Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 15

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 15


perasaannya ia bertanya "Apa maksudmu he?"
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "Aku dan saudaraku
berdiri dipihak Ki Waruju.
"Gila. Apa maksudmu" Apa maksudmu he" Kau ingin
berkhianat justru setelah jjuru dalam keadaan yang sulit?"
bertanya Gajah Wareng dengan Kemarahan yang
membakar dadanya. "Ya Ki Sanak. Tetapi sama sekali bukan berkhianat
dalam pengertian yang wajar. Aku memang sudah
berkhianat sejak aku menerima tawarannya untuk menjadi
muridnya" jawab Mahisa Murti.
"Anak gila" Gajah Wareng hampir berteriak "sejak mula
aku sudah tidak mempercayaimu"
"Akupun mengerti bahwa kalian tidak mempercayaiku"
jawab Mahisa Murti "tetapi kesempatan yang paling haik
itu dapat aku pergunakan untuk mengerti serba sedikit
tentang isi dari perguruan Ki Sarpa Kuning"
Gajah Wareng tidak dapat menahan diri lagi. Sementara
itu orang berkumis yang juga sudah berada di arena itupun
menggeram "Aku akan membunuhmu lebih dahulu"
Dengan serta merta orang itu telah menyerang Mahisa
Murti. Namun sementara itu, Mahisa Pukatpun telah
berada di arena pula. Dengan nada dalam ia berkata "Gajah
Wareng. Biarlah aku yang melawanmu"
Gajah Wareng menggeretakkan giginya. Ketika ia
memandang saudara muda seperguruannya yang berdiri
termangu-mangu di luar arena, iapun berkata "Marilah.
Agar tugas kita cepat selesai, ikutlah dalam permainan ini"
Orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian dengan
tegas ia menjawab "Tidak"
"He, kaupun akan berkhianat pula?" geram Gajah
Wareng. Orang itu berdiri tegak tanpa bergerak, la sudah
dikecewakan oleh perguruannya. Sejak ia memasuki
perguruan itu, ia sudah di bebani oleh satu perasaan yang
tidak dapat dicernakannya. Apalagi ketika adiknya sudah
terbunuh karena tangan gurunya sendiri
"He cepat" teriak Gajah Wareng "Jika kau benar-benar
ingin berkhianat, maka kau menyadari, hukuman apa yang
akan kau terima nanti"
Tetapi orang itu menggeleng sambil menjawab "Aku
tidak akan membantu kalian. Apapun yang terjadi atas
guru, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Hatiku sudah
pernah dilukainya. Adikku telah dibunuhnya"
"Adikmu telah berkhianat. Jika kau melakukannya juga,
maka kaupun akan mati seperti adikmu" geram orang
berkumis yang sudah mulai bertempur melawan Mahisa
Murti. Tetapi orang itu tetap tidak beranjak dari tempatnya.
Sementara itu, kemarahan Gajah Warengpun menjadi
semakin meningkat. Karena itulah, maka iapun tidak
berbicara lebih lanjut. Yang dihadapinya adalah anak muda
yang telah dibawa oleh gurunya memasuki baraknya.
Namun yang ternyata dalam keadaan yang gawat ia sudah
berkhianat. Dengan demikian telah terjadi dua putaran perkelahian.
Gajah Wareng bertempur melawan Mahisa Pukat,
sementara saudara seperguran Gajah Wareng yang
berkumis itu bertempur melawan Mahisa Murti.
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
berharap hal itu terjadi. Tetapi karena ia belum mengerti
maksud Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu sebelumnya,
maka ia hanya dapat menunggu.
Ki Sanggaranapun menjadi agak bingung. Tetapi
akhirnya ia dapat menduga-duga apa yang telah terjadi
meskipun mungkin tidak tepat sebagaimana sebenarnya.
Demikianlah, pertempuran antara murid-murid Ki Sarpa
Kuning melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun
menjadi semakin seru. Seperti gurunya, maka kedua murid
Ki Sarpa Kuning itupun bertempur dengan garangnya.
Keduanya mampu bergerak cepat dan tangkas.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah anakanak
muda yang telah menempa diri sebaik-baiknya.
Karena itulah, maka dengan baik pula mereka dapat
melayani lawan-lawannya. Mahisa Murti berusaha untuk memancing lawannya
mengambil jarak dari pertempuran antara Mahisa Pukat
dengan Gajah Wareng, sehingga dengan demikian, maka
keduanya tidak akan saling mengganggu.
Sementara kedua orang murid Ki Sarpa Kuning itu
bertempur, orang-orang yang berada di seputar arena itu
benar-benar telah dicengkah oleh perasaan yang
membingungkan. Tiba-tiba saja dikalangan murid-murid Ki
Sarpa Kuning sendiri telah terjadi pertengkaran sehingga
mereka telah saling bertempur.
Baik para pengikut Ki Sendawa, maupun para pengikut
Ki Sanggarana. tidak segera dapat mengerti, apa yang
sebenarnya telah terjadi.
Namun Ki Waruju tersenyum menyaksikan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat bertempur melawan kedua orang
murid Ki Sarpa Kuning, sementara itu ia sendiri mendapat
kesempatan untuk beristirahat. Apabila perlu, maka
tenaganya yang akan segera pulih kembali itu, akan dapat
dipergunakannya sebaik-baiknya.
Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang memiliki bekal yang cukup. Karena itu. maka
pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit.
Gajah Wareng dan orang berkumis itu adalah murid-murid
Ki Sarpa Kuning yang paling dipercaya. Namun keduanya
tidak segera dapat menguasai Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dalam keadaan yang paling gawat itu, Ki Sendawa
berusaha untuk mempersiapkan pasukannya sebaikbaiknya.
Kepada kepercayaannya ia memerintahkan agar
dengan diam-diam pasukannya disiapkan. Setiap saat
mereka akan dapat bertindak.
Agaknya Ki Waruju cukup waspada. Ia melihat gerakgerak
yang mencurigakan dari Ki Sendawa dengan
beberapa orang pembantunya.
Karena itu, maka Ki Waruju itupun tidak tinggal diam.
Iapun kemudian dengan diam-diam bergeser mendekati Ki
Sanggarana sambil berbisik "Hati hatilah. Keadaan dapat
menjadi semakin buruk. Ki Sendawa telah menyiapkan
orang-orangnya" "Apakah harus terjadi benturan kekuatan antara para
pengikut paman Sendawa dan pengikut-pengikut?" bertanya
Ki Sanggarana dengan cemas.
"Hanya mempersiapkan diri. Berjaga-jaga. Mudahmudahan
hal itu tidak akan terjadi" jawab Ki Waruju.
Ki Sanggarana menjadi berdebar-debar. Tetapi iapun
memerintahkan kepada orang-orang yang dipercayanya
untuk bersiap-siap. "Kalian hanya bersiaga saja, persennya kalian tidak
mendapat wewenang untuk menyerang tanpa perintahku
langsung. Aku sendiri yang akan menceritakan aba-aba jika
kalian memang harus bertempur"
Kepercayaan itu mengangguk. Namun sebentar
kemudian, iapun telah menjatuhkan perintah untuk
bersiaga sepenuhnya. Setiap saat keadaan akan dapat menjadi sangat
menentukan Bahkan menentukan hidup dan mati dari
Kabuyutan Talang Amba-berkata kepercayaan Ki
Sanggarana itu kepada para pengikutnya.
Kepercayaannya itupun mengangguk-angguk. Sejenak
kemudian maka iapun telah menyusup diantara para
pengikut Ki Sanggarana dan memberikan pesan kepada
mereka sebagaimana dikehendaki oleh Ki Sanggarana.
Dalam pada itu, Mahisa Murti yang bertempur melawan
murid Ki Sarpa Kuning yang berkumis itupun telah berhasil
menjajagi kemampuan lawannya. Tidak terlalu berbahaya,
meskipun bukan berarti bahwa ia dapat mengabaikannya.
Orang berkumis itu sendiri telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Dengan sepenuh kekuatannya ia
menyerang dan berusaha mendesak Mahisa Murti. Namun
serangan-serangannya ternyata tidak banyak berhasil.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti selalu dapat
menghindarkan diri. Namun demikian, serangan-serangan
orang berkumis itu kadang-kadang memang sangat
berbahaya. Dalam kesempatan selanjutnya, Mahisa Murti ternyata
harus mengakui kecepatan gerak lawannya. Bahkan
kadang-kadang langkah tidak diduganya.
Karena itu. maka Mahisa Murtipun harus berbuat
sebaik-baiknya. Ketika serangan orang berkumis itu datang membadai.
maka Mahisa Murtipun dengan tangkas berhasil
menghindarinya. Tetapi ternyata orang itu telah meloncat
menyamping. Kakinya terjulur lurus kearah lawannya
dengan sepenuh kekuatan. Tetapi ternyata bahwa kaki itu
tidak mengenai Mahisa Murti, karena Mahisa Murti masih
sempat menarik diri selangkah surut.
Namun agaknya lawannya tidak membiarkannya.
Dengan serta merata orang berkumis itu memutar tubuhnya
sambil mengayunkan kakinya dalam serangan mendatar.
Demikian cepatnya, sehingga Mahisa Murti tidak sempat
mengelak lagi. Namun justru karena itu. maka timbullah
niat Mahisa Murti untuk membenturkan kekuatannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti dengan sengaja tidak
menghindar. Tetapi ia melindungi dadanya dengan kedua
tangannya yang bersilang di dadanya.
Kaki lawannya itu telah membentur tangannya yang
melindungi dada. Benturan itu terjadi dengan kerasnya.
Terasa tangan Mahisa Murti bagaikan dihentakkan oleh
kekuatan yang luar biasa besarnya, sehingga tangan itu
telah menghentak didadanya pula. Tetapi dengan demikian,
sebagian tenaga serangan itu telah dipunahkannya,
sehingga dadanya tidak menjadi retak karenanya. Meskipun
demikian Mahisa Murti itu telah terdesak selangkah
mundur. Sementara itu, kaki lawannyapun serasa telah
membentur selembar kepingan baja yang tebal dan kuat.
Kakinya justru bagaikan akan patah.
Orang berkumis itu menyeringai menahan sakit. Kakinya
yang melingkar mengenai tangan yang bersilang itu
bagaikan telah terdorong pula, sehingga orang berkumis itu
justru terhuyung-huyung. Tetapi iapun cepat memperbaiki keadaannya. Ketika
kemudian Mahisa Murti menyerang, maka orang itu
sempat meloncat jauh-jauh sekaligus mengambil
kesempatan untuk bersiap-siap menghadapi seranganserangan
berikutnya. Sementara itu, Gajah Warengpun telah mengumpat
dengan kasarnya. Ternyata bahwa lawannya yang masih
muda itu memiliki ketangkasan bergerak yang luar biasa.
Bahkan kekuatannyapun sama sekali, tidak diduganya.
Mahisa Pukat memang memiliki kemampuan diluar
dugaan lawannya. Gajah Wareng yang menyangka bahwa
anak-anak yang dibawa gurunya itu baru sekedar memiliki
kelebihan dari orang kebanyakan. Namun ternyata bahwa
ia harus memeras kemampuannya untuk menghadapinya.
Pertempuran antara Gajah Wareng dan Mahisa Pukat
itupun semakin lama menjadi semakin sengit, sebagaimana
terjadi antara Mahisa Murti dengan lawannya. Sekali-kali
Mahisa Pukat memang berusaha mengambil jarak untuk
mengetahui serba sedikit tentang tata gerak lawannya.
Namun tiba-tiba saja ia sudah meloncat menyerang dengan
garangnya. Serangan yang tiba-tiba dan yang sering
membuat lawannya kehilangan kesempatan sehingga
memaksa lawannya itu untuk menghindar jauh-jauh.
Tetapi setiap kali Mahisa Pukat tidak memberi
kesempatan kepada lawannya. Dengan cepat ia memburu
dengan serangan-serangan beruntun.
Tetapi Gajan Wareng, murid terpercaya dari Ki Sarpa
Kuning itupun memiliki kemampuan yang tinggi pula.
Karena itu. Setiap kali ia berhasil membebaskan diri dari
amukan serangan Mahisa Pukat. Bahkan sekali-sekali iapun
mampu membalas menyerang dengan garangnya. Bahkan
kadang-kadang serangannyapun datang menghantam
Mahisa Pukat dengan sepenuh kekuatannya
Tetapi Mahisa Pukat yang trengginas itu tidak terlalu
banyak mengalami kesulitan Bahkan dengan tepat ia selalu
berhasil memotong serangan lawannya yang kadang kadang
juga sangat berbahaya. Ternyata pertempuran antara kedua orang murid Ki
Sarpa Kuning melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang menurut pengertian beberapa orang disekitar arena itu
juga murid Ki Sarpa Kuning, telah menimbulkan berbagai
persoalan di dalam hari mereka. Pertempuran itu sendiri
telah menggetarkan jantung mereka. sementara itu
perselisihan diantara murid-murid Ki Sarpa Kuning itu
sendiri telah membingungkan mereka.
Yang berdiri termangu-mangu adalah murid Ki Sarpa
Kuning yang menjadi kecewa atas kematian adiknya itu. Ia
memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang
berdebar-debar. Ada semacam perasaan tersinggung jika ia
melihat ilmu sebagaimana dimilikinya itu tidak mampu
berbuat banyak atas kedua anak muda yang bernama
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu. Namun ia tidak ingin
membantu murid-murid Ki Sarpa Kuning yang telah
menyakiti hatinya dengan membunuh adiknya itu. Dalam
pada itu, orang berkumis yang bertempur melawan Mahisa
Murti itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Mahisa
Murti benar-benar telah berniat untuk mengakhiri
pertempuran. Sehingga karena itu, maka iapun benar-benar
telah sampai ke puncak ilmunya.
Orang berkumis itupun merasakan, betapa seranganserangan
Mahisa Murti menjadi semakin mendesaknya.
Seolah-olah ia telah kehilangan kesempatan sama sekali.
Serangan-serangan yang datang membadai itu tidak dapat


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dielakkannya seluruhnya. Sekali-kali serangan Mahisa
Murti telah berhasil menyusup disela-sela pertahanannya
dan mengenai tubuhnya. Orang berkumis itu mengumpat-umpat. Tetapi adalah
satu kenyataan bahwa tubuhnya telah disakiti oleh
serangan-serangan Mahisa Murti.
"Anak Setan" orang itu menggeram. Dikerahkannya
segenap kemampuannya. Dengan garangnya ia berusaha
untuk membalas memecahkan pertahanan lawannya.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Justru karena ia
berusaha untuk menyerang dengan sepenuh kekuatannya,
maka ia telah terpancing untuk mengerahkan segenap
kekuatan dan tenaganya. Karena itulah, maka tenaganyapun menjadi kian susut.
Semakin banyak ia memeras tenaganya, maka tenaga
itupun menjadi semakin cepat susut pula.
Dengan demikian, maka perlawanannya justru menjadi
semakin tidak berimbang. Ketika Mahisa Murti
menyerangnya dengan tangannya yang terjulur kedadanya,
ia masih mampu mengelak dengan menarik sebelah kakinya
dalam setengah lingkaran menyamping sambil
memiringkan tubuhnya. Tetapi adalah diluar dugaan bahwa
tangan yang terjulur itu telah terayun menyamping.
Orang berkumis itu berusaha melindungi dirinya dengan
kedua tangannya, agar serangan tangan lawannya tidak
mengenai keningnya. Tetapi Mahisa Murti telah merubah serangannya.
Dengan cepat tangan itu ditariknya. Sambil memiringkan
tubuhnya, kakinya telah terangkat. Cepat sekali mengarah
lambung. Orang berkumis itu masih berusaha menangkis. Tetapi
kaki Mahisa Murti ternyata lebih cepat, sehingga orang
itupun mengaduh pelahan ketika lambungnya telah
dihentakkan oleh kaki Mahisa Murti sehingga dengan
demikian, maka tubuhnyapun telah terlempat beberapa
langkah dan terbanting jatuh.
Dengan cepat orang itu berusaha berdiri. Namun terasa
betapa perutnya menjadi mual. Perasaan pedih telah
menyengat pula sehingga demikian ia tegak, maka iapun
telah terhuyung-huyung. Mahisa Murti tidak melepaskan kesempatan itu. Justru
pada saat orang itu terhuyung-huyung, maka Mahisa Murti
telah meluncurkan serangannya yang menentukan. Sekali
lagi ia mempergunakan kakinya. Dengan loncatan yang
panjang, maka kakinya terjulur menyamping langsung
menghantam dada. Sekali lagi lawannya terlempar dan jatuh terlentang.
Demikian kerasnya, sehingga orang itu tidak sempat untuk
mengaduh lagi. Demikian ia terbanting jatuh, maka iapun
telah menjadi pingsan. Gajah Wareng mengumpat dengan kasarnya. Ketika ia
melihat saudara seperguruannya itu terjatuh dan tidak dapat
bangkit lagi, maka iapun menjadi gelisah. Tetapi ia tidak
menghentikan perlawanannya.
"Menyerahlah" berkata Mahisa Pukat.
Tetapi jawaban orang itu adalah umpatan yang
menyakitkan telinga. Bahkan kemudian iapun berkata
kepada adik seperguruannya yang telah dianggapnya
berkhianat "Kau telah menjadi gila. Jika kau tidak mau
melibatkan diri, maka kau akan aku bunuh seperti adikmu"
Orang itu tidak menjawab sama sekali. Ancaman itu
memang mendebarkan jantung. Tetapi ketika ia melihat Ki
Sarpa Kuning yang terbaring dan tidak bergerak lagi
sebagaimana saudaranya seperguruannya yang seorang lagi,
maka kecemasannyapun segera larut. Ki Sarpa Kuning
sudah tidak akan dapat menghukumnya, sementara ia
memang tidak takut kepada Gajah Wareng.
Dalam pada itu, maka Gajah Wareng benar-benar telah
terdesak. Mahisa Murti yang telah kehilangan lawannyapun
telah mendekatinya. Namun ia sama sekai tidak
mengganggu pertempuran itu.
Ketika Mahisa Pukat kemudian mendelik lawannya
semakin tajam, maka Gajah Wareng telah mengambil satu
sikap yang mengejutkan. Tiba-tiba saja ia berteriak "Ki
Sendawa. Kali ini adalah kesempatan yang terakhir. Jika
kau tidak berhasil, maka untuk selamanya kau akan
kehilangan kesempatan. Cepat, siapkan orang-orangmu"
Ki Sendawa yang masih dicengkam oleh gejolak
perasaannya melihat kekalahan demi kekalahan itupun
terkejut. Namun sekali lagi ia menghadapi satu kenyataan.
Ki Sarpa Kuning sudah dikalahkan. Seorang muridnya
sudah terbaring diam. Seorang muridnya yang lain berdiri
termangu-mangu diluar arena, sementara dua orang murid
yang masih muda itu justru telah berpihak kepada Ki
Sanggarana. Dalam kebimbangan itu sekali lagi terdengar suara Gajah
Wareng "Cepat. Lakukan. Bukankah kau tidak datang
sendiri?" Tetapi sebelum Ki Sendawa berbuat sesuatu, Ki
Sanggarana yang menjadi cemas, bahwa akan terjadi
pertempuran yang melibatkan orang-orang Talang Amba
yang akan melawan orang-orang Talang Amba sendiri,
telah tampil didampingi oleh Ki Waruju.
Dengan suara lantang ia berkata "Paman Sendawa.
Paman telah melihat apa yang telah terjadi di halaman
banjar ini. Apakah paman masih belum puas dan masih,
akan berusaha untuk membenturkan kekuatan diantara
saudara sendiri?" Gajah Wareng yang masih bertempur itupun berteriak
"Jangan hiraukan"
Tetapi suaranya terputus karena Mahisa Pukat yang
menjadi jengkel telah menyerangnya dengan serta merta.
Kakinya yang berhasil menghantam lambungnya telah
melemparkannya. Tetapi Gajah Wareng cukup tangkas, sehingga ia tidak
terbanting jatuh karenanya. Meskipun demikian, ia harus
ineloncat jauh-jauh dari lawannya untuk menghindari
serangan berikutnya yang akan dapat menghantamnya pula.
"Paman" berkata Ki Sanggarana kemudian "paman
tahu, bahwa orang terpenting yang akan membantu paman
telah dikalahkan. Apa sebenarnya yang akan dapat paman
lakukan?" Namun ternyata Ki Sendawa yang sudah dibayangi oleh
kekuasaan seorang Buyut itupun masih juga menjawab
"Aku datang dengan para pengikutku"
"Jumlah mereka tidak sebanyak jumlah orang-orangku.
Tetapi yang lebih buruk lagi, orang-orang paman dan
orang-orangku, keduanya adalah orang-orang Talang
Amba. Mungkin diantara mereka yang berpihak kepada
paman, adalah saudara salah seorang diantara mereka yang
berpihak kepadaku" "Jangan cengeng" teriak Gajah Wareng. Tetapi sekali
lagi serangan Mahisa Pukat telah melemparkannya.
Ki Sendawa termangu-mangu Ia memang menghadapi
satu kenyataan, bahwa Ki Sarpa Kuning telah terbaring
diam. Murid-murid Ki Sarpa Kuning tidak lagi dapat
diharapkan, bahkan ada diantara mereka yang berpihak
kepada Ki Sanggarana. Namun dalam keragu-raguan itu ia masih berteriak
"Sanggarana. Apakah kau masih akan berkeras kepala"
Meskipun orang-orangku dan pengikutmu sama-sama orang
Talang Amba, namun mereka berpijak pada alas berpikir
yang berbeda. Orang-orangku adalah orang-orang yang
dengan jujur melihat satu kenyataan tentang darah
keturunan kita, sementara orang-orangmu adalah orangorang
yang telah kau bayar untuk berpihak kepadamu"
"Paman jangan memutar balikkan satu kenyataan.
Apalagi paman sudah kalah janji dalam arena ini Ki Sarpa
Kuningpun telah kalah. Dan apalagi?" bertanya Ki
Sanggarana. "Tetapi orang-orang tidak akan kalah. Kita akan
bertempur, pasukanku akan menggilas pasukanmu" teriak
Ki Sendawa. Sekali lagi ketegangan telah memuncak. Sementara itu.
Gajah Wareng memang sudah tidak akan mampu berbuat
sesuatu. Harapannya satu-satunya adalah, bahwa Ki
Sendawa akan memerintahkan orang-orangnya untuk
bertempur. Jika pertempuran itu benar-benar terjadi, maka
mungkin ada kesempatan baginya untuk melarikan diri.
Karena itu, maka iapun menjadi sangat berkepentingan
untuk membakar hati Ki Sendawa. Ia tidak peduli apakah
orang-orang Talang Amba akan saling berkelahi atau saling
membunuh. Ia sama sekali tidak berkepentingan, berapa
banyaknya orang yang akan mati. Yang penting bagi
dirinya adalah keselamatannya sendiri.
Dengan demikian, maka iapun telah berteriak pula "Ki
Sendawa. Jangan menunggu lebih lama lagi. Orangorangmu
tentu lebih baik dari orang-orang yang telah
memihak Sanggarana. Apalagi mereka bertempur dengan
landasan tekad untuk memenangkan satu perjuangan
berdasarkan satu keyakinan"
Darah Ki Sanggarana rasa-rasanya mengalir semakin
cepat. Apalagi ketika Ki Sendawa yang benar-benar
menjadi terbakar dan berteriak "Aku memberimu
kesempatan sampai hitungan ketiga. Jika kau tidak
menyerah, maka orang-orangku akan mengangkat senjata"
"Tunggu paman. Soalnya bukan karena aku menjadi
ketakutan. Orang-orangku berjumlah lebih banyak. Dan
aku tahu, bahwa orang-orang Talang Amba, baik yang
berpihak kepada paman, maupun yang berpihak kepadaku,
semuanya bukan orang-orang yang pernah dengan sungguhsungguh
mempelajari dan berlatih oleh kanuragan. jika
pertempuran itu terjadi, mereka benar-benar akan salinig
membunuh tanpa memperhatikan cara dan paugeran yang
manapun juga. "Aku tidak peduli. Jika kau mencemaskannya,
menyerahlah" teriak Ki Sendawa,
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat tidak membiarkan
lawannya berkesempatan untuk berteriak lagi Dengan
garangnya ia menyerang beruntun, sehingga untuk
berteriakpun Gajah Wareng sudah tidak sempat lagi.
Ketegangan benar-benar telah mencengkam. Ki
Sanggarana sudah berada diantara orang-orangnya. Ia
sadar, bahwa pertempuran memang benar-benar akan dapat
terjadi. Tetapi iapun yakin bahwa orang-orangnya dibantu
oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Ki Waruju dan mungkin
juga murid Ki Sarpa Kuning yang berada diluar arena itu,
akan dapat memenangkan pertempuran. Tetapi berapa
puluh orang yang kemudian akan menjadi banten.
Dalam pada itu, jantung Ki Sanggarana bagaikan akan
meledak ketika ia mendengar Ki Sendawa mulai
meneriakkan hitungan "Satu"
Gajah Wareng bertahan mati-matian. Ia masih mencoba
untuk menunggu sampai hitungan ketiga. Kemudian akan
menyala pertempuran yang kacau, sehingga mungkin sekali
id akan dapat melarikan diri.
Jantung Ki Sanggarana benar benar akan. peeah ketika ia
mendengar Ki Sendawa meneriakkan hitungan berikutnya
"Dua" "Tidak ada pilihan lain" geram Ki Sanggarana di dalam
hati untuk memantapkan sikapnya "jika paman memang
menghendaki demikian, apaboleh buat. Kami tidak akan
membiarkan leher kami di tebas tanpa perlawanan"
Namun dalam pada itu, sebelum Ki Sendawa
meneriakkan hitungan yang ketiga, tiba-tiba saja terdengar
suara nyaring dari belakang orang-orang yang sedang
berkerumun di halaman banjar Ketika mereka berpaling,
mereka melihat seorang perempuan berdiri diatas lincak
bambu dibawah sebatang pohon jambu kelutuk.
Paman teriak perempuan itu disela-sela isaknya "paman
tidak usah menyelesaikan hitungan paman. Jika paman
memang ingin merampas kekuasaan yang seharusnya
diwariskan oleh ayah kepada kakang Sanggarana, aku tidak
berkeberatan. Aku dapat memaksa kakang Sanggarana
untuk menolaknya kemungkinan untuk menerima warisan
itu jika warisan itu harus dilandasi oleh darah dan jiwa
anak-anak terbaik dari Talang Amba. Apakah mereka
berpihak kepada paman, atau berpihak kepada kakang
Sanggarana. Jika pembantaian itu benar-benar terjadi, aku
membayangkan, apakah yang akan dikatakan oleh ayah
jika ia menyaksikannya. Sepanjang umurnya ia bekerja
untuk kesejahteraan Kabuyutan ini. Sementara itu,
kekerasan akan memecah dan menghancurkan Kabuyutan
ini. Suasana telah dicengkam oleh satu ketegangan yang
dalam. Sementara itu, Nyai Sanggarana yang berdiri diatas
lincak itupun meneruskan "Paman. Ambillah kedudukan
itu, jika itu akan dapat menyelamatkan anak-anak muda
Talang Amba, apakah mereka pengikut paman atau
pengikut kakang Sanggarana. Aku tahu, bahwa pengikut
kakang Sanggarana jumlahnya jauh lebih banyak dari
pengikut paman. Sementara itu, taruhan di arena itupun
telah dimenangkan kakang Sanggarana. Tetapi jika usahausaha
untuk menghindari pertumpahan darah itu tidak
berhasil, maka ambillah paman. Ambillah kedudukan
Buyut di Talang Amba. Aku yakin suamiku tidak akan
berkeberatan. Hal itu merupakan satu pengorbanan bagi
keselamatan anak-anak muda Talang Amba. Segalanya
akan dilakukannya, jika akibatnya akan berarti bagi anakanak
dan Kabuyutan ini" Ki Sendawa memandang kemanakannya itu dengan
wajah yang tegang. Namun kata-kata kemanakannya itu
terasa menyentuh jantungnya. Apalagi ketika Nyai
Sanggarana itu berkata "Kakang. Marilah kakang
Tinggalkan tempat ini. Katakan kepada anak-anak muda,
bahwa kau sangat berterima kasih kepada kesediaan mereka
untuk mendukungmu. Tetapi katakan, bahwa kau tidak
ingin melihat pertumpahan darah terjadi. Kau tidak ingin
duduk diatas bangkai yang bertimbun. Lebih baik kau
lepaskan harapanmu untuk mewarisi kedudukan ayah


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada kau biarkan kita saling berbunuhan disini"
Ketika Nyai Sanggarana itu terdiam, maka halaman itu
benar-benar menjadi hening. Pertempuran antara Gajah
Wareng dan Mahisa Pukatpun telah terhenti. Sementara
yang terdengar kemudian adalah isak tangis Nyai
Sanggarana itu. Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian melangkah mendekati isterinya. Dibimbingnya
isterinya turun dari lincak bambu itu. Namun kemudian ia
sendirilah yang naik keatas lincak itu sambil berkata
"Paman. Paman sudah mendengar kata-kata isteriku,
kemanakan paman itu. Isteriku tidak rela jika aku harus
menukarkan kedudukan itu dengan setimbun mayat kawankawanku
sendiri. Karena itu paman, sudahlah. Aku akan
menyerahkan kedudukan itu kepada paman. Tetapi dengan
pesan, bahwa Talang Amba untuk selanjutnya tidak akan
menjadi korban. Talang Amba akan tetap menjadi sebuah
Kabuyutan yang besar. Hutan di lereng bukit itupun
merupakan hutan milik Kabuyutan ini yang tidak boleh
jatuh ketangan orang lain. karena di dalam hutan itulah
tersimpan nafas Kabuyutan ini. Dihutan di lereng bukit itu
tersimpan air yang dapat membasahi Kabuyutan ini
disegala musim. Dan hutan-hutan di lereng bukit itu
pulalah yang melindungi kita dari banjir bandang dan tanah
longsor" Wajah Ki Sendawa menjadi merah. Ternyata
Sanggarana sudah mengetahui perjanjian yang telah
dibuatnya dengan orang-orang yang ternyata tidak dapat
memenuhi janji mereka itu. Sementara anak-anak Talang
Amba sudah saling berhadapan dengan senjata di tangan.
Dalam pada itu. selagi ketegangan menjadi semakin
mencengkam, tiba tiba saja terdengar suara Ki Sendawa
"Sanggarana. Sikapmu justru telah melunakkan hatiku.
Betapapun garangnya nafsu yang bergejolak di dalam
hatiku, namun sikap kalian benar-benar telah menyentuh
perasaanku. Baiklah Sanggarana. Bukan kau yang harus
mengalah. Tetapi biarlah aku yang tua inilah yang menarik
diri dari perebutan ini. Mungkin hatiku tidak dapat kau
tundukkan dengan kemenangannmu diarena atau bahkan
sampai kematianku sekali. Tetapi sikapmu yang tidak aku
duga sebelumnya, seakan-akan telah membuka kesadaranku
tentang masa depan Kabuyutan ini"
Kata-kata Ki Sendawa itu benar-benar telah
mengguncang perasaan orang-orang yang berada di
halaman itu. Apalagi ketiga Ki Sendawa melanjutkan
Anak-anak muda Talang Amba. Dengarlah. Bersukurlah
bahwa pertumpahan darah itu masih belum terjadi Kalian,
anak-anak terbaik dari Talang Amba telah terjebak kedalam
sikap yang saling bermusuhan karena tingkah lakuku.
Baiklah. Sejak sekarang, lupakan apa yang pernah terjadi.
Untunglah belum ada korban diantara kita yang jatuh.
Meskipun diarena ini terbaring dua sosok tubuh, namun
keduanya bukan orang Talang Amba. meskipun
keadaannya itupun adalah akibat dari tingkahku. Namun
keduanya menyadari apa yang telah mereka lakukan"
Dengan tidak disadari, maka setiap orang telah
memperhatikan dua sosok tubuh yang terbaring diam di
arena itu. Sementara itu Mahisa Pukat berdiri termangu
mangu. Sementara Gajah Warengpun menjadi tegang
menghadapi perkembangan keadaan yang justru sebaliknya
dari yang diharapkannya. Namun dalam pada itu. maka nampaknya Ki Sendawa
benar-benar telah menemukan satu sikap yang berarti bagi
Talang Amba. Satu kesadaran yang memercik dari dasar
hatinya yang semula terbalut oleh sikap tamaknya, justru
karena kedua kemanakannya suami isteri yang merelakan
kedudukan yang diperebutkan itu.
Tetapi dalam suasana yang mencengkam perasaan
orang-orang Talang Amba itu, tiba-tiba saja telah terjadi
sesuatu yeng mengejutkan. Gajah Wareng yang merasa
dirinya terpencil itupun telah mengambil sikap tersendiri. Ia
tidak mau berada dalam kesulitan mengingat perubahan
sikap Ki Sendawa. Bahkan ia mulai membayangkan, orangorang
Talang Amba itu akan menangkapnya dan
mencincangnya beramai-ramai.
Karena itu. maka iapun harus mengambil sikap yang
cepat yang memungkinkannya untuk melepaskan diri.
Sejenak Gajah Wareng termangu-mangu Namun
kemudian selagi semua perhatian tertuju kepada Ki
Sendawa yang mulai berubah itu. Gajah Wareng telah
memungut paser-paser beracun dari dalam kantong ikat
pinggangnya. Namun ia masih menunggu kesempatan.
Justru ketika Ki Sendawa kemudian mulai berbicara lagi
kepada Ki Sanggarana tentang niatnya untuk
mengundurkan diri. Dengan hati-hati Gajah Wareng itu bergeser. Setapak
demi setapak. Namun dengan tiba-tiba iapun telan
meloncat berlari meninggalkan arena itu.
Tetapi Gajah Wareng tidak membiarkan dirinya dikejar
dan ditangkap oleh lawannya. Dengan serta merta iapun
teluh melemparkan sebuah paser langsung kearah dada
Mahisa Pukat. Mahisa Pukat tidak mengira bahwa lawannya telah
menyerangnya dengan cara yang sangat licik dan justru
pada saat perhatiannya tertuju kepada Ki Sendawa.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat tidak sempat
menghindari serangan itu. Meskipun demikian, ia masih
sempat menangkis serangan itu dengan tangannya yang
melindungi dadanya. Namun dalam pada itu, maka paser itupun telah
menancap ditangannya. Paser yang ternyata mengandung
racun yang sangat tajam. Tetapi sementara itu, saudara seperguruannya yang telah
dikecewakan oleh Ki Sarpa Kuning karena adiknya telah
dibunuhnya, dengan serta merta telah bertindak. Seperti
yang dilakukan oleh Gajah Wareng, maka orang itupun
telah melemparkan sebuah paser kecilnya kearah Gajah
Wareng yang melarikan diri itu.
Ketika paser, itu tertancap di pundaknya, maka Gajah
Warengpun tertegun. Wajahnya menjadi pucat seperti
kapas. Dengan jantung yang rasa-rasanya berdegup semakin
keras. Gajah Wareng berdiri memandangi adik
seperguruannya yang telah melontarkan paser itu kearahnya
"Kau memang pengkhianat" geram Gajah Wareng.
Adik seperguruannya tidak menjawab. Namun wajahnya
menjadi sangat tegang, karena iapun melihat paser yang
mengenai tangan Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, Gajah Wareng itupun kemudian berkata
dengan suara bergetar "Racun yang mengenai tubuhku
adalah racun yang terkutuk. Tidak ada obat yang dapat
menyelamatkan seseorang yang terkena racun keluarga Ki
Sarpa Kuning. Aku akan mati. Tetapi orang itupun akan
mati. Semua orang kemudian memandang kearah Mahisa
Pukat yang ditunjuk oleh Gajah Wareng dan jarinya yang
gemetar. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat seolah-olah tidak
menghiraukannya. Selangkah ia maju mendekati Gajah
Wareng sambil berkata "Racun itu memang racun yang
kuat sekali. Racun itu tidak akan terlawan oleh obat apapun
juga. Tetapi racun itu tidak akan dapat membunuhku"
"Omong kosong" geram Gajah Wareng "tidak ada
kecualaninya. Racun itu akan membunuh dengan
garangnya" Tetapi Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya
"Jangankan paser-paser itu. Kau melihat sendiri, bahwa
ular-ular yang ganas itu tidak dapat membunuh Ki Waruju"
"Tetapi kau bukan Ki Waruju" orang itu berteriak.
Mahisa Pukat masih tertawa. Katanya "Kita sekeluarga
sebagaimana keluargamu yang bermain-main dengan bisa.
Kami adalah keluarga yang memang mempunyai
ketahanan terhadap bisa. Kau memang tidak akan dapat
membunuhku" Wajah Gajah Wareng menjadi semakin tegang. Namun
dalam pada itu, racun yang keras itupun mulai menusuk
tubuhnya lewat jalur-jalur arus darahnya. Semakin lama
semakin mencengkam, sehingga tubuhnyapun menjadi
gemetar. "Kau juga akan mati" teriaknya.
Tetapi Mahisa Pukat masih tetap berdiri tegak. Bahkan
selangkah lagi ia maju mendekat.
Tubuh Gajah Wareng benr-benar telah gemetar. Racun
itu telah bekerja di dalam tubuhnya, sehingga sejenak kemudian,
maka Gajah Wareng itupun tidak lagi dapat berdiri.
Ketika Gajah Wareng itu jatuh pada lututnya, maka
terdengar ia mengumpat-umpat. Apalagi ketika
pandangannya yang menjadi kabur masih menangkap
tubuh Mahisa Pukat yang tetap tegak.
"Anak iblis" suaranya sudah menjadi semakin sendat.
Tetapi suara itupun segera lenyap. Gajah Warengpun
telah jatuh tertelungkup Tubuhnya bagaikan menjadi kejang
dan kulitnya menjadi bernoda kehitam-hitaman.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun telah
berakhir. Di arena itu terbaring tiga sosok mayat. Ternyata
Ki Sarpa Kuning dan dua muridnya tidak dapat bertahan
menghadapi orang-orang yang tidak diduganya akan
dijumpai di Kabuyutan kecil itu.
Dengan demikian, maka yang berhadapan kemudian
adalah orang-orang Kabuyutan Talang Amba itu sendiri.
Tidak ada orang lain yang dengan sengaja berusaha untuk
mendapatkan keuntungan dari pertentangan yang terjadi di
Kabuyutan itu. Apalagi Ki Sendawa tiba-tiba telah melihat
satu sikap yang dapat menggugah hatinya yang kelam.
Dalam pada itu, maka dalam ketegangan itu terdengar
Ki Sendawa berkata "Sanggarana. Baiklah. Biarlah aku
kembali bersama orang-orang yang berpihak kepadaku.
Namun akupun akan berusaha agar racun yang telah aku
taburkan pada pengikut-pengikutku itu akan dapat aku
lenyapkan. Aku akan memberitahukan kepada mereka,
bahwa tidak seharusnya kita saling bermusuhan"
Ki Sanggarana memandang pamannya dengan hati yang
bergejolak. Namun akhirnya ia mendekati pamannya
sambil berkata lembut "apakah paman berkata sebagaimana
paman kehendaki" "Percayalah. Aku berkata sebenarnya" jawab Ki
Sendawa. "Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga
paman. Bukan saja karena aku akan dapat mewarisi jabatan
tertinggi di Kabuyutan ini. tetapi akupun akan menikmati
satu kebahagiaan karena pertumpahan darah di daerah ini
dapat dicegah" Ki Sendawa mengangguk-angguk. Katanya "Selama ini
aku telah diselubungi oleh ketamakan yang tidak teratasi
oleh nalarku. Tetapi kini aku merasa, bahwa dunia telah
menjadi terang. Aku tidak lagi merasa duniaku gelap seperti
saat-saat sebelumnya"
"Aku mohon maaf. paman, bahwa selama ini aku telah
berbuat tidak sepantasnya terhadap paman, pengganti orang
tuaku" berkata Ki Sanggarana.
"Bukan kau yang harus minta maaf, tetapi aku" jawab Ki
Sanggarana. Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu, Ki Sendawapun berkata "Baiklah. Aku minta diri.
Mudah-mudahan untuk seterusnya hatiku selalu mendapat
terang dari Sang Maha Pencipta, sehingga peristiwa seperti
ini tidak akan terjadi lagi"
"Terima kasih paman. Sebenarnya aku ingin
menghadapkan paman singgah barang sebentar" berkata Ki
Sanggarana. "Terima kasih. Aku harus menenangkan diri dan
menenangkan gejolak perasaan orang-orangku. Aku harus
memberikan pertanggungan jawab dan penjelasan, sehingga
untuk selanjutnya tidak akan terjadi sesuatu?"
Ki Sanggarana tidak menahan lagi. Ki Sendawapun
kemudian masih sempat minta diri kepada orang-orang
Talang Amba dan bersama orang-orangnya ia
meninggalkan halaman banjar dan tiga sosok mayat dan
perguruan Sarpa Kuning, termasuk. Ki Sarpa Kuning itu
sendiri. Orang-orang yang berpihak kepada Ki Sanggarana
menyaksikan Ki Sendawa yang meninggalkan banjar itu
bersama dengan para pengikutnya dengan hati yang
berdebar-debar. Ternyata mereka tidak harus bertempur. Yang terjadi
pertempuran di arena adalah orang-orang tertentu. Orangorang
lain yang mencoba ikut mencampuri persoalan
Kabuyutan Talang Amba. Hampir diluar sadar, maka orang-orang Talang Amba
kemudian bersukur di dalam hati, bahwa Sang Maha
Pencipta masih melindungi rakyat Talang Amba sehingga
pertempuran yang akan dapat mengakibatkan pertumpahan
darah dapat dihindarkan. Sementara itu, para pengikut Ki Sendawa yang
meninggalkan banjar itupun mempunyai perasaan yang
sama. Merekapun merasa terlepas dari satu jebakan
perasaan yang tidak dapat dikendalikannya sebelumnya.
Merekapun bersukur, bahwa tidak terjadi pertumpahan
darah itu Mereka tidak harus saling berbunuh-bunuhan
diantara ke luarga sendiri.
Baru kemudian mereka dapat menyebut di dalam
hatinya, bahwa diantara para pengikut Ki Sanggarana
adalah saudara-saudara mereka. Bahkan ada yang terlalu
dekat dalam pertalian darah. Ada diantara orang-orang
Talang Amba yang berpihak Ki Sanggarana adalah
kemanakan me-reka. Bahkan ada yang saudara sepupu dan
saudara kandung. "Namun Sang Maha Pencipta masih melindungi kita
semuanya" berkata seseorang kepada orang yang berjalan di
sebelahnya.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Rasa-rasanya hati ini telah dikuasai oleh satu sikap
yang kurang kita mengerti sedalam-dalamnya akan
maknanya" jawab yang lain. Lalu "Kita seakan-akan
demikian saja hanyut oleh arus yang deras yang tidak
terbendung lagi" "Kita telah terbebas" sahut yang lain "apakah artinya
bagi kita, siapapun yang akan mewarisi jabatan Kabuyutan.
Bahkan seandainya orang lainpun seharusnya kita tidak
berkeberatan jika mereka benar-benar akan menguntungkan
bagi rakyat Talang Amba"
Kawan-kawannyapun mengangguk-angguk. Setelah
mendapat kesempatan berpikir dengan hati yang bening,
maka merekapun pada umumnya tidak berkeberatan sama
sekali jika yang kemudian akan menjadi Buyut di Talang
Amba adalah Ki Sanggarana. Bahkan seseorang telah
berdesis "Memang ia adalah orang yang paling berhak
menjadi Buyut di Talang Amba jika hal itu diambil dari
jalur keturunan seperti yang turun temurun terjadi"
"Baru sekarang hal itu dapat kita lihat dengan jelas"
sahut yang lain "rasa-rasanya selama ini mata kita telah
menjadi buta" "Tetapi segalanya telah lampau" jawab yang lain.
Namun dalam pada itu, diantara sekian banyak orang,
ternyata ada juga yang merasa kecewa. Mereka yang telah
terlanjur merasa dirinya seseorang yang memiliki kelebihan
dari orang lain. Seorang yang sudah siap untuk membunuh
dan berbangga atas kemenangannya itu.
Namun ketika ia terkenang betapa dahsyatnya
pertempuran antara Ki Sarpa Kuning melawan Ki Waruju
dan kemudian pertempuran antara murid-murid Ki Sarpa
Kuning itu sendiri, maka rasa-rasanya memang menjadi
ngeri. Merekapun segera menyadari, bahwa kemampuan
mereka dalam olah kanuragan, masih belum sekuku ireng di
bandingkan dengan orang-orang yang kini berada dilingkungan
para pengikut ki Sanggarana.
Dengan demikian bulu-bulu tengkuk merekapun
meremang. Mereka melihat ular yang berbisa, menggigit
tanpa menimbulkan akibat apapun juga. Paser yang
beracun tajam. Yang dapat membunuh orang dengan cepat.
Tetapi salah seorang murid Ki Sarpa Kuning itu ternyata
tidak mengalami cidera apapun juga ketika tubuhnya
terkena paser beracun itu.
Akhirnya orang itupun harus mengucapkan sukur juga.
Jika bukan perasaannya, maka nalarnya. Karena dengan
demikian maka mereka masih tetap hidup dan dapat
kembali kepada keluarga mereka dengan selamat.
Di pedukuhannya, maka Ki Sendawa masih sempat
mengumpulkan orang-orangnya di banjar padukuhan.
Dengan singkat ia menguraikan sikapnya untuk dimengerti
oleh para pengikutnya. Dengan suara bergetar ia berkata
"Ternyata kita masih mendapatkan terang dari Sang Maha
Pencipta. Pertempuran yang mengerikan itu dapat
terhindar. Dan akupun merasa bebas dari sikap yang tidak
sewajarnya. Bagaimanapun juga, kedudukan Buyut di
Talang Amba adalah hak Sanggarana"
Orang-orangnya mengangguk-angguk. Tetapi ada yang
menjadi geli melihat kedalam dirinya sendiri. Apa yang
telah membuatnya bingung sehingga ia setuju, bahWa Ki
Sendawa adalah pewaris yang sah.
"Apakah benar ia saudara sepupu Ki Buyut yang
meninggal itu?" pertanyaan itu baru timbul kemudian.
Tetapi orang-orang itu sudah tidak peduli lagi. Mereka
telah merasa diri mereka terhindar dari benturan kekerasan
yang akan dapat mengakibatkan saling berbunuhan.
"Bukan saling berbunuhan. Merekalah yang akan
membantai kita. Kecuali jumlah mereka hampir berlipat,
diantara merpka terdapat orang-orang yang ternyata
mampu mengalahkan Ki Waruju dan murid-muridnya yang
lain. Namun peristiwa itu agaknya telah menjadi satu
pengalaman yang mahal sekali. Orang-orang Talang Amba
akan selalu ingat kepada peristiwa itu, sehingga di masa
mendatang, mereka tidak akan dengan cepat tergelincir
kedalam satu sikap yang dapat menghancurkan diri mereka
sendiri. Dalam pada itu. maka orang-orang Talang Amba yang
tertinggal di Banjar Kabuyutan itupun merasa dada mereka
menjadi lapang. Merekapun merasa sebagaimana dirasakan
oleh saudara-saudara mereka yang semula ber pihak kepada
Ki Sendawa. Orang-orang Talang Amba yang semula
berpihak kepada Ki Sanggarana itupun merasa bahwa
mereka terbebas dari kemungkinan yang paling buruk.
Mereka tidak lagi jatuh kedalam satu kemungkinan mati
terbunuh oleh saudara sendiri.
Dengan demikian, maka merekapun lelah mengucapkan
sukur di dalam hati, bahwa pertempuran telah dapat
dihindarkan. Sementara yang mereka inginkanpun akan
dapat terjadi. Ki Sanggarana akan menggantikan
kedudukan ayah mertuanya, menjadi Buyut di Talang
Amba. Namun dengan peristiwa itu, maka mata orang-orang
Talang Ambapun telah terbuka. Mereka menjadi semakin
hormat kepada Ki Sanggarana. Jika semula mereka
menghormatinya hanya karena kebesaran nama Ki Buyut
yang telah meninggal yang telah mengambilnya menjadi
menantu, maka merekapun kemudian menjadi hormat
kepada Ki Sanggarana karena sikapnya. Ternyata Ki
Sanggarana bukan seorang pengecut yang tidak berani
bertindak apapun juga. Tetapi yang menjadi beban Ki
Sanggarana adalah keselamatan rakyat Talang Amba. Ia
sama sekali tidak dengan tamak menginginkan jabatan
tertinggi di Kabuyutan Talang Amba, karena dengan
demikian ia akan dapat membenturkan kekuatan rakyat
Talang Amba kepada saudara-saudara sendiri. Namun pada
saat tertentu, maka ia telah dengan berani tampil di arena
melawan pamannya, Ki Sendawa.
Dengan demikian, maka rakyat Talang Amba menjadi
semakin yakin, bahwa Ki Sanggarana akan dapat menjadi
seorang pemimpin yang baik. Seorang pemimpin yang tidak
mementingkan diri sendiri.
"Mudah-mudahan ia tidak berubah" berkata seorang
yang berkumis keputih-putihan.
"Kenapa?" bertanya seorang kawannya.
"Hal yang mungkin sekali. Seorang yang baik, yang
dengan kesungguhan hati berbuat sesuatu bagi kepentingan
lingkungannya, setelah menjadi seorang pemimpin
perlahan-lahan telah berubah sikap. Ia lebih senang
menikmati kedudukannya daripada berjuang lebih berat lagi
bagi rakyatnya itu" berkata orang berkumis keputihanputihan
itu. Kawannya mengangguk-angguk. Katanya "Memang
mungkin. Kedudukan akan dapat memadamkan nyala api
perjuangan di dalam dadanya"
"Karena itu, kita memang harus berdoa mudahmudahan
Ki Sanggarana bukan termasuk orang yang
demikian itu" berkata orang berkumis keputih-putihan itu.
Namun sementara itu, Ki Sanggarana yang berada di
pendapa banjar tengah berbincang dengan Ki Waruju,
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan murid Ki Sarpa Kuning
yang tertinggal. Sementara itu, Ki Sanggaranapun telah memanggil
beberapa orang tua di Kabuyutan Talang Amba dan orangorang
yang dianggap berpengaruh untuk duduk bersama di
pendapa. Duduk pula diantara mereka Nyai Sanggarana,
keturunan langsung Ki Buyut, yang menjadi saluran
warisan bagi Ki Sanggarana.
Pertemuan yang dengan tiba-tiba diadakan itu,
merupakan satu tanggapan langsung terhadap peristiwa
yang baru saja terjadi. Mereka berusaha untuk menilai
keadaan. Apakah sikap Ki Sendawa itu cukup meyakinkan.
Beberapa orang Talang Amba sendiri masih tetap
meragukan. Tetapi sebagian yang lain, yang menyaksikan
langsung peristiwa itu menganggap, bahwa Ki Sanggarana
tidak perlu ragu-ragu. "Apakah kita akan dapat yakin terhadap sikapnya"
seorang yang berdahi lebar bertanya.
"Aku percaya" jawab Ki Sanggarana.
"Apakah sikapnya bukan sekedar untuk menyelamatkan
diri kemudian menyusun kekuatan yang lebih besar dengan
menghubungi orang-orang kesediaan untuk memberikan
imbalan yang lebih besar lagi. Bukan hanya hutan di lereng
bukit yang tidak banyak berarti bagi kita itu. tetapi sawah
dan ladang bahkan mungkin satu diantara pedukuhan yang
ada di Talang Amba ini?" bertanya seseorang.
"Apakah sawah dan pedukuhan itu lebih berharga dari
hutan di lereng bukit?" bertanya Mahisa Murti.
"Tentu ngger" jawab orang itu "apa artinya hutan itu
bagi kita. Jika kita ingin memanfaatkannya, maka kita
masih harus bekerja keras, menebang dan menyusun tataran
tanah yang dapat kita jadikan sawah atau ladang"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Agaknya kita masih belum mengerti arti dari sikap Ki
Sarpa Kuning yang telah terbunuh itu"
"Kami mengerti" jawab orang itu "ia memilih daerah
yang masih akan mudah dibentuk. Hutan itu memberi
keleluasaan dan barangkali orang-orang itu melihat kayu
yang mempunyai nilai tertentu hidup dihutan itu. Mungkin
kayu cendana atau sejenis belendok yang berharga.
Mahisa Murti menggeleng lemah. Kalanya "Bukan Ki
Sanak. Bukan itu. Ki Sarpa Kuning dan orang-orang tidak
memerlukan hutan itu. Mereka akan menebanginya dan
menjadi bukit itu bukit gundul"
"Mereka akan membuat tanah persawahan" jawab orang
itu. Tetapi Mahisa Murti masih juga menggeleng "Bukan
tanah persawahan. Tetapi justru tanah gundul itulah yang
dikehendaki. "Kenapa dengan tanah gundul?" bertanya orang itu.
Mahisa Murtipun berpaling kepada Ki Sanggarana. Ia yakin
bahwa Ki Sanggarana tentu dapat mengerti masalahnya.
Ki Sanggarana kemudian bergeser setapak. Namun ia
mengerti, bahwa Mahisa Murti menghendaki, agar ia
menyatakan pendapatnya. Karena itu, maka katanya "Saudara-saudara di
Kabuyutan Talang Amba. Bahwa orang-orang asing itu
menghendaki hutan di lereng bukit memang agak
mengherankan kita. Sebenarnya mereka dapat minta
imbalan lebih dari itu. Jauh lebih baik. Tetapi mereka memang tidak
memerlukan sawah atau ladang yang baik. Mereka memang
memerlukan hutan di lereng bukit"
"Kami ingin mengetahui sebabnya" bertanya seseorang.
Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Sambil
berpaling kepada Ki Waruju, iapun berkata "Aku sudah
mendapat beberapa keterangan dari Ki Waruju yang telah
membantu kami menghindarkan benturan yang dapat
membawa korban lebih banyak lagi. Menurut Ki Waruju,
maka hutan di lereng bukit itu telah menampung air
dimusim hujan. Air yang turun di lereng bukit karena hujan
yang deras, akan tertahan dan tersimpan di dalam tanah.
Air itu akan sangat bermanfaat dimusim kering. Tetapi jika
tanah itu menjadi gundul, maka akibatnya akan jauh
berbeda. Air akan mengalir sederas-derasnya dimusim
hujan karena tidak ada penahannya sama sekali. Akibatnya
adalah banjir bandang. Padukuhan serta sawah ladangnya
akan hanyut dsan barangkali kekayaan dan ternakpun akan
terendam" Orang-orang yang mendengarkan keterangan itu menjadi
tegang. Salah seorang diantara merekapun bertanya "Tetapi
apakah pamrih mereka dengan rencana itu. Apakah mereka
hanya sekedar ingin merusak kehidupan kami, atau karena
mereka memang mempunyai kesenangan melihat
penderitaan orang lain atau kepentingan lain yang tidak kita
ketahui?" "Persoalan itu menyangkut satu tatanan kehidupan yang
luas Ki Sanak" jawab Ki Waruju "persoalan yang
menyangkut hubungan antara Kediri dan Singasari,
Beberapa orang bangsawan Kediri memang merasa bahwa
selama ini Kediri berada dibawah pemerintahan Singasari.
Mereka tidak mau menerima keadaan itu untuk seterusnya"
Apalagi diantara mereka merasa bahwa yang sebenarnya
berhak memerintah adalah Kediri. Pada saat Akuwu
Tumapel yang bernama Ken Arok melihat satu kesempatan,
maka ia telah bangkit dan mengalahkan Kediri. Pada saat
itu berdirilah Singasari yang memerintah sampai ke tlatah
Kediri" Orang-orang, yang mendengarkan keterangan itupun
mengangguk-angguk. Merekapun sebagian pernah
mendengar cerita itu. Bahkan beberapa orang tua-tua masih
ingat, apa yang pernah terjadi meskipun tidak langsung
mereka alami. Namun keterangan tentang hutan di lereng bukit itu
nampaknya dapat mereka mengerti. Ternyata bahwa hutan
di lereng bukit itu akan dapat berpengaruh terhadap dataran
dibawahnya. "Satu jenis perang yang berjangka panjang" desis salah
seorang diantara mereka yang hadir.
"Tepat" jawab Ki Sanggarana "perang yang berjangka
panjang. Karena itu, apa yang terjadi di Talang Amba,
bukannya satu persoalan yang berdiri sendiri, yang terpisah
dari usaha yang lain yang dilakukan oleh beberapa orang
bangsawan Kediri. Jika kali ini Ki Sarpa Kuning, yang
merupakan salah seorang yang berdiri di belakang para
bangsawan itu, telah gagal, mungkin pada saatnya akan
dalang lagi orang lain dengan cara yang berbeda. Mungkin
mereka tidak lagi berhubungan dengan orang-orang Talang
Amba. Mungkin mereka langsung merusak hutan itu"
Orang-orang yang mendengarkannya menganggukangguk.
Tetapi nampak ada ketegangan di sorot mala


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Karena mereka menyadari, bahwa mereka ternyata
berada di dalam lingkaran peperangan. Kabuyutan mereka
menjadi sasaran perang yang aneh itu.
Dengan demikian merekapun mengerti, bahwa
Kabuyutan Talang Amba adalah satu Kabuyutan yang luas
di tlatah Singasari, yang menjadi salah satu sasaran yang
harus dimusnahkan. Karena iu, maka menjadi kewajiban mereka untuk
berbuat sesuatu, agar Kabuyutan mereka tidak menjadi
hancur karenanya. Usaha Ki Sarpa Kuning mendorong perpecahan di
Talang Amba sehingga hampir saja terjadi pertumpahan
darah, harus tetap mereka ingat sebagai satu pelajaran yang
berharga. "Saudara-saudaraku" berkata Ki Snggarana kemudian
"tugas kita masih cukup banyak. Kita dapat bersukur bahwa
kita tidak terpecah karenanya. Tetapi kitapun harus bersiaga
menghadapi kemungkinan yang bakal datang. Untunglah,
bahwa kekuatan kita telah pulih dan Talang Amba telah
menjadi satu kembali. Dengan demikian, maka disaat-saat
mendatang, dalam pembicaraan seperti itu, kita tidak akan
dapat meninggalkan paman Sendawa"
Orang-orang Talang Amba itu tidak berkeberatan.
Bahkan mereka-mereka berkewajiban untuk menghimpun
segenap kekuatan yang ada di Talang Amba, karena bahaya
yang mereka hadapi mungkin justru akan bertambah besar.
Dalam pada itu, maka untuk sementara kehidupan di
Talang Amba telah pulih kembali. Hubungan antara
padukuhan-padukuhan yang semula dibatasi oleh sikap
yang berbeda terhadap Buyut yang bakal mereka pilih,
kemudian telah bertaut kembali. Sanak kadang yang
terpisah, telah saling berkunjung dan yang pernah terjadi,
kadang-kadang justru menjadi bahan kelakar yang segar.
Namun demikian, Ki Sanggarana tidak kehilangan
kewaspadaan. Meskipun ia belum dilantik resmi sebagai
Buyut di Talang Amba, namun justru karena peristiwa yang
telah terjadi, seakan-akan telah menetapkannya untuk
memangku jabatan Buyut yang ditinggalkan oleh
mertuanya. Sementara itu, peristiwa yang terjadi di Talang Amba
itupun didengar pula oleh para pemimpin di Singasari. Para
Senopatipun telah memperbincangkannya pula. Mahisa
Bungalan yang mengetahui beberapa hal tentang usaha
itupun telah memberikan laporannya.
Dengan demikian, maka Singasaripun menyadari, bahwa
Kediri yang nampaknya tenang itu, telah bergejolak di
bagian dalam. Bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali
terjadi peristiwa yang sama. Satu dua orang bangsawan
merasa bahwa Kediri bukan sewajarnya diperintah oleh
Singasari. Dalam pada itu, Akuwu Gagelang telah mendapat
perintah langsung dari Singasari untuk menangani
perkembangan keadaan di daerahnya, Kabuyutan Talang
Amba. "Orang-orang Talang Amba memang gila" geram
Akuwu Gagelang "mereka sama sekali tidak melaporkan
kepadaku. Tiba-tiba aku mendapat perintah dari Singasari
untuk menangani persoalan yang timbul di Kabuyutan itu"
Para Senopati Gagelang hanya dapat menundukkan
kepala. Mereka memang merasa kecewa terhadap sikap
orang-orang Talang Amba. Menurut dugaan orang-orang
Gagelang, maka orang-orang Talang Amba langsung
memberikan laporan kepada Singasari.
Tetapi sebenarnyalah bahwa berita tentang peristiwa di
Talang Amba itu telah dibawa oleh Ki Waruju yang
kembali untuk satu dua hari ke Singasari. Lewat Mahendra,
maka persoalan itu sampai kepada para pemimpin di
Singasari. Apalagi Mahisa Bungalan telah memberikan
laporan pula sejauh dapat diketahuinya.
Sementara itu, Akuwu Gagelang telah memberikan
perintah kepada seorang Senopatinya "Bawa orang-orang
yang merasa dirinya memerintah di Talang Amba itu
menghadap aku. Aku harus memberi peringatan kepada
mereka. Bahkan jika perlu hukuman atas kelancangan
mereka" "Tetapi Buyut Talang Amba telah meninggal" berkata
salah seorang Senopatinya.
"Aku tahu. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tentu
ada seseorang yang tampil dan memimpin orang-orang
Talang Amba" berkata Akuwu lantang "orang itulah yang
harus bertanggung jawab. Jika benar orang itu melaporkan
kepada Sang Maha Prabu di Singasari sebelum memberi
tahukan persoalannya kepadaku, maka orang itu telah
mencemarkan namaku. Seolah-olah aku tidak tahu menahu
tentang segala peristiwa yang terjadi di Kabuyutan di tlatah
Pakuwon Gagelang" Senopati itu mengangguk-angguk. Jawabnya "Hamba
Akuwu. Hamba akan memanggil orang itu"
Demikianlah, Senopati itupun telah pergi ke Talang
Amba. Kedatangannya memang sangat mengejutkan.
Apalagi Senopati itu telah membawa beberapa. orang
pengawal, karena menurut penilaian orang-orang Gagelang,
keadaan di Talang Amba masih belum jelas.
Ketika Senopati itu bertemu dengan seseorang yang
sedang bekerja di sawah, maka iapun bertanya "Siapa yang
sekarang memangku kedudukan Buyut di Talang Amba
sebelum ada seorang Buyut yang diangkat oleh Akuwu?"
Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia
menjawab "Ki Sanggarana. Menantu Ki Buyut yang telah
meninggal" "Dimana rumahnya?" bertanya Senopati itu.
"Juga di rumah Ki Buyut yang meninggal itu" jawab
orang Talang Amba itu "Apakah Senopati belum pernah melihat rumah Ki
Buyut?" "Aku sudah tahu" jawab Senopati itu sambil
menggerakkan kendali kudanya. Sejenak kemudian maka
sekelompok prajurit dari Pakuwon Gagelang itupun telah
lenyap meninggalkan debu yang terhambur di bulak
panjang. Ketika Senopati dan para pengawalnya memasuki rumah
Ki Sanggarana, Ki Waruju telah berada di rumah itu pula.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan seorang murid Ki Sarpa
Kuningpun juga masih berada di rumah itu, karena Ki
Sanggarana telah menahan mereka untuk tinggal barang
satu dua pekan atau lebih jika mereka menghendaki.
Meskipun demikian kehadiran Senopati dan pengawalpengawalnya
itu memang mengejutkan. Dengan hormat, Ki
Sanggaranapun telah mempersilahkan Senopati itu naik ke
pendapa. Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, maka
Senopati itupun kemudian bertanya "Ki Sanak. Siapakah
yang saat ini memangku jabatan Buyut di Kabuyutan yang
komplang ini?" Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Maaf Senopati. Bukan maksudku mendahului
titah Akuwu. Tetapi untuk sementara aku telah melakukan
tugas itu, sekedar untuk mengisi kekosongan karena
kebetulan aku adalah menantu Ki Buyut yang telah
meninggal dunia" Senopati itu mengangguk-angguk. Katanya "Kau sudah
bertindak tepat Ki Sanak. Memang seharusnya seseorang
tampil untuk memangku jabatan itu. Jika tidak ada yang
berani tampil maka keadaan tentu akan menjadi kacau.
Bukankah di Kabuyutan ini hampir saja timbul
kekacauan?" Ki Sanggarana memandang Ki Waruju sekilas. Namun
karena Ki Waruju tidak memandang kearahnya, maka
iapun menjawab "Ya Senopati. Di Kabuyutan ini memang
telah timbul satu persoalan, justru karena ada orang asing
yang memasuki Kabuyutan ini dan berusaha
mengendalikan persoalan yang timbul di dalam Kabuyutan
ini sendiri" "Aku telah mendengar iaporan" jawab Senopati itu
"sekelompok orang asing yang ingin menguasai bukit
berhutan itu" Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Tekanan
perhatian Senopati itu justru kepada orang asing yang
bernama Ki Sarpa Kuning, tidak kepada perselisihan
diantara orang-orang Talang Amba sendiri.
Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah penjelasan
Senopati itu, bahwa para bebahu di Kabuyutan Talang
Amba telah melakukan salu kesalahan yang besar. Mereka
telah memberikan laporan kepada pimpinan pemerintahan
di Singasari bahkan telah sampai kepada Sang Maha Prabu,
sementara Akuwu di Gagelang masih belum
mengetahuinya. "Akuwu memerintahkan, agar pemangku jabatan Buyut
di Talang Amba di bawa ke Pakuwon. Ia harus
mempertanggung jawabkan sikapnya yang melampaui
kuasa Sang Akuwu" berkata Senopati itu.
"Apa yang sudah aku lakukan. Senopati?" bertanya Ki
Sanggarana, "Kau telah melaporkan kedatangan orang asing yang
ingin menguasai hutan di lereng bukit itu ke Singasari
sebelum kau melaporkannya ke Gagelang" berkata Senopati
itu. Wajah Ki Sanggama menjadi tegang. Dengan cemas ia
berkata "Senopati. Aku sama sekali belum melaporkannya
kepada siapapun juga. Apalagi kepada para pemimpin di
Singasari. Selama ini aku masih berusaha untuk
menyelesaikan persoalan yang timbul di dalam Kabuyutan
ini. Persoalan yang hampir saja membenturkan aku dengan
pamanku sendiri karena pokal orang asing itu"
"Apa yang terjadi?" bertanya Senopati itu. Ki
Sanggaranapun kemudian menceriterakan, apa yang telah
terjadi antara dirinya dan pamannya. Ki Sendawa.
Namun yang kemudian telah dapat diatasinya, meskipun
harus mengorbankan orang-orang asing yang berada di
Kabuyutan itu. Senopati itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki
Sanggarana dengan tajamnya. Namun kemudian katanya
"Jadi kau dan orang-orangmu mampu mengalahkan Ki
Sarpa Kuning dan murid-muridnya?"
Ki Sanggarana menjadi berdebar-debar. Ia ingin
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi ia raguragu,
apakah Ki Waruju sependapat jika ia berbuat
demikian. Namun dalam keragu-raguan itu terdengar Ki Waruju
berkata "Senopati. Kami ternyata telah dapat mengatasi
ilmu ketiga orang itu dengan jumlah dan keberanian kami.
Anak-anak muda Talang Amba telah bergerak dengan cepat
dan pada saat yang tepat, sehingga mereka dapat
mengalahkan orang yang disebut Ki Sarpa Kuning itu"
"Tanpa korban sama sekali?" bertanya Senopati itu.
Ki Warujupun menjadi ragu-ragu. Namun sebelum ia
menjawab Senopati itu berkata "Mustahil jika anak-anak
muda Talang Amba mampu menyelesaikan orang yang
bernama Ki Sarpa Kuning tanpa korban seorangpun.
Seandainya anak-anak muda Talang Amba serentak
bergerak, maka disamping tiga orang korban itu, tentu akan
jatuh berpuluh korban dintara anak-anak muda itu sendiri.
Apalagi jika ada dua sisi yang saling bermusuhan"
Ki Warujupun menjadi semakin ragu-ragu. Agaknya ia
memang tidak akan dapat berbohong. Senopati itu
mempunyai wawasan yang cukup tajam mengenai keadaan
yang terjadi di Talang Amba. Sehingga karena itu, maka
akhirnya Ki Waruju berketetapan hati untuk mengatakan
apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya, meskipun ia masih
berusaha untuk melindungi Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan seorang murid Ki Sarpa Kuning.
Karena itu, maka katanya "Senopati. Baiklah aku
berterus terang Sebenarnyalah bahwa aku telah berdiri di
pihak Ki Sanggarana saat perselisihan itu terjadi Namun
sebelum terjadi benturan kekerasan, Ki Sanggarana berhasil
menumbuhkan kesadaran di hati pamannya, meskipun
dengan cara yang tidak terduga-duga.
Dengan singkat, Ki Warujupun menceriterakan, apa
yang telah dilakukan olehnyai Sanggarana sebagai
kemanakan langsung dari Ki Sendawa yang ternyata
berhasil menyentuh perasaannya"
Senopati itu mengangguk-angguk Dipandanginya Ki
Waruju sejenak. Lalu katanya "Jadi kau merasa dirimu
dapat mengimbangi kemampuan Ki Sarpa Kuning?"
"Mungkin secara kebetulan saja. Senopati. Sementara itu
kegelisahan Ki Sarpa Kuningpun ikut menentukan
kekalahannya. Sikap Ki Sendawa yang menyadari
kesalahannya itu membuat Ki Sarpa Kuning marah dan
kecewa. Dengan demikian, maka sebagian besar kekalahan
Ki Sarpa Kuning adalah karena dirinya sendiri. Aku hanya
sekedar menjadi lantaran untuk meyakinkan kematiannya
saja" Senopati itu mengangguk-angguk. Namun katanya
"Meskipun demikian, aku tidak dapat menolak perintah
Akuwu untuk membawa pemangku jabatan Buyut di
Talang Amba ini. Tetapi karena menurut keterangan Ki
Waruju. ia telah ikut mencampuri persoalan ini, maka aku
akan membawanya pula menghadap Akuwu. Namun jika
kalian dapat meyakinkan apa yang terjadi, maka agaknya
Akuwupun akan mempercayainya. Apalagi jika kalian
dapat menjelaskan bahwa kalian belum pernah
melaporkannya ke Singasari. Jika Singasari mengetahui
persoalan yang terjadi itu adalah karena ketajaman
pengamatan para petugas sandi dari Singasari itu sendiri"
"Begitulah Senopati" jawab Ki Sanggarana "mungkin
pada saat itu, secara kebetulan atau sengaja, ada satu atau
lebih petugas sandi dari Singasari yang berada di
Kabuyutan Talang Amba atau di sekitarnya. Atau setelah
hal itu terjadi dan menjadi bahan pembicaraan orang-orang
di pasar dan disepanjang jalan, maka kabar tentang


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peristiwa itu ditangkap oleh para petugas dari Singasari"
"Mungkin. Tetapi anehnya, bahwa kami belum
mendengar peristiwa itu secara terperinci" berkata Senopati
itu. "Kami memang baru menyiapkan laporan yang akan
kami bawa ke Pakuwon Gagelang, sekaligus tentang
kemungkinan pengangkatan seorang Buyut di Kabuyutan
Talang Amba" berkata Ki Sanggarana kemudian.
Senopati dari Pakuwon Gagelang itu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian iapun bertanya "Apakah kau
sudah menentukan seorang calon bagi Buyut di Talang
Amba" Atau karena kau sendiri sekarang menjadi
pemangku jabatan itu, kau akan mengusulkan dirimu
sendiri?" "Aku tidak akan mengusulkan diriku sendiri" jawab Ki
Sanggarana terserah kepada kebijaksanaan Akuwu.
Mungkin Akuwu memandang ada orang lain yang lebih
tepat untuk menjadi Buyut di Talang Amba daripada aku
yang sekarang menjadi pemangku"
Senopati itu mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian "Jika demikian, bersiaplah. Kita akan pergi ke
Gagelang menghadp Sang Akuwu"
Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Agaknya
Akuwu menganggap bahwa ia telah melakukan satu
kesalahan. Namun bagaimanapun juga ia memang harus
menghadap. Ia harus menyampaikan satu pertanggungan
jawab atas peristiwa yang baru saja terjadi. Bahkan
Senopati itu telah meminta agar Ki Waruju ikut bersama
dengan Senopati itu pula.
Demikianlah, maka Ki Sanggaranapun menyahut
"Baiklah Senopati. Aku tidak akan menolak perintah itu.
Aku akan menghadap Akuwu. Tetapi tentang Ki Waruju,
sebaiknya Ki Waruju menyatakan sikapnya. Karena
sebenarnyalah ia bukan warga Kabuyutan ini dan bahkan
bukan warga Pakuwon Gagelang"
"Meskipun ia bukan orang Gagelang, tetapi ia
melakukan satu perbuatan di Gagelang. Karena itu, maka
iapun wajib menghadap untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatannya atau mungkin hanya sekedar memberikan
keterangan saja" jawab Senopati itu.
Ki Warujupun kemudian mengangguk-angguk sambil
menjawab "Baiklah Senopati. Aku tidak akan berkeberatan.
Aku memang sudah berbuat sesuatu di Kabuyutan ini yang
termasuk daerah kekuasaan Akuwu di Gagelang. Karena
itu, maka akupun tidak akan menolak perintah untuk
menghadap Akuwu di Gagelang"
Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya
Ki Waruju memang akan mempertanggung jawabkan
sendiri langkahnya. Karena dengan demikian agaknya Ki
Waruju memang benar-benar ingin membantunya.
Sejenak kemudian, maka Senopati Gagelang bersama
beberapa pengawalnya telah membawa Ki Sanggarana dan
Ki Waruju ke Pakuwon untuk menghadap Sang Akuwu.
Sementara itu, isteri Ki Sanggarana benar-benar menjadi
gelisah. Ia telah sejak semula menganjurkan agar suaminya
menarik diri dari seluruh persoalan Buyut di Talang Amba
yang kosong. Dengan demikian, maka keluarga kecilnya
tidak akan selalu merasa terganggu.
Namunnyai Sanggarana itupun mengerti, bahwa
suaminya tidak akan dapat mengabaikan sama sekali
pendapat anak-anak muda Talang Amba yang telah
mengungkitnya untuk tampil dalam arena pencalonan
Buyut di Talang Amba. Dalam pada itu, maka Ki Sanggarana dan Ki Warujupun
telah meninggalkan Talang Amba. Beberapa orang anak .
muda memperhatikan kedua orang yang mereka anggap
telah menjadi pusat perhatian orang-orang Talang Amba
yang ternyata telah dibawa oleh sekelompok pengawal dari
Pakuwon Gagelang. "Apa salah mereka?" orang-orang Talang Amba itu pun
saling bertanya. Namun tidak seorangpun yang dapat menjawab. Baru
kemudian ketika mereka pergi ke rumah Ki Sanggarana,
mereka mendapat penjelasan dari Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tentang kedatangan sekelompok pengawal
dari Pakuwon Gagelang. "Apakah Ki Sanggarana dapat dianggap bersalah?"
bertanya anak-anak muda yang datang ke rumah Ki
Sanggarana itu. "Menurut Senopati yang datang itu, Ki Sanggarana
memang dianggap bersalah" jawab Mahisa Murti "tetapi
nampaknya Senopati itu dapat mengerti. Karena itu,
menurut Senopati yang datang itu, mungkin Ki Sanggarana
dan Ki Waruju hanya akan diminta untuk memberikan
keterangan saja" Anak-anak muda Talang Amba itu mengangguk-angguk.
Merekapun kemudian tidak memikirkannya lagi persoalan
yang semula mereka anggap gawat.
Tetapi ternyata bahwa persoalan itu tidak secepat yang
diduga oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk
mendapat penyelesaian. Ternyata Akuwu Gagelang
berpendirian lain dengan Senopati yang telah mengambil
dua orang yang terlibat langsung dalam peristiwa yang
terjadi di Talang Amba. Ketika Ki Sanggama dan Ki Waruju menghadap, maka
mula-mula Akuwu memerintahkan agar keduanya
memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang
telah terjadi di Talang Amba.
Ki Sanggarana dan Ki Warujupun telah melakukannya
sebagaimana diperintahkan oleh Akuwu. Mereka telah
mengatakan apa yang telah terjadi. Meskipun demikian,
mereka dengan sengaja tidak menyebut sama sekali tentang
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta seorang murid Ki
Sarpa Kuning yang masih tetap hidup.
Namun tanggapan akuwu Gagelang benar-benar
mengejutkan. Ki Sanggarana dan Ki Waruju, bahkan
Senopati yang telah mengambil merekapun tidak menduga
sama sekali, bahwa Akuwu kemudian memerintahkan
"Keduanya telah melakukan pelanggaran. Aku
memerintahkan agar keduanya dimasukkan kedalam ruang
tahanan" "Ampu Akuwu" diluar sadaran Senopati yang
mengambil mereka itupun memohon "apakah perintah
tuanku itu sudah tuanku pertimbangkan semasakmasaknya?"
"Aku sudah mengambil keputusan. Setiap keputusanku
telah aku pertimbangkan sebaik-baiknya" jawab Akuwu.
"Tetapi apakah kesalahan mereka cukup berat untuk
dimasukkan kedalam tahanan. Bukankah mereka hanya
terlambat membuat laporan"
Wajah Akuwu menjadi tegang. Dipandanginya Senopati
itu sambil berkata "Ternyata kau tidak menjadi semakin
cakap, tetapi justru menjadi semakin dungu. Jangan
bertanya sekarang. Nanti kau akan tahu jawabnya"
Senopati itu tidak berani bertanya lagi. Bahkan iapun
kemudian menundukkan kepalanya ketika Akuwu itu
berkata Lantang "Sekali lagi, kau perintahkan agar
keduanya ditahan sampai pengusutan selesai dan aku yakin,
bahwa yang dilakukan oleh Ki Sanggarana bukan satu
kesengajaan melampaui kuasaku"
Senopati itu tidak berani bertanya lagi. ia telah mengenal
watak Akuwu itu dengan baik. Jika ia mencoba bertanya
sekali lagi, maka Akuwu itu tentu akan menjadi marah dan
mengambil satu tindakan yang akan dapat merugikan kedua
orang yang akan ditahan itu. Karena itu, maka Senopati
itupun hanya dapat menyaksikan Ki Sanggarana dan Ki
Waruju digiring oleh beberapa orang pengawal untuk
dibawa kedalam tahanan. Meskipun di dalam hatinya,
kenapa Akuwu bertindak terlalu keras terhadap Ki
Sanggarana. Namun sementara itu. setelah Ki Sanggarana dan Ki
Waruju dimasukkan kedalam tahanan, serta para Senopati
dan pemimpin Pakuwon Gagelang yang menghadap sudah
meninggalkan istana Akuwu di Gagelang, maka Akuwu
telah menerima seorang yang tidak banyak dikenal di
Gagelang. Bahkan termasuk seorang yang bermatabat
sangat rendah, karena orang itu adalah seorang juru taman.
Tetapi ketika juru taman itu masuk kedalam ruangan
khusus Akuwu Gagelang, maka juru taman itupun lelah
diterimanya dengan penuh hormat.
"Silahkan duduk Pangeran" Akuwu itupun
mempersilahkan. Juru taman itu mengangguk kecil sambil berkata
"Bersikaplah wajar. Aku adalah juru taman disini"
"Tetapi, Pangeran bagiku adalah orang yang pantas aku
hormati" jawab Akuwu.
"Terima kasih. Tetapi kita mempunyai keterikatan
terhadap lingkungan kita" jawab juru taman itu "apabila
kita harus memperhitungkan, bahwa kita tidak boleh
memancing perhatian orang lain"
"Baiklah Pangeran. Namun di ruang ini tidak akan ada
orang lain jika orang itu tidak aku panggil" jawab Akuwu.
"Ternyata kehadiranku disini ada juga gunanya" berkata
juru taman itu. "Aku ingin berbicara tentang kedua orang
yang kau masukkan kedalam tahanan itu"
"Bukankah aku tidak salah langkah?" bertanya Akuwu.
Kedua orang itu aku anggap berbahaya bagi kelanjutan
rencana gagal karena Ki Sarpa Kuning terbunuh"
"Ya. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa kau sudah
mengambil langkah yang benar. Menurut pendengaranku.
Sanggarana ternyata orang yang berbahaya bagi
keseluruhan rencana paman Pangeran untuk
menghancurkan Singasari dengan cara yang telah
dipilihnya. Perlahan-lahan tetapi pasti" jawab juru taman
itu. "Jadi bagaimana sebaiknya yang harus aku lakukan
selanjutnya?" bertanya Akuwu.
"Biarlah keduanya berada di dalam tahanan untuk waktu
yang tidak ditentukan. Aku akan membuat hubungan
dengan Sendawa. Apakah benar ia telah menarik diri dari
niatnya untuk menjadi Buyut di Talang-Amba" jawab juru
taman itu. "Pangeran akan berhubungan langsung dengan orang
itu?" Akuwu itu mengerutkan keningnya.
"Tentu tidak dalam kedudukan yang sebenarnya" jawab
Pangeran itu "tetapi aku dapat menyebut diriku siapa saja.
Aku hanya ingin meyakinkan sikapnya yang sebenarnya.
Apakah benar ia telah bersikap seperti yang aku dengar itu"
jawab juru taman itu. "Terserah kepada Pangeran. Tetapi hati-hatilah.
Agaknya di Talang Amba telah hadir kekuatan lain" jawab
Akuwu. "Orang itu sudah ada disini" berkata juru taman itu
"Bukankah kau sudah menahan orang yang bernama Ki
Waruju?" "Apakah Pangeran yakin bahwa Ki Waruju hanya
seorang diri atau seperti laporan yang pernah kita dengar,
bahwa ada orang lain di belakangnya?" bertanya Akuwu.
"Aku akan melihat semuanya. Aku yang tidak dikenal
oleh orang-orang Talang Amba akan mempunyai
kesempatan yang lebih luas dari Akuwu" jawab juru taman
itu. Silahkan Pangeran. Jika Pangeran telah mendapatkan
satu kesimpulan, maka aku akan melakukan apa yang
paling baik menurut pertimbangan Pangeran" jawab
Akuwu. "Rencanaku mengarah kepada usaha untuk
menempatkan Ki Sendawa pada kedudukan buyut di
Talang Amba Jika Ki Sarpa Kuning gagal, karena ia telah
melakukannya dengan wantah. Tetapi mungkin aku akan
dapat mengambil jalan lain. Mudah-mudahan tugas ini
cepat selesai. Hutan di lereng bukit itu cepat menjadi
gundul, karena daerah tugasku masih cukup luas. Aku
harus melakukan tugas di tempat lain. Yang akan
melanjutkan tugasku disini adalah Akuwu. Jika daerah ini
kelak tenggelam oleh banjir dan dilanda kelaparan karena
sawah ladang yang rusak, maka Akuwu akan dapat
mengambil langkah-langkah. Tentu bukan langkah satusatunya.
Pakuwon ini harus bekerja dalam rencana yang
tersusun bersama dengan daerah-daerah lain. sehingga
tujuan akhirnya, pecahnya Singasari. Kediri dan Pakuwonpakuwon
yang telah bersepakat untuk mengembalikan
kekuasaan pada tahta Kediri akan bergerak bersama-sama.
Tidak sendiri-sendiri"
Akuwu Gagelang mengangguk-angguk. Hal itu telah
dimengertinya dengan baik sejak semula.
Karena itu, maka juru taman itupun kemudian berkata
pula "Aku akan datang menemui Ki Sendawa sebagai
seorang prajurit dari Pakuwon ini. Aku akan menjajagi
sikapnya, dan aku akan segera memberikan laporan kepada
Akuwu" "Silahkan. Apa yang baik bagi Pangeran, silahkan
melakukannya" jawab Akuwu itu.
Demikianlah, juru taman yang sebenarnya adalah
seorang Pangeran dari Kediri itu mulai dengan usahanya
setelah Ki Sarpa Kuning gagal. Ia tetap berniat untuk
memecah Kabuyutan Talang Amba. Pangeran itu tetap
berniat untuk memberikan kedudukan Buyut kepada Ki
Sendawa. Sebab dengan demikian, Ki Sendawa akan lebih
mudah untuk dikuasai. Sebagai seorang yang bertugas untuk mengamati
keberhasilan tugas Ki Sarpa Kuning, maka Pangeran itu
sangat merasa kecewa atas peristiwa yang telah terjadi di
Talang Amba. Hadirnya orang yang bernama Ki Waruju
memang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya.
Demikianlah, maka Pangeran itu telah menunggu satu
kesempatan yang paling baik untuk menghubungi Ki
Sendawa. Dengan pakaian sebagai pengawal Pakuwon
Gagelang, maka bersama sekelompok pengawal yang lain.
Pangeran itupun mengelilingi daerah kekuasaan Akuwu di
Gagelang.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika iring-iringan itu sampai ke Talang Amba, maka
Pangeran yang menyamar sebagai seorang prajurit itupun
sempat singgah di rumah Ki Sendawa.
Kedatangan beberapa orang pengawal itu mengejutkan
hati Ki Sendawa. Ada kecemasannya, bahwa para
pengawal itu akan mengambil tindakan atas tingkah
lakunya beberapa waktu yang lewat, yang mendahului
keputusan Akuwu Gagelang telah berusaha untuk merebut
kedudukan Buyut di Talang Amba.
Namun ternyata sikap para pengawal itu terlalu baik
kepada Ki Sendawa. Sama sekali tidak ada kesan yang
mencemaskan. Mereka bersikap hormat dan ramah.
Bahkan terasa oleh Ki Sendawa agak berlebih-lebihan.
"Apakah kami diperkenankan beristirahat disini
beberapa lama Ki Sendawa" berkata Pangeran yang
menyamar sebagai pengawal itu.
"Tentu Ki Sanak, Silahkan" Jawab Ki Sendawa "Jika Ki
Sanak merasa haus, biarlah kami mengambil beberapa butir
kelapa muda" "Terima kasih" jawab Pangeran itu "kami tidak haus.
Kami hanya ingin beristirahat sebentar. Halaman rumahmu
terasa sangat sejuk"
"Silahkan" berkata Ki Sendawa.
Namun Ki Sendawa tidak membiarkan tamu-tamunya
duduk merenungi kesejukan halamannya saja. Ternyata Ki
Sendawa juga menyiapkan minuman dan makanan bagi
para pengawal itu. Semula memang tidak ada pembicaraan yang menarik
sekali. Para pengawal hanya menanyakan perkembangan
padukuhan itu. Menanyakan tentang sawah dan ladang,
tentang kebun dan juga tentang tata kehidupan rakyatnya.
Namun semakin jauh mereka berbincang, maka akhirnya
Pangeran yang menyamar sebagai seorang pengawal itupun
sampai kepada satu persoalan yang membuat Ki Sendawa
menjadi berdebar-debar. "Ki Sendawa" bertanya Pangeran itu "apakah menurut
kesan Ki Sendawa, keadaan sekarang di Kabuyutan ini
sudah menjadi baik?"
"Sudah Ki Sanak" jawab Ki Sendawa "segalanya telah
pulih kembali. Nalarkupun telah pulih kembali. Aku yakin,
bahwa Ki Sanak telah pernah mendengar, apakah dari
orang lewat dan para pedagang disepanjang jalan, atau
lewat laporan yang sampai ke Pakuwon, atau lewat jalurjalur
yang lain, tentang persoalan yang sudah terjadi di
Kabuyutan ini" Pangeran itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata "Sukurlah, bahwa
semuanya telah berjalan dengan baik. Tetapi bukankah
sekarang ini Ki Sanggarana dan seorang yang disebut
bernama Ki Waruju sedang menjalani masa tahanan?"
"Ya. Aku menyesal sekali, bahwa hal itu telah terjadi"
jawab Ki Sendawa "sebenarnya di Kabuyutan ini sudah
tidak ada masalah lagi. Semuanya sudah dapat diselesaikan
sepeninggal Ki Sarpa Kuning yang hampir saja telah
memutar balik otak dan nalarku"
Pangeran itu mengangguk-angguk. Lalu tiba-tiba saja ia
bertanya "Siapakah yang sebenarnya lebih berhak atas
Kabuyutan ini" Kau atau Ki Sanggarana"
Ki Sendawa terkejut mendengar pertanyaan itu. Karena
itu, maka iapun tidak segera menjawab.
Namun sebenarnyalah Pangeran itu telah mendengar
beberapa keterangan tentang Ki Sendawa. Pangeran itu
sempat menugaskan seorang petugas sandinya untuk
mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan
itu. Karena itu, maka Pangeran itupun dapat bertanya "Ki
Sendawa. Menurut beberapa orang yang mengetahui serba
sedikit tentang Kabuyutan ini, mereka mengatakan bahwa
kau memiliki hak pula atas Kabuyutan ini, karena kau
adalah saudara sepupu dari Ki Buyut yang meninggal itu.
Bahkan seandainya ayahmu dahulu tidak terbunuh, maka
hak itu sebenarnya ada padamu"
"Ah" desah Ki Sendawa "hanya sebuah mimpi buruk.
Tetapi aku sekarang sudah bangun Ki Sanak. Aku tidak
mau mengulangi mimpi buruk itu lagi. Biarlah Sanggarana
dapat melakukan tugasnya dengan tenang. Dengan
demikian, maka Kabuyutan ini akan menjadi bertambah
baik. Kehidupan rakyatnya akan menjadi semakin sejahtera
lahir dan batin. Pangeran itu mengangguk-angguk. Namun kerut di
keningnya membayangkan, bahwa ada sesuatu yang
bergejolak di dalam jantungnya.
"Nampaknya Ki Sendawa benar-benar telah kehilangan
minatnya" berkata Pangeran itu di dalam hatinya.
Tetapi agaknya Pangeran itu masih akan mencobanya
Seandainya tidak saat itu, maka pada yang lain ia akan
menemuinya lagi. Meskipun demikian, namun Pangeran itu masih berkata
"Ki Sendawa. Baiklah. Katakanlah bahwa Ki Sendawa
sudah tidak bermimpi lagi untuk menjadi Buyut di
Kabuyutan ini. Tetapi pada saat seperti ini, selagi Ki
Sanggarana tidak ada di Kabuyutan, apakah tidak ada niat
Ki Sendawa untuk mengatasi segala macam persoalan yang
mungkin timbul" "Masih ada beberapa orang bebahu Ki Sanak. Jika aku
tampil pada saat seperti ini, maka akibatnya tentu akan
sebaliknya. Orang-orang Kabuyutan ini masih melupakan,
bahwa aku pernah dihinggapi satu penyakit untuk
merampas kedudukan Sanggarana. Dan niat itu agaknya
telah menyebabkan orang-orang Kabuyutan ini terpecah.
Hampir saja terjadi pertumbuhan darah antara saudarasaudara
sendiri di Kabuyutan ini" berkata Ki Sendawa.
Prajurit itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak lagi
mendesak Ki Sendawa. Pangeran yang menyamar sebagai
pengawai itu kemudian berbicara tentang banyak hal, tetapi
ia tidak lagi menyentuh persoalan KI Sendawa sendiri.
Demikianlah setelah mereka berada di rumah Ki
Sendawa itu untuk beberapa saat, maka Pangeran itupun
segera minta diri. Bersama sekelompok orang-orangnya,
para pengawal yang memang sudah dipersiapkan oleh
Akuwu Gagelang. Pangeran itupun kembali ke istana
Akuwu, Dengan kerut-merut di kening Pangeran itu berkata
"Sulit sekali. Tetapi aku tidak berputus asa. Aku akan
mencari cara yang sebaik-baiknya untuk mendesak Ki
Sendawa kembali ke kedudukan Buyut di Talang Amba"
"Terserah kepada Pangeran" jawab Akuwu Gagelang.
"Tetapi sekelompok pengawal yang sudah Akuwu
siapkan itu harus benar-benar dapat dipercaya. Seorang saja
diantara mereka kehilangan penguasaan diri dan berceritera
tentang langkah-langkah kita, maka segalanya akan gagal
"berkata Pangeran itu.
"Jangan bimbang Pangeran. Kelompok itu sudah aku
bentuk untuk kepentingan itu" jawab Akuwu.
"Terima kasih" jawab Pangeran itu "Aku masih mencari
kesempatan" Dalam pada itu, kegelisahan memang mulai timbul di
Kabuyutan Talang Amba karena Ki Sanggarana dan Ki
Waruju ternyata tidak segera dilepaskan.
"Biarlah keduanya disini" berkata Pangeran itu kepada
Akuwu "kegelisahan di Talang Amba akan mendorong Ki
Sendawa untuk berbuat sesuatu. Jika ia sudah merasakan
betapa senangnya memegang kekuasaan, maka ia akan
terdorong kembali untuk menginginkan kedudukan itu.
Dengan demikian, maka ia akan membiarkan Sanggarana
dan Waruju tidak akan kembali lagi ke Talang Amba. Atau
jika mereka akan kembali kelak, kedudukan Sendawa sudah
cukup kuat" Akuwu Gagelang sendiri tidak banyak mempunyai
rencana. Ia lebih banyak menyerahkan segalanya kepada
Pangeran yang dalam keadaan sehari-hari tidak lebih dari
seorang juru taman. Namun yang dalam saat-saat tertentu
ia adalah seorang pengawal atau orang lain yang tidak
banyak diketahui oleh orang-orang Gagelang dan bahkan
pada Senopati dan pengawal Gagelang yang lain, kecuali
yang memang sudah dipersiapkan oleh Akuwu.
Dalam pada itu. orang-orang Talang Amba rasa-rasanya
memang kehilangan ikatan karena KI Sanggarana yang
sedang ditahan di Pakuwon Gagelang. Namun mereka
tidak tahu. apa yang sebaiknya mereka lakukan. Ketika
kegelisahannya itu tidak lagi terbendung, maka beberapa
orang anak muda telah menemui Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang masih berada di banjar Kabuyutan.
"Apa yang dapat kami lakukan?" bertanya anak-anak
muda itu. "Aku tidak dapat memberikan pendapatku" jawab
Mahisa Murti "Aku kurang menguasai hubungan antara
Kabuyutan ini dengan Akuwu di Gagelang"
"Jika keadaan ini berlangsung terlalu lama, maka
kehidupan di Talang Amba akan menjadi semakin suram"
berkata anak-anak muda itu pula.
"Kalian harus mendorong para bebahu yang ada untuk
melakukan kewajiban mereka sebaik-baiknya. Kalian harus
siap untuk berbuat apa saja yang menurut para bebahu
dianggapnya baik" jawab Mahisa Murti.
"Tetapi bagaimana dengan Ki Sanggarana" Apakah
sebenarnya kesalahannya" Apakah benar menurut
pendengaranku, bahwa ia sudah melanggar hak dan
wewenang Sang Akuwu di Gagelang, karena Talang Amba
langsung berhubungan dengan Singasari?" bertanya salah
seorang dari anak-anak muda itu.
Mahisa Murti menggeleng. Jawabnya "Aku kurang tahu.
Tetapi tidak mustahil bahwa kita akan mencari keterangan
tentang hal itu. Namun sudah barang tentu, tidak dengan
terbuka. Kita akan mencari jalan yang sebaik-baiknya.
"Tetapi" seorang anak muda berdisis "apakah hal ini
bukan karena sikap Ki Sendawa" la sebenarnya tidak ikhlas
menyerahkan kekuasaan di Talang Amba ini kepada
kemanakannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain pada
waktu terjadi benturan di banjar. Tetapi sekarang, ia telah
berhubungan dengan beberapa pihak di Pakuwon
Gagelang. Pendapat itu memang masuk akal. Tetapi Mahisa Murti
ternyata berpendapat lain. Katanya "Ki Sanak. Menurut
pendapatku. apa yang dilakukan oleh Ki Sendawa itu
benar-benar terpancar dari hatinya yang tulus. Sekeras-keras
hati seseorang, namun pada suatu saat akan luluh juga.
Sikapnyai Sanggarana nampaknya ikut menentukan"
"Tetapi, apakah kita tidak dapat mengambil satu
kesimpulan apapun juga tentang kedatangan sekelompok
prajurit ke rumahnya?" bertanya anak muda itu "Bukankah
hal itu jarang sekali terjadi" Rumah siapakah diantara kita
yang pernah mendapat kunjungan sekelompok pengawal
dari Gagelang?" Beberapa orang mengangguk-angguk. Namun Mahisa
Pukatpun menyahut "Tetapi kita tidak dapat dengan
tergesa-gesa mengambil satu kesimpulan. Kita harus
berpikir lebih bening. Justru pada saat Ki Sanggarana tidak
ada. Langkah yang tergesa-gesa hanya akan menambah
kebingungan orang-orang Talang Amba saja"
Beberapa orangpun mengangguk-angguk pula. Rasarasanya
setiap pendapat dapat mereka mengerti dan dapat
mereka benarkan, justru karena kebingungan mereka.
Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka berkata
"Bagaimanapun juga kita harus menyusun langkahlangkah.
Nah. apa yang sebaiknyya kita lakukan lebih
dahulu" "Kita akan menunggu beberapa saat" berkata Mahisa
Murti "Jika Ki Sanggarana dan Ki Waruju tidak segera
dibebaskan, kita akan bertanya kepada Akuwu. Sekaligus
kita mohon petunjuk apa yang sebaiknya dapat kita
lakukan" "Kita masih harus menunggu lagi?" bertanya beberapa
anak muda hampir bersamaan.
"Hanya beberapa hari saja" jawab Mahisa Pukat "Kita
lebih baik bersabar tetapi menentukan langkah-langkah
pasti dari pada tergesa-gesa tetapi langkah kita tersesat"
Anak-anak muda itu saling berpandangan. Namun tidak
seorangpun yang menjawab. Mereka mencoba untuk
mempercayai kedua anak muda yang telah membuktikan
kelebihan mereka dihadapan anak-anak muda Talang
Amba. Untuk sementara anak-anak muda Talang Amba dapat
ditenangkan. Mereka berusaha untuk bersabar sambil
menunggu apa yang akan terjadi dengan Ki Sanggarana dan
Ki Waruju. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak sebenarnya diam menunggu seperti yang
dikatakannya. Tetapi mereka berusaha untuk mengetahui
lebih jauh sikap Ki Sendawa. Apakah Ki Sendawa benarbenar
ingkar dari sikap yang dinyatakannya di banjar, atau
ia memang tidak mempunyai hubungan apapun dengan
kehadiran para pengawal ke rumahnya, karena Mahisa
Murti dan Mahisa Pukatpun sebenarnya bertanya pula di
dalam diri, apa saja yang dilakukan oleh para pengawal itu
justru pada saat Ki Sanggarana dan Ki Waruju masih
berada di Gagelang. Karena itulah, maka diluar pengetahuan anak-anak
muda di Talang Amba, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mengamati padukuhan dan rumah Ki Sendawa
di malam hari. Sementara disiang hari, anak-anak muda
Talang Amba akan dapat melihat dan mengatakan, apabila
ada orang yang tidak dikenal apalagi sekelompok pengawal
yang datang ke rumah itu.
"Di malam hari, kemungkinan yang lain dapat terjadi"
berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Pukat "mungkin
anak-anak Talang Amba lengah. Tetapi mungkin orang itu
dengan diam-diam sengaja datang ke rumah Ki Sendawa
mencari hubungan. Jika orang itu memiliki sedikit
kelebihan ilmu, maka hal itu tidak mustahil dapat


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilakukannya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah berusaha dalam waktu yang dekat, sebelum
anak-anak muda Talang Amba kehabisan kesabaran, untuk
mengetahui apa saja yang terjadi di rumah Ki Sendawa.
Ketika sudah dua tiga hari, keduanya tidak menemukan
sesuatu yang penting, maka keduanya mulai menjadi
gelisah. Jika anak-anak muda Talang Amba tidak sabar lagi.
mungkin mereka akan mengambil sikap sendiri-sendiri.
Namun pada hari yang kelima, ternyata yang mereka
tunggu itupun datang. Ketika kedua anak muda itu dengan
diam-diam mengintip regol halaman rumah Ki Sendawa
dari halaman di muka rumah itu, mereka melihat dua orang
yang dengan hati-hati mendekati regol. Kemudian
keduanya dengan sikap yang mencurigakan telah memasuki
halaman itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau kehilangan
buruannya. Merekapun telah berusaha untuk mendekat.
Dari balik dinding kedua mengintip apa yang dilakukan
oleh kedua orang itu. Dengan hati yang berdebar-debar Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat melihat keduanya kemudian naik kependapa
dan mengetuk pintu pringgitan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar ketukar
pintu. Tetapi ia tidak mendengar dengan jelas jawaban
kedua orang itu ketika suara dari dalam menyapanya.
Demikian pula ketika mereka melihat Ki Sendawa
membuka pintu dan mempersilahkan kedua orang itu
duduk di pendapa. Untuk beberapa saat ketiga orang itu berbicara dengan
sungguh-sungguh. Tetapi yang dilihat oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat adalah sikap menolak Ki Sendawa.
Bahkan akhirnya ketika Ki Sendawa berbicara lebih keras.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar "Tidak Ki
Sanak. Aku tidak akan mengkhianati kemanakanku itu.
Aku sudah berjanji dihadapan rakyat Talang Amba"
"Tetapi kau dapat mencoba Ki Sendawa. Seandainya
kau tidak bersedia memegang jabatan ini untuk seterusnya,
kau dapat melakukannya di saat KI Sanggarana tidak ada di
Kabuyutan ini. Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Kata-kata itu
ternyata direnunginya. Sementara Ki Sanggarana tidak ada,
maka memang perlu ada orang yang memegang pimpinan
di Talang Amba, agar rakyatnya tidak berbuat sekehendak
hati mereka. Namun ternyata jawab Ki Sendawa tidak seperti yang
dikehendaki oleh kedua orang yang datang itu. Katanya "Ki
Sanak. Aku setuju bahwa selama Sanggarana tidak ada di
Kabuyutan, perlu ada orang yang menggantikannya untuk
sementara. Tetapi di Kabuyutan Talang Amba ada
beberapa orang bebahu yang membantu Ki Buyut selama
memerintah Kabuyutan ini. Aku akan menghubungi
mereka. Yang tertua diantara mereka akan ditetapkan untuk
sementara memegang tugas sebagaimana tugas seorang
Buyut sampai saatnya Sanggarana dibebaskan"
"Kau jangan menyia-nyiakan kesempatan Ki Sendawa"
berkata orang yang datang itu. Nampaknya iapun mulai
kehilangan kesabaran "lebih daripada itu, kau jangan
mengorbankan rakyat Talang Amba. Mungkin kau dapat
duduk berpangku tangan. Kau tidak perlu memikirkan
keadaan Kabuyutanmu. Kau tidak perlu memikirkan
keadaan rakyatmu. Tetapi pada suatu saat kau akan
mendengar tangis orang-orang Talang Amba yang
kehilangan masa depan mereka Waktu yang singkat ini
akan mungkin dapat menyesatkan sasaran rakyat Talang
Amba yang patuh dan setia ini"
"Aku akan dapat ikut menentukan arah perkembangan
Kabuyutan ini Ki Sanak. Hanya untuk waktu sepekan atau
duapekan sampai saatnya Sanggarana kembali. Apa arti
waktu yang singkat itu bagi perjalanan hidup Kabuyutan
ini. Seandainya yang singkat itu ikut menentukan, maka
akupun akan dapat berbuat sesuai dengan kemampuanku
tanpa menyebut diriku pemimpin, karena aku dapat
memberikan pen dapatkan kepada para bebahu. Jika
pendapatku dianggap baik, maka pendapatku itu tentu akan
diterimanya, karena bagaimanapun juga, mereka masih
tetap memandang aku sebagai orang yang dekat dan bahkan
paman dari Sanggarana"
"Ki Sendawa" berkata salah seorang dari keduanya
"jangan berbelit-belit. Sebaiknya kau terima saja tawaran
kami. Kau akan diangkat untuk sementara menjadi Buyut
di Talang Amba. Jika Sanggarana telah dibebaskan, kau
akan menyerahkan jabatan itu kepadanya. Tetapi jika
Sanggarana tidak kembali lagi Ke Kabuyutan ini, maka di
Kabuyutan ini sudah ada seorang Buyut yang pantas"
"Aku tidak tahu maksud Ki Sanak" jawab Ki Sendawa.
"Aku ingin meneruskan perjanjian yang sudah dibuat
oleh Ki Sarpa Kuning. Kau akan menjadi Buyut disini
tetapi hutan itu meniadi milikku" jawab orang itu.
"Aku menjadi semakin bingung" jawab Ki Sendawa.
"Dengarlah" berkata orang itu. yang nampaknya benarbenar
sudah kehilangan kesabarannya "Jika kau tidak mau
menerima tawaran ini, maka kau akan mengalami nasib
seperti Sanggarana. Kau akan ditangkap dan yang akan
diangkat menjadi Buyut di Talang Amba adalah orang lain
sama sekali" Wajah Ki Sendawa menjadi tegang. Dengan nada tinggi
ia menjawab "Ki Sanak ternyata aneh bagiku. Siapakah
sebenarnya kalian ini" Jika kalian benar-benar seperti yang
kalian katakan, pengawal dari Gagelang, kalian tentu tidak
akan berkata seperti itu. Kalian tentu akan berkata dengan
dasar yang mapan. Dan kalian tentu mengetahui paugeran
bagi satu Kabuyutan"
"Jangan banyak berbicara Ki Sendawa" jawab salah
seorang dari kedua orang itu "Akuwu di Gagelang
mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa saja. Yang biru
dikatakan kuning, dan yang kuning dikatakan hijau. Karena
itu, dengarlah. Kau terima tawaran yang menguntungkan
sekali bagimu. Yang sudah kau impikan sejak lama.
Menjadi Buyut di Talang Amba, atau malahan kau akan
ditangkap dan dipenjarakan, sementara yang menjadi Buyut
di Talang Amba adalah orang lain sama sekali. Tidak ada
yang dapat menentang keputusan Akuwu Gagelang"
"Kata-katamu aneh Ki Sanak" berkata Ki Sendawa.
Ternyata Ki Sendawa tetap orang yang keras hati. Karena
itu, maka jawabnya "Aku justru menjadi curiga kepada
kalian berdua. Kalian tentu bukan pengawal dari Gagelang.
Tetapi kalian tentu orang-orang yang ingin mengotori
Pakuwon Gagelang dengan perbuatan-perbuatan yang gila
itu. Aku memperingatkan kepada kalian Ki Sanak. Jangan
mencoba membuat onar disini. Aku masih dapat menahan
diri sekarang. Tetapi lain kali aku akan bertindak dan
menyerahkan kalian kepada Akuwu di Gagelang, karena
kalian telah mengotori nama Pakuwon Gagelang"
Tetapi kedua orang itu tertawa. Seorang diantaranya
berkata "Kau jangan menjadi gila. Aku adalah utusan
Akuwu Gagelang. Jika kau tidak percaya, besok kau dapat
menghadap. Aku akan berada di sana. Kau akan berbicara
dengan Akuwu. sementara aku akan memberikan petunjukpetunjuk
penting kepada Akuwu. Kau tidak percaya?"
Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia
berkata "Baik. Aku akan menghadap Akuwu. Aku akan
berbicara tentang Kabuyutan Gagelang jika aku
diperkenankan untuk menghadap"
"Benar" Kau akan datang besok?" bertanya salah seorang
dari keduanya "tetapi jika kau tidak datang, maka nasibmu
akan menjadi sangat buruk. Lebih buruk dari Sanggarana,
karena tidak seorangpun yang dapat mengelak dari jaringjaring
kuasaku dan kuasa Akuwu di Gagelang"
Ternyata Ki Sendawa benar-benar seorang yang berhati
batu padas Ia benar-benar ingin membuktikan kata-kata itu.
Karena itu. maka katanya "Aku besok memang akan
menghadap. Tetapi ingat, jika kalian berbohong, maka
kalian akan ditangkap. Para pengawal Pakuwon akan
menangkapmu dan mengadilimu"
Ketetapan hati Ki Sendawa memang berpengaruh atas
kedua orang itu. Agaknya Ki Sendawa berkeras seperti itu
juga saat ia ingin menjadi Buyut di Talang Amba. Hanya
satu keajaiban sajalah yang dapat mematahkan kekerasan
hatinya itu. Namun sekarang kekerasan hatinya
dihadapkannya kepada persoalan yang sebaliknya.
Namun demikian, salah seorang dari kedua itupun
berkata pula dengan tegas "Aku menunggumu besok di
gerbang istana Akuwu di Gagelang"
Kedua orang itu tidak menunggu jawaban Ki Sendawa.
Keduanya segera minta diri. Namun ketika mereka sampai
ditangga pendapa, salah seorang diantaranya masih berkata
"Aku akan menunggumu besok. Kau dapat menentukan
sikap sekarang. Malam ini kau masih mempunyai waktu"
Ki Sendawa tidak menjawab. Dipandanginya saja kedua
orang tamunya yang aneh itu melangkah meninggalkan
regol rumahnya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan
cepat telah berlindung dibalik dinding halaman. Mereka
menunggu kedua orang itu pergi menjauh. Baru kemudian
kedua anak muda itupun telah berkisar dari tempatnya.
Meskipun demikian,, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih tetap menghindarkan diri dari kemungkinan untuk
diketahui oleh Ki Sendawa. Bagaimanapun juga, mereka
masih belum yakin, bahwa Ki Sendawa tidak akan
mencurigainya. Karena kedua anak itu merasa, bahwa
keduanya bukan orang-orang Talang Amba yang
sebenarnya. Namun dengan demikian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menjadi yakin, bahwa Ki Sendawa tidak akan
menelan kembali kata-katanya yang pernah diucapkan di
banjar. Ia dengan tegas telah menolak laporan untuk
menjadi Buyut di Talang Amba. Meskipun masih harus
diperhitungkan alasan-alasan penolakan itu. Mungkin Ki
Sendawa curiga bahwa kedua orang itu akan, sekedar
memancing sikapnya dan kemudian menjerumuskannya
kedalam kesulitan. Tetapi mungkin juga, Ki Sendawa tidak
yakin, bahwa keduanya memang utusan Akuwu.
"Kita masih harus menunggu sampai esok" berkata
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat "apakah yang akan
dikatakannya kepada Akuwu"
"Sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya akan
mereka bicarakan" jawab Mahisa Pukat "tetapi sebagian
dari sikap Ki Sendawa telah kita ketahui"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya "Kita
akan dapat melihat, apa yang akan dilakukannya besok.
Mungkin ia akan menyatakan dirinya Buyut di Talang
Amba dengan dukungan Akuwu Gagelang, atau sikap yang
lain yang masih harus kita nilai lagi"
"Ya" Mahisa Pukat mengangguk-angguk "Kita memang
masih harus menunggu. Jika anak-anak-muda itu
kehilangan kesabaran maka kita akan mengalami kesulitan"
"Tetapi tidak ada jalan lain" jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu lagi. Malam itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
kembali ke banjar, maka beberapa orang anak muda yang
meronda, bertanya kepadanya. Namun kedua anak-anak
muda itu mengatakan kepada anak-anak muda yang
meronda itu, bahwa mereka baru datang dari sungai.
Anak-anak muda yang meronda itu sama sekali tidak
mencurigakan keduanya, karena keduanya telah ternyata
berbuat sesuatu yang berarti bagi Kabuyutan mereka.
Tetapi ketika seorang diantara anak-anak muda itu
bertanya "Kapan kita menentukan sikap?"
Barulah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
berdebar-debar. Pertanyaan itu telah membuka pertanyaanpertanyaan
yang lain pula. Seorang yang berkumis lebat
bertanya "Apakah kita masih harus bersabar?"
"Waktunya sudah dekat" berkata Mahisa Murti "Kita
hanya menunggu dua atau tiga hari. Kali ini aku tidak akan
salah lagi" "Apa peganganmu, bahwa dalam dua atau tiga hari lagi
kita akan dapat menentukan sikap" bertanya seorang yang
bertubuh tinggi. "Ya. Apa dasarmu" bertanya yang lain.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang mengalami
kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Namun demikian
Mahisa Murti masih mencoba untuk menyahut "Kawankawan,
rasa-rasanya seseorang memang mempunyai
penggraita. Mungkin ada semacam naluri yang dapat
memberikan isyarat. Tetapi memang sulit dibuktikan
dengan dasar-dasar yang dapat masuk di akal"
"Ki Sanak" berkata seorang yang bertubuh raksasa "Jika
kali ini apa yang kalian katakan itu tidak terbukti, maka
kami akan mengambil jalan sendiri. Kami minta maaf,
bahwa kami tidak akan dapat menurut petunjuk-petunjuk
kalian lagi" "Baiklah. Aku minta kalian sekali lagi memperhatikan
pendapatku. Jika kali ini kami berdua keliru lagi, maka
kalian dapat mengambil sikap sendiri"
"Kami sudah kehabisan kesabaran Ki Sanak" berkata
yang lain lagi "kami akan menyesal sepanjang hidup kami,
jika pada suatu saat, ternyata bahwa kami telah terlambat
bertindak" Ternyata jantung kedua anak muda itupun berdebaran.
Jika anak-anak Talang Amba itu terlambat, maka yang
datang ke rumah Ki Sendawa itu adalah utusan Akuwu,
maka perlu dipertimbangkan penilaian khusus terhadap
Akuwu di Gagelang. "Akpakah ada maksud-maksud tertentu pada Akuwu di
Gagelang itu?" tiba-tiba saja Mahisa Pukat berdesis.
"Ya. Pertanyaan itu wajar sekali" sahut Mahisa Murti.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun mulai memberikan penilaian kepada Akuwu itu


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. Mereka melihat satu sikap yang ganjil.
"Tetapi jika dua orang itu yang palsu, maka
persoalannya akan gawat bagi Ki Sendawa" berkata Mahisa
Pukat. "Kita akan mengamati perjalanannya sampai ke istana
Akuwu" berkata Mahisa Murti.
"Apakah itu mungkin?"bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti merenung sejenak. Lalu katanya
"Bagaimana jika kita berterus terang saja kepada Ki
Sendawa. Nampaknya Ki Sendawa memang dapat
dipercaya" Mahisa Pukat berpikir sejenak. Lalu katanya "Kita dapat
mencobanya. Besok pagi-pagi benar sebelum ia berangkat,
kita menemuinya" Mahisa Murtipun mengangguk-angguk. Keduanya
kemudian bersepakat untuk menemui Ki Sendawa dan
mengatakan persoalan yang bergejolak di Talang Amba
sepeninggal Ki Sanggarana dan Ki Waruju"
Demikianlah seperti yang direncanakan, maka pagi-pagi
benar, sebelum matahari terbit, kedua anak muda itu
telaberada di rumah Ki Sendawa dengan diam-diam.
Merekapun dengan terus terang mengatakan kepada Ki
Sendawa, apa yang mereka lihat semalam.
"Jadi kalian mengetahuinya?" bertanya Ki Sendawa.
"Ya. Kami mendengarkan pembicaraannya Ki Sendawa
dengan kedua orang itu. Kamipun mengetahui sikap Ki
Sendawa. Dan kamipun mendengar bahwa Ki Sendawa
akan menghadap Akuwu pagi ini untuk membuktikan
kebenaran kata-kata kedua orang itu" jawab Mahisa Murti.
"Ya. Aku memang menghadap Akuwu. Aku ingin
kepastian, apakah yang dikatakan oleh kedua orang itu
benar" berkata Ki Sendawa.
"Jika tidak benar?" bertanya Mahisa Pukat.
"Persoalannya menjadi jelas. Kedua orang itu adalah
orang-orang yang akan mengail di air keruh. Aku akan
melaporkannya kepada Akuwu, sekaligus menanyakan
tentang Sanggarana dan Ki Waruju" jawab Ki Sendawa.
"Tetapi jika yang dikatakan oleh kedua orang itu benar?"
bertanya Mahisa Pukat pula.
"Jika demikian, maka kita perlu menilai sikap Akuwu.
Apa sebenarnya yang dikehendakinya" jawab Ki Sendawa.
"Jika demikian, apakah berarti bahwa kitapun harus
berhati-hati terhadap sikap Akuwu?" desak Mahisa Pukat.
"Ya. Dan itu berarti satu masalah yang besar. Jika aku
tetap menolak, maka akupun tentu tidak akan pernah
kembali seperti Sanggarana" jawab Ki Sendawa pula
"Jadi bagaimana sikap Ki Sendawa?" bertanya Mahisa
Murti. "Ki Sanak" jawab Ki Sendawa dengan nada dalam "jika
kedua orang itu adalah utusan Akuwu yang sebenarnya,
mungkin aku harus berkelahi di perjalanan. Mungkin
keduanya membawa sekelompok kawan-kawannya yang
memaksa aku untuk menyerah, atau bahkan membunuhku
sama sekali. Tetapi aku benar-benar menghadap Akawu
dan sikap Akuwu adalah sebagaimana dikatakan oleh
kedua orang itu. maka aku memang harus berpura-pura"
"Pura-pura bagaimana?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku harus berpura-pura menerimanya agar aku dapat
kembali ke Talang Amba" jawab Ki Sendawa "selanjutnya,,
kita akan dapat berbicara apa yang sebaiknya harus kita
lakukan" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menganggukangguk
Mereka menjadi semakin yakin, bahwa Ki Sendawa
tidak akan ingkar aari sikapnya Karena itu, maka Mahisa
Murttpun berkata "Jika Ki Sendawa tidak berkeberatan,
kami berdua bersedia mengawasi Ki Sendawa pergi ke
Gagelang. Mungkin Ki Sendawa akan membawa dua atau
tiga orang pengawal yang lain"
"Ya. Aku memang akan membawa pengawal. Jika
kedua orang itu bukan utusan Akuwu yang sebenarnya dan
akan menjebakku cliperjalanan, biarlah aku mati sebagai
laki-laki dengan menggenggam pedang di tangan "jawab Ki
Sendawa. Namun kemudian "Tetapi sebaiknya. kalian
tidak usah pergi bersamaku. Kaitan masih terlalu muda.
Mungkin kalian masih akan melihat matahari terbit untuk
berpuluh, beratus bahkan beribu kali lagi"
Tetapi Mahisa Pukat tersenyum. Katanya "Aku yakin
akan kuasa Sang Maha Pencipta"
Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Jika demikian terserah kepada kalian"
Dengan wajah tengadah Mahisa Pukat menjawab "kami
akan ikut bersama Ki Sendawa nanti"
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkeras
untuk ikut bersama Ki Sendawa. Karena itu, maka Ki
Sendawapun tidak mencegahnya lagi.
Ketika kemudian matahari terbit, maka Ki Sendawapun
telah bersiap. Tiga orang pengawal akan menyertainya,
sehingga dengan demikian, maka mereka akan menempuh
perjalanan berenam. Setelah mereka bersiap sepenuhnya, maka dengan
mempergunakan kuda Ki Sendawa, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukatpun ikut pula dalam kelompok itu berbaur
dengan para pengawal, sehingga keduanya tidak merupakan
pengikut yang khusus. Dengan jantung yang berdebar-debar Ki Sendawa
memacu kudanya. Rasa-rasanya ia segera ingin sampai ke
Gagelang. Jika mereka harus dijebak oleh kedua orang
semalam datang berkunjung kerumabnya, biarlah segera
terjadi. Mungkin mereka adalah pengawal-pengawal
Akuwu yang bertindak atas nama mereka sendiri dan
memanfaatkan nama Akuwu. Tetapi memang mungkin
Akuwu benar-benar memerintahkan mereka.
Demikianlah, akhirnya mereka menjadi semakin dekat
dengan pusat pemerintahan Pakuwon Gagelang. Dengan
demikian, maka Ki Sendawapun menjadi semakin condong
untuk mempercayai bahwa kedua orang itu memang benarbenar
utusan Akuwu di Gagelang.
"Jika keduanya bukan utusan Sang Akuwu, maka
mereka tentu akan mengambil sikap sebelum aku memasuki
pusat pemerintahan Gagelang" berkata Ki Sendawa kepada
para pengiringnya. "Benar Ki Sendawa" sahut Mahisa Murti "tetapi
segalanya masih mungkin terjadi"
"Ya. Masih ada kemungkinan yang pahit yang dapat
terjadi atas kita. berkata Ki Sendawa kemudian "namun
seandainya keduanya benar-benar utusan Akuwu, maka
kitapun harus mempersiapkan diri menghadapi sikap itu"
"Bukankah Ki Sendawa sudah menentukan sikap?"
bertanya Mahisa Pukat. "Ya. Jika Akuwu yang memerintahkan keduanya dengan
maksud tertentu, mungkin aku memang harus bersikap
pura-pura. Sebab jika aku menolaknya, maka mungkin kita
semuanya tidak akan dapat kembali ke Kabuyutan Talang
Amba" jawab Ki Sendawa seperti pernah dikatakannya
Pendekar Panji Sakti 6 Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Penyambar Nyawa Tusuk Kondai Pusaka 10

Cari Blog Ini