02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 15
Tubuh Pandan Wangi menjadi semakin gemetar mendengar
desakan itu. Namun ia sadar, bahwa ia harus menjawab. Karena
itu, maka setelah berjuang sejenak ia menjawab, "Tunggulah
Wrahasta. Kita sedang menghadapi bahaya yang besar."
Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar melihat
wajah Wrahasta menegang. Tampaklah kekecewaan yang
sangat, memancar dari sepasang matanya, Sejenak ia berdiri
mematung. Dipandanginya Pandan Wangi, seolah-olah hendak
dilihatnya langsung ke dalam hatinya.
Sejenak keduanya terdiam. Terasa angin yang sejuk mengalir
menyentuh dedaunan. Namun keduanya sama sekali tidak
mengacuhkannya. Baru ketika Wrahasta telah sempat mengatur perasaannya,
maka terdengar ia berkata, "Pandan Wangi. Jangan membuat
aku kecewa. Sebentar lagi aku harus menghadapi pekerjaan
yang terlampau berat. Karena itu, berilah aku kekuatan, supaya
aku tidak ragu-ragu mengangkat senjata. Aku tidak tahu, sampai
di mana kemampuan Sidanti kini bermain dengan senjata. Tetapi
apabila mungkin, aku akan mencobanya. Untuk kepentinganmu
dan kepentingan tanah ini, mudah-mudahan aku dapat
menghancurkannya." Dada Pandan Wangi berdesir mendengarnya. Ia tahu benar,
betapa besar kemampuan kakaknya Sidanti dalam olah
kanuragan. Dan ia dapat pula mengira-kirakan, sampai di mana
kemampuan Wrahasta itu. Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak menyatakannya. Ia
tidak ingin mengecewakan Wrahasta dalam menilai diri. Tetapi
sudah tentu ia tidak akan segera dapat menjawab
pertanyaannya itu. "Berjanjilah Wangi. Aku tidak terikat dan mengikatkan diri
kepada waktu. Seandainya kau masih ingin hidup sebagai
seorang gadis setahun, dua tahun, bahkan sepuluh tahun
sekalipun. Aku akan tetap menunggumu. Yang ingin aku dengar
sekarang adalah janji kesanggupanmu untuk hidup bersamaku
kelak, seperti yang diharapkan oleh ayahmu."
Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan. Kepalanya
yang tunduk menjadi semakin tunduk, Perlahan-lahan ia
menjawab, "Wrahasta, aku tidak akan dapat memutuskannya
sendiri. Aku harus berbicara dengan Ayah lebih dahulu."
"Wangi," sahut Wrahasta, "apakah kau masih meragukan
keinginan ayahmu" Kau harus tanggap akan sasmita yang telah
diberikan. Dalam keadaan yang kalut ini, kau diserahkan
kepadaku. Kepada perlindunganku, justru pada saat Ki Gede
akan melakukan suatu pekerjaan yang sangat berbahaya."
"Tetapi Ayah belum pernah mengatakannya kepadaku. Sama
sekali belum. Bahkan menyinggung mengenai masalah itupun
belum, yang selalu dikatakannya setiap hari adalah keadaan
yang panas ini, yang setiap saat dapat membakar Tanah
Perdikan Menoreh menjadi abu."
"Justru saat ini adalah saat yang paling tepat bagi Ki Argapati
untuk menyatakan keinginannya itu. Kita tidak menginginkan
sesuatu terjadi atasnya, Wangi. Tetapi agaknya Ki Argapati
sendiri tidak ingin kau kehilangan akal apabila terjadi sesuatu.
Kau sudah di sandarkan pada sandaran yang dikehendaki. Dan
aku akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya."
"Berilah aku kesempatan berpikir, Wrahasta."
"Waktunya telah datang sekarang. Sebentar lagi Ki Argapati
akan pergi ke bawah Pucang Kembar itu."
Pandan Wangi menjadi semakin terdesak. Ia sadar, bahwa
Wrahasta adalah seorang pemimpin pasukan pengawal tanah
perdikan yang berpengaruh. Terutama atas anak-anak mudanya.
Saat ini sebagian dan anak-anak muda Tanah Perdikan
Menoreh telah dipengaruhi olen Sidanti, dan memihak
kepadanya. Apabila Wrahasta ini menjadi kecewa, dan
meninggalkan ayahnya, maka kekuatan ayahnya pasti akan
menjadi semakin jauh berkurang. Sedang agaknya Sidanti sama
sekali tidak lagi mengingat tanggung jawabnya atas tanah ini
dengan mengundang orang-orang yang sama sekali tidak
dikenal, untuk ikut serta mengeruhkan keadaan di Tanah
Perdikan Menoreh. Dalam keragu-raguan yang mencengkam itu, lamat-lamat
Pandan Wangi mendengar suara seruling di kejauhan. Melonjak,
memekik tinggi, kemudian hilang dibawa angin dari Selatan.
Sejenak kemudian, suara itu melengking dan menjerit.
Suara seruling itu seolah-olah seperti suara yang menggelora
di dalam dadanya sendiri. Menjerit, kemudian pepat dan sama
sekali kehilangan arah. Karena Pandan Wangi masih juga membisu, maka terdengar
Wrahasta mendesaknya, "Kenapa kau diam saja, Wangi"
Matahari semakin lama menjadi semakin rendah. Kita akan
kehabisan waktu." "Tidak. Kita tidak akan kehabisan waktu. Waktu masih
terlampau panjang." "Wangi," Wrahasta melangkah setapak maju. Dan tanpa
disadarinya Pandan Wangi pun surut setapak.
"Aku ingin mendengar jawabmu sekarang."
Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak
keras-keras seperti suara seruling yang memekik-mekik di
kejauhan. Ia kini benar-bener terdorong ke sudut yang paling
sulit. Ia harus memilih. Sedang pilihan itu semuanya tidak
menyenangkannya. Ia tidak dapat menolak dan mengecewakan
Wrahasta. Tetapi ia masih belum sempat membuat
pertimbangan-pertimbangan untuk menerima pernyataan itu. Ia
masih belum sempat menjajagi hatinya, apakah ia dapat
membuka perasaannya untuk anak muda yang bertubuh raksasa
itu. Kesulitan itu telah membuat kepala Pandan Wangi menjadi
pening. Apalagi ketika ia melihat matahari sudah menjadi
semakin rendah. Hampir-hampir ia menangis seperti anak-anak
yang kehilangan permainan.
*** Namun tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya. Ia
mendengar suara berdesir. Ketika ia berpaling, dilihatnya
Samekta datang mendekatinya.
"Paman," desis Pandan Wangi tanpa sesadarnya.
Wrahasta pun kemudian berpaling pula. Tampaklah betapa
wajahnya diwarnai oleh kekecewaan yang tidak terkatakan.
Sehingga dengan serta merta ia bertanya, "Kenapa kau kemari?"
Samekta mengerutkan keningnya. Dipandanginya Wrahasta
bergantganti dengan Pandan Wangi. Ia tidak tahu, apakah yang
sudah terjadi, tetapi karena ia melihat seorang anak muda dan
seorang gadis berdua saja, maka tiba-tiba ia tersenyum.
Katanya, "Maafkan, apabila aku mengganggu. Tetapi aku
terpaksa memotong pertemuan kalian."
Sepercik warna merah memulas wajah Pandan Wangi.
Sebagai seorang gadis yang masih sedang meningkat dewasa,
maka sindiran itu telah membuatnya sangat berdebar-debar.
Sejenak dipandanginya Samekta dengan sudut matanya, namun
sejenak kemudian kepalanya telah tertunduk pula. Dalam sekali.
Dalam pada itu, wajah Wrahasta pun terasa menjadi panas.
Tetapi ia sama sekali tidak menyesal mendengar gurau itu.
Bahkan kemudian ia tersenyum sambil berkata sendat, "Ah,
jangan mengganggu. Kami tidak sengaja bertemu disini."
Samekta masih juga tersenyum. Dipandanginya wajah
Pandan Wangi yang tertunduk dan kemerah-merahan.
Kemudian dipandanginya wajah anak muda yang bertubuh
raksasa itu. Tanpa disadarinya, terasa sesuatu berdesir di
dadanya. Wajah anak muda itu agaknya terlampau keras
dibanding dengan wajah Pandan Wangi yang lembut, meskipun
kerut keningnya menunjukkan ketajaman pikirannya.
Meskipun demikian, meskipun sendau gurau itu
menyenangkan hati Wrahasta, namun ia diganggu pula oleh
perasaan kecewa, karena kehadiran pemimpin pengawal yang
sudah setengah umur itu. Karena itu maka sekali lagi ia
bertanya, "Apakah keperluanmu kemari?"
Samekta masih ingin bergurau, "kalau begitu, aku tidak akan
menahan kau lebih lama di sini."
"Akulah yang akan tinggal di sini lebih lama," jawab Samekta
sambil tersenyum. "Ah," sekali lagi Wrahasta, berdesis.
Namun dalam pada itu, Pandan Wangi sama sekali tidak
berani mengangkat wajahnya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang
bergolak di dalam dadanya. Tetapi ia sama sekali tidak senang
mendengar sindiran-sindiran itu. Ia tidak merasakan
kejenakaannya sama sekali. Bahkan sendau gurau itu sangat
menjengkelkannya. "Tetapi," Wrahasta kemudian berkala dengan suara bergetar,
"apakah tugasmu sudah selesai."
Samekta menggelengkan kepalanya, "Belum. Tugasku belum
selesai." "Aku tidak akan mengganggu tugasmu, Paman Samekta.
Lakukanlah. Nanti pada saatnya, aku akan menggantikanmu
dengan kelompokku." "Terima kasih Wrahasta. Aku akan melakukan tugasku. Tetapi
aku terpaksa minta maaf kepadamu, bahwa aku sedikit
mengganggumu." Samekta berhenti sejenak, lalu ia berpaling
kepada Pandan Wangi, "Maaf Ngger. Aku terpaksa
mengganggu. Tetapi adalah tugasku saat ini. Ayahmu
memanggilmu sekarang."
Terasa seolah-olah dada Pandan Wangi yang sedang
membara itu tersiram air. Dengan serta-merta ia bertanya, "Ayah
memanggil aku sekarang?"
Samekta terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu, tetapi
akhirnya ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya.
Ayahmu memanggilmu sekarang. Aku terpaksa menyampaikan
ini kepadamu." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa
terlepas dari himpitan pertanyaan yang paling sulit untuk
dijawabnya. Maka katanya terbata-batta, "Baik. Baik
paman. Aku akan menghadap Ayah."
Samekta mengerutkan keningnya. Ternyata ia salah mengerti.
Disangkanya Pandan Wangi menjadi sangat kecewa atas
panggilan itu, sehingga katanya, "Maaf Ngger. Aku hanya
sekedar menyampaikannya."
Sebelum Pandan Wangi menyahut, maka Wrahasta telah
mendahuluinya, "Baiklah, Paman Samekta. Katakanlah
kepada Ki Argapati, bahwa sebentar lagi Pandan Wangi akan
menghadap." Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya,
"Tetapi Ki Argapati memanggilnya sekarang. Lihatlah, matahari
telah menjadi terlampau rendah. Hampir tidak ada waktu lagi
baginya. Sebentar lagi ia harus pergi. Sebelum purnama naik, Ki
Argapati harus sudah berada di bawah Pucang Kembar."
"Ya, ya, aku tahu," sahut Pandan Wangi, "aku akan kembali
sekarang. Ayah harus segera pergi."
"Tetapi," potong Wrahasta, "apakah kau dapat menunggu
sebentar, Wangi?" Lalu kepada Samekta ia berkata, "dahululah
paman. Katakan kepada Ki Gede. Sebentar lagi kami akan
datang." "Sekarang," Pandan Wangi memotong, "sekarang. Tidak ada
waktu lagi." Samekta menjadi bingung. Ia tidak mengerti, kenapa
keduanya tidak sependapat. Tetapi ia tidak sempat untuk
berpikir, karena Pandan Wangi kemudian telah melangkah
mendahuluinya. "Pandan Wangi, tunggulah," panggil Wrahasta. Tetapi
Pandan Wangi tidak berhenti, sehingga Wrahasta-lah yang
harus berjalan menyusulnya.
Samekta masih berdiri di tempatnya sambil menggelenggelengkan
kepalanya. Ia menjadi bingung. Namun kemudian
sambil meraba-raba janggutnya, ia berdesis, "Anak-anak muda
memang terlampau aneh." Tetapi sejenak kemudian ia
mengerutkan keningnya sambil berdesah, "Dalam keadaan
semacam ini, masih juga mereka sempat memikirkan diri mereka
sendiri." Wrahasta yang kemudian telah berada di samping Pandan
Wangi, mendesaknya pula, "Katakan Wangi. Katakan, satu kata
saja. Aku hanya ingin mendengar satu kata saja."
"Tunggulah Wrahasta. Tunggulah. Pada saatnya aku akan
menjawab." "Tetapi bagaimana jawabmu itu."
"Aku belum tahu Wrahasta. Aku akan memikirkannya, apabila
persoalan tanah perdikan ini sudah selesai."
"Tetapi, tetapi aku memerlukannya sekarang. Aku
memerlukannya sebelum ujung pedang Sidanti atau Ki Tambak
Wedi membekas pada kulitku."
Dada Pandan Wangi serasa akan bengkak. Tetapi ia justru
terdiam sejenak. "Wangi," desak Wrahasta.
"Sst," Pandan Wangi berdesis, "kita akan dilihat oleh banyak
orang. Biarlah aku berjalan sendiri."
"Tetapi kau belum menjawab, Wangi. Kau belum menjawab."
Pertanyaan-pertanyaan yang meluncur seperti hujan yang
tercurah dari langit itu membuat Pandan Wangi mendadi
semakin bingung. Dadanya serasa menjadi pepat, dan nafasnya
serasa sesak. Wrahasta masih saja mendesaknya dan berjalan
di sampingnya. "Wrahasta," berkata Pandan Wangi kemudian, "biarlah aku
berjalan sendiri. Bukankah kurang baik dilihat orang, apabila kita
berjalan bersama-sama."
"Aku pengawalmu, sesuai seperti yang dikehendaki oleh Ki
Argapati. Meskipun demikian, aku akan berhenti di sini kalau kau
sudah menjawab pertanyaanku."
"Jangan membuat aku menjadi sangat bingung Wrahasta.
Sebentar lagi Ayah akan pergi. Seolah-olah Ayah akan terjun ke
dalam kegelapan. Tak seorang pun tahu, apakah yang ada di
dalamnya. Di dalam kegelapan itu. Sekarang kau membuat
persoalan yang membuat aku menjadi semakin pening. Kalau
kau menaruh sedikit pengertian tentang keadaanku, Wrahasta,
aku harap kau menunda pertanyaanmu itu."
"Tetapi apakah aku akan dapat menyimpan harapan,
seandainya aku menunda pertanyaan ini"
"Pertanyaan itu tidak ada bedanya. Simpanlah semua
persoalan di dalam hati."
"Aku ingin tahu Pandan Wangi."
