Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru Bagian 2
memperhatikan bagian atas tangan kiri Setan Keris
Kembar yang telah buntung. Setelah beberapa saat,
kepala si kakek menggeleng-geleng.
"Apakah ini bukan perbuatan Datuk Meong Moneng yang telah lama merantau ke Pulau Andalas"
Hanya itulah satu-satunya jawaban yang tepat. Kalau
begitu, Datuk Meong Moneng telah kembali ke Jawa
Dwipa." Si kakek mengangkat jari telunjuknya dan mengarahkannya pada luka Setan Keris Kembar. Terlihat
dia menahan napas sejenak. Seiring dengan dihembuskan napasnya kembali, terlihat cahaya biru keluar dari ujung jari
telunjuknya, melingkupi luka Setan Keris Kembar.
Gerakan cahaya biru yang memanjang itu seperti
ular, meliuk-liuk laksana mengusapi luka Setan Keris Kembar. Ketika si kakek
menurunkan tangannya kembali, cahaya biru yang memancar tadi lenyap. Dan
terlihat Iuka Setan Keris Kembar mengering.
"Telah kudengar keributan di rimba persilatan
tentang Bunga Kemuning Biru. Rupanya benda sakti
itu kini jadi rebutan setelah Durga Marakayangan menyerahkan pada Setan Bayangan yang kemudian diserahkan Setan Bayangan pada kedua muridnya yang
bernama Lesmana dan Ratih. Hemmm... bisa jadi Datuk Meong Moneng memang telah muncul di Jawa
Dwipa. Bisa jadi pula dia menghendaki Bunga Kemuning Biru untuk...."
Si kakek yang memancarkan cahaya biru dari sekujur tubuhnya ini menarik napas pendek. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya tetap teduh
tatkala diangkat kepalanya untuk menatap kejauhan,
di mana hamparan padi menguning bergerak gemulai
dipermainkan angin.
"Berarti... kembalinya Datuk Meong Moneng dari
Pulau Andalas... untuk membalas kematian kakak seperguruannya. Ah, tentunya dia termasuk salah seorang yang hendak merebut Bunga Kemuning Biru.
Durga Marakayangan tentunya yang telah menyebarkan berita tentang kelemahanku. Tapi tak seorang pun yang tahu, di bagian mana
dari tubuhku yang merupakan titik lemah...."
Angin senja berhembus, menggeraikan rambut
putih si kakek. Bersamaan hembusan angin, si kakek
menghela napas masygul. Yang timbul justru kesedihan membayangkan apa yang telah dipikirkannya.
Kemudian mata teduhnya diarahkan kembali pada sosok Setan Keris Kembar. Setelah terdiam beberapa
saat, lambat-lambat digerakkan tangan kanannya ke
atas. Astaga! Tubuh Setan Keris Kembar yang masih
pingsan, tiba-tiba terangkat. Tanpa menyentuh tubuh
Setan Keris Kembar, si kakek sudah melangkah sementara tubuh pingsan Setan Keris Kembar bergerak
di belakangnya.
* * * Setengah penanakan nasi dari berlalunya si kakek yang tubuhnya memancarkan cahaya biru, satu
sosok tubuh bertelanjang dada datang dari arah utara dengan memanggul sosok
tubuh lainnya di bahunya.
"Ratih... kita beristirahat dulu di sini...," kata yang memanggil.
"Kakang Lesmana... sejak tadi kuminta sebaiknya kau beristirahat dulu. Jangan
terlalu memforsir tenaga." Lesmana mengangguk dan berhati-hati meletakkan tubuh
kekasihnya yang masih dalam keadaan tertotok. Pemuda gagah yang pakaiannya dipakai oleh Ratih, tersenyum.
"Maafkan aku... karena belum menemukan Raja
Naga...." "Kakang Lesmana...," sahut Ratih yang hanya bi-sa menggerakkan kepalanya saja.
"Dunia ini sangat luas. Sulit bagi kita menemukan orang yang hendak
kita temukan."
"Kita harus tetap menemukan Raja Naga. Dialah
satu-satunya yang dapat kuharapkan untuk mencari
sekaligus membebaskanmu dari totokan Kembang Darah." "Kakang...," panggil Ratih dengan tatapan beningnya.
Lesmana memandangnya.
"Aku... aku kasihan padamu, Kakang. Karena
aku kau jadi kerepotan seperti ini...."
"Astaga, Ratih! Mengapa kau bicara seperti itu?"
senyum Lesmana sambil duduk di samping gadis itu
yang terbaring di atas tanah berumput.
"Bila saja aku tidak tertotok, mungkin kau tidak akan kelelahan seperti itu."
"Aku tidak lelah, Ratih. Aku hanya penasaran karena belum menemukan Raja Naga.
Juga... tak dapat
Lagi kutahan amarahku pada Kembang Darah dan Datuk Meong Moneng."
"Kakang... kesaktian Kembang Darah dan Datuk
Meong Moneng berada jauh di atas kita."
"Aku tak peduli!!" seru Lesmana dengan suara geram. Ratih tersenyum. Alangkah
senang hatinya mendengar kata-kata pemuda yang dicintainya, yang rela mengorbankan segenap jiwa
raganya demi kekasih ter-cinta. Ratih sendiri merasa dirinya akan bersikap yang
sama bila keadaan ini berbalik.
"Kakang... aku... aku...."
Lesmana menoleh karena Ratih tak menuntaskan
kalimatnya. Kening pemuda gagah itu berkerut ketika
melihat paras kekasihnya yang sebenarnya adik seperguruannya memerah.
"Kenapa, Ratih?"
Ratih justru memalingkan kepalanya. Di bibirnya
senyum simpul terpampang.
"Hei, hei! Mengapa kau tersenyum seperti itu?"
"Aku... ah, tidak, tidak..."
"Ayo, katakan saja! Mengapa?" tanya Lesmana yang sebenarnya ingin menghibur
Ratih. Pemuda ini
kagum akan ketabahan kekasihnya yang tetap tegar
kendati keadaannya tak ubahnya seperti orang dalam
tahanan belaka.
"Ih! Kakang ini... mengapa memaksa!"
"Aku tahu!" seru Lesmana tiba-tiba.
Ratih seketika menoleh. Wajahnya memerah.
Dengan suara agak malu dia berkata, "Kakang tahu?"
"Ya!"
"Kalau Kakang tahu... mengapa tidak Kakang lakukan?" "Jadi sekarang?"
Wajah gadis itu makin merona.
"Yyya...!" sahutnya bergetar.
Lesmana berdiri.
Ratih bengong. "Lho, lho.... Kakang mau ke mana?"
"Lho" Katanya sekarang" Ya, aku pergi saja untuk mencari makanan."
"Mencari makanan?"
Kali ini kening Lesmana berkerut.
"Bukannya kau sudah kelaparan?"
"Ih! Kakang ini! Katanya tahu" Aku tidak lapar!!"
seru Ratih merengut.
"Lho" Kamu tidak lapar?"
"Sejak tadi aku juga tidak lapar!" gadis itu masih merengut.
Lesmana menggaruk-garuk kepalanya tidak mengerti. "Jadi... jadi... apa yang...."
"Nggak tahu!"
"Lho kok marah" Apakah...." Lesmana memutus kata-katanya. Matanya tak berkedip
pada Ratih. Untuk beberapa lama dipandanginya gadis itu yang masih
merengut tetapi dengan wajah merona.
Tiba-tiba Lesmana tertawa.
"Bodohnya aku ini! Jadi itu, ya?"
"Itu apa"! Lapar lagi"!"
Lesmana masih tertawa. Tiba-tiba saja didekapnya kekasihnya penuh kasih sayang. Diusap sepasang
pipi lembut yang merona itu.
"Maksudmu... ini kan?"
"Tahu!" seru Ratih merengut tetapi mata kanan kirinya terpejam.
Lesmana tertawa pelan. Di saat lain, dengan lembut dikecupnya bibir merah kekasihnya yang menggigil dalam pelukannya.
"Kakang...," desis Ratih pelan.
Lesmana tak menghiraukan desisannya. Dikecupinya bibir mungil itu dengan kelembutan yang terjaga. Dia memang tak punya keinginan untuk menodai
ketulusan cinta mereka. Kalaupun hal ini dilakukannya karena hendak dicurahkan kasih sayangnya, terutama karena saat ini Ratih membutuhkan kasih
sayangnya. Setelah beberapa saat, Lesmana mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah jelita kekasihnya yang
masih merona."Ih! Kenapa sih kau pandangi aku seperti itu"
Memangnya belum pernah melihatku, ya?"
"Aku rindu padamu. Ratih."
"Kok baru ngomong sekarang?"
"Aku cinta padamu, Ratih...."
Kali ini si gadis tersenyum. Perlahan-lahan dipejamkan sepasang matanya. Jiwanya melambung ke
angkasa dan menari-nari di sana.
Lesmana mengecup bibirnya sekilas.
"Sampai kapan pun juga, kau akan kujaga dari
segala marabahaya dan malapetaka, Ratih...."
"Kakang...," sahut Ratih sambil membuka matanya. "Entah kebahagiaan macam apa
lagi yang bisa mengalahkan kebahagiaanku sekarang ini...."
"Kau akan mendapatkan kebahagiaan yang jauh
dari sekarang ini, Ratih.... Kau percaya padaku?"
Ratih mengangguk angguk.
Lesmana tersenyum.
"Aku sudah tidak lelah lagi. Kita teruskan menca-ri Raja Naga?"
Lagi Ratih mengangguk.
* * * ENAM KAKEK berjubah hitam dengan rambut jarang itu
menghentikan langkahnya di pinggiran sebuah sungai.
Saat kedua kakinya menginjak tanah di sana, tanah
itu terangkat naik setinggi dengkul. Sorot tajam mata si kakek tak berkedip
memandang pada aliran sungai
yang deras. "Setan!!" makinya tiba-tiba. "Gadis keparat itu telah lenyap entah dibawa siapa!
Begitu pula dengan Setan Keris Kembar! Terkutuk! Aku berhasil dibodohi!
Tentunya orang yang menyelamatkan gadis keparat itu
ada hubungannya dengan Setan Keris Kembar!"
Kakek yang bukan lain Datuk Meong Moneng
menggertakkan rahangnya menahan gejolak kegeraman di dadanya. Pikirannya masih berpusat pada lenyapnya Ratih dan perginya Setan Keris Kembar yang
tangan kirinya telah buntung akibat cakarannya. Masih diduganya kalau orang yang melarikan Ratih berhubungan erat dengan Setan Keris Kembar yang muncul untuk memancing perhatiannya.
Di sisi lain, Datuk Meong Moneng juga keheranan
dari mana Setan Keris Kembar tahu kalau dia telah
memiliki Bunga Kemuning Biru.
"Keparat!! Apakah memang Kembang Darah yang
telah membocorkan rahasia ini"!" rahang kakek muka kucing ini mengeras. Kumis
jarangnya yang kaku laksana kumis kucing bergetar. "Setan betina! Aku tahu
sebenarnya kalau perempuan celaka itu hendak lari
dari tanganku! Tentunya dia yang telah membocorkan
semua ini!!"
Dengan gusarnya Datuk Meong Moneng menggerakkan tangan kanannya.
Blaaaarrr!! Aliran sungai yang deras itu tertahan, menyusul
muncrat ke udara setelah terdengar letupan keras.
"Terkutuk! Akan kucabik-cabik tubuh...," makian Datuk Meong Moneng terputus. Dia
terdiam beberapa
saat sebelum melanjutkan ucapannya, "Kalau memang Kembang Darah yang berkhianat,
mengapa diserahkannya pula Bunga Kemuning Biru padaku"! Apakah
dia... astaga! Bunga Kemuning Biru!"
Laksana disengat kalajengking berbisa hebat, Datuk Meong Moneng mengambil bunga kemuning biru
dari balik bajunya. Kejap lain terdengar makiannya keras seraya membanting bunga
kemuning berwarna biru yang telah layu di atas tanah!
"Keparat!! Aku telah tertipu mentah-mentah!
Kembang Darah telah mengkhianatiku! Dia memberikan bunga kemuning biru palsu padaku! Terkutuk!
Terkutuk! Akan kusetubuhi dia sampai setengah
mampus sebelum kubunuh!!"
Kegeraman kakek berjubah hitam ini bertambah
menjadi-jadi. Suaranya berubah mengeong seperti seekor kucing. Tiba-tiba dia melompat. Jari jemarinya
mengembang lalu....
Crrook! Crrookkk!!
Menancap dalam pada sebatang pohon. Diiringi
teriakan mengeongnya, pohon itu tercabut.
Kraaakkk!! Lalu dilemparnya penuh amarah ke dalam sungai. Byuuurrr...!!
Air sungai itu muncrat setinggi satu tombak.
"Akan kubunuh kau! Akan kubunuh!!" serunya seraya melesat meninggalkan tempat
itu. Setelah lima kejapan mata berlalunya Datuk
Meong Moneng, dua sosok tubuh muncul dari balik
ranggasan semak yang berada di belakang Datuk
Meong Moneng Kedua orang yang muncul ini bersosok aneh.
Yang berdiri di sebelah kanan adalah seorang nenek
yang mengenakan pakaian compang-camping hingga
memperlihatkan pepaya busuk yang menggantung di
dadanya. Rambut putihnya digelung ke atas, diberi tusuk konde yang terbuat dari
tulang. Tubuhnya agak
bongkok, bukan karena usianya yang telah lanjut, tetapi dia memang bongkok. Terlihat dari punggungnya
yang berpunuk. Mulutnya yang tak bergigi asyik mengunyah sirih. Sementara orang yang berdiri di sebelahnya bertubuh kontet. Kepalanya bulat. Rambutnya hanya be
Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rada pada bagian tengah kepalanya. Pakaiannya berwarna hijau sangat kusam. Di tangannya ada sebuah
tongkat yang di ujungnya melingkar kawat berwarna
hitam. "Hik hik hik...," si nenek mengikik.
"Kontet! Tak sengaja kita menemukan jejak yang
paling bagus!"
Si Kontet ikutan-ikutan terkikik. Tangan kanan
kirinya sating mengusap.
"Nyi Bawung! Kau memang hebat! Dengan ilmu
'Penyesat Suara', kehadiran kita tak diketahui oleh Datuk Meong Moneng! Ngomongngomong, apa yang kau
katakan tentang kakek itu benar, ya"! Mukanya...
wuih! Kayak kucing barong!"
Si nenek yang dipanggil Nyi Bawung terkikik lagi.
"Biasanya kau cepat punya akal! Nah! Ayo, kerahkan isi otak busukmu itu agar kita bisa segera menemukan rencana yang bagus!"
Si Kontet mendongak. Bibir dowernya tersenyum.
Lidahnya menjilat-jilat.
"Kau tahu bukan, kalau aku belum ngempeng
otakku tidak bisa bekerja!"
"Brengsek!" walaupun si nenek memaki, tetapi dia terkikik. Lalu dengan enaknya
dikeluarkan salah
satu pepaya busuknya dengan cara meloloskannya karena pakaiannya yang compang-camping.
Si Kontet kontan melompat memeluk si nenek.
Bibir dowernya mencari-cari ujung pepaya busuk si
nenek. Lalu mengemotnya seperti bayi pada tetek
ibunya. "Hei, hei! Kau bukan bayi lagi! Caramu menyedot itu bikin aku terangsang!" seru
si nenek sambil terkikik. "Apa kau juga terangsang, Beliung Kutuk!"
Si Kontet yang bernama asli Beliung Kutuk melepaskan mulut dowernya.
"Mana mungkin aku bisa terangsang dengan dada kayak begini!"
"Hik hik hik... kau pun tak akan bisa terangsang!
Barangmu pasti sebesar kelingking! Mana bisa dipakai!" "Kau belum tau perubahannya kalau aku sudah terangsang!" seru Beliung
Kutuk sambil terus mengemot. "Hik hik hik... paling-paling besarnya tetap sekelingking! Cuma bedanya ya keras saja!"
Si Kontet tak mempedulikan kata-kata Nyi Bawung. Dia terus mengemot-ngemot seperti bayi. Setelah beberapa lama kemudian, dia melompat turun.
Sambil mengusap mulutnya dia berkata, "Lamalama barangmu itu bau!"
"Masa bodoh! Kau telah membuatku terangsang!
Ayo, kau puaskan aku! Atau kau cari jejaka tampan
seperti biasanya!"
"Nyi Bawung! Kemarin kau sudah kucarikan jejaka tampan! Sekarang giliran kau mencari perawan tinting untukku!"
"Peduli omonganmu! Kau telah membuatku terangsang! Ayo, sana! Cari jejaka tampan!"
"Nggak mau!"
"Eh, eh! Berani melawan ya" Hik hik hik... kutekan kepalamu bisa melesak ke
perut!" Beliung Kutuk tertawa.
"Kau mau dengar rencanaku atau kau ingin aku
tidak bisa berpikir lagi"!"
"Maunya kau tidak bisa berpikir lagi!"
"Huh! Sebenarnya kalau ada dada perawan, mana mau aku menghisap pepaya busuk milikmu itu!"
Kaki Nyi Bawung menyepak.
Wuutttt!! Sepakannya hanya mengenai angin dan membuat
tanah di mana Beliung Kutuk tadi berdiri memburai ke udara. Sementara Beliung
Kutuk sendiri sudah berada
di atas pohon. "Hei, Kontet! Turun! Kau ingin pohon ini kuhancurkan"!"
Sambil tertawa-tawa geli, lelaki tua kontet itu melompat turun. Tak ada suara yang terdengar ketika kedua kakinya menginjak tanah.
Tetapi baru saja kedua
kakinya menginjak tanah kembali tiba-tiba....
Brukkkk! Tubuhnya terjengkang bersamaan terdengar kikikan Nyi Bawung.
"Mana bisa kecepatanmu mengalahkan kecepatanku!" Beliung Kutuk bangun sambil mengusap-ngusap
pantatnya. "Brengsek! Nanti kalau kau menyuruhku berpikir
lagi, akan kugigit pepaya busukmu itu sampai kau
menjerit!"
"Menjerit keenakan tentunya, kan" Hik hik hik...
ayo cepat katakan apa yang kau pikirkan!"
"Kita tidak perlu mengikuti Datuk Meong Moneng!" "Kenapa?"
"Dasar nenek berotak udang! Sudah tahu Bunga
Kemuning Biru tidak berada di tangan Datuk Meong
Moneng! Apa kau tidak lihat bunga kemuning biru
yang telah hancur di bawah kakimu itu" Itu bunga
yang palsu!"
"Lantas apa yang akan kita lakukan?"
"Kita cari Kembang Darah!"
"Mengapa?"
"Ya ampun! Otakmu benar-benar cuma berisi
sampah, ya"! Sudah tentu dia yang telah menipu Datuk Meong Moneng seperti yang tadi dikatakannya! Lagi pula... he he he... setahuku, Kembang Darah punya tubuh yang montok. Sudah
tentu pantatnya besar dan
mumbul. Payudaranya pasti mengasyikkan buat dihisap. Wah! Rasanya aku bisa tahan menghisap payudaranya selama tujuh hari tujuh malam!"
"Brengsek! Jadi itu alasanmu memutuskan untuk mencari Kembang Darah?"
"Lagi-lagi otak udang! Tapi... he he he... sudah menyelam sekalian minum
airlah!" "Bila Kembang Darah sudah ditemukan, apa yang
akan kita lakukan?"
Beliung Kutuk mengangkat kepalanya, dengan
mata melebar pada Nyi Bawung.
"Astaga! Mengapa kita" Apakah kau juga bernafsu dengan perempuan"! Gila! Baru kutahu kalau kau
punya kelainan!"
Kaki Nyi Bawung menyepak. Beliung Kutuk berhasil menghindar. Tetapi....
Buk! Sepakan kaki si nenek yang sangat cepat telah
mampir di pantatnya hingga dia hampir terjerunuk.
"Brengsek!" makinya sambil mengusap-ngusap pantatnya.
"Setelah kau nikmati Kembang Darah," kata Nyi Bawung sambil terkikik, "Sudah
tentu kau akan membunuhnya, bukan?"
"Siapa bilang" Aku akan menjadikannya budak
nafsuku!" "Kontet! Sekali lagi main-main kupisahkan kepalamu sekarang juga!" seru Nyi Bawung sambil terkikik.
"Sudah tentu akan kubunuh dia!" sungut Beliung Kutuk.
"Lantas kita mencari Malaikat Biru?"
"Memangnya kau hendak mencari siapa?"
Mendadak Nyi Bawung mendekap si Kontet kuatkuat, menekannya hingga muka Beliung Kutuk menempel keras pada sepasang pepaya busuknya.
"Kau memang pintar! Pintar sekali! Kalau saja
anumu tidak kecil, aku mau bermain-main denganmu!" "Hemmphh... lepaskan! Hemmppph... bau! Bau!"
Nyi Bawung melepaskan dekapannya. Tubuh Beliung Kutuk melorot ambruk di atas tanah. Sambil bersungut-sungut si Kontet
bangkit. "Sudah, sudah! Ayo kita cari Kembang Darah!
Aku sudah tidak sabar ingin mengemot dadanya!!"
Nyi Bawung terkikik dan mendahului melangkah.
Beliung Kutuk bersungut-sungut sambil menyusul. "Brengsek! Apa dia tidak tahu kalau hidung man-cungku ini sakit"! Huh! Bau
dadanya busuk banget!
Sayangnya cuma ada dia di sini yang bisa kuhisap
agar otakku jadi terang!!"
Terus bersungut-sungut Beliung Kutuk menjajari
langkah Nyi Bawung yang terkikik-kikik.
Kedua orang aneh ini terus melangkah, tak berhenti sekali pun. Ketika matahari sudah menampakkan bias-biasnya di ufuk timur barulah masing-masing orang menghentikan
langkahnya. Itu pun karena mereka tertarik pada satu sosok tubuh yang tergeletak
dengan dada jebol!
Sementara Nyi Bawung mengerutkan kening melihat mayat perempuan itu, Beliung Kutuk memakimaki, "Brengsek! Kenapa dadanya harus jebol begitu sih" Kalau tidak kan masih
bisa kuhisap"!"
"Aku kenal perempuan itu...."
Beliung Kutuk menoleh, mengangkat kepalanya
pada Nyi Bawung yang barusan berkata.
"Siapa?"
"Dewi Perenggut Sukma."
"O... jadi ini perempuan berjuluk Dewi Perenggut Sukma" Kabarnya dadanya luar
biasa montoknya! Si-al! Aku tak sempat menyaksikannya!"
"Perempuan ini bukan orang yang bisa dipandang
sebelah mata! Tetapi kalau dia tewas mengerikan seperti ini, dapat dipastikan kalau yang membunuhnya
memiliki ilmu yang tinggi! Bisa jadi dia.... Kontet! Apa yang kau lakukan"!"
Beliung Kutuk urung menurunkan pakaian bagian bawah Dewi Perenggut Sukma yang telah menjadi
mayat. "Aku cuma ingin lihat isinya!"
"Menjauh!"
"Huh! Sebel! Habisnya kalau melihat punyamu
sudah tidak bagus lagi! Sudah peot, rumputnya kering, bau lagi! Nyi Bawung...
aku mau lihat sebentar saja!"
"Kuburkan mayat itu!"
"Aku mau lihat" Sayangkan kalau aku menyianyiakan kesempatan...," rengek Beliung Kutuk sementara tangannya mengusap-ngusap
pangkal paha mayat
Dewi Perenggut Sukma. Dia mengaduh ketika tangannya yang hendak menurunkan pakaian bawah perempuan yang telah menjadi mayat itu, seperti tersengat.
Sambil meniup-niup tangan kanannya yang sakit akibat sambaran angin yang keluar dari jentikan telunjuk Nyi Bawung, lelaki tua
kontet itu menggerutu, "Kau ini kenapa sih" Bilang saja kau iri! Karena punyamu
kalah bagus! Biar sudah menjadi mayat punya perempuan ini tentunya lebih...."
"Kubur!!"
Beliung Kutuk menggerutu. Tetapi tidak berani
membantah perintah Nyi Bawung yang berucap tandas. Dengan menggunakan sebatang ranting kecil digalinya sebuah lubang. Wajahnya menyiratkan keengganan ketika kaki kanannya menyepak mayat Dewi Perenggut Sukma hingga berguling ke dalam lubang yang
baru digalinya dan kemudian ditimbunnya dengan tanah. "Apa lagi?" serunya jengkel.
Nyi Bawung tiba-tiba terkikik.
"Biasanya kau yang punya gagasan menarik! Ayo,
berpikir lagi! Katakan padaku, siapa kira-kira orang yang telah membunuhnya!"
"Aku tidak mau menghisap pepaya busukmu!!"
seru Beliung Kutuk merajuk.
Nyi Bawung terkikik. Tiba-tiba tangannya menyambar kepala Beliung Kutuk, lalu menekannya pada
dadanya. "Ayo, berpikir! Berpikir!"
"Aku tidak mau!"
"Berpikir!!" seru Nyi Bawung sambil menekan.
"Tidak mau!!"
"Ya sudah kalau tidak mau!"
Bruuukkk! Beliung Kutuk jatuh di atas tanah. Sambil bersungut-sungut dia bangkit, "Orang tidak mau dipaksa!" "Bagaimana kalau kucarikan
seorang perawan berdada besar?" seru Nyi Bawung.
"Haya!" seru Beliung Kutuk sambil melompat.
"Kalau itu aku mau! Mau!"
"Ayo berpikir dulu!"
Segera saja Beliung Kutuk melompat dan mulutnya menghisap pepaya busuk Nyi Bawung. Setelah itu
dia turun sambil terkekeh-kekeh.
"Aku tidak tahu...."
"Brengsek! Ayo tinggalkan tempat ini!!" sungut Nyi Bawung sambil mendahului.
Di belakangnya Beliung Kutuk terkekeh pelan.
"Tahu rasa nenek jelek itu! Kutipu dia! Padahal aku tahu! Biar saja tak
kuberitahukan padanya, tadi
dia melarangku melihat anunya Dewi Perenggut Nyawa! Huh! Dia melarang karena iri tentunya! Anunya
kalah montok!"
Sambil terkekeh puas karena merasa berhasil
menipu Nyi Bawung, Beliung Kutuk menyusul Nyi Bawung dengan langkahnya yang mengegal-ngegol.
* * * TUJUH RAJA Naga menarik napas dalam-dalam dan menahannya beberapa lama. Setelah itu dihembuskannya
perlahan-lahan. Matanya yang tadi dipejamkan dibuka, dipandanginya sekelilingnya yang telah diterangi matahari.
Pemuda dari Lembah Naga ini baru saja selesai
bersemadi. Dia tak mampu meneruskan langkahnya
untuk mengejar Kembang Darah karena rasa sakit
akibat serangan Bunga Kemuning Biru. Dengan berat
hati diputuskan untuk menghentikan langkahnya dan
bersemadi guna memulihkan tenaganya.
Sekarang ini Boma Paksi merasa tenaganya telah
pulih. Tubuhnya telah segar kembali. Saat dia mendongak, dilihatnya rencengan manggis hutan yang
menggantung. Dengan sebuah kerikil disambitnya dahan manggis itu.
Tas! Tap!
Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rencengan manggis itu ditangkapnya tanpa sebuah pun yang terlepas dari rencengannya. Dinikmatinya beberapa buah sebagai pengganjal perut.
"Urusan yang kuhadapi ini semakin lama bertambah berat. Aku belum tahu siapa sesungguhnya
lawan-lawanku kecuali Kembang Darah dan Dewi Perenggut Sukma. Dewi Perenggut Sukma telah tewas
dan tinggal Kembang Darah. Ah, rasanya tak mungkin
hanya Kembang Darah yang menghendaki Bunga Kemuning Biru. Pasti. pasti masih ada yang lain. Orang-orang yang mendendam pada
Malaikat Biru...."
Anak muda bersorot mata mengerikan ini menarik napas pendek.
"Malaikat Biru... siapa sebenarnya orang itu" Kalau memang dia seorang tokoh
kenamaan walaupun
telah lama tak terdengar kabarnya, mustahil dia tak
mendengar tentang keramaian di rimba persilatan....
Ah, apakah...."
Raja Naga memutus jalan pikirannya. Seketika
kepalanya ditolehkan ke samping kanan tatkala didengarnya suara kelebatan agak jauh dari tempatnya.
Kejap itu pula diangkat tangannya. Dengan
mempergunakan ilmu 'Rabaan Naga' anak muda ini
mencoba mengetahui dari mana asal suara kelebatan
itu. "Hemmm... seseorang yang memiliki ilmu peringan tubuh tinggi yang
berkelebat dan kini semakin
menjauh. Dari kelebatannya jelas orang itu terburuburu. Kudengar pula napas yang memburu pertanda
kalau dia sedang gusar. Sebaiknya kususul saja!"
Kejap itu pula Raja Naga melesat. Dikerahkan ilmu peringan tubuhnya untuk menyusul orang yang
diyakininya berlari ke arah timur. Cukup lama juga
Raja Naga baru berhasil melihat sosok orang yang berkelebat.
"Orang itu mengenakan pakaian dan berjubah hitam. Kepalanya ditumbuhi rambut jarang. Hemm...
ada sepasang anting besar mencantel di telinga kanan kirinya. Aku tidak tahu
siapa orang itu dan mau apa,
tetapi firasatku mengatakan... ah, sebaiknya kuikuti saja orang itu."
Orang berjubah hitam yang berjarak sekitar dua
puluh lima langkah dari Raja Naga, terus berlari cepat dengan gerakan luar
biasa. Tiba di sebuah tempat
yang agak terbuka, orang ini menghentikan larinya.
"Setan terkutuk!!" terdengar geramannya sengit.
Matanya yang memerah memandang sekelilingnya penuh amarah. "Kembang Darah.... Kembang Darah...
akan kucabik-cabik tubuhnya sebelum kubunuh!!"
Raja Naga yang bersembunyi di balik sebuah pohon besar membatin, "Kembang Darah" Rupanya
orang yang belum kuketahui seperti apa rupanya ini,
mendendam pada Kembang Darah. Apakah ini ada
hubungannya dengan Bunga Kemuning Biru pula?"
Orang tinggi besar berjubah hitam itu terus memaki-maki panjang pendek. Tiba-tiba tangan kanannya diangkat dan didorong ke depan.
Wuuuussss!! Menghampar satu gelombang angin yang menumbangkan tiga buah pohon sekaligus!
"Astaga!" desis Raja Naga dalam hati. Bukan karena melihat tumbangnya tiga buah
pohon itu, melainkan ketika melihat tangan kanan lelaki itu saat terangkat tadi. "Pada tangannya terdapat bulu-bulu halus yang sangat tebal seperti
bulu-bulu yang dimiliki kucing! Siapa orang yang mendendam pada Kembang
Darah ini?"
Tiba-tiba Raja Naga memalingkan kepalanya ke
kanan, demikian pula dengan orang yang sedang gusar
itu. Suasana hening karena orang tinggi besar itu tidak mengeluarkan makian
lagi. Lima kejapan mata kemudian, satu bayangan putih melesat dengan cara berputar di udara dua kali sebelum kemudian hinggap di
atas tanah. "Pratiwi!" seru Raja Naga dalam hati.
Bayangan putih yang baru muncul itu langsung
membentak orang berjubah hitam, "Datuk Meong Moneng! Katakan padaku di mana
Kembang Darah berada, sebelum nyawamu kuputuskan hari ini juga!!"
Orang tinggi besar yang bukan lain Datuk Meong
Moneng nampak tertegun, sebelum mulutnya membuka, "Heiii! Apa-apaan kau...."
"Tutup mulutmu, Kakek muka kucing! Aku tak
punya banyak waktu! Di mana Kembang Darah! Atau
kau merasa lebih baik pergi ke neraka sekarang juga"!"
"Setan! Mengapa kau...."
Gadis berjubah putih itu tiba-tiba mengangkat
tangan kanannya seraya berseru, "Bunuh dia!!"
Baru habis seruannya, lima bayangan hitam telah melompat dari balik ranggasan semak dengan tangan kanan kiri mengarah pada Datuk Meong Moneng.
"Terkutuk!!" maki Datuk Meong Moneng seraya mundur dua langkah. Kejap itu pula
digerakkan kedua
tangannya. Wuuuuttt!! Wuuuuttt!!
Kelima lelaki berpakaian dan bertopeng hitam
berlompatan ke belakang, namun langsung menyerang
kembali. "Setaaan!"
Datuk Meong Moneng menepuk kedua tangannya. Segera menghampar gelombang angin berkekuatan tinggi. Dua orang bertopeng yang menyerangnya
tak mampu menghindar. Mereka tewas setelah terseret
gelombang angin besar itu.
Tiga orang lainnya tidak gentar. Mereka justru
semakin bernafsu untuk membunuh Datuk Meong
Moneng. Namun apa yang mereka lakukan hanyalah
sebuah kesia-siaan, karena dalam waktu singkat ketiganya sudah menyusul kedua teman mereka ke akhirat! Mendapati kenyataan itu, Pratiwi menggeram
tinggi. "Kakek keparat! Kau harus membayar nyawa kelima sahabatku!!"
Gadis jelita berhidung bangir itu sudah melayang
ke arah Datuk Meong Moneng. Tangan kanan kirinya
dijadikan satu. Masih melayang di udara, diputarnya
kedua tangannya yang menjadi satu itu. Terdengar suara berdenging menggiriskan disusul dengan satu dorongan yang sangat kuat.
Datuk Meong Moneng tak berkedip memandang
serangan si gadis. Bahkan dia tak bergeser dari tempat berdirinya. Mulutnya
seperti hendak berucap, tetapi
karena serangan lawan sudah sedemikian dekat diurungkan niatnya untuk berucap. "Keparaatt!!"
Segera digeser tubuhnya ke samping kanan. Tenaga kuat yang keluar diiringi dengingan menggiriskan itu luput dari sasarannya,
menghantam pohon di ma-na Raja Naga berada di belakangnya. Sudah tentu sebelum tenaga itu menghantam pohon, Raja Naga sudah menghindar lebih dulu.
Blaaaarrrr!! Pohon itu bergetar hebat dengan menggugurkan
dedaunannya, menyusul suara berderak terdengar. Lalu... menggemuruhlah suara tumbangnya pohon itu.
Menghindarnya Raja Naga tak luput dari mata
Datuk Meong Moneng dan Pratiwi. Secara serempak
masing-masing orang menghentikan serangannya.
"Raja Naga!" Pratiwi berseru.
Raja Naga hinggap di sisi kanan gadis itu.
"Dunia memang kecil! Kita bertemu lagi!"
"Hemm... mengapa kau bersembunyi?"
Raja Naga melirik. Bukannya sahuti pertanyaan
si gadis yang membuat perasaannya kembali teradukaduk, dipandanginya Datuk Meong Moneng yang sedang menatapnya seraya berkata, "Baru sekarang aku berjumpa dengan orang
berjuluk Datuk Meong Moneng! Dan sungguh sebuah tindakan yang tidak sopan
bila aku langsung bertanya! Datuk... pertanyaanku
sama seperti yang dilontarkan Pratiwi! Di manakah
Kembang Darah yang telah memiliki Bunga Kemuning
Biru?" Pertanyaan itu membuat Datuk Meong Moneng
menjadi murka, karena teringat kembali bagaimana
dia dikelabui oleh Kembang Darah.
Dengan kaki dipentangkan dia menyahut, "Pemuda dari Lembah Naga yang julukannya begitu kesohor, aku bukanlah orang yang tepat dijadikan sebagai tempat bertanya! Tetapi...
aku adalah orang yang tepat bila kau menginginkan kematian!"
Memerah kedua telinga Boma Paksi mendengar
kata-kata orang. Tetapi tak dipedulikannya kata-kata itu. Yang terpenting
baginya adalah mengetahui di
mana Kembang Darah berada. Bila Pratiwi tidak muncul di sini, mungkin Raja Naga tidak akan tahu siapa kakek tinggi besar bermuka
kucing di hadapannya.
"Kita tidak punya silang urusan! Masing-masing
orang memiiiki jalan kehidupan sendiri-sendiri! Tadi kudengar ucapanmu, kalau
kau sedang mencari Kembang Darah untuk...."
"Tutup mulutmu!!"
Belum habis bentakan itu, Datuk Meong Moneng
sudah menerkam ke depan dengan jari jemari menekuk membentuk cakar ke arah Raja Naga. Yang diserang menjerengkan sepasang matanya. Tanpa bergeser dari tempatnya, diangkat tangan kanan kirinya dengan cepat.
Buk! Buk! Begitu benturan terjadi, masing-masing orang surut ke belakang. Raja Naga membatin kaget, "Hebat!
Dia sama sekali tak merasa sakit akibat benturan dengan tanganku!"
Sementara itu Datuk Meong Moneng membatin
dengan wajah geram, "Luar biasa! Tak kulihat tanda-tanda kalau dia kesakitan!
Hemm... seperti yang pernah kudengar, kalau kedua tangannya sebatas siku
yang dipenuhi sisik itu, memiliki kekuatan yang luar biasa! Tetapi yang
membuatku heran, mengapa gadis
itu menjadi seperti... hmmm, aku mengerti! Aku mengerti apa maunya!"
Pratiwi membentak, "Kakek muka kucing! Jawab
pertanyaan kami sebelum kau mampus kami bunuh!"
Datuk Meong Moneng mendelik gusar.
"Gadis terkutuk! Apa pun yang akan kalian lakukan terhadapku hanya akan memancing kematian kalian belaka! Tetapi untuk saat ini, aku sedang enggan mencabut nyawa orang!"
"Sombong!"
"Setaaannn!!"
Wuuutttt!! Gelombang angin berputar menderu ke arah Pratiwi. Yang diserang membelalak dan siap mendorong
tangan kanan kirinya. Tetapi satu dehaman telah memutuskan deruan angin yang keluar akibat dorongan
tangan kanan Datuk Meong Moneng.
Akibatnya tanah di mana putusnya deruan angin
itu terbongkar ke udara dan menghalangi pandangan
beberapa saat. Pratiwi melirik pemuda berompi ungu yang tadi
memutuskan serangan Datuk Meong Moneng.
"Hebat! Hebat sekali! Apa yang dikatakan Guru
tentang dirinya tak kuragukan lagi!" katanya dalam hati. "Datuk Meong Moneng,
aku tak ingin melibatkan
sengketa denganmu, tetapi aku membutuhkan petunjuk di mana Kembang Darah berada! Karena... sahabatku yang bernama Ratih telah diculik olehnya dan
hingga saat ini belum kuketahui keadaannya!"
Datuk Meong Moneng terdiam sejenak sebelum
berkata, "Apakah kau tahu di mana sahabatmu dibawa olehnya?"
"Tanah Kematian!"
"Huh! Tanah Kematian! Bila kau mencari Kembang Darah ke tempat itu, kau hanya membuang waktu dan tenaga saja!"
"Mengapa"!"
"Belum lama ini aku telah tiba di sana! Tanah
Kematian kosong melompong!"
"Maksudmu... kau tak menemukan siapa pun juga di sana?"
"Ya! Tak seorang pun berada di sana...."
"Astaga! Kalau memang Ratih tidak dibawa ke
sana, dibawa ke mana gadis itu oleh Kembang Darah"
Tentunya Kembang Darah mencoba menyesatkan
Lesmana atau siapa pun juga yang berhubungan dengan Ratih dengan menuliskan tempat di mana dia
membawa Ratih. Kalau begitu.... Lesmana tentunya
tak menemukan siapa pun bila memang dia telah tiba
di Tanah Kematian."
Habis membatin demikian, Raja Naga berkata,
"Hemm... berarti aku memang tidak perlu ke Tanah Kematian! Kembang Darah tetap
akan kucari! Apalagi
kini dia telah menguasai Bunga Kemuning Biru!"
"Saat ini aku pun sedang memburu Kembang Darah karena aku tahu dia memiiiki Bunga Kemuning Biru!" "Hemmm... nada ucapanmu merendah! Apakah kau hendak mengatakan kalau kau
memburu Kembang Darah untuk mengembalikan Bunga Kemuning
Biru pada pemiliknya yang sah?" Pratiwi berseru dengan bibir mencibir.
Datuk Meong Moneng tajam menatapnya sebelum mengangguk "Apa yang kau katakan itu memang benar! Ya,
memang seperti itulah maksudku! Karena aku tahu
siapa Kembang Darah! Tanpa Bunga Kemuning Biru
dia sudah sedemikian kejamnya, apalagi dengan bunga
sakti itu di tangannya"!"
"Apakah kau bermaksud mengalihkan perhatian
kami siapa kau sebenarnya"!" ejekan Pratiwi terdengar lagi. "Orang boleh
memandangku sebagai orang yang kejam! Tetapi sudah dua tahun belakangan ini aku
telah insyaf! Untuk menebus segala dosa yang pernah
kuperbuat, aku bermaksud untuk memberantas setiap
kejahatan di rimba persilatan!" seru Datuk Meong Moneng dengan suara meyakinkan.
Tak ada yang menyahuti ucapannya. Bibir Pratiwi
masih membentuk ejekan pertanda kalau dia sama sekali tak mempercayai kata-kata Datuk Meong Moneng.
Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di pihak lain, Raja Naga berpikir, "Aneh! Menga-pa aku seperti menangkap sesuatu
yang tidak pada
tempatnya?"
"Rimba persilatan bukanlah tempat yang baik
untuk menyembunyikan sesuatu!" kata Datuk Meong Moneng lagi. "Aku yakin, kalian
tentunya telah mendengar tentang Bunga Kemuning Biru yang berhubungan erat dengan Durga Marakayangan dan Malaikat
Biru! Durga Marakayangan telah tewas sementara Malaikat Biru tidak diketahui berada di mana! Walaupun demikian, banyak orang yang
menginginkan kematiannya! Dengan mempergunakan Bunga Kemuning
Biru, maka kemungkinan besar orang yang mendendam pada Malaikat Biru dapat melaksanakan keinginannya dengan segera! Dan Kembang Darah termasuk
salah seorang yang hendak membalas dendam pada
Malaikat Biru!"
"Dari ucapanmu kau nampaknya hendak mengajak kami bergabung," kata Raja Naga sambil memikirkan kejanggalan yang
dirasakannya. "Seumur hidupku aku tak pernah melakukan hal
seperti itu! Tetapi tak ada salahnya sekarang kulakukan agar urusan ini cepat
selesai!" "Apa yang hendak kau ajukan?"
"Aku terus memburu Kembang Darah untuk
mendapatkan Bunga Kemuning Biru, kalian mencari
Malaikat Biru!"
"Kau sendiri mengatakan tidak tahu di mana Malaikat Biru berada, bagaimana dengan kami"!" seru Pratiwi.
"Aku tahu di mana Malaikat Biru berada!"
Pratiwi melirik Raja Naga yang tak berkedip memandang kakek bermuka kucing itu sebelum berseru,
"Katakan!"
"Dia berdiam di Pusara Keramat! Tempat itu sangat terpencil dan merupakan tempat yang tepat dijadikan sebagai persembunyian!
Kalian bisa segera ke sana untuk mengabarkan pada Malaikat Biru, kalau banyak orang yang menginginkan nyawanya!"
"Aku menyangsikan kalau Malaikat Biru belum
mengetahui keadaan ini," kata Raja Naga.
"Aku pun menyangsikan pula! Tetapi, itu adalah
tindakan terbaik! Karena sekali waktu dalam hidupnya, orang bisa menjadi lengah!"
"Lantas bagaimana dengan kau sendiri?"
"Setelah kudapatkan Bunga Kemuning Biru dari
tangan Kembang Darah, aku akan segera menyusul ke
Pusara Keramat!"
Raja Naga tak menyahut. Dia berpikir lagi.
Pratiwi yang berkata, "Ucapan terkadang memang
enak didengar, tetapi pada akhirnya merupakan satu
tohokan kuat dari belakang! Bisa jadi setelah kau dapatkan Bunga Kemuning Biru,
kau akan mempergunakannya untuk kepentinganmu sendiri!"
"Kau bisa melihatnya nanti, Anak gadis! Rasanya sudah cukup perjumpaan kita saat
ini, karena semakin lama berada di sini, semakin sulit menemukan
Kembang Darah!"
Habis ucapannya, Datuk Meong Moneng sudah
berkelebat ke depan dengan gerakan yang sangat cepat. Sambil berlari dia membatin, "Sempurna! Sempurna sudah! Raja Naga akan
menjadi pembuka jalan
menuju ke Pusara Keramat" Menyusul dia tertawa,
"Hahaha... memang sungguh pintar, pintar sekali! Tak sia-sia aku mengangkatnya
menjadi muridku! Pasti dia dapat menguasai semuanya...."
Sepeninggal Datuk Meong Moneng, Pratiwi berkata, "Raja Naga... apakah kita akan menjalankan apa yang dikatakan Datuk Meong
Moneng?" Raja Naga tak segera menjawab. Setelah beberapa
saat terdiam dia berkata, "Sesungguhnya, aku masih mencari dua orang sahabatku.
Lesmana dan Ratih. Perasaanku belum tenang bila belum mengetahui keadaan mereka."
"Kalau begitu, kita tak perlu mengikuti apa yang dikatakan Datuk Meong Moneng!
Lebih baik kita cari
Lesmana dan Ratih!"
Raja Naga menggeleng.
"Menurut Datuk Meong Moneng, dia telah mendatangi Tanah Kematian! Dan tak menemukan siapa
pun juga di sana! Bisa jadi Ratih yang diculik oleh
Kembang Darah memang tidak berada di sana! Atau
bisa jadi pula kalau dia sudah... ah! Terlalu mengerikan membayangkan hal
itu...." Pratiwi tak menyahut. Tiba-tiba dipegangnya lengan kanan pemuda berompi ungu itu dengan lembut.
Yang dipegang sedikit tertegun sebelum memandang
gadis di sampingnya.
"Boma... sebaiknya kita memang tak perlu mengikuti kata-kata Datuk Meong Moneng. Bisa jadi kalau dia hanya menjebak saja.
Aku tahu kalau dia termasuk manusia golongan sesat yang sangat kejam. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu patut dipertanyakan." Boma Paksi masih tertegun. Tatapannya menghujam dalam pada bola mata
Pratiwi. Pratiwi sendiri
sedikit heran melihat tatapan itu.
"Boma...."
"Diah...."
Kali ini kening Pratiwi berkerut.
"Hei! Boma! Mengapa kau sebut namaku Diah"!"
Seperti orang terbangun dari tidur dengan cara
dikagetkan, Boma Paksi tersentak.
"Oh! Tidak, tidak! Ya, ya... kita... kita segera menuju ke Pusara Keramat!"
"Boma... ada apa ini?"
Pemuda dari Lembah Naga itu menarik napas
pendek. Kegelisahannya begitu kentara. Kerinduan pada gadis yang dicintainya menggelora di dada. Tetapi diusahakan untuk
ditindihnya kuat-kuat.
"Pratiwi... sebaiknya kita melacak jejak Malaikat Biru..."
"Bagaimana dengan Lesmana dan Ratih?"
"Mudah-mudahan kita bisa bertemu dengan mereka di jalan. Itu pun... kalau mereka masih hidup...."
Pratiwi hanya mengiyakan saja. Lalu diikutinya
langkah pemuda yang pada tangan kanan kirinya sebatas siku terdapat sisik coklat.
Sementara itu, debaran dada Raja Naga semakin
mengencang saja.
* * * DELAPAN KEGELAPANLAH yang dirasakan pertama kali
oleh Setan Keris Kembar tatkala membuka kedua matanya. Segera dipejamkan matanya sesaat untuk kemudian dibuka kembali. Tetapi tetap saja yang tertangkap hanya kepekatan semata.
Begitu teringat akan tangan kirinya, segera saja
tangan kanannya mendekap bahu kiri bagian atas. Untuk sejenak Setan Keris Kembar tertegun, karena dia
sama sekali tak merasa sakit. Tubuhnya pun dirasakan pulih. Perlahan-lahan Setan Keris Kembar berdiri. Sepasang matanya dipicingkan untuk tembusi kepekatan. Tetapi tetap dia tak mampu melakukannya.
"Di mana aku?" desisnya sambil meraba-raba.
Dikerahkan seluruh indera yang dimilikinya. Namun
tempat itu tetap pekat. "Astaga! Apakah aku tersesat dan tanpa sadar masuk ke
tempat yang gelap ini?"
Pelan-pelan Setan Keris Kembar mencoba melangkah. Namun dalam kegelapan semata, sulit baginya untuk menentukan arah langkahnya.
"Aneh! Mengapa aku sama sekali tak ingat kalau
aku telah masuk ke tempat menyeramkan seperti ini"
Di mana pula tempat ini" Apakah...."
Belum tuntas ucapannya, dari jarak sepuluh
langkah tiba-tiba terlihat cahaya biru yang semakin
lama bertambah terang. Tanpa sadar Setan Keris Kembar mengangkat tangan kanannya di depan mata karena cahaya biru itu sangat menyilaukan mata.
"Siapa kau"!" serunya begitu samar-samar melihat satu sosok tubuh.
"Tempat ini mungkin tidak layak untukmu," satu suara tenang terdengar. "Tetapi
hanya ke tempat inilah aku bisa membawa dan mengobati luka-lukamu...."
"Suaranya seperti pernah kukenal. Entah di mana. Dia bilang dia yang membawa dan mengobati lukalukaku" Astaga! Pantas saja keadaanku sudah pulih
seperti sediakala dan luka pada bahuku yang kutung
ini tak lagi kurasakan," ucap Setan Keris Kembar dalam hati. Lalu berkata,
"Orang dalam gelap! Siapa pun kau adanya aku berterima kasih padamu! Tetapi,
apakah tidak sebaiknya kita bicara di tempat yang terang"!"
"Di sekitar tempat ini hanya ada kegelapan sema-ta! Tetapi bila memang kau
menghendaki demikian,
sebaiknya kita memang berada di luar! Kebetulan pagi baru saja datang...."
Setan Keris Kembar melihat cahaya biru itu berbalik dan bergerak. Sejenak kakek yang tangan kirinya telah buntung ini terpaku
sebelum menyusul.
Berada di luar dari tempat yang sangat gelap itu,
Setan Keris Kembar harus memejamkan matanya sejenak. Udara dingin menyergapnya. Ada kenyamanan
karena dia berada di tempat yang terang. Dihirupnya
udara segar itu dalam-dalam.
Ketika hendak digerakkan tangannya ke atas, dilihatnya tangan kirinya yang buntung. Seketika lenyap sikap senangnya. Parasnya
perlahan-lahan menekuk
geram, hingga keriput yang menghiasinya seperti semakin menumpuk.
"Terkutuk!!" geramnya sengit.
"Kau kini sudah sembuh, nyawamu masih melekat pada jasadmu! Makian yang kau lontarkan hanya
akan menimbulkan dendam belaka," suara itu terdengar. Seolah baru menyadari ada orang lain di dekatnya, Setan Keris Kembar seketika menoleh ke samping
kanan. Dilihatnya satu sosok tubuh yang berdiri membelakanginya. Dan dari sekujur tubuh orang itu terlihat cahaya biru yang terang.
"Gila! Seumur hidupku, baru sekarang kulihat
orang yang dari tubuhnya memancarkan cahaya," desisnya kagum dalam hati. Lalu
dengan suara tak segeram sebelumnya, dia ajukan tanya, "Orang bercahaya biru, siapa kau sebenarnya?"
Bukannya jawab pertanyaan orang, orang berpakaian serba biru dan tubuhnya memancarkan cahaya
yang sama berkata, "Semalaman kau mengigau, menyebut nama Datuk Meong Moneng yang telah membuntungi tangan kirimu. Kau juga menyebutkan satu
nama yang hendak kau bunuh."
Setan Keris Kembar melengak.
"Aku mengigau?"
"Sangat jelas sekali!"
"Apa yang kukatakan dalam igauanku" Siapa
orang yang hendak kubunuh?"
"Apakah saat ini kau tidak ingin membunuh siapa-siapa?"
Setan Keris Kembar mendengus. Seketika ingatannya kembali pada kakek muka kucing di Tanah
Kematian. "Aku ingin membunuh Datuk Meong Moneng karena telah membuatku celaka seperti ini!"
"Apakah kau melupakan rencana awalmu?"
"Tidak! Aku masih tetap akan melaksanakan rencana awalku untuk membunuh Malaikat Biru!"
"Itulah yang kau igaukan! Setan Keris Kembar,
apakah kau sudah mengenal orang berjuluk Malaikat
Biru?" "Tidak! Aku hanya tahu, satu-satunya orang yang menghuni Pusara Keramat adalah
Malaikat Biru!"
"Mengapa kau hendak membunuhnya?"
"Dia telah membunuh ayahku!"
"Siapakah ayahmu?"
"Ayahku penguasa daerah selatan! Dia berjuluk
Iblis Seribu Nista!"
"Aku sangat mengenal ayahmu. Ayahmu bukan
orang baik-baik. Kerjanya hanya mencelakakan banyak orang dan memperkosa siapa saja. Kupikir apa
yang dilakukan oleh Malaikat Biru benar adanya."
"Kau tidak tahu apa yang kualami tanpa seorang
ayah, hah"!" suara Setan Keris Kembar terdengar tajam. Ingatan masa lalunya
membayang dan membuat
kegeramannya muncul kembali. "Hinaan terus berdatangan padaku karena ibuku sudah
membunuh diri dua tahun sebelumnya! Kau tahu... kalau semua ini
gara-gara Malaikat Biru" Keinginan untuk membunuhnyalah yang membuatku mempelajari banyak ilmu!" "Apakah kau sudah merasa sanggup untuk membunuh Malaikat Biru?"
"Bila Bunga Kemuning Biru berada di tanganku,
aku sanggup untuk membunuhnya. Tetapi tanpa bunga sakti itu pun, aku tak peduli apakah aku akan
sanggup atau tidak melakukannya! Karena, aku harus
tetap melakukannya!"
"Apakah kau tidak bisa memaafkannya?"
Kali ini Setan Keris Kembar tak buka suara. Matanya memicing, memandang tak berkedip pada orang
berpakaian serba biru yang berdiri membelakanginya.
"Orang bercahaya biru! Siapa kau sebenarnya"
Mengapa kau terus bertanya soal itu?"
Orang yang tubuhnya memancarkan cahaya biru
tak segera menjawab. Suasana hening sejenak. Udara
dingin tetap terjaga. Kabut tebal masih menyelimuti
beberapa tempat.
Perlahan-lahan terdengar orang bercahaya biru
angkat bicara seraya membalikkan tubuhnya, "Kare-na... akulah orang yang hendak
kau bunuh!"
* * * Sampai surut dua tindak Setan Keris Kembar
mendengarnya. Kepalanya tegak kaku dengan mata
berbinar tajam. Semakin lama ketajaman pancaran
matanya berubah berbahaya. Kejap lain terdengar bentakannya keras,
"Terkutuk! Jadi kau yang berjuluk Malaikat Biru"
Setan laknat! Kau harus mampus!!"
Belum habis seruannya, Setan Keris Kembar su
Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dah menderu kencang ke depan. Tangan kanannya
membentuk jotosan. Angin yang keluar dari jotosannya mampu membuat pohon
bergetar. Tetapi kakek bercahaya biru itu sama sekali tak
bergeser dari tempatnya. Bahkan dia tersenyum lembut, seolah mandah diapakan saja.
Buk! Buk!! Dua kali jotosan tangan kanan Setan Keris Biru
mampir pada dada kurusnya. Jotosan itu mampu menumbangkan sebatang pohon besar. Tetapi Malaikat
Biru tetap tegak di tempatnya.
"Puaskanlah keinginanmu...."
Kegeraman Setan Keris Kembar semakin menjadi-jadi. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
menghantam Malaikat Biru. Lagi-lagi yang dihantam
tak bergeming. Tetap tegak dengan senyuman.
"Terkutuk! Mengapa kau diam saja, hah"! Ayo,
hadapi aku! Atau kau bertingkah karena aku belum
mendapatkan Bunga Kemuning Biru"!" geram Setan
Keris Kembar gusar.
Ketika hendak menyerang lagi, Malaikat Biru
mengibaskan tangan kanannya laksana menepuk angin. Wuusss! Gussrraakk!! Setan Keris kembar terlempar di atas ranggasan
semak yang segera tertindih. Dan ini semakin menambah kemarahannya. Dicabut kerisnya dan dihunuskan. Tetapi untuk kedua kalinya Setan Keris Kembar
terbanting di atas ranggasan semak.
"Mungkin apa yang telah kulakukan terhadapmu,
bukanlah sesuatu yang dapat membuatmu menyadari,
kalau aku tak pernah menghendaki kejadian seperti
ini. Kalaupun dulu aku membunuh ayahmu, karena
terpaksa. Dia terlalu keras kepala padahal sudah kuberikan jalan keluar yang seharusnya diterimanya. Setan Keris Kembar, kau telah
berjumpa denganku. Dan
kau tahu kalau aku hanya bisa mati bila lawan mempergunakan Bunga Kemuning Biru. Apa pun yang kau
hendaki, silakan kau lakukan...."
Memburu napas Setan Keris Kembar. Dadanya
turun naik dengan cepat. Parasnya memerah gusar
dengan sorot mata berbahaya.
"Keparat!" gusarnya dalam hati. "Hilangnya tangan kiriku seperti melenyapkan
sebagian ilmu yang
kumiliki! Aku belum terbiasa mempertahankan keseimbangan dengan tangan hanya sebelah! Setan terkutuk! Atau karena ilmu Malaikat Biru memang sedemikian tinggi?"
Untuk beberapa saat lamanya masing-masing
orang terdiam. Malaikat Biru sendiri tetap tersenyum walaupun sorot matanya
menyiratkan kesedihan.
"Ah, baru kusadari apa yang dulu kulakukan
ternyata tak berarti. Satu kejahatan hancur, masih
akan bermunculan kejahatan lain...." desahnya dalam hati. Di pihak lain Setan
Keris Kembar membatin, "Malaikat Biru telah menyelamatkan nyawaku. Kendati
demikian, tak akan pernah kuurungkan niatku untuk
membalas kematian ayahku di tangannya puluhan tahun lalu! Terlalu lama aku menunggu saat-saat untuk
membunuhnya! Tetapi hasilnya... setan! Sia-sia apa
yang kupelajari selama ini! Dengan tangan buntung
seperti ini, sulit bagiku untuk ikut memperebutkan
Bunga Kemuning Biru!"
Kejap lain dia berseru, "Malaikat Biru! Jangan
harap aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu! Untuk saat ini, aku memang tak mampu melaksanakan niatku! Tetapi ingat baik-baik ucapanku!
Kelak... aku akan muncul kembali untuk menuntaskan dendam di dadaku ini!"
Malaikat Biru menyahut, "Jangan pernah membiarkan hawa nafsu melingkupi diri kita, karena akan menjerat kita pada jurang
kenistaan!"
"Justru nafsuku untuk membunuhmu akan kubiarkan subur dan tumbuh di dadaku!"
Habis ucapannya dengan membawa gelora amarah di dada, Setan Keris Kembar berlalu meninggalkan tempat itu. Di dekat dua
buah pohon yang akarnya
berliuk-liuk sementara bagian atasnya bersilangan sa-tu sama lain, dihentikan
larinya. Dibalikkan tubuhnya untuk memandang lagi ke tempat semula. Malaikat Biru sudah tak berada di sana.
* * * SEMBILAN KAKANG... nampaknya kita tak akan bisa menemukan Raja Naga. Adakah orang lain yang bisa menolongku selain Raja Naga?" suara lembut yang agak pa-rau itu terdengar dari balik
ranggasan sebuah semak.
Saat ini matahari sudah sepenggalah. Sinarnya yang
semakin lama semakin garang, tak begitu terasa karena pepohonan di sekitar sana tinggi dan berdaun rimbun. Di atas tanah terlihat bentuk gelap-terang.
"Ratih... aku juga berpikir demikian. Tetapi, siapakah orang yang bisa kita
mintai tolong?" Lesmana berkata dengan penuh penyesalan. Disesalinya karena
dia tak mampu menemukan sekaligus membebaskan
kekasihnya dari totokan Kembang Darah.
Mendengar suara penuh penyesalan itu Ratih
menjadi tidak enak.
"Bukan maksudku untuk menyepelekanmu, Kakang. Aku sudah berterima kasih karena kau tetap setia menjagaku. Hanya yang kukhawatirkan, tubuhku
tak akan bisa digerakkan selama-lamanya walaupun
aku sudah terbebas dari totokan. Kita sama-sama tahu, bila sebuah totokan tak akan terlepas dalam waktu yang cukup lama, maka akan
menghambat aliran darah. Secara tidak langsung orang yang terkena totokan itu
akan lumpuh. Maaf Kakang Lesmana... bukan
maksudku untuk mengajarimu...."
Lesmana tersenyum. Pemuda yang masih bertelanjang dada karena pakaiannya harus dipakaikan pada Ratih yang pakaiannya sendiri sudah robek dan entah di mana, memandang gadis berkuncir dua yang
wajahnya sedikit memucat.
"Mencari Raja Naga memang sangat sulit. Menurut perkiraanku, dia juga sudah tiba di Tanah Kematian. Karena tak menemukan kau atau aku di sana,
dia tentunya sudah menjauh dari sana."
"Kakang!" suara Ratih tiba-tiba mengeras.
"Hei, ada apa" Mengapa kau menjadi tegang seperti itu?"
Ratih menatap pemuda tampan itu lekat-lekat.
"Kakang... jangan-jangan.... Raja Naga telah tewas dibunuh Datuk Meong Moneng"
Dapat kubayangkan amarah yang berkobar di dada Datuk Meong Moneng ketika tak menjumpaiku lagi di dalam gua itu.
Dan.... Raja Naga yang tiba kemudian di sana, menjadi sasaran kemarahannya...."
Lesmana tak menyahut. "Apa yang dikatakan Ratih sungguh masuk akal," katanya dalam hati. "Tetapi... aku mengenal pemuda yang
usianya satu tahun
lebih muda dariku. Dia memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Apakah dia memang dapat dikalahkan oleh Datuk Meong Moneng?"
Tak ada yang buka mulut. Masing-masing orang
dibuncah pikiran yang sama.
Lesmana memecahkan keheningan, "Kita tak perlu bersikap seperti itu, Ratih, karena kita sama-sama tahu kalau Raja Naga
memiliki ilmu yang tinggi. Sudah tentu dia dapat meloloskan diri dari
cengkeraman Datuk Meong Moneng bila memang ternyata dia tak
mampu menghadapinya. Itu pun, bila memang Raja
Naga bertemu dengan Datuk Meong Moneng di Tanah
Kematian...."
"Aku hanya mengungkap satu pikiran saja, Kakang. Sebenarnya aku pun tak mau memikirkan hal
itu." "Ratih... kita sudah cukup beristirahat dan sudah mengisi perut.
Sebaiknya, kita teruskan saja mencari Raja Naga...."
"Kakang Lesmana... bila kita gagal menemukan
Raja Naga, mudah-mudahan secara tak sengaja kita
berjumpa dengan Malaikat Biru. Dari berita yang kudengar, Malaikat Biru adalah tokoh mulia yang dulunya banyak memerangi kejahatan. Banyak para tokoh sesat yang menghendaki kematiannya hingga
Bunga Kemuning Biru harus diperebutkan...."
"Kita sama-sama belum mengenal Malaikat Biru.
Kalaupun kita berjumpa dengannya di jalan, kita tak
akan tahu dialah sesungguhnya orang yang berjuluk
Malaikat Biru."
Ratih tak bersuara. Parasnya bertambah sendu
dan pucat. Lesmana menarik napas pendek. Digenggamnya tangan kanan gadis itu, diremasnya lembut.
"Kita tak boleh berputus asa. Kita harus tetap
mencari Raja Naga maupun.... Malaikat Biru."
"Aku kasihan padamu, Kakang."
"Hei, hei! Mengapa kau berkata begitu" Ini sudah kewajibanku untuk melindungimu.
Ayo, kita berangkat
sekarang!"
Hal itu memang lebih baik. Karena menurut
Lesmana, bila mereka masih berada di sini dan terus
menerus membicarakan masalah itu akan membuat
kekasihnya semakin putus harapan. Walaupun sesungguhnya Lesmana tahu kalau Ratih adalah seorang
gadis yang tegar.
* * * Pada saat yang bersamaan, di sebuah tempat
yang jauh dari tempat Lesmana dan Ratih, Raja Naga
bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon. Tak
jauh dari tempatnya terdengar suara gemuruh air sungai. Saat ini dia sedang menunggu Pratiwi mandi. Dan menunggu seperti ini di
saat masih banyak yang harus dikerjakan justru membuat Raja Naga menjadi jemu.
"Bila saja aku sudah menemukan jawaban atas
suatu kejanggalan yang kupikirkan, sudah tentu akan
kutinggalkan gadis berjubah putih itu di sini. Tapi...."
Pemuda berompi ungu ini memutus kata-katanya
sendiri. Terlihat sorot matanya yang angker bersinar redup memandang pada bungabunga mawar yang
tumbuh di sana.
"Aku seperti menemukan kembali rasa kehilanganku dulu. Ah, mengapa ada seseorang yang mirip
dengan orang lain" Pratiwi mirip sekali dengan Diah
Harum, gadis yang pernah kucintai dan sekarang sudah tewas...."
Untuk sejenak anak muda pewaris ilmu Dewa
Naga mematung di tempatnya. Samar-samar terlihat
kembali bagaimana perjumpaannya dengan Diah Harum alias Dewi Bunga Mawar (Baca : "Kutukan Manusia Sekarat"). Diingatnya pula
bagaimana Diah Harum tewas (Baca : "Ratu Sejuta Setan").
"Apakah kehadiran Pratiwi memang ditakdirkan
untuk menggantikan kedudukan Diah Harum, yang
mungkin sampai akhir hayatnya tidak tahu kalau aku
mencintainya" Tidak! Aku tak mau melibatkan pikiran
normalku dengan emosi. Mungkin saja kehadirannya
hanyalah sesaat belaka karena...."
"Bomaaaa!!"
Jeritan itu memutus kata batin Raja Naga. Serentak dia melesat ke arah sungai. Dilihatnya Pratiwi berada di dalam air tanpa
bergerak. Wajahnya pucat
dengan mata bergidik.
"Ada apa"!" seru Raja Naga.
"Itu... itu... lintah di tanganku...."
Cepat Raja Naga masuk ke dalam air. Dia tertawa
melihat seekor lintah hinggap di bahu kanan Pratiwi.
"Astaga! Kau bisa menguasai lima orang bertopeng yang telah tewas dibunuh Datuk Meong Moneng.
Kau berani pula menantang Datuk Meong Moneng. Tetapi dengan lintah ini?"
"Buang! Buang! Aku jijik!"
Dengan sekali sentil saja, lintah yang menempel
pada bahu kanan Pratiwi mencelat jauh entah ke mana. "Menggelikan. Dengan lintah saja...."
"Sudah, sudah! Kau membuatku malu!" seru Pratiwi dengan wajah merengut. Dia
berdiri tegak sekarang. Raja Naga yang tertawa mendadak saja memutuskan tawanya. Pandangannya lekat pada Pratiwi.
"Kenapa lagi memandangku seperti itu" Hendak
mengejekku, ya"!"
Raja Naga justru gelagapan. Tanpa disadari parasnya memerah. Melihat paras pemuda di hadapannya memerah, Pratiwi sejenak tertegun sebelum berteriak kaget seraya merendahkan tubuhnya di dalam air.
Saat dia berdiri tadi, tubuh polosnya bagian atas
terpampang jelas di mata Raja Naga. Segar dan sedikit basah.
Itulah yang membuat Raja Naga tertegun dengan
wajah memerah. Sementara itu Pratiwi seperti tak ber-kutik di dalam air. Baru
disadarinya kalau tubuhnya
dalam keadaan polos: Berada sedekat itu dengan Raja
Naga, kemungkinan besar seluruh bagian tubuh polosnya membayang.
"Maafkan aku...," desis Raja Naga. Suaranya bergetar, seperti tersekat di
tenggorokan. Pratiwi tidak menyahut. Dia justru membalikkan
tubuhnya. Tangan kanan kirinya menutup wajahnya
karena malu. Samar-samar terlihat kedua bahunya
berguncang. Raja Naga menjadi tidak enak, pelan-pelan dipegangnya kedua bahu gadis itu dari belakang.
"Kau... kau boleh menghukumku, Pratiwi...."
"Hu hu hu... aku memang tidak tahu malu... aku
memang tidak tahu malu...."
"Sudahlah, tak perlu kau menyalahkan dirimu.
Apa yang kau lakukan adalah karena luapan rasa
gembira kau terbebas dari lintah tadi...."
"Tapi... tapi...."
"Tapi apa?" ucap Raja Naga lembut. Tanpa disadarinya tangan kanan kirinya yang
masih memegang
Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua bahu Pratiwi sedikit bergetar. Walaupun saat ini udara masih dingin,
tetapi kehangatan menjalari kedua tangannya.
Pratiwi mengisak pelan.
"Kau... kau... sudah melihat tubuhku...."
Raja Naga mendesah pendek.
"Ya... karena itu, bila kau hendak menghukumku... lakukanlah..."
"Tidak, tidak... aku yang salah. Kau jangan mera-sa bersalah...."
"Tetapi karena tindakanku ini kau menjadi malu...." "Ya, ya... kau yang salah. Oh! Tidak, tidak...
aku... aku yang salah...."
"Sudahlah. Lebih baik kita mentas saja, untuk
melanjutkan perjalanan menuju ke Pusara Keramat."
Tanpa menunggu jawaban Pratiwi, pemuda yang
pada tangan kanan kirinya sebatas siku dipenuhi sisik coklat itu segera
membalikkan tubuh dan melangkah.
"Boma...," panggilan itu membuat Raja Naga menghentikan langkah dan berbalik.
Dilihatnya Pratiwi telah tegak di dalam air menghadap ke arahnya. Sungai itu tidak begitu dalam.
Hanya sebatas pinggang saja. Dalam keadaan menghadap ke arahnya, Raja Naga bisa melihat betapa segarnya sepasang bukit putih kenyal yang halus milik
Pratiwi. Samar-samar dilihatnya pula bayangan hitam
yang bergerak-gerak lembut akibat gerakan air di bagian bawah tubuh Pratiwi.
Perasaan Raja Naga menjadi tidak menentu. Satu
gejolak di dadanya tiba-tiba berdentum. Napasnya sedikit memburu dengan gelora
aneh yang terus muncul.
Di hadapannya Pratiwi tegak memandangnya. Bola mata gadis itu lembut menghujam padanya. Membuat dirinya semakin gelisah. Ada keinginan untuk segera melompat keluar dari
sungai, tetapi satu dorongan lain memaksanya untuk memaku kedua kakinya
di sana. "Boma...," desis Pratiwi pelan.
"Ya?" suara Boma Paksi bergetar.
Tubuhnya bertambah gemetar ketika perlahanlahan Pratiwi mendekatinya. Lalu mengangkat kedua
tangannya dari dalam air. Sepasang bukit kembarnya
Sejenak berayun lembut saat digerakkan kedua tangannya. Boma Paksi gelagapan ketika kedua tangan Pratiwi melingkari lehernya, lalu lembut menariknya untuk menunduk. Dirasakan sesuatu yang kenyal menyentuh bibirnya, lembut dan menimbulkan pesona
yang dalam. Getaran tubuh Raja Naga semakin kentara. Gelora mudanya berderak-derak. tanpa disadarinya dia
pun mulai membalas ciuman Pratiwi. Dirasakannya
betul tangan Pratiwi membimbing tangan kanannya
untuk hinggap pada salah satu bukit kembarnya.
"Peluk aku, Boma...."
Sementara tangan kirinya merangkul dan tangan
kanannya meremas-remas payudara indah Pratiwi,
Boma Paksi terus menciumi bibir gadis itu yang terus mendesah-desah.
"Terus, Boma... terus.... Aku ingin berada dalam
keadaan seperti ini...."
Saat itu yang muncul di pikiran Raja Naga bukanlah Pratiwi, melainkan Diah Harum yang hidup
kembali. Didekapnya dengan penuh kasih sayang. Ditumpahkan seluruh kerinduannya yang terpendam
lama. Pratiwi terus mendesah-desah dalam dekapannya. Tangan mungil gadis itu meraba dadanya yang
bidang. Ketika hendak menyusup lebih dalam, Raja Naga
menangkap tangannya.
"Mengapa?" desis gadis itu heran.
"Kita belum boleh melakukannya," kata Raja Na-ga yang sadar kembali kalau gadis
dalam dekapannya
bukanlah Diah Harum. Dilepaskan kecupannya. Tetapi
dia tak segera meninggalkan gadis yang kini wajahnya memerah itu, karena tak
ingin gadis itu menjadi ter-singgung. "Pratiwi... sebaiknya kita sudahi saja dulu...." "Mengapa, Boma" Mengapa" Apakah kau men-ganggapku sebagai gadis
murahan?" Raja Naga tersenyum, lalu menggeleng lembut.
"Tidak, sama sekali aku tidak beranggapan seperti itu.
Malah karena menganggapmu sebagai gadis terhormat
dan kita sama-sama mempunyai kehormatan yang harus kita jaga, sebaiknya kita hentikan semuanya...."
"Kau... kau... membuatku bertambah malu...."
Boma Paksi merangkul gadis yang masih dalam
keadaan polos itu, mendekapnya erat-erat.
"Aku tak pernah berniat seperti itu, Pratiwi. Sudahlah... tak perlu kau pikirkan
lagi. Sebaiknya kau berpakaian dan kita berangkat menuju ke Pusara Keramat...."
Pratiwi belum mau melepaskan dekapan Raja
Naga. Gadis itu masih malu. Perasaannya menjadi
gundah karena khawatir dianggap murahan.
Raja Naga sendiri saat ini sesungguhnya sedang
berusaha keras untuk menahan gelora di dadanya
yang masih belum turun. Pesona yang baru saja dirasakan itu memang sangat sukar untuk ditepiskan. Tetapi dia tak mau melangkah dan menuruti gelora di
dadanya lebih jauh.
Di saat keduanya saling dekap dengan perasaan
masing-masing yang tak menentu, tiba-tiba terdengar
suara cekikikan dan kekehan yang sangat keras. Saking kerasnya beberapa helai daun berguguran jatuh.
Serentak sepasang muda-mudi itu melepaskan
dekapan mereka. Masing-masing orang segera memandang ke depan. Di sana telah berdiri dua sosok
tubuh yang masih cekikikan dan terkekeh. Yang seorang adalah nenek berpunuk dan seorang lagi adalah
lelaki tua yang bertubuh kontet!
SELESAI Ikuti kelanjutan serial ini:
PUSARA KERAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Suling Naga 2 Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Malaikat Bangau Sakti 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama