Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 18

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 18


perasaanmu berkata. Hargailah nyawa orang-orangmu. Mereka
masih mempunyai tugas terlampau banyak. Mereka masih harus
merebut tanah ini kembali."
Pandan Wangi masih berdiri tegak seperti patung. Kedua
tangannya menggenggam sepasang pedangnya erat-erat.
Sekalsekali terdengar ia menggeram, namun kemudian sebuah
tarikan nafas yang panjang.
Ketika ia memandang penghubung yang terluka itu dengan
saksama, ia melihat orang itu menjadi semakin pucat dan
gemetar. Dan tiba-tiba saja orang itu terhuyung-huyung.
"Pandan Wangi," katanya, "aku sudah tidak mampu lagi untuk
berdiri." Sebelum Pandan Wangi menjawab, maka orang itupun telah
terduduk di tanah. Sekali terdengar ia berdesah. Kemudian
lambat sekali ia berkata, "Kau mau mendengar kata-kataku,
Pandan Wangi. Itu bukan nasehatku sendiri. Aku adalah seorang
penghubung yang menyampaikan pesan itu kepadamu."
Tanpa sesadarnya Pandan Wangi berjongkok di sampingnya.
Dengan dada yang berdebaran ia berkata, "Kuatkan hatimu. Aku
akan memerintahkan beberapa orang untuk membawamu
kepada Paman Samekta, agar luka-lukamu itu terawat."
Orang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Bukan luka
ini yang sebenarnya akan membunuh aku. Tetapi aku telah
kehabisan darah. Darah semakin banyak mengalir, dan aku
menjadi terlampau lemah karenanya."
"Kita harus berusaha."
"Usaha yang terpenting bagimu, Pandan Wangi, usahakan
agar orang-orangmu kali ini terselamatkan, untuk besok, atau
lusa melakukan tugasnya yang lebih penting lagi."
Sekali lagi Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Ia merasa
betapa berat pesan itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, ia
melihat pertempuran menjadi semakin buas. Beberapa orang
berusaha untuk melindunginya dari perang yang gila itu, sedang
beberapa orang yang lain sedang bertempur melawan Peda
Sura. Sekalsekali Pandan Wangi mendengar pekik kesakitan
dan teriakan kemenangan yang terlampau buas, seperti raung
seekor harimau yang berhasil menerkam dan membunuh
lawannya. "Dengarlah kata-kataku, Pandan Wangi," penghubung yang
terluka itu berkata lirih, "dengan demikian, matiku akan
menpunyai arti. Jangan lagi menyebut aku sebagai pengecut
yang hanya mempergunakan siasat sebagai alasan. Tidak. Aku
mati karena aku ingin menyampaikan pesan itu kepadamu,
pesan tentang siasat yang kau anggap hanya sekedar sebagai
alasan. Aku menjadi korban untuk mengurangi korban-korban
yang lain. Tetapi kalau kau tetap menganggap aku sebagai
pengecut, Samekta dan Wrahasta juga pengecut, maka siasialah
kematianku." "Tidak. Tidak, kau tidak akan mati."
"Itupun terlampau sulit. Perasaan kita jangan kita biarkan
menguasai keadaan tanpa perhitungan yang matang. Nah,
berkatalah, bahwa kau bersedia menarik mundur pasukanmu.
Kita besok akan kembali dan merebut tanah ini.
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Tetapi ia menyadari
kebenaran kata-kata penghubung itu, bahwa ia sama sekali
bukan seorang pengecut. Ia telah membelah perang brubuh ini
untuk mencari dan menghubunginya. Ia tidak lari, meskipun ia
telah terluka. Ia bersedia mati untuk hidup orang lain.
Terasa hentakan yang sangat di dalam dada gadis itu.
Penghubung yang terluka itu semakin lama menjadi semakin
lemah. Suaranya pun menjadi semakin lirih, "Pandan Wangi, aku
ingin mendengar keputusanmu."
Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain. Di hadapan
penghubung yang sudah terlampau letih, ia menganggukkan
kepalanya. Namun ia masih bertanya, "Kenapa Paman Samekta
dan Wrahasta tidak membawa pasukannya kemari, dan
bersama-sama melawan, apabila pasukan Sidanti itu datang
kemari pula." "Ada banyak pertimbangan, Pandan Wangi. Yang pertamatama,
keteguhan hati kita telah terpukul oleh kekalahankekalahan
yang berturut-turut. Mungkin hal itu tidak begitu terasa
di sini. Tetapi di medan yang lain, hati kita sudah menjadi sekecil
menir. Kita perlu menemukan keseimbangan baru untuk
memulainya." Penghubung yang menjadi semakin lemah itu
berhenti sejenak, lalu, "aku sudah tidak punya waktu."
Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Dan tibatiba
ia berdiri sambil berdesis, "Akan aku penuhi permintaan
Paman Samekta. Tetapi bukan karena kami di sini telah
kehilangan keberanian dan berkecil hati. Aku akan mencoba
mempergunakan cara yang akan ditempuh oleh Paman
Samekta, untuk besok, atau lusa kembali merebut tanah ini
kembali." "Oh," penghubung itu menarik nafas panjang sekali. "Pandan
Wangi," katanya, "mengundurkan diri bukanlah pekerjaan yang
terlampau mudah. Kau harus bijaksana. Kau harus didampingi
oleh seorang yang telah berpengalaman menyampaikan
perintah-perintah pengunduran diri itu."
Pandan Wangi mengangguk. Tiba-tiba ia meloncat masuk ke
dalam hiruk pikuk perang brubuh sambil memberikan pesan
kepada pengawal yang melindunginya, "Lindungi orang yang
terluka itu. Bawa ia keluar dari perang yang gila ini. Kami akan
menarik diri." Penghubung itu masih akan berbicara, tetapi Pandan Wangi
telah hilang di dalam hiruk pikuknya perang brubuh yang buas
itu. Yang datang kepadanya kemudian adalah beberapa orang
pengawal. "Hampir tak ada gunanya kalian menyelamatkan aku," berkata
pengawal itu, "darahku sudah terlampau banyak mengalir.
Lakukanlah tugasmu yang lain, yang barangkali lebih penting."
Tetapi para pengawal itu tidak menghiraukannya. Beberapa
dari mereka telah mencoba melindunginya dan berusaha
menemukan jalan keluar dari peperangan.
Sementara itu, Pandan Wangi telah berhasil menemui tetua
kelompok kecilnya, yang oleh Samekta diperbantukan
kepadanya. Kepada orang itu Pandan Wangi menyerahkan
pimpinan pengunduran diri.
"Marilah," berkata orang tua itu, "kau lebih dahulu, Pandan
Wangi. Kami akan melindungimu."
"Bodoh sekali. Tariklah pasukan ini. Aku harus melindungi
mereka. Terutama Peda Sura yang gila ini."
Pengawal tua itu merasa aneh. Tetapi Pandan Wangi
mendesaknya, "Cepat, sebelum Sidanti datang membawa
pasukan yang lebih besar lagi. Kita harus pergi sekarang."
Orang tua itu masih ragu-ragu. Tetapi Pandan Wangi telah
terlibat dalam pertempuran kembali. Langsung melawan Peda
Sura yang menjadi semakin gila.
Perkelahian pun semakin lama menjadi semakin menggila
pula. Masing-masing seolah-olah telah kehilangan diri mereka
sendiri. Yang ada di arena itu adalah sekumpulan binatang yang
paling buas dan paling berbahaya sedang berkelahi berebut
mangsa. Pandan Wangi pun tandangnya menjadi semakin garang
pula. Sepasang senjatanya berputaran dan menyambarnyambar,
berkilat-kilat di bawah cahaya bulan bulat di langit.
Sementara itu, pengawal tua yang mendapat perintah dari
Pandan Wangi untuk menarik pasukannya, masih berdiri
termangu-mangu. Ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia
mengerti ke mana pasukan itu harus dibawa, karena ia telah
mendengar semua rencana itu. Tetapi ia tidak dapat
membiarkan Pandan Wangi bertempur terus selama ia menarik
pasukan itu. "He, kenapa kau diam membeku," teriak Pandan Wangi.
Suaranya bergeletar di antara dentang senjata, sehingga
pengawal tua itu terkejut.
"He," jawabnya, "lakukanlah lebih dahulu."
"Pergi, pergilah secepatnya."
Orang tua itu menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu apa
yang sebaiknya dilakukan, meskipun ia mengerti maksud
Pandan Wangi. Gadis itu memerintahkan kepadanya untuk
mengundurkan diri, selama itu ia mencoba untuk melindungi
pasukannya dari orang yang paling berbahaya, Peda Sura.
Tetapi apakah ia sampai hati untuk berbuat demikian.
Dalam keragu-raguan itu, ia melihat Peda Sura berkelahi
seperti seekor harimau lapar. Senjatanya menerkam ke segenap
arah dengan garangnya. Meskipun Pandan Wangi tidak
bertempur sendiri, tetapi lingkaran kecil di seputar Peda Sura itu
tidak terlampau banyak dapat menahannya. Setiap kali Peda
Sura dapat melepaskan diri, dan menyerang orang-orang di
sekitarnya. Baru sejenak kemudian, ia menempatkan dirinya
untuk melawan serangan-serangan Pandan Wangi yang
berbahaya. "Apakah yang sebaiknya aku lakukan?" pertanyaan itu selalu
menghentak-hentak di dalam dada pengawal tua itu. Dan sekali
lagi ia mendengar Pandan Wangi berteriak, "Cepat, cepat.
Jangan berbuat terlampau bodoh."
Tak ada yang dapat dilakukan, selain memenuhi perintah itu.
Tetapi sudah tentu ia sendiri tidak dapat membiarkan Pandan
Wangi dalam keadaannya. Karena itu, maka diperintahkannya
isyarat pengunduran diri itu kepada seorang penghubung. Maka
sejenak kemudian, isyarat itu telah sampai kepada hampir setiap
telinga di dalam pertempuran itu. Tetapi bukan saja telinga para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun juga telinga lawanlawan
mereka, sehingga sesaat kemudian terdengar mereka
berteriak-teriak, "Jangan lepaskan kelinckelinci itu untuk
melarikan diri." Tetapi kekuatan mereka sebenarnya tetap seimbang.
Sebenarnya pasukan Menoreh tidak berada dalam keadaan
yang terlampau sulit. Namun apabila sebentar lagi pasukan
Sidanti datang, maka keadaan pasti akan segera berubah.
Karena itu, sesaat kemudian medan pertempuran itupun
segera bergeser. Orang-orang Menoreh mencoba menarik diri
mereka ke dalam kedudukan mereka yang baru. Setiap kali
mereka mundur beberapa langkah, mereka harus berhenti untuk
meneruskan perang brubuh yang dahsyat itu. Setiap kali mereka
masih juga harus membalas setiap serangan yang ganas
dengan perlawanan dan serangan-serangan yang kasar pula.
Pandan Wangi sendiri mencoba mengikat Peda Sura dalam
perkelahian, supaya orang itu tidak berkeliaran. Selama
pasukannya mengundurkan diri, Peda Sura akan dapat menjadi
seorang pembantai yang mengerikan, apabila tidak seorang pun
yang mengikatnya dalam pertempuran yang tersendiri. Setiap
kali ia memang berusaha untuk menahan arus para pengawal
Menoreh yang menempatkan diri mereka pada keadaan yang
mapan. Tetapi betapapun Pandan Wangi berusaha, namun Peda
Sura pada dasarnya memang mempunyai beberapa kelebihan
daripadanya, sehingga setiap kali Pandan Wangi selalu
terdesak. Untunglah, bahwa kelompok kecil yang dibuatnya
masih tetap tidak terpecahkan, meskipun beberapa orang
daripadanya telah terluka dan bahkan menjadi korban. Namun
mereka masih tetap mampu untuk melawan Peda Sura
bersama-sama. Namun Peda Sura bukanlah seorang yang begitu saja
membiarkan dirinya berada dalam suatu keadaan yang tidak
diinginkannya sendiri. Ketika arena itu telah bergeser semakin
jauh, maka tiba-tiba ia meloncat sambil memekik, menyerang
Pandan Wangi dengan kecepatan yang tidak terduga-duga.
Pandan Wangi yang terkejut mengalami serangan itu, dengan
serta merta meloncat jauh-jauh untuk menghindarkan dirinya.
Namun kesempatan berikutnya telah dipergunakan oleh Peda
Sura. Tiba-tiba ia meloncat ke arah yang lain, memecah
kepungan kecil yang memagarinya langsung masuk ke dalam
perang brubuh yang hiruk pikuk.
Pandan Wangi terkejut melihat sikap itu. Sudah tentu ia tidak
akan dapat membiarkannya. Orang itu terlampau berbahaya.
Dengan ilmunya, ia akan dapat membuat korban yang tidak
terhitung di antara orang-orang Menoreh, seolah-olah tidak
seorang pun yang akan dapat menahannya. Karena itu, maka
Pandan Wangi pun segera mengejarnya, masuk ke dalam
peperangan yang semakin menggila itu. Tetapi dengan
demikian, Pandan Wangi telah meninggalkan kelompoknya. Ia
seakan-akan telah menyerahkan dirinya untuk bertempur
seorang melawan seorang dengan Ki Peda Sura.
Dan itulah yang memang diharapkan oleh pemimpin pasukan
Sidanti yang buas itu. Dengan demikian, ia akan mendapat
kesempatan untuk menjatuhkan Pandan Wangi dan
membinasakannya. "Tidak," berkata Peda Sura itu di dalam hatinya, "sayang
kalau anak manis itu terbunuh. Aku harus memancingnya dan
melumpuhkannya. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup."
*** Ternyata bahwa Pandan Wangi telah benar-benar lupa diri. Ia
ingin pasukannya segera terbebaskan dari perang brubuh ini dan
berhasil menghindarkan diri. Menurut pengamatannya, pasukan
lawan yang telah kelelahan inipun pasti tidak akan mengejarnya
terus. Apa lagi kekuatan mereka masih tetap seimbang. Asal Ki
Peda Sura dapat ditahan untuk tidak mengacaukan penarikan
pasukan Menoreh, maka kemungkinan untuk melepaskan diri
dari peperangan ini cukup besar.
Tetapi pada suatu saat, Pandan Wangi itu harus menyadari,
bahwa tiba-tiba saja ia telah berhadapan dengan Ki Peda Sura
seorang diri. Di sekitarnya orang-orang Menoreh sedang sibuk
menghadapi lawan masing-masing.
Ki Peda Sura yang telah berhasil memisahkan Pandan Wangi
dari kelompoknya itu, kini berdiri tegak sambil tertawa. Suara
tertawanya benar-benar sangat menyakitkan hati. Sepasang
matanya yang liar kemerah-merahan seakan-akan
memancarkan api yang aneh dari dalam hatinya.