Pandan Wangi merasa semakin terdesak. Ia tidak melihat
jalan untuk keluar dari persoalan itu. Tetapi ia sadar, bahwa ia
tidak dapat menolaknya. Karena di dalam kepepatan hati,
Pandan Wangi menjawab sekenanya, "Simpanlah harapanmu
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, Wrahasta." Jantung anak muda yang bertubuh tinggi tegap, berdada
bidang, dan berbulu lebat di dadanya itu berdesir. Dengan sertamerta
ia bertanya, "Jadi aku dapat menyimpan harapan
kepadamu Wangi." Dada Pandan Wangi yang semakin pepat itu menjawab,
"Setiap orang harus berpengharapan bagi masa depannya."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahanlahan
ia bergumam, "Terima kasih Pandan Wangi. Aku sudah
puas untuk sementara mendengar jawabmu. Aku harap kau
tidak ingkar." Kini dada Pandan Wanglah yang berdesir. Ia sadar, bahwa
jawabannya telah menimbulkan salah mengerti. Tetapi ketika ia
ingin menjelaskannya, Wrahasta telah mendahului, "Aku kini
sudah siap, Pandan Wangi. Siap untuk berbuat apa saja
untukmu dan tanah perdikan ini. Apapun yang harus aku
lakukan, aku telah bersedia dengan dada tengadah. Kau adalah
pewaris satu-satunya atas tanah ini. Semua persoalanmu adalah
persoalanku. Seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede Menoreh."
Pandan Wangi sama sekali tidak mendapat kesempatan
untuk menjawab. Wrahasta itu segera meloncat
meningalkannya. Langkahnya ringan, seperti seekor burung
yang berloncatan menyambar bilalang. Dalam sekejap
kemudian, Wrahasta itu sudah hilang di balik dedaunan yang
rimbun di halaman belakang rumah Pandan Wangi.
Pandan Wangi kemudian berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba
hatinya menjadi terlampau gelisah. Beberapa macam persoalan
bercampur-baur, menggelegak di dalam dadanya. Tanpa
sesadarnya, telapak tangannya di letakkannya di dadanya
sambil menarik nafas dalam-dalam. Namun sesaat kemudian
terasa setitik air meleleh dari pelupuk matanya.
Tetapi sejenak kemudian, seperti orang yang terbangun dari
mimpinya, ia menggeram. Mimpinya terlampau
mencemaskannya. Namun kini ia sadar, bahwa ayahnya sedang
menunggunya. Sebentar lagi ayahnya akan pergi ke bawah
Pucang Kembar. Persoalan itu jauh lebih penting dan berharga
dari persoalannya sendiri. Karena itu, maka Pandan Wangi pun
segera berlarlari mendapatkan ayahnya yang duduk di antara
beberapa pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata di sana
telah duduk pula Wrahasta yang masih terengah-engah. Dan
sekejap kemudian masuk pula Samekta. Ternyata orang tua itu
telah mengikutinya, dan mendengar semua percakapannya
dengan Wrahasta. Orang yang telah cukup menyimpan
pengalaman itu segera dapat mengerti, persoalan yang tumbuh
diantara Wrahasta dan Pandan Wangi. Di dalam hatinya ia
bergumam, "Kasihan Angger Pandari Wangi." Tetapi untuk
sementara Samekta tidak dapat mencampurinya. "Apabila
persoalan itu dapat mereka selesaikan sendiri, biarlah mereka
selesaikan," katanya di dalam hati.
Ketika Pandan Wangi berada di dalam lingkungan para
pemimpin tanah perdikan itu, ayahnya telah bersiap untuk
memenuhi janjinya. Telah dikenakannya pakaian keprajuritannya
,yang telah lama disimpannya. Di pangkuannya terletak
sebatang tombak pendek yang masih berada di dalam selosong
putih. Namun Pandan Wangi kini melihat perubahan pada wajah
ayahnya. Wajah itu tiba-tiba tampak menjadi cerah dan seolaholah
bahkan berserseri. Ia melihat senyum yang tergores pada
bibir ayahnya. Dan sejenak kemudian Pandan Wangi mendengar
ayahnya berkata, "Wangi, semua persiapan telah selesai. Aku
tinggal menunggu matahari merendah di atas bukit, kemudian
aku akan pergi ke Pucang Kembar untuk memenuhi janjiku."
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tanpa disadarinya,
matanya menyentuh sorot mata Wrahasta, yang seolah-olah
membakar dadanya, sehingga dengan serta-merta kepalanya
menunduk dalam-dalam. "Aku sudah cukup memberikan pesan kepada semua orang
yang aku anggap penting di sini. Kepada orang-orang tua,
kepada para pemimpin pengawal, dan kepadamu, Wangi.
Sepeninggalku, maka kaulah yang akan memegang semua
kekuasaan atas tanah ini, sampai aku datang kembali. Apabila
sepeninggalku ada perkembangan yang cepat melanda tanah
ini, maka kaulah yang harus memutuskan, apakah yang sebaikbaiknya
kau kerjakan. Di sini ada beberapa orang yang akan
mengawanimu di dalam segala pertimbangan. Dalam tata
pemerintahan kau dapat berbicara dengan orang-orang tua.
Sedang dalam persoalan keamanan tanah, ini kau dapat
berbicara dengan para pemimpin pengawal. Aku telah
menyerahkan pimpinan keselamatan rumah ini dengan segala
isinya kepada Wrahasta. Sedang untuk persoalan yang timbul di
luar rumah dan halaman, aku serahkan kepada Samekta.
Kecuali itu, pemomongmu, Kerti, aku tempatkan di dalam rumah
ini, supaya kau selalu dapat berhubungan dengan orang itu. Ia
akan merupakan penghubung yang baik pula antara kau dan
Samekta. Namun jangan kau lupakan, sebaiknya kau tetap
berada di rumah ini. Kau dapat menyerahkan semua persoalan
kepada orang-orang yang telah aku serahi tugasnya masingmasing."
Darah Pandan Wangi serasa menjadi semakin cepat
mengalir. Ia tahu benar arti pesan ayahnya. Ia tidak akan dapat
meninggalkan halaman rumahnya. Apalagi pergi ke Pucang
Kembar. Karena itu maka untuk sejenak ia masih berdiam diri,
tanpa menjawab sepatah kata pun.
Ki Gede Menoreh melihat kekecewaan di wajah puterinya.
Agaknya Pandan Wangi telah menangkap maksudnya, tetapi Ki
Gede tidak punya cara lain. Ia pun tahu benar, bahwa
seandainya tidak demikian, puterinya itu pasti akan pergi ke
Pucang Kembar. Setidak-tidaknya ingin menyaksikan apa yang
akan terjadi. "Pandan Wangi," berkata Ki Gede kemudian, "tidak seorang
pun yang akan ikut serta bersamaku. Aku akan pergi seorang
diri, karena aku pun yakin, bahwa Ki Tambak Wedi pun akan
pergi sendiri pula. Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi yang
sekarang masih Ki Tambak Wedi yang dahulu." Ki Argapati itu
terdiam sejenak. Lalu, "Seperti sudah aku katakan, seandainya
hal ini tidak bersamaan waktunya dengan kemelut yang
mengasapi tanah perdikan ini, maka tidak seorang pun yang
boleh tahu, apa yang akan terjadi. Tidak boleh seorang pun
mendengar, bahwa akan terjadi perang tanding itu. Tetapi dalam
keadaan ini, aku tidak dapat berbuat demikian."
Pandan Wangi masih tetap diam. Kepalanya tunduk, dan
matanya menjadi basah. Ia sangat gelisah dan cemas, tetapi
juga sangat kecewa. "Aku tahu, kau kecewa Wangi," berkata ayahnya.
Tanpa sesadarnya Pandan Wangi mengangguk. Tanpa
sesadarnya ia bergumam, "Sebenarnya aku ingin pergi ke
Pucang Kembar, Ayah."
"Aku sudah tahu," sahut ayahnya, "karena itu, aku memaksa
kau untuk tinggal di sini. Kehadiranmu akan memecahkan
pemusatan perlawananku. Mungkin akan berakibat kurang baik
bagiku dan bagimu. Tetapi seorang diri, aku akan dapat
mempergunakan setiap saat untuk menolong dan
memperhatikan diriku sendiri."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya per-lahanlahan.
Ia dapat mengerti keterangan itu. Tetapi ia tidak dapat
melepaskan keinginannya untuk melihat perang tanding itu.
"Karena itu Wangi," berkata Ki Gede Menoreh seterusnya,
"tinggallah di rumah. Mungkin kau akan diperlukan sekali.
Mungkin orang-orang Sidanti akan melakukan gerakan justru
pada saat aku tidak ada di rumah. Apabila kau tidak ada, maka
mungkin kita akan kehilangan segala-galanya. Apakah kau
mengerti?" Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk.
"Nah, mudah-mudahan kau benar-benar mengerti." Ki
Argapati berhenti sejenak. Dilemparkan pandangan matanya
menembus pintu hinggap di halaman rumahnya. Sinar matahari
sudah menjadi terlampau lemah. Dan waktu yang ditentukan
telah menjadi terlampau sempit.
"Aku sudah kehabisan waktu," gumam Ki Argapati, "aku kira
sudah saat aku berangkat. Mungkin aku akan sampai beberapa
saat, sebelum saat yang kami tunggu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika ia mencoba
memandang setiap wajah, maka dilihatnya wajah-wajah itu
menjadi tegang. Orang-orang tua dan para pemimpin pasukan
pengawal yang berada di ruangan itu agaknya benar-benar
terpengaruh oleh keadaan itu. Oleh keberangkatan Ki Gede
Menoreh sebentar lagi. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apaapa.
Ki Gede Menoreh sama sekali tidak mau membawa
seorang pun untuk mengawaninya. Setidak-tidaknya untuk
menjadi saksi dalam perang tanding itu. Ki Gede telah
memutuskan untuk melakukannya sebagaimana pernah
dilakukan. Sendiri. Ketika Ki Gede kemudian beringsut, wajah-wajah di dalam
ruangan itu menjadi kian menegang. Apalagi ketika kemudian Ki
Gede itu berdiri sambil berkata, "Sudah waktunya aku berangkat.
Tinggallah kalian pada tugas kalian masing-masing. Aku
mengharap bahwa Ki Tambak Wedi cukup jantan."
Pandan Wangi hampir-hampir tidak dapat menahan diri lagi.
Hampir saja air matanya memecahkan pertahanannya. Tetapi Ki
Gede yang melihatnya segera berkata, "Pandan Wangi,
lepaskan aku sebagaimana seorang laklaki pergi berperang.
Jangan kau lepaskan aku seperti kanak-kanak nakal yang pergi
keladang orang. Kau pun harus bersikap seperti sikap-sikap
yang seharusnya kau perlihatkan. Kau adalah puteri Kepala
Tanah Perdikan yang kini memegang tampuk pimpinan selama
aku tidak di rumah. Ingat, jangan kau tinggalkan rumah ini. Kau
harus tetap dalam kewaspadaan yang tertinggi."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi tidak
sepatah kata pun yang diucapkannya.
Sejenak kemudian, Ki Gede Menoreh itupun melangkahkan
kakinya, diikuti oleh setiap orang yang berada di dalam ruangan
itu. Perlahan-lahan melintas pendapa, kemudian turun ke
halaman. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Pandan Wangi
memandanginya. Kemudian terdengar bibirnya berdesis, "Ayah.
Tombak itu." KI Argapati mengangkat tombaknya. Dipandanginya tombak
yang masih berada di selongsongnya itu. Terasa dadanya
berdesir. Tombak itu memang bukan tombaknya yang
dipergunakan beberapa puluh tahun yang lalu untuk melawan
Paguhan. Namun sejenak kemudian ia tersenyum. Katanya,
"Tidak ada bedanya Wangi. Keduanya pusaka sipat kandel
tanah perdikan ini."
Pandan Wangi tidak berkata-kata lagi. Ia berjalan dengan
lemahnya di belakang ayahnya. Di belakangnya, anak muda
yang bertubuh raksasa melangkah dengan tegapnya. Dan di
sampingnya, di antara orang-orang lain adalah Samekta, yang
sudah agak lanjut usia. Ketika Argapati sampai di regol halaman rumahnya, sejenak
berhenti. Ditayangkannya pandangan matanya berkeliling,
seolah-olah ingin di lihatnya sekali lagi sudut-sudut halamannya.
Pohon-pohon buah-buahan dan tanam-tanaman perdu yang
tersebar menghijau di halaman. Kemudian katanya, "Aku akan
berangkat." Seorang pekatik maju ke depan orang-orang yang berdiri
berjajar itu membawa seekor kuda. Dengan tenangnya Ki Gede
Menoreh menerima kendali, lalu dengan tenangnya pula ia
meloncat ke atas punggung kuda itu.
"Selamat tinggal," desisnya, "aku serahkan tanah ini kepada
kalian selamat aku belum kembali. Mudah-mudahan kita semua
selamat. Kita akan selalu bermohon kepada Tuhan."
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi setiap pasang
mata memancarkan kesediaan yang mantap. Apa pun yang
akan terjadi, mereka akan bersedia menjalani. Sampai pada
pengorbanan yang tertinggi yang dapat diberikan kepada tanah
ini. Sesaat kemudian, Ki Argapati menarik kendali kudanya.
Ketika kuda itu bergerak, maka Ki Gede Menoreh tersenyum
sambil berkata, "Kita yakin, bahwa kita berada di pihak yang
benar." Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi Ki Gede Menoreh
dapat menangkap sorot mata yang memancar dari setiap wajah.
Karena itu, maka dengan hati yang tetap ia pun segera berpacu
meninggalkan regol halaman rumahnya, melintas lewat lapangan
kecil di depan rumahnya, yang biasa disebut alun-alun Menoreh.
Debu yang putih mengepul di belakang derap kakkaki kudanya.
Ki Gede Menoreh itu semakin lama menjadi semakin jauh.
Kemudian hilang di balik dedaunan di seberang alun-alaun kecil
itu. Setiap orang yang berdiri di depan regol halaman rumah Ki
Gede itu, menarik nafas dalam-dalam. Betapapun juga, mereka
merasa dirayapi oleh kecemasan di dadanya. Mereka memang
tidak dapat meramalkan, apa yang akan terjadi. Ki Gede
Menoreh dan Ki Tambak Wedi mempunyai kesempatan yang
sama. Keduanya dapat menang, dan keduanya dapat kalah
dalam perang tanding itu. Tetapi mungkin juga, bahwa perang
tanding itu akan berlangsung lebih lama dari semalam suntuk.
Mungkin apabila matahari besok terbit di Timur, perang tanding
itu masih juga berlangsung. Dan kemungkinan yang lain adalah
sampyuh. Keduanya terbunuh dengan luka di tubuh masingmasing.
Pandan Wangi masih berdiri tegak di tempatnya. Tetapi tibatiba
ia seakan-akan menemukan kekuatan di dalam dirinya.
Ketika ia melihat kuda ayahnya berderap, serta melihat debu
yang putih nengepul di belakang kakkaki kuda itu, terasa
sebuah getar menyentuh dadanya. Tiba-tiba ia menemukan
tekad yang menyala di dalam dirinya. Dengan dada tengadah ia
bergumam di dalam hatinya, "Aku adalah pewaris satu-satunya
tanah perdikan ini. Aku harus menyelamatkannya dari setiap
bencana yang bakal datang."
Pandan Wangi itu tersedar ketika ia mendengar suara
Wrahasta di belakangnya, "Sudahlah Pandan Wangi. Masuklah.
Ki Argapati sudah tidak kelihatan lagi."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia pun melangkah masuk menyusup regol halaman,
melintas ke pendapa dan masuk ke dalam pringgitan, diikuti oleh
orang-orang tua dan pemimpin-pemimpin pengawal.
Di paling belakang berjalan Samekta dengan wajah yang
suram. Ketika dilihatnya Kerli, maka segera digamitnya sambil
berbisik, "He, aku ingin berbicara sedikit."
Kerti berpaling. Jawabnya, "Berbicaralah, Kau tidak berbicara
sedikit. Kau biasanya berbicara terlampau banyak."
Samekta tersenyum. Sudah lama ia mengenal Kerti dengan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala tabiatnya. "Dengar," berkata Samekta kemudian, "kau mendapat
pekerjaan yang cukup berat dari Ki Gede."
Kerti mengerutkan keningnya, "Apa?"
"Bukankah kau telah mendengarnya sendiri?"
Kerti tertawa, "Kau membuat aku berdebar-debar. Apakah
anehnya tugas itu?" "Dengar," berkata Samekta perlahan-lahan, "kau harus
melindungi gadis momonganmu itu. Lebih berhathati apabila ia
pergi berburu. Kau mengerti maksudku?"
Kerti mengerutkan keningnya. Katanya, "Mana mungkin aku
mengerti. Tetapi apakah kau bermaksud membuat teka-teki?"
"Tidak. Aku berkata sebenarnya. Lindungilah gadis itu baikbaik."
"Kau bergurau. Kau harus tahu, bahwa seharusnya Pandan
Wanglah yang akan selalu melindungi aku. Bukan aku yang
akan melindunginya. Kemampuannya lipat sepuluh dari
kemampuanku berkelahi. O, kalau kau melihat bagaimana ia
berkelahi melawan Sidanti, meskipun tidak bersungguh-sungguh
kau pasti akan pingsan."
"Aku sudah melihat, meskipun tidak langsung. Enam orangorang
liar tidak dapat mengalahkannya segera."
"He?" Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya, "ya. Kau
pernah berceritera. Tetapi, lalu apakah yang harus aku
lindungi?" "Lindunglah perasaannya. Ia sedang dikejar oleh kecemasan
tentang ayahnya. Tetapi ia dikejar pula oleh persoalan lain."
Samekta mengedarkan pandangan matanya. Satu-satu para
tetua tanah perdikan dan para pemimpin pengawal telah masuk
ke dalam pringgitan. "Wrahasta. Ia salah paham atas kepercayaan Ki Argapati
kepadanya tentang Pandan Wangi. Ia merasa, bahwa ia
mendapat kepercayaan bukan sekedar dalam mengemban
kuwajibannya. Ia merasa bahwa tugas itu merupakan
kepercayaan rangkap. Sebagai seorang pengawal yang
terpercaya dan sebagai seorang anak muda."
Kirti mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta
berkata selanjutnya tentang anak muda yang bertubuh raksasa
itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kerti berkata,
"Kasian Angger Pandan Wangi. Tetapi aku kira Wrahasta tidak
akan dapat berbuat apa-apa atas gadis itu. Tiga sampai lima
Wrahasta akan digilasnya dengan ilmu yang diterimanya dari
ayahnya." "Tetapi Pandan Wangi tidak dapat berbuat demikian. Ia terlalu
mementingkan tanah ini, sehingga ia tidak berani menyakiti hati
raksasa yang mabuk itu."
Sekali lagi Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gumamnya, "Baik. Aku akan berusaha, bahwa bagi raksasa itu
tidak akan ada kesempatan untuk mempersoalkannya lagi
selama ini. Aku akan selalu berada di sampingnya. Bukankah
aku mendapat tugas di dalam rumah itu, Samekta di luar
halaman, tetapi meliputi seluruh tanah ini dengan segala macam
bentuknya, dan Wrahasta mendapat tugas di dalam halaman ini.
Mengawal dan menyelamatkan segala isinya, termasuk Pandan
Wangi dan aku." "Hus," desis Samekta, "pergilah. Sebentar lagi aku akan.
meninggalkan halaman ini. Untuk sementara aku akan berada di
banjar. Setiap persoalan dengan tanah ini dari segi
pengamanannya, hubungilah aku di banjar. Kau tidak usah pergi
sendiri. Kau dapat menyuruh satu dua orang yang kau percaya
untuk itu, tetapi yang harus sudah aku kenal baik-baik."
Kerti mengangguk-anggukan kepalanya. Di dalam keadaan
yang demikian, maka semua orang harus berhathati. Semua
menjadi saling bercuriga. Mereka tidak sebera dapat
membedakan, siapakah lawan mereka masing-masing, dan
siapakah yang menjadi kawan. Karena itu, maka setiap orang
harus sangat berhathati. Mereka harus tahu pasti, apakah
mereka tidak berhadapan dengan lawan.
"Aku akan memberi meresa sasmita sandi. Hanya mereka
yang memakai sasmita sandilah yang harus kau percaya,
"berkata Kerti, "dan sebaliknya orang-orangmu yang
menghubungi aku pun, harus memakai sasmita sandi yang
serupa." "Bagus, "jawab Samekta, "apakah sasmita sandi itu?"
"Katakan. Apa yang harus di ucapkan oleh orang-orangku
dan, orang-orangmu dalam sasmita sandi."
Samekta berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, "Nah, kita
bersepakat untuk mempergunakan sasmita sandi. Orang-orang
kita harus menyebut namanya dalam sasmita sandi itu,
kemudian mengucapkan bilangan tiga dan sembilan."
"Kenapa tiga dan sembilan?"
"Hus," desis Samekta, "berapa saja tidak menjadi soal. Tetapi
kita bersepakat, bilangan itu tiga dan sembilan. Kau mengerti.
Bilangan itu dapat berubah setiap saat kita membuat perjanjian
baru. Bahkan mungkin kita akan berjanji menyebut nama
binatang, atau nama gunung, atau sungai, atau apa saja."
Kerti mengangguk-angguk, "Baik. Aku akan memberi tahukan
kepada setiap penghubung sasmita sandi itu. Tetapi
bagaimanakah sasmita sandi itu, apabila Wrahasta yang
berkepentingan dengan kau"
"Aku lebih percaya kepadamu."
"Jangan berprasangka. Suatu ketika ia dapat mempunyai
kepentingan dengan kau. Bukan kepentingan diri sendiri, tetapi
kepentingan kita bersama."
"Baik," Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya, "sebut
juga sasmita sandi serupa untuk hari ini. Tetapi tidak usah
menyebut namanya, sehingga aku dapat membedakan dengan
penghubung siapa aku berbicara."
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
berkata, "Pergilah ke banjar. Mungkin kau segera akan
mendapat tugas di dalam kemelutnya suasana ini."
"Aku akan segera pergi, tetapi aku akan minta diri dahulu
kepada Pandan Wangi dan membawa beberapa orang
pemimpin pengawal yang lain di dalam tugas ini. Aku akan
menyiapkan beberapa ekor kuda di banjar, di gardu-gardu
peronda, dan dirumah ini, supaya setiap perkembangan dapat
segera kita ketahui."
"Marilah. Kita masuk ke pringgitan."
Kedua segera melangkahkan kakinya menyusuri orang-orang
lain yang telah mendahului berada di pringgitan. Samekta segera
minta diri bersama beberapa orang yang bertugas bersamanya,
pergi ke banjar untuk menyusun jaring-jaring pengamanan di
tempat-tempat yangt telah ditentukannya. Terutama tempattempat
yang langsung berhadapan dengan daerah yang hampir
pasti berada di bawah pengaruh Argajaya dan Sidanti.
Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah berderap
meninggalkan halaman rumah itu pula. Kali ini membawa
Samekta dan beberapa pemimpin pengawal yang lain, pergi ke
banjar dan ke tempat-tempat penting yang lelah ditentukan.
Mereka memencar untuk melihat keadaan dari dekat di setiap
penjuru, dan pada saatnya mereka selalu membuat hubunganhubungan
satu dengan yang lain. Di setiap tempat penting, telah disediakan beberapa
penghubung berkuda dan senjata-senjata sasmita yang lain.
Panah-panah sendaren, panah api, kentongan dan tanda yang
lain, yang telah disepakati bersama.
Di rumah Ki Gede tinggallah kini beberapa orang tetua tanah
perdikan dan beberapa orang pengawal di bawah pimpinan
Wrahasta, di samping Kerti dengan beberapa orang yang harus
mengawani Pandan Wangi di dalam rumah itu.
Setiap orang telah mengenal Kerti sebagai pemomong
Pandan Wangi, terutama apabila Pandan Wangi pergi berburu.
Meskipun Kerti sudah agak lanjut, namun ia masih dapat
dipercaya untuk mengawani Pandan Wangi, -apabila gadis itu
berada di dalam bahaya. Tetapi kehadiran Kerti di dalam rumah itu, agaknya terasa
kurang memberi keleluasaan bagi Wrahasta. Ia merasa
kepercayaan Argapati dikurangi. Seharusnya ia menerima
seluruh tanggung jawab atas keselamatan gadis itu. Sehingga ia
adalah satu-satunya pelindung yang terpercaya untuk Pandan
Wangi. Untunglah, bahwa umur Kerti telah merayap kepertengahan
abad, sehingga bagaimanapun juga, kehadiranny masih dapat
diterima oleh Wrahasta. Sementara itu, matahari menjadi semakin lama semakin
rendah. Cahayanya mulai menjadi pudar dan kemerah-merahan.
Sisa-sisa sinarnya sudah tidak lagi berwarna cerah dan
menyilaukan. Tetapi semakin lama menjadi semakin suram.
Awan yang putih kemerah-merahan hanyut dibawa angin dari
Selatan. Menyentuh ujung pebukitan, mengalir ke Utara. Satusatu
burung seriti terbang berputaran. Kemudian saling bertemu,
dan berkumpul dalam kelompok-kelompok yang semakin-besar.
Akhirnya, mereka terbang mengitari sebatang pohon randu alas
tua di ujung pedukuhan. Ratusan, seperti segumpal mendung
yang mengambang. Seekor kuda berderap dengan kencangnya di atas tanah
berbatu-batu. Semakin lama semakin laju. Sekalsekali
penunggangnya nengadahkan wajahnya, melihat langit yang
menjadi semakin suram. Dan setiap kali tangannya
menggerakkan kendali, supaya kudanya terbang lebih cepat lagi.
Sejenak kemudian, kakkaki kuda itu telah berderap
menyusur lereng-lereng pebukitan. Menyusup di antara semaksemak
yang rimbun dan liur, sepanjang jalan sempit menuju ke
Pucang Kembar. Di tangan kanannya tergenggam sebatang
tombak pendek yang masih berada di selongsongnya.
Orang itu adalah Ki Argapati, yang bergelar Ki Gede
Menoreh. Ia ingin sampai ke tempat yang telah dijanjikan,
sebelum saat purnama naik. Ia tidak mau terlambat, meskipun
hanya sepenginang. Karena itu, maka ia berpacu semakin cepat.
Suara derak kaki kudanya menggelepar di lereng bukit-bukit
yang terjal. Matahari di langit menjadi semakin rendah. Kini telah
meyentuh punggung bukit di sebelah Barat. Sebentar lagi
matahari itu akan tenggelam, dan sebentar pula hari akan
menjadi semakin gelap. Sejenak kemudian akan segera disusul
oleh saat purnama yang akan naik di ujung Timur.
Kuda Argapati berlari semakin kencang. Meluncur dari
Selatan ke Utara. Di sepanjang perjalanannya, pikiran dan angan-angan
Argapati telah hinggap pada pertemuan yang akan datang,
meloncat-loncat di antara kenangan masa lampaunya pada
kesempatan yang serupa. Jalan ke Pucang Kembar yang
dilaluinya kini, sama sekali tidak berubah seperti saat ia
melampauinya beberapa puluh tahun yang lampau.
Jalan sempit yang dahulu disusurinya adalah jalan sempit ini
pula. Ketika itu, ia menjinjing tombak pula seperti saat ini. Tetapi
tombak yang dibawanya kini, bukan tombaknya beberapa puluh
tahun yang lampau. Hatinya berdesir, ketika terbayang di rongga matanya senjata
Tambak Wedi yang nggegirisi. Sepasang senjata yang bermata
rangkap. Sehingga ujung tombaknya waktu itu, harus melawan
empat ujung mata senjata yang mengerikan dari sepasang
Nenggala Ki Tambak Wedi. Tanpa sesadarnya, Ki Argapati memandangi selongsong
senjatamja. Namun perlahan-lahan ia bergumam kepada diri
sendiri, "tidak ada bedanya, meskipun tombak ini bukan
tombakku sendiri." Pucang Kembar semakin lama menjadi semakin dekat.
Matahari pun sudah semakin dalam membenam di balik bukit.
Sisa-sisa cahayanya yang kemerah-merahan masih menyangkut
di pinggir mega yang berarak di langit yang biru bersih.
Ki Argapati menengadahkan wajahnya. Dilihatnya kesuraman
yang kelabu perlahan-lahan menurun menyelubungi puncak
pebukitan. Sehingga dengan demikian, kudanya berpacu
semakin laju. Demikian asyiknya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu
terpukau oleh kemungkinan yang bakal datang, sehingga ia
sama sekali tidak mengetahui, bahwa dua pasang mata sedang
mengawasinya dari balik gerumbul beberapa langkah dari jalan
yang dilaluinya. Ketika salah seorang dari mereka mencoba
bergerak, maka yang seorang segera menggamitnya sambil
menggoyangkan kepalanya. Keduanya kemudaan terdiam. Hanya mata mereka sajalah
yang bergerak mengikuti derap kuda yang laju meninggalkan
debu yang putih, menghambur di atas jalan yang dilaluinya itu.
Ketika kuda itu telah hilang di kejauhan, maka mereka berdua
yang sedang mengintip di balik rimbunya dedaunan itupun
segera keluar dari persembunyiannya.
"Itukah yang bernama Argapati?" bertanya yang seorang.
Yang lain menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya. Orang
itulah yang bernama Argapati, dan bergelar Ki Gede Menoreh.
"Orang yang pertama mengangguk-anggukkan kepalanya.
Desisnya, "Ia menepati janjinya. Pada saat purnama naik, ia
pasti sudah berada di bawah Pucang Kembar."
"Tidak terpikir olehnya untuk ingkar atau justru berkhianat. Ia
adalah seorang yang menjunjung tinggi nilanilai harga dirinya
dan sifat-sifat kesatria. Jarang orang yang berpegang teguh,
pada pendirian yang demikian meskipun keadaan tanah
perdikan ini sedang goncang."
Orang yang pertama masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, "Ki Argapati benar-benar pergi ke
Pucang Kembar seorang diri."
"Aku sudah menduga. Ia akan pergi seorang diri."
Yang lain mengangguk-angguk lagi, "Lalu, apakah kita akan
pergi ke Pucang Kembar pula?"
"Ya, bukankah kita memang akan pergi ke sana untuk melihat
apa yang terjadi" Marilah. Kita jangan terlambat. Kita tidak naik
kuda seperti Argapati. Kita tidak mau kehilangan pertunjukan ini
sejak dari permulaan sekali."
"Marilah. Kita dapat memintas. Kita menyusup di antara
gerumbul-gerumbul liar, sehingga kita tidak akan tertinggal
terlampau jauh dari Ki Argapati."
Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian
segera melangkahkan kaki mereka menyusup di antara
gerumbul-gerumbul liar dan hilang di dalam kemuraman senja.
Dari arah yang lain, Ki Tambak Wedi berjalan dengan
tergesa-gesa pula, menuju ke bawah Pucang Kembar, sambil
menjinjing senjatanya yang mendebarkan jantung. Tetapi ia kini
tidak membawa sepasang. Ia hanya tinggal mempunyai
sebatang, karena yang sebatang telah tertinggal di Sangkal
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Putung. Bahkan pernah dibawa pula oleh Kiai Gringsing. Namun
ia sama sekali tidak menjadi gelisah, bahwa ia harus melawan
Argapati dengan sebatang senjatanya itu.
Tetapi ternyata di dalam perjalanan itu, Ki Tambak Wedi tidak
hanya berjalan seorang diri. Di belakangnya berjalan dua orang
yang bertubuh kekar, berbulu lebat di dadanya. Yang seorang
berambut panjang terurai di bawah ikat kepalanya, sedang yang
seorang lagi justru hampir tidak berambut, karena botaknya yang
memenuhi sebagian besar dari kepalanya. Ikat kepalanya sama
sekali tidak dikenakannya di atas botaknya, tetapi
disangkutkannya saja di atas pandaknya.
"Apakah kau yakin, bahwa Argapati akan datangi seorang
diri?" bertanya orang yang berkepala botak.
"Ya," jawab Ki Tambak Wedi.
"Aku tidak yakin," sahut yang berambut panjang, "mungkin ia
akan menjebakmu." Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya, "Tidak, ia tidak
akan berbuat demikian."
"Tetapi kaulah yang berbuat demikian," sambung yang
berkepala botak. Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya,
"Aku terpaksa berbuat demikian untuk menyelamatkan tanah ini.
Kalau Argapati telah tidak ada, maka tidak akan seorang pun
yang berani mengambil alih pemerintahan, kecuali satu-satunya
trah Argapati, Sidanti. Dengan demikian, pertumpahan darah
akan terhindarkan. Memang kila harus berkorban. Kali ini,
korban itu kebetulan adalah Argapati. Dan mungkin korban lain
yang tidak kalah pentingnya, adalah justru harga diriku sendiri.
Tetapi aku memandang kepentingan yang jauh lebih besar dari
harga diri seorang Tambak Wedi."
Kedua orang kawan Tambak Wedi itu mengerutkan
keningnya. Sejenak mereka berdiam diri. Tetapi mereka tidak
dapat mengerti jalan pikiran Ki Tambak Wedi itu, sehingga salah
orang dari mereka tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sambil
berkata, "Ho, kau aneh Ki Tambak Wedi. Jalan pikiranmu
memang berbelit-belit. Kalau kau memang tidak ingin terjadi
pertumpahan darah, kenapa kau tidak berusaha mencegah
muridmu, anak Argapati itu untuk memberontak terhadap
ayahnya" Itu jalan yang paling mudah dapat kau tempuh
daripada jalan yang kau pilih sekarang."
"Itu tidak mungkin," sahut Ki Tambak Wedi, "dengan
demikian, keadaan tanah ini akan tetap seperti sekarang dan
harhari yang lampau. Rakyat Menoreh ingin mendapat nafas
baru, di atas tanah perdikan ini."
Tiba-tiba orang yang lain, yang berkepala botak berkata, "Aku
tidak peduli, apa saja yang sedang berkecamuk di atas tanah ini.
Aku tidak peduli, apakah kau korbankan harga dirimu, bahkan
nyawamu sama sekali. Tetapi peristiwa ini membuat aku menjadi
gembira. Aku akan menerima upah darimu, sementara aku
mendapat kesempatan untuk membunuh. Sudah lama aku tidak
melibatkan diri dalam perkelahian yang ribut, seperti apa yang
akan terjadi di atas tanah ini. Mudah-mudahan aku akan berhasil
membunuh Aigapati." Kawannya yang berambut panjang mengerutkan dahinya
Katanya, "Kenapa kau tidak yakin" Meskipun aku dan kau tidak
dapat melawannya seorang demi seorang, tetapi kita akan
merupakan unsur penentu di dalam perkelahian yang akan
datang. Kita mengharap, bahwa Ki Tambak Wedi dan Argapati
akan merupakan kekuatan yang seimbang. Maka kehadiran kita
akan menjadi penyebab, bahwa keseimbangan itu akan goyah.
Dan Argapati akan dapat kita selesaikan."
"Ha itu jangan kau ragukan lagi," berkata Tambak Wedi,
"seandainya Argapati membawa beberapa orang kawan, maka
sepasukan kecil di belakang kita akan menyelesaikannya."
Kedua kawan-kawannya itu mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Semua rencana itu sudah siap dan meyakinkan.
Argapati tidak akan dapat keluar lagi dari jebakan mereka.
Sejenak kemudian mereka berhenti. Ki Tambak Wedi
memberi isyarat kepada mereka, agar mereka tidak berjalan
bersamanya. Keduanya harus memilih jalan lain, supaya mereka
dapat mencapai tempat yang mereka tentukan tanpa diketahui
oleh Ki Argapati. Kedua orang itu segera memisahkan diri dan masuk ke dalam
gerumbul di pinggir jalan. Mereka mencari jalan sendiri untuk
mencapai Pucang Kembar. Tugas mereka adalah membantu Ki
Tambak Wedi memusnakan Ki Gede Menoreh. Bukan saja
sekedar mereka berdua, tetapi di belakang mereka masih ada
sepasukan kecil, yang terdiri dari sebagian orang-orang Menoreh
sendiri, dan sebagian lagi orang-orang dari luar, yang sengaja
diundang oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.
*** Tetapi rencana Ki Tambak Wedi ternyata jauh lebih besar dari
kedua rencana yang akan saling mengisi itu. Bukan hanya
sekedar rencana yang dipersiapkan untuk membunuh Argapati.
Tetapi sementara itu, Sidanti pun telah sibuk bersama Argajaya.
Sepeninggal Ki Tambak Wedi, maka Sidanti dan Argajaya telah
menjalankan tugas masing-masing sesuai dengan kesatuan
rencana Ki Tambak Wedi. Mereka menyiapkan sebagian besar
dari kekuatannya. Menurut Ki Tambak Wedi, Sidanti dan
Argajaya malam itu juga harus dapat merebut padukuhan induk
dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sadar, bahwa seandainya
benar-benar terjadi peperangan antara dua kekuatan yang ada
di Menoreh, maka peperangan itu tidak akan dapat selesai
sehari dua hari. Tetapi peperangan itu akan dapat menjadi jauh
lebih cepat selesai, apabila pedukuhan induk segera dapat
direbutnya. Pasukan Argapati yang telah kehilangan
pimpinannya itu pasti akan pecah terceraberai, sehingga untuk
membangun satu kekuatan yang utuh pasti akan sangat sulit.
"Apakah kita akan mulai sekarang paman?" bertanya Sidanti.
"Jangan terlampau tergesa-gesa. Kita mulai setelah purnama
naik di atas cakrawala. Kita mengharap, bahwa Kakang Argapati
sudah terikat dalam sebuah perang tanding dengan Ki Tambak
Wedi, supaya Kakang Argapati tidak sempat mengetahui, apa
yang terjadi sepeninggalnya. Seandainya seseorang pergi
melaporkan kepadanya atau tanda-tanda lainnya, maka itu akan berakibat
terlampau jelek pula bagi Kakang Argapati. Dengan demikian, ia
akan kehilangan pemusatan perhatiannya atas perang tandng
itu, sehingga kematiannya pun akan menjadi lebih cepat."
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang
demikianlah maksud Ki Tambak Wedi. Malam ini juga, mereka
harus mendapat kepastian, bahwa mereka akan berhasil
menguasai Tanah Perdikan Menoreh, meskipun
penyelesaiannya masih memerlukan waktu.
Tetapi bagi Sidanti, waktu rasa-rasanya berjalan terlampau
lambat. Matahari yang telah hilang di balik pegunungan, masih
saja meninggalkan sinar yang cerah di langit.
Namun kemuraman senja pun semakin lama menjadi
semakin muram. Matahari menjadi semakin dalam terbenam,
sehingga akirnya sisa-sisa sinarnya sama sekali sudah tidak lagi
dapat menerangi lereng Bukit Menoreh.
"Kita harus bersiap Paman," berkata Sidanti, "sebentar lagi
purnama pasti akan naik."
"Ya, kita akan bersiap." jawab pamannya, "yang mula-mula
harus berangkat adalah pasukan kecil, yang harus meyakinkan,
bahwa Kakang Argapati pasti akan terbunuh di bawah Pucang
Kembar." "Pasukan itu sudah lama siap."
"Nah, lepaskanlah. Biarlah mereka berangkat."
Sidanti pun segera memberikan perintah bagi pasukan kecil
yang akan pergi ke Pucang Kembar. Pasukan yang mendapat
tugas khusus. Apabila Ki Taimbak Wedi dan kedua orang
kawannya tidak segera berhasil menyelesaikan Argapati, maka
adalah menjadi tugas pasukan kecil itu untuk bertindak. Juga
seandainya Argapati membawa beberapa orang pengawalnya,
maka semuanya harus ditumpas.
Ketika pasukan kecil itu sudah berangkat, maka Sidanti
segera membersiapkan induk pasukannya. Induk pasukannya
inilah yang nanti harus langsung masuk ke pedukuhan induk dan
mendudukinya. Meskipun peperangan masih akan berlangsung
terus, namun dengan menduduki padukuhan induk, maka
Sidiantti sudah mempunyai alas yang kuat menuju ke arah
kemenangannya. Pada saat Sidanti mempersiapkan pasukannya yang cukup
kuat untuk langsung menusuk jantung Tanah Perdikan Menoreh,
maka kuda yang membawa Argapati telah naik memanjat tebing,
sebuah puntuk kecil lereng bukit. Di atas puntuk itu berdiri dua
batang pohon pucang, sehingga puntuk itu disebut Pucang
Kembar. Di bawah sepasang pohon pucang itu, terbentang
sebuah dataran yang tidak terlampau luas, ditumbuhi oleh
rumput-rumput liar dan pohon-pohon perdu yang rimbun.
Dibawah sepasang pohon pucang itulah, Argapati berjanji
untuk menemui Ki Tambak Wedi dalam perang tanding, seperti
yang pernah terjadi beberapa puluh tahun yang lampau.
Ketika kakkaki kudanya berderap di bawah sepasang
pucang itu, hati Argapati berdesir. Hatinya telah dilanda oleh
arus kenangan lama, seolah-olah terguncang dengan
dahsyatnya di dalam dadanya. Dan kini ia sekali lagi akan
melakukannya. Dengan orang yang sama dan di tempat yang
sama. Argapati kemudian meloncat turun dari punggung kudanya.
Dituntunnya kudanya ke arah sebatang pohon perdu dan
mengikatnya di sana. Kemudian perlahan-lahan ia
melangkahkan kakinya ke bawah sepasang pucang itu kembali.
"Aku tidak terlambat," gumamnya perlahan sekali. Disapunya
keadaan di sekitannya yang telah mulai suram dengan
pandangan matanya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ki Tambak
Wedi pun masih belum tampak olehnya.
Dengan tenangnya Ki Argapati menyandarkan dirinya pada
sebatang dari sepasang pohon pucang itu. Perlahan-lahan
tangannya mengangkat senjatanya dan melepas selosongnya,
kemudian melipatnya. Namun ketika terasa olehnya lendean
tombaknya, maka sekali lagi dadanya berdesir. Tiba-tiba saja, ia
menyadari bahwa ia akan berkelahi dengan senjata yang kurang
dikenalnya. Ia masih biasa mempergunakan tombak itu.
Beratnya, sifat-sifatnya dan kebiasaannya.
"Mudah-mudahan aku dapat segera menyesuaikan diriku,"
gumamnya pula perlahan-lahan.
Dan dengan perlahan-lahan pula, Ki Argapati membuka
wrangka ujung tombaknya dan meletakkan wrangka itu di
samping lipatan selongsongnya.
"Tajam tombak inipun cukup baik," desisnya, "tidak jauh
berbeda dengan ujung tombakku." Ki Argapati menganggukanggukkan
kepalanya. Kedua tombak itu memang tombak sipat
kandel Tanaih Perdikan Menoreh, yang masing-masing dimiliki
oleh kakak beradik, Argapati dan Argajaya. Tetapi ternyata
Argajaya diam-diam telah menukarkan tombak itu, karena ia
menganggap bahwa tombak Argapati lebih baik dari tombaknya
sendiri. Sambil menunggu Ki Tambak Wedi, Argapati mencoba "
menimang-nimang tombaknya, supaya ia tidak salah hitung. Ia
harus tahu pasti berapa banyak tenaga yang diperlukannya
untuk mengayunkan tombak itu pada jarak tertentu.
Ketika Argapati menengadahkan wajahnya, dilihatnya warna
yang merah kekuningan menyaput langit di ujung Timur.
"Purnama itu hampir naik," tanpa sesadarnya ia berbicara
kepada diri sendiri. "Ya," tiba-tiba terdengar sebuah jawaban, "purnama hampir
naik." Argapati berpaling ke arah suara itu. Dilihatnya di atas
sebongkah batu padas sesosok tubuh, berdiri di atas sepasang
kakinya yang renggang. Tegak seperti sebatang tombak baja
yang kokoh kuat tertancap dalam-dalam pada tanah yang keras
berbatu-batu. Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Segera ia
mengenal, siapakah orang yang berdiri di atas sebongkah batu
padas itu. Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka katanya seperti
acuh tidak acuh, "Hem, kau datang tepat pada saatnya."
"Aku tidak pernah ingkar janji," jawab Ki Tambak Wedi,
"sebentar lagi purnama akan naik. Kita akan segera berhadapan
seperti beberapa puluh tahun lampau. Berhadapan sebagai lakilaki
jantan yang tahu akan harga dirinya."
"Aku mengharap demikian."
"Apakah kau datang seorang diri?" bertanya Ki Tembak Wedi.
Pertanyaan itu ternyata membuat Argapati menjadi heran.
Dipandanginya Ki Tambak Wedi di dalam sinar yang temaram.
Perlahan-lahan ia maju setapak sambil berkata, "Pertanyaan itu
aneh sekali?" "Kenapa aneh?" potong Ki Tambak Wedi.
"Tidak sepantasnya kita menyimpan pertanyaan itu di dalam
hati kita. Aku pun tidak akan bertanya demikian. Kalau kita
sudah kehilangan kepercayaan kepada diri masing-masing,
maka kita sudah kehilangan sebagian dari kejantanan kita." Ki
Gede Menoreh terdiam sejenak, lalu tiba-tiba, "He, Ki Tambak
Wedi. Meskipun hanya sepercik, apakah pernah tersirat di dalam
hatimu untuk datang ke tempal ini bersama satu atau dua orang
kawan yang meskipun hanya akan menjadi saksi" Sehingga kau
dipengaruhi oleh pertanyaanmu itu?"
Pertanyaan itu telah mengguncangkan dada Ki Tambak Wedi.
Serasa ujung tombak Argapat itu telah mematuk pusat dadanya.
Ia tidak menyangka, bahwa pertanyaannya dapat menumbuhkan
kecurigaan pada lawannya. Namun segera ia berusaha
melepaskan kesan itu dari wajahnya. Kemuraman senja telah
menolongnya untuk melindungi perubahan-perubahan pada
kerut-kerut di keningnya.
"Pertanyaanmu itupun aneh Argapati. Selama Ki Tambak
Wedi masih menyebut dirinya Ki Tambak Wedi, maka aku masih
orang yang pernah kau hadapi beberapa puluh tahun di tempat
ini." "Bagus," sahut Argapati, "turunlah. Sebentar lagj cahaya di
langit itu akan menjadi semakin cerah. Kemudian pada saatnya
purnama akan segera naik. Marilah kita peringati masa-masa
muda kita, sebagai Paguhan dan Arya Teja dengan cara ini.
Loloskah senjatamu itu dari selongsongnya. Aku ingin melihat,
betapa dahsyatnya senjata yang berujung rangkap itu."
Terdengar suara tertawa perlahan-lahan, "Kau terlampau
tergesa-gesa," sahut Ki Tambak Wedi, "meskipun sesaat lagi
purnama akan naik, tetapi malam masih panjang. Kau tidak akan
kehabisan waktu untuk memeras keringatmu. Aku akan
melayanimu. Kenapa kita harus tergesa-gesa dan memulainya
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tepat pada saat purnama itu nanti naik dari atas cakrawala?"
Sekali lagi Argapati menjadi terheran-heran. Pertanyaan di
dalam dirinya menjadi semakin tajam menggores di jantungnya.
Sikap Ki Tambak Wedi itu tidak dapat dimengertinya. Beberapa
puluh tahun, ketika ia bertemu di tempat ini pula dengan Ki
Tambak Wedi, maka orang itu sama sekali tidak terlampau
bersabar hati seperti kini.
"Waktu itu telah cukup lama berlalu," katanya di dalam hati,
"sepanjang itu, adalah mungkin sekali seseorang mengalami
perubahan tabiat dan sifatnya. Mungkin Ki Tambak Wedi
mendapat pengalaman yang cukup banyak untuk merubah sifatsifatnya
itu. Kini ia menanggapi keadaan dengan hati yang
mengendap." Meskipun demikian, Argapati itu menjawab juga, "Ki
Tambak Wedi. Aku memang tidak tergesa-gesa. Tetapi
bukankah ancer-ancer waktu itu telah kita letakkan" Marilah kita
mencoba menepatinya. Kita akan segera menyelesaikan
pekerjaan kita. Bukankah masih ada pekerjaan lain yang
menunggu?" Terdengar suara tertawa Ki Tambak Wedi, "Apakah kau
masih mengharap dapat keluar dari tempat ini?"
Ki Argapati mengerutkan keningnya. "Tentu," jawabnya, "di
rumah anakku menunggu kedatanganku."
Suara Ki Tambak Weda itu tiba-tiba meningga. Katanya, "
Seandainya kau dapat keluar dari tempat ini, belum tentu kau
akan dapat bertemu lagi dengan anakmu."
"Kenapa?" bertanya Argapati dengan herannya.
"Kedua kakak beradik seibu itu, berada dalam pertentangan
yang tajam. Aku tidak tahu, apakah Sidanti dapat mengendalikan
dirinya, supaya tidak segera bertindak. Tetapi jangan takut.
Seandainya Sidanti malam ini barhasil menguasai Menoreh,
puterimu, adik Sidanti itu, tidak akan mengalami cidera. Sidanti
menyayanginya sebagai seorang adik, meskipun adiknya itu
berpihak kepadamu. Tetapi sebagai seseorang yang bercita-cita,
maka Sidanti harus bertindak, meskipun ia yakin bahwa kau
pasti telah berjanji untuk menyerahkan tanah perdikan ini kepada
gadismu itu." Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Argapati. Ia sudah
menduga, bahwa hal serupa itu akan terjadi. Sidanti pasti akan
mempergunakan saat yang genting ini. Saat ia tidak dapat
memimpin perlawanan langsung untuk menghadapinya.
Namun ia sadar pula, bahwa Ki Tambak Wedi sengaja
mengatakan hal itu kepadanya, karena Ki Tambak Wedi
berusaha untuk mempengaruhi perasaannya. Apabila
perasaannya dikacaukan oleh berbagai macam persoalan, maka
ia pasti tidak akan dapat mencurahkan segenap perhatiannya di
dalam perlawanannya. Meskipun demikian sepercik
kebimbangan membayang pada dinding hati Argapati.
"Kenapa kau diam saja?" bertanya Ki Tambak Wedi, "jangan
hiraukan mereka. Biarlah hal itu diurus oleh anak-anak. Mereka
sedang membuat permainan untuk diri mereka sendiri. Biarlah
Sidanti dan Pandan Wangi bergurau dengan caranya. Dan
marilah kita melakukan pekerjaan kita pula di sini."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun sejenak
kemudian ia menjawab, "kau keliru Paguhan. Aku tidak
membiarkan Pandan Wangi melakukan perlawanan, seandainya
Sidanti benar-benar akan memulainya malam ini. Meskipun
Pandan Wangi memiliki kemampuan bermain senjata, tetapi ia
masih terlampau hijau. Aku menyerahkan pimpinan pasukan
pengawal kepada seseorang, yang aku percaya akan dapat
melakukan perlawanan sebaik-baiknya. Mungkin tenaga Pandan
Wangi diperlukan, tetapi tidak menentukan cara perlawanan
yang harus dilakukan."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya
ia bertanya, "Siapa orang itu?"
Kini Argapatlah yang tertawa. Perlahan-lahan sekali, " Kau
belum mengenalnya. Ia orang baru di Menoreh, tetapi ia bukan
orang baru di dalam tata keprajuritan."
"Siapa" Sebutkan namanya. Aku mengenal hampir setiap
orang di sini." "Kau tidak perlu mengetahuinya. Biarlah itu diselesaikan oleh
anak-anak. Marilah kita melakukan pekerjaan kita di sini."
Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Namun sejenak
kemudian ia berkata, "Tetapi tidak akan ada harapan lagi
buatmu. Kau tidak akan dapat keluar dari tempat ini. Seandainya
kau dapat juga melarikan diri, tetapi kau tidak mempunyai lagi
tanah untuk berpijak."
"Marilah kita tidak membicarakan hal-hal yang belum terjadi.
Lihat, cahaya yang merah itu sudah semakin cerah. Turunkah.
Kita akan segera mulai."
Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Tetapi kini justru di
dadanya tersimpan berbagai macam pertanyaan tentang
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di dalam
pertempuran yang pasti akan segera berkobar. Siapakah yang
telah diserahi pimpinan oleh Argapati itu"
"Huh, ia sekedar membesarkan hatinya sendiri," katanya di
dalam hati. Karena Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab, maka Ki
Argapati mendesaknya, "Turunlah. Kita tidak dapat bermainmain
di atas padas itu. Terlampau sempit dan terjal."
Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia tidak segera beranjak
dari tempatnya. Ia mencoba menduga-duga, apakah pasukan
kecil yang telah dipersiapkan itu telah dilepaskan oleh Sidanti. Ia
tidak ingin perkelahian akan berlangsung terlampau lama. Ia
harus segera menyelesaikannya, kemudian ikut serta bersama
Sidanti, menyelesakan rencananya untuk menduduki induk
tanah perdikan malam itu juga.
"He, apakah kau tertidur?" desak Argapati.
"Hem," sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Kemudian ia
menjawab, "kau terlampau tergesa-gesa. Baiklah. Aku akan
segera turun. Bersiaplah, supaya kita segera dapat mulai."
"Aku sudah bersiap sejak aku datang ke tempat ini."
Terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa hambar. Kemudian
ia mulai melangkahkan kakinya setapak demi setapak menuruni
padas yang terjal. "He," berkata Ki Argapati hampir berteriak, "apakah kau sudah
pikun Paguhan. Seharusnya dengan sekali loncat kau sudah
berada di atas tanah yang datar. Kenapa kau merangkak seperti
bayi yang sedang berumur tiga bulan?"
Dada Ki Tambak Wedi berdesir mendengar sindiran Argapati.
Sebenarnyalah bahwa betapapun curamnya puntuk padas itu,
namun seorang Tambak Wedi tidak sepantasnya menuruninya
setapak demi setapak sambil berpegangan erat-erat seperti
anak-anak sedang turun dari pembaringan. Tetapi Ki Tambak
Wedi tidak menyangka, bahwa parbuatannya itu mendapat
pengamatan yang saksama dari lawannya. Ia tidak menyangka,
bahwa usahanya untuk mengulur waktu itu dapat ditangkap oleh
Argapati. Meskipun demikian, Ki Tambak Wedi yang licik itu menjawab,
"Ki Gede Menoreh, aku memang sudah tua. Aku sudah lama
sekali tidak mengenali lagi setiap jengkal tanah di bawah Pucang
Kembar ini, sehingga aku harus sangat berhathati.
Argapati mengerutkan keningnya. Keheranannya menjadi
kian bertambah-tambah. Kelakuan Ki Tambak Wedi tampak
semakin lama semakin tidak wajar. Dan ketidak- wajaran itu
membuat Ki Argapati kadang-kadang tidak mengerti, apakah ia
masih berhadapan dengan Ki Tambak Wedi beberapa puluh
tahun yang lampau. "Aku tidak boleh berprasangka," ia mencoba menenteramkan
hatinya yang mulai gelisah. Dalam keadaan itu, berbagai
persoalan timbul terbenam di dalam dadanya. Tiba-tiba pada
saat yang demikian, Ki Argapati menyadari keadaan yang
sebenarnya di hadapi. Apakah artinya kejantanan kini bagi Ki
Tambak Wedi. Ternyata ia lelah mengundang langsung
kekuatan-kekuatan di luar tanah perdikan untuk mencampuri
persoalan yang sedang berkecamuk di atas tanah ini. Tanpa
menghiraukan akibatnya, Ki Tambak Wedi dan Sidanti telah
membakar rumah sendiri. "Apakah yang telah berbuat demikian itu masih juga
mempunyai harga diri untuk berperang tanding dengan jujur?"
Pertanyaan itu kini mengganggu perasaan Ki Argapati. Mamun
sekali lagi ia mencoba mengusir prasangka itu. Tidak, Aku
mengharap bahwa tidak terjadi kecurangan serupa itu."
Tetapi Argapati masih melihat Ki Tambak Wedi turun
perlahan-lahan. Kadang orang itu berhenti, kemudian berdiri
menengadahkan wajahnya. "Ki Tambak Wedi," berkata Argapati, "lihat, bulan purnama
telah naik. Beberapa puluh tahun yang lampau, kau sudah tidak
dapat di ajak berbicara apa pun lagi. Begitu cahaya bulan
menyentuh senjatamu, begitu kau menyerang seperti orang gila.
Tetapi kenapa kau sekarang masih juga berdiri saja di situ?"
Ki Tambak Wedi tertawa. Jawabnya, "Kita sudah bukan anakanak
muda yang dibakar oleh nafsu kemudaan kita, Argapati.
Kita bukan lagi anak-anak muda yang. mendambakan kasih di
terang bulan purnama. Apakah artinya bagi kita kini" Cahaya
bulan itu sudah terlampau banyak kita lihat dan kita rasai.
Karena itu, kita tidak perlu lagi mengaguminya seperti pengantin
batu. Biar sajalah bulan itu naik di langit yang biru. Ujung senjata
kita tidak akan segera tumpul."
Wayah Argapati menjadi semakin berkerut-marut.
Kecurigaannya menjadi kian meruncing. Dengan demikian ia
menjadi kian gelisah. Kenyataan-kenyataan yang di hadapinya
telah membuatnya semakin curiga atas orang yang bergelar Ki
Tambak Wedi itu. Meskipun demikian ia masih menahan dirinya.
Kecurigaannya masih belum berpijak pada alasan yang jelas.
"Semuanya itu sekedar prasangka," Argapati masih mencoba
memulas perasaannya itu. Tetapi ia masih melihat Ki Tambak Wedi berdiri di lambung
puntuk padas itu. Sebenarnya tidak terlampau tinggi. Seorang
anak tanggung pun akan dapat segera meloncat turun. Tetapi
tampaknya Ki Tambak Wedi itu terlampau berhathati. Ki
Tambak Wedi yang namanya telah menggemparkan udara di
sekitar Gunung Merapi. "Itu tidak mungkin," berkata Argapati di dalam hatinya. Dan
tumbuhlah kecurigaannya semakin tajam di dalam dadanya.
Ki Tambak Wedi itu mengangkat wajahnya sekali lagi seolaholah
ia sedang menikmati bulatnya bulan. Tetapi dalam pada itu
didengarnya lama-lama suara burung kedasih. Lamat-lamat
sekali. Tetapi cukup jelas. Ngelangut, seperti ratap seorang
nenek kematian cucunya tercinta.
"Aku telah mendengar suara burung kedasih itu," berkata Ki
Tambak Wedi di dalam hatinya. Dan tiba-tiba saja ia menggeram
sambil meloncat turun. Sama sekali tidak mengalami kesulitan,
bahkan seandainya ia meloncat dari ujung seonggok batu padas
itu. "Kita akan segera mulai Argapati," suaranya bernada berat
dan datar. Tetapi ternyata sikapnya itu telah menggetarkan dada
Argapati. Seolah-olah ia mendapat suatu keyakinan, bahwa
sebenarnya ia tidak hanya sekedar bercuriga. Tiba-tiba kini ia
hampir pasti, bahwa ia tidak berhadapan dengan Paguhan
beberapa puluh tahun yang lampau, tetapi ia kini berhadapan
dengan seorang yang sangat licik.
Karena itu, betapa kemarahan telah menghentak dada
Argapati. Selangkah ia maju sambil berkata dengan suara
gemetar, "Paguhan. Jangan kau anggap aku anak-anak yang
heran melihat tingkah lakumu. Aku kini tahu pasti, meskipun aku
belum melihatnya. Tetapi seperti kau, akupun mempunyai
telinga. Aku mendengar suara burung kedasih yang kau dengar
itu pula. Aku menangkap perbedaan suara itu dengan.suara
burung kedasih yang sebenarnya. Hampir setiap malam aku
mendengar suara burung itu. Dan suara burung yang setiap
malam aku dengar itu sama sekali tidak serupa dengan suara
burung yang baru saja menggerakkanmu, meloncat turun dari
batu padas itu." Tuduhan itu serasa seonggok bara yang menyentuh telinga Ki
Tambak Wedi. Ternyata perasaan Argapati terlampau tajam,
sehingga segera ia dapat mencium apa yang sebenarnya
sedang dipersiapkan. Ternyata Argapati kini sudah mengetahui
hampir seluruhnya, apa yang tersembunji di balik gerumbulgerumbul
di dalam kesuraman malam terang bulan. Agaknya
Argapati telah membayangkan, berapa orang sedang
merangkak-rangkak mendekati Pucang Kembar. Dan orangorang
itu akan berbuat curang. Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi sudah tidak dapat berusaha untuk menyembunyikannya.
Meskipun demikian, ia masih juga ingin menghadapi Argapati
seorang lawan seorang lebih dahulu. Ia masih ingin melihat,
betapa Ki Gede Menoreh kini meloncat jauh maju dari Arja Teja
beberapa puluh tahun lampau.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi pun beberapa langkah
meloncat mendekati Argapati sambil menarik senjatanya. Tetapi
kini ia hanya membawa sebatang dari sepasang senjatanya
yang mengerikan itu. Ketika ia sudah berdiri tegak beberapa
langkah di hadapan Argapati, maka ia pun menggeram,
"Argapati, apakah yang sebenarnya sedang kau ingatkan itu"
Apakah kau sedang mimpi terlampau buruk, sehingga kau
membayangkan seolah-olah di sekitar tempat ini bertebaran
orang-orangku yang bertanda sandi suara burung kedasih" O,
Kepala Tanah Perdikan yang malang. Ternyata kau telah
dipengaruhi oleh kegelisahan dan kecemasan yang luar biasa,
sehingga kau tidak lagi dapat membayangkan harapan untuk
mendapatkan kemenangan, setidak-tidaknya kesempatan untuk
melarikan diri dari arena, sehingga kau berpikir yang bukanbukan."
Argapati mengerutkan keningnya. Terdengar suaranya dalam
nada yang berat, "Mungkin aku memang bermimpi buruk
Tambak Wedi. Mungkin pula pendengaranku salah. Mudahmudahan
kau masih dapat bersikap jantan seperti Paguhan
beberapa tahun yang lampau."
"Arja Teja," berkata Ki Tambak Wedi, "kau ternyata sudah
berputus asa sebelum kau berbuat sesuatu. Apabila memang
demikian, maka sebaiknya kau urungkan niatmu untuk
melakukan perang tanding. Kau hanya akan membuang waktu
dan tenaga. Sebenarnya lebih baik bagimu untuk mati dengan
tenang daripada dengan tusukan senjata di lambungmu. Apakah
kau pernah berpikir demikian. Kalau kau setuju, marilah. Aku
mempunyai sebutir racun yang sudah aku keringkan. Kalau kau
bersedia menelannya, maka kau akan dapat berbaring di tanah
dengan tenang. Kau akan menghembuskan nafasmu yang
terakhir tanpa merasakan sakit, karena lambungmu sobek oleh
senjata."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terasa dada Ki Argapati berdesir mendengar penghinaan itu.
Namun dengan susah payah ia berhasil menahan dirinya.
Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya perlahan-lahan,
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Tambak Wedi. Memang
mati dengan menelan racun itu agaknya lebih menyenangkan
daripada mati setelah memuntahkan darah dari luka di tubuh ini.
Tetapi bagi seorang laklaki, maka mati dengan senjata di
tangan adalah suatu kebanggaan. Sudah tentu kita akan lebih
berbangga, apabila kita untuk selamanya tidak pernah
menyentuh senjata. Namun apabila keadaan memaksa seperti
keadaanku kini, maka adalah paling nikmat untuk berjuang
sekuat tenaga daripada membunuh diri."
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya, tetapi wajahnya
menjadi tegang. Katanya, "Hem, kau memang keras kepala
Argapati. Sejak muda kau memang keras kepala. Baiklah.
Marilah kita segera mulai. Agaknya perkembanganmu
sepeninggalku telah merubah kau menjadi seorang yang mabuk
berkelahi. Tak ada tanda-tanda sikap damaimu sama sekali.
Sejak kau melihat aku, maka kau begitu tergesa-gesa untuk
melakukan perkelahian."
"Aku kira kau sudah menyimpan jawaban atas kata-katamu
sendiri, Argapati. Aku tidak perlu menjawabnya." Argapati
berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia berkata, "Ki Tambak Wedi. Aku
mempunyai usul yang barangkali baik buatmu. Suatu sikap
damai yang barangkali sesuai dengan keinginanmu atasku."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, sehingga alisnya
yang tebal seakan-akan bertemu, "Apakah usulmu itu?" ia
bertanya dengan ragu-ragu.
Ki Argapati tersenyum. Tetapi ujung tombaknya merendah
setinggi dada. Katanya, "Marilah kita saling berbaik hati. Supaya
kita masing-masing tidak lelah seperti kau inginkan. Aku harap
kau terbaring di tanah, kemudian aku akan melakukannya
perlahan-lahan sampai saatnya ujung tombakku menyentuh
jantungmu." Ternyata darah Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja telah mendidih,
ia tidak mampu menahan dirinya lagi. Tiba-tiba ia berteriak
nyaring. Tangannya bergetar secepat kilat, hampir-hampir tidak
dapat dilihat oleh mata. Tetapi yang berdiri di hadapannya adalah Argapati. Argapati
telah memperhitungkan, bahwa hal itu akan dapat terjadi,
sehingga begitu matanya yang tajam menangkap gerakan Ki
Tambak Wedi, maka secepat itu pula ia memiringkan tubuhnya
sambil menarik sebelah kakinya surut.
"He," katanya, "kau sudah mulai Tambak Wedi."
Dada Ki Tambak Wedi serasa akan meledak, ketika ia melihat
sikap Argapati yang dengan mudah berhasil menghindari
sambaran, gelang-gelang besinya yang meluncur sejengkal di
depan dada. "Alangkah tangkasnya kau sekarang," Tambak Wedi
menggeram. "Jangan memuji. Marilah kita mulai dengan bersunguhsungguh
. Aku tidak akan melayani, apabila kau sekedar
bermain lempar-lemparan. Bukankah kau menggenggam
senjatamu yang dahsyat itu. Tetapi kenapa kau hanya membawa
sebatang saja?" "Aku menganggap bahwa terlampau berlebih-lebihan bagiku
untuk membawa kedua-duanya," sahut Tambak Wedi, "tetapi
jangan banyak bicara. Kita akan segera mulai."
Argapati tidak menjawab lagi. Selangkah ia maju. Kini
keduanya lelah berhadapan dalam jarak yang lebih dekat. Ujung
tombak Argapati mempergunakan sebatang Nenggalanya,
namun setiap saat ia dapat melemparnya dengan gelang-gelang
besi yang cukup banyak tersimpan di bawah kain panjangnya,
bergantungan pada ikat pinggang yang khusus.
Sejenak mereka berdiri berhadapan. Dan sejenak kemudian
Argapati lelah menjulurkan senjatanya. Kemudian dengan gerak
yang sukar dipahami, keduanya segera terlibat dalam
perkelahian yang seru. Pada benturan yang mula-mula, telah
terdengar dentang kedua senjata itu dengan dahsyatnya,
sehingga bunga-bunga api memercik seperti ribuan kunangkunang
yang berloncatan menghambur menjauhi kedua senjata
itu. Pada saat berikutnya, maka mereka bertempur seperti
pergulatan sepajang angin pusaran. Kemudian saling
berbenturan seperti prahara menghantam batu karang.
Keduanya adalah orang-orang" yang hampir mumpuni dalam
olah kanuragan. Keduanya adalah orang-orang yang mempunyai
banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Senjata Ki Tambak Wedi mematuk-matuk seperti ribuan mulut
ular yang berkerumun dari segala arah. Kedua tajamnya seakanakan
berubah menjadi beribu-ribu Nenggala yang bergerak
bersama-sama. Ternyata Ki Tambak Wedi benar-benar seorang
yang pilih tanding. Kakinya melontar-lontarkan tubuhnya, seperti tidak berinjak di
atas tanah. Namun ternyata pula bahwa Argapati mampu
mengimbanginya. Tombaknya berputar seperti baling-baling.
Kadang-kadang menebas seperiti sehelai pedang, namun
kemudian menusuk langsung ke pusat jantung. Tubuhnya
seolah-olah menjadi ringan seperti kapas yang berputar-putar
ditiup angin pusaran. Di dalam perkelahian itu, kakkaki mereka telah menyapu
bersih tetanaman liar di sekitar sepasang Pucang Kembar itu.
Rerumputan dan batang-batang perdu menjadi rata, seolah-olah
habis dibajak. Ujung-ujung senjata mereka telah menebas
semua tumbuh-tumbuhan dan batang-batang kayu yang tumbuh
di seputar tempat perkelahian.
Burung-burung liar yang bersarang di dekat Pucang Kembar
itupun segera berterbangan. Mereka terkejut mendengar derak
batang-batang yang patah, serta ranting-ranting yang
berguncang seperti dilanda angin ribut. Sedang gelombang
kedahsyatan perkelahian itu telah melanda binatang-binatang
yang berkeliaran di sekitarnya, sehingga berlarlarian. Rusa,
kijang-kijang di dalam gerumbul, dan bahkan macan-macan
kumbang. Mereka segera menjauh dan bersembunyi di dalam
lubang-lubang yang gelap di balik puntuk-puntuk padas.
Demikianlah, perkelahian itu semakin lama menjadi semakin
dahsyat. Seperti seekor harimau yang lapar, melawan seekor
banteng terluka. Tangguh tanggon. Serangan-serangan mereka
datang seperti petir di langit, dan benturan-benturan di antara
mereka serasa akan meruntuhkan gunung dan mengeringkan
lautan. Tetapi yang pernah terjadi ternyata terulang kembali. Tidak
ada di antara mereka yang segera mampu menguasai lawannya.
Setelah sekian puluh tahun mereka berpisah, setelah mereka
mengembangkan ilmu masing-masing, dengan cara masingmasing
pula, kini mereka bertemu dalam keseimbangan yang
serupa dengan beberapa paluh tahun yang lampau. Mereka
tidak dapat menentukan siapakah yang akan menang di antara
mereka. Yang dapat mereka lakukan adalah bertempur sebaikbaiknya.
Setiap kelengahan dan kesalahan betapa pun kecilnya,
akan mempunyai akibat yang sangat berbahaya.
Yang terasa di dalam perang tanding itu adalah, bahwa Ki
Tambak Wedi hanya mempergunakan sebatang senjatanya.
Senjata itu ternyata lebih pendek dari senjata Argapati.
Keuntungan ini lah yang dipergunakan oleh Argapati sebaikbaiknya
untuk menyerang lawannya dalam jangkauan panjang
tombaknya. Namun Ki Tambak Wedi pun menyadari hal ilu pula.
Karena itu, maka setiap kali ia memanfaatkan jarak di antara
mereka untuk meluncurkan gelang-gelang besinya. Satu demi
satu, di setiap kesempatan.
Dan beruntung pulalah Ki Tambak Wedi, bahwa tombak
Argapati itu bukan tombaknya yang dipergunakan bertempur
beberapa puluh tahun yang lampau. Tombak yang dipakai ini
agak terlampau ringan bagi Argapati. Ayunan dan lontarannya
agak kurang mantap. Apalagi ia masih harus menyesuaikan diri
untuk beberapa saat. Sementara itu, di rumahnya, Pandan Wangi selalu dalam
keadaan gelisah. Ia menjadi terlampau berdebar-debar, ketika ia
melihat purnama mulai merayap naik di atas cakrawala.
Terbayang di dalam angan-angannya, ayahnya telah mulai
melakukan perang tanding dengan Ki Tambak Wedi. Gadis itu
menyadari, bahwa persoalan mereka yang lamalah yang
sebenarnya telah mendorong keduanya untuk melakukan perang
tanding. Seandainya di antara mereka tidak ada persoalan apa
pun, maka perselisihan paham pada saat-saat itu tidak akan
segera menyeret ke dalam suatu kancah perkelahian.
Bagaimanapun juga, Argapati tidak dapat segera menghapus
kenyataan bahwa Sidanti sebenarnya bukan anaknya. Meskipun
ia telah berusaha dengan, susah payah, meskipun dalam
beberapa puluh tahun, seolah-olah hal itu tidak berbekas, bahkan yang
nampak pada Pandai Wangi, bahwa ayahnya telah berlaku
sebaik-baiknya terhadap kakaknya, tetapi ungkapan kepahitan
kenyataan itu betapa kecilnya akan segera mengangkat kembali
luka di dalam hati ayahnya. Apalagi ayahnya harus
mempertaruhkan tanah yang selama ini telah dibinanya.
Dalam kegelisahan dan kecemasan itu, Pandan Wangi duduk
seperti sebuah patung yang mati. Tidak sepatah kata pun
diucapkannya dan seoah-olah semua keadaan di sekitarnya
tidak menarik perhatiannya.
Di luar rumahnya, di halaman, Wrahasta sedang sibuk
mengatur para pengawal yang berada di bawah tanggung
jawabnya. Dengan sepenuh hati, ia melakukan tugasnya untuk
mengamankan halaman dan seluruh isi rumah itu, terutama
Pandan Wangi. Dengan sepenuh hati, ia setiap kali memeriksa
setiap sudut dan setiap kelompok. Tidak ada sejengkal dinding
pun yang terlepas dari pengawasan para pengawal tanah
perdikan yang bertugas di halaman.
Sedang di luar halaman, para peronda hilir mudik tidak hentihentinya.
Peronda-peronda yang berkeliaran di setiap
pedukuhan, dan peronda-peronda yang nganglang dari
pedukuhan yang satu kepeduhan yang lain di atas punggung
kuda dengan senjata telajang. Setiap orang dari mereka selalu
dilengakapi pula dengan senjata-senjata yang dapat
dipergunakan untuk mengirimkan tanda dan sasmita. Panahpanah
api dan panah-panah sendaren. Mereka tidak hentihentinya
menghubungi gardu-gardu peronda di setiap
pedukuhan, dan kemudian melaporkannya ke banjar. Di banjar,
Samekta duduk menghadapi lampu minyak yang berkerdipan
ditiup angin malam. Sekalsekali ia berdiri, berjalan hilir mudik di
halaman. Kemudian duduk di antara para pengawal yang
berjaga-jaga di gardu di regol halaman. Kadang-kadang ia pergi
ke gandok, di mana telah berkumpul sepasukan pengawal yang
siap untuk bertempur ke segenap medan di atas tanah perdikan
ini. Pasukan itu adalah pasukan yang dipersiapkan untuk dikirim
kemana pun yang memerlukannya, membantu setiap pasukan
pengawal yang telah siap di setiap padukuhan, apalagi yang
langsung berhadapan dengan padukuhan-padukuhan yang
diperkirakan telah berada di bawah pengaruh Sidanti dan
Argajaya. Pasukan-pasukan sandi pun berkeliaran di segenap sudut
dalam, samaran dan selimut masing-masing. Bahkan ada di
antara mereka yang sama sekali tidak dapat di lihat oleh siapa
pun, bertengger di atas batang pohon yang rimbun dan berdaun
lebat. Demikianlah, maka malam pun menjadi kian malam. Bulan
yang bulat di langit merambat semakin tinggi. Lamat-lamat di
kejauhan terdengar suara anjing-anjing liar menggonggong
bersahut-sahutan. Pandan Wangi masih saja duduk di pringgitan menghadapi
mangkuk air jahe yang hangat. Tetapi sejak dihidangkan,
mangkuk itu sama sekali belum disentuhnya. Apalagi makanan
yang teronggok di hadapannya. Sama sekali tidak menarik
perhatiannya. Kerti pun terpaksa harus duduk sambil berdiam diri di hadap
an momongannya. Hanya kadang-kadang saja ia berpaling
memandangi dua orang kawannya yang duduk sebelah
menyebelah. Tetapi kedua kawannya itupun menundukkan
kepala mereka sambil mengembara di dalam angan-angan.
Yang dapat di lakukan oleh Kerti, berulang kali adalah
menarik nafas dalam-dalam, untuk mengurangi ketegangan yang
menyekat dadanya. Namun ia tidak berani lebih dahulu
membawa Pandan Wangi ke dalam pembicaraan.
Tiba-tiba mereka yang duduk di pringgitan itu terkejut ketika
pintu perlahan-lahan terbuka. Serentak mereka berpaling, dan
mereka segera melihat Wrahasta berdiri di muka pintu.
"Oh," desisnya, "maafkan apabila aku mengganggu."
Kerut-merut. Tiba-tiba saja dadanya dijalari oleh kegelisahan
yang lain menghadapi orang yang bertubuh raksasa ini. Ia masih
dihinggapi oleh kebingungan dan keragu-raguan atas
pertanyaan yang mengalir seperti banjir. Bahkan terasa bulubulu
tengkuk gadis itu meremang. Ia telah membayangkan,
bahwa Wrahasta itu pasti akan mendesaknya lagi supaya ia
menjawab pertanyaan yang membingungkan itu.
Namun hatinya agak tenang, karena di dalam ruangan itu
duduk pula Kerti dan dua erang pembantunya. Orang-orang tua
itu lelah mendapat kepercayaan pula dari ayahnya, untuk
mengawasi seisi rumah, dan terutama karena orang tua itu
adalah pemomongnya. Dalam setiap perburuan, maka sebagian
terbesar Kertlah yang mengawaninya dengan beberapa orang
yang lain. "Apakah aku boleh duduk?" bertanya Wrahasta yang masih
berdiri di muka pintu. "Oh," Pandan Wangi tergagap, "silahkan."
Wrahasta melangkah maju sambil bergumam, "Aku perlu
melaporkan semua kegiatan di halaman rumah ini, Pandan
Wangi." "Ya," Pandan Wangi bergumam, "silahkan."
Wrahasta pun kemudian duduk di samping Pandan Wangi.
Sekalsekali ditatapnya Kerti dengan sudut matanya.
"Semuanya telah aku persiapkan sebagaimana seharusnya,
Pandan Wangi. Setiap saat tidak akan mengecewakan. Mudahmudahan
Paman Samekta berhasil menguasai keadaan di luar
halaman, sehingga kami tidak perlu terlampau banyak berbuat."
"Terima kasih," sahut Pandan Wangi, "mudah-mudahan
Kakang Sidanti tidak berbuat malam ini, sehingga Ayah besok
akan dapat memimpin langsung pasukan pengawal tanah
perdikan ini, apabila terjadi sesuatu."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mudahmudahan,"
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
katanya, "tetapi seandainya Sidanti mulai juga malam
ini, aku tidak akan berkeberatan untuk melayaninya."
"Terima kasih, Wrahasta," jawab Pandan Wangi, "tetapi aku
mengharap, supaya tidak terjadi sesuatu."
"Kita boleh mengharap, Pandan Wangi, tetapi kita tidak tahu,
apakah yang kini sedang dipikirkan oleh Sidanti. Karena itu,
adalah sebaiknya kita bersiap menghadapi setiap kemungkinan."
Wrahasta berhenti sejenak. Ditatapnya sekali lagi Kerti dengan
sudut matanya, lalu katanya pula, "Seharusnya, kau melihat
sendiri kesiagaan pasukanmu di dalam halaman ini."
Tanpa dikehendakinya sendiri, Kerti mengangkat wajahnya.
Namun ketika tatapan matanya membentur mata Pandan Wangi
yang suram, maka orang tua itupun segera berpaling. Namun
dengan demikian hatinya menjadi berdebar. Segera teringat
olehnya pesan Samekta, bahwa agaknya Pandan Wangi telah
dirisaukan oleh sikap Wrahasta, justru dalam saat-saat yang
menegangkan ini. Kerti menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar
Pandan Wangi menjawab, "Aku percaya kepadamu, Wrahasta.
Kau sudah cukup berpengalaman. Mudah-mudahan semuanya
seperti yang kau katakan."
"O, itu kurang bijaksana, Wangi. Ki Argapati selaki selalu
mengawasi pasukannya langsung, apalagi dalam keadaan yang
genting ini. Apakah kau tidak ingin berbuat seperti ayahmu" Kau
akan mendapat banyak sekali keuntungan. Kau akan dapat
melihat langsung semua persiapan. Kau akan mengetahui,
bahwa tidak ada kelengahan di dalam barisanmu. Dan yang
tidak kalah pentingnya, kau akan memberi mereka pengaruh
yang dapat membesarkan hati_ mereka di dalam ketegangan
yang semakin memuncak."
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Ia dapat menerima
alasan itu. Tetapi terasa sekali lagi bulu-bulu tengkuknya
meremang. Ia takut akan di hadapkan lagi pada pertanyaanpertsnyaan
yang membuat hatinya semakin bingung, bahkan
hatinya akan dapat menjadi gelap sama sekali. Ia akan dapat
kehilangan akal, dan bertindak di luar kesadaran."
Namun tiba-tiba Pandan Wangi mengankat dadanya.
Dipandanginya Kerti dan dua orang kawannya. Maka katanya
kemudian perlahan-lahan, "Paman, marilah kita melihat
kesiagaan pasukan pengawal di halaman."
(***) Buku 36 KETIKA KERTI mengangkat wajahnya, dilihatnya dahi
Wrahasta berkerut merut. Bahkan Wrahasta itu berkata terbatabata,
"Tetapi, tetapi itu tidak perlu, Pandan Wangi. Aku akan
mengantarmu bersama orang-orang yang telah aku sediakan."
"Terima kasih Wrahasta. Aku berterima kasih sekali. Tetapi
biarlah Paman Kerti ikut bersamaku. Ia akan ikut melihat pula
kesiagaan di halaman ini. Ia akan dapat memberi aku nasehat
apa yang harus aku lakukan."
"Itu tidak perlu sama sekali. Biarlah Paman Kerti berada di
dalam rumah. Bukankah tugasnya di dalam rumah ini saja."
"O, kau aneh sekali Wrahasta. Apakah sebenarnya
keberatanmu" Paman Kerti adalah pemomongku. Biar sajalah ia
ikut bersama aku." "Tetapi bukan demikian perintah Ayahmu, Pandan Wangi.
Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan seisi rumah
ini, termasuk kau. Bukan Kerti. Karena itu, biarlah Paman Kerti
duduk saja di sini. Kau tidak akan terlampau lama. Dan kita akan
segera kembali ke pringgitan ini."
Terasa debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin keras.
Agaknya Wrahasta benar-benar ingin mendapat kesempatan
untuk mendesakkan pertanyaannya. Namun justru karena itu,
maka Pandan Wangi menjadi semakin kecut untuk pergi sendiri
tanpa Kerti dan kawan-kawannya. Karena itu maka katanya,
"Wrahasta,aku akan pergi bersama Kerti dan kedua kawannya.
Tidak ada keberatan yang dapat kau ajukan. Seandainya Ayah
tidak berbuat demikian, inilah perbedaan antara Pandan Wangi
dan ayahnya." "Ah," Wrahasta berdesah. Tampak kekecewaan menjalar di
wajahnya. Sejenak ia berdiam diri memandangi nyala pelita yang
bergetar disentuh angin malam yang menyusup lubang pintu
yang tidak tertutup rapat-rapat sekali.
Melihat kekecewaan itu, Pandan Wangi menjadi kian
berdebar-debar. Bagaimanapun juga, ia malam ini sangat
memerlukan Wrahasta dan pengaruhnya atas pasukan
pengawal yang terutama terdiri dari anak-anak muda sebaya
dengan raksasa itu. Seandainya ia berbuat kurang sepantasnya
bagi tanah kelahirannya ini, maka keadaan akan kian menjadi
kisruh. Sesaat kemudian terdengar pengawal muda bertubuh
raksasa itu berkata, "Baiklah Pandan Wangi. Silahkan pergi
bersama Paman Kerti melihat-lihat pasukan pengawalmu."
Sekilas Pandan Wangi memandang wajah Kerti yang
tampaknya tidak memberikan kesan apa pun. Namun
sebenarnya orang tua itu telah menahan perasaannya. Kini ia
tahu benar arti pesan Samekta kepadanya. Sehingga dengan
demikian, maka ia benar-benar ingin untuk pergi bersama
Pandan Wangi. Sejenak kemudian maka Pandan Wangi itupun segera berdiri
bersama semua orang yang berada di pringgitan itu. Perlahanlahan
ia melangkah keluar lewat pendapa yang remang-remang.
Beberapa orang yang berada di pendapa berpaling ke arahnya.
Orang-orang tua yang wajib mendampingi Pandan Wangi di
bidang pemerintahan dan para pengawal yang lain, yang
sedangduduk-duduk beristirahat. Namun segera mereka
mengerti kemana Pandan Wangi akan pergi.
Pandan Wangi pun kemudian turun ke halaman, melangkah
dengan kepala tunduk memutari halaman rumahnya, halaman
depan dan halaman belakang. Hanya kadang-kadang saja ia
mengangkat kepalanya, menyapa beberapa orang yang sedang
berjaga-jaga. Lalu sejenak kemudian kepalanya telah menunduk
lagi, seperti sedang menghitung langkah kakinya.
Tetapi dengan demikian, Pandan Wangi tahu, bahwa tidak
ada dinding yang tidak terawasi sejengkal pun.
"Aku benar-benar tidak dapat lepas dari pengawasan
mereka," katanya dalam hati.
Sebenarnyalah bahwa di dalam hatinya tersimpan hasrat
untuk pergi tanpa diketahui oleh orang lain ke Pucang Kembar.
Ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana. Apakah
ayahnya kira-kira dapat memenangkan perang tanding itu, atau
barangkali Ki Tambak Wedi berbuat curang.
"Hatiku selalu diganggu oleh kecemasan. Aku merasakan
getar yang menggelisahkan," desisnya di dalam hati. Tetapi
sudah tentu bahwa orang-orang di halaman itu tidak akan
membiarkannya pergi seperti pesan ayahnya. Tugas para
pengawal itu selain bertahan apabila ada bahaya, tetapi juga
mengawasinya juga, sehingga Pandan Wangi itu merasa dirinya
sebagai wakil ayahnya, Kepala Tanah Perdikan, sekaligus
seorang tawanan. Meskipun ia menyadari dan mengerti maksud
ayahnya, namun hatinya semakin lama semakin gelisah. Apalagi
apabila teringat olehnya pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
oleh Wrahasta. Setelah Pandan Wangi melihat seluruh kegiatan di halaman
rumahnya, maka ia pun segera kembali ke pendapa. Wrahasta
mengantarnya sampai ke pintu, lalu katanya, "Silahkan Pandan
Wangi. Aku akan berada di halaman. Setiap kau memerlukan
aku. Aku telah sedia."
"Terima kasih Wrahasta," jawab Pandan Wangi. Betapa pun
hatinya bergolak, namun ia harus bersikap baik. Bahkan ia
cenderung untuk membuat Wrahasta itu tidak kehilangan
harapannya. "Setiap saat aku mungkin memerlukan kau."
Sesaat mata Wrahasta menjadi berkilat-kilat. Namun
kemudian ia berkata, "Beristirahatlah. Percayakanlah halaman
rumah dan seisinya kepadaku, seperti ayahmu mempercayakan
pula." "Ya Wrahasta, aku percaya kepadamu. Mudah-mudahan tidak
terjadi sesuatu yang dapat menggoncangkan tanah ini."
"Seandainya ada, kita siap menghadapinya."
"Ya." "Silahkan beristirahat. Aku minta diri."
Pandan Wangi melihat langkah yang tegap dan berat
meninggalkannya, melintas pendapa turun ke halaman.
Wrahasta adalah seorang yang memiliki kepercayaan kepada
diri sendiri. Bahkan agak terlampau besar.
Pandan Wangi pun kemudian masuk ke dalam pringgitan
bersama Kerti dan dua orang kawannya. Ia telah berhasil
menghindari desakan pertanyaan-pertanyaan Wrahasta yang
pasti akan menambahnya menjadi semakin bingung. Namun
sejalan dengan itu, ia menyadari bahwa salah paham pada diri
raksasa itupun jadi semakin dalam. Agaknya Wrahasta benarbenar
menaruh harapan kepadanya.
"O," Pandan Wangi berdesah di dalam hatinya, "aku benarbenar
di hadapkan pada keadaan yang tidak aku kehendaki."
Ketika kemudian Pandan Wangi duduk bersama-sama
dengan Kerti dan kedua kawannya, ia seolah-olah menjadi beku.
Kepalanya tertunduk dan wajahnya menjadi terlampau suram.
"Pandan Wangi," berkata Kerti kemudian, "sebaiknya kau
memang harus beristirahat, Ngger. Mungkin kau terlampau
ditegangkan oleh keadaan. Seandainya ada sesuatu yang
penting, biarlah aku mengetuk pintu bilikmu. Meskipun kau pasti
tidak akan dapat tidur, tetapi setidak-tidaknya kau akan
mendapat kesegaran baru setelah kau berbaring beberapa saat."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia
berpikir. Dan sejenak kemudian ia berkata, "Baiklah Paman. Aku
akan beristirahat sebentar. Mungkin aku akan mendapat sedikit
ketenangan. Tetapi mungkin pula aku justru menjadi semakin
tegang." Pandan Wangi berhenti sejenak, lalu, "Sebentar lagi
aku memerlukan laporan keadaan, di dalam dan di luar halaman
ini." Maka sejenak kemudian Pandan Wangi, telah berada di
dalam biliknya. Dibaringkannya dirinya di pembaringannya untuk
mencoba beristirahat. Sekalsekali dipejamkannya matanya,
namun ia tidak berhasil untuk sekejap saja melupakan persoalan
yang kini sedang membelit tanah perdikannya, ayahnya, dan
dirinya sendiri. "Hem," Pandan Wangi berdesah. Kepalanya terasa pening.
Sekalsekali angan-angannya terbang ke Pucang Kembar. Ia
sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi.
Tetapi satu hal yang sangat mengganggunya, adalah bahwa ia
sama sekali tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi.
Ketika ia melihat sikapnya, pada saat ia dicegat oleh enam
orang yang tidak dikenal, maka tumbuhlah berbagai pertanyaan
di dalam dirinya. Apalagi setelah ia merenungkan semua ceritera
ayahnya, sikapnya dan kata-katanya, ia mendapat kesimpulan,
bahwa Ki Tambak Wedi kini tidak dapat lagi dipercaya.
"Mungkin aku terlampau berprasangka," gumamnya di dalam
hati, "tetapi aku tidak dapat mengingkari kata hati ini. Mungkin
aku sekedar dicemaskan oleh nasib ayahku kini."
Pandan Wangi menggigit bibimya. Dicobanya mencari jalan
agar ia dapat pergi ke Pucang Kembar. Tetapi ia sadar, bahwa
apabila ayahnya mengetahuinya, maka akibatnya akan dapat
membahayakan sekali. "Aku akan minta Paman Kerti pergi untuk melihat-lihat apa
yang kini terjadi di bawah Pucang Kembar." desisnya. Namun
kemudian, "Tetapi Wrahasta membuat aku menjadi ngeri.
Paman Kerti harus tetap berada di sini."
Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ia tidak berani
memberi perintah langsung kepada seseorang atau siapa pun
untuk pergi ke Pucang Kembar. Tidak seorang pun akan
sanggup berangkat karena mereka takut kepada ayahnya.
Ayahnya telah berpesan, tidak seorang pun boleh melihat apa
yang telah terjadi. Ia tidak mau menodai namanya sendiri. Satu
atau dua orang yang melihat perkelahian itu, akan dapat
menumbuhkan kesan yang kurang baik pada Ki Argapati,
seolah-olah Ki Argapati telah membawa satu atau dua orang
pengawal. Karena itu, juga mustahil baginya untuk memerintahkan
seseorang atau dua orang untuk pergi.
Dengan demikian, maka justru ketegangan dan kegelisahan
semakin mengamuk di dalam dirinya. Sehingga dadanya serasa
berguncang-guncang dan jantungnya serasa akan meledak.
Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi itu meloncat berdiri. Ia
menemukan suatu cara untuk melaksanakan maksudnya.
Perlahan-lahan ia melangkah keluar. Dan perlahan-lahan ia
memanggil Kerti yang masih duduk di pringgitan.
"Paman, Paman Kerti."
Kerti yang sedang terkantuk-kantuk terperanjat. Dengan
tergesa-gesa ia berdiri dan bersama kedua kawannya mendekati
Pandan Wangi, "Ada apa Ngger?"
"Paman, kenapa aku tidak boleh keluar dari halaman rumah
ini untuk pergi ke Pucang Kembar?"
"Jangan Ngger. Kau mempunyai tugas di sini. Tugas yang
tidak dapat kau tinggalkan. Lebih daripada itu, kehadiranmu
akan mengganggu ayahmu. Menurut penilaianku, Ki Tambak
Wedi dan ayahmu memiliki kelebihannya masing-masing.
Sekejap saja ayahmu lengah, atau perhatiannya terganggu,
maka akibatnya akan berbahaya sekali baginya."
"Tetapi bagaimanakah kalau Ki Tambak Wedi curang."
"Apakah kira-kira bentuk kecurangannya itu?"
"Ia telah memanggil beberapa orang tidak dikenal ke dalam
tanah perdikan ini. Apakah tidak mungkin bahwa ia membawa
beberapa orang bersamanya dan beramaramai berkelahi
bersamanya melawan Ayah di bawah Pucang Kembar."
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Kemungkinan itu memang
dapat terjadi. Sidanti telah melakukan apa saja tanpa mengenal
tanggung jawab untuk mencapai maksudnya. Di antaranya
orang-orang yang tidak dikenal itu. Maka tidak mustahil apabila
Ki Tambak Wedi mempergunakan cara yang sama. Tetapi tibatiba
orang tua itu menggelengkan kepalanya, "Tidak seorang pun
yang berani melanggar perintah Ki Gede Menoreh."
"Aku akan pergi, Paman. Aku tidak akan menampakkan
diriku. Aku akan bersembunyi. Hanya apabila keadaan memaksa
aku akan membantu Ayah."
"Tidak Ngger, tidak."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
"Bagaimana apabila aku memaksa?"
"Jangan Ngger. Mungkin Angger akan berhasil. Tidak seorang
pun yang dapat menahan Angger di sini, meskipun kami
mempergunakan segala wewenang yang diberikan oleh Ki Gede
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menoreh, sebab tidak seorang pun di sini yang mampu
menahanmu, apalagi apabila Angger mempergunakan
kekerasan. Namun demikian, aku minta jangan kau lakukan,
Ngger. Untuk kepentinganmu dan kepentingan Ki Gede sendiri."
Pandan Wangi tidak menyahut. Kerut di keningnya menjadi
semakin dalam. Tiba-tiba saja ia berbalik dan dengan tergesagesa
masuk ke dalam biliknya. Sebelum Kerti sempat bertanya
sesuatu kepadanya, maka pintu bilik itu telah tertutup.
Kerti mengangkat bahunya. Dipandanginya kedua temannya
dengan penuh kecemasan. Tetapi kedua kawannya itupun
menggelengkan kepalanya. Mereka pun tidak tahu, apakah yang
sepantasnya dilakukan. Perlahan-lahan Kerti meninggalkan pintu bilik Pandan Wangi
kembali ke pringgitan. Dengan penuh persoalan di dalam dirinya,
ia merenung sambil menundukkan kepalanya. Namun
kecemasan Pandan Wangi itu beralasan. Mungkin Ki Tambak
Wedi berbuat curang. Mungkin, mungkin sekali. Memang tidak
ada salahnya apabila seseorang atau dua orang pergi
menengoknya. Tentu saja sambil bersembunysembunyi, agar
Ki Argapati tidak mengetahuinya. Apabila Ki Tambak Wedi tidak
berbuat curang, maka orang-orang itu tidak boleh menampakkan
dirinya. Tetapi seperti orang disengat lebah. Kerti terlonjak berdiri dan
langsung berlari ke bilik Pandan Wangi. Tanpa mengetuk pintu
bilik itu langsung dibukanya, untuk melihat apakah Pandan
Wangi masih ada di dalamnya.
Terasa dada Kerti akan meledak ketika ia tidak melihat
Pandan Wangi di dalam biliknya. Dilihatnya setiap sudut, setiap
lekuk dan bahkan di sisi gelodog bambu. Namun Pandan Wangi
benar-benar tidak ada lagi di dalam bilik itu.
Dengan tergesa-gesa Kerti meloncat keluar. Di depan bilik itu,
hampir ia berbenturan dengan kedua kawannya yang
menyusulnya. "Pandan Wangi tidak berada di biliknya," desis orang tua itu.
"Apakah ia pergi?"
"Mungkin sekali. Lihatlah pintu belakang. Apakah pintu itu
terbuka. Tetapi jangan membuat gaduh. Lakukanlah seolah tidak
terjadi sesuatu." Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan mereka melangkah ke ruang dalam. Dilihatnya
pintu belakang yang langsung menuju ke serambi yang
berhadapan dengan dapur masih tertutup rapat.
"Salarak pintu itu masih di tempatnya." desis yang seorang.
Yang lain menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Mungkin ia
masih berada di dalam biliknya atau di dalam rumah ini."
"Mungkin di bilik Ki Argapati."
Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
mereka melangkah kembali. Mereka ingin melihat ke dalam bilik
Ki Argapati. Mungkin Pandan Wangi ada di sana. Tetapi sekali
lagi mereka hampir berbenturan dengan Kerti yang baru saja
melangkahi pintu bilik Ki Gede dari dalam.
"Kosong," desis Kerti.
Kedua kawannya mengerutkan keningnya. Namun seperti
orang tersadar dari mimpinya, Kerti berkata, "Lihat pintu butulan
samping." Ketiganya segera pergi ke pintu butulan. Pintu itupun masih
tertutup rapat. Tetapi ketika Kerti merabanya, pintu itu bergerak
setebal jari. "Pintu ini sudah tidak terkancing."
Kawannya meninting selarak pintu sambil berkata, "Inilah
selaraknya." "Hem," Kerti menarik nafas dalam-dalam. "Aku terlampau
bodoh. Seharusnya sejak aku mendengar maksudnya untuk
pergi ke Pucang Kembar, aku sudah dapat menduga, bahwa
anak yang keras hati itu akan lari seperti yang pernah dilakukan.
Ia pernah lari untuk menemui kakaknya. Padahal waktu itu Ki
Argapati ada di rumah. Apalagi kini. Tidak seorang pun yang
ditakutinya di dalam rumah ini. Bodoh sekali. Bodoh sekali. Aku
menyadarinya setelah aku terlambat."
"Itukah sebabnya kau terloncat dari tempat dudukmu?"
"Ya, itulah. Tetapi sudah terlambat."
Kedua kawannya saling berpandangan. Tetapi mereka tidak
mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan. Karena itu maka
mereka pun kemudian terdiam sambil memandangi wajah Kerti
yang pucat. "Oh. kalau Pandan Wangi benar sampai ke Pucang Kembar,
dan Ki Argapati mengetahuinya, alangkah besar akibatnya.
Meskipun gadis itu menyadarinya juga, namun perasaannya
yang melonjak-lonjak akan sangat sulit untuk dikendalikannya.
Darah muda yang mengalir di dalam dirinya, justru darah
Argapati yang keras hati, akan membuatnya kehilangan
pengamatan diri." "Lalu apakah yang sebaiknya kami kerjakan?" bertanya salah
seorang kawannya. Kerti termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata,
"Marilah kita lihat dahulu, mungkin ia masih berada di halaman."
Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Salah seorang dari mereka berkata, "Memang mustahil untuk
keluar dari halaman rumah ini."
Ketiganya pun kemudian berjalan keluar. Mereka mencoba
untuk tidak terpengaruh oleh hilangnya Pandan Wangi. Mereka
berjalan seperti tidak terjadi sesuatu.
Di luar pendapa mereka pun segera berpencar. Tanpa
berkata apa pun, mereka mencari ke arah yang berbeda-beda.
Wrahasta yang duduk di gardu, di regol halaman melihat
ketiga orang itu turun. Sejenak ia mengikuti dengan pandangan
matanya yang tajam. Memang tumbuh pula pertanyaan di dalam
dirinya, kenapa mereka kemudian pergi berpencaran. Namun
karena sikap ketiga orang itu sama sekali tidak
mencurigakannya, maka ia pun kemudian tidak
mempedulikannya lagi. Tetapi tiba-tiba teringat olehnya, Pandan Wangi, yang tidak
pernah dapat dijumpainya sendian. Setiap kali Kerti selalu ada
bersamanya. Karena itu, kepergian Kerti bersama kedua
kawannya itu akan merupakan kesempatan baginya untuk
bertemu dengan Pandan Wangi tanpa diganggu oleh siapa pun.
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi
ragu-ragu. Apakah ia akan mempergunakan kesempatan itu"
Namun agaknya hasratnya yang tidak tertahankan lagi untuk
mendapat penjelasan dari Pandan Wangi telah mendesaknya.
Sehingga karena itu, maka perlahan-lahan ia berdiri. Sesaat ia
berdiri mematung di tempatnya. Kerti dan kedua kawannya tidak
dilihatnya lagi, hilang di dalam baying-bayang pepohonan.
"Aku akan masuk,?" katanya di dalam hati, "banyak alasan
yang dapat aku berikan, kenapa aku masuk."
Wrahasta itupun kemudian membulatkan maksudnya. Kepada
para penjaga di gardu ia berkata, "Aku akan menghadap Pandan
Wangi. Ia setiap kali harus mendengar perkembangan keadaan."
Kawan-kawannya tidak berprasangka apa pun. Tetapi salah
seorang berkata, "Tidak ada perkembangan apa-apa."
"Itulah yang akan aku katakan, bahwa sampai saat ini tidak
ada perkembangan apa pun, supaya ia tidak bertambah gelisah."
Wrahasta itupun kemudian melangkah perlahan-lahan ke
pendapa. Ia masih melihat beberapa orang duduk-duduk sambil
berbicara perlahan-lahan. Tetapi tidak seorang pun dari mereka
yang menaruh perhatian terhadap sikapnya.
Perlahan-lahan Wrahasta melintasi pendapa, membuka pintu
pringgitan dan masuk ke dalamnya. Kemudian menutup pintu itu
kembali. Namun di pringgitan itu sama sekali tidak dijumpainya
seseorang. Pandan Wangi tidak ada di pringgitan.
"Hem," ia berdesah, "aku harus bertemu sekarang. Tetapi di
mana anak itu?" Sejenak Wrahasta menjadi bimbang. Bahkan hampir-hampir
ia melangkah keluar. Tetapi sekali lagi hasratnya untuk berbicara
dengan Pandan Wangi mendesaknya lagi.
"Anak ini pasti tertidur," densisnya perlahan-lahan sekali,
"karena itulah, maka Kerti meninggalkannya."
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar berada
di dalam kebimbangan. Namun dalam pada itu di luar sadarnya
ia melangkah ke pintu bilik Pandan Wangi yang separo tertutup.
Keragu-raguan semakin memuncak di dalam dadanya. Kini ia
berdiri tegak di sisi pintu bilik itu dengan keringat yang
membasahi tubuhnya. Bahkan terasa tubuhnya menjadi
gemetar. Jauh melampaui dari saat-saat ia berdiri di hadapan
seorang lawan yang betapa pun dahsyatnya. Sekalsekali
disapunya seluruh ruangan itu dengan matanya. Kecemasan
yang sangat, mencengkam dadanya. Bagaimanakah kata Kerti
nanti apabila melihat sikapnya itu"
"Tetapi aku harus menemuinya," katanya di dalam hati.
"Sekarang." Dengan demikian, maka Wrahasta segera membulatkan
tekadnya. Tetapi ia tidak mau mengejutkan Pandan Wangi.
Apalagi membuat gadis itu memekik. Karena itu maka ia tidak
mau langsung masuk ke dalam bilik itu. Perlahan-lahan
mengetuk pintu sambil bergumam lirih, "Wangi. Pandan Wangi."
Namun bilik itu terlampau sepi. Sehingga Wrahasta
mengulanginya, "Pandan Wangi. Wangi." Dan ketukan
tangannya menjadi semakin keras.
Masih belum ada jawaban. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Pandan Wangi adalah
seorang gadis yang menurut pendengarannya mempunyai ilmu
yang cukup, meskipun ia belum pernah menyaksikannya sendiri.
Karena itu, maka pendengarannya pun pasti terlatih baik,
meskipun ia sedang tidur. Mustahillah apabila gadis itu masih
belum mendengar panggilannya.
"Hem," ia berdesah, "terlampau sulit untuk mengetahui
perasaan yang sesungguhnya. Aku hanya dapat berharap-harap
cemas. Tetapi aku tidak dapat mendengar ia berkata setegastegasnya,
"Ya"." Akhirnya Wrahasta tidak telaten menunggu. Beberapa kali ia
telah mengulangi panggilannya. Tetapi sama sekali tidak ada
jawaban. "Ia pasti sudah mendengar suaraku," katanya di dalam hati,
"aku mengharap tidak akan mengejutkannya."
Perlahan-lahan dan sangat hathati Wrahasta melangkah ke
pintu. Ditolaknya daun pintu lereg itu ke samping, dan
dijengukkannya kepalanya. Perlahan-lahan sekali sambil
berdesis, "Maafkan aku Wangi."
Tetapi tiba-tiba hatinya berguncang. Nafasnya terasa seakanakan
berhenti. Bilik itu ternyata kosong. Kosong sama sekali.
Tidak ada seorang pun di dalamnya. Apalagi Pandan Wangi
yang sedang tidur. Jantung Wrahasta serasa akan meledak oleh kekecewaan.
Bahkan hampir-hampir ia terlempar dalam kemarahan yang
sangat. Tetapi kemudian orang yang bertubuh raksasa itu
berusaha untuk mengendalikan dirinya.
"Salahku," ia mencoba menghibur diri sendiri, "bukan salah
Pandan Wangi dan bukan salah Kerti. Tidak seorang pun yang
mengatakan kepadaku, bahwa Pandan Wangi sedang tidur di
dalam biliknya. Tetapi dengan demikian di manakah anak itu
sekarang" Apakah ia sedang berada di dapur, atau di pakiwan,
atau di mana?" Kegelisahan yang tajam telah tergores di dinding hatinya.
Bahkan ia menjadi cemas tanpa disadari sebab-sebabnya.
"Ke manakah Kerti dan kedua kawannya itu?" baru kinilah
tumbuh kecurigaan di hatinya. Karena itu, maka tergesa-gesa ia
melangkah keluar dari ruangan itu, melintasi pendapa dan
kemudian turun ke halaman. Kini ia berusaha untuk
menemukannya Kerti dan bertanya tentang Pandan Wangi.
Tidak terlampau sulit untuk mencari Kerti di halaman itu. Kerti
sedang berdiri disisi regol butulan. Meskipun Kerti tidak bertanya
sesuatu, tetapi apabila orang-orang di regol butulan itu melihat
seseorang keluar, lewat regol atau meloncat dinding, mereka
pasti akan mengantarkannya. Tetapi ternyata orang-orang di
regol halaman belakang itu tidak mengatakan sesuatu.
"Paman Kerti," Wrahasta tidak dapat menahan dirinya lagi,
"aku memerlukanmu sekarang."
Kerti mengerutkan keningnya. Ia menjadi berdebar-debar
melihat sikap Wrahasta. Apakah mungkin Wrahasta yang
melepaskan Pandan Wangi keluar regol halaman"
"Cepatlah sedikit," desak Wrahasta.
Kerti tidak menyahut. Tetapi segera diikutinya Wrahasta ke
tempat yang agak terlindung.
"Apakah kau melihat Pandan Wangi?" bertanya Wrahasta
langsung. Kerti yang tua itu memandang wajah Wrahasta tajam-tajam,
seolah-olah langsung ingin melihat ke dalam pusat dadanya.
Gadis Pantai 3 Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear Peristiwa Merah Salju 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama