Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 22

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 22


melayaninya berkelahi dengan tujuan apa pun."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Kata-kata Samekta itu
telah menyentuh hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa dihadapkan
ke muka cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Dan tiba-tiba ia
merasa bahwa perkelahian itu sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan sikapnya sebagai pengawal tanah perdikan
yang berhadapan dengan seorang tawanan. Tetapi sikapnya
adalah sikap seorang laklaki muda yang sedang dibakar oleh
perasaan cemburu. Sejenak Wrahasta tidak menjawab. Ia mencoba menemukan
keseimbangan dalam dirinya. Namun ternyata harga dirinya
sebagai seorang laklaki, apalagi laklaki muda yang dialasi
oleh perasaan cemburu, sama sekali tidak dapat
dikendalikannya. Karena itu, maka Wrahasta itu menjawab, "Tidak. Aku tidak
ingin dibayangi oleh gambaran-gambaran yang tidak benar.
Seolah-olah tidak ada laklaki di atas tanah perdikan ini,
sehingga untuk menyelamatkan Pandan Wangi diperlukan orang
lain yang sama sekali tidak dikenal. Apalagi bayangan orangorang
bercambuk yang setiap saat ikut serta dalam pasukan
berkuda itu agaknya telah membuat gambaran yang suram dari
kepercayaan atas diri sendiri di atas tanah ini. Apakah kita
terlampau menggantungkan diri kepada orang lain yang tidak
kita kenal, sehingga kita harus mengorbankan harga diri kita"
Tidak. Marilah kita lihat, apakah manfaatnya kita mengagumi
orang-orang bercambuk."
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Didekatinya Wrahasta
yang berdiri tegang. "Sebaiknya kau tenangkan dirimu."
"Aku tidak sedang kehilangan akal," jawabnya lantang. "Aku
masih tetap menyadari apa yang aku lakukan. Karena itu, jangan
ganggu aku." Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia
berpaling, memandangi wajah Kerti yang kecemasan. Tetapi ia
tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak akan dapat mencegah
Wrahasta dengan perintah sebagai pimpinan tertinggi pasukan
Menoreh di hadapan sekian banyak pengawal dan bahkan
seorang yang datang dari luar lingkungan mereka. Perintah yang
demikian pasti akan menyiggung perasaan Wrahasta. Mungkin
ia akan mematuhi perintah itu sebagai seorang bawahan, tetapi
ia pasti akan menyimpan sesuatu yang dapat meledak setiap
saat, justru Tanah ini sedang dalam bahaya. Tetapi apabila
Wrahasta tidak mau mendengar perintahnya, maka ia pasti akan
tersinggung pula. Dan mungkin ia sendiri akan melakukan
tindakan-tindakan yang dapat lebih mempertajam persoalan ini.
Karena itu, maka Samekta tidak dapat melarang Wrahasta
melakukan rencana. Namun ia berpesan, "Ingat Wrahasta. Di
atas kita masih ada Ki Argapati. Mungkin ia mempunyai sikap
sendiri." "Aku menunggu setiap perintahnya," desis Wrahasta. "Tetapi
sebelum ada perintah dari Ki Argapati, aku akan berbuat
menurut kebijaksanaanku."
Gupita masih saja berdiri mematung. Namun dadanya
menjadi berdebar-debar. Apalagi setelah Wrahasta memegang
sehelai cambuk yang mirip dengan cambuknya sendiri. Berjuntai
panjang dan bertangkai pendek.
"Cepat, uraikan cambukmu itu," berkata Wrahasta lantang.
Gupita masih tetap termangu-mangu. Diedarkannya
pandangan matanya ke sekitamya. Yang dilihatnya adalah sorotsorot
mata yang tegang dari para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. Sementara itu, Kerti dan Samekta berdiri dengan
penuh kebimbangan. Mereka sekalsekali berpaling ke arah
regol halaman, sambil mengharap kehadiran Pandan Wangi
yang akan bertindak atas nama ayahnya untuk mencegah
perkelahian yang tidak akan banyak berarti apa-apa dari segi
pengamanan Tanah Perdikan Menoreh, bahkan mungkin
sebaliknya. "Cepat!" Wrahasta berteriak. "Kalau kau tidak berusaha untuk
membela diri, jangan menyalahkan aku, kalau kulitmu akan
terkelupas." Gupita mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata,
"Bukan maksudku untuk berkelahi di sini. Aku datang untuk
menyampaikan obat kepada Ki Argapati. Tetapi aku disudutkan
kepada suatu keharusan untuk berkelahi. Meskipun demikian,
aku ingin berpesan kepada kalian yang melingkari arena ini.
Seandainya aku tidak dapat lagi menyampaikan obat itu, aku
minta tolong kepada kalian yang bersedia, semata-mata untuk
kepentingan tanah perdikan kalian, agar obat itu, sampai kepada
Ki Argapati. Apakah kemudian akan dipergunakan atau akan
dibuangnya, itu terserah kepada Ki Gede sendiri." Gupita
berhenti sejenak, kemudian ditatapnya wajah anak muda yang
bertubuh raksasa, jauh lebih besar dari tubuhnya sendiri.
Kemudian perlahan-lahan ia mengurai cambuknya setelah
meletakkan bajunya di tepi arena sambil berkata dalam nada
yang datar, "Marilah, aku sudah bersedia."
Wajah Wrahasta yang merah menjadi semakin merah.
Meskipun demikian terpercik secercah keheranan di dalam
hatinya. Meskipun Gupita itu berada di dalam lingkaran para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun wajahnya sama
sekali tidak membayangkan ketakutan dan kecemasan. Yang
dilihatnya pada wajah itu hanyalah sekedar keragu-raguan.
Justru karena itu maka Wrahasta yang bertubuh raksasa itu
menjadi berdebar-debar. Namun demikian, Wrahasta terlampau
percaya kepada dirinya, kepada kekuatan raksasanya. Sedang
anak muda yang berdiri di hadapannya adalah anak muda yang
terlampau biasa. Tingginya tidak lebih dari pundaknya.
"Bagus," geram Wrahasta kemudian. "Kau memang seorang
anak muda yang berani. Tetapi kau harus menyesal, bahwa kau
telah terperosok ke dalam lingkaran para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh." "Aku sama sekali tidak terperosok ke dalam lingkungan pering
ori ini," sahut Gupita. "Aku sengaja masuk ke dalamnnya."
"Persetan!" potong Wrahasta yang perlahan-lahan melangkah
mendekat. Cambuknya telah mulai berputar, dan sejenak
kemudian cambuk itu pun meledak memekakkan telinga.
Tetapi ternyata bahwa suara cambuk itu adalah ledakan yang
wajar dari hentakan juntainya yang panjang. Sama sekali tidak
menumbuhkan getar apa pun di dalam dada orang-orang yang
berkerumun itu, kecuali sentuhan langsung pada selaput telinga
mereka. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Dari ledakan suara
cambuk itu ia dapat menduga, bahwa sebenamya Wrahasta
hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya saja. Tetapi agaknya
anak muda itu tidak berlatih untuk membangkitkan tenaga
cadangan yang memang telah tersedia di dalam dirinya. Apabila
ia berhasil memecahkan teka-teki tentang kekuatan cadangan
yang memang kurang dikenal oleh hampir setiap pribadi yang
tidak mesu diri dalam olah kanuragan, maka Wrahasta akan
mampu menumbangkan gunung anakan.
Meskipun demikian Gupita tidak kehilangan kewaspadaan.
Mungkin Wrahasta belum benar-benar mulai. Mungkin ia pun
sedang berusaha untuk menilai lawannya pula. Karena itu, maka
Gupita pun tetap bersiaga untuk menghadapi segala
kemungkinan. Namun dalam pada itu, para pengawal yang memutari arena
itu menjadi kian berdebar-debar. Mereka melihat wajah
Wrahasta yang merah tegang. Agaknya pemimpin pengawal
yang bertubuh raksasa itu akan ber-sungguh-sungguh. Para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh pada umumnya telah
mengenal, betapa anak muda itu memiliki kekuatan yang
seimbang dengan bentuk tubuhnya. Sehingga dengan demikian,
maka apabila ujung cambuknya mengenai lawannya, maka
kulitnya pasti akan terkelupas.
Sesaat kemudian cambuk Wrahasta itu pun telah meledak
lagi. Sekali lagi dan sekali lagi. Ia semakin maju mendekati
Gupita yang masih berdiri tegak di tempatnya.
Sejenak Gupita mencoba memandang wajah Kerti dari
Samekta bergantganti. Terbayang di wajah orang tua-tua itu
kecemasan yang mencengkam jantung mereka.
Tanpa sesadarnya Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia
merasa terdorong ke dalam suatu kesulitan. Apakah ia harus
melawan bersungguh-sungguh, yang bagaimanapun juga akan
dapat menumbuhkan perasaan tidak senang pada para
pengawal itu apabila ia mengalahkan Wrahasta. Tetapi apabila
ia harus membiarkan dirinya dirajang oleh cambuk Wrahasta,
agaknya ia berkeberatan juga.
Gupita tidak sempat berpikir lebih panjang lagi. Wrahasta
telah menjadi semakin dekat, dan setiap kali cambuknya selalu
meledak-ledak tidak henthentinya.
Maka Gupita tidak dapat berbuat lain kecuali menghadapinya.
Karena itu maka kemudian ia bergeser setapak ke samping.
Dengan gerak naluriah, maka ujung cambuknya pun mulai
terayun-ayun, kemudian melingkar beberapa kali. Sejenak
kemudian, maka terdengar cambuk itu meledak pula. Tetapi
Gupita sama sekali tidak ingin menimbulkan berbagai macam
kesan pada orang-orang Menoreh dan terutama kepada
gurunya. Kalau ia meledakkan cambuknya dengan segenap
kemampuan yang ada padanya, dalam pemusatan kekuatan di
dalam dirinya, maka hal itu akan dapat menumbuhkan
pertanyaan pada guru dan saudara seperguruannya. Mungkin
mereka akan menyangka, bahwa ia berada dalam bahaya yang
sulit diatasi. "Tetapi apabila terpaksa, aku tidak dapat ingkar lagi,"
desisnya di dalam hati. Maka sejenak kemudian Wrahastalah yang telah memulai
dengan serangannya. Ujung cambuknya mematuk deras sekali,
seperti seekor burung sikatan mematuk bilalang. Untunglah
bahwa Gupita tidak kehilangan kesiagaan, sehingga dengan
tangkasnya la meloncat. menghindari sambaran cambuk
lawannya Namun ternyata, loncatan Gupita yang melampaui kecepatan
sambaran cambuk Wrahasta itu benar-benar telah menarik
perhatian. Kerti dan Samekta hampir bersamaan berdesis.
Bahkan terdengar Kerti bergumam, "Terlampau cepat."
Samekta berpaling. Sambil mengangguk ia berkata, "Memang
terlampau cepat bagi Wrahasta."
Perkelahian di arena itu pun kemudian menjadi semakin
cepat. Cambuk Wrahasta menyambar-nyambar tidak hentihentinya,
seolah-olah ia sama sekali tidak memberi kesempatan
lawannya unluk membalas. Namun lawannya pun terlampau
lincah, sehingga serangan-serangannya hampir tidak menyentuh
sasarannya. Sekalsekali memang ujung cambuk Wrahasta
dapat mengenai lawannya sehingga menumbuhkan jalur-jalur
merah, tetapi sama sekali tidak seimbang dengan tenaga yang
telah diperas dari tangan anak muda yang bertubuh raksasa itu.
"Gembala itu tidak sempat membalas," desis beberapa orang
yang mengelilingi arena itu. Sedang yang lain mengangguk
anggukkan kepalanya. "Tetapi ia terlampau lincah," bisik salah seorang dari mereka.
"Melampaui kecepatan ujung cambuk Ki Wrahasta," yang lain
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka terpukau
melihat ketangkasan Gupita menghindari sambaran senjata
Wrahasta. Sedang cambuknya sendiri seakan-akan masih belum
dipergunakan. Ia hanya sekedar menahan arus serangan
Wrahasta dengan sekalkali menyentuhnya dengan ujung
senjatanya itu. Namun dengan demikian hati Wrahasta menjadi semakin
panas karenanya. Sentuhan-sentuhan ujung cambuk Gupita
serasa minyak yang tumpah ke dalam api.
Karena itu, maka tandang Wrahasta menjadi semakin lama
semakin garang. Cambuknya menjadi semakin cepat berputaran
dan semakin sering meledak-ledak. Namun Gupita masih juga
mampu menghindarinya, sambil sekalsekali melepaskan
serangan yang tidak berbahaya. Karena Gupita masih saja
dicengkam oleh keragu-raguan, apakah yang sebaiknya
dilakukan. Sementara itu Pandan Wangi masih mondar-mandir dengan
gelisahnya di dalam biliknya. Sekalsekali ia melangkah ke luar
dan melihat ke dalam bilik ayahnya lewat celah-celah pintu yang
dibukanya sedikit. Tetapi ternyata ayahnya masih tidur dengan
nyenyaknya. Sehingga dengan demikian hatinya menjadi
semakin gelisah. Terbayang di rongga matanya apa saja yang
dapat dilakukan oleh Wrahasta atas Gupita. Wrahasta akan
dapat mempergunakan kekuasaannnya dengan mengerahkan
para pengawal. Apabila terjadi demikian, maka jarak antara
orang-orang Menoreh dengan orang-orang bercambuk itu,
khususnya Gupita akan menjadi semakin jauh.
Dalam kegelisahan itu Pandan Wangi melakukan apa saja
untuk mengisi waktu. Berjalan kian kemari, minum dari kendi
yang ada di dalam ruang dalam rumah itu, kemudian kembali ke
dalam biliknya berbaring, tetapi sejenak kemudian ia telah
bangkit lagi dan berjalan hilir-mudik.
Akhirnya Pandan Wangi itu tidak dapat bersabar lagi.
Perlahan-lahan ia membuka pintu bilik ayahnya dan berjalan
dengan hathati masuk. Tetapi ketika ia telah berada di sisi
pembaringan ayahnya ia tidak berani membangunkannya.
Karena itu maka gadis itu pun melangkah perlahan-lahan dan
duduk di pembaringan ayahnya.
Tetapi ternyata perasaan Ki Argapati demikian tajamnya,
sahingga betapapun Pandan Wangi berhathati meletakkan
dirinya, namun gerak pembaringannya yang sangat lambat itu
telah membangunkan Ki Gede Menoreh. Perlahan-lahan ia
membuka matanya dan perlahan-lahan pula ia berdesis, "Kau,
Wangi." Ternyata Pandan Wanglah yang terkejut sehingga ia
terlonjak berdiri. Ia tdak menyangka bahwa sentuhan tubuhnya
pada pembaringan ayahnya itu telah membangunkannya.
"Maaf, Ayah, apakah aku mengejutkan, Ayah?"
Ki Argapati menggelengkan kepalanya, "Tidak, Pandan
Wangi. Aku tidak terkejut."
"Tetapi Ayah terbangun karenanya."
"Aku sudah cukup lama tertidur. Seharusnya aku memang
sudah bangun." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia ingin
segera dapat mengatakan keperluannya. Tetapi justru tertahan
di dalam dadanya, sehingga ia menjadi terlampau gelisah.
Keringat dingin telah mengalir membasahi punggung dan
keningnya. Ki Argapati itu pun kemudian melihat kegelisahan yang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbayang di dalam sikap puterinya, sehingga karena itu, maka ia
pun bertanya, "Pandan Wangi. Aku melihat sesuatu yang
menarik perhatianku padamu. Mungkin kau dibayangi oleh
kegelisahan dan kecemasan."
Dada Pandan Wangi berdesir. Adalah kebetulan sekali bahwa
ayahnya bertanya kepadanya. Karena itu, maka ia pun tidak
membuang waktu lagi. Jawabnya, "Ya, Ayah, aku memang
sedang gelisah. Aku menunggu Ayah terbangun. Tetapi
meskipun demikian aku sama sekali tidak sengaja
membangunkan Ayah." "Ya, ya. Aku tidak menuntut kau kenapa kau membuat aku
terbangun. Tetapi kenapa kau menjadi demikian gelisah?"
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia
bertanya, "Apakah tubuh Ayah menjadi panas lagi?"
*** Ki Argapati tdak segera menjawab. Ditatapnya wajah Pandan
Wangi yang basah oleh keringat. Baru sejenak kemudian sambil
mengangguk ia berdesis, "Sedikit Pandan Wangi. Hanya sedikit.
Dan kau tidak perlu menjadi gelisah karenanya."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Kalimat-kalimat yang
telah tersusun kini berdesakan di dalam dadanya, sehingga
justru karena itu ia menjadi tergagap. "Tidak, Ayah. Aku tidak
gelisah." Dipandanginya wajah puterinya itu tajam-tajam. Dengan
demikian Ki Argapati menjadi semakin yakin, bahwa gadisnya
sedang diganggu oleh kegelisahan atau kecemasan.
"Tenanglah, Pandan Wangi. Kau dapat berceritera perlahanlahan,
apakah yang telah membayangi perasaanmu kini."
Sekali lagi Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Dicobanya, mengatur perasaannya agar ia dapat mengucapkan
kata katanya dengan baik. Sejenak kemudian maka barulah ia
dapat memulainya, meskipun masih bersimpang siur, "Ayah.
Orang bercambuk itu telah datang."
Ki Argapati mengerutkan dahinya. "Siapakah yang kau
maksud?" "Orang bercambuk yang pernah aku katakan, Ayah. Ia
membawa obat untuk Ayah."
"Tenanglah Pandan Wangi. Apakah kau bermaksud
mengatakan bahwa ada seseorang datang mencari aku dan
membawa obat untukku?"
"Ya, Ayah, gembala itu. Tetapi bukan yang gemuk."
Ki Argapati perlahan-lahan bangkit dan duduk di
pembaringannya. Dengan sareh ia berkata, "Cobalah, endapkan
perasaanmu. Jangan tergesa-gesa supaya kata-katamu tidak
tumpang-suh." Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Kini ia berusaha
dengan sungguh-sungguh agar ia dapat berkata sebaik-baiknya.
Semakin kisruh kalimatnya, maka semakin panjang waktu yang
terbuang. Maka setelah sejenak ia berdiam diri, maka barulah ia
dapat mengatakan dengan teratur, apa yang dilihatnya di depan
regol desa, apa yang dilakukan oleh Wrahasta terhadap Gupita.
Tetapi Pandan Wangi masih belum berani mengatakan latar
belakang dari sikap anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Ki Argapati mendengarkan ceritera Pandan Wangi sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan dada yang
berdebar-debar tumbuhlah harapannya untuk dapat mengobati
luka-lukanya dengan baik. Tetapi agaknya sikap Wrahasta tidak
dapat dimengertinya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Ki Argapati
mempertimbangkan ceritera Pandan Wangi itu dengan
cermatnya. Dicobanya untuk menilai segala segi sebaik-baiknya.
Sudah tentu, bahwa Wrahasta berbuat demikian sesuai dengan
penilaiannya sendiri. Dan ia tidak akan segera dapat
menganggapnya bersalah. "Ayah," berkata Pandan Wangi, "ungkin Wrahasta akan
menjatuhkan hukuman kepada anak itu. Seharusnya Ayah
mencoba mencegahnya."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
berkata, "Sudah tentu Wrahasta mempunyai alasan yang kuat
untuk melakukan tindakannya. Aku mengenaliya sebagai
seorang pengawal yang cermat dan tegas. Tanpa pertimbangan
tertentu, ia tidak akan berbuat tergesa-gesa."
"Tetapi, tetapi"," sahut Pandan Wangi. Namun Pandan
Wangi tidak dapat mengatakan bahwa Wrahasta telah dibakar
oleh perasaan cemburu. "Percayalah Wangi, bahwa Wrahasta tidak akan berbuat
tanpa alasan tertentu. Seandainya Wrahasta salah menilai
gembala itu, maka Samekta dan Kerti dapat memberinya
pertimbangan." "Kerti sudah mencoba Ayah, tetapi Wrahasta sama sekali
tidak mendengarkannya."
Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Tenanglah, Wangi. Setelah para pengawal yakin bahwa anak itu
dapat dipercayanya, maka gembala itu pasti akan mereka bawa
kemari." "Tidak, Ayah," Pandan Wangi menjadi semakin cemas,
"Wrahasta menjadi seakan-akan gila. Ia tidak mau mendengar
nasehat Paman Kerti dan pendapatku."
Namun di luar dugaan Pandan Wangi, Ki Argapati justru
tersenyum sambil berkata sareh, "Tenanglah. Tenanglah. Aku
percaya kepada para pemimpin pengawal itu. Mereka tidak akan
berbuat tanpa pertimbangan yang masak. Mereka pun bukan
orang-orang yang suka kepada kekerasan. Gembala itu bagi
mereka adalah orang lain, sehingga untuk meyakinkan dirinya,
Wrahasta telah berbuat demikian. Tetapi tidak akan terjadi
sesuatu atas anak muda itu. Aku pun sangat mengharapkannya
untuk mendapat obat yang baik bagi luka-lukaku."
Pandan Wangi terbungkam karenanya. Namun
kegelisahannya seolah-olah telah membakar seluruh isi
dadanya. Sebenamya Ki Argapati sendiri menjadi gelisah. Tidak
menjadi kebiasaan Wrahasta berbuat demikian kasar terhadap
seseorang. Namun setiap kali ia mencoba memahami sikap itu.
Apa yang dikatakannya kepada Pandan Wangi itu pun
ditujukannya kepada diri sendiri, supaya ia tidak menjadi
semakin berdebar-debar menghadapi keadaan dan menghadapi
lukanya sendiri. Namun demikian, perasaannya pun ternyata
terganggu juga. "Tetapi sebaiknya aku menunggu," katanya kemudian dengan
tiba-tiba. Pandan Wangi terkejut. Gadis itu kemudian meloncat dan
berjongkok di samping pembaringan ayahnya. "Jangan, Ayah.
Ayah jangan menunggu saja. Semuanya akan terjadi tidak
seperti yang kita kehendaki. Wrahasta akan menjadi mata gelap,
dan menghukum anak yang tidak bersalah itu."
Ki Argapati termenung sejenak. Sudah tentu bahwa
kecemasan Pandan Wangi itu pun pasti bukan tidak beralasan.
Tetapi bukanlah kebiasaan Ki Argapati untuk tidak mempercayai
para pemimpin pengawal. Apalagi dalam keadaan seperti ini,
sehingga kemudian ia berkata, "Tidak akan terjadi tindakan yang
berlebih-lebihan. Sebaiknya kita menunggu. Wrahasta sendiri
pasti akan datang kepadaku menyampaikan masalah itu. Ia tidak
pernah berbuat sesuatu yang penting tanpa setahuku."
"Tetapi kali ini lain, Ayah, kali ini ia tidak berbuat sebagai
pemimpin pengawal Tanah ini."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Lalu apakah yang dilakukannya?"
Pandan Wangi tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Tetapi
sikapnya semakin gelisah.
"Sebaiknya Ayah memanggil Wrahasta untuk mendengarkan
keterangan daripadanya sekarang."
"Ia akan datang sendiri, Wangi."
"Tetapi," kata-kata Pandan Wangi terpotong. Kini
kegelisahannya sudah memuncak sampai ke ubun-ubunnya.
Namun ayahnya seolah-olah acuh tidak acuh saja mendengar
keterangannya. "Beristirahatlah," berkata ayah kemudian, "Kau terlampau
lelah, sehingga kau mudah sekali menjadi bingung. Tidak ada
yang perlu diragukan lagi pada para pengawal yang kini berada
didaerah bambu ori ini. Mereka yang tidak setia pada umumnya
telah lari lebih dahulu. Mereka yang ketakutan pun sudah
menyingkir. Sebaiknya kita tidak menyakiti hati mereka yang kini
berada di sini." "Oh," Pandan Wangi berdesah. Perlahan-lahan ia berkata,
"Yang menggelisahkan aku adalah obat yang dibawa oleh anak
muda itu, Ayah. Kalau obat itu tidak sampai kepada Ayah, maka
semua harapan akan menjadi sia-sia."
"Aku rasa tidak akan ada seorang pun yang tidak
menghendaki demikian, Wangi. Sekali lagi aku menyatakan
kepercayaanku kepada para pemimpin pengawal. Kepada
Samekta, Kerti, Wrahasta, dan yang lain-lain. Mereka pasti akan
berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan kita bersama."
Pandan Wangi menjadi pening mendengar jawaban ayahnya.
Seolah-olah ia menjadi putus-asa. Terbayang di rongga
matanya, Wrahasta yang bertubuh raksasa itu berbuat tanpa
dapat dihalangi lagi untuk melepaskan perasaan cemburunya
terhadap Gupita. Namun Pandan Wangi pun mencemaskan
nasib ayahnya, dan nasib Tanah ini. Kalau Gupita terpaksa
melawan, maka keadaan akan menjadi semakin kalut, karena
Pandan Wangi tahu benar, kekuatan yang tersimpan di dalam
diri gembala bercambuk itu.
Dalam pada itu, di arena, Wrahasta semakin lama menjadi
semakin marah. Ia sudah hampir menjadi lupa diri karena ia
tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan semakin
lama Gupita itu rasa-rasanya menjadi semakin lincah. Cambuk
Wrahasta yang semakin cepat bergetar, semakin sering
meledak-ledak, tidak juga dapat melukai lawannya. Dengan
demikian maka harga diri raksasa itu telah tersinggung
karenanya, apalagi di hadapan para pengawal bawahannya.
Para pemimpin pasukan pengawal yang berada di luar arena,
menjadi semakin cemas melihat perkelahian itu. Apalagi Kerti
dan Samekta. Mereka melihat Wrahasta semakin lama menjadi
semakin kehilangan pengamatan diri. Dan Wrahasta bukanlah
anak yang baru semalam pandai memegang senjata. Karena itu,
apabila ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada
padanya, maka lawannya pun harus berusaha mengimbanginya
pula. Kalau benar kata Pandan Wangi, bahwa Gupita itu mampu
bersama-sama dengan gadis itu melawan Ki Peda Sura dan
bahkan melukainya, maka perkelahian ini pasti akan menjadi
sebab timbulnya persoalan-persoalan baru pada Tanah Perdikan
Menoreh. "Gupita tidak berdiri sendiri," gumam Samekta.
Kerti mengangguk-anggukkan kepala. Hampir di luar
sadarnya ia berkata, "Apakah baru sekarang kau sadari
persoalan itu?" Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi di arena itu
sudah terlanjur terjadi perkelahian yang seru. Agaknya Samekta
kini telah terlambat untuk menarik Wrahasta dari arena. Anak
muda yang bertubuh raksasa itu telah benar-benar dibakar oleh
kemarahannya, sehingga nalarnya sudah tidak akan dapat
dipergunakannya lagi dengan lurus.
Gupita pun semakin lama menjadi semakin bingung pula.
Sudah tentu ia tidak akan mungkin untuk sekedar menghindari
serangan-serangan Wrahasta terus-menerus tanpa berbuat
sesuatu. Betapapun tinggi ilmunya dan betapapun jauh jaraknya,
tetapi ternyata dibanding cambuk anak muda yang bertubuh dan
bertenaga raksasa itu telah mulai menyentuh kulitnya.
Sekalsekali Gupita itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan
penuh keragu-raguan ia menghadapi lawannya di arena yang
asing baginya. Namun tiba-tiba terkenang olehnya, bagaimana seorang
senapati muda dari Pajang, Untara, dahulu menghadapi Sidanti
setelah selesai perlombaan memanah. Sidanti yang pada waktu
itu sedang dibakar oleh kemarahannya pula. Adalah mustahil
bagi Untara yang dapat mengalahkan Tohpati itu, apabila ia tidak
dapat mengalahkan Sidanti pula. Tetapi Untara tidak mau
menyakiti hati Sidanti dengan mengalahkannya di muka orangorang
Sangkal Putung dan di hadapan para prajurit Pajang.
"Cara itu adalah cara yang baik untuk menghentikan
perkelahian," desisnya. Namun kemudian timbul pertanyaan, "
Tetapi bagaimana kemudian kalau Wrahasta mempergunakan
orang-orangnya untuk mencampuri perkelahian ini?"
Sekali lagi Gupita dicengkam oleh keragu-raguan. Namun di
cobanya untuk mengambil sikap, "Entahlah. Tetapi sekarang aku
akan berbuat seperti yang terjadi atas Sidanti itu."
Dengan demikian maka kini Gupita telah dapat menempatkan
dirinya. Sekalsekali ia harus melawan serangan dengan
serangan. Sentuhan ujung cambuk dengan sentuhan pula.
Namun harus dijaga, supaya lawannya itu tidak semata-mata
dikalahkannya di hadapan pasukannya sendiri.
Maka sejenak kemudian perkelahian itu pun berlangsung
semakin cepat. Kini Gupita tidak terlampau banyak lagi
menghindar. Tidak lagi melonjak-lonjak dikejar oleh senjata
lawannya. Bahkan sekalsekali ia mulai menyerang, meskipun
tidak langsung ke pusat-pusat tubuh Wrahasta yang berbahaya.
Wrahasta merasakan perubahan sikap Gupita. Ia kini melihat
bahwa Gupita sama sekali belum melayaninya sewajarnya.
Karena itu Wrahasta justru merasa direndahkan oleh gembala
yang telah membakar hatinya.
Raksasa muda itu kemudian menggeretakkan giginya, ia telah
benar-benar kehilangan pertimbangan. Ia ingin berkelahi,
sebenarnya berkelahi. Karena itu, maka ia pun segera
mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada
padanya. Ternyata Wrahasta benar-benar berkekuatan raksasa seperti
tubuhnya. Cambuknya meledak-ledak semakin keras
memekakkan telinga. Namun bagi Gupita, ledakan cambuk
Wrahasta itu tidak lebih dari ledakan cambuk seorang gembala
yang bertubuh dan berkekuatan raksasa. Itu saja, tanpa
menumbuhkan getaran yang dapat menusuk ke pusat jantung
karena disalurkan oleh kekuatan yang tersimpan di dalam diri.
Pada saat-saat ketegangan di arena menjadi semakin
memuncak, kegelisahan di dada Pandan Wangi pun memuncak
pula. Karena ayahnya masih belum memutuskan untuk
memanggil Wrahasta atau Gupita, atau kedua-duanya, maka
sekali lagi ia mendesaknya, "Ayah, berbuatlah sesuatu. Jangan
Ayah membiarkan keduanya dibakar oleh perasaan mereka.
Gupita tidak hanya seorang diri di tlatah Menoreh ini. Ayah
jangan membiarkan timbul persoalan-persoalan baru, yang
dengan demikian akan mengurungkan maksud baik orang-orang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercambuk itu. Obat itu Ayah, obat itu harus diselamatkan."
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Sebuah
pertanyaan menjadi semakin tajam tergores di dinding hatinya,
"Apakah yang telah terjadi sebenarnya?"
Kegelisahan Pandan Wangi itu telah menggelisahkan hati Ki
Argapati pula. Namun ia masih juga mempertimbangkan
perasaan para pemimpin pasukannya dalam keadaan serupa ini.
"Ayah, hentikan semuanya itu, Ayah."
"Pandan Wangi," berkata ayahnya, "Aku masih belum dapat
meninggalkan pembaringan ini."
"Aku akan pergi atas nama Ayah."
Argapati tidak segera menyahut.
"Kalau Ayah mencemaskan Wrahasta, bahwa ia akan
tersinggung karenanya, maka sebaiknya Ayah memanggil
keduanya. Wrahasta dan Gupita bersama Paman Kerti dan
Paman Samekta." Argapati masih dicengkam oleh keragu-raguan. Tetapi ia tidak
dapat membiarkan keadaan menjadi semakin tegang karena
kegelisahan Pandan Wangi yang memuncak. Karena itu, maka
perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya. Katanya, "Tetapi
hathatilah. Jangan menyakitkan hati orang lain."
"Terima kasih, Ayah," Pandan Wangi terlonjak. Kemudian
diraihnya tombak pendek ayahnya sambil berkata, "Atas nama Ki
Gede Menoreh." Tanpa menunggu jawaban apa pun Pandan Wangi berlari ke
luar dari bilik ayahnya dan menghambur ke halaman sambil
menjinjing tombak pendek ayahnya, sebagai pertanda bahwa ia
berbuat atas nama Ki Argapati sendiri.
Tanpa menghiraukan para penjaga dan orang-orang yang
memandanginya di sepanjang jalan, Pandan Wangi berlarlari
ke pusat pimpinan para pengawal. Kali ini tidak saja dengan
sepasang pedang di lambungnya tetapi juga sebatang tombak
pendek, meskipun masih di dalam selongsongnya.
Sementara itu, perkelahian antara Wrahasta dan Gupita
menjadi semakin sengit. Gupita semakin lama semakin banyak
melakukan serangan-serangan yang membuat Wrahasta harus
bekerja lebih keras. Meskipun demikian serangan-serangan
Gupita nampaknya tidak terlampau berbahaya, dan selalu dapat
dielakkan oleh Wrahasta. Namun dengan demikian Wrahasta
harus memeras tenaganya untuk selalu menghindari ujung
cambuk Gupita yang seolah-olah mempunyai mata melampaui
ketajaman matanya. Sehingga karena itu, maka Wrahasta harus
memeras segenap tenaga dan kemampuannya, agar ujung
cambuk Gupita tidak terlampau sering menyentuhnya.
Meskipun demikian Gupita tidak mendesaknya terus. Sekalisekali
diberinya kesempatan Wrahasta menyerangnya, bahkan
menyentuh kulitnya, namun sejenak kemudian keadaan berganti
pula. Dalam perkelahian yang demikian, maka anak muda yang
bertubuh raksasa itu benar-benar telah memeras segenap
kemampuan dan tenaganya. Nafasnya pun semakin lama
menjadi semakin deras mengalir seperti keringatnya yang
semakin terperas membasahi pakaiannya. Tenaganya pun
menjadi semakin kendor, sehingga senjatanya tidak lagi
terlampau sering meledak-ledak.
Wrahasta adalah seorang yang memiliki kekuatan dan
ketahanan tubuh yang luar biasa. Namun agaknya Gupita telah
berhasil memancingnya untuk mencurahkan segenap
kamampuannya sehinngga tenaganya pun segera menjadi
susut. Anak muda yang bertubuh raksasa, yang terlibat langsung
dalam perkelahian itu sendiri tidak begitu menyadari
keadaannya. Tetapi orang-orang tua yang mempunyai
pandangan yang agak baik atas perkelahian itu, misalnya Kerti
dan Samekta, dapat melihat, bahwa sebenarnya Wrahasta telah
mencoba berkelahi di luar kemampuannya.
"Aku percaya kepada keterangan Pandan Wangi," desis Kerti
tiba-tiba. "Tentang siapa?" bertanya Samekta.
"Bahwa anak itu benar-benar mampu bertahan bersamasama
dengan Angger Pandan Wangi sendiri terhadap Ki Peda
Sura." Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ya,
aku pun percaya." Kerti mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, "Kalau begitu
dalih Wrahasta bahwa ia telah bersekutu dengan Ki Peda Sura
itu sama sekali tidak dapat dipertahankan."
"Ya. Memang tidak. Sejak semula aku sudah meragukan dalih
itu. Dan kita sudah mengetahui dalih yang sebenarnya, yang
telah membuat Wrahasta menjadi mata gelap."
"Dan kau pemimpin tertinggi di sini, tidak berbuat apa-apa.
Biarpun kau sudah mengetahuinya."
Samekta mengerutkan alisnya. Jawabnya, "Kau tidak
membantu kesulitan perasaanku. Kau justru membuat aku
menjadi semakin bingung."
"Berbuatlah tegas. Tegas sebagai seorang pemimpin
tertinggi." "Tetapi itu tidak berarti bahwa kita boleh melepaskan
kebijaksanaan. Coba katakan, apa yang harus aku lakukan kalau
Wrahasta menolak perintahku" Apakah aku harus memaksanya
di hadapan para pengawal, sementara Sidanti siap menerkam
kita di luar pagar pring ori ini."
Kerti menarik nafas dalam-dalam. "Maaf," katanya, lalu,
"tetapi lihatlah."
Samekta memandang perkelahian di tengah-tengah arena
dengan wajah yang tegang. Dilihatnya keduanya menjadi
semakin lemah. Bahkan sekalsekali Wrahasta menjadi
terhuyung-huyung karena dorongan kekuatannya sendiri. Setiap
ia melecutkan cambuknya, maka hampir-hampir ia pun ikut
terjerembab. Sedangkan cambuk itu sudah hampir tidak
berbunyi sama sekali. Di pihak lain, Gupita pun telah menjadi terlampau letih.
Samekta dan Kerti melihat gembala itu tertatih-tatih
mempertahankan keseimbangannya. Namun mata kedua orang
tua-tua itu cukup tajam. Mereka melihat bahwa keadaan Gupita
sebenarnya tidak separah itu.
"Anak itu ternyata cukup bijaksana," desis Samekta tiba-tiba.
Wajahnya yang tegang menjadi agak mengendor. Dari sorot
matanya tampaklah, bahwa tekanan perasaanya telah
berkurang. "Mudah-mudahan perkelahian itu akan selesai
dengan baik." Kerti pun tiba-tiba tersenyum, "Anak muda yang dewasa
menghadapi persoalannya. Pantaslah bahwa ia mampu
menyelamatkan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura."
Namun tiba-tiba kedua orang tua itu dikejutkan oleh suara
Wrahasta yang gemetar dan terputus-putus karena nafasnya
yang memburu," He, ternyata dugaanku benar." Ia berhenti
sejenak, lalu, "orang semacam kau mustahil dapat melepaskan
Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura. Kalau kau tidak
bersekutu dengan orang itu, maka kau pasti sudah terbunuh
olehnya. Kau sama sekali tidak mampu mengalahkan aku,
apalagi Ki Peda Sura."
Dada Gupita berdesir mendengar tuduhan itu. Agaknya
Wrahasta mencari arti yang lain dari perkelahian yang
diharapkannya dapat selesai tanpa menyakitkan hatinya. Karena
itu, maka sejenak ia berdiri mematung.
Dalam kebingungan itu ia mendengar Wrahasta berkata terus
sambil terengah-engah, "Karena itu, meskipun aku tidak juga
dapat mengalahkan kau, namun aku sudah menemukan bukti
bahwa kau adalah termasuk orang-orang yang tidak dikenal di
Tanah ini. Yang bekerja bersama Ki Peda Sura dan Ki Tambak
Wedi untuk melihat keadaan dan rahasia kami setelah kau
berhasil mempengaruhi perasaan Pandan Wangi, seorang gadis
yang masih terlampau hijau dan jujur menghadapi dunia yang
penuh dengan noda-noda hitam. Nah, sekarang kau tidak akan
dapat ingkar lagi. Kau harus mempertanggungjawabkannya
sebagai seorang laklaki."
Gupita masih terpaku di tempatnya. Sedang Kerti dan
Samekta sejenak saling memandang. Ternyata harapan mereka,
bahwa perkelahian itu akan berakhir tanpa membuat Wrahasta
menjadi sakit hati, agaknya tidak terpenuhi. Wrahasta benarbenar
telah kehilangan keseimbangan berpikir sehingga
sikapnya menjadi kasar dan berbahaya.
"Kau tidak dapat tinggal diam," desis Kerti kepada Samekta.
"Meskipun kau harus bijaksana, tetapi kau harus mencegah halhal
yang dapat membahayakan anak muda yang membawa obat
untuk Ki Argapati itu."
Samekta menjadi tegang sesaat. Dan sebelum ia berbuat
sesuatu maka Wrahasta telah berteriak kepada para pengawal,
"Nah, kalian telah menyaksikan sendiri. Sekarang, kepunglah
anak gila ini. Jangan sampai ia melepaskan dirinya."
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang
yang cukup terlatih, sehingga tiba-tiba mereka pun bergerak
dalam suatu lingkaran yang menjadi rapat. Dalam sekejap maka
di tangan mereka telah tergenggam senjata masing-masing.
"Nah, kau akan lari ke mana lagi gembala yang licik?" desis
Wrahasta. Dada Gupita menjadi semakin berdebar-debar. Keadaan
berkembang semakin memburuk. Tanpa sesadarnya, ia
menggenggam cambuknya erat-erat.
"Aku tidak mau mati seperti kerbau dibantai di pembantaian,"
katanya di dalam hati. Meskipun segala macam pertimbangan
dan keragu-raguan menjalari kepalanya, namun yang pertamatama
harus dikerjakan adalah mempertahankan diri.
Tetapi sebelum para pengawal berbuat sesuatu, maka
Samekta telah berada di tengah-tengah arena. Dipandangnya
Gupita sesaat, kemudian diedarkannya pandangan matanya ke
setiap wajah di sekelilingnya.
"Terima kasih," desisnya, "kalian telah berbuat sebaik-baiknya
untuk tanah ini. Anak muda ini memang tidak boleh lari dengan
membawa berita apa pun dari lingkungan kita. Karena itu, maka
aku sendiri akan menangkapnya. Kalau ia berusaha melawan,
aku akan menyelesaikannya. Aku harus membawanya
menghadap Ki Argapati."
Sejenak arena itu menjadi sepi. Kata-kata Samekta telah
menghunjam ke dalam setiap hati. Dan mereka sama sekali
tidak melihat keberatan apa pun. Ki Samekta sendiri akan
menangkapnya. Menyerah atau melawan, sehingga mereka
tidak perlu bertindak beramaramai. Sedang Gupita sendiri
agaknya dapat menangkap maksud yang tersirat di dalam sikap
Samekta itu, sehingga ia sama sekali tidak bersikap untuk
melawan. "Nah," berkata Samekta, "apakah kau akan melawan atau
lebih baik menyerah dan menghadap Ki Argapati?"
Gupita menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, "Aku
menyerah, Kiai. Aku tidak ingin melakukan perlawanan apa pun
sebenarnya." Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekali
lagi ia terkejut oleh suara Wrahasta, "Buat apa ia dibawa
menghadap Ki Argapati" Kalau sudah jelas, siapakah orang ini,
maka kita dapat memutuskan sendiri, apa yang sebaiknya kita
lakukan. Ki Argapati sedang terluka parah. Ia harus beristirahat.
Kita tidak dapat mengganggunya dengan persoalan-persoalan
yang sama sekali tidak berarti. Karena itu, serahkan saja anak ini
kepada para pengawal. Kepadaku dan kepada para pemimpin
pengawal yang lain."
Samekta mengerutkan keningnya. Ia memang sudah
menduga bahwa Wrahasta akan mencegahnya membawa
Gupita menghadap Ki Argapati. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat
menyerahkannya kepada Wrahasta dan para pemimpin
pengawal yang lain, yang tidak mengerti masalah yang
sebenarnya. Karena itu maka katanya, "Kita tidak akan dapat bertindak
sendiri. Persoalan ini bukan sekedar persoalan kecil. Masalah
anak muda ini menyangkut berbagai macam soal. Obat itu,
hubungannya dengan anak muda yang gemuk yang memberikan
obat kepada Ki Argapati di Pucang Kembar, hubungannya
dengan Ki Peda Sura, dengan Sidanti dan Ki Tambak Wedi.
Orang ini memang kita perlukan. Justru karena itu maka kita
harus membawanya langsung kepada Ki Argapati."
"Tidak!" potong Wrahasta dengan wajah yang merah. Sikap
itu tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ia selalu menghormati
orang-orang tua yang mempunyai kedudukan lebih tinggi
daripadanya. Tetapi kali ini ia bersikap lain. Dan sikap ini
memang sudah diperhitungkan oleh Samekta. Karena itu maka
Samekta pun berkata pula, "Kita tidak boleh mendahului
keputusan Ki Argapati, Wrahasta. Ki Argapati telah berpesan,
bahwa setiap persoalan harus dibicarakan lebih dahulu. Aku kira,
termasuk persoalan anak muda ini."
"Tidak! Tidak! Aku akan memaksanya berbicara lebih dahulu.
Ia belum mengucapkan pengakuan apa pun meskipun aku telah
menemukan bukti yang tidak akan dapat dipungkiri. Karena itu,
aku akan memaksanya berbicara." Kemudian kepada para
pengawal ia berteriak, "Ayo, ikat orang ini!"
Tetapi para pengawal menjadi bingung. Tatapan mata
Samekta terlampau tajam beredar ke setiap wajah, sehingga
para pengawal itu pun justru menundukkan kepala mereka.
"Ayo cepat!" teriak Wrahasta seperti orang gila. "Kenapa
kalian diam saja, he?"
"Jangan tergesa-gesa," potong Samekta. Kata-katanya tidak
dilontarkan terlampau keras, tetapi pengaruhnya telah menahan
semua pengawal untuk berbuat sesuatu.
Wrahasta yang marah menjadi semakin marah. Ia benarbenar
telah lupa akan kedudukannya. Tiba-tiba cambuk di
tangannya dilemparkannya dan dalam sekejap ia telah
menggenggam pedang di tangannya. Dengan garangnya ia
menggeram, "Aku tidak biasa mempergunakan senjata macam
itu. Aku akan mempergunakan pedangku. Dada anak itu akan
aku sobek silang empat kalau ia tidak mau berbicara."
Bagaimana pun juga Samekta masih menjadi bingung.
Dipandanginya wajah Kerti untuk mendapat pertimbangan.
Adalah tidak pada tempatnya apabila ia harus bertindak dengan
kekerasan pula. Tetapi wajah Kerti yang tegang itu pun tidak
memberinya petunjuk apa pun juga.
Sementara itu Pandan Wangi masih berlari sekencangkencangnya
sambil menjinjing tombak ayahnya. Ia tidak mau
terlambat dan tinggal melihat bekas-bekasnya saja yang akan
dapat merontokkan jantungnya.
Puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu sama sekali tidak
mempedulikan lagi, bahwa beberapa orang peronda di gardugardu


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikannya dengan heran. Bahkan satu dua orang
berusaha untuk mengikutinya sambil bergumam di antara
mereka. "Apakah yang telah terjadi dengan Pandan Wangi."
"Mungkin ia akan melihat tawanan itu pula," jawab yang lain.
"Tetapi tombak itu?"
Yang lain menggelengkan kepalanya. "Entahlah."
Di arena keadaan menjadi semakin tegang, Wrahasta telah
benar-benar kehilangan segala pertimbangan. Ia sama sekali
tidak mempedulikan lagi Samekta dan kemudian Kerti yang
masuk ke dalam arena pula.
"Minggir kalian!" tiba-tiba Wrahasta membentak orang-orang
tua itu. "Aku akan mengurus persoalan ini sampai selesai."
"Wrahasta, sadarlah keadaanmu," desis Kerti perlahan-lahan.
"Kau telah melanggar keharusan seorang pengawal. Samekta
adalah pemimpin tertinggi di daerah ini sekarang, sebagaimana
ditunjuk oleh Ki Argapati."
Sejenak Wrahasta tertegun. Namun ketika dilihatnya wajah
gembala yang ragu-ragu itu, maka tiba-tiba ia berteriak, "Aku
menangkapnya pada saat ia melakukan pengkhianatan atas
Tanah ini. Sebelum ia berbicara tentang dirinya sebenarbenarnya,
aku tidak akan melepaskannya dan menyerahkannya
kepada atasanku. Sekarang, minggirlah. Aku akan memaksanya
berbicara, dan kemudian terserah kepada kalian. Itu adalah
hakku." Lalu kepada para pengawal ia berteriak, "Cepat, ikat
anak ini pada batang sawo itu. Ia harus berbicara tentang
dirinya." "Wrahasta," berkata Samekta, "jangan kau paksa anak ini
mengaku akan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Apalagi
apabila dengan dasar pengakuan yang kau paksakan itu,
kemudian kau menjatuhkan hukuman atasnya. Itu bukan sifat
seorang yang berpijak pada kebenaran."
Wajah Wrahasta menjadi semakin tegang. Sekali lagi ia
berteriak, "Aku mempunyai bukti. Aku mempunyai bukti yang
cukup." Dan sekali lagi ia berkata kepada para pengawal itu
pula, "Ayo cepat, kenapa kalian seperti orang mimpi?"
Samekta menjadi semakin bingung. Sedang Kerti berusaha
menahan dirinya supaya ia pun tidak kehilangan keseimbangan
melihat tingkah laku Wrahasta yang benar-benar seperti orang
gila itu. Karena Samekta dan Kerti kemudian tidak berbuat apa pun
lagi oleh kebimbangan dan kebingungan, maka para pengawal
kini memusatkan perhatiannya kepada Wrahasta. Meskipun
mereka masih diliputi oleh keragu-raguaan pula, namun tanpa
sesadar mereka, para pengawal itu telah bergerak maju.
"Cepat!" teriak Wrahasta. Kepada Gupita ia berkata, "Jangan
mencoba melawan. Kalau kau berbuat gila, maka kau akan
dicincang sewalang-walang."
Ancaman itu membuat Samekta dan Kerti menjadi semakin
bimbang. Sehingga Samekta terpaksa berkata di dalam hatinya,
"Apa boleh buat. Aku harus menjatuhkan perintah atas dasar
keyakinanku bahwa anak muda itu tidak bersalah. Entahlah, apa
yang akan terjadi serta segala akibatnya. Tetapi obat itu sangat
diperlukan oleh Ki Argapati."
Dalam ketegangan yang semakin memuncak itu, para
pengawal mulai melangkah maju, mempersempit kepungan
mereka dengan senjata di tangan masing-masing.
Samekta tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia
meugangkat kepalanya, memandang para pengawal yang telah
mulai bergerak. Tetapi sebelum ia mengucapkan sepatah kata pun, tiba-tiba
terdengar suara melengking dalam nada yang tinggi, "Tunggu,
tunggu." Semua orang berpaling ke arah suara itu. Dada mereka
menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat seorang gadis
dengan sepasang pedang di lambung, berjalan tergesa-gesa ke
arah arena yang sedang ber-gerak-gerak.
Semua orang kemudian terpaku di tempatnya. Langkah
Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Beberapa orang segera
menyibak untuk memberinya jalan, masuk ke dalam lingkaran
arena. Samekta, Kerti, dan Wrahasta berdiri dengan tegangnya.
Mata mereka tertarik kepada tombak pendek yang masih berada
di dalam selongsong itu. Sejenak kemudian terdengar suara Wrahasta berat, "Apakah
maksudmu datang kemari, Pandan Wangi?"
"Aku berbuat atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh,"
jawab gadis itu sambil mengangkat tombak yang masih berada
di dalam selongsongnya. "Aku harus memanggil Paman
Samekta untuk menghadap."
Samekta mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
bertanya, "Aku?"
"Ya. Paman Samekta dan paman Kerti beserta Kakang
Wrahasta, dengan membawa tawanan kalian itu."
Hampir bersamaan Samekta dan Kerti menarik nafas dalamdalam.
Tetapi tiba-tiba wajah Wrahasta yang tegang menjadi
semakin tegang, seolah-olah hendak meledak. Katanya, "Tidak.
Itu tidak perlu. Aku akan menyelesaikannya lebih dahulu. Ia
harus berbicara tentang dirinya. Baru kemudian ia dihadapkan
kepada Ki Argapati. Sebelum ia mengaku, adalah hakku untuk
memeriksanya." Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu,
Kakang Wrahasta. Aku hanya melakukannya. Supaya tidak
timbul persoalan, maka Ayah memerintahkan kepadaku untuk
membawa tombak ini, pertanda bahwa apa yang aku lakukan
adalah atas nama pimpinan tertinggi Tanah Perdikan Menoreh.
Kalau tindakan ini kau anggap kurang bijaksana, bertanyalah
nanti kepada ayah. Aku hanya sekedar melakukan perintahnya."
"Aku tidak akan memberikan," teriak Wrahasta.
Pandan Wangi terdiam sejenak. Tanpa sesadarnya
diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya wajahwajah
yang ragu-ragu, bimbang dan bahkan kebingungan.
Tetapi agaknya Pandan Wangi cukup kuat mempertahankan
sikapnya. Perlahan-lahan ia berkata, "Perintah Kepala Tanah
Perdikan Mlenoreh, Paman Samekta, Paman Kerti, dan kakang
Wrahasta harus segera membawa gembala itu menghadap
ayah." "Tidak mungkin," potong Wrahasta.
"Atas nama Kepala Tanah Perdikan ini, kalian harus
berangkat sekarang. Sekarang."
Wrahasta berdiri dengan kaki gemetar memandangi wajah
Pandan Wangi. Tetapi wajah gadis itu di dalam tangkapan
matanya kini, seolah-olah bukan wajah Pandan Wangi yang
biasa dilihatnya seharhari. Bukan wajah lembut yang ramah,
bukan pula wajah seorang gadis yang sayu dan murung. Tetapi
wajah itu seolah-olah wajah seorang senapati perang yang
berada di medan, dalam sikap dan ucapan.
Sejenak arena itu menjadi sepi. Semua mata memandang
wajah Pandan Wangi yang berdiri tegak dengan tombak pendek
di tangannya. Sejenak kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara
Wrahasta, "Baiklah, Pandan Wangi. Aku akan tunduk kepada
setiap perintah Ki Gede Menoreh atau atas namanya."
Dada Pandan Wangi berdesir mendengar kata-kata Wrahasta
itu. Justru dengan demikian sejenak ia terbungkam. Namun
sekilas dipandanginya Kerti dan Samekta yang sedang saling
berpandangan. Gupita pun menarik nafas dalam-dalam. Terasa ia terlepas
dari suatu ikatan yang membelitnya. Bukan karena ia merasa
terlepas dari bahaya yang mungkin dapat mengancam jiwanya,
tetapi ia merasa terlepas dari suatu keadaan yang membuatnya
cemas dan ragu-ragu. Yang kemudian terdengar adalah suara Samekta, "Kami akan
segera menghadap, Pandan Wangi."
"Baiklah, Paman. Kita akan pergi bersama-sama."
Samekta menganggukkan kepalanya Kemudian ia berkata
kepada Gupita, "Simpanlah senjatamu dan pakailah bajumu."
"Baik, Kiai," jawab Gupita sambil membungkukkan kepalanya.
Kemudian diambilnya bajunya, dan dikenakannya. Ketika teraba
olehnya bungkusan obat di kantong bajunya, terasa hatinya
menjadi dingin. Obat itu baginya adalah barang yang terpenting
yang harus disampaikan kepada alamat yang ditunjuk oleh
gurunya. Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi, Samekta, Kerti, dan
Wrahasta segera membawa Gupita menghadap Ki Argapati.
Sementara itu Ki Argapati berbaring dengan gelisah
menunggu kedatangan puterinya. Ia kadang-kadang menjadi
cemas kalau Wrahasta menjadi salah paham. Bagaimanakah
kira-kira sikap Pandan Wangi apabila Wrahasta tidak mau
mematuhi perintah itu. Ia bangkit ketika terdengar langkah memasuki ruangan dalam
mendekati biliknya. Sejenak kemudian dari balik pintu muncullah
Pandan Wangi dengan tombak pendek di tangannya.
"Bagaimana, Wangi?" bertanya ayahnya.
"Mereka telah datang, Ayah."
"Di mana mereka sekarang?"
"Di luar bilik ini, Ayah."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
"Bawa mereka masuk. Tetapi letakkan dulu tombak itu."
Pandan Wangi mengangguk. Diletakkannya tombak pendek
ayahnya di samping pembaringan, dan kemudian ia pun
melangkah. Sejenak kemudian maka Pandan Wangi bersama para
pemimpin pengawal itu pun masuk ke dalam bilik Argapati
sambil membawa Gupita bersama mereka.
Dengan kepala tunduk mereka berdiri berjajar di muka pintu.
Di paling ujung adalah Gupita yang berdiri di samping Samekta.
Ki Argapati memandangi mereka satu demi satu. Dilihatnya
keringat yang membasahi wajah dan pakaian Wrahasta.
Agaknya ia telah berbuat sesuatu dengan mengerahkan
tenaganya. Perlahan-lahan Ki Argapati berkata, "Anak muda inikah yang
bernama Gupita?" Gupita mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan pula ia
menjawab sambil mengangguk dalam-dalam, "Ya, Ki Gede. Aku
bernama Gupita, seorang gembala."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai
seorang yang memiliki pengetahuan yang hampir mumpuni,
segera ia melihat, bahwa apa yang dikatakan Pandan Wangi
tentang anak muda yang telah membantu meloloskan diri dari
tangan Ki Peda Sura itu, sama sekali tidak berlebih-lebihan.
"Aku telah mendengar tentang kau," berkata Ki Argapati
kemudian. "Tetapi aku ingin mendengar dari kau sendiri,
siapakah sebenarnya kau, dan apakah maksudmu datang
kemari." Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya
dipandanginya orang-orang yang berada di dalam bilik itu satu
demi satu. Namun tidak segera berkata apa pun.
Yang bertanya kemudian adalah Ki Argapati kembali, tetapi
kepada Samekta, "Apakah kau sudah bertanya sesuatu
kepadanya?" Samekta ragu-ragu sejenak, kemudian jawabnya, "Belum, Ki
Gede." Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
memandangi Wrahasta yang masih tunduk. Kepada anak muda
yang bertubuh raksasa ini pun Ki Gede bertanya, "Apakah kau
juga belum bertanya kepadanya?"
Wrahasta mengangguk, jawabnya, "Aku sedang berusaha
bertanya kepadanya, Ki Gede. Tetapi agaknya Gupita tidak ingin
menjawab." Ki Argapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya kemudian Kerti dan Samekta bergantganti.
Tetapi keduanya pun masih menundukkan kepala mereka.
Agaknya tidak seorang pun dari keduanya yang ingin memberi
penjelasan. Gupita sendiri memang tidak ingin membuat persoalan.
Karena itu maka ia pun tidak berbicara sama sekali tentang apa
yang telah terjadi. Ketika Ki Gede kemudian bertanya lagi
kepadanya tentang dirinya, maka anak muda itu menjawab, "Ki
Gede, yang terpenting kedatanganku adalah untuk menyerahkan
obat kepada Ki Gede. Menurut perhitungan ayah, obat yang
dahulu diberikannya lewat adikku pasti sudah tidak mempunyai
daya penyembuh lagi. Itulah sebabnya maka aku harus
menghadap Ki Gede untuk menyampaikan obat itu sekarang."
"Ya, aku sudah mendengar pula," Ki Gede diam sejenak, lalu,
"Apakah ada salah paham di antara para pengawal
terhadapmu?" Gupita ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
"Tidak, Ki Gede. Tidak ada salah paham yang berarti. Semuanya
adalah terbatas pada tindakan pengamanan sebagaimana
seharusnya dilakukan oleh para petugas dan para pengawal."
Yang mendengar jawaban itu mengerutkan kening mereka.
Jawaban itu sama sekali bukan jawaban seorang gembala
kambing. Tetapi yang paling memperhatikan sikap itu adalah Ki Gede
sendiri. Kini ia menjadi semakin yakin, bahwa ia telah
berhubungan dengan seseorang yang memang pernah
dikenalnya, meskipun sejak itu sudah diselimuti oleh rahasia
yang tidak mudah ditebak. Namun orang yang berada di
belakang anak-anak muda ini, pasti orang bercambuk yang aneh
itu. Tetapi tiba-tiba Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dan
tanpa sesadarnya ia bertanya, "Jadi ayahmu menyuruhmu
memberikan obat lagi kepadaku?"
Pertanyaan itu telah mengejutkan Gupita, sehingga tergagap
ia menjawab, "Ya, Ki Gede. Ayah menyuruhku memberikan obat
ini, karena obat yang diberikannya lewat adikku sudah terlampau
lama." "Gupita," desis Ki Gede seolah-olah ia sedang mengingat
sesuatu, "Berapa umur ayahmu?"
Kini Gupita menjadi bingung. Pertanyaan itu pun. sama sekali
tidak disangka-sangkanya. Namun ia meajawab, "Umur ayah
sudah lewat setengah abad, Ki Gede?"
"Ya, maksudku apakah ia sudah terlampau tua atau masih
seumurku ini?" "Ya, umur ayah kira-kira seumur dengan Ki Gede."
Tampak sesuatu melintas di wajah Ki Gede yang tenang.
Namun tidak seorang pun yang dapat menangkap, bahwa
sesuatu sudah bergetar di dadamya. Orang tua itu berkata di
hatinya, "Orang bercambuk itu sudah melampaui setengah abad


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejak aku melihatnya beberapa puluh tahun yang lampau, ketika
aku masih terlalu muda. Apakah umurnya tidak bertambahtambah
juga?" Namun ketegangan merayapi hatinya ketika
teringat olehnya seseorang yang mirip dengan anak muda yang
berdiri di depannya, "Aku seolah-olah melihat anak muda itu
kembali. Anak muda yang cakap dan sopan seperti anak muda
ini. Tetapi saat itu umurku pun masih terlampau muda." Katakata
itu melingkar-lingkar di dalam dada Ki Argapati. Tetapi ia
tidak segera dapat meagambil kesimpulan apa pun.
Baru sejenak kemudian ia berkata, "Manakah obat itu" Dan
apakah ada pesan khusus dari ayahmu?"
Gupita mengambil sebungkus obat dari kantong bajunya.
Per1ahan-lahan ia melangkah maju. Kemudian diserahkannya
sebungkus obat itu kepada Ki Gede yang menerimanya dengan
tangan gemetar. Agaknya tubuhnya telah dijalari oleh rasa sakit
yang bersumber pada lukanya. Ki Gede itu tampak agak
menggigil, meskipun tubuhnya menjadi panas.
*** "Apakah obat ini harus ditaburkan di atas lukaku?" bertanya Ki
Gede. Gupita mengangguk, "Ya Ki Gede. Obat itu sebagian harus
ditaburkan di atas luka. Tetapi tidak sekaligus. Ki Gede dapat
mempergunakannya untuk tiga empat kali. Sedang bungkusan
kecil yang ada di dalam bungkusan itu juga, hendaknya dicairkan
dengan air secukupnya. Obat itu harus diminum Ki Gede."
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa
sesadarnya dipandanginya wajah-wajah para pemimpin
pengawal yang berdiri tegang di hadapannya.
Ki Gede melihat keragu-raguan yang membayang di wajahwajah
itu, bahkan di wajah Pandan Wangi.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa
orang-orang itu meragukan obat yang diberikan oleh Gupita dan
sekaligus mencemaskan nasibnya. Karena itu maka katanya,
"Gupita, apakah ayahmu yakin bahwa obat ini akan dapat
menyembuhkan luka-lukaku?"
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hatihati
ia menjawab, "Ki Gede, ayah tidak pernah merasa dirinya
sendiri mampu berbuat demikian, apalagi meyakini. Sebaiknya
kita berusaha bersama-sama. Sambil memohon kepada Yang
Maha Murah, tetapi ayah yakin bahwa sebenarnya Tuhan Maha
Murah. Karena itu ayah tidak pernah berputus asa untuk
berusaha dalam ilmu pengobatan ini."
Sekali lagi, orang-orang yang mendengar jawaban itu
mengerutkan keningnya. Jawaban itu pun sama sekali bukan
sekedar jawaban seorang gembala.
Ki Argapati sendiri mengangguk-anggukkan kepalanya.
Bahkan ia tersenyum sambil berkata, "Baiklah. Marilah kita
berusaha. Tetapi sebelum itu aku ingin mengetahui tentang kau
lebih banyak lagi, apalagi tentang ayahmu. Apakah kau tidak
berkeberatan" Kau belum menjawab pertanyaanku, apakah ada
pesan khusus dari ayahmu?"
Dengan ragu-ragu Gupita menganggukkan kepalanya. Tetapi
tatapan matanya beredar ke seluruh ruangan. Disambarnya
wajah-wajah yang kaku tegang dari para pengawal yang berada
di dalam bilik itu juga. Agaknya Ki Gede mengerti maksud anak muda itu. Ia ingin
berbicara tanpa ada orang lain yang mendengarnya. Karena itu,
maka setelah dipertimbangkannya sejenak ia berkata kepada
para pengawalnya, "Maaf Samekta, aku akan berbicara dengan
anak ini tanpa didengar oleh orang lain. Aku persilahkan kalian
keluar sebentar. Nanti kalian akan mengerti, apa yang sebaiknya
kita lakukan." Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi
ragu-ragu. Tetapi yang pertama-tama berkata di antara mereka
adalah Wrahasta, "Apakah Ki Gede mempercayainya bahwa ia
tidak akan berbuat sesuatu di dalam bilik ini, pada saat Ki Gede
sedang sakit?" Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Terima kasih atas peringatanmu Wrahasta. Aku tahu, bahwa
kau dan para pengawal yang lain merasa bertanggung jawab
atas keselamatanku. Aku hargai sikap kalian. Tetapi kali ini aku
minta kalian mempercayainya. Aku akan berbuat sebaikbaiknya."
Sejenak para pengawal itu saling berpandangan. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat apa pun ketika sekali lagi Ki Gede
berkata, "Biarlah anak ini mendapat kesempatan. Keluarlah
kalian sebentar bersama Pandan Wangi."
Ternyata Pandan Wangi pun menjadi ragu-ragu. Namun
ketika akan membuka mulutnya, ayahnya mendahuluinya,
"Keluarlah sebentar, Pandan Wangi. Aku perlu berbicara dengan
Gupita sejenak. Semuanya semata-mata untuk kepentingan
Tanah ini, tentu saja untuk kepentinganku pula. Kalau aku
segera sembuh, maka aku akan segera dapat berbuat sejauhjauh
mungkin dapat aku lakukan bagi Tanah ini. Apakah kalian
mengerti?" Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak
dipandanginya Kerti, dan sejenak kemudian ayahnya. Namun
ketika ia memandang wajah Gupita, dan anak muda itu sedang
memandanginya pula, maka sepercik warna merah membayang
di pipinya. Sambil menundukkan kepalanya ia menjawab, "Baik,
Ayah. Aku akan keluar bersama para pemimpin pengawal."
"Terima kasih. Aku mengharap kalian dapat mengerti."
Maka Pandan Wangi pun segera melangkah keluar. Meskipun
tampak keragu-raguan membayang di matanya, tetapi ia
mematuhi perintah ayahnya. Demikian pula para pemimrpin
pengawal. Mereka mencoba untuk menyerahkan semua
tanggung jawab kepada Ki Argapati sendiri. Dan mereka
mencoba untuk percaya, bahwa pandangan Ki Argapati pasti
jauh lebih tajam dari mereka.
Tetapi Wrahasta mempunyai persoalan yang lain. Ia tidak
sekedar dirisaukan oleh kecurigaannya apakah anak muda itu
tidak akan berkhianat. Meskipun Pandan Wangi ikut
meninggalkan bilik itu bersamanya dan kedua pemimpin
pengawal yang lain, namun perasaan cemburu yang tergores di
dadanya tidak juga menjadi susut. Apalagi sampai saat itu
Pandan Wangi belum pernah menjawab pertanyaannya dengan
memuaskan. Itulah sebabnya, maka persoalannya dengan anak
muda yang bernama Gupita itu jauh lebih banyak dari orangorang
lain. Bahkan Wrahasta menjadi cemas, apabila benarbenar
anak muda itu berhasil menolong Ki Argapati, dan karena
itu, ia akan dapat menarik perhatiannya, apalagi Pandan Wangi
sendiri telah terjerat pula olehnya, maka semua mimpinya akan
pecah bertebaran. Namun untuk sementara ia tidak akan dapat berbuat sesuatu,
ia harus tunduk kepada perintah Ki Argapati.
Sementara itu, Gupita masih berdiri di depan pintu. Ki Gede
yang mencoba duduk di tepi pembaringannya tampak gemetar
karena lukanya yang terasa menjadi pedih dan tubuhnya
menjadi panas. "Silahkan berbaring, Ki Gede," berkata Gupita. Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Maaf anak muda,
aku memang harus berbaring."
"Ya, Ki Gede masih belum boleh terlampau banyak bergerak.
Silahkan membuka baju Ki Gede, aku akan membantu
menaburkan obat itu."
Ki Gede tidak segera menyahut. Bagaimanapun juga, anak
muda yang belum pernah dikenalnya ini kadang-kadang
memang menumbuhkan kebimbangan di hatinya. Tetapi Ki Gede
tidak segera menyahut. Dengan tangan yang bergetar dibukanya
bungkusan obat yang diterimanya dari anak muda itu.
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Obat ini
memang mirip sekali dengan obat yang pernah diterimanya
dahulu. Tetapi ia tidak dapat menyebutnya dengan jelas, apakah
warnanya juga serupa, karena saat anak muda yang gemuk itu
memberikan obat kepadanya, ia tidak dapat melihat dengan
jelas, apalagi di dalam keremangan malam di bawah Pucang
Kembar. Gupita yang melihat keragu-raguan membayang di wajah Ki
Gede berkata, "Obatnya memang agak berbeda dengan yang
pernah Ki Gede pergunakan dahulu. Obat yang dahulu adalah
obat untuk luka baru. Tetapi obat ini adalah obat untuk
mengobati luka Ki Gede yang telah selang beberapa hari itu."
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
pun tidak menolak ketika Gupita mendekatinya dan kemudian
dengan hathati menaburkan obat di atas luka Ki Gede.
"Setiap dua atau tiga hari, obat ini harus diperbaharui,"
berkata Gupita kemudian. "Mudah-mudahan Ki Gede akan
sembuh dan segera dapat memimpin pasukan kembali."
Ki Argapati mengangguk-angguk pula. Perlahan-lahan ia
berdesis, "Ya, mudah-mudahan. Tetapi agaknya Ki Tambak
Wedi tidak menunggu aku sampai sembuh. Mereka telah
memperketat kepungan mereka dan mempertajam tekanan
mereka, tidak saja atas padesan ini, tetapi juga dan bahkan
terutama adalah sumber persediaan makan kami."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Ki
Argapati sudah mulai mempercayainya benar-benar. Sehingga
akan sampai saatnya ia menyampaikan pesan gurunya
kepadanya. "Tetapi gerakan yang dilakukan oleh Ki Gede telah berhasil
membuat Ki Tambak Wedi kebingungan," berkata Gupita
kemudian. Ki Argapati mengerutkan keningnya, "Apakah yang kau
maksudkan?" "Pasukan berkuda dan orang-orang bercambuk di antara
mereka." "Oh," Ki Gede tersenyum. Katanya, "Maafkan kami.
Sampaikan kepada ayahmu, bahwa kami tidak sengaja untuk
menyeretnya ke dalam persoalan ini."
"Tidak, Ki Gede," sahut Gupita cepat-cepat. "Tidak hanya
kamilah yang berhak mempergunakan senjata semacam itu.
Setiap orang memang berhak pula. Juga pengawal Tanah
Perdikan Menoreh." Ki Gede masih juga tersenyum. Katanya, "Apakah kau dan
ayahmu tersinggung karenanya" Baiklah aku berterus terang,
dan aku harap kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa aku
memang ingin membangunkannya dari tidurnya yang terlampau
nyenyak." Gupita pun tersenyum pula. Ia merasa bahwa pintu telah
terbuka baginya untuk menyampaikan pesan gurunya. Karena
itu maka katanya kemudian dengan hathati, "Ki Gede,
sebenarnyalah aku mendapat pesan dari ayahku selain obat
untuk luka Ki Gede itu."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian
ia menyeringai menahan sakit yang menghentak di lukanya.
"Apakah luka itu terasa pedih, Ki Gede?" bertanya Gupita
ketika ia melihat kesan di wajah Ki Argapati.
"Ya. Pedih sekali."
"Itu pertanda bahwa obat itu mulai bekerja. Jangan cemas, Ki
Gede. Beberapa saat perasaan pedih itu serasa menyengatnyengat.
Tetapi kemudian akan hilang dengan sendirinya.
Begitulah menurut ayah."
"Ya, Mudah-mudahan kata-kata ayahmu itu benar."
"Menurut pengalaman ayah, demikianlah. Kemudian luka itu
tidak perlu ditutup. Namun sebaiknya luka itu tidak tergores oleh
baju Ki Gede." "Ya, ya," sahut Ki Gede, namun kemudian ia berkata,
"sekarang, coba katakan, apakah pesan ayahmu itu" Aku harap
bahwa ayahmu dapat memberi beberapa petunjuk untuk
memecahkan kesulitan di atas Tanah ini."
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Gede
memang telah mempunyai kepercayaan kepada gurunya,
meskipun agaknya Ki Gede belum yakin siapakah sebenarnya
orang yang telah memberinya obat itu.
Dengan demikian maka agaknya semuanya akan dapat
berjalan dengan lancar, tanpa salah paham yang lebih dalam
lagi. "Ki Gede," berkata Gupita, "sebenarnyalah ayah tidak akan
dapat tinggal diam di dalam tidurnya yang nyenyak."
Ki Argapati mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun
tersenyum. "Pada saatnya ayah pasti akan melibatkan diri di dalam
persoalan ini." "Aku sudah menyangka," sahut Argapati.
"Untuk itu ayah minta maaf. Bukan maksud ayah untuk
mencampuri persoalan Ki Gede."
Ki Gede tidak menyahut. "Tetapi," Gupita meneruskan, "Ayah melihat bahaya yang
akan mengancam bukan saja Tanah ini, apabila Sidanti berhasil
menguasai pimpinan bersama gurunya Ki Tambak Wedi." Gupita
berhenti sejenak, lalu, "Maaf Ki Gede, mungkin putera Ki Gede
sendiri tidak akan tersesat apabila ia tidak kebetulan berada di
dalam lingkungan padepokan Tambak Wedi. Kami tidak tahu,
apakah alasan yang telah mendorong Ki Gede menyerahkannya
kepada seorang yang terlampau bernafsu untuk menjadi
seorang yang sangat berkuasa."
Ki Gede Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
wajahnya kemudian menunduk.
"Maaf, Ki Gede. Bukan maksudku untuk menyentuh perasaan
Ki Gede," cepat-cepat Gupita menyambung kata-katanya.
Ki Argapati menggelengkan kepalanya, "Tidak apa, Anak
Muda. Aku memang sudah merasa, bahwa sebagian dari
kesalahan itu memang ada padaku. Pada yang tua-tua di Tanah
ini, dan guru anak itu. Nah, teruskan pesan ayahmu. Katakan
apa yang ingin kau katakan. Aku tidak akan menyalahkan kau.
Tanggapanmu atau tanggapan ayahmu memang tepat.
Teruskan." "Tidak, Ki Gede," sahut Gupita kemudian. "Bukan itulah pesan
ayahku yang terpenting. Tetapi yang harus aku sampaikan
kepada Ki Gede adalah keinginan ayah untuk menghadap Ki
Gede. Sadah tentu ayah tidak akan dapat begitu saja memasuki
daerah ini. Itulah sebabnya aku yang disuruhnya untuk
merambah jalan. Itu pun telah menimbulkan sedikit salah paham.
Tetapi salah paham yang tidak berarti."
"Ayahmu akan datang kemari?"
"Itu kalau Ki Gede berkenan di hati."
"Tentu. Tentu. Kenapa tidak saja langsung menemui para
penjaga dan berkata bahwa ia akan bertemu dengan aku?"
"Dalam keadaan serupa ini mudah sekali timbul persoalanpersoalan
yang tidak terduga-duga. Aku pun sudah mengatakan
demikian, bahkan dengan menunjukkan obat itu. Tetapi wajar
sekali kalau para pengawal tidak segera mempercayainya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang kehadiran seorang gembala tua seperti ayah, akan
merupakan sesuatu yang tampaknya tidak wajar dalam keadaan
serupa ini." Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
berkata, "Ayahmu memang membuat dirinya menjadi tidak wajar.
Aku tidak tahu, kenapa ia harus menyebut dirinya sebagai
seorang gembala tua" Dan kau menyebut dirimu sebagai
anaknya?" Dada Gupita berdesir mendengar pertanyaan itu. Tetapi
kemudian ia menyadari keadaannya. Sudah tentu orang seperti
Ki Argapati tidak akan dengan mudah mempercayai ceritera
tentang dua orang gembala dengan seorang ayahnya yang tua.
"Gupita," berkata Ki Argapati kemudian, "aku memanggilmu
Gupita, karena kau menyebut dirimu bernama demikian. Aku kira
aku pernah berkenalan dengan orang yang kau sebut ayahmu.
Aku memang mengenal orang yang bersenjata cambuk itu,
meskipun sejak itu orang yang bersenjata cambuk itu selalu
membuat dirinya menjadi kabur. Tetapi aku tidak tahu, apakah
naksudnya dan apakah alasannya. Seperti aku sekarang juga
tidak tahu, kenapa ayahmu itu pun tidak menyatakan dirinya
dalam keadaan sewajarnya. Tetapi itu tidak penting bagiku.
Teka-teki itu memang tidak akan aku cari. Yang penting
sekarang adalah kehadirannya itu. Aku menunggunya dengan
senang hati." Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia pun
melihat keanehan pada dirinya sendiri. Agaknya penyakit
gurunya untuk membuat dirinya berwajah dan bernama seribu
telah menular kepada dirinya tanpa disadarinya. Kenapa
namanya harus berganti, dan kenapa ia menyebut dirinya
seorang gembala?" Gupita menarik nafas. "Aku berada di daerah asing yang
sedang disaput oleh kemelutnya api peperangan," desisnya di
dalam hati. Dan alasan itu sudah agak memberinya kepuasan,
apalagi apabila disebutnya juga, agar Sidanti tidak segera tahu
kehadirannya bersama guru dan saudara seperguruannya.
Tetapi semuanya itu pasti akan segera berakhir. Apabila
gurunya pada suatu saat bertemu dengan Ki Argapati, maka
semuanya akan babar. Dan ia tidak perlu mengingat-ingat nama
yang kadang-kadang membuatnya bingung sendiri.
Karena itu, maka kemudian ia berkata, "Ki Gede, ayah pasti
akan mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatan itu.
Selebihnya, ayah akan mengatakannya sendiri, apakah
sebabnya ia berada di Tanah ini dan apakah sebabnya ia tidak
menyatakan dirinya sewajarnya, apabila benar seperti yang Ki
Gede sebutkan." Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
tersenyum, "Aku menunggu. Setiap saat pintu regol akan terbuka
bagi orang yang kau sebut ayahmu itu. Aku mempercayainya.
Obatnya agaknya akan dapat menolongku." Ki Argapati berhenti
sejenak, lalu, "Perasaan pedih itu sudah berangsur hilang."
"Berbaringlah dan beristirahatlah Ki Gede. Mudah-mudahan
Ki Gede akan segera sembuh," sahut Gupita, yang kemudian
minta diri. "Sebaiknya aku segera mengatakannya kepada ayah.
Aku harus segera menemuinya. Agaknya suhu api di atas bukit
ini cepat sekali meningkat."
"Kau benar. Semakin cepat, semakin baik sebelum Ki
Tambak Wedi mengetahui, bahwa orang-orang berkuda itu
bukan orang yang berhak mempergunakan sebutan orang-orang
bercambuk." Gupita menganggukkan kepalanya. Tetapi terbersit
kecemasan di dalam hatinya. Mungkin Ki Gede benar-benar
mengharap kehadiran gurunya, tetapi bagaimana dengan para
pengawal" Kedatangannya telah menumbuhkan salah paham,
dan hampir-hampir saja menyeretnya ke dalam suatu keadaan
yang sulit. Karena itu, maka dengan agak ragu-ragu ia bertanya, "Ki
Gede, apakah tanda yang harus kami berikan kepada para
pengawal, supaya kami dapat masuk ke daerah ini dengan tidak
menimbulkan salah paham?"
"Ah," desah Ki Gede, "bukankah sebagian dari para pengawal
telah mengenalmu" Meskipun demikian baiklah, aku akan
mengatakannya kepada para pengawal, bahwa kalian akan
mendapat kesempatan untuk masuk. Terutama kepada para
pemimpin." "Terima kasih, Ki Gede," sahut Gupita.
"Panggillah mereka yang berada di luar pintu itu."
"Baik Ki Gede," sahut Gupita yang kemudian melangkah ke
luar ruangan. Ketika ia membuka pintu, dilihatnya ketiga
pemimpin pengawal masih berdiri di ruangan itu. Mereka duduk
di atas sehelai tikar di muka pintu yang menghadap ke
pringgitan, dan langsung dapat melihat ke luar, lewat pintu
pendapa. "Tuan-tuan dipersilahkan masuk," berkata Gupita sambil
membungkukkan kepalanya. Sejenak ketiga pemimpin pengawal itu saling berpandangan.
Namun sejenak kemudian Kerti segera berdiri disusul oleh
Samekta dan kemudian Wrahasta.
"Apakah Ki Gede memanggil kami?" bertanya Kerti.
"Kenapa kita bertanya kepadanya?" sahut Wrahasta. "Ia
orang asing di sini. Marilah kita bertanya langsung kepada Ki
Gede." Gupita mengerutkan keningnya. Pemimpin pengawal yang
seorang ini yang bertubuh raksasa, agaknya terlampau
membencinya tanpa diketahui sebab-sebabnya. Meskipun
demikian, ia mencoba untuk menenteramkan hatinya. Mungkin
karena anak muda yang bertubuh raksasa itu sudah terlanjur
bersikap keras terhadapnya, sehingga ia tidak akan dapat
merubah sikap itu dengan tiba-tiba.
Ketiga pemimpin pengawal itu pun segera melangkah masuk.
Mereka berdiri berjajar di dekat pembaringan Ki Argapati.
sedang Gupita kemudian berdiri beberapa langkah di belakang
mereka. "Pandan Wangi tidak ada di antara mereka," pertanyaan itu
telah mengusik hati Gupita. Tetapi ia tidak berani bertanya.
Ternyata Ki Gede-lah yang kemudian bertanya, "Di manakah
Pandan Wangi?" Sebelum salah seorang dari mereka menjawab. terdengar
suara Pandan Wangi, "Aku di sini, Ayah." Maka sejenak
kemudian gadis itu menjengukkan kepalanya. Tangannya
menjinjing beberapa mangkuk berisi air sere yang hangat.
Beberapa potong gula kelapa dan seonggok jenang alot."
"Oh," Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sepercik
kebanggaan telah memulasi hatinya yang sedang prihatin.
Meskipun putrinya itu membawa sepasang pedang di
lambungnya, namun ia tidak melupakan kuwajibannya sebagai
seorang gadis. Ketika Pandan Wangi kemudian hilang di balik pintu, maka Ki
Gede berkata, "Pandan Wangi telah menyediakan minum kalian.
Tetapi baiklah aku ingin memberikan beberapa pesan. Pada
saatnya, Gupita akan pergi dan kembali lagi ke padukuhan ini
bersama saudaranya yang gemuk dan ayahnya. Aku mengharap
kalian dapat menerima mereka dengan baik, karena mereka
adalah tamu-tamuku. Aku memerlukan mereka terutama karena
obat yang ternyata sangat bermanfaat bagiku. Selainnya akan
kita lihat, hubungan apa lagi yang dapat kita buat dengan
mereka untuk selanjutnya."
Samekta, Kerti, dan Wrahasta tidak segera menjawab. Bagi
Samekta dan Kerti, persoalan itu tidak banyak menimbulkan
masalah di dalam diri mereka. Mereka percaya bahwa Ki Gede
berbuat dengan cukup berhathati. Dan kewajibannya adalah
mengamankan daerah ini dari segala kemungkinan seandainya
ketiganya benar-benar akan datang. Mereka harus diawasi
sebaik-baiknya. Selebihnya, Ki Gede pasti akan memberi
petunjuk-petunjuk. Tetapi persoalan bagi Wrahasta bertambah lagi dengan
masalah pribadinya. Namun sudah tentu ia tidak dapat
mengatakannya. Disimpannya saja perasaan kecewanya itu di
dalam hatinya. Meskipun demikian, betapa dalam ia mencoba
menanam perasaan itu di hadapan Ki Argapati, namun dari
sikapnya, Samekta dan Kerti masih sempat membacanya.
Para pemimpin itu kemudian mengangkat wajah-wajah
mereka ketika mereka mendengar Ki Gede melanjutkan,
"Sementara ini baru itulah yang dapat aku katakan. Selebihnya
akan kalian ketahui nanti setelah ayah Gupita ini berada di
dalam lingkungan kita. Setidak-tidaknya kita akan mendapat
seorang yang mengerti tentang obat-obatan, yang akan memberi
banyak pertolongan bagi kita yang terluka."
"Kita akan menyambutnya dengan senang hati, Ki Gede,"
jawab Samekta. "Ternyata sampai saat ini kita tidak mempunyai
seorang pun yang dengan sungguh-sungguh dapat memberikan
pengobatan. Yang kita lakukan hanyalah sekedar memperingan
penderitaan para korban. Di pihak Sidanti paling sedikit ada dua
orang yang mampu melakukannya. Ki Wasi dan Ki Muni."
"Tetapi," tiba-tiba Wrahasta memotong, "betapapun
tanggapan kita terhadap kedua orang itu, namun bagi Sidanti,
keduanya cukup meyakinkan. Keduanya benar-benar dapat
dipercaya. Apakah kita dapat meyakini pula, bahwa gembala tua
itu dapat kita percaya?"
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kau adalah seorang pengawal yang baik, Wrahasta. Kau
menanggapi setiap persoalan dengan penuh tanggung jawab.
Aku berterima kasih kepadamu. Adalah wajar sekali, bahwa kita
tidak akan segera mempercayai seseorang. Juga gembala tua
itu. Namun biarlah ia datang, aku akan melihat apakah kita
bersama akan mempercayakan diri kita kepadanya di dalam
masalah pengobatan, atau kita akan berbuat lain."
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sambil meng-anggukanggukkan
kepalanya ia berkata, "Ya, Ki Gede."
"Nah, sekarang minumlah. Kemudian Gupita akan segera
pergi untuk memanggil ayahnya. Hari ini atau besok ia akan
kembali." Sekali lagi Wrahasta menganggukkan kepalanya. Samekta,
Kerti, dan Gupita pun mengangguk pula. Sejenak kemudian
maka mereka pun telah berada di luar ruangan, duduk di atas
sehelai tikar pandan yang putih sambil minum air sere dengan
gula kelapa. Tetapi Gupita tidak dapat menikmatinya terlampau lama.
Segera ia minta diri untuk kembali ke rumahnya dan membawa
ayahnya menghadap Ki Argapati.
"Besok aku baru akan menghadap bersama ayah," berkata
Gupita kepada para pemimpin pengawal itu.
"Kami mengharap kedatangan kalian," sahut Samekta.
"Mudah-mudahan dengan demikian, kalian dapat memperingan
pekerjaan kami." "Kami akan berusaha," jawab Gupita.
Maka Gupita pun segera minta diri kepada Pandan Wangi,
untuk menjemput gembala tua yang disebutnya ayahnya.
Samekta, Kerti, dan Wrahasta mengantarkannya sampai ke
regol padesan. Ketika mereka telah berada di luar regol, maka
Samekta berkata, "Selamat jalan. Di hadapan kita terbentang
sebuah lapangan yang menyimpan seribu macam rahasia dan
teka-teki. Kita tidak tahu apa saja yang tersimpan di dalamnya
sekarang. Mungkin di depan kita ini bersembunyi orang-orang
Sidanti, tetapi juga mungkin petugas-petugas sandi kita sendiri.
Atau kedua-duanya. Dengan demikian maka segala macam
peristiwa dapat saja terjadi atasmu."
"Terima kasih," jawab Gupita, "aku akan berhathati. Mudahmudahan
aku tidak menemui kesulitan, Apabila aku menjumpai
bahaya yang tidak dapat aku atasi, aku akan lari kembali masuk
ke padukuhan ini." "Baiklah," jawab Kerti, "Kami menunggu kedatanganmu
bersama ayahmu." Gupita pun kemudian menganggukkan kepalanya dalamdalam.
Sambil tersenyum ia berkata, "Aku akan segera kembali."
Maka sejenak kemudian Gupita itu pun segera melangkah
meninggalkan regol padukuhan itu. Tetapi hatinya berdesir
ketika ia mendengar Wrahasta berkata, "Tunggu. Aku perlu
mengatakan sesuatu kepadamu."
Gupita menghentikan langkah. Namun Wrahasta berkata,
"Berjalanlah terus. Aku akan menemani kau."
Debar jantung Gupita menjadi semakin cepat. Ia tidak
mengerti apakah maksud Wrahasta. Bahkan Kerti pun bertanya,
"Kemanakah kau akan pergi, Wrahasta?"
"Ke tengah-tengah bulak itu," jawab anak muda yang
bertubuh raksasa itu. "Kenapa?" bertanya Samekta pula.
"Jangan takut aku akan dijebak oleh Sidanti," jawab
Wrahasta. "Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diri sendiri.
Aku pun tidak akan pergi terlampau jauh dan terlalu lama. Dan
aku pun tidak akan berbuat apa-apa atas anak ini."
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya
wajah Kerti yang menjadi semakin tegang. Tetapi mereka tidak
dapat menahan Wrahasta. Bahkan di dalam hati Samekta
berkata, "Wrahasta tidak akan mampu berbuat apa pun atas
anak itu. Dan anak itu pun cukup dewasa menghadapi
persoalannya, sehingga tidak akan berbuat sesuatu yang dapat
menggagalkan pembicaraan yang telah dibuatnya dengan Ki
Argapati." Sementara itu Gupita dan Wrahasta telah melangkah semakin
jauh. Dengan dada yang berdebar-debar Kerti dan Samekla
memandang mereka yang berjalan tanpa berpaling lagi.
Apalagi Gupita yang semakin tidak mengerti atas sikap
Wrahasta. Dadanya pun menjadi kian berdebar-debar. Bukan
karena Wrahasta seorang anak muda yang pilih tanding, tetapi
justru karena tanggapannya yang berbeda dengan para
pemimpin yang lain. "Gupita," tiba-tiba terdengar suara Wrahasta datar, "apakah
kau besok benar-benar akan kembali?"
Gupita menjadi semakin heran. Namun ia menjawab, "Sudah
tentu, Tuan. Sudah tentu aku akan kembali."
"Bagaimana dengan adikmu yang gemuk itu?"
"Mungkin ia pun akan ikut pula bersama kami."
Wrahasta berhenti sejenak. Kemudian, katanya, "Sebaiknya
hanya ayah dan adikmu itu saja besok yang datang kembali.
Tanpa kau." "Kenapa?" dengan serta-merta Gupita bertanya.
"Aku tidak senang melihat kehadiranmu di padukuhan ini."
Gupita tidak segera menyahut. Langkahnya menjadi semakin
lambat. Dicobanya untuk memandang wajah raksasa yang
berjalan menunduk disampingnya. Tetapi teka-teki itu tidak


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjawab. "Kedatanganmu telah mengganggu ketenteraman hatiku,"
berkata Wrahasta selanjutnya. "Karena itu, aku terpaksa
melarangmu datang sekali lagi."
"Tetapi, tetapi aku telah berjanji kepada Ki Argapati, bahwa
aku akan membawa ayah dan adikku."
"Suruh saja adikmu mengantar ayahmu itu."
"Terlampau berbahaya. Kemelut di Tanah ini dapat
menimbulkan kemungkinan apa pun terhadap ayahku yang telah
tua, dan adikku yang masih terlampau kanak-kanak."
"Itu bukan urusanku. Yang penting harus kau ingat, kau tidak
boleh memasuki padukuhan ini sekali lagi."
"Itu tidak mungkin," jawab Gupita, "aku sudah ber-janji bahwa
aku akan membawa ayah besok datang menghadap Ki Argapati.
Aku tidak tahu pasti apakah Gupala dapat ikut bersama kami,
apalagi mengantar ayah tanpa aku."
"Terserah kepada keputusanmu," geram Wrahasta kemudian.
"Tetapi kalau kau datang sekali lagi, maka kita untuk seterusnya
tidak akan dapat menjadi kawan yang baik. Mungkin kau belum
merasakan pada harhari pertama. Tetapi selanjutnya, kalau
bukan aku, maka kaulah yang akan mengambil sikap demikian.
Bermusuhan." "Aku tidak mengerti. Apakah sebabnya maka kita harus
membuat garis pemisah. Kalau hal itu hanya sekedar karena
keterlanjuran Tuan dalam salah paham yang baru saja terjadi,
maka itu bukanlah sikap yang matang. Itu masih berada di dalam
daerah pemikiran anak-anak."
Wrahasta tidak segera menjawab. Ia menjadi ragu-ragu,
apakah sebaiknya yang dikatakan. Apakah ia akan berterus
terang, bahwa ia tidak senang melihat hubungan antara anak
yang menyebut dirinya bernama Gupita itu dengan Pandan
Wangi" "Tidak," berkata Wrahasta di dalam hatinya. "Aku tidak perlu
mengatakan alasan itu. Aku mempunyai wewenang yang cukup
di lingkungan para pengawal Tanah Perdikan. Aku tidak perlu
merendahkan diri, memohon kepadanya agar gembala ini
memberi aku kesempatan."
Karena itu, maka Wrahasta itu pun kemudian menjawab, "Aku
tidak perlu mengatakan apakah sebabnya. Tetapi kau tidak
disenangi di daerah kami, karena sikapmu yang sombong.
Mungkin adikmu mempunyai watak yang berbeda, sehingga
orang-orang Menoreh dapat menerimanya dengan senang hati
bersama ayahmu." "Tetapi sudah aku katakan," sahut Gupita, "aku masih harus
mengantar ayah kemari."
"Terserah kepadamu. Aku sudah memberi kau peringatan.
Kalau kau tidak mengindahkannya, maka lambat atau cepat, kau
akan menyesal." Gupita masih akan menyahut, tetapi ia tidak mendapat
kesempatan, karena Wrahasta menghentikan langkahnya sambil
berkata, "Berjalanlah terus. Renungkan kata-kataku. Aku sudah
mencoba memperingatkan kau."
"Maaf," sahut Gupita, "tetapi aku akan mencoba
merenungkannya. Namun besok aku harus datang kembali
bersama ayah dan adikku. Itu tidak dapat aku ingkari, sebab
sudah aku katakan kepada Ki Gede, ketika aku berbicara
dengan Ki Gede sendiri. Tak ada perintah dari siapa pun yang
dapat membatalkan pembicaraanku dengan Ki Gede, karena
menurut pengertianku, Ki Gede adalah orang tertinggi di tlatah
ini." Terasa suatu hentakan telah memukul dada Wrahasta.
Hampir saja ia kehilangan pertimbangan lagi. Untunglah bahwa
Gupita kemudian meneruskan langkahnya sambil berkata,
"Selamat tinggal. Aku akan pulang. Semua persoalan bagi
keluargaku hanya berkisar pada pengobatan bagi Ki Gede. Tidak
ada yang lain." Wrahasta menggeram. Tetapi ia tidak menyahut.
Dipandanginya saja langkah Gupita yang semakin menjauh
tanpa berpaling lagi, menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar
dan ilalang yang tumbuh di atas tanah persawahan yang tidak
digarap, karena saluran airnya yang tidak dapat mengalir. Tidak
seorang pun yang berani mencoba menelusur ujung dari saluran
yang berada di tempat yang paling berbahaya, di hidung
pasukan Sidanti. Wrahasta memandang Gupita sampai hilang di balik
dedaunan. Sekali lagi ia menggeram. Katanya, "Anak itu keras
kepala. Kalau ia benar-benar tidak mau menurut perintahku, aku
akan berbuat sesuatu. Hubungannya dengan Pandan Wangi
harus diputuskan." Dengan langkah yang berat, Wrahasta berjalan kembali ke
mulut desa. Di muka regol Samekta dan Kerti masih berdiri
dengan tegang mengawasinya. Ketika kedua anak-anak muda
itu telah berpisah, maka Samekta menarik nafas dalam.
Katanya, "Agaknya Wrahasta mencoba menjelaskan
persoalannya." Kerti tidak segera menjawab. Namun tanpa sesadarnya
kepalanya terangguk-angguk.
"Mudah-mudahan tidak menjadi bibit persoalan di masa
datang," gumam Samekta kemudian, "selagi kita menghadapi
masalah yang terlampau berat. Sawah-sawah yang kering, dan
persediaan makanan yang menipis."
Kerti masih mengangguk-angguk. Baru kemudian ia
menjawab, "Kita harus segera berbuat sesuatu."
"Harus, tetapi apakah yang dapat kita lakukan selama ini
adalah kemungkinan yang paling tinggi. Kita tidak akan dapat
merebut daerah yang mana pun sebelum Ki Gede sembuh.
Terlampau berat bagi kita untuk menghadapi Ki Tambak Wedi,
Sidanti, Ki Argajaya, dan Ki Peda Sura. Agaknya Ki Wasi dan Ki
Muni pun akan ikut pula secara langsung. Bahkan mungkin Ki
Peda Sura akan membawa dendamnya pula atas Pandan
Wangi." Kerti pun kemudian terdiam. Kata-kata Samekta itu tidak
dapat diingkarinya. Tidak ada seorang pun yang akan mampu
memimpin pasukan Menoreh menghadapi Ki Tambak Wedi,
Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura, ditambah lagi dengan Ki
Wasi dan Ki Muni. "Gembala yang mampu membuat obat itu
harus segera datang. Kalau ia mengobati secara langsung,
maka kesembuhan Ki Gede akan menjadi lebih cepat."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya, "Mudahmudahan
Ki Tambak Wedi tidak segera mengambil
kesempatan." Kerti tidak menyahut lagi. Sementara itu Wrahasta sudah
menjadi semakin dekat. "Kenapa dengan anak itu?" bertanya Kerti kemudian.
Wrahasta mengangkat bahunya yang bidang sambil
menggeram, "Anak setan, ia terlampau keras kepala."
"Apa yang dikatakannya."
"Ia merasa dirinya terlampau berjasa. Ia merasa bahwa
kesembuhan Ki Gede disebabkan karena keluarganya, sehingga
dengan demikian, maka merekalah yang merasa telah
membebaskan Tanah Menoreh apabila kelak Ki Argapati dapat
merebut kembali daerah demi daerah."
Sejenak Samekta dan Kerti saling berpandangan. Bagi
mereka, kata-kata Wrahasta itu agak terlampau aneh menilik
sifat dan watak gembala yang menyebut dirinya Gupita itu.
Namun mereka tak menyahut sepatah kata pun.
Ternyata Wrahasta pun tidak berhenti meskipun Samekta dan
Kerti masih berdiri di tempatnya. Wrahasta itu berjalan langsung
menuju ke regol dan hilang di balik pintu. Yang kemudian masih
tetap berdiri di tempatnya adalah para pengawal dan para
petugas di regol desa itu.
Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
mereka pun melangkah perlahan-lahan. Sampai di depan regol
Samekta berkata kepada para pengawal, "Hathatilah. Di mana
pemimpin kelom-pokmu?"
Dengan tergopoh-gopoh seorang anak muda maju ke depan
sambil menjawab, "Akulah yang bertanggung jawab kini, Kiai."
"Sampaikan kepada setiap pengganti, bahwa pada saatnya
gembala itu akan kembali lagi bersama dengan adik dan
ayahnya. Mereka telah mendapat ijin langsung dari Ki Gede.
Kalau kalian ragu-ragu, hubungilah aku."
Pemimpin kelompok itu tidak segera menjawab. Tetapi ia
berpaling ke arah Gupita hilang di balik gerumbul di tengahtengah
sawah yang telah menjadi liar. Namun kemudian
dipandanginya pintu regol, seolah-olah ingin melihat ke manakah
Wrahasta pergi sekarang. Samekta menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang
tertera di dalam dada pemimpin kelompok itu. Ia tahu benar
bahwa baru saja terjadi persoalan yang se-akan-akan belum
terselesaikan antara Wrahasta dan gembala itu. Belum ada
pernyataan, bahwa gembala itu tidak bersalah, dan tuduhan
Wrahasta terhadapnya ternyata tidak benar. Bahkan sampai saat
terakhir ia masih melihat sikap Wrahasta yang tegang terhadap
gembala yang baru saja meninggalkan pedukuhan mereka.
"Anak itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
Sidanti," berkata Samekta kemudian. "Tetapi adalah sewajarnya
bahwa Wrahasta harus bersikap hathati. Kita semua pun harus
bersikap hathati. Namun agaknya Ki Gede sendiri melihat,
bahwa ketiga ayah beranak itu sama sekali tidak berbahaya bagi
kita, dan bahkan mereka akan dapat membantu pengobatan Ki
Gede yang sedang parah."
Pemimpin kelompok itu menganggukkan kepalanya. "Baik.
Kami akan menerima mereka dengan hathati."
"Bagus," sahut Samekta. "Pesan ini berlaku bagi setiap
pengganti di gardu ini."
Sekali lagi pemimpin kelompok itu mengangguk, "Baik."
Samekta dan Kerti pun segera melangkah masuk ke dalam
regol. Namun terasa dada mereka telah dibebani oleh sesuatu
yang seolah-olah menyangkut pada tangkai jantung. Sikap
Wrahasta agaknya berpengaruh pula pada para pengawal.
Sementara itu, Gupita berjalan semakin lama semakin cepat.
Dicarinya tempat-tempat yang dapat memberinya perlindungan
dari sudut-sudut pandangan kedua belah pihak. Ia tidak ingin
diikuti, maupun di amat-amati, baik oleh orang-orang Samekta
sendiri, apalagi orang-orang Sidanti. Itulah sebabnya kemudian
ia menyusup masuk ke dalam pategalan yang bera, berjalan di
antara rimbunnya gerumbul perdu yang liar.
Ketika Gupita telah sampai di gubugnya yang kecil, maka
segera diceriterakannya perjalanannya kepada gurunya yang
disebutnya sebagai ayahnya. Adik seperguruannya,
mendengarkannya dengan dada yang berdebar-debar.
Tiba-tiba saja ia memotong, "Kenapa tidak kau putar saja
leher anak yang bertubuh raksasa itu" Bukankah dengan
demikian setiap mata menjadi terbuka, bahwa kami tidak sedang
merunduk-runduk minta sesuap nasi kepada mereka?"
"Ah," gurunya menyahut, "itu kurang bijaksana. Apa yang
dilakukan Gupita telah mendekati sikap yang paling baik.
Agaknya dugaan kita benar, bahwa telah terjadi semacam
pertandingan cambuk."
"Apakah Guru mengetahui?"
"Aku mendengar lecutan-lecutan cambuk dari pategalan yang
kering di sebelah padukuhan itu. Tetapi karena kau tidak
memperdengarkan ledakan yang dapat kami anggap
bersungguh-sungguh, maka kami pun tidak mengambil sikap
sesuatu. Tetapi betapa pun juga, aku menganggap bahwa
perjalanan pendahuluanmu telah berhasil. Kau telah bertemu
dengan Ki Argapati dan menyampaikan pesanku kepadanya.
Besok kita harus benar-benar datang dan membantu kesulitan
yang sedang dihadapi oleh Kepala Tanah Perdikan yang sedang
prihatin itu." "Baik, Guru," sahut Gupita.
"Nanti malam kita akan melihat dari dekat, apakah yang telah
dilakukan, baik oleh orang-orang Argapati maupun oleh orangorang
Tambak Wedi." "Kepungan yang dilakukan itu telah menjadi semakin rapat
dan menyempit, Guru."
"Kesan itu memang sengaja ditimbulkan oleh Ki Tambak
Wedi. Tetapi Tambak Wedi sendiri masih tetap dalam keraguraguan.
Usaha Ki Argapati untuk membuat kesan yang merata,
hampir di seluruh daerah Menoreh, tentang orang-orang
bercambuk itu agaknya juga cukup berhasil."
"Tetapi apakah Ki Tambak Wedi tidak akan dengan tiba-tiba
saja menyergap?" "Dapat juga terjadi. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi sedang
berusaha untuk meyakinkan dirinya, apakah orang-orang
bercambuk itu benar-benar kalian. Setelah ia yakin, pasti ia akan
segera bertindak. Keyakinan itu perlu baginya untuk
memperhitungkan keseimbangan dari kedua pasukan. Sampai
saat ini selisih kekuatan di antara keduanya tidak begitu tampak,
meskipun Ki Argapati menjadi semakin terjepit. Ki Tambak Wedi
menyadari, bahwa Ki Argapati, meskipun ia tidak sedang terluka,
tidak akan berani melawan pasukannya di tempat terbuka. Ki
Tambak Wedi tahu pasti, bahwa kekuatan Argapati hanya akan
dapat mengimbanginya dengan bantuan perlindungan seperti
yang terjadi sekarang. Karena itu, Ki Tambak Wedi dapat lebih
leluasa bergerak, karena pasukannya agak lebih baik dan lincah.
Terutama orang-orang yang bukan berasal dari daerah ini
sendiri." Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi tiba-tiba saja Gupala bertanya, "Lalu apakah yang dapat
kita lakukan bertiga?"
Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya sambil
tersenyum, "Unsur pimpinan memegang peranan yang penting.
Dalam perang seperti yang pernah terjadi di Sangkal Putung,
maka apabila pimpinannya telah tidak berdaya, maka
pengaruhnya akan tajam sekali terhadap anak buahnya. Karena
itu, kita akan membantu, berdiri pada setiap pasukan untuk
menghadapi orang orang seperti Ki Tambak Wedi sendiri,
Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, Ki Wasi, Ki Muni, dan beberapa
orang yang lain. Sedang di pihak Ki Argapati selama ini hanya
ada dua orang yang terpercaya. Ki Argapati sendiri yang
kebetulan sedang terluka dan Pandan Wangi. Pemimpinpemimpinnya
yang lain masih agak jauh ketinggalan dari orangorang
Tambak Wedi." Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja
wajahnya menjadi cerah. Sambil tersenyum ia berkata, "Sudah
terlampau lama kita diperam di dalam gubug yang sempit ini.
Kita akan bangun dan menggeliat untuk mengendorkan urat-urat
kita yang hampir membeku."
Mendengar kata-kata Gupala, maka gurunya menarik nafas


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalm-dalam. Muridnya yang muda ini memang agak lain dari
kakak seperguruannya. Namun orang tua itu tidak berkata apa
pun. Bahkan kemudian ia bangkit dan berkata, "Beristirahatlah.
Nanti malam kita berjalan-jalan."
Kedua muridnya mengangguk. Dan Gupita menjawab, "Baik,
Guru." Orang tua itu pun kemudian melangkah ke luar ruangan
gubug kecil itu, pergi ke belakang, ke kandang kambing.
Dilontarkannya beberapa gumpal rumput segar sambil
bergumam, "Akan sampai saatnya kita berpisah. Ternyata aku
bukanlah seorang gembala yang baik."
Sementara itu Gupita dan Gupala masih duduk di dalam.
Sejenak mereka berdiam diri, tenggelam dalam angan-angan
masing-masing. Gupita masih mencoba mencari sebab, kenapa
Wrahasta sangat membencinya, bahkan mengancamnya supaya
tidak datang ke padukuhan itu sekali lagi.
"Aku baru bertemu untuk pertama kali," berkata Gupita di
dalam hatinya, "tetapi sikapnya sangat menyakitkan hati."
Namun Gupita itu terkejut ketika terasa adik seperguruannya
yang gemuk itu menggamitnya sambil bertanya, "Kapan kita
pergi kepada Ki Gede Menoreh itu?"
"Besok, setelah nanti malam kita melihat keadaan," jawab
Gupita. "He," desis Gupala perlahan-lahan sambil bergeser
mendekat. Gupita mengerutkan keningnya. Agaknya adiknya
yang gemuk itu mempunyai persoalan yang penting dan rahasia.
Karena itu dengan sungguh-sungguh ia mendengarkannya
ketika Gupala bertanya, "Kau sudah bertemu dengan Ki
Argapati, bukan?" "Ya," Gupita mengangguk.
*** "Tetapi kau belum berceritera kepadaku lebih banyak tentang
gadis berpedang rangkap itu."
Gupita menjadi heran, "Kenapa" Apakah yang harus aku
ceritakan tentang gadis berpedang rangkap itu?"
Tiba-tiba Gupala tersenyum. Senyum yang aneh
mengambang di bibirnya, sehingga pipinya yang gembung itu
bergerak-gerak, "Maksudku, apakah gadis itu cantik?"
"Oh," Gupita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Aku
sangka kau ingin mengetahui, apakah gadis berpedang rangkap
itu mampu mengalahkan Sidanti."
"Bukankah ia adiknya?"
"Ya, tetapi menilik ketangkasannya dan kemampuannya
berkelahi melawan Ki Peda Sura, ia akan mampu mengimbangi
Sidanti, meskipun aku tidak mengatakan bahwa ia dapat
mengalahkan kakaknya itu. Kalau mereka bertemu dan terlibat
dalam perkelahian, maka akan terulanglah benturan kekuatan
dari perguruan Tambak Wedi dan perguruan Menoreh."
"Ya, ya," potong Gupala, "tetapi kau belum menjawab
pertanyaanku. Apakah gadis itu cantik."
"Ah," Gupita berdesah, "apakah kepentingan kita dengan
gadis itu" Cantik atau tidak cantik, tidak ada bedanya bagi
peperangan ini." Kini Gupala-lah yang mengerutkan dahinya. Sambil
menggerutu ia berdiri, "Kenapa kau berahasia" Bukankah kau
sudah bertemu beberapa kali dengan gadis itu."
"Tetapi aku lebih memperhatikan pedangnya daripada
wajahnya." Tiba-tiba Gupala berhenti. Sambil mengacungkan jarinya ia
berkata, "Awas kalau kau tidak mau memperkenalkan aku
dengan puteri Kepala Tanah Perdikan itu. Nanti adikku akan aku
minta kembali dari padamu. Setuju?"
"Ah," potong Gupita dengan serta-merta, "ada-ada saja kau
ini." Gupala tidak menyahut. Terus saja ia melangkah ke luar.
Namun ketika ia sudah berada di luar, terdengar suara
tertawanya berkepanjangan.
Gupita yang masih duduk di tempatnya menarik nafas dalamdalam.
Tiba-tiba saja membayang di rongga matanya wajahwajah
gadis yang pernah dikenalnya. Seorang gadis yang
manja, dan yang seorang adalah seorang gadis yang merasa
wajib berdiri sendiri karena ia telah kehilangan ibunya. Tetapi
keduanya adalah gadis-gadis yang keras hati.
Gupita menghentakkan dirinya, sambil meloncat berdiri.
Dalam keadaan serupa itu, tidak sewajarnya ia berpikir tentang
gadis-gadis. Karena itu maka ia pun segera melangkah ke luar
menyusul adiknya. Pergi mencari kayu bakar di kebun belakang.
Sementara itu Gupala telah duduk pada sebuah cabang
pohon rambutan yang sedang berbuah. Sambil mengunyah ia
melempari Gupita dengan kulitnya. Ketika Gupita
menengadahkan wajahnya Gupala berkata, "Aku tidak sabar
menunggu saat itu datang. Bahkan matahari itu kini serasa
menjadi terlampau malas."
"Sebentar lagi senja akan datang. Kita akan segera bersiap
untuk pergi." Gupala segera meloncat turun sambil berkata lantang, "Aku
akan mandi dulu." "Kenapa mandi?" bertanya Gupita. "Meskipun kau harus juga
mandi, tetapi kenapa kau tidak berkata, bahwa kau akan
mempersiapkan senjatamu."
"Senjata itu tidak pernah terpisah daripadaku. Tetapi aku
memang perlu mandi. Siapa tahu, nanti malam aku bertemu
dengan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh dengan
sepasang pedang di lambungnya."
Gupita menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebelum ia
menjawab, Gupala telah berlari menyusup ke gerumbul di
belakang halaman rumahnya menuju ke sungai untuk mandi.
Yang terdengar hanyalah derai tertawanya yang renyah.
Demikianlah, maka ketika matahari telah tenggelam di balik
pebukitan, maka Gupita bersama guru dan adik seperguruannya
telah siap untuk berangkat. Karena banyak sekali kemungkinan
yang dapat terjadi maka ketiganya benar-benar berada dalam
kesiagaan sepenuhnya. Mereka akan melihat dua kekuatan yang
setiap kali berhadapan, namun mereka masing-masing masih
ragu-ragu untuk memulainya.
"Hathatilah Gupala," pesan gurunya sebelum mereka
berangkat, "Kita tidak akan pergi melamar puteri Ki Argapati. Kita
akan melihat ujung-ujung senjata yang telah merunduk."
"He," Gupala mengerutkan keningnya, namun ia pun
kemudian tertawa dan berkata, "apakah salahnya kalau
sekaligus kita pergi melamar."
"Kau akan kecewa kalau kau sudah melihatnya," potong
Gupita. "Gadis itu meskipun tangkas tetapi berparas sama sekali
tidak menarik." Gupala tidak menjawab. Tetapi ia tertawa saja
berkepanjangan. Suaranya itu terputus ketika gurunya berkata,
"Marilah kita berangkat supaya kita tidak terlambat. Kita akan
melihat bagaimana Ki Tambak Wedi membawa pasukannya
setiap kali untuk menakut-nakuti lawannya."
Sejenak Gupita memandangi adik seperguruannya.
Kemudian keduanya tersenyum. Namun Gupala tidak berkata
sepatah kata pun lagi. Tangannyalah yang kemudian merabaraba
senjatanya yang melingkar di bawah bajunya.
Ketiganya pun kemudian meninggalkan halaman gubug
mereka, setelah Gupita dan Gupala menyediakan rumput yang
cukup bagi kambing-kambing mereka.
"Mudah-mudahan mereka datang lagi malam ini," berkata
gembala tua itu kepada kedua muridnya.
"Mudah-mudahan," desis Gupala.
"Tetapi kita tidak dapat mengabaikan usaha Ki Tambak Wedi
untuk menemukan orang-orang berkuda. Agaknya sampai
malam ini ia masih berusaha terus."
Gupita dan Gupala tidak menyahut. Tetapi mereka masih
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu kakkaki
mereka masih terus melangkah mendekati pusat pertahanan
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
"Kita harus memilih jalan yang paling aman," berkata orang
tua itu. "Kita tidak akan melalui jalan ini. Kita akan menyusup ke
pategalan yang tidak ditanami itu, supaya kita lepas dari setiap
pengawasan." Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ketika kemudian gurunya berbelok masuk ke dalam pategalan,
maka keduanya mengikutinya pula.
Sementara gelap malam mulai menjamah Tanah Perdikan
Menoreh. Semakin lama menjadi semakin gelap. Namun ketiga
orang itu masih saja berjalan dengan hathati, menyusup
gerumbul-gerumbul perdu. Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika gembala tua itu
berhenti sambil mengangkat tangan kanannya.
"Ada apa, Guru?" bertanya Gupala.
"Sst," desis gurunya, "Kau dengar suara gemeremang itu."
Kedua muridnya mencoba memasang telinganya.
Sebenarnyalah mereka mendengar suara beberapa orang
bercakap-cakap. "Hathati," desis gembala tua itu, "Tunggulah di sini. Tahanlah
suara pernafasanmu. Kita belum tahu siapakah mereka ini.
Biarlah aku saja yang mendekat. Mungkin Ki Tambak Wedi di
antara mereka." Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka
sambil berjongkok di belakang segerumbul perdu. Sementara itu
guru mereka telah mulai merayap mendekati sumber suara itu.
"Apakah mereka akan lewat di sini?" terdengar seseorang
berbicara. "Ya. Mereka akan mengambil jalan ini. Setiap kali mereka
keluar dari sarang mereka, mereka memilih jalan ini, kemudian
setelah sarang mereka terkepung, mereka mulai berkeliaran
hampir ke segenap sudut Tanah Perdikan Menoreh."
Gembala tua yang menjadi semakin dekat, menjadi berdebardebar
mendengar suara itu. Suara itu adalah suara Ki Tambak
Wedi. Sejenak kemudian, suara itu terdengar lagi, "Mereka tidak
dapat aku temui di tempat lain, karena setiap kali mereka
merubah arah. Aku sudah mencari mereka dengan menyilang
Tanah ini. Tetapi aku tidak pernah menemui mereka di
perjalanan. Kali ini aku tidak sabar lagi. Kita tunggu saja mereka
di depan hidung pusat pertahanan mereka. Kita menghadapi dua
kemungkinan. Mereka lari masuk kembali ke dalam sarang atau
para pengawal yang lain keluar setelah mereka mendapat
isyarat dari orang-orang berkuda."
"Mereka sombong. Mereka adalah pengawal-pengawal
terpilih. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi apa pun
juga, sehingga mereka tidak akan mudah menjadi bingung."
"Tetapi jumlah mereka tidak seberapa. Bukankah Kiai sudah
mempersiapkan pasukan yang akan menjebak, apabila
pengawal itu nanti keluar dari daerah pertahanan mereka untuk
menolong orang-orang berkuda ini, jika mereka sempat
memberikan isyarat?"
"Ya, tetapi dengan cara ini aku tidak yakin, apakah aku akan
dapat mengetahui, apalagi menangkap orang-orang bercambuk
itu. Apakah aku dapat mengetahui, bahwa mereka sebenarnya
orang-orang yang dapat disebut orang-orang bercambuk, bukan
sekedar permainan yang licik dari Argapati."
"Kita dapat melihatnya, bahkan lebih baik kalau kita dapat
menangkapnya." "Itulah yang aku ragukan. Sedang untuk seterusnya kita tidak
akan mendapat kesempatan, karena mereka pasti tidak akan
meninggalkan sarang mereka itu lagi."
"Kita harus bekerja sebaik-baiknya. Kita kepung mereka,
supaya tidak seorang pun yang dapat lolos. Kita serahkan para
pengawal yang akan datang membantu kepada pasukan yang
lain, yang bertugas untuk menjebak mereka."
"Ya, aku memang telah mengatur sebelumnya," terdengar
suara Ki Tambak Wedi berat. "Mereka harus datang dalam dua
rombongan. Yang pertama mendahului yang lain, dan bersiap
menjebak orang-orang Menoreh. Mereka harus bersembunyi di
tempat yang sebaik-baiknya. Sedang yang lain akan datang
menurut gelar yang biasa kita pergunakan. Dengan demikian
orang-orang Menoreh tidak akan melihat gelar sandi kita untuk
menjebak beberapa bagian dari orang-orang mereka.
Seandainya kita gagal mengetahui siapakah orang-orang yang
bersenjata cambuk itu, namun setidak-tidaknya kita sudah akan
dapat mengurangi sebagian dari kekuatan mereka."
"Ya, ya. Apa pun yang akan terjadi, kita akan mendapat
keuntungan daripadanya. Bukankah begitu, Kiai?"
"Ya," jawab Ki Tambak Wedi, lalu, "bersiaplah. Menurut
beberapa petugas sandi, saat-saat beginilah mereka itu lewat.
Sebetar lagi, seperti biasa, pasukan kita akan mengepung
padukuhan itu. Aku harap mereka yang akan menjebak orangorang
Menoreh telah bersiap pula."
Dada gembala tua itu menjadi berdebar-debar. Ternyata Ki
Tambak Wedi yang tidak berhasil menemukan orang-orang
berkuda itu, kini bertekad untuk mencegat mereka di depan
sarangnya. "Mereka harus diberi tahu rencana ini," gumam orang tua itu
di dalam hatinya. "Kalau tidak, maka benturan ini akan dapat
menjadi pepucuk dari peraug yang sebenarnya. Sedang
agaknya Ki Argapati masih belum siap menghadapi keadaan
yang demikian. Apalagi apabila pasukannya terpancing keluar.
Maka mereka pasti akan mengalami bencana."
Orang tua itu pun segera beringsut surut. Ditemuinya kedua
muridnya dan dengan singkat diberitahukannya, apa yang
didengarnya dari Ki Tambak Wedi langsung.
"Sampaikan persoalan ini kepada pimpinan pengawal,"
desisnya perlahan-lahan kepada Gupita.
Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya,
"Kalau aku kembali seorang diri ke padukuhan itu mungkin aku
akan mengalami akibat yang kurang baik, Guru. Wrahasta
sangat membenciku tanpa aku ketahui sebab-sebabnya."
"Tetapi tidak ada orang lain yang dapat menghubunginya,"
jawab gurunya. "Aku, Guru. Aku dapat pergi juga ke padukuhan itu menemui
Ki Argapati atau pemimpin pengawal yang lain," sahut Gupala.
"Ah," desah gurunya, "kita belum tahu, apakah sebabnya
Wrahasta membenci Gupita. Mungkin ia akan memperlakukan
hal serupa itu, dan kau lebih tidak dapat mengendalikan dirimu
lagi." "Aku akan berusaha, Guru," jawab Gupala.
Gurunya tidak segera menjawab. Sambil menundukkan
kepalanya ia berkata lambat, seolah-olah kepada diri sendiri,
"Pasukan berkuda itu akan dicegat tidak saja oleh Ki Tambak
Wedi, tetapi oleh sepasukan pengikut Ki Tambak Wedi itu.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian telah disediakan pasukan yang akan menjebak
seandainya para pengawal mengirimkan bantuan apabila orangorang
berkuda yang terlibat dalam perkelahian itu memintanya.
Sementara itu pasukan Tambak Wedi yang lain telah merayap
mendekati padukuhan ini dengan diam-diam, sebelum mereka
muncul seperti apa yang biasa mereka lakukan." Kemudian
dengan tegang ia berkata, "Pasukan itu pasti akan hancur,
Gupita. Mereka hanya akan mendapat kesempatan untuk
mundur masuk ke dalam padukuhan. Sepanjang perjalanan
mundur itu, korban pasti akan berjatuhan. Sementara pasukan
berkuda itu pun tidak akan dapat tertolong lagi. Apalagi apabila
Cula Naga Pendekar Sakti 6 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Udah Belom 2

Cari Blog Ini