Ceritasilat Novel Online

Your Eyes 2

Your Eyes Karya Jaisii Q Bagian 2


Mama, kamu jahat. Mama udah nurutin semua kemauan kamu, tapi kenapa sekarang kamu malah ningglin Mama?" Belinda bersedu-sedan. Wajah Adrian ketika ia masih
kecil masih terbayang-bayang dengan nyata.
Satria mengajak Belinda untuk berdiri, berhenti menangisi Adrian yang telah tenang di atas sana. Istrinya itu lekas memeluk Satria. Kedua bahunya berjengit.
Sebagai seorang Ibu yang melahirkan, membesarkan, merawat, dan menyayangi dengan penuh kasih sayang, Belinda merasakan sakit yang luar biasa. Harus kehilangan
putranya yang masih sangat muda. Yang masih mempunyai masa depan jauh. Harapan-harapan kepada Adrian telah pupus.
Angga memandang kuburan Adrian dengan kenangan-kenangan yang pernah terjalin dengan adiknya di benak. Pasti ia akan merasakan kesepian, teman untuk bertengkar
dan becanda telah tiada. Angga kehilangan sosok adiknya.
Naura berlarian mencari makam Adrian di antara makam-makam yang berjajar, dari makam yang telah ditumbuhi rumput, hingga yang masih basah. Sadar kalau
ia telah salah, seharusnya ia ikut menemani kepergian Adrian. Tangannya terus mengusap pipinya. Naura berhenti berlari, dia tiba di dekat makam Adrian.
Naura tidak percaya ini. Melihat kuburan suaminya, seperti melihat hal paling mengerikan di dunia fana. Angga yang melihat keberadaan Naura, hanya diam.
Belinda masih sibuk menangis dalam pelukan Satria.
Pelan-pelan, Naura berjongkok, menatap gundukan tanah yang telah ditaburi bunga-bunga. Melawan ketakutan untuk tidak melihat tempat peristirahatan terakhir
Adrian. Mata yang telah mengering, kembali dialiri air mata. Setelah sekian menit menatap kuburan itu, Naura bersuara. "Katanya kamu pengin kita punya
anak 10, biar kamu bisa ejek aku sepuasnya sama kesepuluh anak kita. Kenapa" Kamu marah karena aku sempet nolak" Itu sebabnya kamu pergi ninggalin aku"
Gara-gara kamu, satu anak dari kesepuluh anak kita pergi. Aku nggak bisa jaga anak kita, maafin aku." Naura langsung memeluk batu nisan bertuliskan nama
Adrian Wijaya itu. Menangis sesenggukan, membayangkan kalau yang dipeluknya itu adalah tubuh Adrian. Tubuh yang menjadi penghangat ketika ia bersedih,
dan tangannya, akan dengan sabar mengusap air mata Naura. "Adrian jangan tinggalin aku... Jangan tinggalin aku... Aku mohon..." buliran bening terus berlinang.
Belinda yang baru menyadari keberadaan Naura, melepas kepalanya dari pelukan Satria, menoleh pada Naura yang sedang bersimbah air mata, menciumi batu nisan
Adrian. Sambil terus memandang Naura penuh kebencian, Belinda mendekat. Sekarang ini ia ingin sekali memaki seseorang yang menjadi penyebab kematian anaknya.
Belinda tiba di sebelah Naura, Naura berhenti menangis. Perempuan itu segera berdiri dan menghadapi mertuanya.
"Ma, dia bukan Adrian, Ma. Naura yakin itu. Adrian nggak mungkin ninggalin aku. Dia janji sama aku untuk pulang ke rumah. Adrian nggak mungkin meninggal.
Mama pasti bisa ngerasain sesuatu, kan" Mama pas---"
Belinda menampar pipi Naura keras, sampai menimbulkan suara. Satria dan Angga sama-sama terkejut. Terutama Naura. Aura ketegangan segera membungkus.
"Diem kamu! Jangan bicara lagi! Kamu yang udah nyebabin ini semua! Ini semua gara-gara kamu! Gara-gara kamu anak saya meninggal! Gara-gara kamu saya kehilangan
anak kesayangan saya! Kamu perempuan pembawa sial Naura! Kenapa Adrian yang harus meninggal"! Kenapa"! Kenapa bukan kamu"! Kenapa"!" Belinda mencengkeram
kedua bahu Naura dan menggoyangnya keras. Emosi meluap tanpa ada ampun, tanpa ada jeda. "Kalau aja anak saya nggak ngotot pengin nikah sama kamu semua
ini nggak akan pernah terjadi! Harusnya saya larang Adrian buat nikah sama perempuan macam kamu! Kamu yang membutakan hati anak saya!! Saya benci kamu
Naura!!!" Belinda berada di puncak histeris. Angga segera mengambil tindakan, dia beringsut mendekati Belinda dan Naura, berusaha menjauhkan mamanya yang
murka dari Naura yang tak berdaya. "Saya muak sama kamu! Saya benci sama kamu! Adrian meninggal gara-gara kamu!"
"Naura juga nggak mau Adrian meninggal, Ma. Mama harusnya ngertiin Naura jugaa. Naura tau Mama terpukul atas kematian Adrian, tapi tolooong, Naura juga
kehilangan Adrian." Naura membela dirinya dengan berusaha bicara apa adanya.
"Tapi kalau dia nggak nikah sama kamu, semua ini nggak bakalan pernah terjadi! Saya tau, gara-gara kamu Adrian pulang lebih awal! Saya sering denger kamu
teleponan sama dia, kamu bilang kamu kangen dia. Kepulangan Adrian itu harusnya hari ini, dan seharusnya hari ini dia masih ada, dia nggak bakalan meninggal!
Dia nggak akan ninggalin saya!" Belinda seolah sedang mengamuk tingkat tinggi. Matanya berkilat-kilat dan memerah.
Naura menangis tak tertahan, tertunduk tidak berani melihat tatapan kebencian yang dilemparkan Belinda. Satria menggeleng, tidak setuju dengan rajukan
Belinda terhadap Naura. "Belinda. Semua ini takdir. Tuhan yang udah mengatur semuanya. Kamu nggak bisa nyalahin Naura secara sepihak. Dia juga sama-sama
terpukul karena sama-sama kehilangan Adrian. Salah kalau kamu nyalahin dia."
"Pikir pakek logika, Pah!" Belinda beralih menatap suaminya, wajahnya merah padam. "Harusnya Adrian pulang hari ini. Kalau dia pulang hari ini, dia nggak
bakal ngalamin kecelakaan maut itu!" kembali ditatapnya Naura yang masih terisak. "Itu semua gara-gara kamu! Gara-gara kamu! Gara-gara kamu! Perempuan
pembawa sial!" "Mama stop. Kasian Naura. Bener kata Papa, Mama nggak bisa nyalahin dia. Naura juga nggak tau kalau Adrian bakal ninggalin kita secepat ini."
"Kamu belain perempuan yang udah jelas-jelas salah ini"!"
"Kalau Naura salah Naura minta maaf, Ma. Tapi Naura mohon, jangan benci Naura," lirih Naura. Gadis itu menenggelamkan kepalanya di dada Angga, hanya kepada
dialah ia bisa berlindung. Angga mengusap-ngusap punggung Naura, berbisik supaya dia tidak terlalu memercayai perkataan mamanya. Mamanya itu hanya sedang
emosi karena belum bisa menerima kematian Adrian yang mendadak.
Belinda kembali menangis. Kebencian terhadap Naura semakin menggebu-gebu. Mereka semua berlarut dalam kesedihan.
*** Mereka kembali ke rumah membawa kepedihan. Sepanjang perjalanan Angga yang selalu mendampingi Naura. Naura bingung, bertanya-tanya, mengapa ayahnya tidak
datang di pemakaman Adrian.
Belinda menghentikan langkah begitu berada lima langkah dari pintu utama. Naura dan Angga yang berada di belakang ikut berhenti. Belinda membalikan badan,
menghunuskan pandangannya kepada Naura.
"Kamu ngapain ikut ke sini" Pergi. Adrian udah nggak ada. Jadi kamu udah nggak punya hubungan apa-apa lagi sama keluarga ini. Kemas barang-barang kamu,
dan pergi. Menjauhlah dari keluarga kami."
Naura memejamkan matanya.
"Loh, nggak bisa gitu dong, Ma. Kita kasih waktu Naura untuk nenangin diri di sini," protes Angga ---yang lagi-lagi membela Naura. Dia adalah istri Adrian,
sudah kewajibannya untuk menjaga Naura. Karena Angga sangat yakin, Adrian tidak terima jika Naura diperlakukan tidak baik.
"Kamu mau jadi Adrian ke dua Angga" Mau belain dia" Percaya sama dia?"
"Mama harusnya inget Adrian. Dia nggak bakal sedih kalau Mama bentak-bentak Naura. Apa Mama nggak inget pesan Adrian sebelum dia pergi?"
Satria tidak bisa berbuat apa-apa. Bicara pun rasanya sulit. Percuma melarang, istrinya akan bersikukuh untuk mengusir Naura dari sini. Hanya membutuhkan
waktu yang tepat untuk berbicara baik-baik dengan Belinda.
"Oke tante." Naura tahu Belinda tak akan sudi dipanggil 'Mama' oleh dirinya. Hubungan mereka telah putus sejak kematian Adrian. "Naura bakalan pergi."
"Loh Naura?" "Nggak pa-pa, Kak."
Dengan matanya yang sembab, Belinda mendelik. Baguslah.
"Tapi izinin Naura buat ganti pakaian dulu. Cuma 10 menit." Naura bergegas melangkah menuju kamarnya. Angga menjangkau kepergian Naura dengan gelisah.
Secepat itukah dia mengambil keputusan"
"Mama heran. Kenapa sejak tadi kamu belain perempuan itu terus. Padahal, di sini, dalam hal ini, Mama yang paling terluka Angga! Harusnya kamu ada di sebelah
Mama, bukan dia!" "Ma, bukannya Angga belain Naura. Angga juga kasian sama Naura, dia kehilangan Adrian, suaminya. Kita sama-sama kehilangan. Mama jangan egois, dong."
"Dan Mama ini mamanya Adrian. Dan perempuan itu, dia yang bikin adik kamu meninggal. Harusnya kamu sadar itu! Kamu mau jadi anak yang durhaka udah bilang
Mama egois?" "Tapi Ma..." "Aaaah! Mama males denger alasan kamu!" Belinda malas melanjutkan konfrontasi ini. Tak akan pernah ada ujung.
Angga memandang mamanya serbasalah.
*** Naura membuka pintu kamar, suasana lengang menyambutnya. Sinar matahari masih setia menerangi. Tapi yang dirasa, hanya keredupan. Cahaya menyelimuti, tapi
dunianya gelap. Sunyi dan sepi. Bantal dan selimut tertata rapi dengan sangat sempurna. Di sinilah, di tempat inilah, dulu dia dan Adrian beristirahat
setelah melaksanakan pernikahan yang sangat melelahkan. Bahkan Adrian sempat mengatai Naura jelek, meski memakai make-up pun, dia masih saja jelek. Naura
ingat Adrian pernah menjatuhkan tubuh Naura di atas kasur itu. Hingga akhirnya, mereka melalukan malam pertama dengan suasana romantis.
Kaki itu mengayun lemah. Naura duduk di atas karpet, meletakkan kepalanya pada tepian kasur. Air mata jatuh lagi. Tujuan ia kemari bukan untuk berganti
pakaian, melainkan untuk mengenang kebersamaan ia ketika sedang bersama Adrian sebelum mereka memutuskan untuk pindah. Hanya butuh waktu 10 menit Naura
merenung. Di atas kasur ini, mereka pernah tidur bersama, berpelukan, dan bercerita. Kadang becanda. Sebelum tidur, Adrian tak lupa untuk selalu mencium
kening Naura. Entah sekali, atau lebih dari dua kali. Naura terisak memeluk tubuhnya sendiri. Adrian juga pernah membenamkan bibirnya di bibir Naura dengan
posisi duduk, di tengah ranjang, dengan baju piama yang sama. Saat ciuman itu berlangsung, tangan Adrian menjelajahi punggung Naura. Lalu Adrian berkata,
"Sekarang nggak bakal ada yang larang kita untuk ngelakuin itu. Semuamya bebas. Aku milik kamu, kamu milik aku. Papa kamu nggak akan larang."
Meski berusaha untuk tetap kuat, tetap saja Naura tidak bisa menahan laju air mata. Dadanya sesak, bagai ditindih beban berat berton-ton. Kembali tangannya
meremas dada dan memukulnya. Naura merindukan Adrian. Ia ingin menumpahkan segala keluh kesah kepadanya. "Aku kangen kamu Ian." Seprai kasur itu basah.
Terlalu banyak air mata yang berjatuhan.
Mata Naura beralih pada sebuah bingkai foto pernikahan yang tersemat di atas bufet. Ada Adrian dan dirinya yang sedang memakai busana pengantin. Ekspresi
penuh sukacita mendominasi. Adrian tampak sangat tampan dengan kameja hitamnya, senyum manis membingkai wajahnya. Naura meraih pigura itu, memandangnya
walau matanya buram. Mengotrol tangisnya. Berkali-kali dadanya naik-turun.
"Kita lewatin kebersamaan kita di sini selama dua minggu. Banyak kenangan yang indah. Walaupun sebentar, kamu berhasil bikin aku nggak bisa lupain masa-masa
indah kita. Memori yang nggak akan pernah bisa aku ilangin. Suara kamu, senyuman kamu, cubitan kamu di pipi aku, aku nggak akan pernah lupa. Gimana bisa
aku kembali ke rumah kita" Di sana terlalu banyak kenangan kita Adrian. Ledekan-ledekan yang selalu kita keluarin. Tentang kita yang selalu beres-beres
rumah sama-sama. Tentang kamu yang marah-marah setiap kali aku nyalain lagu yang aneh yang ngeganggu tidur kamu. Kamu..." senyum Adrian dalam foto itu
begitu menohok dada Naura. Menyakiti batin dan perasaan. Hingga Naura tak sanggup berbicara lagi. Adrian tak akan pernah merespon. Dia hanya tersenyum,
tersenyum, dan tersenyum. Senyum permanen yang akan selalu menghiasi wajahnya. Naura membawa foto itu ke dalam rengkuhannya, tangisnya pecah untuk kesekian
kali. Perih membelenggu. Tak ada obat, terlalu pilu.
"Ketemu kamu adalah anugerah terindah Tuhan, aku bersyukur. Dulu, kamu itu junior-nya aku di kampus. Dan aku senior kamu yang selalu ngatur ini dan ngatur
itu. Awalnya kita sering berantem, karena kamu selalu nggak mau nurutin perintah senior. Kayak cerita dalam novel. Dari benci jadi cinta. Dari berantem
jadi saling sayang. Terkesan klise, namun maknanya sangat indah. Itu adalah kita. Kita yang pada akhirnya saling mencintai, mengikrarkan janji, untuk saling
setia. Kita yang berbalutkan canda dan tawa. Kita yang saling menyempurnakan. Tak pernah mengenal air mata. Susah, sedih, seneng, kita lewatin sama-sama.
Aku cinta kamu Naura, bahkan lebih dari sekadar kata cinta. Kamu adalah perempuan yang bikin aku jatuh cinta untuk yang kedua kalinya, setelah mamaku.
Terima kasih, kamu udah pilih aku sebagai lelaki berarti dalam hidup kamu. Karena kamu, aku ngerasa sempurna. Kamu bagaikan air, yang mengguyur jiwa aku,
mengubah bagian kotor, menjadi bersih, bahkan lebih bersih dari sebelumnya. Menimbulkan sinar terang, yang akan menerangi kamu sebagai gantinya. Kamu yang
cemburuan, aku suka. Kamu yang selalu ngingetin aku supaya jangan kepincut sama cewek lain, aku suka. Semua yang ada dalam diri kamu yang apa adanya, aku
suka." Kata-kata Adrian yang pernah diucapkan terakhir kalinya, kembali terngiang di telinga Naura. Menemani tangisannya.
"Aku juga cinta sama kamu. Nggak pa-pa. Nggak pa-pa. Aku ikhlas Ian, aku ikhlas."
Bersambung. YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 10 - Episode Baru.
*** Tidak mengingat bukan berarti melupakan. Hanya saja, kita butuh waktu untuk mencari kesenangan lain, agar tidak terus berlarut dalam masa lalu kelam yang
akan mengganggu proses kehidupan di masa depan. Yang telah terjadi, bukan untuk disesali. Melainkan untuk dikenang dalam hati. Menjadi sejarah di masa
yang akan datang. Naura merentangkan kedua tangan, udara sejuk dan sinar mentari menyambutnya dengan permai. Dipejamkannya mata, menghirup udara pagi yang menyergap halus
di wajah. Semua telah berlalu. Jangan biarkan kesedihan terus mengganggu segala aktifitas kita. Dunia masih luas, masih banyak hal yang perlu kita jelajahi
lebih dalam. Satu tahun berlalu, Naura telah siap berkelana lagi.
"Ayaaaah Naura berangkat dulu!!" Itulah kalimat yang selalu Naura serukan di pagi hari.
Dengan sepeda sederhananya, Naura terus berkeliling di kota Jakarta untuk mencari pekerjaan. Ia tak ingin membebani ayahnya. Berhenti kuliah dan mencari
pekerjaan adalah pilihan terbaik. Naura mengerem sepedanya, melihat ada seorang nenek-nenek yang kesulitan menyeberangi jalan raya. Gadis itu segera menepikan
sepeda di pinggir jalan, turun dari sepeda dan menghampiri nenek berambut putih itu.
"Nenek mau nyebrang, ya?"
Si nenek menoleh lalu mengangguk.
"Biar Naura bantu ya, Nek. Emang sih Naura juga suka kesusahan kalau nyebrang di jalan besar kayak gini. Hehe. Ya udah pegang tangan saya, Nek." Naura
mulai mengalihkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Di jam segini, jalan selalu ramai dipadati kendaraan. Baik yang berangkat ke sekolah, pergi bekerja,
dan pergi ke kantor. Jalan ini tak akan pernah berhenti dilalui mobil atau motor. Perlu keahlian dan kehati-hatian penuh dalam menyeberang. Pertama, gunakan
tangan untuk memberi kode agar kendaraan mau memberikan waktu. Dengan serius, Naura membantu nenek tua di sebelahnya.
Dan akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.
"Makasih, ya, Nak," kata si Nenek ramah.
"Sama-sama, Nek." Naura memberikan senyum manisnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Naura berubah menjadi perempuan yang lebih dewasa. Lebih peka terhadap keadaan. Tetap terlihat ceria di mana pun, kapan
pun, dan dalam hal apa pun. Tak pernah sekalipun memasang wajah cemberut di depan orang-orang. Beberapa kali ditolak oleh manager perusahaan, tak membuatnya
putus semangat. Naura selalu membalas dengan anggukan dan senyuman, menerima keputusan. Yang ada dalam pikirannya, lowongan kerjaan itu masih banyak. Bejibun.
Bukan hanya satu atau dua.
Pernah sekali Naura diterima kerja oleh sebuah perusahaan. Sebagai urutan paling bawah; cleaning service. Tapi baru beberapa minggu bekerja, Naura malah
dipecat. Dengan alasan yang sangat konyol dan sangat disayangkan. Naura tidak sengaja menjatuhkan secangkir kopi di jas sang manager perusahaan. Naura
yang kelabakan, cepat-cepat membersihkan jas atasannya itu. Perempuan jangkung datang menghampiri. Menduga kalau Naura dan atasannya itu sedang menjalin
pendekatan. "Hey. Kamu lagi ngapain sama cleaning service ini?" suara anggun itu menyapa ramah, tapi terdengar tak bersahabat.
Naura mendongkakkan kepala, menghentikan aksinya.
"Aku udah sering banget kamu liatin cewek ini. Pokoknya kamu harus pecat dia." Telunjuknya mengarah ke wajah Naura yang bengong.
Naura segera mengerjap. "Apa, Mbak" Saya dipecat?"
"Iya." "Jangan dong, Mbak. Saya butuh uang. Saya cuma bersihin jas bapak yang nggak sengaja ketumpahin kopi waktu saya lewat. Saya nggak bermaksud apa-apa, kok."
Naura membela dirinya. Sesuai dengan realita. Suaranya penuh kejujuran.
"Jangan bohong kamu."
"Saya nggak pernah bohong. Bohong itu dosa, Mbak."
"Pakek bawa dosa segala lagi." Cewek itu mendelik dan menyibakkan poninya. Ekspresi Naura berubah masam, ia menggigit bibir bawahnya. Orang yang berada
di urutan paling bawah selalu disalahkan.
"Kalau kamu nggak pecat dia..., kita putus," perempuan berperawakan elegan itu melanjutkan.
Pak Vito selaku manager itu meneguk air liurnya. Naura beralih menatap atasannya dengan kernyitan di kening.
"Kenapa" Kamu nggak mau" Kamu suka sama dia?"
Naura melotot. Pak Vito memebelalakan mata. Bagai kucing yang sedang enak-enak tidur, tiba-tiba diguyur air dingin.
"Mbaaak. Jangan ngomong yang aneh-aneh, deh." Naura kebingungan.
"Ya udah cepetan putusin. Mau akhirin hubungan kita atau pecat dia?" perempuan itu mengulangi pertanyaan yang membuat Pak Vito ambigu. Melihat gelagat
pacarnya, cewek itu yakin kalau Vito memang menyukai cleaning service di depannya ini. Sejak dia masuk sampai sekarang.
"Mbak percaya sama saya. Pak Vito nggak mungkin suka sama saya, saya itu janda. Emang janda kayak saya ada yang mau?"
Pak Vito yang baru mengetahui hal itu langsung tergemap.
"Saya janda anak sepuluh. Itu sebabnya saya cari kerja, buat nafkahin anak-anak saya. Suami saya udah nggak ada." Pak Vito kembali terbeliak dengan kilahan
yang diucapkan Naura. 'Oooh jadi cowok ini suka sama aku" Pantesan kalau lewat dia suka senyum-senyum nggak jelas. Emang enak, syukurin.' Naura manggut-manggut. 'Mungkin ini
alasan kenapa dia terima aku kerja di sini. Oke mending aku keluar aja, daripada ngerusak hubungan mereka.'
Setiap kali ada cowok yang menaksir Naura, atau diam-diam menyukainya, Naura selalu mengeluarkan jurus andalannya. Entah laki-laki tajir apalagi laki-laki
ecek-ecek, semuanya sama di mata Naura. Berkata kepada mereka kalau dirinya adalah seorang janda yang memiliki banyak anak. Sesuai ekspetasi, tanpa disuruh,
mereka akan mundur duluan.
Sangat menyenangkan bukan" Di sana Naura bisa tahu mana yang tulus dan mana yang tidak. Dan yang paling utama untuk sekarang, Naura tak akan pernah mau
membuka hatinya untuk pria mana pun. Ia akan lebih mementingkan karir dibandingkan cinta. Adrian akan menjadi nama yang terpatri kekal dalam hatinya. Ia
tak akan pernah tergantikan.
Sambil mencari pekerjaan, Naura selalu membantu orang-orang yang kesulitan menyeberang. Memberikan uang tak seberapa namun dengan hati sangat tulus kepada
para pengemis. Ikut bernyanyi dengan para anak jalanan yang mengamen. Memberikan semangat kepada mereka agar jangan pernah patah semangat untuk mencapai
cita-cita. Sesederhana itukah kebahagiaannya. Menjadi alasan mereka tersenyum, Naura sangat menyukai itu. Kadang Naura ingat dengan calon anaknya, kalau
dulu ia tidak keguguran, pasti sekarang Adrian junior sudah berumur 4 empat bulan. Dia akan menemani mamanya ini.
Sesuai niat, hari ini Naura akan mengunjungi makam Adrian untuk menengok. Ada banyak hal yang ia ingin ia ceritakan kepadanya selain do'a. Naura memarkirkan
sepedanya di luar gerbang pemakaman. Bertemu dengan Pak Eko yang bertahun-tahun bekerja di sini sebagai tukang sapu, lalu tersenyum dan saling menyapa.
Karena Naura yang sering mengunjungi makam ini setiap sebulan dua kali, membuatnya kenal dengan Pak Eko. Kadang Naura bercerita tentang Adrian kepadanya.
Pak Eko selalu memberikan nasihat dan pesan. Dia sangat ramah menyambut kedatangan orang-orang yang datang untuk berziarah.
Naura jongkok di samping makam Adrian, memulai pembicaraan dengan senyuman. Makam Adrian sudah memakai keramik, rumput-rumput tumbuh di atas tanah datarnya.
"Halo Ian. Aku baik-baik aja." Naura berkata seolah Adrian sedang bertanya.
"Nggak kerasa, ya. Udah satu tahun kamu ninggalin aku. Udah satu tahun juga aku kehilangan kamu. Tapi itu semua nggak akan ngebuat aku putus asa. Hari
ini aku mau cerita banyak." Naura memainkan rumput yang berada di atas makam Adrian, menyesal karena lupa membawakan karangan bunga. "Nggak pa-pa kan kalau
aku bohong" Aku bilang ke mereka kalau aku ini janda beranak 10. Kamu nggak akan marah kan kalau aku bohong" Lagipula, emang bener kan aku ini janda."
Naura tertawa, seperti dia benar-benar sedang bercerita dengan Adrian. "Dan yang bikin aku ketawa itu, mereka langsung percaya dan langsung ninggalin aku.
Nggak ada perjuangan banget kan, Ian" Cowok apaan itu?"
Naura tersenyum lagi. Selama setahun ini, dia belum menemukan laki-laki seperti Adrian. Entah sampai kapan Naura akan menjalani hari-harinya sendirian,
tanpa ada pendamping. Naura serahkan semuanya kepada Tuhan.
"Menurut aku, di dunia ini, nggak ada yang kayak kamu. Kamu itu satu Ian, nggak ada yang nandingin. Aku seneng pernah kenal sama kamu, pacaran sama kamu,
dan nikah sama kamu. Aku nggak nyesel, kok meskipun pada akhirnya kamu ninggalin aku." Naura selipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga.
Naura yang keasyikan mengobrol, tidak menyadari dengan kedatangan Angga di belakang. Lalaki itu tampak tersenyum-senyum melihat dan mendengar Naura yang
sangat bawel di depan makam Adrian. Angga sangat bersyukur, Naura bisa melewati semuanya dengan sangat baik. Dia adalah perempuan paling kuat yang pernah
Angga temui. Dia mampu menarik hatinya, mengatakan kepada dunia ini, kalau ia telah menemukan perempuan idaman. Walaupun perempuan itu adalah bekas istri
adiknya sendiri. "Naura." Naura berhenti bicara, ditolehnya kepala ke belakang. Ia melihat laki-laki yang berdiri sambil tersenyum ke arahnya. "Kak Angga?"
"Kebetulan banget."
Naura tertawa seraya berdiri. "Wajar sih, Kak. Ini kan hari satu tahun kepergian Adrian. Udah kewajiban kita buat ziarah."
"Kamu semangat gitu curhat di depan makam Adrian." Angga nyengir. Sejujurnya dia sangat mengagumi Naura. Sekarang Naura suka lebih banyak bercerita ketimbang
menangis. Sosok wanita idaman. Wanita penyabar dan selalu tebar senyuman.
"Ya abisnya. Aku curhat ke siapa lagi" Kalau aku curhat ke Adrian, dia nggak bakal ngebeberin rahasia aku ke orang lain. Cukup aku, Adrian, dan Tuhan yang
tau." Naura menunjuk langit berawan biru.
Angga mengangguk-anggukan kepala. Di tangannya, ada karangan bunga yang sangat cantik. Angga melangkah, menyimpan bunga itu di atas makam Adrian. Tersenyum
sesaat. "Bagus bunganya, Kak," komentar Naura kembali memandang makam Adrian yang kini terlihat lebih indah. "Adrian beruntung ya, punya Kakak yang baik dan perhatian.
Sering nyimpen bunga di makamnya."
"Kamu mau?" "Eeeh nggak-lah."
"Nggak pa-pa, biar nanti kakak beliin."
"Nggak usah, Kak."
"Hmmm oke kalau kamu nolak. Tapi gantinya, kamu harus nemenin kakak makan siang." Angga memilih permintaan lain, ia yakin Naura tak akan bisa menolak.
"Emmmm..., boleh." Naura mengangguk setuju. Tak ada alasan untuk tidak menolak ajakan kak Angga. Dia terlalu baik. Angga tersenyum.
"Kamu nggak ada niatan buat kerja di kantor Papa?" pertanyaan itu berlanjut ketika mereka sudah berada di sebuah restoran, tak jauh dari pemakaman tadi.
Bahkan Angga dan Naura sudah menyantap makanan pesanan mereka. Restoran ini lumayan ramai, mengingat ini adalah jam istirahat para pekerja kantoran.
"Nggak ah, Kak. Aku tau, Mama Belinda nggak bakal suka aku ada di sana. Lagian, udah berapa kali sih kak Angga nanyain itu ke aku?" Naura sedikit terkekeh.
Sibuk dengan sendok garpu di tangannya.
Angga ikut tertawa menyadari kebodohannya. Naura tidak mengerti, sebenarnya itu untuk sekadar basa-basi saja. Karena Angga bingung harus memulai percakapan
dari mana. "Makasih ya, Kak. Selama ini Kakak udah mau jadi temen aku. Mau nemein aku, mau bantu aku buat ngelupain semua kesedihan aku. Aku berhutang budi banget,
nih." Naura memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. "Kalau Mama Belinda tau kita sering ketemu, bisa gawat, Kak."
"Kamu tenang aja, Mama nggak bakalan tau, kok."
"Omong-omong, Kakak belum punya niatan buat menikah" Kasian kan Mama Belinda, dia itu butuh cucu. Masa Kakak masih belum nemuin yang cocok, sih?"
"Emang belum ada, Naura. Zaman sekarang susah banget cari perempuan yang tulus."
"Ooh jadi kakak ini sekarang lagi ngejelek-jelekin perempuan, nih" Inget loh, kak. Di depan kakak ini ada cewek." Naura tersenyum hingga matanya mengecil.
"Emang kakak penginnya cewek kayak gimana?"
"Kayak kamu." Naura tertegun, aktifitas makannya terhenti.
"Kayak kamu. Yang baik, asik, dan nyenengin. Kakak yakin, semua cowok nyaman sama kamu."
"Maksud Kakak?"
"Kamu juga, nggak ada niatan buat buka hati kamu untuk orang lain?" Percakapan kali ini lebih sedikit canggung. "Kamu nggak mau buka lembaran baru" Ngejalanin
hubungan sama cowok lain" Kamu..., masih setia sama Adrian?"
Bukan ini percakapan yang Naura inginkan. Tidak seharusnya kak Angga menanyainya tentang hal itu. Dia sering berkata demikian, dan Naura selalu menjawab
dengan jawaban yang sama pula; tidak.
"Oh... Gimana" Kamu udah dapet kerjaan?" Angga segera mengalihkan topik pembicaraan setelah melihat Naura berubah mimik.
"Belum, Kak." Naura menenggak air putih.
Apa Naura yang terlalu kege'eran" Apa dia yang terlalu ketakutan" Kalau sebenarnya..., kakak Adrian ini mencintainya lebih dari sekadar adik ipar. Angga
selalu menyempatkan waktu untuk datang ke rumah, membawa buah tangan untuk Naura dan ayahnya. Angga selalu mengajak Naura jalan-jalan, menemaninya berkeliling
kota Jakarta sambil bermain. Bersepeda, makan ketoprak di pinggir jalan, makan es campur, dan nongkrong di Alun-Alun. Tak pernah sekali pun dia melewati
pertanyaan; 'Apa kamu nggak ada niat buka hati kamu buat cowok lain"' Cara Angga menatap Naura, cara dia memperlakukan Naura, cara dia berbicara, sudah
seperti laki-laki yang sangat menyayangi perempuannya.
Naura berharap, kalau hipotesisnya salah. Angga melakukan itu semua hanya sebatas kasih sayang seorang kakak kepada adiknya.
Pernah sekali, Angga memberikan hadiah yang sangat spesial. Kalung berlian berharga mahal. Tapi dengan berat hati, Naura menolak secara halus. Mendorong
kembali hadiah istimewa dari Angga itu. "Maaf, Kak. Aku nggak bisa terima itu. Lebih baik kakak kasihin aja benda itu ke Mama Belinda. Aku, udah pakai
kalung pemberian almarhum Adrian..." Naura tertunduk, meraih kalung perak berinisial 'N' di dadanya. Sampai kapan pun, ia tak akan pernah melepasnya. Benda
ini adalah satu-satunya barang berharga pemberian Adrian. Naura bersumpah tak akan melepasnya.
Angga tersenyum. "Nggak pa-pa Naura. Kakak nggak tau kalau kamu udah pakai kalung. Harusnya kakak beliin hadiah lain, ya."
"Sekali lagi Naura minta maaf."
"Kakak boleh minta sesuatu" Sebagai ganti kamu udah nolak kalung ini."
"Iya apa, Kak" Pasti aku kabulin, kok." Ini akan mengurangi rasa bersalahnya.


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mulai sekarang kamu nggak usah manggil aku pakek sebutan 'Kakak' Panggil Angga, atau kamu doang. Gimana?"
Naura terdiam. Bagaimana pun umur Angga lebih tua darinya. Ia tidak bisa melakukan itu. Akhir-akhir ini, bertemu dengan Angga, selalu membuatnya canggung.
"Maaf kak untuk itu aku juga nggak bisa. Nggak sopan kalau manggil orang yang lebih tua dari kita pakai nama, nggak pake embel-embel 'Kak'."
Angga hanya menganggukkan kepala. Mengerti.
Nilai poin dari kak Angga di mata Naura. Dia itu sosok yang pengertian. Selalu mengalah dan tidak pernah neko-neko. Tidak pernah memaksa kehendak. Tidak
egois. Naura melambaikan tangan sembari memapah sepedanya, meninggalkan Angga yang masih berdiri di depan pemakaman. Setelah lumayan jauh, Naura kembali naik
ke atas sepeda, mengayuhnya dengan santai.
Sementara Angga masuk kembali ke area pemakaman. Naura selalu diam jika ditanya tentang hatinya. Namun Angga akan selalu bersabar. Ia berjanji akan selalu
membuat Naura bahagia. "Maafin gue ya udah jatuh cinta sama istri lo. Tapi mau gimana lagi" Gue juga nggak tau kenapa bisa langsung suka. Sekarang gue ngerti kenapa lo dulu kepengin
ngebet nikah sama Naura, gue ngerti banget. Dia perempuan yang sempurna. Senyumnya manis, ya walaupun sosok bawelnya berkurang, nggak sebawel dulu. Wajar,
setahun yang lalu dia udah ngalamin kejadian pahit. Kehilangan elo, lelaki yang paling dia sayang. Kalau dia mau, gue janji bakal bahagiain dia lebih dari
ini. Tapi kayaknya, hatinya masih utuh untuk elo Ian. Rasanya susah untuk nerobos hatinya. Dia kayak udah nutup hati banget. Kalau suatu saat nanti gue
berhasil ngambil hati Naura, lo juga ikut seneng, kan" Lo pasti kepengin liat dia hidup bahagia. Gue bosen disuruh nikah mulu sama nyokap."
Angga merenung sejenak. Berharap kata-katanya akan sampai ke telinga Adrian. Pemakaman itu sangat lengang, sepoi angin menerpa wajah Angga. Daun-daun kering
beterbangan rendah. Bersambung. "YOUR EYES. Chapter 11 - Brian Adiwira.
*** "Assalamu'alaikum."
Naura memasuki rumahnya. Roman lelah tampak nyata di permukaan wajahnya. Naura simpan tas selendangnya dan duduk di atas kursi. Mengembuskan napas berat.
Menyesal karena lagi-lagi harus pulang dengan keadaan tangan kosong. Gagal mencari perkerjaan. Apa ia akan menjadi seorang pengangguran seumur hidup" Amit-amit.
Ayahnya keluar dari dapur. Ada segelas minuman yang ia bawa di tangan. Bibirnya melekukkan senyum. Naura mengernyit, Surya duduk seraya menyodorkan gelas
yang isi airnya berwarna pink. "Kamu pasti capek. Nih, Ayah buatin jus jambu."
Naura menaikkan sebelah alis, "Ayah perhatian banget." Dipandanginya segelas jus itu, lalu Naura meraihnya. Terlihat sangat lezat dan menggiurkan tenggorokan.
"Kamu kan capek abis cari kerja. Ya udah Ayah buatin jus. Supaya kamu bisa tetep sehat. Jus itu baik buat kesehatan Naura. Banyak vitamin dan kandungan
gizi yang bikin pencernaan kita jadi lancar."
Naura mulai menyeruput jus jambu di tangannya, sensasi dingin langsung terasa di dalam mulut. Setelah selesai menghabiskan setengahnya, Naura menyimpan
kembali gelasnya, memandang sang Ayah dengan mata berbinar, masih terlihat sisa-sisa jus di bibirnya. "Ayah jusnya enak banget." Naura memuji takjub, setengah
terkejut, tidak menyangka kalau ayahnya bisa membuat jus senikmat ini.
"Ayah gitu loh."
"Serius Ayah. Ini emang cuma jus..." Naura membawa jus itu, memandangnya layaknya emas berkilap dengan harga ratusan juta. "Jus yang semua orang juga bisa
bikin, tapi rasanya beda dari yang lain. Bisa dong Ayah setiap hari buatin jus buat aku?" goda Naura.
"Mungkin itu sebagai tanda sayang Ayah buat kamu Naura. Maafin Ayah karena selama ini Ayah belum jadi sosok yang baik buat kamu."
"Nggak Ayah, jangan bahas masa lalu. Aku mohon." Naura meletakkan kembali gelas itu di atas meja. Tiba-tiba teringat sesuatu. Memorinya mengantarkan kembali
ke waktu pagi. Membuat Naura terdiam.
"Kamu kenapa?" "Apa aku emang terlalu rindu sama almarhum Adrian, Yah" Sampai tadi siang..., aku liat orang yang mirip banget sama dia." Naura menundukkan kepala. Jelas
sekali, sewaktu keluar dari kantor tempatnya melamar kerja, matanya melihat seorang pria di toko kaset sedang memilih-milih kaset dalam rak-rak yang berjajar.
Mirip sekali dengan Adrian.
*** Perempuan berambut sedikit merah itu memandang pria yang tertidur pulas di atas sofa dengan kedua earphone yang tersemat di kedua telinganya. Bibirnya
tersenyum-senyum anteng bak menikmati pemandangan paling alamiah. Hampir 10 menit gadis itu memerhatikan cowok yang sedang berada dalam alam mimpi di depannya.
Apakah dia sedang bermimpi indah sampai membuat wajahnya terlihat begitu bersinar dan damai" Ketika tidur pulas pun, ketampanan kekasihnya masih terlihat
kentara. Hidung mancungnya, bibir sexi-nya, dagu yang terbelah duanya, juga rambut hitam yang selalu rapi. Mendekati sempurna.
"Brian Adiwira. I'm back to home," bisik perempuan pemilik nama Nessa itu. Walaupun ia tahu, bisikannya tak akan didengar. Brian sedang asik dengan lagu-lagu
klasiknya. Tak ingin mengganggu tidur Brian, Nessa memilih untuk pergi ke kamar untuk membawakan Brian selimut. Namun, sesuatu menyentuh tangan Nessa kala
ia akan beranjak. Langkah Nessa tersekat.
"Kamu mau kemana?"
Nessa menoleh, dilihatnya Brian dengan kedua mata yang masih sipit, terlihat sekali orang yang baru bangun dari tidur nyenyaknya. "Brian" Apa aku ganggu
tidur kamu?" Nessa segera mengurungkan niat. Sementara Brian, ia mulai berpindah posisi, mendesah pelan. Dan Nessa ikut duduk di sebelahnya.
Brian mulai membuka earphone-nya. Hingga benda itu melingkar di tengkuknya.
"Maaf ya kalau aku ganggu. Dan maaf juga buat tindakan aku kemarin," ucap Nessa merasa kalau dialah yang menyebabkan Brian bangun. Kembali mengingat kesalahan
yang ia lakukan kemarin malam. Yang juga membuatnya malu.
"Nggak, kamu nggak ganggu. Mungkin, takdir udah nentuin aku harus bangun jam berapa," jawab Brian dengan santainya. Kedua ujung bibir Nessa tertarik ke
samping, sedikit ragu. Ketika tersenyum, wajahnya semakin cantik. Elok wajahnya meneduhkan. Polesan make-up tidak terlalu tebal. Pas sekali menyaluti wajah
rupawannya. Nessa itu adalah gadis yang sangat cantik. Sangat sempurna. Memiliki harta berlimpah, keturunan pengusaha besar di Indonesia. Profesinya sebagai model,
sekaligus manager di perusahaan milik ayahnya yang sangat kaya raya. Brian memandang Nessa tanpa berkedip. Bibirnya yang merah merona, bulu mata yang lentik,
begitu menarik perhatian. Seperti seorang bidadari elegan yang nyasar di permukaam bumi. Tapi entah mengapa, sampai detik ini, jantungnya belum bereaksi
apa-apa. Apa susahnya mencintai gadis secantik dia"
Kata orang, kalau kita sedang berdekatan dengan orang yang sangat kita cintai, jantung kita akan merespon lebih. Menimbulkan gentar afektif. Namun nyatanya,
hal itu tidak dirasakan Brian. Ditatap seperti itu oleh Brian, membuat Nessa tercenung. Keheningan dan kecanggungan menyelusup tanpa permisi. Nessa gamang
sembari mengepip-ngedipkan mata. Mengerti dengan tatapan Brian.
"Kamu tunggu di sini, aku buatin makanan dulu. Kamu pasti belum makan siang." Begitulah cara Nessa keluar dari kekikukannya. Brian mengenalnya.
"Nggak usah." Brian menahan tangannya. Masih memandang Nessa dengan cara yang sama.
"Kamu tenang aja. Aku bakalan dengan sabar nunggu kamu. Kamu nggak usah paksain. Cinta datang karena terbiasa."
Nesaa tahu Brian sedang merasa sangat bersalah. Untuk kesekian kali dia menghindar. Untuk kesekian kali dia menyakiti hatinya. Kemarin malam, sepulang
mereka dari pesta pernikahan sahabat Nessa, Nessa melakukan hal yang sangat tidak disukai Brian.
"Pernikahan mereka unik banget, ya. Pakek tema Pangeran Aladin dan Putri Yasmin. Kita kapan kayak gitu" Aku janji, kalau suatu saat kamu udah siap, semua
tema segalanya aku serahin ke kamu. Karena aku tau, kamu itu punya selera tinggi Brian."
Berjalan menuju parkiran, Nessa terus menggenggam lengan Brian mesra. Sepanjang perjalanan hanya dia yang berbicara. Brian hanya membalas dengan senyuman
kecil, tanpa memberikan tanggapan apa-apa. Nessa sudah terbiasa dengan suasana begini.
Berjalan berdampingan seperti itu, membuat mereka begitu terlihat cocok, pasangan yang terbilang sangat serasi. Nessa memakai dress hitam pendek yang dipadu
dengan blazer hitam tanpa memasukkan lengannya. Sementara Brian memakai kameja putih, celana dan jas hitam. Tampan dan cantik dalam level yang sama. Harus
menunggu apa lagi" Mengapa tidak langsung menikah saja" Masalahnya..., memang ada di pihak lelaki.
Ketika keduanya sudah berada di mobil, tak ada satu pun yang bicara. Yang terasa hanya udara malam yang dingin, lampu kerlip di pinggir jalan, juga suara
mesin kendaraan yang berlalu lalang. Kota Jakarta tidak pernah sepi, walaupun di malam hari. Seringkali Nessa melirik Brian yang fokus menyetir, mencuri-curi
pandang, berharap Brian mau bersitatap dengannya. Tapi usahanya selalu gagal, Brian enggan sejenak saja lepas pandangan dari ruas jalan. Mata Nessa turun
ke bawah, beralih pada tangan Brian yang baru saja lepas dari setir kemudi. Ia akan memanfaatkan kesempatan ini.
Nessa sentuh tangan pria itu. Hanya dengan cara seperti ini, Brian akan menoleh. Tepat. Cowok itu akhirnya mau melirik. Nessa tersenyum, Brian balas tersenyum.
Keduanya sama-sama tersenyum, Nessa semakin dalam menautkan jemarinya di jemari Brian. Menikmati sensasi sentuhan hangat ini.
"Tutup jendelanya," kata Brian memberikan saran. Itu adalah ucapan pertamanya selama perjalanan berlangsung. Hanya dua kata, tapi sangat bermakna.
Itu artinya, Brian tidak mau Nessa masuk angin. Dengan sangat senang hati Nessa menutup kaca mobil. Suasana menjadi lumayan hangat. Nessa alihkan lagi
pandangannya kepada Brian. Butuh waktu 10 menit lagi untuk sampai di rumah. Nessa menoleh ke jendela, melihat pemandangan malam di luar. Untuk sekadar
penghilang rasa bosan. "Brian tunggu." Nessa meraih pergelangan tangan Brian sebelum mereka masuk ke dalam rumah. Keduanya saling berhadapan. Melihat gerakan Nessa yang sepertinya
ingin membicarakan sesuatu, membuat Brian masih setia menemani.
"Tadi waktu di pesta, kamu tau nggak perasaan aku kayak gimana?" tanya Nessa.
Brian terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia menjawab, "Kamu... kayak yang seneng, bahagia liat temen kamu mau menempuh hidup baru. Seperti biasa, kamu
keliatan cantik." "Ada lagi?" Brian mengangkat kedua bahunya. Yang ia tahu, Nessa tidak ada kurangnya.
"Aku ngerasa nggak PD pakek dress ini di pesta itu. Aku lupa, seharusnya sebelum berangkat, aku tanya kamu aku cocok pakek ini atau nggak."
"Kenapa begitu?"
"Apa aku masih keliatan cantik" Apa rambut aku kurang menarik" Apa perawatan di wajah aku masih kurang" Apa pantes bersanding sama kamu"..." Nessa meraih
jas yang membalut tubuh Brian. "Bukan cuma waktu pakek gaun ini, tapi baju sehari-hari pun aku masih tanya sama diri aku sendiri. Aku ngerasa banyak kekurangan,
entah dalam hal penampilan, atau apalah itu. Ketika semua orang muji aku, aku masih ngerasa punya banyak kekurangan. Yang bahkan nggak mereka sadarin.
Buktinya..., aku masih belum bisa bikin kamu jatuh hati lagi. Bodoh, kan?" Brian yang sedikit lebih tinggi darinya, membuat Nessa harus mendongkak, menatap
mata Brian yang menyimpan banyak rahasia. Mereka bersemuka begitu dekat. Brian terpaku, embusan napas bersahutan. Nessa semakin mendekati wajah Brian,
semakin dekat..., dekat..., dekat..., dan dekat..., Brian mengangkat kepala, ciuman Nessa berhenti di udara, membuatnya kembali melepas jas Brian.
Brian berdeham sekali. "Maaf, Nes." Suasana kaku terajut lagi.
Nessa yang jengah hanya mengangguk-anggukan kepala seraya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. "Nes..."
"Nggak pa-pa. Aku ngerti. Kayaknya aku emang harus nunggu kamu sembuh dari amnesia." Belum sempat Brian berkata, Nessa sudah lebih dulu memotong dan membuka
pintu, masuk ke dalam rumah. Menyuarakan suara hak sepatu yang bersentuhan dengan keramik.
Di kesunyian, Brian tercenung. Entah status apa yang sedang mereka jalani sekarang. Tinggal dalam satu rumah yang sama, saling menyayangi, begitu dekat
dan saling mengerti. Mereka adalah pasangan kekasih yang selalu dipertanyakan tentang hati. Karena sampai sekarang, Brian enggan menerima ciuman dari Nessa.
"Kita masak sama-sama, ya?" ajak Brian. Bukan Nessa yang harus minta maaf, melainkan dirinya. Brian selalu ingin mengingat semua yang pernah ia jalin dengan
Nessa, tapi kepalanya selalu nyeri. Memaksanya untuk berhenti mengingat.
"Ide yang bagus!"
Brian melepas earphone yang menggantung di lehernya. Beranjak berdiri, lalu menggandeng tangan Nessa menuju dapur. Rumah sebesar ini, hanya milik mereka
berdua. Tak ada pembantu atau sopir. Mengingat dua-duanya jarang ada di rumah.
Ini adalah hobi Brian dan Nessa, memasak spageti berdua. Jika ada waktu senggang, Brian dan Nessa selalu memanfaatkan waktu di dapur. Masak spageti, makan
bersama, dan mencuci piring bersama. Mereka adalah dua insan yang sangat dekat. Nessa suka melihat cara Brian memasukkan mie ke dalam panci berisi air
yang telah dipanaskan layaknya seorang chef profesional. Dia akan berkata, "Wuaaaw kereen." Sembari tertawa. Sambil menunggu matang, Nessa akan membuatkan
dua cangkir teh hangat untuk diminum bersama. Lalu telapak tangannya akan setia disimpan di bahu Brian.
Bersambung. YOUR EYES. Chapter 12 - Pengungkapan.
*** Tin... tin... tin... Suara klakson mobil berdengung di telinga Naura begitu ia keluar dari rumah. Di luar pagar, ada mobil sedan berwarna abu terparkir, jendela mobil terbuka
menampakkan sosok Angga yang sedang melempar senyum lebar kepada Naura. Naura segera melangkah, menghampiri mobil Angga, dalam hati bertanya, 'dalam rangka
apa kak Angga datang sepagi ini"'
"Pagi Naura," sapa Angga hangat.
"Kakak mau ngapain ke sini?" tanya Naura penasaran. Biasanya Angga itu orang yang sibuk. Apalagi pagi-pagi, seharusnya dia sudah tiba di kantor kesayangannya.
Tempat ia menghabiskan waktu berjam-jam tanpa mengenal kata lelah. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa sampai saat ini kak Angga masih sendiri alias
menjomblo. Dia sosok yang tekun, yang selalu berambisi penuh.
"Ikut kakak, yuk."
"Kemana?" "Ada, deh." "Tapi..." "Cari kerja?" Angga bisa menebak lewat gurat wajah Naura yang kebingungan. Ia tahu hari ini adalah jadwal Naura mencari pekerjaan. Bukan hanya untuk hari
ini, melainkan untuk semua hari. Naura terlalu gigih, hingga ia lupa kapan waktu untuk bersenang-senang.
"Udah nggak pa-pa. Sehari bolos juga nggak bakal masuk neraka, kan?"
Naura membeliak, nyaris mencubit lengan Angga lewat kaca mobil yang terbuka seluruhnya. Celotehannya sangat menyebalkan sampai harus membawa urusan akhirat.
"Iih kakak nggak ngerti, sih."
"Hehe iya maaf-maaf. Ya udah mau ikut nggak" Janji nggak bakal lama-lama, lagipula kakak harus cepet-cepet ke kantor lagi. Kamu juga nggak bakal telat
cari kerja." "Mau ngapain emang, kak?"
"Mau ngajak kamu, ke satu tempat. Cuma seperkian detik. Kalau kamu betah, kamu boleh tetep tinggal, tapi kalau nggak, kamu boleh keluar."
Garis kernyit tercetak di kening Naura. Memang kemana Angga akan mengajaknya pergi" Kalau tempatnya bagus, jelas ia akan betah. Tapi kalau tempat tidak
jelas, pasti Naura akan keluar. Sejurus kemudian Naura mengangguk, menyetujui ajakan Angga. Tidak ada salahnya mencoba.
"Okeee. Let's go."
Mobil sedan itu membelah jalan raya di pagi hari. Naura dan Angga berebutan dalam memilih lagu dalam mobil hingga menimbulkan pertengkaran kecil, saling
mengejek selera. Naura ingin lagu Indonesia, sementara Angga ingin lagu barat lawas. Sepertu lagu kesukaannya yang berjudul Always Somewhere, Listen to
Your Heart, Soldiers of Fortune, dan lain-lain. Lagu zaman-zaman kedua orangtuanya ketika muda. "Ih apaan sih jadul banget, Kak," komentar Naura gamblang.
Kak Angga hanya tertawa, menjawil pipi Naura yang menjengkelkan.
Semenjak setahun yang lalu, Naura tidak lagi menyukai musik yang berbau kpop. Karena dengan menyalakan musik dari negara korea itu, akan mengingatkan Naura
pada hari-harinya ketika dulu berada di rumah sederhana bersama Adrian. Waktu itu Adrian selalu mengganti lagu sesuka hatinya, berkata kalau musik yang
dinyalakan Naura itu tidak jelas, jelek untuk didengar, sebaliknya Adrian sangat mencintai lagu negaranya sendiri. Begitulah katanya.
"Kapan sampainya?" tanya Naura bersandar. Angga mematikan lagu. Sepertinya ia telah sampai di tujuan. Dalam benaknya Naura terus bertanya-tanya.
Sampai pada akhirnya Angga menepikan mobil di pinggir jalan, di bawah pohon lebat. Dengan suasana sepi, suara kendaraan yang berlalu lalang terdengar samar-samar.
"Kok ke sini?" Pandangan Naura berjelajah ke sana-kemari. Ia kira, Angga akan mengajaknya ke sebuah taman, mall, museum, atau tempat lainnya yang cocok
untuk dikunjungi. Tapi ini"
"Kenapa?" balik tanya Angga peka dengan raut wajah yang diterbitkan Naura.
"Ya ampun kak, aku kira kakak mau ngajak aku kemana. Tau-taunya cuma..., di pinggir jalan" Mau ngapain" Mau nyanyi om telolet om?" Naura berusaha menebak
apa yang sebenarnya akan Angga lakukan di tempat sepi seperti ini. "Keluar sekarang?"
"Nggak keluar. Di sini aja."
"Di dalem mobil?"
Angga menganggukkan kepala. Naura menautkan kedua alisnya. Hari ini kak Angga sukses membuatnya belingsatan. "Kalau cuma di mobil doang, bisa kali dari
tadi juga. Bahkan, bisa kok waktu kita masih ada di depan rumah."
"Beda suasananya Naura."
"Terus sekarang kita mau ngapain" Kakak ini bener-bener bikin aku bingung, deh."
Angga hanya tersenyum. "Mau dengerin cerita, nggak?"
"Oooh jadi kita jauh-jauh ke sini, cuma mau nawarin aku cerita?" Sepertinya Naura telah mendapatkan sebuah jawaban dari pertanyaan yang sedari tadi bergelayutan.
"Yap. Betul sekali."
"Ya elah bahasanya formal," ledek Naura terkekeh. Dibalas Angga dengan mata yang sedikit mendelik. Hanya bersama dengan Angga, Naura bisa menjadi sosoknya
yang dulu. Yang senang bercanda. "Mau dengerin nggaaak?" lanjut Angga dengan pertanyaannya.
"Iya-iya aku dengerin."
Angga membernarkan posisi duduknya, berdeham-deham bak ustad yang akan segera menyampaikan ceramah hari jum'atnya kepada semua jama'ah di mimbar. Atau
seperti Jokowi yang akan menyampaikan berita terbaru yang akan mengguncangkan negara kepada seluruh rakyat Indonesia. Atau lagi seperti Farrel yang gagap
ketika ingin menembak Rachel dalam sinetron Heart.
Dan Angga, lebih mirip seperti Farrel. Yap! Dia akan mengungkapkan semuanya.
"Kemarin-kemarin, Mama terus-terusan desek kakak supaya kakak mau nikah. Dia marah-marah karena kakak belum juga bawa perempuan ke rumah dan ngenalin perempuan
itu ke Mama sama Papa. Mama udah nggak sabar kepengin punya cucu. Kamu tau sendiri-lah dia kayak gimana."
Entah apa maksudnya mengapa kak Angga tiba-tiba bercerita tentang masalahnya sekarang pada Naura. Harus di sini pula, dan dengan suasana sedikit canggung.
Tapi dengan cermat Naura mau mendengarkan. Mungkin kak Angga ingin curhat di tempat sepi.
"Kamu itu kenapa sih, Angga" Kapan bawa perempuan ke sini" Atau kamu pengin Mama jodohin" Mama udah nggak sabar pengin nimang cucu. Mama udah kehilangan
Adrian, dia hampir aja mau ngasih Mama cucu. Tapi semua itu musnah gara-gara si Na..."
"Kematian Adrian itu takdir, Ma. Mama jangan terus-terusan nyalahin Naura," potong Angga cepat. Telinganya bosan ketika harus diasupi suara Mamanya yang
berkata bahwa Naura adalah alasan dari kepergian putra bungsunya. Putra tersayangnya.
"Emang itu kenyataannya, kan" Terus aja kamu bela si Naura. Perempuan itu bukan siapa-siapa kita lagi Angga, dia itu cuma bekas anggota keluarga kita.
Dan kesalahan besar Mama adalah, Mama nggak bisa larang Adrian buat menikah sama perempuan pembawa sial itu."
Kedua tangan Angga terkepal, namun wajahnya mencoba tetap senormal mungkin. Kepalan itu disembunyikan dalam-dalam, emosinya disimpan rapat. Angga begitu
membenci Mamanya ketika dia mengatakan kalau Naura itu perempuan pembawa sial. Angga yakin, Adrian juga akan memiliki paradigma yang sama dengannya. Kapan
Belinda berhenti menyalahkan Naura"
Belinda menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Memandang Angga yang terdiam kutu. "Kalau aja dulu Adrian mau dengerin Mama supaya jangan dulu menikah, pasti
sekarang dia masih hidup. Hati Mama itu hancur Angga, harus kehilangan anak yang udah Mama rawat dari kecil. Jadi kamu jangan larang Mama buat nyalahin
Naura." "Aku ngerti perasaan Mama. Tapi nggak baik juga kalau Mama masih menyimpan dendam. Mama harus percaya, kalau semua yang terjadi dalam hidup kita, baik
buruk ataupun baik, itu semua bagian dari takdir. Jujur, Angga nggak terima kalau Mama masih nyalahin Naura..."
"Kenapa?" Angga menundukkan kepala. Jangan sampai wanita itu tahu kalau selama ini ia menjalin hubungan dekat dengan Naura.
"Ya udah oke. Lupain tentang si Naura itu. Dan sekarang, Mama cuma mau minta kepastia. Kapan--kamu--akan--menikah."
"Emang wajib sekarang, ya, Ma?"
"Harus. Mama udah nggak sabar. Kamu harusnya ngertiin Mama. Mama udah ngasih kamu waktu satu tahun, dan sekarang waktu kamu udah abis. Waktunya kamu ajak
pacar kamu ke sini, kenalin ke kita, dan langsung menikah."
"Kalau Angga belum nemuin yang cocok gimana" Mama mau Angga dapetin cewek yang salah?"
"Jadi..., kamu belum punya pacar?" tanya Belinda tak percaya. Anak laki-lakinya yang tampan, yang pintar, yang rajin, ternyata belum memiliki kekasih.
Dari sekian banyaknya kaum hawa, tak ada satu pun yang nyantol" Pelan-pelan Angga menganggukkan kepala. Bagaimana bisa dia mempunyai kekasih" Sementara
hatinya telah jatuh duluan pada hati perempuan yang telah dibenci Mamanya.
Banyak sekali kendala yang harus dihadapi Angga mengenai urusan cinta. Dia mencintai Naura, tapi Naura masih setia pada suaminya yang telah tiada. Cinta
Naura abadi hanya untuk Adrian. Oke, Angga akan berusaha keras untuk menaklukkan hati Naura yang sulit ditembus. Ia percaya pada kekuatan cinta.
Kedua, kalau pada akhirnya hati Naura berhasil ditaklukan, Angga yakin, Mamanya itu akan berontak. Dia tak akan pernah setuju dengan cinta yang dipilih
Angga. Berjuang" Yah. Mungkin itu satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Yang namanya cinta memang harus mengenal dengan kata berjuang. Kalau tidak, bukan cinta
namanya. "Malah ngelamun," rajuk Belinda. "Oke kalau sampai dengan waktu dekat ini kamu belum juga nemuin jodoh kamu, Mama sendiri yang bakal cariin. Dengan terpaksa
kamu harus terima perjodohan dari Mama." Keputusan Belinda sudah bulat. Tidak bisa diganggu gugat.
"Aku cinta sama kamu Naura. Apa kamu mau ikut ke rumah" Ilangin embel-embel 'kak'."
Naura tertegun, menelan air liurnya. Kak Angga mencintainya" Ikut ke rumah untuk diperkenalkan kepada kedua orangtuanya" Kedua orangtua yang dulu juga
ia temui ketika dipinang Adrian. Ini terlalu mengejutkan. Naura masih belum percaya dengan pengungkapan jenis apa yang Angga lisankan barusan. Bibirnya
berkempul-kempul. Sulit untuk berkata, bibir itu seakan dilapisi lem. Kepalanya menggeleng.
Angga tahu ini sangat memalukan. Sangat mendadak. Tapi ia tidak punya waktu banyak lagi untuk memendam rasa cinta yang semakin hari malah semakin berkembang,
tumbuh layaknya bunga di musim semi. Desakan Mamanya seolah memaksa Angga untuk berterus terang.
Naura masih termangu. Sementara Angga telah siap menerima jawaban.
"Maaf, Kak. Aku nggak bisa lama-lama di sini..." Naura memilih opsi kedua dari dua saran yang telah disampaikan Angga sebelumnya. Gadis itu segera membuka
kunci pintu mobil, keluar tanpa mengatakan ucapan pamit. Terlalu kaget tentang perasaan yang dimiliki kak Angga kepadanya. Itu artinya, asumsi Naura selama
ini benar. Kakak dari Adrian jatuh cinta kepada Naura.
Angga menyerana di mobil, mengembuskan napas berat. Bebannya lepas, diganti dengan luka. Tak apa. Inilah risiko cinta. Antara diterima, ditolak, dan digantung.
Padahal Naura sangat berharap, untuk tidak ada cinta di antara mereka. Naura sudah menganggap Angga seperti kakaknya sendiri.
Naura berjalan di pinggiran jalan sembari melamun. Pikirannya melayang terbawa angin. Pengungkapan Angga membuatnya bimbang. Gamam berkepanjangan, tak
ada ujung. Hampir setengah perjalanan, Naura belum berhenti. Ketika semua ketakutan menjadi kenyataan, di situlah rasa gelisah mengepung tanpa ampun. Persahabatan
adik-kakak Angga dan Naura seperti segelas air yang begitu bening, lalu tiba-tiba saja kata cinta datang seumpama satu tetes tinta hitam. Jatuh mengototori
air bening itu hingga dia berubah warna. Berusaha untuk memperbaiki seperti semula, tapi terlanjur. Dia takkan bisa kembali seperti semula.
Kak Angga sudah sangat begitu baik, dia penyayang, dia asik. Karena itu Naura merasa bersalah kalau harus menolak cintanya. Tapi di sisi lain, ia tidak
bisa membohongi hatinya senditi. Hati itu masih milik Adrian.
"Copeeet copeeeet!!!" Lamunan Naura buyar ketika mendengar teriakan 'copet'. Keadaan sedang genting, otak Naura langsung bekerja. Di depan Naura, ada dua
orang berpakaian hitam berlari tergopoh-gopoh sembari membawa tas. Di belakang mereka, ada perempuan yang berusaha mengejar. Mungkin saja dia adalah pemilik
tas itu. "Copeeeet!!"
Kedua copet itu semakin mendekat ke arah Naura. Ide cemerlang lekas menghampirinya. Naura segera membawa sekepal tanah kering, lalu dilemparkannya ke arah
kedua preman itu, tepat di mata mereka. Keduanya langsung berhenti berlari, merasakan mata yang perih, mengernyih kesakitan. Naura tertawa, ia lantas mendekati
mereka, memanfaatkan kesempatan untuk merebut tas yang berada di tangan salah satu copet. Saat itu pula perempuan pemilik tas itu tiba dengan napas terengah-engah.
"Ini tas, Mbak?" tanya Naura.
"Iya-iya ini tas saya," gadis itu langsung membawa tas yang hampir lenyap itu dari tangan Naura. Dia segera memukuli si pencopet dengan tasnya sambil berteriak
keras untuk mengundang massa. "Dasar copet nggak tahu malu!! Dasar!!" Mereka meringis kesakitan, mata masih perih, ditambah harus menerima pukulan tak
berperikemanusiaan. Tersiksa parah.
Orang-orang mulai berdatangan, menghampiri pencopet dan korbannya. Merasa tugasnya sudah selesai, Naura mundur untuk segera melanjutkan perjalanannya.
Si perempuan pemilik tas menyerahkan kedua preman itu kepada warga. Lalu dia memilih untuk menyusul gadis yang telah membantunya.
"Hey tunggu!" Naura berhenti melangkah, menoleh ke belakang. Perempuan cantik berambut gelombang itu mendekat, berdiri di depan Naura dengan wajah semangat. "Jangan
dulu pergi. Makasih banget. Berkat kamu pencopet itu ketangkep, dan tas saya juga aman."
Naura tersenyum, "Hmm sama-sama, Mbak."
"Kalau nggak ada kamu pasti barang-barang penting saya udah ilang." Gadis itu memeriksa keadaan tas biru mudanya. Isinya lengkap, tak ada satu pun barang
yang hilang. Syukurlah. Ia merasa beruntung.
"Udah kewajiban kita kan buat nolong sesama. Lagipula, saya juga sebel sama pencopet. Dia udah ngambil hak orang lain," tanggap Naura melanjutkan. Perempuan
cantik itu manggut-manggut setuju. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, dua lembar uang berwarna merah.


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini buat kamu. Terima ya sebagai ucapan terima kasih saya." Dengan cepat Naura menggeleng. "Nggak, Mbak, nggak usah."
"Kenapa" Saya bener-bener terima kasih sekali sama kamu. Tolong terima. Saya mohon."
"Saya nggak bisa." Naura melakukan itu semua dengan ikhlas, tidak berharap imbalan apa-apa. Gadis di depannya tampak kecewa. Naura merasa bersalah.
"Ya udah, Mbak. Gimana kalau Mbak traktir saya minum es campur aja?" tawar Naura hati-hati. Kebetulan sekarang dirinya sangat haus. Tidak menyadari kalau
ia telah berjalan sangat jauh. Membayangkan betapa nikmatnya kelapa muda, kolang-kaling, cincau hitam, timun suri, melon yang dicampur dengan susu kental
manis. Ditambah es yang telah dipecahkan. Cocok untuk menemani perkenalan.
"Nama saya Naura, Mbak." Percakapan mereka berlanjut di salah satu kedai es campur.
"Nama kita sama-sama diawali huruf 'N', ya," kata Nessa tersenyum, melahap buah melon yang berada pada semangkuk es campur miliknya. Jujur, ini pertama
kali Nessa bisa menikmati sensasi dingin es campur di pinggir jalan. Keduanya saling bertanya ini-itu, tentang dunia perempuan dan lain sebagainya. Tak
henti-hentinya pula Nessa mengucapkan terima kasih. Dia senang bertemu dengan Naura, dia tipe orang yang cepat akrab. "Enak kan, Mbak?" tanya Naura menyeruput
sendoknya. "Sumpah ini enak banget Naura. Kapan-kapan, aku harus ngajak pacar aku ke sini. Pokoknya wajib." Nessa mengunyah timun suri yang sangat lembut di mulutnya.
Jarang sekali dia mengunjungi kedai-kedai kecil. Lebih sering mengunjungi restoran-restoran mahal dan besar. Naura senang melihatnya. Berarti idenya tidak
sia-sia. "Mbak cantik banget, deh. Kayak model-model yang suka ada di majalah itu," puji Naura terkagum.
"Saya emang model Naura." Nessa terkekeh. Mangkuk isi es campurnya hampir habis.
"Waah serius, Mbak?"
Nessa mengaggukkan kepala.
"Pentesan, Mbak." Naura begitu terkesima. Dia selalu minder jika bertemu dengan perempuan-perempuan cantik bertubuh langsing. Berpakaian rapi dan elegan.
Berbeda dengan dia yang hanya memakai celana jins pendek, kaus panjang, rambut diikat seluruhnya, dan tas mini. Sangat simple. Namun Naura nyaman dengan
penampilannya. "Kalau kamu sendiri" Kamu kerja di mana?"
"Saya lagi bingung nih, Mbak. Saya lagi nyari kerjaan, tapi nggak dapet-dapet. Susah banget. Saya dulu cuma kuliah sampai semester dua. Tapi saya keluar
gara-gara..." Ah sudahlah, Naura merasa tidak perlu menceritkan masa lalunya kepada orang lain.
"Jadi kamu lagi nyari kerjaan?" tanya Nessa antusias. Naura mengangguk. "Kalau kamu mau, kamu boleh kerja sama saya di perusahaan Papa saya."
"Saya nggak punya keahlian apa-apa, Mbak."
"Kamu itu cantik loh. Cuma kamu kurang dandan aja, makannya cantiknya nggak keliatan." Nessa menerawang lekuk wajah Naura yang mulus dan putih. "Kamu mau
nggak jadi model?" Naura melongo. 'Hah" Model"'
Barang-barang yang ada dalam tasnya sangat berharga. Semua terkumpul di sana. Dan Nessa tidak tahu cara membalas budi kepada Naura. Mungkin, menawarinya
pekerjaan, akan membuat Nessa merasa lega.
Naura masih tercenung lama.
Bersambung. YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 13 - Bertemu Kembali.
*** Ini adalah jawaban dari usahanya. Seperti kata pepatah, usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Sejauh apa pun kita mencari, setekun apa pun kita mencari,
pekerjaan akan datang dengan sendirinya tanpa terduga asal ada usaha. Bahkan ini lebih dari perkiraan. Tak ada yang kebetulan. Semuanya berawal dari usaha
yang selama ini kita lakukan. Anggap saja begini : Kalau Naura berdiam diri di rumah, tanpa ada keinginan keliling kota Jakarta untuk mencari pekerjaan,
ia tak akan mungkin bertemu dengan Nessa yang kecopetan. Sesederhana itu.
"Nggak pede aku. Masa perempuan kayak aku yang wajahnya pas-pasan jadi model sih, Yah" Ini emang kesempatan emas, tapi aku bener-bener nggak bisa." Naura
belum menerima tawaran Nessa, dia harus mempertimbangkannya dahulu. Bukan karena tidak membutuhkan, tapi Naura sadar diri. Seorang model harus memiliki
postur tubuh tinggi, wajah cantik dan bermodis. Yang suka sekali berdandan. Sementara dia tidak masuk dalam kriteria itu. Semuanya berbanding terbalik.
Naura cuek dalam berpenampilan. Kalau keluar, wajahnya hanya cukup dipolesi haslin dan bedak yang tidak terlalu tebal. Itu pun kalau tidak kelupaan.
"Kata siapa anak Ayah jelek?" Surya mencoba membujuk putrinya untuk menerima tawaran pekerjaan dari teman barunya. "Kesempatan cuma dateng sekali, Naura.
Anggap itu rezeki kamu, jangan tolak." Tangannya tersimpan di kedua bahu Naura yang sedang bingung. Sentuhan hangatnya memberikan kenyamanan. "Coba kamu
lihat di cermin. Kamu itu cantik, kulit kamu putih, rambut kamu lebat dan hitam." Ayahnya membelai rambut Naura yang tergerai panjang, wangi aloe vera
kesukaannya. "Kamu mirip sekali sama Ibu kamu. Jadi..., jangan minder, ya?"
"Ayah jangan bujuk aku kayak gitu. Aku juga nyadar kok aku tuh jelek. Aku bakal nyari kerjaan lain daripada jadi model. Lebih baik aku jadi sales atau
marketing dari pada harus difoto-foto di depan kamera."
"Siapa tau kamu jadi terkenal."
"Tuh Ayah ngomongnya udah jauh banget. Orang itu cuma model buat promosi hasil produk dari perusahaannya. Menurut aku, salah satu orangtua Nessa itu designer,"
pikir Naura menebak-nebak.
"Jangan salah, ucapan adalah do'a."
Naura kembali mengimbang-imbangi. Ambil atau tolak. Ambil atau tolak. Nessa telah memberinya alamat rumah. Kalau Naura menerima tawarannya, besok dia harus
datang ke rumah itu. Tapi kalau Naura menolak, dia juga harus datang. Nessa belum bisa melepaskan Naura. Menraktir es campur saja tidak cukup katanya.
Naura merenung di atas kasur, memandang plafon kamar. Sulit mendefinisikan apa makna dari hari ini. Hari di mana kak Angga mengutarakan isi hatinya, juga
hari di mana ada seseorang yang begitu baik hati menawari pekerjaan brilian. Gadis itu mendesah---entah untuk keberapa kalinya---. Naura menoleh ke samping,
ada foto pernikahannya dengan Adrian yang bertengger manis di atas nakas. Tangannya terulur untuk mengambil foto berbingkai itu. Naura pandang foto pernikahan
yang masih sangat bening itu dari kejauhan. Matanya tertuju pada wajah Adrian yang tersenyum.
"Dulu kamu sering bilang aku jelek. Sekarang kalau kamu tau aku mau jadi model gimana ya reaksi kamu" Kamu bakal ketawain aku kan, Ian" Kamu bakal ngeledek
aku sepuasnya. Kamu juga bakal ngajak anak kita buat ledek aku. Tapi sayang, aku nggak bisa jaga Adrian Junior kamu. Maaf Ian, aku terlalu lemah." Naura
menggeleng-gelengkan kepala, tidak seharusnya dia mengingat kesalahannya dulu yang tidak bisa menjaga calon anak Adrian. "Okee jangan bahas masa lalu,
nanti aku bakal nangis lagi. Naura nggak boleh nangiis." Gadis itu tersenyum, seakan jiwa Adrian dalam foto tersebut hidup. "Yang jelas, kamu nggak akan
berhenti ketawa kalau kamu ada di sini. Sama waktu kamu ketawain aku pas di rumah hantu itu." Naura ingat kembali momen di pasar malam setahun yang lalu.
Kenangan itu masih terpatri manis dalam memori, juga buku diary.
Naura merasa senyuman Adrian dalam foto itu nyata. Senyumnya menenangkan, mengilhami. Tiap kali Naura merasa tak nyaman, ia akan melihat foto ini untuk
mengilangkan segala penat.
"Tadi..., kak Angga bilang kalau dia jatuh cinta sama aku. Aku bingung Ian harus jawab apa. Di satu sisi aku sayang dan nggak mau ngecewain kakak kamu,
tapi di sisi lain juga hati aku masih buat kamu. Iya aku emang bodoh, masih cinta sama laki-laki yang jelas-jelas udah nggak ada. Tapi aku bisa apa" Apa
cinta ini salah" Apa aku salah kalau sampai detik ini aku belum bisa ngelupain kamu" Semua kenangan manis kita yang paksa aku untuk tetap setia. Dan nggak
tau kenapa, makin ke sini aku semakin barharap, aku bakal ketemu sama lelaki yang mirip sama kamu. Aku egois ya, Ian" Cuma mentingin diri sendiri" Aku
tau, setelah ini aku bakal nyakitin hati kak Angga. Kalau aku boleh minta, aku nggak pengin cinta itu tumbuh di hati kak Angga. Aku masih pengin bercanda
sama dia, ngejalin hubungan persahabatan yang baik, layaknya adik-kakak. Tolong kasih tau aku Ian, apa yang harus aku lakuin?" Diam sejenak, berpikir kritis
di antara kesenyapan. Naura menurunkan foto pernikahannya dan diletakkan di sebelah tubuhnya. Pandangannya beralih pada ponsel yang tergeletak di atas
bantal. Telak, hari ini kak Angga tidak menghubunginya. Baik lewat pesan SMS, ataupun whatsapp. Apa dia sedang bersedih" Apa Naura telah menyakiti hatinya" Mata
Naura terus menatap ponsel itu intens, berharap sang layar mau menunjukkan tanda-tanda masuknya pesan atau telepon. Tapi tidak. Tidak sama sekali. Ponsel
itu masih setia mati tak mau bersuara. Kak Angga menghilang bagai di telan bumi.
Di tempat lain, Angga sama-sama merenung di atas balkon. Menikmati semilir angin malam ditemani secangkir cappucino hangat yang mampu menghangatkan tenggorokan,
menenangkan jiwa. Sedang apakah Naura sekarang" Apa dia masih memikirkan peristiwa tadi pagi" Jujur, Angga belum berani berbicara atau mengirim pesan.
Terlalu malu dan terkesan canggung. Mencintai Naura adalah kesalahan terbesarnya. Mengapa harus Naura" Mengapa harus dia" Dari sekian banyaknya perempuan,
kenapa harus istri dari adiknya"
Apa setiap kebersamaan seringkali mendatangkan cinta" Apakah itu sudah termasuk hukum alam"
*** Nessa menyandarkan kepalanya di bahu Brian yang sedang asik menonton televisi. Sementara Nessa asik dengan majalahnya. Lampu terang menemani, juga suara
dari tv yang sedang menyiarkan drama korea, hingga percakapan-percakapan bahasa asing terdengar membungkus ruangan. Brian fokus membaca subtitle yang tertera
di layar paling bawah. Drama korea itu menyiarkan tentang sebuah agen yang menawarkan jasa retrieval atau penyimpanan data rahasia. Penguakkan rahasia
dari berbagai kasus. Drama yang diperankan oleh aktor tampan Ji Chang Wook dan Park Min Young ini terdominasi oleh adegan action yang dibumbui kisah romansa.
Kisah cinta dari drama Healer ini tidak terlalu menonjol. Banyak konfrontasi menegangkan. Di samping itu, si peran utama bekerja sama dengan bosnya yang
berprofesi sebagai hacker---seorang ahjhuma---.
Ruang tv ini elegan dengan interior sederhana, semua serba hitam dan putih. Di sofa putih itu mereka merapat, begitu dekat dengan keasikan masing-masing.
Di waktu luang Brian memilih untuk menonton, kalau Nessa memilih untuk membaca majalah. "Kamu tau nggak tadi siang aku kecopetan," kata Nessa dengan mata
yang terpusat ke majalah. Brian menoleh, masih dengan mimik biasa. "Tapi untung aja ada cewek yang nolongin. Aku bersyukur banget, tas sama barang-barang
berharga aku nggak jadi ilang." Nessa membuka halaman berikutnya, di sana ada foto aktris cantik yang dikabarkan mendadak berjilbab.
"Sayang, cewek itu nggak mau nerima ucapan terima kasih aku. Dia nolak uang yang aku kasih. Dan malah ngajak aku makan es campur di salah satu kedai yang
ada di pinggir jalan..." Brian mengecilkan volume tv dengan remote, telinganya ingin mendengarkan cerita Nessa secara saksama. "Daaan..., rasa es campur
itu enak banget, Bri. Tadi itu untuk pertama kalinya aku ngerasain minuman yang sederhana tapi enak di mulut. Kapan-kapan, kita pergi ke sana sama-sama,
ya" Kita itu harus refreshing. Udah lama juga kita nggak jalan-jalan."
Brian tersenyum. "Okee." Cowok itu manggut-manggut setuju.
"Oh, ya." Nessa mengangkat kepalanya, menatap Brian. Ada satu hal yang ingin ia bicarakan kepadanya. "Kayaknya aku bakal lepas kerjaan aku jadi model."
Brian mengernyit. Langsung dibalas antusiasme oleh Nessa. "Jadi gini... Aku ini sibuk Brian. Aku mau fokusin diri aku jadi manager di kantor. Aku udah
punya seseorang yang bakal gantiin posisi aku. Jadi nanti, bukan aku lagi yang kamu foto, tapi cewek yang udah nolongin aku dari copet. Dia cantik loh,
Bri. Orangnya asik. Cuma aku lagi nunggu keputusan dia aja, soalnya dia kayak yang nggak pede gitu. And, aku yakin dia bakal terima tawaran aku."
"Jadi kejadian kecopetan kamu itu jadi berkah buat kamu. Akhirnya kamu ketemu sama perempuan yang cocok buat gantiin posisi kamu setelah sekian lama kamu
cari. Dan dia pasti perempuan baik sampai bikin kamu langsung percaya." Brian menebak sebagai tanggapannya. "Maybe." Nessa mengangkat kedua bahu dan kedua
alisnya secara bersamaan. "Jadi aku nggak bakal foto wajah cantik kamu lagi?"
Nessa tertawa, ketika wajahnya natural tanpa lapisan make-up setelah mandi, kecantikannya terlihat alami. Ditambah rambutnya yang digelung, menyisakan
anak-anak rambut di sekitar kening dan tengkuknya. Brian dan Nessa sangat menikmati kebersamaan ini. Selalu saja ada canda dan tawa. "Stop deh bilang aku
cantik, Bri. Nanti hidung aku jadi terbang. Buktiin dong kalau kamu bilang aku cantik kamu harus cepet-cepet lamar aku."
Brian hanya tersenyum kecil. Entah mengapa sulit sekali untuk melakukan keinginan Nessa. Dia nyaman bersama Nessa, dia menyayangi Nessa, hanya bersama
gadis itu dia berkomunikasi dengan begitu dekat. Tapi hatinya selalu kontra dengan keinginan. Ada sesuatu yang menjanggal.
"Aku selalu berharap, supaya aku bisa cepet ingat semua. Supaya amnesia aku ini cepet sembuh. Siapa tau..., dengan begitu aku bisa lebih cepat ngelakuin
apa yang kamu mau." Brian bersandar lagi ke sandaran sofa, menatap lurus ke depan. "Makasih udah mau ngertiin aku, Nes. Bukannya aku nggak mau, tapi aku
masih ngerasa asing di sini."
"Nggak pa-pa, Bri. Yang terpentng, kita bakalan terus sama-sama kayak gini."
"Semoga aja besok Naura dateng ke sini. Itu artinya dia nerima tawaran aku." Nessa kembali menyimpan kepalanya di bahu Brian. Kembali membuka majalah,
membaca dengan tampang lumayan serius. Mulutnya bergerak-gerak tanpa suara.
Naura" Mendengar nama itu Brian menjadi penasaran. Seakan nama itu tak asing lagi terdengar di telinga.
*** Dipandangnya rumah bertingkat dua di depannya, sambil sesekali melirik secuil kertas yang dipegang. Alamat yang ia cari telah berhasil ditemukan. Kebetulan
pintu pagar terbuka lebar, terdengar suara deruan mobil yang mendekat. Naura memberanikan diri untuk tetap melangkah, tertunduk pada kertas dan mencoba
mengingat-ingat, yakin kalau ini benar-benar rumah Nessa. Mobil berwarna hitam yang dikendarai Brian melewatinya. Brian sempat melirik Naura sekilas lewat
kaca jendela yang lumayan gelap. Mungkin gadis itu yang dimaksud Nessa kemarin, tebaknya yang langsung kembali menatap lurus ke dapan. Naura mengangkat
kepala, mobil yang barusan lewat telah keluar dari pagar. Perempuan itu menoleh sejenak ke belakang, beberapa detik barusan ia merasakan atmosfer berbeda
ketika mobil tadi melewatinya. Kenapa"
Ah. Mungkin itu hanya perasaannya saja.
"Heeey!!" Belum sempat Naura tiba di teras, Nessa sudah menghampirinya duluan. Kebetulan ia sedang berada di luar. Naura tersenyum. Ternyata benar.
"Halo, Mbak," sapa Naura.
"Jadi..., kamu mau terima tawaran saya?" Nessa langsung bertanya tanpa prolog. Ia tak sabaran.
Hening sejenak. Naura masih menimbangi keputusannya. Ia sudah terlanjur datang, tidak enak untuk menolak. Siapa tahu, rezekinya memang berada di sini.
Naura harus menerimanya. Sementara Nessa terus menyelami ekspresi Naura yang bingung sambil terus berharap.
Sampai akhirnya Naura mengangguk. Nessa merekahkan senyum.
Nessa fokus mendadani Naura di meja rias. Memolesi haslin, dan bedak yang tidak terlalu tebal. Naura diam. Berlanjut memakaikan eye liner pada kedua bulu
mata Naura yang telah lentik. Tak lupa juga dengan mascara yang tipis, juga pensil alis. Ahh, seharusnya Naura tidak perlu memakai pensil alis, alisnya
sudah tebal. Sayup-sayup, Nessa akan segera melihat perempuan cantik. "Mbak jago nge-makeup, ya?" tanya Naura dengan nada penasaran. "Yaa begitu, deh.
Mungkin karena keseringan nge-makeup sendiri. Cuma sederhana, kok."
"Emangnya Mbak nggak nyari perempuan lain apa" Yang lebih cocok dari saya?"
"Kamu nanya-nanya terus, deh. Udah anggap aja ini rezeki kamu."
"Hehe." Naura terkekeh pelan. Wajah polosnya semakin terlihat kentara. Kalau saja ada Adrian, pasti dia sudah menarik hidungnya yang sering dikatai pesek.
Atau kedua pipinya yang tembem.
Terakhir, Nessa memolesi bibir tipis Naura dengan lipstik warna bibir, tidak terlalu tebal. Hanya sekadar menambah warna supaya terlihat lebih menawan
dan mencolok. "Siip. Udah selesai." Nessa letakkan lipstik tadi di atas meja rias. Lalu memandang Naura terkesima, dia semakin cantik. Pilihannya tidak salah. Naura
cocok untuk dijadikan teman baik.
"Nggak menor kan, Mbak?" Naura menepuk-nepuk pipinya. Lalu menoleh ke cermin, wajahnya sudah berbeda 90 derajat. Gadis itu tertegun. "Ini saya kan, Mbak?"
Naura melirik Nessa lagi. Dibalas anggukan mantap oleh Nessa.
"Udaah kamu tuh cocok jadi model," komentarnya tanpa basa-basi lagi. Memandang setiap lekak-lekuk wajah Naura yang kian cerah. Lalu matanya turun ke bawah,
melihat kalung indah yang melingkar di leher Naura. Mata itu berhenti di satu titik. Tergemap tanpa sebab. Ada sesuatu yang menohok dada ketika melihat
benda itu, terutama pada inisial 'N' yang menggantung di dada Naura. Kalung itu begitu menakjubkan, sangat istimewa. Perasaan aneh tiba-tiba menyergapnya.
Nessa pandang kalung Naura dengan intens tanpa berkedip. Matanya menghangat tanpa alasan.
"Mbak kenapa?" tanya Naura cemas. Roman Nessa berubah setelah beberapa detik. Padahal tadi dia baik-baik saja.
Kalung itu seakan memiliki kelidan dengan hatinya. Nessa sendiri tidak mengerti dengan perasaan ini. Kalung itu hanya benda biasa. Pantas jika Naura memakai
kalung berinisial huruf N, dia memiliki nama awalan huruf N. Merasa tidak beres, Naura menundukkan kepala, melihat kalung miliknya. Ia rasa, Nessa sedang
memandang kalung pemberian Adrian ini. Apa ada yang salah"
"Mbak kenapa... liatin kalung ini kay...a... begitu" Jelek ya, Mbak?" tanya Naura lagi dengan hati-hati.
"Kamu dapet kalung itu dari mana" Kalungnya cantik." Nessa memusatkan pandangannya kepada Naura lagi. Menarik kembali air matanya yang tidak jadi jatuh.
Melupakan tentang kalung yang telah menarik perhatian.
"Oooh... Emmm..., maaf Mbak saya nggak bisa cerita. Yang jelas, kalung ini adalah kalung pemberian dari orang paling spesial di hidup saya. Kalung ini
adalah harta satu-satunya yang saya punya." Naura menggengam gantungan berinisial N di kalungnya. Nessa manggut-manggut mengerti---meski sebenarnya masih
penasaran dengan asal-usul kalung itu.
Kalau Naura bercerita, berarti dia akan membuka luka lama. Ia belum siap berbagi lukanya pada siapa pun, biar waktu yang menjawab kapan ia akan menceritakan
masa lalunya kepada orang lain. Mungkin hari ini Nessa masih menjadi orang lain, tapi ke depannya entah akan menjadi seperti apa.
"Kamu udah punya pacar?" tanya Nessa tanpa ragu. Kalau punya, ia bisa berbagi cerita.
Naura menggelengkan kepala.
"Kok bisa?" "Belum ada yang cocok, Mbak. Saya pikir, jodoh nggak perlu dicari. Karena dia bakal dateng dengan sendirinya." Naura ingat pertemuannya dulu dengan Adrian.
Sangat klise. Saling bertubrukan dan membuat buku-buku kuliah yang berada di tangan Adrian berjatuhan. Naura masih ingat umpatan dan desisannya, membuat
dirinya bergidik. Oh ya Tuhan. Sulit sekali melupakan Adrian. Dia selalu saja datang menghantui pikirannya.
"Jadi..., saya tunggu aja sambil terus berdo'a. Dan terus berusaha supaya jadi perempuan yang baik. Karena kata orang, jodoh adalah cerminan dari diri
kita sendiri, Mbak."
Nessa mendengarkan Naura secara cermat.
"Saya rindu pacar saya," gumam Nessa terlihat bersedih.
"Lho" Emang pacar Mbak ke mana?" tanya Naura dengan spontan.
"Ada. Tapi..., saya kangen sama sikapnya yang dulu." Naura mengernyit, ingin tahu lebih dalam. "Ahh tapi sekarang bukan saatnya buat curhat-curhatan."
Nessa tak ingin membahas lebih jauh lagi. "Jadi... kamu setuju kan sama tawaran saya?" percakapan kembali pada intinya. Naura mengembuskan napas, menyesal.
Sedikit kecewa karena Nessa tidak mau meneruskan ceritanya. Seperti sedang serius-serius menonton drama, akhirnya malah bersambung.
"Iya saya mau, Mbak. Kalau nolak saya jadi nggak enak." Naura sedikit tertawa.
"Oke! Thanks Naura!" Nessa ikut tersenyum. Kedua iris hitamnya sesekali melirik kalung Naura. Seumpama memiliki keterkaitan.
"Ya udah, Mbak. Saya cuci muka dulu, ya. Dan maaf makeup-nya harus dibersihin, saya nggak mau pulang dalam keadaan kayak gini."
"Ya ampun Naura. Nggak pa-pa lah. Santai aja."
Naura bangkit dari duduknya, berjalan menuju toilet yang masih berada di dalam kamar. Mendadak Nessa termenung, masih memikirkan tentang kalung milik Naura.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir segala kerisauan. Ia pun beranjak, menghampiri pintu toilet yang masih tertutup.
"Naura saya tunggu di bawah, ya," serunya lumayan keras.
"Iya, Mbaak," teriak balik Naura yang sibuk mencuci wajahnya. Selesai membersihkan wajah, sejenak Naura becermin di depan keran wastafel. Matanya tertuju
pada pantulan kalung perak yang mengilap di dadanya. Selama bermenit-menit Naura berdiam diri di toilet, sibuk dengan pertanyaan-pertanyaannya. "Kenapa
Mbak Nessa ngeliatin kalung ini kayak orang sedih gitu, ya" Apa dia tau kalau orang yang ngasih kalung ini udah meninggal?" Naura menebak dengan pikiran-pikiran
ngaconya. Ia segera menggeleng, "Apaan sih Naura, kamu ngelantur, deh," dumalnya dengan mata mengerjap-ngerjap.
Segera ia keluar dari toilet.
Naura menuruni anak tangga. Barusan Nessa menyuruhnya untuk datang ke bawah. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa di sini. Rumah ini kosong seperti tak berpenghuni.
Apa Nessa tinggal sendirian di rumah seluas dan semewah ini" Kakinya tiba di bawah. Yang terdengar hanyalah suara air mancur yang berada di akuarium.
Naura ingin jalan-jalan, siapa tahu ia menemukan hal unik. Dari kejauan, ia melihat foto-foto Nessa berjejer di atas bufet panjang. Naura melangkah, mendekati
foto-foto itu. Pandangannya melihat satu per satu foto yang berjajar, seulas senyum tercetak di bibirnya. Nessa memang perempuan tercantik yang pernah
ia temui. Naura bersyukur telah dipertemukan dengan gadis sebaik dia. Hingga tiba pada satu foto yang agak janggal. Naura mengerutkan kening. Dalam foto
itu, Nessa sedang digendong oleh seorang pria.
DEG! Jantung Naura serasa ingin melorot ke bawah. Penasaran, Naura meraih satu foto yang sangat menarik perhatian. Pasangan itu tertawa lebar, memamerkan
kebahagiaan lewat gurat wajah. Si lelaki menengok ke belakang, sementara si cewek memandang cowok yang menggendongnya dengan tawa lepas. Sangat serasi
dan cocok. Napas Naura tersekat. Lelaki itu mirip sekali dengan Adrian. Naura kelimpungan, panik. Seluruh organnya membeku. Apa benar" Di dunia ini ada manusia kembar
sebanyak tujuh orang" Mereka mempunyai wajah yang sama" Tapi apa sedekat itu" Satu Negara" Satu Kota" Naura yakin, lelaki dalam foto itu mirip sekali dengan
Adrian---suaminya yang telah meninggal satu tahun lalu. Semirip itukah" Naura benar-benar kelabakan. Pertanyaan demi pertanyaan berguguran tak ada jeda.
"Naura?" Naura terperanjat kala mendengar suara bariton dari belakang. Kontan ia menoleh, foto yang berada di tangannya terpelanting ke bawah, menimbulkan suara
nyaring. Yang ini lebih mengejutkan, kali ini bukan hanya foto, melainkan dalam wujud asli.
Adrian" Naura tidak percaya ini. *** Bersambung.... "your eyes chapter 14
YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 14 - Mengapa"
*** Debaran di jantungnya semakin tidak keruan. Cowok di depannya ikut terkejut setelah Naura menjatuhkan sebingkai foto, pandangannya teralih pada pecahan
kaca yang berserakan di atas lantai. Sementara Naura masih berlarut dalam rasa terkejutnya. Nessa tiba setelah mendengar suara benda yang jatuh.
"Naura?" cepat-cepat Nessa mendekat, memungut pecahan-pecahan kaca yang berada di dekat kaki Naura. "Kok fotonya bisa jatuh?"
Naura masih memandang Brian, begitu pun dengan Brian yang malah ikut memandang Naura. Kedua pasang mata itu saling berbicara. Sama seperti seseorang yang
baru merasakan cinta pada pandangan pertama, begitulah yang dirasakan Brian. Jantungnya ikut merespons, dia berdegup tanpa sebab.
"Bri! Bantuin, dong!"
"Oh iya-iya." Lekas Brian membantu Nessa untuk membereskan pecahan kaca. Melupakan perempuan aneh yang berhasil menghidupkan gentar. "Udah kamu ke sana
aja, biar aku yang beresin."
"Oke." Nessa kembali berdiri, lalu pandangannya beralih pada Naura yang membelakanginya. Naura mati kutu, masih tidak menyangka dengan apa yang barusan
ia lihat. Kedua alis Nessa menyatu.
"Kamu kenapa?" tanya Nessa cemas. Beralih berdiri di hadapan Naura. "Maafin saya, Mbak. Saya nggak sengaja jatuhin fotonya."
"Udah nggak pa-pa, kok. Tenang aja orang cuma foto, saya bisa beli bingkai yang baru."
"Makasih, Mbak. Ya udah, saya pulang dulu." Naura bergegas untuk pergi, tapi dengan cepat Nessa mencegah. "Kok buru-buru banget" Saya udah siapin makan
siang. Kita makan sama-sama, ya."
"Tapi saya harus buru-buru pulang, Mbak. Ayah saya udah nunggu di rumah."
Brian kembali setelah membawa pengki dan sapu untuk membereskan kepingan kaca. Matanya sesekali tertuju pada Naura. Rasa penasaran menjalar dalam sanubarinya,
merasa memiliki ikatan dengan dia. Tapi, bukankah ini pertemuan pertama" Dan jelas-jelas, Brian sama sekali tidak mengenal teman baru Nessa itu.
"Saya harus---"
"Udah jangan nolak. Kamu jangan kecewain saya, doong." Nessa membujuk dengan raut memelas. Membuat Naura tidak bisa menolak. Naura tidak mau mengecewakan
perempuan sebaik Nessa yang sudah berkenan memberinya pekerjaan brilian.
Dalam meja makan itu, Naura berhadapan dengan Brian dan dan Nessa. Meski dia bukan Adrian, tapi Naura merasa canggung. Tak ada nafsu makan sama sekali.
"Oh ya, kalian belum kenalan, loh."
Suara Nessa meletup hening.
Brian tersenyum, lalu mengulurkan tangan. Naura semakin dikelilingi atmosfer yang panas, sekujur tubuhnya menjadi gerah. Tapi, ia berusaha bersikap senormal
mungkin. Perlahan, ia mengangkat tangan, membalas uluran tangan Brian walaupun tangannya sedikit bergetar.
"Brian." Telak. Kedua tangan yang lama tak jumpa saling bersentuhan. Menimbulkan getaran nyata.
"Naura." Naura langsung melepas uluran tangan itu, padahal Brian belum ingin mengakhiri. Ia mengangguk-anggukan kepala, menarik kembali tangannya. Tatkala tangannya
menyentuh tangan gadis yang sedang gugup itu, ia merasa ada aliran listrik yang merambat di pergelangan.
Apa dunia ingin mempermainkan hidupnya" Mengapa dunia harus mempertemukan dirinya dengan lelaki yang mirip sekali dengan Adrian" Naura tidak mengerti,
sulit memahami. Kerisauan menyelubungi. Ketika perkenalan yang terjadi pada beberapa detik yang lalu, Naura teringat pertemuan pertama bersama Adrian.
Tatapan mata mereka sama.
"Makanannya nggak enak, ya?" tanya Nessa kepada Naura yang malah melamun, mengaduk-aduk nasi di atas piring tanpa selera. Sejak ia menjatuhkan bingkai


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

foto, Naura berbuah menjadi pendiam dan kaku.
"Enak kok, Mbak."
"Masih kepikiran foto itu" Naura-Naura," ia menggelengkan kepala. "Nggak perlu dipikirin. Saya tau kamu nggak sengaja."
Naura tersenyum samar. Lebih baik ia mengiyakan tebakan Nessa tentang mengapa Naura tiba-tiba kikuk.
"Hmmm." Pandangan Nessa terpusat kepada Brian yang duduk di sebelahnya. "Enak, Bri?"
"Kapan sih aku bilang makanan kamu nggak enak?" jawab Brian tanpa ragu. "Kamu emang jagonya masak." Nessa terkekeh, mereka sama-sama tertawa. Ruang makan
itu terasa hangat, tapi Naura malah dilanda rasa tak nyaman. Gadis itu menarik napas pelan. Rasanya ingin sekali keluar dari tempat ini, dan berlari ke
makam Adrian. Bertanya kepadanya; APA MAKSUD DARI SEMUA INI"
Entah mengapa, air mata Naura menetes. Air yang mengalir dipipi itu disaksikan oleh Brian. Brian lekas mengambil sesuatu dalam saku celananya, memberikan
sapu tangan kepada Naura. Nessa yang memergoki ikut memandang Naura yang tiba-tiba menangis.
"Kamu kenapa?" "Pakai ini," kata Brian masih mengulurkan sapu tangan.
"Nggak usah. Saya cuma kelilipan." Naura mengucek-ucek kedua matanya, menarik ingus dalam hidungnya. "Makasih."
Dengan terpaksa Brian menarik kembali bantuannya. Ia tidak bisa memaksa, matanya masih tertuju pada Naura. Matanya yang nakal selalu ingin melihat Naura
entah apa alasannya. "Ya udah Mbak saya pulang dulu. Nanti kapan-kapan kita bisa ketemuan lagi," pamit Naura kepada Nessa.
Naura beranjak, keluar dari kursi, lalu berjalan cepat meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa lagi. Seperti orang yang sedang terburu-buru. Nessa dan
Brian menjangkau kepergian Naura dengan kerutan di kening. Nessa terlambat untuk mencegah. "Temen kamu kok aneh?" Bukan hanya karena tingkahnya, tapi Brian
juga merasa ada keanehan yang sulit diungkap kata-kata ketika bersemuka dengan Naura.
"Nggak tau, mungkin tiba-tiba ada masalah." Nessa mengangkat kedua bahunya tak tahu apa-apa.
*** Naura sampai di makam Adrian. Pak Eko yang sempat melihat kedatangan Naura untuk mengunjungi makam suaminya bertanya-tanya. Padahal baru beberapa hari
yang lalu Naura berziarah, dan sekarang dia datang lagi dengan roman berbeda. Terlihat sangat bersedih.
"Barusan aku liat dengan mata kepala aku sendiri, kamu masih hidup. Apa aku udah gila" Nggak, aku liat orang yang mirip banget sama kamu. Dan aku yakin,
dia itu bukan kamu. Kamu punya sodara kembar, Ian" Kenapa nggak pernah cerita" Kenapa aku harus ketemu orang yang mirip banget sama kamu?" Wajah Naura
masam, mengkerut dengan pertanyaan-pertanyaan yang begelantungan dalam pikiran. "Aku nggak percaya ini. Apa dunia sesempit itu sampai aku harus ketemu
sama orang yang mirip banget sama kamu. Dan anehnya ... aku malah ngerasa sakit.
"Ian tolong jelasin sama aku. Kamu punya saudara kembar" Aku binguung. Apa emang kebetulan kalian mirip?" Naura menatap nisan makam Adrian resah.
"Neng Naura kenapa?" tanya Pak Eko yang sedang menyapu area pemakaman, terdengar suara gesekan antara sapu lidi dengan daun-daun. "Kok kayak yang bingung
begitu?" "Saya mau nanya sesuatu, Pak." Naura mendongkak. Pak Eko yang nampak tertarik ikut berjongkok di seberang Naura. Naura percaya kepada tukang sapu di makam
ini, selama ini dia sudah banyak bercerita kepadanya. Pak Eko tak pernah sekali pun membocorkan cerita-cerita yang Naura curhatkan. Dia bisa menjaga rahasia
dengan manis. Dia adalah orangtua Naura di luar. "Tanya apa, Neng" Kalau saya
"Saya tadi abis ketemu sama orang yang mirip sama almarhum suami saya..."
"Terus" Cuma mirip doang kan, Neng?"
"Mirip banget, Pak. Semuanya. Dari wajahnya, tinggi badannya, suaranya, matanya." Naura mendesah, buncah tidak berkehabisan. "Cara dia bicara. Semuanya
sama, kecuali gaya rambut pakaiannya. Lebih rapi."
Pak Eko tercenung. Cerita gadis di depannya mulai terdengar aneh. Pantas jika dia kebingungan.
"Maksud eneng, neng Naura liat kembarannya?"
"Saya nggak tau, Pak. Yang jelas, dia mirip sama Adrian. Saya bener-bener bingung. Saya nggak tau harus cerita masalah ini sama siapa."
"Begini aja, Neng. Neng tanya aja sama pihak keluarga almarhum suami neng Naura. Siapa tau mereka tau kalau suami neng Naura punya kembaran," usulnya Pak
Eko mantap. Kak Angga. Ya, nama itu langsung melintas dalam benak Naura. Masukkan Pak Eko membuahkan hasil. Naura menganggukan kepala setuju. "Bener juga ya, Pak."
Pak Eko tersenyum. Tapi Naura tidak bisa menghubungi kak Angga sekarang, dia pasti sedang sibuk. Naura tidak mau mengganggu jam kerjanya, sekaligus karena insiden kemarin.
Ketika dia mengutarakan isi hatinya, dan Naura malah pergi.
"Ya udah nggak usah bingung, Neng."
Naura menangguk samar. *** Naura berjalan menyusuri jalan untuk kembali ke rumah. Hari ini dia tidak menggunakan sepeda, dikarenakan ban sepeda kesayangannya bocor. Dan Naura malas
untuk membawanya ke bengkel. Sepanjang perjalanan ia hanya sibuk berpikir tentang Brian. Lelaki itu mengingatkan Naura pada Adrian. Bagaimana tidak, wajahnya
sangat mirip. Persis seperti saudara kembar yang tak ada bedanya.
Kakinya tiba di halaman rumah, Naura celingak-celinguk. Bukannya sedang mencari kucing yang maling makanan, melainkan ia bingung mengapa sepedanya tidak
ada di halaman" Padahal tadi pagi kendaraan itu masih berdiri manis di sini. Apa jangan-jangan..."
Naura segera masuk ke dalam rumah, untuk bertanya kepada ayahnya. Ini gawat! Genting!
"Yah, Yah, Yah." Naura menghampiri Surya yang asyik menonton berita di televisi tentang kasus yang sedang maraknya dibicarakan media elektronik; Habib
Rizieq. "Ayah sepeda aku ilang Ayah. Ayah nggak tahu?"
"Sepeda kamu?" Surya terlihat kalem, dia malah semakin fokus dengan tontonannya. Kabar yang disampaikan Naura itu sangat penting, tapi ayahnya merespons
biasa. "Iih Ayah kok malah cuek, sih. Sepeda aku ilang. Emang Ayah mau apa beliin Naura sepeda lagi?" gadis itu mencebik. Bukannya menjawab, Surya masih tetap
asyik menonton. Naura semakin kesal.
"Ayah aku serius. Sepeda aku ilang. Coba deh liat ke luar." Naura merengek lagi.
"Iya-iya Ayah tau. Tadi ada yang bawa."
"Hah"!" Naura melotot, mulutnya terbuka. "Jadi Ayah diem aja waktu sepeda aku dicuri" Ayah nggak peduli?" ia tak habis pikir ayahnya akan sesantai dan
tidak peduli seperti itu. Padahal kendaraan beroda dua itu satu-satunya kendaraan yang Naura pakai untuk bepergian agar bisa menghemat ongkos.
"Iyalah Ayah diemin. Orang dia niatnya mau ngebenerin sepeda kamu. Masa iya Ayah larang."
Naura belum mengerti. Malah semakin bingung. "Maksudnya?"
"Iyaa tadi itu Angga dateng ke---"
"Kak Angga dateng ke sini?" penggal Naura ngebut. Langsung membuat mulut ayahnya yang tadinya akan menjelaskan terutup lagi. "Ayah serius" Kak Angga dateng?"
"Iya Naura. Kamu itu ya. Kayak denger poling masuk rumah aja."
"Terus?" "Tadi Angga dateng ke sini, dia nanyain kamu. Katanya ada sesuatu yang mau diomongin. Tapi Ayah bilang kamu lagi keluar. Terus dia nanya lagi, 'kok Naura
nggak pakek sepedanya, Om"' Ayah jawab kalau tadi sepeda kamu itu bannya kempes, juga remnya yang kurang pakem. Tiba-tiba Angga langsung nawarin, gimana
kalau dia aja yang bawa sepeda kamu ke bengkel. Awalnya Ayah nolak karena nggak mau ngerepotin, tapi kakak kamu malah maksa. Ya udah deh, Ayah izinin."
Naura terdiam setelah ayahnya bercerita panjang lebar. Ternyata begitu ceritanya. Kak Angga-lah yang telah membawa sepedanya untuk diperbaiki. Kak Angga
telah banyak melakukan kebaikan, dia memiliki sikap perhatian tinggi dan baik hati. Mengapa harus seperti ini" Kalau kak Angga terus melakukan semua itu,
itu akan menumbuhkan rasa bersalah baginya. Naura tidak mau menyakiti hati kak Angga yang telah begitu care. Naura menyayangi kak Angga, tapi tidak untuk
cinta. "Kok diem?" Surya melepaskan pandangannya dari layar televisi karena Naura tak kunjung memberi anggapan.
"Nggak kenapa-napa kok, Yah."
"Kayaknya Angga sayang banget sama kamu, Ra."
"Iya. Dia udah anggap aku kayak adiknya sendiri."
Ayahnya tersenyum teduh. "Jadi Ayah nggak bakal larang aku buat deket-deket sama cowok, kan" Ayah percaya sama kak Angga, kan?"
Dulu memang, Surya tidak mau anak satu-satunya bergaul dengan para lelaki. Agar dia terhindar dari bencana dan masalah besar. Kalau suatu saat ada lelaki
dekat dengannya, dia harus berani menikahi Naura. Dan Naura juga belum pernah memperkenalkan pacarnya kepada sang Ayah, terlalu takut. Hingga pada akhirnya,
ia bertemu dengan Adrian yang saat itu sedang mencium Naura tepat di depan mata. Surya langsung menyuruh Adrian untuk menikahi Naura. Ia pikir, Adrian
akan menolak. Tapi tidak, dia pria yang serius dan langsung menyetujui keputusan sepihaknya.
Bukan karena Surya membenci pria, toh dia juga sejatinya adalah seorang pria. Surya hanya takut, trauma. Karena dulu, istrinya meninggal secara tragis.
Dia dicopet, juga diperkosa secara sadis oleh para perampok. Sampai Naura terpukul karena harus kehilangan Ibu yang amat ia sayangi. Bagi Naura, ibunya
adalah panutan dunia akhirat. Memasak, mencuci, berjemur, semuanya diajarkan oleh ibunya. Tapi Tuhan malah mengambilnya sebelum ia beranjak dewasa. Sudah.
Surya tak ingin mengingatnya lagi.
"Ya udah aku mandi dulu, ya. Bau keringet," Naura mengendus bau badannya. Lalu pergi menuju kamar mandi. Tadinya ia ingin menceritakan soal Brian kepada
ayahnya, tapi nanti sajalah menunggu waktu yang tepat. Ia sedang jeli menonton berita dengan kacamata minusnya. Naura tak mau mengganggu waktu santai beliau.
Baru saja menarik handuk, ponsel Naura berdering di atas nakas. Ia menyempatkan diri untuk mengangkat telepon.
"Halo?" "Halo Naura. Kamu baik-baik aja, kan" Tadi aku liat kamu pucet."
Nessa yang khawatir memutuskan untuk menghubungi Naura. Di belakangnya ada Brian yang sedang mengotak-atik camera DSLR Canon miliknya. Awalnya Brian tidak
begitu lihai dalam menggunakan camera. Tapi Nessa selalu memaksa, dan mengajarkan Brian. Sampai akhirnya Brian bisa. Bagi Nessa dari dulu jepretan Brian
selalu baik dan menarik. Dia adalah fotografer andal. Tapi setelah kecelakaan itu, kemampuan Brian menurun. Namun Nessa tetap ingin memperkejakan Brian
di perusahaannya. Ia yakin, ketika ingatan Brian kembali, dia akan menjadi fotografer yang reliabel lagi.
Ketika telinga Brian mendengar Nessa sedang bercakap dengan Naura lewat telepon, ia memokuskan perhatian pada Nessa. Nama Naura selalu menarik perhatian---sejak
pertama kali Nessa menyebut nama itu kemarin malam.
Naura. Gadis itu. Mengapa saat pertama kali melihat dia, Brian merasa kalau dia telah lama mengenalnya. Tapi Brian tidak ingat, kapan dan di mana ia bertemu
dengan Naura. Hari ini adalah yang pertama, jelas yang pertama. Brian memejamkan mata, mencoba mengingat, siapa tahu dulu sebelum mengalami amnesia, ia
pernah mengenal Naura. Tapi..., jika Naura mengenalnya, tadi Naura akan berkata kalau dia kenal Brian.
Mata Naura tidak asing bagi Brian, seolah mata itulah yang paling sering dijumpai. Justru ketika pertama kali melihat Nessa setelah bangun dari koma, Brian
merasa sangat asing. Dia tidak mengenal Nessa sama sekali.
Kepala Brian berdenyut. Sepertinya ia harus segera mengakhiri aksinya yang ingin mengembalikan kepingan-kepingan memori yang hilang. Tidak ada gunanya,
yang ada kepala ini akan terasa sakit. Brian akan menunggu waktu di mana momori itu kembali dengan sendirinya, tanpa harus dipaksakan. Brian memijit keningnya.
Bersambung. "your eyes chapter 15
YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 15 - Siapa Kamu"
*** Dear Diary... Aku tidak tahu apa maksud dari semua ini. Ini seperti pertanyaan yang tidak akan pernah ada jawabannya. Yang aku tahu, Adrian telah meninggalkanku pergi
untuk selama-lamanya setahun yang lalu. Dia meninggalkan cinta kami, dan kisah manis kami. Aku, adalah salah satu penyebab kepergian dia. Dia memberiku
kalung perak yang sangat indah dengan keadaan tidak bernyawa. Suatu hari, dia datang ke dalam mimpiku. Berkata agar aku harus memakai kalung pemberiannya.
Berkata agar aku harus tetap bahagia tanpanya.
Lantas, siapa lelaki yang kemarin aku temui" Mengapa dia mirip sekali dengan Adrian" Mengapa" Siapakah dia" Dia yang mampu menghidupkan jantungku lagi
setelah sekian lama mati.
*** Kring kring kring... Naura membuka gorden, ini baru jam lima lebih 15 meni, tapi seseorang sudah membuat keributan di pagi buta. Gadis itu mengernyitkan kening, sepertinya
dia kenal sepeda yang berada di luar pagar, juga si pengendaranya. Cepat-cepat Naura berjalan menuju pintu, dan membukanya dengan semangat. Itu adalah
sepeda miliknya, yang sedang ditumpangi kak Angga.
Naura berlari membuka pagar, disambut dengan senyuman kak Angga. Naura sedikit terpukau, sepeda kesayangannya telah kembali.
"Ya ampun Kak, makasih banget. Kata Ayah kemarin kak Angga yang udah bawain sepeda aku ke bengkel," kata Naura sukacita.
"Iya sama-sama."
"Tapi kok harus pagi-pagi banget?"
"Sengaja. Kakak mau ngajak kamu lari pagi."
"Lari pagi?" "Hmm." Angga menganggukan kepala.
Pantas, penampilan kak Angga terlihat begitu sederhana, sangat berbeda. Biasanya dia memakai kemeja yang dibalut jas, celana hitam yang panjang. Wangi
pafrum khas cowok maskulin. Tapi sekarang, dia hanya mengenakan kaus lengan pendek, dan training pendek.
"Tapi aku belum ganti baju."
"Kita bukan ke Mall Naura. Cuma lari doang. Kamu tinggal masuk, ganti baju dan cusss kita pergi. Teruuus, pulangnya kita ngebubur."
"Kak Angga niat banget, ya?"
"Hehe." "Lagian aku nggak suka dandan. Oke. Kakak masukkin dulu sepedanya ke dalem, dan tungguin aku selesai ganti baju. Cuma lima menit." Naura mengacungkan kelima
jarinya. Angga mengangguk lagi, terun dari sepeda Naura untuk menuntunnya ke halaman. Naura bergegas masuk untuk bersiap-siap.
Tiba di dalam, sedetik Naura melirik ke belakang, melihat Angga yang sedang menstandarkan sepeda. Seulas senyum tercetak di bibir manis Naura ketika membalikkan
kepala lagi. Naura kira kak Angga tidak akan mau menemuinya lagi setelah dia mengutarakan isi hatinya. Tapi nyatanya, kak Angga masih ingin datang, sekaligus
mengajak pergi jalan-jalan.
"Ada tamu?" tanya ayah Naura yang baru saja keluar dari kamar.
"Iya, Yah. Kak Angga. Dia mau ngembaliin sepeda aku. Dan ngajak aku lari pagi."
"Cieeee." Naura membeliak. "Ih apaan sih Ayah."
"Gagal sama adiknya, kamu jadi deket sama kakaknya."
"Duh Ayah ini ngomongnya sembarangan. Ya nggaklah. Mending Ayah keluar gih, nemenin kak Angga. Aku mau ganti baju dulu, kasian dia nungguin." Naura meneruskan
langkahnya lagi, waktu lima menitnya hampir habis. Surya memandang kepergian Naura sembari tersenyum. Sementara di luar, Angga sedang memandang langit
yang mulai disinari matahari, ayam tetangga berkokok. Tangannya terlipat di dada, mungkin dengan bersikap biasa saja, adalah hal terbaik untuk tetap berada
di sisi Naura. "Kakak nggak pernah liat kamu buka ikatan rambut kamu. Pasti lebih keliatan cantik," canda Angga kala mereka sedang berlari santai berkeliling perumahan.
"Kak Angga bisa aja. Diikat itu lebih simpel, Kak. Kalo digerai, suka ribet. Lagian, dulu kakak pernah liat rambut aku tanpa diikat, itu artinya kakak
pernah liat." "Iya maksud kakak akhir-akhir ini. Mungkin..., dulu karena ada Adrian ya, makannya kamu harus keliatan cantik di depan dia."
Langkah Naura menjadi lamban. Begitu pun dengan Angga, matanya terus menyelidiki ekspresi Naura yang berubah. Apa dia salah bicara" Astaga!
Beriringan waktu, mereka berjalan pelan. Yang tadinya mengobrol, tiba-tiba hening. Angga menyesali pertanyaannya, itu pasti menyinggung. Naura lupa, bukankah
ia ingin menanyakan tentang kembaran Adrian kepada Angga"
Tepat di pinggir mereka, ada satu gerobak bubur ayam yang kursi-kursinya telah ditempati beberapa orang. Si penjual sibuk melayani pelanggan. Angga langsung
mengajak Naura untuk makan di sana, bergabung dengan para pembeli. Naura mengiyakan, ini sesuai dengan tujuan. Mereka duduk di bangku yang masih kosong.
"Kakak minta maaf kalau ucapan kakak barusan udah bikin kamu tersinggung," kata Angga merasa bersalah. Dan sebenarnya, bukan karena itu Naura diam, melainkan
ada hal lain yang jauh lebih penting.
"Nggak pa-pa, Kak. Nggak usah minta maaf. Sebenernya aku mau tanya sesuatu sama kak Angga."
"Tanya apa?" "Emh nanti aja, deh. Mending kakak pesen dulu, terus kita makan. Nanti aku cerita."
Mau tak mau Angga harus menunggu. Sepertinya Naura akan membicarakan sesuatu yang penting. Angga mengalihkan pandangan pada si tukang bubur. "Mang, buburnya
dua mangkuk. Yang satu jangan pakek kacang sama seledri."
Si penjual menganggukan kepala. "Siap!"
Naura tersenyum, Angga selalu ingat dengan porsi bubur yang disukai Naura. Tidak suka kacang, juga seledri.
"Apa nggak bisa gitu nanyainnya sekarang?" tanya Angga penasaran. Memiringkan wajah.
"Sebelumnya aku mau minta maaf, Kak." Naura memberanikan diri untuk menatap langsung mata Angga. "Untuk?"
"Soal kemarin-kemarin. Aku ninggalin kakak gitu aja setelah kakak---"
"Udahlah Naura. Nggak usah dibahas. Kakak ngerti, kok. Kakak nggak bisa paksa kamu. Wajar kalau kamu masih belum bisa buka hati kamu."
Naura tertunduk, rasa bersalah semakin menguasai jiwanya. "Tapi gimana sama mama Belinda" Dia pasti terus neken kakak supaya cepet-ceoet menikah. Lagian,
kenapa kakak nggak cari perempuan lain aja" Aku yakin, cewek-cewek banyak yang ngantri."
"Kata orang, cinta itu datang karna terbiasa. Asal kita mau kasih dia waktu untuk bikin kita jatuh cinta. Sampai sekarang, kakak belum nemuin yang cocok.
Dan untuk sekarang, kakak cuma pengin nikmatin waktu bareng kamu, kakak cuma pengin kasih kamu kebahagiaan, kakak pengin kasih kamu kasih sayang. Sebelum
cari perempuan lain yang mungkin nggak akan pernah kakak temuin. Semuanya untuk kamu."
"Tapi, Kak---" "Naaah buburnya udah jadi." Angga menyambut kedatangan bapak pedagang bubur dengan topi yang tersemat di kepalanya. Satu mangkuk diberikan kepada Naura,
satu mangkuk lagi diberikan kepada Angga. "Makasih, Mang." Naura dan Angga berucap secara bersamaan, seraya tersenyum ramah. Mereka sudah seperti pasangan
yang sedang memanjakan waktu pagi dengan sarapan bubur di luar.
"Sama-sama, Mas, Mbak."
"Sering-sering ya Kak ngajak aku lari," canda Naura mencairkan suasana.
"Oh kamu suka?" tanya Angga merespons.
"Suka, dong." "Okeee." "Oh ya, Kak. Gimana kabar mama Belinda sama papa Satria" Mereka sehat-sehat aja, kan" Aku kangen nih sama orangtua Adrian," ucap Naura sembari mengaduk
bubur di dalam mangkuk yang berada di tangannya. Lalu ia melahap sesondok bubur ke dalam mulut. Lumayan enak.
"Alhamdulillah mereka baik. Kalau kamu kangen, Kakak bisa anter kamu ke rumah. Kamu mau silaturahmi?"
"Emh nggak usah."
Angga tergemap. Merasa ada yang salah dengan ucapannya barusan. Bagaimana bisa dia mengajak Naura ke rumah sementara mamanya sendiri tidak tahu kalau dirinya
sering bertemu dengan Naura--- perempuan yang sangat ia benci.
"Aku nggak akan pernah bisa dateng lagi ke sana. Mama Belinda udah benci banget sama aku. Aku nggak bisa."
"Kalau kamu mau, Kakak bisa ketemuin kamu sama Papa."
"Nanti aja, deh."
"Oh ya hampir lupa. Tadi kamu mau nanya apa?"
"Tapi kakak jangan kaget, ya." Naura tampak ragu untuk bertanya. Namun tak ada salahnya bertanya, demi menemukan jawaban atas pertanyaannya. Kalau memang
Adrian memiliki kembaran, berarti Brian memang saudara kembar Adrian. Tapi jika Adrian tidak memiliki kembaran" Lalu siapakah Brian"
"Sebenernya Adrian punya kembaran nggak sih, Kak?"
Angga hampir tersedak. Pertanyaan aneh macam apa yang barusan Naura lontarkan" Naura mengernyitkan kening begitu melihat respons kak Angga. Semacam orang
yang baru saja mendengar lelucon tak berbobot.
"Kembaran?" Naura mengangguk pasti. "Nggak punyalah. Adrian nggak punya saudara kembar. Kamu ngomong apa, sih." Angga nyaris tertawa terbahak-bahak. "Yang Kakak tahu, Adrian berojolnya sendirian,
nggak berdua." "Yah kalau berdua mama Belinda bakal susah kali ngelahirinnya."
"Iya maksudnya kan Adrian itu di perut mama sendirian. Nggak ada yang namanya saudara kembar."
'Terus yang kemarin siapa, dong"' Naura bertanya pada hatinya sendiri.
"Emang kenapa, sih" Kok kamu tiba-tiba nanya soal itu" Kamu liat orang yang mirip sama Adrian?"
'Betul banget!' Namun sayang, jawaban itu hanya terlontar dalam hati. Mungkin memang benar, orang itu hanya kebetulan mirip dengan Adrian. Mendengar jawaban kak Angga
saja, rasanya sudah membuktikan kalau Adrian tidak memiliki saudara kembar. Berarti, Brian hanya orang lain. Sepertinya Naura harus memercayai tentang
tujuh orang yang memiliki wajah sama.
"Malah diem." "Iya mungkin cuma mirip ya, Kak." Naura kembali melahap buburnya yang tinggal setengah porsi. Obrolan mereka berakhir.
Angga termenung. Hatinya mengatakan kalau Naura masih sangat mencintai Adrian. Itulah alasan mengapa Naura mempertanyakan hal ini. Apakah dia selalu berhalusinasi
sampai harus mengira kalau Adrian mempunyai kembaran.
Naura melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh. Aduh! Naura menepuk jidat. Kemarin Nessa berpesan
agar Naura bisa datang ke rumahnya jam tujuh.
"Kak kayaknya aku harus cepet-cepet pulang, deh."
"Tapi itu---" "Makasih Kak buat traktirannya!" ia meletakkan mangkuk di atas kursi, "Nanti kapan-kapan aku ganti." Naura beranjak pergi, berlari meninggalkan Angga bersama
gelengan kepalanya. Dia selalu pergi dengan terburu-buru. Padahal Angga ingin lebih lama menikmati waktu bersamanya.
*** Diayuhnya sepeda dengan semangat. Sepeda ini terasa lebih nyaman dipakai, berbeda dengan sebelumnya. Naura menghirup udara pagi, akhirnya bisa merasakan
kembali embusan angin ketika bersepeda. Naura tak akan ambil pusing tentang siapakah Brian, sekarang sudah jelas, dia hanya kebetulan mirip dengan Adrian.
Dan sekarang tugasnya hanya satu, bekerja dengan baik tanpa memikirkan hal-hal lain.
Sepedanya terparkir di halaman rumah Nessa. Naura mengetuk pintu, juga memencet bel. Beberapa menit berlalu, tapi pintu tak kunjung ada yang membuka. Kemana
para penghuni rumah ini" Naura ingat, kemarin Nessa sempat berpesan. Kalau tak ada orang yang membuka pintu, Naura boleh masuk jika pintu tidak dikunci.
Karena Brian pasti ada di dalam.
Naura bingung, kalau ia masuk, kesannya tidak sopan. Tapi kalau tidak" Apa ia akan berdiam diri di sini" Naura bolak-balik di teras seperti setrikaan dengan
ambigu. Namun pada akhirnya, Naura mendorong pintu, benar saja, pintu ini tidak dikunci. Tepat saat pintu terbuka, ada Brian yang hendak keluar. Otomatis,
pandangan mereka saling bertemu. Naura tertegun, rasanya, ia telah melakukan kesalahan fatal sekaligus memalukan.
Naura memaki dalam hati, tapi ia harus cepat-cepat meminta maaf kepada Brian. Dilangkahkannya kaki untuk segera menjelaskan. "Aduh maaf banget, Mas. Saya
kira nggak ada orangnya. Makannya saya buka. Sekali lagi saya minta maaf banget. Soalnya dari tadi saya ketuk pintu nggak ada yang nyaut. Kemarin juga
Pendekar Bego 13 Benteng Digital Digital Fortress Karya Dan Brown Sumpah Palapa 28

Cari Blog Ini