"Nah, ternyata kau selalu mencariku, ke mana aku pergi,"
desis orang itu. Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia harus mengatur
dirinya, supaya ia tidak tenggelam dalam perasaan ngeri
menghadapi orang yang terlampau buas ini. Sedang kekasaran
dan kekerasan yang telah terjadi di sekitarnya, masih
berlangsung terus. "Menyerahlah anak manis," terdengar suara Peda Sura di
antara suara tertawanya. Terasa bulu-bulu di tengkuk Pandan Wangi meremang. Ia
sebenarnya tidak takut menghadapi senjata Peda Sura yang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan itu. Sampai mati pun ia tidak akan ingkar, karena ia
memang merasa bertanggung jawab. Sebagai seorang anak
kepala tanab perdikan, maka adalah tugasnya untuk ikut serta
mempertahankan tanah ini. Tetapi melihat sikap Peda Sura itu,
Pandan Wangi benar-benar dijalari oleh perasaan ngeri yang
dahsyat. Karena itu, maka ketika suara tertawa Peda Sura meninggi,
tiba-tiba saja Pandan Wangi meloncat dan menyerangnya,
seperti angin prahara. Peda Sura terkejut mengalami serangan itu. Serangan
Pandan Wangi benar-benar berbahaya. Jauh lebih berbahaya
dari tiga empat orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang
lain. Sehingga karena itu, maka suara tertawanya terputus
dengan tiba-tiba. Dengan dada yang berdebar-debar ia meloncat
menghindarkan dirinya. Namun agaknya Pandan Wangi tidak
memberinya banyak kesempatan. Serangan berikutnya telah
melandanya, bertubtubi susul menyusul.
Tetapi Ki Peda Sura adalah orang yang jauh lebih banyak
menyimpan pengalaman di dalam dirinya. Itulah sebabnya,
akhirnya ia mampu pula untuk mengelakkan serangan-serangan
Pandan Wangi, dan menemukan kesempatan untuk
menghadapinya. Sehingga sejenak kemudian, mereka telah
terlibat di dalam perang yang sengit, seakan-akan mereka
tengah berjanji untuk melakukan perang tanding di tengahtengah
hiruk pikuknya perang brubuh itu.
Namun sekali lagi Pandan Wangi harus mengakui, bahwa
kemampuan Ki Peda Sura memang berada di atas
kemampuannya, meskipun tidak terlampau jauh. Dengan
demikian, maka sejenak kemudian Pandan Wangi sudah harus
memeras segenap kemampuan yang ada padanya, untuk
bertahan dari serangan-serangan Peda Sura yang melandanya
seperti banjir bandang. Apalagi sikap Peda sura benar-benar
memuakkannya, sehingga sebagai seorang gadis, maka mau
tidak mau perasaannya ikut serta menentukan akhir dari
perkelahian itu. "Kau memang garang anak manis," suara Peda Sura terasa
menggores hati setajam ujung tombak, "menyerahlah. Aku tidak
akan membunuhmu. Kau akan mendapat banyak kesempatan
untuk hidup dan menikmati kehidupan."
Pandan Wangi menggeram. Ia mencoba mengerahkan
segenap kemampuannya. Ilmu yang telah diterimanya dari
ayahnya, telah dituangkannya dalam perkelahian itu, tetapi
ternyata bahwa ia masih terlampau hijau. Ia masih
mempergunakan setiap unsur gerak dari perguruan Menoreh
dengan las-lasan. Ia masih belum menemukan kemantapan
dalam hubungan setiap unsur yang ada, sehingga orang-orang
yang telah dipenuhi oleh berbagai macam pengalaman di
medan-medan perang, dalam benturan seorang melawan
seorang, seperti Ki Peda Sura itu, segera saja dapat
menemukan segsegi kelemahannya.
Dengan demikian, maka semakin lama menjadi semakin
jelas, bahwa Pandan Wangi tidak akan dapat lagi melepaskan
dirinya dari malapetaka. Ia tidak dapat mengharapkan bantuan
dari siapa pun. Orang-orang di dalam kelompok kecilnya, yang
telah disusun untuk melawan Peda Sura, tidak segera dapat
menemukannya di dalam perang brubuh itu, karena setiap saat
mereka akan menemukan lawan-lawannya sendiri.
Namun dalam pada itu, rencana pasukan Menoreh untuk
mengundurkan diri itupun agaknya semakin lama menjadi
semakin lancar. Usaha-usaha mereka untuk melepaskan setiap
hambatan agaknya akan segera berhasil. Di saat-saat terakhir
mereka harus menarik diri masuk ke dalam padukuhan kecil
yang semula mereka pergunakan untuk menunggu pasukan
Peda Sura. Mereka rnengharap, bahwa mereka akan segera
mendapat kesempatan berikutnya, meninggalkan padukuhan
kecil itu, dan bergabung dengan pasukan yang lain yang telah
lebih dahulu mengundurkan diri.
Ki Peda Sura yang melihat arena semakin bergeser menjauh,
menjadi ragu-ragu. Apakah ia harus mengejarnya terus atau
membiarkan mereka meninggalkan arena. Semula timbul niatnya
untuk mencari korban sebanyak-banyaknya di saat-saat orangorang
Menoreh menarik dirinya. Tetapi dengan demikian, maka
Pandan Wangi pun akan mampu berbuat serupa di antara anak
buahnya. Karena itu, maka akhirnya ia memutuskan untuk
membiarkan saja lawannya mengundurkan diri. Pasukannya
sendiri sudah terlampau lelah pula. Sehingga kemudian katanya
di dalam hatinya, "Aku hanya bertugas menarik perhatian
pasukan Menoreh. Kini agaknya Sidanti telah berhasil
menduduki padukuhan induk, meskipun ia tidak melakukan
pengejaran. Karena itu, maka tugasku kali ini sudah selesai, biar
sajalah orang-orang itu melarikan diri. Dengan mengejar mereka,
maka korban pun akan menjadi semakin banyak jatuh di
pihakku, bagiku agaknya lebih baik menangkap anak rajawali ini
saja untuk mainan." Dengan demikian, maka Peda Sura itu sama sekali tidak
peduli lagi kepada pasukan Menoreh yang semakin lama
semakin surut. Namun dengan demikian, maka Pandan Wangi
itupun terpisah semakin jauh dari orang-orangnya.
Beberapa orang yang merasa ikut bertanggung jawab atas
pasukan Menoreh telah bekerja matmatian untuk
menyelamatkan pasukannya. Tetapi beberapa orang yang lain,
dengan hati berdebar-debar mencoba untuk menemukan
Pandan Wangi yang lagi bertempur melawan Ki Peda Sura.
Tetapi usaha yang demikian bukanlah usaha yang mudah.
Sementara itu, Pandan Wangi sendiri sudah terlampau sulit
untuk mencoba melepaskan diri dan mundur bersama-sama
pasukannya. Peda Sura agaknya benar-benar berusaha untuk
menahannya, supaya ia terpisah dari seluruh anak buahnya.
Dengan demikian, maka Pandan Wangi itu akan segera dapat
ditangkapnya. Karena itu, justru Peda Sura mengharap agar
orang-orang Menoreh yang masih ada di sekitarnya segera
meninggalkan arena. Sebenarnyalah keadaan Pandan Wangi semakin lama
menjadi semakin sulit. Semakin lancar usaha pasukan Menoreh
mengundurkan diri, maka keadannya pun menjadi semakin
berbahaya. Ia sadar sepenuhnya, apa yang akan terjadi atas
dirinya, apabila ia tertangkap hidup-hidup. Ia sadar bahwa mati
akan lebih baik baginya, daripada ia dapat ditangkap oleh Ki
Peda Sura. Perang brubuh itupun semakin lama semakin jauh bergeser.
Tetapi Peda Sura tetap berusaha menahan Pandan Wangi.
"Gadis ini akan kelelahan," desis Peda Sura di dalam hati.
Dan usaha itu agaknya tidak sia-sia. Semakin lama tenaga
Pandan Wangi yang belum menemukan saluran sewajarnya itu
menjadi kian surut. Perlawanannya pun menjadi semakin lemah.
Tetapi ia sudah bertekad untuk mengakhiri perkelahian itu
dengan melepaskan nyawanya.
Sejenak kemudian terdengar Peda Sura tertawa. Suaranya
meringkik seperti suara hantu di pekuburan. Mengerikan sekali.
Namun tiba-tiba suara tertawanya itu terputus. Sesaat udara
malam digetarkan oleh suara seruling yang melengking. Pendek.
Namun pengaruhnya terlampau dalam menggores di dinding hati
Pandan Wangi. Ia tidak tahu, kenapa di luar sadarnya tumbuhlah
suatu pengharapan. Pengharapan yang tidak dapat
dimengertinya. Sekilas angan-angannya segera hinggap pada
seorang gembala yang selalu bermain-main dengan serulingnya.
Tetapi sesaat kemudian dadanya yang berdebar-debar
menjadi semakin berdebar-debar. Diingatnya kembali apa yang
baru saja di lakukan oleh gembala itu. Sebelum terjadi
peperangan ini, maka gembala itu telah berkeliaran di daerahdaerah
terlarang. Sehingga tidak mustahil, bahwa gembala itu
adalah salah seorang petugas sandi dari orang-orang liar yang
tidak dikenal ini. "Sikapnya sama sekali berbeda dengan orang-orang ini," ia
mencoba membedakan sifat-sifat pada gembala itu. Namun
kemudian dijawabnya sendiri, "Seorang petugas sandi harus
mampu berbuat apa saja. Mencala putra, mencala putri."
Dengan demikian, maka Pandan Wangi yakin, bahwa
gembala itu datang untuk membantu Peda Sura menangkapnya.
"Aku akan mati di peperangan ini," berkata Pandan Wangi di
dalam hatinya, "itu akan jauh lebih baik daripada tertangkap
hidup-hidup." Tetapi ia heran melihat sikap Peda Sura. Ternyata orang
itupun menjadi heran mendengar suara seruling yang
melengking pendek, sehingga karena itu, maka pertempuran
itupun terhenti karenanya.
Sejenak kemudian, di bawah cahaya bulan bulat di langit,
seseorang meloncat dari balik pematang langsung berlarlari
kecil menuju ke arena pertempuran antara Pandan Wangi dan
Peda Sura. Di tangan kirinya ia menjinjing sebatang seruling
kecil, seruling yang hampir tidak pernah terpisah daripadanya.
"Perkelahian yang dahsyat," desisnya ketika orang itu sudah
berada beberapa langkah saja dari Peda Sura dan Pandan
Wangi. Kemudian ia pun berhenti dan berdiri tegak seperti
patung. "Siapakah kau?" terdengar Peda Sura menggeram.
Pandan Wangi yang hampir saja bertanya tentang gembala
yang menggenggam seruling itu telah mengurungkan niatnya.
Semula ia ingin langsung menuduhnya, sebagai petugas sandi
Sidanti. Tetapi menilik pertanyaan Peda Sura, maka ada
kemungkinan lain yang tidak dimengertinya. Karena itu, maka ia
pun berdiam diri sambil menunggu jawaban orang berseruling
itu. Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Peda Sura
mengulanginya, "Siapa kau he?"
"Gupita, seorang penggembala," jawab orang itu.
"Apa maksudmu datang kemari, dan menghentikan
perkelahian ini?" "Aku ingin memberitahukan kepada Pandan Wangi, agar ia
segera meninggalkan arena ini. Lihat, sebentar lagi pasukannya
akan segera hilang di dalam padukuhan itu. Kalau ia masih saja
bertempur, maka sebentar lagi ia akan terjebak. Orang-orangmu
pasti tidak akan terus menerus mengejar orang-orang Menoreh.
Pada suatu ketika mereka akan kembali kemari dan bersamamu
beramaramai menangkap Pandan Wangi. Bukankah begitu?"
"Persetan," Ki Peda Sura menggeram, "apa pedulimu?"
"Tidak sepantasnya Pandan Wangi jatuh ke tangan orangorang
gila semacam kau, Ki Peda Sura."
"Lalu, apa maumu?"
"Aku ingin menasehatkan, agar Pandan Wangi meninggalkan
arena ini." Dada Ki Peda Sura bergetar mendengar jawaban itu,
sehingga dengan serta merta ia berkata, "Begitu mudahnya?"
"Apakah kesulitannya" Pandan Wangi dapat menelusur
pematang ini, dan di ujung parit yang menyilang jalan, ia
berbelok lewat jalan sempit di pinggir parit di seberang jalan.
Nah, bukankah ia akan sampai di sisi padukuhan kecil itu dan
dengan loncatan-loncatan kecil ia dapat masuk ke dalam
padukuhan, kemudian bergabung dengan pasukannya yang
sedang mundur?" "Apa kau kira aku akan tertidur di sini dan membiarkannya
lari?" Gupita tertawa. Jawabnya, "Kau akan bermain-main dengan
kami berdua. Kalau kami tidak dapat mengalahkanmu, maka
Pandan Wangi akan lari, sedang kau tinggal di sini bersamaku.
Tetapi kalau kami mampu, maka kau akan menyesal, bahwa kau
telah terpisah dari anak buahmu."
Jawaban itu benar-benar telah membuat telinga Ki Peda Sura
menjadi merah. Terdengar giginya gemeretak dan senjatanya
terayun-ayun di tangannya.
"He Gupita, apakah kau sudah menjadi gila?" suaranya berat
dalam nada yang datar, "Apakah kau belum pernah mendengar
nama Ki Peda Sura?" "Sudah. Aku sudah pernah mendengar. Tetapi ternyata
namamu jauh lebih besar dari kemampuanmu. Aku memang
tidak akan dapat melawanmu. Tetapi selama aku melihat kau
bertempur melawan Pandan Wangi, maka kelebihan yang kau
miliki ternyata tidak seberapa. Dengan demikian, maka tenagaku
yang lemah, akan segera merubah keseimbangan. Kau akan
mengalami kesulitan dan mungkin kau harus mengalami nasib
yang menyedihkan." Sekali lagi Peda Sura menggeram. Matanya yang buas
menjadi semakin buas. Sementara itu Pandan Wangi berdiri
termangu-mangu. Kata-kata gembala yang menamakan dirinya
Gupita itu, seakan-akan meluncur begitu saja seperti air terjun.
Seolah-olah ia menganggap persoalan yang sedang di hadapi itu
sebagai persoalan yang dapat diselesaikan sambil tertawa dan
bergurau saja. Sedang yang berdiri di hadapannya itu adalah
seorang iblis yang bernama Ki Peda Sura.
Dalam kebimbangan itu, Pandan Wangi mendengar Gupita
berkata kepadanya, "Marilah, kita selesaikan saja persoalan ini
sampai di sini. Kami harus menyadari keadaanmu. Kau harus
segera meninggalkan tempat ini."
Tiba-tiba terdengar jawaban Pandan Wangi gemetar, "Aku
bukan pengecut." "Memang bukan," sahut Gupta, "tetapi kau harus mempunyai
penilaian yang tepat atas keadaan yang kau hadapi. Kau tidak
perlu mengorbankan dirimu. Pasukanmu sudah menemukan
jalan yang lapang untuk membebaskan dirinya kali ini. Itupun
bukan suatu sifat pengecut. Tetapi kau harus mempunyai
perhitungan jangka jauh untuk memenangkan pertempuran ini.
Kalah atau menang dalam suatu peperangan tidak ditentukan
oleh medan-medan kecil serupa ini. Tetapi bagaimana akhir dari
semuanya." Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu, siapakah
sebenarnya gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita itu.
Tetapi tiba-tiba saja telah tumbuh kepercayaan kepada gembala
itu di dalam hatinya. Sehingga karena itu, maka semua katakatanya
itu dipertimbangkannya. Sementara itu, hati di dada Ki Peda Sura rasa-rasanya telah
terbakar. Ia sudah tidak mampu lagi untuk menahan geram yang
mencengkam jantungnya. Gembala itu terlampau
meremehkannya. Karena itu, maka ia tidak mau membiarkan
keadaan menjadi berlarut-larut.
Sebelum Pandan Wangi sempat menjawab, maka tiba-tiba
Peda Sura sudah meloncat menyerang. Kali ini sasarannya
adalah gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita itu.
Sebenarnya Gupita terkejut juga melihat serangan yang tibatiba
dan datang terlampau cepat. Untunglah bahwa ia sudah
mempersiapkan dirinya untuk menghadapi serangan yang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian. Karena itu, maka segera ia meloncat menghindar
sambil berkata, "Pandan Wangi. Permainan ini sudah dimulai.
Cepat, hindarkan dirimu sebelum orang-orang yang liar dan buas
itu datang, setelah mereka berhasil mendesak pasukanmu. Kau
harus tetap selamat. Kau tahu, bahaya yang paling parah dapat
kau alami apabila kau tertangkap."
Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Di tangannya
masih tergenggam sepasang senjatanya. Dengan penuh
kebimbangan, ia melihai pertempuran yang segera terjadi antara
Ki Peda Sura melawan Gupita.
Tiba-tiba tanpa sesadarnya, Pandan Wangi bertanya,
"Apakah kau tidak bersenjata" Marilah, pakailah satu pedangku."
"Terima kasih," sahut Gupita, "aku sudah membawa senjata.
Aku baru saja menyimpan kambing-kambingku di kandang.
Cambukku masih aku bawa sampai saat ini. Kalau perlu aku
dapat mempergunakannya untuk melawan senjata Ki Peda Sura
yang mengerikan ini."
Telinga Peda Sura serasa terbakar mendengar jawaban
Gupita itu. Anak itu benar-benar menghinanya, sehingga dengan
demikian, maka serangannya menjadi semakin garang.
Namun Gupita memang mengharap Ki Peda Sura menjadi
marah kepadanya. Dengan demikian, maka perhatiannya
terhadap Pandan Wangi akan berkurang. Kecuali itu, kalau ia
berhasil membakar hatinya, maka Ki Peda Sura akan dikuasai
oleh kemarahannya, sehingga akalnya menjadi tersaput oleh
perasaannya. Dengan demikian ia mengharap, bahwa di dalam
olah senjata pun Peda Sura akan menjadi terlampau terburu
oleh nafsunya. Tetapi ternyata Peda Sura tidak berbuat demikian. Meskipun
ia dibakar oleh kemarahan yang hampir tidak tertahankan,
namun ia tidak mau kehilangan akal. Ia masih tetap dalam
keadaannya. Senjatanya masih tetap berbahaya. Menyambarnyambar
seperti sepasang burung elang di udara.
"Pergilah," desis Gupita, "cepat. Sebentar lagi pasukan
Sidanti juga akan datang."
Tetapi Pandan Wangi masih berdiri di tempatnya. Ia tidak
sampai hati untuk meninggalkan Gupita bertempur seorang diri.
Apalagi gembala itu masih belum mempergunakan senjata
apapun. Ia masih saja berloncat-loncatan menghindari serangan
Peda Sura yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Akhirnya Gupita pun harus mengakui, bahwa Ki Peda Sura
adalah salah seorang yang tidak dapat diremehkan. Ilmunya
cukup tinggi, ditambah dengan pengalamannya yang cukup
tersimpan di perbendaharaan hatinya. Dengan tajamnya ia
mengamati kelemahan-kelemahan Gupita yang masih saja
mencoba menghindari serangan-serangan yang semakin lama
menjadi sedahsyat badai mangsa kesanga.
Namun tiba-tiba Gupita mengambil sesuatu dari bawah
bajunya. Seolah-olah ia sedang mengurai ikat pinggangnya.
Tetapi kemudian ternyata bahwa ia sedang mengurai
senjatanya. Sebuah cambuk yang berjuntai panjang dan
bertangkai pendek. "Hem," Peda Sura menggeram, "itukah senjatamu?"
"Ya. Sudah aku katakan. Aku baru saja menggembalakan
kambingku." Serangan Peda Sura semakin lama menjadi semakin dahsyat
Namun kini di antara suara teriakannya yang melengkinglengking,
terdengar ledakan cambuk Gupita. Ternyata bahwa
cambuk itu mampu melawannya dengan dahsyatnya pula,
sedahsyat senjatanya yang mengerikan.
"Setan," Peda Sura mengumpat. Ia sama sekali tidak
menyangka, bahwa di medan pertempuran ini akan muncul
seorang gembala yang memiliki kemampuan sedemikian
tingginya. Meskipun Peda Sura masih mempercayai dirinya
sendiri, bahwa Gupita tidak akan dapat mengalahkannya, namun
untuk memenangkannya pun bukan suatu pekerjaan yang dapat
segera diselesaikan. Bahkan dengan ragu-ragu ia bertanya
kepada diri sendiri, "Setan manakah yang dengan tiba-tiba saja
mengganggu rencanaku ini" Dan apakah aku akan dapat
menguasainya dalam waktu yang singkat?"
Yang terjadi kemudian memang membuat Ki Peda Sura
semakin cemas. Ternyata bahwa gembala itu semakin lama
menjadi semakin tangkas. Cambuknya meledak-ledak
memekakkan telinga, dan bahkan ujungnya sekalsekali telah
menyentuh pakaiannya. Tanpa disengaja, Peda Sura mencoba memandangi orangorang
yang sedang bertempur di kejauhan. Semakin lama
semakin kabur. Bahkan sebagian dari mereka telah menghilang
masuk ke dalam padukuhan kecil yang kehitam-hitaman.
Serangan Gupita semakin lama menjadi semakin sengit.
Tenaganya yang masih segar telah membantunya. Ki Peda Sura
yang baru saja bertempur di dalam perang brubuh, kemudian
berkelahi seorang lawan seorang dengan Pandan Wangi, telah
memeras sebagian dari tenaganya. Ia merasa terlampau tegang,
karena ia ingin mengalahkan Pandan Wangi tanpa melukainya.
Dan kini ketegangan itu memuncak, karena tiba-tiba ia telah di
hadapkan kepada seorang lawan yang tidak disangka-sangka.
Tetapi pengalamannya segera menempatkannya ke dalam
keadaan yang semakin baik. Lambat laun ia dapat melihat cara
lawannya bertempur. Lambat laun ia berhasil mengerti, di
manakah kelemahan-kelamahan Gupita yang garang itu,
sehingga dengan demikian, maka ia masih tetap mampu
menguasai keseimbangan. Gupitapun akhirnya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat
menguasai lawannya betapapun ia berusaha. Yang dapat
dilakukan adalah mempergunakan kesegarannya untuk
memeras tenaga orang tua itu. Tetapi sementara itu, Pandan
Wangi harus diselamatkan.
Maka sekali lagi berteriak, "Pandan Wangi. Kenapa kau
berdiri saja mematung. Kau harus segera meninggalkan tempat
ini. Lihat, kedua pasukan itu telah menghilang di balik dedaunan
di padesan sebelah. Sebentar lagi pasukan Menoreh akan lolos,
dan orang-orang yang liar itu akan kembali kemari. Kau akan
kehilangan kesempatan lagi untuk kedua kalinya."
Pandan Wangi seolah-olah tersadar dari sebuah mimpi yang
buruk. Tanpa sengaja ia berpaling memandang ke arah pasukan
Menoreh yang menyelinap ke dalam padesan.
Dan sebenarnyalah, bahwa mereka sudah tidak tampak lagi.
Dalam keremangan cahaya bulan bulat di langit, Pandan Wangi
masih sempat melihat beberapa buah bayangan yang lamatlamat
menghilang ke dalam hijaunya dedaunan padesan, yang di
malam hari tampak menjadi kehitam-hitaman.
"Nah, cepat. Lakukanlah," teriak Gupita.
Pandan Wangi masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia menyadari
kini, betapa bahaya akan mengancamnya lagi, apabila orangorang
itu nanti kembali. Namun apakah ia akan meninggalkan
Gupita itu bertempur seorang diri" Padahal Pandan Wangi yang
sudah memiliki ketajaman penglihatan untuk menilai perkelahian
itu, menganggap bahwa Gupita tidak berada di atas kemampuan
Ki Peda Sura" Dengan demikian Pandan Wangi masih juga ragu-ragu. Dan
ia mendengar suara Gupita, "Cepat Pandan Wangi. Cepatlah
sedikit." Yang terdengar adalah geram dan gemeretak gigi Peda Sura,
ia tidak dapat menganggap lawannya kali ini sebagai kawan
berkejar-kejaran. Serangan cambuk Gupita ternyata terlampau
berbahaya, meskipun tidak berhasil menguasainya.
Pandan Wangi masih juga ragu-ragu. Ia sadar, bahwa ia
harus pergi. Tetapi ia mengetahui, bahwa Gupita tidak akan
dapat memenangkan perkelahian itu. Karena itu, maka ia tidak
segera dapat mengambil keputusan.
Dalam pada itu Ki Peda Sura yang sedang dibakar oleh
kemarahan yang semakin memuncak, segera mengerahkan
segenap kemampuan yang ada padanya. Ia tidak ragu-ragu
seperti pada saat ia bertempur melawan Pandan Wangi. Kali ini
ia tidak sayang sama sekali, apabila kulit Gupita tersentuh
senjata dan tulang-tulangnya dipecahkannya. Dengan demikian
maka serangan-serangannya pun semakin lama menjadi
semakin garang. Untunglah, bahwa Gupita masih cukup segar
untuk melayaninya. Tenaganya masih utuh, sehingga
kelincahannya masih mampu mengimbangi serangan-serangan
lawannya yang dahsyat, sedahsyat banjir bandang.
Namun dalam pada itu, semakin nyata bagi Pandan Wangi,
bahwa Gupita pun tidak akan mampu mengalahkan orang tua
itu. Dengan demikian tiba-tiba Pandan Wangi mengambil suatu
keputusan lain. Tiba-tiba ia melangkah kembali mendekati
lingkaran pertempuran. Pedangnya kemudian disilangkannya di
dadanya. Sambil melangkah semakin dekat ia berkata, "Aku
berkelahi di pihakmu Gupita."
"Jangan," sahut Gupita, "tinggalkan saja tempat ini."
"Kau dalam kesulitan. Aku tahu, dan kau jangan
mengorbankan dirimu."
"Persetan," yang terdengai adalah suara Ki Peda Sura, "kalian
adalah anak-anak yang paling bodoh."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tiba-tiba pedangnya
bergetar. Kedua ujungnya kini telah merunduk setinggi dada,
meskipun masih tetap bersilang.
Ki Peda Sura melihat sikap itu dengan hati yang berdebardebar.
Ia tahu benar, bahwa seorang-seorang, anak-anak itu
tidak akan dapat mengalahkannya. Tetapi kalau mereka
berkelahi bersama-sama, maka akibatnya akan berbeda.
Gupita yang melihat sikap itupun menjadi cemas. Terbatabata
ia bertanya, "Pandan Wangi, apa yang akan kau kerjakan?"
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia menarik sebelah
kakinya sambil merendahkan lututnya. Kini satu tangannya
terentang dan yang lain bersilang di dadanya, menggenggam
pedangnya tegak lurus di muka wajahnya.
Dada Gupita menjadi berdebar-debar. Sikap itu benar-benar
meyakinkan, dan dengan demikian maka Gupita pun menjadi
semakin mengaguminya. Gadis ini memang luar biasa. Kalau
kelak ia menemukan kematangan bagi ilmunya itu, maka ia akan
menjadi seorang gadis yang pilih tanding. Seorang gadis yang
tidak memerlukannya lagi untuk membantu melawan Ki Peda
Sura. Peda Sura yang melihat sikap itupun menjadi semakin
berdebar-debar. Namun dengan demikian, kemarahannya
menjadi semakin mencengkam kepalanya. Seranganserangannya
menjadi semakin dahsyat dan buas. Sebuas
harimau kelaparan melihat mangsanya.
Sejenak kemudian terdengar desis tajam. Bersamaan dengan
itu, pedang Pandan Wangi pun bergetar. Dengan lincahnya ia
meloncat semakin dekat, dan langsung menyerang Ki Peda Sura
dengan sepasang pedangnya.
Segera Ki Peda Sura merasakan kesulitan untuk melawan
keduanya. Karena Pandan Wangi benar-benar tidak bersedia
meninggalkan perkelahian itu, dan bahkan sudah memulainya,
maka Gupita harus segera menyesuaikan diri. Perkelahian itu
harus segera selesai, supaya Pandan Wangi mendapat
kesempatan untuk menyingkir.
Agaknya Pandan Wangi pun mempunyai perhitungan yang
serupa. Karena itulah, maka serangan kedua anak-anak muda
itu segera membadai. Sepasang pedang Pandan Wangi menarinari
mengitari tubuh Ki Peda Sura dari segala arah, mematukmatuk
seperti sepasang paruh garuda. Sedang cambuk Gupita
menyambar-nyambar seperti petir dilangit. Meledak-ledak
memekakkan telinga. Ki Peda Sura segera merasakan, bahwa tenaganya yang
telah mulai lelah itu tidak akan mampu melawan keduanya
dalam gabungan kekuatan. Gupita sendiri pun tidak segera
dapat dikalahkan, sedang Pandan Wangi seorang diri cukup
berbahaya baginya. Apalagi kini mereka bergabung menjadi
suatu kekuatan yang melandanya seperti ombak di lautan
didorong badai yang dahsyat.
Segera Ki Peda Sura terdesak mundur. Beberapa kali ia
terpaksa meloncat menjauh. Namun setiap kali kedua anak-anak
muda itu memburunya tanpa memberinya kesempatan.
Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Peda Sura merasa
perlu untuk membuat keseimbangan. Tidak terlampau jauh dari
arena itu, orang-orangnya sedang mengejar orang-orang
Menoreh, sehingga satu dua orang di antara mereka pasti akan
segera dapat ditarik untuk membantunya menghadapi kedua
anak-anak muda yang mengagumkan ini.
Sejenak kemudian, maka Ki Peda Sura tidak merasa segan
lagi untuk berbuat demikian. Segera terdengarlah suitan nyaring
yang keras sekali memanjang membelah sepinya malam. Itu
adalah pertanda, bahwa Ki Peda Sura yang tua dan garang itu
memerlukan bantuan untuk keselamatannya.
Ternyata suitan itu telah menggetarkan dada Gupita dan
Pandan Wangi. Mereka segera menyadari arti dari panggilan itu
bagi diri mereka. Tetapi mereka tidak lagi dapat surut. Perkelahian itu sudah
berlangsung dengan sengitnya. Baik Pandan Wangi maupun
Gupita telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Namun bagaimanakah nasib mereka, apabila orang-orang Ki
Peda Sura itu kemudian berlarlarian datang membantunya"
Yang terpikir oleh Gupita kemudian adalah menyelesaikan
pertempuran itu secepat-cepatnya, lalu secepat-cepatnya pula
menyingkir. Karena itu, maka begitu suitan Peda Sura lenyap dari udara,
serangannya pun kian menggila. Cambuknya meledak tidak
putus-putusnya. Diperasnya segenap kemampuan yang ada
padanya. Kelincahan, ketangkasan dan terutama kesegaran
tenaganya. Ia ingin berkelahi untuk waktu yang singkat sehingga
ia tidak perlu lagi menghemat tenaganya.
Agaknya Pandan Wangi pun memaklumi sikap itu. Maka
dilimpahkannya semua sisa tenaganya dengan mempercepat
setiap gerakan. Kedua ujung pedangnya menjadi semakin cepat
meluncur mematuk dari segala arah.
Serangan-serangan yang demikian agaknya kurang
diperhitungkan oleh Ki Peda Sura. Ia tidak bersiap untuk
menerima pengerahan segenap kemampuan kedua anak-anak
muda itu bersama-sama. Ledakan-ledakan cambuk yang
menjadi semakin dahsyat dan gerakan kedua ujung pedang itu
membuatnya agak gugup. Kesempatan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Gupita.
Sebelum Ki Peda Sura yang menyimpan berbagai pengalaman
di dalam dirinya itu menyadari keadaannya dan mencoba
memperbaiki kedudukannya, maka Gupita telah memperketat
serangannya dengan memeras kemungkinan yang ada padanya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ujung cambuknya tiba-tiba berhasil menyambar pundak orang
tua itu, sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata
ujung cambuk itu bukan sekedar ujung dari janget rangkap tiga
berganda. Tetapi ujung cambuk itu ternyata dilingkar oleh
kepingan-kepingan baja yang tipis, sehingga sentuhan itu benarbenar
telah mengelupas kulit Ki Peda Sura.
"Anak setan," ia mengumpat. Kalau sentuhan-sentuhan yang
terdahulu hanya menyentuh pakaiannya. dan tidak
menumbuhkan persoalan apapun, maka kini terasa pundaknya
sangat pedih. Dengan demikian, maka kemarahan Ki Peda Sura menjadi
semakin menyala di dalam dadanya. Tetapi ternyata ia tidak
kehilangan akal. Ia masih tetap berkelahi dengan hathati. Dan
ia masih tetap sadar, bahwa ia berada dalam bahaya. Dengan
demikian, maka sekali lagi terdengar mulutnya bersuit keras
sekali memanjang, menyelusur dinginnya malam yang terasa
bagi mereka terlampau panas.
Gupita menggeretakkan giginya. Ia pun menyadari
keadaannya dan keadaan Pandan Wangi. Arti suitan itu bagi
mereka, adalah serupa dengan tanda bahaya yang untuk kedua
kalinya memberi peringatan kepada mereka.
Dengan demikian, Gupita menjadi semakin cepat bergerak. Ia
mencoba mengisi kekosongan pada setiap serangan Pandan
Wangi. Ketika Peda Sura sedang menghindari ujung pedang
yang menyentuh lengannya, maka sekali lagi ia terpekik. Kali ini
lebih keras. Ternyata ujung cambuk Gupita sekali lagi
mengenainya. Justru kali ini menyentuh keningnya.
Sebuah goresan yang merah telah menyobek kulit di kening
orang itu. Darah yang merah segera meleleh di pipinya, yang
telah basah oleh keringat.
Sekali lagi orang itu mengumpat lebih kasar lagi. Dengan
tergesa-gesa ia meloncat jauh-jauh surut. Dengan lengan
bajunya ia mengusap darah yang menitik di wajahnya itu sambil
sekali lagi bersuit nyaring.
Namun kali ini kecepatan bergerak Pandan Wangi tidak
mampu lagi dihindarinya. Dalam keadaan yang sulit itu, terasa
sesuatu menyengat lengannya. Ketika sekali lagi ia meloncat
jauh-jauh, maka dari lengannya itupun mengalir darah. Agaknya
Pandan Wangi telah berhasil menyobek kulitnya dengan ujung
pedangnya. Ki Peda Sura menjadi kian sulit karenanya. Gerakan kedua
lawannya yang masih muda-muda itu ternyata terlampau berat
untuk diimbangi. Namun sampai begitu jauh, ia masih tidak
kehilangan akal. Ia masih dapat membuat pertimbanganpertimbangan
yang mampu menyelamatkannya.
Ternyata Ki Peda Sura kemudian tidak berusaha untuk
melawan kedua anak muda itu lagi. Tetapi segera ia meloncat
meninggalkan mereka dan berusaha bergeser ke arah orangorangnya
yang sedang mengejar pasukan Menoreh.
Semula Pandan Wangi dan Gupita masih ingin mengejarnya.
Tetapi tiba-tiba mata Gupita yang tajam melihat di dalam
cerahnya cahaya bulan, beberapa buah bayangan bergerakgerak
dari padesan di hadapan mereka. Segera ia menyadari
keadaan yang menjadi semakin gawat. Yang datang itu pastilah
orang-orang Ki Peda Sura yang mendengar suitan sampai
merambah tiga kali. "Berhentilah Pandan Wangi," desis Gupita kemudian, "lihat,
beberapa orang mendatangi. Kita harus segera pergi."
Pandan Wangi pun akhirnya melihat mereka pula. Karena itu,
maka dadanya menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia
bertanya, "Lalu apakah yang harus kita kerjakan?"
"Lari," jawab Gupita.
Jawaban itu terdengar aneh ditelinga Pandan Wangi. Lalu
apakah ia harus lari dari arena" Namun yang diucapkannya
adalah suatu pertanyaan, "Apakah kita biarkan Peda Sura
menyelamatkan dirinya?"
"Kita tidak perlu membunuh. Kalau kita dicengkam oleh nafsu
membunuh, maka kita akan kehilangan perhitungan. Kita sudah
melumpuhkannya. Itulah yang penting. Bukan membunuh.
Sekarang kita harus lari, eh, kalau kau tidak mau
mempergunakan istilah itu, kita harus menyingkir. Cepat."
Karena Pandan Wangi masih ragu-ragu, tiba-tiba tangan
Gupita menyambar pergelangan tangannya yang masih
menggenggam pedang dan menariknya berlari meninggalkan
arena itu. "Cepat, mereka telah melihat kita."
Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian
berlari kencang-kencang sedapat dilakukan, ditarik oleh Gupita
sambil berkata, "Kita harus menghindar."
"Ya," jawab Pandan Wangi tanpa sesadarnya. Tetapi ia masih
berusaha berpaling melihat apa yang terjadi kemudian dengan Ki
Peda Sura. Dan apa yang dilihatnya benar telah mendebarkan
jantungnya sehingga langkahnya pun menjadi agak tertahan.
Bahkan tanpa sesadarnya ia menarik tangannya sambil berkata,
"Lihat." Gupita kemudian berpaling. Tetapi tangan Pandan Wangi
tidak dilepaskannya. Seperti Pandan Wangi, jantungnya pun berdebar-debar pula
ketika ia melihat Ki Peda Sura terhuyung-huyung. Kemudian
orang tua itu terjatuh di tanah. Orang-orang yang berlarlarian
dari padesan di sebelah, segera mengerumuninya. Beberapa
orang di antara mereka akan berusaha untuk berlari terus
mengejar Gupita dan Pandan Wangi. Namun dengan keheranheranan
Pandan Wangi dan Gupita melihat mereka terhenti dan
kembali mengitari Ki Peda Sura yang terbaring.
Pandan Wangi dan Gupita tidak mendengar apa yang mereka
percakapkan, sehingga karena itu, maka sejenak kemudian
mereka pun dengan tergesa-gesa meneruskan langkah mereka.
"Marilah, sebelum terlambat," ajak Gupita sambil menarik
tangan Pandan Wangi. Pandan Wangi tidak menolak. Tertatih-tatih ia berlari di atas
sawah yang becek. Berkalkali mereka meloncati pematang dan
parit yang mengalirkan air yang jernih bening.
"Mereka tidak mengejar kita lagi," desis Pandan Wangi.
"Belum tentu. Mungkin mereka sedang menerima pesanpesan
dari Ki Peda Sura. Kita harus menjauh sejauh-jauhnya.
Kau harus segera sampai kepada pasukanmu, supaya kau dapat
berlindung kepada mereka."
"Akulah yang harus melindungi mereka," jawab Pandan
Wangi sambil terengah-engah.
"Timbal balik. Jangan kau ulangi sikapmu yang berbahaya.
Kau tidak perlu berbuat demikian. Kau dapat mundur bersamasama
dengan pasukanmu tanpa mengorbankan dirimu."
"Tidak mungkin. Kau tidak melihat medan waktu itu, sehingga
kau dapat berkata begitu."
Gupita tidak menjawab, tetapi ia masih saja menarik tangan
Pandan Wangi, "Cepatlah sedikit."
Pandan Wangi berusaha untuk mempercepat langkahnya.
Ketika ia berpaling, maka bayangan orang-orang yang
mengerumuni Ki Peda Sura sudah tidak begitu jelas lagi.
"Kita sudah jauh," berkata Pandan Wangi.
"Kita masih berada di daerah berbahaya. Kita harus
menyelusur parit di depan kita, kemudian menyilang jalan. Kita
masih harus melintasi bulak kecil itu lagi untuk mencapai
padesan." "Kita justru menjauhi padesan itu," sahut Pandan Wangi.
"Kita berjalan melingkar, supaya arah kita tidak segera
terpotong." "Orang-orang itu mungkin akan memotong arah kita."
"Karena itu kita harus cepat."
Mereka mencoba mempercepat langkah mereka. Tetapi
Pandan Wangi agaknya sudah mulai lelah setelah ia bertempur
memeras tenaganya melawan Ki Peda Sura. Karena itu, maka
langkahnya pun menjadi semakin lambat, "Aku lelah sekali,"
desisnya. "Jangan," sahut Gupita, "kau bagi Tanah Perdikan Menoreh
adalah seorang prajurit. Kini kau berada di medan kewajibanmu.
Atasilah perasaan lelahmu. Kau harus melatih mengatur
pernafasan dan melepaskan tenagamu sesuai dengas
kebutuhan." "Aku tahu. Tetapi tenagaku terbatas. Suatu saat kita akan
sampai ke puncak kemampuan. Dan aku sudah lelah."
Gupita tidak dapat memaksa Pandan Wangi berlari terus. Kini
mereka memperlambat langkah mereka. Meskipun demikian,
mereka masih juga berloncat-loncatan di atas pematang.
Namun hati mereka menjadi agak tenang, ketika sekali lagi
mereka berpaling dan tidak seorang pun yang mengejar.
Sebenarnya, bahwa orang-orang yang akan mencoba
mengejar kedua anak-anak muda itu telah ditahan oleh Ki Peda
Sura yang terbaring di tanah karena luka-lukanya yang ternyata
cukup parah. Perlawanan yang demikian sama sekali tidak
disangka-sangkanya. Kedua anak-anak muda itu ternyata
memiliki kemampuan yang luar biasa.
"Kalau mereka kelak berhasil menguasai ilmu mereka dengan
baik, maka mereka akan menjadi orang-orang yang luar biasa.
Mereka akan mampu menyamai Ki Argapati dan Ki Tambak
Wedi," berkata Ki Peda Sura kepada orang-orangnya, "karena
itu, jangan kau kejar mereka, kalau jumlah kalian tidak mencapai
sepuluh orang." "Kami tidak tahu kalau kami harus berhadapan dengan orangorang
semacam mereka. Sebaiknya kita panggil beberapa
kawan lagi. Pertempuran di padesan itu sudah hampir selesai.
Orang-orang Menoreh terus menerus menarik dirinya, dan
mungkin mereka akan melarikan diri keluar padesan itu
bergabung dengan kawan-kawan mereka yang lain."
"Jangan dikejar juga mereka. Kalian akan terjebak."
"Ya. Kami sudah menyadari. Kami tidak akan mengejar
mereka keluar padukuhan kecil itu."
"Kita selesai sampai di sini."
"Lalu, bagaimana dengan Kiai?" bertanya salah seorang anak
buahnya. "Anak-anak setan itu berhasil melukaiku. Aku terlampau letih
oleh darah yang keluar dari tubuhku. Bawalah aku menyingkir. Di
kantong ikat pinggangku ada semacam obat yang dapat
menahan arus darah. Taburkan itu di lukaku. Mudah-mudahan
dapat mengurangi keparahan luka itu."
Beberapa orang berusaha untuk menolong Ki Peda Sura.
Yang lain mengambil obat di kantong ikat pinggangnya dan
menaburkan di atas luka yang masih mengalirkan darah. Namun
agaknya obat itupun bermanfaat pula. Arus darah dari luka
itupun berangsur berkurang.
"Kalau Sidanti sudah selesai, ia pasti akan mengirimkan
beberapa orang kemari. Tetapi di sini pun kita sudah selesai,"
gumam Peda Sura kemudian.
*** "Bagaimana dengan kedua orang yang melarikan diri itu?"
"Mereka kita lepaskan kali ini. Kini mereka pasti sudah
terlampau jauh." Saat itu, Pandan Wangi dan Gupita memang sudah agak jauh
dari mereka. Tetapi keduanya masih belum bergabung dengan
pasukan Menoreh yang sedang menarik diri.
Pandan Wangi yang kelelahan, agaknya benar-benar sudah
segan untuk berlari. Satu-satu ia melangkah dengan nafas
terengah-engah. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa tidak
seorang pun lagi yang mengejarnya. Bahkan Ki Peda Sura
agaknya sudah tidak berdaya lagi.
"Aku tidak dapat berlari lagi," desisnya.
"Tetapi kau belum berada di tengah-tengah pasukanmu,"
sahut Gupita. "Bahaya sudah tidak terlampau besar lagi kini."
"Memang bagi kita. Tetapi bagaimana dengan pasukanmu?"
Pertanyaan itu menyentuh dada Pandan Wangi. Pasukan
Menoreh itu berada di bawah tanggung jawabnya. Karena itu,
maka tiba-tiba ia menggeram, "Ya, aku harus segera berada di
antara mereka. Bukan untuk berlindung, tetapi aku harus
bertanggung jawab atas semua persoalan yang terjadi."
Gupita tidak menjawab. Tetapi ia melihat nafas Pandan
Wangi seakan-akan hampir putus di kerongkongannya. Maka
tanpa sesadarnya ia berkata, "Tetapi kalau kau memang
terlampau lelah, beristirahatlah sejenak."
Pandan Wangi mengangguk. "Pasukanmu pasti dapat menyelamatkan diri. Orang-orang
Peda Sura sudah tidak bernafsu lagi untuk mengejar, sebab
mereka pun pasti akan ragu-ragu, bahwa suatu ketika mereka
akan terjebak ke dalam perangkap yang dapat menghancurkan
mereka." Pandan Wangi mengangguk. "Nah, duduklah. Dan sarungkan pedangmu."
Seperti digerakkan oleh tenaga yang ajaib, Pandan Wangi
menyarungkan sepasang pedangnya. Kemudian duduk
beristirahat di atas pematang yang ditumbuhi rumput liar.
"Kau dapat sekedar melepaskan lelahmu. Kita memang
sudah terlepas dari bahaya yang mengerikan. Tetapi belum
berarti bahwa kita boleh berlengah-lengah di sini."
"Aku menyadari," jawab Pandan Wangi, "aku hanya akan
sekedar menenangkan diri supaya nafasku tidak terputus di
tengah jalan." Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa
dikehendakinya sendiri ia duduk di samping Pandan Wangi,
bersandar pada sepasang tangannya. Serulingnya terselip pada
ikat pinggangnya dan cambuknya melingkar di lehernya.
Angin malam yang segar telah berhembus mengusap tubuh
mereka. Terasa seolah-olah nafas mereka dijalari oleh getarangetaran
yang sejuk. Perlahan-lahan dada mereka menjadi
tenang, dan nafas mereka tidak lagi berkejaran lewat lubang
hidung mereka. Terutama Pandan Wangi yang kelelahan itu.
Kedua anak muda itu sejenak saling berdiam diri. Mereka
masing-masing terbenam di dalam angan-angan sendiri.
Bayangan yang bermacam-macam bentuk dan corak telah hilir
mudik di rongga mata mereka. Pertempuran yang baru saja
terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeret
mereka ke dalam keadaan yang tidak terduga-duga. Terasa
bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi meremang, jika
dibayangkannya apa yang dapat terjadi atas dirinya, apabila ia
tertangkap oleh Ki Peda Sura dan orang-orangnya yang buas
dan liar itu. Ketika perasaan lelahnya sudah berkurang, tiba-tiba Pandan
Wangi menyadari, bahwa sebenarnya anak muda yang duduk di
sampingnya itu masih terlampau asing baginya, sehingga tibatiba


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja ia bertanya, "Siapakah sebenarnya kau?"
Gupita terkejut mendengar pertanyaan itu. Kini ia duduk tegak
sambil memandangi Pandan Wangi dengan sorot mata yang
keheran-heranan, "Kenapa kau bertanya demikian" Bukankah
kau sudah mengenal aku, bahwa aku adalah seorang gembala
yang bernama Gupita?"
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sambil menarik
nafas dalam-dalam ia menyahut, "Aku merasa aneh, bahwa di
Menoreh ada seorang gembala yang bernama Gupita, dan
mampu mengimbangi seorang yang bernama Ki Peda Sura."
"Apa salahnya" Bukankah lebih aneh lagi, bahwa ada
seorang gadis yang membawa pedang rangkap di lambungnya?"
"Tetapi aku tidak menyembunyikan diriku dengan segala
macam rahasia dan teka-teki. Aku adalah Pandan Wangi, puteri
Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Dalam keadaan apapun, aku
adalah Pandan Wangi."
"Lalu apa sangkamu tentang aku?" bertanya Gupita, "aku
adalah seorang gembala. Dalam segala keadaan. Tetapi sudah
tentu di dalam peperangan aku tidak menggembalakan kambingkambingku.
Namaku Gupita, juga dalam segala keadaan. Kalau
kau tidak percaya, marilah datang ke rumahku. Kau akan
berkenalan dengan ayah dan adikku. Adikku juga seorang
gembala. Kau akan tertawa melihatnya. Tubuhnya gemuk bulat.
Namun ia seorang periang yang paling banyak tertawa di dunia
ini." Pandan Wangi ragu-ragu mendengar pengakuan Gupita itu.
Dengan penuh pertanyaan dipandanginya wajah Gupita. Wajah
yang memiliki daya yang aneh terpancar dari sepasang
matanya. Dalam keremangan cahaya bulan, Pandan Wangi
melihat sesuatu yang lain di wajah itu. Jauh berbeda dari wajah
seorang gembala. Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi menyadari dirinya, ia adalah
seorang gadis. Meskipun kini ia membawa sepasang pedang di
lambungnya, tetapi ia tetap seorang gadis dan anak muda yang
ada di sampingnya itu adalah orang yang belum terlampau
banyak diketahuinya. Karena itu, maka ketika anak muda itupun
memandanginya, dan pandangan mereka berbenturan, terasa
seolah-olah jantungnya terbanting di atas batu pualam. Pecah
berkeping-keping. Pandan Wangi segera menundukkan kepalanya. Keringat
yang dingin mengalir memenuhi pakaiannya yang memang
sudah basah oleh keringat. Terasa tangannya menjadi dingin
dan wajahnya dirambati oleh arus darahnya yang hangat.
Untuk beberapa saat, Pandan Wangi tertunduk diam. Dengan
jarjarinya yang lentik, ia bermain-main ujung rerumputan yang
telah basah oleh embun yang turun dari langit.
Gupita melihat perubahan sikap Pandan Wangi. Justru karena
itu, maka tumbuhlah sifat dan watak yang sudah terpateri di
dalam dirinya. Tiba-tiba saja iapun menjadi bingung dan tidak
mengerti apa yang harus dilakukannya. Seolah-olah ia terlempar
ke dalam dunianya sendiri. Bukan lagi seorang gembala yang
bernama Gupita. Muncullah watak dan kediriannya, seorang
anak muda pemalu dan dibayangi oleh keragu-raguan.
Beberapa saat sebelumnya ia telah membuat dirinya menjadi
seorang gembala periang, yang agak sombong. Seorang yang
menganggap setiap persoalan itu bukan masalah yang harus
ditekuni. Ia telah mencoba belajar dan melakukannya seperti
yang dilihatnya pada adik seperguruannya. Terhadap Ki Peda
Sura, Pandan Wangi sebagai seorang anak Kepala Tanah
Perdikan, kepada Samekta dan orang-orang yang baru itu,
agaknya ia berhasil menirukan sikap dan tabiat adik
seperguruannya, tetapi ketika tiba-tiba ia di hadapkan pada
Pandan Wangi sebagai seorang gadis, maka tiba-tiba
jantungnya serasa membeku.
Dengan demikian, maka sejenak mereka saling berdiam diri.
Desir angin malam seolah-olah berbisik di telinga mereka. Tetapi
gejolak di dalam diri mereka telah menenggelamkan segala
perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka.
Namun tiba-tiba, Gupita yang ingin mengurangi ketegangan di
dalam dadanya itu, mengangkat wajahnya. Serasa darahnya
berhenti mengalir, ketika ia melihat iring-iringan yang berjalan ke
arah mereka. "Tidak ada kesempatan untuk lari lagi," desisnya.
Pandan Wangi yang mendengar desis itupun segera
mengangkat wajahnya meraba hutu pedangnya.
"Mereka pergi kemari."
Tetapi Gupita menggeleng, "Tidak. Mereka tidak menuju
kemari. Mereka adalah pasukan Ki Peda Sura yang ingin
mengundurkan dirinya masuk kepadukuhan induk setelah
mereka melepaskan pasukanmu."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ia membenarkan katakata
Gupita itu, karena beberapa puluh langkah di samping iringiringan
itu, terdapat iring-iringan yang lain pula. Agaknya mereka
terbagi menjadi dua kelompok untuk menghindarkan diri dari
kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya bagi mereka.
Tetapi sekelempok di antara mereka berjalan kearah kedua
anak-anak muda yang sedang duduk di pematang itu. Semakin
lama semakin dekat, sehingga mereka tidak akan dapat tinggal
diam duduk di pematang itu.
"Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Pandan Wangi.
"Bersembunyi." "Kenapa bersembunyi?"
"Lalu, kau mau apa?"
"Kita melawan sambil menghindar."
Gupita tidak menjawab lagi. Iring-iringan itu semakin dekat.
Kalau mereka masih saja berbantah, maka salah seorang dari
mereka pasti akan segera melihat. Karena itu maka tiba-tiba saja
ia mendorong tubuh Pandan Wangi sehingga gadis itu terguling
di atas tanah yang becek.
"Jangan berbicara lagi," bisik Gupita, "kita bersembunyi di
sela-sela tanaman di sawah ini. Kau harus diam dan mencoba
menguasai pernafasanmu."
Pandan Wangi masih akan menjawab, tetapi Gupita yang
telah berguling di sampingnya segera mendorongnya, "Masuk
lebih dalam lagi." Pandan Wangi tidak membantah lagi. Ia pun kemudian
merangkak masuk ke dalam rimbunnya tanaman di sawah yang
becek. Di belakangnya Gupita pun merangkak dengan hathati
sambil sekalsekali mengangkat kepalanya untuk melihat iringiringan
yang semakin lama menjadi semakin dekat.
Tetapi ternyata mereka tidak tepat mengambil arah tempat
kedua anak-anak muda itu bersembunyi. Mereka akan lewat
beberapa langkah daripadanya. Dalam keremangan cahaya
bulan, Gupita dapat melihat, bahwa beberapa orang di antara
mereka sedang mengangkat sesosok tubuh di atas pundak
mereka. "Ki Peda Sura," gumam Gupita perlahan-lahan.
Pandan Wangi yang mendengarnya, segera berusaha melihat
dari sela-sela ujung daun-daun yang rimbun. Ia pun melihat pula,
bahwa agaknya Ki Peda Sura tidak mampu untuk berjalan
sendiri, sehingga harus diangkat oleh orang-orangnya.
Tetapi belum lagi debar di dalam dada kedua anak-anak
muda itu reda, mereka melihal iring-iringan dari arah yang lain.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat kedua iringiringan
dari arah yang berlawanan itu semakin mendekat.
Namun agaknya mereka telah memiliki tanda-tanda yang
khusus, sehingga mereka segera mengetahui, bahwa yang
mereka jumpai sama sekali bukan lawan mereka.
Gupita dan Pandan Wangi terpaksa menahan nafas mereka,
supaya desahnya tidak terdengar. Tidak terlampau jauh dari
kedua anak-anak muda itu, kedua pasukan yang datang dari
arah yang berlawanan itu bertemu.
"Kenapa kalian tidak menunggu kami?" bertanya pemimpin
pasukan yang baru datang.
"Pekerjaan kami telah selesai," jawab salah seorang dari
pasukan Ki Peda Sura. "Apakah kalian berhasil membinasakan orang-orang Menoreh
yang bodoh itu?" "Sebagian, yang lain melarikan diri."
Pimpinan pasukan yang baru datang itu berdiam diri sejenak.
Namun dari antara mereka, seorang anak yang masih terlampau
muda, mendesak maju sambil bertanya, "Bagaimana dengan
Kakak Pandan Wangi?"
Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian terdengar
desis yang lambat, "Pandan Wangi adalah seorang gadis yang
perkasa. Ia selamat."
Semua orang berpaling ke arah suara itu. Pemimpin pasukan
yang baru datang itupun bertanya, "Siapa yang terluka itu?"
"Ki Peda Sura."
"He. Ki Peda Sura terluka?"
"Ya." "Siapa yang melukainya?"
Yang terdengar adalah suara Ki Peda Sura lambat, hampir
tidak terdengar, apalagi dari tempat Gupita dan Pandan Wangi
bersembunyi, "Pandan Wangi. Pandan Wanglah yang telah
melukai aku." "Terkutuklah anak itu," terdengar pemimpin pasukan yang
baru datang itu menggeram. Tetapi tanpa disangka-sangka,
anak muda yang berada di antara mereka menyahut, "Adalah
wajar sekali, bahwa di dalam pertempuran seorang melukai
orang yang lain, yang berada di pihak yang berlawanan."
"Persetan," pemimpin pasukan itu menggeram, "tetapi
Pandan Wangi telah berbuat kesalahan besar. Ia terlampau
menyombongkan dirinya, sehingga ia berani melukai Ki Peda
Sura." Pandan Wangi dan Gupita mendengarkan percakapan itu
dengan hati yang berdebar-debar. Kalau pemimpin pasukan
yang baru itu tidak dapat mengendalikan dirinya, dan beberapa
orang dan pasukan Ki Peda Sura menunjukkan arah larinya,
maka tidak mustahil mereka akan mencoba mencarinya.
Tetapi tidak terduga-duga, anak muda yang berada di dalam
pasukan itu menyahut, "Itu bukan suatu kesombongan, tetapi
suatu kebanggaan. Apakah kau juga menyombongkan dirimu
setiap kali membunuh atau melukai lawan?"
"Tetapi tidak seorang yang memiliki ilmu setinggi Ki Peda
Sura." "Itu adalah salah Ki Peda Sura, kenapa ia memberi
kesempatan kepada lawannya sehingga melukainya. Kalau ia
memang berilmu tinggi, dan mempunyai kelebihan dari
lawannya, namun ia dapat juga dilukai oleh lawannya yang
sekedar menyombongkan dirinya, itu adalah salahnya."
Agaknya pemimpin pasukan itu menjadi marah. Dengan
garang ia berkata, "Aku akan mencari Pandan Wangi sampai
ketemu. Aku sendiri akan membunuhnya."
"Huh," anak yang masih terlampau muda itu memotong,
"kaulah yang terlampau sombong. Kakak Pandan Wangi dapat
melukai Ki Peda Sura. Apalagi kau. Kepalamulah yang lebih
dahulu dipenggalnya."
"Persetan," kemarahannya tiba-tiba memuncak, "kau
mencoba mencegah aku, he?"
"Aku tidak mencegahmu, tetapi aku mengatakan
kemungkinan yang paling dekat padamu."
"Gila! Ternyata kau merupakan duri di dalam pasukan ini.
Apakah kau yang lebih dahulu harus dibungkam."
"Apa kau bilang!" tiba-tiba anak yang masih terlampau muda
itu meloncat sambil menarik pedang dilambungnya, "ayo,
lakukanlah!" Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara Ki Peda Sura,
"Anak itu benar. Jangan mencoba mencari Pandan Wangi. Ia
terlampau perkasa. Biarlah ia pergi ke pasukannya. Mungkin
akan datang suatu kesempatan bagimu, lusa atau kapan saja
untuk menemuinya dan mencoba ketajaman sepasang
pedangnya." Pemimpin pasukan itu menggeram sekali lagi.
Dihentakkannya kakinya ke tanah. Katanya, "Lalu, apa yang
akan kita lakukan?" "Kembali ke induk pasukan," desis Ki Peda Sura. "Beberapa
orang pengawas dapat kalian tinggalkan di sini. Pengawas yang
kuat dan cukup banyak. Seperti Argapati, kalian harus
melengkapi pengawas-pengawas itu dengan tanda-tanda sandi
dan beberapa ekor kuda."
"Aku kecewa, bahwa aku tidak dapat bertemu dengan
Pandan Wangi," pemimpin pasukan yang baru itu masih saja
bergumam. "Tidak perlu sekarang," suara Ki Peda Sura lambat, "sekarang
kita kembali ke induk pasukan. Bukankah Sidanti telah berhasil
menduduki padukuhan induk?"
Pemimpin pasukan itu terdiam sejenak. Dengan sudut
matanya dipandanginya ujung pedang di tangan anak muda
yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Kemudian
katanya, "Baik. Kita akan kembali ke induk pasukan. Aku akan
meninggalkan satu kelompok orang-orangku di sini."
"Bagus," desis Ki Peda Sura, "marilah, kita pergi."
Pemimpin pasukan itu terdiam sejenak. Namun kemudian
sambil menunjuk pedang anak muda di hadapannya ia berkata,
"Kau jangan main-main dengan pedang anak manis. Kalau
ayahmu mendengar perbuatanmu, kau akan dijantur di atas
pohon sawo di halaman rumahmu."
"Ayah akau membenarkan sikapku. Kalau kita tidak
sependapat, maka pasti Ayah-lah yang bersalah dalam hal ini."
Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian, "Ayo, kita kembali. Jangan hiraukan anak gila itu."
Pemimpin pasukan itu segera memerintahkan orangorangnya
kembali. Namun di antara mereka, sekelompok besar
ditinggalkannya di padukuhan di hadapan mereka untuk
mengawasi keadaan. Mereka telah meyakini, bahwa pasukan
Menoreh telah mundur jauh-jauh, sehingga untuk waktu yang
pendek tidak mungkin lagi akan kembali.
Sejenak kemudian pasukan-pasukan itupun telah bergerak
meninggalkan tempat itu kembali ke padukuhan induk yang
ternyata telah diduduki oleh Sidanti dan pasukannya.
Ketika mereka telah menjadi semakin jauh, maka Gupita pun
menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan mereka berdiri
sambil menggeliat. "Hem, keadaan telah menjadi semakin parah," gumam
Gupita, "tetapi siapakah anak muda itu. Anak muda yang
mencarimu, dan membelamu dihadapan pemimpinnya?"
"Namanya Prastawa," jawab Pandan Wangi, "ia adik
sepupuku. Salah seorang putera Paman Argajaya."
"Oh," Gupita mengangguk-angguk, "sifat ayahnya yang keras


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala tampak pula padanya."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya,
"Apakah kau sudah mengenal Paman Argajaya secara pribadi?"
Pertanyaan itu telah membuat dada Gupita berdesir. Tetapi
segera ia menemukan jawabnya, "Siapakah orang Menoreh
yang tidak mengenai Ki Argajaya, meskipun tidak secara pribadi.
Siapakah yang tidak mengenal tabiat, sifat, dan wataknya"
Apalagi kini, setelah dengan jelas ia berpihak kepada Sidanti."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Di antara
sadar dan tidak ia bergumam, "ia berpihak kepada orang lain
daripada saudara sendiri."
Kini Gupita-lah yang bertanya dengan serta merta, "Siapakah
yang kau maksud dengan orang lain?"
"Oh," Pandan Wangi tergagap, "maksudku, maksudku,
Paman telah berpihak kepada Ki Tambak Wedi. Bukankah Ki
Tambak Wedi itu orang lain bagi Paman."
"Tetapi Sidanti adalah kemenakannya."
Dengan perasaan yang aneh Pandan Wangi mengangguk,
"ya, Kakang Sidanti adalah kemenakan Paman Argajaya."
Namun dalam pada itu, sebuah goresan yang tajam telah
menggorek luka di hati gadis itu. Terasa betapa pahitnya
persoalan yang kini terjadi di Menoreh. Teringat olehnya ceritera
ayahnya, bahwa ibunya pada saat mengandung Sidanti, berkata
kepada ayahnya, "Kalau tidak kau bunuh kami, maka anak di
dalam kandungan ini, akan membawa persoalan sepanjang
hidupnya." Tiba-tiba kepala Pandan Wangi seolah-olah terkulai,
menunduk dalam-dalam. Beberapa titik air matanya membasah
di pelupuknya. Peristiwa itu ternyata benar-benar tidak terhenti
sejak perang tanding antara Arya Teja dan Puguhan selesai.
Tidak juga setelah ayahnya mengambil perempuan yang telah
mengandung itu menjadi istrinya untuk seterusnya. Bahkan tidak
juga selesai setelah ia lahir.
"Betapa anehnya, bahwa aku sempat juga lahir," katanya di
dalam hati, "ayah dan ibu menyimpan persoalan yang berakar di
dalam hati mereka. Dengan demikian, maka kedamaian yang
aku dapati di rumah itu, adalah kedamaian yang lamis. Cinta
ayah dan ibu kemudian kelahiranku inipun, sebenarnya adalah
akibat sikap berpura-pura dari mereka berdua."
Hampir saja Pandan Wangi meledakkan tangisnya. Tetapi
tanpa disengajanya, tangannya menyentuh hulu pedangnya.
Dengan demikian, maka segera ia teringat, bahwa ia kini sedang
berada di medan perang. Apalagi ketika terdengar suara Gupitia, "Pandan Wangi,
apakah yang sedang kau renungkan" Kita harus segera berbuat
sesuatu, sebab masih banyak sekali kemungkinan yang akan
terjadi. Daerah ini masih akan mengalami seribu satu macam
perubahan. Dan perubahan-perubahan itu dapat terjadi dengan
cepatnya." Pandan Wangi mengusap matanya dengan ujung bajunya.
Namun ia masih tertunduk, untuk menyembunyikan wajahnya
dari cahaya bulan yang kuning.
"Baiklah," katanya kemudian dalam nada yang datar, "apakah
sebaiknya yang harus kita lakukan?"
"Kembalilah kepasukanmu."
"Baiklah," Pandan Wangi tidak mempersoalkannya lagi. Tibatiba
saja ia melangkahkan kakinya sambil menunduk.
"He, ke mana kau akan pergi?" bertanya Gupita.
"Bukankah aku harus pergi kepasukanku?"
Gupita merasakan sesuatu yang aneh pada gadis itu. Pandan
Wangi seakan-akan kehilangan gairah untuk memikirkan
peperangan ini. Bahkan sikapnya agaknya menjadi acuh tidak
acuh saja. "Pandan Wangi," berkata Gupita kemudian, "di sekitar kita
masih mungkin bersembunyi berbagai macam bahaya yang tidak
kita kenal. Itulah sebabnya kau harus berhathati. Jangan
berjalan begitu saja seperti kau pergi ke sendang. Kau tidak
tahu, apakah yang bersembunyi di balik sehelai ilalang di
hadapanmu." Terasa dada gadis itu berdesir. Seolah-olah ia kini baru
tersadar dari tidurnya yang dicengkam oleh mimpi yang
mengerikan. Tanpa sesadarnya, maka kedua tangannya telah
meraba hulu sepasang pedangnya. Kemudian ditariknya nafas
dalam-dalam. Diedarkannya pandangan matanya ke
sekelilingnya. Tanaman di sawah. Padesan dan pepohonan
pategalan di arah lain. Warna kuning yang terpencar dari bulan
bulat di langit, terpercik di setiap wajah dedaunan.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia berdesis, "Ya, aku memang harus berhatihati."
"Nah, jangan merenung. Kau tidak mempunyai kesempatan
untuk melakukannya di medan perang. Kalau kau hathati dan
berhasil mencapai pasukannya, maka kau akan mempunyai
banyak kesempatan untuk merenung."
"Ah," Pandan Wangi berdesah, tetapi ia tidak menjawab.
"Kau harus menghindari padesan itu agak jauh."
Pandan Wangi mengangguk kosong, :Baikah," jawabnya,
"aku akan berangkat sekarang." Dan tanpa sesadarnya ia
bertanya, "Apakah kau akan pergi ke sana juga?"
Gupita menggelengkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia menjadi
ragu-ragu untuk menjawab. Meskipun demikian, ia berkata juga,
"Tidak." Tampaklah di wajahnya gadis itu menjadi kecewa. Sejenak in
berdiri mematung. Namun kemudian terdengar suaranya dalam,
"Kalau begitu, kita berpisah sampai di sini. Mudah-mudahan aku
selamat sampai kepasukanku."
Kini Gupita-lah yang menjadi ragu-ragu. Dengan dada yang
berdebar-debar ia melihat Pandan Wangi bergeser. Kemudian
memutar tubuhnya dan melangkah lambat meninggalkannya.
Tetapi beberapa langkah kemudian gadis itu berhenti sambil
berpaling. Gupita masih berdiri di tempatnya. Ketika mata gadis itu
membentur tatapan matanya yang tajam, maka dengan tergesagesa
Pandan Wangi melemparkan pandangannya jauh
menembus cerahnya sinar bulan purnama. Sedang debar
jantung di dadanya terasa menjadi semakin cepat menghentakhentak.
Sehingga untuk sesaat ia berdiri saja kebingungan.
Baru kemudian ketika getar diarus darahnya telah mereda, ia
meneruskan langkahnya dengan kaki gemetar.
Tetapi langkahnya kemudian tertegun. Ia mendengar suara
lunak memanggilnya. "Tunggu Pandan Wangi."
Sekali lagi Pandan Wangi berpaling. Dilihatnya Gupita
melangkah mendekatinya sambil berkata, "Marilah, aku antarkan
kau sampai ke pasukanmu."
Secercah kegembiraan meloncat ke wajah Pandan. Wangi.
Hampir saja ia berteriak kegirangan seperti anak-anak mendapat
mainan. Namun dengan sepenuh kesadarannya sebagai
seorang gadis, ditahankannya perasaannya. Bahkan kemudian
tumbuhlah kesenangan di dalam hatinya, bercampur baur
dengan harga diri dan rasa malu. Dalam kebingungan, maka
meloncatlah hiruk pikuk di dalam hatinya itu. Lewat bibirnya,
"Aku tidak perlu pengantar. Aku cukup mengenal daerah ini,
karena aku dilahirkan di tanah ini."
Gupita terkejut mendengar jawaban yang tidak terduga-duga
itu sehingga sejenak ia terbungkam. Sebagai seorang anak
muda yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan
kebimbangan, betapapun ia berusaha memulas dirinya menjadi
seorang gembala yang membiarkan perasaannya meloncatloncat,
namun ia tidak dapat melepaskan diri dari kediriannya.
Karena itu, maka wajahnya menjadi semburat merah oleh
hentakan yang tiba-tiba itu. Untunglah bahwa bayangan
wajahnya sendiri telah menyaput perasaannya yang terpancar di
wajah itu. Dengan susah payah Gupita mencoba menguasai dirinya
dicobanya menempatkan dirinya pada keadaannya kini. Seorang
gembala yang seolah-olah hidup bebas tanpa kekangan apapun.
Katanya, "Ha, jangan dikuasai oleh peraaan saja. Meskipun kau
seorang gadis, tetapi kau telah berada di medan perang. Karena
itu, maka kau harus mempergunakan perhitungan seorang
prajurit, bukan perasaan seorang gadis."
Kata-kata itu memang dapat menyentuh perasaan Pandan
Wangi. Tetapi ia tidak segera dapat melepaskan perasaannya.
Karena itu, maka dengan serta merta ia menjawab, "Itulah
sebabnya. Karena aku adalah seseorang yang telah
menerjunkan diri di dalam peperangan, maka aku tidak ingin
diperlakukan sebagai seorang gadis cengeng, yang hanya
berani pulang apabila diantar oleh seseorang yang dianggapnya
akan dapat melindunginya. Tetapi sepasang pedangku ini adalah
pelindungku yang sebaik-baiknya."
"Tetapi perhitungan itu tidak tepat. Perhitungan itu bukan
perhitungan seorang prajurit. Itu adalah perhitungan seorang
gadis yang mempunyai harga diri dan membawa sepasang
pedang di lambung. Tetapi perhitungan seorang prajurit adalah
lain. Seandainya kau bukan seorang gadis sekalipun, maka kau
memerlukan kawan dalam keadaan yang gawat serupa ini.
Bukan karena takut, tetapi setiap kemungkinan dapat terjadi.
Mungkin kau akan bertemu dengan sekelompok peronda, atau
bertemu dengan seorang yang memiliki kemampuan yang
melampaui kemampuanmu."
Gupita melihat Pandan Wangi akan memotongnya, tetap
segera ia berkata, "Nanti dulu, jangan memotong kata-kataku.
Maksudku, bukan karena kau tidak berkemampuan untuk
mempertahankan diri. Tetapi kita tidak boleh terlepas dari
kenyataan bahwa kita bukan seorang yang paling mumpuni di
atas bumi. Nah, dalam keadaan yang demikian itulah, kau
memerlukan seorang kawan. Mungkin untuk melawan bersamasama,
mungkin untuk kepentingan yang lain. Untuk menjadi
saksi pada setiap keadaan, sampai keadaan yang paling parah
sekalipun. Seorang kawan akan dapat memberitahukan kepada
orang lain, apakah yang sudah terjadi atas diri kita masingmasing."
Pandan Wangi terdiam sejenak. Ia dapat menangkap
kebenaran kata-kata Gupita. Tetapi sulitlah baginya untuk
melepaskan diri dari perasaannya sebagai seorang gadis yang
dengan sadar berdiri di atas kegadisannya yang berhadapan
dengan seorang anak muda yang belum terlampau dikenalnya di
tengah-tengah medan. Tetapi tiba-tiba terloncatlah perkataan dari mulutnya yang
gemetar, "Gupita. Itu adalah tanggapan seorang gembala yang
panik. Tetapi tidak bagi seorang prajurit. Aku akan melangkahi
setiap jarak di atas tanah ini dengan dada tengadah. Ini adalah
tanahku. Apapun yang akan terjadi atasku."
Dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Sekali lagi
melonjaklah kediriannya. Tiba-tiba saja Gupita dicengkam oleh
kepribadiannya sendiri, tanpa dapat mengelakkannya. Dengan
nada rendah ia berkata, "Baiklah Pandan Wangi. Aku memang
sekedar seorang gembala yang kecil. Maafkan aku. Kau adalah
seorang puteri Kepala Tanah Perdikan yang besar. Kau benar,
bahwa tanggapanku adalah tanggapan seorang gembala. Bukan
tanggapan seorang prajurit. Karena itu, sekali lagi aku minta
maaf kepadamu." Jawaban itu benar-benar tidak diduga-duga oleh Pandan
Wangi. Ia tidak menyangka, bahwa gembala yang lepas bebas,
yang setiap langkahnya diwarnai oleh kebebasan jiwanya,
seperti suara serulingnya yang lepas diudara yang jernih itu,
tiba-tiba merajuk seperti seorang gadis cengeng yang hatinya
tersinggung oleh kata-kata kekasihnya. Karena itu, justru
sejenak Pandan Wangi berdiri tegak seperti patung yang
membeku. Namun sejenak kemudian disadarinya, bahwa agaknya katakatanya
benar-benar telah menyinggung perasaan gembala itu.
Sehingga lambat sekali dipaksakannya mulutnya berkata,
"Maafkan aku Gupita. Aku tidak ingin menghinamu. Mungkin
kata-kataku terdorong oleh perasaanku yang melonjak-lonjak."
Gupita ternyata terperanjat mendengar permintaan maaf itu.
Segera disadarinya, bahwa hampir-hampir saja ia hanyut di
dalam kediriannya. Hampir-hampir ia lupa akan peranannya
dalam permainan itu. Karena itu, tiba-tiba ia tertawa, meskipun
betapa hambarnya, "Tidak Pandan Wangi. Aku sama sekali tidak
bermaksud demikian. Aku hanya sekedar bergurau. Sekarang
terserah kepadamu, apakah kau akan berkenan untuk menerima
aku sebagai kawan perjalananmu."
Sekali lagi Pandan Wangi terperanjat melihat perubahan
sikap itu. Ia benar-benar tidak mengerti, dengan siapa
sebenarnya ia berhadapan. Dalam keadaan yang serba
membingungkan itu, terdengar ia berkata sambil
menganggukkan kepalanya, "Baiklah. Marilah."
"Nah," berkata Gupita sambil tertawa pendek. Tiba-tiba saja
kakinya telah meloncat berlari sambil berkata, "Marilah."
Namun sebenarnya Gupita sedang menghentakkan segenap
kekuatannya untuk melawan perasaan sendiri. Hampir saja ia
mutung dan meninggalkan Pandan Wangi di tengah-tengah
sawah itu. Untunglah, bahwa segera ia menyadari dirinya,
bahwa bukan demikianlah peran yang harus dibawakannya.
Tetapi justru dalam keadaan yang terlampau sulit itulah, maka
sikapnya menjadi berlebih-lebihan. Usahanya untuk mengatasi
kekecilan hatinya, melonjak tanpa dapat dibatasinya.
Dengan lincahnya, Gupita melangkahkan kakinya. Kemudian
disambarnya tangan Pandan Wangi sambil berkata, "Marilah kita
berpacu." Pandan Wangi terkejut dalam keadaan yang khusus, ia sama
sekali tidak menyadari, bahwa Gupita telah menuntunnya berlarilari
dan bahkan telah mendorongnya sehingga ia terguling-guling
di atas tanah yang becek di tengah-tengah sawah ini. Namun
kini tiba-tiba nak muda itu menyambar tangannya dan
menariknya berlari. Hampir saja Pandan Wangi menolaknya,
tetapi ia mengurungkan niatnya. Teringatlah ia. bahwa ia masih
berada di tengah-tengah daerah berbahaya.
Maka sejenak kemudian, di dalam bayangan cahaya bulan
yang bulat, sepasang anak muda itu berlarlarian meloncati
pematang dan menyelusur parit seperti sepasang kijang yang
sedang berkejaran. "Kita harus segera sampai ke induk pasukanmu Pandan
Wangi," berkata Gupita, "mereka pasti sudah berkumpul di
tempat yang telah ditentukan. Pasukanmu pun pasti telah berada
di sana pula." Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi pegangan tangan
gembala itu serasa mengalirkan getaran-getaran yang tidak
dikenalnya. Itulah sebabnya, maka ia tidak segera menjawab.
Yang terasa olehnya adalah debar jantungnya yang semakin
cepat.

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, ketika perkembangan pertempuran pasukan
Pandan Wangi menjadi semakin nyata, bahwa mereka akan
menarik diri dari peperangan, maka di bawah Pucang Kembar,
Ki Tambak Wedi telah dicengkam oleh kegelisahan yang
semakin memuncak. Ternyata orang-orang yang diharapkan
untuk membantunya membunuh Argapati, masih juga belum
datang meskipun ia sudah memberikan tanda beberapa kali.
Sedang Argapati sendiri, meskipun dadanya telah terluka,
namun tandangnya masih saja seperti banteng ketaton.
"Apakah mereka mampus dicekik hantu?" geram Ki Tambak
Wedi di dalam hatinya. Meskipun ia yakin, bahwa tanpa bantuan seorang pun pada
kedua belah pihak, ia pasti akan memenangkan perkelahian itu,
kerena Argapati telah terluka, namun ia tidak dapat menduga,
berapa lama ia memerlukan waktu. Sedang kawan-kawannya
benar-benar telah terdesak. Yang masih dapat melawan ketiga
pengawal Menoreh sebaik-baiknya adalah seorang saja dari
antara keduanya, karena seorang yang terluka menjadi semakin
lama semakin bertambah lemah.
Dengan hati yang dipenuhi oleh kecemasan dan teka-teki,
sekali lagi dari mulut Ki Tambak Wedi terdengar suitan nyaring.
Namun suitan inipun menggeletar tanpa arti. Tidak sehelai daun
pun yang tergetar karenanya. Apalagi tubuh-tubuh yang
berloncatan dengan pedang di tangan.
"Suaramu benar-benar mirip tangis seekor kelinci," berkata
Argapati dalam nada yang berat, "atau makian hantu yang
kehilangan kubur." "Persetan," Ki Tambak Wedi menggeram. Tandangnya
menjadi semakin sengit. Senjata melingkar-lingkar di seputar
tubuh lawannya. Namun disadarinya, bahwa apabila keadaan berlangsung
demikian, maka kedua kawannya akan segera binasa, dan
ketiga orang pengawal dari Menoreh itu akan bersama-sama
dengan Argapati menyerangnya. Lemparan pisau salah seorang
daripadanya cukup berbahaya, sedang kedua orang yang lain
akan dapat mengganggunya, sementara Argapati
menghunjamkan tombaknya di dadanya.
"Setan alas," ia mengumpat di dalam hatinya. Namun orangorangnya
yang sudah dipersiapkan masih juga belum datang.
Dalam kegelapan hati, maka Ki Tambak Wedi pun semakin
memeras tenaganya. Tetapi ia tidak kehilangan akal, sehingga
perlawanannya justru menjadi semakin seru dan berbahaya.
Dalam keadaan yang demikian itulah, maka telah terjadi
sesuatu yang menggetarkan dada setiap orang yang berada di
bawah Pucang Kembar. Tiba-tiba dari dalam kegelapan
bayangan dedaunan muncullah sesosok tubuh yang tertatihtatih.
Bukan sesosok tubuh yang tegap meloncat dengan senjata
di genggaman. Yang paling terkejut di antara mereka adalah Ki Tambak
Wedi. Orang yang ternyata terluka itu berusaha untuk
mendekatinya. Perlahan-lahan dari mulutnya terdengar sebuah
desis yaug lambat. Tetapi tidak seorang pun dapat mengerti apa
yang dikatakan. "He, kenapa kau?" teriak Ki Tambak Wedi.
Orang itu memang ingin menjawab. Namun sejenak
kemudian jatuh tersungkur. Yang terdengar hanyalah sebuah
keluhan pendek. Seterusnya diam.
"Siapakah orang itu Paguhan?" terdengar suara Argapati
berat. "Persetan dengan orang itu," jawabnya. Namun terasa nada
kecemasan mewarnai kata-katanya.
Sebenarnyalah, bahwa Paguhan yang bergelar Ki Tambak
Wedi itu telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Orang
itu adalah salah seorang dari pasukan kecilnya yang harus
datang pada saat ia bersuit memanggilnya. Orang-orang itulah
yang harus membantunya, membunuh Argapati. Tetapi ternyata
yang datang di antara mereka hanya seorang. Itupun hanya
sekedar menyatakan dirinya, bahwa ia telah terluka parah.
Berbagai pertanyaan telah menggelepar di dalam dada Ki
Tambak Wedi. Yang terjadi itu benar-benar di luar dugaannya.
Pasukannya adalah sepasukan kecil yang cukup kuat. Untuk
melawan seorang yang mumpuni seperti Ki Argapati. Namun
agaknya pasukan kecil itu telah menjadi terpecah belah. Bahkan
mungkin orang yang datang itu adalah satu-satunya orang yang
sempat keluar dari suatu keadaan yang tidak dapat
dibayangkannya. "Apakah yang telah terjadi dengan mereka?" pertanyaan itu
telah mengejarnya di setiap langkahnya.
Sementara itu, kedua kawannya menjadi semakin terdesak.
Mereka bergeser semakin jauh. Meskipun kedua orang itu
adalah orang-orang terpilih, namun menghadapi tiga orang
pengawal terpilih pula, mereka terdesak tanpa dapat dapat
berbuat terlalu banyak. Apalagi yang seorang daripadanya telah
terluka. "Apakah ada seseorang yang dengan rahasia telah
membantu Argapati?" pertanyaan itupun telah mengganggunya
pula. Maka sejenak sambil bertempur, Ki Tambak Wedi membuat
pertimbangan-pertimbangan. Kalau ia terlampau lama berkelahi
melawan Argapati, maka kemungkinan yang paling buruk dapat
terjadi atasnya. Mungkin memang seseorang telah berusaha
membantu Argapati dengan rahasia. Apabila orang itu berhasil
membinasakan pasukan kecilnya, kemudian membantu Argapati
pula dalam perang tanding ini, keadaannya akan sangat
berbahaya. Seandainya bukan seseorang, tetapi juga sepasukan
pengawal Menoreh yang kuat, itupun akan berakibat serupa
baginya. "Pekerjaanku belum selesai," ia bergumam di dalam dirinya,
"aku masih harus berbuat terlampau banyak untuk kepentingan
Sidanti. Selagi Sidanti belum mapan benar, aku tidak akan dapat
melepaskannya seorang diri. Apalagi aku masih belum percaya
sepenuhnya kepada Argajaya. Mungkin ia akan mempergunakan
setiap kesempatan untuk kepentingan sendiri."
Namun dalam pada itu, nafsunya untuk membunuh Argapati
semakin berkobar di dalam dadanya. Tetapi adalah suatu
kenyataan, bahwa ia telah kehilangan kesempatan yang sudah
dipersiapkan. "Satu-satunya cara adalah, membuat Argapati semakin
memeras tenaganya, supaya darahnya menjadi semakin banyak
mengalir. Ia tidak akan dapat bertahan sampai bulan bulat itu
tenggelam di balik bukit. Sebelum fajar, ia pasti sudah kehabisan
tenaga, dan jatuh tersungkur di bawah ujung kakiku.
(***) Buku 38 TETAPI Ki Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan
kenyataan yang terjadi. Kedua kawannya menjadi semakin
terdesak dan teka-teki yang meliputi benaknya tentang pasukan
kecilnya yang seolah-olah hilang dihembus angin prahara.
Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu. Kalau ia memaksa diri
untuk menundukkan Argapati yang telah terluka itu, maka
apakah yang terjadi bukan sebaliknya"
Yang mengejarnya kini adalah pertanyaan tentang pasukan
kecilnya. Bahkan kemudian ia mengambil kesimpulan, "Pasti ada
seseorang yang dengan rahasia membantu Argapati. Mungkin
seorang atau dua orang, tetapi mungkin sepasukan. Kalau
mereka kemudian datang mengepung aku, maka keadaan akan
menjadi sulit. Apalagi kalau mereka berhasil menangkap aku,
maka kemenangan yang didapat Sidanti akan buyar tanpa arti."
Akhirnya, Ki Tambak Wedi terpaksa mengambil keputusan
yang betapapun sakitnya. Ia terpaksa melepaskan tekadnya
yang bulat untuk membunuh Argapati. Meskipun dendam yang
terungkat kembali sejak beberapa puluh tahun yang lampau
masih tetap menyala di dalam hatinya, tetapi ia tidak boleh
kehilangan akal. Ia tidak boleh terjerumus dalam kesulitan
didorong oleh perasaannya. Bagaimanapun juga, ia harus tetap
sadar dan mempergunakan nalarnya.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu pun mengambil suatu
keputusan yang tidak diduga-duga sebelumnya. "Melarikan diri."
Betapapun liciknya orang itu, ketika tiba-tiba saja ia melompat
mundur. Seleret sinar yang hitam mengkilat meluncur ke dada
Argapati. Untunglah, bahwa meskipun Argapati telah terluka,
tetapi ia masih memiliki kelincahan bergerak, sehingga ia masih
mampu menggerakkan tombaknya, menghantam sinar yang
terbang seperti petir di udara.
Terdengar suara berdentum, disusul oleh gemerincingnya
sebuah gelang-gelang yang jatuh di atas batu-batu cadas.
Namun Ki Tambak Wedi mampu memanfaatkan saat yang
pendek itu. Selagi perhatian Argapati terpusat kepada gelanggelangnya
yang terbang menyambar dada, maka saat itu
dipergunakannya sebaik-baiknya. Dengan cepatnya, hampir
secepat gelang-gelangnya ia melompat dan berlari
meninggalkan gelanggang. Kedua kawan-kawannya terkejut melihat Ki Tambak Wedi
tiba-tiba saja meninggalkan gelanggang. Sejenak mereka
kehilangan akal, dan karena itulah, maka perlawanan mereka
menjadi semakin lemah. Sebelum mereka menyadari apa yang
terjadi, maka sebuah sengatan yang nyeri telah menggetarkan
jantungnya. Sesaat mereka menyadari, bahwa hampir
bersamaan mereka telah terluka.
Tetapi mereka tidak kuasa lagi untuk melawan. Para
pengawal dari Menoreh itu dapat mempergunakan keadaan
sebaik-baiknya. Yang terjadi kemudian adalah terlampau
mengerikan. Kedua orang itu hampir bersamaan pula memekik
tinggi, ketika dada mereka sekali lagi disobek oleh ujung senjata
lawan. Dan hampir bersamaan pula mereka terhuyung-huyung,
dan selanjutnya jatuh tersungkur di tanah.
Argapati masih berdiri di sisi sepasang Pucang Kembar
sambil menggenggam tombaknya. Debar di dadanya masih
menghentak-hentak, serasa akan meledakkan jantung.
Kemarahan, kebencian, dan dendam menyala-nyala di hatinya.
Tetapi ia tidak berdaya untuk melepaskan, karena Ki Tambak
Wedi telah hilang dari pandangan matanya menyusup ke dalam
rimbunnya dedaunan. Dorongan perasaannya ingin
membawanya untuk mengejar orang tua yang telah terlampau
banyak menyakitkan hatinya itu. Bukan baru kemarin atau
kemarin dulu, bukan baru sepekan dua pekan, tetapi senjak
berpuluh tahun yang lampau, sepanjang umur Sidanti itu sendiri.
Tetapi pengalaman dan kematangan telah mengekangnya. Ia
menyadari bahaya yang tersembunyi di balik rerungkudan itu.
Gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur terlampau cepat
mengarah ke sasarannya. Bahaya itu tidak boleh diabaikan,
sehingga betapapun nafsunya melonjak-lonjak, tetapi ia tidak
mengejar setan tua yang licik itu.
Ketika ia melihat dua orang temannya Ki Tambak Wedi
tersungkur di tanah, hatinya berdesir. Demikian liciknya orang
itu, sehingga kawannya sendiri pun telah dikorbankannya.
Ia sadar, ketika melihat Kerti dan kedua kawannya
mendekatinya. Dengan nada rendah Kerti bertanya, "Ki Gede
terluka?" Baru pada saat itulah, seolah-olah pembuluh darah Ki
Argapati dijalari oleh perasaan pedih dan nyeri dari dadanya.
Selama ia berkelahi, ia sama sekali tidak merasa, betapa
pedihnya luka di dadanya itu. Namun ketika lawannya telah
hilang, maka perasaan sakit itu tiba-tiba saja tumbuh dan
mencekamnya. Perlahan-lahan Ki Argapati mengangguk, "Ya, aku terluka."
Kerti melihat darah meleleh dari luka di dada itu mewarnai
baju, ikat pinggang kulit, dan kain panjangnya.
"Luka itu cukup parah, Ki Gede," desis salah seorang kawan
Kerti. Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Kelelahan dan darah yang
mengalir membuatnya menjadi terlampau lemah. Tiba-tiba saja
ia terhuyung-huyung dan terpaksa berpegangan pada tangkai
tombaknya. "Ki Gede," Kerti terkejut
"Aku memerlukan pertolonganmu, Kerti," desis Ki Gede.
Dengan tergesa-gesa Kerti menghampirinya. Tangan Ki Gede
yang gemetar segera melingkar di leher Kerti sambil bergumam
lirih, "Aku terlampau bernafsu melawan Tambak Wedi, sehingga
aku (melupakan luka di dada ini. Apakah kau) mempunyai
sesuatu yang dapat menahan arus darahku ini?"
"Ya, ya Ki Gede. Aku selalu membawanya di dalam
peperangan," sahut Kerti.
Ki Gede Menoreh itu segera dipapahnya menepi, dan
didudukkannya di atas rerumputan. Dari kantong ikat pinggang
kulitnya, Kerti mengambil seberkas reramuan kering yang
kemudian dikunyahnya. Dengan obat itulah ia mencoba
menahan arus darah dari luka Ki Gede Menoreh.
Tetapi luka itu cukup parah dan darah yang mengalir agak
deras sehingga obat itu tidak terlampau banyak dapat
menolongnya. Karena itu, maka dada Kerti pun menjadi
berdebar. Darah masih saja mengalir, dan Ki Argapati menjadi
semakin lemah karenanya. Ki Argapati sendiri pun menyadari keadaannya. Karena itu,
maka ia berusaha untuk tidak bergerak-gerak lagi, supaya
darahnya tidak semakin banyak mengalir dari lukanya.
Perlahan-lahan terdengar Argapati berdesis, "Bagaimana
Kerti, apakah obatmu dapat berpengaruh atas aliran darah luka
itu?" Kerti menjadi agak ragu-ragu menentramkan hati Argapati, ia
menjawab, "Ya, Ki Gede. Agaknya obat itu akan dapat menolong
sekedarnya." Tetapi Ki Gede tidak dapat dihiburnya dengan cara itu.
Terdengar suara tertawanya perlahan sekali. Katanya, "Agaknya
obatmu kurang baik, Kerti. Tetapi itu bukan salahmu. Kau sudah
berusaha. Kalau usaha itu tidak berhasil, maka kita sudah tidak
dapat dipersalahkan lagi."
"Tetapi obat itu berpengaruh juga, Ki Gede."
"Sedikit sekali. Tetapi baiklah. Cobalah obatmu itu terus."
Kerti pun mengunyah obat-obat itu semakin banyak. Semua
persedian yang ada padanya. Kemudian diusapkannya pada
luka Ki Argapati. Namun meskipun demikian, darah Ki Argapati masih saja
mengalir dari lukanya. Pengaruh obat itu ternyata hanya kecil
sekali. Sehingga dengan demikian, Kerti dan kedua kawannya
pun menjadi cemas. "Sebaiknya Ki Gede segera kembali."
Argapati yang lemah itu menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan sekali ia bertanya, "Kemana aku harus kembali,
Kerti?"

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kerti terdiam sejenak. Ia telah mendengar pula tanda-tanda
yang kurang menyenangkan, dan mereka yang berada di bawah
Pucang Kembar itu tidak tahu, apakah yang sebenarnya terjadi
di padukuhan induk Menoreh.
"Mungkin aku sudah tidak akan dapat melihat rumah itu lagi,"
desis Argapati. "Tidak, Ki Gede. Kita akan kembali pada suatu saat,
seandainya kali ini kita tidak dapat bertahan. Tetapi kita sudah
menentukan tempat yang baik bagi pasukan kita, apabila kita
terpaksa mengundurkan diri. Bukankah pesan Ki Gede berbunyi
demikian, meskipun saat itu kita sama sekali tidak pernah
membayangkan, bahwa kita akan mengalami bencana ini?"
Ki Gede tidak menjawab. Diangkatnya wajahnya yang pucat.
Ditatapnya daun pucang yang bergerak-gerak ditiup angin.
"Pohon ini sudah jauh berubah," desisnya di dalam hati, "kini
daunnya sudah semakin jarang, dan batangnya pun pasti akan
segera rapuh. Beberapa puluh tahun yang lampau, sepasang
pucang itu tampak tegak perkasa, seolah-olah tidak akan pernah
mengalami harhari tuanya dan yang kemudian akan lenyap
untuk seterusnya. Sekali lagi Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam.
Sekilas dikenangkannya masa-masa mudanya. Dengan penuh
dendam ia berperang tanding di bawah pucang itu. Tetapi ia
masih muda. Kini ia menjadi semakin tua, seperti sepasang
batang pucang itu pula. Ki Gede itu berpaling, ketika ia mendengar Kerti berkata,
"Marilah, Ki Gede. Kita berusaha untuk menemukan pasukan
Menoreh di manapun berada. Kita akan melihat, apakah mereka
masih berada di padukuhan induk atau tidak, dan kita akan
mencari di mana mereka mengundurkan diri seandainya mereka
terpaksa terdesak." "Tanda-tanda yang aku dengar agaknya tidak
menyenangkan." Kerti menganggukkan kepalanya. Ia pun sadar akan hal itu.
Tetapi ia berkata, "Kita masih harus meyakinkan. Mungkin
pasukan Menoreh terdesak, tetapi kemungkinan untuk
menemukan keseimbangannya kembali dapat saja terjadi."
Argapati mengangguk. Tetapi ia berkata, "Aku sudah lemah
sekali. Kalau darah ini tidak segera dapat dihentikan, maka aku
akan kehabisan. Kau tahu, akibat dari seseorang yang
kehabisan darah." "Ya, Ki Gede. Tetapi kita juga tidak dapat tinggal di sini terusmenerus
tanpa berbuat sesuatu."
"Terserah kepadamu, Kerti."
Kerti mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua
kawannya bergantganti. Ia menyadari, bahwa membawa Ki
Gede itu sama sekali bukan tugas yang ringan. Sepanjang jalan
mungkin akan ditemuinya orang-orang Sidanti, atau bahkan Ki
Tambak Wedi. Apalagi mereka bertemu dengan Ki Tambak
Wedi, sedang Ki Gede berada dalam keadaan demikian, maka
yang akan terjadi sudah dapat dibayangkannya.
"Tetapi kita harus berusaha," namun kata-kata itu tidak
terucap. Kedua kawannya agaknya dapat mengerti perasaan yang
berada di dalam dada Kerti. Salah seorang dari mereka berkata,
"Marilah. Kita harus segera secepatnya."
Serentak mereka bergeser maju. Mereka akan mengangkat Ki
Gede dan membawanya mencari pasukan Menoreh. Tetapi
salah seorang dari mereka bertiga harus bebas, sehingga
apabila datang bahaya setiap saat, maka seorang yang bebas
itu akan dapat berbuat lebih dahulu untuk melindungi kawankawannya
yang lain, dan terutama Ki Gede yang sedang terluka
itu. "Biarlah kami berdua yang mengangkatnya," berkata salah
seorang dari mereka kepada Kerti. "Kau berjalan di depan. Kau
harus berusaha melindungi kami."
Kerti mengangguk. "Baiklah," jawabnya.
Tetapi sebelum mereka menyentuh Ki Gede Menoreh, yang
menjadi semakin lemah itu, tiba-tiba seperti disengat lebah
mereka serentak meloncat berdiri. Senjata-senjata mereka
segera siap di tangan untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Dalam cahaya bulan yang kekuning-kungingan, mereka
melihat sesosok tubuh di dalam bayangan dedaunan.
Selangkah-selangkah ia maju, semakin lama semakin nyata.
Kerti dan kedua kawannya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba
saja mereka merenggang. Setapak, Kerti melangkah maju. Dari
mulutnya terdengar pertanyaan, "Siapa kau?"
Orang yang baru datang itu tertegun. Tetapi tidak segera
terdengar jawaban dari mulutnya.
Wajah Kerti dan kedua kawan-kawannya menjadi semakin
tegang. Mereka berdiri tegak, membelakangi Ki Argapati yang
menjadi semakin lemah dan berbaring di atas rerumputan.
Dengan senjata di tangan masing-masing, mereka siap
menghadapi setiap kemungkinan.
Setapak lagi Kerti melangkah maju sambil kertanya, "Siapa
kau?" Orang itu pun maju selangkah pula. Tetapi Kerti masih belum
dapat memandang wajah orang itu dengan jelas dalam
keremangan cahaya bulan yang semakin rendah di ujung Barat.
"Siapa kau, dan apa maksudmu?" pertanyaan Kerti menjadi
semakin keras. "Namaku Gupala," jawab orang itu.
Kerti dan kedua kawannya mengerutkan kening mereka.
Mereka belum pernah mendengar nama itu. Karena itu, ingatan
mereka segera hinggap kepada orang-orang liar yang telah
membantu Ki Tambak Wedi berkelahi melawan Ki Argapati.
Apakah ia termasuk salah seorang dari mereka, atau justru
orang yang khusus mendapat tugas dari Ki Tambak Wedi"
Pertanyaan itu telah mengetuk dada ketiga orang itu.
"Apakah maksudmu, kau belum menjawab?" desak Kerti.
Orang itu menghela nafas. Setapak ia maju. Kerti dan kawankawannya
menjadi semakin bersiaga. Tetapi ternyata orang
yang datang itu sama sekali tidak membawa senjata.
Seandainya ia kehilangan pedangnya, maka pasti masih
membawa wrangkanya di lambungnya. Tetapi orang itu sama
sekali tidak berkesan, bahwa ia bersenjata.
"Maafkan," berkata orang itu, "aku membawa sesuatu untuk
Ki Gede Menoreh" Dada Kerti dan kedua kawannya berdesir. Bahkan jawaban
yang didengar pula oleh Ki Gede Menoreh yang terluka, telah
sangat menarik perhatiannya.
"Obat. Obat untuk mengobati lukanya."
"Apakah yang kau bawa?" bertanya Kerti.
Jawaban itu telah membuat mereka yang mendengarnya
terkejut. Orang itu sama sekali belum dikenalnya. Dalam
keadaan itu, tiba-tiba ia datang menawarkan obat untuk
menyembuhkan luka-luka di dada Ki Argapati.
Itulah sebabnya, maka kecurigaan Kerti menjadi semakin
meningkat. Tiba-tiba saja ia tidak mau memperpanjang waktu
lagi, karena ia tahu, bahwa luka Ki Gede benar-benar harus
segera mendapat perawatan. Maka katanya, "Sebutkan orang
yang menyuruhmu datang dengan membawa racun itu. Jangan
kau sangka, bahwa kami terlampau bodoh untuk menyerahkan
nyawa kami kepada orang-orang yang tidak kami kenal.
"Oh," jawab orang itu, "sama sekali bukan. Bukan racun.
Tetapi aku membawa obat dari ayahku. Ayahku tahu benar,
bawah Ki Gede sedang terluka. Itulah sebabnya, aku harus
datang untuk menyerahkan obat itu kemari."
"Siapakah ayahmu," bertanya Kerti.
"Kiai Garit." Sekali lagi Kerti dan kawan-kawannya mengerutkan
keningnya. Nama itu pun sama sekali belum pernah mereka
dengar. Sehingga karena itu, maka Kerti berkata, "Jangan
terlampau banyak bicara. Waktuku terlampau sedikit. Sekarang
aku terpaksa membawanya untuk sementara. Kalau ternyata kau
benar-benar tidak bersalah aku akan melepaskanmu."
"Apakah maksudmu," bertanya orang itu.
"Kau terlampau mencurigakan. Karena itu, kau harus ikut
kami. Jangan melawan, supaya kami tidak berbuat terlampau
kasar." Kerti pun kemudian berpaling kepada kawan-kawannya,
"Marilah kita bawa Ki Gede ke induk pasukan. Biarlah orang ini
aku bawa pula bersama kita."
"Tunggu," potong orang itu, "apa pun yang akan kalian
lakukan atasku, terserahlah. Tetapi aku minta obat ini dapat
kalian taburkan di atas luka itu, supaya Ki Gede tidak kehabisan
darah." "Omong kosong. Kau akan membunuh dengan cara yang
sangat licik." "Jangan salah mengerti. Aku tidak mempunyai kepentingan
apa pun untuk membunuhnya."
"Jangan banyak bicara. Ayo, berjalanlah di depan."
Orang itu hampir tidak mendapat kesempatan untuk
menjawab, karena Kerti melangkah semakin dekat sambil
mengacungkan senjatanya. Namun tiba-tiba langkahnya
tertegun, ketika ia mendengar Ki Gede memanggilnya perlahanlahan,
"Bawalah orang itu kemari."
Kerti ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian katanya, "Baiklah,
Ki Gede." Lalu kepada orang yang menyebut dirinya bernama
Gupala itu, "Mendekatlah. Tetapi jangan membuat aku
kehilangan kesabaran dan menghunjamkan pedang ini di
punggungmu." Perlahan-lahan Gupala maju mendekati Ki Gede yang sedang
terbaring. Beberapa langkah daripadanya, Kerti berdesis,
"Berdirilah di sini."
Orang itu pun berhenti dan kemudian duduk di atas tanah.
"Kami belum pernah mengenalmu, Ki Sanak," berkata
Argapagi lirih. "Apakah kau dapat membuktikan, bahwa kau
benar-benar bermaksud baik?"
Gupala menjadi bingung. Jawabnya berterus terang, "Tidak,
Ki Gede. Aku tidak dapat membuktikan dengan cara apa pun,
kecuali apabila Ki Gede bersedia mencoba menaburkan obat ini.
Akan tampak kemudian dengan cepat, bahwa darah itu akan
segera berhenti" "Dan membeku," potong Kerti. Dengan tegangnya ia berkata,
"Jangan main-main dengan cara yang licik." Kemudian kepada
Ki Gede ia berkata, "Marilah, Ki Gede, kita segera berjalan. Kita
akan kehabisan waktu. Mungkin mereka memperpanjang waktu
termasuk cara yang mereka perhitungkan pula. Karena itu,
jangan hiraukan lagi orang ini."
Ki Gede tidak segera menjawab. Dicoba untuk
memperhatikan wajah orang itu. Tetapi ia memang belum
pernah mengenalnya. "Maafkan, Ki Sanak," desis Argapati, "dalam keadaan serupa
ini, aku wajib mencurigai setiap orang yang belum aku kenal.
Juga kau. Apa pun dapat terjadi atasku dalam keadaan ini."
"Tetapi luka itu segera memerlukan pertolongan sementara,"
jawab Gupala. "Pertolongan itu akan kami usahakan. Tetapi dengan cara
yang meyakinkan," potong Kerti.
Gupala terdiam sejenak. Agaknya ia sudah tidak mungkin lagi
meyakinkan, bahwa obat yang dibawanya adalah obat yang
baik, benar-benar obat yang dapat memampatkan arus darah
dari luka. Kecuali dari penolakan itu, maka Gupala pun menjadi
bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan. Kerti telah mencoba
menahannya dan akan membawanya serta.
Dalam kebingungan itu, ia mendengar Kerti berkata, "Ayolah,
kita sudah tidak mempunyai waktu lagi. Ikutlah kami dan jangan
mencoba berbuat sesuatu yang akan membahayakan dirimu
sendiri." "Tetapi, tetapi," sahut Gupala terputus-putus, "aku bermaksud
baik, ayahku pun bermaksud baik."
"Jangan banyak bicara lagi," potong kawan Kerti.
Gupala menjadi ragu-ragu. Apakah sebaiknya yang
dilakukannya" Dalam pada itu ia melihat kedua kawan Kerti
berjongkok di samping Ki Gede Menoreh, siap untuk
mengangkatnya. Sedang Kerti sendiri berdiri di sampingnya
dengan penuh kewaspadaan.
Namun tiba-tiba, Ki Gede yang sudah lemah itu terperanjat.
Bukan saja Ki Gede, tetapi semua orang yang berada di bawah
Pucang Kembar itu. Dalam keheningan malam, di sela-sela
desah angin yang lembut, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan
memekakkan telinga. Ledakan cambuk yang dahsyat sekali,
seperti ledakan petir yang bersabung di langit.
Sejenak orang-orang yang berada di bawah Pucang Kembar
itu terbungkam. Tidak seorang pun yang tahu, apakah yang
sedang mereka hadapi. Namun perlahan-lahan Ki Gede menari
nafas dalam-dalam. Kepalanya yang lemah perlahan-lahan
terangguk kecil. Ketika sekali lagi terdengar ledakan cambuk yang dahsyat itu,
maka seakan-akan Ki Gede menemukan suatu keyakinan
tentang sesuatu. Perlahan-lahan terdengar ia berguman, "He, Ki
Sanak, apakah kau kenal siapakah yang meledakkan
cambuknya seperti ledakan petir di udara itu?"
Gupala ragu sejenak. Namun akhirnya ia menjawab, "Ya, Ki
Gede. Aku mengenalnya. Ia-lah ayahku, yang aku katakan
menyuruhku menyerahkan obat ini kepada Ki Gede."
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "apakah benar kau anaknya?"
"Ya, Ki Gede" Dalam keremangan cahaya bulan tampak wajah Ki Gede
yang pucat itu tersenyum. Ditatapnya wajah Gupala yang bulat
tubuhnya yang gemuk dan kakkakinya yang kokoh.
"Apakah kau satu-satunya anak orang yang meledakkan
cambuk itu?" Sekali lagi Gupala menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia
menjawab sambil menggeleng, "Tidak, Ki Gede. Aku adalah
anaknya yang muda." "Berapa anaknya?"
"Dua," Ki Gede Menoreh diam sejenak. Terasa lukanya menjadi
semakin pedih dan tubuhnya menjadi semakin lemah. Kini ia pun
menjadi ragu-ragu. Suara campuk itu suatu isyarat yang penah
dikenalnya beberapa puluh tahun yang lampau, ketika ia masih
menjadi seorang prajurit.
Setelah mereka berpisah, maka jarang-jarang sekali mereka
saling bertemu, dan bahkan hampir tidak pernah sama sekali.
Kabar tentang kawannya, manusia bercambuk itu pun semakin
Kemelut Di Majapahit 8 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Pencuri Petir 5

Cari Blog Ini