Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 20

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 20


betapa korban berjatuhan di -kalangan sendiri.
Orang-orang yang demikian kadang-kadang serimg
kehilangan kesabaran dan pengamatan diri, sehingga
terhadap lawan yang terluka, maka mereka akan dapat
melakukan hal-hal di luar dugaan para pemimpin laskar
Pajang. Bahkan Hudaya, orang yang sudah cukup mengendap itupun
seakan-akan telah kehilangan kesadaran diri, menghadapi
orang-orang Jipang. Karena itu, dengan bijaksana Untara
telah membawa orang-orang yang demikin itu dahulu ke
Sangkal Putung untuk beristirahat. Tewasnya Citra Gati telah
membuat suatu goncangan yang dahsyat di dalam hati
sahabatnya itu, sehingga dendam di dalam hatinya seakanakan
menyala membakar seluruh nadinya. Bagi Hudaja yang
terluka dan kehilangan sahabat yang paling dekat itu, tidak
ada angan-angan lain di dalam benaknya kecuali
membinasakan semua orang Jipang.
karena itulah maka kali ini Untara dan Widura menjadi sangat
prihatin melihat suasana di dalam pasukannya. Pada
pertempuran-pertempuran yang lalu, korbn di pihaknya tidak
terlampau berat seperti apa yang baru saja terjadi, sehingga
hati anak buahnya tidak sepanas pada saat itu. Pertempuran
gelar yang sempurna dan tata peperangan yang masingmasing
dikendalikan oleh senapati-senapati yang matang,
telah menjadikan pertempuran kali ini menjadi suatu
pertempuran yang tak akan pernah mereka lupakan. Baik oleh
orang-orang Jipang, maupun orang-orang Pajang.
Untara dan Widura sendirilah yang kemudian menunggui
orang-orang yang terluka di banjar desa. Di satu gandok
tampak orang-orang Pajang terbaring dengan darah yang
memerahi tubuh dan pakaian mereka, sedang di gandok yang
lain terbaring orang-orang Jipang yang masin mungkin
ditolong hidupnya, merintih menahan pedih yang membakar
dirinya. Namun terhadap para juru penolong, Untara dan Widura tidak
dapat berbuat banyak. Betapa mereka bekerja demi
perikemanusiaan. Namun menghadapi pihak-pihak yang
terluka itu, mereka lebih dahulu memerlukan menolong kawan
mereka sendiri, orang-orang Pajang. Baru kemudian mereka
menjamah tubuh-tubuh yang terbaring sambil menahan pedih
dari pihak lawan. Orang-orang Jipang.
Beberapa prajurit yang bertugas berjaga-jaga di halaman
pendapa memandangi orang-orang Jipang itu dengan benci.
Bahkan ada di antara mereka yang tidak dapat mengerti, buat
apa mereka mencoba mengobati luka-luka orang-orang
Jipang itu" Mungkin salah seorang dari mereka, atau bahkan
mungkin semuanya dari mereka itu, telah membunuh atau
melukai orang-orang Pajang. Mungkin mereka itu pulalah yang
telah menembus tubuh-tubuh orang Pajang yang kini terbaring
di sisi yang lain itu, dengan senjata-senjata mereka.
Tetapi pemimpin mereka, beserta beberapa orang yang masih
dapat menguasai perasaan mereka, di antara orang-orang
Pajang dan orang-orang Sangkal Putung, masih mencoba
berbuat dalam batas-batas perikemanusiaan. Perang itu
sendiri, sebagai suatu cara terakhir untuk menyelesaikan
perbedaan pendirian, tidak boleh terperosok dalam perbuatanTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
perbuatan yang menodai perikemanusiaan dalam
kemungkinan yang sejauh-jauhnya dapat dilakukan. Bahkan
apabila mungkin perang itu sendiri harus dihindarkan. Sebab
betapa orang yang berhati bening mencoba berbuat sebaikbaiknya
di dalam perang, namun perang sendiri hampir sama
artinya dengan maut, kekerasan dan kebencian serta
menaburkan benih dendam di mana-mana.
Ketika mereka, orang-orang Pajang itu sedang sibuk di
pendapa banjar desa, maka para penjaga dikejutkan oleh
sebuah bayangan yang berjalan tertatih-tatih mendekati
halaman. Para penjaga diregol halaman yang melihat
bayangan itu segera menyapanya, "He, siapa?"
Bagian 7 "Aku," terdengar sebuah jawaban.
Bayangan itu semakin lama semakin dekat menyusur
pinggiran alun-alun di muka banjar desa. Dan semakin dekat,
semakin jelas pulalah bagi para penjaga itu, bahwa bayangan
itu bukanlah bayangan seorang saja, tetapi bayangan itu
adalah bayangan seorang yang sedang memapah orang lain
di sisinya. Sekali lagi terdengar sapa dari para penjaga, "Siapa?"
"Agung Sedayu," jawab bayangan itu.
"O," guman penjaga itu. Namun tiba-tiba ia bertanya pula,
"Siapa yang terluka?"
Agung Sedayu, yang datang dengan seorang yang ditemuinya
di dalam hutan, tidak dapat menjawab. Orang yang
dipapahnya itu setelah mendapat seteguk air, meskipun air
dari sebuah parit, menjadi agak segar dan mampu berjalan
sambil bergantung pundak Agung Sedayu. Dan orang itu
belum dikenal siapa namanya. Karena itu maka Agung
Sedayu menjawab, "Aku belum mengenal namanya."
"He?" penjaga itu terkejut, "Kenapa belum kau kenal
namanya?" Agung Sedayu tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia
berjalan terus sambil membantu orang yang terluka itu.
"Panggil aku Supa," desis orang itu, perlahan-lahan.
"O," gumam Agung Sedayu.
Namun kemudian ia berkata, "Nama apapun yang akan aku
sebutkan, kesannya bagi mereka akan sama saja. Mereka
pasti belum mengenal nama itu."
Orang yang terluka menjadi berdebar-debar. Apakah orangorang
Pajang akan menerima kehadirannya di antara mereka"
Tetapi orang Jipang itu tidak menyatakan kecemasannnya.
Bahkan kemudian ia menjadi pasrah. Kalau ia mati, maka
kematian itu adalah wajar. Seandainya salah seorang prajurit
Pajang kemudian menyambutnya dengan tusukan tombak di
lambungnya, maka ia tidak akan merasa kehilangan lagi.
Nyawanya yang sekarang seakan-akan bukan miliknya, tetapi
milik Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu tidak
membawanya, maka iapun akan mati oleh anjing-anjing liar
sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Bulu kuduk orang Jipang itu terasa berdiri. Alangkah
mengerikan. Selagi ia masih hidup, beberapa ekor anjing
hutan berpesta dengan dagingnya. Tetapi kalau ia mati
dengan tombak menghujam di dadanya, maka ia akan mati
sebagai seorang prajurit.
Agung Sedayu yang kini berdiri beberapa langkah saja dari
para penjaga itu berhenti. Salah seorang dari penjaga itu
bertanya, "Benarkah kau Adi Sedayu?"
"Lihatlah dengan seksama," sahut Agung Sedayu.
"Yang terluka itu?"
Agung Sedayu tidak mau menjawab dengan berbelit-belit.
Maka katanya, "Namanya Supa, orang Jipang."
Orang di regol halaman itu serentak mengulangi kata-kata
Agung Sedayu, "Orang Jipang?"
"Ya, aku temukan orang ini terluka di dalam hutan. Untunglah
aku masih sempat menolongnya dan memberinya air,
sehingga kemungkinan untuk hidup baginya menjadi semakin
besar." Para prajurit Pajang dan beberapa anak muda Sangkal
Putung justru terdiam. Mereka dicekam oleh perasaan heran
tiada taranya. Mereka melihat, betapa Agung Sedayu masih
sempat memapah orang Jipang dari hutan sampai ke halaman
ini. Bukankah itu suatu pekerjaan sulit"
Tiba-tiba dari antara beberapa orang yang berjaga-jaga di
regol halaman itu terdengar salah seorang berkata, "Hem,
Kakang Sedayu, buat apa kau bawa monyet itu ke mari?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Suara itu dikenalnya
benar. Apalagi ketika ia melihat seorang yang bertubuh gemuk
bulat melangkah maju dari antara orang-orang yang kemudian
berkerumun di depan regol. Namun betapa kecewa hati Agung
Sedayu mendengar pertanyaannya. Ia tidak akan menyesal,
bahkan sama sekali tidak mempengaruhi perasaannya
apanbila pertanyaan itu meluncur dari orang lain. Bukan anak
muda yang gemuk bulat dan bernama Swandaru Geni itu.
"Kakang," berkata Swandaru seterusnya, "buat apa kau bawa
orang sakit-sakitan itu. Lihat, di sini telah terkapar berpuluhpuluh
orang semacam itu. Seandainya bukan Paman Widura
dan Kakang Untara yang menunggui mereka langsung, maka
mereka itu sama sekali tak akan berguna bagi kami. Apalagi
bagi rakyat Sangkal Putung. Coba, siapakah yang memberi
mereka makan" Beras siapakah" Sedang mereka telah
mencoba menghancurkan Sangkal Putung ini?"
Agung Sedayu menarik napas. Swandaru adalah pemimpin
dari segenap anak-anak muda Sangkal Putung. Kalau ia tetap
pada pendiriannya, bahwa tidak pantas untuk membawa
orang Jipang yang terluka itu, maka akan sulitlah baginya
untuk menghadapinya. Semua anak-anak muda pasti akan
sependirian dengan Swandaru, dan menolak orang Jipang itu.
Bahkan mungkin mereka akan melakukan perbuatanperbuatan
di luar kehendak mereka sendiri.
Karena itu, Agung Sedayu harus segera menemukan jalan,
sehingga Swandaru dapat diatasinya. Maka dengan serta
merta Agung Sedayu menjawab, "Adi Swandaru, apa yang
aku lakukan ini adalah atas perintah guru kita, Kiai Gringsing."
Kini Swandaru-lah yang mengerutkan keningnya. Tampaklah
wajahnya menjadi tegang. Cahaya obor di kejauhan membuat
wajah itu menjadi merah, semerah bara.
Tapi Swandaru tidak dapat berbuat lain kecuali
menghempaskan nafasnya. Betapa hatinya menggelegak,
namun jawaban Agung Sedayu telah menutup setiap
kemungkinan baginya untuk berbuat sesuatu. Sebab apa yang
dilakukan oleh Agung Sedayu adalah karena perintah
gurunya. "Hem," desah anak muda yang gemuk bulat itu. Tetapi ia tidak
berkata sepatah katapun. Bahkan kemudian ia segera
menyelinap kembali ke dalam kerumunan orang-orang di
regol, seakan-akan ingin membenamkan kemarahannya ke
dalam linkungan orang banyak.
Tetapi demikian Swandaru menghilang, maka tampaklah
seseorang dengan tergesa-gesa menyibak orang-orang yang
berdiri di regol itu sambil berkata, "Mana orang Jipang itu?"
Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dari antara
orang yang berdiri itu sekali lagi ia melihat seseorang
melangkah maju. "Hem," katanya, "rupa-rupanya kau membawa oleh-oleh buat
kami." Agung Sedayu sekali lagi mengerutkan keningnya. Sebelum ia
sempat menjawab orang itu berkata pula, "Di dalam banjar
desa banyak juga orang-orang Jipang yang bergelimpangan
menunggu maut mencekik mereka. Tetapi orang-orang itu
ditunggui langsung oleh Untara dan Widura. Nah, sekarang
ada orang lain yang kau bawa kemari. Jangan kau bawa
masuk ke pendapa. Serahkan orang itu kedaku. Aku ingin
mendapat ganti Kakang Citra Gati yang gugur di
pertempuran." "Akan kau apakan orang ini Paman Hudaya?" bertanya Agung
Sedayu. "Aku ingin mencincangnya," sahut Hudaya.
Agung Sedayu merasa orang yang menggantung di
pundaknya itu menggeliat perlahan-lahan, tetapi ia segera
menggamitnya. "Paman," berkata Agung Sedayu, "aku membawa orang ini
atas perintah Kiai Gringsing."
"Persetan dengan Kiai Gringsing! Aku tidak berkepentingan
dengan Kiai Gringsing," berkata Hudaya tegas. "Aku inginkan
orang itu." Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab kata-kata
Hudaya itu. Terasa bahwa keadaan Hudaya yang terluka itu
tidak wajar. Ia sedang diliputi oleh suasana tegang, hilangnya
sahabatnya Citra Gati serta dirinya sendiri yang terluka.
Karena itu maka hati Hudaya itupun sedang dibalut oleh
dendam yang pekat. Tetapi sama sekali tidak terlintas di dalam otak Sgung Sedayu
untuk menyerahkan orang yang dibawanya itu. Ia
membawanya dengan harapan untuk menolong jiwanya,
apalagi kemudian telah diperkuat oleh perintah gurunya.
Sedangkan apabila orang itu sampai ke tangan kakaknya atau
pamannya, maka masih mungkin orang itu diselamatkan dari
kemarahan para prajurit Pajang.
Ketika Agung Sedayu sedang berpikir terdengar kembali suara
Hudaya, "Ayo, serahkan kepada kami."
"Paman," berkata Agung Sedayu hati-hati. "Aku memang akan
menyerahkan orang ini, tetapi setelah Paman Widura
mengetahuinya. Bukankah pimpinan pasukan Pajang di sini
adalah paman Widura."
Hudaya menggeram. Namun kemudian ia menjawab, "Kakang
Widura adalah pimpinan prajurit Pajang dalam hubungan
resmi. Tetapi aku kehendaki orang itu justru sebelum diketahui
oleh Kakang Widura, sehingga orang itu belum menjadi
seorang tawanan." Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah yang harus
dilakukannya supaya orang itu dapat dilihat oleh pamannya"
Apakah ia akan memaksa berjalan terus memasuki halaman
banjar desa" Apakah ia harus berteriak-teriak memanggil"
Belum lagi ia menemukan jawabnya, Hudaya telah melangkah
maju. Terdengar suara tertawanya yang mengerikan. Suara itu
seolah-olah bukan suara Hudaya yang selama ini dikenalnya.
Ya, tiba-tiba Agung Sedayu ingat, apa yang telah pernah
dilakukan oleh Sidanti. Ia mendengar dari beberapa orang
yang menyaksikan, bahkan Hudaya pun pernah berkata
kepadanya, bagaimana Sidanti membunuh Plasa Ireng.
Menikamnya bertubi-tubi, membelah punggungnya dengan
goresan-goresan yang dalam, berdiri di atas mayat itu sambil
menepuk dada. Bulu-bulu Agung Sedayu serentak berdiri. Mengerikan. Kini ia
melihat seolah-olah Sidanti itu datang kembali sambil tertawa.
"Serahkan kepadaku supaya aku tidak mendendammu pula,"
berkata Hudaya. Tetapi nada suaranya benar-benar
mengerikan seperti suara hantu dari dalam kubur.
Namun tiba-tiba bersama dengan itu, merayap pulalah
perasaan benci Agung Sedayu kepada Sidanti, kepada


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sikapnya, kepada perbuatannya. Kini ia melihat Hudaya itu
bersikap dan berbuat seperti apa yang pernah dilakukan oleh
Sidanti. Karena itu tiba-tiba Agung Sedayu melangkah surut
selangkah. Terdengar ia berkata tegas, "Paman Hudaya, Aku
tidak akan menyerahkan orang ini kepada siapapun juga.
Tidak kepada paman Hudaya dan tidak kepada orang lain.
Aku hanya akan menyerahkan kepada Paman Widura. Kalau
Paman Widura akan membunuhnya itu adalah haknya,
apabila ternyata menurut Paman Widura, tidakan itu adalah
tindakan yang seadil-adilnya. Tetapi pasti tidak dalam
keadaan yang serupa ini. Tidak dalam keadaan tidak
berdaya." Hudaya pun nkemudian tertawa pula. Jawabnya, "Kau bukan
seorang prajurit. Kau tidak tau apakah yang sebaik-baiknya
dilakukan oleh seorang prajurit. Sebelum orang ini sampai
pada orang yang berwenang menentukan hukuman atasnya,
maka yang berlaku asalah hukuman perang. Setiap prajurit
berhak melakukannya. Akupun berhak. Orang ini dapat aku
perlakukan menurut kehendakku. Tempat ini dapat dianggap
sebagai medan. Prajurit yang terbunuh di medan perang,
nasibnya tidak dipersoalkan lagi."
"Tidak paman," sahut Agung Sedayu. "Kita tidak berada di
dalam medan lagi. Kita sudah di belakang garis perang."
"Jangan membantah," bentak Hudaya yang sudah bermata
gelap. Selangkah ia maju lagi sambil berkata, "Kau tahu
tentang peperangan. Aku adalah orang tertua sepeninggal
Citra Gati. Kalau tidak ada Widura, maka akulah yang berhak
memegang atas prajurit Pajang di sini."
"Tetapi Paman Widura sekarang ada di sini."
"Ia berada di dalam halaman, sedang kita berada di luar
halaman banjar desa. Jangan menjawab lagi, supaya kau
tidak aku cincang pula seperti orang Jipang itu."
"Terdengar Agung Sedayu menggeram. Namun hatinya
menjadi semakin keras ketika ia mendengar orang Jipang itu
berbisik, "Serahkan saja. Biarlah aku dibunuhnya, supaya kau
selamat." "Tidak," geram Agung Sedayu. Kemudian kepada Hudaya ia
berkata, "Paman Hudaya, ternyata Paman Hudaya sekarang
tidak seperti Paman Hudaya yang aku kenal pertama-tama
aku datang. Bahkan tidak seperti Paman Hudaya lusa. Paman
Hudaya sekarang ini adalah seorang yang sama sekali
berbeda." "Tutut mulutmu," potong Hudaya. "Lepaskan orang itu. Biarkan
ia terbaring di tanah. Aku ingin mencincangnya. Kau dengar?"
"Aku dengar," sahut Agung Sedayu, "Tetapi aku tidak akan
melakukannya." "He," mata Hudaya terbelalak. Sinar obor yang lemah seakanakan
telah membakar mata, sehingga memancar kemerahmerahan.
"Kau berani membantah perintahku?"
"Kau tidak berhak memberikan perintah itu."
"Kalau tidak ada Widura, Hudaya adalah orang tertua kau
dengar." "Aku bukan prajurit Pajang. Aku tidak terkena keharusan untuk
mematuhi perintah siapapun di sini. Kalau aku patuh terhadap
Paman Widura, ia adalah pamanku. Dan kalau aku menurut
perintah Kakang Untara, karena ia adalah kakakku. Kau bukan
pamanku dan bukan ayahku. Kau tidak berhak memberikan
perintah itu. Sedangkan orang lain yang berhak memberikan
perintah kepadaku adalah Kiai Gringsing, guruku. Dan
perintah itu berbunyi, "Selamatkan orang ini."
Mata Hudaya menyala mendengar jawaban Agung Sedayu.
Apalagi ketika Agung Sedayu menegaskan, "Bukankah begitu
Paman. Bukankah Paman sendiri tadi mengatakan bahwa aku
bukan seorang prajurit."
Terdengar gigi Hudaya gemeretak. Tiba-tiba Hudaya yang
telah menjadi sangat marah itu berkata pula, "Di medan
perang kekuasaan berada di tangan prajurit. Setiap orang
harus tunduk pada perintah. Kaupun harus tunduk meskipun
kau bukan seorang prajurit."
Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah. Ia tidak akan
menyerahkan orang ini, tetapi ia juga tidak ingin berbenturan
di antara kawan sendiri. Karena itu Agung Sedayu mencoba
untuk mencari cara yang sebaik-baiknya untuk ia yakin, bahwa
apabila terpaksa ia harus menarik pedangnya, ia akan dapat
membiarkan Hudaya terjatuh sendiri karena kepayahan. Ia
dapat membiarkan dirinya diserang tanpa membalas dengan
serangan. Kemampuannya akan memungkinkan berbuat
demikian sampai Hudaya berhenti sendiri karena kehabisan
nafas. Apalagi orang ini telah terluka. Namun dengan
demikian akan tertanam bibit kebencian dan dendam di antara
sesama mereka.Tetapi terasa juga betapa hatinya meronta.
Perbuatan itu adalah perbuatan anak-anak. Tetapi ia harus
menemukan cara. Ketika sekali lagi ia memandangi wajah Hudaya, terasa
hatinya berdesir. Wajahnya memang wajah yang gelap dan
keras sejak ia melihatnya yang pertama. Tetapi wajah itu tidak
pernah tampak seliar kali ini.
Tiba-tiba kembali Agung Sedayu teringat kepada Sindati.
Kekerasan dan keliaran yang menyala di wajahnya, bahkan
setiap saat. Anak muda itu benar-benar anak muda yang
kasar dan liar. Hudaya bukanlah orang yang demikian. Kali ini
ia menjadi kasar dan liar karena sebuah kejutan perasaan
yang telah menggoncangkan hatinya.
Namun dengan kenangannya atas Sidanti, Agung Sedayu
menemukan suatu cara untuk menahan arus kemarahan
Hudaya. Ketika ia melihat Hudaya maju selangkah, Agung
Sedayu kemudian berkata, "Paman Hudaya, apakah Paman
benar-benar tidak dapat mencegah diri?"
"Diam!" bentaknya. "Serahkan orang itu!"
"Apakah Paman akan mencincangnya?"
"Ya, aku akan mencincangnya."
"Baiklah," sahut Sedayu.
Terasa orang yang menggantung di pundaknya berdesis,
perlahan-lahan ia berbisik ke telinga Agung Sedayu. "Tolong,
bunuh aku dahulu. Kau dapat menusuk lambungku dengan
pedangmu, supaya aku segera terbunuh sebelum aku
merasakan siksaan yang mengerikan."
"Mudah-mudahan itu tidak terjadi," sahut Agung Sedayu.
"Apa yang kau katakan?" bertanya Hudaya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia
menyahut, "Orang yang bernama Supa ini bertanya, apakah
orang inikah yang bernama Sidanti?"
"Setan. Apakah aku akan kau samakan dengan iblis kecil itu"
Aku bernama Hudaya. Sama sekali bukan Sidanti. Apakah
persamaannya antara Hudaya dan Sidanti, he" Jangan
membuat aku bertambah marah."
"Maaf Paman, ia hanya bertanya."
"Kenapa kau yang memintakan maaf untuk orang Jipang itu?"
"Maaf Paman, maksudku, pertanyaan itu tidak terlampau
salah." Sekali lagi mata Hudaya terbelalak. Sekali lagi ia membentak,
"Kenapa" Aku bukan Sidanti, tahu!"
"Maksudku," sahut Agung Sedayu, "Pertanyaan orang ini
masuk akal. Sidanti pernah mencincang Plasa Ireng di medan
perang setelah ia berhasil membunuh dengan pedangnya.
Sekarang orang ini mendengar keinginan yang sama dengan
apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti itu. Mencincang
lawannya. Namun Sidanti mencincang lawan yang telah
dibunuhnya sendiri dengan pedangnya di medan perang dan
orang itu pada saat hidupnya adalah senopati pengapit di
sayap kiri lawan, sedang orang ini adalah seorang prajurit
kecil yang tak berarti. Juga tidak terbunuh di medan perang
oleh tangan Paman Hudaya sendiri."
"Cukup!" terdengar suara Hudaya melengking memecah sepi
malam, menggeletar memenuhi lapangan dan halaman banjar
desa. Betapa suara itu telah mengejutkan hampir setiap orang
yang berdiri di regol halaman, maupun di dalam halaman.
Namun Agung Sedayu tidak terkejut. Ia memang mengharap
Hudaya marah dan berteriak. Ia mengharap orang-orang yang
berada di dalam banjar akan mendengar teriakan itu. Kecuali
itu Agung Sedayu masih mempunyai harapan lain. Mudahmudahan
Hudaya menyadari keadaannya.
Ternyata harapan Agung Sedayu kedua-duanya berhasil.
Teriakan Hudaya itu telah didengar oleh Untara dan Widura,
sehingga dengan tergesa-gesa keduanya turun ke halaman.
Tetapi yang lebih penting bagi Agung Sedayu adalah ketika
kemudian ia melihat Hudaya itu menundukkan wajahnya.
Setelah ia melepaskan tekanan yang menghimpit dadanya
dengan sebuah teriakan yang menggelegar, tiba-tiba seakanakan
dadanya menjadi jernih. Tiba-tiba ia teringat pula apa
yang pernah dilakukan oleh Sidanti. Alangkah mengerikan. Ia
pernah mengutuk habis-habisan di dalam hatinya ketika ia
melihat Sidanti membelah punggung Plasa Ireng, kemudian
berdiri di atas mayatnya sambil sesumbar. Ia merasa ngeri
sendiri. Alangkah buasnya anak itu. Seakan-akan ia telah
kehilangan segenap kemanusiaannya. Tiba-tiba dalam
kegelapan pikiran hampir-hampir saja ia melakukannya pula.
Hampir-hampir saja ia mencincang orang seperti apa yang
dilakukan oleh Sidanti itu.
Terasa suatu desir yang tajam menggores jantung Hudaya.
Hatinyapun menjadi pedih karenanya, melampaui pedihnya
lukanya yang ditimbulkan oleh senjata Sanakeling.
Supa, orang Jipang yang menggantung di pundak Agung
Sedayu melihat pula perubahan sikap Hudaya. Bahkan ia
melihat Hudaya itu kemudian melangkah mundur. Tetapi Supa
itu sama sekali tidak tahu apakah yang bergolak di dalam hati
Hudaya. Ketika Untara dan Widura hadir di tempat itu, Hudaya telah
mundur beberapa langkah lagi. Bahkan ia kini telah berdiri di
antara para penjaga yang merubungnya.
"Siapakah yang berteriak?"
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Apabila ia
menyebut nama Hudaya, apakah hati orang itu tidak
tersinggung kerenanya" Namun ternyata Hudaya tidak
mengingkari keadaannya. Maka katanya, "Aku yang berteriak."
"Kenapa?" bertanya Widura.
Hudaya menarik nafas. Kemudian jawabnya, "Hampir aku
khilaf. Aku akan membunuh orang Jipang yang datang
bersama Angger Agung Sedayu. Untunglah Angger Agung
Sedayu tidak memberikannya."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu
sendiri ternyata segera dapat diatasi. Tetapi bagaimana
dengan janji Untara yang pernah diucapkan pada saat Tohpati
meninggal. Untara, atas nama Panglima Wira Tamtama
menjanjikan pengampunan bagi mereka yang menyerah.
Tanggapan itu sama sekali kurang menyenangkan bagi
prajurit. Seperti sikap Hudaya itu adalah suatu gambaran
perasaan para prajurit Pajang. Amatlah sulit untuk
melenyapkan permusuhan dalam waktu yang pendek. Apalagi
pada saat-saat terakhir, korban telah berjatuhan dari kedua
belah pihak, sehingga peristiwa itu seakan-akan telah
membakar dendam di hati mereka.
Ternyata bukan saja Widura yang menjadi berdebar-debar
karenanya. Jawaban Hudaya langsung menyentuh hati Untara
pula. Hudaya adalah seorang yang telah cukup mengendap.
Seorang yang memiliki pandangan yang cukup luas dan jauh.
Tetapi menghadapi orang-orang Jipang dadanya seakan-akan
meluap. Apalagi orang-orang lain.
Meskipun demikian Untara masih tetap dalam pendiriannya.
Pendirian itu adalah pendirian Panglima Wira Tamtama.
Karena itu ia mengharap bahwa ia akan dapat memenuhinya.
Namun haruslah diketemukan cara yang sebaik-baiknya,
sehingga tidak terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki. Orangorang
yang sesat itu datang kembali, namun kawan-kawan
sendiri menjadi sakit hati karenanya. Apalagi ada di antara
mereka yang hatinya menjadi patah dan kehilangan gairah
perjuangan. Selagi Widura dan Untara masih berdiam diri karena anganangan
mereka, terdengar Hudaya berkata, "Maafkan aku
Kakang Widura. Mudah-mudahan aku untuk seterusnya dapat
mengekang diri sendiri."
Widura mengangguk. Jawabnya, "Kau ternyata sedang
mengalami goncangan perasaan Hudaya. Beristirahatlah.
Mudah-mudahan kau akan mendapat ketentraman hati. Juga
agar lukamu tidak menjadi semakin parah karenanya."
Hudaya mengangguk dalam-dalam. Kemudian sambil
melangkah surut ia menjawab, "Baiklah. Mudah-mudahan
lukaku segera dapat sembuh. Tetapi sejak tadi aku belum
melihat Ki Tanu Metir yang biasanya dapat mengobati lukaluka
dengan baik." "Ia akan segera kembali, Paman." sahut Untara.
Hudaya tidak menjawab. Sejenak kemudian ia telah
menghilang di antara beberapa penjaga yang berdiri berjejalan
dengan beberapa orang prajurit dan anak-anak Sangkal
Putung yang ingin melihat peristiwa itu.
Hudaya yang kemudian masuk ke dalam halaman banjar desa
langsung pergi ke gandok kanan. Di antara beberapa orang
yang terluka ia membaringkan dirinya. Namun anganangannya
terbang jauh menelusuri awan di langit yang tinggi.
Beberapa perasaan hilir mudik di kepalanya. Sekali ia
bersyukur bahwa ia telah dibebaskan dari suatu perbuatan
yang buas dan liar. Namun sekali-sekali timbulah sesalnya.
Kenapa orang Jipang tadi tidak saja ditikamnya sampai mati
tanpa minta ijin lebih dahulu dari Agung Sedayu. Kenapa ia
tidak berusaha melepaskan dendamnya atas kematian orangorang
Pajang, bahkan sahabatnya terdekat Citra Gati"
Apakah orang-orang Jipang itu juga mengenal cara yang
serupa atas orang-orang Pajang yang terluka" Tidak. Orangorang
Pajang yang terluka tidak pernah mengalami perawatan
apapun. Apalagi perawatan, bahkan mereka sama sekali tidak
dipedulikannya. Apalagi ada kesempatan, orang Jipang pasti
akan berebut tidak untuk menolongnya, tetapi untuk
mencincangnya. Namun setiap kali, ia sadar atas kekhilafannya. Setiap kali ia
teringat kepada Sidanti, setiap kali ia berterima kasih kepada
Agung Sedayu. Sepeninggal Hudaya, sejenak di luar regol halaman banjar
desa itu menjadi senyap. Masing-masing mencoba melihat
keadaan menurut pengamatan masing-masing. Beberapa
orang prajurit benar-benar menyesal, kenapa mereka tidak


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat kesempatan untuk ikut serta mencincang orang
Jipang itu. Namun beberapa orang lain menyadari keadaan
mereka yang sesaat tumbuh di dalam dada Hudaya.
Sejenak kemudian terdengarlah Untara bertanya, "Siapa
orang yang kau bawa itu Sedayu?"
"Supa, orang Jipang," sahut Agung Sedayu.
"Kenapa orang itu kau bawa kemari?" bertanya Untara pula.
Agung Sedayu heran mendengar pertanyaan kakaknya.
Tetapi ia menjawab pula, "Aku menemukannya terluka di
dalam hutan ketika aku sedang mencoba mencari jejak
Paman Sumangkar." Untara mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, "Kau
tidak menjalankan perintahku. Kau harus mengikuti jejak
Paman Sumangkar sampai kau menemukan tempat orangorang
Jipang berkemah. Sekarang kau kembali membawa
orang yang terluka itu. Bukankah dengan demikian berarti kau
melanggar perintahku?"
Buku 14 Bagian 1 DADA Agung Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu.
Baru kini disadari bahwa ia telah melanggar perintah
kakaknya. Tetapi menurut pendapatnya, pertanggungan jawab
atas peristiwa itu ada pada gurunya. Karena itu maka
jawabnya, "Aku telah mencoba melakukan perintah itu
Kakang. Tetapi guruku, Kiai Gringsing menyuruh aku kembali
membawa orang ini. Kiai Gringsing sendirilah yang akan
mengambil alih tugas yang harus aku lakukan itu."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia
tersenyum di dalam hati. Perhitungannya ternyata tepat
seperti yang dikehendaki. Kiai Gringsing tidak akan
melepaskan Agung Sedayu sendiri melakukan tugas yang
sangat berbahaya itu. Namun meskipun demikian kini terasa
betapa bulu tengkuknya berdiri. Seandainya. Ya seandainya
Kiai Gringsing membiarkan Agung Sedayu itu berjalan
menyusur hutan yang belum dikenalnya pada waktu itu"
Alangkah berbahayanya. Kalau adiknya waktu itu mengalami
bencana, maka ialah yang telah membunuh adiknya itu.
Tetapi adiknya kini telah kembali dengan selamat. Bahkan
membawa seorang Jipang yang terluka. Agaknya Tuhan
benar-benar telah melindungi anak itu.
Meskipun demikian wajahnya sama sekali tidak mengesankan
kegembiraan hatinya itu. Dengan kerut-kerut pada keningnya,
Untara berkata, "Apakah kau yakin bahwa Kiai Gringsing
dapat melakukan tugas itu?"
Pertanyaan inipun mengherankannya. Untara telah lebih lama
bergaul dengan Kiai Gringsing daripada dirinya. Menurut
pendapatnya, Untara pasti lebih banyak mengenal orang itu,
orang yang bernama Ki Tanu Metir, yang telah melindunginya
di dukuh Pakuwon. Dengan demikian, maka Agung Sedayu tidak menjawab
pertanyaan kakaknya, bahkan ia bertanya pula, "Bukankah
Kakang Untara telah mengenal Kiai Gringsing dengan baik?"
"Aku bertanya kepadamu," potong Untara, "kaulah yang
seharusnya melakukan tugas itu. Kalau kau menyerahkan
tanggung jawab itu kepada orang lain, maka kau harus yakin
bahwa orang itu akan dapat melakukan tugas yang
seharusnya kau lakukan."
Agung Sedayu masih belum tahu maksud pertanyaan
kakaknya. Seharusnya pertanyaan yang demikian tidak perlu
diucapkan. Namun ia tidak berani berdebat dengan kakaknya,
sehingga kemudian dijawabnya pertanyaan itu perlahan-lahan,
"Ya. Aku yakin."
"Bagus, kalau demikian maka kita akan menunggu hasilnya,"
berkata Untara itu pula, "tetapi siapakah yang kau bawa itu"
Orang Jipang?" "Ya." "Terluka?" "Ya." "Parah?" "Agak parah." Untara terdiam sejenak. Diedarkannya pandangan matanya
berkeliling, seakan-akan ingin mengetahui gejolak perasaan
para prajurit yang berdiri mengitarinya. Bukan saja atas orang
Jipang yang terluka ini, tetapi orang-orang Jipang yang
mungkin bakal datang, apabila seruannya dapat dimengerti
oleh orang-orang Jipang itu. Namun Untara tidak berkata apaapa
tentang perasaannya yang dipenuhi oleh berbagai macam
persoalan, kecemasan dan keragu-raguan. Sebagai seorang
pemimpin ia harus bersikap, tidak terombang-ambing oleh
keadaan yang setiap saat dapat berubah, meskipun sikap
seorang pemimpin bukanlah sikap yang mati, yang tidak dapat
disesuaikan lagi dengan perkembangan keadaan.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang
bertebaran dari satu sisi ke sisi yang lain, melingkupi seluruh
langit yang luas, bergayutan berangkai-rangkai.
Dalam keheningan malam yang dingin itu, terdengar suara
Untara bergetar, "Agung Sedayu. Bawa orang itu masuk ke
banjar desa. Satukan dengan orang-orang Jipang yang sudah
lebih dahulu terbaring di sana."
"Baik Kakang," sahut Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu kemudian melangkah maju, beberapa
orang yang berdiri di regol segera menyibak. Namun wajahwajah
mereka tampak tegang. Sebagian dari mereka
memandang orang Jipang itu dengan sorot mata penuh
kebencian. Namun yang lain, melihat Agung Sedayu dan
orang Jipang itu lewat dengan pandangan mata yang kosong.
Sejenak kemudian regol halaman banjar desa itu menjadi
sepi. Sepeninggal Agung Sedayu, para prajurit dan anak-anak
muda Sangkal Putung satu demi satu berjalan meninggalkan
regol, selain mereka yang bertugas. Hampir semua di antara
mereka, sama sekali tidak menyatakan pendapatnya tentang
orang Jipang yang baru itu. Orang Jipang yang kehadirannya
agak berbeda dari orang-orang Jipang yang mereka temukan
di medan peperangan. Para petugas yang merawat orang-orang yang terlukapun kini
sudah tidak terlampau sibuk lagi. Beberapa di antara mereka
tinggal melayani orang-orang yang terluka parah. Bahkan ada
di antara mereka yang menjadi panas dan mengigau tentang
berbagai macam persoalan. Ada yang merintih perlahanlahan,
namun ada pula yang berteriak sepuas-puasnya.
Suasana di banjar desa itu benar-benar menjadi suram.
Beberapa orang yang lukanya tidak terlampau parah segera
minta ijin untuk pergi saja ke kademangan, berkumpul dengan
para prajurit yang berada di sana. Suasana di kademangan
jauh lebih baik dari suasana di banjar desa. Bahkan di antara
mereka yang masih merasa lapar, dapat merayap ke dapur
mencari makanan yang masih banyak tersedia.
Ternyata Swandaru pun telah pergi ke kademangan.
Langsung dibongkarnya tenong lauk pauk di dapur untuk
mencari daging lembu goreng, sisa lauk pauk makan malam
mereka. Namun dalam pada itu, kembali para penjaga di banjar desa
dikejutkan oleh kehadiran seorang yang membawa tongkat
baja putih bersama-sama dengan dukun tua yang bernama Ki
Tanu Metir. Beberapa orang penjaga segera mengenal, bahwa orang yang
membawa tongkat baja putih itu adalah orang yang telah
membawa mayat Macan Kepatihan. Karena itu segera mereka
mengetahui, bahwa orang itu adalah orang Jipang. Dengan
demikian maka segera para penjaga itu menghentikannya dan
bertanya, "Akan pergi ke mana kau?"
Sumangkar terkejut mendengar sapa yang keras itu. Segera,
ia berpaling kepada Ki Tanu Metir, seakan-akan minta supaya
Ki Tanu Metir-lah yang menjawab pertanyaan itu.
Ki Tanu Metir yang juga disebut Kiai Gringsing segera
menjawab, "Akulah yang membawanya."
"Bukankah orang ini orang Jipang?" bertanya penjaga itu.
"Ya. Orang ini orang Jipang."
Sejenak para penjaga menjadi ragu-ragu. Mereka saling
berpandangan. Namun tampaklah bahwa mereka tidak segera
dapat menentukan sikap. Dalam pada itu berkatalah Ki Tanu Metir, "Jangan cemas atas
kehadirannya, aku yang akan bertanggung jawab."
Namun wajah para penjaga itu masih saja diliputi oleh
kebimbangan, sehingga Ki Tanu Metir terpaksa berkata
kepada mereka, "Kalau kalian ragu-ragu, sampaikanlah
kepada Angger Untara atau Angger Widura, bahwa Ki
Sumangkar ingin bertemu dengan mereka."
Itu adalah pendapat yang paling baik bagi para penjaga yang
sedang bimbang. Salah seorang dari mereka segera pergi
menemui Untara dan Widura, untuk menyampaikan pesan Ki
Tanu Metir tentang orang Jipang itu.
"Bawa mereka kemari," berkata Untara kepada penjaga itu.
Sejenak kemudian, Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar pun
segera dibawa kepada Untara dan Widura, di ruang dalam
Banjar Desa Sangkal Putung.
Di ruang itulah kemudian terjadi pembicaraan yang mendalam
tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi atas janji
pengampunan yang disampaikan oleh Untara kepada orangorang
Jipang. Sumangkar telah mencoba menanyakan
kepada Untara, sampai berapa jauh kemungkinan
pengampunan itu dapat diberikan.
"Menurut Panglima Wira Tamtama," berkata Untara,
"pengampunan itu bersifat umum. Namun sudah tentu, bahwa
kalian akan tetap berada dalam pengawasan. Tetapi apa yang
akan kalian alami, adalah perlakuan dari para pemimpin
Pajang yang menjunjung tinggi peradaban."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
orang tua itupun bertanya, "Apakah jaminan yang dapat
diberikan oleh Angger Untara untuk memperkuat kepercayaan
kami?" Untara berpikir sejenak. Namun kemudian ia menggeleng.
"Tidak ada jaminan yang dapat aku berikan. Tetapi aku
berjanji, bahwa semua itu akan dilakukan sesuai dengan
ucapan Ki Ageng Pemanahan."
Sumangkar mengerutkan keningnya. la tidak mendapatkan
jaminan apa-apa dari Untara. Memang sebenarnyalah bahwa
tidak akan ada jaminan yang dapat diberikan. Tetapi begitu
saja mempercayainya, rasa-rasanya berat juga bagi
Sumangkar. Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Nyala lampu jlupak yang
melekat di dinding seakan-akan menggapai-gapai kepanasan.
Sekali-kali terdengar di kejauhan suara burung hantu
mengetuk-ngetuk hati. Dalam keheningan itu terasa betapa jauh jarak yang harus
mereka pertautkan dari kedua belah pihak. Permusuhan yang
setiap hari semakin meningkat. Kebencian, dendam dan
berbagai macam perasaan yang telah mendorong kedua
belah pihak menjadi semakin jauh.
Tetapi Sumangkar tidak dapat menolak kenyataan yang
dihadapinya. Pajang semakin lama menjadi semakin kokoh,
sedang sisa-sisa prajurit Jipang semakin lama menjadi
semakin terpecah belah. Kekuatan mereka kini telah,
berbanding berlipat ganda. Dalam keadaan yang demikian,
apakah yang dapat dilakukan olehnya" Apa yang dijanjikan
oleh Untara itu adalah selapis lebih baik daripada mereka
datang menyerahkan diri, meskipun akibatnya hampir tidak
ada bedanya. Namun dengan janji itu, mereka pasti akan
mendapat perlakuan yang lebih baik dalam batas-batas yang
memungkinkan. Karena itu, tidak ada kemungkinan lain bagi Sumangkar untuk
menerima tawaran Untara itu sebagai satu-satunya
kemungkinan yang paling baik. Sumangkar yakin, bahwa
apabila kesempatan itu tidak dipergunakan, akan datanglah
saatnya Untara mengambil sikap tegas seperti yang
dikatakannya. Apabila prajurit Jipang di daerah Utara dan di
pedalaman telah ditarik menjadi satu, pada saat-saat terakhir
perjuangan Macan Kepatihan, maka daerah-daerah lain itupun
akan menjadi aman. Prajurit Pajang akan dapat memusatkan
diri pula di daerah Selatan ini. Untara akan mendapat prajurit
lebih banyak dari yang sekarang berada di Sangkal Putung.
Dengan demikian maka tingkat terakhir dari usaha Untara
melenyapkan sisa-sisa prajurit Jipang akan segera berhasil.
Sumangkar menyadari pula, bahwa ia tidak akan dapat
mengajukan bermacam-macam syarat. Sebab keseimbangan
mereka benar-benar telah goyah. Sehingga baginya, tinggal
ada satu pilihan di antara dua. "Menerima, yang berarti
menyerah dalam kesempatan yang terbuka" atau "menolak,
yang berakibat hancur menjadi debu." Kehancuran itu bukan
saja akan dialami oleh orang Jipang, namun korban di pihak
Pajang pun bertambah pula. Sedang akibatnya sama sekali
tidak menguntungkan kedua belah pihak. Yang terjadi adalah
pembunuhan, kekerasan dan kekejaman. Dan apa yang akan
terjadi itu sama sekali tidak dapat dilupakan oleh orang-orang
Pajang. Demikianlah maka Sumangkar tidak dapat berkata lain dari
pada menerima tawaran Untara. Dengan demikian maka
segera mereka mulai membicarakan pelaksanaan dari
penyerahan itu. Dalam hal ini Sumangkar pun tidak dapat
terlampau banyak mengajukan pendapatnya. Sebagian dari
pembicaraan itu datang dari pihak Untara, sebagai sesuatu
yang harus diterima oleh Sumangkar. Namun di dalam hati
Untara, masih saja selalu dirayapi oleh kecemasan tentang
anak buahnya sendiri. Apakah mereka dapat menerima
sikapnya itu dengan ikhlas"
Dalam pada itu maka Untara menyadari sepenuhnya betapa
beratnya tugas yang akan dilakukannya. la telah pula
mendengar sikap Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda beserta
sebagian orang-orang Jipang yang menyingkir ke Lereng
Merapi. Mengikuti hantu yang bernama Ki Tambak Wedi. Di
sana mereka akan bertemu dalam kepentingan yang
bersamaan, melawan Untara dan menolak kekuasaannya.
Sikap itu berarti melawan terhadap kekuasaan Pajang. Maka
Ki Tambak Wedi dan segala pengikutnya kemudian dapat
dianggap sebagai suatu pemberontakan, di samping
Sanakeling dan pengikutnya yang masih ada.
Semuanya itu harus masuk di dalam hitungannya. Karena itu
apa bila persoalan Sumangkar dan sebagian dari orang-orang
Jipang, yang memenuhi panggilannya ini sudah selesai, maka
Untara akan segera menghadapi tugas baru: Ki Tambak Wedi.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam itu tak ada persoalan yang menghambat pembicaraan
di antara mereka. Untara tidak berbuat sewenang-wenang
karena kemenangannya, sedang Sumangkar tidak banyak
menuntut hal-hal yang tidak mungkin bagi orang-orangnya.
Masing-masing rnencoba menempatkan dirinya pada sikap
yang sebaik-baiknya tanpa meninggalkan tugas yang harus
diselesaikan. Sehingga dengan demikian, maka pembicaraan
itupun segera berakhir. "Apabila tidak ada syarat-syarat yang harus aku lakukan lagi
Ngger," berkata Sumangkar kemudian, "maka ijinkanlah aku
meninggalkan banjar desa ini. Kami bersama-sama akan
memasuki tempat yang telah Angger tentukan tanpa
bersenjata. Senjata-senjata kami akan sudah kami kumpulkan
di tempat yang Angger kehendaki. Kami percaya kepada
Angger Untara, bahwa nasib kami berada di dalam lindungan
Angger. Angger pasti tidak akan khilaf seandainya ada anak
buah Angger yang tidak dapat melihat kenyataan seperti yang
Angger kehendaki, sehingga akan timbul kemungkinankemungkinan
yang tidak kami inginkan."
"Aku berjanji Paman," sahut Untara. "Aku akan mencoba
sejauh-jauhnya, bahwa tidak akan ada perlakuan di luar
kehendakku." "Namun ada satu hal yang tidak dapat aku lakukan di saatsaat
yang Angger kehendaki itu. Tongkat baja putih ini tidak
akan dapat aku kumpulkan bersama dengan senjata-senjata
orang-orang Jipang itu. Aku tidak akan sampai hati
melihatnya. Senjata ini adalah senjata ciri kebesaran
perguruanku." Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri, namun
kemudian ia berkata, "Jadi apakah Paman menghendaki suatu
perkecualian?" Sumangkar mengangguk, "Ya, Ngger."
"Paman akan tetap menggenggam senjata itu?" bertanya
Untara. "Apakah masih ada keragu-raguan di dalam hati
Paman terhadap maksud baik itu?"
Sumangkar menggeleng, "Tidak Ngger. Aku tidak
berprasangka. Dan aku tidak ingin tetap memegang senjata
itu." Sumangkar berhenti sejenak, kemudian dengan nada
yang dalam ia berkata, "Aku ingin menyerahkannya lebih
dahulu Ngger, supaya senjataku itu tidak teronggok dalam
satu kumpulan dengan senjata-senjata yang lain. Senjata para
prajurit Jipang itu."
"Maksud Paman?" Untara menegaskan.
"Senjata ini akan aku tinggalkan di sini sekarang Ngger. Kalau
Angger atau salah seorang dari anak buah Angger sempat
memungut senjata Tohpati, maka alangkah baiknya kalau
kedua senjata itu disimpan bersama. Atau kalau Angger tidak
ingin melihatnya setiap saat, maka sebaiknya senjata itu
dilarung saja ke laut."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa juga
sesuatu berdesir di dalam dadanya. Terasa betapa beratnya
orang tua itu akan melepaskan senjatanya. Sudah tentu ia
tidak akan dapat melihat senjata ciri kebesaran perguruannya
itu tergolek di antara puluhan senjata yang berserakan.
Karena itu, maka dengan penuh pengertian Untara berkata,
"Paman, biarlah aku mencoba menyimpan senjata itu. Aku akan menyimpannya sebagai suatu senjata pusaka yang
berharga. Ketahuilah bahwa senjata Kakang Tohpati itu sekarang ada di
dalam simpananku pula."
Orang tua itu menganggukanggukkan
kepalanya. Kemudian tampak betapa muram sinar matanya ketika ia mengamat-amati senjatanya. Senjata yang diterima dari gurunya dahulu bersama Patih Mantahun. Kini senjata itu harus
terpisah darinya. Tetapi ia tidak dapat mengingkarinya. Ia
yakin bahwa apa yang dilakukan sekarang ini mempunyai
nilai-nilai kemanusiaan yang berharga bagi orang-orang
Jipang, sehingga pengorbanannya itu pasti akan bermanfaat
bagi mereka. Kemudian dengan parau. Sumangkar berkata, "Aku akan
menyerahkannya sekarang."
Untara mengangguk sambil menjawab, "Baik paman."
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Apabila darahnya
masih sepanas darah di waktu mudanya, maka mati bersama
dengan hilangnya senjata itu pasti akan dilakukan. Tetapi kini
ia telah menjadi tua. Bukan ketuaannya itulah yang telah
menyeretnya ke dalam keputus-asaan. Tetapi dengan
umurnya yang sudah semakin banyak, Sumangkar makin
menyadari nilai-nilai nyawa seseorang dibandingkan dengan
nilai benda-benda yang dikeramatkannya. Di belakangnya
berpuluh-puluh jiwa akan dapat dibebaskannya dari ketakutan,
kecemasan dan hidup tanpa arti. Mereka akan terlepas pula
dari kesempatan-kesempatan yang akan menjerumuskan
mereka semakin dalam ke lingkungan yang sebenarnya harus
disirik. Kebiadaban, kekasaran, kekejaman dan tindakantindakan
sejenis. Malam itu Sumangkar meninggalkan Sangkal Putung seorang
diri tanpa tongkat baja putihnya. Betapa berat hatinya, namun
semuanya itu telah bulat dikehendakinya. Ia ingin melihat
kehidupan yang damai dan tenteram di seluruh daerah Demak
lama. Untara dan Widura yang masih tinggal bersama Kiai Gringsing
di pendapa setelah orang tua itu mengantar Sumangkar
sampai di luar regol masih juga berbincang sebentar. Widura
yang mengetahui serba sedikit tentang Sidanti, telah
menyampaikan pendapatnya pula. Sidanti adalah seorang
anak kepala daerah perdikan yang cukup luas di lereng
perbukitan Menoreh. Di sebelah Barat hutan Mentaok.
Untara segera menyadari keterangan itu. Senapati muda itu
dapat menangkap maksud Widura. Dengan keterangan itu
Widura ingin memperingatkan Untara, bahwa mungkin ia akan
berhadapan dengan tugas baru yang cukup berat. Bahkan
mungkin tidak kalah beratnya dengan tugas yang sedang
diembannya kini. Sejenak ruangan itu menjadi sunyi. Masing-masing sibuk
dengan angan-angan sendiri. Kiai Gringsing duduk sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah ia sedang
menikmati suatu cerita yang mengasyikkan. Untara sibuk
meraba-raba janggutnya yang belum sempat dipotongnya.
Janggut yang terlampau jarang untuk dipelihara, sehingga
lebih baik baginya untuk dipotongnya licin-licin. Sedang
Widura duduk sambil terpekur, seolah-olah lagi menghitung
jari-jari di tangannya. Di luar ruangan itu, di pendapa banjar desa, masih terdengar
rintih kesakitan. Beberapa orang di antara mereka terdengar
mengeluh tak habis-habisnya karena pedih-pedih lukanya.
Tiba-tiba Kiai Gringsing tersadar. Naluri dukunnya tiba-tiba
menjalari dadanya. Dengan serta-merta ia beringsut sambil
berkata, "Ah. Aku mohon diri sejenak Ngger. Barangkali lebih
baik bagiku mengobati orang-orang yang terluka itu daripada
duduk di sini." Untara mengangguk sambil menjawab, "Baik Kiai. Tetapi nanti
aku mengharap Kiai apabila sempat secepatnya datang
kembali ke ruang ini."
"Ya. Ya," sahut Kiai Gringsing sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Segera aku datang kembali."
Sepeninggal Kiai Gringsing Untara dan Widura berbincang
kembali tentang pelaksanaan penerimaan orang-orang Jipang.
Untara tahu benar, bahwa orang-orang mereka, yang
langsung berhadapan dan bertempur melawan orang-orang
Jipang itu, sangat sulit untuk melepaskan perasaan
permusuham yang sudah tertanam dalam-dalam di hati
mereka. Karena itu tiba-tiba Untara berkata, "Paman Widura, aku akan
mengirim utusan ke Pajang. Aku akan minta beberapa orang
prajurit langsung di bawah pimpinan perwira-perwira tertinggi
wira tamtama untuk menerima langsung orang Jipang itu.
Dengan demikian maka aku mengharap, tidak akan terjadi
sesuatu yang tidak kita kehendaki bersama. Mungkin Ki Gede
Pemanahan sendiri berkenan menerima orang-orang yang
sadar itu kembali. Mungkin Ki Penjawi atau Mas Ngabehi
Loring Pasar. Meskipun anak itu masih terlampau muda,
namun ternyata ia telah mengejutkan hampir seluruh prajurit
Pajang dan Jipang. Setelah ia berhasil melawan Arya
Penangsang." Widura mengerutkan keningnya. Ia adalah senapati yang
bertanggung jawab di Sangkal Putung. Apakah tugas untuk
menerima orang-orang Jipang itu harus dilepaskannya"
Karena itu sejenak ia berdiam diri.
Untara melihat sikap Widura dengan penuh pengertian.
Karena itu ia berkata, "Paman, hal ini sama sekali bukan
karena aku tidak percaya kepada para prajurit yang ada di
Sangkal Putung, tetapi sekedar mancegah perasaan-perasaan
yang kurang terkendali menghadapi peristiwa yang sulit ini."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapapun, maka
ia tidak dapat membantah, seandainya Untara menjatuhkan
perintah sebagai seorang senapati atasannya. Karena itu
maka katanya, "Terserah kepadamu Untara. Kita bersamasama
menghendaki segalanya menjadi baik."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih
juga berkata, "Aku mengharap Paman dapat mengerti."
"Ya. Aku dapat mengerti."
Kembali mereka terdiam sejenak. Di kejauhan terdengar ayam
jantan berkokok bersahutan. Lamat-lamat menggema di
malam yang gelap suara kentongan dara muluk di gardu
peronda, yang kemudian sahut-menyahut dari ujung ke ujung
kademangan. Sejenak kemudian Untara itupun berkata, "Aku kira semuanya
sudah dapat direncanakan dengan tertib Paman. Besok pagipagi
utusanku akan berangkat ke Pajang."
Widura mengangguk, katanya, "Baik. Aku harap tak akan ada
kesulitan lagi." Untara dan Widura itupun kemudian meninggalkan ruangan
itu. Kembali mereka berjalan berkeliling di antara orang yang
terluka. Sebagian dari mereka telah dapat memejamkan mata
mereka, namun sebagian yang lain masih terbaring dengan
geli-sahnya. Ki Tanu Metir pun ternyata telah sibuk pula,
mencoba meringankan penderitaan mereka yang terluka
parah. Dengan segenap pengetahuan dan kemampuannya ia
bekerja. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Untara dan
Widura yang tidak kalah lelahnya, bahkan mungkin melampaui
setiap orang yang berada di banjar desa itupun mencoba
beristirahat pula. Juga Agung Sedayu telah berbaring di antara
para prajurit Pajang yang melepaskan lelah mereka. Ada yang
tidak sempat membersihkan dirinya. Begitu mereka selesai
makan dan minum, begitu mereka merebahkan diri mereka,
masih dalam pakaian tempur mereka. Namun ada juga yang
sempat membersihkan diri, berganti pakaian, menyisir rambut
kemudian duduk sambil bercakap-cakap dengan beberapa
kawan-kawan yang lain. Namun malam berjalan menurut iramanya sendiri. Ajeg seperti
malam-malam yang lampau. Ketika fajar pecah, maka cerahlah padukuhan Sangkal
Putung. Para pengungsi telah merayap kembali ke rumah
masing-masing. Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung
dengan bangga mengatakan bahwa Sangkal Putung untuk
seterusnya telah menjadi jauh lebih aman. Tohpati telah
terbunuh. Riuhlah berita itu mengumandang di segenap sudut
kademangan Sangkal Putung. Riuh pulalah orang menyebutnyebut
nama Untara. Ternyata pula kemudian bahwa yang
dapat membunuh Tohpati adalah Untara. Bukan orang lain.
Tetapi tak seorangpun yang memperhatikan, ketika dua ekor
kuda meluncur seperti anak panah meninggalkan
kademangan itu. Mereka adalah utusan Untara untuk
menyampaikan pesannya kepada Ki Ageng Pemanahan
mengenai kebijaksanaan terakhir yang ditempuhnya, namun
juga mengenai seorang prajurit yang bernama Sidanti dan
gurunya Ki Tambak Wedi. Di samping kematian Tohpati yang menjadi pembicaraan
segenap penduduk Sangkal Putung, bagi para prajurit Pajang
dan anak-anak muda Sangkal Putung, ada pula bahan
pembicaraan yang tidak kalah hangatnya. Yaitu tentang
orang-orang Jipang. Baik orang-orang Jipang yang terluka,
maupun orang-orang lain yang akan menyerah. Para prajurit
itu sibuk berbincang tentang janji pengampunan yang
diberikan oleh Untara. Beberapa orang prajurit menanggapi janji pengampunan itu
dengan wajah yang tegang. Salah seorang dari mereka
berkata, "Aku tidak mengerti, kenapa Ki Untara melontarkan
janji itu. Ki Untara sendiri ikut dalam peperangan yang terakhir
bahkan ia telah membunuh Macan kepatihan. Apakah hal ini
tidak merendahkan harga dirinya?"
"Aku juga tidak mengerti," sahut yang lain. "Kalau janji itu
keluar dari orang yang tidak pernah melihat sendiri ajang
peperangan maka hal itu mungkin sekali karena ia tidak tahu
betapa banyaknya korban dan betapa panasnya hati. Tetapi
Untara adalah seorang perwira Wira Tamtama yang langsung
menangani peperangan. la sendiri pernah hangus dibakar oleh
api peperangan. Bahkan nyawanya hampir tak dapat
diselamatkan meskipun akibat tusukan senjata Sidanti."
"Untara benar-benar seperti seorang senapati yang mendem
cubung," desis yang lain. "Aku tak dapat menerima sikapnya.
Apabila kelak orang-orang Jipang itu benar-benar datang,
maka aku akan membunuh mereka."
Percakapan itu berhenti ketika mereka melihat Agung Sedayu
datang kepada mereka. Meskipun tidak sengaja, namun
ternyata Agung Sedayu telah memutuskan pembicaraan
tentang orang-orang Jipang.
"Apakah kalian telah melihat Adi Swandaru?" bertanya Agung
Sedayu.

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para prajurit itu menggeleng, "Belum, kami belum melihatnya,"
sahut salah seorang dari mereka.
"Mungkin ia belum datang ke mari," berkata yang lain.
"Semalam putera Ki Demang itu pulang ke kademangan."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Biarlah aku mencarinya ke kademangan."
Agung Sedayu pun segera pergi ke kademangan. Ia ingin
bertemu dengan Swandaru untuk menyampaikan pesan
Untara. Untara ingin memperbincangkan masalah orang-orang
Jipang dengan para pemimpin Sangkal Putung. Supaya tidak
terjadi salah paham, maka yang pertama-pertama dikehendaki
oleh Untara dan Widura adalah Ki Demang Sangkal Putung
dan Swandaru Geni. Apabila keduanya dapat mengerti
pendirian itu, maka diharap bahwa seluruh penduduk Sangkal
Putung pun akan menerima kehadiran orang-orang Jipang itu
sebagai suatu kewajaran. Sebab orang-orang Jipang itu tidak
akan terlalu lama berada di Sangkal Putung. Mereka segera
akan di bawa ke Pajang. Untuk seterusnya diserahkan kepada
kebijaksanaan para pemimpin Pajang.
Namun tidak mudah untuk menjelaskan pendirian itu kepada
Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Ketika
Agung Sedayu itu datang dengan orang Jipang yang terluka,
maka dengan serta-merta Swandaru telah mengemukakan
pendiriannya. Menolak kehadiran orang itu, apabila Agung
Sedayu tidak mengatakannya bahwa apa yang dilakukan itu
atas perintah Kiai Gringsing. Tetapi terhadap keputusan untuk
mengampuni orang-orang Jipang yang jumlahnya tidak hanya
satu atau dua, bahkan tidak hanya sepuluh atau dua puluh,
maka untuk meyakinkannya, sehingga anak muda itu dapat
menerima pendirian Untara, bukanlah pekerjaan yang mudah.
Meskipun demikian, maka Untara dan Widura harus
mencobanya. Kalau mereka gagal, maka harus ditempuh cara
yang lain. Cara yang tidak bertentangan dengan keputusan
bersama dengan Sumangkar, namun tidak melukai hati rakyat
Sangkal Putung yang selama ini telah membantu prajurit
Pajang dengan gigihnya. Ketika Agung Sedayu sampai di Sangkal Putung, maka yang
pertama-pertama menemuinya di muka regol adalah Sekar
Mirah. Gadis yang berwajah riang itu menyambutnya sambil
tersenyum. Baru sehari kemarin mereka tidak bertemu, tetapi
rasa-rasanya telah berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
"Kau tidak segera datang ke kademangan, Kakang," berkata
Sekar Mirah. "Aku masih terlalu sibuk, Mirah"
"Semalam Kakang Swandaru telah dapat tidur mendengkur di
rumah. Apakah kau tidak dapat datang bersama Kakang
Swandaru?" "Adi Swandaru pergi tanpa mengajakku. Aku kira adi
Swandaru pun masih berada di banjar bersama anak-anak
muda yang lain." "Ah," desah Sekar Mirah, "kau mengada-ada."
Agung Sedayu tersenyum. Ia tidak menjawab lagi. Langsung
ia berjalan ke pendapa, menemui Ki Demang Sangkal Putung.
"Apakah Ki Demang ada di rumah?" bertanya Agung Sedayu.
"Kenapa kau cari ayah?"
"Aku memerlukannya atas pesan Kakang Untara."
"Kenapa kau tidak mencari aku?"
"Ah," Agung sedayu menarik nafas, "aku juga mencarimu,
Mirah. Tetapi aku juga ingin menyampaikan pesan Kakang
Untara." Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tiba-tiba berkata,
"Kenapa kakakmu itu tidak saja datang sendiri kemari" Kalau
kakakmu semalam datang kemari selagi kademangan ini
masih dipenuhi oleh para pengungsi, maka aku kira
kademangan ini akan runtuh karena pujian yang akan
diterimanya. Betapa rakyat Sangkal Putung berterima kasih
kepadanya, karena Kakang Untara telah berhasil membunuh
Macan Kepatihan." Agung sedayu tidak segera menjawab. Tetapi dahinya tampak
berkerut. "Kakang Sedayu," berkata Sekar Mirah, "biarlah kakakmu itu
datang sendiri kemari. Biarlah ia menerima kehormatan yang
layak karena jasanya."
"Penghormatan apa yang kau maksud" Apakah orang-orang
Sangkal Putung akan berbaris sambil meneriakkan terima
kasih mereka di hadapan Kakang Untara?"
Sekar Mirah tersenyum mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia
menjawab, "Kalau Kakang Untara datang tadi malam maka hal
yang demikian itu pasti akan terjadi. Semua orang pasti akan
memberikan salam sebagai pernyataan terima kasih mereka.
Satu demi satu. Bahkan mereka yang tidak sempat mendapat
sambutan tangan, pasti akan puas dengan menyentuh bagianbagian
tubuh Untara. Bahkan ujung kainnya sekalipun."
"Ah, terlampau berlebih-lebihan," sahut Agung Sedayu.
"Rakyat Sangkal putung adalah rakyat yang mengenal rasa
terima kasih. Apakah Kakang Agung Sedayu tidak ingat lagi,
ketika Kakang Agung Sedayu baru saja datang di
kademangan ini" Ketika Kakang Sedayu pergi ke warung di
ujung desa" Bukankah hampir setiap orang laki-laki datang
memberi Kakang salam sebagai pernyataan terima kasih
mereka?" Agung sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya,"
namun nada suaranya terlampau dalam. Terkenang olehnya,
betapa ia menjadi cemas dan ketakutan ketika Sidanti datang
mengancamnya. Betapa ia menjadi hampir pingsan
karenanya. "Nah," berkata Sekar Mirah, "sekarang Kakang Agung Sedayu
sebaiknya memanggil Kakang Untara. Kami harus
mengadakan upacara kemenangan."
"Tetapi tidak dalam waktu yang singkat ini. Kini Kakang Untara
masih menghadapi tugas yang cukup berat."
"Bukankah Macan Kepatihan telah mati?"
"Macan Kepatihan memang telah mati. Tetapi masih banyak
persoalan yang harus dihadapi. Yang mati adalah seorang
saja dari sekian banyak pemimpin prajurit Jipang."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Katanya, "Jadi, maksud
Kakang, bahwa suatu ketika di Sangkal Putung masih
mungkin ada pertempuran lagi?"
Agung sedayu menganggukkan kepadanya.
"Oh," wajah Sekar Mirah menjadi buram. "Aku kira kita semua
telah bebas dari segala bentuk peperangan."
"Tetapi bahaya yang sebenarnya telah menjadi jauh lebih kecil
dari masa-masa yang lalu. Namun Kakang Untara kini
menghadapi persoalan yang lain, yang apabila kurang hatihati,
akan dapat berkembang pula menjadi semakin besar."
"Soal apakah itu?"
"Sidanti." Terasa bulu-bulu tengkuk Sekar Mirah menjadi tegak. Nama
itu benar-benar mencemaskannya. Jauh lebih menakutkan
dari Macan Kepatihan. Sebab disadarinya, bahwa Sidanti
berkepentingan langsung dengan dirinya. Karena itu, maka
wajah gadis itupun menjadi bertambah buram. "Apakah
Sidanti cukup berbahaya" Bukankah ia hanya seorang diri?"
Sedayu menyesal, bahwa ia telah menyebut nama itu. Dengan
demikian ia telah membuat hati Sekar Mirah menjadi cemas.
Karena itu maka dijawabnya untuk menenteramkan hati gadis
itu, "Jangan cemas. Sidanti hanya seorang diri. Di Sangkal
Putung, ada beberapa orang yang sanggup melawannya.
Kakang Untara, paman Widura dan kini kakakmu Swandaru
pun tidak lagi dapat ditamparnya tanpa perlawanan."
Dahi Sekar Mirah masih berkerut, katanya, "Tetapi aku dengar
guru Sidanti adalah seorang hantu yang sakti."
"Jangan kau cemaskan pula" sahut Sedayu "guru kakakmu
pun melampaui kesaktian hantu."
Sekar Mirah terdiam. Tetapi wajahnya masih juga
memancarkan kecemasan hatinya.
"Sekarang, di mana ayahmu?" bertanya Agung Sedayu.
"Di dalam. Apakah Kakang Sedayu akan menemuinya?"
"Ya," sahut Sedayu
"Aku tidak mau memanggilkan untukmu."
"Kenapa?" "Tidak apa-apa. Tetapi carilah sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Sekali ini Kakang Untara mempunyai keperluan
yang penting. Aku agak tergesa-gesa."
"Urusanku adalah menyediakan makanan buat kalian. Kalau
kau tergesa-gesa mau makan, makanlah. Aku sudah sedia."
"Tolong, panggil ayahmu."
"Kakang Sedayu setiap kali pasti hanya akan memberikan
beberapa perintah. Sesudah itu pergi lagi. Kau tidak pernah
menyediakan waktu untuk beristirahat untuk berjalan-jalan
menikmati senja di kademangan ini atau melihat-lihat sawah
yang hijau." "Masa ini adalah masa berprihatin, Mirah. Kalau semuanya
telah lampau, maka aku pasti akan berjalan-jalan melihat isi
kademangan ini atau pergi ke sawah, tidak saja untuk melihatlihat,
tetapi aku pandai pula membajak dan menyebar bibit."
"Omong kosong," sahut Sekar Mirah. "Dalam keadaan yang
serupa, Sidanti dapat menyisihkan waktunya untuk itu."
Terasa dada Agung Sedayu berdesir. Wajahnyapun tiba-tiba
berubah. Dan tiba-tiba pula ia menjawab, "Itulah bedanya.
Beda antara Agung Sedayu dan Sidanti. Mungkin Sidanti
dapat menemanimu berjalan-jalan di sepanjang pematang
dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Tetapi Agung
Sedayu tidak." Sekar Mirah terkejut mendengar jawaban itu. Terasa bahwa
kata-katanya telah terdorong terlampau jauh. Karena itu maka
katanya, "Maksudku, bahwa apabila diperlukan waktu itu
dapat diluangkan. Kalau aku menyebut Sidanti, karena Sidanti
ternyata dapat juga menyediakan waktu untuk itu."
"Mudah-mudahan lain kali aku juga bisa," sahut Sedayu.
"Tetapi di mana ayahmu" Aku tergesa-gesa. Mungkin Sidanti
tidak pernah berbuat seperti aku, sebab ia acuh tak acuh saja
mengenai perkembangan dan kemajuan keadaan di Sangkal
Putung." Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Ia tidak menjawab
pertanyaan Agung Sedayu. Tetapi dengan tergesa-gesa ia
melangkah pergi. Tidak masuk ke dalam rumahnya, tetapi
justru keluar regol halaman.
Agung Sedayu sedianya tidak dapat berkata sesuatu. Namun
kemudian ia mencoba memanggil, "Mirah. Mirah."
Sekar Mirah berpaling. Tetapi ia tidak berhenti. Agung Sedayu
hanya mendengar gadis itu berkata, "Aku akan pergi ke
warung di ujung desa."
"Bagaimana dengan Ki Demang ?"
"Masuklah," jawabnya. "Katakanlah sendiri kepadanya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu
memang terlampau manja. Sambil menggelengkan kepalanya
Agung Sedayu berdesis, "Terlalu anak itu."
Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar
suara tertawa berderai. Ketika ia berpaling, dilihatnya
Swandaru berdiri bertolak pinggang di samping pendapa.
Sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Kenapa dengan anak itu?" bertanya Swandaru.
"Tidak apa-apa," sahut Agung Sedayu.
Tetapi suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras.
Katanya, "Kau marah kepadanya?"
"Terlalu adikmu itu," desah Agung Sedayu.
"Begitulah tabiatnya. Jangan kaget," sahut Swandaru.
Agung Sedayu tidak menyahut kata-kata itu, tetapi ia
bertanya, "Dimana Ki Demang?"
"Di dalam, bukankah Sekar Mirah juga menjawab begitu?"
"Ya," sahut Agung Sedayu, "aku ingin bertemu."
"Marilah." Keduanya kemudian menaiki pendapa dan masuk ke
pringgitan. Pringgitan itu sama sekali masih seperti malam
kemarin ketika ia tidur di situ bersama paman dan kakaknya.
Sejenak kemudian Ki Demang pun segera keluar dari ruang
dalam. Sambil tersenyum orang tua itu duduk di samping Agung Sedayu.
"Apakah Angger Untara belum sempat kembali ke
kademangan?" bertanya Ki Demang.
"Belum hari ini, Ki Demang," jawab Sedayu. "Mungkin besok
atau lusa." Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
bertanya pula, "Apakah masih ada hal yang penting di banjar
desa?" "Orang-orang Jipang yang terluka itu Ki Demang."
"Hem," Demang Sangkal Putung itu menarik nafas dalamdalam.
"Angger Untara memang mencari kesulitan dengan
orang-orang Jipang itu. Seperti bujang mencari momongan.
Kenapa tidak dibiarkannya saja orang-orang Jipang itu"
Biarlah kawan-kawannya sendiri yang memelihara mereka.
Dengan demikian pekerjaan Angger Untara tidak menjadi
bertambah-tambah. Kini Angger Untara harus mengawasi
sendiri orang-orang Jipang itu supaya mereka tidak
mengkhianati kita. Tetapi juga supaya mereka tidak dibunuh
oleh prajurit Pajang sendiri."
Sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata, "Kalau
bukan orang Pajang, orang Sangkal Putung-lah yang akan
membunuh mereka." Sedayu terkejut mendengar jawaban Ki Demang Sangkal
Putung, apalagi Swandaru. Ia sama sekali tidak menyangka
bahwa ia akan mendengar jawaban serupa itu. Dahulu pada
saat ia pertama-tama menginjakkan kakinya di kademangan
ini, maka yang mula-mula ditemuinya adalah Ki Demang itu.
Dari mulut Ki Demang ia mendengar, betapa orang tua itu
mengutuk perang dan segala macam akibatnya. Kini tiba-tiba
sikapnya menjadi terlampau keras menghadapi lawan.
Tetapi Agung Sedayu mencoba untuk mengerti dan
memahami jawaban itu. Selama ini Sangkal Putung benarbenar
mengalami tekanan yang luar biasa kerasnya dari orang
Jipang. Hampir setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu
diburu oleh kecemasan, ketakutan dan kegelisahan. Setiap
hari orang-orang Sangkal Putung selalu dibakar oleh
kemarahan yang menyala-nyala di dalam dada mereka. Setiap
anak muda Sangkal Putung setiap hari selalu bersiap sedia
menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang
paling pahit sekalipun. Ki Demang Sangkal Putung adalah seorang Demang yang


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekat sekali dengan hati rakyatnya. Setiap hari ia mendengar
apa yang mereka percakapkan. Setiap hari Ki Demang ikut
merasakan apakah yang mereka cemaskan. Itulah sebabnya,
maka semuanya itu telah merubah sedikit demi sedikit
tanggapan Ki Demang Sangkal Putung atas kekerasan yang
dihadapinya. Setiap hari ia selalu didorong untuk menyadari
bahwa untuk menyelamatkan Sangkal Putung dari kekerasan
orang-orang Jipang, maka Sangkal Putung perlu
mempergunakan kekuatan dan kekerasan.
Sehingga akhirnya, Ki Demang itu terdorong semakin jauh ke
dalam sikapnya yang sekarang. Betapa ia setiap hari menjadi
semakin membenci orang-orang Jipang, sumber dari segala
macam kegelisahan, kecemasan dan ketakutan.
Tetapi Agung Sedayu tidak boleh hanyut pula ke dalam sikap
yang demikian. Ia sejak semula sependapat dengan sikap
kakaknya. Sudah tentu mereka tidak akan dapat membiarkan
orang-orang Jipang yang terluka terbaring di padang-padang
rumput atau di pategalan yang kering sampai mereka mati
dengan sendirinya. Perbuatan yang demikian adalah
perbuatan yang melanggar perikemanusiaan. Sejak ia berada
di Sangkal Putung, para prajurit Pajang selalu bersikap jantan
terhadap lawan-lawan mereka yang terluka. Namun kali ini
agaknya telah menjadi jauh berbeda. Korban yang cukup
banyak di pihak Pajang sendiri, telah mendorong orang-orang
Pajang untuk menjadi bertambah membenci dan mendendam.
Apalagi anak-anak muda dan orang-orang Sangkal Putung.
Mereka setiap saat merasa terancam nyawa dan miliknya.
Meskipun demikian Agung Sedayu tidak berani
menyampaikan persoalan itu kepada Ki Demang. "Biarlah
Kakang Untara sendiri yang mengatakannya," katanya dalam
hati. Sehingga yang terloncat dari bibirnya adalah, "Ki
Demang, Kakang Untara kini tidak dapat meninggalkan banjar
desa. Mungkin sampai besok atau lusa. Tetapi Kakang Untara
sangat ingin bertemu dengan Ki Demang. Apakah Ki Demang
dapat pergi ke banjar desa?"
Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya
mendengar pertanyaan itu. Namun ia menyadari, bahwa
meskipun bagi Sangkal Putung ia adalah seorang pemimpin
tertinggi, tetapi Untara adalah seorang senapati dari Pajang,
yang bahkan mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Widura,
penguasa Pajang di daerah Sangkal Putung. Dalam keadaan
seperti saat itu, di mana Sangkal Putung diliputi oleh suasana
perang, maka kedudukan penguasa prajurit adalah melampui
kekuasaan demang itu sendiri.
Karena itu, maka permintaan Untara itu sebenarnya adalah
perintah baginya, bahwa ia harus datang ke banjar desa.
Ki Demang itupun kemudian menjawab, "Baiklah Ngger. Aku
akan segera datang ke banjar desa, setelah aku
menyelesaikan pekerjaanku di sini. Tetapi apakah kira-kira
keperluan Angger Untara memanggil aku?"
Agung sedayu ragu-ragu sesaat. Tetapi ia tidak berani
mendahului kakaknya. Maka jawabnya, "Aku kurang tahu,
Paman. Tetapi menurut pesan Kakang Untara, Ki Demang
dan Adi Swandaru diharap menemuinya di banjar desa.
"Baiklah," sahut Ki Demang kemudian, "aku akan segera
pergi, setelah aku menyelesaikan beberapa pekerjaan di sini."
Agung Sedayu pun kemudian mohon diri mendahului bersama
Swandaru Geni. Mereka bersama ingin juga bertemu dengan
guru mereka. Mungkin ada rencana yang harus mereka
lakukan hari itu. Di halaman mereka bertemu dengan Sekar Mirah. Gadis itu
sama sekali tidak pergi ke warung. Sehingga karena itu maka
Agung sedayu berkata, "Mirah, ternyata kau tidak pergi ke
warung." Sekar Mirah mencibirkan bibirnya. Jawabnya, "Tidak. Aku
memang tidak ke warung."
"Tetapi kau bilang, bahwa kau akan pergi ke warung."
"Tak ada kawan yang mengantarkan aku," jawabnya.
Swandaru tertawa sampai tubuhnya terguncang-guncang.
Katanya, "Sebaiknya kau berterus terang Mirah. Bukankah
kau ingin Kakang Agung Sedayu mengantarkanmu."
"Siapa bilang" Siapa bilang?" sahut Sekar Mirah cepat-cepat.
Swandaru masih tertawa, katanya seterusnya, "Itupun kau
belum berterus terang. Seharusnya kau berkata kepada
Kakang Agung Sedayu untuk mengantarkanmu berjalan-jalan.
Tidak ke warung atau ke mana saja."
"Bohong! Bohong!" teriak Sekar Mirah.
Swandaru tertawa puas. Tetapi Agung Sedayu berdesis, "Kau
selalu mengada-ada Adi Swandaru."
Tapi Swandaru itupun kemudian terpekik kecil ketika Sekar
Mirah mencubit lengannya.
"Awas kau Kakang Swandaru. Aku tidak mau menyisihkan
brutu ayam untukmu lagi."
"Oh," Swandaru itupun tiba-tiba seperti teringat sesuatu.
Ditariknya lengan Agung Sedayu dengan tergesa-gesa. "Mari
ikut aku." "Kemana?" bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tidak menjawab, tetapi ditariknya saja tangan
Agung Sedayu. "Mau kemana kalian?" bertanya Sekar Mirah.
Swandaru tidak juga menjawab. Bahkan ditariknya Agung
Sedayu semakin cepat. "Kemana?" sekali lagi Agung Sedayu bertanya.
Namun Swandaru masih saja berdiam diri. Tetapi Agung
Sedayu kemudian mengerti dengan sendirinya maksud
Swandaru itu. Mereka berdua ternyata hilang di balik pintu
dapur. "Kau pasti belum makan. Nah, daripada kau menunggu
rangsum dikirim ke banjar desa, ayo, akupun belum makan."
Agung Sedayu menjadi tersipu-sipu ketika ia melihat ibu
Swandaru, Nyai Demang Sangkal Putung. "Marilah Ngger,
makanlah," ia mempersilahkan.
"Jangan malu-malu," desis Swandaru yang segera membuka
tenong. "Di mana brutu ayamku?"
Yang datang kemudian sambil berlari-lari adalah Sekar Mirah.
Masih di pintu ia berteriak, "Jangan ditunjukkan."
Tetapi Sekar Mirah menjadi kecewa, sebab Swandaru telah
menggenggam sepotong brutu goreng.
"Setan," desah Sekar Mirah. "Kau tahu juga tempatnya."
Swandaru tidak menjawab. Tetapi tangannya telah memegang
semangkuk nasi. Dituangkannya seirus sayur ke dalamnya
dan dengan lahapnya ia mulai mengunyah sesuap demi
sesuap. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat seperti Swandaru
yang berada di rumah sendiri. Ia masih saja duduk sambil
mengawasi saudara seperguruannya itu makan. Alangkah
enaknya. Karena itulah maka tubuh Swandaru dapat menjadi
gemuk bulat seperti telur raksasa.
"Silahkan Ngger," ibu Swandaru mempersilahkan. "Mirah,"
katanya kepada anak gadisnya, "kenapa kau tidak segera
mempersilahkan Kakangmu Agung Sedayu makan. Ambillah
mangkok dan layanilah."
Sambil bersungut-sungut Sekar Mirah melakukan perintah
ibunya. Namun dengan sengaja dituangkannya sayur lombok
banyak-banyak ke dalam mangkuk Agung Sedayu. Sehingga
ketika Agung Sedayu mulai mengunyah peluhnya segera
mengalir dari segenap Iubang-lubang kulitnya. "Terlalu benar
Sekar Mirah," katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak
mengucapkan sepatah katapun.
Ketika Swandaru melihat Agung Sedayu kepedasan, maka
kembali suara tertawanya berderai memenuhi dapur.
"Minumlah. Di tlundak itu ada kendi," katanya.
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia tidak segera berdiri.
Demikianlah setelah mereka selesai makan, segera berdiri
pergi ke banjar desa. Ternyata Swandaru tidak terlalu lama
menunggu ayahnya. Sejenak kemudian Ki Demang pun
segera datang pula. Dipersilahkannya mereka berdua memasuki ruangan dalam.
Di dalam ruangan itu telah duduk menunggu Untara, Widura,
Ki Tanu Metir dan kemudian duduk pula bersama mereka,
Agung Sedayu. Sesaat Untara menjadi ragu-ragu untuk mengatakan
maksudnya. Apakah waktunya sudah tepat, apabila Ki
Demang itu diajaknya berbincang-bincang mengenai orangorang
Jipang" Tetapi Untara tidak mempunyai waktu
terlampau lama. Lima hari sejak pembicaraannya dengan
Sumangkar, segalanya harus sudah terlaksana. Semakin
cepat bagi Untara sebenamya semakin baik. Juga bagi
Sumangkar, semakin cepat semakin baik. Apabila Sumangkar
harus menunggu terlampau lama, maka segala kemungkinan
dapat terjadi. Mungkin beberapa bagian dari orang-orangnya
berubah pendirian, mungkin mereka akan mengalami
kekurangan makan dan mungkin Sanakeling dengan orangorang
Ki Tambak Wedi yang mendendam akan datang
menghancurkan mereka. Karena itu, maka dengan sangat hati-hati akhirnya Untara
menyampaikan maksudnya pula.
Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan setiap kata-kata
Untara dengan penuh perhatian. Sekali-sekali ia menganggukanggukkan
kepalanya, namum di saat lain wajahnya tampak
berkerut-kerut. Swandaru yang duduk di samping ayahnya
tiba-tiba menjadi gelisah.
"Jalan itu, bagiku adalah jalan yang sebaik-baiknya, Ki
Demang," berkata Untara itu kemudian, "kecuali sejalan
dengan pesan Ki Ageng Pemanahan, maka cara itu adalah
cara yang paling hemat bagi kami. Korban akan dapat
dibatasi, dan tugas kitapun akan segera selesai."
Yang pertama-tama menjawab adalah Swandaru. "Kakang
Untara, bukankah laskar Jipang itu telah terpecah-belah"
Apalagi sepeninggal Macan Kepatihan, tidak ada orang yang
dapat mengantikan kedudukannya. Bukankah dengan
demikian kita akan lebih mudah menghancurkannya dengan
kekerasan" Mula-mula kita hancurkan laskar Jipang yang
bersembunyi di dalam hutan, kemudian kita datangi
padepokan Ki Tambak Wedi."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sareh ia
menjawab, "Swandaru, kenapa mesti dengan kekerasan?"
"Kita berada di pihak yang kuat Kakang," sahut Swandaru,
"kenapa kita mesti menerima persetujuan itu" Dengan
mengorbankan beberapa kemungkinan yang akan dapat
mengangkat nama Kakang Untara sendiri sebagai seorang
senapati" Dengan menerima persetujuan itu, seolah-olah kita
tidak cukup mampu untuk menghancurkan sisa-sisa laskar
Jipang itu dengan kekerasan."
"Ya," Untara mengulangi, "kenapa mesti dengan kekerasan"
Adi Swandaru, yang penting bagi Pajang adalah penyelesaian
atas peristiwa antara Jipang dan Pajang. Apabila peristiwa ini
dapat diselesaikan dengan tanpa pertumpahan darah maka
kenapa kita mesti mempergunakan kekerasan?"
"Jadi apakah kita harus menyerah saja terhadap orang-orang
Jipang itu?" bertanya Swandaru. "Dengan demikian kita akan
menghindarkan pertumpahan darah."
Untara menggigit bibirnya. Dengan cepat Ki Demang Sangkal
Putung berkata, "Maksudnya Ngger, maksud Swandaru, kalau
perlu kita harus berani mempergunakan kekerasan. Bukankah
korban telah banyak yang jatuh" Di saat-saat terakhir, ketika
kita seakan-akan tinggal menginjak kekuatan mereka di
bawah telapak kaki kita, kita menerima mereka dengan kedua
belah tangan, seolah-olah kita harus melupakan saja apa yang
telah pernah terjadi?"
"Bukan begitu Ki Demang," sahut Untara. Sekilas ia
memandangi wajah pamannya. Namun Widura menundukkan
kepalanya, seolah-olah sengaja ia menghindari tatapan mata
Untara. "Kita tidak membebaskan
mereka dari segenap tanggung jawab," kata
Untara kemudian, "tetapi
kita menerima orangorang Jipang yang akan menyerah. Kita tidak membuat persetujuan apapun, kecuali menerima penyerahan orang-orang Jipang itu. Kita tidak membuat jaminan apapun kepada mereka, kecuali janji untuk memperlakukan mereka seperti seharusnya bagi prajurit-prajurit lawan yang menyerah."
"Mereka tidak pernah berpikir sedemikian baik, Ngger,"
berkata Ki Demang. "Coba, apakah yang telah mereka
lakukan pada saat pertentangan ini meledak" Tanpa
disangka-sangka, maka Sunan Prawata terbunuh. Kemudian
Pangeran Hadiri. Bahkan Adipati Adiwijaya sendiri hampirhampir
terbunuh pula. Sesudah itu ratusan korban
berjatuhan." "Itulah bedanya, Ki Demang," sahut Untara. "Itulah bedanya.
Orang-orang itu berbuat tanpa pengekangan diri, seolah-olah
mereka dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Kita
adalah orang-orang yang beradab. Kita merasa bahwa
perbuatan kita harus kita pertanggungjawabkan. Tidak saja
terhadap sesama manusia, tetapi juga kepada Sumber
kekuatan kita. Tuhan Yang Maha Esa.
"Namun demikian Ki Demang. Mereka yang tidak mau
menyerahkan dirinya dalam kesempatan ini seperti
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan beberapa bagian dari
laskarnya, maka mereka pasti akan kita hancurkan. Hancur
dalam pengertian yang sebenar-benarnya."
Ki Demang Sangkal Putung tidak menjawab. Ketika Untara
melihat wajahnya, Ki Demang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Mudah-mudahan Ki Demang dapat mengerti,"
berkata Untara di dalam hatinya. Namun yang bertanya
kemudian adalah Swandaru. "Lalu bagaimana sikap kita
terhadap mereka yang menyerah" Apakah mereka kita
biarkan saja kembali ke tempat mereka, atau kita biarkan
sekehendak hati mereka, apapun yang akan mereka
lakukan?" "Tentu tidak, Swandaru," sahut Untara. "Mereka berada dalam


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengawasan. Jasmaniah dan rohaniah."
Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing mencoba
memandang persoalan itu menurut segi dan kepentingan
masing-masing. Namun terasa bahwa sebagian besar dari
pendirian Untara dapat dimengerti oleh Ki Demang Sangkal
Putung. Meskipun demikian, masih terdengar Swandaru berdesis, "Kita
terlampau baik hati. Mereka suatu ketika akan menelan kita
kembali." "Para perwira Wira Tamtama akan memperhitungkan
persoalan itu Swandaru," sahut Untara. "Mudah-mudahan hal
itu tidak akan sempat terjadi."
Kembali mereka yang duduk di ruangan itu terdiam. Kiai
Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa berkata
sepatah katapun. Sekali-sekali orang tua itu memandang
wajah Widura, namun pemimpin prajurit Pajang di Sangkal
Putung itu masih menundukkan kepalanya. Berbagai
persoalan berkecamuk di dalam kepalanya. Meskipun
kemudian ia sependapat dengan Untara, bahwa apa yang
dilakukan itu setidak-tidaknya akan mengurangi pekerjaannya,
namun telah terbayang di dalam angan-angannya, suatu
pekerjaan baru yang tidak kalah pentingnya. Ki Tambak wedi,
Sidanti, Sanakeling dan laskarnya.
Kemudian, ketika tidak ada persoalan yang dibicarakan lagi
mengenai dasar-dasar penyerahan orang-orang Jipang itu,
maka sampailah mereka pada perjalan pelaksanaan dari
penyerahan. Meskipun Ki Demang pada dasarnya dapat
mengerti pikiran Untara, namun bagaimanapun juga ia masih
dihinggapi oleh berbagai keragu-raguan. Karena itu maka ia
berkata, "Angger Untara. Aku tidak berkeberatan Sangkal
Putung menjadi tempat menerima orang-orang Jipang itu,
tetapi tidak di induk Kademangan. Aku tidak dapat
membayangkan, apakah rakyatku akan dapat menahan
luapan perasaannya melihat orang-orang Jipang yang mereka
anggap sumber dari segala macam bencana. Karena itu, aku
minta agar Angger menerima orang-orang Jipang itu tidak di
induk Kademangan ini. Aku menyediakan sabuah desa kecil.
Benda, yang barangkali tepat untuk melakukan penerimaan
orang-orang Jipang itu."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali ia
mengheIa nafas dalam-dalam. Namun iapun dapat mengerti
keberatan Ki Demang Sangkal Putung. Bagaimanapun juga,
Ki Demang masih dibayangi oleh kecemasannya menghadapi
orang-orang Jipang. Mungkin Ki Demng masih
mencemaskannya, apabila orang-orang Jipang itu tiba-tiba
mengamuk di induk Kademangan.
Karena itu maka segera Untara menjawab, "Terima kasih
Paman Demang. Di manapun juga, maka pelaksanaan itu
dapat dilakukan. Namun aku masih ingin mengajukan
parmintaan lain. Aku ingin meminjam satu atau dua buah
rumah untuk menampung orang-orang Jipang itu sebelum
mereka dibawa ke Pajang."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya,
"Baiklah Ngger. Aku akan menyediakan. Di Benda hanya ada
beberapa rumah yang agak besar. Dalam saat-saat
penyerahan itu, penduduk Benda akan aku singkirkan ke
Kademangan ini lebih dahulu."
Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Terima kasih Ki Demang. Kita tinggal menunggu pelaksanaan
dari hari penyerahan itu. Mudah-mudahan dapat berjalan
dengan lancar dan orang-orang Jipang itu menyadari
keadaannya dengan jujur."
Sejak hari maka berita tentang penyerahan orang-orang
Jipang itu segera tersebar di seluruh Kademangan. Sebagian
besar dari orang-orang Sangkal Putung kecewa mendengar
sikap Untara yang menerima orang-orang Jipang itu. Kenapa
Untara tidak mengerahkan saja segenap kekuatan di Sangkal
Putung untuk menghancur-lumatkan mereka di sarang
mereka" Tetapi tidak seorang pun yang berani
mempersoalkannya dengan terang-terangan. Mereka hanya
memperbincangkannya di gardu-gardu dan di perempatanperempatan
jalan apabila mereka duduk di sore hari
menjelangg senja. Apalagi ketika mereka mendengar, bahwa
Demng mereka, dan pimpinan laskar Sangkal Putung,
Swandaru Geni, telah menyetujuinya pula.
Demikianlah dari hari ke hari, rakyat Sangkal Putung menjadi
semakin tegang. Mereka masih belum dapat melupakan.
bagaimana Sanakeling mendekati induk Kademangan
meraka, dan bagaimana orang-orang Jipang itu setiap hari
membuat hati mereka menjadi cemas. Sehingga tanpa
disengaja, semakin dekat dengan hari penyerahan itu maka
setiap anak muda di Sangkal Putung telah mempersiapkan
dirinya pula, seperti apabila mereka harus menghadapi
sergapan Macan Kepatihan beberapa waktu yang lalu. Hampir
setiap anak muda tidak melepaskan pedang dari lambung
mereka. Hampir setiap malam gardu-gardu menjadi kian
penuh. Dan lima hari itu adalah hari-hari yang tegang.
Dalam pada itu Kiai Gringsing telah mendatangi Sumangkar di
dalam sarangnya sebagai utusan Untara untuk menjelaskan
pelaksanaan daripada penyerahan itu. Sementara itu utusan
Untara ke Pajang pun telah kembali pula ke Sangkal Putung.
"Bagaimana dengan pesanku?" bertanya Untara.
"Telah diterima langsung oleh Ki Ageng Pemanahan," sahut
utusannya. "Apa perintahnya?"
"Tak ada perintah. Beliau sependapat dengan pesan Ki
Untara." "Bagus." Di malam menjelang hari penyerahan, Sangkal Putung benarbenar
menjadi tegang. Untara juga tidak melengahkan diri. Ia
masih juga menyiapkan pasukannya di sisi yang berhadapan
dengan desa Benda. Bahkan beberapa gardu di ujung desa
kecil itupun telah diisi dengan beberapa prajurit pilihan dan
penghubung-penghubung berkuda. Bahkan tanda-tanda
bahayapun telah siap pula, apabila terjadi sesuatu yang tidak
diharapkan. Namun anak-anak muda Sangkal Putung-lah
yang membuat persiapan yang luar hiasa. Mereka berada di
sisi prajurit Pajang yang berada pada garis yang berhadapan
dengan desa Benda. Malam itu Untara tampak sibuk pula mengawasi keadaan
dibantu oleh Widura, Agung Sedayu, dan beberapa orang
lainnya. Hudaya yang masih belum sembuh dari lukanya,
tampaknya kurang gairah menghadapi keadaan. Tetapi ia
adalah seorang prajurit yang patuh sehingga setelah kejutan
perasaannya mereda, maka apapun yang diperintahkan
kepadanya, dilakukannya dengan sebaik-baiknya.
"Jadi kau sengaja menunggu sampai besok?" bertanya Widura
kepada Untara. "Ya. Aku tidak memberitahukannya kepada siapapun juga
kecuali kepada Paman. Kiai Gringsing pun tidak, apalagi Ki
Demang Sangkal Putung dan Agung Sedayu."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
tersenyum sambil berkata, "Kau akan membuat sebuah
lelucon yang baik Untara."
Malam menjelang hari yang ditentukan semuanya telah
dipersiapkan dengan baik. Besok orang-orang Jipang di
bawah pimpinan Sumangkar akan memasuki desa Benda
tanpa bersenjata. Mereka akan meletakkan senjata mereka di
luar desa itu. dan prajurit Pajang-lah kemudian yang akan
mengambil senjata-senjata itu.
Besok pada tengah hari, tepat ketika matahari mencapai
puncaknya, maka beberapa orang dari prajurit Pajang akan
memungut senjata-senjata itu dan Untara beserta Widura
diikuti oleh beberapa orang prajurit yang lain akan memasuki
Benda pula, menerima orang-orang Jipang itu. Seterusnya,
orang-orang Jipang akan ditempatkan di rumah-rumah yang
telah disediakn di bawah pengawasan yang kuat dari para
prajurit Pajang. Mengawasi supaya orang-orang Jipang itu
tidak ingkar, tetapi juga mengawasi agar keamanan mereka
tidak terganggu. Seterusnya maka orang-orang Jipang itu akan dibawa ke
Pajang sebagai tawanan yang akan diadili oleh para penjabat
di Pajang. Ternyata malam itu, bukan saja Sangkal Putung yang
mengalami ketegangan. Perkemahan Sumangkar pun
dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Beberapa
orang menjadi ragu-ragu kembali. Apakah besok, setelah
mereka menyerahkan senjata mereka, orang-orang Pajang
tidak akan mencincang mereka satu demi satu" Apakah besok
benar-benar orang Pajang memegang janjinya, membawa
mereka ke Pajang dan mengadili mereka dengan baik
menurut ketentuan yang seharusnya berlaku" Apakah mereka
kemudian tanpa persoalan tidak saja digantung, di sepanjang
jalan-jalan kota dan dipertontonkan kepada rakyat Pajang,
sebagai orang-orang yang telah berkhianat terhadap Demak,
terhadap keturunan Sultan Trenggana.
Dengam sareh dan telaten Sumangkar mencoba memberi
mereka beberapa petunjuk hal-hal yang dapat meringankan
beban perasaan mereka. "Kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan
selama ini sama sekali tidak akan berarti. Kalian hanyalah
merupakan orang-orang yang berputus asa, karena kalian
telah kehilangan kemungkinan yang paling lemah sekalipun
untuk mendapatkan kemenangan. Kemenangan dalam arti
mencapai tujuan. Bukan kemenangan-kemenangan kecil,
merampas harta kekayaan di pedesan, mengusir beberapa
orang yang mencoba menentang kalian atau perbuatanperbuatan
tak berarti lainnya. "Namun yang paling penting, kalian harus menyadari, bahwa
apa yang telah kalian lakukan sejak semula adalah salah.
Kalian mencoba menentang kekuasaan Demak. Ini tidak
benar. Dan ini adalah sumber bencana yang menimpa kalian."
Beberapa orana menjadi semakin yakin akan kebenaran sikap
mereka. Namun beberapa orang masih juga ragu-ragu.
"Ingat," berkata Sumangkar, "kalian tidak boleh menyesal atau
menyerah karena kalian telah merasa gagal. Maka itu,
seterusnya kalian masih tetap merasa bahwa pendirian kalian
itu benar. Tidak! Yang harus kalian sadari adalah apa yang
kalian lakukan, apa yang kalian cita-citakan, itulah yang salah.
Sehingga apabila kalian mendapatkan kemenangan dalam
peperangan ini, maka kalian tidak berada di dalam kebenaran
dan kalianpun masih harus tetap menyadari, bahwa kalian
bersalah. Apalagi dalam keadaan kalian sekarang ini.
"Apabila kalian menang, maka yang kalian anggap kebenaran
adalah kekuasaan kalian. Kekuasaan yang kalian dapatkan
dari kemenangan itu. Bukan hakekat dari kebenaran. Sebab
kalian telah menumbangkan kekuasaan Demak yang tersalur
menurut ketentuan kepada Pajang, sepeninggal saudarasaudaranya."
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka
bertambah yakin dan mantap akan keputusan mereka.
Setelah sekian lama mereka terjerumus dalam pertentangan
yang panjang karena ketamakan mereka akan kekuasaan.
Maka seakan-akan kini mereka menemukan jalan kembali,
meskipun akibat dari kesalahan itu masih harus
dipertanggungjawabkan. Namun mereka akan mendapatkan
batas waktu yang tertentu. Mungkin mereka harus melakukan
kerja paksa yang keras beberapa tahun lamanya, mungkin
mereka akan disisihkan ke tempat-tempat yang masih harus
dibuka. Tetapi keluarga mereka tidak lagi merupakan keluarga
buruan yang disirik oleh masyrakat karena suaminya
melakukan perlawanan terhadap pemerintahan.
Namun masih terasa di dalam perkemahan itu, ketegangan
yang seakan-akan hampir meledak. Beberapa orang benarbenar
menjadi bimbang. Mereka menyesal, kenapa mereka
tidak ikut saja bersama-sama dengan Sanakeling dan Ki
Tambak Wedi. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa
Sumangkar hanyalah seorang juru masak yang malas. Satu
dua kali Sumangkar membuat mereka menjadi heran, orang
tua itu mampu menangkis serangan gelang-gelang Ki Tambak
Wedi. Tetapi apakah itu bukan hanya sekedar kebetulan" Dan
apakah cerita tentang Sumangkar yang berhasil mengusir
Tambak Wedi tidak hanya sekedar cerita di dalam mimpi
Tundun dan Bajang, yang sengaja dibuat-buat untuk
meyakinkan mereka. Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba timbullah keinginan mereka
untuk membuktikannya. Apakah benar-benar Sumangkar
dapat mempertanggungjawabkan mereka nanti, apakah
Sumangkar itu hanya sekedar seorang yang hanya mampu
membual, atau bahkan Sumangkar adalah orang yang
sengaja dipasang oleh orang Pajang di dalam lingkungan
mereka. Demikianlah tiba-tiba dua orang di antara mereka segera
memasuki gubug pimpinan yang kini ditempati oleh
Sumangkar. Dengan wajah yang bengis salah seorang dari
kedua orang itu membentak, "Sumangkar, sebelum terjadi
penyembelihan besar-besaran besok, maka beruntunglah
hahwa aku menyadari kesalahan yang kau lakukan. Kau
besok akan membawa kami ke dalam neraka yang paling
mengerikan. Dan kau pasti akan puas melihat mayat-mayat
kami tergantung di pohon-pohon atau bahkan di jalan-jalan
dalam kota Pajang. Nah, sekarang kau sebagai sumber dari
bencana ini harus bertanggung jawab. Kau harus
mengurungkan penyerahan yang akan terjadi besok. Kau
harus minta maaf di hadapan kami semua, dan kau pula yang
harus mempersatukan kami kembali dengam Kakang
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan bahkan dengan Ki
Tambak Wedi." Sumangkar memandangi kedua orang itu dengan wajah yang
muram. Seperti wajah seora ayah yang melihat kabengalan
anak-anaknya. Dengan sareh ia berkata, "Jangan salah
mengerti. Kalau besok terjadi penyembelihan besar-besaran di
antara kita, maka akulah orang yang pertama-tama akan
disembelih." Orang yang lain tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban
itu. Katanya, "Sekarang kalimat itu dapat kau ucapkan. Tetapi
besok ketika kami telah diikat dan meninggalkan senjata kami,
maka kau akan memberi perintah kepada kami satu demi satu
untuk maju ke tiang gantungan. Atau untuk menundukkan
kepala-kepala kami di atas landasan sepotong kayu atau


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tunggak pepohonan. Kapak-kapak orang Pajang atau pedangpedang
mereka besok akan menebas leher kami sehingga
kepala kami akan terpotong dari tubuh kami."
"Sebuah gambaran yang mengerikan," desis Sumangkar.
"Bukankah demikian yang selalu dilakukan oleh orang-orang
Pajang" Apakah kau balum pernah mendengar, bagaimana
tubuh Plasa Ireng pada saat matinya" Tubuh itu tergores
pedang lintang melintang. Hampir tak ada bedanya dengan
tubuh yang dicincang-cincang. Dan bukankah kau sendiri yang
membawa tubuh Raden Tohpati yang terluka arang kranjang?"
"Kau tahu siapakah yang mencincang Plasa Ireng?"
"Pasti," sahut salah seorang daripadanya. "Orang Pajang."
"Namanya?" Bertanya Sumangkar pula.
"Sidanti." "Kau tahu, siapakah Sidanti itu?"
Tiba-tiba kedua orang itu terdiam.
"Nah, apakah kalian ingin bersama-sama dengan Sanakeling
bergabung dengan Sidanti, supaya kalian menjadi semakin
pandai mencincang?" Kedua orang itu masih terdiam.
"Pertimbangkanlah baik-baik," berkata Sumangkar, "kalau kau
percaya kepadaku. Aku melihat dengan mata kepala sendiri,
orang-orang Pajang memelihara baik-baik orang-orang kita
yang terluka di peperangan. Apakah kita sendiri sempat
berbuat demikian terhadap kawan-kawan sendiri, apalagi
lawan kita?" Kedua orang itu semakin terdiam. Tetapi mereka masih belum
melepaskan keragu-raguan mereka. Namun dengan penuh
kesabaran Sumangkar mencoba menjelaskan kalimat demi
kalimat. Gambaran demi gambaran, sehingga kedua orang
itupun kemudian menundukkan kepala-kepala mereka sambil
bergumam, "Aku dapat mengerti Kiai, tetapi aku masih tetap
dicengkam oleh keraguan itu."
"Mudah-mudahan aku akan dapat menjadi jaminan. Kalau
besok orang-orang Pajang mengingkari janjinya, maka aku
akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan."
Wajah kedua orang itu masih tetap memancarkan keraguraguannya.
Sehingga Sumangkar berkata, "Mungkin kau
curiga kepadaku. Mungkin kau menyangka aku adalah orang
Pajang yang menyusup ke dalam Laskar Jipang. Kalau
demikian, aku tidak perlu ribut-ribut menyelenggarakan
penyerahan. Aku Dapat membunuh kalian malam tadi, atau
malam nanti dengan memberi kesempatan prajunit Pajang
menyergap perkemahan ini. Tetapi itu tidak terjadi."
Kedua orang Jipang itu masih saja terbungkam. Dan
Sumangkar pun berkata terus seperti orang ayah menasehati
anak-anaknya. "Memang permusuhan selalu menumbuhkan
prasangka di kedua belah pihak. Meskipun kedua belah pihak
ingin menghentikannya dengan jujur, namun pertimbanganpertimbangan
yang timbul kemudian kadang-kadang amat
meragukan. Masing-masing mencurigai pihak yang lain.
Malam ini aku kira bukan saja kalian berdua yang menjadi
ragu-ragu. Aku kira beberapa orang Pajang pun menjadi raguTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
ragu. Pasti ada di antara mereka yang menyangka bahwa apa
yang kita lakukan tidak lebih dari suatu cara untuk memasuki
Sangkal Putung dengan cara yang licik. Kita besok pasti akan
dijemput dengan pasukan segelar sepapan lengkap dengan
segala macam bentuk senjata. Apabila demikian, kalian
jangan terkejut. Itu bukanlah sikap yang bermusuhan. Namun
itu adalah suatu sikap curiga. Permusuhan yang telah tumbuh
ini, tidak akan segera hilang tanpa bekas. Setiap persoalan
yang kecil yang timbul di antara kalian dan orang Pajang
kelak, pasti segera akan mengungkat kembali permusuhan ini.
Kalau ada salah seorang saja dari orang-orang Jipang yang
berbuat curang, maka segera kebencian orang Pajang yang
akan bertambah. Sebaliknya kalau ada seorang Pajang yang
berbuat sewenang-wenang atas kalian, maka kalian pasti
akan berkata bahwa orang Pajang telah mengingkari janjinya
dan berbuat sewenang-wenang. Sehingga dengan demikian,
keinginan-keinginan yang jujur akan tenggelam dalam nodanoda
yang kelam. Namun yakinlah, yakinlah pada tujuan yang
baik. Yakinlah bahwa kalian telah kembali, bukan saja dalam
bentuk duniawi, bukan saja dalam bentuk jasmaniah, tetapi
yang penting adalah nilai-nilai rohaniah. Apapun yang kalian
alami secara badaniah, maka apabila kalian hayati dengan
kesadaran atas nilai-nilai rohaniah, maka kalian akan
menemukan ketenteraman, kalian akan menemukan hiburan
dari nilai-nilai rohaniah itu. Sebenarnyalah bahwa dalam
bertaubat, kalian akan mendapat pengampunan. Meskipun
tangan kalian telah berlumuran darah tetapi pintu
pengampunan tertingi tidak pernah akan ditutup apabila kita
bersungguh-sungguh mohon kepada Tuhan untuk
mendapatkannya. Bersungguh-sungguh, tekad dan
perbuatan." Kedua prajurit itu semakin tertunduk. Kata-kata itu menyusup
ke dalam hati mereka, sehingga mereka menjadi yakin atas
tujuan penyerahan mereka besok. Salah seorang dari kedua
prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
bergumam, "Terima kasih Kiai." Dan di dalam hatinya ia
berkata, "Alangkah benarnya kata-kata Kiai Sumangkar. Apa
yang akan aku alami secara badaniah pasti tidak akan banyak
berarti dibandingkan dengan nilai-nilai rohaniahnya."
Ketika kedua orang itu kemudian kembali ke gubugnya, gubug
yang hanya tinggal semalam itu didiami, mereka segera tidur
mendekur. Mereka sudah tidak menjadi gelisah lagi, karena
keragu-raguan mereka, sebab mereka telah menemukan
hakekat dari penyerahan mereka kepada orangorang Pajang. Bukan secara badaniah, tetapi secara rohaniah, mereka menyongsong suatu kehidupan baru. Hati mereka yang pepat kelam, kini seakan-akan telah terbuka. Dari celahcelahnya
seakan-akan mereka berdua dapat melihat, apa yang telah pernah terjadi dan apa yang
akan dilakukannya. Sumangkar sendiri kemudian mencoba berbaring di pembaringannya. Tetapi tidak
seperti kedua orang Jipang yang baru datang kepadanya,
yang segera dapat tidur mendekur karena perasaannya telah
tidak terganggu lagi oleh berbagai kegelisahan.
Tetapi Sumangkar adalah orang yang bertangguhg jawab
akan terselenggaranya penyerahan besok.
Meskipun demikian, apa yang dikatakannya kepada kedua
peajurit itu telah sedikit menenteramkan hatinya sendiri pula.
Kata-kata dan nasehat itu sebagian telah menjernihkan
kesadarannya, sehingga Sumangkar sendiri menjadi semakin
yakin akan kebenaran sikapnya.
Ketika angin malam manembus lubang-lubang dinding
gubugnya, terdengar di kejauhan jerit anjing-anjing liar berebut
mangsa. Tiba-tiba tanpa disengaja, kenangannya meluncur
kepada Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan kawankawannya.
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam sambil
bergumam lirih, "Kasihan Sanakeling. Seperti anjing-anjing liar
itu, mereka bersama-sama berangkat dari satu sarang,
bersama-sama mengejar mangsanya, bersama-sama
menyerang dan membinasakan. Tetapi kemudian mereka
saling membunuh di antara sesama apabila mereka sudah
berebut hasil buruannya itu."
Dan suara anjing-anjing liar itu semakin lama menjadi semakin
riuh, sehingga Sumangkar menjadi semakin tidak mungkin lagi
dapat memejamkan matanya.
Orang tua itupun kemudian bangkit dari pembaringannya,
berjalan ke luar dan mengitari halaman. Ia masih melihat
beberapa orang prajurit berjaga-jaga untuk yang terakhir
kalinya di sudut-sudut perkemahan.
Sekali-sekali Sumangkar mendekati mereka sambil berkata,
"Besok kau akan bebas dari pekerjaan semacam ini."
Orang itu menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka
menjawab, "Kiai, rasa-rasanya kami akan memasuki sebuah
goa yang maha gelap."
"Kenapa?" bertanya Sumangkar.
"Kami tidak tahu, apa yang berada di dalamnya. Apakah kami
akan sampai ke dalam istana yang indah ataukah kami akan
terjerumus kedalam neraka yang paling laknat."
Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya. Ia dapat
mengerti sepenuhnya kata-kata itu. Bahkan secara jujur
hatinya sendiri kadang-kadang berkata demikian juga. Tetapi
ia percaya kepada Untara, percaya kepada Kiai Gringsing dan
percaya kepada kewibawaan Widura atas anak buahnya,
sehingga besok tidak akan terjadi hal-hal yang dapat
mengganggu pelaksanaan penyerahan yang menjadi
tanggung jawabnya. Sebaliknya ia mengharap bahwa orangorang
Jipang sendiri akan dapat membantu terlaksananya
penyerahan itu dengan sebaik-baiknya.
Akhirnya Sumangkar itupun menjawab, "Jangan ragu-ragu
Ngger. Mudah-mudahan pilihan kita ini benar. Telah sekian
lama kita terjerumus dalam kesalahan."
"Tetapi ketika kita sedang mulai, bukankah Kiai turut pula
beserta kita?" "Karena itulah, maka marilah kita mengucap sukur Ngger.
Mengucap sukur bahwa akal kita dapat berkembang. Seperti
anak-anak yang dengan serta merta menggenggam bara,
maka kemudian anak-anak itu dapat mengerti bahwa ternyata
ia telah berbuat suatu kesalahan. Demikian pula aku Ngger.
Mudah-mudahan demikian pula kalian menemukannya seperti
aku menemukan kesadaran itu."
Para penjaga itupun mengangguk-angukkan kepala mereka.
Dan Sumangkar pun kemudian berjalan meninggalkan orang
itu, berjalan dari satu sudut ke sudut yang lain, sehingga
kemudian ia menjadi penat. Akhirnya ia berbaring tidak di
dalam gubugnya, tetapi di samping gardu di ujung halaman
perkemahannya. Sesaat kemudian angin yang silir telah
membelainya, seperti tangan seorang ibu membelai anaknya
tersayang. Sumangkar yang tua itu kemudian tertidur dengan
nyenyaknya. Besok ia akan melakukan kewajiban yang berat
dan berbahaya. Ketika ayam jantan berkokok di pagi-pagi buta, orang-orang di
Sangkal Putung telah menjadi sibuk. Beberapa orang
bergegas-gegas pergi ke kademangan. Seakan-akan pergi
mengungsi. Mereka cemas mendengar banyak desas-desus
yang bersimpang-siur, seolah-olah orang-orang Jipang yang
ingin menyerahkan diri itu hanya sekedar suatu cara untuk
mengelabuhi kesiap-siagaan orang-orang Sangkal Putung.
Anak-anak muda Sangkal Putung telah siap menyandang
senjata masing-masing, sedang para prajurit Pajang pun telah
bersiaga sepenuhnya. Hari ini adalah hari yang sangat tegang
bagi Sangkal Putung. Seperti hari-hari di mana Tohpati akan
datang menyergap kampung halaman mereka.
"Seandainya orang-orang Jipang itu benar-benar menyerah
sekalipun, siapa yang harus memberi mereka makan" Kami
juga, orang-orang Sangkal Putung," gerutu salah seorang
anak muda Sangkal Putung.
Tetapi ia terkejut ketika didengarnya jawaban sareh. "Memberi
makan mereka adalah jauh lebih baik daripada kampung
halaman ini dijarah-rayah. Lumbung-lumbung padi dibakar dan
rumah-rumah dijadikan karang abang. Bukankah begitu?"
Ketika anak-anak muda itu berpaling dilihatnya Agung Sedayu
berdiri di belakang mereka. Dengan serta merta mereka
segera mengangguk sambil membetulkan kata-katanya. "Ya.
Ya Tuan. Memang lebih baik demikian. Lumbung-lumbung
padi kami agaknya masih cukup sampai musim menuai yang
akan datang." Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Bukankah dengan
penyelesaian yang bagaimanapun bentuknya asal tidak
mengorbankan hak-hak sendiri, jauh lebih baik daripada harus
bertempur dan berjaga-jaga setiap hari" Sawah-sawah yang
bera selama ini karena gangguan keamanan segera dapat
ditanami. Saluran-saluran air dapat segera diperbaiki. Bukan
begitu?" "Ya, ya tentu Tuan. Tentu," sahut mereka tergagap.
Sekali lagi Agung Sedayu tersenyum sambil berjalan ke dalam
halaman banjar desa. Namun sepeninggal Agung Sedayu
anak-anak muda sangkal putung itu memberengut sambil
berkata, "Anak itu bukan anak Sangkal Putung."
"Aku membenarkan kata-katanya."
Tetapi seorang yang lebih dewasa daripada anak-anak itu
berkata, "Aku membenarkan kata-katanya."
Anak-anak muda itu memandangi kawannya sambil bertanya,
"Kenapa kau membenarkannya?"
"Apakah kau tahu yang dikatakan oleh Agung Sedayu?"
bertanya kawannya yang yang lebih dewasa berpikir itu.
"Tentu." "Coba katakan maksud kata-katanya."
"Bukankah ia mengatakan bahwa lumbung-lumbung kami
masih penuh dengan padi dan sawah-sawah kami masih
dapat ditanami" Tetapi apakah kami tidak memerlukannya
sendiri" Berapa banyak beras yang sudah kami berikan
kepada orang-orang Pajang yang berada di sini, sekarang
ditambah lagi dengan orang-orang Jipang yang selama ini
membuat bencana di kampung halaman kami."
Kawannya itu tertawa. Katanya, "Ternyata kau tidak
mendengarkannya, tetapi kau sudah tergesa-gesa
mengangguk dalam-dalam sambil membenarkan kata-kata
Agung Sedayu itu." "Kenapa?" bertanya anak muda itu sambil tersipu-sipu.
"Dengarkan, aku akan mencoba mengulangi," berkata
kawannya. "Agung Sedayu itu berkata bahwa lebih baik
memberi makan orang-orang Jipang itu daripada tidak sempat
menanami sawah dan ladang. Bukankah sawah-sawah dan
ladang kita banyak yang bera tidak dapat ditanami karena kita
ketakutan" Sawah-sawah kita yang jauh dari induk desa ini
dan ladang-ladang kita di ujung-ujung desa terpencil" Saluransaluran
air menjadi kering, karena kita tidak sempat


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperbaikinya. Nah, kalau kita sudah tidak berkelahi lagi,
maka semua itu akan dapat kita lakukan dengan baik.
Hasilnya, dibandingkan dengan beras yang akan kita berikan
untuk memberi orang-orang Jipang itu makan, masih cukup
banyak. Bukankah begitu?"
Anak muda itu merenung. Sekali-sekali mengangguk-angguk,
namun kemudian ia tidak mau kalah. "Tetapi berapa nilai dari
kawan-kawan kami yang terbunuh di peperangan?"
"Itu adalah banten. Tawur bagi kesejahteraan kampung
halaman." Anak muda itu terdiam. Kawan-kawannya yang lainpun
terdiam pula. Ada sedikit pengertian di otaknya, namun
hatinya tetap meronta. Sehingga sulitlah bagi anak muda itu
untuk mendamaikan hati dan otaknya sendiri.
Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lagi. Semakin pagi
semakin banyak anak-anak muda yang berdatangan di banjar
desa. Mereka telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap
kemungkinan. Prajurit-prajurit Pajang pun telah bersiaga pula. Mereka benarbenar
dalam kesiap-siagaan tertinggi. Bahkan Widura telah
memerintahkan untuk menyiapkan rontek di Banjar desa.
Umbul-umbul dan panji-panji pun dipersiapkannya pula. Pusat
pimpinan prajurit Pajang kini dengan serta merta telah
berpindah dari kademangan ke banjar desa.
Ki Demang sendiri tidak mengerti kenapa demikian. Kenapa
tiba-tiba rontek dan segala macam tanda kebesaran telah
dipasang di banjar desa. Bahkan kemudian Widura
Balada Padang Pasir 10 Animorphs - Alternamorphs 2 The Next Passage Tongkat Dewa Badai 2

Cari Blog Ini