Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap Bagian 3
cinta padamu lagi!" "Lalu pada siapa ia jatuh cinta?"
Bana tak ingin menjawab, tetapi mulutnya toh
terbuka oleh tarikan magnit yang tak kuasa ia tolak:
"Padaku." "Lalu kau telanjangi ia di rumahku?"
"Aku tak bermaksud menelanjanginya. Ia
mengajakku kesana, katanya ia kesepian kau
tinggalkan, perlu teman. Lalu ia menarikku ke tempat
tidur, dan akulah yang mula-mula ia telanjangi........"
Mahluk setengah manusia yang perlahan-lahan
berubah setengah ular di depan Bana, tertawa
terkekeh-kekeh. Lidahnya menjulur kesana kemari,
hampir saja menyentuh hidung Bana. Perut Bana
mulas, berguncang hebat. la mau muntah, tetapi
perutnya bagai besi saja layaknya, kaku tegang.
"Kalau begitu, aku akan masuk ke kamar tidur
isterimu. Seperti yang kau lakukan dulu di kamar tidur
isteriku. Lalu isterimu menelanjangiku, seperti Eka kau
katakan menelanjangimu pula........." dan mahluk itu
bergerak dari samping Bana. Hanya dalam sedetik,
seperti angin yang bersiur, tubuh yang berbentuk
setengah manusia setengah ular itu telah berada di
depan pintu, mendorongnya seenaknya, terhempas
membuka. Kemudian ia dengar jeritan isterinya
tertahan di dalam rumah, kemudian sepi.
Bulan tenggelam lagi dibalik awan yang pemalas itu.
Bana tersentak. Kesepian di dalam rumah
menyadarkan dirinya. Ia berteriak lantang:
"Jangan, terkutuk!"
Lantas dalam beberapa lompatan ia telah berada
dalam rumah, berlari ke kamar tidur dan melihat
mahluk yang mengerikan itu tengah menindih tubuh
telanjang isterinya yang pingsan di atas tempat tidur.
Tanpa bergerak dari tempatnya, mahluk mengerikan
itu memandang kepada Bana, tertawa nyinyir dan
menantang: "Pergunakan paculmu, Bana. Bukankah seperti kau,
dulu pun aku merentak masuk, lalu menghantammu?"
Bana mengangkat paculnya tinggi-tinggi. Mahluk itu
cuma menatap. Dingin dan hampa. Dan pacul
ditangan Bana terhenti di udara, dengan tangan lakilaki yang malang itu tetap teracung tanpa bisa ia
gerakkan sama sekali. Pandangan mata dingin itu jadi berkilat-kilat, ia
teruskan hajat kelelakiannya yang terkutuk itu. Ketika
ia selesai, isteri Bana masih dalam keadaan pingsan.
Waktu mahluk itu berdiri kembali di dadanya, Bana
tak melihat bulu tetapi sisik yang hitam legam. Dan
kepalanya tak lagi mengenakan rambut, telinganya
pun seperti lenyap. Kepala itu benar-benar telah
berubah jadi kepala ular, dengan lidah bercabangcabang menjulur-julur keluar dan mata merah
kehijauan memandang dengan sinar mata buas
kearah Bana. http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
EMBAH REJO meletakkan tongkat bambu runcing di
kedua ujungnya itu, lurus di sepanjang tubuh ayah
Mira. Tubuh si sakit yang tegang dan terus-terusan
meronta itu, perlahan-lahan melemah, kemudian
kedua lengannya terkulai layu di sisi tubuhnya.
Kakinya gemetar sesaat, kemudian menjadi tenang.
Namun mata orangtua yang malang itu masih
melotot, dan mulutnya masih mengerang.
"Hai kau penghuni tubuh terhantar ini," rungut dukun
tua renta disamping Mira." Kau paling menakuti
bambu, bukan" Nah, tak akan kuangkat bambu itu
bila tak kau tinggalkan segera tubuh laki-laki ini."
"Aku akan pergi...... aku akan pergi," terdengar rintihan
menyayat dari mulut ayah Mira.
"Mengapa kau berada di tubuh orang ini?"
"Hanya rohku saja. Saat ini, jasad dan sebagian rohku
ada di tempat lain!"
"Aku tak perduli pada jasad dan sebagian rohmu di
tempat lain itu. Tak perduli pula di tubuh siapa jasad
dan sebagian rohmu saat ini hinggap. Tetapi demi
setan alas, mengapa orang ini sampai kau ganggu?"
"Bukan aku. Dialah yang menggangguku. Dia sering
sekali datang ke tempatku. la tak tau dimana aku
berada, tetapi ia menduga-duga saja. Celakanya,
dugaan itu benar, dan sekali waktu kami kepergok.
Aku baru saja mau kembali ke persemay amanku
waktu ia muncul dengan tiba-tiba seraya ia berteriak:
"Kau setan jahaman. Kau ganggu menantuku. Kau
bunuh saudaraku!" Embah Rejo menghela nafas. Mira ingin dukun itu
bertanya lebih lanjut untuk meyakinkan dirinya
bahwa lwan juga dipengaruhi roh Parta dan
pembunuhan yang dilakukan roh itu terhadap paman
Sukarya dan Eka serta kekasihnya, ada hubungannya.
Namun tiba-tiba ia merasa takut. Sampai dimana roh
itu mempengaruhi diri lwan" Apakah hanya sekedar
muncul dalam impian seperti yang dialami Mira"
Tetapi Mira dalam mimpinya secara nyata juga
membakar sisik ular yang ia simpan. Apakah lwan
juga telah dipengaruhi roh itu jauh dari sangkaansangkaan Mira" Perempuan itu menggigil, dan entah mengapa rasa
lega setelah dukun tak bertanya apa-apa lagi. la cuma
berkata: "Sekarang, pergilah kau. Jangan ganggu orang ini lagi!"
"Terimakasih, embah. Terimakasih, embah. Aku akan
pergi. Aku akan pergi......."
Tiba-tiba Mira memegang lengan dukun. Tanyanya,
tajam: "Mengapa embah biarkan ia pergi. Mengapa tak
dibunuh?" Terkekeh-kekeh orangtua itu, sahutnya tenangtenang: "Kalau ia harus kubunuh saat ini, maka ujung bambu
yang runcing harus kuhunjamkan langsung ke jantung
ayahmu. Inginkah kau hal itu kulakukan, anak manis"
Hehehehe..........."
Mira bergidik. Lalu menggelengkan kepala. la lihat
ibunya dan Susanti memeluk tubuh ayah mereka.
Meskipun belum sadar, tetapi jelas kelihatan wajah
ayah yang tenang, mulutnya tersenyum getir dan
lega, seolah-olah ia sadar baru lepas dan siksaan yang
mendera jiwanya. Dadang yang sudah hilang
ketakutannya, ia suruh tidur. Setelah itu ia temui
Embah Rejo yang duduk seenaknya di ruang depan.
"Mau minum kopi, embah?"
"Kopi" Itu membuatku batuk rejan nanti seperti
ayahmu." "Apakah batuk ayah akan sembuh pula?"
"Kau campurkan ramuan ini ke minumannya tiap pagi.
Batuknya pasti sembuh!"
Mira menerima bungkusan kecil dari tangan orang tua
renta itu. Entah kapan Embah Rejo menyediakannya,
Mira tak tahu. Dan ia tak mau tau. Yang penting, obat
itu berguna bagi kesehatan ayahnya. Oleh karena itu,
ia tak banyak bertanya lagi, kecuali:
"Dengan apa kebaikan embah harus kami bayar?"
Dukun itu terkekeh-kekeh. Dipandanginya Mira tajamtajam. "Nanti saja sekalian."
"Emangnya apalagi yang akan embah lakukan?"
"Pelupa benar kau ini, anak manis. Bukankah kau
datang menemuiku tidak saja untuk mengobati
ayahmu, tetapi juga untuk minta dilepaskan semacam
pengaruh aneh yang menguasai dirimu?"
"Tapi embah," sahut Mira heran. "Saya tak
menceritakan apa-apa tentang diri saya."
"Mulutmu tidak, tapi bau nafas dan sinar matamu. Ya."
Mira menarik nafas. "Berapa tarifnya, embah?"
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
"Jadi masih kau perlukan pertolonganku" Atau kau
memerlukan pertolongan orang lain saja?"
Mira memikirkannya. la memang ingin ditolong oleh
bapak ajengan di desa kecamatan itu. Tapi ajengan
sedang pergi ke gunung. Mungkin baru pulang besok,
tetapi bila pasiennya bertambah bisa lebih lama. Dan
besok Iwan akan datang menyusulnya, sehingga ia
tidak akan berkesempatan menemui ajengan tanpa
membuka kartu pada suaminya. Lagipula, tidakkah
makin cepat makin baik" Dukun dihadapannya ini,
konon sering menyakiti orang, tetapi buktinya,
ayahnya telah disembuhkan padahal ayahnya tak
pernah menyakiti dukun ini. Jadi, penyakit ayahnya
bukan buatan si dukun. Ia sudah membuktikan
dengan mata kepala dan telinga sendiri, tadi di kamar
tidur ayahnya. Mira cepat mengambil keputusan.
"Apakah sekarang embah bisa menolong saya?"
"Sekarang?" orang tua itu geleng kepala.
"Jadi kapan?" Mira agak kecewa.
"Sebentar lagi saja. Aku pulang dulu ke rumah,
mengambil ramu-ramuan yang sesuai untuk
mengetahui pengaruh apa yang mengganggu dirimu."
"Jadi pengobatan tak perlu di rumah embah?" tanya
Mira gembira. "Cukup disini saja?"
"Wah, berat kalau disini," Embah Rejo geleng-geleng
kepala lagi. "Tempatnya harus sunyi sepi, jauh dari
suara-suara berisik manusia, tetapi dekat dengan
suara-suara alam yang murni."
"Dimanakah itu, embah?" tanya Mira mengernyitkan
dahi. "Di pinggir sungai."
"Saya......... saya harus kemana" Boleh ditemani,
embah?" "Ditemani perginya, boleh saja. Sudah kubilang,
gangguan manusia lain bisa menggagalkan
pengobatanku. Pergilah ke sungai begitu aku
tinggalkan rumah itu. Diantar siapa saja, tetapi begitu
nanti aku menemuimu di sungai, orang itu harus
sudah pergi." Mira ragu-ragu. Tetapi ajengan belum tentu kapan bisa ditemui. Dan
Iwan akan datang besok. Akhirnya ia menghela
nafas. "Baiklah. Embah saya tunggu di sungai," gumamnya
lemah. Disebelah mana, Embah?"
"Ditempat air berputar."
"Lumayan juga jauhnya. Dan air berputar.. .........."
Dukun itu berdiri. Tertawa terkekeh-kekeh, dan sambil
berjalan ke pintu ia berkata dengan suara yang lemah
lembut: "Anak manis, air tak lagi berputar. Sungai hampir
kering. Hanya kesepian yang kukehendaki. Nah, kita
bertemu sebentar lagi, ya?"
Lalu ia keluar pintu. Mira menyusul, maksud
mengantar sampai ke pekarangan. Tetapi begitu ia
berdiri didepan pintu rumah orang tuanya, dukun
lelaki tua renta yang aneh itu telah lenyap ditelan
kepekatan malam. Mira menghela nafas lagi.
Berulang-ulang. Ragu-ragu sesaat, kemudian
mengacuhkan apapun yang terjadi. Mudah-mudahan
ia bisa menjaga diri. Tetapi yang lebih penting ia mulai
menaruh kepercayaan pada dukun yang menurut
orang-orang menakutkan tetapi ternyata ramah
tamah itu. la masuk ke kamar Dadang, tetapi si bungsu itu sudah
mendengkur. Susanti agak pucat waktu ia minta
tolong diantarkan ke sungai, lalu mengeluh:
"Demi kau, apa boleh buat!"
"Ingat. Jangan beritahu ibu. Katakanlah padanya kita
mau tidur, lalu tutup pintu kamar mereka. Kita keluar
diam-diam. Kasihan ibu, kalau ia sampai tau hal apa
yang menimpa diriku. Cukuplah penderitaan ayah
menyiksa bathin dan phisik beliau."
Beberapa menit kemudian, dengan berkerudung
selimut satu seorang, keduanya keluar dari rumah.
Tetangga-tetangga sudah pada tidur, jadi mereka tak
perlu mengendad- endap. Untung bulan pelan-pelan
dijauhi awan sehingga jalan yang mereka lalui cukup
terang untuk dilihat. Lagipula Susanti hapal benar
jalan-jalan di kampung mereka, termasuk arah ke
sungai dimana biasanya kalau sedang meluap ada air
berputar. Ketika melewati mesjid, bulan semakin
penuh saja di langit. *
BULAN penuh itu menyinari jalan lwan. Waktu keluar
dari rumah Bana. Beberapa saat sebelumnya, ia
melihat Bana mati berdiri, kemudian luluh terkulai.
lwan mula-mula tak mengerti mengapa begitu cepat
dirinya berubah dan bagaimana semua itu sampai
terjadi. Basa h kuyup oleh keringat, ia sambar pacul
dari tangan Bana, kemudian berlari dari rumah. la
merasa dirinya menjadi lwan, benar-benar lwan,
bukan Parta. Tetapi kematian Bana menyiksa
bathinnya secara berlebihan, dan melihat keadaan
perempuan yang pingsan dan telanjang di tempat
tidur, yang rasa-rasa seperti barusan ia setubuhi, lwan
tak kuat lagi menahan goncangan jiwanya.
la berlari tanpa berhenti kearah padang ilalang
beberapa ratus meter di luar perkampungan, tak jauh
dari kebun mertuanya. Tiba di sana, ia langsung ke
Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bidang tanah berpasir tak berumput, lalu dengan
bernafsu mulai menggali. Suara paculnya
menghantam tanah berpasir seperti suara lecutanlecutan cambuk yang sangat mengilukan telinga.
Tetapi ia tak perduli. Semakin keras lecutan-lecutan
cambuk itu, semakin keras pula ia memacul. Seperti
orang gila, mulutnya mencaci maki, menceracau tak
menentu, dan kian lama tubuhnya kian tenggelam
dalam lubang galiannya yang juga kian dalam.
Bulan tepat berada di ubun-ubun ketika akhirnya ia
berada di dalam rongga bertanah becek dan basah,
dengan bau busuk yanng pernah membuatnya
muntah-muntah beberapa waktu yang lalu. Rasanya
telah berabad-abad semua itu terjadi, dan selama
berabad-abad lwan digoncangkan oleh kebingungan,
apakah ia menguasai diri sendiri, atau berada di
bawah kekuasaan mahluk lain" Dalam kegelapan
rongga lubang, matanya liar mencari, hidungnya
kembang kempis mencium. Dan sepasang sorot mata
hijau, kecil-kecil tetapi seperti menusuk langsung ke
jantung lwan yang bergetar hebat.
" ............. mengapa kau kesini?" terdengar siuran halus.
lwan menarik nafas panjang mencari ke kuatan. Lalu:
"Aku minta kau hentikan ini semua!" teriaknya. Suara
lwan seperti gaungan bom dalam rongga itu, sehingga
gendang telinganya bagaikan pecah rasanya.
"Hentikan" Apa yang harus kuhentikan?"
Takut gendang telinganya pecah, lwan bersungutsungut kini: "Aku tak mau jadi pembunuh lagi!"
"Kau membunuh pembunuh-pembunuh. Apa
salahnya?" "Kau yang mereka bunuh, bukan aku."
"Tetap saja mereka itu pembunuh-pembunuh."
"Balaskan dendammu sendiri. Jangan memperalat aku
lagi. Aku tak kuat. Aku tak tahan. Aku merasa
terkatung-katung diantara kehidupan dan kematian.
Lalu apa dosa istriku harus kau bawa-bawa dalam
persoalan ini?" Mahluk itu tertawa dingin.
"Siapa yang dulu mengikutiku masuk ke lubang ini,
lwan" Dan ingat, bukankah waktu itu kau sendiri
bermaksud membunuhku" Kau pun berjiwa
pembunuh. Kau sebenarnya amat berbahaya bagiku,
tetapi dibawah pengaruhku kau tidak bisa berbuat
apa-apa. Bahaya yang kukhawatirkan justru datang
dari isterimu. Ia punya rencana-rencana gila. Tahanlah
dia, atau kalian berdua binasa. Sekarang, keluarlah.
Jangan buat aku semakin marah. Ayoh. Apalagi yang
kau tunggu" Enyah! Cepat!"
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
RIAK-RIAK air pecah di batu-batu sungai, membuat
tubuh Mira menggigil kedinginan. Lewat pantulan
rembulan yang menerobos di sela-sela dedaunan
pohon rimbun yang memenuhi sekitar tempatnya
muluk bersimpuh, ia lihat sungai itu telah mulai kering.
Air berputar, yang biasanya terjadi disitu, kini hanya
meningalkan berupa lubang menganga di tebing
sungai. Tampaknya seperti lorong yang menjorok jauh
ke dalam berwarna hitam legam. Susanti telah
meninggalkannya semenjak tadi, begitu Embah Rejo
muncul dari kejauhan didahului oleh suara batukbatuk kecil. Pasti disengaja.
Rasa takut Mira pada kesepian dan kegelapan malam
agak berkurang setelah melihat orang yang
ditunggunya berada di dekatnya. Embah Rejo
meletakkan baskom kosong dan sekeranjang kecil
rempah-rempah, sebuah pedupaan yang asap
menyannya mengepul-ngepul ditiup angin malam
yang dingin menyayat tulang.
"Susah mendapat air di sini. Kita ke tengah, anakku,"
kata orangtua renta itu dengan suara ramah. Ia
ulurkan tangannya, yang disambut ragu sambut Mira.
Meskipun usia laki-laki itu hampir satu abad, akan
tetapi pegangannya di telapak tangan Mira terasa
bagaikan campitan besi. Dengan patuh Mira mengikuti
dukun itu melangkahi batu demi batu, dan berhenti
diatas sebuah batu, berhenti di atas sebuah batu
bermuka datar ditengah-tengah sungai. Hanya dengan
berjongkok sedikit, maka Embah Rejo telah bisa
menyiuk air dengan mempergunakan kaleng yang ia
keluarkan dari keranjang rempah-rempah. Air itu ia
isikan ke baskom, kemudian ia campurkan dengan
rempah-rempah berupa potongan-potongan daun
lontar, kembang beraneka jenis dan warna.
Pedupaan ia tiup beberapa kali sehingga asap
menyan semakin berkebul juga. Lalu ia suruh Mira
bersimpuh, sementara ia tegak berdiri menantang
bulan yang saat itu tepat berada diatas ubun-ubun.
Tegaknya begitu kukuh, dan tampak gagah dan
sedikit angkuh di mata Mira yang untuk melihat
kearah laki-laki di depannya, terpaksa menengadah.
"Anakku," bisik orangtua itu perlahan, disambut oleh
siuran angin resik dari arah rimbunan bambu di pinggir
sungai. "Ceritakanlah apa yang telah kau alami."
"Saya didatangi seekor mahluk yang dahsyat dalam
mimpi saya, embah." "ltu bukan impian. ltu kenyataan."
"Benar, Embah. Buktinya, sisik-sisik ular yang saya
simpan, waktu saya bangun keesokan harinya telah
terbakar musnah." "Sisik-sisik ular?"
"Ya embah." "Warnanya?" "Hitam. Legam."
"Dari mana kau peroleh?"
"Di pinggir pantai, di tempat mana malam harinya
ditemukan mayat-mayat laki-laki dan seorang
perempuan." "Buat apa sisik itu kau simpan?"
"Untuk kenang-kenangan, embah."
"Berbohonglah, lalu pengobatanku tak jadi kuberikan."
"Untuk mengetahui sebuah rahasia, embah."
"Rahasia apa?" "Keganjilan sikap suamiku akhir-akhir ini."
"Semenjak kapan suamimu bersikap ganjil?"
"Semenjak tubuhnya diketemukan di tempat dimana
beberapa hari yang lalu tubuh ayah juga
diketemukan." "Ada pertanda?"
"Sisik ular, embah."
"Seperti sisik yang kau temukan di pantai?"
"Ya, embah!" "Apa yang kau inginkan dariku?"
"Lepaskan saya dan suami saya dari pengaruh
jahanam itu, embah!"
Sesaat, Mira seperti melihat getaran pada lutut lakilaki di depan biji matanya. Disaat berikutnya, ia
dengar laki-laki tua renta itu memerintah:
"Ikutilah kata-kataku ini. Demi setan .........."
Mira terkejut. "Ikutilah!" "Tetapi embah, saya tak pernah berdemi."
"Ikuti kubilang!"
Pandangan mata tajam yang seperti datang dari
langit itu, mencekam jantung Mira. Dengan terputusputus, ia mengucap: "Demi........ demi setan..........."
"Kupasrahkan diriku pada pengobatan pengikutmu,
wahai setan." " ........... kupasrahkan diriku pada pengobatan
pengikutmu, wahai setan ..... ..." tutur Mira.
"Setelah itu, lupakanlah aku wahai setan!"
"Setelah itu............. lupakanlah aku ................. wahai
setan!" Embah Rejo merunduk. "Buka pakaianmu, anakku."
Mira terkejut. "Kau mau mandi, anakku, dengan berpakaian
lengkap" Lalu dengan apa kau pulang nanti" Selimut
itu" Toh untuk itu kau harus membuka pakaian, dan
setan-setan paling benci pada penutup tubuh
semacam itu!" Dengan enggan, Mira membuka pakaiannya. Raguragu. Satu persatu. Ketika tinggal beha dan celana
dalam, ia menundukkan wajah seraya kedua
lengannya bersilang di dada.
"Setan masih melihat benda yang dibencinya,
anakku." Mira menggigil, sekarang tidak saja oleh kedinginan,
tetapi terutama oleh perasaan takut dan malu tanpa
sehelai benang pun di hadapan laki-laki yang bukan
suaminya. Tetapi ia sudah terlanjur untuk mundur
begitu saja. Kepalanya berniat, lakukan saja sekalian.
"Kesinikan baskom berisi air dan kaleng it u."
Mira patuh, memberikan apa yang diminta.
"Sekarang, pejamkan mata."
Mata Mira terpejam perlahan.
Tiba-tiba dia semakin menggigil dan mengeluh waktu
air yang dingin seperti es bercampur bunga-bunga dan
daun-daun lontar, diguyurkan dari ujung rambut
sampai ujung kakinya. Tak sampai basah seluruhnya,
tetapi dinginnya aduhai. Angin semilir berhembus
kencang, dan waktu orangtua itu menyuruhnya
membuka mata kembali, bulan di langit telah
diselimuti awan. Pekat dan gelap seketika.
"Minumlah ini."
Mira menerima kaleng berisi air dari tangan si dukun,
hampir muntah oleh baunya yang tidak enak. Karena
tak kuat, ia pencet hidungnya dengan jari-jari tangan
kiri, dan tangan kanan meminumkan air ke mulutnya.
la reguk seluruhnya sampai habis.
Setelah itu, mula-mula tak terjadi sesuatu. Semua
seperti diam. Juga riak air. Juga burung-burung malam.
Bahkan Mira tak seperti mendengar helaan nafasnya
sendiri. Dan waktu ia dengar suara Embah Rejo:
"Lihatlah kepadaku, manis."
Ia tengadah, dan melihat laki-laki tua renta yang
tubuhnya masih tegap itu, berdiri tanpa mengenakan
pakaian apapun juga di tubuhnya. Anehnya, Mira
tidak terkejut. Mira malah tidak bingung samasekali.
Seolah-olah sudah tau apa yang harus ia lakukan, ia
telentangkan tubuhnya di permukaan batu datar yang
lebar itu sehingga ujung-ujung rambutnya terjumbaijumbai menyentuh aliran air sungai. Ia benar-benar
pasrah. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dan
dengan mata tak bercahaya, ia lihat bagaimana
Embah Rejo mulai membungkuk dan........
"Terkutuk!" terdengar suara hentakan keras.
Embah Rejo tertegak kembali, memandang ke tepian.
Mira mengikut arah pandangan itu, dan jiwanya tetap
beku waktu melihat seseorang muncul dari
kegelapan, melompati batu-batu menuju ke tempat
mereka berada dengan sebuah pacul teracung ke
udara. Mengancam. "Kubunuh kau, dukun lepus! Kubunuh kau!" teriak
orang ketiga itu. Dan begitu ia berada pada batu
terakhir yang berdekatan dengan batu datar dimana
tubuh Mira tertelentang, terdengar siuran angin halus.
Bayangan berkelebat melampaui tubuh Mira,
terdengar umpat dan caci maki, gerutuan marah dan
setelah itu tak terdengar apa-apa lagi. Kecuali riak air,
semilir angin, dan dengus nafas diatas tubuh Mira,
disertai teriakan-teriakan yang menggema
memecahkan kesepian malam:
"Mengapa lari, hai pengecut tua renta?"
Dari kejauhan terdengar suara ejekan:
"Aku tak lari. Aku akan kembali, tidak sekarang dan
tidak diriku. Aku akan kembali melalui tusukantusukan menyakitkan yang akan segera kau rasakan!"
"Persetan! Persetan! Persetan!"
Mira cuma memandang dan mendengarkan semua
itu, tanpa bergerak-gerak, bahkan tanpa perasaan. Ia
tak tau siapa orang tua renta yang lari menghilang di
kegelapan malam itu, dan ia tak tau siapa laki-laki
yang kini berdiri terengah-engah, mengangkangkan
kedua kaki di atas tubuhnya. Yang ia tau laki-laki ying
baru datang itu melemparkan paculnya ke sungai,
membungkuk, mengelus kedua belah pipinya lalu ia
dengar suara yang lembut:
"Sayangku, ini aku....... lwan."
"Iwan?" bisik Mira. "Iwan siapa?"
"Suamimu, Mira. Ini aku, suamimu."
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
"Suamiku?" "Hem!" laki-laki itu mendengus, tangannya teracung
ke udara, dan waktu turun Mira merasakan
hempasan-hempasan yang keras di kedua belah
pipinya, sehingga kepalanya terombang-ambing ke
kiri ke kanan mengikuti gerakan tamparan laki-laki
itu. Ia mulai merasa sakit, mulai mengeluh dan mulai
berperasaan. Waktu kemudian tubuhnya diangkat lalu
dibaringkan ke dalam aliran air yang dangkal berbatubatu, Mira tersenggap-senggap kehabisan nafas,
menarik kepalanya keatas dan sebuah teriakan
menyayat lepas dari bibirnya:
"Aku bisa terbenam mati kau beginikan!"
"Kau tau siapa aku sekarang, Mira?"
"Aku tau, tetapi lepaskan aku, Iwan."
Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan begitu ia didudukkan lwan di permukaan batu
datar, Mira menangis tersedu-sedu. Iwan mengenakan
pakaian ke tubuh isterinya, memeluknya dengan
penuh kasih sayang seraya membujuk:
"Sudahlah, sayangku. Diamlah. Mari kita pulang."
"O, Iwan, aku malu. Malu sekali. Dukun keparat itu.......
ia hampir saja menodaiku!"
"Sudahlah. Pokoknya kau sudah lepas dari
pengaruhnya. Untung aku cepat tiba di rumah dan
dari Susanti kudengar kau ia tinggalkan disini....."
"O, apa kata Susanti kalau ia tau apa yang hampir
kualami" Apa kata ibu" Kata ayah" Kata semua
orang?" "Hanya aku yang melihat, dan hanya aku yang tau.
Nah, kau mau berdiri sekarang dan kita pulang ke
rumah, manisku?" lwan akhirnya toh tidak berusaha membujuk isterinya
yang masih terus menangis sepanjang perjalanan ke
rumah. Baru setelah ia katakan tangis bisa
mencurigakan keluarganya, Mira mau diam. la
memeluk suaminya erat-erat setiba di pekarangan
rumah mereka, dan pintu dibuka oleh Susanti dari
dalam. Ia tatap wajah suaminya dengan penuh kasih
bercampur rasa cemas. "Kudengar dukun itu akan membalas."
"Ah, hanya ancaman kosong saja. Lupakanlah."
"Tidak. Iwan. Setiap saat bisa terjadi sesuatu. Aku
takut, Iwan. Aku benar-benar sangat takut, jauh lebih
takut dari saat ular yang mengerikan itu muncul di
kamar tidurku!" lwan menghela nafas. Di matanya tampak ketakutan
yang sama. la menggoyangkan kepala dengan susah,
lalu menarik isterinya masuk ke dalam rumah.
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
SEBUAH jeritan menggema di pagi buta itu. Hari
masih terang-terang ayam ketika beberapa orang
penduduk keluar dari rumah masing-masing. Jeritan
itu lenyap. Beberapa orang sudah mau menutupkan
pintu kembali. Menganggap telinganya salah dengar.
Mungkin saja gagak tersentak bangun pagi itu. Tetapi
beberapa lainnya berpikir. Kalau aku salah dengar,
mengapa begitu banyak orang keluar dari rumah"
Lalu mereka kemudian turun satu persatu. Mula-mula
di halaman rumah masing-masing. Saling pandang,
lantas saling mendekat. "Rasanya datang dari sebelah mesjid," gumam
seseorang. "Bukan. Jeritan itu dari sebelah sana," sahut yang lain
seraya menunjuk kearah bulan sedang jatuh.
"Siapa gerangan?" bertanya yang lain.
"Yang pasti perempuan!"
"Tapi siapa?" Seolah-olah menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba
menggema lagi suara jeritan. Kali ini berulang-ulang.
Jeritan-jeritan panjang. Diselang-seling tangis
perempuan yang rawan. "Dari sana!" seru seseorang.
"Rumah Bana!" sahut yang lain dengan nada terkejut,
lalu berlari ke mulut kampung. Yang lain mengikuti
dibelakang. Bulan semakin jatuh. Dan jeritan-jeritan itu kian menyayatkan hati. Orangorang yang telah menutup pintu, kembali
membukanya, lalu bertemperasan keluar. Melihat ada
yang berlari kesatu arah, yang baru keluar segera
menghambur. Mengikuti. Semakin lama orang-orang
yang berlari itu semakin banyak. Seluruh penduduk
desa seperti mau tumplek kearah rumah Bana. Laki.
Perempuan. Tua. Muda. Kakek-kakek. Anak-anak.
Bahkan ada bayi yang masih menggantel di susu
ibunya. Tak ada yang membuka mulut. Karena
kerongkongan yang tegang. Tetapi suara-suara
mereka berlari, terdengar riuh rendah di pagi buta itu.
Seperti kuda-kuda sedang berpacu.
"Lihat!" seseorang berseru. Nyaring.
Semua mata tertuju kearah jari telunjuk orang itu.
Dan semua orang tiba-tiba terpaku diam. Sepi.
Menyentak. Pijar-pijar matahari di ufuk timur, seperti
ingin tahu, tetapi bukit pepohonan menghalangi
pandangannya. Hanya sinarnya yang kela bu, mulai
mengambil alih tugas-tugas rembulan yang telah
kelelahan bergantung di langit sepanjang malam itu.
Dalam cahaya yang samar-samar itu, semua orang
melihat pintu rumah Bana terbuka. Dari dalamnya
muncul sesosok tubuh. Tubuh perempuan.
"Halimah," bisik seseorang. Terdengar seperti
dentuman di telinga yang lain. Semua terkejut. Semua
terpana. Halimah keluar dari rumahnya. Hampir-hampir tak
berpakaian. Rambutnya kusut masai dan andai saja
matahari tersentak bangun dari tidurnya ketika itu,
maka akan kelihatanlah wajah Halimah yang pucat
seperti kapas serta pipinya yang berkilauan oleh
linangan airmata. Tangisnya yang tertahan waktu
melihat orang-orang sekampung, kemudian meledak
dalam sebuah jeritan: "Tolooong!" Orang-orang yang sesaat terpaku di bumi, kemudian
mulai berlompatan. Mereka menyerbu rumah Bana,
dan yang perempuan-perempuan mencarikan pakaian
untuk Halimah, perempuan muda itu memandang
tetangga-tetangganya dengan mata terpentang lebar.
Cemas dan ketakutan. Lalu semua orang terkejut
waktu Halimah bertanya parau:
"Siapa kalian"!"
Sesaat tak ada yang menjawab.
"Mau kalian apakan aku ini?" tanya Halimah lagi. Lalu
tiba-tiba senyum berderai di wajahnya. Disusul tawa
tergelitik, sayangnya tidak enak kedengaran malah
membuat bulu kuduk jadi merinding. Udara pagi kian
pecah, seperti bungkal-bungkal es yang
bertemperasan terhantam martil. Semua orang
terpukau. Dan Halimah tertawa sendirian di tengah
mereka, menuruni tangga rumahnya, mendorong
setiap orang di halaman rumah, kemudian berlari
sepanjang jalan kampung diantara rumah-rumah
penduduk seraya berteriak-teriak histeris:
"Kemana kalian semua" Mengapa kalian biarkan Bana
mati" Mana rasa kekeluargaan kalian" Terkutuk,
terkutuk, kalian biarkan mahluk itu membunuh Bana.
Kalian biarkan mahluk mengerikan itu memperkosa
diriku. Kemana kalian" Kemana?"
Mendengar semua yang ia ucapkan, beberapa orang
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
laki-laki menerobos masuk kedalam. Dan di kamar
tidur, mereka temukan tubuh Bana yang kaku tegang,
sudah dingin membeku. Kedua matanya terpentang
lebar. Seperti memandang setiap orang yang melihat
dengan ketakutan bercampur kebencian di bola-bola
matanya yang sudah memudar.
Di luar rumah beberapa orang laki-laki mengejar
Halimah. Perempuan itu menghindar, tetapi ia tidak
bisa lari dari kepungan. "Tenanglah, Limah. Tenanglah," mereka membujuk
perempuan itu. "Mau apa kalian" Memperkosa aku?"
"Halimah, aku Suhatma. Kepala kampung."
"Aku Surinta," menyambut yang lain. Disusul suarasuara: "Aku Dudung. Aku Junaidi. Aku Rais!"
Halimah tercenung sesaat, kemudian tubuhnya jatuh
berlutut. Ia menangis tersedu-sedu ketika beberapa
orang pengepung-pengepungnya mulai mendekatinya.
la tak melawan sama sekali ketika mereka
menyuruhnya kembali ke arah rumahnya. Seorang
tetangga perempuan berlari-lari membawa selimut
yang segera ia tutupkan ke tubuh perempuan malang
itu. Semasih orang bertanya-tanya apa penyebab
kematian Bana yang aneh itu, Halimah meratap pilu:
"Ia datang begitu tiba-tiba. Ke kamar tidur. la
datang............."
"la siapa?" tanya kepala kampung.
"Mahluk itu!" "Mahluk. Mahluk apa?"
"Aku......... aku.... aku tak tau...... .. badannya
manusia........ tetapi kulitnya bersisik. Hitam legam
dan............ dan kepalanya............. ia berkepala ular!"
Sunyi senyap seketika. Beberapa orang menggigil.
Dan seorang dua perempuan, dengan lutut gemetar
dan bulu kuduk meremang, mundur dari tempat itu.
Pulang ke rumah. Menutupkan pintu. Naik ke tempat
tidur. Menggalang diri dibawah selimut. Padahal
matahari sudah bangun dari peraduannya. Cahayanya
terang benderang. Menyinari jalanan kampung. Yang
sepi. Yang lengang. Tegang.
*
Di kamarnya, Iwan terbangun dengan perasaan
gelisah yang mendera dadanya. Ia membuka jendela
ketika jeritan pertama terdengar, dan melihat
langsung ke arah rumah Bana selagi orang-orang
lainnya masih bertanya-tanya dari mana arah jeritan
itu. Waktu lwan kembali ke tempat tidur, matahari
telah menerobos masuk lewat jendela. Sinarnya yang
lembut menerpa wajah Mira yang masih tertidur pulas
di bawah selimut. Dicium oleh matahari, Mira jadi
kemerahan pipinya kemudian menggeliat,
membalikkan tubuh menghadap tembok. Matahari
hanya boleh berpuas hati mencium pundaknya yang
terbuka. Putih Dan hangat.
Pundak yang putih itu mengingatkan lwan pada
perempuan yang barusan ke luar dari rumah Bana.
Pundak Halimah juga putih. Licin dan bersih. Waktu
dijamah, terasa hanyut, meski perempuan itu telah
tak sadarkan diri waktu melihat mahluk asing muncul
di ambang pintu kamar tidurnya. Iwan merasakan
kenikmatan dari tubuh Halimah malam itu, tetapi kini
ia menggigil hanya dengan membayangkan saja. Ia
lihat pacul Bana yang teracung di udara, tetapi
terpaku disana setelah membentur sorot mnta lwan.
Bana mati berdiri. Dan lwan meninggalkan tubuh
Halimah terkapar di atas ranjang.
"Ya Tuhan. Apa yang telah kulakukan?" tersentak
lwan. Di luar rumah, tetangga-tetangga telah meninggalkan
rumah Bana, satu persatu. Samar-samar telinga Iwan
mendengar suara-suara mereka yang ribut
menceritakan bagaimana Halimah yang jatuh pingsan
sepanjang malam, menceritakan tentang mahluk
mengerikan berbadan manusia berkepala ular telah
memperkosanya, membuat suaminya mati seketika.
Mata Iwan terpejam. Rapat. Bibirnya tergigit. Dalam.
Terasa sakit, tetapi ia gigit terus. Dan tubuhnya kian
gemetar. Jauh di dalam hati ia menceracau:
"Mahluk setengah manusia setengah ular" Mahluk
itulah yang telah membunuh paman Sukarya di kota,
lalu Eka dan Dikky."
Kembali ke rumah, lwan selalu bertanya-tanya, diakah
yang membunuh mereka" Ataukah ia lihat mahluk
mengerikan itu, begitu dekat dengannya, lalu
membunuh mereka semua tanpa Iwan berdaya untuk
berbuat sesuatu" Tetapi pagi ini, lwan tidak ragu sama
sekali. Ia begitu yakin. Mahluk
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
itu menjelma pada tubuhnya, kemudian memperkosa Halimah dan
menyebabkan suami perempuan itu mati. la mulai
yakin kini, paman Sukarya, Eka dan Dikky mati oleh
tangannya. Iwan mengepalkan tinju. Menghantamkannya ke
kepala, seraya bergumam lirih:
"Siapa-siapa lagi yang akan jadi korban tanganku ini?"
"Iwan?" Laki-laki itu tersentak. Mira telah bangkit dari tidurnya,
dan dengan wajah heran memandang suaminya.
"Mengapa kau, sayang?"
Iwan menarik nafas. Dalam. Deburan jantungnya
terasa agak mereda. "Ah, tidak. Tidak apa-apa!"
Mira tak percaya. Tetapi tidak pula memperlihatkan
perasaannya itu. la turun dari tempat tidur, melihat ke
luar jendela, tercenung sesaat, kemudian membalik
dengan wajah yang pucat. Ia tatap wajah suaminya
dengan tajam. "Ada apa ribut-ribut diluar sana, lwan?"
"Ribut-ribut" Ribut-ribut apa?"
"Jangan berlagak pilon, lwan."
"Aku....... aku tak tahu. Benar-benar tak tahu."
Wajah lwan basah oleh peluh. Melihat itu, Mira
mendekati suaminya, memeluk laki-laki itu seraya
menyeka peluh di wajahnya dengan gerakan jarijemari tangannya yang lemah gemulai.
"Iwanku, sayangku. Kau tak terlibat dengan keributan
di luar, bukan?" lwan memandangi isterinya. Lalu menjawab dengan
nada suara seperti tak berdosa:
"Aku" Terlibat" Bukankah sepanjang malam kau terusterusan memelukku, Mira?"
Mira mencoba tersenyum. "Aku tau, sayangku Aku
tau......." gumamnya. Lalu berdiri. "Pergilah mandi,
lwan. Pakaianmu kusut dan begitu kotor. Kalau ayah
Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan ibu bangun, aku tak rela mereka lihat menantu
mereka sejorok engkau. Apakah kau jatuh di
kubangan atau terguling di tanah berlumpur dekat
sungai, waktu mau menolongku tadi malam?"
lwan memikirkannya, agak pucat, lalu mengangguk.
Lesu. "Kukira aku terlalu tergesa-gesa." rungutnya.
"Kalau kau terlambat sedikit. aku telah dicemarkan
oleh dukun lepus itu, lwan. Syukurlah kau datang dari
kota satu hari sebelum waktu yang kuharapkan!"
"Aku cemas memikirkan dirimu dan keluargamu."
Begitukah" Cemas memikirkan diriku dan keluargaku"
Atau taukah ia rencanaku pulang lebih dulu" Mira tak
habis berpikir ketika menyediakan kopi untuk
suaminya. la baru saja meletakkan gelas kopi itu di
atas meja ruang tengah waktu Susanti tergopohgopoh masuk di dalam rumah. Wajahnya pucat lesi,
dan begitu melihat Mira, ia genggam tangan
kakaknya dengan gemetar, dari suaranya seperti mau
meledak oleh perasaan ngeri:
"Halimah diperkosa!"
Mira terkejut. "Diperkosa" Oleh siapa?"
"Mungkin kau tak percaya, tetapi Halimah bersikeras
mengatakan ia diperkosa seekor ular. Dan suami
Halimah mati karenanya!"
Mira jatuh terhenyak di kursi. Butir-butir keringat
dingin membersik di bawah ketiaknya. Beberapa
malam yang lalu, aku menyangka digeluti oleh Iwan,
tetapi waktu mata kubuka, ternyata aku tengah
disetubuhi seekor ular! Jadi semakin jelas kini, semua itu kenyataan. Bukan
mimpi buruk. Tetapi betapa lebih buruk dan
mengerikannya kenyataan itu! Lalu, Mira tiba-tiba tak
kuat lagi menahan airmata. Ia menangis tersengguk.
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
MESKIPUN orang-orang diluar rumah masih ribut
menceritakan keganjilan peristiwa yang dialami
Halimah dan suaminya, dan sebagian lainnya sibuk
mempersiapkan pemakaman untuk Bana, di dalam
rumah keluarga Mira terasa kegembiraan
mempengaruhi semua orang. Pagi itu, semua anggota
keluarga lengkap menghadapi meja makan. Apa yang
membuat mereka gembira adalah ayah Mira tampak
sehat dan makan teramat lahap. Tak seor ang pun
anggota keluarga berani menanyakan apa yang
dialami kepala keluarga itu sebelum ia terkena
penyakit kesurupan yang aneh itu. Pengobatan dukun
Embah Rejo telah menjelaskan semuanya. Namun
mereka toh ingin mendengar cerita itu dari mulut
orang yang mengalaminya sendiri. Namun orang itu,
ayah Mira, makan kata sebagaimana biasanya. Tak
ada sikap-sikapnya yang aneh, bahkan tak ada
bayangan-bayangan lain dalam sinar matanya. Semua
seperti ia tak pernah mengalami sesuatu. Malah
dengan heran ia bertanya pada dirinya sendiri:
"Kok batuk yang rasanya memporak-porandakan
dadaku selama ini, hilang ya?"
"Bersyukurlah, bapak, pada Tuhan," menegur isterinya.
Ayah Mira tersenyum. Katanya seraya menatap lwan:
"Mungkin kedatangan menantu kita membawa
mu'jizat." Mira mendengar pujian itu, merasa bangga.
Kegelisahan hatinya seolah ditelan habis oleh
kesehatan ayahnya dan kini, ketika ayahnya memuji
suaminya. Betapa tidak Mira akan berbahagia"
Dengan tersenyum puas, ia melirik kesamping pada
lwan. Dan tiba-tiba, bukan saja Mira, tetapi semua yang
mengelilingi meja makan terkejut.
Wajah Iwan membiru. Nafasnya terdengar susah keluar. Satu persatu
dengan jarak yang tidak menentu.
"Iwan, Iwan," Mira mengoncang-goncang bahu
suaminya. lwan merintih: "Kakiku, aduh ............. kakiku!"
la berusaha berdiri, tetapi kemudian jatuh terpelanting
ke lantai. Mira menjerit, membantu suaminya dan
menjadi pucat, melihat kaki kanan Iwan. Dari betis
sampai ke lutut, bengkak membiru, sehingga
besarnya sama dengan besar paha Iwan. Iwan
mengerang-erang seraya memegang kakinya. Ia
mengaduh. Ia mengeluh. Bahkan kemudian ia mulai
menangis. Panik menimpa keluarga itu. seperti panik yang
beberapa saat sebelumnya menimpa seluruh
penduduk kampung. Tubuh Iwan yang menggeliatgeliat menahan sakit, mereka angkat beramai-ramai
keatas tempat tidur. Seraya menangis Mira memeluk
suaminya. "Mengapa dia" Kok tiba-tiba. tanpa gejala?" Susanti
bertanya heran. Ibu Mira yang pucat, menggelengkan kepala. Ayah
Mira mengernyitkan dahi. Lalu berseru pada Dadang:
"Panggil pa Tisna, lekas!"
Dalam beberapa menit, Dadang telah kembali
bersama seorang laki-laki setengah baya yang
bergegas masuk ke kamar tidur lwan. la pandangi si
sakit dengan tajam, dan mata itu lebih berkilau lagi
waktu memperhatikan bengkak di kaki kanan Iwan.
Dirabanya kaki itu. Iwan mengerang. Mira menggigit
bibir, seolah-olah kakinyalah yang kesakitan.
"Kenapa kira-kira, Tisna?" gumam ayah Mira.
Pak Tisna berpikir lama. "Bukan penyakit," katanya.
"Bukan penyakit" Apa maksudmu?"
Mira yang sudah reda tangisnya tiba-tiba membuka
mulut: "Barangkali keseleo waktu jatuh tadi malam. Atau
tergigit ular." "Jatuh dimana?" tanya pak Tisna.
"Dekat sungai."
Ayah dan ibu Mira memandang heran. Mira sadar
telah terlanjur ngomong. Cepat-cepat ia berkata:
".......... sebelum tiba di rumah ini, lwan buang hajat
dulu ke sungai." "Ooo," gumam ayahnya. Tetapi pak Tisna tidak
sependapat. la membaca mantera-mantera tertentu,
meraba-raba Iwan tanpa memperdulikan bagaimana
pasiennya mengerang dan merintih. Do'a pak Tisna
semakin keras kata demi kata, sampai akhirnya ia
berseru: "Haap!" lalu tangannya seperti menangkap sesuatu
dari bengkak di kaki lwan. Ia ludahi tangannya yang
terkepal itu lalu "plok", telapak tangannya terbuka dan
mendarat di kaki Iwan. Seketika, orang yang terkena
tamparan di kakinya, memekik lengking, kemudian
terdiam. Mira ma http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
kin pucat. Ia tatap suaminya dengan
cemas, memanggil-manggil dengan suara lirih:
"Iwan" Iwan?"
Tak ada sahutan. Semua orang tegang, kecuali pak Tisna.
Kelelahan, ia berdiri. Lalu bergumam ditujukan pada
ayah Mira: "Menantumu tertidur."
Namun wayah pak Tisna tidak membayangkan
kegembiraan. "Ada kesukaran?" tanya ayah Mira ingin tahu.
"Ya." "Apa?" "Entahlah. Tetapi kukira.......... aku hanya mampu
mendinginkan darah mendidih di bagian kaki yang
bengkak itu. Tetapi menghilangkan bengkaknya,
samasekali tak bisa. Padahal bengkak itu bisa
menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan
nantinya................"
"Pergunakan segenap keahlianmu."
"Dengan meraba, aku sudah tau. Nantilah, kuhubungi
pak Iming dan Mang Kardi."
Sampai senja jatuh, kedua orang yang disebut pak
Tisna tidak bisa menyimpulkan apa yang diderita
lwan. Mereka hanya bisa mengurangi rasa sakitnya
saja, sehingga wajah Iwan telah menjadi biasa
kembali. Ia tidak lagi mengerang dan merintih. Pasrah
saja kakinya diobati, dan kalau ditanya bagaimana
perasaannya, ia menjawab:
"Tak apa-apa!" Magrib jatuh, dan lwan bangkit dari pembaringannya.
la tertatih-tatih sepanjang kamar, dibantu Mira. Lewat
jendela yang mereka biarkan terbuka agar masuk
udara segar, kelihatan dalam remang-remang cahaya
di luar beberapa gelintir penduduk berpencar. Pulang
kerumah masing-masing. Mereka baru kembali dari
kuburan, setelah memakamkan jenazah Bana.
Dikejauhan tampak isteri almarhum, Halimah, berjalan
pulang ke rumahnya diiringi kepala kampung, pak
Suhatma, dan juru tulis, Surinta. Di dekat mereka
beberapa orang yang masih dalam suasana
berkabung. Anehnya, meskipun jauh jaraknya, telinga
Iwan mendengar suara-suara mereka yang berjalan
beriring-iringan itu. la dengar isak tangis Halimah. la dengar suara Surinta
membujuk: "Sudahlah. Tak usah ditangisi. Waktu dari kudengar
kabar kematian anakku, Eka, aku pun tak menangis.
Toh anakku tak akan kembali!"
Mata lwan berkilau tajam. Dan telinganya lebih ia
pertajam pula mendengar kepala kampung berbisik:
"Sudah ada kabar tentang siapa pembunuh anakmu?"
"Belum. Gelap, tetapi konon cara kematian Eka dan
kekasih gelapnya Dikky, sama seperti kematian
Sukarya." "Hem..........."
"Mengapa?" "Aku tengah memikirkan sesuatu."
"Apa kiranya?" "Kematian keluarga-keluarga di kota itu, disusul
kematian Bana, tidakkah kau menampak sesuatu?"
"Ah........... tidak."
"Kematian mereka sama keadaannya. Dalam
ketakutan, bercampur kebencian. Kalau pembunuh
biasa, paling mereka ketakutan. Tetapi mengapa mata
mereka memancarkan kebencian" Mungkinkah..............
hunjaman-hunjaman seperti bekas suntukan di leher
Sukarya dan Eka, disebabkan.......... gigitan ular
misalnya?" Surinta menghela nafas. "Mengapa kau bilang begitu?" tanyanya.
"Setelah kudengar mahluk apa yang memperkosa
perempuan malang di depan kita ini...... semua korban
bukanlah kebetulan orang-orang kampung kita.
Karena seingatku, mereka yang telah meninggal
sama-sama pernah terlibat dalam salah satu
kejadian..." "Kejadian apa?" suara mereka kian menjauh.
lwan mendekatkan diri ke jendela.
Terdengar jawaban pak Suhatma:
"Peristiwa pembunuhann itu."
"Pembunuhan?" "He-eh. Kau dan aku ikut juga, bukan" Begitu pula
beberapa penduduk lainnya, Kindi, Umar, Khalid dan
Sukri. Yang kita bunuh waktu itu dengan emosi yang
meluap-luap, adakah Parta. Suami tak syah putrimu
yang binal itu!" Surinta menghela nafas. "Aku hampir-hampir tak percaya. Tetapi mungkin juga.
Masih kuingat bagaimana Eka menceritakan si Parta
itu pemuja ular, bahkan wujudnya kadang-kadang
berubah jadi ular........." tiba-tiba Surinta menarik nafas.
Berat dan susah. la memandang Suhatma dengan
ganjil. "Apakah yang tengah kupikirkan kini, juga
berputar-putar di benakmu?"
Suhatma mengangguk. Katanya:
"Mungkin yang lain http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
-lain tak akan percaya arwah Parta
mulai membalas dendam. Tetapi ada baiknya kita
panggil mereka berkumpul malam ini juga."
"Di mana?" lwan mempertajam telinganya.
"Di pos Hansip saja. Kirdi dan Sukri giliran jaga malam
ini." Seorang perempuan membukakan pintu rumah untuk
Mira. Yang lainnya mengikuti. Dari dalam menggaung
suara orang tahlilan. Dada Iwan seperti meledakledak mendengar gaungan ayat suci itu. Kadang
telinganya seperti mau pecah. Ia cepat-cepat
mengundurkan diri dari jendela, hampir terjatuh
membentur Mira yang dari tadi berdiri memperhatikan
dibelakangnya. "Mengapa kau, lwan" Kau begitu asyik
memperhatikan orang-orang itu."
Iwan bersungut-suugut: "Ah, aku cuma memikirkan betapa aku menyesal."
"Karena?" "Tak ikut menghadiri pemakaman Bana."
Ia kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Berpikir
Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keras, mengapa begitu tajam pendengarannya saat
itu. Dan meskipun orang-orang yang dilihatnya
semakin menjauh dan malam semakin jatuh, toh
matanya menatap mereka semua dengan jelas,
seperti di siang bolong dan dalam jarak sejangkauan
tangan saja. Dengan gelisah, lwan nyeletuk:
"Tolong buatkan kopi, Mira."
Isterinya keluar dari kamar.
"Yang pekat!" seru Iwan pula.
Ya. Yang pekat. Sebab aku tak ingin tidur malam ini.
Ada pekerjaan yang harus kulakukan.
O, kaki yang bengkak, mengapa kau gerangan" Aku
tak merasa jatuh, merasa digigit ular. Paling-paling
tadi malam aku bertemu Parta, tetapi ia tidak
menggigitku. lni bukan kraam, sebab lutut tak akan
ikut-ikutan membesar kalau cuma sekedar kraam. la
coba menekan jaluran urat syaraf di balik lututnya.
Tak terasa apa-apa. Cuma kebas.
Risau, lwan menatap lurus ke depan. Ternyata
langsung ke arah kaca lemari. Ia lihat kakinya yang
bengkak, tetapi apa yang membuatnya terkejut
adalah, waktu ia melihat lebih keatas. Ia mengerti
sekarang, mengapa pendengaran dan penglihatannya
menjadi sangat tajam. Di kaca lemari, dengan
perasaan cemas dan mual, ia lihat perubahan pada
telinga dan bola matanya. Tampak lebih kecil dari
biasa. Apakah roh si Parta mulai memasuki diriku saat
ini" Atau....... kemarahan Parta telah berakibat
perubahan itu nyata langsung ke tubuhnya, bukan
dalam perasaanku saja"
Memikirkan itu, lwan mengeluh. Dan ia kian terkejut.
Suara keluhannya seperti suara angin berdesir.....
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
MALAM itu Mira cepat tertidur. Iwan merasa heran.
Setahunya, Mira minum lebih banyak kopi dari lwan
sendiri. Tetapi tidak seperti malam-malam
sebelumnya, sewaktu minum kopi Mira berulang kali
menguap seraya bersungut-sungut:
"Waduh. Ngantuknya bukan main."
"Kau letih," balas Iwan lembut. "Mengapa kita tidak
langsung ke kamar tidur saja?"
Lalu mereka tinggalkan ayah dan ibu Mira berbincangbincang di ruang tengah. Tak sampai satu jam, ruang
tengah itu telah sepi. Seluruh rumah senyap. Mira pun
sudah tertidur lelap. Waktu bangkit dari atas ranjang
secara beringsut-ingsut, mata lwan sempat melihat ke
kaca. Dalam cahaya samar-samar kembali ia lihat
telinga dan matanya: Benar-benar mengecil kini.
Untunglah waktu berbincang-bincang dengan keluarga
isterinya tadi, minyak tanah habis dan hanya lampu
teplok saja yang dihidupkan, sedang lampu petromak
disimpan. Dengan demikian lwan leluasa mengambil
tempat duduk tanpa gambaran-gambaran dirinya
terlihat jelas dalam remang-remang cahaya lampu
teplok. Di luar rumah, remang-remang rembulan tidak
mengganggu pandangan mata lwan. Sambil berjalan
dalam kegelapan ia perhatikan rumah demi rumah
yang ia lalui. Semua sepi. Seolah-olah mati.
Semenjak penduduk mendengar rumah di ujung
kampung kedatangan tamu yang menakutkan, semua
orang telah mengunci pintu rapat-rapat dan langsung
naik ke tempat tidur biar pun belum waktunya. lwan
merasa senang dengan keadaan itu. Berarti, ia bisa
bergerak dengan lebih leluasa.
la keluar dari kegelapan bayangan-bayangan rumah,
waktu menyebrang jalan persis di pertengahan
kampung, tak jauh dari balai desa di belakang mana
terdapat pos Hansip yang ia tuju. la tidak langsung
pergi ke pos itu. Tetapi berdiri tegak di tengah jalan.
Tengadah. Menatap rembulan yang pucat, seperti
orang yang kurang tidur. Melihat cahaya rembulan itu
terasa darah di sekujur tubuh lwan bergolak. Panas. la
merasakan kulit-kulitnya terpanggang, tetapi ia tidak
merasa sakit atau perih. Dengan bimbang kulit dadanya ia raba. Masih licin.
Tetapi telinganya hampir lenyap samasekali.
Tiba-tiba dari kejauhan anjing menggonggong
lengking dan panjang. Seperti suara terompet
kematian. Penduduk kian meringkuk di bawah
selimut, sedangkan orang-orang yang sedang
berkumpul di pos Hansip, tiba-tiba terdiam. Berpasangpasang mata saling berpandangan. Beberapa di
antaranya mulai gemetar, seraya berbisik:
"Aku mencium bau tak enak!"
Yang mendengar hidungnya kembang kempis.
"Aku juga! Aku juga," kata mereka bersahut-sahutan.
"Seperti bau bangkai," lanjut orang yang pertama.
Yang lain tak menyahut. Tetapi diam terbungkam.
Anjing-anjing menyalak lagi, seperti memohon pada
rembulan agar bersinar lebih indah dan cemerlang.
Namun, seperti juga orang-orang, di pos Hansip, bulan
itu pun berlindung di balik awan, lalu mengintip diselaselanya. Iwan terkekeh. Suaranya mengalun dibawa angin malam, dan orangorang di pos Hansip menjadi kaget.
"Dengar!" rutuk Suhatma.
Kekeh lwan mengeras. Lalu suaranya yang parau,
lepas: "Keluarlah, aku menunggu kalian semua!"
Suhatma merinding. Surinta membaca doa-do'a,
sedangkan Kirdi dan Sukri tanpa sadar, telah
mengencingi lantai papan tempat mereka duduk.
Umar bangkit berdiri, sementara Khalid menyambar
golok dari pinggang Kirdi. Tahu goloknya diambil, Kirdi
berteriak: "Kembalikan. ltu punyaku!"
Khalid tertawa. Mengejek.
"Kalau punyamu, mengapa tak kau pergunakan"
Ayoh, ini. Ambillah kembali lalu pergilah keluar sana.
Lihat siapa orang yang kurang ajar berani-beranian
menakut-nakuti itu. Bukankah tugasmu jaga malam
ini?" Kirdi tak menjawab. Dan kepala kampung
membentak: "Ayo, kita keluar bersama-sama!"
Yang lain menyetujui. Sementara itu, lwan yang berdiri ditengah-tengah
jalan kampung melihat bayangan-bayangan aneh di
hadapannya. Bayangan orang-orang yang berteriak
riuh rendah, berkerumun seperti melihat sebuah
tontonan yang me http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
narik, lalu mendengar suara orang
mengerang, merintih minta tolong, sementara suarasuara sepak, tinju, bacokan-bacokan golok silih
berganti menyelingi umpat dan serapah. Menembus
tubuh tubuh orang-orang yang membelakanginya,
mata lwan melihat tubuh Parta terkapar ditengah
jalan, hancur berlumur darah tetapi masih hidup.
Matanya yang belum kehilangan sinar, memandang
pada lwan, seraya memerintah:
"Bunuhlah mereka semua. Bunuh! Bunuh! Bunuh!"
Kemudian bayangan-bayangan yang berkerumun itu
memencar. la lihat paman Sukarya menghilang,
disusul Dikky, lalu Bana. Tinggal Suhatma. Surinta.
Khalid yang memegang golok, juga Umar. Kirdi yang
merangkul di belakang tubuh Sukri yang berdirinya
goyah. Suhatma mengarcungkan obor ditangannya,
tinggi ke udara, ingin meyakinkan dengan apa
mereka berhadapan. Kalau manusia, siapa gerangan.
Kalau mahluk, mahluk apa kira-kiranya"
Cahaya obor menerangi tempat Iwan berdiri.
Surinta berseru tertahan:
"Parta. Tak mungkin!"
lwan tertawa terkekeh-kekeh.
"Apa yang tak mungkin, algojo-algojo berjiwa
binatang?" Yang paling duluan bisa menguasai diri adalah Umar.
la melangkah ke depun, disusul oleh Khalid. Mereka
berdua mengacungkan golok siap menyer ang. Hati
sanubari lwan dengan cemas memperhatikan mukamuka yang angker dan golok-golok yang mengancam
itu. Sanggupkah ia menghadapinya" Tetapi roh Parta
di kepalanya, menari-nari dengan riang gembira,
seraya berteriak-teriak: "Lawan mereka, lwan. Bunuh mereka, bunuh!"
Hati sanubari lwan memberontak tiba-tiba:
"Tidak!" protesnya.
Umar dan Khalid yang sudah maju, tertegun
mendengar perkataan yang bunyinya jelas tetapi
maknanya kurang mereka mengerti itu.
"Lawan. Bunuh mereka semua. Kalau tidak, kau yang
akan kubunuh. Kau lihat" Aku telah mulai menguasai
jiwa dan jasadmu. Phisikmu sudah mulai berubah,
lwan, dan jiwamu pun akan segera menyusul. Kau
tak mungkin lagi hidup bersama-sama mereka,
karena itu bunuhlah mereka sekarang juga!"
Hati sanubari lwan terdiam. Kemudian la yu. Mati.
lwan bergelak. Teriaknya:
"Mengapa kalian belum maju juga?"
"Haram jadah," sungut Umar. "Kau pikir kami percaya
kau ini hantu?" "Aku memang hantu. Hantunya Parta, yang ingin
membalas dendam atas perbuatan kejam yang kalian
lakukan beberapa tahun yang lalu. Persis di tempat ini
juga. Masih ingatkah" Bukankah kalian sendiri yang
menyeretku ke sumur tua itu?"
"Terkutuk kau!" Khalid menyumpah. "Kami kira kau
telah mati waktu itu, tak taunya kau bisa melarikan
diri dari sumur tua itu. Buktinya, esok harinya sumur
itu mau kami timbun, tubuhmu telah lenyap tak
berbekas! Kami percaya omongan Embah Rejo yang
mengatakan mayatmu gaib, tetapi kami menyesal
kini mengapa kami biarkan kau masih bernafas
waktu dicemplungkan ke lubang sumur."
"ltu karena kalian biadab. Karena kalian i ngin
menyiksaku lebih mengerikan. Kalian ingin melihat
aku mati secara perlahan-lahan, setelah tubuhku
remuk-remuk!" "ltu sebagai imbalan dosamu merusak kehormatan
Eka, anakku," Surinta membuka mulut. "Kau cemarkan
keluargaku. Kau cemarkan seluruh penduduk, anakanak gadis mereka, isteri-isteri mereka yang kau buat
tergila-gila karena ilmu tenungmu yang busuk!"'
"Kalian yang busuk. Tak senang melihat orang miskin
seperti aku tiba-tiba kaya, tiba-tiba digilai perempuan.
Kalian iri. Lalu kalian bunuh aku dengan kejam.
Sekarang, aku datang menuntut balas. Berdo'alah.
Kalian akan segera menyusul arwahku. Kematian
kalian akan mengerikan................."
la menerjang ke depan. Obor di tangan kepala
kampung berkibar terang karena gerakan tangannya
yang terkejut. Biarpun muncul dari balik awan dengan
tiba-tiba. Lalu Umar dan Khalid yang tadinya nekad
mendadak mundur. Yang ada didepan biji mata
mereka bukan lagi bayangan tubuh Parta, akan tetapi
bayangan tubuh yang digambarkan Halimah:
setengah manusia berkulit dan berkepala ular.
Lidahnya bercabang-cabang, berdesis kian kemari
melemparkan lendir-lend http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
ir berbau hanyir dan busuk.
Surinta muntah hebat. Kirdi terkapar karena tidak bisa
mengelakkan sambaran kepala yang tiba-tiba
berleher panjang mengerikan itu, lalu terhuyung jatuh.
Sukri ikut terbawa jatuh dan tiba-tiba memekik
kesakitan. Ternyata pisau ditangannya telah menusuk
jantungnya sendiri. la menggelepur seperti ayam.
Sesaat cuma. Kemudian. Mati.
Empat orang laki-laki lainnya yang masih sadar, ciut
hatinya. Semangat untuk melawan lenyap setelah mereka
lihat perubahan mendadak yang terjadi pada tubuh
mahluk di hadapan mereka. Mahluk itu menyerang
dengan ganas. Tangannya yang bertambah panjang
membelit pinggang Surinta dan membetotnya
sekaligus. Terdengar suara tulang-tulang berderak.
Melihat itu, dengan nekad Umar membacokkan
goloknya. Yang diserang tak sempat mengelak karena
tangannya sedang membetot tubuh Surinta yang
mendadak lunglai. Terdengar pekik kesakitan. Pekikan
itu menambah semangat Umar, Khalid dan Suhatma.
Mereka yakin mahluk itu mahluk bernyawa. Kalau
tidak, tak akan terkena sambaran golok dan tak akan
menjerit kesakitan. "Dia bukan roh!" geram Suhatma, "Bunuh dia!"
Iwan mengerang. Hati sanubarinya yang tadi mati,
tiba-tiba hidup kembali setelah merasakan sebelah
lengannya terkena bacokan. la mencium bau darah
dan merasakan cairan hangat mengalir dari lengan,
terus membasahi celananya. Kini tidak lagi ia
memikirkan apakah ia adalah seorang lwan atau
seorang Parta. Yang ia pikirkan adalah melawan. Ia
harus membunuh mereka semua, kalau ia ingin keluar
dari pertarungan ini hidup-hidup.
Beberapa saat lamanya perkelahian itu berlangsung.
Dan lwan bisa menghindarkan bacokan golok. la
Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergunakan keahliannya melakukan perkelahian bela
diri yang ia pelajari sewaktu menjadi mahasiswa, dan
tenaga aneh dari pengaruh Parta dalam jiwanya
membuat perlawanan dan tenaga lwan jadi berlipat
ganda. Ketiga lawan-lawannya sudah kepayahan,
ketika tubuh lwan limbung terjungkel kebelakang
tanpa sebab. Tangannya menekan perut yang seperti
kena hantaman keras. Tau-tau perutnya telah
membesar, kembung seperti perempuan bunting tua.
Suhatma, Khalid dan Umar hanya terpana oleh
peristiwan yang ganjil itu. Mereka akan terus berdiri
terpaku memandang tubuh mahluk yang perutnya
kembung dengan tiba-tiba itu, kalau saja Umar tidak
berseru tiba-tiba: "Mengapa kita lepaskan kesempatan baik ini?"
Seketika itu juga mereka maju. Perlahan, tetapi pasti.
Bibir ketiganya menyeringai, memperlihatkan
kemengan. Bulan semakin pucat. Anjing tiba-tiba
melengking disebelah timur, beberapa ayam berkaokkaok, dan seeekor lutung tiba-tiba meloncat dari
bayangan kegelapan. Semua itu tidak diperhatikan
oleh keempat orang itu. Mata dan hati mereka tengah
dirasuki oleh keinginan membunuh, sama halnya
ketika mereka dulu bermaksud menyudahi Parta yang
telah merusak kehormatan desa dan penduduk desa
mereka. Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara lembut,
tetapi tajam dan memukau:
"Jadilah mahluk-mahluk Tuhan yang terpuji saudarasaudaraku!" Tiga orang yang tengah kesetanan itu dengan kaget
membalik. Seseorang berdiri dihadapan mereka.
Lewat cahaya bulan tampak usianya yang telah tua
mengenakan jubah yang berjumpai-jumpai ke tanah
sementara janggutnya yang putih berkibar-kibar ditiup
angin. "Bapak ajengan!" gumam Suhatma, yang pertama kali
mengenali orang itu. "Mengapa bapak ada di sini?"
"Syukurlah kau kenal aku, Ucu!" kata orang itu,
menyebutkan nama kecil Suhatma, yang menjadi
dingin hatinya setelah mendengarnya. "Mira
menghubungiku dua hari yang lalu, dan ia
menceritakan hal yang ganjil padaku. Sayang aku
harus ke gunung dulu untuk mengobati orang-orang
yang sakit. Pulang ke rumah kudengar Mira mencariku
lagi, karena itu aku segera datang. Hem, pernahkah
lupa orang itu, Ucu?" ternyata tenang seraya
menunjuk ke tubuh setengah manusia setengah ular
yang bergulung-gulung kesakitan ditanah.
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
"ORANG?" Suhatma tercengang. "Bapa ajengan bilang,
mahluk mengerikan itu adalah orang?"
Janggot putih itu bergerak-gerak waktu ajengan itu
bertawa. Lembut. la kemudian menjelaskan:
"Ucu, kau dan kawan-kawanmu pernah berbuat dosa
besar. Dosa itu terus mengikuti kalian tanpa kalian
sadari. Lalu anak muda yang malang ini datang untuk
mengingatkan dosa-dosa kalian. Juga tanpa ia sadari.
Dosa-dosa itulah yang membuat bathin kalian melihat
hal-hal yang ganjil. Marilah kuperiksa. la tampaknya
memerlukan pertolongan yang segera." Sambil
berkata demikian, orangtua itu mendekati tubuh yang
menggeliat-geliat kesakitan diatas tanah.
Suhatma, Khalid dan Umar mengikuti dibelakangnya
dengan golok siap di tangan. Mereka bergidik waktu
melihat mahluk itu, dan merasa heran mengapa
bapak ajengan berkata mahluk itu adalah manusia
biasa" Mana ada manusia berkulit seperti sisik dengan
warna hitam legam demikian rupa, serta kepala
berbentuk ular" "Si.......... siapa kau?" desis mahluk itu dengan lidah
bercabang-cabang terjulur keluar seraya matanya
memandang ketakutan. "Anakku," orangtua itu berjongkok di sisi tubuh itu.
Mulutnya mengulur senyum manis. "Aku datang untuk
menolongmu. Roh jahat mempengaruhi dirimu tetapi
ia tak akan mengganggumu lagi," lalu tangan orang
tua itu mengusap-usap wajah mahluk yang diam
terpukau begitu beradu pandang dengan mata
ajengan. Seraya mengusap-usap orang tua itu kumatkamit memanjatkan do'a. Mahluk itu merintih sesaat. Lalu..................
Lalu Suhatma, Umar dan Khalid semakin tercengang.
Mereka melihat dengan mata kepala sendiri,
bagaimana mahluk itu samasekali tidak melakukan
perlawanan begitu terpegang oleh ajengan.
Keheranan itu bertambah-tambah waktu bapak
ajengan memerintahkan: "Istigfarlah, anakku. Istigfarlah, dan Tuhan akan
menyelamatkan dirimu."
Susah payah dari mulut yang aneh itu lepas ucapan:
astagtirullahu wal aziem. Dan perlahan tetapi pasti,
darah-darah bergolak di pembuluh-pembuluh tubuh
lwan, perlahan-lahan menjadi dingin, sejuk dan
nyaman mengalir tenang seperti biasa, dengan sedikit
rasa perih di beberapa bagian tubuhnya.
Sementara tiga orang laki-laki di belakang bapak
ajengan, melihat bagaimana sisik yang hitam legam
di tubuh mahluk itu berubah jadi kulit manusia biasa,
kepala ular itupun jadi kepala manusia biasa. Hanya
dalam sekejap mata saja. Seperti dikomando, mereka lebih mendekatkan muka,
lalu seperti dikomando pula, ketiga mulut mereka
sama-sama mengucapkan kata-kata heran:
"Dia lwan!" Bapak ajengan berdiri. lwan memejamkan mata, tampaknya tertidur pulas.
Dalam keadaan terbanting begitu, dengan kaki yang
bengkak dan perut kembung besar, tampak seperti
seorang wanita hamil tua yang menderita alergi, atau
untuk menjalani pembedahan kandungan.
"Apakah dia suami Mira?" bertanya ajengan.
"Benar, bapak ajengan!"
"Kalian antarkanlah ia ke rumah isterinya."
Sementara Umar dan Khalid mengangkat tubuh Iwan
kemudian pergi menjauh, Suhatma mengikuti
orangtua yang semakin ia hormati dan segani itu
memeriksa keadaan kawan-kawannya. Sukri ternyata
telah mati tertusuk pisau sendiri. Kirdi hanya pingsan,
dan segera bangun waktu diusap oleh ajengan.
Cemas, Suhatma memperhatikan orangtua renta itu
mengusap-usap wajah dan bagian-bagian tubuh
Surinta, sahabat karibnya. Kalau tak salah ia dengar
tulang-tulang Surinta berderak, tubuhnya lunglai dan
dihempaskan begitu saja oleh Iwan. Matikah dia"
Tiba-tiba, dari mulut Surinta keluar keluhan.
"Ia menderita patah tulang-tulang," gumam ajengan.
"Antarkan ia ke rumahnya. Akan saya obati, selesai
mengobati penyakit yang tengah diderita lwan.
Temanmu ini akan menderita selama satu minggu,
tetapi setelah itu tulang-tulang rusuknya yang patah
akan kembali normal seperti biasa. Katakan hal itu
untuk menyenangkan hati keluarganya.................."
Janggut putih orangtua itu berkibar-kibar sewaktu ia
melangkah kearah rumah di mana barusan Umar dan
Khalid masuk mem bawa tubuh lwan. Dari dalam
terdengar pekik kaget, lalu suara tangis tersedu-sedu.
Jubah ajengan itu bergetar. Beberapa pintu rumah
sekitar mulai terbuka. Dan segelintir penduduk yang
memiliki sisa-sisa keberanian mulai tertarik
perhatiannya untuk keluar dan mengetahui keributan
apa yang barusan terjadi tetapi tiba-tiba mendadak
sepi itu. "Bupak ajengan," kata ayah Mira begitu melihat siapa
yang masuk rumahnya seraya tersenyum.
Mira yang tengah memeluk dan menangisi suaminya,
berbalik, melihat tamunya yang baru datang itu,
kemudian berlari memeluknya seperti memeluk
ayahnya. seraya berucap: "Syukur ya Tuhan!"
Orangtua renta itu semakin lebar senyumnya. Ia elus
rambut Mira dengan penuh kasih sayang.
"Bagus anakku. Mulai sekarang, perbanyaklah memuji
nama Tuhan." lwan mereka baringkan di atas tempat tidur.
Dikelilingi oleh Khalid, Umar dan anggota keluarga
Mira. Semua berwajah pucat, berhati cemas dan
berdada penuh luapan kebingungan dan kepenasaran.
Tangis Mira sudah reda segera setelah melihat
ajengan muncul tanpa diduga-duga. Ia kini berpelukan
dengan ibunya, memperhatikan bagaimana ajengan
duduk di pinggir tempat tidur, membaca ayat-ayat
suci dengan mata terpejam rapat, sementara jarijemarinya tak henti-hentinya menghitung biji-biji
tasbih berbentuk kalung yang ia lepaskan dari
lehernya. Orangtua itu samasekali tidak bergeming di
tempatnya duduk. Diam seperti mati, kecuali jari
jemarinya yang menghitung bij-biji tasbih, dan
bibirnya yang kumat kamit membaca doa. Pada saatsaat tertentu, tangan kirinya mengusap bengkak di
kaki kanan dan perut lwan yang masih tak sadarkan
diri, sementara tangan kanan orangtua itu tetap
menghitung biji-biji tasbih. Gerakannya biasa, tetapi
semua orang di ruangan kamar itu terbelalak
matanya, melihat apa yang terjadi. Tiap kali
menyentuh bengkak di perut atau kaki Iwan, tiap kali
pula tasbih di tangan ajengan itu berpijar-pijar seperti
memancarkan kembang api. Entah berapa lama hal itu berlangsung, sampai tibatiba orangtua itu menghentikan do'anya, dan
kemudian bergumam perlahan ke arah Mira:
"Anakku, apakah sebelum bengkak ini timbul,
suamimu pernah menyakitkan hati seseorang?"
Mira memikirkannya. Dan tiba-tiba menjadi pucat.
"Pernah, bapak ajengan."
"Siapakah orang itu?"
"Embah Rejo." Ajengan manggut-manggut. "Kudengar ia orang berbahaya. la memiliki kekuatan
yang aneh. yang hampir-hampir tidak masuk diakal.
Tetapi Tuhan pernah menciptakan dua kekuatan yang
bertentangan itu, ialah malaikat dan setan. Kita semua
tahu pada siapa kita mengabdikan diri, tetapi Embah
Rejo mengabdikan dirinya justeru pada setan itu.
Hem, Mira. Mengapa ia sakit hati pada suamimu?"
Mira kebingungan sesaat. Memandangi orang-orang di
ruangan itu. "Katakanlah, anakku, kalau tidak segalanya akan
menjadi kasip." Dengan pusat dan gugup, Mira menceritakan peristiwa
yang ia alami di tengah sungai, bagaimana ia
dimandikan Embah Rejo dan hampir saja ia diperkosa.
Ayah Mira merah padam mukanya, sementara Umar
dan Khalid mengepal-ngepalkan tinju dan mengeluselus golok. Dadang yang penakut tiap kali disebut
nama Embah Rejo, mendadak jadi pemberani.
"Hukumlah, manusia jahanam itu, bapak ajengan!"
Orangtua berjenggot putih itu tersenyum lembut,
mengusap kepala Dadang. Katanya perlahan:
"Aku tak berhak menghukum orang itu, anakku.
Biarkan persoalan itu kita serahkan pada Tuhan. Yang
penting sekarang ini, kita harus membantu abang
iparmu, bukan" Maukah kau tunjukkan jalan ke
rumah Embah Rejo, anakku?"
Dadang membusungkan dada.
"Sekarang?" tanyanya lantang.
Mira terharu. Bapak ajengan pasti tau yang hadir
disitu bisa menunjukkan rumah Embah Rejo. Tetapi
sengaja hal itu ia tanyakan pada Dadang untuk
menghadirkan kebanggaan dan keberanian anak itu
sebagai seorang laki-laki yang dari bentuk badan dan
sinar matanya selama ini jelas tampak berjiwa lemah.
http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
AJENGAN, ayah Mira dan Dadang ditemani Umar yang
tak pernah lepas dari goloknya mengetuk pintu rumah
Embah Rejo tengah malam buta itu juga. Dari dalam
tak terdengar sahutan. Umar mendorongkan pintu,
ternyata tak dikunci. Waktu mereka masuk, asap
kemenyan dari pedupaan berkepul menyerang
hidung. Ayah Mira batuk-batuk, Dadang menutup
hidung dan Umar menyumpah serapah. Tasbih
ditangan ajengan berpijar keras begitu mereka
berada di ruang dalam, dan tampak Embah Rejo
tengah tekun memandang sebuah boneka kayu di
atas meja. "Embah Rejo!" seru ajengan keras.
Dukun itu seperti tak mendengar, malah
memperkeras mantera-manteranya. Angin keras
seolah-olah memukul tubuh tamu-tamunya yang
datang tak diundang, kecuali ajengan yang segera
memperingatkan: "Kau berlindunglah dibalik jubahku."
Mereka mematuhinya dengan perasaan cemas dan
merasakan bagaimana terdengar bunyi ledakanledakan, pijar-pijar dari tasbih dan mantera-mantera
dari mulut Embah Rejo. Sebaliknya ajengan hanya
mengucapkan lafat Lailahaillallah dan berbisik pada
orang-orang dibelakangnya:
"Bacakan ayat Kursi!"
Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu tubuh Embah Rejo tampak lunglai. Keringat
sebesar butir-butir jagung memancar di jidatnya, ia
memegangi tepi meja seraya berkeluh-kesah, dan
untuk pertamakali memandang tamu-tamunya.
Mulutnya mengerang: "........ aku menyerah, ajengan!"
"Keluarlah," desah bapak ajengan pada orang-orang
dibelakangnya. "Tak akan terjadi apa-apa lagi.
Sekarang mari kita lihat apa yang akan dilakukan
orang ini pada diri Iwan."
Mereka mendekati meja, melihat di depan tubuh
embah Rejo yang gemetar dan basah oleh peluh,
terhunjam dalam dua buah paku berkarat. Satu di
kaki kanan boneka, satu lagi di bagian perut.
"Cabutlah paku itu, Rejo!" perintah ajengan dengan
suara keras. Gemetar, dukun itu mematuhi perintah. Waktu mau
menyentuh paku, ia bimbang sesaat, memandangi
ajengan yang segera mengulangi perintahnya:
"Demi Tuhan, cabutlah!"
Embah Rejo menjilat bibirnya yang kering. Tangannya
menyentuh kedua paku itu, mencabutnya, dan
terjadilah apa yang tak seorang pun bisa menduga,
kecuali mungkin dukun itu dari warna coklat
kehitaman berubah jadi warna merah seperti bara
api. Telapak tangan Embah Rejo mengepulkan asap
tebal, kemudian tangan itu sendiri menghitam,
menguning hijau, kuning merah ............... makin lama
makin besar dan menjilat kesana kemari.
"Api!" seru Umar. "Mari kita keluar!"
Api yang berasal dari paku itu tidak saja telah
membakar tangan, pakaian dan seluruh tubuh, akan
tetapi rumah, rumah, segala isinya dan daerah
disekeliling rumah tempat tinggalnya yang terpencil.
Sawah-sawahnya yang padinya sedang menguning,
sementara sawah-sawah orang lain tanahnya tak bisa
ditanami, dalam beberapa hari habis diserang hama.
Sementara kerbau, sapi, domba dan banyak ternak
miliknya mati satu persatu tanpa ada yang
mengetahui apa sebabnya. Dari padang ilalang tak jauh dari kebun milik ayah
Mira, yang letaknya di ketinggian, tampak semua
harta milik dukun hitam itu musnah, berhari-hari
masih mengepulkan asap. Iwan dengan kaki yang
sempurna dan perut rata, berdiri di samping Mira
berkata ta'jub: "Mengapa hanya harta milik orang tua itu saja yang
musnah?" Mira memandang heran pada suaminya.
"Orangtua" Tak kau sebut Embah Rejo dukun lepus
lagi?" Mengecil mata lwan. "Aku pernah menyebutnya" Rasa-rasanya aku tak
pernah kenal..........." ia geleng-gelengkan kepala, tidak
mengerti, lalu ia pandangi orang-orang yang telah
selesai menggali sebuah bekas sumur tua ditengahtengah padang pasir ilalang itu, dimana menurut bisikbisik yang ia dengar dari orang-orang di sekitar
tempatnya berdiri pernah dicemplungkan tubuh
seseorang dalam keadaan antara hidup dan mati, lalu
kemudian jasadnya lenyap tanpa bekas.
"Siapa nama orang yang malang itu kau bilang tadi,
Mira?" "Parta." "Mengapa penduduk menganiayanya?"
"Karena ia m http://cerita-silat.mywapblog.comFF0059">BFF0007">iFF4900">sFF8C00">iFED200">kD6FF00">a87FE00">n A36FF00">rw00FF2C">ah 00FF7F">- A00FFCC">bd00DBFF">ul0093FF">la0051FE">h H0002FF">ar5000FF">ah9E00FF">ap
enodai kampung ini dengan mengaiwini
perempuan tanpa nikah, merusak rumahtanggarumahtangga orang lain dan............. dan konon ia
pemuja ular!" lwan tertawa kecil. "Pemuja ular" Kau percaya pada dongeng-dongeng
unlogis seperti itu, Mira" Apakah selagi aku menjadi
dosen dan kau jadi mahasiswa di fakultas, pernah
kuberi kuliah soal-soal mistik yang muskil itu,
sayangku?" Mira tentu saja menjawab:
"Tidak, lwan-ku terkasih!" Dan dalam hati, ia berjanji:
"Mudah-mudahan rahasia yang satu ini bisa kututup
rapat sampai akhir hayat kami. Mudah-mudahan tak
ada pula orang-orang yang mengetahui sadar atau
tak sadar melanggar larangan ajengan agar tidak
menceritakan semua peristiwa mengerikan itu pada
suamiku tercinta. Kata ajengan, itu bukan saja tidak
teringat pada apa-apa yang telah ia alami, malah
akan mencemoohkan orang-orang itu sebagai orangorang yang bodoh!" Dari dalam sumur tua itu sayup-sayup terdengar
gerutuan: "Pantas. Dasar sumur ini banyak rongganya. Pantas
dulu tak kita temui jasad si Parta!"
Pak Suhatma, kepala kampung berseru didekat Iwan.
"Aku tak mau tau soal dulu. Yang ingin kuketahui, apa
yang sekarang kalian temukan disana" Ular jin,
atau........" "Tulang-tulang. Tulang-tulang melulu. Pasti tulangtulang si Parta!" seru suara dari dalam sumur tua itu.
Iwan tersenyum. Memandang pada Mira, dan berkata:
"Nah, apa kubilang. Tak ada ular jin di dunia ini,
isteriku yang bodoh!"
BERAKHIR DISINI SAJA*** Pelarian Runway 3 Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat Selebritiku Pulanglah 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama