lihat ada dua kamar tidur. Bagian bekakang sudah pasti ada dapur dan kamar mandi.
"Maaf ya Za, enggak ada apa-apa disini..", ucap Mba Siska sambil berjalan dari arah dapur, "Paling hiburannya Tv dan player dvd aja tuh..",
"Silahkan Za diminum teh nya", ucapnya lagi ketika menaruh secangkir teh manis hangat diatas meja.
"Enggak apa-apa Mba, namanya baru beberapa bulan pindah..", "Ngomong-ngomong udah kerasan disini Mba ?", tanya Gua.
"Ya mau enggak mau harus betah dan kerasan Za", "Namanya juga ngontrak, semua serba sendiri..",
"Makanya kamu cobain kost Za, nanti tau gimana rasanya ngurus diri sendiri", jelasnya.
Gua hanya tersenyum lalu mengangguk. Gua salut sama Mba Siska, dirinya yang seorang perempuan bisa survive sendirian di kontrakannya ini. Masalahnya beda dengan anak kost, kalau anak kost kan masih punya tetangga sebelah kamar. Lah Mba Siska mana ada teman disini, wong sebelah kanan rumah kontrakannya cuma warung grosir dan sebelah kiri rumah makan nasi padang. Sebrangnya " Rumah juga sih, cuma Gua rasa penghuninya sibuk bekerja. Karena terlihat selalu sepi di lain waktu Gua kesini lagi.
"Mba enggak bosan kalau setiap pulang kerja di kontrakan sendirian ?", tanya Gua lagi.
"Ya bosan sih Za, tapi mau gimana lagi "ini pilihan Mba..",
"Tapi Mba sering kok main ke rumah teman sehabis pulang kerja", jawabnya penuh senyuman.
Kami pun mengobrol seputar pekerjaannya, ternyata Gua baru tau kalau Mba Siska itu walaupun Plokis, kerjaannya dibelakang meja dan depan komputer, adalah pokoknya detail pekerjaannya, yang jelas tidak di lapangan (jalan raya).
Tak terasa waktu semakin larut, sekarang sudah pukul 8 malam, rintikkan hujan pun ternyata sudah membasahi jalanan di luar sana.
Kami berdua duduk bersebelahan, asyik melihat foto-foto di galeri hpnya. Foto kami berdua saat di Monas tadi. Beberapa foto ada yang hasilnya buram karena gerakkan tangan saat mengambil foto, dan akhirnya jemari Mba Siska berhenti ketika layar hpnya menunjukkan satu foto dengan hasil terbaik.
Disitu terlihat kami berdua sedang tersenyum ke arah kamera, yang membuat hasilnya bagus adalah pada background foto itu terlihat cahaya senja sore hari masuk ke dalam monumen. Setidaknya itu yang Gua rasakan, tapi bagi dirinya...
"Bagus ya Mba latarnya ada cahaya senjanya..", ucap Gua sambil tetap memandangi layar hpnya.
"Iya..", jawabnya,
"Kita kayak couple ya Za..", ucapnya lagi.
Gua baru sadar apa yang membuat kami seperti couple, bukan pakaian yang kami kenakan, tapi rangkulan tangan Mba Siska ke lengan kanan Gua dan kepalanya yang bersandar di pundak Gua lah yang membuat kami seperti sepasang kekasih. Gua tersenyum melihat foto itu dan masih fokus ke layar hpnya, sampai Gua akhirnya tersadar lagi bahwa jarak duduk kami berdua ternyata sangat dekat.
Suara rintikkan hujan diluar sana semakin terdengar nyaring di indra pendengaran Gua, hawa dingin pun menelusup masuk menyapa kulit tubuh ini. Gua melirik ke sisi kiri, disana terlihat seorang wanita dewasa yang cantik, tidak terlihat rasa lelah dari wajahnya. Kedua bola matanya yang dibalut softlens warna cokelat dan sunggingan senyum dari bibirnya membuat degupan jantung Gua semakin berdetak dengan cepat.
Ada rasa ingin memiliki wanita itu dari dalam hati ini. Gua masih menatapnya, sampai akhirnya dia pun tersadar bahwa lelaki disampingnya ini sedang menatap lekat-lekat wajahnya. "Heum ?", ucapnya menengok kearah Gua.
Gua hanya menggeleng pelan, lalu entah keberanian darimana dan dorongan darimana, tubuh Gua mulai lebih mendekatinya. Wajah Gua pun semakin dekat ke wajahnya. Wanita ini hanya terdiam dan kedua bola matanya mengikuti gerakan bibir Gua yang semakin mendekati bibirnya.
Aroma parfumnya sangat terasa di hidung Gua, dan deru nafasnya terasa menyapa wajah ini. Jarak bibir kami pun hanya kurang dari satu jengkal. Kelopak mata Gua sudah turun setengah, namun Gua masih melihat bagian tubuhnya yang kissable itu.
"Za...", suaranya pelan, sangat pelan.
Satu tangannya kini sudah berada diatas punggung tangan kiri Gua. "May i ?", ucap Gua pelan ketika jarak bibir kami sudah sangat dekat.
PART 10 Gua mulai meminta maaf sepanjang perjalanan pulang di jalan tol. Kejadian di ruang tamu rumah kontrakan Mba Siska membuat kami saling terdiam.
"Mba..", "Maafin Aku", "Aku tadi kebawa suasana Mba..", ucap Gua sambil melirik kearahnya, lalu kembali fokus ke jalanan di depan.
"Udah jangan dibahas Za..", jawabnya dingin tanpa melirik sedikitpun kearah Gua.
Gua menghela napas pelan, tidak terasa pijakkan kaki Gua pada pedal gas mobilnya semakin dalam dan membuat mobil ini melaju dengan kecepatan cukup tinggi.
"ZAA!!", teriaknya.
"Astagfirulloh sorry Mba sorry...", ucap Gua yang tersadar lalu memelankan laju mobil dan mengambil sisi kiri, bahu jalan.
"Udah berhenti dulu Za disitu..",
"Biar aku yang bawa mobil..", ucapnya sambil membuka seatbelt.
Kami pun bertukar duduk, Mba Siska kini yang mengemudikan mobil. Gua malu dan merasa bersalah kepada Mba Siska, Gua hanya bisa memalingkan muka ke kiri atau tertunduk sepanjang perjalanan pulang, sampai akhirnya kami sudah berada di depan rumah pun, kami hanya terdiam. Dan sebelum Gua keluar dari mobilnya, Gua masih berusaha meminta maaf.
"Mba..", "Aku minta maaf, bener-bener minta maaf...", ucap Gua setelah Mba Siska menghentikan mobil di depan rumah Nenek.
"Udah Za lupain aja ya..",
"Iya aku maafin, jangan diulangi ya Za..", jawabnya sambil menengok kepada Gua.
Gua memohon maaf sekali lagi, lalu membuka seatbelt dan keluar dari mobilnya. Lalu mobil Crv itu pun pergi meninggalkan Gua. Gw kembali menghela napas dan menggeleng pelan. Salah Gua udah berani-berani kurang ajar sama Mba Siska.
Sebelumnya, saat masih di ruang tamu rumah kontrakannya, bibir kami sempat bersentuhan sedikit, benar-benar tipis, kecupan pun enggak, karena Mba Siska langsung membuang muka ke samping, otomatis Gua mengenai pipinya. Kemudian Mba Siska berdiri dan langsung mengajak Gua pulang kembali. Menerima penolakkan kissing untuk pertama kalinya dari seorang Wanita sekelas Mba Siska membuat Gua malu, bukan soal rekor atau hal mesum lainnya. Tapi ini Wanita dewasa yang umurnya tiga tahun diatas Gua, hati Gua langsung mengatakan, "mampus, makanya jangan suka nyamain semua perempuan". Lain halnya dengan si Kadal, "Ya elah Bos, slow bae, masih ada hari esok, jadikan ini sebagai tantangan, jangan sebut ane jivva kadal kalo Mba Sis enggak bisa aku taklukan Bos". Jelas Gua lebih memilih ucapan hati Gua lah, masa iya Gua menganggap rendah Mba Siska, Gua enggak bermaksud seperti itu. Kejadian di rumah kontrakannya murni karena suasana yang kondusif atau kurang kondusif, entahlah. Yang jelas Gua malu dan sangat merasa bersalah.
Gua sudah lihat si Black terparkir di dalam halaman rumah. Gua masuki ruang tamu yang ternyata ada Mba Laras juga disitu, duduk bersebelahan dengan Ayahanda.
"Assalamualaikum..", ucap Gua.
"Walaikumsalam", jawab Ayahanda dan Mba Laras bebarengan.
Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh Yah..", ucap Gua lagi lalu menghampiri Beliau dan mecium tangannya. "Mba..", sapa Gua kepada Mba Laras ketika sudah mencium tangan Ayahanda. "Mohon maaf lahir batin ya Mba..", Gua pun mengatupkan kedua tangan kepadanya.
Seperti sebelumnya, Mba Laras pun mengatupkan kedua tangannya, lalu tanpa bersentuhan tangan dengan Gua, dirinya juga memohon maaf lahir batin kepada Gua.
"Darimana kamu A ?", tanya Ayahanda.
"Habis dari Monas Yah sama teman..", jawab Gua.
"Naik kereta ?",
"Teman siapa ?", tanyanya lagi.
"Enggak, naik mobil teman..",
"Itu anaknya Pak Rw..", jawab Gua lagi. "Oh.. Ya sudah makan dulu A sana..", ucapnya.
Gua pun meninggalkan mereka berdua di ruang tamu ini. Gua menuju meja makan dan disitu sudah ada Echa bersama Tante Gua.
"Loch " Teh ?",
"Kapan pulang ?", tanya Gua ketika sudah duduk di kursi sebelahnya. "Dari sore..", jawabnya dingin tanpa menoleh kearah Gua. "Udah makan Za ?", tanya Tante Gua.
"Belum Te..", jawab Gua yang memang belum mengisi perut lagi setelah siang tadi bersama Mba Siska.
"Nah, makan dulu gih..",
"Tuh istrimu nungguin kamu, enggak mau makan sebelum suaminya pulang.. Hi hi hi hi..", ucap Tante Gua lagi.
"Iih Tante ngeledek terus nih..", ucap Echa dengan bibir manyunnya.
"Biarin aja dia ma enggak makan juga, udah kenyang pasti makan berdua sama Mba Polwan..", ucap Echa kali ini menatap Gua sinis lalu memalingkan muka lagi.
"Duuuh, bentar lagi ada yang butuh penjelasan kayaknya..", "Tante ke kamar dulu yaa..",
"Biar akur, jangan berantem penganten baru... Hi hi hi hi...", ledek Tante Gua lagi, lalu berdiri sambil menggendong si Kecil dan meninggalkan Gua dan Echa di meja makan ini.
"Teh, makan yuk..", ucap Gua mengajaknya makan.
Echa masih memalingkan muka, tidak menjawab ajakan Gua. Beneran marah kayaknya Teteh tercinta Gua ini. Gua berdiri lalu berjalan ke sisi kananya, berjongkok lalu memegang kedua tangannya. Gua tatap matanya yang tidak melirik sama sekali kebawah, dimana Gua bertumpu.
"Teh..", "Kenapa sih marah melulu ?", tanya Gua.
"Siapa yang marah Za..",
"Aku gak marah kok..", jawabnya jutek. "Tapi kesel ?", tanya Gua lagi. "Menurut kamu ?", tanyanya balik.
"Ya udah aku minta maaf ya Teh kalo udah buat kamu kesel..", "Tapi kamu tau darimana aku jalan sama Mba Siska ?". "Temanmu tadi abis maghrib kesini sama pacarnya..", ucapnya. "Siapa ?", tanya Gua lagi.
"Dewa sama pacarnya, adeknya Mba Polwan itukan ?", jawabnya kali ini melirik sekilas kepada Gua.
Gua menghela napas ketika Echa menceritakan kalo Dewa dan Meli datang sehabis maghrib ke rumah, niatnya mau ajak Gua jalan bersama Rekti cs ke daerah atas, tapi karena Gua tidak ada di rumah dan hanya ada Echa, mereka pun temu kangen. Ya karena Rekti cs, Gua dan Echa kan teman kecil dari dulu, jadi sekalian ngobrol-ngobrol mereka bertiga. Sampai satu jam lamanya Gua belum pulang juga, akhirnya Meli sms Kakaknya, Mba Siska. Menanyakan ada dimana dan mendapat balasan kalo sedang ke Monas bersama Gua. Otomatis Meli yang masih bersama Dewa dan Echa di rumah Nenek itu menceritakan keberadaan Gua dan Kakaknya itu. Jadilah Echa tau seperti sekarang dan kesal.
"Aku minta maaf gak bilang sama kamu Teh..", "Maafin aku ya..", ucap Gua lagi.
"Aku gak masalah kok Za",
"Tapi masalahnya kamu bisa kan bales sms aku, emang segitu sibuknya kamu jalan sama dia ?", "Sampai enggak bisa bales sms aku ?", cecarnya.
Wah asli deh, Gua sama sekali enggak ngeluarin hp dari selama jalan dengan Mba Siska. Foto di Monas aja pakai kamera di hpnya Mba Siska kan. Lagian mana ada kamera hp N-gage classic Gua. Mungkin saking asyiknya Gua jalan tadi, sampai dering nada sms masuk enggak Gua dengar. Sekarang yang kesel dan ngambeuk sama Gua nambah lagi dah.
"Enggak gitu, mungkin smsnya pas masuk enggak ke cek sama aku...", jawab Gua.
Lalu Gua merogoh saku celana jeans dan mengeluarkan hp Gua. Gua buka kunci hpnya dan melihat empat notif sms masuk yang belum dibuka dilayar utama. Tanpa berniat membukanya terlebih dulu, dan tanpa rasa curiga, Gua langsung menunjukkan hp Gua kepada Echa.
"Tuh liat belum aku buka", ucap Gua. Echa melirik ke layar hp Gua, dan...
Trriiiingng... Trrriiingng... Bunyi panggilan masuk menggema dari hp yang Gua pegang.
Mata Echa yang masih melirik ke layar hp Gua pun langsung sedikit melotot dan bangkit dari kursi makan yang dia duduki.
"Angkat tuh telpon Kakak kamu!!!", ucapnya dengan wajah yang semakin kesal dan marah kepada Gua, lalu beranjak pergi meninggalkan Gua.
Gua terkejut dengan sikap dan ucapannya tadi. Lalu Gua balikkan hp untuk melihat siapa gerangan yang menelpon Gua malam-malam begini. Gua pun cukup terkejut melihat nama yang terpampang di layar hp itu.
'Kinan'. Gua langsung lemas, urusan yang satu belum selesai dengan Mba Siska, nambah lagi satu dengan Echa, eh sekarang semakin ruwet lagi urusan dengan Echa. Karena perempuan yang namanya muncul di layar hp Gua sekarang adalah orang yang masuk kategori 'rival' dalam buku blacklist Sang Teteh tercinta.
Gua malas mengangkat telponnya, jadi Gua biarkan saja hp Gua berdering terus menerus. Kemudian, Gua yang memang sudah lapar daritadi, langsung mengambil dua piring dari dapur dan mengambil makanan, sayur dan lauk. Gua bawa dua piring yang sudah berisi makanan khas lebaran ini ke kamar depan.
Gua melewati ruang tamu, tapi tidak melihat sosok ayahanda dan Mba Laras. Gua pun tetap berjalan menuju kamar depan. Gua dorong pintu kamar yang terbuka sedikit lalu masuk kedalam kamar.
Echa sedang tidur menyamping menghadap dinding, posisi tidurnya itu membelakangi Gua. Gua taruh dua piring makan diatas meja kayu samping ranjang, kemudian Gua duduk disisi ranjang, tepat sebelah Echa.
Gua belai lembut rambutnya dari atas kepala hingga bahunya.
"Maafin aku ya Teh..",
"Telpon dari Kinan enggak aku angkat..",
"Sumpah aku enggak tau dia ada perlu apa malam gini nelponin, mungkin mau ucapin selamat hari raya Teh..", ucap Gua dengan tetap mengelus rambutnya.
"Iya", ucapnya datar.
"Teh..", "Nengok sini dong..", ucap Gua.
Echa masih tidak mau membalikkan badannya.
"Teh, makan dulu yuk.. Kamu nanti sakit, kan belum makan juga..", bujuk Gua. "Aku udah kenyang Za..", jawabnya.
"Kenyang ?" "Kata Tante kamu nungguin aku, belum makan..", ucap Gua bingung, "Kenyang makan apa Teh ?", tanya Gua lagi.
"Makan Hati!", jawabnya singkat padat dan jelas.
Gua pun kembali menghela napas pelan, lalu menggaruk pelipis. Menatap kearah dua piring makan yang berisi nasi juga lauk disana.
"Teh, aku suapin aja ya..", bujuk Gua lagi. "Enggak..".
"Ayo dong Teh, makan dulu..",
"Kalo mau marah ya silahkan, tapi marahnya dilanjutin abis makan..", "Ya Teh ya ?", tanya Gua lagi.
"Enggak". "Ya udah gini deh..", "Aku janji..."
"Besok aku ajak jalan-jalan kamu..", Gua masih mencoba membujuknya agar mau makan. "Enggak".
"Kita ke daerah atas, gimana ?", rayu Gua lagi. "Enggak".
"Ya udah, kalo gitu aku ajakin kamu ke tempat wisata air terjun, tempatnya keren..", "Pasti enggak bakal kecewa deh..", tawaran lain pun Gua coba, agar dia mau makan. "Enggak".
"Pantai ?". "Enggak".
"Eeuummm...", Gua berpikir sejenak, Gua ajak kemana lagi ya, ah nekat aja lah. "Bandung yuk Teh, gimana ?".
"Enggak". "Jogja ?" "Enggak".
"Solo ?" . . . "Teh " Solo " Mau kesana ?", ulang Gua.
Echa membalikkan badannya, lalu menatap wajah Gua. "Beneran ?", tanyanya.
"Iya, tapi sekarang makan dulu ya",
"Nanti kamu sakit kalo enggak makan..", ajak Gua.
"Dikit aja ya, udah malem Za..", balasnya sambil duduk dan bersandar ke dinding kamar.
"Ya udah iya", "Nih di makan ya..", Gua pun memberikan satu piring makanan kepadanya. Echa menggeleng pelan, lalu tersenyum.
"Suapiin..", ucapnya manja.
Ya Gua turuti maunya, dan seperti malam takbiran kemarin, hanya tiga suapan makanan yang ditelannya, segala bujukkan Gua pun mental karena dirinya tetap tidak mau menambah porsi makannya.
"Za..", "Beneran mau ajak aku ke Solo ?", tanyanya setelah meminum segelas air mineral. "Iya, tapi berangkat lusa aja ya..", jawab Gua sebelum menyendok makanan ke mulut Gua. "Emang kamu tau jalannya..", tanyanya lagi.
Gua menggeleng kan kepala sambil mengunyah makanan lalu tersenyum.
"Iishh.." "Terus gimana mau sampe sana ?",
"Jalannya aja kamu belum tau..", ucapnya ragu.
"Solo itu masih di pulau jawa kan ?", tanya Gua balik setelah menelan makanan. Echa mengangguk dengan raut wajah yang bingung.
"Ya udah gampang kalo gitu..", ucap Gua santai lalu kembali makan sampai habis.
Gua hanya menahan tawa ketika menerima sikutan pelannya ke lengan Gua dan memutar bola matanya keatas.
... Gua belum bisa tidur, sekarang Gua duduk di sofa teras depan kamar, setelah makan di kamar depan, dimana Echa menginap di rumah ini. Gua membakar sebatang racun dengan ditemani segelas kopi hitam.
Ayahanda sedang mengantar pulang Mba Laras ke Ibu Kota, dimana rumah pribadi Mba Laras berada. Makanya Gua berani merokok disini. Lalu pikiran Gua mengingat kejadian beberapa jam yang lalu bersama Mba Siska. Entah kenapa, pikiran Gua mengatakan kalau hubungan Gua dengan Mba Siska akan menjauh mulai sekarang dan tidak bisa seperti sebelumnya.
Perasaan bersalah kembali merasuki hati Gua. Sambil menghembuskan asap dari sang racun, Gua mengeluarkan hp dan mengecek empat sms yang sebelumnya belum Gua lihat. Gua buka isi sms dari yang pertama kali masuk.
isi sms : From Teh Echa : Za lagi dmn " Aku bentar lg selesai kumpul sama teman2 kampus ku, km bsa jemput ke rumah gk "
From Teh Echa : Za, km udh mkn blm " Aku udah di rumah Nenek, km pergi kok gk kasih kabar Za "
From Teh Echa : Km hati2 di jalan ya Za, jngn kebut bawa mobilnya Mba Polwan.
Wah, pantes dia marah dan kesal banget sama Gua. Walaupun Gua membuatnya kecewa karena tidak bisa menjemputnya tadi sore, tapi Echa tetap memperhatikan Gua, dan mungkin, sms terakhirnya itu dia sudah dapat kabar dari Meli kalau Gua sedang jalan bareng Mba Siska. Dalam hati, Gua mengucapkan maaf untuk Echa sambil melihat isi sms terakhirnya itu. Lalu Gua buka satu sms terakhir yang belum terbuka.
From Mba Siska : Maafin Mba ya Za. Mba gk tau mesti ngmng apa sama km tdi. Tapi jujur, Mba gk marah sama km. Mba cuma kaget aja. Lusa ketemu di rumah ku ya Za.
Gua lega dan bingung membaca satu sms dari Mba Siska.
Gua memang bersyukur kalau ternyata Mba Siska tidak marah dan membenci Gua seperti apa yang Gua pikirkan sebelumnya. Tapi Gua juga bingung karena lusa Gua sudah berjanji untuk mengajak Echa ke Solo. Ah gampang, besok aja deh Gua samperin ke rumah Mba Siska. Gua pun tidak membalas smsnya, karena besok juga bisa ketemu dengannya. Begitulah harapan Gua untuk esok hari.
Gua berdiri lalu beranjak masuk ke dalam rumah. Gua masuk melewati ruang tamu dan melirik ke lorong disebelah kanan, Gua lihat ada segaris cahaya lampu di lantai lorong, Gua pun melangkahkan kaki kesana. Pintu kamar depan itu terbuka sedikit. Cahaya lampu kamarnya masih menyala. Perasaan tadi sudah Gua padamkan ketika beranjak dari kamarnya. Gua pun mendekati pintu dan membuka lebih lebar, Gua longokkan kepala ke dalam.
Gua lihat Echa sedang duduk diatas ranjang, punggungnya bersandar ke dinding kamar. Diatas pahanya yang berbalut selimut itu ada sebuah buku yang sedang ia bolak-balik lembarannya.
Echa menengok kearah pintu ini, dimana Gua masih berdiri menatapnya. Echa tersenyum manis sekali.
"Hai Za..", ucapnya.
"Belum tidur Teh ?", tanya Gua.
Dia hanya menggelengkan kepala pelan, lalu tersenyum lagi. "Sini masuk Za..", pintanya.
Gua pun mendekatinya, lalu duduk diatas ranjang disisi lain. Echa masih menatap Gua sambil tersenyum.
"Sini disini...", ucapnya lagi sambil menepuk sisi ranjang tepat disebelahnya.
Gua pun naik keatas ranjang, mengikuti maunya. Tepat duduk disampingnya, kemudian Gua pun menyandarkan punggung ke dinding kamar ini, seperti dirinya.
Ternyata bukan sebuah buku yang sedang dia lihat diatas pahanya itu, melainkan sebuah album foto. Album foto milik keluarga Gua.
"Aku enggak sengaja nemu album foto ini di dalam laci kecil meja kayu itu..", ucapnya sambil menunjuk meja kayu disamping ranjang ini.
"Ooh..", ucap Gua.
"Ini milik Ayah dan Ibu kamu kan..", ucapnya lagi.
"Maaf ya Za, waktu Beliau meninggal aku enggak ada disamping kamu..", lanjutnya kini sambil menatap Gua.
"Iya, enggak apa-apa Teh..", jawab Gua singkat. "Za...".
"Heum ?". "Kamu udah maafin Beliau kan ?".
Gua menghela napas pelan, lalu tersenyum menatap foto yang menunjukkan seorang wanita jepang yang sedang duduk di kursi kayu. Foto hitam-putih yang sudah usang namun masih terawat dengan baik.
Gua menganggukkan kepala tanpa menengok kearah Echa. "Iya Teh, Aku udah maafin Ibu...", jawab Gua.
Tangan lembutnya mengusap bahu kanan Gua pelan. Lalu tubuhnya dicondongkan kearah Gua. Kini dia menyandarkan kepalanya ke bahu Gua, tangan kirinya dikaitkan ke tangan kanan Gua. Wajahnya masih menatap album foto diatas pahanya itu.
"Za..", "Ini..", ucapnya, lalu jemari tangan kanannya menunjuk sebuah foto pernikahan Ayah dan Ibu yang berada diatas pelaminan.
"Bisa kah kita seperti ini ?", lanjutnya tanpa menengok kearah Gua.
PART 11 Pikiran Gua berkecamuk, antara yakin dan tidak yakin. Apa yang Dia ucapkan tadi malah membebani pikiran Gua, alhasil Gua harus rela begadang, berguling ke kanan-kiri diatas karpet lantai kamar. "A..", ucap Ayahanda dari atas ranjang kamar Gua.
"Eh, iya Yah ?", ucap Gua cukup terkejut, ternyata Beliau belum tidur. "Belum tidur ?", tanyanya kali ini seraya bangun dari ranjang Gua. Gua menengok ke kiri, dimana ranjang Gua berada. "Belum..", Jawab Gua. Beliau tersenyum, kali ini dirinya benar-benar bangun dan berdiri di dekat tv kamar.
"Keluar A'..", "Kita ngobrol di luar..", ucapnya setelah mengenakan kaos oblong putih. ...
Gua dan Ayahanda sekarang berada di teras depan kamar. Dua cangkir kopi hitam sudah tersaji diatas meja setelah sebelumnya Gua buat di dapur.
Prak... "Cerutu A'..", ucap Beliau setelah melempar tempat cerutu kuba nya yang berbahan stainless berwarna silver.
Gua menggeleng sambil melirik kepada Beliau.
"Ada rokok ?", tanyanya lagi sembari memotong salah satu ujung cerutu dengan cigar cutter. "Ada Yah..", ucap Gua ragu-ragu.
"Ya udah ambil sana..", perintahnya.
Gua pun mengambil sebungkus rokok semboro merah dari saku jaket yang tergantung di belakang pintu kamar. Lalu kembali ke teras, duduk berhadapan dengan Ayahanda.
"Obrolan santai antara laki-laki malam ini..",
"Bukan antara anak dan orangtua.." "Bakar rokok mu..", ucapnya.
Gua ragu, benar-benar ragu. Kalau sampai Beliau menjebak, mampus sudah pipi Gua dihajar Beliau pasti. Gua hanya memutar-mutar bungkus rokok ditangan kanan sembari menundukkan kepala.
"Udah bakar A'..", ucapnya lagi sambil menghembuskan asap cerutu dari hidungnya. "Santai aja, enggak apa-apa..", lanjutnya.
"Ii.. Iya Yah..", jawab Gua, lalu mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. "Kenapa kamu enggak bisa tidur ?", tanyanya.
Gua menggeleng pelan. "Soal wanita ?", tanyanya.
Gua menganggukkan kepala kali ini. Namun masih menunduk. "Kamu tau satu fakta soal keluarga Sang Jendral ?", lanjutnya.
Gua mendongakkan kepala dengan kening yang berkerut. Cukup rasanya menunjukkan bahwa Gua tidak mengetahui fakta apapun dan bingung atas ucapan Beliau tadi.
"Gini..", "Keluarga mereka..".
Beliau pun menceritakan sesuatu yang akhirnya membuat Gua terkejut. Rasa tidak percaya akan apa yang Ayahanda ceritakan juga membuat Gua berpikir, apa iya mereka se-konservatif itu pola pikirnya. Damn.
"Jadi, tanpa kejadian waktu itu pun memang sudah begitu niatnya A'...", ucap Beliau setelah bercerita. "Terus, sekarang kita semua terima gitu aja ?", tanya Gua mulai ada rasa yang terusik dalam hati.
Ayahanda kembali tersenyum, lalu menghisap kuat cerutunya, hingga bara di ujung cerutu itu Gua lihat menyala terang.
"Fuuuuuhh....", hembusan asap cerutunya memenuhi langit teras, "This is you're life...",
"Chose wisely Young-man...", ucapnya kemudian.
Gua menimang-nimang, apa iya Beliau akan tutup mata jika Gua memilih 'sisi kiri'. Akhirnya Gua pun membakar sebatang rokok yang sedari tadi terselip di jemari ini tanpa malu dan takut kepada laki -laki di hadapan Gua itu. Hembusan asap yang keluar dari mulut ini Gua arahkan ke bawah, ke kolong meja teras.
"Aku belum tau akan gimana kedepannya...", ucap Gua.
"Kebahagian masa depan kamu dengan 'nya' jelas di depan mata..", ucap Beliau lagi. Gua tersentak kaget mendengar ucapannya lagi.
"Tapi..", "Itu dari sudut pandang kami semua...", ucapnya,
"Bukan dari sudut pandang orang yang akan menjalaninya..", kali ini Beliau menunjuk Gua dengan cerutunya itu, lalu tersenyum.
Gua pun tersenyum, paham betul apa yang dimaksud Beliau.
"A..", "Kamu tau..", "Wanita dengan Laki-laki itu hampir mirip dalam satu hal..", "Hal apa ?", tanya Gua.
"Perasaan dendam dan kebahagiaan..", jawabnya seraya mematikan cerutu yang masih tersisa setengah itu,
"Jika kamu buat mereka sakit hati, maka kamu akan menebusnya dengan sakit yang lebih mengenaskan...", ucapnya kali ini sambil berdiri,
"Dan jika kamu buat mereka bahagia sekali saja...",
"Maka mereka akan memberikan kamu kebahagiaan berkali-kali lipat..", tandasnya seraya masuk ke dalam kamar lagi.
Gua tertegun mendengar ucapan Beliau, menerawang jauh kepada beberapa hal. Lalu Gua tersenyum kecut, well... You're the best i ever had.
*** Gua terbangun karena gerakan di lengan kiri Gua semakin terasa. Gua mengerjapkan mata sebentar, lalu memicingkan mata kepada seorang lelaki berambut gondrong dengan kalung rantai dan bandulnya model peluru runcing tergantung di lehernya.
"Bangun udah siang..",
"Pinjam stnk motor mu A'..", ucapnya.
Dengan kepala yang sedikit pusing karena kurang tidur semalaman, Gua pun susah payah bangun dan terduduk sebentar. Lalu Gua mengucek kedua mata.
"Mau kemana Yah ?", tanya Gua melirik ke lelaki yang membangunkan Gua itu.
"Jalan-jalan..", jawabnya sambil mengenakan jaket berbahan jeans berwarna biru muda yang memutih dengan robekkan di beberapa bagian.
"Asyik... Kemana Yah ?" "Sama siapa ?", tanya Gua lagi.
Beliau langsung membalikkan badan menatap Gua lekat-lekat. "Cerewet kamu, kayak Emak-emak aja..", jawabnya. Jiirr, nanya baik-baik malah kena semprot, cuplis juga nih Bokap.
Gua pun berdiri lalu berjalan kearah pintu, merogoh saku celana bagian belakang dan mengambil dompet. Gua keluarkan stnk si Kiddo dan memberikannya kepada Ayahanda. Lalu seperti transaksi tukar guling kendaraan, Beliau juga memberikan stnk si Black kepada Gua.
"Ada bensinnya gak motor mu ?", tanya Beliau sembari mengantongi stnk si Kiddo. "Ada lah, penuh... Jarang dipake..", jawab Gua.
"Oh baguslah..",
"Ayah pulang lusa A, pinjam motornya dulu..", ucapnya sambil melangkah keluar kamar.
"Yah..", "Mau kemana " Pakai mobil aja kalau jauh..", tawar Gua.
"Enggak usah, Ayah mau touring sama teman SMA ke Bandung...", jawabnya lagi.
"Hoo..", "Berapa motor Yah ?".
"Dua..", lalu Beliau berlalu ke depan teras.
Singiiiittt, dua motor touring " Ah bener-bener dah! Bokap belom sarapan pasti. Hadeuh...
Gua melirik ke jam dinding di dalam kamar ini. Wah beneran Gua dibohongin. Ternyata baru jam 6 pagi. Hadeuh, mana enggak akan bisa tidur lagi kalo udah bangun gini. Gua pun langsung berjalan ke arah ruang makan ketika mendengar suara bising si Kiddo dinyalakan di halaman rumah.
Di meja makan sudah ada Tante Gua, anaknya dan Echa. Gua menyapa mereka santai lalu menarik kursi di sebelah Echa.
"Pagi cantik..", ucap Gua kepada Echa. "Pagi ganteng..", jawabnya penuh senyuman.
Gua melihat Echa yang sedang mengoleskan selai cokelat ke satu sisi roti tawar. Mungkin karena Tante Gua melihat Gua yang memandangi Echa tanpa berkedip, beliau langsung tertawa pelan. "Kenapa Te ?", tanya Gua melirik kepada Tante yang duduk di sebrang Gua dan Echa.
"Enggak apa-apa..",
"Seneng aja ngeliat pasangan pengantin baru udah mesra-mesraan pagi gini.. Hi hi hi hi...", jawab Tante Gua kembali tertawa pelan.
"Cocok gak Te ?", tanya Echa sambil tersipu malu.
"Ya cocoklah Cha..",
"Masa enggak cocok udah saling melengkapi gitu... Hi hi hi..", jawab Tante Gua lagi.
"Masa sih ?" "Tapi Eza nya bimbang tau Te..",
"Gak berani ngelamar aku kayaknya...", ucap Echa melirik kearah Gua kali ini.
Gua mengerenyitkan kening membalas tatapannya. Lalu bola mata Gua putar keatas sambil menjulurkan lidah.
"Ah si Eza ma gitu dari dulu Cha..", "Bimbang terus kalau ngadepin perempuan..", "Keterlaluan kalo dia ngelepas kamu..", ucap Tante Gua. "Kenapa emangnya Te kalo aku lepasin Echa ?", tanya Gua penasaran.
"Ya sekarang coba bawa kesini perempuan selain Echa...",
"Dari dulu kata Nenek, perempuan yang kamu bawa beda-beda terus, masa kamu gak bisa liat yang tulus di depan mata sih Za ?", jelas Tante Gua.
Yeee, Tante Gua belum kenal aja sama Mba Yu dan Nona Ukhti. Kurang tulus apa itu perempuan dua coba. Sayang Gua gak berani ngomong gara-gara ada Bidadari Surga di samping Gua.
"Tuh kan diem...",
"Udah buruan lamar aja Za perempuan disebelah kamu ini..", ucap Tante Gua lagi. Gua menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Nenek setuju kalau kamu sama Echa Za..", ucap suara seroang ibu sepuh dari sisi kiri Gua.
Gua dan yang lainnya pun menengok ke sisi kiri, disana terlihat Nenek sedang berdiri di ambang pintu kamarnya sambil melipat sajadah.
"Nenek rasa cuma Echa yang bisa meredam kamu..",
"Karena Sherlin yang Nenek dukung pun akhirnya pupus juga kan ?", lanjut Nenek sambil tersenyum. "Meredam ?", tanya Gua bingung.
"Meredam mata kamu yang suka jelalatan dan hasrat kamu yang suka goyah Za, ha ha ha ha...", malah Tante Gua yang menimpali.
Gua lihat Echa hanya menggeleng pelan sambil terkekeh. Gua pun langsung mengambil satu potong roti diatas piring dan melahapnya seraya bangkit dari kursi makan.
"Yeee si Eza malah mabur...",
"Terus gimana Za ?", ucap Tante Gua lagi.
Gua berhenti melangkahkan kaki, lalu berbalik menghadap ke mereka lagi. "Kalau Echa siap makan rebus batu ama goreng aer sih hayu aja nikah besok juga.. Langsung ta lamar iki Cah Ayu...", jawab Gua sambil mengunyah roti.
Syuuutt... Pluuk... Potongan roti tepat sasaran mengenai kening Gua yang dilempar oleh Tante.
"Sembarangan! Ya kerja lah..", "Kan kuliah sambil kerja bisa Za!",
"Enak aja anak orang mau diajak susah.. Dasar Wedus Gembel kamu!", sungut Tante Gua.
Akhirnya kami semua pun tertawa kecuali... Echa. Gua lihat Echa tersenyum kearah Gua. Entah apa maksud senyumannya itu. Gua pun kembali melangkah kearah kamar mandi di dekat dapur. ...
Jam 8 pagi Gua sedang duduk di sofa teras depan kamar, menghisap si racun, tentunya dengan kondisi yang sudah mandi dan ganteng maksimal.
"Ini Za...", ucap Echa sambil menaruh secangkir kopi hitam manis diatas meja.
"Eh ?", "Makasih Teh...",
"Tau darimana aku suka ngopi hitam ?", tanya Gua.
"Dari Nenek..",
"Katanya kamu suka ngerokok ditemani secangkir kopi hitam..", jawabnya kemudian duduk di sofa sebrang Gua.
Gua memang sering ketahuan Nenek merokok sambil ngopi di teras ini, awalnya pastilah Gua kena ceramahnya, lalu mungkin karena bosan menceramahi Gua, akhirnya Nenek pun membiarkan Gua menghisap racun. Maaf ya Nek...
Gua sungkan sebenarnya merokok dihadapan Echa. Tapi ketika Gua akan mematikan rokok ke asbak kaca, Echa menggelengkan kepala.
"Gak apa-apa Za..",
"Sekali-kali aja ya, jangan keseringan..",
"Aku tau enggak mudah kok berhenti ngerokok, Papah juga kan begitu..",
"Tapi Papah berhenti ketika aku umur 3 tahun.. Karena aku yang minta Beliau untuk berhenti waktu itu...", ucapnya sambil tersenyum.
Diabetes Gua lama-lama dikasih senyumannya... Ugh.. Kecup sini bibirnya Teh, eh kening maksudnya.
"Besok mau berangkat jam berapa Teh ?", tanya Gua. Echa tersenyum lagi dan lagi!, lalu menggelengkan kepala.
"Enggak tau ?",
"Ya udah pagi-pagi aja ya, nanti siang kita ke rumah kamu dulu, beres-beres pakaian kamu...", ucap Gua.
"Bukan...", "Enggak usah ke Solo Za..", ucapnya. "Loch " Kenapa ?", tanya Gua heran.
"Tadi malam Mamah nelpon, katanya besok juga sudah pulang kesini lagi..", jawabnya. "Laah.. Cuma sebentar di sana keluarga mu Teh ?".
"Iya, soalnya mereka khawatir sama aku disini katanya..",
"Padahal aku udah bilang lagi nginap di rumah Nenek dari malam takbiran..", jawabnya.
Bagi Echa, Nenek Gua adalah Neneknya juga, begitupun keluarganya. Jadi Mamah dan Papahnya mengerti jika Echa bilang sedang di rumah Nenek, pasti yang dimaksud adalah Nenek Gua.
"Hoo.. Gitu..",
"Terus kamu enggak mau jalan kemana gitu Teh ?", tanya Gua lagi setelah menghembuskan asap ke sisi lain.
"Eeummm...", "Kemana yaa..",
"Ah! Ke atas yu Za ?", ucapnya seolah-olah menemukan ide brilian. "Kapan ?".
"Hari ini aja, nanti berangkat sore, oke " Oke ya, sip deal!", putusnya sendiri.
Gua hanya terkekeh lalu mengangkat satu jempol kepadanya seraya mengerlingkan mata. Lalu kami pun mengobrol berbagai hal, dari mulai kapan masuk kuliah lagi sampai putusnya hubungan Heri dengan dirinya. Echa yang memang tidak ada rasa sayang apalagi cinta dengan Heri memilih mengakhiri hubungan mereka di saat mereka baru kelas dua SMA. Mungkin, mungkin ya, setelah Echa menyatakan perasaannya dulu ke Gua dan ehm, Gua tolak. Dia pun memutuskan hubungannya dengan Heri, ditambah ternyata Heri kuliah di luar negeri sekarang. Lalu statusnya sekarang single, sama kan kayak Gua. Apakah ini tanda, bahwa Gua dan Dia bisaaaa... Bisa jadi kakak-adik lagi huahahahaha.
"Sekarang lagi deket sama siapa Teh ?", tanya Gua setelah meneguk sedikit kopi. "Ada sama satu cowok..", jawabnya.
"Wiih.. Sama temen satu kampus kah ?". "Bukan.. Beda kampus..".
Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oooh.. Gantengan mana sama aku Teh ?", tanya Gua lagi. "Sama gantengnya sama kamu, Ha ha ha...", jawabnya sambil tertawa.
Wah kampret, siapa cowok yang gantengnya nyaingin Gua dimata Echa. Bahaya ini, bisa-bisanya tebar pesona ke Teteh tercinta Gua.
"Baik enggak orangnya ?", tanya Gua lagi.
"Baik kok..", "Cuma...", ucapannya terhenti, lalu wajahnya tertunduk.
Gelagat gak baik nih, jangan-jangan cowok kampret nih yang deket sama Echa. "Cuma kenapa Teh ?".
"Cuma aku enggak tau perasaan dia sama apa enggak dengan perasaan aku..", jawabnya.
Lah lah lah, makin kampret, jadi si Teteh beneran suka nih ama cowok itu. Wah gak bisa dibiarin ini ma. Tapi kan Gua bukan siapa-siapa ya, lagian Gua kok malah gak terima gini dia suka sama cowok lain.
"Teh.. Kamu suka sama cowok itu ?", tanya Gua makin penasaran.
Echa tersenyum dengan wajah yang masih tertunduk, lalu jemari lentiknya menyelipkan helaian rambut yang berada di sisi kanan wajahnya ke belakang telinganya.
"Suka", "Banget...", jawabnya dengan wajah yang merona.
Anjriiitttt! Beneran ini te " Doi suka pake banget ama tuh cowok! Ah elah, Gua kudu liat siapa tuh cowok yang bikin hati Teteh Gua jatuh kedalam perangkapnya.
"Serius ?". "Serius..", "Aku suka sama dia udah lama..", jawabnya lagi.
"Udah lama ?", "Berarti temen lama kamu dong ?",
"Dari kapan suka sama tuh cowok ?", tanya Gua semakin menggebu-gebu.
"Iya, sahabat aku sendiri..",
"Dari kecil..", jawabnya kini menatap mata Gua lekat-lekat dan tersenyum lebar. Duaarr!!!
Mayday, mayday, mayday, i'm hit and going down... Siaaallll Gua kena rudal Echa!
Bibir Gua rasanya kelu, hati berdegup kencang, mata Gua menatap wajahnya dengan ekspresi bengong. Kenapa jadi gini. Semalam dia nyinggung soal nikahan yang jelas langsung membuat Gua terdiam dan tidak menjawab ucapannya, lalu Gua memilih keluar kamarnya dengan alasan untuk tidur. Sekarang " Gencar amat serangannya!!! Gua mau ngelak apa lagi ini. Pusing Gua.
"Eeuu..", "Sii.. Siapa cowok itu Teh ?", tanya Gua terbata.
Ini pertanyaan bodoh, jelas bodoh dan makin dalam aja Gua menginjak ranjau. Siap-siap menghindar lagi juga udah enggak mungkin.
"K-A-M-U", jawabnya dengan lantang dan penuh penekanan.
"He he he..", "Canda aja kamu Teh..",
"Masa aku sih ha ha ha..", biasa lah membohongi diri sendiri Gua.
"Canda ?", ucapnya sambil mengerenyitkan kening, "Za..",
"Kamu tau berapa lama aku mendam perasaan ini ke kamu ?", "Sampai aku beraniin diri ngungkapin ini semua dan akhirnya kamu tolak...", "Kamu pernah gak sih Za sekali aja mikirin perasaan aku "! Sedikit aja Za..", "Pernah ?", ucapnya dengan perasaan emosi.
Gua membuang muka lalu mematikan rokok. Gua mengusap wajah sekali, lalu mendengus pelan. Lalu Gua sandarkan kepala kebelakang, ke sofa. Satu tangan Gua kini menutupi wajah. Gua tidak bisa menjawab pertanyaan Echa, otak Gua tidak bisa memberikan sugesti yang baik untuk menjawab pertanyaanya.
"Za, kamu mau tau kenapa aku bisa bertahan selama ini ?", lanjutnya. Gua masih dengan posisi yang sama dan terdiam.
"Karena perasaan cinta aku ke kamu yang begitu besar Za..".
Tiba-tiba ucapan Ayahanda terlintas di otak Gua, ucapan yang tadi pagi Beliau katakan sukses menyadarkan Gua.
"Buat dia bahagia, maka dia akan membuat kamu bahagia berkali-kali lipat".
PART 12 Sore hari kami berdua sudah berada di jalan raya ke daerah atas, tentunya bersama si Black. "Za, lumayan macet ya ternyata..", ucapnya.
"Iya Teh, namanya juga liburan, walaupun ini baru hari kedua lebaran, tetep aja namanya tempat wisata pasti ramai..", jawab Gua.
Memang jalan raya kini ramai kendaraan, tapi walaupun begitu, tidak sepadat yang Gua perkirakan, bisa dibilang ramai lancar, tidak sampai padat merayap.
"Teh, nanti nyobain sate kelinci yuk..",
"Kamu udah pernah nyobain belum ?", tanya Gua.
"Belum Za..", "Emang enak ya ?", tanyanya balik.
"Katanya sih enak, kayak daging ayam rasanya...", jawab Gua tetap fokus ke jalanan di depan.
Kurang-lebih 2.5 jam perjalanan kami berdua sampai di tempat tujuan setelah mengantri di jalan raya karena cukup padatnya wisatawan lokal yang berlibur ke sini juga.
Kebun teh ditambah suasana pegunungan yang sangat indah, dan juga udara yang segar tidak seperti di tengah kota membuat Echa tersenyum. Ekspresi bahagia yang ditunjukkan pada wajahnya membuat Gua ikut masuk dalam perasaan bahagianya itu.
"Za, kita kesana yuk..", ucapnya seraya menunjuk ke jalan setapak ditengah perkebunan teh ini.
Gua pun mengikutinya berjalan dari belakang, hingga kami berdua berada di tengah-tengah perkebunan teh. Ternyata tidak banyak yang masuk ke dalam perkebunan teh seperti kami, mungkin wisatawan lainnya lebih memilih bersantai dan menikmati pemandangan di depan gerbang tempat wisata. Karena di depan gerbang ada restoran dua tingkat yang tempatnya sangat nyaman dan enak untuk bercengkrama bersama keluarga.
Kami berhenti di dekat sebuah pohon, entah pohon apa ini. Echa menyapukan pandangannya memandangi suasana yang sejuk di sore ini. Gua tersenyum melihat dirinya ketika Echa merentangkan kedua tangannya lalu memutar tubuhnya. Seolah-olah kesejukkan dan tempat ini merenggut semua beban kehidupannya.
"Teh..", "Suka dengan suasananya ?", tanya Gua ketika dirinya membelakangi Gua.
"Selalu... Aku selalu suka dengan suasana pegunungan nan sejuk seperti ini..", jawabnya tanpa membalikkan badan.
"Kamu bahagia ?", tanya Gua lagi.
"Aku bahagia..", jawabnya masih membelakangi Gua,
"Dan kebahagiaan ini akan bertambah kalau kamu menyambut cintaku Za..", kali ini tubuhnya sudah berbalik di depan Gua.
Suara angin yang beradu dengan dedaunan teh mengiringi senyuman di bibir ini. Gua menatap sosok seorang perempuan yang berdiri tepat empat meter di hadapan Gua.
Angin yang masih bertiup membuat helaian rambut menutupi sisi wajahnya, namun Gua masih bisa melihat lengkung senyuman indah terukir di bibirnya. Gua melangkah mendekatinya, menyibakkan helaian-helaian rambut yang menutupi wajahnya itu. Kedua mata kami saling bertemu. Sosok perempuan yang sangat istimewa ini membuat perasaan Gua mengatakan bahwa 'sambutlah cintanya'. Tapi tidak dengan logika dan bibir Gua, ada perasaan takut akan menyakiti dirinya kelak. Sulit untuk Gua mengeluarkan kata-kata yang membuatnya yakin akan apa yang dia harapkan.
Penyambutan cinta yang selama ini dinantinya membuat hati Gua bimbang. Haruskah sekarang ". Hingga pada akhirnya, jemari tangan kanannya menyapa pipi kiri Gua.
"Za...", "Aku cinta sama kamu", ucapnya dengan suara lirih.
Gua hanya bisa menatapnya tanpa bisa mengatakan apapun, sama seperti di malam itu, dan juga sama seperti tadi pagi. Gua selalu menghindar dan berlari dari pertanyaan ataupun pernyataannya. Jahat kah Gua mendiamkannya selama ini " Menutup mata bahwa seorang perempuan yang sangat istimewa sudah menunggu Gua selama ini. Satu hal yang Gua selalu pikirkan tentang dirinya, Gua takut menyakitinya, Gua takut akan ketidak mampuan hati Gua menjaga perasaannya.
"Aku takut nyakitin kamu..",
"Aku belum bisa menyambut cinta kamu Teh..",
"Jika aku memaksakan, maka aku yakin kamu akan terluka pada akhirnya", "Dan aku enggak mau hal itu terjadi sama kamu...", jelas Gua kepadanya.
"Kenapa kamu yakin akan nyakitin aku suatu saat nanti ?", tanyanya dengan telapak tangan yang masih menempel di sisi wajah Gua.
"Aku enggak bisa bilang alasan apa yang sampe hati aku bakal nyakitin kamu...", "Ini hanya ketakutan aku, dan aku enggak berharap itu semua bakal kejadian..", jawab Gua.
"Kamu tau Za..",
"Selalu ada hati yang tersakiti dalam sebuah hubungan..", "Pertemanan ataupun percintaan, selalu.. Dan selalu begitu.. "Ada saja orang yang tersakiti..",
"Sekarang, kalau kita enggak berani melangkah dan mencoba, untuk apa kita hidup ?", "Bukankah sebuah hubungan adalah salah satu bagian dari perjalanan hidup kita Za ?", jelasnya kepada Gua.
"Betul Teh...",
"Tapi bukan berarti aku rela melihat kamu tersakiti..". "Kalau begitu buat aku bahagia".
Ruang kosong di hati ini tiba-tiba saja terisi perasaan yang entah tidak bisa Gua ungkapkan. Rasanya Gua ingin mengatakan 'Ya' untuk menyambut cintanya, tapi sekali lagi, logika Gua menahannya.
Gua mengaitkan tangan kebelakang pinggangnya, memeluknya erat, menyandarkan dagu ke bahunya. Tangannya pun membalas pelukkan Gua, mendekap erat punggung Gua. Lalu Gua berbisik...
"Aku belum bisa, maafin aku Teh..".
"Berapa lama lagi aku harus menunggu kamu ?". ....
Kami berdua berlari ditengah rintikan hujan di kebun teh ini, mencari tempat berteduh, namun sejauh mata memandang tidak ada satupun saung atau bangunan yang bisa menolong kami dari butiran air yang jatuh dari langit.
Gua melepaskan jaket lalu menutupi kepalanya, kini kami berjalan cepat berdampingan menuju pintu keluar.
"Za, kita langsung ke mobil ?", tanyanya sedikit berteriak karena suaranya beradu dengan bunyi gemercik air.
"Iya Teh..", "Enggak ada tempat neduh soalnya..", jawab Gua.
Kami pun akhirnya sampai di area parkiran mobil. Gua memintanya mengenakan jaket sebagai pelindung kepala agar dia tidak kehujanan, sedangkan Gua berlari menuju pintu kemudi. Kini kami berdua sudah berada di dalam mobil dengan pakaian yang cukup basah.
"Langsung pulang ?", tanya Gua sembari menyalakan mesin si Black. "Makan dulua ya Za..", jawabnya.
"Mau makan apa ?", tanya Gua lagi sambil mengendarai mobil mundur. "Katanya tadi mau ajak aku nyobain sate kelinci ?".
"Oh.. Oke...", "Eh..",
"Tapi baju kamu cukup basah, langsung pulang aja ya ?", "Nanti kamu masuk angin Teh..", ucap Gua lagi.
"Enggak tembus kok Za..",
"Enggak apa-apa, ini kan yang basah sweater aku, gak sampai kedalam..", jawabnya.
Gua pun memacu si Black keluar dari area wisata dan kami berdua sudah berada di jalan raya lagi. Kerasnya butiran air yang menghantam kaca depan membuat Gua harus lebih hati -hati mengemudikan mobil.
"Teh, beneran enggak apa-apa ?".
"Heum ?", "Apanya ?".
"Itu baju kamu beneran gak tembus ?", "Nanti masuk angin loch...".
"Iya Za, enggak apa-apa..",
"Malah kalo kita enggak makan dulu jadi masuk angin beneran..". "Yakin enggak tembus ?".
"Ya ampun, enggak Za, enggak",
"Nih pegang aja sendiri!!", ucapnya sambil menarik sweaternya kedepan.
Gua pun meraba bagian sweater diperutnya itu dengan tangan kiri. Basah sweaternya, tapi mana Gua tau kalau tembus atau enggak ke baju dibalik sweater itu. Gua pun tanpa sadar menarik sweater bagian bawahnya lalu memegang baju kaos perutnya.
Plaakk.. "Adaaww..", teriak Gua sambil menarik tangan dari atas perutnya yang masih tertutupi baju.
"Hiiii.. Mau ngapain sih "!",
"Maen tarik sweater aku aja!", ucapnya kesal setelah memukul tangan Gua.
"Maaf.. Maaf Teh..",
"Enggak sengaja, aku cuma mau mastiin aja tembus apa enggak basahnya..", "Maaf ya, beneran aku gak ada niat apa-apa..", jawab Gua meminta maaf dengan tulus. "Iya..", jawabnya dengan wajah yang bete.
"Maafin aku dong",
"Beneran Teh, aku enggak sengaja..", ucap Gua lagi. "Ya udah iyaa Ezaaa..".
Gua pun kembali fokus mengemudikan si Black. Setengah jam kemudian Gua hentikan mobil di sisi jalan, tepat di samping sebuah warung makan sederhana. Hujan diluar masih turun walaupun sudah tidak sederas sebelumnya, kembali Gua meminta Echa memakai jaket Gua untuk menutupi kepalanya.
Kami berdua berlari kecil ke warung makan pinggir jalan ini. Di dalam warung ternyata tidak ramai pembeli, hanya ada empat orang yang berpasangan sedang menikmati makanan di meja depan mereka.
"Pak, sate kelincinya 20 tusuk ya...", ucap Gua kepada Bapak penjual. "Pakai lontong A' ?", tanyanya.
"Iya Pak, dua porsi ya lontongnya..", "Oh ya, bumbu kecap Pak satenya ya, sama minumnya satu teh manis panas dan satu teh tawar panas Pak..", ucap Gua lagi.
"Muhun A'.." "Mangga, calik heula A'..", jawabnya mempersilahkan Gua duduk.
Gua dan Echa duduk bersebalahan di bangku plastik dan meja kayu sederhana di warung makan sate kelinci ini. Rintikan hujan yang terlihat dari dalam sini kembali deras, sepertinya air langit yang turun petang ini akan membasahi kota Gua sepanjang hari.
Sambil menunggu makanan pesanan kami datang, Echa menelpon Mamahnya, lebih tepatnya dia yang sedang ditelpon. Gua pun mengeluarkan hp dari saku celana untuk sekedar mengecek sms ataupun mungkin telpon yang masuk.
Ternyata benar ada sms yang masuk ke hp Gua, lalu Gua pun membuka sms tersebut.
Dendam Sejagad 18 The Devil In Black Jeans Karya Aliazalea Istana Durjana 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama