Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Batu Karang 14

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 14


Satu dua ada juga di antara mereka yang berbicara sepatah dua patah kata. Ada juga yang bertanya kepadanya tentang keadaannya selama ini. "Kau sudah la ma tidak tampa k di antara saudara-saudara sepupumu?" bertanya seorang bangsawan yang baru saja me la mpaui masa mudanya. "Ya pa manda" jawab Juwiring "se la ma ini aku berada di padepokan yang terpencil" "O. Apakah yang kau la kukan di sana?" "Me mpelajari beberapa jenis pengetahuan yang mungkin bermanfaat bagi hidupku kelak" "Kenapa harus dicari di padepokan yang terpencil" Apakah di Surakarta kurang orang-orang panda i yang dapat menuntunmu me mpelajari beberapa maca m ilmu" Dari ilmu kajiwan sa mpai ilmu kanuragan" Sepandai-pandai orang padepokan yang terpencil itu, namun mereka tidak akan dapat me la mpaui kepandaian orang-orang kota. Misalnya ka mas Ranakusuma sendiri, la mumpuni segala maca m ilmu. Tata pemerintahan, kesusasteraan, kajiwan dan juga kanuragan, sehingga ka mas Pangeran diangkat menjadi seorang Senapati. Jika kau berguru kepada ayahandamu sendiri, tentu tida k akan kalah dari gurumu yang sekarang, yang tentu tidak begitu me maha mi tata pe merintahan dan unggah-ungguh" "Pamanda " jawab Juwiring "Agaknya me mang de mikian. Tetapi ada semacam ilmu yang aku dapatkan di padepokan itu, yang agaknya tidak akan dapat aku cari di dala m kota ini" "Apa?" "Bertani. Aku sudah mendekati se mpurna di dala m hal bercocok tanam. Bukan saja sekedar mengetahui cara dan beberapa macam perhitungan dan pertimbangan. Yang wajar dan yang dipengaruhi oleh kepercayaan, tetapi aku juga sudah pandai mela kukannya"
"Ya. Aku dengar kau sudah sudi melumuri tubuhmu dengan lumpur" "Ya" "Itukah sebabnya maka kau me maka i pakaian serupa ini di dalam pertemuan ini?" "Kenapa dengan pa kaianku?" Bangsawan lawan bicaranya itu tersenyum. Katanya "Agaknya kau benar-benar ingin menunjukkan bahwa kau adalah seorang petani yang pernah di sebut-sebut oleh almarhum Rudira sebagai seorang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati?" "O, tentu tidak pamanda. Nama Petani dari Sukawati itu adalah nama yang besar. Bagaimana mungkin aku dapat mengharap untuk menya mainya, Setidak-tidaknya menyerupainya" Petani dari Sukawati ma mpu mela kukan beberapa maca m perbuatan yang dapat kita anggap aneh. Ia me miliki ilmu yang jarang ada duanya. Sepi angin. Sapta pemeling. Sapta Pangganda dan sebagainya" "Kau berpendapat de mikian?" "Ya. Petani dari Sukawati bukannya se mbarang orang" Bangsawan itu menarik nafas dala m-dala m. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya, maka dilihatnya beberapa orang me mperhatikan juga pembicaraan itu. Namun justru dengan demikian bangsawan itupun terdia m. Rasa-rasanya setiap mata bertanya-tanya kepadanya, kenapa ia bersedia bercakap-cakap dengan anak padepokan Jati Aking itu. Cahaya kemerah-merahan ternyata telah mulai me mbayang di ujung Timur. Semala m suntuk para tanlu berjaga-jaga di pendapa dan ruang dala m. Mereka ikut menyatakan keprihatinan mere ka atas meningga lnya Rudira karena peluru.
Demikianlah, ma ka seorang demi seorang para tamu itupun justru mohon diri. Hanya beberapa orang yang paling de kat sajalah yang ke mudian tingga l di istana Ranakusuman. Ternyata bahwa keluarga Ranakusuman sendiri, merasa agak asing dengan Juwiring. Beberapa orang dengan segan menghormat inya seperti mereka harus menghormat Rudira. Tetapi jika terpandang oleh mereka itu pakaian Juwiring yang sederhana, maka hormat yang mereka berikan itupun segera menjadi ha mbar. "Ternyata bahwa bentuk lahiriah seseorang sangat berpengaruh" berkata Juwiring di dala m hati "Na mun demikian, tindak tanduk dan tingkah lakulah yang akan menentukan meskipun baru ke mudian" Ketika hala man istana Ranakusuman menjadi terang oleh cahaya pagi, maka sebagian terbesar dari tamu-ta mu itupun telah meningga lkan istana Ranakusuman. Ma kin sedikit orang yang berada di rumah itu, rasanya menjadi semakin canggung bagi Raden Juwiring. Seorang demi seorang mereka meninggalkan pendapa sambil me mandang wajah Juwiring. Bahkan ada satu dua yang termangu-mangu bahwa orang itu bukannya Juwiring. Namun akhirnya mereka bersepakat bahwa karena Juwiring seakan-akan telah dilontarkan ke padepokan itu, maka dengan sengaja ia menunjukkan keadaannya, justru di dalam saat yang agak kalut. Bukan saja kekalutan di dalam istana Pangeran Ranakusuma, tetapi kekalutan yang tampak sema kin gelap di atas bumi Surakarta. Apalagi beberapa orang di antara mereka pernah mendengar ceritera Rudira tentang Petani dari Sukawati. Dengan de mikian ma ka beberapa orang di antara mereka yang meningga lkan istana Ranakusuman itu bersa ma-sama saling berbisik "Agaknya ia ingin disebut Petani dari Sukawati"
"Tida k. Ia berada di padepokan Jati Aking, sehingga ia akan menyebut dirinya Petani dari Jati Aking" Bangsawan-bangsawan muda itu tertawa berkepanjangan. Pangeran Ranakusuma yang melepaskan tamu-ta munya di anak tangga pendapa istananya melihat, betapa canggungnya hubungan antara Juwiring dengan sanak kadangnya. Berbeda sekali dengan Rudira. Meskipun Rudira me mpunyai kesenangan sendiri, terutama berburu, na mun di dala m pergaulan ia justru nampak agak menonjol. Mungkin karena ia senang me mbuat tentang perburuan yang sering dilakukannya. Pangeran Ranakusuma hanya dapat menarik nafas. Sekali lagi ia merasa bersalah, karena ia telah mengasingkan anak muda yang baik itu dari lingkungannya. "Ia harus kemba li ke rumah ini" katanya di dala m hati "Aku harus dapat menda ma ikannya dengan Warih. Aku me merlukan kedua-duanya" Namun Pangeran Ranakusuma sadar, bahwa untuk itu, bukannya kerja yang mudah dilakukannya. Ia pasti akan me merlukan waktu yang cukup panjang dan barangkali berbagai kesulitan akan ditemuinya. Bahkan me mang mungkin sekali ia gagal. Tetapi Pangeran Ranakusuma me lakukannya. sudah bertekad untuk
Di hari yang ke mudian me njadi se ma kin panas oleh matahari yang mera mbat se makin tinggi, Ranakusuman menjadi semakin sepi. Beberapa orang yang masih ada di istana itu menjadi lelah, dan sebagian telah tertidur, sengaja atau tidak sengaja. Sedang yang lain masih sibuk me mbersihkan pendapa, ruang dalam dan halaman. Sedang beberapa orang perempuan masih ada di dapur untuk menyiapkan makan dan hidangan apabila masih ada tamutamu yang baka l datang di hari itu.
Pangeran Ranakusuma yang lesu ke mudian duduk di ruang dalam menghadapi se mangkuk minuman panas untuk menyegarkan tubuhnya. Ketika ia meneguk minuman yang manis dan hangat itu, tubuhnya me mang merasa agak segar. Tetapi minuman itu tida k berhasil menyegarkan jiwanya yang letih dan sa kit. Tiba-tiba saja Pangeran Ranakusuma teringat kepada anak laki-lakinya. Karena itu, maka disuruhnya seorang pelayannya me manggilnya. "Dima na kau sela ma ini Juwiring?" bertanya ayahandanya "sejak kau pergi dari pendapa, kau tidak kelihatan lagi" "Aku ada di be lakang ayahanda, bersama pa man Dipana la" "Te mpat mu adalah di sini. di ruangan ini. di dala m istana ini dimana kau suka. Tida k di be lakang" Juwiring me ngangguk "Terima kasih" dala m-dala m sa mbil menjawab
"Karena itu" berkata Pangeran Ranakusuma selanjutnya "sebaiknya kau berada di sini. Mudah-mudahan adikmu berubah sikap. Sebenarnya ia seorang gadis yang baik meskipun ma nja. Tetapi karena ia baru saja kehilangan kakak laki-lakinya, maka ia menjadi agak gugup dan tidak se mpat me mikirkan sikap dan kata-katanya. Karena itu, kau yang lebih tua, hendaklah mencoba dengan telaten dan sabar untuk me le mbutkan hatinya" Raden Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia menjawab juga "Ba iklah ayahanda. Aku akan mencoba selagi aku masih berada di rumah ini" "Kau akan tetap tinggal di sini" "Ayahanda. Seandainya aku menga mbil keputusan demikian, maka akupun harus ke mbali ke padepokan Jati Aking untuk minta diri"
"Aku tidak berkeberatan. Tetapi kau harus me mutuskan terlebih dahulu" "Aku akan me mikirkannya ayahanda. Tetapi apakah kehadiranku di rumah ini t idak akan mengganggu ketenangan?" "Apa yang kau ma ksudkan Juwiring?" "Ayahanda, aku sudah biasa hidup di padepokan kecil. Sudah biasa hidup sebagai seorang petani. Mungkin t ingkah lakukupun sudah berubah, sehingga aku lebih mirip seorang petani daripada seorang putera ayahanda. Mungkin aku sudah menjadi kasar dan tida k mengenal lagi unggah-ungguh di antara para bangsawan" "Kau belum la ma tinggal di Jati Aking. Mungkin tata kehidupan di Jati Aking me mpengaruhi sikap dan kebiasaanmu. Tetapi setelah kau berada di istana ini untuk beberapa bulan, maka kebiasaan itupun akan hilang dengan sendirinya. Sejak kecil kau hidup di antara para bangsawan. Kau akan segera mengena li kebiasaanmu itu ke mbali" Juwiring tidak segera menjawab. Kepalanya yang tertunduk menjadi se makin tertunduk. Tanpa disadarinya, iapun ke mudian menarik nafas dala m-dala m sa mbil berpaling ke pintu-pintu bilik yang masih tertutup. "Warih dan bibinya sedang tidur. Merekapun lelah" "Ya ayahanda" "Aku menunggu keputusanmu" Juwiring tida k segera menjawab. Beberapa kali ia menimbang apa kah yang sebaiknya dila kukan. Na mun ia masih tetap ragu-ragu dan goyah. "Ayahanda" akhirnya ia berkata "Baiklah aku berbicara dengan anak dan anak angkat Kiai Danatirta itu.
Sebenarnyalah kami sudah dipersaudarakannya. Dan kami menganggap Kiai Danatirta sebagai ayah ka mi" "Karena kau merasa sudah tidak berayah lagi?" "Tida k. Sama sekali tidak ayahanda. Jika aku diangkat menjadi anaknya itu adalah karena ia tidak mau me mbatasi dirinya karena aku adalah muridnya. diperlakukannya seperti anaknya sendiri. Demikian Buntal" juga lagi Aku juga
Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Meskipun Juwiring me ngingkarinya, namun rasa-rasanya ada juga kekosongan di hati anak yang jauh dari ayahnya, apalagi ia sudah tidak beribu lagi, sehingga dengan de mikian ia mencari sandaran kepada orang yang dekat padanya, yang mengasihinya dan me mperlakukannya dengan le mbut. "Aku adalah seorang ayah yang jelek seka li" katanya di dalam hati "Aku ha mpir saja kehilangan hatinya. Mudahmudahan aku belum terla mbat. Dan mudah-mudahan Juwiring tidak menganggap bahwa akupun sedang mencari sandaran karena hatiku menjadi kosong sepeninggal Rudira" "Ayahanda" berkata Juwiring ke mudian "Aku akan mohon diri sejenak untuk pergi ke ruma h pa man Dipana la. Aku ingin mene mui kedua saudara angkatku itu" "O" Pangeran Ranakusuma "Panggil saja mereka ke mari" mengerutkan keningnya
"Mereka adalah anak-anak padepokan ayahanda. Anak yang tinggal jauh dari kehidupan yang setertib istana ini" "Bawalah mereka ke mari. Aku ingin melihat anak-anak itu. Apabila mereka salah sikap, itu bukan karena mereka tidak mau berbuat sebaik-baiknya. Tetapi aku mengerti, bahwa mereka me mang tida k dapat berbuat lebih ba ik daripada itu"
Juwiring berpikir sejenak, lalu "Baiklah jika ayahanda me mang menghendakinya. Aku akan mengajak pa man Dipanala untuk me ma nggilnya" "Panggillah" Juwiringpun ke mudian meninggalkan ruang dala m itu dan mencari Ki Dipanala untuk dibawanya me manggil kedua saudara seperguruannya. "Apakah yang harus aku katakan jika aku menghadap seorang Pangeran?" bertanya Arum. "Tida k apa-apa" jawab Juwiring "Jika kau ditanya, maka kau menjawab jika kau mengetahui jawabnya. Tidak ada bedanya dengan berbicara dengan aku dan Buntal" "Tentu berbeda. Aku harus duduk sambil menunduk dala mdalam. Setiap kali aku harus menye mbah dan me mbungkukkan kepala, begitu?" "Ya. Sebenarnya hanya kepada Kangjeng Susuhunan saja kita menyembah. Tetapi para pengeranpun ingin dise mbah. Bahkan ada kalanya putera-putera Pangeran minta juga dise mbah" "Jadi bagaimana dengan aku?" "Sekehendakmulah" "Ah, tentu tidak" "Menyembahlah" potong Ki Dipana la "Tidak ada salahnya. Tetapi Pangeran Ranakusuma bukan seorang bangsawan yang tinggi hati" "Cita-citanyalah yang agaknya terlampau tinggi" desis Juwiring "Tetapi sayang . . " kata-katanya terputus. Ki Dipanala me mandanginya dengan sorot mata yang mengandung pertanyaan. Namun ia tidak mengucapkannya, karena ia seakan-akan dapat mengerti, bahwa Juwiring tidak
sependapat dengan keinginan ayahnya untuk mendapatkan kedudukan yang terlalu tinggi di dala m istana Susuhunan dan kehmpahan ke kayaan di istananya sendiri. Demikianlah ma ka kedua anak-anak Jati Aking itupun mengikut i Juwiring me masuki ruang dala m istana Ranakusuman yang dipenuhi dengan berbagai maca m hiasan dan perlengkapan yang sangat asing bagi keduanya, terutama Arum. Bagi Buntal, meskipun tidak sebaik istana ini. ia pernah tinggal di rumah seorang bangsawan di Sura karta ini pula, sebelum ia ke mudian berkeliaran tanpa tujuan. Bahkan ternyata Arum tidak dapat menahan keinginannya untuk me mperhatikan setiap benda yang ada di sekitarnya. Yang baginya kadang-kadang dianggapnya aneh dan tidak diketahui gunanya sama sekali. "Aku tidak tahu, buat apakah sebenarnya guci-guci itu?" Ia berdesis "Apakah kadang-kadang perlu disediakan air di dala m ruangan ini?" "Tida k" sahut Juwiring "guci-guci itu tida k lebih dari sebuah hiasan" "Hiasan" Jadi tida k ada gunanya selain hiasan itu" "Ya" Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini me lihat sendiri, betapa istana seorang Pangeran menyimpan harta kekayaan yang tidak ada taranya. Ketika terpandang olehnya la mpu minyak yang tergantung di ruang tengah, ia berdesis "He, permata sebesar itu dan bergantungan di situ?" "Sst" Buntal mengga mitnya "Bukan permata. Itu terbuat dari bahan yang jauh lebih murah dari permata" Arum me narik nafas dala mi
"Kita menunggu sejenak" berkata Juwiring "Agaknya ayahanda baru ada di dalam. Biarlah a ku mengatakannya bahwa kalian telah datang" "Kau duduk di permadani itu bersa ma Buntal" "Jangan tinggalkan ka mi" desis Arum. "Tetapi . . " "Bersa ma aku" potong Buntal "Aku sudah pernah berada di dalam lingkungan seperti ini" Arum hanya menarik nafas dalam-da la m. Tetapi hatinya berdebar-debar juga. Jauh lebih berdebar-debar daripada berada di tengah hutan yang lebat yang dihuni oleh binatangbinatang buas sekalipun. Juwiringpun ke mudian meningga lkannya mencari ayahandanya yang agaknya sedang masuk ke dala m biliknya. "Apakah mereka Ranakusuma. sudah datang?" bertanya Pangeran
"Mereka ada di ruang dala m ayahanda" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. "Baiklah. Aku a kan segera datang" Katanya
Ketika Juwiring ke mbali ke ruang dala m, dilihatnya Arum masih saja mengagumi perhiasan dan alat-alat rumah tangga yang ada di ruang dala m itu. "Ayahanda akan segera datang" berkata Juwiring yang ke mudian duduk bersa ma kedua saudara seperguruannya itu di atas sebuah permadani yang berwarna ke merah-merahan" "Tikar ini bagus seka li. Tetapi rasa-rasanya kulitku agak gatal" bisik Arum. "Bukan tikar" sahut Buntal "ini adalah permadani yang dibeli dari seberang lautan"
"O, dari mana?" "Dari jauh seka li" "Di rumah pa man Dipanala juga ada tikar, eh, permadani seperti ini. Tetapi tidak sebagus ini dan tidak begitu gatal seperti ini" "Permadani di rumah paman Dipana la itu justru sudah terlalu tua sehingga bulu-bulunya sudah habis" Arum masih akan bertanya lagi. Tetapi suaranya ditelannya ke mbali ketika ia mendengar Juwiring berkata "Itulah ayahanda sudah datang" Arum cepat menundukkan kepalanya. Sekilas Buntal masih me lihat Pangeran Ranakusuma berjalan mendekatinya. Ketika Pangeran itu duduk di tengah-tengah ruangan itu, maka Buntalpun menunduk pula. Sesaat Pangeran Ranakusuma me mandang anaknya Raden Juwiring yang duduk bersama kedua anak-anak Jati Aking itu. Hampir saja ia me manggilnya dan mene mpatkan anaknya itu di sisinya. Tetapi ketika teringat olehnya bahwa ketiga anakanak muda itu sudah diangkat menjadi saudara, maka niatnyapun diurungkannya. Arum yang tunduk dala m-da la m merasakan suasananya menjadi tegang. Ia sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Sedang Pangeran Ranakusuma itu masih saja berdiam diri untuk beberapa saat la manya.
Baru ke mudian Pangeran itu berkata "Kaliankah anak-anak angkat Kia i Danatirta?" Buntal mengangkat tangannya untuk menye mbah sa mbil menjawab "Ya Pangeran. Hamba adalah anak-anak angkat Kiai Danatirta" "Aku, eh, hamba bukan. Ha mba adalah anaknya" "O, aku sudah mendengar dari Juwiring, bahwa kau adalah anak Kiai Danatirta. Dan kalian sudah diangkat menjadi saudara bersama-sama dengan anakku, Juwiring" Buntal menye mbah dan menjawab "Ha mba Pangeran. di padepokan Jati Aking, ka mi adalah saudara angkat" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Ketika Arum dengan sudut matanya mencuri pandang, hampir saja Juwiring tidak dapat menahan senyumnya. Dala m pada itu, Pangeran Ranakusuma me mandang Buntal dengan tajamnya. Ternyata anak Jati Aking ini me miliki unggah-ungguh yang cukup baik. Seakan-akan ia sudah me mpe lajari tata kehidupan di rumah seorang bangsawan. Karena itu, ma ka iapun mula i tertarik kepada pribadinya yang sederhana namun tampa knya cukup baik. Sedang Arum, gadis Jati Aking itu agaknya masih asing sama sekali. Sikapnya, caranya duduk dan berbicara meskipun ia mencoba berbuat sebaik-baiknya. Meskipun kepalanya tunduk dala m-dala m, namun setiap kali gadis itu mencoba untuk me lihat keadaan sekelilingnya dengan sudut matanya. Tetapi Pangeran Ranakusuma mengerti. Gadis itu sa ma sekali tidak ingin berbuat kurang baik. Ia adalah orang yang baru di dala m lingkungan yang asing baginya. "Anak-anak muda" berkata Pangeran Ranakusuma seterusnya "Sebenarnyalah kalian sudah mengetahui, bahwa Juwiring adalah anakku. Dalam keadaan yang tidak didugaduga, adiknya telah meninggal. Karena itu, Juwiring adalah
tinggal satu-satunya anak laki-la ki bagiku. Bukan maksudku untuk me misahkannya dari ka lian yang sudah dipersaudarakan, tetapi bagaimana pendapat kalian jika ka lian saja tinggal di sini?" "O" Arum t iba-tiba mengangkat wajahnya. Namun hanya sejenak, karena ketika ia sadar, maka iapun segera menundukkan kepa lanya ke mbali. "Dan itu bukan berarti bahwa ka lian harus terpisah dari ayah kalian. Kia i Danatirta. Setiap kali kalian dapat pergi ke Jati Aking" Buntal me mandang Juwiring dengan sudut matanya. Namun anak muda itu segera menyadari, bahwa sebenarnya Pangeran Ranakusuma ingin agar Juwiring ke mbali ke istana ini. Na mun agaknya Juwiringlah yang berkeberatan karena selama ini ia sudah berada di dala m lingkungan yang baginya cukup me nyenangkan. "Kalian akan mendapat tuntunan di dala m berbagai maca m hal, kalian akan me mpelajari unggah-ungguh, tata susila dan sopan santun sesuai dengan lingkungan ini" "Ampun Pangeran" jawab Buntal sambil menyembah "bagi hamba, hal itu merupa kan suatu karunia yang luar biasa. Tetapi jika de mikian, bagaimana dengan ayah angkat hamba di padepokan Jati Aking. Ayah akan menjadi kesepian dan barangkali juga tidak ada yang dapat me mbantunya mengerjakan sawahnya. Memang ada beberapa orang pembantu di padepokan Jati Aking, tetapi tentu mereka tidak akan dapat bekerja seperti ka mi yang merasa diri ka mi anakanak Kiai Danatirta" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Dan seperti yang diduga oleh Buntal, maka iapun berkata "Jika demikian, aku dan Juwiring akan minta pertimbangan kalian, bagaimana jika Juwiring sajalah yang harus mondar-mandir kian ke mari, karena ia juga anakku, tetapi juga anak Kiai Danatirta"
Buntal tida k dapat menyahut. Tetapi iapun berpaling kepada Juwiring, seakan-akan me mpersilahkan anak itu menjawabnya. Karena iapun sadar, bahwa bagi Pangeran Ranakusuma yang paling penting adalah Juwiring. "Aku sudah bertanya kepadanya" berkata Pangeran Ranakusuma "Tetapi ia me merlukan pendapat ka lian" "Bagaimana pendapat Raden Juwiring sendiri Pangeran?" bertanya Buntal. Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Meskipun Buntal anak padepokan, tetapi caranya, sikapnya dan kata-katanya menunjukkan bahwa ia dapat berpikir dengan baik. Karena itulah maka Buntal me njadi se ma kin menarik bagi Pangeran Ranakusuma. Maka jawab Pangeran Ranakusuma ke mudian "Ba iklah. Juwiring sudah menjawab ketika a ku bertanya kepadanya. Iapun merasa berkeberatan. Tetapi ada semacam kuwajibanku untuk minta kepadanya agar ia tinggal di istana ini. Ada banyak alasan yang dapat aku ke mukakan. Tetapi baiklah. Kalian tentu tidak akan dapat menga mbil kesimpulan. Yang paling baik bagiku adalah mene mui Kia i Danatirta sendiri. Aku pernah menyerahkan anakku kepadanya lewat Ki Dipanala. Maka akan datang saatnya aku minta kese mpatan untuk mengasuh anakku itu sendiri. Tentu saja dengan tidak mengurangi penghargaanku atas kesediaan Kiai Danatirta mengasuh Juwiring sela ma ini" Buntal masih tetap menundukkan kepalanya. Na mun Arumlah yang tiba-tiba saja bertanya "Jadi ma ksud Pangeran, kakang Juwiring, eh, Raden Juwiring harus meninggalkan Padepokan?" "Tida k sepenuhnya. Ia akan tetap berada di kedua tempat. Kadang-kadang di sini dan kadang-kadang di padepokan" Arum mengerutkan keningnya. Dipandanginya Juwiring sejenak. Rasa-rasanya berat hatinya untuk berpisah dengan
saudara-saudara angkatnya. Setiap kali mere ka mela kukan apa saja bertiga. Bekerja berlatih dan bergurau meskipun kadang-kadang mereka sering juga bertengkar. Arum yang ke mudian menundukkan kepalanya itupun sangat menarik perhatian Pangeran Ranakusuma. Sekilas teringat olehnya, betapa Rudira seolah-olah tidak dapat me lepaskan gadis itu dari angan-angannya, meskipun Pangeran Ranakusuma sadar, bahwa yang ada pada diri Rudira waktu itu barulah sekedar tertarik me lihat kecantikan wajah gadis itu. Dan ternyata gadis yang bernama Arum itu me mang cantik, dan seperti kebanyakan gadis padepokan ia tampak jujur dan berterus-terang. "Jika Juwiring me merlukannya, aku tidak akan berkeberatan" berkata Pangeran Ranakusuma di dala m hatinya "Agaknya gadis itupun cerdas dan lincah. Jika ia mendapat tuntunan yang baik. tentu ia akan dapat segera menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru" Tetapi Pangeran Ranakusuma t idak me ngatakannya. Apalagi ke mudian timbul juga persoalan di dala m hatinya, bahwa gadis itu adalah gadis padepokan. Sampai saatnya, maka akan timbul persoalan seperti persoalan Juwiring sendiri, karena ibunya bukan seorang keturunan bangsawan yang sederajad, sehingga seakan-akan Juwiring telah menga la mi tekanan batin yang berat. Apalagi keturunan seorang gadis padepokan. Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Biasanya para bangsawan menga mbil gadis-gadis padesan dan padukuhan hanya sekedar sebagai selir, sebagai perempuan yang hanya sekedar memenuhi selera para bangsawan, yang apabila bangsawan itu menjadi je mu, maka perempuan-pere mpuan padesan itu kadang-kadang dile mparkan begitu saja tanpa pertanggungan jawab apapun, dan kadang-kadang ada juga yang di dala m keadaan
mengandung diberikan sebagai pere mpuan, triman kepada hamba laki-lakinya untuk diperisterikan. "Tetapi Juwiring agaknya lain" berkata Pangeran Ranakusuma di dala m hatinya pula "Ia mengala mi hidup di padepokan, sehingga ia akan dapat menghargai nilai seorang yang dilahirkan di padepokan kecil" Dala m pada itu, selagi mereka berdia m diri untuk beberapa saat lamanya, tiba-tiba mereka mendengar pintu yang berderit. Ketika hampir bersa maan mereka berpaling, dilihatnya seorang gadis keluar dari pintu sebuah bilik di sebelah ruang yang menjorok ke da la m menghubungkan ruang dala m dengan ruang depan istana yang besar itu. Warih, yang keluar dari biliknyapun terkejut melihat beberapa orang duduk di permadani di ruang dala m menghadap ayahandanya. Karena itu maka iapun segera mende katinya. Ternyata di antara mereka yang duduk di permadani itu terdapat kakaknya, Juwiring. "Siapakah mereka itu ayahanda?" bertanya Rara Warih". "Mereka adalah anak-anak padepokan Jati Aking Warih" "O, anak padesan itu se mpat ayahanda terima di ruang dalam?" Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Arum bergeser sejengkal sambil mengangkat wajahnya, memandang gadis yang baru bangun dari tidurnya itu. Tetapi Buntal mengga mitnya dan me mberinya isyarat untuk berdiam diri saja. "Warih" berkata Pangeran Ranakusuma "Anak-anak Jati Aking ini adalah anak-anak Kia i Danatirta. Anak-anak dari seorang yang memiliki ke lebihan dari orang kebanyakan meskipun lebih senang t inggal di padukuhan"
"Tetapi bagaimanapun juga. mereka adalah anak-anak padesan" Rara Warih terdiam sejenak, lalu "O, jadi mereka adalah anak-anak padepokan te mpat tinggal ka mas Juwiring?" "Ya Warih" "Dan gadis ini" Tentu gadis inilah yang sering disebut kamas Rudira berna ma Arum" Warih mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu "Me mang cantik se kali" Arum mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi Buntal mengga mitnya. "Pantas sekali" berkata Warih "sepantasnya me mang ka mas Juwiring duduk bersa ma anak-anak padesan. Tidak bersama kami dan juga t idak bersa ma ayahanda" Seleret warna merah melonjak di wajah Juwiring. Dengan susah payah ia berusaha menahan hatinya yang ha mpir tidak dapat dikendalikan lagi. Dala m pada itu, agaknya Pangeran Ranakusumapun t idak senang mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak ingin melukai hati anak gadisnya yang baru saja kehilangan kakaknya. Maka katanya tertahan-tahan "Sudahlah Warih. Pergilah ke belakang" "O, jadi sekarang akulah yang harus pergi ke belakang ayahanda?" "Maksudku, pergilah ke pakiwan. Me mbersihkan diri ke mudian berpakaian. Hari ini tentu masih ada beberapa orang tamu yang akan berkunjung ke mari" "Dan ayah sudah mempunyai seseorang yang akan menerima mereka" "Ya" jawab Pangeran Ranakusuma "Tetapi itu bukan berarti bahwa mereka tidak akan bertanya tentang kau" Jawaban ayahnya itu menyentuh hati Rara Warih. Terasa bahwa ayahnya sudah mula i kehilangan kesabaran. di dalam
keadaan tertentu Pangeran Ranakusuma dapat menjadi keras dan bahkan kasar seperti menghadapi lawan di peperangan. Rara Warihpun terdiam. Iapun ke mudian meningga lkan ruangan itu pergi ke belakang. "Kau me mang harus bersabar Juwiring" berkata Pangeran Ranakusuma "Anak itu terla mpau dimanjakan oleh ibunya, seperti juga Rudira. Tetapi aku me ngharap bahwa ia akan sembuh, dan ia akan dapat mengerti keadaan dirinya di dalam lingkungan keluarganya" Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Na mun ternyata sikap Rara Warih itu justru mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Kadang-kadang tumbuh juga keinginan Juwiring untuk pergi dan meninggalkan rumah itu dengan segenap isinya yang sombong dan tinggi hati. Tetapi kadang-kadang sikap yang kasar itu telah merupakan suatu tantangan yang harus dijawabnya. Bukan ditinggalkannya. Namun bagi Arum dan Buntal, suasana di istana itu benarbenar tidak menyenangkannya. Mereka tida k akan dapat me mbiarkan diri mereka dihinakan terus-menerus. Tangan Arum seakan-akan sudah menjadi gatal. Rasa-rasanya ingin ia mena mpar pipi gadis yang cantik, adik seayah dari Raden Juwiring. Karena itu, maka ketika Rara Warih sudah tidak ta mpak lagi. Buntalpun berkata "Ampun Pangeran, rasa-rasanya hamba sudah, cukup menyulit kan Pangeran dan Raden Juwiring. Perkenankan, hamba berdua kembali ke pondok paman Dipana la. "Sebaiknya ka lian bermala m di sini" berkata Pangeran Ranakusuma. "Ampun Pangeran, paman Dipanala telah menerima ha mba berdua dengan baik. Seperti juga ke murahan Pangeran. Karena itu bagi ha mba, tidak ada bedanya tingga l di rumah paman Dipanala dan di dalam istana ini. Tetapi agaknya istana
ini masih terlampau sibuk, sehingga ha mba akan dapat mengganggu" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Ia semakin tertarik kepada anak muda ini. Meskipun ia anak padepokan, tetapi unggah-ungguhnya sudah cukup lengkap dan ba ik. "Tetapi kalian jangan bergegas kembali ke padepokan" berkata Pangeran Ranakusuma "Kalian harus menunggu beberapa hari lagi. Mungkin kalian se mpat melihat perubahan sikap Warih, Dan kalian akan tenang berada di rumah ini" "Ha mba Pangeran. Ha mba berdua me mang berkeinginan untuk menunggu Raden Juwiring" "Bagaimana jika ia tetap di sini?" "Setidak-tidaknya keputusannya yang akan dapat hamba sampaikan kepada ayah di padepokan" "Baiklah. Aku tidak berkeberatan kalian tinggal pada Dipanala. Setiap saat jika kau ingin, datanglah. Dan jika aku me merlukan kau, aku akan me manggil. Jika kalian me merlukan sesuatu selama kalian berada di kota ini, katakanlah kepada Juwiring. Aku a kan berusaha untuk kalian, agar kalian tida k sia-sia berada di kota ini untuk beberapa hari. Mudah-mudahan kalian dapat melihat isi kota ini dan ke mudian kerasan tingga l di sini pula " "Terima kasih Pangeran. Hamba sangat berterima kasih atas kemurahan itu. Dan kini perkenankanlah ha mba berdua mohon diri" "Baiklah. Katakan kepada me merlukannya menghadap" Dipanala, bahwa aku
Demikianlah maka Arumpun minta diri pula, dan diantar oleh Juwiring mere ka pergi ke pondok Ki Dipanala, sedang Ki Dipanala sendiri dipanggil untuk menghadap Pangeran Ranakusuma.
Agaknya Pangeran Ranakusuma me mang menaruh perhatian atas kehadiran anak-anak muda itu, ternyata kepada Ki Dipana lapun dikatakannya agar keperluan anak-ana k muda itu dia mbilkannya dari Ranakusuman. Makan, minum dan kebutuhan mereka sehari-hari se la ma mereka berada di Surakarta. Dala m pada itu, ternyata Arum menjadi segan untuk me masuki hala man Ranakusuman. Baginya Rara Warih adalah sesosok hantu betina yang menakutkan. Sebenarnya ia sama sekali tidak takut kepada gadis itu, tetapi karena gadis itu puteri Pangeran Ranakusuma, maka ia tidak a kan dapat berbuat apa-apa. Dan keseganannya itulah yang menyiksanya. Namun, dalam kese mpatan lain, Arum senang sekali berjalan-jalan berkeliling kota Surakarta. Kadang-kadang mereka berdua saja dengan Buntal, na mun kadang-kadang mereka pergi bersa ma Ki Dipanala. Baik Arum maupun Buntal tidak mau me ngganggu Juwiring yang agaknya ikut menjadi sibuk di dala m istana ayahandanya menerima tamu yang masih saja berdatangan. Bukan saja dari Surakarta, tetapi juga dari te mpat-tempat yang jauh. Tetapi sebenarnya bagi Juwiring sendiri, kehadirannya di istana itu sangat menje mukannya. Setiap hari ia terikat oleh adat dan tata cara yang sudah lama dilupakannya. Apalagi meskipun tidak me maksa, ayahandanya selalu minta kepadanya untuk mengenakan pakaian yang lebih pantas bagi seorang putera Pangeran daripada pakaian petaninya itu. Meskipun de mikian, hubungannya dengan Rara Warih masih tetap selalu tegang. Rara Warih benar-benar tidak mau mendengarkan se mua nasehat ayahandanya. Meskipun setiap kali ayahandanya me mberitahukan hubungannya dengan Juwiring, Rara Warih selalu menundukkan kepalanya dan berdiam diri, tetapi sikapnya kepada Juwiring rasa-rasanya masih belum berubah.
Namun, ternyata bahwa sikap Rara Warih itulah yang telah semakin la ma se makin menebalkan niat Raden Juwiring untuk tetap tinggal di istana ayahandanya, meskipun ia tidak bermaksud meninggalkan padepokan Jati Aking sa ma sekali. Ia dapat hilir mudik setiap saat di antara kedua tempat yang dapat dicapai dengan berkuda itu. Sementara itu, Arum masih sela lu ingin melihat keadaan di dalam kota Surakarta. Setiap hari ia menyelusuri jalan yang belum dilewatinya. Ternyata Buntal yang pernah tinggal di kota itu masih juga mengenal beberapa bagian dari jalan-jalan yang ramai. "Me mang menyenangkan t inggal di te mpat yang ra mai ini" desis Arum "Sebenarnya aku kerasan tingga l di kota. Tetapi tidak di rumah ka kang Juwiring. Adiknya terlalu keras kepala dan sombong" "Mungkin di dala m sepekan dua pekan, kau kerasan tinggal di kota ini. Tetapi jika kita sudah terlibat di dala m persoalan hidup dan kehidupan, kita akan merasakan, betapa pahitnya hidup di kota, justru dinegerinya sendiri" "Kenapa?" Buntal tidak menjawab. Tetapi dilihatnya sebuah kereta yang berderap kencang mela mpaui mereka berdua. "Kau lihat, siapa yang ada di dala m?" "Ya, Orang asing"
"Nah, orang-orang asing itu semakin la ma menjadi se makin banyak berada di Sura karta" "Ya. Satu dua aku sudah melihatnya. Mereka me mbawa pedang panjang di la mbung" "Mereka adalah prajurit-prajurit" "Apakah mereka juga ma mpu berkelahi dengan pedangnya itu?" "Ya, mereka adalah orang-orang yang mengenal tata berkelahi dengan baik. Mereka dapat me mpergunakan pedangnya dengan sempurna menurut ilmu yang mereka pelajari" "Darimana kau tahu?" "Aku pernah me lihat mereka me mperlihatkan ke ma mpuannya di da la m suatu perte muan para bangsawan. Meskipun agaknya mereka sedang bergurau, namun aku me lihat bagaimana mereka me mperguna kan pedang. Tetapi waktu itu a ku masih terlalu bodoh untuk menilai" Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia bertanya "He, bukankah kau waktu itu masih terlalu bodoh untuk menila i. Kenapa kau dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka cakap bermain pedang?" "Aku masih ingat, bagaimana mereka menggerakkan pedang itu. Tetapi sayang, bahwa mereka me mpercayakan ke ma mpuannya pada kecepatan tangannya. Mereka hampir tidak me manfaatkan kakinya selain bergeser selangkah de mi selangkah, maju dan mundur" jawab Buntal. Arum mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya "Apakah menurut kesimpulanmu, ilmu pedang yang kita pelajari me mpunyai ke lebihan?" "Aku tidak berkata begitu, tetapi kita me manfaatkan kecepatan gerak kaki selain tangan kita. Kita berloncatan
sambil mengayunkan pedang. Tetapi orang-orang asing itu sekedar bergeser untuk menghadapi lawannya yang berputar sekalipun" "Mereka pandai menghe mat tenaga" "Tetapi mereka akan bingung menghadapi lawan yang lincah tangan dan kakinya. Apalagi apabila di samping pedang, tiba-tiba saja kita menyerang dengan kaki" "Itu dugaanmu. Bukankah kau masih terlalu bodoh waktu itu?" Buntal tersenyum sa mbil mengangguk "Ya. Aku masih terlalu bodoh waktu itu" Demikianlah mere ka berbicara tentang kota, orang-orang asing, dan tentang hidup yang semakin sulit. Bahkan di jalanjalan kota itupun mereka sering berpapasan dengan orangorang yang berpakaian lebih jelek lagi dari paka ian-pakaian petani di padukuhan Jati Sari. "Mereka adalah orang-orang yang sangat miskin" berkata Buntal "Mereka bekerja sehari untuk hidup mereka sehari. Dan bahkan kadang-kadang tidak mencukupi. Apalagi yang me mpunyai keluarga yang besar. Upah yang mereka terima tidak seberapa banyak, sedang mereka harus bekerja sejak matahari terbit sa mpai matahari terbenam di bawah anca man dan bentakan-bentakan yang kasar, lebih kasar dari petanipetani" Arum me mandang Buntal dengan kerut-merut di kening. Dengan nada yang tinggi ia bertanya "Tetapi rumah kakang Juwiring itu dihiasi dengan Barang-barang yang nilainya tidak terhitung. Apakah mereka t idak dapat me mberikan satu dua maca m Barang-barang yang seolah-olah tidak berguna itu untuk menolong orang-orang miskin. di rumah kakang Juwiring, Barang-barang itu sekedar untuk hiasan. Tetapi bagi orang-orang yang berbaju koyak itu, nilainya tentu besar
sekali. Barang-barang itu dapat ditukar dengan pakaian yang utuh meskipun tidak usah yang mahal" "Itulah kehidupan di kota, Arum. Orang-orang kota seakanakan tidak saling berhubungan yang satu dengan yang la in. Seandainya ada orang yang kelaparanpun, orang-orang kota tidak me mpedulikan lagi. Yang seorang kaya raya dan berlebih-lebihan, sedang yang lain miskin dan lapar" "Tentu tida k begitu" "Kenapa tidak?" "Aku me lihat seorang penge mis" "Ya. di sini banyak penge mis" "Jika tidak ada orang yang mau berbe las kasihan, tentu tidak akan ada penge mis" Buntal menarik nafas. Jawabnya "Jalan pikiranmu benar. Tetapi apakah artinya belas kasihan yang sepotong-sepotong itu" Dengan me mberi sedekah sekedarnya, sebenarnya hampir tidak berarti apa-apa bagi penyelesaian masalahnya" "Aku tida k mengerti" "Mereka masih tetap kaya raya dan orang-orang miskin tetap miskin" "Jadi apa yang harus mereka lakukan untuk menolong orang-orang miskin?" "Pertama-tama tentu menolak kedatangan orang-orang asing yang semakin la ma se makin berkuasa dibumi Surakana. Mereka ternyata telah menghisap kekayaan lanah ini. Kemudian me ncari sebab ke miskinan yang se makin menjalar ini. Ketiadaan kerja dan penghisapan yang bukan saja dilakukan oleh kumpeni, tetapi juga oleh penjilat-penjilat itu" Arum me ngerutkan keningnya.
"Mereka benar-benar telah lupa untuk bersyukur atas nikmat Tuhan yang sudah diberikan kepada mereka, mereka lupa untuk me mberikan sebagian kecil dari harta mereka kepada orang miskin. Harta itu adalah titipan dari Tuhan, akan datang masanya, harta-harta tersebut akan diambil ke mba li olehNya" Arum kini mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Mereka lebih me mentingkan diri mereka sendiri. Ayah memang pernah mengatakannya, bahwa hidup kita masa kini sudah banyak ditemukan perbuatan-perbuatan manusia yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama, mereka sudan mengingkari Tuhannya" "Kata-kata ayah itu benar. Dan kita dapat melihat lebih jelas pada kehidupan orang-orang kota daripada di padukuhan" Arum tidak menyahut. Tetapi ia tertarik kepada beberapa anak-anak muda yang berkuda di jalan kota. Ternyata mereka adalah anak-anak muda yang cukup menguasai kuda masingmasing. Menilik sikap dan pakaian mereka, maka mereka tentu bangsawan-bangsawan muda. Ternyata pula satu dua orang yang sudah mengenal mere ka menganggukkan kepala dalam-da la m. "He, mereka adalah bangsawan-bangsawan" desis Arum "Apakah kita harus berjongkok?" "Agaknya tidak. Mereka bukan para Pangeran" "Dari mana kau mengetahui?" "Orang-orang yang sudah mengenal mereka t idak berjongkok" desis Buntal "sebenarnya terhadap para Pangeranpun kita t idak perlu berjongkok, apalagi di kota" Arum me ngangguk-angguk. Tetapi ia tida k menjawab. Namun Arum menjadi berdebar-debar ketika salah seorang dari anak-anak muda yang naik kuda itu me mandangnya
dengan tajam. Bahkan ke mudian tersenyum sa mbil berkata "He, tentu gadis itu yang pernah disebut-sebut oleh kamas Rudira, putera pamanda Pangeran Ranakusuma" Yang lain me mandang Arum dengan kerut merut di kening. Salah seorang dari mereka bertanya "Darimana kau tahu?" "Aku pernah me lihat mereka berdua di depan regol istana pamanda Pangeran Ranakusuma bercakap-cakap dengan kamas Juwiring. Sikapnya dan tingkah lakunya menunjukkan bahwa keduanya sudah terlampau biasa bergaul dengan kamas Juwiring. Bukankah seperti yang dikatakan orang, kamas Juwiring datang ke istana ayahandanya dengan me mbawa dua orang anak Jati Aking. Yang seorang di antaranya adalah Arum. Yang dahulu sering disebut-sebut oleh ka mas Rudira" Arum yang juga mendengar kata-kata itu menjadi bingung. Sepercik warna merah me mbayang di wajahnya yang me mang ke merah-merahan oleh terik matahari yang setiap hari menyengatnya apabila ia berada di tengah sawah. Sedang Buntal yang berada di sampingnya menjadi termangu-mangu sejenak. Bahkan ia mencoba untuk meyakinkan, apakah pendengarannya itu benar. Sementara itu, anak-anak muda itupun tidak hanya sekedar menyebut na manya, tetapi mereka telah mendekati kedua anak-anak Jati Aking itu. Salah seorang dari ana k-anak muda yang berada di punggung kuda itu berkata puli setelah ia menjadi sema kin dekat "Pantas kamas Rudira tergila-gila kepada gadis ini semasa hidupnya. Ia me mang cantik se kali. Sayang jika ia masih saja hidup di padepokan terpencil itu" Kata-kata itu benar-benar telah menggetarkan hati kedua anak-anak padepokan Jati Aking. Na mun Buntal masih tetap menyadari dirinya sehingga diga mitnya Arum yang ha mpir saja menyingsingkan ka innya dan me loncat menyerang.
"Tahanlah sedikit hatimu Arum" bisik Buntal "Kita seakanakan berada di daerah asing" Arum menarik nafas dala m-dala m, seolah-olah ingin mengendapkan batinya yang bergejolak. Desisnya "Tetapi mereka menghina kita" "Biarlah apa yang akan dikatakannya. Mereka adalah anakanak bangsawan. Jika kita terlibat dalam pertengkaran dengan mereka ma ka kita akan mendapatkan kesulitan" "Apakah bangsawan dapat berbuat sekehendak hatinya?" "Tentu tida k" "Kenapa kau paksa aku menahan hati?" Tetapi Buntal tidak se mpat menjawab. Iring-iringan beberapa anak muda berkuda itu sudah berada di hadapan mereka. Seorang dari mereka yang ada di paling depan tersenyum sambil bertanya "He, bukankah kau berna ma Arum " Arum me mandang anak muda itu dengan tajamnya. Hampir saja ia lupa bahwa ia berhadapan dengan beberapa orang anak bangsawan. Dan ketika ia me nyadarinya, maka iapun segera menundukkan kepalanya. "Anak itu adalah adikku Raden" berkata Buntal ke mudian. "O" desis salah seorang anak-anak muda diatas punggung kuda itu "Tetapi bukankah benar ana k itu berna ma Arum?" "Raden benar. Anak itu berna ma Arum" "Dan bukankah anak itu yang sering disebut-sebut oleh kamas Rudira se masa hidupnya?" "Aku tidak tahu Raden Tetapi tentu bukan anak padesan seperti ka mi" "Kalian datang dari Jati Aking?"
"Ya Raden. Ka mi datang dari Jati A king" "Kalian kenal dengan ka mas Rudira dan ka mas Juwiring?" "Ka mi mengenal kedua-duanya Raden" "Kalau begitu, kita pasti" berkata salah seorang dari mereka kepada yang lain "gadis itu me mang cant ik" "Lalu bagaimana jika gadis itu cantik?" bertanya yang lain. Anak muda itu tersenyum. Katanya "Sayang kamas Rudira sudah meningga l. Jika ia masih hidup, maka nasibku akan menjadi se makin ba ik. Bukan saja menjadi gadis padepokan tempat ka mas Juwiring terasing, tetapi mungkin kau akan menjadi selir ka mas Rudira " Darah Arum serasa mendidih mendengar ke lakar yang menyakit kan hati itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Buntal, sebaiknya ia menahan hati. "Tetapi meskipun ka mas Rudira sudah meninggal, mungkin kamas Juwiring mau menga mbilmu menjadi selir ya?" ejek yang lain. Terasa dada Buntalpun terguncang. Ia sadar, bahwa seharusnya ia menahan hati seperti yang dikatakannya kepada Arum. Tetapi ketika ia mendengar na ma Juwiring yang dihubungkan dengan Arum, terasa dadanya bergetar. "He m" untunglah bahwa ia masih tetap sadar. Katanya di dalam hati "hatikulah yang telah dikotori oleh nafsu" "He, cah Jati Aking" salah seorang dari mereka hampir berteriak "Baga imana jika kau ikut a ku saja" Aku juga putera seorang Pangeran. Kau akan menjadi selirku. Jangan takut aku sia-siakan. Jika sa mpa i saatnya kau dapat aku berikan sebagai seorang triman kepada pembantu ayahandaku, seorang Lurah Istana yang masih muda" Dada Arum ha mpir-ha mpir saja menjadi retak. Apalagi ketika dengan sudut matanya ia melihat beberapa orang
me mandang hal itu dari kejauhan, seakan-akan mereka menonton sebuah pertunjukan yang menyenangkan. Tiba-tiba saja salah seorang dari anak-anak bangsawan itu maju se makin de kat. Dari atas punggung kuda, tanpa didugaduga tangannya terjulur menyentuh dagu Arum. Sentuhan itu benar-benar telah melenyapkan segala pertimbangan. Apalagi ketika ke mudian terdengar suara tertawa yang meledak. Tetapi suara tertawa itu tiba-tiba saja terputus, ketika Arum tanpa dapat mengenda likan dirinya lagi menangkap tangan itu dan menghentakkannya keraskeras. Anak muda yang ada di atas punggung kuda itu sama sekali tida k menduga, bahwa gadis itu akan berbuat demikian. Karena itu ma ka ia sama sekali tidak bersiap untuk me mpertahankan keseimbangannya. Hentakan itu telah menyeretnya dan me mbantingnya di tanah. ternyata
Semua orang yang menyaksikan ha l itu terkejut bukan buatan, Gadis itu adalah seorang gadis petani, sedang anakanak muda yang berkuda itu adalah anak-anak bangsawan. Selain daripada itu, merekapun heran melihat kekuatan gadis padesan yang telah menyeret seorang anak muda yang gagah dari atas punggung kuda dan terjerembab di tanah.
Buntalpun terkejut bukan buatan. Sekilas ia menjadi bingung, na mun segera ia sadar, bahwa tentu akan terjadi sesuatu atasnya dan atas Arum. Sebenarnyalah bahwa perbuatan Arum itu telah menggetarkan dada para bangsawan muda itu. Serentak mereka meloncat turun. Beberapa orang di antara mereka menolong anak muda yang terjerembab dan bahkan berdarah pada hidungnya itu. "Kau gila" bentak salah seorang dari ana k-anak muda itu "Apakah kau sadari, apa yang kau lakukan?" Arum menjadi bingung. Tetapi ia sudah terlanjur me lakukannya. Dan ia tidak mau dihinakan seperti gadis liar di sepanjang jalan. Karena itu, jika harus terjadi sesuatu atasnya, apaboleh buat. Tubuhnya me mang tida k dibiarkan disentuh oleh orang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. "Maaf Raden" Buntal agaknya masih berusaha untuk menge kang diri "Sebenarnyalah bahwa yang dilakukan oleh adikku itu di luar sadarnya. Ia terkejut karena hal yang serupa belum pernah diala minya, sehingga karena itu ia telah berbuat sesuatu di luar sadarnya. Sebagai seorang gadis, tentu ia tidak akan mungkin dapat berbuat de mikian jika tidak terdorong oleh perasaan terkejut, atau bahkan ketakutan yang amat sangat" "Kenapa ia menjadi takut" Apakah yang sudah dilakukan oleh Dimas itu" Ia hanya menyentuhnya. Lebih daripada itu tidak" "Raden benar. Dan sentuhan itulah yang sangat ditakutinya. Kami selalu dibayangi oleh batasan-batasan hidup yang ketat di padukuhan ka mi. Ka mi tidak boleh bersentuhan dengan lawan jenis kita masing-masing jika tidak ada hubungan apapun juga. Itulah sebabnya sentuhan itu sangat
menakutkannya, karena hukumannya bukan sekedar hukuman badani, tetapi kecemasan rohani yang a kan berkepanjangan" "Omong kosong" bentak anak muda itu "Kalian telah dengan sengaja melawan para bangsawan. Aku tahu, kalian sudah diracuni oleh perasaan yang tidak berpijak pada kebenaran dan kenyataan. Kalian diracuni oleh pikiran seolaholah para bangsawan itu bertindak menurut kehendaknya sendiri. Dan racun itulah yang me mbuat ka lian berani menentang ka mi" Buntal menjadi se makin berdebar-debar. Jawabnya "Tidak Raden yang terjadi benar-benar suatu kebetulan tanpa disadari" "Dengar anak padesan" bentak anak muda itu "Tidak ada yang dapat menentang kehendak kami. Ka mi dapat berbuat baik jika ka mi kehendaki. Tetapi ka mi juga dapat berbuat kasar. Kami dapat berbuat apa saja berdasarkan atas kedudukan ka mi. Jika ka mi kehendaki, ka mi dapat menga mbil adikmu itu tanpa alasan. Orang di kota inipun t idak berani menentangnya. Bahkan mere ka akan berbangga jika salah seorang keluarganya ka mi kehenda ki untuk menjadi selir-selir kami. Apalagi orang padesan seperti kalian. Dan karena kalian sudah melakukan kesalahan, maka terpakai atau tidak terpakai, kami menghendaki Arum" Kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan hati Buntal. Betapa pun ia menahan hati, na mun rasa-rasanya jantungnya sudah mulai tersentuh ujung duri. Apalagi oleh dorongan perasaan yang kurang dikenalnya sendiri, telah me mbuatnya terbakar ketika ia men dengar bahwa anak-anak muda itu ingin me mbawa Arum. Sebelum sempat menjawab Buntal mendengar anak muda itu berkata "Jangan me mbantah. Kau lihat, kita dikelilingi oleh banyak orang yang mengutuk ke lakuan gadis ini. Jika ka lian mencoba berbuat sesuatu, melarikan diri misalnya, orangorang itu akan serentak mengejar kalian seperti mengejar
pencuri. Apalagi jika kalian bertemu dengan sekelompok prajurit, dan aku menyerahkan Arum kepada mereka, akibatnya, kalian akan menyesal seumur hidup" Dada kedua anak-anak Jati Aking itu sudah terbakar. Benarkah yang terjadi harus de mikian" "Jangan me mbantah lagi" bentak seorang anak muda yang lain. "Ikut ka mi" berkata yang la in lagi. "Akulah yang akan me mbawanya pulang" berkata anak muda yang hidungnya berdarah "Aku me merlukan obat nyeri di hidungku ini. Meskipun agaknya gadis ini agak liar, tetapi aku akan me nundukkannya" Buntal sudah kehilangan kesabarannya. Karena itu maka katanya "Raden, maafkan kami jika ka mi terpaksa menolak keinginan yang tidak sesuai dengan nurani kami, adat kami dan terutama kepercayaan kami. Perbuatan semaca m itu adalah dosa. Dan kami tidak akan me mbiarkan diri ka mi me lakukannya" "Dia m" bentak anak muda yang hidungnya terluka "Ka lian tidak wenang me mbantah" "Jadi inikah kebenaran dan kenyataan yang Raden katakan" Inikah pertanda bahwa a kulah yang sudah dibius oleh racun kebencian tanpa alasan seolah-olah para bangsawan bertindak aas kehendak sendiri tanpa menghiraukan perasaan ka mi?" "Tutup mulutmu" Anak muda yang lain berteriak "ini adalah hukuman atas kebiadaban gadis itu. Ia harus diajar untuk sedikit me ngenal adab dan sopan santun" Buntal sudah tidak ma mpu lagi menahan hati. Wajahnya menjadi merah dan tangannya gemetar. Tetapi karena ia masih tetap sadar, maka pergolakan di dala m dadanya itu
me mbuatnya bagaikan terbakar. Dengan de mikian justru mulutnya menjadi seakan-akan terbungka m. Dala m pada itu, Arum sendiri sudah kehilangan pengendalian diri, sehingga meskipun ia tidak berkata apapun juga, namun apabila seseorang berani menyentuhnya, maka ia akan melawan apapun yang akan terjadi atasnya kemudian. Namun agaknya anak-anak muda itupun telah benar-benar marah. Seorang yang paling kekar di antara mereka maju beberapa langkah sambil berkata kepada anak muda yang hidungnya berdarah "A mbil anak ini, dan bawa ke mana kau suka. Jika orang tuanya menuntut, maka ia akan digantung di alun-alun sebagai pertanda bahwa ia sudah melawan kekuasaan Surakarta" Anak muda yang hidungnya berdarah menya mbung "Jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan menyiksa dirimu" Tetapi ketika anak muda yang hidungnya berdarah ia me langkah maju, maka Arumpun segera bersiaga. "He, apakah yang akan kau lakukan?" Arum menggeretakkan giginya. Meskipun ia mengenakan kain panjang yang ketat karena ia tidak mengira bahwa ia akan menghadapi persoalan itu, namun tangannya telah siap untuk berbuat sesuatu jika diperlukan. "Apakah kau gila?" anak muda yang hidungnya berdarah itu menggera m. Arum masih tetap berdia m diri. Tetapi ia tetap bersiap untuk berkelahi. Dan setiap orang me lihat sikapnya itu. Sehingga dengan de mikian orang-orang yang berkerumun meskipun tidak berani me ndekat, menjadi heran. "Apakah gadis ini sudah gila?" Mereka bertanya kepada-diri sendiri.
Anak muda yang berdarah hidungnya itu menjadi termangu-mangu. Na mun yang bertubuh kekar itupun ke mudian berkata "Jika ia. me lawan, ikat ia pada kuda mu. Biarlah anak laki-la ki yang sombong itu menjadi urusanku. Dimas t idak usah menghiraukannya" Darah Buntalpun bagaikan sudah mendidih sa mpai ke ubun-ubunnya. Karena itu ia berkata "Ba iklah, jika Raden me mang ingin mengala minya. Aku terpaksa me mpertahankan diri" "Bagus" teriak yang bertubuh kekar "Kau a kan menyesal. Ayah ibumu akan menyesal, dan seluruh padepokanmu akan menyesal" Buntal tidak menjawab. Tetapi yang terdengar adalah suara, yang lain, yang telah mengejutkan setiap orang yang ada di tempat itu. Ternyata seorang anak muda telah datang mende kati lingkaran pertengkaran itu. Meskipun ia berkuda, tetapi karena kuda. itu berjalan perlahan-lahan, dan semua perhatian dipusatkan kepada, mereka yang sedang bertengkar, maka kedatangan anak muda berkuda itu telah mengejutkan. Apalagi tiba-tiba saja ia berkata "inikah t ingkah laku anak-ana k muda di Surakarta" Anak-anak muda yang sedang mengerumuni Buntal dan Arum itu me mandanginya sejenak. Lalu anak yang bertubuh kekar itupun menjawab "Ia berani menentang kekuasaanku di sini" "Apakah kau sudah mencoba mencari sebabnya, kenapa ia menentang kekuasaanmu?" anak muda itu bertanya "dan apakah sebenarnya kekuasaan itu me mang ada pada kalian" Kalian harus me mpunyai dasar yang kuat untuk mengatakan bahwa kalian me mpunyai ke kuasaan" "Aku seorang putera Pangeran" jawab anak muda yang bertubuh kekar "sedang mereka ada lah anak-anak padesan" "Lalu?"
"Mereka tida k saudaraku"
berhak melawan a ku dan saudara- "Aku tida k me mbiarkan mere ka jatuh ke tanganmu" "Aku anak seorang Pangeran. Aku berhak menga mbilnya" "Hak itu sebenarnya tidak ada. Jika hak itu ada, maka akupun juga berhak" "Tetapi, tetapi . . " anak yang hidungnya berdarah itu menyahut. Namun ana k muda di atas punggung kuda itu me motong "Aku tahu. Kalian akan menyebut ibuku. Tetapi aku tahu, bahwa ada di antara kalian yang beribu sederajad dengan ibuku. Bahkan di bawahnya. Tetapi yang penting, aku adalah putera seorang Pangeran dengan sah. Ayahandaku adalah seorang Panglima. Nah, kalian mau apa. Jika kalian menghenda ki, aku juga berani berkelahi melawan ka lian. Satu demi satu, atau bersama-sama. Jika kalian ingin me ma merkan kekuasaan ayah kalian, akupun dapat mengatakan bahwa pangkat ayahandaku lebih tinggi dari pangkat ayah kalian di dalam kedudukannya sebagai Panglima. Nah, apalagi" "Gila. Apakah ka mas Juwiring menghendaki gadis itu?" "Aku tidak berkata begitu" jawab anak muda di atas punggung kuda itu "Tetapi ketika aku me ndapat laporan tentang tingkah laku kalian, maka aku harus bertanggung jawab, Akulah yang me mbawa mereka ke mari" Juwiring berhenti sejenak, lalu "dan seandainya kalian bukan putera Pangeran, maka kalian akan menyesal, sebab laki-la ki padepokan itu ma mpu me mbuat kepa la mu bengkak. Apakah kau tidak percaya?" "Aku tida k percaya" "Kau ingin mencoba?" Anak yang kekar itu termangu-mangu sejenak, lalu katanya "Aku akan me mbuktikan bahwa aku tidak sekedar berdiri
bersandar kekuasaan ayahanda. Tetapi jika perlu aku dapat me milin lehernya. Atau barangkali me matahkan tangannya" "Benar begitu?" "Aku pasti" "Kita lihat, apakah di dalam keadaan yang sama kau benarbenar dapat berbuat seperti yang kau katakan" "Persetan. Aku ingin mencobanya" Juwiring mengangguk-angguk. Dipandanginya wajah Buntal yang masih termangu-mangu. Sebenarnyalah, bahwa Buntal dicengka m oleh kebimbangan yang da la m. Ia tidak biasa melihat sikap yang angkuh pada Juwiring. Na mun tiba-tiba anak muda itu benarbenar seorang anak muda yang angkuh dan tinggi hati. Bahkan ia telah menyebut-nyebut kekuasaan yang ada pada ayahandanya, salah seorang Panglima di Surakarta. "Baiklah" berkata Juwiring kemudian "Tetapi aku minta jaminan, bahwa ka lian t idak a kan licik" "Maksudmu?" "Apabila kalian ka lah, kalian harus mengaku kalah, dan tidak me mperpanjang persoalan ini. Tetapi jika ka lian ingkar, maka akulah yang akan mengambil alih persoalan ini dari anak muda Jati Aking itu" "Aku bukan pengecut" teriak ana k muda bangsawan itu. "Bagus" berkata Juwiring "Kita akan bertemu sore nanti saat matahari terbenam di pinggir Bengawan. Setuju?" Sejenak anak-anak muda bangsawan itu termangu-mangu. Namun anak muda yang kekar itu ke mudian menyahut "Bagus. Aku akan pergi ke tepi Bengawan di tikungan di bawah bendungan. Aku akan me mbuktikan bahwa aku tidak hanya dapat sekedar berbicara dan menakut-nakuti. Tetapi
aku me mperingatkan sebelumnya, jangan menyesal apabila terjadi sesuatu atas anak padesan itu" "Aku yang bertanggung jawab. Jika ia sakit, akulah yang akan me manggil tabib. Jika kakinya patah, biarlah aku berusaha me mulihkannya" "Bagus. Datanglah. Kita akan me lihat siapakah yang hanya sekedar bisa berbicara tanpa berbuat sesuatu" Anak muda itu tida k menunggu jawaban Juwiring. Iapun segera meloncat ke punggung kudanya. Demikian juga kawankawannya yang lain, sedang anak muda yang hidungnya berdarah itupun dengan susah payah telah berada di punggung kudanya pula. "Sore nanti tulang-tulang iga mu akan rontok anak yang dungu" geram anak muda yang kekar itu ketika kudanya lewat dekat sekali di hadapan Buntal "Dan kali ini adalah kali yang pertama dan terakhir kau melihat kota Sura karta" Buntal tida k menjawab. Dibiarkannya saja kuda-kuda itu lewat hampir menginjak kakinya. Tetapi agaknya iapun sudah dijalari oleh keangkuhan Juwiring, sehingga ia tidak mau bergeser sama sekali dari te mpatnya. Berbeda dengan Buntal, Arumlah yang bergeser di belakang. Buntal. Ia tidak mau ana k-anak muda yang sedang pergi itu menyentuhnya lagi, agar ia tidak usah me mbantingnya lagi. Sejenak ke mudian ma ka bangsawan-bangsawan muda itu meninggalkan. Buntal dan Arum. Kuda-kuda merekapun ke mudian berlari-larian di jalan, kota, sehingga orang-orang yang melihat pertengkaran itu dari kejauhan segera berlarilarian me mencar. Sepeninggal anak-anak muda itu, maka Juwiringpun ke mudian mendekati Buntal. Sambil tersenyum, ia berkata "Maaf. Aku telah me mbuat perjanjian sebelum aku berbicara
dahulu dengan kau. Tetapi menghadapi anak-anak bengal itu kadang-kadang kitapun harus bersikap bengal" Buntal menarik nafas dalam-dala m, sementara Arum bertanya "Jadi, menurut perjanjian itu, kakang Buntal harus berkelahi di pinggir Bengawan sore nanti?" "Ya" "Kau yakin bahwa kakang Buntal tidak akan cedera?" "Aku mengenal bangsawan-bangsawan muda yang hanya pandai berbicara itu. Mereka tidak akan berbahaya bagi kalian" "Tetapi sebaiknya bukan kakang Buntal. Karena persoalannya berkisar karena kehadiranku, maka biarlah aku saja yang akan berkelahi me lawan mereka" "Ah, jangan. Bagaimanapun juga. mereka me miliki banyak akal untuk me maksa kan ke inginannya. Sebaiknya kau tidak usah datang sore nanti" "Aku akan datang" Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu "Kita tidak tahu apakah mereka tidak ingkar kepada kejantanan yang mereka sebut-sebut itu. Jika mereka menjadi licik, dan me mbawa beberapa orang pengawal seperti Rudira yang setiap kali me mbawa Sura dan ke mudian Mandra, ma ka persoalannya akan berbeda" "Tetapi aku dapat menjaga diriku sendiri" "Ke ma mpuan seseorang terbatas Arum. Sedang jumlah mereka t idak terbatas" Arum masih akan menyahut. Tetapi Juwiring berkata "Sudahlah. Ke mbalilah ke pondok pa man Dipanala. Nanti aku akan datang ke pondok itu. Kita dapat berbicara lebih tenang. Sekarang kita sedang menjadi tontonan orang"
Barulah Arum menyadari keadaannya. Ketika ia me mandang berkeliling, ternyata masih banyak orang yang mengawasinya dari kejauhan. Karena itu maka katanya "Me mang sebaiknya kita ke mbali saja" Dengan tergesa-gesa Arum dan Buntalpun ke mudian meninggalkan tempat itu. De mikian pula Juwiring yang berkuda itu. Di sepanjang jalan Arum masih saja mengumpat-umpat dan beikata kepada Buntal "Aku yang akan berke lahi. Mereka harus tahu, bahwa aku bukan perempuan liar yang dapat dengan seenaknya dijadikan selir-selir seperti yang disebutsebutnya itu" Buntal tidak menyahut. Ia tahu benar sifat Arum. Jika ia me mbantah, Arum dapat saja tiba-tiba berteriak di pinggir jalan. Karena itu, maka Buntal berjalan saja sa mbil berdia m diri. Hanya sekali-sekali ia berdesis sambil menganggukkan kepalanya. "He, kau tida k mau mendengarkan?" "Aku mendengar" "Kenapa kau dia m saja" Kau tidak setuju" "Bukan aku t idak setuju Arum, tetapi sebaiknya kita berbicara di rumah pa man Dipanala" "Apa salahnya kita berbicara sambil berjalan?" "Nanti kita menjadi tontonan lagi" Arum me mandang berkeliling. Tida k banyak orang yang dijumpainya di ja lan itu. Na mun jika ia bertengkar dengan Buntal ma ka orang-orang itu tentu akan berkerumun dan menonton. Karena itu Arumpun ke mudian terdiam meskipun hatinya menjadi jengkel se kali.
Demikianlah, ketika. mereka sudah berada di rumah Ki Dipanala, maka merekapun mulai me mbicarakan persoalan yang sedang mereka hadapi. Setiap kali Juwiring mencegah, maka Arumpun me njadi sema kin bernafsu untuk ikut pergi kepinggir Bengawan. Juwiring sudah la ma mengenal Arum. Bahkan ayahnyapun kadang-kadang sulit untuk mencegah gadis itu. Karena itu, maka Juwiringpun ke mudian berkata "Terserah kepada mu Arum. Tetapi jika kau me mang ingin ikut bersama ka mi, kau harus sudah bersiap me nghadapi setiap ke mungkinan" "Ya. Aku sudah siap" jawab Arum, na mun ke mudian "Tetapi, kenapa kakang Juwiring menyerahkan hal itu kepadaku. Bagaimana sikap kakang sebenarnya?" "Ya terserah kepada mu. Sebenarnya aku berkeberatan" "Kenapa" Aku sudah menjelaskan bahwa aku sudah siap menghadapi apapun" "Karena itu, terserah saja kepadamu" "Jangan terserah. Jika kakang, eh, Raden mengijinkan aku akan pergi" "Jika tida k" "Apakah alasannya. Aku bukan anak-anak menggantungkan diriku kepada selendang ibunya" yang
"Ah, sudahlah Arum. Me mang susah berbicara dengan kau. Jika aku berkata terserah, kau tidak puas. Jika aku melarang kau me maksa. Tetapi jika aku berkata "Baik, kita akan pergi Kau sangka a ku sekedar me muaskan hatimu saja" Wajah Arum menjadi tegang. Namun ketika ia me mandang wajah Buntal yang tidak dapat menahan senyumnya, Arumpun tanpa sengaja telah tersenyum pula. Tetapi ketika ia sadar, maka iapun tiba-tiba me ncubit Buntal dengan tangan kiri dan
Juwiring dengan tangan kanannya, terlonjak dari tempat duduknya.
sehingga keduanya "Jadi bagaimana, bagaimana " desisnya "terserah saja. Aku tidak mau berbicara" "Sudahlah" berkata Juwiring "Jika kau mau pergi, pergilah. Tetapi nanti dulu, jangan me mbantah. Aku tidak sekedar me muaskan hatimu. Kau sudah cukup dewasa menghadapi keadaan. Karena itu, jika kau berkeras untuk ikut serta, maka kaupun sudah yakin bahwa tidak akan terjadi apa-apa atasmu" Arum t idak menyahut. Tetapi wajahnya jadi sura m. Juwiring yang melihat wajah itupun menarik nafas dalamdalam. Dan seperti biasanya, iapun tidak lagi me mpersoalkannya dengan Arum. "Kau dapat me maka i kuda yang ada di kandang hala man rumah ayahanda Pangeran, Buntal. Datanglah sebelum senja. Aku akan datang lebih dahulu agar aku dapat melihat, apakah tidak akan ada kecurangan yang berbahaya" "Baiklah Raden" jawab Buntal "sebenarnya aku tidak ingin berkelahi. Tetapi mereka telah me maksa aku berbuat demikian" "Sekali-sekali bangsawan-bangsawan muda itu me mang harus mendapat peringatan, agar lain kali ia sedikit menghargai orang lain" "Kau juga bangsawan seperti mereka " guma m Arum. Juwiring yang sedang tegang itu justru tersenyum. Jawabnya "Bangsawan yang tercecer dari lingkungannya" "Salahmu. Jika kau ingin bergabung dengan mereka, maka kau dapat berbuat apa saja, karena kau me miliki ilmu kanuragan yang melebihi mereka. "Ah"
"Seenaknya saja mereka menyebut tentang perempuan. Jangankan menjadi selir, menjadi isteri bangsawan yang sahpun aku tidak ma u. Aku menyadari bahwa aku seorang padesan. Anakku akan tersia-sia meskipun ayahnya seorang bangsawan" Juwiring me ngerutkan keningnya, sementara Buntal mengga mit gadis itu. Tetapi Arum tidak me nyadari kekeliruannya, bahkan ia bertanya dengan nada kesal "Apa. Kau akan berkata apa?" Buntal menundukkan kepalanya. Sedang Arum masih akan berbicara terus. Tetapi tiba-tiba ia terkejut. Dilihatnya wajah Juwiring yang mura m me mandang ke kejauhan. "O" Arum terhenyak. Barulah ia sadar, bahwa kata-katanya telah menusuk hati Juwiring justru karena Juwiring menga la minya. Meskipun ibunya bukan orang padesan, dan bahkan juga keturunan bangsawan, namun tida k sederajad dengan isteri-isteri Pangeran yang lain, maka ia menga la mi suatu tekanan perasaan yang berat, apalagi ia me mpunyai seorang ibu tiri seperti Raden Ayu Galih Warit. "Maaf Raden" desis Arum dengan nada yang dala m "Bukan maksudku menyinggung perasaanmu" Juwiring tersentak. Kemudian menggeleng-ge lengkan kepalanya. Katanya "Tidak. Tidak apa-apa. Aku baru berangan-angan tentang bengawan itu" Arum tida k menjawab lagi. Ia merasa bersalah, bahwa kata-katanya sedikit terdorong sehingga aga knya telah menyentuh dasar hati Juwiring yang me mang sudah terluka itu. "Sudahlah. Jangan berbicara apa-apa lagi. Kita bertemu nanti di pinggir bengawan. Anak-anak itu adalah anak-anak yang pantas mendapat peringatan"
Buntal dan Arum hanya sekedar menganggukkan kepalanya saja. Mereka tidak mau mena mbah goresan pada luka di hati Juwiring. Demikianlah, maka Juwiringpun ke mudian minta diri. Namun agaknya masih ada sesuatu yang tersangkut di hati Buntal sehingga ketika mereka sudah berdiri di hala man, anak muda itu justru bertanya "Raden, sebenarnya aku tidak mengerti. Apakah bangsawan-bangsawan muda itu ga mbaran dari Surakarta yang akan datang" Bukankah mereka kelak akan menggantikan kedudukan ayahanda mereka di dalam pemerintahan?" Juwiring mengerutkan keningnya. "Aku pernah mengena l Raden Rudira. Tetapi ternyata ia tidak berdiri, sendiri dala m sikapnya. Ada beberapa orang yang bersikap seperti Raden Rudira itu. Dengan demikian, aku menjadi ce mas melihat ga mbaran negeri ini di masa mendatang, yang dekat. Anak-anak muda yang berkeliaran dan justru mereka tidak me miliki i! mu yang cukup" "Tida k Buntal. Bukan itu ga mbaran masa mendatang. Kita masih me mpunyai harapan bahwa di antara bangsawanbangsawan muda, apakah ia keturunan pertama atau kedua dari pe megang kekuasaan di Surakarta kini, masih ada yang tetap menyadari tugasnya. Kita mengenal beberapa nama yang dapat diharapkan. Baik dari sikap, perbuatan dan ilmu yang mereka miliki. Kita berharap bahwa mereka akan mendapat kese mpatan untuk me merintah negeri ini ke lak. Tetapi . . " Juwiring menarik nafas dala m-dala m, lalu "tetapi seperti yang sudah kita ketahui, agaknya kumpeni me mpunyai pengaruh yang kuat" Buntal menarik nafas dalam-da la m. "Dan kita pernah mendengar ceritera tentang pemberontakan yang pernah terjadi. Tidak hanya satu dua kali. Tetapi beberapa kali. Dan setiap ka li, maka kumpeni
tentu berhasil meneguk keuntungan daripadanya. Namun demikian, kadang-kadang kita me mang tidak dapat lagi menanggung tekanan batin yang tiada taranya sehingga me ma ksa kita untuk me lepaskah diri dari belenggu penindasan, meskipun kadang-kadang kita harus menebusnya dengan maut" Buntal mendengarkan keterangan itu dengan saksa ma. Namun ke mudian ia berguma m "Sokurlah jika masih ada orang yang menyadari keadaan ini. Ka mi yang tinggal jauh dari kota justru merasakan sesuatu yang menekan hati ketika kami melihat kehidupan di dala m kota ini. Sama sekali1 bukan berdasarkan hati yang iri semata-mata. Tetapi sebuah kecemasan yang bergolak di dala m dada ini" "Kau benar. Jika kita bicara dengan nurani yang bersih, maka setiap orang akan mengakuinya. Gemerlapnya istanaistana yang indah dan cantiknya wanita-wanita di dalam kota ini bukan la mbang ge merlapnya Surakarta dan cantiknya tanah ini yang seakan-akan telah dinodai oleh bangsa asing dengan kedok perdagangan dan persahabatan. Buntal hanya mengangguk-angguk saja. Namun ternyata angan-angannya telah hinggap pada seorang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati. Dan ha mpir-di luar sadarnya ia berdesis di dala m hatinya "Pangeran Mangkubumi. Mudahmudahan ia berbuat sesuatu untuk kepentingan rakyat Surakarta" "Sudahlah" berkata Juwiring ke mudian "Aku akan ke mbali ke rumah ayahanda yang asing bagiku itu. Jangan lupa, datanglah menjelang matahari terbenam. Aku akan datang lebih dahulu" "Baiklah Raden" sahut Buntal "mudah-mudahan aku t idak menimbulkan persoalan yang berkepanjangan. Apalagi jika ke mudian menyangkut Pangeran Ranakusuma dan beberapa orang bangsawan yang lain"
Juwiring hanya tersenyum saja. Meskipun senyum yang kecut. Demikianlah Buntal menjadi gelisah. Direnunginya dirinya sendiri di da la m lingkungan yang asing baginya. Tiba-tiba saja ia sudah terlibat di a la m pertentangan kekerasan. Ia harus berkelahi melawan bangsawan-bangsawan muda itu. Dan sudah barang tentu baliwa sesuatu dapat terjadi di luar dugaan. Bangsawan di Surakarta me mpunyai hak yang seakan-akan mela mpaui hak orang kebanyakan. Agaknya Arum tidak begitu me nghiraukannya. Yang dipikirkannya adalah, bahwa ia tidak mau dihinakan oleh siapapun. Ia sama sekali t idak me mperhitungkan ke mungkinan-ke mungkinan yang lain yang dapat terjadi. Meskipun ia pernah mendengar dari beberapa orang tentang hak para bangsawan, namun haknyalah untuk me lindungi dirinya sendiri dan apalagi na ma baiknya. Karena itulah, maka ketika matahari menjadi semakin condong ke Barat, Buntal menjadi se makin gelisah. Tetapi ia masih me mpercayakan persoalan berikutnya apabila timbul, kepada Juwiring, karena Juwiring adalah seorang dari lingkungan mere ka. Dan agaknya ayahandanyapun telah menerima ke mba li sebagai anaknya sepenuhnya. Buntal yang gelisah itu terkejut ketika dilihatnya dua orang abdi dari Ranakusuman datang ke rumah Ki Dipanala dengan me mbawa masing-masing seekor kuda. "Raden Juwiring me merintahkan ka mi menyerahkan kudakuda ini" berkata abdi itu kepada Buntal. "Terima kasih" sahut Buntal. Dan iapun sadar bahwa ia me mang harus pergi. "Apakah Raden Juwiring ada di istana?" bertanya Buntal lebih lanjut "Tida k. Raden Juwiring sudah pergi"
"Sendiri?" "Ya, sendiri" "Terima kasih" desis Buntal ke mudian. Sepeninggal kedua orang abdi Ranakusuman itu Buntal menjadi semakin gelisah. Tetapi ia me mang harus pergi ketepi Bengawan untuk berkelahi. Tetapi yang menjadi persoalan baginya kemudian adalah Arum. Karena itu, maka iapun pergi kepadanya dan bertanya "Apakah kau akan me ma kai. kain panjang seperti itu?" "Kenapa?" "Kita pergi berkuda. Dan kuda yang diberikan kepada kita adalah kuda Ranakusuman yang tegar dan besar. Bukan kuda kita yang agak lebih kecil. Dengan demikian kita akan menjadi lebih gagah. Tetapi yang penting kuda-kuda itu lebih tinggi dan barangkali kita masih harus me mperkenalkan diri" "Jadi bagaimana sebaiknya menurut pertimbanganmu?" "Bagaimana jika kau berpakaian laki-laki" Sela in lebih a man bagimu sendiri, tentu kau tidak akan terlalu menarik perhatian orang di sepanjang jalan" Arum mengerut kan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya "Kenapa jika a ku berkuda dala m paka ian pere mpuan. Kenapa harus menarik perhatian" Apakah pere mpuan tidak pantas naik kuda seperti seorang laki-laki?" "Arum" berkata Buntal " di dala m keadaan ini sebaiknya kita tidak berbicara tentang sikap kita terhadap persa maan atau perbedaan di antara kita. Tetapi kita berbicara tentang kenyataan. Barangkali kau akan dapat menjawab sendiri, apakah sebaiknya kau berpakaian seperti seorang laki-la ki atau tetap dalam paka ianmu"
Arum tidak menyahut. Kali ini ia harus mengakui kebenaran pendapat Buntal. Karena itu, maka kepa lanya hanya terangguk-angguk kecil saja. Dala m pada itu, selagi mereka berbincang, maka merekapun terhenti untuk menganggukkan kepa la mereka ketika mereka melihat Ki Dipanala mendatanginya. Sambil tersenyum orang tua itu bertanya "Apakah kalian akan pergi dengan kuda-kuda itu?" "Ya pa man" jawab Buntal. "Ke mana?" Buntal menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak segera mene mukan jawabnya. Apakah ia harus berkata terus terang, atau masih harus merahasiakannya. Buntal tidak tahu apa yang sudah dikatakan oleh Juwiring kepada Ki Dipanala itu. Tetapi Ki Dipanala itupun ke mudian tersenyum sa mbil berkata "Aku sudah mendengar dari Raden Juwiring. Kalian harus pergi ke pinggir bengawan" "Ya pa man" jawab Buntal sa mbil menundukkan kepalanya. "Me mang mendebarkan hati. Tetapi apaboleh buat. Raden Juwiring akan dapat menanggung jika terjadi akibat apapun" "Ya pa man" sahut Buntal. Ki Dipanala me mandang Buntal dengan mata yang buram. Sebenarnya ia menjadi kasihan melihat anak-anak muda itu terlibat dalam kekerasan tanpa mereka kehendaki sendiri. Tetapi iapun sadar, bahwa baik Buntal ma upun Juwiring adalah anak-anak muda pula sehingga darah merekapun masih cepat mendidih. Karena itu, di samping keseganannya, maka menurut dugaan Ki Dipanala ada juga se maca m kebanggaan pada Buntal. Na mun ia tahu bahwa murid-murid Danatirta itu me mpunyai pengekangan diri yang cukup baik dibanding
dengan anak-anak muda sebayanya. Jika terpaksa terjadi sesuatu yang bersifat keras, tentu ada alasan yang cukup kuat telah me maksa mereka untuk me lakukannya. "Paman" berkata Buntal ke mudian "Aku tidak tahu, apakah yang aku lakukan ini benar atau salah. Tetapi kakang Juwiring telah menga mbil sikap. Dan a ku harus melakukannya" "Buntal" sahut Ki Dipanala "Raden Juwiring sekarang sudah mendapatkan kedudukannya kemba li sebagai putera Pangeran Ranakusuma. Mungkin karena Raden Rudira sudah meninggal, sehingga Pangeran Ranakusuma me merlukan seorang anak laki-laki, tetapi juga mungkin karena Pangeran Ranakusuma telah berhasil menila i dirinya sendiri, dan menganggap apa yang terjadi pada Raden Juwiring itu ke liru karena dorongan nafsu ketamakan Raden Ayu Galih Warit. Dengan demikian, maka jika bangsawan-bangsawan muda itu ingin mencari sandaran kepada ayahanda masing-masing, ma ka Raden Juwiringpun dapat melakukannya" "Aku mengerti pa man" desis Buntal "Tetapi apakah pa man tidak akan pergi ke Bengawan" Ki Dipanala mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa Buntal menjadi agak ce mas juga. Bukan karena iai harus berkelahi, dan raence maskan ke ma mpuan lawan-lawannya. Tetapi karena Buntal sendiri merasa sebagai seorang anak padesan. Ia harus menyandarkan nasibnya kepada orang lain jika perselisihan ini ke mudian berke mbang. "Aku tidak dapat pergi Buntal. Mungkin Pangeran Ranakusuma me merlukan aku. Sekarang aku justru me mpunyai banyak pekerjaan. Seolah-olah semua persoalan ditumpahkan kepadaku seja k meninggalnya Raden Rudira" Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika berpaling dilihatnya Arumpun ta mpak menjadi gelisah. ia
"Percayakah persoalan-persoalan yang dapat timbul kepada Raden Juwiring. Jika ia mene mui kesulitan, aku akan mencoba
iku me mikirkannya" berkata Ki Dipanala ke mudian, lalu "pergilah. Aku akan ke mbali ke Ranakusuman" Sejenak ke mudian, maka Arum dan Buntalpun telah selesai berkemas. Arum me ma kai pakaian seorang laki-laki, sehingga dalam sekilas tidak seorangpun yang dapat mengenalnya sebagai seorang gadis. Demikianlah maka keduanyapun ke mudian segera pergi kepinggir bengawan seperti yang sudah dijanjikan. Meskipun Buntal telah siap menghadapi segala kemungkinan, namun hatinya masih berdebar-debar juga. "Kita tidak me merlukan senjata kakang?" bertanya Arum. "Tida k. Kita tidak akan bertempur mati-matian. Kita hanya akan sekedar me muaskan diri sendiri dengan perke lahian ini. Kalah atau menang. "Tetapi, bukankah kakang Juwiring mengatakan bahwa ke ma mpuan kita hanya terbatas, sedang jumlah mereka hampir tida k terbatas. Apakah itu tidak berarti bahwa mereka dapat mela kukan sesuatu yang tidak wajar, atau katakanlah agak licik dan curang?" "Me mang mungkin. Tetapi senjata hanya akan me mbahayakan diri kita sendiri. Tentu kita tidak a kan dapat me mperguna kan Kita tidak a kan dapat melukai seorangpun dari mereka dengan sengaja me mpergunakan senjata yang sudah kita persiapkan. Dengan demikian kita akan berhadapan dengan kesulitan yang lebih luas lagi di te mpat yang asing ini" Arum mengangguk-angguk. Ia mengerti ma ksud Buntal, sehingga karena itu, maka iapun tidak bertanya lebih lanjut. Namun de mikian di da la m hatinya ia berkata "Kecuali senjata yang dapat kita rampas pada waktu itu. Dengan demikian berarti bahwa kita benar-benar sekedar me mbela diri" Ketika Arum ke mudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari sudah bertengger di ujung Barat. Namun
masih dapat melihat dengan jelas wajah-wajah orang yang berjalan di sepanjang jalan me mandangnya dengan heran. Jarang sekali ada orang-orang berkuda di tengah-tengah kota selain para bangsawan muda dan prajurit. Kadang-kadang me mang ada para pedagang yang tergesa-gesa menyelesaikan persoalannya. Tetapi tidak anak-anak muda berpakaian petani seperti Buntal dan Arum. -ooo0dw0oooKarya SH MINTARDJA Jilid 12 NAMUN kedua anak-anak muda itu seakan-akan tidak menghiraukan mereka yang me mandanginya sambil bertanya di dala m hati. Mereka maju terus, meskipun tidak terla mpau kencang. Ternyata Buntal masih mengenal dengan baik jalan menuju ke pinggir bengawan seperti yang telah dijanjikan. Meskipun jalan itu ke mudian menjadi aga k sulit, namun merekapun semakin kuna menjadi se makin dekat dengan bengawan yang berarus deras dan berwarna lumpur. Ketika kuda mereka menuruni tebing yang agak landai dan sampai di atas pasir tepian, maka keduanyapun terkejut. Ternyata mereka me lihat tidak saja bangsawan-bangsawan muda yang dijumpainya dan yang telah bertengkar dengan mereka tetapi jumlah itu telah bertambah lagi. "Nah, ternyata yang dikatakan Raden Juwiring itu benar" desis Arum. "Apa boleh buat" sahut Buntal. "Dan kita dapat dile mparkan ke da la m bengawan itu"
"Apa boleh buat. Tetapi mereka tidak akan me lakukannya di hadapan Raden Juwiring, putera Pangeran Ranakusuma, seorang Senapati yang disegani di Surakarta ini" "Dan agaknya kita sudah mula i menyandarkan diri" "Apa boleh buat" Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu berjalan di atas pasir tepian. Perlahan-lahan keduanya maju mendekati segerombol bangsawan-bangsawan muda yang sudah menunggu. "Ha, ternyata keduanya datang" berteriak salah seorang dari mereka. "Apakah yang seorang itulah Arum. Na mpa knya seperti seorang laki-laki" Seorang bangsawan muda tiba-tiba saja meloncat naik ke punggung kudanya dan menyongsong Buntal. Beberapa langkah di hadapannya ia berteriak "Yang seorang adalah gadis itu. Ia berpakaian seorang laki-la ki. Pantas sekali. Justru ia tampak sebagai seorang anak muda yang tampan sekali. Aku justru jatuh cinta kepadanya" Kata-kata itu bagaikan bara yang menyentuh telinga Arum dan Buntal. Tetapi mereka berdua sa ma sekali tidak menyahut. Mereka masih tetap maju perlahan-lahan. Bangsawan yang seorang, yang meyongsongnya itu masih saja mengitari keduanya sambil bsrteriak "Kita tidak dapat sekedar bermain-main. Agaknya anak ini yakin benar akan dirinya" Arum dan Buntal masih berdia m diri. Mereka mengerutkan kening ketika mereka melihat Raden Juwiring me langkah maju. Katanya kepada Buntal. "Nah, ke marilah. Kita akan me mbuat perjanjian. Perjanjian seorang laki-laki"
Bangsawan muda yang berkuda di sebelah Arum itu berkata "Tidak ada yang menyebut aku seorang perempuan. Sedangkan gadis inipun berpakaian seperti laki-la ki" "Bukan pakaiannya" jawab Juwiring "A ku tahu bahwa seorang laki-laki dapat saja berbuat seperti perempuan. Tetapi juga sebaliknya, seorang perempuan dapat berbuat seperti seorang laki-laki" "Apa yang dilakukan oleh Laki-laki dan apa yang dilakukan oleh pere mpuan?" "Laki-laki akan menghargai kelaki-la kiannya di dala m setiap persoalan. Apa yang dikatakan dilakukannya. Ia yakin akan sikapnya, tetapi tidak mengingkari kenyataan. Ia berani me mpertahankan keyakinannya, tetapi berani mengakui kesalahannya apabila hal itu disadarinya" "Dan pere mpuan?" "Perempuan kadang-kadang menggantungkan diri kepada laki-laki. Ia pasrah kepada keadaan meskipun kadang-kadang harus menge luh. Menekan perasaan di dala m dadanya sambil menekan gejolak hati. Tetapi sudah aku katakan, kadangkadang terdapat kelainan. Dan ka lian akan me lihat kelainan itu di sini" Bangsawan-bangsawan muda itu me mandang Juwiring dengan heran. Lalu salah seorang di antara mereka bertanya "Apa yang akan kita lihat di sini?" "Tida k apa-apa. Tetapi marilah kita me mbuat perjanjian. Perjanjian yang saling kita hormati" sahut Juwiring. "O" bangsawan muda yang bertubuh ke kar itupun maju selangkah "Aku tahu, kau menyangka bahwa ka mi akan berbuat curang. Itulah yang kau ma ksud, bahwa kita akan me lihat kelainan di sini" "Sokurlah jika ha l itu tidak terjadi"
"Kau sudah menghina ka mi. Dan kami tidak rela me mbiarkan diri ka mi me ndapat penghinaan se maca m itu" "Karena itu kalian harus me mbukt ikan, bahwa aku ke liru" "Persetan, Suruh anak itu turun dari kudanya. Kita akan me lihat, siapakah yang curang dan licik" Juwiring mengangguk-angguk Biarlah ia mendekat" sa mbil menyahut "Ya.
Buntal yang sudah ada di dekat segerombol anak-anak muda itupun me loncat turun dari kudanya diikuti oleh Arum. Sekilas mere ka masih me lihat warna-warna merah yang tersangkut di bibir me ga yang bergumpalan me nghiasi langit yang jernih. "Cepat katakan" geram bangsawan muda yang bertubuh kekar itu "Apakah yang kita jadikan syarat dari perkelahian ini. Aku sudah tida k sabar lagi" "Kita saling menghormati" sahut Juwiring "yang kalah harus segera menyatakan kekalahannya dan yang menang tidak akan berbuat lebih banyak lagi. Itu agaknya syarat yang paling lunak, tetapi me madai" "Persetan?" desis anak muda yang bertubuh kekar itu, "selebihnya?" "Tida k ada. Kita sudah saling mengetahui bahwa jika kita bertanding, kita tidak boleh menggigit dan menggelitik" "Cukup" bentak anak muda yang masih ada di punggung kuda, yang semula menyongsong Buntal dan Arum "Kau menganggap ka mi seperti kanak-kanak yang baru pandai berjalan" "Bukan ma ksudku. Tetapi biarlah kita menjadi jelas pada persoalan yang sama-sama kita hadapi. Kita akan menjadi saksi" "Sekarang, kita mulai sekarang" desis anak muda yang lain.
"Kita me mbuat lingkaran. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Dan kita harus sudah mulai. Kita akan menguji siapakah yang me miliki indera lebih taja m di da la m kegelapan" Demikianlah maka anak-anak muda itupun segera me mbuat sebuah lingkaran. Mereka berdiri di atas pasir yang basah dengan hati yang berdebar-debar. "Cepat, masuk ke dala m arena" berkata salah seorang dari mereka. Bangsawan muda yang bertubuh kekar itupun segera masuk ke da la m lingkaran. Juwiring yang berdiri di pinggir lingkaran itupun ke mudian me ma nggil Buntal "Masuklah. Lawanmu sudah siap. Kita hanya ingin melihat, apakah jika kalian dibiarkan berkelahi, yang sedang me miliki ke kuasaan dan kewenangan sela lu menang " "Kau jangan sela lu menghina ka mi" bentak ana k muda yang bertubuh kekar itu. Lalu "Kenapa bukan kau saja yang me masuki arena" Kita akan berjanji bahwa kita tida k akan menyeret orang tua kita masing-masing, karena aku tahu bahwa pamanda Ranakusuma adalah seorang Senapati yang terpandang" "Kau dan aku sederajad. Jika kau menganggap dirimu me mpunyai hak dan wewenang khusus, me la mpaui hak dan wewenang anak padesan, maka akupun me mpunyainya, sehingga perkelahian di antara kita, siapapun yang menang tidak akan dapat me mberikan jawaban atas pertanyaan kita" Buntal menarik nafas dalam-dala m. Seakan-akan ia melihat Juwiring yang lain daripada Juwiring yang rendah hati di padepokan Jati Aking. Juwiring yang ada di pinggir arena itu adalah Juwiring yang agak sombong dan tinggi hati. Tetapi seperti yang sudah dikatakannya, di hadapan anak-anak muda yang bengal itu, maka Juwiringpun harus bersikap serupa. "Cepatlah, jangan ragu-ragu" berkata Juwiring kepada Buntal yang masih berdiri di te mpatnya.
Buntalpun ke mudian me langkah maju mendekati lawannya di arena. Sejenak ia me mandang wajah bangsawan muda yang bertubuh kekar. Tubuh yang memiliki ke mungkinan yang sangat baik jika bangsawan muda itu mendapat tuntunan yang tepat di dala m olah kanuragan. Karena itu, seperti yang selalu dinasehatkan oleh Kiai Danatirta, Buntal tidak me mandang rendah lawannya meskipun menurut Juwiring, anak-anak muda itu ha mpir tidak pernah menuntut ilmu apapun juga se lain berbuat bengal. "Nah, kita akan segera muliai" berkata Juwiring "Marilah kita bersama-sa ma menjadi saksi. Saksi yang jujur atas perkelahian yang ba kal terjadi" "Jangan banyak bicara bertubuh kekar. "Baik. Mulailah" Bangsawan muda yang bertubuh kekar itu mulai bergerak. Dipandanginya Buntal yang mula i samar-sa mar. Sejenak keduanya bergeser, seakan-akan ingin mene mukan kele mahan lawannya. Sepintas Buntal dapat melihat, bahwa lawannya tentu bukannya belum pernah me mpe lajari olah kanuragan. Sikapnya dan tatapan matanya mengatakan kepadanya, bahwa anak muda yang bertubuh kekar itupun tentu sudah me mpe lajari ilmu kanuragan. Dengan demikian Buntal menjadi semakin berhati-hati. Apalagi bayangan langit yang semakin bura m mengaburkan wajah anak muda yang bertubuh kekar itu. Namun ada juga baiknya bagi Buntal karena yang tampak ke mudian adalah semaca m bayangan saja yang kehitam-hita man, sehingga ia tidak melihat perbedaan yang jelas antara anak muda itu dengan orang-orang lain. di dalam gelapnya mala m, maka tidak ada lagi bedanya, bayangan seorang bangsawan dan orang kebanyakan. lagi" desis bangsawan yang
Dala m pada itu, maka sejenak ke mudian, terjadilah perkelahian itu. Sekejappun Buntal tidak berbicara sa mpai pada saatnya ia menghindari serangan yang pertama. Ternyata bahwa bangsawan muda yang bertubuh kekar itu agaknya me mang pernah me mpe lajari ilmu kanuragan. Karena itu, maka untuk beberapa saat ia masih dapat dengan dada tengadah menyerang Buntal yang masih dipengaruhi oleh perasaan segan. Namun dala m serangan-serangan itu, Buntal segera mengetahui bahwa bangsawan muda itu masih belum menguasai benar ilmu yang dipe lajarinya. Agaknya selama ini ia hanya me mbanggakan kekuatan tubuhnya yang kekar itu, sehingga tata geraknya sama sekali tida k menguntungkannya. Meskipun de mikian Buntal masih harus berhati-hati. Anak muda itu benar-benar me mpunyai kekuatan yang luar biasa. Adalah kebetulan sekali bahwa Buntalpun telah me mpelajari ilmunya dengan cara yang berbeda dengan Juwiring, yang lebih banyak menyandarkan juga pada gerak jasmaniahnya, sehingga di da la m saat tertentu, jika terjadi benturan kekuatan, Buntal ma mpu mengimbangi kekuatan lawannya. Bahkan kadang-kadang Buntal dengan sengaja tidak menghindari serangan anak muda yang bertubuh kekar itu, tetapi me mbenturnya dengan kekuatannya pula. Meskipun mala m menjadi ge lap, tetapi keduanya mampu meneruskan perkelahian itu dengan sengitnya. Mereka berganti-ganti menyerang dan bertahan. Silih ungkih, seolaholah keduanya me miliki ilmu yang seimbang. Tetapi sebenarnya Buntal segera ma mpu menguasai lawannya apabila ia menghendakinya. Ia me miliki be kal jauh lebih banyak dari anak muda yang bertubuh kekar itu. Apalagi di dala m ke la mnya mala m ketajaman penglihatannya sangat me mbantunya. Namun de mikian ada sesuatu yang menahannya untuk tidak segera memenangkan perkelahian itu. Ternyata ia mempunyai
rasa hormat pula kepada para bangsawan. Buntal masih mengharap bahwa jika ia ke mudian me nang, maka ke menangannya itu tidak terla mpau menyakitkan hati lawannya, yang kebetulan adalah seorang bangsawan. Tetapi agaknya berbeda dengan Arum. Ia dapat melihat kelebihan Buntal seperti juga Juwiring. Rasa-rasanya ia ingin mendorong anak muda itu agar segera menyelesaikan perkelahian, ke mudian dengan de mikian mereka akan meyakini kelebihan anak-anak padesan dari para bangsawan. Sementara itu, bangsawan-bangsawan muda yang menyaksikan perkelahian itupun menjadi berdebar-debar. Bagi mereka perkelahian itu adalah perkelahian yang dahsyat sekali, karena mereka melihat keduanya saling mendesak dan kadang-kadang keduanya terdorong surut oleh benturan yang keras. Namun sebenarnyalah bahwa anak muda itu menjadi heran. Kenapa bangsawan muda yang kekar itu tidak segera menguasai lawannya yang sekedar anak padesan. Mereka ingin segera melihat anak Jati Aking itu menyerah, dan ke mudian bera mai-ra mai mereka akan dapat menghinakannya. Apalagi beserta anak muda itu, datang juga Arum meskipun ia me mperguna kan pakaian seorang la ki-laki. Dala m pada itu, selagi kedua anak-anak muda itu masih saja berkelahi, ternyata ada juga seorang bangsawan muda yang tidak dapat menahan hatinya me lihat Arum justru dala m pakaian seorang laki-laki. di dalam gelap, Arum sama sekali tidak menghiraukan lagi orang-orang yang berdiri di seputar arena. Perhatiannya sepenuhnya terpusat kepada perkelahian itu, sehingga karena itu, maka ia berdiri saja tanpa prasangka terhadap bangsawan-bangsawan muda itu. Dan itulah kesalahannya. Setiap kali ia justru mendesak seseorang yang berdiri di sebelahnya, sehingga anak muda itu telah kehilangan ke ma mpuannya untuk mengenda likan dirinya.
Hampir di luar sadarnya, bangsawan muda itu menyentuh tubuh Arum. Dan adalah di luar dugaan Arum, bahwa sentuhan-sentuhan di lengan dan punggungnya itu adalah suatu kesengajaan. Ia menyangka bahwa mereka saling mendesak karena perhatian mere ka terhadap perkelahian itu. Tetapi tangan itu ternyata semakin jauh merayapi tubuh Arum, sehingga perlahan-lahan Arum mulai me mperhatikan tangan itu meskipun ia masih tetap berdia m diri saja. Akhirnya sampai saatnya, Arumlah yang tidak dapat menahan dirinya. Ketika tangan itu masih saja menjalari tubuhnya, tiba-tiba saja tangan itu telah terpilin keras-keras. Bahkan ke mudian tangan itu seakan-akan terangkat di atas bahu Arum yang merendah. Sebuah tarikan yang menghentak telah me le mparkan anak muda itu lewat di atas pundak Arum dan terbanting jatuh di atas pasir. Hal itu benar-benar telah mengejutkan. Bangsawan muda yang terbanting jatuh itu terkejut bukan kepalang. Ia menyadari dirinya setelah ia berbaring di atas pasir yang basah. Beberapa orang justru berdiri bingung dan de mikian juga Juwiring. Bukan saja mereka yang berdiri di seputar arena, bahkan mereka yang sedang berkelahi itupun terkejut pula sehingga perkelahian itu terhenti karenanya. Bangsawan muda yang terbanting itu tertatih-tatih berdiri sambil menyeringai. Tangannya rasa-rasanya akan patah dan punggungnya bagaikan retak. Meskipun de mikian ia masih mencoba untuk me mpertahankan harga dirinya Dipaksanya tangannya yang sakit itu untuk bertolak pinggang sambil menggera m. "Perempuan Gila" Ia mengumpat "Jika kau seorang lakilaki, ma ka aku patahkan tanganmu" "Cobalah" jawab Arum "Kitalah sekarang yang berkelahi di arena"
Juwiring menjadi ce mas, sehingga iapun mende katinya. Tetapi agaknya kemarahan Arum sudah sa mpa i ke puncaknya sehingga tanpa menghiraukan apapun lagi ia me langkah maju sambil berkata "Marilah kita bertindak adil. Persoalan ini adalah persoalanku dengan anak muda yang lancang itu. Sebenarnya kamilah yang harus menyelesaikannya Bukan orang la in. Bukan kakang Buntal dan bukan anak muda yang lain. Tetapi ka mi yang me mang me mpunyai persoalan. Ke mudian aku telah terpaksa me mbuka persoalan yang lain. Anak muda inipun agaknya anak muda yang lancang. Setelah perkelahian yang pertama, aku akan me lawan orang kedua ini" Bangsawan-bangsawan muda yang berdiri melingkar itu terkejut bukan kepalang. Ternyata gadis ini benar-benar me miliki sesuatu yang dapat dipercaya. Karena itulah maka merekapun menjadi termangu-mangu untuk beberapa saat. Dala m pada itu maka Juwiringpun ke mudian mendekatinya. Dengan hati-hati ia berkata "Sabarlah Arum" "Akulah yang dihinakannya. Dan akulah yang paling berhak me mbersihkan na maku" Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Ia sudah mengenal sifat Arum. Namun de mikian ia tidak dapat me mbiarkan Arum terseret oleh perasaannya. Karena itu maka katanya kemudian "Di dala m persoalan ini, kita me mpunyai cara tersendiri, Arum. Dan kita sedang mencoba mene mpuh ja lan yang paling ba ik bagi kita" "Tetapi tidak paling baik bagiku. Mungkin kakang Buntal dapat memenangkan perkelahian itu, karena seharusnya ia sudah sejak perkelahian itu dimula i, dapat menjatuhkan lawannya. Tetapi agaknya ia merasa segan melakukannya. Tetapi kemenangan ka kang Buntal adalah penyelesaian sementara bagiku. Karena apabila aku sedang berjalan sendiri dima-oapun, mungkin akan mereka jumpai, maka akan timbul
persoalan serupa menyelesaikannya"
jika aku sendiri tida k mencoba Dada Juwiring menjadi se ma kin berdebar-debar. Tetapi ia harus mencegahnya. Jika Arum tidak dapat mengendalikan diri, maka tingkah lakunya akan dapat menyinggung perasaan anak-anak muda itu sehingga persoalannya akan berke mbang semakin luas. Namun dala m pada itu, sebelum Juwiring se mpat berkata sesuatu lagi, mereka terkejut oleh suara bernada tinggi dari kegelapan, sehingga serentak mereka berpaling. Yang tampak hanyalah sebuah bayangan kehitam-hitaman yang berjalan mende kati arena itu. "Alangkah bodohnya bangsawan muda di Surakarta ini" berkata bayangan itu. Sejenak mereka termangu-mangu. Juwiring berdesis "Pa manda Hargase mi" Namun ke mudian
Dan hampir berbareng anak-anak muda yang lainpun berdesis "Pa manda Pangeran Hargasemi" Bayangan itupun menjadi sema kin de kat. Dalam keremangan mala m tampa klah seorang Pangeran yang masih muda berdiri sa mbil bertolak pinggang. Terdengar ia tertawa pendek. Lalu katanya pula "Kalian tidak melihat kenyataan yang terjadi di hadapan kalian" Bangsawan muda itupun segera mengerumuninya. Bagi bangsawan muda yang berada di pinggir bengawan itu, Pangeran Hargasemi telah me mberikan sesuatu yang rasarasanya menyenangkan. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Namun karena sehari-hari Pangeran Hargasemi merupakan kawan bermain yang baik, maka merekapun menya mbutnya dengan ge mbira. Berbeda dengan mereka adalah Juwiring. Meskipun Juwiring tida k terla mpau banyak mengenal Pangeran yang
masih muda itu, namun sedikit banyak ia pernah mendengar bahwa Pangeran Hargasemi adalah kawan yang baik bagi anak muda yang benga l itu dan terlebih-lebih lagi Pangeran muda itu adalah sahabat yang sangat dekat dengan kumpeni. Tetapi yang terlebih mendebarkan jantung, Pangeran Hargasemi me miliki ilmu olah kanuragan yang t inggi. Sejenak Pangeran Hargasemi me mandang Juwiring. Lalu katanya "Juwiring sekarang menjadi se makin ta mpan setelah ia berada di padepokan Jati Aking. Melihat anak-anak padesan itu berkelahi maka kitapun seharusnya dapat mengambil kesimpulan, bahwa Juwiring tentu memiliki ilmu kanuragan padesan yang kasar itu" Juwiring tidak menyahut, meskipun dengan susah payah ia menahan hatinya. Dala m pada itu Buntal dan Arumpun menjadi terheranheran. Mereka mendengar bagaimana bangsawan-bangsawan muda itu menyebut orang yang baru saja datang itu. Karena itu, mereka masih juga menyadari bahwa mere ka tidak dapat berbuat tanpa pertimbangan lebih jauh terhadap seorang Pangeran meskipun masih cukup muda. "Kalian ternyata terlampau dungu" berkata Pangeran Hargasemi itu "Sudah la ma aku melihat perkelahian di arena. Aku me lihat juga bagaimana gadis itu me mbanting lawannya dalam sekejap" Pangeran muda itu berhenti sejenak, lalu "seharusnya kalian menyadari bahwa kalian bukanlah lawan mereka. Anak muda yang berke lahi di arena itu sebenarnya sama seka li t idak berimbang. Anak Jati Aking itu masih menaruh hormat kepada lawannya karena lawannya adalah seorang bangsawan seperti yang dikatakan oleh gadis itu. Dan tidak ada seorangpun di antara kalian yang dapat menga lahkah gadis itu. Nah, siapa yang tidak percaya dapat mencobanya" Tidak seorangpun yang menyahut, sedang Juwiring, Buntal dan Arum masih saja berdiri termangu-mangu.
Pangeran Hargasemi mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Bagus. Kalian harus menyadari bahwa gadis itu me mang me miliki kelebihan. Karena itu, kalian tidak usah mencoba menyentuhnya jika tangan kalian tidak ingin dipatahkannya" tiba-tiba saja Pangeran Hargasemi itu tertawa. Suara tertawanya terdengar aneh dan tanpa disadarinya bulubulu kulit Arumpun terasa mere mang. "Ah, sudah mengadakan menga lahkan Juwiring, ia sayembaranya dirinya" barang tentu, gadis seperti Arum itu dapat sayembara tanding. Siapa yang dapat saudara-saudara seperguruannya termasuk akan dapat me milikinya. Atau barangkali akan berbunyi, siapa yang dapat mengalahkan "Gila" menggera m. Arum
Juwiring berpaling. Ia mencoba me mberi isyarat agar Arum mencoba menahan diri. Tetapi di dalam kegelapan isyarat itu tidak tertangkap oleh Arum. Pangeran Hargasemi masih tertawa. Katanya "Gadis itu me ma ng agak liar. Tetapi menyenangkan. He, siapa yang jatuh cinta kepadanya?" Bangsawanbangsawan muda itu saling berpandangan sejenak. Na mun suasananya tiba-tiba telah berubah dengan kehadiran Pangeran Hargasemi. Bahkan
ketika Pangeran Hargase mi tertawa lebih keras lagi, beberapa orang yang lain telah tertawa pula. "Ayo, siapa yang akan memasuki sayembara tanding" Tidak ada" Jika tidak ada, akulah yang akan me masuki saye mbara tanding itu. Dan aku akan memilih lawan yang paling tangguh. Juwiring. Tentu Juwiringlah yang paling sempurna di antara murid-murid guru olah kanuragan padesan terpencil itu. Jika aku kalah, aku menyerah meskipun aku akan dile mparkan ke dalam bengawan. Tetapi jika aku menang, aku akan mendapatkan Arum. Nah, jika aku mendapatkannya, kalian, anak-anak muda yang telah bersusah payah berkerumun di sini. tidak usah ce mas" Pangeran muda itu tertawa, dan bangsawan muda yang lainpun tertawa riuh. Lalu "Jika ayahnya marah, biarlah aku yang menyelesaikan. Jika ia me mpunyai sepasukan cantrik, aku akan me minja m tiga orang kumpeni. Tak ada orang yang dapat melawan kumpeni sekarang. Betapa tinggi ilmunya, jika tubuhnya tersentuh peluru, ma ka iapun akan mat i" "Cukup" teria k Arum yang tubuhnya menjadi ge metar "Aku akan berkelahi sa mpai mati" Tetapi Pangeran Hargasemi tertawa "Jangan mati. Aku dapat mengalahkanmu tanpa me mbunuhmu" Kemarahan Arum tiba-tiba telah me mbakar ubun-ubunnya. Tetapi dengan de mikian mulutnya justru seakan-akan tersumbat karenanya. Dala m pada itu, tanpa disadari, berbareng Juwiring dan Buntal melangkah mendekati Arum. Me mang tidak ada cara lain dari pada me mpertahankan kehormatan itu dengan apa saja yang dimilikinya. Termasuk nyawanya. Tetapi Pangeran Hargasemi tidak menghiraukannya. Katanya "Kalian akan menjadi saksi. Dan untuk itu kalian akan mendapat upah daripadaku nanti. Nanti atau besok atau lusa "
Suara tertawapun meledaklah di pinggir bengawan itu. Wajah Arum rasa-rasanya seperti tersentuh bara. Oleh ke marahan yang me muncak, maka tubuhnya menjadi gemetar. "Nah, baiklah ka lian bertiga berkelahi bersa ma-sama. Aku tidak berkeberatan" ia berhenti sejenak, lalu "Jika terjadi sesuatu atas kalian, terutama atas Juwiring, maka bukan maksudku me nyeret kemarahan Ka mas Ranakusuma. Aku tahu bahwa Juwiring menyandarkan diri kepada ka mas Pangeran, karena kamas Pangeran adalah seorang Senapati yang berpengaruh. Tetapi pengaruhnya tidak akan dapat menyentuh aku, karena seperti ka mas Pangeran, akupun me mpunyai sahabat perwira-perwira kumpeni" "Pamanda " berkata Juwiring yang sudah tidak dapat menahan hati lagi "Aku mohon maaf, bahwa jika aku menentang kehendak pa manda, bukan berarti aku menentang kehendak orang tua. Tua dalam pengertian darah, karena agaknya umur pa manda tidak jauh di atas umurku. Tetapi aku terpaksa mencegah pa manda bertindak sewenang-wenang." Pangeran Hargasemi tertawa. Katanya "Kau me mang be lum mengenal aku. Aku me miliki ke ma mpuan berkelahi melawan kau bertiga. Bahkan lipat dua sekalipun. Karena itu jangan berusaha mencegah a ku" "Pamanda. Apakah demikian contoh yang pamanda berikan kepada ka mi, anak-ana k muda ini" Pangeran yang masih muda itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelepar di sepanjang tepi bengawan. Katanya disela derai tertawanya "Jangan berbicara tentang anak-anak muda, tentang contoh yang baik dan yang buruk. Sekarang marilah kita berbicara dengan jujur. Aku ingin gadis itu. Itu adalah pengakuan yang jujur. Dan anak-anak muda me mang harus jujur"
"Itukah kejujuran yang pamanda ajarkan kepada ka mi" Juga seandainya kami ingin menga mbil Kangjeng Kia i Plered sekalipun. Karena ka mi ingin jujur, maka ka mi harus datang menghadap Kangjeng Susuhunan dan mohon untuk menga mbil tombak itu?" "Jangan banyak bicara lagi. Kau tidak dapat melawan aku dipandang dari segala segi. Derajadku lebih tinggi, karena aku Pangeran. Umurku lebih tua meskipun sedikit, dan ilmuku lebih mantap dari ilmumu. Nah, kau mau apa. Kau tidak dapat berbuat apa-apa. Aku adalah seorang Pangeran" Darah Juwiring tiba-tiba telah mendidih. Meskipun ia menyadari bahwa Pangeran Hargase mi adalah seorang anak muda yang me miliki ilmu yang hampir se mpurna, namun ia tidak me mpunyai jalan lain. Namun sekali lagi tepian itu diguncang oleh suara tertawa berkepanjangan. Suara itu datang dari sebuah rakit di pinggir bengawan. Rakit yang tiba-tiba saja berada di tempat itu tanpa diketahui kapan datangnya. Kini semua mata tertuju kearah rakit itu. Sebuah pelita minyak terletak di ujungnya. di sebelah pelita itu duduk seseorang sambil me me luk lututnya. Para bangsawan yang ada di tepian bengawan itu me njadi termangu-mangu sejenak. Seolah-olah mereka telah melihat sesuatu yang tidak sewajarnya. Suara tertawa itupun ke mudian mereda. Orang yang berada di dala m rakit itu masih duduk sambil me me luk lututnya di sebelah Pe lita minyak yang menyala. Pangeran Hargasemi yang merasa dirinya me mpunyai ke ma mpuan yang tanpa tanding di antara para bangsawan itupun ke mudian me langkah maju. Di dekatinya rakit yang berhenti di pinggir bengawan itu sambil bertanya "Siapakah kau he?"
Orang di atas rakit itu masih belum menjawab "Siapa kau, dan apakah maksudmu mengganggu ka mi yang sedang bermain-main " "Maaf Pangeran" jawab orang itu "Bukan ma ksud kami mengganggu Pangeran yang sedang berma in bersama para bangsawan muda dari Surakarta ini. Tetapi aku sangat tertarik kepada permainan yang tuan lakukan" "Apakah yang menarik perhatianmu?" telah
"Perma inan itu sendiri. Agaknya Pangeran sedang bermain kekuasaan. di sini ada dua orang anak-anak dari padesan. Seorang laki-la ki dan seorang perempuan. di antara sekian banyak bangsawan muda, bahkan ada seorang Pangeran yang masih muda pula, tetapi hanya seorang sajalah yang berpihak kepada kedua anak padesan itu. Itulah yang menarik. Menurut pendapatku permainan itu kurang adil. Bagaimana jika jumlah para bangsawan yang ada itu dibagi. Ke mudian beradu binten. Atau bantingan di atas pasir" "Siapa kau he" Apa kepentinganmu dengan permainan kami ini?" "Tida k apa-apa. Tetapi sa ma sekali t idak adil" "Kau salah. Kami tidak bersa ma-sama bermain melawan kedua anak-anak padesan itu. Justru aku me mpersilahkan mereka untuk me lawan a ku bertiga. Nah, kau dengar"
Hantu Pegunungan Batu 2 Pendekar Rajawali Sakti 158 Pasukan Alis Kuning Badai Awan Angin 4

Cari Blog Ini