Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 1
Persembahan Kuda Pada punggung terbuka pelacur yang tidur tengkurap itu, terdapatlah lukisan rajah seekor kuda yang berlari. Suatu malam kuda itu melompat lewat jendela, berlari ke luar kota, menuju padang terbuka.
Kuda yang berlari ari atas bukit, anak-anak itu melihat seekor kuda putih berlari melintas padang rumput. Dalam terpaan matahari, kuda putih itu seperti cahaya putih yang meluncur di atas lautan padang rumput yang terbentang bagai tiada habisnya sampai ke cakrawala. Kuda putih itu berlari de ngan kecepatan terbang membelah kesunyian padang bagaikan berlomba dengan angin. Kaki-kakinya yang tegap menderap be gitu cepat sehingga kelihatan seperti baling-baling. Surainya yang indah menggelombang perlahan bagai tarian. Kuda itu menderap melebihi kecepatan angin. Lihat! Ada kuda!
Kuda! Kuda! Dari atas bukit anak-anak itu bisa melihat bahwa cahaya putih yang meluncur di padang rumput membentang itu adalah seekor kuda. Itu kuda putih.
Mereka memerhatikan bagaimana kuda itu berlari dengan indah. Di ma ta anak-anak yang setiap hari pergi menggembalakan kambing, bercakap dengan daun-daun dan sengaja mendengarkan sungai bernyanyi, laju kuda itu bisa dicermati begitu rupa seolah kuda itu bergerak begitu lamban bagaikan tarian yang terjaga. Mereka memerhatikan kuda itu dengan bertanya-tanya. Kuda bukanlah binatang yang asing bagi mereka, begitu pula kuda yang berlari lepas di padang-padang terbuka. Namun laju kuda ini bukanlah laju kuda biasa bukan hanya karena lebih cepat, namun mengapakah seekor kuda harus berlari secepat itu"
Kuda itu berlari ke arah desa mereka. Apakah orang-orang akan menangkapnya" Satya melihat kesibukan yang luar biasa di gerbang desa. Orang-orang berlarian membawa tombak, bambu runcing, pentungan kayu, bahkan juga alu. Apakah yang akan mereka lakukan" Apakah mereka akan membunuh kuda gagah perkasa yang melaju dengan kecepatan angin itu" Tapi untuk apa membunuh kuda indah yang tidak bersalah" Apa yang mereka lakukan" Satya bertanya.
Tak ada satu anak pun bisa menjawabnya. Seingat Satya tidak ada sesuatu yang istimewa belakangan ini yang harus mereka perhatikan, seperti misalnya jika orang-orang desa harus melakukan upacara. Kalau ada sesuatu yang harus diketahuinya, anak-anak akan mendapat penjelasan dari orangtuanya. Tapi itu pun tidak ada. Jadi, tentu ada sesuatu yang sangat mendadak, sehingga semua orang berlarian kalang kabut seperti itu, membawa tombak, bambu runcing, pentungan kayu, dan bahkan alu, dan sekarang menutup gerbang desa yang cuma setinggi pinggang itu pula.
Satya hanya teringat beberapa hari lalu, seorang punggawa berkuda datang dari ibukota, lantas pergi lagi. Namun itu pun tak jelas maknanya. Setelah punggawa itu pergi, Satya tahu ayahnya dipanggil kepala desa ke kelurahan. Satya kini teringat kembali betapa sepulangnya ke rumah, ayahnya tak banyak berkata-kata. Ayahnya adalah seorang jagabaya yang wajib menjaga keamanan desa. Kepala desa sering memanggilnya untuk urusan-urusan keamanan, dan ayahnya selalu bertugas dengan baik. Di bawah pimpinan ayahnya, para jagabaya desa selalu bisa menangkap para perampok dan mengatasi para penjarah, sehingga desa tempat Satya tinggal dikenal sebagai desa yang aman. Dalam beberapa tahun terakhir ini, bahkan desa mereka yang terletak di tepi padang rumput luas itu menjadi tempat tetirah para punggawa Kerajaan Mantura. Bahkan sang raja pernah pula tetirah di sana, mencari ketenangan di pung gung-punggung bukit, menikmati keluasan alam raya.
Maka apakah yang terjadi kini ketika dilihatnya orang-orang tampak siaga" Apakah mereka akan menangkap atau membunuh kuda itu" Kuda yang berlari melebihi kecepatan angin itu segera mendekati desa. Satya me rasa ngeri membayangkan bagaimana kuda putih itu akan menjadi ber darah. Dilihatnya kuda itu mendekat, mendekat, dan mendekat. Satya melihat ayahnya meng angkat tangan, tanda agar orang-orang tidak menggunakan senjatanya. Kuda itu sudah sangat dekat.
Ternyata kuda itu mereka biarkan saja, dan kuda itu tetap berlari melewati mereka, melompati pintu gerbang, dan berderap memasuki desa. Dengan segera kuda itu melesat keluar desa lagi, berlari lepas ke padang rumput melanjutkan perjalanannya.
Aneh, mengapa mereka tidak menangkapnya, pikir Satya. Orang-orang desa biasa menangkap kuda liar dan menjinakkannya. Kuda liar yang luar biasa seperti ini tentu tidak akan didiamkan saja. Apalagi dengan banyak orang berkumpul seperti itu. Namun rupanya orang-orang menanti sesuatu yang lain.
Satya! Lihat! Satya menoleh, dan dadanya berdegup keras. Bumi bergetar ketika dari balik bukit itu muncul balatentara berkuda yang luar bi asa banyaknya. Balatentara berkuda itu menderap memenuhi pa dang rumput, melaju dengan cepat menuju ke desanya. Satya terkesiap. Orang-orang desa yang cuma segelintir itu tampak bersiap. Apakah mereka akan berperang" Jumlah mereka tidak lebih dari seratus orang. Bagaimana mungkin menghadapi balatentara berkuda yang jumlahnya sejuta orang" Dari seratus orang desanya itu, yang merupakan jaga baya cuma dua belas orang di bawah pimpinan ayahnya. Satya melihat sebagian kaum perempuan membantu orang-orang yang mencoba bertahan itu, dengan membawa pisau. Sebagian lain terlihat membawa lari anak-anak dan orang tua ke atas bukit di selatan desa. Satya dan kawan-kawannya terpana. Balatentara berkuda itu terlihat membawa panji dan umbul-umbul.
Pasukan Ayodya, ujar teman Satya.
Mereka melihat balatentara yang mahadahsyat itu. Sejuta pasukan berkuda melaju ke desa mereka dan tidak ada tanda-tanda menghentikan kecepatannya. Satya berlari meninggalkan kam bing-kambingnya. Bapaaakkkk!!!
Satya berlari menuruni bukit, kawan-kawannya menyusul. Namun apa yang bisa mereka lakukan" Balatentara yang membuat bumi bergetar itu me nyapu para jagabaya dan penduduk desa bagaikan air bah. Orang-orang itu mati dilindas kaki-kaki kuda tanpa sempat berteriak lagi, yang masih
berdiri dihunjam sekian banyak tombak begitu rupa sehingga tubuhnya terpancang tidak menyentuh bumi. Sejuta pasukan kuda yang perkasa masuk desa, memburu siapa pun yang masih berlarian dengan panah, tombak, maupun kelewang. Tanpa ampun desa itu dibakar. Rumah-rumah diambrukkan, patung-patung dilempar ke dalam api, tempat pemujaan di hancurkan, segalanya dilenyapkan sampai tidak ada lagi yang tersisa. Sapi, kambing, anjing, kucing, dan ayam pun dimusnahkan. Ketika desa itu mereka tinggalkan, semuanya sudah rata dengan tanah.
Di luar desa tampaklah kaum perempuan yang berlari mendaki bukit menyelamatkan orang-orang tua dan kanak-kanak, itu pun masih mereka buru tanpa mengurangi kecepatan.
Ibuuu!!! Balatentara sejuta pasukan berkuda itu mengalir bagaikan banjir bandang melumatkan persawahan, melenyapkan apa pun yang dilewatinya. Sisa penduduk yang berlarian itu tewas terkapar digilas pasukan berkuda, dengan luka dan pukulan yang bagai dipastikan harus mematikan. Tiada seorang prajurit pun dari sejuta pasukan berkuda itu melihat Satya, karena seolah-olah mereka hanya membabat dan membantai apa pun yang menghalangi laju pasukan di depan.
dua wanita meniup seruling sambil berlayar di sungai darah lagu seruling diterbangkan angin menjelma sepasang burung branjangan, o!
Kepada setiap negara di seluruh anak benua telah dimaklumatkan suatu keputusan: Ayodya melaksanakan Persembahan Kuda. Tiada cara lain yang lebih kejam dari ini untuk menghancurkan dan menjarah rayah negara-negara lain yang lebih lemah, karena jengkal tanah mana pun di negeri mana pun yang dilewati kuda itu harus takluk, tunduk, dan menyerah kepada Ayodya. Jika tidak maka balatentara sejuta prajurit berkuda Ayodya yang perkasa itu akan menghancurkannya. Lagi pula, di antara segenap negara di anak benua, negara manakah yang bisa menahan laju Ayodya" Tiada negara yang akan bisa lebih kuat dari sebuah ne gara yang dipimpin Rama, ksatria penakluk Rahwana yang sudah berabad-abad tiada pernah
terkalahkan. Bagaimana mungkin menang melawannya" Bagaimana mungkin bahkan hanya untuk mengimbanginya"
Inilah balatentara mahadahsyat di seluruh anak benua yang dipimpin oleh ksatria perkasa Laksmana. Bahkan seandainya Laksmana hanya sendirian saja di atas kereta kencananya itu pun belum tentu ada sebuah negara bisa menghalanginya. Pa nah-panahnya yang ganas siap berubah menjadi sejuta dan setiap anak panahnya itu bisa dipastikan pula akan mencabut nyawa. Bagaimana mungkin sebuah negara akan menghalangi balatentara ini bahkan seandainya raja-raja seribu negara bergabung jadi satu, jika setiap saat Ayodya masih akan bisa dibantu dua sekutunya yang mahakuat dan mahaperkasa, siapa lagi jika bukan Raja Wi bisana dari Alengka dengan pasukan raksasanya maupun Raja Sugriwa dari Goa Kiskenda dengan balatentara wanaranya yang menggetarkan.
Bagaimanakah bencana ini bisa dibendung" Bahkan jika suatu ke ajaiban bisa menahan laju balatentara ini, mungkinkah balatentera gabungan seribu negara sekalipun menahan amarah dan kebuasan para panglima Goa Kiskenda yang luar biasa" Ha mongga Si Kepala Macan, Kapisraba Si Kepala Buaya, Cucakrawa Si Kepala Burung, Harimenda Si Kepala Kambing, Hanila Si Wa nara Ungu, Hanggada Si Wanara Kelabu telah terkenal sebagai penyebar maut. Bahkan seandainya mereka semua bisa dikalahkan, o siapakah yang akan bisa menahan badai gempuran Sang Hanuman" Di seluruh anak benua, bukankah mustahil menahan kemarahan Sri Rama titisan Wisnu, dewa penghancur itu sendiri"
Dewa-dewa boleh mahasakti, namun manusia ternyata luar biasa. Nega ra-negara yang tidak mempunyai kehormatan menaikkan bendera putih di gerbang perbatasannya, tetapi negara-negara yang mempunyai kehormatan mengangkat senjata. Maka berlangsunglah bencana Persembahan Kuda, sebu ah upacara untuk dewa-dewa atas nama perdamaian yang menginjak-injak hak asasi manusia. Ba latentara yang tak terlawan ini mendapatkan perlawanan di mana-mana. Bagaikan air bah laju sejuta kuda itu menderap dari negeri satu ke negeri lain bagaikan tanpa berhenti. Mereka bagaikan tidak pernah istirahat menebarkan bencana, dan kuda putih itu tak pernah berhenti berlari dari negeri satu ke negeri lain. Beri ta dengan cepat tersebar betapa balatentara Ayodya membawa bencana di mana-mana, sebelum sampai Mantura, mereka telah membumihanguskan
Matsya, menghancurkan Kasi, dan meski mendapat perlawanan berat di Magada, negeri yang terkenal dengan pasukan gajahnya itu mereka musnahkan pula.
Dalam waktu singkat nama Sri Rama yang sebelumnya begitu harum, sebagai penakluk negeri Alengka, berubah menjadi nama yang sangat menakutkan. Dari Magada, balatentara Ayodya terus menyapu negeri-negeri Angga, Campa, Mantura, dan Bangga bahkan sampai ke tepi pantai. Kota Malini yang cantik berubah menjadi lautan api karena mengadakan perlawanan. Pasukan berkuda Ayodya memburu orang-orang yang terdesak sampai ke tepi pantai. Di sanalah berlangsung pembantaian yang kejam. Orang-orang yang sudah menyerah, mengangkat tangan dengan separuh tubuhnya di dalam laut, tetap dibunuh tanpa ampun sehingga pantai itu penuh dengan mayat bergelimpangan.
Di bawah langit senja yang kemerah-merahan, balatentara Ayodya menyu suri pantai sampai ke Kalingga, dari pantai me reka menyerbu pedalaman dan menghancurkan setiap kota yang ditemuinya. Mereka tidak perlu menuju Pandya, karena negeri itu sudah menyerah. Di seberang Pandya terletaklah Alengka, sekutu Ayodya, maka balatentara perkasa itu kini mengancam wilayah Pegunungan Daksinapata di mana terdapat negeri-negeri Widarba dan Gandawana. Kedua negeri ini tidak sudi menyerah. Di mana-mana rakyat mengadakan perlawanan, mereka mencegat balatentara Ayodya di hutan dan perbukitan. Pasukan berkuda yang besar itu terhambat lajunya. Di hutan dan perbukitan, sulit sekali mereka bergerak. Pasukan gerilya Widarba dan Gandawana telah lama melatih diri dalam pertempuran di dalam hutan. Dengan senjata sumpitan beracun mereka bergerak di atas pohon. Korban berjatuhan di pihak Ayodya.
Balatentara yang begitu terlatih dalam gelar perang di padang-padang terbuka itu bagaikan mendadak tak berguna. Pasukan kuda yang banyak itu saling berdesak di antara pepohonan. Dalam kegemparan, banyak pula da ri antaranya terperosok ke jurang. Ringkik kuda dan jerit memilukan menggaung dari dasar jurang yang gelap. Sementara sumpit beracun dari atas pohon bersuit-suit seperti hujan jarum. Balatentara sejuta manusia itu jadi makanan empuk. Manusia dan kuda bergelimpangan saling berdesakan. Banyak di antaranya hanya bisa bersembunyi di ba wah tumpukan mayat yang mengenaskan. Mereka yang mencoba naik pohon dengan mudah
di rontokkan. Pasukan Widarba dan Gandawana tidak pernah kelihatan. Mereka bergerak seperti manusia pohon, berayun-ayun seperti orangutan, sambil melepaskan sumpit mautnya ke mana-mana. Mayat manusia dan bangkai ku da berkaparan penuh jarum beracun yang mematikan dalam satu detik saja. Astaga. Sampai di sini sajakah laju menderu balatentara Ayodya" Ketika malam tiba, tak kurang 20.000 prajurit Ayodya bersama kudanya telah ditewaskan, dan tidak seorang pun dari pihak lawan menjadi korban.
Panglima Laksmana yang kereta perangnya tak berguna dan panahpanah nya tak bermanfaat di dalam hutan telah menjadi murka. Ia tarik mundur pasukannya keluar dari hutan. Jumlah balatentaranya yang masih besar diperin tahkannya mengelilingi bukit. Lantas dikirimnya utusan ke Goa Kiskenda, me minta bantuan balatentara wanara, dan betapa sebuah pembalasan bisa begitu mengerikan. Di bawah pimpinan Raja Sugriwa sendiri, per lawanan Wi darba dan Gandawana dihancurkan. Di dalam rim ba, tiada yang lebih perkasa ketimbang para wanara. Di atas po hon mereka menyergap beribu-ribu penyumpit gelap, dan membantingnya ke bawah, di mana orang-orang Ayodya telah menunggu dengan tetak ke lewang yang kejam.
Bisakah dibayangkan betapa mengerikannya lima juta wanara yang menjerit-jerit di dalam hutan sembari mengamuk dan merobek-robek dengan buas" Setiap kali Raja Sugriwa menjerit, lima juta wanara ikut men jerit, se hingga bahkan suaranya saja bagaikan sudah cukup untuk menghentikan detak jantung. De ngan ganas dan buas lima juta wanara itu menemplok, mencakar, dan menggigit, lantas membanting pasukan po hon Widarba dan Gandawana. Pasukan yang lari berayun dengan akar pohon dikejar dari segala penjuru. Tiada seorang pun sempat mengangkat sumpitnya. Serangan kilat pasukan wanara begitu tiba-tiba, me nge jutkan, dan mematikan. Dalam satu hari saja 200.000 prajurit dari kedua negara itu ditewaskan.
angin padang yang meronta, o membawa bau darah nan amis rintihan tangis seribu janda anak sungai tersiram gerimis malam yang kelam,
malam yang terlalu hitam, o!
Kuda putih itu masih berlari di bawah cahaya rembulan. Kematian berjuta-juta orang yang tidak bersalah tiada pernah mengendurkan semangat Laksmana untuk menguasai wilayah mana pun yang dilewati kuda putih itu. Kuda itu melaju bagaikan tahu betul peta bumi anak benua. Setelah keluasan wilayah Widarba dan Gandawana tertaklukkan, kuda itu melaju ke utara, diiringi 980.000 prajurit berkuda yang menghancurkan setiap wilayah yang dilalui nya. Korban yang jatuh di pihak Ayodya agaknya mem bangkitkan amarah Laksmana. Kini panglima itu tidak menunggu bendera putih tanda menyerah. Pada malam hari ke tika semua orang tertidur, balatentara Ayodya terus melaju meng gebu, memorak-porandakan desa dan kota mana pun yang dilewati dalam perjalanan. Mahismali dan Mahismati, Bojakata, Dasarna, dan seluruh wilayah Windya dijarahnya. Bumi hangus di setiap jejak perjalanannya, asap mengepul ke langit, mega-mega merah terbakar. Balatentara melaju menuju Salwa, lantas turun ke padang-padang Pratici. Kaki-kaki kuda terus-menerus berlari membawa para pembunuh di atasnya.
Raja Sugriwa tak ikut lagi dan kembali ke Goa Kiskenda. Tak akan ada lagi lawan yang tangguh di seluruh anak benua, namun Laksmana tetap menghancurkan setiap kota yang dilaluinya. Segenap perlawanan dilakukan, tapi selalu sia-sia. Pria, wanita, tua, muda, dan anak-anak, semuanya melawan balatentara yang jaya itu. Lelaki mencegat dengan tombak, parang, alu, dan senjata apa saja setelah tentara mereka dikalahkan di luar kota. Di dalam kota, pasukan Ayodya menyerbu dengan panah-panah api yang dilesatkan ke atapatap rumah. Perempuan dan anak-anak pun melawan, dari jendela dan loteng mereka melemparkan batu, membidik dengan katapel, atau menyiramkan air panas. Perlawanan dilakukan sampai titik darah penghabisan.
Tiada yang lebih kejam dan lebih menghina kehormatan selain Persembahan Kuda.
Raja yang Terhormat, Bersama surat ini saya beri tahukan, saya Sri Rama, raja yang berkuasa di Ayodya, mengadakan Persembahan Kuda. Ke rajaan mana pun yang dilewati kuda putih yang kami lepaskan pada malam bulan sabit setelah surat ini disampaikan, harus tunduk kepada kami atas nama perdamaian.
Barangsiapa tidak tunduk kami anggap menentang perdamaian, dan balatentara Ayodya akan memeranginya. Kami akan menjamin kekuasaan raja setempat yang menyerah, namun kami tidak akan memberi ampun siapa pun yang menentang kami. Tujuan Persembahan Kuda ini adalah mempersatukan bangsa-bangsa anak benua dalam perdamaian.
Kami membawa perdamaian, kami membawa peperang an, Baginda Raja yang Terhormat boleh memilih salah satunya.
Demikianlah surat ini. Sri Rama Surat semacam inilah yang disebarkan kedelapan penjuru angin dan menimbulkan amarah semua orang. Tiada akan pernah terkira bahwa surat semacam ini bisa ditulis oleh seorang raja seperti Rama. Apakah yang telah terjadi"
menulis surat cinta di atas daun rembulan biru terbenam di kolam orang kebiri mengolah mentega seribu kuda terbang di awan, o!
Ketika gemuruh balatentara berkuda Ayodya masih terus menggetarkan kota-kota di bagian utara anak benua, di tepi sebuah sungai yang jernih Satya dan kawan-kawannya membakar jenazah para kerabat mereka.
Di tepi sungai itu mereka memandang api yang menjilat-jilat ke udara. Di mata mereka hanya terlihat duka. Apakah yang bisa dilakukan anakanak di sebuah desa yang telah rata dengan tanah" Kambing-kambing mengembik. Satya memandangnya dengan mata kosong. Di angkasa, langit menjadi hitam karena burung-burung pemakan bangkai beterbangan di seluruh anak benua. <"
Perempuan mengandung yang tersaruk-saruk
mpat belas tahun sebelum Rama menyebarkan bencana ke seluruh anak benua, seorang perempuan yang sedang me ngandung berjalan tersaruk-saruk di rimba Dandaka. Bisakah dibayangkan betapa berat perjalanannya" Kandungan perempuan itu berumur dua bulan dan rasanya betapa besar untuk sebuah kandungan berumur dua bulan dan betapa meletihkannya kan dungan itu pada bulan-bulan pertama, sehingga o apakah sebabnya seorang perempuan ningrat yang begitu halus dan begitu langsat kuningnya, yang begitu kuning memutih dan begitu putih menguning dengan harum yang anggun seanggun-anggun putri istana o betapa bisa seorang perempuan yang kaki mungilnya tak layak menyentuh tanah berada di dalam rimba raya penuh siluman" Putri istana manakah itu yang berjalan tersaruk-saruk di dalam rimba yang bahkan jalan setapak pun tak punya" Betapa tak terbayangkan beratnya berjalan di dalam rimba bagi putri istana yang sedang mengandung seperti itu.
Batang-batang pohon yang tumbang sungguh begitu besar sehingga mustahil bagi perempuan itu untuk melangkahinya, lagi pula bagaimana mungkin seorang perempuan yang berjalan tersaruk-saruk dan mengenakan kain dengan bahu terbuka seperti itu bisa melangkahi batang po hon tumbang bahkan yang tidak terlalu besar sekalipun" Jangankan batang pohon yang tumbang sedangkan tanpa itu pun betapa penuhnya rimba raya itu dengan semak-semak berduri. Betapa sayang bahu terbuka yang mulus dan kuning itu yang kini mulai tergores-gores duri menjadi
garis-garis merah tipis yang meskipun tipis sungguh kentara di atas kulit indah bidadari yang sungguh tidak bisa dimengerti bagaimana mungkin bisa berjalan sendirian saja dengan tersaruk-saruk di dalam rimba raya angker dan sangar seperti ini. Dengan susah payah ia berjalan menembus semak, kalau ada pohon tumbang ia memutar, setelah memutar jalan bisa menurun, ketika menurun ia harus berjalan pelan sembari berpegangan pada dahan dan ranting, sebab rumput entah kenapa hampir selalu licin. Sampai di bawah tiada jalan lain selain mendaki. O, betapa beratnya perjalanan di dalam rimba.
Dari hari ke hari, dari malam ke malam, perempuan itu berjalan tersaruk-saruk kadangkala bahkan merangkak-rangkak dan merayap-rayap. Tubuhnya dari saat ke saat tambah kurus karena ia tak pernah menemukan makanan dalam arti yang sebenarnya. Dimakannya sembarang daun sekadar mengisi perutnya yang kelaparan. Ia berjalan begitu lambat dan tampaknya tanpa arah saja barangkali cuma berputar-putar di dalam rimba. Siluman-siluman rimba yang tidak kelihatan oleh mata manusia biasa memerhatikannya tanpa pernah bisa mengerti. Rambut panjang perempuan itu yang semula begitu hitam bergelombang dan panjang kini telah menjadi gimbal. Berbagai serangga bahkan bersarang dan bertelur di dalamnya. Kandungannya tampak semakin besar meng gantung di tubuh nya yang kurus. Betapakah tidak akan ku rang gizi anak yang dikandungnya" Ia hanya makan sembarang daun dan akar-akaran. Ia tidur di mana pun ia kelelahan tanpa memilih-milih tempat. Kainnya selalu basah karena rimba raya ini sungguh begitu lembap. Bila hujan turun ia tetap saja berjalan tersaruk-saruk begitu rupa. Perempuan yang sesungguhnya begitu cantik begitu indah dan begitu penuh dengan pesona ini telah menjadi makhluk yang mengenaskan.
Para siluman yang tidak pernah kelihatan oleh mata biasa dan tidak mungkin terdengar oleh telinga awam membicarakannya.
Coba lihat manusia perempuan itu, bentuknya semakin lama semakin buruk, lama-lama ia bisa seburuk siluman.
Huss! Bangsa sendiri kok dihina!
Aku tidak menghina, siluman memang buruk rupa kan" Coba lihat, aku bertanduk, hidung seperti belalai, kalau bersuara seperti macan batuk.
Itu karena kamu melihat siluman dengan mata manusia, kalau dengan mata siluman, kita ini cantik-cantik saja kok!
Lho, aku ini siluman, jadi aku bicara sebagai siluman! Iya, tapi siluman yang sudah terpengaruh manusia! Tidak mungkin, manusia tidak bisa melihat siluman! Kalau begitu, kamu mestinya melihat manusia itu makhluk lain dong! Makhluk aneh yang berbeda dengan kita!
Hei dengar siluman goblok! Aku memang siluman, tapi aku mengerti manusia!
Hahahaha! Mengerti manusia" Apa yang kamu mengerti tentang manusia"
Siluman bertanduk yang hidungnya seperti belalai gajah itu menunjuk perempuan yang berjalan tersaruk-saruk.
Manusia adalah makhluk yang kejam, katanya. Kamu tahu riwayat manusia perempuan itu" Siluman itu mengangguk.
Coba ceritakan. Tidak perlu, kau dengar sendiri saja kata-kata perempuan itu. Para siluman mendekati perempuan itu, yang sambil me rangkakrangkak mengeluh pelan tertahan-tahan.
O dewa, dewa, jagad dewa batara, bagaimana mungkin aku harus merasakan semua penderitaan ini o dewa! Tubuh hancur, hati tersayat, kandungan telantar, perut lapar tak tertahankan! Dewa, o dewa, siapa di antara kalian yang merasa begitu hebat sehingga bisa menentukan nasib manusia" Menentukan siapa yang bahagia dan siapa yang tidak bahagia! O dewa, betapa kuasa kalian membuat rancangan sejarah manusia, menentukan siapa yang menderita dan siapa yang tidak menderita, siapa ka lah dan siapa menang, siapa jahat dan siapa yang mulia! Kekuasaan da ri manakah itu o dewa, sehingga bisa menentukan jalan ceritaku yang berkepanjangan penuh derita berlarat-larat" Apa yang mem buat kalian begitu berkuasa sehingga merasa begitu berhak untuk menentukan betapa hidupku harus menderita" Dewa o dewa! Betapa ingin aku menolak kekuasaanmu! Kamu tidak mem punyai hak untuk mengatur hidupku! Meskipun tubuhku hancur, hatiku tersayat, dan perutku lapar, aku sendirilah yang telah memilih jalanku!
Siluman-siluman saling berbisik. Manusia perempuan ini sudah gila!
Ssstt! Jangan berisik! Perempuan itu masih merangkak-rangkak.
Tidak juga Rama, titisan Batara Wisnu yang mahaperkasa dan maha meng hancurkan itu bisa menentukan nasibku. Sungguh tiada pernah kukira be tapa ksatria Ayodya yang kukira begitu lembut dan begitu mulia ternyata begitu rendah diri sebagai manusia. O lelaki mana kiranya yang tidak bisa di sebut rendah diri jika tiada pernah percaya betapa suci istrinya meski istrinya itu sudah begitu setia dalam cengkeraman Rahwana yang kaya raya" Rama telah membakar aku dalam api unggun raksasa yang nyala apinya memerahkan langit demi kepercayaan dirinya maupun orang-orang Ayodya. Mengapa begitu penting bagi Rama untuk meyakinkan orangorang Ayodya bahwa Rahwana sungguh-sungguh tiada pernah menyentuh apalagi menjamahku" Kalau dia memang cinta kepadaku, mengapa dia tidak terima saja aku apa adanya, meski seandainya Rahwana telah memerkosa diriku" Kalau dia memang cinta kepadaku, bahkan jika aku telah berbuat seperti seorang pelacur kepada Rahwana, yang menyerahkan tubuh demi keselamatanku, tak juga Rama harus menimbang-nimbang diriku. Cinta adalah cinta. Terimalah aku seperti apa adanya.
Apakah cinta bagi Rama memerlukan syarat" Apakah cinta bagi Rama yang mahabijak dan maha mengerti itu memerlukan syarat bernama kesucian" Kesucian cinta bukanlah kesucian tubuh o Rama, karena jika begitu bagaimana seorang pelacur bisa mengorbankan tubuh demi cintanya kepada kehidupan" Ta pi begitu pun aku ini bukan pelacur o Rama, aku lebih baik ma ti daripada dijamah Rahwana, dan aku tak menyerah meski setelah Rahwana memperlihatkan kepala Sondara dan Sondari, anak-anaknya sendiri, yang begitu mirip dirimu dan Laksmana.
Aku hanya mencintaimu o Rama, tetapi bagimu cinta orang-orang Ayodya lebih penting ketimbang cintaku kepadamu. Apakah itu hanya karena kamu seorang raja o Rama" Apakah karena kamu seorang penguasa" Apakah dengan menjadi se orang raja diraja yang berkuasa maka kehidupan pribadimu harus menjadi berbeda dengan orang biasa" Engkau mencintai aku atau mencintai dirimu sendiri wahai Rama" Aku seorang perempuan yang mempunyai kehormatan, tidak membutuhkan perlindungan maupun belas kasihan.
Perempuan itu masih meratap-ratap. Siluman-siluman terkesiap. Mereka merasa tersentuh. Tanpa diketahui perempuan itu mereka menolongnya, de ngan menyisihkan ranting-ranting berduri, dan membimbingnya menuju anak sungai. Di kericik aliran air yang dingin perempuan itu merebahkan dirinya dan minum berteguk-teguk. Air anak sungai yang kecil itu jernih se kali, meluncur turun dari gunung. Sayup-sayup perempuan itu mendengar suara air terjun, tapi rasanya ia sudah tidak kuat meng angkat tubuhnya. Ia hanya bisa menyeret tubuhnya ke bawah sebuah pohon. Para siluman membuat rerumputan di ba wah po hon itu tebal, bersih, dan lunak seperti permadani. Mereka lantas menggiring angin agar bertiup sepoi ke arah perempuan itu, yang kemudian tertidur karena kelelahan yang amat sangat, dan dalam tidurnya perempuan itu bermimpi. Para siluman yang bisa keluar masuk berbagai dunia mengikuti mimpi itu.
siluman tidur di atas kasur, o berlayar di lautan mimpi menatap rembulan, menatap pelangi
mencari cinta di dalam laci, o!
Masih diingatnya betapa mereka saling menatap dan terpe sona, ketika ayahnya, Prabu Janaka, memperkenalkannya kepada Rama.
Inilah Rama, ksatria Ayodya yang telah mengusir Dandang Sangara dari Mantili.
Saat itulah ia melihat Rama, cahaya memancar nan perkasa. Rambutnya panjang bergelombang seperti singa, dengan paras tampan halus mulus penuh pesona. Kedua anting-antingnya yang panjang di kiri dan kanan berkilatan kertap permata. Meski hanya mengenakan jubah pengembara, Rama dan Laksmana tak bisa menyembunyikan cahaya kesatriaannya.
Rama telah mengusir Dandang Sangara, gagak raksasa nan berbahaya, maka ksatria itu berhak mengawininya. Semenjak ayah nya menjadikan dirinya taruhan sayembara, ia setuju dika winkan dengan siapa pun yang menyelamatkan negaranya, meski barangkali tidak mencintainya namun kepada Rama, ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Apakah Rama pun mencintainya"
Ah, ia tidak pernah bertanya.
Kemudian Rama pun mengalahkan para raja yang baru tiba setelah gagak itu pergi, dalam lomba menarik busur sakti, bahkan Rama menarik nya sampai patah busurnya. Sungguh rela ia pergi ke Ayodya. Melewati rimba di mana Rama membunuh Rama bargawa. Segera pergi lagi karena janji Dasarata, Raja Ayodya ayahanda Rama, kepada selir bernama Kekayi, bahwa Barata anak Kekayi, dan bukan Rama anak Kausalya, yang harus menjadi raja. Rama harus mengembara 14 tahun atas desakan Kekayi, dan ia bersama Laksmana mengikutinya. Tak ada yang disesalkannya, asal berdekatan dengan Rama.
Apakah Rama mencintainya" Ah, ia tidak pernah bertanya.
Kini ia bahkan bertanya-tanya, apa sebabnya Rama meme rangi Rahwana dan menyerbu Alengka. Benarkah ia berperang demi cinta" Ataukah berperang demi ketersinggungannya sebagai lelaki dan sebagai ksatria karena Rahwana menculik istrinya" Mengapa Rama begitu mementingkan kesetiaan dan kesu cian, tapi tidak pernah mempertanyakan cinta" Ada banyak peristiwa yang membuatnya bertanya-tanya.
Pertama, ketika Rama mengutus Hanuman, wanara putih yang perkasa itu, untuk menyelundup ke Taman Argasoka, tempat ia disekap Rahwana di Alengka, dititipkannya sebuah cincin. Rama minta ia memakainya, jika jari nya bisa masuk, tandanya ia masih setia. Terlalu! Apakah Rama mengira ia su di menyerah kepada Rahwana raja raksasa" Mana mungkin ia menyerahkan diri kepada raja yang selalu mabuk karena tuak, apalagi mulutnya bau petai dan jengkol setiap hari. Apakah kiranya yang membuat Rama berpikir betapa dirinya mungkin untuk tidak setia" Jika Rama tidak percaya, mengapa ia tidak membiarkan saja dirinya tinggal di Alengka" Tidak terlalu salah jika ia mengira Rama da tang bukan hanya untuk membebaskannya, tapi terutama lebih demi kehormatannya sebagai seorang pria.
Kedua, setelah peperangan selesai, dan Rahwana terjepit Gunung Sondara-Sondari jelmaan kepala anak-anaknya sendiri, masih juga Rama meminta ia membuktikan kesetiaan dengan cara dibakar api. Astaga. Trijata, putri Wibisana yang marah karena permintaan Rama sampai ikut terjun ke dalam api unggun raksasa itu, namun untunglah Hanuman menyelamatkannya. Rama berkata, jika ia masih suci, maka api itu tidak akan membakarnya, jika ia tidak suci, dalam arti pernah disentuh atau membiarkan dirinya dijamah Rahwana, api itu akan menghanguskannya. Kurang ajar! Jika toh ia pernah jatuh di bawah kekuasaan Rahwana dan karena itu api tersebut menghanguskannya, maka apa sebenarnya hak Rama sehingga bisa menjadi hakim yang memutuskan se kaligus meng hukum seseorang atas nama kesucian dan kesetiaan" Hanya ka rena ia mencintai Rama, dan mau melakukan segalanya demi Rama, maka ia rela melakukannya. Apakah Rama mencintainya"
Ah, ia tidak pernah bertanya.
Tapi apakah boleh disebut cinta namanya jika seorang su ami membiarkan saja istrinya yang sedang mengandung lari dari istana" Rama ter lalu peduli kepada desas-desus yang berkembang di Ayodya. Mana mungkin seorang pe rempuan tidak akan pernah terpikat oleh kekayaan Rahwana" Rahwana memang raja rak sa sa, namun banyak ilmunya dan penuh tipu daya, selama 700 ta hun kehidupannya terlalu banyak perempuan yang jatuh ke pang kuannya. Bidadari swargaloka Banondari atau Dewi Tari, ratu siluman Krendawati, ratu buaya Banggawati, ratu kepiting Rekatayaksi, ratu siluman lain Kutawati, bahkan anak pendeta bernama Dewi Kresnasih, ibu dari Si Kembar Sondara-Sondari. Maka, demikianlah pikiran rakyat Ayodya yang sederhana, meng apa tak mungkin dirinya pun jatuh ke tangan Rahwana.
Apakah Rama mencintainya" Justru ini pertanyaannya. Mereka telah ber jodoh sebelum dilahirkan. Rama adalah titisan Wisnu dan dirinya adalah titisan Laksmi, istri Wisnu, mestinya tidak ada lagi masalah dalam hubungan cinta. Cinta Wisnu dan cinta Laksmi adalah abadi tapi itu ada lah cinta dewa-dewi, mungkinkah cinta menjadi berbeda dalam hati manusia yang berdarah dan berdaging dan berubah setiap hari" Tidakkah mung kin Wisnu terpengaruh oleh ketubuhan Rama"
Sebagai raja titisan dewa, mengapa ia begitu percaya kepada desasd esus di Ayodya, mengapa ia begitu peduli" Bahkan peringatan Hanuman yang turun dari pertapaannya di Kendalisada tiada digubrisnya. Bukankah ia telah menjadi istrinya" Bukankah ia mengandung anak darinya pula" Apakah Rama tidak peduli bahwa istrinya yang menghilang dalam keadaan mengandung itu mungkin saja terancam marabahaya" Ia tahu Rama sama se kali tidak mencari nya Rama berusaha melupakannya, dan tak seorang
pun di Ayodya merasa harus mencarinya. Hanya Laksmana, yang memang bertanya-tanya. Namun sejak semula Laksmana adalah boneka kakaknya. Jika Rama memang peduli, dengan mudah dirinya bisa ditemukan. Apa susahnya meminta pasukan Sugriwa menyelusuri rimba" Hanuman yang perkasa pun akan mudah mencarinya. Tapi tidak ada tindakan apa-apa dari Rama. Permaisuri hilang dan tidak ada tindakan apa-apa.
O, suami macam apakah dikau Rama" Jika dikau tidak peduli kepada istrimu setidaknya dikau wajib peduli kepada anakmu dan inilah kesalaha nmu yang ketiga dan terbesar, Rama, kesalahan yang rasanya tidak mungkin di lakukan oleh seorang titisan dewa. Ataukah, ternyata dewa itu memang bu kan segala-galanya"
Di dalam mimpinya perempuan itu mengarungi kenangan. Ia melihat se ekor kijang berbulu keemasan, yang meloncat-loncat seperti minta ditangkap. Ia meminta Rama menangkapnya. Maka Rama pun menghilang memburu kijang. Sampai terdengar suara jeritan. Ia paksa Laksmana menyusul Rama. Lantas muncul seorang tua. Orang tua itu tak mampu me nembus lingkaran yang digoreskan Laksmana di tanah dengan keris untuk melindungi nya. Maka orang tua itu mengulurkan tangan dari luar lingkaran untuk menerima sirih yang diberikannya. Begitu tangannya ber sentuhan orang tua itu berubah menjadi Rahwana, langsung menerbangkannya ke angkasa.
Betapa pusing kepalanya. Angin dan ketinggian memekakkan telinganya. Ia berteriak memanggil Rama dan Laksmana, tapi di angkasa yang sepi siapakah yang mendengarnya" Seekor burung raksasa tiba-tiba mematuk Rahwana, yang menjadi hangus seketika. Rahwana jatuh mati, dan dirinya melayang menembus mega, untung burung itu menyambar dengan cakarnya. Tapi di lihatnya Rahwana hidup kembali, melesat seperti kilat dan me mukul kepala burung itu dengan gadanya. Ia jatuh lagi, Rahwana menyambar nya sebelum menyentuh bumi. Waktu tersadar ia sudah berada di Alengka, dalam perawatan Trijata, yang akan selalu melindunginya.
Rama, o Rama, betapa berat kujaga diriku, betapa berat ku jaga kesetiaan dan kesucianku, demi cintaku yang hanya un tukmu. Cinta yang telah digariskan oleh keabadian, bahwa Laksmi akan selalu berpasangan dengan Wisnu. Rama, o Rama, mengapa engkau sama sekali tidak membelaku" Apakah yang telah terjadi padamu, Rama"
tidur sendirian di dalam hutan dijaga empat ribu siluman matahari menanti rembulan yang datang hanya bayangan, o!
Para siluman tertegun menyaksikan impian perempuan itu. Inilah putri istana yang begitu mulia tapi juga begitu menderita. Dengan hati tersayat ditinggalkannya kemewahan atas nama ke hendak rakyat. Ia merasa dirinya dianggap noda, sehingga membuang diri demi ketenteraman Ayodya, padahal ia sama sekali tidak berdosa.
Maka, para siluman yang tidak memiliki tubuh tapi memiliki hati itu berusaha meringankan penderitaannya. Ketika pe rempuan itu tertidur, mereka memindahkannya keluar dari rimba. Perempuan itu merasa seperti bermimpi ketika merasa dirinya terbang melayang menembus rimba raya. Para siluman meletakkannya di tepi sebuah sungai di luar rimba, tak jauh dari pondok se orang pertapa.
Ia membuka mata. Seorang tua yang cerah parasnya dan lembut matanya mengusap kening perempuan itu. Tubuhnya serasa hancur, namun pandangan orang tua itu membuat hatinya merasa damai. Siapa namamu Nak"
Sinta. Tenanglah Sinta, engkau kini bersama Walmiki. <"
gelembung rahwana unung Sondara-Sondari muncul dari balik kabut, bersama terdengarnya bunyi tetabuhan. Desa di lereng gunung itu sedang mengadakan sebuah perhelatan, sebuah pesta perkawinan meriah yang diramaikan oleh tontonan kuda lumping. Orang-orang berteriak di sekitar kalangan, se olah-olah menyoraki kuda yang sebenarnya, agar lebih seru lagi menari-nari, seperti kerasukan jiwa seekor kuda. Hua! Hua! Hua!
Kuda itu memang menggila. Penari yang memegang kuda lumping itu bergedebukan ke sana kemari dengan binalnya. Orang-orang melempari kuda itu dengan gelas, piring, dan pecahan kaca semua itu dimakan oleh manusianya.
Lihat! Semuanya dia makan!
Bunyi tetabuhan makin membahana. Rahwana yang terjepit di antara dua gunung itu mendengarnya, maka ia membuka mulutnya, dan ke luarlah gelembung-gelembung bagai gelembung busa sabun dari sana. Berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu, berjuta-juta gelembung mengudara. Seperti bernyawa, gelembung-gelembung itu mencari mangsa dari tempat satu ke tempat lain. Gelembung itu akan pecah di hati manusia tak beriman, menjadikannya sama jahat dengan Rahwana. Gelembung-gelembung itu tidak bisa terlihat oleh mata manusia biasa. Hanya mereka yang mempunyai ilmu siluman bisa melihatnya.
Dahulu kala Rahwana lari bersembunyi ke celah dua gunung itu, karena tak tahan oleh patukan-patukan Kiai Danu, panah Rama yang
bisa bicara. Atas nasihat Walikilia, seorang pertapa yang selalu terbang di atas selembar daun, Rama menggunakan panah yang hanya meluncur jika diiringi bunyi gending Gala ganjur itu, setelah sebelumnya putus asa karena Rahwana memang tidak bisa mati. Kiai Danu memburu Rahwana yang melesat-lesat ke seluruh penjuru bumi, menunggunya di atas permu kaan laut, dan tetap mematuknya di celah semak-semak yang paling rimbun. Rahwana yang tidak bisa mati menjadi sangat tersiksa. Ia meminta kematian kepada para dewa, namun ilmu Pancasona dan Rawarontek yang dikuasainya tidak bisa dicabut kembali.
Saat bersembunyi di celah dua gunung itulah kedua gunung tersebut bergerak menjepitnya. Inilah karmapala Rahwana, karena memenggal kedua anak kembarnya sendiri, yang kepalanya dibuang setelah gagal menipu Dewi Sinta, karena Trijata pergi meyakinkan kematian Rama dan Laksmana ke Pan cawati. Ke pa la itu kemudian menjelma gunung kembar, menunggu hari pembalasan. Dengan segala kesaktiannya Rahwana nyaris bisa menggeser kedua gunung itu, namun dari angkasa Hanuman menginjak kepala Rahwana dengan bobot seluruh ajiannya, sehingga seluruh tubuh Rahwana melesak ke dalam bumi, terjepit di sana untuk selama-lamanya. Rahwana yang tidak akan pernah bisa mati, tidak kekurang an akal. Rama, titisan Wisnu, pembela umat manusia, penghancur segenap kejahatan, janganlah engkau merasa menang dulu Rama! Meskipun aku tidak bisa bergerak, aku masih bisa mengalahkan mu Rama masih bisa menyerangmu! Waspadalah Rama, bah kan engkau pun bisa menjadi korbanku!
Saat itulah ia mengangakan mulutnya, dan semenjak saat itu be terbang anlah Gelembung Rahwana ke seluruh dunia.
Batara Narada, yang menjadi saksi seluruh kejadian di marcapada, hanya bisa menjerit tanpa mampu mengatasi keadaan.
Tiwas! Tiwas Adik Guru! Para dewa telah waspada, bahwa kejahatan akan menjadi musuh mereka yang abadi. Gelembung Rahwana tidak kelihatan oleh mata manusia, dan ha nya yang memiliki kekuatan iman dalam dirinya tidak akan terpengaruh sama sekali. Dengan demikian Ge lembung Rahwana terus-menerus menelan korban. Mereka yang berhasil dirasuki gelembung ini segera berubah menjadi ja hat. Segera menipu, memitnah, mengadu domba, mencuri, me rampok, bahkan membunuh.
Gelembung Rahwana itu kini berhamburan di desa yang sedang ramai oleh perhelatan. Seorang di antara penonton melempar batu ke ke pala pena ri kuda lumping itu, namun rupanya penari yang kerasukan roh kuda itu membalas. Ia menerjang dan menggigit pelempar batu itu hingga ber da rah. Orang-orang lain menggebuk kuda itu, tapi kuda-manusia ini menyepak dan meringkik. Tiba-tiba orang-orang saling menggebuk. Sorakan gembira kini menjadi teriakan kemarahan dan jerit ketakutan. Perhelatan menjadi kekacauan. Namun tetabuhan tetap berbunyi, para penabuh memainkan alat-alat mereka dengan penuh sema ngat, seolah-olah kekacauan ini adalah bagian dari pertunjukan.
Tolong! Istri saya diculik orang! Tolooongng!
Seseorang melarikan pengantin wanita, yang bukannya menjerit-jerit melainkan tersenyum-senyum saja dalam gendongan penculiknya. Suasana kacau-balau. Tenda ambruk. Makanan ber hamburan. Semua orang telah meng genggam senjata. Mulut penari kuda lumping itu penuh dengan darah, ia telah berubah menjadi kuda yang menggigit-gigit, menandak-nandak, dan me nyepak-nyepak. Pengantin pria dan orangtua kedua mempe lai ikut masuk ke dalam lingkaran, ikut ditelan kekacauan. Te tabuhan berbunyi tanpa ira ma. Mata para penabuh seperti orang kesurupan. Seekor banteng masuk dan langsung kesetan an, menyeruduk kian kemari sehingga semua orang terpental ke udara.
Jagabaya desa dipanggil, dan ia tidak bisa mengerti. Dilihatnya semua orang saling menikam. Pesta perhelatan di pagi yang cerah itu berubah menjadi arena pembantaian. Ia segera tahu ada yang tidak wajar. Panggil tetua desa, cepat!
Ia melihat kuda-manusia itu bertarung melawan banteng, sementara orang-orang di sekitarnya saling bergumul.
Kenapa semua orang jadi gila"
darah pengantin yang terbunuh menguap bersama asap kemenyan bersamamukah cintaku o sayang rahasia dunia pewayangan, o!
Ketika para tetua desa tiba di tempat itu, suasana sunyi se nyap. Ha nya terdengar suara rebab yang digesek bidadari di balik mega. Mayat
bergelimpangan. Banteng sekarat menguak-uak. Kuda lumping terserak. Alat-alat te tabuhan berpencaran.
Jagabaya itu terduduk dan menangis. Apa yang terjadi, Paman" Apa yang terjadi"
Para tetua desa saling berpandangan. Mereka semua mempunyai ilmu siluman, jadi mereka bisa melihat Gelembung-gelembung Rahwana keluar dari tubuh-tubuh yang berserakan. Gelembung-gelembung bak gelembung busa sabun melayang dan mengudara, melanjutkan perjalanan setelah menelan korban. Gelembung-gelembung kejahatan bergerak mencari sasaran. Banyak di antaranya mendekati para tetua desa, namun mereka semua bisa melihatnya dan meniupnya sehingga terpental menjauh.
Mereka melihat ke arah lembah di celah Gunung Son dara-Sondari. Pemandangan begitu indah dan begitu permai. Burung-burung berkicauan dan matahari bercahaya lembut.
Apa kepala Rahwana itu tidak bisa ditutup saja Pak Tua" Bukan itu masalahnya Lik, gelembung ini bukan busa sa bun. Gelembung kejahatan ini tidak bisa dikurung dengan kain, kayu, maupun besi. Bagaimana kalau kepala itu dipenggal saja"
Panah Goawijaya milik Sri Rama telah selalu mencerai-beraikan tubuh Rahwana, tapi selalu bisa menyatu kembali. Tidak mungkin. Jika orang-orang sakti saja tidak mampu membunuh Rahwana, apalagi kita. Kejahatan tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, karena kekerasan adalah bagian dari kejahatan.
Mereka semua menghela napas. Di hadapan mereka mayat-mayat orang yang mereka kenal bergelimpangan. Sayup-sayup, mereka dengar suara tawa yang menggema.
Nun jauh di lembah sunyi itu, di mana tiada seorang pun berani mendekatinya. Rahwana yang tubuhnya terjepit dua gunung dan hanya terlihat kepalanya tertawa terbahak-bahak.
Huahahahaha! Korban lagi! Huahahaha! Korban lagi! Huahahahahaha! Apa yang bisa kamu lakukan Rama" Huahahahahahaha! Tubuhku terjepit tapi aku tidak bisa mati! Berapa zaman lagi kamu akan menitis dan selalu menitis kembali Batara Wisnu" Sampai kapan pun engkau tidak bisa mengalahkan aku, karena akulah Rahwana, Dasamuka Si Sepuluh Kepala. Kau penggal satu kepalaku akan muncul kepala yang lain. Engkau akan mati
Rama, tapi aku akan tetap hidup mengacaukan duniamu! Hahahahaha! Huahahahahaha! Bahkan dirimu akhirnya akan bisa kukalahkan Rama! Huahahahaha!
Kepala yang terletak di kegelapan penuh sarang laba-laba itu tertawa. Su aranya menggema, dan setiap kali tertawa berjuta-juta gelembung menyembur dari mulutnya. Berjuta-juta gelembung. Bermiliar-miliar ge lembung, meng arungi udara mencari mangsa. Gelembung-gelembung semacam itulah yang mengangkasa. Lantas turun ke Ayodya.
Orang-orang yang sudah kemasukan gelembung, melihat iring-iringan dari istana. Dewi Sinta sedang lewat di dalam tandu. Di balik tirai yang tersibak, orang-orang melihat kecantikannya yang cemerlang, yang bahkan membuat udara bisa bergelombang.
Cantik sekali, seperti bidadari, desis seseorang. Seperti bidadari" Seperti peri!
Seperti peri" Apa yang bukan peri yang berasal dari Alengka" Dia bukan orang Alengka, dia orang Mantili.
Tapi berapa lama dia disekap Rahwana" Lebih dari setahun! Apa yang membuat kita harus percaya dia tidak menjadi gundik Rahwana" Tapi dia sudah dibakar dalam api!
Ah! Itu kan cuma sulap! Apa yang tidak bisa dilakukan oleh Rama" Dia ingin meyakinkan rakyat Ayodya, maka diadakanlah pertunjukan Sinta Obong itu. Setiap orang panggung juga bisa membuat tontonan seperti itu! Awas, kamu nanti ditangkap.
Kenapa" Omonganmu seperti itnah. Fitnah" Orang lain yang menodai kesucian istana, dan aku yang dituduh memitnah" Coba periksa darahnya! Barangkali dia seorang pecandu madat seperti Rahwana!
Dewi Sinta itu putri yang lembut budinya.
Justru itulah caranya menutupi kesalahan sendiri. Supaya orang lupa dia pernah menjadi gundik Rahwana. Heran, bagaimana mungkin Rama merasa bisa mengelabui rakyat Ayodya. Besok aku akan menjemur diri di alun-alun. Tanda aku tidak setuju kehadiran Sinta di Ayodya. Kamu bisa ditangkap.
Lihat saja besok. Ternyata esok harinya beribu-ribu orang menjemur dirinya di alunalun, sampai alun-alun Ayodya tidak cukup lagi menampung mereka. Orang-orang yang menjemur diri, laki-laki maupun perempuan, memanjang sampai ke gerbang kota. Rama yang telah mendengar keinginan mereka terhenyak. Apakah ia harus meng usir Sinta, karena ia berpihak kepada keinginan orang banyak" Ataukah ia mengusirnya, karena ia sendiri sejak dulu sebenarnya tidak terlalu percaya"
Rama menatap punggung-punggung mengkilat yang teng kurap terbakar matahari.
Laksmana, adikku, tanyakan kepada orang-orang itu, apa kehendak mereka.
Dengan segera Rama tahu jawabnya, mereka tidak menghen daki Dewi Sinta di Ayodya.
Apakah yang terjadi adikku" Tidakkah Sinta telah disucikan api dewata"
Mereka tidak pernah percaya, wahai Rama. Apakah dikau percaya" Aku harus percaya. Mengapa aku harus meragukannya" Karena Sinta dilindungi dewa. Batara Agni telah membuat api itu se juk dan menciptakan singgasana teratai di dalamnya. Itu bukanlah sema cam api yang digunakan Hanuman membakar separuh Alengka. Laksmana, mungkinkah dewa berdusta"
Dewa-dewa hanya kebetulan berkuasa, mempunyai kesak tian, tetapi keluhuran budinya sering dikalahkan manusia.
Laksmana, aku tetap harus percaya. Tiada wanita yang lebih setia dari Sinta.
Rama kakakku, hati-hatilah dalam berkata-kata. Sinta adalah juga se orang manusia biasa.
Rama termenung ragu. Pendapatmu sendiri bagaimana Laksmana"
Laksmana mendekat ke jendela, menunjuk orang-orang yang menjemur diri di bawah terik matahari.
Kemarilah Rama. Rama mendekat. Dari atas loteng mereka melihat semuanya. Sebagai raja engkau harus memilih, rakyatmu atau istrimu.
api lilin tertiup angin, o
bayangan di tembok bergoyang-goyang ke manakah akan pergi yayi"
siluman berpesta di tepi kali api lilin bergetar dan mati,
bayangan menghilang, dunia menghitam, o!
Pada hari Sinta menghilang, orang-orang berpesta. Di jalanan berlangsung pesta kambing guling, minuman tuak dibagikan cuma-cuma, dan tabla ditabuh mengiringi penari dengan giring-giring gemerincing. Semua orang bermabuk-mabukan. Rahwana dengan telinganya yang tajam bisa mende ngar segala nya. Di lembah sunyi itu ia tertawa-tawa, dan setiap kali tertawa ge lembung-gelembung menyembur dari mulutnya, mengudara ke angkasa, melayang-layang sambil mencari-cari mangsa.
Semakin malam semakin pesta menggila. Jalanan penuh ma nusia. Di lorong-lorong orang mengisap ganja. Hanuman yang tiba dari Kendalisada tak bisa menahan amarahnya.
Hanggada! Dewi Sinta menghilang, mengapa kau diam saja" Hanggada menenggak jenewer, menjawab setengah mabuk. Mengapa aku harus mencarinya, kalau ia lari tanpa ada yang mengusirnya. Biarkan saja. Barangkali ia mencari Rahwana.
Hanuman telah menjadi pertapa, tapi kali ini meledak amarahnya. Diterjangnya Hanggada, sampai terpental membuyarkan kerumuman yang berpesta.
Jaga mulutmu Hanggada! Kita dahulu bertempur untuk membebaskan dia!
Hanggada bangkit dan balas menerjang. Terjadi perkelahian seru di tengah malam. Orang-orang yang semuanya mabuk bersorak-sorak menge rumuninya, sampai Laksmana tiba di sana.
Gila, pikirnya, kedua sepupu ini selalu bertengkar saja. Tembok-tembok kota sampai runtuh karena pergumulan kedua mahawanara yang perkasa.
Laksmana menciptakan tabir jala yang lentur tapi sekuat baja untuk memisahkan mereka.
Hanuman! Hanggada! Apakah kalian sudah gila"
Mereka berdua tertunduk, tak bisa bicara. Namun di ha dapan Rama, Sang Hanuman bicara terus terang.
Saya melihat Gelembung Rahwana turun dari langit se perti hujan. Kita sudah dikuasai sifat-sifat jahat Rahwana. Lihat bagaimana rakyat Ayodya menjadi edan. Sinta yang setia dituduh yang bukan-bukan. Bahkan Rama suaminya, tidak peduli kepada nasib ibu yang mengandung anaknya.
Rama tersentak. Ucapan Hanuman adalah kenyataan. Tapi jawabannya sungguh mengecewakan.
Hanuman, aku telah mendengar kata-katamu. Kunyatakan masalah ini bukan urusanmu. Pergilah kembali ke pertapaan.
Hanuman pamit, dan mengundurkan diri dengan sopan. Mes kipun begitu Laksmana tahu, inilah sengketa yang tiada per nah terbayangkan.
Di luar istana, Trijata, bekas istri Hanuman yang telah menjadi istri Jembawan mengejarnya.
Hanuman, Hanuman, kau mau ke mana" Aku seorang pertapa; aku akan kembali ke pertapaan. Apa yang bisa kulakukan"
Lakukanlah apa saja yang bisa kamu lakukan untuk me merangi kejahatan.
Orang-orang masih berpesta di segala tempat. Trijata melihat Hanuman lenyap ditelan kerumunan. Apakah jadinya Ayodya, dan apakah jadinya dunia jika Rama bertengkar dengan Hanuman" Tanpa Hanuman, Rahwana tak bisa dikalahkan. Tanpa Rama, Hanuman pun tak bisa mengalahkan Rahwana. Keduanya tak bisa dipisahkan.
Pesta di jalanan makin meriah, langit penuh kembang api. Di jalan orang berpawai. Berlangsung karnaval yang meriah. Arak-arakan diiringi tetabuhan sepanjang malam mengelilingi kota. Semua orang berjingkrak-jingkrak, dan aroma daging bakar bercampur dupa memenuhi udara. Panggung-panggung serentak didirikan. Perempuan dengan anting sebesar gelang di hidungnya menari berputar-putar. Atraksi ular kobra terdapat di mana-mana, selalu dengan lingkaran judi di sebelahnya. Hanuman! Mari sini! Ayo ikut main!
Hanuman berjalan tanpa menghiraukannya. Di luar kota ia terbang meng angkasa. Sungguh tak mengerti ia kelakuan ma nusia. Orang ba nyak memusuhi seorang perempuan seperti Sinta. Ia tahu kini Sinta mengge landang sendirian dengan bayi di kandungan. Tetapi jika Rama telah me nyatakan kepadanya jangan ikut campur, bagaimana mungkin ia menolongnya"
Bahkan Rama telah kerasukan Gelembung Rahwana, pikirnya. Di angkasa, Hanuman yang menguasai segenap ilmu silu man, ilmu dewa, maupun ilmu manusia melihat jutaan Gelembung Rahwana di antara cahaya kembang api di mana-mana. Telinganya yang tajam juga mendengar tawa Rahwana.
Huahahaha! Bagaimana kalian akan bisa mengalahkan kejahatan" Huahahahaha! <"
tulisan Walmiki angin meniup seruling bambu lagunya berkisah tentang Ramayana inikah kisah cinta nan bahagia bukan karmapala manusia di dunia" seruling bambu menyanyikan nada orang-orang menafsirkan cerita, o!
i tepi sungai itu terdapat sebuah rumah panggung de ngan teras terbuka. Dewi Sinta sedang merenda, be nang warna-warni di hadapannya. Ia merenda sambil me merhatikan Walmiki menggores-gores lembaran karas dengan alat tulis yang disebut tanah. Sudah sampai di manakah Ramayana itu Paman"
Walmiki yang cuma mengenakan sarung, mengelus-elus jenggotnya. Tersenyum memandang Sinta.
Kamu ingin mendengar bagian yang mana" Yang mana saja, asal yang menyenangkan.
Walmiki meneliti tumpukan karas itu, setelah meletakkan tanah di se belahnya. Sudah berminggu-minggu ia tenggelam dalam penulisan Ramayana.
Aku sudah sampai hari ini, katanya. Hari ini"
Ya, dengarkanlah Sinta. Di tepi sungai, terdengarlah Walmiki menembang sambil memetik ke capi.
Kepada Walmiki, Sinta menceritakan riwayat hidupnya Hidup sengsara terlunta-lunta di dalam rimba
Selalu terkenang Ayodya, sia-sia mengharap Rama menyusulnya
Bersama Walmiki, pertapa dalam sunyi, Sinta kini bahagia
Tujuh bulan dalam perawatan sang pertapa Sinta melahirkan Lawa dan Kusa Putra kembar Rama yang serupa Lebih perkasa dari Rama dan Laksmana Mengapa tidak mungkin menjadi ksatria perkasa, jika Walmiki sendiri menghendakinya"
Atas nama cinta kepada Sinta
Atas nama penghormatan kepada yang empunya
Lawa dan Kusa menjadi sakti mandraguna Begitulah kodratnya untuk menghukum Rama yang lupa Anak-anak boleh menghukum ayahnya Demi kemuliaan ibunya
Lawa dan Kusa mahir mengolah senjata Tekun pula menulis dan membaca sastra Sebab di sana jagad raya disimpan untuk ditimba Bersama Walmiki hidup jadi berguna
Karena ksatria hanya tahu senjata Sedangkan pertapa merenungkan dunia
Sungguh Sinta merasa lega Putra kembarnya tidak menjadi singa Bahagia sebagai manusia biasa
Di tepi rimba, di tepi sungai Dalam pemandangan alam serba permai
Lawa dan Kusa belajar mandiri Berenang, berkuda, berburu, dan bertani Memanah, memancing, mendaki, dan berlari Melukis, membaca, menari, dan menyanyi Berdebat, berpikir, berhitung, dan mengkaji Pagi buta mencatat cahaya yang pertama
Siang hari menanam bibit palawija Sore hari menghayati senja yang merah membara Malam hari mengamati bintang di langit sana Lawa dan Kusa menjadi pelajar utama Dalam naungan kasih Dewi Sinta
Dari tahun ke tahun Lawa dan Kusa belajar bertanya Langit di luar dan langit di badan jadi masalah kesukaannya Sambil tak lupa selalu bertanya tentang bapaknya
Siapakah ayah kami" Mereka berdua selalu bertanya Maka Walmiki meriwayatkan Ramayana Betapa kejamnya Rama, kata mereka, tanpa tahu yang dimaksud Widehi adalah ibunya Siapakah ayah kami, siapakah kami" Mereka tak hendak berhenti bertanya
Pada saatnya kalian akan menemuinya, jawab sang pertapa
Di tempat terpencil, segalanya sempurna bagi Sinta Bulu burung-burung bersaing dengan bunga-bunga Warna-warni di mata ditingkah kicau semarak suasana
Suara air terjun di tepi rimba pun menghiburnya Dulu sering ia ke sana, memandikan Lawa dan Kusa Kini putra kembarnya telah remaja
Sinta tetap ke sana sendiri saja Mengenang suka duka tanpa perasaan nestapa Di tempat terpencil, dunia yang mungil Sungguh lebih dari cukup bagi Sinta
Di seberang sungai terdapat padang rumput Di seberang padang rumput terdapat danau Di seberang danau perbukitan ungu membiru Di seberang perbukitan dunia luar yang tak terjangkau Di sanalah Sinta berkuda tanpa pelana Duduk miring dengan kain rapi rambut berombak menarik hati Padang rumput hijau luas tak terperi Angin sepoi basah bertiup pelan senja hari
Ibu! Ibu! Jangan jauh dari kami! Begitulah Lawa dan Kusa selalu menjaga sang dewi
Betapa bumi penuh cinta tanpa Rama Betapa Sinta kini tak membutuhkan istana
Di rumah panggung di tepi sungai alam membentang di luar jendela Hanya ada satu rumah, rumah mereka berempat
Sinta, Lawa, Kusa, dan Walmiki Serasa dunia milik mereka yang abadi Sinta mengerti dirinya putri Dewi Bumi Berdiri di puncak bukit, memandang sekeliling, bagai bayi dalam rahim ibu sendiri
Apakah lagi yang ditunggu sang putri" Dunia berutang menunggu pelunasan Empat belas tahun menghilang dari dunia pewayangan Merenda kenangan tokoh-tokoh dalam percintaan Tiada percintaan lain yang begitu menelan korban, selain percintaan dalam persaingan kekuasaan Rahwana menculik Sinta, Rama merebut Sinta Berapa nyawa telah dikorbankan"
Inikah cinta" Bukan nafsu semata"
Mungkinkah cinta, meminta korban dunia" Tidakkah ini cuma bencana, pandangan dunia kaum pria"
Di tengah padang Sinta suka berkuda Ia tak pernah jatuh meski miring duduknya
Konon para siluman menjaganya Suku pengembara penunggang unta kadang melihatnya Jelas mereka tak berani mengusiknya
Tapi beritanya sampai Ayodya Sinta berada di ujung dunia, kata mereka
Jelas pula tiada yang tahu tempatnya Di pasar, di kedai, di gedung sandiwara,
orang-orang teringat Sinta Mereka masih dikuasai Gelembung Rahwana Biarlah Sinta jauh dari Ayodya, toh Rama pun tak mencarinya. Rama memang tidak mencarinya
Namun diburu perasaan bersalah sampai hampir gila
Tahu dirinya bersalah Tapi seperti bukan orang bijaksana Hati kacau tiada menentu, tak tahu harus berbuat apa
Alih-alih mencari Sinta, patung emas Sinta dibuatnya pula
Sinta dibanding patung, tiada perbedaan yang lebih menyakitkan Lelaki sekuat Rama bukan perkecualian
Apalah artinya patung emas, dibanding kekasih berhati emas"
Rama kehilangan daya Sampai dibuatnya Persembahan Kuda Betapa gawatnya pengaruh Gelembung Rahwana!
Anak benua gempar karena persembahan
yang menuntut banyak korban Perdamaian yang dipaksakan adalah penjajahan Kehormatan manusia membangkitkan perlawanan
Nafsu kekuasaan menghasilkan penindasan Tubuh manusia bergelimpangan sepanjang peperangan
Panji-panji Ayodya berkibar mencipratkan darah
Semuanya akibat rindu dendam kegilaan Rama yang tak tersalurkan Masihkah juga Sinta yang akan disalahkan"
Mengapa manusia tidak pernah memetik pelajaran" Cinta yang murni terlalu mudah menjelma kebencian Tanpa kebijaksanaan, cinta sungguh kekanak-kanakan Walmiki mengharap Lawa dan Kusa
sungguh-sungguh mencamkan Ramayana adalah kisah cinta yang mengorbankan Tiada negara yang kuat menahan laju balatentara Ayodya Di mana-mana penduduk yang tersisa menggali kuburan Atau membakar mayat-mayat
yang menumpuk tak beraturan Atau menghanyutkannya ke sungai
sampai penuhnya mengerikan Para pertapa terhenti dari samadi Bahkan para dewa geleng-geleng kepala
Terdengar gema tawa Rahwana Astaga, bagaimanakah kejahatan akan bisa tiada"
Burung-burung musim terbang ke selatan
Daun-daun melayang Pohon-pohon bambu bergesekan Betapa tenteram jauh dari peperangan Lawa dan Kusa meniup seruling bersahutan
Sampai di sini Walmiki berhenti, tapi tangannya masih me metik kecapi. Sinta mengusap air mata yang mengalir di pipi, mes kipun ia tersenyum.
Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya Paman mau membacakan yang menyenangkan. Ini sangat menyedihkan.
Bukankah kuceritakan kamu dalam kebahagiaan"
Apalah artinya kebahagiaanku seorang, jika karena aku orang-orang tak bersalah menjadi korban.
Walmiki menukas. Nah! Ini penalaran awam! Sinta memandang bertanya-tanya. Walmiki melanjutkan. Orang lain yang tolol, dirinya sendiri disalahkan. Jadi aku tak boleh merasa bersalah"
Kamu tidak bersalah Sinta, kenapa harus merasa bersalah" Sinta terdiam. Terdengar suara seruling. Walmiki menanggapi dengan kecapi yang masih dipetiknya. Lantas suara dua seruling yang bersahut-sahutan itu terdengar mendekat. Dari seberang sungai terlihat dua remaja yang ma sing-masing menunggang kerbau. Keduanya bercaping dan meniup seruling.
Lawa dan Kusa datang. Betapa meyakinkan keduanya dengan latar be lakang pemandangan. Kerbau-kerbau itu menyeberangi sungai yang dangkal. Sinta bisa mendengar bagaimana tiupan seruling itu begitu indah. Seperti dua burung yang terbang ber iringan, lantas saling menukar jalur penerbangan, naik turun se rong kiri kanan ganti berganti. Walmiki masih memetik kecapi sampai mereka semua berhadapan. Kemudian serempak mereka berhenti dalam waktu bersamaan.
Sinta bertepuk tangan. Indah sekali lagu kalian. Lagu apa namanya"
Ah itu lagu yang mendadak diciptakan, lagu tanpa nama, kami cuma main-main saja.
Kalau begitu berilah nama.
Untuk apa, setiap hari kami memainkan lagu baru. Bukan kah begitu Eyang"
Walmiki tersenyum. Sinta menjawab.
Eyang kalian juga menemukan kalimat baru setiap hari, tapi dia mencatatnya.
Eyang seorang empu, dia membuat tulisan, maka dia memberi nama yang dia cari dan temukan. Kami belum tahu mau jadi apa, entah pemain seruling atau pemburu beruang, kami hanya mau bergembira saja. Apa tidak boleh bergembira tanpa beban pekerjaan"
Sinta memandang Walmiki. Begini Lawa, begini Kusa, ujar Walmiki sambil menyeruput teh, ibumu memberi harga kepada penciptaan. Memang boleh-boleh saja
berkesenian tanpa merasa berkewajiban, karena kesenian memang hakikatnya suatu permainan. Tapi inilah suatu cara menghargai kehidupan. Burung-burung dan angin boleh bertiup, melayang, dan hilang, karena mereka adalah peristiwa alam. Na mun suara-suara serulingmu adalah pen ciptaan, bukan peristiwa alam. Su ara serulingmu adalah pemberian nama kepada alam dan kehidupan, dalam matamu maupun dalam hatimu, merupakan suatu tanggapan kemanusiaan. Itulah bedanya kalian dengan beruang. Tetap saja terserah kalian, bagaimana ingin memberi harga kepada kehidupan. Kita hidup dengan memberi nama kepada dunia dan keadaan. Kita memberi nama suara kepada suara, kita memberi nama sungai kepada sungai, kita memberi nama cinta kepada cinta, kita memberi nama duka kepada duka. Kehi dupan bisa diterjemahkan ke dalam suatu rangkaian kata-kata. Kehidupan juga bisa diterjemahkan ke dalam susunan suara-suara. Itu juga suatu cara memberi nama, memberi arti kepada sesuatu yang mungkin saja akan lewat percuma. Maka kukatakan ini suatu cara menghargai kehidupan, menjadikannya tanda-tanda zaman, sebagai jejak kemanusiaan. Inilah kehidupan manusia, Lawa dan Kusa, dalam tanggapan, penghargaan, penafsiran, dan penciptaan. Tanpa kemanusiaan, kehidupan adalah suatu kekosongan, karena tidak ada pemaknaan. Dunia ini menjelma dalam kehidupan manusia. Apa kata kalian" Lawa dan Kusa saling melirik dengan jenaka.
Aduh Eyang, masih siang mengajak debat-debatan. Kami tentu punya tanggapan, meski tidak akan jauh bertentangan. Ma salahnya sekarang Eyang, kami ini kelaparan.
Walmiki tertawa riang. Baik, kuharap itu bukan cara menghindari kekalahan. Wah, Eyang, apa pernah kami menyerah dalam perbincangan" Melawan boleh-boleh saja Kusa, asal dengan penalaran. Kami selalu menggunakan penalaran, bukankah Eyang yang memberi pelajaran"
Kita lanjutkan nanti malam. Masak apa kamu tadi Sinta" Kalkun bakar, sayur asam, sambal gandaria, kata Sinta sam bil meletakkan hasil perendaan.
Ah! Kalkun! Sudah lama Ibu tidak masak kalkun! Keduanya berteriak gembira.
Lawa dan Kusa melompat dari atas kerbau, menyimpan seru lingnya di lemari alat-alat musik, lantas mendekati ibunya.
Sudah jadi gambarnya Ibu"
Lihat saja sendiri. Mereka mengangkat hasil pekerjaan ibunya.
Wah, burung ini bagus sekali, belum pernah aku melihat burung seperti ini.
Terlihat burung dengan bulu-bulu perak kebiruan, dengan paruh kuning gading, mengenakan mahkota bertatah berlian.
Memang ini bukan sembarang burung, kata Sinta, itulah Jatayu. Ah, Jatayu! Jatayu yang dibunuh Rahwana"
Sekilas terlintas dalam ingatan Sinta, bagaimana ia jatuh mela yanglayang di angkasa, dan Jatayu menyambarnya. Karena membawa dirinya itulah Jatayu tidak bebas bertempur dengan Rahwana.
Ia menghela napas. Lawa bertanya kepada Walmiki.
Sampai di mana kisah Ramayana-nya Eyang" Aku ingin mendengar kembali bagian Anoman Obong-nya.
Walmiki berpandangan dengan Sinta. Sampai hari ini.
Sampai hari ini" Maksudnya"
Setelah makan dengarlah nanti. Lantas kita tunggu apa yang terjadi hari ini dan seterusnya. Itulah akhir kisah Ramayana.
Kusa menukas. Ah, Eyang selalu berteka-teki.
Selesai makan, Lawa dan Kusa ingin minta dibacakan tulisan terakhir Walmiki. Saat itulah terlihat cahaya melesat di padang terbuka. Lawa, lihat!
Kuda! Kuda putih! Mata mereka yang tajam melihat kuda perkasa yang berlari menggebu seperti tarian dalam impian. Sebagai anak padang rum put, kuda-kuda selalu penuh pesona bagi Lawa dan Kusa, tapi kuda ini segera tampak bu kan sebagai sembarang kuda. Inilah kuda yang dilarikan oleh mantra Per sembahan Kuda. Ia berlari melebihi kecepatan angin, kaki berputar seperti baling-baling, hanya mata setajam elang bisa mengikuti gerakannya sehingga menjadi lamban selembut tarian. Kuda, kuda, bergerak bagaikan terbang. Kusa! Kita tangkap dia!
Keduanya segera melesat, lenyap dari pandangan Walmiki dan Sinta, yang tidak mengucapkan sepatah kata.
Lawa dan Kusa berlari dengan kecepatan kilat. Dari Walmiki mereka telah mendapat ilmu manusia, ilmu dewa, maupun ilmu siluman. Mereka berlari ringan sambil tertawa-tawa di samping kiri kanan kuda. Ayo Lawa! Satu-dua-tiga!
Serempak mereka melompat, dan keduanya sudah berada di atas punggung kuda.
Hieh! Kuda, kuda, mau ke mana" Sudah, tinggal di sini saja bersama saya!
Lawa dan Kusa masing-masing membaca mantra, maka pu nahlah mantra Persembahan Kuda yang membuatnya lari dari negeri ke negeri tanpa henti. Kuda itu lantas memperlambat la rinya, dan mencongklang pelan-pelan.
Kita bawa ke danau saja Kusa, kuda ini larinya dipaksakan. Lihat, kotor sekali tubuhnya.
Kuda itu menurut saja ketika dimandikan.
Wah, kulitnya putih sekali, sampai menyilaukan. Pasti ini bukan kuda sembarangan.
Di danau di tengah padang rumput itu mereka bermain dengan riang. Oh, kasihan kuda, seperti sudah setahun tidak makan. Kuda ini dari mana ya" Lari seperti dikejar setan" Ya, mengapa harus pakai mantra pemujaan" Ah, nanti kita tanyakan kepada Eyang.
Namun rupanya jawaban segera datang. Bumi bergetar ketika dari balik pegunungan itu muncul balatentara pasukan berkuda. Mereka berderap menurun ke padang dengan panji-panji dan umbul-umbul di depan. Lawa dan Kusa yang telah mempelajari segala bentuk peradaban mengenalinya sebagai lambang negara Ayodya.
Pasukan Ayodya, bagaimana sampai ada di sini"
Setelah setahun menggempur seluruh negeri-negeri anak benua, jumlah balatentara berkurang menjadi 800.000 orang. Perlawanan mati-matian di mana-mana telah memakan korban. Bahkan perempuan dan anak-anak pun melakukan perlawanan demi kehormatan. Namun ke kuatan balatentara Ayodya bagaikan tiada berkurang. Dari saat ke saat pra juritnya semakin keranjingan pertempuran. Tahu benar bagaimana me matahkan perlawanan, membakar desa, menghancurkan kota, dan me nyudutkan pembalasan. Pasukan istimewa dari Goa Kiskenda yang berjumlah 10.000 orang di bawah pimpinan Hanggada mendapat tugas mem basmi gerilyawan. Mereka menyergap kelompok perlawanan di gu nung dan goa persembunyian. Wanara-wanara yang buas di andalkan dalam pemusnahan yang mematikan.
Demikianlah nama Rama kini disebut dengan perasaan ketakutan. Persembahan Kuda telah berlangsung berlebihan, bukan hanya menyebarkan peperangan, namun juga memo rak-porandakan peradaban. Bukan hanya ang katan perang, tapi juga masyarakat segala lapisan, pedagang, petani, dan ilmuwan di bunuh dengan kejam karena takut pembalasan. Perpustakaan, museum, dan pusat-pusat kebudayaan dimusnahkan. Segala hujat dan kutukan sama sekali tidak mereka pedulikan. Mereka telah menguasai Malawa, Pancanada, dan Bahika di utara. Setelah me nyeberangi Sungai Sindu menaklukkan Kamboja, lantas berputar di Tanah Tiongkok. Balatentara Ayodya kembali lewat Prajyolisa, menyeberangi Sungai Brahmaputra, siap menyusuri Su ngai Gangga. Sebelum pulang mereka ingin melengkapi kemenangan dengan penaklukan Gandamadana di utara Himalaya. Namun kuda itu ternyata berbelok ke wilayah terasing di tepi rimba Dandaka, ditangkap Lawa dan Kusa.
Barisan terdepan balatentara itu mendekati danau, melihat Lawa dan Kusa memandikan kuda.
He, bocah! Kembalikan kuda itu!
Wah, kalian ini mau apa"
Apa kalian tidak mengenali panji Ayodya" Ya, tapi apa tujuannya meminta kuda"
Bocah cerewet! Itu kuda putih untuk upacara Persembahan Kuda, siapa yang menguasainya harus kami gempur, tapi kami ampuni kalian karena kurang pengetahuan. Sekarang lepaskan!
Lawa dan Kusa saling berpandangan, tampak geli dan tertawa-tawa. Ho-ho-ho! Lepaskan" Kok enak! Kami susah-susah berlari mengejarnya, sekarang disuruh melepaskan"
Punggawa itu maju. Bocah! Hati-hati bicara! Nyawa bisa melayang karenanya! Kalian orang Ayodya pikir dulu kalau bicara! Ini padang rumput terbuka, tidak di bawah kekuasaan negara mana pun di dunia. Di sini ha nya berlaku hukum padang rumput, siapa men jinakkan kuda liar, dia memilikinya!
Punggawa itu menggeram kehilangan kesabaran. Itu kuda milik Ayodya untuk Persembahan Kuda. Kuda itu berlari sendirian di padang terbuka. Bocah, serahkan kuda itu!
Oh, kalian mau memaksa"
Punggawa itu di atas kuda, bergerak maju berusaha mendekati kuda putih, namun Lawa dan Kusa menghalanginya.
Jangan coba-coba hai tentara! Kuda ini milik kami! Punggawa itu nekat maju. Lawa bergerak ke bawah kuda itu, mengangkat dan langsung melemparkannya ke danau bersama penunggangnya.
Seluruh balatentara tertawa, hanya untuk sementara. Dua puluh prajurit kuda maju serentak. Nasibnya sama. Giliran Lawa dan Kusa tertawa-tawa. Hahahaha! Prajurit Ayodya mandi bersama kuda! Hahahahaha! Mendadak balatentara itu tersibak karena sebuah kereta kencana melewati nya. Di atas kereta itu terlihat seorang ksatria tampan rupawan cemerlang tiada kira.
Hei! Inikah yang disebut kereta" Kamu siapa" Apakah juga mau merebut kuda"
Ksatria dengan busana pertempuran itu menatap Lawa dan Kusa. Wajah mereka seolah sudah dikenalnya.
Namaku Laksmana. Siapa kalian" Aku Lawa.
Aku Kusa. Kalian harus menyerahkan kuda, karena jika tidak berakibat kematian.
Wajah Lawa dan Kusa tidak berubah.
Laksmana, jika kauinginkan kuda ini, lebih baik kau pulang. Kami tidak ingin membunuh kalian, tapi kalau mencari keributan kami terpaksa melumpuhkan kalian.
Laksmana menghela napas. Anak muda, kalian masih harus belajar bicara. Kata-katamu sungguh berbahaya bagi jiwa kalian.
Laksmana, jika engkau mengaku dewasa, mengapa engkau tidak mematuhi hukum padang terbuka"
Hukum kami adalah hukum perang, siapa melawan ketentuan kami hancurkan.
Lawa dan Kusa saling berpandangan.
Kalau begitu kita tidak bisa bicara, Laksmana. Majulah. Kuda itu kami pertahankan.
Laksmana tidak maju. Ia membalikkan keretanya. Namun seluruh barisan maju ke depan.
Di rumah panggung, Sinta melihat Walmiki menggores-gores karas dengan tanah, sambil menggumamkan apa yang ditulisnya.
Selembar daun jatuh di pangkuan pelacur yang jatuh cinta Ke manakah pergi tamu tersayang lampion merah yang terlalu suram Tiadakah irasat dalam dirimu Laksmana, hari ini kamu dipermalukan"
Tapi, Lawa dan Kusa tidak akan apa-apa kan" Sinta me nyela. Walmiki menjawab sambil tetap menulis.
Tenang saja Sinta, aku yang menentukan. <"
seperti Laron mendekati api
lelaki mati tertusuk cundrik, o! melati yang layu di atas tilam kenapa masih juga memerkosa sate menjangan dibakar menyan siapa pulang dari medan perang membawa kitab wayang curian, o!
alam sejarah dunia pewayangan, inilah pertempuran yang sungguh tidak seimbang. Balatentara 800.000 prajurit berkuda Ayodya dengan baju zirah dan senjata lengkap, menghadapi dua remaja ingusan yang berambut keriting dan berkancut hitam. Namun hanya dengan senjata cambuk sapi, Lawa dan Kusa mengobrak-abrik balatentara yang telah menaklukkan hampir seluruh negara anak benua. Inilah balatentara pimpinan Laksmana yang telah menghadapi dan mengalahkan segala gelar pertempuran, Garuda Nglayang, Sapit Urang, Dira dha Meta, dan Cakra Byuha, tetapi menghadapi Lawa dan Kusa, seluruh kepungan mereka berhamburan.
bagai bayangan. Pasuk an Ayodya tak tahu lagi ke mana menyerang. Lawa dan Kusa melompat-lompat di atas kepala sambil tertawa-tawa dengan lecutan-lecutan cambuk sapi yang suaranya meledak-ledak dengan lentik an api. Tombak, panah, kelewang, beterbangan. Para prajurit terpental tertendang-tendang. Ratusan ribu tentara membanjir, sungguh tiada ber guna. Lawa dan Kusa melesat ke sana kemari membuat kekacauan. Para prajurit saling pukul, setelah itu tiba-tiba terlontar.
Danau itu akhirnya penuh prajurit yang pingsan sampai air nya meluap. Lawa dan Kusa tidak menghentikan serangan. Mereka menyeruduk, menguak, menggilas tak tertahankan. Kuda-kuda meringkik panik dalam kekacauan. Kuda-kuda beterbangan karena dilemparkan. Lawa berkelebat seperti kilat menggunting formasi pasukan dari utara, Kusa meng obrakabrik seperti babi hutan di selatan. Mereka bergerak lincah dengan kecepatan cahaya. Balatentara Ayodya tenggelam dalam kepanikan. Dari atas bukit Laksmana melipat ta ngan memerhatikan. Sebagai panglima perang telah dihadapinya beratus-ratus pertempuran. Dalam perang be sar melawan Alengka telah dialaminya segala macam ke jadian mence ngangkan. Lawan-lawan tangguh seperti Prahasta, Sar pakanaka, Indrajit, dan Kumbakarna menjadi perbendaharaan. Segenap kesaktian mereka bisa dipatahkan. Apakah kedua anak muda ini merupakan perkecualian" Sampai senja tiba, Laksmana belum percaya. Setidaknya mereka berdua tidak berpengalaman.
Dari atas bukit, dibantu oleh para pembantu di lapangan, Lak smana ber usaha mengatur kepungan. Sambil mengingat Kamandaka, digelarnya Singa Byuha, Makara Byuha, Padma Byuha, Wukirsagara Byuha, Arddhacandra Byuha, dan Brajatikshna Byuha. Para prajurit pilihan mengepung dengan jala rantai di tangan. Lawa dan Kusa terhenti sebentar dan tertawa. Wah, kalian mau menangkap ikan"
Dengan sangat mudah Lawa dan Kusa yang bergerak secepat cahaya lolos dari kepungan. Para prajurit dilempar ke awan dan tidak pernah turun kembali.
Hahahaha! Laksmana! Ini sudah malam. Kalian mau istirahat atau kita lanjutkan"
kepala para prajurit sambil melecut-lecut bagai bermain di lapangan. Tak terhitung lagi berapa banyak prajurit Ayodya pingsan tanpa sempat melawan. Di dalam ma lam tiada berbintang, dan rembulan selalu tertutup awan, Lawa dan Kusa bertempur sambil menyanyi riang. Tombak patah, perisai leleh, panah tertekuk, dan kelewang melayang. Berbagai senjata dan siasat telah diserangkan, namun pasukan Ayodya tak kuasa menahan musuh yang hanya dua orang.
Lawa dan Kusa mengamuk, tapi mereka tidak pernah me la kukan pembu nuhan. Setiap lawan hanya menjadi pingsan, dan bila mereka siuman, tenaga mereka dipastikan sudah hilang. De mikianlah pertempuran berlangsung se panjang malam, sampai ketika pagi menjelang balatentara Ayodya sudah ke hilangan 100.000 orang yang menggeletak tanpa kekuatan. Lawa dan Kusa masih menari-nari dan meloncat-loncat ringan di antara ke pungan. Pasukan Ayodya pun penasaran. Bagaimana mung kin dua manusia remaja ini tak bisa dikalahkan" Mereka bukan tentara andalan, bukan ksatria ternama, bukan pula titisan dewa, mengapa begitu sulitnya ditundukkan"
Hujan turun dan Lawa-Kusa melanjutkan pesta. Mereka pun tampaknya bosan, jadi mulai mengeluarkan berbagai kesak tian. Cambuk mereka yang meledak-ledak melentikkan api diputar seperti baling-baling. Begitu ce patnya gerakan mereka sehingga terlalu sulit ditangkap oleh mata. Korban pingsan di pihak Ayodya terus-menerus berjatuhan. Di dalam hujan badai dan halilintar berkilatan, Lawa dan Kusa bertempur sambil menembang. Mere ka melenting-lenting sambil terus melantunkan tembang. Gerak an mereka begitu cepat, namun tembang dilantunkan dengan begitu lamban. Pasukan Ayodya kebingungan, tembang sebentar terdengar di sana, sebentar lagi terdengar di sini. Tahu-tahu me reka bergelim-pangan.
Setelah bertempur tujuh hari dan tujuh malam, belum juga tampak tanda-tanda kelelahan. Laksmana yang bermaksud me nguras tenaga Lawa dan Kusa sadar telah melakukan kebodohan. Kini lebih dari separuh balatentara Ayodya bergeletakan tanpa pertolongan. Jika pun mereka bisa menang, bahkan perjalanan akan sulit dilanjutkan dengan pertempuran. Kalau kedua anak itu tidak ditundukkan sekarang, seluruh Persembahan Kuda akan menjadi ke sia-siaan. Maka ia pun memerintahkan Hanggada menyelesaikan pertempuran.
Seluruh pasukan ditarik. Hanggada maju sendirian. Hei! Ini ada wanara setinggi orang! Kamu mau apa" Hanggada sudah tahu betapa keduanya tidak bisa dimainkan, maka ia langsung menerjang. Ia kirimkan Sepuluh Angin: Prana, Udana, Samana, Apa na, Byana, Naga, Kurmara, Kerkara, De wadatta, dan Dananjaya. Lawa dan Kusa menghadapinya de ngan senang. Sepuluh Angin mereka jadikan na pas yang tersimpan dalam tubuh di segala bagian. Hanggada tak tinggal diam. Dikirimnya empat ribu singa, empat ribu badak, empat ribu beruang, dan empat ribu babi hutan semuanya menyerbu Lawa dan Kusa seperti ombak lautan, menggempur dan menghempas, sangat menakutkan. Mereka berdua masing-masing menciptakan 8.000 lubang jebakan. Enam belas ribu penyerang hilang tertelan.
Gggrrrrhhhhuuuahhhhhh!!! Terdengar raungan Hanggada yang penasaran.
Hujan turun kembali dengan deras sehingga tanah becek tidak keruan. Hanggada anak Subali sudah terkenal dengan se gala kegagahan. Di an tara para wanara andalan ia hanya dikalahkan oleh Hanuman. Serbuannya laksana angin puyuh, dan di dalam hujan ia menjadikan curah hujan bagai pusaran untuk menerbangkan Lawa dan Kusa. Namun Si Kembar ini memang sakti mandraguna, mereka menciptakan angin puyuh yang sama dengan arah sebaliknya. Kedua angin puting beliung ini berbenturan dan terjadilah ledakan. Tak ada yang bisa dilihat tentara Ayodya karena per tarungan sungguh luar biasa. Sese kali hanya mereka dengar Hanggada mengeluarkan jerit wanara yang purba, selebihnya hanya kelebat cahaya.
Namun bagi Laksmana semuanya jelas, Hanggada terdesak dan nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Maka diperintahkannya 10.000 pasukan wanara me nyerbu, dan Hanggada ditarik mundur. Pasukan wanara menyerbu bagaikan badai dengan jeritan yang menggetarkan jantung, tetapi Si Kembar melenting ke udara dan turun kembali dengan cambuk api. Monyet-monyet! Nyahlah kalian!
menjilat-jilat di sekujur tubuhnya. Para wanara tak bisa mendekatinya, bahkan kini Lawa dan Kusa memburu-buru mereka.
Para wanara berlarian, Lawa dan Kusa tertawa-tawa. Laksmana yang melihat kesulitan segera memerintahkan kembali pe nyerangan pasukan Ayodya, sementara ia mengirim merpati pos ke Goa Kiskenda.
Laksmana licik, kapan kamu maju bertempur" Jangan cuma bisa me ngorbankan bawahan!
Laksmana geram. Tetapi dalam perang pun ada peraturan. Panglima ha nya bisa menghadapi panglima, sedangkan dua bocah ini siapa" Lawa dan Kusa kembali bertempur sambil menembang.
wanita bertapa di atas padma hanya rambut menutupi dada penonton membatin hala-hala rembulan dipatuk ular kobra, o!
Seminggu kemudian, ketika pasukan Ayodya berada di am bang keka lahan memalukan, Sugriwa tiba membawa lima juta wanara. Padang rumput penuh dengan wanara yang siap menghancurkan segenap lawan.
Manakah lawan yang begitu perkasa itu Laksmana, sehingga perlu memanggil Sugriwa"
Ketika melihat Lawa dan Kusa, Sugriwa merasa sangat kecewa. Bala tentara Ayodya dikalahkan dua remaja" Ia perintahkan Hamongga Si Ke pala Macan meringkusnya. Panglima Goa Kiskenda ini menyerang de ngan raungan menggetarkan. Namun dengan sekali lecutan ia sa ngat mudah dikalahkan. Dengan berang seluruh panglima Goa Kiskenda dipe rintahkannya maju bersamaan. Sraba Si Kepala Buaya, Harimenda Si Kepala Kambing, Cucakrawa Si Kepala Burung, dan Hanila Si Wanara Ungu yang Gemuk segera menyerang. Pertem puran ajaib dilayani Lawa dan Kusa dengan riang.
masih dengan tem bang, gerakan mereka mendadak lamban meski tetap ringan berloncatan, namun tak sekali pun serangan para panglima Goa Kiskenda mengenainya.
Huah! Lawa dan Kusa menggertak bersamaan. Para pang lima Goa Kiskenda terpental dan pingsan.
Lawa dan Kusa berkacak pinggang dengan cambuk di tangan. Perhatikan! Kalau mau kami bisa mematikan semua pecundang yang pingsan! Kalian semua harus berterima kasih hal itu tidak kami lakukan.
Sugriwa tak bisa membendung kemarahannya. Ia menyerang sebelum diperintahkan, dan ia memang bukan sembarang pang lima perang. Menyerahlah dan minta maaf!
Menyerah dan minta maaf" Ho-ho-ho-ho! Hebat benar Sugriwa! Hin darilah dahulu kekalahan!
Pertarungan mahaseru segera berkembang. Lawa dan Kusa menjadi cahaya kembar yang sangat berbahaya, yang setiap kali menyala terang berusaha membakar lawan. Sugriwa menjadikan dirinya sebongkah es, dan menciptakan suhu kutub utara dan selatan ke padang rumput. Mendadak udara membeku, padang rumput menjadi padang memutih yang pilu, hujan dan badai salju membekukan tulang. Para prajurit menggigil, pertarungan yang sungguh sangat menyiksa. Lawa dan Kusa balas menyerang, padang salju diubah menjadi padang pasir panas membara, bongkah es di tubuh Sugriwa meledak dan terbakar. Para praju rit terengah-engah kepanasan. Lawa dan Kusa melecut-lecut Su griwa, namun raja kera ini seperti tidak merasakan apa-apa. Ia mengeluarkan jeritan wanara. Gendang telinga Lawa dan Kusa nyaris pecah dibuatnya. Mereka terpental dan terhuyung menutupi telinga. Sugriwa yang merasa kemenangan sudah di tangan maju menerjang.
Mendadak Walmiki berbisik di telinga anak didiknya. Gunakan ilmu halimunan.
Lawa dan Kusa pun tiba-tiba menghilang. Sugriwa mencari-cari kebi ngung an. Ia belum sadar lawan memiliki ilmu si lu man ketika mendadak terlontar kena tendang. Sugriwa jatuh terjengkang. Lawa dan Kusa memperlihatkan diri kembali. Tapi waktu Sugriwa menyerang lagi-lagi menghilang.
Celaka, ini ilmu siluman, pikir Sugriwa.
Baru berpikir begitu tubuhnya terangkat dan dilemparkan. Sugriwa me layang seribu kilometer, sampai harus datang me numpang garuda. Dari punggung burung itu ia bersiap me nyerang, namun Laksmana memberi i syarat agar tidak me lan jutkan pertarungan. Maka Sugriwa memberi perintah wanara menyerbu. Berloncatanlah lima juta wanara kepada dua gembala berambut keriting dan berkancut hitam, yang bersenjata cambuk dengan ledakan. Setiap kali dilecutkan, lentik api beterbang an. Wanara-wanara membanjiri Lawa dan Kusa seperti laron mendekati api. Setiap kali Lawa dan Kusa menggerakkan tangan, sepuluh wanara terlontar pingsan.
Sementara lima juta wanara menjadi gelombang. Laksmana bersamadi. Ia menghimpun senjata sakti, karena tak ada panglima yang bisa di harapkan lagi. Lima juta wanara dikerahkan sekadar untuk memberi kesempatan. Dari atas bukit terlihat gerakan Lawa dan Kusa seperti tarian, mereka bertempur dengan segala gerak keindahan. Caranya melayang, lambaian tangan dan gerak kaki mengatur keseimbangan, begitu ringan seperti tarian dunia a ngan-angan. Bagaimana mungkin kekerasan bisa tampak se perti keindahan" Lawa dan Kusa berlari, meloncat, dan melentik dengan ringan.
Laksmana bersamadi di ketinggian, menyerap segala kekuatan langit dan kekuatan bumi. Ruang dan waktu terisap ke dalam dirinya, menjelma panah-panah dewata. Dengan rambut panjang bergelombang, dan wajah tampan memancarkan cahaya, Laksma na bersila dalam busana perang. Ia yang telah memenangkan seribu pertempuran, tak bisa lebih meyakinkan lagi akan meraih kemenangan. Bahkan dewa-dewa mengagumi kedahsyatannya, Laksmana yang tidak pernah menikah, bahkan telah memotong kemaluannya sendiri ketika Sinta menuduhnya punya keinginan, selalu tenggelam dalam pengabdian. Di atas bukit Laksmana menyelusuri kesunyian. Begitulah caranya seorang ksatria menghimpun kekuatan dalam diam. Tidak seorang pun bisa dimintai pertolongan, kecuali dunia dalam dirinya yang penuh rahasia semesta alam.
Ketika Laksmana membuka mata ia tahu dirinya siap berperang, dan siap pula menerima kekalahan tanpa kehilangan. Dari atas bukit dilepaskannya panah-panah api, yang menembus angin ke tengah peperangan. Lawa dan Kusa yang dikerumuni berjuta-juta wanara melenting berjumpalitan. Panah-panah api melesat tak mengenai sasaran. Di belakang barisan panah api itu menjelma ledakan.
Hei Laksmana! Kalau menyerang bilang-bilang!
Sugriwa memerintahkan para wanara menyingkir, dengan keyakin an Laksmana akan menyelesaikan pertempuran sendirian. Dengan panahpanah bermata intan Laksmana mampu mengalahkan ribuan pasukan, mengapa pula harus kalah menghadapi dua remaja yang tidak pula ke namaan" Lawa dan Kusa melihat Laksmana di atas bukit membuka serangan. Panah yang dilepas ke langit turun lagi menjadi ribuan dan semuanya ternyata mengenai sasaran. Lawa dan Kusa tertancap ribuan panah. Mereka ambruk. Sugriwa bersorak dan mendekat. Ternyata yang tampaknya seperti Lawa dan Kusa adalah dua ekor kuda.
Hahahahaha! Kuda tak bersalah, Laksmana!
Laksmana melepaskan panah-panah api lagi. Panah-panah itu menjelma api yang mengurung Lawa dan Kusa. Mereka ber dua dipanggang lautan api, namun senyatanya hanya merasa dingin-dingin saja. Di dalam api mereka melecut-lecutkan cam buknya. Awan-awan menggumpal di medan pertempur an. Langit hitam seperti serbuan pasukan. Para wanara dan pasukan Ayodya menatap kebingungan. Musuh tak kelihatan tapi bahaya tetap mengancam. Sebentar kemudian turun hujan yang bukan sembarang hujan. Inilah hujan ciptaan yang mengenyahkan lautan api ciptaan. Hujan beracun yang sungguh-sungguh menghancur kan seluruh pasukan. Balatentara Ayodya dan Goa Kiskenda ber gelimpangan tanpa daya, lumpuh seperti orang tua jompo, basah dan kedinginan. Sugriwa ternganga tidak bisa memberikan pertolongan.
Di dalam hujan Laksmana melepaskan panah-panah cahaya yang melesat menggebu dengan suara menggiriskan. Lawa dan Kusa menangkis dengan lecutan cambuk, semuanya berbalik ke arah Laksmana. Bukit tempat Laksmana berdiri hancur berantakan. Laksmana bisa menghindar namun ia tetap terkurung hu jan. Kini diambilnya keris dan ia melompat menerjang. Lawa dan Kusa bergerak seperti bayangan, tiada satu pun tusukan Laksmana mengenai sasaran. Mereka dilindungi tirai hujan yang pekat, sehingga Laksmana merasa sendirian.
Lawa dan Kusa menguasai ilmu siluman. Laksmana tidak bisa apaapa di dalam hujan. Ia tidak bisa melihat apa-apa, tidak mengerti apa-apa, hanya kedinginan.
Dewa, o dewa! Betapa mungkin kualami kejadian begini rupa" Kekalahan memalukan dari dua remaja! Siapakah mereka o dewa"
Tak ada yang bisa dilakukannya, kecuali bersila dan berdoa. Ketika membuka mata. Ia telah berada di istana Ayodya.
Laksmana adikku, apa yang telah terjadi"
Laksmana menceritakan semuanya. Rama terpana. Belum pernah ada lawan yang tak bisa dikalahkan, karena siapa pun lawan tidak akan lebih perkasa dari Rahwana. Mereka bukan hanya telah dikalahkan. Tapi juga dipermalukan. Lawa dan Kusa memindahkan Laksmana ke istana Ayodya yang ribuan kilometer jauhnya. Tidak bisa dibayangkan betapa seluruh balatentara akan bisa dikacaukan. Tidakkah sudah waktunya meminta bantuan Sang Hanuman"
Rama membaca mantra yang melesat seketika ke Gunung Kendalisada.
Hanuman yang sedang bertapa membuka mata.
Siapa yang mampu membuka tapaku, selain Rama yang mulia" Ia tak akan merapal mantra, jika tidak butuh bantuan, tapi peringatanku dulu tidak dipedulikan. Aku seorang pertapa, tidak sepantasnya terlibat pertempuran. Lagi pula lawan bagi mereka yang telah dipengaruhi Gelembung Rahwana, pasti ada di pihak kebenaran.
Hanuman bangkit, keluar dari pertapaan. Pegunungan tersembul ke biru-biruan.
Dunia begitu damai di sini, pikirnya, apakah harus ku tinggalkan untuk sebuah pertempuran"
Menghadap pemandangan lembah dan jurang, Hanuman memusatkan pikiran.
Kuda, darah tumpah di seluruh anak benua, karena cintamu meradang dalam kesalahan. Inilah pelajaran ba gi kekuasaan, Rama. Kita bisa mengu asai dunia, tapi tidak bisa menguasai cinta. Renungkanlah Rama, dan terimalah. Aku Hanuman berkirim salam.
Kemudian Hanuman masuk lagi ke pertapaan, bersila, me nutup mata. Ia menutup semua hubungan, meleburkan diri dalam meditasi.
Di tengah-tengah api terdapatlah matahari Di tengah-tengah matahari terdapatlah bulan
Di tengah-tengah bulan terdapatlah terang Di tengah-tengah terang itu terdapatlah Siwa
Pusat adalah api, jantung adalah matahari,
empedu adalah bulan, paru-paru adalah terang itu, pembuluh utama ialah Siwa
Di sanalah tempat bagi Dia yang tak bersubstansi, tempat Dia yang tanpa anggota, tanpa bentuk,
tanpa warna, tanpa noda, tanpa keutamaan, tanpa kesalahan, yang kosong,
jernih, Hampa tanpa sisa 1
Rama terpana dengan penolakan Hanuman. Tidak ada lagi yang bisa diandalkan. Rama yang berpisah dengan Hanuman, apakah yang bisa dilakukan" Keduanya seperti busur dan panah, hanya berguna jika berpasangan. Mungkinkah Hanuman ber anggapan, kita tidak sedang menghadapi kejahatan" Adalah Laksmana yang berkata.
1 Sebagian dari Realisasi Ilahi mengenai Tujuan Sejati dalam Jna na siddhanta, dipoles dari terjemahan Haryati Soebadio (1985), hlm. 97.
Rahwana adalah penumpuk dosa, karena itu kita bisa me nga lahkannya. Bocah-bocah ini tidak kenal dunia, bersih seperti cahaya. Tidak ada cara untuk mengalahkannya.
Laksmana yang perkasa, tidak kuduga kau akan pernah mengatakannya. Katakanlah kepadaku siapa mereka"
Rama kakakku, raja yang mulia, titisan dunia, undanglah Lawa dan Ku sa. Mereka adalah suatu rahasia. Biarlah mereka membuka dirinya. Tiada gu na kita menempurnya. Sudah cukup bencana kita sebarkan ke seluruh anak benua, tidak perlu Rama dipermalukan pula.
Hidupku adalah suatu pelajaran, Laksmana. Kutanggung segala kesalahan agar menjadi teladan.
Laksmana memandang Rama. Ia tahu kakaknya mencoba bijak, tapi masih dilanda kegalauan.
kulihat di jauhan hujan gerimis ikan paus di atas gelombang di manakah kini dirimu kakang cinta terdampar di batu karang teratai mekar, katak menangis meratapi kematian yang amis, o!
Lawa dan Kusa menembangkan Ramayana i istana Ayodya, Lawa dan Kusa menembangkan Ra ma yana. Di te ngah balairung telah tergelar sebuah pentas yang ditata oleh Roedjito dari Javadvipa. Sambil membaca keropak, Lawa memetik kecapi, diiringi Kusa yang meniup seruling. Mereka membaca dan meniup seruling berganti-ganti. Di sisi pentas diatur para penabuh tabla, dengan seorang juru su ara yang didatangkan dari Mongolia. Juru suara itu seorang perempuan yang mengeluarkan suara dari perutnya. Para pe ngi ring itu telah membaca Ramayana dan diminta memberikan latar belakang suasana.
Istana Ayodya disebut sebagai salah satu istana terindah di dunia. Pada masa lalu istana itu disebut Istana Seribu Pintu. Pu lang dari Alengka, Sri Rama memugarnya, menjadikannya Istana Empatribu Pintu. Itulah istana dengan pintu-pintu membiru, dengan kaca-kaca tahan senjata yang menyimpan cahaya kebiru-biruan dalam kesenyapan istana. Jendela-jendela raksasa dengan tirai-tirai luar biasa, lantai marmar Italia yang dilapis permadani Persia. Di dalam istana, jalannya angin diatur begitu rupa, sehingga siapa pun memasuki nya hanya merasakan suhu udara yang sejuk saja adanya. Antara bangunan, hiasan, dan tanaman serba asri serasi. Batu-batu putih bercampur batu-batuan intan, dinding-dinding akuarium air laut, dan taman Zen Jepang terhampar di istana mahaluas dalam kerimbunan pohon-pohon besar di tengah sebuah danau, bagai pulau cahaya di tengah malam.
Lawa dan Kusa menembang berselang-seling, dengan irama yang memesona. Seluruh pejabat tinggi, para menteri negara, kepala-kepala daerah, panglima tentara, pedagang dan tokoh-tokoh wahana swadaya rak yat jelata dihadirkan di sana. Seluruh isi istana, pengatur rumah tangga, dayang-dayang, sida-sida, dan para pengawal raja, tak ketinggalan pula. Segenap tamu datang dengan segala kebesaran, busana serba terancang, dan harum parfum semerbak mendebarkan. Rama di singgasana gading menatap ke pentas. Dua remaja itu bukan hanya serupa, melainkan serupa pula dengan Rama. Itulah yang dikatakan semua orang sembari berbisik pelan-pelan.
Semenjak acara dimulai, penerangan yang biasanya membuat istana terang benderang dimatikan. Hanya obor di sana sini, mem buat pentas itu mencekam. Tampak di panggung Lawa dan Kusa mengenakan celana pan jang, rompi, dan ikat kepala yang sebetulnya selendang. Mereka menembang dengan tenang, Rama memerhatikan setiap kata dengan cermat.
Walmiki telah berkata agar meriwayatkan Ramayana apabila Rama mempertanyakan siapa diri mereka. Selama ini Lawa dan Kusa hanya men dengar Ramayana dari Walmiki, di mana semua nama Sinta diganti Widehi. Namun kini sudah tiba waktunya segala hal dibuka, dan Walmiki berkata kepada mereka bahwa Widehi adalah Sinta.
Ah, betapa kejamnya ayah kami, kata mereka tentang Ra ma, apakah kami boleh menghukumnya"
Kita tidak berhak menghakiminya, ujar Walmiki, bacakan saja Ramayana.
Rama dalam pembu angan, dan empat belas tahun tambah setahun lagi sampai hari ini.
Sinta tersaruk-saruk di dalam hutan Rama telah membuangnya dalam hujatan Kulitnya penuh luka goresan dan sayatan Duri hutan sungguh ganas bukan buatan Belum sebanding dengan sakitnya perasaan
Sinta berjalan tersaruk-saruk tanpa tujuan Tiada Rama akan pernah tahu derita perempuan Mengembara dalam kelam hutan Terpojok sendiri
Duduk diam Membayangkan kota terang benderang
Di dalam hutan Sinta membaca Rama Apakah Rama memang mencintainya" Ia tak pernah percaya aku setia,
ia mencintaiku atau menguasaiku"
Dalam kuasa, mungkinkah cinta bicara" Dalam cinta, mungkinkah kuasa bicara"
Mungkin tak ada cinta, hanya kuasa Karena ada kuasa, dan cinta entah di mana Karena cinta tak perlu kuasa Karena kuasa tak peduli cinta
Raja harus peduli rakyatnya Istrinya masalah kedua atau kelima Tapi benarkah istrinya tidak setia" Tiada yang lebih cinta kepada Rama selain Sinta Tiada yang lebih mengerti Sinta selain Rama Tapi siapa tahu dalamnya hati Rama"
Apakah Rama dibutakan Gelembung Rahwana" Ataukah gila kuasa sehingga mengorbankan istrinya" Padahal orang Ayodya hanya bicara Yang berjuang wanara Goa Kiskenda Dalam perang hanya ada dua manusia Rama dan Laksmana
dibantu Wibisana Selebihnya makhluk-makhluk rimba Betapa culasnya manusia
Menghakimi Sinta Padahal tidak tahu apa-apa Tapi Rama mendengarkannya Apakah Rama mencintainya" Ah, Sinta tak pernah bertanya
Dalam sunyi dan sepi, Sinta berjumpa Walmiki Dari hari ke hari, Sinta belajar mengerti
Istana bukan segalanya lagi, damai di hati sungguh bukan mimpi
Cinta adalah mulia dalam setia Setia tidak dimungkinkan oleh kuasa Cinta dalam kuasa, tipu daya namanya Kuasa dalam cinta, penjajahan namanya Maka, siapa lagikah meragukan Sinta" Maka, siapa masih percaya Rama"
O, Walmiki sudahilah khotbah ini Karena kehidupan terus berjalan, dan manusia suka menolak jadi mulia Cerita tentang kesucian jadi hiburan Namun kenyataan selalu jadi acuan Seberapa indah mimpi, jika tetap mimpi" Sinta menampik mimpi-mimpi Bahagia berpijak di bumi
Walmiki sendiri tak pernah bertanya
Masihkah ia mengharapkan Rama Setiap hari mengurus Lawa dan Kusa Sembari merenda riwayat hidupnya
Langit senja merah membara Tapi lakon belum berakhir Dalangnya pergi buang air Tak tahu nasib wayang di layar
Kisah Ramayana memang belum berakhir, namun sedu sedan tertahan semakin membenamkan perasaan. Lawa dan Kusa tidak menembang lagi, me reka memetik kecapi dan meniup seruling, memberi kesempatan penonton menyesuaikan keadaan. Usai permainan, semua orang bertepuk tangan. Mereka menjadi saksi betapa Rama menerima hukuman. Tak kuasa meredam riwayat Sinta yang mengharukan.
Lawa dan Kusa, ujar Rama, kini katakanlah siapa kalian" Kami adalah murid Empu Walmiki, anak Ibu Sinta, yang diriwayatkan dalam Ramayana.
Rama dengan segala busana kebesarannya yang gemerlapan dan keemasan terduduk lemas. Ia memeluk mereka berdua.
Oh anakku, akulah ayahmu, temukan aku dengan ibumu!
perahu terbakar hanyut di sungai berisi mayat pelacur yang hamil jiwa mereka terbang melayang mencari nirwana di seberang kailah berjalan di padang pasir siapa bercadar mengunyah garam, o!
Angin membawa desis air sungai. Di rumah panggung itu, Sinta bercakap dengan Walmiki. Setelah balatentara Ayodya di kalahkan, tempat itu sunyi kembali. Hanya angin dan kericik sungai menjadi suara-suara yang menyenangkan.
Semesta selamanya mengagumkan, Sinta, seperti manusia. Manusia tidak mengagumkan, manusia menyebalkan. Ya, tapi tanpa manusia, apalah artinya alam"
Ah, alam ini indah tanpa manusia. Lihat saja kemarin, manusia hanya merusak dan mengorbankan.
Itulah sebabnya, manusia harus memberi makna kepada alam. Tanpa makna, alam ini tidak ada artinya, bahkan boleh di anggap tidak ada sama se kali. Dan bila manusia menganggap alam tidak ada sebagai makna, saat itulah terjadi perusakan.
Paman selalu menang kalau bicara denganku, tapi Lawa dan Kusa pasti akan melawan.
Ya, Lawa dan Kusa, kapan mereka mau pulang"
Saat itu dari balik cakrawala muncul rombongan pasukan berkuda. Mula-mula memang hanya titik hitam, lama-lama jelas sebuah rombongan ke rajaan, dengan panji dan umbul-umbul yang berkilatan. Lihat Paman, apakah mereka mau menyerang" Tapi Walmiki melihatnya dengan tenang. Mungkinkah Lawa dan Kusa" Sinta bertanya-tanya. Walmiki menatap Sinta penuh arti.
Pendekar Kelana 5 Pendekar Rajawali Sakti 159 Neraka Kematian Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama