Ceritasilat Novel Online

Bisikan Arwah 2

Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap Bagian 2


Saat itu juga, Eka menghambur keluar.
"Tidaaaaaaak!" ia menjerit. "Tolong Tolong!"
Suara jeritannya menggema memecahkan kesepian
pantai. Lidah dan perut ombak bersorak sorai, sambut
menyambut dengan suara Eka. la berlari menjauhi
pantai seraya terus berteriak-teriak minta tolong.
Tetapi dari belakang, ia dengar suara Parta demikian
dekatnya: "Kemana, sayang" Tak seorang pun ada di sini. Bukan
seperti dulu. Ketika orang-orang kampung berpihak
padamu dan mulai menyerangku ........... Berhentilah
Eka. Berhentilah. Aku ingin mencumbumu. Aku rindu
padamu, kekasih. Aku tergila-gila oleh kehangatan
tubuh indahmu ........."
Dan satu kaitan seperti belitan ular, menerpa kaki
kanan Eka. "Auuu!" ia terpekik ketakutan, lantas jatuh
terjerembab. Waktu ia membalik, sesosok tubuh yang berat
menindih tubuhnya. "Peluklah aku, Eka. Ciumlah aku. Keluarkan
lidahmu ....................."
Eka berusaha menghindari jelujuran lidah bercabangcabang dan berlendir dengan bau memualkan yang
menyerang seluruh wajahnya. Tetapi tangan yang
kukuh menyentuh rambutnya, menekan kepalanya ke
pasir, sehingga akhirnya Eka tidak bisa menghindari
ciuman mahluk itu yang jatuh bertubi-tubi. Pakaian
yang melekat di tubuhnya habis direnggut dan
dirobek. Perlawanan Eka punah dikuasai kekuatan mahluk
yang luar biasa itu. Ia akhirnya pasrah dan berharap
masih diberi kesempatan untuk hidup, ketika tubuh
yang menindih tubuhnya kemudian terkapar
disebelahnya......... Cuma tubuh mahluk itu saja. Tidak lidahnya. Menjulur
terus di sekujur leher Eka, dan tiba-tiba sepasang
taring yang panjang dan tajam, terhunjam di leher
yang jenjang dan halus itu. Darah, memercik keluar
bersamaan dengan lepasnya jeritan Eka.......
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
Di KANTOR, pikiran Iwan tidak terpusat pada
pekerjaannya. Ia merasa amat letih dalam beberapa hari ini. Kalau
cuma letih phisik ia bisa atasi dengan rekreasi sedikit
bersama Mira. Ah, ia telah melupakan hal itu.
Semenjak kembali dari desa, Mira selalu sibuk dengan
pekerjaan di rumah. Sementera Iwan yang senantiasa
kesiangan masuk kantor dihadapkan pada tugas yang
bertumpuk-tumpuk. Rekreasi. Ah, apakah dengan
rekreasi keletihan dalam jiwa lwan bisa
terkendurkan" Seorang pegawai tiba-tiba berdiri di depan meja lwan.
"Ada telephone!"
lwan terdongak. Telephone"
"Dari?" "lsteri 0om." Ah. Tak biasanya Mira menelphone. Dan di rumah tak
ada pesawat penyambung bicara itu.
Mau apa Mira menghubunginya pertelephone" Dan
dari mana" Bergegas ia ke meja pegawai tadi,
mengangkat gagang telepon yang terhantar di dekat
chaak dan menyahut: ".......... .. Iwan di sini."
Dari seberang terdengar suara Mira yang
membayangkan kebingungan:
"Sayang, kau telah baca surat kabar pagi ini?"
"Tidak. Aku tak berminat. Mengapa" Dan dari mana
kau menelphone?" "Dari rumah bibi. Aku bermaksud pergi ke pantai.
Tetapi aku butuh kendaraan. Akan kuminta Joko
mengantarkan aku. Kau mau ikut, Iwan?"
"Pekerjaanku bertumpuk. Mau apa kau ke pantai"
sekilas ingatan lwan terlintas pada apa yang ia
bayangkan barusan: rekreasi. Tetapi mana mungkin
Mira mau berekreasi sendirian begitu tiba-tiba tanpa
rencana dan tanpa lebih dulu menanyakan padanya"
"Aku penasaran, Iwan," ia dengar suara diseberang.
"Tentang?" "Berita surat kabar hari ini. Sudah kau baca?"
"Kubilang aku............"
"Kubacakan, ya?" potong isterinya cepat-cepat.
Cepat-cepat pula ia membacakan isi surat kabar yang
mungkin tengah tergenggam di sebelah tangannya
yang lain. Mulai dari judulnya yang kata Mira ditulis
besar-besar sebagai headline di halaman pertama:
KEMATIAN MISTERIUS SEPASANG KEKASIH DI TEPI
PANTAI. Jantung lwan berdenyut. Tak lagi ia mendengarkan
dengan serius apa yang dibaca Mira, pertelepon dari
surat kabar pagi hari itu. la sudah tau. Kemaren pagi
beberapa nelayan yang akan berangkat ke laut telah
menemukan dua sosok tubuh di pinggir pantai.
Seorang laki-laki, hampir saja hanyut dibawa ombak.
Tubuh dibalik pakaiannya yang mewah hitam legam
seperti hangus. Warna hangus yang sana terdapat
pada tubuh mayat yang letaknya tak jauh dari mayat
pertama. Seorang perempuan muda dan cantik, tetapi
tampak amat mengerikan melihat matanya yang
terpentang lebar seperti memandang sesuatu yang
membuatnya seketika shock. Pakaiannya awutawutan. Ada tanda diperkosa. Dan sebelum diperkosa
lebih dulu melarikan diri dari dalam sebuah Datsun
yang terparkir di tepi pantai.
".... Iwan?" "Ya!" lwan terjengah.
"Kau dengarkan aku?"
"Masih, Mira." "Kuteruskan?" "Tak usah. Kawan-kawan sekantorku tadi pagi
membaca berita yang sama. Gunjingan mereka
kudengar. Kalau tak salah, yang perempuan sudah
bersuami. Mayat laki-laki itu adalah mayat pacar
gelapnya. Yang memperkosa korban perempuan
bukan kekasih gelapnya, karena yang disebut
pertama mati lebih dulu. Lalu siapa yang
memperkosa" Bagaimana ia mati" Bunuh diri dengan
menelan racun" Atau dibunuh?"
"lwan, lwan. Kau seperti mengetahui lebih
banyak ............"
Merasa terlanjur, lwan cepat menukas:
"Itu gunjingan yang tersebar di kantor."
"Kau tau siapa yang jadi korban?"
Hampir saja lwan mengiyakan. Tetapi ia pikir adalah
lebih bijaksana untuk berlagak bodoh.
"Tidak. Siapa kira-kira?"
"Eka. lwan," suara Mira setengah berseru. Gemetar
dan lirih. "Eka. Laki-laki itu Dikky, kekasih
gelapnya ................."
"Kekasih gelap" Kalau begitu, apakah tidak mungkin
suaminya....?" Lagak lwan yang pilon, segera dibantah Mira:
"Suami Eka sedang berada di Tokyo. Tetapi Iwan. Aku
tak perduli apakah Eka dan kekasihnya bunuh diri
atau dibunuh. Tetapi beberapa hal membuatku cemas.
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
Cara Eka mati sama seperti paman Ukar almarhum.
Begitu juga Dikky. Bedanya Eka diperkosa. Sehingga
mulai disinyalir adanya pihak ketiga. Aku jadi
penasaran Iwan. Adakah hubungan kematian mereka
berdua dengan kematian paman" Dan.... Oh, Iwan.
Terpikirkankah olehmu, dua orang korban berasal dari
desa yang sama. Dan masih ada pertalian famili?"
"Mungkin... Mungkin kebetulan, Mira," sahut Iwan
susah payah. "Aku berfikir secara logika. Bukan berdasarkan faktor
kemungkinan, apalagi kebetulan. Oh, Iwan... aku
takut. Takut sekali. Mungkinkah akan jatuh korban
lain" Siapa" Keluarga kita lagi" Atau setidak-tidaknya
yang berasal dari desa kelahiranku?"
Iwan bimbang untuk menjawab. Lalu:
"Jangan berangan-angan yang tidak-tidak, Mira.
Lupakanlah semua itu dan kembalilah ke rumah."
"Tidak. Aku akan ke pantai."
"Untuk?" "Aku ingin tau. Betul-betul ingin tau!"
"Ah, Mira ......."
"lkut?" ".... tidak. Pergilah dengan Joko. Aku lelah sekali dan
masih banyak pekerjaan."
Suara Mira di seberang sana berubah lembut dan
mesra: "Maafkan aku, sayang. Oh, egoisnya aku ini.
Semenjak dari desa kau begitu letih. Kau sedang
sakit, bukan?" "Telah kau tanyakan itu tadi pagi. Juga kemaren pagi."
"Aku lupa." "Tenangkan hatimu, sayang. Aku baik-baik saja. Nah
jadi juga kau pergi ke pantai?"
Mira bersikeras dengan keinginannya. lwan tak dapat
melarang. Toh tidak akan ada jejak-jejak yang bisa
ditemukan Mira disana. Polisi saja kehilangan
setengah mati. Apa yang akan ditemukan Mira,
adalah apa yang telah pernah ditemukan oleh
penduduk desa waktu mereka temukan tubuh Iwan
terkapar di tengah lapang berumput dalam keadaan
pingsan. Tidak ada bekas. Tidak ada jejak. Tidak ada
tanda-tanda. Semua serba misterius. Dan kemudian
toh orang akan mulai melupakannya. Perlahan-lahan.
tetapi pasti. Tetapi kesimpulan itu tidak membuat lwan tenang.
Terbayang di matanya, bagaimana subuh kemaren ia
meninggalkan dua orang manusia yang telah menjadi
mayat. Pulang ke rumah. Terbang seperti angin. Di
perjalanan pulang, ia rasakan proses perubahan yang
aneh itu lagi pada dirinya. Semakin dekat ke rumah,
semakin tubuhnya letih lesu, tak bersemangat dan
sangat mengantuk. Untungnya Mira terlelap bagai
bayi yang baru habis kenyang menyusu. Sehingga
dengan diam-diam lwan naik kembali ke tempat tidur,
menggulung diri dibawah selimut.
"Akukah yang telah membunuh Eka dan Dikky?"
pikirnya dengan benak yang kusut. "Tidak. Aku tak
mungkin melakukan itu."
"Tetapi mereka telah mati. Kau tau. Mereka mati!"
teriak suara hatinya. "Aku tau. Tetapi bukan aku yang berbuat. Aku tak
menyimpan racun dibalik gigi. Gigiku pun biasa. Tak
ada taring-taring yang panjang dan runcing-runcing.
Eka menyebutku Parta. Dan aku bukan Parta. Tak
kenal siapa itu Parta!"
"Biarlah. Lupakan saja. Toh keduanya penzinah yang
harus dihukum." Ya. Akan ia biarkan saja. Tetapi dapatkah" Buktinya,
belakang kepala lwan berdenyut-denyut kencang.
Bagaikan palu yang terus menerpa memukul.
Wajahnya berkeringat. Dan ia tersentak waktu salah
seorang rekan sekantor di sebelah mejanya nyeletuk:
"Sakit, Iwan?" la tergagap. "Ah ....... tidak....."
"Kau sakit. Wajahmu pucat. Berkeringat. Itulah. Masa
bulan madu masih panjang kau sudah masuk kerja.
Dihabisin istri di rumah ya?" tertawa. "Sudah, kawan.
Pemiisi saja pulang. Pergi ke dokter. Atau, ke rumah,
eh?" mata rekannya bermain nakal.
"Jangan meledek terus. Tak lucu!" rungut lwan.
"Tetapi kukira kau benar. Aku perlu bantuan seorang
dokter. Kau beritahu majikan kalau nanti ditanya, ya?"
Lantas lwan keluar dari kantor.
Ia memerlukan dokter. Tetapi dokter apa" Tak ada
yang sakit dalam tubuh. Yang sakit adalah jiwanya.
"Hem, aku," ia berbisik sendiri. Lalu memanggil sebuah
taksi. Setelah berhenti, ia naik. Taksi itu berjalan. lwan
bergumam: "Jalan Otto!" la turun di hadapan sebuah rumah berpekarangan
luas di jalan Otto Iskand
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
ar Dinata. Sebuah papan nama tertera di pinggir pagar:
Dokter Winata. Psykiater. lwan berjalan memasuki pekarangan, terus ke arah
pavilyun di mana dokter Winata praktek. Tetapi
sebelum tiba di sana, Iwan tiba-tiba tertegun.
"Apa yang kuceritakan pada dokter" Tentang ular itu?"
Sudah tentu. Tetapi: ".... percayakah dokter dengan omong kosong
begituan?" Tidak. Namun siapa tahu. Barangkali ia bisa menghypnotisku. la bisa korek
keterangan dari mulutku. Keterangan yang jujur
dan ............ Dan terngiang ancaman ular misterius itu:
"Sekali kau ceritakan pada orang lain, kau binasa.
Tersiksa selama-lamanya......!"
Ngiang itu melengking-lengking seperti kontak arus
listrik. Kepala lwan terhempas-hempas. Matanya
berair. la tutup telinga dengan kedua belah


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya. Berlari ke jalan.
"Tidakl Tidak! Tidak!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia merasakan
gumpalan yang menyesak di dada, perlahan-lahan
mencair. Ngiang di telinganya pun menjauh. Jauh.
Semakin jauh. Akhirnya lenyap sama sekali.
Kepayahan, lwan bersandar ke sebuah tonggak
telephone. la tarik nafas dalam-dalam. la buang
kemudian. Panjang-panjang. Lega kini dadanya.
Ringan kini kepalanya. Dengan ringan pula ia berjalan
ke sebuah halte bus. Di sana ia menunggu. la akan
tiba di rumah dalam setengah jam, langsung naik ke
atas ranjang dan tidur. la telah begitu banyak kurang
tidur belakangan ini.....
la terbangun sore hari, waktu cuping hidungnya
mencium bau masakan segar yang mengebul dari
dapur. la lihat Mira duduk di sampingnya. Tersenyum.
"Puas ya tidurnya?"
lwan balas tersenyum. Merasa senang oleh kecupan
bibir Mira yang sekilas di pipinya.
"Segeralah mandi, kekasih. Kau tentunya lapar,
bukan?" Namun selama mereka makan, dibalik senyum
kebahagiaan di bibir Mira, terselip sinar kekhawatiran
dimatanya. lwan menunggu sampai mereka selesai
makan, dan kemudian minum teh sore di terras.
Setelah lama saling terdiam, tiba-tiba Mira
menyeletuk: "Tak kau tanyakan apa yang kutemukan di pantai?"
lwan tersentak. Mira mengembangkan telapak tangannya yang
tertutup dari tadi. *
SELAMA beberapa saat jantung lwan menggelepar.
Aku harus tampak tenang, pikirnya. Mira tidak boleh
tau goncangan apa yang tengah berkecamuk dalam
hati. Sebelum Eka terkapar mati di pinggir pantai, Eka
sempat melakukan perlawanan. Bahkan ketika ia
diperkosa, perlawanan perempuan itu tidak pernah
berhenti. Sampai hunjaman gigi taring yang runcing
dan panjang-panjang di lehernya yang jenjang.
Perlawanan Eka itulah yang menyebabkan beberapa
helai sisik mahluk yang memperkosa dan kemudian
membunuhnya, terkelupas. Mahluk dengan tubuh
manusia tetapi berkulit dan berwajah ular.
Iwan tak yakin ia sendirilah mahluk yang buas itu,
tetapi rasa sakit di dadanya sewaktu berlari-lari
pulang ke rumah untuk kemudian tidur dengan tubuh
yang letih lesu di sebelah Mira, membuat ia berpikir
lain. Lebih-lebih setelah ada goresan-goresan halus di
dadanya yang ia lihat waktu mandi pagi-pagi
esoknya. Yang ketika ditanyakan oleh Mira, ia
menjawab: "Habis sih. Kau! Bergelut di tempat tidur, pake kuku
segala!" Begitu dahsyatnya pengaruh iblis itu atas dirinya"
Sekali lagi jantung Iwan menggelepar.
Seolah-olah sambil lalu ia bertanya: "Apa itu, Mira?"
lantas melengos ke jalan raya tak jauh di depan
rumah. Sepi. Hanya satu dua kendaraan yang lalu.
Dan lebih sedikit lagi orang yang berjalan kaki. Udara
sore ini betapa gersang. Pengap. Membuat siapapun
enggan keluar. Ia dengar helaan nafas dari lubang hidung Mira. Berat.
Berat sekali. la maklum mengapa. Tetapi ia harus
tetap tampak tenang. Mina tak boleh tau. Tidak.
Bukan saja karena ia terlalu cinta pada isterinya,
tetapi yang penting kalau Mira tau, lwan akan
berhadapan dengan bahaya yang tidak ia ketahui
bentuknya. Mira tentu tersiksa sepanjang hidup.
Bahkan mungkin menjanda. Janda yang penasaran!
O, http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
Iblis yang celaka. Telah sempurnakah
kepercayaanku terhadapmu"
"Coba perhatikan lagi yang benar, sayang," suara Mira
jelas menunjukkan ia berusaha menahan kesabaran.
lwan menurut dengan patuh. Namun masih tetap
sambil lalu: "Hem..... seperti, ah! Sisik. Ikan apa yang kau temukan
di pantai?" Habislah kesabaran Mira. "Seorang suami boleh sesekali bersandiwara pada
isterinya, lwan. Tetapi dalam persoalan ini, aku tak
bisa terima!" Hancurlah kepura-puraan Iwan. la seperti seorang
murid bodoh yang dimarahi oleh guru dan kemudian
tunduk saja mendengar celoteh yang bertubi-tubi
keluar dari mulut Mira: "Ini sisik. Benar! Tetapi bukan sisik ikan. Kau tau itu
Iwan. Bukan sisik ikan! lni sisik ular. Ular, Iwan. Ular!
Mungkin sebesar paha. Warnanya hitam. Legam.
Entah berapa meter pula panjangnya. Hhhh!"
Mira menggigil sesaat. Kemudian lama terdiam. Waktu
suaranya terdengar lagi, terasa melembut:
"Bisa kau katakan, sayang?"
"Panjang ular itu."
"Ular yang mana?"
Mira kembali tak senang. "Kok berpura-pura terus,
lwan?" Iwan terbungkam. "Harus kita pecahkan misteri ini, lwan. Sehari sebelum
kita menikah, kau tergopoh-gopoh pulang ke rumah.
Kau bercerita tentang ular besar dan panjang.
Berwarna hitam legam. Dan lenyap dengan tiba-tiba
dari pandangan matamu, setelah kau lepas dari
pesona. Ayah bilang yang kau lihat ular jin. Waktu itu
kau tertawakan pendapat ayah. Berarti kau
tertawakan pula kepercayaan orang sekampung. Kau
tau, waktu itu kita tidak sedang di kota. Dan tidak
sedang hidup dalam suasana kota yang lebih banyak
dipengaruhi logika dibanding dengan soal-soal tahayul.
Orang-orang di kota lupa. Lupa bahwa dalam agama
ada tersebut soal-soal gaib............."
"Mula pertama kita bertemu dulu, kau seharusnya
yang jadi dosen. Aku mahasiswa. Bukan
sebaliknya......." protes lwan, lesu. "Baiklah. Anggap
pendapat ayahmu dan orang-orang kampungmu,
benar. Lantas apa hubungannya dengan sisik ular
yang berada dalam genggaman tanganmu" Eh,
omong-omong. Apa tak sebaiknya sisik ular itu kau
buang saja. Kau tak jijik?"
Mira geleng kepala, "Akan kusimpan," katanya.
lwan tertawa. Kecut. "Lucu kau ini. Sisik ulai disimpan-simpan. Baru
sekarang kudengar ada Jin yang kulitnya bisa
disimpan manusia. Biarpun cuma jin ular," ia tertawa
lagi. "Mau kau apakan sisik ular jin-mu itu?"
"Entahlah. Tetapi aku percaya suatu ketika akan ada
gunanya. Yang jelas, dengan ditemukannya sisik ular
ini, aku mulai berpikir tentang beberapa peristiwa
ganjil. Kucoba menghubung-hubungkannya satu sama
lain. Memang hasilnya belum memuaskan, tetapi
kupikir aku telah mulai memperoleh petunjuk....."
"Eh, kau ini. Lagakmu seperti detektif. Petunjuk apa
yang kau peroleh" Hal-hal apa yang kau hubunghubungkan?" Mira mengernyitkan dahi. Tampak berpikir keras. lwan
tau apa yang dipikirkan isterinya, tetapi ia bersikap
tak tau menahu. la pikir, lebih baik ia masa bodoh.
Biarkan Mira dengan lagak dan hasrat detektipdetektipannya. Tetapi apa pula yang sedang
berkecamuk dalam benak bekas mahasiswi yang kini
jadi isterinya itu" "Aku ingat peristiwa ketika kau ditemukan penduduk
di tengah lapangan berumput tengah malam buta
dulu, lwan. Kau pingsan. Dan muntah. Waktu itu aku
berpikir, tentu kau kelelahan. Pusing. Dan jatuh
sebelum tiba di rumah. Kini, aku berpendapat lain. Kau
tentunya melihat ular itu lagi, la tak sempat
menghilang, seperti pertama kau temukan. Aku tak
tau apa yang membuatmu linglung, sehingga tak
bercerita tentang apapun. Mungkinkah kau waktu itu
berkelahi dengan ular yang kau ikuti ke tengah
lapang berumput?" "Melawan ular sebesar itu" Wah, bisa mati aku!"
"Hem. Mungkinkan kau tak sempat melawan" Ular itu
menyerangmu tiba-tiba. Katakanlah dengan hantaman
ekor. Atau kepala, yang meleset. Kau terpukul. Jatuh.
Pingsan sekaligus. Dan muntah oleh perasaan mual
dan jijik ........."
"Lantas?" "Ular itu menyangka kau sudah m
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
ati. Lalu kau ia tinggalkan begitu saja. Atau. buru-buru menghilang,
setelah melihat banyak orang pakai obor datang
mencarimu!" "Kenapa aku sendiri tak ingat kalau itu memang
terjadi?" tanya Iwan, setengah mencemooh dalam
hati. Pikirnya: istriku ini mulai main kira-kira. Tetapi itu
lebih baik. Dengan demikian aku tak usah bingung
kalau didesak terus-terusan untuk menceritakan hal
yang sebenarnya. Aku sendiri masih bimbang. Impian
buruk dan mengerikan sajakah ini semua" Atau
hayalan-hayalan menakutkan" Tetapi aku takut
kenyataan. Dan kalau itu kenyataan, betapa aku
inginnya semua ini lebih baik hanyalah impian belaka.
Betapa pun buruk dan mengerikan.
Lamat-lamat ia dengar isterinya mengemukakan
pendapat: "Pukulan ular itu langsung ke kepalamu."
"Oh, ya?" "ltulah sebabnya kau lupa apa yang terjadi."
"Gegar otak" Lantas mengapa hal-hal lain kuingat
semua?" "Kau tak sampai gegar otak. Cuma lemah ingatan."
"Mengapa kau katakan begitu?"
"Karena semenjak malam itu, sayangku, kau sering
tampak seperti orang yang kebingungan. Dulunya kau
adalah seorang laki-laki yang berwajah keras, tetapi
selalu tampak ceria. Segala sesuatu kau kerjakan
tanpa berpikir dua kali. Bersikap lemah lembut dan
dalam keadaan bagaimana pun berusaha untuk tetap
tenang." "Apakah kini aku telah jadi orang lain?"
"Lain samasekali, tidak. Tetapi kuperhatikan kau
belakangan ini, sayangku. Kalau malam sebelum tidur,
kau sering gelisah. Sehingga kalau bangun keesokan
harinya, matamu tampak kemerah-merahan. Pada
waktu-waktu tertentu kau suka kebingungan tak
menentu. Bahkan kudengar, di kantor pekerjaanmu
banyak terbengkalai. Yang paling kucemaskan, kau
tampak berubah jadi kurus!"
"Oh ya?" lwan gugup. "Kau begitu memperhatikan
diriku." "Aku isterimu. Iwan."
Perasaan mencemooh di dada lwan berubah jadi
haru. Ia pandangi Mira dengan sinar mata lembut dan
penuh kasih. Pertanyaannya mesra:
"Baiklah, Mira-ku. Mungkin aku bisa membantu. Halhal apa lagi yang tengah kau pikirkan selain apa yang
kualami?" Mira menggenggam jari-jemari suaminya.
"Pikirkanlah pekerjaan dan kesehatanmu, kekasih.
Kapan-kapan aku butuh bantuanmu, akan kupinta.
Tetapi aku tak akan berahasia padamu tentang apa
saja yang berada dalam pikiranku, bahkan apa saja
yang berhasil kuselidiki .........."
"Hem. Apa misalnya?" tanya Iwan serius. la tak lagi
pandang enteng pada jalan pikiran isterinya.
"Kematian paman Ukar. Dan kemudian Eka beserta
kekasih gelapnya." lwan menelan ludah. Menahan kejutan di jantung
agar tidak tersembur sampai ke muka.
"Ya?" "Mereka mati dengan cara yang sama. Mengerikan
sekali. Aku telah menemui dokter yang membuat
autopsi kematian mereka. Katanya ia heran Eka, dan
Dikky seperti diserang racun yang mematikan. Ada
bintik-bintik halus dipundak Dikky. Dan di leher Eka.
Tampaknya seperti tusukan jarum rangkap, begitu
kata dokter. Lalu kuceritakan tentang paman. Dokter
tertarik. Dan agak tersinggung, kenapa tak kuberitahu
sejak dulu-dulu." "Tentang?" jantung lwan kian menggeletar.
"Bintik-bintik yang sama di pundak paman Ukar!"
"Kau........ kau juga melihatnya?"
Mira menatap ke mata suaminya. lwan sadar, ia
terlanjur dengan kata-katanya. Karena itu cepat ia
melanjutkan: "Aku ikut memandikan jenazah pamamnu. Kulihat
bintikan-bintikan itu. Dan waktu itu, aku tak berpikir
sejauh apa yang sekarang kau kemukakan. Kukira
bintik-bintik merah kehitam-hitaman itu bekas gigitan
nyamuk. Atau serangan lainnya...." Ia tiba-tiba
menemukan akal untuk mengaburkan jalan pikiran
isterinya yang menjurus pada bahaya yang
mengambang dalam hidup lwan.
Dengan mata bersinar, ia berkata setengah bertanya:


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah tidak mustahil mereka bertiga digigit
kalajengking, misalnya?"
Mira menghela nafas. Katanya lesu: "Aku juga berkata
begitu pada dokter. la bilang, kalajengking yang
bagaimana pun berbisanya, biasanya menimbulkan
bengkak-bengkak pada tubuh korban. Dan tidak akan
menimbulkan tanda-tanda hangus seperti yang
dialami paman Ukar. Eka maupun Dikky. Apalagi
mulut mereka berbuih. Bintik-bintik itu lebih mungkin
disimpulkan sebagai pagutan ular....."
Mereka akhirnya mulai menjurus pada kebenaran,
pikir lwan dengan hati gundah.
" .....itulah sebabnya aku lantas ke pantai, sayangku.
Susah payah aku mencari. Lalu ketemukan ini." Ia
perhatikan lagi sisik-sisik ular ditangannya. Menggigil
sesaat. Dan pucat. "Kusimpulkan begini. Yang
menyerang mereka bertiga, adalah juga mahluk yang
telah menyerangmu seminggu setelah pernikahan
kita." Bibir Iwan jadi kering. Serak, atanya:
"Kau lupa. Yang menyerang paman Ukar adalah
manusia. Bibi dan Joko melihat si penyerang lewat
pagar......" "Itulah yang sedang kupikirkan. Dan akan kuselidiki.
Misteri ini benar-benar harus dipecahkan. Kenapa
korbannya justru orang-orang kampungku dan orangorang yang ada hubungannya dengan mereka."
Mendengar itu, perasaan Iwan semakin gelisah.
MALAM harinya bukan Iwan saja yang dilanda
perasaan gelisah. Dalam tidur, dirasakan oleh Mira bagaimana sepasang
lengan yang kukuh mendekap tubuhnya dan hangat.
Di telinganya ia rasakan hembusan nafas yang
mengiringi bisikan yang teramat mesra:
"Mir...... Mira-ku!"
Suara itu ia kenal. Kemesraan itu ia hayati. la mulai terangsang. Dan ia
balas dekapannya itu lebih hangat. la balas bisikan itu
lebih mesra lagi: "Iwan, kekasihku. lwan, cintaku.
Iwan pujaan hatiku .........."
Rasanya baju tidur yang lekat di tubuh Mira lepas satu
persatu. Kemudian terbang. Melayang-layang di udara.
Menari-nari di langit-langit kamar. Terbang lagi.
Melayang perlahan-lahan. Turun ke lantai.
Menggelepar. Liar. Dan tubuh Mira ikut menggelepar.
Liar. la menggeliat. Resah. Menggelinjang. Gairah.
Bahkan nafasnya kemudian bagai tak henti-hentinya
menderu. Seperti kereta api yang tengah berlari
kencang. Rel-rel yang panjang-panjang berkejarankejaran kearahnya. Panjang. Semakin lama
semakin .............. Ya Allah. Rel-rel itu semakin lama semakin membesar. Besar
dan besar sekali. Batang-batang rel yang terbuat dari
besi baja itu tak lagi lurus memanjang. Akan tetapi
mulai berkelok-kelok. Tidak! Batangan-batangan rel itu meliuk-liuk. Ya! Meliuk-liuk!
Tak licin lagi. Karena terus diminyaki. Tetapi rasanya
telah berkarat. Karatnya tebal sekali. Tebal sekali.
Ah...... Ini pun bukan karat! Karat tak seliat ini.
Baunya ......... yang tercium oleh lubang hidung Mira
yang kembang kempis diantara bulir-bulir keringatnya
yang berjatuhan, adalah bau yang seketika membuat
perut mual. Bau hanyir. Teramat hanyir. Batangan rel
yang kian membesar dan berubah bulat dan panjang
itu, membelit tubuhnya setahap demi setahap, seinci
demi seinci. Bau hanyir kian keras merangsang
hidung. Ketakutan. Mira tersadar.
la pentangkan mata. Lebar. Lebar. Lebar. Bertambah
lebar. Dan tiba-tiba, ia memekik tertahan:
" ........... .. tidaaaaak!"
Di depan mata ia lihat apa yang tadi menciumi wajah
dan seluruh tubuhnya bukanlah wajah laki-laki yang
ia kenal dan cintai sebagai suami, melainkan sebentuk
wajah yang menyerupai kepala ular. Mulutnya lebar.
Dari rongga mulut yang lebar dam hitam legam bagai
guha itu terjulur keluar sebentuk daging berwarna
kemerah-merahan. Ujungnya bercabang. Daging
lembut bercabang itu keluar-masuk mulut yang
menyeringai lebar di depan mata Mira. Da n tiap kali
keluar, tiap kali pula daging berbentuk lidah tadi
menyemburkan lendir yang tidak saja bau, akan
tetapi juga teramat menjijikkan.
Mira mulai meronta. Meronta sekuat tenaga.
Tetapi belitan itu justru kian mengencang, seolah-olah
mau mematah dan meremukkan tulang belulang di
seluruh tubuh Mira. Kesakitan ia mulai mengerang:
" ........... tolong. Tolooooong......!
Namun jeritan Mira hanya tertahan di
kerongkongannya, yang tersumbat oleh perasaan
ngeri jijik dan sakit. Kemana lwan" Mengapa ia biarkan saja Mira berjuang
seorang diri" Atau apakah ular itu telah lebih dulu
menyerang suaminya, membunuhnya karena
melawan dan berusaha membela nyawanya dan
isterinya" Mira ingin melirik ke samping kearah
dimana ia perkirakan tubuh lwan terbaring. Tetapi
lehernya tak bergerak sama sekali.
Dengan mata terpelotot, dirasakan oleh Mira,
bagaimana ular besar yang hitam legam itu memaksa
wajahnya untuk berhadapan. Tanpa kuasa untuk
mengelak, sepasang mata Mira bertemu langsung
dengan sepasang sorot mata kecil bersinar kehijauhijauan yang teramat silau. Mata Mira terasa panas
dan mulai berair. "........ tenang. Tenanglah, anak manis."
Mira terpana. Tidak. lni cuma impian. Pasti. lni cuma impian. la
dengar suara, jelas sekali. Datang dari rongga
berbentuk guha di kepala ular. Dari mulutnya yang
menyeringai dan tak henti-hentinya menjulur-jalurkan
lidah. Ini cuma impian. Cuma impian. Ingin ia cubit
pahanya keras-keras agar terbangun. Tetapi
tangannya terbelit rapat ke tubu
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
hnya. Bahkan jari- jemarinya seolah-olah telah lumpuh. Ia tak berdaya
apa-apa lagi. ".... tenanglah. Tenang."
Aneh. Pengaruh sorot mata itu mengurangi
perlawanan Mira. la kendurkan otot-otot tubuhnya.
Pelan. Pelan-pelan. Dan belitan yang menyakitkan itu
ikut mengendur. Mira kembali bisa bernafas. Tetapi
cuma sampai di situ. Tak lebih. Karena cahaya hijau
dari wajah mengerikan itu telah memuk au dirinya.
"Nah. begitu. Sekarang, dengarkan!"
Telinga Mira. Cupingnya bergerak-gerak.
Mendengarkan. "Kau simpan di mana sisik-ku itu?"
"Si.... sisikmu?"
"Ya. Yang kau temukan di pantai."
"Aku .... ..aku......."
"Di mana?" "Di laci lemari. Terbungkus dalam plastik."
"Ambil!" Mira menggerakkan tubuhnya. Belitan itu terlepas.
Mira gerak-gerakkan otot-ototnya. Berjalan seperti
biasa. Ia turun dari tempat tidur. Langsung melangkah
kearah lemari. Ia buka pintunya. Lalu laci. Dari dalam
laci lemari ia keluarkan sebuah bungkusan plastik
kecil. lsinya ia keluarkan. Beberapa helai sisik ular
berwarna hitam legam dan teramat kesat.
"Letakkan di lantai!"
Diletakkan Mira sisik-sisik ular itu di lantai.
"Bakar!" "...... ha?" "Bakar! Bakar! Bakar!"
"Tetapi ........"
"Bakar! Bakar! Bakar! Atau kau kubunuh! Kubunuh!
Kubunuh! Kubunuh seperti aku telah membunuh si
Ukar. Membunuh si Eka. Sayang sekali, aku juga
terpaksa membunuh si Dikky. Kau tak mau aku juga
terpaksa membunuhmu, toh?"
Mira gelengkan kepala. "Kalau begitu, tunggu apa lagi?"
Gemetar, Mira berdiri. Ia terus ke pintu kamar tidur.
Dibuka. Kakinya lurus menuju ke dapur. Ia tidak
melihat apa-apa di depannya kecuali jalan ke dapur.
Ia tidak memikirkan apa-apa di kepala, kecuali
keinginan untuk mengambil korek api, dan setelah
korek api itu ia peroleh, ia berjalan kembali langsung
masuk ke kamar tidur. Di sana kembali matanya
menangkap hanya.... ya, hanya ular besar dan
mengerikan dengan sorot mata hijau yang
menyilaukan itu. "Bakar!" Korek api ia nyalakan. Mula-mula ia kebingungan,
bagaimana caranya membakar sisik-sisik yang liat itu.
Kemudian ia memutuskan dengan cepat. Semua isi
korek api ia keluarkan. Ditumpuk-tumpuk. Sisik-sisik
ular itu ia letakkan di atas tumpukan batang-batang
korek api. Sebatang korek api yang terserip di antara
jari telunjuk dan induk, ia goreskan ke sisi kotak
korek. Api kuning kebiru-biruan dan kemudian
kemerah-merahan mulai menyala. la lemparkan ke
tumpukkan korek api yang lain.
Siiuuuuk! Api membersit. Batangan-batangan korek itu terbakar. Juga sisik-sisik
ular diatasnya. Hancur. Bersatu jadi abu yang mulamula kehitam-hitaman kemudian jadi kelabu. Kini
tinggal bubuk saja lagi. "Berdiri!" Gontai, Mira berdiri. "Jangan tunduk. Lihat ke mataku."
Ia tengadahkan wajah. Berat, tetapi ia paksakan juga.
Sorot mata hijau itu kembali menerpa matanya. Ia
gemetar dengan hebat. Merasa darah di pembuluh
bagai menggelagak, kemudian membakar hangus
tubuhnya. Apakah ia akan hangus juga seperti paman
Ukar, Eka dan Dikky" Apakah dari mulutnya akan
keluar buih, dan ia akan menggelepar-gelepar lalu
mati" "Apa yang ada di kepalamu?"
" ......... Kematian," sahut Mira, antara terdengar dan
tidak. Bukan. Bukan itu!" sepasang sinar mata hijau itu
berkilat-kilat. "Kau merencanakan sesuatu dalam
kepalamu. Sesuatu yang kau rencanakan setelah kau
temukan sisikku di pantai, dan kau hubunghubungkan dengan kematian korban-korbanku."
"Aku...... aku bermaksud mau selidiki misteri ini."
"Misteri apa?" Timbul keberanian dalam hati Mira. Hanya sebintik
kecil, tetapi keberanian itu bagaimana pun telah
timbul. "Kau!" katanya. "Misteri tentang kau!"
Terdengar suara tawa yang parau. Lalu:
"Kau gila. Bodoh. Dungu!"
"Tidak!" "Diam!" "Aku harus tau. Siapa yang membunuh mereka. Kini
kutau. Tinggal membuktikannya!"
"Tak akan kau bisa!"
"Akan http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
kucoba." Tawa parau lagi. Keluar dari mulut lebar yang
terkatup-katup dan terjulur-julur lidahnya itu.
"Hem...." suara mahluk itu menurun temponya.
"Sayang, aku cinta padamu. Ah, bukan aku. Tetapi
jasad orang lain yang menampung jiwaku. Ya,
jasadku terlalu cinta pada jasad dan jiwamu. Kalau
tidak, tak akan kulonggarkan pengaruhku padamu.
Tak akan kubiarkan kau berkata semaumu. Gampang
saja aku membunuhmu. Seperti membunuh ketiga
korbanku. Dan seperti aku akan membunuh banyak
korban-korbanku yang lain."
"Korban-korban lain?"
"Ya. Banyak sekali. Tak bisa kuhitung satu persatu.
Tetapi mereka kuingat dan kuhapal satu persatu.
Mereka harus mati di tanganku. Satu persatu! Mereka
harus merasakan bagaimana sakit hati dan sakitnya
pembalasanku!" "Siapa" Siapa" Siapa ......."
Tawa itu melengking. Ada siur-siur angin menerpa
wajah Mira. Dingin. Sejuk dan memabukkan. la
gontai, terduduk di tempat tidur. Kepalanya pusing. la
baringkan tubuh. Matanya yang perih mulai terpejam.
Terpejam. Samar-santar ia dengar suara mahluk itu
berkata dengan nada mengancam:
"Tidurlah. Tidur... dan camkan. Bila kau terbangun
kembali, niat busuk di kepalamu harus kau singkirkan
kalau tidak....." Kalau tidak, apa" Mira tak dengar lagi. Ia telah
nyenyak tertidur. Ketika ia terbangun keesokan paginya, ia rasakan


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya menggigil. Baju tidurnya yang berantakan,
membuatnya bingung sesaat. Keringat dingin di
sekujur tubuh dirasakan Mira bagai guyuran air yang
mengembalikan seluruh jiwa dan pikirannya. la
menoleh ke samping. lwan masih tertidur. Lelap
sekali. Jadi, semua itu cuma mimpi, pikir Mira. la menarik
nafas lega. Tetapi...... wajahnya tiba-tiba pucat pasi. Mengapa
kamar tidur terbuka" Juga pintu lemari" Dan laci" la
meloncat dari tempat tidur. la bongkar isi laci. Tetapi
apa yang ia cari tak ada. Dengan cemas Mira
memandang ke lantai. Dan ia melihatnya!
Debu-debu halus yang mulai bertebaran dihembus
angin yang bertiup dari arah pintu kamar yang
terbuka. http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
SEKETIKA itu juga Mira menjerit dengan histeris.
"Tidaaaak! O, tidak. Tak mungkin. Tidaaaak!" dan
seraya menangis histeris melompat ke tempat tidur.
lwan yang terbangun mendengar jeritan Mira, kaget
setengah mati waktu tangan Mira mencengkeram
lengannya. Kemudian mengoncang-goncangkan
tubuhnya dengan keras. "Tidak! Tidaaaak!"
"Ada apa, Mira" Ada apa?"
Mira memeluk lwan. Memeluknya kuat-kuat. Menagis
di dadanya. "Ular itu! Ular itu! lwan, ular itu!"
Wajah lwan pucat dengan tiba-tiba. Gugup, bertanya:
"Ular" Mana?"
"Hilang! la menghilang....." dan retlex saja jari telunjuk
Mira mengarah ke pintu. Gesit, lwan melepaskan isterinya. la meloncat dari
tempat tidur, berlari keluar kamar dan langkahlangkah kakinya terdengar berdebum-debum di
telinga Mira. Mencari ke sana. Mencari ke sini. Ia
dengar juga jendela-jendela dihempaskan terbuka.
Juga pintu-pintu. Langkah-langkah kaki lain. Gerutuan
yang tak tau ditujukan ke alamat siapa. Lalu tubuh
lwan berdiri diambang pintu kamar tidur. Lesu.
Ia tatap Mira yang masih tersedu setengah meringkuk
diatas ranjang. "Tak ada ular....." ia berbisik.
"Tetapi ia.... ia ........."
"Ia?" mata Iwan mengecil.
"Ya! Ular mengerikan dan menjijikan itu. Besar sekali.
Hitam. O, ia..... ia....."
Gemuruh dada lwan. Ia naik ke tempat tidur, memeluk isterinya dengan
lembut dan bertanya lebih lembut lagi:
"Tenanglah, anak manis. Tenang ........."
Tangis Mira terenggut. Ia menatap suaminya. Tajam.
"Apa........ apa kau katakan?"
"Mira. Mengapa kau?" Iwan tercengang.
"Kau katakan tenang-tenang padaku. Kau katakan
aku anak manis!" "Lha Lantas bagaimana" Kau begitu aneh. Sikapmu
membingungkan aku. Dan kau adalah isteriku. Dari
dulu kau selalu kubilang anak manis semenjak kita
masih pacaran. Ingat?"
Sesaat Mira belum percaya. Kemudian, di matanya
terbayang mula pertama Iwan mengatakan hal itu.
Mira tengah menghadapi ujian ulangan. Lisan. Dosen
yang mengujinya, lwan. Karena gugup oleh
pandangan mata yang mempesona dari dosen muda
yang tampan itu, Mira hampir tak bisa menjawab
semua pertanyaan. Ia malah gelisah tak menentu.
Ujung hidungnya berkeringat. Dan ia jadi tersipu-sipu
waktu dosen yang membuat hatinya berdebar itu
bergumam halus: "Tenang, anak manis. Tenanglah. Kalau tidak, kau tak
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya
ajukan. Berarti kau gagal, dan harus ujian bersama
adik-adikmu di tingkat persiapan."
Mira menghela nafas, lalu membuangnya. Panjang.
Ketegangan tubuhnya mulai mengendur. Namun ia
masih ragu-ragu. Katanya:
"Ular itu bicara seperti kau bicara. Berkata seperti apa
yang kau katakan......."
Terkesiap hati lwan. "Ah, yang benar?"
"Sungguh." lwan duduk di tempat tidur. Menatap isterinya. Mira
tak menghindar. Balas menatap. Ah. Mata suamiya
biasa. Putih, dengan bola-bola bundar berwarna hitam
dan berkilat-kilat. Kepalanya biasa. Ada rambut yang
tebal bergelombang. Tidak kesat dan gundul. Telinga
dan hidungnya biasa. Bukan berupa lubang-lubang
kecil. Mulutnya tak selebar dan lidahnya tak......... ia
merasa perutnya mual. Dan tiba-tiba isi perutnya terburai keluar. Ia muntah.
Banyak sekali. Sprei, bantal dan kasur diselemaki oleh
muntahannya. Iwan terkejut, memegang dahi
kemudian memijit-mijit pundak isterinya. Setelah itu
ia berlari ke luar. Dan waktu kembali ia membawa
sebuah gelas berisi teh yang sudah dingin. Ke dalam
gelas itu ia tambah air panas dari sebuah termos di
tangannya yang lain. "Minumlah, kekasih."
Ucapan itu meresap dalam dada Mira. la tersenyum.
Menerima minuman itu, meneguknya beberapa teguk.
Setelah ia serahkan kembali pada lwan. Masih
tersenyum ia berkata: "Maafkan aku, Iwan. Aku begitu jijik?"
"Jijik" Pada apa?"
"Ular itu." "Ular. Sudah kubilang...."
Mata Mira berkaca-kaca. "Aku melihatnya. Persis seperti yang pernah kau
ceritakan dulu. Ular besar, panjang, hitam legam..
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
......." "Jadi kau terpengaruh oleh lamunanmu sendiri."
Mira menggelengkan kepala.
"Dan itu?" tanyanya. Gemetar.
Iwan mengikuti arah telunjuk Mira. Langsung ke
lantai, dekat kaki lwan. la melihat sisa-sisa debu dan
bekas bakar pada ubin. "Apa ini?" lwan merunduk.
"Sisik ular." "Sisik" Mana?"
"Tinggal debu."
Iwan terdongak. Memandang heran pada isterinya.
"......... kau bakar?"
"Aku?" pikir Mira. Aku membakarnya" Kalau benda
busuk itu aku yang bakar, tentu ada sebab. Aku
diperintah. Siapa lagi, kalau bukan ular yang misterius
itu. Tetapi ular itu besar sekali. Terlalu besar untuk
masuk ke kamar, naik ke tempat tidur....... menciumi
dan menggeluti tubuhku..........
Mira mau muntah lagi. Tetapi lwan telah menggosok punggungnya dengan
minyak angin. "Aku tak tau," sungut Mira susah payah. "Tak mungkin
aku yang melakukannya. Karena bila aku yang
melakukan, pastilah ular itu benar-benar ada. Tetapi
ular itu berbicara. Mana ada ular yang bisa bicara."
Dalam benaknya lwan berpikir: Kau, orangtuamu dan
penduduk kampungmu yang begitu percaya pada ular
itu. Kini, kau sendiri yang ragu.
Dan dalam hati nuraninya, Iwan pun berpikir: Aku
yang dulu tak yakin pada Mira, orangtuanya dan
penduduk kampungnya, jadi ragu pula. Bedanya: Dari
yakin tentang adanya ular jin, Mira setelah mengalami
apa yang ia katakan mimpi, jadi ragu ular jin itu tak
ada. Dari yakin ular jin itu tak ada, setelah kini dengar
apa yang dialami isterinya. lwan jadi ragu pada
keyakinannya sendiri. Keragu-raguan di mata lwan
bertemu dengan ke ragu-raguan di mata Mira.
Pertemuan itu melahirkan sebuah pikiran di otak Mira,
yang meluncur lewat mulutnya:
"Matamu agak kemerah-merahan, lwan."
"Oh ya?" lwan kocek-kocek mata.
"Kurang tidur?"
"Ah" Aku nyenyak sekali, kukira. Begitu mencium
bantal .........." "Kau kurang tidur."
"Apa maksudmu?" lwan menjadi cemas.
Mulut Mira jadi tajam waktu menjawab:
"Kau kurang tidur. Karena tadi malam kau bangun,
mengambil simpananku dan kemudian membakarnya
di lantai. Lantas pagi ini, kau berpura-pura percaya
pada apa yang kuimpikan. Untuk menutupi
perbuatanmu!" "Eh. Kau menuduh!"
"Ya." lwan tertawa. Parau. "Kau ini ada-ada saja, Mira."
"Tak mengaku?" "Untuk apa yang tidak pernah kulakukan?" rungut
lwan. "Demi Tuhan. Iwan."
"Demi Tuhan! Yeah" Demi Tuhan, bila kau tak percaya
padaku!" Mira kembali bimbang. la merunduk. Lama. Berpikir.
Kemudian: "Mungkin aku benar-benar bermimpi. Dalam mimpi,
aku berjalan. Ke dapur, mengambil korek api,
mengeluarkan lalu membakar sisik ular itu ............" ia
menatap mata suaminya dengan takut. "Aku tak
pernah mimpi berjalan, lwan. Apakah kau lihat aku
sedang sakit?" lwan tersenyum. Lembut. "Kau sehat, sayangku. Sehat wal'afiat."
"Kau yakin?" "Kalau kau sendiri yang tidak yakin, Mira-ku " Iwan
mengelus kedua pipi-pipi isterinya. "...... kita
periksakan dirimu ke dokter."
Berkaca-kaca lagi mata Mira. Ia gemgam pergelangan
tangan suaminya. Erat. Hangat.
"Aku sehat. Kukira aku memang sehat. Tetapi kita
tetap harus ke dokter. Kau mengingatkan aku."
"Untuk?" "Memeriksa kesehatanmu."
"Lho, kok jadi aku?"
"Kau sakit. Lihat, matamu semakin menjorok ke
dalam. Tulang-tulang pipimu mulai bertonjolan....
Mereka bilang pekerjaanmu di kantor terbengkalai.
Tetapi kau bekerja terlalu berat, sayangku. Dan
mungkin apa terjadi di kampung mempengaruhi
jiwamu ............."
"Aku tak apa-apa, Mira. Kau menolak. Aku pun berhak
menolak, bukan" Jadi seri. Kita tak usah ke dokter."
Mira memeluk suaminya erat-erat.
Dan tertegun waktu Iwan berbisik lembut:
"Jadi kau sudah tenang sekarang. Terserah siapa
diantara kita yang membakar sisik ular itu. Tetapi
dengan demikian, kuharap kau hentikan niatmu untuk
memecahkan apa yang kau katakan misteri itu."
Mira memikirkan itu. Lalu
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
: "Aku tak akan berhenti sampai di sisi, sayangku!"
Dan dalam benak Mira terbayang: Korban adalah
penduduk desanya. Paman Ukar, Eka, Dikky hanya
terpaksa, seperti apa yang dikatakan ular itu dalam
impian Mira. Bila demikian, mungkinkah apa yang
telah dikatakan ular itu dalam ucapan lainnya akan
terjadi" Masih ada sejumlah calon korban yang akan
ia bunuh. Orang-orang itu adalah penduduk desa Mira.
Mereka harus menerima pembalasan dari sang ular.
Pembalasan. Kalau begitu. orang-orang yang telah dan
akan dijadikan korban, pernah melakukan sesuatu.
Pada ular itu" Atau siapa"
Disaat yang bersamaan, Iwan berpikir dalam
benaknya: Apa yang terjadi tadi malam" Benarkah Mira cuma
bermimpi" Atau apa yang dialami Mira, adalah seperti
apa yang pernah dialami lwan di galian lubang, di
rumah paman Sukarya, di pantai bersama Eka dan
Dikky" Lantas tadi malam" Aku menggeletar dalam
selimut oleh sentuhan tubuh Mira yang hangat, pikir
lwan. la kucumbu. Kugeluti sebagaimana biasa.
Setengah tertidur. Mira membalas pelukan dan
cumbuanku. Tetapi, mengapa ketika hampir
mendapati titik kepuasan, ia rasakan dirinya berubah"
Seperti ketika ia berlari tengah malam buta ke rumah
paman Sukarya. Dan di tengah malam buta pula
mengikuti mobil yang dinaiki Eka dan Dikky. Ya, ia
merasakan adanya perubahan. Malah demikian
gilanya, sehingga bukan saja lagi wajah dan kulitnya
saja yang berganti rupa. Akan tetapi keseluruhan
tubuh dan jiwanya! Samar-samar ia ingat malah
sempat berkata pada Mira:
"............. aku mencintaimu. Ah, bukan aku tetapi jasad
orang lain..........."
Lalu jiwa itu, yang meminjam jasad Iwan siapa"
*
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SEMENJAK malam itu Mira senantiasa ketakutan tiap
kali matanya mulai diserang kantuk yang amat
sangat. Setengah jam sebelum waktu tidur di atas
meja tidak lagi tersedia segelas teh untuk dirinya
sendiri disamping kopi untuk lwan. Perubahan itu
bukannya tidak diperhatikan suaminya.
"Heran!" suatu malam lwan nyeletuk. "Dulu kau selalu
menguliahi aku. Minum kopi bisa mengganggu
jantung kek, bikin lemah otak kek, batuk kek. Tak
taunya sekarang... Eh, apa yang membuatmu senang
minum kopi, Mira?" "Pingin tau saja." ia jawab sekenanya.
"Kok, kadang-kadang sampai dua gelas" Pekat gitu
lagi. Engga kepahitan?"
Mira cuma angkat bahu. la malu untuk menceritakan
rasa takutnya tidur terlalu nyenyak. Namun toh Iwan
tak bisa dibohongi. Lebih-lebih setelah tiap kali naik
ranjang, Mira lantas menyembunyikan diri dibawah
selimut seraya memeluk suaminya erat-erat. Tak mau
melepaskannya sampai pagi. Sehingga kadangkadang seraya tersenyum waktu bangun lwan
menggeliat-geliatkan tubuh seraya bersungut-sungut:
"Habis tulang-tulangku kau buat!"
Lalu lwan pura-pura menghirup udara segar yang
menerobos lewat jendela. Menatap dengan kagum
kearah matahari memancarkan sinarnya yang kuning
perak, burung gereja yang mengepak-ngepakkan
sayapnya di kawat-kawat telephone, butit-butir
embun bening yang bergantung manja di pucukpucuk dedaunan. Seolah-olah sambil lalu ia bertanya:
"Kau masih dihantui mimpi buruk itu, ya?"
Mira yang tengah membereskan sprei tempat tidur,
tertegun. Terasa punduknya bergetar. Sebentar cuma.
Ia teruskan pekerjaannya seraya menjawab, sambil
lalu pula: "Aku telah mulai melupakannya, lwan."
"Melupakan apa?"
"Mimpi itu." lwan batuk-batuk kecil. "Itu saja?" tanyanya setengah mendesak, dengan
membalikkan tubuh menatap heran ke wajah
isterinya. Mira merasakan itu, berlagak acuh tak acuh.
"Kalau kau maksud soal sisik ular yang terbakar itu,
akupun akan berusaha melupakannya, sayangku,"
rungutnya, tersenyum manis. Sayang, matanya
memandang tak semanis senyum di bibirnya. Ia tak
pernah mengigau terlalu parah, apalagi untuk berjalan
di kala tidur. Bila kehadiran mahluk mengerikan itu
cuma mimpi, mestinya sisik ular itu yang ia simpan di
lemari pakaian tak akan sampai tinggal debu-debu
berserakan di atas lantai kamar. la tak akan bisa
melupakan hal ini. Pada waktunya ia harus membuka
tabir misteri itu. Apakah ia mengalami cuma sekedar
impian, atau mengalami kenyataan" Atau, dia
sendirikah yang membakar simpanan yang aneh itu,
ataukah lwan" Betapa penasarannya Mira untuk meneruskan
pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan itu
pada seseorang. Tetapi untuk menemui orang itu ia
perlu waktu, sedangkan ia tidak bisa meninggalkan
lwan tanpa memberitahu kemana ia akan pergi.
Sebaliknya, memberi tahu laki-laki itu rasanya tidak
mungkin. Sikap-sikap lwan semenjak malam yang
menakutkan itu terasa ganjil di mata Mira. Suaminya
seolah-olah menutupi sesuatu yang membuat Mira
merasa sangat cemas. Ah. Kalau saja sesuatu itu
tentang seorang perempuan lain. Mira tak akan
seresah ini. Paling-paling ia cemburu, marah,
mencakar muka lwan. Lalu kalau lwan sudah
menelentangkan Mira di atas tempat tidur,
kecemburuan dan kemarahan itu pasti lenyap dengan
sendirinya. Entah mengapa, naluri Mira mengatakan rahasia yang
ditutupi suaminya pasti ada hubungannya dengan
semua kejadian-kejadian yang mereka alami selama
ini. Dimulai dari tergopoh-gopohnya lwan pulang ke
rumah mereka di kampung setelah ditengah jalan
bertemu seekor ular yang dikatakan ayah Mira ular
jin. Lalu tubuh Iwan beberapa hari kemudian
diketemukan penduduk terkapar di teng ah padang
ilalang, di tengah malam buta. Lalu sisik ular pertama
kalinya mereka temukan di sela-sela kuku kaki lwan.
Di tengah kegelisahan yang terus melanda Mira itu,
suatu pagi Mira tengah membersihkan pekarangan
rumah waktu seorang pegawai pos muncul.
"Telegram, Nyonya," ujar petugas pos itu seraya
menyera http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
hkan selembar kertas berlipat dan sebuah
buku catatan untuk ditanda-tangani perempuan itu.
Datangnya dari adik Mira kampung, Susanti. Dengan
gemetar ia buka telegram itu. Pasti ada apa-apa di
sana, pikirnya cemas. "Kak Mira. Seterimanya surat ini, segeralah pulang.
Ayah makin parah saja. Bukan lagi hanya diserang
batuk rajan, tetapi ia menderita semacam penyakit
yang ganjil, siapa tau terjadi sesuatu yang tak
dikehendaki. Adikmu yang rindu. Susanti."
Bergegas Mira memasukkan beberapa potong
pakaiannya ke dalam koper. Telegram ini memberi
kesempatan padaku untuk menemui orang yang bisa
menjelaskan hal-hal aneh selama ini, pikirnya.
Masih dengan tangan gemetar karena khawatir pada
keadaan ayahnya dan tak sabar untuk segera
bertemu orang yang ia harap-harapkan, sebuah
memo ditulis Mira untuk lwan:
"Sayangku. Maafkan aku pergi tanpa ijinmu. Aku tak
ingin mengganggu kesibukan pekerjaanmu di kantor,
tetapi telegram terlampir benar-benar
mengkhawatirkan. Lusa, hari Sabtu, bukan" Susullah
aku sepulang dari kantor. Do'akan ayah ya" la 'kan
mertuamu ........" Mira tersenyum waktu menuliskan
kalimat itu, yang kemudian ia akhiri: "Peluk cium
sekeranjang, Mira-mu."
Memo itu lantas ia masukkan ke dalam sebuah
amplop, ia tindih bersama-sama telegram pakai
sebuah botol obat nyamuk di atas toilet kamar. Kunci
rumah ia titipkan pada tetangga untuk tolong
disampaikan pada suaminya kalau pulang dari kantor.
Setelah itu ia panggil sebuah becak minta diantar ke
terminal. Satu jam lebih ia mengumpat dan mencaci
ke alamat supir dan kondektur, karena bus tak juga
berangkat-berangkat biarpun sudah mulai penuh.
Umpat caci kian bertumpuk-tumpuk menyesakkan
dada Mira, setelah bus meninggalkan terminal masih
malas merangkak karena masih juga nyodok terus di
jalan. Barulah setelah keluar batas kota dan jalanan
mulai sepi, hati Mira merasa lega. Bus kencang. Dan
dada Mira yang dari tadi terus-terusan mengumpat
dan mencaci itu, kini terus-terusan mendesak:
"Cepatan dikit. Cepat. Lebih cepat lagi...."
Lewat tengah hari bus berhenti di sebuah desa
kecamatan. Mira turun, meskipun seharusnya ia turun
di desa berikutnya darimana ia tinggal menempuh
jalan kaki beberapa ratus meter untuk tiba di
kampung. Dengan koper pakaian dijinjing ditangan, ia
menyeberang jalan, menempuh jalan setapak
diantara sawah-sawah kering yang tanahnya retakretak dibelah musim kemarau yang terlalu panjang.
Seluruh tubuhnya serasa mandi peluh waktu akhirnya
ia mengetuk pintu sebuah rumah yang letaknya
terpencil dari rumah-rumah penduduk lainnya.
Halaman rumah itu luas ditanami pohon ketela dan
cengkeh, tetapi bagian belakangnya langsung
membentur bukit terjal. Di atas bukit menggunduk
sebuah batu besar yang tampaknya dengan sedikit
sentuhan saja pasti terguling kebawah. Rumah dan
penghuninya musnah binasa. Tetapi itulah kehebatan
penghuni rumah itu. la tak pernah takut batu diatas
bukit itu runtuh menimpa rumahnya. Konon di batu
itulah dulu ia menyepi dan memperoleh ilmu yang ia
miliki sekarang. Dalam keadaan tertentu, di undakan
batu itu tampak penghuni rumah berhadapan dengan
seseorang yang oleh penduduk sudah dianggap biasa.
Karena yang dihadapi penghuni rumah itu adalah
pasen yang minta tulung untuk diobati atau diberitahu
penyakit apa yang ia derita. Mira agak gemetar
membayangkan ia harus duduk di undakan batu itu,
memandang jauh kebawah. Tetapi untunglah
penghuni rumah tak merasa perlu membawa Mira
mendaki ke atas. la diterima di kamar sempit yang
dindingnya dipenuhi kepala-kepala binatang, beberapa
buah kitab suci dan tafsir di atas sebuah rak. Pada
meja kecil pendek yang dihadapi Mira seraya
bersimpuh, terletak cangkir putih bersih berisi air
jernih. Disebelahnya, talam berisi rempah-rempah
yang baunya terasa menyegarkan dada. Meskipun
sempit dan suasananya kelam, tetapi begitu
berhadapan dengan orang yang ia ingini, perasaan
resah dan gelisah Mira selama ini terasa mereda
dengan sendirinya. Di mata orang yang dud
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
uk berhadapan dengannya, ia pasrahkan diri sebagai
tempat berteduh dan memohon perlindungan.
"Jadi namamu Mira," kata orang di hadapannya,
ramah. Ia mengangguk-anggukan kepalanya yang
rambutnya sudah putih semua, sehingga jenggot
panjangnya yang juga memutih, terayun-ayun. Konon
umur laki-laki itu sudah lebih seratus tahun, tetapi
waktu membuka pintu, tubuhnya berdiri tegak dan
berjalan kukuh disamping Mira.
Tempat Mira bersimpuh jaraknya satu meter dari
tempat laki-laki tua bangka itu duduk, tetapi toh Mira
cukup hanya berbisik saja sudah bisa terdengar oleh
telinga tuanya. "Kau percaya padaku?"
Mira mengangguk. Pasrah. "Ucapkan." "Saya percaya, bapak ajengan."
Tidak ragu-ragu dengan niatmu?"
Lagi-lagi Mira mengangguk, dan lagi-lagi ajengan itu
menegaskan: "Ucapkanlah". "Tidak ragu-ragu, bapak ajengan!"
"Dengan nama siapa kau datang?"
"Nama Tuhan." Orangtua itu manggut-manggut.
"Aku senang mendengarnya, anakku. Karena itu aku
pun percaya, rempah-rempah dan cangkir berisi air ini
hanya kau pandang sebagai pelengkap saja, bukan
barang-barang keramat. Tak ada yang keramat di
dunia ini, anakku, kecuali nama Tuhan. Dengan
NamaNya-lah nanti kita berhubungan bathin, dan kau
akan tahu apa yang kau ingini. Mau kau ceritakan
secara lengkap kejadian yang membingungkanmu,
anakku?" Terputus-putus karena pengaruh emosinya yang
meluap-luap Mira menceritakan semuanya. Dari mulai
suaminya menemukan ular di tengah perjalanan ke
sawah sampai malam dimana seekor ular mengerikan
datang ke tempat tidur Mira, beberapa malam yang
lalu. Nafasnya tersengal-sengal waktu kemudian
cerita itu ia akhiri dengan sebuah pertanyaan:
"Mimpikah itu, bapak ajengan. Atau nyata?"
Orangtua itu mengelus-elus jenggot putihnya.
"Maafkan aku, anakku. Jangan marah, kalau
kukatakan imanmu selama ini tidak tebal. Kalau saja
kau lebih mendekatkan diri pada Tuhan, segala yang
buruk itu tak akan berani mendekatimu. Apa yang
kau alami, anakku, adalah akibat kekurang-tebalan
imanmu." "Jadin semua itu bukan mimpi?"
"Sayang sekali, bukan!"
Tubuh Mira bergetar. "Apa atau siapa yang mempengaruhi diriku dan
suamiku?" Orangtua itu memasukkan beberapa helai bungabunga dari atas talam kedalam cangkir berisi air
jernih. Helai-helai bunga itu bergoyang-goyang sesaat,
lalu diam. Benar-benar diam, meskipun cangkir itu
kemudian digoyang-goyangkan oleh tangan yang
memegangnya. Tak setetes pun air yang tumpah.
Mata orangtua itu terpejam, rapat. Dan bibirnya
komat-kamit membaca bebera ayat-ayat suci, makin
lama iramanya makin mengarah kepada suara orang
mengaji. Dengan tekun Mira memperhatikan semua
itu, sampai tiba-tiba ia terkejut sendiri waktu
sepasang mata itu terbuka, memandang tajam
padanya dengan tiba-tiba.
"Anakku. Lihatlah ki cangkir."
Mira melihatnya. Dan merasa ta'jub, helai-helai bunga
tadi semua seperti menepi di pinggiran tempat
lowong ke dasar cangkir. Dan di dasar cangkir yang
tadinya putih bersih itu, pelan-pelan tertera wujut
seraut wajah. Wajah seorang laki-laki.
"Kau kenal dia?"
Mira mengingat-ingat. Wajah yang tak bisa dikatakan
tampan itu, seperti pernah ia kenal. la perhatikan


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar bentuk matanya yang agak menjorok ke
dalam, pipinya yang menonjol tulang-tulangnya,
bibirnya sedikit tebal dan dagu yang lekuk di bagian
tengah-tengahnya. la yakin benar, ia pernah
melihatnya. Tapi dimana" Bila" Dan siapa"
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
TENGAH Mira mengingat-ingat raut wajah di dasar
cangkir berisi air dan helai-helai bunga itu lenyap
perlahan-lahan. "Kau kenal, anakku?" tanya ajengan itu lagi,
menyadarkan Mira. Mira menggigit bibir. Berpikir keras.
"Saya lupa-lupa ingat, bapa ajengan."
"Temanmu satu kota?"
"Entahlah. Rasanya di kota saya tak pernah bertemu
lelaki seperti dia."
"Teman satu kampung?"
Mira memikirkannya. Lalu:
"Bisa bapak ajengan perlihatkan lagi gambar laki-laki
itu?" Si orangtua mengeleng-gelengkan kepala. Tersenyum.
"Begini, nak," katanya dengan nada lembut. "Yang ada
di dasar cangkir, hanya air, bukan gambar. Hanya
dengan kekuatan bathinku yang menyelusup ke
dalam jiwamu yang memungkinkan gambar itu
muncul. Tetapi bukan di dasar cangkir yang kupegang
ini, melainkan di dasar hati sanubarimu. Bukan
matamu yang melihat, anakku. Tetapi bathinmu.
Karena itu, bapak yakin kau tak akan melupakan
wajah orang itu. Yang perlu, menyelidiki. Siapa
gerangan. Keras dugaan bapak, ia adalah temanmu
satu kampung. Karena peristiwa yang kau dan
suamimu alami, bermula dari kampungmu."
"Entahlah pak. Selama lebih dari sepuluh tahun saya
tinggal dengan bibi di kota, hanya pulang sekali.
Tetapi saya akan mencarinya diantara penduduk
kampung." "Mudah-mudahan orangnya memang ada, anakku.
Karena bapak sendiri ragu, apakah wajah yang kau
lihat itu wajah seseorang yang masih hidup, atau
sudah lama meninggal! Yang pasti, ia pengikut aliran
hitam!" Meremang bulu kuduk Mira. Laki-laki itu berdiri. la
membimbing Mira ke pintu, seraya menyarankan:
"Cobalah tanyakan pada orang-orang lain. Mungkin
ada yang kenal. Segera setelah kau mengetahui siapa
laki-laki itu, kembalilah pada bapak. Setelah itu
barulah kita mulai menjauhkan pengaruh iblis itu dari
dirimu dan suamimu...."
Mira hanya menggigil dan patuh saja dituntun keluar
rumah. Waktu ia sadar, pintu telah tertutup di
belakangnya. Mira kaget, tak mendengar pintu
tertutup dan tak melihat orangtua itu pergi dari
sisinya. Namun samar-samar ia dengar langkahlangkah kaki menjauh dari balik pintu di dalam
rumah. Mira menghela natas. la bahkan belum sempat
membuka dompet, apalagi membayar. Nantilah, pada
perkunjungan yang akan datang pikirnya. Orangorang mengatakan memang orangtua ini jarang minta
bayaran dan seringkali menyuruh pasien-pasien yang
mau membayar agar menyerahkan saja uang
pembayaran itu pada fakir miskin yang mereka kenal.
Mira masih berpikir-pikir siapa laki-laki yang menurut
penglihatannya tergambar di dasar sanubarinya,
selama ia naik dokar menuju desa berikutnya dan
kemudian berjalan kaki menuju ke kampung. Tiap kali
berpapasan dengan orang-orang, lebih-lebih kalau
orang itu laki-laki, ia perhatikan dengan tajam.
Sehingga kadang-kadang yang diperhatikan
memperlihatkan wajah heran. Malah sa lah seorang
sampai menegur: "Apa yang aneh padaku, nak Mira?"
Perempuan itu terkejut. Dihadapannnya berdiri lakilaki setengah baya, memanggul pacul di bahu dan
sabit di tangan kiri. Ternyata orang itu adalah seorang
keluarganya di kampung. "Aduh, Uwa," katanya tersipu. "Uwa mau ke sawah
atau mandi ke sungai?"
"Mengapa rupanya?"
"Ah, enggak. Cuma mau bertanya," dan memang Mira
sendiri menanyakan itu hanya sekedar menutup
kecanggungan saja. "Aku memang hendak ke sawah. setelah itu ke
sungai," laki-laki setengah baya itu tertawa. "Nah, kau
cepatlah pulang. Tadi ayahmu mengigau lagi."
"Mengigau" Apa penyakitnya. Uwa?"
"Lihatlah sendiri. Nanti juga kau tau!"
Mira tak lagi memperhatikan wajah-wajah yang
berpapasan atau ia lewati sepanjang jalan menuju ke
rumahnya. la hanya mengangguk tiap kali ada yang
menyapa, tak melihat bahkan tak perduli siapa
mereka. Tiba di rumah, ia langsung menggebrak pintu
sampai terbuka, melemparkan koper pakaiannya
begitu saja di atas lantai lalu berlari memeluk
adiknya, Susanti yang bergegas keluar dari kamar
mendengar suara berisik oleh kedata
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
ngan Mira. Di kamar ia melihat ibunya, adiknya yang lain dan
seorang tetangga berkumpul mengelilingi tempat
tidur. Seorang dukun tengah membaca jampe-jampe,
dan bau kemenyan memenuhi ruangan kamar.
Ayahnya tertelentang di tempat tidur. Dengan tubuh
tegang kaku seperti mati. Tetapi matanya terbuka
lebar, berputar-putar dan nafasnya seperti kerbau
disembelih. Mira tertegun melihat keadaan ayahnya,
kemudian jatuh berlutut disamping ibunya.
"Ayah, ayah........" bisiknya parau, gemetar. "lni aku,
ayah. lni anakmu, Mira."
Ibunya kemudian melihatnya, memeluk Mira dan
menangis memekik-mekik: "Apa yang terjadi pada diri ayahmu, nak" Katakanlah,
mengapa ia sampai begini?"
Justru itu yang mau ditanyakan Mira. Batuk keras
menggema dari mulut ayah Mira, lalu terdengar suara
tetangga yang oleh penduduk dianggap dukun itu,
bersungut-sungut: "Diamlah. Jangan ada yang mengganggu!"
Lalu mulutnya komat kamit lagi. Kepalanya bergoyang
kekiri dan kekanan seraya tangannya tak hentihentinya menjatuhkan butir demi butir kemenyan ke
atas pedupaan. Sesak nafas Mira karenanya. la
bermaksud membukakan jendela kamar yang
tertutup, tetapi dilarang oleh ibunya yang berusaha
keras menahan tangis jangan sampai keluar pula.
"Mengapa ayah?" bisik Mira pada Susanti.
"Entalah. Mula-mula kami sangka kesurupan biasa.
Tetapi sudah beberapa dukun telah mengobatinya,
tetapi bapak belum sadar-sadar semenjak tiga hari
yang lalu...." "Mengapa tak dibawa ke dokter?"
Susanti menatap heran pada kakaknya.
"Dokter kan cuma ada di kota, sedang ayah sudah
lama tak kuat berjalan kemana-mana. Sampai-sampai
waktu paman Ukar meninggal, ia terjatuh di
belakang. Hampir lumpuh karena mendengar kabar
itu....... Kak Mira, tak bisakah kita berbuat sesuatu?"
Mira meraba-raba lipatan lutut ayahnya, mijit uratturut tertentu di sana yang berhubungan langsung ke
syaraf, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Demikian
pula urat-urat lengan, sementara dukun terus kumat
kamit seraya kepalanya goyang kiri goyang kanan
dengan mata tertutup. Nyatanya, sampai malam tiba
ayah mereka tetap tak sadarkan diri. Dukun itu sudah
pulang, kelelahan dan ngilu-ngilu otot-ototnya karena
terus-terusan bergoyang-goyang sepanjang hari,
parau suaranya karena tak henti-hentinya baca
matera-mantera. Mira mundar-mandir gelisah di
kamar depan, kemudian teringat pada ajengan yang
tadi siang ia temui. Ia tanyakan Susanti apakah
mereka sudah menghubungi ajengan itu, kata Susanti
sudah, tetapi ajengan tengah mengobati seorang
pasien di rumahnya. Pasiennya mengalami patah
tulang rusuk dan kaki karena jatuh dari pohon kelapa,
dan selama tiga hari itu ajengan terus mengurut
tulang-tulang yang patah.
"Tadi aku kesana. la sendirian," bersungut-sungut Mira.
"Kesana" Mau apa?" Susanti keheranan.
Mira gugup oleh pertanyaan itu, lalu memanggil
Dadang, adiknya yang bungsu. Tetapi Dadang tak
berani ke luar tengah malam menuju rumah ajengan
yang jauhnya beberapa kilometer dari kampung
mereka. "Panggilkan Uwa, bodoh!" bentak Mira marah.
Tetapi subuh harinya, Uwa yang ditemui Mira
kemaren ke kampung mereka dengan tangan kosong.
Tersengal-sengal karena jalan kaki pulang pergi,
orangtua itu menjelaskan:
"Bapak ajengan tadi malam dipanggil orang ke
gunung. Ada beberapa urang yang memerlukan
pertolongannya di sana."
"Kapan pulangnya?" taya Mira tak sabar.
"Katanya mungkin baru dua hari yang akan datang."
Mira terduduk di kursi. Dari kamar, muncul ibunya
yang matanya barut oleh tangis. la memeluk Mira
menanyakan apakah anaknya sudah makan, kemana
lwan, dan banyak pertanyaan lain yang tak teringat
untuk ia tanyakan malam harinya. Mira menjawabnya
satu persatu dengan sabar dan merasa lega setelah
melihat ayahnya di kamar tertidur. Kata Susanti,
tidurnya paling sepuluh atau lima belas menit, setelah
itu penyakitnya pasti kambuh kembali. Benar saja.
Baru juga Mira mandi air hangat di sumur, telah
terdengar jeritan ayahnya dari ka
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
mar. Bergegas Mira masuk ke kamar, dan menemukan
adik-adik serta ibunya sudah mengelilingi tempat
tidur. Di atas ranjang, ayahya menggeliat-geliat dan
menghempas-hempaskan tubuh. Kaki dan tangannya
dipegangi erat-erat oleh mereka. Dengan cemas Mira
mendengar umpatan-umpatan yang keluar dari mulut
ayahya: "Kau setan! Kau setaaaaan!"
Kemudian tubuh ayahnya terhantar keras seperti
dipukul. Terdengar laki-laki tua itu mengerang:
"Tidak. Aku tidak bermaksud mengganggnmu! O,
lepaskanlah aku..........."
Lalu ayahnya batuk-batuk, terus muntah.
Habis muntah, nafasnya kembang kempis, dan
setelah diberi air minum oleh Mira dicampur dengan
ramu-ramuan yang diberikan oleh dukun yang telah
dipanggil Dadang, barulah ayah mereka tertidur
kembali. Semua orang menarik nafas lega, dan ibu
Mira menangis tersedu-sedu. Mira menarik Susanti
keluar dari kamar. Seraya mempersiapkan makan
pagi di dapur, Susanti menceritakan bagaimana
setelah mendengar ditinggal pergi oleh Mira dan
suaminya, ayah mereka selalu pergi ke padang ilalang
yang semenjak beberapa tahun ini jarang dijamah
penduduk itu. Tak ada yang berani melarangnya,
kecuali memperingatkan bahwa penyakitnya tak
akan sembuh-sembuh kalau ia semakin sering ke luar
rumah. "Aku perlu udara segar, dan otot-ototku perlu
digerakkan," begitu selalu jawab ayah mereka.
Lalu suatu hari, ayah mereka membawa pacul.
Semula mereka sangka mau pergi ke kebun, tetapi
sampai jauh malam belum juga kembali. Waktu
dicari, semua orang terheran-heran. Ayah ditemukan
tertidur ditengah-tengah padang ilalang, persis dimana
dulu Iwan juga ditemukan dalam keadaan yang
sama. Mendengar itu, Mira terkejut dan dengan panik
bertanya: "Kalian bersihkan seluruh tubuhnya?"
"Tentu saja," jawab Susanti dengan dahi mengernyit.
"Bukankah seluruh tubuh dan pakaiannya penuh
lumpur dan berbau busuk?"
"Tak ada apa-apa selain lumpur?"
"Tidak. Mengapa?"
"Juga tidak di sela-sela kuku?"
"Disela-sela kuku" Apa maksudmu ayah bukan
mencangkul, tetapi menggerut dengan kukukukunya?" "Mungkin. Mungkin begitu. Jadi tak ada sesuatu
apapun, sisik ular, misalnya?"
Susanti bergidik, lalu geleng kepala. Mira
mengingatkan adiknya pada peristiwa yang dialami
lwan. Lalu menceritakan hal-hal yang kemudian
mereka alami di kota. Tentang keragu-raguan akan
sebab kematian paman Sukarya jugu kematian Eka
dan Dikky. Seluruhnya ia ceritakan, Sampai ke
mimpinya yang menakutkan itu, kedatangannya pada
bapak ajengan minta pertolongan dan kemudian
teringat pada raut wajah laki-laki di dasar cangkir.
Cepat-cepat ia mengambil pulpen, membuat sketsa
yang persis dengan wajah laki-laki itu,
menunjukkannya pada Susanti lalu ia bertanya:
"Kau kenal siapa orang ini?"
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

MATA Susanti membesar sesaat ketika
memperhatikan wajah lelaki di atas kertas itu. Mira
menahan nafas. Menunggu. Tetapi sia-sia belaka.
Karena mata Susanti dengan segera berubah jadi
biasa kembali. Lalu kepalanya bergeleng. Kekiri
kekanan. "Rasa-rasa pernah ingat. Tetapi siapa ya," gumamnya
perlahan. "Cobalah perhatikan sekali lagi," desak Mira
penasaran. Hasil coretan kakaknya itu diperhatikan Susanti
kembali. Lebih seksama. Mengernyit dahinya sedikit.
"Engga punya potretnya?" tanyanya.
"Sialnya, engga...."
"Coretan-coretannya tak bisa kau perhalus?"
Mira menghela nafas. Berkata pahit:
"Di es-em-a dulu, aku dapat angka delapan untuk ilmu
ukur sudut. Tak pernah kurang. Tetapi melukis, cuma
kebagian empat. Tak pernah lebih!" lantas tubuhnya
lemas terduduk di sebuah bangku rotan yang sudah
reyot. Berderit bunyinya. Letih, setelah menerima
hunjaman pantat terus menerus selama bertahuntahun. Seletih perasaan Mira sendiri yang semakin gila
keinginannya untuk mengetahui siapa adanya lelaki
itu. Waktu ia tanya Dadang setelah makan pagi. adik
bungsunya geleng kepala. Susah payah, Mira memperhalus coretan-coretan di
atas kertas itu, seingat hatinya. la tunjukkan lagi pada
Susanti. Jawabannya tetap seperti tadi. Ibu mereka
tertarik, ikut melihatnya. Kemudian nyeletuk:
"Rasa-rasa pernah lihat!"
Demikian pula kata segelintir tetangga-tetangga dan
keluarga-keluarga yang datang melawat hari itu
untuk melihat si sakit dan beramah-tamah dengan
Mira. Saking asyiknya mereka mendengar
pengalaman Mira sebagai pengantin baru di kota,
sambil lalu ia perlihatkan coretan itu. Dan jawaban
mereka juga serupa: "Ingat-ingat lupa. Siapa ya?"
Lantas sore hari itu penyakit ganjil sang ayah kambuh
kembali. Sekujur tubuhnya tegang, malah dari
mulutnya keluar busa-busa bergumpal-gumpal.
Mereka ramai-ramai memegangi tangan dan kakinya,
agar jangan sampai meronta-ronta. Ibunya bilang
pernah sekali mereka lepaskan pegangan pada
anggota tubuh laki-laki malang itu. Ayah Mira
serentak berdiri, dan membenturkan kepala ke tiang
sudut kamar. Untung tiangnya rapuh, kalau tidak.....
Dari mulutnya yang berbusa lepas umpat dan caci,
kemudian erangan yang memilukan:
"Jangan! Jangan bunuh aku....... oh, Parta. Aku tak
pernah menyakiti kau, bukan" Parta, aku........."
Wajah Susanti memucat. Ia pandangi kakaknya
dengat mata berkilat-kilat. Begitu ketegangan tubuh
ayah mereka agak reda, cepat-cepat ia tarik tangan
Mira, mengajaknya keluar dari kamar. Mira heran
melihat tubuh Susanti yang gemetar dan nafasnya
yang tersengal-sengal. Semula ia kira karena
kelelahan memegangi kaki asah mereka.
"Aku tau!" ujar Susanti gugup. "Aku tau sekarang!"
"Apa pula yang kau ketahui?" rungut Mira tak
mengerti. "Lukisanmu yang jelek itu!"
Tegang tubuh Mira. "Kau ingat sekarang?"
"Ya, kak. Kuingat sekarang."
"Siapa?" "Orang yang ayah sebut tadi. Parta."
"Parta?" "Ah. Kau cuma kenal waktu masih sama-sama kecil.
Itu anak gembala yang di pipinya lengket ingus
mengering dan di bibirnya selalu lekat seruling!"
Mira terhenyak di kursi. "Tak mungkin!" keluhnya. Parau.
"Mengapa tidak kak" Lupakah kau, suratku beberapa
tahun yang lalu" Kau pernah kukabari. Parta yang tak
ketentuan hidupnya itu tiba-tiba menjadi kaya raya.
Perempuan-perempuan yang pernah membencinya,
mulai menaruh hati padanya bahkan sampai tergilagila. Si Eka misalnya."
"Eka?" bergidik bulu kuduk Mira.
"Ya, bintang kampung kita itu. Anak yang masih
ingusan tetapi sudah mengenyam enaknya tidur
dengan lelaki itu. Ah, kak Mira. Masih ingat kau
ceritaku dalam surat-suratku selanjutnya?"
"Kau pernah bilang, orang kampung kita mengharam
jadahkan Eka dan Parta. Karena mereka hidup
serumah tanpa nikah."
"Lalu?" Susanti seolah-olah mendesak ingatan Mira
agar keluar semua. Mira mengingat-ingat. Dan Susanti mengingatkan:
" ........... suatu ketika. Parta memergoki Bana di kamar
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
tidur Eka. Parta hampir membunuh Bana. Eka
melarikan diri, dikejar oleh Parta. Eka menjerit-jerit
mengatakan Parta sudah gila. Parta orang jadi-jadian.
Parta memuja ular. Penduduk kampung yang
mendengarnya, memperoleh kesempatan
melampiaskan kebencian mereka selama ini. Parta
mereka bunuh beramai-ramai!"
"Kau mau mengatakan yang mengganggu jiwa ayah
adalah arwahnya Parta?"
"Kak Mira, arwah itu juga telah mempengaruhi kau."
Mira menggigil. "Yang muncul dalam impianku ular besar yang hitam
legam. Bukan manusia!"
"Mungkin itu ular yang disembah Parta. Atau............"
"Atau apa?" Wajah Susanti mengapas. Bisikan serak terdengar dari
bibirnya yang kering dengan tiba-tiba:
"Mungkin ular itu, Parta sendiri!"
"Jangan pula kau mengada-ada!" rungut Mira, namun
ia memikirkan pula kemungkinan itu. Kalau saja
bapak ajengan tidak sedang pergi ke gunung, Mira
rasanya mau terbang kesana seketika itu juga untuk
menanyakan kemungkinan yang diucapkan adiknya.
Tetapi... Dipandanginya adiknya dengan mata
berminat. "Santi, aku belum percaya sama sekali. Tetapi tahukah
kau kira-kira, tempat yang tepat untuk kita bertanya?"
Susanti menggangguk. "Siapa" Dimana" Apa pekerjaanya?" tanya Mira
bertubi-tubi. "Embah Rejo. Rumahnya di ujung kampung dekat
sungai. Sudah hampir seratus tahun umurnya, tetapi
masih kuat bekerja di sawah. la punya tanah berbaubau jumlahnya, pokoknya hampir semua sawah yang
ada di kampung ini adalah miliknya. Kerbau-kerbau
yang dipakai mewuluku pun punya Embah Rejo pula.
Kekayaannya yang terus bertambah membuat orangorang bertanya dari mana ia memperolehnya" Orangorang mulai curiga, tetapi terpaksa juga bekerja
padanya demi isi perut. Meskipun banyak yang
membenci Embah Rejo itu, karena konon ia seorang
dukun yang bisa membuat orang. meriang hanya
dengan meludah didepan orang itu, atau menusukkan
lidi ke tanah untuk memaksa orang yang tak
disukainya menusuk perut sendiri pakai pisau. Orangorang yang menderita penyakit-penyakit aneh itu
hanya bisa disembuhkan oleh Embah Rejo dan.........."
"Kita kesana sekarang juga!" Mira menukas, seraya
berdiri. Susanti kaget. "Ke Embah Rejo" Kau gila!"
"Apa boleh buat. Hanya ia satu-satunya orang tempat
kita minta tolong saat ini. Bukankah kau pernah
menyuratiku untuk menceritakan, Embah Rejo-lah
yang mengatakan Parta telah mati lalu menyuruh
penduduk mencemplungkan tubuh Parta ke dalam
sebuah sumur tua supaya tak bersusah-susah
menggali kuburannya?"
"Tetapi.... aku takut, kak."
"Kau tinggallah di sini. Biar aku pergi dengan Dadang."
Adiknya yang bungsu itu gemetar waktu Mira
mengajaknya menemui Embah Rejo. Dengan jengkel
Mira membentak: "Mau jadi laki-laki apa kau kalau sudah besar" Banci?"
Merungkut. Dandang akhirnya menurut juga.
Matahari mulai rebah di ufuk barat ketika mereka
keluar dari rumah, berjalan kaki ke ujung kampung
melalui sawah dan kebun-kebun, sebuah anak sungai,
lalu tiba di perkebunan kelapa milik Embah Rejo.
Cuma ada satu jalan menuju ke rumah itu. Jalan
setapak diantara pohon-pohon kelapa, pohon-pohon
kopi, rimbunan bunga-birnga dan semak belukar di kiri
kanannya. Dadang memegang tangan kakaknya eraterat, sementara Mira melangkah tersuruk-suruk, agak
ngeri dengan suasana sunyi senyap di tempat
terpencil dan jauh dari rumah-rumah penduduk
lainnya itu. Tetapi ayahnya harus segera
disembuhkan, dan rahasia kehidupan rumahtangganya selama ini harus segera ia pecahkan. Ia
bisa muntah kalau harus terus-terusan minum kopi
kalau mau tidur, dan kecurigaannya pada sikap
suaminya bisa merusak cinta yang telah mereka ukir
semenjak bertemu di fakultas dengan lebih dulu Mira
harus menyingkirkan beberapa teman wanita lainnya
dari samping lwan. "Oh, kalau saja suamiku sekarang ada di sampingku,
aku tak setakut sekarang ini. lwanku. lwanku sayang,
sedang apa kau sekarang?" keluh Mira dalam hati.
*
PADA saat itu, http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
lwan berada di tengah perjalanan
menyusul isterinya. Satu hari satu malam tanpa kenal
lelah ia selesaikan pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk
di kantor yang sebagian ia bawa ke rumah. Masih
ingat benar lwan, bagaimana wajah majikannya
setengah tertawa setengah jengkel waktu lwan
memperlihatkan telegram yang ditinggalkan Mira di
rumah. "Dasar pengantin baru. Belum apa-apa, sudah
diganggu mertua!" sungut majikan lwan. "Baiklah, jadi
hari Sabtu besok kau tak masuk kerja lagi. Tetapi ini
untuk kali terakhir, bung. Sekedar menghormati
ranjang pengantinmu yang masih hangat. Begitu
ranjang pengantinmu mulai dingin, tak ada ampun
lagi!" lwan tersenyum kecil teringat ultimatum majikannya
itu. Waktu turun dari bus lewat waktu magrib. Tak
ada dokar lagi waktu itu, sehingga dengan gundah ia
meneruskan tujuannya dengan berjalan kaki melalui
jalan desa yang berbatu-batu ke kampung isterinya.
la sangat senang sekali waktu di tengah jalan ia
bertemu seorang yang bisa diajak ngobrol membuang
rasa cape dan penat. Orang itu memanggul pacul, dan
celananya kotor oleh lumpur kering.
"Dan kalau tak salah, kau Bana. Rumahmu yang
pertama-tama ditemui di kampung Mira. Dari mana
malam-malam begini?"
"Gali selokan untuk mengairi kebun mentimun. Wah,
susahnya air bukan main. Kemarau tahun ini panjang
sekali, He, mengapa tidak bersama-sama Mira?"
"la sudah duluan."
"Oooo......" Bulan bersembunyi lagi di balik awan yang rasanya
tak mau pecah-pecah jadi hujan itu ketika mereka
tiba di depan rumah Bana. Dengan hormat, empunya
rumah mengajak tamunya singgah. la tak
memperoleh jawaban. Waktu ia menoleh, tamunya
sudah berdiri di dekatnya. Memandang tajam pada
Bana, lalu samar-samar, ia dengar sebuah suara.
Bukan suara Iwan, tetapi suara laki-laki yang
terdengar serak. "Masih ingatkah kau si Eka, he Bana"!"
Terkejut Bana oleh suara itu, oleh pertanyaan itu, dan
kemudian oleh wajah laki-laki di depannya waktu
bulan muncul kembali. la hampir-hampir tak percaya
dengan penglihatan matanya, tetapi ia merasakan
hendusan nafas laki-laki itu rapat ke wajahnya.
Hendusan nafas itu berbau hanyir.........!
"Iwan, kau....."
"Iwan" Siapa lwan" Aku bukan lwan."
Bana terpukau. Bulan bersinar lebih terang seolah-olah
disengaja. Yang bertliri di dekatnya, bukan Iwan yang
tadi ia temui di jalan, tetapi sesosok tubuh mahluk
yang wujudnya membuat kedua kaki Bana bagai
terpaku dalam-dalam ke tanah tempatnya berpiijak.
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
JANTUNG Mira berdebar kencang ketika ia dan
Dadang akhirnya tiba di depan pintu rumah Embah
Rejo. Kalau di kota, orang sekaya dukun itu pasti diam
di rumah gedung yang mewah, terang benderang
oleh lampu neon di setiap pojok pekarangan. Tetapi
rumah yang ia datangi sekarang, adalah sebuah
rumah yang tak beda dengan rumah-rumah penduduk
lainnya. Perbedaannya paling-paling dinding rumah
penduduk banyak terbuat dari tepas setengah, papan
setengah, sedangkan Embah Rejo seluruhnya terbuat
dari batang-batang kayu jati. Perbedaan lain barulah


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia lihat setelah Embah Rejo mempersilahkan mereka
masuk. Kalau rumah rumah lain berserakan
perabotan-perabotan biasa, maka Embah Rejo
disamping kursi dan meja kayu tanpa ukiran, terdapat
banyak sekali boneka-boneka yang aneh-aneh.
Besarnya bermacam-macam. Ada yang terbuat dari
kayu, ada dari batang-batang pisang dan tebu. Tak
sedikit pula daun-daun lontar.
Lewat jilatan sinar lampu teplok, Mira menduga-duga
untuk apa gerangan boneka-boneka itu diberi tandatanda tertentu dibagian-bagian yang vitaal andaikata
boneka-boneka itu adalah manusia hidup. Beberapa
buah paku terletak dekat boneka-boneka itu.
"Kalian tentunya anak si Suparja bukan?" sapanya
begitu mereka duduk berhadapan. Suaranya jelas,
dan baris-baris giginya tampak masih lengkap, hanya
agak kecoklat-coklatan karena terlampau banyak
mengisap tembakau. Mira mengangguk, seraya memperhatikan wajah
dukun itu. Sudah banyak guratan tua disana-sini,
tetapi sorot matanya jelas tajam sekali. Bergidik Mira
ketika bertemu pandang dengan Embah Rejo,
sehingga ia merundukkan wajah dengan perasaan
takut. Disampingnya, duduk Dadang dengan tubuh
gemetar dan semenjak masuk ke dalam rumah,
hanya memandang lurus ke jari-jari kakinya sendiri.
"Apa keperluanmu?"
"Minta petunjuk." jawab Mira gugup. Nalurinya
mengatakan, dukun itu memandangi dirinya dengan
seksama. Entah apa artinya pandangan mata itu.
Pandangan seorang tua yang berpengalaman
mengenal manusiakah atau pandangan seorang lakilaki biasa" "Hanya petunjuk?"
"Dan pengobatan, Embah?"
"Siapa yang sakit?"
"Ayah." "Mengapa si Suparja" Setahuku ia termasuk laki-laki
yang sehat, hanya belakangan ini sering terkena
batuk rejan. Untuk mengobati batuknya kalian panggil
aku ke mari?" "Kalau bisa sekalian."
"Sekalian" Maksudmu, ada penyakit yang lebih
parah?" Mira menganggukkan kepala.
"Coba ceritakan dengan jelas."
Mira menceritakannya, seraya terkadang
memberanikan diri menatap wajah orang tua renta di
depannya, mencari reaksi ceritanya. Waktu
menyebutkan tempat dimana ayah mereka
diketemukan penduduk, lalu igauan-igauannya yang
aneh terutama waktu menyebut nama Parta, mata
orangtua itu berkilat-kilat. Ia manggut-manggut
selesai Mira bercerita, kemudian mengambil sebuah
baskom. Dan sebuah guci tanah yang hitam dan
berlumut tepi-tepinya, ia curahkan air bening ke
dalam baskom. Setelah itu, ia ambil sehelai daun
lontar, digerak-gerakkan di permukaan air dalam
baskom. Mulutnya komat-kamit membaca mentera. la
tak perlu membakar dupa, karena begitu masuk
ruangan, hidung Mira sudah terserang hebat oleh bau
kemenyan. Kata Susanti, kemenyan dalam dupa
Embah Rejo tak pernah padam.
"Keluarlah, keluarlah!" tiba-tiba Embah Rejo bersungutsungut. Mira terkejut. la melihat wajah dukun, dan menuruti
arah tatapan mata laki-laki tua itu. Seketika Mira
membelalakan matanya. Tangan Embah Rejo tak
menyentuh baskom, meja pun tak bergoyang. Tetapi
air di dalam baskom, beriak-riak. Makin lama makin
keras riak air itu hampir-hampir seperti bergolak tanpa
tertumpah setetes pun keluar. Sementara itu, daun
lontar di tangan Embah Rejo sebaliknya berhenti
bergerak, diam dan tegang meskipun jari jemari yang
memegangnya bergetar dengan hebatnya.
"Nggg, ngng, aku tau....... aku tau..... nggg....." ceracau
dukun itu berulang-ulang.
Lalu asap kemenyan di bawah meja, mengepul
banyak sek http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
ali keatas. Mira terbatuk-batuk, hampir
muntah oleh baunya yang tak tertahankan, lalu
kemudian asap kemeyan itu kembali mengecil,
bersamaan dengan wajah Embah Rejo menjadi biasa
kembali. Hanya tinggal butir-butir keringat sebesar
jagung memenuhi wajahnya, pertanda ia telah
mengerahkan segenap kekuatan dalamnya untuk
memperoleh apa yang ia inginkan. Setelah menatap
Mira sejurus, ia berkata:
"Suparja berbuat kekeliruan!"
Mira terdongak. "Kekeliruan apa, embah?"
"Seharusnya ia lebih banyak berdiam di rumah,
sehingga tidak saja batuk rejannya sembuh, akan
tetapi juga ia tak sampai harus berpapasan dengan
mahluk itu." "Mahluk....... mahluk apa, Embah?" jantung Mira
berdenyut kencang. la mengharapkan orang tua itu
mengatakan tentang ular besar yang sisiknya hitam
legam. Akan tetapi Embah Rejo cuma mengatakan:
"Roh!" "Roh" Roh siapa, Embah?"
"Roh Parta." Tetapi Embah, bagaimana ayah bisa melihat dan
mengganggu roh orang yang sudah lama meninggal
dunia?" "Roh Parta masih gentayangan!"
Hampir pingsan Mira mendengarnya. Di sebelahnya,
Dadang mulai menangis. Embah Rejo memandangi
anak lelaki itu dengan jengkel.
"Mengapa pula kau menangis, anak bodoh?"
Ditanya begitu, bukannya tangis Dadang berhenti,
malah semakin keras. la peluk kakaknya erat-erat
seraya memohon: "Mari pulang, kak. Mari pulang!"
"Kalian akan segera pulang. Aku yang antar. Tak usah
takut, cucuku," suara orangtua itu berubah lembut. la
kemudian tertawa terkekeh-kekeh, meskipun Mira tak
melihat sesuatu yang lucu untuk
ditertawakan. Orangtua itu kemudian bangkit, mengambil sebuah
tongkat dari ruang dalam. Tongkat itu terbuat dari
bambu yang warnanya sudah kuning tanah, runcing
kedua ujungnya. Semula Mira menyangka tongkat bambu itu akan
dipergunakan Embah Rejo membantu tubuhnya
berjalan. Tetapi selagi mereka kembali ke
pertengahan kampung, Embah Rejoa hanya
mengapitnya di pinggang, seperti layaknya seorang
serdadu dijaman kemerdekaan dulu. la berjalan tegak
lurus, tak pernah terantuk akar-akar pohon kelapa
atau terhantam rimbunan dedaunan serta rantingranting, kopi, seperti halnya yang dialami Mira dan
Dadang yang berusaha membelalakkan mata agar
bisa melihat jalan mereka dalam kegelapan. Meskipun
Mira dan adiknya takut sekali berjalan di belakang
orang tua itu, tetapi mereka lebih takut lagi berjalan
didepan laki-laki itu. *
Di depan rumahnya, Bana ingin menghambur masuk
ke dalam kemudian mengunci pintu dan bergulung
dibawah selimut isterinya. Kerongkongannya tiba-tiba
tersumbat meski gumpalan-gumpalan teriakan ingin
minta tolong, bagai gumuruh berdentum-dentum di
dada. la bagaikan patung mati, yang lumpuh dan bisu,
sementara mahluk yang berdiri didekatnya,
menyeringai lebar. " ........... kenapa mukamu kelabu, Bana" Takutkah
kau?" Suara yang serak itu, kini seperti mendesis-desis. Dan
dari sela-sela gigi mahluk yang berbicara itu, terjulur
keluar lidah yang panjang bercabang-cabang. Dari
lidah itu menetes lendir yang baunya pengik alang
kepalang. "Kau seperti tak mengenalku, Bana," desis mahluk itu.
"Bukankah kau ingat siapa Eka?"
Bana mengangguk, hanya itulah yang bisa ia buat.
Mengangguk. Patah-patah. Terdengar tawa yang nyinyir:
"Kalau kau kenal Eka, tentu kau kenal pula
suaminya...!" Entah bagaimana mulut Bana tiba-tiba bisa terbuka:
"Laki-laki itu bukan suaminya. Laki-laki itu manusia
kejam yang menjadikan Eka tak lebih dari seorang
gundik yang hina!" "Eh, kau berani mengejek aku, Bana" Tak tahukah
kau, aku ini si Parta?"
Bagai belah bumi tempat Bana berpijak, tetapi ia tak
tenggelam di antara belahan itu, meskipun betapa
inginnya dia hal itu terjadi saat itu juga!
"Siapa bilang aku berlaku kejam pada Eka, he Bana?"
"Perempuan itu."
"Apa lagi kata si terkutuk haram jadah itu?"
Bana menjilat bibirnya yang kering kerontang.
Jawabnya parau: "Ia tak http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
Dedemit Bukit Iblis 2 Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan Pisau Terbang Li 7

Cari Blog Ini