Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat Bagian 2
gera mematuhi perintah junjungannya. Setelah memberi isyarat pada Mutiara Merah, dan kedua adiknya, keduanya berjalan mengiringi
dari belakang. Mereka
meninggalkan ruangan pribadi Gutamala.
Sesungguhnya, sangat berat hati kedua orang
tua itu untuk terus mematuhi perintah Gutamala.
Namun, untuk membantah keinginan lelaki yang berusia jauh di bawahnya adalah suatu yang muskil. Nyai Puncang Sibela dan Ki
Kuriwang Situ masih ingin melihat dunia lebih lama lagi. Mereka tak ingin binasa
di tangan Gutamala.
Ada penyesalan yang dalam di hati Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ. Dahulu mereka pernah menentang Pertapa Sakti
Bukit Iblis, yang jelas diketahui memiliki kesaktian di atasnya.
Waktu itu Pertapa Sakti Bukit Iblis mempertaruhkan daerah kekuasaannya, jika dirinya kalah. Sedangkan, pertapa itu meminta Nyai Puncang Sibela
dan Ki Kuriwang Situ menjadi abdi setia Gutamala, ji-ka mereka kalah. Gutamala
adalah murid Pertapa Sakti Bukit Iblis. Gutamala menderita kelumpuhan dan
luka bakar pada seluruh permukaan kulit tubuhnya.
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ ternyata tak mampu mengalahkan Pertapa Sakti Bukit Iblis. Akhirnya, mereka bersedia menjadi abdi Gutamala dengan harapan, suatu saat
dapat melumpuhkan Pertapa Sakti Bukit Iblis. Namun, rupanya Pertapa Sakti Bukit
Iblis bukanlah sosok yang mudah dikibuli. Sebelum menyerahkan Gutamala, pertapa
itu lebih dahulu
menjejali serbuk hitam ke mulut Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ. Serbuk
hitam itu dapat mem-pengaruhi jalan pikiran keduanya untuk tetap patuh
pada Gutamala. "Siapa lagi tokoh sakti yang rela menyerahkan
nyawanya, Ki?" tanya Nyai Puncang Sibela setelah berada di luar ruangan
Gutamala. "Kita tidak bisa menentukan sekarang, Nyai,"
jawab Ki Kuriwang Situ.
"Hmmm...," gereng Nyai Puncang Sibela sambil menatap tajam wajah lelaki berusia
lanjut itu. "Kita harus mencoba dulu, penggabungan ramuan racun hitam ku dan racun hijau milikmu, Nyai,"
ucap Ki Kuriwang Situ memecah tatapan tajam Nyai
Puncang Sibela.
"Aaah...! Aku hampir lupa itu, Ki Kuriwang,"
sahut Nyai Puncang Sibela.
"Sebaiknya, besok pagi saja kita lakukan itu
Nyai," putus Ki Kuriwang Situ. "Biarkan malam ini mereka istirahat. Barangkali
ada gunanya, untuk menambah ketahanan tubuh mereka."
"Baik, aku setuju dengan keputusanmu, Ki,"
timpal Nyai Puncang Sibela. "Dan malam ini, kita akan mencampur ramuan racunracun itu."
"Ya, Nyai. Sesuatu yang dahsyat pasti bakal terjadi," sambut Ki Kuriwang Situ.
"Ku harap juga begitu, Ki."
5 "Nggghhh...!"
Lenguhan panjang terdengar berturut-turut,
ketika ramuan racun hitam dan racun hijau milik Ki
Kuriwang Situ dan Nyai Puncang Sibela diteguk oleh
mereka. Lenguhan panjang yang menggetarkan sukma
disusul dengan saling bergelimpangan tubuh-tubuh
dara-dara cantik itu.
Mutiara Merah dan kedua adiknya sesaat nampak berkelojotan di tanah. Dari mulut mereka keluar busa hijau pekat. Hanya
sesaat tubuh dara-dara cantik pengusung mayat itu berkelojotan. Selanjutnya
tubuh mereka terkulai lemas tak bergerak. Pingsan!
"Baru sedikit ramuan yang kita gabung, Ki,"
ucap Nyai Puncang Sibela setelah meraba urat nadi
Mutiara Merah dan kedua adiknya. "Tapi akibatnya begitu dahsyat. Aku berharap,
mereka akan segera siuman," lanjut Nyai Puncang Sibela.
"Kita tunggu saja sampai matahari tepat di atas kepala, Nyai," sahut Ki Kuriwang
Situ. "Ya, semoga saja tak terlalu lama kita menunggu," ujar Nyai Puncang Sibela.
"Aku pun berharap begitu, Nyai,"
*** Matahari belum lagi tepat di atas kepala ketika
tubuh Mutiara Merah dan kedua adiknya mulai nampak menggeliat-geliat.
Wajah Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ kontan berseri-seri, menyaksikan ketiga dara cantik
sudah kembali siuman. Namun, betapa keduanya terkejut menyaksikan perubahan mata ketiga dara yang
telah menjadi kelinci percobaan mereka. Mata Mutiara Merah dan kedua adiknya
memancarkan hawa maut
yang begitu mengerikan. Mata mereka seperti mata Iblis Neraka.
Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ
mencoba membalas tatapan tajam ketiga dara cantik
itu. Namun tatapan kedua orang tua itu tak dapat bertahan lama. Mereka segera
membuang tatapan dari
mata ketiga dara cantik itu. Sebentar kemudian, Nyai Puncang Sibela telah
mengumandangkan perintahnya.
"Bangkitlah kalian, dan berjalanlah ke sini!" begitu tegas perintah Nyai Puncang
Sibela. "Berlutut di hadapanku!" lanjutnya dengan suara keras pula.
Perempuan tua yang sejak tadi memperhatikan
gerak-gerik ketiga gadis itu, nampak tersenyum puas.
Dalam keadaan dikuasai oleh racun ganas, tentu saja Mutiara Merah dan kedua adiknya menuruti
segala perintah Nyai Puncang Sibela. Mereka bertiga tak ubahnya bagai kerbau
dicocok hidung.
Ketiga dara berpakaian merah, jingga dan ungu
melangkah perlahan namun mantap. Mata ketiganya
kini tertunduk. Ketika mereka tiba di hadapan Nyai, Puncang Sibela, segera
berlutut dengan posisi badan membungkuk rendah.
"Ha ha ha.... Bagus! Bagus! Nyai Puncang Sibela terkekeh menyaksikan sikap dara-dara di hadapannya. Begitu juga Ki Kuriwang Situ. Wajah lelaki lanjut usia itu berguncangguncang menahan tawa kegembiraannya. Hatinya seolah merasa puas menyaksikan keberhasilan percobaannya.
"Mendekatlah padaku, Dara-Dara Pengusung
Mayat," perintah Ki Kuriwang Situ kemudian.
Tiga dara cantik yang dipanggil dengan DaraDara Pengusung Mayat segera memenuhi panggilan
majikannya. Ketiga dara bergerak bersamaan, mendekati tubuh Ki Kuriwang Situ.
Ki Kuriwang Situ kembali terkekeh pelan, ketika ketiga dara cantik merendahkan tubuh sampai kepala mereka menyentuh tanah.
"Bagus!" puji Ki Kuriwang Situ. "Hari ini, tugas kalian hanya membawa mayat
Wikuna si Kujang Biru.
Jalankan perintahku sekarang juga, dan kalian harus berhasil!" perintah Ki
Kuriwang Situ mantap.
Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara
Ungu mengangkat wajah berbarengan, kemudian mengangguk secara bersamaan pula.
"Bagus! Berangkat sekarang juga!" perintah Ki Kuriwang Situ kembali, sambil
mengangkat kedua tangannya. Tubuh Dara-Dara Pengusung Mayat bangkit
dari simpuhnya. Tanpa berkata, mereka membalikkan
tubuh secara serempak. Dengan sekali jejak saja, mereka sudah melesat begitu
cepat, bagai anak panah lepas dari busurnya.
Ki Kuriwang Situ dan Nyai Puncang Sibela tertegun menyaksikan kemampuan ketiga dara cantik itu.
Kemampuan Mutiara merah dan kedua adiknya, menjadi berlipat-lipat akibat campuran, racun hijau dan racun hitam. Kedua tokoh
sakti aliran hitam pun tak mengira, kalau akibat campuran racun mereka sedahsyat itu. Ki Kuriwang Situ dan Nyai Puncang Sibela ju-ga belum tahu apa akibat
yang bakal dirasakan DaraDara Pengusung Mayat.
Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara
Ungu menghentikan larinya. Tak jauh di depannya,
tampak sebuah kedai. Di dalam kedai ada tiga lelaki bertampang kasar dan bengis.
Menyaksikan ketiga lelaki bertampang kasar
tengah menikmati makanan, seketika mengalir liur Da-ra-Dara Pengusung Mayat
Perut mereka yang lapar,
berontak minta diisi.
Setelah memberi isyarat kepada kedua adiknya,
Mutiara Merah segera melangkah ke kedai milik seorang lelaki tua. Pemilik kedai segera datang menyambut dengan wajah cerah.
"Oh, Tuan-tuan Putri, mau pesan apa?" tanya lelaki tua berjenggot putih.
Tubuhnya membungkuk
untuk menghormati tamu, ketiga dara cantik itu.
Mutiara Merah yang merasa perutnya sudah
melilit minta segera diisi tak menghiraukan teguran lelaki tua pemilik kedai
makan. Tiba-tiba, tangan kiri Mutiara Merah bergerak cepat, menyempal tubuh
lelaki tua itu.
Begitu kuat tarikan tangan kiri Mutiara Merah,
tubuh lelaki tua berjenggot putih seketika terlempari sejauh dua tombak.
Bruk! Lelaki tua pemilik kedai terkejut, melihat sikap
kasar yang diperlihatkan Mutiara Merah. Ia menggeram kesal, tetapi tak mampu berbuat apa-apa, kecuali merasakan sakit yang hebat
di pinggang. Tanpa mempedulikan lelaki tua pemilik kedai,
Mutiara Merah dan kedua adiknya menyerbu masuk
ka dapur kedai. Mereka mengangkut seluruh makanan
yang ada ke meja, dekat tiga lelaki berwajah kasar. Ketiga lelaki itu pun seolah
tidak mempedulikan apa yang tengah terjadi.
Begitu pula sikap Dara-Dara Pengusung Mayat,
tidak mempedulikan keberadaan tiga lelaki bertampang kasar. Mereka terus melahap makanan yang ada.
Baru ketika salah seorang dari tiga lelaki berwajah kasar berceloteh kurang
ajar, Mutiara Jingga menoleh
dan membeliakkan matanya.
"Duhai! Dari manakah bidadari-bidadari cantik
jelita, hingga kalian merasa kelaparan seperti itu?"
ucap lelaki berwajah kasar yang matanya cekung.
"Bagaimana kalau setelah perut kalian kenyang, temani kami para bujangan ini untuk bersenang-senang," timpal lelaki berwajah kasar yang ram-butnya ditumbuhi uban.
"Aku setuju, Kuntat," sahut lelaki yang lain.
"Ya. Itu memang lebih nikmat, Badang," timpal lelaki bermata cekung ke dalam.
"Kita harus membujuk mereka, Gandar," putus lelaki bernama Bandang.
Sementara ketiga dara cantik para pengusung
mayat itu masih melahap makanannya.
Gandar bangkit dari duduknya, kakinya melangkah perlahan menghampiri dara-dara cantik yang
baru selesai menyantap makanan.
"Kalian bersedia menemani kami untuk bersenang-senang?" tanya Gandar dengan sikap yakin.
Mutiara Merah hanya membisu, tak menanggapi sikap genit lelaki bernama Gandar. Tangannya seketika menegang kaku. Dengan
gerakan yang begitu cepat, tangannya mengibas ke wajah lelaki kasar yang
berdiri tak jauh darinya.
Wuuut! Gandar terkejut mendapat serangan mendadak
yang datang begitu cepat. Tetapi, lelaki itu mampu
menarik cepat kepala ke belakang. Hingga sambaran
tangan Mutiara Merah hanya lewat di depan muka
Gandar. "Bedebah!" maki Gandar sambil melompat
mundur dua langkah,
Badang dan Kuntat tak kalah terkejutnya menyaksikan perbuatan dara cantik berpakaian merah.
Sungguh, mereka tak menyangka kalau dara secantik
itu memiliki sikap yang berangasan.
Gandar, Badang, dan Kuntat bersikap waspada
ketika tiga dara cantik saling menatap wajah mereka, dengan sorot mata aneh.
Sorot mata mereka menyiratkan nafsu untuk membunuh. Kilatan-kilatan bola
mata ketiga dara cantik itu begitu tajam dan menusuk.
"Mereka bukan perempuan sembarangan, hatihatilah kalian," Gandar memperingatkan kedua kawannya.
"Kita hadapi satu lawan satu saja," usul Kuntat Gandar dan Badang tak menimpali
usul Kunta. Keduanya sibuk memperhatikan langkah kaki tiga dara cantik. Gandar
dan Badang pun semakin merasakan hawa
aneh sinar mata dara-dara cantik. Seperti hawa maut yang mengerikan.
Srat! Srat! Srat!
Tiga lelaki berwajah beringas terkejut, menyaksikan ketiga dara cantik itu mencabut pedang mereka dari warangkanya. Namun
keterkejutan itu hanya sesaat. Gandar, Badang, dan Kuntat telah menyilangkan
senjata di depan dada.
Melihat ketiga lelaki mempersiapkan senjata,
Mutiara Merah segera memberi isyarat pada Mutiara
Jingga dan Mutiara Ungu, agar memilih lawanlawannya. "Hiaaa...!"
Mutiara Merah menyerang Gandar dengan ganas. Pedangnya berkelebat cepat di dalam ruangan kedai yang tidak seberapa luas.
Menyaksikan kehebatan permainan pedang
Mutiara Merah, Gandar sedikit gugup. Permainan pedang dara berpakaian merah begitu cepat, meskipun di dalam ruangan sempit
Gandar berupaya sekuat tenaga menghindari
tebasan dan tusukan pedang lawannya. Gerakannya
yang cukup gesit memang membuat Mutiara Merah belum mampu menyarangkan serangan. Namun, ketika
memasuki jurus kesembilan, Mutiara Merah melihat
kelengahan lawannya.
"Hiaaa...!"
Dengan gerakan yang sukar diukur oleh mata
biasa, Mutiara Merah mengayunkan pedang ke arah
leher Gandar. Angin berkesiut membuat Gandar terlengas sebentar. Namun mata Gandar yang jeli segera menangkap kilatan pedang
mengarah ke lehernya.
"Eits!"
Gandar berhasil menghindarkan serangan.
Brak! Tiang penyangga kedai tertebas pedang Mutiara
Merah. Wuwungan kedai itu menjadi tak seimbang.
Apalagi ketika Mutiara Jingga pun melakukan hal yang sama. Satu tiang penyangga
kedai terhantam pedang
Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mutiara Jingga hingga terbelah dua, ketika Badang
mengelakkan serangan yang terarah ke lehernya.
Melihat keadaan kedai yang sudah mulai
goyah, orang-orang yang bertarung di kedai pun segera berlompatan keluar. Belum
sekejap mereka mencelat
dari dalam, kedai telah ambruk ke tanah.
Bruakkk! Tanpa menoleh ke kedai yang runtuh, Gandar
dan kedua temannya kembali bersikap waspada terhadap tiga dara yang bersorot mata aneh. Senjata-senjata mereka yang berupa
sebatang tombak bermata dua telah dipersiapkan pada kedudukan siap menyerang.
Namun ketiga dara, dengan sikap ganas sudah
kembali melancarkan serangan dengan pedang yang
terayun cepat. Kelebatan pedang Dara-Dara Pengusung Mayat
begitu cepat. Sehingga, yang nampak hanyalah pendar sinar keperakan, berkelebat
dengan dukungan kekuatan tenaga dalam tinggi.
"Hiaaa!"
Mutiara Merah menerjang dengan pedangnya.
Trang! "Aaa...!"
Pekikan Gandar melengking keras. Tubuhnya
terlempar deras, akibat benturan senjatanya dengan
pedang Mutiara Merah yang terayun dengan kekuatan
tenaga dalam tinggi.
Tombak bermata dua yang dipegang Gandar
terlepas. Gandar merasakan tangannya lumpuh. Sementara dari celah bibirnya nampak darah merembes
ke luar. Mutiara Merah yang melihat lawannya terkulai tak berdaya, segera
mencelat cepat. Kebengisannya
menjadi dua kali lipat. Pedang di tangannya kembali terayun ke atas dengan
kekuatan tenaga dalam yang
tinggi. "Hiaaa...!"
Mutiara Merah kembali melompat ke arah tubuh Gandar yang belum sempat bangkit.
Trabbb! "Aaa...!"
Lengking kematian seketika mengisi suasana
siang yang panas. Badang dan Kuntat terkesiap mendengar jerit memilukan mulut Gandar. Keduanya segera menolehkan kepala ke tubuh Gandar yang tergeletak dengan leher yang hampir putus. Darah muncrat
dari leher membasahi tubuh Gandar.
Badang dan Kuntat serta-merta menggemerutukkan giginya. Wajahnya berubah merah padam. Kemarahan kembali memuncak di kepala mereka.
Tanpa berpikir dua kali, Badang dan Kuntat
merangsek maju. Dengan tombak bermata dua mereka
menyerang begitu ganas ke bagian perut lawan.
Kemampuan Mutiara Merah setelah dicekoki
campuran racun hitam dan racun hijau, memang menjadi berlipat ganda. Dengan meliuk-liukkan tubuh bak penari, Mutiara Merah mampu
menghindari tusukan
tombak lawan. Bahkan kibasan tangannya yang sesekali mengancam pelipis, membuat Badang kerepotan.
Dan saat pedang Mutiara Merah berkelebat cepat, Badang tak mampu berbuat banyak, untuk menghindar
atau menangkis.
"Hiaaa...!"
Mutiara Merah menyambar dengan pedangnya.
Trang! "Aaa...!"
Tubuh Kuntat terpental beberapa batang tombak ketika dirinya melindungi Badang dari tebasan
senjata Mutiara Merah. Tombak bermata dua yang dipergunakan untuk memapak senjata lawan, terpental
jauh. Mutiara Merah geram bukan kepalang, melihat serangannya dikandaskan lawan.
Dengan tatapan ma-ta mendelik, Mutiara Merah memandang Kuntat yang
terkulai. Kuntat merasakan tangannya seperti lumpuh.
Mutiara Merah tak mempedulikan lagi keadaan
Badang yang sudah terbebas dari maut. Dirinya segera mengejar tubuh Kuntat
dengan pedang teracung di
udara. Kuntat sadar dengan gelagat Mutiara Merah.
Namun, tubuhnya tak lagi punya kekuatan untuk
menghindar dari serangan yang sebentar lagi datang.
Sedangkan untuk menangkis" Hal itu hanyalah sebuah keinginan konyol.
"Hiaaa...!"
Dengan penuh nafsu Mutiara Merah membabatkan pedang. Craaakkk! "Aaakh...!"
Kuntat melenguh kuat ketika pedang Mutiara
Merah membelah batok kepalanya. Darah bercampur
cairan putih muncrat dari kepala yang terbelah.
Badang yang menyaksikan kebengisan dara
berpakaian merah hanya dapat merutuk dalam hati.
Untuk maju menyerang sudah dapat dipastikan sia-sia belaka. Namun, jika hanya
pasrah menyambut kedatangan maut, itu juga perbuatan konyol. Inilah yang tengah
berkecamuk di dalam benak Badang.
Diam-diam Badang bergerak mendekati senjatanya yang berada satu setengah langkah di sisi kanannya. Dengan sekali menggulingkan badan, tangan
Badang sudah dapat meraih tombak bermata dua miliknya. Namun, belum lagi senjata andalan itu berfungsi, kelebatan bayangan jingga meluruk cepat dengan pedang yang teracung ke
udara. Badang menggerakkan senjata sebisanya ketika
pedang Mutiara Jingga berkelebat ke kepalanya. Tindakan yang dilakukan Badang akibat dorongan nalurinya itu memang mampu menyelamatkan kepalanya
dari tebasan pedang mink Mutiara Jingga. Tetapi tak terelakkan, tangan kanannya
terbabat putus oleh pedang Mutiara Jingga.
Badang mengerang merasakan sakit yang begitu menyengat. Darah mengucur deras dari pergelangan tangannya yang putus.
Mutiara Jingga menggeram keras menyaksikan
lawannya masih bernyawa. Dengan pedangnya yang
masih tercekal kuat, dara cantik berpakaian jingga itu kembali meluruk maju.
Pedangnya ditebaskan kuat ke
bagian perut Badang.
"Hiaaa...!"
Sabetan pedang itu tak dapat dielakkan.
Breeet! "Aaa...!"
Badang menjerit kesakitan. Sambaran pedang
Mutiara Jingga telah mengantarnya sampai ke alam
baka. Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara
Ungu menyeringai aneh menyaksikan lawan-lawannya
telah rebah tak bernyawa. Sorot mata mereka yang
mengandung hawa aneh mulai surut. Ketiga dara itu,
segera meninggalkan bangkai yang tergeletak berlumur darah di depan kedai itu.
*** Begitu cepat pertarungan itu berlangsung. Matahari baru bergeser sedikit dari letaknya yang tepat berada di atas kepala.
Angin panas berhembus sedikit kencang, mengibarkan pakaian ketiga dara yang
berjalan ke selatan. Ketiga dara cantik itu tak lain adalah Dara-Dara Pengusung
Mayat utusan Nyai Puncang Sibela dan Ki Kuriwang Situ.
Ketiga dara cantik berpakaian merah, jingga,
dan ungu terus menelusuri jalanan panas berdebu.
Wajah mereka tak menyiratkan kelelahan. Mata mereka tertuju lurus ke depan, dengan sorot mata dingin,
aneh dan mengandung hawa maut.
Tak jauh di hadapan mereka, dari arah yang
berlawanan nampak lima lelaki bersenjata golok. Mereka berjajar menghalangi jalanan sempit yang dilalui Mutiara Merah dan kedua
adiknya. Kelima lelaki itu kemungkinan besar para begal, atau paling tidak pengganggu wanita. Mereka nampak tersenyum-senyum melihat
tiga dara yang berjalan mendekati mereka.
"Tiga kelinci betina itu segar-segar sekali, Tuan Muda Gilukati," ucap seorang
lelaki bertubuh gemuk dengan sesekali meneguk air liurnya.
"Kau kenal saja pada wanita cantik, Bondet,"
balas lelaki berpakaian merah yang dipanggil Tuan
Muda Gilukati. Lelaki bernama Bondet kontan menyeringai
mendengar pujian pimpinannya.
"Bondet, Lepang, Gunang, dan kau Kabak. Cegat dara-dara menggiurkan itu! Katakan, kalau mereka ingin selamat, harus
menyerahkan seluruh harta mereka, termasuk diri mereka!" perintah Gilukati.
Empat lelaki berpakaian hitam yang bersenjata
golok besar segera melesat. Dengan serempak, keempat lelaki menghadang perjalanan Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara Ungu.
Ketiga putri Ki Megantara yang telah menjelma
menjadi Dara-Dara Pengusung Mayat, menatap tajam
keempat lelaki berpakaian hitam yang mencegat mereka. Sorot mata Dara-Dara Pengusung Mayat itu membuat mata keempat lelaki bersenjata golok tak kuasa memandang.
"Hei! Kalau kalian ingin selamat, serahkan seluruh harta yang kalian miliki dan
juga diri kalian!" bentak Bondet demi menghindari tatapan aneh dan menusuk dari mata ketiga dara di hadapannya.
"Cepat! Jangan diam begitu! Seperti kelinci
dungu saja, kalian!" omel Lepang seraya mencabut golok dari balik bajunya.
"Ayo Anak-anak Manis, turuti saja kemauan
kami! Kami akan membuat kalian senang dan selamat," timpal Gunang.
Mutiara Merah dan kedua adiknya menatap wajah keempat lelaki berpakaian hitam bergantian. Tanpa ada suara jawaban. Tibatiba, tangan-tangan Dara-Dara Pengusung Mayat sudah bergerak cepat, mencabut senjata masing-masing dari warangkanya.
Srat! Srat! Srat!
Keempat lelaki berpakaian hitam terlongo, melihat kenekatan dara-dara cantik di hadapannya.
"Jangan-jangan perempuan itu orang persilatan
juga, Bondet," ucap Lepang agak gemetar. Lepang memang orang paling kecil
keberaniannya jika menghadapi lawan yang menggunakan senjata.
"Dasar pengecut!" maki Gunang mendengar
ucapan Lepang. "Orang persilatan atau bukan, yang jelas kita harus manfaatkan
kesempatan baik ini," lanjut Gunang. Golok besarnya juga sudah terhunus di depan
dada. "Ayo kita begal dara-dara menggiurkan itu!"
ajak Bondet sambil melompat lebih dulu.
Apa yang dilakukan Bondet, ternyata mendapat
sambutan baik dari Mutiara Merah. Dara berpakaian
merah itu maju selangkah menghampiri lelaki berpakaian hitam dengan pedang terhunus.
Pertarungan antara Bondet dan Mutiara Merah
merambat pada pertarungan Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu menghadapi Lepang, Gunang, dan Kabak.
Pada jurus-jurus awal pertempuran masih berjalan seimbang. Mereka belum saling mengetahui kelemahan lawan masing-masing. Denting senjata beradu dan pekikan-pekikan keras kian terdengar jelas.
Namun, ketika memasuki jurus yang kesepuluh, dua dari empat lelaki bersenjata golok besar sudah terkapar di tanah dengan
tubuh yang bersimbah
darah. "Kurang ajar!" maki Bondet menyaksikan tubuh Gunang dan Kabak sudah
tergeletak tak bernyawa.
Dada masing-masing sobek terbabat pedang yang diayun Mutiara Merah dengan kecepatan yang sulit diukur dengan mata biasa.
Ternyata keterkejutan Bondet juga dirasakan
Gilukati yang menyaksikan pertarungan mereka dari
jarak jauh. Darah pimpinan itu seketika naik ke ubun-ubun. Matanya mendelik tak
percaya, melihat kematian Gunang dan Kabak yang cepat. Gilukati dengan
cepat melompat.
"Hih!"
Dengan sekali hentakan tubuh lelaki terbalut
pakaian merah itu sudah melenting. Ia mendarat dengan manis di sebelah Lepang yang sedang menggigil
ketakutan. Dari bagian bawah celananya terlihat bercak air merembes keluar.
"Pengecut!" maki Gilukati melihat sikap Lepang yang seperti bocah melihat hantu.
"Cepat, hajar gadis liar itu!" lanjut Gilukati sambil menarik maju tubuh Lepang.
Meskipun mengalami ketakutan luar biasa,
Lempang tetap maju sambil menghunus golok besarnya. Tebasan-tebasan golok Lepang yang seperti tanpa tenaga, membuat lawannya
memandang dengan sebelah mata.
Tanpa mempergunakan senjatanya, Mutiara
Jingga maju menghadang gerakan Lepang.
"Hiyaaa...!"
Wuuuttt! "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak Mutiara Jingga terus mengatasi serangan pedang Lepang.
Dugkh! Sebuah tendangan mendarat.
"Aaa...!"
Lepang terpekik ketika bagian belakang lehernya terhajar punggung kaki Mutiara Jingga. Begitu keras tendangan yang
dilancarkan Mutiara Jingga, hing-ga tubuh Lepang terjerembab sejauh dua setengah
tombak. Bruk! Tubuh Lepang tersungkur mencium tanah.
Kemudian terkulai tak bergerak. Pingsan.
Gilukati dan Bondet bertambah geram menyaksikan nasib Lepang. Tangannya seketika mencabut pedangnya yang tersampir di punggungnya.
Srat! "Bunuh ketiga perempuan liar itu!" bentak Gilukati pada Bondet.
Bondet dengan kalap menerjang dara yang terdekat dengannya. Tebasan-tebasan goloknya berkesiutan mencecar bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Mutiara Ungu yang menjadi sasaran golok Bondet, tentu saja tak mendiamkan serangan-serangan lelaki berpakaian hitam yang
tidak main-main. Sesekali Mutiara Ungu menghindari serangan lawannya. Sam-pokan
tangannya pun bekerja seiring dengan liukan
Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuh yang indah dan begitu lincah.
"Cepat, habisi nyawa kedua lelaki itu!" perintah Mutiara Merah keras, lalu
menyerbu lelaki berpakaian
merah bernama Gilukati.
Gilukati terperanjat mendapatkan serangan
dahsyat dan berbahaya dari Mutiara Merah. Sungguh
dirinya tak menyangka, kalau lawan yang tengah dihadapi kini memiliki kepandaian
bermain pedang yang
jauh lebih hebat dari dirinya.
Namun, Gilukati seorang lelaki yang matang
dan berpengalaman. Meskipun merasa berkepandaian
di bawah lawan, pikirannya yang cerdik selalu mampu membaca ke mana arah
serangan lawan. Beberapa
saat lamanya Gilukati mampu bertahan dari gempuran-gempuran dahsyat pedang Mutiara Merah.
Di lain tempat, pertarungan Bondet melawan
Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu berjalan tak seimbang. Berkali-kali Bondet menerima hantaman pukulan dan tendangan telak di bagian tubuhnya. Namun,
Bondet nampaknya memiliki kekuatan tubuh yang
luar biasa. Meski tubuhnya berkali-kali kena gempuran hebat, dengan sigap, tubuhnya kembali bangkit
memberikan perlawanan. Namun, perlawanan Bondet
bagi Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu seperti tak ada artinya. Dan pada suatu
kesempatan yang baik, Mutiara Ungu dengan cepat melayangkan serangan dengan
tangan kosong. "Argggkhhh...!"
Dengan gerakan yang tak terduga, telapak tangan Mutiara Ungu yang berbentuk cakar macan, berkelebat cepat merobek leher Bondet. Serangan itu
mampu menghentikan perlawanan Bondet
Tubuh Bondet seketika limbung. Mulutnya
mengerang kesakitan. Darah mengalir dari luka cakaran di bagian lehernya. Beberapa saat saja Bondet
mampu berdiri, meski dengan limbung. Namun pada
saat selanjutnya, tubuh lelaki berpakaian hitam itu telah tersuruk ke tanah.
Serangan cakar tangan Mutiara Ungu begitu dahsyat, hingga mampu melayangkan
nyawa Bondet. Kematian Bondet bagi Gilukati merupakan pukulan berat. Dirinya merasa, tak lama lagi dapat bertahan dari serangan-serangan
yang berbahaya Mutiara Merah. Maka ketika ada kesempatan baik, Gilukati
dengan cepat menjejakkan kuat-kuat kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat untuk meloloskan diri dari
arena pertarungan.
Namun sayang, keinginan Gilukati untuk melarikan diri hanya keinginan semu. Dengan gerakan
yang sukar diikuti mata biasa, Mutiara Jingga memungut senjata milik Bondet Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, golok itu dilemparkan ke arah tubuh
Gilu kati. "Hih!"
Siiing...! Golok itu melayang mengejar sasarannya.
Craaak! Tepat di punggung Gilukati golok itu tertancap.
"Aaa...!"
Pekikan panjang mengantar kematian Gilukati.
Habislah riwayat kelima lelaki yang menghadang DaraDara Pengusung Mayat.
Suasana panas kembali lengang. Lima tubuh
tergeletak berlumur darah. Ketiga dara pengusung
mayat itu kembali tersenyum puas memandangi
mayat-mayat itu.
*** 6 Dua orang tua yang tengah bercakap-cakap di
pendopo, seketika bangkit secara bersamaan. Seorang perempuan berpakaian putih
longgar yang berusia sekitar setengah abad lebih, nampak mempertegas pandangan, seolah tak percaya pada sesuatu yang dilihatnya. "Seperti Mutiara Merah
dan kedua adiknya, Ki"
ucap perempuan berpakaian putih perlahan, seperti
berkata kepada dirinya sendiri.
"Ya. itu memang mereka, Nyai," tegas suaminya yang ternyata Ki Wikuna. Mata Ki
Wikuna tak berkedip melihat kedatangan tiga putri Ki Megantara. "Tetapi, firasat
ku mengatakan bahwa kedatangan mereka karena mengemban tugas."
"Apa maksudmu, Ki?" tanya Nyai Piroki tak mengerti.
"Aku melihat langkah-langkah kaki mereka begitu aneh. Sungguh berbeda dengan biasanya. Firasat ku berkata, ada sesuatu yang
bakal terjadi terhadap diri kita, Nyai."
"Ah, mudah-mudahan saja firasat mu salah,
Ki," sahut Nyai Piroki.
Tiga dara putri Ki Megantara menguak pintu
halaman kediaman Ki Wikuna. Langkah mereka nampak begitu kaku. Ditambah tatapan mata yang dingin
tak meneleng ke lain arah. Tatapan mata aneh ketiga dara cantik itu terus
tertuju ke satu sasaran. Tubuh Ki Wikuna!
"Hati-hati, Nyai," ucap Ki Wikuna memperingatkan, ketika Nyai Piroki bermaksud
menyambut ke- datangan Mutiara Merah dan kedua adiknya.
Dengan tergopoh-gopoh Nyai Piroki melangkah
menyongsong kedatangan ketiga putri Ki Megantara.
"Mutiara Merah," sambut Nyai Piroki. "Ke mana saja kalian selama ini" Semua
bingung memikirkan
kalian bertiga. Ayo, masuk!"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Mutiara Merah. Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu pun
membisu. Ketiga dara yang bertugas sebagai pengusung mayat, menatap wajah Nyai Piroki dengan sorot
mata tajam dan dingin. Kilatan-kilatan aneh keluar da-ri bola mata ketiga dara
cantik itu. Nyai Piroki, tentu saja terkejut mendapatkan
tatapan mata Mutiara Merah dan kedua adiknya yang
tidak seperti biasanya.
"Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Nyai Piroki mencoba mengusir firasat
yang tadi dikatakan Ki Wikuna.
"Awas, Nyai!" Ki Wikuna kembali memperingatkan istrinya.
Nyai Piroki segera mundur tiga langkah ketika
mendengar peringatan Ki Wikuna. Matanya melihat
tangan Mutiara Merah berkelebat cepat mencabut pedang dari warangkanya. Tanpa basa-basi, Mutiara Merah segera membabatkan pedangnya.
Wuttt! Hati Nyai Piroki terkelap menyaksikan pedang
yang diayunkan Mutiara Merah hampir melukai tubuhnya. "Hei! Kenapa kau?" desah Nyai Piroki masih tidak percaya.
"Minggirlah, Nyai," teriak Ki Wikuna.
Nyai Piroki kali ini betul-betul mendengarkan
perintah suaminya. Perempuan tua itu segera menyingkir meninggalkan Mutiara Merah dan kedua
adiknya. Kedua orang tua itu tentu saja tidak mengetahui, bahwa ketiga putri Ki
Megantara tengah terpengaruh oleh ramuan racun hijau milik Nyai Puncang Sibela
dan racun hitam milik Ki Kuriwang Situ.
"Bunuh si Kujang Biru!" menggelegar perintah yang keluar dari mulut Mutiara
Merah. Ki Wikuna terperanjat bukan main, mendengar
ucapan keras putri tertua Ki Megantara.
Lelaki berusia enam puluh tahunan itu semakin yakin, kalau anak-anak Ki Megantara sudah terke-na pengaruh Nenek Sakti
Racun Hijau dan Dewa Racun Hitam. Maka, Ki Wikuna segera mengambil sikap
waspada dan hati-hati, menghadapi keadaan yang serba salah. "Hati-hati, Ki. Jangan kau lukai anak-anak Kakang Megantara!" pesan Nyai Piroki ketika Mutiara Merah sudah bergerak siap
menyerang. Cekalan pedang
Mutiara Merah telah mengarah ke tubuh Ki Wikuna.
Ki Wikuna, lelaki yang bergelar Kujang Biru
tentu saja telah memikirkan hal itu. Maka dia memutuskan tidak mencabut senjata andalannya untuk
menghadapi ketiga putri Ki Megantara itu.
"Hiaaa...!"
Mutiara Merah semakin mendesak Ki Wikuna.
"Ups!"
Dengan sikap waspada penuh, Ki Wikuna mencoba mengatasi serangan Mutiara Merah.
"Hiaaa!"
"Hup!"
Mutiara Merah bergerak beberapa langkah. Pedang sudah mulai beraksi melancarkan serangan ke
tubuh Ki Wikuna.
Ki Wikuna meliuk-liukkan badannya menghindari tebasan-tebasan senjata Mutiara Merah. Berkalikali lelaki berpakaian longgar biru itu menggeser kakinya. Bahkan yang terakhir,
barusan dirinya harus
melejit ke udara dan melakukan putaran dua kali
menghindari bubatan pedang.
"Sebaiknya kau menyingkir saja, Nyai," pinta Ki Wikuna ketika melihat Mutiara
Jingga dan Mutiara
Ungu mulai ikut menyerang. Ki Wikuna khawatir kalau salah satu dari dua adik
Mutiara Merah akan memilih Nyai Piroki sebagai lawannya.
Nyai Piroki rupanya tak mendengarkan suara
suaminya. Hatinya justru merasa khawatir, akan keadaan suami dan juga anak-anak Ki Megantara.
"Hiaaa...!" teriakan Mutiara Ungu yang diruju-kan ke arah Nyai Piroki.
Terbeliak mata Nyai Piroki ketika tiba-tiba saja
dengan kecepatan yang luar biasa, Mutiara Ungu menerjangnya. Untung saja gerakan gesit Nyai Piroki masih dapat mengimbangi
kecepatan serangan Mutiara
Ungu. Pedang yang berkelebat, dengan cepat membabat tempat kosong, hanya beberapa jari dari kepala Nyai Piroki.
"Hadapi dia, Nyai! Jangan tanggung-tanggung!"
ucap Ki Wikuna yang menyaksikan anak-anak Ki Megantara berubah menjadi begitu liar.
Namun, Ki Wikuna nampaknya telah meragukan kemampuan dirinya, karena lawan-lawan di hadapannya benar-benar tangguh. Permainan pedang Mutiara Merah begitu cepat dan ganas.
Srat! Dengan cepat tangannya mengeluarkan senjata
andalannya. Terpaksa Ki Wikuna mengeluarkan senjata
yang memendarkan sinar kebiruan. Namun, Kujang
Biru itu tidak dimaksudkan untuk membinasakan lawannya. Ki Wikuna mengeluarkannya hanya untuk
mengimbangi keganasan sambaran-sambaran pedang
Mutiara Merah dan Mutiara Jingga.
"Hih!"
Baru saja Kujang yang memendarkan sinar kebiruan keluar dari tempatnya, pedang Mutiara Merah
begitu cepat mencecar kepala Ki Wikuna. Seketika itu juga Ki Wikuna mengangkat
tangannya untuk melindungi kepala.
Trang! Bunyi berdentang akibat beradunya dua buah
logam keras. Percik bunga api mencelat keluar dari kedua benda itu. Sementara
tubuh Mutiara Merah dan Ki Wikuna saling terdorong tiga langkah ke belakang.
"Uuuhhh...!"
Ki Wikuna melenguh pendek, ketika tangannya
merasakan getaran menyengat yang cukup membuat
dirinya terkejut. Bukan karena hebatnya getaran akibat benturan itu, melainkan
kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki oleh Mutiara Merah. Ia hampir tidak percaya, bahwa kekuatan yang
di hadapi, milik Mutiara
Merah. "Hmmm.... Apakah tenaga dalamnya yang dahsyat ini juga akibat pengaruh
Nenek Sakti Racun Hijau dan Dewa Racun Hitam?" gumam lelaki yang bergelar Kujang
Biru. Sesungguhnya Ki Wikuna tak yakin, tenaga dalam Mutiara Merah mampu mengungguli tenaga dalam
Ki Megantara, ayah kandungnya.
Mutiara Merah pun rupanya mengalami hal
yang sama. Tangannya yang menggenggam sebatang
pedang dirasakannya bergetar hebat. Namun, matanya
masih menatap garang pada Ki Wikuna, meski dirinya
belum mulai menyerang.
Tangan Mutiara Merah tiba-tiba terangkat dan
telunjuknya menuding tubuh Ki Wikuna, sebagai isyarat untuk Mutiara Jingga agar mengambil alih penyerangan Mutiara Jingga memahami keinginan kakaknya. Segera tubuhnya melesat menerjang tubuh Ki Wikuna dengan pedang terhunus. Tebasan-tebasan pedang Mutiara Jingga ternyata tak kalah hebat dari Mutiara Merah.
Pada jurus-jurus awal Ki Wikuna tidak mengandalkan senjata Kujangnya. Namun, memasuki jurus kesepuluh, Ki Wikuna tak ubahnya ketika menghadapi Mutiara Merah.
Mutiara Jingga putri kedua Ki Megantara yang
tengah di hadapi, kini bukan lagi sosoknya yang mur-ni. Serangan-serangan
semakin lama semakin meningkat dengan dahsyat. Nafsu untuk membunuh pun semakin berapi-api.
Srat! Sebuah sambaran mengarah ke perut Ki Wikuna. "Haaah...!"
Terperangah Ki Wikuna ketika sambaran pedang yang begitu cepat hampir saja merobek perutnya.
Untung gerakan cepat segera dilakukan, hingga ujung pedang Mutiara Jingga hanya
berhasil merobek pakaiannya. Namun, belum lagi Ki Wikuna terlepas dari
keterperangahannya, Mutiara Merah telah kembali
menyerang. Kini serangan itu semakin gencar dan bertubi-tubi.
Cukup kewalahan Ki Wikuna menghadapi dua
putri Ki Megantara yang menyerang seperti kesetanan.
Hal itu karena Ki Wikuna tak ingin melakukan serangan-serangan terhadap anak-anak Ki Megantara. Ki
Wikuna hanya bisa menghindar dan sesekali memberikan serangan balasan yang tidak mengandung bahaya
maut "Aaa...!"
Suara teriakan Nyai Piroki terdengar.
Hampir putus jantung Ki Wikuna mendengar
Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lengking kesakitan dari mulut Nyai Piroki. Bagian perut Nyai Piroki terbabat
ujung pedang Mutiara Ungu.
Ki Wikuna ingin membantu Nyai Piroki yang berada dalam bahaya, namun serangan kedua lawannya
tampak semakin gencar. Putri pertama dan putri kedua Ki Megantara terus mengejarnya dengan tebasan
dan tusukan senjata yang mematikan.
Sekilas Ki Wikuna menoleh keadaan Nyai Piroki. Terlihat olehnya Nyai Piroki sudah tergeletak dengan memegangi perutnya yang
terluka. Bukan main
terkejut hati lelaki yang berjuluk Kujang Biru melihat Mutiara Ungu sudah
bersiap menghabisi nyawa istrinya. "Jangan Mutiara Ungu!" teriak Ki Wikuna
berusaha mencegah. Tetapi, usahanya itu hanya sia-sia belaka. Mutiara Ungu tak
menghentikan langkahnya sedikit pun. "Hiaaa...!"
Dengan langkah tegap, mengangkat senjatanya
di atas kepala.
Trang! "Aaa...!"
Sejengkal lagi pedang Mutiara Ungu menghujam leher Nyai Piroki. Tiba-tiba sosok bayangan kuning keemasan melesat cepat
memapak pedang Mutiara
Ungu. Tubuh Mutiara Ungu terhuyung tiga langkah ke
belakang dengan pekik tertahan keluar dari mulutnya.
"Raja Petir!" ucap Nyai Piroki, ketika melihat lelaki berpakaian kuning keemasan telah berdiri di
samping kanannya. Wajah perempuan berusia setengah abad lebih itu kembali dialiri darah.
"Dia bukan lagi Mutiara Ungu anak Ki Megantara, Nyai," ucap Jaka. "Naluri ku mengatakan bahwa, mereka telah dipengaruhi
oleh kekuatan lain," tambah Jaka. Ucapan itu cukup membuat hati Nyai Piroki
terkejut Pikiran Ki Wikuna tak terpusat sepenuhnya karena kehadiran lelaki muda
yang bergelar Raja Petir.
"Jangan lengah, Ki Wikuna!" ucap Jaka keras memperingatkan Kujang Biru.
Ki Wikuna yang mendengar peringatan Raja Petir, terlambat untuk mengegos kakinya. Sehingga, senjata yang ditebaskan Mutiara
Jingga menyerempet bahu kanannya. Tak ada pekik yang keluar dari mulut Ki Wikuna. Wajahnya hanya menoleh sebentar ke bahunya
yang mengucur darah.
"Hiaaa...!"
Mutiara Merah mencelat ke arah Ki Wikuna.
Serangan-serangannya bertambah ganas. Namun tebasan Mutiara Merah hanya membentur tempat kosong. Luka di bahunya tak mengurangi kegesitan Ki
Wikuna. Dilengoskan kakinya ke kiri dan ke kanan
menghindari serangan pedang Mutiara Merah.
"Sebaiknya kau selamatkan istrimu, Ki," teriak Jaka ketika melihat Ki Wikuna
terlepas dari tebasan pedang Mutiara Merah. "Cepat Ki! Biar aku yang hadapi
Dara-Dara Pengusung Mayat ini."
Mendengar ucapan Raja Petir yang bukan
main-main, Ki Wikuna segera melangkah cepat mendekati tubuh Nyai Piroki yang sudah terkulai berlumuran darah.
Jaka maju dua langkah, ketika Ki Wikuna sudah mendekati tubuh si istrinya.
"Kita harus membebaskan putri-putri Ki Megantara dari pengaruh Sihir Gutamala," jelas Raja Petir sambil terus menghadapi
serangan pedang ketiga dara itu.
Ki Wikuna terkejut mendengar ucapan Jaka
Sembada. Dalam hatinya dia merasa bersyukur atas
kedatangan Raja Petir.
Meski dengan luka di bahu, Ki Wikuna berusaha sekuatnya memondong tubuh Nyai Piroki dan
membawanya menyingkir dari arena pertarungan.
Tiga dara pengusung mayat itu menjadi naik pitam, melihat sasarannya telah menyingkir. Mata mere-ka saat itu mendelik ganas
menantang wajah Jaka.
Untuk beberapa saat Raja Petir membiarkan
wajahnya ditatap oleh mata-mata aneh itu. Sebentar
kemudian, mata tajam Raja Petir menantang tatapan
aneh ketiga putri Ki Megantara.
"Kalian harus terbebas dari pengaruh racun
dan sihir Gutamala," gumam Jaka perlahan. Kemudian kakinya di tarik mundur ke
belakang. Lelaki muda yang bergelar Raja Petir itu bermaksud mengeluarkan ajian dahsyatnya yang bernama
'Aji Kukuh Karang'. Sebuah ajian yang bukan saja dapat menghindarkan diri dari
senjata maupun kekuatan sihir lawan, tetapi juga mampu membebaskan orang
lain dari pengaruh sihir.
"Hiaaa...!"
Lengking suara Mutiara Merah terdengar. Tubuhnya berkelebat cepat, lalu melenting ke udara
sambil mengayunkan pedang.
Apa yang dilakukan Mutiara Merah memang
sedang dinanti-nanti oleh Jaka. Sementara itu tubuh
putri pertama Ki Megantara masih berada di udara,
Jaka dengan cepat sekali membuka jari-jari tangannya. Dua larik sinar kuning seketika melesat ke tubuh Mutiara Merah.
Slat! Slat! Sinar kilat sinar kuning itu berpencar ke bagian
kepala dan lutut Mutiara Merah. Begitu cepatnya lesatan sinar kuning itu, hingga
Mutiara Merah tak kuasa untuk menghindar.
Jres! Jres! Dua sinar kuning itu menghajar tepat kepala
dan lutut Mutiara Merah. Seketika itu juga dirinya merasakan hawa lain menjalar
di tubuhnya. Cepat-cepat Mutiara Merah mengurungkan serangan. Kakinya dengan
cepat mendarat di tanah.
Namun, bukan main terkejutnya ketika tubuhnya tak mampu digerakkan. Terlebih lagi, ketika Mutiara Merah merasakan, ada suatu hawa panas yang
menjalar di antara kepala sampai dada. Hawa itu pun menjalar hebat di antara
lutut hingga ujung kaki.
Anehnya, hawa panas yang tengah menjalar itu menyebabkan urat sarafnya terasa mengendur. Sehingga, semua daya dan kekuatan
tubuhnya seperti lenyap seketika. Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu yang melihat
keadaan kakaknya terdiam seperti patung, segera
mengambil alih serangan. Secara bersamaan mereka
berkelebat cepat bagai anak panah lepas dari busur.
Mereka merangsek maju ke tubuh Raja Petir. Sementara senjata-senjata mereka berputar-putar cepat sekali.
"Tahan, anakku!"
Suara bentakan keluar dari mulut Ki Megantara, yang baru saja datang bersama Dewi Nuwang. Namun, tak mampu membendung gerakan Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu. Mereka tak mampu berbuat apaapa, kecuali berharap kepada Raja Petir dapat menghindarkan serangan yang begitu ganas Dara-Dara Pengusung Mayat itu.
Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu tak menghiraukan kedatangan Ki Megantara dan Dewi Nuwang.
Kedua tubuh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu melesat ke udara bermaksud melancarkan serangan kepada Raja Petir. Melihat kedua tubuh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu melayang di udara, Raja Petir mengibaskan tangannya mengerahkan aji
'Kukuh Karang' kedua.
Slat! Slat! Slat! Slat! Dua leret sinar kembali beraksi. Kedua sinar itu
menerjang tubuh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu
yang tengah berada di udara. Kecepatan sinar kuning yang melesat itu sungguh
luar biasa. Kedua dara putri Ki Megantara tak kuasa menghindarinya.
Jres! Jres! Ki Megantara terkejut bukan main, melihat apa
yang dilakukan Raja Petir. Dua sinar kuning yang
menghajar kepala dan lutut kedua putrinya, dianggapnya akan membahayakan nyawa
mereka berdua. Namun, hati Ki Megantara menjadi lega, ketika
tubuh Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu berhasil
mendarat di tanah dengan baik setelah mengurungkan
serangannya. Ketika Mutiara Jingga dan Mutiara Ungu hendak kembali menyerang,
sebentuk kekuatan telah
mengungkung bagian kepala hingga dada dan bagian
lutut hingga ujung kaki. Mereka berdua merasakan
hawa panas menjalari tubuhnya. Urat saraf mereka
mengendur. Hawa panas menjalar, melenyapkan daya
dan kekuatan tubuh mereka.
Ki Megantara terbeliak menyaksikan keadaan
kedua anaknya yang seperti itu. Matanya menatap Raja Petir yang baru selesai mengerahkan aji 'Kukuh Karang'. "Maaf, Ki Megantara,"
ujar Jaka seolah-olah mengerti arti kekhawatiran lelaki yang berjuluk Pendekar
Lembayung. "Terpaksa itu kulakukan untuk
menghentikan keganasan mereka. Sekaligus untuk
membebaskan mereka dari sihir Gutamala."
"Sihir...?" tanya Ki Megantara. Ki Megantara nampak terperanjat mendengar
keterangan Raja Petir.
"Selain terkena pengaruh racun, ketiga puterimu termakan pengaruh sihir Gutamala," jelas Jaka Sembada tegas.
"Gutamala?" ulang Ki Megantara. Ki Megantara kembali terkejut mendengar nama
Gutamala. "Bukankah Gutamala sudah terbakar oleh ilmunya sendiri?" lanjut Ki Megantara.
Mata Ki Megantara menerawang, seperti mengenang suatu peristiwa di masa lalu.
"Tapi, kalian tak usah khawatir!" ujar Raja Petir meyakinkan orang-orang yang
nampak ketakutan.
"Kekuatan aji 'Kukuh Karang' yang kumiliki, akan sanggup membebaskan kekuatan
pengaruh sihir Gutamala."
Tubuh Raja Petir seketika bergerak membalikkan badan. Kakinya secepat kilat dijejakkan ke tanah lalu melesat ke tubuh-tubuh
putri Ki Megantara.
"Haaa...!"
Jaka Sembada menotokkan kedua jarinya
Tuk! Tuk! Tuk! "Aaa...!"
Putri-putri Ki Megantara terpekik ketika totokan jari Raja Petir mendarat di punggung mereka.
7 Lengkingan keras yang keluar bersamaan
membuat Ki Megantara dan Dewi Nuwang tersentak
kaget. Apalagi menyaksikan tubuh Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara Ungu saling berjatuhan ke tanah. Bergegas Ki Megantara
dan Dewi Nuwang
menghampiri Mutiara Merah dan kedua adiknya yang
terkulai lemas di tanah.
"Hoeeekh..,!"
"Hoeeekh...!"
Hampir bersamaan Mutiara Merah, Mutiara
Jingga, dan Mutiara Ungu memuntahkan seluruh cairan dari dalam perut. Rasa mual yang teramat sangat mendorong keluar isi perut
mereka. Setelah muntah-muntah terhenti, berubahlah
paras-paras cantik itu, menjadi pucat seperti mayat.
Sementara tubuh mereka menjadi lebih dingin. Mata
ketiganya terkatup rapat. Tubuh-tubuh ketiga dara
cantik putri Ki Megantara terkulai, pingsan.
Menyaksikan keadaan ini Ki Megantara, Dewi
Nuwang dan juga Ki Wikuna kembali dicekam rasa
khawatir bukan main. Namun, tidak demikian halnya
bagi Jaka. Pemuda berpakai kuning keemasan yang berjuluk Raja Petir itu nampak menarik napas lega. Sungguh, hatinya bersyukur pada sang Pencipta Jagat. Dirinya telah berhasil
membebaskan tiga anak manusia
dari pengaruh ilmu-ilmu keji.
"Ki Megantara, Ki Wikuna, dan kau juga Dewi
Nuwang," ucap Jaka dengan mantap. "Kalian semua tak perlu terlalu
mengkhawatirkan keadaan Mutiara
Merah dan kedua adiknya. Mereka telah terbebas dari pengaruh-pengaruh racun dan
ilmu sihir. Kini yang
tertinggal hanya kelelahan hebat yang melanda tubuh mereka. Mereka telah
bertarung dengan mengerahkan
tenaga yang tidak sewajarnya. Sehingga tenaga mereka habis terkuras. Itulah yang
membuat tubuh mereka
terkulai pingsan," papar Jaka Sembada panjang lebar.
Ki Megantara, Ki Wikuna, dan Dewi Wikuna
hanya saling tatap, mendengar penjelasan Raja Petir.
Mereka kembali merasa lega.
"Daya tahan tubuh ketiga puterimu sangat
baik, Ki Megantara," ujar Jaka perlahan. "Kalau tidak, ini mungkin salah satu di
antara mereka harus ada
yang tewas."
"Apa yang dapat kita lakukan sekarang, Raja
Petir?" selak Ki Wikuna hati-hati.
"Untuk mempercepat kesadaran mereka dari
pingsan, kita harus membantu membangkitkan tenaga
mereka. Kita harus segera menyalurkan hawa-hawa
murni yang kita miliki," jawab Jaka menyahuti pertanyaan Ki Wikuna, "Kalau
tidak, keadaan ini akan sangat membahayakan jiwa mereka."
Kembali saling tatap antara Ki Megantara dan
Ki Wikuna. Kemudian dengan cepat keduanya mendekati salah satu tubuh yang tergeletak pingsan. Dewi Nuwang juga tak mau
ketinggalan segera membopong
tubuh Mutiara Ungu.
Di dalam sebuah ruangan yang cukup luas, tubuh Mutiara Merah, Mutiara Jingga, dan Mutiara Ungu digeletakkan tertelengkup.
Di sisi-sisi mereka sudah bersiap-siap, Jaka, Ki Megantara, dan Ki Wikuna untuk
menyalurkan hawa-hawa murni yang mereka miliki. Masing-masing telah siap. Jaka sendiri nampak seperti menarik napas dalamdalam. Kemudian telapak
tangannya diletakkan di punggung Mutiara Merah. Keringat dingin bercucuran, mulai membasahi kepala
dan wajah Raja Petir. Hal yang hampir bersamaan di
lakukan Ki Wikuna dan Ki Megantara.
*** "Aku menduga ada sesuatu kejadian yang
membuat mereka belum juga kembali, Ki," kata Nyai Puncang Sibela dengan muka
yang dihinggapi kecemasan. "Aku juga menduga begitu, Nyai," sahut Ki Kuriwang
Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Situ. "Pasti, ada seseorang yang membuat ketiganya menemui kesukaran dalam
menjalani tugas kali
ini. Atau, bahkan membebaskan mereka dari pengaruh
racun ramuan kita," lanjut Ki Kuriwang Situ.
"Apakah tidak mungkin kalau orang itu Raja
Petir, Ki?" duga Nyai Puncang Sibela sambil menatap wajah lelaki berpakaian
hitam yang bergelar Dewa Racun Hitam.
"Raja Petir?" tanya Ki Kuriwang Situ mirip desahan. "Yaaah..., Raja Petir.
Beberapa hari lalu aku bentrok dengan anak muda yang memiliki kepandaian
tinggi itu," jawab Nyai Puncang Sibela. "Anak muda itu, luar biasa sekali."
Ki Kuriwang Situ tidak menimpali ucapan Nyai
Puncang Sibela. Pikirannya seolah mencoba membayangkan sosok muda yang berjuluk Raja Petir. Nama itu akhir-akhir ini selalu
didengung-dengungkan oleh para tokoh di kalangan rimba persilatan.
"Lalu, kira-kira tindakan apa yang paling tepat kita lakukan sekarang, Nyai?"
tanya Ki Kuriwang Situ kemudian.
"Kalau memang Raja Petir menghalangi pekerjaan kita, rasanya kita cuma memiliki dua cara, Ki Kuriwang," jawab Nyai Puncang
Sibela. "Hmmm...." Ki Kuriwang Situ menggereng. Matanya menoleh ke wajah perempuan tua
di samping- nya. "Menurutku yang pertama, kita menyatroni rumah si Kujang Biru. Aku menduga
Raja Petir ada di sana. Atau kita tunggu, sampai mereka semua menyatroni tempat
kita," usul Nyai Puncang Sibela.
"Hm...." Ki Kuriwang Situ mengernyitkan da-hinya mendengar ucapan Nyai Puncang
Sibela. Nam- paknya lelaki yang berjuluk Dewa Racun Hitam tak setuju dengan cara kedua yang
diusulkan Nenek Sakti
Racun Hijau. "Rasanya, aku lebih suka memilih cara yang
pertama, Nyai," tukas Ki Kuriwang Situ setelah beberapa lama berpikir.
"Aku juga lebih suka cara itu," sambut Nyai Puncang Sibela.
"Kalau begitu, kita selesaikan saja pekerjaan ini sekarang," putus Ki Kuriwang
Situ. "Aku setuju, ayo Ki! Hip!"
Nenek berpakaian hijau gelap yang berjuluk
Nenek Sakti Racun Hijau segera melejitkan tubuhnya
cepat Gerakannya yang ringan amat sesuai dengan julukannya, sebagai nenek sakti.
Dewa Racun Hitam pun segera melesat cepat.
Gerakannya yang bagai terbang menunjukkan kesaktiannya yang tak kalah dari Nenek Sakti Racun Hijau.
Dan itu terbukti. Bayangan hitam yang berkelebat cepat seolah-olah menyatu
dengan kelebatan bayangan
hijau. *** 8 Ki Megantara nampak menarik napas lega ketika melihat tubuh putrinya mulai bergerak-gerak. Baik Mutiara Merah, Mutiara
Jingga maupun Mutiara Ungu
telah terjaga dalam waktu hampir bersamaan.
Jaka dan Ki Wikuna pun merasakan hal yang
sama. Hati mereka kini terbebas dari kecemasan, yang sejak tadi mengungkung.
"Biarkan ketiganya tetap terbaring di situ. Mereka masih terlalu lemah," ucap
Jaka sambil melangkah ke arah tempat duduk di sudut ruangan.
Akan tetapi, baru saja Raja Petir hendak menurunkan tubuhnya, pendengarannya yang tajam segera
menangkap getaran aneh. Wajah tampan lelaki muda
itu seketika menegang. Keningnya mengkerut. Kepalanya bergerak pelan sekali, seperti tengah berusaha mencari-cari suatu suara
yang mengusik hatinya.
"Ada apa denganmu, Jaka?" tanya Ki Megantara keheranan.
Pertanyaan yang sama juga terlontar melalui tatapan mata Ki Wikuna dan Dewi Nuwang.
"Kita sambut kedatangan mereka, Ki," tegas ucap Jaka.
"Hup!"
Tubuh yang terbungkus pakaian kuning keemasan itu seketika melesat cepat dari tempat duduk.
Ki Megantara dan Ki Wikuna sejenak saling
berpandangan. "Kau tunggui saja putri-putri ku, De-wi," tukas Ki Megantara
tegas. Tubuhnya seketika itu juga melesat cepat mendahului Ki Wikuna.
Baru saja Ki Megantara dan Ki Wikuna mendaratkan kakinya di sisi Raja Petir, tawa-tawa terkekeh
seketika terdengar. Tak lama kemudian dua sosok tubuh yang terbalut pakaian warna hijau gelap dan hitam sudah mendarat di hadapan Jaka Sembada.
"He he he... Megantara, Wikuna, pantas kalau
kalian sekarang masih mampu bernapas! Rupanya kalian sudah punya pengawal baru" He he he...," perempuan tua yang berjuluk Nenek
Sakti Racun Hijau kembali terkekeh. Sorot matanya yang tajam tertuju kepa-da Raja Petir.
Dengan sikap tenang Jaka membalas tatapan
Nyai Puncang Sibela. Karuan saja Nyai Puncang Sibela segera melempar tatapannya
ke wajah Ki Wikuna.
"Tapi, sebentar lagi kalian akan mampus! Akan
kukirim ke neraka nyawa kalian," hardik Nyai Puncang Sibela kemudian.
Ki Wikuna tentu saja mengkelap hatinya, mendengar ucapan Nenek Sakti Racun Hijau itu.
"Rasanya kita tak pernah punya urusan, Nyai,"
ucap Ki Wikuna mencoba menyabarkan diri. "Lalu kenapa kalian tiba-tiba saja
berlaku biadab seperti itu terhadap kami?"
"Kerk... kerk... kerk, Nyai Puncang Sibela dan aku si Dewa Racun Hitam, memang
tak pernah punya
urusan dengan cecunguk-cecunguk kecil macam kalian! Tapi ingat! Kalian adalah pewaris-pewaris ilmu si Pendekar Pedang Seribu.
Mau tak mau kalian punya
sangkutan juga denganku. Kalian tahu, Pendekar Pedang Seribu punya hutang nyawa padaku. Dan hutang
itu tak akan pernah terbayar, meski ditebus dengan
nyawa seluruh keturunannya!" begitu tegas ucapan Dewa Racun Hitam. Matanya
merayap ke wajah Ki Wikuna, Ki Megantara lalu ke Raja Petir.
Ki Megantara dan Ki Wikuna merasakan sengatan yang hebat atas ucapan itu. Nampak wajah keduanya merah padam. Gigi-gigi mereka saling bergemeretak. Sementara tangan mereka saling terkepal menahan geram. "Katakanlah! Hutang nyawa macam apa yang
telah dilakukan mendiang kakek guruku?" tanya Ki Wikuna dengan suara yang
sengaja ditekan kuat
"Hmmm... kejadian itu memang menyakitkan
bila, diingat-ingat lagi. Tapi baiklah. Aku akan menceritakan demi nyawa kalian
yang sebentar lagi dijemput maut," jawab Dewa Racun Hitam sambil mendongak-kan
kepalanya. Ki Wikuna menggemeretakkan giginya mendengar kesombongan Dewa Racun Hitam. Begitu juga dengan Ki Megantara, wajahnya merah padam menahan
amarah. "Puluhan tahun silam, kakek gurumu yang berjuluk Pendekar Pedang Seribu, telah memusnahkan
perguruan Dewa Jubah Hitam. Membumihanguskan
bangunan perguruan dan membantai seluruh muridmuridnya. Namun sayang, Pendekar Pedang Seribu
lengah. Dia tidak tahu, kalau salah seorang murid perguruan Dewa Jubah Hitam
masih hidup. Pendekar Pedang Seribu juga tidak memeriksa kitab-kitab ilmu silat, dan kitab ramuan racun
perguruan Dewa Jubah
Hitam yang masih utuh di tempatnya.
Kau tahu, siapa murid perguruan Dewa Jubah
Hitam itu?" tanya Dewa Racun Hitam sambil membela-lakkan matanya. Kembali
kepalanya mendongak penuh keangkuhan.
Ki Wikuna tak menanggapi pertanyaan Dewa
Racun Hitam. Matanya beralih menatap wajah Ki Megantara. "Akulah murid perguruan Dewa Jubah Hitam
yang masih hidup itu! Aku akan menuntut musnahnya
perguruan serta kematian murid-muridnya!" lanjut Dewa Racun Hitam.
"Kurasa, hal semacam itu tak mungkin dilakukan mendiang kakek guruku, tanpa alasan yang kuat!"
bantah Ki Megantara.
"Bicaralah sepuasmu, sebelum ajal datang
menjemput! Aku, Dewa Racun Hitam tetap akan menuntut hutang nyawa pada pengikut Pendekar Pedang
Seribu." "Kau pikir akan semudah membalikkan tangan
untuk memusnahkan kami, Dewa Racun Hitam?" bantah Ki Wikuna sambil menatap tajam
wajah Dewa Ra- cun Hitam. Dewa Racun Hitam kembali terkekeh mendengar ucapan Ki Wikuna, begitu juga dengan Nyai Puncang Sibela. "Kujang Biru! Jangan kau jadi sombong begitu,
hanya karena di sampingmu berdiri seorang bocah ingusan, yang baru kemarin belajar ilmu silat!" balas Nyai Puncang Sibela. "Kalau
aku mau, kemarin-kemarin pun aku bisa meremukkan batok kepalanya
dan mereguk cairan otak dungu miliknya," bentak perempuan tua sambil menuding ke
arah muka Raja Petir. "Jaga mulutmu, Nenek Peyot!" bentak Ki Megantara, mendengar ucapan Nyai Puncang
Sibela yang begitu merendahkan Raja Petir.
Jaka hanya tertawa dalam hati mendengar
ucapan Nenek Sakti Racun Hijau.
"He he he... Megantara! Kenapa kau yang naik
darah mendengar ucapanku, heh!" Kau lihatlah. Bocah ingusan itu saja, tak berani
membangkang ucapanku!"
elak Nyai Puncang Sibela.
"Bacotmu bau busuk, Nyai!"
"Keparat! Kau rupanya ingin mampus lebih dulu, Megantara!" hardik Nyai Puncang Sibela sambil mengibaskan tangan kanannya
cepat Ki Megantara yang melihat gerakan tangan perempuan tua itu, segera mencabut pedang dari warangkanya. Dengan sigap menghadap ke perempuan
tua berbaju hijau gelap.
Srat! Ki Megantara melompat. Sinar kehijauan berpadu dengan warna merah, nampak berpendar-pendar
dari pedang yang disilangkan di dada. Sementara mata tajam Ki Megantara sudah
bersiap-siap menghadapi
serangan yang akan datang.
Siiing! Siiing!
Perempuan tua berjuluk Nenek Sakti Racun Hijau mengayunkan tangan.
Wuuuk! Wuuuk! Trang! Trang! Brasssh!
Sekilas sebuah benda berwarna hijau melayang. Benda itu menerjang pedang Ki Megantara.
Suasana sejenak bertambah mencekam. Tubuh
Ki Megantara terjajar beberapa langkah ketika senjata rahasia berwarna hijau itu
menerjang pedang yang diayun-ayunnya. Sesaat tubuhnya geragapan, ketika
senjata rahasia itu tiba-tiba pecah, dan mengepulkan asap tebal kehijauan.
"Awaaas! Menjauh kalian semua!" teriak Jaka sambil tubuhnya melompat ke
belakang. Gerakan Jaka
langsung diikuti juga oleh Ki Megantara dan Ki Wiku-na.
Wrrr...! Ketika mendarat. Raja Petir segera melepaskan
'Pukulan Pengacau Arah'. Angin kencang seketika ter-cipta dari telapak tangan
yang terbuka. Angin itu bergulung dahsyat seperti pusaran yang akan menyapu
seluruh benda yang ada di sekitarnya. Tak terkecuali, kepulan asap kehijauan
yang mengandung racun ganas. Asap kehijauan itu buyar dihempas angin bergulung yang keluar dari 'Pukulan Pengacau Arah'.
Bahkan Nyai Puncang Sibela terpaksa melempar tubuhnya guna menghindari terjangan angin yang bergulung begitu dahsyat.
"Kurang ajar!" maki Nyai Puncang Sibela seraya bangkit dari bergulingan. Ki
Kuriwang Situ hanya menatap Jaka dengan lekat-lekat. Lelaki berpakaian hitam
yang berjuluk Dewa Racun Hitam mulai memperhitungkan keberadaan anak muda yang berjuluk Raja
Petir. "Kau memang hebat, Raja Petir," ucap Ki Kuriwang Situ begitu dingin.
"Tapi jangan harap, kau be-rumur panjang kalau sudah berani menghadapi kami."
"Katakanlah sesukamu, Dewa Racun Hitam,"
balas Raja Petir. Tatapan matanya yang tajam bagai
mata pedang, ditujukan ke bola mata Ki Kuriwang Situ. "Sebelum tubuh tuamu terpendam di bumi," lanjut Jaka tak kalah tegas.
"Bocah Sombong!" maki Ki Kuriwang Situ. Sebentar kemudian lelaki tua itu
bergerak cepat dengan pukulan-pukulan ganas yang menjelmakan hawa-hawa aneh.
Raja Petir tentu saja tidak berani menganggap
remeh tokoh tua golongan hitam itu. Terlebih terhadap sodokan-sodokan tangannya
yang mengeluarkan hawa
panas menyengat, namun sebentar kemudian berubah
menjadi dingin, mampu menusuk ke tulang sum-sum.
Pertarungan tangan kosong pun seketika berlangsung sengit. Begitu juga yang terjadi dengan Nyai
Puncang Sibela, yang harus menghadapi dua lawan
sekaligus. Sebenarnya Ki Megantara dan Ki Wikuna risih
menghadapi perempuan tua yang tanpa senjata di tangan. Tetapi, ketika mengingat senjata-senjata rahasia milik perempuan itu, Ki
Megantara dan Ki Wikuna tak tanggung-tanggung lagi menebas-nebaskan senjata
untuk menghalau desingan senjata-senjata rahasia itu.
Bahkan tak jarang tusukan Kujang yang bersinar biru serta tebasan pedang Ki
Megantara mencecar bagian-bagian tubuh Nenek Sakti Racun Hijau.
"Hiyaaa...!"
"Ups!"
Nyai Puncang Sibela segera menggenjot tubuhnya, ketika pedang Ki Megantara hendak membabat
habis kakinya. Begitu ringannya lentingan yang dilakukan Nyai Puncang Sibela.
Tubuh tuanya seketika
berputaran di udara, menghindari serangan kedua lawannya. Namun tidak diduga, dalam keadaan melayang
di udara seperti itu, Nyai Puncang Sibela mampu melepas senjata rahasianya ke arah lawan.
Siiing! Siiing!
Dengan tangkas dan gesit tangan tua itu melepaskan serangan senjata ampuhnya.
Begitu cepat lesatan senjata rahasia yang dilempar Nenek Sakti Racun Hijau. Tetapi gerakan Ki
Raja Petir 07 Dara-dara Pengusung Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Megantara dan Ki Wikuna pun tak kalah cepat. Kedua
lelaki yang berjuluk Pendekar Lembayung dan Kujang
Biru, begitu cepat menghindarkan tubuhnya dari terjangan senjata rahasia yang mengandung racun mematikan. "Kurang ajar!" maki Nyai Puncang Sibela setelah tubuhnya mendarat dengan manis
dan tak me- nyaksikan lawan-lawannya berada di tempat.
Pertarungan terus berlangsung. Suasana semakin seru dan menegangkan.
Tak terasa pertarungan yang sudah memasuki
belasan jurus itu sudah merambat keluar pekarangan
rumah Ki Wikuna. Hal itu dilakukan Ki Megantara dan Ki Wikuna untuk menjaga
kemungkinan senjata-senjata rahasia musuh nyasar ke dalam rumah. Jelas
membahayakan bagi putri-putri mereka.
Sementara pertarungan antara Ki Kuriwang Situ dan Raja Petir sudah mencapai jurus kedua puluh.
Namun, di antara keduanya belum kelihatan ada yang
terdesak. "Heh!"
Dewa Racun Hitam mendenguskan napas kesal. Serangan-serangannya selalu berhasil dielakkan
Jaka. Kemudian sambil menggeram kakinya melangkah mundur. "Jangan harap, kau bisa terlepas dari aji
'Gelung Racun Hitam' ku kali ini, Raja Petir!" bentak Dewa Racun Hitam
menggelegar. Tubuhnya mundur
beberapa tindak, siap dengan serangan mautnya. Sorot matanya yang tajam
ditujukan ke telapak tangannya
yang digosok-gosokkan.
Dengan sikap tenang, Raja Petir mengawasi terus apa yang sedang dilakukan Dewa Racun Hitam.
Sebetulnya, banyak kesempatan Jaka untuk segera
melancarkan serangan pada saat Dewa Racun Hitam
memusatkan pikiran pada ajiannya. Namun itu tak dilakukan. Raja Petir lebih memilih sesekali mengintip pertarungan antara Ki Megantara dan Ki Wikuna menghadapi Nenek Sakti Racun Hijau. Dan dirinya bersyukur, pertarungan mereka berjarak cukup jauh dari
pertarungannya dengan Dewa Racun Hitam, yang mulai mengerahkan aji 'Gelung Racun Hitam'. Serangan
aji 'Gelung Racun Hitam' akan berkali lipat keganasannya dari serangan-serangan sebelumnya.
"Hrrrgh...!"
Tiba-tiba lelaki tua itu membuka kembali serangan. Raja Petir pun segera mengambil sikap mempersiapkan perlawanan.
Dewa Racun Hitam menggereng kuat, ketika seluruh telapak tangannya berubah menjadi hitam pekat. Bau anyir seketika keluar dari telapak tangan
yang mengepulkan asap tipis.
Tangan hitam Dewa Racun Hitam menghentak
keras. Gumpalan asap hitam meluruk deras ke tubuh
Jaka. Untuk menghadapi aji 'Gelung Racun Hitam',
Raja Petir mengerahkan kekuatan aji 'Bayang-Bayang'.
Seketika itu juga wujudnya berubah menjadi enam kali lipat jumlahnya. Enam sosok
bayangan Raja Petir berdiri mengepung Ki Kuriwang Situ.
Dewa Racun Hitam awalnya terkejut menyaksikan ilmu yang digunakan lawannya. Namun berkat
kematangan pengalamannya, Dewa Racun Hitam dapat membaca wujud Raja Petir yang asli. Maka dengan kecepatan luar biasa kibasan
tangannya meluncurkan
serangan. Asap hitam berbau anyir bergulung menyergap ke tubuh Raja Petir.
Bagai kilat luncuran asap hitam yang bergulung ke tubuh Raja Petir yang sesungguhnya. Kecepatan luncuran itu membuat Raja Petir terkejut. Apalagi ketika Dewa Racun Hitam
mengibaskan tangannya
berkali-kali. Gerakannya semakin ganas tertuju pada Raja Petir.
Segera Raja Petir melemparkan tubuhnya ke
kanan. Setelah berguling-guling dengan mengandalkan kekuatan hentakan tangan,
tubuhnya melenting ke
udara sambil melakukan putaran beberapa kali.
"Hup!"
Baru sekejap mata Raja Petir mendaratkan kakinya, serangan asap hitam beracun kembali menyergapnya. Dirinya kembali sibuk menghadapi serangan
yang bertubi-tubi.
Kurang ajar! Maki Jaka Petir dalam hati. Kalau
aku menghindar terus, kapan pertarungan ini bisa selesai" "Hih!"
Wrrr...! Belum selesai Raja Petir bermain-main dengan
kata hatinya, serangan berikutnya sudah kembali meluruk, menerjang ke tubuhnya.
"Heh!" sambil merubah kedudukannya, Jaka
kemudian segera menciptakan ajian 'Kukuh Karang'
guna mengimbangi aji 'Gelung Racun Hitam'. Seketika itu juga cahaya kuning
berpendar membungkus tubuh
Raja Petir. Sraaak! Dewa Racun Hitam terkejut bukan kepalang.
Raja Petir membiarkan dirinya tertembus aji 'Gelung Racun Hitam' yang mampu
meluluhkan seluruh urat
saraf. Namun kenyataannya" Dewa Racun Hitam terlongo keheranan menyaksikan keadaan Raja Petir yang tidak bergeming sedikit pun.
Bahkan kini, Raja Petir berbalik menyerang dengan bambu kuning yang sudah
terselip di celah bibirnya.
Bambu kuning yang berlubang di tengah, tibatiba terhembus napas Jaka perlahan. Begitu pelan
hembusan itu, tapi akibatnya sungguh tak terduga
oleh pikiran Dewa Racun Hitam
Slats! Slats! Slats!
Seberkas sinar keperakan melesat deras bagai
kilat petir dari lubang bambu kuning. Sinar keperakan mirip kilat petir itu
menyambar lurus ke arah tubuh Dewa Racun Hitam yang sudah siap untuk menghindar.
Glaaarrr! Glaaarrr! Glaaarrr!
Ledakan keras terdengar, ketika lesatan sinar
keperakan berhasil dihindari Dewa Racun Hitam. Tiga batang pohon besar seketika
bertumbangan terterjang petir. Bunyi bergemuruh terdengar begitu memekakkan
telinga. Menyaksikan Dewa Racun Hitam yang pontangpanting menghindari terjangan sinar keperakan, diam-diam Jaka sudah menyiapkan
'Pukulan Jarak Jauh'
nya. Dan ketika saat yang tepat datang, Jaka tidak
menyia-nyiakannya.
Wrrr...! Angin deras bergulung-gulung seketika keluar
dari telapak tangan Raja Petir yang terbuka. Begitu cepat angin dari pukulan
jarak jauh yang dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga,
Dewa Racun Hitam yang belum sempat kembali pada
kedudukan terbaiknya tak mampu menghindar. Dan....
Plaaarrr! "Aaa...!"
Hantaman segulungan angin yang begitu kencang membuat tubuh Dewa Racun Hitam terhembus
deras. Bagai sehelai daun yang terhembus angin, tubuhnya melayang.
Kalau saja tubuh Dewa Racun Hitam tak tertahan deretan pohon-pohon besar, mungkin akan terhempas lebih jauh. Namun hantaman pukulan jarak
jauh Raja Petir, begitu dahsyat. Sehingga pohon-pohon yang terhantam tubuh Dewa
Racun Hitam, tumbang
berserakan. Dewa Racun Hitam sendiri merasakan seluruh tulang-belulangnya luluh-lantak. Hanya sesaat itu saja Dewa Racun Hitam
mampu bertahan hidup.
Tak berapa lama kemudian, lelaki berpakaian hitam
itu sudah tak bergerak-gerak lagi. Sampailah ajalnya.
Sementara pada pertarungan lain, justru sebaliknya. Ki Megantara dan Ki Wikuna nampak terdesak
serangan-serangan senjata rahasia Nyai Puncang Sibe-la yang mengandung racun
ganas. "Hiaaa...!"
Pada saat Ki Megantara dan Ki Wikuna disibukkan dengan senjata-senjata rahasia, Nenek Sakti Racun Hijau menjejakkan
kakinya keras. Perempuan
tua itu melesat cepat ke arah Ki Wikuna, dengan kepalan tangan yang berubah
menjadi kehijauan.
Raja Petir yang menyaksikan hal itu dari jarak
kejauhan terperangah bukan main. Dirinya merasa tak mungkin dapat mematahkan
serangan perempuan tua,
untuk melindungi Ki Wikuna. Namun tiba-tiba....
"Hiaaa...!"
Terdengar suara teriakan dari kejauhan.
Siiing! Siiing! Siiing!
Tiga buah pedang seketika meluruk deras ke
arah Nyai Puncang Sibela yang tengah berada di udara. Karuan saja Nenek Sakti Racun Hijau terkejut bukan kepalang. Dengan cepat
perempuan tua berpakaian hijau gelap itu melesat ke lain arah. Seiring dengan itu, tangannya segera
melesat melepaskan senjata rahasianya ke tubuh pemilik senjata yang telah
menggagalkan serangannya.
Plas! Plas! Plas!
Crab! "Aaa...."
Salah satu senjata rahasia, tepat mendarat di
ubun-ubun lelaki bertubuh kekar. Lelaki itu ternyata murid Ki Megantara yang
baru saja muncul. Tubuh
murid Ki Megantara seketika terkapar tak bernyawa
lagi. Ki Megantara tentu saja geram, menyaksikan
kematian muridnya. Maka, tanpa berpikir apa-apa lagi tubuhnya langsung mencelat
hendak menerjang Nenek
Sakti Racun Hijau yang sudah kembali berdiri tegak.
"Tahaaan!" Raja Petir berteriak keras, mencegah Ki Megantara
Mendengar bentakan yang dikeluarkan Jaka
dengan melalui pengerahan tenaga dalam tinggi, Ki
Megantara kontan menghentikan gerakannya.
"Maaf, Ki. Jangan bertindak sembrono seperti
itu!" ucap Jaka kemudian setelah berada di dekat Ki Megantara.
Ki Megantara tak membantah ucapan Jaka tersebut. Di hadapannya, Nenek Sakti Racun Hijau telah siap dengan serangan senjata
rahasia yang cukup berbahaya. "Kurang ajar kau, Raja Petir!" maki Nenek Sakti
Racun Hijau. "Kau, harus mampus!"
"Nenek Sakti Racun Hijau! Kalau kau tetap nekat menantangku, niscaya nasibmu akan sama dengan
Dewa Racun Hitam yang kini telah mati!" balas Jaka Sembada.
"Setan!" hardik Nenek Sakti Racun Hijau ketika melihat tubuh Ki Kuriwang Situ
yang tergeletak tak
bernyawa. Wajah tuanya seketika berubah merah padam. "Kubunuh kau, Raja Petir! Hiaaa...!"
Diiringi teriakan menggema, Nenek Sakti Racun
Hijau menerjang tubuh Raja Petir. Raja Petir segera meloloskan sabuk dari
pinggangnya. Dan ketika tubuh perempuan tua itu tepat berada dalam jangkauan
Raja Petir segera memutar pergelangan tangannya. Dan....
Gleeegggaaarrr...!
Tubuh ringkih Nenek Sakti Racun Hijau seketika terpental kena hantam lecutan sabuk kuning, yang dimainkan dalam jurus 'Petir
Membelah Malam'
Seketika tubuh yang terbalut pakaian hijau itu
terbanting. Perempuan tua itu jatuh berdebum dengan keadaan tubuh yang cukup
mengerikan. Sekujur tubuh Nenek Sakti Racun Hijau gosong seperti tersambar
petir. Suasana sesaat begitu tegang dan mencekam. Ki Megantara, Ki Wikuna, dan
Dewi Nuwang terbengong-bengong.
Raja Petir lalu menarik napas dalam-dalam.
Kemudian melangkahkan kaki menghampiri Ki Megantara yang tengah memandangi mayat muridnya.
"Sudahlah, Ki. Setiap perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan yang diberikan
muridmu ternyata tak sia-sia," ucap Jaka dengan suara lembut.
Suasana kembali mereda. Tidak ada yang berkata semua diam dan trenyuh.
Ki Megantara kemudian menatap Jaka. Sungguh dia sangat berterima kasih atas pertolongan anak muda yang punya kesaktian
begitu tinggi itu.
"Sudahlah, Ki. Berterima kasihlah pada sang
Pencipta jagat," ujar Jaka sambil menghindari tatapan mata Ki Megantara. "O ya,
Ki. Kalau begitu, aku pamit sekarang."
"Ah! Kau tidak...."
"Terima kasih, Ki. Lain kali aku pasti berkunjung ke tempatmu. Permisi, Ki. Hip!"
Dalam sekejap tubuh Raja Petir telah melesat
dan lenyap dari pandangan Ki Megantara, Ki Wikuna,
dan Dewi Nuwang.
*** Angin berhembus semilir mengantar keberangkatan pendekar perkasa itu. Sementara Ki Megantara, Ki Wikuna, dan Dewi Nuwang
disibukkan dengan pe-makaman salah seorang murid Ki Megantara yang tewas. Tidak terasa, kelopak mata Dewi Nuwang terlihat berkaca-kaca. Gadis itu merasa sangat kehilangan atas kepergian Raja Petir.
Entah mengapa, tiba-tiba ra-sa rindu menyelinap dalam hatinya. Ah, pemuda gagah
itu telah mencuri hati dan seluruh pikirannya.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Iblis Sungai Telaga 16 Pendekar Pulau Neraka 06 Pendekar Kembar Pendekar Riang 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama