Ceritasilat Novel Online

Kitab Omong Kosong 6

Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 6


Candi itu tidak pernah muncul lagi. Maneka kadang-kadang mendayung perahunya ke sana dan melangkah di tempat candi itu sebelumnya berdiri. Memang tidak ada bekasnya sama sekali, seperti tak sebuah ba ngun an pun dalam berabad-abad pernah berdiri di situ. Bagaimana mungkin, pikirnya, candi sebesar itu bisa menghilang. Ia ingat betul, bagaimana mereka merasa candi itu mendekat ketika tiba untuk pertama kalinya dengan perahu. Candi itu ada, kenapa dia menghilang begitu saja" Apakah sebuah candi mempunyai kehendak seperti manusia" Ataukah ada suatu kuasa yang berkehendak menghilangkannya"
Di bekas tempat candi itu hanya rerumputan. Sering kali terlihat seekor rusa merumput di sana, lantas minum di tepi danau. Namun dermaga di dekat candi itu ada, yang menunjukkan adanya sebuah tujuan di seberang danau itu. Di lapangan rumput Maneka tidak habis pikir. Apakah yang telah terjadi" Apakah waktu itu mereka sebenarnya berada di dunia yang lain, tempat mereka bisa bertemu dengan Hanuman dari dunia cerita"
Di dalam gua, Satya mendalami Kitab Omong Kosong. Ke palanya ber denyut-denyut karena berpikir terus-menerus. Sudah hampir lima bulan ia menekuni kitab itu dan rasanya ia hampir putus asa. Memahami kitab itu sulit sekali, dan ia tidak kunjung maju semenjak halaman pertama. Bukan karena hurufnya sulit dan bahasanya asing, melainkan karena kalimat-kalimatnya menyusun pengertian yang mahasulit.
Siapa yang bisa memahami kitab semacam ini selain Sang Hanuman, pikirnya.
Tapi Satya tidak menyerah.
Pasti ada cara untuk masuk ke dalam kitab ini, dan memahaminya, pikir Satya lagi.
Terpandang olehnya gambar-gambar di dinding gua yang dilukis oleh manusia purba penghuni gua. Hanuman juga rupanya bukan yang pertama kali menghuni gua ini. Terlihat gambar-gambar binatang buruan seperti rusa dan babi hutan. Terlihat juga orang mengangkat tombak, bahkan ada juga gambar banteng liar yang rebah dengan banyak panah di tubuhnya.
Orang-orang purba tidak mengenal huruf, pikir Satya, tapi mereka men coba menggambarkan dunia. Apakah dunia ini memang seperti mereka gambarkan" Seperti apakah dunia seperti adanya dunia"
Mendadak saja kepala Satya terasa ringan, seolah-olah ia melihat pintu terbuka dalam labirin keruwetan yang menjebaknya. Dunia ini bisa diukur dan ditakar, diamati dan diperhitungkan, dunia ini dalam batas-batas tertentu bisa dirumuskan. Ada sesuatu yang merupakan dunia itu sendiri. Di dinding gua itu ada kuda berlari, artinya ada kuda berlari yang digambarkan kembali. Ada kuda berlari seperti adanya kuda berlari. Ada dunia seperti apa adanya dunia.
Satya yang tadinya tenggelam dalam kegelapan seperti melihat cahaya dari sebuah pintu dalam pembacaan itu, dan berlari menuju pintu. Satya kini membaca dengan laju. Apakah inti semesta" Apakah hakikat dunia" Adakah asal mula dari semuanya" Satya mengarungi sebuah pencarian yang panjang, penjelajahan yang mengasyikkan, dan pemikiran yang menantang. Mung kin kah dunia tampil tidak seperti tampaknya sekarang" Mung kinkah dunia ini semu saja, dan sebetulnya tidak ada" Satya terus membaca.
Di luar, kabut di atas danau berpendar dan raib perlahan-lahan. Ca haya bagaikan meluncur dari langit, lantas menyapu permukaan danau. Perahu dan dermaga menjadi siluet. Danau itu menjadi putih dan me nyilaukan. Angin ber tiup kencang mem bawakan musim yang baru, menyampaikan kabar atas derita di negeri-negeri yang jauh. Tetapi kali ini Hanuman tidak ada di tempat itu. Tidak semua orang punya pahlawan. Tidak semua orang nasib buruknya tertolong. Angin berlalu dan berlalu menyeret waktu mengarungi ruang dan berkeluh kesah berkepanjangan. Dalam pembacaannya, Satya berusaha keras menyingkirkan perbedaan pandangan dan menukik kepada dunia seperti apa adanya.
Apakah perahu sampan hanyalah sejumlah papan yang direkatkan dan dihubungkan dengan suatu cara tertentu, sehingga ia bisa mengambang di permukaan danau dan ketika diseret alun perlahan mengeluarkan semacam bunyi desah yang nyaris tidak pernah terdengar" Apakah danau hanya sebuah kubangan besar dengan air jernih mengisinya di mana ikan-ikan di dalamnya berenang-renang mengira dunia sebatas permukaan dan tiada pernah tahu siapa Walmiki siapa Hanuman, siapa Rama siapa Laksmana, siapa Sinta siapa Trijata, siapa Rahwana siapa Kumba karna, karena dunia ikan di dalam dirinya hanyalah keikanan itu sendiri, tiada lain dan tiada bukan, keikanan itu sendiri, ikan seperti adanya ikan.
Satya mencoba mengerti bagaimana keikanan ikan ditentukan oleh ke nyataan ia bernapas dengan insang, keikanannya ditentukan oleh jumlah sisiknya, berapa miliar kali dalam hidupnya mulutnya membuka dan menutup, bagaimana gurat sisi menentukan keseimbangan dalam perenangannya, dan entah bagaimana otaknya yang kecil itu bekerja menghadapi marabahaya dalam semesta danau yang dikiranya sudah segala-galanya. Bagaimanakah ikan tidur" Ikan tidur dalam keikanannya, matanya tetap terbuka dan terjaga mengambang di antara batu karang. Begitukah caranya ikan itu ada" Pada mulanya bumi adalah gumpalan air, dan makhluk-makhluk air menjadi makhluk pertama. Dunia seperti adanya dunia adalah kesunyian yang riuh tanpa bahasa selain permainan antara keselamatan dan pemusnahan. Siapakah yang mendengar jerit kodok di mulut ular, siapakah yang menyaksikan lengking rusa disambar buaya, siapakah yang akan terharu atas tewasnya seekor singa dalam keroyokan seratus serigala"
Bumi tidak bermata, tidak menyaksikan tikus menggelepar di angkasa dalam cengkeraman elang. Batu-batu menjelma padang pasir, berapa
lamakah waktu yang dibutuhkannya" Bermiliar-mi liar tahun bumi hidup dalam kesunyi an, hanya angin mengiris-iris bukit, hanya daun mengubah tanah, dan hanya kemudian desah yang lama dinanti, yang panjang tak berketentuan, terdengar dari sebuah gua lengkingan bayi lahir yang pertama. Bayi yang pertama" Siapa yang melahirkan bapaknya" Siapa yang melahirkan ibunya" Siapa" Mungkinkah pertanyaan siapa, sudah bisakah ditanyakan: siapa" Sejak kapan di dunia ini muncul nama-nama"
Lupakan bayangan-bayangan, kata Kitab Omong Kosong, lupakan peng andaian-pengandaian, dan lihatlah langsung kepada adanya, hitung berapa kali sungai berdesir, berapa kali ombak menghempas, ukur getaran daun bunga, takarlah semerbak aromanya, maka itulah bunga itu, maka itulah ombak itu, maka itulah sungai itu, maka itulah angin itu. Apakah angin masih angin kalau tidak bertiup, apakah cahaya masih cahaya kalau tidak berkilauan, dan apakah melati masih melati bila semerbaknya yang tenang menawan bagaikan impian yang kelam tidak menyebar di sekitarnya menggoda angan"
Di dalam gua Satya membaca. Ia memasuki sungai tanpa desir, memisah kan gelombang dan tetes, memilah-milah arus dan memecah dirinya sebanyak partikel air yang nyaris tak ter hi tung. Segalanya terasa, teraba, terpegang, ter lihat, tercium, ter dengar, dan lagi-lagi terhitung. Adakah se suatu yang ber ada di luar tangkapan pancaindra" Adakah sesuatu yang tidak terlihat tetapi sebenarnya ada" Manusia bisa mempelajari dunia melewati makhluk lain, seperti makhluk-makhluk itu membagi pengetahuannya. Bagaimana kucing melihat dalam gelap, kelelawar ter bang di malam hari, dan lebah mengenal warna yang tidak dilihat manusia. Segala sesuatu yang ada itu ada karena ada dalam dirinya. Bunga-bunga terindah tumbuh di dalam hutan meskipun tiada yang melihatnya.
Siapakah yang menyaksikan pergeseran lapis-lapis tanah" Siapakah yang memerhatikan makhluk dasar laut menjadi fosil di puncak gunung" Siapakah yang mengikuti cahaya melesat memasuki atmosfer bumi" Siapakah yang mengikuti pertumbuh an biji menjadi pohon" Satya membaca dan membaca. Kitab Omong Kosong Bagian Pertama mengemukakan bukti betapa kenyataan adalah sesuatu yang bisa dicerap oleh pancaindra dan bisa dihitung, ditakar, dan dipilah-pilah sampai kepada yang sekecil-kecilnya oleh ketajaman akal. Namun bagaimana yang tidak bisa dicerap dan tidak
bisa dihitung" Dia tidak ada, kata Kitab Omong Kosong Bagian Pertama, dan yang tidak ada tidak ambil bagian.
Satya mengangkat kepala, merebahkan diri ke lantai gua. Tertatap olehnya lukisan manusia purba di dinding gua. Itulah caranya mereka men cerap dunia, pikirnya, menggambarkan kem bali segala sesuatu yang ada. Diperhatikannya kembali kuda-kuda berlari, rusa diburu, dan singa dikepung serigala-serigala. Ada mata yang melihat semua itu, pikirnya, tentunya ada juga telinga yang mendengarkan suara-suara. Tetapi suara-suara tidak bisa digambar, hanya bisa disuarakan kembali. Satya pernah menyaksikan bagaimana tukang-tukang cerita menirukan suara berbagai jenis makhluk, mulai dari anjing melolong ketika bulan purnama sampai kucing mengeong-eong entah karena bertengkar atau mau kawin. Bunyi jangkring, nyamuk, dan aum harimau pun bisa ditirukan oleh tukang-tukang cerita yang piawai. Apakah itu suatu bakat turunan" Satya menjadi sangat penasaran dengan usaha meniru yang pertama. Manusia purba mendengar serigala melolong di bawah rembulan, lantas mencoba menirunya. Begitukah" Ataukah anak-anak manusia purba yang suka berlari-lari keluar masuk gua itu yang menirunya"
Suara-suara direkam melalui peniruan manusia dari zaman ke zaman. Satya teringat ketika bersama Maneka mereka berada di sebuah pasar malam, menonton atraksi tukang cerita yang mengisahkan Konferensi Burung-Burung. Pandai sekali tukang cerita itu menirukan suara berbagai jenis burung. Ia me layani permintaan para penonton yang menyebutkan hampir semua jenis burung yang ada di permukaan bumi ini dan betapa ia mampu menirukan semuanya. Ia merekam dan menirukan sesuatu yang ada. Segala sesuatu yang ada itu ada karena ada, pikir Satya, tapi benarkah begitu" Adakah Hanuman" Ia hanya ada di dalam cerita Walmiki, namun ia telah berjumpa dengannya, bahkan sedang mengenakan sarungnya, sarung kotak-kotak hitam putih yang hanya dikenakan oleh tiga nama dalam jagad pewayangan, yakni Batara Bayu, Hanuman, dan Bratasena.
Apakah Hanuman itu ada" Atau benarkah tidak ada" Satya dan Maneka telah bertemu dan berbicara dengan Hanuman, tetapi siapakah yang bisa mengatakan itu bukan bayang-bayang" Satya pernah mendengar seorang empu berkata, dunia ini adalah bayang-bayang. Hal itu benar, jika mereka adalah wayang. Namun bagaimanakah manusia begitu yakin mereka
dikendalikan oleh seorang dalang" Jika wayang tak mengenal dalang yang menggerakkannya, mampukah manusia mengenal sesuatu yang menghidupkannya" Ia mungkin bisa memikirkannya, tapi tidakkah pikirannya ternyata hanya bayangan-bayang an yang kosong" Kitab Omong Kosong Bagian Pertama tidak mengatakan apa-apa tentang bayangan-bayangan, yang bisa kosong bisa pula isi itu, namun bukankah masih ada bagian-bagian selanjutnya"
Tentang bayangan-bayangan, Satya mempunyai bayang an-bayangan yang dahsyat. Sudah beberapa hari belakangan ini, setiap kali tertidur ia melihat ba nyak sekali manusia bersayap di langit berkepak melewatinya. Apakah mereka manusia burung" Mereka adalah manusia-manusia yang indah tetapi tidak jelas jenis kelaminnya, apakah lelaki apakah perempuan, barangkali pula memang tidak berkelamin .... Mereka terbang di langit, beribu-ribu jumlahnya, dengan sayap besar yang berkepak-kepak di punggung mereka. Manusia-manusia burung itu terbang tanpa suara, permukaan danau memantulkan bayangannya. Satya pernah terkejut suatu ketika dalam mimpinya itu. Permukaan danau memperlihatkan manusia-manusia burung terbang di la ngit dengan busana mereka yang serba putih menyilaukan, tetapi ketika ia mengangkat kepala ternyata langit kosong saja. Mimpi itu begitu sering dan begitu nyata, sehingga ia selalu memikirkannya. Apakah ia harus menyatakan pikirannya itu di dinding gua seperti manusia purba atau dalam kata-kata"
Pemuda berusia 16 itu kembali melihat bacaannya. Dunia Seperti Adanya Dunia. Rasanya ia mulai mengerti pesan Kitab Omong Kosong Bagian Pertama itu, bahwa manusia hanya harus percaya kepada pemikiran yang mengatakan pohon itu ada karena bisa dilihat, dipegang, dan besoknya masih bisa dilihat dan dipegang lagi, sementara jika angin bertiup akan selalu terdengar geletar dedaunannya yang menerbitkan suara-suara yang sama seperti ketika manusia purba mendengarkannya sejak mereka mulai ada. <"
sungai tubuh mengalir ke Lautan Jiwa
aneka sedang mencari jamur di hutan ketika melihat candi itu telah muncul kembali. Candi itu berdiri megah, tua dan purba, seperti ketika pertama kali ia melihatnya. Maneka mengerjapkan matanya seperti tidak percaya. Candi itu sekarang ada. Candi kelabu kehitam-hitaman itu muncul dari balik kabut, begitu saja, seperti mimpi yang menjadi kenyataan tak terbantahkan. Maneka mendongakkan kepala, candi itu menjulang di hadapannya, seperti selamanya memang telah berada di sana.
Bagaimanakah semuanya ini mungkin" Sambil membawa tas keranjangnya yang penuh dengan jamur, Maneka mendekat, keluar dari hutan. Ya, ini memang candi yang dulu, tempat mereka menemukan kitab itu, candi kelabu yang kehitam-hitaman karena lumut, menjulang dalam diam, bagaikan sudah selalu seperti itu dari zaman ke zaman.
Maneka berada di hadapan candi itu, dan tiba-tiba semuanya hidup kembali. Ia berada di tengah-tengah sebuah pasar. Dari posisi yang sama dilihatnya di pelataran candi itu para pendeta melakukan prosesi dan banyak orang mengikuti persembah yang an. Seorang pendeta di atas kotak ba tu memimpin doa dengan lantang. Doanya seperti nyanyian, antara nya nyian dan ratapan, antara ratapan dan rintihan .... Maneka yang tidak pernah me ngenal agama berjalan di tengah pasar, di antara orang-orang yang riuh menjajakan berbagai dagangan, melangkah ke arah candi.
Ia berada di tempat yang sama, yang tadinya begitu sunyi sepi seperti di kuburan, kini begitu ramai dan riuh rendah seperti sudah begitu banyak
orang bermukim di sana. Bagaimanakah sebuah kota bermula" Pada mulanya adalah perempatan, lantas sebuah warung, kemudian menjadi kota. Maneka baru sadar dirinya berada di sebuah kota tua, dengan candi besar itu sebagai pusat keramaiannya. Maneka naik bersama orang-orang yang berdoa menapaki tangga-tangga candi, dari pelataran ke pelataran didakinya ratusan tangga, dan dilihatnya pemandangan di bawah. Ia mengenal danau itu dan tentunya juga gua pertapaan yang di tinggalinya bersama Satya. Apakah Satya mendengar hiruk pikuk suara kota"
Maneka mendengar suara pendeta yang berkhotbah. Ia mencoba me nyimak.
Jika ada sesuatu yang tampak seperti langit tak bernoda, itulah hendak nya menjadi sasaran seorang bijak. Jangan menoleh, ke dunia dengan segala isinya. Jika kau menoleh, itu salah dan kau tak pernah akan mencapai tujuan. Bahkan andaikata orang mempunyai anak-anak putraputri, jangan memikirkan mereka, karena itu menunda saat kelepasan .... 21
Maneka yang belum pernah mempunyai agama, tetapi selalu berpikir tentang makna-makna, memerhatikan orang-orang yang mendengarkan dengan kepala tertunduk dan tangan tertangkup di dada. Orang-orang yang menye rahkan dirinya untuk menyelam dalam kata-kata sang pendeta. Orangorang siap dibimbing, orang-orang yang percaya. Atas dasar apakah orang percaya"
Dalam prosesi itu para pendeta menyuarakan gumam yang panjang, bagaikan riak gelombang dari sebuah dunia yang hening menembus ke dunia ini dan melebur ke dalam udara. Maneka merasa seperti bisa mengikuti arus gelombang ke arah yang berlawanan, dan memasuki dunia yang hening itu. Lenyaplah orang banyak, lenyaplah candi, lenyaplah pasar, lenyaplah du nia, tinggal kesunyian dan cahaya dan Maneka meluncur terus sehingga kesunyian pun lenyap tinggal cahaya dan cahaya pun lenyap tinggal keheningan tanpa suara dan tanpa penampakan dan hanya dirinya.
Dalam ruang kosong Maneka menemukan dirinya sendiri, yang menyam but dan menggandengnya. Dirinya itu membim bingnya ke segenap lorong dan bilik dalam hatinya sendiri.
21 Soebadio, ibid., hlm. 101.
Mau ke mana kita" Maneka bertanya dalam benaknya, tapi Maneka yang satunya lagi itu seperti mendengarnya.
Kita akan menuju ke dalam dirimu sendiri, jawabnya. Kemudian Maneka melihat dirinya yang ketiga, duduk bersila dan bercahaya, mereka berdua melebur ke dalam Maneka yang ketiga itu, dan Maneka mendadak melihat pemandangan yang lain. Ia telah kembali berada di dalam hutan, memegang keranjang berisi jamur, menatap ke arah candi yang kini lenyap lagi. Tapi kini Maneka tidak bertanya-tanya lagi, karena sudah mengerti.
sungai tubuh mengalir ke lautan jiwa sampai di muara menjelma cahaya
Ketika Maneka mendayung kembali perahunya untuk kembali ke perta paan, matanya sudah bisa melihat dunia siluman. Ia bisa melihat me reka, dan mereka bisa melihatnya juga. Meskipun begitu Maneka menahan rasa ketakjubannya yang melonjak-lonjak. Dilihatnya dunia yang kaya, bukan hanya yang kasat mata saja. Mula-mula hal itu agak membingungkannya, tetapi rupanya dalam penglihatan manusia ada cara untuk menghilangkan dunia siluman itu jika perlu. Di permukaan danau, sambil mendayung, Maneka bisa melihat siluman-siluman air menyisih ketika perahunya lewat. Siluman-siluman itu banyak sekali ternyata, danau bagaikan piringan es yang dipenuhi makhluk, dan perahu itu membelahnya. Sudah enak-enak tidak ada manusia, muncul lagi sekarang. Iya, manusia perempuan.
Sepertinya dia bisa melihat kita. Biar saja, biar dia tahu siluman itu ada.
Para siluman tidak mempunyai tubuh, karena itu bentuk me reka di tentukan oleh manusia yang memandangnya. Apabila manusia yang memandangnya menganggap siluman itu mengerikan, maka mengerikanlah mereka. Apabila manusia yang memandangnya menganggap siluman itu indah, maka indahlah mereka. Maneka adalah seorang perempuan yang telah lama hidup menderita, karena menjadi budak seks sejak kecil, selalu tertindas, pernah diperkosa seisi kota pula, namun semua itu tidak menghancurkannya. Maneka selalu melihat sisi-sisi terindah dari kehidupan ini
dengan penuh ketakjuban, maka meskipun dunia manusia lebih banyak membuatnya menderita, dunia siluman bisa ditatapnya sebagai dunia yang indah.
Perahunya melancar di dunia impian, anak-anak siluman berlari-lari di permukaan danau mengejar perahu itu yang akhirnya tetap melancar ketika Maneka melepaskan dayungnya. Perahu itu bisa dikendalikan dengan pikiran.
Manusia! Manusia! Anak-anak siluman itu tidak hanya berlari, kadang mereka meluncur saja di danau, berlompatan tinggi-tinggi, dan ada juga yang lantas terbang. Maneka tertawa-tawa geli. Ia mengulurkan tangan dan anak-anak siluman itu mencoba menyentuhnya, tetapi tangan mereka tidak bisa nyambung, karena siluman tidak bertubuh.
Para siluman dewasa memperingatkan.
Huss! Huss! Biarkan saja manusia perempuan itu! Dia baru saja bisa melihat kita. Nanti kalau sudah terbiasa juga akan bosan.
Maneka yang belum mengenal bahasa siluman hanya men dengar suara-suara tidak jelas. Matanya mengerjap takjub. Anak-anak siluman itu begitu polos dan murni wajahnya, dengan penampakan bening seperti air, berloncatan, berselancar, dan terbang mengikutinya.
Pada suatu batas tertentu mereka berhenti, sementara pe rahu Maneka terus meluncur meski tidak didayung. Maneka melihat anak-anak siluman tetap bermain di batas itu, melambai-lambaikan tangan kepadanya, dan ia me lambai kembali. Rupa-rupanya di dunia siluman juga terdapat batasbatas wilayah yang disepakati dan tidak pernah dilanggar.
Perahu Maneka meluncur memasuki wilayah siluman yang lain. Di sebuah bukit yang hanya terlihat oleh Maneka, tampaklah siluman perempuan yang sedang menyanyi. Ia mengenakan gaun putih yang berkibarkibar tertiup angin dan rambutnya yang keriting dan panjang diikat oleh tali rami. Sosoknya sendiri juga bening seperti air, Maneka terpesona oleh suaranya yang meleng king. Maneka menyesal bahwa sampai hari itu ia belum mampu mengenal bahasa siluman, bahasa yang tidak berhuruf dan tidak berbunyi, yang hanya bisa dikenal lewat pendalaman dan pengalaman batin. Suara yang tinggi itu terdengar sepanjang langit ketika Maneka melewatinya, ketika perahunya menjauh dan suara itu juga menjadi jauh,
lengkingan itu belum juga terputus. Maneka tentu tidak pernah mengira betapa danau yang sunyi di dataran tinggi yang dingin ini bisa menjadi begitu ramai. Apakah Hanuman tahu tentang ini semua" Hanuman mengenal tiga dunia. Dunia siluman, dunia dewa, dan dunia manusia. Tentu ia bisa melihat semuanya.
Di manakah empat bagian Kitab Omong Kosong yang lain" Apakah Ha numan menempatkannya di dunia siluman" Kalau memang begitu, ba gai manakah Satya akan bisa mencarinya" Dunia siluman adalah dunia yang tidak masuk akal. Sedangkan Kitab Omong Kosong yang dibaca Satya telah membuat pemuda itu hanya percaya kepada akal. Apakah menemukan empat bagian yang lain itu masih mungkin" Sedangkan jika tidak membaca kelima bagiannya, maka pengetahuan yang dikuasainya tidak menghasilkan kearifan dan keseimbangan, bahkan mempunyai risiko melahirkan ku asakuasa pengetahuan yang meskipun sepihak tapi meyakinkan, sehingga bisa sangat mengecoh. Kita mengira kita tahu, padahal kita hanya tahu melalui cara-cara tertentu. Betapapun, empat bagian Kitab Omong Kosong yang lain harus ditemukan.
bunga merekah di antara semak indah semerbak
tak seorang pun memandangnya
Di dalam gua, ketika malam telah tiba, mereka berdua ma kan sup jamur.
Satya, kata Maneka, hari ini aku melihat dunia siluman. Satya mengangkat muka, sinar api mengenai wajahnya. Kamu melihat dunia siluman"
Ya. Lantas Maneka bercerita dengan mata mengerjap-erjap. Satya memerhatikan dan menikmatinya. Bahagialah mereka yang bisa bermimpi, pikirnya.
Tapi aku tidak bermimpi, Maneka seperti tahu yang di pikirkan Satya, aku benar-benar melihatnya.
Tapi kebenaran itu hanya berlaku untuk dirimu sendiri. Kenapa"
Karena aku tidak melihatnya.
Tapi aku memang melihatnya, aku jujur, tidak mengarang. Ayolah Maneka, aku tidak punya dasar untuk percaya. Kamu tidak percaya padaku"
Aku percaya, tapi kepercayaan bukan dasar yang kuat untuk membuktikan kata-katamu benar.
Jadi kebenaran itu apa"
Itu dia Maneka, kebenaran itu apa" Maneka tertunduk sedih.
Apalah artinya aku jujur kalau kamu tidak percaya. Aku percaya kamu jujur, tapi cerita lisan saja bukan suatu pembuktian yang bisa diperiksa semua orang.
Karena apa" Karena kamu bisa saja mengarang. Aku tidak mengarang.
Bagaimana orang tahu"
Kamu tahu aku, Satya, kamu tahu aku. Tapi orang-orang tidak tahu!
Aku tidak perlu orang-orang, aku hanya perlu kamu! Tapi dalam hal itu aku tidak bisa membantu, menurut Kitab Omong Kosong ini ....
Maneka berdiri, menghentakkan kaki dengan kesal dan berlari ke luar gua.
Satya! Kitab itu sudah merusak pikiranmu!
Satya tinggal sendirian dengan sisa sup jamur. Bagian Maneka kemudian diminumnya. Lantas ia membaca kembali.
manakah yang lebih jelas katak berkungkang
atau katak dibedah manakah yang lebih indah prisma warna-warna atau cahaya senja
Maneka berada di tepi danau. Rembulan seperti terapung di atas ko lam. Dilihatnya siluman hidup di dunia mereka. Kali ini ia tidak lagi ter pesona. Mereka yang beruntung mengetahui nya tidak mempunyai kesahihan untuk mengatakannya ada. Siluman-siluman juga tidak peduli dengan Maneka. Anak-anak siluman yang pada malam hari menjadi serba hitam mendekati nya, meraba-raba tanpa bisa menyentuh, lantas pergi lagi sambil tertawa-tawa.
Di tepi danau Maneka melangkah perlahan. Angin bertiup sangat pelan, tetap juga menggetarkan permukaan danau yang semula mencerminkan langit. Dari jauh masih terdengar keramaian negeri siluman itu, yang keberadaannya tidak akan membuat Satya percaya. Benarkah pancaindra merupakan pusat segala-galanya" Pikir Maneka. Apakah memang tidak ada tempat dalam pemikiran manusia bagi segala sesuatu yang tidak tercerap oleh pancaindra" Apakah manusia tidak memikirkan sesuatu yang masih saja dikiranya tidak ada" Atau mungkinkah segala sesuatu yang ada itu tidak harus menyangkut pancaindra manusia" Ia telah melalui negeri siluman dan Satya tidak mempunyai alasan untuk memercayainya, apakah dengan demikian negeri siluman itu memang tidak ada" Apakah ada"
Maneka belum lancar membaca, jadi berusaha membereskan cara berpikirnya sendiri. Menelaah kembali satu per satu jalan pikiran Satya, dan mencari celah yang membuat pengalamannya bisa diterima. Ia belum tolol untuk merasa bahwa dirinya mabuk dan bermimpi saja ketika mengalami semua itu. Ia sadar. Ia hanya tidak punya cara untuk menjelaskan kepada Satya, bahwa ada jalan untuk menerima pengalaman itu sebagai kenyataan, di luar persyaratan ketercerapannya oleh pancaindra. Ataukah, semua ini masih akan dijelaskan oleh bagian Kitab Omong Kosong yang lain"
Terlihat olehnya rembulan di permukaan kolam itu bergo yang-goyang. Rembulan itu hanya suatu bayangan, ataukah suatu kenyataan baru"
Ketika kembali ke gua dilihatnya Satya tenggelam ke dalam bacaannya. Ia tak mau mengganggu dan berjalan menuju ke biliknya, menyelusuri lorong-lorong di dalam gua.
Di dalam biliknya, Maneka melamun sambil menatap din ding. Di sini juga terdapat lukisan manusia purba. Di dinding itu terlihat gambar-gambar telapak tangan, berwarna merah. Seolah-olah ada manusia purba yang men ce lupkan tangan mereka ke dalam genangan darah, lantas menempelkan telapak tangannya di dinding itu. Maneka bangkit dan mendekat. Dilihatnya bahwa gambar-gambar telapak tangan itu bukan seperti tempelan telapak tangan manusia purba, jadi mereka menirunya, menggambarkannya kembali. Apa yang membuat mereka menggambar telapak tangan di dinding gua" Apa yang ingin mereka katakan" Apa mak sudnya" Kitab Omong Kosong Bagian Pertama yang dibaca Satya, sejauh telah didengarnya, belum bicara apa-apa tentang pikiran manusia. Ia menjadi makin penasaran, mereka harus menemukan Kitab Omong Kosong Bagian Kedua.
Maneka kembali berbaring, cahaya dari lentera bergoyang ditiup angin dingin yang memasuki gua. Kemudian dilihatnya mereka semua, seperti masa lalu yang menjelma. Mereka berkumpul untuk makan. Mereka mencabik-cabik daging binatang buruan, lantas membakarnya tanpa bumbu apa pun. Maneka mendengar pembicaraan mereka, tetapi ia tidak seperti mendengar suatu bahasa. Pembicaraannya seperti suara hewan. Menggumam, bercericit, dan ka dang menjerit. Apakah bedanya manusia dan binatang" Maneka mencoba memerhatikannya. Meski mereka membakar tanpa bumbu, tetapi menyayat, mencabik, dan kadang menghanguskannya ke api unggun itu, perbuatan itu sudah merupakan perbedaan yang sangat besar. Manusia itu berpikir. Mereka menggarap dan mengolah. Manusia ....
Perempuan itu tertidur, namun pemandangan yang dilihat nya tidak. Ma nusia-manusia purba itu mendekati Maneka yang tergolek. Mereka meng endus-endus tubuhnya. Menyentuh sedikit dan ada juga yang mengelus rambutnya. Manusia purba itu tidak berpakaian semua, rambutnya gimbal, dan tubuhnya berdaki tebal, tetapi pandangan matanya jernih.
Bagaimanakah kehidupan manusia purba bisa dikira-kira" Sejak la ma mereka hidup bergerombol, menghuni gua, dan ber pindah-pindah sesuai peredaran musim. Dalam mimpinya Ma neka seolah-olah melihat segerombolan manusia purba berjalan di kejauhan menyusuri pantai di bawah cahaya rembulan. Ke manakah mereka pergi, pikir Maneka, kenapa mereka tidak tidur di gua seperti biasa" Dilihatnya seseorang yang memegang kapak batu berjalan paling depan, lantas beberapa langkah di belakang terlihat sekitar lima belas orang berombongan, laki dan perempuan yang tidak bisa dibedakan bentuknya kecuali dari payudara dan kelaminnya, sebagian perempuan itu menggendong anak dengan tangannya, kemudian
di belakangnya lagi anak-anak remaja yang menggandeng anak-anak kecil, lantas dua orang laki perempuan dewasa berjalan paling belakang.
Di bawah cahaya bulan purnama, mereka bagaikan rombong an manusia terakhir di dunia. Telapak kaki mereka menjejak di pantai basah, men ciptakan suatu jejak yang panjang. Tapi mereka bukan rombongan terakhir di dunia, mereka adalah manusia purba, manusia-manusia pertama yang memandang dunia de ngan bertanya-tanya, dan mencoba menjawab pertanyaannya de ngan bermacam-macam cara. Dalam mimpinya Maneka ber tanya-tanya, apakah mereka mencoba menjawabnya dengan do ngeng" Apakah mereka mencari jawaban dengan pengujian dan pembuktian" Bagaimanakah dunia yang tidak menjelaskan dirinya sendiri itu, dunia yang penuh misteri itu, tampil ke hadapan mereka" Dilihatnya rombongan manusia purba itu makin menjauh dan menghilang. Pantai masih keperakan dalam cahaya bulan purnama. Apakah mereka akan bertemu rombongan lain" Apakah yang akan mereka lakukan" Bergabung atau bertengkar" Bagaimanakah manusia purba yang saling tidak berbicara, bagaimanakah mereka menemukan bahasa"
Salah seorang di antara mereka terbatuk. Maneka terba ngun. Biliknya sudah kosong. Hanya gambar telapak tangan di dinding gua itu yang seolah-olah bergerak karena lentera yang bergoyang-goyang tertiup angin. <"
sapi benggala atahari muncul di ujung danau, cahayanya melesat dan melenting di atas permukaan menembus kegelapan gua. Satya membuka mata. Pikirannya jernih, hatinya riang, dan semangatnya melonjak-lonjak.
Maneka! Ya! Maneka berlari lincah dari dalam biliknya. Ia merasakan kegembiraan yang sudah lama menghilang dari suara Satya.
Bersiaplah! Bersiap untuk apa" Kita akan berangkat. Berangkat ke mana"
Satya tersenyum, melihat wajah Maneka yang ceria.
Angin berembus di padang rumput Siapa berlari menghindar pandang Alang-alang tersibak dan merunduk Bunga siapa semerbak mengembang
Kuda zanggi yang perkasa itu melaju dengan membawa Satya dan Ma neka di punggungnya. Mereka melanjutkan perjalanan, untuk mencari Kitab Omong Kosong Bagian Kedua. Dalam peta yang masih bisa diingatnya Satya memerhatikan, bahwa posisi kelima kitab itu jika garis-garisnya ditarik, membentuk suatu mandala. Barangkali Hanuman terbang tinggi, pikir Satya, untuk menentukan di mana saja kitab itu akan disimpan. Jika Bagian Pertama terletak di Gunung Kendalisada, arah keempat bagian kitab yang lain sudah bisa diperkirakan. Masalahnya, seberapa tinggikah Hanuman terbang di atas candi tempat mereka mene mukan Bagian Pertama, dan menentukan keempat titik yang lain di muka bumi untuk menyimpan bagian-bagian kitab itu"
Satya menentukan bahwa mereka akan mengambil arah barat laut lebih dulu, kemudian timur laut, setelah itu berbalik ke barat daya, dan yang terakhir ke arah tenggara dari Kendalisada. Mereka tahu perjalanan akan lebih tak terduga, dan karena itu Satya ingin mengambil kembali pedati dan sapi Benggala mereka yang dititipkan di sebuah desa dahulu itu.
Setelah memacu kuda selama dua hari dua malam, dengan hanya sesekali istirahat untuk makan, kuda zanggi itu memasuki desa masih de ngan Satya dan Maneka di punggungnya. Satya langsung menuju ke sebuah kedai tempat ia menitipkan gerobaknya itu. Dari jauh, dilihatnya pedati itu masih ada. Tapi sapi Benggala itu entah ke mana.
Di depan kedai ia turun. Hari sudah malam, dan kedai itu penuh. Satya mencari pemilik kedai.
Bapak, masih ingatkah kepada saya"
Pemilik kedai itu menunjukkan wajah masih ingat. Namun tampak sekali ia ketakutan.
Ah, maaf, siapakah Tuan"
Saya yang menitipkan pedati itu, maaf merepotkan, sekarang saya akan mengambilnya kembali. Kuda di luar itu akan saya tinggal sebagai o ngkos perawatan. Tapi saya tidak melihat sapi Benggala penghela pedati itu.
Pemilik kedai itu hanya ternganga.
Ada apa Bapak" Apakah Bapak lupa" Atau saya harus membayar ongkos lebih"
Satya masih mempunyai sisa batangan emas, dan ia ingin menggunakannya supaya urusan cepat selesai. Namun Maneka menahan tangannya, dan irasat perempuan itu ternyata tidak keliru.
Jadi engkau yang memiliki gerobak itu"
Ya, kenapa" Artinya kamu yang memiliki peta ini"
Orang yang bertanya itu tampangnya seperti jagabaya. Me reka telah membongkar pedatinya.
Kalian menjarah pedatiku"
Kami tidak menjarah, kami terpaksa membongkarnya karena pedatimu itu sudah menimbulkan banyak masalah.
Masalah apa" Jagabaya itu melihat ke sekeliling, kepada orang-orang yang berkerumun.
Kembalilah ke tempat duduk kalian, biarkan aku bicara dengan tenang kepada anak muda ini.
Mereka pun bubar. Kedai itu riuh kembali. Maneka melihat uap me ngepul dari tempat penyimpanan bakpau dan merasa perutnya lapar. Jagabaya itu melihat Maneka menelan ludah.
Pesanlah apa yang kamu inginkan, Nak, biar desa kami yang membayarnya.
Biarlah saya membayar, Pak, minta bakpaunya dua. Mereka duduk di sebuah sudut. Setelah bakpau berkepul dan gelas-gelas berisi teh hijau datang, barulah jagabaya itu bercerita.
Ada yang bercerita, ada yang mendengarkan Masing-masing membayangkan, seribu penafsiran
Pada suatu malam berhujan, seorang lelaki yang menyoren pedang memasuki kedai itu bersama dengan kudanya.
He, kuda ditambatkan di luar, jangan kurang ajar kamu! Kalian tidak perlu mengatur aku, maju semuanya kalau berani. Dalam waktu singkat kedai itu porak-poranda. Pisau terbang melesat dari segala penjuru dan lelaki itu memutar pedangnya seperti baling-baling. Ia tidak pernah beranjak dari kudanya, terdengar suara berdencing-dencing dan pisau-pisau terbang yang berkelebatan itu berbalik arah menuju pemiliknya. Korban segera berjatuhan.
Aku ampuni kebodohan kalian, asal kalian serahkan pemilik pedati itu kepadaku.
Tapi siapakah yang sudi diperintah dengan cara seperti itu" Segala macam senjata mulai dikeluarkan. Kedai itu memang menjadi tempat singgah macam-macam manusia, para pengembara, para pemburu, para penyelidik, kurir-kurir bersenjata, bahkan para pembunuh bayaran. Sebagian besar dari mereka memang menyandang senjata, karena kehidupan semenjak peradaban hancur hanya penuh dengan kekerasan. Bahasa peradaban telah menghilang, menjadi bahasa kekerasan. Hampir semua urusan dimulai dan diselesaikan dengan kekerasan. Di kota-kota besar memang peradaban mulai dibangun perlahan-lahan, namun di desa-desa siapa yang kuat dialah yang berkuasa.
Lelaki itu melompat-lompat di atas kudanya menghindari keroyokan dua puluh orang yang semuanya mahir menggunakan senjata. Namun ia bisa melenting dan melompat dengan ringan sampai ke langit-langit, menempel di sana seperti cicak, lantas seperti jatuh tapi rupanya itu gerak tipu untuk memutar tubuhnya dengan pedang lurus ke depan bertumpu pada satu kaki di atas punggung kuda. Tanpa ampun sepuluh orang terkapar tanpa nyawa, bergelimpangan dengan dada terbelah di atas meja-meja.
Sepuluh orang sisanya berniat mengadu jiwa, tetapi jagabaya itu maju ke depan.
Sayangilah jiwa kalian, mundur! Kamu lelaki berkuda, apa pentingnya pemilik pedati itu untukmu sehingga membuat pembantaian" Di mana dia sekarang"
Lelaki berkuda itu menyimpan kembali pedangnya di punggung. Ia juga bersabuk dua belas pisau terbang di pinggangnya.
Dia tidak ada di sini. Dia hanya menitipkan pedati dan sapi Benggala penghelanya, membeli seekor kuda, lantas segera pergi. Tampaknya tergesa-gesa sekali.
Lelaki yang masih duduk di atas punggung kuda itu keluar dari kedai. Tunjukkan pedati itu, katanya.
Mereka segera tiba di depan pedati. Mana sapinya"
Seseorang menunjuk. Sapi itu berada di sebuah kandang, mengibas-ngibaskan ekornya, dan masih mengenakan genta yang sama. Suaranya kluntang-kluntung mengikuti gerak kepalanya yang terangguk-angguk memakan rumput.
Lelaki itu langsung melompat masuk pedati. Tak seorang pun berani meng halanginya, juga jagabaya itu. Wajah pemilik kedai yang dititipi Satya pucat pasi. Mereka tidak tahu apa yang dilakukan orang itu, hanya mendengar suara membongkar-bongkar. Mereka saling berpandangan. Mereka telah melakukan ke salahan terhadap pemilik pedati itu. Meski tatanan sudah hancur, penduduk desa ini masih tahu adat. Membiarkan seorang asing meng obrak-abrik barang titipan itu adalah suatu aib. Namun pertarungan singkat di kedai tadi telah membuat mereka jeri.
Terdengar luap kegembiraan dari dalam pedati. Orang itu meloncat keluar membawa segulung peta.
Hmmm. Ini dia! Dengan ini aku akan menemukan Kitab Omong Kosong! Hahahahahaha!
Para penduduk saling berpandangan sekali lagi. Kitab Omong Kosong" Apakah itu" Tetapi orang-orang tua yang masih mempunyai ingatan pernah mendengarnya. Di desa terpencil semacam itu memang sulit menemukan orang yang pandai membaca, apalagi orang-orang tua, jadi memang mereka hanya pernah mendengarnya.
Itu kitab tentang rahasia pengetahuan manusia .... Rahasia pengetahuan"
Ya, perlu ratusan tahun untuk meringkaskan kesimpulannya. Lelaki itu tertawa terbahak-bahak, tapi tawanya kemudian mendadak berhenti.
Kurang ajar! Ia memandang peta itu dengan tidak percaya. Tempat-tempat ini tidak ada di dunia nyata, katanya. Orang-orang terperangah. Lelaki itu menendang-nendang roda pedati. Ia meninggalkan peta itu di sini, artinya ia sudah hafal gam barnya. Mungkin pula ia sudah menemukan kitab itu. Tapi ia pasti akan kembali lagi kemari.
Wajahnya tampak sangat jengkel. Aku akan membawa sapi Benggala itu.
Ia mengambil sapi Benggala itu, mengikat tali penghelanya ke pelana kudanya, lantas melompat ke punggung kudanya dan pergi.
Katakan padanya kalau datang, ia boleh mengambil sapinya di Kuil Cahaya.
Satya menghela napas. Ia sudah tidak memerlukan peta itu, tetapi ia me rasa harus peduli kepada sapinya. Lelaki dari Kuil Cahaya itu menyandera sapinya, agar ia datang mengambilnya, dengan pengandaian ia sudah menemukan Kitab Omong Kosong. Padahal ia baru menemukan dan mempelajari Bagian Satu saja dari Kitab Omong Kosong itu.
Banyak orang mengandaikan, menguak rahasia pengetahuan artinya memiliki suatu kuasa terhadap dunia. Kitab Omong Kosong disamakan dengan sebuah buku wasiat yang penuh mukjizat, yang memberikan suatu kekuasa an secara ajaib kepada yang memilikinya. Berita perburuan kitab itu sudah menyebar ke segenap penjuru anak benua. Semua orang yang ingin berkuasa mengerahkan segala cara untuk memilikinya.
Masalah bagi Satya adalah: mana yang lebih penting, bagi an-bagian kitab selanjutnya atau sapi Benggala yang jalannya lambat tapi setia itu" Satya menghadapi pilihan: rahasia penge tahuan dunia yang mulai mengasyikkannya, atau nasib seekor sapi Benggala"
Kita akan pergi ke Kuil Cahaya, katanya kepada Maneka. Satya lagi-lagi membeli seekor kuda di desa itu, agar Maneka bisa menungganginya, dan gerakan mereka bisa lebih cepat. Pagi-pagi buta kedua anak muda itu menderap bersama kudanya, melaju sepanjang padang rumput. Rambut Maneka berkibar dalam cahaya pagi yang lembut. Di ufuk timur Maneka melihat matahari mengintip dari sebuah celah. Dari jauh sudah terlihat cahayanya yang keemasan. Itulah pintu masuk ke Kuil Cahaya.
dunia berubah sekejap mata kehidupan nan tiada terduga
Mereka menderap memasuki celah di antara dinding-dinding batu itu. Sebuah lorong yang panjang, sebuah jalan ke suatu dunia yang hanya dikenal dalam dongengan. Celah sempit di antara dinding-dinding alam ini lebarnya hanya sepuluh meter. Dalam kesempitan itulah Satya dan Maneka berpacu mengejar waktu. Namun kadang-kadang celah itu menyempit, hanya cukup untuk lewat satu ekor kuda, dan kalau sudah begitu mereka terpaksa berjalan sangat pelan.
Berhari-hari mereka merayapi celah di antara dinding-din ding sempit menjulang itu, membayangkan bagaimana lelaki berkuda yang menyoren
pedang itu membawa sapi Benggala mereka. Akankah sapi mereka yang setia itu dikorbankan di Kuil Cahaya" Mereka yang memberhalakan Kitab Omong Kosong akan memberhalakan pula segala-galanya, pikir Satya. Betapa manusia selalu membutuhkan sesuatu untuk mengisi hidupnya, mereka yang malas berpikir keras menyerahkan jiwanya kepada sebuah kepercayaan dengan membabi buta. Demikianlah sejumlah orang pada zaman bahari akhirnya memuja cahaya melebihi dewa. Ketika agama-agama besar menyapu muka bumi, para pemuja cahaya semakin berkurang, dan akhirnya tersingkir. Kuil-kuil mereka di kota dihancurkan, sehingga mereka harus menyingkir jauh ke pedalaman.
Setelah berabad-abad, kepercayaan itu seperti sudah hilang sama sekali, namun sebenarnya masih ada segelintir pengikutnya. Mereka dikejar-kejar seperti aliran sesat dan harus menyeberangi Gurun har sebelum akhirnya bersembunyi di balik lorong de ngan dinding-dinding terjal tinggi menjulang. Setidaknya sekitar seratus tahun orang-orang yang memuja cahaya melebihi dewa itu tidak pernah memperlihatkan dirinya, tapi kisah mereka tercatat dalam sejarah, dan banyak orang masih mengingatnya.
Setelah bencana Persembahan Kuda menghancurkan segala-galanya, mulai terdengar hadirnya Kuil Cahaya di sebuah tempat entah di mana di Gurun har. Orang-orang yang pedoman hidupnya hancur dan tidak bisa memercayai apa pun kadang-kadang tertarik juga dengan berita dari mulut ke mulut tentang Kuil Cahaya itu. Konon Kuil Cahaya itu muncul dari dalam danau. Ia muncul perlahan-lahan dari dalam danau, membersitkan cahaya menyilaukan, diiringi bunyi-bunyian yang menggetarkan dari langit, ketika orang-orang sedang memuja cahaya. Orang-orang sedang tunduk dengan tangan memuja di depan dada ketika Kuil Cahaya itu muncul perlahan-lahan mulai dari puncaknya menyeruak permukaan kolam dan terus naik sehingga tampak seutuhnya. Kuil itu memancarkan cahaya menyilaukan sehingga memang tidak mungkin menatapnya seperti kuil biasa. Mata akan menjadi sangat silau dan setiap orang kemudian akan memilih untuk menunduk saja.
Kuil itulah yang tampak oleh Satya di kejauhan. Di tepi sungai dilihatnya rumah-rumah tanah liat seperti menempel di perbukitan. Ia harus mengakui betapa kuil yang terletak di tengah danau itu sangat mengesankan, sehingga dengan menatapnya saja seseorang akan merasa terlindung
dalam kedamaian. Dari permukiman tanah liat di perbukitan terdengar bunyi-bunyian, dan sebentar kemudian mengalir keluar sebuah pawai. Maneka mengerjapkan matanya, memandang Satya yang dalam pada itu tetap waspada.
Lihat! Di baris paling depan! Satya terkejut. Sapi Benggala kita!
Sapi Benggala itu berada di baris paling depan, masih dengan genta nya yang lama, tapi yang suaranya tidak terdengar dalam keriuhan bunyi-bunyian.
Mau dibawa ke mana sapi kita"
Pawai itu keluar dari permukiman, menyusuri jalan di per bukitan. Pemukim lain menonton di pinggir jalan dengan wa jah cerah dan tangan melambai-lambai. Semua orang yang berpawai itu merias wajahnya dengan wajah-wajah peran dalam dongeng, tambur dan terompet dibunyikan dan giring-giring di kaki mereka terus-menerus bergemerincing. Mereka berjalan sambil melompat-lompat setengah berlari. Busana mereka yang berwarna-warni membuat suasana semarak. Di tengah-tengah barisan, terlihatlah tandu yang kosong. Di belakang tandu itu barisan melangkah dengan tertib. Mereka berseragam hitam dengan pedang di punggung dan sabuk pisau terbang melintang kiri kanan di tubuh mereka, masih ditambah yang berada di selingkar pinggang.
Satya dan Maneka saling berpandangan, lelaki berkuda yang mengambil sapi Benggala mereka pasti salah satu dari barisan pengawal itu. Kenapa mereka mengawal tandu yang kosong" Satya ber gumam. Namun mata Maneka bisa melihat dunia siluman.
Tandu itu tidak kosong, katanya.
Satya mengernyitkan dahi. Apa yang kau lihat"
Maneka menatap barisan pawai itu. Apa yang kau lihat, Maneka" Katakan! Maneka menggeleng-gelengkan kepala. Lebih baik aku tidak mengatakannya. Kenapa"
Maneka memalingkan wajahnya dari pawai yang meriah itu, yang sementara itu semakin mendekati tempat mereka. Satya tam pak kebingungan. Tapi ia putuskan mengikuti rombongan itu, karena ingin mengambil kembali sapinya.
Kamu tunggu di sini, kata Satya meninggalkan tali kekang kudanya ke tangan Maneka. Lantas mengikuti pawai yang menuju ke Kuil Cahaya di tengah danau.
Maneka mengikuti pawai yang menjauh itu dengan pandang annya. Ia sendirian di atas kudanya, dibasuh angin sore yang se poi-sepoi basah. Bunyi-bunyian terdengar semakin menghilang. Pawai itu meniti jembatan kayu di atas danau, semakin lama semakin kecil. Sebelum akhirnya ditelan Kuil Cahaya itu sama sekali. <"
Walmiki berlayar almiki akhirnya sampai ke sebuah pelabuhan yang ramai, dengan kapal-kapal besar siap bertolak ke ber bagai penjuru dunia. Ia mengikuti saja rombongan orang yang memasuki sebuah kapal, yang kemudian membuang sauh, berangkat entah ke mana. Di atas kapal ia berdesak-desak bersama banyak orang yang meratap dan menyanyi. Walmiki bisa mendengar, meski ia tak tahu bahasanya, bahwa nyanyian itu ada lah ratap an yang pedih dan menyayat-nyayat. Mengembara ke negeri asing, di antara orang-orang asing, membuatnya teringat Rama dan Laksmana. Dua manusia di antara makhluk-makhluk rimba. Bagaimana rasanya" Ia sendiri masih berada di antara se sama manusia, dan rasanya sudah begitu terasing. Walmiki menghayati keterasingan sejenak, lantas dibawanya berjalan-jalan sepanjang geladak. Disaksikannya anak kapal bekerja. Orang-orang memanjat tiang-tiang layar yang megah. Layar diarahkan menampung angin, terkembang, dan kapal melaju.
Lautan sungguh-sungguh biru, kapal membelah gelombang menuju ke samudra lepas. Walmiki mengamati ikan terbang meloncat-loncat, dan entah kenapa tiba-tiba merasa bahagia. Ia ingin melupakan sejenak Ramayana yang telah diceritakannya berulang-ulang di berbagai pelosok anak benua sampai hafal di luar kepala sampai kepada adegan yang serinci-rincinya. Kali ini ia ingin membaca, membaca dunia dengan segenap kemung kinan penafsirannya. Karena cerita tidak hanya tergurat di lembaran lontar, cerita terdapat pada daun yang melayang, pada debu yang
berpusing, dan cahaya melesat dan meloncat-loncat di atas daun. Kokok ayam jantan di pagi hari itu juga bercerita, ikan yang melesat di dalam kolam meninggalkan pendar-pendar di permukaannya itu juga bercerita, semerbak melati di malam hari itu juga bercerita. Walmiki ingin berhenti bercerita untuk sementara dan membaca apa pun yang dilihatnya. Ia ingin membaca angin, senja, dan suara-suara.
Orang tua! Jangan menghalangi jalan!
Ia menepi, orang-orang membawa karung dan peti hilir mudik. Walmiki duduk, mengamati para penumpang dan para penumpang itu juga memerha tikannya. Mereka semua masih mu da, berbadan kuat, tetapi tampak lesu dan tanpa daya.
Kami mau bekerja di perkebunan, kata seseorang kepada nya tanpa ditanya, tapi kami sebetulnya terpaksa.
Terpaksa" Kalian bukan budak belian bukan"
Kami bukan budak, kami hanya orang-orang yang tidak punya p ilihan.
Kenapa" Kemudian orang-orang itu bercerita bagaimana balatentara Ayodya yang dipimpin Laksmana dalam Persembahan Kuda bukan hanya membakar kampung, membunuhi penduduknya, dan membantai hewan-hewan ternak serta peliharaan, melainkan juga memusnahkan hutan lindung mereka serta meracuni tanah, se hingga yang masih hidup tidak bisa tinggal di bumi nenek moyang mereka. Laksmana sendiri melepaskan panah-panah bermantra ke langit yang turun kembali menebarkan serbuk-serbuk beracun warna kuning sehingga seluruh permukaan tanah menguning.
Kami terpaksa lari berlindung ke gua-gua di atas tebing, kata seseorang, itu pun kami masih dikejar-kejar pasukan Goa Kiskenda yang mahir merayap. Hanya karena pertolongan dewa entah dari mana, maka mereka tidak melihat kami dan kami selamat.
Orang itu bercerita betapa mengenaskannya melihat saudara-saudara me reka, termasuk perempuan dan kanak-kanak, tewas bergelimpangan, kampung mereka tinggal puing, dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan di tempat itu. Bahkan kaki mereka terasa pedih menginjak tanah yang beracun. Kehidupan musnah dengan cara yang sangat kejam. Serbuk kuning menyelimuti permukaan bumi. Pohon layu dan meranggas.
Setelah mengungsi kian kemari dengan hati merana, bertemu dengan rombongan-rombongan pengungsi dari berbagai penjuru anak benua, seorang pialang tenaga kerja menawarkan pekerjaan kepada mereka sebagai tenaga buruh perkebunan.
Kalian boleh membawa keluarga ke sana, kalau sakit ada tabib perusa haan dan kalian tidak usah membayar, malah anak-anak kalian akan boleh bersekolah tanpa harus membayar juga. Kalian mendapat gaji setiap minggu yang cukup untuk makan sebulan. Kalau kalian menabung dengan baik, kalian bisa membeli rumah, keluar dari perkampungan buruh, atau naik kapal dan pulang tapi mau ke mana kalian pulang" Sudahlah, terima tawaranku, dan bangunlah hidup baru di tempat yang baru. Kalian akan bekerja di perkebunan apa"
Tembakau. Hmm. Walmiki mengangguk-angguk. Sebuah cerita tidak akan tunduk kepada kemauan sang juru cerita. Ia tidak pernah mence ritakan Laksmana memusnahkan kehidupan dengan panah-panah beracunnya, tetapi bisa saja pendengarnya menafsir demikian. Para penjajah dan penjarah bisa melakukan apa saja sesuai kemau annya, termasuk meracuni tanah sehingga tidak satu makhluk pun bisa hidup di atasnya.
Di manakah itu" Lanka. Hmm. Apakah mereka tidak tahu negeri itu adalah Alengka, negeri para raksasa"
Apakah kalian tidak tahu negeri itu adalah negeri para raksasa" Seperti cerita Walmiki maksudnya"
Walmiki tertegun. Orang itu melanjutkan.
Kami tidak percaya kepada dongeng, meskipun dongeng itu luar biasa. Kami tahu para penduduk anak benua suka me rendahkan penduduk Lanka, tapi kami tidak mempunyai masalah dengan itu. Malah kami berterima kasih mereka mau menerima kami, dan memberi pekerjaan kepada kami. Orang-orang anak benua menganggap semua orang di luar wilayah mereka lebih rendah derajatnya dan lebih rendah peradabannya, maka orang seperti Walmiki menjadikan negeri pulau itu sebagai negeri para
raksasa yang perilakunya serba kasar, bodoh, dan akhirnya dikalahkan. Bukankah itu tiada semena-mena"
Walmiki pura-pura batuk. Di negeri itu tidak ada raksasa Pak Tua, orang-orangnya sama saja dengan kita. Aku tidak akan pernah memercayai tukang cerita. Mereka hanya pandai berkhayal.
Kapal melaju membelah ombak menuju Lanka. Tukang cerita bernama Walmiki yang selalu berjualan Ramayana di pasar malam itu berjalan lagi. Ia merasakan suatu pengalaman yang aneh. Dirinya seperti tercerabut dari dunia nya, dan tertancap ke sebuah dunia lain. Dunia pewayangan, dunia manusia, dunia siluman, dunia dewa-dewa. Masih ada berapa banyak lagi dunia" Walmiki merasa dirinya sedang bertualang ke sebuah dunia lain dan ia merasa gairahnya bangkit. Semenjak Hanuman meng un durkan diri dari ikatan ceritanya, lantas disusul Maneka, ia me rasa cerita-ceritanya terurai. Tokoh-tokohnya melepaskan diri dari jalan cerita, dan menempuh jalan ceritanya sendiri-sendiri, membentuk cerita baru sama sekali. Tokoh-tokohnya bertemu dengan tokoh-tokoh cerita lain dalam sebuah latar yang juga lain, sehingga terjelma dunia-dunia baru.
Kalau sudah begini, untuk apa aku bercerita lagi" Walmiki merenung sembari memandang cakrawala, biarlah Hanuman bercerita, biarlah Sinta bercerita, biarlah Rama bercerita, biarlah Sugriwa bercerita. Semuanya semau mereka. Apa peduliku" Aku bukan Tuhan, aku hanya seorang tukang cerita. Jika tokoh-tokohku ternyata lebih suka memilih sendiri peran mereka dalam dunia ini, apalah dayaku"
Itulah yang membuatnya malas bercerita lagi. Hanya me ngembara. Sekali-sekali meniup seruling untuk mencari sekadar nafkah, setelah itu berjalan-jalan menikmati hidup. Kadang-kadang bersantai naik keledai, kadang-kadang hanya makan dan tidur di pesanggrahan di kaki gunung. Namun, seperti hari ini, ia tiba di sebuah pelabuhan besar yang akan memungkinkannya naik sebuah kapal menuju negeri mana pun yang dikehendaki maupun tidak dikehendakinya.
Kakinya melangkah mengikuti para pekerja perkebunan itu, dan se karang ia berada di kapal ini. Walmiki tersenyum. Bahkan seorang pengarang tidak bisa menuliskan jalan ceritanya sendiri. Segalanya mengalir
seperti alur yang membentuk suatu riwayat. Bukan riwayat yang menentukan alur melainkan alur yang menjadikan riwayat.
burung camar membawa kabar limbah minyak mengotori pantai putri tergolek di kamar pengantin bunga terompet dipetik siluman, o!
Kapal itu telah menurunkan para pekerja di Lanka. Beratus-ratus orang yang mengalir turun memberi perasaan rawan ke pada Walmiki. Pertemuan dan perpisahan, itulah awal dan akhir segala cerita. Sejumlah orang yang sempat dikenalnya melambai-lambaikan tangan dan ia melambai kembali. Bebera pa pedagang naik, barang-barang diangkut para kuli, Walmiki mencium bau harum rempah-rempah.
Ketika kapal bertolak, Walmiki menyadari betapa di Lanka memang tidak ada raksasa. Ia tersenyum. Siapa pun yang menilai karangan dengan tuntutan kenyataan pasti akan kecewa. Setiap karangan mengungkapkan kenyataan dengan caranya sendiri. Me reka yang mendengarkan sebuah cerita harus me lakukan penafsiran untuk menghubungkannya dengan kenyataan, tidak menelannya mentah-mentah. Hanya dengan cara itu raksasa-raksasa Alengka akan terbicarakan dalam hubungannya dengan manusia Lanka.
Walmiki belum lagi tahu kapal itu akan menuju ke mana. Ia telah membawa surat jalan yang menyatakannya sebagai warga Ayodya, negeri paling berkuasa di seluruh anak benua, karena kali ini ia akan pergi ke dunia antah-berantah. Negeri yang tidak pernah ia kenal bahasa dan adat istiadatnya. Para pedagang yang selalu hilir mudik dari negeri satu ke negeri lain bercerita kepadanya tentang negeri-negeri itu. Semua cerita itu membuat Walmiki semakin tertarik. Dunia nyata tidak lebih sempit dari dunia cerita yang mana pun, karena manusia memberi makna kepada apa pun yang dilihat, didengar, dirasa, dan dialaminya. Walmiki merasa ber syukur dirinya menjadi orang yang bebas, bisa mengembara seperti burung dengan merdeka.
Setelah berlayar selama dua minggu, kapal itu merapat ke dermaga sebuah pulau. Mereka akan beristirahat beberapa hari, sebelum berangkat
menyebe rangi lautan menuju benua lain. Bersama beberapa penumpang, Walmiki turun dan melihat-lihat. Di dermaga itu terlihat papan nama dengan huruf-huruf yang tidak dikenalnya.
Ia ingin bertanya, tapi ia tak tahu bahasa penduduknya. Mereka datang berlari-lari dan menonton para penumpang yang turun. Mata mereka besar, rambutnya serba keriting dan mereka menutup tubuh bagian bawahnya dengan untaian daun-daun kering. Tubuh bagian atas mereka, baik lelaki maupun perempu an, tidak tertutup sama sekali. Salah seorang di antara mereka berpakaian seperti orang-orang di kapal, tetapi jelas ia sesuku dengan orang-orang di pulau itu. Ia berbicara kepada nakhoda dengan bahasa antarbangsa yang juga dimengerti oleh Walmiki.
Kami akan mengisi tong-tong kami dengan air tawar dan beristirahat tiga hari, apakah kami mendapatkan izin"
Serahkan surat jalan nakhoda kepadaku, biar kuberikan pernyataan izin itu.
Terdapat kuda-kuda yang disewakan di tempat itu, dan Walmiki me nye wanya. Ia segera mencongklang sekitar pantai dan menyusurinya sepanjang hari. Ia senang melihat pasir putih yang nyaris tiada berjejak dan kejernihan air laut yang memperlihatkan pasir dan kulit-kulit lokan terindah di bawahnya.
Suatu ketika ia melihat rumah keong yang besar, lantas turun dari kuda untuk mendengar suaranya. Biasanya seseorang bisa mendengarkan suara laut dari rumah keong itu, seperti angin laut menderu lengkap dengan hempasan ombak, dan kali ini Walmiki juga menempelkannya di telinga.
Memang terdengar gema suara lautan, tapi ada juga suara-suara lain. Walmiki menurunkan rumah keongnya. Barangkali saja, pikirnya, suara-suara itu datang dari luar. Tapi ternyata tidak, memang dari dalam rumah keong. Seperti suara memanggil-manggil namanya ....
Ia meletakkan rumah keong itu kembali, dan bermaksud meneruskan perjalanan. Baru beberapa langkah, terdengar suara dari dalam rumah keong.
Mengapa kamu mau pergi, orang tua" Ia menghentikan langkahnya, berbalik.
Siapakah dia yang bicara dari dalam rumah keong"
Rumah keong itu membisu. Walmiki menaiki kudanya. Baru beberapa langkah terdengar lagi suara itu.
Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaanku, orang tua" Mengapa kamu mau pergi"
Walmiki turun lagi. Diambilnya rumah keong itu.
Aku mau pergi karena aku ingin berurusan dengan kenya taan, bukan keajaiban.
Namun yang kauhadapi adalah kenyataan, hai orang tua. Baiklah, aku benar-benar mengalaminya, tapi aku tidak bisa membuktikan apa-apa.
Membuktikan apa" Bahwa ada rumah keong memanggilku.
Kau bisa membuktikannya, bawa aku ke pasar malam, akan kupanggil semua orang.
Walmiki duduk di atas pasir pantai sambil memegang rumah keong. Dari jauh, ia seperti orang yang kurang ingatan. Padahal ia memang bercakap-cakap dengan rumah keong.
Kemudian terlihat ia meninggalkan rumah keong itu di pasir. Aku mempunyai jalan hidupku sendiri, rumah keong, yakni pergi me ngembara. Jalan hidupmu menjadi rumah keong, jadi kutinggalkan ka mu di sini. Aku masih ingin melihat dunia.
Ia segera menaiki kudanya dan pergi. Rumah keong itu memanggilmanggil.
Orang tua, bawalah aku ke pasar malam, tolong, jadikanlah aku tontonan, aku akan menguntungkanmu.
Walmiki tetap pergi menjauh. Ia ingin menyusuri pantai. Orang tua, tolonglah, jangan tinggalkan aku. Walmiki tidak menggubrisnya.
Orang tua, engkau sudah tua, mengapa tidak sudi menolongku" Ia memacu kudanya. Berderap sepanjang pantai.
Engkau tidak kekurangan apa-apa, rumah keong, engkau sudah mempunyai dunia.
Sepanjang pantai yang berpasir putih, Walmiki memacu kuda nya. Ia ingin berjalan-jalan di antara pohon nyiur, menunggu senja, dan melamun sendirian tanpa gangguan. Dalam perjalanannya di sepanjang anak benua,
Walmiki selalu bertemu dengan para peng ungsi yang terlunta-lunta kian kemari, sehingga nyaris tiada ruang yang kosong dari pengungsi ini di sepanjang anak benua. Mereka terlihat di kota maupun di padang rumput, bagaikan tiada tempat lagi di berbagai pelosok bumi. Kini Walmiki ingin menyendiri.
Sesampainya di deretan pohon nyiur, ia duduk bersandar di salah satu pohon. Merasakan angin dan memandang ke arah cakrawala. Telah berapa jauh perjalanan ditempuh" Setua ini baru sekarang Walmiki menyeberangi lautan. Ia tak tahu akan sampai ke mana dan akan mengalami apa. Tapi apa salahnya mengembara meskipun sudah tua. Sejak lama ia selalu mengembara, pergi ke mana-mana, sejak muda menjual cerita-cerita pendek, dan setelah dewasa menjual cerita panjang seperti Ramayana yang bisa makan waktu berhari-hari untuk menamatkannya. Seorang tukang cerita akan selalu mengembara, karena para pendengar tidak ingin mendengar cerita dari satu orang saja.
Walmiki tidak pernah berkeluarga, tidak pernah punya kekasih, dan tidak pernah jatuh cinta kepada seorang perempuan. Meskipun begitu hatinya penuh kasih terhadap manusia. Peperangan menyedihkannya, karena darah yang tertumpah hanyalah kesia-siaan. Setiap kali ia ingin menularkan kesia-siaan ini, membunuh atas nama kepahlawanan, namun sejarah selalu menggelindingkan derita berkepanjangan bagi para penghuni bumi yang sepanjang hidupnya berusaha meningkatkan harkatnya.
Di bawah pohon nyiur, di tepi pantai, sembari memandang ke laut lepas, menyaksikan gelombang berkejaran dan menghempaskan buih ke pasir basah, Walmiki merenungkan kesia-siaan manusia.
tukang cerita mencari tokoh mendapatkan alur yang nestapa para pahlawan dirundung sepi menunggu peran di tepi panggung, o!
Dunia seperti Dipandang manusia
etelah menunggu selama tujuh hari dan tujuh malam, Maneka melihat sapi Benggala itu keluar dari Kuil Cahaya, dengan Satya tergeletak di atasnya. Tidak ada lagi yang keluar dari kuil di tengah danau itu. Sapi Benggala itu melangkah pelan dari kejauhan di atas jembatan yang membelah danau menuju ke daratan. Genta di lehernya bersuara kluntang-kluntung menembus kabut yang sedang berpendar. Di danau, bunga teratai merekah.
Maneka tidak beranjak. Setiap hari ia duduk di sana dan menunggu. Menatap Kuil Cahaya yang setiap hari berubah warna. Pada hari pertama Kuil Cahaya itu tampak putih keperakan dan menyilaukan, pada hari kedua Kuil Cahaya itu berwarna biru lembut tapi cahayanya tetap memancar, pada hari ketiga berubah menjadi merah jambu, pada hari keempat ku ning seperti daun menguning, pada hari kelima merah membara, pada hari keenam ungu seperti es lilin, dan pada hari ketujuh bening seperti kaca dengan kilatan cahaya berkeredapan. Siang dan malam Maneka menatap dan menunggu, melihat bagaimana setiap warna itu menyepuh permukaan danau. Bila malam tiba bahkan rembulan di langit tersepuh oleh pergantian warna dari Kuil Cahaya.
Kemudian dari hari ke hari, semakin banyak orang duduk di belakang Maneka, menatap bagaimana Kuil Cahaya itu ber ubah warna karena perubahan warna itu tidak pernah mendadak melainkan perlahan-lahan sekali. Mereka yang meleburkan diri ke dalam setiap titik mengalami sebuah
penjelajahan dalam per ubahan warna-warna itu, dari putih keperakan, biru laut, merah jambu, kuning daun menguning, merah membara, ungu es lilin, dan bening seperti kaca dengan cahaya berkeredapan.
Mula-mula hanya satu orang yang duduk di belakang Maneka, kemudian dua belas orang, lantas seratus orang. Hari kedua bertambah dengan seribu orang. Hari ketiga menjadi sepuluh ribu orang. Hari keempat bertambah terus menjadi seratus ribu orang. Hari kelima sudah sejuta orang memenuhi punggung bukit yang menghadap ke Kuil Cahaya di tengah danau itu dan tidak bertambah. Mereka menatap, mengamati, menghayati, lantas meleburkan diri.


Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada hari terakhir orang-orang merasa mendapat pencerahan dan jadi meng erti. Mereka pergi. Sebagian menyalami Maneka sebelum pergi dan pa da pagi hari kedelapan muncul sapi Benggala itu dengan Satya tergolek di atasnya. Kuil Cahaya kembali seperti semula, Maneka tidak memedulikannya lagi. Ia menatap langkah-langkah sapi Benggala itu. Ia juga menatap matanya. Maneka selalu ingin membaca pikiran sapi itu melalui matanya, tetapi tidak pernah berhasil.
Sapi Benggala itu masih berada di tengah jembatan, Satya tergolek seperti orang mati. Maneka berdiri ketika sapi itu sampai ke tepian dan menyeberangi jalan, langsung menuju ke tempat Maneka.
Sapi, sudahlah, aku mengerti .... Maneka berkata sembari mengelus kepala sapi itu.
Sapi Benggala itu hanya mengedip-ngedipkan matanya. Bagaimanakah caranya binatang berbicara" Maneka mengambil tali kekang sapi itu dan menuntunnya pergi. Kedua kuda mereka mengikutinya. Sesampai di luar permukiman, Maneka menaiki kudanya, dan berjalanlah mereka per la hanlahan karena sapi itu pasti tidak bisa diajak lari.
Begitulah mereka melakukan perjalanan. Pada hari ketiga, di tengah celah yang sempit dan curam, Satya membuka matanya. Maneka, Maneka ....
Maneka berhenti. Dari kantong dalam rompinya, Satya me ngeluarkan sebuah bungkusan. Maneka membuka bungkusan itu. Ternyata sebuah keropak. Tak lain dan tak bukan Kitab Omong Kosong Bagian Dua: Dunia Seperti Dipandang Manusia. Maneka tertegun. Mereka telah menemukan satu lagi dari lima bagian Kitab Omong Kosong. Ternyata perhitungan
Satya tentang arah yang harus diambil itu salah. Ia telah menemukannya di tempat yang tidak menjadi tujuannya. Bagaimanakah tempat ketiga bagian sisanya bisa dicari" Bagaimanakah caranya membaca peta Hanuman" Maneka, kamu lihat semuanya bukan"
Ya, aku melihat semuanya, selama tujuh hari dan tujuh malam. Banyak orang juga melihatnya.
Mereka melihatnya" Ya, mereka melihatnya.
Satya memejamkan matanya kembali. Ia telah mendapatkan pengalaman yang melelahkan.
Tidurlah dahulu Satya, semuanya telah berlalu, dan kita telah mendapat kan kitab ini.
kitab menyimpan sebuah dunia tapi bisa saja tak pernah dibuka
Angin bertiup sepanjang padang. Mereka telah menjual kuda mereka yang perkasa, dan mengembara kembali dengan pedati yang dihela sapi Benggala. Mereka berdua tidak pernah saling menceritakan pengalamannya di Kuil Cahaya. Selama dalam perjalanan Satya membaca Kitab Omong Kosong Bagian Dua itu. Sehingga mereka lebih-lebih lagi tidak saling bicara. Maneka duduk di tempat sais, menghela tali kekang sapi Benggala itu, meski sebetulnya tidak perlu. Pedati itu berjalan pada malam hari, berhenti pada siang hari di tempat yang teduh, dan seterusnya.
Selama berjalan pada malam hari di bawah sinar rembulan, Satya tidur dan Maneka berjaga. Sebetulnya, Maneka bisa tidur saja dan pedati itu akan berjalan lurus tanpa pernah berhenti, tetapi ia ingin menatap bumi di bawah sinar rembulan yang keperak-perakan. Pada siang hari ia tidur, sapinya merum put dan kemudian juga tidur, sementara Satya membaca. Setelah malam tiba, mereka berangkat lagi dengan arah yang diperhitungkan menuju Kitab Omong Kosong Bagian Tiga. Satya mengusulkan untuk menyesuaikan peta itu dengan penemuan yang terakhir. Mereka telah menemukan dua tempat, memperkirakan persesuai annya dengan peta itu, sehingga tempat-tempat yang lain bisa diperhitungkan dengan lebih masuk akal.
Mata Maneka kadang-kadang masih melihat dunia siluman di sekitarnya. Ingin betul dia berhenti dan menikmati peman dangan yang di li hatnya, tetapi ia menahan diri. Kadang-kadang apa yang dilihatnya memang begitu menggoda. Sesekali pernah seorang anak kecil yang sangat manis meloncat-loncat di dekat sapi Benggala itu, Maneka ingin sekali berhenti dan bermain-main, tetapi ia mengerjapkan mata agar pemandangan itu menghilang. Namun bila pemandangan yang satu menghilang, yang lain muncul kembali, dan segalanya serba memikat serta menarik perhatian. Maneka menghela napas panjang, meng apa tidak semua orang mampu melihat pemandangan yang sama, meskipun sama-sama mempunyai mata"
Suatu ketika dalam perjalanannya, Maneka melewati persa wahan, tetapi persawahan yang sudah dipanen dan saat itu dilakukan pembakaran. Dilihatnya seekor anjing berjalan di tengah ladang dengan latar belakang asap sisa pembakaran. Dilihatnya anjing itu begitu sendiri, memberinya suatu perasaan yang rawan. Ia teringat suatu kejadian di masa kecilnya. Kejar!
Bunuh! Bakar! Sejumlah orang mengejar seorang pencuri yang dikejar seekor anjing. Pencuri itu hanya mengambil sepotong ikan asin. Tetapi rupa-rupanya sudah lama banyak orang membutuhkan pelampiasan atas nasib mereka yang malang. Pencuri itu mengerahkan seluruh kemampuannya. Ia lari di lorong-lorong.
Tolong! Mereka mau membunuh saya! Tolong! Siapa suruh mencuri di sini"
Saya lapar! Ampuni saya! Kami semua lapar dan kami semua bekerja! Kenapa kamu tidak bekerja"
Saya mau bekerja, tapi tidak ada yang mau memberi pekerjaan. Padahal saya sehat, sama seperti yang lain.
Belum tentu begitu. Barangkali kamu tidak diberi pekerjaan karena pernah mencuri.
Saya bukan pencuri. Tapi mencuri.
Saya lapar. Hajar dia! Hajar! Hajar! Hajar! Maneka seperti teringat kembali semuanya, hanya karena melihat anjing berlari sendirian dengan latar belakang asap pem bakaran. Itu bukan dunia siluman, itu dunia manusia. Setiap kali menemukan kelemahan manusia Maneka merasa terharu, be tapa manusia berjuang untuk bertahan hidup dengan segala kekurangannya, tetapi betapa manusia kemudian menjadi begitu berkuasa atas dunia, dan merusaknya.
Anjing itu ..., desisnya, anjing itu ....
Ia teringat suara anjing melolong panjang di malam hari, di sebuah kota yang sangat sepi, sementara seorang pengemis memetik kecapi sendirian di sebuah lorong. Hampir selamanya Maneka hidup di lorong pelacuran itu, melihat pengemis itu hidup di sudutnya seperti seonggok tanaman. Orangorang yang sudah biasa lewat di lorong itu tidak menolehnya, hanya mereka yang jarang atau belum pernah melalui lorong sempit dan gelap meski di siang hari itu akan tersentuh dan memberinya uang kecil. Penge mis itu selalu memetik kecapinya di sana, dan berhenti hanya untuk pergi ke sebuah warung membeli makanan. Pemilik warung begitu jijik kepada pengemis itu sehingga sebetulnya tidak mau melayaninya. Namun karena merupakan kewajibannya sebagai penjual makanan untuk melayani orang kelaparan, maka mereka punya cara tersendiri untuk jual beli. Pengemis itu cukup meletakkan uangnya di atas sebuah batu di dekat warung tersebut, lantas seorang pelayan warung akan mengambil dan meletakkan nasi bungkus di sana.
Pengemis itu hidup di sana dan Maneka waktu itu memerhatikannya. Pengemis yang selalu mengenakan caping, bajunya bertambal-tambal dengan warna yang sudah memudar. Lorong itu memang sempit dan gelap, tetapi ada saja orang yang melaluinya untuk mengambil jalan pintas. Kadang ia memetik kecapinya hanya kalau ada orang lewat saja, namun sering juga ia memetiknya meski tidak ada orang di lorong itu. Maneka sering mendengar petikannya yang terasa pedih melalui jendela kamarnya di rumah bordil itu. Tiba-tiba saja Maneka merasa kepedihannya kembali, itulah kepedihan yang dirasakannya ketika menyaksikan pengemis itu dikerumuni anjing-anjing kampung. Pengemis itu hidup de ngan susah
payah untuk mendapatkan makanannya sendiri, tetapi ia membagikan makanannya kepada anjing-anjing kampung yang memintanya. Kemiskinan begitu merajalela sehingga bahkan anjing-anjing kampung yang kudisan tidak mendapat makanan sisa.
Suatu hari pengemis itu menghilang dari lorong tersebut. Tidak seorang pun mengetahuinya ia pergi ke mana. Di masa ketika kemiskinan merajalela, siapakah yang peduli kepada se orang pengemis" Pengemis ada di mana-mana pada masa itu. Me reka bertebaran dan bergelandangan di segenap sudut kota seperti hama penyakit, memamerkan kudis dan koreng mereka yang dibungkus kain kotor, dikerumuni lalat setiap saat. Apalah artinya seorang pengemis yang menghilang entah ke mana" Tetapi memang hanya ada satu pengemis di lorong itu, memetik kecapinya dengan keasyikan seorang seniman, duduk bersila menyembunyikan wajah di bawah caping, bagaikan menjaga sebuah kuil tua. Sebegitu jauh, tidak seorang pun pernah melihat wajahnya, begitu juga Maneka. Tapi, begitulah, siapa pula yang peduli" Hidup sudah begitu be rat dan tidak ada seorang pun mempunyai alasan untuk peduli kepada wajah seorang pengemis.
Pada malam ketika pengemis itu menghilang, demikianlah ingatan Ma neka, terdengar dari jauh lolongan anjing-anjing kampung, sementara rem bulan bersinar terang di lorong itu, seolah-olah rembulan hanya ada di lorong itu saja. Maneka teringat betapa anjing-anjing itu melolong di berbagai sudut kota, dengan kepala mendongak ke arah rembulan, dengan suara yang me nyam paikan perasaan kehilangan. Anjing-anjing itu merasa kehilangan, tapi tak seorang manusia pun bahkan pernah menyadari keberadaannya. Karena pengemis yang berbaju compang-camping bertambal-tambal yang membawa kecapi dan bercaping memang bukan sesuatu yang aneh. Di antara berjuta-juta pengemis selalu ada saja yang membawa-bawa alat musik, bisa suling, bisa sitar, bisa pula kecapi, meskipun permainan mereka mungkin buruk sekali. Namun permainan kecapi yang didengar Maneka adalah luar biasa. Maneka tahu membedakan mutu permainan karena sering mendengar para pemain musik yang sesungguhnya bermain di rumah bordil, jadi ia tahu permainan kecapi pengemis yang tak pernah terlihat wajahnya itu bagus sekali.
Maneka teringat betapa saat itu ia sangat merindukan suara kecapi yang dipetik pengemis itu dan sekarang kerinduannya bangkit kembali
karena melihat anjing berlari di tengah ladang dengan latar belakang asap mengepul dari kegiatan pembakaran. Siapakah pengemis itu, pikirnya di atas pedati, dari mana asalnya dan mau menuju ke mana" Apakah suatu hari ia tidak akan menjadi pengemis lagi dan hidup seperti orang-orang lain dan kelihatan wajahnya, atau kah ia akan mati begitu saja karena tua di sembarang lorong di sebuah kota lain di samping kecapinya dan tiada seorang pun mengenalnya. Barangkali ia akan dikuburkan di pemakaman orang-orang tak dikenal, akan didoakan bersama jenazah orang-orang tak dikenal lain yang selalu saja ditemukan mati tergeletak di suatu tempat entah di mana, meninggal dunia sendirian dalam kekelaman malam.
Anjing itu menghilang di kejauhan, tetapi kenangan Maneka tetap. Se ka rang ia seperti mendengar kembali petikan kecapi pengemis itu. Betapa ia selalu mendengarkannya dari balik jendela rumah bordil, ketika para tamu su dah pergi dan para pelacur tertidur dan hanya dirinya terjaga tak bisa tidur, membuka jendela untuk melihat rembulan, dan mendengar petikan kecapi itu. Demikianlah petikan kecapi itu telah menjadi hiburan bagi malam-malamnya yang tawar dan hambar. Tidak banyak orang tahu, bahwa kehidupan seorang pelacur yang bergelimang tawa ternyata bisa saja tawar dan hambar, karena hanya dengan cara membunuh perasaannya sendiri seorang pelacur bisa melanjutkan kehidupannya. Petikan kecapi itulah yang membuat ia berpikir masih ada sesuatu yang indah dalam hidup ini. Apabila ia memandang rembulan dari jendela kamarnya, dan ada segerombolan awan bagaikan perahu melewatinya, petikan kecapi itu seperti latar belakang suara yang tidak bisa lebih tepat lagi.
Maneka berkendara di atas pedati, menyusuri sawah dan ladang, tetapi pikirannya tertambat ke masa lalu, ke suatu masa dalam hidupnya, suatu masa yang sepenggal, yang sebetulnya tidak pernah diingat-ingatnya namun mendadak menyeruak muncul begitu saja dari balik tumpukan kenangan yang tidak terhitung. Jadi di manakah aku hidup sekarang, pikirnya, di atas pedati atau di sebuah lorong gelap tempat seorang pengemis yang tidak kelihatan wajahnya memetik kecapi"
Pedati merayap pelan, genta sapi Benggala terdengar kluntang-kluntung, Maneka masih asyik dengan lamunannya. Di dalam pedati Satya tidak bisa tidur. Ia memikirkan isi kitab yang dibacanya. Kitab Omong Kosong Bagian Dua ini ternyata sangat berlawanan dengan Kitab Omong
Kosong Bagian Satu. Bila dalam Dunia Seperti Adanya Dunia dinyatakan bahwa dunia itu ada karena adanya dunia itu sendiri, yang bisa dibuktikan dengan mengukur dan memecah belahnya hingga sekecil atom; maka dalam Dunia Seperti Dipandang Manusia dinyatakan bahwa dunia ini ada hanya karena ada manusia yang memandangnya. Jika tidak ada manusia, maka dunia ini juga tidak ada. Hmm. Bagaimana maksudnya" Satya tidak bisa tidur memikirkan betapa memang sebelum manusia ada dunia ini tidak dipikirkan oleh seorang manusia pun. Jadi dunia ini tidak ada, dan jika pun dunia sebelum ada manusia bisa dibicarakan sekarang itu pun hanya karena adanya manusia juga. Dunia ini ada karena ada manusia yang memandangnya. Manakah yang benar, Kitab Omong Kosong Bagian Pertama atau Dua"
Pedati masih merayap. Kali ini Maneka tergeletak tidur de ngan mimpinya tentang pengemis yang memetik kecapi. Satya bangkit dan duduk, menatap ke belakang, ke jalan yang dilalui oleh pedati, menatap jejak yang ditinggalkan rodanya. Ia ingin tidur sebetulnya, tapi tidak bisa
berhenti berpikir. <" h
talamariam almiki masih berada di pantai ketika sesosok bayang an memperlihatkan dirinya. Juru cerita itu diam saja, pura-pura tidak melihatnya. Ia sudah capek melayani tokoh-tokoh cerita yang pamit ingin melepaskan diri dari cerita nya, dan mohon petunjuk untuk membentuk cerita yang baru. Mengapa mereka tidak bisa pergi begitu saja, menjadi seorang tokoh dalam cerita yang baru" Jika mereka begitu tidak percaya diri mengapa pula harus melepaskan diri"
Juru cerita itu sudah hafal. Sosok bayangan yang bisa muncul dan hilang kembali itu pasti tokoh siluman.
Ada apa Talamariam" Kemarilah!
Benar juga. Setelah muncul dan hilang beberapa kali, tampaklah di pantai itu tokoh Talamariam.
Ada apa Talamariam" Bukankah kamu sudah mati ber kali-kali" Ya, aku sudah mati berkali-kali, Empu, tetapi bukankah aku hidup kembali setiap kali dikau bercerita tentang Trigangga, anak Hanuman itu, karena ia harus membunuhku"
Ada tokoh-tokoh yang muncul hanya untuk mati. Mereka seperti tumbal, seperti korban untuk menggelindingkan cerita. Padahal Talamariam adalah tokoh yang ajaib. Ia disebutkan sebagai siluman setengah manusia. Makanya ia bisa menampakkan diri sebagai manusia dan juga bisa menghilang seperti siluman.
Talamariam adalah anak Rahwana dari Ratu Siluman Kren dawati, penguasa kerajaan siluman Krendawahana yang terdapat di dalam sebuah pohon. Rahwana bertemu dengan Krendawati dalam pengembaraannya untuk mencari bayi titisan Wisnu. Ia ingin membunuh bayi itu selagi sempat, karena tahu Wisnu akan mengalahkannya dalam pertempuran yang mana pun. Da lam penjelmaannya sebagai Arjuna Sasrabahu, Wisnu telah mempermalukan Rahwana. Membuatnya bertubuh kecil sebesar monyet, lantas mengikatnya di roda kereta, sehingga ikut berputar sepanjang perjalanan.
Rahwana yang meminta belas kasihan diampuni, namun ternyata den - dam nya membara. Meski Arjuna Sasrabahu telah tewas dibunuh Bargawa Ra ma parasu atau Ramabargawa, raja rak sasa itu tetap waswas, ia mencari bayi Wisnu ke mana-mana, sampai tersesat ke Pasetran Gandasangara.
Pasetran adalah tempat mayat-mayat yang tidak dibakar di letakkan di dalam hutan. Maka tempat itu penuh tulang belulang dan baunya busuk bukan buatan. Di tempat yang gelap, busuk, dan menjijikkan itulah Rahwana bertapa, mencari jalan untuk memusnahkan titisan Batara Wisnu.
Segenap jin siluman setan duruwiksa muncul di sana, namun tiada satu pun yang berani menggoda Rahwana. Raja raksasa itu sudah dikenal kekejam annya bagi manusia maupun siluman, sehingga makhluk-makhluk halus itu hanya menengok dan lewat saja tanpa berniat mengganggunya.
Setelah bertapa selama 100 tahun siluman, ia membuka ma ta, dan tampaklah di hadapannya sesosok makhluk cantik jelita indah juwita sungguh cemerlang tiada terkira.
Siapa engkau perempuan siluman"
Mata Rahwana yang tajam bisa membedakan, mana manusia mana siluman.
Oh, saya Krendawati, ratu para siluman di Krendatala. Hmm. Ratu siluman, mau apa berdiri di hadapanku, menggoda tapaku"
Tapamu telah memanaskan kerajaanku, siapa memberi izin bertapa di wilayahku"
Rahwana menggeleng kesal.
Aku Rahwana, tidak perlu meminta izin siapa pun untuk melakukan apa pun. Apa maumu"
Ratu Krendawati terkejut, dan menutupi mulutnya.
Oh, inikah Rahwana yang ternama"
Rahwana tersenyum besar kepala, dan hatinya terpikat oleh ratu siluman ini.
Ya, tidak ada Rahwana lain di dunia, di manakah kerajaan Dinda" Ratu siluman itu berkelebat, dan Rahwana mengikutinya. Mereka sampai ke depan sebuah pohon.
Di situlah Kerajaan Krendatala, ujar Krendawati, menunjuk sebuah lubang kecil di pohon.
Hah" Kecil amat" Rahwana terheran-heran.
Yah, kami ini kan siluman, Kanda, ukuran dunia kasar tidak menjadi masalah.
Lantas Krendawati berubah menjadi asap, yang meluncur masuk ke lubang itu. Rahwana lagi-lagi mengikutinya. Namun ketika berada di dalam, ia tidak melihat Krendawati lagi. Dua siluman penjaga menyambutnya.
Rahwana ternganga. Ia berada di sebuah dunia lain, de ngan rumah-rumah berjajar rapi dan bentuknya sama semua, rumah-rumah berkubah tanpa din ding, sehingga tampak keluarga-keluarga siluman bercengkerama. Ia berada di alam terbuka, dengan cahaya yang seolah-olah datang dari rembulan. Rahwana tidak menyadari, saat itu dirinya lebih kecil dari semut.
Rahwana yang Agung, kami akan mengantarkanmu ke hadapan Ratu Krendawati.
Istana Krendatala sungguh menakjubkan. Lantainya bagaikan terbuat dari gading dan singgasana yang diduduki Krendawati seperti tumbuh dari lantai itu dengan warna gading yang sama. Keindahan di mata para siluman tidaklah berada di bawah ke indahan manusia. Arsitektur istana siluman itu tidak pernah terbayangkan di bumi manusia. Siluman tidaklah selalu merupakan makhluk jahat dan menjijikkan seperti diceritakan dalam do ngeng. Siluman mempunyai cita rasa tak terduga. Namun Krendawati merasa dewa-dewa, pemegang kuasa tiga dunia, tidak pernah adil kepada mereka. Diungkapkannya kekesalan itu dalam perbin cangan dengan Rahwana.
Dewa-dewa hanya memerhatikan manusia saja, tidak pe duli kepada siluman. Kami para siluman selalu dipersalahkan sebagai pengacau dunia, padahal manusia itulah yang lemah dan mudah tergoda, mengaku beriman tapi selalu merayu siluman agar membantu kelicikannya. Di antara para siluman, memang ada yang menjual diri, menyediakan diri untuk melaksanakan rencana-rencana jahat manusia. Mereka inilah siluman-siluman bayaran.
Hah" Bayaran" Dibayar dengan apa mereka" Krendawati tersenyum.
Dengan kemenyan. Rahwana tertawa terbahak-bahak.
Dasar siluman bodoh, mau saja dibodohi manusia. Melaksanakan macam-macam tugas berat, hanya dibayar asap keme nyan. Huahahahaha!
Masalahnya, kami bangsa siluman tidak mampu membuat kemenyan. Manusialah yang mampu membuatnya.
Barang bau begitu, kenapa harus tidak mampu"
Tampaknya memang sepele Kanda, tetapi kemenyan adalah sesuatu yang bisa dipegang, suatu benda kasar, sedangkan kami hanya berada dalam pikiran, kedua dimensi ini tidak terhubungkan.
Jadi bagaimana kemenyan bisa dinikmati para siluman" Bukan asap dan bukan baunya yang dinikmati para siluman, melainkan tindakannya.
Tindakannya" Kanda agak pusing Dinda, coba terangkan. Kami ini tidak kelihatan oleh mata manusia kan" Ya.
Jadi, menurut penalaran manusia kami ini seharusnya tidak ada. Ya, aku mengerti.
Tapi mereka membakar kemenyan, dan mengundang para siluman untuk menjadi sekutu.
Ya. Jadi, meskipun tidak pernah melihat kami, mereka meng anggap kami ada.
Padahal kalian tidak ada"
Tidak penting lagi kami terlihat atau tidak terlihat, bisa dibuktikan atau tidak bisa dibuktikan. Bagi para pembakar kemenyan, kami ini ada, dan bagi kami yang tidak pernah dianggap ada di dunia, ini merupakan suatu penghargaan atas keberadaan kami.
Rahwana duduk di tangga balairung, menjulurkan kakinya. Ia sudah bersila dan bertapa seratus tahun tanpa hasil apa-apa. Apakah para siluman akan bersedia membantunya"
Tapi mengapa hanya siluman bayaran yang mau membantu rencana jahat manusia"
Kami bangsa siluman hanyalah cermin manusia. Ada manusia baik, ada siluman baik. Ada manusia jahat, ada siluman jahat. Persis sama seperti cermin. Maka siluman baik akan selalu menolong manusia baik, dan siluman jahat akan bersekutu de ngan manusia jahat.
Rahwana mengangguk-angguk.
Hmm. Kenapa Kanda, apakah Kanda punya gagasan" Rahwana menyeringai.
Aku selalu mempunyai gagasan yang jahat.
Krendawati memandang Rahwana, baginya raja raksasa itu tampan sekali.
Sudah lama saya ingin mendapat suami manusia, supaya bisa melawan kekuasaan dewata yang selalu berpihak kepada manusia, katanya terus terang.
Aku raksasa, tapi aku ingin kawin denganmu, kata Rahwana. Wujud Kanda memang raksasa, tetapi Kanda adalah putra Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, jadi Kanda sebetulnya sahih disebut manusia, dan memang sifat-sifat manusia ada dalam diri Kanda.
Manusia yang jahat. Ya, manusia yang sangat jahat malah. Apa boleh buat. Berlangsunglah persekutuan antara Rahwana Sang Angkara Murka de ngan Ratu Siluman Krendawati. Dari perkawinan mereka lahirlah Talamariam, manusia setengah siluman, siluman setengah manusia, yang bisa muncul dan menghilang semaunya, sakti mandraguna, dan sangat mengabdi kepada ayah nya. Padahal Rahwana tidak bertahan lama di Krendatala. Ia masih penasaran mencari bayi titisan Wisnu, yang tanpa diketahuinya telah lahir di Ayodya dalam wujud Sri Rama.
Talamariam tinggal bersama ibunya, di sebuah kerajaan yang terletak di dalam lubang sebuah pohon. Jika para siluman Krendatala ingin keluar ke dunia manusia, mereka mengubah diri menjadi kelelawar dan mengembara ke seluruh dunia. Namun menjelang fajar mereka harus pulang, karena siluman-siluman Krendatala termasuk jenis siluman yang akan hangus terbakar oleh cahaya matahari.
Walmiki menghela napas. Kelelawar-kelelawar itulah yang dilihat oleh Hanuman ketika duduk menunggu di dalam hutan, setelah kehilangan arah ketika memburu Talamariam yang menculik Rama dan Laksmana. Untunglah Wibisana telah meminta keduanya memasuki Nagajene, sebuah rumah emas bermantra yang tidak mungkin ditembus siluman maupun dewata, ketika seluruh balatentara wanara tertidur oleh mantra sirep Talamariam. Ia hanya bisa menculik Rama dan Laksmana dalam Nagajene itu, tapi mereka berdua aman di dalamnya. Talamariam membawa Nagajene itu secepat kilat, diikuti oleh Hanuman yang agak terlambat mengikutinya di angkasa pada malam buta.
Ia hanya melihat cahaya Nagajene itu berkelebat ke bawah, yang ternyata menyuruk ke Pasetran Gandasangara. Hanuman menyusulnya, dan hanya me lihat mayat-mayat yang menjijikkan. Ia terpaksa berada di sana sampai fajar, untuk menunggu, karena tidak tahu harus berbuat apa.
Menjelang fajar langit berubah warna, dan terlihat beribu-ribu kelelawar beterbangan pulang, menghilang ke dalam lu bang sebuah pohon. Hanuman melihatnya sebagai sesuatu yang ganjil. Kelelawar berumah dalam gua, pohon-pohon besar yang keteduhannya menggelapkan ruang, atau candi-candi tua, tidak di dalam pohon seperti burung pelatuk atau serangga. Hanuman mendekati pohon itu. Dilihatnya lubang itu kecil sekali, jangankan kelelawar, bahkan anak tikus pun belum tentu bisa masuk. Maka Hanuman mengecilkan tubuhnya agar bisa memasuki lubang itu, dan tibalah ia di Krendatala.
Hanuman kebingungan karena tak tahu arah. Saat itulah Dewi Kresnasih, manusia biasa istri Rahwana yang lain, lewat membawa kendi. Dewi Kresnasih ditawan di sana bersama se orang anaknya, anak-anaknya yang lain telah dibunuh Rahwana, agar kepalanya yang mirip Rama dan Laksmana bisa dipenggal untuk mengelabui Dewi Sinta. Hanuman masuk ke dalam kendi itu atas sepengetahuan Dewi Kresnasih. Namun penjaga gerbang istana Krendatala bukanlah siluman pula. Penjaga itu sangat mirip Hanuman, wanara putih berbulu keperak-perakan, saudara angkat Talamariam yang bernama Trigangga. Ia sangat waspada. Ia merebut kendi itu. Dewi, ini mana airnya"
Trigangga membanting kendi itu dan muncullah Hanuman. Perkelahian mereka yang dahsyat bisa dilerai oleh Batara Narada, yang menjelaskan
kepada Hanuman bahwa Trigangga adalah anaknya sendiri, berdasarkan cahaya cinta yang jatuh ke samudra ketika terbang membopong Trijata. Batara Baruna merawat rasa cinta Hanuman itu menjadi Trigangga. Setelah besar diutusnya ke Gunung Maliawan untuk membantu Sri Rama menempur Alengka. Tetapi di permukaan laut bertemu dengan Talamariam.
Mereka bertarung di atas laut selama tiga hari tiga malam tanpa ada yang kalah dan menang, sehingga Talamariam meng ajaknya untuk menjadi saudara. Trigangga lupa tugas utamanya dan mengikuti Talamariam ke Krendatala.
Begitulah, mereka berhasil membebaskan Rama dan Laksmana, beserta Dewi Kresnasih dan Pramodana, adik Sondara-Sondari, kembali ke Gunung Suwela. Talamariam menyusul dan mengamuk, sampai Trigangga menghadapinya.
Ketika pertarungan mencapai senja, Wibisana mengungkap kesaktian Talamariam.
Hanuman, Talamariam itu manusia setengah siluman, pada malam hari ujudnya tidak kelihatan. Trigangga akan mendapat kesulitan. Tapi dia sangat sulit ditundukkan.
Kelemahannya adalah api. Bangunlah api unggun dan usa hakan Trigangga memancing serta menjebak Talamariam ke dalam api.
Sesungguhnyalah pertarungan antara Talamariam dan Tri gangga itu bagaikan pertarungan cahaya. Talamariam, manusia setengah siluman, tubuh nya bisa berubah-ubah warna dan ber kelebat seperti angin. Di gelanggang pertarungan hanya terlihat cahaya tujuh warna berkelebatan yang setiap kali dipapas cahaya warna putih berkilauan. Ketika senja menjelang, cahaya tujuh warna itu semakin lama semakin sulit ditangkap mata, sedangkan cahaya putih itu tetap saja.
Hanuman memimpin satu peleton wanara membangun api unggun dan memberi isyarat kepada Trigangga yang segera mengerti. Talamariam yang merasa di atas angin tak sadar sedang dijebak. Ketika ia menerjang Trigangga dengan seluruh kekuatannya, Trigangga menjatuhkan diri dan membalikkan tubuh untuk menendang Talamariam ke arah api.
Terdengar jeritan menyayat yang mengakhiri riwayat Talamariam. Namun kini Talamariam berada di hadapan Walmiki.
Jadi apa maumu Talamariam"
Seperti yang lain-lain, aku juga ingin melepaskan diri. Apalagi aku bukan tokoh penting dalam Ramayana.
O, Talamariam, tidak ada peran yang tidak penting dalam hidup ini. Tidak ada peran kecil, yang ada hanyalah pemeran yang bertubuh kecil.
Ya, tetapi siapalah mengenal Talamariam. Aku ingin berpe ran dalam sebuah cerita yang berlangsung menurut kehendakku, bukan kehendakmu.
Tentu saja aku tidak berhak melarangmu untuk itu, wahai Talamariam, dan engkau juga tidak memerlukan izinku.
Aku hanya memberi tahu. Itu pun tidak perlu. Aku hanya ingin berterima kasih dikau telah mengadakan aku, Empu. Walmiki memandang Talamariam. Tubuhnya tinggi besar dan gagah perkasa, dengan busana yang merupakan paduan tradisi Alengka maupun Krendatala. Sebuah citra selalu mempunyai makna berlipat ganda. Itulah caranya segala sesuatu mengada. Da lam hal para siluman, mereka bahkan merupakan citra dari sesuatu yang tak pernah bisa dicerap oleh pancaindra, karena para siluman hanya hidup dalam pikiran manusia.
Dari mana datangnya Talamariam ini, pikir Walmiki, bagaimanakah dahulu aku bisa membayangkannya" Dia manusia setengah siluman, dan siluman setengah manusia. Bagaimanakah ia bisa dirumuskan"
Setiap tokoh yang mati selalu hidup kembali ketika sebuah cerita diulang, dan sebuah cerita yang diulang akan selalu menjadi sebuah cerita yang baru. Apalagi dengan pencerita baru, dan pendengar-pendengar baru.
Walmiki tergeleng-geleng sendiri. Ia ingin beristirahat, ingin menikmati cerita dari sebuah dunia baru. Namun tokoh-tokoh cerita yang dibuatnya mengejar ke berbagai pelosok bumi. Seperti tidak ingin membiarkannya melepaskan diri dari tanggung jawab. Walmiki tidak pernah merasa dirinya melepaskan diri dari tanggung jawab. Ia hanya ingin sekali-sekali santai. Menjadi seorang pendengar dari cerita angin yang bertiup, ombak yang berdebur, dan daun yang melayang-layang.
Pergilah Talamariam, lanjutkanlah ceritamu.
Talamariam menghilang. Hari sudah senja. Walmiki naik ke atas kudanya dan menyusuri pantai kembali ke kapal.
Ada-ada saja, keluhnya. <"
berbincang tentang Pohon anya ada satu pohon di tengah padang itu. Maneka melihatnya. Ia tidak bisa menghindari perasaan untuk merasa sedih. Betapa sendiri pohon itu, pikirnya, betapa kesepian. Ingin rasanya ia tinggal saja di bawah pohon itu, mendirikan gubuk, hidup beranak pinak dan berbahagia.
Hah! Maneka terkejut sendiri. Bahkan dirinya sendiri tiada me nyangka betapa ia akan punya pikiran seperti itu. Bukan hanya karena usianya baru 20. Maneka selalu bertanya kepada dirinya sendiri: berhakkah seorang pelacur itu melagukan cinta" Seorang pelacur hidup dengan tubuhnya, bukan dengan hatinya, karena jika ia hidup dengan hatinya, dirinya sudah hancur tanpa bentuk tak bisa melacur lagi. Jadi, bisakah ia mencintai seseorang dengan hati" Perasaannya kepada Satya tak pernah dirumuskannya dengan kata-kata, bahkan tentang cinta keduanya tidak pernah bicara.
Pohon itu seperti mewakili kesendiriannya. Semakin men dekati pohon itu semakin tercekat hatinya. Pohon itu semakin didekati semakin menampilkan pesona yang berbeda-beda.
Ya, kita akan menetap sementara di sini, ujar Satya yang baru bangun tidur, aku ingin merumuskan kembali apa yang telah kubaca dari dua bagian Kitab Omong Kosong, dan menuliskannya.
Maneka bersorak dalam hatinya. Ia melompat turun dan berlari mendahului sapi Benggala yang lamban itu. Melompat-lompat di rerumputan dan merebahkan diri di bawah pohon yang rindang.
Memandang ke atas sambil rebahan, bentuk pohon itu sudah berubah
lagi. Satya, kata Maneka, lihat pohon ini.
Kenapa" Satya turun dari pedati, dan melepas sapi Benggala itu. Aku melihat pohon ini dari tadi. Mula-mula ia kecil sekali di tengah cakrawala waktu kamu masih tidur tadi. Dari jam ke jam ia semakin besar. Padahal pohon itu sama bukan"
Itu karena jarak. Memang. Ini baru soal pohon. Maksudnya"
Bagaimana kalau tentang segala sesuatu, tentang dunia, tentang apa pun yang kita anggap sudah diketahui"
Satya mengerutkan kening. Ya, teruskan ....
Segenap pengetahuan kita tentang sesuatu ditentukan dari tempat kita memandangnya.
Artinya" Pohon itu tidak pernah bisa tampil kepada kita sebagai pohon itu bagi dirinya sendiri. Pohon itu akan tampil seperti kita akan memandangnya. Dan kita itu lain-lain"
Yah, pandangan tentang sesuatu itu tidak akan pernah mungkin sama, kecuali berdasarkan kesepakatan-kesepakatan tertentu. Kesepakatan"
Pandangan kita tentang pohon ini, aku tiduran di bawah, dan kamu ber diri di situ, tidak akan sama, tapi kita sepakat ini adalah tetap sebuah pohon, bahkan pohon yang sama-sama kita pandang.
Jelaslah. Selama hanya sebuah pohon, kita tidak akan sulit bersepakat. Tapi bagaimana jika lebih pelik dari itu"
Misalnya" Kebenaran. Hmm. Keindahan. Hmm. Keadilan. Hmm. Satya tercekat dengan ketangkasan bicara Maneka. Ia be lum lancar membaca, namun penalarannya bekerja dengan baik. Ia menangkap semua persoalan yang dibicarakannya dari Kitab Omong Kosong Bagian Dua, bahwa seluruh isinya berten tang an dengan Bagian Satu. Jika dunia seperti adanya dunia me nu rut Bagian Satu bisa dijelaskan keberadaannya berdasarkan un sur-unsurnya, maka menurut Bagian Dua segenap pemerian unsur-unsur itu hanya mungkin ada dalam pandangan manusia. Tak ada manusia, tak ada dunia.
Jadi, pohon ini sebenarnya ada atau tidak" Satya menguji Maneka. Bukan itu pertanyaannya.
Lho, bertanya kok salah. Pertanyaannya: pohon ini ada karena adanya pohon itu, atau pohon itu ada karena keberadaannya diadakan manusia.
Kalau kamu mati, pohon itu tetap ada bukan" Kamu harus mengandaikan kalau seluruh manusia mati. Baik, kalau seluruh manusia mati, pohon itu toh tetap ada. Dari mana kamu tahu"
Para peneliti bumi mengatakannya dalam Bagian Satu. Mereka manusia atau bukan"
Iya. Dengan begitu penalaran Bagian Satu dimungkinkan hanya karena pandangan manusia, kelihatannya dengan begini ia sudah gugur oleh pernyataan Bagian Dua. Dunia ada karena pikiran manusia tentang dunia. Namun Bagian Dua pun tidak bisa memastikan yang sebaliknya, bahwa pikiran ada lebih dulu dari dunia.
Misalnya" Mana yang lebih dulu, pikiran atau otak"
Tergantung, adanya otak karena adanya gagasan tentang otak atau tidak"
Dan kita tidak pernah tahu bukan"
Satya memandang pohon itu. Maneka telah memecahkan sebagian besar masalahnya hanya dengan membicarakan pohon itu. Maneka telah membermaknakan caranya memandang dunia. Mula-mula ia melihat pohon itu di cak rawala, kemudian makin lama makin besar, sampai berubah
sama sekali ketika tidur sambil memandang ke atas di bawahnya. Kalau mereka tidak lewat, pohon itu tidak ada bagi mereka. Kalau tidak satu manusia pun melihat pohon itu, maka pohon itu tidak pernah akan bisa dianggap ada. Pengetahuan, ternyata hanya menunjukkan kemiskinan manusia dalam lautan ketidaktahuan. Pengetahuan bukanlah kuasa, melainkan suatu kuasa semu. Maneka menggali persoalan ini hanya dengan memikirkan kembali bagaimana pohon itu tampak kepada mereka. Satya memikirkannya karena membaca kitab, ia tidak akan memikirkan apa-apa jika berada di tempat Maneka dan melihat pohon besar yang rindang itu.
Mereka tinggal seminggu lamanya di bawah pohon, sementara Satya me lumatkan isi Kitab Omong Kosong Bagian Dua. Ja wab an dari persoalan rumit mereka harapkan berada dalam Kitab Omong Kosong Bagian Tiga, yang entah apa pula judulnya. Satya ingin tahu, bagaimanakah pemikiran saling bertentangan antara Bagian Satu dan Bagian Dua akan teratasi dalam Bagian Tiga.
Ke mana kita akan mencarinya, Satya"
Tinggal tiga kemungkinan dari lima tempat dalam peta itu, kita hanya harus tahu kedudukan dua kitab ini dalam peta tersebut.
Tapi yang mana di antara tiga tempat tersebut, merupakan penyimpan Kitab Omong Kosong Bagian Tiga"
Kita tidak pernah tahu Maneka, lebih baik kita berjalan saja. Mereka meninggalkan pohon itu. Selama pedati berjalan, Satya selalu melihat ke belakang. Di padang rumput yang luas pohon itu makin lama makin kecil. Namun ketika ia merasa po hon itu akan segera menghilang, Satya seperti melihat sesuatu di sana, bahkan kemudian juga mendengar sesuatu.
Maneka, berhenti dulu, katanya, coba lihat. Maneka berhenti dan turun.
Kaulihatkah itu" Ya. Ada seseorang duduk di bawah pohon itu. Kau dengar suaranya"
Ya. Angin membawa denting petikan kecapi. Suara kecapi ....
Maneka mengerjapkan matanya. Bayangan di bawah pohon itu terasa akrab baginya. Bayangan seorang pengemis berbaju compang-camping yang bercaping dan memetik kecapi. Apakah bayangan itu nyata, atau berada dalam kepalanya saja" Jarak mereka jauh sekali, hanya karena bagian bu mi di sini begini sepi maka segalanya terdengar jelas. Lagu kecapi itu sama seperti yang pernah didengarnya dari masa lalu di lorong tempatnya disekap sebagai pelacur itu.
Darah Pendekar 24 Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna Lembah Tiga Malaikat 18

Cari Blog Ini