Ceritasilat Novel Online

Penunggu Jenazah 4

Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap Bagian 4


mengeluarkan hidung, mencercah pipi,
membuntungkan kakimu...."
Habis berkata begitu, ia tengadah menatap bulan. Dari
mulutnya lepas rintihan sengau.
Kurdi pucat pasi seketika. Tanpa mengerahkan
kekuatan ilmunya, orang tua yang menakutkan itu
dengan mudah akan menaklukkan Kurdi. Sementara
Ki Sanca kumat kamit membaca mantera dan
meludah kian kemari seperti orang yang punya
persediaan berember-ember Iendir busuk di mulutnya,
Kurdi mulai panik. la terumbang-ambing oleh dua
pilihan. Turun tangan langsung, dan ia yakin ia bisa
mengalahkan musuhnya... atau membiarkan dirinya
dicacah Ki Sanca. Kedua alternatip itu akan berakibat
sama. Turun tangan, ia akan mati tersiksa. Tidak turun
tangan, juga akan lebih tersiksa.
Kurdi sudah lama ingin mati, terutama semenjak ia
ditinggal mati oleh Mira. Tetapi kematian itu tidak
pernah datang dengan sendirinya. Kini, kematian itu
muncul didepan mata. Kematian yang menyiksa. la
ingin mati, tetapi juga ia ingin tidak tersiksa
menjelang kematiannya. Pada saat Kurdi bimbang oleh kepanikannya,
sekonyong-konyong semak belukar di belakang Ki
Sanca, terkuak. Dari kegelapan, muncul dua sosok
makhluk hitam dengan mata yang berkilat-kilat. Buas
dan mengerikan. Terdengar dengus marah yang aneh.
Lalu salah satu dari makhluk itu yang terkecil, tahutahu telah terbang di udara.
Gerakan makhluk hitam yang menerpa dengan
sekonyong-konyong itu seketika membuat
konsentrasi Ki Sanca menjadi buyar. Suara aneh
disertai desir angin menyentuh selaput telinganya
yang peka. Dengan melupakan sama sekali tujuan
utamanya untuk melumpuhkan kekuatan ilmu Kurdi,
laki-laki setengah umur yang sebelah kakinya hampir
lumpuh itu masih sempat mengelak dengan gesit.
Sedikit memiringkan bahu, bayangan makhluk hitam
itu meluncur melewati tubuhnya dan jatuh
bergulingan di tanah yang berbatu. Terdengar suara
menggeram marah bersamaan waktunya mahluk itu
kembali berdiri di atas keempat kaki-kakinya yang
kukuh. "Anjing hina dina!" maki Ki Sanca, lantas mengamangamangkan golok. "Ayo, maju lagi kalau kau mampu!"
Sepasang mata anjing milik Kurdi yang setia itu,
bernyala-nyala dengan hebat. Hijau kemerahmerahan, seakan ingin membakar kegelapan malam
yang mencekam itu. Tiba-tiba kedua kaki depannya
menekuk. Dari moncongnya yang menganga lepas
geram dahsyat yang sesaat membuat jantung Ki
Sanca menciut. Nalurinya segera menyadari, bahwa
yang ia dengar bukan geraman seekor anjing biasa.
Dan tatapan sepasang mata berwarna ganjil itu
menguatkan dugaannya. Dengan waspada ia mundur
beberapa langkah sambil menyilangkan golok di
depan tubuh. Lalu, dengan sebuah loncatan yang hampir-hampir
tidak kelihatan saking cepatnya, anjing besar dan
hitam itu tau-tau telah meluncur sekali lagi di udara.
Moncongnya menjurus langsung ke arah leher Ki
Sanca. Dukun yang sedang dimakan rasa dendam itu cepatcepat mengayunkan golok. Meleset.
"Celaka!" cetusnya, terkesiap. Ia berusaha
menghindar. Malang baginya, gerakan makhluk yang
dahsyat itu tak ubahnya terror yang tidak kenal
ampun. Moncongnya gagal menyambar leher Ki
Sanca, namun tidak urung kuku-kuku kakinya yang
tajam menggurat batang leher dan sebelah pipi Ki
Sanca. Luka di pipi yang belum sembuh itu menganga
kembali, mengeluarkan darah. Ki Sanca meringis
sambil memutar tubuh dan mengatur posisi untuk
menghadapi serangan berikut dari lawannya. Namun,
makhluk yang diwarisi Kurdi turun temurun itu
memperlihatkan dirinya bukan sembarang binatang,
bukan anjing yang gampang dipecundangi. Begitu
kakinya menjejak di tanah ia telah berputar dan kali
ini tanpa pasang ancang-ancang langsung menyerang.
Mengira serangan ketiga itu ditujukan kepada
lehernya sebagaimana kebiasaan anjing yang sedang
dilanda nafsu ingin membunuh, Ki Sanca kembali
"menyilangkan golok di depan muka, seraya sebelah
tangan yang bebas berusaha menyambar tubuh
makhluk itu sedapat-dapatnya. Ternyata dugaan Ki
Sanca keliru. Serangan anjing itu justru ditujukan ke
kaki Ki Sanca. Laki-laki itu tiba-tiba merasakan daging
betisnya bagai ditusuk dengan sembilu, kemudian
dicapit oleh gegep yang tajam, seterusnya daging
betisnya itu terenggut lepas disertai perasaan sakit
yang alang kepalang. Saking sakitnya, Ki Sanca
menjerit marah: "Kubunuh kau! Kubunuh kau, anjing buduk!"
Sambil menjerit-jerit dan menyumpah serapah,
kakinya yang utuh menyepak-nyepak dengan
membabi-buta. Gerakan reflek yang tidak
diperhitungkan itu rupanya menoIong. Salah satu
tendangannya mengenai perut anjing Kurdi yang baru
saja mau menerkam untuk kesekian kalinya. Anjing
itu mengaing seketika, berusaha mundur, tetapi
tendangan berikutnya membuat tubuhnya yang besar
dan kokoh terkumbalang dengan dahsyat, melayang
di udara kemudian membentur pohon.
Sempat merapalkan beberapa ajian yang ia miliki,
karena sadar bahwa anjing yang ia hadapi tidak bisa
dianggap sepele. Kurdi yang dari tadi terpaku diam dalam
kepanikannya, ketika melihat sahabatnya yang setia
muncul pada waktu yang tepat, sempat merasa lega.
Lebih-lebih setelah Ki Sanca ia lihat jadi r epot bahkan
terluka kakinya. Barangkali kaki yang terseret-seret
itu kini benar-benar sudah lumpuh. Namun kakinya
yang masih utuh ternyata mempunyai kekuatan yang
luar biasa pula. Sekali sepak, anjingnya sudah
mengaing, dan sepakan berikutnya anjingnya sudah
terhantar setelah membentur batang pohon. Kelegaan
Kurdi lenyap seketika, dan kepanikan muncul kembali
pada dadanya. Apa yang harus ia lakukan" Melawan"
Berarti ia akan hidup tersiksa, karena ia harus
melumpuhkan Ki Sanca dan membunuhnya sekaligus
demi nama baik dan pekerjaannya. Berdiam diri saja,
dan menerima sambaran golok Ki Sanca begitu saja,
juga tetap merupakan kematian yang tersiksa. la
sadar Ki Sanca akan melaksanakan dendamnya untuk
melukai sebelah kaki Kurdi sampai lumpuh kemudian
merusak wajahnya sampai cacat menakutkan, dan
Kurdi akan tidak bisa bekerja, kalaupun bisa, orangorang yang sudah takut akan semakin takut lagi
padanya, bahkan mungkin tidak mau lagi meminta
bantuannya. Hilanglah kesempatan untuk
memperoleh sesajen-sesajen yang bisa meneruskan
kelanjutan hidupnya. Selagi Kurdi masih belum bisa menentukan alternatip
mana yang harus ia pilih, dengan menyeret sebelah
kakinya Ki Sanca telah berada satu langkah di depan
Kurdi. Di dalam jilatan cahaya rembulan yang samarsamar, dari sepasang matanya terpancar keluar sinar
kebuasan dan dendam yang menyala-nyala.
"Rasakanlah sekarang!" teriak Ki Sanca.
Goloknya melayang. Langsung ke wajah Kurdi. Kurdi
terkesiap, tetapi sempat mengelak mundur.
Tampaknya Ki Sanca benar-benar sangat bernafsu
melaksanakan niatnya. Kurdi tidak melihat jalan lain,
kecuali melawan. Dalam hatinya, ia bertekad untuk
melakukan perlawanan yang sehebat-hebatnya,
sehingga Ki Sanca tidak hanya akan merusak wajah
atau memotong kakinya, akan tetapi didorong oleh
dendam dan nafsu amarahnya, akan membunuh Kurdi
sekaligus. Itu merupakan angan-angan yang paling
manis untuk bisa diharap dalam keadaan segawat itu,
dan Kurdi akan terlepas dari tekanan jiwa yang
menghantui dirinya selama ini. Menunggui jenazah
orang lain, melahap darah yang mengalir dari
"tengkorak manusia di kamar semedi, menzinahi
mayat-mayat. "Hem!" ia menggeram. "Apa boleh buat!"
la kumat kamit membaca ajian-ajian yang ia miliki.
Tubuhnya tergoncang dengan hebat, seluruh darah di
tubuh itu naik ke kepala, membakarnya
menghanguskan segenap kesukaran, lalu dengan
mata merah bersinar-sinar ia tegak menunggu
datangnya serangan lawan! Namun serangan itu tidak
pernah tiba. Ketika Kurdi membaca ajiannya, Ki Sanca
mempergunakan kesempatan yang hanya beberapa
detik itu untuk membacokkan golok. la sama sekali
tidak melihat bahkan tidak mendengar bagaimana
sesosok makhluk lain yang jauh lebih besar dan lebih
kuat dari anjing yang sedang berusaha bangkit dari
tanah, berlari dari semak belukar. Sebuah ringkikan
yang keras memecah kesepian malam. Disusul oleh
hantaman dahsyat yang menerpa punggung Ki Sanca.
la terjerembab jatuh seketika.
Goloknya terlepas, menghunjam di tanah tak jauh
dari kepalanya. Masih untung, tidak jatuh menimpa
kepalanya sendiri sehingga bisa-bisa senjata makan
tuan. Kaget dan panik, ia menggulingkan tubuh lalu
berusaha berdiri dengan susah payah. Namun
hantaman yang mirip palu godam menimpa itu, telah
mematahkan beberapa tulang-tulang di tubuhnya, ia
menggeliat, meliuk dan kemudian jatuh kembali.
Makhluk ganas itu meringkik sekali lagi, maju pula
sekali lagi. Kedua kaki depannya terangkat tinggi di
udara. Ki Sanca terbeliak, terpana oleh bayangan
tubuh yang nampaknya seperti raksasa sebesar
gunung yang siap terjun ke bawah.
"... jangan!" ia mengerang lirih. "Jangan!"
Tetapi kaki-kaki kuda itu telah terhunjam jatuh. Tak
ubahnya batang pohon yang dipacakkan ke tubuh Ki
Sanca. Salah satu hunjaman kaki itu menghancurkan
dadanya, dan yang satu lagi hanya seinci melewati
pinggangnya. Ki Sanca menjerit histeris menggelepargelepar liar, sambil matanya tidak beranjak dari kuda
yang berdiri di atas keempat kaki-kakinya yang
kukuh, memandang musuhnya dengan tatapan yang
mengerikan. Kejadian itu pun tidak lepas dari perhatian Kurdi. Ia
terpesona, dan jantungnya seperti luluh melihat nasib
apa yang menimpa diri Ki Sanca. la tahu, sahabatsahabatnya ingin menolongnya dari bahaya maut,
melepaskan dirinya dari kesulitan yang menggerogoti
jiwa. Akan tetapi, sama sekali tidak ia nyana, akan begitu
buasnya makhluk-makhluk yang selama ini belum
pernah ia lihat membunuh makhluk lain apalagi
membunuh manusia. Kurdi tegang kaku menyaksikan
kebuasan binatang-binatang kesayangannya, tak
kuasa berkata apa-apa. Lidahnya kelu. Kelu sekali.
Rasanya, tubuhnya yang dihantam kaki-kaki yang
kukuh itu, bukan tubuh Ki Sanca.
"... Kurdi!" Kurdi tersentak. Ia menoleh ke arah Ki Sanca yang
sudah berhenti menggelepar. Dalam kegelapan
malam, tampak mata laki-laki malang itu menatap
langsung ke mata Kurdi. Tajam. Menusuk. Api dendam
bersinar-sinar dari kilatan matanya. Hanya itu sajalah
yang bisa ia lakukan kini. Berbaring diam, menahan
azab yang menyiksa, namun masih mampu untuk
menumpahkan dendam kesumatnya.
"Aku akan mati!" rintih Ki Sanca "Tertawalah, Kurdi.
Tertawalah melihat kematianku yang mengerikan ini.
Tetapi rohku akan bangkit. Kau bisa menahan roh
orang-orang lain, tetapi tidak rohku. Aku akan bangkit,
Kurdi... untuk melaksanakan... dendamku. Aku akan
"menyiksa engkau... membangkitkan roh-roh orangorang yang pernah sakit hati padamu, pernah...
berniat balas dendam atas perbuatanmu...."
Ia mengerang kesakitan sesaat, lalu melanjutkan:
"Darahku, Kurdi... darahku yang mengalir... akan
menjelmakan roh-roh mereka di sekitarmu... di depan
biji matamu... sehingga... sahabat-sahabatmu yang
terkutuk itu, akan mati di tanganmu. Aku bersumpah!"
Sehabis berkata begitu, kepalanya terkulai. Andaikata
matanya ikut terpejam oleh kematian, Kurdi tidak
akan tergoncang. Tetapi sepasang mata itu, terbelalak
liar dan langsung menatap ke mata Kurdi. Mata yang
sudah tidak bersinar lagi. Mati. Namun pengaruhnya,
terasa sampai ke sumsum. Kurdi tidak tahan, memalingkan muka, kemudian
berjongkok. Beban berat di selangkangannya lepas
tanpa bisa ia tahan. Ia terkencing di tempat itu juga.
Entah beberapa lama ia dalam keadaan shock. Kurdi
tidak tahu, dan tidak mau tahu. la baru bangkit,
setelah warna subuh yang temaram muncul dari balik
bukit di kejauhan. Angin dingin menerpa tubuhnya. Ia
menggigil, dengan gigi yang gemeletuk. Erangan halus
menggerakkan kepalanya. Ia lihat anjingnya yang
setia... dan tidak akan ia lupakan kebuasannya...
meringkuk didekat roda kereta.
Waktu Kurdi bangkit, anjing itu melolong lirih.
Tampaknya makhluk bersinar mata ganjil itu telah
lepas dari sakit yang menerpa tubuhnya oleh
tendangan Ki Sanca. Kurdi menarik nafas. Gersang di udara yang lembab.
Embun mulai naik, mengapur di udara. Kuda penarik
kereta yang tidak beranjak dari samping mayat Ki
Sanca semenjak manusia yang malang itu menerima
nasibnya, mendengus perlahan, kemudian meringkik


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertahan, seolah-olah berusaha menyambut
datangnya pagi dengan pikiran yang masih kalut.
Kuda itu memperhatikan tuannya dengan diam-diam,
dan Kurdi menyadari kalau ia diperhatikan. Ia tidak
ingin membalas pandangan kuda itu. Karena,
betapapun, sahabatnya yang juga setia ini, telah
melakukan suatu pekerjaan yang paling mengerikan
dari segala macam kejadian-kejadian buruk yang
selama ini pernah dilihat oleh Kurdi.
Selama beberapa saat, ia masih termangu-mangu
memikirkan kejadian itu. Akan diapakan mayat Ki
Sanca" Betapa rusak dan porak porandanya tubuh laki-laki
itu. Tentulah rohnya teramat penasaran. Lebih dari
apapun di dunia ini. Penasaran Kurdi menggigil lagi. Selama
ini ia bertugas menunggui orang-orang mati yang
diperkirakan rohnya penasaran. Tadi malam pun ia
melakukan hal yang sama. Bedanya, kali ini terpaksa.
Tanpa ada yang meminta. Tanpa ada sesajen. la
punya persediaan menyan di kantong. Bunga-bunga
rampai banyak terdapat di sekeliling tempat itu, tetapi
semua itu tidak berguna. Sumpah Ki Sanca sebelum
kematiannya, tergurat dalam di benak Kurdi. Diamdiam ia mengakui rasa takut yang mengaliri seluruh
pembuluh darahnya. Roh Ki Sanca, tidak akan mudah
ditaklukkan. Hem. Jadi, ia akan membangkitkan roh-roh orang
yang pernah dibuat sakit hati oleh Kurdi.
"Jadah!" maki Kurdi. "Aku tak sudi mengingat-ingat
itu!" Lalu ia menghardik pada sahabat-sahabatnya!
Ia kemudian menutupkan peti mati yang menganga
terbuka semenjak tadi malam. Kurdi tidak berselera
lagi untuk memperhatikan tubuh mayat perempuan di
dalam peti mati itu, ketika ia menutupinya. la bahkan
"tidak melihat perubahan di kulit tubuh yang putih
mulus serta halus itu. Bulu yang panjang bermunculan
disana-sini, banyak sekali bulu-bulu berwarna coklat
kehitam-hitaman. Kedua belah tangan Nyi Ijah
memanjang. Demikian pula kuku-kukunya. Perubahan
yang lebih dahsyat terlihat lebih jelas di wajahnya
yang tadinya manis dan penuh daya pesona.
Andaikata Kurdi mau memperhatikannya.
*** Setelah menghenyakkan punggung yang letih di
tempat duduk kereta, Kurdi termangu-mangu
memandangi mayat Ki Sanca. Akan dibiarkan sajakah
tubuh laki-laki yang sudah tidak berketentuan
wujudnya itu terhampar di tanah" Atau lemparkan ke
dalam jurang" Biar tubuh itu remuk atau terpotongpotong, berserakan tak dikenali lagi sehingga
penduduk yang kebetulan melalui jalanan hutan ini
tidak berlari terbirit-birit ketakutan pulang ke rumah
untuk kemudian jatuh pingsan atau meriang dan
membuat panik di mana-mana. Tetapi ah... buat apa
susah-susah menggotong tubuhnya ke pinggir jurang.
Sudah saja di sana. Toh nanti burung-burung pemakan
bangkai akan membereskannya. Atau binatangbinatang hutan lainnya. Mereka tidak perlu banting
tulang untuk mendapatkan santapan pagi. Mengingat
umurnya, daging-daging tubuh Ki Sanca mungkin agak
sedikit liat. Tetapi bagaimanapun, makanan gratis
selalu menarik selera... Tetapi ketika kereta sudah berjalan meninggalkan
tempat itu, serta hamparan sawah-sawah penduduk
mulai tampak hijau keputih-putihan dalam pelukan
embun pagi nun dibawah sana, Kurdi berbalik pikir.
Alangkah bahagianya penduduk yang hidup di
kampung sana. Alangkah bahagianya. Manusia yang
bisa menikmati cucuran keringatnya. Mereka bisa
meninggalkan sesuatu untuk keturunan mereka kelak.
Dan kalau mereka mati, akan ada yang menangisi
serta mengurus. Kurdi" Atau Ki Sanca" Benar, mereka
juga menikmati hasil cucuran keringat sendiri,
meskipun kenikmatannya sangat jauh berbeda
dengan orang-orang lain yang tidak perlu memenggal
leher anak-anak seperti Ki Sanca atau meretanya.
Tetapi apa boleh buat. Ia harus mengejar waktu,
setelah itu pulang kembali ke rumah membersihkan
peti bekas ditiduri mayat Nyi ljah lalu tidur di
dalamnya setelah lebih dahulu menutupnya. Alangkah
menyenangkan tidur dalam peti mati itu. Tidak
terdengar suara apapun yang mengganggu. Tak ada
cahaya yang masuk. Bahkan udara pun, hampa. la
bisa tidur tanpa gangguan, bisa memusatkan
pernafasan tanpa harus membuat lelah paru-parunya.
Sejam dua jam. Atau sehari dua hari. Bahkan ia kuat
tidur dalam peti selama berminggu-minggu, sampai
ada orang datang mengetuk pintu rumahnya, dan
nalurinya menyuruhnya bangun karena ada yang
harus dikerjakan. Di sebuah mata air, Kurdi berhenti. la membersihkan
golok, tangan dan kakinya yang dikotori tanah.
Mulutnya kering, namun ia sama sekali tidak berselera
"untuk meminum air itu. Apa yang ia maka n, apa yang
ia minum, hanya darah sesajen. Darah semata-mata.
ltu adalah ketentuan yang harus ia jalankan. Kutuk,
tepatnya, tanpa mengetahui kapan kutuk itu akan
berakhir. la hanya tahu ayahnya telah melatih dirinya
menjalankan hal itu semenjak ia lahir ke dunia, tanpa
sekalipun mengenal apa artinya susu ibu. ltu pula
sebabnya Kurdi tidak mungkin menikah dengan Mira.
Mira akan heran mengapa Kurdi hanya m eminum dan
memakan darah. Kalaupun Mira tahu dan mengerti,
Mira tak akan tega membiarkan anaknya nanti hidup
semata-mata dari meminum darah sesajen pula. Mira
akan tersiksa, dan mati menderita, seperti moyang
perempuannya. Wajah-wajah curiga menyambut Kurdi ketika ia
membawa kereta melewati jalan utama sebuah desa.
Mula-mula orang tertarik untuk memperhatikan peti di
bak belakang. Anak kecil pun tahu, buat apa peti itu.
Meskipun mereka tidak tahu apakah peti itu berisi
atau kosong, namun orang-orang yang berpapasan,
dengan Kurdi memicingkan mata dengan dahi
berkerut, dan beberapa diantaranya menghindari
cepat-cepat. Kalau pun ada yang berani untuk
mendekat, orang itu segera mundur setelah anjing
yang berjalan di samping kereta menaikkan kepala
untuk memperlihatkan sinar matanya yang hijau
kemerah-merahan, moncong lebar dengan gigi-gigi
taring yang runcing serta lidah terjulur keluar
berwarna lebih merah lagi. Merah darah. la
menggoyang-goyangkan ekornya dengan liar, seolaholah memberi isyarat agar orang-orang jangan cobacoba mendekat.
"Puah!" umpat Kurdi, kemudian meludah ke tanah.
la terus memacu keretanya. Roda berderak ribut,
hampir melabrak seorang anak yang berlari ke jalan
untuk mengejar seekor ayam burik, sehingga seorang
laki-laki setengah umur terpekik kaget dan buru-buru
menyeret anaknya ke tepi. Namun tak urung lepas
caci maki dari mulutnya yang ditempeli tembakau:
"Setan! Ngebut! la kira kereta reot itu mobil, eh""
Kurdi acuh tak acuh. Selalu begitu. Juga ketika di
ujung desa seseorang yang duduk mencangkring
dalam lindungan bayang-bayang pohon beringin
menyapa: "Tergesa-gesa benar, mau ke mana, Pak""
Sapaan yang ramah itu menarik hati Kurdi.
"Biasa. Ada urusan," jawabnya.
Jawaban lumrah, sambil membalas anggukan orang
tersebut. Namun tiba-tiba hatinya terkesiap. Ia menoleh ke
belakang. Orang itu tertawa. Tawa yang tersendatsendat, membuat wajahnya yang rusak tampak
mengerikan dengan mata melotot lebar,
mengingatkan Kurdi pada seseorang Pilot tertawa,
orang itu berdiri lalu bertumpu ke batang pohon.
Kakinya pincang sebelah, sementara dari dadanya
yang rusak berlumur darah, bersembulan tulang
belulang yang patah-patah.
"Kaget" Memang akulah ini, kau.... Mengapa tidak
turun dari kereta supaya kita berbincang-bincang
barang sesaat dua saat""
Kurdi menarik tali kekang kuda seketika. Kaki-kaki
depan kuda terangkat tinggi, kemudian menjompak
jatuh ke tanah keras, menimbulkan suara berdebuk
mirip batang-batang kelapa tumbang dengan dahsyat,
kuda meringkik, berdiri dengan gelisah di atas
keempat kaki-kakinya yang kukuh, Kurdi hampir saja
terlempar dari tempat duduk kereta. Sekali lompat, ia
sudah menjejakkan kakinya di tanah. Seraya berseru
lantang melontarkan sumpah serapah, ia mendekat
ke bawah bayangan pohon beringin besar itu dengan
"marah. "Sialan kau, Ki Sanca. Kau mau kita selesaikan di sini
sekarang, eh"" lantas lupa pada kutuk yang
ditimpakan atas dirinya, ia keluarkan golok dari balik
kemeja yang langsung ia sambarkan ke tempat di
mana tadi ia lihat orang itu berdiri.
"Clep!" terdengar suara mata golok menghunjam ke
sebuah benda. Bukan lunak semacam leher, tetapi
keras. Tangan Kurdi tegang, dengan jari jemari semutan tibatiba. Matanya melotot memperhatikan apa yang telah
dimakan oleh mata goloknya. Batang pohon beringin.
Tidak ada orang. Tidak ada suara apa-apa, kecuali
helaan nafasnya sendiri, yang terengah-engah
menahan amarah. Di belakangnya, terdengar suara mendengus.
Kurdi memutar tubuh dengan cepat seraya menarik
goloknya kuat-kuat dari batang pohon. Golok itu
lepas, dan ia sudah siap menerima serang an. Tetapi
yang berada di hadapannya, hanyalah kereta mayat
yang sudah reot itu, serta kuda penarik yang
menolehkan kepala kearah Kurdi, memperlihatkan
sorot mata tajam dan seperti mencemooh. Ternyata
kuda itu yang mendengus. "Jadah!" maki Kurdi perlahan. la mengurut dadanya
yang sakit. Liar, matanya mencari kian kemari. Tidak
ada siapa-siapa. Dari rumah penduduk yang terdekat,
ia lihat ada orang memperhatikan. Meskipun jauh,
Kurdi bisa menebak pancaran di mata orang tersebut.
Seraya angkat bahu, ia naik kembali ke tempat duduk
kereta. Menghela nafas berulang kali, kemudian
melecut punggung kuda. "Hiyyyaaa...!" Tidak. la tidak percaya, bayangan tadi hanyalah
kosong semata. la yakin ia melihat bayangan Ki
Sanca, ia yakin mendengar suaranya pula. Kalau tidak,
amarahnya tidak akan begitu meluap sehingga ia lupa
diri. Selama ini ia cukup berhati-hati menghindari
pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar
kemauannya. Tetapi kali ini...
"Hebat dia!" diam-diam Kurdi memuji. "Siang bolong,
bisa memperlihatkan diri. Benar-benar penasaran
arwah Ki Sanca. Jangan-jangan mayatnya pun ikut
bangkit dari kubur, dan ia seret sepanjang perjalanan
ke mana ia pergi.... Kalau tidak, mana mungkin ia
muncul dalam wujud yang sempurna" llmu yang luar
biasa. Arwah yang muncul di siang bolong. Hem!"
la geleng-geleng kepala. Hampir-hampir tidak yakin
sekarang, pada dirinya sendiri. la bayangkan, mayat Ki
Sanca bangkit dari kuburnya di pagi buta itu.
Sementara kereta melaju, ia pusatkan jiwa. Semedhi,
dengan mulut kumat kamit membaca aji-aji dan
mantera-mantera yang ia miliki, sambil tidak lupa
memohon kepada arwah pemilik tengkorak kepala di
rumah yang ia tinggalkan, agar memberinya kekuatan
dan petunjuk. Samar-samar di antara kabut yang menutupi
kegelapan dibalik kelopak matanya yang mengatup,
ia melihat gerakan dan suara. Gerakan tanah rekah,
dan batu-batu besar yang ia susun, bergelinding jatuh
dengan suara yang bising sehingga tekak telinganya
terasa sakit. Dari rekahan tanah dan lubang dibawah
mana tadinya batu-batu itu terletak, mayat Ki Sanca
berusaha duduk, kemudian bangkit. Kabut semakin
menebal. Mata Kurdi perih. la berusaha bertahan,
tetapi kabut itu mengeras seperti batu sehingga
kelopak matanya cepat-cepat ia pentang lebar-lebar.
la melihat kudanya berhenti dengan dengus gelisah
seraya menelengkan kepala ke samping kiri. Perasaan
tidak enak menyentuh uluh hati Kurdi.
"*** KURDI sangat terkejut waktu menyadari apa yang
menyebabkan kuda menjadi demikian gelisah.
Ternyata anjingnya yang setia itu tengah tergeletak di
pinggir jalan, dengan dua kaki belakangnya melejatlejat liar. Sepasang matanya yang besar hampirhampir terloncat ke luar dari rongga menahankan rasa
sakit. Dari moncongnya keluar darah berwarna merah
kehitam-hitaman, diantara lendir yang ber busa.
Dengan cemas Kurdi melompat dari tempat duduk
kereta, bergegas mendapatkan sahabatnya itu.
"Mengapa...." pertanyaan itu tidak ia teruskan. Mata
Kurdi menangkap bengkak yang besar di
selangkangan anjingnya. Ucapan kaget lepas dari
mulut Kurdi: "Wah. Baru kuingat. Kau terkena sepak Ki Sanca tadi
malam!" la rahup anjing itu dalam pelukannya. la elus-elus
kepalanya seraya menghibur dengan kata-kata manis
yang disambut oleh anjing itu dengan erangan halus.
Matanya yang hijau kemerah-merahan menatap ke


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata Kurdi. Entah apa yang ingin disampaikan anjing
itu, Kurdi tidak tahu. Tetapi jantungnya sempat
berhenti berdenyut waktu menyadari betapa tatapan
mata anjing itu teramat ganjil. Antara minta dibelas
kasihani, dan ditinggalkan begitu saja. Ada perintah
sama-samar tersembunyi dibalik sinar mata itu. Agar
Kurdi menjauh. Menjauh, dan jangan memperdulikan
sahabatnya. "Tidak!" berengut Kurdi. "Kau tak akan kutinggalkan.
Kau akan sembuh," katanya, memelas.
Anjing itu merintih. Kemudian melolong.
Kurdi menoleh waktu mendengar suara orang berlarilarian. Ternyata laki-laki yang tadi memperhatikan
waktu Kurdi membacok pohon beringin. Orang itu
adalah seorang laki-laki yang sudah lanjut usianya.
Kaki dan tangannya kurus sekali, demikian pula
wajahnya yang tirus. Kurdi heran ia bisa berlari
secepat itu, tetapi keheranannya segera lenyap
setelah melihat tatapan mata laki-laki tua tersebut.
Pandangannya yang tajam dan berpengaruh,
membisikkan ke hati Kurdi kalau ia sedang
berhadapan dengan seorang manusia yang punya
ilmu. Diam-diam ia merasakan uap dingin pada tubuhnya
dan segera sadar orangtua ini berasal dari kalangan
magi putih. "... boleh kubantu"" sapanya begitu ia berjongkok
disamping Kurdi. Si penunggu jenazah termangu beberapa helaan
nafas. la tidak menyukai orang asing. Seperti kata
hatinya menegaskan orang lain lebih tidak menyukai
dia lagi. Tetapi suara ramah itu agak mendinginkan
pula hatinya, sehingga seraya mencoba tersenyum ia
menyerahkan anjingnya untuk diperiksa
oleh orangtua yang aneh itu. "... hem!" rungut si orangtua. la mengusap jenggot
putihnya sejenak, memandang ke arah luka di
selangkangan anjing. "Siapa yang menganiaya
makhluk malang ini" Tadi waktu keretamu melewati
rumahku aku sudah lihat anjing ini berlari-lari seraya
menyeret kaki-kaki belakangnya. Itu makanya aku
terus mengikuti dengan mataku, sampai kulihat anjing
itu tersentak menggelepar di pinggir jalan tanpa kau
sadari..." "0h!.." cetus Kurdi. Itu saja.
"Namaku Jumena..." orangtua itu memperkenalkan diri
tanpa mengulurkan tangan, karena ia tengah sibuk
memijit-mijit bagian yang bengkak di selangkangan
anjing, sehingga binatang itu melolong-lolong dengan
suara lirih. Mendengar suara lolongan memilukan itu
hati Kurdi memelas. Ia lupa untuk balas
memperkenalkan diri. "... apakah bisa sembuh"" tanyanya dengan bernafsu.
Jumena manggut-manggut. "Agak lama. Terapi untuk sementara, bengkaknya bisa
dibuat hilang. Hem. Yang menendang bagian ini tentu
seseorang yang sangat kuat. Tulang selangkangan
anjing ini patah. Namun, aduhai, anjing ini ternyata
lebih kuat lagi. Anjing-anjing lain pasti sudah mati!" la
menoleh pada Kurdi. "Mau kau ambilkan akar ilalang
dan getah daun embacang""
Tumbuh-tumbuhan yang dimima si tua Jumena itu
banyak terdapat di pinggir jalan sehingga dalam
waktu beberapa detik Kurdi telah memperoleh dan
memberikan segenggam akar ilalang dan berapa helai
daun embacang yang getahnya bertetesan.
"Kau rupanya enggak mau susah-susah memanjat,
mau cepat-cepat saja," rungut Jumena seraya
menerima benda-benda itu.
"Daun embacang ini sudah tua-tua."
Kurdi mau berlari lagi ke batang embacang terdekat,
tetapi orangtua itu keburu meneruskan:
"Sudahlah. Yang ini juga memadai!"
Ia kemudian meletakkan akar-akar itu di atas sebuah
batu berpermukaan rata. Lalu, akar itu ia gilas dengan
tangannya sampai lumat dan mengeluarkan cairan
putih kecoklat-coklatan. Cairan itu segera ia sodorkan
ke mulut anjing sementara getah dedaunan ia
oleskan ke bagian yang membengkak. Mulutnya
kumat-kamit, namun tidak ada suara apa pun yang
didengar oleh Kurdi kecuali hembusan angin serta
helaan nafasnya sendiri. Tidak lama kemudian rintihan anjing itu berhenti,
matanya mengatup dengan tenang. Orang tua itu
"berhenti kumat kamit. Barulah ia mendesah:
"Aneh," katanya. "Darah yang keluar dari mulut
binatang malang ini, merah kehitam-hitaman. Kupikir,
ini bukan darahnya sendiri..."
Kurdi gelagapan. Ingatan selintas pada saat-saat anjing itu menerkam
lalu merengut betis Ki Sanca membuat ia kehilangan
kata-kata. Lama baru ia bergumam:
"Di tengah jalan ia menerkam binatang lain..."
"Oh ya"" Orangtua itu menoleh ke arah kuda didepan
kereta. Salah satu kaki kuda itu dilekati oleh darah
kering bercampur lumpur. "Apakah kudamu juga
melakukan hal yang sama""
Kurdi terjengah. Namun cepat ia memperoleh
jawaban: "Tadi malam seekor macan kumbang mau
menerkamku. Tetapi keburu sahabat-sahabatku yang
setia ini menolong. Macan itu telah mati sebelum
kuku-kukunya sempat menjamah tubuhku...."
"Hem!" orangtua itu mendehem. la serahkan anjing
yang sakit itu ke tangan Kurdi. "Setahuku darah
macan tidak hitam... entah kalau macan jadian..." la
geleng-geleng kepala dengan dahi mengernyit dan
sudut-sudut mulutnya menggurat tajam. "Pergilah.
Bengkak di tubuh anjingmu akan lenyap, serta
tulangnya yang patah akan bersambung kembali.
Jangan biarkan bergerak untuk sementara."
Kurdi mau mengucapkan terimakasih, tetapi si tua
Jumena buru-buru menjauh seraya mengibaskan
sebelah tangannya. "Pergilah. Aku mencium bau tidak enak di sini...."
Dan setelah kereta Kurdi menjauh. Jumena bersungutsungut sendirian:
"Makhluk terkutuk. Jasadnya saja anjing, tetapi
rohnya..... Kuda itu juga! Dan tampaknya orang yang
duduk di tempat duduk kereta itu tidak mengetahui
makhluk apa yang selama ini ia anggap sahabatsahabatnya. Hem. Orang ini pun tidak memiliki mata
yang jernih. Apakah ia yang dijuluki si penunggu
jenazah bernama Kurdi itu" Kalau ya, huh. Menyesal
aku mengurangi penderitaan salah seekor makhluk
peliharaannya!" Kemudian ia mengurut dada. Dan berucap:
"Jauhkan hamba-Mu ini dari cengkeraman setan, ya
Tuhanku!" Lalu ia memutar tubuh. Kembali ke rumahnya. Dengan
langkah tertatih-tatih. Tidak biasanya ia melakukan
pekerjaan mengobati orang atau binatang berakibat
hampir lumpuhnya persendian-persendian tubuhnya.
Oleh sebab itulah ia menyadari binatang yang ia
jamah tadi, bukan binatang yang terlihat pada
wujudnya saja. Ada sesuatu kekuatan atau makhluk
lain bersembunyi didalam tubuh binatang itu. Sesuatu
yang ia duga, tentulah manusia adanya, seperti
dirinya sendiri. Ah, ia letih benar. Untunglah kesadarannya muncul
segera, sehingga ia tidak perlu menjamah makhluk
terkutuk itu berlama-lama. Makhluk itu telah ia
lepaskan dari siksaan sakit, tetapi ia tak yakin apakah
perbuatan itu perlu ia lakukan....
*** Kurdi merasa berterima kasih sekali.
Ia biarkan kereta berjalan dengan lambat, agar
goncangannya tidak menimbulkan rasa sakit kembali
di tubuh anjing yang kini meringkuk diam-diam di
sampingnya. Tampaknya anjing itu telah jatuh
tertidur. Selintas Kurdi memperhatikan moncong
binatang kesayangannya. Benar, warna darah yang
keluar dari mulut anjing itu, agak kehitam-hitaman. Ia
mencoba mempertajam matanya untuk
memperhatikan darah kering diantara lumpur yang
"mengotori salah satu kaki depan kuda penarik kereta.
Juga darah itu tentulah kehitam-hitaman, karena
setelah mengering telah berubah warnanya seperti
arang. "Darah Ki Sanca. Darah membusuk!" sungutnya.
Terngiang kembali sumpah Ki Sanca:
"Darahku yang mengalir akan menjelmakan roh-roh...!
Darahnya yang mengalir! Apa maksud Ki Sanca"
Mereka tinggal menempuh satu desa lagi sebelum
tiba di pinggir kota kecamatan di mana makam suami
Nyi ljah terletak. la telah menyuruh roh Nyi ljah
mencari makam itu, dan roh itu memastikan tempat
di mana suaminya dikuburkan oleh sanak keluarga
mereka. Lengkap dengan petaknya, bagian keberapa
dari petak itu, serta pohon apa yang terdapat di dekat
nisannya yang berbatu pualam putih, satu-satunya
nisan berbatu pualam di pemakaman yang akan
didatangi Kurdi. Mudah sekali mengenali makam itu,
akan tetapi sekarang sudah keburu datang malam.
Kalau saja anjingnya yang malang tidak terluka,
sehingga kereta harus berjalan lambat....
"Mudah-mudahan saja mayat Nyi ljah tidak keburu
membusuk," sungutnya, tak lupa menoleh ke
belakang. Tutup peti mati terletak rapat di tempatnya. Peti Itu
tidak bergerak-gerak. Alangkah damainya mayat itu
berada disana. Tetapi alangkah tersiksanya roh dan
jasad mayat itu nantinya. Begitu ia menemukan
makam suaminya, berbaring sejenak di sana untuk
melampiaskan kerinduan yang lama terpendam,
maka Nyi ljah akan pergi lagi. Pergi dalam bentuk
yang lain. Bentuk yang seorang manusia pun tidak
akan pernah menyukainya... seburuk-buruknya
kematian Kurdi, ia masih termasuk orang yang
beruntung. Jasadnya akan mati dalam keadaan
sempurna sebagai manusia, dan rohnya akan tetap
roh seorang manusia pula. Sedang Nyi ljah....
Roda kereta terantuk ke akar sebatang pohon.
Kurdi agak terlonjak, dan anjing yang meringkuk
disebelahnya terbangun. "Pelan, sahabatku," bujuk Kurdi seraya membungkuk
dan mengelus-elus punggung kuda. "Pergunakan
matamu yang menakjubkan itu dalam gelap malam...
tak usah tergesa-gesa. Terlambat beberapa jam, tak
ada salahnya...." Kuda itu meringkik. Halus.
Ah. Halus" la tajamkan telinganya. Bukan. Kuda itu
tidak meringkik. Tetapi bersorak. Sorak kegembiraan
yang tertahan, seolah-olah senang melihat munculnya
rembulan yang retak-retak diantara gumpalangumpalan awan berarak. Bulan retak. ltu adalah
pertanda tidak baik, pikir Kurdi. Tetapi kuda ini....
Kurdi terkesiap. Kuda ini masih terus berlari perlahan-lahan menarik
kereta. Tetapi... kaki-kaki depannya tampak lebih
pendek, dan menekuk berlawanan dengan tekukan
biasa. Juga kedua kaki belakangnya. Menekuk di lutut,
ke arah depan. Apa yang terjadi dengan kudanya"
Ia coba menahan tali kekang. Tetapi kuda itu terus
berlari. Hanya sedikit menggoyangkan kepala oleh
tarikan tali, tetapi terus berlari seraya bersorak. Ya.
Jelas kini. Bersorak. Senang. Dalam cahaya bulan,
kulit kuda yang hitam legam berkilat-kilat
itu perlahan-lahan mulai berubah warna, bahkan
berubah bentuk. Tiba-tiba Kurdi menyadari, bahwa
yang menarik kereta bukanlah seekor binatang.
Melainkan sesosok tubuh lain. Tubuh manusia yang
hancur mengeluarkan darah di sana sini,
memperiihatkan tulang belulangnya yang putih remuk
"sama sekali. Sekali kuda itu menoleh ke belakang.
Menyeringai. Bukan seringai kuda. Tetapi seringai
seseorang. Seseorang manusia yang juga hancur
wajahnya. Bukan pula wajah Ki Sanca. Melainkan
wajah seorang laki-laki yang belum pernah ia kenal...,
Laki-laki yang menyeringai liar, dengan mata buas
memandang Kurdi di tempat duduk kereta, serta
kedua tangan dan kakinya bukan berlari, tetapi
mencakar-cakar tanah, berusaha menahan berat
beban yang dibawanya. Tanpa sengaja, Kurdi menyentuh anjing yang
setahunya berbaring meringkuk di sebelahnya. Tetapi
tangannya menyentuh udara hampa yang dingin, ia
menoleh. Tersirap darahnya seketika. Di sampingnya
duduk sesosok tubuh yang juga sudah rusak di sana
sini. Sosok tubuh perempuan. Benar. Sesosok tubuh
perempuan, akan tetapi tangannya tidak merasa
menyentuh sesuatu meskipun tangan Kurdi berada
tepat di bagian tengah dada perempuan itu.
*** Kaget, tangan Kurdi tersentak mundur. Sikapnya
berubah jadi hati-hati. Betapa tidak. Bukan saja
perubahan telah terjadi pada wujud binatang
kesayangannya. Akan tetapi juga, barusan tadi Kurdi
tidak menyentuh tubuh yang hangat, melainkan udara
hampa yang dingin. Dengan mata terpentang lebar, ia
perhatikan sosok tubuh yang berjongkok di


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampingnya itu, bergoyang-goyang hebat oleh
guncangan kereta yang berlari dengan kecepatan
tinggi. Mata Kurdi yang tajam segera mengenali
wajah makhluk itu: "... kau!" cetusnya, hampir-hampir tidak percaya pada
pandangan matanya. "Hi... hi... hi...." Mulut yang mengerikan itu
menyeringai lebar, memperdengarkan suara mengikik. Bersamaan
dengan terdengarnya suara mengikik itu, hidung Kurdi
mencium bau busuk dan hanyir, yang keluar dari
sekujur tubuh perempuan itu. Lamat-lamat mata Kurdi
menangkap genangan darah membeku di bagianbagian tubuh si perempuan yang rusak hebat
terhantam benda berat yang tidak kenal ampun. Kurdi
ingat betul perempuan ini mati karena menerjunkan
diri ke atas rel persis pada waktu sebuah kereta api
kilat lewat di kampung mereka.
"Mau apa kau"" rungut Kurdi. Hati-hati.
"Hih... hi... hi...."
"Apa maksudmu menggangguku, Marni""
Arwah perempuan yang telah mengambil alih wujud
anjing Kurdi itu, hanya tertawa menyeringai. Dalam
bayangan bulan yang retak-retak di makan gerhana,
sepasang matanya tampak berkilat-kilat, seolah-olah
semburan api yang menyambar-nyambar ke wajah
Kurdi. Penunggu jenazah itu mengelakkan pandangan
si perempuan, kemudian berusaha memusatkan
pikiran. la melakukan semedi, membaca segala
macam mantera yang pernah ia miliki. Namun sampai
otot-otot tubuhnya kejang dan bulir-bulir keringat
sebesar jagung membanjiri pakaiannya sehingga
basah kuyup, Kurdi tidak berhasil memusatkan pikiran.
Ingatannya melayang ke saat-saat ia dipanggil oleh
keluarga Nengsih Sumarni untuk menunggui jenazah
perempuan muda yang mati bunuh diri itu. Tidak bisa
ia lepaskan sama sekali bayangan waktu mana ia
menggeluti perempuan itu, membangkitkan si
perempuan dari kuburnya, dan tidak pernah kembali
lagi... lngatan itu benar-benar mengganggu konsentrasinya.
Lebih-lebih lagi goncangan-goncangan kereta. Derakderak roda, serta berciutnya engsel-engsel. Ribut
"sekali. "Celaka!" rutuknya dalam hati. Lantas:
"Hiyaaaaa. Berhenti, kau. Berhenti!" la berseru
lantang. Namun apa daya. Makhluk aneh yang kini menarik
kereta itu malah mempercepat larinya. Lari yang
terombang-ambing di atas kedua kaki-kaki depan
yang lebih pendek dengan kedua kaki-kaki
belakangnya itu. Kuda yang telah berganti wujud itu
malah balas menoleh ke belakang, menyeringai
kearah Kurdi kemudian tertawa membahana.
Sungguh, tertawa membahana. Tidak lagi meringkik.
Kurdi menjadi marah. "Setan!" umpatnya, lalu menyambar pecut.
Baru saja pecut itu akan ia derakkan ke punggung
makhluk penarik kereta, terdengar suara menggereng
liar, lalu suara angin keras menyambar. Dalam
sekejap pecut di tangan Kurdi telah lenyap. Yang
tinggal hanyalah rasa kebas akibat renggutan yang
sekonyong-konyong itu. Ia sampai terpekik lirih. Dan
kemarahannya benar-benar telah naik sampai ke
kepala. "Biadab!" ia berteriak, lantang, memecahkan kesepian
malam di tengah rimba belantara itu. "Aku tahu,
kalian berada dibawah perintah!" Lantas, ia meluadah
ke kiri ke kanan, berkali-kali, sambil kumat kamit
membaca mantera. Namun, sekali kepalanya
tertengadah ketika meludah itu, dengan maksud
mengusir bau busuk dari udara diatasnya. Matanya
terpaut pada bulan. Bulan yang retak-retak dan buruk
itu, ia tidak menyukai bulan dalam keadaan seperti
itu. Pengaruh ilmunya jadi berkurang. Tak pelak lagi,
Kurdi menarik tali kekang kuat-kuat, seraya berdiri
tegak di tempat duduk kereta. la pacakkan kuat-kuat
kedua tumit kakinya, dan mengerahkan segenap
kekuatan-kekuatan otot-ototnya menarik ke belakang
sehingga tubuhnya miring sampai 45 derajat.
Usahanya tidak membawa hasil. Diam-diam ia
menyadari, bahwa yang menarik kereta masih tetap
kudanya, hanya wujudnya saja yang berubah. Tetapi
kebinatangan kuda itu telah dipengaruhi oleh suatu
kekuatan yang dahsyat, kekuatan yang berada di luar
pengaruh Kurdi. Kekuatan dari alam barzah. Kekuatan
dari roh. Roh orang yang berilmu. Tak salah lagi.
Arwah Ki Sanca tengah mempermainkan dirinya,
dengan mempergunakan arwah-arwah manusia yang
pernah sakit hati pada Kurdi. Ki Sanca telah
menjanjikannya. Lewat darah-darahnya. Kurdi tibatiba menyesal. Mengapa ia tidak membersihkan darah
Ki Sanca dari moncong anjing serta kuku-kuku
kudanya. Tenaga Kurdi kian lama kian melemah. Dalam
keadaan demikian, makhluk yang dari tadi tetap
berjongkok di sampingnya, bergerak untuk kedua
kalinya. Salah sebuah tangan makhluk itu, Kurdi tak
tahu apakah itu anjing atau manusia, terangkat ke
arah tali-tali kekang, menjepitnya dengan jari-jari
serta kuku-kukunya, kemudian mendekatkannya ke
arah gigi taring, lantas merencah-rencah tali kekang
makhluk itu. Tau-tau saja, salah satu dari tali itu telah putus. Segenap
kekuatan Kurdi kini berbalik total melawan
kemauannya. la terhumbalang ke belakang, menimpa
peti mati di atas bak kereta, terlontar ke samping,
jatuh di atas jalanan yang untunglah hanya tanah.
Akan tetapi, tanah itu keras, dan di beberapa tempat
dihunjani batu- batu. Tak pelak lagi, Kurdi terhempashempas di jalan, sementara tangannya yang
memegang seutas tali lain berputar-putar sehingga
tali itu membelit lengannya. la tidak bisa melepaskannya
"sama sekali, dan hanya mampu untuk berusaha agar
tubuhnya tidak sampai hancur terseret. la tumpukan
kekuatan pada ujung-ujung jari kakinya, satu-satunya
bagian tubuhnya yang tidak mungkin ia elakkan dari
torehan tanah keras dan hantaman batu-batu. Lama
kelamaan ia menyadari kalau kaki-kakinya itu mulai
luka memar disana sini, berdarah, dan menimbulkan
rasa sakit yang alang kepalang. Ia menggigit bibirnya
keras-keras, agar tidak sampai mengeluarkan jerit
kesakitan. Dan tiba-tiba siksaan yang dahsyat itu
berakhir. la dengar ringkikan kuda. Dan lolongan anjing yang
sayup-sayup sampai ke telinga. Ia coba menajamkan
pandangan matanya, menembus kegelapan malam.
Kereta itu berhenti tak jauh dari sebuah jalan besar,
beraspal serta rumah-rumah yang diterangi lampu
listrik. Mereka telah tiba di pinggir kota kecamatan itu.
Tetapi mengapa makhluk-makhluk itu menghentikan
siksaan atas dirinya" Bukankah dengan menyeret
Kurdi di atas jalanan beraspal itu, kematian akan
datang lebih cepat" "Hem!" Kurdi bersungut pada dirinya sendiri. Makhlukmakhluk itu, atau arwah-arwah itu, tidak mengingini
kematian Kurdi yang begitu mudah.
Kurdi berharap ada orang lewat di jalan. Atau bus.
Atau apa saja. Yang bisa melihat keadaannya, dan
datang untuk membantu, sehingga arwah-arwah itu
melarikan diri. Kurdi tahu betul. Mereka menginginkan
dirinya. Bukan orang lain. Dan mereka, hanya terlihat
oleh Kurdi seorang. Tidak oleh orang lain. Tetapi orang
lain akan melihat Kurdi. Mula-mula mereka tentu
heran, kemudian setelah melihat luka-luka Kurdi, akan
cepat-cepat datang menolong...
Tidak. Tiak ada orang lewat. Tidak ada bendi. Tidak
ada bus. Bahkan tidak ada suara apa-apa sama sekali,
kecuali kesunyian malam, kegelapan yang
menghantui, serta dengus nafas terengah-engah.
Nafas Kurdi. Nafas anjing. Nafas kuda. Ia menelan
ludah. Membasahi bibirnya yang kering. Harapannya
timbul lagi. Untuk melihat anjing serta kudanya yang
setia. Sempoyongan ia coba berdiri. Dengan sebelah
tangannya yang bebas, ia seka mata yang basah oleh
peluh bercampur debu. Perih rasanya. Tetapi ia bisa
melihat dengan lebih jelas kini. Melihat, makhlukmakhluk itu tidak beranjak dari binatang-binatang
sayangannya. Makhluk-makhluk itu bergerak-gerak
dengan liar, berjumpalitan, menggereng, melolong,
meringkik. Kurdi segera menyadari. Jika anjing serta
kuda itu melakukan perlawanan. Namun kekuatan
dari alam barzah, dari roh- roh itu, tidak mampu
mereka lawan. Kurdi menggeram: "Enyah, kalian makhluk-makhluk busuk. Enyah kau,
Parjo. Aku telah membantu kalian agar bisa bertemu
kembali. Bersatu di dunia lain. Karena itu, enyahlah.
Anggaplah sebagai balas jasa!"
"Hih... Hi... Hii...." Nengsih Sumarni menyeringai.
"Balas jasamu telah kau ambil. Kau telah menodai tubuhku.
Melanggar kehormatanku. Kau makhluk terkutuk,
manusia berhati busuk...!"
Pengaruh Ki Sanca rupanya menang.
Tiada lagi perlawanan dari jiwa anjing itu. Yang ada
hanya kepatuhan kini. Anjing yang telah berubah
wujud jadi Nengsih Sumarni itu, menerkam ke depan.
Disusul hentakan-hentakan kaki kuda. Hentakanhentakan kaki yang menggebu-gebu hebat
mendatangi tempat Kurdi berdiri sempoyongan,
disertai sumpah serapah dari mulut makhluk itu,
menyumpahi kelakuan Kurdi, melepaskan rasa sakit
hati karena kekasihnya telah dinodai Kurdi, mengutuk
"perbuatan Kurdi yang ketanya telah mengakibatkan ia
kehilangan anak serta isterinya yang kedua.
Kurdi mulanya pasrah. Ia tidak perduli kematian bagaimana yang harus ia
alami. Tetapi pandangan matanya yang tajam segera
melihat sosok-sosok tubuh lain dibalik penjelmaan
arwah-arwah itu. Sosok tubuh anjing serta kudanya
yang setia. Binatang-binatang itu tidak boleh tersiksa
jiwanya. Kurdi tidak tega. la harus melepaskan
siksaan itu, bagaimanapun juga caranya. Kurdi hanya
memerlukan tempo tak sampai tiga detik untuk
berpikir. Tangannya yang bebas mengeluarkan golok
dari sarung yang terikat di pinggangnya. la tidak
pernah membunuh makhluk hidup, tetapi ia pun tidak
sampai hati membiarkan makhluk-makhluk setia yang
selama ini melindunginya itu, terlunta-lunta arwahnya.
"Matilah dengan tenang!" bisik Kurdi, lirih, dan
goloknya dengan cepat telah terayun. Kilatan golok itu
membersitkan bayangan lain di mata Kurdi. Bayangan
dirinya. Dengan mata buta, otot-otot lumpuh, otak
tidak mau bekerja, dan kematian yang datang secara
lambat, siksaan yang akan menggerogoti hidupnya
detik demi detik. Pengorbanan itu ternyata tidak sampai terjadi. Golok
Kurdi hanya memapas angin. Angin keras yang lewat
di sampingnya, oleh lontaran tubuh yang berat.
Terdengar suara berdebuk yang lunak, lalu lolongan
anjing yang lirih. Waktu Kurdi menoleh ke arah suara
itu, tahulah ia bahwa makhluk pertama yang
menerkam dirinya, telah gagal melaksanakan niatnya.
Pada detik terakhir, kesadaran anjing itu akan
kesetiaannya sebagai binatang pelindung tuannya,
muncul. Binatang itu mengelakkan sambaran golok
Kurdi. Akibatnya, tubuhnya yang sudah keburu
terbang ke udara, meluncur deras ke bawah, dengan
kepala terlebih dahulu tiba di tanah keras dan
berbatu. Pada detik peristiwa itu berlangsung, wujud
makhluk itu telah kembali pada wujud semula. Anjing
besar, berkulit hitam legam, namun kekokohan
tubuhnya telah tidak berdaya sama sekali. Jumena,
dukun berilmu putih dari desa yang mereka lewati
senja tadi telah mengisyaratkannya. Goncangan
sedikit saja, akan membuat anjing itu mati. Apalagi,
hempasan keras dari kepalanya ke atas batu.
Kurdi tersentak ke bak kereta dengan hati yang luluh.
Ia sama sekali tidak memperhatikan bagaimana
sosok tubuh lain yang jauh lebih besar serta lebih
perkasa dari anjing itu melakukan tindakan ganjil
pula. Rentakan-rentakan kaki keras menghempas di
tanah. Wujud Parjo menghilang. Yang ada hanyalah
wujud seekor kuda tinggi besar, dengan tubuh yang
kuat kokoh. Kulitnya yang hitam berkilat-kilat
membasahi keringat. Kilatan lain membersit lebih
nyata dari sepasang matanya. Kuda itu memandang
anjing yang sedang sekarat di tanah, kemudian
berjalan mendekat, berdiri sebentar di dekat anjing
itu, kemudian kepalanya menekuk ke bawah. Kuda
itu menjilati anjing itu dengan gerakan-gerakan yang
di mata Kurdi jelas hanya berarti satu hal: kasih
sayang! Habis menjilati bangkai anjing, sang kuda menoleh
kearah Kurdi. Dalam remang-remang malam, mata Kurdi
menangkap cairan bening di sudut-sudut mata kuda.
"... kau menangis," bisik Kurdi. Ta'jub.
Dan ia sendiri pun, sebenarnya ingin menangis.
Belum lagi air mata Kurdi mengalir keluar, sahabatnya
yang tinggal satu-satunya di dunia itu, telah
melakukan gerakan tidak terduga. Binatang besar itu
berjalan kearah sebatang pohon besar, mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi, kemudian dengan
"satu hentakan kuat pada kaki-kaki belakangnya, kuda


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu menghempaskan tubuhnya ke depan. Kepalanya
dengan dahsyat melanda batang pohon. Terdengar
suara berderak. Kurdi tidak tahu apakah suara
berderak itu berasal dari kepala kuda atau batang
pohon, atau barangkali juga kedua-duanya. Yang ia
tahu hanyalah, binatang bertubuh besar dan kokoh
itu, terhempas ke tanah, keempat kaki-kakinya
menyepak-nyepak dengan liar. Tak lama kemudian
tinggal lejotan-lejotan perlahan serta dengus-dengus
napas lemah. *** Kejadian yang susul menyusul itu berlangsung sangat
cepat. Kurdi belum sempat mengatur nafasnya yang
memburu, ketika binatang-binatang kesayangannya
itu telah terkapar di hadapannya. Ia sama sekail tidak
percaya dengan apa yang ia saksikan, sehingga
merasa sangat terpukul manakala telinganya
menangkap bayangan-bayangan tubuh yang
sekarang sekarat itu. Sekujur tubuhnya seolah-olah
mendadak lumpuh, sehingga ia jatuh melorot,
terduduk di tanah. Golok di tangannya terlepas tanpa
ia sadari, gagangnya menimpa punggung kaki
kanannya yang memar-memar, berdarah. la tidak
merasakan kesakitan dan perih yang ditimbulkan oleh
luka-luka di kaki serta lecet-lecet berdarah pada
tangannya yang masih dibelit tali.
"Apa... apa yang kalian perbuat"" bisiknya, lirih.
Ia berusaha memikirkannya. Kemudian teringat
sekilas pandang mata mereka yang diarahkan pada
Kurdi, sebelum sahabat-sahabatnya itu berbuat nekad.
Dan Kurdi semakin runtuh, manakala ia sadari apa
maksud semuanya itu. "Mengapa"" ia tiba-tiba menjerit tertahan. "Mengapa
kalian lakukan itu" Mengapa justru kalian yang harus
berkorban" Bukankah mati di tanganku bagi kalian
berarti sama saja" Kematian" Kematian" Mengapa"
Mengapa"" Lalu perlahan-lahan, ia kembali menangis.
Hancur hatinya. Bukan saja karena kini tinggal
sendirian. Tetapi juga, karena terharu oleh
pengorbanan sahabat-sahabatnya yang setia itu. Di
antara kehancuran hati yang tengah melanda Kurdi,
diam-diam sanubarinya diselinapi perasaan ta'jub.
Binatang-binatang kesayangannya itu seakan-akan
tahu apa akibat yang terjadi pada Kurdi apabila Kurdi
melakukan sesuatu yang bisa mematikan bahkan
cuma melukai makhluk lain. Mereka seperti tahu. Atau
mereka memang tahu. Itu sebabnya mereka
menerjang Ki Sanca malam kemarin, dan kini nekad
pula bunuh diri. "... belum cukupkah lindungan yang kalian berikan
padaku" Belum cukupkah"" keluhnya.
Terbayang di matanya saat-saat di mana binatangbinatang itu selalu bertindak sebagai pelindung.
Anjing itu pernah menggigit putus leher seekor ular Sanca
yang hampir saja mematuk Kurdi. Seekor macan tutul
yang hampir saja menerkam Kurdi, lumat kepalanya
di tendang kudanya. Dulu, ketika penduduk kampung
Mira mengetahui gadis itu bercinta-cintaan dengan Ki
Sanca, pernah beberapa orang pemuda mau
mengeroyoknya. Tetapi mereka lari serabutan begitu
"anjing dan kuda Kurdi menggeram-geram di dekat
mereka. Anjing dan kuda itu pun selalu mengawasi
dari kejauhan tatkala Kurdi dan Mira sedang memadu
janji di tempat-tempat tersembunyi. Seakan-akan
anjing dan kuda itu mengerti apa yang tengah
melanda dada muda mudi yang masih remaja itu
serta... Kenangan-kenangan manis itu terputus tiba-tiba.
Sepasang mata Kurdi yang dari tadi terpaut ke tubuh
binatang-binatang kesayangannya itu, kini terbelalak
lebar. Mata yang sudah terbiasa dengan kegelapan
malam itu, bergulat dengan bathin Kurdi yang masih
bimbang. Tidak. Ia tidak tengah bermimpi. la tidak tengah
membayangkan pemandangan-pemandangan ganjil.
la tidak percaya. ltu saja, karena apa yang tengah
berlangsung di hadapannya, mungkin merupakan
peristiwa aneh yang pernah ia saksikan seumur
hidupnya. Ia sekali dua mendengar bahkan pernah
menyaksikan proses manusia berubah jadi binatang,
karena si manusia itu "munjung" atau pengabdi setan
berwujud binatang. Tetapi kini... yang ia lihat adalah
sebaliknya. Anjing dan kuda, dua ekor binatang yang
paling dekat dengannya selama ini, pelan-pelan tetapi
pasti berubah wujud seorang perempuan, sementara
kuda berubah jadi wujud seorang laki-laki!
"Demi roh-roh yang melindungiku!" Kurdi bergumam,
serak. "Apa artinya semua ini""
Laki-laki yang berasal dari wujud kuda, rupanya
mendengar erangan Kurdi. Ia mengangkat kepalanya.
Perlahan. Kepala yang rusak berat karena di hantam
pohon. Darah mengalir di sana sini. Kurdi tidak
mengenal laki-laki itu. Biarpun wajahnya misalnya
utuh, Kurdi yakin ia juga tidak akan mengenalinya.
Dengan terheran-heran ia mendengar suara patahpatah:
"Kurdi.... Kami adalah moyangmu. Itulah artinya...!"
Kurdi jadi tegang. Ia pandangi laki-laki yang sedang sekarat itu.
"Mo... moyangku..." Kalian berdua""
Matanya kemudian berpindah ke tubuh si perempuan.
Juga rusak wajahnya. Terhantam batu. Tiada gerakan
dari perempuan itu. Tiada sama sekali. Kurdi
menajamkan pandangannya, mempergunakan
seluruh kekuatan bathinnya. Kemudian ia menyadari
mengapa si perempuan kini tidak lagi memperlihatkan
tanda-tanda hidup. Kepalanya pecah. Di bagian
belakang ada bercak-bercak putih. Otak.
"Moyangku!" Kurdi mendengus.
Segenap kekuatan kemudian kembali pada dirinya. Ia
bangkit, dan bermaksud mendapatkan kedua orang
yang mengaku moyangnya itu. Tetapi si laki-laki
kembali menggerakkan kepalanya, seakan-akan
memprotes sehingga Kurdi urung niatnya. la kemudian
hanya berdiri, tegang dan gemetar, mendengar
ucapan laki-laki yang sekarat itu:
"Jangani Jangan kau... sentuh kami ini. Jangan, Kurdi.
Percuma saja... isteriku sudah mati. Ajalku pun akan
segera tiba. Jangan kau sentuh jasad kami. Biarkan
jasad kami ini... meneruskan takdir..."
Ada batuk-batuk serak sebentar, kemudian helaanhelaan nafas tersengal-sengal, dan dilanjutkan suara
terputus-putus: "Tajamkan telingamu, Kurdi. Dengarkan a pa yang
akan kuceritakan..."
Kurdi mengerahkan kekuatan bathin. la kemudian
mendengar, bahkan seolah-olah bisa menyaksikan
peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri.
Kedua suami isteri itu lebih dari seratus tahun yang
lalu pernah sama-sama bertapa. Mereka ingin kebal,
dan juga ingin tetap awet muda. Keinginan itu
"ditentang habis-habisan oleh ayah si suami, yang
dengan tandas menegaskan:
"Yang maha kuasa sudah mengguratkan kekuatan
phisik serta keampuhan usia manusia melawan alam!"
Si suami memberi dalih: "Kami cuma menuntut ilmu, untuk menjaga diri. Tidak
ada tujuan-tujuan lain."
"Bohong. Kalian terdorong nafsu birahi, dan ingin
perkasa seumur hidup kalian."
"Kami tak akan pergunakan untuk maksud-maksud
jahat, ayah. Hanya untuk kelanjutan hidup kami
berdua saja. Kami berjanji!"
Karena mereka bersikeras juga, akhirnya sang ayah
tidak kuasa lagi menahan. Dengan lesu, ia
mengingatkan: "Baiklah. Teruskanlah maksud kalian yang bagiku
tetap berbau busuk itu. Tetapi, tanggunglah sendirisendiri resikonya!"
Banyak resiko-resiko berat yang harus mereka
lampaui. Tetapi demi ilmu kebal serta keinginan awet
muda sampai mati, mereka terima saja semua
cobaan-cobaan serta resiko-resiko itu. Ter masuk
keharusan mereka meninggalkan menu sehari-hari.
Dari nasi dan lauk pauk, menjadi hanya darah ayam
putih. Itu pun, ayamnya harus dipotongkan orang.
Dengan lain perkataan, resiko yang lebih berat adalah,
mereka tidak boleh melukai makhluk lain, apalagi
membunuhnya. Celakanya lagi, darah itu harus mengalir dari lubanglubang hidung serta mulut sebuah tengkorak manusia.
Serta tengkorak itu, haruslah tengkorak orang yang
sama-sama telah melahirkan mereka ke dunia ini.
Dengan hati berat, mereka laksanakan semua syaratsyarat itu.
Memang, mereka jadi kebal. Terhadap senjata tajam.
Akan tetapi, tidak terhadap penyakit. Sang isteri, yang
orangtuanya masih hidup kedua-duanya tidak
bertahan cukup lama untuk menunggu ibunya mati. la
diserang penyakit asthma. Penyakit itu menyiksa
selama menjalani sisa-sisa hidup yang tidak pernah
lagi berbahagia. Sementara si suami, ketika ketahuan
oleh ayahnya yang fanatik itu telah membongkar
kuburan ibunya kemudian mengambil tengkorak
kepalanya, dikutuk dan disumpah, serta tidak diaku
anak, dan tidak akan mendapat warisan. Anak dan
ayah itu bertengkar hebat.
Kedua-duanya jadi emosi. Si ayah karena merasa
terhina, tengkorak isterinya diangkat dari kuburan,
sementara si anak kecewa dengan keputusan
ayahnya, disamping sudah putus asa menghadapi
penyakit sang isteri. Tak dapat menahan emosi,
keduanya berkelahi. Sebuah tinju yang deras dari
sang anak, menerpa mata sang ayah, sehingga pecah
berdarah. Si ayah kalap, menyambar sebilah pedang
dan bermaksud membunuh anaknya. Tetapi pedang
itu tidak berhasil melukai sang anak. la kebal. Dan
tau-tau saja senjata telah makan tuan. Sebelum
menghembuskan nafas yang terakhir, sang ayah
sempat menyumpah serapah:
"Kutukuk kalian, kalian akan menunggu jasadku
seumur hidup kalian berdua. Dan turun-temurun kalian
berdua, akan menunggui jasad orang-orang yang mati
penasaran seperti diriku!"
Seperangkat kutuk masih ia tambahkan dalam
sumpah serapahnya. Setelah merasa puas, sang ayah
pun mati. Meskipun jasad sang ayah telah membusuk, tetapi
sang anak tidak pernah berhasil mereka lenyapkan. Di
kubur, tanah terbongkar dan jasad itu kembali berada
di rumah. Dilempar ke sungai, tenggelam, tetapi
malam harinya sudah hadir kembali di rumah.
"Kengerian serta bau busuk tidak kuat mereka tahan.
Suami isteri yang durhaka itu meninggalkan rumah
untuk pindah ke tempat lain. Kemana pun mereka
pergi, mayat itu tetap mengikuti, sampai tinggal
tulang belulangnya saja. Akhirnya mereka
meninggalkan rumah untuk terakhir kalinya, kembali
ke tempat di mana dulu mereka pernah bertapa.
Tempat itu adalah tempat dimana sekarang berdiri
rumah yang didiami turun temurun oleh anak dan
cucu-cucu mereka, tempat Kurdi sebagai turun terakhir
tinggal. Ketika mereka tiba di pertapaan itu, kerangka sang
ayah sudah menunggu di sana. Namun karena
mereka sudah terbiasa, mereka membiarkannya saja.
Tidak panik. Tidak pula terpengaruh. Apalagi mundur.
Terpantang bagi keduanya. Mereka meletakkan tapa
brata bersama-sama, diganggu oleh siksaan bathin. Si
isteri, oleh siksaan asthma. Mereka satukan kekuatan bathin.
Mereka minta: "Jauhkan kami dari pohon beringin tua, pohon yang
menaungi rumah kediaman mereka dan keturunan
mereka kemudian di tempat itu, pohon yang mereka
sembah adalah: "Pisahkah tulang belulangnya. Lempar ke dalam
penjuru angin!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, kerangka sang
ayah mereka luluh lantakkan, kemudian diiemparlemparkin ke delapan penjuru angin. Habis melakukan
perbuatan itu, mereka kembali bertapa brata.
Pohon keramat itu berkata:
"Kalian tak akan diganggu oleh kerangka-kerangka itu
lagi. Tetapi, kalian telah melanggar peraturan yang
kuberikan. Kau, perempuan! Kau tidak berhasil
memperoleh tengkorak kepala ibumu. Kau gagal. Dan
kau, laki-laki. Kau peroleh tengkorak ibumu. Tetapi kau
lukai, bahkan kemudian kau bunuh ibumu. Kau pun
telah gagal!" Mereka mengaku bersalah, dan mohon ampun.
"Tidak. Jangan menjilat ludah. Jangan me langgar
janji. Kalian seharusnya malu!"
'"Tolonglah...!"
"Tidak! Aku tidak sudi menolong manusia-manusia tak
berguna seperti kamu berdua. Kukutuk kalian, untuk
tetap tinggal di tempat ini sampai keturunan kalian
yang paling akhir. Hehehe... jangan keburu berlega
hati, mengira hukumanku terlalu ringan. Ilmu kalian
hilang, akan tetapi tidak berani syarat-syaratku juga
kucabut. Kamu berdua harus tetap menyembah
tengkorak yang diambil dari kubur itu. Kamu berdua
pun harus tetap menjalani peraturan-peraturan yang


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah kalian setujui bersama. Hidup dari darah ayam
putih, ayam yang disembelihkan orang lain!"
Harta peninggalan sang ayah cukup banyak. Dengan
itu mereka bisa mendatangi penduduk di berbagai
desa, membeli ayam putih dan minta tolong
menyembelihkannya sekalian. Semua mereka
jalankan dengan terpaksa, sampai anak mereka
seorang laki-laki, lahir, bertumbuh lambat, dan
kemudian mereka berdua cepat menjadi tua. Ketika
kematian mereka rasa tak akan terelakkan lagi,
kedua suami isteri itu kembali melakukan tapa brata.
"Anak kami belum cukup besar. Tetapi kami akan
mati. Sedangkan kami ingin tetap merawat dan
melindunginya. Tunjukkanlah pada kami, hal apa yang
harus kami perbuat kedua suami isteri itu memohon
dengan sangat. Malah kalau kau perbolehkan, ingin
sekali kami jadi pelindung keturunan kami sampai
yang paling akhir. Betapa malangnya mereka, telah
termakan sumpah yang dijatuhkan ayah!"
Pohon menjawab: "Ada dua makhluk yang bisa melakukan hal-hal itu.
Yang satu, anjing. Yang kedua, kuda. Mau kalian
berubah wujud jadi binatang-binatang itu""
Lama waktu yang mereka perlukan untuk berpikir.
Sampai ajal kian mendekat, dan siksaan tak
tertahankan lagi. Mereka menyembah pohon beringin
itu, dan berujar: "Demi keselamatan darah daging kami, isteriku
bersedia ganti rupa jadi dengan anjing. Jadikanlah aku
seekor kuda!" "Demikianlah yang terjadi, Kurdi...." kata laki-laki itu
dengan nafas terengah-engah, serta batuk-batuk yang
kian menjadi. Sesaat, bibirnya yang terluka
menyeringai seulas senyum. Katanya: "Ah, batuk ini.
Rupanya aku sempat terjangkit oleh penyakit
isteriku!" Kurdi tidak menganggap ucapan itu sebagai hal yang
lucu. "Lalu..." ia bergumam. Hati-hati. "Kenapa moyang
berdua berganti wujud jadi manusia lagi""
Laki-laki itu tertawa. Terkekeh-kekeh. Parau.
"Begini," jawabnya. "Pohon keramat yang melindungi
rumah kita selama ini, berkata bahwa aku dan
isteriku akan mati wajar sebagai manusia, apabila
salah seorang keturunan kami rela mengorbankan diri
untuk ketenangan jiwa kami berdua. Dan itu telah kau
lakukan, Kurdi.... Betapa besar terimakasih kami
padamu." "Lantas mengapa moyang berdua harus bunuh diri"
Bukanlah dengan golok ditanganku...."
"Kurdi!" tukas si laki-laki. "Meskipun aku dan isteriku
telah berganti rupa jadi anjing, tetapi kutu k ayahku
tetap kami ingat baik-baik. Maka, lebih baik kami
bunuh diri daripada meninggalkan kau harus mati
dengan cara mengerikan serta tersiksa di setiap
"helaan nafas serta detikan jantung, yang akan makan
waktu cukup lama...."
Kurdi memelas: "Mengapa aku tidak mati saja seperti
kalian" Seperti orang-tuaku" Seperti Mira""
"Bila gerhana bulan... ilmu dan kutuk itu..."
Suara si lelaki terputus sampai di satu.
Kurdi lebih mendekatkan telinganya lagi. Tetapi tidak
ada ucapan apapun yang ia dengar sebagai lanjutan
kalimat yang terputus itu. Bahkan juga tidak tarikan
nafas. Ia perhatikan wajah laki-laki itu. Kaku. Pucat.
Dan diam. Ia ingin menggoyang-goyangkan tubuh si
laki-laki, ingin memaksa agar ia teruskan ucapannya
yang tidak selesai. Tetapi segera teringat akan
peringatan moyangnya, agar jangan menyentuh jasad
mereka. Apa yang akan terjadi dengan jasad kedua
orang moyangnya itu" Dan apa maksudnya dengan
kata-kata, "Bila gerhana bulan...."
Retlex, Kurdi tengadah. Dan melihatnya. Semenjak datang malam, ia telah
melihatnya. Bulan retak-retak. Gerhana!
Lalu kutuk dan ilmu" Serta hubungannya dengan
hidup Kurdi" Dengan hati yang penasaran, Kurdi merundukkan
mukanya lagi. Berharap, moyangnya belum mati dan
masih mau melanjutkan kata-katanya. Tetapi untuk
kesekian kalinya, mata Kurdi terbelalak sangat lebar...
Moyang perempuannya. Kedua tubuh yang tadi
berkulit halus itu, dengan cepat telah menjadi keriput.
Keriput disekujur tubuh keduanya, diiringi oleh warna
rambut yang hitam berubah jadi putih. Belum lagi
Kurdi sempat mengatur nafas, peristiwa berikutnya
dengan cepat telah berlangsung. Tubuh yang tadi
tinggal kulit, kini tinggal tulang belulang serta
tengkorak tanpa biji mata, tanpa telinga, tanpa daun
hidung, tanpa bibir. "Demi roh..." bisiknya, tersendat.
Dan, tulang belulang serta tengkorak itu pun lenyap
dengan tiba-tiba. Tinggal debu belaka, yang
tertangkap jelas oleh sinar mata Kurdi yang masih
dibantu kekuatan bathin. Pelan-pelan, tetapi pasti, ia
merasa kekuatan bathin itu pun menurun. Angin
dingin bertiup disekelilingnya, mula-mula perlahan,
kemudian keras. la menggigil. Tidak pernah ia merasa
sedingin ini. Tidak pernah ia merasa segemetar ini.
Rasa-rasa sakit pada kaki serta tangannya, muncul
pula tiba-tiba. Tidak pernah ia merasa sesakit ini.
Matanya terasa perih, tetapi ia paksakan juga untuk
melihat apa yang terjadi dengan debu-debu
keputihan-keputihan itu. Dengan sinar mata yang kian
melemah, ia lihat bagaimana debu kedua orang
moyangnya bertemperasan ditiup angin,
bertemperasan kian ke mari. Kemudian lenyap sama
sekali. Hilang. Ke arah delapan penjuru angin!
Angin dingin itu kian kencang bertiup. Kegelapan
menghantu dengan tiba-tiba. Kurdi tengadah. Bulan
retak-retak itu telah hilang. Mendung berlari-lari di
langit kelam. Mendung hitam. Lalu guntur tiba-tiba
menggelegar, sehingga Kurdi terlonjak berdiri saking
kagetnya. Ketika kemudian petir menyambar ia
tutupkan kedua tangannya diatas kepala. Aneh ia
juga belum pernah merasa setakut ini. Apa yang
terjadi dengan dirinya" Apa" Apa"
Kurdi berusaha mengatur nafas. Diantara hutan yang
mulai turun rintik-rintik, ia coba memusatkan pikiran.
Tetapi tidak berhasil. Pikirannya terpecah. Kacau
balau. Bingung. Ia coba membaca mantera. Namun hanya
satu dua yang berhasil ia ucapkan. Kebanyakan,
kacau susunannya, terganggu oleh kebingungan dan
kekalutan pikiran. Suatu perasaan ganjil menyentuh
ulu hatinya. ""Apakah ilmuku telah..."
Ia merasa kecewa. Hanya sekejap, tapi. Karena tibatiba ia merasa kegembiraan menyelinap pula di dada.
Pikirnya: "Apakah ini juga berarti, kutuk atas diriku juga telah
sirna"" Petir menyambar lagi. Dalam cahaya yang bersinar
hanya sekejap saja itu. Kurdi melihat sebuah benda besar dan hitam tak jauh
dari tempatnya berdiri. Peti mati di bak kereta itu.
Butir-butir hujan yang kian menderas, menerpa tutup
peti mati itu, menimbulkan warna-warni putih
keperak-perakan, serta suara berdetak-detak yang
teratur. Mungkin juga suara detak-detak itu berasal
dari dalam tubuh Kurdi. Dari jantungnya.
"Ah," ia bergumam. "Seperti kata moyangku aku tidak
boleh melanggar janji. Harus kuselesaikan tugasku.
Kalau benar ilmu dan kutuk atas diriku akan berakhir
mulai sekarang, maka ini pun tentulah merupakan
tugas yang paling akhir pula. Entah apa yang terjadi
setelah ini padaku. Tetapi yang penting, aku tidak
boleh menjilat ludah. Aku tidak boleh melanggar
janji...." Kemudian tali kekang yang sudah putus-putus itu ia
sambung-sambung dibawah siraman air hujan.
Ditambah dengan segulung tali lain yang ia ambil dari
bawah tempat duduk kereta, ia kemudian membuat
ikatan yang kuat di sekeliling peti mati itu, menarik
simpul. Ujung yang lain ia belitkan dari dada sampai
ke punggung dengan simpul besar yang bisa ia
pegang dibagian depan. Setelah menyelesaikan
pekerjaan itu, ia kemudian berusaha menurunkan peti
mati. Dengan susah payah usaha itu berhasil ia
lakukan, meski salah satu ujung peti itu terhempas
dengan keras ke tanah ketika mula-mula ia turunkan
dengan cara mengangkat bagian depan bak kereta
tinggi-tinggi sehingga peti meluncur ke belakang dan
jatuh dengan deras ke jalan bertanah yang becek.
Setelah itu, ia berdiri terengah-engah. Mengatur nafas.
"Sekarang, Nyi Ijah," bisiknya kearah peti mati. "Kau
akan kuantar ke kuburan suamimu. Akan kugali
kuburan disebelahnya, sehingga kau bisa berbaring
dengan tenang di samping pembaringan suamimu..."
la kemudian memandang berkeliling.
"Dimana letaknya kuburan itu""
Ya. Tiba-tiba ia sadar. Dimana letaknya kuburan itu,
pernah ia catat baik-baik di otaknya. Itu, dengan
bantuan roh Nyi Ijah sendiri. Tetapi kini, otaknya
menemui jalan buntu. Otaknya seperti tidak mau
berpikir, karena mengalami perubahan total yang
tidak ia mengerti. Ingatannya yang berhasil diberi
petuniuk oleh roh perempuan yang kini terbaring di
dalam peti, entah mengapa telah hilang begitu saja.
"Celaka," pikirnya. "Ilmuku benar-benar hilang kini!"
la memandangi peti mati itu. Kemudian:
Nyi Ijah. Bangkitlah. Tunjukkan padaku dimana kubur
suamimu..." Tetapi peti mati itu tidak bergerak-gerak. Hanya
menimbulkan suara detak-detuk. Aneh. Suara itu
keras sekali. Seperti suara sesuatu yang digedorgedorkan pada tutup peti. Lalu ia melihat butir-butir
hujan yang sebesar-besar jagung, berpecikan di
sekitar peti mati. "Hem. Suara itu tentu ditimbulkan oleh hujan.
Buktinya, kepalaku juga terasa perih ditimpa oleh
butir-butir air sebesar besar jagung ini. Wahai, sakit
sekali. Dinginnya, ampun!"
la coba berpikir. Dari pengalamannya selama ini, ia ingat bahwa
penduduk biasanya menyediakan tempat untuk
orang-orang yang sudah mati, di pinggir desa atau
"kampung. Tentu kuburan yang dimaksud oleh Nyi Ijah
selama ini, juga terletak di pinggir kota kecil ini.
Tetapi pinggir sebelah mana"
Kurdi memandang ke arah jalan raya. Yang ada
hanya kegelapan, dan sinar lemah dari lampu-lampu
rumah di kejauhan. Apakah ia harus berjalan
menempuh jalan besar itu, menarik peti mati tanpa
tujuan" la coba memperhitungkan waktu. Sekarang
sudah menjelang subuh. Syukur kalau pekuburan itu
ia temukan sebelum satu jam. Kalau tidak" Bukan
saja ia akan tersiksa oleh usaha menarik peti mati itu,
akan tetapi orang-orang akan sudah bangun, dan apa
kata mereka kala melihat seorang laki-laki asing
terlihat menyeret peti mati sepanjang jalan" Benarbenar mengerikan. Itu berarti, percuma saja.
Kutuk atas diri Kurdi hilang. Padahal, diam-diam ia
sudah membayangkan, bagaimana rasanya mencicipi
nasi, mencicipi lauk pauk, dari hangatnya tubuh
seorang perempuan yang masih hidup. Bukan tubuh
sesosok mayat yang sudah dingin membeku...
Mau muntah rasanya Kurdi ingat sampai di situ.
"Hem," ia menemukan jalan keluar.
Setelah melepaskan tali pengikat pada tubuhnya, ia
kemudian berjalan tersuruk-suruk ke arah rumah
terdekat, yang letaknya beberapa ratus meter dari
tempat itu. Kesakitan yang amat sangat menderita
kedua kakinya, ia sampai terjatuh berulang-ulang.
Tetapi ia segera bangkit lagi, dan berusaha berjalan,
sesekali merangkak ke arah rumah yang ia tuju.
Betapa sukarnya menempuh perjalanan yang begini
pendek. Bagaimana nanti bila ia harus menyeret
sebuah peti mati sebagai tambahan beban" Peti"
Mengapa pula ia harus membawanya" Peti itu bisa ia
buka, dan mayat Nyi ljah ia panggul.
"Hem... dengan begitu, mungkin bebanku agak
ringan," cetusnya dengan perasaan puas, tepat ketika
ia berhasil mendekati pintu rumah yang ia tuju,
kemudian mengetuknya perlahan-lahan.
Tidak ada sahutan. "Ah, hujan badai menelan suara ketukan..."
gumamnya, lantas pintu itu ia gedor. Sekali. Dua kali.
Tiga. Tiap kali lebih keras, sampai lampu ruang depan
menyala, pintu terbuka tiba-tiba dan mata Kurdl silau
oleh cahaya. "Ada ap..." Pertanyaan dari penghuni rumah itu tidak diteruskan.
Kurdi membiasakan matanya pada cahaya, kemudian
memperhatikan orang yang berdiri dihadapannya.
Orang itu, seorang laki-laki setengah baya, bertubuh
sedang, berkain sarung dengan kaus singlet tampak
gemetar dan pucat wajahnya. Sebelum Kurdi
membuka mulut untuk menerangkan siapa dirinya,
orang itu telah berusaha menutupkan pintu.
Kurdi cepat menahan dengan tangannya. Tangan yang


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lecet-lecet, luka dan berdarah. Orang itu pun
melihatnya, sebagai extra dari pemandang an
sebelumnya, yakni tubuh sesosok manusia asing,
berlumur darah dan basah kuyup oleh hujan serta
wajah yang tampak seram karena demikian
pucatnya. Penghuni rumah itu lebih terpesona lagi
waktu Kurdi bertanya: "Di mana letaknya kuburan daerah ini""
Mendengar itu, si laki-laki setengah baya menjerit:
"Hantu. Kau... hanttuuuuuuuuu!"
Lantas ia berlari masuk ke rumah dengan suara ribut,
tanpa menutupkan pintu kembali. Orang-orang lain di
rumah itu segera pada bangun. Sebelum mereka
keluar Kurdi sudah mengundurkan diri cepat-cepat.
Celaka, rutuknya, mengumpat-umpat. Haruskah ia
pergi ke rumah lain dan menerima perlakuan yang
"sama" Fuih. Penakut benar, aku disangka hantu. Puih!
ia meludah, dan terseok-seok berlari ke tempat
semula. Sudah. Ia cari saja kuburan itu, dengan
berusaha menghindarkan bertemu dengan penduduk.
Tetapi, apa yang terjadi.
Tali pengikat peti telah putus-putus, dan tutup peti
mati itu terbuka perlahan-lahan. Mula-mula Kurdi tidak
melihat apa-apa. Tetapi bersamaan dengan
menyambarnya kilat di udara, tutup peti mati
terhempas membuka, dan sesosok tubuh besar
berbulu coklat kehitam-hitaman bangkit dari peti mati.
"Nyi...." Kurdi tidak melanjutkan suaranya yang terengah. ltu
bukan Nyi Ijah. Melainkan sesosok makhluk tinggi
besar dan mengerikan, yang hanya terdapat ditengah
rimba belantara. Seekor mawas, yang menyeringai
lebar di wajahnya yang buruk, memperlihatkan gigigigi taring yang panjang-panjang.
Mawas itu menggeram. "... kau," bathin Kurdi seolah-olah mendengar. "Kau
gagal menguburkan jasadku di samping suamiku!"
"Tidak!" jerit Kurdi. "Aku tidak..."
"Geeeeerrrr!" Dan makhluk itu telah menerjang Kurdi. Mencekik
lehernya, kemudian taring-taring yang panjang serta
runcing merengkah kepalanya.
Kurdi tak sempat berteriak lagi.
Dan, ketika penghuni rumah terdekat dari tempat itu,
datang berlari-lari disertai oleh tetangga-tetangga
setelah hujan berhenti dan matahari mulai muncul,
laki-laki setengah baya itu terpaku di dekat peti mati
yang menganga terbuka. Di dalam peti, terbaring
tubuh Kurdi yang sudah menjadi mayat.
Lama tak terdengar suara. Bahkan helaan nafas.
Sampai seseorang tiba-tiba bertanya dengan suara
kecut: "lnikah... hantu yang katamu subuh tadi datang ke
rumahmu"" Laki-laki setengah baya berkain sarung dan berkaos
singlet itu, tidak kuasa menjawabnya.
Tidak. Tentu saja. Hantu tidak pernah muncul di siang
bolong! Atau, arwahnya-kah yang muncul di
rumahnya" "la..." ujarnya kemudian. "la bertanya di mana
letaknya kuburan..."
Beberapa jam kemudian, penduduk setempat
menggali sebuah kuburan di komplex pemakaman
mereka. Mayat Kurdi mereka tanam di sana,
bersebelahan dengan sebuah kuburan lama. Di alam
lain, roh Kurdi bertemu dengan roh pemilik kuburan
tetangganya. Ternyata tetangganya itu adalah laki-laki
yang sewaktu hidupnya pernah menjadi suami Nyi
Ijah. Sementara orang-orang sibuk menutup kembali
kuburan Kurdi, dari kejauhan, bergelantungan di
sebuah pohon besar dan rimbun, sepasang mata ikut
memperhatikan. Setelah orang-orang menyelesaikan
tugasnya, makhluk itu pun menggeram, kemudian
menyeringai lebar memperlihatkan gigi-gigi taring
yang panjang. Sudut-sudut matanya yang kecil-kecil,
dibasahi oleh butir-butir air bening. Lama makhluk itu
berlaku demikian, sampai kemudian ia berpaling.
Setelah itu, ia menyelinap, masuk ke dalam hutan...
-TAMAT- Piramida Bangsa Astek 3 The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum Playboy Dari Nanking 14

Cari Blog Ini