Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 26

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 26


tempat-tempat seperti yang telah kita bicarakan."
"Baik, Ki Gede."
Sepeninggal Samekta, Ki Gede pun segera membenahi
pakaiannya. Sebuah bayangan yang kelam melintas di
kepalanya. Hari depan Tanah ini.
Tanpa sesadarnya Ki Gede berdesah. "Kenapa tanah
perdikan yang dibinanya ini harus mengalami benturan di antara
kadang sendiri, sehingga mengguncang seluruh tata kehidupan
yang ada di dalamnya?"
"Aku tidak dapat selalu menyalahkan orang lain," berkata Ki
Gede itu di dalam hatinya, "kalau aku mampu mengikat setiap
hati dari rakyat Menoreh, betapa pun mereka dibujuk dan
dihasut, mereka tidak akan berpihak kepada orang lain. Tetapi
ternyata bahwa sebagian dari rakyat Menoreh tidak dapat
bertahan di tempatnya. Mereka telah berpaling kepada janjjanji
yang diberikan oleh orang lain. Dan itu pertanda, bahwa
perbawa dan pengaruhku sebagai pengikat Tanah ini masih jauh
daripada sempurna." Sekilas Pandan Wangi menatap wajah ayahnya yang suram,
ia tahu bahwa ayahnya sedang diliputi oleh kabut penyesalan.
Karena itu, Pandan Wangi tidak mengganggunya. Bahkan ia
sendiri dengan bersusah payah, sedang berusaha mengatasi
gejolak di dalam dadanya. "Apakah pada suatu saat aku akan
berhadapan dengan Kakang Sidanti" Atau dengan Paman
Argajaya?" Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi menurut
ketentuan, yang telah disetujui bersama, ia tidak akan
berhadapan dengan keduanya. Ia harus mendampingi ayahnya
melawan Ki Tambak Wedi. Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Ia mengerti
benar, siapakah Ki Tambak Wedi. Dan sebentar lagi ia harus
bertempur melawannya, meskipun di samping ayahnya.
Sekalkali dipandanginya kedua orang yang duduk diam
sambil menimang cambuk. Yang seorang kadang-kadang
tersenyum-senyum sendiri, sedang yang lain menganggukanggukkan
kepalanya. Agaknya mereka sedang merenungi jenis
senjata yang berada di tangan mereka.
"Apakah Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga dapat memenuhi
harapan kita bersama?" pertanyaan itu selalu mengganggu
perasaan Pandan Wangi. "Tetapi keduanya adalah prajuritprajurit
Pajang. Mudah-mudahan mereka dapat menempatkan
dirinya. Tetapi lawan yang dihadapinya kali ini adalah orangorang
yang tangguh." Dalam pada itu, di pategalan tidak terlampau jauh dari
padukuhan itu, sepasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh
yang lain sedang menunggu pula perkembangan keadaan.
Mereka pun telah melihat tanda yang melontar di udara. Dan
mereka pun hampir menjadi yakin, bahwa malam ini mereka
harus bertempur matmatian.
Di antara mereka, gembala tua dan kedua anak-anaknya
duduk sambil berbicara tentang berbagai kemungkinan bersama
para pemimpin kelompok pasukan Menoreh. Namun mereka
menjadi tercengang-cengang ketika gembala tua itu mengambil
sesuatu dari kantongnya kemudian melekatkannya di bawah
hidungnya. "He. Apakah itu, Kiai?" bertanya seseorang. "Apakah kumis
Kiai sendiri tidak dapat tumbuh?"
Gembala itu tersenyum. Jawabnya, "Aku mengharap dengan
kumis setebal ini, aku menjadi lebih garang, sehingga apabila
aku bertemu dengan lawanku nanti, sebelum aku mulai
bertempur mereka telah lari terbirit-birit.
Betapa dada mereka dicengkam oleh ketegangan, namun
beberapa di antara mereka sempat juga tertawa
berkepanjangan. Salah seorang dari mereka berkata, "Begitu
mudahnya, Kiai" Bagaimana kalau kita semua memakai kumis
palsu sebesar itu" Apakah musuh kita nanti akan segera
menarik diri sebelum bertempur?"
Kawan-kawannya serentak tertawa pula. Gembala tua itu pun
tertawa. "Apakah akan kita coba?" bertanya gembala itu. Mereka pun
tertawa semakin keras, sementara orang tua itu telah
melekatkan kumisnya dengan perekat yang dibawanya di dalam
kantong ikat pinggangnya.
"Apakah kumis itu nanti tidak akan rontok?" bertanya yang
lain. "Kalau terjadi demikian, maka musuh yang telah lari itu akan
segera datang kembali."
Gembala tua itu masih saja tertawa. Jawabnya, "Perekatku
adalah sebangsa getah yang sangat baik. Kalau tidak dihapus
dengan minyak aku kira sampai tiga hari masih akan melekat
juga." Orang tua itu berhenti sejenak. Lalu, "Siapakah yang akan
mencoba?" "Ah, lebih baik tidak," jawab yang lain lagi. "Kalau kawankawanku
tidak mengenal aku lagi, maka jangan-angan leherku
akan dicekiknya sendiri."
Gembala tua itu tertawa. Kemudian diberikannya sepasang
jambang kepada Gupala, "Kau pakai jambang ini. Wajahmu
terlampau kekanak-kanakan. Dengan jambang ini, kau
bertambah dewasa dan mempunyai kesan seorang pengawal."
Gupala tidak menyahut. Diterimanya saja sepasang jambang
itu. Kemudian dilekatkannya di kedua pipinya.
"Kau mirip seorang pemimpin perompak," desis Gupita.
Gupala mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun
tertawa. Katanya, "Apakah yang harus dipakai oleh Kakang
Gupita, supaya wajahnya tidak sesayu itu."
"Janggut. Kau pakai janggut bercabang ini. Kesannya akan
sangat menakutkan?" Gupita mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak begitu
senang, tetapi dipakainya juga janggut itu. Ia mengerti benar
maksud gurunya. Kenapa mereka harus memakai bermacammacam
samaran itu. Dalam hiruk-pikuk pertempuran, maka
samaran yang sepintas sudah akan mengaburkan bentuknya
yang sebenarnya. Orang-orang yang melihat mereka bertiga itu pun tidak dapat
menahan tertawa mereka. Bahkan salah seorang berkata,
"Apakah kalian tidak yakin kepada kemampuan kalian sendiri,
sehingga kalian memerlukan segala macam permainan itu"
Kenapa kalian tidak memakai topeng raksasa atau topeng jin
sama sekali?" Ketiganya tersenyum. Tetapi mereka tidak menyahut. Mereka
asyik membetulkan letak samaran di wajah-wajah mereka.
"Nah," berkata gembala tua itu, "sekarang aku adalah seorang
yang pasti akan menggetarkan lawan-lawanku." Lalu kepada
kedua anak-anaknya ia berkata, "Kalian pun kini menjadi
semakin meyakinkan untuk turun di medan peperangan."
Gupala dan Gupita tersenyum, betapa kecut senyumnya.
Mereka harus menyesuaikan dari dengan sifat gurunya,
sehingga karena itu, maka mereka pun tidak dapat berbuat lain
daripada mengotori wajah-wajah mereka dengan sebangsa ijuk
yang lembut itu, dan membiarkan orang yang melihatnya tertawa
berkepanjangan. Namun suara tertawa mereka itu pun segera terputus ketika
pengawas yang ada di luar pategalan berkata lantang, "He.
Lihat. Panah api tiga kali berturut-turut. Pengawas terakhir di
depan pertahanan kita telah melihat pasukan lawan. Agaknya
pasukan Ki Tambak Wedi sudah dekat."
Gembala tua itu segera berdiri dan berjalan ke luar pategalan.
Tetapi ia sudah tidak melihat panah api tiga kali berturut-turut itu.
"Kali ini agaknya Ki Tambak Wedi mempergunakan gelar
yang lain dari yang dipakainya seharhari," gumam gembala tua
itu. "Kali ini mereka sama sekali tidak membawa obor."
Gupita dan Gupala yang berdiri di sampingnya menganggukanggukkan
kepala mereka. "Ya," hampir bersamaan keduanya
menyahut. "Kalau begitu kita harus segera bersiap. Mungkin kita harus
segera berbuat sesuatu."
Pemimpin pasukan kecil itu pun segera mempersiapkan diri
mereka. Agaknya pasukan Ki Tambak Wedi telah menjadi
semakin dekat. Setiap saat akan dilihatnya tanda-tanda dari
padukuhan itu, bahwa mereka harus mulai bergerak.
Gupala dan Gupita pun telah mempersiapkan diri mereka.
Tetapi kali ini mereka tidak bersenjata cambuk, meskipun
cambuknya tidak lepas dari lambungnya. Namun di peperangan
nanti mereka harus bersenjata pedang.
"Sudah agak lama aku tidak berpedang lagi," desis Gupala
sambil menimang-nimang pedangnya. "Apalagi pedang ini
terlampau kecil." "Tidak, bukan pedang itu yang terlampau kecil. Tetapi
pedangmu yang bertangkai gading itulah yang bukan pedang
biasa." Gupala mengerutkan keningnya. Ia lalu menarik pedangnya,
dan mempermainkan sejenak. Diputar-putarnya pedang di
tangannya sambil berdesis, "Mudah-mudahan aku masih mampu
menggerakkan pedang." Tetapi kemudian ia pun tersenyum
ketika ia melihat gurunya mengawasinya.
"Tanganku menjadi kaku," desisnya.
"Hanya sebentar. Nanti akan segera biasa kembali setelah
kau menggerakkannya beberapa lama," jawab gurunya.
"Asal saat yang sebentar itu bukan berarti kesempatan bagi
lawan untuk membelah dada ini," desis Gupala.
Gurunya mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Tanpa senjata
pun kau harus siap maju ke medan perang."
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut
lagi. Dilontarkannya pandangan matanya ke dalam gelapnya
malam. Sambil menyarungkan pedangnya ia berdesis, "Di sana
nanti akan meloncat panah-panah api yang akan memberikan
tanda-tanda kepada kita."
Gurunya pun kemudian memandang ke dalam kegelapan itu
pula. Namun sejenak kemudian ia melangkah masuk lagi ke
dalam pategalan. "Aku akan menunggu sambil duduk. Waktu
yang kita nantikan tidak terbatas. Mungkin sampai tengah malam
Ki Tambak Wedi baru mulai bergerak, bahkan mungkin tidak
sama sekali." Gupita dan Gupala pun mengikutinya pula. Sejenak Gupita
masih menggerakkan pedangnya, namun sejenak kemudian
pedang itu disarungkannya pula.
Tanda yang terakhir itu ternyata telah dilihat pula oleh
Wrahasta di atas pelanggerangan di samping regol darurat.
Karena itu, maka setiap orang di dalam lingkungan
pertahanannya harus segera mempersiapkan dirinya. Semua
peralatan telah diperiksa, dan semua dada telah menjadi
berdebar-debar. Ki Argapati yang telah mendengar laporan tentang tanda itu
pun menjadi berdebar-debar pula. Sekalsekali dipandanginya
wajah puterinya yang menunduk, kemudian wajah-wajah
pemimpin-pemimpin pasukannya. Akhirnya, ditatapnya kedua
wajah orang-orang baru yang tenang dan meyakinkan.
Hanggapati dan Dipasanga. Meskipun kemampuan orang-orang
itu masih belum dapat dipercaya sepenuhnya, namun
kehadirannya telah memperingan tugasnya. Dan ia berterima
kasih kepada Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring
Pasar, yang telah mengirimnya kemari.
Samekta pun kemudian telah berada di depan regol pula.
Dipandanginya kegelapan malam yang terhampar di
hadapannya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ternyata Ki
Tambak Wedi benar-benar ingin merayap mendekati pertahanan
itu tanpa diketahui oleh lawan-lawannya. Karena itu, maka
Samekta pun segera memerintahkan untuk memadamkan
semua obor dan lampu di sekitar regol. Dengan demikian, maka
keadaan akan menjadi seimbang. Ki Tambak Wedi juga tidak
akan segera dapat melihat pertahanannya dengan jelas, bahkan
mereka pun harus memperhatikan arah dengan baik untuk dapat
mencapai pintu regol dengan tepat.
Namun betapa pun gelapnya, mata yang tajam masih juga
dapat melihat bayangan-bayangan yang bergerak di tempat
terbuka. Tetapi jarak jangkaunya menjadi sangat terbatas.
Demikian juga Samekta, Wrahasta dan juga Ki Tambak Wedi
sendiri. Tetapi sebagai seorang yang memiliki banyak kelebihan
dari orang lain, meskipun lampu-lampu di regol padukuhan itu
dipadamkan, namun Ki Tambak Wedi tidak kehilangan arah.
"Kita langsung pergi ke depan regol itu," perintahnya.
Pasukannya pun merayap semakin dekat. Meskipun mereka
tidak kehilangan arah, namun Ki Tambak Wedi mengumpat pula,
"Licik. Mereka sama sekali tidak memasang lampu sehingga
kami tidak mempunyai ancar-ancar sama sekali."
Argajaya yang dekat di sampingnya, tidak menjawab. Tetapi
ia berkata di dalam hatinya, "Mereka pun mengharap kita
membawa obor sebanyak-banyaknya, supaya mereka dapat
membidik setiap dahi dengan tepat."
Pasukan Ki Tambak Wedi itu semakin lama menjadi semakin
dekat. Namun betapa pun juga mereka merayap dengan hatihati,
tetapi akhirnya batang ilalang yang bergerak-gerak itu dapat
juga dilihat oleh Wrahasta dan Samekta.
Samekta terkejut, ketika tiba-tiba saja pasukan Tambak Wedi
itu telah berada beberapa puluh langkah daripadanya. Karena
itu, maka dengan tergesa-gesa ia segera masuk ke dalam regol
dan menutupnya kuat-kuat.
Sejenak kemudian telah tersebar kepada setiap pemimpin
kelompok Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh bahwa
musuh telah berada di depan hidung mereka. Karena itu, maka
semua orang telah bersiap di tempatnya masing-masing dengan
kelengkapan masing-masing pula.
"Awasi mereka Wrahasta," berkata Samekta kepada
Wrahasta yang masih berada di tempatnya. "Aku akan menemui
Ki Gede." "Baik," jawab Wrahasta, "aku akan memberitahukan apabila
ada perkembangan yang cepat."
Samekta kemudian pergi sendiri menemui Ki Gede Menoreh,
dan melaporkan apa yang dilihatnya. Meskipun tidak begitu
jelas, tetapi agaknya Ki Tambak Wedi telah benar-benar
mengerahkan segala kekuatan yang ada padanya. Pasukan
segelar sepapan kini telah berada di hadapan regol induk.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini benar
akan terjadi benturan di antara mereka. Siapa pun yang akan
menang, maka artinya tidak akan jauh berbeda. Kekuatan
Menoreh akan jauh menjadi susut. Meskipun demikian Ki
Argapati tidak dapat melepaskan kekuasaannya begitu saja,
justru untuk kepentingan hari depan Tanah Perdikan ini.
"Apakah akan jadinya apabila Tanah ini dikemudikan oleh
orang-orang seperti Ki Tambak Wedi itu?" katanya di dalam hati.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan justru karena itulah maka ia bertahan matmatian. Bukan
untuk kepentingan pribadinya, tetapi untuk tanah perdikan ini
sendiri. Ki Argapati pun kemudian mempersiapkan dirinya.
Diperiksanya sekali lagi kain pembalut lukanya yang dipasang
oleh gembala tua itu. Kemudian obat yang diberikannya, untuk
mengatasi keadaan yang parah meskipun hanya berlaku untuk
sementara. "Rasa-rasanya aku sudah sembuh benar-benar," desisnya.
"Tetapi Ayah masih belum sembuh dan belum pulih seperti
sediakala," Pandan Wangi memperingatkan.
"Karena itulah aku masih mempergunakan pembalut ini, dan
aku masih selalu membawa obat yang diberikan orang tua itu.
Tetapi aku merasa bahwa aku sudah siap mengatasi segala
keadaan." Kemudian kepada Samekta ia berkata, "Marilah, aku
akan melihat pasukan Tambak Wedi."
Ki Argapati pun kemudian mempersilahkan Ki Hanggapati dan
Ki Dipasanga, bersama mereka ke regol padukuhan itu untuk
menyongsong lawan yang sebentar lagi akan datang.
Hanggapati dan Dipasanga pun kemudian mengikutinya.
Namun di halaman Hanggapati berbisik, "Aneh-aneh saja orang
tua yang menyebut dirinya gembala itu. Kenapa aku harus
bertempur dengan senjata semacam ini" Aku tidak biasa
mempergunakan senjata lentur, meskipun aku diwajibkan dapat
mempergunakan segala macam senjata."
Dipasanga tersenyum. Sambil menimang cambuknya ia
berkata, "Apabila terpaksa, apa boleh buat. Cambuk ini akan aku
letakkan, dan aku akan bertempur dengan pedangku ini."
Hanggapati pun tersenyum pula. "Ya, itu adalah cara yang
paling baik. Bukankah maksud gembala tua itu hanya sekedar
menarik perhatian, bahwa ternyata yang memegang cambuk kali
ini orang lain" Karena gembala tua itu sendiri justru bersenjata
bentuk lain." Dipasanga mengangguk-anggukkan kepalanya. "Orang tua
itu memang orang yang aneh. Seperti kata Angger Sutawijaya, ia
senang mempergunakan seribu nama dan seribu keadaan."
Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak berbicara lagi. Mereka kini telah berada beberapa langkah
dari regol induk. Ternyata pasukan pengawal Menoreh telah
benar-benar siap menghadapi setiap kemungkinan.
Mereka bukan saja menyediakan segala macam senjata,
tetapi mereka juga menyediakan air dan pasir. Tidak mustahil
bahwa orang-orang Ki Tambak Wedi akan mempergunakan
panah-panah api untuk berusaha membakar pertahanan
pasukan pengawal. Namun Pasukan Pengawal Menoreh itu pun telah
menyediakan panah-panah api pula yang akan mereka sebarkan
ke barisan lawan, apabila mereka telah sampai pada batas yang
telah ditentukan. Ternyata di hadapan regol, pasukan Menoreh
telah menebarkan jeramjerami kering dan bumbung-bumbung
minyak yang akan segera tumpah apabila disentuh kaki.
(***) Buku 43 KI ARGAPATI yang kemudian berdiri di depan regol itu
memandangi bayangan barisan lawan di dalam gelap malam. Ia
tidak dapat menduga, berapa besar pasukan lawan itu.
Tetapi agaknya pasukan Ki Tambak Wedi itu pun berhenti
beberapa puluh langkah di depan regol. Beberapa lama mereka
mengatur gelar yang akan dipergunakan dan menempatkan
orang-orang terpenting pada tempat yang telah ditentukan.
"Kita tidak akan dapat menahan mereka di luar regol," desis
Ki Argapati kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Samekta, Wrahasta, Kerti, Hanggapati, Dipasanga, Pandan
Wangi, dan beberapa pemimpin kelompok terdekat. "Mereka
akan merupakan banjir bandang yang tidak tertahankan. Karena
itu jangan berbuat bodoh dengan usaha yang sia-sia itu. Tetapi
kalian harus berusaha, mengurangi jumlah lawan sebanyakbanyak
dapat kalian lakukan pada saat mereka mendesak
masuk. Kita akan bertempur di dalam regol apabila mereka
sudah memecahkan pertahanan kita. Karena itu, kita harus
mempersiapkan arena itu. Sehingga kita mendapat keuntungan
karenanya. Dalam perang campuh, kita harus masih mendapat
kesempatan, mempergunakan senjata-senjata lontar. Itulah
sebabnya, maka kita harus memanfaatkan pagar-pagar batu.
Mereka tidak akan memperhitungkan sampai sejauh itu."
Samekta dan para pemimpin yang lain menganggukanggukkan
kepala mereka. Persiapan itu memang telah
dilakukannya. Peringatan Ki Gede ini telah memantapkan cara
itu untuk melawan serangan yang kurang diketahui, betapa
besarnya. "Begitu mereka mulai bergerak," sambung Ki Argapati,
"berikan tanda-tanda kepada pasukan yang berada di luar regol.
Mereka akan menyerang pasukan lawan dari belakang. Mudahmudahan
pengaruhnya cukup baik bagi kita." Ki Argapati
berhenti sejenak, lalu, "Kalian tidak boleh salah menempatkan
diri. Kalian telah mcmpunyai lawan masing-masing, sehingga
kalian harus menemukannya. Kalau tidak rencana kita tidak akan
berjalan dengan baik. Orang-orang terpenting di pihak lawan
akan menimbulkan terlampau banyak korban."
Para pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Hanggapati dan Dipasanga sejenak saling
berpandangan. Mereka belum mengenal seorang demi seorang,
apalagi lawan, sedang kawan sendiri pun masih belum
dikenalnya dengan baik. "Beri kami petunjuk," berkata Hanggapati, "supaya kami tidak
keliru memilih lawan."
"Ya," jawab Ki Argapati, "Wrahasta akan bersama Ki
Hanggpati dan Kerti akan berada bersama Ki Dipasanga.
Mereka akan membawa kalian berdua kepada lawan-lawan
kalian untuk bertempur bersama-sama. Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga masih belum dapat menimbang betapa jauh
kemampuan lawan, karena sebelumnya belum pernah
mengenalnya." Hanggapati dan Dipasanga mengangguk-anggukkan
kepalanya. Berkata Dipasanga, "Yang penting bagi kami
bukanlah untuk mengenal kemampuan. Hampir setiap prajurit di
peperangan tidak mengenal kemampuan lawan-lawannya
sebelumnya. Yang penting bagi kami, karena lawan-lawan kami
telah ditentukan sebelumnya adalah orang-orangnya. Siapakah
dan yang manakah yang bernama Ki Tambak Wedi, Sidanti,
Argajaya, Peda Sura, dan yang lain lagi."
"Ya, ya," Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "aku
dapat mengerti. Mudah-mudahan dalam hiruk-pikuk
pertempuran, rencana yang telah kita susun itu dapat kita
lakukan dengan baik."
Hanggapati dan Dipasanga mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Mereka menyadari, bahwa lawan-lawan mereka adalah
orang-orang yang memiliki kemampuan tidak kalah dari para
perwira Pajang. Karena itu, maka pertempuran kali ini tidak akan
dapat dianggapnya sebuah perkelahian antara mereka yang
sedang berebut air sawah, meskipun hakekatnya tidak jauh
berbeda. Tetapi keduanya adalah pengawal yang telah dipercaya oleh
Ki Gede Pemanahan, untuk mengawani putera satu-satunya,
menyelami pedalaman Alas Mentaok. Keduanya adalah perwiraperwira
yang dapat dibanggakan. Keduanya tidak jauh berbeda
kemampuan dari Sutawijaya sendiri.
Dan kini mereka berdua mendapat tugas untuk mendekatkan
hubungan antara Mentaok, yang masih harus membangun hari
depannya dengan Menoreh, yang kini sedang dibakar oleh api
perpecahan. "Aku harus dapat menunaikan tugas ini dengan baik," berkata
Hanggapati di dalam hatinya. "Kalau aku gagal, maka
pendekatan hubungan antara Angger Sutawijaya dan Ki Argapati
ini pun akan gagal pula. Tetapi kalau aku berhasil bersama Ki
Dipasanga, maka setidak-tidaknya, Ki Argapati akan mengingatTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
ingatnya di dalam hatinya. Apabila Angger Sutawijaya kelak
berhasil membuka Mentaok, Menoreh pasti tidak akan
mengganggunya." Sedang Dipasanga pun berpendirian serupa itu pula,
sehingga meskipun kini mereka sedang berada di antara
lingkungan yang baru saja dikenalnya, namun mereka merasa,
bahwa tugas mereka harus mereka lakukan sebaik-baiknya
untuk kepentingan Sutawijaya.
Demikianlah, maka para pemimpin Menoreh itu pun telah siap
untuk menyambut lawan mereka. Wajah-wajah mereka segera
menjadi tegang, ketika bayangan di atas sawah yang kering di
hadapan regol itu mulai bergerak-gerak, seperti seleret pagar
yang hitam yang maju perlahan-lahan di antara batang-batang
ilalang yang tumbuh liar.
"Mereka telah mulai bergerak," desis Samekta.
"Ya. Mereka telah mulai."
Setiap orang mulai menahan nafasnya, seperti Ki Tambak
Wedi juga menahan nafas. Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, Ki
Muni, Ki Wasi, dan pemimpin yang lain telah ditempatkan di
tempat masing-masing. Dan pasukannya kini telah mulai
merayap mendekati regol padukuhan di hadapan mereka. Ki
Tambak Wedi menyadari, bahwa di sekitar regol itu telah siap
segala macam ujung senjata yang akan menyambutnya. Namun
tidak ada pilihan lain daripada bertempur. Tidak ada pilihan lain
daripada menumpas mereka, yang akan dapat menjadi benih
persoalan di masa depan. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak
menghiraukan lagi, apakah dengan demikian ia telah
menyisihkan rasa perikemanusiaan.
Sejenak kemudian, setiap tangan telah menggenggam
senjata yang telanjang. Beberapa orang di setiap kelompok
diperlengkapi dengan senjata-senjata jarak jauh. Panah, bandil
dan bahkan tulup-tulup berduri. Di samping mereka yang
berperisai, pelontar senjata-senjata jarak jauh itu harus berusaha
mengurangi tekanan senjata-senjata yang dilontarkan oleh
lawan. Maka setelah Ki Tambak Wedi merasa saatnya telah tiba,
pasukannya itu pun dibawanya maju semakin dekat. Jarak yang
semakin dekat itu telah membuat kedua belah pihak menjadi
semakin berdebar-debar. Setiap orang mulai menilai diri. Dan
setiap orang mulai bertanya-tanya, siapakah lawan yang akan
dibinasakannya" Jarak yang memisahkan kedua pasukan itu menjadi semakin
dekat. Sebentar lagi mereka pasti akan segera berbenturan.
Dalam benturan yang dahsyat itu, mereka sudah tidak akan ingat
lagi, bahwa mereka pernah hidup dalam satu lingkungan
keluarga besar yang bersama-sama membina tanah perdikan ini.
Yang pernah bersama-sama membuat sawah-sawah dan
pategalan menjadi hijau. Menebas hutan untuk membuka tanahtanah
baru. Menggali parit, dan membuat jalan-jalan.
Kini mereka telah terbelah dengan senjata di tangan masingmasing.
Sedang dada mereka telah terbakar oleh kebencian dan
nafsu-nafsu yang lain, yang tidak terkendali lagi.
Dan kini mereka telah siap untuk saling membunuh. Ya,
saling membunuh. Tanpa belas kasihan, tanpa
berperikemanusiaan. Apalagi perintah Ki Tambak Wedi. Semua
harus dimusnahkan. Mereka akan menjadi rabuk bagi kesuburan
dan kemakmuran tanah ini di hari kemudian.
Ki Argapati menunggu pasukan lawan menjadi semakin
dekat. Ia tidak akan menerima lawannya dekat di depan regol.
Tetapi ia akan mundur beberapa puluh langkah. Ia memerlukan
suatu arena yang luas untuk melawan pasukan Ki Tambak Wedi
yang tidak akan dapat tertahan di mulut regol, karena Ki Argapati
telah dapat membayangkan, betapa dahsyatnya banjir bandang
yang akan melanda padukuhan dan pertahanannya kali ini.
Namun menurut perhitungannya, korban mereka pun tidak akan
terhitung lagi. Demikianlah, maka pasukan Ki Tambak Wedi itu pun telah
menjadi semakin dekat. Samekta yang telah berjanji untuk
memberitahukan kepada gembala tua dan sebagian pasukannya
yang berada di pategalan di sebelah padukuhan, itu pun segera
memerintahkan untuk melepaskan tiga buah anak panah api ke
udara, seperti yang telah dijanjikan. Tetapi panah api itu bukan
sekedar pemberitahuan kepada pasukan Menoreh yang ada di
luar padukuhan, tetapi juga merupakan perintah bagi setiap
orang dari pasukan pengawal tanah perdikan ini untuk berada di
tempatnya, dan bagi mereka yang berkuwajiban untuk
menyerang pasukan Tambak Wedi dengan senjata-senjata
pelontar, untuk segera mulai memasang anak-anak panah, dan
lembing-lembing yang akan segera mereka lepaskan apabila
perintah berikutnya telah diberikannya.
Sejenak kemudian, maka meluncurlah tiga buah panah api
berturut-turut ke udara. Ki Tambak Wedi dan orang-orangnya yang melihat panah api
itu mengerutkan kening mereka. Mereka sadar, bahwa tanda itu
pasti merupakan suatu perintah. Tetapi mereka tidak tahu, arti
dari perintah itu. Meskipun demikian, Ki Tambak Wedi pun kemudian
meneriakkan aba-aba yang segera disahut oleh para pemimpin
kelompok, untuk berwaspada.
"Panah berapi itu pasti mengandung suatu maksud. Hatihatilah.
Kita sudah sampai ke hidung lawan. Sebentar lagi
senjata-senjata mereka akan menghujani kita. Berlindunglah
pada perisaperisai kalian."
Belum lagi gema perintah itu hilang, maka ternyatalah, bahwa
Samekta telah memberikan perintah berikutnya atas persetujuan
Ki Argapati. Kali ini bukan panah api yang naik ke udara, tetapi sebuah
panah api yang langsung dilepaskan oleh Samekta sendiri ke
arah pasukan Ki Tambak Wedi.
Beberapa orang pengawal yang melihat panah api itu pun
segera menyadari, bahwa pertempuran sudah dimulai.
Sekejap kemudian, maka beberapa panah api telah meluncur
pula dari dalam lingkungan pring ori. Beberapa obor terpaksa
dinyalakan untuk membakar ujung panah berapi itu.
Ki Tambak Wedi pun kemudian menggeram. Dengan suara
bergetar ia segera meneriakkan perintah, "Balas setiap panah
dengan panah. Setiap nyawa dengan nyawa."
Anak buahnya pun segera menyiapkan perisaperisai mereka
dan di belakang orang-orang yang berperisai itu, beberapa orang
telah menyiapkan busur dan anak-anak panah pula.
Sejenak kemudian, maka udara di antara kedua pasukan itu
pun segera dipenuhi oleh anak-anak panah yang hilir-mudik ke
arah yang berlawanan. Anak-anak panah para pengawal yang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersenjata di balik pring ori dan anak-anak panah orang-orang Ki
Tambak Wedi yang mencoba melindungi diri mereka dengan
perisaperisai. Bukan saja anak-anak panah bedor berujung runcing yang
berterbangan kian kemari, tetapi juga panah-panah api, seolaholah
menarnari di udara. Pasukan Ki Tambak Wedi yang merayap maju itu sama sekali
tidak menghiraukan bumbung-bumbung kecil di bawah kakkaki
mereka. Dengan demikian, maka mereka telah menggulingkan
beberapa di antara bumbung-bumbung yang berisi minyak,
semakin lama semakin banyak. Dan minyak itu agaknya telah
menangkap api yang terlontar dari panah-panah api dari balik
pring ori. Dengan demikian, maka api pun segera berkobar pada
jerami yang sengaja ditebarkan oleh para pengawal Menoreh.
"Licik," Ki Tambak Wedi menggeram. Mau tidak mau, maka
api itu pun telah mengganggu pasukannya. Bahkan beberapa
orang yang lengah telah terjilat api jerami di bawah kakkaki
mereka. Api itu pun sejenak kemudian telah menjalar. Api yang
terlontar pada ujung-ujung panah api telah membakar jerami itu
di beberapa tempat, sehingga jerami yang terbakar itu pun
kemudian seolah-olah merupakan pagar yang menjilat-jilat ke
udara. Api itu benar-benar telah berhasil menahan arus pasukan Ki
Tambak Wedi. Mereka harus berhathati, supaya kaki mereka
tidak terbakar karenanya.
Dalam kesempatan yang demikian itulah, pasukan pelontar
lembing dan busur-busur di dalam pagar pring ori itu melepaskan
lembing dan anak-anak panah. Seperti hujan senjata-senjata itu
menyambar pasukan Ki Tambak Wedi yang sedang terhambat
maju. Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengumpat. Sidanti yang menjadi
kian marah berteriak nyaring, "Jangan takut. Mereka menjadi
licik karena mereka ketakutan melihat arus pasukan kita yang
datang seperti banjir bandang. Pecahlah regol itu, kita jadikan
padukuhan itu menjadi karang abang."
Pasukan Ki Tambak Wedi pun kemudian bersorak gemuruh.
Tetapi mereka masih belum dapat maju, karena api yang
membakar jerami di depan regol itu masih menyala-nyala,
sementara anak-anak panah menyambar-nyambar di atas
kepala mereka. Satu dua dari mereka ternyata menjadi lengah. Selagi mereka
meloncat-loncat menghindari api di bawah kaki mereka, maka
sementara itu dada mereka telah disambar oleh sebuah anak
panah. Korban telah mulai berjatuhan.
Justru karena itulah, maka kemarahan Ki Tambak Wedi,
Sidanti, Argajaya, dan para pemimpin yang lain menjadi semakin
memuncak. Namun api jerami itu pun tidak dapat bertahan terlampau
lama. Sejenak kemudian, api itu telah mulai surut. Meskipun
demikian, api itu telah berhasil menahan mereka dalam garis
lontaran anak-anak panah dan lembing, sehingga senjatasenjata
itu telah berhasil merenggut beberapa nyawa dari lawan
mereka. "Kita maju terus," teriak Ki Tambak Wedi.
Orang yang telah berada di depan api jerami itu tidak segera
maju. Mereka masih menunggu pasukan yang lain, yang
terpisah oleh api yang sudah hampir padam.
"Cepat, maju terus!" teriak Ki Tambak Wedi pula.
Namun mereka masih belum dapat maju. Sisa-sisa api dan
abu jerami itu masih terlampau panas, sementara anak-anak
panah dan lembing masih terus menghujani mereka, sehingga
satu demi satu korban pun kian bertambah-tambah.
Baru sejenak kemudian, pasukan itu dapat melampaui bekas
api jerami yang di sana-sini masih menyimpan bara.
Dan ternyata kemudian, untuk melampaui garis yang dibuat
oleh para pengawal Menoreh dengan jerami dan minyak itu,
pasukan Ki Tambak Wedi sudah harus menyerahkan beberapa
orang korban. Namun korban-korban itu seperti api yang
menyentuh minyak di dalam dada para pemimpinnya. Dengan
kemarahan yang menyala-nyala, mereka merayap semakin
dekat. Panah dan lembing berloncatan di udara. Semakin lama
semakin banyak. Bahkan ada di antara senjata-senjata itu yang
berbenturan di udara dan jatuh di tanah tanpa menyentuh
korbannya sama sekali. Ki Gede melihat pasukan lawan yang semakin maju itu
dengan dada yang berdebar-debar. Ternyata pasukan itu cukup
kuat. Dan Ki Gede Menoreh itu tahu benar, bahwa sebagian dari
mereka, bukanlah orang-orang Menoreh. Orang yang datang
untuk pamrih-pamrih pribadi, itulah yang membuat Ki Gede
terlampau prihatin. Orang-orang itu sama sekali tidak
memikirkan kepentingan apa pun, selain kepentingan diri mereka
sendiri. Sehingga dengan demikian, Menoreh sama sekali tidak
akan berarti lagi bagi mereka, apabila maksud mereka telah
dapat tercapai. Namun ada juga di antara mereka, di antaranya
Ki Peda Sura, yang menginginkan Menoreh yang lain dari
Menoreh yang sekarang. Selain dapat memberikan keuntungan
pribadi secara langsung, juga di waktu-waktu mendatang.
Menoreh akan tetap merupakan sumber yang tidak akan keringkeringnya
bagi dirinya dan orang-orangnya.
Tetapi Ki Gede juga berbangga, melihat kebulatan tekad para
pengawal tanah perdikannya. Wajah-wajah mereka yang mantap
dan sorot mata mereka yang membara, telah menyatakan,
bahwa mereka bersedia melakukan apa saja untuk kepentingan
tanah ini. Apalagi setelah mereka mendengar ceritera tentang
pasukan berkuda Menoreh, yang telah berhasil menerobos
masuk ke padukuhan induk. Ternyata, bahwa Ki Tambak Wedi
bukan iblis yang melihat segala keadaan dan segala peristiwa di
atas tanah ini. Suatu ketika orang yang mengerikan itu dapat
juga lengah. Semakin dekat pasukan Ki Tambak Wedi, maka hujan senjata
dari balik pring ori itu pun menjadi semakin lebat. Meskipun
orang-orang Ki Tambak Wedi membalas juga, namun
kedudukan orang-orang di balik pring ori itu ternyata jauh lebih
baik dari mereka yang berlindung di balik perisai, karena arah
lontaran anak panah lawan tidak dapat diperhitungkan.
Namun betapapun lambatnya, pasukan lawan itu maju terus.
Bahkan ketika regol padukuhan itu sudah menjadi semakin
dekat, tiba-tiba terdengar Ki Tambak Wedi yang memimpin
langsung serangan itu berteriak nyaring. Dan sejenak kemudian,
seperti banjir bandang, pasukan itu mengalir melanda regol.
Sesaat Samekta tertegun, melihat arus manusia yang hampirhampir
seperti kehilangan perasaannya. Namun sejenak
kemudian ia menyadari keadaannya, sehingga segera turun pula
perintahnya agar pasukan pelontar yang menebar di belakang
pring ori, segera menarik diri menghadap regol padukuhan.
Menempatkan dirinya di balik pagar-pagar batu di sepanjang
jalan. Mereka harus menyongsong pasukan Ki Tambak Wedi,
yang pasti akan memecahkan regol.
Hanya beberapa orang sajalah yang tertinggal di belakang
pring ori untuk mengawasi apabila ada usaha lain yang
dilakukan oleh pasukan lawan.
Demikianlah, maka sebagian besar dari alat-alat pelontar
yang dapat dipindah dari tempatnya segera dibawa ke balik
pagar-pagar batu menghadap ke regol, yang sebentar lagi akan
dipecahkan oleh pasukan Ki Tambak Wedi.
"Kurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya dapat kalian
lakukan," perintah Samekta. "Sebagian langsung menyerang
pasukan yang baru masuk itu dari depan, sedang yang lain
harus memukulnya dari samping, apabila sebagian dari mereka
justru telah masuk."
Setiap pemimpin kelompok pasukan pelontar senjata jarak
jauh itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka tahu
benar, apa yang harus mereka lakukan.
"Dalam keadaan yang tidak teratasi, kalian harus mundur dan
bergabung dengan pasukan yang lain."
Sekali lagi mereka mengangguk. Tanpa sadar, mereka telah
meraba hulu pedang di lambung mereka.
"Nah, lakukanlah."
Orang-orang itu pun kemudian berlarlari kembali ke
kelompok masing-masing. Dengan dada berdebar-debar,
mereka menunggu orang-orang Ki Tambak Wedi yang sedang
berusaha untuk membuka pintu regol di dalam hujan anak-anak
panah, yang dilontarkan oleh para pengawal di sebelahmenyebelah
regol. "Pecahkan regol itu!" teriak Ki Tambak Wedi.
Beberapa orang yang dipimpin langsung oleh Sidanti,
berusaha memecah regol itu dengan kekerasan. Karena regol itu
terlampau kuat dengan selarak kayu sebesar paha, maka
Sidianti berusaha mencari cara lain. Bukan pintunyalah yang
akan dipecahkannya. Tetapi dinding sebelah menyebelah pintu
darurat itu. Beberapa orang berusaha memecah dinding itu dengan
kapak dan berbagai macam senjata yang mereka bawa.
Agaknya usaha itu berhasil. Sedikit demi sedikit papan-papan
kayu itu pecah dan memberi kesempatan ujung senjata
mengungkit sisa-sisanya. Sejenak kemudian, Sidanti telah berhasil memecahkan
dinding itu. Dengan lantang ia berteriak, "Masuk, buka selarak
pintu." Seseorang dengan tergesa-gesa menyusup masuk lubang
yang telah berhasil mereka buat. Tetapi begitu ia masuk,
jatuhlah ia tertelungkup. Sebuah anak panah telah terhunjam di
dadanya. Sidanti menggeram. Ia sadar, meskipun di depan regol itu
tidak ada pasukan yang menghadang mereka, tetapi begitu pintu
itu pecah, maka ujung-ujung anak panah akan berterbangan
menyongsong mereka. Dalam keragu-raguan itu, terdengar Ki Tambak Wedi
berteriak, "Pecahkan dinding itu lebih lebar lagi!"
Dan Sidanti pun melakukannya. Dinding itu menjadi semakin
menganga. Dan Sidanti pun semakin keras berteriak, "Masuk
dengan perlindungan perisai!"
Seseorang segera menyusup masuk dengan sebuah perisai
yang menutup dada dan kepalanya. Tetapi ketika tangannya
baru menyentuh selarak ia pun jatuh terguling. Mati oleh anak
panah dari lambung. Kini Sidanti menjadi semakin marah. Tetapi ia pun menjadi
semakin banyak mengetahui, tentang kesiagaan lawannya.
Karena itu, ia harus mengambil cara yang lain. Dan sekali lagi ia
berteriak kepada orang-orangnya, "Jangan hanya satu orang.
Masuklah beberapa orang bersama-sama."
Dinding yang pecah di sisi pintu itu pun menjadi semakin
lebar. Kini beberapa orang menyusup bersama-sama. Tidak
hanya dari satu sisi, tetapi dari kedua belah pihak.
Beberapa orang yang telah berada di dalam pintu gerbang itu
pun segera membuat lingkaran untuk melindungi diri mereka
dengan perisai yang satu dengan yang lain saling bersentuhan
rapat, seolah-olah mereka telah berada di dalam suatu lingkaran
baja yang rapat, dan tidak tembus oleh panah.
Tetapi orang-orang Menoreh tidak kehabisan akal. Mereka
tidak lagi memakai panah-panah berujung runcing. Tetapi
mereka kemudian melemparkan panah-panah api lewat di atas
perisaperisai itu. Orang-orang yang melidungi dirinya dengan perisai itu
mengumpat-umpat sambil meloncat-loncat karena api yang
menyentuh kakkaki mereka, meskipun mereka telah menutup
diri dengan perisaperisai ganda. Seorang berjongkok yang lain
berdiri, dalam satu lingkaran di depan pintu regol itu.
Tetapi api yang dilontarkan begitu saja telah jatuh bertaburan
di sekitar mereka, bahkan ada yang jatuh tepat di atas kepala.
Sesaat kemudian, lingkaran perisai itu pun segera terurai.
Tetapi pada saat yang bersamaan, seseorang telah berhasil
mengangkat selarak pintu regol yang besar itu pada satu sisinya.
"Setan," geram Samekta yang berdiri di atas dinding batu.
Tangannya segera terentang. Dan sejenak kemudian sebuah
anak panah meluncur menyusup pagar perisai yang telah pecah,
langsung menghunjam ke punggung orang yang sedang
berusaha mengangkat selarak pintu itu.
Terdengar ia terpekik. Kemudian terhuyung-huyung jatuh
terlentang. Sekali lagi ia mengeluh tertahan, ketika palang pintu
yang besar itu jatuh menimpa kepalanya. Kemudian untuk
seterusnya ia terdiam. Mati.
Namun dengan demikian pintu regol itu sudah menganga.
Seperti prahara yang tidak tertahankan lagi, dan pintu itu
bagaikan bendungan yang akan pecah. Perlahan-lahan
kekuatan yang tidak terkira di luar pintu itu mendesak terus,
sehingga akhirnya pintu itu pun terbuka.
Seperti banjir bandang, orang-orang Ki Tambak Wedi
kemudian berjejalan memasuki regol itu.
Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh. Sekejap kemudian, maka muntahlah dari
setiap busur, anak-anak panah menghujani regol. Sejenak
kemudian segera terdengar teriakan dan pekik tertahan.
Beberapa orang segera jatuh terbanting di tanah karena dada
mereka ditembus oleh panah dan lembing.
"Pergunakan perisai kalian!" teriak Sidanti.
Barulah orang-orang itu sadar. Tetapi korban telah
berjatuhan. Kini mereka dengan hathati maju sambil melindungi
diri masing-masing dengan perisai.
Tetapi demikian, mereka berada di dalam regol, maka mereka
pun segera berlari berpencaran di sepanjang jalan. Bahkan
mereka pun segera berusaha meloncat masuk ke dalam
halaman sebelah-menyebelah jalan.
Namun ternyata, para pengawal tanah perdikan telah siap
menyambut mereka. Sebelum mereka berhadapan dalam arena
perang, maka para pengawal tanah perdikan masih sempat
menyerang mereka dengan anak-anak panah dan lembing.
Namun kesempatan untuk itu menjadi semakin sempit, karena
jumlah lawan yang menjadi semakin banyak dan dekat.
Ki Argapati melihat semuanya itu dengan dada yang
berdebaran. Kemudian ia pun memberikan isyarat kepada
orang-orangnya untuk menemukan lawan yang telah ditentukan.
Ia sendiri masih berdiri tegak di tempatnya, di antara pengawalpengawalnya
yang paling terpercaya. Di sampingnya berdiri
puteri satu-satunya, Pandan Wangi, yang telah menggenggam
sepasang pedangnya.

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka akan segera datang Wangi," desis ayahnya.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ketika ia
berpaling, dilihatnya tombak pendek ayahnya telah merunduk.
Pasukan lawan itu pun semakin lama semakin maju perlahanlahan.
Mereka kini telah menebar, memencar ke segala arah.
Namun untuk sampai di garis itu, mereka sudah harus
menyerahkan terlampau banyak korban, seperti yang telah
diduga oleh Ki Argapati. Ternyata dalam keadaan yang demikian, Ki Tambak Wedi
masih tetap berhasil menguasai pasukannya. Masih tampak
jelas, bahkan pasukannya itu maju dalam gelar. Gelar Gajah
Meta, meskipun harus disesuaikan dengan keadaan. Arena
agaknya terlampau sempit untuk merubah gelar itu ke dalam
bentuk yang lain. Ki Argapati memang sudah menduga. Satu-satunya gelar
yang paling menguntungkan bagi Ki Tambak Wedi. Mereka
masih berada di dalam lingkungan yang sempit, karena mereka
belum berhasil menebarkan pasukan mereka. Apalagi karena
mereka berhadapan dengan gelar yang ternyata telah dipasang
oleh Samekta, Sapit Urang.
Sementara itu, Wrahasta telah berdiri di samping Hanggapati.
Mereka berdua harus menemukan Sidanti di dalam hirukpikuknya
peperangan itu, sedang Kerti harus mengantar
Dipasanga mencari Argajaya, atau apabila keadaan memaksa,
dapat terjadi sebaliknya. Yang penting, bahwa Sidanti dan
Argajaya dapat terikat dalam suatu perkelahian yang seimbang,
sehingga mereka tidak terlampau banyak menghisap korban.
Samekta yang mendapat kepercayaan memimpin,
perlawanan itu kini telah mendekatkan dirinya kepada Ki
Argapati. Keadaan menjadi terlampau sulit baginya. Karena itu,
maka ia harus selalu berada disamping Ki Gede, agar segala
perintahnya tidak menyesatkan.
Ki Gede Menoreh tidak beranjak dari tempatnya. Ia yakin,
bahwa Ki Tambak Wedi akan berada di ujung pasukannya,
sehingga apabila ia tetap berada di tempat itu, maka mereka
akan dapat segera bertemu.
Demikianlah, maka pertempuran itu pun segera menjalar
semakin merata. Orang-orang Ki Tambak Wedi yang
mengembang semakin luas, segera harus berhadapan dengan
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semakin
menyempit. Sidanti dan Argajaya telah menempatkan diri mereka masingmasing,
di sebelah-menyebelah ujung belalai gelar Gajah Meta,
seakan-akan menjadi ujung taring yang maha runcing. Sedang
seperti telah diperhitungkan, Ki Tambak Wedi sendiri berada di
tengah-tengah ujung pasukannya.
Ki Argapati melihat gelar di kedua belah pihak dengan dada
yang berdentangan. Kedua pasukan itu telah benar-benar
bertempur, dan darah pun telah membasahi Tanah Perdikan
Menoreh. Darah putera-puteranya sendiri.
Namun dalam pada itu, selagi pasukan Ki Tambak Wedi
bergerak maju untuk mencapai seluruh arena pertempuran,
terdengarlah hiruk-pikuk di ekor pasukan itu. Sejenak Ki Tambak
Wedi tertegun, namun kemudian dibiarkannya orang-orang yang
memang sudah ditempatkan di ekor barisan untuk mengatasi
persoalannya. Ki Tambak Wedi memang sudah menduga,
bahwa apabila pertempuran terjadi di dalam regol, maka
kemungkinan yang terberat, orang-orang Argapati akan
menyerang dari segala arah. Karena itu, maka Ki Peda Sura, Ki
Muni, dan Ki Wasi di tempatkannya di ekor barisannya.
Ternyata yang datang menyerang ekor pasukan Ki Tambak
Wedi itu adalah para pengawal yang berada di luar padukuhan.
Dengan tangkasnya mereka menyerang sisa-sisa pasukan
lawan yang masih belum sempat masuk ke dalam regol. Dengan
demikian, maka pasukan itu pun segera tertahan.
Namun Ki Peda Sura yang telah sembuh dari lukanya, segera
menempatkan diri di dalam pasukannya. Sejenak kemudian, ia
berhasil membawa seluruh pasukannya masuk ke dalam regol
sambil bertempur menghadap keluar. Ki Peda Sura, Ki Muni, dan
Ki Wasi berusaha menyumbat pintu regol dengan ujung senjata
bersama pasukannya, untuk mencegah para pengawal itu
masuk. Tetapi ternyata usaha Ki Peda Sura itu tidak berhasil.
Pasukan yang berada di luar padukuhan itu pun mendesak
terus, sehingga akhirnya, Ki Peda Sura harus menghadapinya di
dalam padukuhan, di jalan-jalan sempit dan di halaman.
Sementara ujung pasukannya telah maju lebih jauh lagi.
Ki Argapati pun kemudian melihat pula, bahwa pasukannya
yang berada di luar lingkungan pring ori ini telah ikut serta pula
bertempur. Ternyata cara yang dipergunakannya itu telah
berhasil menahun arus maju pasukan Ki Tambak Wedi, karena
sebagian dari mereka harus melawan serangan yang datang
dengan tiba-tiba dari arah belakang. Meskipun hal serupa itu
telah diperhitungkan oleh Ki Tambak Wedi, namun ia tidak
menyangka, bahwa kekuatan yang menyerang dari ekor gelar
Gajah Metanya itu adalah pasukan yang cukup kuat.
Tetapi Ki Tambak Wedi percaya sepenuhnya kepada
kemampuan Ki Peda Sura. Tidak ada orang Menoreh yang
dapat mengalahkannya selain Ki Argapati sendiri. Kemampuan
Ki Peda Sura tidak terpaut terlampau banyak daripadanya
sendiri dan Ki Argapati. Karena itu, ia bersama-sama Ki Muni
dan Ki Wasi, orang-orang terkuat di atas tanah perdikan ini, akan
segera dapat menyapu lawan-lawannya, betapapun kuatnya.
Dalam hiruk-pikuk pertempuran itu, sekalsekali terdengar
teriakan-teriakan nyaring, di sela-sela keluhan kesakitan.
Dentang senjata dan perisai, kadang-kadang melontarkan
bunga-bunga api di udara. Namun dalam pada itu, orang-orang
yang sedang bertempur itu pun telah dikejutkan oleh ledakan
cambuk yang memekakkan telinga.
"Setan!" geram Sidanti. "Apakah mereka berada ditempat ini
juga?" Namun sejenak kemudian, anak muda yang perkasa itu
mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Akhirnya ia melihat
seseorang yang bersenjatakan cambuk. Tetapi orang itu sama
sekali belum dikenalnya. Seorang dalam pakaian yang serupa
dengan pakaian para pengawal dan orang-orang Menoreh yang
lain. Di sampingnya, seorang anak muda yang bertubuh raksasa,
bertempur bagaikan gajah yang sedang mengamuk.
"Wrahasta," desis Sidanti, "anak itu terlampau sombong.
Tubuhnya yang besar itu, disangkanya mampu membuatnya
seorang yang tidak terkalahkan."
Karena itu, maka Sidanti pun segera meloncat, menyusup di
antara peperangan itu, menyongsong Wrahasta yang sedang
mengayun-ayunkan pedangnya.
Sidanti sama sekali tidak menghiraukan orang bercambuk itu.
Ia tidak melihat Wrahasta berbisik kepada orang yang
memegang cambuk itu. Dan ia tidak melihat, bahwa orang yang
memegang cambuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berdesis, "Jadi anak muda itulah yang bernama Sidanti.
Pantas, ia tangkas seperti sikatan."
"Akulah yang akan menyelesaikannya," desis Wrahasta.
"Aku mendapat tugas untuk itu."
"Aku adalah anak Menoreh. Aku ingin mencobanya."
Hanggapati sama sekali belum dapat memperbandingkan
kekuatan Wrahasta dengan kekuatan Sidanti, bahkan dengan
kemampuannya sendiri. Tetapi agaknya Wrahasta sudah tidak
dapat dicegah lagi. Ketika Sidanti datang semakin dekat,
langsung ia menyongsongnya dengan sambaran pedang.
Dengan penuh kebanggaan, Wrahasta terlampau percaya
kepada tenaga raksasanya. Sidanti yang lebih kecil dan lebih
pendek daripadanya, pasti tidak akan memiliki kekuatan seperti
kekuatannya. Namun betapa terkejut Wrahasta, pada saat senjatanya
membentur pedang Sidanti. Terasa seolah-olah tangannya
menjadi retak. Perasaan sakit yang amat sangat telah
menyengat telapak tangannya, kemudian menjalar sampai ke
seluruh tubuhnya. Wrahasta sama sekali tidak berdaya untuk
mempertahankan genggamannya, sehingga pedangnya itu pun
bergetar dan jatuh di tanah.
"Kau terlampau sombong," geram Sidanti. "Ternyata kau telah
mengantarkan nyawamu, he raksasa yang bodoh."
Sejenak Wrahasta seakan-akan terpaku di tempatnya. Ia
sama sekali tidak menyangka, bahwa Sidanti mempunyai
kekuatan yang tidak terkirakan. Tangannya yang jauh lebih
besar dari tangan Sidanti itu seolah-olah sama sekali tidak
berdaya, dan pedangnya yang besar itu seakan-akan telah
membentur batu karang. Tanpa dapat berbuat sesuatu, ia melihat Sidanti justru
melangkah surut. Kemudian menggeram, "Ternyata kaulah
pemimpin pengawal Menoreh yang pertama-tama mati oleh
ujung pedangku." Namun sebelum Sidanti meloncat maju sambil
menghunjamkan ujung pedangnya, maka Hanggapati telah
mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Dengan sepenuh
tenaganya ia meledakkan cambuknya mengarah ke pergelangan
tangan Sidanti. Sidanti terkejut bukan buatan. Disangkanya orang yang
memegang cambuk itu adalah orang-orang Menoreh yang
mencoba-coba jenis senjata itu, atau salah seorang dari orangorang
berkuda yang berusaha mengelabui orang-orangnya.
Namun ternyata orang itu mampu bergerak begitu tangkas dan
kuat. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Sidanti sekali lagi
meloncat surut. Namun orang itu ternyata tidak melepaskannya.
Sekali lagi cambuk itu menggeletar di udara dan menyambar
lehernya. "Setan," Sidanti mengumpat sambil merunduk rendah-rendah.
Ia tidak mau menjadi sasaran tanpa berbuat sesuatu. Karena itu,
maka tiba-tiba pedangnya terjulur lurus-lurus mengarah ke
lambung lawannya. Hanggapati terpaksa bergeser surut. Namun ia tidak lengah,
dan cambuknya masih tetap berputar.
"He, menyenangkan juga jenis senjata ini," katanya di dalam
hati. "Ternyata jenis senjata lentur dapat juga digerakkan dengan
cepat dan lincah seperti sulur pepohonan."
Dada Sidanti serasa terbakar menghadapi kenyataan itu.
Karena itu, maka darahnya serasa mendidih sampai ke ubunubunnya.
Apalagi ketika ia melihat raksasa yang kehilangan
pedang itu telah berhasil memungut pedangnya kembali.
"Siapakah orang ini?" pertanyaan itu selalu mengganggu
jantung Sidanti. "Apakah di Menoreh ada orang baru yang
demikian tangkasnya bermain dengan cambuk, ataukah orangorang
ini termasuk seperguruan atau termasuk dalam salah satu
cabang perguruan Kiai Gringsing?"
Namun justru karena itu, maka Sidanti pun kemudian
mendesak maju. Ia harus segera menyelesaikan lawannya, dan
kemudian membinasakan orang-orang Menoreh seperti
menebas batang ilalang. Tetapi ternyata orang ini memang mempunyai kelebihan dari
orang lain. Bahkan kemudian, ternyata bahwa orang itu mampu
melawannya dengan senjata cambuknya itu.
"He," tiba-tiba Sidanti menggeram, "siapa kau" Apakah kau
orang baru di sini?"
Hanggapati tidak menjawab. Tetapi cambuknya sajalah yang
bergeletar menyambar-nyambar, sehingga setiap kali Sidanti
harus menghindarinya dan bahkan melangkah surut.
"Aku yakin, kau bukan orang Menoreh," geram Sidanti
kemudian. "Sikapmu terlampau tenang dan pandangan matamu
lurus-lurus ke pusat mata lawanmu. Kau pasti bukan orang
Menoreh atau pengawal tanah perdikan ini. Coba katakan,
siapakah kau?" Hanggapati masih tetap berdiam diri. Tetapi serangannya
menjadi semakin deras melanda lawannya. Ujung cambuknya
berdesing-desing seperti lebah yang mengitari tubuh Sidanti.
Bahkan sentuhan yang sekalsekali menyengat tubuhnya,
serasa seperti tusukan durduri yang paling tajam.
Sekali lagi Sidanti menggeram. Tetapi ia pun terkejut, ketika
di bagian lain dari pertempuran itu terdengar sekali lagi ledakan
cambuk. Bahkan kemudian berturut-turut.
"Siapakah yang telah siap melawan Paman Argajaya itu?"
Sidanti bertanya kepada diri sendiri. Dengan demikian, maka
kemarahannya pun menjadi semakin meluap-luap.
Sementara itu, Dipasanga pun telah melecutkan cambuknya
berulang kali. Meskipun belum terlampau biasa, tetapi sebagai
seorang prajurit ia segera dapat menyesuaikan diri dengan
senjata yang ada di tangannya. Dan kali ini senjata itu adalah
sebuah cambuk. Argajaya pun mengumpat tidak habis-habisnya. Ia tidak
menyangka, bahwa pada suatu ketika ia akan bertemu dengan
lawan yang demikian tangguhnya. Apalagi lawannya itu ternyata
bersenjata cambuk. "Pantaslah, bahwa orang-orang berkuda itu berani memasuki
padukuhan induk. Di antaranya terdapat orang-orang bercambuk
seperti ini." Namun seperti Sidanti, kemarahan Argajaya pun segera
memuncak. Seperti Sidanti, ia pun bertanya dalam nada yang
datar, "Siapa kau, he?"
Namun berbeda dengan Hanggapati, ternyata Dipasanga
menjawab, "Namaku Dipa."
"Darimana kau?"
"Aku orang Menoreh."
"Bohong!" teriak Argajaya. "Aku belum pernah melihat kau."
"Apakah kau pernah datang ke Menoreh sebelum ini?"
Betapa hiruk-pikuknya peperangan, Kerti yang mendengar
pertanyaan itu terpaksa tersenyum. Argajaya adalah adik kepala
tanah perdikan ini. Dengan demikian, maka pertanyaan Dipasanga itu telah
membuktikan, bahwa justru Dipasanga-lah yang belum
mengenal Menoreh. Karena itu, terdengar Argajaya menggeram,
"Kau terlampau bodoh untuk berpura-pura. Kenapa kau bertanya
begitu kepadaku?" Dipasanga surut selangkah. Namun kemudian, serangannya
melibat lawannya seperti angin pusaran. "Siapa kau?" ia ganti
bertanya. "Aku adalah Argajaya. Adik kepala tanah perdikan ini."
Dipasanga mengerutkan keningnya. Ia mendapat tugas untuk
menghadapi salah satu di antara dua, Sidanti, atau Argajaya.
Kini ia telah bertemu dengan Argajaya. Tetapi ia masih belum
yakin, karena tidak seorang pun yang memberitahukaunya
dengan pasti, bahwa Argajaya adalah adik Ki Argapati.
Meskipun demikian, seakan-akan di luar sadarnya ia


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya, "Kenapa kau melawan kakakmu sendiri?"
Pertanyaan itu telah menusuk jantung Argajaya, seperti
tajamnya ujung pedang. Sejenak ia terbungkam, meskipun
senjatanya tidak berhenti terayun-ayun.
"Kenapa?" desak Dipasanga.
"Persetan!" jawab Argajaya. "Apakah artinya seorang Kakak
yang hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa mengerti
persoalan orang lain, meskipun orang lain itu adalah anak dan
adiknya sendiri?" Dipasanga tersenyum. Katanya, "Itulah yang tidak dapat
diukur dengan ukuran-ukuran yang umum. Kepentingan
seseorang tergantung sekali dari sudut memandangnya. Karena
itulah, maka kau dapat mengatakan, bahwa Ki Argapati hanya
sekedar mementingkan diri sendiri tanpa mengingat
kepentinganmu dan anak laklakinya. Tetapi apakah kau yakin,
setiap orang akan mengakui, bahwa kepentinganmu itu lebih
bermanfaat bagi tanah ini dari sikap yang kau anggap
kepentingan pribadi pada Ki Argapati itu" Apakah bukan karena
kepentingan pribadimu yang tidak dipikirkannya justru untuk
kepentingan yang lebih besar, kau merasa, bahwa Ki Argapati
telah mementingkan dirinya sendiri."
"Persetan, kau tahu apa" He, siapakah kau sebenarnya"
Berapa kau diupah oleh Kakang Argapati untuk ikut di dalam
pertempuran ini?" "O," jawab Dipasanga, "ada beberapa perbedaan antara aku
dan orang-orangmu, termasuk orang yang disebut-sebut
bernama Peda Sura. Aku mempunyai kepentingan yang khusus,
kenapa aku bersedia bertempur di pihak Ki Argapati. Mungkin
dapat juga disebut pamrih-pamrih pribadi, meskipun tidak sejelas
Ki Peda Sura. Tetapi aku ternyata telah melibatkan diri dalam
pertempuran ini." Argajaya menggeram. Senjatanya berputar semakin cepat.
Dan dengan demikian, maka cambuk Dipasanga pun menjadi
semakin sering meledak-ledak.
Meskipun Dipasanga tidak biasa bertempur dengan senjata
semacam itu, namun ia mampu mempergunakannya dengan
baik. Sekalsekali ujung cambuknya berhasil melontarkan
beberapa orang yang lengah di sekitar tempat perkelahiannya
melawan Argajaya. Bahkan sekalsekali ujung cambuk itu dapat
membuat Argajaya menjadi agak bingung.
Tetapi Argajaya pun bukan orang Menoreh kebanyakan. Ia
adalah adik Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan demikian maka ia pun segera berhasil menempatkan
dirinya menghadapi orang bercambuk itu.
Dengan demikian, maka perkelahian di antara mereka
menjadi semakin seru. Masing-masing memiliki kelebihannya,
dan masing-masing adalah orang-orang yang sudah cukup
banyak menyimpan pengalaman di dalam dirinya.
Dalam pada itu, pasukan Ki Tambak Wedi itu pun semakin
lama menjadi semakin meluas, sedang pasukan Ki Argapati
menjadi semakin menyempit. Kini di semua pihak, kedua
pasukan itu telah bertemu dan bertempur matmatian. Di jalanjalan
sempit, di halaman, dan di kebun-kebun. Mereka sama
sekali tidak menghiraukan lagi di mana mereka sedang berada,
yang mereka perhatikan adalah garis lingkaran dari gelar mereka
masing-masing. Dalam keadaan yang demikian itulah, maka ujung gelar Gajah
Meta itu pun kini telah sampai di muka puncak pimpinan gelar
lawan. Sehingga dengan demikian, maka kedua pimpinan
tertinggi itu pun akan segera saling berhadapan.
Mereka masing-masing sudah menyangka, bahwa mereka
akan bertemu lagi di dalam perang ini. Ki Argapati dan Ki
Tambak Wedi. "He," geram Ki Tambak Wedi, "apakah kau sudah sembuh
benar?" Ki Argapati mengerutkan keningnya. Tombaknya telah
merunduk semakin rendah. Beberapa, langkah ia menyongsong
maju dibarengi oleh Pandan Wangi dan Samekta. Sebelah
menyebelahnya adalah para pengawal yang paling terpercaya
untuk melindunginya dari pasukan Ki Tambak Wedi yang lain.
"Aku sudah lama menunggumu, Ki Tambak Wedi," sahut
Argapati. Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dilihatnya seorang
gadis yang membawa sepasang pedang yang sudah bersilang di
muka dadanya. "Kau bawa gadismu bertempur?" bertanya Ki Tambak Wedi.
"Apa bedanya seorang gadis dan seorang anak lelaki?"
*** "Kau memang luar biasa. Kau dapat membuat gadismu
melebihi setiap lelaki di atas Bukit Menoreh ini."
Ki Argapati tidak menjawab. Tetapi matanya tidak berkisar
dari senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan. Sebuah
nenggala bermata rangkap.
"Tetapi, sayang Ki Argapati," berkata Ki Tambak Wedi
selanjutnya, "usahamu selama ini akan sia-sia. Karena aku
sudah memutuskan, bahwa setiap orang di dalam padukuhan ini
harus dimusnahkan. Semua harus dibunuh. Meskipun ia seorang
gadis." "Keputusanmu lain dengan keputusanku, Ki Tambak Wedi.
Dan aku mengharap, bahwa keputusankulah yang akan berlaku
di sini." Ki Tambak Wedi menggeretakkan giginya. Segera ia
meloncat menyerang sambil berteriak nyaring, "Mampuslah kau
ayah-beranak." Tetapi Ki Argapati telah siap menerima serangan itu. Karena
itu maka ia pun segera meloncat ke samping untuk mengelakkan
serangan itu. Berbareng dengan itu, tombaknya pun segera
terjulur lurus mematuk dada lawannya.
Ki Tambak Wedi berdesis. Ia terpaksa mengeliat dan
memutar tubuhnya. Dengan cepatnya ia merendah dan
menyusup di bawah senjata lawannya sambil menyerang
lambung. Ki Argapati tidak menjadi bingung. Ia pun bergeser surut.
Dengan cepatnya pula ia memutar tombaknya, dan berusaha
untuk mengetok pundak lawannya dengan pangkal landean
tombak itu. "Kau gila," geram Ki Tambak Wedi sambil meloncat surut.
Namun sejenak kemudian serangannya telah membadai pula.
Pada gerak yang pertama-tama, telah terasa pada Ki
Argapati, bahwa kelesuan geraknya memang agak terganggu
oleh luka dan pembalut di dadanya. Namun meskipun demikian,
ia masih merasa cukup mampu untuk menghadapi Ki Tambak
Wedi dalam keadaan itu. Apalagi ia mengharap Pandan Wangi
dapat mengganggu keseimbangan pertempuran itu.
"Suruh anakmu ikut serta," tiba-tiba Ki Tambak Wedi
berteriak. "Jangan hiraukan lagi sikap jantan di peperangan."
Seleret warna merah membayang di wajah Ki Argapati yang
tegang. Betapa tajamnya sindiran Ki Tambak Wedi itu bagi
seorang laklaki seperti Ki Argapati. Namun sejenak kemudian,
ia telah berhasil menguasai perasaannya. Bahkan kemudian ia
menjawab, "Kita tidak sedang berada dalam arena perang
tanding, Ki Tambak Wedi. Di dalam peperangan, yang bertempur
adalah pihak yang satu melawan pihak yang lain. Bukan Ki
Tambak Wedi melawan Ki Argapati."
"Persetan!" Ki Tambak Wedi menggeram, dan serangannya
pun menjadi semakin cepat.
Dalam perkelahian yang semakin seru, maka semakin terasa
dada Ki Argapati terganggu sekali oleh pembalut dan bahkan
lukanya yang masih belum sembuh benar. Karena itu, maka
perlawanan Ki Argapati pun tidak pada puncak kemampuannya.
Untunglah, bahwa Pandan Wangi yang memiliki ilmu dari
ayahnya itu mampu mengisi kekurangan Ki Argapati. Setiap kali
Pandan Wangi dengan sepasang pedangnya dapat
mengganggu perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga setiap kali
usaha Ki Tambak Wedi untuk mendesak Ki Argapati terpaksa
diurungkannya, karena sambaran-sambaran pedang Pandan
Wangi. "Setan betina!" ia menggeram. "Apakah kau dahulu yang
harus mati, he?" Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut. Tetapi
pedangnya menjadi semakin lincah berputaran.
Ki Tambak Wedi semakin lama menjadi semakin marah
mengalami perlawanan kedua ayah-beranak itu. Karena itu,
maka dikerahkannya segenap kemampuannya untuk segera
mendesak lawannya. Supaya Pandan Wangi tidak selalu
mengganggunya, maka akhirnya ia memutuskan untuk
membunuh saja anak itu lebih dahulu.
"Semua harus dibinasakan. Semua. Juga Pandan Wangi," ia
menggeram di dalam hatinya untuk memantapkan rencananya.
Maka sejenak kemudian, Ki Tambak Wedi mencoba
memusatkan perhatiannya kepada Pandan Wangi. Ia ingin
mengurangi gangguan-gangguan kecil pada saat ia akan
memusnahkan Ki Argapati kelak.
Tetapi kesempatannya pun terlampau terbatas. Kalau ia
berkelahi melawan lima Pandan Wangi, maka ia pasti akan
dapat menyelesaikan pekerjaannya satu demi satu. Tetapi kini ia
berhadapan pula dengan Argapati, sehingga setiap saat ia harus
berwaspada. Ujung tombak pendek itu setiap kali dengan tibatiba
saja telah mengarah ke dadanya.
Namun Ki Tambak Wedi adalah iblis yang paling mengerikan.
Sehingga dengan segala macam cara ia telah berhasil melibat
Pandan Wangi yang agak terpisah dari ayahnya.
Namun, ketika ia siap melontarkan gelang-gelang besinya
untuk segera menyelesaikan Pandan Wangi yang berdiri
beberapa langkah daripadanya, tiba-tiba ia disambar oleh
sebuah kenangan tentang seorang perempuan yang pernah
hinggap di dalam hatinya. Ternyata wajah gadis yang bernama
Pandan Wangi itu mirip benar dengan ibunya, Rara Wulan,
Wajah yang pernah membuatnya kehilangan keseimbangan,
sehingga lahirlah Sidanti. Dan apabila Rara Wulan itu kemudian
bersuami, maka menjadi jauhlah ia lari dari setiap perempuan,
dan menyepi di lereng Gunung Merapi.
Sekejap Ki Tambak Wedi dicengkam oleh keragu-raguan.
Namun sekejap kemudian, ia menggeretakkan giginya sambil
menggeram, "Tidak seorang pun yang akan dapat lolos. Semua
harus dimusnakan, termasuk Pandan Wangi. Siapa pun Pandan
Wangi itu." Dengan demikian, maka segera digenggamnya selingkar
gelang-gelang besinya. Dan dengan sekuat tenaganya, gelang
itu dilontarkannya ke arah Pandan Wangi.
Tetapi waktu yang sekejap itu ternyata terlampau besar
artinya bagi Pandan Wangi. Ki Argapati yang mempunyai cukup
pengalaman melihat sikap Ki Tambak Wedi di dalam
pertempuran itu, segera dapat menangkap maksud dari iblis
lereng Gunung Merapi itu. Karena itu, maka dengan segera ia
meloncat mendekati Pandan Wangi tepat pada saatnya. Pada
saat gelang besi itu meluncur ke arah dada anak gadisnya.
Sambil menggeram Ki Argapati masih sempat memukul
gelang besi itu ke udara, sehingga sepercik bunga api meloncat
bersama gelang yang membubung itu.
"Gila," Ki Tambak Wedi dan Ki Argapati mengumpat hampir
bersamaan. Jantung di dalam dada mereka pun berdentang
semakin cepat pula, sementara dada Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar. Hampir saja ia disambar oleh senjata Ki
Tambak Wedi yang pasti tidak akan dapat dielakkannya.
Dengan demikian, maka Ki Argapati menjadi lebih berhatihati.
Ia harus melupakan sakit di dadanya. Ia harus berusaha
sejauh-jauh dapat dilakukan untuk melawan iblis yang paling
ganas itu. Meskipun kadang-kadang Samekta dapat
membantunya, tetapi tenaganya tidak terlalu banyak berarti bagi
pertempuran antara orang-orang yang berilmu jauh di atas
jangkauannya. Maka, betapa lambatnya, namun pasti, Ki Tambak Wedi akan
dapat menguasai lawannya. Karena menurut pertimbangan Ki
Tambak Wedi sendiri, pada suatu saat Argapati yang masih
diganggu oleh lukanya itu, akan kehabisan tenaga sebelum
waktu yang dapat dicapai oleh ketahanan tubuhnya seperti
biasanya dalam keadaan yang wajar.
Di sudut lain, Sidanti dan Argajaya ternyata tidak kalah
tangkas dari lawan-lawan mereka. Wrahasta dan Kerti tidak
terlampau banyak berarti lagi bagi keduanya, karena mereka
harus melawan orang-orang yang memang sudah dipersiapkan
oleh Sidanti dan Argajaya pula. Sehingga baik Argajaya maupun
Sidanti, masih mempunyai keyakinan, bahwa mereka akan dapat
mengalahkan lawan-lawan mereka.
Tetapi saat itu, agaknya Hanggapati dan Dipasanga masih
dipengaruhi oleh jenis senjata yang tidak biasa mereka pakai.
Karena itu, mereka berdua pun tidak berkeras hati, meskipun
mereka merasa tidak dapat menguasai lawannya.
"Pada saatnya akan aku letakkan senjata-senjata ini. Dan aku
akan memakai pedangku," keduanya berpendirian serupa di
dalam keadaan yang menjadi semakin gawat.
Namun, mau tidak mau, ledakan-ledakan cambuk itu telah
menumbuhkan persoalan pula di dalam hati Ki Tambak Wedi,
yang justru tidak melihat sendiri siapa yang mempergunakannya.
Demikian mendesaknya persoalan suara-suara cambuk itu,
sehingga akhirnya Ki Tambak Wedi tidak dapat menahan hatinya
lagi untuk mengetahuinya. Diperintahkannya seorang
penghubungnya untuk melihat, siapakah orang-orang yang telah
mempergunakan cambuk di dalam peperangan ini.
"Kenapa kau digelisahkan oleh suara cambuk itu Ki Tambak
Wedi" Apakah kau tidak senang mendengarnya?" bertanya
Argapati sambil menyerang terus.
Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia tidak menjawab.
Dengan sekuat-kuat tenaganya ia berusaha untuk segera
mengalahkan lawannya apabila mungkin. Dengan demikian,
maka ia akan mendapat kesempatan untuk menjelajahi
peperangan ini. Tetapi apabila tidak, maka ia harus menunggu
Argapati kehabisan tenaga, dan sama sekali tidak berdaya lagi.
Sejenak kemudian, penghubungnya telah kembali lagi
kepadanya. Dengan cekatan ia meloncat surut, menghindari
serangan Ki Argapati dan Pandan Wangi sambil bertanya,
"Siapa mereka?"
"Orang-orang yang tidak kita kenal," jawab penghubung.
"Siapa nama mereka?"
Penghubung itu terpaksa meloncat jauh-jauh ketika serangan
Ki Argapati melanda Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya.
Tetapi Ki Tambak Wedi pun cukup lincah untuk menghindarinya,
bahkan dengan sigapnya ia meloncat menyerang Pandan
Wangi.

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi sekali lagi ia harus membentur kekuatan Ki Argapati
yang menghalanginya. Kemudian disusul oleh serangan
sepasang pedang dari arah lambung.
Ki Tambak Wedi terpaksa meloncat surut. Tetapi justru ia
mendapat kesempatan untuk mendengar, "Sidanti belum
mengenalnya." Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Kalau Sidanti
belum mengenalnya, mereka atau salah seorang daripadanya
pasti bukan anak-anak dari seberang Mentaok yang
menggelisahkan itu. Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi bertempur semakin
mantap. Ia percaya, bahwa kekuatan pasukannya tidak
terlampau jauh berada di bawah kekuatan lawannya, sebelah
korban berjatuhan pada saat mereka masuk. Bahkan mungkin
masih dapat mengimbangi atau bahkan melampauinya. Tetapi
yang membuatnya yakin adalah kemampuan para pemimpinnya.
Tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya di antara orangorang
yang masih setia kepada Argapati. Tidak akan ada orang
yang dapat berhadapan langsung dengan Sidanti, Argajaya, dan
apalagi Ki Peda Sura. Bahkan orang-orang Menoreh sendiri, Ki
Muni dan Ki Wasi. Meskipun keduanya tidak akan banyak
terpaut dari para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh,
namun dengan demikian, maka kekuatan pasukannya telah
meyakinkannya. Karena itu, maka kini tenaganya dipusatkannya untuk
menghancurkan Ki Argapati dan dengan sepenuh tenaga ia telah
memaksa dirinya untuk memantapkan rencananya, membunuh
Pandan Wangi juga. Meskipun setiap kali di wajah gadis itu
seolah-olah selalu membayang wajah Rara Wulan yang
kecemasan, yang seolah-olah memandangnya dengan tajam
dan dengan perasaan yang meluap-luap.
"Kau gila, he, Tambak Wedi," seolah-olah ia mendengar suara
Rara Wulan. "Gadis itu adalah anakku, anakku."
"Persetan!" ia menggeram. "Biarlah ia anak iblis, gendruwo,
tetekan, aku tidak peduli. Semua orang, apalagi pemimpinnya,
harus dibunuh. Pertahanan ini harus jadi neraka yang paling
jahanam bagi mereka."
Dengan demikian, maka sambil menggeretakkan giginya, Ki
Tambak Wedi berkelahi terus, semakin lama semakin garang.
Sementara itu, di bagian lain dari peperangan itu pun menjadi
semakin seru. Sekalsekali terdengar mereka berteriak di selasela
dentang senjata. Teriakan mereka yang mencoba
menghentakkan kemampuannya, namun juga teriakan mereka
yang tersentuh oleh senjata.
Desak-mendesak telah terjadi di setiap langkah di garis
peperangan. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari satu
wadah, sehingga kekuatan, kemampuan dan cara-cara mereka
bertempur hampir bersamaan. Hanya di beberapa bagian saja
terjadi kegelisahan yang agak mengganggu ketabahan hati para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang setia kepada Ki
Argapati. Orang-orang yang tidak dikenal bertempur dengan
kasar dan buasnya. Mereka sama sekali tidak menghiraukan
perasaan apa pun. Apalagi mereka telah mendapat perintah
untuk membinasakan semua orang yang melawan. Dengan
demikian, maka mereka pun bertempur tanpa batas lagi. Apalagi
dengan sengaja mereka menunjukkan kekejaman-kekejaman
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, untuk menurunkan
keberanian dan tekad lawan-lawan mereka.
Tetapi ternyata semuanya itu hanyalah mengungkat
kemarahan para pengawal tanah perdikan, sehingga mereka
justru berkelahi semakin gigih untuk mempertahankan diri dan
garis perlawanan di dalam gelar yang telah mantap. Kalau salah
satu garis pertahanan itu dapat dipecahkan, maka gelar
keseluruhan akan dapat terpengaruh karenanya. Dengan
demikian, maka apa pun yang terjadi, mereka bertahan sampai
kemampuan mereka yang terakhir.
Namun di sela-sela pertempuran yang semakin seru itu,
terdapat tiga orang yang masih sedang mencarcari lawan
masing-masing. Mereka menyusup di antara hiruk-pikuknya
ujung senjata. Di tangan mereka tergenggam pedang. Mereka
tertegun sejenak, ketika mereka melihat kesulitan yang
berbahaya pada garis pertempuran di bagian belakang gelar
lawan. Agaknya Ki Peda Sura sedang menari dengan sepasang
senjatanya yang mengerikan. Tanpa ampun, siapa yang
mendekat, pasti akan terlempar jatuh. Sedang beberapa langkah
dari padanya, Ki Wasi sedang mengamuk sebagai harimau
terluka, dan di bagian lain lagi sambil berteriak-teriak Ki Muni
mendesak lawannya tanpa dapat ditahan lagi.
Betapa para pengawal berusaha, namun kekuatan mereka
memang jauh melampaui kemampuan setiap orang di antara
para pengawal. Sejenak gembala tua dan kedua anak-anaknya itu tertegun.
Namun sejenak kemudian orang tua itu berkata, "Hadapilah
mereka berdua. Aku akan menyelesaikan Peda Sura. Hatihatilah,
jangan merasa dirimu lebih baik dari lawanmu. Perasaan
yang demikian adalah ujung dari kekalahan, betapapun
lemahnya lawan-lawanmu."
Kedua muridnya mengangukkan kepalanya. Sambil
menghindarkan diri dari setiap serangan, akhirnya mereka pun
berpisah untuk menemui lawan-lawan yang telah ditentukan bagi
mereka masing-masing. Beberapa langkah setelah meninggalkan gurunya, Gupala
melonjak kegirangan, seperti anak kambing dilepaskan di
padang rumput yang hijau segar. Beberapa kali ia tertegun
melihat perang campuh yang seru. Ujung senjata berputaran dan
terayun-ayun, kemudian gemerincing benturan yang
melontarkan bunga-bunga api.
Sejenak kemudian Gupala telah berada di baris pertempuran
yang terdepan. Kini ia harus mulai menyadari arti dari ujungujung
senjata lawan, yang setiap saat dapat menghunjam di
dadanya. Gupala mengerutkan keningnya. Sejenak ia melihat seorang
pengawal yang bertempur matmatian melawan seorang yang
agak asing. Menurut dugaan Gupala orang itu pasti bukan orang
Menoreh. "Mungkin orang ini termasuk salah seorang anak buah Ki
Peda Sura," katanya di dalam hati. Dan tiba-tiba saja tangannya
menjadi gatal. Apalagi ketika ia melihat orang itu tertawa sambil
berkata, "He, sebut ayah dan ibumu. Lalu tundukkan kepalamu.
Aku akan memenggalnya."
Lawannya, seorang pengawal tanah perdikan, menggeram.
Tetapi ia memang sedang terdesak. Bahkan sejenak kemudian
senjatanya telah terlepas dari genggamannya.
Sekali lagi Gupala melihat orang itu tertawa sambil berkata,
"Ayo cepat, berlutut."
Pengawal itu surut beberapa langkah. Tetapi dalam perang
yang hiruk-pikuk ia tidak banyak mendapat kesempatan. Sekali
ia justru terdorong oleh seseorang yang sedang menghindarkan
diri dari tusukan ujung tombak.
"Mau lari kemana kau anak yang malang," suara tertawa itu
menjadi semakin keras. Dan tiba-tiba saja Gupala tidak dapat menahan tertawanya
pula melihat orang yang sedang mabuk kemenangan itu. Bahkan
kemudian ia berkata, "He, kau cepat sekali mendapat
kegembiraan. Itulah agaknya yang membuat kumismu menjadi
tebal." Orang itu terdiam. Dipandanginya Gupala sejenak. Hanya
sejenak. Hiruk-pikuk peperangan telah mendorongnya untuk
segera melakukan sesuatu. Dan tiba-tiba saja ia meloncat
menikam pengawal yang sudah tidak bersenjata itu, supaya ia
segera dapat menghadapi musuhnya yang lain.
Tetapi ujung senjata tidak pernah dapat menyentuh
korbannya. Tiba-tiba saja ia terpekik selagi ia masih menjulurkan
tangannya yang menggenggam senjata itu. Sejenak kemudian ia
menjadi terhuyung-huyung. Demikian Gupala menarik
pedangnya yang terhunjam di lambung orang itu, maka orang itu
pun segera jatuh tertelungkup. Mati.
Pengawal yang terselamatkan itu sejenak berdiri mematung.
Ia mengenal anak yang gemuk itu sebagai seorang gembala.
Tetapi bagaimana mungkin ia dapat melakukan hal itu. Begitu
cepatnya, sehingga matanya tidak dapat menangkap gerak itu.
Kini yang terdengar adalah suara tertawa Gupala. Sambil
meloncat meninggalkan pengawal itu ia berdesis, "Ambil senjata
itu. Kau tidak dapat tidur di dalam peperangan kalau kau tidak
mau benar-benar di bantai oleh lawan-lawanmu."
Orang itu seperti tersadar dari tidurnya. Segera ia memungut
senjata lawannya yang terbunuh itu, karena senjatanya sendiri
telah tenggelam dalam hiruk-pikuknya peperangan.
Gupala pun kemudian menyusup di antara kedua pasukan
yang sedang bertempur itu. Sekali tangannya yang gatal tidak
dapat ditahannya lagi. "Bukankah aku berada di peperangan?" ia bergumam di
dalam hatinya. Dengan demikian, maka setiap kali ia harus
berhenti, seperti terhisap oleh suatu keinginan yang tidak
tertahankan, maka setiap kali senjata telah terhunjam di tubuh
lawan-lawannya. Meskipun demikian, Gupala masih mencoba
membedakan, apakah lawannya itu orang-orang Menoreh,
ataukah orang-orang asing yang datang ke Menoreh dalam
keadaan yang kemelut itu.
Meskipun kadang-kadang Gupala keliru, namun dari jenis
pakaiannya, Gupala dapat mengira-irakan, siapakah yang
sedang dihadapinya. Tiba-tiba Gupala itu tertegun. Dilihatnya seseorang bertempur
sambil berteriak-teriak. Kadang-kadang tertawa dan kadang
membentak-bentak. Sekilas Gupala dapat melihat, bahwa orang
itu mempunyai kelebihan dari para pengawal tanah perdikan.
"Oh, inilah orang yang bernama Ki Muni itu agaknya," berkata
Gupala di dalam hatinya. Melihat circiri, tingkah laku dan
pakaiannya, kalung yang dibebani dengan berbagai macam
benda, maka Gupala pun dapat memastikan, bahwa orang yang
dicarinya itu sudah diketemukannya.
Perlahan-lahan Gupala yang gemuk itu pun segera
mendekatinya. Namun tiba-tiba ia mempunyai cara yang
menyenangkan baginya untuk menarik perhatian orang yang
garang itu. "Senjatanya sangat menarik," desis Gupala di dalam hatinya,
"sebuah pedang yang lengkung."
Gupala memang tidak segera menyongsongnya.
Dibiarkannya Ki Muni sesumbar dan bertempur seperti seekor
elang yang menyambar. Beberapa orang terpaksa bergabung
untuk melawannya. Gupala mengerutkan keningnya. Bukan saja tangannya yang
menjadi gatal, tetapi hatinya tergelitik melihat sikap dan tandang
Ki Muni, seolah-olah di seluruh jagad tidak ada orang laklaki
selain dirinya. Itulah sebabnya, maka Gupala pun tiba-tiba telah berbuat
serupa. Sambil tertawa berkepanjangan ia menyerang beberapa
orang sekaligus. Ia membuat lingkaran perkelahian sendiri di
samping arena yang berpusar pada Ki Muni.
Beberapa orang lawan-lawannya terkejut melihat anak muda
yang gemuk itu meloncat-loncat dengan lincahnya. Pedangnya
terayun-ayun menyambar-nyambar seperti burung sikatan.
Setiap kali ujung pedang itu menyentuh tubuh lawannya, dan
setiap kali terdengar pekik kesakitan.
Tetapi Gupala memang aneh. Ia masih sempat bergurau di
peperangan. Kalau beberapa saat lawan-lawannya tidak ada
yang terpekik kesakitan karena ujung pedangnya tidak berhasil
melukai lawannya, maka ia sendirilah yang berteriak. Namun
kemudian suara tertawanya menggema berkepanjangan.
Cara bertempur Gupala itu benar-benar telah menarik
perhatian. Baik lawan maupun kawan. Beberapa orang
pengawal terheran-heran melihat gembala itu mampu bertempur
demikian tangkasnya, apalagi seolah-olah ia hanya sedang
bermain-main di saat terang bulan.
Lawan-lawannya pun menjadi cemas melihat tandangnya.
Ujung pedangnya seolah-olah mempunyai mata yang dapat
melihat kemana lawannya menghindar. Seseorang yang sekali
diburu oleh pedangnya, betapapun juga ia berusaha, maka
akhirnya ujung pedang itu pasti akan bersarang di dadanya.
Demikianlah, maka Gupala telah menimbulkan kegemparan di
medan itu. Arena pertempuran di seputarnya menjadi gelisah
seperti di landa angin pusaran.
Ternyata cara itu berhasil menarik perhatian Ki Muni. Orang
yang merasa dirinya tidak terlawan itu mengerutkan keningnya
melinat arena yang kisruh beberapa langkah daripadanya.
"He, siapa yang berkelahi di situ?" ia berteriak.
"He, akulah yang berkelahi di sini," terdengar jawaban dari
tempat yang gelisah itu. "Siapa kau?" teriak Ki Muni pula.
"Aku, gegedug Tanah Perdikan Menoreh. Seorang pengawal
yang paling setia pada tugasku, karena cita-cita yang menjiwai
setiap perbuatanku."
"Persetan, siapakah namamu?"
"Setiap orang mengenal aku. Karena aku selalu berada di sisi
Ki Gede Menoreh, membina tanah ini. Sekarang selagi tanah ini
menjadi semakin baik, kau datang untuk menghancurkannya."
"Gila, gila kau," Ki Muni berteriak sambil mengamuk.
Senjatanya yang lengkung menyambar-nyambar seperti elang.
Beberapa orang yang berada di sekitarnya segera terdesak
menjauh, dan beberapa orang yang bersama-sama melawannya
pun meloncat surut. Beberapa langkah Ki Muni maju diikuti oleh pasukannya yang
mendesak maju pula. "Aku adalah seorang yang hampir sepanjang umurku berada
di tanah ini," berkata Ki Muni dengan lantangnya. "Aku belum
pernah mengenal tampangmu."
Gupala tidak segera menjawab. Ia melihat Ki Muni menjadi
semakin dekat ke lingkaran perkelahiannya.
"Ayo, sebut namamu."
"Jawabanmu sungguh mentertawakan," berkata Gupala.
"Kalau kau orang Menoreh, apalagi sejak kanak-kanak, kenapa
kau ikut bersama-sama cucurut-cucurut itu untuk justru
menghancurkan Menoreh?"
"Setan," Ki Muni bergumam, "siapa namamu?"
"Kalau kau benar orang Menoreh, maka kau adalah seorang
pengkhianat," berkata Gupala selanjutnya tanpa menjawab
pertanyaan Ki Muni. "Diam, diam!" Ki Muni berteriak. "Aku sobek mulutmu dengan
pedang yang aku dapat dari ujung bumi, yang tajamnya tujuh kali
tajam pedang yang lain."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gupala mengerutkan keningnya. Kini Ki Muni telah berada
hanya beberapa langkah saja daripadanya. Sekilas ia melihat
pedang yang lain dari pedang orang-orang Menoreh. Dalam
redup sinar api yang sudah hampir padam, pedang itu tampak
berkilat-kilat. "Pedang itu memang tajam," berkata Gupala di dalam hatinya.
"Setiap sentuhan pada tubuh, akibatnya sangat berbahaya.
Tetapi agaknya pedang itu tidak sekukuh pedangku. Ternyata
orang itu selalu berusaha menghindari benturan yang langsung.
Apalagi dengan kekuatan yang besar."
Gupala pun kemudian menggeram. Dan tiba-tiba saja ia
berteriak, "He. Kau ingin tahu namaku. Namaku adalah Ki Muni,
seorang dukun yang tidak ada duanya. Yang setia kepada tanah
kelahiran." "Persetan," Ki Muni menjadi semakin marah. Terasa darahnya
seakan-akan telah mendidih. Dengan serta-merta ia meloncat
menyerang Gupala sejadjadinya.
Gupala surut selangkah untuk memantapkan diri. Namun
kemudian ia pun melangkah maju kembali sambil memutar
pedangnya. Meskipun pedangnya tidak setajam pedang
lawannya, namun pedang itu memiliki kelebihan juga. Ki Muni
tidak akan berani beradu tenaga lewat tajam pedangnya.
Dada Gupala menjadi berdebar, ketika ia melihat api yang
tiba-tiba saja telah melonjak ke udara. Sekilas ia berpaling.
Dilihatnya sebuah rumah yang terletak beberapa langkah dari
arena perkelahian itu terbakar.
"Mereka menjadi liar," desisnya di dalam hati. "Api yang
terhambur-hambur dari panah api, jeramjerami yang bertimbuntimbun
di sisi ujung jalan dan bahkan yang sengaja ditebarkan di
luar regol, gardu darurat di regol yang telah terbakar pula, telah
hampir padam. Tetapi kini sebuah rumah telah menyala."
Tetapi Gupala tidak sempat untuk merenung dan mengumpatumpat
saja. Serangan Ki Muni segera melandanya seperti banjir.
Namun ia pun telah cukup siap untuk melawannya.
Perkelahian di antara keduanya segera menjadi semakin
seru. Baik para pengawal tanah perdikan, maupun orang-orang
Ki Tambak Wedi, lambat laun bergeser semakin jauh. Mereka
menganggap perkelahian itu adalah perkelahian yang tidak perlu
dicampurinya. Gupala tidak memerlukan waktu terlampau lama untuk
menjajagi kemampuan lawannya. Dan tiba-tiba saja ia
tersenyum. Ki Muni hanyalah seorang yang mampu berteriakteriak
saja. Meskipun ia memiliki kemampuan di atas orang
kebanyakan, namun orang itu hampir tidak banyak berarti bagi
Gupala. Karena itu, mulailah Gupala dengan tabiatnya. Selagi ia
masih bertempur menghadapi Ki Muni, maka sekalsekali ia
berlari berputar-putar. Namun setiap kali pedangnya menyambar
korban-korban yang berjatuhan di pihak lawan.
"He, apakah kau memang gila?" teriak Ki Muni.
"Ki Muni," berkata Gupala, "ayahku berpesan kepadaku, agar
aku selalu tidak menganggap lawanku terlampau ringan. Aku
pun tidak menganggap demikian terhadapmu. Tetapi, aku tidak
dapat mengingkari kenyataan, bahwa sebenarnya Ki Muni itu
tidak lebih dari namanya. Hanya suaranya saja seakan-akan
bunyi ledakan petir di langit. Tetapi kau tidak memiliki
kemampuan apa pun di peperangan."
Betapa dada Ki Muni serasa akan meledak mendengar
ejekan Gupala itu. Apalagi lawannya itu tidak lebih dari seorang
anak muda gemuk yang tidak dikenal. Meskipun anak itu
berjambang, namun wajahnya sama sekali tidak meyakinkannya,
bahwa ia mampu bertempur di peperangan.
Karena itu, maka Ki Muni pun segera mengerahkan segenap
kemampuan yang ada padanya. Dibacanya segala macam ilmu,
doa dan jampjampi. Disebutnya segala macam nenek-moyang,
bahureksa segala macam sudut, kali, dan hutan-hutan. Bahu
reksa jalan dan perapatan. Kemudian sambil menghentakkan
senjatanya ia berteriak nyaring.
Orang-orang yang telah mengenal Ki Muni agak lama,
mengetahuinya, bahwa Ki Mumi sudah sampai pada puncak
kemarahannya, dan dengan demikian orang-orang itu
mengharap, bahwa korban di pihak lawan akan semakin banyak
berjatuhan. Tetapi ternyata dugaan itu sama sekali tidak benar.
Betapapun Ki Muni mengerahkan segala macam kemampuan
yang tersimpan di dalam dirinya, beserta pedang pusakanya
yang didapatkannya dari ujung bumi, namun lawannya yang
masih muda dan gemuk itu masih saja tertawa berkepanjangan.
"Ayo, kerahkan segenap kemampuanmu, Ki Muni," berkata
Gupala sambil tertawa. "Atau barangkali kau memang sudah
sampai pada puncak kemampuanmu?"
"Persetan!" sahut Ki Muni sambil berteriak-teriak, maka
serangannya pun menjadi semakin deras. Tetapi lawannya
masih saja tertawa dan kadang-kadang menarnari berloncatloncatan
dari seorang ke orang yang lain.
Di bagian lain dari pertempuran itu, Gupita dengan tenangnya
bertempur melawan dukun yang lain, Ki Wasi. Namun ternyata
Ki Wasi pun tidak seliar Ki Muni. Dengan sungguh-sungguh Ki
Wasi berusaha untuk mengatasi keadaan. Namun pada
kemampuan tertentu, ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa
lawannya meskipun masih cukup muda, namun memiliki
kemampuan yang tidak dapat diabaikannya. Bahkan semakin
lama, ternyata, bahwa lawannya adalah seorang yang luar biasa.
"Aku belum pernah melihat wajahmu anak muda," desis Ki
Wasi. Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Mungkin, Ki
Wasi." "Siapa namamu?"
"Gupita. Seorang gembala."
"Kau berbohong."
"Tidak. Aku memang seorang gembala."
Ki Wasi terdiam. Senjatanya, sepasang trisula bertangkai
pendek hampir tidak berarti sama sekali bagi lawannya. Namun
ia berusaha sekuat-kuat tenaganya. Kalau semula ia berhasil
mendesak setiap orang yang melawannya dan membawa
kelompoknya setapak demi setapak maju, maka kini ia terbentur
pada suatu perlawanan yang tidak mudah ditembusnya.
Dan tanpa disangka-sangka, Ki Wasi mendengar lawannya
yang masih muda itu bertanya, "Ki Wasi, kenapa kau melakukan
perlawanan atas Ki Argapati?"
Sejenak Ki Wasi tidak dapat menyahut. Pertanyaan itu benarbenar
telah menyentuh perasaannya.
Gupita merasakan sentuhan itu pula, karena perlawanan Ki
Wasi yang seakan-akan tertegun. Bahkan kemudian orang itu
meloncat selangkah mundur. Meskipun Ki Wasi menyilangkan
trisulanya di muka dadanya, namun getaran di dalam dadanya
telah mempengaruhinya. Tetapi Gupita tidak mempergunakan kesempatan itu. Bahkan
membiarkan Ki Wasi menyadari keadaannya. Meskipun
pedangnya teracu ke depan dada lawannya, tetapi Gupita tidak
meloncat dan menembus dada itu dengan ujung pedangnya.
"Jangan kau tanyakan, mengapa aku melawannya," geram Ki
Wasi. "Itu hakku," jawab Gupita. "Hakmu adalah menjawab atau
tidak. Kalau kau memang berkeberatan, kau tidak perlu
menjawabnya." "Aku tidak akan menjawab."
"Terserahlah. Tetapi dengan demikian aku dapat membuat
jawaban sendiri. Dan aku menganggap perlawananmu itu
sebagai suatu pemberontakan dan ketidak-setiaan terhadap
pimpinanmu." "Kau salah," jawab Ki Wasi. Namun agaknya ia telah
mendapatkan kemantapannya kembali, sehingga justru ia-lah
yang menyerang Gupita dengan sekuat-kuat tenaganya.
Namun Gupita sebenarnya bukanlah lawannya. Karena itu,
Gupita dengan, mudahnya dapat menghindarkan diri dari setiap
serangannya. "Aku mempunyai pertimbangan sendiri," desis Ki Wasi. "Aku
melawan Ki Argapati, karena Ki Argapati ternyata
mengecewakan sekali. Berapa tahun aku bekerja dengan patuh.
Namun agaknya Ki Argapati bukan seorang yang dapat menjadi
contoh bagi setiap orang di atas tanah perdikan ini. Ia lebih
mementingkan dirinya sendiri daripada membela anak dan
adiknya. Ia begitu taat bersujud kepada kekuasaan Pajang
daripada memberikan perlindungan kepada Angger Sidanti dan
Argajaya. Apakah itu sikap seorang ayah yang baik. Adalah
menjadi tanggung jawab seorang ayah, apa pun yang dilakukan
oleh anaknya." "Juga apabila anak itu melakukan kesalahan?"
"Tentu tidak. Tetapi Angger Sidanti tidak bersalah. Ia didorong
ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dielakkannya lagi. Ia
mempunyai harga diri sebagai seorang putera kepala tanah
perdikan yang besar dan kuat. Tetapi Ki Gede telah melepaskan
tangung jawab itu." Gupita mengerutkan keningnya. Api yang berkobar semakin
besar menelan sebuah rumah. Cahayanya yang kemerahmerahan
telah membuat wajah-wajah semakin menjadi tegang
dan mengerikan. Keringat yang meleleh dari kening dan darah
yang menitik dari luka, membuat medan perang itu menjadi
semakin panas. Gupita masih bertempur melawan Ki Wasi. Tetapi ternyata
Gupita tidak memanfaatkan setiap keadaan yang memberinya
kesempatan untuk menyudahi perkelahian.
Ki Wasi pun ternyata merasakan keganjilan yang terjadi
dalam perkelahian itu. Ia merasa bahwa betapapun ia berusaha,
namun ia tidak akan dapat mengimbangi lawannya.
Tetapi meskipun demikian, ia masih tetap dapat melakukan
perlawanan, betapapun disadarinya, bahwa perlawanannya itu
hampir tidak ada artinya.
"Apakah maksud orang ini?" pertanyaan itu tumbuh di dalam
hatinya. "Kenapa ia tidak membunuh aku saja di dalam
peperangan ini, meskipun agaknya ia dapat melakukannya
dengan mudah?" Dan Gupita memang tidak ingin membunuhnya. Agaknya Ki
Wasi adalah salah seorang yang lemah hati, yang mudah
percaya kepada hasutan dan keterangan-keterangan palsu. Ki
Wasi yang melihat dan bahkan sering bermain-main dengan
Sidanti ketika anak itu masih terlampau muda, tidak sampai hati
melihat ia tersudut dalam kesulitan yang pahit, yang menurut
pengertiannya, karena Argapati tidak mau melindunginya.
"Kalau Ki Wasi dapat mengerti keadaan yang sebenarnya,
apa saja yang pernah dilakukan Sidanti, maka ia akan
berpendirian lain. Ia baru mendengar keterangan dari sebelah
sisi. Dan keterangan itu langsung dipercayainya," berkata Gupita
di dalam batinya. Dan karena itu pulalah ia ingin Ki Wasi tetap
hidup, dan dapat mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi.
Karena itu, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda,
namun kemudian Gupita pun telah bertempur tidak saja
melawan Ki Wasi. Beberapa orang yang melihat pemimpin
kelompoknya terdesak, segera berusaha membantunya. Tetapi
Gupita sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ternyata
pedangnya mampu melindungi dirinya, dan bahkan mampu
melukai beberapa orang lawan-lawannya. Seorang demi
seorang, Gupita telah kehilangan lawan. Para pengawal tanah
perdikan yang bersamanya selalu mempergunakan setiap
kesempatan untuk mendesak terus, sehingga semakin lama
semakin ternyata, bahwa garis medan di tempat itu tidak lagi
dapat dipertahankan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang
dipimpin oleh Ki Wasi. Di bagian tengah, Ki Peda Sura pemimpin pasukan yang
menghadapi para pengawal yang datang dari arah belakang,
sempat melihat pasukannya di kedua sisinya bergeser mundur,
sehingga lingkaran gelar Gajah Meta itu pun menjadi semakin
sempit, karenanya. Sambil menghentakkan senjatanya ia
menggeram. Seharusnya kekuatan kedua sisi itu dapat
dipercaya, karena masing-masing dipimpin oleh dua orang kuat
dari Tanah Perdikan Menoreh ini sendiri. Tetapi ternyata, bahwa
pertahanan itu semakin lama semakin surut.
"Apakah keduanya telah berkhianat dan justru membiarkan
pasukannya mundur?" pertanyaan itu telah mengganggunya.
Namun karena itulah, maka ia pun segera mengamuk tanpa
terkendalikan lagi. Setiap orang yang berusaha mendekatinya,
pasti akan terpelanting tersentuh senjatanya. Meskipun
senjatanya tidak mempunyai tajam seperti pedang, namun justru
senjata itu mampu meremukkan tulang. Sentuhan di kepala tidak
akan perlu diulanginya lagi.
Namun agaknya kekalutan di kedua sisi pasukannya sangat
mengganggunya, sehingga ia bermaksud untuk melihat sendiri,
apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Karena itu, maka diserahkannya pimpinan kepada salah
seorang kepercayaannya, dan ia sendiri kemudian meninggalkan
tempatnya untuk melihat apa yang terjadi di kedua sisinya. Yang
mula-mula ingin dilihatnya adalah pasukan yang dipimpm oleh Ki
Muni. Orang itu adalah orang yang cukup kasar, sehingga
seharusnya ia mampu melakukan apa saja untuk
menghancurkan lawannya. Apalagi di dalam pasukan Ki Muni
itu, terdapat banyak orang-orangnya sendiri, yang pasti akan
mampu membuat lawan-lawan mereka kehilangan keberanian.
Orang-orangnya telah terlampau biasa melakukan pembunuhan
dengan berbagai macam cara. Bahkan cara-cara yang tidak
dapat dibayangkan sebelumnya.
Tetapi tiba-tiba Ki Peda Sura tertegun, ketika ia melihat
sesuatu yang aneh di peperangan itu. Ia melihat seorang tua
dengan kumis yang lebat sedang bertempur melawan beberapa
orang sekaligus. "Bukan main," geram Ki Peda Sura, "ternyata orang ini perlu
mendapat perhatian."
Dengan demikian, maka Ki Peda Sura mengurungkan
niatnya. Dengan garangnya ia meloncat mendekati orang tua itu
sambil menggeram. "He, siapakah kau?"
Orang tua itu berpaling sejenak. Ketika dilihatnya Ki Peda
Sura maka katanya, "Kaukah yang bernama Ki Peda Sura?"
"Ya. Akulah Ki Peda Sura. Nah, dengan mengenali namaku,
kau sudah dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atasmu.
Sekarang sebut namamu."
"Sudah lama aku mencarimu. Di mana kau bertempur selama
ini" Hampir-hampir aku menganggap, bahwa kau sudah mati
terbunuh di peperangan ini," jawab orang itu.
"Persetan!" Ki Peda Sura berteriak. Kemarahannya yang telah
membakar dadanya, kini menjadi semakin memuncak. "Sebut
namamu!"

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah arti nama seseorang?"
"Cepat, sebelum kau mati!"
"Aku dapat menyebut seribu macam nama. Panji Jayengraga,
Rangga Semantana, Raden Badersewu."
"Cukup. Cukup. Sebut namamu yang sebenarnya."
"Pilihlah salah satu. Atau kalau kau anggap kurang sesuai,
nah siapa sebaiknya namaku?"
Kemarahan Ki Peda Sura sudah tidak dapat ditahannya lagi.
Karena itu, maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, ia
menerkam orang tua berkumis itu dengan suatu serangan maut.
Kedua senjatanya bersama-sama terayun, menghantam
lawannya dengan kecepatan yang tidak tersangka-sangka.
Lawannya menahan nafas. Ternyata Ki Peda Sura benarbenar
seorang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi.
Namun, kali ini ia berhadapan dengan lawan yang tidak
disangka-sangka akan dijumpainya di medan peperangan ini.
Menurut perhitungannya, selain Ki Tambak Wedi dan Ki
Argapati, tidak akan ada orang yang mampu menyamainya.
Tetapi ternyata kali ini, orang berkumis itu mampu menghindari
serangannya. Dengan loncatan yang melampaui kecepatannya,
ia berhasil menghindar, sehingga ayunan senjata Ki Peda Sura
telah menyeret tubuhnya sendiri. Karena ia tidak
memperhitungkan sama sekali hal itu, maka tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa langkah, sebelum ia berhasil
menguasai keseimbangannya kembali.
Sambil mengumpat-umpat Ki Peda Sura mempersiapkan
dirinya untuk menghadapi lawannya yang mendebarkan
jantungnya. Orang tua berkumis itu ternyata memiliki bekal yang
cukup untuk menghadapinya.
Dengan demikian, maka Ki Peda Sura harus berhathati. Kali
ini ia harus bertempur bersungguh-sungguh, tidak sekedar
membunuh lawan hampir tanpa perlawanan.
"Ki Peda Sura," terdengar orang tua itu berbicara dengan
suara yang agak sengau, "aku terpaksa melibatkan diri dalam
pertentangan ini, karena aku tidak ingin melihat tanah perdikan
ini runtuh. Dengan kehadiranmu dan orang-orangmu, maka
kekacauan di atas tanah ini akan semakin menjadjadi."
"Kau juga orang asing di sini."
"Memang, memang aku bukan orang Menoreh. Tetapi aku
datang seorang diri. Katakanlah aku hanyalah datang bersama
dua orang anak-anakku. Dan aku tidak akan melibatkan diri,
seandainya tidak ada orang-orang seperti Ki Tambak Wedi, dan
kau beserta anak buahmu. Kalau aku biarkan persoalan ini
berlarut-larut, maka tanah ini akan jatuh ke tangan Ki Tambak
Wedi dan Sidanti. Namun untuk seterusnya kau akan selalu
memerasnya. Bayangkan, apa yang akan terjadi atas tanah ini."
"Persetan!" Ki Peda Sura menghentakan giginya. Kemudian
serangannya pun datang beruntun. Sepasang senjatanya
terayun-ayun mengerikan. Orang tua berkumis itu telah benar-benar bersedia untuk
melawannya, sehingga karena itu, maka dengan sigapnya ia
menghindari setiap serangan dan bahkan kemudian menyerang
kembali. Sejenak orang tua itu menjadi ragu-ragu. Ia bukan seorang
pembunuh yang selalu haus darah. Bahkan setiap ia melakukan
pekerjaan yang menurut keyakinannya sudah pada tempatnya,
ia masih saja memperhitungkan segala macam kemungkinan.
Namun yang dihadapinya kini adalah seseorang yang telah
berbentuk. Seseorang yang tidak akan mungkin dapat
dirubahnya lagi. Ki Peda Sura adalah seseorang yang sangat
berbahaya, bukan saja bagi Tanah Perdikan Menoreh, tetapi
juga bagi kemanusiaan pada umumnya. Seandainya ia gagal
memeras tanah perdikan ini, maka ia akan dapat melakukannya
di tempat yang lain. Sambil bertempur orang tua itu masih sempat membuat
pertimbangan-pertimbangan. Bahkan ia masih sempat bertanya,
"Ki Peda Sura. Apakah pamrihmu, sehingga kau bersama anak
buahmu dengan bersusah payah ikut dalam pertentangan antara
ayah dan anak ini?" Ki Peda Sura tidak menyahut. Namun serangannya menjadi
semakin garang, seperti badai mangsa kesanga.
"Ada dua kemungkinan Peda Sura," berkata orang tua itu.
"Setelah peperangan ini selesai, kaupun akan diselesaikan pula
oleh Ki Tambak Wedi, karena bagaimanapun juga, kau tidak
akan menang melawannya. Sedang kemungkinan yang lain.
Tambak Wedlah yang akan kau peras habis-habisan.
Seandainya Tambak Wedi berkeberatan, maka tanah perdikan
inilah yang akan menjadi korban. Kau akan memasuki setiap
pintu dan menghisap segala macam isinya. Dan sudah tentu kau
akan menghindari benturan-benturan langsung dengan Tambak
Wedi. Dan menurut perhitunganmu, Ki Tambak Wedi tidak akan
sekuat Argapati dalam mengendalikan pemerintahan di
Menoreh." *** "Persetan," Ki Peda Sura menggeram. Dengan sekuat tenaga
ia menyerang lawannya. Namun serangan-serangannya itu
sama sekali tidak pernah menegangkan urat orang tua yang
berkumis itu. "Tetapi Ki Peda Sura," orang itu masih berbicara saja sambil
memutar pedangnya, "yang paling jelek adalah justru
kemungkinan yang lain lagi. Kemungkinan ketiga. Yaitu apabila
kau bersama-sama Ki Tambak Wedi memeras tanah perdikan
ini." "Diam, diam!" teriak Ki Peda Sura. Sepasang senjatanya
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun sepasang
senjata itu sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya.
Bahkan setiap kali senjatanya itu membentur pedang orang tua
berkumis itu, terasa tangannya seakan-akan bergetar.
"Setan manakah yang tiba-tiba ada di dalam peperangan ini?"
geram Ki Peda Sura. "Nah Ki Peda Sura," berkata orang itu pula, "masih ada
kesempatan sebelum orang-orangmu tumpas di peperangan ini.
Tinggalkan medan dan pergi ke asalmu. Kalau kau tidak
mengganggu tanah ini untuk seterusnya, kau pun tidak akan
kami ganggu." "Tutup mulutmu!" terak Ki Peda Sura.
"Maaf. Aku akan berbicara terus. Kalau kau mau
mendengarkan aku akan bergembira sekali. Sebab tidak akan
ada kemungkinan bagimu untuk menyelamatkan anak buahmu.
Kedua anakku, adalah gembala-gembala yang salah seorang
daripadanya telah membantu Pandan Wangi melukai kau
beberapa saat yang lampau. Keduanya kini ada di medan ini,
sekarang dua orang lain yang akan dapat membinasakan Sidanti
dan Argajaya. Nah, sekarang kau tahu, bahwa Ki Tambak Wedi
telah salah menilai kekuatan lawannya. Termasuk kau yang
terlampau tamak." "Bohong. Kau sangka aku percaya?"
"Satu contoh adalah di hadapanmu sekarang. Kalau kau tidak
mau mendengarkan kata-kataku, apa boleh buat."
Terasa dada Ki Peda Sura berdesir. Ia sadar, bahwa
lawannya kali ini bukan sekedar seorang yang berbicara
terlampau keras, tetapi ia adalah seorang yang tangguh
tanggon. Meskipun demikian, sama sekali tidak terlintas di kepalanya
untuk meninggalkan medan. Ia masih mempunyai cara untuk
mencoba mengalahkan orang ini.
Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin seru.
Beberapa kali Ki Peda Sura terdesak, dan setiap kali ia telah
bergeser surut. Beberapa orang yang bertempur di sekitar kedua
orang itu terpaksa berusaha menyingkir, karena mereka masih
harus melayani lawan masing-masing. Tetapi mereka lebih
senang berada agak jauh dari keduanya, daripada tanpa setahu
mereka, kepala mereka pecah oleh sentuhan senjata kedua
orang yang luar biasa itu.
Namun semakin lama semakin terasa, bahwa Ki Peda Sura
tidak akan mampu lagi melakukan perlawanan lebih lama lagi.
Apalagi ketika orang tua yang berkumis itu mengambil suatu
keputusan, bahwa Ki Peda Sura memang harus dilenyapkan.
Ki Peda Sura pun menyadari keadaaanya. Ia tidak akan
mampu bertahan lebih lama lagi melawan orang tua berkumis
itu. Karena itu ia harus segera berbuat sesuatu, agar ia tidak
terdesak terus, dan apalagi dibinasakan. Sejenak kemudian
terdengar sebuah tanda yang meluncur dari mulutnya. Sebuah
suitan nyaring. Orang tua berkumis itu menjadi berdebar-debar. Ia tahu
benar, bahwa yang diperdengarkan oleh Ki Peda Sura itu pasti
suatu pertanda, tetapi orang tua itu tidak tahu, apakah
maksudnya. "Aku harus segera menyelesaikannya," pikir orang tua itu.
Tetapi ia terkejut ketika beberapa orang berloncatan dari antara
hiruk-pikuk peperangan, dan kemudian seolah-olah
mengepungnya. Tiga orang yang bertubuh kekar dengan wajah
yang mengerikan. "Nah, kau tidak akan dapat lolos lagi," desis Ki Peda Sura.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menarik
nafas dalam-dalam sambil berdesis di dalam hatinya, "Memang
tidak ada pilihan lain. Melawan Peda Sura sama berbahayanya
dengan melawan iblis."
"Menyerahlah, supaya kau dapat mati dengan tenang," geram
Ki Peda Sura. Tetapi orang berkumis itu masih tetap tenang. Sekali ia
bergeser untuk mempersiapkan dirinya. Dipandanginya wajahwajah
itu satu demi satu. "Sudah sekian lama aku tidak pernah bertempur bersungguhsungguh.
Berkelahi antara hidup dan mati. Tetapi berhadapan
dengan empat orang ini agaknya memang tidak ada pilihan lain.
Aku tidak hanya sekedar bermain-main lagi, seperti beberapa
kali aku lakukan melawan Sumangkar dan Ki Tambak Wedi,
karena saat itu aku belum berada di dalam suatu keadaan
seperti sekarang. Tetapi kini aku harus menentukan," berkata
orang tua itu di dalam hatinya. "Juga apabila pada suatu saat
aku berhadapan dengan Tambak Wedi sendiri."
"Kenapa kau membungkam?" bentak Ki Peda Sura. "Jangan
menyesal. Tidak ada pilihan lain bagimu."
Orang berkumis itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Marilah Ki Peda Sura. Aku sudah siap."
"Sebut namamu, supaya aku dapat berceritera, bahwa
seorang yang bernama dadap, atau waru, atau tikus, atau
kelinci, telah aku bunuh di peperangan," desis Ki Peda Sura.
"Nama-nama itukah yang pantas bagiku" Bukan Panji
Jayengraga, atau Rangga Parang Jumena, atau Rangga
Surenggana." "Cukup, cukup!" bentak Ki Peda Sura. "Baiklah kalau kau
ingin mati tanpa nama." Kemudian kepada kawan-kawannya ia
berkata, "Kita terpaksa membunuhnya tanpa ampun, terserahlah
cara yang mana yang akan kalian pilih."
"Orang ini harus dicincang," geram salah seorang dari
mereka, "tetapi ia harus mati perlahan-lahan."
"Bagus, aku ingin menangkapnya hidup-hidup."
Terdengar salah seorang dari mereka tertawa. Kemudian
hampir bersamaan mereka maju mendekat.
Orang tua itu harus benar-benar mempersiapkan dirinya.
Orang-orang itu bukanlah orang kebanyakan yang dapat
diabaikan. Sejenak kemudian, Ki Peda Sura itu pun berkata, "Nah,
selesaikan. Pekerjaan kita masih banyak."
Serentak ketiga orang itu menyerang dari tiga jurusan.
Dengan senjata masing-masing yang berbeda-beda mereka
berusaha sekaligus menghancurkan lawannya. Salah seorang
dari mereka mempergunakan sebuah tombak pendek berduri
pandan. Sentuhan senjata itu dapat menyobek kulit dedel duwel.
Seorang yang lain bersenjata sebuah golok yang besar, sedang
yang seorang lagi bersenjata pedang.
Tetapi orang tua berkumis itu cukup sadar. Dengan sigapnya
ia menghindari serangan-serangan itu, dan bahkan salah
seorang daripada mereka telah membenturkan dengan senjata
orang tua itu. Betapa ia terkejut merasakan tangannya seakanakan
disengat oleh bara api. Hampir saja senjatanya terlepas
dari tangannya. Karena itu, maka terdengar ia menggeram untuk
melontarkan kemarahan yang menyesak dada.
Namun sebelum orang tua itu berhasil berdiri tegak, serangan
Ki Peda Sura sendiri datang membadai. Sepasang senjatanya
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Hampir saja kepala
orang tua itu tersentuh oleh senjata Peda Sura yang dahsyat itu.
Hanya dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan oleh
lawannya, orang tua itu berhasil menyelamatkan dirinya.
"Bukan main," desisnya di dalam hati, "mereka berempat
merupakan lawan yang berat juga."
Karena itu, maka orang tua itu tidak lagi dapat berlengahlengah
barang sekejap pun. Menghadapi mereka berempat,
maka tugasnya agak lebih berat daripada berhadapan langsung
dengan seorang Tambak Wedi, karena ia harus memperhatikan
beberapa arah sekaligus. Untunglah, bahwa orang-orang Ki
Tambak Wedi mempunyai kegemaran membakar rumah,
lumbung dan bahkan kandang-kandang kerbau, sehingga nyala
api telah membantunya untuk melihat lawan-lawannya yang
datang dari berbagai arah.
Sementara itu, Gupala telah menjadi jemu untuk bermainmain.
Kini perhatiannya dipusatkannya kepada lawan utamanya,
Ki Muni. Dukun itu telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Segenap mantra dan guna-guna telah dibacanya. Namun
ternyata, bahwa ia menjadi cemas. Ternyata kemampuannya
bertempur di peperangan tidak seperti yang diduganya sendiri. Ia
mengharap lawannya menjadi gemetar dengan mantra dan
guna-gunanya. Bahkan kemudian bersujud sambil memeluk
lututnya sementara ia dapat menggoreskan pedang di leher
lawan itu. Tetapi lawannya yang gemuk ini sama sekali tidak
terpengaruh oleh mantra-mantranya. Danyang prapatan,
kedung-kedung, dan pereng-pereng Bukit Menoreh, ternyata kali
ini tidak merestuinya. Bahkan jimat-jimat yang tergantung di
Fairish 2 Pendekar Kelana Sakti 12 Dua Pendekar Buntung Pendekar Aneh Naga Langit 12

Cari Blog Ini