01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 21
memberikan perintah kepada prajuritnya untuk bersiap di alunalun
di hadapan banjar desa itu, tidak di halaman banjar desa.
Beberapa orang menjadi heran. Kenapa halaman banjar desa
itu sengaja dikosongkan" Juga anak-anak muda Sangkal
Putung diminta untuk berkumpul di luar halaman Banjar desa.
"Kenapa kita harus keluar dari banjar desa?" bertanya salah
seorang kepada sesama mereka.
Kawannya menggelengkan kepalanya. "Entahlah."
"Bukankah banjar desa itu kita punya?"
"Ya. Tetapi Ki Demang sendiri tidak berbuat apa-apa.
Swandaru pun berdiam diri saja."
Merekapun terdiam pula. Tetapi pertanyaan itu melingkarlingkar
di kepalanya. Apalagi ketika kemudian mereka melihat beberapa prajurit
Pajang berkuda, berpacu sepanjang jalan kademangan
mereka seperti mengejar hantu. Anak-anak muda itu menjadi
semakin heran. Ketika matahari telah menjenguk dari punggung bukit, maka
Kademangan Sangkal Putung itupun menjadi cerah. Ujungujung
rontek, umbul-umbul dan panji-panji seakan-akan
menjadi kian cemerlang dipanasi oleh sinar matahari pagi.
Dalam belaian angin yang lembut panji-panji dan umbul-umbul
itu bergetar perlahan-lahan, seperti anak-anak yang
melambaikan tangannya menyambut kedatangan ibunya.
Banjar Desa Sangkal Putung, pagi itu benar-benar
memancarkan kesegaran dan kebesaran meskipun terbatas
dalam kademangan yang kecil namun subur dan makmur itu.
Bahkan kemudian beberapa orang bertanya-tanya, "Apakah di
sini nanti Untara akan menerima orang-orang Jipang di Benda
tengah hari nanti?" "Tidak," jawab yang lain. "Ki Demang telah menentukan,
bahwa Untara akan menerima orang-orang Jipang di Benda,
tengah hari nanti." "Lalu untuk apa banjar desa di rengga-rengga dengan segala
macam rontek dan umbul-umbul?"
Kawannya mengeleng. Perlahan-lahan ia menggeser
mendekati seorang prajurit Pajang yang berdiri di alun-alun itu
pula. "Untuk apa rontek dan umbul-umbul bahkan panji-panji
itu?" Prajurit Pajang itu menggelengkan kepalanya sambil
menjawab, "Aku tidak tahu."
"Apakah itu suatu kehormatan bagi orang-orang Jipang?"
Mata prajurit itu terbelalak, katanya, "Pasti tidak. Kami sendiri
tidak pernah mendapat sambutan dengan tanda-tanda
kebesaran itu. Apalagi orang-orang Jipang yang sudah
sekarat." Anak muda itu menganguk-anggukkan kepalanya. Katanya di
dalam hati, "Prajurit Pajang sendiri agaknya tidak senang
melihat penyerahan orang-orang Jipang itu. Mungkin mereka
lebih senang membinasakannya di medan-medan
peperangan." Tetapi ternyata kemudian Untara sendiri tidak dapat
merahasiakan teka-teki itu kepada para pemimpin
kelompoknya. Beberapa orang dipanggilnya, dan
diberitahukan kepada mereka apa yang harus dilakukan.
Beberapa orang di antaranya menarik nafas dalam-dalam.
"Oh," katanya di dalam hati. "Aku sudah berdebar-debar."
Untara tersenyum melihat sikap beberapa orang pembantupembantu
Widura itu. Katanya, "Kalian tidak usah berdebardebar.
Aku ingin mengejutkan Ki Demang Sangkal Putung."
"Bukan saja Ki Demang," sahut Hudaya. "Aku juga terkejut.
Tetapi apakah maksud Angger Untara hanya supaya Ki
Demang terkejut?" "Ya." "Tidak ada maksud lain?"
"Maksud lain tidak terkandung dalam persoalan yang kau
dengar ini." Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
bertanya kembali, "Ya. Dalam hal tidak diberitahukan, mungkin
Angger Untara hanya akan membuatnya terkejut. Tetapi
maksud kedatangannya kemari?"
"Tentu," jawab Untara, "kau telah dapat merabanya sendiri."
Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata
apa pun lagi. "Beberapa orang telah aku perintahkan untuk
menyongsongnya dan membawanya ke banjar desa ini,"
berkata Untara pula. "Menurut ketentuan mereka akan datang
pagi-pagi." "Mereka berangkat tengah malam," sela Widura.
"Ya, mereka berangkat tengah malam," sahut Untara.
Sesaat mereka kemudian terdiam. Beberapa orang masih juga
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hari ini akan menjadi
hari yang penting bagi Sangkal Putung. Bahkan hari yang tak
akan dapat dilupakan oleh anak-anak mudanya. Peristiwa
demi peristiwa akan berpuncak di hari ini. Namun apa yang
terjadi masih juga menjadi pertanyaan bagi anak-anak muda
Sangkal Putung dan bahkan para prajurit Pajang sendiri.
Dalam pada itu, lima orang penghubung telah mendapat
perintah khusus dari Untara dan Widura untuk menjemput
tamu yang akan datang. Tamu yang akan mendapat
penyambutan yang khusus, yang akan mengejutkan hati
setiap orang di Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Pajang di
Sangkal Putung pula. Tetapi yang tidak mereka perhitungkan, bahwa pada saat ini,
hantu lereng Merapi yang mereka takuti, ternyata membuat
perhitungan tersendiri. Ternyata Ki Tambak Wedi mendengar
pula bahwa hari ini, Untara akan menerima Sumangkar
dengan orang-orangnya yang menyerahkan diri.
Sesaat setelah ia mendengar berita itu, beberapa hari yang
lalu, orang tua itu tersenyum di dalam hatinya. Dipanggilnya
Sidanti dan Sanakeling. Sambil memilin-milin kumisnya ia
berkata, "Nah, apa rencana kalian menghadapi hari yang
ditentukan itu?" Dengan serta-merta Sanakeling menjawab, "Kita hancurkan
Sumangkar dan orang-orangnya."
Ki Tambak Wedi tertawa. Katanya, "Jangan terlampau
bernafsu hendak memusnahkan kawan-kawan itu sendiri
dengan tanganmu. Belum lagi dapat dipastikan kita akan
dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun sebagian
besar dari para pemimpin Jipang berada di sini. Tetapi
Sumangkar dan mungkin Kiai Gringsing akan dapat
mengganggu rencana ini."
Sanakeling mengerutkan keningnya. Kemudian dengan
tenangnya ia berkata, "Lalu apa yang sebaiknya kita kerjakan
Kiai?" Ki Tambak Wedi tersenyum. Hidungnya yang melengkung
tampak bergerak-gerak. Dijawabnya, "Kita hancurkan mereka
dengan meminjam tangan orang lain."
Sanakeling mengerutkan keningnya. Gumamnya, "Bagaimana
mungkin?" Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya muridnya yang bernama Sidanti sambil
bertanya, "Apa rencanamu?"
Sidanti menggeleng, "Aku belum memikirkannya guru."
"Alangkah bodohnya kalian," berkata orang tua itu. "Kita akan
mendapat kesempatan yang baik sekali menghadapi saat
penyerahan itu. Penyerahan itu akan terjadi di tengah hari.
Kita harus mengingat-ingat saat itu."
"Ya. Tengah hari. Tetapi bagaimana dengan meminjam
tangan orang lain itu?" desak Sanakeling.
Tambak Wedi terdiam sesaat. Kemudian katanya, "Percayalah
bahwa tidak semua orang Pajang sendiri ikhlas menerima
penyerahan itu. Sebagian dari mereka pasti masih
mendendamnya dan ingin menghancurkan orang-orang
Jipang di medan-medan perang tanpa ada persoalan lagi.
Mereka pasti ingin melihat orang-orang Jipang itu musnah.
Nah, marilah kita pergunakan keadaan itu."
Sanakeling dan Sidanti mendengarkan setiap kata Ki Tambak
Wedi dengan penuh minat. "Menjelang saat penyerahan itu, kita pengaruhi perasaan yang
tersimpan di dalam dada orang-orang Pajang yang
mendendam mereka." "Bagaimana?" Sanakeling menjadi tidak bersabar.
"Kita membawa beberapa orang prajurit pilihan," berkata Ki
Tambak Wedi lebih lanjut. "Pada saat orang-orang Pajang dan
orang-orang Sangkal Putung menerima orang-orang Jipang
yang menyerah, kita menyelusup masuk ke kademangan itu.
Kita bakar beberapa rumah penduduk dan beberapa lumbung
padi. Kita jarah saja isinya dan kita binasakan setiap orang
yang kita jumpai. Nah, bagaimanakah kira-kira sikap orangorang
Pajang dan orang-orang Sangkal Putung terhadap
orang-orang Jipang yang menyerah itu yang justru sudah tidak
bersenjata?" Mata Sidanti tiba-tiba menjadi berkilat-kilat. Rencana itu
terdengar amat manis di telinganya. Tetapi Sanakeling tidak
segera menanggapinya, bahkan tampak kerut-kerut dahinya.
"Bagaimana Sanakeling?" Bertanya Ki Tambak Wedi.
"Dengan demikian," sahut Sanakeling, "orang-orang Pajang
akan menjadi sangat marah. Kemarahan yang memang telah
terpendam di dadanya pasti segera akan meluap, seperti
minyak tersentuh api. Mereka tidak akan sempat berpikir,
kepada orang-orang Jipang yang mana mereka akan
melepaskan kemarahan itu. Dan orang-orang Jipang yang
menyerah itulah yang akan memikul akibat dari perbuatan
kita." "Bukankah sudah aku katakan, bahwa kita telah meminjam
tangan orang lain untuk membinasakan para pengkhianat itu."
Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang Jipang
itu adalah kawan sepenanggungan pada saat-saat yang
lampau. Karena itu meskipun ia sendiri bernafsu untuk
menghancurkannya, namun keadaan yang dibayangkan oleh
Ki Tambak Wedi benar-benar tidak adil. Orang-orang Jipang
yang tidak bersenjata itu akan menjadi lembu bantaian tanpa
perlawanan. Karena Sanakeling tidak segera menjawab, maka kembali Ki
Tambak Wedi mengulangi, "Bagaimana Sanakeling, bukankah
dengan demikian kita dapat memusnahkan orang-orang
Jipang itu tanpa mengotori tangan kita dengan darahnya."
Sanakeling menggeleng lemah. Jawabnya sama sekali tidak
disangka-sangka oleh Ki Tambak Wedi. Katanya, "Aku kurang
sependapat Kiai." Tambak Wedi mengerutkan keningnya, perlahan-lahan ia
bertanya, "Kenapa" Apakah kau belum juga bersedia
melepaskan mereka yang jelas telah memusuhinya?"
Sanakeling terdiam kembali. Sesaat ia berpikir. Baru
kemudian ia menjawab, "Betapa dendam membakar jantungku
Kiai, tetapi aku tidak dapat melihat bekas kawan-kawanku itu
mati disembelih tanpa dapat berbuat sesuatu."
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin berkerut-kerut.
Katanya, "Lalu apa maksudmu sebenarnya?"
"Kiai," berkata Sanakeling kemudian. Tiba-tiba wajahnya pun
menjadi tegang. Ia telah menemukan suatu cara yang baik
untuk membuat keributan di Sangkal Putung. Katanya, "Kalau
kita berbuat sesuatu sesudah penyerahan itu berlangsung,
maka kemungkinan yang lain daripada pembantaian besarbesaran
adalah sikap yang tenang dan otak yang dingin dari
pimpinan orang-orang Pajang itu. Untara dan Widura pasti
mampu membuat perhitungan berdasarkan laporan Kiai
Gringsing, bahwa apa yang terjadi adalah benar-benar karena
sikap pihak lain dari orang-orang Jipang. Sehingga apabila
demikian, maka orang-orang Pajang dan Sangkal Putung tidak
akan sempat berbuat sesuatu. Tetapi bagaimana kalau
keributan itu kita lakukan sebelum penyerahan itu
berlangsung?" "Untara dan Widura akan dapat menilai seperti itu pula
Sanakeling," sahut Ki Tambak Wedi.
"Tetapi orang-orang Jipang belum berkumpul dalam satu
penampungan yang langsung ditunggui oleh Untara dan
Widura yang mempunyai pengaruh yang cukup besar pada
para prajurit Pajang. Kalau prajurit Jipang itu masih belum
berada di Sangkal Putung dan apabila kemudian mereka
masih menyandang senjata mereka, maka tanggapan orangorang
Pajang dan Sangkal Putung pasti akan berbeda.
Mereka tidak melihat kambing-kambing yang sudah tertutup di
dalam kandang, tetapi mereka melihat serigala yang buas di
luar rumah mereka. Aku mengharap bahwa orang-orang
Pajang dan orang-orang Sangkal Putung akan bersikap lain.
Kemarahan yang timbul di dalam dada merekapun akan
terungkapkan dalam bentuk yang berbeda. Mudah-mudahan
mereka menganggap bahwa apa yang telah dilihat oleh Kiai
Gringsing itu hanyalah sebuah tipuan yang licik."
"Lebih daripada itu Kiai, kau lebih senang melihat kedua belah
pihak bertempur di dalam arena. Orang-orang Jipang akan
terbunuh sebagai prajurit di medan perang, sedang orangorang
Pajang pun pasti akan berkurang. Orang-orang yang
merasa diingkari itu akan mengamuk dalam keputus-asaan
mereka." Ki Tambak Wedi menjadi tegang sesaat, tetapi kemudian
meledaklah suara tertawanya. Seperti suara hantu yang
melihat mayat baru terbujur di pekuburan.
"Bagus. Bagus," katanya di antara derai tertawanya.
Demikian keras suara tertawa Ki Tambak Wedi sehingga
tubuhnya terguncnag-guncang. Sambil menepuk bahu
Sanakeling maka orang tua itu berkata, "Sidanti, kau dapat
berguru kepada Sanakeling tentang kelicikan dan akal."
Sidanti pun tertawa pula. Ia menjadi semakin bergembira
mendengar rencana itu. Maka katanya, "Keduanya akan
bertempur sehingga keduanya akan hancur. Kita akan datang
nanti pada saatnya, mendapatkan Sangkal Putung tanpa
kesulitan." "Kita pasti akan menjumpai kesulitan baru Sidanti," berkata Ki
Tambak Wedi. "Kesulitan apa Kiai?"
"Mengubur orang-orang Jipang yang berkhianat itu dan dan
orang-orang Pajang."
Kembali mereka bertiga tertawa. Rencana itu benar-benar
dapat menggembirakan hati mereka.
"Nah Sanakeling," bertanya Ki Tambak Wedi kemudian,
"bagaimana rencana selanjutnya?"
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku belum berpikir sampai pada pelaksanaannya," sahut
Sanakeling. Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
ia berpikir dan kemudian berkata, "Kita harus menemukan
saat yang tepat. Kita harus mulai menyerang Sangkal Putung
dari arah yang berbeda dengan arah kedatangan para
penghianat itu. Selagi mereka dalam perjalanan, kita akan
membuat keributan. Kita mengharap para prajurit Pajang dan
Sangkal Putung marah dan menyangka bahwa penyerahan itu
hanyalah sekedar akal licik. Nah, kedatangan orang-orang
Jipang yang berkhianat itu akan disambut hangat oleh orangorang
Pajang. Dalam keadaan yang demikian seandainya
Untara dan Widura dapat membuat perhitungan yang tepat
terhadap keadaan yang sebenarnya, namun akan sangat
sulitlah baginya menguasai luapan perasaan anak buahnya."
"Demikianlah," sahut Sanakeling. "Sedang orang-orang Jipang
yang akan menyerah itu masih menggenggam senjata mereka
masing-masing." Kembali mereka tertawa sepuas-puas mereka. Seakan-akan
rencana mereka itu telah berlangsung dengan baiknya.
Seakan-akan mereka telah melihat mayat orang Jipang dan
orang-orang Pajang berserak-serakan tindih menindih di
hadapan mereka. "Kita harus sudah siap sejak pagi-pagi benar di arah yang
berlawanan," berkata Ki Tambak kemudian. "Tidak usah
terlampau banyak. Kita harus dapat menyusup masuk
meskipun hanya ke desa-desa kecil, bukan desa induknya.
Kalau matahari telah naik seperempat hari, maka kita harus
segera mulai." "Apakah kita tidak datang dengan seluruh kekuatan guru?"
bertanya Sidanti. "Tidak Sidanti," sahut Ki Tambak Wedi. "Kita hanya sekedar
membuat kesan bahwa ada serangan dari arah lain sehingga
kitapun harus segera dapat menghilang. Kalau tidak, maka
akan timbul peperangan segi tiga. Dalam keadaan yang
demikian maka Pajang dan Sangkal Putung-lah yang terkuat.
Mendengar penjelasan itu, alis Sidanti berkerut. Sejenak ia
diam berpikir. Kemudian katanya dalam nada datar, "Masih
pula terjadi orang-orang Jipang yang berpendirian lain itu
menyadari kekeliruannya, tetapi dapat pula terjadi bahwa
orang-orang Jipang itu menggabungkan dirinya dengan orangorang
Pajang." Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, tetapi kemudian ia
tertawa. "Kau benar Sidanti. Memang perhitungan ini dapat
meleset. Karena itu, kita mengambil jalan yang sebaikbaiknya.
Yang kemungkin-kemungkinannya tidak terlampau
jelek bagi kita. Seandainya usaha kita itu tidak dihiraukan
sekalipun kita tidak akan mengalami kerugian apapun."
Sanakeling tiba-tiba memotong, "Mudah-mudahan usaha kita
berhasil. Kita mempengaruhi perasaan orang-orang Pajang,
kemarahan yang memang masih tersimpan di dalam dada
mereka. Kesan yang harus kita buat adalah bahwa
Sumangkar ternyata tidak jujur. Ia bersedia menyerahkan diri
hanya sebagai suatu usaha untuk membuat orang-orang
Pajang lengah." "Bagus," sahut Tambak Wedi. "Ambil orangmu lima puluh saja.
Namun yang paling baik dari semuanya. Pagi-pagi benar kita
harus sudah berada di sebelah Timur Sangkal Putung.
Mungkin kita harus menyusup seorang demi seorang.
Sekelompok dari orang-orangmu, mungkin kau pimpin sendiri
Sanakeling, harus menguasai salah sebuah gardu peronda.
Kemudian kau harus segera membunyikan tanda bahaya
seperti orang-orang Pajang membunyikannya. Sementara itu,
kita yang lain, membakar satu dua rumah atau lumbung.
Apabila orang-orang Pajang kemudian berdatangan.
Secepatnya kita harus melarikan diri. Ke Utara, menerobos
sawah yang sempit dan masuk ke dalam desa-desa yang
terpencar. Di belakang desa-desa itu kita akan menemukan
sebuah tegalan. Jangan sampai terkepung di dalamnya. Kita
harus mencapai semak-semak bambu liar di sebelah Utara
tegalan itu. Kemudian kita akan bebas dari kejaran mereka."
Ki Tambak Wedi kini sekali lagi tertawa terbahak-bahak.
Sanakeling dan Sindati pun mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Rencana itu adalah rencana yang baik, sedang
bahayanya tidak terlampau besar. Sementara orang-orang
Pajang mengejar mereka, dari arah Barat, Sumangkar
membawa orang-orangnya mendekati Pajang. Mudahmudahan
beberapa penjaga dan pengawal dari orang-orang
Pajang melihat mereka, kemudian membuat laporan kepada
Untara dan Widura, bahwa induk pasukan Jipang datang dari
barat. Sanakeling dan Sindati itupun kemudian tersenyum.
Terbayang di dalam rongga mata mereka, pasukan Pajang
dan Sangkal Putung yang marah menyongsong orang-orang
Jipang itu dengan pedang terhunus, sedang orang-oran
Jipang itu pasti akan terkejut dan menyangka orang-orang
Pajang mengingkari janji, menerima penyerahan mereka.
Namun yang mereka lihat adalah pedang ligan dan ujungujung
tombak telanjang. Demikianlah pada malam menjelang hari yang ditentukan,
Sanakeling, Sidanti, dan orang-orang Jipang pilihan sebanyak
lima puluh orang telah siap untuk melakukan tugas mereka.
Tugas yang cukup berat namun yang menurut penilaian
mereka tidak begitu berbahaya meskipun seandainya mereka
gagal. Orang-orang Jipang itu menjadi semakin berbesar hati ketika
Ki Tambak Wedi telah menyatakan diri untuk pergi bersama
ke lima puluh orang itu. "Aku ingin melihat apa yang terjadi," berkata Tambak Wedi.
"Dan aku harus mengamat-amati kalian apabila kalian
bertemu dengan orang yang bernama Kiai Gringsing."
Sanakeling yang mendengar nama itu disebut-sebut tiba-tiba
berkata, "Kiai, apakah Kiai Gringsing yang melihat perpecahan
di antara kita tidak akan menggagalkan rencana ini."
"Tidak ada waktu baginya untuk membuat penilaian atas
peristiwa ini. Meskipun ia mungkin telah menceritakannya
kepada Untara dan Widura, namun gambaran mereka pasti
tidak akan terlampau jelas menghadapi peristiwa yang tibatiba
ini." Sanakeling tidak bertanya lagi. Namun debar jantungnya
terasa menjadi semakin cepat. Waktu yang ditunggutunggunya
seakan-akan merambat terlampau malas.
Sebelum malam terlampau dalam, mereka telah meninggalkan
padepokan Ki Tambak Wedi. Berjalan memintas sekelompok
demi sekelompok menuju ke Sangkal Putung. Jarak yang
mereka tempuh kini tidak sekedar beberapa bulak, tetapi
perjalanan mereka memerlukan waktu lebih dari setengah
malam. Mereka menuruni lereng Merapi dan secepatnja
menuju Sangkal Putung lalu melingkar dari arah Timur.
Mereka mengharap, bahwa mereka akan sampai ke tempat
tujuan tidak terlampau jauh lewat tengah malam. Setelah
beristirahat sejenak, mereka harus mulai menyiapkan diri.
Apabila fajar nanti pecah, mereka harus sudah menyusup ke
dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung yang kaya
raya. Satu dua rumah yang tidak berarti serta lumbunglumbung
kecil telah cukup untuk meluapkan kemarahan
orang-orang Pajang dan Sangkal Putung.
Di sepanjang jalan, mereka hampir tidak mempercakapkan
sesuatu. Paling depan berjalan Ki Tambak Wedi dengan
menengadahkan kapalanya, seakan-akan sibuk menghitung
bintang yang bergayutan di langit. Di belakangnya berjalan
Sidanti dengan senjata ciri perguruan Tambak Wedi di
tangannya. Senjata yang baru diterimanya dari gurunya,
sebagai ganti senjatanya yang tertinggal di Sangkal Putung.
Meskipun demikian, karena selama ini ia selalu
mempergunakan pedang, maka di lambungnya pun
tergantung sebilah pedang panjang. Kini Sidanti telah
membiasakan diri bertempur dengan senjata rangkap. Di
tangan kanannya sebilah pedang dan tangan kirinya senjata
yang mengerikan. Di samping Sidanti, Sanakeling berjalan sambil menundukkan
kepalanya. Ia masih mereka-reka apa yang sebaiknya
dilakukan apabila orang-orang Jipang yang dianggapnya
berkhianat itu telah musnah. Setelah beberapa lama ia tinggal
di padepokan Ki Tambak Wedi, terasa bahwa kekuasaan Ki
Tambak Wedi atas dirinya, dan atas anak buahnya justru
melampaui kekuasaan Tohpati. Apa yang dikatakan harus
terjadi, meskipun kadang-kadang orang tua itu mau juga
mempertimbangkan pendapatnya, apabila terasa manfaatnya.
Tetapi banyak hal-hal yang harus ditelannya saja tanpa
mendengar pertimbangannya tentang bermacam-macam
persoalan meskipun sampai kini masih terbatas pada
persoalan-persoalan kecil.
Seakan-akan bagi Ki Tambak Wedi, sudah seharusnya dan
sudah semestinya memperlakukan Sanakeling seperti Sidanti.
Bahkan dalam beberapa hal Sidanti masih dianggapnya lebih
penting dari padanya. Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih ingin
bertahan dalam keadaannya kini, sampai ia yakin benar-benar
apa yang sebaiknya dilakukan.
Di belakang Sanakeling berjalan Alap-alap Jalatunda. Alapalap
yang masih terlampau muda untuk kehilangan masa
depannya. Masa depan yang masih cukup panjang baginya.
Namun masa depan itu seakan-akan telah tertutup rapat oleh
kabut yang hitam kelam. Sejak ia terperosok dalam kehidupan
petualangan itu, ia sendiri seolah-olah sudah tidak mempunyai
gairah untuk hidup dalam keadaan yang lebih baik. Seolaholah
ia sudah mantap hidup dalam dunianya yang kotor
seperti sekarang. Namun hal itu disebabkan karena ia sendiri
tidak pernah mendengar berita, pemberitahuan atau semacam
itu tentang dunia yang lebih baik baginya. Tentang
kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuhnya. Ketika
sekali ia mendengar beberapa hal yang cukup menarik
perhatiannya, ia tidak sempat mencernakannya. Pertentangan
kata-kata antara Sanakeling dan Sumangkar, kemudian
kehadiran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, sebenarnya
menyentuh hatinya. Tetapi kesempatan yang kecil itu telah
dikaburkan oleh perasaan harga diri, kejantanan dan
keinginan untuk lepas bebas tanpa ikatan seperti burung alapalap
di udara. Namun seandainya, ya seandainya berita
tentang keselamatan rohaniah itu didengarnya berulang kali,
maka ia akan dapat menemukannya.
Kini, mereka dalam kelompok-kelompok kecil dari lima sampai
sepuluh orang berjalan dalam jarak yang tidak begitu jauh.
Mereka semua yang berjumlah lima puluh orang itu berjalan
seperti hantu yang menyebarkan bala dan bencana. Mereka
mengharap untuk segera bersiap di sebelah Timur Sangkal
Putung. Setelah beristirahat sejenak, selagi masih cukup
waktu, mereka segera akan memasuki padesan-padesan kecil
di bagian Timur kademangan itu. Mereka sudah tentu tidak
akan melewati jalan-jalan induk, supaya mereka tidak segera
diketahui oleh para peronda. Namun Sanakeling sendiri harus
dapat menguasai salah sebuah gardu, untuk kemudian
setelah mereka memasuki desa itu, membunyikan tanda
bahaya justru sebagai tanda bagi orang-orangnya untuk mulai
dengan tugas mereka. Membakar dan membinasakan apa
saja yang mereka jumpai. Tugas itu seolah-olah terpateri di dalam setiap kepala orangorang
Jipang itu. Sekali-kali mereka tersenyum sendiri.
Mereka sudah membayangkan peristiwa yang mengerikan
akan terjadi berikutnya. Tetapi ada pula yang menjadi raguragu.
Satu dua di antara mereka, merasa kurang mapan
apabila kawan-kawannya yang berbeda pendirian itu akan
terbinasakan. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Perjalanan itu sendiri berlangsung tanpa gangguan apapun.
Lewat sedikit tengah malam mereka benar-benar telah sampai
di sebelah Timur Sangkal Putung dan segera mereka
bertebaran di tegalan sambil duduk beristirahat, menunggui
saat-saat yang sebaik-baiknya untuk melakukan gerakan.
Mereka tidak boleh terlambat, tetapi mereka tidak boleh pula
terlampau cepat, agar orang-orang Pajang dan Sangkal
Putung tidak sempat dan tidak punya waktu untuk mengurai
peristiwa itu dan menemukan jawaban yang tepat tentang
keadaan sebenarnya. Di tegalan itu sebagian dari mereka masih juga sempat
bertiduran di atas rumput-rumput kering. Mereka sama sekali
tidak menghiraukan embun yang membasahi pakaian mereka.
Setelah berjalan sekian lama, mereka benar-benar ingin
beristirahat. Sisa-sisa malam itupun merayap perlahan-lahan. Bintangbintang
di langit berkisar dari tempatnya lambat sekali, seperti
anak-anak yang malas berjongkok pagi-pagi di halaman.
Segan untuk bangkit dan berjalan.
Tetapi betapapun lambatnya, akhirnya mereka mendengar di
kejauhan ayam jantan berkokok bersahutan. Di ujung Timur
segera membayang semburat warna-warna merah.
Ki Tambak Wedi bangkit dan berdiri tegak, bertolak pinggang.
Perlahan-lahan ia berkata kepada Sanakeling, "Hari ini adalah
permulaan dari sebuah perjuangan yang berat. Kalau orangorang
Jipang yang berkhianat itu berhasil dihancurkan, maka
kita akan langsung berhadapan dengan Pajang untuk
seterusnya. Nah, kita harus memperkuat diri. Sidanti sedang
menghimpun orang-orang di sekitar padepokan Tambak Wedi.
Sebab Tambak Wedi memiliki pengaruh melampaui pengaruh
Pajang sendiri di lereng Gunung Merapi."
Sanakeling tidak menjawab. Tetapi iapun berdiri pula.
Ditatapnya wajah langit di sebelah timur. Kemudian ditebarkan
pandangan matanya berkeliling, beredar di antara orangorangnya
yang bertebaran. Timbul pertanyaan di dalam
hatinya, "Manakah yang lebih penting dalam pekerjaan ini. Ki
Tambak Wedi berdua dengan Sidanti atau Sanakeling dengan
anak buahnya?" Tetapi dibiarkannya pertanyaan itu tidak berjawab.
Ketika warna-warna merah di langit menjadi semakin terang,
maka berkatalah Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling
"Saatnya hampir tiba Sanakeling. Siapkan orang-orangmu."
Sanakeling mengangguk. Kemudian ia berjalan di antara anak
buahnya sambil berkata, "Kita segera melakukan pekerjaan
kita. Bersiaplah." Dengan malasnya orang-orangnya bangkit. Satu dua segera
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri sambil membenahi pakaiannya. Menguatkan ikat
pinggang mereka, tempat pedang-pedang mereka bergayutan.
Namun ada juga satu dua yang masih saja duduk sambil
menguap. "Kembali dalam kelompok-kelompok yang sudah ditentukan,"
perintah Sanakeling. Orang-orang Jipang itupun segera berkumpul di antara
mereka menurut ketentuan yang telah mereka buat.
Kelompok-kelompok kecil yang akan segera menyusup ke
Sangkal Putung. Tetapi tiba-tiba mereka terkejut ketika di kejauhan terdengar
derap beberapa ekor kuda laju seperti anak panah. Semakin
lama menjadi semakin dekat. Namun karena sisa-sisa gelap
malam. mereka tidak segera melihat siapakah yang berkuda di
pagi-pagi buta itu. Ki tambak Wedi, Sanakeling dan Sidanti serentak
menengadahkan wajah mereka. Dengan penuh perhatian
mereka mendengarkan derap kuda yang semakin lama
menjadi semakin dekat. "Tidak terlampau banyak," gumam Ki Tambak Wedi.
"Ya," sahut Sidanti. "Tidak sampai sepuluh ekor."
"Lima atau enam," desis Sanakeling.
Ki tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dugaan Sanakeling mendekati kebenaran. Aku menyangka
seperti hitungan Sanakeling itu pula."
Sesaat mereka terdiam. Suara derap itu semakin dekat.
"Siapakah mereka guru?" Bertanya Sidanti.
"Tentu aku tidak tahu," Jawab ki Tambak Wedi.
"Tetapi aku kira mereka adalah orang-orang Pajang."
"Apakah yang akan mereka lakukan?"
"Tidak tahu, apa kau sangka orang-orang Pajang mengatakan
kepadaku apa yang akan dilakukan?" Sahut Tambak Wedi
jengkel. Sidanti terdiam. Namun getar di dadanya menjadi kian cepat
dan keras seperti suara derap kuda yang semakin cepat dan
keras menghentak telinganya.
Karena itu tiba-tiba ia berkata, "Kalau benar orang-orang itu
orang Pajang, biarlah aku mencoba mencegatnya. Mereka
harus dibinasakan sebelum kami membakar rumah-rumah
orang Sangkal Putung."
"Jangan," Potong Ki Tambak Wedi. "Hal itu akan dapat
mengganggu pekerjaan kita. Kalau mereka peronda-peronda
keliling, maka kelambatan mereka akan menimbulkan
kecurigaan. Mungkin kawan-kawannya akan mencari dan
penjagaan akan menjadi bertambah kuat. Biarlah mereka
lewat." "Bukankah pembunuhan itu akan berakibat sama seperti
apabila kita membakar rumah-rumah mereka?"
"Apakah kalau kita membakar rumah-rumah mereka dan
kemudian bertempur melawan mereka, mereka tidak akan
mengenal kita?" "Itulah sebabnya, kalian harus segera melarikan diri sebelum
terjadi pertempuran. Supaya mereka tidak sempat mengenal
kita. Seandainya terpaksa mereka mengenal, mereka tidak
cukup punya waktu untuk memperbincangkan. Kiai Gringsing
tidak mempunyai kesempatan untuk sesorah dan mengatakan
bahwa Sanakeling dan Sumangkar mempunyai pendirian yang
berbeda. Mereka pasti menyangka, bahwa semuanya telah
direncanakan oleh orang-orang Jipang. Sebagian pura-pura
menyerah, sebagian menye-rang ketika orang-orang Pajang
sedang lengah. Yang pura-pura menyerah itupun kemudian
pasti akan menyerang pula."
"Selisih waktu itu tidak seberapa."
"Yang tidak seberapa itu penting dalam peperangan. Tetapi
selisih waktu itu cukup panjang. Ingat, sekarang hari masih
gelap. Kita harus mulai dengan gerakan kita masuk ke
padesan. Kita masih harus bersembunyi, kemudian
Sanakeling merebut salah sebuah gardu, dan kita mendengar
tanda bahaya. Pada saat itu, kita membakar rumah-rumah itu.
Baru sejenak kemudian datang orang-orang Pajang dan kita
lari. Mereka mengejar kita beberapa lama, sampai kita
menghilang di rumpun-rumpun bambu liar itu, saat itu harus
sudah mendekati tengah hari. Saat itu kita mengharap orangorang
Jipang sudah di perjalanan dan dekat ke desa Benda.
Kau tahu akibatnya, Untara tidak sempat berpikir dan
mengendalikan anak buahnya. Kalau cukup waktu baginya,
maka ia akan datang menjemput orang-orang Jipang itu
setelah ia menenangkan anak buahnya atas jaminan Kiai
Gringsing." Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia mematuhi perintah gurunya.
seperti juga Sanakeling harus mematuhinya.
"Perintahkan orang-orangmu bersembunyi," berkata Ki
Tambak Wedi kepada Sanakeling.
Sanakeling pun segera melakukan perintah itu. Orangorangnya
pun segera diperintahkan berlindung di balik
dedaunan. Bahkan beberapa orang dengan enaknya
berbaring-baring di atas rerumputan.
Kata mereka di dalam hati, "Dalam gelap ini, mereka pasti
tidak akan melihat kami, asalkan kami tidak bergerak-gerak."
Sesaat kemudian derap kuda itupun telah dekat benar.
Mereka segera melihat samar-samar di jalan di pinggir tegalan
itu, berpacu lima ekor kuda. Orang-orang berkuda itu sama
sekali tidak menghiraukan apa yang sedang terjadi di tegalan
itu. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa lima puluh
pasang mata memandangi mereka dengan nyala kebencian di
dalam hati mereka. Ketika kuda itu telah lewat, segera Sidanti berdiri sambil
bergumam, "Salah seorang adalah Sonya. Ingin aku
mematahkan lehernya dan menyobek mulutnya. Ia adalah
salah seorang penghubung yang dekat dengan paman
Widura." Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia berkata perlahan-lahan seperti kepada diri
sendiri, "Mereka tidak sedang meronda."
Sidanti memandang gurunya dengan tajamnya. Katanya, "Ya,
mereka agaknya tidak sedang meronda. Kalau guru tidak
mencegah, mereka dapat kami tangkap dan kami paksa untuk
mengatakan, untuk apa mereka berpacu di pagi-pagi buta ini."
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Pendapat itu baik juga,
tetapi sudah terlanjur. Kelima orang berkuda itu sudah
terlampau jauh. Karena itu kemudian Ki Tambak Wedi itu berkata, "Sekarang
siapkan diri masing-masing, kita mulai bergerak. Kita harus
masuk ke desa terdekat sebelum matahari naik. Jaga supaya
tidak seorang pun melihat kita masing-masing.
Bersembunyilah di dalam rumpun-rumpun bambu atau di
tengah-tengah kebun-kebun yang luas, di antara tanamanTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
tanaman liar yang rimbun, jangan tergesa-gesa berbuat
sesuatu sebelum kalian mendengar tanda bahaya, supaya
kalian dapat berbuat serentak."
Orang-orang Jipang itupun segera berkelompok-kelompok.
Mereka telah siap melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Sesaat kemudian maka mereka telah berada di jalan yang
dilewati oleh Sonya dan keempat kawannya. Orang-orang
itupun memandangi ke segala arah, kalau-kalau ada sesuatu
yang akan mengganggu tugas mereka. Tetapi yang mereka
lihat adalah sisa-sisa malam yang hitam. Meskipun di langit
sudah membayang warna-warna merah, namun warna-warna
yang kelam masih mentabiri pandangan mata mereka.
Ki Tambak Wedi yang juga sudah berdiri di tengah jalan
berkata, "Kita mendekati Sangkal Putung lewat jalan ini. Tetapi
kemudian apabila kita sudah
mendekati desa di ujung bulak itu, kita akan berpencaran. Kita akan mencari jalan kita sendirisendiri
untuk memasuki desa itu. Ingat segala perintah yang sudah kau dengar baserta segala petunjuknya. Siapa yang menyalahi perintah itu akan
menerima hukumannya"
Yang mendengar kata-kata Ki tambak Wedi itu mengerutkan keningnya. Tohpati tidak pernah memberi mereka ancaman seperti Ki
Tambak Wedi. Namun mereka tidak sempat untuk
memikirkannya. Sebab Ki Tambak Wedi kemudian berkata,
"Kita akan segera berangkat."
Ki Tambak Wedi itupun kemudian segera berjalan mendahului
orang-orangnya. Di sampingnya berjalan Sidanti. Sanakeling
berjalan bersama dengan kelompoknya yang terdiri dari enam
orang. Mereka harus langsung menuju ke gardu di ujung jalan
yang memasuki desa di hadapan mereka, setelah kawankawannya
berbasil menyusup ke dalam desa itu. Begitu tibatiba
supaya orang-orang di gardu itu tidak sempat memukul
tanda bahaya. Orang-orangnyalah yang nanti setelah datang
saatnya harus membunyikan tanda itu. Sedang para peronda
di dalam gardu itu harus dimusnahkan.
Orang-orang yang lain, berjalan dalam kelompoknya masingmasing,
lima atau enam orang. Di antaranya adalah kelompok
yang dipimpin langsung oleh Alap-alap Jalatunda.
Ki Tambak Wedi dan orang-orang Jipang itupun kemudian
berjalan mendekati Sangkal Putung. Sesaat kemudian mereka
telah berada di tengah-tengah bulak persawahan. Tetapi
karena hari malam cukup gelap, mereka tidak takut
seandainya ada orang-orang Sangkal Putung yang melihat
mereka. Baru setelah nanti mereka mendekati desa yang
terbentang di hadapan mereka, maka mereka akan
berpencaran dan sambil merunduk-runduk berjalan di antara
batang-batang jagung di sawah mendekati desa itu.
Demikianlah tanpa berbicara sepatah kata pun mereka
berjalan. Di ujung depan adalah Ki Tambak Wedi sendiri,
sedang di ujung belakang adalah Sanakeling dan kelima
kawan-kawannya. Langit yang merah menjadi semakin merah. Ketika Ki Tambak
Wedi menengadahkan wajahnya, ternyata fajar telah hampir
pecah. Karena itu maka ia bergumam, "Kita hampir terlambat.
Percepat perjalanan yang pendek ini."
Perintah itu meloncat dari kelompok ke kelompok di
belakangnya, sehingga akhirnya sampai juga ke telinga
Sanakeling. Sehingga iring-iringan itupun kemudian maju lebih
cepat dari sebelumnya. Tetapi tiba-tiba salah seorang di dalam kelompok Sanakeling
dengan serta merta menggamitnya sambil berkata, "Kakang
Sanakeling. Lihatlah, di belakang kita ada obor berjalan
searah dengan perjalanan kita."
Sanakeling pun segera berpaling. Dan seperti yang dikatakan
oleh orangnya itu, di belakang mereka tampak beberapa buah
obor yang berjalan menuju ke Sangkal Putung pula. Karena
itu, maka langkahnya tertegun. Sambil bertolak pinggang ia
berkata, "Siapakah mereka itu?"
Tak seorangpun yang menyahut.
"Hanya empat buah obor," desisnya kemudian.
"Ya, empat buah obor," sahut salah seorang anak buah.
"Tetapi tidak berarti bahwa yang berjalan itu hanya empat
orang," berkata Sanakeling kemudian.
"Ya," sahut kawan-kawannya hampir serentak.
"Beritahukan Ki Tambak Wedi," berkata Sanakeling kemudian.
la menjadi heran sendiri terhadap dirinya. Tanpa
dikehendakinya ia telah menempatkan diri di bawah pimpinan
orang tua itu. Kini ia tidak dapat mengambil keputusan sendiri,
meskipun ialah sebenarnya pemimpin dari orang-orang Jipang
itu. Orang yang diperintahkan itupun segera berlari-lari
mendahului kawan-kawannya. Ketika kawan-kawannya itu
bertanya maka dijawabnya, "Ki Tambak Wedi harus tahu, di
belakang kami ada obor."
Serentak orang-orang itupun berpaling. Dan segera
merekapun melihat pula obor-obor itu. Hanya empat buah.
Ketika Ki Tambak Wedi mendengar laporan itu, maka segera
ia pun berhenti. Bahkan kemudian ia berjalan kembali,
menemui Sanakeling yang berada di ujung belakang. Katanya,
"Sejak kapan kalian melihat obor-obor itu?"
"Baru saja Kiai."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gumamnya, "Mereka pasti baru saja muncul dari balik
tikungan. Ya, di sebelah itu ada tikungan. Di sebelah timur
tegalan tempat kita beristirahat."
Yang mendengar kata-kata itupun mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Iring-iringan itupun kini telah berhenti. Bahkan
beberapa orang telah berjalan kembali dan berdiri di sekitar Ki
Tambak Wedi dan Sanakeling.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu berkata, "Obor itu terlampau
tinggi dan terlampau cepat bagi orang yang berjalan kaki."
"Ya," sahut Sanakeling serta merta. Katanya pula, "Empat
orang itu pasti berkuda, tetapi perlahan-lahan, sehingga
derapnya belum kita dengar."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan
kemudian mereka melihat keempat obor itu berhenti,
meskipun masih juga bergerak-gerak tetapi tidak maju lagi ke
arah mereka. Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Apalagi ternyata
kemudian bahwa langit telah menjadi semakin cerah. Oborobor
itu terasa sangat mengganggu perasaan orang tua itu.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak segera dapat mengambil suatu
sikap. Orang-orang yang membawa obor itu telah
menimbulkan persoalan baru yang tidak disangka-sangka.
Apabila mereka bersembunyi di balik-balik pematang, mungkin
orang-orang itu tidak akan melihat mereka, tetapi dengan
demikian hari akan menjadi semakin terang. Mereka akan
menemukan banyak kesulitan untuk menerobos masuk ke
dalam padesan tanpa diketahui.
Orang-orang Jipang yang berdiri mengerumuni Ki Tambak
Wedi itupun menjadi gelisah pula. Mereka menunggu apa
yang harus mereka lakukan menghadapi keadaan yang tibatiba
itu. Sekali Ki Tambak Wedi berpaling, melihat bayangan padesan
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di ujung bulak itu yang semakin lama menjadi semakin jelas,
sejalan dengan hatinya yang semakin gelisah.
Tiba-tiba orang tua itu menggeram, katanya, "Kita belum tahu
berapa jumlah mereka kecuali yang membawa obor itu."
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya,
"Kita dihadapkan pada keadaan yang sulit."
Dada Sanakeling berdesir mendengar kata-kata itu, sehingga
akalnya yang terlampau pendek menjadi bingung menghadapi
keadaan. Dengan serta merta ia melanjutkan, "Apakah Kiai
segera dapat menemukan cara yang sebaik-baiknya tanpa
kebingungan." Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi segera ia berusaha
menahan perasaaannya. Keadaan yang dihadapi benar-benar
sulit. Kini obor-obor itu mulai bergerak lagi maju mendekati Sangkal
Putung. Tetapi sejenak kemudian, maka obor-obor itupun
dipadamkan. Kembali Tambak Wedi menggeram. Kini mereka telah dapat
melihat ujung-ujung kaki sendiri di atas tanah yang kehitamTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
hitaman. Sedang di langit cahaya yang terang menjadi
semakin terang. "Gila," Ki Tambak Wedi itu mengumpat. Tiba-tiba ia berteriak,
"Kita masuk ke Sangkal Putung dengan tiba-tiba. Tidak
dengan sembunyi-sembunyi. Kita langsung menyerang gardu
peronda. Biarlah mereka membunyikan tanda bahaya. Yang
lain membakar rumah. Dengan demikian kita tidak lagi
tergesa-gesa meskipun kemudian hari menjadi terang.
Sekarang kita bersembunyi. Cepat, aku sudah mendengar
derap kuda. Terlampau banyak, tidak hanya lima atau enam
ekor. Kalau jumlah mereka tidak melampaui jumlah kita, kita
akan menyergapnya. Orang-orang itu pasti orang Pajang yang
datang, langsung dari kota untuk menyaksikan penyerahan
orang-orang Jipang. Sonya dan kawan-kawannya tadi pasti
menyongsong orang itu. Kita akan melihat siapakah yang
menjadi wakil penglima Wira Tamtama. Bahkan seandainya
Pemanahan sendiri datang, aku akan melawannya. la bagiku
sama sekali tidak berarti. Sedang di dalam pasukan kita kini
ada senapati-senapati terpilih. Sanakeling, Alap-alap
Jalatunda, dan Sidanti di samping pemimpin-pemimpin
kelompok dan para prajurit terpilih. Pajang tidak akan
membawa senapati sebanyak itu. Nah, sekarang cepat
bersembunyi di balik-balik pematang. Kalau tiba saatnya aku
akan memberikan tanda. Kalau kalian mendengar tanda,
maka berarti kalian harus menyerang orang-orang Pajang itu.
Jangan ada yang sempat lolos."
Orang-orang Jipang itu mendengar perintah Ki Tambak Wedi
dengan jelas. Sebagai prajurit, perintah itupun segera dapat
mereka mengerti. Dengan demikian, maka segera mereka
menghambur terjun ke dalam sawah-sawah dan parit-parit
untuk bersembunyi di balik tanam-tanaman jagung dan di balik
pematang-pematang. Tetapi derap kuda yang mendatang ternyata terlampau cepat.
Dari dalam gelap yang semakin menipis mereka melihat
serombongan orang-orang berkuda, meskipun tidak berpacu,
tetapi cukup cepat mendekati Sangkal Putung. Seandainya
fajar tidak segera pecah di Timur, maka orang berkuda itu
tidak akan dapat melihat beberapa orang yang terakhir dari
orang-orang Jipang itu meloncat masuk ke dalam rimbunnya
batang-batang jagung muda. Tetapi hari menjadi semakin
terang. Meskipun jarak mereka belum terlampau dekat, namun
orang-orang berkuda itu sempat melihat apa yang terjadi di
tengah-tengah bulak itu. Seorang yang berada di ujung segera mengangkat tangannya.
Serentak mereka yang berada di dalam iring-iringan orang
berkuda itu memperlambat jalan kuda mereka. Tetapi sesaat
kemudian mereka telah tidak melihat apa-apa lagi. Di tengahtengah
bulak itu telah menjadi sepi. Namun kesan yang
mereka peroleh adalah, ada sesuatu yang mencurigakan.
Mereka melihat beberapa orang yang terakhir dari kelima
puluh orang Jipang itu bersembunyi.
Tetapi seorang yang sudah setengah umur, yang berada di
atas punggung kuda yang kehitam-hitaman berkata dengan
tenang, "Kita berjalan terus."
Orang yang di ujung barisan itu mengangguk tanpa menjawab
sepatah katapun. Kembali kuda itu berjalan agak cepat.
Orang setengah umur yang berada di belakang orang di ujung
barisan itu berkata pula, "Di mana penghubung yang dikirim
Untara?" Sonya dan keempat kawannya segera mendesak maju,
mendekati orang setengah umur itu.
"Pergilah lebih dahulu berdua. Sampaikan kepada Untara
bahwa sebentar lagi aku akan memasuki Sangkal Putung."
Sonya mengangguk dalam-dalam. Kemudian bersama
seorang kawannya ia berpacu mendahului rombongan itu.
Ki Tambak Wedi yang bersembunyi di dalam rimbunnya
batang-batang jagung muda melihat dua ekor kuda
mendahului kawan-kawannya. Kembali ia menjadi bimbang.
Apakah yang akan dilakukan atas kedua orang berkuda itu"
Apakah kedua orang itu telah melihat kehadiran mereka,
kemudian melaporkan kepada Untara dan Widura"
Dalam sekejap Ki Tambak Wedi yang mengintip dari balik
tanggul parit membuat perhitungan. Ketika ia yakin bahwa
orang berkuda yang sudah nampak semakin jelas dari balik
tanggul parit itu, tidak lebih dari duapuluh lima orang, tiba-tiba
ia berdiri tegak. Kepalanya ternyata masih melampui tinggi
batang-batang jagung itu, sehingga dengan demikian Ki
Tambak Wedi menjadi yakin, bahwa yang dihadapinya hanya
separo dari kekuatannya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak,
"Hentikan kedua orang Itu."
Sonya dan seorang temannya terkejut bukan kepalang. Ketika
tiba-tiba mereka melihat sebuah kepala muncul dari dalam
batang-batang jagung muda. Tetapi jarak mereka telah
terlampau dekat sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk
menghindar. Belum lagi mereka dapat menguasai keadaan, tiba-tiba
beberapa orang lagi berloncatan dari balik batang-batang
jagung, dari balik pematang dan tanggul-tanggul parit.
Sesaat Sonya dan kawannya menjadi bingung. Tetapi sesaat
kemudian Sonya berbisik, "Kembali dan laporkan, aku akan
terus melaporkannya ke Sangkal Putung."
Sonya tidak menunggu Iebih lama lagi. Segera ia menarik
kekang kudanya, menyentuh perut kuda itu dengan tumitnya
dan kemudian kuda itu meloncat dengan garangnya, berpacu
lagi ke Sangkal Putung. Beberapa orang Jipang telah hampir mencapai jalan tempat
kuda itu berlari. Tetapi kuda itu berjalan terlampau cepat,
sehingga Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak di pinggir parit
induk yang agak lebar berteriak, "Cepat! Jangan seperti keong
yang malas." Orang-orang Jipang itu berloncatan. Sidanti yang menyimpan
kebencian di dalam dadanya pun berusaha secepatnya
sampai ke jalan. Tetapi Sonya pun berusaha untuk
mendahului orang-orang yang mencegatnya.
Tak seorangpun yang menghiraukan kawan Sonya yang
memacu kudanya kembali ke iring-iringan yang sudah
semakin dekat. Yang penting bagi mereka adalah, Sonya tidak
boleh lolos, supaya orang-orang Sangkal Putung tidak segera
mengetahui apa yang telah terjadi. Tetapi Sonya pun tidak
mau jalannya terhenti. la harus dapat melampaui orang-orang
itu, apapun yang terjadi atas dirinya. Karena itu ia sama sekali
tidak menghiraukan ketika beberapa ujung pedang seakanakan
menyongsongnya. Tetapi ia mengharap bahwa kudanya
mampu meloncat melampaui kecepatan loncatan orang-orang
yang kini sudah berada di sisi parit di tepi jalan.
Tetapi Sonya terlambat sekejap. Ketika kudanya melampaui
orang-orang Jipang itu, salah seorang dari mereka telah
sempat meloncat sampai ke tepi jalan. Dengan garangnya
orang itu berteriak sambil mengayunkan pedangnya ke arah
lambung Sonya. Sonya melihat ujung pedang yang
menyambarnya. la adalah seorang penghubung yang terlatih,
sehingga dengan demikian iapun adalah seorang penunggang
kuda yang baik. Dengan sigapnya ia menjatuhkan dirinya dan
bergayut di punggung kudanya pada sisi yang lain dari arah
pedang itu. Usahanya itupun ternyata menolongnya pula,
namun tidak seluruhnya. Pedang itu masih juga sempat
menyobek pahanya sehingga sebuah luka jang panjang
tergores melintang. Sonya mengaduh pendek. Namun
kudanya berlari terus. "Gila!" teriak Ki Tambak Wedi dengan marahnya ketika ia
melihat bahwa Sonya itu tidak dapat dihentikannya. Dengan
serta merta ia mengambil selingkar gelang besi dari dalam
bajunya siap untuk dilemparkannya ke arah kuda Sonya.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar suara dari
dalam iring-iringan itu. Tenang namun penuh wibawa,
"Bukankah kau ini yang bernama Ki tambak Wedi, seorang
sakti yang namanya ditakuti oleh seluruh rakyat di lereng
Gunung Merapi?" Suara itu sesaat mempengaruhi kepala Ki Tambak Wedi.
Tetapi ia tidak mau kehilangan Sonya, karena itu maka segera
ia teringat kembali kepada suatu keharusan membinasakan
penghubung itu. Dengan gigi gemeretak didorong oleh
kemarahan yang meluap-luap, Ki tambak Wedi melemparkan
sebuah gelang-gelang besinya mengejar laju kuda Sonya.
Namun waktu yang sekejap, pada saat Ki Tambak Wedi
dikejutkan oleh sebuah panggilan atas namanya, ternyata
telah menolong penghubung itu. Sekali lagi ia berhasil
melepaskan diri dari kebinasaan akibat gelang-gelang besi itu.
Meskipun gelang-gelang tidak dapat dihindari sepenuhnya,
namun sentuhannya sudah tidak terlampau berbahaya
baginya. Meskipun demikian, ketika gelang-gelang itu
menyinggung bahunya, terasa nafasnya seolah-olah
tersumbat. Pedih di pahanya dan sakit yang menyengat di
bahunya, hampir-hampir telah membunuhnya. Kalau ia
terpelanting dari kudanya yang seakan-akan sedang terbang,
maka akan tamatlah ceritera tentang dirinya.
Beruntunglah bahwa Sonya masih tetap sadar. Betapa
nafasnya sesak dan batapa kakinya serasa disayat-sayat,
namun ia tetap berada di punggung kuda yang berpacu
seperti dikejar hantu. Ki Tambak Wedi mengumpat tak habis-habisnya. Sidanti yang
terlambatpun menghentakkan kakinya berkali-kali, sedang
Sanakeling menggerem seperti kerasukan setan. Namun
Sonya telah semakin jauh.
Yang menjadi semakin dekat adalah iring-iringan orang-orang
berkuda itu. Kini benar-benar telah terlampau dekat. Tetapi
iring-iringan itupun telah berhenti. Mereka tidak dapat terus
melampaui orang-orang Jipang yang kini seluruhnya telah
berdiri berderat-deret di tengah dan di tepi-tepi jalan.
"Kepung mereka!" perintah Ki Tambak Wedi. Perintah itu tidak
perlu diulangi. Orang-orang Jipang itu segera bertebaran
mengepung orang-orang yang berada di atas punggung kuda
itu. Sekilas Ki Tambak Wedi dapat melihat, bahwa orang-orang itu
benar-benar tidak lebih dari duapuluh lima orang. Namun
meskipun demikian hati orang tua itu agak menjadi berdebardebar
juga. Mereka adalah prajurit-prajurit Wira Tamtama dari
Pajang. Ki Tambak Wedi yang benar-benar telah dibakar oleh
kemarahannya itu tiba-tiba berkata lantang, "He orang-orang
Pajang yang bernasib jelek. Karena seorang daripada kalian
telah lolos dari tangan kami, maka kami akan dapat
membayangkan akibatnya. Orang itu pasti akan
menyampaikan kehadiran kami kepada Untara. Karena itu,
maka kami harus berbuat secepat-cepatnya. Serahkan senjata
dan kuda kalian, kami tidak akan mengganggu lagi."
"Maaf Ki Tambak Wedi," sahut seorang setengah umur di
antara yang lain. "Kami masih memerlukan senjata dan kudakuda
kami." Orang yang berbicara itupun kemudian mendesak maju,
mendorong kudanya untuk tampil di paling depan.
Sementara itu hari telah benar-benar menjadi terang. Matahari
telah memancar dari balik punggung bukit. Meskipun kabut
pagi masih agak tebal, namun semua wajah kini telah menjadi
semakin jelas. Wajah orang berkuda yang kini berada di paling depan itupun
kemudian menjadi jelas pula oleh Ki Tambak Wedi. Meskipun
ia telah menyebut nama orang itu, dan sedikit banyak
menduga bahwa orang itu akan datang di Sangkal Putung,
namun kebenaran dari dugaannya itu masih juga
mengejutkannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, "Kau
datang juga?" "Ya," sahut orang setengah umur itu. "Peristiwa penyerahan
sebagian besar orang-orang Jipang itu adalah peristiwa besar
bagi Pajang. Karena itu aku memerlukan menghadirinya.
Mudah-mudahan setelah peristiwa ini, Pajang akan menjadi
aman tenteram dari segala gangguan."
Ki Tambak Wedi tertawa pendek. Nadanya benar-benar
menyakitkan hati, katanya, "Ternyata kau kini seperti seekor
ikan di dalam wuwu. Betapa besar namamu, namun nyawamu
tidak juga seliat nyawa demit. Kau sangka bahwa kau tidak
dapat mati seperti ceritera tentang perguruan Kedung Jati
yang mampu menyimpan nyawa rangkap, hai anak Sela."
"Aku tidak percaya ceritera itu," sahut orang berkuda itu
karena itu. "Maka akupun tidak mengatakan demikian tentang
diriku." "Persetan!" teriak Ki Tambak Wedi. "Sayang aku tidak
mengenalmu sejak tadi karena kabut yang tebal dan karena
kau tertutup oleh orang-orangmu yang berkuda sebagai
perisaimu." "Aku mengenalmu sejak aku mendengar suaramu. Kau masih
saja berteriak-teriak seperti dahulu dan kau masih juga
bermain-main dengan gelang-gelang itu."
Ki Tambak Wedi menggeram sekali lagi. Kemudian katanya
sambil mengancam, "Jangan melawan. Orang-orangmu hanya
kurang dari separo orang-orangku. Betapa saktinya kau,
namun kau tidak akan dapat berbuat apa-apa. Serahkan
senjata dan kudamu. Kau akan selamat."
Orang itu tersenyum. Jawabnya, "Ki Tambak Wedi, kau belum
pernah menjadi seorang prajurit. Mungkin nilai sebatang
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tombak atau sehelai pedang bagimu, tidaklah begitu besar
seperti kami para prajurit menilainya."
"Betapa besar nilai senjatamu, namun nyawamu pasti lebih
bernilai dari padanya."
Kembali orang itu tertawa. Bahkan semakin keras. Jawabnya,
"Jangan berpura-pura tidak tahu bahwa aku dan orangorangku
tidak akan menerima permintaan itu. Bahkan aku
ingin tahu, kenapa kau menghalang-halangi penyerahan ini?"
"Itu bukan urusanku. Itu adalah urusan orang-orang Jipang
dan orang-orang Pajang. Sekarang yang penting bagiku
menyerahlah." "Kenapa kau terlalu tergesa-gesa" Marilah kita berbicara.
Mungkin ada hal-hal yang dapat kau mengerti atau sebaliknya,
yang selama ini terasa bersimpang siur. Misalnya tentang
muridmu, Sidanti. Kenapa ia terlampau tergesa-gesa untuk
menjadi Iurah Wira Tamtama" Kalau ia tekun, pasti ia akan
sampai ke jabatan itu."
"Hem, kau licik. Kau mencoba memperpanjang waktu, supaya
kau sempat menunggu Untara dan Widura yang akan datang
menolongmu." Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
tersenyum ia berkata, "Kau memang cerdas Ki tambak Wedi.
Tetapi jangan kau sangka bahwa jumlah yang sedikit ini tidak
akan mampu melawan orang-orangmu. Meskipun jumlah
orang-orangmu lebih dari dua kali lipat dari orang-orangku,
tetapi kami berada di atas punggung-punggung kuda. KakiTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
kaki kuda kami akan merupakan senjata tersendiri yang akan
dapat menginjak orang-orangmu menjadi lumat."
"Hanya anak-anak kecil yang mempercayai kata-katamu itu,"
sahut Ki Tambak Wedi. Tetapi Tambak Wedi menjadi mual
mendengarnya. "Ki Tambak Wedi," berkata orang itu. "Untuk yang terakhir
kalinya aku memperingatkanmu. Aku adalah pengemban
tugas negara, Kalau kau menghalang-halangi aku dan prajuritprajurit
Wira Tamtama ini, maka berarti bahwa kau telah
memberontak terhadap Pajang."
"Aku tidak memerlukan peringatan itu. Sekali lagi kau harus
tahu, Tambak Wedi bukan anak-anak. Tambak Wedi
menyadari apa yang terjadi. Bahkan Tambak Wedi telah
bertekad, Pajang harus dimusnahkan."
Orang yang berada di atas punggung kuda itu mengerutkan
keningnya. Perkataan ki Tambak Wedi itu benar-benar
menyinggung perasaannya. Meskipun demikian ia masih
berkata tenang, "Kalau demikian, kenapa kau memisahkan diri
dari Patih Mantahun, dan bahkan menyerahkan Sidanti ke
dalam lingkungan keprajuritan Pajang?"
"Persetan! Aku sangka orang-orang Pajang jujur menghadapi
kawan sendiri. Tetapi ternyata tidak."
"Itu hanyalah anggapanmu ki Tambak Wedi. Kau sendiri tidak
turut berbuat sesuatu. Bahkan muridmu itupun kemudian
berkhianat atas nasehatmu."
"Bukankah sudah pasti bahwa dengan demikian tidak ada
kata-kata lain untuk memberi julukan kepadaku, kepada Ki
Tambak Wedi" Aku memang hendak mbalela. Apa katamu"
Sekarang menyerahlah."
Orang di atas punggung kuda itu tidak lagi dapat menahan
kemarahannya. Meskipun demikian ia tidak menjadi
kehilangan keseimbangan. Sekali dilayangkan pandangan
matanya, beredar di sekelilingnya. Diawasinya setiap orang di
dalam barisannya dan setiap orang yang berdiri mengepung
orang-orangnya. "Yakinkan dirimu," berkata Ki Tambak Wedi, "bahwa kau harus
menyerah." Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada salah
seorang di dalam barisannya, "Jebeng, kau lihat anak muda
itu" Umurnya lebih tua dari padamu. la adalah murid Ki
Tambak Wedi. Anak itulah yang bernama Sidanti, yang ingin
dengan tangannya membunuh Tohpati dan kemudian
mencoba membunuh Untara. Meskipun ia tidak sesakti Arya
Penangsang, tetapi kepalanya ternyata lebih dingin daripada
Adipati Jipang." Seorang anak muda menggerakkan kudanya mendekati orang
setengah umur itu. Di tangannya digenggamnya sebatang
tombak pendek, berjuntai seutas tali berwarna kuning emas.
Semua mata kini terarah kepada anak muda itu. Dengan
sebuah senyum yang menggores di bibirnya ia berkata, "Dari
mana ayah tahu kalau anak muda itu yang bernama Sidanti?"
Orang tua setengah umur itu menjawab, "Senjatanya telah
mengatakan kepada kita. Nenggala di tangan kirinya itu
adalah ciri perguruan lereng Merapi. Bukankah begitu Ki
Tambak Wedi?" Tambak Wedi tidak menjawab. Namun terdengar ia
menggeram. Matanya sama sekali tidak lepas dari ujung
tombak di tangan anak muda yang kini telah berada di
samping orang setengah umur yang ternyata adalah ayahya.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi berpaling ketika ia mendengar ayah
anak muda itu berkata, "Ki Tambak Wedi, tombak itu sama
sekali bukan Kyai Plered yang terkenal. Kali ini kami sama
sekali tidak membawa pusaka keramat itu. Yang dibawa oleh
anak ini adalah sebuah tombak lain, meskipun juga sebuah
tombak pusaka hadiah Adipati Pajang. Namanya mungkin
belum pernah kau dengar, "Kiai Pasir Sewukir"."
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Bahkan kini ia
berkata, " Aku tidak peduli apakah yang dibawanya Kiai Plered
atau bukan. Meskipun seandainya yang dibawanya itu
Tombak Kiai Plered pun, bagiku tidak berarti apa-apa.
Sekarang menyerahlah. Jangan memperpanjang waktu. Kalau
habis sabarku, maka aku tidak akan memberimu kesempatan
lagi." Orang di atas punggung kuda itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian sekali lagi dipandanginya setiap wajah dari para
prajurit Jipang. Beberapa orang telah dikenalnya dengan baik.
Karena itu kemudian disapanya orang yang berdiri di sisi
Sidanti, "He, Sanakeling. Kau juga berada di sini?"
Betapa besar hati orang itu, dan betapa kebenciannya
membakar dadanya terhadap orang-orang Pajang, namun
perbawa orang itu telah menundukkan kepalanya.
Sikap itu sama sekali tidak menyenangkan Ki Tambak Wedi,
sehingga terdengar ia membentak, "Sanakeling, apakah arti
orang itu bagi panglima prajurit Jipang?"
Sanakeling menyadari kedudukannya. Pertanyaan Ki Tambak
Wedi telah benar-banar mengungkat kejantanannya, sehingga
kemudian ia mejawab lantang, "Bukan Kiai. Orang itu tidak
berarti apa-apa bagiku."
Tiba-tiba terdengar anak muda yang menggenggam tombak
berjuntai kuning itu tertawa. Kataya, "Paman Sanakeling.
Apakah paman lupa terhadap kami. Aku dan ayah?"
Sanakeling menggeram. Tetapi kembali ia dicengkam oleh
wibawa ayah dan anak yang berada di atas punggung kuda
itu. Yang menjawab kemudian adalah Sidanti, "Kita berhadapan
sebagai lawan. Jangan mencoba mengungkat perasaan yang
dapat melemahkan lawan. Seorang yang berhati jantan tidak
akan berbuat selicik itu."
Anak muda di atas punggung kuda itu mengerutkan
keningnya. Sekilas ditatapnya wajah ayahnya. Tetapi wajah
orang tua itu sama sekali tidak membuat kesan apapun atas
kata-kata Sidanti, bahkan sambil tersenyum ia berkata, "Murid
Ki Tambak Wedi ternyata mempunyai kesamaan dengan
gurunya. Adatnya agak terlampau keras di samping nafsunya
yang melonjak-lonjak sehingga hampir-hampir Untara
dikorbankannya." "Aku meyesal bahwa Untara itu tidak mati," Sahut Sidanti.
Sekali lagi anak muda di punggung kuda itu mengerutkan
keningnya, namun ayahnya masih setenang itu menjawab,
"Bagaimana kalau kau mendapat kesempatan sekali lagi?"
Sidanti heran mendengar pertanyaan itu. la tidak mengerti
sama sekali, apakah maksudnya. Namun orang itu
menjelaskan, "Maksudku, sebentar lagi Untara pasti akan
datang. Bukankah kau akan dapat berhadapan sekali lagj?"
Sidanti menggeram. Terasa dadanya bergelora dan
kemarahannya segera membakar ubun-ubunnya. Apalagi
ketika ia mendengar anak muda yang membawa tombak itu
tertawa. "Persetan dengan Untara!" teriak Sidanti, "ayo siapa namamu
dan siapa anak muda yang sombong itu. Mungkin kau belum
mengenal Sidanti." Sanakeling tiba-tiba berpaling. Dipandanginya wajah Sidanti,
Sanakeling hampir tidak percaya bahwa Sidanti benar-benar
belum mengenal orang itu ayah beranak. Sehingga tanpa
dikehendakinya ia berdesis, "Adi Sidanti, apakah kau belum
pernah melihatnya?" Sidanti terkejut mendengar pertayaan itu. la adalah bekas
prajurit Pajang. Namun selama tugasnya yang pendek ia
belum pernah bertemu dengan kedua orang itu, seperti ia
belum begitu mengenal Untara sebelumnya.
Namun Sidanti tidak terlampau lama berteka-teki. la
mendengar gurunya menjawab pertanyaanya, meskipun
ternyata jawaban itu benar-benar mengejutkannya. "Apakah
kau belum pernah mengenal mereka selama kau menjadi
prajurit, Sidanti" Kalau belum, itu adalah pertanda kelicikan
orang-orang yang berada di atasmu. Mereka dengan sengaja
menjauhkan kau dari pimpinan-pimpinan yang lebih tinggi
supaya mereka tidak melihat kelebihanmu daripada mereka.
Bukankah dengan sengaja Widura menyembuyikan kau di
padesan dan menugaskan kau selama ini jauh dari pusat
pemerintahan Pajang, meskipun kemampuanmu setingkat
dengan senapati besar dari Jipang yang bernama Tohpati dan
bergelar Macan kepatihan?"
Sekali lagi Sldanti mencoha mengingat-ingat, siapakah kedua
orang ayah beranak itu. Mungkin ia merasa pernah melihat
perwira Wira Tamtama itu. Tetapi apakah pedulinya sekarang,
selagi keadaannya telah menjadi semakin jauh dari
kemungkinan-kemungkinan lain daripada menghadapi setiap
orang Pajang sebagai lawan.
Orang yang berkuda itu kemudian menyahut, "Bukan salah
Widura dan bukan pula salah Sidanti. Tidak selalu setiap
prajurit pernah melihat dan mengenal wajah prajurit yang lain.
Mungkin namaku perhah didengarnya dan nama anakku ini.
Tetapi wajahku dan wajah anakku ini mungkin pula belum."
Sidanti memandang laki-laki setengah umur di atas punggung
kuda itu tanpa berkedip. Dicobanya untuk mengingat-ingat
satu demi satu perwira Wira Tamtama yang dikenalnya.
Akhirnya, lambat laun, ingatan Sidanti menyentuh sebuah
wajah yang pernah dikenalnya. Tetapi wajah itu terlampau
besar bagi orang yang berkuda di hadapannya itu. Ketika ia
melihatnya beberapa bulan yang lampau, orang itu berada
dalam satu barisan yang lengkap disertai dengan segala
macam tanda-tanda kebesaran. Orang itu memakai pakaian
kebesarannya pula. Sedang kini, Iaki-laki itu mengenakan
pakaian keprajuritan, tanpa tanda-tanda kebesaran selain ciri
seorang perwira dari Wira Tamtama.
Dada Sidanti menjadi berdebar-debar karenanya. Namun
akhirnya ia dapat menguasai dirinya ketika ia melihat sikap
gurunya. Guruya sama sekali tidak menjadi cemas
menghadapi Iaki-laki berkuda itu, bahkan seandainya
kenangannya itu benar, iapun harus bersikap seperti gurunya
pula. Yang terdengar adalah suara Ki Tambak Wedi, "Sidanti, kalau
kau belum mengenal sekalipun bukanlah soal bagimu. Justru
lebih baik apabila kau belum tahu siapa yang kau hadapi
supaya hatimu tidak terpengaruh. Tugasmu sekarang adalah
ambil tombak yang bernama Kiai Pasir Sewukir dari tangan
anak sombong itu. Jangan hiraukan apa yang pernah
dilakukan dahulu. Jangan menjadi silau, sebab ia tidak
membunuh Arya Penangsang dengan jujur, tetapi ia
mempergunakan kuda betina untuk membuat kuda Arya
Penangsang tidak dapat dikendalikan. Dengan demikian,
kesempatan bertempur Arya Penangsang sangat terganggu
oleh kudanya yang bernama Gagak Rimang, karena kuda itu
melihat kuda betina Loring Pasar."
Kini dada Sidanti benar-benar bergelora. Anak muda itulah
yang bergelar Ngabehi Loring Pasar, yang sebelumnya lebih
terkenal bernama Sutawijaya. Kalau demikian siapakah lakilaki
itu" Ayah Sutawijaya adalah Ki Gede Pemanahan, sedang
ayah angkatnya adalah Adipati Pajang sendiri. Kalau demikian
benar dugaannya, laki-laki itu adalah Ki Gede Pemanahan
yang pernah dilihatnya dalam kelengkapan kebesaran
seorang Panglima Wira Tamtama.
Sidanti yang tiba-tiba terpaku itu mendengar gurunya berkata,
"Nah Sidanti, jangan cemas. Kau sekarang tidak berada di
atas punggung kuda seperti Gagak Rimang. Kau dapat
mempercayakan setiap langkah pada kakimu sendiri."
Anak muda itu, yang sebenarya Sutawijaya, mengerutkan
keningnya. Kata-kata Ki tambak Wedi itu benar-benar
menyakitkan hatinya, seolah-olah ia telah membunuh Arya
Penangsang dengan curang. Tetapi sebelum ia menjawab,
terdengar ayahnya, yang tidak lain adalah Ki Gede
Pemanahan menjawab, "Jebeng, jangan hiraukan kata-kata
orang tua itu. la ingin membesarkan hati muridnya. Apa yang
terjadi atas Arya Jipang itu, biarlah ditafsirkan menurut
kehendaknya. Sekarang hadapilah murid Ki Tambak Wedi. la
tidak dapat bertahan diri terhadap Macan kepatihan. la pernah
mencoba bertempur melawannya, seorang lawan seorang,
namun Widura terpaksa membantunya sebelum kepalanya
dipecahkan oleh tongkat Baja Putih berkepala tengkorak itu.
Kemudian ia tidak berani melawan Untara wajah berhadapan
dengan wajah. la menusuknya dari belakang. Bahkan
melawan adik Untara yang bernama Agung Sedayu pun,
Sidanti berbuat curang. Dalam perkelahian tanpa senjata,
anak muda yang gagah perkasa itu terpaksa memungut
sepotong kayu untuk mempersenjatai diri."
"Cukup!" Potong Ki Tambak Wedi dengan marahnya. Ternyata
semua yang terjadi di Sangkal Putung telah dilaporkan kepada
Panglima Wira Tamtama ini. "Apakah dengan demikian kau
tidak sedang mencoba membesarkan hati anakmu itu pula"
Anak yang kau bangga-banggakan telah membunuh Arya
Penangsang." Ki Ageng Pemanahan tertawa. Tetapi sebelum ia menjawab
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdengar Ki Tambak Wedi itu berteriak, "Kenapa kalian
melihat saja seperti menonton tayub?"
Para prajurit Jipang terkejut mendengar teriakan itu. Sejenak
mereka belum dapat menanggapi maksudnya. Baru sesaat
kemudian mereka menyadari kata-kata Ki Tambak Wedi yang
diterus-kanya, "Ayo, kalau kalian mampu membinasakan
orang yang bernama Pemanahan yang merupakan otak dari
kematian Arya Penangsang, dan anaknya yang hanya
dipakainya sebagai alat saja dalam usaha pembunuhan yang
keji itu, maka dendam kalian akan terbalaskan. Kedua orang
ini beserta Penjawi dan Ki Juru Mertani-lah biang keladi dari
pembunuhan yang tidak jantan. Mereka menunggu saat Arya
Penangsang menyeberang sungai. Sebelum Adipati Jipang
mencapai tebing, maka orang Pajang telah menghujaninya
dengan anak panah atas Arya Penangsang beserta kudanya
Gagak Rimang. Apalagi Sutawijaya telah membuat Gagak
Rimang gila dengan kuda betinanya."
Sutawijaya tidak dapat menahan diri lagi mendengar kata-kata
Ki Tambak Wedi, tetapi ayahya menggamitnya. Sehingga
dengan dada sesak ia terpaksa masih saja tetap berdiam diri
di atas punggung kudanya. Namun ujung tombaknya yang
bernama Kiai Pasir Sewukir telah bergetar.
Ketika Ki Tambak Wedi terdiam, barulah Pemanahan
menjawab, "Apakah masih ada yang ingin kau katakan Ki
Tambak Wedi, mungkin kesempatan ini adalah
kesempatanmu yang terakhir untuk melepaskan dendam dan
kebencianmu, karena kegagalan-kegagalan yang dilakukan
oleh muridmu. Tetapi sadarilah bahwa bukan hanya
Pemanahan, bukan haya Ki Juru Mertani, bukan hanya
Penjawi dan beberapa orang saja yang melihat peperangan
yang menentukan, tetapi seluruh prajurit Pajang dan Jipang
yang saat itu berada dalam pertempuran, melihat apa yang
terjadi. Kalau Tohpati masih hidup, kau akan dapat bertanya
kepadanya. Bagaimna dengan Sanakeling dan, he, apakah
anak muda yang bermata setajam mata burung alap-alap itu
yang bernama Alap-alap Jalatunda?"
"Persetan!" teriak Ki Tambak Wedi. "Kau benar-benar licik.
Kau hanya memperpanjang waktu saja. Ayo, para prajurit
Jipang, mulailah. Kesempatan yang aku berikan telah disiasiakan
oleh Panglima yang merasa dirinya pilih tanding ini."
Orang-orang Jipang yang mengepung para prajurit Wira
Tamtama Pajang, yang langsung dipimpin oleh panglimanya
sendiri itu mulai bergerak. Beberapa orang segera meloncati
parit-parit dan mengayun-ayunkan senjata mereka. Tetapi
bagaimanapun juga gerak orang-orang Jipang itu masih belum
mantap. Sanakeling sendiri masih dicengkam oleh keraguraguan
dan debar jantungnya yang tidak menentu. Orang
yang berada di punggung kuda ayah beranak itu terlampau
besar baginya. Mungkin tidak bagi Ki Tambak Wedi yang
sama sekali tidak terikat dalam hubungn keprajuritan. Apabila
Macan Kepatihan masih ada, mungkin Tohpati itupun akan
menghadapi mereka dengan tatag. Tetapi baginya, bagi
Sanakeling, pekerjaan itu benar-benar merupakan pekerjaan
yang terlampau berat. Bukan saja Sanakeling, tetapi Alap Alap Jalatunda dan kawankawannya
mempunyai sikap serupa. Ki Gede Pemanahan
adalah seorang panglima yang namanya menggema tidak
saja di seluruh Pajang dan Jipang. Bahkan merata ke seluruh
daerah Demak. Ki Tambak Wedi itupun melihat keragu-raguan dalam setiap
gerak orang-orang Jipang. Mereka bergeser, tetapi tidak
mendekati para prajurit Pajang, sehingga orang tua itu
kemudian berteriak, "He, apa yang kalian tunggu. Dengar
perintahku. Bunuh semua orang-orang Pajang secepatnya
sebelum Untara datang memancung leher kalian atau
menggantung kalian di alun-alun Pajang.
Perintah itu ternyata telah membangunkan orang-orang
Jipang. Mereka benar-benar dihadapkan pada suatu
keharusan untuk melawan. Kalau tidak, maka mereka akan
mengalami akibat yang sangat pahit.
Apalagi ketika Ki Tambak Wedi berteriak, "Rencana kita tidak
akan dapat berjalan seperti yang kita harapkan sepenuhnya.
Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang Pajang ini. Ayo,
jadikanlah mereka tebusan dari kegagalan itu. Meskipun kita
tetap mengharap orang-rang Pajang di Sangkal Putung
menjadi gila dan berbuat seperti yang kita inginkan."
Kini orang-orang Jipang menjadi semakin mantap. Sementara
itu kuda-kuda orang Pajang pun telah bergerak-gerak.
Beberapa orang mendorong kudanya maju dan yang lain
menghadap ke arah yang berlawanan. Musuh mereka berada
di muka dan di belakang. Tempat itu sama sekali tidak
menguntungkan bagi pertempuran di atas punggung kuda.
Ki Gede Pemanahan memperhatikan keadaan itu sesaat.
Karena itu ia harus mendapat daerah yang cukup luas, supaya
mendapat kesempatan yang lebih baik. Orang-orang Jipang
yang berdiri di atas tanah akan menjadi lebih lincah karena
daerah yang sempit. Di kiri-kanan jalan itu adalah tanah persawahan yang sedang
ditumbuhi oleh batang-batang jagung muda. Tanahnya tidak
begitu basah, karena tanaman itu tidak memerlukan air yang
tergenang. Karena itu, maka terdengar Panglima Wira
Tamtama itu langsung memberi aba, "He para prajurit Pajang.
Kita terpaksa minta maaf kepada orang-orang Sangkal
Putung. Kita akan meminjam tanah mereka untuk berlatih
perang-perangan di atas punggung kuda."
Ki Tambak Wedi menggeram mendengar aba-aba itu. Cepat
ia berteriak, "Cegah mereka. Jangan diberi kesempatan
meninggalkan jalan sempit ini, supaya mereka segera
tertumpas di dalamya."
Tetapi teriakan itu hampir-hampir tidak berarti. Kuda-kuda
para prajurit Pajang telah mendesak mereKa. Dengan senjata
di tangan para penunggang kuda itu mencoba mendapatkan
jalan bagi kuda mereka. Beberapa ekor kuda telah berhasil
meloncat parit yang sempit. Tetapi karena kejutan-kejutan
orang-orang Jipang, ada juga kuda yang gagal, sehingga kuda
itu tergelincir masuk ke dalam parit. Namun dengan
tangkasnya para penunggangnya meloncat turun dan
melawan orang-orang Jipang yang menyerangnya di atas
tanah. Pemanahan mengerutkan keningnya melihat orang-orangnya
yang gagal itu. Tetapi mengharap bahwa mereka akan dapat
bertahan dan menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Meskipun demikian, Ki Gede Pemanahan segera berseru,
"Jangan lepaskan kuda-kuda itu."
Memang beberapa orang yang terjatuh itu masih berusaha
untuk meloncat kembali ke atas punggung-pungung kuda
mereka yang telah berhasil merangkak keluar dari dalam parit.
Tetapi orang-orang Jipang selalu mencoba menghalanghalangi.
Peperanganpun segera berkobar. Orang-orang Jipang mulai
menyerang dengan sengitnya. Tetapi para prajurit Pajang
yang sempat meninggalkan jalan yang sempit itu segera
membuat arena menjadi semakin luas. Mereka terpaksa tidak
menghiraukan lagi batang-batang jagung muda. Kaki-kaki
kuda mereka dengan garangnya telah merambas batangbatang
jagung itu, sehingga sesaat kemudian sawah itu telah
hampir menjadi gundul. "Setan!" teriak Ki Tambak Wedi yang menjadi semakin cemas
melihat perkembangan keadaan. Ternyata para prajurit
berkuda dari Pajang itu cukup tangkas melawan orang-orang
Jipang yang jumlahnya dua kali lipat dari jumlah mereka.
Bahkan beberapa orang yang terjatuh dari kudanya, telah
berhasil meloncat kembali ke atas punggung-punggung kuda.
Sedangkan mereka yang tidak berhasil, tidak juga menjadi
cemas melihat perkembangan keadaan karena kawan-kawan
mereka hampir selalu membantu mereka, dan mengusahakan
kesempatan supaya mereka berhasil meloncat ke punggung
kuda masing-masing. Para prajurit Pajang kini bertebaran di sawah-sawah. Mereka
bertempur seperti burung rajawali. Sekali mereka memacu
kudanya melingkar, namun sejenak kemudian seperti seekor
burung yang menukik dari langit, meyambar lawan-lawannya
dengan garangnya. Sidanti menjadi semakin marah melihat perkembangan
keadaan. Dengan demikian ia tidak akan berhasil mengikat
seorang lawan di arena. la harus dengan penuh kewaspadaan
memperhatikan setiap derap kuda yang menyambarnya.
Sanakeling pun mengumpat tak habis-habisnya. Selagi ia
sedang mencoba bersama seorang kawannya menekan
seorang prajurit Pajang yang kehilangan kudanya, maka
setiap kali kuda yang lain datang menyerangnya. Bahkan
hampir menginjaknya apabila ia tidak cukup cepat
menghindar. Sehingga dengan demikian pertempuran itu
menjadi pertempuran yang cukup kalut bagi kedua belah
pihak. Arena pertempuran itupun menjadi semakin lama semakin
luas. Kuda-kuda para prajurit Pajang berlari melingkar-lingkar
dengan garangnya. Setiap prajurit di atas punggung kuda itu
telah me-mutar pedangnya dan menyambar-nyambar dengan
dahsyatnya. Tetapi yang dihadapi adalah prajurit-prajurit pula.
Dengan tangkasnya orang-orang Jipang melawam para
prajurit berkuda itu. Tetapi ternyata ketika orang-orang Pajang
berhasil memperluas lingkaran pertempuran maka keadaan
mereka menjadi lebih menguntungkan.
Ki Tambak Wedi hanya sesaat sempat mengamati
pertempuran itu. Segera ia menggenggam kedua gelanggelang
besi di kedua belah tangannya untuk melawan
panglima Wira Tamtama yang perkasa itu.
Ki Gede Pemanahan pun menyadari, bahwa ia kini
berhadapan dengan seorang yang memiliki kemampuan luar
biasa. Orang yang pernah menjadi sahabat Patih Mantahun
dan orang kedua dari perguruan Kedung Jati, yang bernama
Sumangkar. Tetapi Ki Tambak Wedi ternyata tidak setia.
Ditinggalkannya Jipang menjelang kehancurannya. Bahkan
kemudian muridnya muncul menjadi seorang prajurit Wira
Tamtama di bawah pimpinan Widura.
Untuk melawan senjata Ki Tambak Wedi yang aneh itu, Ki
Gede Pemanahan tidak mempergunakan pedangnya. Ia ingin
melawan hantu itu pada jarak yang sependek gelang-gelang
besi itu. Karena itu ketika Ki Tambak Wedi mulai meloncat
menyerangnya, maka di tangan panglima Wira Tamtama itu
tergenggam sebilah keris. Keris yang seolah-olah bercahaya
kebiru-biruan, berlekuk sebelas dan berbentuk seekor Naga,
Naga Kemala. Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya melihat keris itu.
Sesaat ia terhenyak surut. Ditatapnya keris itu tajam-tajam. Ia
terkejut ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa
sambil berkata, "Kau memperhatikan kerisku ini Ki Tambak
Wedi. Sama sekali bukan Kiai Nagasasra. Meskipun dapurnya
mirip, namum kerisku ini adalah Kiai Naga Kemala. Masih
selapis lebih rendah dari Kiai Nagasasra, yang kini telah
berada di Kadipaten Pajang bersama pusaka-pusaka Demak
yang lain." Ki Tambak Wedi itu menggeram. Sahutnya, "Persetan dengan
Naga Kemala. Meskipun yang kau genggam itu Kiai
Nagasasra sekalipun aku tidak akan gentar. Bahkan di kedua
belah tanganmu tergenggam pusaka-pusaka Demak yang
lain, Kiai Sabuk lnten, Kiai Sengkelat dan apa saja."
Ki Gede Pemanahan tidak menyahut. Didorongnya kudanya
maju dan dengan sigapnya ia menggerakkan senjatanya. Ki
Tambak Wedi mundur selangkah, tetapi tiba-tiba ia meloncat
secepat kilat menghantam mata kaki Ki Gede Pemanahan.
Tetapi Ki Gede Pemanahan telah bersiap menghadapi setiap
kemungkinan, sehingga karena itu, maka dengan sigapnya
pula ia mampu menghindarkan mata kaki itu. Sebuah
sentuhan dari gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi pasti akan
mampu memecahkan tulang-tulangnya.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak membiarkannya. Sekali lagi ia
meloncat menyerang dengan garangnya. Namun sekali lagi Ki
Gede Pemanahan mampu menghindarinya pula.
Bahkan kemudian ia tidak membiarkan dirinya selalu
menghindar dan menghindar. Sejenak kemudian ditariknya
kendali kudanya dan kuda itupun meringkik dan meloncat.
Sekali kuda itu berputar, kemudian menerjang Ki Tambak
Wedi yang berdiri tegak di atas tanah dengan sepasang
kakinya yang kokoh kuat. Dengan mengumpat-umpat orang tua yang menghantui
Lereng Merapi itu meloncat menghindari kaki-kaki kuda Ki
Gede Pemanahan. Bahkan semakin lama ialah yang harus
semakin sering menghindarkan diri, karena kuda itu dengan
lincahnya meloncat berputar kemudian berlari menyambarnya.
Keris di tangan panglima Wira Tamtama itu sekali-sekali
berada di tangan kanannya, namun kemudian telah berpindah
di tangan kiri, seolah-olah berloncatan dari satu tangan ke
tangan yang lain. Betapa kakinya menghentak-hentak, apabila
kudanya berlari terlampau jauh, namun kemudian
tangannyalah yang terayun-ayun apabila kudanya menyambar
Ki Tambak Wedi. Pertempuran antara keduanya semakin lama mejadi semakin
sengit. Ternyata serangan-serangan Ki Tambak Wedi pun
semakin lama mejadi semakin berbahaya pula. Apabjla ia
gagal menyerang tubuh lawannya, maka ia berusaha
mengenai tubuh kudanya. Apabila kuda itu dapat dirobohkan,
maka pekerjaanya tidak akan sedemikian sulitnya.
Di sudut lain, Sidanti bertempur dengan gigi gemeretak.
Dilihatnya anak muda yang bernama Mas Ngabehi Loring
Pasar, meyambutnya dengan sebuah senyum yang
menyakitkan hati. Tombak di tangan anak muda itu memang
mendebarkan jantungnya meskipun ia tahu bahwa tombak itu
bukanlah tombak yang bernama Kiai Pleret. Menurut
pendengaranya Kiai Pleret itu berlandean panjang, sedang
yang dibawa oleh anak muda itu berlandean agak pendek.
Hati Sidanti menjadi semakin panas ketika ia mendengar anak
muda itu berkata kepada seorang prajurit Pajang, "Lindungi
aku dari panyerang-penyerang yang curang. Aku ingin
melawan murid Ki Tambak Wedi ini dengan cara yang adil.
Aku tidak mau dituduh membuat lawanku gila karena aku
memakai kuda yang tegar dan lincah, seperti orang-orang
Jipang menganggap aku berbuat curang terhadap Adipati
Jipang, meskipun anak muda yang bernama Sidanti ini sama
sekali tidak dapat disejajarkan dengan Paman Arya
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penangsang yang perkasa itu."
"Gila!" Teriak Sidanti. "Jangan terlampau sombong. Kaulah
yang ternyata menjadi gila karena orang menganggapmu
dapat mengalahkan Adipati Jipang yang Iengah, sehingga
kerisnya sendiri menggores ususnya. Kalau tidak, maka
perutmulah yang akan disobeknya dengan pusakanya, Kiai
Setan Kober." Mas Ngabehi Loring Pasar, yang juga disebut Sutawijaya
tertawa. Jawabnya, "Marilah kita lihat, apakah kau akan mati
dengan senjatamu sendiri atau
karena tombakku Kiai Pasir
Sewukir." Hati Sidanti menjadi semakin
panas ketika tiba-tiba Sutawijaya meloncat dari punggung kudanya. Kini anak
yang masih sangat muda itu
menghadapinya dengan kakinya
di tanah. Sidanti menggeram seperti
seekor harimau lapar melihat
seekor kijang. Matanya merah
memancarkan kemarahan dan
kebencian. Sikap Sutawijaya itu dirasakannya sebagai
penghinaan terhadapnya. Dengan gigi yang gemeretak Sidanti menggeram, "Kau benarbenar
anak yang sombong. Meskipun dadamu berlapis baja,
tetapi kau akan luluh karena kesombonganmu itu sendiri."
Sutawijaya yang berdiri di hadapannya menjawab, "Aku hanya
ingin berbuat adil supaya kelak tidak lagi ada tafsiran yang
aneh-aneh. Kalah atau menang, kita berada dalam keadaan
yang seimbang." Dengan marahnya Sidanti menyahut, "Setelah aku melihat
tampangmu, maka aku semakin yakin, bahwa bukan kau yang
sebenarnya membunuh Arya Penangsang. Tetapi adalah
karena perbuatan kalian ayah beranak yang curang dan licik
itulah yang menyebabkan gugurnya Adipati yang berani itu."
"ltulah sebabnya aku sekarang berbuat dengan hati-hati
supaya kelak tidak ada orang yang berkata bahwa Sidanti
dibunuh dengan licik. Sidanti mati karena terinjak kaki-kaki
kuda, atau cerita lain yang nadanya serupa dengan itu.
Serupa dengan nada lagu dari kidung kematian Arya
Penangsang." Sekali lagi Sidanti menggeram. Kemarahannya telah sampai
ke atas ubun-ubunnya. Dengan gigi gemeretak ia meloncat
sambil menggerakkan pedangnya langsung menyambar dada
Sutawijaya. Sutawijaya ternyata telah cukup bersiaga.
Selangkah ia meloncat surut. Namun dengan tiba-tiba pula
tombaknya terjulur lurus mematuk lambung Sidanti.
Sidanti terkejut melihat ujung tombak yang demikian cepatnya
menyambarnya. Hampir-hampir perutnya tersobek pada
loncatan pertama. Terdengar ia mengumpat sekali, dan
dengan cepatnya pula ia menghindar ke samping.
Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Jangan mengumpat-umpat.
Lebih baik kau memperhatikan ujung tombakku supaya
perutmu tidak terbelah."
"Kau benar-benar anak yang sombong," teriak Sidanti. Tetapi
kata-katanya seolah-olah patah di tengah. Tiba-tiba sekali lagi
ia terkejut. Tombak Sutawijaya seolah-olah mengejarnya dan
kembali mematuk lambungnya.
"Gila!" teriaknya tanpa sesadarnya. Sekali lagi ia harus
meloncat ke samping. la belum mendapat kesempatan untuk
mempergunakan pasangan senjatanya. Serangan Sutawijaya
benar-benar mengejutkannya. Bahkan kecepatan bergerak
anak muda itu sama sekali di luar dugaannya.
Sekali lagi Sutawijaya tersenyum. Dibiarkannya Sidanti
memperbaiki kedudukannya. Kini kedua senjatanya bersilang
seakan sebuah perisai yang tidak akan dapat ditembus oleh
senjata macam apapun. Sutawijaya melihat sikap itu. Ia menyadari bahwa Sidanti telah
benar-benar berada dalam kesiap-siagaan yang tertinggi. Kini
ia tidak dapat sekedar menyerangnya dengan kejutan-kejutan.
Kini segenap geraknya harus diperhitungkan benar-benar.
(***) Buku 15 DEMIKIANLAH, maka sejenak kemudian mereka berdua telah
terlibat dalam sebuah pekelahian yang semakin sengit.
Pedang Sidanti berputar dengan cepatnya sedang senjata
khususnya di tangan kiri dipergunakannya sebagai perisai,
namun kadang-kadang senjata itulah yang mematuk dengan
sangat berbahaya. Sebuah sentuhan dan goresan pada kulit
lawan, maka akibatnya akan dapat berarti maut.
Tetapi lawan Sidanti itu dapat mempergunakan senjatanya
dengan sangat cekatan pula. Sepasang kakinya ternyata
terlampau lincah. Loncatan-loncatan yang panjang telah
membingungkan lawannya. Ujung tombaknya yang bernama
Kiai Pasir Sewukir ternyata dapat menusuk lawannya dari
segala arah. Ujung yang satu itu seolah-olah kini berubah
menjadi berpuluh-puluh mata tombak yang mematuk dari
segenap penjuru. Sementara itu pertempuran semakin lama menjadi semakin
seru. Orang-orang Jipang yang berjumlah lebih dari dua kali
lipat itu terpaksa menahan nafsu mereka untuk segera dapat
membinasakan lawan mereka. Para prajurit Pajang ternyata
mampu menguasai medan dengan derap kuda mereka.
Bahkan kini orang-orang Jipang sama sekali sudah tidak
mampu untuk mengepung para prajurit Pajang yang dapat
bergerak lebih cepat dari mereka.
Tetapi orang-orang Jipang yang seakan-akan mendapat
kesempatan untuk meluapkan dendam mereka itu, bertempur
dengan nafsu yang menyala-nyala. Ki Gede Pemanahan dan
Sutawijaya adalah penyebab langsung dari kematian Adipati
Jipang. Karena itu, maka apabila orang-orang Jipang itu dapat
membinasakan keduanya, maka seolah-olah sebagian dari
dendam mereka sudah dapat mereka lepaskan. Apalagi
jumlah mereka yang jauh lebih banyak dari pada lawan-lawan
mereka. Dalam kekalutan peperangan, maka satu demi satu para
prajurit Pajang terpaksa berloncatan turun dari kuda-kuda
mereka. Orang-orang Jipang yang menemui beberapa
kesulitan atas kuda-kuda lawan mereka, ternyata telah
berusaha untuk pertama-tama melumpuhkan kuda-kuda itu.
Dengan demikian, maka para penunggangnya akan terpaksa
turun dan bertempur di atas tanah.
Para prajurit Pajang pun menyadari pula cara itu. Sebagian
dari mereka yang masih berada di punggung-punggung kuda
mereka, kini menyerang orang-orang Jipang dengan cara
yang lain. Mereka menyambar-nyambar seperti elang.
Menukik, kemudian membubung tinggi. Pedang-pedang
mereka yang tajam berkilat-kilat seakan-akan memancarkan
sinar yang melontar dari daerah maut.
Namun bagaimanapun juga, jumlah yang jauh lebih banyak
itupun banyak mempengaruhi keadaan. Apalagi yang
berjumlah dua kali lipat itupun terdiri dari prajurit-prajurit yang
cukup terlatih dan berpengalaman pula dalam berbagai bentuk
pertempuran. Ki Gede Pemanahan melihat keadaan itu dengan hati yang
berdebar-debar, tetapi ia tidak dapat melepaskan Ki Tambak
Wedi. Bahkan ia harus tetap berusaha mengikat orang tua itu
dalam pertempuran melawannya. Meskipun demikian Ki Gede
Pemanahan berusaha supaya ia tetap berada di atas
punggung kudanya. Meskipun demikian, keadaan yang menguntungkan itu masih
belum memuaskan Ki Tambak Wedi. Ia ingin pekerjaan itu
cepat selesai. Orang-orang Pajang itu segera dapat
dibinasakan, untuk kemudian mereka akan segera
menghilang. Setelah mereka berhasil meninggalkan bencana
yang akan membakar tidak saja para prajurit Pajang di
sangkal Putung, tetapi segenap prajurit Pajang yang tersebar
di pasisir Kidul sampai ke pasisir Lor. Meskipun Ki Tambak
Wedi menyadari akibatnya kemudian, namun ia telah
menyiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan itu. Ia
akan dapat menghimpun kekuatan dengan segera di lereng
Merapi ini. Kemudian memanfaatkan kekuatan yang tersimpan
di seberang hutan Mentaok, di sepanjang pegunungan
Menoreh, daerah yang dikuasai oleh ayah Sidanti. Seorang
kepala daerah perdikan yang perkasa. Seorang sahabat yang
mempercayakan anaknya kepada Ki Tambak Wedi bukan
karena ia sendiri tidak mampu untuk menempa anaknya,
tetapi karena pekerjaannya yang hampir merampas seluruh
waktunya, maka dipercayakannya anaknya, harapan bagi
masa depannya itu kepada seorang sahabatnya, Ki Tambak
Wedi. Karena itu, maka dalam pertempuran itu Ki Tambak Wedi
sendiri telah memeras segenap kemampuannya. Namun yang
dihadapi adalah Panglima Wira Tamtama, Ki Gede
Pemanahan. Orang yang kadang-kadang disebut-sebut telah
mewarisi kesaktian leluhurnya, mampu menguasai petir.
Tetapi yang tampak pada Ki Gede Pemanahan adalah
kedahsyatan tangannya. Telapak tangannya benar-benar
seperti menyimpan tenaga petir. Apabila tubuh lawannya
tersentuh oleh tangan itu, maka akibatnya akan melampaui
sebuah pukulan senjata yang betapapun kerasnya. Melampaui
hantaman bindi atau bahkan tidak kalah dengan tongkat baja
putih Macan Kepatihan. Sedang anaknya, Sutawijaya, yang bertempur melawan
Sidanti itupun ternyata memiliki kelincahan yang
mengagumkan. Selincah petir yang menari-nari di langit.
Sidanti, murid Ki Tambak Wedi yang perkasa itu, terpaksa
memeras keringatnya menghadapi ujung tombak Sutawijaya.
Berkali-kali Sidanti terpaksa meloncat surut. Berkali-kali
Sidanti terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Untung
tombak Sutawijaya seakan-akan memiliki biji-biji mata.
Kemana ia menghindar, ujung tombak itu selalu mengejarnya.
Kini Sidanti terpaksa mengakui di dalam hatinya, bahwa
Sutawijaya tidak hanya dapat berceritera tentang kematian
Arya Penangsang yang perkasa. Kini Sidanti terpaksa
mengalami kegelisahan karena anak muda itu. Sepasang
kakinya seolah-olah tidak lagi terjejak di atas tanah.
Berloncatan dari satu sisi ke sisi lawannya yang lain.
Meskipun sebenarnya kemampuan Sutawijaya belum
mengimbangi kesaktian Arya Penangsang yang sewajarnya,
namun Sidanti tidak akan dapat bertahan untuk
menghadapinya. Keringatnya mengalir dari segenap lubanglubang
kulitnya, dan bahkan dari telapak tangannya, sehingga
gagang pedangnya serasa menjadi licin.
"Gila," Sidanti menggeram di dalam hati. la tidak menyangka
bahwa suatu ketika ia akan berhadapan dengan anak muda
selincah itu. Ia pernah berkelahi melawan Agung Sedayu.
Pernah pula berkelahi melawan Untara dan Macan Kepatihan.
Namun terasa bahwa mereka belum dapat menyamai anak
muda yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar ini.
Ki Tambak Wedi yang bertempur melawan Ki Gede
Pemanahan melihat kesulitan muridnya. Ia melihat Sidanti
terus-menerus terdesak mundur. Sidanti kini seakan-akan
hanya tinggal mampu mencoba menyelamatkan dirinya.
Orang tua itupun mengumpat pula di dalam hatinya. la tidak
rela apabila muridnya yang selalu dimanjakannya itu
mendapat bencana. Karena itu, maka ia mencoba mencari
jalan lain untuk menolong Sidanti. la sendiri tidak dapat
meninggalkan Ki Gede Pemanahan yang pasti akan sangat
berbahaya bagi orang-orangnya yang lain.
Di sudut lain Ki Tambak Wedi melihat Sanakeling bertempur
dengan seorang perwira Wira Tamtama. Keduanya memiliki
kemampuan yang seimbang, sehingga keduanya tidak segera
dapat menguasai lawannya. Tetapi di sisi yang lain lagi Ki
Tambak Wedi melihat Alap-alap Jalatunda bertempur dalam
kerumuman yang ribut. Beberapa orang bertempur melawan
dua orang perwira Wira Tamtama yang lain. Kedua Wira
Tamtama itu ternyata mengalami banyak kesulitan, namun
kawan-kawan mereka yang masih berada di atas punggung
kuda selalu membantu mereka. Kuda-kuda mereka
menyambar-nyambar dengan garangnya, menyerang orangorang
Jipang yang sedang bertempur itu.
Ki tambak Wedi menggeram keras. Dengan serta-merta,
tanpa malu-malu ia berteriak, "Alap-alap Jalatunda. Supaya
lekas selesai pakerjaan Sidanti, cepat, bantulah ia mengikat
kaki dan tangan anak Pemanahan itu. Anak muda itu akan kita
bawa ke lereng Merapi, supaya menjadi tontonan, betapa
anak muda, yang diceriterakan mampu membunuh Arya
Penangsang itu, tidak dapat melepaskan diri dari tangan
kalian." Alap-alap Jalatunda mendengar perintah itu. Segera ia
meloncat mundur, melepaskan lawannya kepada kawankawannya
yang lain. Ketika ia melihat berkeliling, ia melihat
Sidanti dalam kesulitan. Karena itu dengan serta-merta ia
meloncat, menerobos perkelahian yang hiruk-pikuk itu,
mendekati lingkaran perkelahian Sidanti.
Sutawijaya yang melihat kehadiran lawannya yang lain
mengerutkan keningnya. Lawannya yang baru inipun masih
muda pula. Matanya memancar seperti mata burung alap-alap
yang berputaran di udara mencari mangsa. Dengan demikian
putera Ki Gede Pemanahan itu menyadari, bahwa
pekerjaannya akan menjadi semakin berat. Demikian AlapTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
alap Jalatunda menerjunkan dirinya dalam perkelahian itu,
segera terasa, bahwa ketrampilannya sangat mambantu
ketangkasan Sidanti. Gabungan dari kecakapan mereka
masing-masing terasa benar oleh Sutawijaya. Karena itu,
terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya. Ujung
tombaknyapun menjadi semakin cepat berputar dan mematukmatuk
semakin dahsyat. Sementara itu, di jalan yang menuju langsung ke Banjar Desa
Sangkal Putung, Sonya masih berpacu di atas punggung
kudanya. Darah yang merah segar mengalir tak henti-hentinya
dari luka di kakinya, sedang bahunya serasa akan patah.
Nafasnya yang sesak, satu-satu berdesakan di lubang
hidungnya. Tetapi Sonya masih tetap sadar akan kewajibannya. la dapat
membayangkan apa yang kira-kira terjadi atas sepasukan
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil prajurit Wira Tamtama yang justru di antaranya adalah
panglimanya sendiri. Dengan menahan segala macam perasaan sakit, Sonya
manghentak-hentakkan kendali kudanya, supaya berjalan
lebih cepat. Ketika ia memasuki desa kecil yang pertama, di hadapan
gardu peronda ia memperlambat kudanya. Ketika ia melihat
beberapa orang turun dari gardu dan berdiri di sisi-sisi jalan
seberang-menyeberang, Sonya segera berhenti.
"Kakang Sonya," sapa salah seorang dari mereka dengan
sangat terkejut. "Kenapa lukamu itu?"
"Berapa orang di sini," bertanya Sonya tanpa menghiraukan
pertanyaan orang itu. "Yang bertugas lima orang, tetapi di sini ada sepuluh orang."
"Kenapa sepuluh?"
"Lima orang baru saja datang untuk menggantikan kami yang
bertugas malam." "Bagus," desis Sonya. "Yang delapan pergi cepat ke bulak
sebelah. Di sebelah Timur simpang empat telah terjadi
pertempuran. Orang-orang Jipang mencegat perjalanan para
prajurit yang datang dari Pajang. Di antaranya Ki Gede
Pemanahan." "He?" serentak kesepuluh orang itu menjadi kian terkejut.
Hampir bersamaan pula mereka mengulang, "Ki Gede
Pemanahan?" "Ya," sahut Sonya, "Jumlah orang Jipang itu jauh lebih
banyak. Dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Kalian, delapan orang
akan dapat membantu untuk sementara. Aku akan
melaporkannya kepada Kakang Widura."
"Baik," sahut para prajurit Pajang itu.
Kembali Sonya memacu kudanya. Kembali ia bergulat dengan
waktu dan perasaan sakitnya. Tetapi ia harus menyeIesaikan
perjalanannya itu. Ia harus sampai ke Banjar Desa Sangkal
Putung. Sepeninggal Sonya, maka delapan orang dari kesepuluh
orang di gardu itu segera membenahi diriya. Mereka tidak
mengenakan sepenuhnya kelengkapan untuk bertempur.
Tetapi sebagai seorang prajurit, maka mereka harus dapat
berbuat secepatnya. Dengan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari
kecil mereka menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Sonya.
Sebelah Timur simpang empat di tengah-tengah bulak di
hadapan mereka. Dari kejauhan mereka segera melihat debu yang mengepul
tinggi. Karena itu, maka segera mereka mempercepat
perjalanan mereka, mendekati pertempuran itu.
Kedatangan kedelapan orang itu segera diketahui oleh kedua
belah pihak. Ki Gede Pemanahan pun melihat kedatangan
mereka. Karena itu maka segera ia bertanya lantang,
"Siapakah yang datang?"
Pertanyaan itu sebenarya tidak penting baginya. la tahu
bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang. Namun
jawabnya dapat mempengaruhi lawan-lawannya. Meskipun
orang-orang Jipang itupun sudah tahu pula bahwa orangorang
itu adalah prajurit Pajang di Sangkal Putung, namun hati
mereka berdesir juga ketika mereka mendengar jawaban,
"Kami prajurit Pajang di Sangkal Putung, Ki Gede."
"Kenapa hanya beberapa orang saja?" bertanya Ki Gede
Pemanahan sambil menghindari serangan Ki Tambak Wedi.
"Kami adalah peronda di gardu dari desa sebelah. Kakang
Sonya sedang meyampaikan berita ini langsung ke pusat
kademangan Ki Gede."
"Bagus. Ayo, mulailah. Aku ingin melihat, apakah selama
kalian berada di Sangkal Putung kalian masih dapat berkelahi
dengan baik." Ki Tambak Wedi menggeram keras sekali. la tahu benar,
betapa Ki Gede Pemanahan mempergunakan percakapan itu
untuk mempengaruhi perasaan orang-orang Jipang. Karena
itu maka segera ia berteriak, "He orang-orang Pajang yang
maIang. Mari, marilah kalian datang agak terlambat. Setelah
lebih dari separo kawan-kawanmu yang datang dari Pajang
binasa, baru kalian datang membantu. Akibatnya, kalianpun
akan tenggelam dalam arus ke-marahan orang-orang Jipang.
Alangkah bodohnya pimpinan-pimpinanmu di Sangkal Putung
yang percaya kepada cara kami membuat Sangkal Putung
hancur lebur. Kalian menyangka bahwa kami akan benarbenar
menyerah. Tak ada seorang prajurit Jipang pun yang
bersedia menyerah. Sebentar lagi dari arah yang lain akan
datang induk pasukan di bawah pimpinan Sumangkar sendiri.
Tetapi Ki Gede Pemanahan pun segera meyahut, "Kalau
benar demikian, alangkah marahya kami. Karena itu, ayo
binasakan orang-orang Jipang yang curang."
Ki Tambak Wedi tidak sempat untuk menyahut. Kedelapan
orang Pajang itu kini telah terjun ke medan pertempuran yang
kalut itu. Meskipun demikian, tenaga mereka yang segar itu
ternyata berpengaruh juga. Orang-orang Pajang kini
mendapat kesempatan untuk sedikit bernafas, meskipun
jumlah mereka sama sekali masih belum seimbang, tetapi
kedelapan orang itu sudah tentu akan dapat menambah daya
perlawann mereka, setidak-tidaknya memperpanjang waktu.
Dalam pada itu ternyata Sonya telah menggemparkan
halaman Banjar Desa Sangkal Putung. Dengan wajah yang
tegang Untara dan Widura meyambut kedatangan Sonya yang
hampir kehabisan tenaga. Demikian Sonya berhenti di muka
pendapa Banjar Desa demikian ia disambut oleh Widura, dan
dibantuya turun dari kudanya, tetapi Sonya telah begitu lemah
karena terlampau banyak darah yang mengalir dari lukanya. Ki
Tanu Metir yang melihatnya dengan tergopoh-gopoh segera
mengambil reramuan obat-obatan untuk menghentikan arus
darah yang masih saja mengalir dari luka yang menganga di
kaki Sonya itu, setelah Sonya dibawanya naik ke pendapa.
Tetapi Sonya merasa perlu untuk segera meyampaikan berita
tentang peristiwa yang dilihatnya.
Karena itu, betapa perasaan sakit serasa menghunjam sampai
ke pusat jantungya, namun dengan penuh kesadaran atas
kewajibannya ia berkata terbata-bata di sela nafasnya yang
terengah-engah. "Aku telah bertemu dengan Ki Gede
Pemanahan." "Ya," sahut Untara, "tetapi kenapa kau terluka?"
"Aku membawa rombongan prajurit yang datang itu memasuki
Kademangan Sangkal Putung."
"Ya." "Semua berjumlah duapuluh orang."
Untara terkejut. "Jumlah itu terlampau sedikit. Apalagi di
antaranya terdapat Panglima Wira Tamtama sendiri."
"Dengan jumlah yang sedikit itu Ki Gede Pemanahan ingin
membuat kesan bahwa Sangkal Putung telah benar-benar
menjadi aman seperti laporan yang diterimanya," berkata
Sonya seterusnya. Dada Untara berdesir. la sendiri yang membuat Iaporan itu.
Menurut tanggapannya, Sangkal Putung pasti akan segera
menjadi aman. Apabila kelak terjadi benturan-benturan
berikutnya, maka pusat kegiatan orang-orang Jipang dan
Sidanti pasti akan berpindah ke lereng Merapi. Sebab menurut
Kiai Gringsing, Sanakeling dan orang-orangnya telah pergi
mengikuti Ki Tambak Wedi ke padepokannya.
Tetapi menilik keadaan, pasti terjadi sesuatu dengan Ki Gede
Pemanahan dengan rombongannya.
Dalam pada itu Sonya berkata dengan terputus-putus.
Badannya menjadi bertambah lemah. Namun kata-katanya
masih terdengar jelas, "Rombongan kami ternyata dicegat
oleh orang-orang Jipang. Kali ini dipimpin oleh Ki Tambak
Wedi, Sanakeling, Sidanti dan aku tidak tahu siapa lagi. Aku
hanya melihat mereka sepintas lalu memotong jalanku.
Untunglah aku dapat melepaskan diri dari mereka meskipun
aku terluka. Luka pedang ini tidak begitu sakit selain darah
yang terlampau banyak megalir, tetapi bahuku serasa remuk
oleh gelang-gelang besi ki Tambak Wedi."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kalau demikian, maka
ia harus segera merawat luka dalam yang dialami oleh Sonya
di bahunya. Tetapi dibiarkannya Sonya berkata terus.
"Seterusya aku barpacu kemari. Jumlah orang Jipang itu
agaknya terlampau banyak."
Dada Untara serasa akan pecah. Dengan wajah tegang ia
memandang Kiai Gringsing yang keningnya semakin berkerutkerut.
Seolah-olah Untara ingin menuntut suatu
pertanggungan jawab dari orang tua itu. Kenapa orang-orang
Jipang itu tiba-tiba saja berada di perjalanan Ki Gede
Pemanahan, sedang menurut keterangan Kiai Gringsing dan
kemudian diperkuat oleh Sumangkar, orang-orang Jipang itu
telah berada di padepokan Ki Tambak Wedi.
Pancaran mata Untara itu benar-benar terasa menusuk dada
Kiai Gringsing. la segera merasa, bahwa pertanggungan
jawab atas peristiwa ini seolah-olah ada padanya, meskipun
Untara telah dipertemukannya sendiri dengan Sumangkar.
Tetapi perasaan Kiai Gringsing telah cukup mengendap
karena perbendaharaan pengalamannya, sehingga dengan
segera la dapat mengurai keadaan. Ketajaman pandangan
dan kecepatan menemukan hubungan antara persoalanpersoalan
yang diamatinya, telah membawa Kiai Gringsing ke
dalam persoalan yang sewajarnya.
Orang tua itupun kemudian mengangguk-anggukan
kepalanya. Dengan tenang ia berkata, "Ini adalah pokal Ki
Tambak Wedi. Aku tidak tahu, apakah ia dengan sengaja dan
sadar mencegat perjalanan Ki Gede Pemanahan, atau suatu
kebetulan. Tetapi adalah maksud Ki Tampak Wedi datang ke
Sangkal Putung tepat pada hari yang dijanjikan oleh
Sumangkar, untuk mengacau keadaan. Kegagalan yang
terjadi akan memberinya peluang untuk bertindak. la
mengharap, baik orang-orang Jipang yang tidak sependirian
dengan mereka, maupun orang Pajang akan terlibat dalam
pertentangan perasaan yang akan dapat meledak. Ki tambak
Wedi kini sedang meletakkan api pada minyak yang sedang
tergenang. Kalau kita kurang berhati-hati, maka kita akan
dapat terbakar karenanya."
Untara menggeretakkan giginya. Sebagian besar dari
keterangan itu dapat dimengerti, tetapi kemarahanya telah
membakar ubun-ubunnya. Apalagi ketika kemudian Sonya berkata, "Ki Gede Pemanahan
dan para pengawalnya kini
pasti telah terlibat dalam
pertempuran." Wajah Untara segera menjadi
merah membara. Dengan serta-merta ia berteriak nyaring
kepada seorang penghubung
yang berdiri di ujung pendapa,
"Cepat siapkan kudaku!"
Orang itu terkejut. Tetapi ia
tidak bertanya lagi. Segera ia
berlari untuk mempersiapkan
kudanya. "Apakah kau akan pergi seorang diri Untara?" bertanya
pamannya. Untara menggigit bibirnya. Kemudian ia bertanya, "Berapakah
jumlah orang-orang Jipang?"
Sonya yang sedang meyeringai menahan sakit berdesah,
"Aku tidak tahu pasti, tetapi mereka tidak akan lebih dari tujuh
puluh orang." Darah Untara tersirap mendengar jumlah itu. Ki Gede
Pemanahan hanya membawa duapuluh orang ditambah
dengan penghubungnya yang hanya tinggal empat orang.
Karena itu, maka deagan degup jantung yang semakin cepat
ia berkata kepada Widura, sebagai seorang senapati kepada
bawahannya, "Paman Widura, siapkan dua puIuh lima orang
prajurit berkuda." Meskipun demikian pertanggungan
jawabnya sebagai seorang pemimpin masih memberinya
kesadaran untuk berkata, "Biarlah Hudaya pergi bersama aku.
Paman tinggal di sini supaya orang-orang Jipang yang terluka
di dalam banjar ini tidak menjadi korban kemarahan para
prajurit yang kemudian pasti mendengar apa yang telah
terjiadi atas Sonya dan Panglima Wira Tamtama. Tetapi
apabila kemudian benar-benar orang-orang Jipang itu berbuat
curang, maka aku sendiri yang akan memenggal leher mereka
di alun-alun di depan banjar ini."
Widura tidak menjawab. Diserahkannya Sonya yang luka itu
kepada Kiai Gringsing dan beberapa orang yang sedang
bertugas di halaman itu, yang berdatangan kemudian setelah
mereka melihat Sonya terluka. Namun Untara sempat berkata,
"Sonya, cobalah merahasiakan apa yang telah terjadi atasmu
untuk menjaga ketenangan keadaan."
Sonya mengangguk lemah. Tetapi ia tidak dapat mengerti
kenapa hal itu mesti harus dirahasiakan.
Beberapa orang yang berada di alun-alun melihat Sonya
berpacu seperti dikejar hantu. Tetapi karena jarak yang tidak
terlampau dekat, serta banyak peristiwa-peristiwa yang tak
dapat mereka mengerti yang terjadi pagi itu maka orang-orang
di alun-alunpun tidak bayak memperhatikanya lagi.
Sementara itu, orang-orang yang bertugas di halaman dan
mengerumuni Sonya, telah memapah Sonya ke Gandok
Wetan. Dibaringkannya Sonya di sudut gandok itu untuk
segera mendapat pengobatan dari Kiai Gringsing. Namun
segera setelah Kiai Gringsing memberikan pertolongan
pertama, ditinggalkannya Sonya dan dengan tergesa-gesa
orang tua itu kembali mendekat Untara yang dengan gelisah
menunggu kudanya. Tetapi sudah tentu Widura tidak segera dapat mengumpulkan
dua puluh lima ekor kuda di banjar desa itu. la harus
mengumpulkan segenap kuda prajurit Pajang yang tersebar di
seluruh kademangan, pada gardu-gardu peronda yang
penting. Di dalam banjar desa itu, yang segera dapat dikumpulkan
adalah baru sepuluh ekor kuda, tetapi segera Untara berkata,
"Biarlah kami bersepuluh berangkat dahulu. Yang lain segera
meyusul. Dua tiga, empat atau lima. Tidak perlu menunggu
sampai limabelas sekaligus sepeninggalku."
Widura pun segera menjadi sibuk. Beberapa orang yang
melihatnya menjadi heran. Apakah yang sebenarnya telah
terjadi. Hanya orang-orang di dalam halaman sajalah yang
melihat, bahwa sebenarnya Sonya telah terluka dan Widura
menjadi sedemikian sibuknya mengumpulkan beberapa ekor
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda. Para petugas yang harus meyediakan kuda-kuda itupun
Darah Para Tumbal 1 Pendekar Kembar 4 Setan Cabul Golok Halilintar 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama