Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Batu Karang 31

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 31


"Ha mba takut mendekat Pangeran" jawab e mban itu.
pembaringan Raden Ayu Galihwarit, se mentara embannya berusaha me mijit-mijit keningnya. "Ambil air" desis Pangeran Sindurata. Emban itupun ke mudian berlari ke belakang. Seorang emban tua telah me mberitahukan kepadanya agar ia me mbawa jeruk pece l dan enjet putih. "Bera mbang dan minyak kelapa" desis yang lain. Dengan de mikian, maka yang ke mudian me masuki bilik itu bukannya hanya emban yang me mbawa minuman saja, tetapi juga seorang kawannya yang me mbawa bera mbang, minyak kelapa, jeruk pecel dan enjet. Dengan berambang dan minyak ke lapa emban itu menggosok kaki Raden Ayu yang menjadi sangat dingin, sementara yang Lain berusaha menggosok bagian tangannya dengan jeruk enjet sa mbil me mijit-mijitnya. Pangeran Sindurata telah menitikkan minum di bibir Raden Ayu yang pingsan itu. Setitik de mi setitik. Se mentara Juwiring yang kebingungan bagaikan me mbeku di bawah pe mbaringan. Sementara orang-orang yang berada di dalam bilik itu menjadi sibuk, maka pengawal yang berada di depan pintu berdesis kepada Buntal "Jangan berbuat sesuatu yang akan dapat mencela kaimu" Buntal me mandang pengawal itu sejenak. Na mun ia tidak menghiraukannya lagi. Perhatiannya tertuju kepada kesibukan di dala m bilik Raden Ayu Ga lihwarit itu. Sementara itu, usaha untuk menolong Raden Ayu itu masih dilakukan. Emban yang berada di dalam bilik itu masih me mijit-mijitnya dan mengusap minyak tanah dengan berambang pada kakinya. Ternyata titik-titik a ir di bibir Raden Ayu itu me mbuatnya menjadi segar, sementara berambang dan minyak ke lapa
serta jeruk pecel dan enjet itupun membuat tubuhnya menjadi hangat, sehingga perlahan-lahan Raden Ayu itupun menjadi sadar. Yang bergerak pertama-tama adalah kelopa k matanya. Ketika mata itu terbuka, maka terdengar ia merintih. Namun dala m pada itu, Pangeran Sindurata telah dihinggapi oleh kece masan baru. Jika Raden Ayu itu kemudian sadar, maka ke mungkinan lain akan terjadi. Mungkin ia justru telah kehilangan kesadarannya sama sekali da la m bentuk yang lain. Gangguan syarafnya akan bertambah parah dan bahkan mungkin ia tidak akan pernah mene mukan kesadarannya ke mbali barang sesaatpun. Kecemasan itu telah me mbuat perasaan Pangeran Sindurata bagaikan tersayat. Puterinya yang mengala mi nasib sangat buruk itu akan se makin menjadi parah. Selebihnya ia akan menjadi beban yang bertambah berat. Karena itu, ketika ke mudian Raden Ayu itu mula i bergerak, Pangeran Sindurata telah bergeser surut. Dipandanginya puterinya yang telah me mbuka matanya dan mulai me mperhatikan keadaan di seke lilingnya. "Apa yang telah terjadi?" t iba-tiba saja puteri itu berdesis. Pangeran Sindurata mengerutkan keningnya. Kepalanya terasa semakin berta mbah pening. Bahkan tengkuknya rasarasanya bagaikan ditekan dengan batu. "Apa yang telah terjadi?" sekali lagi Raden Ayu itu bertanya. Emban yang terbiasa melayaninyapun beringsut maju sambil berbisik "Tidak ada apa-apa Raden Ayu. Tidak ada apaapa. Jika Raden Ayu ingin tidur, sebaiknya Raden Ayu beristirahat dan tidur barang sejenak" Raden Ayu itu mengerutkan keningnya. Emban itupun terbiasa, jika gangguan syaraf itu datang, dan pada suatu saat
ke mudian Raden Ayu itu t idur oleh kele lahan, biasanya jika ia terbangun, gangguan itu sudah jauh berkurang. Namun Raden Ayu itupun ke mudian justru berusaha untuk bangkit. Emban yang duduk bersimpuh di sisi pe mbaringan itupun berdesis "Sebaiknya Raden Ayu tidur sajalah barang sejenak" Tetapi Raden Ayu itu telah duduk di bibir pe mbaringan. Sejenak ia me mperhatikan seisi biliknya. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Perlahan-lahan iapun mulai dapat mengumpulkan ingatannya. Ketika ia melihat Juwiring berdiri termangu-ma ngu, maka lengkaplah ingatannya tentang dirinya dan tentang apa yang telah terjadi sebelumnya. Sekali lagi hatinya merasa berdesir ketika ia teringat dengan gamblang apa yang dikatakan oleh Juwiring. Pangeran Ranakusuma, suaminya, telah gugur di peperangan melawan kumpeni dan prajurit Surakarta. Bahkan telah sampyuh dengan Tumenggung Widura dan melukai Pangeran Yudakusuma. Tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit itu menangis. Terdengar isaknya disela-sela kata-katanya "Kakanda Ranakusuma gugur pada saat ia menyimpan denda m. Aku adalah sumber dari segalanya" Pangeran Sindurata menjadi berdebar-debar. Kepalanya terasa bertambah pening. Katanya kepada emban yang terbiasa melayani Raden Ayu Galihwarit "Ia sudah mulai menangis. Ia akan mengingat segalanya dan gangguan itu akan segera datang" Pangeran Sindurata berhenti sejenak, lalu katanya kepada Juwiring "Keluar dari bilik ini. Kaulah yang menyebabkannya. Karena itu, kau harus ditangkap dengan kesalahan ganda" Juwiring seolah-olah menjadi sadar. Tetapi ia terla mbat. Ia berdiri tida k terlalu dekat dengan Raden Ayu Galihwarit, sehingga ia tidak akan dapat segera meloncat dan
menganca mnya. Pangeran Sindurata yang meskipun sudah tua, tetapi ia akah mencegahnya dan barangkali ia masih dapat berbuat sesuana sambil berteriak me manggil para pengawal. "Cepat" teriak Pangeran Sindurata Ia menjadi tergesa-gesa. Juwiring harus keluar sebelum Raden Ayu Galihwarit itu mengigau seperti biasanya, sambil menyebut nama-nama orang-orang asing yang pernah berhubungan dengannya. Namun dala m pada itu. Pangeran Sindurata itu terkejut. Ternyata Raden Ayu Galihwarit yang menangis itu tidak mengigau seperti biasanya. Bahkan dengan suara utuh ia berkata "Ayahanda, biarlah Juwiring berada di sini" Pangeran Sindurata mengerutkan keningnya. Dipandanginya Raden Ayu Galihwarit yang sudah tidak menangis lagi. Sa mbil mengusap matanya yang basah ia berkata "Akan berbicara panjang dengan anakku" "Anakmu yang mana?" bertanya Pangeran Sindurata. "Juwiring. Ia adalah anakku seperti juga Warih" suara Raden Ayu itu menjadi le mbut. Pangeran Sindurata terkejut. Ketika ia menatap mata Raden Ayu Galihwarit, terasa sesuatu yang lain dari yang biasa dilihatnya. Mata itu menjadi sura m, tetapi tidak menjadi liar seperti pada saat-saat sebehunnya dalam keadaan yang serupa. "Galihwarit" desis Pangeran Sindurata menyadari apa yang kau katakan?" "Apakah kau
"Aku sadar sepenuhnya ayahanda" jawab Galihwarit "mungkin ayahanda heran, bahwa pada saat-saat seperti ini aku tidak jatuh ke dala m wajah ge lapku. Aku sendiri juga heran, bahwa aku tidak lagi terperosok ke dalam satu pusaran waktu yang me mbuatku menjadi gila"
Pangeran Sindurata setapak melangkah maju dengan raguragu. Sementara itu Raden Ayu Galihwarit berkata "Ke marilah ngger. Kemarilah. Anggaplah aku sebagai ibumu. Aku tahu, sebelumnya me mang ada jarak di antara kita. Tetapi pada saat terakhir, aku menyadari, bahwa akulah yang telah me mbuat jarak itu di antara kita, di antara kau dan adikmu Warih dan di antara kita sekeluarga" "Apa maksudmu Galihwarit?" bertanya Pangeran Sindurata. "Aku sudah me ndengar segala keterangan Juwiring, Aku sudah mendengar permohonannya, agar kita, maksudnya aku dan ayahanda, berusaha menodong Warih, tanpa menyerahkan Juwiring, karena menyerahkan Juwiring dengan cara apapun juga, tidak akan menja min bahwa Warih akan benar-benar dilepaskan" berkata Raden Ayu Sontrang dengan nada mantap dan ka limat yang utuh. Pangeran Sindurata termangu-mangu sejenak. Ternyata anaknya berada dalam keadaan yang berbeda. "Ayahanda" berkata Raden Ayu Galihwarit "Aku telah diguncang oleh keterkejutanku seperti saat aku melihat Rudira terbujur di pe mbaringan. Agaknya justru karena itu, aku mendapatkan ke mba li kesadaranku sepenuhnya. Rasa-rasanya aku sekarang ma mpu berpikir bening. Aku me ngerti, selama ini aku diganggu oleh kela inan syaraf yang tidak dapat aku atasi, sehingga pada saat-saat tertentu aku lupa segalagalanya. Namun sekarang aku sadar sepenuhnya apa yang aku hadapi Mudah-mudahan Tuhan me maafkan aku dan me mberikan kese mbuhan kepadaku" "Galihwarit" desis Pangeran Sindurata sambil me langkah maju "na mpaknya kau me mang lain. Goncangan perasaanmu agaknya telah membuat kau terle mpar kepada keadaanmu yang sebenarnya, kepada dunia mu sendiri"
"Tuhan Maha Besar ayahanda" desis Raden Ayu Galihwarit sambil mengusap titik air di pelupuknya "karena itu, biarlah anakku de kat kepadaku" Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-da la m. Sementara itu Raden Ayu Galihwarit berkata "Ke marilah Juwiring" "Ampun Raden Ayu" sahut Juwiring sambil berjongkok di dekat pembaringan Raden Ayu Galihwarit yang duduk termangu-mangu. "Jangan panggil aku Raden Ayu. Aku adalah ibumu ngger. Panggil aku seperti Warih me manggil aku" desis Raden Ayu Galihwarit. Wajah Juwiringpun menunduk dala m-da la m. Sementara itu Raden Ayu berkata "Aku mohon ayahanda mengerti perasaanku. Ijinkan aku berbicara dengan Juwiring tentang Warih" "Lalu, apakah yang harus Pangeran Sindurata. aku kerjakan?" bertanya
"Tida k apa-apa ayahanda. Tetapi jika ayahanda ingin ikut berbicara bersama ka mi, aku persilahkan ayah tetap berada di bilik ini" Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-da la m se mentara Juwiring berkata "Ha mba tidak seorang diri Raden Ayu" "Panggil aku sebagaimana kau me manggil ibumu" desis Raden Ayu Galihwarit. Juwiring beringsut setapak. Ketika ia me mandang Pangeran Sindurata, nampak keheranan masih me mbayang di wajah Pangeran tua itu. Sementara Raden Ayu Galihwarit berkata selanjutnya "Apakah kau me mbawa kawan?"
"Ya ibunda" meskipun agak canggung, tetapi Juwiring menyebutnya juga seperti dikehendaki oleh Raden Ayu Galihwarit. "Bawa kawanmu itu masuk. Eyangmu tentu mengijinkannya" berkata Raden Ayu itu lebih lanjut. akan
Pangeran Sindurata mengerutkan keningnya. Tetapi ia t idak me mbantah. Meskipun ada juga sentuhan yang pahit di hatinya karena anak yang dianggapnya sudah terbuang itu harus menyebutnya seperti cucunya sendiri. Ketika Juwiring masih na mpak ragu-ragu, maka Raden Ayu Galihwarit itu mendesaknya " Ajaklah ke mari. Jika di luar ada satu dua orang pengawal, biarlah eyangmu me mberitahukan kepada mereka" Juwiringpun ke mudian beringsut surut dan me langkah keluar. Dilihatnya para pengawal masih tetap bersiaga mengawasi Buntal yang berdiri tegak. Namun sejenak ke mudian Pangeran Sinduratapun telah berdiri di pintu sa mbil berkata "Biarkan mereka" Para pengawal itu termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa ketika Juwiring ke mudian me mbawa Buntal masuk ke da la m bilik itu. Ketika semuanya sudaK duduk, Raden Ayu Galihwaritpun berkata kepada Juwiring "Aku sudah mendengar keteranganmu tentang Warih, ngger. Tetapi jelaskan, bagaimana rencanamu seutuhnya" Juwiringpun sekali lagi menje laskan, apa yang telah terjadi atas Rara Warih. Lalu katanya "Jika aku menghadap ibunda, sebenarnyalah maksud ka mi, orang-orang padepokan Jati Aking, mohon agar ibunda dapat mene mpuh cara lain untuk me mbebaskannya. Memang cara yang paling pendek adalah menangkap aku dan menyerahkan aku kepada para prajurit dari pasukan berkuda. Tetapi apakah hal itu sudah dapat dijadikan jaminan bahwa Warih akan dapat dilepaskan.
Me mang tida k ada satu kepastian pendapat tentang sikap para prajurit dari pasukan berkuda. Na mun jika ibunda mengetahui sikap Rara Warih sendiri, maka ibunda a kan dapat me mbayangkan ke mungkinan yang dapat terjadi atas diajeng Rara Warih itu" "Aku me mang ingin me ngetahui sikap Warih itu sendiri" desis Raden Ayu. "Apa yang akan Sindurata. kau lakukan?" bertanya Pangeran
"Mene mui Warih" jawab Raden Ayu, "Tetapi, tetapi ...." kata-kata itu terputus. Sementara Raden Ayu menarik nafas sambil berdesis "Aku merasa lain ayahanda. Mungkin ayahanda menjadi ce mas, bahwa aku akan kehilangan kesadaran di hadapan banyak orang. Tetapi rasa-rasanya pikiranku me njadi bening. Dan rasa-rasanya aku sudah dapat melepaskan segala penyesalan dan kekecewaan, justru pada saat aku yakin, bahwa segala kesalahan harus ditimpakan kepadaku, sehingga kakanda Ranakusuma menga mbil satu sikap yang sama sekali tidak aku duga" Pangeran Sindurata tidak menyahut. Tetapi kepalanya benar-benar bagaikan dihimpit Gunung Lawu. "Ayahanda" berkata Raden Ayu kemudian "na mpa knya segalanya me mang harus terjadi. Dan segalanya harus aku terima dengan ikhlas. Keikhlasan itulah agaknya sumber pengampunan atas segala kesalahan yang pernah aku lakukan. Tuhan me mang Maha Besar" "Biarlah aku saja yang mene mui Warih" tiba-tiba saja Pangeran Sindurata itu menggera m. "Aku akan mene muinya sendiri ayahanda. Adalah kewajibanku untuk berusaha me mbebaskan anakku tanpa mengorbankan anakku yang lain. Aku a kan mencari jalan
pembebasan Warih tanpa menjerumuskan Juwiring ke dala m tangan prajurit Surakarta dan apalagi kepada kumpeni" jawab Raden Ayu Galihwarit "karena itu, biarlah Juwiring ke mbali ke induk pasukannya dalam lingkungan Pangeran Mangkubumi. Akulah yang akan berbuat apa saja untuk pe mbebasan Warih" Pangeran Sindurata tidak mau berpikir lagi. Kepalanya benar-benar sudah tidak dapat dipergunakan lagi, sehingga iapun berkata "Terserah kepada kalian. Aku akan tidur" "Silahkan ayahanda Galihwarit. beristirahat" berkata Raden Ayu
Pangeran Sindurata itupun kemudian me langkah keluar dari bilik Raden Ayu Galihwarit. Namun di depan pintu ia berhenti sejenak. Katanya "Aku akan me mbe li kepodang putih itu. Tetapi aku tidak me merlukan seekor kutilang, karena aku sudah me mpunyai beberapa ekor" "Ya, ya Pangeran" sahut Juwiring dengan serta merta. Sepeninggal Pangeran Sindurata, Raden Ayu Galihwarit sempat bertanya kepada Buntal "Apakah kau juga dari pasukan Pangeran Mangkubumi?" "Ya Raden Ayu. Kami berdua berasal dari satu ke lompok di dalam pasukan Pangeran Mangkubumi" jawab Buntal. "Ia adalah adik seperguruanku ibunda dan oleh guru, ka mi berdua telah diangkat menjadi anak angkatnya dan dengan demikian ka mi berdua selain saudara seperguruan juga saudara angkat" Juwiring menje laskan. "Bagus. Karena Juwiring ada lah anakku, maka kaupun anakku pula" desis Raden Ayu. Juwiring me narik nafas dalam-da la m. Na mpaknya me mang ada sesuatu kejutan yang telah merubah segala-galanya di dalam hati Raden Ayu Galihwarit. Kejutan itu bukan saja telah menumbuhkan perubahan jiwani, sehingga ia justru telah
tidak lagi dihinggapi oleh gangguan kesadaran, namun sifat dan wataknyapun telah bergeser pula. Dala m pada itu, maka e mban di Sinduratan itupun telah diperintahkan oleh Raden Ayu Galihwarit untuk menja mu kedua anak muda itu. Raden Ayu itu na mpaknya benar-benar telah sembuh dan menganggap kedua anak muda itu benarbenar dengan perubahan pandangan dari sifat dan watak yang berubah pula. Baru ke mudian, Raden Ayu itu berkata "Juwiring, jika kau ingin ke mbali, ke mbalilah. Berhati-hatilah, karena banyak ke mungkinan dapat terjadi. Serahkan adikmu kepadaku. Pada saat tertentu kau dapat datang untuk menengok, apakah aku sudah berhasil atau belum" "Dua hari lagi, ka mi akan datang lagi ibunda" jawab Juwiring. "Baiklah. Tetapi jangan terlalu sering. Kau adalah buruan yang penting bagi kumpeni. Karena itu, kau harus dapat menjaga diri" pesan Raden Ayu itu pula "Aku akan berusaha meyakinkan ayahanda, bahwa para hamba di istana Sinduratan ini tidak akan berkhianat kepada mu. Meskipun aku belum melihat keadaan sejak aku dikurung di rumah ini, tetapi aku sudah dapat me mbayangkan lewat keteranganmu dan pengenalanku sebelumnya atas kumpeni dan sikap beberapa orang Surakarta sendiri" "Terima kasih atas segala keputusan yang sudah ibunda ambil. Ternyata aku mendapat jauh lebih banyak dari yang aku harapkan" berkata Juwiring ke mudian "karena itu, perkenankan aku mohon diri" "Hati-hatilah" pesan ibundanya "tetapi percayalah bahwa penghuni istana ini masih dapat aku yakini kesetiaannya" Demikianlah Juwiring dan Buntal ke mudian mohon diri. Tetapi mereka tida k se mpat mohon diri kepada Pangeran Sindurata yang sudah berbaring di dalam biliknya karena
kepalanya yang pening. Tetapi Juwiring masih se mpat menyerahkan burung kepodang putih kepada seorang ha mba. Namun dala m pada itu, para pengawal yang sudah siap menangkap kedua anak muda itu me mandangi saja dari kejauhan. Mereka sa ma sekali tida k menyapa mereka, karena para pengawal itu masih belum tahu pasti apa yang telah terjadi. Tetapi bahwa Pangeran Sindurata telah me merintahkan agar kedua anak itu dibiarkan saja, telah menimbulkan teka-teki pula di hati mereka. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Raden Ayu Galihwarit, maka iapun segera mohon kepada ayahandanya untuk me mberikan penjelasan tentang Juwiring meskipun tidak seluruhnya. "Kepalaku sedang pening" desis Pangeran Sindurata. "Sebentar saja ayahanda" minta Raden Ayu Galihwarit "dala m waktu dekat, segalanya dapat terjadi. Jika para abdi di istana ini tida k segera diberitahu apa yang sebenarnya telah terjadi, mereka akan menga mbil sikap sendiri" "Apa peduliku" gera m Pangeran Sindurata. Raden Ayu Galihwaritpun ke mudian duduk dipe mbaringan ayahandanya sambil berkata "Aku mohon ayahanda. Jika terjadi sesuatu atas anak itu, yang tanpa aku sadari telah berhasil mengisi kekosongan hatiku setelah aku kehilangan Rudira, maka aku akan merasa sekali lagi kehilangan. Aku tidak tahu, apakah aku masih akan ma mpu bertahan oleh kepahitan yang demikian" Pangeran Sindurata mengumpat di dala m hatinya. Namun ia me ma ksa diri untuk bangkit dan melangkah keluar. Dipanggilnya semua ha mbanya tanpa ada seorangpun yang ketinggalan. "Beritahukah kepada mereka" berkata. Pangeran Sindurata kepada Raden Ayu Galihwarit.
Raden Ayu itupun ke mudian menjelaskan persoalannya, meskipun tidak seperti keadaan seutuhnya. "Aku minta ka lian ikut menjaga, agar tidak seorangpun mengetahui bahwa Juwiring pernah datang ke istana ini" berkata Raden Ayu Galihwarit. "Ia telah berhasil mendapatkan obat yang sangat mujarab bagiku, apapun yang telah dilakukan dan dengan cara yang bagaimanapun. Aku me mang me merlukannya. Jika kalian berbelas kasihan kepadaku, maka kalian akan me mbantu aku" "Tetapi anak itu menjadi buruan kumpeni" salah seorang pengawal berdesis. "Kau benar. Tetapi manakah yang lebih berarti bagiku, bagi kalian yang sudah lama hidup bersama di dala m rumah ini. Kumpeni atau kese mbuhanku seperti yang kau lihat sekarang. Aku sekarang sadar, sesadar-sadarnya siapakah aku ini" berkata Raden Ayu "persoalannya dengan kumpeni bukan persoalan kita. Dan aku masih percaya kepada kalian, bahwa kalian t idak ingin me lihat aku menjadi sema kin parah. Aku mengerti, pada saat-saat tertentu aku lupa segala-galanya Meskipun aku tidak tahu apa yang aku lakukan pada saat-saat yang demikian, tetapi tentu tingkah laku yang sangat me ma lukan" Para hamba dan pe layan yang mendengarkan keterangan itu mengangguk-angguk. Terlebih-lebih e mban yang tahu benar, apa yang terjadi di saat-saat Raden Ayu itu mengala mi gangguan syaraf. Namun dala m pada itu, Pangeran Sinduratapun telah me mperkuat permintaan Raden Ayu itu dengan caranya "Jangan mencoba me langgar. Akupun sebenarnya tidak senang melihat anak itu. Tetapi akupun tidak senang melihat Galihwarit selalu diganggu oleh keadaan yang tidak wajar itu. Karena itu dengarlah permintaannya. Karena jika ada yang me langgar permintaan itu, la mbat atau cepat, tentu akan aku
ketahui pula. Terhadap orang yang de mikian, aku a kan dapat menga mbil sikap yang kasar" Para hamba, pengawal dan pelayan di istana itu mengangguk-angguk kecil. Mereka sudah mengenal Pangeran Sindurata dengan baik. Namun merekapun tida k mengabaikan ancaman itu, bahwa mungkin sekali Pangeran itu me mang akan berbuat de mikian. Dala m pada itu. Raden Ayu itupun masih mena mbah keterangannya "Aku minta, tidak seorangpun di luar lingkungan kita boleh mengetahui, meskipun itu adikku sendiri" Sekali lagi mereka yang mendapat pesan itu menganggukangguk. "Nah, kalian boleh ke mbali kepekerjaan kalian masingmasing" berkata Raden Ayu itu pula "doa kan agar aku benarbenar dapat sembuh. Tuhan na mpa knya sudah me maafkan semua kesalahanku, dan hukuma n yang aku jalani sudah cukup. Mudah-mudahan tidak seorangpun di antara kalian yang ingin me mbuat hukuman-hukuman baru bagiku" Para hamba, pengawal dan pelayan itupun ke mudian ke mbali ke tugas mereka masing-masing. Betapapun juga para pengawal merasa heran, namun mereka merasa perlu untuk me menuhi permintaan itu. Kecua li mereka me mang merasa abdi dari Sinduratan, merekapun merasa iba jika Raden Ayu yang sudah nampa k berangsur se mbuh itu akan menga la mi gangguan jiwa ke mbali. Sementara itu, Juwiring dan Buntal dengan hati-hati menelusuri jalan kota. Seperti saat ia me masuki kota Surakarta, maka ketika keduanya menuju kegerbang untuk keluar, merekapun me milih jalan sebagaimana di tunjukkan oleh para petugas sandi. Sambil menjinjing seekor burung di dala m sangkar, Buntal berjalan di sebelah Raden Juwiring yang selalu menunduk.
Meskipun ia mengenakan paka ian yang lusuh dan me makai tudung kepala, namun ternyata ada juga orang yang dapat mengenalnya. Karena itu, maka Raden Juwiring itu selalu berusaha untuk menye mbunyikan wajahnya. Namun de mikian, keduanya terkejut ketika seorang yang duduk tepekur di bawah sebatang pohon yang rindang di tikungan menyapanya meskipun perlahan-lahan "Apakah kalian sedang menjajakan burung itu?" Kedua anak muda itu terkejut. Namun mere ka menjadi tegang ketika orang itu berdesis "Ke marilah Raden Juwiring" Raden Juwiring menarik nafas dala mi. Buntalpun ke mudian tersenyum ketika keduanya melihat bahwa orang itu adalah seorang dari petugas sandi yang selalu menga matinya. Juwiring dan Buntalpun ke mudian mendekat. Mereka duduk di bawah sebatang pohon, sementara burung kutilang di dalam sangkar itu diletakkan di antara mereka bertiga, seolaholah mereka sedang me mbicarakan burung di dala m sangkar itu. "Aku menjadi ce mas" berkata orang itu "apakah kau menga la mi kesulitan?" "Ha mpir" jawab Juwiring "tetapi segalanya sudah dapat di atasi, justru di luar dugaan" Dengan singkat Juwiring menceriterakan apa yang telah diala mi di istana Sinduratan. Iapun mengatakan, bahwa Raden Ayu Galihwarit telah bersedia berusaha me mbebaskan Warih tanpa menjebak Juwiring. "Tetapi-usaha itu adalah satu usaha yang sulit Meskipun demikian, mudah-mudahan Raden Ayu berhasil" jawab orang itu.
"Ibunda Ga lihwarit na mpaknya telah terle mpar ke dala m dunia yang lain. Na mpaknya peristiwa yang telah terjadi di peperangan itu telah mengejutkannya, sehingga terjadi sesuatu di dalam dirinya" jawab Juwiring "justru karena itu, aku percaya kepada usaha ibunda Ga lihwarit" "Sokurlah" berkata orang itu "kemudian silahkan me lanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di sepanjang jalan. Kami akan selalu menga mati perjalanan kalian. "Dima na kawanmu yang seorang" bertanya Raden Juwiring. Orang itu tersenyum sa mbil me mandang kesatu arah. Ternyata beberapa puluh langkah, di tikungan, seorang lakilaki duduk di hadapan seorang penjual ja mu di pinggir jalan. Juwiring dan Buntal tersenyum. Sa mbil bangkit berdiri Buntal berkata "Mudah-mudahan ia selalu sehat" Orang itupun tersenyum pula. Jawabnya "Kau pandai juga berkicau seperti burung kutilang itu" Kedua anak muda itu tidak menjawab meskipun keduanya tertawa. Merekapun kemudian melanjutkan perjalanan keluar kota Surakarta ke mbali ke pondok mereka di Gebang. Na mun mereka me mang harus berhati-hati karena tidak mustahil bahwa petugas sandi dari Surakarta dan kumpenipun berkeliaran juga di sepanjang jalan. Dala m pada itu, di istana Sinduratan, Raden Ayu Galihwarit telah menyusun rencana untuk berusaha membebaskan anak gadisnya. Meskipun ia masih belum yakin bahwa hal itu akan dapat dilakukan. Na mun ia berharap, bahwa ia masih akan mendapat kese mpatan. Di hari berikutnya, ketika Juwiring dan Buntal yang sudah berada di pondoknya masih saja dibayangi oleh kege lisahan, maka Raden Ayu Galihwarit sejak pagi-pagi telah bersiap. Raden Ayu yang nampak agak kurus dan pucat itu telah
berhias sebaik-baiknya seperti yang selalu dilakukannya pada saat ia masih berada di istana Ranakusuman. "Apa yang akan Sindurata. kau lakukan?" bertanya Pangeran
"Aku akan pergi menengok Warih, ayahanda" jawab Raden Ayu Galihwarit. "Jangan kau. Biarlah aku saja yang pergi" berkata Pangeran Sindurata. "Tida k ayahanda, akulah yang akan menjumpa i Warih" desis Raden Ayu Galihwarit "mungkin aku a kan mendapat kesempatan lebih banyak dari ayahanda. Justru karena aku seorang perempuan yang kebetulan adalah ibunya" "Tetapi kau masih na mpak kurus dan pucat" sahut ayahandanya. Jawab Raden Ayu Galihwarit sangat mengejutkan ayahandanya "Tetapi aku justru ke lihatan lebih muda dan cantik ayah" "Galihwarit?" desis ayahandanya. Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Katanya "Jangan hiraukan aku ayahanda. Aku ingin me mbebaskan Warih tanpa mengorbankan anakku la ki-laki. Itu saja. Mungkin aku harus me mperguna kan cara yang palng aku kuasai" "Tetapi . . " wajah Pangeran Sindurata menjadi tegang. "Jangan cemas ayahanda. Aku sudah mengala mi satu masa yang sangat pahit dalam hidupku. Mudah-mudahan aku sudah benar-benar sembuh. Aku sudah mencoba untuk mengenang segalanya. Sejak aku menjadi isteri Ka mas Pangeran Ranakusuma sa mpai saat anakku Rudira terbunuh. Ternyata aku tidak lagi terle mpar pada satu keadaan yang tidak aku kuasai secara jiwani. Agaknya aku sudah ma mpu meletakkan persoalan hidupku pada tempat yang seharusnya di dalam
hatiku" jawab Raden Ayu Galihwarit "karena itu, meskipun tubuhku masih belum pulih, namun jiwaku sudah tenang dan aku akan dapat merencanakan segalanya dengan pikiran yang bening. Jika aku berada di jalan yang suram, itu me mang sudah aku sengaja, bukan karena kegilaanku" "O" desis Pangeran Sindurata "Kau akan me mbuat dosadosa baru?" "Tida k ayahanda. Justru aku akan menebus dosa-dosaku" jawab Raden Ayu Galihwarit "Aku mohon ayahanda dapat mengerti" Pangeran Sindurata itu me megangi keningnya. Kepalanya mulai menjadi pening. "Sudahlah ayahanda" berkata Raden Ayu Galihwarit "Sebaiknya ayahanda tidak usah memikirkan aku lagi. Aku sudah tua. Agaknya aku sudah seharusnya dapat memilih, manakah yang baik aku lakukan, dan yang manakah yang tidak" "Kau tida k tahu manakah yang baik dan manakah yang buruk" geram ayahandanya. Wajah Raden Ayu Galihwarit berkerut. Terasa jantungnya bergejolak. Namun ia tidak dapat me mbantah, bahwa beberapa saat yang lampau ia sudah kehilangan keblat sehingga ia t idak tahu lagi mana yang baik dan ma na yang tidak. Tanpa menyangkal, Raden Ayu itu ke mudian berkata "Ayahanda. Sekarang aku akan mencoba me lakukan sesuatu yang baik. Maksudku baik buat anakku, meskipun belum tentu baik menurut ukuran orang lain terhadap aku" "O" Pangeran Sindurata me megangi kepalanya yang terasa semakin sakit Tetapi Raden Ayu itu masih saja tersenyum "Ayahanda, apapun yang akan aku lakukan, aku harap bahwa aku akan dapat me mbebaskan Rara Warih"
Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dala m. Seolaholah ia ingin menelan segala kepahitan yang dituangkan ke dalam mulutnya. Namun demikian, Pangeran Sindurata tidak dapat mencegahnya. Raden Ayu Galihwarit bukan seorang gadis remaja lagi. Ia adalah seorang pere mpuan yang telah masak, yang meskipun baru saja sembuh dari penyakitnya yang aneh, namun agaknya ia telah benar-benar melakukan segalanya dengan penuh kesadaran. Raden Ayu Galihwarit itupun ke mudian berke mas. Dari embannya ia mengetahui apakah yang telah dilakukan jika ia sedang dicengka m oleh gangguan jiwani. Emban itu se mula tidak berani mengatakannya, tetapi karena Raden Ayu itu me ma ksanya dan berjanji untuk tidak marah, maka akhirnya emban itupun mengatakannya. "Terima kasih e mban" berkata Raden Ayu itu "aku sudah dapat mengetahui apakah yang aku lakukan. Memang me ma lukan. Tetapi aku tidak dapat ma lu terhadapmu, karena sebenarnyalah kau memang mengetahui dengan pasti, apakah yang telah aku lakukan dala m keadaan yang de mikian. Bahkan pada saat-saat aku tidak ingat lagi tentang apapun juga" Dengan bekal pengertiannya terhadap dirinya sendiri, maka Raden Ayu Galihwarit telah bersiap untuk pergi ke istana Ranakusuman. Dengan kereta Pangeran Sindurata. maka sejenak kemudian Raden Ayu yang nampak agak kekuruskurusan dan pucat itu meninggalkan pintu gerbang, di dalam sebuah kereta yang ditarik dengan dua e kor kuda. Kereta itu me mang t idak sebagus kereta Pangeran Ranakusuma, tetapi kereta itu cukup me madai. Sebagaimana kereta seorang Pangeran. Setelah untuk wa ktu yang cukup la ma Raden Ayu tidak keluar dari hala man istananya, maka rasa-rasanya ia melihat sesuatu yang asing. Namun la mbat laun iapun segera
mengenalinya ke mbali, jalan-jalan dan rumah-rumah yang berada di pinggir ja lan. Tetapi rasa-rasanya kota Surakarta menjadi bertambah sepi. Tetapi Raden Ayu Galihwaritpun mengerti, bahwa keadaan menjadi semakin gawat. Meskipun pertempuran yang telah terjadi berada di luar kota Surakarta, namun orang-orang di dalam kota itupun tentu sudah mendengarnya pula. sehingga mereka menjadi ce mas. Namun dala m pada itu, ternyata kereta yang berisi hanya seorang puteri itupun telah menarik perhatian. Ketika dua orang perwira, dari pasukan berkuda diikuti oleh beberapa prajurit yang sedang nganglang melihatnya, maka keduanyapun terkejut. Mula-mula mereka tercengang melihat seorang puteri yang sangat cantik duduk sendiri di dala m sebuah kereta. Namun ke mudian seolah-olah mereka telah pernah menge. nal wajah yang sangat cantik itu. "He, bukankah yang berada di da la m kereta itu Raden Ayu Ranakusuma?" bertanya yang seorang. "Ya. Seolah-olah a ku me mang me lihat Raden Ayu Sontrang. Tetapi apakah bukan Rara Warih?" desis yang la in. "Tida k. Bukankah Rara Warih ada di dalam tahanan?" sahut kawannya. "Tetapi Raden Ayu Ranakusuma sedang sakit" jawab yang lain. "Apakah seseorang yang sedang sakit itu tidak akan pernah sembuh" Meskipun sakit Raden Ayu menurut pendengaran kami adalah sakit yang aneh, namun pada suatu saat, mungkin ia menjadi se mbuh pula " Tiba-tiba saja para prajurit yang sedang nganglang itu ingin me lihat, siapakah yang berada di dala m kereta itu, sehingga perwira yang masih muda itu me mutuskan untuk me mutar arah dan mengikuti kereta itu dari kejauhan.
Sebenarnyalah kereta itu memang menuju ke istana Ranakusuman yang sudah dipergunakan oleh pasukan berkuda. Bahkan Tumenggung Watang yang untuk sementara me megang pimpinan pasukan berkuda telah berada dan tinggal di istana itu pula, meskipun hanya di gandok saja. "Tentu Raden Ayu Sontrang" desis perwira muda itu "ia nampak lebih muda, lebih kuning dan lebih cantik" "Ya" jawab kawannya "mungkin justru karena ia sedang sakit, ia menjadi kurus dan kuning karena tidak pernah keluar dari biliknya" "Tetapi menjadi berta mbah cantik" sahut perwira muda itu. -ooo0dw0ooo(Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 23 IRING-IRINGAN pasukan berkuda itupun ke mudian sekali lagi me mutar ha luan. Mereka meneruskan tugas mereka, nganglang menge lilingi kota Surakarta. Sementara itu, kereta Pangeran Sindurata yang dipergunakan oleh Raden Ayu Galihwarit telah sampai ke regol halaman istana Ranakusuman. Ketika para penjaga regol itu me lihat seorang perempuan cantik seorang diri berada di dalam kereta itu, mereka menjadi berdebar-debar. Namun akhirnya salah seorang dari mere ka segera dapat mengenalinya. Karena itu, maka iapun berdesis "Raden Ayu Ranakusuma " Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun dala m pada itu Raden Ayu Galihwarit me merintahkan kepada saisnya "Terus. Langsung me masuki hala man" Saisnya ragu-ragu. Tetapi ketika kereta itu bergeser maju, maka para penjagapun telah menyibak dan tidak seorangpun berusaha untuk bertanya sesuatu kepada sais maupun penumpang kereta itu.
Kedatangan Raden Ayu Ranakusuma ke bekas istananya itu me mang telah mengejutkan para prajurit dari pasukan berkuda. Bahkan Tumenggung Watang yang menerima laporan tentang kehadiran Raden Ayu Ranakusuma itupun dengan tergesa-gesa telah menyongsongnya. Namun Tume nggung yang berpikiran jernih itu segera dapat menangkap kepentingan kehadiran puteri itu, karena anak gadisnya, Rara Warih telah berada di dalam tangan para prajurit dari pasukan berkuda. Tetapi bagaimanapun juga, Tumenggung Watang masih bersikap hormat kepada Raden Ayu Ranakusuma. Meskipun Pangeran Ranakusuma sendiri telah dianggap berkhianat, tetapi kebesaran namanya pada masa la mpau masih saja me mbe kas di setiap hati para prajurit, termasuk Tumenggung Watang. Demikian kereta itu berhenti di kuncung pendapa, maka Tumenggung Watang diiringi oleh dua orang perwira telah menyongsongnya dan dengan hormat me mpersilahkan puteri itu naik ke pendapa. Raden Ayu Galihwarit yang telah turun dari keretanya itu me mandang berkeliling, seolah-olah ia ingin mengena li ke mbali istana yang sudah agak lama ditingga lkannya. Bukan saja sejak Pangeran Ranakusuma dianggap berkhianat, tetapi jauh sebelum itu ia telah diantar pulang ke rumah orang tuanya oleh Pangeran Ranakusuma sendiri. "Marilah, silahkan Raden Ayu" Tumenggung Watang me mpersilahkan. Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Jawabnya "Terima kasih. Apakah aku masih diperkenankan naik ke pendapa?" "Tentu. Silahkan" me mpersilahkannya seka li lagi. Tume nggung Watang
Raden Ayu Ranakusuma itu masih saja tersenyum. Dengan langkah-langkah kecil ia naik ke pendapa dan sekali lagi ia me mandang berkeliling. "Aku tida k me lihat perubahan sa ma sekali" guma mnya. "Ya Raden Ayu" sahut Tumenggung Watang "Ka mi yang sekarang berada di sini berusaha untuk menjaga agar segalanya tetap seperti semula" Raden Ayu Ranakusuma mengangguk-angguk. Ia tidak segera duduk di pendapa. Tetapi ia berjalan berkeliling. Dia matinya perhiasan dinding satu demi satu. Jambangan bunga yang tidak lagi berisi bunga di atas bancik berukir di sudut. "Sayang" berkata Raden Ayu Ranakusuma "Aku mendapatkan ja mbangan bunga ini dari tuan Dungkur. Kenapa Ki Tumenggung tidak menyuruh sa lah seorang pelayan untuk mengisinya dengan bunga" Jambangan itu adalah ja mbangan yang sangat mahal. Buatan Cina dan berumur tua. Ki Tumenggung dapat menyuruh seseorang me metik bunga ceplok piring. He, bukankah di sudut hala man samping terdapat beberapa batang bunga ceplok piring?" "Ya Raden Ayu" jawab Tumenggung Watang "Tetapi aku tidak se mpat mela kukannya" "O. Para prajurit Surakarta tentu sedang sibuk" desis Raden Ayu "Tetapi apakah aku diperkenankan melihat-lihat keadaan di dala m istana yang pernah a ku huni ini?" Tumenggung Watang menarik nafas dalam-da la m. Jawabnya "Silahkan Raden Ayu. Tetapi aku mohon maaf bahwa aku tidak dapat mengantarkannya Biarlah perwira muda ini mengantar Raden Ayu melihat-lihat isi bekas istana Raden Ayu ini" "Ah, aku tidak ma u mengganggu ka lian. Kenapa harus mengganggu tugas seorang perwira hanya sekedar untuk
mengantar aku" Aku me ngenal rumah ini dengan segala isinya. Aku tidak akan tersesat sehingga tidak dapat keluar lagi" berkata Raden Ayu Galihwarit "Soalnya bukan demikian" jawab Tumenggung Watang, yang dengan serta merta dipotong oleh Raden Ayu Ranakusuma. "Baiklah. Aku me ngerti. Kalian tentu mencurigai a ku, karena aku adalah isteri seorang Pangeran yang dianggap berkhianat. Bukan saja suamiku yang terbunuh di peperangan itu. Tetapi juga anak perempuanku. Bukankah Warih ada di sini?" Ki Tumenggung Watang mengangguk-angguk Jawabnya "Ya. Rara Warih me mang ada di sini" kecil.
"Aku sudah mendengar se muanya" berkata Raden Ayu Sontrang "anak gadisku itu ditangkap untuk me mancing anak dungu yang menyebut dirinya putera Pangeran Ranakusuma itu" Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Sementara itu Raden Ayu Sontrang berkata "Tetapi silahkan Ki Tumenggung. Aku t idak a kan mengganggumu. Aku akan me lihat-lihat isi rumahku. Jika para prajurit mencurigaiku, silahkan siapa di antara para prajurit yang akan mengawasi aku" "Tetapi Raden Ayu" berkata Tumenggung Watang ke mudian "Aku menduga bahwa kedatangan Raden Ayu bukannya sekedar ingin me lihat-lihat istana ini dan isinya, tetapi tentu berhubungan dengan keadaan Rara Warih" "Tepat" jawab Raden Ayu Ranakusuma "nanti aku akan menghadap Ki Tumenggung setelah aku puas me manjakan kenangan masa la mpau yang sangat menyenangkan itu" Tumenggung Watang mulai diganggu oleh perasaan jemu menanggapi sikap Raden Ayu Galihwarit. Ia bukan lagi isteri
seorang Pangeran yang besar bagi Surakarta, justru sebaliknya. Nama Pangeran Ranakusuma di lingkungan para bangsawan di Surakarta telah menjadi bura m. Di luar dugaan Tume nggung Watang, Raden Ayu itupun berkata "Maaf Ki Tumenggung. Barangka li a ku terlalu me mua kkan bagi Ki Tumenggung. Tetapi aku minta ijin barang sejenak untuk melihat-lihat. Mudah-mudahan dapat menjadi obat bagi penyakitku yang sudah beberapa la ma masih saja selalu datang mengganggu. Mungkin Ki Tumenggung pernah juga me ndengar, bahwa aku menga la mi satu masa yang sangat mengganggu dalam hidupku. Mudahmudahan aku akan benar-benar dapat se mbuh" Tumenggung Watang tidak telaten lagi melayani Raden Ayu Ranakusuma itu. Karena itu, maka diperintahkannya seorang perwira untuk mengikutinya tetapi sekaligus mengawasinya. Perwira muda itu mengikut saja ke mana Raden Ayu Galihwarit pergi. Dimasukinya setiap ruang di dalam bekas istananya itu. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Tumenggung Watang, segalanya masih berada di tempatnya dan terpelihara baik. "Dima na Warih di simpan?" bertanya Raden Ayu itu tibatiba. "Di gandok Raden Ayu" jawab perwira muda itu. "Gandok mana" desak Raden Ayu itu. "Gandok kanan" jawab perwira itu pula. "Apakah aku dapat menengoknya?" bertanya Raden Ayu itu pula. "Aku kira Raden Ayu akan dapat mene muinya, tetapi segalanya terserah kepada Tumenggung Watang" jawab perwira muda itu. Perwira muda itu menjadi berdebar-debar ketika ia me lihat Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Katanya "Baik. Aku akan
mene mui Ki Tumenggung" Ia berhenti sejenak, lalu "Tetapi aku belum selesai. Aku ingin melihat semua ruang. Dari ruang yang paling ujung, sa mpai ke ruang tidurku" Perwira itu menjadi se makin berdebar-debar ketika tiba-tiba saja Raden Ayu itu justru me mbimbing lengannya seperti me mbimbing anaknya. Sambil tersenyum ia berkata "Marilah anak manis. Jika anakku masih hidup, umurnya tentu tidak berada di istana ini" Terasa tangan perwira muda itu menjadi ge metar. Namun Raden Ayu itu tertawa "Jangan takut. Aku tidak apa-apa. Aku tidak sedang kambuh. Aku sehat dan menyadari apa yang aku lakukan" Perwira muda itu tidak dapat menge lak, Ketika mereka me masuki sebuah ruangan, maka Raden Ayu itupun berkata "Ini adalah bilik tidurku. di sini aku tidur di saat aku masih akan terpaut banyak dengan umurmu" Perwira muda itu berdiri tegak di pintu bilik. Ia tidak mau me langkah lagi. Karena itu, maka Raden Ayu itupun kemudian me masuki bilik yang cukup luas itu seorang diri. Ke mudian duduk di atas pembaringannya yang masih saja seperti dahulu, "Alangkah senangnya masa-masa yang lewat. Tetapi sekarang suamiku sudah terbunuh di peperangan sebagai seorang pengkhianat. Bukankah begitu anak muda?" bertanya Raden Ayu itu sambil tertawa kecil. Perwira muda itu tergagap. Na mun ke mudian iapun mengangguk sa mbil menjawab "Ya. Ya Raden Ayu, demikianlah agaknya" Raden Ayu Galhwarit tersenyum. Na mun bagaimanapun juga, terasa jantungnya bagaikan tergores sembilu. Kenangannya mulai merayap menelusuri masa la mpaunya. Di pembaringan itu pula Rudira dibaringkan seperti seorang yang sedang tidur nyenyak. Betapa ia terkejut ketika ia menyadari
apa yang telah terjadi, sehingga kejutan itu telah mengganggu kesadarannya. Terasa kepala Raden Ayu Galihwarit mulai menjadi patung. Rasa-rasanya ia akan terlempar ke mbali ke dala m satu dunia yang buram, sebagaimana saat-saat penyakitnya akan kambuh. Untuk beberapa saat perwira yang menungguinya di pintu menjadi berdebar-debar. Ia melihat Raden Ayu Galihwarit itu me megangi keningnya. Namun dala m pada itu, tiba-tiba saja Raden Ayu Itu menghentakkan tangannya sambil berguma m didata m hati "Tida k. Aku tidak boleh gila disini. Aku sedang berusaha untuk berbuat sesuatu untuk Rara Warih. Jika aku tenggela m dala m kenangan atas Rudira dan masa la mpau, maka a ku akan kehilangan lagi. Warih" Perwira yang masih tegak di pintu itu heran melihat sikap Raden Ayu Galihwarit. Ia pernah mendengar bahwa puteri itu me mpunyai se macam penyakit yang mengganggu syarafnya. Karena itu, iapun me njadi berdebar-debar. Lebih baik ia berada di medan perang daripada harus menghadapi seorang puteri yang terganggu syarafnya. Perwira itu menjadi sangat gelisah. Ketika Raden Ayu Galihwarit itu berdiri sa mbil tersenyum, maka iapun me langkah surut. "Jangan takut anak muda. Mungkin kau pernah mendengar serba sedikit tentang penyakitku. Tetapi sekarang aku sadar sepenuhnya" berkata Raden Ayu Galihwarit "sekarang, antarkan aku kepada Ki Tumenggung Watang. Aku akan berbicara tentang Warih" Perwira muda itu menarik nafas dala m-dala m. Iapun ke mudian me mpersilahkan Raden Ayu berjalan di depan.
Di luar sadarnya, perwira muda itu se mpat menga mati Raden Ayu Galihwarit yang berjalan di depannya. Langkahnya kecil-kecil meskipun agak cepat, seirama dengan gerak la mbungnya. "Gila. Ia sudah setua ibuku" perwira itu menggera m di dalam hatinya. Namun ia tidak dapat ingkar, bahwa Raden Ayu Galihwarit adalah seorang puteri yang cantik dan na mpak jauh lebih muda dari usianya, justru setelah ia menjadi agak kurus dan bertambah kuning. "Me mang agak aneh" berkata perwira itu di dalam hatinya "dala m keadaan sakit, ia masih tetap se mpat me melihara kecantikannya" Tetapi perwira itupun mengetahui, bahwa Raden Ayu itu tidak dalam keadaan sakit seperti orang sakit kebanyakan. Hanya kadang-kadang saja gangguan syaraf itu datang. Selebihnya, ia sebagaimana orang sehat-sehat saja, sehingga ia masih sempat juga ngadi sarira sebagaimana selalu dilakukannya. Sejenak ke mudian, ma ka Raden Ayu itupun telah dipersilahkan me masuki sebuah bilik yang cukup besar. Tumenggung Watang telah menunggunya dengan tidak sabar. Ia tahu pasti, bahwa Raden Ayu Galihwarit itu tentu akan mene muinya dan minta ijin kepadanya untuk mene mui puterinya yang ditahan di bekas istana Pangeran Ranakusuma itu. "Silahkan Raden me mpersilahkan. Ayu" Tumenggung Watang
Raden Ayu itupun ke mudian duduk di hadapan Tumenggung Watang. Sebelum dipersilahkan, Raden Ayu itupun berkata "Ki Tumenggung tentu sudah mengetahui maksud kedatanganku ke mari" "Ya Raden Ayu" jawab Tumenggung Watang "Raden Ayu akan berbicara tentang Rara Warih"
"Ya. Aku ingin bertemu dengan puteriku" berkata Raden Ayu Ranakusuma ke mudian "Apakah aku diijinkan?" "Pada dasarnya kami tidak berkeberatan Raden Ayu" jawab Tumenggung Watang "Tetapi bukankah Raden Ayu sudah tahu, kenapa Rara Warih itu ditangkap?" "Ternyata telah terjadi satu kesalahan sikap dari pasukan berkuda atau dari para Senapati di Surakarta" berkata Raden Ayu Galihwarit "Apa artinya Rara Warih bagi anak pidak pedarakan yang menyebut dirinya putera Pangeran Ranakusuma itu" "Maksud Raden Ayu?" bertanya Tumenggung Watang. Ki Tumenggung menganggap bahwa Warih akan dapat dipergunakan untuk me mancing Juwiring?" justru Raden Ayu itupun bertanya. Tumenggung Watang mengangguk. Jawabnya "Ya Raden Ayu. Karena itu, maka ka mi terpaksa untuk se mentara menahan Rara Warih di sini atas persetujuan para Senapati" "Dan kumpeni" Raden Ayu bertanya. Tumenggung Watang menarik nafas panjang. Kemudian jawabnya "Ya. Atas persetujuan kumpeni. Tetapi persetujuan itu pada dasarnya karena keterangan-keterangan yang kami berikan" "Apakah
Tetapi Raden Ayu Galihwarit itu tertawa. Katanya "Kalian salah hitung. Warih dan Juwiring bukan dua orang saudara yang me mpunyai ikatan jiwani. Juwiring t idak akan menghiraukan meskipun seandainya Warih akan digantung sekalipun" Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Namun ke mudian jawabnya "Se muanya telah berubah sejak Raden Ayu sakit. Aku yakin, bahwa keduanya telah mene mukan diri mereka dala m hubungan dua orang saudara" Tetapi Raden Ayu menggelengkan kepa lanya. Jawabnya "Aku lebih tahu tentang jiwa anakku. Aku tahu bahwa pada suatu saat ia tidak dapat menolak tekanan ayahandanya untuk menerima Juwiring sebagai kakaknya. Tetapi aku tahu pasti, apa yang bergejolak di dala m jiwa anakku. Tetapi sebaliknya, aku juga tahu, apa yang bergejolak di dalam jiwa Juwiring. Tanpa Rara Warih, Juwiring adalah satu-satunya putera Pangeran Ranakusuma" "Untuk apa kebanggaan Raden Juwiring, bahwa ia adalah satu-satunya putera Pangeran Ranakusuma" Jika keadaan tidak berubah, mungkin ia akan mendapatkan hak atas warisan dari segala harta ke kayaan Pangeran Ranakusuma. Tetapi sekarang tidak lagi. Tida k ada lagi yang berhak mewarisi ke kayaan Pangeran Ranakusuma yang melimpah ini, karena Pangeran Ranakusuma sudah menentang Kangjeng Susuhunan" Tetapi Raden Ayu itu tersenyum. Katanya "Pandangan Ki Tumenggung ternyata sangat sempit. Apakah Ki Tumenggung tidak me mperhitungkan bahwa suwasana akan berubah" Bahkan mungkin sekali Pangeran Mangkubumi akan menang, sehingga dengan demikian Juwiring akan dapat me mperhitungkan warisan yang ditingga lkan oleh Pangeran Ranakusuma yang bagi perjuangan Pangeran Mangkubumi sama sekali bukan seorang pengkhianat, bahkan ia adalah seorang pahlawan" Raden Ayu itu berhenti sejenak, lalu "Nah,
atas dasar perhitungan itulah ma ka Juwiring justru ingin diangkat sebagai satu-satunya putera Pangeran Ranakusuma" "Tetapi apakah Raden Ayu me mpunyai perhitungan, meskipun hanya sepercik kecil, bahwa Pangeran Mangkubumi akan menang?" bertanya Tumenggung Watang. "Se mua ke mungkinan dapat terjadi" jawab Raden Ayu. Lalu "Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak akan berdoa demikian. Aku ingin keadaan tidak berubah. Karena dengan demikian, maka aku akan mendapat kese mpatan untuk menuntut hak se mua warisan yang ditingga lkan oleh Pangeran Ranakusuma. Aku tidak dapat disertakan dalam kesalahannya, karena aku tidak terlibat di dala mnya. Bahkan pada waktu itu, seolah-olah aku me mang sedang disingkirkan. Karena itu, maka a kulah yang berhak untuk mendapatkan segala kekayaan Pangeran Ranakusuma. Sebelum segalanya terjadi, maka a ku me mang akan mulai dengan segala macam usaha untuk mendapatkan hakku ke mbali. Sudah tentu bahwa ke mudian segala warisan Itu akan jatuh ke tangan Rara Warih" Tetapi Tumenggung Watang mengge lengkan kepa lanya. Dengan nada dala m ia berkata "Aku mohon Raden Ayu dapat bertemu dengan Rara Warih sendiri. Raden Ayu akan dajgat berbicara dengan puteri itu. Raden Ayu akan tahu sikapnya. Mudah-mudahan Raden Ayu tida k kecewa karenanya" "Aku me mang akan bertemu dengan Warih. Aku ingin berbicara berterus terang" desis Raden Ayu Galihwarit. "Silahkan. Biarlah seorang emban mengantarkan Raden Ayu berkata Tumenggung Watang. "Aku ingin berbicara dengan Warih tanpa orang lain. Aku ingin ia berbicara terbuka" jawab Raden Ayu Galihwarit. Tumenggung Watang menarik nafas dala m-dala m. Lalu katanya "Silahkan. Biarlah seorang prajurit mengantar Raden Ayu sampai ke bilik Rara Warih"
Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-da la m. Kemudian seperti dikatakan oleh Tumenggung Watang, maka iapun segera diantarkan oleh seorang prajurit menuju ke bilik Rara Warih di gandok. Kehadiran Raden Ayu Galihwarit me mbuat puterinya terkejut bukan buatan. Ia sama sekali t idak menyangka, bahwa ibunya akan datang mene muinya. Rara Warih masih tegak me matung di dala m biliknya ketika ibunya me mberi isyarat kepada prajurit yang mengantarkannya untuk meninggalkan bilik itu. Demikian prajurit itu pergi, ma ka Raden Ayu itupun segera menutup dan menyelarak pintu dari da la m. Untuk beberapa saat keduanya berdiri me matung sa mbil berpandangan. Namun Raden Ayu itu menyadari, bahwa Rara Warih masih dibayangi oleh kebimbangan perasaan. Karena itu, ketika Raden Ayu maju setapak, justru Rara Warih mundur selangkah. "Warih" desis ibundanya. Rara Warih menjadi se makin ce mas. Dengan bibir ge metar ia berdesis "Ibunda. Bukankah ibunda sedang sakit?" Betapa pedihnya pertanyaan itu. Pertanyaan yang dilontarkan oleh anak gadisnya yang sangat dicintainya, tetapi yang dengan sadar Raden Ayu Galihwarit mengerti bahwa anaknya itu tentu merasa muak me mandanginya. "Aku me mang sedang sakit, Warih" jawab ibunya hati-hati "Tetapi ketika aku mendengar bahwa kau berada disini, aku me merlukan datang menengokmu" Wajah Rara Warih menjadi se makin me mbayangkan kecemasannya. Na mun da la m pada itu ibundanya barkata "Tetapi bukankah kau mengetahui, bahwa aku tidak berbahaya bagimu" Dan meskipun aku sakit, tetapi ada
kalanya aku sadar sepenuhnya tentang apa yang aku lakukan seperti sekarang ini?" "Tetapi kenapa ibu tidak t inggal saja di istana eyang Sindurata. Jika ibunda kambuh di se mbarang tempat, maka alangkah sakitnya hati ke luarga eyang Sindurata" desis Warih. "Aku menyadari sepenuhnya Warih. Itulah sebabnya aku berjuang sekuat-kuatnya untuk tidak ka mbuh di se mbarang tempat. Ketika aku memasuki bilik-bilik di bekas istana kita, rasa-rasanya hatiku mulai bergetar. Tetapi aku sudah me mpunyai kekuatan batin untuk me lawan kegilaanku itu. Justru pada saat aku mendengar ayahandamu gugur di peperangan, maka kejutan itu merupa kan imbangan dari kejutan pada saat aku mendengar kakakmu terbunuh, justru di hadapan mataku, tetapi tanpa aku sadari" Rara Warih bergeser surut. Ketika ibunya melangkah maju lagi, ia berkata "Ibunda tetap di situ" "Warih" desis ibundanya "Aku sadar sepenuhnya. Dan aku sudah mendapatkan ke kuatanku ke mbali untuk tetap sadar" "Seandainya ibunda sudah se mbuh, namun ibunda tentu tidak akan mengerti persoalan yang sedang aku hadapi sekarang" berkata Rara Warih. "Aku mengerti sepenuhnya Warih" jawab ibundanya "Kau telah ditangkap oleh prajurit dari pasukan berkuda. Atas persetujuan para Senapati di Surakarta serta kumpeni, kau telah ditahan sebagai taruhan, agar kakandamu Raden Juwiring dengan mudah dapat ditangkap" Rara Warih memandang ibundanya dengan tatapan mata yang aneh. Menurut pendengarannya, aneh pula bahwa ibundanya telah menyebut Raden Juwiring dengan sebutan yang lengkap sebagai kaka knya.
Biasanya ibundanya sangat merendahkan Raden Juwiring dan menganggapnya bahwa Juwiring tidak sederajad dengan dirinya meskipun keduanya seayah. Sementara Rara Warih masih dicengka m oleh kebimbangan akan sikap, ibundanya, Raden Ayu Galihwarit itupun berkata seterusnya "Warih. Aku telah mendengar banyak tentang persoalan yang kau hadapi" "Jika de mikian" sahut Rara Warih "Apakah yang karang ibunda kehendaki" "Aku ingin mendengar pengakuanmu. Bagaimanakah sikapmu terhadap tindakan ayahandamu dan kakanda mu Raden Juwiring" jawab ibundanya. "Jika ibunda me ngetahuinya?" bertanya Rara Warih pula. Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dala m. Ia dapat mengerti, anak gadisnya itu tidak lagi menaruh hormat kepadanya Rara Warih tentu sudah pernah mendengar, mungkin dari mulutnya sendiri, atau dari mulut orang la in, bahwa dalam keadaan tidak sadar, ia dapat menyebut apa saja yang bagi seorang gadis seumur Rara Warih itu tentu akan sangat me muakkan. Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak akan ingkar. Ia justru telah me mpersiapkan dirinya lahir batin untuk menga la mi perlakuan apa saja dari siapa saja. Namun bahwa ia telah me letakkan dasar dan tujuan dengan penuh kesadarannya atas sikapnya itu. Karena itu, maka katanya kemudian "Rara Warih. Betapapun rendah martabat seseorang, namun ia akan tetap mencintai anaknya. Aku tahu, bahwa kau me mandang aku tidak lagi sebagai seorang pere mpuan yang pantas dihormati. Aku tidak berkeberatan Warih. Aku mengerti perasaanmu. Tetapi bagaimanapun juga, aku merasa bahwa aku tidak akan dapat me mbiarkan kau disekap da la m keadaan seperti ini"
"Dan ibunda akan mengorbankan ka mas Juwiring agar aku dapat dilepaskan dari te mpat ini?" bertanya Rara Warih pula. Raden Ayu Galihwarit itu menahan gejolak perasaannya. Betapa matanya terasa panas, tetapi ia tidak mau menangis. Ia tidak mau hanyut ke dala m arus perasaannya yang tidak menentu. Jika demikian, ia akan kehilangan penga matan diri, dan ia akan jatuh ke dalam suasana yang mengerikan bagi anak gadisnya itu. Karena itu, bagaimanapun juga ia yakinkan dirinya sendiri, bahwa ia akan tabah menghadapinya. Rara Warih mengerutkan keningnya ketika ia me lihat ibundanya justru tersenyum. Katanya "Rara Warih. Cobalah katakan. Dimanakah kau se karang berdiri. Biarlah aku tahu deagan pasti, sehingga aku a kan dapat menga mbil langkahlangkah yang sebaiknya aku la kukan. Sebenarnya aku sudah menduga sikapmu sekarang. Tetapi aku ingin mendengar kau sendiri me ngucapkannya" "Aku berdiri bersa ma kakangmas Juwiring" jawab Rara Warih tegas. Sekali lagi Rara Warih terkejut ketika ia melihat ibunya mengangguk. Ibunya sama sekali tidak menunjukkan perubahan perasaan di wajahnya ketika ia mendengar pengakuan Rara Warih. Bahkan Raden Ayu Galihwarit itupun ke mudian berkata "Aku yakin bahwa kau akan mengatakannya Warih" "Aku tidak mengerti sikap ibunda " justru Rara Warihlah yang kemudian menjadi bingung. "Aku sudah mendengar serba sedikit, bahwa kau telah me libatkan diri, langsung atau tidak langsung. Kau ditangkap di padepokan Jati Aking dan bahkan para prajurit pasukan berkudapun yakin bahwa kau akan dapat dipergunakannya me mancing kakanda mu Raden Juwiring" berkata Raden Ayu ke mudian.
"Lalu, apakah yang akan ibunda lakukan" Berusaha me mancing kakangmas Juwiring?" bertanya Rara Warih. "Aku tidak merasa aneh bahwa kau akan berprasangka demikian. Tetapi Warih, ternyata pengalaman batinku telah me mbuat aku berubah. Aku sudah bertemu dengan kakanda mu Raden Juwiring. Aku sudah mendengar segalagalanya" jawab Raden Ayu Ranakusuma. "Jadi, bagaimana sikap ibunda?" bertanya Rara Warih pula. "Warih" desis ibundanya perlahan-lahan "Aku tida k akan ingkar di hadapanmu. Kau tentu sudah tahu apa yang pernah aku lakukan, sehingga kau tentu menganggap aku seorang perempuan yang kotor. Tetapi bagaimanapun juga, aku masih berperasaan. Pada akhirnya aku melihat suatu perkembangan jiwani di dalam dadaku. Aku merasa bersalah. Sampai saatnya Pangeran Ranakusuma gugur, aku belum pernah mohon maaf kepadanya. Karena itu, berilah aku kesempatan untuk menebus segala, dosa dan noda yang pernah melumuri kecantikanku" "Ibunda" suara Rara Warih menjadi parau. "Aku berkata sebenarnya Warih. Aku akan me mpergunakan sisa hidupku untuk berbakti kepada Pangeran Ranakusuma" desis Raden Ayu Galihwarit "Aku a kan meneruskan perjuangannya, sudah tentu aku akan me mpergunakan caraku" Wajah Rara Warih menjadi tegang.
"Apakah masih ada secercah kepercayaanmu kepada ibunda mu ini ngger?" suara Raden Ayu Ga lihwarit menurun. Terasa sesuatu tergetar di jantung Rara Warih. Betapapun kotornya, perempuan itu adalah ibundanya yang mencintainya dan yang sebenarnya juga dicintainya. Karena itu, di luar sadarnya, tiba-tiba saja matanya mulai mengaca. "Warih" terdengar ibundanya berkata pula "aku mohon kau percaya. Aku sudah mengakui segala kesalahanku. Aku mohon maaf kepadamu, justru kau seorang gadis yang sangat mudah me lihat segala kesalahan dan dosa-dosaku. Selebihnya, dengan ikhlas aku sudah menerima Raden Juwiring sebagai anakku sendiri. Apalagi setelah aku mengerti, betapa kuat hatinya dan ternyata ia seorang yang luhur budi" ibundanya berhenti sejenak, lalu "Kau mau me maafkan aku, Warih?" Rara Warih termenung sejenak. Namun ke mudian iapun berlari me me luk ibundanya. Pelupuknya tidak lagi ma mpu me mbendung air matanya yang menga lir bagaikan banjir. Seperti masa kanak-kanaknya, Rara Warih menangis di dalam pelukan ibundanya. Air matanya membasahi pangkuan ibundanya yang ke mudian duduk di pe mbaringan Rara Warih. Betapa jantungnya bagaikan teriris sembilu, namun Raden Ayu Ranakusuma itu berusaha bertahan dari hempasan perasaannya. Ia masih dibayangi oleh satu kece masan, bahwa jika ia terseret arus perasaannya yang tidak terkendali, maka ia akan dapat kehilangan penga matan atas kesadarannya dan jatuh ke dala m keadaan yang akan dapat me mbuat Warih terguncang pula hatinya. "Tida k" ia mengatupkan giginya untuk menahan hati "Aku tidak mau kehilangan lagi. Aku t idak mau me njadi sa mpah yang tidak berarti di hadapan anakku sendiri"
Dengan tangan ge metar Raden Ayu itu mengusap kepala anaknya sambil berkata "Sudahlah Warih. Kita sudah sa mpai pada satu keadaan seperti ini. Penyesalan tidak lagi banyak me mbantu kita. Karena itu kita sekarang harus memikirkan, bagaimana kita dapat mengatasi kesulitan ini" Rara Warih mengusap wajahnya yang basah. Ia masih mendengar ibunya berkata "Kita jangan kehilangan akal. Mungkin kau masih harus tabah untuk satu dua hari lagi" "Apakah yang akan ibu lakukan?" bertanya Rara Warih. "Aku akan berusaha agar kau dapat keluar dari tempat ini tanpa mengorbankan ka kanda mu" jawab ibundanya. "Apakah ibunda me mpunyai cara tertentu" Apakah para pemimpin prajurit dari pasukan berkuda ini dapat diajak berunding?" bertanya puterinya. "Aku akah me mpergunakan segala cara" jawab ibundanya "jika ayahandamu telah me mberikan korban yang paling besar, ialah nyawanya, maka akupun akan mengorbankan apa yang ada padaku. Maksudku bukan sekedar agar kau bebas dari batas-batas dinding ruangan ini, tetapi agar kau tidak menjadi ha mbatan bagi perjuangan kakanda mu Raden Juwiring. Bahkan mungkin dala m keadaan putus-asa, Juwiring akan benar-benar datang menyerahkan dirinya bagi kebebasanmu" Wajah Rara Warih inenjadi tegang. Terbayang cara yang akan ditempuh oleh ibundanya. Terasa bulu-bulunya mulai mere mang. Namun ibundanya tersenyum sambil berkata "Warih. Jangan hiraukan aku. Aku adalah sampah yang paling kotor. Tetapi biarlah sa mpah itu me mpunyai arti juga sebagaimana sampah itu pula. Sa mpah akan berguna juga sebagai pupuk tanaman justru ia adalah sampah"
Sekali lagi perasaan gadis itu tersentak. Sekali lagi ia menjatuhkan kepalanya dipangkuan ibunya sambil menangis. Dengan tangan ge metar ibundanya mengusap lagi ra mbutnya sambil berkata "Sudahlah Warih. Jangan kau tangisi ibunda mu. Mudah-mudahan usaha kita berhasil. Ke matian ayah-andamu janganlah sia-sia. Meskipun Pangeran Mangkubumi tidak mengerti apa yang kita lakukan, biarlah kita me mbantunya meskipun hanya setitik air yang menetes di lautan. Dia mlah dan bersikaplah sebagaimana sikap ayahandamu menghadapi a mukan api peperangan" Kata-kata ibundanya itu ternyata telah menyentuh hati Rara Warih. Pada saat-saat batinya menjadi le mah, ia mencoba bersandar pada kebesaran nama ayahandanya. Dan kini ibundanya juga menyebut na ma ayahandanya, Pangeran Ranakusuma. Seorang Senapati pilih tanding di medan perang. Karena itu, maka Rara Warihpun telah mencoba menahan air matanya. Bahkan iapun ke mudian me ncoba duduk di samping ibundanya. "Warih" berkata Raden Ayu Ranakusuma "pertemuan kita sudah cukup la ma. Aku akan ke mbali kepada eyangmu. Aku akan mencoba me mpergunakan pengaruhnya untuk me mbebaskanmu. Atau usaha-usaha yang lain yang mungkin dapat aku lakukan" Rara Warih mengangguk sa mbi berdesis "Silahkan ibunda" "Tetapi ketahuilah, bahkan kepada orang lain, aku bersikap seolah-olah aku tidak mengakui Juwiring sebagai putera Pangeran. Ranakusuma yang sederajad denganmu. Mungkin sikapku itu me nyakiti hatinya jika ia menyaksikannya lewat mata siapapun juga. Tetapi mudah-mudahan dengan demikian aku akan berhasil" berkata ibundanya. Sekali lagi Raden Ayu itu minta diri. Ke mudian dibukanya selarak pintu bilik itu. Ketika ia keluar dari bilik itu, dilihatnya prajurit yang mengantarkannya berdiri di seketheng.
Langkah Raden Ayu yang mendekati prajurit itu telah menyadarkannya dari sebuah la munan. Ketika prajurit itu berpaling, dilihatnya Raden Ayu Ranakusuma tersenyum kepadanya sambil berkata "Aku sudah selesai. Antarkan aku kepada Tumenggung Watang" Prajurit itupun ke mudian me mpersilahkan Raden Ayu Galihwarit kemba li me masuki bilik Tumenggung Watang yang nampaknya masih menunggu. "Silahkan Raden Ayu" Tumenggung itu me mpersilahkan. Sambil duduk Raden Ayu itu berkata "Aku sudah bertemu dengan anak gadisku" "Nah, bukankah Raden Ayu sudah mengetahui sikap dan pendiriannya?" bertanya Tumenggung Watang. Raden Ayu Ranakusuma menarik nafas Katanya "Ia hanya salah menangkap suasana" dalam-dala m
"Maksud Raden Ayu?" bertanya Tumenggung Watang. "Aku sudah me mberi penjelasan kepadanya" berkata Raden Ayu Ranakusuma "bahwa segalanya sama sekali tida k berarti baginya" "Bagaimana pendapat Rara Warih?" bertanya Tumenggung itu pula. "Seperti aku katakan, aku adalah ibundanya. Aku mengerti watak dan tabiatnya. Karena itu, maka aku merasa yakin dapat menjelaskan kepadanya" Raden Ayu itu berhenti sejenak, lalu "Ki Tume nggung. Rara Warih telah mendapat keterangan yang salah dari ayahandanya, justru karena ayahandanya tiba-tiba saja melihat aku sebagai seorang yang tidak pantas lagi tinggal di istana ini pada saat aku sakit. Dengan keterangan-keterangan khusus, dan mungkin dengan sedikit tekanan puteriku telah menerima kehadiran Juwiring sebagai kakaknya. Tetapi semuanya itu bukannya me mancar dari hatinya. Juga perjuangan Pangeran Mangkubumi sama
sekali tidak dime ngertinya. Ia mendengar dan mendapat keterangan yang berlebih-lebihan dari ayahandanya yang kebetulan menga mbil langkah yang salah" Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Sementara Raden Ayu itu berkata selanjutnya "Ki Tumenggung. Mungkin Ki Tumenggung telah mengena l cara hidupku sebelum aku disingkirkan dari istana ini. Dan aku sudah terbiasa dengan hidup seperti itu. Aku tidak a kan dapat mene mpuh cara hidup yang lain" "Tetapi, bagaimana sikap puteri terhadap Rara Warih?" bertanya Tumenggung Watang. "Aku sudah me mberikan penjelasan kepadanya. Ternyata bahwa hatinya memang lebih dekat dengan ibundanya. Ia percaya kepadaku, dan ia tidak menghiraukan lagi apakah ada seseorang yang bernama Juwiring, karena derajad ka mi me mang berbeda" Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Jika menyinggung soal derajad, maka ia sendiripun aka m merasa tersentuh pula, karena tentu Raden Ayu itu menganggapnya bahwa ia tida k sederajad dengan keluarga Ranakusuman. "Lalu, bagaimana kah menurut Raden Ayu?" bertanya Tumenggung Watang itu pula. "Aku dan Rara Warih sendiri tidak berkeberatan untuk tinggal di te mpatnya. Mungkin pengorbanannya itu benarbenar akan dapat memancing Juwiring. Tetapi kemungkinan itu kecil seka li" jawab Raden Ayu "Juwiring tentu tidak menghiraukan sa ma sekali arti Rara Warih baginya" "Jadi penahanan itu menurut puteri tidak a kan ada gunanya?" bertanya Tumenggung Watang. "Tida k" jawab Raden Ayu Galihwarit "Tetapi dapat dicoba. Sudah aku katakan, Rara Warih tidak berkeberatan tinggal di tempat itu se la ma lima hari lagi. Mudah-mudahan Juwiring
benar-benar seorang laki-laki jantan dan bersedia datang untuk pe mbebasan Rara Warih" Tumenggung Watang termaogu-mangu sejenak. Namun ia tergagap ketika Raden Ayu itu bertanya "Tetapi Ki Tumenggung. Setelah saat pengorbanan itu berakhir, apa yang akan Ki Tumenggung la kukan terhadap anak gadisku" Jika benar dala m waktu lima hari Juwiring tidak me menuhi wara-wara itu, apakah kesalahannya akan ditimpakan kepada Rara Warih" Jika demikian alangkah bangganya Juwiring dengan sikapnya. Ia sudah berhasil menepuk dua ekor lalat dengan sekali ayun. Yang perta ma ia tetap bebas, sedang yang kedua, Warih, saingannya dalam me mperebutkan warisan apapun ujudnya dari Pangeran Ranakusuma, telah di sisihkan oleh tangan-tangan yang tidak mengerti keadaan dan persoalannya" Namun ternyata Ki Tumenggung itu menggeleng. Jawabnya "Tentu tidak Raden Ayu. Tentu kami tidak akan dapat me mbebankan kesalahan Raden Juwiring dan ayahandanya kepada Rara Warih" "Ki Tumenggung berbicara sebagai pribadi atau sebagai seorang Senapati dari pasukan berkuda yang dapat me mpertanggung jawabkan kepada para Senapati yang lain dan kumpeni?" bertanya Raden Ayu Galihwarit. Sejenak Tumenggung itu termangu-mangu. Na mun ke mudian katanya "Aku akan me mbicarakannya dengan segala pihak. Mudah-mudahan mere ka dapat mengerti" Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Katanya "Terima kasih Ki Tumenggung. Aku akan me mbantu Ki Tumenggung untuk me mbicarakannya dengan segala pihak" Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Apa maksud Raden Ayu?" Raden Ayu tertawa. Katanya "Bukankah Ki Tumenggung sudah menyatakan bahwa Rara Warih tidak akan ternodai oleh
kesalahan ayahandanya dan oleh Juwiring yang mengaku putera Pangeran Ranakusuma itu" "Raden Juwiring me mang putera Pangeran Ranakusuma" potong Tumenggung Watang. "Tetapi ia tidak sederajad dengan Rara Warih" jawab Raden Ayu dengan wajah yang merah. Tumenggung Watang tidak menyahut. Ia tidak ingin berbantah tentang susunan keluarga Pangeran Ranakusuma. Karena itu ma ka katanya kemudian "Tetapi apakah yang Raden Ayu maksudkan dengan me mbantu aku untuk me mbicarakannya dengan segala pihak" "Aku akan berbicara dengan siapa saja yang mungkin aku temui, dan yang mempunyai hubungan dan kepentingan langsung dengan penahanan Rara Warih se lain Ki Tumenggung. Jika mereka sependapat dengan Ki Tumenggung, bukankah persoalannya sudah selesai?" jawab Raden Ayu Galihwarit. Wajah Ki Tumenggung menegang. Tetapi ia tahu maksud Raden Ayu Galihwarit. Karena itu, katanya kemudian "Tetapi penahanan itu harus genap sampai hari ke lima" "Itu bukannya sikap yang dewasa" jawab Raden Ayu "Tidak ada salahnya Warih dibebaskan meskipun ia baru satu atau dua hari berada di dala m tahanan. Tetapi dengan cara yang baik. Tida k seorangpun yang mengetahui bahwa gadis itu sudah dibebaskan. Sudah tentu para petugas akan mengetahui. Tetapi ma ksudku, orang luar tidak akan mengetahuinya, sehingga tidak akan me mpengaruhi sikap Juwiring, meskipun aku tetap ragu, bahwa ia akan menghiraukan gadis yang disebut adiknya itu" Tumenggung Watang hanya menarik nafas dalam-da la m. Tetapi ia me mang me mperhitungkan, bahwa Raden Ayu Galihwarit itu akan mungkin seka li me ndapat persetujuan dari para Senapati dan Kumpeni.
Karena itu, maka katanya "Terserahlah kepada Raden Ayu. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak berperhitungan" "Tentu. Ki Tumenggung akan dapat menilai segala keputusan yang akan diambil bersama tanpa merugikan usaha untuk menangkap. Juwiring, sebagaimana akupun sebenarnya menghenda kinya. Bahkan bukan saja ditangkap, tetapi dengan satu keyakinan, bahwa ia tidak akan mengganggu Warih dike mudian hari, karena aku akan bekerja dengan segala cara untuk menuntut ha kku atas segala harta benda yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranakusuma" jawab Raden Ayu Galihwarit. Tumenggung Watang hanya dapat mengangguk-angguk. Ia tidak dapat langsung menentang usaha Raden Ayu itu untuk menga mbil ha knya, justru ia sudah terlanjur tinggal di istana itu, meskipun hanya di sebagian kecil saja dari se luruh istana yang luas itu. Jika ia berbuat demikian, maka Raden Ayu itu akan menyangka, bahwa ia sendirilah yang sebenarnya ingin me miliki segala harta yang ada di dala m istana yang kosong itu. Dala m pada itu, maka Raden Ayu Galihwaritpun segera minta diri kepada Tumenggung Watang untuk ke mbali ke istana ayahandanya, Pangeran Sindurata. Namun, demikian ia turun tangga menuju ke keretanya, ia masih sempat berpesan kepada Ki Tumenggung "Ki Tumenggung, aku ingin mendengar Juwiring itu tertangkap di medan, bukan karena ia menyerahkan diri bagi pembebasan Rara Warih. Aku tidak mau berhutang budi
pada anak pidak-pedarakan itu, agar aku tidak merasa berkewajiban untuk menebusnya dengan cara apapun juga. Aku kira pasukan berkuda dari Sura karta yang besar itu akan dapat menangkapnya, hidup atau mati" Tumenggung Watang tersenyum. Jawabnya "Mudahmudahan Raden Ayu. Mudah-mudahan ka mi segera dapat me lakukannya tanpa menunggu anak itu datang menyerahkan diri" Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Kemudian iapun naik ke dalam kereta Pangeran Sindurata yang tidak sebaik kereta Pangeran Ranakusuma. Tetapi kereta itu cukup me mada i bagi seorang puteri secantik Raden Ayu Ga lihwarit. Sejenak kemudian maka kereta itupun telah berderap meninggalkan hala man istana Pangeran Ranakusuma yang telah dikosongkan, dan yang ke mudian diperguna kan oleh pasukan berkuda Surakarta yang perkasa itu. Demikian kereta itu keluar dari regol hala man, maka senyum Raden Ayu itupun segera lenyap dari bibirnya. Ia mulai merenung, bagaimana sebaiknya yang dilakukannya agar ia dapat membebaskan Rara Warih tanpa menunggu batas waktu yang diberikan oleh para Senapati di Sura karta. Tetapi Raden Ayu Galihwarit telah berpengalaman bergaul dengan kumpeni. Ia akan dapat memanfaatkan kebiasaannya itu. Apalagi karena Pangeran Ranakusuma sudah t idak ada. Ketika ia sa mpai di istana ayahandanya, maka Raden Ayu itupun segera menyampaikan persoalannya kepada ayahandanya. Ia mohon agar ayahandanya dapat me mbantunya, me mbebaskan Warih dari tangan pasukan berkuda yang menahannya. "Aku tida k turut ca mpur" jawab Pangeran Sindurata "Aku sudah tua. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan menghadapi persoalan ini"
"Dan ayahanda sampai hati me mbiarkan cucunda dala m keadaan seperti sekarang?" bertanya Rara Warih. "Sudah tentu aku tidak akan sampai hati. Tetapi apa yang dapat aku lakukan" Jika aku berusaha me mbebaskannya, apakah aku tidak akan dapat dituduh me mbantunya?" jawab Pangeran Sindurata. Namun ke mudian katanya "Tetapi kau tidak usah cemas Galihwarit. Semuanya sudah aku bicarakan dengan beberapa orang perwira dari pasukan berkuda yang datang kemari. Yang mereka lakukan hanya sekedar sebuah permainan. Warih tidak akan mengala mi apapun juga. Justru yang dilakukan itu akan dianggap sebagai satu pengorbanan dan satu perjuangan bagi Surakarta" Raden Ayu Galihwarit yang merasa me mpunyai ke ma mpuan tersendiri untuk menolong puterinya itupun menjawab "Baiklah ayahanda. Kita akan menunggu saja, apa yang akan terjadi atas anak gadisku itu" Tetapi sebenarnyalah Raden Ayu Galihwarit tidak menunggu. Ternyata bahwa ia bertindak cepat. Sebagaimana pernah dilakukannya, maka iapun mulai me ngunjungi loji tempat tinggal kumpeni yang berada di Surakarta, Kedatangannya memang mengejutkan. Tetapi Raden Ayu dapat saja mencari alasan, seolah-olah bahwa iapun ikut mengutuk tingkah laku Pangeran Ranakusuma. "Aku sudah diusirnya, jauh sebelum ia berkhianat" desis Raden Ayu Galihwarit sa mbil mengusap matanya. "Jangan sedih Raden Ayu" seorang perwira kumpeni menghiburnya "bukankah dengan de mikian, Raden Ayu akan mendapat kebebasan lebih besar untuk berbuat apa saja" Raden Ayu hanya tersenyum saja. "Sekarang tidak akan ada lagi orang yang akan menantang duel salah seorang dari ka mi yang berhubungan dengan Raden Ayu" berkata kumpeni itu sa mbil tertawa.
Raden Ayu Galihwarit itupun tersenyum pula. "Raden Ayu nampak bertambah kurus" berkata perwira itu "Ka mi tahu, Raden Ayu sedang sakit" "Sekarang aku sudah se mbuh" jawab Raden Ayu. "Dan berta mbah cantik" perwira itu mula i bergurau. Raden Ayu Galihwarit sama seka li tida k canggung lagi bergaul dengan orang asing itu. Bahkan ia na mpak se makin berani dan sema kin panas sepeningga l sua minya. Namun dala m pada itu, di pagi harinya, pada saat matahari baru menjenguk dari balik ca krawala, sebuah kereta berderap menuju ke istana Ranakusuman yang dipergunakan oleh pasukan berkuda. Seorang puteri yang cantik duduk seorang diri di dala m kereta itu. "Raden Ayu Galihwarit" desis para penjaga regol di istana Ranakusuman itu "sepagi ini ia sudah datang ke mari" Tidak seorangpun yang tahu maksudnya. Namun mereka sama seka li tidak mencegah kereta itu me masuki ha la man. Ki Tumenggung Watangpun terkejut pula melihat kehadiran Raden Ayu itu. Karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia menya mbutnya. "Na mpaknya ada sesuatu yang penting Raden Ayu?" bertanya Tumenggung Watang ketika Raden Ayu itu sudah duduk di dala m ruang yang khusus dipergunakan oleh Tumenggung Watang. Raden Ayu tersenyum cerah sekali. Tanpa menjawab separah katapun ia menunjukkan sehelai surat kepada Tumenggung Watang. Wajah Tumenggung Watang itupun menjadi tegang. Diterima surat itu dengan jantung yang berdebaran. "Apakah artinya ini Raden Ayu" bertanya Tumenggung Watang.
"Silahkan Ki Tumenggung me mbacanya" jawab Raden Ayu "surat itu ditulis oleh seorang juru tulis yang berada di lingkungan kumpeni. Pada surat itu sudah dibubuhkan tanda sah atas surat itu" Sejenak Tumenggung itu termangu-mangu. ke mudian iapun me mbaca isi surat itu. Na mun
Terasa wajah Tumenggung Watang menjadi panas. Dengan nada dalam ia bertanya "Bagaimana mungkin ha l ini terjadi Raden Ayu" "Seperti sudah aku katakan, aku akan me mbantu Ki Tumenggung" jawab Raden Ayu Ga lihwarit "Tetapi tindakan Raden Ayu ini telah melanggar hakku. Dan surat inipun sebenarnya dapat aku tolak dan tidak berlaku" jawab Tumenggung Watang. Raden Ayu itu mengerutkan keningnya. Namun ke mudian ia tersenyum sa mbil berkata "Tentu a kan terasa aneh jka Ki Tumenggung me nolak surat itu. Yang mula-mula me ngatakan bahwa Rara Warih tidak dapat dibebani kesalahan ayahandanya dan kesalahan Juwiring adalah Ki Tumenggung Kemudian Ki Tumenggung mengatakan, akan me mbicarakan hal ini dengan pihak-pihak lain. Untuk itu aku bersedia me mbantunya. Dan aku sudah berbicara dengan kumpeni, sehingga kumpeni telah menulis surat itu" "Tetapi ia tdak berhak me merintahkan kepadaku Untuk me lepaskannya" gera m Tumenggung Watang. "Bukankah kumpeni tidak me merintahkan kepada Tumenggung Watang" Tetapi bukankah surat itu mengatakan, bahwa kumpeni tidak berkeberatan jika Rara Warih dilepaskan Tetapi dengan syarat. Nah, bagaimana pendapat Ki Tumenggung" Apakah justru Ki Tumenggung yang menjadi tumpuan harapanku yang pertama sebelum aku bertemu dengan kumpeni, justru akan berubah sikap?" desak Raden Ayu itu.
Tumenggung Watang akhirnya menarik nafas dalam-dala m. Ia tidak dapat mengabaikan pendapat kumpeni, meskipun secara urutan kekuasaan ia dapat menolak surat itu dan menunjuk kepada Senapati dala m tataran yang lebih tinggi, Panglima perang yang telah diangkat oleh Kangjeng Susuhunan dala m keadaan yang gawat itu. Namun akhirnya Ki Tumenggung itu berkata "Raden Ayu. Baiklah. Aku setuju. Tetapi syarat yang tersebut dalam surat ini harus dipenuhi. Rara Warih dibebaskan dengan rahasia. Karena itu, biarlah nanti ma la m gadis itu diantar ke istana Sinduratan" "Kenapa nanti mala m" Bukankah aku dapat me mbawanya sekarang?" bertanya Raden Ayu. "Jangan sekarang Raden Ayu. Mungkin seseorang akan me lhatnya di jalan" jawab Ki Tumenggung Watang "se mentara itu, justru kami akan menge luarkan wara-wara yang lebih keras sifatnya, agar Raden Juwiring menyerah. Seolah-oeh kami akan me mbebaskan segala kesalahan kepada Rara Warih jika Raden Juwiring tidak tertangkap" Raden Ayu mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata "Silahkan Ki Tumenggung. Aku justru sependapat sekali. Tidak seorangpun me mang boleh mengetahui bahwa Rara Warih telah dibebaskan, agar masih ada satu ke mungkinan seperti yang Ki Tumenggung harapkan. Meskipun harapan itu sangat kecil" Dengan demikian ma ka di antara Raden Ayu dan Ki Tumenggung Watang itu telah tercapai satu persetujuan, meskipun Tumenggung Watang itu telah tersinggung oleh sikap kumpeni yang seolah-olah dengan sesuka hatinya dapat me merintah segala bagian dala m jalur keprajuritan di Surakarta. Namun iapun seakan-akan telah kalah janji, bahwa ia sama sekali tidak akan menimpakan kesalahan Juwiring dan
Pangeran Ranakusuma kepada gadis itu, sehingga jika ia berkeberatan untuk melepaskan gadis itu, maka seolah-olah ialah yang me mersulit justru ia adalah orang yang pertamatama mengatakan, bahwa Rara Warih tidak bersalah sama sekali. Setelah Ki Tumenggung berjanji untuk mengirimkan Rara Warih setelah gelap sehingga tidak akan ada orang lain yang mengetahui, dengan kereta yang terdapat di istana Ranakusuman, maka Raden Ayu itupun telah mohon kesempatan untuk berte mu dengan anak gadisnya. Tetapi Raden Ayu itu tidak me merlukan waktu yang lama. Ia hanya mengatakan beberapa patah kata tentang rencana yang akan dilakukan oleh Ki Tumenggung Watang atas gadis itu. Rara Warih me mandang wajah ibunya dengan tatapan mata yang bura m. Meskipun bibirnya mengucap terima kasih, tetapi hatinya bagaikan menjadi hancur. Ia sadar apa yang telah dila kukan oleh ibundanya. Ibundanya telah mengorbankan apa saja bagi kebebasannya. Tetapi Rara Warih berusaha untuk me nahan hatinya. Ia tidak mau menyinggung perasaan ibunya yang telah berbuat apa saja baginya. Ia sadar, bahwa yang dilakukan oleh ibundanya itu justru karena ibundanya sangat mencintainya. Namun de mikian, Raden Ayu Galihwarit meninggalkan bilik itu, Rara Warih telah menjatuhkan dirinya di pe mbaringannya. Ia tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Alangkah pahitnya nasib yang menimpa dirinya. "Apakah sudah seimbang pengorbanan yang diberikan oleh ibunda bagi kebebasanku" tangis Rara Warih. Namun Rara Warihpun sadar, bahwa yang dilakukan oleh ibundanya bukan saja bagi kebebasannya. Sebelumnya Ibundanya pernah me lakukannya, justru karena ibundanya
adalah seorang puteri yang tama k, yang ingin me miliki jauh lebih banyak dari yang dapat diberikan oleh ayahandanya. Rara Warih hampir tidak dapat menahan diri lagi. Ha mpir saja ia menangis menjerit sekuat-kuatnya untuk melepaskan pepat di dadanya. Tetapi dala m pada itu, seorang emban telah me masuki biliknya. Dengan suara lembut ia berkata "Puteri, kenapa puteri justru menangis?" Rara Warih berusaha untuk menahan diri. Tetapi justru karena itu maka iapun menjadi terisak-isa k. Dadanya bagaikan menjadi pepat oleh tangis yang tertahan di lehernya. "Sudahlah puteri" e mban itu beringsut mendekat "Aku tidak pernah me mbawa patrem lagi seperti yang puteri perintahkan" Rara Warih mengangguk kecil. Tetapi isaknya masih saja menyesakkan dadanya. "Aku akan mene mani puteri untuk mengisi wa ktu puteri, agar puteri tidak selalu berduka " berkata e mban itu. "katakan puteri, apa yang puteri kehendaki" Rara Warih menggeleng le mah. Tetapi tangisnya mulai mereda. Meskipun Rara Warih tahu, bahwa emban itu sebenarnya adalah petugas yang harus mengawasinya, tetapi sikapnya terlalu baik dan keibuan. Karena itulah, maka e mban itu me mang dapat mengisi hatinya yang seakan-akan dala m kekosongan. Dala m pada itu, sebenarnyalah yang dijanjikan oleh Tumenggung Watang. Ketika Sura karta mulai disaput oleh gelapnya mala m, ma ka Tumenggung Watangpun telah menyiapkan sebuah kereta. Meskipun pada dasarnya ia percaya kepada para perwiranya, namun ia sendirilah yang akan mengantar Rara Warih ke istana Sinduratan. Bagaimanapun juga, ia masih me mpertimbangkan ke mungkinan yang buruk yang dapat terjadi atas puteri itu.
Karena menurut penilaian para, prajurit, gadis itu adalah seorang tahanan, anak seorang pengkhianat yang dapat diperlakukan sekehendak hati mereka. Kedatangan Rara Warih disa mbut oleh ibunya dengan tiik air mata di pelupuknya. Tetapi seperti yang selalu dilakukan, ia berusaha untuk tidak tenggela m ke dala m dunianya yang suram. "Terima kasih Ki Tumenggung" berkata Raden Ayu itu kepada Ki Tumenggung. Tetapi ketika ia me mpersilahkan Tumenggung itu duduk, maka Tumenggung Watang menjawab "Terma kasih Raden Ayu. Aku masih me mpunyai tugas di rumah" Raden Ayu itu tersenyum. Katanya "Baiklah. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih" Tumenggung itupun ke mudian minta diri pula kepada Pangeran Sindurata. sebelum sejenak ke mudian keretanya berderap meninggalkan istana itu. Sepeninggal Ki Tumenggung, maka Raden Ayupun segera mengajak Rara Warih masuk. Kepada Pangeran Sindurata. Raden Ayu itupun me mberi tahukan bahwa Rara Warih diijinkan tingga l di istana itu, namun bersifat rahasia. Tidak seorangpun boleh mengetahuinya. "Para ha mba istana inipun harus diberitahukan, agar mereka tidak me mbuka rahasia ini" minta Raden Ayu kepada ayahanda "jika hal ini didengar oleh para Senapati di
Surakarta dan kumpeni, ma ka Rara Warih tentu akan diambil lagi dan ditahan di te mpat yang lebih sulit untuk dite mui" "Serahkan hal itu kepadaku" jawab Pangeran Sindurata. Dala m pada itu. justru di hari berikutnya, telah dikeluarkan wara-wara, bahwa waktu yang disediakan bagi Juwiring dan anak buahnya tinggal dua hari lagi. Bukan saja Juwiring teapi juga anak buahnya, bekas pasukan berkuda, harus menyerahkan diri. Jika tidak, maka semua kesalahan akan ditimpakan kepada Rara Warih yang juga tertangkap di padepokan Jati Aking, di antara pasukan Raden Juwiring. Wara-wara itu segera dapat didengar oleh para petugas sandi dari pasukan Pangeran Mangkubumi, sehingga hal itupun segera terdengar pula oleh Ki Wandawa. Karena itu, ma ka Ki Wandawapun segera me manggil Juwiring dan saudara angkatnya, Buntal untuk mendapat penjelasan bagaimana sikap yang akan dia mbilnya. Keterangan itu membuat Juwiring menjadi ce mas. Dengan wajah yang tegang ia berkata "Aku pernah berjanji kepada ibunda Galihwarit untuk segera ke mbali. Tetapi aku sudah terlambat satu hari. Tetapi sebaiknya aku harus menghadap untuk mendapat penjelasannya" "Pergilah, tetapi kau harus berhati-hati. Mungkin wara-wara ini me mang satu jebakan, agar kau berada di sekitar istana Ranakusuman atau di daerah tertentu yang mungkin akan kau datangi. di antaranya adalah istana Sinduratan?" pesan Ki Wandawa. Juwiringpun ke mudian me mpersiapkan dirinya. Ia me mang harus berhati-hati sekali. Benturan-benturan kecil antara pasukan Pangeran Mangkubumi dengan kumpeni dan prajurit Surakarta yang terjadi di beberapa tempat, membuat para prajurit Surakarta itu sema kin ketat mengawasi keadaan. "Aku akan ikut bersa ma mu kakang" Arum mulai merengek.
"Perjalanan ini sangat berbahaya" jawab Juwiring. "Tetapi aku a kan dapat mengetahui, apakah kau boleh masuk ke istana Sinduratan atau tidak" desis Arum. "Bagaimana mungkin" sahut Buntal. "Aku akan mendahului kalian me masuki istana itu. Aku dapat saja me mbawa dagangan apapun juga. Kau tida k akan dapat mengulangi cara mu. Jika di sekitar istana itu ada beberapa orang pasukan sandi dari Surakarta dan orang-orang upahan kumpeni, mere ka akan segera mengenalmu. Tetapi tidak terhadapku" berkata Arum. Buntal mengerutkan keningnya. Tetapi Juwiringpun ke mudian mengangguk-angguk. Desisnya "Ada juga baiknya. He, kau mau menjua l apa yang pantas kau bawa masuk ke istana Sinduratan?" "Apa saja. Mungkin sayuran. Mungkin juga tikar pandan atau reramuan jamu. Mangir atau lulur" jawab Arum "ayah Danatirta tentu akan dapat me mbuatnya" Akhirnya mereka sepakat untuk segera berangkat ke Surakarta dengan cara yang telah mereka setujui. Mereka me masuki kota ketika matahari mulai naik di hari berikutnya. Waktunya memang. sudah dekat dengan batas yang diberikan oleh para pemimpin di Surakarta. Juwiringpun ke mudian me njadi se makin ce mas ketika ia mengetahui bahwa tuntutan para pemimpin pasukan berkuda itu telah berkembang. Bukan saja Juwiring, tetapi juga para pengikutnya, terutama bekas prajurit pasukan berkuda yang berpihak kepada Pangeran Mangkubumi. Dengan me mbawa reramuan obat-obatan, Arum berjalan di depan. di belakangnya Buntal dan Juwiring berjalan seolaholah tidak menghiraukan gadis itu sama sekali. Dengan segala cara Juwiring berusaha untuk menyamarkan wajahnya. Dengan goresan-goresan kecil, pada bibir dan pelupuk
matanya, ia sudah nampak berubah. Juga karena pakaiannya yang lusuh dan kakinya yang agak timpang. Bahkan kadang-kadang Buntal harus me lihat sikap Raden Juwiring itu. tertawa sendiri
"Sst, kau tentu menganggap aku pengecut" desis Juwiring. "Tida k. Sama sekali tidak. Tetapi orang yang demikian itu tentu akan sangat menderita. Tidak akan ada seorang gadispun yang akan tertarik. Wajah yang kotor, buruk dan cacat" sahut Buntal. Juwiringpum tersenyum. Ia harus mempertahankan sikapnya sebagai seorang yang agak timpang, meskipun hanya sedikit. "Jika aku harus berjalan dengan cara ini sehari penuh, maka aku akan benar-benar menjadi timpang" desisnya. Untuk menjaga segala ke mungkinan, ma ka Buntal dan Juwiring telah berhenti beberapa puluh langkah dari regol Sinduratan, sementara Arum sa mbil me mbawa reramuan obat-obatan yang dibuat dari dedaunan dan jenis akar emponempon me masuki regol Sinduratan. Tidak seorangpun yang berminat untuk me mbeli rera muan obat-obatan itu. Namun Arum sudah melihat, tidak ada kesiagaan khusus di dala m hala man istana Pangeran Sindurata. Meskipun demikian, Arum masih juga berusaha untuk dapat bertemu dengan Raden Ayu Ranakusuma. Dengan nekad ia berkata kepada pelayan yang menolak untuk me mbeli itu "Raden Ayu Ranakusuma pernah berpesan kepadaku untuk me mbawa rera muan obat-obatan untuk sakit pening dan yang penting adalah pesanan Raden Ayu bagi kesehatannya agar nampak awet muda. Mangir dan lulur yang terbuat dari sejenis akar yang khusus"
"Apakah Raden Ayu pernah memesannya?" bertanya pelayannya. "Ya. Aku pernah mendapat pesan itu" jawab Arum. Tetapi ia tidak menduga bahwa pelayan itu bertanya "Dimana kau bertemu dengan Raden Ayu?" Sejenak Arum kebingungan. Namun keumdian ia menjawab asal saja "di muka regol ini. Pagi-pagi benar. Matahari masih belum terbit. Nampaknya Raden Ayu sedang berjalan-jalan di halaman istana ini. Regol baru dibuka sedikit ketika tiba-tiba saja Raden Ayu itu mendorong pintu regol. Akupun berhenti dan berjongkok di hadapannya" Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Namun ke mudian katanya "Aku akan menya mpaikannya kepada Raden Ayu" Ketika Raden Ayu mendengar keterangan pelayannya itu, dengan serta merta ia menjawab "Ia tentu berbohong. Aku tidak pernah me mesan reramuan obat-obatan semacam itu. Katakan, aku tidak me merlukannya" Tetapi ketika pelayan itu pergi, baru Raden Ayu itu sadar, bahwa pada saat semaca m itu, maka dengan tergesa-gesa iapun segera menyusul pelayannya. Arum merasa kecewa sekali mendengar jawaban pelayan itu. Tetapi harapannya telah tumbuh ke mbali ketika ia melihat seorang puteri yang muncul di be lakang pe layan itu. "Itukah pere mpuan yang mengatakan bahwa a ku telah me mesan reramuan obat-obatan?" bertanya Raden Ayu Galihwarit. Arum menjadi berdebar-debar. Jika Raden Ayu itu justru marah kepadanya, maka ia akan mengala mi kesulitan. "Ya Raden Ayu, Anak inilah yang mengatakannya" jawab pelayannya.
Arum menarik nafas dalam-dala m ketika Raden Ayu itu justru berkata "Aku baru ingat. Aku me mang pernah me mesannya" Pelayan itu termangu-ma ngu sejenak. Tetapi ketika ia me lihat Raden Ayu itu tersenyum, ma ka iapun segera beringsut pergi. Demikian pelayan itu pergi, Raden Ayupun mendekati Arum sambil bertanya "Mungkin aku benar-benar lupa, apakah kau me mang pernah datang ke mari?" Arum tida k melepaskan kesempatan itu. Katanya kemudian "Ampun puteri. Ha mba adalah anak dari Jati Aking" Raden Ayu Ranakusuma mengerutkan keningnya. pernah mendengar na ma Jati Aking. Ia
Karena Raden Ayu itu masih ragu-ragu, maka Arumpun menje laskan sebelum ada orang lain yang mendekat "Hamba adalah utusan Raden Juwiring" "O" Raden Ayu itu mengangguk-angguk "dimana anak itu sekarang he?" "Raden Juwiring merasa bahwa pengawasan kota menjadi semakin rapat. Apalagi wara-wara terakhir yang mungkin dapat menjebaknya ke dala m perangkap. Karena itu, hamba harus meyakinkan, apakah Raden Juwiring dapat menghadap" desis Arum. "Tentu. Tida k ada apa-apa di sini. Biarlah ia menghadap, aku me mang sudah menunggunya. Ia datang lewat saat yang dijanjikannya" jawab Raden Ayu itu ke mudian. "Ha mba akan me manggilnya" berkata Arum ke mudian. Arumpun ke mudian bergeser ke regol. Ia melihat Juwiring dan Buntal beberapa puluh langkah dari regol itu. Ke mudian dengan isyarat gadis itu me mberitahukan bahwa mereka dapat me masuki ha la man istana.
Juwiring dan Buntalpun me lihat isyarat itu. Karena itu, maka merekapun segera mendekat. Di luar regol keduanyapun tidak me lihat sesuatu yang mencurigakan. Ketiga anak Jati A king itu telah dibawa ke serambi be lakang Sambil berjalan Raden Ayu itu berkata "Seandainya prajurit Surakarta dan kumpeni ingin menjebakmu, aku kira tidak akan berada di sekitar tempat ini Juwiring, karena di dala m pengertian mereka, aku sangat me mbencimu seperti yang terjadi sebelum aku diusir dari istana Ranakusuman oleh Pangeran Ranakusuma. Dan untuk mengelabui mereka, akupun seolah-olah masih tetap bersikap seperti itu" "Terima kasih ibunda" jawab Raden Juwiring "bahwa dengan demikian ibunda telah berusaha untuk me mberikan tempat kepadaku" "Marilah. Aku kira kalian a man di sini"desis Raden Ayu itu pula. Sementara itu, demikian mereka sa mpa i di serambi belakang, Juwiring telah dikejutkan oleh hadirnya seorang gadis. Dengan serta merta ia berdesis "Diajeng Warih?" Gadis itu terkejut. Dipandanginya tiga orang dala m pakaian lusuh yang mengikuti ibundanya itu. Na mun akhirnya Rara Warihpun mengenalnya juga, bahwa salah seorang dari mereka ada lah Raden Juwiring. "Kakangmas Juwiring" desis gadis itu tertahan. Namun gadis itupun ke mudian berlari me meluknya. Ia tidak dapat menahan tangisnya yang bagaikan meledak. Tiba-tiba saja hatinya telah bergejolak ketika dilihatnya kakandanya.
Rasa-rasanya ia ingin meneria kkan segala luka di hatinya. Tentang dirinya sendiri, tentang pengorbanan ibundanya yang me mbuat hatinya sangat pedih. Dan tentang keadaan keluarganya dala m keseluruhan di masa yang gawat itu. "Jangan menangis begitu Warih" bisik Raden Juwiring "Kita dapat berbicara tentang persoalan-persoalan yang kita hadapi dengan hati yang jernih, justru karena kita harus mengamati segalanya dengan saksama" Raden Ayu Galihwaritpun menepuk bahu anak gadisnya sambil berkata "Sudahlah Warih. Seperti aku katakan, kau harus menghadapi segalanya dengan tabah" Warih masih menangis. Tetapi di dalam hatinya ia berkata "Aku akan tabah menghadapi persoalan yang sedang aku hadapi. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat menahan pedih hati ini jika a ku menyadari, apa yang telah ibunda lakukan" Namun dala m pada itu. perlahan-lahan akhirnya Warihpun dapat menguasai dirinya. Ketika tangisnya mereda, maka merekapun ke mudian duduk di serambi belakang. Yang pertama-tama ditanyakan oleh Juwiring, kenapa Rara Warih telah berada di istana Sinduratan. justru
Dengan singkat Raden Ayu Galihwarit menceriterakan tentang Rara Warih dan sikap Tumenggung Watang. Rara Warih me mang telah dibebaskan dengan rahasia. Dan Raden Ayu itupun tidak menyembunyikan sikapnya terhadap Juwiring. "Tetapi bagaimana dengan wara-wara itu?" bertanya Juwiring "Apakah jika aku t idak datang menyerahkan diri, diajeng Warih akan dia mbil lagi?" "Tida k" jawab Raden Ayu "Tumenggung Watang telah mengatakan kepadaku, bahwa Rara Warih pada dasarnya tidak akan terkena noda dari kesalahan yang dianggap telah dilakukan oeh Pangeran Ranakusuma dan kau la kukan
bersama para prajurit dari pasukan berkuda di bawah pimpinanmu" Juwiring mengangguk-angguk. Ternyata Raden Ayu Galihwarit telah berbuat sesuatu yang justru dapat me mperingan perjuangannya. Ia tidak akan dibebani lagi oleh perasaan bersalah terhadap adiknya yang disangkanya masih tetap ditahan dan akan mengala mi perlakuan yang tidak menyenangkan seandainya ia tidak menyerahkan diri. Dala m pada itu, Raden Ayu itupun berkata "Juwiring. Untuk sementara kau tidak usah me mikirkan adikmu. Serahkan ia kepadaku. Aku akan berusaha melindunginya dengan caraku. Lakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Perjuanganmu masih panjang di dala m lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi" "Terima kasih ibunda" jawab Juwiring "na mun pada suatu saat, tentu keadaan diajeng Warihpun akan terancam. Tetapi aku kira untuk se mentara aku percayakan keadaannya kepada ibunda. Pada suatu saat, jika perlu, diajeng Warih harus menyingkir keluar kota. Lambat atau cepat, para prajurit Surakarta dan kumpeni a kan mencium juga permainan ini" "Aku mengerti Juwiring" jawab Raden Ayu "jika saatnya tiba, terserahlah. Mana yang lebih baik menurut pertimbanganmu" "Baiklah ibunda" berkata Raden Juwiring ke mudian "ternyata keadaan diajeng Warih lebih baik dari yang aku duga. Dengan demikian maka a ku akan se mpat mela kukan pesan ayahanda di saat terakhir di medan perte mpuran itu" "Apa pesan ayahandamu?" bertanya Raden Ayu. "Ayahanda gugur sampyuh dengan Tume nggung Sindura yang berpasangan dengan Pangeran Yudakusumo. Pada tangan ayahanda terdapat segores luka bekas sentuhan senjata Tumenggung Sindura yang luar biasa. Nampaknya peluru dan senjata-senjata yang lain tidak diperhatikan oleh
ayahanda. Namun goresan senjata Tumenggung Sindura telah mengantarkan ayahanda ke dala m lingkungan maut" jawab Juwiring. Lalu "Na mun ayahanda masih sempat berpesan, agar senjata Tumenggung Sindura yang se mpat merenggut jiwa ayahanda itu di singkirkan saja jauh-jauh agar tidak dimiliki oleh siapapun, terutama mereka yang me mpunyai maksud kurang baik" Raden Ayu Galihwarit mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah Juwiring. Lakukan pesan ayahandamu. Mudahmudahan, apa yang akan dapat aku lakukanpun tidak terbatas pada perlindungan terhadap Rara Warih. Jika kau mendengar sesuatu yang penting, kau dapat datang kepadaku. Mudahmudahan aku dapat me mbantumu" Raden Juwiring itupun ke mudian minta diri bersa ma kedua saudara angkatnya. Namun rasa-rasanya kakinya menjadi berat ketika ia me lihat Rara Warih menit ikkan air matanya pula. Betapa berat hati Rara Warih menghadapi kenyataankenyataan tendang dirinya dan tentang ibundanya. Namun ia tidak dapat mengatakannya kepada siapapun juga. "Jangan kau tangisi kakanda mu" berkata ibundanya "lepaskan ia sebagaimana kau me lepaskan saudaramu itu maju ke medan perang" Rara Warih mengangguk. Tetapi hatinya menjerit "Aku tidak menangisi kakangmas Juwiring. Tetapi a ku menangisi kenyataan yang dengan kejam telah menerpa lahir dan batinku" Sejenak ke mudian ma ka Raden Juwiring dan kedua saudara angkatnya itupun meninggalkan sera mbi be lakang. Arum tertegun sejenak, ketika Rara Warih me meluknya sambil berbisik "Kenanglah a ku. Aku ingin berada di antara kalian"
Arum hanya mengangguk kecil. Tetapi iapun seorang gadis. sehingga ketika terasa titik air mata Rara Warih di pundaknya, matanyapun terasa menjadi panas. Dala m pada itu, maka seperti ketika me masuki istana itu, Arumlah yang berjalan lebih dahulu. Baru ke mudian Buntal dan Juwiring mengikut i setelah Arum meninggalkan regol istana itu beberapa puluh langkah. Ketiga anak-anak muda itupun telah tiba dengan selamat d! pondokan mereka di antara pasukan Pangeran Mangkubumi. Seelah mereka menyampa ikan laporan kepada Kiai Danatirta, maka merekapun langsung menghadap Ki Wandawa. "Apakah kau yakin bahwa Raden Ayu Ranakusuma itu tidak sekedar menenangkan hatimu?" bertanya Ki Wandawa. "Menilik bahwa Rara Warih benar-benar sudah berada di istana Sinduratan, maka ibunda Galihwarit tentu, berkata sebenarnya" jawab Raden Juwiring "atau jika ibunda Galihwarit teribat dalam satu usaha menangkap aku, maka itu tentu sudah dila kukannya" Ki Wandawa mengangguk-angguk. Katanya "Sokurlah. Jika demikian ma ka Raden Ayu itu justru akan dapat menjadi salah satu tempat untuk mendapatkan bahan dan keterangan tentang keadaan di dala m kota Sura karta" "Aku percaya kepada ibunda Galihwarit" berkata Raden Juwiring "agaknya penyesalan yang sangat telah merubah segala-galanya" "Hal itu me mang mungkin sekali terjadi. Raden Ayu Galihwarit telah kehilangan anak laki-lakinya. Kemudian suaminya, apapun sebabnya" sahut Ki Wandawa. Dala m pada itu, maka Juwiringpun telah me mberitahukan kepada Ki Wandawa bahwa ia ingin me laksanakan perintah ayahandanya yang terakhir, menyingkirkan keris yang dianggap oleh ayahandanya akan dapat menumbuhkan
kesulitan justru karena keris itu adalah keris yang berbahaya. Menurut ayahandanya keris itu tentu masih akan menuntut korban de mi korban, justru orang-orang yang tidak dapat dilukai oleh jenis senjata yang lain, karena keris itu me miliki kekuatan yang luar biasa. "Ayahanda Pangeran Ranakusuma telah gugur oleh goresan keris itu" berkata Juwiring. "Ya" jawab Ki Wandawa "Aku sudah mendengarnya. Me mang mengejutkan bahwa hanya oleh segores luka kecil Pangeran Ranakusuma gugur di peperangan. Menurut kabar yang tersebar dari mulut ke mulut, pelurupun tidak dapat me lukainya dan apalagi merenggut hidupnya" na mun ke mudian Ki Wandawa berkata "Tetapi kenapa Pangeran Ranakusuma tidak lebih baik berpesan, agar keris itu dapat kau pergunakan. Bukankah dengan de mikian kau akan dapat me lawan orang-orang yang menurut kepercayaan orang lain tidak dapat dilukai dengan apapun juga?" Raden Juwiring menggeleng. Jawabnya "Aku masih be lum yakin akan keteguhan pribadiku. Mungkin keris itu me miliki kekuatan yang luar biasa sehingga dapat me mpengaruhi pribadiku sehingga menimbulkan akibat yang kurang baik bagiku sendiri" Ki Wandawa mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk mengingat apa yang dikenalnya pada seseorang yang bernama Ki Tume nggung Sindura. Na mun Ki Wandawa tidak banyak mengetahui tentang orang itu, meskipun ia pernah mendengar kebesaran na manya. Tetapi agaknya Ki Wandawa tidak ingin mengecewakan Radon Juwiring. Taoun ke mudan menyerahkan hal itu kepada anak muda itu untuk menentukan sikap. Namun ia berpesan "Tetapi kau harus berusaha menyesuaikan dirimu Raden. Jika kau benar-benar akan berangkat ke Gunung Lawu. ma ka kau aku harap me mberitahukan lebih dahulu kepadaku kepastian waktu. Aku berpendapat bahwa lebih baik Raden mela kukan
setelah waktu yang dijadikan batasan saat penyerahanmu itu lewat. Mungkin ada satu perkembangan baru yang menuntut perhatianmu atas adikmu yang berada di bawah perlindungan ibundanya itu" Raden Juwiring mengangguk-angguk. Agaknya ia memang harus menunggu sampai hari terakhir Dala m pada itu, suasana benar-benar menjadi se makin panas. Kumpeni telah bergerak di beberapa te mpat bukan saja untuk menghadapi langsung Pangeran Mangkubumi. Tetapi perlawanan telah menjadi se makin meluas di seluruh daerah Surakarta. Namun sejalan dengan itu, maka Kumpenipun telah menga mbl tindakan yang sangat menyakiti hati rakyat Surakarta. Dengan kasar kumpeni me ma ksa rakyat untuk menyatakan tanda takluk. Bahkan sa mpai ke daerah yang paling miskin sekalipun, tanda takluk itu harus diberikan. Di rumah-rumah yang besar dan kecukupan kumpeni menga mbil sendiri apa yang disebutnya sebagai upeti dan tanda takluk itu. Pendok e mas, permata dan perhiasanperhiasan. Namun mereka yang tidak me milikinya, kumpeni me mpunyai cara tersendiri. Orang-orang miskin itu harus menyusun kelompok-kelompok kecil pada setiap padukuhan. Setiap kelompok yang terdiri dari paling banyak duapuluh lima orang itu harus menyerahkan satu tanda takluk. Sebuah pendok e mas. "Ka mi orang-orang miskin tuan" keluh orang-orang itu "Ka mi tidak me mpunyai sesuatu yang dapat ka mi berikan
sebagai tanda takluk itu. Tidak ada yang dapat ka mi jual dan tidak ada yang dapat ka mi tukarkan" Tetapi kumpeni itu sa ma sekali tidak menghiraukainnya. Mereka me mberikan waktu sepuluh hari bagi orang-orang yang paling miskin. Jika kelompok-kelompok kecil mereka tidak dapat menyerahkan satu pendok e mas, maka mereka akan dihukum menurut hukum kumpeni. Hukum peperangan. "Tetapi bagaimana ka mi dapat orang-orang miskin itu. me menuhinya" tangis
"Itu urusanmu" jawab seorang prajurit kumpeni yang garang, berkumis panjang dengan pedang di tangan "atau minta saja kepada orang yang sudah berkhianat itu" "Siapa" Kepada siapa?" bertanya orang-orang miskin itu. "Pangeran Mangkubumi. Mintalah kepadanya atau kepada siapa saja. Aku tidak peduli. Sepuluh hari lagi, aku akan datang menga mbil pendok itu" Kumpeni sa ma sekali tidak mau tahu kesulitan rakyat kecil itu. Jika mula-mula mereka menga mbil jika mereka mene mukannya di rumah-ruma h yang besar dan berkecukupan, maka ke mudian mereka sudah me ma ksa orang-orang miskin untuk berusaha menyediakan. Sementara itu, orang-orang miskin itupun menjadi kebingungan. Mereka t idak me mpunyai alasan apapun juga yang dapat diberikan kepada kumpeni. "Me mang semua ini kesalahan Pangeran Mangkubumi" berkata salah seorang dari orang-orang miskin itu. "Kenapa Pangeran Mangkubumi?" bertanya kawannya "justru Pangeran Mangkubumi ingin me mbebaskan kita dari pemerasan seperti ini"
Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 4 Wiro Sableng 119 Istana Kebahagiaan Gajahmada 7

Cari Blog Ini