Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 34
"Sebaiknya kau tinggal mene mani aku Arum" sahut Kiai Danatirta. "Ayah di sini sudah mempunyai banyak kawan" jawab Arum "pokoknya kali ini aku harus ikut. Boleh atau tidak boleh" Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Na mun ke mudian menurut pertimbangannya perjalanan itu tidak terlalu berbahaya, karena mereka akan pergi ke tempat yang sepi dan melewati jalan yang jarang disinggung oleh peronda dari Surakarta. Dengan demikian maka jika Arum akan ikutpun bagi Juwiring t idak terla lu banyak keberatannya Karena itu, maka katanya "Ayah, jika Arum me maksa untuk ikut, ka mi berduapun tidak berkeberatan. Tetapi dengan janji, bahwa Arum akan bersedia berjalan untuk jarak yang panjang sekali dan tidak a kan mengeluh sa ma sekali betapapun letihnya" "Apakah kita tidak akan berkuda?" bertanya Arum. "Kita akan berkuda sampa i di kaki Gunung Lawu. Kemudian kita akan me manjat naik dan meletakkan keris itu di te mpat yang tinggi, yang tidak akan pernah disentuh oleh seseorang kapanpun juga " jawab Juwiring. "Kenapa kita harus me manjat" Asal kita sudah sa mpa i ke lereng Gunung Lawu, maka pesan itu sudah terpenuhi. Kakang dapat mencari tempat yang tersembunyi, tetapi tidak usah me manjat na ik" desis Arum. "Kau sudah mulai segan" desis Buntal. "Tida k. Aku tidak akan segan meskipun harus naik sa mpai ke puncak" sahut Arum dengan serta merta. Dengan demikian maka Kiai Danatirtapun tidak dapat menolak. Ia harus me lepaskan Arum ikut serta pergi ke Gunung Lawu untuk menyingkirkan keris yang me mpunyai kekuatan nggegirisi itu.
Ternyata Juwiring tidak me nunda-nunda lagi keberangkatannya. Jika pada saatnya, keadaan bertambah gawat, maka ia berharap bahwa ia sudah berada di dala m pasukannya. Mala m itu juga Juwiring dan Buntal telah menghadap Ki Wandawa untuk mohon ijin. Bahwa di hari berikutnya mereka akan mohon diri untuk beberapa hari, mendaki Gunung Lawu untuk menyingkirkan keris sesuai dengan pesan ayahanda Ranakusuma. "Meskipun tugas ini na mpaknya tidak terlalu berat Raden" berkata Ki Wandawa "seolah-olah hanya sekedar me mbuang barang yang tidak dapat dipergunakan lagi, na mun ka lian harus tetap berhati-hati. Perjalanan ke, Gunung Lawu, meskipun t idak terlalu jauh, tetapi juga tidak terlalu dekat. Lereng Gunung Lawu masih merupakan hutan yang lebat, yang jarang sekali disentuh kaki manusia" "Terima kasih Ki Wandawa" sahut Juwiring "Aku akan mengikut i segala petunjuk Ki Wandawa dan sudah barang tentu juga ayah Danatirta?" Dengan singkat Ki Wandawa me mberikan petunjuk jalan yang paling baik di la luinya, sehingga ke mungkinan untuk berte mu dengan prajurit Surakarta atau petugas-petugas sandi sangat kecil. Namun adalah di luar dugaan Juwiring ketika seseorang telah dengan dia m-dia m mendengarkan pembicaraan itu. Seorang yang bertubuh tinggi kekar
berjambang lebat. Dari balik dinding ia mendengar bahwa Raden Juwiring akan me menuhi permintaan ayahanda Pangeran Ranakusuma, bahwa keris yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung Sindura itu harus dilabuh di Gunung Lawu. "Bodoh" berkata orang itu kepada seorang kawannya "keris itu adalah keris yang bertuah. Keris yang dapat memberikan kewibawaan kecuali keris itu sendiri adalah keris yang sakti" "Lalu, apa ma ksudmu?" bertanya kawannya. "Aku akan menga mbilnya dari tangan anak itu" gera mnya. "Tetapi jika anak itu menolak me mberikan keris itu kepadamu?" bertanya kawannya. Orang bertabuh tinggi kekar itu tertawa. Katanya "Anak itu tidak banyak berarti bagiku. Aku dapat menyingkirkannya" "Tetapi, ia adalah seorang yang baik dala m lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi" desis kawannya pula. Tetapi orang bertubuh kekar itu tertawa sema kin keras. Katanya "Apakah kau juga ingin menjadi seorang pengawal Pangeran Mangkubumi yang ba ik" Persetan dengan perjuangan ini. Jika a ku berada di antara pasukan Pangeran Mangkubumi, adalah karena aku me merlukan kedok yang paling baik bagi usahaku, selama ini. Ternyata di sini aku benar-benar celah terlindung, Tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa seorang dari antara pasukan Pangeran Maingkubumi adalah perampok yang namanya pernah menggetarkan pesisir Utara. " "Banyak di antara kita di sini pera mpok-pera mpok" jawab kawannya "Tetapi justru setelah kita berada di dalam pasukan ini ma ka kita telah meninggalkan pekerjaan itu untuk kepentingan na ma ba ik pasukan Pangeran Mangkubumi" "Bodoh se kali" desis orang bertubuh kekar itu "dan aku bukan termasuk orang-orang yang bodoh seperti itu"
Kawannya termangu-mangu. Na mun orang bertubuh kekar itu berkata "Nah, jika kau t idak terbius oleh pikiran-pikiran bodoh itu, ikut aku ke kaki Gunung Lawu. Kita akan merampas keris itu. Jika kelak pengaruh keris itu telah na mpak padaku, dan aku menjadi seorang Tumenggung seperti Tumenggung Widura, ma ka kau a kan mendapat kese mpatan menikmati kedudukan itu" Kawannya mengerutkan keningnya. "Seandainya keris itu tidak akan me mbuat aku menjadi seorang Tumenggung, namun keris itu adalah keris yang tidak ada duanya. Pangeran Ranakusuma yang kebal oleh segala maca m senjata itu ternyata terbunuh oleh keris Ki Tumenggung Widura yang akan dilabuh ke Gunung Lawu itu" orang bertubuh ke kar itu melanjutkan. Kawannya jangan menjadi gila dan merasa dirimu berjasa karena kau sudah berada di antara pasukan Pangeran Mangkubumi. Aku tahu, bahwa kau semula adalah perampok juga seperti aku" kawannya itu masih berbicara terus "He, apakah kau tahu, jika kelak perjuangan Pangeran Mangkubumi sudah selesai, ma ka kau a kan ditangkap ke mbali dan dimasukkan ke dala m penjara seperti yang pernah kau ala mi. Tetapi jika kita sudah menjadi kaya raya dengan menyimpan harta benda dan memiliki pusaka yang tidak ada duanya, maka kita akan segera me misahkan diri dan menikmati kekayaan kita itu. Atau mungkin kita me mpunyai rencanarencana lain yang lebih baik lagi" Kawannya mengerutkan keningnya. Kata-kata itu telah mengge litik hatinya. Jika untuk beberapa lamanya ia tenggelam dala m kehidupan yang gelap, maka rasa-rasanya cara yang ditempuh oleh kawannya yang bertubuh kekar itu masuk di aka lnya. Karena itu, maka akhirnya ia bertanya "Tetapi apakah kawan-kawan kita tidak mencurigai jika kita juga pergi demikian anak itu meningga lkan baraknya.
"Kita akan mendahuluinya, Besok mereka akan berangkat, ma la m ini kita minta diri. Kita dapat menyebut alasan apapun juga. Mungkin saudara atau orang tua kita sakit keras atau alasan-alasan lain yang masuk a kal" berkata orang bertubuh tinggi kekar itu. Kawannya ke mudian berdesis "Aku a kan me mikirkannya" "Kau gila. Sekarang kita akan minta diri. Sampa i kapan kau akan berpikir" Kita masih akan me mbenahi diri, dan barangkali ada pertimbangan-pertimbangan yang perlu kita dengarkan dari pimpinan ke lompok kita" gera m orang bertubuh tinggi kekar itu. Kawannya masih termangu-mangu. Na mun tiba-tiba saja ia bertanya "Darimaha kau. tahu segalanya itu?" "Secara kebetulan aku mendengar pe mbicaraan itu dari balik dinding ketika anak itu melaporkan kepada Ki Wandawa" jawab orang bertubuh tinggi itu. "Balik dinding yang mana" Apakah kau dapat masuk ke ruang dala m tempat tinggal Ki Wandawa?" bertanya kawannya. "Na mpaknya rahasia ini bukan rahasia yang dianggap sangat penting. Mereka berbicara di serambi,. Tidak di ruang dalam. Adalah kebetulan aku lewat dan berhenti sejenak untuk mengerti apa yang mereka bicarakan. Nah, jika kau ingin ikut menikmati ke mukten dari keris itu, ikut lah aku. Aku akan pergi bersama adikku. Ia tentu akan dengan senang hati me lakukannya" jawab orang bertubuh tinggi kekar itu. Ternyata kawannya iu telah berhasil dipengaruhi oleh orang bertubuh tinggi kekar itu. Setelah berpikir sejenak, maka iapuru mengangguk sa mbil berkata "Aku ikut bersa ma mu. Tetapi kaulah yang minta ijin kepada pe mimpin ke lompok kita" "Aku akan mengatakannya" jawab orang bertubuh tinggi kekar itu.
Seperti yang direncanakan, maka orang itupun telah menghadap pe mimpin ke lompoknya. Dengan me melas ia minta diri dengan mengatakan bahwa ayahnya sedang sakit keras" "Darimana kau mengetahui bahwa ayahmu sakit keras?" bertanya pemimpin kdompoknya. "Adikku telah datang ke mari" jawab orang itu. "Dima na adikmu kelompoknya. se karang?" bertanya pemimpin
"Ia sangat tergesa-gesa. Ia sudah melanjutkan perjalanan ke kota untuk me mberi tahukan hal ini kepada pa man" jawab orang itu. Akhirnya permintaan ijin itupun dikabulkannya dengan pertimbangan ke manusiaan dan bahwa keadaan tidak lagi dalam puncak kegawatan. Dala m pada itu, ma ka adik orang bertubuh tinggi kekar itupun telah minta ijin pula kepada pe mimpin kelompoknya dengan alasan yang sama dan bahwa ia akan pergi bersama dengan kakaknya yang berada di kelompok lain. Seperti orang bertubuh tinggi itu, iapun mengatakan bahwa adiknya yang bungsulah yang telah datang kepadanya dan kepada kakaknya. Mala m itu juga dengan berkuda keduanya telah meninggalkan kelompok masing-masing. Seorang kawannya telah ikut pula bersama mereka. "Kau sudah minta ijin untukku?" bertanya kawannya. "Sudah" jawab orang bertubuh tinggi itu berbohong Demikianlah ketiga orang itu telah mendahului pergi ke Gunung Lawu. Sebagaimana di nasehatkan oleh Ki Wandawa kepada Juwiring, maka orang itupun telah me lalui jajan yang akan dilalui oleh Raden Juwiring dan Buntal.
"Kita harus lebih dahulu sa mpai" berkata orang bertubuh tinggi kekar itu "Kita tidak hanya sekedar me mungut pusaka itu setelah di sembunyikan. Tetapi kita akan mencoba, apakah pusaka itu benar-benar pusa ka yang sakti" "Maksudmu?" bertanya adiknya. "Jika kita sudah mendapatkan pusaka itu, ma ka aku akan mencoba, seberapa tinggi ke ma mpuan anak muda yang bernama Juwiring itu sebenarnya. Apakah ia ma mpu bertahan me la mpau ketahanan tubuh ayahandanya sehingga ia akan dapat hidup jika ia ke mba li dari Gunung Lawu" berkata orang bertubuh tinggi ke kar itu. Namun kawannya berkata "Itu satu perbuatan bodoh. Biar sajalah mereka ke mbali. Kita tidak peduli Tetapi jika anak itu tidak ke mba li, maka tentu akan t imbul kecurigaan dari orangorang disekitarnya. Mungkin justru Ki Wandawa sendiri" "Persetan" geram orang bertubuh tinggi kekar itu "t idak seorangpun yang akan menghubungkan kepergian Juwiring dengan kepergian kita" Kawannya tidak menjawab. Iapun ke mudian berpikir, bahwa hanya karena kecemasannya sajalah maka ia telah berangan-angan seolah-olah se mua orang mengetahui bahwa mereka bertiga telah mendahului perjalanan Raden Juwiring. Ternyata bahwa ketiga orang itu telah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Mereka telah mendahului Raden Juwiring menuju ke Gunung Lawu. Jika mere ka telah sampai ke kaki gunung, maka mereka akan menunggu. Ke mudian dengan dia m-dia m mereka akan mengikutinya. "Lebih baik menunggu anak itu melepaskan pusaka itu daripada merampasnya" desis orang bertubuh tinggi kekar itu "karena dengan de mikian, dala m keadaan yang paling gawat, ia akan dapat me mpergunakannya"
"Jika anak itu me mperguna kan juga keris itu, apakah kakang akan melangkahi surut?" bertanya adiknya. "Tentu tidak" jawab orang bertubuh tinggi kekar itu "aku sudah terkenal di pesisir Utara. Aku adalah orang yang paling ditakuti di antara, para perampok. Jika anak itu mengetahui bahwa kita telah mengikutinya, maka a ku akan menyelesaikannya meskipun ia me mbawa pusaka itu. Betapa saktinya pusaka itu, tetapi jika kulit ku tida k tergores sama sekali ma ka racun keris itu t idak a kan me mbunuhku" Adiknya mengangguk-angguk. Katanya "Itu lebih baik. Tetapi kita akan mencoba mencari jalan yang paling baik. Meskipun demikian, jika yang paling ba ik itu tida k dapat kita gapai, maka kita akan menga mbil jalan yang manapun juga" Orang bertubuh tinggi kekar itu mengangguk-angguk. Rencananya sudah masak, meskipun, ia a kan menghadapi keadaan yang mungkin tidak sesuai dengan harapan mereka. Namun mere ka bertekad untuk menga mbil sikap yang menentukan apapun yang akan terjadi. Ketika langit mulai dibayangi warna fajar, ketiga orang itu telah melalui jarak yang cukup. Tetapi mereka tidak segera beristirahat. Mereka masih berkuda terus meskipun tidak terlalu tergesa-gesa. Pada saat yang sama Juwiring telah me mbenahi dirinya bersama Buntal dan Arum yang tidak mau ketinggalan. Mereka akan me ne mpuh perjalanan ke Gunung Lawu dengan menelusuri jalan seperti di nasehatkan oleh Ki Wandawa. Peronda-peronda dari Surakarta kadang-kadang me mang mengejar orang-orang yang berkuda. Mungkin karena kecurigaan, tetapi kadang-kadang mereka me merlukan kudakuda yang baik bagi pasukan mereka. Demikianlah, maka menjelang matahari menjenguk cakrawala, tiga orang anak muda telah meninggalkan Gebang menuju ke Gunung Lawu. Beberapa orang yang melihat
mereka, menyapanya. Tetapi jika mere ka, bertanya, kemana ketiga anak-anak muda itu akan pergi, maka Juwiring hanya tersenyum saja. Dala m pada itu, maka Juwiring telah menyembunyikan keris yang akan di labuhnya di Gunung Lawu di bawah bajunya. Sementara itu, pada lambung kudanya ketiganya telah menyangkutkan senjata mereka. Jika mereka bertemu dengan hambatan yang gawat, maka mereka akan dapat me mperguna kannya. Demikian mere ka ke luar dari Gebang, maka mulai me mancarkan cahayanya. Dua orang bertugas di ujung padukuhan menyapanya. setiap kali seseorang bertanya kemana, maka hanya dapat tersenyum saja. matahari sudah pengawal yang Namun seperti Raden Juwiring
"Mereka tentu mendapat tugas sandi dari Ki Wandawa" desis yang seorang. Yang la in hanya mengangguk-angguk saja. Beberapa kali Raden Juwiring mendapat pertanyaan yang demikian oleh para petugas yang tersebar. Bahkan setelah mereka me la mpaui bulak panjang dan me masuki padukuhan berikutnya, petugas-petugas sandi masih saja menga matinya. Satu dua di antara mereka telah me ngenalnya dan bertanya pula kepada mere ka. Tetapi Raden Juwiring tidak mengatakannya, ke mana mereka akan pergi. Namun dala m pada itu, ketika Raden Juwiring berte mu dengan seorang anak muda yang telah mengenalnya dalam pakaian seorang petani kebanyakan, sambil menjinjing hasil sawah untuk di jual ke pasar, maka anak muda itu berkata "Se mala m a ku me lihat tiga orang berkuda mela lui jalan ini" "Siapa?" bertanya Raden Juwiring. "Aku hanya mengenal seorang di antara mereka " jawab anak muda itu.
"Siapa?" bertanya Raden Juwiring pula. "Ki Singaprana" jawab anak muda itu "bersamanya ikut pula dua orang yang lain, yang aku belum mengena lnya" "Ke mana?" bertanya Raden Juwiring. "Aku tida k tahu. Aku tidak menyapanya, karena aku segan berbicara dengan orang itu" jawab anak muda itu. "Kenapa?" bertanya Buntal. "Ia selalu menyombongkan diri. Ke mudian menggurui siapa saja, Semalam ia lewat jalan ini. Tetapi ia tidak me lihat aku, karena aku kebetulan berbaring di atas jerami di pe matang" jawab anak muda itu. Raden Juwiring mengangguk-angguk. Ke mudian katanya "Terima kasih. Se karang kau akan ke mana?" "Ke pasar. Aku akan menjual kacang tanah" jawab anak muda itu. "Kacang tanah hanya segenggam dan masih terla lu muda itu?" justru Arumlah yang bertanya. Tetapi Juwiringlah yang menjawab "Yang penting bukan kacang tanah itu. Tetapi bahwa ia akan berada di pasar, di antara orang-orang yang berada di pasar adalah orang-orang dari banyak padukuhan. Mereka a kan berbicara tentang banyak hal yang mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan sikap" Anak muda itu tersenyum. Katanya "Tetapi jika kacang ini laku juga, aku dapat me mbeli dawet cendol jika aku haus." Juwiring, Buntal dan Arum tersenyum. Namun merekapun ke mudian minta diri untuk meneruskan perjalanan. Di beberapa daerah yang agak jauh dari kota, pangaruh pertempuran besar yang baru saja terjadi di kota kurang terasa. Meskipun ada juga satu dua orang yang
me mbicarakannya, dikunjungi orang.
namun pasar-pasar masih banyak Demikianlah perjalanan ketiga orang ana k muda itu t idak mene mui ha mbatan apapun juga. Agaknya jalan yang mereka tempuh, sesuai dengan petunjuk Ki Wandawa, memang tidak pernah di ja mah oleh para prajurit Surakarta, apalagi kumpeni. Tidak ada kesan yang mereka lihat di sepanjang jalan. Bahkan na mpa k bahwa pengaruh Pangeran Mangkubumi terasa di padukuhan-pedukuhan itu. Perjalanan ketiga anak-anak muda itu tida k terlalu tergesagesa. Sekali-sekali mereka beristirahat untuk me mberi kesempatan kuda mereka beristirahat pula. Dala m pada itu, ma ka seperti yang telah mereka rencanakan, bahwa mereka hanya akan berkuda sampai ke kaki Gunung Lawu, Ke mudian mereka akan mendaki Gunung untuk me labuh keris milik Tumenggung Sindura yang gawat itu. Karena itu, ketika mereka sampa i kelereng Gunung Lawu, maka merekapun telah singgah di sebuah kedai untuk makan dan sekaligus mencari te mpat untuk menitipkan kuda mere ka. "Maaf Ki Sana k" berkata pe milik warung itu ketika Juwiring mengatakan kepadanya untuk menit ipkan kudanya "Tida k ada tempat dan tenaga yang dapat menjaga kuda" "Apakah di daerah ini banyak terjadi pencurian?" bertanya Juwiring. "Tida k. Maksud ka mi bukan karena ka mi takut kehilangan kuda itu. Tetapi sudah barang tentu bahwa kuda itu me merlukan makan dan minum. Mungkin pe meliharaan sekedarnya" jawab pe milik warung itu. Ke mudian "Baru siang tadi ada juga tiga orang yang akan menitipkan kudanya. Tetapi ka mi juga tidak sanggup menerimanya" "Tiga orang?" bertanya Juwiring.
"Ya. Mereka akan menda ki Gunung Lawu" jawab pe milik warung itu. "Untuk apa?" bertanya Juwiring pula. "Aku kurang tahu" jawab pemilik warung itu. Lalu "Karena itu, maka merekapun pergi dan mencari titipan di te mpat yang lain" Juwiring me mandang Buntal sejenak. Kemudian katanya "Ki Sanak. Apakah tidak ada orang di sekitar tempat ini yang dapat menolong me melihara kuda hanya untuk hari ini. Jika seseorang bersedia untuk menyabit rumput dan me mberi sekedar dedak bagi kudaku, maka aku akan me mbayar berapa yang kau kehendaki" Pemilik warung itu berpikir sejenak. Na mun ke mudian ia bertanya "Hanya hari ini?" "Maksudku hanya satu dua hari saja" Juwiring menje laskan. Ternyata pemilik warung itu mulai me mpartimbangkannya. Akhirnya sebagaimana sifatnya sebagai seorang pedagang maka iapun telah menawarkan harga tertentu untak pemeliharaan setiap ekor kuda di setiap hari. Juwiring t idak me mikirkan nilai penawaran itu. Ia langsung mengiakannya. Pikirannya sepenuhnya tertuju pada pelepasan pusaka itu. Sema kin cepat ia dapat mela kukannya, akan semakin ba ik. Demikianlah, maka setelah ketiga anak-anak muda itu selesai makan dan minum serta pembicaraan tentang kuda yang telah mendapatkan kesesuaian, maka merekapun segera minta diri. "Kalian akan naik ke Gunung Lawu" bertanya pemilik warung itu. "Ya" jawab Juwiring. "Untuk apa?" bertanya pemilik warung itu pula.
"Sa madi" jawab Juwiring singkat. Pemilik warung itu tidak bertanya lebih lanjut. Memang sering terjadi, satu dua orang naik ke Gunung Lawu untuk nenepi. Dala m pada itu, maka Juwiring serta adik-adik seperguruannya itupun segera menelusuri jalan se mpit di ka ki Gunung Lawu. Setelah mereka menga mbil senjata masingmasing. Na mpaknya lereng masih landa i. Tetapi beberapa saat ke mudian mereka a kan sampai pada lereng yang menjadi semakin terjal. Arum yang lebih banyak dia m, apalagi jika ada orang lan. agar ia tidak segera dikenal sebagai seorang gadis, me mandang hutan di kaki Gunung Lawu itu dengan dada yang berdebaran. Apalagi langit menjadi bura m, karena matahari telah menjadi sangat rendah di ujung Barat. "Kita naik lewat hutan ini" gadis itu bertanya di luar sadarnya. Juwiring me mandanginya sekilas. Timbul juga perasaan ibanya, bahwa gadis itu harus me manjat tebing yang sema kin la ma menjadi se makin cura m se mentara hutan yang lebat itu rasa-rasanya menjadi se makin pepat. Tetapi Arum seolah-olah menangkap gejolak perasaan itu. Karena itu justru katanya "Menyenangkan sekali. Satu pengalaman baru yang belum pernah aku lakukan. Naik ke la mbung Gunung Lawu" Juwiring dan Buntal menarik nafas panjang. Namun tibatiba saja Arum itu bertanya "He, apakah keris itu harus kita labuh di puncaknya atau dapat kita lakukan pada la mbungnya saja asal sudah jelas t idak a kan dapat diketemukan orang?" "Kita akan me manjat sampai ke puncak, Arum" jawab Juwiring.
"Sa mpai ke puncak?" Arum mengulang. Tetapi terasa pada nada kata-katanya, bahwa ia merasa segan untuk berjalan sampai ke puncak. Na mun de mikian, ia sudah terlanjur berjanji untuk tidak mengeluh dan mengganggu perjalanan itu. Juwiring tersenyum. Ketika ia me mandang Buntal, maka Buntallah yang menjawab "Se makin tinggi kita me manjat, maka kita tentu akan se makin banyak me ndapat pengala man" Arum mengerutkan dahinya. Ia sadar, bahwa kedua orang kakaknya itu mula i mengganggunya. Tetapi justru karena itu maka ia menjawab "Ya. Na mpaknya akan menyenangkan sekali" Buntal dan Juwiring masih keduanya tidak menyahut lagi. Namun dala m pada itu, ketika langit menjadi semakin gelap, Juwiring harus me mbuat perhitungan, apakah ia akan terus me manjat naik atau berusaha untuk mendapat te mpat peristirahatan. Iapun menyadari betapa sulitnya me lanjutkan perjalanan di ma la m hari. Ketika ketiga anak-anak muda itu sa mpai pada sebuah lereng yang sedikit terbuka, maka Juwiringpun bertanya kepada Buntal "Apakah kita akan me lanjutkan perjalanan, atau kita akan berhenti di sini sa mpai menjelang pagi?" saja tersenyum. Tetapi
Buntal menga mati keadaan di sekitarnya. Tempat yang terbuka itu ternyata terdiri dari bebatuan yang keras, sehingga pepohonan tidak dapat tumbuh di atasnya, sementara di sekitar tempat itu, hutan masih tetap lebat dan pepat. "Aku kira, kita dapat berhenti sejenak di sini untuk menilai keadaan" berkata Buntal. Arum menarik nafas dalam-dala m. Ia me mang berharap untuk beristirahat. Tetapi jika ia yang mengucapkannya, maka kedua orang kakak seperguruannya itu tentu akan sema kin mengganggunya. Ternyata Juwiringpun sependapat. Mereka berhenti di antara bebatuan raksasa yang tersebar. Nampaknya tempat itu seolah-olah sebuah longkangan sempit di antara lebatnya hutan di lereng Gunung Lawu. Demikianlah maka ketiga anak muda itupun segera mencari tempat masing-masing. Arum telah mendapatkan sebuah batu yang besar dan justru datar di bagian atasnya, sehingga iapun langsung me mbaringkan dirinya sambil menatap langit yang hitam penuh dengan bintang-bintang yang bergayutan. Ia tidak menghiraukan bahwa batu itu basah oleh e mbun yang sudah mula i turun. Dala m pada itu, Juwiring dan Buntalpun telah duduk pula di batu sebelah menyebelah. Rasa-rasanya merekapun telah diganggu pula oleh perasaan letih, sehingga de mikian mereka duduk, maka mere kapun telah menjelujurkan kaki mereka. Sambil me mijit-mijit kakinya Buntal berdesis "Letih juga berkuda sehari-harian. ke mudian me ma njat kaki bukit ini" Tiba-tiba saja mengatakannya" Arum me motong "Bukan aku yang
Buntal dan Juwiring tertawa kecil. Dala m pada itu, Juwiringpun ke mudian berkata "Bukankah kita me mbawa be kal?"
"Ya. Ada di ka mpil ini" jawab Buntal. "Aku tidak ingin makan sekarang. Bukankah kita sudah makan di warung itu. Besok pagi, aku baru merasa lapar. Pondoh jagung itu masih akan tahan dua hari lagi" berkata Arum. "Aku juga tidak lapar" sahut Juwiring "Tetapi mulut ini rasarasanya ingin mengunyah sesuatu" "Kau tidak me mbe li kacang yang dibawa anak muda yang kita jumpa i menje lang kita berangkat itu" desis Arum. "Aku tida k me mikirkannya pada wa ktu itu" desis Juwiring. "Tetapi jika kau akan makan pondoh jagung ini, marilah" Buntal menawarkannya. Tetapi Juwiringpun justru me mbaringkan dirinya di atas sebongkah batu pula sambil berkata "Kita bergantian. Aku akan tidur dahulu, jika tengah ma la m lewat, bangunkan aku" Buntal mengangguk sa mbil menjawab "Tidurlah kalian. Nanti pada saatnya aku akan me mbangunkan ka lian" Arum dan Juwiringpun ke mudian me meja mkan mata mereka. Na mpaknya Arum benar-benar letih, sehingga iapun segera tertidur. Baru kemudian Juwiringpun telah tertidur pala. Buntal masih duduk di atas batu. Ia berusaha untuk menahan diri agar iapun tidak tertidur pula. Meskipun mereka berada di tengah hutan, namun sesuatu dapat saja terjadi. Apalagi menilik lebatnya hutan itu, tentu banyak menyimpan binatang buas di dalamnya. Namun selain binatang buas. Buntal juga berpikir tentang tiga orang berkuda yang juga akan naik ke Gunung Lawu. Ketika mereka bertiga berangkat, seorang anak mudapun me mberitahukan, bahwa mala m sebelumnya, Ki Singaprana telah menuju ke arah seperti yang ditempuhnya juga bertiga
seperti orang-orang yang akan menitipkan kudanya di warung itu. Pikiran itu ternyata telah mengganggunya. Buntal t idak dapat mengabaikan keadaan itu. Apalagi ia mengetahui serba sedikit tentang Ki Singaprana yang dalam beberapa hal berada di dekat Ki Wandawa. Namun Ki Wandawa me mang pernah mengatakan, bahwa orang itu adalah salah seorang pengawalnya, tetapi tidak untuk diajak berbicara Tiba-tiba saja Buntal menjadi gelisah. Tetapi justru kegelisahannya itu telah me mbuatnya tidak mengantuk. Ia berusaha untuk menghubungkan keterangan pemilik warung tempat ia menit ipkan kudanya, dengan keterangan anak muda ketika ia berangkat meninggalkan Gebang. "Apakah mungkin orang itu mengetahui bahwa kami bertiga akan melabuh pusaka yang keramat itu?" bertanya Buntal di da la m hatinya. Buntal mengangkat wajahnya ketika ia mendengar seekor harimau mengaum. Suaranya bagaikan menggetarkan seluruh hutan di lereng Gunung Lawu itu. Ternyata bahwa aum harimau itu telah me mbangunkan Juwiring. Iapun menggeliat dan kemudian bangkit duduk di atas batu itu. Namun Arum ya mg agaknya terganggu juga tidurnya, hanya berkisar saja sambil berdesis "Bangunkan aku jika harimau itu datang ke mari" Buntal tidak menyahut. Harimau yang lain telah mengaum pula seolah-olah menjawab sapa harimau yang pertama. Namun Arum tetap saja berbaring sa mbil me ndekapkan tangannya di dadanya Tetapi Juwiring agaknya tidak berminat lagi untuk tidur. Bahkan katanya "Jika kau akan beristirahat, beristirahatlah"
Buntal mengangguk. Na mun ia tidak segera berbaring. Bahkan katanya "Kau ingat kata pemilik warung itu tentang tiga orang berkuda yang datang sebelum kita?" Juwiring mengangguk sa mbil me njawab "Ya. Aku juga sedang me mikirkannya. Agaknya kau juga menghubungkan tiga orang yang dikatakan oleh pemilik warung itu dengan tiga orang yang dikatakan oleh petugas sandi pada saat kita berangkat. Ki Singaprana dengan dua orang kawannya" Buntal mengangguk pula sa mbil menjawab "Ya. Nampa knya ada sesuatu yang perlu diperhatian tentang mereka" Ternyata kedua anak muda itu me mpunyai sikap yang sama terhadap ceritera tentang tiga orang berkuda yang telah berada di ka ki Gunung Lawu itu. Apalagi karena merekapun ternyata akan naik kelambung seperti yang mereka katakan kepada pe milik warung itu. Kedua anak muda itupun tida k berbicara lagi. Buntallah yang kemudian berbaring di atas sebuah batu yanbg basah oleh embun ma la m. Namun Buntal sama sekali tidak menghiraukannya Ternyata Buntal yang juga merasa letih itupun se mpat juga tertidur. Tetapi iapun tidak dapat tidur terlalu la ma. Buntal juga terbangun ketika terdengar aum binatang buas. Akhirnya baik Juwiring maupun Buntal tidak lagi berbaring dan berusaha untuk tidur. Namun mereka me mbiarkan saja Arum berbaring meskipun kadang-kadang nampak juga ia gelisah. Sekali-seka li Arum menggeliat dan berbalik. Na mun ke mudian ia menyilangkan tangannya ke mbali di dadanya. Sebenarnyalah pada saat itu, orang yang disebut bernama Ki Singaprana me mang telah berada di ka ki Gunung Lawu. Mereka adalah orang yang disebut pula oleh pe milik warung yang menolak menerima kuda mereka untuk dititipkan. Ternyata bahwa ketiganya berhasil menitipkan kudanya justru
kepada seorang penghuni padukuhan meskipun mereka juga berjanji untuk me mberikan imbalan. Setelah hampir je mu menunggu, ma ka merekapun akhirnya me lihat juga tiga orang anak-anak muda yang menda ki lereng Gunung. Justru di saat matahari terbena m di ujung Barat. Dengan sangat berhati-hati, ketiga orang itu mengikuti anak-anak muda itu me manjat lereng Gunung. Mereka tidak dapat terlalu dekat, tetapi juga tidak dapat terlalu jauh, agar mereka t idak kehilangan jejak. Tetapi mereka mengumpat ketika ternyata ketiga anakanak muda itu beristirahat di te mpat yang agak terbuka. Sudah barang tentu bahwa mereka tidak dapat ikut me masuki tempat terbuka itu. Ketiga orang itu harus menunggu di antara pepatnya pepohonan dan liarnya gerumbul-gerumbul perdu sema k dan duri. "Anak-anak malas, kenapa mereka tidak melabuh keris itu justru di mala m hari" gera m orang bertubuh kekar yang bernama Ki Singaprana itu. "Kita a kan lebih mudah mengikutinya di siang hari" desis adiknya. "Kenapa?" bertanya Ki Singaprana. "Jika kita tidak langsung dapat me lihatnya, maka kita akan dapat mencari jejak dan bekasnya. Mungkin ranting-ranting patah, mungkin dedaunan yang menyibak atau tanda-tanda yang lain" jawab adiknya. Ternyata Ki Singapranapun sependapat, meskipun mereka harus berada di te mpat yang le mbab dan pengab Ketika fajar nampak di Timur, ketiga anak-anak muda itupun telah berke mas. Arum agak jengkel karena di te mpat itu tidak ada air. Namun Buntalpun ke mudian berkata "Aku kira di te mpat ini banyak terdapat sumber air. Marilah pertama-tama kita akan mencari air"
Ketiga anak-anak muda itupun ke mudian meningga lkan tempat mereka bermala m. Seperti yang dikatakan oleh Buntal, maka mereka perta ma-tama a kan mencari air. Sekali lagi Ki Singaprana mengumpat. Mereka masih harus menunggu anak-anak muda itu me mbersihkan diri. Terutama anak muda yang na mpa knya berwajah ke kanak-kanakan itu. Demikianlah, maka ketika matahari mula i me manjat langit ketiga anak-anak muda itu melanjut kan perjalanan. Na mun baik Juwiring maupun Buntal telah dibe kali dengan dugaan, bahwa ketiga orang yang disebut-sebut oleh pe milik warung itu adalah tiga orang yang dikatakan oleh petugas sandi pada saat mereka berangkat. Dan kepergian mereka ke la mbung Gunung Lawu itu tentu ada hubungannya dengan kehadiran Juwiring sendiri dengan kedua adik seperguruannya. Karena itu, maka keduanya tidak kehilangan kewaspadaan. Bahkan akhirnya merekapun merasa perlu untuk me mberitahukan hal itu kepada Arum, agar gadis itu tidak terkejut apabila terjadi sesuatu. Ternyata Arum sama sekali tidak heran mendengar keterangan Juwiring tentang ketiga orang itu. Bahkan Arumpun ke mudian berkata "Aku sudah menduga. Akupun tahu bahwa kakang juga me mpunyai dugaan yang de mikian" "Kenapa hal itu t idak kau katakan?" bertanya Juwiring. "Aku yakin, kakang berdua sudah mengetahuinya" jawab Arum. Juwiring dan Buntal hanya dapat menarik nafas dalamdalam. Tetapi merekapun berbangga bahwa ternyata Arumpun me mpunyai penggraita yang cukup tajam. Dalam beberapa hal, jika Arum terpaksa harus melakukan tugas tanpa orang lain, maka ia tidak akan mudah terjebak oleh satu keadaan yang sebenarnya dapat dihindari.
Ketiga anak muda itupun ke mudian me manjat se makin tinggi. Jalan setapak yang mereka lalui menjadi se makin sulit. Bahkan ke mudian mereka tidak lagi melihat jalur yang dapat mereka telusuri. Sehingga karena itu. maka merekapun ke mudian harus me mbuat ja lan bagi mereka sendiri. Betapapun sulitnya, Arum yang sudah berjanji untuk tidak menge luh, sama sekali tidak mengatakan apapun juga. Iapun merasa, bahwa ia pernah mendapat tempaan lahir dan batin seperti juga kedua saudara seperguruannya. Karena itu, jika kedua saudara seperguruannya itu mampu me lakukan, maka iapun akan ma mpu melakukannya pula. Meskipun de mikian terbersit pula pertanyaan di hati Arum kenapa mereka masih me manjat terus hanya sekedar untuk me mbuang sebilah keris saja. Tetapi pertanyaan itu tidak pernah diucapkannya. Dala m pada itu, lerengpun semakin la ma menjadi semakin curam. Ternyata mereka menjadi sema kin la mbat maju. Setapak demi setapak. Sementara itu, meskipun Arum tidak pernah mengatakannya, tetapi Juwiring dan Buntallah yang mengatur saat-saat mereka beristirahat. Panasnya matahari tidak terasa langsung me mba kar tubuh mereka, karena pepohonan yang pepat. Tanah terasa lembab dan basah. Namun kadang-kadang mereka harus me manjat tanah berbatu padas. Ada beberapa longkangan yang tidak berpohon, sehingga dala m keadaan yang de mikian, sinar matahari benar-benar menggigit sa mpai ke tulang. "Apakah mala m ini kita akan berma la m lagi?" bertanya Arum. Juwiring me mandang adik seperguruannya itu. Namun ia mengerti, apa yang sebenarnya ingin ditanyakannya. Arum sebenarnya ingin tahu apakah perjalanan itu masih panjang.
Dala m pada itu, Juwiringlah yang menyahut "Kita akan bermala m satu mala m lagi. Menurut beberapa keterangan, sebentar lagi kita akan lepas dari daerah hutan yang lebat. Kita masih akan melintasi ara-ara perdu. Kemudian kita akan muncul di te mpat terbuka. di tempat itulah kita akan melabuh keris itu. Kita akan mene mukan sebuah jurang yang dalam dan mene mpatkan keris itu ke dala mnya, agar keris itu tertidur di sana se la ma-la manya. Arum mengangguk. Ia mengerti, bahwa batas itu masih jauh dari puncak Gunung Lawu. Tetapi agaknya Juwiring menganggap bahwa mereka tidak perlu na ik sa mpai ke puncak. Kecuali jalan terlalu sulit, mereka tidak me mbawa perlengkapan yang cukup untuk me lawan udara dingin. Tetapi sebenarnyalah mereka tidak akan me manjat terlalu tinggi. Karena itu mereka sa ma seka li t idak tergesa-gesa. Apalagi jalan me ma ng sangat sulit. Beberapa kali mereka harus berhenti, beristirahat dan makan bekal yang mereka bawa. Sementara itu, ternyata di lereng Gunung yang papat oleh pepohonan itu, mereka tidak terlalu sulit untuk mencari air. Namun dala m pada itu, Juwiring, Buntal dan Arum itu ternyata tidak dapat mengabaikan tiga orang berkuda yang mungkin mengikutinya. Karena itu, sambil berist irahat di antara pepohonan mereka mulai me mbicarakan, apa yang harus mereka la kukan. "Kita harus me mancing mereka " berkata Buntal. "Aku setuju. Aku akan berpura-pura meletakkan keris itu di antara bebatuan di luar hutan ini. Kemudian kita meninggalkannya" jawab Juwiring. "Ya. Dengan suatu upacara kecil" sa mbung Arum. "Upacara bagaimana?" bertanya Buntal.
"Untuk meyakinkan bahwa kakang Juwiring telah me letakkan keris itu. Kita akan berjongkok dan pura-pura berdoa. Kemudian baru kita tinggalkan tempat itu" jawab Arum. Juwiring dan Buntal tertawa. Sementara Arum berusaha me mbe la pendapatnya "Bukankah kita telah datang dari tempat yang jauh untuk melabuh keris itu" Jika kita hanya ingin me mbuangnya saja, kenapa tidak kita lemparkan saja keris itu di Bengawan?" "Ya, ya. Aku setuju" jawab Juwiring "Aku tidak mentertawakan pendapatmu. Tetapi aku merasa geli seandainya kita sudah terlanjur berjongkok, pura-pura berdoa, tetapi ternyata tidak seorangpun yang melihat apalagi ke mudian terpancing karenanya" "Ah, bukankah kita berusaha" jawab Arum. "Aku setuju" Buntal menyahut. Lalu "segalanya akan nampak bersungguh-sungguh. Dengan demikian, maka seandainya ketiga orang itu benar-benar mengikuti kita, mereka a kan segera mencari keris itu" "Jika de mikian, apakah yang akan kita lakukan?" bertanya Juwiring dengan sungguh-sungguh. Buntal menarik nafas dalam-dala m. Mereka me mang ingin menjebak. Tetapi lalu apa yang paling ba ik mere ka lakukan, ternyata merupakan persoalan tersendiri bagi mereka. Akhirnya mereka sepakat. untuk menangkap mereka bertiga. Melaporkannya kepada Ki Wandawa bahwa mereka telah berbuat curang. "Tetapi ka kang Juwiring" berkata Buntal "Ki Singaprana bukan orang kebanyakan. Ia adalah seorang yang me miliki nama yang ditakuti oleh lingkungannya sebelum ia berada di antara pasukan Pangeran Mangkubumi"
"Aku tahu" jawab Juwiring "Tetapi kita wajib menangkapnya. Jika kita tidak berbuat sesuatu, kita tidak akan dapat menge mukakan hal itu kepada Ki Wandawa. Setidak-tidaknya kita menunjukkan kepadanya bahwa kita akan dapat me mberikan satu kesaksian dari satu perbuatannya yang keliru. Yang tidak seharusnya dilakukan. Kecuali karena ia ingin me miliki keris yang bukan haknya, ia juga telah mencuri satu rahasia yang tidak seharusnya didengarnya" Anak-anak muda-itupun telah menga mbil satu keputusan, meskipun merekapun menyadari, bahwa ada dua ke mungkinan yang dapat terjadi. Menangkap ketiga orang itu atau mereka bertiga tidak akan pernah ke mbali. Demikianlah setelah mereka istirahat secukupnya, maka merekapun me lanjutkan perjalanan. Jarak yang akan mereka capai tidak terlalu jauh lagi. Sejenak ke mudian hutanpun terasa menjadi sema kin tipis. Batu-batu padas terasa di bawah telapak kaki mereka. Ketika ke mudian mereka sampai ke hutan yang lebih jarang dan sebagian besar adalah pepohonan perdu maka merekapun segera mencari tempat yang paling baik untuk berpura-pura me letakkan keris yang harus dilabuh. "Kau lihat batu padas yang menjorok itu?" bertanya Juwiring. "Ya" jawab Buntal. "Sebuah goa kecil itu merupa kan tempat yang baik untuk permainan ini" desis Juwiring. "Ya. Kita akan me lakukannya di tempat itu. di sisi goa itu terdapat sebatang pohon serut yang umurnya me la mpaui panjangnya jalan di seluruh negeri ini" desis Arum.
Ketiga anak-anak muda itupun ke mudian pergi ke tempat yang mereka tunjuk. Sebuah dinding padas yang di bagian bawahnya terdapat semacam goa yang kecil dan dangkal. Sejenak kemudian ketiga anak-anak muda itupun telah berdiri tegak di hadapan dinding padas yang menjorok itu. "Kita berjongkok di sini" desis Arum. "Ya. Aku akan berpura-pura meletakkan sesuatu" sahut Juwiring. Ketiga anak-anak muda itupun ke mudian berjongkok di hadapan goa kecil itu. Juwiring telah berpura-wira meletakkan sesuatu pada goa itu sementara Buntal dan Arum menunggu dengan penuh khidmat. "Kita sekarang berpura-pura berdoa" desis Arum. Ketika orang anak muda itupun ke mudian berlutut sa mbil menunduk kepala mereka dala m-dala m. Na mun dala m pada itu, Arum sendiri tersenyum me mbayangkan tingkah laku mereka. Namun dala m pada itu, sebenarnyalah tiga orang mengawasi mereka dari kejauhan. Ki Singaprana yang me mimpin ketiga orang kawannya itupun menganggukangguk sambil berkata "Kita akan berhasil. Aku akan menga mbil keris itu. Ke mudian menghentikan ketiga anakanak muda itu dan me mbunuhnya" Adiknya tersenyum. Katanya "Ternyata yang kita lakukan tidak sesulit yang kita bayangkan" "Jangan meremehkan anak-anak itu" sahut kawannya "Mereka adalah anak-anak muda yang mendapat kepercayaan dari Ki Wandawa" "Kepercayaan apa?" sahut Ki Singaprana "Apakah karena Juwiring itu bekas seorang prajurit dari pasukan berkuda, maka ia me miliki ilmu yang luar biasa" Aku percaya bahwa
Pangeran Ranakusuma adalah seorang Senapati yang pilih tanding. Tetapi apa artinya Juwiring itu bagiku. Seandainya aku mendapat kesempatan seperti Tumenggung Sindura dengan keris yang kera mat itu. mungkin akupun akan dapat me lawan Pangeran Ranakusuma. Apalagi Juwiring" Kawannya tidak menjawab lagi. Iapun percaya bahwa Ki Singaprana adalah seorang yang me miliki ke ma mpuan di atas ke ma mpuan orang kebanyakan. Dala m pada itu, untuk beberapa lamanya orang itu menunggu. Akhirnya mere ka menarik nafas dala m-dala m ketika mereka me lihat ketiga anak-anak muda itu ke mudian berdiri. Setelah mundur beberapa langkah ketiga anak-anak muda itu masih mengangguk sekali. Baru ke mudian mereka meninggalkan te mpat itu. "Jangan tergesa-gesa" berkata Ki Singaprana "Biarlah anakanak itu menjauh dan hilang di balik pepohonan. Kita akan menga mbilnya dan ke mudian menyusulnya untuk me mbuktikan, arti dari keris yang dengan bodoh mereka tinggalkan untuk mereka labuh di bawah pohon serut di hadapan dinding padas itu" Ketiga orang itu masih menunggu. Anak-anak muda itupun ke mudian telah menghilang di balik pepohonan. Menurut pengamatan ketiga orang yang menungguinya itu, anak-anak muda itu tentu sudah mulai dengan perjalanan mereka menuruni la mbung Gunung Lawu. Baru setelah menunggu beberapa la ma, adik Ki Singaprana itu berkata "Jangan me mbiarkan mereka terlalu jauh. Kita akan terpisah dari mereka, sehingga sulit untuk menyusulnya" Ki Singapranapun ke mudian bangkit berdiri. Sejenak ke mudian katanya "Marilah. Kita menga mbil pusa ka itu. Aku akan me milikinya dan me meliharanya sebaik-baiknya, agar tuah keris itu benar-benar akan bermanfaat bagiku. Aku akan menjadi seorang Tume nggung dan aku akan me miliki wibawa
sebesar Tumenggung Sindura. Tanpa Pangeran Ranakusuma, maka Tume nggung Sindura tidak akan di kalahkan oleh siapapun juga" Ki Singaprana bersama adik dan kawannya itupun ke mudian keluar dari te mpat perse mbunyian mereka. Dengan hati-hati mereka mendekati dinding padas yang menjorok itu. Ketiga orang itupun langsung menuju ke sebuah goa kecil yang terdapat pada dinding padas itu. "Pohon serut itu agaknya yang menjadi ancar-ancar mereka. Mungkin Pangeran Ranakusuma yang berpesan, agar keris itu dilabuh di bawah pohon serut. Nampaknya Pangeran Ranakusuma benar-benar takut terhadap keris itu, sehingga ia berharap dengan demikian anak keturunannya tidak akan tersentuh oleh keris itu" berkata Ki Singaprana. Tetapi adiknya menyahut "Tetapi langsunglah yang akan menga la minya" justru anaknya
Ki Singaprana tertawa. Katanya "Itu adalah perbuatan nasib. Dan nasib Juwiring me ma ng sangat buruk" Ketiga orang itupun berhenti di depan dinding padas. Sejenak mereka mengawasi keadaan. Kemudian mereka mulai me lihat, apa yang terdapat di dala m goa kecil, di bawah pohon serut itu. "Gila" desis Ki Singaprana "keris itu dikuburnya" Ketiga orang itupun kemudian berjongkok di depan goa kecil itu. Mereka mendapatkan seonggok tanah sebagaimana sebuah kuburan kecil yang di tandai oleh sebuah batu hita m. Dengan hati-hati Ki Singapranapun me mbongkar onggokan tanah itu. Sementara adiknya berpesan "Hati-hatilah. Jika ujung keris itu se mpat tergores di jari-jarimu" "Kau benar" jawab Ki Singaprana. Iapun kemudian mencabut pedangnya. Dengan pedang itu ia mengaduk seonggok tanah di dala m goa kecil dan dangkal itu.
Untuk beberapa la manya Ki Singaprana me lakukannya. Namun keningnya semakin la ma sema kin berkerut. Bahkan ke mudian ia tidak sabar lagi. Diletakkannya pedangnya dan ia mulai lagi mela kukannya dengan tangannya. "Tida k ada apa-apa" desisnya. "He?" adiknyapun menjadi tegang pula "mungkin bukan di sini. Keris itu tentu tidak a kan dikuburkannya" "Tetapi tida k terdapat tanda-tanda lain" sahut kawannya, Ketiga orang itu menjadi tegang. Sejenak mereka termangu-mangu. Bahkan ke mudian Ki Singaprana telah menghentakkan kakinya sambi menggera m "Apakah anakanak itu telah me mpermainkan kita?" Tetapi adiknya berkata "Mereka tidak mengetahui bahwa kita telah mengikutinya" "Belum tentu. Mungkin mereka mengetahuinya, atau firasat mereka mengatakan, bahwa ada orang yang mengikuti mereka" jawab Ki Singaprana. Dala m pada itu, adik Ki Singaprana dan kawannyapun telah mencari di sekitar tempat itu. di bawah pohon serut, di sekitar batu padas yang menjorok, di dinding-dinding goa kecil itu. Bahkan dibahk-ba liik batu di sekitar te mpat itu. "Gila" gera m Ki Singaprana "Mereka telah me mpermainkan kita" "Jadi, apakah yang akan kita la kukan?" bertanya adiknya. "Kita akan menyusulnya. Kita akan me mbunuh mereka bertiga dan mera mpas pusaka itu" gera m Ki Singaprana. "Sekarang" gera m adiknya "Jangan biarkan mereka pergi." Namun dala m pada itu, sebelum mereka melangkah, tibatiba saja mereka dikejutkan oleh kehadiran seseorang. Dengan
lantang orang ita berkata "Kalian tida k usah mencari a ku. Aku masih tetap di sini" Ki Singaprana berpaling kearah suara itu. Kemudian terdengar suaranya dalam "Raden Juwiring" "Ya pa man. Aku me ma ng menunggu pa man di sini. Ternyata paman benar-benar datang" sahut Juwiring. Sesaat Ki Singaprana terdiam. Tetapi wajahnya menjadi semakin tegang. Dala m pada itu, maka adiknyalah yang ke mudian berkata "Nah, adalah kebetulan sekali bahwa kau datang Raden. Sekarang kami ingin bertanya, dimanakah keris yang akan Raden labuh itu" "Di bawah pohon serut itu" jawab Juwiring. "Jangan bergurau seperti anak kecil" jawab adik Ki Singaprana "Aku sudah terlalu la ma tidak bercanda dengan cara yang cengeng itu. Aku lebih senang bercanda dengan pedang. Nah, katakan, dimana pusaka itu" "Apakah kau tidak mendengar" sahut Raden Juwiring "keris itu aku letakkan di bawah pohon serut itu seperti pesan ayahanda. Tetapi akupun terkejut ketika terasa seolah-olah ada tangan-tangan yang me mang menerima keris itu. Aku tidak dapat melawan ketika tangan itu ke mudian menggengga mnya dan merenggutnya dari tanganku. Semuanya itu hanya terjadi dalam sesaat, karena sekejap kemudian keris itu telah hilang, manjing ke dala m tubuh batang serut itu. Aku tida k tahu,
apakah jika pohon itu ditebang, kayupun di belah, akan dapat dikete mukan keris itu juga" "Raden jangan ngayawara" geram Ki Singaprana "agaknya Raden me mang me nganggap ka mi sebagai kanak-kanak yang pantas diajak bergurau dalam keadaan seperti ini. Raden. Aku mohon, cepat tunjukkan dima na keris itu. Bukankah keris itu sudah tidak terpakai lagi bagi Raden?" "Tetapi keris itu me mang harus dilabuh pa man. Dan tidak seorangpun boleh me milikinya. Karena itu, maka perjalanan kami, ka mi lakukan secara rahasia. Adalah aneh jika pa man dapat mengetahui, bahwa ka mi pada hari ini berada di Gunung Lawu untuk menyingkirkan keris itu sebagaimana dipesankan oleh ayahanda Pangeran Ranakusuma" "Sudahlah. Sebaiknya Raden jangan bertanya suatu yang bukan kewajiban Raden. Yang penting, tunjukkan keris itu" Ki Singaprana menjadi tidak sabar lagi. "Sudah aku labuh" jawab Raden Juwiring. "Belum. Raden bohong" sahut Ki Singaprana "Tetapi akupun mengerti bahwa Raden akan berkeberatan untuk mengatakan, dimana keris itu. Baiklah. Aku akan me ma ksa Raden untuk berbicara. Raden tentu mengenal, siapakah a ku. Nama ku ditakuti orang sejak bertahun-tahun yang lalu. Namun ternyata perjuangan Pangeran Mangkubumi telah berhasil menjinakkan na ma ku yang semula dianggap liar. Tetapi justru karena aku telah banyak berjasa pada pasukan Pangeran Mangkubumi, aku mohon Raden tida k berkeberatan untuk menyerahkan keris itu" Tetapi Raden Juwiring me nggeleng. Jawabnya "Maaf paman. Seandainya keris itu be lum a ku labuh, akupun tidak akan menyerahkannya, karena demikianlah pesan ayahanda Pangeran Ranakusuma pada saat-saat terakhir dari hidupnya"
"Tetapi ayahanda Raden sudah meninggal. Akan tidak ada manfaatnya lagi untuk me maksa diri me laksanakan pesan pesannya" geram adik Ki Singaprana. "Maaf. Aku tidak dapat menunjukkan dima na keris itu aku labuh" jawab Juwiring. "Jangan me maksa ka mi untuk Raden" berkata Ki Singaprana. melakukan ke kerasan
"Akupun me ngharap de mikian. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalahnya. Seandainya paman me mbunuhku, tentu tidak akan ada manusia yang akan dapat menunjukkan keris itu kepada pa man" jawab Juwiring. "Tetapi jika kau tidak mau mengatakannya, aku terpaksa me mbunuhmu. Biarlah keris itu tidak aku ketahui dimana tempatnya. Tetapi dengan kematianmu, maka rahasia itu tidak akan pernah didengar oleh siapapun juga" gera m Ki Singaprana. "Aku me mang tidak akan pernah mengatakannya" desis Juwiring. "Tetapi rahasia yang de mikian pada suatu saat akan dapat terucapkan. Sengaja atau tidak sengaja" jawab Ki Singaprana "Nah, sekarang tinggal me milih. Mengatakan dimana keris itu atau kami akan me mbunuhmu" Juwiring me mandang ketiga orang itu dengan tegang. Iapun pernah mendengar bahwa Ki Singaprana adalah seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Na mun de mikian ia sudah bertekad untuk tidak mengatakannya kepada siapapun tentang pusaka itu. Karena itu, maka iapun ke mudian berkata "Aku tida k akan mengatakannya" Ki Singapranapun menganggap bahwa t idak ada gunanya lagi untuk berbicara panjang lebar. Juwiringpun ternyata tidak mengenal takut. Sebagai seorang prajurit dan pasukan
berkuda, maka ia tentu telah mendapat tempaan untuk tidak gentar menghadapi apapun juga. Karena itu, maka Ki Singaprana itupun ke mudian berkata "Baiklah. Ka mi akan me mbunuhmu. Ka mi tahu bahwa ka lian bertiga di sini" "Ya" jawab Juwiring yang ke mudian segera me mpersiapkan diri sambil me manggil kedua adik seperguruannya. Buntal dan Arumpun segera bersiap pula. Mereka berdiri beberapa langkah dari Juwiring. Masing-masing telah bersiap menghadapi segala ke mungkinan. Ki Singaprana dan kedua orang yang bersamanya itupun me langkah mendekat. Kemarahan na mpak me mancar di wajah orang yang namanya pernah menggetarkan pesisir Utara itu. Namun yang ke mudian telah bergabung pada pasukan Pangeran Mangkubumi, meskipun ternyata hal itu sekedar dipergunakannya sebagai se lubung saja. "Sebenarnya aku merasa sayang untuk me mbunuh anak anak muda ini" berkata Ki Singaprana "Kalian masih diperlukan oleh pasukan Pangeran Mangkubumi. Tetapi karena ka lian keras kepala, maka apaboleh buat. Kami a kan me mbunuh kalian bertiga, meskipun sebenarnya kalian sendiri dapat menghindari hal ini" Juwiring tida k menjawab. Iapun tergeser maju. Dengan tajamnya ia menatap Ki Singaprana. Na mpaknya Ki Singaprana adalah orang yang paling gawat di antara tiga orang yang mengikutinya. Karena Juwiring merasa dirinya yang tertua di antara ketiga anak muda itu, ma ka iapun telah mene mpatkan diri menghadapi Ki Singaprana. Sementara Buntal telah bersiap di hadapan adik Ki Singaprana, sementara kawan mereka telah dihadapi oleh Arum. Namun tiba-tiba kawan Ki Singaprana itu berkata "Apakah gadis ini boleh dibiarkan hidup?"
Adik Ki Singapranalah jang menyahut "Aku sependapat Biarlah ia dibiarkan hidup. Aku a kan mengantarkannya ke mba li kepada ayahnya" "Me muakkan" geram Arum yang marah. Namun Juwiring menyahut "Jangan marah Arum. Kau harus menghadapi lawanmu dengan hati yang terang agar kau tidak dikacaukan oleh kecurangan yang dilakukan orang-orang itu justru karena kau seorang gadis yang tidak a kan dapat dikalahkan dengan ujung senjata" Arum tidak menyahut. Ia pernah mengala mi peristiwa yang demikian. Da m iapun mengerti, bahwa gejolak perasaan yang tidak terkendali hanya akan me mpersulit kedudukannya saja. Karena itu, ketika sekali lagi lawannya itu mencoba menyentuh perasaannya, ia justru berkata "He, nampaknya kau akan dapat menjadi sua mi yang baik. Sayang sebentar lagi kau akan mati" "Persetan" geram laki-la ki itu. Dala m pada itu, Ki Singaprana sudah tida k sabar lagi. Iapun telah mencabut pedangnya. Kemudian menjulurkan pedang itu lurus ke dada Juwiring sa mbil menggera m "Kau akan segera mati" Raden Juwiring tidak menyahut. Iapun telah menggenggam pedangnya pula. Ia harus bertahan, betapapun tinggi ilmu orang yang bernama Ki Singaprana itu. Adik Ki Singaprana dan kawannya yang berhadapan dengan Arum itupun telah siap dengan senjata masing-masing pula. Sebilah pedang, dan kawannya itu mempergunakan canggih bertangkai pendek. Arum me mperhatikan senjata lawannya. Ia sadar, bahwa canggah yang bermata rangkap itu adalah senjata yang berbahaya. Jika lawannya itu me mbawa senjata jenis itu, maka tentu iapun akan ma mpu me mpergunakan sebaikbaiknya. Menurut pengala mannya me mperguna kan senjata, serta latihan-latihan yang dilakukan, maka senjata bermata rangkap me mpunyai ke ma mpuan mera mpas senjata lawannya. Jika pedangnya terperangkap di antara kedua mata canggah itu, dan ke mudian canggah itu diputarnya, maka senjatanya tentu akan terlepas dari gengga man. Karena itu Arum me mang harus berhati-hati. Ia tidak boleh lengah sehingga senjatanya akan dapat terlepas dari tangannya. Sejenak kemudian, Ki Singaprana yang tidak sabar itulah yang telah mulai menggerakkan senjatanya. Juwiring dengan sengaja bergeser ke tempat yang lebih, lapang dan datar meskipun di bawah kakinya terhampar batu-batu padas yang keras. Buntalpun menanggapi sikap Juwiring. Iapun bergeser pula untuk dapat melawan adik Ki Singaprana itu dengan loncatanloncatan panjang. Sementara Arum masih tetap berada di tempatnya. Pedangnyalah yang terjulur. Ketika ujungnya mulai bergerak, maka lawannyapun bersiap menghadapinya Menilik sikapnya, meskipun Arum seorang gadis, tetapi ia me miliki ke ma mpuan ilmu pedang yang baik. Ternyata lawannyalah yang memancing perlawanan Arum, Ia mengangkat canggahnya dan terayun dari sisi kanan Arum. Tetapi ternyata Arum tidak me njadi tegang terkejut dan apalagi meloncat-loncat. Dengan tenang ia bergeser setapak. Namun justru ialah yang kemudian me loncat menyerang langsung kearah dada. Sikap Arum itu benar-benar telah mengejutkan. Dengan demikian ma ka orang itupun menjadi se makin yakin, bahwa Arum me mang seorang gadis yang me miliki ilmu pedang yang baik. Lawannya itupun terpaksa meloncat ke samping. Dengan canggahnya yang bertangkai pendek itu ia me ncoba menjepit
pedang Arum dan me mutarnya. Tetapi Arumpun dapat bergerak cepat, apalagi ia sudah mengetahui ke ma mpuan senjata bermata dua itu. Karena itulah, maka iapun telah menarik pedangnya sehingga canggah lawannya itu tidak menyentuhnya. Namun se kali lagi ia mengejutkan lawannya, karena pedangnya terayun mendatar menyerang la mbung. Sekali lagi lawannya mengelak. Tetapi Arum tidak me mburunya, karena ia menyadari, bahwa lawannyalah yang ke mudian bersiap untuk menjeba k senjatanya Sejenak Arum berdiri dengan pedang yang masih tetap terjulur. Ketika lawannya bergeser, iapun berputar mengikuti arah lawannya. Sementara itu, Buntal telah bertempur dengan cepat dan keras mengimbangi ke kerasan lawannya. Keduanya berloncatan dengan langkah panjang. Na mun ke mudian senjata mereka berbenturan dengan dahsyatnya. Mereka saing menyerang dan menangkis. Dala m pada itu. Buntal yang sudah menduga bahwa lawannya akan bertempur dengan keras, sama seka li tidak terkejut ketika lawannya itu meloncat sa mbil berteriak. Sambaran pedangnya yang garang dan kuat, disusul dengan hentakkan-hentakkan yang kasar. Ternyata anak muda dari padepokan Jati Aking itu sudah cukup me miliki pengala man bertempur me lawan berjenis-jenis ilmu. Karena itu maka iapun segera ma mpu menyesuaikan diri dengan sikap dan cara lawannya itu berte mpur. Ki Singaprana ternyata tidak kalah garangnya. Namun nampaknya Ki Singaprana masih menjaga diri sebagai salah seorang pengawal dala m pasukan Pangeran Mangkubumi. Meskipun tandangnya juga keras, tetapi ia berusaha meninggalkan kebiasaannya sebagaimana yang selalu dilakukannya di pesisir Utara.
Dengan tangkasnya ia me mutar pedangnya. Sekali terjulur, ke mudian menebas datar. Pada kesempatan la in terayun dengan derasnya menyambar kening. Tetapi Juwiringpun cukup tangkas. Ia ma mpu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Bahkan sekali-sekali jika senjata mereka bersentuhan, terasa bahwa Juwiring me mang me mpunyai ke kuatan yang cukup. Tetapi ternyata Ki Singaprana itu t idak telaten berte mpur dengan cara itu. Di dalam pasukan Pangeran Mangkubumi ia bertempur dala m satu kelompok bersa ma para pengawal yang lain, sehingga ia sendiri berada di antara satu kekuatan yang harus saling menyesuaikan diri. Dala m keadaan yang demikian, sifat dan wataknya sebagai seorang yang na manya di takuti di pesisir Utara, tidak terlalu menonjol. Namun ketika ia harus berte mpur seorang melawan seorang dengan Raden Juwiring, murid padepokan Jati Aking dan juga bekas seorang prajurit dari pasukan berkuda maka ia tidak akan dapat bertahan pada sikapnya itu. "Persetan" katanya di dala m hati "aku tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh anak itu. Sebentar lagi aku akan me mbunuhnya Ke mudian ia tidak akan dapat berbicara apapun tentang aku" Dengan de mikian ma ka Ki Singaprana itupun t idak lagi berusaha mengekang diri. Semakin la ma tata geraknyapun menjadi se makin kasar. Akhirnya sebagaimana na mpak pada adiknya Ki Singaprana telah berada pada wajahnya yang sebenarnya selagi ia berada di pesisir Utara. Kegarangan dan kekasarannya benar-benar mendebarkan jantung Juwiring, yang seperti Buntal me miliki pengala man yang luas dala m dunia petualangan olah kanuragan. Na mun menghadapi orang yang bernama Ki Singaprana ini, Juwiring menjadi berdebar-debar.
Sebenarnyalah tingkat ke ma mpuan ilmu Ki Singaprana dan adiknya me mang berselisih selapis. Ki Singaprana me miliki kekuatan dan pengala man me la mpaui adiknya pada atas ilmu yang sama. Karena itu, maka Ki Singaprana adalah seseorang yang lebih berbahaya dari adiknya dan kawannya yang juga bekas seorang perampok yang disegani. Dengan demikian, maka ketiga orang yang meskipun juga pernah berada dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi, na mun dala m keadaan yang demikian, telah nampak warna mereka yang sebenarnya. Sehingga di la mbung Gunung. Lawu itupun ke mudian telah terdengar teriakanteriakan nyaring dan bahkan kadang-kadang umpatan kasar dan tidak sewajarnya diucapkan. Apalagi di antara mereka terdapat seorang gadis. Dengan de mikian, maka Juwiringpun telah melihat satu kenyataan bahwa tidak semua orang yang berada di dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi adalah orangorang yang benar-benar ingin menegakkan keadilan di atas Surakarta. Bahkan orang yang bukan saja tidak bercita-cita, tetapi dengan sengaja telah berusaha menyelubungi dirinya. "Orang-orang yang demikian itulah agaknya yang telah menoda i perjuangan" berkata Juwiring di dala m hatinya "setitik nila yang diteteskannya, akan dapat merusak susu sebelanga" Karena itu, maka Juwiringpun telah bertekad untuk menghancurkan orang itu sa ma sekali. Namun ternyata bahwa orang itu seperti yang pernah didengarnya, adalah orang yang me miliki ke lebihan. Dengan kasar, buas dan liar ia telah melawan Raden Juwiring. Orang itu telah me loncat-loncat sambil berteriak-teriak. Menghentak hentak tidak me nentu. Namun bukan berarti bahwa ia tidak mengenal ilmu pedang dan tata gerak ilmu kanuragan. Nampa knya ia telah mendapat tuntunan yang demikian di dalam padepokan te mpat orang itu berguru. di sa mping
landasan unsur-unsur gerak yang mapan, ketrampilan dan kecepatan gerak, orang itu telah menunjukkan perlawanan yang nggegerisi. Juwiring t idak dapat ingkar a kan kenyataan itu. Betapapun ia mengerahkan segenap kema mpuannya, namun ia telah terdesak semakin berat. Kekasaran lawannya benar-benar me mbuatnya kadang-kadang bingung dan terkejut. Sementara itu. Buntal telah me lawan adik Ki Singaprana dengan mapan. Meskipun orang itu juga berteriak-teriak, me loncat-loncat dengan kasar dan liar, namun dasar landasan ke ma mpuannya setingkat di bawah Ki Singaprana, sehingga karena itu, ketenangan Buntal masih dapat mengimbanginya. Apapun yang dilakukan oleh lawannya, Buntal berhasil menyesuaikan diri, meskipun dengan de mikian kadang-kadang iapun harus bertempur dengan kasar. Namun dala m pada itu, pada benturan-benturan yang terjadi kemudian, Buntal berhasil me mpengaruhi lawannya, karena terriyata ia me miliki tenaga yang lebih besar dari lawannya. Ketika lawannya menyerangnya sambil berteriak, Buntal berkata "Apa gunanya kau berteriak-teriak" Kau kira kau dapat menakuti aku dengan mulut mu yang lebar itu" Kau tidak dapat ingkar, bahwa pada setiap benturan tanganmu bergetar" "Persetan" geram adik Ki Singaprana itu "a ku akan me mbunuhmu" Buntal tida k menyabut. Tetapi ia tida k pernah menyianyiakan setiap kese mpatan. Namun dala m pada itu. jantungnya berdesir ketika ia me lihat Juwiring yang justru terdesak Beberapa kali Juwiring harus me loncat surut menjauhi lawannya untuk menghindari kekasaran dan keliarannya. Namun lawannyapun ma mpu
bertindak cepat, sehingga dengan garangnya iapun telah berusaha me mburunya ke mana Juwiring menghindar. Buntalpun menyadari, bahwa Ki Singaprana tentu lebih tinggi ilmunya daripada adiknya. Karena dtu, maka Juwiring tentu benar-benar berada dalam kesulitan. Tetapi jika ia ingin me mbantunya, maka ia harus menga lahkan lawannya lebih dahulu. Ia harus melumpuhkan atau bahkan me mbunuhnya sama se kali. Dada Buntal tergetar sekali lagi ketika ia melihat Arum. Lawannya yang kasar benar-benar me mpengaruhi perlawanan gadis itu. Sebagaimana pernah terjadi, maka sikap dan katakata kotor orang itu bagi Arum tidak kalah berbahayanya dari mata canggah di dala m gengga mannya "Kau ingin bertempur mengumpat" gera m Arum. atau sekedar berteriak-teriak
Tetapi lawannya tertawa. Ia menjadi se makin kasar dan semakin liar. Kata-katanyapun menjadi se ma kin kotor. Arumpun ternyata telah terdesak pula. Sekali-seka li ia me loncat surut. Namun suara tertawa dan teriakan-teriakan yang me mua kkan masih se lalu terdengar. Namun bukan hanya sikapnya yang liar dan kata-katanya sajalah yang menjadi se makin kotor. Tetapi canggah itu benar-benar berbahaya bagi Arum. Sekali-sekali canggah itu menya mbar lengan, namun pada keadaan tertentu canggah itu langsung me matuk leher. Jika Arum terlambat menghindar, maka lehernya akan terjepit kedua mata canggah itu yang tajam di bagian da la m, sehingga leher itu akan tertebas dari kedua belah sisi. Meskipun ternyata Arum cukup cepat bergerak, tetapi lawannya selalu me mburunya dengan sikapnya yang licik. Tetapi Arum sadar, menghentikan kata-kata bahwa kotor, ia tidak a kan dapat umpatan-umpatan dan
teriakan-teriakan itu dengan kata-kata. Karena itu, maka iapun bertempur se makin cepat dan garang. Namun dernikian, menurut pengamatan Buntal, Arum masih dapat didesak oleh lawannya. "Aku harus dengan cepat menyelesaikan orang ini" berkata Buntal di dala m hatinya "lawan Arum itu terlalu kasar. Tetapi sudah tentu bahwa iapun me miliki ilmu yang matang. Bahkan nampaknya lebih baik atau lebah liar dari lawanku ini" Tetapi lawan Buntal itupun tidak me mbiarkan Buntal dengan mudah menga lahkannya. Ketika Buntal mengerahkan segenap kema mpuannya, maka iapun telah me lawan dengan segala kekuatan yang ada padanya. Bahkan agaknya orang itupun me mpunyai perhitungan yang cermat. Ia melihat, bahwa Ki Singaprana berhasil mendesak Juwiring, sementara kawannya meskipun dengan licik, tetapi dapat menekan Arum yang menjadi sangat gelisah. Karena itu, maka ia me mpunyai perhitungan, seandainya ia sekedar menghindar saja, berlarilari dan me loncat-loncat, akhirnya Buntal harus menghadapi tiga orang sekaligus setelah Juwiring terbunuh dan Arum dapat diselesaikan pula. Juwiringpun me njadi sangat gelisah. Ia me lihat, bagaimana Arum mulai terdesak. Tatapi ia tidak dapat menge lakkan kenyataan, bahwa ia sendiripun telah terdesak pula. Benturan-bentuian yang terjadi telah menggetarkan tangan Juwiring. Orang yang bernama Ki Singaprana itu benar-benar seorang yang me miliki ke ma mpuan dan pengala man yang sangat luas, selain sikap dan tandangnya yang sangat kasar. Bahkan kesulitan de mi kesulitan telah mene kan Juwiring sehingga sekali-sekali ia ha mpir kehilangan keseimbangan. Batu-batu padas di bawah kakinya rasa-rasanya menjadi semakin taja m dan menghunja m pada telapak kakinya. Senjata orang itu terasa semakin dekat terayun di sisi tubuhnya. Ketika Juwiring terpaksa meloncat surut, maka
ujung senjata lawannya itu telah me mburunya. Dengan cepat Juwiring berusaha menangkisnya. Senjata itu memang bergeser, tetapi tiba-tiba justru terayun mengarah ke dadanya. Demikian cepatnya, sehingga Juwiring terkejut karenanya. Sekali lagi ia berusaha menangkis serangan itu. Namun ia tidak berhasil sepenuhnya. Ujung senjata lawannya itu masih tergores di pundaknya. Juwiring menggera m. Luka itu tidak terlalu dala m. Tetapi darah telah mula i menitik dari luka itu. "Menyerahlah" geram Ki Singaprana "sebentar lagi kau akan mati" Yang terdengar adalah ge meretak gigi. Juwiring sa ma sekali tidak ingin menyerahkan lehernya kepada orang itu. Luka dilengannya telah me mbuatnya bagaikan banteng ketaton. Dala m pada itu, Buntal me mang berhasil mendesak lawannya,. Tetapi iapun tidak segera melihat, bahwa ia akan dapat menyelesaikan pertempuran itu dala m wa ktu dekat Apalagi lawannya yang mengetahui pula keadaan pertempuran itu me mperguna kan kese mpatan sebaik-baiknya. Ia tidak melawan Buntal dala m benturan-benturan senjata dan dengan saling melibat pada jarak yang dekat. Tetapi orang itu telah berloncatan dengan langkah-langkah panjang. Demikianlah, pertempuran di la mbung Gunung Lawu itu berlangsung dengan sengitnya. Darah di lengan Juwiring menga lir se makin banyak. Anak muda itu berdesah ketika sekali lagi ujung pedang Ki Singaprana me ngenai pundaknya. Yang terdengar adalah suara tertawa Ki Singaprana. Dengan lantang iapun ke mudian berkata "Kau akan mati di sini. Bukan keris itulah yang akan dilabuh. Tetapi mayat kalian bertiga" Betapa kemarahan menghentak-hentak dadanya. Tetapi kenyataan itu telah terjadi
Jantung Juwiringpun ha mpir me ledak ketika ia me lihat, Arum benar-benar dala m kesulitan. Ganggah lawan gadis itu berputar bagaikan baling-baling. Ketika Arum me mpergunakan satu kesempatan yang terbuka dengan menebas lawannya, tiba-tiba saja tawannya berhasil menangkis dan bahkan pedang Arum telah terperangkap di antara kedua mata canggah. Dan yang dicemaskan itupun telah terjadi. Dengan cepat lawan Arum la lu me mutar canggahnya. Sebelum Arum se mpat menarik senjatanya itu, maka satu hentakkan yang kuat telah merenggut senjata Arum, sehingga senjata itu telah terlempar beberapa langkah dari padanya. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa meledak bagaikan mengguncangkan Gunung Lawu. Kawan Ki Singaprana itu merasa bahwa ia telah berhasil menyelesaikan satu pertempuran yang berat. Dengan demikian, maka gadis itu akan segera menjadi jinak dan tunduk kepada segala perintahnya. Yang terjadi itu me mbuat Buntal bagaikan kehilangan aka l. Seperti badai ia me mburu lawannya. Tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan yang dapat mengha mbatnya. Dengan demikian, maka tenaga Buntal bagaikan menjadi berlipat. Seperti prahara ia mengamuk. Lawannya yang berloncatan itu seakan-akan tidak mendapat tempat lagi. Pedang Buntal selalu mengejarnya seperti seekor lalat yang berdesing di telinganya. Sehingga akhirnya lawannya itu merasa punggungnya me mbentur dinding padas. Dengan demikian maka lawan Buntal itu t idak a kan dapat lagi berloncatan surut. Sementara itu, tidak kalah garangnya sikap Juwiring. Ia sadar, bahwa ia telah terluka. Iapun sadar, bahwa Ki Singaprana me mpunyai kelebihan dari padanya. Namun ia tidak dapat membiarkan Arum mengala mi perlakuan yang
sangat mengerikan dari orang yang seolah-olah menjadi mabuk itu. Karena itu, terjadilah yang sama seka li tidak direncanakan. Juwiring yang seolah-olah telah kehabisan aka l itu t idak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Dala m keadaan yang paling sulit, se mentara ia tersudut dala m dua keadaan yang bertentangan, di saat ia harus melindungi Arum sebagaimana harus dilakukan oleh saudara tertua, namun juga kenyataan bahwa ia tida k akan ma mpu me lawan Ki Singaprana dala m keadaan wajar, maka tiba-tiba saja ia telah menyingkapkan bajunya. Dengan tiba-tiba-saja tangannya telah menarik keris yang dise mbunyikan di balik bajunya. Justru keris yang harus di labuhnya itu. Tiba-tiba saja, bahkan seolah-olah bagaikan terjadi di luar kewajaran, langit yang cerah itu bagaikan menyala sekejap. Seolah-olah kilat yang dahsyat telah menyambar di langit tanpa mendung tanpa hujan setitikpun. Na mun ke mudian Ki Singaprana melihat, bahwa sebilah keris yang bercahaya ke merah-merah telah berada di dala m gengga man tangan Juwiring. "Raden Juwiring" desis Ki Singaprana. "Aku tidak me mpunyai pilihan lain. Kau harus mati oleh keris yang kau buru ini" geram Juwiring. Ki Singaprana mundur se langkah. Na mpak pada tatapan matanya bahwa hatinya telah tergetar. Namun ke mudian iapun berkata "Raden. Keris itu memang keris yang luar biasa. Setiap sentuhan akan berakibat maut. Tetapi aku tidak yakin bahwa Raden dapat menyentuh kulitku dengan keris itu" Wajah Raden Juwiring menjadi merah pada m. Matanya bagaikan menyala dan giginya gemeretak. Seolah-olah Raden Juwiring yang me nggengga m pedang di tangan kanan dan keris di tangan kiri itu bukan Raden Juwiring yang dikenal oleh Ki Singaprana. Raden Juwiring yang menggengga m keris itu
seolah-olah adalah orang la in yang garang, kasar dan sebuas Ki Singaprana sendiri. Ki Singaprana tidak me mpunyai pilihan la in. Sejenak ke mudian Juwiring yang digelisahkan oleh keadaan Arum itupun segera menyerang. Langkahnya seolah-olah menjadi semakin kasar dan keras. Pedangnya terayun-ayun mengerikan. Seakan akan Juwiring sudah tidak me mpunyai perhitungan sa ma sekali. Namun dala m pada itu, selagi Juwiring tenggelam ke dala m gejolak perasaan yang tidak terkendali, ternyata Buntal telah menekan lawannya semakin berat. Justru karena lawannya seolah-olah telah bersandar pada dinding padas, maka kesempatannya menjadi se makin sempat. Dengan garang oleh ke marahan yang tidak tertahan lagi karena sikap lawan Arum maka Buntal telah me mperguna kan kese mpatan itu sebaikbaiknya. Ketika ia menjulurkan pedangnya, lawannya itu masih sempat menangkis. Ia me mukul pedang Buntal ke samping. Namun Buntal menarik senjatanya. Dengan ayunan yang keras ia menebas lambung. Sekali lagi lawannya berusaha bergeser sambil me mukul senjata Buntal, namun Buntal tidak mau lebih la ma lagi me mbiarkan Arum dala m kesulitan. Karena itu, ma ka ia telah mene mukan saat yang paling tepat De mikian senjata lawannya terayun, maka ia me lihat kese mpatan terbuka pada dada lawannya. Dengan kecepatan yang menghentak dilandasi segenap tenaga dan ke ma mpuannya, maka Buntal telah menggeser pedangnya dan langsung menusuk dada adik Ki Singaprana. Tidak ada kesempatan untuk menangkis. Tetapi orang itu masih berusaha mengelak, dengan bergeser setapak. Tetapi Buntal telah me mperhitungkannya. Karena itu, maka pedangnyapun bergeser pula, sehingga ujung pedang itupun telah menghunja m langsung ke dala m jantung lawannya. Orang itu tidak sempat mengela k. Ketika Buntal menarik pedangnya, maka orang itupun telah terhuyung-huyung dan
ke mudian jatuh menelungkup di tanah. Ia tidak se mpat lagi menge luh, karena tusukan pedang Buntal itu langsung me mbunuhnya. Sementara itu. Buntal tidak menunggu lebih la ma lagi. Iapun segera meloncat, menuju ke arena pertempuran antara Arum dan lawannya. Namun Buntal tertegun sejenak. Ia masih me lihat Arum telah mengerahkan ke ma mpuannya yang terakhir untuk me mpertahankan dirinya meskipun ia telah kehilangan pedangnya. Pada saat-saat lawannya menikmati ke menangannya, ia telah menjadi lengah. Ia sadar ketika ia me lihat di tangan Arum tergengga m pisau-pisau belati kecil. Tetapi terlambat. Demikian ia berusaha menyiapkan diri ternyata sebilah pisau belati kecil telah meluncur me matuk langsung ke dadanya. Meskipun ia berusaha menge lak, tetapi pisau itu menancap pula di punda knya. Orang itu menggeram. Ke marahannya tidak terkatakan. Ternyata Arum benar-benar tidak dapat dijinakkan. Bahkan orang itupun ke mudian me lihat tangan kiri Arum telah terayun pula. Sebilah pisau belati me luncur ke lehernya. Dengan gontai orang itu bergeser ke samping sambi menangkis pisau be lati itu. Sebenarnyalah ia berhasil. Na mun dalam pada itu, diluar dugaannya pula pisau yang luput itu diikuti oleh sa mbaran pisau belati berikutnya, langsung menancap pada la mbung. "Gila, perempuan gila" geramnya. Tetapi ia tidak me mpunyai kesempatan. Perasaan sakit, pedih dan nyeri pada pundak dan la mbungnya me mbuatnya kehilangan penga matan diri. Itulah sebabnya ketika tiga pisau me luncur lagi dari tangan Arum satu di antaranya benar-benar telah menancap di dadanya, meskipun yang dua dapat ditangkisnya dengan canggahnya.
Betapapun kemarahan menghentak-hentak. Namun orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Ia menyesal atas kelengahannya. Tetapi segalanya telah terjadi. Ia tidak dapat mengulangi dari permulaan sejak saat ia berhasil mera mpas pedang gadis itu. Na mun terkilas juga di dalam kepalanya, seandainya ia tidak kehilangan kewaspadaan, maka ia tidak akan mengala mi nasib yang demikian buruknya. Sejenak orang itu berdiri tegak. Dipandanginya Arum dengan nyala kemarahan yang tiada taranya. Tubuhnya mulai bergetar oleh kemarahan dan rasa sakit yang menghunja m sampai ke sungsum. Namun agaknya Arum masih be lum meyakini keadaan lawannya. Dua buah pisau lagi telah meluncur. Keduanya mengenai dada orang yang sudah tidak ma mpu mengelak lagi itu. Sejenak ke mudian, maka orang itupun telah terjatuh, la masih mengumpat dengan kata-kata kotor. Tetapi sejenak ke mudian iapun telah menghe mbuskan nafasnya yang terakhir. Arum menarik nafas dalam-dala m. Dirabanya ikat pinggangnya yang besar. Sebagaimana kebiasaannya, ia telah menyimpan pisau-pisau kecil pada ikat pinggangnya di bawah bajunya. "Ha mpir semuanya sudah aku lontarkan" desir Arum. Suaranya masih bergetar oleh gejolak perasaan di dalam dadanya. "Aku akan mengumpulkannya nanti dan me mbersihkannya" desis Buntal. "Pisau itu sudah bernoda darah" jawab Arum. "Kau dapat me maka i pisau-pisauku meskipun sebanyak pisau yang kau bawa" jawab Buntal. t idak
Namun dala m pada itu, Arum melontarkan pandangan matanya ke arah Juwiring yang masih bertempur. Buntalpun telah berpaling pula kepadanya. Terasa jantung mereka berdentang semakin cepat melihat darah di tubuh Juwiring. Tetapi yang terjadi ke mudian sudah berubah. Agaknya Juwiring telah mendesak lawannya yang menjadi sangat berhati-hati. Meskipun seka li-seka li ujung pedang Ki Singaprana masih saja menahan serangan-serangan Juwiring dengan sentuhan-sentuhan kecil, tetapi Juwiring seolah-olah tidak lagi menghiraukannya. Ia menyerang seolah-olah tidak me mperhitungkan keadaan dirinya. Ki Singaprana adalah seorang perampok yang memiliki nama yang ditakuti di pesisir Utara. Ia adalah orang yang kasar, buas dan liar. Tidak ada yang dapat mencegahnya untuk berbuat apa saja jika ha l itu sudah dikehenda ki. Namun menghadapi Juwiring yang menggengga m keris yang luar biasa itu di tangan kirinya, rasa-rasanya jantungnya berdegup semakin cepat. Ia melihat seolah-olah keris itu me mbara dengan warna ke merah-merah, se mentara tingkah laku Juwiring telah berubah sa ma sekali. Ia tidak bertempur sebagai seorang kesatria, apalagi putera Pangeran Ranakusuma. Tetapi ia bertempur dengan kasar pula seperti Ki Singaprana sendiri. Akhirnya Ki Singaprana itu tidak lagi ma mpu melawan kegarangan Juwiring dengan senjata rangkap. Pedang di tangan kanan anak muda itu ma mpu me mancing pedang Ki Singaprana yang menangkisnya. Namun tiba-tiba dengan kecepatan yang tidak diduga, Juwiring me loncat dengan garangnya. Keris di tangan kirinya terjulur lurus kearah dada. Tetapi Ki Singaprana tidak mau dikenai keris itu. Karena itu, iapun segera meloncat menghindar. Namun Juwiring me mburunya. Ketika ia me lihat pedang Ki Singaprana terjulur untuk menghentikan serangannya, ia menangkis dengan pedangnya pula. Sementara itu. ia masih me loncat pula
dengan tangan kiri terjulur. Ujung pedang Ki Singaprana itu masih mengoyak kulit lengannya. Namun Juwiring tidak menghiraukannya. Tanpa diduga ia meloncat sema kin dekat. Terjadilah bencana yang tidak dapat dielakkan lagi bagi Ki Singaprana. Dalam keka lutan sikap karena serangan-serangan Juwiring yang seperti orang kerasukan itu, maka ujung keris yang akan dilabuh itu telah tergores pada ujung jari Ki Singaprana. Hanya pada ujung jari saja. Namun dala m pada itu, wajah Ki Singapranapun segera menjadi pucat. Dengan loncatan panjang ia menjauhi Raden Juwiring sa mbil berkata "Cukup Raden. Kau telah menyelesaikan pertempuran ini" Raden Juwiring tertegun sejenak. Na mun ke mudian ia me lihat Ki Singaprana mengacukan jarinya yang tergores keris itu. Katanya di luar sadar "ternyata gerak tanganku telah menyentuh keris itu" "Dengan sengaja aku lakukan" potong Juwiring. Wajah Ki Singaprana menegang sejenak. Namun ke mudian katanya "Aku percaya" Kata-katanya terputus. Keris itu benarbenar keris yang luar biasa. Tubuh Ki Singaprana itupun gemetar. Wajahnya menjadi merah biru. Dengan sisa tenaganya Ki Singaprana itupun segera duduk bersandar sebatang pohon sambil menyilangkan tangannya. Rasa-rasanya kematian itu menje mputnya terlampau cepat, sehingga ia hanya sempat berkata "Waktuku telah tiba" Ki Singaprana masih se mpat me meja mkan matanya. Namun ke mudian ia tidak dapat bergerak lagi. Nafasnya terhenti di ujung hidungnya, sedang darahnya telah mengental di dala m tubuhnya. Juwiring berdiri di hadapannya dengan garangnya. Pedangnya masih tetap digengga mnya di tangan kanan, sementara tangan kirinya masih pula menggengga m keris yang harus dilabuhnya.
Demikian Juwiring mengakhiri pertempuran itu, maka Buntal dan Arumpun menarik nafas dalam-dala m. Setelah saling me mandang sejenak, merekapun ke mudian melangkah mende kati Juwiring yang masih berdiri tegak. Namun langkah kedua anak muda itu tertegun. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa Juwiring itupun mengumpat dengan garangnya sambil mendorong mayat yang terduduk itu dengan kakinya. Bahkan ke mudian katanya "Mayatmu akan menjadi racun bagi binatang buas yang akan mengoyak dagingmu. di te mpat ini akan bertimbun bangkaibangkai binatang buas dan burung gagak yang berkeliaran di langit" Sekali lagi Buntal dan Arum saling berpandangan. Na mun ke mudian mereka me langkah lagi mende kat. Dengan hati hati Buntal melangkah di sebelah sa mbil berkata "Ia sudah mati kakang" "Ya. Ia sudah mati" gera m Juwiring. "Ka mipun telah berhasil me mbunuh lawan-lawan ka mi" berkata Buntal selanjutnya. "Bagus. Se muanya me mang harus dibunuh dan dicincang di sini" sahut Juwiring dengan kasar. Buntal mengerutkan keningnya. Sikap Juwiring me mang agak berbeda. Kelelahan, kejengkelan dan ke marahan yang tidak terkendali me mang dapat me mbuat seseorang menjadi kasar. "Tetapi kita tidak akan dapat meninggalkan mereka begitu saja" berkata Buntal. "Lalu, apa yang harus kita lakukan?" bertanya Juwiring dengan nada tinggi. "Kita a kan menguburkannya" jawab Buntal.
"Mengubur perampok-pera mpok yang telah mengkhianati perjuangan Pangeran Mangkubumi ini?" bertanya Juwiring pula. "Mereka me mang pengkhianat. Tetapi mereka telah mat i. Kita tidak pantas mendenda m kepada orang mat i. Karena itu, biarlah kita menguburkan mayat mereka. Kita dapat mencari disela-sela batu-batu pada tanah yang lebih lunak" berkata Buntal. "Tida k. Aku tidak akan menguburkan mereka. Terutama iblis ini. Ia mati karena racun yang luar biasa telah bekerja pada tubuhnya. Biarlah ke matiannya menjadi bencana bagi binatang-binatang buas dan burung pemakan bangkai" bentak Juwiring. Buntal merasa aneh. Na mun Juwiring ke mudian me mbentaknya sekali lagi "Jangan hiraukan mayat-mayat itu" "Tetapi bukankah kita berkewajiban kakang" suara Arum penuh keragu-raguan" "Tida k" Juwiring ha mpir berteriak "sudah aku katakan, tidak pantas orang-orang yang telah berkhianat itu mendapat kehormatan. Aku tidak mau. Bahkan seharusnya kita me mengga l kepala mereka dan me mbawanya kemba li kepada Ki Wandawa. Menunjukkan kepadanya dan minta agar kepala itu di tanjir di pintu gerbang padukuhan Gebang, sebagaimana dilakukan oleh kumpeni" Jawaban Juwiring itu benar-benar telah membingungkan Buntal dan Arum. Karena itu sejenak keduanya termangumangu. Arumlah yang ke mudian mendekati Juwiring sa mbil berkata "Betapapun jantung kita bergejolak, tetapi kita jangan kehilangan nalar yang bening. Ka kang, apakah salahnya jika kita berbuat sesuatu yang kita anggap baik. Mayat-mayat itu sudah tidak akan berarti apa-apa bagi kita. Mereka sudah mati. Aku berhasil me mbunuh lawanku dengan pisau-pisau
kecilku. Kakang Buntal menusuknya dengan pedang, dan kau yang mendapat lawan paling berat telah me mbunuh lawanmu dengan keris yang akan kita labuh. Bukankah se muanya sudah selesai. Kenapa kita masih harus mendenda m terhadap mayatmayat yang sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa itu?" Wajah Juwiring menjadi se ma kin tegang. Na mun ke mudian ia berkata "La kukan jika kalian akan melakukannya. Aku lelah sekali. Aku t idak peduli terhadap mayat-mayat itu" Buntal dan Arum menjadi se makin heran melihat keadaan Juwiring. Tetapi mereka menganggap bahwa Juwiring benarbenar telah mengalami pergolakan perasaan yang dahsyat, sehingga ia masih belum dapat berpikir bening. Karena itu, maka Arumpun berkata kepada Buntal "Se muanya dapat kita selesaikan nanti, setelah kakang Juwiring beristirahat dan hatinya menjadi tenang. Aku ingin mencari air untuk me mbersihkan diri dan mencuci senjataku" Buntal mengangguk kecil. Katanya "Aku akan me mungut pisau-pisau kecilmu. Yang mengenai lawan, maupun yang tidak. Kita akan mencucinya. Jika kau ingin me mbawa yang bersih, yang tidak ternoda darah meskipun telah dicuci, kau dapat me mbawa pisau-pisauku, dan aku akan me mbawa pisau-pisaumu" Arum mengangguk. Tetapi ia me mberikan isyarat kepada Buntal agar ia mengajak Juwiring bersa ma mereka, atau setidak-tidaknya minta ijin kepadanya. Buntal yang dengan ragu-ragu mendekati Juwiring yang duduk di atas sebuah batu itupun ke mudian berkata "Kakang. Kami akan mencari air untuk me mbersihkan diri. Apakah kau juga akan me mbersihkan diri?" "Tida k. Aku di sini. Aku perlu beristirahat" jawab Juwiring. Buntal dan Arum tidak dapat me ma ksanya. Mereka berduapun ke mudian me masuki lebatnya pepohonan untuk
mencari sebuah belik yang terdapat di bawa pohon-pohon raksasa di hutan itu. Namun sebelum mereka turun, Buntal telah me mungut beberapa pisau yang dapat diketemukannya dan mencabut pisau yang tertancap di tubuh lawan Arum. sementara Arum telah me mungut pedangnya yang terlepas dari tangannya. Ternyata mereka tida k terlalu sulit untuk mencari sebuah belik. di bawah sebatang pohon preh yang besar mereka mene mukan sebuah belik. Meskipun airnya jernih, tetapi belok kecil itu dikotori oleh daun-daun kering yang runtuh dari dahannya. Namun dala m pada itu, sambil mencuci senjata-senjata dan me mbersihkan dirinya, keduanya sempat berbincang tentang Juwiring dengan sifat-sifatnya yang aneh. "Hatinya benar-benar terguncang" berkata Buntal "ha mpir saja kakang Juwiring kehilangan kese mpatan" "Ia terluka" desis Arum. "Kakang Juwiring me mpunyai obat pe ma mpat darah. Nampa knya luka-lukanya tidak begitu berbahaya" jawab Buntal. Arum menarik nafas dala m-dala m. Se mentara Buntal berkata "Aku justru me nduga, bahwa kaulah yang akan di hentak oleh kejutan perasaan sehingga mungkin untuk beberapa saat lamanya, kau akan dicengka m oleh kegelisahan. Tetapi justru bukan kau, tetapi ka kang Juwiring" "Aku sudah me la mbati perasaanku dengan pasrah" jawab Arum "ternyata bahwa Yang Maha Pelindung telah me lindungi kita. Sementara kakang Juwiring benar-benar menghadapi keadaan yang paling gawat. Mungkin kakang Juwiring melihat juga, seperti yang kau lihat, pedangku telah terlepas dari tanganku"
"Ya Se mentara itu kakang Juwiring sendiri telah terdesak" sahut Buntal. "Keadaan itulah yang agaknya membuat kakang Juwiring seolah-olah berubah akal" guma m Arum "Tetapi mudahmudahan ia menjadi tenang ke mbali. Nalarnya menjadi jernih dan ia dapat menilai se muanya yang telah terjadi dengan hati yang bening" Buntal mengangguk-angguk. Se mentara tangannya masih sibuk dengan pisau-pisau kecil yang bernoda darah. Setelah beberapa saat mereka berada di belik itu, dan setelah mereka menganggap bahwa Juwiring menjadi tenang, merekapun telah menyimpan senjata masing-masing. Dengan hati yang berdebar-debar mereka ke mbali ke tempat Juwiring beristirahat. Namun hati mereka tergetar ketika mereka melihat Juwiring duduk di atas sebongkah batu padas. Nampaknya ia sudah mengobati luka-lukanya. Tetapi ia masih sibuk menimang keris yang akan di labuhnya di lambung Gunung Lawu itu. Ketika Juwiring me lihat kedua adik seperguruannya, tibatiba saja matanya menjadi menyala. Dengan kasar ia bertanya "He, apakah yang telah ka lian lakukan" Aku harus menunggu di sini sampa i tua" Kalian datang ke tempat ini untuk satu tugas yang penting, bukan untuk bercinta seperti itu" Wajah kedua adik seperguruannya menjadi merah. Tetapi Buntal menarik nafas dalam-dala m, seolah-olah ia ingin menelan ke mbali perasaannya yang tiba-tiba saja telah me lonjak. "Aku mencuci pedang kakang" jawab Buntal "selebihnya aku me mang menunggu kakang menjadi tenang"
"Cukup" bentak Juwiring "Aku tidak mau mendengar alasan-alasan yang kalian buat-buat. Waktu kita tidak terlalu banyak. Kita akan segera ke mba li ke Gebang" Kedua adik seperguruannya itupun terkejut pula. Bahkan dengan serta merta Arum bertanya "Tetapi bukankah kita masih akan melabuh keris itu kakang?" "Bodoh" gera m Juwiring "ternyata kita sudah berbuat bodoh" Buntal menjadi se makin tida k mengerti. Dengan heran ia bertanya "Kau me mbuat aku bingung kakang. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki setelah kau berhasil me mbunuh Ki Singaprana" Jika kau me merlukan waktu yang cukup untuk menenangkan hatimu, maka ka mi tidak akan berkeberatan" "Cukup. Tutup mulutmu Buntal" bentak Juwiring "dengar. Aku tidak me merlukan waktu untuk beristirahat. Aku ingin segera kembali ke Gebang. Aku ingin segera melaporkan segala peristiwa ini kepada Ki Wandawa bahwa tiga orang di antara pasukan Pangeran Mangkubumi telah berkhianat" "Tetapi bagaimana dengan pusaka itu?" bertanya Arum. "Aku akan me mbawa pusaka ini ke mba li" jawab Juwiring "adalah bodoh untuk me mbuang pusaka yang keramat seperti ini. Pusaka ini me miliki ke mungkinan yang tidak terbatas. Sebagaimana kau lihat, aku dapat me mbunuh Ki Singaprana yang me miliki kelebihan dari aku" "Tetapi kakang" sahut Buntal "bukankah ayahanda kakang Juwiring, Senapati Agung Surakarta yang bergelar Pangeran Ranakusuma telah me mberikan perintah kepadamu, untuk me labuh keris itu di Gunung Lawu ini" Buntal dan Arum terkejut melihat sikap Juwiring. Mereka menjadi sema kin tidak mengerti. Bahkan kulit mereka serasa mere mang ketika mereka mendengar Juwiring tertawa
berkepanjangan. Katanya "Jangan cengeng seperti itu. Pangeran Ranakusuma adalah ayahku. Ialah yang me mberikan perintah itu. Tetapi ayahanda sudah gugur. Karena itu, maka perintahnya sudah tidak me ngikat lagi" "Kakang" potong Arum "Apakah kau menyadari apa yang kau katakan?" "Tentu. Aku menyadari sepenuhnya apa yang aku katakan" jawab Juwiring "A ku tidak sedang gila sekarang ini. Aku sadar sepenuhnya apa yang terjadi. Aku tahu, kalian adalah adik seperguruanku. Aku tahu bahwa kita bertiga datang ke tempat ini untuk me menuhi perintah ayahanda agar pusaka yang telah dipergunakan oleh Tumenggung Sindura itu di labuh. Aku sadar sepenuhnya" "Jika de mikian, kenapa kakang Juwiring a kan me mbatalkan niat kakang untuk melabuh pusaka itu?" bertanya Arum. "Baru sekarang aku menyadari, betapa tinggi nila i keris itu. Akupun baru saja menyadari, bahwa saat ayahanda akan gugur, maka nalarnya sudah tidak be kerja lagi dengan baik, sehingga perasaannya sajalah yang bergejolak. Karena itulah maka ayahanda telah menjatuhkan perintah agar keris itu dilabuh saja. Tetapi jika saat itu, perasaan ayahanda dapat diimbangi dengan nalar, ayahanda tentu tidak akan me merintahkan demikian. Keris ini akan sangat berarti bagiku, apalagi dalam perjuangan sekarang ini. Aku akan dapat me masuki barak kumpeni di loji, dan aku akan dapat me mbunuh kumpeni sebanyak-banyaknya. Apakah hal itu tidak kau sadari" Jantung kedua anak muda, adik seperguruan Juwiring itu berdebar-debar. Ketika mereka menatap wajah Juwiring, terasa kulit mere ka mere mang. Wajahya Juwiring seolah-olah telah berubah sama se kali. Ia bukan lagi Juwiring putera Pangeran Ranakusuma. Bukan pula anak angkat dan sekaligus murid Kiai Danatirta. Tetapi yang berada di hadapan kedua anak-anak muda itu adalah seorang anak muda yang
berwajah liar dan me mbayangkan watak yang gelap dala m bayangan nafsu untuk me mbunuh. Dala m kebingungan ma ka Buntalpun ke mudian berkata "Kakang Juwiring. Aku mohon kakang dapat menenangkan hati. Cobalah mengingat segala pesan dan perintah ayahanda kakang Juwiring. Keris itu harus dilabuh di atas Gunung Lawu. Kita sekarang sudah berada di la mbung Gunung Lawu" "Tida k. Sekali lagi aku katakan tidak. Aku akan ke mbali sambil me mbawa keris ini. Aku memerlukannya. Aku adalah putera-seorang Pangeran yang sudah barang tentu pada suatu saat aku akan memangku jabatan penting di Surakarta, apabila Pangeran Mangkubumi sudah berhasil me ngusir kumpeni. Kangjeng Susuhunanpun a kan terusir pula karena ia berpihak kepada kumpeni. Jika Pangeran Mangkubumi menang, aku akan me njadi seorang Tumenggung. Na maku akan dikenal oleh seluruh rakyat Surakarta. Bahkan mungkin namaku akan lebih besar dari Tumenggung Sindura sendiri" "Kakang" potong Arum "ka kang sudah melupakan tugas kakang. Kakang telah kehilangan kepribadian kakang" "Omong kosong" geram Juwiring. "Kakang" berkata Buntal "lepaskan keris itu barang sekejap. Keris yang kotor oleh darah itu agaknya telah me mpengaruhi kepribadianmu" "Gila" Juwiring justru menjadi marah "Kau kira aku sudah kehilangan kepribadian" Kau kira a ku adalah seorang yang berjiwa le mah yang dengan mudah dapat dipengaruhi oleh keadaan di luar diriku sendiri" Kau kira karena aku me megang keris ini, ma ka kepribadianku telah berubah dan a ku telah lupa segala-galanya yang baik menurut pertimbangan kepribadianku yang sebenarnya" Tidak anak-ana k. Sama sekali t idak. Tetapi perke mbangan nalar itu dapat terjadi. Bukan kehilangan kepribadian. Jika sekarang aku menganggap bahwa keris ini adalah keris yang sangat berarti bagi
kedudukanku ke lak, bukan berarti bahwa aku sudah kehilangan kepribadianku. Tetapi ini ada lah perke mbangan sikap jiwani. Perke mbangan yang demikian itulah yang akan dapat me mbawa seseorang kepada cita-citanya. Sebagaimana Pangeran Mangkubumi pernah berusaha untuk mengekang pemberontakan Raden Mas Said, na mun karena perkembangan sikap jiwaninya, maka Pangeran Mangkubumi sendiri telah mengangkat senjata" "Bukan satu perbandingan" bantah Buntal "Tetapi yang kakang lakukan sekarang adalah benar-benar satu perubahan kepribadian. Kakang yang le mbut dan berhati bersih, seperti seharusnya seorang kesatria yang penuh dengan pengabdian, tiba-tiba kakang telah berubah menjadi seorang yang tamak dan penuh dengan nafsu angkara. Kakang sebelumnya tidak pernah berbicara tentang kedudukan dan pangkat, tiba-tiba kakang sudah mengigau tentang kedudukan. Bahkan lebih baik dari kedudukan Tumenggung Sindura. Cobalah, jika masih ada sisa kesadaranmu. Lepaskan keris itu barang sejenak" Wajah Juwiring menjadi kian me mbara. Dengan nada kasar ia berkata "Apakah kau menjadi iri Buntal" J ika keris ini aku lepaskan, maka kau tentu akan menerkamnya dan me milikinya" "Tida k kakang. Sa ma sekali tidak. Aku tidak me merlukan keris itu, karena menurut Pangeran Ranakusuma, keris itu harus di labuh. Karena itu keris itu harus ditinggalkan di Gunung Lawu ini" Raden Juwiring menjadi se makin marah. Katanya "Aku adalah saudara tertua di antara kalian. Seharusnya kalian menurut segala petunjukku. Na mun na mpaknya kalian justru akan mengajari a ku. Karena itu, aku tidak peduli lagi akan Kalian. Aku akan kembali ke Gebang. Meneruskan perjuangan. Me menangkan perang me lawan Surakarta, dan aku akan
menjadi seorang Senapati pilihan seperti ayahanda Pangeran Ranakusuma " Raden Juwiring tidak menghiraukan kedua adik seperguruannya lagi. Iapun segera membenahi diri. Sambil menjinjing keris yang seharusnya di labuh itu, maka ia meninggalkan te mpatnya. "Kakang" panggil Buntal "Jangan kehilangan akal" "Tutup mulut mu" bentaknya. Namun Arum berlari-lari me motong jalan Juwiring sa mbil berkata "Jangan kakang. Jangan" Langkah Juwiring tertegun. Sekali lagi ia berteriak "Minggir. Arum, kau jangan menjadi gila seperti itu. Aku adalah saudara seperguruanmu da la m urutan yang lebah tua. Karena itu, jangan menggurui aku" "Jangan pergi kakang. Jangan kau lakukan pelanggaran itu "Arum ha mpir menangis. Tetapi Juwiring bergeser arah. Dengan tergesa-gesa ia me langkah me ningga lkan la mbung Gunung itu. Namun Buntallah yang mencegatnya. Dengan suara yang hampir parau iapun berusaha mencegah Juwiring yang dianggapnya sudah kehilangan kepribadian. Akhirnya Juwiring telah benar-benar kehilangan kesabaran. Dengan suara bergetar ia berkata "Buntal dan Arum. Kalian adalah adik-adik seperguruanku. Kalian telah aku anggap sebagai adikku sendiri, sehingga selama ini. kita selalu berbagi duka dan berbagi suka. Tetapi kali ini kalian menjadi berubah. Kalian telah dipengaruhi oleh perasaan iri dan dengki. Apakah salahnya jika aku kela k mene mukan ka mukten" Apakah ka lian menganggap bahwa aku tidak akan ingat lagi kepada kalian"
"Tida k. Tidak sa ma seka li" Arum benar-benar menangis "Aku tidak menginginkan apapun juga kakang. Tetapi aku mohn ka kang menyadari apa yang kakang lakukan kali ini" "Arum, apakah kau ingin bahwa Buntallah yang harus mewarisi keris ini agar ialah yang kelak dapat menjadi seorang Tumenggung" Dengan de mikian, jika kau menjadi isterinya, maka kau adalah isteri seorang Tume nggung?" "Tida k, tidak" Arum tida k dapat menahan diri lagi. Tangisnya me ledak-ledak, betapapun ia berusaha menahannya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tetapi Juwiring sa ma se kali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan katanya "Aku sudah tidak sabar lagi. Kalian me mang iblis yang tidak tahu diri. Jangan berpura-pura lagi bersikap seperti saudara yang baik hati. Aku tahu apa yang terkandung di dala m hatimu" Juwiring tida k menghiraukan lagi kedua saudara seperguruannya itu. Namun Buntal benar-benar tidak ingin me lepaskannya. Setiap kali ia selalu me motong langkah Juwiring yang na mpak tergesa-gesa. Akhirnya Juwiring itupun berteriak "Buntal. Kau adalah saudara yang bagiku bagaikan saudara kandung sendiri. Tetapi kau sebenarnya bukan apa-apa. Kau adalah anak yang hilang yang di ketemukan dan dipe lihara di padepokan Jati Aking. Karena itu, jika kau berkeras untuk merebut ini, maka akhirnya aku akan sa mpai kepada satu keputusan, bahwa kaupun harus disingkirkan" "Kakang" wajah Buntal menjadi tegang, sementara Arumpun yang sedang menangis bagaikan dihentakkan oleh kata-kata itu, sehingga justru tangisnya terhenti dengan tibatiba. "Kakang" suara Arum tiba-tiba melengking "Jadi kau sudah benar-benar kehilangan diri?"
"Persetan dengan kau. Aku tida k peduli" "Arum" sahut Buntal "adalah menjadi kewajiban kita untuk mencegahnya, justru karena kita adalah saudara seperguruannya" "Cukup" teriak Juwiring "Kalian akan menjadi ha mbatan bagiku. Sekarang atau ke lak. Kalianpun tentu akan me mbocorkan rahasia ini sehingga keris ini akan menjadi rebutan. Karena itu. kalian berdua me mang harus disingkirkan. Sebenarnyalah kalian sama sekali tidak ada hubungan keluarga apapun dengan aku" Tiba-tiba saja Juwiring telah mengangkat keris itu. Sambil menggerakkan keris yang bercahaya kemerah-merahan itu ia berkata "Kalian harus mat i" Buntal melangkah surut. Ia memandang keris itu dengan jantung yang berdebaran. Kemudian dipandanginya wajah Juwiring yang telah berubah sama sekali. Betapa bengisnya wajah itu, "Bersedialah untuk mati" geram Juwiring. Tetapi Buntal tidak mau mati. Karena itu ketika Juwiring mende katinya dengan keris terjulur di tangannya. iapun telah mencabut pedangnya sa mbal berkata "Maaf kakang. Aku terpaksa melindungi diriku sendiri" Juwiring tida k menyahut. Iapun dengan serta merta me loncat menyerang. Namun Buntal masih se mpat menge lak. Iapun menyadari, bahwa segores luka, akan berarti ma ut baginya. Namun nampa knya Arumpun telah kehilangan akal. Tibatiba iapun telah mencabut pedangnya pula. Dengan loncatan panjang ia mende kat sambil berkata "Aku berdiri di pihak kakang Buntal" "Bagus" teriak Juwiring "Kalian berdua akan mati"
Buntal menjadi sangat gelisah. Dengan pedang di tangan ia berdiri beberapa langkah dari Arum. Keduanya telas bersiap untuk me mpertahankan hidup masing-masing, sementara Juwiring me mandang mereka dengan mata yang kemerahmerahan seperti cahaya yang me mancar dari keris di tangannya. Keris yang sakti tiada taranya, namun yang selalu menuntut ke matian de mi ke matian, -oo0dw0ooJilid 26 YANG berhadapan dengan senjata di tangan masingmasing itu adalah anak-anak muda. Darah mereka masih panas dan jiwa mereka masih mudah terbakar. Namun de mikian Buntal masih tetap menyadari, bahwa sebenarnyalah yang terjadi atas Raden Juwiring itu karena pengaruh keris yang di tangannya. Karena itu, ia masih juga me mbuat pertimbangan-pertimbangan tertentu. Meskipun demikian iapun sadar sepenuhnya, bahwa Juwiring yang sudah berada di bawah pengaruh keris itu benar-benar akan dapat me mbunuhnya. "Kenapa ka kang Juwiring telah kehilangan kepribadiannya?" pertanyaan itu selalu mengganggunya. Namun menurut penilaian Buntal, sebenarnya Juwiring adalah seseorang yang me miliki kepribadian yang kuat. Tetapi karena ia telah terdorong untuk me mpergunakan keris itu pada saat ia me lawan Ki Singaprana dan me mbasahi keris itu dengan darah meskipun hanya setitik, maka seakan-akan
pengaruh keris itu telah dengan kuatnya menyusup ke dalam dirinya. "Keris itu harus terlepas dari tangannya" berkata Buntal di dalam hatinya. Namun untuk berbuat de mikian, bukannya satu pekerjaan yang mudah, apalagi Buntal selalu dibayangi oleh satu ke mungkinan, bahwa ia sendirilah yang justru akan dije mput oleh maut. Dala m pada itu, Juwiring yang telah dibayangi oleh pengaruh keris itu sama sekali tidak dapat lagi berpikir bening. Dengan segenap ke ma mpuan yang ada padanya, ia benarbenar ingin me mbunuh kedua orang saudara seperguruannya. Karena itu, maka dengan segenap ilmunya ia telah bertempur me lawan Buntal dan Arum. Juwiring adalah murid Jati Aking yang dilengkapi dengan ilmu ayahandanya Pangeran Ranakusuma. Karena itu, maka ia adalah anak muda yang nggegirisi. Apalagi ditangannya telah tergenggam keris yang dahsyat, yang sakti dan bahkan ma mpu me mpengaruhi orang yang sedang menggengga mnya. Tetapi saat itu Juwiring harus melawan dua orang anak muda yang me miliki bekal yang cukup pula. Buntal adalah juga murid Jati Aking. Sementara itu iapun telah menyadap ilmu dari Kiai Sarpasrana yang dapat melengkapi ilmunya. Sedangkan Arum adalah murid dan seka ligus anak Kiai Danatirta, meskipun sebenarnya ia adalah cucunya. Sepeninggal kedua saudara seperguruannya, maka Arumlah yang mendapat tempaan ilmu sa mpa i tuntas. Meskipun ia seorang gadis, namun pada atas kodrat ala minya, Arum ma mpu menunjukkan kepada setiap orang, bahwa ia adalah pewaris yang paling lengkap dari perguruan Jati Aking. Karena itu, maka meskipun di tangan Juwiring tergengga m keris yang dahsyat, namun melawan dua orang anak muda yang pilih tanding, ma ka iapun harus berjuang dengan se kuat tenaganya.
Sebenarnyalah Arum tidak dapat menahan ke marahannya. Seperti Juwiring, Arumpun seolah-olah telah kehilangan pengekangan diri. Pedangnya berputaran dengan cepatnya bagaikan baling-baling, sehingga yang nampak ke mudian seolah-olah hanyalah gumpalan awan put ih yang menyelubungi dirinya. Dari ketiga orang anak-anak muda yang bertempur me mpertaruhkan nyawa mereka itu, Buntallah yang masih ma mpu berpikir. Meskipun kadang-kadang Jantungnya bagaikan meledak melihat sikap Juwiring, tetapi setiap kali ia me mandang keris di tangan Juwiring itu, ia masih tetap sadar, bahwa yang dihadapinya bukannya pribadi Juwiring sepenuhnya. Karena itu, maka Buntal masih se lalu na mpak ragu-ragu. Namun de mikian ia ma mpu melindungi dirinya dengan permainan pedang yang rapat. Meskipun demikian, Buntal menjadi lebih sering menghindar dan berloncatan surut. Tetapi Juwiring tidak pernah sempat me mburunya, karena Arumlah yang ke mudian me libatnya dengan garangnya. Gadis itu ternyata mampu bergerak secepat burung walet di wajah batu-batu karang di tepi samodra. Untuk beberapa la manya ketiga anak muda itu masih terlibat dalam pertempuran yang sengit. Arum yang melihat keragu-raguan Buntalpun berteriak "Ka kang, kenapa kau menjadi ragu-ragu. Kita tidak bersalah. Kita me mpertahankan hidup kita yang teranca m oleh kegilaan yang berbahaya" "Persetan" Juwiringlah yang menyahut "sebentar lagi kalian akan mati" Namun Buntal masih juga menyahut "Kita sedang dicengka m oleh pengaruh yang paling gila dari keris itu. Jika kakang Juwiring sempat menyadari barang sekejap, dan me lepaskan keris itu, ma ka keadaan ini akan segera berubah"
Seruling Perak Sepasang Walet 9 Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu Sumpah Sepasang Harimau 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama