Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap Bagian 2
desa itu setelah tidur panjang semenjak pagi, berkata:
"Sugandi menutup-nutupi bulu-bulu tangan dan jarijarinya."
Mau tak mau, Margono sependapat. la masih tak
percaya tentang adanya hantu. Tetapi, demkian ia
meyakinkan dirinya... apa yang kini ia hadapi,
bukanlah hantu. Melainkan manusia juga adanya.
Hanya, karena tujuan-tujuan tertentu merubah sifat
dan sikapnya, justru jauh lebih buruk dari apa yang
sering ia dengar atau baca dari perbuatan-perbuatan
hantu. "Bagaimana pendapatmu, Nak""
"EntahIah, Pak. Saya juga tertidur sejak tadi pagi.
Tetapi teman-teman kita mengatakan sepasang mata
Sugandi seperti liar mencari-cari. la mungkin mencium
jejak dan berhenti agak lama di gudang balai desa,
dimana sekop dan pacul itu kami simpan."
Mungkin ia telah tahu bahwa kita menggali kubur an
kawan-kawannya." "Tetapi ia tidak menemukan bukti-bukti."
"la menemukannya. Melalui penciuman dan
ketajaman matanya. Ingat, Nak Margono. Waktuwaktu ini Sugandi telah mencapai taraf
kebinatangan." Kembali bulu kuduk Margono bergidik.
"Pak...." "Ya"" "Kata teman-teman, ia juga lama menatap ke kamar
Rokayah." "Heh"" "la saperti komat-kamit, mengucapkan sesuatu."
"Dan Rokayah""
"la menggelepur sebentar, tetapi Imas cepat
"meminumkan ramuan ke mulutnya."
"Nah. Jadi benar ada gunanya perempuan itu ikut. la
dapat berbuat lebih banyak. Lihat saja apa rencana
Bapak. Eh tanggal berapa sekarang""
Margono melihat pertanggalan di arlojinya.
"26..." "Berarti ia masih mempunyai waktu empat hari. Kita
tunggu saja apa yang akan ia lakukan!"
Tetapi Sugandi tidak pernah muncul-muncul lagi. Ia
tidak pula melakukan sesuatu. Petugas-petugas jaga
yang ditambah oleh pak tua disekitar rumah Margono,
tidak pernah bertemu atau kepergok dengan orang
yang ganjil itu. Tetapi petugas jaga di pinggir desa
memberikan laporan lain: "Orang itu suka memencil ke tengah sawah disebelah
utara," katanya. "Itu adalah sawah yang ia beli ketika ia datang, tetapi
tidak pernah ia urus," menerangkan pak Bakri pada
Margono. "Apa yang ia lakukan""
?"Bab 10 "Masuk ke dangaunya. Dan baru keIuar menjelang
subuh. Mungkin hanya tidur-tiduran saja...."
"Jangan cepat ambil kesimpulan. Dan he, temui
teman-temanmu. Hari ini, semua penjagaan
diperlonggar. Kalian pulanglah ke rumah masingmasing. Kami akan menyelesaikan babak
berikutnya...." Dan Margono tersenyum mendengarnya. Ia melirik
lagi ke arlojinya. "TanggaI 29...," ia bergumam.
Pak Bakri bangkit. "Mari kita ke rumahmu."
Sore hari itu suasana desa tenang sekali. Sebegitu
jauh, penduduk belum mengetahui apa yang tengah
terjadi di desa mereka. Kepada petugas-petugas
tambahan pak Bakri hanya menerangkan bahwa ia
membutuhkan keterangan tentang kegiatan-kegiatan
Sugandi. Lain tidak. Ia tidak menceritakan sehuruf pun
tentang siapa Sugandi itu dan apa yang tengah
mereka rencanakan. Selain Margono, pak Bakri dan
ketiga pembantunya, hanya orangtua Margono saja
yang tahu, lalu ditambah oleh Imas.
Margono ragu, apakah adiknya sendiri yang langsung
terlibat, mengetahui apa-apa yang terjadi.
Rokayah sedang tertidur ketika mereka tiba di rumah
orangtua Margono. "Tetapi ia terus menerus mengigau," kata Imas.
"Mungkin malam ini akan meningkat."
Apa yang diduga lmas memang terjadi. Lepas Isya,
Rokayah bergerak-gerak gelisah. la dalam keadaan
tidur, tetapi meronta-ronta di tempat tidurnya. lmas
kembali meminumkan ramuan yang sudah
dipersiapkan sambil membacakan doa-doa oleh pak
Bakri. Tetapi Rokayah terus menggeliat-geliat sambil
dari mulutnya keluar suara erangan:
"... aku akan datang, Kang Gandi. Aku akan datang,
Kang Gandi!" Pak Bakri komat-kamit. Kemudian seperti menyentak:
"Tidak! Kau tak boleh datang!"
"Aku harus!" menyahut Rokayah, seperti dalam
keadaan sadar. "Kang Gandi membutuhkanku...!"
"Laki-laki terkutuk itu tengah memperkuat daya
tariknya," berbisik lmas ke telinga Margono. "la akan
tahu rasa nanti..." Kemudian ia mengganti pakaiannya dengan sehelai
pakaian Rokayah yang diambikan ibu dari lemari.
Kebetulan potongannya sesuai. Tubuh Imas Iebih
besar sedikit, tetapi dalam kegelapan malam pastilah
hal itu tidak akan terlihat sepintas lalu. Kemudian
mereka diam menunggu. Lama sampai mereka kesal,
dan ayah Margono mulai menguap.
Tepat pada saat Margono melirik ke arlojinya, ia lihat
"jarum jam menunjukkan pukul 11 malam, terdengalah
bunyi-bunyi aneh dari luar.
"Nyieehhh.... Yah. Rokayah...," suara halus seorang
lakilaki. Pak Bakri tersentak berdiri. Juga Margono. Ibunya
memeluk ayahnya dengan ketakutan. Sementara itu
lmas memasukkan sisa ramuan terakhir ke mulut
Rokayah, dan kemudian menyuruh ibu gadis itu agar
menutup wajahnya hampir seluruhnya dengan
selendang sutera, sehingga hampir-hampir tidak
dikenal. "... saya datang. Kang," ia memperdengarkan su ara.
Margono menoleh. la kira suara adiknya. Pak Bakri
tampak puas. Karena Iampu sengaja dimatikan, maka mereka tak
perlu awas. Jendela kamar dibuka lmas. la melihat ke
luar sebentar. Lalu, meluncur turun dengan hati-hati.
Dan tiba di luar, bayangan lmas hilang ditelan
kegelapan malam. Sinar bulan yang lembut hanya
sempat menunjukkan ke arah mana ia pergi.
Dengan hati-hati pak Bakri, Margono dan ketiga
pembantu tetap mereka yang menunggu di ruangan
tengah, berjingkat-jingkat ke dapur. Ke luar dari pintu,
mereka membungkuk. Tetapi tidak ada kera-kera
dibawah kolong. Mereka lega, dan mulai tegak sambil
mengintai. Di kejauhan, tampak bayangan samar-samar sesosok
tubuh laki-laki berjalan mundur ke sebelah utara desa.
Dan dalam jarak yang lebih dekat, bayangan tubuh
lmas yang mengenakan pakaian Rokayah berjalan
seperti enggan mengikuti kearah laki-laki itu berjalan
mundur-mundur. "... apakah tak mungkin lmas tersihir kembali."
"Tidak," bisik pak Bakri pada Margono. "la hanya
berpura-pura mengikuti kehendak Sugandi..."
Dan hampir setengah jam mereka mengikuti, sampai
lmas mendekati dangau yang barusan dimasuki
Margono. Margono dan teman-temannya mendekati
terus, kadang-kadang dengan jalan merayap karena
tak terlindung oleh semak belukar.
"Usahakan agar kita tetap berada di atas angin...."
memperingatkan pak Bakri. "Penciuman Sugandi
sangat sensitif disaat-saat menentukan
ini...!" Kemudian mereka diam menunggu.
Imas tampak duduk bersila di depan dangau, diatas
dataran tanah yang biasa dipergunakan duduk-duduk
makan angin sehabis lelah bekerja di sawah. Rumputrumput di tempat itu tebal sekali. Busyet, benar-benar
bisa dipakai pengganti kasur; memaki
Margono di dalam hati. Tiba-tiba muncul bayangan dari dalam dangau.
Sugandi. Kini setengah membungkuk. la berjalan
memutari tubuh Imas yang diam tak berkutik,
bagaikan tak berdaya. Entah kata-kata apa yang
diucapkan laki-laki itu. Kemudian ia melompat dengan
ringannya ke atap dangau, dan duduk mencangkung
disana. Persis kera! "Guru! Datanglah, Guru!" terdengar suaranya timbul
tenggelam dibawah angin. "Kubawa persembahan,
seorang perawan cantik rupawan untuk isteri kita
berdua!" Kemudian ia meloncat-loncat di tanah, berguling-guling
dengan enaknya. Lalu memanjat sebuah pohon kecil
yang baru tumbuh didekat dangau, dan... bergantung
pada sebuah dahan, hanya mengandalkan ekornya.
Lima orang manusia tak jauh dari pondok dan
seorang lagi didekat pondok, memandang lebih tajam.
Sinar bulan yang remang-remang cukup memberi
penerangan pada lengan Sugandi yang telanjang.
"Penuh dengan bulu-bulu yang tebal dan hitam. Angin
yang berhembus meniupnya perlahan-lahan. Karena
laki-laki itu cuma mengenakan celana kolor, tampak
pula bulu-bulu yang sama di sekujur paha dan
betisnya. Ekornya tampak bagaikan tali, menegang
menahan tubuhnya yang tergantung.
Dan entah darimana datangnya, tahu-tahu telah
muncul seekor kera besar didekat pohon tempat
Sugandi bergantung. "Lihat, Guru. Ekorku telah panjang betul," terdengar
tangis laki-laki aneh itu. "Tanggal 30 besok, ekor ini
akan kembali hilang seperti biasa, bukan begitu guru""
Kera besar itu diam, memandang. Kemudian
mengalihkan perhatiannya kepada tubuh Imas dalam
bungkusan pakaian Rokayah. Ekor kera besar itu
terangkat, dan bergerak-gerak di udara. la
membungkuk, tampak siap menerkam.
"Ambillah, Pak guru. Ambillah Yayah. Biarlah aku
menerima sisanya." "Terkutuk!" Margono memaki. Pak Bakri
menyabarkannya. Kera besar itu mendekati lmas. Dan kelima orang
yang bersembunyi di balik semak-semak, segera
bersiap. Dan begitu si kera besar menjangkaukan
lengannya yang panjang mengerikan ke arah tudung
yang menutup wajah Imas, kelima orang itu segera
lompat menyerbu. Bersamaan dengan ketika ia
berdiri, Margono berseru:
"Demi Allah Subhanahu Wataala, matilah kau!"
Dan ia melayangkan pisau komandonya. "Clep!"
menghujam langsung di pertengahan jidat binatang
kera itu, persis di antara kedua biji matanya. Makhluk
itu terkesiap, dan bermaksud untuk lari. Tetapi
Margono telah melayangkan pisau kedua yang ia
bawa dari rumah. Menghujam di dada kera besar itu.
Terdengar bunyi: Nyieeee... aaaaa aaaaakh!" dan
tubuh besar menakutkan itu, terjerembab jatuh di
tanah. Mati. Sugandi cuma sesaat terkejut. la segera loncat turun.
Dan ia menyambar tubuh Imas. Perempuan itu segera
berdiri. Melepaskan kudungnya, dan mengangkang
menatap Sugandi. Orang aneh itu terkesiap, dan
menjerit nyaring ketakutan.
"Aku bukan Yayah. Aku lmas-mu. lngat" Aku lmasmu!"
pekik lmas. "Tidaaak! Kau bukan dia!"
"Memang. Bukan lmas-mu yang dulu! Aku lmas
sebenar-benarnya lmas!"
"Jangan! Jangan dekati aku...." dan Sugandi bergerak
mundur waktu Imas mendekatinya.
"Kau harus menebus perbuatanmu dulu padaku,
Sugandi. Kau lihat perutku" Aku sedang mangandung.
Dari suamiku yang baru. Tetapi jabang bayi ini
menuntut, agar kau menebus perbuatanmu. Kalau
tidak, jabang bayi dan aku tidak akan pernah
terbebas darimu untuk seumur hidup!"
"Kau boleh pergi. Tetapi... tetapi jangan dekati
akuuuu!" lmas memang berhenti. Tetapi Sugandi belum keburu
lari, waktu empat pasang tangan-tangan yang kukuh
membetotnya. "Hai, lepaskan!" Ia memekik.
"Tidak!" Pak Bakri berseru. "Kau harus menderita."
Sugandi telah terikat erat. Baru ia dilepaskan. la
bersembah sujud di tanah.
"Bunuhlah aku. Bunuhlah aku!"
"Bersujudlah pada gurumu yang telah mati itu.
Bersujudlah hanya padanya. Kau kira, kami akan
membunuhmu"" "Tolongah!" Sugandi memohon. "Tolong, bunuhlah aku.
Selamatkan aku dari kutuk yang segera akan
"menimpa diriku...."
"Tidak. Kau harus mengalaminya sebagai balasan.
Sampai ada seorang manusia lain membunuhmu, di
suatu ketika. Tetapi kau harus merasakan
azab itu dulu. Sebagai tebusan perbuatanmu!"
Dan waktu tengah malam pun lewatlah. Sugandi tibatiba menjerit lengking, dan perlahan-lahan suaranya
Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berubah seperti jeritan kera. Kemudian ia menggigit
tali-tali pengikat tangan dan kakinya sampai putus.
Ketika ia tegak, tidak seperti manusia lagi. Ia sudah
berubah wujud jadi kera, yang sambil meraung tinggi,
dengan cepat melarikan diri.
*** ?"bab 11 SUMPAH LELUHUR ALANGKAH terkejut dan kecewanya Raja Sori
Sidabutar ketika kekasihnya Anting Malela
memutuskan pertunangan mereka yang telah terjalin
selama 1O tahun, seenaknya saja dan tanpa alasan
sama sekali. Darah mudanya sebagai lelaki yang
ketika itu berumur 27 tahun, dan kewibawaannya
sebagai raja yang dihormati oleh rakyat seantero
Pulau Samosir merasa tersinggung.
Karena Anting Malela tak muncul-muncul untuk
memberikan penjelasan kenapa ia memutuskan
percintaan yang telah dipupuk semenjak mereka
masih bocah itu, Raja Sori tidak bisa mengampuni
kekasihnya lagi. Dengan ilmu "Sijundai" sang Raja lalu
mengutuk kekasihnya. Anting Malela jadi gila dan
sejak itu ia menghilang tanpa kabar di tengah hutan.
Sang Raja lalu kawin dengan wanita pilihannya yang
kedua, dan hidup berbahagia selama ia memerintah
puluhan tahun berikutnya. Ketika ia wafat, sesuai
dengan pesannya raga sang Raja dimakamkan dalam sebuah batu berukir.
Bagian depan batu diukir menurut prolil wajah sang
Raja yang kemudian dilumuri darah. Dan dibuntut
makam batu, ditempatkan ukiran yang
memperlihatkan kekasihnya yang ingkar janji, Anting
Malela, sebagai peringatan kepada keturunan sang
Raja, bagaimana akibatnya apabila diantara
keturunan-keturunan ini suatu ketika ingkar janji,
tidak setia dan menodai cinta...
Kisah yang sesungguhnya terjadi di Tomok, Samosir
hampir tiga abad berselang ini menggugah hatiku
untuk menuliskan sebuah peristiwa tragis yang
menimpa sepasang muda-mudi yang karena
kebebasan bergaul telah berbuat hal-hal yang
melampaui batas. Mereka menodai arti kesucian cinta
mereka, dan ketika mereka tiba di kaki makam Raja
Oppu Sori Sidabutar yang digelar kemudian jadi Raja
Naibatu, barulah mereka sadar; bahwa mereka telah
terkena oleh sumpah leluhur mereka sendiri....
Yang pertama-tama menampakkan diri di pintu
Garuda DC-9 yang baru tiba dari Jakarta siang hari itu,
adalah seorang pemuda bertubuh sedang dan kekar.
Sebuah tas "President" berwarna hitam tergantung
dalam genggaman tangan kanannya ketika selama
beberapa saat ia berdiri diam di puncak tangga.
Matanya ia layangkan ke arah airport "Polonia," di
mana banyak bergerombol manusia-manusia
yang tidak dikenalnya. Oh. Ada. itu dia! Tangan kiri si pemuda terangkat mengiringi sebuah
senyum lebar yang terlempar dari bibirnya. la
kemudian bergegas turun diikuti oleh penumpang
"lainnya. Langkahnya yang bergegas menjadi setengah
berlari ketika ia telah melalui pintu airport,
pemeriksaan barang, lalu berakhir dalam rangkulan
dua lengan seorang gadis yang menghambur padanya
dengan sebuah jeritan tertahan:
"Bob darling. Oh, Bob,... Bob!"
Ingin rasanya Bob melemparkan tasnya sementara ia
membalas rangkulan gadis itu. Kemudian ia
sadar melihat banyak mata yang memperhatikan
tingkah mereka berdua. la lantas berbisik di telinga si
gadis: ".... nanti saja kau menciumku, Anna!"
"Oh!" Gadis itu mengeluh, melepaskan rangkulannya
dan kemudian menggandeng lengan si pemuda. la
tidak menolak ketika Bob membawanya masih
dengan langkah bergegas menuju ke luar.
"Mana barang-barangmu, Bob""
Bob mengangkat bahu. Dan meninggikan "President"
hitamnya. "Cuma ini!" katanya. "Jangan khawatir Anna-ku
sayang. Pasti aku membawakan sesuatu, khusus
untukmu...." "No!" si gadis tertawa lembut, "aku hanya
membutuhkanmu." Mereka kemudian masuk ke sebuah Holden 64 yang
cat birunya sedikit kusam oleh debu. Inilah Medan,
pikir Bob sambil duduk di sebelah gadisnya
yang memegang stir. Hampir sama panasnya dengan
Jakarta, tetapi lebih banyak mengandung debu.
Lewat pos penjagaan, si gadis berkata setengah
tertawa: "Oh... aku lupa menyampaikan...," la tersenyum
sebentar memandang si pemuda dengan sudut
matanya. "Atas nama penduduk kota Medan,
kuucapkan selamat datang, pahlawan..."
"Ah, kau, pemimpi yang malang...," Bob ikut
tersenyum. "Kukira setelah bersua denganku kembali,
kau akan melupakan kata-kata dalam surat-suratmu
selama hampir dua tahun ini, menyebutku seorang
pahlawan...." "Mengapa tidak"" si gadis tancap gas. "Sejak kau
membebaskan aku dari napsu binatang tourist Jepang
di Pangandaran dua tahun yang lalu, aku telah
mengangkatmu sebagai seorang pahlawan.
Pahlawanku. Dan tidak salah toh kalau kemudian
seorang pengagum lantas jatuh cinta pada pahlawan
yang digandrunginya""
Si pemuda memonyongkan mulutnya, dan matanya
jelalatan ke luar mobil. Banyak yang ingin
diketahuinya secara nyata tentang kota yang untuk
pertama kalinya ia kunjungi ini. Tetapi ia tidak
menemukan sesuatu yang aneh, yang lain dari kotakota lainnya yang pernah dikunjunginya. Bangunan
yang sama, corak dan manusia yang sama.
Tetapi tidak, kata hatinya sementara telinganya
menangkap kicauan yang meriah dari mulut
perempuan disebelahnya. Dia datang ke kota ini,
bukan untuk itu semua. Dia datang untuk yang di
sebelahnya ini, dia tok, dan baginya, gadis itu lebih
dari seorang yang aneh. Dia sekaligus jatuh cinta
padanya ketika menemuinya dua tahun yang lalu
dalam tugasnya sebagai seorang guide pribadi. Dan
kini, setelah mereka bersama-sama kembali, di kota
ini, perasaan itu seperti meluap, dan setelah luapan itu
merajalela ke mana-mana, timbul suatu kenyataan
lain: Suatu kekhawatiran yang tidak diketahuinya,
kenapa! "Bob...l Bob Butar!"
Lelaki itu setengah terkejut, menoleh ke sampingnya.
Si gadis membeliak padanya, dua kejapan mata, lalu
sambil membelokkan mobilnya melalui jalan lebar
"yang tidak begitu ramai dengan gedung-gedung
mewah di kiri kanannya, ia bergumam:
"Apa yang kau lamunin""
"Oh, aku tidak melamun. Aku mendengarkanmu,
asyik sekali..." "Betul" Coba ulangi kembali apa-apa saja yang
kukatakan..." "Dalam bahasa apa""
Si gadis tersenyum. "Kita memang sesama guide, Bob, tapi sama-sama
sedang tidak mengantarkan seorang tourist asing..."
"Lalu aku""
"Kau seorang tourist istimewa. Sangat istimewa.
Keistimewaan yang sayangnya, begitu jelek. Karena
kau ternyata menolak permintaanku...."
"Tentang""
Si gadis tertawa. "Sudahlah. Dasar laki-laki. Jagoan silat lidah. Kalau
tadinya memang melamun, ya, ngaku saja melamun,
sudah. Nanti aku tak mau lagi menyebutmu seorang
pahlawan..." "Aku memang bukan seorang..."
"Kita sudah sampai!" si gadis memotong,
membelokkan mobil memasuki pekarangan sebuah
hotel besar, dan berhenti tepat di depan sebuah
gerbang masuk yang artistik.
"Apa-apaan ini"" Bob terbengong.
"Dirga Surya. Aku telah memesan kamar khusus
untukmu...." "Anna...," tapi protes si pemuda hanya sampai disitu.
Pelayan hotel berseragam biru muda telah
membukakan pintu mobil, dan ia kemudian hanya
bisa menguntit di belakang si gadis yang berjalan
dengan tenang memasuki pintu sebuah kamar yang
telah dibukakan pelayan lainnya.
Begitu masuk, Bob menutupkan pintu dengan kakinya,
bunyinya sedikit keras dan kasar. la berdiri di sana
selama beberapa saat, memandangi si gadis yang kini
membalikkan tubuh, menghadapnya. Kedua mata
gadis itu redup, mulutnya setengah terbuka.
"Aku tak mengerti, Merana. Kau tak mengatakan
dalam suratmu bahwa...."
"Kesinikan tasmu, sayang," si gadis tak mengomentari
protesnya, mengambil "President" hitamnya dan
kemudian meletakkan di jok terdekat. la kemudian
mendekati si lelaki kembali, kedua lengannya
terangkat. Jari jemarinya kemudian bermain disekitar
dada lelaki itu, wajahnya tengadah dan matanya
semakin redup. "Kau tidak melupakan sesuatu, Bob" Sebuah janjimu,
ketika di airport""
Si lelaki sadar akan dirinya, berusaha menekan
ketidak-senangannya, dan kemudian merangkulkan
kedua lengannya di punggung si gadis. Seketika itu
juga, Merana menghujamkan tubuhnya dalam-dalam
ke tubuh Bob, menekankan wajahnya kuat-kuat di
dada lelaki itu dan kemudian, mulai terisak.
"Anna...!" Merana menolak waktu Bob merenggangkan
pelukannya, dan malah lebih mengikatkan kedua
lengannya di tubuh lelaki itu.
"Jangan pikirkan aku, Bob... penuhilah janjimu!"
"Anna!" Merana mengangkat wajahnya. Pipinya basah,
bibirnya gemetar dan sedikit pucat. Kedua lengannya
naik semakin tinggi, diremasnya rambut si lelaki dan
kemudian menarikkannya lebih ke bawah.
Alangkah malangnya, pikir si gadis kemudian. Ciuman
ini tidak senikmat yang pernah ia bayangkan. Panas,
akan tetapi tidak diimbangi oleh perasaan.
"Mengapa kau, Merana"" Bob menarik gadis itu duduk
"pada kursi. Tapi si gadis menarikkan tubuh Bob ke
balik tirai gordin, dan kemudian melemparkan
tubuhnya diatas ranjang berkasur tebal dan empuk.
Tubuh itu sedikit terangkat lalu kemudian diam, dan
Bob berdiri diam memandanginya. Ia meneliti tubuh itu sesaat,
dan seolah-olah menemukan sesuatu yang
mengejutkan, ia kemudian menjatuhkan dirinya di
sebelah si gadis. "Merana... ah, ah, namamu itu. Merana. Mengapa kau
menjadi sekurus ini, sayang""
"Peluklah aku Bob. Peluklah, dekaplah aku dengan
kedua lenganmu.... terus, terus... oh, Bob! Bob... lebih
kuat, sayang, lebih kuat, oh... hancurkan tubuhku
dalam kedua lenganmu, sayang, hancurkan. Oh...
ciumlah aku lagi, ciumlah aku...."
Keringat membasahi wajah Bob setelah ia
melepaskan bibirnya dari mulut si gadis. Dan masih
dengan lengan kanannya memeluk gadis itu, ia
kemudian celentang menghadapi langit-langit kamar.
"Anna, aku tak mengerti kenapa...."
"Ceritakan tentang dirimu, Bob, jangan tanyakan
tentang aku!" "Tapi Anna...."
"Berapa hari kau di kota ini""
Si lelaki mengeluh. "Empat...." "Empat. Alangkah singkat. Rasanya hanya beberapa
detik!" "Lebih baik beberapa detik daripada tidak samasekali,
Merana..." "Ya. Daripada tidak sama sekali...," gumam si gadis.
Bob memutar tubuhnya, memandangi wajah
gadisnya. Sepasang bola mata bundar di hadapannya,
ah... barulah ia melihatnya. Begitu pudar. Wajah itu
jauh lebih kurus dari wajah yang pernah dikenalnya
dua tahun yang lalu. Satu-satunya yang tidak
berubah, hanyalah kelembutannya, lalu rambutny a
yang panjang tergerai. Tentu kini sudah sampai
sebatas tumitnya. Ketika masih sekolah dan belum
bekerja jadi guide untuk Ibukota, Bob sering
digandrungi oleh pemeo, bahwa kesetiaan seorang
perempuan adalah sepanjang rambutnya, semakin panjang
rambutnya semakin setia pada suami, atau calon
suaminya... Dan Bob kemudian jatuh cinta padanya. Mula pertama
ia melihatnya, ketika menyambut rombongan tourist
Jepang dari Medan diantar oleh Merana dan seorang
guide wanita lainnya, ah, ia lupa namanya. Bahkan ia
Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah lupa orangnya sama sekali. Tetapi, Merana, ia
tidak bisa melupakannya. Jatuh cintanya pada gadis
itu seolah diberikan jalan oleh Tuhan. Waktu dia turut
mengantar rombongan tourist itu keliling Jawa Barat,
di Pangandaran, Merana yang ketika itu jauh lebih
cantik dan lebih montok dari yang sekarang, rupanya
membuat seorang anggota rombongan melupakan
etiketnya. Si Jepang itu meminta Anna menemani nya
jalan-jalan malam di pinggiran pantai Pangandaran.
Tanpa orang ketiga. Tanpa prasangka apa-apa, Merana
memenuhi permintaan tamunya. Tamu adalah raja,
karenanya ia harus memenuhi segala keinginannya,
tentu sampai batas-batas yang sewajarnya. Tetapi
orang ketiga ternyata turut tak jauh di belakang
mereka. Orang itu adalah Bob, yang didorong oleh
perasaan hatinya, lebih banyak memperhatikan gadis
itu daripada tugasnya sebagai tuan rumah. Rasan ya
setiap langkah gadis itu diikutinya, setiap jejaknya
dijalaninya. Juga malam itu.
Deru ombak yang memecah ke pantai, hampir-hampir
"melenyapkan teriakan Merana, ketika si Jepang
merasa tersinggung waktu ia secara halus meminta
agar Anna mau memberikan kehangatan yang lain
ketika kehangatan pantai malam itu. Anna masih
dalam ketika dipeluknya, setengah memberontak
ketika diciumnya, dan betul-betul memberontak
waktu si tourist membukai bajunya.
Ketika Bob tiba di tempat itu, Anna sudah dalam
keadaan setengah telanjang, dan celana si tourist
sesudah merosot turun dari pinggangnya. Si tourist itu
terkejut, tersentak berdiri, dan buru-buru
mengancingkan celananya kembali. la kemudian
setengah membungkuk menghadapi Bob yang tegak
lurus dengan kedua kaki terpentang, sungguh gagah
dibawah sinar rembulan yang lembut ditengah-tengah
pasir putih yang dijilati air laut. Bob telah mempelajari
judo maupun karate, tetapi mengingat yang
dihadapinya adalah lelaki yang berasal dari negeri
asal ilmu bela diri itu, hatinya dag-dig-dug juga. Tetapi
apa yang diperbuat lelaki itu atas si gadis yang telah
membuat Bob tidak tentram sejak hari pertama
mereka berjumpa, sungguh. Dalam hatinya timbul
tekad bulat matipun jadi! Tetapi si tourist kemudian
melangkah pergi, meninggalkan Anna yang dalam
sekejap, telah menghambur, lari ke arah Bob yang
melebarkan kedua lengannya. Gadis itu tenggelam
dalam rangkulannya, dan perasaan cintanya
kemudian terlepas dalam gumam suaranya yang
gemetar: "Anna, Anna... kau tidak apa-apa... sayang""
Kata "sayang" itu semula aneh buat Merana, tetapi
bulan demi bulan tidak demikian lagi. Melalui surat
menyurat mereka, kata-kata lain ikut menghambur di
belakang kata "sayang". Kasih, mesra, dan cinta! Dan
untuk semua kata-kata itu, Anna memenuhi satusatunya keinginan Bob yang tak tergoyahkan: Agar
Anna berhenti sebagai guide, dan menunggu Bob
datang melamarnya! "Bob!" Bob terdiam. "Aku harus mengatakannya padamu. Harus. Kenapa
aku kurus, seperti yang kau bilang. Dan kenapa aku
memesan kamar di hotel, bukan sebuah kamar di
rumahku atau di rumah keluargaku..."" ia mengeluh
panjang berulang-ulang. Lalu:
"Air mataku sudah kering, ya""
Bob tak menyahut. "Pasti sudah. Aku tak akan menangis lagi. Sampai kini
kuceritakan padamu apa yang tak pernah kuceritakan
melalui suratku, ketika memaksamu untuk datang ke
kota ini..., Satu setengah tahun yang lalu. Ibuku
menerima kekerasan hatiku untuk berhenti bekerja,
dan sebagai imbalannya, tidak sampai sebulan yang
lalu, ibuku telah memperkenalkan seorang lelaki
padaku...." Bob setengah tegak dalam baringnya.
"Ah, kau tahu juga bukan" Lelaki apa lagi. Kalau
bukan calon suamiku!"
"Anna!" Gadis itu bangkit, berjalan gontai menuju toilet dan
membereskan rambutnya di depan kaca dengan
seluruh tubuhnya tidak bisa menahan getaran-getaran
yang rasanya bisa membuatnya pingsan.
"ltulah semua ceritanya!" katanya setengah berseru,
tandas dan tegas. Kemudian ia membalik,
memandang Bob yang terduduk lemas di tepi ranjang.
"tapi demi Tuhan, aku lebih baik mati daripada harus
dijamah lelaki yang bukan bernama Bob Butar!"
Ucapan itu menegangkan tubuh si lelaki. la berdiri,
dan alangkah kukuhnva tubuhnya, pikir Merana. Persis
"seperti ketika ia berdiri menantang tourist nakal di
tepi pantai Pangandaran dulu. Tapi kini, bukan dia
yang datang, melainkan si lelakilah yang lantas
menghambur lalu memeluknya. Bob setengah
membungkuk, membenamkan wajahnya di antara
bukit dada Merana yang bergelombang, panjang
pendek, dengan jantung yang meletup-letup.
Dan hari itu, Bob mengantarkan Anna pulang ke
rumah, hanya sampai di pintu hotel, dengan jiwa
yang kosong... *** SETELAH menyelesaikan makan siang di sebuah
restoran, mereka meninggalkan kota Siantar, sama
seperti halnya ketika mereka meninggalkan kota
Medan. Lebih banyak berdiam diri. Lama kelamaan
Bob tak tahan. Meskipun ia tahu jalan yang akan
mereka lalui akan penuh dengan kelokan-keIokan
yang tajam, ia larikan Holden Merana dalam high
speed. "Tidak usah tergesa-gesa Bob...."
Bob menggerutu. "Nanti kita tak bisa pulang hari."
"Ya, bermalam saja...."
Bob mengurangi kecepatan mobil.
"Ibumu tidak akan mencari""
"Lusa, kau akan pulang. Aku ingin bersamamu setiap
saat tak perduli apapun yang nanti akan dikatakan
ibuku padaku!" Bob terdiam. Sebentar. Lalu:
"Kau bilang ayah tirimu kadang-kadang sangat
keras...." ?"Bab 12 "Asal tidak merugikan kekayaannya yang berlimpah.
Lagi pula toh dia bukan ayah kandungku...."
Nada kesedihan itu membuat Bob semakin terdiam.
Dan kediaman itu merajalela sepanjang jalan.
Transistor "Pioneer" melalui 4 programnya yang tidak
habis ganti berganti mengalunkan suara Engelbert dan
Perci Siedge, dua penyanyi top yang sama-sama
mereka senangi. Stereo-nya sengaja tidak mereka
pertinggi, supaya alunannya lebih lembut. Tetapi toh
kelembutan itu tidak menjangkiti hati mereka berdua.
Yang terjangkit justru lecutan-lecutan yang
menjerihkan. Seperti lecutan-lecutan yang ditimbulkan
oleh ciutan-ciutan ban mobil setiap kali Bob
mengambil tikungan-tikungan tajam.
Di mulut Parapat, Bob baru saja mengucap puji pada
Tuhan pada saat pertama kali ia melihat Danau Toba
yang selama ini cuma didengarnya melalui dongeng
atau ia lihat melalui film-film dokumenter, ketika
Merana bergumam: ".... di kota inilah asal ibuku!"'
Bob menoleh, melihat rona yang muram di wajah
kekasihnya. "Itu telah kau ceritakan dalam surat-suratmu, Anna...."
Gadis itu mengangguk. Mobil memasuki kota.
"Tapi aku belum menceritakan selengkapnya...,"
Merana kelihatan seakan menekan sesuatu yang ingin
ia keluarkan. Tapi ia tak berhasil, dan setelah menelan
ludah ia melanjutkan: ".... ibuku kemudian lari ke Medan, setelah ayahku
yang tak pernah kukenal itu kembali ke Jawa.
Ayahku ternyata tidak saja sekolah di sana,
melainkan telah berkeluarga dan mempunyai seorang
anak ketika kakek meninggal. Menghadapi nenek
yang seperti hidup dan mati karena ditinggal kakek,
ayahku tidak berani menolak perintah: kawin dengan
pilihan nenek. Dan ibuku pun kawin dengan ayah,
tanpa seorang pun yang tahu bahwa ibuku
sebenarnya telah dimadu...."
Bob tercenung mendengar cerita itu. la membayar
kupon masuk di gerbang menuju kompleks Danau
Toba, dan kemudian melarikan mobil mereka
perlahan-lahan menurut petunjuk Merana.
".... ibuku dalam keadaan mengandung ketika ayah
menerima telegram dari Jawa. Ayah segera berangkat
ke sana tanpa memberitahu apa isi telegram itu. la
kabarnya hanya mengatakan ada urusan yang
penting mengenai besluit pengangkatannya. Baru
sebulan kemudian ia mengirim kabar pada ibuku.
Sebuah kabar mengejutkan: Ibuku diceraikannya!"
Bob menjilat bibirnya yang terasa kering.
"Darimana kalian tahu ayahmu punya keluarga di
Jawa"" "".... dari orang yang diutus keluarga ibuku kesana.
Dan, dan...," ia memandangi wajah lelaki
disampingnya "...sejak itulah ibuku membenci orangorang dari seberang sana. Termasuk kau!"
Bob tidak begitu terkejut mendengarnya. la hanya
mongenal watak ibu Merana melalui surat menyurat
mereka, dan setelah cerita tadi, ia mengenal pula
sebab mengapa Anna bersikeras untuk tidak
mau memperkenalkan Bob pada ibunya.
".... ke mana kita"" tanya Bob dengan suara parau.
"Hotel Parapat!"
"Menginap"" tanya Bob bimbang.
"Kalau kau mau pulang, Bob, pulanglah sendiri. Tapi
kalau kau mau tinggal, pesanlah satu kamar dengan
mencatatkan di buku tamu bahwa kita adalah suami
isteri." Bob menelan ludah, membelokkan mobil memasuki
pekarangan Hotel Parapat di depan tepi Danau Toba
yang megah, dan memenuhi semua permintaan
Merana. la menyayangi gadis itu sepenuh hatinya, dan
tidak bisa membantah semua kehendaknya. Mereka
memesan satu kamar, istirahat sebentar dan malam
harinya mereka ke luar, jalan kaki sekitar Parapat,
mengagumi danau di malam hari, yang digarisi oleh
cahaya lampu memanjang di sekitar permukaannya
terus ke dasar danau, dan Bob diam saja, menurut
patuh kemana diajak Merana.
Dunia adalah milik mereka malam itu. Mereka
berjalan di tepi pasir, duduk rapat dan diam digeluti
angin malam yang dingin di tembok pancoran air
panas yang mati bila malam hari. Makan saus tomat
dicampur sedikit tuak di sebuah warung, lalu udang
rebus kemudian mereka pulang ke hotel menjelang
larut malam setelah Merana membelikan beberapa
potong "Ulos" untuk Bob.
"Kenangan abadi dariku...," katanya.
Ketika mereka berbaring seranjang, mereka mencoba
untuk membatasi diri. Tetapi detik-detik yang mereka
lewatkan, terasa seperti tahun-tahun yang gersang
dan penuh rangsangan. Selimut tebal jadi tak ada
artinya, pertamakali Bob memulai melonjorkan betis
lain pahanya diantara kedua betis paha Merana,
dalam usaha melenyapkan rasa dingin, dan melarikan
rasa rindu. Dan, itu adalah sebuah permulaan yang paling jahat.
Merana tak tahan. la ingat ia akan dijamah lelaki lain,
ia ingat Bob akan meninggalkannya, dan ia ingat
sepanjang dua tahun ini ia mencita-citakan akan
menjadikan dirinya seorang isteri yang menyerahkan
seluruh jiwa raganya kepada lelaki satu-satunya yang
ia pernah dambakan di dunia ini. Dan kini, lelaki itu
telah memberikan kehangatan lewat ujung-ujung
betisnya, lalu permukaan pahanya.
Merana seperti mau menangis menahan getaran yang
dahsyat di tubuhnya, dan ketika tangis itu hampir
meledak, ia menyalurkannya lewat kedua lengannya
yang serentak memeluk Bob rapat-rapat ke tubuhnya.
Suasana sepi meneriaki mereka, dinginnya malam
menjilati kedua tubuh mereka, dan luapan-luapan
cinta yang dipendam meletus-letus di tubuh
keduanya. Dan akhirnya, dalam ciuman-ciuman yang
menggelora, dalam gelutan-gelutan yang
menggejolak, segalanya tak bisa ditahan lagi. Selimut
telah terlempar ke lantai, dan di detik-detik
berikutnya, satu persatu pakaian mereka turun
meluncur menemani selimut yang malang terhampar
di permukaan ubin yang dingin, diam membisu
diantara dengus-dengus menggila dan rintihan serta eranganerangan panjang pendek yang tidak putus-putusnya
dari atas ranjang.... "*** BESOKNYA mereka terbangun kesiangan. Matahari
hampir sampai di pertengahan langit yang biru, sebiru
permukaan danau ketika mereka keluar dari hotel.
Bob murung dengan apa yang mereka terlanjur
lakukan malam harinya di atas
Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ranjang. Merana justru dengan kecerahan mukanya,
tawanya yang riang dan kicauannya kembali seperti
mula pertama mereka bertemu di airport.
Bob menerima kenyataan itu setelah mengingat saat
pernyataan Merana menjelang subuh sebelum
mereka tidur tadi malam: "Mati pun aku tak menyesal kini, sayangku!"
Seperti direncanakan, mereka memesan sebuah boat.
Merana katanya mau memperkenalkan Bob pada
seorang paman yang jarang sekali ia temui, di Tomok.
Pamannya itu sangat baik padanya, dan pada
pamannya itulah ia akan berterus terang tentang
niatnya untuk lari ke Jawa bersama Bob esok hari.
Speedboat "Sinar Toba" menderum membelah ombak,
meluncur menuju Pulau Samosir di tengah danau
Toba, Bob tak puas-puasnya memandangi
perbukitan sekeliling danau, memandangi permukaan
air yang bening seakan-akan segan menyembunyikan
apa-apa yang tersimpan di dasarnya. la hanya bisa
menggumpalkan rasa kagumnya, sementara Merana
bercerita tentang segala sesuatu yang mereka lihat.
Alangkah banyaknya yang menakjubkan terlahir di
dan sekitar danau ini, terlalu banyak untuk diingat dan
dikenang Bob satu persatu.
Turun dari boat, mereka melompat dan kaki Bob
seakan terhujam di bumi Samosir. Kedua kakinya
gemetar. la tak tahu kenapa. Karena ingat pada
Pangandaran" Atau karena apa yang mereka lakukan
tadi malam, dan rencananya untuk melarikan Merana"
Ah, barangkali, karena aku akan melihat sejumlah
makam raja-raja yang terbuat dari batu dan telah
berumur ratusan tahun, demikian hibur hatinya.
Beberapa orang laki-laki yang bertindak sebagai guide
tetap pemakaman itu menyambut mereka di mulut
danau. Seorang diantaranya mengenal Merana, yang
segera berkata riang: "Pamanmu pasti gembira melihatmu kembali, Anna..."
Raja Murni, paman yang menurut Merana adalah
paman keluarga jauh, jadi tak langsung sedarah
dengannya, menanti mereka di mulut makam.
"Beliau adalah turunan terakhir dan langsung dari Raja
Oppu Sori Sidabutar yang dimakamkan disini....,"
Merana berbisik di telinga Bob. "Setiap ada yang
berkunjung, pamanku senantiasa menunggu di
makam...." "Anna...!" orang tua bertubuh kurus dengan kulit
kehitam-hitaman dan pakai peci beludru itu,
menyambut keponakannya dengan kedua lengan
terbuka lebar. "Setelah bertahun-tahun aku tak
melihatmu, anakku. Kalian telah melupakan orang
dusun ini, bukan""
Bob berdiri diam melihat dua insan itu saling
berangkulan, sementara matanya jelalatan
memandang makam batu yang terdiri dari beberapa
buah dibawah lindungan pohon ara yang menurut
salah seorang guide kemudian, sama usianya dengan
makam-makam di situ: hampir tiga ratus tahun.
Karena bukan hari libur, saat itu hanya mereka
berdualah yang berkunjung, dan seolah-olah
memaklumi situasi guide-guide lainnya satu persatu
mengundurkan diri. Merana kemudian memperkenalkan pamannya pada
Bob, tanpa menyebut hubungannya dengan pemuda
itu. la mencoba menggembirakan hatinya dengan
bercerita tentang makam-makam batu disitu, tentang
"Raja Naibatu yang dulunya bergelar Raja Oppu Sori
Sidabutar, tentang kenapa leher patung batu dari
kepala sang raja merah karena dulunya dilumuri
darah manusia, dan kenapa patung Anting Malela di
tempatkan di buntut patung makam batu sang raja.
Tetapi ceritanya terputus ketika dengan tercengang ia
melihat bahwa Bob tidak mendengarkan ceritanya,
melainkan sedang memandang paman Raja Murni.
Ketika Merana menoleh, ia lebih tercengang Iagi.
Pamannya sedang meneliti Bob dengan seksama,
kedua matanya tak berkedip dan mulutnya setengah
melongo. "... namamu Bob, kalau tak salah dengar tadi, ya""
tanya Raja Murni ragu-ragu.
Bob manggut-manggut. "Dengan tambahan Butar""
Bob manggut-manggut lagi.
"Apakah itu, maafkan pertanyaanku, Anak, apakah itu
nama ayahmu"" "Almarhum ayahku...," Bob meralat.
Raja Murni menaikkan kedua alis matanya.
"Jadi kau sudah piatu..." Apakah nama ayahmu hanya
Butar, atau Butar-butar atau... Sidabutar""
"Ayahku meninggal ketika aku masih di sekolah
dasar, Paman. Saya tak mengetahui lebih banyak dari
apa yang selalu dipesankan ibuku. Bahwa dibel akang
namaku ia menambahkan Butar, sebagai kenangan
pada almarhum ayah...."
Raja Murni terdiam beberapa saat. Dahinya mengerut,
keras dan tajam. Setelah menelan ludah beberapa
kali, dan meyakinkan dirinya atas apa yang ditelitinya
dengan seksama pada wajah pemuda di depannya, ia
berkata terbata-bata: "Pasti. Aku tak salah lagi. Wajah kalian sama. Juga
potongan tubuh. Seperti pinang dibelah dua. Nama
pun sama, Bob, kecuali nama turunan. Tapi
aku yakin, pasti almarhum ayahmu itu adalah Bob
Sidabutar...!" Wajah Bob menjadi pucat. Merana menahan
goncangan yang terjadi pada dirinya, sementara Bob
berusaha menahan keseimbangan tubuh dengan
bersandar pada makam Raja Naibatu. Merana
memegang lengan pamannya, yang kemudian
setengah merangkulnya. Tapi mata tuanya tetap
terarah pada Bob yang seperti akan jatuh ke kaki
makam kalau tidak kedua tangan memeluk leher
patung sang Raja. "Teruskanlah...," ia setengah meratap lewat suaranya
yang parau. "Teruskanlah tentang sesuatu mengenai
ayahku, yang selalu dihindarkan oleh ibuku untuk
menceritakannya padaku...."
"Tunggu. Sebelum kuketahui nama ibumu, aku belum
begitu yakin...." "Narsih. Sri Winarsih!" cetus Bob.
Raja Murni seperti mengalami sentakan di perutnya. la
tertegak bagai patung batu di dekatnya, dengan
lengan mencengkam bahu keponakan perempuannya
yang kebingungan di dekatnya.
"Maha Besar Tuhan!" ucap Raja Murni. Lalu ia
memandang Merana, Bob, Merana, lalu menatap Bob
berlama-lama, kemudian: "Anna... kau tak menceritakan sampai sejauh mana
kau mengetahui tentang pemuda yang kau bawa
padaku hari ini..." Merana bungkam. Bob juga bungkam. Mulut mereka
sama-sama tersumbat, mereka takut apa yang
terloncat keluar nantinya adalah harimau-harimau
yang siap menelan tubuh mereka. Dan Raja Murni
dengan tercengang berkata:
"Heran, kelihatannya kau tak mengenal siapa
sebenarnya Bob, Anna. Kau hanya mengatakan
"padaku tadi, bahwa temanmu yang baru datang dari
Jawa tanpa kau ketahui... ah, berpura-purakah kalian
orang-orang muda""
Bob memeluk makam batu itu erat-erat,
menyandarkan tubuhnya dan berserah seluruh
kekuatannya pada batu itu. Ia membalikkan
tubuhnya, tidak menatap wajah Raja Murni, bahkan
wajah Merana. Merana! Jadi itukah sebabnya kenapa ibunya gadis itu
memberikan dia nama yang begitu memilukan"
Dan, aku... aku... Bob seperti melesak jantungnya waktu Raja Murni
berkata sendat-sendat: "Anna. Kau toh tidak berpura-pura tak mengetahui,
bahwa ayahmu yang lari ke Jawa dulu, adalah
ayahnya Bob ini""
Anna Merana terpekik, dan jatuh terkulai di pelukan
Raja Murni... *** SAMPAI sore hari, Bob mendekam di "Rumah Batak"
kediaman Raja Murni, mendengar seluruh cerita
tentang silsilah keluarga. Baru ketika akan makan
bersama, ia teringat Merana yang dibiarkannya pulang
duluan tadi siang ke hotel. Pada saat itu, perasaannya
mendadak tak enak. Sambil mohon maaf tak bisa ikut
makan bersama, ia berlari ke luar rumah, menaiki
perahu pertama yang tiba di seberang dan menyuruh
agar tukang perahu menerjang ombak secepatnya
kembali ke hotel. Tetapi, di tengah danau ia melihat sesuatu yang lain,
sesuatu yang jauh, sayup-sayup di sebelah Barat
Laut. Beberapa jam yang lalu Merana menceritakan di
arah sana ada terdapat Batu Gantung. Batu yang
menurut dongeng berbentuk seorang gadis, yang
dulunya karena patah hati lalu terjun dari atas bukit,
ke bawah danau. Tapi tiba di pertengahan, gadis itu
berubah jadi batu, tersangkut tak jauh dari
permukaan tabir bukit-terjal di atas danau,
menggantung. Entah mengapa Bob menoleh ke sana. Nalurinya. Dan
ia setengah berteriak ketika ia melihat bayangan itu.
Bukan, bukan gadis yang telah menjadi batu gantung
itu, karena si gadis itu rambutnya hanya melewati
sedikit pundak. Tidak sepanjang dan setergerai gadis
yang kini sayup-sayup ia lihat berdiri di mulut tebing,
persis diatas tempat di mana Batu Gantung itu berada.
"Anna!" Bob berteriak. la menyuruh tukang perahu
membelok ke sana, dan mulutnya terus berteriakteriak, menggema seantero danau, sambut bersambut
dari bukit ke bukit. "Anna! Merana! Anaaaaaa! Anaaaaaa!"
Persis ketika matahari tenggelam di balik bukit
sebelah Barat, Bob terjun dari perahu bersamaan
saatnya ketika tubuh gadis berambut panjang diatas
tebing, terbang, meluncur dengan cepat kebawah...
"Gila!" Tukang perahu berteriak, mematikan mesin
boatnya dan kemudian terjun mengejar Bob
yang berenang kearah jatuhnya tubuh si gadis di
Barat Daya. Bob timbul tenggelam di permukan
danau, dan si tukang perahu berteriak-teriak
menahannya: "Abang tak akan sampai ke sana, kembalilah!
Kembalilah!" la menahan semburan air di mulutnya
lalu berteriak lagi: "Kubilang, kembalilah Bang! Danau
akan turut menelan Abang!"
Bob berteriak-teriak dan memberontak ketika tukang
perahu berhasil meraih tubuhnya, dan berusaha
menariknya kembali ke atas boat. Perahu-perahu lain
yang melihat kejadian itu, sebagian menuju ke Barat
Daya dan sebagian lagi berpacu ke tempat dimana
rekannya sedang bergulat melawan Bob. Mereka
"kemudian berhasil menarik Bob ke darat, yang untuk
selama beberapa saat seperti hampir mati dengan air
yang tercurah ke luar dari mulutnya membasahi pasir
dimana tukang-tukang perahu menggenjot tubuhnya.
Setelah Bob tenang, mereka melepaskannya. Tetapi
begitu Bob merasa ia terbebas, ia segera
menghambur, berlari melompati tangga-tangga ke
jalan besar, dan orang-orang yang tak mengetahui
persoalannya terheran-heran melihat Bob yang basah
kuyup berlari sepanjang jalan menuju arah dimana
tukang-tukang perahu yang mengejar tubuh si gadis,
pulang satu persatu. "Katakan!" la setengah berteriak pada tukang perahu
pertama datang. "Katakan dimana dia" Dimana
Anna"" Tukang perahu itu melihat Bob, lalu tangan si pemuda
yang mencengkeram kerah bajunya. Bayangan gusar
timbul di wajahnya, tetapi melihat kedua bola mata
pemuda itu yang berkaca-kaca, timbul rasa
kasihannya. "Sabarkan hatimu, Bang..." kata tukang perahu itu
lembut. "Setiap orang yang jatuh dibawah Batu
Bergantung, tidak pernah lagi muncul ke permukaan
danau...!" Mata Bob melotot. Mulutnya ternganga, tapi tak satu
helaan napasnya pun yang keluar. la jatuh terduduk
beberapa saat. Orang-orang berusaha menyadarkannya, tetapi ia
diam, diam dan hanya diam bagai makam batu di
pulau Samosir, makam di mana leluhurnya
diabadikan, makam dimana ia mengetahui bahwa ia
adalah termasuk turunan sang Raja, entah yang
keberapa dan melalui garis yang mana, tetapi yang
pasti: satu garis dan satu darah bahkan satu ayah!
Dengan Merana! "... kami telah terkena sumpah itu!" jerit hatinya. "Dan
Merana telah menebusnya. Mengapa aku tidak bisa""
Malam itu Bob dibawa orang ke hotel kembali. Tetapi
besok harinya orang-orang hotel terkejut. Mobil dan
segala perlengkapan Merana dan Bob masih ada,
tetapi pemuda itu telah lenyap.
Berhari-hari diadakan pencarian atas dirinya, tetapi
kemudian dihentikan setelah seorang nelayan
menceritakan, bahwa malam setelah Merana
Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh diri dari tebing diatas Batu Bergantung, ia
melihat seorang laki-laki menaiki perahu. Lelaki itu
mendayung perahunya ke arah Batu Bergantung, dan
ketika si nelayan merasa cemas, ia menyusul. Tetapi
lelaki itu kemudian menghilang ke tengah danau, dan
tak pernah kembali... *** ?"Bab 13 BIARLAH KUTEBUS DOSA-DOSAKU
Dia membetulkan letak kacamatanya, lalu menatapku
seturus. Tajam. Menusuk. Buatku, sorot mata malaikat
yang ingin bertindak penuh pertimbangan, namun
pada akhirnya terbentur pada hanya satu pilihan. "....
empat tahun penjara, potong masa tahanan!" la
memutuskan. Tanpa emosi. Ruangan sidang sepi sejenak.
Kemudian meledak oleh suara bunyi ketukan palu di
permukaan meja. Disusul suara letupan lembut
lampu-lampu kamera foto, cahaya-cahaya silau yang
sekilas seakan mau membutakan mata, dan
percakapan berisik di sana-sini. Dekat di belakang
bangku yang kududuki, seorang perempuan
mendengus hambar: "Mestinya dia digantung saja!"
Kalau mereka berharap aku menjerit serta melolonglolong minta ampun, mereka akan kecewa. Aku justru
tersenyum, lega. Empat atau sepuluh
bahkan seratus tahun bagiku toh sama saja. Vonis itu
tetap kuterima dengan pasrah, dan sadar dosa yang
kuperbuat dapat kutebus. Tabah, aku bangkit tatkala
dua orang petugas wanita berpakaian seragam
datang mendekat. Kusempatkan berpaling ke
sudut kanan ruang sidang. Sudut yang ditempati
Anton. Laki-laki yang pernah kucintai sepenuh hati.
Ayah dari Prima, anakku yang kini telah kembali ke
pangkuan Tuhan. Anton begitu berapi-api selama sidang berlangsung. la
malah sempat berteriak marah: "Aku yakin, ia telah
melakukan perbuatan terkutuk itu. la tahu aku akan
mendapatkan Prima Lalu ia membunuhnya.
Membunuh anakku! Membunuh darah dagingnya
sendiri!" Secara dramatis, ia lontarkan tuduhan itu dengan
luapan air mata. Kini, melihatku tersenyum, Anton
duduk terpaku. Tidak ada sisa-sisa cinta di matanya
lagi, aku tahu. Tetapi mendadak aku tahu pula, di balik pandangan
matanya yang tidak mengedip itu, membersit sebuah
tanda tanya: ada sesuatu yang salah di sini, tetapi
apa" Lampu kamera terus berkerejap ketika aku berjalan
meninggalkan ruangan sidang dikawal kedua petugas
tadi. Sambil lalu, salah seorang wartawan kudengar
nyeletuk: "Bukan main. Akan kuberi judul:
KETABAHAN HATI SEORANG IBU..." Temannya sesama
wartawan tertawa mencemooh. Berkata: "... ini berita
menarik, bung. Aku lebih senang memakai judul:
SENYUM DINGIN SEORANG PEMBUNUH."
"Pembunuh!" umpat perempuan yang tadi
mengatakan aku sebaiknya digantung saja. la
rupanya sengaja berlari-lari kecil menyusulku, dan tiba
"di koridor ia mengawasiku dengan kecewa.
"Kau..." desisnya sinis. "Kau mestinya tidak berbuat itu.
Kalau kau tak rela melepaskan anakmu ke tangan
ayahnya, mengapa tidak kau serahkan saja ia
padaku"" Untuk sesaat, aku tertegun. Kupandangi wajah
perempuan setengah baya itu. lbu Romlah adalah
tetanggaku sebelah rumah. la ikut tampil dalam
sidang sebagai salah satu saksi penuntut umum.
Sering mendengar aku bertengkar dengan Anton.
Salah satu kalimatku dalam pertengkaran yang kian
menghebat itu, diungkapkan ibu Romlah di muka
sidang: "Pernah saya dengar Maria berteriak. Daripada
menyerahkan anaknya kepada Anton, ia lebih suka
membunuh anak itu!" Setelah didesak hakim ketua, barulah ibu Romlah
meralat ucapannya. Aku tidak mengatakan akan
membunuh Prima. Aku hanya mengatakan, lebih baik anak itu
tidak memiliki siapa-siapa.
Kesaksian ibu Romlah tidak membuatku marah,
apalagi sakit hati. Seperti kini, ketika kami
berhadapan muka dan ia menudingku sebagai
pembunuh yang begitu keji. Aku tetap menatapnya
dengan kasih, hati yang terharu biru. Bagaimanapun,
aku sadar ibu Romlah selalu berlapang dada
menerima anakku bermain di rumahnya. la
memperlakukan Prima, sebagaimana ia
memperlakukan anak-anak kandungnya sendiri. Ibu
Romlah menyayangi Prima, seperti aku
menyayanginya. Untuk pertama kali setelah tiga minggu mengikuti
sidang yang melelahkan, air mataku menetes
melelehi pipi. Kuingin memeluk ibu Romlah, kuingin
memohon maafnya, malah kuingin sekali
mengutarakan hal yang sebenarnya. Syukurlah,
sebelum mulutku sempat terbuka, salah seorang
petugas keburu menyeretku pergi. Mereka tidak
membelenggu tanganku. Tidak pula meradorongku
kasar waktu dinaikkan ke jip tertutup dengan
jendelanya yang berjeruji itu. "Duduklah baik-baik,
bu," itu saja yang mereka ucapkan. Bunyi kalimatnya
lembut. Namun tekanannya, begitu dingin dan kaku.
Jip kemudian melaju menuju penjara, di mana
sebelumnya aku telah disekap satu bulan lebih
sebagai tahanan kejaksaan. Hari-hari yang terasa
begitu panjang. Hari-hari membuatku hampir putus
asa karena ketakutan. Bukan takut dihukum sekian
tahun. Dihukum mati akupun rela, bahkan
mendambakannya. Apa yang kutakutkan, ialah kalau
aku akhirnya tidak kuat membendung tekanan jiwa.
Menyerah pada desakan hakim supaya aku bersedia
pakai pembela. Lebih mengerikan lagi, menyerah
untuk menjawab pertanyaan yang entah sudah
berapa kali diulang itu: "Benarkah ibu telah
menjerumuskan anak ibu dengan sengaja ke dalam
sumur"" Kebungkamanku yang sekeras batu karang, sempat
membuat hakim marah-marah dan mengatakan
hukumanku bakal diperberat. Namun akhirnya, seperti
juga polisi-polisi yang menangkapku, jaksa yang
menyusun proses verbal, hakim tak dapat berbuat
apa-apa. Dan terpaksa menerima ucapan yang terus
menerus kupertahankan selama ini: Benar, aku telah
membunuh Prima. Primaku yang malang! Airmataku membanjir lagi. Bercampur kucuran
keringat akibat pengapnya udara di dalam jip tertutup
itu. Primaku yang malang. Sebelum Tuhan
memberikan roh pada janin yang kukandung, Anton
dengan tegar hati telah memaksa aku
"menggugurkannya. Anton bersikeras mengatakan
bahwa ia belum siap untuk menikah. Celakanya, aku
terlampau mencintai Anton. Ku butakan mataku pada
kenyataan, ia memang tidak pernah siap untuk
menikah. la justru tidak pernah berniat mengajakku
ke depan penghulu. Sekali Anton menikahiku, ia akan
kehilangan hak waris... sedang ayahnya begitu kaya
raya serta berpengaruh. Anton tidak rela, harta karun
yang melimpah ruah itu jatuh pada saudara
angkatnya. Aku juga membutakan mata pada kenyataan lain
yang lebih pahit: diam-diam ia mulai mendekati
Novianty, gadis yang sudah lama dicalonkan
orangtuanya sebagai menantu.
Keluarga Novianty sama kaya, sama terhormat dan
sama besar pengaruhnya di kalangan atas,
sebagaimana halnya orang tua Anton sendiri.
Pernah gadis yang beruntung itu mendatangiku.
Katanya, ingin kenal siapa orangnya yang telah
merenggut hati Anton dari tangannya. Ketika
melihatnya, aku pun sadar bahwa aku akan ke luar
sebagai pecundang. Novianty bertubuh tinggi
semampai. Dadanya padat berisi, pinggulnya besar
menggoda, belum lagi wajah yang aduhai cantik
jelita. Aku tahu mengapa aku jatuh cinta pada Anton.
Namun setelah bertemu muka dengan Novianty, aku
tak pernah tahu mengapa Anton justru memilihku.
Satu-satunya yang kuketahui hanyalah pendirian
Anton yang mengatakan tidak ingin mengambil isteri
dari sanak famili. Tetapi masa depan yang suram, toh membuat Anton
berubah. Ijasah esem-a-nya tidak disodorkan di kantor-kantor
manapun. Benar ada yang mau menerima, tetapi
nilainya begitu murah. Sedang Anton sudah terbiasa
dengan kehidupan yang serba mahal. la mulai hidup
dari gajiku sebagai guru sekolah dasar. Gaji yang tak
seberapa, dan hanya mengakibatkan hal yang sama
di manapun jua: tekanan bathin,
kekecewaan yang seolah tanpa akhir. Aku mamp u
memeranginya. Sayang, Anton tidak.
Dengan dalih aku telah membangkang perintahnya
menggugurkan kandungan, Anton kemudian menikah
juga dengan Novianty. la tinggalkan aku dengan
kandunganku yang kian membesar. Aku dipecat dari
sekolah, dan terpaksa hidup dari kiriman orang tua di
kampung. Bersusah payah, setelah Prima lahir aku
kemudian diterima bekerja pada sebuah travel biro,
setelah memenuhi berbagai syarat. Termasuk: belum
menikah, dan bersedia tidak menikah selama
menjalani kontrak sekian tahun. Syarat yang buatku
berarti ejekan sinis; tanpa Anton, mengapa pula aku
harus menikah dengan laki-laki lain" Lagipula, masih
ada Prima. Pada jam kerja, ia dijaga adikku perempuan,
Sukaesih. Sukaesih berhenti sekolah setelah duduk di
kelas dua es-em-a. Raportnya banyak yang "terbakar,"
karena buku, buat Sukaesih mirip racun saja. Masih
untung ada keluarga yang berminat mengambilnya
sebagai mantu. Calon suaminya masih kuliah. Jadi
selama menanti tibanya hari bahagia, Sukaesih
dengan senang hati meninggalkan kampung dan
menetap bersamaku di sebuah rumah kecil sederhana
di pinggir kota. la mengurus rumah dengan baik dan
menjaga Prima dengan telaten. Pada waktu lowong,
ia isi dengan les menjahit. Pulang kerja, kuambil alih
tugas Sukaesih. Apa saja yang diingini Prima selalu
kupenuhi demi cinta dan kasih sayangku. Tentu saja,
sepanjang aku mampu dan permintaan Prima tidak
membahayakan jiwa atau kesehatannya. Sebagai
bekas guru sekolah dasar, aku mendidik Prima
"dengan ketat tetapi disertai kasih seorang ibu yang
tidak bertepi. Ditiap desah nafasku, kubiarkan Prima
besar dan tumbuh secara wajar. Tahun demi tahun
kulatih ia supaya jadi anak yang patuh dan mengabdi.
Teringat pada Anton yang terbiasa hidup ugal-ugalan
menghamburkan uang orang tuanya, maka Prima
juga kubiasakan supaya berhemat, senang menabung
dan menyayangi apapun yang ia punyai, Sekali
sepatu atau mainannya tertinggal di luar rumah
maupun di tempat tetangga, Prima kuhardik: "Ambil
lekas!" Kalau ia merusak dengan sengaja, maka
kubentak: "Masuk kamar. Jangan ke luar sampai
besok pagi!" Bila tidak disengaja, Prima kubujuk agar
tidak menangis: "Tak apa, nak. Besok kita beli lagi
ya"" Masa kontrakku di travel biro, mendekati akhir.
Ibu diam-diam telah menjodohkan aku pada seorang
pemuda baik-baik di desa kami. Lambat laun tetapi
pasti ia mulai mendesak agar aku segera menikah,
dan mengatakan pada Prima bahwa; "Kau, cucuku,
bakal punya ayah baru," lalu menekan aku. "Sukaesih
tidak mau berumah tangga, sebelum kau."
Adikku mendukung ibu dengan bersemangat."
Siapapun tidak akan berhasil memaksa aku
melangkahi kakak...!! Lima tahun yang penuh perjuangan. Lima tahun yang
semakin mendekatkan jiwaku dengan jiwa Prima,
membuat kami tak mau berpisah satu sama lain,
saling merasa kehilangan kalau aku terlambat pulang
ke rumah. Lalu, belahan jiwaku itu mendadak mau dirampas
Anton. Tiba-tiba saja ia telah muncul di pintu, dengan
mata layu dan pundak lunglai karena hilang harap.
Kalaupun aku ingin mengusir, sudah tidak keburu. la
memaksa masuk. Tidak pula untuk menyatakan
penyesalan dan cinta. Toh telah lama kudengar ia
hidup bahagia dengan Novianty, dan puas dengan
kedudukan sebagai menejer di sebuah perusahaan
besar milik mertuanya. Kami berbasa-basi kaku, sebelum ia sampai pada
pertanyaan: "... kudengar namanya Prima. Mana dia""
Aku tersentak. Lalu: "... di rumah sebelah," jawabku,
dingin. "Panggilkan dia sebentar."
"Untuk"" "Untuk"" wajahnya mulai memerah. Sifatnya yang
dulu belum pernah hilang rupanya. "Kau kira un tuk
apa" Untuk menyuruh ia cuci kaki... naik ke
tempat tidur" Panggilkan dia, Maria... untukku."
Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
".... tidak," jawabku lagi, setelah agak lama terdiam
karena ketakutan yang mulai merayapi dada. Betapa
tidak: beberapa orang pernah mengabariku... apapun
dimiliki Anton dan Novianty, kecuali generasi
penerus. "la anakku, Maria!" mata Anton yang layu, mulai
dibakar api. ?"Bab 14 Aku merasakan uap panas menyapu wajahku yang
pucat, "Siapa bilang""
Anton ternganga. Lama. Lantas: "Astaga, Maria. Kau kira anak siapa kiranya
Prima itu"" "Anakku." "Baik, Baik. Anakmu, kuakui. Tetapi kuminta kau
mengakui pula, ia itu tercipta dari benih yang
kutanamkan di rahimmu."
Dengan sekujur tubuh gemetar aku bangkit dan
berjalan ke pintu. Membukanya, lantas mendesah
getir: "Pergilah"
"Maria...." "Pergilah, sebelum aku berteriak ada perampok
memasuki rumahku!" "Perampok..." ucapan Anton terputus, manakala aku
benar-benar berteriak lengking, minta tolong.
Gaung suaraku belum hilang, Anton sudah lenyap dari
depan mata. Ngacir memasuki mobilnya yang ia
parkir di depan rumah. Langsung tancap gas.
Tetangga pada berdatangan dengan ribut. Aku
menjelaskan dengan suara terputus-putus: "Tadi ada...
seseorang. Aku begitu takut, dan..., Oh, ia belum
sempat berbuat apa-apa. Syukurlah.. kalian semua
datang..." Tidak sampai satu minggu, Anton telah kembali. Aku
masih di kantor waktu itu, dan percaya Sukaesih akan
mengunci pintu begitu melihat tampang Anton muncul
di depan rumah. Namun Anton tidak mau
dibodohi dua kali. Sebelum ke rumah, ia mendatangi
ketua RT kami. la terangkan siapa dirinya, bahkan
dengan tega hati ia ceritakan pula sebagian besar
masa lalu kami, dan betapa kini ia sangat merindukan
anaknya. Wajah penyesalan yang ia perlihatkan dan
ceritanya yang memilukan hati dengan seketika
menimbulkan simpati ketua RT.
"Saya tidak mau ikut campur urusan saudara Anton
dengan nak Maria. Oleh karena itu saya hanya akan
mendampingi saja ke rumahnya, setelah itu segala
sesuatunya terserah nak Maria saja...."
Sukaesih terpaksa membuka pintu. Aku belum pulang,
sedang Prima masih sekolah di Taman Kanak-kanak
tempatnya mengabdi ilmu yang tak sempat
kuajarkan. Anton bersikeras menunggu. Sambil lalu ia
ceritakan pula kedudukan orang tuanya maupun
mertuanya. Orang-orang keren, tentu saja. Ketua RT
mendengarkan dengan sabar, dan gembira ketika
melihat aku akhirnya datang.
"... kalau ada apa-apa, nak," katanya padaku sebelum
pamit untuk pulang. "Tak usah segan-segan
memanggilku ke rumah."
"Mau tidak mau, demi menghormati kebaikan hati
beliau, terpaksa kujaga diri jangan sampai membuat
tetangga pada heboh. Sukaesih masuk ke kamarnya.
Aku tahu, ia nguping ke daun pintu, dan siap
membukanya sewaktu-waktu diperlukan. Malang,
Anton juga menyadari hal yang sama. la sengaja
merendahkan suaranya sedemikian rupa selama
berbicara. Katanya ia telah bertukar pikiran dengan
Novianty dan semua famili. Hasil rundingan jelas
sudah: Novianty mandul, tidak mungkin memberi
keturunan pada suaminya. Tetapi ia menolak dimadu.
Demi nama baik dan keutuhan keluarga, harus
ditempuh jalan tengah. Anton disarankan mengadopsi
anak. la menolak. "Kapok," katanya, seperti kemudian ia ceritakan
padaku. "Kasih sayang papa dan mama lebih besar
pada Farida, ketimbang aku, anak kandung mereka
sendiri..." Orang tuanya membela dengan mengatakan Farida
itu anak perempuan yang lemah dan patut dilindungi,
mana dulunya yatim piatu. Mereka juga
mengingatkan masa remaja Anton yang bertolak
belakang dengan Farida. Saudara angkatnya itu lebih
sayang dan mengabdi, ketimbang Anton yang bengal
serta selalu ingin menang sendiri.
Kembali diputuskan jalan tengah. Tetap mengadopsi
anak, tetapi bukan anak orang lain.
".... dan satu-satunya anak yang ada hubungan darah
denganku, hanyalah Prima," kata Anton, penuh harap.
la memandangku dengan tatap mata memohon.
Berkata tulus: "Denganku, Prima akan punya masa
depan. Aku dan Novianty memiliki segala-galanya
untuk membuat Prima seorang anak
yang tidak bakal mengenal susahnya kehidupan..."
Aku diam saja. Prima sudah mengenal arti susahnya hidup, meski
dalam batas jangkauan pikiran seorang bocah
perempuan kecil yang polos dan belum tahu apaapa. Masa depannya, aku belum tahu. Memang aku
sudah memutuskan untuk memaksa Sukaesih
menikah kapan ia mau, karena aku tidak pernah
mempunyai niat memberikan seorang ayah tiri buat
anakku. Penghasilanku tidak seberapa. Kemampuanku
sebagai seorang perempuan, kusadari juga sangat
terbatas. Namun aku percava, Tuhan telah
menentukan umur dan rejeki seseorang, begitu pula
umur dan rejeki Prima. Aku menghela napas panjang. Berkata: "Masa depan
Prima masih lama sekali, Anton. Dan bila saatnya
tiba...," Aku tersenyum, pasrah. "Jangankan kau, aku
pun tidak berhak menentukan. Masa depan
anakku, biarlah kelak dia sendiri yang
menentukannya. Sekarang ini, aku hanya berhak
mengarahkan dia agar..."
"Mengertilan Maria," ujar Anton, menukas. "Sebagai
ayahnya, aku juga punya hak mengarahkan."
"la bukan anakmu."
"Ya Allah, Maria."
"Hem." Aku mencibir, gembira. "Coba dulu kau
mengingat Allah, ketika kau paksa aku
menggugurkan kandunganku!"
Wajah Anton memucat. Hanya sebentar. Api yang tak pernah padam di
matanya, kembali berkobar. la menggeram: "Yang
lalu, biarlah lalu. Mari kita tempuh jalan terbaik, Maria.
Kita sama-sama mengakui kehendak Allah. Jadi,
tentunya kau ketahui Allah berkehendak Prima lahir
sebagai darah dagingku...."
Kehendak Allah sukar diduga manusia.
Tahu-tahu saja Prima yang sekolahnya tidak jauh dari
"rumah, telah pulang dan berlari-lari masuk. Langsung
berlari ke pangkuanku, memelukku dan mencium
kedua belah pipiku dengan mesra. Baru setelah itu ia
sadari kehadiran seseorang di antara kami.
Darah, secara naluriah menyuruh Prima memandang
Anton tanpa berkedip, tetapi dengan tubuh yang
semakin dirapatkan di pelukanku.
"... diakah yang akan memperbaiki sumur kita, mak""
tanya Prima tiba-tiba. Aku tersentak. Anton juga tersentak. Sejak Prima melangkah masuk,
ia telah mencengkeram lengan kursi yang ia duduki,
begitu kuat sampai kuku jari jemari pada memutih.
Prima belum ia kenal dengan baik, dan seorang lakilaki umumnya akan memerlukan tempo yang bukan
sedikit untuk dapat mencintai anak yang belum
pernah ia lihat. Tetapi dari sinar mata Anton selama
memperhatikan Prima, dapatlah kutebak: ia menyukai
anak itu. Setelah tergagap sebentar, Anton mendesah:
"Sumur, Prima""
"Ya, Oom. Yang di belakang rumah," sahut Prima
polos. Ya Tuhan, apakah anakku juga mulai dilimpahi
rasa suka melihat ayahnya" Bulu kudukku meremang.
Lutut terasa goyah. Sedang jantungnya, rasanya
berhenti berdenyut. "Ooo. Jadi kalian pakai sumur. Belum pakai ledeng,
ya"" Anton tersenyum, membujuk.
"Nanti kalau mama sudah punya uang, kami akan
punya ledeng," Prima berceloteh terus. ".... Oom punya
sumur juga ya""
"Engga. Punya kami lebih..."
"Wah. Kalau begitu, Oom tidak tahu bagaimana
senangnya mengulurkan timba ke dalam sumur.
Dan.... waktu mengangkatnya, wah...," suara Prima
terdengar letih dan terengah-engah, mengikuti gerakgerik kedua tangannya memperagakan apa yang ia
celotehkan. Seolah memang ada tali dengan kerekan
dan timba di tangannya. Lalu mendadak: "Sayang,
emak tidak membolehkan aku menimba air lagi.
Padahal, aku ingin bantu emak...."
"Mengapa tidak boleh, Prima""
"Karena temboknya retak-retak, Oom. Kata bi Esih,
bakal runtuh. Dan...," Prima ganti menatapku. "Emak,
emak...." "Ya, nak," sahutku, tergetar.
"Benarkah kata bi Esih, tembok sumur akan diganti
bulan depan." "Ya, anakku." "Setelah emak terima gaji, ya""
"Ya, anakku." "Bikin yang kuat, ya mak" Dan kerekannya nanti
diminyaki. Emmmm... talinya juga. Jangan terlalu
banyak disambung... tangan Prima nyeriii deh, habis
nyambungnya pakai kawat sih!"
Aku ingin tertawa. Nyatanya:
"Kok mama menangis," ujar Prima, membuatku
terkejut. Aku berpaling, kaget dan menyeka air mataku buruburu seraya menangkis; "Aduh, nyamuk masuk ke
mata emak!" "Sini, aku lihat," sahut Prima. "Hmm... Mata emak
merah sekali, tapi nyamuknya kok engga ada..."
"Anak bijak!" gumam Anton, gelang-gelang kepala.
Kagum, dan semakin menyukai Prima yang semakin
memenuhi bola matanya. Kembali aku tergetar. Takut.
Dan bermaksud mengakhiri obrolan berbahaya itu,
tatkala Anton sudah mendahului:
"Prima...." "Ya Oom"" anak itu berbalik, menatapnya.
Anton menggigit bibir. ".... jangan panggil Oom, n ak."
"Tersirap darahku mendengar ucapan Anton. Lagi-lagi
aku ingin memintanya agar segera pergi. Dan lagi-lagi,
ia sudah mendahului. Begitu sigap dan
sekonyong-konyong, sehingga aku belum sempat
menyadari apa yang terjadi. Tahu-tahu saja ia sudah
tidak lagi duduk di kursinya. la telah bersimpuh,
memegang kedua lengan Prima dengan erat
membuat anak itu terkejut dan mundur ketakutan.
Aku segera merangkulnya, dan tidak mau
melepaskannya. "Panggil aku papa, nak. Papa!" Anton hampir
menyembah. "Pa... pa"" suara Prima terheran-heran.
"Papa. Atau bapak, atau ayah." Getaran suara Anton
terasa meloloskan jantung. Kaki-kakiku lumpuh, lidah
menjadi kelu. Baru setelah melihat Anton beranjak
mendekat untuk mengambil Prima dari pelukanku,
mataku terbuka kembali. ".... jangan jamah anakku, Anton!" Aku berkata, teguh.
Mata Anton mulai basah. "la... ia juga anakku, Maria.
Belum jugakah kau...."
Ketegangan itu mendadak dipotong oleh kicauan
Prima: "Emak. Mak! Dengar, mak. Oom ini bilang aku
anaknya...," la mengguncang-guncang tanganku.
Ketakutan telah lenyap dari matanya. Sifat polos,
bijak dan keriangannya sebagai bocah kecil tak
berdosa, tampil kembali. "Lucu ya mak" Padahal, ayah
kan sudah lama mati. Jatuh dari pesawat terbang!"
ltulah apa yang kutanamkan dalam jiwa Prima,
semenjak ia mengetahui apa arti seorang ayah.
Bahwa, ketika ia masih dalam kandunganku, ayahnya
sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dengan
pesawat terbang. Pintu pesawat terbuka tanpa sebab,
dan ayah Prima yang duduk dekat pintu terseret ke
luar dan jatuh di gunung-gunung... tak pernah
ditemukan orang, sehingga: jadi, jangan kau tanya
lagi dimana ayahmu dikubur!
Selagi aku terperangkap dalam jebakan buatanku
sendiri, dan Anton terpukul oleh kenyataan pahit yang
harus ia terima. Prima berkicau kembali: "... boleh ya mak, kulihatkan
pada Oom ini pesawat mainanku""
"Ya, nak. Pergilah," aku memutuskan.
Prima berlari-lari masuk ke ruang dalam. Terdengar
ribut sebentar. Seperti yang kuharapkan, Sukaesih
tahu apa yang harus ia perbuat. la menyelinap ke luar
dari kamarnya, menemani Prima mencari mainannya.
Dan setelah ketemu, meloloskan Prima dari pintu
belakang. Membujuk anak itu lebih baik main
pesawat dengan temannya, anak ibu Romlah.
Kudengar pintu belakang dibuka lalu ditutupkan.
Belakangan, sambil cekikikan Sukaesih memberitahu:
Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia bilang, Oom yang di depan itu... Anton, siapa lagi...
benci pada mainan pesawat dan konon sering
menginjak-injaknya sampai hancur.
"Jadah!" Anton lupa diri.
Keramahan palsu yang tadi ia perlihatkan, lenyaplah
sudah. Sifat mau menang sendiri, segera muncul. la
menatapku dengan wajah merah padam, bersungutsungut menyumpah serapah. Lalu: "Apapun yang kau
katakan pada Prima, Maria! la tetap anakku. Dan
sebagai ayahnya, aku tetap akan mendapatkannya.
Dengan cara apapun juga. Tadinya..," ia mengurut
dada, menarik napas berulang-ulang. "Tadinya, aku
bermaksud menawarkan imbalan
jasa. Apapun yang kau minta. Berapapun jumlah yang
kau sebut. Kami semua akan berusaha sekuat tenaga
untuk memenuhinya. Tetapi kini, dengarlah. la akan
kuambil. Kuulang lagi: apapun caranya. Kalau perlu,
menculiknya pun jadi!"
Kemarahan yang kutahan dari tadi, ditambah
"ketakutan teramat sangat mendengar ucapannya, aku
lantas terbawa emosi. la kubentak: "Ke luar!"
Anton melangkah kepintu. "Aku akan pergi. Tetapi, tak
lama, Maria. Tak lama lagi, aku pasti kembali. Untuk
mengambil Prima. Camkan itu, Maria. Dan akan
kulihat kau menyembah dan memeluk telapak kakiku
dan tidak akan memaafkannya... sebelum kau
katakan pada anak itu, bahwa ayahnya belum mati!"
Aku merentak berdiri. "Ke luar!"
la menyeringai. Mengejek: "Oke. Hari ini, milikmu. Lain
hari milikku!" la bergegas menuju ke mobilnya.
Tak dapat membendung emosi, aku berteriak
padanya: "Lakukan apa saja yang kau sukai, Anton.
Tetapi camkan juga ini: kalau aku toh harus
kehilangan Prima, maka siapa pun juga tidak akan
memiliki dia!" Ucapan terkutuk! Dan kutuk itu kemudian menimpa begitu kejam dan
tiba-tiba. Semenjak hari itu, aku tidak masuk kerja. Jarang ke
luar rumah, kecuali karena kebutuhan mendesak. Itu
pun dengan Prima melekat seperti lintah di tanganku,
dan menatap dengan khawatir pada setiap orang
yang mendekat atau setiap mobil yang meluncur
secara aneh. Sukaesih kusuruh menjemput ibu.
Bertiga, kami kemudian lebih cermat menjaga Prima.
Ketua RT juga telah kuberitahu.
Hari-hari yang mencengkam berlalu tanpa terjadi apaapa. Selama hari-hari yang mengerikan itu, ibu
menghiburku dengan rencana-rencananya:
Menikahkan aku dengan pemuda yang begitu
berkenan di hatinya. Memang anak seorang petani
seperti kami,tetapi berpendidikan dan luas
pengetahuannya, lagipula orang yang soleh,
beragama. Pemuda itu juga sadar aku langsung
memberinya seorang anak, pada saat pertama kali
kami bertemu muka. Dan banyak lagi kisah-kisah
menyenangkan yang diceritakan ibu, dan yang
kutanggapi seadanya saja. Sekedar tidak melukai
hatinya. Satu bulan berlalu dan ibu maupun Sukaesih sama
sependapat bahwa Anton sudah melupakan niat
jahatnya, dan mengucapkan kata-kata itu hanya
karena luapan emosi serta kecewa. Tetapi aku tahu
siapa Anton. la mungkin gagal mempergunakan
pengacara yang paling ahli pun, bila ia bermaksud
mengambil anakku secara sah. la gemar berkelahi
semasa remajanya. la akan melukai siapa saja yang
mencoba menghinanya, atau kemudian... berusaha
menggangguku. Pernah sekali ia memukul seseorang
begitu telak. Orang itu mati. Dengan segala cara
semua pengaruh yang ada, perkara kematian orang
itu kemudian dideponir. Sekali seseorang pernah membunuh.., dan keluar
dengan selamat, maka ia tidak akan segan
melakukannya untuk yang kedua. Itu yang pernah
kupelajari dalam kuliah ilmu jiwa. Lalu aku berpikir
pada satu hal: aku masih selamat, karena kemana
saja aku pergi, Prima tetap melekat padaku.
Tembakan senjata, akan menghadirkan sejumlah
kecurigaan. Tetapi tabrak lari, siapa tahu"
?"Bab 15 la tidak akan menciderai Prima. ltu keuntunganku.
Tetapi sampai kapan" Dan kemana saja aku harus
bersembunyi" Aku boleh lari, lari dan lari. Anton akan
mengejar, mengejar dan mengejar. la paling tak mau
dihina orang. Apalagi, kini menyangkut
kedambaannya yang seperti kudengar, adalah segalagalanya buat Anton. Termasuk: kedudukan, dan uang
yang tak pernah berhenti mengalir. Apalah aku ini,
dibanding Novianty yang begitu cantik jelita!
Sampai, tibalah hari itu.
lbu memutuskan untuk pulang ke kampung setelah
tidak terjadi apa-apa. Dengan janji, aku segera
menyusul bersama Prima dan Sukaesih, begitu
sesuatunya kuselesaikan di kantor tempatku bekerja.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan, kutinggalkan
Prima di rumah dengan Sukaesih. Aku mengantarkan
ibu ke stasiun bus, dari situ terus ke kantor.
Aku memang selamat tiba di rumah. Tetapi Tuhan
telah mengutukku, mengingatkan dosaku pada
ucapanku yang terlanjur ke luar. Bahwa, kalaupun
aku harus kehilangan Prima, maka siapapun tidak
akan memilikinya. Tidak aku, tidak juga Anton. Tuhan,
dengan segala kekuasaan dan kebesarannya,
mengabulkan ucapanku. Pada saat aku berjalan pulang dari kantor, di rumah,
Prima sedang bermain pesawat kesayangannya yang
digerakkan dengan radio pengontrol, di pekarangan
belakang yang dibatasi tembok-tembok tinggi rumah
para tetangga. Saking bersemangat, Prima gagal
menaikkan pesawat mainannya ketika melewati
bagian atas sumur. Pesawat itu membentur tiang
kerekan, dan jatuh ke dalam sumur. Sukaesih yang
mengawasi sambil menjahit, dari jendela kamarnya
melihat Prima bergegas melangkah ke arah sumur itu.
Sukaesih bangkit untuk mencegah.
Pas, bel pintu depan berdering. Sukaesi berlari-lari
membuka pintu depan, setelah ia tahu aku yang
datang. la begitu sukacita menerima oleh-oleh yang
kubawa. Sejumlah peralatan menjahit, yang kub eli
dengan sebagian uang pesangon yang kuterima di
kantor. la juga kuberitahukan bahwa kami akan
pulang ke desa dalam satu dua hari ini. Ngobrol
sedikit mengenai rencana-rencana untuk itu.
Baru teringat pada Prima.
Tak melihat anakku dari tadi, aku bertanya: "Mana
Prima, Esih"" Saat itu juga, Sukaesih terkesiap. la teringat kali
terakhir ia melihat Prima, dan telah mengabaikannya
sebentar. Sesudah ia beritahu, seketika kami berlarilarian ke pekarangan belakang. Tak ada suara jerit
atau berisik kami dengar dari tadi.
Aku terjatuh ketika melewati pintu dapur. Tak ada
"yang menghalangi langkahku. Kesehatanku pun baik
dan normal. Tetapi lututku tertekuk
begitu saja. Kiranya, saat itulah Prima pergi
meninggalkan aku, setelah dengan susah payah
berusaha tetap muncul di permukaan air sumur yang
dalam, dan yang temboknya telah runtuh. Ada luka
menganga di kepalanya. Mungkin tertimpa runtuhan
tembok sumur ketika ia terjatuh untuk, menjenguk
dan kalau mungkin, mengambil pesawat mainannya
dari dalam sumur. Tak usah kuceritakan... setelah segalanya berlalu dan
aku pasrah pada kemalanganku, luka di kepala Prima
dijadikan Anton sebagai senjata paling ampuh. Begitu
mendengar kematian Prima, ia langsung mendatangi
polisi dengan sebuah tuduhan: aku telah membunuh
anaknya! Hanya empat hari aku dibiarkan bebas.
Tak boleh didesak, tak boleh dipaksa sebagaimana
disarankan oleh dokter yang memeriksa kesehatanku.
"Kondisinya menurun sangat drastis. Apapun
pengakuan yang ke luar dari mulut Maria, aku tidak
dapat menjamin keabsahannya. Tunggulah sampai
kesehatannya benar-benar pulih."
Kesehatan jasmaniku pulih, meski begitu lambat.
Kondisiku dianggap cukup untuk diperiksa. Mana, tak
pula kuperlihatkan bahwa kesehatan jiwaku belum
seluruhnya hadir kembali, kecuali bahwa aku telah
dapat membedakan: mana yang salah, dan harus
diperbaiki. Dan mana yang benar, dan dibiarkan tetap
begitu. Aku tidak tahu apakah jaksa telah menerima
sejumlah besar uang dari pihak-pihak tertentu, atau
memang menjalankan tugasnya sebagaimana
mestinya. Yang pasti, ia bersikeras dengan pendapat
karena aku sadar tak akan memiliki Prima untuk
waktu yang lama, maka aku telah nekad menghabisi
nyawa anak yang malang itu. Kupukul kepala Prima
dengan benda keras, lalu dengan keji membuang
tubuh si anak ke dalam sumur karena menyangka
sudah mati. Tembok sumur yang runtuh, kujadikan
sebagai senjata, kelak bila aku ditangkap dengan
tuduhan membunuh. Baik di depan polisi maupun di pemeriksaan
pendahuluan, tak satupun tuduhan itu kubantah. Aku
hanya menjawab, benar aku telah membunuh Prima.
Di depan sidang, hasil pengusutan dan pemeriksaan
sejumlah saksi yang didatangkan penuntut umum...
tentu saja dibantu oleh Anton yang begitu bernafsu
untuk melampiaskan kebenciannya padaku...
menimbulkan keragu-raguan. Pemeriksaan ulang
kembali dilakukan. Interogasi ketat, rekonstruksi
kejadian. Tuduhannya kemudian diperhalus: sengaja
membiarkan tembok sumur rapuh, dan karena
kelalaian menyebabkan kematian seseorang.
Kesalahan itu masih ditambah dorongan tidak rela
melepaskan si anak diambil oleh ayah kandungnya
sendiri. Sengaja membiarkan orang lain tenggelam
dan tidak segera ditolong.
Terhadap tuduhan itu, tak satu pula yang kubantah.
Hakim pernah bertanya: benarkan Anton ayah
kandung Prima. Kujawab: ya. Jaksa unjuk gigi dengan pertanyaan: mengakukah,
aku telah sampai hati membunuh anak kandungku
sendiri" Kujawab: mengaku! Jawaban-jawaban yang tidak berbelit itu muncul di
benak selama aku ditahan. Semakin teguh aku pada
jawaban yang sama, setelah dalam salah satu sidang
aku sempat ngobrol berdua dengan Anton. Aku begitu
penasaran untuk mengetahui, mengapa pendiriannya
"berubah. Tidak mengambil Prima sebagaimana
diancamkannya. Jawab Anton: "Kau tahu, tak bakal ada yang mampu
merubah pendirianku! Soal mengapa aku belum
melaksanakannya, hanya soal waktu saja. Supaya
kau berpikir, semua telah berlalu, semua telah aman.
Baru aku bertindak," la mengakhiri, dengan cibiran
bibir dan sinar mata penuh kebencian serta dendam.
Tidak ada yang mendengar pembicaraan itu.
Aku puas, semakin yakin pada pendirianku, lantas
tidak punya niat mengutarakan pembicaraan
kami itu, ke depan sidang. Jawabanku tetap sama,
bagaimanapun aku didesak hakim ketua maupun
hakim anggota yang rupanya belum hilang ragu:
benar, aku telah membunuh Prima.
Dan, vonis pun jatuh. *** "... ada tamu untukmu, Maria!"
Suara sipir penjara wanita itu terdengar mengikuti
bunyi keriul nyaring engsel pintu besi sel-ku.
Hari pertama aku dipenjara sebagai hukuman, aku
telah menerima tamu. Anton" Atau tetangga" Atau...
Ah, ternyata Sukaesih yang menyambutku
dengan wajah pucat serta air mata berderai.
"Mengapa, kak" Mengapa"" la meratap.
Tentu saja. Begitu aku sadar dari pingsanku... entah
yang ke berapakali, Sukaesih kuminta agar tutup
mulut dan agar segera pulang secepat mungkin ke
kampung. la harus menemui ibu. Mendampingi orang
tua yang kami cintai itu, seraya berjaga-jaga jangan
sampai ibu menerima kabar buruk itu dari orang lain.
Hanya aku seorang yang berhak mengatakannya.
Kupesankan pula.. agar Sukaesih menghibur ibu
dengan janji-janji, bahwa aku akan segera pulang ke
kampung dan menikah dengan pemuda yang sering
ibu bicarakan. Bingung, panik dan sekaligus heran.... Sukaesih yang
memahami isi hatiku, segera memenuhi
permintaanku. la pulang kampung setelah
pemakaman Prima hari itu juga, sebelum para
tetangga mengetahui kematian Prima. Ketika ada
yang bertanya siapa yang konon menjerit, Kujawab: itu aku, sebelum jatuh
pingsan. Usaha apapun yang dilakukan untuk
menampilkan Sukaesih atau ibu ke depan sidang,
selalu kucegah. Lagipula tampaknya pengusut cukup
puas dengan pengakuanku dan bukti-bukti yang
menguatkan. "Mengapa, kak" Mengapa tidak kau beritahu aku
bahwa kau dituduh mereka berbuat yang bukanbukan"" tangis Sukaesih. "Satu bulan kami menunggu
Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
percaya, kau akhirnya tabah dan datang baik-baik...."
Aku tersenyum, menahan tangis. "Usah kau tanya,
Esih." "Kau tidak bersalah, kak!"
"Aku, bersalah."
"Ya Tuhanku! Kau tidak membunuh Prima kak! Kau...."
"Aku telah membunuhnya, Esih," kataku,
menggelengkan kepala. Pembunuhan itu telah terjadi,
jauh sebelum Prima meninggal... aku mengusap air
mata yang mulai menetes. "Ingatlah, Esih. Terlalu
ketat aku mendidik ponakanmu. la tidak boleh
membuang sesuatu secara sia-sia, kalau ia tidak ingin
kumarahi..." "Tetapi, kak..."
"Diamlah. Dan coba bayangkan apa yang terjadi, Esih.
Pesawat mainannya terjatuh ke sumur, karena ia
kurang hati-hati. Lalu tahu kau, apa kemudian yang
ada pada pikiran Prima""
Sukaesih terdiam. la tahu. Namun tidak mampu mengutarakan. Untuk
"meyakinkan Sukaesih, aku yang mengutarakan:
"Prima tidak ingin dimarahi. Lalu ia memutuskan,
sebagaimana selama ini ia perbuat: emak, semuanya
beres. Ember ia turunkan. Berusaha mengaitkan
mainannya. Lalu tembok runtuh...."
"Lihat!" kata Sukaesih gembira. "Jadi benar toh. Kau
tidak bersalah." "Aku bersalah."
Sukaesih berkata dengan keras kepala: "Kau tidak
bersalah. Kau mendidik Prima supaya jadi anak
yang baik. Bukan supaya ia mati. Kau tidak
membunuhnya; Dengar" Kau tidak membunuhnya!
Akan kukatakan semua itu pada mereka...."
"Vonis sudah jatuh, Esih...."
"Tak perduli. Akan kuminta pada hakim, supaya
perkara dibuka kembali. Aku akan melakukan apa
saja supaya kau bebas. Dengar, kak Maria" Bebas.
Merdeka. Hidup terhormat, Tidak seperti di sini. Kau
terkurung. Ke luar dari sini kelak, kau terhina!"
"Apa bedanya. Esih"" aku mengangkat pundak.
"Aduh, kak...!"
"Sia-sia. Esih. Tetap saja tak ada bedanya. Di sini atau
di luar sana, terhormat atau terhina. Sama saja: Prima
toh sudah mati!" Sukaesih mau protes. Tetapi aku mencegah. Dan
mengalihkan persoalan ke arah lain "Bagaimana ibu"
Baik-baik saja" Dan pacarmu.. sudah ketemu. Kapan
kalian akan menikah""
Sukaesih diam. Sadar akan kenyataan. Aku masih hidup, tetapi
jiwaku sudah mati. Bersama matinya Prima
tersayang. Prima. Prima. Prima, anakku!
Mari. Mari. Mari sini, peluk emak. Biarkan aku
menciummu...." **** ?"Bab 16 PUKUL 11.05. Tengah malam. Hujan baru saja berhenti.
Gelap gulita di luar rumah. Kabut tipis merangkak di
antara pepohonan lalu mengintip diam-diam dari balik
kaca jendela. Aku menggigil. Dan terkejut ketika
seseorang menyentuh lenganku dari belakang. Cepat
aku berpaling. "Bawang putihnya, Oom," pembantu rumahtangga
kakakku tersenyum. Sorot matanya mengandung
permintaan maaf karena ia telah mengejutkan aku.
Kuterima mangkok yang ia sodorkan. Hampir penuh
dengan bawang putih yang sudah diiris-iris halus.
Baunya membuatku pusing. lngin muntah. Mau
rasanya mangkok itu kukembalikan pada bi ljah dan
menyuruh ia saja yang menjalankan tugas yang
harus kukerjakan. Tetapi bi ljah sudah berlalu. Ia tentu langsung ke
kamar. Tidur. la sudah diperingatkan untuk tidak ikut
campur. Kata bang Leo, kehadiran pembantu rumah
tangga kami itu hanya akan merusak suasana. Tentu
saja bi ljah tidak diberitahu alasan sebenarnya. Bila ia
ikut mendengar dan melihat, wah. Dapat dibayangkan
betapa ribut ia berkicau kepada pembantu-pembantu
rumah tetangga. Kupastikan dulu bahwa ia sudah
mengunci kamar tidurnya. Baru aku masuk ke ruang
tengah. Meski perut mengulah muak, kuambil juga sejemput
irisan bawang putih. Lalu kutaburkan dicela bawah
pintu kamar tidur Novianty, bayi pertama bang Leo
yang baru berusia sepuluh bulan. Tanganku gemetar
ketika melakukan pekerjaan aneh itu. Apakah ini ada
gunanya" Pak Rasiman begitu yakin kalau ia akan
mampu menjebak makhluk penghisap
darah itu. Tetapi ia tentunya telah keliru mengatakan
bahwa makhluk mengerikan itu adalah...
Pintu tiba-tiba terkuak dari dalam.
Aku sampai berseru kaget. Bang Leo memperhatikan
aku seraya tersenyum. Bahkan senyum gembira.
Seperti aku sendiri, ia juga tidak percaya pada cerita
dan usaha pak Rasiman itu. Tetapi ia begitu bingung
memikirkan kejadian-kejadian misterius yang
menimpa diri anaknya selama satu minggu terakhir.
Sampai minggu sebelumnya, tubuh Novianty masih
merah segar, montok menggiurkan. Tetapi sekarang...
"Kau tampak pucat, dik," bang Leo mengawasiku.
"Kalau kau mau tidur...."
"Biarlah, bang," tukasku, hambar. "Bagaimana kak
Nita"" "la sudah siap."
"Kuharap ia tidak apa-apa, bang."
"Tak usah khawatir. la hanya gelisah sedikit. ltu saja.
Tetapi kau kan tahu. Apa saja akan kami lakukan,
demi keselamatan hidup ponakanmu. Sebenarnya aku
"tak menyukai semua ini. Kalau saja dokter dapat
mengatasinya dan tidak mengutarakan soal-soal
medis yang membingungkan, dan aku suruh pak
Rasiman pergi dari rumah ini dengan bualnya yang
aneh itu. Tetapi mengopname Novianty di rumah
sakit... wah. Kau kan tahu pendirian kakakmu!"
Ya. Kak Nita dengan tegas menolak saran dokter agar
Novianty diopname saja. la tidak tega meninggalkan
anaknya sendirian di rumah sakit. Salah seorang
saudaranya pernah melakukan hal yang sama.
Tengah malam, saudara kak Nita bermimpi buruk. la
membangunkan kak Nita, lalu mendesak diantarkan
ke rumah sakit. Memaklumi kecemasan saudaranya
yang ditinggal sang suami berdinas keluar kota, kak
Nita menemani saudaranya ke rumahsakit.
Setelah tarik urat leher dengan perawat jaga, mereka
diperkenankan menjenguk si bayi. Dan mimpi buruk
saudara Nita memang beralasan. Ranjang bayi itu
dikerubungi ribuan semut. Rupanya ada susu tercecer
di sprei dan di lantai. Dua orang perawat dipecat
karena kejadian itu. Tetapi baik kak Nita maupun
saudaranya tetap bersumpah tidak akan membiarkan
anak mereka diopname di rumahsakit tanpa
didampingi mereka sendiri.
Sayangnya, Novianty dirawat dokter kelas satu, di
rumahsakit kelas satu pula. Siapa pun kecuali dokter
dan pesawat tildak boleh menunggui pasien diluar
jam besuk. Akhirnya setelah Novianty diberi cukup
transfusi darah, bayi itu langsung dibawa pulang. Dan
kemarin malam peristiwa mengerikan itu berulang.
Novianty menjerit-jerit di tengah malam buta.
Aku yang duluan terbangun.
Pintu kamar Novianty kubuka. Lalu kupergoki
Rosmala, babysister yang tengah mencium mulut
Novianty kuat-kuat. Rosmala kurenggut. Sekali tinju,
ia terjengkang membentur tembok. Pingsan. Aku
menghambur ke tempat tidur dan dengan ngeri
melihat betapa Novianty tidak saja pucat kehabisan
darah. Kulitnya juga hampir mengering, kisut. Di sprei
tempat tidurnya tampak beberapa tetes darah.
*** Pukul 11.15. Kabut semakin menipis. Satu dua bintang mulai
terlihat di langit kelam. Bias rembulan pun mulai
berani mengintai dari balik awan. Aku masuk ke
dalam rumah dan berpapasan dengan bang Leo di
dapur. la mau membuat kopi. Supaya jangan
mengantuk, katanya. Tetapi aku sadar, ia menyimpan
perasaan gelisah yang teramat sangat. Ia
mengkhawatirkan tidak saja Novianty, tetapi juga
kak Nita. "Mana bawang putih itu"" la bertanya. Lesu.
Kuambilkan mangkok berisi bawang putih yang tadi
kutinggalkan di meja. Lalu kuberikan kepadanya.
Bang Leo mengamat-amati isi mangkok. Hidungnya
mengendus-endus, membaui.
"Busuk!" Ia memaki.
Aku angkat bahu. la melihatnya. Kembali mengawasi mukaku. Berkata:
"Matamu merah!"
"Ah...!" "Kau kira aku pun sependapat dengan pak Rasiman,
Dik" Bahwa makhluk itu...."
"Sudahlah, bang!" gerutuku, marah. "Lupakan saja!"
la manggut-manggut. Tak ada ekpresi apa-apa di
wajahnya, ketika ia hirup kopinya lantas berkata
sambil lalu: "Kalaupun pak Rasiman benar, aku
berharap yang datang memang Rosmala, seperti
sangkaanmu selama ini!"
"Oh ya"" Aku menyeringai, senang.
"la sebenarnya seorang penjaga bayi yang baik dan
"telaten," bang Leo tercenung. "Rosmala sudah
mengenal Novianty semenjak dilahirkan. Bila
kakakmu tidak sibuk di butik dan punya waktu
menjaga sendiri Novianty, Rosmala begitu kecewa
harus pulang. Tampaknya ia sudah keburu
menyayangi Novianty. Lihatlah. Betapa ia menyanyinyanyi riang ketika sebulan yang lalu ia datang lagi
atas panggilan kakakmu, untuk menjaga Novianty...."
"Tentu saja ia mencak-mencak kesenangan," aku
mendengus. "Karena ia akhirnya mendapatkan
kesempatannya. Memenuhi kepuasan seksuilnya yang
aneh." "Alaaa, Dik...."
"Abang tak tahu. Tak perduli jenis kelamin korbannya,
si penghisap darah selalu mengalami kepuasan seksuil
tiap kali menghirup darah korbannya. ltu sudah
merupakan naluri." "Tetapi Novianty masih bayi, Dik. Ingatlah itu."
"Oke. Kalau bukan kepuasan seksuil, pastilah karena
hal lain. Ingin awet muda, ingin tetap cantik. Lebih
parah lagi: tanpa darah bayi, umurnya tidak akan
bertahan lama." "Kau terlalu banyak baca buku novel. Atau nonton film
horor," bang Leo mencoba tersenyum.
"Terserah kau, Bang. Tetapi aku tetap yakin, Rosmala
itu... kalau bukan turunan drakula. Tentulah penganut
ilmu hitam. Tidakkah Abang sadari, semenjak minggu
lalu, tepatnya semenjak ia kembali di rumah ini,
Novianty mulai kehilangan darah"" Lantas kuingatkan
dia tiga kali peristiwa yang terjadi.
Hari kedua Rosmala datang, kami temukan bayi itu
tampak pucat dan menangis tak henti-hentinya.
Rosmala mengeluh. mengatakan ia telah tertidur tadi
malam. la tidak tahu apa sebabnya. Udara berubah
sangat dingin. Ada bau busuk yang aneh, lalu kantuk
datang menyerang dengan hebat. Ketika ia bangun, ia
lihat Novianty menggeliat di ranjang. Pucat, dan jerit
tangisnya begitu memilukan hati.
Rosmala minta maaf atas kelalaiannya. Tetapi pada
malam berikutnya, peristiwa yang sama berulang lagi.
Bang Leo masih di Jakarta untuk urusan bisnis, dan
kak Nita siangnya begitu sibuk di butik karena ada
rencana fashion-show, sehingga ia tertidur nyenyak
sekali. Aku sedang belajar di kamarku ketika jerit
tangis Novianty memecahkan keheningan malam.
Aku bergegas ke kamar bayi.
Pintu memang tidak dikunci. Dan kutemukan Rosmala
tengah mengguncang-guncang tubuh Novianty yang
sangat pucat dan kering. Tubuh yang berubah kurus
hanya dalam tempo dua tiga hari. Rosmala bersikeras
mengatakan bahwa ia sedang berusaha
menormalkan peredaran jalan darah bayi itu. Tetapi
ketika kulihat ada tetesan darah di dagu Novianty.
Lalu aku mulai curiga. Dan berpikir, manusia apa
kiranya baby-sister itu. Lalu kemarin malam. Lelah setelah pulang dari Jakarta, bang Leo langsung
masuk ke kamar. Kak Nita mengikutinya. Kukira
mereka bercumbu sebelum tidur. Jadi mereka tidak
kuganggu ketika aku terbangun oleh jerit tangis
Novianty. Aku langsung menerjang ke kamar bayi.
Rosmala sedang menghisap muIut Novianty dengan
kuat dan bernapsu. *** Pukul 11.26. Aku ke luar untuk mengintip keadaan di
luar rumah. Malam lebih terang kini. Kabut sudah hilang. Dan
rembulan empat belas hari bersinar gemerlapan di
langit biru jernih. Kata pak Rasiman, bila hujan turun
sebentar lalu bulan muncul lagi, pertanda roh-roh
jahat yang gentayangan di muka bumi tengah
Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"bersiap-siap untuk melakukan serangan terakhir
sebelum kembali ke dunia gelap.
Ada suara berkelepak di pohon jambu.
Seekor burung malam terbang lalu. Apakah itu bukan
kelelawar" Kuperhatikan burung itu menjauh sampai
lenyap di awan. Kalau saja aku ke luar lebih cepat,
tentu aku dapat melihat burung itu lebih dekat di
pohon jambu. Dan menyaksikan perubahan
wujudnya. Dari wujud burung, ke wujud gadis cantik
jelita, menyeringai buas memperlihatkan taring-taring
runcing mengancam. Tetapi Rosmala tidak punya gigi taring runcing.
Setelah ia siuman subuh tadi, ia langsung mengemasi
pakaiannya. "Aku minta berhenti!" katanya. Bang Leo berusaha
mencegah, sementara kak Nita sibuk menyusui
Novianty. "Aku tak mau diperlakukan semena-mena.
Aku akan menuntut...."
"Menuntut, apa, makhluk drakula"" Aku membentak.
la tertawa. Pahit. Selagi tertawa, sempat kusimak gigi
geliginya. Semua utuh. Putih. Rapih. Taring-taringnya
normal. Aku menyesali mengapa tidak memeriksa
mulutnya setelah ia kutinju malam harinya. Tentu
saja, wujudnya telah kembali ke wujud biasa. Bukan
wujud drakula, dengan taring berdarah.
Rosmala menangis. Bukan karena kecewa akan pergi.
Melainkan karena merasa semakin marah karena
dipermalukan begitu. Bagaimanapun didesak supaya
ia mau tetap tinggal, Rosmala tetap bersikeras minta
berhenti. la juga mengancam akan menuntutku di
pengadilan. Bang Leo dengan lembut
menyabarkannya. Rosmala kemudian pergi, setelah
berjanji akan melupakan tuntutannya. la telah diberi
uang pesangon tiga bulan gaji, dan tambahan seratus
ribu rupiah sebagai ganti rugi.
"Pemeras!" Aku memaki.
?"Bab 17 Bang Leo yang tahu-tahu sudah berdiri di sampingku,
bergumam lembut: "Siapa dik""
"Rosmala itu!" dengusku, mengawasi langit dimana
burung tadi menghilang. "la tahu abang akan mampu
membayar sejumlah pengacara ternama. Lantas
menyerah begitu saja, karena ia sadar tak akan
unggul melawan kita."
"Ah. la hanya ingin berpisah baik-baik dengan kita."
"Hai!" Aku jadi jengkel. "Abang dan kakak selalu
membela perempuan itu. Rupanya abang dan kakak
sepaham dengan pak Rasiman."
"Maksudmu""
"Bahwa makhluk itu sebenarnya adalah...," aku tak
mampu melanjutkan kalimatku. Lidahku kelu, dan
sekujur tubuhku terasa dingin membeku. Peluh
mengalir di ketiak. Lembab. Basah.
"Biar aku yang berjaga-jaga di luar, dik," bang Leo
mengambil mangkok berisi irisan bawang putih di
tanganku. "Kau temanilah pak Rasiman di dalam."
Aku beringsut enggan. Masuk ke rumah.
Pak Rasiman sedang mengamat-amati benangbenang halus yang ia gantungkan di pintu kamar
mandi ruang tidur bayi. Benang-benang halus itupun
berbau bawang putih. Lagi aku ingin muntah dan
menjauh. Tetapi pak Rasiman sudah melihatku.
"Ke sinilah...!" la memanggil.
Aku masuk ke kamar mandi. Lampu kamar mandi
telah ia padamkan. Hanya lampu kamar tidur saja
yang masih menyala. Kak Nita dan bayinya juga
kebetulan pas masuk ke kamar itu, melalui pintu
penghubung. Kak Nita tampak pucat-pasi. la
memandangi kami dengan gelisah. Dan ketika
berbaring di ranjang, ia tak mau melepaskan Novianty
dari dekapannya. Meskipun begitu, tetap saja
kelihatan wujud bayi itu. Kurus kering, pucat, dengan
kulit-kulit leher dan lengan yang telanjang, tampak
mengisut. Bayi itu tertidur. Namun jelas kelopak
matanya yang berlipat memperlihatkan betapa ia
sangat sengsara. "Berbuatlah seolah tidak terjadi apa-apa." pak
Rasiman memperingatkan kak Nita. "Dan cobalah
untuk tidur. Kami akan berjaga-jaga di sini," Dan
kepadaku orangtua itu menerangkan apa maksud
benang-benang halus yang membatasi kamar mandi
dengan kamar tidur. "Mahluk itu tak akan mampu
memandang lewat benang ini. Kamar mandi ini akan
tetap gelap, meski masih disinari lampu dari dekat
ranjang. Di mata makhluk itu akan tetap gelap. la
tidak akan melihat kita."
"Kita"" aku menggigil.
"Ya. Kita," pak Rasiman tersenyum. "Bukankah kau
"sendiri yang tadi sore mengatakan akan melihat
dengan mata kepala siapa sebenarnya orang yang
kita tunggu"" "Aku...," kubasahi bibirku yang kering.
"Tak ada lagi waktu untuk berdebat, Nak. Tengah
malam hampir tiba!" Lalu kami duduk menunggu. Dengan jantung
berdebar-debar. Selagi menunggu itu aku masih tetap berharap,
Rosmala yang akan muncul. Entah dalam bentuk
kelelawar, entah dalam wujud yang utuh sebagai
manusia. Aku tak perduli. Pendeknya, ia yang har us
datang. Bukan... Aku menggigil, dengan peluh yang
semakin banyak bersimbah di balik baju.
Pulang kuliah tadi siang, aku menyempatkan diri
berkunjung ke rumah kost Emilia. la menyambutku
dengan senyuman manis yang tak akan pernah aku
peroleh di apotek, untuk mengobati perasaan jemu
dan pusing kepala yang telah menyerangku pagi tadi.
Emilia bertanya mengenai kawan-kawan sekuliah,
dan kujawab bahwa mereka sebaliknya juga
menanyakan dia. "Mestinya kau terima mereka datang," kataku.
"Dan memperlihatkan wajahku yang buruk" la
mencoba tertawa. Tawa lunak mendinginkan darah
yang bergejolak di kepalaku. Sambil menikmati susu
panas yang ia hidangkan begitu aku masuk,
kupandangi wajah Emilia. la akan tampak cantik
jelita, andai saja parit di bawah hidungnya tidak
hilang. Parit yang terletak di antara hidung dan bibir atas itu, raib
tanpa meninggalkan bekas delapan hari yang lalu.
Gusiku bengkak, kata Emilia. Aku menyuruhnya pergi
ke dokter. Tetapi ia bilang, dengan pulasan lumatan
kunyit dan kumur-kumur air garam tiap malam,
gusinya akan baik kembali.
"Kau tampak sakit, bang," katanya ketika ia lihat
mataku yang merah. "Kurang tidur, barangkali"
Memikirkan siapa, bang"" la mengerling, cemberut
memperlihatkan cemburu. Emilia kurangkul. la tidak menolak. Namun ia
mengelak ketika aku membungkuk untuk mencari
kehangatan pada bibirnya. Bibir yang tampak
mencuat itu, karena parit di bawah hidung yang tak
ada lagi. "Aku tak pernah memikirkan gadis lain kecuali
engkau, Emil!" Kutegaskan padanya, "Mengapa kau
selalu menolak kucium""
"Gusiku masih sakit." ia tersenyum. "Lagipula takut
menular nanti." "Hem..." "Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Oh!" aku mengeluh. Bersandar di kursi. Lesu. "Kau
ingat si Rosmala""
"Baby sitter itu" Ingat. Apakah kau juga telah
memaksa menciumnya, sehingga kau...."
"Hentikan omong kosong itu!" berengutku, kasar. "Aku
telah meninjunya, bukan menciumnya!"
"Wouw! Mengapa""
Kuceritakan padanya peristiwa di rumah selama satu
minggu terakhir. Emilia mendengarkan penuh
perhatian, sesekali menghela nafas, sesekali berwajah
pucat, di lain saat wajahnya memerah saga. Kalau tak
salah, malah sinar matanya pernah berkilat ganjil. Dan
membuat mulutnya tampak semakin tak sedap ketika
ia menganga waktu kugambarkan keadaan Novianty
sekarang. "Kapan kau terakhir melihat bayi itu"" tanyaku.
"Hem, sembilan. Atau sepuluh hari yang lewat. la
begitu montok, segar. Belum pernah kulihat bayi
segemuk dia." ""Dan kau begitu bernapsu untuk memangku
Novianty," Aku tertawa "Malah kau sempat hampir
menggigitnya, kalau tak keburu Novianty menjerit!"
Emilia berpaling. Entah apa yang dicarinya di tembok
kamar. Lalu. tiba-tiba saja ia mengalihkan
pembicaraan: "Kau membawa catatan-catatan kuliah,
bang"" Lagi aku mengeluh. "Tidak." "Eh, kok tidak," la kembali menatapku. Wajahnya
tampak berseri, rupanya senang melihat kerutankerutan di dahiku, "Kau tampak semakin tua. Tetapi
lebih dewasa. Lebih jantan!" la tertawa. "Tidak
konsentrasi waktu kuliah""
"Dengan peristiwa yang berlangsung di rumah"" Aku
menggeram, gusar, "Kau tak ada ditempatku, Emil.
Kalau kau sendiri melihatnya. Melihat makhluk buas
itu menghisap mulut bayi bang Leo. Menghirup habis
darahnya..." Aku berhenti bicara, ketika kurasakan
tubuh Emilia menegang kaku dalam dekapanku. "Ada
apa sayang"" "Gusiku sakit lagi, kasih," sahutnya. Tertawa parau.
"Rasanya kepalaku pusing..."
"Perlu kupijit""
"Tak usah." "Akan kuambilkan obat....."
"Jangan. Biarkan aku tidur sebentar. Kemudian
semuanya akan baik kembali. Dan percayalah....," ia
berusaha tersenyum namun tetap cuatan pada bibir
atas Emilia membuat kecantikannya benar-benar
ternoda. "Minggu depan, aku akan masuk kuliah lagi.
Dan kau... boleh menciumku. Atau mau lebih dari
itupun, akan kupersembahkan."
Aku mencubitnya. Gemas. Emilia terpekik. Lantas: "Mungkin aku tidur agak lama. Apakah tidak
sebaiknya kau pulang saja, bang" Aku tak ingin ibu
kostku curiga dan...."
Aku mengerti dan kutinggalkan ia setelah ia bermurah
hati sedikit: mau dicium. Tapi di pipi.
*** Pukul 11.45. Udara dingin memasuki kamar.
Kami berpaling kaget. Ternyata pintu dibuka diamdiam oleh bang Leo, yang melongokkan kepala ke
dalam. Pak Rasiman bersungut, kesal dan bernada
mengusir. Bang Leo memandangku, bertanya-tanya.
Kuanggukkan kepala sebagai pertanda kami sudah
siap. la kemudian melirik ke ranjang. Kelopak mata
kak Nita mulai memberat. la tidur dengan gelisah
resah, dan masih tampak pucat. Mestinya ia sudah
pulas lima atau sepuluh menit sebelumnya. Tetapi
naluri ingin melindungi keselamatan jiwa sang anak
membuat obat tidur yang telah ditelan kak Nita tidak
mampu bekerja sempurna. Bang Leo masih
menunggu sampai isterinya benar-benar terpejam,
baru kemudian menutup pintu. Itupun, setelah pak
Rasiman mendelik marah. Tadi sore ia begitu ramah menyambutku, sepulang
aku dari rumah Emilia. "Aku kebetulan berkunjung ke rumah paman kalian.
Dan kudengar tentang bayi abangmu," ia
menjelaskan. "Lalu kupikir tak ada salahnya melihatlihat."
Tadi sore bang Leo memberitahu aku kalau pak
Rasiman yang masih terhitung famili jauh itu, telah
meneliti keadaan Novianty. Hanya sekilas pandang, ia
sudah tahu apa yang diderita anak itu.
"Korban palasik!" Ia bersungut-sungut.
"Apa"" "Palasik. Mahluk penghisap darah. Masa kalian sebagai
orang Medan tidak tahu!"
""Maklum. Sudah lama di rantau, pak," bang Leo
menyeringai, "la ini lahirnya malah di Surabaya!" bang
Leo menudingku sehingga aku tak perlu malu kalau
buta sama sekalli mengenai seluk-beluk mahluk yang
ia namakan palasik itu. "Mahluk-mahluk itu berasal dari sebuah pedalaman,"
pak Rasiman menjelaskan secara ringkas, dan
menyebutkan sekalian letak dan nama daerah yang
ia maksud. "Mereka itu manusia biasa seperti kita.
Tetapi karena mengemban kutuk nenek moyang....
pada saat-saat tertentu, mereka akan menjelma
sebagai palasik. Korban mereka umumnya bayi di
bawah usia satu tahun. Mereka pergi menyebar.
Berkeliaran di mana-mana. Di terminal bis, di tempat
rekreasi, di pinggir-pinggir jalan. Kalau perlu di toko
atau di dalam bioskop. Pendeknya dimana ada bayi
yang darahnya dapat mereka hisap."
?"Bab 18 "Bagaimana caranya""
"Macam-macam. Melalui gigitan di leher. Atau
menghirup langsung dari mulut. Umumnya, dengan
memandang saja sekilas pada Bayi, maka napsu
jahanam mereka sudah terpuasi."
Babi Ngepet Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hanya memandang""
"Hanya memandang! Dan tak ada jamahan tangan.
Tak ada sentuhan. Tetapi bayi itu telah kehilangan
sebagian darahnya!" pak Rasiman geleng-geleng
kepala. "Yang mengerikan," lanjutnya. "Kalau korban
mereka segar, montok, konon darahnya manis pula.
Dengan bantuan pengaruh gaib, mereka
akan mendatangi bayi itu tiap malam. Menghirup
darahnya, ditempat tidur si bayi... tanpa ibu si bayi
atau siapapun yang tidur dekat si bayi
mengetahuinya." "Wah...!" "Mereka punya kemampuan sihir yang dahsyat. Orang
sekarang menyebutnya hipnotis. Penghuni rumah
yang mereka datangi akan tertidur pulas. Kecuali,
mereka yang imannya kuat, tak pernah meninggalkan
sembahyang...," lalu pak Rasiman menceritakan
bagaimana caranya makhluk itu masuk ke rumah dan
apa saja yang ia kerjakan. Aku mengigil
mendengarnya. "Dan si Rosmala itu!" rungutku. "la tentunya...""
"Rosmala siapa""
"Penjaga bayi kami," jawab bang Leo. "la telah
berbuat hal yang bukan-bukan. ltu menurut adikku
ini," Ia tersenyum padaku. "Tetapi aku lebih yakin,
Rosmala hanya bermaksud menormalkan jalan darah
Novianty. Atau melakukan pernapasan buatan,
sebagaimana yang dia akui. Tetapi..."
"Dialah makhluk itu!" Aku berteriak.
"Coba berikan ciri-ciri si gadis."
Setelah kami terangkan bergantian, pak Rasiman
geleng-geleng kepala. "Bukan. Bukan dia," katanya,
tandas. "Tetapi orang lain. Yang parit di bawah
bibirnya tidak kelihatan. Hei, ada apa dengan kau,
nak"" Pak Rasiman menatapku, heran.
Aku terduduk. Lemas. Pucat. Berkeringat. *** Pukul 11.57. Udara dingin merembes semakin banyak.
Dapat kurasakan arah bertiupnya. Datang lewat
lubang angin diatas jendela kaca. Aku berpaling
mengawasi pak Rasiman. Matanya terpejam. Ia
duduk bersila di lantai kamar mandi. Kukira ia tertidur,
tetapi mulutnya komat-kamit. Entah apa yang ia
ucapkan. Ataukah ia berdoa"
Diam-diam aku, aku ikut berdoa: "Ya Tuhanku. Jangan.
Jangan dia. Jangan Emilia!"
"Kuamat-amati sebilah kulit bambu tipis di pangkuan
orang tua itu. Untuk apa kulit bambu yang tajam
sembilu yang menggerihkan tulang itu" Apakah
senjata untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan"
Atau... peluh membercik kian banyak, membuat
pakaianku lengket jadi satu dengan tubuhku. Dingin.
Dingin bukan main. Suatu saat, aku bergidik.
Kak Nita tampak menggeliat di tempat tidur. Tetapi
segera pulas kembali. Tak sadar, dekapannya ke
tubuh Novianty terlepas. Anak itu juga menggeliat.
Lemah, dan tersiksa. Samar-samar terdengar erang
dan rintihnya. Kukira, ia mulai menangis.
Sudah siapkah bang Leo menabur irisan bawang putih
di luarjendela, begitu makhluk yang kami tunggu
masuk lewat lubang angin"
Dan Novianty... bayi itu menjerit. Lemah.
Aku terlonjak. Mau bangkit. Tetapi pak Rasiman
menyeretku duduk kembali. la tak berkata apa-apa,
tetapi aku sadar kalau disuruh jangan berbuat berisik.
Tetapi bagaimana aku bisa diam" Karena... sesuatu
tiba-tiba berkelebat di luar jendela kaca. Bang Leokah" Atau..., Mendadak, aku terbeliak. Ngeri. Seraut
wajah tampak samar-samar di luar jendela. Mengintip
ke dalam. Wajah putih seperti mayat. Masih samar,
sehingga tak terlihat jelas. Rambutnya yang panjang
tergerai, berkibar-kibar ditiup angin. Tak ada tubuh.
Yang ada hanya kepala dan wajah!
Kalau aku bang Leo yang bersembunyi di dekat dapur,
hanya terjadi dua kemungkinan, makhluk mengerikan
itu buru-buru kuringkus. Atau begitu melihatnya, telah
jatuh semaput seketika! Bau busuk mulai menyerang hidung.
Mataku terasa berat. Ingin tidur. Tetapi segera kuingat
pesan pak Rasiman agar selalu menggigit lidah.
Dengan sendirinya timbul rasa sakit dan perih, dan
kantuk yang hebat itu akan hilang dengan sendirinya.
Lalu tiba-tiba aku ingin kencing, waktu mencium bau
bangkai. Ternyata makhluk itu telah masuk lewat lubang angin
di atas jendela. Melayang-layang masuk ke kamar
tidur, mengitari ranjang, mengawasi kak Nita dan
bayinya. Rambutnya berkibar kian kemari. Sekali, ia
berpaling ke pintu kamar mandi, lantas menyeringai
seram. Dan aku mengenali wajahnya!
Aku terpesona. Tepatnya, terpukau, membeku.
Dengan suara meringkik seram, makhluk itu langsung
hinggap di atas Novianty, lalu mulutnya dihunjamkan
ke mulut sang bayi yang malang tersebut. Saat itulah,
aku ingin menjerit. Namun lidahku kelu. Aku baru
memperoleh semangatku kembali, waktu pak
Rasiman bangkit, menerjang ke depan seraya
berteriak membentak: "Hentikan!"
Terdengar jeritan menyayat tulang. Lalu makhluk
berwujud kepala dan wajah perempuan muda dan
cantik itu berpaling. la menjerit-jerit lagi ketika
mengetahui kehadiran orang lain disekitarnya. Dan
melolong waktu melihat. Aku juga ke luar dari kamar
mandi. Lututku goyah, dan aku mendekat tersuruksuruk dibelakang pak Rasiman. Saat berikutnya, aku
hampir kabur ketakutan waktu makhluk itu melayang
ke celah pintu kamar. Bau bawang putih
mengurungkan niatnya. Kepala itu melayang ke
lubang angin jendela. Mundur lagi ketakutan seraya
menjerit-jerit histeris. Jadi, bang Leo telah
menaburkan irisan bawang putih pula disekitar
ventilasi jendela. Bagaikan gasing mainan yang tidak terkendali,
makhluk itu berputar-putar dilantai, mencari lubang ke
luar. Tak ada. Terbang ke langit-langit, berputar liar.
Juga gagal. Lalu suatu saat, ia menerjang maju.
"Langsung menuju tempatku dan pak Rasiman berdiri.
Seketika, aku jatuh berlutut. Dan celanaku mulai
basah. "Pergilah ke tempat asalmu, terkutuk!" Pak Rasiman
berbisik. Tajam. Dan samar-samar kulihat bilah kulit
bambu yang tajam itu ia lontarkan ke udara, lewat
persis di bawah kepala yang mengapung diantara
lantai dan langit-langit kamar itu. Andai disitu ada
leher, tentulah bilah sembilu telah mengeratnya.
Terdengar raungan yang dahsyat, lalu makhluk itu
berputar. Dengan suatu terjangan menakjubkan,
makhluk menerkam jendela. Terdengar suara kaca
pecah, hingar bingar. Makhkuk itu kemudian melesat
kabur ke luar, meninggalkan jerit kematian yang
mendirikan bulu roma. Aku berlari ke tempat tidur.
Novianty, sungguh ajaib... tersenyum manis!
*** Pukul 01.20. Dinihari. Dengan memacu mobil dengan kecepatan tinggi, kami
tiba di rumah tempat Emilia kost. Keributan tengah
berlangsung ketika kami tiba. Banyak orang ke luar
masuk. Ada suara memerintah, membentak, ada
suara menangis, dan saling tanya jawab yang kacau
balau. Anak pemilik rumah berlari-lari menyongsong kami.
Wajahnya pucat pasi, dan tampak ia sangat
kebingungan, sekaligus ketakutan.
"Nona Emilia!" ia berseru ketika ia melihatku. "Nona
Emilia tadi menjerit-jerit. Ketika kami dobrak
kamarnya, kami temukan ia sudah...."
Emilia terbaring menelentang di ranjangnya.
Kamarnya porak poranda. Kasur dan sprei sobeksobek. Darah menggenangi bantal. Darah itu keluar
dari lehernya yang luka menganga. Dan dari
wajahnya yang penuh goresan bekas benda tajam.
Seseorang tengah membungkuk memperhatikan, lalu
mencabut sesuatu dari pipi Emilia. Mengamatamatinya dekat lampu, lantas bergumam heran:
"Pecahan kaca!"
"la telah mati!" desah yang lain. Ngeri.
Aku terkulai jatuh. **** ESOK paginya mayat Emilia dikuburkan.
Aku tak menghadiri pemakaman itu, karena terbaring
sakit di rumah. Tiga hari lamanya aku tak bangunbangun. Hari keempat, aku lebih sehat dan
kesadaranku lebih sempurna. Yang pertama
kutanyakan adalah Novianty.
"la makin gemuk," jawab kak Nita, tersenyum.
"Bagaimana perasaanmu sekarang""
"Lebih enak." Setelah aku dapat bangun dan berdiri, aku menulis
surat. Kutujukan pada Rosmala, dengan permintaan
maaf yang tidak.... Yah, rasanya yang tidak mungkin
diampuni. Rosmala menjawab suratku. Tidak melalui surat pula.
la datang sendiri, menanyakan kesehatanku dan
berkata nakal: "Sentuhan tanganmu di pipiku tak akan
pernah kulupakan!" "Sentuhan!" Aku menggerimit, malu. "Belum pernah
aku meninju seseorang sekeras itu. Dan kau bilang...."
"Sentuhan," Rosmala tersenyum. "Aku berkata
sebenarnya. Sebelum ini, belum pernah ada tan gan
laki-laki mendarat di wajahku!"
"Ah!" "Hanya lain kali, jangan terlalu keras ya"" Rosmala
mendelik. Aku terbengong, lantas tertawa. Dan lama kemudian,
peringatan Rosmala itu selalu kujaga baik-baik. Bila
aku menyentuh pipinya; kuusahakan selembut dan
"sehalus mungkin. Kadang-kadang ia mengelak. Tetapi
ada waktunya, dimana aku tak dapat menahan diri.
Pipi segar berseri itu kucubit gemas.
Lalu Rosmala akan terpekik.
Manja. -TAMAT- Sayap Sayap Terkembang 23 Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama