Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 2
Keduanyapun kemudian meneguk air panas yang disuguhkan oleh Arum. Seteguk de mi seteguk. Na mun anganangan mereka masih saja terlambat pada persoalan keluarga Pangeran Ranakusuma. Keluarga seorang bangsawan yang kaya raya. Tetapi tidak me miliki ke mantapan berkeluarga karena seisi rumah yang selalu curiga-mencuriga i dan saling me mbenci. Sejenak ke mudian, ternyata Juwiring dan Buntal telah pulang dari sawah. Mereka langsung me nuju ke ruang belakang. Mereka sudah menduga, bahwa ayah angkat mereka, pasti sedang menerima seorang tamu karena seekor kuda tertambat di ha la man. Tetapi mereka tidak mengetahui, siapakah ta mu ayahnya itu. Baru ketika Juwiring me letakkan cangkulnya, Arum mende katinya sambil berbisik "Pa man Dipanala, kakang Juwiring" "He, Dipana la" Eh, ma ksudku pa man Dipanala?" "Ya" Juwiring mengangguk-angguk. Dipandanginya Buntal yang termangu-mangu itu sekilas. Na mun ke mudian dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh. "Sudah agak la ma ia tida k datang. Kabar apakah yang dibawanya?" "Aku tidak tahu. Paman Dipanala sedang berbincang dengan ayah. Agaknya memang ada sesuatu yang penting" Tetapi anak-anak muda itu terkejut ketika terdengar suara dipintu "Tidak. Tida k ada yang penting. Dipanala hanya sekedar menengok kesela matan Juwiring" Ternyata Kiai Danatirta telah berdiri di belakang mereka. Sambil tersenyum ia berkata "Marilah Juwiring. Ka lau kau sudah me mbersihkan diri, temuilah pa man Dipanala sejenak. Ia ingin berte mu setelah sekian la ma ia tidak datang"
Arum me nundukkan kepalanya. Tanpa diketahuinya ayahnya mendengar kata-katanya. Sedang Juwiring me mandang Kiai Danatirta dengan pertanyaan-pertanyaan yang me mbayang disorot matanya. Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu tidak terucapkan. Bahkan iapun ke mudian berkata "Baiklah ayah. Aku akan me mbersihkan diri lebih dahulu" Demikianlah Juwiring segera pergi ke pakiwan. Setelah berganti pakaian, ia segera pergi ke pringgitan untuk me ne mui Dipanala yang datang dari kota setelah agak la ma ia tidak berkunjung. Sepeninggal Juwiring, tinggallah Buntal bersa ma Arum yang berdiri termangu-mangu. Sejenak mereka saling berpandangan, namun sejenak kemudian, setelah Juwiring berada di pringgitan, dan setelah Buntal berhasil mengatasi keragu-raguannya, iapun mendekati Arum. Perlahan-lahan ia berbisik "Siapakah yang datang?" "Paman Dipanala" "Siapakah pa man Dipanala?" Ia masih me mpunyai hubungan keluarga dengan ayah" "Dengan Kiai Danatirta, eh, ayah atau dengan Juwiring" "Dengan ayah. Tetapi ia tinggal di Dale m Kapangeranan. Pangeran Ranakusuma" Buntal mengerutkan keningnya. Ia berusaha untuk mengusir keragu-raguannya sama seka li. Ia benar-benar ingin mengetahui, siapakah sebenarnya Raden Juwiring itu. Dan kali ini agaknya ada kese mpatan baginya. Kesempatan yang tidak menimbulkan kecurigaan apapun juga. "Siapakah Pangeran Ranakusuma?" bertanya Buntal. "Ayah Raden Juwiring"
"O, jadi ayahnya seorang Pangeran?" Buntal menganggukanggukkan kepalanya Ternyata Juwiring benar-benar seorang bangsawan yang masih terhitung dekat dengan istana. Ia adalah keturunan kedua dari Kangjeng Sunan. "Jadi" Buntal me lanjutkan "Apakah hubungan Juwiring dengan pa man Dipanala?" "Hubungan ke luarga yang sudah agak jauh, atau katakanlah tidak ada hubungan apa-apa, selain paman Dipanala t inggal di Dale m Kapangeranan itu" "Benar-benar tidak ada hubungan ke luarga?" Arum tidak segera menjawab. Sejenak dipandanginya pintu ruang belakang itu. Tetapi ia hanya menarik nafas panjang. Buntal tidak mendesaknya. Meskipun ia sudah dianggap sebagai saudara kandung oleh Arum, tetapi ia tidak dapat mendesaknya untuk me nceriterakan sesuatu yang agaknya tidak ingin diceriterakannya. Namun dengan de mikian Buntal kini mendapat sedikit gambaran tentang Juwiring. Meskipun ia sadar, bahwa keterangan yang didengarnya dari Arum itu baru sebagian kecil dari keseluruhan Juwiring seutuhnya, namun ia sudah mendapat alas untuk me ngetahui keadaan lebih lanjut. Dala m pada itu, Juwiring telah berada di pringgitan bersama dengan Kiai Danatirta dan Dipanala. Dengar raguragu Dipanala me nceriterakan apa yang telah terjadi di istana Kepangeranaa. Meskipun tidak se luruhnya dikatakannya agar anak muda itu tidak menjadi se makin berkecil hati, na mun Juwiring yang berotak cerah itu dapat me mbuat gambaran sendiri, apa yang telah terjadi, berdasarkan pengenalannya selagi ia masih tingga l di rumah itu. "Tida k aneh bagi ibunda Ga lihwarit apabila ia sampai hati menyingkirkan ibunda Manik dari rumah itu" berkata Juwiring sambil menahan perasaannya yang hendak bergolak "Aku
sudah menduga sejak dahulu, bahwa pada suatu saat hal itu akan terjadi" "Ya. Dan sekarang Raden Ayu Sontranglah yang paling berkuasa di ruma h itu bersa ma kedua puteranya" Juwiring menarik nafas dalam-dala m. La lu katanya "Biarlah paman. Aku t idak me mpunyai sangkut paut lagi dengan rumah itu. Aku merasa diriku lebih baik di padepokan mi. Aku tidak akan Bermimpi lagi me miliki apapun dari istana itu, meskipun hanya selembar kain atau sepotong perhiasan. Biarlah aku hidup seperti sekarang ini. Ayahku sekarang ada lah Kiai Danatirta dan aku sudah me mpunyai dua orang saudara. Bukan Rudira dan Warih, tetapi Buntal dan Arum. Dan itu sudah cukup bagiku" Dipanala me nundukkan kepalanya. Suaranya hampir t idak dapat meluncur dari se la-sela bibirnya "Itu suatu sikap terpuji Raden. Aku adalah pemomong Raden sejak kecil. Resmi atau tidak resmi. Sebenarnya ada juga sakit hatiku melihat nasib yang Raden alami. Tetapi agaknya hati Raden telah mengedap. Dan itu adalah kurnia Tuhan yang tidak ada nilainya Tentu akan jauh lebih berharga dari harta benda itu sendiri. Dengan pasrah diri Raden akan mene mukan ketenteraman. Tetapi tidak de mikian agaknya dengan harta benda itu, yang justru menimbulkan kegelisahan, dengki dan kebencian" "Karena itu pa man, namaku jangan dihubungkan lagi dengan istana Ranakusuman. Aku sekarang adalah anak padepokan Jati Aking di padukuhan Jati Sari. Aku me mpunyai banyak kawan disini. Aku dapat hidup seperti cara hidup mereka. Dan aku senang menjalaninya. Itulah yang penting. Keikhlasan hati" Tanpa sesadarnya Dipanala me mandang wajah Kiai Danatirta. Agaknya Kiai Danatirtalah yang mengajari Juwiring untuk berbicara tentang keikhlasan hati dan penyesuaian diri, sumber dari keda maian hati yang diketemukannya disini.
Namun karena itulah, maka Dipanala tida k sampai hati untuk mengusik ketenteraman itu dengan mengatakan rencana Rudira untuk masih me mbuat persoalan yang dapat menumbuhkan ketegangan ketegangan baru dengan ka kaknya. "Kalau Raden Rudira mengetahui, bahwa Juwiring tida k lagi me mpunyai nafsu untuk mendapatkan bagiannya dari warisan itu, aku rasa, ia tidak akan berbuat apa-apa lagi, karena warisan itulah pusar dari peristiwa yang berurutan terjadi di istana Ranakusuman" berkata Dipanala di dala m hati, sehingga dengan de mikian niatnya untuk mengatakan sesuatu tentang Raden Rudira telah dibatalkan. "Dipana la" yang berbicara ke mudian ada lah Kiai Danatirta "Agaknya pendirian Juwiring sudah jelas. Kau tidak usah bersusah payah mengusahakan apapun dari istana Ranakusuman. Ka mi disini me ngucapkan terima kasih atas usahamu itu. Tetapi untuk seterusnya, seandainya kau sajalah yang datang tanpa membawa apapun, sudah cukup me mbuat hati ka mi ge mbira" Dipanala mengangguk-angguk. Katanya "Kadang-kadang hati ini yang tida k dapat aku tahankan" Tetapi Kia i Danatirta tersenyum "Anakmas Juwiring yang menga la minya langsung telah berhasil mengendapkan
perasaannya. Tentu kau juga dapat mengendapkan perasaan itu" "Ya kakang. Aku akan mencoba. Tetapi ada beberapa soal yang selalu mengungkat perasaan ini. Ka mi, yang sudah tinggal bertahun-tahun di Dale m Kapangeranan, masih selalu merunduk-runduk apabila ka mi naik ke pendapa, apalagi apabila Pangeran Ranakusuma atau salah satu dari isteriisterinya ada di pendapa. Ka mi selalu berjalan sa mbil berjongkok, ke mudian duduk bersila sambil menundukkan kepala dala m-da la m setelah menye mbah. Tetapi kini, orangorang asing itu dengan tanpa ragu-ragu lagi naik ke pendapa masih juga me makai alas kakinya yang kotor. Duduk tanpa menghiraukan adat dan kebiasaan ka mi. Bahkan kadangkadang mereka berkelakar tanpa batas. Tertawa berkepanjangan sehingga terdengar sa mpai ke se luruh kota" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Ketika tanpa sesadarnya ia me mandang wajah Juwiring, terasa sesuatu bergolak di dada anak muda itu. Wajah anak muda itu menjadi merah padam. Dengan susah payah Juwiring berusaha untuk menahan perasaannya. Ditundukkan wajahnya dalam-dala m untuk menye mbunyikan kesan yang me lonjak. Na mun kesan itu tertangkap pula bukan saja oleh Kiai Danatirta, tetapi juga oleh Ki Dipanala. Bahkan akhirnya Juwiring tidak dapat bertahan lagi, dan me luncurlah pertanyaannya yang tertahan-tahan "Sampai kapan hal itu a kan terus terjadi?" Ki Dipana la mengge lengkan kepalanya. "Rumah ka mi sudah menjadi kandang sa mpah yang paling kotor. Orang-orang asing itu telah menodai ruma h itu dengan segala maca m kejahatan dan kemaksiatan. Agaknya ayahanda Pangeran adalah seorang laki-la ki yang le mah hati. Yang silau oleh kilatan benda-benda duniawi. Termasuk harta benda dan perempuan"
"Sudahlah anakmas Juwiring" berkata Danatirta "Jangan hiraukan lagi apa yang terjadi. Bukankah kau sudah me mutuskan di da la m hatimu untuk tidak mengaitkan diri lagi dengan rumah itu?" "Ya ayah. Aku sudah memutuskan. Tetapi apakah aku dapat melepaskan diri dari gangguan perasaanku, bukan oleh harta warisan, tetapi oleh kesamaan warna kulit dan rambut ini" Bahwa ada di antara kita yang telah menjual harga dirinya kepada orang-orang asing itu untuk se kedar mendapatkan harta dan benda" Apalagi orang-orang yang telah berbuat demikian itu adalah orang-orang yang bersangkut paut dengan aku. Orang-orang yang berhubungan darah dengan aku. Aku dapat memutuskan segala ikatan lahiriah. Tetapi siapa yang dapat memutuskan hubunganku dengan ayahanda, hubungan antara ayah dan anak?" Ki Dipanala hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sebenarnya hatinya sendiri juga terbakar setiap kali ia melihat orang-orang asing yang berkeliaran di pendapa Kapangeranan tanpa menghiraukan tata kesopanan dan adat. Siang maupun mala m" Tetapi Kiai Danatirtalah yang selalu berusaha menekan perasaan yang bergolak itu. Katanya "Sudahlah. Persoalan itu bukan persoalan kecil Bukan se kedar persoalan kita. Persoalanku, persoalanmu dan persoalan istana Ranakusuman. Tetapi persoalan itu adalah persoalan Surakarta. Kita harus mene mukan saluran yang tepat, apabila kita ingin ikut berbicara tentang orang-orang asing itu" Juwiring menundukkan kepalanya semakin dala m. Dadanya serasa terbakar. Tetapi ia masih berusaha untuk mendinginkan darahnya. Ia sadar, bahwa Kiai Danatirta berkata sebenarnya. Persoalan itu bukan persoalan satu dua orang. Tetapi persoalan itu ada lah persoalan Sura karta. Sehingga karena itu, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa seorang diri. Atau katakanlah dengan ke lompok yang kecil.
Mungkin ia akan dapat berbuat sesuatu di rumahnya. Tetapi itu bukan penyelesaian bagi orang-orang asing. Itu hanya sekedar penyelesaian masalahnya sendirinya. Masalah pribadinya. Namun de mikian, orang-orang asing itu masih tetap menjadi persoalan di dala m hatinya. Sekilas ia teringat kepada ceritera Buntal, bahwa di rumah Tumenggung Gagak Barongpun orang-orang asing itu berbuat sesuka hatinya. Tentu juga seperti yang dila kukan di rumah Ranakusuma n. "Se makin banyak orang yang kehilangan pribadinya" berkata Juwiring di dala m hati. Namun dala m pada itu Juwiring mengangkat wajahnya ketika Kiai Danatirta berkata "Sudahlah Juwiring. Kalau kau ingin beristirahat, beristirahatlah. Pamanmu akan bermala m disini mala m nanti" Kia i Danatirta berhenti sejenak sa mbil me mandang wajah Dipanala, la lu "Bukankah begitu?" Dipanala mengerutkan keningnya. Namun ke mudian iapun tersenyum "Baiklah kalalu kakang menghendaki. Aku me mang sedang mendapat waktu ist irahat. Bahkan semakin sering aku minta waktu untuk beristirahat, orang-orang di istana Ranakusuman akan menjadi se makin senang. Mereka dapat berbuat apa saja tanpa ada yang mengganggunya" "Jadi sebagian besar dari orang-orang di rumah itu sudah dimabukkan oleh kepuasan lahiriah?" bertanya Juwiring. Dipanala mengangguk. Na mun cepat-cepat ia berkata "Tetapi sudahlah. Aku akan bermala m disini. Nanti ma lia m kita akan dapat berbicara panjang" Juwiringpun mengangguk-angguk. Kemudian katanya "Silahkan pa man duduk. Aku akan beristirahat di bela kang" "Silahkan, silahkan" Dipanalapun me ngangguk-angguk pula. Juwiringpun segera meninggalkan pringgitan. Sementara
Kiai Danatirta dan Ki Dipanala masih berbicara tentang berbagai maca m persoalan. "Dipana la" yang berbicara ke mudian adalah Kiai Danatirta "Agaknya pendirian Juwiring sudah jelas. Kau tidak usah bersusah payah mengusahakan apapun dari istana Ranakusuman. Ka mi disini me ngucapkan terima kasih atas usahamu itu. Tetapi untuk seterusnya, seandainya kau sajalah yang datang tanpa membawa apapun, sudah cukup me mbuat hati ka mi ge mbira" "Aku tidak sampa i hati merusak keda maian hatinya kakang" berkata Ki Dipanala "peristiwa yang terjadi di istana Ranakusuman sudah me mbuatnya gelisah. Tetapi aku kira ia akan segera dapat meletakkan masalah itu pada tempat dan keadaan yang wajar. Tetapi yang menyangkut langsung dirinya sendiri benar-benar tida k dapat tertuang sa ma sekali" "Maksudmu?" "Niat Raden Rudira. Aku tidak tahu pasti, apakah sebabnya Raden Rudira masih saja ingin mene mui ka kaknya yang sudah terasing itu" Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu "Aku tidak mau me mbuatnya selalu dala m kece masan" "Biarlah aku yang akan mengatakannya kelak" berkata Kiai Danatirta "Tetapi a ku harus me mpertimbangkan waktu" Demikianlah keduanya masih terus berbicara dari satu soal ke soal yang lain. Sedang sementara itu, Juwiring telah berada di ruang belakang. Betapa ia mencoba menyembunyikan perasaannya, namun Buntal dan Arum dapat menangkap, bahwa sesuatu sedang bergolak di hatinya" Tetapi baik Buntal maupun Arum tida k segera bertanya kepadanya. Dibiarkannya Juwiring mendekati mereka dan duduk diatas a mben ba mbu yang panjang.
Arum dan Buntal hanya saling berpandangan sejenak. Namun merekapun ke mudian menundukkan kepa la mereka pula. Juwiring me narik nafas. Dan tiba-tiba saja ialah yang pertama-tama berbicara "Me mang ada hal yang penting, Arum" Arum me ngangkat wajahnya. De mikian juga Buntal. "Jadi persoalan itu me mang ada?" bertanya Arum. "Ya. Persoalan itu me mbuat hatiku menjadi pepat. Aku ingin mengurangi beban itu sedikit. Apakah aku dapat mengatakannya kepada ka lian meskipun persoalannya tidak menyangkut kalian sa ma seka li?" "Tentu menyangkut. Persoalan yang menyangkut salah sedang dari kita, akan menyangkut kita se mua" Juwiring mengangguk-angguk. Tetapi suaranya yang datar me luncur dan sela-sela bibirnya "Ya, begitulah, Tetapi persoalan ini adalah persoalan keluarga ku yang sebenarnya sudah ingin a ku lupakan" "O" desis Buntal "Tetapi kalau kau t idak berkeberatan, ceriterakanlah" Dengan singkat Juwiring berceritera tentang keadaan rumah yang ditinggalkannya. Tetapi ceriteranya ditekankannya kepada kehadiran orang-orang asing yang seakan-akan lebih berkuasa dari orang-orang yang sudah bertahun-tahun menghuni rumah itu. "Jadi orang-orang asing itu juga yang me mbuat ayahanda Pangeran Ranakusuma semakin gelap hati" berkata Juwiring "Agaknya mereka telah menyusup ke setiap sudut kota Surakarta. Kalau orang-orang di istana. Susuhunan lengah, maka akhirnya istana itupun akan segera dikuasainya"
Buntal mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata "De mikian juga di istana Tumenggung Gagak Barong. Aku juga me lihat ha l yang serupa" "Tentu tidak hanya di istana Tumenggung Gagak Barong dani istana ayahanda Ranakusuma. Tentu di rumah-rumah Kapangeranan yang lain. Di rumah Bupati Nayaka, di rumah setiap bangsawan di Surakarta" Buntal tida k menyahut. Pengetahuannya tentang para bangsawan me mang sangat terbatas. Tetapi karena ia pernah tinggal di rumah seorang bangsawan, maka ia dapat me mbayangkan apa yang. sudah terjadi di rumah-rumah yang besar dan megah itu. Makan minum, gelak tertawa yang tidak tertahankan, mabuk dan akhirnya mereka terkapar tidur setelah muntahmuntah. Tetapi itu adalah peristiwa-peristiwa sesaat. Yang lebih mengerikan, apakah yang telah terjadi di balik peristiwaperistiwa sesaat itu. Tetapi seperti kata-kata Kiai Danatirta, Juwiringpun berkata "Na mun de mikian, itu bukan persoalan kita seorang de mi seorang. Itu adalah persoalan Surakarta. Karena itu, kita harus mendapatkan saluran untuk me nyatakan hati kita" "Saluran?" bertanya Buntal. "Ya. Tentu saluran. Bukan kita berbuat sendiri-sendiri. Itu tidtak akan berguna dan hanya akan me mbuang waktu dan tenaga, bahkan mungkin jiwa kita" Buntal mengangguk-angguk. Me mang tidak mungkin untuk berbuat sendiri-sendiri. Tetapi kalau mereka harus mencari saluran, dimanakah mere ka akan me ndapat" Tetapi Buntal tidak bertanya. Ia kadang-kadang lebih senang berteka-teki kepada diri sendiri daripada melepaskan pertanyaan. Rasa-rasanya sangat berat untuk bertanya
sesuatu. Ia masih merasa dirinya terlalu bodoh, sehingga mungkin pertanyaannya justru salah. Demikianlah, di mala m harinya, Dipanala benar-benar bermala m di padepokan itu. Mereka, seisi rumah itu, sempat duduk dan berbicara panjang lebar dengan Ki Dipanala. Bukan saja Juwiring, tetapi juga Arum dan Buntal yang mendapat kesempatan me mperkenalkan dirinya. Tetapi mereka tidak me mbicarakan masalah-masalah yang dapat menegangkan perasaan. Mereka berbicara tentang keadaan mereka seharihari, tentang sawah dan ladang, air dan ternak. Di pagi harinya Ki Dipanala minta diri kepada keluarga Jati Aking. Ia masih tetap tidak dapat mengatakan sesuatu tentang Rudira yang agaknya masih belum puas melihat kakaknya tersingkir sa mpa i ke padukuhan Jati Sari. Sepeninggal Ki Dipana la, maka. Kiai Danatirtalah yang me mberikan banyak petunjuk kepada Juwiring dan Buntal. Seperti yang disanggupkan, ia a kan me mberi tahukan, meskipun sa mar-samar, bahwa ia harus tetap berhati-hati terhadap adik seayahnya, Raden Rudira. "Juwiring" berkata Kiai Danatirta "sebenarnya pamanmu Dipanala tidak ingin mengatakan apa yang terjadi di Dalem Ranakusuman. Tetapi kadang-kadang perasaannya yang ingin mendapatkan saluran itu tidak tertahankan lagi. Tanpa disadarinya masalah-masa lah yang semula akan tetap disimpannya di dala m hati. agar hatimu tidak menjadi sema kin sakit itu, sedikit de mi sedikit telah terloncat keluar. Apalagi tanggapanmu yang taja m telah me ma ncing se mua persoalan. Tetapi ingat, jangan cepat berbuat sesuatu. Masalah yang kau hadapi adalah satu segi dari rangkaian masalah yang besar" Juwiring yang me mang sudah menyadari keadaan sepenuhnya itupun menganggukkan kepalanya. Sementara Kiai Danatirta berkata seterusnya "Namun ada juga sangkut pautnya dengan masalahmu sendiri. Kau harus tetap berhatihati. Raden Rudira adalah adikmu. Tetapi di dala m persoalan
ini, ia berdiri berseberangan dengan kita semua. Ia bergaul rapat dengan orang-orang asing, dan ia dalah putera dari Raden Ayu Galihwarit" "Aku mengerti ayah" jawab Juwiring. "Sokurlah. Tetapi tanggapanmu jangan berlebih-lebihan. Mungkin hatinya tidak sejahat yang kita sangka" Juwiring hanya dapat menarik nafas dalam-dala m. Ia masih belum dapat me mbayangkan, betapa warna ini dada adiknya itu yang sebenarnya. Namun se muanya itu telah mendorong Juwiring untuk berbuat lebih banyak. Bersama-sama dengan Buntal dan Arum mereka telah mene mpa diri sejauh-jauh dapat mereka lakukan. Ketiga anak-anak muda itu berkeputusan, bahwa apapun yang akan mereka lakukan, na mun mereka harus mengumpulkan bekal sebaik-baiknya. Dan bekal yang paling baik menurut pertimbangan mereka adalah olah kanuragan. Demikianlah ke melutnya hati anak-anak muda itu me mbuat mereka se makin cepat maju. Rasa-rasanya dari hari demi hari, hati mereka menjadi se makin panas seperti panasnya udara Surakarta, sejak orang kulit putih se makin berpengaruh. Beberapa orang bangsawan benar-benar telah terbius oleh kesenangan lahiriah yang dibawa oleh orang-orang asing itu, sehingga la mbat laun, semakin tipislah kesetiaannya kepada tanah tempat mereka dilahirkan. Hubungan yang akrab me mbuat mere ka melupa kan batas yang ada di antara para bangsawan itu dengan orang-orang asing. "Apa salahnya kita saling berhubungan" berkata seorang bangsawan kepada seorang pelayannya "manusia di dunia me mpunyai ikatan hakekat yang sama. Merekapun mengatakan bahwa bagi mere ka tidak ada lagi batas-batas di antara manusia sedunia. Mereka datang dengan hikmah persaudaraan"
Pelayan-pelayannya hanya mengangguk-angguk, saja, karena mereka sa ma sekali tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Tetapi karena mereka ikut pula menikmati kesenangat duniawi yang melimpah ruah, maka merekapun mengiakannya dengan sepenuh hati. Tetapi para bangsawan yang tinggal di batas-batas dinding yang tinggi, di hala man yang luas dan bersih, yang sema kin la ma menjadi se makin cerah karena mereka mendapatkan hadiah-hadiah yang merupakan barang-barang baru bagi rumah-rumah dan istana-istana mereka, sama seka li tidak me lihat apa yang telah terjadi di padesan dan di padukuhan kecil. Rakyat yang merasakan langsung penghisapan yang mulai terjadi diatas tanah kelahiran ini. Ternyata mereka yang mengatakan, bahwa kedatangan mereka adalah atas dorongan persaudaraan manusia yang tanpa batas itu. sebenarnya mempunyai kepentingan yang besar bagi mereka. Bagi satu pihak dari yang dikatakannya tanpa batas itu. Dan merekalah yang mendapatkan keuntungan terbesar dari suasana yang mereka ke mbangkan suasana tanpa ada batas, suasana tanpa jarak. Karena apa yang mereka katakan itu bukan kata nurani mereka yang sebenarnya, sehingga sikap orang-orang asing di Surakarta itu sama seka li hukan suatu sikap yang jujur. Untunglah, bahwa tidak se mua bangsawan terbius oleh keadaan itu. Ada juga bangsawan yang menyadari keadaan yang sebenarnya. Yang merasakan betapa janggalnya keadaan Surakarta pada saat itu. Ternyata bahwa perpindahan istana dari Kartasura ke Surakarta sama seka li t idak me mbawa hikmah apapun juga. Bahkan sinar yang me mancar dari keagungan Susuhunan Paku Buwana, semakin la ma menjadi se makin suram. Salah seorang yang memandang keadaan itu dengan tajam adalah seorang Pangeran yang berhati bening. Pangeran Mangkubumi.
Kepadanyalah beberapa bangsawan yang tidak dapat menerima keadaan yang berkembang itu meletakkan harapan. Kepadanyalah mereka berharap, agar pada suatu saat, lahir suatu sikap yang dapat menyela matkan Sura karta. Tetapi Pangeran Mangkubumi bukan seorang yang berhati panas. Ia masih ma mpu menila i keadaan dengan tenang. Setiap tindakan diperhitungkannya sebaik-baiknya, agar ia tidak terjerumus ke dala m suatu tindakan dan pengorbanan yang sia-sia. Karena itulah, maka tidak jarang Pangeran Mangkubumi itu berusaha melihat dengan mata kepala sendiri, kehidupan yang sebenarnya dari rakyat Surakarta, yang la mbat laun menga la mi masa surut yang parah. Berlawanan dengan Pangeran Mangkubumi, maka beberapa orang bangsawan berusaha menikmati hidup mereka sebaik-baiknya tanpa menghiraukan nasib siapapun. Seandainya mereka pergi ke luar kota, mereka, sama seka li tidak ingin me lihat dan tidak mau me lihat kehidupan rakyat yang sebenarnya. Adalah menjadi kebiasaan mere ka pergi berburu. Mereka sengaja me mbiarkan beberapa bagian dari hutan yang dibuka menjadi tanah garapan. Hutan-hutan itu mereka pergunakan sebagai daerah perburuan yang mengasikkan. Demikianlah, ketika orang-orang Jati Sari sibuk dengan kerja mereka di sawah dan ladang, mereka dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda yang berlari-lari di jalan persawahan menyusuri bulak yang panjang. Namun orangorang Jati Sari itupun ke mudian tidak me nghiraukannya lagi, karena mereka telah mengenal, bahwa iring-iringan orang berkuda itu adalah iring-iringan beberapa orang yang pergi berburu. Dan salah seorang atau dua orang dari mereka adalah bangsawan.
Hanya beberapa orang sajalah yang masih se mpat me lihat seorang anak muda yang gagah berkuda di paling depan, dan di bela kangnya beberapa orang pengawalnya mengiringnya. Arum yang kebetulan berjalan di lorong itu pula me mbawa makanan untuk Juwiring dan Buntal yang sedang be kerja di sawah, dengan tergesa-gesa menepi. Namun dengan demikian, sejenak ia tegak berdiri me mandang anak muda yang berkuda di paling depan. Dadanya berdesir ketika ia me lihat wajah anak muda itu. Begitu mirip dengan wajah Juwiring. Namun Arumpun segera me ma lingkan wajahnya. Tidak seorangpun yang berani me mandang wajah seorang bangsawan apalagi ia sedang me mandang pula. Tetapi Arum terperanjat ketika ia sadar, bahwa kuda yang paling depan itu tiba-tiba saja berhenti. Dengan demikian, kuda-kuda yang berada di belakangnyapun berhenti pula dengan tiba-tiba, sehingga beberapa di antaranya meringkik dan berdiri diatas dua Kaki bela kangnya, karena kendali yang terasa menjerat leher. Sejenak Arum mengangkat wajahnya. Tetapi ketika matanya bertatapan dengan sorot mata anak muda yang berada diatas punggung kuda itu, kepalanyapun segera tertunduk. "He, siapa kau anak manis?" terdengar suara anak muda yang berada di punggung kuda itu. Arum bingung sejenak. Ia tidak pernah berhubungan dengan orang-orang yang masih asing baginya. Sehari-hari ia hanya berada di rumahnya, di padepokan Jati Aking atau di sawah. Sekali-sekali ia pergi ke pasar. Tetapi jarang seka li seorang Laki-laki langsung menegurnya. "Kenapa kau malu" Angkatlah wajahmu. Pandang aku. Dan jawablah pertanyaanku. Siapa na ma mu?"
