Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap Bagian 1
http://inzomnia.wapka.mobi
Abdullah Harahap Misteri Putri Peneluh Edit & Convert Jar, Txt, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
SATU PEMUDA itu merapatkan tubuh ke dinding pondok. Hujan badai telah
berhenti. Tetapi ia masih diliputi ketakutan yang belum pernah ia alami
sebelum ini. Liar matanya menatap ke luar pintu pondok, mengawasi
kegelapan malam yang seolah mengurung dan menjebak pemuda itu agar
tidak sempat meloloskan diri dari perangkap dosa-dosa yang bertaburan
di sekelilingnya. Kabut tipis datang bergulung gulung dari segala arah.
Bentuk dan datangnya merupakan suatu fantasi yang mengerikan,
berdesah-desah, terkadang mengaum penuh misteri.
Di dalam pondok kering. Tetapi kabut membuat sekujur tubuh dan
sekitar balai balai bambu tem patnya meringkuk, lembab basah. Dingin
terusmenerjang dari luar, disertai kehampaan malam yang semakin pekat.
Sekelompok domba bergerak gelisah di dalam pondok sempit itu. Berdiri
dempet satu sama lain untuk saling menghangatkan. Sekelompok kecil
lainnya, terikat di luar pondok, mulai mengembik liar. Satu dua ekor
malah menendang-nendangkan kaki ke dinding pondok, menimbulkan
bunyi asing di tengah desau angin malam. Pemuda itu menggigil.
Gigi bergemeletukan, biar ia telah semakin rapat di pojok balai-balai
dan berusaha menjepit tubuh seekor domba gemuk dengan ke dua
pahanya yang terjuntai ke tanah. Tiap sebentar ia mendongak lewat
dinding pondok yang rendah. Meninjau ke bawah tebing di mana pondok
itu terletak. Jalan lintas perkebunan di bawah pondok, hampir tidak
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
terlihat oleh mata telanjang. Kabut seakan telah mengambil jalan itu
dan membuangnya jauh-jauh, sehingga si pemuda semakin tersudut.
" ... mana kendaraan itu ?", ia bersungut sendirian.
Gumam yang keluar dari mulut, menumbuhkan semangatnya. Tidak
banyak, namun cukup untuk mengatasi rasa sepi. Takut-takut, ia
keraskan suara. Berkata pada diri sendiri : " Mereka cuma terhalang
badai. Percayalah. Mereka akan datang sebentar lagi !"
Ya. Pemuda itu berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa temantemannya bukan melarikan diri. Mereka cuma terhalang di perjalanan.
Mungkin karena jembatan rusak. Atau mobil mogok karena mesinnya
dimasuki air. Tetapi semuanya akan beres. Tak lama lagi mereka akan
datang, ia dan semua domba yang ada di dalam maupun di luar pondok,
akan diangkut segera. Dijauhkan dari perangkap kabut yang menakutkan
itu, lalu kemudian kembali berkumpul dengan keluarga, api tungku yang
hangat, kopi kental yang nikmat, dan mungkin saja juga si Painah yang
manis mau menemuinya, begitu mendengar kabar dia sudah punya uang.
Empat ekor domba tercecer di tengah jalan ketika hujan badai mulai
turun. Pemuda itu bersama salah seorang teman yang menggiringnya dari
sebuah desa, tak punya waktu untuk mencari Mereka berdua menggiring
domba lain menjauhi desa selekas mungkin karena hujan badai telah
membangunkan seorang dua penduduk. Masih ada dua belas, paling tidak
sepuluh ekor domba yang berhasil mereka giring. Kemudian temannya
pergi, karena setiba di pondok yang sudah ditentukan, kendaraan yang
akan mengangkut mereka ternyata belum muncul.
"Akan kususul", kata temannya.
Dan, temannya pun tidak muncul muncul, selama hujan badai yang
menakutkan itu, dan selama malam semakin merangkak dan kini udara
dinihari yang berbau kabut itu semakin menebal.
"Apakah ia tersesat ?", pemuda itu bergumam lagi.
Domba mengembik liar di sekitar pondok, begitu tiba-tiba sehingga
pemuda itu terlonjak kaget. Apakah binatang-binatang itu mendengar
bunyi mesin kendaraan " Atau ada penduduk salah satu desa mengendap
endap di luar pondok untuk menyergapnya "
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Tak mungkin !", pemuda itu menjawab sendiri. "Tak ada yang memergoki
kami ! Tak ada yang tahu !", dan memang itulah yang sebenarnya.
Temannya punya ilmu sirep. Butir-butir pasir ditaburkan ke atap rumah
penduduk yang kandang dombanya akan mereka satroni. Kemudian
binatang-binatang itu juga mereka sirep. Diberi rumput segar
bercampur irisan bawang merah yang dicelupkan ke minyak kesturi. Tak
seekor pun domba-domba itu membuat ulah bahkan mengembik waktu
mereka keluarkan dari kandang masing-masing.
Lalu hujan badai itu turun.
Pengaruh sirep tertawar sedikit, dan binatang-binatang itu mulai ribut.
Empat hilang lenyap karenanya. Berarti empat puluh ribu rupiah tidak akan dibayarkan tukang
tadah di kota. Apa boleh buat. Masih tersisa, tarohlah sepuluh ekor,
jadi seratus ribu rupiah masih mereka peroleh untuk dibagi-bagikan.
Dia akan memperoleh bagian sekitar tiga puluh ribu, mungkin kurang
sedikit. Dari jumlah itu, ia masih harus membayar utang di warung bi
Minah sebesar lima ribu. Jadi, Painah masih akan mendapat sekitar dua
puluh ribu, paling sedikit. Janda itu akan tertawa riang, membuatkan dia
kopi kental, mengajaknya tidur dan minggu berikutnya akan resmi jadi
isterinya. Keluarganya mungkin akan marah besar. Tetapi tak seorang
pun berhak melarang dia. ia sudah membuntingi Painah, dan ia mencintai
janda itu setengah mati. Terbayang mata Painah yang redup
mengundang, tawanya yang sendu merayu, dan gerak pahanya yang
menantang gairah. Pemuda itu tersenyum. Sebentar cuma. Kemudian senyumnya hilang, waktu samar-samar ia
dengar suara bergemuruh. Bunyi mesin kendaraankah " Atau sungai yang
airnya tengah meluap. Ah, sungai jauh di sebelah utara. Sedang
kendaraan bunyinya tidak bergemuruh seperti itu. Domba-domba yang
berkelompok di luar apalagi di dalam pondok, bergerak liar dan
mengembik riuh rendah. Aji sirep itu telah semakin tawar, dan kini
domba-domba itu rupanya telah sadar kalau mereka tidak sedang ada di
kandang yang semestinya. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Si pemuda menyingkirkan domba yang menghalangi jalannya, lalu
melangkah ke luar pondok. Jalan di bawah masih gelap, berselimut
kabut. Tetapi kabut itu kian menipis jua, dan satu dua sinar bintang di
langit biru mulai menerawang dari celah-celah pucuk pepohonan yang
menjulang. Diam sebentar mendengarkan, barulah pemuda itu
mengetahui mengapa domba pada ribut dan apa kiranya yang tadi
menimbulkan suara bergemuruh.
Tanah di bawah kakinya, bergerak !
Dinding pondok bergoyang perlahan. Atapnya kemudian rubuh tiba-tiba,
diterjang angin keras yang meluncur dari atas bukit. Bersama kelompok
domba itu, si pemuda lari menghindar. Serabutan. Sambil menghindar
masih sempat ia raih salah satu ujung tali induk dan menyeret sekitar
empat atau lima domba bersamanya. Namun sebatang pohon besar yang
ia manfaatkan sebagai perlindungan, mulai pula bergerak.
Pemuda itu panik. Tanah basah bercampur pasir menerjang mukanya, ia mengelak, dan
jatuh terguling ke bawah. Sebuah batu besar menahan tubuhnya jatuh
lebih jauh, namun toh punggungnya terasa berderak. Mungkin ada tulangnya
yang patah. Matanya sampai berair, menahan perih yang alang kepalang.
Dan ketika matanya ia buka, toh ia masih bersyukur.
Pondok tempatnya berlindung, hilang lenyap sudah.
Tanah datar tempat pondok itu terletak, sudah longsor seluruhnya,
jatuh ke jalan di bawah tebing. Begitu pula pohon-pohon di sekitarnya,
rubuh bertumbangan tak tentu arah. Suara hiruk pikuk yang
beberapa saat sebelumnya melemahkan jantung, perlahan-lahan lenyap.
Nyalinya yang ciut, mekar sedikit demi sedikit.
"Cilaka !", ia kemudian memaki, lesu, manakala ia sadari kelompok domba
itu sudah tak kelihatan lagi. Mungkin terseret lalu tertimbun tanah
longsor, mungkin pula ada yang melarikan diri. ia tidak berniat
mengejarnya lagi. ia lebih mengutamakan keselamatan diri sendiri.
Painah akan marah karena ia tak membawa uang, tetapi Painah pasti
mengerti apabila mengetahui ada tulang puntungnya yang patah.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ia mencoba duduk. Sakit bukan main. Matanya berkunang kunang. Menunggu sebentar,
mengatur nafas, lalu bangkit berdiri. Tubuhnya sempoyongan. Punggung
perih ,dan toh ia kembali harus bersyukur, ia mampu berjalan, meski lambat
dan tertatih-tatih, serta siksaan di punggungnya kian reda. Jadi, tak
ada tulang yang patah ! Seekor domba mengembik lemah.
Binatang itu sedang sekarat, tertimpa batang pohon. Ususnya terburai.
Gemetar dan pucat, pemuda itu menyingkir jauh-jauh. ia merangkak
sepanjang tebing, mencari jalan turun ke bawah. Tak jauh dari bekas
pondok itu sebelumnya berdiri, ia mendadak tertegun.
Tanah longsor itu meninggalkan suatu bidang lebar yang terbuka di
bawah langit kelam. Di antara rubuhan pohon, batu-batuan dan rumput
ilalang yang hampir tenggelam ditelan gundukan tanah yang berserakan,
tampak benda-benda putih yang samar. Rembulan mulai muncul, dan
kabut kemudian terbang menjauh. Si pemuda mendekat, ragu-ragu.
Membungkuk sedikit, memperhatikan. Lantas, berteriak kaget dan
mundur beberapa tindak dengan wajah semakin pucat pasi.
Apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya, adalah beberapa potong
tulang belulang manusia yang bersembulan dari dalam tanah. Sebuah
tengkorak kepala terhantar di dekat sebatang pohon besar, dengan
liang-liang mata menatap kosong ke arah si pemuda. Yang lebih
mengerikan ialah. tulang-belulang itu bergerak-gerak !
Terangkat dari tanah, seakan melayang sebentar kemudian bergerak
mengambang ke tempat datar terbuka di depannya. Waktu ia simak
dengan sepasang mata melotot lebar, barulah ia ketahui apa sebabnya
tulang belulang itu bergerak begitu aneh. Beberapa ekor tikus beramairamai menggigit tulang lalu menggotongnya. Tikus-tikus berwarna coklat, hitam, dan besarnya luar biasa. Kucing yang paling galak pun akan
berlari menghindar bila bertemu. Tikus-tikus itu besarnya melebihi
kucing biasa, tetapi tak lebih besar dari anak domba yang baru lahir.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Makhluk-makhluk pengerat itu bekerja teratur, acuh tak acuh.
Si pemuda yang terkesima, hanya tegak mematung. Menatap ta'jub
campur ngeri. Kengerian itu kian menjadi-jadi, tatkala ia lihat lebih
banyak ti kus yang muncul, besar kecil, semua menggotong tulang-tulang,
besar kecil pula, dan paling akhir menyeret tengkorak dekat batang
pohon ymy tumbang tadi. Hanya dalam beberapa kejap mata, makhluk-makhluk itu telah
menyelesaikan tugasnya. Kerangka manusia itu telah lengkap, dan
tersusun menurut aturan yang semestinya. Tulang belulang besar, tulang
belulang kecil, dan tengkorak. Kerangka itu
seperti rebah dengan damai bersiram cahaya rembulan. Namun letak
tengkorak kepalanya, dibuat sedemikian rupa - atau memang harus
begitu ! -, sehingga menatap lurus ke mata si pemuda.
Ingin rasanya ia menyebut nama Tuhan.
Malang, yang ke luar dari mulut si pemuda, hanyalah seruan seram : "Ya,
ampun - Apa ... apa yang..."
Kerangka itu berbaring diam.
Tengkorak itu, menatap diam.
Ternyata, pekerjaan belum rampung seluruhnya. Hal itu baru diketahui
si pemuda, ketika dengan ketakutan yang amat sangat ia bergerak
mundur dengan niat lari terbirit-birit, menjauhkan diri. Niat, hanya niat
belaka. Karena, ia tidak dapat lari sekarang.
Baru saja ia memutar tubuh, desis dan suara mencicit yang bergaung
seram telah memenuhi udara di sekitarnya. Bau busuk tercium sangit,
dan makhluk-makhluk coklat dan hitam telah mengerubung dirinya.
Belasan, puluhan, mungkin ratusan. Dan ratusan pasang mata kecil
berwarna kemerah-merahan, berkilat tajam menatapnya. Ratusan
taring-taring runcing, mengancam di antara misai-mi-sai yang
bergoyang. "Hei. Mau apa - kalian ?", pemuda itu bersungut.
Kerubungan makhluk-makhluk itu bukannya kabur, malah semakin
merapat setengah lingkaran, memaksa si pemuda bergerak mundur ...
langsung ke arah kerangka itu terletak.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Dia mulai berteriak, takut : "Pergi ! Pergi ! Entah kalian ! Enyah - aku
bukan - aku - !" Kakinya menendang, ia jatuh. Tangannya mencakar, memukul, meninju.
Beberapa ekor maklhuk itu terhenyak, mati. etapi lebih banyak yang
datang mengurung, mengerat, menggerogoti, mencakar dengan kukukuku yang tajam dan berbau busuk. Darah merah mem-bercik kian
kemari. Kemudian sesuatu terasa menusuk ke dalam dada, ke dalam
lambung, ke dalam lambung, ke dalam rongga matanya.
Pemuda itu memekik. Angin malam berdesah, garang.
Kecuali bunyi angin, segala sesuatunya menyepi. Diam. Bahkan makhlukmakhluk berwujut tikus-tikus besar kecil itu, pada termangu, begitu
kelejot-an dan peki si pemuda kian lemah lalu hilang, yang sudah menjadi
mayat. Mata tengkorak, menatap. Lalu tiupan angin menggerakkannya sedikit. Gerakan yang mirip
anggukan menyetujui, atau memberi tanda. Lalu makhluk-makhluk itu
bergerak pula, serempak. Mereka tinggalkan mayat si pemuda yang
sudah tercabik-cabik, lantas bergerak mendekati kerangka,
mengitarinya sejenak dengan mata memerah saga dan kuku serta taring
memerah darah. Tikus yang terbesar kemudian merangkaki kerangka
itu, menjatuhkan serpihan-serpihan jantung, paru-paru, ginjal dan darah
yang menetes-netes di lambung serta dada kerangka. Gerakan ini diikuti
puluhan ekor tikus lainnya. Tampaknya mereka akan menggerogoti
kerangka diikuti puluhan ekor tikus lainnya. Tampaknya mereka akan
menggerogoti kerangka di sana-sini, nyatanya tidak. Mkhluk-makhluk itu
justru mengolesi setiap potong tulang kerangka dengan darah segar
yang terus menetes melalui moncong, taring dan misai mereka
Suatu saat, ketika rembulan semakin bersinar, dan ketika bintang
gumintang pada berloncatan di langit biru kelam, makhluk-makhluk itu
menjauhi kerangka, berbaring diam. Menunggu. Angin dingin bertiup
perlahan, berdesah bersama suara-suara roh dari alam gaib.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Perlahan tetapi pasti, wujut kerangka itu mengalami proses perubahan.
Dari tulang belulang dan tengkorak yang terlantar, berubah jadi sesosok
tubuh manusia. Betisnya ramping, pahanya bulat mulus, pinggang meliuk
indah, dada membukit dengan putik-putik merah segar, leher jenjang,
wajah cantik dengan rambut tebal hitam berkilauan.
Sisa-sisa kabut kemudian menari di sekitar tubuhnya, membentuk suatu
wujut seperti gaun putih indah.
Lalu payudara bulat merangsang itu, bergerak naik turun.
Kelopak mata, mengerjap. Terbuka. Menatap kehidupan, yang suatu saat berakhir dan suatu saat
bangkit. Hidup dan kehidupan, yang sampai kapan pun akan tetap merupakan
misteri alam yang sukar diungkapkan.
DUA JALAN itu lengang. Bulan yang redup di langit seakan enggan
meneranginya, sehingga Margono dan teman-temannya, sesekali
terpaksa menyalakan lampu senter untuk tidak sampai menginjak
Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kubangan yang penuh lumpur bekas-bekas roda pedati yang lewat di
jalan itu sepanjang hari. Sesekali butir-butir air jatuh dari atas.
Margono tengadah. Hanya tampak dedaunan yang rimbun. Hitam dan
gelap. Entah mengapa, ia menggigil. "Dingin !", sungut Margono. "He-eh
!", sambut seorang temannya. Yang lain cuma diam. Lalu sepi lagi. Bunyi
cengkerik yang tadi bersahut-sahutan, perlahan-lahan berhenti ke
mudian senyap sama sekali, ketika mereka sampai di dekat kali.
" ... banjir lagi", seseorang menggerutu. Yang lain mendehem. Dan
serentak, seperti dikomando menoleh ke samping. Lewat batang dan
rimbunan bambu, tampak aliran air sungai yang samar-samar. Deras
sekali. Dan sedikit menderu.
"Tak ada yang hanyut hari ini ?", sungut Margono.
"Kambing Uwa Enoh. Tiga ekor sekaligus", sahut teman di sebelahnya.
"Kalau begitu kambingnya tinggal dua", sungut Margono lagi.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Satu", ralat temannya pula. Dan yang lain menambahkan : "Kan dua hari
yang lalu kambing Wa Enoh yang terbesar dicuri orang".
"Hem", yang jalan paling belakang mendehem. "Lihay pencuri itu. Sudah
beberapa kali ia beroperasi tanpa pernah kita pergoki. Rasanya aku
sudah bosan begini. Meronda sampai subuh. Kehujanan. Kedinginan.
Belum lagi perut keroncongan karena belum sempat makan ketika
meninggalkan rumah."
"Kita ke Posko saja", kata yang terdepan." Di sana kita masak kopi. Pak
Haji tadi mengirimkan sebaskom ubi rebus !".
Langkah-langkah mereka kian bergegas. Dan : "Aku mau ke kali dulu !",
kata Margono. "Ngapain ?", yang terdepan bertanya tanpa me noleh.
"Ngosongin perut dulu, agar ada persediaan untuk ubi rebus", ia ingat
betul, tempat paling dekat di mana ia akan buang hajat biasanya dipakai
perempuan-perempuan kampung mereka untuk mandi dan mencuci.
Lalu ia melangkah tepi air yang menjilati tebing, melompati sebuah batu
besar dan siap untuk ber-jongkok di atasnya. Pada saat itulah ia
menangkap sebuah bayangan tak jauh di depan. Bayangan itu agak
sedikit di tepi kali, dan ketika Margono melihatnya bayang-bayang
berwarna putih itu menghilang di balik sebuah pohon besar.
Jantung Margono berhenti berdenyut. "Pencuri-kah ?", bisiknya dengan
hati menggeletar, ia kan-cingkan kembali celananya. Dengan satu
loncatan panjang, ia telah berada di atas tebing kali. ia tegak aebentar.
Memperlihatkan. Tetapi bayangan itu tak muncul lagi. Debur jantung
Margono perlahan mereda. Tetapi ia belum yakin. Siapa tahu bayangan
itu masih bersembunyi di balik pohon. Itu bukan ilusi, ia tahu betul.
Begitu jelas tadi ia melihat bayangan putih itu meloncat lalu menghilang
di balik pohon kira-kira tiga meter di depannya. "Siapa di situ ?",
Margono memberanikan diri.
Tak ada sahutan. Margono melangkah. Satu. Dua. Tiga. Perasaannya
mulai waswas. Entah mengapa.
Karena itu ia membuka mulut lagi : "Siapa di situ ?".
Tetap tak ada sahutan. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Keluarlah cepat ! Biar aku tahu !", kata Margono penuh ketakutan.
Margono mencoba mengancam . "Kalau tak menjawab, aku akan
berteriak. Biar teman-teman yang lain datang".
Perlahan-lahan terdengar suara : " ... aku".
Denyut jantung Margono mengencang lagi. Begitu halus suara itu. Miripmirip bisikan. "Aku siapa ?".
"Aku ! ". "Keluarlah ! Biarlah aku tahu !".
"Kang Gono dong yang ke sini !"
Suara perempuan ! Margono menjilat bibirnya yang terasa kering. Siapa
perempuan itu " Dan ngapain dia malam-malam begini ada di pinggir kali
" Rumah yang terdekat letaknya lebih dari seratus meter dari tempat
itu. Tadi ia tidak melihat obor. Atau melihat orang menuju tepi kali. Tak
mungkin si perempuan jalan sendirian dalam gelap. Apalagi berada di
dekat kali yang airnya tengah meluap.
"Apa kerjamu di sini ?", Margono belum yakin. Takut dijebak.
"Mau buang air". "Hem, lalu ?"
"Akang datang. Aku malu, lalu sembunyi".
"Sekarang keluarlah. Tak perlu lagi malu. Kelu arlah, biar kutemani kau.
Kau Marniah, bukan ?".
Angin dingin berhembus menyapu wajah Margono ketika bayangan putih
itu muncul perlahan-lahan dari balik pohon. Begitu perlahan, sehingga
gerakannya seperti asap. Denyut jantung .Margono benar-benar sudah
tidak teratur, ketika di hadapannya berdiri seorang gadis bertubuh
semampai, berpakaian putih polos yang menutupi seluruh tubuh dari
batas leher sampai ... ah, sampai ke tanah.
Margono heran. Baju perempuan itu tidak kotor walau menyapu tanah
berlumpur. Dan lebih heran lagi, setelah melihat wajah yang putih
kemilau dan tampak jelas di udara subuh yang remang remang itu.
Perempuan itu bukan Marniah, anak pak Haji. Tetapi seorang perempuan
yang tampak asing, na-mun seolah-olah ia kenal :
"Akang lupa padaku ?", tanya si perempuan se-raya mendekati.
Hampir kaku seluruh tubuh Margono. Kaku kedinginan.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Eh ... eh, yyyaaa...", jawabnya gagap.
"Ah, masa !", Perempuan itu tersenyum. Manis
sekali. Bibirnya tampak merah merekah. Lembu mempesona.
"Sss ... sung ... ggguh !".
"Ingat-ingat dong, kang Gono !".
"Sssiii ... ssiaappa ?". "Aku Teratai. Teratai Pu tih !".
Dalam kekalutan pikiran dan keheranannya Margono mencoba
mengingat-ingat. Memang ia pernah mendengar nama itu. Seolah dekat
sekali dengan dirinya. Dekat sekali dengan hatinya. Bagai kan nama itu
pernah menjadi kekasihnya. Ataukah gadis idamannya "
Sementara itu, si gadis sudah berada hanya di depan tubuhnya. Uap
nafas gadis itu terasa hangat Wajah Margono kembali bersemu merah,
dialir darah. Dijelalatinya wajah gadis itu sepuasnya Matanya bersih dan
besar. Bersinar tajam, tetapi tampak menggairahkan. Jantung Margono
sudah tak bisa ia kendalikan lagi. Lebih-lebih ketika tangan si
perempuan terangkat, perlahan-lahan mem belai pipi Margono.
"Kau tampan sekali, kang Gono", bisik si perem puan.
"Ah hanya itu yang terucap di mulut Margono.
"Yah. Kau tampan. Gadis-gadis seluruh kam
pung ini pun mengatakan bahwa kau jantan".
"Ah lagi Margono mendesah.
"Tetapi kau jahat, kang !".
Sepasang mata Margono menyipit. Apa maksud si perempuan "
Ditelitinya wajah gadis itu. Tidak ada gambaran apa-apa untuk
menguatkan kata-kata yang terucap dari bibirnya yang merah merekah.
Malah wajah itu demikian lembut, hangat dan mempesona. Sehingga
kejantanan Margono seperti diumbang-ambingkan, digoda dan dipanaspanasi.
"Apa maksudmu T', keberaniannya muncul kembali.
"Kau jahat. Karena itu aku datang menemuimu malam ini".
"Mau apa kau T', suara Margono melemah. Betapa tidak. Jari jemari
gadis itu telah melepas kancing-kancing kemejanya. Dan perlahan lahan
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
menggelitik dada Margono yang berbulu. Margono jadi gemas. Si gadis
memekik halus, kemudian meronta-ronta.
"Kang, jangan !"
Tetapi suara membantah itu bertolak belakang dengan tatap mata dan
senyum di bibir. Margono semakin menjadi nekad. Si perempuan
menggeliat, dan perlahan-lahan membaringkan tubuhnya di atas
rerumputan. Margono memandang dari atas,
dengan mata nyalang dan lutut menggeletar.
"Kang Gono ... ", si perempuan memelas. Margono tidak perduli lagi. Tak
perduli siapa perempuan itu, mengapa ia berada di tempat itu, mengapa
begitu mudah jatuh dalam pelukannya meski memang selama ini di
kampung mereka Margono dikenal sebagai seorang petualang
perempuan, ia tidak perduli mengapa baju si perempuan yang putih
bersih tetap tidak kotor setelah berbaring di atas tanah berlumpur.
Yang diperdulikan Margono cuma dorongan dalam dirinya saja.
ORANG-ORANG yang tengah menyantap kopi panas dan ubi rebus di
Posko HANSIP, tersentak ketika mendengar suara jerit yang menyayat
di kejauhan. Laki-laki yang bertubuh paling besar dan selalu berada di
depan sepanjang malam itu, serentak berdiri.
"Kalian dengar itu ?", bisiknya. Yang lain tak menjawab. Diam
mendengarkan. Lalu jeritan itu menggema lagi. Mirip raungan. Raungan yang tengah
menghadapi kematian. Lalu seorang di antara yang duduk melemparkan
ubi rebus di tangannya, berdiri dan berlari keluar.
"Itu suara si Gono ! ", serunya.
"Margono !", gerutu si lelaki bertubuh tinggi kekar yang pertama-tama
berdiri. "Celaka. Boleh jadi pencuri itu ia pergoki dan
Mereka semua membayangkan kemungkinan itu. Selagi mereka berlari
dahulu mendahului ke arah sungai di mana Margono tadi mereka
tinggalkan, benak mereka seolah-olah memadu dalam suatu bayangan.
Margono memergoki si pencuri yang sering mengganggu keamanan
kampung mereka belakangan ini, Margono tidak bersenjata. Dan si
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
pencuri mungkin punya golok. Atau pisau. Atau bambu runcing. Atau apa
saja. Yang bisa menghantam margono.
"Cepat !", yang paling depan berseru. "Cepat ! Cepat !", yang lainnya
dikomando, Ajaib, mereka mengucapkan kata-kata yang sama, dan
mereka terus berlari dan berlari. Mereka sudah kecapaian, tetapi
tempat yang mereka tuju tak juga sampai-sampai. Mereka sadar mereka
terus berlari, tetapi betapa lamanya. Dan betapa jauhnya terasa.
Tempat yang tadi mereka tinggalkan jarak nya cuma sepuluh menit jalan
kaki dari arah Posko, Tetapi dengan berlari, justru semakin lambat dan
jauh. Sementara itu jerit dan raung itu menggema dan menggema terus.
Jerit kesakitan, raung kema tian.
"Celaka V', sungut orang yang bertubuh tinggi besar ketika raungan
menggema di kesenyapan su buh itu perlahan-lahan mereda kemudian
lenyap sama sekali. "Pencuri itu telah membunuhnya" !
Lalu dengan tiba-tiba, kekuatan mereka kembali pulih. Begitu jerit itu
lenyap, begitu mereka mera sakan langkah-langkah kaki mereka kian
cepat dan hanya dalam beberapa detik mereka telah sampai di tempat
di mana tadi Margono mereka tinggal kan.
"Gono ! Margono !", mereka ganti berganti me manggil. Tidak ada
sahutan. Yang ada hanyalal deru dedaunan bambu gemersik ditiup angin,
lalu deru air yang mengalir ke hilir. Sorot lampu senter melonjak-lonjak ke
sana kemari. Dari balik dedaunan bambu, ke batang-batang bambu. Dari
tebing, kepermukaan air. Dari batu-batu di tengah kali, sampai tanah
berlumpur di pinggiran. Dan seseorang tiba-tiba berteriak : "Itu dia !".
Yang lain menoleh. Dan sorot lampu senter seperti dikomando, bersatu
padu ke arah sesosok tubuh yang menggeletak di bawah sebuah pohon
bakau, di antara akar-akar raksasa yang bergantungan, menjuntai di
atas tanah dan di permukaan air.
Nafas-nafas mereka mendadak berhenti ketika mereka kenali tubuh itu.
"Margono !", seseorang berbisik. Sendu, dan mengerikan.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
TUBUH itu polos. Pakaiannya bertaburan di sana sini. Ketika sorot-sorot
lampu senter disertai pe-kik-pekik tertahan memenuhi tempat itu,
sesuatu berwarna putih tiba-tiba meloncat dari arah pangkal paha
Margono yang sudah diam tak berkutik. Tiba di tanah berlumpur,
bayangan putih itu berhenti sejenak, ia menantang sorot lampu senter
yang diarahkan padanya dengan mulut menyeringai. Tampak noda-noda
darah di antara misai-misainya yang halus.
"Tikus putih" !", seru orang yang menyenter benda itu. Dan sebelum ia
serta kawan-kawannya ingat untuk berbuat sesuatu, tikus putih sebesar
betis itu telah meluncur masuk dalam gelap, menghilang di antara akarakar bakau seraya mencicit-cicit nyaring. Bergidik bulu roma perondaperonda malam yang hadir di situ..
"Lihat !" petugas ronda yang bertubuh kekar menyorotkan lampu
senternya ke arah dari mana tadi tikus putih itu bersembunyi sebelum
loncat untuk menghilang. Semua mata tertuju ke arah paha Margono.
Pekik-pekik tertahan sahut bersahut lagi. Hampir semua memejamkan
mata sejenak, untuk dengan enggan membukakannya lagi dan melihat
bahwa apa yang berada di depan biji mata mereka bukanlah impian
buruk. Hampir seluruh bagian alat vital Margono sebagai seorang lelaki, hancur.
Keempat orang peronda malam itu berjongkok serentak. Denyut nadi di
tangan Margono diperiksa. Juga jantung Margono itu'ah, ia tiba-tiba
mencium bau anyir. Matanya terbeliak waktu ia sadari bahwa mulutnya
mencercah pada darah yang mele-lehi dada Margono. Darah itu berasal
dari lehernya. Waktu orang itu menyorotkan lampu senter di tangan, ia
merasakan seluruh tubuhnya dingin dan kaku. Tenggorokan Margono
terbelah dengan kasar bagaikan dicabik-cabik oleh gigi-gigi yang runcing
dan tajam-tajam. Beberapa detik berlalu dengan kebisuan yang mencengkam dan
mendirikan bulu kuduk. Hanya deru aliran sungai saja yang terdengar,
diselingi oleh semilirnya angin yang menggeseki batang-batang dan
dedaunan bambu sehingga menimbulkan bunyi yang tidak mengenakkan
hati maupun telinga. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Mari kita angkut ia ke rumahnya", perlahan-lahan peronda yang paling
besar tubuhnya membuka suara. Getaran suaranya terdengar jelas.
Juga ketika yang lain menggumam, tanda setuju. Gu-maman-gumaman itu
menggletar, seakan-akan tertahan di kerongkongan. Lutut dan tangantangan mereka pun terasa goyah waktu mereka sama-sama berjongkok
kemudian ramai-ramai mengangkat tubuh Margono yang telah menjadi
mayat. Da lam samar-samar cahaya subuh, hati mereka agak menciut
melihat sepasang mata Margono yang terpentang lebar, seakan-akan
melihat dan merasakan sesuatu yang mengerikan serta membuatnya
amat menderita. Mereka berjalan dengan suara membisu menuju rumah keluarga
Margono. Meskipun begitu, semakin dekat ke rumah korban, semakin
banyak juga orang yang mengiringi rombongan. Rupanya jerit dan raung
Margono telah membangunkan beberapa penduduk yang memberanikan
diri keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ada belasan orang yang
mengiringi mayat itu sampai dibaringkan di ruangan tengah rumah
keluarganya. "Panggilkan pak Lurah !" seseorang berseru.
Bersamaan dengan terdengarnya kokok ayam yang kian ramai bersahutsahutan, maka di dalam rumah keluarga Margono pun sahut bersahut
pulalah suara jerit dan tangis yang pilu menyayat hati. Seluruh kampung
gempar dengan tiba-tiba. Semua pintu dan jendela terbuka. Jalan-jalan
desa menjadi ramai. Orang-orang berhamburan dan mengerumuni rumah
dan halaman di mana jerit dan tangis
kematian itu menggema berkepanjangan. Dan ketika pagi tiba,
kerumunan itu mulai menipis dan tinggallah keluarga Margono serta
anak-anaknya yang ada, termasuk keempat petugas ronda malam itu dan
Pak Lurah yang khusus dipanggil untuk nenyelidiki sebab-sebab kematian
Margono yang demikian menyeramkan.
Setelah memeriksa luka-luka di bagian kelelakian serta tenggorokan
Margono yang sama-sama han-cur, orang tua yang jenggotan dan ubanan
itu me-ngeluh; Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"ia bukan dibunuh orang !" Tertegak leher empat petugas ronda
Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
didekatnya. "Bukan dibunuh ?". "Memang dibunuh. Tetapi bukan oleh
manusia biasa !". Wajah-wajah yang ada di sekitar orang tua itu yang tadinya telah pucat,
semakin pucat dan lesu. Satu dua orang menggelengkan kepala, mencoba
menghilangkan bayangan buruk yang munghuntui kepala mereka.
Sementara itu sedu sedan ?nak dan isteri Margono semakin berderai
mendengar kete-rangan si orang tua. Berapa menit pula lewat dalam
ketegangan yang mencekik, sampai peronda bertubuh kekar itu
membuka mulutnya lagi. "Pak Mirta bisa cari makhluk apa yang kira-kira membunuhnya ?"
" ... sebentar", sungut lurah yang dipanggil Pak Mirta itu.
ia sesaat taffakur, kumat kamit membaca se suatu lalu membelalakkan
mata. Sorot matanya yang tajam ditujukan pada telapak tangan kanan
Margono yang sejak dibawa ke rumah ini tetap mengepal dan tak bisa
dibuka. Tubuh Pak Mirta bergidik sejenak, kemudian matanya terpejam
lagi. Beberapa helaan nafas setelah itu ia menjadi biasa lagi. Sambil
tersenyum penuh kemenangan, ia me-raba pergelangan tangan kanan
Margono. Dengari mengangkatnya sedikit, kepalan tangan kanan
Margono telah berada di depan mulutnya.
"Cuih !", ia meludah.
Semburan ludah itu membasahi jari jemari Mar gono yang telah
memutih kebiruan. Kemudian te lapak tangan Pak Mirta yang satunya
lagi diangkat melebar dan diputar-putarkan di atas kepalan ta ngan
Margono. Lalu, perlahan-lahan ia membuka satu per satu jari jemari
yang mengatup keras itu hanya dalam waktu yang singkat dan sangat
mudah kelihatannya, dibuka oleh Pak Mirta. ia membuka jari jemari
Margono seperti mengupas kulit pisang
Begitu telapak tangan Margono mengembang terbuka, semua mata yang
hadir terbelalak Tangani yang tadinya diduga berisi sesuatu yang
berhasil di- Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
enggut oleh Margono dari pembunuhnya sebelum ia menghembuskan
nafas, ternyata memang berisi sesuatu. Bukan baju atau sesuatu yang
menunjukan benda itu sebagai milik pembunuh Margono yang diduga oleh perondaperonda sebagai pencuri yang akhir-akhir ini mengganas di kampung
mereka; melainkan sebuah benda yang tidak mereka duga sama sekali.
"... kuntum bunga !", sungut laki-laki bertubuh
kekar, yang mencondongkan wajahnya ke depan
begitu tangan Margono mengembang terbuka. "Teratai putih", sahut Pak
Mirta menambahkan . Dan masih segar dan baru. Margono tidak
merenggutkan ini dari pembunuhnya. Tetapi ia menerimanya secara
baik-baik, lalu ia genggam ku-at-kuat seakan tak mau melepaskannya lagi
orang tua itu terdiam sejenak. Berpikir. Seperti ti-dak percaya pada
diri sendiri kemudian ia melan-jutkan : "Yah ... seseorang memberi
kuntum teratai putih ini pada Margono, sebelum ia melaksanakan niat
jahatnya". "Seseorang ! Pencuri itukah ?".
Pak Mirta geleng-geleng kepala. "Luka luka di tubuh Margono adalah
bekas-bekas gigitan. Dan gigi-gigi manusia tak mungkin membentuk
cabikan-cabikan yang sedemikian rupa. Mestinya ini gigitan
seekor binatang "Binatang !", sungut peronda bertubuh kekar. " Tetapi Pak Mirta bilang
Gono dibunuh oleh seseorang
"Seseorang yang kemudian berubah jadi binatang", sungut Pak Mirta."
Tetapi aku belum yakin benar. Ini cuma dugaanku saja".
Terdengar seruan-seruan tertahan. Keluarga-keluarga almarhum yang
tadinya bertangis-tangisan telah hilang sedu sedannya. Rupanya mereka
pun mendengarkan pembicaraan itu, dan menjadi asyik karenanya. Lupa
bahwa salah seorang anggota keluarga baru saja meninggalkan mereka,
dalam keadaan yang sangat mengerikan dan memilukan. Berpasangpasang mata yang terbuka lebar seperti mulut-mulut mereka yang
melongo pertanda ta'jub dan ketidakpercayaan yang saling bercampur,
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tertuju ke arah Pak Mirta yang memandangi para peronda didekatnya
satu per satu. Yang dipandang menjadi gugup. Namun sinar mata pak
Mirta tidak menuduh. Melainkan memancarkan pertanyaan, yang
kemudian dikuatkan oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya yang
keriput: " ... kalian tak melihat binatang apa yang ada di tempat kalian
menemukan tubuh Margono ?".
Sepi sejenak. Lalu : "Tikus !", keluar suara
serempak. "Tikus putih !", kata orang yang pertama-tama melihat makhluk yang
meloncat dari arah paha Margono ketika mereka temukan mayatnya.
Dan dengan bernafsu ia meneruskan : "Tikus itu sempat menyeringai.
Misai, tepi bibir dan gigi-giginya yang runcing, bergelimang warna
merah. Warna darah".
"Darah Margono !", sungut pak Mirta. Mendengar itu, meledak pulalah
tangis isteri, kemudian anak dan ditambah lagi oleh tangis perempuanperempuan lain yang hadir di ruangan itu. Semakin lama semakin tinggi
lengking dan tangis itu, sehingga pak Mirta dan para laki-laki lain cuma
diam menunduk dengan wajah-wajah tubuh besar berbisik agak keras di
dekat telinga pak Mirta: "Apakah tikus itu yang membunuh Margono ?"
Pak Mirta mengangguk. "Tetapi ... bagaimana mungkin " Mestinya Margono melawan. Dan ...
mengapa ia bertelanjang bulat " Hanya si pencuri yang mungkin dapat
melakukan hal serupa itu Orang tua itu memandangi peronda itu, juga yang lain-lainnya. Setelah
menarik nafas panjang ia bergumam. Lesu : "Pembunuh itu bukan
pencuri. Karena yang membunuh Margono adalah seorang yang gemar
pada bunga..." "Perempuan ?", mata si peronda menyipit. "Coba lihat keadaan Margono
ketika kalian temukan. Keadaan bajunya yang bertaburan dan tubuh
Margono yang kalian katakan basah oleh butir-butir keringat di antara
darah-darahnya "Maksud bapak ... Margono meniduri perempuan itu, lantas
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Lantas selagi korbannya terlena, perempuan itu merubah wujudnya jadi
tikus kemudian ... ah, sudahlah. Mengapa tidak kita cari saja sarang
tikus itu sebelum ia menjatuhkan korban lebih banyak?"
TETAPI yang tinggal di pinggir kali tempat mayat Margono
diketemukan, hanya sobekan-sobekan pakaian Margono. Darah-darah
yang berasal dari lu ka-luka gigitan di tenggorokan dan kelelakian cepat
meski matahari baru saja muncul di ufuk timur. Yang anehnya, gumpalan
darah yang telah membeku itu, warnanya hitam kebiruan.
" ... warna berlumur dosa !", berbisik pak Mirta.
Empat orang laki-laki peronda tadi malam yang ikut bersamanya, saling
berpandangan. "Tetapi sudahlah !", lanjut pak Mirta.
"Toh Gono sudah mati !".
Sementara laki laki yang lain mencari kalau ada jejak-jejak manusia atau
pertanda-pertanda lain yang mencurigakan dan merupakan petunjuk apa
atau siapa membunuh Margono, maka lakilaki tua bertubuh kurus ceking dengan jenggotnya yang melambai-lambai
ditiup angin, memperhatikan sebuah lubang kecil di bawah sebuah akar
bakau. "Ada yang bawa parang ?", tanyanya. Hampir berupa bisikan. Karena
yang lain-lain berpencar dan tekun dengan usaha masing-masing,
pertanyaan itu tidak terjawab. Pak Mirta mengulangi lagi, lebih keras :
"Parang ! Ada yang bawa parang ! ?".
Barulah orang-orang yang berada di situ mem-perhatikan. Seseorang
maju, menyerahkan sebuah golok panjang. Tetapi ditolak oleh Pak Mirta.
Sam-bil tak melepaskan pandangannya dari bawah akari bakau, ia
menggerutu : "Potong akar itu !".
Orang yang memegang parang, dengan heran menurutkan arah jari
telunjuk pak Mirta. Di depan lubang menganga yang ia temui, sesaat ia
coba meneliti ke dalam. Ularkah di dalam " Atau kedua-duanya ?"
"Potong !", teriak pak Mirta.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Bret !", sekali tebas, akar bakau yang menjuntai itu jatuh
menggelinding di tanah. Terdengar suara berisik, lalu lubang yang
menganga itu membentuk warna yang lebih hitam. Sebelum si pemegang
parang sadar apa yang ia lihat, pak Mirta berseru lagi :
"Menghindar !" Tetapi terlambat. Dari lubang yang menganga semakin lebar setelah
akar bakau yang menutupinya jatuh, meloncat keluar beberapa benda
hitami sebesar paha manusia. Orang yang memegang parang itu menjerit
kaget dan ketakutan. Parang di, tangan bukannya ia pergunakan,
melainkan ia lem-barkan. Kedua lengan ia pergunakan menutup
mukanya yang dihinggapi oleh benda-benda hitam yang tak lain dari
tikus besar dan mengerikan. Orang itu melolong dan meraung, ditolak
oleh Pak Mirta. Tetapi tikus-tikus itu semakin gencar menyerang tidak
saja muka, tetapi tangan, bahu, dada dan lehernya. Teman-temannya
segera datang memban tu. Tetapi mereka justru jadi sasaran serangan
tikus-tikus yang luar biasa besar dengan gigi-gigi yang tajam serta
runcing bagaikan gergaji pemotong kayu. Jerit dan lolong kesakitan
segera menggema di sepanjang tepi sungai pagi hari itu ..."
TIGA PAK MIRTA cepat-cepat bersimpuh sementara keempat laki-laki lainnya
panik dan kelabakan menghadapi serangan tikus-tikus besar yang
seolah-olah semakin banyak keluar dari lubang. Sementara jerit dan
lolong kesakitan serta raung amarah orang-orang itu memecah kesepian
di pinggir sungai, pak Mirta malah kumat kamit sambil sebentarsebentar meludah ke kiri dan ke kanan, ia meludah terus dan terus,
sampai kerongkongannya seperti sudah kering kerontang dan tenaga
tuanya semakin menciut. Keringat membanjir di tiap pori-pori tubuhnya.
Lalu tiba-tiba, ya, tiba-tiba sekali : "Musnah !", ia berteriak melengking.
Suara mencicit yang riuh rendah dari tikus
tikus itu, mendadak lenyap dan berganti dengan keheningan yang
mencekam. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Angin pagi silir semilir dengan suara tenang. Gesekan bambu-bambu
yang tertiup menimbulkan bunyi lembut. Deru air mengalir menggema
perlahan. Lalu dedaunan yang entah dari mana munculnya yang
bertebaran di sekitar keempat laki-laki yang kepayahan itu, satu per
satu melayang dan jatuh ke bumi. Darah-darah berceceran di sana sini.
" ... bukalah mata kalian !", suara pak Mirta lembut.
Keempat lelaki yang semenjak mendapat serangan itu menutup mata
takut digigit, perlahan-lahan membuka mata masing-masing. Samarsamar mereka melihat bayangan dedaunan bakau yang besar-besar
jatuh bergelimpangan di tanah. Banyak di antaranya yang terpotongpotong dan tersobek-so-bek.
... ke mana tikus-tikus keparat itu ?", peronda yang terbesar tubuhnya
bersungut-sungut sambil memegangi lengannya yang luka berdarah.
Seluruh bajunya sobek dan hancur. Dari dadanya mengucur darah.
Tampak luka-luka memanjang di sekitar dada yang bidang berbulu itu.
"Tikus ?", pak Mirta tersenyum halus. "Tidak ada seekor tikus pun !"
Peronda-peronda itu saling berpandangan lagi. Benar-benar tidak
percaya pada apa yang mereka dengar. Sampai seorang di antaranya
berteriak marah : "Lalu luka-luka di tubuh kami ini T', sambil menampar
pipi yang menunjukkan tanda-tanda yang ia katakan.
"Kalian mencakar diri kalian sendiri !"
"Mustahil !". "Perhatikanlah kuku jari-jari tangan kalian".
Sesaat keempat lelaki yang berpakaian compang camping karena robekrobek itu tertegun. Berpanjangan lagi, kemudian saling mengembangkan
tangan memperhatikan kuku masing-masing. Mereka terpekik serempak.
"Lalu ... tikus-tikus itu ... aku ingat aku ada menghancurkan beberapa
ekor di antaranya bersungut-sungut laki-laki peronda yang bertubuh
kekar itu. "Kalian cuma menghancurkan dedaunan", kata pak Mirta seraya
menunjuk pada daun-daun bakau yang bertumpuk-tumpuk
bergelimpangan di sekitar mereka. "Dedaunan yang. dibayang-bayangi
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
oleh kekuatan sihir. Aku yakin kini. Semua ini pekerjaan seorang tukang
teluh !". ia kemudian berdiri. Mengambil parang yang tergeletak di tanah dan
dengan langkah yang tegap
ia berjalan ke dekat lubang. Di sana ia meludah lagi. Ke kiri sekali, ke
kanan sekali, dan ke dalam lubang dua kali.
"Kalian galilah lubang ini dulu", perintahnya.
Orang-orang yang mengerubunginya mundur setapak.
"Jangan takut", senyum pak Mirta. "Tak akan ada tikus-tikus. Tadi
sebelum akar itu terpotong, aku melihat bayangan putih. Kukira tikus
yang kalian lihat subuh-tadi. Tetapi ternyata tidak. Galilah".
Lubang itu ternyata tidak dalam. Tidak pula memanjang. Tiada ular.
Ataupun tikus. Lubang itu tampaknya dibuat oleh manusia. Dan ketika
tanah di sekitarnya telah terbongkar dengan mudah yang tampak
hanyalah beberapa kuntum bunga teratai yang masih segar segar dan
baru dipetik. "Seseorang meletakkannya di situ. Orang itulah yang membunuh
Margono" berbisik pak Mirta.
Keempat laki laki lainnya memandang orang tua itu dengan penuh
perhatian. Tak seorang pun yang berani membuka mulut Mereka sadar
kini, bahwa mereka berada di tengah-tengah alam nyata dan alam gaib.
Mereka merasa sekujur tubuh mereka kesakitan. Rasa takut dan ngeri
perlahan sudah hi-lang, namun belum semuanya. Karena itu mereka
cuma diam dan pasrah kepada pak Mirta, yang bersikap tenang dan hatihati dalam melakukan segala tindakan.
"Teratai putih", kembali suara pak Mirta terde
gar halus sekali, ia berpikir-pikir. Matanya terpejam lama.
Menggelengkan kepala berulang-ulang. Meludah sekali. Lalu membuka
matanya. Bertanya: Ingatkah kalian ?". "Ap-paaa ", empat mulut lain serempak membu-ka.
"Si Teratai Putih !".
Mereka menggelengkan kepala.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Ah, orang-orang muda sekarang memang lekas pelupa. Tetapi yah ...
seingatku, memang tidak seorang pun di antara kalian yang ikut terlibat
dalam pembunuhan terhadap keluarga Teratai Putih." Pak Mirta sesaat
menghela napas. "Tetapi Margono ikut. Dan kini ia mati di tangan
Teratai Putih, apakah si gadis cucu peneluh itu, mulai membalaskan
dendam keluarganya ?"
Semua yang ada di situ tahu peneluh mana yang dimaksud pak Mirta.
Semua yang mendengar pada bergidik. Pucat. Hal itu tampak pula di
wajah sang lurah, namun ia dapat menyembunyikan perasaan dengan
tidak berkeluh kesah Jauh di sanubari, ebenarnya ia merasa kuatir.
"Aku pun terlibat" ia merintih.
Tak lama. Wajahnya berubah cerah lagi, ketika ia teringat sesuatu. "Masih ada
harapan", pikirnya. "Aku harus menemui dia sekarang juga !'
Lantas setelah mereka pulang ke rumah masing-masing dengan janji ia
akan mengobati luka-luka mereka, ia berlalu.
Dengan kepala menekur. Dalam. SEBENARNYA Mayangsari baru menginjak usia 36 tahun, seminggu
sebelum mayat Margono ditemukan. Tetapi tekanan bathin dan hati yang
sudah lama terluka, menyebabkan perempuan itu tampak lebih tua
sepuluh tahun. Tubuhnya kurus, dan gurat-gurat di beberapa sudut
wajahnya menggaris semakin nyata dari tahun ke tahun. Namun begitu,
Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di wajah dan potongan tubuhnya masih tertinggal sisa-sisa kecantikan
yang pernah ia banggakan karena sempat membuat beberapa orang
lelaki tergila-gila, ada yang sampai cerai dengan isterinya dan ada pula
yang bersumpah untuk tidak menikah seumur hidup - kecuali perempuan
yang ia tikahi, Mayangsari.
Laki-laki itulah yang siang hari ini mengetuk pintu rumah Mayangsari di
ujung desa. Suatu kehormatan dikunjungi orang paling mulia di desa
mereka, namun toh Mayangsari menyambut pak Mirta dengan sikap
biasa, malah setengah tak acuh. Sebagai warga yang baik, ia
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
mempersilahkan tamu nya masuk dan kemudian pergi ke dapur untuk
membuatkan teh. " ... kau baik-baik saja, Mayang ?", bertanya lurah desa, setelah mereka
kemudian duduk berhadap-hadapan.
"Biasa saja, pak".
"Kudengar kau sakit ".
"Dari dulu juga aku sudah sakit-sakitan, pak Mirta", perempuan itu
mencoba tersenyum. Hanya keinginan untuk tidak mati sia-sia membuat
ia tetap bertahan hidup, demikian yang tersirat di balik sinar mata
Mayangsari. Pak Mirta menghela nafas panjang. Berkata, lirih : "Kau menyiksa diri
sendiri, Mayang. Dari tahun ke tahun, kau tak pernah berubah. Selalu
melamunkan orang-orang yang sudah meninggal, padahal kau masih
tinggal bersama mereka yang masih tetap hidup ..."
"Apa bedanya " Mereka yang masih hidup, toh tidak pernah memandang
sebelah mata pun padaku. Dibiarkan sendirian, aku sudah berterima
kasih. Ini ... kau tahu sendiri bukan, pak Mirta ?"
Yang ditanya, mau tak mau terdiam.
Ke mana pun perempuan ini pergi, orang tetap berbisik-bisik : "Itu dia si
Mayang, anak tukang teluh !". Lebih menyakitkan lagi : "Tahu tidak.
Anaknya, si Teratai Putih, hilang rahib ! Tentu saja : anak itu lahir dari
kekuatan sihir !" Hanya berkat pengaruh pak Mirta sebagai lurah di desa itu, Mayangsari
tidak diusir. Sebagai kepala desa, dia pulalah yang paling gigih menolak
keinginan penduduk untuk membakar saja si Mayang
Terkutuk, agar pengaruh sihir tak bersisa lagi di daerah mereka. "Dia
sudah ditinggal mati suami, anak dan ayahnya. Kalian tahu sendiri, dia
tidak pernah pula ikut ikutan ayahnya bertapa di gunung, ia bersih, aku
jamin kalian semua. Jadi biarkan dia. Jangan sudah jatuh, kalian timpa
pula dengan tangga". Dan kalau masih ada penduduk yang bersikeras,
pak Mirta dengan halus mengancam : "Kalian berani " Silahkan.
Akibatnya, tanggung sendiri. Jangan lupa, ayah Mayang seorang tukang
sihir. Jadi siapa tahu, dia punya ilmu juga".
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Lalu semua penduduk mengucilkan Mayangsari. Setiap orang
membencinya, tetapi sekaligus takut kepadanya. Kecuali pedagangpedagang dari kota. Tengkulak-tengkulak itu dengan rajin mendatangi
rumah Mayangsari, membuka kolam-kolam ikan milik perempuan itu dan
memboyong isinya ke kota. Kebetulan pula kolam-kolam ikan milik
Mayangsari termasuk subur, ikan-ikannya gemuk dan cepat besar, ia
rajin mengurusnya, itu sebabnya. Tetapi penduduk bilang, kolam ikan itu
berisi makhluk jadi-jadian. Paling kurang, diberi makanan oleh roh-roh
jahat. Para tengkulak tak perduli. Mereka cuma bilang : "Ikan ya ikan.
Makin baik, makin laku dijual".
" ... terkadang", suara Mayangsari mengejutkan
pak Mirta. "Terkadang, ingin aku menyingkir. Ke mana saja. Pokoknya, ke
tempat di mana aku tidak dikenal orang, dan diperlakukan sebagaimana
me-reka memperlakukan warga desa yang lain. Tetapi aku lahir di sini,
besar dan ingin mati di sini. Aku tidak ingin berpisah dengan ayahku,
suamiku, anakku". "Mereka sudah lama mati, Mayang".
"Jasad mereka, ya. Rohnya, tidak".
"Uh. Apa pula itu " Jangan membuatku percaya apa yang digunjingkan
orang selama ini tentang dirimu, Mayang."
Si perempuan diam saja. Wajahnya tidak menggambarkan kecewa, marah, sakit hati. Apalagi
kegembiraan. Agak lama, baru ia membuka mulut kembali : " ... kau tahu
apa yang kumaksud, pak Mirta".
Ya. Pak Mirta tahu : Mayang tidak mau jauh dari kuburan suami dan ayah
kandungnya. Dan seperti apa yang juga berulang kali diucapkan
Mayangsari, perempuan itu masih tetap penasaran. Ingin tahu di mana
anaknya terkubur, ia yakin anaknya sudah meninggal, tetapi ia baru puas
kalau sudah melihat sendiri kuburan Teratai Putih, dan bahwa Teratai
Putih dimakamkan secara wajar.
Pak Mirta seketika teringat akan tujuannya berkunjung.
" ... salah seorang warga kita, telah meninggal", katanya, berusaha
mencari kalimat yang paling halus diungkapkan. "Namanya Margono. ia
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Sudah kudengar", ujar Mayangsari, dingin.
"Oh ya ?" "Ada beberapa orang lewat di depan rumahku, tadi. Mereka menudingnuding. Bahkan ada yang berteriak ...".
"Berteriak ?" "Ya" "Apa yang mereka teriakkan ?"
"Bahwa aku seorang pembunuh !", wajah Mayangsari muram. Terluka.
"Aku dituduh membu-nuh si Margono
"Jadah ! Tuduhan itu tidak benar !", pak Mirta blingsatan sendiri.
"Memang tidak. Sepanjang malam aku tidak ke-luar dari rumahku.
Setelah pedagang-pedagang itu pergi, satu minggu ini aku sibuk
mengurusi kolam-kolam di belakang rumah. Aku letih, tertidur dan .. Ah,
ah. Mengapa pula harus kuceritakan padamu, pak Mirta " Toh tidak ada
yang tahu, tidak ada yang melihat bahwa aku sungguh-sungguh tak ke
"Aku percaya padamu, Mayang", bisik lurah desa, renyuh. "Aku percaya.
Dan entah bagaimana caranya, akan kupertahankan kepercayaanku ini
bila ada warga yang mendesak".
"Jangan melibatkan diri, pak".
"Mengapa tidak " Aku seorang lurah. Sudah tanggung jawabku untuk
membela setiap warga yang tidak bersalah
"Dari mana kau tahu aku tidak bersalah, pak Mirta ?"
"Naluriku yang mengatakan
Mayangsari diam. Matanya menatap lurus ke mata pak Mirta. Yang
dipandang tidak mengelak, ia balas menatap. Lembut, berperasaan.
Cuping telinganya mesti merah padam, apabila ia masih berusia remaja.
Di usianya yang sekarang, cuping telinganya cuma bergeming sedikit.
Semuanya wajar, semuanya tampak biasa saja.
ia melanjutkan lagi : "Kau tahu, Mayang " Setelah mayat Margono
ditemukan dan aku memeriksa segala sesuatunya, naluriku mengatakan
pula. Teratai Putih sudah kembali !"
Beberapa saat lamanya, Mayangsari menegang, kaku.
Kemudian ia tertawa. Parau. Katanya : " ... mustahil !"
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Pak Mirta angkat bahu. Mengeluh : "Kau tak pernah ikut-ikutan dengan
ayahmu, Mayang. Tetapi si Teratai, tak pernah lekang dari dia. Mereka
berdua saling sayang menyayangi, saling pengaruh mempengaruhi. Aku
tahu benar, apa yang ada dalam pikiran almarhum ayahmu. Kau tidak
mewarisi darahnya. Darah keturunan, ya. Tetapi darah pembawa bakat
ilmu yang dimiliki ayahmu, tidak. Si Teratai memilikinya -".
"Maksudmu Mayangsari menggigil. Dingin sekujur tubuhnya. "Anakku
telah kembali - dalam wujut yang lain ?"
Pak Mirta membasahi bibirnya yang kering. La- -lu, menjawab segan :
"Benar". "Wujut bagaimana ?"
"ia telah kembali. Hanya itu yang dapat kukatakan padamu. Selebihnya,
kau percayakan saja pa daku, Mayang. Dan jangan mendesak aku, karena
aku tidak ingin menambah luka di hatimu ... ".
"Punya rencana, pak Mirta ?"
Yang ditanya, diam sesaat. Kemudian : "Tidak". Itu jelas bukan jawaban
yang jujur. Tetapi bagaimana ia mungkin menjelaskannya "
Mempersatukan darahnya dengan darah Mayangsari, untuk melawan
kekuatan darah Teratai Putih. Melawan kekuatan anak kandung
perempuan itu sendiri, ia
tahu, Mayangsari seorang perempuan baik-baik. Namun sebaliknya, dia
juga tahu, diam-diam Mayangsari menyimpan kepenasaran : ingin tahu
siapa pembunuh ayahnya dan puterinya. Ingin melihat pembunuhpembunuh itu mati tersiksa.
Menarik nafas panjang sebentar, pak Mirta berkata lagi : "Maksudku,
untuk sementara ini aku belum punya rencana apa-apa. Entah lain kali.."
ia kemudian bangkit. Berjalan ke pintu. Di situ, ia membalik dan menatap
Mayangsari yang masih terhenyak di kursinya. Bimbang, dia bertanya :
"Kapan kau berhenti melamunkan orang yang sudah meninggal, Mayang
?" Mayangsari diam saja. Pak Mirta tidak putus asa. ia tersenyum manis, berkata lebih manis lagi :
"Aku masih tetap dengan tekadku, Mayang. Kapan kau mulai berpikir
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
mengenai mereka yang masih hidup, kuharap akulah orangnya yang
pertama-tama kau beritahu".
Mayangsari tetap saja diam.
ia menunggu sampai lurah desa itu lenyap dari pandangan matanya.
Kemudian berjalan ke jendela. Menatap salah satu kolam di luar. Kolam
yang tak pernah ditaburi benih ikan. Kolam itu tempat mandi si Teratai.
Kolam kesayangan puterinya, yang dengan tekun dan asyik merawat
bunga-bunga teratai yang tumbuh di tengah kolam. Ada suatu kebiasaan anaknya yang
membuat Mayangsari merasa heran. Anaknya akan menyingkirkan bunga
atau bibit teratai yang berwarna merah, biru, ku ning malah Jingga yang
begitu indah. Sebaliknya, anaknya tetap membiarkan teratai putih
tumbuh subur dengan memberi alasan, putih teratai, adalah putih
hatinya. Dan, dia telah kembali - kata pak Mirta.
Mustahil untuk dipercaya. Namun, jauh di sanubarinya Mayangsari
meragukan kepercayaan-nya sendiri. Si Teratai datang menemuinya tadi
ma lam. Gadis itu mengenakan gaun putih yang aneh dan belum pernah
dilihat Mayangsari. Gaun yang seolah terbuat dari asap - ataukah kabut
" Gaun yang menambah kecantikan wajah dan keindahan tubuh anaknya,
membuat si Teratai tampak lebih mekar, lebih dewasa.
"Boleh kupetik bunga-bungaku, mak ?", bertanya gadis itu, tersenyum
penuh harap. "Ambillah. Itu punyamu, nak", jawab Mayangsari. Lalu anaknya
menghilang, lenyap seperti asap, seperti kabut. Mayangsari terbangun
dari tidur, me-rasa ia telah bermimpi. Tadi pagi ia membuka jen-dela
dan melihat ke kolam bekas anaknya sering bermain. ia tercengang
menyaksikan apa yang terjadi. Sekarang, tidak lagi. Sekarang, ia dengan pasti berdiri di belakang
jendela. Menatap ke tengah kolam.
Di sana, tumbuh berkelompok-kelompok bunga teratai putih.
Itu tidak aneh, Yang aneh, bunga-bunga warna merah, kuning, biru dan
Jingga yang ia biarkan tumbuh subur semenjak anaknya menghilang
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
sekian tahun, tidak tampak lagi menghiasi permukaan air kolam yang
bening jernih. Daun, batang, akar dan bunga-bunga teratai warna warni
itu tampak berhamburan di pinggir kolam, seolah dising-kirkan dengan
perasaan jijik. Yang tinggal hanya kelompok teratai putih.
Dan beberapa kuntum di antaranya, telah hilang dipetik.
EPISODE 2 EMPAT SUASANA di pekuburan desa hening di saat jenasah Margono
diturunkan ke liang lahat. Seseorang kemudian bangkit untuk
membacakan do'a, dan tiga laki-laki bertubuh kekar hitam terbakar
matahari bersama-sama menimbunkan tanah ke dalam liang. Seorang
anggota keluarga ikut membantu, sementara dua orang gadis mendekat
dengan baskom yang penuh berisi air serta bunga rampai warna warni.
" ... itulah semuanya", pak Mirta mendesah, lirih.
Dudung yang berdiri di dekatnya, sengaja men jauh dari kelompok
pengiring jenasah di sekitar liang kubur, tampak sedikit pucat, ia
menjilati bibirnya yang semakin kering selama mendengarkan penjelasan lurah desa mereka, yang juga adalah uwanya itu. Hampir
tak kentara tampak tubuh Dudung gemetar. Peluh dingin membuat
ketiaknya terasa lembab. "Kalau bukan Uwa sendiri yang mengatakan,
aku akan tertawa", ia berkata pelan. "Si Teratai bangkit dari kubur. Ya
Tuhan !" "Sayang", tembal Uwanya, suram." Kita pernah melupakan Tuhan".
Dudung kembali membasahi bibir yang semakin kering.
Pak Mirta benar. Mereka pernah melupakan Tuhan. Emosi dan nafsu
menguasai diri, kehormatan dan nama baik tanpa sadar diinjak-injak.
Semua itu gara-gara ia mencintai Teratai Putih yang tumbuh pesat
dalam usianya yang baru menginjak 12 tahun. Umur 7 tahun, dada
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Teratai Putih telah mengambang subur dan pada umur 12, betapa gatal
tangan yang melihat untuk menjamah, gemas pingin meremas.
Ayahnya yang waktu itu menjabat kepala desa, sempat dibuat bingung
oleh polah Dudung yang uring-uringan. Tidak mau melanjutkan sekolah.
Enggan pula bekerja di sawah. Kerjanya berkelahi. Siapa saja yang
mendekati bahkan melirikkan mata ke arah Teratai, Dudung langsung
naik pitam, ia seorang pesilat yang tangguh. Kalaupun lawannya
tidak jatuh oleh sepak terjangnya, maka kedudukan ayahnya sebagai
kepala desa merupakan jurus terakhir tetapi sangat ampuh.
"Ingat, nak. Teratai masih bocah ingusan", per nah ayahnya
memperingatkan. "Lagipula, kita semua tahu kakeknya itu seorang bekas
pertapa. Memang banyak orang sakit atau terlantar yang telah ia tolong.
Tetapi ada pula kita dengar, kakek Teratai dengan mudah akan
menciderai seseorang atas permintaan dengan bayaran tinggi. Si Teratai
pun konon sudah menerima ilmu yang sama dari kakeknya. Dia bukan
gadis yang sepadan untukmu, nak. Masih banyak yang lain. Anak keluarga
baik-baik. Si Saerah, anak Haji Suleh. Si Ningrum, anak bekas Camat.
Kalau kau masih kurang puas, aku dekat dengan Bupati. Puteri bungsu
Bupati sedang meningkat dewasa, dan kalau dikait-kaitkan kita masih
ada pertalian keluarga dari nenek sepupumu, ia juga tak kalah cantik
dengan cucu pertapa itu..."
Dudung tidak tertarik. ia makin liar, makin tidak dapat dikendalikan. Sebelum keluarga dibuat
malu, mau tidak mau ayahnya yang kepala desa terpaksa menemui
keluarga Teratai Putih. Ayahnya disertai pula oleh uwa-nya, pak Mirta
dan beberapa orang sanak famili yang pintar ngomong. Siapa nyana, salah seorang! pengiring ayah
Dudung kehadirannya membuat rusak suasana.
"Dia itu", kakek Teratai menuding orang dimaksud. " ... dulu paling
bersikeras mengatakan me nantuku mati karena kujadikan tumbal. Dia
berko-ar kian kemari mengatakan aku menempuh jalan sesat - memuja
setan, menyembah roh jahat penghuni lereng gunung tempatku sering
bersema-dhi mensucikan diri."
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Pengiring keluarga itu bermerah muka karena malu.
Ayah Dudung menyesal membawanya, tetapi salah seorang pengiring lain
dengan cepat mengete-ngahi. Katanya : "ia dipengaruhi orang. Terlalu
cepat menangkap kabar burung. Padahal kita se mua tahu, menantu
Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bapak memang meninggal, karena dipatuk ular. Suatu musibah yang
setiap orang pun dapat saja terkena, bukankah begitu?", si pembicara
menatap orang-orang yang datang bersamanya. Semua mengangguk
menyetujui. Kemarahan kakek Teratai Putih mencair, apalagi setelah pengiring
keluarga yang ulahnya pernah membuat malu itu, dengan tulus ikhlas
memohon maaf dan lain kali akan menjaga telinga, mata dan mulutnya.
Namun itu belum berarti niat mereka
tercapai. " ... cucu kami masih terlalu muda untuk kawin", kakek Teratai Putih
tetap menolak lamaran yang diajukan. "Coba. ia masih 12 tahun.
Member-sihkan ingus pun masih perlu dibantu. Apalagi mengurus suami,
wah ...!" "ia dapat belajar", si pembicara keluarga Dudung belum menyerah. "Lagi
pula, bukankah banyak gadis-gadis lain seumur Teratai yang telah
berumah tangga ?" "Memang benar. Tetapi banyak di antara mereka ang kemudian hidup
menjanda, ya tidak ?"
"Kita tidak mengharap, pak. Dan kalaupun pada akhirnya itu terjadi,
nyatanya janda-janda yang kita kenal cepat dapat jodoh kembali",
pembicara keluarga Dudung kemudian mencoba berseloroh : Mereka
laku keras, ketimbang yang masih perawan ..."
Seorang dua tersenyum, tetapi tidak kakek Te-atai Putih.
"Cucuku boleh saja menikah. Tetapi kami tidak ngin suatu ketika ia
menjanda seumur hidup seperti ibunya ..."
"Itu karena ibu Teratai terlalu mencintai almar-hum suaminya", pak
Mirta ikut buka suara, sekali-gus melirik ke balik pintu ruang tengah,
dari ma- Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
na sesekali ia lihat bayangan tubuh Mayangsari yang diam-diam
menguping pembicaraan. Dalam hati, entah apa yang tersirat. Dudung
tahu benar kalau Uwanya menaruh hati pada ibu Teratai Pu-tih, tetapi
kalah cepat dengan almarhum suami Mayangsari.
Celaka dua belas. Ucapan pak Mirta yang tidak dipikir panjang lebar itu, segera ditanggapi
kakek Teratai Putih. Dingin dan tajam menyengat, orangtua itu
bergumam : " Apakah maksud kalian Teratai Putih kawin dengan Dudung,
tanpa Teratai harus mencintai suaminya ?"
Pak Mirta terdiam. Ayah Dudung, apalagi. Para pengiring sudah mandi
keringat, toh tidak ada hasil apa-apa yang dicapai, kecuali salah seorang
dari me reka diterima permohonan maafnya. Betapa me malukan. Sudah
harus meminta maaf, lamaran pun masih ditolak. Padahal itu lamaran
seorang kepala desa yang punya pengaruh sampai ke kantor Bu pati.
Suatu kehormatan buat penduduk yang ber untung memperolehnya.
Rombongan pelamar itu akhirnya mengundur kan diri dengan perasaan
malu. Lama kelamaan semua penduduk desa mengetahuinya. Aib semakin
tercoreng di muka. Hubungan antara keluarga Du
dung dengan keluarga Teratai Putih dengan sendirinya semakin retak.
Dari mulai tidak saling kunjung mengunjungi, sampai akhirnya tidak
saling menyapa Bertemu di jalan pun dielakkan. Bila kepergok,
memalingkan muka. Soal-soal kecil meledakkan perang mulut, merembet
pada perkelahian pisik dengan menjadikan soal batas tanah dan
pengairan di sawah sebagai biang keladi.
Semua keluarga telah ikut campur, karena Du-dung bertambah kurus
dan suka ngomong sendirian setelah tahu lamarannya ditolak. Entah
siapa yang memulai, kabar burung mulai tersiar. Dudung yang makin
kurus dan suka berceloteh sendiri, dikatakan kena teluh. Siapa lagi
peneluhnya, kalau bukan ka-kek Teratai.
Semua keluarga kemudian berembuk.
Hasilnya sudah dapat dibayangkan; sebagaimana biasa, seorang tukang
teluh harus dibunuh. BeberaKoleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
pa orang telah ditunjuk untuk melaksanakan tugas yang dianggap
terhormat itu. Akan tetapi ayah Dudung bukan orang sembarangan
ketika dipilih jadi kepala desa. ia mencegah niat keluarga Itu.
berkata bahwa Dudung begitu hanya karena patah hati. Mungkin saja
kakek Teratai tukang teluh, tetapi ia tidak boleh dihukum untuk suatu
perbuat-annya yang belum terbukti nyata.
"Jangan kita sampai malu dua kali", katanya, memutuskan.
Rencana batal dengan sendirinya. Tetapi ber kembang kembali, tatkala
suatu ketika timbul ben-jolan-benjolan merah yang tidak saja gatal
tetapi juga menyakitkan di sekujur tubuh ayah Dudung. Segala macam
obat telah diusahakan, tetapi benjol- an itu makin banyak, makin
menyiksa. Suatu malam, ayah Dudung berkelejotan di tempat tidur,
menjerit-jerit penuh sengsara, ia kemudian menghembuskan nafas
dengan mata terbelalak dan mulut menyeringai menahan sakit yang tiada
terperi. Menteri kesehatan yang memeriksa mayatnya, mengatakan ayah Dudung
meninggal karena serangan tumor. Sebagian kecil keluarga, percaya. Tetapi lebih banyak yang tidak. Kelompok yang menolak kematian ayah
Dudung diakibatkan tumor, lantas saja menuduh kepala desa itu mati
kena teluh. Keluarga kembali berkumpul untuk rembukan.
Hasilnya sama seperti dulu : peneluh itu harus dibunuh, sebelum jatuh
korban yang lain. Hanya bedanya, kali ini tidak ada yang mau ditunjuk
mengemban tugas yang jelas tidak gampang itu. Setelah melihat cara
kematian ayah Dudung, hati mereka menjadi ciut. Apalagi ada yang
mengatakan, seorang tukang sihir yang dibunuh, hanya jasadnya saja yang
mati. Rohnya tetap hidup untuk mengejar dan melakukan pembalasan
kejam terhadap orang-orang yang mencelakakannya. Dudung kecewa.
ia hampir gila karena pikiran ayahnya diteluh, cintanya ditolak dan
semua keluarga bernyali kecil. Dudung lantas membujuk orang lain untuk
melaksanakan sakit hatinya. Hanya dua orang yang bersedia. Margono,
kepala keamanan desa yang diam-diam juga ada hati sama Teratai Putih
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tetapi pernah mukanya diludahi si gadis waktu dadanya dijamah
Margono. Lalu Ajat, tukang pukul yang senantiasa lengket bagaikan
lintah ke mana saja Dudung pergi; karena butuh uang dan pengaruh,
selain itu dia pulalah guru silat Dudung.
Berbagai rencana mereka susun bertiga.
Semuanya terbentur pada satu hal : kakek Teratai harus dilumpuhkan
sebelum sempat mempe-cundangi mereka. Untuk itu, kelemahankelemahan orang tua itu harus diketahui lebih dulu. Baik Dudung,
Margono maupun Ajat, tidak tahu apa kelemahan tukang teluh itu.
Yang tahu, hanya pak Mirta.
" ... aku tak melihat Ajat !"
Dudung terbangun dari lamunannya. Kerumunan orang di sekitar
pekuburan menggaungkan suara "amin", mengikuti do'a yang dibacakan
salah seorang pembicara. Sebagai kepala desa, Uwanya akan tampil
sebagai pembicara terakhir. Pak Mirta masih berdiri di dekatnya, dan
mengulangi ucapannya tadi : " Aku tak melihat Ajat".
Dudung menarik nafas. " ia ke kota", katanya.
"Kapan ia pulang ?"
"Katanya, sore ini juga. Mungkin terhalang di jalan, atau urusannya di
kota belum rampung. Mengapa rupanya, uwa ?"
"Kita harus memberitahukan hal ini kepadanya. Supaya ia juga berjagajaga".
"Bagaimana ?" "Nantilah aku ke rumahmu. Tetapi dengar nasihatku, nak. Mulai malam
ini, jangan keluar rumah sampai matahari terbit. Beritahu juga anak
isteri-mu. Kunci pintu dan jendela rapat-rapat."
"Tetapi, uwa. Roh jahat tidak akan terhalang pintu yang terkunci."
"Itulah. Nanti aku ke rumahmu untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Kalau kau bertemu Ajat, beritahu pula ia supaya datang. Jadi aku tidak
perlu bersusah-susah untuk mencarinya ..."
Pembicara tadi selesai membacakan pidato dan do'a.
Kepala desa, giliran berikutnya. Pak Mirta maju ke depan. Dudung tak
beranjak. Pikirannya menerawang, jauh. Jauh ke berapa tahun berselang
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ketika ia dan dua temannya mendapat persetujuan dari pak Mirta
supaya bersedia membantu. Setelah Mayangsari kematian suami, boleh
dikata tidak ada halangan apa-apa bagi pak Mirta melamar Mayangsari.
Kecuali bekas gurunya, ayah Mayangsari yang jelas akan menolak
bermenantukan pak Mirta. Dia pernah jadi murid kakek Teratai Putih
tetapi kemudian mereka berpisah setelah ketahuan pak Mirta
memperdalam ilmu yang tidak disukai gurunya.
"Aku akan membantumu", kata pak Mirta kepada ponakannya. "Tetapi
kuminta kau dan teman-temanmu berjanji agar menjaga rahasia. Tidak
seorang pun boleh tahu bahwa kitalah yang membunuh kakek Teratai.
Lebih-lebih, Mayangsari".
Dengan janji itu, mereka kemudian berangkat.
Kakek tua itu sedang mencangkul di sawah ditemani oleh cucu gadisnya,
Teratai Putih yang meskipun baru berusia 12 tahun, sudah tampak
kejelitaan wajah dan kemontokan tubuhnya. Sesaat, mereka tertegun
memandangi gadis cilik yang tengah menyiapkan makan siang kakeknya di
dalam dangau. Dudung menggerutu tidak menentu. Margono tersenyum
kecut, sementara pak Mirta buru-buru menarik tangan kedua laki-laki
muda itu untuk segera menuju ke tengah sawah di mana si kakek
membersihkan tubuh untuk segera naik ke dangau. Ajat tetapi tinggal di
dangau, menjaga Teratai Putih.
Matahari tepat di atas kepala ketika kakek tua yang bertubuh kekar
dan sehat itu samar-samar melihat tiga orang lelaki berdiri di tegalan.
Ketiganya berkacak pinggang. Ketiganya dengan mata terpentang.
Mengenali siapa orang-orang yang ada di hadapannya, si kakek mencoba
tersenyum. "Tumben. Perlu apakah kiranya saudara-saudaraku kemari ?", sapanya
dengan ramah. "Cuih !", Dudung meludah.
Si Kakek terdiam sesaat. Kemudian mendekat. Agak tergetar Dudung
dan Margono. Lain dengan pak Mirta. ia kumat kamit membaca mantera,
kemudian meludah ke kiri dan ke kanan. Menyadari
gerakan orang yang pernah jadi muridnya itu, si kakek menjadi hati-hati.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Apakah kalian bersedia makan siang bersamaku T', ia berusaha
menahan diri. "Cuih, Kami tak mau makan racun !, sungut Dudung. Lalu, dengan satu
teriakan ia mencabut golok dari pinggang, meloncat ke depan disertai
pekikan : "Ini untuk ayahku !".
Bacokan itu mengenai pundak si kakek. Pundak kakek itu menganga
lebar. Sekalipun terluka, si kakek tidak jatuh, ia mencoba tersenyum.
Dudung menyerang lagi. Dibantu oleh Margono dengan jurus-jurus silat
yang ia miliki. Kakek Teratai Putih terumbang ambing ke sana ke mari,
sementara bekas muridnya, terus menerus membaca mantera sambil tak
henti-hentinya meludah, ia baru berhenti meludah ketika kakek Sumirta
terkapar dan terbenam dalam lumpur. Pak Mirta tertegun sejenak.
Berbisik pada dirinya sendiri,
"Orang itu tak melawan, ia tak mengeluarkan ajian-nya".
Kemudian ia berdiri. Lesu. Meninggalkan tempat itu. ia tertatih-tatih
menuju desa, sementara kedua anak muda yang sedang kalap itu
berjalan menuju dangau. Jerit dan tangis gadis kecil menggema dari
dalam dangau, di bawah terik mentari yangkian panas memanggang bumi.
LIMA AJAT memacu sepeda motornya pulang ke desa.
Urusannya di kota rampung sekitar pukul dua siang. Tetapi saking
gembira ia memperoleh surat pengangkatan resmi sebagai guru olahraga
di SMA kota itu Ajat mengajak beberapa teman dekat makan minum di
sebuah restoran. Kemudian mengunjungi seorang keluarga untuk
memberitahu kabar gembira itu. Karena sudah maghrib, ia mengambil
jalan pintas lewat perkebunan. Memang jalannya jelek tetapi bisa
menghemat waktu hampir satu jam.
Toh ia terhambat juga. Di tengah jalan perkebunan itu beberapa orang kuli tengah sibuk
membersihkan bongkahan batu.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tanah bercampur lumpur yang longsor dari tebing di atas. Salah seorang
kuli itu mengenali Ajat, dan menanyakan apakah ia punya rokok.
Sambil merokok, Ajat dan kuli-kuli itu ngobrol.
" ... belum pernah separah ini", kata yang satu.
"Ada mayat lagi", tambah yang lain.
"Mayat ?", Ajat lantas tertarik.
"Ya. Wajah dan tubuhnya sedemikian rusak, sehingga sukar dikenali.
Tampaknya ia itu maling domba yang sudah sering membongkar kandang
ternak beberapa desa di sekitar perkebunan ini. Binatang binatang itu
kami temukan berceceran di beberapa tempat. Sebagian sudah jadi
bangkai. Yang aneh, kami juga menemukan sejumlah bangkai tikus..."
Ajat tidak tertarik pada bangkai tikus, ia lebih tertarik pada penemuan
mayat itu, siapa tahu salah seorang penduduk desanya. Sayang, kata
kuli-kuli tadi mayat maling domba itu sudah dibawa ke kota siang tadi,
setelah polisi dilapori. Tak ada kartu pengenal di pakaian mayat itu,
kecuali beberapa lembar uang dan sepucuk surat yang belum selesai
ditulis dan ditujukan kepada seorang perempuan bernama Painah
Siapapun orang itu, polisi menduga bukan mati tertimpa atau terseret
longsor. "Kuat dugaan, ia dibunuh", kata kuli yang kenalan Ajat.
"Wah. Siapa pula pembunuhnya ?"
"Mengapa harus diributkan siapa " Pokoknya, ia dibunuh. Maling
semacam dia itu sudah sepantas nya menerima hukuman demikian. Kalau
cuma di tangkap lalu diserahkan ke polisi, masuk bui satu dua bulan.
Taruhlah setahun, lalu kemudian bebas. Mencuri lagi. Makin pintar pula,
berkat didikan orang-orang hukuman yang berpengalaman, selama di bui.
Memang ada juga yang ..."
"Aku tetap dengan pendapatku", menukas salah seorang kuli." Orang itu
dibunuh bukan oleh manusia. Melainkan oleh tikus-tikus itu".
"Tikus lagi", Ajat nyeletuk, bosan.
"He-eh. Tikus-tikus, yang bukan main besarnya. Melihat keadaan di
sekitar tempat mayatnya ditemukan, besar kemungkinan orang itu telah
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
berju ang mati-matian untuk melawan serbuan gerombolan tikus yang
mengeroyoknya". Ajat tertawa. Katanya : "Kau sepertinya mau mengatakan, tempat ini
dikuasai kerajaan tikus".
"Mengapa tidak " Menejer perkebunan sudah kewalahan menghadapi
tebing tebing di sini. Apa saja yang ditanam, tak pernah jadi. Pernah
kuli-kuli dikerahkan untuk pembantaian besar-besaran terhadap tikustikus. Toh tiap tahun, makhluk-makhluk menjijikkan itu muncul semakin banyak. Tidak sedikit lubang-lubang
gelap atau rongga-rongga gu ha tempat mereka dapat berkembang biak
dengan subur. Satu dua dapat ditutup. Diratakan. Lainnya tetap
dibiarkan penuh misteri. Jangankan masuk, Dekat pun, orang tidak
berani. Konon dihuni nyak binatang berbisa. Malah belakangan ada desas
desus mengatakan lubang atau guha di sini, dihuni pula oleh roh
gentayangan yang suka mengganggu orang-orang yang lewat malam
hari..." Mayat. Lubang-lubang gelap. Tikus-tikus.
Meneruskan perjalanan pulang ke desa, terus pu-ia pikiran Ajat
menerawang. Mayat, lubang-lubang gelap, tikus-tikus, ia tidak berani
bertanya, apakah
Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka temukan juga tulang-belulang manusia, tulang belulang yang
sudah lama terpendam. Per-tanyaan itu akan membuat mereka curiga.
Dan, Banyak lubang. Banyak rongga guha. Ajat sendiri lupa-lupa ingat,
yang mana tempat gadis itu dulu terperosok jatuh.
Terbayang di mata Ajat peristiwa hari itu.
ia menunggu di luar dangau di tengah sawah yang sunyi sepi, sementara
Margono dan Dudung sibuk di dalam, ia mendengar jerit tangis Teratai
putih yang memilukan, ia juga mendengar suara tertawa, ucapan-ucapan
kotor dan dengus-dengus nafas kuda dari mulut kedua temannya.
Sesekali ia mengintip ke dalam dangau. Melihat Margono dan Dudung
bergantian menggagahi gadis itu. ia lihat paha yang putih mulus, ia lihat
putik susu yang Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
merah segar. Mau tak mau, dari ingin melerai, ma-lah terbit nafsu
birahinya. Ajat tertawa senang ketika akhirnya Margono dan Dudung selesai, dan
mereka pulang ke desa dengan perasaan puas. Dudung berkata padanya :
bereskan anak itu, Jat. Terserah, mau kau apakan.
Pendeknya ia tidak boleh buka mulut !"
Ajat sengaja menunggu gadis itu benar-benar sa dar dari shock-nya.
Membiarkan dengan sengaja gadis itu lari ke luar pondok. Setelah agak
jauh barulah Ajat mengejar. Sedapat mungkin ia ber usaha
menyudutkan Teratai Putih supaya lari ke arah yang diharapkan Ajat.
Menjauhi desa, menjauhi tempat-tempat di mana mereka mungkin keper
gok penduduk. Tiap kali ia pergoki, tiap kali ia bu at Teratai Putih
terkejut dan semakin takut. Sede mikian rupa sehingga gadis itu putus
asa. Ke mana pun Teratai Putih lari, ke sana Ajat mengejar. Ke mana
Teratai Putih bersembunyi, ke sana Ajat me nyelinap. Memegang kaki
gadis itu diam-diam sampai Teratai Putih terpekik. Melepaskan kaki itu
sehingga mampu lagi berlari. Di lain tempat, mem bentak dari balik
pohon. Semakin takut Teratai Putih, semakin terbang kit nafsu bejat Ajat.
Tetapi belum juga gadis itu ti ba pada saat-saat yang ia harapkan. Ajat
memba yangkan pesta pora sex sepihak, ia gagahi gadis itu dalam
pingsannya. Dan Teratai Putih tetap bangkit tetap saja berlari. Sampai
mereka tiba di perkebun an. Teratai Putih tersandung batu yang
menyembul di bawah semak belukar. Gadis itu terguling jatuh Kemudian
berhenti tidak bergerak-gerak. Ajat me
nyangka Teratai Putih sudah pingsan.
Dengan gembira ia mendekat. Seraya melepaskan kancing baju, menarik
ke luar tali pinggang itu. Namun mendadak Teratai Putih bangkit, ia
meng-gengam batu besar dengan kedua tangannya. "Babi. Kau babi busuk
!", jerit si gadis, lantas melemparkan batu itu ke arah Ajat. Sebagai
pesilat, mudah saja buat Ajat berkelit. Batu itu melayang lewat sisi
kepalanya. Namun toh ia sempat terjatuh, dan kesempatan itu
dipergunakan Teratai Putih untuk kabur kembali.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Jadah !", Ajat memaki. "Anak haram jadah. Tahu rasa kau nanti !", ia
berteriak-teriak sambil bangkit mengejar si gadis. "Akan kubiarkan kau
tetap sadar. Akan kubiarkan matamu melotot keluar, sementara kau
kukerjai !' Niat Ajat tidak tercapai.
Teratai Putih lari ke pinggir tebing, berharap ada orang lewat di jalan
sepi di bawah, ia tegak di sebuah batu besar, melonjak-lonjak liar ketika
mengetahui tak ada orang lain di sekitar tempat itu, dan mengetahui
selain tali pinggang, Ajat kini mengacung-acungkan sebilah golok di
tangannya. Gerakan gadis itu membuat batu yang letaknya memang
sudah kritis, terangkat dari dalam tanah, bergeser lalu jatuh ke bawah
membawa serta tubuh si gadis. Ajat lekas memburu. Percuma. Tubuh Teratai Putih lenyap di tengah rimbunan semak liar.
Ketika Ajat turun memeriksa, ternyata ada lubang besar di bawah
rimbunan semak liar itu. Ke dalam lubang itulah tubuh Teratai Putih
jatuh bersama batu tempatnya berpijak. Dari atas tebing, semakin
banyak batu dan tanah yang ikut jatuh sampai akhirnya menutupi
setengah isi lubang dan tubuh si gadis lenyap tak berbekas.
Dengan bersenjata golok dan batu serta potongan kayu, Ajat kemudian
meruntuhkan bagian tebing-tebing yang kritis di beberapa tempat,
sehingga tampak seperti longsor. Semakin banyak batu dan tanah ia
timbunkan ke lubang tempat gadis itu menghilang. Beberapa hari
kemudian ia sengaja lewat di jalan pintas itu. Dan melihat kuli-kuli
perkebunan telah meratakan bekas longsoran tebing. Tak lama
setelannya, ada orang yang baik hati membangun sebuah pondok tempat
berteduh orang lewat. Ajat tiba di desa. Keadaannya sunyi sepi. Padahal malam belum begitu larut. Bunyi mesin
sepeda motornya membuat seorang dua tetangga melongok lalu hilang
lagi. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
" ... kata mereka pondok itu rubuh", gumam Ajat sendirian, membelokkan
sepeda motor memasuki halaman rumah. "Rasa-rasanya, bekas lubang tu
ada di sekitar pondok. Tetapi mengapa tulang belulangnya tidak
ditemukan ?". ia mematikan mesin sepeda motor. Berpikir lagi, lebih
lega: Barangkali lubang lain. Atau kalaupun lubang yang sama, longsornya
tidak dalam. Sudahlah. Mengapa harus diributkan " Telah lama berlalu.
Sekarang, masuk. Temui Ida, beri dia surprise !"
Seekor tikus lari terbirit birit ketika Ajat membuka pagar. Gerakan
tikus itu tertangkap lampu depan sepeda motor. Seekor yang lain
menyelinap depan teras rumah, bersembunyi di antara rimbunan bambu.
Tikus yang ini tertangkap cahaya lampu minyak dekat pintu depan.
"Tikus lagi. Tikus lagi !"., Ajat memberengut. "Memang salahku. Sudah
lama membiarkan pekarangan terlantar. Dan Ida pemalas pula. Mana
suka bergunjing di rumah tetangga. Hem !". Ya, hem. Untungnya, Ida
punya selera yang sama dengan Ajat. Ajat suka menyakiti, Ida suka
disakiti. Sekali dua mereka buat variasi, saling menakut-nakuti sebelum
naik ranjang. Malam ini pun Ida rupanya ingin melakukannya.
Terbukti ketika Ajat melangkah ke teras, pintu
yang tadinya tertutup mendadak terbuka. Tetapi entah bagaimana
caranya, Ida tidak menampakkan diri. Lampu petromak ruang tamu tidak
dinyalakan. Hanya ada cahaya temaram lampu dinding di ruang tengah.
Ajat menutup pintu. Menguncinya sekaligus, sementara matanya menatap seisi rumah.
Mengapa sunyi benar " Ah-ah. Tidak sesunyi yang ia sangka. Ada suara
bergemeretak di dapur. Lalu suara geresak-geresek di para-para.
Pertunjukan apa pula yang dipersiapkan Ida untuk menakut-nakuti Ajat
" Suara-suara aneh, lalu topeng mainan digambari tengkorak menempel
di muka, sambil muncul tiba-tiba dari kegelapan " Sudah dua kali Ida
melakukannya. Yang pertama, Ajat memang kaget setengah mati. Yang
kedua, Ajat cuma tertawa.
Lantas, mengapa Ida mengulangnya kembali " Mestinya sesuatu yang
lain. Pintu kamar dibuka Ajat, dan tahu-tahu menemukan tubuh Ida
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
meng-ambang di permukaan lantai. Tergantung di langit-langit. Purapura bunuh diri, tentu. Atau supaya lebih sip, yang tergantung itu
Anak Naga 3 Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Tikam Samurai 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama