Ceritasilat Novel Online

Sastra Jendra Hayuningrat 5

Sastra Jendra Hayuningrat Karya Agus Sunyoto Bagian 5


Tengah malam saya sudah berada di luar kota Bombay. Saya berhenti untuk sekadar istirahat, karena saya merasa bahwa perjalanan yang saya lakukan sudah cukup jauh, terutama setelah saya sadar betapa beberapa saat yang lalu saya sudah melewati jembatan Swami Vivekananda yang melintas di atas Sungai Dahisar. Saya merasakan keanehan, karena Aham yang ada dalam gendongan saya sedikit pun tidak menangis meski dia hanya sempat saya beri minum sedikit susu kaleng pemberian Laxmi Devi. Aham tampak terbuai dalam kegelapan seolah-olah dia tidak pernah mau memikirkan apapun mengenai dirinya.
Menjelang dini hari, dengan menumpang sebuah truk pengangkut sayur, saya tiba di kota kecil Amravati yang masih berada di negara bagian Maharashtra. Di Amravati pun saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, karena tak satu pun manusia yang saya kenal di kota itu. Saya hanya pasrah pada kemurahan Allah yang tentunya tidak akan menyengsarakan saya bersama Aham dan Twam. Meski begitu, akal saya sering dicekam keraguan dengan kelebatan-kelebatan bayangan buruk yang akan menimpa kami.
Saya tahu bahwa saya tidak mungkin tidur sembarangan di Amravati. Saya harus mencari tempat istirahat, paling tidak di pinggiran kota. Menjelang subuh barulah saya melihat sebuah kuil kecil di pinggiran Amravati yang diterangi lampu gantung berkedip-kedip. Saya menduga bahwa saya akan bisa istirahat barang sebentar di teras kuil yang bentuknya seperti pendapa. Tapi saya agak sedikit kaget ketika mendekat, karena di pintu ruang kuil terlihat seseorang sedang berdiri dan bergerak-gerak dalam keremangan.
Melihat gerakan-gerakan dalam keremangan itu saya mendapati ada keanehan, karena setahu saya gerakan orang tersebut bukan gerakan orang bersembahyang di kuil. Saya menduga, kuil itu tentulah kuil Kali Devi yang biasanya disembah oleh para penganut aliran hitam yang cukup tidak disukai banyak orang.
Rasa ingin tahu mendadak memberontak di kedalaman jiwa Saya. Buru-buru Aham saya turunkan dan saya rebahkan tubuhnya perlahan-lahan di teras kuil. Kemudian dengan mengendap-endap saya mendekati orang yang bergerak-gerak dalam keremangan lampu minyak yang di gantung di ruang tengah kuil itu. Dan darah saya benar-benar tersirap ketika saya dapati orang di pintu kuil itu sedang mengumpat dan memaki patung yang ada di dalam kuil yang tidak lain dan tidak bukan adalah patung Hanoman.
Ketika sosok bayangan yang ternyata seorang perempuan itu meratap sambil membentur-benturkan keningnya ke lantai kuil, saya melompat dan menarik lengannya. Perempuan itu tersentak oleh kekuatan saya. Dia menengadahkan muka ke atas dan menatap Saya seperti menatap malaikat maut yang hendak menyabut nyawanya. Wajah perempuan yang kira-kira berusia 55 tahun itu pucat sekali bagai kertas. Dari keningnya yang dibentur-benturkan ke lantai itu mengucur darah segar membasahi wajahnya.
Kenapa sampean berbuat begitu, ibu" tanya saya heran.
Aduh Dewa Hanoman, ampunilah saya yang terkutuk ini, seru perempuan setengah tua itu dengan suara gemetar sambil merangkul kaki saya hingga celana saya bersimbah darah. Perempuan itu terus meratap-ratap meminta ampunan.
Saya kebingungan sejenak. Tetapi saya segera sadar bahwa tampang saya yang mirip perpaduan Pithecanthropus Erectus dengan manusia Cromagnon, cenderung dibayangkan oleh orang-orang India sebagai penjelmaan Dewa Hanoman. Dan saya sudah memutuskan untuk tidak mau berdebat kusir lagi mempertahankan diri bahwa saya bukanlah monyet bernama Hanoman. Akhirya saya hanya termangu melihat tingkah perempuan itu merangkul-rangkul kaki saya sambil meratap-ratap dan menceritakan semua keburukan nasibnya.
Berdirilah ibu! kata Saya memerintah. Tetapi perempuan setengah tua itu makin meringkuk di kaki saya. Dan saya terpaksa mengumpat dalam hati ketika saya ketahui, bahwa perempuan itu telah terkencingkencing karena ketakutannya. Dan saya masih tidak tahu akan apa yang mesti saya perbuat ketika saya lihat beberapa orang dalam keremangan mendekati saya. Saya benar-benar kebingungan ketika tak kurang dari lima orang mendekati saya dan langsung bersimpuh menyembah saya.
Bagi saya sendiri, perilaku orang-orang India yang penuh takhayul dan gampang mempercayai sesuatu memang terasa aneh, meski hal serupa saya lihat juga sebagai gejala dalam kehidupan masyarakat di negeri saya. Saya masih ingat bagaimana seorang Kiai Bahauddin Bruddin bin Gimin yang mengaku kemasukan Ruh Ilahi karena sudah ma rifat dan sudah manunggal dengan Allah, di mana beribu-ribu orang percaya dan mau menjadi pengikutnya. Saya juga sering melihat romo-romo yang mengaku ahli kebatinan mengangkat diri sebagai ratu adil dan dipertuhan oleh cantrik-cantriknya. Bahkan tak kurang pula kiai-kiai sembrono yang mengaku sebagai auliya dengan tingkah yang memuakkan, yang kadangkadang menipu banyak orang dengan dalih pandai melipatgandakan uang.
Dengan kenyataan yang melingkari keberadaan saya yang di-Hanoman-kan orang-orang, saya diam diam mempunyai sebuah perhitungan bahwa bagaimana pun saya ingin menanamkan iman tauhid kepada mereka. Saya merasa bahwa sekalipun saya disibukkan oleh Aham, tetapi saya harus memberikan petunjuk bagi mereka yang suka mengumpat dewa-dewa yang mereka sembah. Dan saya pun merasakan hanyut terseret suatu arus ketika dalam tempo tak lama saya sudah dikenal sebagai Avatar yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan bisa dimintai petunjuk dalam berbagai masalah rumit.
Dengan posisi sebagai orang yang di-Hanomankan banyak orang, saya merasakan suatu pengalaman yang membingungkan menerkam hidup saya. Bayangkan, hampir setiap pagi dan sore orang-orang selalu membasuh kedua kaki saya dengan air yang diambil dari lima sungai, yaitu sungai Narmada-Tapi-Godavari- Wardha-Wainganga. Saya pernah bertanya kepada Rajesh, suami Reekha yang kepadanya saya titipkan Aham, sekitar basuh-membasuh kaki dengan air dari lima sungai itu. Rajesh mengatakan bahwa air bekas basuhan kaki saya itu akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang memohon kesembuhan.
Saya mendadak sadar, bahwa secara langsung atau tidak langsung keberadaan saya yang di-Hanoman-kan orang-orang telah dimanfaatkan oleh Rajesh dan tetangga-tetangganya. Rupanya, Rajesh menjual air bekas basuhan kaki saya itu ke dalam botol-botol dengan harga 10 sampai 25 rupee. Dan saya tidak tahu, berapa ribu botol yang telah dia jual, sehingga dia memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari banyak orang.
Menyadari semua itu, saya dengan terus terang mengatakan kepada Rajesh bahwa saya sangat tidak suka dengan perbuatan-perbuatan dekilnya mengkomersilkan saya. Rajesh yang licik itu ternyata hanya bisa meringkuk di kaki saya sambil mengiba bahwa apa yang dilakukanya itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membantu kemiskinan masyarakat di sekitar kuil. Rajesh mengaku telah membantu beras, ikan, susu, dan uang kepada orang-orang miskin sekitar kuil. Bantuan itu, menurutnya,diperoleh baik dari penjualan air dalam botol maupun dari sumbangan masyarakat lainnya.
Akhirnya, saya memutuskan bahwa kaki saya tidak perlu lagi dibasuh, karena semua itu bisa melahirkan sebuah kultus yang tiada lain adalah perbuatan syirik. Saya hanya menyatakan kalau Rajesh hanya boleh menerima sumbangan dari orang-orang tanpa menjual air basuhan kaki saya. Saya juga sudah memutuskan untuk banyak membuka waktu bagi pemecahan berbagai persoalan kehidupan.
Dengan satu dan lain alasan, pintu kuil sudah saya tutup, yang artinya orang tidak boleh lagi menyediakan sesaji maupun bersembahyang kepada patung Hanoman yang dicat merah dengan dada dicat kuning emas yang bentuknya mirip buah labu itu. Sebagai ganti untuk menampung luapan rasa spiritual para penyembah Hanoman, saya harus duduk di undakundakan teras kuil untuk memberi petunjuk tentang bagaimana menjadi pengikut Hanoman yang baik.
Saya berharap, dengan siasat itu saya akan bisa menggiring orang-orang ke arah tauhid.
Kepada orang-orang sekitar Amravati yang menjadi pengikut Hanoman saya arahkan dengan ajaran-ajaran tauhid baik yang saya ambil dari Bhagavad-gitta maupun dari purana-purana Syiwa. Uraian-uraian tentang hakikat hidup ternyata diminati banyak orang, sehingga beberapa orang Brahmin saya lihat berada di antara orang-orang yang meminta fatwa dari saya.
Pada perkembangan selanjutnya beberapa orang rahib Buddha pun saya lihat muncul dan meminta banyak uraian dari saya. Bahkan beberapa orang yang beragama Islam dan Majusi datang untuk sekadar bertanya ini-itu kepada saya. Dan saya pun hanya menggantungkan sepenuhnya keberlangsungan ke- Hanoman-an saya kepada bisikan-bisikan ghaib dari Sirru l Haqq di pedalaman jiwa saya. Anehnya, semakin sering saya memperoleh bisikan dari Sirru l Haqq di pedalaman jiwa saya, saya merasa semakin melihat alam semesta tergelar di hadapan saya dengan pertanyaanpertanyaan dan jawaban-jawaban yang tidak terhitung. Saya mendadak merasakan bahwa di kedalaman relung-relung jiwa saya memancar semacam sinar terang yang mampu membaca perbendaharaan alam semesta dengan berbagai gejalanya.
Saya sendiri sudah menjadwalkan untuk mengajar orang-orang pada malam hari seusai saya sembahyang Isya sampai menjelang Subuh. Saya juga menentukan tempat mengajar saya di teras depan kuil Hanoman yang sudah saya tutup pintunya. Dan waktu siang, benar-benar saya pergunakan untuk berakrab-akrab dengan Aham di rumah Rajesh dan Reekha. Dalam beberapa hari saja, saya melihat tubuh Aham sudah semakin berisi, karena disusui oleh Reekha yang kebetulan juga menyusui anak lelakinya bernama Vijay yang usianya tidak terpaut jauh dengan usia Aham. Yang sangat menggembirakan saya, Reekha maupun Rajesh kelihatan sangat menyayangi Aham seolah-olah Aham dan Vijay adalah dua saudara kembar.
Malam purnama menggelar tirai sutera biru, melukis makna keheningan langit yang menjernihkan kelam kabut. Rembulan bersinar utuh bagai mawar terbuka kelopaknya, menebarkan harum wangi alam, mempesona penciuman bumi yang menumpahkan air samudera sebagai pengejawantahan cinta semesta. Para malaikat turun membawa berkah kehidupan bagi yang tidur maupun yang terjaga.
Di antara warna lembayung malam dengan kedipkedip api dari lampu-lampu gantung berminyak zaitun, saya duduk di undak-undakan kuil dengan selimut kain katun putih, memberikan rangkaian jawaban dari pertanyaan-pertanyaan. Selama saya memberi jawaban-jawaban, selalu saya amat-amati makna dari jawaban tersebut. Dan sering sekali saya harus terkejut dengan rangkaian jawaban saya sendiri yang sering tidak terduga. Oleh karena itu diam-diam saya masih bertanya kepada diri saya sendiri apakah jawaban-jawaban yang saya sampaikan sudah benar" Tidakkah jawaban saya justru makin menyesatkan"
Tetapi Sirru l Haqq di pedalaman jiwa saya sering meletupkan bisikan gaibnya yang bagai benturan petir, bahwa apa yang saya serukan dimaknainya sebagai nyanyian ke-esa-an Ilahi beserta rentangan-rentangan jalan mencapainya.
Seorang saudagar dari Ajanta bernama Anand bertanya tentang tujuan saya menutup pintu kuil Hanoman sehingga orang-orang tidak lagi bisa menyampaikan persembahan kepada Dewa Hanoman. Dengan tenang dan cermat saya menguraikan akan iktikad utama saya menutup pintu kuil Hanoman:
Ketahuilah, o Anand, bahwa bagi seorang pengikut Hanoman tiada patut menyampaikan persembahan dan puja puji bagi Hanoman tanpa tahu dia tentang ajaran-ajaran Hanoman. Renungkan bahwa di dalam Bhagavat-gita telah tertulis, bahwa oleh karena hati yang lemah dan pikiran yang kacau tentang apa yang benar untuk dilakukan, saya pun bertanya kepadamu, katakanlah kepada saya mana yang lebih bermanfaat dari dua pilihan.
Hanoman tahu bahwa orang-orang telah sepakat bahwa bergeraknya matahari dari ufuk Ttimur ke ufuk Barat diberi nilai satu hari. Hanoman juga tahu bahwa orang-orang telah sepakat bahwa tujuh gerakan matahari di ufuk disepakati sebagai satu pekan, dan tiga puluh putaran matahari adalah disepakati sebagai satu bulan. Karena itu, dengan menelan matahari sebagai pangkal kesepakatan waktu, maka Hanoman telah menelan semua kesepakatan orang-orang. Dia telah menemukan jati dirinya, karena dia telah merangkum makna ruang dan waktu di dalam dirinya sendiri.
Dapatkah kami menjejaki langkah Dewa Hanoman dengan menelan matahari" tanya Anand ingin tahu.
Janganlah engkau menafsirkan apa yang kukatakan dengan kisah Hanoman itu sebagai makna harfiah, di mana engkau dapat terbang ke langit dan menelan matahari. Ingatlah bahwa dengan lambang menelan matahari, Hanoman sebenarnya telah menelan BUDDHI dari sekian banyak manusia yang melahirkan kesepakatan akan ruang dan waktu. Dengan menelan BUDDHI, maka Hanoman sebenarnya telah merangkum makna MANAH sehingga dia telah menyingsingkan AHAMKARA di dalam dirinya.
Ketahuilah, o Anand, bahwa seluruh ciptaan Ilahi terbentuk dari Prthivi (tanah), Apah (air), Agni (api), Vayu (angin), dan Akasa (nur). Ketehuilah, bahwa dari unsur-unsur tersebut lahirlah apa yang disebut Ahamkara atau Ego yang merupakan pangkal dari pintu Karmendriya dan pintu dari Jnanendriya. Dari Ahamkara itulah timbul keinginan, kebencian, suka, duka, percampuran, pikiran, ketaatan (Ksetratjna: XIII:6). Tetapi ketahuilah, bahwa Hanoman telah merangkum Kamendriya dan Jnanendriya dalam DASAI KAM ke dalam MANAH yang bukan indria.
Dengan kerendahan hati, ketulusan, tidak menyusahkan, kesabaran, keadilan, dan pengabdian kepada guru, kesucian, keteguhan iman dan mawas diri (Ksetrajna: XIII:7) maka Hanoman telah merangkum makna ANAHAMKARA, yang berarti dia telah berhasil menjauhkan ke-aku-annya.
Dengan mencapai tahap ANAHAMKARA, Hanoman sejatinya telah dapat mengendalikan prthivi, apah, agni, dan vayu di dalam dirinya. Dia mengendalikan unsur ke-badan-an dalam AHAM- KARA-nya dengan sinar BRAHMAN yang bersemayam di AKASA dirinya, sehingga dia tergolong manusia yang tiada menghiraukan akan keinginan nafsu duniawi, dia melenyapkan ke-aku-an dan dia telah menghapus bayangan keburukan tentang kematian, usia tua, sakit, dan kesengsaraan (Ksetrajna: XIII:8). Dan dengan mencapai tahap ANAHAM- KARA, Hanoman sebenarnya telah mengenal akan Brahman yang ada dan yang tiada di dalam Akasa dirinya yang terahasia.
Ketahuilah, o Anand, bahwa Brahman ada di luar dan di dalam semua insan. Dia tiada bergerak tetapi sesungguhnya bergerak. Dia teramat halus untuk diketahui. Dia jauh sekali, tetapi juga dekat sekali (Ksetrajna: XIII:15). Brahman sebenarnya Tunggal! Esa! Satu! Brahman tidak dapat terbagi-bagi, tetapi Dia ada di dalam setiap insan seolah-olah terbagi, dan Dia adalah pemelihara semua makhluk, menghancurkan semua makhluk dan mencipta semua makhluk (Ksetrajna: XIII:16). Dia adalah cahaya di atas semua cahaya di atas semua kegelapan. Dia adalah hakikat JNANAM yang harus diketahui dan dia menjadi tujuan JNANAM. Dia berada di dalam hati nurani semua insan (Ksetrajna: XIII:17).
Oleh sebab itu, o Anand, sadarilah bahwa engkau sebagai pemuja dan pengikut Hanoman haruslah mengikuti ajarannya dengan baik. Artinya, carilah dan kenalilah Brahman di dalam dirimu. Apabila engkau telah mengenal akan Brahman yang bersemayam di dalam dirimu, maka engkau akan mengenal akan MAHESWARA. Tetapi, tetaplah engkau mengingat, bahwa karena ketidaktahuan dan hanya dari dengarmendengar, maka kemudian orang-orang memuja sesuatu yang hanya didengarnya dari orang lain. Orang-orang pun dengan kebaktiannya mengabdikan diri kepada apa yang telah mereka dengar (Ksetrajna: XIII:25) dan lahirlah ketaklukanmu sekalian pada unsur-unsur bendawi. Padahal yang Mahakuasa berdiam di hati setiap insan yang menyebabkan semua insan hidup dan bergerak seperti sebuah mesin yang digerakkan oleh kekuatan maya-Nya (Samyasayoga: XVIII:61).
Kalau di dalam diri saya ada yang Ilahi, maka mengapa saya harus menyembah Ilahi yang lain" tanya Anand.
Engkau kurang mendalam mengartikan uraian saya, o Anand, sebab kalau engkau menyembah akan Brahman yang ada di dalam dirimu sendiri, maka engkau akan terperangkap ke dalam pemikiran duniawi dan melupakan hubungan dengan Brahman yang merupakan Sumber dari segala sumber Brahman.
Dan ketahuilah, Anand, bahwa tujuan utama dari semua tujuan adalah kepribadian Brahman Yang Maha Esa yang terangkai dalam makna TAT TU SAMANVAYAT (Vedanta: 1.1.4).
Ketahuilah, o Anand, bahwa Brahman Yang Maha Esa! Tunggal! adalah yang disebut Krishna, Caiva, Mahesvara, Ahuramazda, Adibuddha, Allah. Dia adalah Satu dengan berbagai sebutan. Dia Tuhan segala bangsa dan segala agama. Dia Tuhan segala makhluk yang kasat mata dan yang gaib. Dia tetap Tuhan Yang Maha Esa bagi yang mengakui maupun bagi yang ingkar. Tetapi engkau harus selalu ingat, bahwa Dia tidak dapat dicapai dengan akal budi dan panca indera. Oleh sebab itu, hendaknya setiap orang berlatih agar ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara memuji-muji nama-nama suci-Nya. Janganlah ada di antara sampean semua yang terperangkap pada imajinasi untuk mewujudkan Tuhan Yang Maha Esa ke dalam bentuk-bentuk yang bisa dikenali oleh panca indera!.
Ingatlah ketika Krishna menyatakan, bahwa dengan pikiran dan kegiatan yang selalu dipusatkan kepada-Nya, dan semuanya dijadikan sibuk di dalam diri-Nya, tidak dapat diragukan lagi maka orang akan mencapai-Nya (Aksara Brahma Yoga: VIII:7). Oleh sebab itu, o Anand, mengapa saya menutup pintu kuil Hanoman, tiada lain karena saya ingin agar sampean mulai mengikuti jejak Hanoman untuk mencari Brahman di dalam diri.
Renungkanlah akan perilaku Hanoman yang selalu berpikir tentang Rama. Dia selalu menemani Rama. Hanoman selalu mencintai Rama. Tetapi engkau harus ingat, bahwa Hanoman tidak pernah meng-arcakan Rama untuk disembah. Hanoman adalah Yogi dengan keimanan kuat yang bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bhakti ruhani dengan cinta kasih. Begitulah Hanoman sebagai yogi sekaligus sebagai ksatria pendamping Rama, telah menjadi Jnani yang paling mulia dari Purusottama. Oleh sebab itu, sebelum Rama menyadari unsur ke-Ilahi-an di dalam dirinya, dia sering secara tidak langsung melakukan SWAVANAM dari Hanoman.
Apakah kedudukan Dewa Hanoman sudah menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa"
Ketahuilah, o Anand, bahwa di dalam Srimat- Bhagavatam (1.2.11) telah ditegaskan bahwa mereka yang sungguh-sungguh mengetahui Kebenaran mutlak, mengetahui bahwa sang diri diinsyafi di dalam tiga tahap yang berada sebagai Brahman, Paramatman dan Bhagavan. Ketahuilah bahwa tingkat Bhagavan itulah yang dicapai Hanoman tentang pengetahuan sejati akan Tuhan Yang Maha Esa. Dan itu puncak dari segala puncak kesempurnaan pengetahuan. Oleh sebab itu, o Anand, janganlah engkau sembrono dan berbuat kebodohan dalam menafsirkan makna AHAM BRAHMASMI. Sebab sekali engkau keliru menafsirkan, maka kesesatanlah yang terbentang di hadapanmu!
Apakah pengetahuan sejati akan Tuhan Yang Maha Esa itu dapat dicapai dengan pemahaman yang cerah" seru seorang Rahib Buddhis dengan sentuhan nada seperti memancing.
Masalah yang utama tentunya akan terletak pada pemahaman yang cerah atau SAMPAJANNA, tetapi yang terpenting justru bagaimana orang bisa berlatih untuk terus mengembangkan kesadaran penuh atau SATI menuju ke Sampajanna.
Adakah jalan yang memudahkan untuk mencapai sampanjanna" tanya seorang anak muda bernama Ratnanand menyela.
Kalau sampean membaca kitab Maha- Sattipatthana Sutta, maka sampean akan mendapati percakapan Sang Buddha tentang kesadaran sempurna di mana Sang Buddha menjelaskan tentang empat landasan bagi pandangan yang cerah. Yang pertama, adanya apa yang disebut KAYANU- PASSANA, yakni merenungkan akan tubuh fisik. Sang Buddha menguraikan, bahwa pada bagian yang paling mendasar dari tubuh ini berikut pencerahan dan pikiran, maka di situlah awal terjadinya dunia, akhir dunia, dan jalan mengakhiri dunia. Camkanlah, wahai Ratnanand, bahwa Hanoman adalah Yogi yang melatih diri untuk menyadari secara penuh atas segala sesuatu yang timbul dan tenggelam yang terjadi pada tubuhnya sendiri.
Yang kedua, adalah apa yang disebut VEDANA UPASSANA, yakni perenungan terhadap perasaan.
Ketahuilah, bahwa Hanoman adalah yogi yang senantiasa melatih kesadaran penuhnya untuk merenungkan sifat-sifat perasaan tanpa dia menghindar dari perasaan apapun. Yang ketiga, adalah apa yang disebut sebagai CITTAN UPASSANA, yakni perenungan terhadap keadaan pikiran. Dan ketahuilah, bahwa Hanoman adalah yogi yang selalu mengamati dan merenungkan sifat dari keadaan pikirannya.
Yang keempat, adalah apa yang disebut DHAMMAN UPASSANA, yakni suatu kontemplasi pada objek-objek pikiran. Ketahuilah, bahwa Hanoman adalah yogi yang selalu melatih kesadaran penuhnya untuk diarahkan pada segala objek pikiran yang ada baik yang berupa ingatan-ingatan, konsepkonsep, harapan-harapan, ketakutan dan yang lainnya.
Tetapi, sampean mesti ingat, bahwa apa-apa yang mesti sampean lakukan dengan keempat dasar bagi pandangan yang cerah tersebut cukuplah hanya sampean kenali saja. Jangan sampai sampean terlibat dan terseret di dalamnya. Sebab Sang Buddha mengajarkan keseimbangan (Upekha) dalam hidup tanpa terikat oleh sesuatu perubahan-perubahan.
Apakah itu berarti kita harus menghilangkan keaku-an kita" tanya Ratnanand.
Apakah menurut sampean ke-aku-an bukan pangkal penderitaan"
Saya pernah mendengarkannya begitu. Ketahuilah, wahai Ratnanand, bahwa semua gejala di alam semesta ini adalah perubahan yang timbul begitu cepat dan tenggelam begitu cepat pula. Semua datang dan pergi, terus mengalir bagai arus sungai. Oleh sebab itu, kalau sampean dapat melihat kenyataan tersebut, mengapa sampean harus mengikatkan diri kepada benda-benda"
Camkanlah, wahai Ratnanand, bahwa ke-aku-an apabila tidak dikendalikan akan menjadi penyebab kerusakan yang membinasakan. Satu contoh, kalau sampean ingin memiliki istri yang cantik, dan keinginan sampean itu sudah terpenuhi, maka di satu saat nanti sampean akan bosan dengan istri sampean dan akan melihat perempuan yang lebih cantik. Kalau keinginan untuk memiliki perempuan yang lebih cantik itu terus sampean ikuti, maka sampean akan menjadi orang serakah, di mana sampean akan hidup dilingkari perempuan-perempuan cantik yang menjadi istri atau gundik sampean. Dan perlu sampean ketahui bahwa lahirnya keserakahan adalah berawal dari ke-aku-an, di mana dengan mengurangi keserakahan maka datangnya penderitaan akan terkurangi juga.
Camkan akan wejangan Sang Buddha di dalam Dhammapada, bahwa kejahatan yang dilakukan oleh diri sendiri, lahir dari diri sendiri dan disebabkan oleh diri sendiri, dan semua itu akan menghancurkan orang bodoh ibarat intan membelah batu yang keras (Atta Vagga: XII:5). Jangan mengejar sesuatu yang rendah; janganlah hidup dalam kelengahan; janganlah menganut pandangan-pandangan salah dan janganlah terikat pada kedunawian (Loka Vagga: XIII:1).
Bangun! Jangan lengah! Tempuhlah kehidupan benar! Barangsiapa menempuh kehidupan benar, maka dia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia berikutnya, (Loka Vagga:XIII:2) pandanglah dunia ini seperti kereta kerajaan yang penuh perhiasan, yang membuat orang bodoh terlena di dalamnya, tetapi orang bijak yang menyadarinya tiada lagi melekatkan diri akanya (Loka Vagga: XIII:5).
Ingatlah akan sabda Sang Buddha: Cattani thanani naro pamatto apajjti paradarupasevi apunnalapham na nikamaseyyam nindam tatiyam nirayam cattuhan (Niraya Vagga: XXII:4), yang artinya, manusia yang lengah dan berzinah akan menerima empat ganjaran. Yang pertama, dia akan menerima akibat yang buruk. Yang kedua, dia tidak akan dapat tidur dengan tenang. Yang ketiga, namanya akan tercela, yang keempat dia akan masuk ke dalam neraka. Oleh sebab itu, engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu sendiri. Bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri dan selalu sadar, maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan (Bhikku Vagga: XXV:20).
Apakah sampean sudah melakukan semua yang telah sampean omongkan" seorang anak muda mendadak bertanya dengan suara keras.
Ketahuilah, wahai anak muda, bahwa saya bukan Avatar, pun saya bukan penjelmaan Hanoman. Saya tidak lebih dari sampean dalam segala hal. Saya pun sekarang ini sedang mencari akan makna Kebenaran Sejati. Dan saya pun menyadari bahwa saya bukan Kebenaran mutlak sempurna, karena sesungguhnya Kebenaran mutlak sempurna hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa.
Kalaupun di sini orang-orang bertanya dan saya menjawab, maka saya mengatakan bahwa apa yang saya kemukakan bukanlah terjamin sempurna kebenarannya. Saya hanya mengatakan apa yang sewajibnya saya katakan. Dan andaikata saya tidak mengerti akan suatu persoalan, maka saya akan mengatakan dengan sejujurnya bahwa saya tidak bisa menjawab. Oleh sebab itu, sekali lagi saya tekankan bahwa saya bukan Avatar! Saya tidak pernah mengaku-aku sebagai Avatar!
Kalau sampean bukan Avatar, kenapa sampean berani berbicara macam-macam di sini" pekik anak muda yang belakangan baru saya ketahui bernama Chitrangada.
Saya tidak pernah mengundang siapa pun untuk mendengar omongan saya, kata saya dengan suara tenang, Saya juga tidak pernah minta dibayar untuk bicara dan menjawab berbagai pertanyaan. Dan bagi saya sudah jelas bahwa untuk menyampaikan kebenaran tidak perlu orang mengaku-aku sebagai Avatar. Kebenaran bisa datang dari siapa saja, termasuk dari seorang anak kecil. Dan saya sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan apa yang saya ketahui tentang tauhid tanpa perlu saya menyembunyikannya. Kalaupun apa yang saya kemukakan tidak sesuai dengan pandangan sampean, maka sampean harus memaklumi karena kita memiliki pandangan yang berbeda meski kebenaran sebenarnya hanya satu tak terpecah.
Chitrangada tampaknya tidak dapat menerima alasan saya. Dengan muka merah padam bagai bara api, dia berdiri dan langsung menerjang ke arah saya. Entah dari mana dia memperoleh, tahu-tahu di tanganya sudah tergenggam sepotong kayu yang dihantamkan sedemikian rupa kerasnya ke kepala saya.
Saya tercekat kaget dan menyebut istighfar sambil mengebaskan tangan untuk menangkis serangan Chitrangada. Tapi sungguh di luar dugaan, karena dari tangan saya mendadak meluncur semacam tenaga gaib yang menolakkan tubuh Chitrangada sedemikian rupa hingga tubuh Chitrangada terpental keras ke belakang dalam jarak sekitar enam-tujuh meter. Dan begitu jatuh Chitrangada langsung meraung-raung seperti orang kesurupan setan.
Melihat kejadian tak terduga itu, mendadak saja puluhan orang beramai-ramai bersujud di depan saya. Dan saya benar-benar masih kebingunggan ketika mendapati salah seorang di antara mereka adalah Brahmin Bhratrin. Dengan mengiba dia memberi kesaksian kepada semua orang bahwa saya tiada lain adalah Guru Hanoman yang telah menyelamatkan nyawanya.
DUA BELAS S ang bagaskara menyembul dari tirai cakrawala
dengan kehangatan cahayanya yang menerobos dedaunan dan menguapkan embun pagi. Bebungaan menebarkan wanginya seolah menyediakan diri untuk dipetik sebagai persembahan bagi alam raya. Kumbang-kumbang berdengung menyanyikan keindahan semesta bagai melantunkan simfoni hutan yang indah. Sementara kicau burung-burung mengumandang menambah semarak pagi ceria.
Dalam suasana yang serba memancarkan makna hidup itu saya termangu di bawah tanaman Vassika yang merambat di dinding kuil Hanoman. Kelincikelinci dan kera-kera yang berlarian dan melompatlompat di teras kuil bagaikan anak-anak dewa bercanda di hamparan padang sutera dengan bunga-bunga Vassika berguguran menebarkan wanginya. Dan segala yang saya resapi pada kejernihan pagi ini, terasa menyentuh perasaan jiwa saya terdalam. Saya merasakan seolah-olah sukma saya pergi meninggalkan tubuh saya. Sementara anjing Twam yang mulai kelihatan agak gemuk, bergulung-gulung di atas pasir berkerikil?"?" seolah hendak merasakan kehangatan sinar mentari yang melekat di atas hamparan kerikil.
Dalam kesendirian seperti ini, rasa merasakan terkaman perasaan bagai menghentak-hentak jiwa saya. Saya merasakan bahwa kelekatan saya dengan kuil Hanoman telah diantarai oleh suatu jarak yang tanpa batas. Saya menyadari bahwa segala macam tingkah manusia yang diarahkan kepada saya yang mereka duga sebagai Avatar, sedikit pun tidak membekas di hati saya. Bahkan sebuah kursi empuk yang dilapisi beludru Persia dan emas yang dipajang sebagai singgasana saya, tidak saya pedulikan dan saya biarkan tergolek tanpa daya di pintu kuil yang tertutup. Saya menyadari bahwa segala apa yang saya alami hanyalah merupakan sebuah rentangan perjalanan saya yang tak pernah saya ketahui ujung akhirnya.
Satu pagi usai sembahyang subuh, saya seperti merasakan sesuatu desakan rasa di pedalaman saya yang menyatakan bahwa saya harus secepatnya meninggalkan kuil Hanoman. Saya tidak tahu kenapa perasaan itu mendadak begitu kuat menerkam dan meremasremas jiwa saya. Dan saya sadar betul bahwa terkaman perasaan saya itu bukan disebabkan kejadian semalam, di mana dengan keanehan tenaga gaib saya melemparkan tubuh Chitrangada. Saya benar-benar merasa bahwa terkaman perasaan saya itu sama sekali tidak berkaitan dengan kejadian semalam yang bisa saja saya manfaatkan untuk memperkuat ke-Avatar-an saya.
Bagi saya bukan persoalan jika harus meninggalkan kuil Hanoman, di mana saya memperoleh kemapanan dan kehormatan berlebihan. Sebab saya sudah menyadari bahwa penolakan atas sebuah kemapanan dan kehormatan adalah bagian naluri saya sejak kecil. Tetapi yang sekarang ini justru menjadi beban pikiran saya adalah keberadaan Aham dan Twam yang seolah menjadi bagian hidup saya.
Saya benar-benar tidak berani membayangkan akan apa yang terjadi andaikata Aham dan Twam saya ajak pergi begitu saja dari rumah Rajesh dan Reekha. Hubungan batin antara Aham dan Vijay tampaknya sudah begitu lekat. Bahkan hubungan Aham dengan Reekha pun tampaknya tidak bisa dipisahkan. Dan pikiran saya tanpa sadar membayangkan bagaimana Aham harus sakit jika harus dipisahkan dari Vijay dan Reekha. Tetapi saya pun tidak melihat kemungkinan yang lebih baik bagi Aham apabila dia harus saya tinggal menjadi beban Reekha dan suaminya.
Tiba-tiba saja bayangan buruk tentang Aham berkelebat memasuki benak saya. Saya bayangkan dia akan kedinginan dalam hujan dan kegerahan dalam panas apabila ikut pergi bersama saya meninggalkan rumah Rajesh. Saya bayangkan dia akan hidup terluntalunta kekurangan susu dan makanan yang biasanya tersedia untuknya setiap waktu. Saya bayangkan dia akan menderita apabila tercabut dari buaian kasih Reekha yang sudah seperti ibu kandung yang menyusuinya.
Saya memang sudah memikirkan Aham sejak lama, di mana satu saat nanti kami harus pergi dari kawasan kuil Hanoman. Saya memang sempat memutuskan bahwa sebaiknya Aham memang saya titipkan saja kepada Reekha dan Rajesh agar bisa dipelihara dengan baik bersama Vijay. Saya sempat memutuskan bahwa seyogyanya saya harus bisa mengatasi rasa cinta kasih saya terhadap Aham demi kebahagiaan dan keselamatannya. Tetapi, saya benar-benar dibenturkan oleh satu problem yang tak bisa saya ajak kompromi, yaitu saya tidak bisa membiarkan Aham dididik oleh Rajesh dan Reekha yang hidup diselimuti takhayul dan keterbelakangan pendidikan. Saya tentu akan merasa bersalah, andaikata suatu ketika melihat Aham duduk meratap di pintu kuil Hanoman untuk menyembah patung batu atau sekadar memaki-maki dewa karena keinginan dan doanya tidak terpenuhi.
Ketika saya sedang tenggelam dalam perenungan, tiba-tiba saya mendengar senandung merdu alunan syair dalam bahasa Persia yang mempesona pendengaran jiwa:
Chashmi ibrat bar-kusha wa qudrat-i-yesdan bibi. Tu khud hijabi khudi, Sudrun, azmiyan barkhis. Bisyar safar bayat ta pukhta shawad khamay. (Ingatlah! Bukalah matamu dan resapilah pelajaran dari kebijaksanaan Ilahi! Engkau adalah hijab dirimu sendiri, Sudrun, keluarlah dari padanya! Berbagai pengembaraan disyaratkan bagi yang mentah agar menjadi matang!).
Kemerduan dan makna syair dalam Bahasa Persia yang mengumandang itu benar-benar menusuk jiwa saya terdalam. Dan di saat saya mencari-cari arah datangnya suara syair yang mempesona pendengaran itu, tiba-tiba di belakang saya muncul bayangan manusia, yang ternyata adalah sosok Chandragupta, yang misterius. Sebagaimana tanda-tanda dari kemunculan sebelumnya, tubuh Chandragupta menebarkan wangi kesturi.
Assalamualaikum! Waalaikum salam! sahut saya dengan gelombang kebahagiaan mendadak memenuhi jiwa semesta Saya.
Burung-burung kecil berkicau sahut-menyahut disambung kokok ayam jantan yang suaranya menyemarakkan keheningan pagi, seolah menyambut kehadiran Chandragupta yang tertawa lepas bersama hembusan angin pagi. Saya menarik napas dalamdalam seolah saya ingin menghirup semua kesegaran aroma rumput dan bunga-bunga Vassika yang berguguran menebarkan wangi bersama aroma tubuh Chandragupta. Dua ekor burung gereja kelihatan bertengger tenang di bahu kiri Chandragupta sambil mengibas-ngibaskan sayap. Sungguh sebuah pemandangan yang aneh tetapi mempesona jiwa. Lalu dengan suara yang dilantunkan seperti orang bernyanyi Chandragupta berkata:
Ketahuilah, wahai Sudrun, bahwa peristiwa semalam adalah salah satu batu ujian yang berhasil engkau lampaui. Dan andaikata kejadian semalam tidak berhasil engkau lampaui, maka aku tidak bisa berkata sesuatu kepadamu selain ungkapan Man yudzdzilahu fa laa haadiyalah.
Apakah yang telah saya lakukan semalam sehingga saya dianggap berhasil melampaui satu tahap ujian" tanya saya ingin tahu.
Ketika engkau mengingkari dan menafikan gelar Avatar yang dilekatkan orang-orang yang memuja Hanoman, kata Chandragupta dengan suara tenang, Ketika itulah aku melihat langit citra dirimu terbelah bagai kelopak mawar. Aku melihat kilasan-kilasan cahaya dan kalaam-i-haqq mengumandangkan kegaiban dari kata suci-kuntum amwataan fa-ahyakumengkau telah mati dan Dia memberi engkau hidup (QS. al-Baqorah: 28) dan engkau tiada perlu bertanya tentang makna kalaam-i-haqq ini kepada siapapun, karena kalaam-i-haqq ini bukan untuk diperdebatkan, melainkan untuk dilewati dan dialami sebagai bagian dari laku suluk.
Ketahuilah, bahwa andaikata engkau ketika itu mengakui diri sebagai Avatar, maka Rabb-mu akan dikabuti oleh ke-aku-an yang begitu halus. Engkau akan terperangkap pada sifat dan perilaku iblis yang merupakan manifestasi Ism al-Muudzil yang sesatmenyesatkan. Ketahuilah, Sudrun, bahwa orang yang telah tersesat itu diakui oleh Rabb-nya sendiri, tetapi dia justru ditolak oleh Rabbu l-i-Rabb. Dan orangorang yang tersesat, ibarat hatinya telah dikabuti oleh ketebalan air yang membeku menjadi es. Karena itu renungkanlah, o Sudrun, bahwa di dalam air pandangan bisa menembus keterang-benderangan keadaan sekitar, tetapi di dalam es pandangan tidak bisa menembus kepekat-gelapan gumpalan air yang membeku, demikianlah qalb yang sesat itu keadaannya.
Ketahuilah, o Sudrun, bahwa sekarang ini engkau telah memasuki tahap akhir dari KATSRAH yang merupakan pancaran dari Barzaakh-i-Jami i. Engkau sekarang sedang merambat di rentangan busur yang melengkung, di mana titik perjalananmu sekarang adalah seibarat di sekitar QABA QAUSAIN (QS. an- Najm: 9), yang tiada lain adalah puncak dari stasiun akhir dari al-farq. Di titik tertentu itulah engkau akan mendaki di anak tangga Jam ul-Jam yang dimahkotai Maqaaman Mahmud (QS. Bani Israil: 79).
Camkan benar wahai Sudrun, bahwa pada satu saat nanti apabila engkau tetap melangkah pada shirat yang lurus, maka engkau akan melihat hakikat Jamal dan Kamal dari-Nya. Engkau akan mampu mewadahi hakikat innii jaa ilun fi l ardhi khalifatan (QS. al- Baqarah: 30) yang memiliki kemampuan merangkum Kasf-i-Quluub dan Kasf-i-Qubuur. Di titik tertentu dari perjalananmu itu, engkau akan merangkum hakikat infishaal ke ittishaal. Tetapi, selalu ingatlah, bahwa ujian perjalananmu masih teramat rumit dan jauh lebih halus dari ujian-ujian sebelumnya, sehingga perjalanan ini sering diibaratkan meniti rambut dibelah tujuh. Kapankah saya harus memulainya" tanya saya.
Sekarang! sahut Chandragupta tegas. Apakah engkau menunggu terlepasnya panah waktu dari busurnya"
Sebenarnya saya ingin bertanya lebih banyak kepada Chandragupta. Tetapi, seperti tidak peduli dengan segala sesuatu yang melingkungi keberadaannya, Chandragupta melangkah cepat menuju rimbunan semak belukar seolah-olah tubuhnya terbuat dari sebentuk asap yang bisa menerobos ke mana saja tanpa penghalang apapun. Dia melesat di antara semak belukar seperti berjalan di atas padang rumput ilalang. Saya sadar bahwa saya tidak akan bisa menahan kepergiannya seperti juga saya tidak bisa menahan arus nasib yang menyeret kehidupan saya. Saya hanya yakin bahwa Chandragupta, tentu tidak akan melepaskan saya begitu saja.
Saya pandang arah lenyapnya tubuh Chandragupta di antara semak belukar seolah-olah saya pandang lenyapnya sukma saya sendiri. Saya merasakan seolah-olah ada yang hilang dari diri saya setiap kali saya terpisah dengan Chandragupta. Tetapi, sekarang ini sekalipun saya mampu menahan getaran jiwa yang menggejolak, hati saya terasa seolah disayatsayat pisau hingga mengalirkan darah. Entah apa yang terjadi, saya mendadak saja seolah-olah tidak menganggap Chandragupta sebagai orang yang lain dari diri saya sendiri. Saya merasa Chandragupta adalah bagian dari diri saya sendiri meski saya belum tahu bagian diri yang mana.
Akhirnya, keanehan rasa yang saya rasakan dalam kaitan dengan Chandragupta, baru terpahami seusai saya menjalankan sembahyang Subuh. Sentuhan gaib dari Sirrul al-Haq yang membentur pedalaman saya, memunculkan bukti dengan kemunculan Chandragupta yang mengisyaratkan agar saya cepat-cepat meninggalkan kumparan memabukkan di kuil Hanoman. Saya menjadi sadar bahwa seruan dari relung-relung kerinduan yang terahasia di pedalaman jiwa saya itu ternyata telah menampakkan diri meski masih dalam wujud yang samar-samar.
Kepergian saya dari kuil Hanoman, sekalipun sudah saya tengarai sebelumnya, toh pada kenyataannya bukan sebuah kepergian yang sederhana ke suatu perjalanan tamasya indah dan menyenangkan. Kepergian dengan makna perpisahan yang dalam, ternyata tidak segampang yang saya bayangkan. Hal itu terutama menyangkut perpisahan antara saya dan Aham di satu pihak dan Rajesh serta Reekha di pihak yang lain maupun perpisahan saya dengan anjing Twam.
Dengan bersimpuh di lantai dan merangkul kaki saya, suami-istri yang saya akrabi sekian waktu itu mengiba sambil meratap. Mereka memohon agar saya tidak pergi meninggalkan mereka. Kalau saya pergi, begitu pinta mereka, seyogyanya saya bersedia meninggalkan Aham sebagai kawan Vijay yang akan mereka perlakukan sebagai darah daging mereka sendiri. Dengan meninggalkan Aham, begitu menurut mereka, maka kalau saya sewaktu-waktu datang akan menjadi kabar kegembiraan bagi mereka.
Sadarilah, wahai Rajesh dan Reekha, bahwa setiap kali ada pertemuan maka selalu ada perpisahan. Ada kedatangan mesti ada kepergian. Lahir dan mati adalah satu makna dalam dua rangkaian. Dan apa yang terkait dengan timbul dan tenggelamnya penderitaan, tiada lain adalah tersebab ke-aku-an yang dangkal yang serba ingin memiliki segalanya. Oleh sebab itu, ikhlaskan kepergian kami meski rasa kemanusiawian kita terasa berat memikul beban kehilangan dari orang-orang tercinta.
Wahai guru, biarlah kami meminum darah penderitaan kami. Tetapi sungguh kami tidak mampu menampung darah yang mengalir dari penderitaan Aham yang belum mengenal makna dosa. Kami tidak bisa membayangkan bagaimana tubuh Aham harus menggigil kedinginan diterkam dingin malam yang menggigit. Kami tidak bisa membayangkan bagaimana Aham harus menangis menjerit-jerit dicekik kehausan, ratap Reekha dengan bercucuran air mata.
Janganlah rasa syak dan ragu melingkupi jiwamu, wahai Rajesh dan Reekha, kata saya sambil menyuruh mereka berdua berdiri, Ketahuilah bahwa Allah adalah Tuhan seru sekalian alam! Dia yang menjadikan kita semua, kemudian Dia pula yang menghidayahi kita semua. Dia yang memberi kita makan dan minum. Dan kalau kita sakit, maka Dia yang akan menyembuhkan kita. Dia yang mematikan dan menghidupkan kita (QS. asy-Syu ara: 77-81).
Oleh sebab itu, o Rajesh dan Reekha, pasrahkanlah segala urusan kepada-Nya. Janganlah engkau memiliki sesuatu dan merasa mempunyai hak atas sesuatu. Sebab segala sesuatu adalah milik Allah semata. Sedang engkau sendiri tidak memiliki sesuatu, bahkan nyawa dan tubuhmu sendiri bukanlah milikmu. Karena itu, bersiap-siaplah engkau senantiasa untuk berpisah dengan segala apa yang ada di sekitarmu, termasuk perpisahan dengan Aham, Vijay, dan nyawa serta tubuhmu sendiri.
Rajesh dan Reekha pucat sekali wajahnya ketika mendengar kata-kata saya. Saya merasakan tarikan menyayat menghentak hati saya melihat kecemasan dan kegelisahan yang mencakari jiwa mereka berdua. Tetapi, saya segera menguatkan diri sambil menghibur dalam hati, bahwa takdir telah terkuak bagi saya sendiri ataupun bagi mereka. Dan apa yang saya rasakan dengan sayatan pedih di hati ini adalah merupakan tahap permulaan dari perjalanan saya melewati jalan penderitaan yang akan terus menghadang dalam bentuk ujian demi ujian.
Rajesh yang termangu dengan mata berkaca-kaca mundur dan mengambil Aham dari kamarnya. Dengan air mata bercucuran Rajesh menciumi Aham yang tertawa-tawa dalam gendongannya. Didekapnya Aham seolah-olah anak itu adalah bagian dari jiwanya yang tak ingin dilepasnya. Pagi itu keredupan sinar mentari yang diliputi awan hitam menerobos celahcelah jendela dan membiaskan kepedihan yang mendalam di kesunyian ruangan.
Reekha yang melihat suaminya menggendong Aham serta merta meraung sambil merangkul Aham yang didekap Rajesh. Lampu redup yang menyinari ruangan berkedip-kedip bagai ikut merasakan kepedihan yang memenuhi segala. Saya merasakan betapa kekacauan hati Rajesh dan Reekha sempat menguncang jiwa saya meski saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap teguh pada pendirian.
Ketika detik demi detik berlalu dan saya tetap berdiri tenang bagai patung batu, Reekha melangkah terhuyung bagai tanpa tenaga ke arah saya. Dengan suara tersendat-sendat dia menyodorkan Aham yang terbungkus selimut lembut ke arah saya. Saya diam sambil menelan ludah karena tenggorokan saya mendadak terasa kering dicekik kepedihan.
Reekha tampak ragu-ragu memandang saya. Kemudian dengan menggigit bibir dia merengkuh Aham ke dalam pelukanya sambil mengumam:
Lihatlah wahai guru, bibir Aham yang merah bagai Mawar. Lihatlah pipinya yang ranum bagai apel. Lihatlah matanya yang berkilauan bagai permata. Lihatlah tubuhnya yang lembut mewangi. Mampukah saya melupakannya" Mampukah saya melupakan anak yang telah saya susui dengan jiwa dan raga saya ini" Mampukah saya melihat buah hati saya ini akan hidup menderita sebagai musafir yang tidur berselimut dingin malam dan berbantal kesunyian"
Reekha, janganlah engkau membayang-bayangkan kuasa Tuhan dengan kekerdilan angan-anganmu, sebab Allah lebih tahu akan segala urusan, kata saya menahan kepedihan, Karena itu, relakanlah kepergian kami menapaki jalan takdir-Nya.
Wajah Reekha tampak pucat pasi dan lututnya gemetaran. Dia rupanya mulai sadar bahwa usahanya untuk menghentikan saya tidak akan berhasil. Dia menyadari bahwa bagaimana pun keadaannya, dia harus melepaskan kami yang tidak dapat lagi tinggal di rumahnya. Air mata Reekha bercucuran membasahi wajah Aham yang didekapnya.
Engkau akan pergi ke padang sunyi, o anakku, ratap Reekha memandangi wajah Aham dengan air mata bercucuran, Kalau engkau haus di tengah perjalanan, ingatlah akan susuku sehingga kehausanmu akan terobati, o anakku. Kalau engkau kedinginan di tengah rinai hujan, rangkul dan dekaplah bayangan dan kehangatan mesraku. Dan andaikata engkau nanti telah besar, tetaplah ingat bahwa seorang ibu yang tak pernah melahirkanmu, tetapi mengasihimu sepenuh jiwa sedang menantikan engkau, o puteraku.
Kuatkan hatimu, Reekha! kata saya pedih. Guru! desah Reekha lirih dengan pipi basah, Bolehkah saya mencium putera saya tercinta untuk yang terakhir"
Saya terperangah dengan kata-kata Reekha yang terdengar sangat tulus. Entah apa yang terjadi, tanpa saya sadari hati saya tiba-tiba runtuh dan air hangat saya rasakan tergulir membasahi pipi saya. Dan antara galau jiwa, saya menggumam lirih, Lakukanlah apa yang ingin engkau lakukan, o ibu berhati mulia.
Tangis Reekha meledak. Dengan tersedu-sedu ia menciumi wajah Aham dan sesekali mendekapnya eraterat. Suasana di dalam ruangan pun menjadi basah oleh air mata ketika Aham menjerit keras yang diikuti ledakan tangis Rajesh. Saya benar-benar terpukau dalam kepedihan yang mencekam ketika Rajesh dan Reekha bergantian menciumi Aham.
Hati saya mendadak terasa meleleh bagai salju diterkam musim panas ketika Reekha dengan langkah lunglai dan wajah kuyu menyodorkan Aham kepada saya. Air mata Saya masih membasahi pipi ketika Aham melekat dalam dekapan saya. Dengan suara saya buat setenang mungkin, saya berusaha menghibur Rajesh dan Reekha, Ketahuilah, bahwa sebenarnya saya tidak menginginkan perpisahan ini. Tetapi adalah suatu kebodohan apabila saya menganggap bahwa kita tidak akan pernah berpisah. Oleh sebab itu, sebelum kemelekatan di antara kita semakin kuat, maka saya memutuskan untuk pergi memenuhi pangilan jiwa saya.
Pergilah guru, desah Rajesh memegangi lengan saya, Pergilah memenuhi panggilan jiwa guru. Jika sampean kelak menemukan Tuhan dalam Kebenaran, kembalilah kepada kami dan ajarilah kami akan Kebenaran yang sampean peroleh. Saya akan selalu berdoa bagi keselamatan sampean, Aham serta Twam. Saya akan selalu mengingat sampean semua , kata saya penuh haru, Saya akan mengingat kalian semua apabila Aham menangis, tertawa, tidur, dan mengoceh. Saya akan terus mengingat semua kebaikan sampean meski saya tidak bisa lagi melekatkan diri kepada sampean semua. Tetapi, tetaplah sampean ingatingat dan sampean amalkan akan apa yang pernah saya ajarkan kepada sampean.
Rajesh dan Reekha bersimpuh di lantai dengan hati pedih. Dan ketika saya melangkah perlahan-lahan meninggalkan mereka, saya dapati suasana pagi masih sunyi dengan kicau burung bersahutan di pepohonan. Di antara detak langkah saya, sayup-sayup saya dengar isak tangis menggema dari segenap penjuru mata angin. Anehnya, gema isak tangis itu seolah-olah menggema dari dalam jiwa saya sendiri.?"?"
Angan-angan sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Itulah yang sedikitnya telah saya alami dalam hidup. Perjalanan panjang meninggalkan kuil Hanoman yang sebelumnya saya bayangkan akan penuh diliputi kesengsaraan dan penderitaan, ternyata tidak terbukti mewujud dalam kenyataan. Bahkan kelihatannya, sejak saya meninggalkan kuil Hanoman, segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan saya sepertinya sudah diatur sedemikian rupa hingga menawarkan kemapanan dalam segala hal. Bayangkan, ketika saya berjalan terseok-seok menggendong Aham dengan diikuti Twam, mendadak saja di tengah jalan antara kota Ujjain dan kota Agra, kami berjumpa dengan Laxmi Devi yang membawa mobil sendiri hendak pakansi ke Srinagar. Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu Laxmi Devi melihat kami yang sedang berjalan di trotoar dan kemudian dengan sukarela menghentikan mobilnya dan menawari kami untuk ikut menumpang mobilnya..
Semula saya menolak ajakannya untuk ikut serta bersamanya ke Srinagar karena dia kebetulan pergi seorang diri. Tetapi, setelah dia menyinggung masalah kesehatan dan keselamatan Aham, maka saya mesti berpikir yang masuk akal bahwa bayi kecil itu bagaimanapun tidak boleh menderita karena saya. Aham adalah Aham, makhluk kecil yang memiliki gariskeputusan nasib sendiri. Dia bukan saya, dan saya sama sekali tidak ada hak untuk menyengsarakan dia demi kepentingan saya. Dia mesti cukup minum susu dan cukup makan.
Akhirnya, saya menyetujui untuk ikut Laxmi Devi ke Srinagar dengan janji bahwa yang mengemudikan mobil selama perjalanan adalah saya. Laxmi Devi sendiri harus duduk di jok belakang menunggui Aham. Sementara Twam saya biarkan duduk di bangku sebelah saya. Tawaran ke Srinagar yang jauh itu saya terima saja, mengingat saya tidak memiliki tujuan yang pasti setelah meninggalkan kuil Hanoman.
Sepanjang jalan Laxmi Devi terus berkicau bagai burung kutilang. Dia menceritakan bagaimana sunyinya rumah yang ditinggalinya sejak saya pergi. Dia menceritakan bahwa ayahnya, Tuan Arvind, sering duduk sendiri pada malam hari bagai menyesali keputusannya menolak kehadiran Aham dan Twam. Dan beberapa pekan silam, Tuan Arvind menerima kabar burung bahwa saya menjadi avatar di sebuah desa dekat Amravati. Sayangnya ketika Laxmi Devi dan ayanhnya ke tempat itu, ternyata saya sudah pergi beberapa jam sebelumnya.
Tapi dasar jodoh, kita pun akhirnya bisa ketemu juga tanpa sengaja, kata Laxmi Devi menepuk bahu saya dari belakang. Saya merasakan darah saya berdesir keras.
Saya mengkertak gigi dengan tingkah Laxmi Devi yang bisa saya golongkan ingin memancing syahwat saya. Saya mulai sadar, bahwa ujian yang akan saya hadapi akan jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Saya sadar bahwa andaikata Tuhan menguji saya dengan kesengsaraan dan penderitaan mungkin saya akan mampu menahannya. Tetapi, ujian-ujian yang menyangkut keserba-mapanan dan keserba-indahan justru sering meruntuhkan orang, di mana hal itu mungkin juga akan terjadi pada diri saya. Saya pun, meski sudah melewati berbagai ujian dan pengalaman yang menggetarkan, toh pada kenyataannya saya tetaplah manusia berkelamin laki-laki yang belum mati dan nafs sufliyyah saya masih siap meletus kapan saja dia disulut. Dan tepukan Laxmi Devi pada bahu saya barusan, setidaknya merupakan penanda bagi akan datangnya ujian demi ujian berat yang akan saya lewati.
Sepanjang perjalalan, saya merasakan betapa tersiksanya saya mengatasi sentakan-sentakan birahi dan kelebatan imajinasi yang ganti-berganti di otak saya. Anehnya, dalam keadaan seperti itu sirru l haqq di pedalaman jiwa saya justru seperti tersembunyi dalam selimut kabut, sehingga dalam banyak hal saya lebih mengandalkan pergulatan antara akal dan perasaan saya. Dan hal yang demikian itu, sungguh merupakan siksaan tersendiri bagi saya.
Perjalanan ke Srinagar ternyata bukan perjalanan yang dekat, melainkan perjalanan yang sangat jauh dari Amravati, yaitu kira-kira sejauh 2000 kilometer. Selama mengatasi jarak perjalanan yang melelahkan, saya harus memerangi gempuran nafsu saya yang sering menggelegak tanpa kendali mengaliri jaringan pembulu darah saya sewaktu saya berada dekat dengan Laxmi Devi. Untuk mempercepat perjalanan, sejak dari New Delhi saya mengambil jalur sepanjang Karnal-Ambala- Ludhiana-Jullundur. Setelah itu menikung ke utara ke jalan baru jurusan Pathankot lewat Mukerian. Sore hari, setelah melesat di jalanan selama tiga hari tiga malam, kami tiba di Jammu dan Laxmi Devi langsung mengajak menginap di Dak Bungalow, sebab perjalanan ke Srinagar masih sekitar 305 kilometer lagi.
Sejak April sampai Mei, kawasan Kashmir memasuki musim semi di mana angin bertiup keras dan dingin di mana taman-taman bunga membentang bagai permadani alam digelar dewa-dewa dengan wangi semerbak memenuhi bumi. Bunga khatayee terlihat bergoyang-goyang di antara bunga Na"ve yang mirip terompet. Di hampir setiap taman, bunga-bunga menyembul gembira seolah-olah ingin dipetik tangan indah gadis-gadis Khasmir yang berlarian manja di bawah bunga Gol Mirjan yang berguguran memenuhi permukaan bumi. Di antara beribu-ribu jenis bunga, hanya bunga Gol Aftab yang saya kenal baik karena bunga itu tiada lain adalah bunga matahari yang kuning menghampar laksana permadani.
Laxmi Devi sendiri semula menginginkan saya untuk tidur satu kamar dengannya, di mana dia tidur di kasur dengan Aham sedang saya tidur di lantai bersama Twam, tetapi hal itu tentu saja saya tolak. Saya sadar bahwa saya tidak akan kuat mengatasi nafsu birahi saya apabila berada dalam satu kamar dengan seorang gadis secantik dan semolek Laxmi Devi, apalagi dalam musim dingin yang jekut seperti ini. Akhirnya, untuk mengirit biaya, saya memutuskan untuk tidur saja di mobil bersama Twam. Aham sendiri saya suruh tidur bersama Laxmi Devi.
Laxmi Devi sendiri sebenarnya menginginkan saya bersedia mengantarnya ke kuil Vaishno Devi di Katra yang jaraknya sekitar 59 kilometer dari Jammu. Tetapi, saya dengan halus menolaknya, dengan alasan kami tidak bisa membawa Aham ke kuil tersebut yang cukup tinggi letaknya di lereng Gunung Himalaya. Laxmi Devi hanya tersenyum mendengar alasan saya. Dan saya baru tahu makna senyumnya ketika kami tiba di Srinagar, karena pada kenyataannya, Srinagar lebih tinggi letaknya dibanding Katra.
Di Srinagar, Tuan Arvind ternyata memiliki rumah yang cukup besar yang terletak di Jl. Batsyah, tidak jauh dari Mahalaxmi Hotel. Kediaman Tuan Arvind tersebut, menurut Laxmi Devi, sudah ditetapkan atas namanya. Sementara rumah tersebut belum dihuni, Laxmi Devi menggaji Ranjit dan Shakuntala, dua suami-istri yang sudah tua dan tanpa anak. Ranjit dan Shakuntala teryata jauh berbeda dengan Ashok yang hidup sehari-hari di lingkungan keluarga Tuan Arvind. Kesan Ranjit dan Shakuntala terhadap Tuan Arvind terutama terhadap Laxmi Devi sangat baik. Dia sangat memuji kecantikan dan kebaikan hati Laxmi Devi yang dibayangkannya seperti Mahalaxmi Devi. Dan propaganda tentang Laxmi Devi makin keras kalau juru kampanyenya adalah Shakuntala, yang menurut pengakuannya pernah menjadi pelacur di masa kolonial Inggris dulu.
Ranjit dan Shakuntala adalah orang-orang jujur yang tidak merasa perlu menyembunyikan masa silamnya. Ranjit sendiri menurut pengakuannya adalah bekas seorang pencuri yang suka mengambil bendabenda milik orang Inggris. Dia mengaku ketemu Shakuntala di rumah bordil Calcuta, di mana Shakuntala ketika itu menjadi langganan utama tentara-tentara Inggris. Setelah kemerdekaan, mereka sepakat untuk kawin dan memulai hidup baru sebagai pelayan hotel di Srinagar. Dari berbagai pengalaman itulah mereka akhirnya mengenal Laxmi Devi yang melihat kesungguhan mereka, di mana mereka pun akhirnya dipercaya untuk menunggui rumah Laxmi Devi beserta isinya.
Ranjit sendiri kepada saya mengaku terus terang kalau dia sering juga memperbolehkan turis-turis asing untuk menginap di rumah Laxmi Devi, karena memang Laxmi Devi sudah memberikan izin sebagai honor tambahan. Tapi, itu pun dilakukan hanya pada waktu tertentu saja, karena bagi Ranjit dan Shakuntala, yang dibutuhkan bukanlah uang melainkan keakraban dengan orang-orang asing yang tentunya memiliki cerita bermacam-macam. Ranjit mengaku suka dongeng-dongeng. Dia mengaku sering merasa kesepian karena tidak memiliki anak. Dan kehadiran orang-orang di sekitarnya tentulah akan menjadi sangat berarti untuk mengurangi kesepian hidupnya yang sunyi.
Kehadiran kami di tengah mereka tentu saja sangat membuat kebahagiaan yang tiada tara. Ranjit dan Shakuntala yang pada dasarnya sangat merindukan anak tampak begitu tenggelam dalam kesibukan mengurusi Aham. Pagi-pagi sekali Ranjit sudah terlihat berlari-lari sepanjang jalan untuk membeli susu hangat bagi Aham. Shakuntala pun sering terdengar menyanyi gembira sambil mengayun-ngayun tubuh Aham di dalam gendongannya. Celakanya, mereka berdua menganggap bahwa saya adalah suami Laxmi Devi dan Aham adalah anak kami.
Dengan pandangan semacam itu, saya menjadi kebingungan sendiri. Sebab kalau saya menyatakan bahwa saya bukan suami Laxmi Devi, maka mereka tentu akan menganggap Laxmi Devi sebagai pembohong yang mengada ada, karena menurut mereka Laxmi Devi sendirilah yang menyatakan bahwa saya adalah suaminya. Saya sendiri sadar bahwa apa yang diomongkan Laxmi Devi kelak harus saya luruskan. Tetapi, saya sungguh tidak sampai hati setiap bertemu dengan Laxmi Devi yang menatap saya dengan pandangan sendu seolah-olah minta dilindungi dan dikasihi. Sungguh, saya tidak sampai hati untuk menjadikan Laxmi Devi sebagai pembohong di depan Ranjit dan Shakuntala.
Akhirnya, setelah berpikir tak kurang dari tiga hari, saya memutuskan untuk memperjelas masalah saya dengan Laxmi Devi pribadi. Dia saya ajak bicara di luar rumah agar lebih bebas dan tidak diketahui Ranjit maupun Shakuntala. Dan Laxmi Devi menyatakan kesediaannya untuk bicara di danau Dal. Kenapa jauh-jauh ke danau Dal" tanya saya. Danau Dal tidak jauh, kata Laxmi Devi, Hanya beberapa kilometer dari Srinagar ke arah Shalimar.
Saya tidak dapat menolak terlalu keras setelah melihat mata Laxmi Devi berkaca-kaca hendak menangis. Saya tahu bahwa dia merasa saya abaikan selama ini. Tapi, bagaimana pun, saya tidak ingin jatuh dari titian jembatan ruhani saya. Karena itu, selama perjalanan menuju danau Dal, saya merangkai berbagai alasan yang sekiranya tidak menyinggung Laxmi Devi sekaligus bisa membebaskan saya dari jerat-jerat cintanya yang diam-diam mengepung.
Danau Dal sendiri ternyata sebuah danau yang luas dan indah dengan taman dan pulau di tengahtengahnya. Air danau berkilau-kilau bagai Kristal dengan teratai mengambang di atasnya. Perahu-perahu kecil yang panjang yang dipenuhi bunga-bunga Gul Yarkand, Gul Daood, Sosun, Shev Dhanna dan Khatayee terlihat hilir mudik menunggang gelombang. Para pembawa perahu itu menjual bunga-bunga kepada para turis yang menyewa rumah-rumah di atas air. Sementara burung-burung Diva Kav, Kakov, Tech, Wan Bulbul, dan Sheena Pi Pin beterbangan sambil mencericit melagukan keindahan alam di sekitarnya.
Ketika Laxmi Devi mengajak saya ke taman di tengah danau dengan menaiki perahu, saya menolak. Saya mengatakan dengan terus terang bahwa saya takut melakukan hal-hal yang dilarang agama. Laxmi Devi kelihatan merah pipinya mendengar jawaban saya. Tetapi sebagai perempuan, dia masih bisa mengelak bahwa dia tidak pernah memiliki pikiran buruk seperti saya. Dan saya pun dengan rendah hati menyatakan bahwa setiap laki-laki pada dasarnya memiliki pikiranpikiran buruk setiap kali berada di dekat perempuan. Dan Laxmi Devi tampaknya puas dengan jawaban saya.
Sekarang kita bicara di sini saja, kata Laxmi Devi sambil bersimpuh di atas rumput. Saya ikut duduk di dekatnya. Namun, entah bagaimana awalnya, mendadak saja pikiran Saya dikelebati bayangan buruk tentang kisah pewayangan lakon Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi yang gagal mengajarkan Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Hati saya tercekat. Saya buru-buru mengambil tempat duduk di atas sebuah batu yang menonjol yang jaraknya sekitar dua meter dari Laxmi Devi duduk.
Setelah suasana hati saya agak terkendali, saya mulai membicarakan sekitar pandangan keliru Ranjit dan Shakuntala yang menganggap saya sebagai suami Laxmi Devi. Laxmi Devi tersentak mendengar katakata saya. Tapi dengan menguatkan hati dia berkata:
Saya terpaksa mengatakan begitu, Sudrun, sebab saya tidak melihat kemungkinan lain untuk menjelaskan dengan apa adanya hubungan kita yang sesungguhnya. Sampean mungkin marah dengan kenyataan tersebut. Tetapi sampean mesti tahu, bahwa saya adalah seorang perempuan. Apa yang menjadi omongan orang kalau saya pergi dengan seorang lelaki dan seorang bayi yang bukan apa-apa saya"
Sampean mungkin bisa beralasan macam-macam untuk menyalahkan sikap saya. Saya bisa memaklumi itu, sebab saya menyadari bahwa sampean bukan perempuan yang mau mengerti perasaan dan jalan pikiran perempuan. Karena itu kalau sampean marah kepada saya, saya persilakan sampean marah. Cekiklah leher saya sampai saya mati. Kalau saya mati, cukuplah sampean menceburkan tubuh saya di danau Dal, dan sampean bisa pergi meninggalkan Kashmir dengan bebas.
Kenapa sampean menganggap saya sejahat itu" sahut saya tidak senang.
Karena saya merasakan bahwa sampean membenci saya.
Sampean keliru menafsirkan sikap saya, kata Saya terus terang, Sebab saya tidak membenci siapapun, dan saya selalu berusaha untuk tidak mencintai siapa pun.
Omongan sampean aneh sekali, gumam Laxmi Devi.
Sampean tentu tidak mengerti kenapa saya memiliki pandangan seperti itu, kata Saya menjelaskan, Sebab sampean tidak pernah menyadari bahwa kesengsaraan hidup adalah berawal dari keterikatan orang seorang terhadap segala apa yang menjadi miliknya. Keterikatan itulah yang menimbulkan rasa kehilangan, keterpisahan, kesunyian yang semuanya adalah penderitaan. Hanya mereka yang tidak memiliki yang tidak akan pernah kehilangan.
Sampean terpengaruh prinsip hidup Buddhisme, kata Laxmi Devi datar, Pandangan hidup sampean tidak mencerminkan sikap hidup seorang muslim sejati.
Saya tidak akan bicara soal Buddhisme, kata saya menjelaskan, Saya hanya ingin menjelaskan kepada sampean bahwa Islam mengajarkan agar orang tidak mengikatkan diri kepada sesuatu yang bersifat bendawi. Islam mengajarkan bahwa harta benda dan anak serta istri bukanlah menjadi milik seseorang, sebab segala sesuatu yang melingkari hidup seseorang adalah milik Allah. Mahasuci Allah, yang di tangan-Nya tergenggam segala kerajaan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu (QS. al-Mulk: 1). Oleh sebab itu, bagi manusia hanya diperkenankan menjaga dan memelihara apa yang menjadi milik Allah sebagai amanat, sehingga dalam setiap gerak-gerik seseorang yang mengaku muslim haruslah membaca kesaksian BISMILLAH, yakni persaksian atas nama Allah, sebab manusia hanya berbuat sesuatu sebagai wakil dari Allah di atas bumi. Sementara manusia memang tidak memiliki sesuatu, bahkan atas nyawa dan tubuhnya sendiri. Dan ketahuilah, bahwa Allah tidak menjadikan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk menyembah-Nya (QS. adz- Dzariyaat: 56).
Kalau Islam mengajarkan demikian, kenapa Rasulullah SAW mewajibkan umatnya untuk kawin dan memiliki harta benda" sergah Laxmi Devi cepat.
Ketahuilah, o Laxmi Devi, bahwa sesungguhnya harta dan anak-anak itu tiada lain hanyalah ujian (QS. at-Taghabun: 15), dan akan celakalah orang-orang yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung hartanya serta menganggap bahwa hartanya itu akan bisa memeliharanya (QS. al Humazah: 2-3).
Tetapi perlu sampean ketahui, bahwa dengan pandangan itu bukan berarti orang Islam harus miskin semua dan hidup mengasingkan diri dari dunia. Orang Islam harus mempunyai harta kekayaan yang berlimpah sehingga mereka bisa menunaikan ibadah haji dan beramal jariyah yang lain dalam rangkaian jihad fi sabilillah. Tetapi tetaplah orang harus ingat bahwa apa yang dimiliki seseorang itu adalah milik Allah yang sewaktu-waktu akan diambil oleh-Nya.
Apakah itu berarti kita boleh mempunyai sesuatu tetapi tak boleh menambatkan hati kita pada apa yang kita punyai itu" tanya Laxmi Devi.
Ya, begitulah, sahut saya senang karena Laxmi Devi tampaknya memahami apa yang kami bicarakan, Jangan sampai kita menyatakan bahwa segala milik kita adalah tambatan seluruh hidup kita.
Apakah dengan begitu kalau satu saat kita dirampok orang jahat tak perlu melawan" tanya Laxmi Devi memburu, Bukankah semua yang kita miliki bukan milik kita"
Itu adalah pemahaman yang naif dan keliru, sebab yang kita jaga dan kita pelihara adalah milik Allah yang diamanatkan kepada kita. Karena itu, wajib bagi seorang muslim untuk membela sampai mati atas amanat Allah yang dipikulnya.
Pembicaraan kami terus berlangsung dari soal hak dan kewajiban manusia sebagai wakil Allah di atas bumi. Laxmi Devi tampaknya gadis yang cukup cerdas meski dia sangat sulit menerima jalan pikiran saya yang sangat bertolak belakang dengan jalan pikirannya. Dan Saya bisa memaklumi karena pandangan seumumnya perempuan tentang materi memang khas dan sulit diluruskan, sehingga wajar sekali kalau Rasulullah SAW ketika akan wafat menitipkan masalah perempuan kepada umatnya. Ya, perempuan adalah saluran yang paling gampang dari godaan iblis untuk menyesatkan manusia, yang hal itu sudah termanifestasikan dari kisah Hawa yang menyeret Adam ke perbuatan dosa.
Akhirnya setelah berbicara panjang-lebar, Laxmi Devi seperti memahami pandangan saya. Bahkan dia berjanji apabila satu saat nanti saya mendapat panggilan ruhani untuk melakukan uzlah, maka dia akan memelihara Aham dan Twam sebagai ibu yang baik. Dan hati saya merasa terenyuh ketika dia menyatakan akan tetap setia memelihara Aham, bahkan dengan keadaannya seperti sekarang ini yang dianggap Ranjit dan Shakuntala sebagai istri saya. Dia memohon agar Saya tidak menceritakan hal yang sebenarnya kepada Ranjit dan Shakuntala tentang hubungan kami, sebab hal itu menyangkut kehormatannya.
Saya tidak ingin dirasani orang sebagai gadis lajang yang tidak laku kawin. Karena itu, saya merasa bahwa status saya sebagai istri sampean akan sedikit memberi muka bagi saya. Dan yang penting orangorang tahu bahwa saya pernah kawin dan bisa punya anak.
Kalau begitu sampean memojokkan saya, kata saya.
Memojokkan bagaimana" tanya Laxmi Devi bingung.
Sebab dengan ngomong bahwa status sampean adalah istri saya, maka saya harus kelihatan terusmenerus bersama sampean. Ini benar-benar merantai hidup saya, kata saya.
Lho, tidak ada yang mengikat sampean dengan rantai, kilah Laxmi Devi agak tersinggung, Sampean boleh saja pergi ke mana pun sampean suka. Kalau saya bebas seperti itu, status sampean sebagai apa"
Orang boleh menduga saya sebagai janda, kata Laxmi Devi menyergah, Sebab bagi saya status janda adalah jauh lebih baik daripada status perawan lapuk tidak laku kawin.
Sampean ini sembrono banget, kata saya geli. Sembrono" tanya Laxmi Devi heran. Ketahuilah, o Laxmi Devi, bahwa dengan status sampean sebagai janda, maka kemungkinan sampean untuk memperoleh cinta yang tulus dari seorang lelaki sangatlah tipis. Sebab kebanyakan lelaki mengawini janda tidaklah didasari atas rasa cinta, tetapi hanya didasari nafsu semata. Saya laki-laki, Laxmi Devi, dan saya tahu pasti pandangan lelaki tentang perempuan, terutama janda.
Aduh, saya bingung, seru Laxmi Devi tertahan, dan tiba-tiba saja air matanya menetes membasahi pipinya yang kemerahan meski ia kelihatan berusaha menahan tangisnya. Akibat menahan tangis, dada Laxmi Devi tampak naik turun di tengah isak tangisnya yang tersendat.
Melihat Laxmi Devi yang kebingungan dan terisakisak, hati saya merasa terenyuh seolah-olah saya dapat merasakan kepedihan perasaannya. Dan dalam keharuan, tanpa berpikir panjang saya menggumam seolah-olah tanpa saya sadari:
Sudahlah, Laxmi Devi, pasrahlah sampean kepada keputusan Allah yang menentukan segalagalanya bagi kehidupan makhluk-Nya. Ketahuilah, bahwa apa saja nikmat yang sampean peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpa sampean adalah dari diri sampean sendiri (QS. an- Nisaa : 79). Oleh sebab itu, berprasangkalah yang baik terhadap Allah bahwa tidaklah Beliau memberikan yang terburuk bagi sampean atas sesuatu yang tidak sampean sukai, melainkan ada sesuatu yang sejatinya dikehendaki Beliau yang terbaik untuk sampean. Yakini itu.
Laxmi Devi makin menangis tersedu mendengar uraian saya. Dia rupanya merasa terkena tikam oleh kata-kata saya. Dan akhirnya, dia mengakui bahwa dia memang sering diam-diam menggerutu atas nasib yang diberikan Allah kepadanya sebagai perempuan cantik yang cerdas dan kaya raya, tetapi tidak laku kawin. Dia mengaku sering menyumpahi Allah sebagai Tuhan yang tidak adil.
Sampean seharusnya merasa bersyukur, bahwa dalam keadaan seperti itu sampean masih setia menjalankan perintah agama, sehingga sampean masih sadar diri. Padahal banyak di antara perempuan yang mengalami nasib seperti sampean, yang tidak laku kawin, memilih jalan sesat terjerumus ke jurang kesesatan yang mengerikan.
Ya, saya tahu, bahwa banyak sekali gadis-gadis yang belum kawin dalam usia di atas 25 tahun yang akhirnya putus asa dan menjadi perempuan penjual diri.
Yang saya maksud bukan itu, kata saya menukas. Kalau bukan itu, lalu apa yang sampean maksud" tanya Laxmi Devi ingin tahu.
Di negeri saya, ada sebuah kuburan keramat yang terletak di atas sebuah bukit bernama Gunung Kemukus, kata saya menceritakan kegiatan sesat para penyembah kuburan di antara sebangsa saya, Kuburan itu, konon makam Jaka Samudra, yaitu seorang pemuda yang telah berbuat serong dengan ibu tirinya. Gadis-gadis lajang, perawan tua, dan jandajanda kembang yang kepingin kawin, berbondongbondong berziarah ke kuburan itu pada malam hari. Dan salah satu syarat agar permohonan mereka terkabul, mereka diwajibkan melakukan persetubuhan dengan lelaki yang ditemuinya di tempat itu. Begitulah mereka bersetubuh di sekitar makam itu secara beramai-ramai agar keinginannya terkabul.
Laxmi Devi terbelalak mendengar cerita saya. Tetapi sedetik kemudian dia menunduk sambil menangis terisak-isak, seperti menyesali diri. Dan terus terang, sebagai laki-laki yang normal, saya sempat tersentuh juga meliha gadis secantik Laxmi Devi menangis di depan saya. Tetapi bayangan kisah Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi mendadak berkelebat di relung benak saya, hingga saya berusaha untuk menyadari bahwa saya tidak boleh mengikuti perasaan sampai hanyut terseret arus pesona yang ditebar Laxmi Devi.
Setelah berbicara tanpa arah ke Utara, Selatan, Barat, dan Timur secara panjang-lebar, akhirnya saya menyetujui saja kehendak Laxmi Devi untuk mengakukan dirinya sebagai istri Saya. Hal itu saya anggap saja sebagai pengorbanan saya untuk menjaga nama baiknya, sebab saya melihat betapa pentingnya hal itu bagi dia meski bagi saya bisa saja itu sangat merugikan. Tetapi mengenai status Aham, Saya menolak keras kehendak Laxmi Devi. Sebab bagaimana pun Aham harus tahu statusnya sejak dia masih kecil bahwa dirinya adalah anak angkat yang ditemukan di pinggir jalan. Ini penting, karena hal itu menyangkut hukum agama. Dengan menyadari eksistensi dirinya, saya berharap Aham dapat berdiri teguh di atas kepribadian yang mandiri, sehingga kalau di satu saat nanti dia menjadi manusia besar, maka dia bisa menyatakan dengan jujur dan tegar bahwa kebesaran yang dicapainya adalah kebesaran dirinya sendiri, sekali-kali bukan karena dikatrol kebesaran orang tuanya.?"?"
Apa yang saya putuskan mengenai status Aham, tidak lain dan tidak bukan memang merupakan ajaran Islam. Untuk selanjutnya, saya memang tidak berkata sepatah kata pun kepada Ranjit maupun Shakuntala tentang pengakuan Laxmi Devi sebagai istri saya. Tetapi jauh di lubuk hati Saya menyembul semacam keyakinan bahwa cepat atau lambat kebohongan Laxmi Devi akan terbongkar meski tidak melalui mulut saya. Sementara itu untuk menghindari munculnya fitnah atau menjauhkan kemungkinan agar rahasia Laxmi Devi tidak terbongkar, saya sehari-hari berusaha berada di luar rumahnya, terutama kalau malam hari Saya selalu berdzikir di Masjid Jama hingga Subuh.
Pengurus masjid yang melihat saya sebagai satusatunya jama ah yang paling kuat duduk berlama-lama dalam dzikir, kelihatan menaruh simpati. Lalu mereka pun sering mengajak saya beromong-omong sampai larut dalam berbagai hal terutama yang menyangkut masalah keruhanian. Dari merekalah saya mengetahui bahwa Masjid Jama yang disanggah 327 pilar itu dulunya didirikan oleh Sultan Sikandar Shah pada tahun 1388 Masehi, yaitu sezaman dengan era pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Menurut cerita: pada tahun 1462 masjid itu rusak binasa oleh api. Sultan Mohammad Shah kemudian membangunnya kembali tahun 1473. Tapi untuk kedua kalinya Masjid Jama terbakar hancur dan dibangun kembali oleh Aurangzeb putera Shah Jehan pada tahun 1665. Nasib malang kembali menimpa Masjid Jama , karena untuk yang ketiga kalinya terbakar hancur. Masjid baru dibangun kembali tahun 1916.
Masjid lain selain Masjid Jama di Srinagar yang sering saya kunjungi adalah Masjid Pathar yang terletak di tepi kiri Sungai Jhelum. Masjid itu, menurut riwayat, dibangun oleh puteri Noor Jahan, istri Raja Jahangir. Masjid kuno yang lain yang juga sering saya kunjungi adalah Masjid Shah Hamadan yang terletak di tepi kanan Sungai Jhelum. Masjid Shah Hamadan ini terbuat dari kayu yang indah penuh ukir-ukiran.
Menurut riwayat masjid ini dibangun oleh Syaikh Hamadan, tokoh asal Persia yang datang ke Kashmir saat Sultan Quthbuddin berkuasa tahun 1379. Itu artinya, Masjid Shah Hamadan lebih tua dibanding Masjid Jama .
Setelah berdzikir ganti-berganti di tiga masjid tua tersebut, pada satu malam yang dinginnya menusuk tulang, tiba-tiba saja saya didatangi Chandragupta yang muncul dengan tak terduga-duga di depan saya. Meski tersentak, tetapi saya tidak terkejut, karena saya sudah membaui wangi kesturi yang menebar dari tubuh Chandragupta yang sudah saya kenal. Chandragupta sendiri dengan tenang duduk bersila di hadapan saya sambil mengucap salam. Anehnya, saya tidak bisa membedakan apakah saat itu berada di dalam salah satu dari tiga masjid tua itu ataukah berada di sebuah dimensi yang bukan di dunia. Saya merasa seperti berada di suatu tempat yang bercahaya temaram dengan hawa dingin dan keadaan hening.
Dalam keheningan yang dingin itu, saya mendengar tetes-tetes air jatuh menimpa bebatuan di tengah suara gemericik air yang mengalir di kejauhan. Aneh sekali suasana malam itu. Lalu tanpa pernah saya bayangkan sebelumnya, Chandragupta berkata dengan suara diliputi semacam wibawa harimau yang membuat gentar siapa pun yang mendengarnya.
Ketahuilah, o Saya, bahwa engkau sekarang sudah mulai mendaki Jamu l Jam, desah Chandragupta dengan suara seperti desau angin di padang ilalang.
Sampean memanggil nama saya yang sebenarnya" tanya saya heran, Bagaimana mungkin sampean bisa tahu kalau nama saya yang sebenarnya adalah Saya "
Ketahuilah, o Saya,, bahwa keragaman nama di antara kita sudah lebur. Sudrun sudah hilang. Chandragupta pun sudah musnah. Yang tinggal hanyalah Saya yang memiliki kaitan dzat dan sifat yang sama.
Saya belum mengerti maksud sampean, gumam saya heran.
Ketahuilah, o Saya, bahwa pada tahap tertentu di antara kita terdapat kesamaan yang hanya bisa kita ketahui sendiri. Aku bisa mengetahui engkau, karena aku lebih dulu berada di tahap tersebut, sementara engkau baru menaikinya, sehingga engkau belum mengetahui secara pasti siapa aku sebenarnya dan siapa engkau sebenarnya. Karena itu, sejak saat ini kita tidak perlu lagi ber-aku dan ber-engkau serta bertuan satu dengan yang lainnya. Cukuplah engkau menyebut aku dengan sebutan Saya , dan aku pun akan menyebut engkau dengan sebutan Saya . Sebab kita memang aku yang satu yang hanya dipisahkan dan dibedakan oleh bentuk fisik tubuh kita.
Saya termangu-mangu memandangi Chandragupta yang duduk bersila dengan tangan memutar-mutar tasbih. Sekilas saya melihat bahwa pada diri Chandragupta membias bayangan keberadaan saya meski saya tidak tahu bias bayangan apa yang saya tangkap itu. Saya mendadak saja merasakan bahwa Chandragupta bukanlah orang lain melainkan bagian dari diri saya sendiri. Ini sungguh aneh, berkali-kali aneh.
Ada beberapa hal yang ingin aku jelaskan kepada engkau, Saya, sebelum aku meninggalkan engkau sendirian dalam menapaki perjalanan ruhani, kata Chandragupta menyibak keheningan.
Sampean akan meninggalkan saya" tanya saya kaget dan mendadak tubuh saya terasa panas-dingin dan gemetar.
Bukankah engkau sering mengatakan bahwa setiap ada perjumpaan mesti ada perpisahan" gumam Chandragupta seperti menyindir, Bukankah engkau juga sering berkata bahwa siapa yang memiliki pasti akan kehilangan"
Tetapi yang saya maksudkan adalah sesuatu yang bersifat bendawi, kilah saya dengan tubuh menggigil dihajar semacam kegentaran, Saya tidak mengatakan itu dengan maksud untuk terpisah dengan penuntun ruhani saya.
Chandragupta mendadak tertawa renyai, dan derai tawanya menggema dibawa desau angin malam. Kemudian dengan tetap duduk bersila sambil mengelus-elus janggutnya yang lebat dan panjang hingga ke dada, dia menggumam:
Wahai nafs yang dibelenggu maut, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai! (QS. al-Fajr: 27-28). Ketahuilah, apabila sangkakala telah ditiupkan, maka tidak ada lagi pertalian nasab (QS. al-Mu minun: 101). Sadarilah bahwa tiap-tiap nafs telah disempurnakan akan apa yang dikerjakan dalam rangkaian hukum sebab akibat (QS. az-Zumar: 70). Sesungguhnya tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS. al-Mudatsir: 38).
Wahai Saya! seru saya memanggil Chandragupta dengan sebutan Saya, yang membuat saya keheranan sendiri, Mengapakah sampean menafsirkan MUTHMA INNAH dengan sebutan nafs yang dibelenggu maut"
Aku tidak perlu menjelaskan itu sekarang, sahut Chadragupta tersenyum lebar, Sebab satu saat nanti engkau akan mengetahui sendiri makna sejatinya.
Saya menunduk kecewa, tetapi saya segera menyadari bahwa selama ini saya terlalu banyak bertanya daripada merenungkan sendiri suatu persoalan. Itu sebabnya, setelah mendengarkan apa yang dikatakan Chandragupta, saya jadi sadar bahwa bagaimana pun saya harus melakukan perjalanan ruhani seorang diri. Itu sungguh sebuah fakta yang menakutkan. Itu sebabnya, saya membutuhkan bekal-bekal petunjuk dari Chandragupta sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan saya dalam kesendirian.
Chandragupta sendiri ternyata mengetahui gelegak jiwa dan kilasan pikiran saya. Dengan suara lembut diliputi wibawa, dia berkata, Aku tahu engkau mengalami kegamangan dalam meniti jejak langkah seorang diri di atas bentangan jalan ruhani. Padahal, inilah awal pembuktianmu untuk menguji kebenaran kalimat Sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu (QS. Haa Miim: 54); sadarilah, bahwa Allah pelindung orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (QS. al-Baqarah: 257); janganlah engkau syak dan ragu, sebab Dia bersama engkau di mana pun engkau berada (QS. al-Hadiid: 4).
Mendengar ungkapan Chandragupta yang terakhir, hati saya tersentak dan dada saya terasa sesak. Saya merasa bahwa saya selama ini masih dilanda keraguan dan kebimbangan, sebab saya sendiri mengakui betapa naluri saya sebagai manusia masih serng menginginkan bukti rupa dan rasa dari Keberadaan Allah. Karena itu, sekalipun ayat-ayat al-Qur an sudah menegaskan dengan terang, saya masih sering dilanda keraguan karena belum menyaksikan sendiri dengan mata indera akan Keberadaan Allah. Sungguh, sebuah keinginan naif yang membuktikan kebodohan dan kedangkalan ruhani saya.
Chandragupta yang melihat perubahan mimik saya hanya tersenyum sambil terus berkata, Ketahuilah, o Saya, bahwa keraguan adalah awal dari kepastian. Bukankah kepastian tidak akan pernah terjadi tanpa ada keraguan" Oleh sebab itu, wahai Saya, beruntunglah engkau yang termasuk orang-orang yang meragukan Allah. Sebab, hanya mereka yang meragukan yang akan beroleh kepastian. Sebab, hanya yang bertanya yang akan beroleh jawaban. Sebab, hanya yang mencari yang akan menemukan.
Ketahuilah, wahai Saya, bahwa betapa banyaknya manusia yang hanya mewarisi begitu saja akan hakikat pengenalan akan Allah secara turun-temurun. Mereka itu tidak peduli akan apa yang mereka sembah, sebab Tuhan bagi mereka adalah seperti apa yang didongengkan orang tuanya. Bahkan tak jarang terjadi di antara umat Islam sendiri yang memahami keberadaan Allah dengan kekerdilan otaknya yang jahil. Sehingga Tuhan yang dipahaminya bukanlah Tuhan yang seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, melainkan Tuhan yang kerdil dan picik seperti prasangka dan dugaan mereka.
Adakah bekal yang bisa saya peroleh dari sampean, sebelum sampean meninggalkan saya, wahai belahan jiwa saya mulia" tanya saya berharap.
Ingatlah, o Saya, bahwa selama ini engkau masih terikat oleh perasaan suka dan tidak suka atas segala hal yang terjadi di sekitarmu. Karena itu, sejak saat ini engkau harus belajar melepas rasa suka dan tidak suka di dalam dirimu atas sesuatu yang terjadi di sekitarmu. Dengan demikian, apabila suatu saat nanti engkau mendapati sifat iblis dilakukan oleh seseorang di sekitarmu, janganlah engkau membenci atau memusuhinya.
Apa yang harus saya lakukan, jika berada pada keadaan berhadapan dengan orang-orang bersifat iblis" tanya saya heran dan ingin jawaban.
Pujilah Allah yang telah mencipta makhluk-Nya dengan aneka rupa sifat dan perbuatan sehingga membuatmu tergetar olehnya, kata Chandragupta tanpa ekspresi, Pujilah Allah kalau engkau melihat kebaikan maupun kemungkaran yang diperbuat makhluk ciptaan-Nya.
Apakah itu berarti saya harus berpangku tangan melihat sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan ajaran Islam"
Aku tidak menyuruhmu mengambil sikap seperti itu, Saya, aku hanya menyarankan agar engkau melepaskan subjektivitasmu. Artinya, kalau satu saat engkau menemui suatu tindak kebatilan, cegahlah dia dengan tangan, mulut, atau dalam hati; tetapi engkau harus tetap ingat, jangan membenci dia yang melakukan kebatilan.
Renungkanlah akan perilaku Nabi Muhammad SAW ketika mendakwahkan kebenaran Islam. Beliau tidak sampai terperangkap kepada rasa suka dan tidak suka. Bahkan saat beliau dilempari batu dan dibalur tai unta, beliau tetap mendoakan kebaikan terhadap orang-orang yang memusuhi. Bahkan kalau engkau tahu, sekalipun beliau memimpin berbagai peperangan, namun beliau tidak pernah membunuh siapa pun kecuali dijadikan sarana oleh Allah. Sebab beliau tiadalah diutus Allah kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta (QS. al-Anbiyaa : 107) sehingga saat membunuh musuh dalam.perang pun yang melakukan adalah Allah sendiri dengan menjadikan beliau sebagai sarana (QS. al-Anfal: 17). Oleh karena itu, contohlah perilaku beliau yang lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam menyampaikan kebenaran terhadap kaum beriman tetapi bisa tegas terhadap mereka yang ingkar.
Saya akan selalu mengingat pesan sampean untuk meneladani Nabi Muhammad SAW dalam segala hal sesuai kemampuan saya, sebab saya sadar bahwa saya hanyalah manusia dlaif yang tiada seujung kuku hitam dibanding beliau, kata saya.
Chandragupta tertawa lepas dengan suara berderai-derai. Kemudian dengan mendadak dia berkata, Tahukah engkau kenapa satu batu ujianmu sudah terlewati"
Saya belum mengerti sama sekali.
Ketahuilah, Saya, bahwa di saat engkau menguraikan penjelasan kepada Laxmi Devi, maka seketika itulah engkau telah melewati garis pembatas dari samudera dirimu. Engkau sekarang ini sedang meniti tanah genting di antara dua buah lautan penghasil Lu Lu u dan Marjaan (QS. ar-Rahmaan: 19-20-22). Di situlah engkau akan melihat kapal-kapal besar yang memuat umat yang layarnya terkembang laksana gunung-gemunung (QS. ar-Rahmaan: 24), di mana kapal-kapal tersebut adalah ibarat dari agama-agama yang menuju Allah sebagai ibarat pelabuhan harapan. Dan kalau engkau selamat di ujung tanah genting, maka segala yang ada di hadapanmu akan sirna, dan yang tetap tinggal hanya wajah Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Besar (QS. ar-Rahmaan: 26-27).
Saya tahu, bahwa perjalanan saya kali ini akan diuji oleh kebaikan-kebaikan dan kemapanankemapanan yang bisa menjebak dan menghalangi perjalanan saya, kata saya dengan hati berbungabunga, Sebab di atas tanah genting itu, apabila saya goyah oleh pemandangan lautan yang berisi mutiaramutiara indah dan marjaan yang indah, maka saya akan terperosok dan tenggelam di lautan tersebut.
Engkau telah memahami makna rahasia yang tersembunyi di balik ayat-ayat al-Qur an, kata Chandragupta penuh haru, Tetapi tahukah engkau akan keteranganku tadi seputar sebab-musabab langkahmu sampai di tanah genting antara dua lautan"
Ya, seru saya karena saya mendadak saja merasakan kehadiran Siiru l Haqq membentur pengalaman saya, Saya telah memahami penjelasan akan hakikat manusia sebagai pemegang amanat Ilahi.
Engkau bukan sekadar memahami dan menguraikannya, tetapi engkau telah mengamalkannya meski itu belum kau sadari, kata Chandragupta dengan mata berbinar-binar, Oleh sebab itulah kita bisa saling bertemu dalam segala hal. Ketahuilah, Saya, bahwa kebanyakan umat Islam sekarang sudah tidak menyadari lagi bahwa dirinya adalah wakil Allah di atas bumi. Mereka sudah terjebak pada keserakahan dan mengaku-aku sebagai pemilik segala. Padahal, mereka tidak memiliki apapun di dunia in, bahkan tubuh dan nyawa mereka pun bukan milik mereka.
Bersyukurlah engkau yang masih ingat akan keberadaanmu sebagai manusia yang tidak memiliki apa-apa dan tidak dimiliki oleh siapa-siapa kecuali Sang Pencipta. Sebab mereka yang sudah meng-hak-i hak Allah, akan terjerat pada kebendaan dan menjadi takut mati. Padahal Allah sewaktu-waktu akan mengambil milik-Nya dengan cara tak terduga.
Semoga saya dijauhkan Allah dari kecenderungan yang demikian.
Tetapi perlu engkau ketahui, Saya, bahwa mereka yang meng-hak-i hak Allah akan hidup dalam keserbatidak-tenteraman. Mereka akan selalu dirundung kesedihan, kecemasan, keresahan, kegelisahan jiwa, dan rasa sakit karena mereka selalu kehilangan setiap saat. Dan kalaupun mereka mampus, maka mereka pun akan mengalami sakaratul maut yang mengerikan karena jiwanya telahmelekat pada hak milik yang bukan haknya.
Apakah saya punya hak untuk mengingatkan mereka"
Ingatkanlah mereka kalau engkau mampu, kata Chandragupta datar seperti tanpa perasaan, Tetapi engkau tidak akan dapat mengubah mereka, karena Rasulullah SAW telah melihat hal itu akan terjadi pada umat beliau. Oleh sebab itu beliau pernah berkata bahwa suatu ketika nanti umat Islam akan cinta dunia dan takut mati. Itulah penyakit al-wahan yang diderita umat Muhammad SAW. Semoga kita terhindar dari penyakit nista itu.
Tapi maksud saya mengingatkan mereka itu semata-mata hanya dilandasi keinginan untuk menyampaikan apa yang saya ketahui tanpa sedikit pun saya memendam pamrih apakah seruan saya akan diterima atau tidak.
Itulah yang kumaksud dengan keterlepasan jiwa dari rasa suka dan tidak suka.
Apakah yang harus saya lakukan sesudah ini" Lakukan puasa dan uzlah selama 40 hari, kata Chandragupta, Aku sangat berharap, satu saat nanti engkau akan kawin dan beranak-pinak.
Kenapa sampean bilang begitu" tanya saya heran, Padahal saya sendiri tak pernah tahu apakah sampean sendiri punya istri dan anak.
Ketahuilah, Saya, bahwa seorang salik yang kawin akan memiliki maqam beberapa tingkat di atas salik yang tidak kawin. Dan tanpa kujelaskan pun engkau sudah paham itu.
Saya masih termangu penuh takjub dengan uraian Chandragupta ketika tiba-tiba saja dia bergerak cepat memeluk saya. Saya merasakan napas saya sesak didekap dengan erat oleh Chandragupta. Dan saat saya megapmegap berusaha menghirup udara, saya rasakan dekapan Chandragupta melonggar karena tubuhnya berubah menjadi sebentuk gumpalan asap. Sekejap kemudian Chandragupta telah raib ke dalam diri saya.
TIGABELAS M alam merentang laksana kubah biru
dengan bintang-gemintang berkilau-kilau seperti jutaan permata ditaburkan. Sepotong rembulan sabit melengkung bagai busur direntangkan di kaki langit, melesatkan panah waktu menuju kesunyian. Angin pawana berhembus lirih menerbangkan butirbutir salju di bukit-bukit Khilan Marg yang bagai raksasa tidur diselimuti sutera putih kebiruan.
Hening malam yang menyimpan berjuta-juta rahasia melahirkan keindahan dan kebijaksanaan tersendiri bagi jiwa yang mencari. Dan ketika hening malam menggelinding tujuh kali di mana lonceng sunyi berdentang menggemakan panggilan rindu, saya tenggelam dalam kekhusyukan dzikr seibarat perahu diseret arus sungai menuju muara. Sesekali saya merasakan perahu hening saya tenggelam di dalam gelegak arus sungai yang ganas, tetapi sesekali saya merasakan perahu saya terbang ke angkasa.
Sejak pertemuan akhir dengan Chandragupta yang aneh dan menggetarkan, saya memang dicekam?"?" semacam kegelisahan tersendiri. Sebab dari rangkaian kata-kata Chandragupta saya menangkap semacam sasmita bahwa dia seperti mengisyaratkan bakal datangnya kematian saya, di mana dia mengungkapkan tentang Nafs Muthma innah dengan tafsir nafs yang dibelenggu maut. Hampir setiap saat saya memikirkan, apakah makna panggilan Ilahi bagi saya merupakan sebuah kias majazi atau realitas. Dan bagaimana pun persiapan mental sudah saya persiapkan sedemikian rupa untuk menghadapi risiko yang paling berat, termasuk menghadapi kematian, toh dalam fakta saya masih gelisah dengan isyarat kematian yang mendadak itu.
Bagi saya sendiri sebenarnya soal mati bukanlah suatu masalah. Tetapi, saya tentu akan banyak menyusahkan keluarga saya kalau mati di tempat yang jauh secara tak terduga. Saya bayangkan tentu emak saya akan meratap dan menyesali ke-sudrun-an saya yang sejak awal sudah membuatnya susah.
Saya bayangkan emak saya akan mengundang orang kampung untuk tahlilan bagi arwah saya yang tak diketahui kuburnya. Saya bisa membayangkan bagaimana menyesalnya emak saya memiliki anak sudrun seperti saya yang selalu membuatnya sedih sepanjang waktu. Dan bagaimana pun sudrun dan monyetnya saya, saya kira tidak ada manusia di dunia yang mencintai dan menyayangi saya sedemikian rupa tulus kecuali emak saya. Malam apabila sunyi sudah mengabut, sering saya dapati bayangan emak saya masuk ke dunia mimpi saya, terbang ke angkasa menyuarakan kidung kehidupan untuk meninabobokkan jiwa saya yang liar.
Ya, emak saya tentu akan menyesal seumur hidup apabila mendengar kabar kematian saya tanpa tahu di mana kubur saya. Saya bayangkan emak saya akan bertanya ke sana ke mari, menanyakan letak kubur anaknya yang bengal. Bahkan saya bayangkan emak saya akan memohon kepada Tuhan agar dia bisa menggantikan nyawa saya dengan nyawanya. Emak saya tentulah akan berdiri melindungi saya dari malaikat yang akan mencabut nyawa saya. Dan tentu dengan sukarela emak akan menawarkan nyawanya sebagai pengganti nyawa saya. Dan saudara-saudara saya tentu tidak akan bisa mengibur kesedihan hati emak saya.
Dari kegelisahan membayangkan kesedihan emak saya, pikiran saya melesat memasuki dunia Aham dan Twam serta Laxmi Devi. Saya bayangkan Aham yang mungil menangis di tengah sunyi malam seolah mengharapkan dekapan saya. Saya bayangkan Twam menguik-nguik memanggili saya seolah ingin saya belai kehalusan bulu-bulunya. Dan saya membayangkan Laxmi Devi yang setia akan keropos digerogoti usia menjadi perempuan tua lapuk yang hanya hidup dalam khayalan sebagai istri saya. Semua bayanganbayangan buruk tentang orang-orang di sekitar saya, saya rasakan makin lama makin meresahkan dan menyiksa jiwa saya.
Tetapi, dalam keadaan gelisah sedemikian rupa, tiba-tiba saja pada hari ketujuh dari riyadhoh puasa saya, bayangan bapak saya berkelebat memasuki benak saya. Tiba-tiba pula saya mengingat pesan beliau menjelang kematiannya, bahwa bayangan terakhir yang melekat pada jiwa seseorang di saat menjelang sakaratul maut, itulah yang akan menentukan perjalanan selanjutnya dari kelangsungan hidup orang yang mati di alam barzakh. Artinya, bapak saya mengatakan, bahwa orang yang sedang mengalami sakaratul maut melekatkan pikiran dan jiwanya pada harta benda dan hal-hal yang bersifat duniawi, maka orang tersebut akan mati dalam keadaan su ul khotimah atau mati yang buruk.
Bapak saya sendiri bukanlah seorang kiai besar yang terkenal namanya di seluruh penjuru. Bapak saya hanya seorang kiai kampung yang memiliki beberapa orang santri yang menimba ilmu ruhani. Tetapi dari beberapa orang murid beliau, saya ketahui bahwa bapak saya memiliki ilmu yang sangat dalam. Ada yang mengatakan bahwa bapak saya memiliki ilmu rahasia yang disebut Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Ada yang mengatakan bahwa bapak saya memiliki ilmu Kibriit Al-Ahmar, yaitu ilmu belerang merah warisan Syaikhul Akbar Ibnu Arabi. Namun, saya sendiri tidak pernah tahu kenapa bapak saya dikatakan memiliki banyak ilmu, padahal saya sendiri tidak pernah mengetahuinya.
Saya sendiri sempat terperangah ketika kematian menjemput bapak saya, terutama karena semuanya berlangsung secara tidak terduga, meski bapak saya sudah mengisyaratkan waktu kematiannya beberapa hari sebelumnya. Saya masih ingat ketika saya dan adik saya duduk di sisi ranjang beliau, dan diberi nasehat tentang berbagai hal. Dan ketika bapak saya berpamitan hendak tidur , kami berdua masih terpukau melihat bapak menarik napas secara aneh sebanyak tiga kali yang dibarengi dengan melesatnya nyawanya dari tubuhnya. Tarikan napas aneh itulah yang disebut tarikan napas terakhir.
Sejak kematian bapak, saya seperti dihadapkan pada obsesi tentang kematian yang selalu memburu saya. Sebab sejak saat itu saya menjadi sering menyaksikan orang melewati masa sakaratul maut-nya secara mengerikan. Dan setiap kali saya menyaksikan orang menjelang sakaratul maut, selalu saja bayangan bapak saya saat menarik napas secara aneh sebanyak tiga kali itu membayang di wajah saya. Ya, bayangan kematian bapak saya dengan kematian orang-orang yang saya lihat senantiasa menjadi obsesi yang memburu saya, bahkan sampai saat ini. Bagaimana mungkin ada orangorang yang mengalami sakaratul maut dengan mata terbelalak dan mulut ternganga sambil mengumpatumpat. Atau meregang nyawa dengan menghitung piutangnya yang tersebar di mana-mana. Atau meregang nyawa selama tiga minggu dengan kesengsaraan sangat mengerikan.
Mengingat akan bapak saya, tiba-tiba saja saya menjadi sadar bahwa bagaimanapun saya harus bisa memisahkan antara yang gair dari Allah dan Allah sendiri. Saya harus bisa menghapus segala macam bayangan diskursif yang melekat di relung-relung kenangan saya. Saya tidak boleh memikirkan sesuatu selain Allah. Saya harus menghadapkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada-Nya, terutama di saat sakaratul mauut.
Angin malam yang menerobos pori-pori saya terasa menggigit tulang-belulang saya dengan gigitannya yang dingin. Tapi seperti anak panah melesat dari busurnya, begitulah konsentrasi saya tancapkan ke titik sasaran utama. Kelebatan cahaya demi cahaya bersimburan menerkam kesadaran saya. Sementara keheningan terus mengguncang hingar-bingar pedalaman saya yang dipenuhi kelebatan-kelebatan roda pikiran saya yang menggelinding tanpa henti. Saya berusaha untuk mengarahkan fokus pikiran kepada merasakan . Ya, saya berusaha untuk merasakan. Merasa. Mengarahkan kesadaran kepada zauq.
Pada satu titik hujaman anak panah konsentrasi saya, tiba-tiba saya melihat semacam terang cahaya merah dan biru berkilau-kilau. Kemudian saya membaui wangi mawar dan melati menyentuh penciuman saya. Tetapi semua itu saya tepis. Saya berusaha untuk meresapi, menghayati, merasakan semua gerak hidup kesadaran saya. Dan saat usaha merasakan itu terasa menggetari seluruh jaringan saraf dan aliran darah di tubuh saya, sebuah pancaran cahaya gemilang yang menyilaukan mata mendadak berpendar di depan saya diiringi suatu bisikan gaib yang membentur jiwa saya. Sekejap, saya seperti dihanyut mimpi ketika di hadapan saya melayanglayang sesosok bayangan manusia di tengah cahaya dengan wajah berkilau-kilau memancarkan sinar cemerlang, yang berangsur-angsur saya ketahui bahwa bayangan itu mewujud dalam rupa bapak saya. Lalu dengan bahasa aneh tanpa kata-kata yang digetari irama musik, bayangan bapak saya yang berpendar di tengah cahaya dengan wajah memancarkan sinar cemerlang itu berkata:
Janganlah kegelisahan jiwa menyeretmu dalam kebimbangan, wahai Saya, sebab tidak akan terjadi sesuatu yang tidak harus terjadi. Dan setiap kejadian sesungguhnya sudah ditetapkan sesuai waktunya.
Saya terperangah takjub menyaksikan bayangan bapak saya yang melayang-layang di tengah cahaya sambil berbicara dengan bahasa tanpa kata-kata kepada saya. Saya mendadak merasakan teriakan kuat menyentakkan rasa rindu di relung-relung jiwa saya yang terdalam. Saya merasakan rangkaian panjang napas saya terjulur jauh menelusuri kilasan-kilasan cahaya yang berpendar di sekitar bayangan bapak saya. Beberapa detik kemudian, saya melihat kumparan cahaya terang menggelombang menelan saya dalam pusaran yang membingungkan. Saya tidak tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi tahu-tahu saya sudah berdiri tegak di depan bayangan bapak saya dalam jarak amat dekat. Anehnya, saya seperti tidak ingat lagi bahwa bapak saya sebenarnya sudah mati. Saya seolaholah berhadap dengan bapak saya yang belum mati yang wajahnya sangat muda memancarkan cahaya keagungan.
Adakah sesuatu yang menggelisahkan jiwamu, o Saya, sehingga pilar-pilar di jagad jiwamu terguncang sangat dahsyat" suara dari bayangan bapak saya menyambar.
Saya merasa bahwa hidup saya di dunia ini tidak akan lama lagi, Bapak, sahut saya memulai percakapan dengan tanpa kata-kata.
Kenapa yang demikian itu engkau risaukan, o anakku" kata bapak dengan wajah berkilau-kilau, Bukankah setiap nafs pasti mengalami mati sebagaimana hukum-Nya yang dirangkai dalam kalimah Kullu Nafsiin Dzaiqaatu l mauut"
Itu saya tahu, tapi bagaimana saya harus menghadapi kematian saya, Bapak"
Dengan memahami hakikat hukum irji i yang diterapkan pada hakikat Nafs Muthma innah, sahut bapak saya datar dan dingin.
Adakah rahasia yang terselubung di dalam Nafs Muthma innah" tanya saya heran.
Tahukah engkau akan huruf-huruf yang membentuk kalam Muthma innah"
Saya melihat ada huruf MIM, THAA, MIM- Hamzah, NUN, NUN, dan TA, sahut saya dengan rasa ingin tahu menggebu, Apakah makna dari rangkaian huruf tersebut"
Ketahuilah, Saya, bahwa di antara huruf MIM dan TA yang terletak di awal dan akhir terdapat makna sejati dari hakikat nafs yang empat, di mana huruf THAA adalah lambang dari THIIN, yakni unsur tanah yang membentuk hakikat Nafs Lawwamah; huruf MIM-Hamzah adalah lambang dari Maa immahiin, yakni unsur air yang membentuk hakikat Nafs Sufliyah; huruf NUN awal adalah lambang dari NAAR, yakni unsur api yang membentuk hakikat Nafs Ammarah; dan huruf NUN kedua adalah lambang dari NUUR, yakni unsur cahaya yang membentuk hakikat Nafs Muthma innah.
Kalau demikian, apakah makna hakiki huruf MIM dan TA yang terletak di awal dan akhir kata Muthm innah"
Huruf MIM adalah lambang dari MA LUL yang merangkum makna AKIBAT yang tiada lain merupakan manifestasi dari sebab-sebab. Wujud konkret dari MA LUL adalah MUTMA ILLU atau manusia yang ditegakkan kukuh yang merangkum makna MAA LAH atau kebun persemaian yang bisa menampung benih yang baik dan benih yang buruk.


Sastra Jendra Hayuningrat Karya Agus Sunyoto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagai manifestasi MA LUL, maka MUTMA ILLU dikabuti oleh hijaab MA ULA sehingga MA:LUL tidak lagi mengetahui ILLAT-nya. Dan MA LUL yang terhijab itulah yang disebut ADAM.
Adapun huruf TA di akhir merangkum dua makna sebagai Hakikat ILLAT dari MA LUL di mana huruf TA adalah lambang dari TANAZZUL dan TARAQQI. Dari TANAZZUL timbullah MA LUL, dan dari MA LUL akan kembali ke TARAQQI. Dengan begitu urutan-urutan TANAZZUL adalah NUUR-NAAR-MAA I-THIIN yang berakhir MA LUL. Dan dari MA LUL kembali ke TARAQQI dengan urut-urutan kebalikan TANAZZUL, yakni THIIN-MAA I-NAAR-NUUR, di mana hukum tersebut dapat diibaratkan orang yang melempar boomerang.
Apakah yang dimaksud dari TANAZZUL ke MA LUL adalah proses kelahiran" tanya saya menerka, Dan apakah yang dimaksud dari MA LUL kembali ke TARAQQI adalah proses kematian"
Demikianlah hukum itu terangkai dalam makna innalillahi wainna ilaihi roji un.
Berarti kata IRJI I dalam surat al-Fajr ayat 28 merangkum panggilan utuh bagi keempat nafs" sahut saya minta penegasan.
Begitulah makna Kullu Nafsiin Dzaaiqaatu l Mauut, di mana tiap-tiap nafs pasti mengalami mati, sebab nafs satu dengan nafs yang lain saling meresapi ibarat peresapan KAIN-BENANG-KAPAS-ATOM, dan begitulah peresapan makna THIN-MAA I-NAAR- NUUR. Dan hanya bagi mereka yang sudah memahami makna hukum tersebutlah yang akan selamat meniti SIRATH yang lurus.
Apakah yang sampean uraikan tentang ILLAT dan MA LUL yang merangkai makna TANAZZUL dan TARAQQI itu merupakan intisari ilmu Kibriit Al- Ahmar"
Segala ilmu adalah milik Allah, dan manusia tidaklah diberi kecuali sedikit sekali.
Kalau begitu apakah yang dimaksud Kibriit Al- Ahmar"
Renungkan akan kalimat Man Amila bima Aliimu warasatullahi ilmaa ma lam ya lam, bahwa barangsiapa yang mengamalkan ilmunya maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang sebelunya tidak diketahuinya. Oleh sebab itu, janganlah menyembunyikan ilmu, sebab ilmu adalah milik Allah.
Apakah yang dimaksud Kibrit al-Al-Ahmar adalah semacam laduni"
Wajah bapak saya mendadak berkilau-kilau merah. Sedetik kemudian memancar rona pelangi di sekeliling kepalanya. Dan sedetik pula cahaya bagai platina memendar dari seluruh tubuhnya menerangi sekitar.
Ketahuilah, Saya, bahwa tidak semua ilmu akan engkau peroleh lewat mata dan telinga inderawimu. Sebaliknya, ada pengetahuan yang memancar dari Qalb yang tiada satu pun makhluk mengetahuinya kecuali Allah sendiri. Dan Kibrit Al-Ahmar adalah makna tersembunyi dari uraian tersebut, sebab tiada akan engkau jumpai keberadaan belerang merah dengan mata inderamu yang hanya mengenal belerang kuning.
Apakah itu berarti sama maknanya dengan Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu yang diajarkan leluhur kita, Kiai Pusponegoro dari jalur ilmu yang diwariskan Sunan Giri dan Sunan kalijaga" Bayangan bapak saya diam.
Saya belum memperoleh pengetahuan itu dalam amaliah, wahai Bapak.
Wajah bapak saya berkilau-kilau kemudian meluncur suara gaibnya seperti memenuhi segenap penjuru, Renungkan segala kejadian yang engkau lewati selama ini dan aku akan mengatakan, bahwa apa yang telah engkau lewati selama ini pada hakikatnya adalah rangkaian dari hakikat Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Hanya saja, engkau belum bisa memilah-milahkan apa yang telah engkau peroleh itu ke dalam pemahaman jiwa dan akal budimu, meski ilmu pengetahuan tidak selalu harus dipahami melalui akal budi manusia.
Apakah Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu bisa dimaknai dengan Ma rifat Billah"
Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah pengetahuan akan hakikat MUTHMA - INNAH sebagaimana yang telah aku uraiakan tadi kepadamu. Dia terangkum dalam makna Syari at- Thariqat-Haqiqat-Ma rifat yang tiada lain adalah manifestasi tersembunyi dari jalan rahasia menguak hakikat Thiin-Maa a-Naar-Nuur.
Apakah itu berarti terjadi dua makna dari sholat syariat dan sholat hakikat"
Itulah pengertian yang keliru, Saya, sebab antara Syariat-Thariqat-Haqiqat-Ma rifat tidak bisa dipisahpisahkan seibarat tidak dapat dipisahkannya Nafs Lawwamah-Nafs Sufliyyah-Nafs Amarah-Nafs Muthma innah. Artinya, di dalam makna shalat sejatinya terangkai rahasia empat makna yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainya.
Yang pertama, adalah shalat jasad yang merupakan manifestasi Taraqqi bagi unsur Thin yang harus tunduk dan patuh kepada hukum-hukum syari at. Yang kedua, adalah shalat Qalbu yang merupakan manifestasi shalat cipta, yang merupakan perwujudan shalat dari unsur Maa a dalam Taraqqi yang disebut dengan Thariqat.
Yang ketiga, adalah shalat Ruuh yang melambangkan shalat jiwa yang memanifestasikan Taraqqi unsur Naar yang disebut hakikat, dan yang keempat adalah shalat Sirr, merupakan manifestasi Taraqqi unsur Nuur yang disebut Ma rifat.
Keempat hal tersebut adalah piranti untuk mencapai derajat ma rifat. Jasad yang diwakili Aql adalah piranti untuk mengetahui perbuatan Allah dalam hukum Illat dan Ma lul. Qalb adalah piranti untuk mengetahui sifat dan hakikat sifat Allah. Ruuh adalah piranti untuk mencintai Tuhan sebab di dalam Ruuh terangkai makna Nafakhtu fihi min Ruuhi. Dan Siir adalah piranti untuk menyaksikan Tuhan. Oleh sebab itu, o Saya, antara Syari at-Thariqat- Haqiqat-Ma rifat tidak bisa dipisah-pisahkan satu dengan yang lain. Tidakkah engkau sudah mengetahui bahwa pujangga Ranggawarsita menyatakan bahwa, hakikat tanpa syariat adalah batal, dan syariat tanpa hakikat adalah gagal (Suluk Sukma Lelana: 22).
Apakah rangkaian Shalat Jasad-Qalb-Ruuh-Sirr itu adalah shalat yang disebut shalat daa im" tanya saya.
Demikianlah Allah menegaskan dalam sabda Alaadziina hum alaa shalaatihim daa imuun (QS. al- Ma aarij: 23), yakni kesatuan dari perikatan keempat shalat dalam rangkaian keempat nafs, di mana dengan ketunggal-sempurnaan keempat shalat tersebut dalam satu ikatan hakiki, maka lahirlah apa yang disebut shalat daa im, yakni sembahyang yang kekal di mana ingatan (dzikr) hamba (abid) sepanjang waktu terhubung ke Tuan (Ma bud).
Maka begitulah shalat syari at menghadapkan qiblat dari Jasad-Qalb-Ruuh-Sirr untuk lurus dalam kenaikan shalat sehingga akan sampailah engkau ke puncak Sirr, di mana engkau akan menghadapkan mukamu kapada Allah yang memenuhi segala. Rahasia ini terungkap dalam hukum fa-ainamaa tuwallu fatsamaa wajhullah (QS. al-Baqarah: 115), ke mana pun engkau menghadapkan wajah di situlah (terpampang) wajah Allah.
Apakah risiko dari mereka yang menjalankan hakikat tapi meninggalkan syari at"
Kesesatan! sahut bayangan bapak saya dengan suara menguntur, Sebab mereka akan terperangkap ke dalam puja dan puji bagi diri sendiri. Di sinilah engkau akan menjumpai orang dungu yang sombong yang tidak segan mengaku sudah manunggal dengan Allah, padahal kegiatan utama dari hidupnya tiada lain kecuali mengutuk-ngutuk, mengumpat-umpat, mencela-cela, dan mencaci-maki kebodohan orangorang yang menjalankan shalat syari at. Dan akhir dari semua umpatan dan caci-maki tersebut, mestilah usaha memuji-muji kebenaran dan keunggulan serta kemuliaan amaliahnya sendiri.
Ketahuilah, o Saya, bahwa semakin engkau mempelajari akan dzat dan sifat iblis, maka engkau akan mendapati betapa banyaknya manusia di sekitarmu yang sudah berfusi jiwa dan raganya dengan dzat dan sifat iblis. Oleh sebab itu, tetaplah engkau menjadikan Rasulullah SAW sebagai tonggak keteladanan dalam menentukan ukuran hidup yang benar. Beliau adalah Khatamin Nabiyyin dan penghulu segala rasul, tetapi beliau tetap merangkai makna keempat shalat dalam keseharian hidupnya.
Apakah arti syari at kalau demikian"
Syari at adalah hukum-hukum kebenaran sebagai petunjuk bagi Mahjuub (yang terhijab) untuk menuju Haqq. Syari at adalah Shirathaa l-mustaqiim, yang semuanya adalah rangkaian dari hakikat perjalanan menuju Tanazzul-Ma lul-Taraqqi. Mereka yang tidak mengikuti syari at, akan terseret ke jalan yang menyimpang dari taraqqi yang menyebabkan kemurkaan Rabbu l-Arbaab yang menjadi Sumber lahir dan kembalinya Rabb.
Karena, itu, Saya, barangsiapa yang melanggar pembatasan-pembatasan Allah, maka sesungguhnya telah berbuat dzalim terhadap nafs-nya sendiri (QS. at-Thalaq). Karena itu pula, Saya, janganlah engkau terpukau oleh kepintaran orang-orang yang mengaku tuhan dan nabi sesudah Nabi Muhammad SAW karena mereka yang demikian itu adalah orang jahil yang sudah disesatkan Allah.
Kereta Berdarah 15 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Raja Naga 7 Bintang 4

Cari Blog Ini