Kata-kata yang mengalir itu seolah-olah merupa kan pesona yang tidak dapat dielakkan, sehingga ha mpir tanpa disadari ia menjawab "Na ma ku Arum" "Arum" ulang anak muda yang berkuda itu "na ma yang bagus sekali. Dimana rumahmu he?" Arum tidak segera menjawab. Tetapi kepa lanya sajalah yang kini justru tertunduk dala m. "Dima na rumahmu?" Arum masih tetap dia m saja. Namun terasa bulunya berdiri ketika anak muda itu tibatiba saja meloncat turun dari kudanya. Arum sa ma seka li tidak berani mengangkat wajahnya. Bahkan ia beringsut mundur beberapa jengkal, sehingga hampir saja ia terjatuh ke da la m parit. Karena iring-iringan itu berhenti di tengah bula k, maka kini seluruh perhatian orang-orang yang ada di sawah itupun tertuju kepada anak muda yang ke mudian sudah berdiri dimuka Arum. "Kau belum menjawab pertanyaanku" berkata anak muda itu. Tetapi Arum tetap dia m. Hatinya menjadi se makin kecut ketika ia menyadari, bahwa orang-orang yang lainpun telah turun pula dari kuda mereka. "Jangan takut dan jangan malu. Aku tidak apa-apa. Aku hanya terpesona oleh kecantikanmu. Me mang gadis-gadis padesan justru me mpunyai paras yang cantik, yang jarang dikete mukan pada wajah-wajah gadis bangsawan. Ciri-ciri yang lain, menumbuhkan perhatian yang lain pula pada gadisgadis padesan seperti kau. He, dimana rumahmu?" Arum menjadi ge metar ketika anak muda itu berdiri semakin dekat. Di dala m keadaan itu, sama sekali tidak terlintas di dalam angan-angannya untuk melawan. Untuk
me mperguna kan ilmu kanuragan yang telah dipelajarinya, karena pada pendapatnya, tidak seorangpun yang dapat me lawan seorang bangsawan. Bahkan ia pernah, mendengar ceritera, tentang gadis-gadis desa. yang terpaksa menjadi selir di istana-istana Pangeran dan bahkan bangsawan-bangsawan di dala m urutan drajat yang lebih rendah. Seorang cucu Susuhunan misa lnya. Karena itu maka hatinyapun menjadi semakin kecut. Tetapi ketika tangan anak muda itu meraba pipinya, dengan, gerak naluriah, Arum me loncat mundur. Meskipun ia berdiri me mbelakangi parit, tetapi tanpa disadarinya, ke ma mpuan olah kanuragannya lelah mendorongnya me lompati parit itu tanpa berpa ling. "He" anak muda itu tiba-tiba terpekik. Wajahnya menjadi cerah seperti anak-anak mendapat ma inan. Dengan nada tinggi ia berkata "Lucu sekali. Kau dapat meloncati parit ini tanpa memutar tumbuhmu. Bukan main. Ha mpir tidak masuk akal bagi seorang gadis desa seperti kau. Coba ulangi seka li lagi. Aku senang sekali melihat. Ternyata selain cantik, kau adalah seorang gadis yang sangat lincah. Seandainya kau seekor burung, kau tidak sele mbut burung perkutut. Tetapi kau selincah burung branjangan. Dan aku me mang lebih senang burung branjangan dari burung perkutut yang seperti mengantuk sepanjang hari" Tetapi dada Arum menjadi se makin berdebar-debar. Ia menjadi se makin bingung, apakah yang akan dila kukannya. "Jangan takut. Aku tidak a kan marah" Wajah Arum menjadi se makin pucat. Hampir saja ia terduduk le mas. 0oo0dw0oo0
Karya SH MINTARDJA Bunga Di Batu Karang Editor : Dino Jilid 02 DAN anak muda itu berkata terus "Aku tida k akan marah anak manis, meskipun kau telah melanggar adat. Meskipun kau tidak berjongkok ketika aku lewat. Setiap orang yang berada di jalan yang sama yang dilalui seorang bangsawan harus berjongkok. Tetapi kau tidak. Tetapi aku tidak marah" Arum telah benar-benar kehilangan aka l. Ha mpir saja ia me loncat berlari di sepanjang pematang, tetapi niatnya diurungkan. Bahkan mulutnya tampa k bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah katapun yang ke luar Dala m pada itu, selagi semua orang me mandang Arum yang pucat, tiba-tiba anak muda bangsawan itu bersama pengiringnya terkejut ketika mereka mendengar suara di belakang mereka "Hanya apabila seorang Raja yang lewat, maka setiap orang harus berjongkok. Tetapi tidak bagi kau. Tidak ada keharusan berjongkok bagi rakyat yang paling rendah derajadnya sekalipun" Serentak orang-orang yang datang berkuda itu berpaling. Darah mereka tersirap ketika mereka melihat seorang anak muda yang kotor karena lumpur berdiri menjinjing sebuah cangkul. Namun dari sorot matanya, memancar wibawa yang
tidak kalah tajamnya dari anak muda yang berkuda di paling depan. Bahkan dengan suara gemetar terdengar anak muda yang bertanya kepada Arum itu berdesis "Ka mas Juwiring" "Ya adimas Rudira" Sejenak kedua anak muda itu saling berpandangan. Dari sorot mata keduanya me mancar pengaruh yang dalam. Namun sejenak kemudian anak muda yang bernama Rudira itu me ma lingkan wajahnya. Untuk melepaskan ketegangan di hatinya ia bertanya kepada seorang pengiringnya "He, bukankah ia ka mas Juwiring?" "Ya tuan. Ya, ia adalah Raden Juwiring" "Kebetulan seka li ka mas" berkata Rudira "Aku me mang ingin mene mui ka mas Juwiring. Sudah lama aku tidak bertemu dan aku merasa rindu karenanya. Aku hanya mendengar bahwa kamas berada di padepokan Jati Aking. Apakah kita sudah berada dekat dengan padepokan Jati Akjng?" "Bertanyalah kepada pengikut mu. Mereka tahu dimana Jati" Aking dan dima na Jati Sari" Rudira mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia tersenyum "Ka mas masih sekeras dahulu. Tetapi sekarang kamas menjadi bertambah hitam. Apalagi pakaian dan tubuh kamas kotor karena lumpur" "Lumpurlah yang me mberikan ma kan kepada kita. Kepadaku dan kepada mu. Kepada orang-orang kota. Dan lumpur ini pulalah yang telah menarik perhatian kumpeni itu, karena lumpur ini ada lah lumpur yang sangat subur" "O" sekali lagi Rudira mengerutkan keningnya "benar. Tetapi tanpa menyentuh lumpur itu sendiri, aku dapat menga mbil hasil dari kesuburannya, Seperti kamas lihat, akupun makan sehari tiga kali. Dan barangkali apa yang aku petik dari hasil lumpur yang subur itu jauh lebih banyak dari
yang kamas peroleh meskipun ka mas langsung bergulat dengan lumpur yang subur itu" "Ya" Juwiring mengangguk "Kaupun benar. Inilah yang aku sebut harga diri. Aku maka hasil keringatku sendiri meskipun sedikit. Tetapi kau tidak" "Itupun wajar sekali" sahut Rudira "Tidak se mua orang harus turun ke sawah. Tidak se mua orang di dala m suatu negeri harus menjadi petani. Pasti harus ada pekerjaan la in. Pemimpin pe merintahan, prajurit, Adipati dan para Abdi Dale m. Tidak sewajarnya para bangsawan harus mencangkul sendiri" Rudira dia m sejenak, lalu "Seperti kau, kamas. Kau tidak usah turun ke sawah. Meskipun ka mas berada di padepokan untuk me mpe lajari ilmu kajiwan dan kasa mpurnan, tetapi kamas tida k perlu makan dari keringat sendiri. Ka mas seorang bangsawan. Kamas dapat me merintahkan apa saja yang kamas perlukan. Dengan mengotori diri sendiri ka mas akan merendahkan derajad kebangsawanan ka mas, dan mence markan na ma keluarga Ranakusuma " "Adimas Rudira, manakah yang lebih ce mar. Berdiri diatas lumpur yang kotor tetapi bersih atau berdiri diatas permadani yang bersih tetapi kotor" Rudira mengerutkan keningnya. "Apakah kau tidak menyadari" Apakah arti kedatangan kumpeni setiap kali ke rumah kita. Ke istana Ranakusuman" Kenapa?" "O. Kamas me mang benar-benar harus me mpe lajari ilmu kasampurnan. Ka mas masih me mbatasi diri dala m hubungan manusia. Apa salahnya kita bersahabat dengan setiap orang di muka bumi" "Kita me mang harus bersahabat dengan manusia di seluruh sudut bumi. Tetapi tanpa mengorbankan diri sendiri. Kalau kau bersedia bersahabat dengan setiap orang di muka bumi,
kenapa justru kau terla mpau jauh dari manusia yang hidup di sekitarmu. Manusia yang setiap hari bergulat dengan lumpur?" Rudira terdiam semburat merah. sejenak. Namun wajahnya menjadi
Tetapi ternyata anak muda itu pandai bersa mu-dana. Sejenak ke mudian iapun tersenyum sambil berkata "Sudahlah. Kita tidak usah me mbicarakan masalah-masa lah yang kurang sesuai bagi kita. Marilah kita berbicara tentang keadan yang kita hadapi ini" Rudira berhenti sejenak, lalu "Ka mas, aku sangat tertarik kepada gadis Jati Sari ini" Tanpa disadari terasa darah Juwiring menggelepar. Tibatiba saja ia berpaling. Ketika terpandang wajah Buntal yang berdiri di sa mpingnya, Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Wajah itupun menjadi tegang. "Siapakah gadis ini ka mas" Ka mas yang sudah lama tinggal di Jati Sari, pasti mengena lnya. Agaknya akupun pada suatu saat harus me mpelajari ilmu kajiwan di Jati Aking seperti kamas Juwiring" Juwiring menarik nafas ,dalam-dala m. Katanya "Gadis itu adalah gadis padepokan Jati Aking" "He" Rudira terkejut. "Ia adalah gadis padepokan ka mi. Ia adalah anak Kiai Danatirta" "O" Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya "pantas. Pantas, bahwa gadis itu gadis padepokan. Bukan gadis padesan biasa" Tiba-tiba saja dada Buntal menjadi pepat. Ia tidak mengerti, kenapa hatinya menjadi sangat gelisah ketika ia mendengar seorang anak muda yang me muji kecantikan Arum.
"Ia adalah adikku" berkata Buntal di dala m hatinya. Tetapi ada perasaan lain dari perasaan itu. Dari perasaan seorang kakak kandung terhadap adiknya Dala m pada itu Juwiring berkata "Sudahlah adimas Rudira. Jangan menjadi tontonan disini. Kalau kau akan pergi berburu, pergilah. Aku melihat kau me mbawa busur dan anak panah. Demikian juga pengiring-pengiringmu. Di hutan perburuan itu me mang banyak sekali kijang" "O" Rudira mengangguk-angguk "Ya. Ka mi me mang akan berburu. Tetapi buruanku ternyata sudah ada disini" Darah Buntal tersirap mendengar kata-kata iitu. Bukan saja Buntal tetapi juga Juwiring. Apalagi ketika ia melihat Rudira tertawa sambil berpaling kepada Arum yang berdiri ketakutan. "Ka mas" berkata Rudira "Marilah, antarkan aku ke padepokan Jati Aking. Sudah la ma aku ingin mengenal padepokan itu. Aku juga mulai me mikirkan tentang masa depanku. Dan agaknya aku ingin juga belajar ilmu kajiwan dan ilmu kasampurnan. Mungkin juga ilmu-ilmu yang lain yang berhubungan dengan pemerintahan. Aku dengar Kiai Danatirta juga seorang yang mumpuni di dala m ilmu kasusastran" Tetapi Juwiring mengge lengkan "Pekerjaanku be lum selesai" kepalanya. Katanya
"O. kalau begitu biarlah gadis itu mengantarkan aku ke padepokan ayahnya" "Kau lihat bahwa ia baru datang" Ia me mbawa makan dan minumanku. Setiap hari ia pergi ke sawah apabila aku ada di sawah. Jangan kau ganggu anak itu. Biarlah ia me lanjutkan pekerjaannya" Rudira me mandang Juwiring dengan tatapan mata yang mulai menyala. Tiba-tiba saja ia berkata "Kamas Juwiring. Kau tidak berhak menghalang-ha langi aku. Aku dapat berbuat
sesuka hatiku. Apalagi rakyat kecil seperti Arum dan ayahnya Sedang kaupun tidak berhak mencegah aku" "Aku tidak menghalang-halangi. Aku hanya minta, kau jangan mengganggu kerjaku dari kerja anak itu. Kalau kau akan pergi ke padepokan Jati Aking pergilah. Setiap orang tahu dimana te mpatnya. Dan kau dapat bertanya kepada mereka. Bahkan kau dapat me ma ksa mereka dengan gelar kebangsawananmu untuk mengantarkan kau. Tetapi tidak aku dan tidak gadis itu" Wajah Rudira menjadi merah semerah matanya. Selangkah ia maju sa mbil berkata "Ka mas jangan menghina aku di hadapan rakyat Surakarta. Aku dapat bertindak tegas. Aku adalah seorang bangsawan penuh. Ayahku seorang bangsawan dan ibuku seorang bangsawan pula. Kau" Benar kau putera ayahanda Ranakusuma, tetapi ibumu adalah seorang gadis yang lahir di antara rakyat kecil" "Tetapi aku me mpunyai harga diri. Ibuku tida k pernah mimpi untuk menjadi seorang puteri bangsawan, seperti aku juga. Apalagi bermimpi untuk menjual harga diri kepada orang asing berapapun ia akan me mbelinya" "Ka mas" potong Rudira "Jangan menghina keluarga kita sendiri. Seandainya kau terasing dari keluarga kita karena pokalmu sendiri, namun jangan menjadi pengkhianat bagi keluarga Ranakusuma " "Bukan aku yang berkhianat. Justru aku ingin me mpertahankan martabat ayahanda Ranakusuma sebagai seorang bangsawan dari Surakarta. Kalianlah yang telah berkhianat, karena kalian telah menjual na ma dan keagungan kebangsawanan kepada orang asing itu" "Cukup" bentak Rudira "sebenarnya aku tidak ingin bertengkar. Tetapi kau telah me mancing persoalan. Jangan kau kira bahwa aku tidak dapat bertindak terhadapmu, kamas.
Meskipun kau lahir dahulu, sehingga kau menjadi saudara tuaku, tetapi derajatku lebih tinggi dari derajatmu" "Derajat tidak ditentukan oleh darah keturunan. Tetapi ditentukan oleh perbuatan. Perbuatan kita sendiri" Mata Rudira benar-benar telah menyala. Selangkah ia maju mende kati Juwiring. Na mun Juwiring sama se kali tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan cangkulnyapun ke mudian diletakkannya di tanah. "Kau mulai menentang keluarga Ranakusuma" gera m Rudira. "Mudah-mudahan ada orang yang dapat menilai apia yang telah terjadi" Rudira menggeram. Tetapi sejenak ia masih berdiri dia m di tempatnya. Dala m pada itu, orang-orang yang ada di sawah, yang bergeser mendekati kedua anak-ana k muda yang bertengkar itu, menjadi berdebar-debar. Tetapi tida k ada seorangpun yang berani berbuat apapun juga. Keduanya adalah putera Pangeran Ranakusuma. Sehingga tidak ada yang berani untuk berbuat sesuatu atas keduanya. Orang-orang yang menyaksikan itu hanya berharap, mudah-mudahan para pengiring Raden Rudira dapat mencegah peristiwa yang tidak mereka harapkan. Tetapi ternyata para pengiringnya itupun hanya berdiri saja dengan mulut ternganga. "Ka mas" berkata Rudira "Cepat, mintalah maaf. Aku masih me mberi kese mpatan, karena kau adalah saudara tua bagiku, meskipun derajatku lebih t inggi" "Aku tidak merasa bersalah" berkata Juwiring "Justru aku berdiri di pihak yang benar. Buat apa aku minta maaf. Kalau kau jantan, kaulah yang minta maaf kepadaku, kepada Arum dan kepada ayahnya"
"Persetan, aku adalah seorang bangsawan. Kalau aku me mang menghendaki, aku dapat menga mbilnya kapan saja" Juwiring me nggelengkan kepalanya. Katanya "Sela ma aku masih ada di Jati Aking tidak ada seorangpun yang dapat berbuat demikian atasnya. Apalagi kau bukan seorang Pangeran" Darah Rudira benar-benar telah mendidih. Karena itu, ia tidak dapat menahan diri lagi. Ternyata bahwa perasaan yang me mbekali hati masingmasing pada pertemuan itu telah me mbuat jantung mereka semakin panas. Rudira yang ingin menjauhkan Juwiring dari keluarganya, dan Juwiring yang. merasa dirinya telah di fitnah. Dengan demikian maka persoalan yang tumbuh itu hanyalah sekedar bagaikan api yang me nyentuh minyak. Hati anak-anak muda yang belum terkendali itupun segera berkobar me mbakar segenap urat darah. Sejenak ke mudian kediua anak muda itu telah berdiri berhadapan. Keduanya adalah putera Pangeran Ranakusuma. Tetapi ternyata bahwa nama Ranakusuma tida k ma mpu menjadi pengikat yang baik bagi keluarganya, sehingga kebencian, iri dan dengki telah mencengka m seisi Dale m Kepangeranan "Kau benar-benar keras kepala ka mas" gera m Rudira. "Kita sa ma-sa ma keras kepala" "Meskipun kau saudara tua, tetapi kau tidak pantas dihormati. Apalagi derajatmu yang tidak setingkat dengan derajatku" "Me mang. Terapi darahku masih sepanas darahmu" "Persetan. Aku akan me mbuktikan bahwa aku lebih ba ik darimu da la m segala ha l" "Dan hatimu lebih hita m dari hatiku"
Penghinaan di hadapan banyak orang itu benar-benar tidak dapat dimaafkan lagi. Tiba-tiba saja tangan Rudira terayun ke mulut Juwiring. De mikian cepatnya dan tidak terduga-duga, sehingga Juwiring terkejut karenanya. Tetapi gerak naluriahnya telah me mutar leher dan menariknya mundur, sehingga tangan itu hanya menyentuh sedikit saja di pipinya. Beberapa orang yang menyaksikan gerakan itu berdesah tertahan. Hanya suara Arum sajalah yang terdengar me lengking. Na mun iapun ke mudian menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Ternyata Juwiring tidak me mbiarkan dirinya diperlakukan demikian. Dengan marah pula ia me mpersiapkan dirinya. Dan agaknya Rudira me mang benar-benar ingin berkelahi, sehingga tiba-tiba saja ia telah me nyerangnya. Tetapi Juwiring telah siap pula. Karena itulah, maka sejenak ke mudian keduanya telah terlibat dala m perkelahian yang seru. Rudira yang tinggi hati itu tidak lagi berusaha menge kang dirinya Ia ingin benar-benar mengalahkan saudara seayahnya dan me mbuatnya jera. Namun agaknya Juwiring t idak me mbiarkan Rudira berlaku sesuka hatinya. Latihan-latihan yang diperolehnya, tiba-tiba saja telah me mbuatnya menjadi garang. Sejenak ke mudian tanpa sesadarnya, ialah yang justru menyerang adiknya itu dengan serangan-serangan beruntun, sehingga Rudira menjadi bingung karenanya. Untuk menghindarkan dirinya, Rudira meloncat surut, tetapi Juwiring mengejarnya terus. Berkali-ka li tangannya berhasil mengenai tubuh Rudira. Bahkan ke mudian terdengar Rudira mengaduh ketika kaki Juwiring berhasil menghantam la mbung. Para pengiring dan pengawal Rudira yang sebenarnya ingin pergi berburu itupun menjadi berdebar-debar. Meskipun ketika mereka berangkat, ada juga pesan Rudira, bahwa mereka
akan berusaha singgah di padepokan Jati Aking untuk mene mui Juwiring, namun mereka tidak menyangka, bahwa pertengkaran akan begitu cepat berkobar. Namun pada umumnya para pengiring itupun mengetahui, bahwa sejak lama pada keduanya telah tersimpan perasaan yang buram. Sikap bermusuhan me mang sudah mereka lihat sejak keduanya masih tinggal di istana Ranakusuman, sa mpai pada suatu saat Juwiring disingkirkan dan dengan banyak alasan dikirim ke Jati Aking atas saran Ki Dipanala. Bagi Dipanala, Juwiring lebih baik berada di Jati Aking daripada di tempat lain yang masih be lum diketahuinya. Kalau ia jatuh kerangan orang yang tidak bertanggung jawab, maka nasibnya akan menjadi se makin buruk. Dan kini, perasaan yang agaknya telah lama tersimpan di dalam hati kedua anak muda itu telah me ledak. Karena itulah ma ka para pengiringnya menjadi termangumangu sejenak. Baru setelah Rudira mulai terdesak, beberapa orang di antara mereka sadar, bahwa mereka dapat berusaha mencegah perkelahian yang semakin la ma menjadi sema kin sengit. Namun de mikian mereka masih ragu-ragu juga. Mereka mengenal Rudira baik-baik. Anak muda yang keras hati dan keras kepala itu, tidak akan mudah me ndengarkan kata-kata mereka. Dan bahkan mungkin Rudira akan me njadi se ma kin marah. Sehingga dengan demikian, para pengawalnya itu hanya berdiri sa)a termangu-mangu. Tetapi akhirnya salah seorang dari mere ka tidak dapat menahan perasaannya lagi. Ia tidak sampai hati melihat kedua putera Pangeran Ranakusuma itu berkelahi. Karena itu, maka iapun bergeser setapak maju. Tetapi langkahnya segera terhenti ketika tangan yang kuat mengga mitnya. Tangan kawannya sendiri. Seorang pengawal yang bertubuh tinggi ke kar dan berkumis lebat.
"Biar saja. Juwiring me ma ng perlu dihajar" Kawannya yang ingin me lerai perkelahian itu mengerutkan keningnya. Dan orang berkumis itu berkata seterusnya "Kalau Raden Rudira tidak dapat menghajarnya, aku pasti akan mendapat kese mpatan" "Kenapa kita tidak mencegahnya, justru ma lahan akan ikut campur?" Orang itu tersenyum. Katanya "Tuan kita adalah Raden Rudira. Bukan Juwiring yang sudah dibuang kepadesan itu" Kawannya tidak menyahut. Ia sadar, bahwa orang berkumis itu me mpunyai beberapa kelebihan dari padanya dan kawan-kawannya yang laia. Karena itu, iapun tidak berani lagi me mbantah. Na mun dengan de mikian hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Kalau orang itu benar-benar mendapat perintah dari Rudira, maka nasib Juwiring akan menjadi kurang baik. Dengan ragu-ragu orang-orang itu mencoba me mandang wajah-wajah kawan-kawannya yang lain. Seperti orang yang baru sadar akan dirinya, ia terperanjat. Ternyata orang-orang yang ada di dala m iring-iringan untuk pergi berburu itu kebanyakan adalah orang-orang yang dikenalnya sebagai abdi yang paling setia kepada Raden Ayu Galihwarit. Satu dua di antara bahkan termasuk bukan saja abdi setia, tetapi penjilatpenjilat. Orang-orang itu menarik nafas dalam-dala m. Ia sendiri sebenarnya juga seorang penjilat. Tetapi ia menyadari, bahwa yang dilakukan itu sekedar untuk me mpertahankan sumber penghidupannya beserta isteri dan anaknya. Kalau ia dipecat dari Ranakusuman, ma ka akan sulit baginya untuk mendapatkan pe kerjaan baru di Surakarta. Apalagi ia tidak me mpunyai lagi sawah dan ladang di padesan. Tetapi kawan-kawannya yang lain menjadi penjilat bukan saja karena penghidupannya, tetapi mereka me mang ingin
mendapatkan pujian, borang-orang yang tidak pernah mereka miliki sebelumnya dan uang yang lebih banyak lagi. "Tida k banyak yang berani berbuat dan bersikap seperti Dipanala" katanya di da la m hati "Tetapi a ku yakin, sebentar lagi iapun pasti akan tersisih dan bahkan mungkin, nasibnya lebih jelek lagi daripada itu" Dan kini, ia menyaksikan perkelahian itu menjadi berat sebelah. Rudira ternyata benar-benar telah terdesak. Bagaimanapun juga Rudira berusaha, namun Juwiring tidak dapat dikalahkannya. Rudira sama sekali tidak menyangka, bahwa Juwiring ma mpu juga berkelahi. Bahkan ternyata, Juwiring tidak dapat dikalahkannya. Tetapi ternyata bahwa Rudira bukan seorang bangsawan yang berhati satria. Setelah ia yakin bahwa ia tidak akan dapat me menangkan perkelahian itu, tiba-tiba saja ia berteriak "Sura. Hajar orang ini. Aku tida k mau me ngotori tanganku dengan menyentuh tubuhnya yang berlumpur ini" "Juwiring berdesir mendengar na ma itu. Ia tahu, bahwa Sura adalah seorang abdi Ranakusuman yang paling ditakuti oleh kawan-kawannya, tetapi juga dibenci. Ia me miliki beberapa kelebihan karena tubuhnya yang kokoh kuat, meskipun otaknya sedungu kerbau. Sebenarnya Juwiring tidak gentar apabila ia harus berkelahi me lawan Sura itu, setelah ia me mpunyai dasar-dasar pengetahuan ilmu olah kanuragan. Karena ia yakin, bahwa bukan ke kuatan tubuh se mata-mata yang dapat diandalkan dalam perke lahian. Tetapi juga pikiran dan pengamatan yang tepat Tetapi untuk berhadapan dengan dua orang, ia memang merasa ragu-ragu. Apakah ia akan ma mpu berkelahi melawan dua orang sekaligus.
Ketika orang berkumis yang ternyata bernama Sura itu beringsut maju, maka dada orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi se ma kin berdebar-debar. Orang itu bertubuh tinggi, tegap dan kekar. Kumisnya menyilang di bawah hidungnya, membuat wajahnya yang kasar menjadi semakin mengerikan. "Ke marilah" berkata Rudira masih sa mbil berkelahi "Anak ini t idak seberapa Tetapi tubuhnya terlampau kotor untuk di sentuh. Karena itu, bantinglah dan benamkan sa ma sekali ke dalam lumpur. Biarlah ia menjadi se ma kin kotor, karena lumpur baginya adalah sumber penghidupannya" Arum yang me lihat kehadiran orang itupun menjadi ce mas juga. Menilik tubuhnya yang besar, maka ia pasti me mpunyai kekuatan yang besar pula. Dengan demikian apakah Juwiring seorang diri ma mpu me lawannya, apalagi apabila Rudira sendiri masih ikut serta berkelahi. Dengan menahan nafas ia melihat Sura melangkah setapak demi setapak mendekati arena. Juwiring dan Rudira masih juga berkelahi dengan serunya. Sekali-sekali mereka berdua berpaling kearah orang berkumis yang mendekat perlahanlahan, seperti seekor harimau yang sedang mengintai mangsanya. Rudira perlahan-lahan berusaha menggeser perkelahian itu. Demikian Sura me masuki arena, maka ia akan dapat segera me loncat menepi. Langkah Sura setapak de mi setapak itu, terasa berdentangan di dada Arum. Wajahnya semakin la ma menjadi semakin tegang. Dengan gelisah dipandanginya otot-otot yang mera mbat di segenap wajah kulit orang yang berna ma Sura itu. Dala m pada itu, Juwiringpun menjadi berdebar-debar. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menjatuhkan Rudira sebelum Sura me masuki arena. Tetapi ia tidak segera berhasil,
justru karena ia mula i gelisah me lihat bentuk tubuh raksasa itu. Namun adalah di luar dugaannya, dan di luar dugaan semua orang yang menyaksikan perkelahian itu sambil menahan nafas. Tibatiba saja tanpa berkata sepatah katapun, seorang anak muda melontarkan dirinya langsung menyerang Sura dari samping. Tubuhnya yang ringan dan sikapnya yang mapan, menunjukkan bahwa ia pernah mengenal ilmu olah kanuragan. Kaki kanannya terjulur lurus menya mping. Tubuhnya bagaikan seorang yang sedang berbaring miring. Seperti halilintar, kakinya menyambar tengkuk Sura yang sedang berjalan perlahan-lahan maju. Benar-benar serangan yang tidak disangka-snagkanya dari arah yang tidak disangkasangka pula. Demikian kerasnya serangan itu dan langsung mengenai tengkuk, sehingga raksasa yang bernama Sura itu sama sekali tidak sempat berbuat apapun juga. Tumit yang menghantam tengkuknya serasa me mbuatnya kehilangan keseimbangan. Terhuyung-huyung ia terdorong beberapa langkah ke samping. Dengan susah payah ia mencoba menahan keseimbangan tubuhnya. Tetapi, kaki yang mengenai tengkuknya itu, begitu berjejak diatas tanah, langsung me lontar ke mbali. Kali ini dengan sebuah putaran mendatar. Tumit itu pulalah yang ke mudian menghanta m perutnya, sehingga tanpa ampun lagi, Sura yang bertubuh raksasa
itupun terduduk perlahan-lahan setelah berjuang dengan sekuat tenaganya untuk menjaga keseimbangannya. Ternyata serangan yang datang masih be lum tuntas. Kini sisi telapak tangan anak muda itulah yang menghantam pelipisnya sehingga wajah itu tertengadah sejenak. Disusul oleh sebuah pukulan di bawah telinga kanan. Sura yang bertubuh raksasa itu benar-benar tidak berdaya. Serangan yang datang beruntun itu benar-benar mengejutkannya dan mengejutkan se mua orang yang menyaksikannya. Tidak seorangpun yang menyangka bahwa hal itu akan terjadi, sehingga Sura sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berbuat apapun juga, karena yang terjadi itu berlangsung begitu cepatnya. Sejenak ke mudian Sura telah duduk bersimpuh. Kepalanya terkulai dengan le mahnya, sedang kedua belah tangannya me megang perutnya yang serasa berputar-putar. Matanya menjadi berkunang-kunang, sedang telinganya berdesing keras sekali, seperti seribu sendaren bersama-sama mengaum di dala m telinganya itu. Anak muda itu agaknya masih belum puas. Tetapi ketika ia mengangkat tangannya sekali lagi terdengar suara Juwiring "Buntal" Anak muda itu tertegun. Iapun kemudian berpaling sa mbil berkata "Aku tidak a kan dapat melawannya apabila ia se mpat me lakukan. Ia harus kehilangan ke ma mpuannya itu, dan tidak berdaya untuk selanjutnya" Juwiring berdiri termenung sejenak. Rudirapun menjadi bingung sesaat, sehingga perkelahian itu me njadi terhenti dengan sendirinya. "Jangan Buntal" cegah Juwiring. Buntal me mandanginya dengan heran. Kenapa justru Juwiringlah yang mencegahnya. Karena itu, sejenak ia berdiri
kebingungan. Sekali-sekali dipandanginya wajah Rudira, ke mudian Juwiring dan bahkan beredar pada setiap wajah yang ada di sekitarnya. Sejenak arena itu dicengka m oleh kedia man yang tegang. Semua mata kini tertuju kearah Buntal. Anak muda yang berdiri di sa mping seorang raksasa yang duduk bersimpuh menahan sa kit di seluruh bagian tubuhnya. Namun kedia man itu, segera dipecahkan oleh suara Rudira yang tiba-tiba menyadari keadaannya "Hancurkan kedua anak gila ini. Tida k ada a mpun lagi bagi mereka" Juwiring terkejut mendengar perintah itu. Sela ma ini, selama ia berkelahi melawan Rudira, ia masih belum kehilangan pegangan. Ia masih tetap sadar, bahwa lawannya itu adalah adiknya. Tetapi agaknya Rudira benar-benar telah menjadi mata gelap. Sura bukannya orang yang dapat menahan diri dan menimbang perasaan. Kalau Sura sempat berbuat sesuatu, maka ia pasti a kan menjadi parah. Ternyata Buntal me mpunyai perhitungannya sendiri dan melumpuhkan raksasa itu sebelum berbuat sesuatu. Tetapi kini Rudira telah me merintahkan orang-orangnya yang lain Tida k kurang dari tujuh orang. Bahkan lebih. Dala m pada itu, orang-orangnya menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka tersentak ketika Rudira berteriak "Cepat, sebelum mereka melarikan diri. Aku akan bertanggung jawab. Kalau ada orang lain yang ikut ca mpur, mereka akan menga la mi nasib serupa" Seperti terbangun dari mimpi merekapun ke mudian bergerak hampir bersa maan. Kuda-kuda mere ka, begitu saja mereka lepaskan. Empat orang dari mereka dengan tergesagesa mengepung kedua anak-anak muda itu, namun yang lain masih juga agak ragu-ragu. "Siapa yang berkhianat, aku tidak tahu akibat yang akan menimpa dirinya di istana nanti"
Ancaman itu telah mendorong orang-orang yang mengiringi Rudira itu se ma kin maju. Apapun yang ada di dala m hati, namun mereka harus berbuat seperti yang dikehendaki oleh anak muda bangsawan itu. Tetapi agaknya Juwiring sa ma sekali tidak ingin me nyerah. Demikian juga Buntal yang sedikit lebih muda daripadanya. Ke duanya justru menyiapkan diri, menghadapi segala ke mungkinan. Pada saat itu, Sura mulai bergerak. Dengan segenap ketahanan yang ada padanya, ia mencoba mengatasi rasa sakit di tubuhnya. Ketika ia mendengar aba-aba Rudira, timbullah niatnya untuk ikut berkelahi dan me mba las serangan-serangan yang tidak sempat dielakkannya. "Cepat. Aku mau kalian bertindak sekarang. Sekarang!" Ketika orang-orang yang mengepung kedua anak muda itu mulai bergerak. Surapun berusaha untuk berdiri. Tetapi Buntal yang berdiri di sisinya sama sekali tida k me mberinya kesempatan, la sadar sepenuhnya. bahwa orang yang bernama Sura itu orang yang paling berbahaya di antara para pengiring Rudira. Karena itulah, maka sebelum Sura berhasil berdiri, dengan sekuat tenaganya, tanpa peringatan apapun juga. Buntal sekali lapi menghantam tengkuk orang itu. Kali ini dengan sisi telapak tangannya. Sura adalah seorang yang seakan-akan bertubuh liar. Tetapi ternyata pukulan Buntal itu me mbuatnya keriangan kekuatan. Sambil menyeringai ia mengpeliat, Tetapi sekali lagi pukulan yang sa ma telah diulang oleh Buntal. Kali ini Sura benar-benar tidak dapat bertahan 1agi. Kepalanya segera tertunduk dan tubuhnya terkula i dengan le mahnya. Pada saat itulah, para pengawal Rudira mulai menyerang. Ada yang menyerang dengan mantap dan sepenuh hati, tetapi ada juga yang masih ragu-ragu, sebab merekapun tahu, bahwa Juwirng ada lah putera Pangeran Ranakusnma seperti
Rudira. Tetapi karena Rudira kini berkuasa di istana Ranakusuman, maka tida k seorangpun yang berani melawan kehendaknya. Juwiring dan Buntal terpaksa berkelahi melawan mereka. Tetapi di antara mereka tidak lagi terdapat Sura yang telah hampir menjadi pingsan sa mbil duduk bersimpuh. Kepalanya yang terkulai mencium tanah dia lasinya dengan kedua tangannya yang lemas. Arum berdiri me mbeku di pinggir parit. Ia berdiri di antara dua kemungkinan yang sama-sa ma berat. Kalau ia sama sekali tidak berbuat apa-apa, adalah terlalu sulit bagi Juwiring dan Buntal untuk bertahan melawan tujuh orang bahkan lebih. Arum yang merasa me miliki ke ma mpuan setingkat dengan Juwiring dan Buntal, yang hanya karena kodrat kegadisannya sajalah yang me mberikan selisih sedikit dala m olah kanuragan, merasa ma mpu juga ikut di dala m arena perkelahian. Tetapi jika de mikian, maka ia akan menjadi orang aneh di padukuhan Jati Sari. Ia akan menjadi pusat perhatian untuk waktu yang la ma, yang bahkan tidak akan ada habisnya. Kawan-kawannya pasti akan bersikap lain kepadanya, bahkan mungkin gadisgadis Jati Sari a kan menjauhinya, sehingga ia a kan terkurung di padepokan Jati Aking saja. Dala m keragu-raguan itu, ia mendengar suara Juwiring lantang "Jangan berbuat sesuatu Arum. Tinggallah disitu. Atau pergilah jauh-jauh" Arum mengerti maksud Juwiring. Ia harus menahan hati. Ia harus tetap merupakan seorang gadis biasa di mata kawankawannya dan orang-orang Jati Sari. Karena itulah maka ia justru melangkah surut Namun dengan de mikian ia menjadi cemas akan nasib kedua saudara seperguruannya itu. Dala m pada itu, Juwiring dan Buntal berkelahi mati-matian untuk me mpertahankan diri. Untunglah bahwa t idak se mua pengawal Rudira berkelahi bersungguh-sungguh, sehingga
meskipun jumlah mereka cukup banyak, namun Juwiring dan Buntal masih tetap dapat bertahan. Tetapi agaknya Rudira me lihat ha l itu, sehingga karenanya ia berteriak keras-keras" sekali lagi aku peringatkan. Siapa yang berberkhianat akan mengala mi nasib je lek di istana. Tidak ada orang yang dapat mencegah tindakan yang akan aku a mbil atas ka lian" Dada para pengiringnya itupun menjadi berdebaran. Mereka tidak boleh berkelahi berpura-pura. Dan mereka tidak akan dapat menyembunyikan sikapnya itu. Jika demikian, maka mereka akan dapat diusir dari pekerjaan mereka. Karena itu, tidak ada pilihan lain daripada berkelahi benarbenar. Di dalam hati mereka berkata "Bukan tanggungjawabku. Aku hanya menjalankan perintah" Dengan de mikian maka perkelahian itu menjadi se makin la ma sema kin sengit. Bagaimanapun juga Juwiring dan Buntal menjadi semakin terdesak. Badan mereka mulai merasa lelah dan sakit, karena setiap kali mereka tidak berhasil menge lakkan serangan-serangan lawan yang datang dari segala penjuru, sedang ilmu yang mereka kuasai baru sekedar ilmu dasar, dari ilmu yang sesungguhnya. Arum menjadi bertambah gelisah. Ia tidak akan dapat minta bantuan kepada ayahnya yang bagi orang-orang Jati Sari, Kiai Danatirta dari padepokan Jati Aking, adalah seorang tua yang hanya mesu kajiwan dan kasampurnan batin. Sama sekali bukan seseorang yang mendala mi ilmu kanuragan. Sehingga dengan de mikian Arum menjadi se makin bingung. Dala m pada itu, keadaan Juwiring dan Buntal menjadi semakin sulit seperti hati Arum. Mereka terdesak sema kin jauh, sehingga hampir tidak dapat bertahan lagi. Bahkan sekali-sekali Buntal terdorong beberapa langkah. Hanya karena kekerasan hatinya sajalah maka ia masih tetap
bertahan dan berkelahi terus, meskipun keningnya telah menjadi kebiru-biruan dan pipinya mula i me mbengkak. Pada saat-saat yang berat itu, justru Sura mulai bergerak dan tertatih-tatih berdiri. Sejenak ia masih me megangi perutnya dan kemudian meraba-raba tengkuknya. Namun sejenak ke mudian ia sudah berhasil berdiri tegak. Ketika ia me lihat bahwa perkelahian masih berlangsung, maka iapun menggera m. Kini ia tidak me langkah setapak demi setapak perlahan-lahan. Tetapi dengan tergesa-gesa ia mende kati arena sambil berteriak "Lepaskan yang kecil itu. Itu adalah bagianku. Kalan se muanya tinggal me mpunyai seorang lawan. Terserah perintah dari Raden Rudira terhadap kalian atas Raden Juwiring Tetapi anak gila itu serahkan kepadaku" Buntal menjadi berdebar-debar. Ia melihat api yang menyala di mata orang yang berna ma Sura itu. Namun seperti yang telah terjadi. Benar-benar di luar dugaan, bahwa dalam keadaannya. Buntal berhasil menyusup, sesaat perhatian lawannya tertarik oleh suara Sura. Sekali lagi ia melontarkan dirinya dan ka ki terjulur lurus menghantam raksasa itu. Kali ini me ngarah ke dadanya. Namun Sura sempat melihat serangan yang dianggapnya terlampau gila itu. Tetapi ia tidak se mpat mengela k. Dengan demikian ma ka dengan tergesa-gesa disilangkannya tangannya di depan dadanya itu untuk menangkis serangan Buntal. Daya lontar Buntal ternyata cukup besar. Ternyata benturan itu me mbuat Sura terdorong surut beberapa langkah, sedang Buntal sendiri terlempar jatuh di tanah Tetapi cepat ia bangkit berdiri meskipun ia harus menyeringai karena pergelangan kakinya seiasa akan patah. Sura berhasil me mpertahankan keseimbangan meskipun hampir saja ia terjatuh. Serangan itu begitu tiba-tiba.
Didorong pula oleh daya lontar yang kuat, sedang tubuh Sura sendiri masih be lum pulih sa ma se kali. Tetapi kini Sura mengetahui, bahwa kekuatan anak itu tidak terla mpau mence maskan. Kalau ia se mpat melawan, maka baginya Buntal bukanlah lawan yang harus diperhitungkan, meskipun kelincahannya mengagumkannya pula. Kini Sura me musatkan perhatiannya kepada sementara yang lain mulai me lingkari Juwiring. Buntal,
"Hancurkan mere ka. Itu perintahku. Aku akan bertanggung jawab. Buatlah mereka untuk selanjutnya tidak a kan dapat me lawan kita lagi. Mungkin tangan mereka atau kaki mereka lah yang me mbuat mereka terla mpau sombong" "Bagus" gera m Sura "Aku akan me lakukan sebaik-baiknya. Tangan anak ini me mang terla mpau cekatan" Dada Buntal benar-benar berguncang ketika ia melihat Sura mende katinya. Tetapi ia sudah terlanjur basah. Karena itu, apapun yang akan terjadi a kan dihadapinya. Dala m pada itu, Juwiringpun menjadi berdebar-debar. Sura me mang bukan lawan Buntal yang masih terla lu muda itu. Bahkan ia sendiri yang lebih tua, masih harus me mpergunakan bukan saja tenaganya, tetapi terlebih-lebih adalah otaknya untuk me lawan orang yang berna ma Sura itu. Dan agaknya pertimbangan pikiran Buntalpun masih belum cukup dewasa menanggapi lawannya itu, sehingga apabila ia hanya sekedar me mperguna kan tenaga dan dasar-dasar ilmunya, maka ia tidak akan dapat melawannya. Apalagi apabila sekali anggauta badannya teraba oleh Sura, maka tulang-tulangnya pasti akan retak karenanya. Tetapi Juwiring tidak dapat berbuat apa-apa, karena beberapa orang telah berdiri me lingkarinya. Kalau ia bergerak, maka itu akan berarti, ia harus berkelahi me lawan orangorang itu.
Sejenak Juwiring berdiri termangu-mangu. Ia melihat Buntal telah bersiap menghadapi setiap ke mungkinan, meskipun ke mungkinan yang paling besar akan terjadi adalah ke mungkinan yang kurang menyenangkan baginya. "Jangan menyesal" gera m Sura "Kau sudah menyakiti a ku. Sekarang aku a kan menyakit i kau" Buntal tidak menyahut. Tetapi ia tidak mau didahului. Menurut pertimbangannya, me mang lebih baik mendahului daripada didahului. Karena itu, maka selagi Sura melangkah mendekatinya, sekali lagi Buntal melontarkan serangan sekuat-kuat tenaganya. Untuk me lawan raksasa itu, Buntal lebih percaya kepada kekuatan kakinya, meskipun ia sadar, bahwa ia menghadapi kekuatan yang lebih besar dari ke kuatannya. Juwiring mengerutkan keningnya. Buntal me mang masih terlampau muda. Kalau ia mencoba melawan ke kuatan dengan kekuatan, maka sebentar lagi, ia pasti akan dire mukkan oleh raksasa Ranakusuman yang mengerikan itu. Dugaan Juwiring tidak jauh me leset. Sekali lagi ka ki Buntal menghanta m tangan Sura. Kali ini Sura me ngiringkan tubuhnya, dan me mbenturkan lengannya. Namun ke kuatan lengannya telah ma mpu me le mparkan Buntal dan me mbantingnya jatuh di tanah, meskipun Sura sendiri juga terdorong beberapa langkah surut. Buntal menyeringai menahan sakit di punggungnya yang me mbentur batu padas. Tetapi iapun segera berusaha berdiri untuk menghadapi setiap ke mungkinan yang bakal terjadi, meskipun pergelangan kakinya sema kin terasa sakit. Arum yang masih berdiri Di tempatnya menjadi se makin, bingung. Sudah tentu ia tidak akan dapat berdiam diri, apabila bahaya yang sebenarnya telah mengancam kedua saudaranya itu. Apapun yang akan dikatakan orang, dan apapun yang akan terjadi pada dirinya seterusnya ia tidak
me mpedulikannya lagi. Sehingga karena itu, iapun justru me langkah me ndekat, setelah ia meletakkan selendangnya. "Tetapi aku me ma kai ka in panjang" berkata Arum kepada diri sendiri di dala m hatinya "sedang disini banyak orang. Kalau aku berada di hala man rumah sendiri di ma la m hari aku dapat menyingsingkan saja kain panjang ini. Tetapi bagaimana disini?" Arum menjadi termangu-mangu. Tetapi ketika terpandang olehnya Buntal yang tampak terlampau kecil berdiri berhadapan dengan Sura, maka iapun menggeretakkan giginya "Apa peduliku dengan orang-orang itu. Aku dapat menyangkutkan ka in seperti Buntal dan Juwiring" Dala m pada itu, dada Arum berdesir ketika ia me lihat Sura mulai menyerang lawannya. Sebuah pukulan yang keras mengarah ke pelipis Buntal. Tetapi Buntal cukup cekatan sehingga ia masih se mpat menge lak. Bahkan ke mudian dengan. lincahnya ia me ncoba menyerang la mbung Sura dengan kakinya. Dengan gerak naluriah Sura mengibaskan tangannya, me mukul kaki itu. Terdengar Buntal menge luh tertahan. Terasa betisnya bagaikan dipukul dengan sepotong besi, sehingga ia terputar setengah lingkaran sebelum ia me loncat menjauhi Sura yang mengejarnya. Juwiring sendiri masih berdiri termangu-mangu. Agaknya orang-orang yang mengurungnyapun menjadi termangumangu juga. Mereka masih menunggu apa yang harus mereka lakukan, sementara semua perhatian terikat oleh perkelahian antara Buntal dan Sura. Hampir saja Arum menjerit, ketika ia melihat sekali lagi kekuatan mereka berbenturan, karena Sura t idak pernah berusaha mengela kkan serangan Buntal. Sekali lagi Buntal terlempar. Kali ini cukup keras, sehingga ia tidak dapat me mpertahankan keseimbangannya lagi. Dengan derasnya ia
jatuh terbanting dan berguling kokoh kuat yang seperti sepasang tiang terpancang jauh ke dala m bumi. Ketika ia meloncat berdiri sa mbil menyeringai, ia sempat me lihat orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi kekar, bermata tajam dan berwajah sedala m lautan. Menilik raut mukanya yang meskipun kotor oleh debu dan keringat, orang itu bukan orang kebanyakan. Tetapi menilik pa kaiannya, ia adalah seorang petani miskin yang baru berada dalam perjalanan yang jauh. Bajunya dibuka dan dililitkan di la mbungnya. Kain panjangnya disingsingkannya pula, sehingga celananya yang sampai di bawah lututnya tampak kumal dan kotor sekotor wajahnya itu. Kehadiran orang itu ternyata telah menarik perhatian. Sejenak ia berdia m diri me mandang Buntal yang tertatih-tatih berdiri. Ke mudian me mandang orang-orang yang berada di sekitar arena perkelahian itu. "Kenapa tuan-tuan berkelahi disini?" bertanya orang itu dengan suara yang berat. "Siapa kau?" Rudiralah yang bertanya. "Aku seorang petani yang berada dalam perjalanan yang jauh tuan. Dan siapakah tuan" Menilik pakaian tuan, tuau adalah seorang bangsawan" "Ya. Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma" "O" petani yang bertubuh tinggi itu mengangguk dala mdalam "Maafkan aku tuan. Aku tidak tahu, bahwa tuan adalah seorang putera Pangeran" "Sekarang kau sudah tahu. Minggirlah. Ka mi sedang menyelesaikan persoalan ka mi" "Maaf tuan, apakah aku boleh bertanya?" Rudira me mandang orang itu dengan tajamnya. Tetapi jaraknya-tidak begitu dekat
"Kenapa perkelahian ini tida k dilerai" Dan agaknya anak muda yang seorang itupun sudah terkepung pula?" Itu urusanku. Pergilah. Jangan menca mpuri persoalan orang lain. Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma. Aku me mpunyai wewenang untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keinginanku atas orang-orang kecil yang tida k tahu adat ini" "Jadi, tuanlah yang sedang melakukan tindakan ke kerasan atas orang-orang kecil ini?" "Ya" "Apakah salah mereka?" "Kau tida k me mpunyai sangkut paut apapun juga dengan mereka. Pergilah, supaya kau tidak tersangkut di dalam persoalan ini" bentak Rudira. "Aku sudah berjalan jauh tuan. Tetapi aku t idak pernah menjumpai persoalan serupa ini. Seharusnya tuan dan pengawal-pengawal tuan melindungi orang-orang kecil ini dari segala macam kesulitan" "Dia m, dia m" tiba-tiba Rudira me mbentak "Kau tahu akibat dari kata-katamu itu he" Bahwa kau berani me mbantah katakataku, itu adalah a lasan yang baik bagiku untuk bertindak. Kau mengerti?" "Mengerti tuan. Tetapi perjalananku yang jauh mengajar kepadaku, agar aku tidak cukup sekedar mengerti sikap orang lain, tetapi aku harus menila inya pula, apakah sikap itu benar atau tidak" Tiba-tiba mata Rudira bagaikan me nyala. Ia tidak menyangka bahwa orang yang tiba-tiba saja datang melihat perkelahian itu, bersikap sangat menyakitkan hati. "He, apakah kau bukan kawula Surakarta?" "Aku kawula Surakarta"
"Kenapa kau berani bersikap semaca m itu kepadaku. Kepada putera Pangeran Ranakusuma" "Aku pernah berjalan berkeliling kota Surakarta. Dan aku me mang pernah mendengar siapakah Pangeran Ranakusuma itu. Kalau tuan puteranya, maka tuan pasti pernah melihat, ayahanda tuan adalah sahabat yang baik dari orang-orang yang berkulit aneh itu. Kulitnya tidak seperti kulit kita dan matanya tidak seperti mata kita. Tetapi itu bukan alasan untuk menarik batas antara kita yang berkulit kotor dan bermata gelap ini dengan mereka, tetapi tindak dan sikap merekalah yang me mbuat jarak antara kita dengan orang-orang asing itu. Memang tidak ada bedanya di da la m hake kat, bahwa kita adalah mahluk Tuhan seperti mereka. Tetapi juga tidak akan dibenarkan apabila yang satu mulai mela kukan penghisapan kepada yang lain. Bangsa yang satu atas bangsa yang lain. Nah, tolong, sampaikan kepada ayahanda tuan, bahwa akulah yang berkata demikian" "Siapa kau?" "Seorang petani dari Sukawati" "Huh" Raden Rudira menjadi se makin marah "Apa artinya seorang petani bagi ayahanda. Pergi dari tempat ini, atau kau harus mengala mi nasib seperti anak itu?" "Anak ini adalah benih yang baik buat masa mendatang. Aku sebenarnya sudah melihat perkelahian yang terjadi disini dari kejauhan. Tetapi ketika aku melihat benih masa mendatang ini akan dipatahkan, aku merasa sayang, sehingga akupun mendekat" Jawaban itu bagaikan iebuah tamparan yang langsung diwajab Rudira, sehingga wajah itupun menjadi merah padam. Dengan suara bergetar ia berkata "Jadi jadi, apa maksudmu he" Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku melihat dua orang ana k petani ini dapat berbuat banyak di saat-saat mendatang, Karena itu, jangan tuan mengganggunya" "Persetan. Kau tidak dapat mencegah aku. Atau kau sendiri yang akan menjadi pengewan-ewan disini?" "Tuan, aku sudah mende kati arena. Karena aku merasa sayang kepada dua orang anak muda yang berkelahi melawan beberapa orang inilah ma ka aku datang. Anak ini me mang bukan lawan raksasa yang dungu itu" "Gila" Sura ha mpir berteriak "Apakah kau akan turut campur?" "Maaf. Aku terpaksa turut campur" "Sura" teria k Rudira yang tidak sabar lagi "selesaikan orang itu" "Baik tuan" jawab Sura sambil me mbusungkan dadanya. Lalu katanya "Petani dari Sukawati, jangan menyesal bahwa kau hari ini telah salah langkah" "Aku akan menerima segala nasib yang akan menimpaku hari ini" jawab petani itu. Namun dala m pada itu Buntal tiba-tiba berkata "Pergilah. Pergilah supaya kau tidak terlibat da la m persoalan ini" "Aku me mang melibatkan diriku, anak muda" jawab petani itu.
Tetapi petani itu tidak se mpat lagi mengucapkan kata-kata yang sudah di kerongkongan, karena tiba-tiba saja Sura telah menyerangnya. Tangannya terayun dengan derasnya ke wajah petani yang kotor itu. Tangan Sura yang mempunyai kekuatan mela mpaui kekuatan kawan-kawannya abdi Ranakusuman. Yang me lihat ayunan tangan Sura itu menahan nafas. Demikian juga Juwiring, Buntal dan bahkan Rudira sendiri. Kalau tangan itu mengena i pelipis petani itu, maka ia pasti akan pingsan seketika. Tetapi yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Setiap orang yang menyaksikan hanya dapat berdiri dengan mulut ternganga. Mereka hampir tidak percaya atas apa yang telah terjadi. Dengan tenangnya, petani dri Sukawati itu menggerakkan tangannya. Tenang tetapi secepat gerak tangan Sura. Hampir tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tiba-tiba saja orang itu telah berhasil menggengga m pergelangan tangan raksasa yang marah itu. Demikian cepatnya, sehingga Sura tidak sempat menariknya. Bahkan sekejap kemudian terdengar Sura itu mengaduh pendek. Tangannya ternyata jelah terpilin di punggungnya. Kemudian suatu hentakkan yang keras mendorongnya, sehingga Sura itupun jatuh menelungkup dengan derasnya, sehingga wajahnya telah menyentuh tanah. Tidak seorangpun yang dapat mengatakan, apa yang telah dilakukan oleh petani yang mengaku berasal dari Sukawati itu. Tetapi yang mereka lihat kemudian Sura berusaha dengan susah payah bangkit berdiri. Ketika ia meraba dahinya, terasalah sepercik darah dari kulitnya yang tersobek karena benturan sepotong batu padas. Peristiwa yang sesaat itu, ternyata telah me mbuat gambaran yang jelas kepada semua orang yang menyaksikan, apa saja yang dapat dilakukan oleh petani yang sedang dalam
perjalanan jauh itu. Karena itu, maka dada merekapun menjadi berdebaran. Rudira yang menyaksikan hal itupun seolah-olah telah me mbe ku. Ha mpir tidak masuk aka l, bahwa raksasa itu dapat dijatuhkannya dengan mudah da la m perkelahian beradu muka. Berbeda dengan serangan Buntal yang tidak terdugaduga. Tetapi kali ini justru Suralah yang telah menyerang orang itu. Hal itu me mbuat jantung Rudira menjadi susut. Tetapi darahnya yang menggelegak me mbuatnya berteriak "He petani dungu. Kau sudah melawan keluarga Ranakusuma. Kau akan menyesal. Kami akan bera mai-ra mai mencincangmu tanpa tuntutan apapun juga" "Silahkanlah tuan. Disini a ku tidak berdiri sendiri. Setidaktidaknya aku me mpunyai dua orang kawan untuk melawan tuan bersama kawan-kawan tuan. Dan sebelumnya aku akan me mperingatkan kepada tuan, bahwa tuan bersama pengiring tuan seluruhnya, tidak akan dapat melawan ka mi bertiga" Rudira menggera m. Tetapi ia tidak begitu saja me mpercayainya. Karena itu, ia berteriak "Hancurkan orang itu lebih, dahulu" Kini para pengiringnya me mandang petani itu dengan penuh keragu-raguan. Tetapi apabila Raden Rudira me merintahkan, merekapun harus melakukannya. Berkelahi dengan petani yang dengan sekilas telah menunjukkan kelebihan yang ha mpir t idak masuk a kal. "Cepat" teriak Rudira "Orang itu harus kalian selesaikan dahulu, sebelum cucurut-cucurut kecil itu" Para pengiring Rudirapun mula i bergerak, betapapun dada mereka diguncang oleh keragu-raguan. Apapun yang akan mereka ala mi, namun mereka tidak akan dapat menolak perintah Raden Rudira. Tetapi langkah mereka terhenti, ketika mereka melihat Juwiring dan Buntalpun mula i bergerak pula.
Dengan nada yang dala m Juwiring dan Buntalpun mulai bergerak pula. Dengan nada yang dalam Juwiring berkata "Terima kasih atas pertolonganmu, petani dari Sukawati. Dan kini sudah barang tentu bahwa aku tidak akan membiarkan orang-orang itu mengerubut mu bera ma i-ra mai. Aku dan adikku akan turut campur dala m setiap pertengkaran dengan kau apapun alasannya. Apalagi karena kau telah me nolong aku dan adikku" "Terima kasih. Kita akan berkelahi bersa ma-sa ma melawan mereka" jawab petani dari Sukawati itu. Ternyata hal itu telah mengguncangkan jantung Rudira. Sejenak ia me mandang Juwiring, ke mudian Buntal dan yang terakir petani dari Sukawati itu. Namun tiba-tiba saja ia menyadari keadaannya. Para pengiringnya tidak akan dapat me lawan mereka bertiga. Orang yang bertubuh tinggi kekar itu me miliki ke ma mpuan yang tidak terduga-duga. Kalau ia me maksa kan perke lahian, maka ia pasti akan menderita malu jauh lebih banyak lagi. Sehingga karena itu, maka Rudira yang masih se mpat menilai keadaan itu tiba-tiba saja berkata lantang "Gila, semuanya sudah gila. Dan kita tidak akan terseret ke dala m kegilaan ini. Marilah kita tingga lkan orang-orang gila yang tidak berharga ini. Kita akan pergi berburu. Lebih baik menghunja mkan anak panah kita ke tubuh seekor kancil daripada harus dikotori dengan darah orang-orang yang tidak tahu adat ini. Tetapi ingat, bahwa keluarga Ranakusuma tida k akan tinggal dia m. Kami akan menga mbil tindakan yang pantas bagi ka lian. Pada saatnya kami akan pergi juga ke Sukawati untuk mene mukan seorang petani yang sombong maca m kau" Petani itu menengadahkan wajahnya. Jawabnya "Aku akan menunggu tuan. Dan aku akan mengucapkan banyak terima kasih atas kunjungan tuan di Sukawati"
"Persetan. Kau akan menyesal" lalu ia berteriak kepada para pengiringnya "tinggalkan cucurut-cucurut ini. Tangan kita jangan dikotori oleh lumpur yang me lekat di tubuh mereka" Keputusan itu terasa seperti embun yang menitik di hati para pengiringnya yang kering. Perintah itu tidak perlu diulang lagi. Ketika Rudira ke mudian pergi ke kudanya dan langsung me loncat naik ke punggungnya, maka para pengiringnyapun segera berbuat serupa. Sejenak ke mudian maka kaki-kaki kuda itu berderap diatas tanah yang berbatu padas, melontarkan debu putih yang mengepul di udara. Beberapa pasang mata mengikutinya dengan debar jantung yang terasa semakin cepat. Juwiring me mandang debu yang semakin la ma menjadi semakin tipis, dan yang kemudian lenyap disapu angin, seperti kuda-kuda yang berderap itu hilang di kejauhan. Sambil menarik nafas ia berpaling kepada petani yang mengaku dari Sukawati itu. Kemudian dengan mantap ia berkata "sekali lagi aku mengucapkan terima kasih Ki Sanak" Petani itu menarik nafas dalam-dala m pula, seakan-akan ia ingin berebut menghirup udara dengan Juwiring. Katanya "Kita sekedar saling tolong menolong" lalu sa mbil me mandang kepada Buntal ia berkata "Bukankah kau t idak apa-apa" Buntal mengge leng. Jawabnya "Tidak. Aku tidak apa-apa" "Sokurlah. Ternyata bahwa mereka, maksudku Putera Pangeran Ranakusuma beserta pengiringnya bukan orangorang yang kuat lahir dan batinnya. Sebenarnya pertengkaran semaca m ini tidak perlu terjadi" Juwiring akan menyahut. Tetapi suaranya terputus ketika ia me lihat seorang tua yang berlari-lari langsung mendapatkan Arum sa mbil berkata "Kenapa kau Arum, kenapa?"
Arum mengerutkan keningnya. Dilihatnya ayahnya dengan nafas tersengal-sengal mendatanginya dengan wajah yang tegang. "Aku tida k apa-apa ayah" "Sokurlah. Sokurlah. Aku dengar Raden Rudira lewat di jalan ini dan kebetulan sekali berpapasan dengan kau" "Ya ayah. Untunglah ada kakang Juwiring dan Buntal" Arum berhenti sejenak, dipandanginya petani dari Sukawati itu sambil berkata "selebihnya orang itulah yang telah menolong kami" Kiai Danatirta me mandang petani dari Sukawati itu dengan seksama. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Terima kasih Ki Sanak atas semua pertolonganmu. Tetapi apakah dengan de mikian kau sendiri tida k terancam oleh bencana karena tingkah laku Raden Rudira itu. Aku datang dengan tergesa-gesa ke tempat ini setelah seseorang me mberitahukan kepadaku, apa yang terjadi. Aku masih me lihat perke lahian yang berlangsung, dari kejauhan" Petani itu mengerut kan keningnya. Lalu jawabnya "Mereka tidak akan mene mukan aku Kiai" "Siapakah Ki Sanak sebenarnya?" "Aku seorang petani dari Sukawati" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Ia melangkah semakin dekat dengan orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu. Tetapi sebelum ia dekat benar, petani itu berkata "Sudahlah Kiai. Aku akan meneruskan perjalananku ke mbali ke Sukawati. Aku baru saja mene mpuh perjalanan jauh mengunjungi sana kku" "Tunggu" cegah Kiai Danatirta "Aku masih ingin bertanya" Petani itu tertegun. Tetapi katanya "Sudahlah. Tidak ada yang dapat aku terangkan lagi"
"Kenapa Ki Sanak me mbantu anak-anakku" Apakah Ki Sanak sudah mengena l mereka?" "Belum Kiai. Tetapi mereka adalah harapan di masa datang. Karena itu aku merasa sayang apabila benih yang baru tumbuh itu akan dipatahkan" Orang itu berhenti sejenak, lalu "Sudahlah Kiai. Aku akan pergi" "Tunggu, tunggu" Kiai Danatirta menjadi se makin dekat. Dipandanginya wajah orang itu dengan saksama, seakan-akan ada yang dicarinya pada wajah orang itu. Tiba-tiba saja, se mua orang yang melihatnya terperanjat bukan buatan. Dengan serta-merta Kiai Danatirta berjongkok di hadapannya sambil menye mbah "Ampun Pangeran. Anak-anak itu tidak tahu, siapakah sebenarnya yang telah menolongnya" Tetapi dengan cepatnya orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itupun menangkap lengannya dan menariknya berdiri "Jangan berjongkok. Kalau kau mengenal aku, jangan kau beritahukan hal itu kepada siapapun" Tetapi Juwiring dan Buntal telah melihat sikap yang aneh pada gurunya. Demikian juga agaknya Arum, sehingga ha mpir berbareng mereka me langkah maju dengan penuh keraguraguan. Kiai Danatirta tidak lagi berjongkok di hadapan petani dari Sukawati itu. Tetapi sikapnya menjadi berlainan sekali. Bahkan
sambil menyembah ia berkata "Ampun. Pangeran. Kami tidak menyangka bahwa tuan akan datang ke te mpat ini" Ternyata panggilan itu telah mengguncangkan dada anakanak muda yang sudah semakin de kat, dan dapat menangkap kata-kata itu. Sejenak mereka berdiri tegak sambil saling berpandangan. "Anak-anakku" berkata Kia i Danatirta "Ke marilah. Kau pasti belum mengenalnya. Juwiring yang sudah la ma tinggal di Ranakusumanpun pasti belum mengena lnya dengan baik, karena Pangeran ini jarang berada di antara kaum bangsawan. Bahkan Raden Rudirapun t idak. Juwiring me mandang petani dari Sukawati itu dengan dada yang berdebar-debar. Baru kini ia melihat sinar yang tajam me mancar dari sepasang mata orang itu. Sementara Buntal yang sudah sejak se mula melihat kela inan di wajah pelani itu menjadi se makin gelisah. Ia adalah orang yang pertama-tama berdiri paling dekat dengan orang itu, ketika ia terbanting jatuh dan berguling beberapa kali Pampir saja menyentuh sepasang kakinya yang kuat. Dan sejak ia me lihat wajah itu dari jarak yang sangat dekat, ia sudah melihat kela inan itu. Arum yang seakan-akan tanpa menyadarinya bertanya perlahan-lahan "Siapakah orang itu ayah?" "Petani dari Sukawati" jawab orang itu. Tetapi Kiai Danatirta berkata "Perkenankanlah anak-anak ini mengenal siapakah tuan" Orang itu menarik nafas dala m-da la m. "Bukankah tuan t idak berkeberatan?" "Baiklah Kiai. Tetapi hanya anak-anakmu, meskipun aku tahu, bahwa mereka bukan ana kmu sendiri"
"Terima kasih tuan" Kia i Danatirtapun ke mudian berpaling kepada anak-anaknya, katanya "Inilah yang bergelar Pangeran Mangkubumi" "Pangeran Mangkubumi?" desis Juwiring. Hampir saja ia berlutut di hadapan orang itu, seandainya orang yang ternyata adalah Pangeran Mangkubumi itu tidak berkata "Jangan me mbuat kesan yang aneh di tengah sawah ini. Aku adalah petani dari Sukawati. Lihat, masih banyak orang berada di sekitar tempat ini meskipun agak jauh. Tetapi jika mereka me lihat sikap kalian, ma ka mereka pasti akan bertanya-tanya" "Tetapi, tetapi..." suara Juwiring menjadi bergetar "tuan adalah Pangeran Mangkubumi" "Ya. Apakah salahnya kalau aku Mangkubumi" Pangeran Mangkubumi berhenti sejenak, lalu "Kaupun pasti bukan anak Kiai Danatirta. Meskipun belum terlalu rapat, aku sudah berkenalan dengan orang yang menjadi ayahmu ini, sehingga ia berhasil mengenali aku dala m paka ianku ini. Bahkan aku sudah mengotori wajahmu dengan debu. Tetapi siapa kau sebenarnya?" "Na manya Juwiring" Kiai Danatirtalah yang menjawab "Ia adalah juga putera Pangeran Ranakusuma " "O" Pangeran Mangkubumi mengangguk-anggukkan kepalanya "jadi kau adalah putera Ka mas Ranakusuma" Jadi apamukah yang berkuda itu?" "Ia Putera Pangeran Ranakusuma yang muda tuan. Tetapi keduanya berlainan ibu. Raden Juwiring putera yang lahir dari seorang ibu dari rakyat jelata, atau katakanlah seorang bangsawan yang telah agak jauh dari lingkungan istana, sedang Raden Rudira, adiknya itu adalah putera yang lahir dari ibunda Raden Ayu Sontrang" "Jadi yang berkuda itu anak Sontrang yang terkenal itu?" "Ya tuan"
"Pantas sekali. Aku me mang sudah mendengar serba sedikit apa yang terjadi di Ranakusuman. Tetapi aku tidak pernah datang berkunjung kehadapan kamas Ranakusuma. Aku muak me lihat bekas alas kaki orang asing yang tidak dilepas yang mengotori pendapa rumahnya yang pernah terasa keagungannya. Jadi anak inilah yang lahir dari seorang perempuan yang berna ma Rara Putih?" "Ya tuan" "Dan Rudira itu ana k Sontrang yang telah berhasil menyisihkan Diajeng Manik, puteri pa man Reksanagara?" "Ya tuan" Pangeran Mangkubumi mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Aku tahu betapa tamaknya perempuan itu. Ia mewarisi sikap ayahnya, pamanda Sindurata. Sikap yang sangat bertentangan dengan pamanda Reksanagara. Agaknya kumpeni telah ikut ca mpur pula di dala m persoalan ini, sehingga me mpercepat tersisihnya putera pamanda Reksanagara dari Ranukusuman" Buntal mendengarkan keterangan itu dengan heran. Ternyata bagaimanapun juga ia tidak dapat mengerti, bahwa orang-orang yang masih terikat di dala m hubungan keluarga, bahkan masih terlalu dekat, dapat juga saling me mfitnah, saling me ndesak dan yang satu mengorbankan yang lain" "Mereka adalah saudara sepupu" katanya di dalam hati "bahkan Raden Rudira dan Raden Juwiring adalah saudara seayah" Terbayang sekilas pa man dan bibinya yang miskin. Mereka sama seka li tidak me mpunyai kelebihan apapun juga dari pendapatan mereka sehari-hari. Bahkan untuk makan merekapun masih belum me menuhi. Tetapi mereka mau juga me me liharanya. Mau juga me mberinya tempat di antara keluarganya yang miskin itu.
"Aku tidak tahu" katanya pula di dalam hatinya "Apakah justru orang-orang besar itulah yang kadang-kadang tidak lagi saling mengasihi di antara sesama. Mereka hidup berpegangan kepada kepentingan diri sendiri. Mereka sama sekali tida k lagi merasa terikat hubungan seorang dengan yang lain. Bahkan kalau perlu yang seorang berdiri beralaskan sesamanya tanpa menghiraukan sakit dan pedihnya" Terkilas diangan-angan Buntal nasehat Kiai Danatirta "Kita hidup bumi yang sama. Tuhan yang Satu walaupun Ia me mpunyai se mbilan puluh se mbilan na ma dan kitapun diciptakan dari tanah yang sama. Itulah sebabnya maka kita harus saling sayang menyayangi. Saling menasehati dala m kebenaran dan saling menasehati da la m kesabaran" Dala m pada itu, Buntal seakan-akan tersadar dari mimpinya ketika ia mendengar Pangeran Mangkubumi itu bertanya "Lalu siapakah anak muda ini" "Aku mene mukannya di bulak ini tuan. Menurut pengakuannya ayahnya seorang abdi dari Katumenggungan Gagak Barong" "O. Tumenggung itu lagi" desis Pangeran Mangkubumi "Bagaimana ia sa mpai disini" "Ia menjadi yatim piatu, sehingga meninggalkan Katumenggungan itu" ia harus pergi
"Itu lebih bagus baginya" Pangeran itu menganggukangguk, lalu "gadis itu?" "Itu adalah anakku tuan. "Anakmu?" Kiai Danatirta menjadi termangu-ma ngu sejenak. Tetapi karena Arum ada di dekatnya, maka iapun mengangguk sambil me njawab "Ya tuan. Ia adalah anakku"
"Agaknya anakmu itulah yang telah menarik perhatian Rudira. Bukankah begitu?" "Ya tuan" "Lalu, Juwiring mencoba me lindunginya. Apakah Juwiring ada di padepokanmu?" "Ya tuan. Ia terusir dari istana Ranakusuman. Bahkan sebelum Raden Ayu Manik" "Bagus. Tinggallah pada Kiai Danatirta. Aku akan sering berkunjung ke padepokan itu. Aku sering mela kukan perjalanan semacam ini untuk me lihat kenyataan. Bukan sekedar mendengar berita dari te mbang rawat-rawat. Aku sendiri ingin melihat kebenaran. Apalagi setelah kumpeni mulai berpengaruh di Surakarta. Sebenarnya itu sangat menyakit kan hati. Tetapi tida k mudah untuk menolak pengaruh itu. Justru se makin la ma agaknya malahan menjadi semakin kuat. Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia juga menyadari kebenaran kata-kata Pangeran Mangkubumi. Katakata itu bukan sekedar me loncat karena dorongan perasaan yang sedang meluap. Tetapi agaknya Pangeran Mangkubumi sudah me mikirkannya masak-masak. Dala m pada itu, maka Pangeran Mangkubumipun berkata kepada Kia i Danatirta "Sudahlah. Aku a kan meneruskan perjalanan. Aku sedang menjelajahi daerah Surakarta dari ujung Selatan" "Apakah tuan tidak singgah barang sebentar di padepokan kami agar tuan dapat beristirahat" "Terima kasih. Aku adalah pejalan yang tidak me ngena! lelah. Aku me mang me mbiasakan diri Berjalan tanpa berhenti dari matahari terbit sa mpai matahari terbena m" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya Ia percaya kepada keterangan itu. Pangeran Mangkubumi
me mang sering berjalan dari matahari terbit sampai matahari terbenam, atau sebaliknya dari matahari terbenam sa mpai matahari terbit. Bahkan kadang-kadang Pangeran Mangkubumi sengaja tidak berbicara sama sekali selama perjalanannya. Demikianlah ma ka petani dari Sukawati itupun minta diri kepada Kiai Danatirta dan ketiga anak-anak angkatnya. Namun baginya, padepokan Jati Aking telah menarik perhatiannya. Sepeninggal Pangeran Maugkubumi, Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Aku tida k tahu sa ma sekali, bahwa orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu adalah Ramanda Pangeran Mangkubumi" "Aneh sekali" desis Buntal "Bukankah tida k terlalu banyak jumlah Pangeran di Surakarta?" "Tetapi Pangeran Mangkubumi jarang sekali ada di kota. Apalagi jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah berhubungan dengan ayahanda Pangeran Ranakusuma, sehingga aku ha mpir t idak mengenalnya lagi. Me mang seka li dua kali aku pernah melihatnya sepintas. Tetapi dengan mengotori wajahnya dan dengan pakaian yang kumal, aku tidak mengenalnya sama sekali, dan apalagi aku tidak menyangka bahwa Pangeran Mangkubumi akan menya mar diri serupa itu. Tentu adimas Rudira tida k mengena lnya pula. Untunglah, bahwa adi mas Rudira segera meninggalkan tempat ini, sebelum Ramanda Mangkubumi bertindak lebih jauh. "Ternyata bahwa Pangeran Maugkumi benar-benar bertindak atas suatu sikap. Bukan kebetulan saja ia berbuat sesuatu disini" berkata Kia i Danatirta. "Aku dengar sikap Ra manda Pangeran Mangkubumi terhadap Kumpeni agak keras" berkata Juwiring.
"Ya. Itulah sebabnya Pangeran Mangkubumi tida k pernah berhubungan dengan Pangeran Ranakusuma, karena Pangeran Mangkubumi tahu, bahwa Pangeran Ranakusuma agak dekat dengan orang-orang asing itu" Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tatapan mata yang tajam dipandanginya petani dari Sukawati yang semakin la ma menjadi se makin hilang ditelan kejauhan. Ketika Pangeran Mangkubumi itu sudah tidak ta mpak lagi, Kiai Danatirta beserta anak-anaknya seolah-olah telah tersadar dari angan-angannya. Tiba-tiba saja orang tua itu berkata "Kita masih berada di tengah-tengah bulak. Marilah, lanjutkan kerja kalian" "O" Juwiring dan Buntalpun segera me mungut alat-alat mereka sa mbil me mandang Arum yang masih berdiri di pematang. "Kau juga" berkata Juwiring. Arum mengangguk. Dia mbilnya selendangnya, dan digendongnya pula bakul yang berisi makanan buat Juwiring dan Buntal yang ke mudian ke mbali turun ke sawah. "Aku akan ke mbali ke padepokan" berkata Kiai Danatirta "hari ini aku tidak ikut bekerja bersama ka lian. Tetapi hatihati. Jangan kau katakan kepada siapapun, bahwa petani dari Sukawati itu adalah Pangeran Mangkubumi" Demikianlah, ketika Juwiring dan Buntal sudah berada di sawahnya kembali, ma ka beberapa orang dengan ragu-ragu telah mende katinya. Bagaimanapun juga mereka ingin juga mendengar, apakah yang sebenarnya terjadi, dan siapa sajakah yang telah terlibat di dala m persoalan itu. "Raden" berkata seseorang "Kami menjadi berdebar-debar menyaksikan apa yang telah terjadi. Untunglah bahwa semuanya telah sela mat" "Ya pa man" sahut Juwiring "Tidak ada apa-apa lagi"
"Tetapi siapakah anak muda yang berkuda diikuti oleh para pengiring itu" Apakah ia juga seorang Pangeran?" "Ia putera seorang Pangeran" "O" Orang-orang yang mendengar jawaban itu mengangguk-angguk. Itulah agaknya mengapa Raden Juwiring berani menentang kehendaknya, karena orang-orang itupun tahu, bahwa Raden Juwiring adalah seorang bangsawan pula meskipun bukan seorang Pangeran. "Tetapi, tetapi..." bertanya seseorang "Apakah anak muda itu tidak akan mendenda m dan di kese mpatan lain berbuat sesuatu di luar dugaan?" Juwiring menarik nafas. Jawabnya "Memang mungkin. Tetapi apaboleh buat" "Apakah Raden belum mengenalnya sebelum ini?" bertanya yang lain. Juwiring menjadi termangu-mangu. Tetapi ia tidak mengatakan bahwa anak muda itulah yang bernama Raden Rudira, adiknya seayah. "Aku sudah mengenalnya" jawab Juwiring, lalu "Apakah kau tidak mendengar percakapan ka mi dan mendengar ia menyebut na manya?" Orang-orang itu menggelengkan kepalanya. Salah seorang menjawab "Ka mi t idak berani mende kat. Dan kami menjadi semakin berdebar-debar melihat seorang dari Iikungan ka mi ikut ca mpur. Apakah orang itu tidak tahu, bahwa yang lagi bertengkar adalah para bangsawan" Juwiring mengerutkan keningnya. Ketika tanpa sesadarnya ia berpaling kepada Buntal, dilihatnya anak muda itu menundukkan kepa lanya. Namun Juwiringpun ke mudian menjawab "Tidak seorangpun yang mengenal petani itu. Ia sadar, bahwa tidak
mudah untuk mene mukannya, sehingga karena itu ia berani menolong ka mi" "Tetapi bukankah para bangsawan me mpunyai banyak abdi yang dapat mencari dan mene mukannya?" "Berapapun banyaknya, tetapi pasti sangat sulit untuk mencari seorang petani di se luruh daerah Surakarta ini" Orang yang kemudian telah berkerumun di sekitar anakanak muda anak angkat Kiai Danatirta itu menganggukangguk. Alasan itu me mang masuk aka l. Adalah sulit sekali untuk mene mukan seseorang di se luruh wilayah Surakarta yang luas ini. "Tetapi" berkata salah seorang dari mereka "Apakah Raden sendiri dengan de mikian tidak merasa terancam?" Juwiring me nggelengkan kepalanya "Tidak" jawabnya "asal aku tidak me musuhi seseorang, maka aku pasti t idak akan menga la mi apapun juga. Apa yang aku kerjakan adalah, me mbe la diri dan melindungi saudaraku" Orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Sekilas mereka me mandang Buntal yang sudah mulai sibuk dengan cangkulnya. Satu dua orang yang menyaksikan perkelahian itu dari kejauhan menjadi heran. Ternyata Buntal adalah seorang anak muda yang bersikap keras. Ia langsung menyerang lawannya tanpa menunggu apapun juga Raksasa itu dapat dijatuhkannya. Jika tidak ada orang lain yang harus dilayani, maka raksasa itu pasti tidak akan se mpat bangun. "Tetapi ia tidak berbuat apapun juga ketika karena salah paham ana k itu dipukuli di bulak ini" berkata beberapa orang di dala m hatinya "ternyata ia mampu berke lahi. Jika saat itu ia me lawan dan apalagi mendapatkan sepucuk senjata jenis apapun, maka ia akan sangat berbahaya dan barangkali, ka mi akan lari tunggang langgang Tetapi saat itu ia tidak melawan
sama sekali sehingga ka mi dapat me mukulinya sepuas-puas kami" Tetapi orang-orang itu sama seka li tida k mengerti, bahwa Buntal mene mukan ke ma mpuannya justru sesudah ia berada di padepokan Jati Aking. Dala m pada itu, Rudira yang marah memacu kudanya secepat-cepatnya. Di sepanjang jalan ia mengumpat tidak habis-habisnya. Bahkan kemudian ia berteriak me manggil "Sura, Sura. Kemari" Sura mencoba me mpercepat derap kudanya, agar ia dapat menyusul Raden Rudira. Tetapi kuda Raden Rudira terla mpau cepat, sehingga Sura tidak juga berhasil mende katinya. "Sura cepat ke mari " Rudira berteriak "Apakah kau sudah tuli" "Ya, ya Raden. Aku sedang berusaha" Jawaban itulah yang membuat Rudira sadar, bahwa derap kudanya ternyata terlampau cepat, sehingga Sura tidak segera berhasil menyusulnya. Karena itu, sambil berpaling ia me mperla mbat lari kudanya. "Kau sekarang sudah gila" bentak Rudira. Sura yang kemudian berada sedikit di belakangnya hanya menundukkan kepa lanya saja. "Ke mari, cepat" Sura tidak dapat membantah, sehingga karena itu ia berpacu di sisi Rudira yang marah. "Kenapa kau tidak dapat berbuat apa-apa terhadap petani gila itu, he" Kenapa kau tidak dapat berbuat garang seperti biasanya?" Sura tidak segera menjawab. "Kenapa?" Rudira berteriak.
Sura menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia merasa tidak perlu ingkar lagi. Jawabnya kemudian "Raden, orang itu me mpunyai kekuatan yang luar biasa. Tangannya seperti besi, sehingga tidak a kan ada kekuatan yang dapat mengimbanginya" "O, jadi kau sekarang sudah bukan raksasa Ranakusuman lagi ya" Kau sekarang tida k ada bedanya dengan tikus-tikus piti yang berke liaran di kandang kuda, itu" Bagaimana mungkin kau telah kehilangan kekuatan yang selama ini kau banggakan?" Raden Rudira berhenti sejenak, lalu "mula-mula kau hampir saja dibunuh oleh anak itu. Untunglah Juwiring telah mencegahnya. Kemudian kau sa ma sekali Tidak berdaya menghadapi petani dari Sukawati itu. Kalau saja ia mau me mbunuhmu, ia pasti dapat me lakukannya" Sura tidak dapat segera menjawab. Nafasnya terasa semakin cepat menga lir lewat lubang hidungnya. "Tetapi kita tidak akan dia m. Kita akan mencarinya di Sukawati. Kalau ia me mberikan keterangan palsu, kita akan mencarinya di seluruh Surakarta, sampai kita dapat mene mukannya dan me mberinya sedikit peringatan, bahwa apa yang dilakukan itu tidak berkenan di hariku, putera Pangeran Ranakusuma. Aku dapat mengaja k kawanku. Orang kulit putih itu" Sura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja diberanikan dirinya untuk berkata "Jangan Raden. Jangan me mbawa orang asing itu" "Kenapa" Kau sa ma sekali sudah tidak berguna lagi bagiku" "Tetapi orang asing itu akan berbuat terla mpau kasar. Aku adalah orang yang paling kasar. Tetapi masih juga terasa sesuatu yang kurang mapan di da la m hati apabila orang asing itu me mperla kukan keluarga kita dengan se mena-mena" "Apa katamu" Sejak kapan kau menjadi guruku he?" bentak Rudira hampir berteriak "Apakah kau takut kehilangan
kedudukanmu jika aku mendapat me ma ksakan kehendakku?" Sura menundukkan kepalanya.
orang baru untuk "Kita a kan melihat, apa yang akan kita la kukan kela k. Tetapi aku ingin mene mukan orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu. Aku harus dapat membalas sakit hatiku. Ia akan mendapat hukuman yang jauh lebih berat dari kamas Juwiring sendiri" Sura tidak berani menyahut lagi. Ditundukkannya saja kepalanya dalam-da la m, meskipun dadanya masih tetap bergolak. Bagaimanapun juga ia lebih senang bertindak sendiri dengan kekasaran yang tidak tanggung-tanggung daripada me lihat orang asing itulah yang berbuat kasar kepada orangorang Surakarta. Demikianlah iring-iringan itu berpacu sema kin cepat. Untuk beberapa lamanya mereka tidak berbicara apapun juga. Wajah Raden Rudira tampa k gelap seperti mendung yang mengga mbang di langit. Kegagalannya menyentuh seorang gadis manis dari padepokan Jati Aking me mbuat hatinya kela m. Bukan karena gadis itu sendiri, karena ia masih akan dapat mencari gadis yang lebih cantik dari Arum, tetapi justru karena Juwiringlah yang merintanginya. Apalagi tiba-tiba saja muncul seorang petani yang bodoh se kali, yang berusaha me mbantu Juwiring dan anak gila yang ha mpir saja me mbuat Sura pingsan. Pikiran-pikiran itulah yang me mbelit perasaannya selama ia berada di punggung kudanya. Perburuan yang dilakukan ka li ini benar-benar tidak mengge mbira kannya. Meskipun demikian Rudira sa mpai juga di hutan perburuan. Setelah beristirahat sejenak, maka iapun mulai me masuki hutan yang tidak begitu lebat, untuk mencari binatangbinatang buruan yang me mang banyak berkeliaran di antara semak-se mak.
Tetapi karena hatinya yang sedang pepat, maka adalah kebetulan sekali, ia tidak mene mukan seekor kelincipun. Binatang-binatang hutan itu seolah-olah telah mengetahui kehadiran beberapa orang pemburu, sehingga merekapun bersembunyi jauh ke dala m daerah yang lebih rapat. "Gila" Rudira mengumpat-umpat" binatang ini berse mbunyi" Ke mana binatangPengiringnya tidak ada yang berani menyahut. Tetapi mereka berpendapat di dalam hati "Tentu tidak akan mendapat seekor binatangpun, jika cara berburu ini dila kukan seperti sekelompok orang-orang menebas hutan, sehingga binatang di seluruh hutan ini pasti akan berlari-larian" Akhirnya Rudira menjadi lelah. Keringatnya me mbasahi seluruh paka iannya. Namun belum seekor biuatangpun yang didapatkannya. "Kita berhenti" teriak Rudira ke mudian "nanti ma la m kita ulangi. Kita akan mendapatkan harimau yang paling besar di hutan ini, atau rusa jantan yang bertanduk sepanjang badan kita" Maka perburuan itupun dihent ikannya. Mereka ke mudian mencari te mpat untuk beristirahat dan menunggu matahari terbenam di Barat. Memang di mala m hari kadang-kadang mereka dapat mengintai harimau yang keluar dari sarangnya mencari mangsa. Dari atas pepohonan mereka dapat me mbidik dan melepaskan anak panah tepat mengenai pangkal kaki depannya. Biasanya harimau itu tidak akan dapat lari terlampau jauh. Dengan demikian maka bera mai-ra mai mereka akan dapat me mbunuhnya, kalau mungkin tanpa me mbuat luka-luka di tubuh harimau itu. Semakin sedikit luka-luka pada kulit harima u itu, maka belulang yang didapatnya akan menjadi se makin berharga. Namun tidak seperti biasanya Raden Rudira selalu gelisah. Ia sama seka li tidak menerima keadaan yang baru saja
Interpretation Murder 8 Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta Sepasang Pedang Iblis 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama