Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Batu Karang 38

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 38


Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Tetapi air di matanya menga lir se makin deras. Bahkan tiba-tiba saja Raden Ayu itu telah berjongkok me meluk kaki Pangeran Mangkubumi. "Sst, jangan lakukan" cegah Pangeran Mangkubumi "jika seorang pelayan atau pengawal istana ini melihat bahwa kau berjongkok dihadapan seorang petani, maka jelaslah sudah, bahwa Mangkubumi pernah datang ketempat ini." Raden Ayu Galihwaritpun ke mudian bangkit sambil toengusap matanya. Betapapun juga ia masih berusaha tersenyum. Katanya "Selamat berjuang Pangeran." Pangeran Mangkubumi termangu-mangu sejenak. Na mun ke mudian iapun berkata "Sela mat tingga l Raden Ayu. Kita me mang harus saling berdoa." Demikianlah ma ka Pangeran Mangkubumi itupun me letakkan burung menco dengan sangkarnya. Ke mudian iapun mengangguk kecil sa mbil berkata "Aku minta diri." Raden Ayu Galihwarit masih akan menjawab. Tetapi terasa tenggorokannya tersumbat. Yang terdengar kata-katanya patah "Aku titipkan anak-ana kku." Pangeran Mangkubumi tidak se mpat menjawab karena Raden Ayu itupun menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tiba-tiba saja tangisnya tidak tertahankan lagi. Sambil menarik nafas dala m-dala m Pangeran Mangkubumipun meninggalnya. Ketika ia keluar dari regol, diamatinya keadaan disekitarnya. Ternyata tidak ada seorangpun. Agaknya orang-orang di Surakarta khususnya yang tinggal didala m kota sedang menyaksikan upacara pe maka man dengan tatanan keprajuritan itu. Pangeran Mangkubumi ke mudian dengan cepat meninggalkan regol itu. Ia menyesal bahwa Raden Ayu Galihwarit tidak mau meninggalkan istana Sindurata, karena keterangan yang diterimanya dan menurut perhitungannya,
maka Raden Ayu Galihwarit tentu akan menjadi sasaran pengamatan para petugas sandi kompeni dan prajurit Surakarta. Namun ia tida k akan dapat me maksanya. Dala m pada itu, Raden Ayu Galihwaritpun ke mudian me mbawa sangkar dan isinya itu ke serambi. Ketika ia berhasil mengatasi isa k tangisnya, maka iapun menggantungkan kurungan itu diserambi. Dia matinya burung menco yang masih muda itu didala m sangkarnya. Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dala m-dala m. Didala m kurungan itu terdapat tempat makanan yang terisi. Pisang yang tersangkut pada dinding kurungan. Air yang jernih. Namun agaknya burung itupun nampak murung dibatasi oleh ruji-ruji kurungannya. '"Se mentara itu rakyat Surakarta sekarang telah siap me masuki sebuah sangkar emas yang berna ma Surakarta itu" berkata Raden Ayu Galihwarit ke mudian. Hampir diluar sadarnya Raden Ayu itu masuk kedala m biliknya. Pada saat-saat permulaan ia bergaul dengan kumpeni, maka barang-barang yang dianggapnya aneh telah me mikat hatinya. Ke mudian kekayaan yang melimpah seolaholah telah merupa kan tujuan hidupnya untuk mene mukan kebahagiaan. Tetapi ternyata ia keliru. Ke kayaan, harta benda, barangbarang yang menarik itu, bukannya me mbuat hidupnya berbahagia. Bahkan ia telah kehilangan segala-galanya. Dan sekarang, ia seolah-olah hidup sendiri. Meskipun ia masih me mpunyai seorang anak gadis, tetapi sebenarnyalah ia tidak pantas lagi menyebut dirinya sebagai ibu anak gadisnya yang menghargai kesucian keluarga. Sementara ia telah menoda inya dengan tingkah la ku yang tida k dapat dimaafkan lagi. Meskipun ia telah melakukan apa saja bagi perjuangan rakyai Surakarta. Tetapi nodanya dala m keluarga justru menjadi se makin berta mbah-ta mbah.
Tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit itu me mbayangkan sebuah jalan lurus untuk meninggalkan ke murungan itu. Untuk me lupakan segala dosa-dosa yang pernah dilakukan. Dosadosa dalam penebusan dosanya yang la ma. Bertimbun dan bertimbun "Maut adalah jalan yang menarik" berkata Raden Ayu Galihwarit itu didala m hatinya. Namun de mikian, air matanya ke mbali me mbasahi pipinya. Pipi seorang pere mpuan cantik. Tetapi ketika tangannya mengusap pipinya itu, terasa pipinya tidak sepadat dahulu. Terasa bahwa pipinya itu menjadi semakin kendor oleh umurnya yang mera mbat terus. "Anak laki-la kiku Rudira. kakangmas Ranakusuma dan ke mudian Bilma npun telah melewati jalan itu" berkata Raden Ayu Galihwarit itu didala m hatinya. Raden Ayu Galihwarit itupun kemudian menjatuhkan dirinya dipe mbaringannya. Ia tidak me mikirkan lagi ra kyat Surakarta yang berjejal melihat iring-iringan yang lewat. Raden Ayu itupun tidak mengetahui, kapan ayahanda ke mbali. Tetapi ketika ia bangkit dan keluar keserambi, ia me lihat ayahandanya sedang menga mati burung menconya "Burung dari mana ?" bertanya ayahandanya. "O" desis Raden Ayu Galihwarit "kapan ayahanda pulang " Aku sa ma sekali tida k mendengar derap kereta ayahanda." "Belum la ma. Nampaknya kau sedang merenung" jawab Pangeran Sindurata "he, dari mana kau dapat burung ini ?" Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak ingkar. Karena itu jawabnya "Pangeran Mangkubumi." "Pangeran Mangkubumi ?" Pangeran Sindurata mengulang "kau tidak mimpi bahwa Pangeran Mangkubumi datang sambil me mbawa seekor burung menco muda yang bagus se kali ?"
"Aku berkata sebenarnya ayahanda" jawab Raden Ayu Galihwarit "Pangeran Mangkubumi dala m paka ian seorang petani." "Bukan main" desis Pangeran Sindurata dikatakannya kepada mu ?" "apa yang
"Pangeran Mangkubumi mengucapkan terima kasih atas bantuanku sela ma ini" jawab Raden Ayu Galihwarit "yang terakhir Pangeran Mangkubumi me mperingatkan agar aku meninggalkan kota." Pangeran Sindurata mengerutkan keningnya Na mun ke mudian katanya "Pendapat Pangeran Mangkubumi benar." Raden Ayu Galihwarit terkejut. Sementara itu ayahanda berkata selanjutnya "aku sudah merasakan kecurigaan yang semakin meningkat. Dan akupun t idak dapat berpura-pura untuk tidak mengetahui untuk seterusnya. Kedatangan Juwiring dan saudara angkatnya itu tentu sudah menjadi perhatian. Kematian kedua orang perwira itu tentu mendapat pertimbanean dari segala sudut. Karena itu, maka aku sependapat bahwa kau sebaiknya meninggalkan kota. Biarlah aku yang tua ini a kan me mpertanggung jawabkan segala sesuatunya jika kumpeni menuntut pertanggungan jawab itu." "Ayahanda" potong Raden Ayu Galihwarit. "Aku berkata sebenarnya Sontrang." berkata ayahandanya. Raden Ayu Galihwarit menjadi tegang. Dipandanginya dengan tajamnya seolah-olah ingin mengetahui isi jantungnya yang sebenarnya. Dala m pada itu ayahandanya berkata pula "Galihwarit. Sampa i saat ini kita be lum me lihat pengkhianatan diantara kita di rumah ini. Tetapi sebenarnyalah aku tidak yakin, bahwa kelicikan kumpeni tidak akan dapat me mbuka mulut salah seorang dari pelayan kita. Mereka me mpunyai seribu cara. Dari cara yang paling kasar, sampai dengan cara yang paling
le mbut. Mereka dapat menganca m, menakut-na kuti, tetapi juga dapat mereka pergunakan uang." Raden Ayu menarik nafas dalam-dala m. Air matanya yang sudah mula i kering itupun na mpak me mbasahi pipinya lagi. Namun dala m pada itu ia berkata "Ayahanda. Semuanya sudah aku lakukan dengan sadar. Jika saat itu datang, biarlah aku menghadapinya. Aku tidak akan meninggalkan ayahanda sendiri dirumah ini untuk me mpertanggung jawabkan sesuatu yang tidak ayahanda ketahui, atau yang sebenarnya tidak ayahanda lakukan sejak se mula." "Aku sudah tua" berkata Pangeran Sindurata "aku sudah kenyang makan pahit getirnya kehidupan. Juga sudah kenyang asin manisnya. Karena itu, maka tidak ada lagi yang dapat menahanku untuk menghadapi pertanggungan jawab yang bagaimanapun beratnya." "Tida k. Tidak." sahut Ga lihwarit "dengan de mikian aku akan mena mbah dosaku lagi." Pangeran Sindurata me mandang anaknya dengan wajah sayu. Namun ke mudian ia berkata "Jika hatimu sudah bulat aku tidak akan dapat me ma ksa mu." "Aku akan pasrah diri terhadap keadaan, apapun yang akan aku alami." berkata Raden Ayu Galihwarit "sementara itu aku hanya dapat berdoa. Dan kcupun telah me nyerahkan semua anak-anakku kepada Pangeran Mangkubumi." "Warih dan Juwiring ?" bertanya Pangeran Sindurata, "Ya, Juga Buntal dan Arum. Karena mereka adalah saudara Juwiring maka keduanya juga anak-anakku." jawab Raden Ayu Galihwarit, Pangeran Sindurata menarik nafas dala m-dala m. Ke mudian iapun berkata "Aku sudah mengerti tentang Warih. Baiklah. Kita hanya dapat berdoa."
Ketika ayahandanya melangkah meninggalkan serambi, Raden Ayu itu berkata "Burung itu ayahanda. Pangeran Mangkubumi me mang me mbawanya untuk ayahanda." "O" Pangeran Sindurata tertegun. Kemudian dia mbilnya kurungan itu sa mbil berkata "Terima kasih. Burung ini bagus sekali." Sambil me mbawa kurungan berisi seekor burung menco yang masih-muda Pangeran Sindurata meningga lkan sera mbi bilik anak pere mpuannya. Kepaknya terasa mulai pening. Tetapi ia sendiri tidak tahu, kenapa ia tidak ingin marah sama sekali seperti biasanya. Justru ia merasa iba dan kasihan me lihat anak pere mpuannya yang telah menjalani masa hidupnya yang kela m. Bahkan perjuangan yang ditempuhnyapun dilaluinya lewat genangan lumpur yang paling kotor. Hari itu, seisi istana itu telah dicengka m oleh kegelisahan. Raden Ayu Galihwarit dan Pangeran Sindurata tidak dapat mengesa mpingkan satu kemungkinan bahwa kumpeni akan datang ke istana itu dan menangkap se mua isinya. Sementara para pelayaopun menjadi gelisah melihat sikap Raden Ayu Galihwarit dan Pangeran Sindurata. Mereka tidak tahu apa yang sedang mencengka m perasaan kedua orang tuanya itu. Namun ternyata bahwa pada hari itu, tidak seorang kumpeni yang datang. Juga tidak ada seorang perwirapun yang mendatangi Raden Ayu Galihwarit sebagaimana biasanya. Tetapi ketika mala m turun, ternyata Raden Ayu Galihwarit telah benar-benar dapat menenangkan hatinya dala m pasrah. Ia benar-benar menjadi mapan menghadapi segala ke mungkinan. Justru karena telah diketahuinya dengan pasti, bahwa anak gadisnya selamat sampai ke Gebang, serta bahwa dengan demikian pasukan Pangeran Mangkubumi tidak menga la mi kehancuran mutlak. Maka persoalan selanjutnya adalah yang menyangkut dirinya sendiri.
"Seandainya besok kumpeni itu benar-benar datang, maka biarlah segalanya itu terjadi" berkata Raden Ayu Galihwarit. Namun dala m pasrah itulah, akhirnya Raden Ayu Galihwarit yang kelelahan itupun tertidur juga. Ketika matahari terbit di Timur, Raden Ayu Galihwarit itu telah bangun. Disuruhnya pelayannya menyediakan beberapa ikat merang. "Aku akan mandi kera mas" berkata Radon Ayu Galihwarit. Tidak seperti biasanya, Raden Ayu ku, membakar merang itu sendiri. Ke mudian mengumpulka m abunya dan merenda mnya dida la m air. Menjelang matahari sepenggalah, maka Raden Ayu itupun telah berada di pa kiwan untuk mengera masi ra mbutnya yang panjang ikal. Sambil mencuci rambutnya dan me mbersihkan tubuhnya, Raden Ayu itu seolah-olah telah mene mpatkan diri kedala m jalur jalan menuju kepada Yang Maha Agung. Sambil mencuci ra mbutnya ia se mpat mengingat segala maca m dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian dengan sedala m-dala mnya ia mengakui dosa itu didala m hatinya dan berjanji untuk tidak me lakukannya lagi. Demikianlah, setelah selesai mandi dan keramas, maka Raden Ayu itupun duduk disera mbi sa mbil mengurai rambutnya yang ikal panjang. Dipandanginya dedaunan yang bergerak-gerak disentuh angin yang lembut. Tetapi sebenarnyalah Raden Ayu Galihwarit tidak melihat gerak dedaunan itu. Yang dilihatnya adalah perjalanan hidupnya dimasa yang la mpau. Ketika rambutnya sudah kering, maka mula ilah Raden Ayu itu me mbenahi dirinya. Adalah menarik perhatian para pelayannya, bahwa Raden Ayu Galihwarit itu telah merias dirinya sebaik-ba iknya, seolah-olah ia hendak pergi ke sebuah bujana yang besar. Dipergunakannya reramuan yang paling baik yang aida padanya. Namun ke mudian Raden Ayu itu
justru me mperguna kan pakaiannya yang paling sederhana. Dikumpulkannya semua perhiasannya didala m sebuah kotak dan diletakkannya didepao cermin. Raden Ayu itu berpaling ketika ia mendengar ayahandanya datang kepadanya sambil bertanya "Apakah kau akan pergi ?" Raden Ayu tersenyum sambil menggeleng. Katanya "Tidak ayahanda. Aku tidak akan pergi kemanapun juga. Aku akan tetap berada dirumah mene mani ayahanda," Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-da la m. Sementara itu Raden Ayu itupun berkata "Aku telah menyimpan perhiasanku di kotak ini ayahanda. Jika pada suatu saat aku dapat bertemu dengan Warih dan Arum, aku akan menyerahkannya semuanya kepada keduanya. Tetapi jika aku tidak sempat bertemu lagi dengan keduanya, biarlah ayahanda saja kelak yang me mberikan kepadanya." "Jangan berkata begitu Galihwarit" berkata ayahandanya "kedua anak itu pada suatu saat tentu akan datang lagi kepadamu." Galihwarit tersenyum. Tetapi ia tida k menjawab lagi. Ketika Pangeran Sindurata itu kemudian meningga lkan anak perempuannya, terasa hatinya terguncang. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa ia sudah meloncati jarak yang membatasinya dengan anak perempuannya yang seorang itu. Anak yang semula telah dianggapnya hilang karena tingkah lakunya yang menoda i ke luarganya. Namun kini anak itu telah hadir lagi diliatinya. Justru mela mpaui anaknya yang la in. Pangeran Sindurata itupun ke mudian pergi kesera mbi disebelah yang lain. Diturunkannya burung-burungnya dari gantungannya. Sebagaimana biasanya ia sendirilah yang me mberi makan dan minum burung-burung yang dipeliharanya.
Namun dala m pada itu, selagi Pangeran Sindurata itu sibuk dengan burung-burungnya, tiba-tiba telah terdengar derap sebuah kereta dan beberapa ekor kuda memasuki hala man. Karena itu, maka dengan serta merta, maka Pangeran Sindurata itu telah bergegas kehala man depan. Pangeran itu terkejut ketika ia me lihat sepasukan kecil kumpeni dan beberapa orang perwira prajurit Surakarta lengkap bersenjata telah berada di hala man itu Ketika mereka melihat Pangeran Sindurata, maka perwira kumpeni di pasukan kecil itu telah me loncat turun dari kudanya, diikut i oleh para prajurit yang lain. Sa mbil me mbungkuk hormat, perwira itupun ke mudian mendekatinya sambil berkata "Ka mi mohon maaf Pangeran, mungkin ka mi telah mengejutkan Pangeran" "Apakah keperluan kalian" bertanya Pangeran Sindurata kepada perwira kumpeni itu. Perwira kumpeni itu termangu-mangu sejenak. Namun ke mudian katanya "Kami me mbawa perintah untuk me manggil Raden Ayu Galihwarit menghadap" Wajah Pangeran Sindurata menjadi tegang. lantang ia bertanya "Siapa yang me merintahmu ?" "Kapten Kenop"jawab perwira itu. Wajah Pangeran Sindurata menjadi merah pada m. Dengan geram ia berkata "Katakan kepada kapten Kenop. Ia tidak berhak me manggil ana kku. Ia adalah putera puteri seorang Pangeran dari Surakarta, sedangkan kapten Kenop adalah orang asing disini." Jawaban itu sama seka li t idak terduga. Justru karena itu, maka perwira kumpeni itu tertegun untuk beberapa saat. Namun ke mudian wajahnya menjadi tegang. Dengan gagap oleh gejolak perasaannya ia berkata "Pangeran. Aku me mbawa perintah. Aku akan melaksanakan perintah itu." Dengan
"Aku tidak mengakui ke kuasaan kapten Kenop disini" bentak Pangeran Sindurata, "Sepeninggal Mayor Bilman ia adalah pejabat pimpinan pasukan khusus di Surakarta." perwira itupun membentak pula. "Aku tidak peduli apa jabatannya dalam urutan kekuasaan kumpeni. Tetapi itu adalah kepangkatan kumpeni. Bukan termasuk pimpinan pe merintahan di Surakarta." jawab Pangeran Sindurata "karena itu, cepat pergi dari rumahku. Atau aku akan me laporkannya kepada Kangjeng Susuhunan." "Kangjeng Susuhunan mengesahkan ke kuasaan kumpeni di Surakarta" jawab perwira itu. "Atas masalah-masalah tertentu dan diantara kumpeni sendiri. Tetapi kau tida k berhak me manggil, menangkap dan apalagi menghukum rakyat Surakarta. Karena itu pergilah dari halaman rumahku" Pangeran Sindurata berteriak semakin keras. Perwira kumpeni itupun menjadi marah. Katanya "Pangeran pernah me mbunuh dua orang perwira kumpeni disini. Saat itu Pangeran masih se mpat mengelabui ka mi. Tetapi sekarang tidak lagi. Ka mi akan menangkap Raden Ayu Galihwarit sekaligus Pangeran sendiri." "Aku menolak. Jika kau berkeras, aku tantang kau sebagaimana seorang laki-laki. Jika kau pengecut, manilah bersama-sama. Aku lebih baik mati di hala man rumahku ini dari pada tunduk kepada perintah orang yang tidak berhak." Pangeran Sindurata itupun ke mudian bertolak pinggang dengan sorot mata yang menyala. Perwira kumpeni itupun benar-benar marah. Na mun sebelum ia bertindak lebih lanjut, seorang Senapati prajurit Surakarta yang menyertainya berkata "Pangeran benar. Ia me mang dapat menolak perintah yang dikeluarkan oleh kapten Kenop."
"Omong kosong." bentak perwira itu. "Perintah itu harus datang dari Kangjeng Susuhunan atau orang yang mendapat limpahan kuasanya dalam keadaan perang ini" jawab Senapati itu "karena itu, maka kita harus me menuhinya. Membawa perintah dari Kangjeng Susuhunan atau orang yang mendapat limpahan kuasanya itu." "Aku tidak peduli. Aku me mpunyai kekuasaan dan kekuatan untuk me ma ksanya sekarang" teriak perwira kumpeni itu. "Paksalah jika kau berani me ma ksa" jawab Pangeran Sindurata yang meskipun sudah tua, tetapi suaranya masih cukup lantang "aku akan menolak. Jika kau akan me mbunuh aku, bunuhlah. Kau akan digantung oleh kuasa Kangjeng Susuhunan karena kau sudah me mbunuh seorang Pangeran." Tetapi perwira kumpeni itu na mpa knya tidak menghiraukannya. Ia me mang akan me maksa Pangeran Sindurata untuk menyerahkan anak perempuannya yang bernama Gahhwarit itu. Tetapi ketika ia sudah siap untuk me maksakan niatnya berdasarkan atas perintah dari kapten Kenop, maka Senapati prajurit Surakarta itu berkata "Aku masih menghormati para Pangeran di Sura karta. Karena itu, urungkan niat mu." "Kau dengar perintah kapten Kenop. Kau tidak menola k dan tidak me mbantah ketika perintah itu jatuh. Bahkan kau disertakan dengan kami agar kau menda mpingi ka mi menja lankan tugas ini. Sekarang kau bersikap lain" bentak perwira kumpeni itu. "Satu kekhilafan. Aku sudah terbiasa menjalankan perintah kumpeni meskipun kadang-kadang menurut susunan tataran keprajuritan itu keliru. Tetapi harga diriku me mang tidak cukup tinggi seperti harga diri seorang Pangeran. Sekarang, kalian berhadapan dengan seorang Pangeran di Surakarta. Karena itu, kalian harus menghargai. Ka lian harus mene mpuh jalur yang seharusnya. Kalian harus me nghubungi Senapati
Surakarta yang berhak me lakukannya karena limpahan kekuasaan dari Kangjeng Susuhunan. Misalnya Pangeran Yudakusuma, Senapati Agung pasukan Sura karta sekarang ini." jawab Senapati itu. "Persetan. Aku tidak ingin mengulangi kerja yang sudah hampir selesai aku lakukan. Aku me mpunyai kekuatan hukum untuk mela kukan tugas ini. Aku me mbawa surat perintah." bentak perwira itu pula. "Yang menanda tangani surat perintah itulah yang tidak diakui oleh Pangeran Sindurata, bahwa ia berhak me mberikan perintah menangkap Raden Ayu Galihwarit, putera puteri Pangeran Sindurata atas tuduhan keterlibatannya dalam peperangan ini." Senapati itupun mula i berbicara dengan keras. "Kau mencoba perwira itu, melindungi kesalahannya ?" bertanya
"Tida k. Tetapi aku juga tidak ikhlas bahwa orang-orang yang tidak berhak melakukan tindakan yang dapat mengurangi wibawa pimpinan pe merintahan di Surakarta." jawab Senapati itu. Wajahperwira itu menjadi merah. Sekilas dipandanginya para prajuritnya. Namun dala m pada itu, para prajurit Surakarta yang menyertai kumpeni itupun telah bersiaga pula. Karena itu, ma ka perwira kumpeni itupun harus berikir jernih. Ia tidak akan dapat berbuat tanpa menghiraukan sikap Senapati itu. Karena itu, maka katanya "Jadi menurut pendapatmu, kita se muanya sekarang ke mbali untuk mendapatkan surat perintah yang baru dari Pangeran Yudakusuma ?" "Ya" jawab Senapati itu. "Dan me mbiarkan orang yang akan kita tangkap melarikan diri ?" bertanya perwira itu pula.
"Jika kau me mpunyai na lar, kau dapat me lakukan satu tindakan pencegahan" jawab Senapati ku pula. Perwira itu menarik nafas panjang. Seolah-olah ia ingin menelan ke mbali ke marahan yang sudah me muncak sa mpai keubun-ubun. Namun ke mudian maka iapun berkata "Aku akan me laporkan kepada kapten Kenop. Tetapi sebagian dari orangorangku akan tetap berada disini agar orang yang ka mi kehendaki tidak melarikan diri. "Terserahlah kepadamu" jawab Senapati itu. "Lalu kau, apa yang akan kau kerjakan?" bertanya perwira itu. "Aku akan menunggu sa mpai perintah dari yang berhak itu ada" jawab Senapati itu. Perwira kumpeni itupun ke mudian me mberikan beberapa perintah kepada prajurit-prajuritnya. Sementara itu ia sendiri akan mene mui kapten Kenop. Bagaimanapun juga kumpeni itu me mang harus menghargai seorang Pangeran dari Sura karta, karena ia sadas sepenuhnya jika persoalan ini didengar cleh para Pangeran yang lain, maka mungkin seka li akan menimbulkan persoalan tersendiri, seolah-olah kekuasaan kumpeni sudah me la mpaui ke kuasaan Kangjeng Susuhunan sendiri. "Biarkan kereta yang akan me mbawa Raden Ayu itu disiini" perintah perwira itu. Sejenak ke mudian, diiringi oleh beberapa orang pengawalnya, perwira itu meningga lkan hala man istana Pangeran Sindurata, sementara sebagian yang lain me mencar ke sudut-sudut halaman untuk mengawasi keadaan. Sedangkan para Senapati dan prajurit Surakarta yang menyertai kumpeni itu telah menyingkir dan berdiri diluar regol.
Dala m pada itu, Pangeran Sindurata telah me ningga lkan halaman dan mene mui ana k pere mpuannya. Sementara itu Raden Ayu Galihwarit telah selesai berke mas dan me mbenahi diirinya. "Mereka datang Ga lihwarit" desis Pangeran Sindurata. Sama se kali tidak na mpak kece masan di wajah Raden Ayu Galihwarit. Bahkan sambil tersenyum ia menjawab "Aku sudah mendengar ayahanda. Dan aku sudah siap." Jantung Pangeran Sindurata berdesir. Anak perempuannya itu ternyata telah benar-benar siap lahir dan batin. Ia sudah mandi dan kera mas, serta merias diri sebaik-baiknya, meskipun pakaian yang ke mudian dikena kannya adalah justru pakaian yang sederhana. Namun seolah-olah ia telah berusaha menyucikan diri pada ujud ke lahirannya. Sementara itu, sikapnya yang tenang dan wajahnya yang jernih telah menunjukkan bahwa secara jiwani, Raden Ayu Galihwaritpun telah siap menghadapi persoalan itu. "Apakah aku harus berangkat sekarang?" bertanya Raden Ayu itu. Pangeran Sindurata menggeleng. Katanya "Aku menolak surat perintah yang ditanda tangani oleh kapten Kenop Aku, seorang bangsawan Surakarta hanya mengakui ke kuasaan Kangjeng Susuhunan atau orang yang mendapat limpahan kuasanya. Tidak kepada kumpeni." Raden Ayu Galihwarit itu tersenyum pula. Katanya "Terima kasih ayah. Aku sependapat, bahwa yang berhak menangkap aku adalah mere ka yang diperintahkan oleh pimpinan prajurit Surakarta dalam masa perang ini." "Sebentar lagi mereka tentu akan datang." berkata Pangeran Sindurata "Pangeran Yudakusuma tentu tidak akan berkeberatan untuk menandatangani surat perintah semacam itu. Tetapi aku sudah me mpertahankan harga diri seorang bangsawan Surakarta meskipun tidak ada sekuku-ireng
dibanding dengan apa yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan para pengikutnya. Tetapi aku sudah berbuat sesuatu bagi kebanggaanku, seorang putra Surakarta." Raden Ayu Galihwarit tertawa. Kemudian katanya "Sebentar lagi a ku akan mohon diri ayah." Pangeran Sindurata menarik nafas dala m-dala m. Dengan nada berat ia berkata "Mungkin mere ka akan me mbawa aku pula." "Tida k ada alasan untuk me mbawa ayahanda." berkata Raden Ayu GahhwafiL "Aku dapat dituduh me mbantumu. Atau mereka akan menelusuri ke matian kedua orang kumpeni itu" jawab Pangeran Sindurata. "Tida k" jawab Raden Ayu sambil mengge leng "mereka hanya akan me mbawa aku sendiri." Pangeran Sindurata mengangguk kecil. Iapun ke mudian terduduk diserambi, sementara Raden Ayu Galihwarit telah menge masi pakaian yang akan dibawanya. Hanya selembar kain dan sele mbar baju. "Kau me mbawa ganti pa kaian ?" bertanya ayahandanya. "Ya ayahanda" jawab Raden Ayu "aku kira sele mbar sudah cukup. Aku tidak me merlukan terlalu banyak paka ian diidala m tahanan." Pangeran Sindurata tidak bertanya lebih banyak, la duduk termenung sa mbil me mandang kekejauhan. Namun yang terasa adalah kepalanya menjadi sangat pening. Dala m pada itu, istana Sinduratan itu telah mendapat pengawasan yang ketat. Ternyata kumpeni tidak hanya berada di hala man depan. Tetapi mereka juga me ngelilingi bagian luar dinding istana dan mengawasi regol-regol butulan.
Tetapi yang mereka lakukan itu tidak ada gunanya sama sekali, kaTena Pangeran Sindurata maupun Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dala m pada itu, beberapa saat ke mudian ternyata sepasukan kecil kumpeni dan prajurit Sura karta telah me masuki hala man itu lagi. Bukan hanya kumpeni yang terpaksa urung menangkap Raden Ayu Galhwarit, tetapi diantara mereka terdapat seorang Tumenggung dari Surakarta. Pangeran Sindurata yang mendengar derap kaki kuda me masuki hala mannya itupun telah ke luar lewat seketheng. Dengan tidak ragu-ragu sama sekali ia me langkah mendekati Tumenggung yang sudah turun dari kudanya. Tumenggung itu mengangguk hormat sambil berkata "Ampun Pangeran, aku menge mban tugas dari Pangeran Yudakusuma." "Aku mengerti." jawab Pangeran Sindurata. "Pangeran Yudakusuma tidak me mberikan surat perintah kepada kumpeni, tetapi akulah yang telah diperintahkan untuk menje mput putera pulen Pangeran, Raden Ayu Galihwarit." berkata Tumenggung itu sa mbil menunjukkan sebuah tunggul yang dibawa oleh seorang prajurit. "Begitulah seharusnya tatanan di Surakarta" berkata Pangeran Sindurata "dengan demikian aku percaya bahwa kau adalah utusan Senapati Agung di Surakarta. Aku kenal tunggul dan kelebet kecil berwarna kelabu dengan garis merah itu. Karena ku, aku akan menjalankan segala perintah dengan sebaik-baiknya. Jika semula aku me nolak kumpeni itu, karena aku tidak percaya bahwa mereka akan bertindak sebagaimana seharusnya. Mungkin ana k perempuanku a kan jatuh ketangan orang-orang yang tidak berhak. Tetapi hanya karena mereka menginginkannya saja."
"Ada surat perintah dari kapten Kenop" perwira itu me motong. "Justru kepada Kenop itulah yang aku tidak percaya." jawab Pangeran Sindurata. Perwira kumpeni itu masih akan menjawab. Tetapi Tumenggung yang datang dengan tunggul dan kelebet kecil itupun berkata "Jika de mikian Pangeran, aku mohon maaf, bahwa aku akan me mbawa Raden Ayu sekarang." "la sudah siap." jawab Pangeran Sindurata. "Jika de mikian, aku akan segera meningga lkan istana ini" berkata Tumenggung itu. Pangeran Sinduratapun ke mudian me manggil Raden Ayu Galihwarit. Ketika Raden Ayu itu sampai di seketheng maka ttrasa jantungnya bergetar. Dilihatnya beberapa orang prajurit dan kumpeni yang bersenjata Ke mudian sebuah kereta yang sudah siap untuk me mbawanya. Namun sejenak ke mudian kegelisahannya itupun lenyap bagaikan dihe mbus oleh angin. Ketika ia selangkah maju. maka Raden Ayu itu sudah tersenyum sambil berkata "Marilah. Apakah aku juga harus naik kuda ?" Tumenggung itulah yang ke mudian menjawabnya "Aku sudah menyediakan sebuah kereta untuk Raden Ayu. Silahkan" "Terima kasih" jawab Raden Ayu sambil melangkah menuju ke kereta yang sudah menunggu itu. "Kita akan ke mana?" Tumenggung itu. bertanya Raden Ayu kepada
Raden Ayu tertawa kecil. Kemudian dipandanginya ayahnya yang berdiri termangu-ma ngu. Dengan wajah yang sama sekali tida k me mbayangkan kece masan, Raden Ayu itu
berkata kepada ayahandainya "Aku harus meninggalkan ayahanda." "Pergilah ngger" desis Pangeran Sindurata. Suaranya menjadi parau. Seolah-olah ia telah kehilangan Raden Ayu Galihwarit itu untuk kedua ka linya. Baru beberapa hari sebelumnya ia mene mukan ke mbali anaknya yang hilang itu. Namun ternyata bahwa anak itu terpaksa dilepaskannya lagi. Sejenak ke mudian Raden Ayu Galihwarit itupun telah berada didalam kereta yang akan membawanya. Ia masih me la mbaikan tangannya kepada ayahandanya. Sementara Tumenggung yang akan me mbawa Raden Ayu itu berkata "Pangeran. Aku mohon diri. Raden Ayu aku bawa atas perintah Pangeran Yudakusuma. Perintah yang lain tertuju kepada Pangeran sendiri." "Apa" bertanya Pangeran Sindurata. "Dala m kedudukannya sebagai Senapati Agung, Pangeran Yudakusuma minta agar Pangeran tidak meninggalkan istana ini. Setiap saat Pangeran diperlukan untuk me mberikan keterangan atau kesaksian tentang Raden Ayu Galihwarit." "Perintah itu akan a ku jalani" jawab Pangeran Sindurata. "Terima kasih Pangeran. Sekarang, kami akan minta diri" berkata Tumenggung itu. Sejenak kemudian, ma ka iring-iringan itupun telah keluar dari regol ha la man istana Sinduratan. Tumenggung yang menge mban perintah Pangeran Yudakusunia itupun ke mudian me mberi perintah kepada sais kereta yang membawa RadenAyu "Bawa ke bekas istana Pangeran Ranakusuma." "He, apa yang kau katakan ?" perwira kumpani itu me motong. "Untuk se mentara Raden Ayu akan ditempatkan di istananya sendiri" berkata Tumenggung itu.
"Tida k mungkin. Kapten Kenop me merintahkan me mbawanya ke loji. Perempuan itu harus di tahan di loji." berkata perwira itu. Tetapi Tumenggung itu mengge leng. Katanya "Aku me lakukan perintah Pangeran Yudakusuma. Kuasa Pangeran Yudakusuma me la mpaui kuasa kapten Kenop disini. Kecua li karena perintah itu, maka sangat berbahaya bagi Raden Ayu untuk ditahan di loji." "Ia seorang pengkhianat" gera m perwira itu. "Ia dituduh berkhianat" sahut Tumenggung itu. Lalu "meskipun de mikian seandainya ia berkhianat, maka tidak selayaknya ia berada di loji. Raden Ayu akan menjadi seekor kelinci yang masuk kesarang serigala yang kelaparan." Wajah perwira itu menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun de mikian, iapun menggera m "Aku akan melaporkannya kepada kapten Kenop." "Terserah kepada mu. Tetapi kapten Kenop tentu menyadari, bahwa ia tidak akan dapat me mbawa Raden Ayu ke loji." jawab Tumenggung itu. Raden Ayu Galihwarit mendengarkan perdebatan itu Sebenarnyalah kulitnya telah mere mang ketika ia mendengar, bahwa kumpeni akan me mbawanya ke loji. Ia sadar, bahwa sebagai seorang tahanan, maka harga dirinya akan jauh berbeda dari harga dirinya pada saat-saat lain ia me masuki loji itu. Sedangkan pada saat ia dengan suka rela me masuki loji itu harga dirinya sudah dikorbankan. Apalagi sebagai seorang tawanan. Maka kumpeni akan dapat me mperkkukannya sekehendaki hati mereka. Ketika ia mendengar bahwa Tumenggung yang menge mban tugas dari Pangeran Yudakusuma itu berkeras untuk mene mpatkannya di bekas istananya, maka iapun menjadi agak lega, Betapapun ia pasrah diri, tetapi perlakuan orang-orang yang menawannya me mang dapat
me mpengaruhi ketahanan jiwanya. Dan ia berterima kasih kepada Pangeran Yudakusuma bahwa atas perintahnya, ia akan di tempatkan di luar loji sebagaimana dikehendaki oleh kapten Kenop. Demikianlah, maka akhirnya, iring-iringan itu me masuki bekas istana Pangeran Ranakusuma yang diperguna kan oleh pasukan berkuda. Kedatangan iring-iringan itu telah disa mbut oteh beberapa orang perwira prajurit Surakarta dari pasukan berkuda. Mereka telah mendapat pe mberitahuan sebelumnya, bahwa Raden Ayu Galihwarit akan dite mpatkan di istana itu, sebagaimana pernah dilakukan atas Rara Warih. puteri dari Raden Ayu Galihwarit itu sendiri. Ternyata bahwa mang yang disediakan juga ruang yang pernah dipergunakan oleh Rara Warih, karena ruang itu adalah ruang yang rapat dan mudah diawasi. Ketika Raden Ayu Galihwarit turun dari keretanya di halaman bekas istananya, sebelum dibawa ke ruang yang telah disedia kan, ma ka ia telah diterima oleh Tumenggung Watang, yang untuk sementara diserahi pimpinan pasukan berkuda. "Sela mat datang Raden Ayu" sapa Ki Tumenggung Watang. "Sela mat Ki Tumenggung" jawab Raden Ayu sa mbil tersenyum. Sama sekali tidak na mpak kege lisahan di wajahnya "kali ini a ku tida k berkepentingan dengan anakku, tetapi aku sendirilah yang akan menjalaninya sebagaimana pernah di ja lani oleh ana kku, Rara Warih." "Aku akan se kedar menjalankan tugas Raden Ayu" berkata Tumenggung Watang. "Ya. Aku mengerti. Kalian hanyalah menjalankan tugas kalian." jawab Raden Ayu.
Sesaat kemudian, maka Raden Ayu itupun telah dibawa dan dipersilahkan masuk kedala m ruangan yang telah disiapkan. Ketika Raden Ayu sudah berada didalam, maka Tumenggung yang me mbawanya dari istana Sinduratan itupun telah menyerahkan tanggung jawabnya atas Raden Ayu Galihwarit kepada Ki Tumenggung Watang, katanya "Kakang Tumenggung. Segala sesuatunya kini terserah kepada kakang. Mungkin nanti, mungkin besok, Raden Ayu tentu akan diperiksa. Bukan saja oleh para Senapati kita sendiri, tetapi Kenop yang belum se mbuh sa ma sekali itupun tentu akan ikut me meriksanya." "Aku akan menyiapkan Tumenggung Watang. segala-galanya" jawab Ki
"Terima kasih" jawab Tumenggung yang menyerahkannya. Kemudian perlahan-lahan Ki Tume nggung itupun menceriterakan keinginan kumpeni untuk menahan Raden Ayu didala m loji. "Tentu akan terjadi kekasaran" berkata Tumenggung Watang "mereka adalah orang-orang yang menjadi buas karena terlalu la ma jauh dari lingkungan keluarga." "Karena itu, bijaksana sekali bahwa perintah Pangeran Yudakusuma adalah, me mbawanya ke tempat ini." berkata Tumenggung itu pula "karena itu, segala sesuatunya terserah kepadamu." Dengan demikian, ma ka Raden Ayu Galihwaritpun telah ditinggalkan oleh orang-orang yang menga mbilnya didala m satu bilik yang tertutup rapat dan diawasi dengan sebaikbaiknya. Beberapa orang kumpeni mengumpat karena mereka gagal me mbawa Raden Ayu menghadap kapten Kenop dan menahannya di loji. Me mang ada niat yang tida k sewajarnya, bahwa mereka akan menahan Raden Ayu itu di loji. Seorang perwira rendahan berkata kepada kawannya "Gila. Aku kira
bahwa akhirnya aku akan dapat juga bahagian. Ternyata perempuan itu tidak dibawa ke loji. Tetapi disimpan di be kas rumahnya sendiri. Dibawah pengawasan Tumenggung Watang yang ketat, tidak seorangpun akan dapat mengganggunya kapan saja." Dala m pada itu, maka perwira kumpeni yang semula akan menga mbil Raden Ayu GaBhwarit itupun telah menghadap kapten Kenop dan melaporkan bahwa Raden Ayu Galihwarit telah berada di da la m pengawasan pasukan berkuda dari Surakarta. Kapten Kenop mengumpat dengan kasar. Sambil bangkit dari pembaringan ia berkata "Persetan dengan keputusan Pangeran Yudakusuma. Kita akan menyiapkan tuduhan itu dengan lengkap. Kau hubungi saksi yang telah bersedia untuk me mberikan keterangan itu. Penuhi uang yang kau janjikan. Kita akan me mbuat hubungan dengan Pangeran Yudakusuma agar didalam pe meriksaan-pe meriksaan selanjutnya, aku diperkenankan hadir dengan me mbawa sa ksi itu." "Tetapi kapten masih sakit" berkata perwira bawahannya itu. "Aku akan segera sembuh. Jika bukan aku, Morman yang akan pergi kepada Pangeran Yudakusuma," jawab kapten Kenop. Perwira bawahannya itu mengangguk-angguk, ia akan menja lankan segala perintah sebaik-baiknya. Dala m pada itu tabib yang mengobati kapten Kenop pun me masuki biliknya dan me mpersilahkan kapten Kenop itu untuk berbaring saja di pe mbaringannya. Dala m pada itu, di Sukawati, Pangeran Mangkubumi telah mene mui Juwiring, Rara Warih, Buntal dan Arum. Pangeran Mangkubumi telah me mberitahukan langsung kepada mereka, bahwa ia telah berusaha untuk me mbawa Raden Ayu
Galihwarit keluar dari kota karena keadaannya menjadi gawat. Tetapi Raden Ayu Galihwarit tida k bersedia. "Aku sudah me mberikan beberapa peringatan" berkata Pangeran Mangkubumi "tetapi ibunda mu adalah seorang yang sangat tabah menghadapi keadaan. Karena itu, maka ibunda mu berkeras untuk tetap tinggal dirumah." "Tetapi dengan de mikian, apakah mungkin ibunda akan ditangkap, pamanda ?" bertanya Rara Warih. Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dala m. Lalu katanya "Baiklah aku berkata berterus terang Warih. Kau sudah dewasa menghadapi keadaan. Yang lainpun telah dewasa pula. Karena itu, maka aku dapat berterus terang, bahwa aku sudah mendengar rencana kumpeni untuk menangkap ibunda mu. Karena itu, maka aku telah datang kerjadanya, memberitahukan kepadanya. Tetapi seperti yang aku katakan, ibundamu tidak dapat meninggalkan istana ayahandanya dan juga ayahandanya itu sendiri, yang sudah semakin tua dan sakit-sakitan." "O" Rara Warih menjadi sangat gelisah. "Ibunda salah hitung. Ibunda tidak sampa i hati meningga lkan eyang Sindurata. Tetapi jika ibunda ditangkap, apakah itu juga bukan berarti meninggalkan eyang Sindurata." "Tetapi ada dorongan lain Warih" berkata Pangeran Mangkubumi "ibunda mu seorang pejuang yang bertanggung jawab." "Tetapi bukankah hak seseorang untuk menghindari bahaya yang menganca mnya" berkata Rara Warih yang kece masan. Pangeran Mangkubumi menganggug-angguk. Nampa knya masih ada yang ingin di katakainnya. Tetapi niatnya itupun diurungkannya. "Marilah kita berdoa" katanya kemudian "mudah-mudahan Tuhan sela lu me lindungi kita."
Pangeran Mangkubumi ke mudian minta diri untuk me lakukan tugas-tugasnya yang lain. Namun akhirnya laporan yang dice maskan itupun datang. Seorang petugas sandi yang datang dari kota melaporkan bahwa Raden Ayu Galihwarit sudah ditangkap. Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dala m, la merasa berkewajiban untuk me nyampaikannya kepada anak anak muda yang disebut oleh Raden Ayu itu sebagai anakanaknya. Tetapi agaknya hati Rara Wariih masih terla lu le mah untuk me lihat kenyataan itu. "Tetapi aku kira lebih baik ia mengetahui sejak awal daripada ia akan dikejutkan oleh keputusan kumpeni yang tiba-tiba" berkata Pangeran Mangkubumi didala m hatinya. Karena sebenarnyalah Pangeran Mangkubumi sudah me mperhitungkan hukuman apa yang akan diterima oleh Raden Ayu Galihwarit itu. Karena itu. maka pada kese mpatan yang dianggap baik. sekali lagi Pangeran Mangkubumi mene mui anak-ana k muda itu. Warih dan Arum masih merawat Juwiring dan Buntal yang terluka. Tetapi na mpaknya Buntal yang lukanya tidak terlalu parah, sudah mulai pulih ke mbali meskipun lukanya itu sendiri masih belum se mbuh, sementara Juwirnggpun telah berangsur-angsur menjadi lebih baik. Dengan sangat berhati-hati, Pangeran Mangkubumipun akhirnya sampai juga pada berita. bahwa Raden Ayu Galihwarit me mang sudah dutangkap Ternyata berita itu cukup mengguncangkan hati Rara Warih.. Didala m pe lukan Arum ia menangis terisak-isak. "Sudah diajeng" Raden Juwiring berusaha menghiburnya "kita serahkan segala kepada Tuhan. Aku kira ibunda bukan tidak me mpunyai perhitungan." Rara Warih me mandang kaka knya dengan mata basah. Gadis itu tahu bahwa Raden Ayu Galihwarit bukan ibunda
kakaknya itu yang sebenarnya. Karena itu, tanggapan dihatinya tentu berbeda dengan tanggapan dihatinya sendiri. Raden Juwiring seolah-olah dapat me mbaca gejolak hati adiknya. Karena itu, katanya "Diajeng. Bagiku ibunda Galihwarit tidak ubahnya dengan ibundaku sendiri. Pada saatsaat terakhir ibunda itupun telah menganggap aku sebagai puteranya sendiri. Apalagi dalam perjuangan yang saling mengisi ini. Na mun baga imanapun juga, kita me mang harus sampai kepada sikap pasrah. Tidak ada kuasa apapun juga yang akan dapat merebah keputusan-Nya." Tetapi akhirnya semuanya yang menyaksikan Warih menangis dapat juga mengerti, bahwa hal itu adalah wajar sekali. Na mun de mikian Pangeran Mangkubumipun berpesan "Menangis me mang dapat mengurangi beban di hati Warih. Tetapi kaupun harus berusaha me nghubungkan kenyataan yang kau hadapi dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang tidak dapat diubah oleh kuasa apapun seperti yang dikatakan oleh kaka kmu Juwiring. Kau dapat menyesali apa yang terjadi. Tetapi tentu dila mbari dengan nalar. Dan seka lisekali jangan menyesali apa yang dikehendaki oleh Tuhan itu sendiri." Rara Warih mengangguk kecil meskipun ia masih juga terisak. Sementara itu, Pangeran Mangkubumipun berkata "Baimanapun juga, kau harus ikut merasa bangga, bahwa beberapa kali ibunda mu telah me mberikan keterangan yang sangat berharga." Sekali lagi Rara Warih mengangguk. Iapun ke mudian mencoba me ne mpatkan dirinya dala m gejolak perjuangan itu. Ibundanya telah ditangkap karena perjuangannya. Sekilas Rara Warih me mbayangkan, apa yang terjadi dalam pertempuran yang dahsyat di pinggir kali itu. Korban berjatuhan tanpa dihitung lagi. Seandainya ibundanya tidak berhasil menyadap berita sergapan itu, apakah yang akan terjadi dengan pasukan Pangeran Mangkubumi. Namun
dengan demikian, ibunya telah mengorbankan segala-galanya. Kehormatannya, dan kini ia telah ditangkap. Jantung Rara Warih serasa berhenti berdetak jika ia me mbayangkan hukuman apa yang dapat dijatuhkan atas ibundanya Sebagaimana pernah didengarnya, hukuman bagi orang yang dianggap berkhianat. Dala m tekanan perasaan itu, ia membayangkan ke mbali korban-korban di pertempuran. Orang-orang itu juga mengorbankan nyawanya bagi pengabdiannya untuk menegakkan kebebasan bagi tanah air tercinta. "Sudahlah Warih" berkata Pangeran Mangkubumi ke mudian "Kita a kan sa ma-sama berdoa." Sepeninggal Pangeran Mangkubumi, Warih berusaha menahan air matanya. Sementara itu ia masih berada didala m pelukan Arum. Meskipun keduanya sebaya, tetapi Arum nampak lebih tabah karena tempaan kehidupannya di padepokan. Namun akhirnya Rara Warihpun dapat menenangkan hatinya. Meskipun jantungnya masih terasa berdegupan, tetapi ia berhasil mengatasi tangisnya. Meskipun de mikian, wajah-wajah yang lainpun masih nampak murung, karena mereka tahu, ke mungkinan yang dapat terjadi atas Raden Ayu Galihwarit. Pada hari berikutnya, Pangeran Mangkubumi telah me merintahkan petugas-petugas sandinya untuk melihat satu ke mungkinan atas Raden Ayu Galihwarit. Jika kemungkinan itu nampak, betapapun kecilnya, maka Pangeran Mangkubumi akan berusaha untuk me mbebaskannya dari tangan prajurit Surakarta yang menahannya Tetapi laporan mengecewakannya. yang diterimanya sangat
"Ka mi sa ma sekali tidak me lihat ke mungkinan itu, Pangeran" berkata seorang petugas sandi yang menyelidiki tempat Raden Ayu Galihwarit ditahan." Pangeran Mangkubumi hanya dapat menarik nafas dalamdalam. Pangeran Mangkubumi yang kebetulan berada di Sukawati itu telah me manggil Raden Juwiring. Bersama-sama petugas sandi itu mereka mengurai ke mungkinan yang dapat mereka lakukan. Karena Juwiring pernah t inggal di istana Pangeran Ranakusuma. maka ia dapat mengenal se mua sudut istana itu. Namun menurut laporan yang diterima dari para petugas sandi, maka segala ke mungkinan telah tertutup karena penjagaan yang ketat dan berlapis. Bahkan kumpeni yang kecewa. Sudah me mberikan bantuannya, yang sebenarnya berpangkal pada kecurigaan kumpeni, bahwa ada usaha untuk me lindungi Raden Ayu Galihwarit dan apalagi berusaha untuk me mberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri. Tetapi sebenarnyalah bahwa prajurit Surakarta benar-benar telah menjaga agar Raden Ayu Galihwarit dapat diperiksa. Pimpinan tertinggi pasukan Surakarta merasa, bahwa korban telah terlalu banyak yang jatuh. Namun mereka sa ma seka li tidak berhasil berbuat sesuatu yang berarti untuk mengatasi perlawanan Pangeran Mangkubumi. Karena itulah, ma ka para pengikut Pangeran Mangkubumi sama sekali tidak me mpunyai kesempatan untuk menolong Raden Ayu Galihwarit. Bahkan Pangeran Mangkubumipun masih juga menyangsikan, seandainya kesempatan itu ada, apakah Raden Ayu Galihwarit bersedia me larikan diri. Dengan de mikian, maka usaha untuk menolong Raden Ayu itupun terpaksa tidak dapat dilakukan, agar tidak akan jatuh korban yang hanya sia-sia. Dala m pada itu, maka di hari-hari berikutnya, Raden Ayu me mang mengala mi pemeriksaan yang terus-menerus. Namun
sebenarnyalah pemeriksaan itu berjalan tanpa kesulitan. Raden Ayu mengatakan apa saja yang pernah dilakukannya. Namun de mikian ia masih berusaha me lindungi na ma ayahandanya, "Tida k ada gunanya aku menye mbunyikan setit ik rahasiapun dihadapan kalian" berkata Raden Ayu itu kepada para petugas dari Surakarta dan kumpeni "aku tahu, bahwa kalian telah mendengar segala-galanya. Mustahil kalian dapat me mberikan tuduhan begitu terperinci jika tidak ada seorang pelayan atau pengawal istana Sinduratan yang bersedia me mberikan keterangan." "Apa kewajiban ayahanda Raden Ayu dalam hubungannya dengan keterangan-keterangan yang Raden Ayu berikan kepada pasukan Pangeran Mangkubumi ?" bertanya seorang perwira kumpeni. "Ayah tidak bersangkut paut dengan tugas-tugas semaca m itu" jawab Raden Ayu Galihwarit "yang ayah ketahui se mula anak-anakku itu disangkanya penjual burung dan penjual lulur. Ketika ke mudian ayahanda mengetahui siapa mereka, maka ayahanda menjadi sangat marah dan untuk seterusnya tidak mau tahu tentang apa saja yang aku lakukan. Aku dianggapnya anak yang hilang karena tingkah lakuku." "Bohong" perwira kumpeni itu me mbentak. Raden Ayu mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia berkata "Kau jangan me mbentak-bentak di hadapanku. Kau kira aku seorang tawanan karena a ku mencopet di pasar ?" Perwira itu masih a kan me mbentak. Na mun Tumenggung Watang yang ikut serta dalam pe meriksaan itu telah bertanya dengan lembut "Raden Ayu. Jadi menurut Raden Ayu. ayahanda Raden Ayu sama sekali tidak ikut ca mpur da la m hal ini ?" "Ya" jawab Raden Ayu Galihwarit.
"Apakah Raden Ayu bersedia jika ka mi hadapkan seorang saksi ?" berkata Tumenggung Watang. "Silahkan. Silahkan" jawab Raden Ayu sambil tersenyum. Wajahnya sama sekali tida k menunjukkan kege lisahannya meskipun ia a kan dihadapkan kepada siapa saja. Sejenak ke mudian, seseorang telah dibawa masuk kedatam bilik pe meriksaan. Ketika dilihatnya Raden Ayu Galihwarit. maka kepalanyapun telah ditundukkan dala m-dala m. Namun dala m pada itu, Raden Ayupun tersenyum sambil menyapanya "Bagaimana khabar kesela matanmu Ki Samangun ?" Wajah orang itu menjadi se makin tunduk. Pertanyaan Raden Ayu itu benar-benar telah menusuk jantungnya. Justru karena itu, maka sepatahpun ia tidak dapat menjawab. Dala m pada itu, maka perwira kumpeni yang ikut me meriksa Raden Ayu itulah yang ke mudian berkata "Nah. sekarang katakan terus terang, apa yang kau ketahui tentang Raden Ayu ini." Wajah orang itu menjadi merah pada m. Di hadapan Raden Ayu Galihwarit rasa-rasanya mulutnya menjadi tersumbat. "Cepat, bicara" bentak perwira kumpeni itu. Terasa punggungnya didorong oleh tangan yang kasar kuat. Tentu tangan perwira kumpeni ku. Karena itu. maka tiba-tiba tumbuhlah ketakutannya, sehingga dengan suara bergetar ia ke mudian bertanya "Apa yang harus aku katakan, tuan?" "Apa yang kau ketahui tentang keterlibatan Pangeran Sindurata" bentak kumpeni itu. Orang itu bergeser setapak. Kemudian katanya "Pangeran Sindurata mengenal Raden Juwiring."
"Tentu. Bodoh" perwira itu menjadi hubungannya dengan pengkhianatan ini."
marah "tetapi "Aku tidak tahu tuan" jawab orang itu "tetapi yang aku katakan sejak semula, bahwa Pangeran Sindurata mengetahui bahwa Raden Juwiring datang ke istana Sinduratan." Perwira kumpeni itu menjadi sangat marah. Namun dala m pada itu sambil tersenyum Raden Ayu berkata "Nah, bukankah seperti yang aku katakan. Ayahanda akhirnya tahu, bahwa yang datang dengan membawa burung itu adalah anakku. Juwiring. Hal itulah yang me mbuat ayahanda semakin marah kepadaku." "Begitu ?" teriak perwira kumpeni itu. Diluar dugaan kumpeni itu, maka orang mengangguk sa mbil berkata "Ya tuan. Begitulah." itupun
Hampir saja punggung orang itu dihanta m sepatu oleh perwira yang marah sekali itu. Na mun seorang Senapati yang ada didala m bilik itu mencegahnya "Ia seorang sa ksi." "Tetapi ia berbohong" gera m perwira kumpeni ku. "Biarlah ia mengatakan apa yang ingin dikatakannya" berkata Senapati itu. Dala m pada itu Raden Ayu Galihwaritpun berkata "Apa lagi yang sebenarnya kalian inginkan. Aku tidak ingkar, bahwa akulah yang me mberitahukan beberapa persoalan penting kepada pasukan Pangeran Mangkubumi lewat anak-anakku yang sekarang berada di dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Nah, apalagi " Bukankah ka lian t inggal menjatuhkan hukuman yang pa ing sesuai atasku?" "Pengkhianat" gera m perwira kumpeni itu. Tetapi Raden Ayu justru tertawa. Katanya "Tergantung siapa yang menyebutnya. Bukankah begitu Ki Tumenggung Watang ?"
Tumenggung Watang mengangguk kecil sa mbil menjawab "Ya Raden Ayu. Memang tergantung sekali, siapakah yang mengatakannya." Wajah perwira kumpeni itu bagaikan me mbara. Tetapi Tumenggung Watang me mang berbeda dengan Ki Sa mangun yang duduk di lantai dengan kepala tunduk. Tumenggung Watang dapat mengatakan apa saja yang ingin dikatakannya tanpa perasaan takut. Meskipun demikian, setelah pemeriksaan atas Raden Ayu Galihwarit itu selesai, maka baik kumpeni maupun pimpinan keprajuritan di Surakarta telah menyatakannya bersalah. Namun mereka tidak dapat menyebut dengan pasti, bahwa Pangeran Sindurata telah terlibat dala m kesalahan Raden Ayu Galihwarit. Akhirnya yang berhak menga mbil keputusan da la m waktu perang di Surakarta itu telah menga mbil keputusan atas Raden Ayu Galihwarit yangi dituduh telah berkhianat atas Surakarta, yang beberapa kali telah me mberikan keterangan penting dala m hubungannya, dengan peperangan yang sedang berlangsung antara Surakarta dengan Pangeran Mangkubumi yang mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan yang sah di Surakarta. Dan keputusan itu adalah keputusan hukuma n yang terberat. Hukuman mati. Tetapi Keputusan itu sa ma sekali t idak mengejutkan Raden Ayu Galihwarit. Ia sudah menduga sejak se mula, bahwa hukuman yang paling sesuai baginya menurut sudut pandangan orang-orang Surakarta dan kumpeni adalah hukuman mati. Dan ia sa ma sekali tidak akan ingkar menghadapi hukuman itu. Karena itu. maka ketika para pe mimpin prajurit Surakarta dan kumpeni bertanya kepadanya, apakah ia menerima keputusan itu, ma ka Raden Ayu Galihwarit menjawab sa mbil
tersenyum "Tidak ada hukuman lain yang lebih pantas bagiku selain hukuman mati me nurut pandangan ka lian. Karena itu, aku menerima hukuman itu." Namun yang masih mendebarkan hati Raden Ayu itu adalah cara yang akan dipergunakan untuk menjatuhkan hukuman mati itu. Semula keputusan itu berbunyi dihukum gantung sa mpai mati. Tetapi akhirnya dirubah menjadi dihukum te mbak sampai mati dihadapan regu temba k Sebenarnyalah beberapa orang perwira kumpeni yang ikut berbicara saat-saat keputusan itu diambil adalah kawan-kawan Raden Ayu Galihwarit. Bagaimanapun juga, mereka tidak dapat mengingkari getar perasaan mereka. Tentu mereka tidak akan sampa i hati me lihat pere mpuan cantik itu tergantung di tiang gantungan. Karena itu, maka mereka telah berpendapat, bahwa ada cara yang lebih baik untuk menghukumnya menurut cara yang sering dilakukan oleh kumpeni. Dala m pada itu, Raden Ayu Galihwarit telah benar-benar bersiap menghadapi ke matiannya. Lahir dan batin. Ia sendiri sudah mulai dicengka m oleh keje muan terhadap hidupnya yang selalu dilumuri oleh kotornya lumpur kehidupan itu sendiri. Na mun disaat terakhir ia sudah se mpat menyatakan penyesalan dan pertaubatan didalam hati. Bahkan didala m ketiadaan sadar, kadang-kadang ia sendiri melihat kematian adalah salah satu jalan yang telah dipilihnya untuk mengakhiri kehidupannya yang sura m. Namun untunglah, bahwa pada: saat terakhir, dengan cara hidupnya itu Raden Ayu Galihwarit masih melibat kesempatan, bahwa hidupnya yang kotor itu masih juga ada gunanya, sebelum akhirnya maut itu me mang datang menje mputnya. Keputusan itu telah mengge mparkan Surakarta. Ketika keputusan itu diumumkan, ma ka terasa bahwa perasaan
rakyat Surakarta telah bergejolak. Ada berbagai tanggapan yang mencengka m perasaan rakyat Surakarta. Ketika Raden Ayu Galihwarit itu ditangkap, sudah banyak rakyat Surakarta yang memperbincangkannya. Meskipun saat itu mereka sudah mulai bertanya-tanya dan menilai tentang dirinya. Namun sebenarnyalah rakyat Surakarta memang tidak begitu menghiraukannya, karena Raden Ayu Galihwarit yang cantik itu bagaikan sekuntum bunga yang indah yang ke mbang diatas setambun sa mpah dida la m lumpur. Bahkan seperti pendapat beberapa orang pelayan didalam istana Simduratan yang tersebar dilingkungan para tetangga dan orang-orang yang mereka kenal di pasar, bahwa Raden Ayu Galihwarit telah menyingkirkan anak gadisnya, karena anak gadisnya itu ternyata tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik, yang akan dapat menyainginya. Kematian dua orang perwira kumpeni di istana Sinduratan telah menarik perhatian rakyat Surakarta. Kemudian disusul penangkapan Raden Ayu itu sendiri. Tetapi tidak banyak orang yang tahu dan me mperhatikan dengan sungguh-sungguh, apakah sebenarnya yang telah terjadi dengan seorang puteri bangsawan yang telah sempat mencemarkan nama baik puteri Surakarta itu dihadapan kumpeni. Namun ketika dengan resmi diumumkan, bahwa Raden Ayu Galihwarit telah dijatuhi hukuman mati karena ia telah berkhianat dan me mberikan beberapa keterangan penting kepada pasukan Pangeran Mangkubumi sehingga beberapa kali gerakan kumpeni dan pasukan Surakarta gagal, maka mulailah rakyat Surakarta dengan sungguh-sungguh menilainya. Ternyata bahwa Raden Ayu Galihwarit bukannya sampah yang paling kotor seperti yang mereka duga. Apalagi mereka yang mendukung perjuangan Pangeran Mangkubumi meskipun didala m hati, tiba-tiba telah merasa
bersalah, bahwa selama itu mereka menganggap bahwa Raden Ayu Galihwarit adalah perempuan yang hanya tahu tentang dirinya dan bahkan telah me langgar segala paugeran bagi puteri utama di Surakarta. Tetapi berita tentang hukuman mat i dan sebabnya itu, benar-benar telah menyentuh hati mereka. Dala m pada itu, Pangeran Mangkubumi dan pasukannyapun telah mendengar, bahwa Raden Ayu Galihwarit telah di jatuhi hukuman mati. Sebenarnyalah mereka me mang sudah menduga. Bagi kumpeni kesalahan Raden Ayu Galihwarit adalah besar sekali. Bahkan Pangeran Mangkubumi berpendapat, seandainya ada hukuman yang lebih berat dari hukuman mat i, ma ka hukuman itulah yang akan dijatuhkannya. Juwiring, Buntal dan Arum telah dipanggil menghadap. Betapa berat perasaan mereka mendengar keputusan itu. Dan betapa beratnya mereka akan menyampaikan berita itu kepada Rara Warih. "Juwiring" berkata Pangeran Mangkubumi "bagaimanapun juga, aku adalah orang tuanya. Warih adalah ke manakanku. Sepeninggal ayah dan ibunya, ia adalah anakku. Karena itu, panggillah ia ke mari. Aku sendiri yang akan menyampaikan kepadanya." Raden Juwiring menarik nafas dala m-dala m. Na mun ia pun ke mudian beringsut dan bangkit untuk me manggil Rara Warih. Dengan sangat hati-hati, Pangeran Mangkubumi sendiri telah menyampaikan berita keputusan kumpeni dan pimpinan keprajuritan Surakarta tentang Raden Ayu Galihwarit. "Tida k ada didunia ini yang kekal, Rara Warih" berkata Pangeran Mangkubumi "segalanya yang ada akan tiada. Dan segala yang hidup pada akhirnya akan mati"
Wajah Rara Warih menjadi tegang. Ia sudah mulai dapat meraba arah pe mbicaraan Pangeran Mangkubumi. Karena itu, tiba-tiba saja ia bertanya "Bagaima na dengan ibunda ?" Pangeran Mangkubumi me narik nafas dalam-da la m. Katanya kemudian "Bahwa kita harus ke mbali kepada Maha Pencipta itu tida k akan dapat kita ingkari. Bahkan waktunya pun tidak akan dapat kita tawar lagi jika wa ktu itu me mang sudah tiba. Warih, bagaimanapun juga kita yang ditinggalkan akan merasa kehilangan, na mun sebenarnyalah bahwa yang meninggalkan kita itu akan ke mbali kesisi Yang Maha Pencipta." "Bagaimana dengan ibunda, pamanda Pangeran ?" Rara Warih tidak sabar lagi. "Yang terjadi hanyalah bagaimana kematian itu datang menje mput kita. Tetapi ke matian itu sendiri tida k dapat kita hindari" jawab Pangeran Mangkubumi. Lalu "Rara Warih. pada saatnya ibundamu tentu akan kemba li ke sisi Tuhan. Dan kumpeni berniat mengantarkan saat-saat ibundamu itu ke mbali ke asal kita. Dari mana kita datang, kemana lagi kita akan pergi." "Pamanda " wajah Rara Warih menjadi se makin tegang "maksud pa manda Pangeran, ibunda dihukum mati ?" Pangeran Mangkubumi terpukau di te mpatnya. Namun hampir diluar sadarnya, ia telah mengangguk kecil. Terdengar Rara Warih itu menjerit. Namun untunglah bahwa Juwiring dengan cepat telah menangkapnya, sehingga ketika Rara Warih itu pingsan, ia berada di tangan Raden Juwiiring. Beberapa orang menjadi sibuk. Mereka mengerti, betapa hancurnya hati gadis itu. Ia merasa seolah-olah hidupnya sendiri sama sekali tidak pernah mengala mi kege mbiraan. Ayahandanya sudah gugur dipeperamgan sepeninggal
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
kakaknya, Rudira. Kemudian ibundanya harus menga la mi hukuman mat i. Ketika Rara Warih itu sadar, ia me lihat wajah Pangeran Mangkubumi yang menga matinya. Ketika terdengar isak tangisnya, maka Pangeran Mangkubumi itu berkata "Rara Warih. Terima lah keputusan itu dengan menyebut nama Maha Pencipta. Serahkan ibunda mu ke mbali kepadanya." "Aku tida k lagi berbapa dan beribu" tangisnya. "Aku adalah pengganti orang tuamu, Pangeran Mangkubumi. Warih" jawab
Rara Warih me mandang Pangeran Mangkubumi dengan sorot mata yang layu. Namun kemudian gadis itu menarik nafas dalam-dala m. Agaknya ia telah mencoba untuk mengerti persoalan yang dmadapinya. Namun de mikian, bagaimanapun juga, kepergian ibundanya adalah satu himpitan baru di hatinya. Dala m pada itu, ternyata Surakarta tidak berniat untuk menunda-nunda hukuma n mati yang sunah mereka jatuhkan atas Raden Ayu GaUhwarit. Karena itu, pada saat yang pendek maka Surakarta sudah bersiap-siap untuk me lakukannya. Sebenarnya Raden Ayu Galihwarit bukannya orang yang pertama menga la mi hukuman mati. Tetapi biasanya kumpeni tidak pernah me mperguna kan tatanan yang seperti ditrapkan kepada Raden Ayu Galihwarit yang kebetulan adalah seorang bangsawan. Biasanya kumpani langsung menghukum mati setiap orang yang dicurigainya tanpa pemeriksaan yang teliti. Tanpa pengakuan, tanpa bukt i dan tanpa saksi. Jika kumpeni mencurigai seseorang berdasarkan laporan yang tidak jelas, hal itu sudah cukup kuat untuk mene mba k, orang itu dise mbarang tempat dan dise mbarang waktu. Tetapi tidak de mikian dengan Raden Ayu Galihwarit. Puteri itu masih mendapat kehormatan untuk dihukum mati disebuah lapangan di depan loji. Surakarta sengaja menghukum puteri
itu didepan umum, dengan pengertian, bahwa tingkah lakunya jangan ditiru oleh orang la in. Dan Surakarta ingin me mbuktikan bahwa hukum berla ku bagi siapa saja, termasuk seorang anak pere mpuan Pangeran di Surakarta sendiri. Pada hari yang ditentukan, ma ka terjadi kesibukan di lapangan didepan loji. Penjagaan dilakukan dengan sangat ketat. Bukan saja ditemptat kejadian, tetapi diseluruh kota. Hampir disetiap .pintu gerbang telah dipasang meria m-meria m kecil yang dapat menahan serangan jika hal itu akan terjadi. Sementara para peronda hilir mudik dise luruh kota tanpa ada hentinya sejak matahari terbit. Dala m pada itu, ternyata banyak juga orang, yang ingin menyaksikan, bagaimana Raden Ayu Galihwarit itu mengakhiri hidupnya. Karena itu, maka ja lan-jalan diseluruh kota-pun menjadi ramai. Berkelompok-kelompok orang menuju ke lapangan di depan loji. Dengan perasaan yang berbeda-beda rakyat Surakarta berusaha untuk me lihat, apa yang sebentar lagi a kan terjadi. Dala m pada itu, betapapun tabahnya hati Raden Ayu Galihwarit, namun ketika datang saatnya hukuman mati itu akan dilaksanakan, maka wajahnyapun nampa k menjadi pucat. Jantungnya bagaikan berdetak se makin cepat Pada saat seorang penjaga membuka pintu biliknya, ke mudian me mpersilahkan Tumenggung Watang me masuki bflik itu, terasa jantungnya bagaikan berhenti mengalir. Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak mau menunjukkan kegelisahannya yang sangat. Karena itu, iapun berusaha untuk tetap tersenyum sa mbil bertanya "Apakah aku harus berangkat sekarang?" "Belum Raden Ayu" jawab Tumenggung Watang "aku masih mendapat kesempatan untuk bertanya kepada Raden Ayu, apakah masih ada yang Raden Ayu inginkan sebelum Raden Ayu menjalani hukuman itu. ?"
Jantung Raden Ayu itu bergetar. Namun katanya kemudian "Aku ingin bertemu dengan ayahanda sekali lagi." "Baiklah Raden Ayu. Biarlah ayahanda dije mput untuk datang ketempat ini sebelum Raden Ayu pergi" jawab Tumenggung Watang. Namun dala m pada itu, ternyata Tumenggung Watang sendirilah yang telah pergi menje mput Pangeran Sindurata. Ketika ia me masuki hala man istana Sinduratan ma ka iapun segera meloncat turun dari kudanya diikuti oleh para pengawalnya. Tumenggung Watang tertegun ketika ia melihat Pangeran tua itu duduk di pendapa istananya seorang diri. Tidak seorangpun yang menghadap dan mene maninya. Anakanaknya yang lain juga tidak. Dengan kerut merut yang semakin dala m karena usianya serta beban perasaannya, Pangeran itu merenungi pepohonan yang tegak di hala man istananya. Ketika Pangeran Sindurata melihat Tumenggung Watang, maka tanpa bergerak dari te mpat duduknya, ia me mpersilahkan Tumenggung itu na ik. "Apa keiperluanmu " Apakah kau juga mendapat perintah untuk menangkap aku?" bertanya Pangeran Sindurata. "Tida k Pangeran" jawab Tumenggung Watang yang ke mudian menyampa ikan permohonan Raden Ayu Galihwarit untuk dapat bertemu dengan ayahandanya sekali lagi. "Terima kasih" jawab Pangeran Sindurata "aku akan segera datang." "Ka mi a kan menunggu Tumenggung Watang. Pangeran berke mas." jawab
Dengan tergesa-gesa Pangeran Sinduratapun segera me mbenahi diri. Dengan keretanya iapun kemudian pergi ke bekas istana Pangeran Ranakusuma untuk menjumpai anak
perempuannya yang sebentar lagi akan menja lani hukuman mati. Ketika di jalan-jalan raya Pangeran itu melihat orang berduyun-duyun, maka iapun berguma m seolah-olah kepada diri sendiri "Mereka akan melihat satu pertunjukan yang paling baik di pe kan ini." Kedatangannya disambut oleh Raden Ayu Galihwarit dengan isak yang tertahan. Sambil berjongkok Raden Ayu itu menye mbah kepada ayahandanya. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya sejak ia berada dala m satu lingkungan yang de kat dengan kumpeni. "Ha mba mohon maaf atas segala kesalahan hamba ayahanda. Hamba telah mengotori na ma ayahanda dengan tingkah laku ha mba. Ha mba telah me mbunuh anak ha mba laki-laki dan hamba pula yang telah mendorong kakangmas Ranakusuma untuk menga mbil sikap yang menyebabkan ia gugur." tangis puteri itu. "Tetapi Pangeran Ranakusuma gugur sebagai pahlawan" jawab Pangeran Sindurata "dan kaupun akan menjalani hukumanmu sebagai! seorang pejuang." "Ha mba mohon restu, agar hati hamba menjadi tabah" desis Raden Ayu. "Ketabahan adalah ciri kepahlawananmu Ga lihwarit. Kau telah mapan dan pasrah, sehingga tidak ada yang dapat menggoyahkan hatimu lagi. Kau akan berdiri tegak seperti batu karang di pinggir Sa modra. Perjuanganmu adalah bunga yang akan mekar di persada tanah a ir inti. Jika pada saatnya ke mbang itu gugur, maka baunya yang harum akan tetap dikenang." Raden Ayu Galihwarit mengusap matanya yang basah. Sekali lagi ia menye mbah ayahandanya dan mencium kakinya. Kemudian iapun berdiri tegak sa mbil berkata "Aku sudah siap ayahanda."
"Pergilah. Aku akan mengiringimu dengan doa, semoga kau diterima dsisi Tuhan Yang Maha Esa," jawab ayahandanya. Raden Ayu Galihwarit mengangguk sa mbil tersenyum. Katanya lirih "Sela mat t inggal ayahanda," Pangeran Sindurata tidak menyahut. Iapun kemudian keluar dari bilik itu langsung menuju ke keretanya. Betapa kerasnya hati orang tua itu. namun dikedua matanya telah menge mbun setitik air mata. Sepeninggal Pangeran Sindurata, maka Tumenggung Watangpun masuk kedala m bilik Raden Ayu itu pula. Dengan nada dala m ia bertanya "Apakah masfih ada keinginan Raden Ayu yang tertinggal?" Raden Ayu Galihwarit itu tertawa. Katanya "Sudah cukup Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung bertanya lagi, maka aku akan menjawab, bahwa yang aku inginkan adalah kepala kapten Kenop." "Ah" desah Tumenggung Watang. "Sekarang aku sudah siap." berkata Raden Ayu. Tumenggung Watang menarik nafas dalam-da la m. Dipandanginya Raden Ayu itu sekilas. Hampir saja ia bertanya, dimanakah puterinya yang berna ma Rara Warih sekarang. Tetapi niatnya itu diurungkan. Hal itu akan dapat mengungkit luka dihati Raden Ayu itu justru pada saat-saat terakhir. Bahkan mungkin Raden Ayu itu akan salah mengerti, bahwa disangkanya ia akan me mburunya dan menangkapnya. Tetapi ingatan Tumenggung Watang itu se mata-mata karena Warih adalah kawan ba ik anak pere mpuannya yang sebaya. "Apa yang ditunggu lagi Ki Tume nggung ?" justru Raden Ayu itulah yang mendesak. "Sebentar lagi akan datang kereta khusus yang menje mput Raden Ayu" jawab Tumenggung Watang.
Raden Ayu itu mengangguk-angguk. Na mun belum lagi Raden Ayu bertanya tentang yang lain, maka telah terdengar derap kereta dan kaki kuda me masuki hala man itu. "Mereka datang." berkata Tume nggung Watang. Sejenak kemudian, maka di hala man itu telah siap sebuah kereta yang menje mput Raden Ayu itu. Diiringi oleh beberapa orang kumpeni yang siap dengan senjata di tangan. Sementara itu pasukan berkuda Surakartapun telah menyiapkan se kelompok prajuritnya untuk mengawa l Raden Ayu itu pula. "Marilah Raden Ayu" Tumenggung Watang me mpersilahkan. Denyut jantung Raden Ayu Galihwarit terasa semakin cepat. Tetapi ia sudah benar-benar pasrah. Pasrah bagi dirinya sendiri dan pasrah atas anak-anaknya yang ditinggalkannya. Dala m pada itu, diiringi oleh Tumenggung Watang dan serenang perwira kumpeni, Raden Ayu Galihwarit itu na ik kedala m kereta. Namun dalam pada itu, ia berkata "Aku masih me mpunyai satu permintaan Ki Tumenggung." Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Ia cemas, bahwa Raden Ayu itu akan minta kepala seorang kumpeni. Tetapi dalam pada itu, Raden Ayu itupun berkata "Aku minta bahwa yang berada disebelah menyebelah kereta ini adalah prajurit Surakarta. Bukan kumpeni Karena aku adalah rakyat Surakarta." Tumenggung Watang menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Baiklah Raden Ayu. Permintaan itu akan a ku penuhi." Demikianlah, maka iring-iringan itupun meningga lkan halaman bekas istana Pangeran Ranakusuma. Diluar regol Raden Ayu masih berpaling sekali, seolah-olah ingin melihat regol bekas istananya itu sekali lagi. Kemudian, Raden Ayu itupun duduk .tenang dida la m keretanya.
Jantungnya menjadi berdebaran ketika ia meilhat sedemikian banyak orang yang menunggunya. Terasa hatinya tersentuh. Sekian banyak orang yang ingin melihat dan menjadi saksi ke matiannya. Tetapi Raden Ayupun sadar, bahwa perasaan orang-orang itu tentu berbeda-beda menghadapi peristiwa yang bakal terjadi atas dirinya Dala m pada itu, di Sukawati, Juwiring, Buntal dan Arum tengah berusaha menenangkan Rara Warih. Mereka tahu, bahwa hukuman mati itu dilaksana kan pada pagi hari itu. Karena itu, Rara Warih telah dicengka m lagi oleh kegelisahan. Bahkan dala m pada itu, Juwiring telah mengundang Kiai Danatirta dari Guntung Garigal. Ia berharap bahwa Kiai Danaitirta akan dapat membantunya menenangkan air perempuannya itu. Karena pada waktu itu Pangeran Mangkubumi tida k berada di Sukawati. Juwiring tahu, bahwa Pangeran Mangkubumi tentu berada dida la m kota pada saat hukuman itu dila ksanakan Dengan sabar Kiai Danatirta me mberikan beberapa petunjuk kepada Ratra Warih tentang saat-saat manusia datang dan saat-saat mereka harus pergi "Yang penting ngger" berkata Kiai Danaitirta "apakah yang ke mudian dapat kita lakukan untuk melanjut kan perjuangan ibunda mu." Rara Warih tersentuh oleh kata-kata Kiai Danatirta, itu. Sekali lagi ia mengulang dida la m hatinya "Yang penting, apakah yang ke mudian dapat kita lakukan untuk me lanjutkan perjuangan ibunda." Rara Warih menarik nafas dalam-dala m. Betapapun juga. akhirnya ia harus sampai kepada kenyataan yang dihadapinya. Sementara ku pesan Kia i Danatirta ku telah tergores didinding jantungnya. "Aku sudah berada didalami lingkungan pasukan pamanda Mangkubumi" berkata Rara Warih didala m hatinya "a ku akanberbuat apa saja bagi perjuangan ini" Tetapi ia masih me lanjutkan "Na mun aku t idak a kan berani mene mpuh cara seperti yang ibunda lakukan." Dala m pada itu, Raden Ayu Galihwarit telah berada di antara orang-orang yang ingin menjadi saksi atas hukuman mati yang akan dijatuhkan. Namun sekali lagi, Raden Ayu itu telah menggetarkan hati Rakyat Surakarta. Dari jendela kereta yang membawanya rakyat Surakarta melihat wajah Raden Ayu itu sama sekali tidak menunduk. Tetapi sambil menengadahkan wajahnya Raden Ayu ku justru mela mbaikan tangannya. Ketika kereta itu ke mudian berhenti di lapangan didepan loji ma ka yang nampa k turun dari kereta itu adalah seorang perempuan cantik yang masih saja tersenyum. Dengan tengadah Raden Ayu Galihwarit me mandang keseke lilingnya. Sehingga justru karena itulah, maka wajah-wajah rakyat Surakarta itulah yang menunduk dala m-dala m. Sebuah gejolak yang dahsyat telah menerpa jantung mereka. Yang me mbenci maupun yang mencintainya, telah berdesah didalam hati "Seorang pere mpuan yang Agung." Raden Ayu Galihwarit menola k untuk ditutup matanya. Ketika ia berdiri dihadapan sekelompok pene mbak, maka ia berdiri dengan tegak. Yang justru menjadi ge metar adalah letnan Morman. Ia mendapat perintah untuk me mberikan aba-aba kepada, tujuh orang kumpeni dengan senapan di tangan. "Luar biasa" 'berkata Morman itu dida la m hatinya "ia sadar sekali, apa yang dilakukannya bagi tanah air. bagi bangsa dan bagi dirinya sendiri." Bagaimanapun juga letnan itu terpaksa mengangguk hormat ketika Raden Ayu Galihwarit me mandangnya sambil tersenyum.
Di sebelah kiri dari lapangan itu, beberapa orang bangsawan dan pemimpin dari Surakarta berdiri tegak. Pangeran Yudakusuma hadir dala m pe laksanaan hukuman mati itu. Dala m pada itu, tidak seorangpun diantara mereka yang berani menatap wajah Raden Ayu Galihwarit Sa mbil menundukkan kepala, mereka berkata didala m hati "Bahwa perempuan yang pernah tercemar namanya ini, pada suatu saat telah mene mpatkan diri sebagai seorang pejuang yang sulit dicari bandingnya." Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang berani melihat dan meruku diri mereka sendiri. Beberapa orang pimpinan dala m jajaran tertinggi di Surakarta, yang sejak semula telah berusaha me njatuhkan kedudukan Pangeran Mangkubumi karena iri dan dengki, berusaha untuk me mbaurkan pengakuan didala m hatinya itu dengan pernyataan-pernyataan yang semu, sehingga dengan susah payah barulah mereka berhasil menipu diri mereka sendiri. Sejenak ke mudian, maka pe laksanaan hukuman mati itupun telah di persiapkan. Ketika Morman mene mpatkan Raden Ayu yang tidak mau ditutup matanya itu, maka ia telah berbisik dengan bahasa yang kaku "Aku mohon maaf Raden Ayu. Aku adalah prajurit yang menjalankan tugasku." Raden Ayu attu tersenyum. Seperti kepada anak-anak yang merengek minta gula-gula Raden Ayu itu menepuk pundaknya "Lakukan tugasmu dengan baik letnan." Sejenak ke mudian, ma ka tujuh orang pene mbak tepat itu telah bersiap. Namun dala m pada itu, rakyat yang menyaksikan peristiwa itu telah bergejolak. Beberapa orang tidak dapat menahan tangisnya, sementara 'beberapa, orang yang lain dengan tergesa-gesa telah meninggalkan te mpat itu, sebelum hukuman dilaksanakan, Dala m pada itu, ketika dengan suara ge metar Morman meneria kkan aba-aba dan senapan yang tujuh pucuk itu me ledak, ma ka meledak pula pertempuran yang dahsyat di
Jatimalang. Ternyata Pangeran Mangkubumi tidak menyaksikan hukuman mait i itu dilaksanakan. Pagi-pagi sekal ia me mang berada di kota, diantara orang-orang yang berduyun-duyun kelapangan didepan loji itu. Na mun ke mudian ia telah meninggalkan kota justru ketika ia me lihat, bahwa seluruh ke kuatan kumpeni dan prajurit Surakarta telah dikerahkan untuk menjaga kea manan kota pada saat pelaksanaan hukuma n mati itu. Kematian Raden Ayu Galihwarit didepan tujuh orang penembak itu, bukannya dibiarkan saja berlalu oleh Pangeran Mangkubumi. Na mun pada saat yang bersamaan, ternyata pasukan Pangeran Mangkubumi yang berada di Gunung Garigal telah turun dan menyerang salah satu pertahanan kumpeni yang kuat. Tetapi ternyata bahwa Pangeran Mangkubumi sendiri telah me mimpin serangan itu dengan sebagian besar kekuatannya. Pasukan di Jatimalang itu tidak se mpat minta bantuan ke kota. Dengan ke marahan yang me luap, Pangeran Mangkubumi telah menyapu mereka sehingga pertahanan di Jatimalang itu hancur menjadi debu. Hanya beberapa orang kumpeni yang berhasil lolos dan me larikan diri ke kota, yang masih diliputi suasana yang mengandung rahasia. Karena tidak seorangpun yang dapat menghitung dengan pasti, berapa orang yang menarik nafas lega karena pengkhianat telah terbunuh sementara berapa orang yang telah mengutuk hukuma n itu sebagai satu tindakan yang paling biadab. Kapten Kenop telah mendapat laporan di tempat tidurnya, bahwa pelaksanaan hukuman mati itu telah dijalankan. Na mun pada hari itu juga ia telah me ndengar pula, bahwa pasukan kumpeni di Jatimalang telah digilas habis oleh pasukan Pangeran Mangkubumi yang marah, yang menuntut keseimbangan perist iwa atas hukuman mati yang dijatuhkan kepada! Raden Ayu Galmwarit
Kemarahan yang tida k ada taranya telah me mbakar dada kapten Kenop. Tetapi ia masih!harus berbaring dipe mbaringan. Sehingga karena itu ia hanya dapat mengumpat-umpat dengan kata-kata kasar. Sementara itu, beberapa perwira lainnya, telah menyiapkan pasukan yang akan dikirim untuk me mbangun ke mbali pertahanan di Jatimaiang. Mala m itu, Surakarta 'bagaikan kota mati. Sepi. Bahkan seperti sebuah kuburan yang sangat hias. Rakyat masih dicengka m oleh peristiwa yang menggetarkan jantung mereka di lapangan didepan loji. Se mentara kumpeni masih dihantui oleh peristiwa hancurnya pertahanan di Jatimalang, yang terjadi dala m perte mpuran yang termasuk cepat dan tiba-tiba. Hari itu juga tubuh Raden Ayu Galihwarit dimaka mkan. Tetapi hari itu juga, mayat kumpeni berserakkan di Jatimalang, karena kawan-kawannya sempat me mbawanya telah dia mbil oleh pasukan ke mudian datang, setelah laporan itu sampai kepada perwira kumpeni di Surakarta. telah yang tidak yang para
Mala m itu, Pangeran Mangkubumi berada di Sukawati setelah me mbersihkan diri. Bersa ma Kiai Danatirta, Juwiring. Buntal, Warih dan Aram, Pangeran itu duduk disebuah a mben yang besar. Dengan wajah yang tenang Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk ketika ia mendengar Warih berkata "Aku mengerti pa manda. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta bagaimana aku harus melanjutkan perjuangan ibunda. Tetapi aku berbeda dengan ibunda dan berbeda dengan Arum yang me miliki ilmu kanuragan." Pangeran Mangkubumi tersenyum. Katanya "Perjuangan untuk menegakkan cita-cita ke merdekaan ada seribu maca m cara. Ibundamu telah menga mbil sa lah satu cara yang barangkali teriaki sulit untuk dilakukan oleh orang lain. Arum juga menga mbil caranya sendiri untuk ikut serta dalam
perjuangan ini. Aku yakin, bahwa besok atau lusa, kau akan segera menyesuaikan dirimu dengan salah satu cara yang paling baik bagimu. Perjuangan ku masih panjang Warih." Rara Warih menarik nafas dalam-dala m. Dipandanginya wajah kakaknya yang menegang. Na mun Raden Juwiring menarik nafas dala m-da la m ketika Rara Warih mengangguk. "Aku akan menyesuaikan diri dengan keadanku sekarang" berkata Rara Warih "aku akan berusaha pa manda " "Bagus" berkata Pangeran Mangkubumi "kita. akan mulai dengan perjuangan yang barangkah akan lebih luas dan lebih cepat. Kira akan selalu bergerak Pengalaman kita sampai sekarang mengatakan, bahwa Untuk menetap disatu te mpat kadang-kadang kurang menguntungkan. Seandainya kita tidak dapat mencium rencana kumpeni menyerang dengan kekuatan yang besar, maka kita akan dapat dihancurkan." Juwiring dan Buntalpun mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Danatirta berkata "Pangeran, agaknya dukungan terhadap perjuangan Pangeranpun menjadi semakin luas. Kemanapun Pangeran pergi, agaknya Pangeran akan mendapat sa mbutan yang baik. Bukan saja bagi kedatangan Pangeran, tetapi juga bagi perjuangan Pangeran." "Terima kasih Kiai Besok ka mi akan bertemu dengan kawan-kawan ka mi yang tersebar. Kami akan menentukan langkah yang lebih tepat menghadapi keadaan yang berkembang dengan cepat," berkata Pangeran Mangkubumi "nah, sejak sekarang, bersiap-silaplah. Mudah-mudahan Juwiring dan Buntal akan segera sembuh" "Aku sudah sembuh Pangeran" jawab Buntal. "Besok a kupun se mbuh" desis Juwiring sa mbil tersenyum. Demikianlah Pangeran Mangkubumi telah me ningga lkan anak-anak muda itu. Malam itu juga Pangeran Mangkubumi ke mbali ke Gunung Garigal, me mpersiapkan sebuah
pertemuan yang akan dilakukan dikeesokan harinya disita tempat yang dirahasiakan. Namun dala m pada itu, di Sukawati seorang petugas sandi telah mene mui anak-anak muda itu. Tanpa dapat dicegah lagi ia berceritera. tentang hukuman mati yang sudah dilaksanakan. Bagaimana sebagian dari rakyat Surakarta menangisi ke matian Raden Ayu Ga lihwarit. "Dite mpat Raden Ayu dite mbak sekarang menggunung bunga tabur. Entah siapa yang memulainya, namun kumpeni tidak dapat mencegah, rakyat Surakarta yang bagaikan arus bengawan menga lir untuk menaburkan 'bunga ditempat itu," berkata petugas sandi itu. Setitik air na mpak di pe lupuk mata Rara Warih. Tetapi ia tidak menangis lagi. Demikianlah, agaknya gugurnya Raden Ayu Galihwarit menjadi pertanda perubahan cara yang dite mpuh oleh Pangeran Mangkubumi. Didala m pertemuan dihari berikutnya ditempat yang dirahasia kan, para pemimpin pasukan Pangeran Mangkubumi, termasuk Raden Mas Said mengakui, bahwa sekuntum bunga telah gugur. Bukan bunga yang tumbuh di taman sari yang asri, tetapi bunga yang tumbuh digersangnya batu karang, sebagaimana gersangnya kehidupan Raden Ayu Galihwarit itu sendiri. Na mun bungabunga yang lain masih dan akan berke mbang. Bunga yang tumbuh di batu-batu karang, yang tumbuh di tanah-tanah tandus, dihutan-hutan perdu, dan di alas gung liwang-liwung. Karena taman sari yang asri justru sedang dijamah oleh orang-orang asing yang dengan tama knya telah menghisap saripatinya kehidupan di Surakarta, sehingga kehidupan rakyat Surakarta itu akan menjadi semakin tandus, gersang dan kering. Namun perjuangan Pangeran Mangkubumi t idak terhenti. Justru semakin la ma menjadi se makin dahsyat Kumpeni menjadi se makin pening menghadapi perlawanan yang
semakin teratur meskipun menebar didaerah yang sangat luas. Juwiring dan Warih ke mudian menjadi satu bagian dari perjuangan Pangeran Mangkubumi. Se mentara Buntal dan Arum merupa kan pasangan yang tidak terpisahkan. Bukan saja ikatan pribadinya, tetapi juga dalam lingkungan perjuangan Pangeran Mangkubumi, bersama dengan ayah angkat mere ka. Kiai Danatirta. Arum me mang me mpunyai cara yang berbeda dari Rara Warih. Namun dala m beberapa hal keduanya berada dalam satu medan yang saling mengisi. Dengan perempuan-perempuan yang siap menghadapi tantangan perjuangan, Warih telah menyiapkan segala keperluan para pejuang di medan. Se mentara Arum dan beberapa orang pengawal siap melindungi mereka dala m bentuk apapun juga. Perjuangan itu ternyata telah menempa anak-anak muda itu menjadi se makin dewasa. Sehingga dewasa pulalah hubungan antara Arum dan Buntal. Namun dala m pada itu, genderang dan sangkakala masih bergema disetiap lereng bukit dan le mbah-le mbah. Perjuangan Pangeran Mangkubumi telah menggetarkan jantung kumpeni. Semakin la ma menjadi se makin dahsyat, sehingga akhirnya kumpeni tidak lagi dapat berbuat banyak. Betapapun juga, perang terbuka telah diakhiri pada perjanjian Giyanti. Kumpeni t idak dapat mengingkari ke kuatan Pangeran yang pernah dianggap tidak berarti di Surakarta itu. Namun sebenarnyalah perjuangan belum berakhir. Pada saatsaat berikutnya perang terbuka itu pecah pula di mana-mana diseluruh persada pertiwi, sehingga akhirnya, penjajahan benar-benar telah terusir dari bumi tercinta ini. (Tamat)
Pedang 3 Dimensi 10 The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata Kilatan Pedang Merapi Dahana 2

Cari Blog Ini