Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 13
Pangeran Ranakusuma tidak menunggu jawaban Ki Dipanala. Iapun ke mudian berdiri dan meninggalkan ruang belakang itu ke mba li ke pendapa dan duduk di tempatnya semula merenungi ma la m yang gelap. "Nah, marilah. Kita harus menyelenggarakan tubuh Raden Rudira. Lukanya tidak begitu besar, tetapi agaknya justru karena ia terbanting dari punggung kudanya yang lari kencang dan darah yang mengalir dari lukanya itu, nyawanya tidak tertolong lagi" Para pelayan itupun tiba-tiba menyadari keadaan yang sebenarnya. Merekapun kemudian berebut dahulu menyediakan kelengkapan untuk jenazah Raden Rudira. Mereka seakan-akan tidak mau mengingat lagi, bahwa di samping Raden Rudira, masih ada juga. Mandra. Tetapi mereka tidak dapat me mbiarkan mayat Mandra terbaring di tempatnya. Merekapun harus menyediakan sepotong kain putih untuknya. Dala m pada itu, ma la mpun menjadi se ma kin de kat menje lang fajar. Pangeran Ranakusuma masih saja duduk di pendapa, seakan-akan tidak ada lagi niatnya untuk berdiri, dan masuk ke dala m istananya yang megah itu. Seakan-akan dunianya sudah menjadi bura m dan la mpu-la mpu tidak dapat menyala lagi dengan terang. Setelah semuanya selesai, maka jenazah Raden Rudirapun dibaringkannya di ruang tengah, diselimuti dengan sehelai kain putih yang baru, dikelilingi oleh para pengiringnya dan abdi-abdinya yang lain. Sedang di belakang, mayat Mandrapun sudah diselimutinya pula. Hanya satu dua orang kawan dekatnya sajalah yang menungguinya dengan penuh penyesalan, bahwa Mandra sudah berkhianat. Dengan dada yang berdebar-debar Ki Dipanalapun ke mudian pergi me nghadap Pangeran Ranakusuma untuk menya mpaikan bahwa se muanya sudah selesai. Bahkan
perempuan-pere mpuanpun sudah mulai menyediakan keperluan yang lain. Sebagian dari mereka telah menyediakan masakan untuk menja mu tamu-ta mu yang tentu akan berdatangan, dan menyediakan sela matan, sedang yang lain sudah sibuk me ngatur kelengkapan penguburan jenazah yang sudah dibaringkan itu. Alat-alat upacara, dan apabila matahari telah terbit, mereka harus me mbeli bunga terutama melati dan mawar. "Jangan me mberitahukan kepada siapapun semuanya selesai" desis Pangeran Ranakusuma. sebelum
"Se muanya sebenarnya sudah selesai Pangeran" jawab Ki Dipanala "Tetapi apakah tidak sebaiknya ayahanda Raden Ayu Galihwarit diberi tahu sekaligus adinda Raden Rudira yang ada di sana" "Aku sendiri akan me mberitahukan kepadanya dengan me mbawa Galihwarit" Ki Dipana la hanya dapat menarik nafas dala m-dala m. la tidak dapat mencegahnya lagi. Agaknya dorongan untuk menyerahkan ke mbali Raden Ayu Galihwarit sudah tidak tertahankan lagi. Seandainya perempuan itu tidak berkhianat, mungkin sakitnya akan justru menimbulkan iba yang dala m. Tetapi kini bagi Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu Galihwarit adalah duri yang menusuk jantungnya. Tanpa me mpersoalkan Raden Ayu Galihwarit, Ki Dipanala. bertanya pula "Jadi, siapakah yang sebaiknya hamba beritahu tentang Raden Rudira?" Pangeran Ranakusuma tidak segera menjawab. Ditatapnya kedelapan mala m yang justru berangsur menjadi ke merahmerahan. Ki Dipanala sa ma sekali tidak berani mendesaknya. Ia hanya dapat menunggu sa mbil menundukkan kepalanya.
"Panggil Juwiring" tiba-tiba saja terloncat dari mulut Pangeran Ranakusuma sehingga Ki Dipanalapun terkejut karenanya. "Maksud Pangeran, hamba harus pergi ke Jati Aking" "Kau dapat menyuruh orang la in. Kau di sini mewakili a ku" "Tetapi keadaan Raden Juwiring yang selama ini seakanakan selalu diintip oleh bahaya, me mbuatnya selalu bercuriga kepada siapapun juga. Hamba kurang yakin, apakah Raden Juwiring me mpercayai orang lain kecuali aku" "Jika begitu, orang yang akan pergi itu a kan me mbawa sepucuk surat yang akan a ku tanda tangani" Ki Dipanala menarik nafas. Meskipun orang itu me mbawa surat yang ditanda tangani oleh Pangeran Ranakusuma, namun sebenarnyalah bahwa kepada ayahandanya sendiri Raden Juwiring sudah menaruh curiga. Namun de mikian tanda tangan itu me mang merupakan ke mungkinan terbesar untuk me manggil Raden Juwiring. Demikianlah seorang utusan telah berpacu ke Jati Aking tanpa menunggu fajar. Meskipun ke mungkinan untuk menghadiri penguburan jenazah adiknya, terlampau kecil bagi Juwiring. Ia tidak akan dapat sampai di istana Ranakusuman dekat setelah tengah hari. Dala m pada itu, setelah semuanya selesai, maka Pangeran Ranakusumapun segera me merintahkan untuk me mpersiapkan kereta. Dipagi-pagi benar ia ingin pergi sendiri ke rumah mertuanya mengantarkan Galihwarit yang masih belum sadar. "Kau di rumah" berkata Pangeran Ranakusuma kepada Ki Dipanala "Aku akan pergi me mbawa Galihwarit bersa ma tabib itu. Ia akan dapat menolongku jika tiba-tiba saja Galihwarit sadar di perjalanan"
"Ha mba Pangeran" "Suruhlah para pelayan menyiapkan te mpat bagi mereka yang akan datang melawat. Aku tidak dapat menolak jika orang-orang asing itu datang. Tetapi aku juga tidak akan merahasiakan, siapakah yang telah membunuh anakku, meskipun aku tidak dapat mengatakan seluruh peristiwanya" "Ha mba Pangeran" Rasa-rasanya fajar datang terlampau la mbat. Pangeran Ranakusuma ha mpir tidak sabar lagi menunggu. Ia ingin segera menyingkirkan Ga lihwarit dan menyerahkannya ke mbali kepada ayahnya. Demikian fajar menyingsing dan dedaunan yang hijau mulai tampak ke merah-merahan, maka Raden Ayu Galihwarit yang masih belum sadar itupun diangkat dan dimasukkannya ke dalam kereta. Sejenak ke mudian maka kereta itupun mulai bergerak me mbawa Raden Ayu itu kembali ke istana orang tuanya. Ketika kereta itu sa mpai di regol hala man, maka Pangeran Ranakusuma menjenguk sejenak sa mbil berkata kepada Dipanala "Aku t idak la ma. Persilahkan para tamu lebih dahulu. Katakan, bahwa aku pergi menje mput Warih. Jangan sebutsebut tentang Galihwarit " "Ha mba Pangeran" jawab Ki Dipanala. "Jangan sebut tentang Mandra. Ia akan dikubur setelah para tamu yang me lawat Rudira pulang" "Ha mba tuanku" Demikianlah ma ka kereta itupun segera berderap meninggalkan hala man Ranakusuma n menuju ke Istana Pangeran Sindurata. Dipanala yang ditinggalkan menjadi berdebar-debar. Pangeran Ranakusuma yang ke matian anaknya itu tentu tidak
dapat berpikir bening, sedang Pangeran Sindurata adalah seorang Pangeran yang lebih suka menuruti keinginan sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain, sehingga ada beberapa orang yang menganggapnya agak kurang waras. Jika mereka terlibat dalam perselisihan maka akan dapat timbul hal-hal yang kurang baik. "Mudah-mudahan tida k terjadi sesuatu pada keduanya" berkata Ki Dipana la di dala m hatinya. Demikianlah ketika kereta itu sudah lenyap di tikungan, maka Ki Dipanalapun ke mbali masuk ke ruang dala m. Dari pintu ia me lihat tubuh Raden Rudira yang terbujur dia m, ditunggui oleh beberapa orang. Masih belum ta mpak kesibukan di istana itu, selain pere mpuan yang sedang me masak dan beberapa orang lainnya menyiapkan benang rangkaian ke mbang melati dan mawar. Yang lain pergi ke pasar membe li bunga yang akan dirangkai itu, dan kebutuhankebutuhan lain. Tetapi bagi orang luar, istana Ranakusuman masih tetap sepi. Belum ada seorang tetanggapun yang mengetahui apa yang telah terjadi, dan tidak seorang tetanggapun yang mendengar suara-suara yang keras di ma la m hari, bahkan pekik nyaring Raden Ayu Galih Warit, karena halaman istana Pangeran Ranakusuma yang cukup luas itu. Namun sudah barang tentu bahwa Ki Dipanala tida k berani atas kehendaknya sendiri me mberitahukan ke matian Raden Rudira itu kepada para bangsawan sanak ke luarga Pangeran Ranakusuma. Untuk itu ia harus menunggu setelah Pangeran Ranakusuma me mberikan perintah kepadanya. Dala m pada itu, Pangeran Ranakusuma yang sedang dibelit oleh berbagai maca m persoalan itu tidak se mpat me mikirkan hal itu sebelum ia menyerahkan isterinya kepada mertuanya. Di sepanjang ja lan Pangeran Ranakusuma mencoba untuk mengendapkan segala maca m pergolakan yang ada di dalam dadanya. Bagaimanapun juga ia masih mencoba untuk
me mperguna kan nalarnya, justru setelah ia tahu bahwa jenazah Raden Rudira telah diselenggarakan sebaik-baiknya. "Aku harus sempat mengubur jenazah anakku" katanya di dalam hati. Dan niat itulah yang telah mengekang perasaannya agar tidak timbul persoalan yang tajam dengan Pangeran Sindurata. Kedatangan Pangeran Ranakusuma me mang mengejutkan sekali. Apalagi ketika ternyata ia membawa tubuh Raden Ayu Galih Warit yang bagaikan tidak bernafas lagi. "Kenapa" Kenapa anakku?" bertanya Pangeran Sindurata "Pingsan" jawab Pangeran Ranakusuma pendek. "O" Pangeran Sinduratapun menjadi bingung. Karena itulah maka diperintahkannya pelayan-pelayannya untuk menyiapkan pembaringan bagi Raden Ayu Galihwarit. Rara Warih yang me mang sedang berada di rumah ka keknya itupun terkejut bukan buatan. Hampir saja ia tidak dapat menahan jeritnya, jika ayahnya tidak berbisik kepadanya "Jangan gelisah. Ibumu hanya pingsan" Demikianlah ma ka Raden Ayu Galihwaritpun segera dibaringkannya di pe mbaringan di dala m bilik ibundanya.
Seluruh keluarga menjadi bingung dan gelisah. Wajah Raden Ayu Galihwarit yang cant ik itu ta mpak pucat seperti kapas. "Kenapa dia he?"" bertanya Pangeran Sindurata pula. Pangeran Ranakusuma mencoba untuk menahan hatinya dan berbicara dengan nalarnya. Katanya "Ada beberapa persoalan yang akan aku sa mpaikan" "Tetapi bagaimana dengan isterimu?" "Tida k apa. Aku me mbawa seorang tabib" Pangeran Sindurata me mandang tabib yang masih muda yang masih berdiri di hala man itu sejenak. Lalu "Apakah ia tabib yang baik?" "Ya. Ia adalah seorang tabib yang baik" "Jadi bagaimana dengan Galihwarit" "Apakah aku boleh duduk?" "Ya, duduklah" Keduanyapun ke mudian duduk di pendapa istana Pangeran Sindurata yang tidak kalah luasnya dari pendapa istana Ranakusuman. "Duduklah di situ" berkata Pangeran Sindurata kepada tabib yang masih berdiri. "Ya duduklah" ulang Pangeran Ranakusuma. Tabib itupun ke mudian duduk di sudut pendapa dengan kepala tunduk. "Katakan sekarang" desak Pangeran Sindurata "Kenapa dengan anakku?" "Suatu kejutan telah me mbuatnya pingsan" jawab Pangeran Ranakusuma yang meskipun di da la m hubungan keluarga termasuk lebih muda, tetapi ia me mpunyai kedudukan yang lebih baik di istana Kangjeng Susuhunan.
"Apa yang terjadi?" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m, seakan-akan ia sedang berusaha untuk me nenangkan dirinya. "Apa yang terjadi?" Pangeran Sindurata mendesak "Rudira meninggal" "He" Pangeran Sindurata terbelalak karenanya. Terasa seakan-akan darahnya berhenti mengalir. Pemberitahuan yang tiba-tiba itu me mbuatnya terperanjat bukan buatan. Dengan singkat Pangeran Ranakusuma menceriterakan sebab kematian Rudira, meskipun ia tida k mengatakan sama sekali apa yang sudah dilakukan oleh Raden Ayu Galihwarit. "Ibunya terkejut" berkata Pangeran Ranakusuma "Agaknya ia tidak dapat menahan perasaannya sehingga menjadi pingsan karenanya. Aku ingin menyingkirkannya agar ia tidak selalu dicengka m oleh suasana ke matian anaknya. Mungkin di sini ia akan menjadi agak tenang" "Tetapi, apakah ia akan segera sadar ke mba li?" "Mudah-mudahan. Menurut tabib itu, ia akan segera sadar ke mbali. Suasana di rumah ini akan berbeda seka li" "Tetapi ia tentu ingin melihat anaknya" "Sebaiknya ia tetap berada di sini" Pangeran Sindurata berpikir sejenak, lalu "Bagaimana dengan Warih" "Aku ingin me mbawanya" "Biarlah ia di sini menunggui ibunya" "Aku akan segera me mbawanya ke mari jika se muanya sudah selesai" Pangeran Sindurata berpikir sejenak, lalu "Baiklah. Tetapi biarlah tabib itu berada di sini untuk menungguinya"
Pangeran Ranakusuma menjadi termangu-mangu karenanya. Namun ke mudian ia berkata "Ia berada di rumahku. Ia harus mengatur jenazah Rudira pada saat diberangkatkan. Tetapi jika sesuatu terjadi atas Galihwarit, ia dapat dipanggil dengan segera" Pangeran Sindurata mengangguk-angguk. Peristiwa yang tidak terduga-duga itu telah mencengka mnya sehingga untuk beberapa lamanya ia hanya dapat merenung me mandang kekejauhan. Rudira adalah cucunya yang menyenangkan baginya, meskipun anak itu agak bengal. Na mun tiba-tiba saja ia mati terbunuh oleh peluru kumpeni. Dan tiba-tiba saja Pangeran Sindurata itu menggera m "Siapa yang sudah mene mbak Rudira?" Pangeran Ranakusuma termangu-mangu sejenak. Na mun ke mudian ia menggelengkan kepalanya "Aku tida k tahu" "Jika aku tahu" desis Pangeran Sindurata "tanpa merubah sikapku kepada kumpeni. na mun aku dapat berurusan dengan orang yang menembak cucuku secara pribadi" Pangeran Ranakusuma tida k menyahut. Jika ia mengetahui persoalan Galihwarit yang sebenarnya, tentu ia akan berpikir lain. "Biarlah ia mengetahui dengan sendirinya. Yang berhak me mbuat persoalan ini menjadi persoalan pribadi tanpa merubah sikap dan hubungan dengan kumpeni adalah aku" berkata Pangeran Ranakusuma di dala m hatinya "Mungkin aku me mang seorang pengkhianat bagi Surakarta. Mungkin aku telah menjua l harga diri bangsaku. Tetapi harga diri pribadiku akan aku se lesaikan dengan Dungkur, Panderpol, Setepen atau siapa lagi" Demikianlah, maka sejenak ke mudian. Pangeran Sindurata telah me manggil cucu perempuannya. Dengan hati-hati ayahandanya, Pangeran Ranakusuma, me mberitahukan apa yang telah terjadi dengan ka kaknya, Raden Rudira.
"Ka mas Rudira terbunuh?" mata gadis itu terbeliak. "Warih" berkata Pangeran Ranakusuma "Tentu tidak seorangpun yang menghendaki ha l itu terjadi. Tetapi me mang kadang-kadang yang terjadi itu berada di luar kehendak kita. Dan kita sa ma sekali tidak berkuasa untuk menolaknya" "Jadi, ka mas Rudira sudah meninggal?" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Ia menjadi sema kin pedih ketika anak gadisnya itu berlari dan menjatuhkan kepalanya dipangkuannya. "Kenapa hal itu terjadi ayahanda. Kenapa?" Pangeran Ranakusuma mengusap ra mbut anak gadisnya. Beberapa orang keluarga yang lainpun ke mudian mengerumuninya dan mencoba menghiburnya. Tetapi Rara Warih masih saja berteriak. "Sudahlah Warih. Ibumu pingsan karena kejutan perasaan. Jika ia sadar, dan ia mendengar kau berteriak-teriak, ia akan menjadi pingsan lagi. Bukan saja ibundamu, tetapi akupun dapat menjadi pingsan pula. Kata-kata ayahnya agaknya dapat memberikan sedikit kesadaran kepadanya, bahwa iapun harus berusaha menge kang perasaannya. Itulah sebabnya maka tangisnya menjadi sedikit mereda. "Kenapa ayahanda, kenapa ka mas Rudira me ningga l?" "Suatu kecela kaan yang tidak dapat dihindari lagi Warih" Tangis gadis itupun se makin la ma menjadi se makin surut. Tetapi ia masih saja terisak-isak sehingga rasa-rasanya ia tidak dapat menarik nafas lagi. "Berke maslah Warih" berkata ayahnya "Kau pergi bersama ayahanda mendahului eyang dan keluarga yang lain"
Rara Warihpun menganggukkan kepa lanya. Dilepaskannya ayahnya dan iapun ke mudian berdiri untuk berke mas. "Aku akan segera menyusul jika Galihwarit telah sadar" berkata Pangeran Sindurata. Demikianlah ma ka setelah Rara Warih selesai, iapun segera pergi mengikut ayahandanya kemba li pulang. Se mentara Pangeran Sindurata dan keluarganya sibuk mencoba menyadarkan Raden Ayu Galihwarit. "Tetapi" berkata Pangeran Sindurata "pada saatnya ia akan sadar dengan sendirinya seperti yang dikatakan tabib yang merawatnya sebelum ia dibawa ke mari. Ia akan sadar, dan ia akan mendapatkan suasana yang lain dari suasana di rumahnya" Meskipun de mikian, masih saja seseorang tua mencoba menggosok daun telinganya dengan bera mbang dan telapak kakinya dengan minyak kelapa. Dala m pada itu kereta yang ditumpangi oleh Pangeran Ranakusuma bersama anak gadisnya, serta tabib yang mengikut inya itupun berderap dengan kencangnya di jalanjalan kota Surakarta. Beberapa orang yang lewat di pinggir jalan menjadi heran melihat kereta yang berlari kencang itu. Namun mereka tidak menyangka bahwa di dalamnya duduk Pangeran Ranakusuma dan puterinya yang sedang dicengka m oleh kepedihan hati. Ketika kereta itu me masuki hala man istana Ranakusuman, ternyata pendapanya masih sepi. Yang tampak sibuk hanyalah para pelayan di ruang belakang dan di dapur. Meskipun demikian sebenarnyalah beberapa orang sebelah menyebelah istana itu telah mendengar bahwa Raden Rudira telah meninggal. Satu dua orang pelayan yang keluar istana sempat menceriterakan apa yang sudah terjadi di dala m istana itu, meskipun hanya sekedar yang dapat mereka lihat.
Maka demikian kereta itu berhenti, Rara Warih segera me loncat turun dan berlari ke ruang dala m. Ia tertegun ketika dilihatnya sesosok tubuh yang terbujur dia m dikerudungi dengan sehelai kain. "Ayahanda" Warih menjerit. Ia tidak berani me meluk tubuh yang sudah membeku itu, sehingga karena itu, maka iapun berdiri saja beberapa langkah dengan tubuh ge metar. Ayahandanya dengan tergopoh-gopoh mendekatinya. Dengan sareh ayahandanya bertanya "Ada apa Warih?" Rara Warih me mandanginya sejenak. Ke mudian ditatapnya tubuh yang terbujur diam itu. Tiba-tiba saja ia me loncat dan sekali lagi me meluk ayahanda sa mbil menangis sejadi-jadinya. "Sudahlah Warih" berkata ayahandanya "Jangan membuat hati ayahanda semakin bersedih" Tetapi Warih masih tetap menangis. Beberapa emban dan pe momongnyapun mengerumuninya dan me ncoba menenangkannya. "Bawalah ia ke pe mbaringannya" berkata Ranakusuma kepada para pelayannya itu. segera Pangeran
Beberapa embanpun ke mudian me mapah Rara Warih ke dalam biliknya. Dengan berbagai cara para emban itu mencoba meredakan tangisnya. Namun Warih masih saja menangis sehingga rasa-rasanya nafasnya menjadi sesak karenanya. Dala m pada itu. ketika Pangeran Ranakusuma sudah tidak lagi bersa ma puterinya, Ki Dipanalapun ke mudian me mperingatkannya, bahwa sebaiknya Pangeran Ranakusuma me mberitahukan ke matian Raden Rudira kepada keluarga terdekat. "Ya. Pergilah Dipanala. Atas namaku, beritahukan kepada saudara-saudara terdekat, dan panggillah lebih dahulu adinda
Cahyaningprang. Aku akan menyuruhnya menghadap ke istana Kangjeng Susuhunan untuk menyampa ikan peristiwa ini" Ki Dipanalapun ke mudian berangkat berkuda menge lilingi Surakarta, me mberitahukan bencana yang telah me nimpa Pangeran Renakusuma, meskipun setiap kali ia selalu menjawab pertanyaan "Hamba kurang tahu sebab-sebabnya Pangeran" Dan para Pangeran yang terkejut itu hanya menganggukanggukkan kepalanya saja. Seperti yang dipesankan oleh Pangeran Ranakusuma, maka Pangeran Cahyaningprangpun telah mendahului yang lain datang ke istana Ranakusuman. Tetapi iapun segera me macu kudanya menghadap Kangjeng Susuhunan untuk menya mpaikan peristiwa yang terjadi atas Pangeran Ranakusuma. Dala m wa ktu yang singkat, maka tersebarlah berita ke matian Raden Rudira kesegenap sudut kota Sura karta. Mula-mula para bangsawan, namun ke mudian para abdinyapun mendengarnya juga, seringga apabila mereka keluar ke jalan raya. maka msrekapun me mperca kapkannya dengan kenalan-kenalan mereka dan keluarga mereka masingmasing. Berita itu ternyata telah mengejutkan Pangeran Mangkubumi pula. Apalagi ketika ia mendengar bahwa ke matian Raden Rudira disebabkan luka peluru kumpeni. "Aneh" berkata Pangeran Mangkubumi di dala m hati "keluarga Ranakusuman bukan keluarga yang me musuhi kumpeni. Tetapi puteranya ternyata telah terbunuh oleh peluru kumpeni" Karena itulah, ma ka demikian berita itu sa mpai kepadanya, Pangeran Mangkubumipun segera pergi ke Ranakusuman.
Meskipun pada hari-hari yang lain, lewatpun Pangeran Mangkubumi rasa-rasa-rya sangat segan. Pangeran Ranakusumapun terkejut melihat kehadiran Pangeran Mangkubumi begitu cepat. Justru mendahului keluarganya yang terdekat. Baru beberapa orang saja yang ada di pendapa Ranakusuma n. "Tentu luka peluru kumpeni itulah yang menarik perhatiannya" berkata Pangeran Ranakusuma di dala m hatinya. Dengan diantar oleh Pangeran Ranakusuma Pangeran Mangkubumipun me lihat jenazah Raden Rudira yang terbujur dia m. Tetapi jenazah itu sudah terbungkus rapi dengan kain yang putih bersih. "Sayang Pangeran berguma m. sekali" tiba-tiba Mangkubumi
Pangeran Ranakusuma me mandang wajah Pangeran Mangkubumi sejenak. Wajah yang keras seperti hatinya yang me mbayang pada sorot matanya. Agaknya Pangeran Mangkubumi merasakan pandangan itu, sehingga katanya kemudian "Putera Kamas Pangeran masih terla lu muda " "Ya. Ia masih terlalu muda" "Benar-benar perlakuan yang tidak adil. Apakah kamas tidak berkeberatan mengatakan kepadaku, apakah sebabnya Rudira luka oleh peluru?"
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan ke mudian sambil merenungi jenazah anaknya ia berkata di dalam hati "Jika aku dapat berdiri tegak di atas kedua kaki sendiri seperti adimas Pangeran Mangkubumi, maka tidak banyak persoalan lagi yang harus aku pertimbangkan. Tetapi sayang, bahwa Ranakusuma berdiri di atas atas yang berbeda dengan Pangeran Mangkubumi" Karena Pangeran Ranakusuma t idak segera menjawab, maka Pangeran Mangkubumipun mengulangi pertanyaannya "Apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan Rudira?" "Aku masih belum tahu pasti dimas. Aku sedang menyelidikinya" jawab Pangeran Ranakusuma ke mudian "Tentu adimas heran bahwa hal ini telah terjadi. Aku tidak dapat menyembunyikan kenyataanku di hadapan adimas, bahwa aku me mpunyai hubungan yang baik dengan kumpeni. Namun yang terjadi adalah ke matian Rudira oleh peluru kumpeni" Pangeran Mangkubumi mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya kemudian "Ia pernah dalang ke Sukawati. Orang yang aku percaya menunggui Pesanggrahan mengatakannya kepadaku" Terasa dada Pangeran Ranakusuma berdesir. Lalu katanya "Aku pernah juga me ndengar ceriteranya tentang Petani di Sukawati. Sayang sekali, bahwa Rudira belum se mpat mengenal siapakah sebenarnya orang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati itu" Pangeran Mangkubumi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sedang Pangeran Ranakusuma berkata selanjutnya "Jika ia mengetahuinya, mungkin ia berpendapat lain tentang orang yang menyebut Petani dari Sukawati itu"
"Siapakah yang dima ksud oleh Rudira?" bertanya Pangeran Mangkubumi. Pangeran Ranakusuma me mandang wajah Pangeran Mangkubumi sejenak. Tetapi ia tidak me lihat perasaan apapun yang me mbayang di wajah yang keras itu. Tidak ada tandatanda bahwa ada hubungan apapun antara Pangeran Mangkubumi dan orang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati. Hubungan langsung atau tidak langsung. Karena itu, maka Pangeran Ranakusumapun menjadi ragu-ragu untuk berbicara tentang Petani itu se lanjutnya. "Ia anak yang baik" tiba-tiba Pangeran Mangkubumi berkata "orang-orangku di pesanggrahan mengatakan bahwa ia cukup ra mah dan bahkan ia telah berbicara panjang lebar dengan para penunggu pesanggrahan. Hal yang jarang seka li dilakukan oleh orang yang merasa dirinya berdarah bangsawan di Surakarta ini. Biasanya para bangsawan merasa segan untuk me mandang rakyat kecil dengan sebelah matanya. Apalagi berbicara dengan mere ka" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Ia tidak tahu pasti, apakah Pangeran Mangkubumi berkata sebenarnya atau tidak. Tetapi menilik sikap dan sifat Rudira semasa hidupnya, tentu yang dikatakan itu sekedar pujian karena Rudira kini sudah meninggal. Na mun de mikian Pangeran Ranakusuma tidak segera menjawab. "Ka mas Pangeran" berkata Pangeran Mangkubumi ke mudian "Apakah ka mas tidak dapat me mbayangkan, apakah yang sudah terjadi, atau Setidak-tidaknya dugaan, alasan apakah yang telah mendorong seseorang yang mungkin seka li orang-orang asing itu, untuk me mbunuh Rudira, anak yang masih terla mpau muda ini?" Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepalanya "Aku tidak tahu. Tetapi aku ingin mengetahuinya dengan pasti"
Pangeran Mangkubumi hanya mengangguk-angguk saja. Ia tahu pasti bahwa tentu masih harus ada seribu maca m pertimbangan untuk berbuat sesuatu atas kematian puteranya bagi Pangeran Ranakusuma. Tetapi Pangeran Mangkubumi tidak bertanya lebih banyak lagi. Demikianlah, ketika Pangeran Mangkubumi itu dipersilahkan duduk di pendapa, justru ia ma lahan minta diri. Ia tidak dapat duduk lebih la ma lagi di istana Ranakusuman. "Maaf kamas. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan hari ini. Terpaksa sekali aku tidak dapat menunggu sa mpai jenazah itu diberangkatkan" "Sayang sekali" sahut Pangeran Ranakusuma apaboleh buat" "Apakah Kangjeng peristiwa. ini" Susuhunan sudah tahu "Tetapi tentang
"Adimas Cahyaningprang yang aku minta menghadap. Tetapi ia belum ke mbali" Pangeran Mangkubumi hanya mengangguk-angguk saja. Dan iapun benar-benar meninggalkan istana Ranakusuman sebelum orang lain. terutama para Pangeran berdatangan. Bahkan Pangeran Sinduratapu be lum. Ketika Pangeran Mangkubumi sudah ke luar dari regol halaman, barulah wajahnya menjadi berkerut-merut. Kematian Rudira sangat menarik perhatiannya. Justru karena ia putera Pangeran. Ranakusuma yang berhubungan rapat sekali dengan kumpeni, tetapi puteranya telah terbunuh oleh sebutir peluru. "Apakah ada orang lain yang membunuhnya dengan senjata api itu dengan maksud untuk menghilangkan jejak" berkata Pangeran Mangkubumi di dala m hatinya. Namun selain perhatiannya yang besar terhadap kematian Rudira, sebenarnyalah ia ingin melihat, apakah putera
Pangeran Ranakusuma yang seorang ada di istananya juga. Tetapi Pangeran. Mangkubumi t idak me lihatnya sama sekali. Ia tidak melihat anak muda yang berada di padepokan Jati Aking itu. Namun dala m pada itu, kedatangan Pangeran Mangkubumi yang justru mendahului para bangsawan yang lain itu, ke mudian bahkan mena mbah keyakinan Pangeran Ranakusuma. Petani di Sukawati itu benar-benar Pangeran Mangkubumi dala m bentuknya yang lain. Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak se mpat me mikirnya dalam keadaannya itu, karena sepeninggal Pangeran Mangkubumi, maka keluarga Pangeran Ranakusuma yang terdekat mulai berdatangan Beberapa di antara mereka langsung pergi ke ruang dala m me lihat jenazah Raden Rudira yang terbujur diam, sedang beberapa orang yang lain pergi ke bilik Warih yang masih saja menangis. Kepada setiap orang yang menanyakan Raden Ayu Galihwarit ma ka Pangeran Ranakusuma, maupun Warih yang menjawab disela-sela isaknya, mengatakan, bahwa ibu Raden Rudira itu terpaksa diungsikan karena kejutan perasaan yang amat sangat. Dengan demikian, semakin tinggi matahari, pendapa Ranakusumapun menjadi se makin penuh, sedang para pelayan di belakangpun menjadi se makin sibuk. Beberapa orang perempuan bangsawan berkumpul di ruang tengah merangka i bunga mawar dan me lati untuk menghiasi usungan yang akan membawa Raden Rudira ke ma ka m keluarga para bangsawan. Namun de mikian, meskipun pendapa Ranakusuman itu sudah, menjadi penuh, namun ternyata masih ada seorang yang ditunggu oleh Pangeran Ranakusuma. Seorang yang selama ini seakan-akan telah tersish dari hatinya. Seorang yang selama ini seakan-akan telah disingkirkannya dari istananya meskipun ia adalah puteranya sendiri. Dan kini, tibatiba saja ia menunggu dengan hati yang gelisah kedatangan anak laki-lakinya yang seorang itu, Juwiring, yang lahir bukan dari seorang perempuan bangsawan yang setingkat dengan Raden Ayu Galihwarit. Tetapi yang ditunggunya itu tida k juga segera datang. Sementara istana Ranakusuman menjadi se makin sibuk, maka utusan yang berpacu ke Jati Sari sejak sebelum fajar telah melintasi bulak panjang. Jarak yang akan dicapainya sudah tidak begitu jauh lagi. Apalagi kuda yang dipergunakannya adalah seekor kuda yang tegar dan kuat. Beberapa orang petani yang ada di sawahnya terkejut me lihat kuda yang berpacu dengan kecepatan yang tinggi. Menilik paka ian yang dikenakan oleh penunggangnya, orang itu tentu bukan petani biasa yang sedang bepergian jauh. Tetapi orang itu tentu seorang piyayi dari kota, atau seorang abdi dale m dikeraton Surakarta. "Tentu orang itu akan pergi ke Jati Aking" desis seseorang. Yang lainpun menganggukkan kepalanya. Mereka tahu bahwa di Jati Aking ada seorang putera bangsawan yang tinggal bersa ma dengan Kiai Danatirta sekeluarga. Ternyata utusan itu tidak me merlukan waktu yang la ma lagi untuk mencapai Jati Aking. Sejenak ke mudian kudanya sudah berderap me masuki jalan yang menuju ke regol padepokan Kiai Danatirta. Derap kaki kuda itu ternyata telah mengejutkan penghuni padepokan kecil itu. Beberapa orang dengan dada yang berdebar-debar menengok ke hala man. Ketika yang dilihatnya hanyalah seorang penunggang kuda, dan sikapnyapun agaknya tidak mencurigakan, maka seorang di antara merekapun mendekatinya dan bertanya apakah yang dicarinya di padepokan itu.
"Aku akan bertemu dengan Raden Juwiring" berkata utusan itu. "Siapakah Ki Sanak?" "Aku adalah salah seorang abdi Ranakusuman" "O" Orang itu mengangguk-angguk "Silahkan. Silahkan duduk di pendapa. Aku akan menya mpaikannya kepada Kiai Danatirta." "Raden Juwiring sendiri kini sedang berada di sawah" Utusan itupun ke mudian duduk di pendapa dite mui oleh Kiai Danatirta, sementara seorang cantrik dengan tergesagesa pergi ke sawah me manggil Juwiring dan saudara-saudara seperguruannya. "Kedatangan Ki Sanak telah mengejut kan ka mi" berkata Kiai Danatirta ke mudian. "Aku mendapat perintah dari Pangeran Ranakusuma untuk menya mpaikan sepucuk surat kepada Raden Juwiring" "O" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Na mun ha mpir di luar sadarnya ia bertanya "Kenapa bukan Ki Dipanala" Biasanya Ki Dipana lalah yang diutusnya ke mari. Bahkan pernah Ki Dipana la hampir saja terbunuh oleh beberapa orang penyamun di bulak Jati Aking" Utusan itu terdiam sejenak. Iapun mengetahui bahwa biasanya Ki Dipanalalah yang mendapat tugas untuk menghubungi Raden Juwiring. Tetapi agaknya kini Ki Dipanala sedang sibuk di istana Ranakusuman sehingga ia lah yang mendapat tugas pergi ke Jati Aking. Karena utusan itu tidak me njawab, maka Kia i Danatirtapun ke mudian bertanya pula "Tetapi bukankah Ki Dipanala tidakmenga la mi sesuatu?" Utusan itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Tidak Kiai. Ki Dipanala sela mat-selamat saja. Tetapi ia sedang terlalu
sibuk sehingga ia tidak dapat datang ke padepokan ini. Karena itu, ma ka ka li ini akulah yang mendapat tugas itu" Kiai Danatirta tidak mendesak lagi. Meskipun ada semaca m kecemasan yang menyentuh hatinya, karena orang tua itu mengetahui bahwa seisi istana Ranakusuman telah me mbenci Ki Dipanala, dan bahkan beberapa orang telah berusaha untuk me mbunuhnya. Karena itu, maka pe mbicaraan merekapun tidak lagi berkisar kepada Ki Dipana la dan surat yang dibawa oleh utusan itu. Mereka menunggu kedatangan Juwiring, karena surat itu ditujukan kepadanya. Yang mereka bicarakan ke mudian adalah keadaan padepokan itu. Tanah yang subur, pepohonan yang hijau dan petani yang rajin be kerja menggarap sawah mereka. Sejenak ke mudian, ketika seorang pelayan telah menghidangkan se mangkuk minuman dan beberapa potong makanan, barulah Juwiring datang diiringi oleh Buntal dan Arum yang juga sedang berada di sawah menyampaikan makan ka kak-ka kak seperguruannya. Dengan dada yang berdebar-debar Juwiring yang masih dilekati lumpur itu langsung naik ke pendapa. Seakan-akan ia tida k sabar lagi mendengar kabar apakah yang dibawa oleh orang itu, sehingga ia tidak sempat pergi ke pakiwan mencuci kaki dan tangannya. Demikian juga Buntal dan Arum. Meskipun mereka tidak mendekat, tetapi merekapun duduk di bibir lantai pendapa itu. "Kau tidak Danatirta. mencuci kakimu dahulu?" bertanya Kiai
"Aku ingin segera tahu, kabar apakah yang dibawa oleh utusan ini" jawab Juwiring. Utusan itupun menganggukkan kepalanya dalam-da la m. Katanya kemudian "Raden, aku hanya seorang utusan. Aku persilahkan Raden menerima surat ayahanda. Segala sesuatu
sudah tercantum di dala m surat itu. Dan barangkali Raden bertanya di dalam hati, kenapa bukan Ki Dipanala yang datang, dapatlah aku beritahukan bahwa Ki Dipana la sedang sibuk di istana ayahanda Raden. Itulah sebabnya aku yang datang kemari me mbawa surat ayahanda Raden itu" Dada Juwiring menjadi se makin berdebar-debar. Dengan jari-jari yang ge metar maka disobeknya surat yang dibawa oleh utusan itu. Huruf de mi huruf dibacanya dengan saksa ma. Kiai Danatirta hanya me mandanginya saja dengan tegang. Ia tidak dapat ikut me mbaca surat itu, meskipun dari tempatnya ia dapat melihat huruf yang tidak jelas, dengan sandangannya. Suku, wulu, layar, pepet dan sebagainya. Namun di dala m keseluruhannya Kiai Danatirta tidak dapat mengikut i bunyi tulisan itu. Orang tua itu menjadi se makin berdebar-debar ketika ia me lihat dahi Juwiring yang berkerut merut. Kemudian wajah anak muda itu menjadi tegang dan sorot matanya me mancarkan kegelisahan yang sangat. Tiba-tiba Raden Juwiring me mandang utusan itu dengan tajamnya. Dengan suara gemetar ia bertanya "Jadi terjadi kecelakaan atas adimas Rudira?" Utusan itu menganggukkan kepa lanya sambil menjawab "Ya Raden" "Apakah yang terjadi?" Kiai Danatirta bertanya. Buntal dan Arumpun tertarik pada pertanyaan Juwiring itu sehingga mereka bergeser setapak maju. "Juwiring" berkata Kia i Danatirta ke mudian "Coba, katakan, apakah yang telah terjadi dengan adikmu itu?" Dengan suara yang bergetar, Juwiringpun mengatakan isi surat yang dengan serba singkat menceriterakan peristiwa yang telah menimpa Raden Rudira.
"O" wajah Kiai Danatirtapun menjadi tegang "Jadi apakah benar pendengaranku, bahwa Raden Rudira terbunuh?" "Ya ayah. Begitulah bunyi surat ini. Karena itulah maka aku telah dipanggil oleh ayahanda untuk segera ke mbali sekarang juga" "Apakah benar begitu?" bertanya Kiai Danatirta kepada utusan itu. "Ya Kia i. Demikianlah yang telah terjadi. Itulah sebabnya Ki Dipanala menjadi terla mpau sibuk, karena tidak ada orang lain yang dapat me mbantu kesibukan bukan saja penyelenggaraan jenazah Raden Rudira, tetapi juga kesibukan batin Pangeran Ranakusuma " "Bagaimana dengan ibunda Ga lihwarit?" "Ibunda Raden Rudira telah menjadi pingsan untuk waktu yang sangat lama. Menurut pertimbangan ayahanda Raden, ibunda Raden Rudira telah diungsikan ke istana Pangeran Sindurata" Raden Juwiring me narik nafas dalam-dala m. Na mun yang tampak di wajahnya ternyata bukan saja kejutan perasaannya, tetapi juga kebimbangan dan bahkan kecurigaan. Terkilas di kepalanya apa yang pernah terjadi atas Ki Dipana la di bulak Jati Sari. Namun jika ia menyadari bahwa surat itu ternyata telah ditanda tangani oleh ayahandanya sendiri, maka iapun mulai me mpercayainya. "Apakah bukan sekedar sebuah tanda tangan palsu?" pertanyaan itu masih juga me mbersit di hatinya. Beberapa saat lamanya Juwiring merenungi surat itu. Ia terombang-a mbing di antara percaya dan tidak. Dicobanya untuk meneliti tanda tangan yang tercantum di surat itu. Dan ia menganggap bahwa surat itu benar-benar telah dibuat oleh ayahandanya.
"Apakah ayahanda sekedar diperalat oleh ibunda Galihwarit. Atau sebenarnyalah yang terjadi demikian?" Juwiring sela lu diganggu oleh berbagai pertanyaan "Tetapi aneh jika Rudira terbunuh oleh peluru kumpeni. Na mun bahwa itu suatu kecela kaan me mang mungkin saja terjadi" Juwiring masih saja bimbang, sehingga ia tidak segera dapat menga mbil keputusan. "Jika aku berke mas sekarang, dan ke mudian berangkat maka jika benar-benar Rudira terbunuh, akupun sudah terlambat untuk dapat menunggui keberangkatan jenazahnya, karena perjalananku tentu akan me makan waktu. Aku akan sampai di kota setelah gelap. Dan menje lang gerbang kota. di dalam kegelapan itu banyak peristiwa yang dapat terjadi atasku. Seperti yang pernah terjadi atas Ki Dipanala" Juwiring ternyata telah dilanda oleh kebimbangan yang tajam. Kemudian katanya pula di dalam hati "Tetapi jika aku tidak pergi, dan sebenarnyalah yang terjadi de mikian, maka ayahanda akan menunggu kedatanganku pula, sehingga baru besok akan dikuburkannya" Dala m pada itu, selagi Juwiring dicengka m oleh kebimbangan, maka Kiai Danatirtapun berkata kenadanya "Juwiring. Sebaiknya kau me mbersihkan dirimu lebih dahulu sambil me mpertimbangkan apa kah sebaiknya yang akan kau lakukan" Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Baiklah ayah. Aku akan pergi ke pakiwan lebih dahulu" Lalu katanya kepada utusan itu "Tunggulah sebentar di sini. Aku akan berkemas" Demikianlah ketika ke mudian Juwiring pergi ke belakang, tenyata Kiai Danatirta dan kedua muridnya yang lainpun segera menyusul, sehingga mereka se mpat mengadakan pembicaraan sebentar.
"Juwiring" bertanya gurunya "Apakah kau yakin bahwa surat itu adalah surat ayahandamu Pangeran Ranakusuma?" "Ya ayah" "Jika de mikian, pergilah. Betapapun juga, seorang ayah tentu tidak akan berbuat sejauh yang kau ragukan, meskipun pengaruh Raden Ayu Galihwarit cukup besar. Apalagi kecelakaan itu me mang mungkin terjadi atas Raden Rudira. karena. . . . " kata-kata Kiai Danatirta terputus. Ia sadar, bahwa tidak seharusnya Juwiring mengetahui kele mahan ibu tirinya. Menurut perhitungannya, tentu Raden Rudira pada suatu saat mengetahui apa yang dilakukan oleh ibunya. Dan ke mungkinan yang parah itu terjadi karena agaknya Raden Rudira menaruh denda m kepada kumpeni yang telah me langgar pagar ayu itu. Juwiring menunggu Kiai Danatirta menyelesaikan katakatanya, tetapi ternyata gurunya itu berkata "Jika tulisan itu benar-benar tulisan tangan ayahandamu, aku percaya Juwiring. Karena itu pergilah. Tetapi jangan sendiri. Bawalah Buntal bersa ma mu" "Aku akan ikut serta ayah" "Ah, kau bersama ayah di padepokan ini. Jika kau juga pergi, siapakah yang akan me mbantu ayah dan ayah tentu akan menjadi kesepian, karena Juwiring tidak akan ke mba li besok atau lusa. Tentu ia me merlukan waktu sedikitnya sepekan" Tetapi seperti biasanya, Arum tidak mau merubah keinginannya. Dengan wajah yang berkcrut-merut ia berkata "Aku akan ikut bersa ma ka kang Juwiring dan ka kang Buntal" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-da la m. Anak perempuannya itu me mang berhati keras. Na mun de mikian ia masih berusaha mencegahnya "Arum. Apakah yang akan kau lakukan di istana Ranakusuman. Kau tida k dikenal orang. Kau tentu akan tersisih saja dan bahkan kau akan merasa dirimu
terlampau kecil karena kau anak padepokan. Kau tidak akan me mpunyai arti apa-apa di sana. Berbeda dengan puteriputeri bangsawan yang masih me mpunyai saluran keluarga dekat atau jauh" Tetapi Arum tetap pada pendiriannya. Sambil bermain-ma in dengan ujung kain panjangnya ia berkata dalam nada yang rendah "Aku dapat tinggal di rumah pa man Dipanala. Katanya rumah itu dekat sekali dengan istana Ranakusuman" Kiai Danatirta yang sudah mengenal sifat Arum tidak berusaha melarangnya lagi. Semakin ia dilarang, keinginannya rasa-rasanya menjadi se makin me lonjak. Meskipun ia dapat me ma ksa anak itu agar tidak pergi, tetapi anak itu akan menjadi kecewa dan sela ma beberapa hari ia a kan selalu dibayangi oleh kekecewaannya itu. Wajahnya akan menjadi gelap dan kadang-kadang berbuat sesuatu yang tidak sewajarnya. "Ada juga kebengalan ibunya yang tampak pada Arum" berkata Kiai Danatirta di dala m hatinya. Dan karena itu, maka katanya kemudian "Arum. Jika kau me mang ingin pergi bersama mereka, jagalah dirimu baik-baik. Kau akan berada di dalam suatu lingkungan yang belum kau kenal. Berbeda sekali dengan pergaulan di padepokan ini" "Kakang Buntal juga akan me masuki pergaulan yang asing" "Tetapi se masa kecilnya Buntal pernah tinggal di rumah seorang bangsawan, sehingga ia sudah mengenal unggahungguh dan tata pergaulan di istana Ranakusuman kau tidak dapat me manggil Juwiring dengan sebutan sehari-hari yang kau pakai di padepokan ini. Kau harus me manggil seperti seharusnya" "Bagaimana a ku harus me manggil" "Seperti pada saat Juwiring datang ke mari"
"O" Arum mengangguk-anggukkan kepalanya "Aku mengerti. Aku harus me manggilnya Raden Juwiring. Begitu" "Ah" Juwiring berdesah. Tetapi Kiai Danatirta menyahut "De mikian me mang seharusnya. di dalam istana Ranakusuman semuanya harus berlaku seperti seharusnya. Buntalpun harus me manggil sebutan itu selengkapnya. Kalian mengerti?" Ketiga anak muda itu mengangguk, meskipun terbayang sepercik warna merah di wajah Juwiring. "Jika de mikian bersiaplah. Kalian dapat segera berangkat meskipun kalian a kan sa mpai ke kota sesudah gelap. Sebaiknya kalian makan dahulu bersama utusan itu. Bagaimanapun juga kalian tida k akan dapat mencapai saat keberangkatan jenazah itu jika me mang hari ini jenazah itu akan dima ka mkan" Demikianlah ketiga anak-anak muda itupun segera berkemas, sementara seorang pelayan telah menyediakan makan bagi utusan yang duduk di pendapa. "Ah, seharusnya kami segera berangkat" berkata utusan itu. "Makanlah dahulu" berkata Kiai Danatirta kepada utusan itu pula "Jika benar hari ini jenazah itu dima ka mkan, tentu kalian akan terla mbat datang, makan atau tidak ma kan" Dan utusan itupun ke mudian tidak dapat menolak lagi. Baru setelah mereka selesai, dan setelah Kiai Danatirta me mberikan beberapa pesan kepada murid-muridnya, maka merekapun segera berangkat meninggalkan Jati Aking. Karena mereka harus berkuda ma ka Arumpun terpaksa mengenakan pakaian seorang laki-laki. "Sebaiknya kau tinggal di rumah pa manmu Ki Dipanala" sekali lagi ayahnya berpesan ketika ia me lepaskan anaknya di regol hala man.
Sementara itu, ketika Raden Juwiring bersa ma kedua saudara seperguruannya dan utusan ayahandanya itu berpacu di sepanjang bula k Jati Sari, maka di istana Ranakusumanpun menjadi se makin sibuk. Ki Dipana la menasehatkan agar Pangeran Ranakusuma menga mbil keputusan, apakah ia akan menunggu Raden Juwiring atau tidak. "Tetapi" berkata Ki Dipanala "jika Pangeran menunggu maka mereka yang sudah berada di sini akan menjadi ge lisah, karena tentu baru besok jenazah itu dimaka mkan" "Jadi bagaimanakah sebaiknya menurut pertimbanganmu?" "Sebaiknya dimaka mkan Pangeran" jenazah hari itu ini
Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Iapun ke mudian mene mui beberapa orang tua, termasuk pangeran Sindurata yang sudah ada di pendapa itu pula. "Buat apa kau me mpertimbangkan anak itu" berkata Pangeran Sindurata "lupakan saja anak itu. Kau masih me mpunyai seorang anak perempuan yang kelak tentu akan mendapatkan jodohnya. Dan kau akan mendapatkan ganti Rudira yang malang itu" Terasa sesuatu bergejolak di dalam hati Pangeran Ranakusuma. di dala m keadaan yang demikian, Juwiring terasa sangat penting artinya bagi dirinya. Namun karena ia sadar, bahwa para tamu sudah menjadi se makin banyak, ditahankannya saja hatinya. Meskipun di dala m hati ia berkata
"Jika Galihwarit sadar dan mulai berceritera tentang dirinya, baru kau tahu, kenapa aku me mbawanya ke mba li kepada mu" Dala m pada itu, kebanyakan dari orang-orang yang dianggap lebih tua berpendapat bahwa jenazah sebaiknya dimaka mkan pada hari itu. Demikianlah selagi se mua persiapan dilakukan untuk me lakukan upacara pe maka man, para tamu telah dikejutkan oleh derap roda kereta yang me masuki hala man. Ternyata kereta itu adalah kereta perwira kumpeni. Agaknya beberapa orang kumpenipun telah me merlukan hadir di dala m upacara pemaka man itu. Pangeran Ranakusumapun ke mudian menyongsong perwira-perwira kumpeni itu. Namun ia tidak dapat menahan gejolak di dala m hatinya. Jika ia melihat orang yang disangkanya mene mba k Rudira, apakah ia dapat menahan hati" Namun ternyata yang turun dari kereta itu adalah seorang perwira yang jarang sekali berada di Surakarta. Perwira yang justru mondar-mandir antara Semarang dan Surakarta. "Kenapa Dorep ini yang datang?" bertanya Pangeran Ranakusuma di dala m hatinya. Terasa dada Pangeran Ranakusuma menjadi sesak. Tetapi ia berusaha untuk menye mbunyikan gejolak perasaannya. Dipersilahkannya Dorep dan seorang perwira yang lain naik ke pendapa dan duduk di antara para bangsawan. "Kenapa orang yang jarang berada di Surakarta inilah yang mewakili kawan-kawannya?" pertanyaan itu selalu mengganggu perasaan Pangeran Ranakusuma "Agaknya kumpeni menyadari bahwa sesuatu telah terjadi. Perwira yang mene mba k Rudira itu tentu menyadari, bahwa pelurunya ternyata telah mengenai justru anak laki-la ki Galihwarit sendiri. Karena itulah maka mereka mengirimkan orang yang jarang sekali tampa k di Sura karta"
Namun ke mudian Pangeran Ranakusuma menganggap bahwa agaknya me mang lebih baik de mikian, agar ia tidak dibakar oleh goncangan perasaan yang sukar terkendali. Seperti yang kemudian diputuskan, maka jenazah Raden Rudirapun dimaka mkan pada hari itu juga tanpa menunggu Raden Juwiring. Diiringi oleh para bangsawan dan bahkan utusan resmi dari Kangjeng Susuhunan Pakubuwana, jenazah Raden Rudira dengan kereta telah dibawa ke maka m untuk dibaringkan sela ma-la manya. Ketika matahari ke mudian turun di sisi Barat dari wajah langit yang ke merah-merahan, maka m itu telah menjadi sepi. Yang tinggal hanyalah beberapa orang yang masih menyelesaikan pe masangan nisan batu yang besar yang berwarna hitam ke la m. Orang-orang yang tinggal itupun segera menyelesaikan pekerjaannya. Sekali-sekali mereka menengadahkan wajahnya me mandang langit yang kemerah-merahan. Ke mudian mengusap keringat dibadannya deiigan tangannya. Namun dengan demikian punggungnya justru menjadi kotor oleh tanah yang mele kat pada jari-jarinya yang basah itu. Sejenak kemudian merekapun menge masi alat-alat mereka. Sebentar lagi mereka akan meninggalkan batu nisan yang dia m me mbe ku di antara batu-batu nisan yang lain. Namun mereka mengerutkan keningnya ketika mereka me lihat seorang mengha mpiri ma ka m yang masih baru itu. "Ki Sanak" berkata orang itu "Apakah ini maka m Raden Rudira yang baru saja meninggal itu?" "Ya" jawab salah seorang dari mereka yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya itu. Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu "Kenapa Raden Rudira dite mbak oleh kumpeni?"
"Ah, tentu kami tida k mengetahuinya" jawab orang yang sudah siap untuk meninggalkan batu nisan itu "Tidak seorangpun yang mengetahuinya" "Sela ma pe maka man apakah kau tida k mendengar salah seorang me mbicarakannya?" "Se mua orang bertanya-tanya. Para bangsawan itupun bertanya.tanya. Apalagi aku" Orang itu mengangguk-angguk pula. Perlahan-lahan ia mende kati maka m itu. Dirabanya batu nisan yang masih baru itu. "Siapakah kau?" bertanya salah seorang pekerja maka m itu. "Aku datang dari jauh" "Siapa" Dan apa hubunganmu dengan Raden Rudira?" "Tida k ada hubungan apa-apa. Tetapi Raden Rudira pernah mengunjungi padukuhanku, bahkan singgah di rumahku" "Dima na rumahmu?" "Sukawati. Aku seorang petani dari Sukawati" "Sukawati" Begitu jauh?" "Ya. Begitu jauh. Tetapi Raden Rudira pernah datang ke rumahku yang jauh itu. Sayang, bahwa aku hanya dapat mengunjungi maka mnya" Para pekerja di kuburan itu me mandanginya sejenak. Petani dari Sukawati itu berdiri tepekur di sisi maka m yang masih baru itu. "Orang asing itu me mang sewenang-wenang" terdengar ia berdesis. Sejenak kuburan itu menjadi sepi. Para pekerja saling berpandangan sejenak. Kemudian mere kapun me mandang
orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu. Tetapi petani itu sa ma se kali tidak menggeser pandangan matanya dari nisan yang masih baru itu. "Raden Rudira adalah anak yang baik. Kenapa ia harus mati muda" Kumpeni sama sekali tidak me mpertimbangkan akibat yang dapat merusak hati dan jantung orang tuanya. Terlebihlebih ibundanya. Dan sekarang Raden Ayu Galihwarit itu menderita. Bahkan mungkin untuk sela ma sisa hidupnya" Para pekerja itu masih mendengarkannya. "Ki Sanak" berkata petani itu ke mudian sa mbil berpaling "perbuatan ini bukan saja menyakiti hati ayahanda dan ibundanya. Tetapi menyakiti hati kita semuanya. Apakah itu terasa di hati Ki Sana k?" Tidak seorangpun yang segera menjawab. "Kita merasakan betapa pahitnya bekerja untuk sesuap nasi. Kau menggali kubur, dan aku setiap hari berjemur diterik matahari. Apakah yang kita dapatkan" Sedang orang-orang asing di sini hidup mewah dan lebih dari itu mengangkut segala maca m hasil tanah ini atas dasar perjanjian dengan para bangsawan" Petani itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah para pekerja tanah pekuburan itu seorang de mi seorang. Na mun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata "Aku tidak tahu apa-apa Ki Sanak" Petani dari Sukawati itu menganggukkan kepalanya "Aku juga tidak berani berkata begitu jika di antara kita ada orangorang yang sudah dapat mengenya m kenikmatan hidup sekarang ini, apapun caranya. Tetapi kematian seorang anak muda bangsawan yang baik ini, tentu tida k akan dapat kita biarkan begitu saja. Jika terhadap anak-anak muda bangsawan kumpeni sudah berani berbuat de mikian, apalagi terhadap kita jika kita me mbiarkan kepala kita di injaknya"
Tiba-tiba saja para pe kerja itu menganggukkan kepala. Bahkan salah seorang dari mere ka, pekerja yang paling muda berkata "Ya. Mereka menganggap bangsa kita sebagai bangsa yang rendah. Kakekku adalah seorang bebahu Kademangan yang dihormati oleh tetangga-tetangganya. Tetapi pada suatu ketika, seorang asing meludahinya di muka umum karena kakekku berbuat sesuatu yang dianggapnya salah" "Kita me mang sudah dihinakan" berkata petani itu. Tetapi pekerja yang lain berkata "Aku tidak tahu apa-apa. Aku bekerja untuk mencari nafkah. Jika aku berbuat sesuatu di luar urusanku, ma ka aku akan mengala mi bencana sehingga anak isteriku tidak akan dapat makan. Mereka akan menjadi kelaparan dan barangkali mengala mi nasib yang lebih jelek lagi" "Itu adalah suatu contoh kesewenang-wenangan yang baik sekali" sahut petani itu "meskipun kau tidak ikut apa-apa, tetapi pernyataanmu itu justru suatu bukti dari sikap mereka terhadap kita" "Sudahlah Ki Sanak" berkata pekerja kuburan itu "Aku minta diri untuk beristirahat sejenak. Mala m nanti aku haras pergi meronda untuk mendapat tambahan upah buat hidup sehari-hari." Petani dari Sukawati itu tidak dapat menahan mereka. Seorang demi seorang mereka minta diri sehingga akhirnya kuburan itu menjadi se makin sepi.
-ooo0dw0ooo- (Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 11 PETANI dari Sukawati itupun ke mudian duduk di atas batu nisan sambil me mandang berkeliling. Kuburan itu benar-benar telah sepi. Na mun untuk beberapa la manya ia tidak meninggalkan batu nisan itu. Sambil me mandang daun se mboja yang bergetar disentuh angin Petani dari Sukawati itu berkata kepada diri sendiri "Tetapi sudah ada se maca m kesadaran pada rakyat kecil. Mudah-mudahan mereka masih me miliki keberanian. Kegagalan yang pernah terjadi mudah-mudahan tidak me mbunuh keberanian mereka sa ma sekali" Petani itupun ke mudian berdiri sa mbil mengusap keningnya. Matahari sudah menjadi se makin rendah, dan sebentar kemudian hilang di balik cakrawa la. Dan mala m yang kela mpun mulai me nyelubungi Surakarta. Tetapi petani dari Sukawati itu masih berada dikuburan. Ternyata ketika mala m menjadi se makin kela m, sesosok bayangan yang lain bergerak-gerak di balik dinding batu yang menge lilingi ma ka m itu. Sejenak ke mudian terdengar bunyi burung kedasih yang ngelangut. Na mun ternyata dari dalam
kuburan itu terdengar suara burung yang sama seakan-akan menyahut suara burung yang pertama. Beberapa saat kemudian, maka sesosok bayangan yang me manggul sesuatu di pundaknya meloncat masuk dan mengendap di antara batu-batu nisan yang besar dan cungkup-cungkup yang gelap. "Bawa ke mari" terdengar suara berat. "Ha mba Pangeran" jawab orang yang memanggul sesuatu di punda knya itu. "Sekarang adalah giliran kita untuk menguburnya" berkata suara yang pertama. "Ha mba Pangeran" "Cepat, galilah tanah yang masih basah di sa mping kuburan Rudira" suara itu berhenti sejenak, lalu "Apakah kau seorang diri?" "Ha mba Pangeran. Ha mba datang seorang diri" "Baiklah. Marilah a ku bantu" Di da la m keremangan mala m, ma ka dua sosok bayangan itupun sibuk menggali lubang di sa mping kuburan Rudira yang masih basah, sehingga tida k menimbulkan kecurigaan jika seseorang besok datang kekuburan itu. Ketika lubang itu sudah cukup dala m, maka merekapun segera me masukkan benda yang me manjang dan terbungkus tebal yang dipanggul di atas pundak orang yang meloncati pagar itu. "Ada berapa?" "Lima Pangeran. Dan menurut pe mbicaraan yang sudah kami lakukan, mereka akan menga mbilnya dua hari lagi"
"Bagus, dan berhati-hatilah. Senjata-senjata api semaca m itu sangat ka mi perlukan. Untuk melawan kumpeni, ada baiknya kita juga me miliki senjata api meskipun t idak banyak" Demikianlah, maka senjata api itupun ke mudian ditimbuninya dengan baik, sehingga tida k meninggalkan bekas. "Marilah kita pergi. Mudah-mudahan mendapatkan senjata se maca m itu yang la in" kita akan
"Ha mba Pangeran. Tetapi mudah-mudahan juga tida k ada orang yang berprasangka bahwa kitalah yang telah mene mbak Raden Rudira" "Tentu tidak. Tidak ada orang yang tahu bahwa kita me miliki senjata api. Dan orang-orang sudah yakin bahwa sebenarnya yang menemba k Rudira adalah kumpeni" "Mudah-mudahan pula ke matian Raden Rudira dapat me mbangkitkan harga diri rakyat Surakarta dan para bangsawan" "Tetapi sebagian dari para bangsawan telah benar-benar kehilangan harga diri dan keberanian" Tidak terdengar jawaban. Sejenak kemudian mereka berdua masih saja merenungi senjata-senjata api yang tertimbun di lubang itu. "Sudahlah, marilah segera kita hilangkan bekas-bekas kita, dan kita segera dapat meninggalkan te mpat ini" Keduanyapun ke mudian menyamarkan timbunan senjata api itu sebaik-baiknya sehingga mereka yakin bahwa tidak ada seorangpun yang akan dapat mengetahuinya. Dengan hati-hati keduanyapun meningga lkan kuburan itu. Ternyata mereka me merlukan waktu yang cukup la ma untuk mengga li dan menimbuni kuburan senjata itu, sehingga ma la m sudah me njadi sema kin jauh.
Dala m pada itu, selagi mereka merayap keluar dari kuburan itu. di istana Pangeran Sindurata telah terjadi sesuatu yang mengge mparkan. Ketika perlahan-lahan Raden Ayu Galihwarit mulai sadar, maka Pangeran Sindurata menjadi ge mbira. Tetapi untuk sadar sama sekali. Raden Ayu Galihwarit me merlukan waktu ha mpir setengah hari. Namun berbeda dengan dugaan Pangeran Ranakusuma, bahwa ternyata Raden Ayu Galihwarit benar-benar menjadi agak baik. Ia mulai me ngenal dirinya sendiri dan orang-orang yang berada di sekitarnya. "Galihwarit" Panggil ayahandanya yang sudah kembali dari Ranakusuman. "Ayahanda" desis Galihwarit. "Ya Galihwarit. Aku adalah ayahandamu. Apakah kau sudah menjadi se makin ba ik?" Raden Ayu Galihwarit me mandang ayahandanya yang tampak masih agak kabur. Ke mudian ke luarganya yang lain. Keluarga yang tinggal di rumah orang tuanya. Bukan di rumahnya sendiri. "Beristirahatlah saja dahulu Galihwarit. Jangan pikirkan apapun juga" Galihwarit tidak menjawab. Kepalanya terasa pening sekali dan perutnya menjadi mual. Bayangan yang kabur itupun kadang-kadang bagaikan menghilang lagi. Wajah-wajah yang tampak tida k seperti sewajarnya. Kepala yang terlalu besar dan mata yang hita m kela m. Na mun kadang-kadang bayangan yang aneh itu dapat dikenalnya seorang demi seorang, sebelum menjadi kabur dan seolah-olah berubah bentuknya. Ketika Raden Ayu Galihwarit akan muntah, maka ayahandanya yang cemas berkata "Pejamkan saja mata mu. Mungkin kau menjadi pening dan rasa-rasanya ruangan ini sedang berputar"
"Ya ayahanda" "Nah, cobalah tidur. Jangan hiraukan apa-apa lagi" Raden Ayu Galihwarit mencoba me meja mkan matanya yang kabur. Namun sekali-se kali ingin juga ia melihat orangorang yang ada disekitarnya. Tetapi pandangannya masih saja terasa terganggu. Kadang-kadang ia tidak dapat melihat apapun lagi, selain keputih-putihan. Seakan-akan ia berada di dalam gumpa lan awan yang pe kat. "Tidurlah" terdengar suara ayahandanya. Raden Ayu Galihwarit me meja mkan matanya. tidak menyahut. Tetapi ia
Namun dala m pada itu, ketika Raden Ayu Galihwarit mencoba mengingat apa yang telah terjadi dengan dirinya, mulailah angan-angannya menelusuri masa-masa yang telah terjadi. Raden Ayu itu dapat teringat meskipun samar-sa mar, mulai saat ia pergi meningga lkah istananya untuk me menuhi undangan beberapa orang perwira kumpeni. Diingatnya pula betapa meriahnya pertamuan itu, karena seorang perwira asing yang lucu dan senang bergurau. Dengan bahasa Jawa yang patah-patah ia mencoba berbicara terlalu banyak, sehingga suasananya menjadi sangat ramai. Raden Ayu itupun berhasil mengingat saat-saat ia meningga lkan istana yang mulai menjadi sepi, dan diingatnya pula saat-saat ia berpindah kereta di pinggir jalan. Tiba-tiba dada Raden Ayu Galihwarit berdesir. Seakan-akan terbayang meskipun masih agak kabur seperti wajah-wajah yang mengelilinginya, gambaran berikutnya dari peristiwa yang dialaminya. Seakan-akan ia mendengar derap kaki kuda menyusul keretanya dan kemudian disusul suara tembakan dan sesosok tubuh terbanting jatuh.
Disela-sela derai suara tertawa yang suram bagaikan suara hantu yang mene mukan sesosok mayat terkapar di tengah jalan, ia seakan-akan mendengar seorang kumpeni mengumpat. Dan ketika Raden Ayu Ga lihwarit bagaikan me ma ksa diri untuk mengingat apa yang selanjutnya terjadi, terasa sesuatu bagaikan menghentakkan dadanya. Tiba-tiba saja sebuah jerit yang panjang telah terloncat dari mulutnya. Ternyata kenangannya telah mula i menyentuh bayangan sesosok tubuh yang terkapar di pembaringan oleh luka peluru. Dan tubuh itu adalah tubuh anaknya sendiri. Raden Rudira. "Galihwarit" desis Pangeran Sindurata bingung "Kenapa" Kenapa?" yang menjadi
Yang terdengar kemudian adalah tangis yang me ledak. Di dalam bayangan yang gelap, Raden Ayu Galihwarit melihat dirinya sendiri dicengka m oleh iblis yang paling laknat. Karena itu, disela-sela tangisnya terdengar ia meratap "Bukan maksudku. Bukan ma ksudku untuk menjerumuskan kau ke dalam bencana itu Rudira. Bukan a ku. Bukan aku yang me mbunuhmu" "Galihwarit, Galihwarit" Pangeran Sindurata menjadi bingung, sedang orang-orang lainpun seakah dicengkam oleh kecemasan yang luar biasa. Tetapi kejutan yang telah mengguncang perasaan Galihwarit itu mulai mengganggu syarafnya lagi. Karena itulah, maka bayangan yang semula sa mar-samar dan se makin la ma menjadi se makin je las itupun telah menjadi kabur ke mbali. Dan bahkan hilang sama sekali. Yang ke mudian mencengka mnya adalah kegelapan dan ketidak sadaran. Itulah sebabnya, maka kata-kata yang terloncat dari bibirnyapun sa ma se kali tidak terkendali lagi. Pengakuan-pengakuan yang kemudian mula i mengalir telah benar-benar mengganggu perasaan Pangeran Sindurata. Karena itulah maka tiba-tiba iapun berteriak keras-keras kepada orang-orang yang ada di dalam bilik itu "Pergi, semua
pergi. Tingga lkan menungguinya"
bilik ini. Biarlah aku sendiri yang Sejenak orang-orang yang ada di dala m bilik itu termangumangu. Na mun karena itu, ma ka sekali lagi Pangeran Sindurata berteriak "Pergi, cepat. Pergi" Orang-orang yang ada di dalam bilik itu mulai bergeser. Seorang demi seorang mereka keluar dari dala m bilik itu. Para emban dan juga ke luarganya. Saudara-saudaranya dan bahkan orang-orang tua. Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Sambil menangis ia meratapi peristiwa yang baru saja terjadi, dan yang mengakibatkan ke matian Raden Rudira. Meskipun tidak jelas dan tidak berurutan, na mun ternyata bahwa Pangeran Sindurata berhasil menangkap igauan yang terlontar dari mulut Raden Ayu Galihwarit. Rasa-rasanya setiap kata yang didengarnya telah menghanta m dadanya. Ia sadar, bahwa ternyata selama ini puterinya yang telah berhasil menyingkirkan orang-orang yang tidak disenanginya dari istana Ranakusuman itu telah terperosok ke dala m lumpur yang kotor. "Me malukan sekali, me ma lukan sekali" gera m Pangeran Sindurata. Ketika ke mudian dipandanginya wajah anaknya itu, terbayang betapa ia telah melakukan perbuatan yang terkutuk untuk mencapai cita-citanya. "Anak setan" tiba-tiba ia menggeram. Lalu "Siapakah yang mengajarimu berbuat de mikian?" Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak mengerti pertanyaan itu. Dengan kedua tangannya ia mengusap air matanya. Dan tibatiba saja gangguan pada syarafnya menjadi sema kin parah. Karena itulah ma ka tangisnya tidak lagi terdengar. Bahkan di
luar dugaan Pangeran Sindurata Raden Ayu Galihwarit mulai tersenyum. "Gila, gila. O, kau sudah menjadi Gila" Pangeran Sindurata berteriak. Terdengar Raden Ayu Galihwarit tertawa. Dan suara tertawanya telah mengguncang hati Pangeran Sindurata. Pangeran yang yang mudah sekali hanyut dalam arus perasaannya itu. Tingkah lakunya, suara tertawanya dan kata-katanya itu benar-benar me mbuat Pangeran Sindurata bagaikan dihe mpaskan ke dala m suatu lingkaran yang menghisapnya ke dalam dunia yang ke la m dan me ma lukan. Karena itu, ketika Raden Ayu Ga lihwarit sekali lagi menyebut nama kumpeni di dala m hubungan yang lain dengan dirinya, maka darahnya bagaikan telah mendidih. Tiba-tiba saja ia me loncat menerka m pundak puterinya. Sambil mengguncang-guncangnya ia berkata "Galihwarit. Jadi kau benar-benar telah menjadi gila" Bukan saja gila dala m arti yang sewajarnya, seperti yang terjadi atasmu sekarang, tetapi kau telah sejak lama menjadi gila dengan tingkah la kumu yang terkutuk itu" Raden Ayu Galihwarit menyeringai karena terasa pundaknya menjadi sakit. Tetapi kemudian ia tersenyum sambil berkata "Jangan sakiti aku. Kau tidak usah mema ksaku. Jika kau dapat menyediakan mutiara yang berwarna kelabu itu, kau tidak akan kecewa" "O, o" Pangeran Sindurata menjadi le mas. Terhuyunghuyung ia melangkah menjauhi puterinya dan terduduk di atas pembaringan. "He, mana mutiara itu" Mana?" "Tida k. Tida k" Pangeran Sindurata justru menjadi bingung.
Raden Ayu Galihwarit tertawa. Perlahan-lahan ia mende katinya. Wajahnya yang pucat itu benar-benar me mbayangkan wajah seorang iblis betina yang cantik tetapi berbisa. Pangeran Sindurata menjadi se makin bingung. Setiap langkah puterinya. rasa-rasanya dadanya menjadi sema kin pepat. Namun Raden Ayu Galihwarit masih saja melangkah maju. "Jangan, jangan" Pangeran Sindurata itupun ha mpir berteriak. Tetapi Raden Ayu Galihwarit justru tertawa tertahan-tahan. Tiba-tiba sesuatu bergejolak di dalam hatinya. Getaran yang tidak dapat dimengertinya, namun yang kadang-kadang me mang terasa hinggap di hatinya itu. Getaran itulah yang kadang-kadang me mbuatnya kehilangan penga matan diri. sehingga beberapa orang menyebutnya agak kurang menguasai kesadarannya. Demikianlah ketika Raden Ayu Galihwarit tinggal lagi selangkah daripadanya, dan sambil tertawa me mandanginya, Pangeran Sindurata tidak dapat lagi menguasai getaran di dalam dadanya itu. Wajahnya yang tegang menjadi se ma kin tegang, dan matanya menjadi liar. Tanpa diduga-duga maka iapun sekali lagi meloncat menerka m Raden Ayu Galihwarit. Kali ini t idak dipundaknya, tetapi tepat mencengka m leher. "O" Raden Ayu Galihwarit masih se mpat berdesah. Namun suaranya hilang karena tenggorokannya tiba-tiba saja tersumbat. "Iblis betina" geram Pangeran Sindurata "Kau telah me lumuri nama ku dengan noda yang tidak terhapuskan. Kau me mang harus mati. Kau telah dengan tidak langsung
me mbunuh anakmu sendiri dan melumuri na maku dengan kehinaan. Kau me mang harus mat i. Kau harus mati" Dan tangan Pangeran Sindurata mencengka m semakin keras, sehingga Raden Ayu Galihwarit yang sedang terganggu syarafnya itu sama seka li tidak dapat mengeluh lagi. Namun dala m pada itu, selagi tangan Pangeran Sindurata yang sedang bingung itu sema kin erat mencengka m leher puterinya, tiba-tiba saja pintu bilik itu terdorong dengan kerasnya. Seseorang meloncat masuk dan dengan suara bergetar berkata sambil menarik tangan Pangeran Sindurata "Ka mas Pangeran, jangan. Jangan dilakukan" Pangeran Sindurata yang masih mencengka m leher puterinya berpaling. Dilihatnya adiknya dengan wajah yang cemas mencoba menahannya. "Jangan kau cegah aku adimas. Jangan" "Ingatlah ka mas. Yang ka mas lakukan itu sama seka li bukan suatu penyelesaian. Tetapi ka mas justru sedang me mbuka persoalan baru lagi" Pangeran Sindurata berpikir sejenak. Na mun dala m pada itu angannya menjadi sema kin mengendor. "Lepaskan ka mas, lepaskan"
Seperti didorong oleh tenaga gaib ma ka tangan Pangeran Sinduratapun terlepas dari leher Raden Ayu Galihwarit. Namun dalam pada itu, tubuh puterinya itupun sudah menjadi demikian le mahnya. Untunglah bahwa Pangeran Sindumurti, adik Pangeran Sindurata yang lahir dari ibu yang sama, cepat menangkap ketika Galihwarit terhuyung-huyung. Dipapahnya ke manakannya yang sedang terganggu itu dan dibaringkannya di pe mbaringan. Tetapi mata Raden Ayu Galihwarit masih saja terpejam meskipun nafasnya mulai menga lir tersengal-sengal. "Kenapa Sindurata. kau cegah a ku adimas?" gera m Pangeran
"Ka maspun ternyata telah diguncang oleh kejutan perasaan. Seperti yang sering terjadi, kamas tidak dapat mengenda likan perasaan yang sedang melonja k" "Me malukan sekali. Ia mengigau tentang laki-la ki. Dan lakilaki itu ada lah orang-orang asing" "Ka mas" berkata Pangeran Sindumurti "Bukankah tentang orang asing itu a ku sudah beberapa kali menyebutnya di hadapan kamas. Tetapi ka mas sendiri berhubungan terlalu rapat dengan mereka. De mikian juga agaknya Galihwarit " "Tetapi aku tidak mengajarinya berbuat de mikian?" "Tetapi ka mas telah me mbiarkannya bermain-ma in dengan air. Pada suatu saat Galihwarit telah menjadi basah karenanya. Kesalahan ini jangan seluruhnya dibebankan kepada Galihwarit. Tetapi sebagian pada kamas sendiri dan sebagian pada sua minya, Pangeran Ranakusuma" Pangeran Sindurata menarik nafas dala m-dala m. Ketika ia sempat me mandang ke lubang pintu yang terbuka, dilihatnya beberapa orang masih menunggu meskipun pada jarak yang agak jauh dengan wajah yang termangu-mangu.
"Kau dengar pembicaraan ka mi" tiba-tiba saja Pangeran Sindurata bertanya. "Aku yang ada di luar pintu mendengarnya dan mengetahui dengan pasti apa yang kamas lakukan. Tetapi para pelayan sudah aku suruh menjauh, agar mereka tidak mendengar lebih banyak lagi persoalan Galihwarit" Pangeran Sindurata termenung sejenak. Na mun ke mudian terasa dadanya bagaikan dicengkam oleh perasaan yang bercampur baur di da la m dadanya. Kecewa, cemas, malu dan juga ketakutan. Perlahan-lahan ia melangkah ke sudut ruangan dan terduduk dengan le mahnya. "Ka mas" berkata Pangeran Sindumurt i "Ba iklah kita berusaha. Mungkin ada tabib yang pandai yang dapat menye mbuhkannya. Sementara ini sebaiknya ka mas juga beristirahat menenangkan hati" "O" keluh Pangeran Sindurata "sementara ini Galihwarit masih akan tetap mengigau. Ia masih dapat berteriak-teriak tentang sesuatu yang dapat mena mbah noda di dala m hidupku yang tidak begitu cerah ini" "Biarlah ia tetap tinggal di dala m biliknya. Aku akan me mbantu ka mas menjaganya agar ia tidak pergi keluar seorang diri dan tida k me mbiarkan ia berbicara" "Kau akan tingga l di sini siang dan mala m?" "Tentu bukan aku seorang diri. Kita bergantian. Dan sekali waktu isteriku dapat juga me mbantu dan beberapa orang pelayan yang dapat dipercaya" Pangeran Sindurata tidak dapat menolak pendapat adiknya. Me mang ia tidak me ndapat jalan lain daripada itu. Apalagi pikirannya yang sedang kacau itu sama sekali tidak dapat dipergunakannya dengan sebaik-baiknya.
Namun de mikian, untuk menyimpan Raden Ayu Galihwarit itu Pangeran Sindurata telah menyediakan sebuah bilik yang khusus. Bilik yang jarang dipergunakannya dan terletak di bagian belakang istananya meskipun masih berada di lingkungan da la m. Bilik itu ke mudian seakan-a kan menjadi sebuah bilik yang menyerupai sebuah te mpat untuk menye mbunyikan Raden Ayu Galihwarit. Pangeran Sindumurt i yang me miliki pandangan yang lebih jauh dari ka kaknya, masih se mpat me layani Raden Ayu Galihwarit seperti me layani seorang anak yang cengeng dan nakal. "Ia me merlukan sikap yang khusus ka mas" berkata Pangeran Sindumurti "Kita tidak dapat berbuat kasar. Kita harus berusaha menga lihkan perhatiannya dari orang-orang yang selalu disebut na manya. Biarlah perhatiannya tertuju pada Barang-barang yang di sukainya. Makanan atau pa kaian" "O" desis Pangeran Sindurata "Aku harus menyimpan seorang yang gila di da la m rumah ini" "Tetapi itu adalah darah daging kamas sendiri" Pangeran Sindurata hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dala m. Bencana yang dahsyat ternyata telah menimpa ke luarganya. Anaknya menjadi gila, dan cucunya mati tertemba k oleh orang-orang asing yang selama ini dianggapnya sebagai bangsa yang akan dapat me mbawa kebahagiaan di dala m hidupnya, yang dengan ringan tangan memberikan banyak sekali hadiah yang berharga baginya. Tetapi Pangeran Sindurata tidak menerima peristiwa itu tanpa berbuat apa-apa. Ketika ia kemudian se mpat berbicara dengan adiknya, Pangeran Sindumurti, merekapun mendapat kesimpulan bahwa peristiwa ini tentu me mpunyai alasan yang tidak dimengertinya. Dan alasan itulah yang harus mereka ketemukan.
"Untuk se mentara aku tidak akan dapat menemui Pangeran Ranakusuma " desis Pangeran Sindurata "Aku menjadi sangat ma lu. Ia tentu sudah mengetahui dan me ndengar igauan Galihwarit pula sehingga dibawanya Galihwarit ke mbali ke rumah ini, meskipun ia tida k mengatakannya" "Ya ka mas. Tetapi biarlah kita melihat perke mbangan keadaan dengan hati yang dingin. Jika kita dibakar oleh perasaan, maka kita akan mudah berbuat salah" Pangeran Sindurata mengangguk-anggukkan kepa lanya. Namun ia tidak berhasil segera menyingkirkan pergolakan yang terjadi di dalam dadanya. Dan karena itulah, maka iapun telah dicengka m oleh keprihatinan yang dala m. Dala m pada itu se lagi ma la m menjadi se makin dala m beberapa orang berkuda telah me masuki kota Sura karta. Beberapa orang prajurit peronda yang sedang nganglang terkejut mendengar derap itu. Apalagi pada suasana yang sedang buram karena ke matian Raden Rudira, maka prajurit itupun ke mudian berusaha menghentikan orang berkuda yang berpacu di ja lan raya itu, apalagi di mala m hari. Ketika orang-orang berkuda itu sudah berhenti, maka pemimpin peronda yang bersenjata tombak itupun segera mende katinya. Tombaknya masih merunduk di bawah dadanya. Namun di da la m keadaan yang gawat itu, ia selalu berhati-hati menghadapi setiap ke mungkinan. Orang-orang berkuda itu masih tetap berada di punggung kuda ketika prajurit itu bertanya "Siapakah kalian?" Orang yang berkuda di pa ling depan itupun menjawab "Ka mi adalah keluarga istana Ranakusuma" "He?" "Aku sendiri ada lah abdi Ranakusuman" "Yang lain"
"Raden Juwiring. Putera tertua dari Pangeran Ranakusuma. Aku baru saja me mberitahukan kepadanya bahwa Raden Rudira telah meninggal" "O" prajurit itupun ke mudian menganggukkan kepalanya dalam-da la m diikuti oleh para peronda yang lain. Katanya "Maaf Raden. Raden sudah terlalu la ma tidak tinggal di dala m kota, sehingga ka mi tidak segera dapat mengenal" Raden Juwiring tersenyum. Katanya "Aku me mang tidak banyak dikenal" Para peronda itu tidak menjawab. Mereka menganggap bahwa ucapan Raden Juwiring itu merupakan suatu sindiran bagi mereka. Tetapi sebenarnya Juwiring sa ma se kali tidak hendak berbuat demikian. Sesuatu di dala m hatinyalah yang telah mendesak kata-kata itu meloncat dari mulutnya. "Jika de mikian" berkata para peronda itu "Silahkan Raden me lanjutkan perjalanan" Demikianlah ma ka iring-iringan itupun bergerak pula dan sejenak ke mudian kuda-kuda itupun telah berlari di jalan raya yang sepi. Lampu minyak yang terpancang di sebelahmenyebelah jalan me mberikan sedikit pertolongan di dala m gelapnya mala m sehingga mere ka tidak mendapatkan kesulitan me nelusuri jalan kota. "Kakang Juwiring sangat dihormati di sini" bisik Arum kepada Buntal. Na mun ternyata bahwa Juwiringpun mendengarnya juga sehingga sebelum Buntal menyahut, Juwiring telah mendahuluinya "Hanya kebetulan. Mereka sebenarnya tidak menghormati aku, tetapi mereka menghormat i derajat ayahanda Pangeran. Jika aku bukan putera ayahanda Pangeran Ranakusuma, ma ka kedudukanku akan lain. Berbeda dengan seseorang yang dihormati karena pribadinya sendiri" Arum menjulurkan lidahnya sa mbil berdesis "Ternyata Raden Juwiring mendengarnya"
"Ah kau" sahut Buntal "Kau t idak sedang berbisik. Tetapi kau berteriak" "Tetapi bukankah menjawab lagi. sebenarnya begitu?" Buntal t idak
Namun dala m pada itu, utusan dari Ranakusuman yang berada di antara mereka berpaling juga me mandang Juwiring sejenak. Dan anak muda itu berkata lebih lanjut "Ada orang yang dihormati me mang karena ia pantas dihormati. Ia telah me lakukan sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang dan apalagi bagi Surakarta. Tetapi aku belum pernah berbuat apaapa" Tidak ada yang menyahut. Namun agaknya Juwiring tidak sedang bergurau. Tetapi ia bersungguh-sungguh. Sejenak kemudian mereka telah berada di tengah-tengah kota Surakarta. Sebentar lagi mereka sudah berada di jalan lurus yang menuju ke istana Ranakusuman. Derap kaki-kaki kuda itu telah mengejutkan beberapa orang penjaga di regol Ranakusuma n. Ketika mereka menjenguk lewat sebuah lubang di pintu regol, mereka me lihat dua orang yang berdiri di muka pintu itu. "Siapa?" "Aku, bersama Raden Juwiring" "O, Raden Juwiring" desis seseorang yang kemudian dengan tergopoh-gopoh me mbuka pintu regol. Ketika pintu itu terbuka, maka Juwiringpun segera bertanya "Apakah pa man Dipanala ada?" "Ada Raden. Ada. Silahkan masuk" "Aku tidak datang sendiri. Aku datang bersama ke manakan Ki Dipana la. Panggillah"
Seorang penjaga dengan tergesa-gesa pergi ke ruang dalam yang masih terang benderang. Didapatinya Ki Dipanala duduk bersila di ruang dala m. Agaknya ia selalu siap menunggu setiap perintah. di sampingnya duduk seorang pelayan yang lain. "Ki Dipana la" penjaga regol itu berdesis "Raden Juwiring telah datang. Ia menunggumu di regol" "Kenapa tidak segera saja masuk?" "Ia tidak datang seorang diri. ke manakan Ki Dipana la" "Ke manakanku?" "Ya" Ki Dipanala berpikir sejenak. Dan tiba-tiba saja ia teringat kepada dua orang saudara seperguruan Juwiring. Karena itu, maka iapun segera berdiri dan turun ke hala man menyongsong ana k-anak yang datang dari Jati Aking. Dugaannya me mang tepat. Yang datang adalah Raden Juwiring. Sedang di sebelah regol menunggu Buntal dan Arum. "Marilah Raden" berkata Ki Dipanala "Ayahanda sudah menunggu" Lalu katanya kepada Buntal dan Arum "Marilah ngger. Silahkan masuk" Juwiring segera mendekati Ki Dipanala sa mbil berbisik "Biarlah mereka berada di rumah paman lebih dahulu karena menurut ayah, ma ksudku guru di Jati Aking, biarlah ia tidak menga la mi kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan pergaulan di rumah ini" "O, tentu tidak. Silahkan, tida k ada keberatan apa-apa seandainya langsung dipersilahkan masuk. Masih ada te mpat yang barangkali sesuai untuk mereka di da la m istana ini" Ia datang bersama
"Tetapi tentu ada banyak orang di dalam. Tentu beberapa orang bangsawan dan keluarga ayahanda terdekat yang berjaga-jaga" lalu tiba-tiba suaranya merendah "Bukankah benar adimas Raden Rudira meninggal?" "Ya Raden. Ha mpir di luar dugaan sa ma seka li" Raden Juwiring mengangguk-angguk, lalu diulanginya " Biarlah mere ka tinggal di rumah pa man untuk ma la m ini. Besok biarlah mere ka aku perkenalkan kepada ayahanda Pangeran" "Jika de mikian, baiklah Raden. Biarlah aku bawa mereka ke rumah. Se mentara itu silahkan Raden masuk" Ketika Juwiring me masuki ha la man rumahnya, maka Buntal dan Arum telah dibawa oleh Ki Dipanala ke rumahnya mela lui jalan se mpit di luar dinding ha la man istana. Setelah mene mpatkan kedua anak-anak muda itu dan menyerahkannya kepada keluarganya, maka Ki Dipanalapun segera kemba li ke istana Ranakusuman. Ternyata kedatangan Juwiring di istana Ranakusuman itu telah menarik perhatian setiap orang yang ada di dalam istana itu. Semuanya me mandangnya dengan tanggapan masingmasing. Beberapa orang bangsawan yang dekat dengan Raden Ayu Galihwarit menganggap kedatangan Juwiring itu sebagai suatu usaha untuk mempergunakan kesempatan, justru karena Rudira baru saja hilang dari istana itu. "Sst" desis seorang perempuan bangsawan "Cepat benar Juwiring mengetahui bahwa adiknya telah meninggal" "Tentu Pangeran Ranakusuma telah mengirimkan utusan untuk me mberitahukannya" "Anak itu tentu bersorak di dala m hati. Ke matian Rudira me mberikan peluang baginya untuk menguasai seluruh kesempatan yang pernah dimiliki oleh Rudira"
"Masih ada adik pere mpuannya" "Apakah daya seorang perempuan" "Ia akan bersua mi" Kawannya berbicara tidak menyahut. Mereka hanya sekedar me mandang saja ketika Juwiring lewat terbungkukbungkuk di hadapan mereka langsung masuk ke ruang dala m. "Dima na ayahanda?" bertanya Juwiring kepada Ki Dipanala yang telah berada di istana itu pula. "Di dala m. Ayahanda Raden ternyata terlampau letih. Lahir dan batin. Agaknya ayahanda Raden telah tertidur meskipun sambil duduk di dala m bilik" Juwiring menjadi ragu-ragu sejenak. Meskipun ia adalah putera yang sulung, tetapi rasa-rasanya ada jarak yang selama ini me mbatasi antara dirinya dengan ayahandanya. "Silahkan Raden" berkata Ki Dipanala. "Di mana ibunda?" "Masih di istana ayahandanya. Pangeran Sindurata" "Apakah ibunda Galihwarit tidak menunggui keberangkatan jenazah adinda Rudira?" "Tida k Raden" Juwiring mengangguk-angguk. Agaknya tanpa Raden Ayu Galihwarit, rasa-rasanya Juwiring tidak begitu segan me masuki bilik ayahandanya yang sedang tertidur sambil duduk oleh kelelahan yang mencengka m. Lahir dan batin. Perlahan-lahan Raden Juwiring me masuki pintu bilik. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi beberapa orang me mandanginya dengan bayangan perasaan yang berbedabeda di wajah mereka.
"Setelah tidak ada Rudira, anak itu merasa dirinya dapat berbuat apa saja di sini" desis seorang bangsawan tua. Tidak ada yang menyahut. Mereka melihat Raden Juwiring itu hilang di ba lik pintu. Ternyata langkah Raden Juwiring telah mengejutkan ayahandanya yang sebenarnya tidak tidur nyenyak. Rasarasanya hanya bagaikan terlena beberapa saat. Sejenak Pangeran Ranakusuma me mperhatikan seorang anak muda yang berdiri di hadapannya dengan kedua tangan ngapurancang. Kepalanya tertunduk dan pandangannya jatuh hampir di atas kakinya sendiri. "Juwiring" desis Pangeran Ranakusuma. "Ya ayahanda. Aku telah datang karena ayahanda berkenan me manggil" Pangeran Ranakusuma berdiri sa mbil menarik nafas dalam-dala m. Didekatinya anak lakilakinya itu. Kemudian sambil menepuk bahunya ia berkata "Adikmu telah tida k ada lagi" "Ya ayahanda, seperti yang tersebut di dalam surat ayahanda." "Ya, akulah yang me mbuat surat itu. Aku cemas bahwa kau sudah tidak me mpunyai kepercayaan lagi kepada ayahmu, sehingga kau tidak mau datang meskipun aku telah me manggilmu"
"Aku tentu akan menjalankan segala perintah ayahanda" "Bagus Juwiring. Ternyata kau anak yang baik. Selama ini aku mencoba mengena lmu. Tetapi baru ma la m ini aku berhasil, justru setelah adikmu t idak ada" Namun keduanya terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar suara dari sela-sela pintu yang kemudian terbuka "Ayahanda terpengaruh oleh hilangnya kakangmas Rudira. Ayahanda merasa kesepian, dan anak itu ayahanda anggap dapat menggantikan kedudukan ka mas Rudira. Tidak. Anak itu tidak kita perlukan di istana ini" "Warih" desis Pangeran Ranakusuma "ini juga kakakmu, Warih" Rara Warih me mandang Juwiring sejenak. Na mun ke mudian sa mbil me ma lingkan wajahnya ia berkata "Ia tidak pantas berada di istana ini" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Perlahan-lahan didekatinya anak gadisnya sambil bertanya "Warih. Sudahlah. Marilah kita lupakan pertikaian di antara keluarga kita. Sebaiknya kita mencoba mene mpatkan diri kita masing-masing di dala m hidup ke keluargaan yang rukun" "Ayahanda" berkata Rara Warih "Bukankah ayahanda sudah mengusirnya dan mene mpatkannya di padukuhan yang jauh" kenapa sekarang ia berada kembali di istana ini, tepat pada saat meninggalnya ka mas Rudira?" "Aku me manggilnya" "Kenapa ayah memanggilnya" Tentu karena ayah sedang merasa kehilangan. Ayah menganggap bahwa orang itu dapat menggantikan ka mas Rudira yang hilang" "Bukan begitu Warih. Ia me mang keluarga kita sendiri" "Tetapi ia tidak sederajad dengan aku dan ka mas Rudira "
Terasa sesuatu berdesir di dada Juwiring. Untunglah bahwa. ia tidak datang langsung bersa ma Buntal dan Arum. Jika keduanya ada di ruang itu juga, maka ia akan menderita ma lu karenanya di hadapan saudara-saudara seperguruannya itu, yang selama ini kurang mengerti persoalan yang ada di antara keluarganya. "Warih" berkata Pangeran Ranakusuma "Kau harus belajar me lihat kenyataan. Bagaimanapun juga Juwiring adalah anakku. Dan kau juga anakku" "Tetapi ibunya tidak sederajad dengan ibuku" Dala m pada itu rasa-rasanya dada Juwiring menjadi semakin panas sehingga sebelum Pangeran Ranakusuma menjawab, Juwiring telah mendahului menyahut "Ayahanda. Baiklah. Jika kedatanganku me mang tida k dapat diterima oleh keluarga ini, maka sebaiknya aku pergi. Aku sudah datang me menuhi surat ayahanda meskipun aku terla mbat, karena aku tidak dapat menyaksikan keberangkatan jenazah adimas Rudira" "Dan itu me mang tidak perlu bagimu" sahut Rara Warih. Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Rasa-rasanya ia ingin mengendapkan gejola k yang me mba kar dadanya. "Tida k Juwiring" berkata ayahandanya "Kau tetap di sini. Sebagian kata Warih me mang benar. Aku kesepian. Kau adakah anakku laki-laki seperti Rudira. Dan kaupun berhak berada di rumah ini, karena rumah ini me mang rumah kita. Rumah keluarga kita" "Tentu tidak" potong Warih "Jika ibunda datang ke istana ini, ma ka ibunda tentu akan menga mbil sikap yang lebih tegas dari sikapku" "Ibumu tidak a kan datang lagi ke rumah ini Warih" jawab Pangeran Ranakusuma. "Kenapa?" Rara Warih menjadi tegang.
Pertanyaan Rara Warih itu ternyata telah mengejutkan Pangeran Ranakusuma yang di luar sadarnya telah menyebut sesuatu tentang isterinya di hadapan Rara Warih. Karena itu, untuk beberapa saat ia termangu-mangu. Ia tida k segera mene mukan jawaban atas pertanyaan puterinya itu. "Ayahanda?" desak Rara Warih "Kenapa ibunda tidak akan ke mbali lagi ke istana ini?" "Bukan ma ksudku berkata begitu Warih" jawab Pangeran Ranakusuma ke mudian "Aku hanya ingin me ngatakan bahwa ibunda mu mungkin me merlukan waktu yang lama untuk menenangkan goncangan perasaannya itu" "Dan hati ibunda akan terguncang lagi apabila ia melihat orang itu berada di dala m istana ini" "Mungkin akan terjadi sebaliknya" jawab Pangeran Ranakusuma "mungkin Juwiring dapat menawarkan hatinya. Anak itu telah diasuhnya pula selagi masih bayi, sebelum kakakmu lahir, meskipun jaraknya tidak begitu jauh. Baru sejak Rudira lahir ibumu tidak se mpat lagi menyentuh Juwiring karena ia sibuk dengan anaknya sendiri" "Tetapi ketika orang itu menjelang dewasa, maka ia sudah hanyak sekali menyakiti hati ibunda sehingga ia harus pergi dari istana ini. Pada saat itu ayahanda merestui keputusan itu juga" "Ya karena di antara keduanya, maksudku Rudira dan Juwiring agaknya kurang dapat hidup rukun meskipun mereka seayah. Karena itulah maka salah seorang dari keduanya harus menyingkir. Tetapi sekarang Rudira sudah tidak ada lagi" "Tetapi aku masih ada. Jika aku tida k dapat hidup rukun dengan orang itu, siapakah yang akan ayahanda singkirkan?" Pangeran Ranakusuma menjadi termangu-ma ngu. Ia merasa benar-benar mendapat cobaan perasaan yang maha
berat. Karena itu untuk beberapa saat ia tidak menyahut pertanyaan Warih itu. "Ayahanda" terdengar Juwiring berkata "Apa salahnya jika aku kembali ke Jati Aking. Aku dapat hidup tenang sebagai seorang petani tanpa memalingkan diri dari sikap seorang anak terhadap ayahandanya jika me mang ayahanda me mberikan perintah apapun. Aku tetap seorang anak yang harus patuh kepada orang tuanya. Jika aku t inggal di padepokan Jati Aking, itu adalah karena aku sedang menuntut ilmu. Ilmu kesusasteraan, ilmu pe merintahan dan ilmu kajiwan yang lain" "O" kata-kata Juwiring itu justru me mbuat bati Pangeran Ranakusuma menjadi pedih. Dengan suara yang berat ia menjawab "Kau tetap di sini Juwiring" Lalu katanya kepada Rara Warih "Kau juga tetap di sini Warih. Cobalah saling mengenal dan coba lah saling mende katkan diri. Kalian adalah anak-anakku" "Ayahanda" berkata Rara Warih "Jika orang itu tetap berada di istana ini, akulah yang akan pergi ke istana eyang Pangeran Sindurata" "Tida k" tiba-tiba Juwiring langsung menjawab "A ku akan ke mbali ke Jati Aking seperti pesan Kiai Danatirta" Pangeran Ranakusuma menahan dadanya dengan telapak tangannya, seakan-akan ia ingin menahan dadanya yang akan retak. Dengan suara yang dalam ia berkata "Baiklah jangan kita perbincangkan sekarang. di luar masih banyak orangorang yang berjaga-jaga sepeninggal Rudira. disini kita sudah mulai bertengkar di antara keluarga sendiri" "Tida k. Ayah harus me mberikan ketegasan sekarang. Orang itu, atau akulah yang harus pergi dari rumah ini" "Aku akan meninggalkan istana ini" jawab Juwiring.
"Ya, ya" sahut Pangeran Ranakusuma "terserah saja kepada keputusan kalian. Tetapi dia mlah. Sekarang bukan waktunya untuk berbicara tentang hal itu. Sebaiknya kalian mene mui saudara-saudara kalian yang ada di ruma h ini mala m ini. Kawanilah mereka berjaga-jaga dan layanilah jika mereka me merlukan sesuatu. Bukan justru kalian bertengkar sendiri. Jika ada orang lain yang mendengar, maka kesan atas kita akan jelek sekali" Rara Warih memandang Juwiring dengan sorot mata yang me mancarkan kebencian yang mendala m. Sejenak ia masih berdiri di muka pintu. Namun iapun ke mudian me langkah keluar dan pergi ke bilik sebelah. Ketika dijumpa inya di dala m bilik itu bibinya, adik Raden Ayu Galihwarit, sedang beristirahat oleh kelelahan, tiba-tiba saja Rara Warih berlari dan me meluknya sambil menangis. "Warih" bibinya itupun segera bangkit. "Bibi" terdengar suaranya di antara isaknya. "Kenapa kau me nangis lagi" Sudahlah. Seharusnya kau mencoba menenangkan hatimu. Jika ibumu mengetahui bahwa kau masih saja menangis, maka ia tida k akan segera dapat menjadi tenang. Bukankah kau sayang kepada ibunda?" Rara Warih mengangguk. "Mala m ini, di rumah eyang Pangeran Sinduratapun tentu banyak orang yang menunggui ibunda mu. Mudah-mudahan ibunda mu sudah sadar, dan ma mpu mengendapkan perasaannya" Sekali lagi Rara Warih menganggukkan kepalanya. "Karena itu, sudahlah" "Bibi" berkata Rara Warih kemudian "Aku sudah mencoba untuk menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Tetapi tiba-tiba saja orang itu datang ke dalam istana ini. Apakah aku harus berdia m diri dan me mbiarkannya berada di sini?"
"Siapa Warih?" "Juwiring" Bibinya menarik nafas dala m-dala m. Lalu katanya "Biarlah ayah-andamu menyelesaikannya" "Ayahandalah yang justru memanggilnya. Selagi ayah merasa kehilangan, maka orang itu dianggapnya dapat menjadi pengganti kakanda Rudira. Tetapi orang itu sama sekali t idak sederajad dengan kakanda Rudira" "Seharusnya ia tidak ke mba li ke istana ini" "Bukankah kehadirannya itu sangat menyakitkan hatiku. Hatiku yang luka karena kehilangan ka mas Rudira, dan kini ditambah lagi dengan kehadiran orang yang hanya akan mengotori istana ini" "Tetapi barangka li ia se kedar mena mpakkan diri pada saat jenazah adiknya dima ka mkan" "Tida k. Ayahanda menghendakinya agar ia tetap tinggal disini" Bibinya mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Baiklah. Jika ibunda mu telah sehat sama seka li dan ke mbali ke istana ini, maka anak itu pasti a kan segera pergi" "Tetapi menurut ayahanda, ibunda tidak akan ke mbali lagi, atau Setidak-tidaknya ibunda me merlukan wa ktu yang lama untuk dapat dengan tatag ke mba li me masuki rumah ini" Bibinya mengusap kening Rara Warih sa mbil berkata "Sudahlah. Sebaiknya kau tidak me mpersoalkannya lagi. Jika kau letih, berist irahatlah. Tidurlah sejenak, biarlah aku mene mui sanak ke luarga yang duduk di ruang dala m" "Tida k bibi. Aku tidak letih. Biarlah a ku mene mui mereka. Dan biarlah bibi beristirahat"
"Aku sudah cukup beristirahat. Marilah, kita bersa ma-sama mene mui mere ka" Demikianlah keduanya keluar dari da la m bilik itu dan pergi ke ruang dalam. Ketika mereka melalui pintu bilik Pangeran Ranakusuma, mereka masih mendengar suaranya meskipun perlahan-lahan sekali. Dala m pada itu di da la m bilik itu Pangeran Ranakusuma berusaha meyakinkan Juwiring, bahwa hati adiknya itu pasti akan segera lunak ke mbali. Iapun a kan menjadi kesepian dan me merlukan seseorang di dalam rumah itu selain ayahandanya yang sering pergi untuk me lakukan tugasnya sebagai seorang Pangeran dan seorang perwira prajurit Surakarta. "Ayahanda" berkata Juwiring "Seperti pesan Kia i Danatirta, biarlah aku ke mbali ke Jati Aking. Mungkin akan lebih ba ik bagiku. Apalagi sebenarnyalah kedatanganku tidak seorang diri" "Dengan siapa kau datang" Dengan Kia i Danatirta?" "Tida k ayahanda, tetapi dengan Arum, anak gadis Kiai Danatirta, dan Buntal, anak angkatnya" "Dima na mereka sekarang?" "Mereka berada di rumah Ki Dipana la. Aku sudah me mbayangkan bahwa akan terjadi persoalan karena kehadiranku, meskipun tidak setajam yang a ku te mui" "Sudahlah. Jangan hiraukan. Biarlah besok kita berbicara lagi. Sekarang, kau dapat menemui ke luarga kita di ruang depan" Tetapi Juwiring menjadi ragu-ragu. Katanya "Ayahanda, apakah aku masih dapat diterima berada di lingkungan para bangsawan. Ada semacam perasaan rendah diri menghinggapi diriku menghadapi sikap dan tatapan mata mereka"
Pangeran Ranakusuma mengerut kan keningnya. Ditatapnya wajah anak laki-la ki itu sejenak. Wajah yang memang mengesankan wajah seorang anak bangsawan. Beberapa orang mengatakan bahwa Juwiring mirip sekali dengan wajahnya sendiri pada saat bayi itu dilahirkan. Kemudian di dalam perke mbangannya wajah Juwiring lebih mendekati wajah ibunya. Sejenak Pangeran Ranakusuma tida k menyahut. Sepercik perasaan bersalah telah melonjak di da la m dadanya. Anak itu seakan-akan sudah diasingkannya, sehingga terpisah dari lingkungan para bangsawan. Juwiring selama ini hidup di padepokan yang terpencil, yang menurut pendengarannya ia telah berusaha menyesuaikan diri hidup di lingkungan para petani dan justru telah terjun ke dala m sawah berlumpur. Dan kini ia mencoba menariknya dari kehidupan itu dan ke mbali ke dala m lingkungan para bangsawan. "Juwiring" berkata Pangeran Ranakusuma "mungkin kelengkapan lahiriah dapat me mbuatmu diganggu oleh perasaan rendah diri. Tetapi kau adalah benar-benar anakku" Raden Juwiring tidak menyahut. "Me mang sepantasnya kau berpakaian seperti seorang bangsawan. Kau dapat memaka i pakaianku. Tentu sudah tidak terlampau besar. Bahkan mungkin agak se mpit" "Ayahanda" desis Juwiring "biarlah aku me ma kai pakaianku sendiri. Aku sudah biasa me ma kai pakaian seperti ini" "Tetapi kau berada di dala m lingkunganmu sendiri sekarang. Kau harus mengenakan paka ian sepantasnya. Bukan karena pakaianmu maka kau diterima di dala m lingkunganmu, na mun kesan pertama yang ta mpak pada seseorang adalah caranya berpakaian. Karena itu jangan menolak. Kau harus hadir di antara mereka dala m pakaian yang pantas bagi seorang putera Pangeran. Jika kau segan
me ma kai pakaianku, pakailah pa kaian Rudira, yang barangkali tubuhnya tidak terpaut banyak daripada mu" "Terima kasih ayahanda. Kesannya akan lebih jelek lagi jika aku me ma kai pakaian adimas Rudira. Semua orang akan me mancangku sebagai seorang anak muda yang tidak tahu diri" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dala m-dala m. "Ayahanda, mereka yang ada di pendapa sudah me lihat aku dala m pakaian ini. Agaknya tidak pantas jika aku ke mudian berganti pakaian dengan pakaian yang pantas bagi seorang putera Pangeran" "Baiklah Juwiring. Tetapi sebaiknya kau me mang me mbersihkan diri sejenak, lalu berganti paka ian yang manapun yang kau kehenda ki setelah perjalananmu, lalu temuilah sanak keluarga terdekat yang ada di ruang dalam dan di pendapa" Juwiring tidak dapat menolak. Sebenarnyalah bahwa ia me mang segan mene mui sanak ke luarganya yang seakanakan sudah terpisah dari dunianya. Bukan saja ada semacam perasaan rendah diri, tetapi baginya dunia semaca m istana ayahanda ini sama se kali t idak menarik. Hubungan yang kaku di antara mereka karena batasan unggah-ungguh. Sikap yang tidak wajar dan lingkungan dunia yang tidak dilandasi oleh kenyataan hidup yang sebenarnya bagi keseluruhan rakyat Surakarta. Istana ini bagaikan dunia yang terpisah, yang me milih batasan-batasan kehidupan tersendiri. Sambil melangkahkan kakinya ke pakiwan, sekilas Juwiring terkenang kepada seseorang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati. Ia yakin bahwa orang yang menyebut petani dari Sukawati itu benar-benar seorang Pangeran seperti ayahandanya yang justru lebih muda. Dan menurut gambaran angan-angan Juwiring, cara hidup dan sikap petani dari
Sukawati itu tentu jauh berbeda dengan cara hidup dan sikap ayahandanya berserta sanak keluarganya. Ketika Raden Juwiring berada di hala man bela kang, tampaklah seluruh bagian bela kang istana ini menjadi terang benderang seperti sedang ada sebuah peralatan. Tiba-tiba saja timbullah ke inginannya untuk me lihat-melihat ruang dan bilik-bilik di belakang istananya. Juwiring tertarik ketika ia melihat beberapa orang duduk me lingkar di atas tikar yang putih. Na mun suasananya diliputi oleh ke mura man. "Mereka adalah pengawal setia adimas Rudira" berkata Juwiring. Bahkan ke mudian terbayang betapa para pengawal itu pernah mencoba menyerangnya di bawah pimpinan Sura dan kemudian masih saja terbayang tingkah laku Mandra, sepeninggal Sura. Tetapi Juwiring tida k me lihat Mandra. Dan akhirnya Juwiringpun mengetahui seluruhnya, apa yang telah terjadi atas Raden Rudira, Raden Ayu Galihwarit dan Mandra, ketika Juwiring berte mu dengan Ki Dipanala. "Mereka adalah kawan-kawan dekat Mandra" berkata Ki Dipanala "meskipun ia berkhianat, tetapi tidak sebaiknya kita me mba las denda m pada mayatnya. Itulah sebabnya, ketika mereka yang melawat Raden Rudira mengantarkannya ke maka m, ma ka mayat Mandrapun dibawa ke kuburan pula" Raden Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ia menjadi semakin muak me lihat kehidupan di balik dinding-dinding istana yang gemerlapan, tetapi yang dikotori oleh nafsu dan ketamakan yang berlebih-lebihan. "Tetapi di saat terakhir adimas Rudira masih mencoba me mpertahankan kehormatan nama keluarga Ranakusuman" desis Juwiring. "Ya Betapapun nakal dan bengalnya anak muda itu, tetapi ternyata ia masih me mpunyai harga diri. Ia tidak peduli bahwa
ia akan berhadapan dengan kumpeni ketika ia mengetahui ibunya pergi bersama mereka. Mandralah yang benar-benar pengkhianat yang sangat licik" Raden Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia semakin je las dapat melihat kepalsuan yang bersarang di dalam hidup yang terla mpau berlebih-lebihan ini. "Karena itu pa man" berkata Raden Juwiring "Aku berkeberatan jika ayahanda menghendaki a ku tingga l di rumah ini ke mbali. Aku sudah menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan. Dan rasa-rasanya hidup di padepokan jauh lebih segar dari kehidupan di istana ini, di sini semuanya digulat oleh kebanggaan lahiriah. di sini nilai seseorang ditentukan oleh gemerlapnya permata yang dipakainya. Orang-orang di dalam istana semaca m ini rasarasanya semakin la ma se makin jauh dari hake kat dirinya, sebagai mahluk yang diciptakan oleh Maha Penciptanya. Mereka sama sekali tidak pernah menyebut kebesaran Yang Mah Esa lagi da la m hidupnya sehari-hari. Yang mereka dambakan hanyalah kebendaan se mata-mata. Bagi mereka, orang-orang asing itu lebih banyak memberikan harapan daripada Kasih dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Bagi mereka, hidup hari ini agaknya jauh lebih penting dari kehidupan akhirat" Ki Dipanala me ma ndang Raden Juwiring dengan tatapan mata yang aneh. Yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang anak muda yang tidak jauh berselisih umur dengan Raden Rudira yang baru saja dimaka mkan. Tetapi pengaruh kehidupan di padepokan Kiai Danatirta itu me mbuatnya jauh lebih dewasa menanggapi kehidupan ini. Bukan saja ala m dunia ini, tetapi juga a la m setelah mati. Namun demikian, Ki Dipana la itu kemudian menyahut "Raden. Jika me mang ayahanda menghendaki Raden ada di sini, aku ingin menyatakan pendapatku, bahwa sebaiknya Raden bersedia. Ibarat orang yang bertempur, maka Raden
berada di medan yang paling depan. Memang istana ini me merlukan perubahan. Seandainya Raden tidak dapat merubah tata kehidupan beberapa orang bangsawan di Surakarta, Setidak-tidaknya keluarga ini dapat Raden selamatkan" "Ah, apakah yang dapat aku banggakan dengan pribadiku, sehingga paman berharap aku dapat menumbuhkan perubahan di sini" Baru saja Diajeng Warih mohon kepada ayahanda untuk mengusirku dari istana ini" "Di sinilah letak ketabahan hati seseorang. di medan yang paling depan me mang me merlukan ketabahan hati, keberanian dan ke ma mpuan mengatasinya. Aku yakin bahwa Raden dapat mela kukannya" Tetapi Raden Juwiring menggelengkan kepalanya. Katanya "Ada bermacam-maca m alasan pa man. Aku orang asing di sini. Dan aku masih ingin menye mpurnakan ilmu yang aku sadap dari ayah di Jati A king" "Raden tidak usah menghentikannya. Raden dapat menye mpurnakannya dengan cara yang sesuai dengan keadaan Raden. Namun menurut pertimbanganku, kehadiran Raden di sini sangat diperlukan" Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu "Jika diperlukan, aku dapat me mbantu Raden berhubungan dengan para bangsawan yang tidak puas terhadap keadaan sekarang ini" Raden Juwiring terdia m sejenak. Namun ke mudian ia berkata "Aku tidak akan berarti apa-apa paman. Bahkan aku akan dapat hanyut jika aku terjun ke dalam arus banjir yang deras" "Di sinilah Raden dapat menguji diri sendiri. Apakah Raden hanya selembar daun kering yang jatuh ke dala m arus, ataukah sebongkah batu karang yang kuat berakar di dala m bumi. Jika Raden hanya selembar daun, maka Raden me mang akan hanyut sampai ke mulut samodra. Tetapi jika Raden
adalah batu karang yang tegak dengan kuat, maka Raden akan menjadi pegangan mereka yang ingin me nyelamatkan diri dari arus itu" Juwiring menarik nafas dala m-dala m. "Raden. Memang Raden tidak usah sekokoh Pangeran Mangkubumi. Tetapi Raden dapat merupakan ga mbaran daripadanya di dala m lingkungan Raden" Sejenak Juwiring merenung. Na mun katanya ke mudian "Aku akan mencoba me mikirkannya paman" "Silahkan Raden" berkata Ki Dipana la "sekarang silahkan Raden pergi ke pakiwan. Tentu ayahanda
menunggu" Juwiringpun ke mudian pergi ke pakiwan me mbersihkan dirinya. Namun dala m pada itu, kata-kata Ki Dipana la masih saja berkumandang di telinganya. Terasa sesuatu bergejolak di dala m hatinya. Meskipun ia masih belum dapat menga mbil kesimpulan yang pasti, namun apa yang dikatakan oleh Ki Dipanala itu me mang sangat menarik. "Aku akan pergi ke pendapa" katanya kemudian "Aku t idak perlu merasa diriku kecil. Aku tidak perlu me maka i pakaian yang gemerlapan seperti layaknya seorang putera Pangeran. Aku akan hadir sebagaimana aku yang ada. Juwiring adalah Juwiring. Diterima atau tidak diterima, itu sama sekali bukan
persoalanku. Tetapi kenyataanku"
aku harus tetap berada pada Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ia sudah menemukan sikap yang mapan. Dan ia tidak akan menghiraukan tanggapan orang lain atasnya. Demikianlah setelah me mbersihkan diri, Juwiring me mbenahi pakaiannya. Pakaian yang sudah dipakainya itu. Dengan langkah yang pasti ia pergi ke pendapa seperti yang dimaksud oleh ayahandanya untuk menemui sanak kadangnya yang berjaga-jaga setelah kematian adiknya seayah. Kehadirannya me mang sangat menarik perhatian. Beberapa orang masih saja me mandanginya dengan tatapan mata yang kurang sedap. Namun Juwiring sa ma sekali tidak menghiraukannya. Ia duduk di antara mere ka, saudarasaudara sepupunya dengan dada tengadah. Meskipun ada juga sepercik pengakuan, bahwa ibunya adalah seorang perempuan yang tidak sederajad dengan ibu saudara-saudara sepupunya itu, namun Juwiring telah mene mukan kepribadian sendiri Dengan sikap yang wajar ia mencoba mene mpatkan dirinya di antara sanak kadangnya meskipun agak kaku. Tetapi Juwiring tidak berusaha mengisi keasingannya dengan tingkah laku yang berleburan. Meskipun ia tidak me njadi susut sekecil cucurut tetapi ia juga tidak me ngge mbung sebesar kerbau. Ia adalah Juwiring. Saudara-saudaranya merasa agak canggung juga berbicara dengan anak muda yang sudah beberapa lamanya tidak ada di antara mereka. Bahkan ada di antara mereka yang me ma lingkan wajahnya dan berbicara di antara mereka sendiri. Tetapi Juwiring tidak me nghiraukannya. Ia bersikap seperti sikapnya.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 5 Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Pengelana Rimba Persilatan 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama