Salad Days Karya Shelly Salfatira Bagian 2
Part 8 # G reta* Pagi ini aku bangun dan memulai hari dengan hati yang riang banget. Mungkin karena semalam aku tidur dengan perasaan berbunga-bunga. Kalu diingatingat, agak norak juga penyebabnya.
Semalam setelah belajar bersama Boy sampai setengah sepuluh, aku benarbenar ingin tidur. Bayangan kenikmatan ranjang, bantal, dan selimut menghipnotisku untuk segera merebahkan diri.
Lampu kamar sudah kumatikan dan selimut sudah membungkus diriku. Sayangnya ketika aku selesai mengucapkan amin selesai berdoa, ponselku berbunyi. Aku merutuki siapapun yang menelepon itu. Tanpa melihat nama yang menggangguku, aku menempelkan benda canggih itu ke telinga kiri. Halloo" kataku dengan suara yang sengaja kubuat berat dan serak. Greta" Udah mau tidur ya"
HAP! Aku duduk seketika. Suara Dirga. Dirga" Ada apa"
Wah, sory deh klo ganggu. Gue& Cuma mau telepon aja kok. Ngobrol-ngobrol biasa aja.
Sekalipun heran, tak urung sebuah senyum mengulas di wajahku. Ngg& gak apa-apa. Dan aku melupakan rasa kantuk yang tadi berhasil merayu mata dan tubuhku. Sama sekali bukan obrolan penting, tapi entah kenapa, aku& senang. Senang berbeda atas tindakan seorang cowok. Kalau diingat-ingat, sudah lama juga aku tidak mersakan seperti itu. Terakhir& sekitar setahun lalu. Tapi berakhir pahit, ah.
Ehm, ehm, kayaknya senang banget nih, ada apa" Hannah yang baru datang memergokiku sedang tersenyum-senyum sendiri sambil menopang dagu di meja. Should I tell her"
Ah, gak kok, jawabku berusaha mengelak. Tengsin kalau sampai ketahuan.
Pasti ada good news nih. Ayo cerita, ada apa" desak Hannah. Aku menimbang-nimbang cukup lama. Memikirkan segala baik dan buruknya jika cerita atau menyimpannya sendri. Toh aku sendiri belum yakin. Tapi& Sepertinya gue jatuh cinta.
Oke. Sudah kukatakan. Hah" Apa lo bilang barusan" Lo jatuh cinta"
Sssttt!! Aku segera membekap mulut sahabatku itu. Suaranya terlalu keras untuk sebuah rahasia. Untung saja sepertinya gak ada yang peduli. Bisa gawat kalau sampai bocor!
Iya, iya, sorry. Serius"
Yah, gue sendiri juga belum yakin sih. Tapi yang gue rasain ini& sama seperti setahun lalu. Seperti ketika..gue dan Regar.
Hannah menggigit bibir. Aku terseyum kecut. Ah, Regar. Siapa orangnya, Ta"
Nah, kali itu aku memilih bungkam. Masa iya harus kubuka sekarang" Lagian aku sendiri belum yakin kan" Mungkin hormonku bekerja berlebihan saat itu. I must ve lost my mind.
Ta" Mulutku hampir terbuka untuk menyebut satu nama ketika sudut mataku menangkap sosok Dirgs memasuki kelas. Dadaku seketika berdebar kencang. Sorry, gue ngelantur. Gue ke kamar mandi dulu ya.
*** # H annah* Kata Eta, dia sedsang jatuh cinta lagi sekarang. Perasaanku campur aduk antara kaget, gak percya ,dan juga bahagia. Aku mengenalk Greta sebagai cewek yang gak mudah jatuh cinta. Pernah sih dulu, dia cerita bahwa dia suka pada kakak kelas kami. Namanya Regar. Tapi& cerita mereka gak seperti yang kami semua harapkan. Saat pertama kali Eta membuka hatinya untuk cowok, yang didapatnya justru luka.
Eta bilang, dia masih ragu dengan perasaannya itu. Menurutku, rasa ragu itu akibat trauma. Aku gak tahu istilah yang lebih halus untuk kata trauma , pkoknya seperti itulah.
Mungkin Eta bisa terbuka lagi hatiny karena keistimewaan cowok itu, tapi dia masih berpikir ulang karena takut terluka kembali. Aku bertanya-tanya, ingin tahu cowok yang kali itu berhasil membuat Eta jatuh cinta. Tampaknya kau harus bersabar sampai Eta yakin pada dirinya sendiri sebelum membuka nama itu.
Lho, kemana Greta, pagi-pagi terburu-buru seperti itu"
Dirga berdiri di depanku, ransel merahnya masih tergantung di punggung. Baru datang rupanya.
Aku mengangkat bahu. Mau ke toilet, katanya. Dirga hanya ber-oh pelan, lalu menuju bangkunya.
Eh, Hannah, panggil Dirga dari bangkunya, brownies semalem beneran enak, trims ya.
Aku tersenyum. Semalam dia bertamu ke rumah. Berhubung aku sedang mencoba membuat brownies ubi dan belum matang saat dia datang, jadilah kubawakan beberapa potong untuk dibawa pulang. Dan sepertinya, dia gak berbohong soal rasanya.
*** #Greta Aku dan Boy sedang mengerjakan soal-soal fisika malam itu. Eh, Ta, sekarang tanggal berapa"
Tanggal 10. Kenapa" Masih sekitar dua minggu lagi kok kita ulangan umumnya.
Yap. Selangkah lagi untuk mendapatkan status siswa yang lagi ulangan umum . Bertaruh untuk masa depan.
Delapan hari lagi ada yang ulang tahun.
Aku mengerutkan kening. Siapa" Lagian , sejak kapan Boy menghafal teman yang berulang tahun" Boro-boro orang lain. Ulang tahun kakak dan adiknya sendiri aja dia lupa.
Dirga. Oh" Gue tahu kemarin pas iseng ngecek biodata anggota ekskul. Hhehe, pas banget nuh kalo dirayain. Sekalian pas Sabtu.
Aku tahu pasti yang dimaksud dirayain oleh Boy. Jangan harap akan banyak kado dan kue ulang tahun. Aku sudah pernah menjadi korbannya. Apa katanya tadi" Tanggal 18 hari Sabtu" Ada latihan basket setiap hari Sabtu. Mungkin itu timing yang pas untuk rencana jail Boy. Dan lagi, itu malam minggu. Sementara Boy sibuk berceloteh tentang rencana membuat ulang tahun Dirga nanti berbeda daripada biasanya, pikiranku setengah mati berkelana untuk mencari kado yang pas sehingga memberikan kesan tersendiri untuknya. ***
# P atrick* Aku dan anak-anak basket sudah ada di kantin sejak lima belas menit sebelum istirahat. Pelajaran olahraga yang sangat menyenangkan sebab selain bisa menggerakkan tubuh dengan maksimal dan duluan, kami juga bisa istirahat duluan. Keistimewaan yang gak bisa di dapat dari pelajaran lain. Mbak Rumi, penjual mi pangsit, mengantarkan pesanan ke meja kami. Tanpa dikomando, empat cowok langsung menyerbu mangkuk masing-masing. Gak peduli dengan keringat yang masih mengalir, begitu melihat kepulan mi yang baru matang, sumpit langsung bergerak cepat. Kalau gak cepat disantap, air liur bisa keburu kering.
Aku selesai lebih dulu. Teh botol dingin pun langsung habis dalam satu tegukan panjang. Puas& puas& puas& aku mengelap mulut dengan tisu yang tersedia di meja. Kami menikmati santapan barusan. Sampai Boy nyeletuk soal yang gak pernah kami duga keluar dari mulut seorang Boy.
Man, pernah gak lo punya perasaan lebih pada seseorang yang gak menyadarinya"
Aku menatap Boy tajam. Perasaanku langsung gak enak. Maksud lo"
Yah, lo suka ma cewek, tapi sepertinya cewek itu gak menganggap lo sebagai cowok.
Maksud lo, dia mengganggap lo cewek gtu" Yoel bertanya dengan begonya. Yah, bukan gitu, dodol.! Maksud gue&
I do. Jawaban gue memotong kalimat Boy. Dia kelihatan kaget, lalu tersenyum lemah sambil menggeleng.
Sakit ya rasanya, ujar Boy lirih.
Aku mengamini dalam hati. Sakit memang. Sakit sekali. Ketika kita selalu berusaha untuk dia, apapun kondisinya, ternyata perjuangan itu gak disadarinya. Tapi, perjuangan gue buat Greta gak begitu. ***
#Greta Hari ini aku pulang bareng Boy. Gara-garanya semalam aku tidur larut karena teleponan dengan Dirga, jadi sekeras apapun alarm berbunyi, gak mampu membuatku mataku terbuka. Aku terpaksa berangkat sekolah bareng Papa. Naik mobil, tentu saja, demi mengejar waktu.
Akhir-akhir ini hubunganku dengan Dirga semakin intens. Kami menyempatkan bercerita tentang hari masing-masing setiap malam, sekalipun sudah bertemu di sekolah selama enam setengah jam, belum lagi latihan basket bareng. Kalau dipikir secara logis, obrolan itu gak penting banget dan merugikan secara finansial dan waktu. Pulsa jadi cepat habis dan waktu yang seharusnya dipergunakan untuk hal lain jadi terpakai ngobrol. Tapi sejauh ini aku baik-baik saja. Aku bisa memproritaskan waktu untuk belajar, mengingat ulangan akhir semakin dekat. Lagi pula, Dirga selalu menelepon di atas jam sepuluh kok. Masih ada waktu dua jam sebelum aku mengajar privat.
Boy lagi buru-buru gak"
Gak juga sih, kenapa"
Anterin gue yuk. Nyari sesuatu. Oke.
Sip. Eksekusi rencana sudah di depan mata. Sejak semalam aku memikirkan kado yang pas untuknya.
*** #Hannah Dalam hitungan hari, Dirga kan berulang tahun. Walaupun umurnya bakal jadi tujuh belas, aku yakin gak akan ada pesta perayaan seperti kami kaum cewek yang suka sekali dengan pesta ulang tahun. No problem. Kalaupun gak ada pesta, aku tetap akan membuat ulang tahunnya kali ini menjadi spesial. Aku bingung juga dengan kado yang akan kuberikan padanya nanti. Percaya gak, semakin bertambah usia seseorang, semakin rumit mencari hadiah yang tepat untuknya. Seandainya Dirga masih berusia sembilan tahun, aku gak akan ragu memberikan tas dengan gambar superhero atau Power Rangers kesukaannya. Atau yang paling gampang, buku dan alat tulis. Sekarang" Kata orang, jangan ngasih sesuatu yang langsung nempel di kulit kalau berhubungan serius, blablabla& otomatis kaus langsung tereliminasi dari daftar kado. Padahal itu pilihan standar. Ah, aku kan emang gak mau memberikan kado standar. Standar sama dengan biasa, kan" Biasa berarti gak ada kesan khusus.
Aku jadi teringat masa kecil kami. Dirga satu-satunya sahabatku-orang yang paling sering menemaniku. Kami membeli arum manis, bergantian bermain perosotan, bermain tanah dan hujan, bersembunyi dari orangtua saat disuruh pulang, dan banyak lainnya. Ah ya, satu lagi. Favoritku adalah saat kami bermain pengantin-pengantinan. He was the groom and I was the bride. Aku masih mengingatnya dengan baik.
Tapi dari semua kenangan masa lalu, ada satu yang gak terlupakan, selalu terkenang. Ketika kami berpelukan saat akan berpisah. Dirga mencium pipiku dan berkata, jangan lupain aku, ya. Kita pasti ketemu lagi. Hati-hati disana. Kita sama-sama berdoa semoga kita gak lama-lama pisahnya. Aku sayang kamu.
Memang terdengar terlalu dewasa untuk ukuran anak kecil. Selain itu, aku masih belum tahu benar arti sayangnya itu. Kasih sayang kepada seorang sahabatkah" Dan, bagaimana sekarang"
Dirga, Dirga. Percaya tidak, sekarang hampir setiap malam aku berharap semoga kenangan permainan masa kecil itu bisa menjadi kenyataan. ***
* # D irga* Gue mengobrol dengan nyokap Greta hampir setengah jam. Ya, salah gue juga sih. Pertama, gue gak bilang-bilang dulu mau main ke rumahnya. Kedua, gue lupa sekarang hari Rabu, jadwal dia ngajar privat. Jadilah nyokapnya yang nemenin gue.
Kata nyokapnya, Greta bisa sampai ke rumah hampir jam setengah delapan. Beruntungnya nyokap Greta asyik. Ini pertama kalinya gue ngobrol berdua, biasanya sekadar nyapa karena gue datang bareng anak-anak lain. Gak ada maksud khusus sih kedatangan gue, selama ini gue dan Greta semakin dekat, meski gak terang-terangan di depan publik. Gue dan Greta punya perasaan dan pemikiran yang sama. Satu visi. Bukan bermaksud menutupnutupi. Lagi pula, kami juga..,sekadar berteman. Masih berteman. Di sekolah kami tetap memilih untuk tampil biasa.
Gue kangen dia malam itu. Titik. Iya, gue paham betul perasaan itu sepertinya berlebihan. Setiap hari, bahkan sampai siang tadi sudah bertemu. Tapi, itu dia. At least, tonight I can be with her, not just by the phone. Gue pengin melihat langsung wajah itu. Lagi.
Ah, penantian gue gak sia-sia. Greta datang dan agak kaget melihat gue ada di rumahnya. Nyokap Greta masuk, memberi kesempatan kami untuk mengobrol. Wah, kejutan. Tumben kesini. Kenapa gak ngabarin dulu"
Namanya juga surprise. Gue juga tiba-tiba aja pengin ke sini. Bentar lagi mau ngapain" Belajar"
Iya. Gue memutar bola mata. Gak capek belajar mulu" Refreshing sebentar yuk. Otak lo juga perlu istirahat kali, Ta.
Greta berpikir sejenak sebelum akhirnya mengiyakan. Boleh deh, mau kemana"
Yah, cari angin seger aja. Yang penting bikin fresh lagi. Oke. Gue pamit dulu ya.
Greta masuk ke dalam dan kembali ke hadapan gue bersama nyokapnya. Kami lalu berpamitan.
Oh, gue baru tahu ini motor lo. Gue sering liat di parkiran, tapi gak tahu itu punya lo, kata Greta sambil memasang helm.
Gue tersenyum. Siap" Gue menyalakan mesin motor saat Greta sudah duduk di boncengan. Absolutely.
*** #Greta Kami sampai di rumah pukul setengah sebelas. Tadi kami mencoba restoran Jepang yang baru buka dan kemudian memilih jalan pulang dengan rute yang lebih jauh. Damn selama itu aku gak bisa menahan diri untuk selalu tersenyum. Makasih banyak ya. I did enjoy it. Aku mengembalikan helm. What a beautiful night, eh" Dirga membalas kata-kataku. Aku tertawa.
Ya udah deh. Lo langsung pulang, ya. Ati-ati, gak perlu ngebut. Jangan lupa, besok masih masuk sekolah, aku mengingatkan.
Pasti. Oke, gue balik dulu ya. Trims juga buat waktunya.
Lagi-lagi aku tersenyum. Ahm aku pasti bakal awet muda. Sudah berapa kali aku tersenyum malam ini. Kata orang, sering tersenyum membuat awet muda dan mendapat pahala. Lumayan.
Oh, Ga, tunggu. Ponsel lo masih di gue. Wah iya, hampir lupa.
Aku merogoh tas vintage. Tadi sewaktu makan, Dirga meletakkan ponselnya di meja dan hampir lupa membawanya saat pulang. Lalu dia menitipkannya di tasku.
Nah, ini& Aku tercekat saat mendongak dan melihat Dirga sudah berdiri di depanku. Yah Tuhan, tolong jangan biarkan cowok ini mendengar debar jantungku yang berlompatan, pintaku dalam hati.
Dengan kikuk, aku menyerahkan ponsel yang ada di tangan kananku. Dirga masih menatapku dengan pandangan& oh, sudahlah! Pandangan itu lama-lama bisa membuatku mati konyol.
Dirga meraih tanganku yang memegang ponselnya tanpa mengalihkan tatapannya. Aku menelan ludah. Aku baru menyadari bahwa tinggiku hanya sebatas bibirnya. Hanya sebatas bibir tipisnya yang merah itu. Bibir kami bersentuhan, bahkan sebelum otakku benar-benar bisa menerjemahkan apa yang sedang terjadi itu. Gak berlangsung lama, mungkin hanya sekitar lima detik. Tapi sensasi yang ditinggalkannya luar biasa. Aku dan Dirga gak mengucapkan sepatah katapun, sampai akhirnya entah bagaimana, Dirga memasukkan ponselnya ke saku celananya. Mungkin karena aku terbius oleh& oh! Ya Tuhan! Berhenti! Aku bisa merasakan pipiku memanas.
Dirga tersenyum dia atas motornya dan menyalakan mesin. Gue pulang dulu ya. Maksih buat& semuanya.
Aku gak yakin apakah senyum yang sedang kuusahakan ini terlihat seperti senyum sungguhan atau meringis karena aku benar-benar kehilangan akalku. Ah.
Anyway, tonight is indeed beautiful. ***
#Dirga Gue berbaring dengan kedua tangan di kepala. Ada perasaan berbeda yang melanda gue. Bukan perasaan yang gak enak, bukan seperti perasaan bersalah atau semacamnya, justru sebaliknya& perasaan yang& menyenangkan. Menenangkan.
Saat itu sama sekali gak ada niat untuk mencium gadis itu. Gue duduk di motor, menunggu dia mencari ponsel di tasnya. Tapi saat itu, ketika malam yang gelap dan cahaya bulan juga temaram, gue melihat wajah tertunduknya yang tertutup pomi dan terkena sedikit cahaya lampu& dan gue speechless. Dia terlihat begitu anggun, kalem, rapuh& dan gue sadar gue gak pengen kehilangan dirinya.
*** #Patrick Aku gak tahu cara menghadapi dua orang itu besok atau kapanpun saat bertemu. Apa yang baru terjadi di depan mata rasanya terlalu menyakitkan. What would you feel if you saw someone you love kissing someone else" Entah aku harus bersyukur atau justru marah karena mengetahuinya. Aku barung pulang dari rumah Pak Andi, pembina basket, untuk menyelesaikan beberapa urusan. Sudah terlalu malam untuk datang bertamu, tapi aku berharap bisa melihat Greta meski hanya sesaat. Meski sekilas. Rumah Pak Andi hanya beda satu kompkeks dengan rumah Greta. Jalanan cukup sepi, aku leluasa menambah kecepatan mobil. Semakin mendekati rumah Greta, aku justru semakin bingung. Seandainya nanti Greta melihatku, aku harus bilang apa"
Di ujung gang, aku memperlambat laju mobil. Masih sekitar enam puluh meter dari rumah yang ku tuju. Aku menyipitkan mata. Sepertinya dua orang yang berdiri di dekat motor di bawah pohon palem itu dua temanku. Dan aku tahu betul itu motor siapa. Sedang apa mereka bediri disana" Apakah& Perasaanku mencelos menyaksikan adegan yang terjadi. Seperti ada yang menyayat hatiku hingga sibek dan meninggalkan luka menganga di dalam sini.
Part 9 # H annah* Yay! Besok ulang tahun Dirga. Aku gak sabar menanti datangya hari bahagia itu. Hadiah yang sempurna sudah kutentukan. Yang perlu kulakukan hanyalah menunggu dan berdoa semoga semua berjalan sesuai rencana. Aku berusaha semaksimal mungkin supaya hari ini sikapku kelihatan natural, seolah biasa aja. Disamping memberi hadiah berupa barang, yang lebih kupersiapkan adalah another present. Another gift. Ada sesuatu yang kusadari kini, setelah lebih dari delapan tahun kami berpisah tanpa berkominikasi sedikit pun, memiliki Dirga sebagai teman masa kecilku ternyata sangat berarti.
Beberapa kali aku mendapat teman baru di setiap lingkungan baruku, gak ada yang bisa menggantikan nilai seorang Dirga buatku. Bukan berarti mereka jahat dan bersikap buruk, melainkan gak ada yang bisa memberikan rasa nyaman, terlindungi, dan kasih sayang seperti yang Dirga berikan.
Aku berhasil menemukan seseorang seperti Dirga ketika SMA. Eta. Gadis itu memberiku perasaan yang persis Dirga berikan. Tuhan pasti mendengar pintaku sehingga Dia menghadirkan seseorang yang kubutuhkan. Hanya saja, dalam wujud dan sosok berbeda.
Aku menyayangi Greta. Aku sangat sayang kepadanya, sekalipun dia agak protektif. Aku bersyukur memiliki Greta.
Tuhan memang pencipta skenario terbaik. Pada saat aku sudah memiliki Greta, Dia mengembalikan orang yang juga kusayangi. Dirga kembali lagi. Kali itu dia tampil sebagai lelaki yang gagah. Dalamnya, dia masih Dirga yang sama. Dirga bocah yang selalu melindungi, menemani, dan memberiku rasa nyaman. Itu semua membuktikan padaku bahwa dia memang pantas untuk selalu kurindukan.
Jika dulu aku menyayangi Dirga, kini pun masih, bahkan sangat menyayanginya.
*** # G reta* Sebenarnya sejak kejadian itu semalam, aku kelabakan membayangkan harus bersikap bagaimana jika bertemu Dirga di sekolah. Bersikap seakan-akan gak terjadi apa-apa" Mustahil. Bersikap itu benar-benar terjadi dan mengabarkan kepada seluruh khalayak" Lebih mustahil lagi. Kacau deh. Bersikap biasa aja adalah pilihan aman. Biar saja kejadian semalam hanya kami yang tahu, jadi kami bisa berinteraksi seperti biasa.
Kalau tiba-tiba kami jadi dekat dan kemana-mana berdua, teman-teman pasti mikir ada sesuatu di antara kami. Iya, kan" Eh ya, mungkin saja sih itu terjadi, tapi jangan sekarang. Jangan dulu. Aku belum siap.
Aaah, sudah deh. Kenapa harus dibikin pusing"
Jam pertama hari ini pendidikan kewarganegaraan. Kata anak kelas IPS 3, kemarin Pak Lutfi izin, istrinya melahirkan. Ada feeling kuat hari ini pun Pak Lutfi gak masuk. Entah setan apa yang menempel, aku gak langsung menuju kelas, tapi ke perpustakaan. Kalau ada apa-apa, Hannah pasti menghubungiku. Aku juga perlu menenangkan diri dan mempersiapkan mental sebelum bertemu Dirga.
Kalau pagi, perpustakaan sepi. Jelaslah. Siapa juga yang nekat pagi-pagi bolos pelajaran dan memilih ke perpustakaan sebagai pelarian" Eh, tapi aku bukan lagi ngabur lho. Kan Pak Lutfi gak masuk.
Drrt drrt drrt. Sebuah pesan dari Hannah.
Di mana" Tau aja Pak Lutfi gak masuk.
Aku langsung mengetikkan jawabanku.
Di perpus doang. Ngerjain soal tanpa gangguan keributan kelas.
Ada yang membuka pintu. Ah, Patrick. Ada apa ya" Aku yakin dia bukan mau menghilang seperti waktu itu karena gak ada Boy dan teman lain bersamanya. "Hai, Pat!" sapaku.
Perasaanku saja atau Patrick memang kaget melihatku" Bukan kaget biasa. Sebab dia hany mengangkat sebelah tangan dan terlihat canggung. Senyumnya seperti dipaksakan. Sedang ada masalah" Aku paling gak suka melihat temanteman dekatku punya masalah sampai harus tampak di wajahnya. Kedengarannya rese, ya" Tapi sungguh, kondisi teman yang seperti itu menimbulkan perasaan gak enak padaku. Seperti menular. Atau berempati" Patrick sepertinya gak mau berlama-lama di perpustakaan. Dia hanya mencari buku sekilas-sepertinya gak berhasil menemukan-lalu meninggalkan perpustakaan. Meninggalkanku begitu saja
# D irga* Hari ini gie capek setengah mati. Latihan basket sore benar-benar menguras tenaga. Kayaknya suasan hati coach lagi gak bagus, jadi sedikit aja kami melakukan kesalahan, semua diulang sampai sempurna, seperti yang dia harapkan.
Setelah mandi dan makan malam, gue menonton TV sebentar, lalu memutuskan tidur sebentar. Gue pengin telepon Greta sebenarnya, tapi jam segini dia lagi belajar. Gampang deh. Biasanya kalo tidur jam segini, gue bangun lagi nanti sekitar jam sepuluh. Baru deh ntar gue telepon dia. #Greta
Aku mematikan lampu belajar pukul 10.23. Lega bosa mengalahkan diri sendiri. Latihan tadi sore bikin capek banget, ditambah aku harus mengayuh sepeda kembali ke rumah. Rasanya kakiku mau copot. Otot-otot lainnya juga. Dibawa belajar rasany berat banget.
Aku meregangkan badan dengan mengangkat kedua tangan dan membusungkan dada. Aah, enaknya! Tapi, mana nih telepon dari Dirga" Sudah hampir setengah sebelas. Uuuuh. Memangnya dia gak kangen aku" Eh, stop stop stop! Gak bagus ah jadi ngelunjak.
Mengalihkan perhatian, aku turun, menuju dapur dan membuka kulkas. Banyak buah-buahan, tapi ku lagi gak mood mengunyah. Ah, ini saja. Aku mengambil satu cup kecil yogurt rasa aprikot. Lumayan. Lagian kalau sudah malam begini kalau ngemil sembarangan bisa bahaya. Buat sebagian cewek, yogurt jam segini pun sudah haram hukumnya.
Selesai menghaniskan yogurt hingga bersih dan minun air putih, aku kembali ke kamar. Sekali lagi ku mengecek ponsel dan menelan kekecewaan. Berpikir positif saja. Mungkin Dirga kecapekan sehingga langsung tidur begitu sampai di rumah.
Hmm... masih satu setengah jam lagi menuju tanggal 18. Aku tersenyum. Menunggu saja. Toh satu setengah jam bukan waktu yang lama. Aku ingat belum selesai menonton Mission Impossible 4, Ghost Protocol. Film action begitu pasti gak bikin mengantuk, apalagi tokoh utamanya si cakep Tom Cruise. #Hannah
Selama di mobil aku gak bisa berhenti membayangkan ekspresi Dirga nanti. Di pangkuanku ada kue lapis cokelat ukuran sedang. Tadi pukul tujuh Tante Prita melaporkan padaku bahwa anaknya sudah tidur, kecapekan habis latihan sore tadi. Aku terkikik. Itu justru bagus. Kemungkin rencana akan berhasil 99% sudah pasti.
Mama dan Papa sudah tahu rencanaku membuat suprise untuk ulang tahun Dirga. Dengan diantar kedua orang tuaku yang memang berteman baik dengan orangtua Dirga, malam itu kaki berangkat menuju rumah Dirga. Sekalipun besok ketemu di sekolah, gak mengurungkan niatku untuk membuat kejutan pada detik pertama hari ulang tahunnya kali itu.
#Greta Aku sudah berulang kali mengetik, lalu menghapis. Mengetik lagi, lalu menghapus. Padahal yang ingin kusampaikan adalah ucapan sederhana yang bermakna untuk Dirga. Kenapa susah sekali" Mestinya lebih gampang menyampaikannya dalam bentuk tulisan-dalam hal ini ketikan via HPdaripada secara oral.
Final sudah. Ini ketikan terakhir dan harus segera kukirim. Isinya gak jauh beda dengan ketikan-ketika sebelumnya. Cuma dinilai dari diksi, lebih enak dan lebih baik daripada sebelumnya.
Terkirim tepat pukul 01.00. Lega! Happy birthday, dear Dirga. Good night. #Hannah
Pelan-pelan Tante Prita membuka pintu putih itu. Aku di belakangnya mengendap-rmdap supaya gak menimbulkan kegaduhan hingga menbangunkan Dirga. Lilin di kue tar sudah dinyalakan.
Tante Prita mengelus rambut Dirga sambil membangunkannya. Tidurnya pulas sekali, pasti kecapekan. Susah juga Tante Prita membangunkannya. Ah, syukurlah. Perlahan-lahan Dirga membuka mata, lalu menatap kami dengan ekspresi bingung.
"Happy birthday!" seru kami bersama-sama.
Dirga terkejut, namun tak urung tersenyum juga. Aku maju ke hadapannya, mengasongkan tar, menyilakannya meniup lilin. Ia mengucek matanya sebentar, terdiam sambil memejamkan mata-kutebak dia make a wish, entah benar atau gak-lalu meniup lilin. Semua orang di kamar bertepuk tangan dan tertawa bahagia.
"Happy birthday," ucapki sekali lagi sambil menatap mata Dirga. Dirga mengucapkan terima kasih sambil mengecup pipi dan keningku. ***
#Dirga Acara kejutan itu berakhir pukul setengah dua saat orangtua Hannah menyadari bahwa esok, eh sebentar lagi, putrinya harus pergi ke sekolah. Gue bersyukur dan senang banget dengan perhatian yang mereka berikan. Kue tarnya juga enak. Sengaja gue makannya sedikit supaya pagi atau kapan pun pengin, masih ada.
Gue mau tidur lagi. Biarpun udah tidur sejak sore, kalau harus menunggu lima jam melek biat berangkat ke sekolah gak ada gunanya. Bisa-bisa gue ketiduran di tengah jam pelajaran.
Gue membalik bantal saat bersiap melanjutkan tidur, dan melihat ponsel di bawah bantal. Ah, lupa. Padahal tadi niatnya mau telepon Greta, ternyata gue kepulesan. Mau telepon sekarang jelas gak mungkin. Dia pasti lagi tidur nyenyak.
Ada banyak pesan masuk rupanya. Rata-rata standar, ucapan selamat ulang tahun dengan harapannya. Gue gak sanggup bales satu-satu. Pesan terakhir ternyata dari Greta. Pukul 00.01. Itu detik pertama tanggal 18 Mei.
Happy birthday. May God bless every step you take and never let you stay too far. Sukses dunia akhirat juga ya
Regards, Pesan Greta membuat gue tersenyum lama. Dan itu menjadi satu-satunya pesan yang langsung gue bales.
Merci God bless you too Love, *** #Hannah Hari itu Dirga sukses dikerjain teman-teman sekelas, termasuk juga oleh Pak Nang, guru matematika yang galak banget. Aku gak nyangka Pak Nang bisa dan mau berpartisipasi dalam acara heboh begitu.
Teman sekelas bertepuk tangan dan mengucapkan selamat, termasuk Eta. Keduanya berjabat tangan sambil tersenyum, seakan lupa pernah ada ketegangan antara mereka.
Aku juga memberi ucapan lagi ke Dirga, kali itu dengan senyum penuh arti. Sepertinya Dirga mengerti maksud senyumku. Yang lain boleh saja sekadar mengucapkan dan memberinya doa dan harapan yang baik-baik, tapi aku sudah melakukan lebih daripada itu dini hari tadi. Hanya aku dam Dirga yang tahu.
*** #Greta Malam Minggu ini aku dan anak-anak basket ke rumah Dirga, merayakan ultahnya dengan cara yang lebih enak dibanding harus perang air kopi kental dan telur. Selesai latihan basket, Dirga gak bisa pergi kemana-mana karena keburu dikepung dan ditelanjangi dada. Serangan pun diluncurkan. After all, it was fun. Dan untungnya Dirga ak membatalkan niatnya mengundang kami ke rumahnya untuk syukuran.
Aku pergi bersama Boy. Berusaha gak terlihat mencolok, aku memilih mengenaka skinny jeans dan kaus polos berwarna navy berbahan spandex lengkap dengan suspender. Aku mengucir tinggi rambut ikalku, membiarkannya ikut bergoyang jika aku menggoyangkan kepala. Dan kalung berbandul burung hantu ukuran besar favoritku, satu set dengan cincinnya. Sepatu, aku memilih yang berhak tujuh senti, warnanya senada atasanku. Lagu Withouy You dari Usher mengalun di dalam mobil Boy. Aku dan Boy ikut bernyanyi, menciptakan ruang karaoke berjalan. Aku suka lagu itu, apalagi versi yang dinyanyikan Glee. Buatku, Rachel lebih menghayati dan pas menyanyikan lagu itu. Hampir semua lagu yang dinyanyikan Glee lebih bagus dibanding penyanyi aslinya. Namun, Boy gak sependapat.
"Tahun depan lo mai kemana?" tanya Boy setelah lagu berakhir. "Mmm..."
"Nyusul kakak lo di MIT sana?" "Jauh banget. Gak lah. Gue gak sepinter dia. Bokap nyaranin ke Melbourne. Gue masih belum tahu, tapi kalo masih tetep di Indonesia gue pilih di Bandung. Kenapa tiba-tiba nanya begitu" Aneh deh. Lo sendiri mau kemana?" Boy mengangkat bahu dengan agak malas. "Ikutin arus aja." Aku mengernyit. "Kenapa" Ikutin arus gak berarti lo bakal pilih sembarang universitas, kan" Emangnya lo mai berprinsip "mana aja yang mau terima gue'?"
"Hahaha..." Tawa yang dipaksakan. "Gak lah. Yaah.. gak sepesimistis itu juga sih. Gue masih ada waktu buat perbaiki diri dan nilai."
"Lalu?" Aku menatap Boy dengan penuh tanda tanya. Boy menoleh dan balas menatapku. Ujung bibir kirinya terangkat lemah. "Gak ada lalu. Liat aja nanti." ***
Ternyata sudah banyak yang datang. Aku turun sambil membawa kado yang sudah kusiapkan dengan baik. Saat tadi Boy menanyai isi kado itu, aku sengaja ngeles. Bisa gawat kalau aku punya maksud tertentu. Dia bisa meledekku habis-habisan.
Secara ukuran, kadoku emang menarik perhatian. Bukan karena bungkusnya yang kombinasi merah dan hitam, melainkan karena ukurannya. Aku memberi Dirga lukisan dirinya buatanku di atas kanvas. Ukuran piguranya 60 x 40 cm. Seenggaknya lukisan bukan barang konsumsi yang akan habis masa gunanya. Seenggaknya dia bisa melihat gambar dirinya dalam pose menoleh ke samping dengan ekspresi datarnya. Sering diam-diam aku memperhatikannya dalam pose seperti itu. Aku suka ekspresi dinginnya itu.
Dirga langsung berdiri begitu melihat kedatangan kami. Berbeda dengan ekspresi di.lukisan, wajahnya penuh kebahagiaan. Dia tersenyum lebar melihat aku dan Boy yang baru datang.
"My man, wah, selamat deh ya. Inget, kontrak lo makin dikit." Boy dan Dirga berpelukan dan saling menepuk. Yang dinasihati hanya tertawa kecil. "Oi, Boy!"
Entah siapa yang memanggil Boy, yang jelas membuat Boy meninggalkan kami berdua, menuju kerumunan di dalam sana. Aku nervous. Gimana nih"
Ngomong apa" "Mmm... once again, happy birthday ya. Nih. Buat lo." Aku menyodorkan bungkusan yang kupeluk dengan dua tangan.
Senyum Dirga semakin merekah. "Wah, repot-repot. Gede banget nih. Apaan?" "Liat aja nanti. Nanti. Jangan sekarang."
Dirga mengerutkan kening karena heran, tapi mengerti maksudku. Dia maju mendekatiku.
"Trims banyak ya. Apapun isinya, gue pasti suka."
Aku baru mau mengatakan sesuatu saat Dirga tahu-tahu saja mengecup keningku. Kata-kata yang menggantung di ujung lidahku hilang begitu saja. "Masuk yuk. Udah banyak yang dateng."
Aku mengekor Dirga. Sayang sekali, dia mengabaikan tanganku. Kami gak jalan bergandengan.
Ya sudahlah, mungkin Dirga belum siap. Lagi pula aku juga belum siap kalau harus mendapat respons heboh teman-teman yang ada di dalam. ***
# P atrick* Gak ada alasan yang pas untuk menolak menghadiri acara Dirga. Bukannya berencana bersikap gak jantan, aku hanya perlu waktu buat menerima fakta yang baru aja kuketahui. Sama sekali bukan salah siapa-siapa. Aku gak bisa menyalahkan Dirga yang selangkah lebih berani daripadaku. Aku pun gak bisa menyalahkan Greta karena gak menungguku. Eh, dia harus menunggu apa ya" Kan aku belum berusaha ekstra untuk mendapatkan Greta. Penakut. Jadi masalahnya ada pada diriku sendiri. Duh!
Aku berusaha menghindari kontak dan interaksi dalam bentuk apapun dengan dua orang itu. Tadi pagi saat mencari referensi di perpustakaan, Greta ada di sana. Dia melihatku, bahkan langsung menyapaku. Bagaimana aku bisa mengabaikannya jika baru melihatnya saja aku harus berusaha mati-matian untuk gak berlari menghampiri dan memeluknya" Bagaimana aku bisa mengabaikan Greta jika mendengar dia menyerukan namaku saja sudah membuat dadaku bergemuruh"
Di tengah suasana yang ramai dan gembira ini, aku berusaha berbaur dengan melupakan masalah personal. Jangan sampai merusak acara orang gara-gara emosi pribadi. Kalau memang sudah gak mood, seharusnya aku gak usah datang aja.
Tadi ku dengar Boy datang bersama Greta, tapi sejauh ini yang terlihat hanya Boy. Gak ada Greta. Eh, kok Dirga juga gak ada" Sekelabat bayangan malam itu kembali muncul. Aku berusaha menghilangkannya, mencoba menyimak Luki yang sudah bercerita.
Dari ujung mataku tampak Dirga masuk membawa hadiah besar. Melihat cewek yang berjalan di belakangnya, aku tahu hadiah itu dari Greta. Gadis itu terlihat cantik dengan make up tipis. Dia langsung bergabung bersama Jenni, Debi, Farah, dan cewek lain. Segera saja dia tertawa bersama mereka. Melihatnya tertawa dan bahagia bersama teman-teman ceweknya jauh lebih melegakan dibanding melihatnya tertawa dan bahagia dengan cowok selain aku.
*** #Greta Halaman belakang rumah Dirga juga dipenuhi tanaman seperti di rumahku. Beratapkan langit yang cerah dengan taburan bintang, suasana terasa nyaman dan sejuk. Tadi aku sempat bertemu dengan kedua orangtua Dirga. Mereka hangat dan ramah.
Kini Tante Prita dan Om Ruslim berdiri di tengah-tengah kami, mengapit Dirga yang menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya sendiri. Mungkin dia malu, risi, canggung karena diperlakukan seperti anak lima tahun yang merayakan ulang tahun bersama teman-temannya. Tante Prita dan Om Ruslim mengucapkan terima kasih dan mengajak kami memanjatkan doa bersama. Saat Om Ruslim memberi sedikit sambutan, aku melihat Tante Prita menoleh ke kiri, ke dalam rumah. Wajahnya terlihat lebih sumringah. Dia agak berlari ke dalam. Sepertinya ada yang datang. Mataku mengekori wanita berusia awal empat puluhan itu. Kemudian dia kembali bersama seseorang. Aku kaget melihat Hannah datang dan terlihat malu-malu saat digandeng Tante Prita untuk bergabung. Tante Prita berbisik kepadanya, dan Hannah menutup wajahnya dengan benda yang kuduga kado untuk Dirga. Kenapa mereka terkesan sangat akrab" Bagaimana bisa Hannah datang sendirian ke acara ini" Yang kutahu Hannah pemalu. Dia gak akan pergi atau datang ke suatu acara sendirian, apalagi di sini hanya ada anak-anak basket. Perasaanku jadi gak enak. Aku berharap ini bukan cerita film pendek atau sinetron kacangan di TV. Mataku membesar, memperhatikan setiap gerakgerik Hannah, menunggu kejadian selanjutnya.
"Mohon perhatian sebentar ya. Tante sekali lagi berterima kasij kepada kalian semua yang sudah datang menghabiska malam minggu untuk..." Aku gak terlalu peduli dengan ucapan basa basi itu. Aku yakin, sangat yakin, apa yang akan diucapkan sebentar lagi pasti sesuatu yang mahadahsyat. "Dan terima kasih buat si cantik Hannah yang bersedia datang. Dia teman masa kecil Dirga..."
Tante Prita masih mengoceh di depan sana, gak menyadari ada seorang tamu nyaris kehabisan napas.
Hannah teman masa kecil Dirga" Jadi itu sebabnya awal-awal Dirga masuk mereka bisa langsung akrab" Aku samar-samar mendengar lanjutan omongan Tante Prita. Katanya, Dirga dan Hannah selalu bersama setiap hari. Masa kecil mereka diisi berbagai kejadian dan permainan konyol, bahkan bermain pengantin-pengantinan.
Teman-teman sudah tentu terbahak-bahak mendengar cerita Tante Prita soal masa kecil anaknya. Hannah ikut tertawa sambil menutup sopan mulutnya, sementara Dirga rada salah tingkah.
Hannah bergeser, berdiri di sebelah Dirga. Disaksikan seluruh orang yang hadir, Hannah menyerahkan hadiah yang dipegangnya sedari tadi.
"Buka! Buka! Buka!"
Dirga membuka kertas pembungkus berwarna emas itu. Tampak kotak persegi panjang berlapis beledu hitam. Ia membuka kotak itu, dan dengan tangan kirinya memperlihatkan hadiahnya, sebuah liontin berbentuk hati. Oh, yang benar saja!
"Aku tau kamu gak mungkin make liontin itu, jadi cukup disimpen aja ya," kata Hannah dengan suara lembut dan manja.
Aku merasa sesak, dan mulai bernapas lewat mulut. Mataku memanas. Oh Tuhan!
Hannah meraih liontn itu dan membukanya. Aku gak bisa melihat dengan jelas, tapi ada yang maju dan dengan pedenya melihat gambar yang tertera dalam liontin hati itu. "Gila! Foto Hannah dan Dirga waktu masih kecil! Aseeek!" Cukup sudah. Aku gak mau tau lebih banyak lagi. Aku gak mau merasa lebih sakit lagi.
*** #Patrick Jangan tana betapa kagetnya aku melihan Hannah datang digandeng Tante Prita. Terlebih tanpa perasaan bersalah Tante Prita menceritakan kisah dua orang yang berdiri diantara dia dan suaminya, Hannah dan Dirga. Greta. Aku langsung mencarinya di antara keramaian. Itu dia. Duduk tercengang dengan campuran ekspresi kaget dan kecewa. Aku bisa mengerti. Aku paham. Kareba aku pernah mengalaminya.
Tepat saat tepuk tangan meriah tanda acara makan dimulai, Greta meninggalkan tempat pesta. Aku gak tau apa yang akan terjadi, jadi bergegas berlari mengejarnya.
"Greta!" Aku berhasil menyusulnya di luar rumah. Dia hanya berhenti, gak menoleh. Dengan kepala tertunduk, dia memunggungiku. Mungkin dia menangis. Mungkin dia gak ingin dilihat.
Aku berjalan mendekati Greta. Tanpa menyentuhnya. "Gue anterin pulang, ya."
Aku gak tahu harus berkata apa lagi. Pikirku, yang penting membawanya pergi dari tempat ini dulu.
Greta menoleh dengan perlahan. Tatapannya sendu, pipinya basah. Dia gak berkata-kata, tapi aku mengerti. Aku merengkuh pundaknya, menutunnya menuju mobil.
Part 10 "Iya. Sorry ya."
Aku meletakkan kembali ponsel di bufet. Boy barusan menelfonku, bertanya keberadaanku karena dia kehilangaku di tengah acara.
Tadi patrick mengantarku pulang. Aku nggak ngerti gimana dia bisa ada pada saat yang tepat tadi. Aku dan patrick menghabiskan waktu dalam diam. Aku nggak sanggup cerita. Patrick nggak bertanya, apa lagi memaksaku berbicara. Padahal kalau dipikir-pikir, aku nggak sopan juga ya. Sudah ditolongin, eh, justru nyuekin. Tapi patrick nggak mempermasalahkan itu. Once again, thank you so much, Pat.
It meant a lot to me. Aku mengirimkan pesan kepada patrick dan langsung mematikan ponsel. Aku gak ingin diusik siapa pun. Aku cuma ingin berdiam dalam sepi. Untuk jangka waktu yang nggak terbatas. Merelaksasikan pikiran, mencoba mengambil hikmah.
Orang bilang, sejarah berulang. Aku percaya, tapi nggak menyangka rasa sakit itu akan berulang secepat ini. Dalam jangka waktu yang sesingkat ini. Aku menyayangi seorang cowok setahun lalu. Regar, dua tingkat di atasku. Secara fisik, dia bukan tipe yang dilirik cewek pada pandangan pertama. Tinggi kurus, nggak terlalu terkenal andai bukan karena gelar juara olimpiade yang diaraih pada tahun terakhirnya. Pendiam, nggak banyak teman, dan sorot mata nya yang cerdas sering terhalang kacamata minusnya yang kurang sesuai dengan wajahnya.
Dibandingkan adam yang sudah mengejarku sejak setahun lalu, Regar nggak ada apa-apanya. Hannah, Patrick, Boy, dan beberapa teman lain yang tahu, memarahiku begitu mereka tahu cowok pilihanku itu.
Tapi aku bertahan. Mereka nggak mengerti. Mereka hanya melihat Regar dari satu sisi. Suatu siang sepulang sekolah aku naik angkot. Aku duduk di pojok, sementara Regar duduk di belakang sopir. Hanya tersisa bangku ekstra dekat pintu. Angkot berhenti, seorang nenek mau naik. Sopir yang nggak mau menyianyiakan tiga ribu perak meminta penumpang bergeser. Biarpun sudah bergeser semaksimal mungkin, nggak ada ruang cukup untuk si nenek. Tak kusangka, Regar turun dan menyilakan nenek itu naik.
Dia memberikan tempatnya yang strategis kepada si nenek, sementara dirinya duduk di bangku ekstra.
Mmm....luar biasa! Pernah suatu sore ketika sedang berlari, aku melihat Regar masuk kesebuah gang di kawasan kumuh belakang perumahanku. Bertanya-tanya apa yang dia lakukan, aku mengikutinya sembunyi-sembunyi.
Regar mengetuk sebuah rumah yang jelek. Nggak lama beberapa bocah berlari keluar dan langsung memeluknya. Dia tertawa. Benar-benar tertawa lepas dan terlihat riang.
Dia bersama gerombolan bocah itu pergi ke warung, membeli beberapa kantong makanan dan minuman. Setelah itu mereka ke tanah lapang dekat situ, bermain layang-layang bersama.
Aku kagek sekaligus kagum. Aku bukan tipe orang susah bergaul, tapi untuk mendekati dan sekadar menyapa Regar, aku nggak sanggup. Sampai suatu saat ketika aku mengerjakan latihan soal di perpustakaan, Regar datang dan langsung duduk di sebelahku. Kami hanya saling senyum karena aku nggak tahu harus berkata apa. Lalu ketika keadaan menjadi begitu canggung, dia memulai percakapan dengan perkenalan singkat.
"Greta," kataku menyambut uluran tangan Regar. "Iya, gue tau lo siapa."
Kaget" Sudah pasti, dari mana Regar bisa mengenalku kalau selama ini melirik saat berpapasan pun nggak pernah"
Kata Regar, murid senior heboh gara-gara tim cewek bisa menembus babak semifinal setelah mengalahkan juara bertahan, padahal sudah dua tahun nggak pernah berhasil. Fotoku dimuat di mading, selain itu beberapa senior yang menontonku saat pertandingan terkesan dengan permainanku. Segala bermula dari hal sederhana, kan" Begitu pula hubunganku dan Regar. Setelah berkenalan di perpustakaan, kami saling menyapa ketika berpapasan, hingga sempat diskusi bersama. Aku menyadari perasaanku pun tumbuh dengan sederhana. Aku nggak perlu repot-repot mencari alasan mengapa ada perasaan istimewa yang tumbuh dalam hatiku. Sederhana saja: aku menyayangi Regar.
Aku nggak bisa menahan lajunya waktu. Dengan kata lain: waktuku makin sedikit. Sebentar lagi Regar lulus. Ada yang harus kuutarakn padanya. Hanya saja sebuah pengakuan... Apa salahnya" Akan menyakitkan melihat Regar bersama cewek lain jika tak ada usaha dariku. Aku siap menghadapi kemungkinan terburuk seandainya jawaban Regar nggak sesuai harapanku toh kami nggak akan bertemu lagi.
Maka aku nekad mempertarukan hatiku.
"Maaf, Ta, tapi gue nggak bisa. Gue nggak mau membohongi diri gue sendiri, juga lo, dengan memaksakan perasaan dan jadian dengan perasaan yang nggak bebas. Gue minta maaf, Ta"
Aku mengerti. Sekalipun siap menghadapi kemungkinan terburuk, ternyata sakit di hati bukan sesutu yang bisa kunaifkan.
"Ada cewek yang udah lama gue suka. Lo tau orang nya" Aku nggak meminta Regar untuk menjelaskan soal cewek itu secara rinci. Sebab jika aku tahu lebih dalam. Pasti akan lebih sakit. Aku bergeming. Regar salah mengartikannya. Mengira aku ingin tahu lebih lanjut.
"Gue suka Hannah"
Butuh usaha dan waktu panjang untuk merelakannya. Sekalipun nggak pernah terjalin hubungan istimewa antara sahabatku dengan orang yang kusayangi itu, tapi kekacauan jiwa nggak mudah berlalu. Sejujurnya, sampai saat ini pun terkadang masih ada perasaan perih dan terluka yang menghatui setiap kali aku melihat Hannah. Tapi aku mengerti sepenuhnya bahwa itu sama sekali bukan kesalahan Hannah.
Sekarang kejadian itu terulang lagi. cinta segi tiga. kenapa nggak linier saja: cukup aku dengan seorang laki-laki tanpa harus ada titik lain di antara kami" Kenapa harus lagi-lagi melibatkan sahabatku"
Jika aku sakit dan terluka, berhakkah aku" Jika aku marah dan cemburu, berhakkah aku" Tentu saja! Aku berhak atas semua rasa itu karena aku yang terabaikan! Ada kasih yang kujaga untuk kekasih hatiku.
Untuk kedua kalinya, aku membuka dan mempertaruhkan hatiku, dan untuk kedua kali nya pula hanya sakit dan kecewa yang ku dapat.
*** Dirga Gue mencari-cari Greta ditengah acara, tapi nggak berhasil menemukan nya. Saat gue tanya anak-anak cewek, mereka bilang Greta pergi begitu aja, mulanya merek kira dia ke toilet.
Gue merogoh saku celana untuk mengambil ponsel, ternyata ponsel gue di kamar. Mustahil ngambil sekarang.
Gue tanya boy, dia juga baru sadar Greta nggak ada. Dia mencoba menghubungi HP Greta beberapa kali, tapi nggak di angkat. Pikiran gue kacau.
Kehadiran Hannah sama sekali di luar pengetahuan dan prediksi gue. Parahnya, Nyokap dengan santainya menggandeng dan memperkenalkan Hannah kepada teman-teman serta menceritakan kisah kami. Gue selama ini gak pernah menutupi hubungan gue dan Hannah. Gue nggak cerita bukan karena gue malu atau apa. Lagi pula, buat apa mereka tahu urusan gue dan Hannah waktu masa kecil dulu"
Memang gue setengah mati menyembunyikan kisah itu dari seseorang. Dari Azmarie Greta.
Pikiran gue kacau dan perasaan gue kalut menyangka reaksi Greta sekarang. Karena, jujur saja, gue tau sayangnya Greta kepada Hannah. Gue melihat Greta sebagai sosok yang rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan orang yang disayanginya. Sebelum mengenal Greta lebih jauh, gue harus akui gue bahagia bisa ketemu Hannah kembali. Gue menyayangi dia, sama seperti kenangan delapan tahun yang lalu. Gue juga bisa merasakan hal yang sama dari Hannah. Lalu dengan entengnya, takdir menyatukan gue dan Greta. Memang ada perasaan lebih yang gue rasakan untuk gadis itu. Dia seperti udara segar dalam hidup gue. Dia berbeda. Unik. Dia pilihan gue untuk melabuhkan asa. Gue nggak mau kehilangan dia.
Gue sayang Hannah. Gue sayang Greta. Tapi untuk kapasitas yang berbeda. Gue melihat Hannah sebagai teman masa kecil yang manja, kekanakan, dan rapuh, yang kini beranjak dewasa. Sementara Greta tangguh, mandiri, dan tegas. Meski belakangan gue tahu di balik kegarangannya, dia lembut dan juga rapuh.
Pada awal pertemuan kembali gue dan Hannah, gue salah mengartikan rasa sayang itu. Sayangnya, gue terlambat menyadari kesalahan itu karena Hannah sudah lebih dulu mendefinikasikannya seperti yang awal gue kira. Gue hanya nggak mau menyakiti hatinya, itu aja.
Gue kira dengan berjalannya waktu, dia bisa menerima fakta yang sudah berubah.
Pun gue nggak mau menyakiti hati Greta. Demi Tuhan, gue selalu berusaha menjadi pelindungnya, bukan menghancurkannya. Gue nggak tau apa yang akan terjadi selanjutnya, mengira-ngira pun gue takut. Apa pun faktanya, gue berdoa semoga nggak kehilangan Greta.
*** Hannah Aneh. Aku nggak berhasil menghubungi Eta. Ke mana ya" Sejak malam minggu kemarin aku mencoba menghubungi, tapi ponselnya selalu mati. Kemarin aku telepon ke rumahnya dua kali, Bi Rahmi yang menjawab. Katanya, Eta lagi keluar dan nggak bilang pulang jam berapa.
Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senin aku nggak melihat Eta hadir. Selesai upacara, aku langsung menghampiri tempat-tempat yang mungkin disinggahinya. Perpustakaan, kantin, lapangan basket. Sia-sia sudah empat kali dalam dua setengah jam ini aku menelponnya, tapi sama saja. Ponselnya masih nggak aktif.
Oh iya, waktu acara ulang tahun Dirga, aku nggak bertemu Eta. Aneh. Padahal yang kudengar, dia datang bersama Boy. Aku sengaja nggak memberitahunya soal kedatanganku ke sana, mau bikin kejutan.
Malam itu aku pengin menceritakan semua yang ini belum sempat kubuka karena waktu yang nggak pas. Lagi pula, hubungan Dirga dan Greta sudah membaik. Jadi kemungkinan besar kalau Greta tahu, dia nggak akan marah dan sewot.
*** Greta Hari ini aku nggak sekolah. Bukan untuk menghindari beberapa orang, melainkan karena aku flu berat. Jelas kusyukurin sebab mungkin ini cara Tuhan memperpanjang waktuku untuk mempersiapkan diri jika harus bertemu mereka. Yeah, ambil sisi positifnya saja.
Dan aku flu berat bukan gara-gara kejadian itu. Sembarangan. Beneran bego dan nekatnya aku kemarin malam mandi pukul setengah sembilan dengan air yang ternyata sangat dingin. Kondisi badanku yang sediiiikit melemah beberapa hari itu langsung jembol perhanannya.
Aku tahu Hannah mencoba menghubungiku, termasuk juga dengan menelpon kerumah. Mungkin juga dia sudah berkali-kali menelponku di ponsel, tapi memang sengaja kumatikan. Entah dia sudah tahu atau belum soal garis-garis aneh yang mengaitkan aku, dia, dan Dirga.
Victoria Hannah Cewek berperawakan mungil, berkulit putih mulus, bersuara selembut perangainya, manja dan kekanakan, tapi lebih sering berpikiran dewasa daripadaku, kalem, dan pemalu. Aku" Berbanding 180 derajat. Sejak pengakuan Regar waktu itu, aku pernah mencoba berubah seperti Hannah. Aku mencoba, sungguh. Tapi nggak berhasil. Nggak bisa. Aku bukan Hannah, dan aku nggak akan pernah menjadi Victoria Hannah. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah menjadi diriku sendiri.
Aku selalu mendoktrin diriku sendiri bahwa aku akan menemukan orang yang menyayangiku apa adanya, bukan ada apanya. Menerima diriku seutuhnya, baik dan buruknya.
Tapi gimana perasaanmu ketika saat pertaman kali menyukai cowok ternyata cowok itu justru memilih sahabatmu, yang bahkan nggak mengenalnya" Saat luka yang menganga itu perlahan terjahit kembali, muncul cowok lain yang menawarkan kunci untuk membuka gembok hatimu. Sayangnya, kamu harus kembali menelan pilu karena sekali lagi sahabatmu menjadi penghalang. Aku tahu, Tuhan nggak selamanya memberi apa yang kita mau, tapi Dia pasti memberi segala hal yang kita butuhkan, bahkan tanpa kita sadari. Begitu juga urusan hati. Kalau ternyata Tuhan memberikanku jalan seperti ini, berarti Dia sangat tahu aku belum membutuhkan kehadiran cowok dalam hidupku. Aku memejamkan mata, menghirup nafas sekuat yang kubisa dengan keadaan hidung merah tersumbat, lalu menghembuskannya perlahan, takut ingus yang kental justru keluar dan muncrat pada kondisi yang nggak pas. Aku bisa. Aku pasti bisa.
*** Dirga Akhirnya gue melihat Greta lagi pada hari rabu. Dia masuk ke kelas pas bel. Lega. Gue bisa melihatnya dalam wujud nyata, nggak hanya sebatas ilusi yang selalu membayangi setiap waktu. Gue terlalu merindukannya. Beruntung gue duduk di bangku belakang bersama Lion, jadi gue bisa mengamati Greta yang di bangku depan sana. Dia masih seperti biasa, nggak ada yang berubah sedikit pun. Begitu pun Hannah. Dia masih tertawa dan berbisik seperti biasa, seakan kejadian kemarin itu nggak memengaruhi mereka. Gue melihat Hannah langsung memeluk Greta saat tadi dia datang, dan tanpa canggung, Greta membalas pelukan sahabatnya. Gue nggak kepedean untuk mengatakan bahwa gue punya andil besar andai hubungan dua sahabat itu rusak. Gue nggak ke-GR-an bahwa kedua cewek itu bersamaan menyukai gue karena faktanya gue memang menyayangi mereka berdua. Intinya, gue nggak mau kehilangan keduanya.
Seharian itu nggak ada interaksi antara gue dan Greta. Sekalipun ingin, gue ragu memulainya. Gimana reaksi Greta nanti" Akankah hubungan kami masih baik-baik saja"
Gue nggak ngerti sehingga memilih diam. Sebab dari bahasa tubuhnya, jelas Greta menghindari gue.
*** Hannah Greta is back! Yay! Aku langsung lari memeluknya begitu melihat dia sampai di pintu kelas. Aaah, aku kangen wangi khas bayinya.
Ternyata dia habis flu berat. Lalu soal ponsel, sabtu malam itu baterainya habis dan dia lupa di mana dia meletakkan charger-nya. Baru pagi tadi Bi rahmi berhasil menemu-kanya. Dan saat kubilang aku nggak melihat dia waktu dirumah Dirga, dia ngaku sakit perut dan lupa membawa obat sehingga segera pulang. Aku tahu Greta memang punya infeksi lambung.
Aku berniat membeberkan semua pada Greta sekarang, tepat atau nggak tepat timing-nya. Aku nggak bisa menunda lagi. Berita bahagia ini nggak bisa kelamaan disimpan. Kata orang, kalau ada berita gembira sebaiknya disebarluaskan supaya bisa diaminin banyak orang. So, jam istirahat aku membook Greta dan langsung menyeretnya ke kantin. Semangkuk pangsit dan sebotol the langsung kupesankan untuknya.
Semua kuceritakan padanya, tanpa terkecuali, termasuk harapan tante Prita setelah teman-teman basket Dirga pulang.
"Iya, Ta, jadi kemarin waktu tinggal kami berempat aku, Dirga, dan kedua orangtuanya kami cerita-cerita soal masa kecil. Eh, tante Prita bilang, gue cocok jadi calon mantunya. Hihihi..... Tante Prita bahkan bilang, sebaiknya habis SMA gue dan Dirga tunangan saja. Aduh, Taaa, gimana nggak senang coba hati inii?" Aku meletakan kedua telapak tangan di dada sambil membanyangkan pertunanganku dengan Dirga.
"Wah, asyik dong. Lampu hijau tuh. Makanya lo harus rajin belajar, biar lulusnya mantep, terus langsung deh. Hehehe...."
"Hihihi......amiiin. Eh, lo mesti dateng, ya, Ta!" "Siaaaappp." Greta mengacungkan dua jempol. Aku tertawa. Bahagia.
Aku mengaduk-aduk bakso penuh kecap dan sambal. Ah, ada satu hal lagi. Satu hal yang cukup Greta seorang tahu.
"Ta, gue serius sama Dirga. Gue nggak main-main lagi. Kalo selama ini lo melihat gue menolak dan agak menjaga jarak dengan cowok, itu karena gue menunggu dan setia sama Dirga. Gue nggak tau apa yang terjadi seandainya gue nggak ketemu dia kembali. Ternyata Tuhan mahaadil, ya?" Aku tersenyum sendiri.
"Menurut lo, setelah penantian lama dan segala pengorbanan yang gue lakuin selama ini, Dirga bisa membalas perasaan gue nggak ya?"
Greta memainkan sedotan dalam botol. Aku menunggu jawabanya. "Iya, Tuhan mahaadil." Greta menjawab pendek. Tatapannya kosong. "Dirga pasti membalas perasaan lo."
*** Greta Aku bisa menebak apa yang akan diomongkan Hannah. Dan persiapan batin supaya nggak terlalu sakit sudah kucadangkan dengan baik. Kejadian pahit itu terjadinya masih dalam hitungan hari. Nggak secepat itu aku bisa mengusir badai dari jiwaku. Memangnya aku sakit" Namum, semakin cepat hatiku disakit,semakin cepat pula aku bisa pulih.
Kurang-lebihnya hubungan Dirga dan Hannah sudah kudengar dari penuturan Tante Prita di depan kami malam itu. Jadi waktu Hannah mempertegas berita itu, aku nggak terlalu kagek. Ada sedikit rasa nyiuut-nyuuut di dalam hati sih, tapi nggak sampe membuatku merasa di tonjok. Pangsit yang kumakan masih terasa nikmat.
Sampai akhirnya Hannah mengatakan soal perasaan dan penantian, serta ucapan Tante Prita soal menantu dan pertunangan, the botol manis berubah menjadi pahit banget. Mi di mangkuk rasanya jadi terlalu kenyal, aku seperti mengunyah karet hingga susah menelannya.
"Ternyata Tuhan mahaadil, ya?"
Pertanyaan retoris jadi ambigu buatku. Selama ini aku percaya Tuhan mahaadil, tapi kenapa setelah itu terlontar dari bibir mungil Hannah justru menggoyahkan imanku" Kenapa terasa begitu menyakitkan" Aku memandangi the botol yang tinggal setengahnya. Sedotan putih itu kuputar-putar dengan pandangan kosong. Tuhan mahaadil. Tuhan mahaadil. Tuhan mahaadil.
"Menurut lo, setelah penantian lama dan segala pengorbanan yang gue lakuin selama ini, Dirga bisa membalas perasaan gue nggak?"
Tolong jangan tanyakan itu. Demi Tuhan, aku harus bagaimana" Aku bisa apa" "Iya Tuhan mahaadil." Aku berusaha meyakinkan fakta itu kepada diriku sendiri daripada menjawab pertanyaan Hannah. "Dirga pasti membalas perasaan lo." Aku nggak sekedar basa-basi. Aku nggak bisa menyakiti Hannah. Aku nggak mengucapkan itu membuatnya senang. I did mean it. Dan juga berdoa dalam hati, supaya bisa benar-benar merelakan Dirga.
Tuhan maha adil. Part 11 # P atrick* Dalam beberapa hari itu ada desakan hebat yang begitu kuat dalam hatiku. Ada hal yang seharusnya gak perlu sampai serumit ini. Sayangnya, dalam kenyataannya hal sederhana berubah menjadi kompleks dan rumit. Contohnya, menyatakan cinta.
Semiinggu lagi ulangan umum sehingga aku tau persis sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengurusi hal-hal yang gak relevan dengan sekolah. Namun sayangnya,aku gak bisa konsentrasi mempersiap kan diri menghadapi ulangan umum selama kalimat yang menggedor-gedor ingin keluar dari dadaku harus terhenti pada ujung bibir.
Ya, aku bertemu dan mengobrol dengan Greta setiap hari, sekali pun sekedar sapa yang teramat singkat. Aku bisa saja meminta Greta memperpanjang waktu ketika kami bertemu agar kami bisa membicarakan hal ini, tapi selalu ada yang menahanku. Dan begitu dia tersenyum lalu kembali melenggang, sesuatu yang menggebu-gebu membuatku merasa seperti idiot. Ada beberapa pertimbangan. Pertama, aku belum siap menghadapi penolakan. Aku menyadari bahkan Greta belum menyadari perasaanku, jadi bagaimana mungki aku langsung menyatakan perasaanku padanya"
Yang kedua, selama dua minggu kedepan kami akan mencurahkan pikiran untuk meraih nilai akhir yang sempurna dan terbaik. Aku dan Greta termasuk berprestasi memuaskan, selain menjadi tim inti basket, meski dengan rendah hati aku mengakui Greta lebih unggul daripadaku.
Ketiga, aku tahu Greta aku sedang menata hatinya setelah peristiwa itu. Pikiran dan hatinya masih dipenuhi Dirga. Bagaimna mungkin aku bisa menyusup secepat itu menggantikan sosok Dirga" Aku tahu Greta bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta.
Masih ada beberapa pertimbangan yang membuatku pusing. Kenapa begitu susah mengakui cinta" Kenapa susah berkata jujur soal sayang" Aku bukan orang yang suka berbelit-belit. Cukup beri jawaban ya atau tidak . Seringkas itu. Gak perlu memperpanjangnya menjadi sebuah prosa yang gak bermakna. Basa-basi.
Baru kusadari, ternyata rumit bila menyatakan cinta kepada bukan sembarang gadis. Dia gadis istimewa yang kupilih umtuk benar-benar kucintai. ***
# D irga* Hari Sabtu. Pelajaran terakhir hari itu kosong. Gue baru menyadari bangku di sebelah Hannah kosong saat selesai menyalin catatan biologi Tria. Jaket dan tas Greta masih ada, jadi gak mungkin dia udah cabut duluan.
Dihitung-hitung, sudah seminggu gue gak bicara sama Greta. Ponselnya pun gak aktif. Beberapa kali gue mencoba datang langsung ke rumahnya, namun ternyata gue hanya sanggup melewati rumah itu, lalu menoleh ke kamar di atas. Gue gak berhenti dan mampir. Sungguh, gue sama sekali gak mengerti kenapa nyali gue bisa menciut. Padahal menghadapi preman mana pun, gue gak pernah takut. Apakah gue bersalah dan sangat menyesal membuat dia pergi"
Dirga mau kemana" Suara Hannah menghentikan langkah gue. Pergi mencari Greta. Ke toilet sebentar.
Hannah tersenyum. Gue membalas dengan senyum samar, gak bersemangat.
Di mana Greta" Gue mencarinya di perpustakaan sekolah. Nihil. Gak ada siapasiapa selain petugas. Di kantin" Meski ragu karena ngerti Greta gak tertlalu suka pergi dari kelas dan sengaja nongkrong di kantin, gue tetap ke sana. Kemungkinan selalu ada, kan" Sekecil apapun. Ternyata gak membuahkan hasil.
Lapangan sepi. Jelas saja. Siapa yang nekat berpanas-panasan saat matahari seterik ini"
Ah, gue tau Greta ada dimana/
Gue belum masuk, masih berdiri di pintu, melihat Greta berlari sendirian di tengah ruanagan besar, menimbulkan gema akibat pantulan bolanya. Gue menimbang-nimbang, apa reaksi Greta jika gue menghampirinya" Apakah dia akan kembali cuek" Meledak" Atau berpura-pura gak ada apa-apa" Tersenyum palsu" Gue sama sekali gak bisa memprediksi reaksi yang bakal gue dapat. Greta.
Entah gue dapat nyali dari ,ama, suara yang keluar dari mulut gue sudah lebih dulu menyeberangi ruanagan.
Suara bola yang dipantulkan dalam sekejap menghilang, menyisakan lengang yang menegangkan. Greta gak menoleh, hanya berhenti memainkan bola. Gue tau gue yang harus maju. Bersikap jantan. Sudah cukup gue menjadi pengecut kemarin.
Greta. Gue mengulangi panggilan.
Greta masih gak menjawab, membuat gue melangkah lebih jauh, sampai berdiri tepat di hadapannya. Gue menatap lurus wajahnya, tapi dia menatap lantai dengan tatapan kosong.
Greta. Pelan-pelan wajah Greta menghadap gue. Dia menatap tajam mata gue, bikin gue kikuk. Gue gak bisa membedakan, tatapan itu penuh kebencian atau kekecewaan. Rasanya gue seperti orang paling bego dan paling jahat sedunia. Gue& mau minta maaf.
Itu hanya permulaan. Gue melihat reaksi Greta dulu sebelum melanjutkan apa yang pengin gue sampaikan.
Memangnya kenapa harus minta maaf"
Bersikap pura-pura seperti itu jelas menyiksa. Membuat gue berpikir untuk menyelesaikan kejadian ini dengan cara yang lebih mudah. Jangan sampai menghancurkan perasaan kami.
Lo tau maksud gue. Jangan pura-pura bego. Gue gak ngerti.
Dengan entengnya Greta menjawab seperti itu. Gue menyibakkan rambut ke belakang dengan jari. Frustasi.
Jangan mempermainkan gue, Ta!
Percakapan yang seharusnya dilakukan tenang kini berubah setelah gue lepas kontrol dan berteriak kepadanya.
Greta tersentak. Matanya spontan melebar, dan detik berikutnya dia berbalik meninggalkan gue.
Gue segera menarik tangan kanan Greta yang bebas. Dia gak melepaskan, justru berbalik memandang gfue dengan tatapan tegas dan mengintimidasi. Gue pergi ke sini, sendirian, dalam keadaan sehat walafiat. Dan sekarang gvue mau balik, sendirian. Dengan keadaan tanpa sakit sedikit pun. Sesuai permintaan Greta, gue melepas cengkeraman gue. Ternyata tanpa gue sadari, gue mencengkeram terlalu keras sehingga menyebabkan bekas merah di pergelangan tangannya.
Gue mohon, Ta, jangan permainin gue seperti ini. Jangan bersikap seperti ini. Greta mendengus, tertawa mengejek. Gue" Mempermainkan lo" Kapan" Gue gak menjawab.
Yang ada juga lo yang mempermainin gue. Dan kesalahan terbesar gue adalah mempercayai lo. Padahal gue tau lo sosok asing. Sosok yang secara logika, gak seharusnya gue pilih untuk& gue percaya begitu aja. Gue bisa melihat segores luka yang terpancar dari mata Greta. Gue gak ngerti kenapa lo bisa setega itu mempermainkan gue. Selama& Gue gak mempermainkan lo! Gue gak pernah sekalipun berniat sekedar have fun sama lo berdua! Siapa gue emmangnya" Gue gak berani mempermainkan siapapun, Ta!
Lalu, kenapa lo gak pernah cerita> lo gak berbohong, hanya saja lo memilih gak menceritakan seluruhnya. Lo pengecut dan pencundang yang bersembunyi dibaliok titel heartbreaker.
Gue bener-bener minta maaf, Ta., ucap gue sungguh-sungguh. Greta mendengus. Ujung sebelah bibirnya terangkat. Dia bergeleng-geleng kecil. Buat apa minta maaf" Ini prinsip hidup gue, sekalian saran buat lo, gak perlu minta maaf untuk apa pun yang lo tau salah tapi tetap lo lakukan. Greta berbalik pergi, tapi lagi-lagi gue berhasil menahannya. Kenapa lo harus seangkuh ini sih"
Gue" Angkuh" Gue terang-terangan memberikan sinyal bahwa gue gak berpura-pura bersikap baik untuk mendapatkan simpati seseorang, lalu memanfaatkannya.
Ngomong terus terang aja kenapa sih"! Gue panas juga. Daripada nyindirnyindir seperti itu, mendingan lo ngomong aja. Gak perlu basa basi! Ngapain juga lo harus ribet muter kesana kemari yang gak jelas"
Kenapa lo merasa tersindir" Greta tertawa kecil dengan tatapan mengejek. Gue berbicara general kok. Jadi lo ngerasa dan sadar bahwa lo juga tipe seperti itu" Wah wah wah.
Gue menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dari mulut. Mencoba mengatur rotme jantung yang sempat naik beberapa tingkat karena emosi. Selesaikan baik-baik. Gak perlu adu mulut. Gak perlu teriak-teriak lagi. Pecahkan dengan kepala dan hati dingin.
Greta, gue gak tau harus bagaimana untuk membuat lo mengerti dan memaafkan gue. Biarkan gue menjelaskan.
Aku kembali menarik napas dalam-dalam, bersyukur melihat Greta menjadi tenang dan mau mendengarkan. Kedua tangannya disilangkan di depan dada, tatapannya tetap ke mata gue.
Gue gak pernah mempermainkan lo ataupun Hannah, Ta. Secuil niat pun gak ada. Untuk apa" Gue bukan tipe cowok yang gak bisa hidup tanpa banyak cewek.
Malam ini gue bener-bener yakin dan menyadari bahwa gue sayang lo, Ta. Lo memberi gue perspektif baru kehidupan. Lo bisa dengan tenangnya menjalani hidup dengan cara lo sendiri, memilih untuk menjadi unik. Ngasih keyakinan ke gue, bahwa lo memang orang yang tepat, orang yang gue tunggu selama ini. Hannah dan gue hanyalah teman masa kecil, Ta. Lo tau itu artinya apa" It doesn t mean anything. Begitu ketemu setelah sekian lama berpisah, gue masih menyayangi Hannah. I admit it. I confess it. Tapi ternyata itu hanya kasih sayang seorang sahabat, TA. Karena gue terbiasa melindungi dia, gue gak mau melihatnya terluka.
Mata kami masih bertatapan, tapi ada yang lain dari sepasang mata dengan ujung agak naik itu. Ah. Gue harap pertemuan ini gak emosional, gak perlu ada air mata yang jatuh.
Greta bergeming. Maaf kalo gue gak bilang dari awal soal hubungan gue dan Hannah, karena, yah& lo tau, gue cowok. Mana ada cowok yang mau cerita soal masa kecilnya, apalagi hal menye seperti itu"
Gue akui, gue gengsi untuk terbuka di depan publik. Mungkin berbeda dengan kalian, kaum cewek. Kalian lebih excited dengan cerita-cerita seperti itu. Gue kira Hannah akan cerita sendiri sama li, tapi ternyata gak. Dan anehnya, gue lega karena gue bener-bener berharap untuk bisa memulai sebuah hubungan dengan lo dengan sangat baik.
Lo ngebohongi gue, Ga! Gue gak ngebohongi lo, Greta, gak pernah! Gue Cuma belum pernah sempat membicarakan seluruhnya.
Lo punya banyak waktu untuk bilang, tapi gak memanfaatkannya. Dan sekarang lo seakan menyalahkan waktu.
Gue belum punya cukup keberanian saat itu. Lagi pula, gue tanya ama lo sekarang, kalo lo tau hubungan gue dengan Hannah, apa semuanya akan baikbaik saja" Apa lo juga kan menerima perasaan itu" Apa lo akan bersikap jujur bahwa lo juga memendam perasaan ke gue" Gue gak yakin, Ta. Air mata jatuh di pipi kiri Greta. Ah. Bukan seperti ini yang gue inginkan. Kenapa gue harus melihatnya menangis" Gue gak mau melihat kesedihan di wajah tegas ini. Sebelah tangan gue terangkat untuk mengusap pipinya, dan dia gak menolak. Dia membiarkan.
Ta, satu-satunya penjelasan kenap gue saat itu gak bilang apa pun& karena gue gak berani.
Bahu Greta berguncang. Tangan gue terkena air matanya yang semakin deras. Greta gue sayang sama lo. Apa itu salah" Lo marah sama gue" Tiba-tiba dia menyentak tangan gue dan berubah menjadi liar. Sangat di luar kontrol. Sifat yang gak pernah gue lihat pada diri Greta selama ini. Gue marah sama lo! Gue marah karena lo gak jujur. Membiarkan gue bermimpi sendirian, sementara lo tertawa, sementara lo tertawa, tahu mimpi gue gak akan jadi kenyataan! Gue benci lo karena lo menyakiti hati gue justru di saat gue membuka dan membiarkan lo untuk memilikinya! Sekarang gue tanya lo, kalo gue marah, gue benci, apa gue gak berhak"! Gue gak emnjawab. Bingung. Gue gak bisa berpikir melihat Greta histeris. Gue berhak, Dirga! Gue berhak kecewa karena ternyata lo egois, mau memiliki gue maupun Hannah! Gue berhak cemburu dan sekarang memilih pergi karena gue memang memiliki perasaan khusus pada lo, Dirga!
Gue mematung. Pengakuan Greta dalam kondisi terliarnya bener-bener membuat gue gak mampu berkata-kata.
Udahlah, Ga. Jangan ngusik gue lagi. Gue harus fokus dengan masa depan, ulangan umum sebentar lagi. Dan satu lagi, gak ada yang harus diakhiri, karena kita berdua tau, gak ada yang benar-benar pernah dimulai.
Gue kaget dan seperti tersihir, hanya bisa berdiri kaku melihat Greta pergi. ***
# G reta* Ulangan umum kurang dari seminggu lagi.
Aku selesai mengepak beberapa pakaian ke ransel. Selesai. Aku harus fokus untuk ulangan umum, mengingat nilainya berpengaruh untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Setelah persiapan matang selama sebulan bersama Boy, aku gak kewalahan mengulangi materi seperti kebanyakan murid yang terbias belajar dengan SKS alias Sistem Kebut Semalam.
Ponsel di ranjang bergetar. Ah, Tante Irma menelepon.
Iya, ada apa, Tante" Iya& iya. Nih, udah siap-siap, udah beres semua. Iya dong! Hehehe& bisa kok, yakin banget lah& hhehe& iya, birokrasinya agak rumit kemarin, tapi bisa di haddle kok& Pasti& Iya. Oke, Tante. Makasih. Fiuuuh. Apa lagi ya" Aku mengecek sambilmemandang isi kamarku, berusaha mengingat-ingat kalau-kalau ada barang yang terlewatkan dibawa. Nanti sore aku berangkat ke Malang. Terkesan mendadak, memang. Orangtuaku sempat gak mengizinkan dan kami sampai harus beradu argumen yang cukup a lot.
Mau ngapain si, Ta" Sebentar lagi ulangan umum, kok kamu malah ngeluyur. Lagian juga masi hari sekolah. Mama keberatan dengan rencanaku. MA, hari tenang mulai Jum at, jadi masuk senin sampai kamis aja. Aku gak masuk sekalian empat hari juga gak masalah. Selama semester ini absenku sedikit. Persiapan mental yang paling kubutuhin, Ma. Persiapan materi udah beres, sekarang tinggal bikin rileks badab dan pikiran, aku mengutarakan alasanku.
Bukannya sombong, tapi aku yakin aku tetap berada di top five semester ini, melihat nilai-nilaiku yang emningkat, juga persiapan yang juga ku lakukan. Ada masalah" Mama masih berusaha menahanku. Ada masalah di sekolah"
Aku gak mau ketemu Hannah dan Dirga dulu. Gak sekarang. Gakl sampai aku bener-bener siap.
Yah, gak lah. Aku ke Malang karena butuh suasana baru aja. Gak mungkin aku mengakuinya ke Mama.
Melarikan diri" Gak tau deh. Aku Cuma merasa butuh menyendiri. ***
#Dirga Hannah datang dan sekarang ada di dapur bareng nyokap. Semakin sering aja Hannah datang kesini dan semankin dekat pula keakbrannya dengan nyokap. Gue sempat protes ke mama soal pertunangan itu. Tentu aja setelah Hannah pulang.
Yah, kan gak apa-apa, Ga. Mama berharap bisa punya mantu kayak Hannah. Lagian keluarganya baik banget. Jalani dulu.
Sementara bokap sendiri nggak terlalu pusingin soal itu. Beliau ngasih gue kebebasan, selama cewek yang gue pilih baik.
Sebagai laki-laki, gue kagek dan merasa bersalah bikin Greta dalam kondisi seperti kemarin. Berulang kali pengen menghubunginya, tapi selalu gue batalkan. Mungkin dia butuh menyendiri. Butuh waktu untuk kembali menata semuanya.
Gue juga terluka. Gak perlu mengakhiri sesuatu yang gak pernah dimulai.
Gue gak setuju. Kami berdua memulainya, hanya saja bukan dengan cara yang bias orang lakukan, dengan bertukar kata cinta. Apa semua hal memang harus terucapkan" Harus dengan pernyataan lisan" Bukankah tindakan justru lebih baik?""
Part 12 *** # H annah* Sudah dua hari Eta nggak sekolah. Aku berulang kali menghubungi ponselnya, tenyata nggak aktif. Aku telepon ke rumahnya, nggak ada yang ngangkat. Aku belum sempat pergi kerumahnya. Kutanya Boy, ternyata dia juga nggak tahu. Akhirnya aku duduk sebangku dengan Dirga. Oke, lebih tepatnya aku yang meminta dia pindah. Saat kutanya apakah dia tahu di mana Eta, Dirga justru bertanya balik padaku. Katanya, dia mana mungkin tahu. Betul juga. Dirga dan Eta kan nggak akrab. Yah, awalnya mereka nggak akur, lalu pertengahan membaik, tapi akhir-akhir ini kayaknya berubah.
Beberapa hari lagi ulangan umum. Aku pasti belum siap.
Kalau Eta jangan ditanya. Dia pasti sudah pasang sabuk pengaman sejak lama. Bahkan seandainya dia harus belajar sistem kebut semalam pun, aku yakin hasilnya jauh di atasku.
Eta nggak pernah nyontek. Kalau nggak bisa, dia memilih diam, nggak seperti kebanyakan dari kami yang langsung kasak-kusuk mencari jawaban.
"Ayo, belajar bareng, kita bisa diskusi. Bisa satu, bisa semua. Sukses satu, sukses semua. Silahkan nanya sepuas-puasnya saat belajar bareng, tapi jangan nanya pas ulangan."
Sebagai sahabat, aku sungkan nyontek pada Eta.
Sejak awal dia sudah memberi warning seperti itu kepada semua. Greta jarang mau ngasih jawaban ke teman. Itu momen langka dan siapa pun yang mendapat kehormatan itu seharusnya bersyukur.
"Ngelamun aja."
Dirga baru muncul dari toilet dan kembali dudu di sebelahku. Aku tersenyum. ***
# P atrick* Sabtu lalu aku mencari Greta untuk membahas turnamen yang diadakan sepuluh hari setelah ulangan umum selesai. Berhubung jam istirahat harus ke ruangan guru, aku nggak sempat mencarinya. Jam terakhir, Bu ana pulang lebih awal dan kami diberi tugas. Aku keluar, ke kelas Greta. Ternyata Greta nggak ada di kelas. Aku cuma melihat di bangkunya masih ada jaket dan tasnya. Feeling-ku mengatakan, dia pasti di indoor. Betul. Pintu ruang indoor terbuka setengah. Tanpa bermasud mengendap aku melangkah perlahan sampai di balik pintu. Ternyata Dirga disana. Nggak mungkin mereka berdua datang ke sini bersamaan, mengingat kejadian kemarin. Keduanya terlihat berbicara serius.
Aku memilih diam di balik pintu, memperhatikan dua sosok itu dari kejauhan. Suasananya kurang pas untuk menjadi tamu nggak diundang. Sungguh, aku nggak bermaksud menetap dan menguping. Aku baru selangkah berbalik pergi saat Dirga berbicara dengan nada tinggi. Aku mengurung niat. Pasti ada kejadian selanjutnya.
Aku memilih diam di sana, mendengarkan semua percakapan yang penuh emosi itu. Aku nggak melihat wajah Greta karena dia membelakangiku, tapi aku tahu dari bahunya yang terguncang, dan tentu saja suaranya, dia menangis.
Saat itu aku ingin sekali berlari dan merengkuh Greta ke dalam dekapanku, menyediakan bahu untuk dia bersandar. Tapi itu mimpi yang percuma.
Sejak saat itu aku belum melihat Greta di sekolah, sementara Dirga tetap masuk seperti biasa. Meskipun Greta absen, aku nggak melihat Dirga merasa bersalah dan khawatir, justru dia semakin akrab dengan Hannah. Sama sekali nggak mencerminkan pengakuannya yang di ucapkan pada Greta. Jelas Dirga berkhianat. Palsu.
Tapi memangnya aku bisa apa" Datang menghampiri Dirga, lalu menghanjarnya" Untuk apa" Toh itu masalah pribadi, hanya di antara Dirga dan Greta. Mungkin melibatkan Hannah juga, kalau-kalau Greta mengharuskan kehadirannya untuk memperjelas hubungan cinta segi tiga itu. Aku tetap orang luar. Orang asing yang juga terimbas sakit.
*** # D irga* Sampai hari terakhir sebelum hari tenang dimulai, batang hidung Greta hilang dari peredaran. Hannah yang ternyata juga nggak tau, nanya ke gue, orang yang jelas-jelas paling dihindari Greta saat itu. Tentu aja Hannah nggak tau fakta gue dekat sama Greta. Meski nggak pernah ada kesempatan bersama, baik gue maupun Greta nggak membicarakan hal itu dengan Hannah. Latihan basket juga berhenti dulu, meski kabarnya ada turnamen setelah ulangan umum.
Gue terlalu pengecut untuk menghentikan motor di depan pagar hitam yang tinggi itu dan masuk untuk mengunjungi Greta. Padahal gue amat merindukannya. Cukup melihat aja, sekalipun gue tau sekarang hati gue terluka setiap melihatnya. Tapi rasa sakit itu masih jauh lebih kecil dibandingkan rindu.
*** # G reta* Enam hari di malang benar-benar memuaskan. Melegakan dan memberi ketenangan yang kubutuhkan. Disana aku melakukan apa pun yang kusuka tanpa di ganggu siapa pun. Belajar masak sama Tante, bergabung dengan orang-orang yang bermain basket, mengamati orang-orang dengan berbagai aktivitasnya, lalu mengabadikannya dalam kamera, dan belajar pada malam hari. Hehehe.... Harus lah!
Sampai di rumah pun, aku tetap nggak menyalakan ponsel, masi nggak mau diganggu. Tapi begitu selesai mandi dan telpon rumah berdering, aku mengangkatnya.
Ternyata Boy. Baru mendengar "halo" dariku, Boy langsung membombardiku dengan pertanyaan. Aku yakin dia menghabiskan satu napas panjang untuk pertanyaan sepanjang gerbong kereta itu. Aku terkikik. Dia persis ibu kos yang cerewet. Ah, kangen juga.
Aku nggak menceritakan semuanya ke Boy, meskipun dia teman yang sangat baik. Memang sih untuk urusan yang melibatkan cewek dan cowok, Boy bisa diandalkan untuk memberi masukan yang berguna, dengan memberi penilaian dari sisi cowok. Dulu pun saat kejadian aku dan Regar, Boy selalu mendampingiku. Namun, ah.... Kali ini aku enggan berbagi cerita dengan Boy. "Besok perang dimulai. Udah siap?" Tanyaku.
"Siaaaapp. Gue jauh lebih yakin dibanding tahun lalu. Kayaknya tahun ini gue nggak perlu lagi sakit leher gara-gara noleh ke sana-sini deh. Hehehe....." Aku meledeknya. Boy tertawa sambil ngeles.
Masih ada sisa waktu sepuluh menit sebelum ulangan umum selesai. Aku mengesampingkan lembar jawaban yang sudah terisi penuh bulatan hitam pensil dan kembali membuka lembar soal bahasa indonesia. Nggak perlu buru-buru, masih ada waktu buat ngoreksi.
Cukup sekali aku dikagetkan nilai ujian bahasa indonesia, saat SMP, dengan hasil yang jauh dari eks-pektasiku. Memalukan. Rasanya bego banget saat nilai bahasa indonesia-ku lebih rendah daripada bahasa inggris. Aku kan orang indonesia asli. Meski aku quite excellent in english, tetep aja aku nggak mau sok menjadi bule.
Syukurlah selama ulangan umum aku nggak seruangan dengan orang-orang yang masih belum pengin kutemui. Aku sampai di sekolah sepuluh menit sebelum diizinkan masuk ke ruangan kelas, sehingga memilih menunggu di pos satpam. Sekarang, begitu selesai ulangan umum mata pelajaran pertama, aku segera ngacir ke UKS. Rebahan sebentar di ranjang ala rumah sakit itu cocok menjadi alternatif pengisi ulang baterai diri untuk pertempuran selanjutnya.
*** #Dirga Besok terakhir ulangan umum. Mmm... Selangkah lagi menuju kebebasan sementara, sebelum lebih mengenjot usaha untuk masa depan. Kelas dua, masa-masa paling merdeka di antara tiga tahun pendidikan, sebentar lagi harus gue tinggalkan, kecuali saking cintanya gue memilih jadi siswa abadi. Walaupun nggak akan ada banyak waktu untuk having fun, menjadi siswa kelas tiga SMA bakal seras punya brand tersendiri yang pretty cool. Sepuluh bulan yang akan menjadi penentu nasib beberapa tahun ke depan. So far so good. Biarpun gue nggak bisa berkonsentrasi seratus persen, gue mengerjakannya dengan cukup baik. Yah, nialai gur nggak ancur-ancur amat. Hannahs sering membantu dan memotivasi gue dalam belajar, tanpa gue minta.
Perlahan, gue mencoba untuk mengikuti arus, just go with the flow. Biarkan semua terjadi begitu aja, gue hanya perlu menghanyutkan diri. Singkatnya, mencoba menerima apa yang telah, sedang, dan akan terjadi tanpa memaksa kehendak. Menahan diri untuk menentang kejadian yang nggak sesuai kemauan.
Tetap saja hati gue berdesir saat melihat Greta berjalan memasuki kelas sebelah tepat ketika bel. Tadi dia langsung ke UKS begitu ulangan pertama usai. Dia langsung pulang begitu ulangan kedua selesai. Gue tau. Gue mengamati.
Seperti gue niatin, gue mengikuti arus. Belajar menanggalkan sifat egois dan beralih bersikap dewasa. Masing-masing dari kami punya tujuan dan cita-cita berbeda. Jadi biarkan aja kami menempuh jalan yang berbeda juga. Meski gue sangat merindukan Greta.
Part 13 # P atrick* Hari-hari penuh lembar soal dan jawaban berakhir sudah. Aku bisa merasakan kelegaan terpancar di wajah teman-teman. Sebagian kecil terlihat biasa, mungkin cemas menunggu hasil ulangan umum dan pengumuman remidi. "Hoi."
Seseorang merangkul pundakku dari belakang. Juan. Anak IPA I. Dia sainganku dalam merebut peringkat satu seangkatan.
"Yo. Gimana" Lancar?"
" Lumanyan lah. Denger-denger mau ada turnamen lagi." "Yah, gitu lah. Nambah jam terbang, not bad at all lah. Hehehe...." Juan tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku.
"Oke deh. Sukses, man. Ditunggu kabar gembiranya." Kemudian dia pergi lebih dulu.
Aku bergegas menuju ruangan Greta, berharap dia masih ada di dalam ruangan, mengingat cewek itu nggak pernah mengulur waktu. Selalu on time. Sekarang sudah tujuh menit lewat dari waktu ulangan umum berakhir. Kecil banget kemungkinannya dia masi ada di sana.
Tuh kan. Bangku-bangku sudah kosong.
"Eh, sorry, liat Greta nggak?" Tanyaku kepada seorang cewek yang tengah ngobrol bersama teman-temannya di luar ruangan.
"Udah keluar dari tadi tuh. Malah dia keluar setengah jam sebelum ulangan selesai."
"Wah" Serius lo?" Sahut cewek berambut cepak. Pasti dia nggak seruangan Greta.
"Iya, nggak kagek sih. Dia kan pinter..."
Aku mengucapkan terima kasih dan berlari menuju lapangan parkir. Jejeran mobil masih banyak, tapi sudah tentu nggak yang dinaiki Greta. Aku segera menghampiri Pak Agus, yang berada di luar pagar, membantu beberapa anak menyeberang jalan raya di depan sekolah.
"Pak, Greta sudah pulang belum?" "Greta" Wah, sudah dari tadi." Bahuku turun. Hah. Ya, sudah.
"Oke. Makasih, Pak." ****
"Lho, Patrick" Tumben dateng. Ayo, masuk...masuk," sambut Greta yang sudah mengganti seragam sekolah dengan kaus hijau longgar dan celana pendek. Aku memutuskan pergi kerumahnya sepulang sekolah tadi.
"Gimana ulangan tadi?" Aku berbasa-basi, meskipun tahu soal ulangan tadi pasti bisa dikerjakan Greta dengan mudah.
"Yah, lumayan lacar lah. Tinggal tunggu hasilnya. Deg-degan sih. Lo sendiri gimana, Pat?"
"Idem," jawabku kalem.
Greta membuka tutup kaleng monde butter cookies besar dan menyilahkanku untuk mengambilnya. Rumahnya sepi. Pukul sepuluh lewat sedikit. Aku bertanya-tanya, apa yang mungkin dilakukannya kalau aku nggak bertamu. Apa dia membuat berisik halaman belakang dengan pantulan bola, atau mungkin sekadar berselancar di internet, atau menghabiskan waktu dengan menonton film atau TV, atau... Malah nggak ngapa-ngapain selain melamun" Aku cepatcepat mengalihkan pikiran yang mulai melantur.
"Oh iya, Pat, gimana soal turnamen mendatang" Kemarin gue sempat ngobrol sama tim cewek, terus mereka pengin ikutan. Kan bakal jadi turnamen terakhir. Kelas dua belas kita nggak boleh lagi ikutan. Lagian hadiahnya gede banget lho."
Obrolan kam pun mengalir. Selama berbicar, aku memperhatikan ekspresi dan bahasa tubuh Greta. She looks fine, seakan kejadian kemarin sama sekali nggak memengaruhinya.
Dua pendapatku soal Greta. Pertama, dia memang nggak terpengaruh apa yang baru saja terjadi, padahal menurutku dan sebagian besar orang, masalah seperti itu memberi pengaruh-khususnya psikis-apalagi untuk ukuran orang yang nggak mudah jatuh cinta.
Kedua, dia aktris yang baik, memainkan peran hidupnya sendiri dengan cemerlang. Berkamuflase sangat brilian.
"Pat, bentar ya, gue mau ke toilet dulu. Hehehe.... Dingin banget udaranya."
Aku tersenyum menyilakan. Dalam keheningan singkat, aku mencoba mendengarkan suara hatiku. Apa ini momen yang pas" Apa nggak terlalu cepat" Greta memang kelihatan oke-oke saja, tapi aku yakin dia sebetulnya rapuh dan berusaha keras membangun kembali hatinya yang luluh lantak. Mungkin dia belum siap menerima kehadiran cowok baru. Namum... Kita nggak pernah tahu apa kita masih punya waktu dan kesempatan lain, kan" Bisa saja sesuatu terjadi hinggal membuat kita nggak bisa lagi menyampaikan niat tersebut.
Aku merasa niatku harus kusampaikan sekarang. Aku ikhlas pada apa pun yang terjadi
"Haaa.... legaaa! Eh, ayo Pat, makan. Gue mulu nih jadinya yang ngabisin." Tangan kanan Greta terjulur, mengambil cookies berbentuk bulat. "Ta, gue suka sama lo." Lirih. Pelan. Tegas.
Greta mendengarnya dan... Tertegun. Yah, wajar. Dia pasti nggak menyangka aku berucap seperti itu.
"Gue nggak masalah lo kaget, Ta. Selama ini hubungan lo dan gue juga hanya sebatas teman yang nggak terlalu akrab."
Greta nggak berkomentar. Dia masih menunggu penjelasan gue. " Maaf ya, Ta, kalo terkesan mendadak seperti ini."
Aku tertawa kecil untuk mencairkan suasana. "Ta, gue nggak menampik bahwa gue berharap lo bisa membalas perasaan ini. Tapi gue tau medan, siap dengan segala kemungkinan."
"Tau medan?" Kening Greta berkerut, tanda dia nggak mengerti maksudku. Kata-kataku memang konotatif.
"Ta, gue tau keadaan lo. Gue tau siapa cowok yang lo suka, atau seenggaknya pernah lo suka. Gue memang nggak tau persisnya gimana jalan ceritanya, namun gue tau lo belum ikhlas melepas Dirga."
Greta tercekat. Dia menahan napas, bola matanya membesar. "Cinta segi tiga aneh antara lo, Hannah, dan Dirga. Gue tau, Ta. I've seen it. Sebagai orang luar, gue nggak berhak melangkah masuk ke lingkungan itu. Yang bisa gue lakukan hanya mengamati dan... Menunggu lo keluar dari segi tiga itu.
"Kedengarannya egois, ya" Tapi nggak pesis seperti itu. Gue sempat takut saat lo dan Dirga mulai deket.
Buat gue, cukup Boy yang dekat dengan lo karena perasaan lo ke Dirga berbeda dengan ke Boy.
"Jangan lo kira gue mensyukuri akhir kisah lo dan Dirga. Gue juga terluka, Ta. Gue benci ngeliat lo terluka karena orang yang lo harapkan nggak membalas perasaan lo."
Kami terdiam. Suasana rumah yang sepi menyenangkan, kini beralih menjadi sepi yang menegangkan. Aku sudah mengeluarkan isi perdebatan batinku selama ini.
"Lo... Tau kejadian itu semua?"
Aku mendongak, mengalihkan pandangan kosongku dari gelas air mineral. Nggak ada semangat dalam tatapan mata Greta.
Aku mengangguk. "Sejauh mana lo tau?"
"Sejauh yang udah gue ungkapin barusan."
"Karena akhirnya gue nggak bersama Dirga, lo merasa punya kesempatan?" Nada suara Greta terdengar terluka. Ah.
"Gue lega lo nggak bersama Dirga karena gue nggak mau lo lebih terluka nantinya."
"Maksud lo?" "Gue tau ada sesuatu antara Dirga dan Hannah, meski nggak tau pastinya. Gue sempat ngeliat mereka jalan bareng beberapa kali, keliatan sangat deket. Meskipun saat di sekolah di depan teman-teman lain dan elo mereka menjaga jarak. Lagian, memangnya lo nggak merasa aneh, Hannah dan Dirga selalu ngobrol pake ' aku-kamu'?"
Lagi-lagi aku menangkap kekagetan di wajah Greta.
Benarkah dia nggak menyadari keganjilan di antara sahabat dan gebetannya" Padahal enam hari dalam seminggu mereka bertemu dan berkomunikasi. "Gue... Nggak tau."
"Ta, kalo gue bikin pikiran lo jadi kacau lagi, gue minta maaf. Bukan itu maksud gue datang ke sini. Lo berhak tau sebenarnya."
Greta bergeming. Akhirnya aku berhasil pamit pulang dari keadaan penuh kecanggungan itu. ***
* # G reta* Tuhan selalu memberikan yang kita butuhkan, meski nggak selalu yang kita inginkan.
Aku merenungkan kata-kata itu berulang kali, dan berulang kali juga aku mengamininya. Sayangnya, apa yang kita butuhkan dan sudah disediakan Tuhan sering terabaikan. Betul, kan" Contoh paling gampang dan umum adalah oksigen. Apa kita selalu mengingat dan menyadarinya di setiap helaan napas"
Terus terang aku syok banget saat Patrick ke sini dan membeberkan semuanya. Aku berusaha kembali berdiri dan membiarkan yang sudah terjadi menjadi masa lalu, bukan untuk masa kini, apalagi masa depan.
Aku mencoba berdamai dengen diri sendiri, nggak menyalahkan pihak mana pun.
Rasanya diriku seperti keledai dungu saat Patrick bilang cara komunikasi Hannah dan Dirga istimewa. Padahal Hannah teman sebangkuku, dan Dirga duduknya hanya berjarak dua bangku dari tempatku. Gimana bisa aku nggak menyadarinya"
Ya, sudah. Berarti yang kali ini memang bukan jodohku. Hello, I'm a sixteen year old gril, okay, going seventeen, but it all means I'm still a teenager. Just enjoy this moment.
Orang bilang, masa muda, apalagi SMA, masa yang paling seru dan asyik untuk dikenang. Perjalanan hidup masih panjang. Dan aku hidup juga bukan untuk sekedar mencari cowok. Ada banyak mimpi yang sudah kugantung tinggi dan harus diwujudkan.
Tuhan selalu memberikan yang terbaik. Tuhan selalu memberikan yang kita butuhkan.
Well, kalau sekarang aku belum dapet cowok, itu berarti Tuhan tahu aku bisa dan akan baik-baik saja tanpa kehadiran makhlik berkromosom Y. Tuhan tahu aku belum membutuhkan cowok.
Oke. Sip. *** # D irga* Gue sempat ragu waktu latihan basket Greta belum muncul, mengingat kebiasaanya hadir sepuluh menit sebelum waktunya. Apa dia sengaja menghindari" Atau mungkin dia nggak mau bergabung lagi" Dugaa gue terpatahkan saat kuncir ekor kuda Greta bergoyang dari seberang lapangan. Dia berseru ceria. Kami belum saling pandang, hanya gue mengamati dia diam-diam. Apa dia juga akan bersikap seperti itu dengan gue" "Ga!"
Bola keburu nimpuk kepala gue dari belakang sebelum gue menoleh ke sumber suara. Refleks, gue mengusap-usap kepala. Sakit.
"Meleng aja lo. Ngeliatin siapa, coba?" Boy menghampiri sambil meledek, alihalih meminta maaf.
"Apaan" Sakit, woy!"
"Hehe. Makanya, jangan meleng terus. Kalo di lapangan, fokus dong! Fokus," Boy berlagak seperti coach. Dasar!
Gue kembali menoleh Greta. Dia tengah menatap gue. Mungkin hanya sedetik, tapi rasanya lama banget. Gue tersenyum canggung. Mengejutkan: dia membalas senyum gue.
Malem ini gue dan anak-anak, termasuk Greta, Jenni, Cia, dan Ivonne, nongkrong di salah satu bakery yang cozy banget. Sedari sore, yang menjadi pusat perhatian gue cuma Greta. Nggak bisa dibilang lega juga melihat dia kembali seperti biasa.
Yang jelas, gue justru merasa terluka dan terbebani. Kenapa dia nggak terangterangan membenci gue" Kenapa nggak terang-terangan menghindari gue" Gue nggak menikmati suasana. Di seberang gue, seorang cewek dengan santainya menghabiskan banana boat. Sikapnya yang kalem justru menyakitkan. Memuakkan.
"Aduuuhh!" Pandangan semua beralih ke Greta. Dia tengah memegangi perutnya sambil meringis. Cia, Ivonne, dan Jenni segera merapatkan diri, sementara yang lain menunggu konfirmasi. Nggak jelas, gue cuma dengar Greta sakit perut. "Rakus sih lo, makan main lahap aja," Boy mengolok Greta. "Sembarangan!"
"Gue antarin pulang yuk!" Entah setan atau malaikat yang membisikan ide itu ke telingan gue dan tanpa pikir panjang langsung gue teruskan dalam bentuk lisan.
"Iya deh, lo pulang aja. Nggak lucu kalo lo pingsang di sini," Boy ikut membujuk.
Setelah perdebatan panjang antara Greta, Boy, serta yang lain, akhirnya Greta duduk di sebelah gue. Di mobil gue. Tanpa berkata apa-apa selain memegangi perut dan meringis tanpa suara. Mungkin menahan sakit.
"Kenapa, Ta" Lagi dapet?"
Greta hanya menggeleng singkat sambil menengok ke samping, lewat kaca mobil. Berusaha supaya nggak menatap gue.
Gue memutuskan menempuh jalur yang lebih jauh, nggak ambil pusing dengan sakit perut Greta. Siapa tahu dia hanya bermain peran. Nggak sakit tapi memilih bersikap seperti itu demi menghindar gue"
"Kok lewat sini, Ga" Kan jauh." Akhirnya setelah perjalanan yang bisu, Greta membuka percakapan dengan pertanyaan.
"Lo nggak jujur."
Aku menoleh singkat ke arahnya, mendapati dia naikin alis dan mendesah. Seakan-akan dia capek berat.
"Kita nggak sedang membahas itu. Dan emang nggak perlu dibahas lagi. Yang kemarin sudah mewakili semuanya. Sudah menjelaskan semuanya." See" Dia ngerti arah pembicaraanku.
"Kenapa lo harus pura-pura seperti itu" Faking smile, forcing to look happy. Semuanya."
"Gue nggak berpura-pura. Memang adanya seperti itu."
Gue tetap berjalan 70 km/jam, meski setengah mati menahan pedal gas. "Lo rela" Gue udah berbicara jujur, Ta. Kenapa lo nggak menghargai?" Greta meledak, "Gue justru menghargai sikap jujur lo yang terlambat itu, Ga. Gue merelakan semuanya terjadi sebagaimana semestinya, tanpa gue, cukup lo dan Hannah! Kenapa lo menghardik gue seperti itu" Lagi pula, apa yang harus dipertahankan" Sejak dulu nggak ada yang layak dipertahakan di antara kita, kecuali kesetiakawanan! Sebagai teman!"
"Susah sekali lo mengaku cinta?"
"Jangan kepedean!"
"Seenggaknya lo pernah bilang, lo sayang sama gue. Lo punya perasaan sama gue." Gue mencoba mengingatkanya, kalau-kalau dia lupa.
"I remember it. I still do."
Gue butuh kepastian sekali lagi! Biar gue tau lo sebenarnya masih mengharapkan gue!
Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oke, Ga. Gini ya, dengerin baik-baik. Mungkin memang seperti ini yang harus gue jalanin. Gue mengikhlaskan lo dan Hannah. Gue nggak akan bilang ke siapa pun soal ini, jadi lo bisa tenang. Biarkan itu jadi penggalan cerita hidup gue, gue nggak akan berusaha melupakannya."
"Lo nggak mencoba untuk... Berusaha lebih?"
"Berusaha lebih untuk apa" Supaya gue bisa jadian sama lo?" Greta tertawa. "Nggak."
"Karena Hannah" Seandainya bukan Hannah, lo tetep akan seperti ini?" "Gue nggak tau, dan nggak mau berandai-andai. Kata 'seandainya' menyakitkan, Ga. Gue nggak akan bermain dengan kata itu. Gue bisa mengubah permainan kata 'seandainya', tapi tetep nggak bisa mengubah faktanya."
"Sesederhana itu?" "Sesederhana itu."
Kami terdiam, sibuk berkuat dengan pikiran dan perasaan masing-masing. "Gue masih sayang lo, Ga."
Suara Greta lirih dan pelan, tapi menimbulkan efek yang spektakuler buat di tengah kebisuan ini. Dia menunduk, memainkan jemarinya. Masih ada yang ingin dia sampaikan. Masih ada. Pasti.
"Jangan disela. Biarkan gue menyelesaikan omongan gue, supaya gue bisa lega. Seenggaknya, usaha gue mengikhlaskan bikin hati gue lebih ringan." Gue diam seperti yang dia minta. Bibir gue tertutup dan sekalipun pandangan gue lurus ke depan, pikiran gue fokus pada sosok di samping gue. "Gue baru dua kali jatuh cinta, Ga. Karena selera dan penilaian orang beda, banyak yang nggak setuju ketika tahu pilihan gue. Gue menemukan banyak kebaikan Regar. Tapi ternyata dia memilih Hannah."
Gue terenyak, bisa merasakan betapa hancur, sakit dan perih hati Greta saat itu.
"Butuh waktu buat menata hati gue." Greta tertawa getir. "Lalu lo datang." Gue mencengkeram setir lebih kuat. Seperti ada yang meremas dada gue. Jangan bilang bahwa gue pun memberikan sejarah yang sama. " Lo pasti inget awal hubungan kita. Gue menganggap lo pesaing karena mengira lo mengambil Hannah dari gue. Perlu lo pahami, Ga, sekalipun gue sempat berperasaan aneh ke Hannah gara-gara Regar, gue nggak pernah membenci dia. She means a lot to me, just lo my own sister.
Gue nggak bisa memastikan kapan gue punya perasaan lebih ke lo, tapi saat itu gue mulai memupuk harapan demi harapan. Ternyata Tuhan punya jalan yang unpredictable. Sejarah berulang cepat, bahkan sebelum gue siap menghadapinya."
"Ta..." "Gue sempat kecewa sama Tuhan. Gue merasa...dipermainkan. Kenapa gue kembali harus diadu dengan sahabat gue sendiri?"
"Oh!" "Gue nggak tahu harus menyalahkan lo, Hannah, atau Tuhan, karena gue merasa semua membenci gue. Akhirnya gue melampiaskan semua ke Tuhan. Gue ungkapin semuanya. Yah, singkatnya, gue mendapat jawaban. Perlahan tapi pasti, hingga gue bisa ikhlas."
"Mungkin Tuhan memberikan jalan seperti ini supaya lo berusaha lebih?" "Gue rasa bukan seperti itu rencana Tuhan. Intinya, gue nggak akan mengganggu dan memasuki hubungan lo dan Hannah. Kita tetep jadi teman. Banyak impian besar yang harus gue raih. Dan gue nggak akan memberikan apa pun mengalangi keinginan gue itu."
"Termasuk soal kita?"
Greta mengangguk mantap. "Temasuk soal kita. Gue memilih menyalurkan energi ke hal yang lebih oke. Lebih positif, lebih menyenangkan." Gue menelan ludah. Ada satu pengakuan yang belum tersampaikan. "Gue nggak menyayangi Hannah seperti gue menyayangi lo, Ta." Greta menoleh cepat. "Apa lo bilang?"
"Gue....yah, gue sayang Hannah sebatas sahabat."
Greta menghela napas, mungkin menilai gue sebagai gabungan bego, egois, dan bajingan.
"Ta, gue minta maaf atas ketidakmampuan gue melindungi kita bertiga, membuat masing-masing terluka. Gue akan omongin ini ke Hannah, sebelum dia berharap jauh."
Kami sampai di rumah Greta.
"Ga, gue mau ngelanjutin hidup tanpa menoleh ke belakang. Gue sama sekali nggak akan ikut campur urusan lo dan Hannah, dan tolong, jangan libatkan gue juga."
Greta tertawa datar. "Kalo memperbaiki dalam artian mengulang semua dari awal, nggak."
Gue menghela napas. Ini sudah final. Gue nggak bisa memaksa Greta. "Thanks a lot ya, Ga. Lo ati-ato baliknya."
Gue hanya mengangguk pelan.
"Kita nggak tahu masa depan, Ga. Sekarang kita berusaha mencapai masa depan seperti yang kita inginkan, berjalan pada jalur imajiner. Bukan mustahil kalo ada dua jalur yang punya pangkal berjauhan, tapi ternyata unjungnya menyatu. Kita nggak pernah tau, Ga"
Part 14 # G reta* Hannah menangis panjang setelah Dirga mengatakan semuanya. Aku bisa mengerti perasaan Hannah, tapi nggk menyalahkan Dirga karena dia sudah berani bersikap tegas. Lebih baik begitu daripada saling mendusta. Hubungan aneh antara aku, Dirga, dan Hannah tetap menjadi rahasia bagiku, Dirga, dan Patrick. Dirga nggak mencertikan dan menyangkutpautkanku seperti yang kuminta. Masing-masing dari kami merasa sedih, tapi waktu akan menyembuhkan.
Perlahan tapi pasti kami merangkak keluar dari ruangan batin yang menyesakkan dan berdiri tegap menuju awal bari yang menanti, meski letih dan tertatih.
Lagi-lagi, kami berhasil mengawinkan gelar juara pada turnamen setelah ulangan umum. Kami menutup suasana pilu dengan menghadiahi diri sendiri kemenangan baru.
Bulan-bulan berat menemani kami. Try out dan ujian menggembleng kami untuk memasuk jenjang pendidikan lebih tinggi yang terbaik. Ulangan akhir semester, ujian akhir sekolah, dan ujian nasional membuat kami nggak sempat memikirkan hal lain.
Tinggal sepuluh hari lagi pengumuman hasil ujian, masih ada sedikit waktu untuk memanfaatkan momen yang tersisa sebelum kemudian kam berpencar menjalani hidup masing-masing.
*** # H annah* Awal kelas dua belas kemarin bukan saat baik bagiku. Selesai ulangan kenaikan kelas, aku dan Dirga terlibat pembicaraan serius dan menguras emosi. Intinya, Dirga mencoba meluruskan apa yang selama ini kusalah pahami. Poinnya, rasa sayang Dirga kepadaku bukan seperti hubungan cowok dan cewek, namum lebih kepada antarasahabat lama. Aku kecewa dan menangis. Sekian lama menunggu, ternyata seperti ini yang kuterima.
Penyertaan Tuhan-lah yang membuatku bisa bertahan untuk menyelesaikan semua tugas dan ujian sekolah. Tidak gampang melewati tahun ditemani kegalauan hati.
Eta sempat marah-marah karena aku nggak bisa mengendalikan pikiran dan perasaanku sendiri. Menurutnya, aku nggk seharusnya mandek. Eta juga bilang, banyak cowok oke, apalagi di bangku kuliah nanti, lebih dewasa juga. Membantah Eta artinya minta tambahan ceramah. Aku diam dan mengikuti sarannya.
Dan hasilnya nggak mengecewakan. Eta berhasil menumbuhkan semangat dan motivasiku, meski naik dengan sangaaat pelan. Dan pelan-pelan juga, aku mulai bisa berbicara kembali dengan Dirga, meski belum mampu menghilangkan perasaan sakit setiap kali bertatapan. Urusan hati memang susah.
Kemarin malam Dirga datang ke rumah tanpa pemberitahuan. Aku kangen sekali suasana yang sering kami lewati bersama seperti dulu.
"Wah, bagus. Lagian sepertinya cocok deh sama sifatmu," komentar Dirga tulus saat menanyakan lanjutan pendidikanku.
"Ya, amin. Mauku jadi dokter gigi yang baik. Kamu sendiri mau ke mana" Teknik mesin ya?"
Dirga menggeleng sambil tersenyum. " Aku mau ke angkatan." "Angkatan?" Aku sama sekali nggak menyangka jawaban Dirga. "Militer?" "Udara."
"Di jawa tengah?" "Yogya."
"Nanti...pasti kamu jarang pulang." Aku mengungkapkan isi hati. "Kan ada cuti. Enam bulan sekali juga pulang. Lagian, mungkin kamu sibuk nanti. Kan mahasiswa kedokteran." Dirga mencoba bercanda. Aku nggak bisa menahan air mataku. Dirga nggak berkata sepatah kata pun. Dia hanya berdiri dan mendekat, lalu memelukku. Tangisanku meluap. Aku nggak tahu berapa banyak air mata yang membasahi kausnya. Aku nggak mau melepasnya pergi.
"Dirgaa....jangan kuliah jauh-jauh," kataku di sela isakan.
Dirga mengusap-usap kepalaku, dengan sebelah tangannya masih memelukku erat. "Kan nggak jauh. Masih di indonesia. Masih bisa ketemu. Masih ada cuti." "Dirgaa, aku masih sayang kamu...."
Yang Dirga lakukan cuma memelukku semakin erat. ***
# P atrick* Hari ini semua bergembira. Pengumuman kelulusan sudah keluar. Hasilnya memuaskan, sesuai harapan. Greta berhasil masuk peringkat lima besar provinsi, prestasi yang betul-betul membanggakan. Aku tahu apa saja yang terjadi padanya setahun belakangan ini, tapi masa lalu yang pahit nggak membuat masa depannya menjadi pahit juga.
"Yag, hikmah juga sih, Pat. Kalo dulu nggak ada kejadian seperti itu, bisa aja gue malah keasyikan pacaran dan nggak dapet prestasi kayak gini. Disyukuri aja lah," papar Greta saat aku mengucapkan selamat.
Nggak ada ritual corat-coret seragam. Murid-murid tertib, lebih memilih mengabadikan momen ke dalam potret, gambar, dan berbagai tanda tangan serta tulisan di buku kenangan.
Kami berdiri berhadapan di tengah kerumunan murid yang lalu-lalang. Saling menunduk, nggak tahu harus berbuat apa. Nggak bisa dipungkiri bahwa aku masih berharap lebih kepada cewek jangkung yang beridiri canggung di depanku. Menyesakkan, mengingat ini adalah hari yang mengakhiri kebersmaan di tempat yang penuh memori ini.
"Lanjut ke mana, Pat?"
Aku mengakat wajah. Dia tersenyum seperti biasa. Manis. Cantik. Beraura.
"Teknik perminyakan, Ta."
"Wah, keren! Oke deh. Sukses ya." Greta menepuk lenganku. Aku baru akan bertanya balik, tapi Greta keburu mendapat telepon dan segera pamit. Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh.
*** #Greta Aku nggak menemukan Boy di antara sekial banyak murid di sekolah ini. Tanya ke sana-sini, nggak ada seorang pun yang melihatnya. Aku sempat mengiriminya pesan, tapi nggak ada balasan. Ihh! Aku melihat hasil ujian nasionalnya. Urutan 28 dari 366 murid. Prestasi luar biasa untuk ukuran anak urakan.
Telepon dari Boy membuatku buru-buru pamit kepada Patrick dan mencari tempat yang agak sepi supaya bisa mendengar dengan jelas. Perpustakaan, taman belakang, semua bukan tempat yang pas untuk bisa mendengarkan suaranya dengan jelas.
"Iya, iyaa, sebentaaar, gue nyari tempat yang oke nih." Aku berlari-lari, mencari lokasi sambil berteriak di telepon.
Nah. Pintu gedung indoor terbuka. Aku mulai mengurangi kecepatan menjadi berjalan biasa.
"Oke kenapa" Lo ada..."
Aku nggak menyelesaikan kalimatku, sebab tepat di lingkaran lapangan, daerah jump ball, aku melihat Boy berdiri dengan tangan kiri memegang ponsel yang menempel di telinga dan tangan kanan terangkat, melambai ke arahku. Heran" Ini emang kebetulan atau apa ya" Aku seketika merasa ada sesuatu yang nggak kuduga akan terjadi. Aku mengira boy nggak ke sekolah, mungkin di rumah, aku ke sini sekadar mencari tempat tenang untuk mengobrol via telepon. Atau jangan-jangan Boy seperti deddy corbuzier, bisa membaca pikiran" Wah, gawat.
"Kok lo ada di sini" Ngapain?" Cetusku, nggak bisa menutupi rasa penasaran. Boy mengangkat ujung bibirnya, dan mengangkat bahunya, memberikan kesan yah-gue-gitu.
Aku menyimpan ponsel di saku rok. "First of all, congratulation ya. Nilai matematika lo sempurna tuh. Kalah gue."
Ngeledeeek! Fisika, kimia, sama inggris lo sempurna banget. Lainnya salah satu doang. Gokil."
"Bahasa indonesia salah dua," ralatku culun. "Sama aja bagus."
Aku memandang setiap detial makhluk di depanku itu. Di antara semua teman cowok, dia yang selalu ada dan paling dekat, penuh perhatian, dan penuh pengertian. Aku tersenyum sedih. Apa iya, secepat ini kami harus berpisah" Bukannya baru kemari kami berkenalan"
"Ngapain lo mau nangis begitu" Sedih ya, nggak bisa ketemu gue lagi?" Tanya Boy nyengir.
Biasanya aku akan berkilah sehingga dia semakin gencar meledekku. "Iya nih. Sedih gue." Baru kali ini aku nggak membalas atapun mengelak. "Sini."
Boy merentangkan kedua tangan, tetap berdiri di tempatnya. Aku tersenyum geli, tapi tak urung menyambutnya. Dia memelukku. Erat sekali. Aku menikmatinya. Bisa jadi ini yang terakhir buat kami. Sepertinya bukan aku sendiri yang merasa berat meninggalkan semua kenangan tiga tahun di sekolah ini, baik dan buruknya. Banyak kejadian dan rahasia yang kami simpan di gedung ini.
"Ah nggak pengin gue lepasin kalo begini. Kayaknya waktu jalannya kecepatan deh," gumam Boy.
Aku nggak berkomentar, kerena mengamini ucapanya.
"Makasih ya buat lo semuanya. Lo mau terus bereng dan ngebantuin gue, nggak peduli gimana mejengkelkannya gue."
Aku tertawa kecil. Rupanya dia menyadari sikapnya yang terkadang sangat menjengkelkan.
Az, seperti ini ya. Dengerin gue," Boy belum melepaskan pelukannya, " selama ini gue seneng banget bisa akrab sama lo, sering ngabisin waktu bareng. Sebelum gue sadari betul, ternyata dunia gue berputar dengan bayangan lo. Karena kebersamaan itu, rasanya ada yang aneh aja kalo nggak ada lo. Ada yang kurang tanpa kehadiran lo."
Pikiranku mulai macam-macam. Biasanya kalau mulai ngomong seperti itu....eh, eh tapi Boy. Aku meyakinkan diriku untuk nggak berpikir ngaco. "Gue sayang teman-teman gue. Kaewna keseringan menghabiskan waktu bersama, gue nggak rela berpisah, apa lagi kehilangan. Gue pernah bilang sama lo, gue pengen buktiin sesuatu ke seorang cewek. Selama ini gue melihat dia begitu sempurna, sementara potensi dan keadaan gue nggak sebanding dia. Perlu usaha esktra dari gue buat membuka matanya."
Aku melepaskan pelukanku, tapi Boy enggan melepaskan pelukannya. "Iya, cewek itu lo, az. Kehadiran gue selama ini nggak lebih dari sekedar teman cowok yang dekat banget, kan" Gue tau diri kok. Seperti yang lain, gue juga punya khayalan dan harapan untuk punya hubungan lebih." "Gue.."
"Sssst. Let me finish my sentence, okay" Gue udah pikirin baik-baik. Gue aka menyatakan semuanya. Gue nggak memaksa atau menuntut lo untuk langsung menjawab. Biar sama-sama enak, gue ngasih lo kesempatan untuk mencoba memandang gue sebagai cowok, bukan sekedar teman cowok. Tapi, tolong jangan mengubah apapun yang sudah kita jalani selama ini. Kalo ternyata lo nggak bisa, gue terima kok. Gue nggak mau kehilangan lo dua kali: sebagai sahabat dan sebagai cewek gue."
"Duh. Ngapain nangis?" Boy mengusap air mataku lembut. "Jelek, ah. Udah gede ngapain nangis" Main aja yuk. Buat yang terakhir kalinya." Tangisanku semakin menjadi. Huhuhuhuhuuu......... "Lho, kok malah heboh sih?"
"Jangan bilang yang terakhir dong..... Huhuhuhuhuuu...." Boy tertawa dan mengacak-acak lembut rambutku.
"Sssst, cup cup. Ulangi taruhan setahun kemarin yuk. Sepuluh kali three point." Aku masih terisak saat Boy memantukan bola padaku. Setelah bujuk rayunya yang asli gombal, aku dan Boy justru nggak jadi bertaruh dan lebih memilih bermain one-on-one dengan berbagai adegan kejar-kejaran, cubit-cubitan, kelitikan, dan adegan-adegan lain khas film Bollywood.
*** # D irga* Setiap akhir sebuah babak, akan datang awal babak lain yang baru. Masa SMA sudah berakhir dan kini masing-masing menyongsong mimpi dalam fase kehidupan baru. Begitu pun gue.
Begitu pengumuman ujian keluar, gue plong dan bangga dengan usaha gue selama ini yang nggak sia-sia. Gue segera menjadi karbol, siap menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Udara.
Menengok kejadian yang sudah berlalu, nggak ada yang gue sesali. Gue nggak akan bisa mengerti manis kalo nggak tau pahit, kan" Teman, basket, sekolah, cinta...ya, semua memberikan warna dan pelajaran yang berbeda tapi bermanfaat. Gue nggak aka bisa seperti ini kalo nggak melewati itu semua. Kabar terakhir yang gue dengar, Greta melanjutkan studi ke Melbourne. Gue nggak sempat bertemu dengan dia karena bertepatan dengan jadwal seleksi akademi gue. Gue nggak tau kapan kami bisa bertemu lagi. Mungkin saat dia liburan dan gue cuti, atau setelah kami menempuh pendidikan" Atau mungkin pada acara pernikahannya"
Kata Hannah, Greta belajara arsitektur. Hal yang sangat mungkin dia tekuni, mempertimbangkan potensi menggambarnya yang sangat baik. Gue masih menyimpan lukisan diri gue yang di kasih saat ulang tahun ketujuh belas. Lukisan itu tergantung di kamar gue, satu-satunya hiasan dinding di sana. Satusatunya fokus gue sebelum tidur dan yang pertama saat bangun tidur.
Part 15 # G reta* Aku menutup leptop dan merebahkan diri dengan nggak sabar di tempat tidur. Besok aku kembali ke Indonesia. Akhirnya. Melbourne sedang musim dingin, suhunya nggak tanggung-tanggung. Sementara menurut Boy yang sedang kuliah di Surabaya. Ibu kota jawa timur membuatnya sering kehabisan stok baju karena gampang berkeringat. Hahaha....
Dua tahun sudah berlalu sejak kelulusan SMA. Aku nggak sering berkomunikasi dengan kawan-kawan SMA, termasuk Hannah. Boy menjadi orang yang selalu memberikan informasi dari Tanah Air. Mengabarkan keadaan kawan-kawan yang menyebar, sampai berita politik kaum elite. Ada saja yang menjadi bahan obrolan kami.
Tiga hari lalu kami sempat mengobrol bia telepon. Gaya banget si Boy. Tarif internasional kayaknya nggak membuat dia berhenti ngoceh selama hampir dua jam. Tapi aku kangen banget sih.
"Aaaah, kangen banget gueee. Lo udah libur, kan" Awas lo pokoknya kalo lo nggak nyamperin gue nanti," ancamku.
"Yakiiin kangen sama gue?" Nada suara Boy justru meremehkan. "Iya lah. Emangnya lo nggak kangen sama gue" Ih, jahat deh." Aku sok merajuk. Habisnya aku memang kangen banget sih. Sudah setinggi apa ya Boy sekarang" Apa ada kemajuan"
"Lebih kangen sama gue atau Dirga?"
Aku tertegun, sama sekali nggak menyangka Boy mengucapkan satu nama itu. Aku memang sempat menceritakan semuanya pada Boy, sebelum keberangkatanku ke sini. Sayangnya, aku nggak ketemu Dirga pada saat terakhir karena dia harus mengikuti seleksi angkatan udara. Hingga kini kami praktis nggak pernah berhubungan. Putus begitu saja.
Pembicaraan antara aku dan Boy sedikit pun nggak berindikasi yang mengrucut pada satu nama itu.
"Kok jadi bahas orang lain sih?" Cetusku.
"Kan benar. Katanya lo kangen gue. Sebesar apa kangen lo kalau di bandingin ke Dirga?"
Aku curiga, selama ini aku nggak pernah berbicara apa pun menyangkut Dirga. Dua tahun memang berlalu, tapi ternyata perasaanku belum berlalu begitu saja. Aku harus benar-benar mengamini dan mengakui kekuasan-Nya. Melbourne nggak sepi dari laki-laki yang good looking dan nice, tapi hatiku nggak terasa seperti kena setrum. Ya tahu lah, semenarik apa pun orang, kalau memang hati kita nggak se iya dengan apa yang kelihatan, nggak akan jalan. Situs jejaring sosial juga nggak banyak membantu. Facebook dan Twitter Dirga jarang sekali di-update. Aku sama sekali nggak berinisiatif menghubunginya lebih dulu, sebab takut. Takut menghadapi berbagai kemungkinan. Gimana perasaan Dirga padaku saat ini, seletah dulu dia sempat memintaku kembali tapi aku dengan tegas menolak" Apa dia masih berharap" Atau mungkin dia sudah menemukan cewek lai di sana" Apa aku masih bisa berdiri lagi di hadapannya tanpa air mata dan hati yang terluka kalau memang ada yang lain"
"Gue punya feeling yang kaut bahwa lo masih belum berhenti memikirkan Dirga. Tweet lo selama ini juga soal dia, kan" Nggak banyak memang, dan terlalu samar buat orang lain, tapi gue mengerti. Gue memahami lo." Ah, ya. Twitter menjadi tempat sampah yang menyenangkan untuk keadaan yang sangat mendesak, dan sering kali emosianal. Tapi nggak pernah secara frontal mengucapkan isi hati, apa lagi menyebut namanya di depan publik. Nggak. Aku nggak pernah.
"Dia baik-baik aja, kalo lo mau tau, tiga bulan lalu gue sempat ke yogya. He seemed fine."
"Baby, stop it, okay?"
Aku menolak berbicara lebih lanjut menyangkut Dirga. Sudah, biarkan saja. Aku nggak mau mendengarnya dari orang lain. Biarkan waktu yang mempertemukan kami sehingga aku bisa memastikan langsung keadaanya. Aku bisa kembali melihatnya. Aku bisa kembali menyentuhnya.
Part 16 # H annah* Aku sudah sampai di rumah Eta bersama Boy dan beberapa teman. Hari ini Eta pulang ke Indonesia dan kami berencana membuat kejutan untuknya. Lama banget aku nggak menginjakkan kaki di rumah ini. Bi Rahmi, Mang Karmin dan orangtua Greta menanyakan kesibukanku, kenapa nggak pernah main, dan lain-lain. Di samping nggak ada Eta di rumah ini, kuliahku juga menyita waktu. Harus ada yang di korbankan. Having fun, misalnya. Aku melihat Bi Rahmi di dapur, menyiapkan makanan. Mmm.... Aroma pisang kejunya menggoda. Dijamin nggak sampai sepuluh menit, dua piring pisang keju ini bakalan ludes. Nggak perlu diragukan lagi.
"Halo" Woi... Ga, di mana lo?"
Suara Boy yang sedang berbicara di telepon dengan seseorang mendapatkan perhatianku.
Iya, udah banyak nih... Iya lah... Dateng kan lo"....beres. Yo." Mungkin yang di teleponnya Dirga. Ah, salah. Pasti Dirga. Aku nggak tahu dia mau datang. Apa sudah waktunya cuti" Sedikit demi sedikit, aku tahu cerita tentang Dirga dan Eta. Sejujurnya aku kecewa dan sakit hati karena dibohongi. Aku meminta komfirmasi langsung pada Dirga, tapi ternyata jawabannya mengejutkanku. Dari apa yang terjadi, Eta jauh lebih sakit daripada aku. Meski begitu, Eta memilih mundur dan memaksa Dirga untuk nggak menceritakan bagian itu sebab Eta nggak mau merusak persahabatan kami. Aku jadi malu sendiri.
Waktu terus berlalu, menawarkan berbagai pengalaman baru yang mendewasakanku. Sejak empat bulan lalu, aku menjalin hubungan dengan kakak angkatanku. Sedikit-banyak ada persamaan antara dia dan Dirga, tapi aku nggak mau membandingkan. Aku merasa cukup dan mensyukuri apa yang kunikmati hingga hari ini.
"Eh, eh, sssst, diem dulu dong!" Navid meminta kami diam dan membesarkan volume TV. Karena di luar hujan, kami memutuskan ngumpul di ruangan tengah dan bukan di gazebo.
Tanyangan TV menampilkan pembawa acara berita tengah mengabarkan kecelakaan pesawat. Aku bergerak maju, kendekati kerumunan yang mendadak sepi karena menyimak isi berita.
"Boy, itu bukan pesawat Greta, kan?" ***
# D irga* Gue sangat-sangat bersemangat menyambut cuti kali ini. Bukannya akademi membosankan dan bikin jenuh, namun cuti kali ini nggak bisa ngak nggak boleh gue lewatkan begitu saja, atau gue akan menyesali keputusan bodoh gue sendiri.
Tiga bulan lalu, Boy ke Yogya dan kebetulan kami bisa bertemu. Selama ini dia masih berhubungan rutin dengan Greta. Gue menyimak deng baik setiap perkataannya, nggak mau melewatkan sedikit pun kabar tentang cewek yang tetap mengisi hati gue. Liburan kali ini Greta bakalan pulang ke Indonesia dan Boy menyiapkan kejutan menyambut kedatangannya.
Melegakan saat gue tahu Greta baik-baik aja di sana. Tapi ada satu hal yang membuat gue lebih lega....
"Dia nggak pacaran di sana. Itu kalo yang mau lo tanyain." Gue menatap Boy. Dia nggak berubah menjadi cenayang, kan" "Beberapa cowok memang mendekati dia, tapi nggak ada yang nyangkut. Dia masih nunggu seseorang. Dia masih setia sama satu orang Indonesia di sini." Saat itu gue mencoba mencari jawaban dan kepastian dari tatapan Boy yang misterius. Saat itu gue bertanya-tanya, apa gue boleh kembali berharap" Gue menelepon Boy sambil menyalakan mesin mobil. Udah banyak yang dateng rupanya. Gue semakin nggak sabar.
Gue kembali ke kamar, mengambil dompet yang hampir lupa dibawa. TV masih menyala, tapi sudah nggak ada yang ngeliatin. Sejak tadi penontonnya emang cuma gue sih. Gue baru akan menekan tombol remote untuk mematikan, tapi suara penyiar berita yang di tangkep telinga gue membuat gue mengurungkan niatku.
Setengah mati gue mencoba tetap sadar mendengarkan berita. Seperti ada yang meremas dada gue dengan kekuatan penuh, dan seakan menyedot udara ke luar rongga dada. Gue terdunduk lemas di sofa. Gue nggak tau harus ngapain, seperti kehilangan semangat dan tenaga.
Ponsel gue bergetar. Melihat siapa yang memanggil, dengan lemah gue menerima panggilan dan menempelkan di telinga. Suara Boy terdengar, sementara bibir gue terkunci rapat.
*** # B oy* Jalan tuhan memang tak terduga.
Hari ini banyak orang datang melayat dan mengantarkan jasad Greta sampai peristirahatan terakhirnya.
Gue sempat ketemu adam, entah dari mana dia dapet kabar. Bahkan ada beberapa wajah non-Indonesia yang belakangan ini gue ketahui sebagai teman-teman Greta di Melbourne.
Gerimis masih turun, membuat aroma tanah semakin tercium. Kesukaan Greta. Dia selalu suka hujan, apa lagi bau tanah yang basah. Sayangnya, sekarang dalam suasana berbeda. Dia nggak bisa lagi menikmatinya sambil tertawa kecil, ditemani secangkir cokelat panas seperti biasanya.
Satu per satu peziarah meninggalkan tanah merah dengan banyak taburan bunga itu. Kedua orangtua Greta sudah ikhlas setelah pencarian jenazah selama hampir dua minggu. Abangnya juga datang. Di nggak tersedu-sedu, tapi air matanya terus mengalir. Hannah yang sempat histeris.
Dalam sembilan belas tahun usia Greta, gue baru baru mengenalnya lima tahun terakhir. Mungkin di antara teman-teman, gue lebih mengerti dirinya. Cukup banyak waktu yang kami habiskan bersama. Banyak duka dan canda yang kami bagi, banyak cerita yang kami bikin. Sayangnya, dalam urusan asmara, kami nggak berbagi. Kami nggak berada di jalur yang sama. Tinggal gue dan Dirga yang masih bertahan di makam. Gue berdiri di sebelah Dirga, yang berjongkok dan memegangi nisan putih bertuliskan nama indah. Gue nggak melihat Dirga nangis dari tadi, cuma rahangnya mengeras. Sekarang, dalam keheningan mencengkam, gue melihat bahunya bergetar dan sejurus kemudian terdengar isakan tangis. Gue nggak mengalangi Dirga menumpahkan emosinya.
Di antara kami yang kehilangan, Dirga yang lebih berhak merasa kecewa, ditinggalin pergi tanpa pernah mendengarkan kejujuran perasaan yang diungkapkan langsung. Dia setia menunggu Greta kembali. "Ga," panggil gue pelan sambil memegang pundak Dirga.
Dirga masih menangis tanpa suara. Saat gue menunduk akan berjongkok di sebalahnya, gue melihat tangan kirinya menggenggam kertas biru. Kertas yang tiga bulan lalu gue berikan ketika gue ke Yogya. Kertas yang selama dua tahun gue simpen baik-baik, sesuai permintaan Greta. Kertas yang diberikan Greta pada hari keberangkatannya meninggalkan Indonesia kepada seseorang yang ternyata nggak bisa datang mengantarnya. Seseorang yang sangat ingin dia temui sebelum pergi.
"Dia sedang berjuang untuk masa depannya. Nggak apa-apa. Gue juga akan berjuang untuk masa depan gue." Greta mencoba tersenyum saat mengatakan itu. Gue ikut mengantarkannya ke bandara.
"Lo ati-ati ya di sana. Belajar yang benar. Inget, tujuang lo di sana buat belajar." Greta tertawa kecil saat gue mengucek-ucek rambutnya dengan sayang. "Jangan luapain gue ya. Gue pasti balik. Lo di Surabaya nanti juga yang bener, jadi nanti kalo gue butuh dokter, gue tinggal hubungin lo."
"Siaaap." Kami berpelukan. "Oh iya, gue nitip sesuatu sama lo." Greta merogoh saku jeans. "Tolong kasihin ini ke Dirga, ya. Kapan pun lo ketemu. Untuk deadline yang nggak terbatas."
"Az..." "Nggak ada yang bisa menduga jalan Tuhan. Kita nggak pernah tau masa depan kita gimana. Begitu pun Dirga. Gue pernah bilang ke dia, kami berjalan pada jalur imajiner yang nggak keliatan dan mungkin berbeda, tapi nggak menutupi kemungkinan kalo ujung kedua jalur yang berjauhan itu bisa bersatu." Gue terdiam.
Greta tersenyum dengan sangat dewasa. Setelah menyerahkan kertas biru itu, kami kembali berpelukan. Ternyata itu pelukan terakhir kami. ***
#Dirga Maaf gue nggak punya keberanian untu mengatakan langsung ini semua. Gue bukannya takut dianggap plinplan atau semacamnya, tapi lebih karena nggak sanggup berbicara lancar di depan lo.
Gue nggak berbohong waktu gue merelakan lo pergi dan memilih sahabat gue. Lo juga bisa liat kan, selama ini gue bersikap seperti biasa, menganggap semuanya nggak pernah terjadi, bakhan nggak membiarkan itu menjadi penghalang dalam meraih apa yang udah gue targetin.
Gue tersenyum di depan lo, namun sebenarnya menangis di dalam hati. Gue bersikap ceria dan terlihat baik-baik aja karena nggak pengin lo menganggap gue rapuh. Gue nggak pengin lo membebani lo dengan kenyataan bahwa gue sebetulnya nggak berhenti memikirkan lo. Dengan menjadi teman, kita nggak mungkin menjauhi satu sama lain, kan"
Begitu lah gue menyakiti diri sendiri.
Kemarin saat lo datang dan meminta balik, dengan angkuhnya gue mengabaikan itu. Ga, gue menangis. Gue nggak tau apakah setelah pengakuan ini gue terlihat hina dan rendah di mata lo. Gue hanya pengin jujur. Kita nggak bisa menentukan ujung jalan hidup kita. Gue hanya meyakini bahwa kita nggak sedang dalam rute perjalanan yang sama. Cita-cita kita berbeda. Gue pernah bilang, mungkin saja saat ini jalur kita berjauhan, tapi sama sekali nggak menutup kemungkinan untuk mencapai satu titik yang sama pada ujungnya. Itu pengharapan dan kerendahan hati yang sepenuhnya gue amini. PS: gue meyakini kita punya akhir yang indah bersama. Yang perlu kita lakukan hanyalah mengambil kesempatan yang ada. Seandainya lo mau memberikan kesempatan itu ke gue, gue nggak akan menolaknya lagi.
The End Manusia Pemusnah Raga 1 07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Manusia Harimau Merantau Lagi 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama