Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Batu Karang 5

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 5


"Sura me mang tidak berarti apa-apa tuan. Jika tuan menghenda ki, aku sanggup mengantarkan tuan meskipun tanpa orang lain. Aku sanggup menangkapnya sendiri dan me mbawanya ke mari, menyeretnya di belakang kuda dengan tangan terikat" "Bagus. Kita akan menga mbilnya. Hatiku masih be lum puas, Jika aku belum berhasil menangkapnya" Raden Rudira menggera m "Kita akan menga mbil petani itu sekaligus dengan perempuan dari Jati Aking" "Perempuan dari Jati Aking?" Mandra bertanya. "Ya. Petani itu pulalah yang telah menggagalkan rencanaku atas gadis Jati Aking itu" Mandra masih belum je las, apakah hubungan antara petani itu dengan seorang gadis dari Jati Aking, meskipun ia pernah mendengar bahwa petani itu dijumpai pertama-ta ma di bulak Jati Sari. Namun selagi Mandra bertanya-tanya di dalam hati dan mencoba menghubung-hubungkan ceritera yang pernah didengarnya itu dengan perempuan yang dimaksud Raden Rudira, tiba-tiba saja Sada yang selama itu hanya mendengarkan saja berkata "Tetapi tidak mustahil bahwa Pangeran Mangkubumilah petani yang tuan maksud itu" Raden Rudira me mbela lakkan matanya. Dipandanginya orang itu tajam-taja m. Ke mudian ia bertanya "Siapakah la kilaki ini?" "Ampun tuan" Sa mpirlah yang menjawab "Orang ini adalah kakakku. Ia adalah abdi di Mangkubumen. Kepadanya aku bertanya tentang Pangeran Mangkubumi, dan adalah kebetulan sekali bahwa aku telah melihatnya sendiri" "Tetapi kenapa ia berkata begitu?" Sada seakan-akan sama sekali tidak mengerti, akibat apa yang dapat timbul dari kata-katanya. Seenaknya ia berkata
"Me mang Mungkin sekali. Pangeran Mangkubumi dapat berada di se mbarang te mpat di setiap waktu" Raden Rudira menjadi tegang "Maksudmu?" "Pangeran Mangkubumi me mpunyai aji Sepi Angin" Wajah Raden Rudira menjadi merah. Sejenak ia me mandang wajah Sada. Namun sejenak ke mudian dipandanginya wajah pelayan-pelayannya yang ada di sekitarnya. Dan ternyata bahwa wajah-wajah itupun menegang juga. Namun tiba-tiba ia berteriak "Bohong. Bohong kau" Tetapi masih seenaknya Sada menggeleng "Kenapa aku berbohong" Aku hanya me mperingatkan tuan, agar tuan tidak salah langkah. Dari Sampir aku mendengar bahwa tuan menjadi ragu-ragu melihat seorang petani yang mirip dengan Pangeran Mangkubumi. Me mang tidak mustahil bahwa petani itu me mang Pangeran Mangkubumi" Raden Rudira me mandang Sada dengan tajamnya. Ia sama sekali tidak senang me lihat sikapnya. Seakan-akan ia sedang berbicara dengan orang-orang sejajarnya. Apalagi persoalan yang dikatakannya telah menimbulkan keragu-raguan yang sangat di dala m hatinya. Karena itu, maka dengan wajah yang merah ia me mbentak "Aku tidak me merlukan keteranganmu. Aku tidak me merlukan kau. pergi. Pergi dari sini. Sikapmu tida k menyenangkan dan kau mulai me mbua l seperti pelayan-pelayan pesanggrahan itu. Aku harus melaporkannya kepada Ra manda Pangeran Mangkubumi bahwa pasti ada seseorang dari abdi-abdinya yang dengan sengaja mengacaukan susunan tata-krama" Sada terkejut mendengar bentakan-bentakan itu, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata "Kenapa tuan membentak-bentak aku?".
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
"Kau tida k mengena l sopan santun. Dan kau sengaja me mbuat aku gelisah" la lu Raden Rudira berkata kepada Sampir "bawa orang ini meninggalkan hala man" Sampir menjadi termangu-ma ngu. Karena itu ia tida k segera berbuat sesuatu sehingra Raden Rudira membentaknya pula "Cepat, bawa orang ini pergi" "Ya, ya tuan" Ia menyahut terbata-bata. Sadapun ke mudian menyadari, bahwa ia tidak disukai oleh Raden Rudira. Karena itu, maka iapun menganggukkan kepalanya sambil berkata "Ba iklah Raden. Aku minta diri. Aku minta maaf, bahwa aku berbuat sesuatu yang tidak berkenan di hati Raden. Mungkin hal ini terbawa oleh kebiasaan ka mi di istana Pangeran Mangkubumi" "Cukup, Cukup. Kau tinggalkan hala man ini" tidak usah sesorah sekarang
"Baiklah Raden" sahut Sada sa mbil me mbungkuk sekali lagi. Demikianlah, Sa mpir telah me mbawa kakaknya keluar regol halaman Ranakusuman, sa mbil minta maaf kepadanya. "Kau tidak apa-apa. Baiklah aku berjalan berkeliling kota sampai menje lang tengah hari, seolah-olah aku sudah menengok kakek yang sedang sakit" Dala m pada itu Raden Rudira benar-benar telah dicengka m ke mbali oleh keragu-raguan yang dahsyat. Keterangan Sada me mbuatnya semakin bingung, sehingga denda m yang tersimpan di dala m dadanya seakan-akan menghentak-hentak tanpa mendapat saluran. Dala m kebingungan dan kebimbangan itulah, tiba-tiba. Raden Rudira mencari sasaran yang paling luna k untuk me lepaskan ke marahannya. Katanya kepada Mandra "Sebentar lagi matahari akan terbit. Jika panasnya mulai menyentuh atap gandok kulon, kalian harus sudah siap. Aku
akan pergi ke Jati Aking. Aku akan menga mbil gadis itu atas perintah ibunda. Ibunda Ranakusuma me merlukan seorang pelayan untuk menyiapkan te mpat sirihnya setiap saat" Perintah itu itu sebenarnya sangat mengejutkan. Apalagi Sura yang berada di balik dinding dengan gelisah. Jika Rudira masih saja berdiri di situ sampai matahari naik, maka kehadirannya pasti diketahui oleh salah seorang yang ada di sekitar kandang itu. Untunglah bahwa ke mudian jatuh perintah Raden Rudira yang mengejutkan itu, sehingga sejenak kemudian Raden Rudirapun meninggalkan kandang itu sa mbil menggera m "Aku harus menga mbilnya. Tidak seorangpun dapat menentang perintah seorang Pangeran. Dan ayahanda lewat ibunda menghenda ki gadis itu" Para abdinya yang termangu-mangu iupun sejenak ke mudian telah meninggalkan kandang itu pula Meskipun mereka harus menggerutu, tetapi mereka tida k dapat menolak. Betapapun le lahnya, mereka harus segera me mpersiapkan diri untuk pergi ke Jati Sari. "Mudah-mudahan petani itu tidak kita jumpai lagi di Jati Sari" desis salah seorang dari mere ka. Jika benar orang itu Pangeran Mangkubumi yang me mpunyai aji Sepi Angin, tidak mustahil tiba-tiba saja ia sudah berada di padepokan Jati Aking itu" sahut kawannya. "Tetapi Pangeran Mangkubumi tidak mengetahui rencana yang tiba-tiba saja meledak karena ke marahan yang tidak tersalurkan. Tindakan ini se mata-mata adalah se maca m pelepasan yang hampir-ha mpir tida k dapat dime ngerti" "Sst, siapa tahu, selain aji Sepi Angin, Pangeran Mangkubumi juga me mpunyai aji Sapta Pangrungu. Ia mendengar setiap pe mbicaraan yang dikehendakinya"
"Apakah ia sekarang sedang mendengarkan pe mbicaraan kita dan pe mbicaraan Raden Rudira beberapa saat tadi?" "Mungkin, karena Sa mpir baru saja meninggalkan istana Pangeran Mangkubumi itu. Pangeran Mangkubumi ingin mengetahui yang akan dilaporkannya kepada Raden Rudira" "Terasa tengkuk orang itu mere mang. Baginya Pangeran Mangkubumi dan petani di bulak Jati Sari itu adalah orangorang yang menyimpan rahasia yang tidak terpecahkan. Tetapi mereka harus pergi, meskipun mereka tahu, bahwa Raden Rudira hanya sekedar ingin melepaskan ke marahan yang bergejolak di hatinya. Ia tentu ingin me mbuat Raden Juwiring me njadi se ma kin sakit hati karena gadis yang dia mbilnya itu. "Apakah gadis itu baka l isteri Raden Juwiring?" bertanya seseorang kepada kawannya. "Siapa yang bilang" Gadis itu adalah anak Danatirta. Jika di antara mereka timbul juga perasaan saling mencintai, itu wajar sekali. Setiap hari mereka bertemu dan bergaul. Apalagi Raden Juwiring adalah seorang anak muda yang tampan dan rendah hati" Merekapun ke mudian terdia m Na mun tangan merekalah yang sibuk dengan alat-alat yang harus mereka bawa. Alatalat berburu yang tidak akan dipergunakannya karena sebenarnya mereka tidak akan berburu binatang di hutanhutan perburuan. Dengan tergesa-gesa merekapun ma kan pagi. Jika matahari naik, tentu Raden Rudira akan segera membawa mereka pergi. Demikianlah, dugaan mereka itu ternyata benar-benar terjadi. Ketika langit menjadi se makin cerah, dan sinar matahari mulai jatuh diatas atap gandok kulon, maka Raden Rudira segera mempersiapkan orang-orangnya. Ia sama sekali
tidak menghiraukan lagi kepada Sura. Apakah ia ada di halaman istana atau tidak. Tetapi Raden Rudira tidak me mbawanya serta, karena ternyata Sura tidak lagi Sura yang setia. Demikianlah ma ka Raden Rudira beserta para pengiringnya segera berpacu ke Jati Aking. Beberapa orang yang melihat menjadi terheran-heran. Baru saja mereka me lihat Raden Rudira berangkat berburu dua hari yang lalu. Sekarang mereka melihat Raden Rudira telah berangkat lagi. Raden Ayu Sontrang hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalannya saja. Ia tidak dapat lagi mencegah anaknya yang bernafsu untuk me lepaskan ke marahannya kepada orangorang yang dianggapnya menjadi sebab. Jika Juwiring dan orang-orang Jati Aking itu tidak mengganggunya saat itu, maka petani itupun t idak akan berbuat apa-apa. "Ke manakah Rudira itu pergi?" bertanya Pangeran Ranakusuma kepada isterinya. Raden Ayu Sontrang tidak segera menjawab. Tetapi sambil tersenyum ia berkata "Makan telah kami sediakan. Silahkan kamas makan pagi" "Rudira itu pergi ke mana?" Pangeran Ranakusuma mengulang. "Isterinya masih saja tersenyum. Katanya "Janganlah kamas terla mpau menghiraukan ana k itu. Ia sudah meningkat
dewasa. Ia akan dapat menemukan jalannya sendiri yang dianggapnya baik" "Aku hanya bertanya, ia akan pergi ke mana" Raden Ayu Sontrang justru tertawa. "Baru sema la m ia datang. Belum lagi aku se mpat berbicara, ia telah pergi lagi. Aku tidak tahu tabiat anak-anak muda sekarang. Terlampau sulit untuk diketahui ke mauannya" "Ka mas menganggapnya masih terla mpau kanak-kanak" "Tida k. Justru aku menganggap ia sudah meningkat dewasa, maka ia harus mene mukan kepribadiannya. Selama ini Rudira ha mpir tida k pernah berbuat apa-apa yang dapat berarti bagi hidupnya ke mudian. Ia sa ma sekali tida k mau me mpe lajari tata pemerintahan, tidak me mpelajari ilmu kehidupan dan ilmu tata susunan ala m dan bintang-bintang. Ia ma las me mbaca kitab-kitab dan kidung yang berisi ilmu kasampurnan, dan ia t idak pula maju dala m ilmu kanuragan" "O" Raden Ayu Sontrang mengerutkan keningnya, namun ke mudian ia duduk di sebelah sua minya sambil berkata "pada saatnya hatinya akan terbuka. Kamaslah yang wajib menuntunya. Sampai sekarang ka mas terlampau sibuk dengan pemerintahan di Surakarta berhubung dengan kehadiran orang-orang asing itu" "Dan kau sibuk pada ja mu-ja muan yang diselenggarakan oleh mereka itu dan ja muan yang kita adakan untuk mere ka. Terasa dada Raden Ayu Sontrang berdesir. Baru semala m, sebelum anaknya pulang ia menghadiri ja muan tamu-ta mu asing itu dan kemudian menja mu mereka pula. Jamuan yang tidak sekedar ma kan dan minum. Namun sejenak kemudian Raden Ayu Sontrang itu sudah tersenyum kemba li sambil berkata "Tetapi masih belum terlambat. Kita akan segera menebus kela mbatan itu. Bukankah kita
dapat me manggil guru yang cakap untuk menuntun Rudira di dalam bermaca m-maca m ilmu?" Pangeran Ranakusuma mengangguk-anggukkan kepa lanya. Sambil menatap kekejauhan ia berkata "Tetapi kalau kita tidak segera melakukannya, pada suatu saat, kita baru akan sadar, jika kita sudah terla mbat" Isterinya tidak menyahut, tetapi diangguk-anggukkannya kepalanya pula. Bahkan kemudian katanya "Kamas, silahkan makan. Se muanya sudah tersedia. Bukankah kamas akan segera menghadap ke istana?" Demikianlah, ketika Pangeran Ranakusuma berangkat ke istana, maka Raden Rudira berpacu secepat-cepatnya di tengah-tengah bulak menuju ke Jati Aking. Ia mengurungkan niatnya untuk kemba li ke Sukawati karena keragu-raguan yang mencengka m dadanya. Sekali-sekali terbayang wajah petani itu, namun kadang-kadang ia diganggu oleh wajah Pangeran Mangkubumi yang me mang ha mpir tidak dapat dibedakannya. "Persetan dengan petani itu" geramnya "Aku harus me lepaskan sakit hatiku kepada kakang Juwiring. Mandra pasti akan lebih berhasil dari Sura yang berkhianat itu" Dengan de mikian, maka mereka berpacu se makin cepat. Ketika matahari merayap semakin tinggi, maka merekapun telah me mbelah daerah persawahan di Jati Sari. "Kita ha mpir sa mpa i" desis Rudira. Yang berpacu di sebelahnya kini adalah Mandra Sa mbil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bertanya "Apakah mereka t idak sedang berada di sawah?" "Aku tidak peduli. Aku harus pergi ke Jati Aking mene mui Kiai Danatirta. Ia harus menghadap dan me mbawa Juwiring, anak dungu yang hampir saja mencela kai Sura dengan licik itu. dan anak gadisnya. Aku me merlukan gadis itu. Tidak
seorangpun akan dapat mencegahnya. Kalau perlu, kau dapat bertindak dengan kekerasan" "Jangan cemas" sahut Mandra "Aku tida k akan mengecewakan tuan seperti Sura. Aku akan berhasil me mbawa gadis itu. Meskipun Raden Juwiring kini me miliki aji Lebur Seketi dan Ta meng Waja seperti yang pernah dimiliki oleh Kangjeng Sultan Pajang, namun ia tidak a kan berhasil mencegah a ku" "Ia tidak akan dapat berbuat banyak. Yang gila adalah petani dari Sukawati itu. Hampir tanpa berbuat sesuatu ia sudah berhasil menga lahkan Sura" Raden Rudira berhenti sejenak, lalu "Apakah ia me mpunyai ke kuatan gaib pada tatapan matanya yang tajam itu, yang sering disebut sebagai aji Candramawa " "Aku tidak peduli tuan. Aku akan mema ksa mereka menurut segala perintah tuan. Dan jika tuan kehendaki, aku dapat mengikat mereka dan me nuntun mereka di belakang kaki kuda ini" Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Ia me mang mengharap, mudah-mudahan Mandra adalah orang yang lebih baik dari Sura. Demikianlah, maka me njelang tengah hari, mereka telah berada di bulak Jati Sari. Sebentar lagi mereka a kan me masuki padepokan Jati Aking, padepokan yang agak terpisah, di luar padukuhan Jati Sari meskipun tidak begitu jauh. "Apakah kita akan langsung pergi ke padepokan Jati Aking?" bertanya Mandra. "Ya. Jika ka kang Juwiring dan orang-orang yang kita cari sedang berada di sawah, ma ka Danatirta harus me manggil mereka" sahut Raden Rudira. Mandra mengangguk-angguk. Na mun ia menjadi berdebardebar. Kali ini ia ingin menunjukkan ke ma mpuannya bertindak
me la mpaui Sura, agar ia benar-benar mendapat tempat untuk menggantikan orang yang dianggapnya sudah terlalu lama menduduki te mpat yang paling ba ik di Ranakusuman. "Aku harus mengatasi" Mandra berguma m kepada diri sendiri "Jika aku gagal ka li ini, maka aku tida k akan berhasil mengusir Sura meskipun Sura sudah berkhianat. Raden Rudira pasti akan mencari orang la in yang Setidak-tidaknya tidak lebih jelek dari Sura" Sejenak ke mudian, maka iring-iringan itupun sudah menjadi sema kin de kat dengan padepokan Jati Aking. Beberapa orang yang me lihat iring-iringan itu menjadi ce mas. Mereka masih be lum me lupakan perist iwa beberapa hari yang lalu di bulak Jati Sari. Beberapa orang yang tidak sempat menyingkir dari jalan yang dilalui Raden Rudira me mberikan hormat yang sedala mdalamnya. Bahkan ada yang menjadi ketakutan dan berjongkok meskipun mereka mengerti, bahwa mereka tidak harus berbuat demikian. Raden Rudira tidak mengacuhkan mereka. Tetapi penghormatan yang diterimanya sedikit menawarkan ke marahannya, setelah ia mengala mi perlakuan yang menyakit kan hati si Sukawati. Orang-orang Sukawati seakanakan tidak mengacuhkannya ketika ia lewat. Mereka berdiri saja dengan tangan bersilang di dada. Tetapi ternyata orangorang Jati Sari lebih bersikap sopan. Mereka me mbungkuk dalam-da la m atau bahkan berjongkok di tepi jalan. Seorang pengiring yang pernah pergi ke Jati Aking diperintahkan oleh Raden Rudira berkuda di paling depan. Kemudian di belakangnya adalah Raden Rudira dan Mandra. Ketika pengiring yang berkuda di paling depan itu berhenti di depan regol padepokan, maka Raden Rudirapun mendahuluinya sambil berkata "Kita berkuda terus. Tidak ada orang yang berhak melarang"
Demikianlah ma ka sejenak kemudian kuda-kuda itu berderap di hala man padepokan yang bersih gilar-gilar dibayangi oleh sepasang pohon sawo kecik yang sejuk. Ternyata derap kaki-kaki kuda itu telah terdengar oleh para penghuninya, sehingga dengan tergesa-gesa Kiai Danatirta menjengukkan kepalanya lewat pintu depan. Raden Rudira yang sudah berada di depan pendapa melihat kepala yang terjulur disela-sela pintu itu sehingga dengan serta merta ia berkata "Ha, aku datang Kia i" Kiai Danatirtapun ke mudian muncul dari balik pintu. Dengan berlari-lari kecil ia melintasi pendapa. Dengan hormatnya ia menyambut kedatangan Raden Rudira di tangga pendapa, sementara Raden Rudira masih berada di punggung kudanya. "Silahkan Raden" dengan ra mahnya ia me mpersilahka m tamunya "Agaknya aku mendapat anugerah tiada taranya, Raden sudi berkunjung ke padepokan ini" Raden Rudira termangu-mangu sejenak. Diedarkannya tatapan matanya kesekeliling padepokan. Hala man yang bersih dan terawat. Rerumputan yang hijau dan pohon-pohon bunga yang tumbuh di sekeliling hala man itu. Beberapa sangkar burung bergantungan dipepohonan yang rindang. Burung dari bermacam-ma ca m jenis. Jenis burung bersiul dan jenis burung mendekur. Di tengah-tengah halaman itu sepasang pohon sawo kecik yang belum tua benar tumbuh dengan rimbunnya, me mbuat halaman itu se makin sejuk dan segar. Sedang beberapa pohon buah-buahan yang lain bertebaran di sana-sini me menuhi halaman dan kebun padepokan itu. Karena Rudira tidak menjawab, maka sekali lagi Kiai Danatirta me mpersilahkan "Tuan, marilah, silahkan tuan naik ke pendapa"
Seperti kena pesona maka Raden Rudirapun turun dari kudanya diikuti oleh para pengiringnya. Selangkah de mi selangkah ia naik tangga pendapa. Demikian juga para pengiringya. Ternyata di tengah-tengah pendapa itu sudah terbentang beberapa helai tikar yang putih seperti seputih janggut yang tumbuh di dagu Kiai Danatirta meskipun tidak begitu lebat dan panjang. "Silahkan tuan" Raden Rudira memandang tikar yang terhambar itu sejenak Kemudian iapun bertanya "Apakah kau tahu bahwa aku akan datang kemari?" Kiai Danatirta tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia berka ia "Kunjungan tuan sangat menngejutkan. tetapi juga me mbesarkan hati, bahwa padepokanan yang kecil ini mendapat juga perhatian tuan" "Jangan mengada-ada" sahut Raden Rudira "Ka mas Juwiring berada di sini. Bukan untuk sekedar berkunjung" "Justru karena ia sudah ada di sini, maka tidak ada lagi yang menarik padanya. Tetapi kedatangan tuan adalah suatu kehormatan bagiku" Raden Rudira mengangguk-angguk. Ketika ia akan duduk diatas tikar yang sudah terhampar itu, sekali lagi ia bertanya "Apakah kau tahu, bahwa aku dan pengiringku akan datang?" Seperti tidak me ndengar pertanyaan itu Kiai Danatirta me mpersilahkan "Marilah tuan, silahkan duduk di sini. Biarlah para pengiring duduk di sebelah" Raden Rudira maju beberapa langkah dan duduk di hadapan Kiai Danatirta yang segera duduk pula, di sebelah Mandra.
Sementara itu para pengiring Raden Rudirapun telah duduk pula di sebelah t iang tengah, melingkar saling berhadapan. Sejenak mereka saling berpandangan, seakan-akan saling bertanya, apakah yang akan segera terjadi" Dala m pada itu Kiai Danatirtapun bertanya sekedar keselamatan Raden Rudira dan pengiringnya. Dan Rudirapun menjawab acuh tak acuh karena ia tahu, bahwa hal itu hanyalah sekedar kelengkapan adat sopan santun, yang bahkan dirasakan sangat mengganggunya, karena ia tidak segera dapat mengatakan maksudnya. Baru kemudian, Rudira sempat berkata "Aku datang untuk suatu keperluan yang penting Kiai" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia bertanya "Silahkan Raden duduk dahulu. Silahkan Raden menikmati hidangan yang akan ka mi suguhkan. Bukankah Raden tidak tergesa-gesa. Raden dapat tinggal di padepokan ini sehari atau bahkan beberapa hari yang Raden ingini. Sekali-sekali Raden dapat melihat kehidupan padesan, sekali-seka li Raden dapat melihat kenyataan hidup petani-petani miskin di daerah Surakarta. Terasa sesuatu berdesir di dada Rudira. Na mun dengan demikian ia bahkan menjadi se ma kin ingin cepat menya mpaikan maksudnya. Katanya "Aku tidak me mpunyai banyak kesempatan" "O, tetapi tunggulah sebentar tuan. Kami harus menja mu tuan meskipun hanya sekedar apa yang ada di padepokan" "Aku tidak se mpat menunggu. Aku harus segera kembali sebelum ayahanda mencari aku" "Bukankah ayahanda tuan mengetahui bahwa Raden pergi ke mari?" "Ayahandalah yang me merintahkan aku pergi ke mari"
Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Katanya kemudian "Apalagi ayahanda Raden sendirilah yang me merintahkan Raden ke mari" "Tetapi ayahanda berpesan agar aku segera ke mbali" Kiai Danatirta tersenyum. Katanya "Silahkan tuan duduk sejenak" "Jangan pergi. Aku akan segera ke mbali" Tetapi Kiai Danatirta seakan-akan tidak mendengar katakata Raden Rudira itu. Iapun segera beringsut dan meninggalkan ta mu-ta munya masuk ke da la m. Sejenak ke mudian ia sudah ke mba li. Sa mbil tersenyum ia duduk Di te mpatnya. Katanya "Kami akan menghidangkan air. Hanya air untuk penawar haus" Raden Rudira tidak se mpat menjawab ketika pintu pringgitan ke mudian segera terbuka. Seorang gadis keluar sambil menjinjing sebuah nampan berisi beberapa mangkuk air panas. Sejenak Raden Rudira terpesona. Gadis itulah yang dilihatnya di tengah-tengah bulak beberapa saat yang lalu, sehingga tanpa disadarinya ia telah terlibat dala m suatu pertengkaran dengan petani dari Sukawati itu. Dan kini gadis itu datang untuk menghidangkan air panas baginya. Dada Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Ia sudah tertarik me lihat gadis itu di bawah terik matahari. Dala m pakaian seorang anak petani yang membawa makanan ke sawah. Kini gadis itu t idak dibakar oleh panasnya sinar matahari, dan dala m paka ian yang lebih baik pula, sehingga bagi Raden Rudira, gadis itu tampa k menjadi se makin cant ik. Dengan cekatan gadis itu ke mudian berjongkok dan bergeser mendekat. Ketika ia sudah berada di sudut t ikar, iapun segera duduk sa mbil meletakkan na mpannya di hadapannya.
"Maaf tuan" berkata Kiai Danatirta, sehingga Raden Rudira terkejut karenanya "Ia adalah seorang gadis padesan, sehingga barangkali solah tingkahnya kurang berkenan di hati tuan" "O, tidak. Tida k" Rudira mengge lengkan kepalanya. Namun wajahnya menjadi merah ketika ia melihat Kiai Danatirta tersenyum sambil menga mbil mangkuk-ma ngkuk itu dari nampan dan menghidangkannya kepada Raden Rudira dan Mandra. Tetapi selagi Raden Rudira termangu-mangu melihat wajah Arum yang cerah, tiba-tiba sekali lagi pintu berderit. Ketika Raden Rudira berpaling, maka kini dadanya berguncang. Ia me lihat seorang anak muda yang pernah dikenalnya di bulak Jati Sari. Anak itulah yang dengan garangnya menyerang Sura, sehingga hampir saja Sura tidak berdaya, karena ia sama sekali tidak mengira, bahwa anak itu akan menyerangnya bagaikan arus banjir bandang. Kali ini anak muda yang bernama Buntal itupun me mbawa sebuah nampan seperti yang dibawa oleh Arum. Tetapi Buntal ke mudian me mbawa hidangannya kepada para pengiring Raden Rudira. Bukan saja Raden Rudira, tetapi para pengiring yang me lihat tandang anak muda itu di bula k Jati Sari menjadi berdebar-debar. Menilik sikapnya kini, sama se kali tidak terbayang kesan kegarangannya. Sambil berjalan terbungkukbungkuk di wajahnya terlukis sebuah senyum yang ramah. "Itu adalah seorang cantrik di padepokan ini yang aku ambi! menjadi anak angkatku" berkata Kiai Danatirta, meskipun sebenarnya ia tahu, bahwa baik Raden Rudira maupun sebagian dari pengiringnya pernah melihatnya. Tidak seorangpun yang menyahut. Hanya beberapa orang pengawal yang belum pernah melihatnya menganggukanggukkan kepalanya. Tetapi wajah Raden Rudira sendiri tibatiba telah menjadi mura m. Ternyata di samping gadis yang cantik itu terdapat seorang anak muda yang tampan, bahkan di rumah ini masih ada Raden Juwiring. Karena itu, ma ka setelah keduanya selesai menghidangkan mangkuk minuman, Rudira tidak sabar lagi untuk menunggu. Ia ingin segera mengatakan, bahwa ibunya me merlukan seorang gadis pembantu. Karena Juwiring berada di sini, maka alangkah baiknya kalau gadis dari padepokan ini berada di Dale m Ranakusuma n. Tetapi belum lagi ia sempat mengatakannya, sekali lagi gadis ini datang menghidangkan makanan bagi Raden Rudira, disusul oleh Buntal pula, yang me mbawa makanan bagi para pengiringnya. Raden Rudira menarik nafas dalam-dala m. Ketika ia melihat kedua anak-anak muda itu masuk ke pringgitan dan ke mudian menutup pintu dari dala m, terasa hatinya me lonjak, sehingga kesan itu ta mpak di wajahnya. Kiai Danatirta adalah seorang tua yang me miliki ketajaman indera, sehingga ia melihat kesan yang tersirat di wajah Raden Rudira. Karena itu, maka segera ia berusaha me mindahkan perhatian Raden Rudira "Silahkan Raden, silahkanlah minum" "O" Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mereka adalah anak-anak padesan. Barangkali kekurangan tata kesopanan, harap Raden me maafkan" ada
Raden Rudira hanya mengangguk-angguk tanpa menjawab sepatah katapun. Dala m pada itu, para pengiringnya tidak menunggu dipersilahkan untuk kedua kalinya. Merekapun segera mengangkat mangkuk masing-masing. meneguk minuman yang hangat sambil me ngunyah sebongkah gula kelapa. Namun ternyata Raden Rudira tidak dapat menahan gejolak di dala m hatinya. Sejalan dengan tabiatnya yang kasar dan
tergesa-gesa, maka tiba-tiba saja ia berkata "Kiai Danatirta, kedatanganku bukannya sekedar untuk singgah di padepokanmu yang sejuk. Tetapi kedatanganku menge mban perintah ayahanda Pangeran Ranakusuma " Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Jawabnya "Sekarang tuan telah meneguk air dari padukuhan Jati Aking yang dihidangkan oleh anakku dan anak angkatku. Silahkan tuan menya mpaikan kepentingan tuan" "Kia i" berkata Raden Rudira "ibunda Ranakusuma me merlukan seorang pe mbantu" Raden Ayu
"O" Kiai Danatirta mengangguk-angguk "maksud Raden, apakah ibunda Raden Rudira ingin me merintahkan kepada kami di padepokan ini untuk mencari seseorang" Barangkah Raden dapat menyebutkan, tugas apakah yang akan diserahkan kepada pe mbantu itu sehingga aku dapat mencari orang yang tepat" "Ibunda me merlukan seorang gadis yang cakap dan pantas untuk me layaninya setiap saat. Karena ibunda sering menerima ta mu-ta mu bukan saja para bangsawan, tetapi juga orang-orang asing, maka pelayannyapun harus seorang yang pantas untuk diketengahkan di dala m setiap perja muan, karena pelayan itu adalah pelayan khusus buat ibunda di setiap saat, di setiap kepentingan" "O" Kia i Danatirta mengangguk-angguk pula. Kemudian katanya "Jadi ibunda Raden Ayu Ranakusuma me merlukan seorang gadis" "Ya. Gadis yang pantas" "Baiklah Raden. Aku akan berusaha. Mudah-mudahan aku akan segera dapat mene mukan gadis yang tuan ma ksud. Apakah kemudian aku harus me mbawanya ke Dalem Pangeran Ranakusuma dan menyerahkannya kepada ibunda Raden Rudira?"
"Tida k itu tidak perlu. Ibunda me merintahkan aku me mbawanya sekarang juga. Ibunda me merlukan pelayan itu secepatnya, untuk segera diajari me layani ibunda terutama apabila ibunda menerima ta mu di dala m ja muan yang me mang sering diadakan" "Tetapi bagaimana mungkin sekarang, Raden. Aku harus mencarikannya. Mencari seorang gadis yang pantas dan tentu saja me miliki kecerdasan yang cukup. Aku kira aku me merlukan waktu barang satu dua pekan" "Itu terlalu la ma" potong Raden Rudira "A ku me merlukan sekarang" Kiai Danatirta menggeleng "Apakah tuan akan menunggu sampai aku me ndapatkan anak itu" Aku harus pergi ke padukuhan Jati Sari. Aku yakin bahwa orang-orang Jati Sari akan merasa mendapat kanugrahan apabila anak gadisnya dipanggil masuk ke Dale m Pangeranan. Setiap orang pasti akan menyerahkan dengan hati yang ikhlas. Tetapi yang sulit adalah me milih satu dari antara gadis-gadis itu. Tentu saja aku tidak akan dapat menyerahkan sembarang gadis, karena jika ternyata gadis itu tidak me menuhi syarat yang dikehendaki, tuan akan marah kepadaku" "Kau tidak perlu bersusah payah mencarinya Kiai" Raden Rudira tidak sabar lagi "Aku sudah mene mukan gadis itu" "O, jadi tuan sendiri sudah mene mukannya" Jika de mikian soalnya tidak akan begitu sulit. Tuan dapat datang kepada Demang Jati Sari, dan Ki De mang pasti akan dengan senang hati menyampa ikan ma ksud tuan kepada orang tua gadis itu" "Persetan dengan Demang di Jati Sari. Aku sudah langsung datang kepada orang tuanya" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. "Aku datang ke mari, karena aku akan menga mbil Arum" berkata Raden Rudira dengan tegas.
Mandra menahan nafasnya sejenak. Ia menyangka bahwa Kiai Danatirta akan terkejut. Jika orang tua itu keberatan, maka akan menjadi tugasnya untuk me maksanya menyerahkan anak gadisnya. Ia tidak mau gagal lagi seperti di Sukawati. Jika sekali ini ia gagal, kese mpatan untuk menunjukkan ke ma mpuannya tidak a kan datang lagi. Raden Rudira akan melepaskannya pula, dan barangkali Sura akan dipanggilnya ke mbali. Kegagalannya di Sukawati adalah permulaan yang buruk baginya. Tetapi ternyata Mandra menjadi heran. Ia sama sekali tidak me lihat kesan apapun di wajah Kiai Danatirta, seakan-akan apa yang dikatakan oleh Raden Rudira itu sudah diketahuinya. Raden Rudirapun me mandang wajah orang tua itu sesaat. Untuk meyakinkan tanggapannya yang aneh iapun sekali lagi berkata kepada orang tua itu "Aku datang untuk menga mbil anakmu. Bukankah anakmu berna ma Arum?" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian katanya "Tuan. Adalah tidak dapat aku mengerti, bahwa untuk tugas yang penting itu ternyata tuan telah memilih Arum. Arum adalah seorang gadis yang dungu, manja dan tidak dapat berbuat apa-apa, selain menya mpaikan makanan ke sawah. Kenapa tuan memilihnya" Apakah ibunda tuan yang me merintahkan tuan untuk menga mbil gadis itu?" "Aku tidak tahu. Ibundalah yang menghendakinya. Dan atas persetujuan ayahanda maka aku datang ke mari. Ingat Kiai Danatirta. Kau tidak akan dapat menolak. Ayahanda adalah seorang Pangeran" Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih bertanya "Tuan. adalah aneh sekali jika ibunda Raden Rudiralah yang menghenda kinya. Bukankah ibunda tuan belum pernah me lihat anakku itu" Tuanlah yang pernah me lihatnya di bulak Jati Sari beberapa waktu yang lampau. Dan tuanlah yang pertama-tama telah tertarik kepada anakku. Entah karena anakku me mang me mpunyai ciri dan ta mpang
seorang pelayan, sehingga tiba-tiba saja tuan ingin menga mbilnya menjadi pelayan di Ranakusuman. atau hal yang lain" Wajah Raden Rudira menjadi merah pada m. Ia merasakan sindiran yang taja m dari Kiai Danatirta. Meskipun de mikian Raden Rudira masih mencoba untuk menahan hati. Katanya "Me mang akulah yang menya mpaikannya kepada ibunda tentang anakmu. Ibunda setuju dan ayahandapun menyetujuinya. Nah, tidak ada persoalan lagi. Serahkan anakmu kepadaku. Aku akan me mbawanya menghadap ibunda" Kiai Danatirta me mandang wajah Raden Rudira yang tegang Kemudian ditatapnya Mandra sejenak. Sambil mengepalkan tangannya Mandra bergeser setapak maju. "Tuan" berkata Kia i Danatirta "Apakah yang sebenarnya terjadi atas tuan sehingga tiba-tiba saja ka mi, penghuni padepokan yang jauh ini telah menjadi ajang dan sasaran ke marahan, kekecewaan dan kebencian tuan?" Dada Raden Rudira berdesir. Seolah-olah Kiai Danatirta itu mengerti apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya. Karena itu Raden Rudira justru menjadi sema kin tegang dan hampir berteriak ia berkata "Jangan mengada-ada. Ayahanda Pangeran Ranakusuma menghendaki aku menga mbil Arum untuk pelayan ibunda. Kau yang tinggal di padepokan Jati Aking tidak dapat menola k, karena ayahanda mempunyai wewenang khusus dari Kangjeng Susuhunan atas Rakyat Surakarta" "Tuan" berkata Kiai Danatirta "Aku tida k akan menolak wewenang khusus itu. Tetapi bagaimanakah jika seorang yang lain, yang juga me mpunyai wewenang yang serupa menghenda ki lain?" "Ada beberapa tingkat kekuasaan para bangsawan. Pada umumnya yang lebih tualah yang lebih berhak"
"Tetapi bagaimana kah jika karena sesuatu hal terjadi t idak demikian?" "Cukup. Aku tidak peduli. Sekarang aku me merlukan Arum. Jika ada kekuasaan yang lebih tinggi yang dapat menolak perintah ini, lekas katakan" Tetapi Kia i Danatirta menggeleng "Aku tida k dapat mengatakan tuan, siapakah yang berkeberatan atas perintah Pangeran Ranakusuma lewat tuan dan aku juga tidak dapat mengatakan kekuasaan manakah yang a kan dapat mencegahnya. Tetapi lebih dari pada itu, aku adalah ayahnya. Aku mohon kepada tuan, agar tuan tidak menga mbilnya sekarang. Aku akan mencoba mendidiknya agar ia menjadi seorang gadis yang dapat mene mpatkan dirinya di antara kaum bangsawan" "Itu tidak perlu. Ibunda akan mengajarinya" "Tetapi Arum masih terlalu bodoh tuan. Aku harus me mberikan dasar lebih dahulu sebe lum ia berada di Dale m Ranakusuman. Apalagi, Arum adalah anak yang manja, yang belum pernah terpisah dari keluarganya" "Ia sudah cukup dewasa untuk hidup dalam lingkungan yang lebih baik. Tidak di padepokan yang sepi. Ia akan berkembang me njadi seorang gadis yang me miliki pengetahuan mela mpaui kawan-kawannya di padepokan dan bahkan dise lunih Kade mangan Jati Sari" "Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas perhatian tuan dan ayahanda tuan, Pangeran Ranakusuma. Tetapi perkenankanlah aku mohon, agar anak itu jangan dibawa sekarang" "Tida k" Raden Rudira ha mpir kehilangan kesabaran "Kau jangan me mbantah. Kau tidak me mpunyai hak menolak perintah yang diberikan oleh ayahanda. Suruhlah anakmu bersiap. Bawalah paka ian secukupnya saja karena ibunda pasti
akan me mberikan jauh lebih banyak dari yang dimilikinya sekarang" Kiai Danatirta merenung sejenak. Na mun ke mudian ia mengge leng "Maaf tuan. Aku tidak sampa i hati melepaskan anakku" "Kau tida k dapat menolak" suara Rudira menjadi se makin keras. Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Dan tiba-tiba saja ia me manggil Arum tanpa beranjak dari te mpatnya. Agaknya Arum sudah berada di ba lik pintu. De mikian namanya disebut, demikian pintu itu terbuka. "Ke marilah" Sejenak Arum menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun ke mudian mende kati ayahnya dan duduk bersimpuh di belakangnya. Kehadiran Arum ternyata membuat Raden Rudira menjadi gelisah. Sejenak ia me mandang wajah gadis itu, na mun ke mudian dile mparkannya tatapan matanya ke halaman, ke celah-celah dedaunan yang bergetar ditiup angin. "Arum" berkata Kiai Danatirta "ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada mu, dan aku ingin mendengar pendapat mu"
"Kia i" potong Raden Rudira "sebaiknya Kiai me mberitahukan persoalannya. Kiai tidak perlu mendengar pendapatnya" "Bukankah anak ini yang a kan menjalaninya" "Tetapi Kiai dapat me merintahkan mendengar pendapatnya" kepadanya tanpa
"Raden, aku adalah orang tua. Aku adalah ayahnya. Tentu aku tidak dapat berbuat sekasar itu kepada anak gadisku sendiri" "Kau berhak menentukan sikap, dan anakmu harus tunduk kepadamu. Kepada orang tuanya" Kiai Danatirta menganggukanggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling me ma ndangi wajah anaknya, dan bersamaan dengan itu Raden Rudirapun me mandang wajah gadis itu pula. Tetapi ia menjadi heran. Ia tidak me lihat kesan yang tegang di wajah Arum. Bahkan dengan tenangnya ia bertanya "Apakah sebenarnya yang akan ayah katakan?" Kiai Danatirta berpaling pula kepada Raden Rudira sa mbil berkata "Beri aku kesempatan untuk menje laskannya kepada anakku" Raden Rudira menarik nafas dalam-da la m untuk menahan kegelisahan di dadanya, sementara Kiai Danatirta mengatakan kepentingan Raden Rudira datang ke padepokan ini. Sekali lagi Raden Rudira menjadi heran. Arum mengikuti keterangan ayahnya, kata demi kata. Tetapi ia sama seka li tidak menunjukkan perubahan wajah dan tanggapan yang bersungguh-sungguh. Baru saja ayahnya selesai, ia sudah menjawab "Aku t idak mau"
Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada Raden Rudira "Raden sudah mendengar sendiri. Anakku tida k mau" "Aku tidak peduli" Raden Rudira ha mpir berteriak "Aku dapat me maksa. Jika aku menyampa ikan penolakan ini kepada ayahanda, maka ayahanda akan menjadi sangat marah dan dengan wewenang yang didapat dari Kangjeng Susuhunan, maka kau sekeluarga dapat dihukum seberat-beratnya" "Tentu ayahanda tuan tidak a kan berbuat sekeja m itu" "Kenapa tidak" Tetapi akulah yang tidak ingin se mua itu terjadi. Aku akan me mbawa Arum sekarang" "Jangan Raden. Ia tidak sanggup" "Terserah kepadanya. Kalau tidak, ma ka kaulah yang akan aku bawa. Kau akan diikat di be lakang kuda dan dituntun sebagai pengewan-ewan, sebagai seorang pemberontak yang menentang kekuasaan Surakarta. Tidak ada seorangpun yang akan menyalahkan a ku dan tidak ada seorangpun yang berani menolongmu, karena aku bertindak atas nama ayahanda. Dan semua orang tahu bahwa ayahanda adalah orang yang de kat sekali dengan Kangjeng Susuhunan, di antara beberapa bangsawan yang lain" "Ayah" tiba-tiba Arum na mpa k menjadi ce mas. "Pertimbangkan hal itu. Kau dapat memilih, kau pergi ke Surakarta, tinggal bersama ibunda, atau ayahmu yang akan dituntun ke alun-alun" "Kedua-duanya tidak tuan" jawab Kia i Danatirta "Tentu aku juga keberatan mengala minya. Aku kira ayahanda tuan, Pangeran Ranakusuma tidak a kan berbuat demikian. Dan kekuasaan resmi di Surakartapun tentu tidak. Apalagi seorang saudara tuan ada di sini. Ka kanda tuan. Raden Juwiring" "Persetan dengan kakanda Juwiring. Aku me merlukannya. Aku me mpersoalkan Arum di sini" tidak
"Tetapi aku bukan orang asing bagi Pangeran Ranakusuma justru karena kakanda tuan ada di sini" "Aku tida k peduli" Kiai Danatirta tidak sempat menjawab ketika tiba-tiba pintu pringgitan itu terbuka lagi. Kali ini seorang anak muda yang tegap berdiri di muka pintu. Raden Juwiring. "Sebenarnya aku tidak ingin menca mpuri persoalanmu adinda Rudira. Aku tidak mau peristiwa di bula k Jati Sari itu terulang. Kita pasti akan ditertawakan orang, karena justru kita bersaudara. Alangkah jeleknya apabila dua orang yang bersaudara selalu saja bertengkar" Raden Rudira memandang ka kaknya dengan sorot mata yang me mbara. Tiba-tiba saja ia berdiri sa mbil berkata "Kakanda Juwiring me mang tidak usah turut ca mpur" "Aku berusaha untuk menutup telingaku. Tetapi kau terlampau kasar. Sikapmu kepada Kiai Danatirta bukannya sikap seorang anak muda kepada seorang yang sudah lanjut usia" "Aku putera seorang bangsawan" "Itulah kesalahanmu yang terutama. Kau terlampau sadar, bahwa kau seorang bangsawan. Dan itu adalah sumber kesalahanmu" "Persetan" jawab Rudira "kakanda Juwiring. Kali ini aku tidak akan berma in-main. Aku akan berbuat sungguh-sungguh untuk me mbuat mu jera. Aku akan bertindak tegas seperti terhadap petani di Sukawati itu" Juwiring tidak se mpat menjawab, karena Rudira segera berpaling kepada Mandra "Mandra. Kau dapat me maksanya pergi. Aku tidak senang me lihat kehadirannya di sini" Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu katanya masih dengan sikap yang tenang "Kau me mbawa orang lain adinda
Rudira. Kenapa kau tidak membawa Sura" Apakah ia sekarang sudah menjadi jera karena anak yang tadi menghidangkan makanan itu" "Aku tida k me merlukan Sura lagi. Tetapi bukan karena anak gila itu" la lu katanya kepada Mandra "Cepat Mandra. Doronglah ia masuk. Akulah yang bertanggung jawab" Semua yang berada di pendapa sudah berdiri. Para pengiring Raden Rudira, Kiai Danatirta dan Arum. Suasana menjadi se makin tegang ketika Mandra me langkah setapak demi setapak maju. "Cepat Mandra" berkata Raden Rudira "Aku tidak mau menunggu terlalu la ma " Mandra mengerutkan keningnya. Kemudian iapun me langkah selangkah maju sambil me natap wajah Raden Juwiring dengan sorot mata yang me mbara. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Bahkan semua orang berpaling ketika mereka mendengar suara dari samping pendapa di pojok longkangan "Kau me mang garang Mandra " Mandra tersentak ketika ia melihat orang yang berdiri di pojok di bawah tangga pendapa itu. Apalagi Raden Rudira sehingga darahnya serasa berhenti mengalir. Dengan suara gemetar ia berkata "Kau Sura" "Ya, ya tuan. Aku adalah Sura" Raden Rudira memandangnya dengan mata yang tidak berkedip. Sejenak ia berpaling kepada Mandra, na mun ke mudian ke mbali ia me mandang Sura taja m-tajam. Terlebihlebih lagi ketika ia melihat di sebelah Sura itu berdiri anak muda yang bernama Buntal dan seorang lagi yang me mbuat jantung Raden Rudira semakin berdentangan. Orang itu adalah Dipanala. "Kalian telah berkhianat" geram Raden Rudira.
"Apa yang sudah aku lakukan tuan" Tuan t idak me merlukan aku lagi, dan akupun pergi dari Dalem Ranakusuman. Apakah a ku berkhianat" "Persetan. Aku tidak mau me lihat muka mu lagi. Pergi dari sini" "Orang itu tamuku tuan" sahut Kiai Danatirta "Ia datang bersama Dipanala" "Aku muak melihatnya" berkata Raden Rudira "Kalau ia tamumu, suruh ia pergi" "Maaf tuan. Padepokan ini dapat menerima siapapun juga. Orang-orang yang tidak disuka i, yang terasing dan yang dibenci oleh siapapun, dapat diterima di padepokan ini" "Tetapi tida k orang itu" Raden Rudira merenung sejenak, lalu "Tentu itulah sebabnya, kalian mengetahui bahwa aku akan datang ke mari. Karena pengkhianat itu pula lah ka lian telah me mpersiapkan diri dengan segala maca m jawaban, keberatan dan apapun juga. Orang itu me mang harus digantung" "Tuan" berkata Sura kemudian "sebenarnya aku tidak pernah merasa sakit hati terhadap tuan. Tuan adalah bendara yang aku ikuti, bahkan sejak tuan masih terlalu kecil. Kalau tuan sudah jemu terhadap aku, ma ka sudah sewajarnya jika tuan mengusirku. Tetapi yang paling me muakkan bagiku adalah orang yang bernama Mandra itu. Ia telah menjilat tuan lebih daripada ku. Aku me mang seorang penjilat. Aku pulalah yang ikut melaksana kan mengusir kakanda tuan, Raden Juwiring dari istana. Yang kemudian dibawa oleh Ki Dipanala ke padepokan ini. Tetapi ternyata ada penjilat yang lebih besar daripadaku" "Dia m, dia m" Mandra tidak dapat menahan perasaannya. Tetapi Sura tertawa. Katanya "Jangan sakit hati Mandra. Kita sa ma-sama seorang yang berhati kerdil. Seorang yang
tidak tahu ma lu. Mengorbankan orang lain untuk mendapat keuntungan bagi diri sendiri" "Tutup mulut mu Sura. Kau telah dice kik oleh perasaan iri yang melonjak-lonjak di dala m kepala mu. Itu salahmu sendiri. Kau tidak ma mpu lagi melakukan tugasmu. Jangan mencari kesalahan orang lain" "Tida k. Jangan salah paham. Aku tidak mencari kesalahan orang lain. Aku menyalahkan diriku sendiri, setelah aku merenungi beberapa hari. Sebelum ini aku tidak pernah me mperguna kan nalar untuk me nilai suatu tindakan. Na mun sekarang aku bersikap lain. Dan agaknya yang sudah aku sadari itu ternyata baru kau mulai sekarang" "Persetan. Aku akan me mbungka m mulut mu" "Terus terang Mandra. Aku memang ingin melihat, apakah kau dapat melakukannya" Tubuh Mandra menjadi ge metar karenanya. Sejenak ia berdiri tegang. Namun sejenak kemudian ia berkata "Aku ingin me mbuktikan, bahwa aku dapat melakukannya" Sura bergeser setapak. Katanya "Aku sudah siap. Aku akan me minja m ha la man padepokan ini sejenak, siapakah yang akan berhasil me mbungka m mulut kita masing-masing. Kau atau aku" "Kau akan me nyesal" Lalu Mandra berpaling kepada Raden Rudira "Raden, perkenankanlah aku menyelesaikan orang ini lebih dahulu. Ternyata orang-orang di padepokan ini merasa tidak gentar terhadap kehadiran kita karena di sini ada orang ini" Raden Rudira merenung sejenak, lalu "Terserah kepadamu" "Nah, kau sudah mendapat ijin Mandra. Marilah kita mencobanya. Aku me mang mendahului kedatanganmu, dan minta kese mpatan ini kepada Kia i Danatirta sebelum ia
berbuat sesuatu atasku karena kesalahanku beberapa waktu yang lalu" Mandra tidak sabar lagi menunggu. Iapun segera meloncat turun ke ha la man. Raden Rudira. Kiai Danatirta dan orang-orang lainpun mengikut inya dan me mbuat sebuah lingkaran mengelilingi kedua orang raksasa yang sudah berhadap-hadapan itu. "Kita menga mbil sa ksi" berkata Sura "Aku harap kedua bersaudara, Raden Rudira dan Raden Juwiring menjadi saksi dari perkelahian ini. Apakah kita a kan me mperguna kan senjata atau tidak" "Tida k, tidak" Kiai Danatirtalah yang menyahut "Jika ka lian me mperguna kan senjata, kalian harus pergi dari hala man ini" "Aku setuju. Bagaimana dengan kau?" Mandra menggeretakkan giginya. Katanya "Sebenarnya aku ingin me mengga l lehermu. Tetapi, baiklah. Kita tidak bersenjata" Mandrapun ke mudian me le mparkannya menepi. melepaskan senjatanya dan
"Nah, kita dapat segera mulai. Apakah tandanya bahwa salah seorang dari kita sudah kalah?" bertanya Sura. "Mati" teriak Mandra. "Tida k. Tida k" sekali lagi Kia i Danatirta menengahi "Aku tidak mau melihat pe mbunuhan terjadi di sini" Sura me mandang Mandra dengan tatapan mata yang aneh. Ia tidak menyatakan pendapatnya tentang hal itu, sehingga Mandralah yang menyahut "Sampai kita meyakini ke menangan kita" Sura sama se kali tidak menyahut. Tetapi ia sudah benarbenar me mpersiapkan dirinya. Kesempatan inilah yang
ditunggunya. Hatinya yang panas karena sikap Mandra me merlukan penyaluran agar tidak selalu menghentak-hentak di dala m dadanya. Sura tidak peduli lagi, apakah dengan demikian ia akan ditangkap oleh Raden Rudira dan pengiringnya, ke mudian dibawa dan diadili di Dale m Ranakusuman. Ia tidak peduli lagi seandainya ia akan dikubur hidup-hidup di hala man belakang atau di samping kandang. Tetapi sakit hatinya sudah dilepaskannya. Bahkan seandainya ia akan dapat dikalahkan sekalipun oleh Mandra dan dicekiknya sa mpai mat i, ia tida k akan me mpedulikannya lagi. Demikian juga agaknya dengan Mandra. Iapun menunggu kesempatan ini. Kese mpatan untuk menunjukkan kelebihannya dari Sura. Kegagalannya di Sukawati ha mpirhampir menghilangkan kepercayaan Raden Rudira yang sedang tumbuh. Jika ia kini dapat mengalahkan Sura, maka yakinlah, bahwa ia akan dapat menggantikan kedudukan Sura sebagai lurah para abdi di Ranakusuma n. Namun sekali-sekali dadanya berdesir jika dilihatnya Dipanala ada di hala man itu pula. Dipanala adalah orang yang tidak begitu disukai di Dale m Ranakusuman. Tetapi tidak ada yang dapat mengusirnya. Bahkan Pangeran Ranakusumapun tidak pernah berbuat apapun atasnya. "Persetan dengan Dipanala. Di sini ada Raden Rudira. Jika ada persoalan dengan Dipanala, biarlah Raden Rudira yang menyelesaikannya" berkata Mandra di da la m hatinya. Demikianlah kedua orang yang dibakar oleh dendam dan nafsu itu telah berdiri berhadapan. Beberapa orang yang menge lilinginya menjadi berdebar-debar. Kiai Danatirtapun menjadi berdebar-debar pula. Apalagi jika ia me lihat sorot mata pada kedua orang raksasa yang berdiri di tengah-tengah lingkaran itu. Sorot mata yang memancarkan kebencian, dendam, dan yang la in nafsu keta makan dan pa mrih yang berlebih-lebihan.
Di seke liling arena itu berdiri dengan tegangnya Raden Rudira bersama pengiringnya, Raden Juwiring, Buntal, Arum dan Ki Dipanala, sedang di kejauhan beberapa orang penghuni padepokan itupun berdiri dengan termangu-mangu. Tetapi mereka tida k berani mende kat karena mereka tahu, bahwa orang yang berdiri berhadapan di tengah-tengah itu adalah orang-orang yang sedang marah dan siap untuk berkelahi. Sejenak halaman padepokan Jati Aking itu dibakar oleh ketegangan yang me munca k. Perlahan-lahan kedua raksasa yang marah itu saling mende kat. Di da la m kesiagaan sepenuhnya terdengar Mandra menggera m "Jangan menyesal kalau kau tidak a kan bangun lagi Sura. Riwayat petualanganmu akan habis sa mpai di sini" "Jika kau berhasil, ma ka riwayat petualanganmu baru dimula i hari ini. Ternyata kau seorang penjilat yang lebih ba ik dari aku" Kemarahan Mandra tidak lagi tertahankan. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang lawannya dengan garangnya. Tetapi Surapun sudah siap menghadapi setiap ke mungkinan, sehingga karena itu, maka iapun dengan tangkasnya menghindari serangan yang pertama itu dengan sebuah loncatan pendek. Demikianlah maka perke lahian itupun segera mulai dengan dilandasi oleh kebencian yang sangat. Karena itulah maka perkelahian itupun segera meningkat menjadi se makin seru. Masing-masing tidak lagi me ngekang diri, dan bahkan dengan sepenuh tenaga berusaha untuk segera mengalahkan lawannya. Ketika tangan-tangan mereka telah mulai dibasahi oleh keringat, ma ka tidak ada lagi yang tersirat di dala m hati, selain menga lahkan lawannya dan bahkan me mbunuhnya sama sekali meskipun mereka tidak bersenjata.
Tetapi ternyata keduanya adalah orang-orang yang me miliki ke ma mpuan berke lahi yang luar biasa. Ketahanan tubuh mereka benar-benar mengagumkan. Sebagai raksasa di Ranakusuman keduanya me miliki tenaga yang luar biasa. Namun apabila serangan-serangan mereka kadang-kadang mengenai lawannya, lawannya itupun masih juga ma mpu me mpertahankan keseimbangannya. Semakin la ma perke lahian itu justru menjadi sema kin dahsyat Mandra me mang seorang pengawal yang dapat dipercaya. Kakinya bagaikan tidak berjejak diatas tanah. Meskipun tubuhnya bagaikan tubuh raksasa, namun ia ma mpu berloncatan dengan cepatnya. Sekali melenting sambil menyambar lawannya, namun ke mudian kakinya menyerang mendatar bagaikan le mbing yang
me luncur dengan derasnya.
Tetapi lawannya adalah seorang yang telah bertahun-tahun hidup da la m suasana kekerasan. Sura adalah la mbang dari kekuasaan Raden Rudira yang dialasi dengan kekuatannya untuk bertahun-tahun la manya. Namun tiba-tiba la mbang itu kini menjadi goyah. Tetapi ke ma mpuan Sura ternyata tidak goyah. Ia masih ma mpu bertempur sebaik beberapa tahun yang lampau. Bahkan oleh ke marahan dan Wajah Raden Rudira yang merah seakan-akan menjadi semakin menyala karenanya. Bahkan kemudian terdengar ia menggeretakkan giginya sambil berkata "Aku dapat me ma ksakan kehendakku"
Kebencian yang menyala di hatinya, maka seakan-akan tenaganya kini menjadi berlipat. Tangannya yang kadangkadang bagaikan me mbeku di depan tubuhnya, tiba-tiba saja bergerak menyambar lawannya. Dengan jari-jarinya yang menge mbang, Sura merupa kan orang yang sangat berbahaya. Tandangnya yang kasar dan garang menggetarkan dada setiap orang yang menyaksikan di seputar arena itu. Raden Juwiring me ma ndang perke lahian itu dengan tajamnya. Di halaman padepokan Jati Aking ini telah terjadi perkelahian antara ha mba-ha mba dari Da le m Ranakusuman ditunggui oleh adiknya Raden Rudira. "Inilah ciri kekuasaan Rudira" berkata Juwiring di dala m hatinya "Ia telah menimbulkan dengki dan iri hati di antara pelayan-pelayan di dala m lingkungannya. Sengaja atau tidak sengaja ia telah menyabung kedua raksasa ini" Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Sejenak dipandanginya wajari Rudira yang tegang. Kemudian ia berkata pula di dala m hatinya "Jika adinda Rudira mendapat kesempatan untuk me mimpin pe merintahan, ma ka nasib rakyatnyalah yang akan menjadi sangat jelek. Ia pasti menimbulkan pertentangan di dala m lingkungannya. Dan pertentangan itu agaknya membuatnya semakin kuat, karena di dala m setiap pertentangan yang timbul, rakyatnya tidak akan sempat menilai kebijaksanaannya, dan setiap pihak akan berusaha untuk mendapat kesempatan mendekatinya" Juwiring menggigit bibirnya, lalu "dan kini di dala m lingkungan kecil itu Mandra telah berkelahi dengan penuh dendam dan kebencian me lawan Sura" Dala m pada itu perkelahian itu sendiri menjadi semakin dahsyat pula. Keduanya hampir tida k lagi me mpertimbangkan tata geraknya dengan nalar, karena hentakan perasaan yang tidak terkekang. Benturan-benturan kekuatan yang terjadi, membuat keduanya sekali! terlontar surut beberapa langkah. Kemudian
hampir berbareng mereka meloncat maju. Dan bahkan ha mpir berbareng tangan-tangan mereka berhasil me ngenai tubuh lawannya. Ketika Sura terputar oleh pukulan tangan Mandra yang mengenai pelipisnya, matanya seakan-akan menjadi berkunang-kunang. Tetapi ia cepat berusaha menguasai keadaannya, sehingga ketika Mandra menyerangnya sekali lagi dengan kakinya mengarah kela mbung, Sura masih se mpat menghindar. Bahkan dengan garangnya ia menangkap ka ki Mandra dan me mutarnya dengan sepenuh tenaga. Tetapi Mandra tidak me mbiarkan kakinya patah. Ia justru menjatuhkan dirinya sambil berputar, kemudian menghentakkan kakinya itu sambil menyerang dengan kakinya yang lain. Tetapi Sura se mpat me lepaskan kaki yang ditangkapnya. Ketika serangan kaki Mandra yang lain hampir mengenai dadanya, Sura dapat menge lak. De mikian ia surut selangkah, maka Mandrapun melenting berdiri. Tetapi Sura agaknya lebih cepat, karena tiba-tiba saja kakinya telah me luncur ke dada lawannya. Mandra tidak se mpat mengelak, karena serangan itu bagaikan tidak dibatasi oleh wa ktu. Yang dapat dila kukan hanyalah sekedar menahan serangan itu dengan tangannya. Sambil melipat tangan ia me miringkan tubuhnya. Namun ka ki
Sura terlampau kuat, sehingga dorongan pada lengan tangannya me mbuatnya terlempar beberapa langkah surut. Sura tidak me mbiarkannya. Dengan cepatnya ia me mburu lawannya. Sekali lagi ia me mutar kakinya mendatar. Tumitnya tepat mengarah kebagian bawah perut Mandra. Mandra terkejut melihat serangan yang begitu cepat datang beruntun. Tetapi kali ini ia masih me mpunyai kesempatan. Ia menarik sebelah kakinya sambil me mbungkukkan badannya, sehingga tumit Sura terbang sejengkal saja dari tubuhnya. Pada saat itulah Mandra me mpergunakan kese mpatan sebaikbaiknya. Ia meloncat mende kat. Tangannya me matuk dagu Sura dengan cepatnya sehingga terdengar gigi Sura gemeretak beradu. Bahkan kepala Sura terangkat sejenak. Pada saat itulah Sura mengeluh pendek. Tangan Mandra yang lain ternyata tepat mengenai perut Sura. sehingga Sura terbungkuk sejenak. Saat itu dipergunakan oleh Mandra sebaik-ba iknya. Dengan kedua tangannya ia berusaha memukul tengkuk Sura, sehingga dengan demikian ia berharap dapat segera mengakhiri perke lahian. Tetapi Sura yang masih sempat berpikir tidak me mbiarkan tengkuknya dikena i. Karena itu, selagi Mandra mengayunkan tangannya Sura bergeser sedikit karena ia tidak mungkin berbuat lebih dari itu. Namun yang sedikit itu ternyata telah menyela matkan tengkuknya. Tangan Mandra yang menghanta m keras sekali itu ternyata mengenai pundak lawannya. Sura menyeringa i menahan sakit. Tetapi akibat pukulan itu tidak me mbuatnya pingsan seperti seandainya tangan itu mengenai tengkuknya. Mandra tidak mau melepaskan kese mpatan itu. Ketika ia sadar bahwa tangannya tidak berhasil mengenai tengkuk lawannya, maka sekali lagi ia berusaha mengulangi, selagi
Sura masih belum se mpat beranjak dari tempatnya, bahkan agaknya ia masih sedang menahan sakit. Tetapi ketika Mandra se kali lagi mengangkat tangannya, Sura me mpergunakan kese mpatan yang ada padanya. Dengan sisa tenaganya ia membenturkan dirinya ke dada Mandra. Bahkan ia masih se mpat mengangkat lututnya dan langsung menghanta m perut lawannya dengan kerasnya, sementara tangannya masih juga berusaha mencengka m leher. Mandra terkejut sekali menga la mi serangan yang tidak diperhitungkannya. Selagi tangannya sedang terangkat, ia terdorong dengan derasnya, sehingga ia tidak mampu lagi me mpertahankan keseimbangannya. Sejenak ke mudian keduanya jatuh berguling. Sura yang telah melepaskan segenap kekuatannyapun tidak dapat bertahan lagi, dan jatuh menimpa Mandra. Beberapa saat keduanya berguling-guling. Na mun sejenak ke mudian keduanya sempat juga berdiri. Tetapi ternyata bahwa kekuatan mereka telah ha mpir terkuras habis. Dari mulut Sura tampak meleleh darah yang merah kehita m-hita man, sedang sambil menyeringai Mandra me megangi perutnya yang bagaikan lumat. Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu. Nafas mereka me loncat satu-satu dari lubang hidung. Ketika dengan tangan kirinya, Sura mengusap mulutnya, maka tangannyapun menjadi merah oleh darah. Melihat darah itu mata Sura menjadi se makin menyala. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa tenaganya semakin la ma menjadi sema kin tipis, dan nafasnyapun menjadi sema kin dalam di dasar perutnya. Arum yang juga menyaksikan perke lahian itu menjadi ngeri. Meskipun ia sudah me mpelajari olah kanuragan, tetapi ia jarang sekali me lihat kekerasan yang sebenarnya. Dan kini ia
me lihat dua orang raksasa sedang bertempur mati-mat ian di halaman rumahnya Terasa bulu-bulu gadis itu meremang. Rasa-rasanya tangannya bergetar dan kadang-kadang bergerak-gerak tanpa disadarinya. Bahkan kadang-kadang seakan-akan tangantangan yang kasar dari kedua raksasa itu telah menyentuh tubuhnya. Sekilas ia me mandang wajah ayahnya yang tegang. Ia tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang me miliki ilmu yang hampir sempurna. Ia yakin bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu sa ma sekali bukan orang-orang yang mengagumkan bagi ayahnya. Namun dalam pada itu, Arum me lihat suatu segi dunia yang rasa-rasanya lain dari dunia yang dikenalnya sehari-hari. Kedama ian di padepokan Jati Aking yang sejuk serta hubungan yang ramah di antara penghuninya. Meskipun mereka berlatih ilmu olah kanuragan, namun Arum belum pernah me lihat kebencian yang sebenarnya seperti yang dilihatnya kini. Ia melihat pertengkaran di bulak Jati Sari, dan perkelahian di antara saudara-saudara seperguruannya dengan para pengiring Raden Rudira, adalah sebagai suatu pertentangan yang masih dapat dilihatnya sebagai suatu peristiwa yang dapat saja terjadi. Tetapi kali ini terpancar dari tatapan mata keduanya, kebencian yang melonjak-lonjak. Bukan sekedar persoalan yang tiba-tiba saja timbul karena perbedaan pendapat, tetapi mereka agaknya sudah menyimpan denda m di hati masingmasing. Demikianlah Arum mulai menjumpai lontaran denda m. Dendam yang tersimpan di hati, yang pada suatu saat me merlukan lontaran yang dahsyat. Sejenak Sura dan Mandra masih berdiri berhadap-hadapan dengan nafas yang tersenga-sengal. Tampak bahwa ke kuatan keduanya sudah jauh susut. Namun denda m yang membara di hati masih tetap me mbakar perasaan mereka, sehingga
dengan demikian mereka sama sekali tida k menghiraukan kenyataan, bahwa sebenarnya mereka sudah menjadi sangat lelah. Raden Rudirapun menjadi berdebar-debar. Kehadiran Sura di padepokan itu sa ma sekali di luar perhitungannya. "Pengkhianat itu me mang harus mati" gera m Raden Rudira "Kenapa Mandra tidak bersenjata saja dan me menggal lehernya sama seka li" Tetapi Raden Rudira tidak dapat berbuat lain kecuali me mperhatikan saja perke lahian yang berlangsung itu. Ternyata bahwa baik Sura maupun Mandra tidak mau surut dari arena. Setelah nafas mereka aga k teratur, merekapun saling mendekat dan tanpa berkata sepatah katapun, Mandra telah mulai menyerang lawannya. Meskipun serangannya sudah tidak segarang semula, namun lawannyapun juga sudah tidak lagi cukup cekatan. Sehingga karena itu, maka ayunan serangan mereka kadang-kadang sama sekali tidak terarah lagi, meskipun lawannya tidak menghindar. Bahkan kadang-kadang mereka terseret oleh ayunan tangannya sendiri dan terhuyung-huyung jatuh tertelungkup. Na mun lawannya yang masih dibakar oleh nafsunya untuk me menangkan perke lahian itu dan yang dengan tergesa-gesa ingin me mpergunakan kese mpatan, ternyata kemampuan tubuhnya tidak lagi me mungkinkan, sehingga justru iapun terjatuh sendiri hanya karena kakinya tersentuh sebuah batu kecil. Demikianlah perkelahian itu sudah berubah bentuknya. Tenaga kedua orang itu sama sekali tidak ma mpu lagi mengimbangi dendam yang masih menyala di hati. Seakanakan mereka masih ingin menghancur lumatkan lawan masing-masing, seolah-olah mereka masih me mpunyai tenaga yang cukup untuk mere mas gunung dan mengeringkan lautan. Namun setiap kali mereka berdiri, maka kaki mereka menjadi
gemetar dan seakan-akan tulang belulang mereka telah menjadi sele mas serat nanas. Akhirnya, betapapun mata mereka masih menyala, namun keduanya sudah tidak ma mpu lagi untuk berbuat sesuatu. Sura berdiri terhuyung-huyung sambil mengusap bibirnya yang berdarah, sedang Mandra bertelekan pada pinggangnya, untuk menahan perasaan mua l yang mengaduk perutnya. Kiai Danatirta yang melihat bahwa perkelahian itu sudah mende kati akhirnya, menarik nafas dala m-dala m. Ternyata kekuatan dua orang ra ksasa itu berimbang. Karena itu, maka katanya kemudian "Sudahlah. Marilah Ki Sanak, kita sudahi kebencian yang menyala di hati ka lian masing-masing. Marilah kita duduk sejenak untuk berist irahat. Tidak ada gunanya kita selalu dicengka m oleh dendam dan kebencian" Sura dan Mandra tidak sempat menjawab karena nafas mereka yang me mburu, bahkan seakan-akan ha mpir terputus di kerongkongan. Namun dala m pada itu dada Raden Rudiralah yang serasa menyala. Terbayang kegagalan lagi yang akan ditemuinya di padepokan ini. Kegagalan de mi kegaga lan harus ditelannya. Alangkah pahitnya. Dengan wajah yang merah padam tiba-tiba terdengar suaranya menggelegar "Sura, kau sudah berkhianat lagi. Ternyata kau sudah mendahului aku, dan mengabarkan kehadiranku kepada Kia i Danatirta. Apakah keuntunganmu dengan berbuat demikian?" Sura me mandang Raden Rudira yang rasa-rasanya agak kabur. Namun disela-sela nafasnya yang terengah-engah ia berkata "Ya. Aku me mang mendahului setelah aku mendengar kalian me mbicarakan rencana ini di kandang kuda" "Persetan" geram Raden Rudira "Apakah kau tahu akibat dari perbuatanmu?"
"Aku mengharap akibat inilah yang terjadi. Aku berharap bahwa aku a kan dapat melumat kan Mandra. Tetapi aku ternyata gagal" "Anak demit" sahut Mandra "Akulah yang akan melumatkan kepala mu" Sebuah senyum yang masa m tampak di bibir Sura "Kita me lihat kenyataan ini" "Tetapi kau tidak a kan terlepas dari hukuman pengkhianatanmu" sahut Raden Rudira lalu dipandanginya Kiai Danatirta "kau jangan melibatkan diri pada pengkhianatannya. Biarlah ia menanggungnya sendiri" Kiai Danatirta me mandanginya pula. Sorot keheranan me mancar dari sepasang matanya yang lembut. Dengan terbata-bata ia bertanya "Apakah aku tuan anggap terlibat dalam persoalan antara kedua abdi tuan ini?" Pertanyaan itu ternyata me mbingungkan Raden Rudira. Namun ke mudian ia menjawab lantang "Ya. Kau sudah me lindungi pelayanku yang berkhianat. Dengan demikian kau akan terlibat pula karenanya" "Raden" berkata Kiai Danatirta "Aku tidak mengetahui sama sekali persoalan antara kedua abdi tuan ini. Persoalan tuan di sini adalah persoalan gadis itu" "Tetapi kau sudah me mperguna kan orang yang tidak aku sukai lagi untuk mengacaukan pe mbicaraan kita. Kedatangannya untuk berkhianat ini kau sambut dengan senang dan dengan demikian akan menguatkan sikap penolakanmu" Raden Rudira berhenti sejenak, lalu "Aku jangan kau anggap anak yang sama sekali tidak dapat menghubungkan persoalan yang satu dengan persoalan yang lain. Siapapun ka lian, tetapi kali ini kalian me mpunyai kepentingan yang dapat saling menguntungkan. Itulah sebabnya Sura ada di sini"
Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. Dengan hormatnya ia menjawab "Me mang kadang-kadang sikap seseorang dapat menimbulkan akibat yang tidak dikehendakinya sendiri. Sebaiknya aku tidak ingkar, bahwa sebenarnyalah abdi tuan yang bernama Sura itu datang mendahului tuan. Tetapi yang penting baginya, bukan karena tuan akan menga mbil anakku. Ia ingin mendapat kese mpatan untuk melepaskan denda mnya terhadap kawannya yang bernama Mandra itu" "Dan kau yang menyebut dirimu Kia i Danatirta ternyata telah me mbakar nafsu denda m di hati seseorang" "Bukan itu. Lebih ba ik denda m itu meleda k di bawah sa ksi serupa ini daripada mereka mencari kese mpatan sendiri. Tentu hal itu akan menjadi jauh lebih berbahaya" "Bukan itu. Yang penting bagimu, kau dapat menggagalkan niat ka mi me mbawa anakmu" potong Raden Rudira "Tetapi kau keliru. Meskipun seandainya Mandra tidak lagi dapat me ma ksamu karena ia harus berdiri berhadapan dengan pengkhianat itu, aku masih me mbawa beberapa pengiring yang akan dapat me maksa mu" Kata-kata itu ternyata bagaikan api yang menyentuh telinga Buntal. Tetapi ketika ia bergeser setapak Juwiring telah mengga mitnya. Agaknya anak muda itu dapat berpikir lebih tenang dari Buntal. "Raden" bertanya Kiai Danatirta "Akupun tetap pada permohonanku. Jangan tuan me mbawanya" "Ka mi akan me ma ksa. Anak itu atau kau" Sebelum Kia i Danatirta menjawab, Ki Dipana lalah yang menyahut sambil melangkah maju "Raden. Akupun adalah seorang abdi di Dale m Ranakusuman. Tetapi tuan jangan tergesa-gesa menuduh aku seorang pengkhianat. Aku ingin tuan me mpertimbangkan keputusan tuan untuk menga mbil Arum dari rumah ini"
"Maksudmu, agar aku me mbantah perintah ayahanda?" "Raden, seperti Raden yang sudah bukan kanak-kanak lagi sehingga Raden dapat mengetahui apa yang sudah terjadi di padepokan ini dengan penghubungan peristiwa-peristiwa dan persoalan-persoalan yang telah terjadi, maka akupun demikian pula. Sudah tentu Kia i Danatirta yang sudah berusia lebih tua daripadaku itupun dapat mengerti, bahwa tuan datang tidak tidak atas perintah ayahandan tuan" Wajah Raden Rudira menjadi merah pada m. "Kau juga berkhianat" "Tida k tuan. Aku adalah seorang tua. Ayahanda tuan banyak mendengarkan pendapatku, meskipun tidak se muanya dibenarkan. Aku berharap tuan mendengarkan aku. Barangkali tuan tidak senang mendengar pendapatku, tetapi bukan maksudku menyenangkan hati tuan dengan membenarkan segala sikap tuan seperti Sura sebelum tuan anggap ia berkhianat. Dan aku memang berbeda dari Sura, sehingga kadang-kadang Sura me mbenciku saat itu. Tetapi bagiku, bagi seorang abdi yang ingin berbakt i, tidak seharusnya selalu me mbenarkan sikap tuannya, namun sebaiknya ia menunjukkan kebenaran kepadanya" "Omong kosong" bentak Raden Rudira "Kau me mang pandai berbicara. Kau sangka ayah akan berterima kasih dengan sesorahmu itu" "Ya. Aku me mang menyangka de mikian. Dan aku akan menghadap ayahanda tuan" Wajah Raden Rudira yang merah seakan-akan menjadi semakin menyala karenanya. Bahkan kemudian terdengar ia menggeretakkan giginya sambil berkata "Aku dapat me ma ksakan kehendakku" "Jika terjadi benturan kekerasan, aku menjadi saksi, bahwa bukan tuan yang berada di pihak yang benar. Dan sudah tentu
aku tidak akan berdiri di pihak yang salah. Aku tida k hanya pandai berbicara, tetapi seperti yang tuan ketahui dari ayahanda tuan jika ayahanda tuan pernah berceritera, aku adalah seorang prajurit" Dada Raden Rudira bagaikan retak mendengar kata-kata Dipanala. Sejak ia berpaling kepada para pengiringnya yang berada di sekitarnya. Namun ta mpaklah wajah mere ka yang ragu-ragu. Dan jantungnya terasa berdesir ketika ia me mandang wajah-wajah yang lain wajah Dipanala, Juwiring, Buntal dan bahkan wajah Arum sendiri. Tampaklah ketegangan yang mantap me mancar di mata mereka. "Adimas Rudira" Juwiringlah yang ke mudian berbicara "Aku tidak mengerti, bagaimana kau menganggap a ku Tetapi aku tetap merasa bahwa aku adalah saudara tuamu. Aku adalah kakakmu. Mungkin derajadku me mang lebih rendah dari padamu na mun sebagai saudara tua, aku ingin menasehatkan kepadamu, urungkan saja niat mu" "Aku tida k me merlukan nasehatmu. Aku tahu, kau t idak mau kehilangan gadis itu" "Adimas Rudira " potong Juwiring "Kau jangan salah mengerti. Ia adalah adikku. Di dalam padukuhan ini, ka mi bertiga adalah putera Kiai Danatirta" "Bohong. Jika kau tidak berkepentingan, kau tidak akan bertahan. Kau bahkan harus menasehatkan kepada Kiai Danatirta agar gadis itu masuk ke istana Ranakusuman. Itu akan menguntungkan baginya dan bagi hari depannya" Tetapi Raden Juwiring menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku adalah seorang putera Bangsawan. Aku pernah hidup di lingkungan para bangsawan. Tidak seorangpun yang dapat menyatakan bahwa ibuku, yang dahulu juga masuk ke dala m lingkungan para bangsawan dengan harapan yang berlebihlebihan, ke mudian mene mukan kebahagiaannya. Dan aku.
anaknya, anak seorang bangsawan, tidak dapat hidup dengan tenang di rumah ayahnya sendiri" Sejenak Raden Rudira bagaikan me mbeku. Ia tidak dapat me mbantah kenyataan yang dikatakan oleh Juwiring, karena anak muda itu telah me ngala minya sendiri. "Adimas Rudira" berkata Juwiring ke mudian "sebenarnya ibunda Ga lihwarit tidak me merlukan seorang gadis untuk me mbantunya, karena di istana ayahanda Ranakusuma ada adinda Warih. Biarlah adinda Rara Warih mulai berkenalan dengan kerja sehari-hari yang pantas bagi seorang gadis" "Apa, apakah katamu ka mas Juwiring" Kau akan menjadikan Diajeng Warih seperti seorang pelayan he" Seperti aku, adinda Warih derajatnya lebih t inggi dari kau. Dan kau sekarang berani mengatakan bahwa Diajeng Warih harus bekerja meskipun di rumah sendiri" Juwiring menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Bukankah tidak ada salahnya untuk melayani ibu sendiri?" "Kau yang pantas me lakukannya. Bukan aku dan bukan adikku yang lahir dari ibunda Galihwarit" potong Rudira yang menjadi semakin marah "Tetapi Arum. Gadis padepokan ini. Ia pantas melayani keluarga ka mi, sela in kau" Wajah Juwiringpun menjadi merah pula. Namun Kiai Danatirtalah yang menyahut "Tuan, aku berterima kasih atas kesempatan yang terbuka bagi anakku, tetapi sayang, kali ini anakku be lum bersedia menerima kese mpatan itu" Ketika Raden Rudira akan menyahut, Dipanala mendahului "Silahkan tuan ke mba li. Aku akan menghadap ayahanda tuan. Jika ayahanda tuan berkeras untuk menga mbil Arum, akulah yang akan menyampaikannya dan me mbujuknya agar ia bersedia. Tetapi jika ayahanda tuan dapat mengerti a lasan Arum dan ayahnya, aku persilahkan tuan menahan perasaan. Karena kekerasan tidak akan menguntungkan tuan di sini. Kentongan itu akan dapat banyak berbicara, meskipun tuan
seorang bangsawan. Cantrik padepokan tidak ubahnya seperti kuda tunggangan bagi gurunya. Apapun yang diperintahkannya akan dilakukan, seperti Sura pada saat-saat ia masih belum se mpat berpikir. Apapun yang tuan perintahkan pasti akan dilakukannya juga, meskipun seandainya ia harus berkelahi melawan Pangeran Mangkubumi. Karena perintah Raden bagi Sura wa ktu itu adalah keputusan yang tidak dapat dibantah seperti perintah Kiai Danatirta bagi cantrik-cantriknya. Dan seperti yang sudah aku katakan, aku ingin mengatakan kebenaran kepada tuan, bukan sekedar me mbenarkan kata tuan" "Gila" Rudira menggeram. Tetapi ia benar-benar merasa berdiri diatas minyak yang setiap saat dapat menyala. Ki Dipanala sudah menentukan sikapnya. Dan itu berarti bahwa ia akan berdiri di pihak Juwiring, anak muda yang bernama Buntal dan para cantrik. Namun demikian rasa-rasanya terlalu pedih untuk sekali lagi mengala mi kegagalan. Wajah-wajah yang dilihatnya tegang di halaman itu bagaikan wajah-wajah orang-orang Sukawati yang menyilangkan tangan di dadanya, dan bahkan seperti wajah petani Sukawati yang sangat dibencinya itu. Tiba-tiba saja Rudira berkata "Kalian me mang dimusnahkan seperti orang-orang Sukawati. Kalianpun disingkirkan dari bumi Surakarta, seperti Sukawati dipisahkan dari Ra manda Pangeran Mangkubumi. Jika tetap berkeras kepala, kalian a kan menyesal" harus harus harus kalian
Tidak seorangpun yang menjawab. Baik Kiai Danatirta, maupun Raden Juwiring dan Ki Dipanala mengerti, bahwa di dalam dada Raden Rudira sedang terjadi pergolakan yang sengit. Karena itu maka merekapun me mbiarkannya untuk segera menga mbil keputusan. Tetapi sekali lagi Raden Rudira t idak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapi. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh penghuni-penghuni padepokan itu, yang
disebut oleh Ki Dipanala sebagai cantrik-cantrik yang tidak ma mpu berpikir seperti Sura beberapa saat yang lampau. Raden Rudira tidak mengerti bahwa mereka bukannya cantrikcantrik yang meneguk ilmu kanuragan di padepokan Jati Aking, karena Kia i Danatirta tidak menyatakan dirinya sebagai seorang guru di dala m ilmu kanuragan itu. Namun bahwa beberapa orang mengawasinya dari kejauhan, ternyata me mbuat hati Raden Rudira semakin susut. Dan sekali lagi Raden Rudira terpaksa menga mbil keputusan yang sangat pahit. Ia tidak dapat memaksakan kehendaknya dengan ke kerasan. Selain Sura, ternyata Ki Dipanala telah menentangnya pula. Namun kedudukan Ki Dipanala agak berbeda dengan Sura. Betapapun Ki Dipanala tidak disuka i, tetapi rasa-rasanya masih juga ada pengaruhnya terhadap ayah dan ibundanya. Karena itu, betapa pahitnya, maka Raden Rudira terpaksa berkata "Baiklah. Kali ini kalian menang. Aku terpaksa me mbatalkan niatku untuk me mbawa gadis itu atas perintah ayahanda. Tetapi kalian tidak akan dapat menikmati ke menangan kalian. Juga kakanda Juwiring. Jangan kau sangka bahwa kau akan tetap berhasil mempertahankan Arum. Pada suatu saat kaulah yang akan kecewa, bahwa Arum a kan lepas dari tanganmu. "Adimas Rudira" potong Juwiring "Kau salah paha m" Tetapi Rudira ingin mengurangi kepahitan di hatinya. Karena itu ia tertawa sambil berkata "Jangan menyangkal. Kau lebih kerasan di padepokan ini daripada di rumah kita karena di sini ada Arum. Tetapi Arum tidak pantas berada di ruma h ini bersama kau dan anak setan itu, apalagi dilingkungi oleh suasana padesan yang kasar" "Arum me mang anak padesan Raden" sahut Kiai Danatirta " sejak lahir ia adalah anak padepokan"
"Tetapi ia tumbuh seperti se kuntum bunga. Tetapi bunga itu berke mbang di batu karang yang gersang" Raden Rudira menyahut "Na mun ka mas Juwiring tidak akan berhasil me metik ke mbang itu" "Dengar adimas" potong Juwiring "Kau salah paha m Bukan kehendakku sendiri bila a ku berada di padepokan ini" "Dan kau tida k mau pergi lagi dari tempat ini" "Bukan maksudku". Raden Rudira tertawa pula. Dipandanginya Arum sejenak. Dan wajah gadis itu menjadi merah pada m. "Aku tingga lkan padepokan ini. Tetapi aku a kan ke mbali dengan suatu sikap yang pasti" Raden Rudira tidak menunggu jawaban lagi. Iapun segera pergi ke kudanya. Para pengiringnya menjadi termangumangu sejenak, namun merekapun ke mudian mengikutinya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tetapi Mandra yang tertatih-tatih masih juga mengumpat "Sura aku tidak puas dengan perkelahian ini. Kita akan menga mbil kese mpatan lain. Aku ingin kita me mpergunakan senjata" Sura me mandangnya dengan tajam. Tetapi kemudian ia menarik nafas sambil menjawab "Ba iklah. Memang kita adalah orang-orang yang menda mbakan denda m di hati" "Persetan" geram Mandra. Na mun ia tidak sempat berbicara terlalu banyak, karena kawan-kawannya telah berloncatan keatas punggung kuda. Sejenak ke mudian iring-iringan itupun telah berpacu meninggalkan padepokan Jati Aking. Derap kaki-ka ki kuda yang berlari-lari itu telah mengha mburkan debu yang putih, berterbangan meninggi, namun ke mudian pecah bertebaran dihembus angin, seperti
pecahnya hati Raden Rudira, Putera Pangeran Ranakusuma itu ternyata telah gagal lagi. Dengan demikian timbunan kekecewaan dan buhkan dendam semakin tebal mengendap di hatinya. Setiap saat kebencian dan dendam itu akan dapat me ledak seperti me ledaknya Gunung Kelut. Namun dala m pada itu, kepergian Raden Rudira telah menumbuhkah kesan yang aneh di hati anak-anak muda di padepokan Jati Aking. Selama ini mereka tidak pernah me mpersoalkan hubungan mereka yang satu dengan yang lain. Na mun tiba-tiba kini mereka seperti dihentakkan dala m suatu kesempatan berpikir tentang diri mereka. Bahwa mereka sebenarnya adalah anak-anak muda yang meningkat dewasa. Buntal yang mendengar se mua percakapan kedua ka kak beradik itu menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia merasa dirinya me mang terlalu kecil. Ia adalah seorang anak yang dikete mukan di pinggir jalan oleh orang-orang Jati Sari, bahkan setelah dipukuli sa mpai merah biru. Sedang meskipun tersisih dari keluarganya, namun Raden Juwiring adalah putera seorang Pangeran. Tanpa disadarinya Buntal me mandang Arum yang masih juga belum beranjak dari tempatnya me mandangi debu yang berhamburan di regol hala man padepokannya. Terasa sesuatu berdesir di dada Buntal Sepercik perasaan melonjak di hatinya "Arum me mang terla lu cantik" Tetapi kepala itupun segera tertunduk. Didekatnya berdiri seorang yang lahir oleh tetesan darah seorang bangsawan. Juwiring. Buntal terkejut ketika seseorang mengga mitnya. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Juwiring berdiri disinya. "Jangan hiraukan mereka. Mereka tida k akan bertindak lebih jauh lagi. Paman Dipanala sudah menjanjikan akan mene mui ayahanda Pangeran Ranakusuma?"
Buntal tergagap sejenak. Namun ke miudian ia bertanya "Apakah ayahandamu a kan mendengarkan keterangannya?" "Sa mpai saat ini ayahanda masih mendengarkan. katakatanya. Mudah-mudahan dala m hal inipun kata-katanya masih mendapat perhatian ayahanda" Buntal mengangguk-angguk. Dilihatnya Kiai Danatirta naik ke pendapa bersama Ki Dipana la dan Sura. Sura yang pernah diserangnya dengan serta-merta tanpa diduga-duga terlebih dahulu, sehingga hampir raksasa itu dapat dijatuhkannya. Sementara Arum bergegas melintasi pendapa masuk ke ruang dalam. Sekali lagi Buntal menarik nafas dala m-dala m. Ke mudian iapun berjalan beriringan dengan Juwiring masuk ke longkangan samping. "Kita masih se mpat pergi ke sawah" berkata Juwiring. Buntal menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya, aku akan berganti pakaian" Mereka berduapun segera masuk ke dala m bilik masingmasing Na mun de mikian pintu bilik Buntal tertutup, iapun merebahkan dirinya diatas amben ba mbu pe mbaringannya. Tiba-tiba saja batinya telah dirayapi oleh sesuatu yang kurang dimengertinya. Seakan-akan ia merasa dibayangi oleh ke mura man yang sa mar-samar. "Gila" tiba-tiba Buntal menghentakkan dirinya sendiri "Aku sudah menjadi gila. Aku tidak boleh berpikir dengan hati yang kerdil. Agaknya aku telah dicengka m oleh kehendak iblis yang paling jahat" Dengan sekuat tenaga Buntal mencoba me lupakan perasaan yang aneh itu, yang seakan-akan dengan tiba-tiba telah mencengka mnya. Memang setiap kali terpercik juga pujian atas gadis yang cantik itu, namun kata-kata Rudira justru serasa menusuk jantungnya dan menghunja mkan perasaan yang aneh itu ke da la mnya.
Dengan tergesa-gesa Buntal berganti pakaian. Bahkan sebelum ia selesai, didengarnya suara Juwiring di depan biliknya "Apakah kau belum selesai?" "Sudah, sudah" suara Buntal agak tergagap. Tetapi ia tidak sempat mengenakan ikat kepalanya, sehingga ikat kepala itu hanya dibelitkan saja di kepalanya. Sambil me nyambar cangkulnya Buntal melangkah ke luar. Derit pintu biliknya mengejutkannya sendiri, apalagi ketika Juwiring bertanya "Kenapa kau menutup pintu bilikmu rapatrapat?" Buntal tersenyum meskipun dipaksakannya. Tidak apa-apa Hampir t idak sengaja karena aku masih me mikirkan Raden Rudira" Juwiring mengangguk-angguk. Katanya "Jangan hiraukan. Anak itu me mang terlalu manja. Ibunyalah yang sebenarnya bersalah. Adiknya, adinda Warih tida k ka lah manjanya dari adinda Rudira " Buntal mengangguk-angguk pula. "Ternyata bahwa sifatnya yang manja itu telah me mbahayakan dirinya. Nafsunya menyala seperti api yang ingin me mba kar setiap bentuk tanpa kendali, sehingga tingkah lakunya seakan-akan tida k berbatas lagi" Buntal masih mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya "Apakah ia tidak akan berbahaya bagimu. Jika tidak sekarang, apakah pada suatu saat ia tidak akan berbuat jauh lebih kasar lagi?" Juwiring menarik nafas dala m-dala m. Jawabnya "Aku t idak tahu Buntal. Tetapi ke mungkinan itu me mang ada. Na mun yang paling mence maskan sebenarnya bukan aku sendiri. Bagaimanapun juga aku masih me mpunyai la mbaran yang dapat mengimbangi kebengalannya. Tetapi nafsu ke mudaannya kini berbahaya bagi Arum"
Dada Buntal berdesir mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dan Juwiring berkata terus "Adalah tidak menguntungkan bagi Arum untuk tinggal di Ranakusuman. Seperti yang aku katakan, nasib ibuku tidak terlalu baik sa mpai saat meninggalnya, meskipun ia adalah isteri seorang Pangeran. Justru karena ibuku tidak me mpunyai darah keturunan setingkat dengan isteri-isteri ayahanda yang lain" Buntal mengangguk-angguk. Na mun tiba-tiba ia bertanya "Tetapi bagaimana dengan Raden Ayu Manik" Bukankah ia juga me mpunyai derajat yang setingkat dengan Raden Ayu Galihwarit itu?" Juwiring me narik nafas dalam-da la m. Jawabnya "Persoalannya, adalah persoalan manusia Galihwarit dan Manik. Tetapi ayahanda Ranakusuma juga ikut menentukan ketidak-wajaran yang telah terjadi itu. Lebih daripada itu. ada pihak lain yang menga mbil keuntungan" "Orang asing ma ksudmu?" Juwiring me mandang Buntal sejenak. Na mun ke mudian ia mengangguk. Buntal tida k berbicara lagi. Ketika mereka lewat di depan pendapa, dilihatnya Kia i Danatirta masih duduk bersa ma Sura dan Ki Dipanala. "Ayah, kami akan pergi ke sawah" berkata Juwiring kepada Kiai Danatirta. Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Jawabnya "Pergilah. Nanti jika se mpat aku akan menyusul. Apakah kalian akan pulang di waktu makan, atau Arum harus me mbawa makananmu ke sawah?" "Ka mi a kan pulang sore hari. Sesiang ini ka mi baru berangkat"
"Baiklah. Biarlah Arum pergi me mbawa maka kalian siang nanti" Sura dan Dipanala me mandang kedua anak muda yang berjalan melintasi hala man sa mbil me mbawa cangkul. Terasa sesuatu bergetar di dalam hati keduanya. Juwiring adalah putera seorang Pangeran. Siapapun ibunya, tetapi ayahnya adalah seorang Pangeran. Tetapi kini dengan ikhlas ia me manggul cangkul pergi ke sawah. turun ke da la m lumpur. Sambil mengge leng-gelengkan kepalanya Sura berkata "Baru sekarang aku me nyadari, betapa besar dosaku atas anak muda yang lapang dada itu. Ia sama sekali tidak ta mpak mendenda m kepadaku, meskipun aku ikut serta berusaha menyingkirkannya dari Da le m Ranakusuman" La lu tiba-tiba saja ia berpaling kepada Ki Dipana la "Ki Dipanala, apakah Raden Juwiring tidak mengetahui bahwa aku ikut menyingkirkannya?" "Ia tentu mengetahuinya. Ia kenal siapa kau waktu itu" jawab Dipanala "Tetapi ia me mang seorang anak muda yang berhati lautan. Sebagian adalah karena tuntutan Kiai Danatirta" "Ah" desah Kiai Danatirta "Ia belum cukup la ma di sini untuk dapat membentuk wataknya. Jika hatinya lapang selapang lautan adalah karena pembawaannya. Dan itu adalah suatu karunia bagi Raden Juwiring" Sura mengangguk-anggukkan kepalanya. Lambat merasa bahwa dirinya telah menjadi manusia ke mbali segala maca m gejolak di dala m hatinya. Ia kini me mpertimbangkan na lar dan perasaannya. Ia laun ia dengan se mpat sempat
me mperhitungkan persoalan tentang dirinya dan persoalan di luar dirinya. Hubungan antara manusia di sekitarnya dan antara dirinya, manusia dan ala m besar yang meliputi bentukbentuk ala m yang kecil. Pengaruh timbal balik dari getaran di dalam dirinya terhadap alam di sekitarnya dan getaran alam di sekitarnya dan getaran alam di sekitarnya terhadap dirinya. Sura menarik nafas dala m-dala m. Rasa-rasanya seperti ia dilahirkan-ke mba li dengan tanpa bekal apapun, sehingga ia merasa dirinya betapa bodohnya. Sura terkejut ketika ia mendengar Ki Dipanala bertanya kepadanya "Sura, lalu apakah yang kau kerjakan" Apakah kau akan ke mbali ke Dale m Pangeran Ranakusuma atau tidak?" Sura mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian menjawab "Aku akan ke mbali ke Da le m Ranakusuman. Aku adalah abdi Ranakusuman. Jika Pangeran Ranakusuma sudah tidak me merlukan aku lagi. aku akan pergi. Tetapi sebelum aku diusirnya, aku akan tetap berada di sana apapun yang akan terjadi, dan perlakuan apapun yang akan diperbuat oleh Raden Rudira dan Mandra. Aku masih me mpunyai kepercayaan, bahwa beberapa orang abdi yang lain tidak akan ikut me libatkan dirinya di dala m persoalanku dengan Mandra" Ki Dipana la mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah Sura. Aku tidak akan melepas tangan. Persoalannya sudah menyangkut a ku pula" "Tetapi kedudukan Ki Dipanala t idak segoyah kedudukanku meskipun aku sudah tingga l berpuluh tahun di istana itu" "Karena itu, aku akan me mbantu me mecahkan persoalanpersoalan yang mungkin kau jumpai" "Terima kasih. Mudah-mudahan hal menyulitkan Ki Dipanala sendiri" itu justru tidak
Kiai Danatirta yang sela ma itu me ndengarkan percakapan mereka berdua, tiba-tiba menyela "Jika kalian tidak mendapat tempat lagi di Ranakusuman, tingga llah di padepokan ini. Kalian akan menjadi kawan yang ba ik bagi Raden Juwiring dan Buntal" "Ya Kia i" jawab Sura "dan aku berterima kasih atas kesempatan itu. Namun aku masih juga me mpunyai secuwil tanah warisan di padesan yang sempat aku perluas dengan uang yang aku dapat dari istana Ranakusuman itu pula dengan menjual ke manusiaanku" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Na mun Ki Dipanalalah yang berkata kemudian "Kau akan lebih a man berada di padepokan ini. Banyak hal yang dapat terjadi atasmu karena sikapmu yang tiba-tiba berubah terhadap Raden Rudira" "Aku menyadari. Tetapi aku me mpunyai anak isteri yang tentu tidak akan dapat tinggal bersama-sa ma di sini. Jika demikian maka padepokan ini akan penuh dengan keluargaku saja" "Padepokan ini cukup luas" sahut Kiai Danatirta. "Aku mengucapkan banyak terima kasih" Kiai Danatirta tidak menyela, lagi. Sa mbil menganggukanggukkan kepalanya ia menekur seakan-akan sedang merenungi sesuatu yang a mat penting. Dala m pada itu, Sura masih berbicara tentang berbagai persoalan dengan Ki Dipanala. Dan akhirnya mereka me mutuskan untuk ke mbali ke Ranakusuman menjelang senja. "Apakah kalian tidak bermala m saja di sini agar Raden Rudira menjadi agak tenang sedikit. Jika kalian hadir di halaman Ranakusuman hari ini maka ke marahan Raden Rudira akan masih mudah terangkat ke mbali"
Tetapi Ki Dipanala menggeleng. Katanya "Lebih baik kita tuntaskan persoalan ini jika me mang Raden Rudira menghenda ki, tetapi mudah-mudahan Pangeran Ranakusuma masih mau mendengar kata-kataku kali ini meskipun besok atau lusa aku akan diusir pula dari Ranakusuman. Jika aku yang diusir ma ka aku akan terpaksa tinggal di padepokan ini untuk se mentara bersama keluargaku, sebelum aku me mpertimbangkan untuk ke mbali saja ke Madiun" "Apakah kau pernah berpikir untuk ke mba li ke Madiun, saja?" "Ya. Tetapi kadang-kadang menjadi kabur lagi" "Tinggallah di sini. Aku akan senang sekali jika kau bersedia, dan Arumpun akan mendapat kawan lagi yang sebaya" Ki Dipana la mengangguk-angguk. Jawabnya "Aku akan me mpertimbangkannya" Demikianlah maka mere ka masih duduk beberapa saat di pendapa. Namun Kia i Danatirta yang masih me mpunyai beberapa pekerjaan itupun segera me mpersilahkan kedua tamunya untuk beristirahat di gandok. "Terima kasih Kiai" jawab Sura "padepokan ini me mang merupakan te mpat yang dapat me mberikan kesejukan. Aku akan menikmat i ketenangan ini meskipun hanya sejenak, sebelum aku ke mba li ke Surakarta menjelang senja" Ketika kedua tamunya ke mudian pergi ke gandok maka Kiai Danatirtapun segera masuk ke ruang dala m. Orang tua itu terkejut ketika dari sela-sela pintu bilik Ara m, ia melihat gadis itu mene lungkup di pe mbaringannya. Karena itu maka dengan tergopoh ia mendekatinya sa mbil bertanya "Kenapa kau Arum?" Arum mengangkat wajahnya. Tampaklah setitik air mata me mbasahi pelupuknya.
"Ada apa ngger?" bertanya ayahnya pula. Perlahan-lahan Arum bangkit dan duduk di pinggir ambennya. Ditatapnya wajah ayahnya sejenak. Namun justru titik a ir di matanya terasa menjadi se makin banyak. "Katakan Arum" bisik ayahnya. "Kenapa aku justru me mbuat ayah menga la mi kesulitan?" "Kenapa?"" bertanya ayahnya. "Kenapa Raden Rudira berbuat begitu terhadap ayah?" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-da la m. Gadis itu merasa, bahwa dirinyalah yang menjadi sumber kesulitan yang tumbuh di padepokan itu. Namun Kiai Danatirta itu berkata "Jangan berpikir begitu Arum. Bukan kau satu-satunya sumber persoalan antara padepokan ini dengan Dale m Ranakusuman. Sejak Raden Juwiring dibawa ke mari oleh pamanmu Dipanala, aku sudah merasa, bahwa persoalan yang lain akan me nyusul. Kau adalah salah satu alasan saja yang diberikan oleh Raden Rudira untuk menumbuhkan persoalanpersoalan baru yang dapat mengguncangkan ketenangan padepokan ini, yang sebenarnya sebagian terbesar ditujukan kepada kakaknya, Raden Juwiring" "Jika ayah sudah mengetahui, kenapa ayah menerima Raden Juwiring itu di padepokan ini?" tiba-tiba saja Arum bertanya. Kiai Danatirta menarik nafas dalam-da la m. Sejenak ia merenung untuk mendapatkan jawaban yang dapat dimengerti oleh Arum. "Arum" berkata Kiai Danatirta kemudian "Me mang sukar untuk mengatakan, apakah sebabnya aku menerima Raden Juwiring di padepokan ini justru karena aku mengerti bahwa persoalannya masih akan berkepanjangan. Tetapi sebagian terbesar adalah karena aku tidak dapat menolak permintaan pamanmu Ki Dipanala. Raden Juwiring adalah seorang anak
bangsawan yang baik, tetapi hidupnya tersia-sia. Bahkan ayahnya sendiri sampa i hati untuk menyingkirkannya, bukan karena anak itu nakal atau tidak mau tunduk kepada ayahnya. Tetapi karena kedengkian orang lain terhadapnya. Dengan alasan untuk mendapat ilmu kejiwaan, maka iapun dikirim ke mari atas pendapat Dipanala" Arum tida k menjawab. Namun tampa k di wajahnya, beberapa persoalan sedang bergulat di dala m hatinya. Katakata Kiai Danatirta itu seakan-akan merupakan bayangan yang dapat dilihatnya. Seorang anak muda dari seorang bangsawan yang dengan kepala tunduk meninggalkan istana kapangeranan dan ke mudian t inggal di sebuah padepokan kecil. "Me mang Raden Juwiring adalah anak yang baik" tiba-tiba saja timbul pengakuan di dala m hati Arum. Sekilas terbayang ke mbali wajah anak bangsawan itu. Senyumnya yang ra mah di wajahnya yang selalu cerah. Arum menarik nafas dalam-dala m. Di sebelah bayangan wajah Raden Juwiring itu me mbayang wajah anak muda yang lain. Wajah yang tampaknya selalu bersungguh-sungguh dan prihatin. Wajah Buntal, anak muda yang dikete mukan di pinggir jalan itu. Namun ternyata iapun adalah anak yang baik. "Sudahlah Arum" berkata Kiai Danatirta "Jangan kau pikirkan lagi. Persoalan yang baru saja terjadi, dan seandainya masih akan terjadi, adalah persoalan padepokan ini keseluruhan, bukan persoalan yang kau timbulkan. Dan yang lebih pent ing Arum, jangan menyalahkan diri sendiri. Jika demikian maka kau akan kecewa atas dirimu sendiri, dan itu berarti bahwa kau kecewa terhadap karunia yang telah kau terima" Arum tidak menjawab. Tetapi air di matanya masih menga mbang di pelupuknya.
Kiai Danatirta me mandang anak gadisnya itu sejenak. Namun hampir saja ia terseret oleh kenangan tentang anaknya yang sebenarnya, tentang ibu Arum. Wajah yang cantik dan sikap yang baik justru telah menyeretnya ke dalam kesulitan. "Apakah kecantikan Arum akan me mbawanya ke dala m kesulitan pula?" Kiai Danatirta bertanya kepada diri sendiri. Untunglah bahwa orang tua itu segera berhasil menguasai perasaannya yang hampir bergejola k itu, sehingga ke mudian dipaksanya bibirnya untuk tersenyum sambil berkata "Arum, ka kak-ka kakmu sudah pergi ke sawah. Mereka baru akan pulang menje lang sore. Karena itu, kau masih me mpunyai tugas. Kau harus pergi ke sawah untuk mengantar makan mereka" Arum menganggukkan kepalanya. Hampir setiap hari ia me lakukannya, sehingga karena itu, maka ha l itu bukan merupakan hal yang baru baginya. Demikianlah pada saatnya, ketika nasi sudah masak, dan mata hari sudah bergeser ke Barat, Arumpun segera berangkat ke sawah untuk menyampaikan nasi beserta lauk pauknya kepada kedua saudara angkatnya yang sedang bekerja di sawah. Meskipun pekerjaan ini sudah dikerjakan setiap hari, na mun tiba-tiba saja hatinya menjadi berdebar-debar. Ketika ia menyusuri pe matang, dilihatnya Juwiring aan Buntal yang sudah lelah, sedang beristirahat di bawah gubugnya. Sejenak
Arum me mandang keduanya berganti-ganti, na mun sejenak ke mudian terasa suatu getar yang aneh di dala m hatinya. Terngiang kata-kata Raden Rudira yang menyebut-nyebut hubungannya dengan Juwiring dan kebencian bangsawan muda itu kepada Buntal. Arum tidak pernah me mikirkan hubungan itu. Keduanya serasa benar-benar seperti saudaranya sendiri. Tetapi tiba-tiba kini ia melihat keduanya sebagai anak-anak muda yang berasal dari padepokannya. Seolah-olah Arum itu sadar, bahwa Raden Juwiring adalah Putera Pangeran Ranakusuma yang dititipkannya di padepokan Jati Aking dan Buntal adalah anak muda yang asing, yang dikeroyok orang karena mengejutkannya ketika ia me manjat gubug yang berka ki tinggi itu. Untunglah bahwa Arumpun segera berhasil menguasai dirinya. Sejenak kemudian iapun sudah tersenyum ra mah seperti kebiasaannya sehari-hari. Sambil meletakkan bakulnya ia berkata "Maaf, aku agak lambat. Tetapi bukan salahku. Nasi baru saja masak. Agaknya para pelayan sedang sibuk melihat perkelahian di hala man, sehingga mereka la mbat mulai menanak nasi" "Ka mipun la mbat berangkat" sahut Juwiring. "Tetapi ka mi tidak ingin la mbat pulang" berkata Buntal ke mudian. Arum me mandang Buntal sejenak, lalu "Aku me mbawa gembrot se mbukan. Bukankah ka kang Buntal senang seka li gembrot se mbukan" Dan aku me mbawa pecel lele bagi kakang Juwiring" Buntal sudah mendengar kata-kata Arum berpuluh kali sejak ia berada di padepokan itu. Tetapi kali ini hatinya serasa tersentuh. Seolah-olah baru kali ini ia mendapat pelayanan dengan wajah yang bening tanpa keluhan keprihatinan.
Seolah-olah baru kali ini ia mene mukan suatu kehidupan yang sejuk. Tetapi Buntalpun menahan perasaannya sejauh-jauh dapat dilakukan. Ia sa ma sekali berusaha menghapus kesan itu dari gerak lahiriahnya, dari warna-warna kerut di wajahnya dan dari tatapan matanya. Karena itu maka iapun tertawa sambil berkata "Kau t idak pernah melupa kan kege maran ka mi. Terima kasih "Ia berhenti sejenak, lalu "Marilah kakang Juwiring" Juwiringpun tersenyum, la mengerti. bahwa orang-orang yang berada di dapur padepokan Jati Aking mengenal kegemarannya, dan demikian juga kege maran penghunipenghuni la innya. Dan pecel lele yang dibawa Arum itu telah benar-benar me mbangkitkan seleranya. Demikianlah kedua anak-anak muda itupun ke mudian makan dengan lahapnya. Arum yang duduk di pe matang me mandang keduanya dengan terenyum kecil. Ia me mang selalu senang apa bila kedua anak-ana k muda itu makan kirima n yang dibawanya dengan lahap. Dala m pada itu, Juwiring yang sedang mengunyah nasi dan pecel lelenya, sekali-sekali me mandang wajah Arum juga. Meskipun gadis itu tinggal bersa manya unluk waktu yang panjang na mun kali ini ia benar-benar me mperhatikan wajahnya. Sambil menarik nafas dala m-dala m ia berkata di dala m hatinya "Gadis ini me mang cantik. Pantas adinda Rudira sangat tertarik kepadanya. Tetapi adalah berbahaya sekali apabila ia berada di istana, ayahanda Ranakusuma ia tidak akan dapat bertahan untuk tiga bulan dari ketamakan adinda Rudira, yang me mantaskan segala cara untuk mencapai tujuannya"
Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja sepucuk duri ikan lelenya tersangkut di kerongkongan, sehingga Juwiring itu menjadi terbatuk-batuk karenanya. "Minum kakang" berkata Arum sambil mengacungkan sebuah gendi berisi air dingin. Juwiring menerima gendi itu, lalu diteguknya air yang terasa telah menyejukkan seluruh badanya, bukan saja sekedar me larutkan duri dari kerongkongannya. Demikianlah ketika mereka sudah beristirahat sejenak setelah makan, mulailah mereka bekerja ke mba li, sedang Arumpun me mbawa sisa-sisa ma kanannya pulang ke padepokan. Menjelang senja, kedua anak-anak muda padepokan Jati Aking itu sudah berada ke mba li di padepokannya. Mereka mengerti bahwa Sura dan Ki Dipanala akan ke mbali ke Surakarta. Karena itu, mereka pulang dengan tergesa-gesa untuk dapat bertemu lagi dengan kedua orang yang akan meninggalkan padepokannya itu. "Hati-hati1ah" pesan Kiai Dinatirta kepada keduanya. "Ya Kiai. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa di istana Ranakusuman jawab Ki Dipanala. "Mudah-mudahan" Sura menyahut "Tetapi rasa-rasanya hati ini selalu bergetar. Aku me mpunyai persoalan yang agak berbeda dengan Ki Dipanala" "Me mang persoalanmu lebih gawat Sura Kebencian dan dendam itu dapat tertumpah kepada mu. Seperti kita lihat, kegagalan Raden Rudira di Sukawati telah membawanya ke man. Te mya ia ia gagal sekarang. Karena itu, kau akan merupakan sasaran yang ke mudian dari padanya" "Aku menyadari. Tetapi a ku tida k akan lari"
Ki Dipanala mengangguk-angguk. Dipandanginya Raden Juwiring dan Buntal sejenak, la lu katanya "Kalianpun harus berhati-hati. Kalian sekarang mengena l Raden Rudira lebih banyak, la dapat berbuat apa saja tanpa menghiraukan apapun iuga. Karena itu, kalian harus mengawasi adik ka lian itu. Mungkin Raden Rudira menga mbil cara la in untuk me mbawa Arum. Jika Arum sudah berada di istana Ranakusuman, maka akan sangat sulit bagi kalian untuk menga mbilnya ke mbali apabila ibunda Raden Rudira, Raden Ayu Sontrang, ikut menca mpuri persoalan ini" Juwiring dan Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mengerti sepenuhnya maksud Ki Dipanala. Mungkin Rudira dapat mengupah sekelompok orang untuk menga mbil Arum dengan paksa, atau menculiknya selagi Arum berada di bula k. Karena itu sambil mengangguk-angguk, Juwiring menjawab "Baiklah pa man. Ka mi akan mengawasinya" Ki Dipanala mengangguki pula. Lalu katanya kepada Kiai Danatirta "Baiklah ka mi segera minta diri. Doakan agar ka mi tidak terjerumus ke dala m kesulitan yang lebih parah lagi" "Amiin" sahut Kia i Danatirta "dan mudah-mudahan pula Pangeran Ranakusuma masih ma u mendengarkan katakatamu" "Terima kasih. Semuanya masih merupakan teka-teki bagiku. Dan aku akan me masuki hala man Ranakusuman setelah mala m menjadi gelap dan suasana di Dale m Kapangeranan yang gelap pula" Demikianlah. Sura dan Ki Dipanala me ningga lkan padepokan Jati Aking menjelang senja. Derap kaki kuda mereka berdetak di sepanjang jalan padukuhan dan sejenak, ke mudian merekapun segera berpacu diengah bulak Jari Sari yang panjang. Betapapun mereka sudah bertekad untuk me nghadapi setiap persoalan yang mungkin tumbuh, na mun hati mereka
menjadi berdebar-debar juga ketika mereka menjadi dekat dengan kota. Keduanya hampir tida k berbicara sa ma seka li di sepanjang perjalanan oleh gejolak perasaan masing-masing. Sehingga tanpa mereka sadari mere ka telah menyusuri jalan kota yang gelap karena ma la m yang menyelubungi seluruh Surakarta. Sekali-seka li mereka me mandang la mpu-la mpu minyak yang bergayutan di sudut-sudut gardu dan di simpangsimpang empat. Nyala yang kemerah-merahan terayun-ayun disentuh angin yang le mbab. Sura menarik nafas dalam-dala m. Kesunyian kota me mbuat hatinya semakin sunyi. Jika terjadi sesuatu dengan dirinya, maka seluruh keluarganya pasti akan menderita. Tetapi ia tidak akan dapat ke mbali kepada suatu dunia tanpa perasaan dan nalar seperti yang pernah dilakukannya. Dunia yang seakan-akan tidak pernah berakhir, sehingga apa yang dilakukannya sama sekali tida k pernah me mikirkan hari akhirat, tidak me mikirkan hubungan antara dirinya dengan Tuhan Yang menciptakanNya. Semestinya yang dilakukannya adalah melakukan urusan dunia sesuai dengan garis-garis yang sudah ditentukan oleh agama dan dalam ridho Tuhan Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan juga melakukan ibadah-ibadah dan amalan yang diperintahkan oleh aga ma. Kini ia menyadari betapa pentingnya hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungan di sekitarnya bersamaan dengan hubungannya dengan Tuhan Sang Pencipta Alam semesta. Namun debar jantungnya terasa semakin cepat ketika dari kejauhan mereka me lihat regol Da le m Ranakusuman ysng telah tertutup. Dengan tajamnya keduanya me mandang regol itu tanpa berkedip, seolah-olah ingin mengetahui, apakah yang
tersenyum di balik pintu serta dinding yang tinggi, yang menge lilingi ha la man itu. Bahkan bagi Sura, bayangan-bayangan yang suram telah mera mbat di angan-angannya, seakan-akan di balik dinding dan pintu yang tertutup itu telah berbaris beberapa orang yang menunggunya dengan tombak yang merunduk, siap untuk menyobek perutnya apabila ia me masuki pintu regol. "Apaboleh buat" berkata Sura di dala m hatinya. Meskipun demikian, hatinya telah dicengkam pula oleh ketegangan. Ketika kedua orang itu sudah sa mpai di muka regol. maka keduanyapun turun dari kuda masing-masing. Sejenak mereka berpandangan Ki Dipanala lah yang mula bertanya "Kita bawa kuda-kuda ini ke dala m atau kita akan menge mbalikannya lebih dahulu ke kandangnya?" "Aku ingin segera melihat, apa yang bakal terjadi. Biarlah kita bawa kuda ini masuk" Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata kegelisahan di hati Sura justru me maksanya untuk segera me lihat akibat yang bakal terjadi atasnya tanpa membawa kuda itu lebih dahulu ke rumah Dipanala yang terletak di belakang Da le m Ranakusuman dan dihubungkan dengan sebuah butulan kecil. Bahkan Dipanala menduga, bahwa Sura menganggap kuda itu setiap saat akan diperlukannya. Sejenak mereka termangu-ma ngu. Namun sejenak ke mudian tangan Sura yang ge metar telah mengetuk pintu regol itu. Sesaat kemudian terdengar seseorang menyapa dari dala m "Siapa diluar?" Sebelum Sura menyahut, Ki Dipanalalah yang telah mendahuluinya "Aku, Dipanala"
Tusuk Kondai Pusaka 5 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Tanah Warisan 5

Cari Blog Ini