Ceritasilat Novel Online

Persembahan Raja Setyagara 1

Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara Bagian 1


PERSEMBAHAN RAJA SETYAGARA Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Persembahan Raja Setyagara
128 hal. ; 12 x 18 cm.
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Suasana duka masih melingkupi Kerajaan
Sutera Bayu, setelah mangkatnya sang Prabu
Mulya Dewantara. Wajah-wajah mendung bukan
saja masih tergambar pada masing-masing penghuni Istana Sutera Bayu. Tapi, juga pada penduduk yang masih berada dalam wilayah kekuasaan
Kerajaan Sutera Baya. Dan kini, tampuk kekuasaan tertinggi kerajaan itu dipegang oleh Setyagara.
Dan ini sudah dua purnama Prabu Setyagara menduduki tahta, setelah kematian sang
Prabu Mulya Dewantara yang terserang penyakit
cukup aneh. Tak ada yang tahu, apa jenis penyakitnya. Jika penyakit itu datang, sang Prabu menjadi lupa pada orang-orang di
sekitar istana. Baik pada permaisuri, maupun putra tunggalnya yang
bernama Bintang Megantara. Yang lebih parah lagi, sang Prabu Mulya Dewantara lupa pada dirinya sendiri! Baik tabib istana maupun tabib yang tinggal di wilayah Kerajaan Sutera Bayu telah pula
berusaha mengobati penyakit aneh Yang Mulia
Prabu Mulya Dewantara. Namun kedatangan mereka hanya sia-sia belaka. Penyakit aneh yang diderita Yang Mulia tetap saja
tidak dapat disembuhkan. Begitu juga ketika tabib-tabib sakti yang tinggal di luar Kerajaan
Sutera Bayu didatangkan.
Hasil yang didapat juga sama nihil.
Akhirnya entah desas-desus dari mana
timbul suatu kecurigaan, kalau patihnya sendirilah yang telah melenyapkan nyawa
Yang Mulia Prabu Mulya Dewantara. Benarkah patih itu yang
melenyapkan nyawa sang Prabu"
*** "Patih Laksa!" panggil Prabu Mulya Dewantara pada seorang patih kepercayaannya.
Dia bernama lengkap Patih Abadi Selaksa.
Patih Abadi Selaksa terkejut mendengar
namanya disebut junjungannya. Padahal sudah
hampir satu minggu, namanya selalu dipanggil
dengan sebutan kata-kata kotor. Tapi sekarang....
"Hamba, Yang Mulia," sahut Patih Abadi Selaksa dengan kepala sedikit tertunduk.
Sungguh, patih setia itu senang mendapatkan kenyataan bahwa junjungannya telah
kembali pada ingatannya semula.
"Apa gerangan yang dapat hamba bantu,
Yang Mulia?" lanjut Patih Abadi Selaksa, dengan tutur kata lembut
Prabu Mulya Dewantara tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Patih Abadi Selaksa.
"Bisakah kau mengantarku ke Desa Batuapung?" pinta Prabu Mulya Dewantara.
"Hamba bersedia, Yang Mulia," jawab Patih Abadi Selaksa cepat
Namun tatapan mata patih yang berusia
hampir enam puluh tahun itu terlihat menyimpan
ketidak-percayaan akan keinginan junjungannya
untuk datang ke Desa Batuapung. Padahal, desa
tandus itu hanya dihuni segelintir orang. Apalagi, desa itu juga dikelilingi
jurang-jurang curam,
bahkan bukanlah termasuk wilayah kekuasaan
Kerajaan Sutera Bayu
"Maafkan hamba, Yang Mulia," ucap Patih Abadi Selaksa setelah beberapa saat
menatap wajah Prabu Mulya Dewantara. "Kalau boleh hamba tahu, gerangan apakah
yang membuat Yang Mulia hendak berkunjung ke Desa Batuapung?"
"Ha ha ha...!"
Di luar dugaan Patih Abadi Selaksa, Prabu
Mulya Dewantara terbahak keras.
"Kau abdiku, Laksa!" tukas Prabu Mulya Dewantara keras dengan jari telunjuk
menuding wajah Patih Abadi Selaksa.
Patih Abadi Selaksa terkejut mendengar
suara keras junjungannya. Lelaki berwajah tirus dengan sorot mata masih nampak
menyisakan kegagahan masa lalunya, kini hanya menundukkan kepala menekuri lantai yang tertutup permadani begitu indah.
"Kau tak perlu tahu, apa urusanku di sana, Laksa! Yang kutanyakan, apakah kau
bersedia menemaniku ke sana! Jika tidak, kepalamulah
yang kubawa, tanpa badanmu!" lanjut Prabu
Mulya Dewantara, setelah tawanya yang menggema ke dinding-dinding istana lenyap.
"Hamba bersedia, Yang Mulia," tukas Patih Abadi Selaksa cepat. Kepalanya yang
tertunduk, semakin dalam menekuri permadani bercorak bunga-bunga indah yang berwarna dasar kecoklatan. "Ha ha ha.... Bagus! Kau memang betul-betul abdiku, Laksa! Sekarang juga,
kita berangkat," putus Prabu Mulya Dewantara diiringi tawanya. "Baik, Yang
Mulia," jawab sang Patih.
Penguasa Kerajaan Sutera Bayu itu lalu
segera bangkit dari singgasananya, diikuti Patih Abadi Selaksa.
"Aku boleh ikut. Ayah?" tanya seorang pemuda tampan berusia hampir tujuh belas
tahun yang sejak tadi memang telah ada di situ.
Pemuda berpakaian warna kuning gading
itu tak lain adalah Bintang Megantara, putra
tunggal Prabu Mulya Dewantara. Sementara, penguasa Kerajaan Sutera Bayu itu menghentikan
langkahnya, begitu mendengar pertanyaan putra
kesayangannya. Dan wajahnya pun seketika menoleh ke arah Bintang Megantara.
"Tak seorang pun kuperkenankan ikut, terkecuali Patih Laksa," jawab Prabu Mulya Dewantara. Bintang Megantara sedikit
terkejut men- dengar jawaban tegas ayahandanya. Keinginan
hatinya untuk turut serta kini benar-benar surut.
Apalagi, setelah ibunda tercinta mengharuskannya menuruti kata-kata ayahnya. Meski permaisuri sang Prabu sendiri heran mendengar ucapan
suaminya, namun berusaha memakluminya.
Mengingat, Prabu Mulya Dewantara tengah menderita suatu jenis penyakit aneh.
*** Langit kotaraja yang baru disirami sinar
matahari pagi, seolah memberi semangat Prabu
Mulya Dewantara untuk berangkat mengunjungi
Desa Batuapung yang tandus dan dikelilingi jurang-jurang terjal.
Beberapa pejabat tinggi kerajaan yang kini
turut berdiri di pelataran Istana Sutera Bayu, terlihat memandangi junjungannya
yang telah du- duk di atas kuda putih yang gagah. Di atas punggung kuda coklat, Patih Abadi
Selaksa dengan setia menunggu perintah junjungannya yang berkuda di sampingnya. Namun begitu, di benak patih yang sudah puluhan tahun menemani kehidupan sang Prabu ini terpendam pertanyaanpertanyaan akan keinginan aneh Prabu Mulya
Dewantara. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit ditemukan jawabannya sampai tiba di Desa Batuapung. "Ayo, Laksa!" sentak Prabu Mulya Dewantara mengejutkan Patih Abadi
Selaksa. Sang Prabu seketika itu juga menggebah kuda tunggangannya. "Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Patih Abadi Selaksa pun tak mau ketinggalan. Dengan teriakan keras, patih berpakaian putih bersih itu menggebah kuda
coklat yang ditungganginya. Kuda putih dan coklat yang ditunggangi
Prabu Mulya Dewantara dan Patih Abadi Selaksa
sudah melesat cepat meninggalkan pelataran Istana Sutera Bayu. Berpasang-pasang mata para
pejabat-pejabat tinggi kerajaan mengiringi kepergian junjungannya dengan benak
dipenuhi pertanyaan akan keanehan-keanehan yang ada. Demikian pula sang Permaisuri dan sang Putra Mahkota. Dua sosok yang paling dekat dengan Prabu
Mulya Dewantara itu mengiringi kepergian orang
yang dicintai disertai kekhawatiran dan kecemasan mendalam.
"Ahhh....!"
Terdengar helaan napas berat dari Permaisuri Citra Laras saat Prabu Mulya Dewantara telah lenyap di kelokan jalan.
*** Desa Batuapung yang terletak di luar wilayah kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu kini mulai dimasuki oleh Prabu Mulya
Dewantara dan Patih
Abadi Selaksa. Hampir satu setengah hari untuk
mencapai desa tandus yang berhawa panas ini.
Nampak kelelahan menghiasi wajah sang Prabu
yang tak terbiasa bepergian jauh dengan menunggang kuda yang dikendalikannya sendiri.
Sebenarnya Patih Abadi Selaksa tak tega
melihat junjungannya menderita keletihan seperti
itu. Terlebih, ketika sang Prabu memerintahkan
melepas kuda-kuda yang ditunggangi seharian
penuh dan mengajak menelusuri daerah yang dikelilingi jurang terjal dengan karang-karangnya yang runcing.
"Lebih baik kuda-kuda itu ditambatkan di
tempat ini saja, Yang Mulia," saran Patih Abadi Selaksa, setelah mereka turun
dari kuda masing-masing. "Yang Mulia akan dapat menggunakannya kembali jika
diperlukan nanti."
"Kau mulai pandai membantah, Babi! Kalau kukatakan lepas, lepaskanlah kuda-kuda itu!
Biar mereka pergi!" bentak sang Prabu garang, mengganti panggilan Patih Abadi
Selaksa dengan kata-kata kotor.
Lelaki berusia hampir enam puluh tahun
yang dipanggil 'babi' itu terkejut bukan kepalang.
Rasanya penyakit Prabu Mulya Dewantara muncul kembali. "Baik... Baik, Yang Mulia," ucap Patih Abadi Selaksa seraya melepas kedua tali
kekang ku-da yang kini telah dipegang.
Sesaat kemudian patih itu memukul bokong kedua kuda tunggangan mereka yang segera
berlarian cepat, meninggalkan kepulan yang
membumbung tinggi di udara.
"Ha ha ha...!
Prabu Mulya Dewantara tertawa sesaat kepergian kuda-kuda itu.
"Ternyata kau bisa juga memenuhi perintahku, Babi!" kata Prabu Mulya Dewantara menyakitkan hati Patih Abadi Selaksa.
"Tentu saja hamba akan selalu memenuhi
perintah Yang Mulia," tutur Patih Abadi Selaksa, dengan kegeraman ditahan.
"Kalau begitu, mari kita susuri bibir jurang itu," ajak Prabu Mulya Dewantara
seraya melangkah. Ada perasaan khawatir yang tiba-tiba saja menyelinap di hati
Patih Abadi Selaksa mendengar ajakan junjungannya. Namun patih ini tak
tahu betul, apa makna kekhawatiran hatinya.
Bahkan sampai-sampai ajakan sang Prabu tak
mampu ditolaknya.
Langkah kaki sang Prabu yang menapaki
bibir jurang Desa Batuapung diikuti Patih Abadi Selaksa. Beberapa penduduk desa
yang tengah mencari batu-batu dan kebetulan berpapasan,
berbaik hati memperingati dua orang dari Kerajaan Sutera Bayu.
"Hati-hati, Tuan. Tanah di bibir jurang itu amat gembur," jelas seorang penduduk
Desa Batuapung yang berpapasan dengan sang Prabu dan
Patih Abadi Selaksa ini.
"Terima kasih, Kisanak," jawab Patih Abadi Selaksa, menanggapi pemberitahuan
itu. Sementara Prabu Mulya Dewantara hanya
memandangi lelaki bertubuh tinggi kurus yang
membawa linggis dengan tatapan memancarkan
ketidak-senangan.
"Sebaiknya Yang Mulia berjalan agak ke
tengah," saran Patih Abadi Selaksa ketika penduduk Desa Batuapung itu sudah agak jauh dari
mereka. "Kurang ajar sekali kau, Anjing!" maki sang Prabu marah.
Patih Abadi Selaksa tak kuasa membiarkan
perkataan junjungannya.
"Hamba mencemaskan Yang Mulia. Hamba
takut, Yang Mulia tergelincir," ujar Patih Abadi Selaksa mencoba meredam
kemarahan sang Prabu.
"Monyet Hutan!" bentak sang Prabu geram.
Srat! Terbelalak mata Patih Abadi Selaksa melihat penguasa Kerajaan Sutera Bayu ini sudah
meloloskan pedang dari warangka di pinggang sebelah kiri. "Yang Mulia...?" bergetar suara yang keluar dari mulut Patih Abadi Selaksa.
"Ha ha ha...!" Prabu Mulya Dewantara terbahak menyaksikan kegentaran Patih Abadi


Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Se- laksa. "Sengaja aku mengajakmu ke tempat ini, Monyet! Aku ingin bertarung
melawan Monyet Hutan macam kau! Aku ingin tahu, siapa yang jago bermain pedang di antara kita. Dan aku juga
ingin tahu, siapa di antara kita yang akan mati lebih dahulu."
Terhadap keinginan sang Prabu, Patih Abadi Selaksa tak bisa memenuhinya. Pikirannya
betul-betul kacau. Dia yakin ucapan sang Prabu
bukanlah keluar dari keinginan hatinya. Tapi, karena penyakit yang tengah
diderita. Penyakit yang
membuat sang Prabu lupa pada dirinya sendiri,
dan juga pada orang terdekatnya.
"Yang Mulia...?"
Patih Abadi Selaksa masih berusaha menyadarkan pikiran Prabu Mulya Dewantara. Namun, apa yang didapat hanya keterkejutan yang
semakin menjadi-jadi.
"Cabut senjatamu, Monyet!" sentak sang Prabu menggelegar.
Patih Abadi Selaksa tentu saja tak sudi
menuruti perintah junjungannya yang di luar batas kewajaran sebagai abdi setia. Namun rupanya tindakan lelaki berpakaian putih
dengan rambut panjang digelung ke atas itu, membuat kemarahan Yang Mulia Prabu Mulya Dewantara semakin
naik ke ubun-ubun.
Dengan serta merta dan tanpa diduga sama sekali, Prabu Mulya Dewantara membabatkan
senjatanya ke arah dada Patih Abadi Selaksa.
"Haaa...!"
Bettt! Melihat sambaran pedang ini, Patih Abadi
Selaksa berusaha menghindar dengan bergeser
sedikit ke kiri, namun....
"Heh"!"
Srats! Patih Abadi Selaksa terpekik kecil ketika
sambaran pedang milik Prabu Mulya Dewantara
berhasil menggores pangkal tangan sebelah kanannya. Darah kontan mengucur dari luka di
tangannya. Luka yang tidak seberapa besar, namun cukup membuat kekalutan pada pikirannya.
"Kalau kau tak ingin mampus, cabut segera
senjatamu, Babi!" sentak sang Prabu, kasar.
Sesungguhnya sang Prabu tak pernah berkata kasar seperti itu, sebelum penyakit aneh
menguasai dirinya. Dia sebenarnya adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Bahkan selalu bertutur kata lemah lembut.
Namun sekarang"
Terhadap permintaan sang Prabu, tentu
saja sang Patih tak pernah memenuhinya. Apalagi, dia terlalu menghormati dan mencintai rajanya. "Memang kau cari mampus, Monyet!"
"Hiyaaa...!"
Kembali Prabu Mulya Dewantara mengebutkan pedangnya dengan gerakan cepat ke arah
dada. "Uts!"
Kali ini, Patih Abadi Selaksa bergerak lincah ke arah kanan, untuk menghindari sambaran
pedang yang terlihat tidak main-main. Gerakannya memang cukup tangkas. Terbukti, sambaran
senjata Prabu Mulya Dewantara hanya menerpa
angin kosong "Bangsat kau!" maki sang Prabu semakin kalap. Pedang di tangan Prabu Mulya
Dewantara tiba-tiba diputar-putar cepat, hingga wujud aslinya tak nampak. Kenyataan itu membuat Patih
Abadi Selaksa terkejut. Sungguh dirinya tak tahu, dari mana Prabu Mulya
Dewantara mendapatkan
ilmu permainan pedang seperti itu. Padahal, sebelumnya dia tak pernah mempunyai
kepandaian seperti itu. Namun dari gaya permainan pedang
itu, Patih Abadi Selaksa sepertinya pernah mengenalinya. Jelas gaya itu milik seorang tokoh persilatan golongan hitam, patih
ini memang pernah melihatnya, namun tidak tahu jelas, siapa tokoh itu.
"Hiyaaat...!"
Di tengah-tengah pikiran Patih Abadi Selaksa yang tengah berkecamuk, Prabu Mulya Dewantara kembali bergerak cepat dengan senjata
masih berputar-putar di tangan kanan. Kini gerakannya lebih cepat daripada
gerakan awal saat
menyerang Patih Abadi Selaksa.
Tentu saja, apa yang dilakukan sang Prabu
membuat Patih Abadi Selaksa tak kuasa berpikir
jernih. Maka ketika serangan itu semakin mendekat, serta merta Patih Abadi Selaksa mencabut
senjatanya untuk melindungi diri.
Srat! Trang! "Aaa...!"
Pekik tertahan seketika terdengar, manakala bunyi benturan senjata terdengar jelas, diiringi percik bunga api dan
tergempur mundurnya tubuh Prabu Mulya Dewantara.
"Setan!" hardik sang Prabu setelah mampu menguasai dirinya yang terhuyung.
"Berani sekali kau melawanku, Monyet!"
Patih Abadi Selaksa tak menimpali caci
maki junjungannya. Kedudukannya kini pada
keadaan yang serba salah. Kalau dirinya membiarkan pedang sang Prabu berkelebat ke arahnya, maka dialah yang akan binasa. Namun jika
mencoba-coba melindungi diri, dia dikatakan telah lancang melawan rajanya.
"Hmmm.... Penyakit macam apa ini?" gumam Patih Abadi Selaksa akhirnya.
Di hatinya, patih itu menduga-duga kalau
sang Prabu mendapatkan penyakit akibat perbuatan seorang tokoh sakti yang dapat merubah jalan pikiran seseorang. Sehingga,
orang yang dituju
dapat dipermainkan sekehendak hatinya.
"Tapi siapa tokoh sesat itu...?" lanjut hati Patih Abadi Selaksa berkata-kata
sendiri. Patih Abadi Selaksa terpaku sejenak. Kemudian, dia berniat menggunakan cara lain untuk membujuk sang Prabu. Kepalanya sengaja ditundukkan serendah mungkin, sebagai pertanda
kalau dirinya betul-betul menghormati. "Maafkan hamba, Yang Mulia," ucap sang
Patih itu. Namun sambutan sang Prabu itu di luar
keinginan sang Patih.
"Ngrgmgrh...!"
Sang Prabu tiba-tiba saja menggereng keras. Matanya terbelalak lebar, memancarkan sorot yang mengandung nafsu membunuh
tak terkendali. "Hiyaaa...!"
Tubuh Prabu Mulya Dewantara tiba-tiba
melesat cepat dengan pedang teracung di atas kepala. Patih Abadi Selaksa belum mengambil keputusan, apakah menangkis serangan itu atau
malah menghindarinya. Hatinya sungguhsungguh dilanda kekalutan. Namun ketika sejengkal lagi ujung pedang milik Prabu Mulya Dewantara menggorok lehernya, nalurinya untuk
menyelamatkan diri tiba-tiba memberontak kuat.
Serta merta, tubuh sang Patih ini bergerak cepat ke arah kanan. Langsung
dihindarinya tebasan
senjata miliki Prabu Mulya Dewantara.
Bets! "Uts!"
"Aaa...!"
Prabu Mulya Dewantara seketika memekik
keras! Begitu sambaran pedangnya berhasil dielakkan Patih Abadi Selaksa, namun tubuhnya
tergelincir ke dalam jurang karena terdorong tenaga tebasannya sendiri!
Patih Abadi Selaksa sendiri tersentak melihat kenyataan yang sama sekali tidak diduga.
Lengking kematian junjungannya bergema terus
di telinganya. 2 Keadaan duka yang terlihat di dalam istana
dan di luar Istana Sutera Bayu, terlihat pula di dalam tahanan bawah tanah
istana ini. Sebuah
ruangan pengap yang terbuat dari batu-batu cadas kokoh, yang didalamnya terlihat sosok renta lelaki berusia enam puluh tahun
tengah duduk berselonjor. Wajah tua dengan rambut hitam yang tersanggul ke atas itu nampak
semakin cekung.
Kelopak matanya menjorok ke dalam, sementara
pakaiannya yang putih nampak begitu kumal.
Di luar tahanan yang dijaga ketat enam lelaki gagah berpakaian prajurit jaga Kerajaan Sutera Bayu, nampak seorang lelaki
muda berusia tak lebih dari tujuh belas tahun tengah memegangi terali tahanan yang terbuat dari logam keras bulat. Lelaki muda berpakaian
warna kuning gading itu tak lain dari putra mahkota almarhum Prabu Mulya Dewantara, Bintang
Megantra. Sedangkan di sebelahnya nampak Citra Laras tengah memandangi tubuh ringkih Patih Abadi Selaksa. "Ki...."
Citra Laras memanggil lembut Patih Abadi
Selaksa yang kepalanya tengah tertunduk menekuri lantai tahanan yang dingin.
"Paman...!" panggil Bintang Megantara mengikuti suara ibunya.
Perlahan Patih Abadi Selaksa mengangkat
kepalanya, setelah mendengar namanya disebut
dua kali. Dan matanya kontan terbelalak ketika
menyaksikan siapa yang berada di hadapannya.
"Tuan Putri Citra Laras.... Raden Bintang
Megantara..." Oh!"
Patih Abadi Selaksa tak kuasa melanjutkan
ucapannya. Perasaan haru melihat kehadiran
orang-orang yang dicintainya, membuat napasnya
seperti terhenti sesaat.
"Ya, kami datang menjengukmu, Ki?" ucap Citra Laras, dengan tatapan teduh ke
wajah Patih Abadi Selaksa.
Peristiwa menyakitkan itu merangkak perlahan mencapai usia dua purnama. Dan selama
itu pula, Patih Abadi Selaksa mendekam di ruang tahanan bawah tanah seumur
hidup. Akibat dituduh telah membunuh Prabu Mulya Dewantara.
Sedangkan kedudukanya sebagai patih diambil
alih oleh Ki Sodrasena. Sementara tampuk kekuasaan dipegang oleh Yang Mulia Prabu Setyagara.
Dalam silsilah kerajaan, dia adalah adik kandung mendiang Prabu Mulya Dewantara.
Sesungguhnya hati Citra Laras begitu iba
melihat keadaan lelaki itu. Seorang laki-laki yang menjabat sebagai patih
Kerajaan Sutera Bayu selama puluhan tahun, namun harus lepas jabatannya setelah dituduh sebagai pembunuh Prabu
Mulya Dewantara.
Patih Abadi Selaksa memang tak mampu
mengelak tudingan dan tuduhan itu. Apalagi yang melancarkannya Ki Setyagara,
adik kandung sang
Prabu. Sulit untuk mengelaknya, karena memang
dirinya sendirilah yang mengantar kepergian sang Prabu Mulya Dewantara ke Desa
Batuapung. Dan di desa itu pulalah Raja Sutera Bayu itu menemui ajalnya. Jadi wajar kalau Patih
Abadi Selaksa yang menjadi tumpuan kesalahan, dan harus
mendekam dalam ruang tahanan seumur hidup.
"Tuan Putri... dan kau Raden. Terima kasih atas kedatangan kalian menjengukku.
Oh. Aku bahagia sekali bisa melihatmu, Raden," ucap Patih Abadi Selaksa parau.
Citra Laras dan Bintang Megantara terharu
dengan ucapan Patih Abadi Selaksa.
"Kami juga, Paman," balas Bintang Megantara. "Bagaimana perkembangan di luar"
Apakah Yang Mulia Setyagara memimpin kerajaan ini
dengan adil dan bijak?" tanya Patih Abadi Selaksa menyelidik.
Sesungguhnya, laki-laki tua itu sudah tahu
watak Yang Mulia Setyagara, namun tetap juga
melemparkan pertanyaan itu. Dan ia memang ingin tahu langsung dari mulut Permaisuri Citra Laras dan Bintang Megantara
tentang keadaan sekarang. Citra Laras dan Bintang Megantara tak segera menjawab pertanyaan Patih Abadi Selaksa.
Tatapan matanya tertuju pada penjaga-penjaga
yang memegang tombak.
"Mendekatlah kau, Ki," pinta Citra Laras.
Patih Abadi Selaksa menggeser duduknya
perlahan. Keadaan tubuhnya yang nampak lemah, membuat bekas patih tersohor Kerajaan Sutera Bayu tak bisa bergerak bebas.
"Apa yang terjadi di luar, Tuan Putri?"
tanya Patih Abadi Selaksa pelan.
"Setelah kematian suamiku, keadaan semakin panas saja. Dan sebetulnya aku tak percaya kalau kau membunuh Gusti Prabu Mulya
Dewantara, mengingat penyakitnya yang kurasa
juga aneh. Jelas, penyakit itu sengaja dibuat
orang dengan maksud memang ingin menyingkirkan Gusti Prabu. Nyatanya, suamiku memang
tersingkir, setelah pergi denganmu. Tapi setelah Adi Setyagara memerintah, aku
semakin yakin, kau bukanlah seorang pembunuh. Aku berkesimpulan demikian karena atas dasar kecurigaanku
melihat tindak-tanduk Adi Setyagara yang semakin brutal saja. Untung saja belum terjadi pergo-lakan di dalam istana dan
kerajaan ini, Ki," jelas Citra Laras dengan nada suara ditekan serendah
mungkin. "Namun naluriku mengatakan, bila Adi Setyagara dengan sikapnya yang
demikian terus.
Berkuasa, akan hancurlah Kerajaan Sutera
Bayu." Patih Abadi Selaksa membelalakkan mata mendengar penuturan bekas
junjungannya. "Maksud, Tuan Putri...?"


Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Patih Abadi Selaksa menghentikan katakatanya ketika Permaisuri Citra Laksa menempelkan telunjuk di bibir.
"Kabar yang kudengar dari seorang telik
sandi kepercayaan, Adi Setyagara akan mengadakan persembahan pada setiap bulan purnama dalam waktu dekat ini," jelas Permaisuri Citra Laras, seperti berbisik.
"Persembahan" Apa maksudnya?" tukas
Patih Abadi Selaksa terheran-heran. "Dan untuk apa...?"
"Entahlah, Paman. Yang pasti, keinginan
gila itu tercetus setelah masuknya orang luar ke dalam Istana Sutera Bayu,"
jelas Bintang Megantara, membuat Patih Abadi Selaksa tersentak kaget "Orang luar" Siapa, Raden?" tanya Patih Abadi Selaksa dengan keterkejutan yang
semakin bertambah. "Menurut telik sandiku, orang itu bernama
Gandrawara," tambah Permaisuri Citra Laras.
"Gandrawara?" ulang Patih Abadi Selaksa.
Mata bekas patih ini menerawang pada
langit-langit penjara sepertinya, dia tengah mengingat-ingat nama yang barusan
diulanginya. "Apakah telik sandimu memberitahukan
nama lain dari Gandrawara?" tanya Patih Abadi Selaksa lagi.
"Ya, Paman. Nama lain dari Gandrawara
adalah Kelabang Hitam," tukas Bintang Megantara memberi tahu.
"Kelabang Hitam?" wajah Patih Abadi Selaksa semakin pucat pasi, mendengar nama
Kela- bang Hitam disebut Bintang Megantara. "Bencana.... Bencana besar akan melanda
Kerajaan Su- tera Bayu."
Tak terdengar sepatah kata pun dari mulut
Citra Laksa dan Bintang Megantara. Keduanya
terdiam, karena merasa tercekam ketakutan
mendengar perkataan lelaki berusia enam puluh
tahun lebih ini. Kecemasan juga terasakan di hati Citra Laras dan Bintang
Megantara, sesaat membayangkan bencana yang dimaksudkan Patih Abadi Selaksa. "Apakah Patih Sodrasena sejalan dengan Ki
Setyagara?" tanya Patih Abadi Selaksa memecah-kan keheningan.
"Ya, Paman, "jawab Bintang Megantara.
"Bahkan Paman Setyagara sepemikiran dengannya." "Celaka tiga belas," gumam Patih
Abadi Selaksa pelan. "Hati-hatilah kalian berdua," ujar Patih Abadi Selaksa
memperingatkan Citra Laras
dan Bintang Megantara.
"Paman kenal, siapa Ki Gandrawara itu?"
tanya Bintang Megantara polos.
Patih Abadi Selaksa menganggukkan kepala. "Dia salah satu tokoh golongan hitam yang
cukup sakti dan memiliki ilmu sihir yang ditakuti, apalagi lawan," jelas Patih
Abadi Selaksa. "Oh...!" keluhan tertahan terdengar dari mulut Citra Laras.
"Mulai saat ini, berhati-hatilah kalian berkata, bercakap, dan berbuat. Dan
bersatulah ka- lian dengan orang-orang-sekitar istana yang kese-tiaannya dapat dipercaya," kata
Patih Abadi Selaksa memberi nasihat dengan kecemasan luar
biasa. "Baik, Ki," sambut Citra Laras.
"Doakan saja, Paman," Bintang Megantara menyentuh tangan Patih Abadi Selaksa
dengan perasaan haru yang menyeruak.
Karena ikut merasakan kecemasan, lelaki
tua yang berambut hitam tersanggul di atas malah meremas jemari tangan Raden Megantara.
"Seharusnya kau yang menggantikan kedudukan ayahandamu, Raden," tukas Patih Abadi Selaksa parau.
Air bening tiba-tiba saja merembas dari kelopak mata Patih Abadi Selaksa yang terpejam.
Baru kali ini selama puluhan tahun dia mampu
menangis. "Sudahlah, Ki. Bila saatnya nanti, Jika
sang Pencipta makhluk hidup menginginkan
anakku menjadi raja, maka cita-cita yang samasama kita inginkan akan terwujud," desah Citra Laras, mencoba menggugah keharuan
yang tercipta. "Semoga begitu, Tuan Putri. Dan semoga ada tokoh sakti yang
dikirim sang Pencipta untuk Kerajaan Sutera Bayu, agar bisa menandingi kesaktian
Kelabang Hitam yang salah jalan. Juga,
menghapuskan rencana persembahan gila itu,"
balas Patih Abadi Selaksa dengan mata tak lepas menatap wajah tampan Bintang
Megantara. "Semoga begitu, Paman," sambut Bintang Megantara.
Patih Abadi Selaksa tak menanggapi sambutan Bintang Megantra. Di matanya yang merebak terlintas gambaran kekacauan yang akan terjadi di Kerajaan Sutera Bayu, akibat masuknya
orang luar yang memiliki kesaktian tinggi. Seorang tokoh golongan hitam yang berjuluk Kelabang Hitam! "Hati-hatilah kalian. Terutama kau, Raden," nasihat Patih Abadi Selaksa lagi.
"Baik, Paman," jawab Bintang Megantara.
"Aku akan selalu mengingat segala peringatan yang kau berikan."
Patih Abadi Selaksa menganggukkan kepala mendengar ucapan putra tunggal Prabu Mulya
Dewantara. "Tuan Putri, dan kau Raden. Kembalilah
kalian ke istana. Jagalah hati Ki Setyagara. Jangan sampai dia tak senang kalian
berlama-lama di tempat ini," pinta Patih Abadi Selaksa dengan tatapan mata
berganti-ganti memandang wajah Citra Laras dan Bintang Megantara.
"Baik, Ki. Kami kembali sekarang," ujar Citra Laras memenuhi permintaan bekas
Patih Ke- rajaan Sutera Bayu.
"Aku pamit, Paman," ujar Bintang Megantara. Kemudian dengan langkah perlahan,
ka- kinya bergerak menjajari langkah Citra Laras.
*** Matahari pagi yang baru saja muncul di
langit kotaraja membiaskan kehangatan bagi seluruh makhluk yang berada di atas bumi. Kehangatan itu juga menyeruak masuk ke dalam Istana
Sutera Bayu, sampai ke dalam kamar pribadi Citra Laras yang tengah berbincang-bincang bersama putranya, Bintang Megantara.
"Nanti malam purnama akan muncul, Bu.
Apakah Paman Setyagara akan melaksanakan
acara persembahan itu?" tanya Bintang Megantara.
"Kelihatannya begitu, Bintang," jawab Citra Laras. "Sekarang ini, dia telah
mengumpulkan orang kepercayaannya di ruang pertemuan sana.
Pasti Adi Setyagara tengah memberikan tugas pada orang-orangnya, untuk mencari sesaji persembahan nanti malam. Entah, apa bentuk sesaji
yang dimaksudkan" Ki Parawenang belum memberi kabar padaku," jelas Citra Laras, menyebut nama pejabat tinggi Kerajaan
Sutera Bayu. Ki Parawenang setelah mengangkatnya Prabu Mulya
Dewantara, memang diangkat sebagai penasihat
kerajaan. "Ki Parawenang?" ulang Bintang Meganta-ra.
Jelas anak muda itu terkejut, karena lelaki
berusia lima puluh tahun itu selama ini selalu di-lihatnya berada di samping Ki
Sodrasena, patih
yang menggantikan kedudukan Patih Abadi Selaksa. "Ya. Ki Parawenang. Memangnya kenapa, Bintang?" tanya Citra Laras, begitu
melihat raut wajah putranya seperti tak senang mendengar
nama Ki Parawenang disebut-sebut
"Oh! Maafkan aku, Bu. Selama ini aku
mencurigainya sebagai pengikut Paman Setyagara
yang setia mendukung acara persembahan itu,"
kilah Bintang Megantara.
"Tidak, Anakku. Ki Parawenang sangat setia pada mendiang ayahmu. Dan tentunya, juga
pada kita dan Patih Abadi Selaksa. Sengaja dia
kusuruh bersikap baik pada Paman Setyagara
dan Patih Sodrasena, dan berpura-pura mendukung rencana sesat itu. Padahal, sesungguhnya
Ki Parawenang hanya kutugasi menyelidiki setiap rencana mereka yang didukung si
Kelabang Hitam. Ibumu mempercayai Ki Parawenang sepenuhnya. Dan kuharap, kau pun begitu, Bintang,"
tutur Citra Laras.
"Tentu saja, Bu," jawab Bintang Megantara tegas. "Mana mungkin aku tidak
mempercayai orang yang telah diberi kepercayaan oleh ibunya."
"Syukurlah," desah Citra Laras, seraya memeluk tubuh putra satu-satunya. "Semoga
saja Ki Parawenang bisa mengetahui, bila suatu saat
Paman Setyagara berhajat menyingkirkan kita.
Dan mudah-mudahan kita akan segera menyelamatkan diri dari kelaliman raja pengganti ayahmu, Bintang."
"Kuharap hal itu tidak terjadi, Bu. Ah! Andai saja dulu aku menuruti kata-kata
ayah untuk bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu bela
diri, mungkin akan dapat melindungi Ibu," keluh Bintang Megantara menyalahi
dirinya. "Sekarang, kebisaan yang kumiliki hanya sedikit Aku ragu,
apakah akan mampu menyelamatkan Ibu."
"Kita akan sama-sama berusaha menyelamatkan diri, Bintang. Jika hal itu benar-benar
terjadi," kilah Citra Laras, mencoba menenangkan
hati anaknya. *** Sementara itu di tempat lain, tepatnya di
ruang pertemuan istana, nampak Prabu Setyagara yang didampingi Patih Sodrasena tengah membicarakan sesuatu yang teramat penting.
"Sampai menjelang sore nanti, kuharapkan
kalian sudah dapat membawa sepasang anak lelaki dan perempuan yang berusia sepuluh tahun
untuk dipersembahkan pada dewa keselamatan
dan kesejahteraan di Bukit Kelabang. Kalian
mengerti?" ujar Prabu Setyagara keras.
"Mengerti, Yang Mulia," jawab seorang lelaki bertubuh tinggi besar.
Lelaki gagah berkedudukan sebagai punggawa tak lain Guridala. Laki-laki tinggi besar itu membawahi sepuluh orang
prajurit terlatih, untuk mendapatkan sepasang bocah yang dimaksudkan Prabu Setyagara.
"Pergilah kalian ke desa yang terdekat dari kotaraja ini. Temui kepala desa
setempat, dan sampaikan apa yang kutitahkan," ujar Prabu Setyagara lagi.
"Hamba akan memenuhi segala titah Yang
Mulia," sahut Punggawa Guridala dengan kepala tertunduk memberi hormat
"Berangkatlah kalian," kata Prabu Setyagara, memerintah. "Ingat! Jika gagal,
maka kepala kalianlah yang menjadi penggantinya!"
"Hamba berangkat, Yang Mulia," Punggawa Guridaila menjura sebelum meninggalkan
ruangan pertemuan.
*** Siang di Desa Gandaras terasa begitu panas. Matahari yang berdiri tegak di atas ubunubun, memancarkan sinarnya yang panas menyengat. Di beberapa tempat di Desa Gandaras
memang banyak pohon berdaun lebat. Namun tetap tak kuasa mengurangi panasnya sinar matahari yang tercurah.
Bias sinar matahari yang cukup menyengat
itu dirasakan juga oleh sebelah orang penunggang kuda yang bergerak menuju ke
arah selatan Desa
Gandaras. Mereka tak lain utusan Prabu Setyagara yang dipimpin Punggawa Guridala. Keseluruh
penunggang kuda itu rata-rata menghunus sebilah pedang yang menggantung di pinggang. Jelas, rombongan itu adalah pasukan
berpedang yang dimiliki Kerajaan Sutera Bayu.
"Itu pasti kediaman Kepala Desa Gandaras," tunjuk Punggawa Guridala pada bangunan kokoh yang berhalaman cukup luas.
"Rasanya memang benar, Kakang Guridala," sambut seorang prajurit yang lain.
"Hiyaaa...!"
Punggawa Guridala segera saja menggebah
kuda tunggangannya, agar segera sampai di kediaman Kepala Desa Gandaras.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Kesepuluh penunggang kuda pengikut
Punggawa Guridala pun sama-sama menggebah
tali kekang tunggangannya.
Sementara itu, beberapa orang yang bertugas menjaga kediaman Kepala Desa Gandaras seperti bingung menyaksikan sebelas ekor kuda
yang berlari cepat ke arah kediaman majikannya.
Apalagi setelah kuda-kuda itu mendekat. Kini mereka tahu kalau pengendara kuda
itu adalah orang-orang dari Kerajaan Sutera Bayu. Maka seketika itu juga penjaga kediaman Kepala Desa
Gandaras menjura hormat
"Selamat datang, Tuan-tuan. Ada yang dapat kami bantu?" sambut lelaki penjaga kediaman Kepala Desa Gandaras yang
bertubuh tegap dan
berkumis tebal melintang.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Punggawa
Guridala segera melompat dari atas kudanya. Indah sekali gerakannya, pertanda ilmunya bisa di-andalkan.
"Hop!"
Jligkh! Ringan sekali kaki Punggawa Guridala
mendarat di tanah.
"Inikah kediaman kepala desa Gandaras?"
tanya Punggawa Guridala agak ketus.
"Benar, Tuan," jawab penjaga yang bertubuh sedang, di dekat lelaki utusan Gusti
Prabu Setyagara ini "Apakah tuan-tuan ingin berjumpa
Ki Amertagi?"
"Ya. Antar aku untuk menemuinya," jawab Punggawa Guridala pongah. "Baik, Tuan.
Mari."

Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki penjaga bertubuh sedang itu mempersilakan Punggawa Guridala dan rombongan
untuk masuk ke kediaman Ki Amertagi.
"Silakan duduk di sini, Tuan-tuan. Biar Ki Amertagi kupanggil untuk menghadap
Tuan-tuan," lelaki bertubuh sedang itu mempersilakan pada tamunya duduk di ruang
tamu. Sementara,
dirinya cepat berlalu ke kamar pribadi Kepala De-sa Gandaras.
Hanya sesaat lamanya Punggawa Guridala
dan rombongan menunggu, kini Ki Amertagi telah
berdiri di hadapan mereka dengan sikap gugup
dan kaku. "Oh, Tuan Punggawa. Ada perlu apakah kiranya, hingga Tuan berkenan mengunjungi kediaman kami yang buruk ini?" tanya Ki Amertagi dengan wajah takut-takut
"Aku ingin meminta bantuanmu, Ki!" sahut Punggawa Guridala langsung.
"Bantuan apa, Tuan" Jika mampu pasti
akan kupenuhi," sahut Kepala Desa Gadaras ini sambil sesekali menundukkan
kepala. "Carikan aku sepasang bocah berusia sepuluh tahun," cetus Punggawa Guridala tanpa basa-basi
"Sepasang bocah umur sepuluh tahun" Oh!
Aku tak mengerti maksud Tuan Punggawa," desah Ki Amertagi, betul-betul tak
mengerti ucapan
Punggawa Guridala.
Utusan Prabu Setyagara pun segera menjelaskan ketidakmengertian Kepala Desa Gandaras
ini. Terutama tentang maksud persembahan yang
akan dilaksanakan setiap bulan purnama, sepanjang seribu bulan purnama. Yakni, setelah mendapatkan seribu pasang bocah usia sepuluh tahun. "Setelah desa ini menyediakan sepasang bocah berusia sepuluh tahun, desadesa lain pun juga harus menyediakan bocah-bocah itu selama
sepuluh purnama berturut-turut," jelas Punggawa Guridala.
"Oh...!" Ki Amertagi berseru tertahan setelah mendengar penjelasan Punggawa
Guridala. "Kau bersedia mencarikan sepasang bocah
itu, Ki"!" tanya Punggawa Guridala, terdengar membentak.
Ki Amertagi tidak segera menjawab pertanyaan Punggawa Guridala. Wajahnya nampak
pias. Sungguh dia tak tahu, harus menjawab apa.
"Kau cari mampus kalau begitu, Ki!" sentak Punggawa Guridala menambah
kebingungan Kepala Desa Gandaras ini.
"Oh, Tuhan.... Dosa apa yang telah kulakukan hingga kau menurunkan cobaan seberat
ini?" keluh Ki Amertagi dalam hati.
Tubuh laki-laki setengah baya ini tiba-tiba
seperti terserang demam. Menggigil, bahkan lututnya seperti tak mampu menahan berat tubuhnya. Srat! "Oh...!"
Kepala Desa Gandaras memekik perlahan
menyaksikan punggawa meloloskan pedang dari
warangka. Getaran di sekujur tubuhnya semakin
membuat goyah lelaki Kepala Desa Gandaras dalam berdirinya.
"Cepat katakan! Bersedia atau tidak" Atau
kupenggal sekarang juga kepalamu?" sentak
Punggawa Guridala, membuat hati Ki Amertagi
semakin kecut "Baik. Baik, Tuan Punggawa," jawab Ki Amertagi terpaksa.
"Ha ha ha...! Punggawa Guridala tertawa.
Tawa Punggawa Guridala yang cukup keras, membuat istri Ki Amertagi muncul dari ruangan dalam. Dan wanita itu
langsung terkejut menyaksikan punggawa dari Kerajaan Sutera Bayu
itu tengah menepuk-nepuk dada suaminya dengan sedang dimiringkan.
"Kakang Amertagi.... Ada apa ini?" tanya Nyi Riwangni dengan langkah tergesagesa menghampiri suaminya.
"Oh, Nyi. Eh.... Tidak apa-apa," jawab Ki Amertagi mendapati kemunculan
istrinya. "Kau tenanglah, Nyi! Raja Sutera Bayu
membutuhkan jasa suamimu. Beruntunglah kau
menjadi suaminya," tukas Punggawa Kerajaan Sutera Bayu. "Ayo kita berangkat, Ki!
Tunjukkan rumah pendudukmu yang memiliki anak usia sepuluh tahun. Kalau tidak
ada, kepalamu dan kepala istrimu akan kubawa ke hadapan sang Prabu
Setyagara."
"Kakang Amertagi...."
Nyi Riwangni memburu tubuh suaminya
yang didorong ke depan dengan senjata telanjang milik Punggawa Guridala.
"Kau tunggu saja di sini, Perempuan Tua!
Suamimu akan kukembalikan setelah menunaikan tugasnya!" sentak prajurit yang berada di depan Nyi Riwangni.
Perempuan berpakaian biru muda yang berusia lebih kurang empat puluh tahun segera melangkah mundur ketika mendapatkan tudingan
dari salah seorang prajurit kerajaan.
"Kakang Amerta...," hanya ucapan itu yang mengiringi kepergian suaminya bersama
punggawa kerajaan dan sepuluh prajurit
*** Bergetar hati Ki Amertagi ketika mendatangi rumah yang berdinding bilik serta beratap
rumbia. Rumah itu memang tempat tinggal suami-istri Jagil dan Romanah. Mereka memiliki
anak lelaki dan perempuan berusia sepuluh tahun. "Apakah Ki Jagil dan istrinya bersedia menyerahkan anak kembarnya pada
raja?" gumam hati Ki Amertagi dalam hati. Sementara, langkahnya terus terayun
mendekati rumah Ki Jagil.
"Tuan Punggawa," panggil Ki Amertagi pada
Punggawa Guridala.
"Hm.... Ada apa, Ki?" tanya Punggawa Guridala. "Kalau boleh, aku minta sedikit
waktu untuk membujuk orangtua dari anak kembar yang
akan kau serahkan pada Prabu Setyagara," pinta Ki Amertagi hati-hati.
"Tentu saja, Ki. Lakukanlah dan kau harus
berhasil," jawab Punggawa Guridala, menyetujui.
Mendengar jawaban Punggawa Kerajaan
Sutera Bayu, Ki Amertagi segera melanjutkan
langkahnya memasuki pekarangan rumah Ki Jagil. Sementara Ki Jagil dan istrinya yang kebetulan hendak keluar rumah terkejut menyaksikan
kedatangan kepala desanya yang didampingi belasan lelaki berpakaian seragam Kerajaan Sutera Bayu. Di benak suami-istri itu
seketika timbul
pertanyaan-pertanyaan buruk yang akan menimpa keluarganya.
"Selamat datang di gubuk kami, Ki Amertagi dan Tuan-tuan sekalian," sambut Ki Jagil sebi-sa-bisanya. Padahal, hatinya
dilanda kebingungan yang teramat sangat, atas kedatangan Kepala Desa Gandaras dan orang-orang
kerajaan itu. "Ki Jagil. Aku ada keperluan denganmu.
Juga dengan kau, Nyi," ucap Ki Amertagi seraya membawa tubuh Ki Jagi menjauhi
Punggawa Guridala. Nyi Romanah juga melangkahkan kakinya
mengikuti ajakan Kepala Desa Gandaras itu.
"Sebelumnya aku minta maaf pada kalian
berdua," Ki Amertagi membuka pembicaraan ketika jaraknya sudah agak jauh dengan
orang-orang kerajaan yang diutus Prabu Setyagara.
"Ah! Kenapa meski meminta maaf segala,
Ki," kilah Ki Jagil dengan benak semakin banyak dihantui pertanyaan yang bukanbukan. "Permintaan maaf itu memang harus kusampaikan pada kalian. Karena..., ah! Kuharap
kau bisa memakluminya, Ki Jagil dan juga kau,
Nyi Romanah," ucap Ki Amertagi semakin membuat bingung sepasang suami-istri yang
dikun- junginya. Terlebih, ketika Ki Jagil dan istrinya menyaksikan wajah kepala
desanya yang seperti
ketakutan dan begitu pucat
"Katakanlah, Ki. Apa yang kau butuhkan
dari kami?" tanya Nyi Romanah mendahului suara Ki Jagil yang hendak keluar.
Ki Amertagi tak segera menjawab. Hanya
ditatapnya wajah perempuan berusia tiga puluh
tahun itu dengan sorot mata iba.
"Katakan saja, Ki. Mudah-mudahan kami
dapat membantu kebutuhanmu," tutur Ki Jagil Kemudian Ki Amertagi kemudian
menceritakan apa yang diinginkan Prabu Setyagara yang diketahuinya melalui mulut Punggawa Guridala. Diceritakannya juga maksud dan tujuan persembahan
yang akan dilaksanakan Prabu Setyagara pada
setiap bulan purnama.
"Begitulah, Ki dan kau, Nyi. Maafkan, karena aku tak kuasa menentang keinginan gila itu.
Hampir saja punggawa kerajaan itu memenggal
kepalaku kalau keinginan Prabu Setyagara tak
kuturuti," ucap Ki Amertagi mengakhiri penjela-sannya.
Ki Jagil dan Nyi Romanah tentu saja terkejut mendengar cerita kepala desanya.
"Permintaan gila!" rutuk Ki Jagil dengan tatapan mata yang membara memandang
wajah Ki Amertagi. Kepala Desa Gandaras tak kuasa membalas tatapan kemarahan miliki Ki Jagil. Namun
dimakluminya kemarahan itu.
"Kau juga gila, Ki Amertagi!" maki Ki Jagil keras. "Kalau kau menyayangi
kepalamu, kami juga menyayangi anak kembar kami!" Ki Jagil keras. Hardikan Ki
Jagi membuat Punggawa Guridala dan prajurit pendampingnya menoleh. Namun, mereka masih memberi kepercayaan pada
Ki Amertagi untuk menangani kemarahan Ki Jagi.
"Pergi kau dari sini, Ki! Kami tak bisa memenuhi permintaan gila itu!" bentak Ki
Jagil seraya mendorong tubuh Kepala Desa Gandaras.
Padahal, Ki Amertagi selalu bijaksana dan welas asih pada penduduk desa yang
dipimpinnya. Karena sifatnya itulah, ketika tubuhnya didorong
kasar oleh Ki Jagil dia tak melawan.
"Tolonglah aku, Ki Jagil," tukas Ki Amertagi meratap.
"Gila! Kau juga gila, Ki Amertagi! Pergi kau dari sini!" bentak Ki Jagil
bertambah keras. Dan
tiba-tiba saja tangannya melayang ke arah Ki
Amertagi. Bluk! "Akh!"
Ki Amertagi memekik tertahan ketika mendapat pukulan keras pada bagian wajahnya. Tubuhnya terhuyung ke belakang sejauh tiga langkah. Darah nampak mengucur dari bibirnya yang
pecah. Punggawa Guridala yang menyaksikan kejadian itu seketika meloncat cepat menghampiri
Ki Jagil yang telah memukul wajah Kepala Desa
Gandaras. Langsung tangannya berkelebat cepat,
ke arah wajah Ki Jagil.
Plak! Plak! Tangan kanan Punggawa Guridala langsung menghajar wajah Ki Jagil. Akibatnya lelaki berpakaian coklat itu terhuyung
dan jatuh keras di tanah halaman rumahnya sendiri.
"Kurang ajar sekali kau, Bangsat!" maki Punggawa Guridala geram. "Tak tahukah
dengan siapa berhadapan sekarang!"
"Kakang...."
Romanah memburu tubuh Ki Jagil. Wajahnya terlihat membiru dan bibirnya pecah meneteskan darah, akibat dihajar tangan punggawa
itu. "Cepat, katakan! Di mana anak kembarmu itu, heh! Aku harus segera kembali
ke istana!"
bentak Punggawa Guridala geram.
Ki Jagil dan Nyi Romanah tak menjawab
pertanyaan utusan Prabu Setyagara ini. Malah
dengan berani, sepasang mata suami-istri menatap tajam penuh dendam pada Punggawa Guridala. "Kalau kau tak bersedia menunjukkan, biar kugeledah rumahmu!" dengus Punggawa Guridala seraya melangkah.
Namun baru tiga langkah kaki itu terayun,
Nyi Romanah telah mendahului dan menghalangi
Punggawa Guridala di ambang pintu.
"Jangan kau ambil anakku!" cegah Nyi Romanah keras.
"Hm...," Punggawa Guridala mendengus
kesal melihat sikap perempuan berusia tiga puluh tahun yang menghalangi niatnya.
Dan seketika itu juga.... Srat! Punggawa Guridala langsung mencabut
pedangnya. Lalu seketika itu juga dibabatkan ke arah Nyi Romanah. Sehingga....
Bret! "Aaa...!"
Nyi Romanah terpekik keras ketika ujung
pedang milik Punggawa Guridala menebas perutnya. Tubuh perempuan itu seketika ambruk ke
tanah dengan luka menganga lebar pada bagian
perut. Isi perut dan darah langsung berserakan di tanah. "Nyi...!" teriak Ki
Jagil yang menyaksikan, istrinya tengah menggelepar meregang nyawa. Tak lama,
tubuh perempuan itu mengejang kaku dan
tewas! "Kau"! Punggawa keparat!" maki Ki Jagil tak kuasa membendung
kemarahannya. Tubuh lelaki berpakaian coklat itu seketika
melesat dengan tangan terkepal hendak menghajar Punggawa Guridala yang telah membunuh istrinya. "Hiyaaa...!"
Punggawa Guridala yang melihat Ki Jagil
hendak menyerang, tanpa ada belas kasihan segera menghunus pedangnya ke depan. Lalu, pedangnya dibabatkan ke perut Ki Jagi yang meluruk ke arahnya.
"Hih!"
Brets! "Aaakh...!"
3

Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Halaman rumah penduduk Desa Gandaras
ini seketika dikotori lumuran darah pemiliknya
yang tertebas pedang Punggawa Guridala pada
perutnya. Sementara, Kepala Desa Gandaras ini
tak mampu berbuat banyak. Dia hanya bisa menyaksikan kematian Ki Jagil dan Nyi Romanah
dengan hati sulit digambarkan.
"Biar kugeledah rumah ini!" dengus Punggawa Guridala, setelah membersihkan
pedangnya dari bercak darah, menggunakan pakaian yang
melekat di tubuh Nyi Romanah.
"Aaa...!"
"Ibu...!"
Dua jerit ketakutan seketika terdengar,
manakala pintu rumah Ki Jagil dibuka dengan
kasar oleh Punggawa Guridala. Seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun ini tak lain anak kembar Ki Jagil.
Mereka terlihat berdiri ketakutan di sudut ruangan. "Prajurit! Cepat angkat
kedua anak itu!"
perintah Punggawa Guridala pada prajuritprajurit kerajaan yang semenjak tadi hanya diam saja. Tiga orang prajurit
terdepan seketika itu juga bergerak cepat memasuki rumah kediaman
Ki Jagil. Kemudian dengan sikap kasar tubuh
anak kembar Ki Jagil ditenteng keluar rumah.
"Tidak mau!"
"Tidak mau! Ibu.... Ayah...!"
Anak kembar Ki Jagil meronta-ronta dalam
dekapan prajurit-prajurit Kerajaan Sutera Bayu.
Jeritan mereka begitu menyayat, membuat Ki
Amertagi tak kuasa menyaksikannya. Kepala desa
berusia lima puluh tahun itu hanya menundukkan kepala saja.
"Kau urus-mayat-mayat itu, Ki!" perintah Punggawa Guridala kasar, seraya
melompat ke punggung kudanya. "Beruntung kau tak kujadikan mayat juga. Namun purnama depan,
jika tak bisa menyediakan persembahan, maka nyawamu
pun akan melayang seperti nyawa lelaki dan perempuan itu!"
Kepala Desa Gandaras tak meladeni ucapan itu. Hanya ditatapinya kepergian punggawa
dan prajurit kerajaan yang membawa anak kembar Ki Jagil untuk dijadikan persembahan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Debu mengepul di udara, begitu kuda
tunggangan Punggawa Guridala dan prajurit Kerajaan Sutera Bayu berlalu dari tempat itu.
*** Sementara dari tikungan jalan, muncul sepasang anak muda berpakaian warna kuning
keemasan dan warna jingga. Mereka masih sempat pula melihat rombongan prajurit yang membawa dua bocah meninggalkan tempat ini.
"Hm.... Seperti punggawa dan prajuritprajurit kerajaan, Kakang Jaka," kata seorang da-ra cantik jelita yang berambut
panjang dikepang belakang.
Memang, pemuda tampan itu tak lain Jaka.
Di kalangan dunia persilatan, dia terkenal berjuluk Raja Petir. Sedangkan gadis
teman intimnya tak lain si Dewi Payung Emas.
"Sepertinya begitu, Mayang," jawab Raja Petir. "Tapi kenapa mereka membawa serta
dua orang anak kecil, Kakang?" tanya Mayang tak sadar. "Kau ini aneh, Mayang,"
kilah Jaka menyadarkan kekasihnya. "Mana mungkin aku tahu"
Lha, memangnya kita saja yang baru tiba di tempat ini." "Oh, iya. Maaf, aku memang pelupa," kata Mayang.
Jaka dan Mayang kemudian sama-sama
kembali berbalik. Sementara punggawa dan prajurit kerajaan itu bergerak semakin jauh dan
menghilang di tikungan jalan.
"Kakang" Kau lihat di depan sana. Di rumah bambu itu," tunjuk Mayang pada salah satu rumah penduduk Desa Gandaras yang
sudah di-kerumuni orang. "Ada kejadian apa di sana?"
"Pertanyaanmu kembali bisa kujawab,
Mayang. Namun.... Ayo kita ke sana," ajak Jaka seraya menambah kecepatan
langkahnya. Gadis cantik berpakaian jingga itu pun
mengikuti langkah tokoh muda digdaya yang berjuluk Raja Petir.
Begitu mendekati rumah bambu yang dikerumuni orang banyak, Jaka dan Mayang seketika
saja dapat menduga kalau baru saja terjadi pembunuhan. Di halaman rumah itu nampak tergeletak
dua mayat lelaki dan perempuan. Bagian dada
dan perut mereka tampak luka cukup dalam dan
besar yang masih mengeluarkan darah.
Jaka segera saja mendekati seorang lelaki
berusia setengah baya.
"Siapa yang melakukan pembunuhan itu,
Ki," tanya Jaka, dengan suara dibuat selembut
dan sesopan mungkin.
Lelaki yang berkumis putih itu menoleh ke
arah Jaka. "Eh! Anu..., anu. Den," agak tergeragap lelaki berpakaian hitam itu.
Jaka segera saja mengembangkan senyumnya ketika melihat kegugupan lelaki tua
yang ditanyai. "Kisanak tak perlu takut Aku hanya sekadar bertanya saja," kata Jaka perlahan.
Lelaki tua berkumis putih itu menatap Jaka dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dan
nampaknya, dia terkesima melihat penampilan
Jaka yang begitu rapi dan berpakaian layaknya
anak seorang saudagar kaya.
"Anu, Den.... Mereka utusan raja," jawab lelaki itu takut-takut
"Utusan raja?" ulang Jaka dalam hati.
"Apakah anak-anak kecil itu...?"
Jaka tak meneruskan dugaannya. Kini matanya sibuk menyaksikan seorang lelaki berpakaian sutera putih bersih. Dia tengah memerintah orang-orang untuk membantu
mengurus mayat suami-istri yang bernama Ki Jagil dan Nyi Romanah itu. Karena Jaka dan Mayang merasa sebagai
pendatang di Desa Gandaras, maka hanya menyaksikan saja penduduk desa yang bergotongroyong menguburkan dua mayat itu dari kejauhan. Namun tak lama kedua pendekar muda itu
segera menghampiri lelaki yang tak lain Ki Amertagi, Kepala Desa Gandaras yang tengah melangkah meninggalkan upacara penguburan.
"Maaf, Kisanak. Kami mengganggu sebentar," ucap Jaka sopan seraya menjajari langkah lunglai Kepala Desa Gandaras.
Ki Amertagi seketika menghentikan langkahnya. Dan tatapan kecurigaan pun langsung
dilemparkan ke wajah Jaka.
"Namaku Jaka Sembada. Dan kawanku
Mayang Sutera," kata Jaka memperkenalkan diri dengan sikap ramah.
"Aku Ki Amertagi kepala desa ini," ujar Kepala Desa Gandaras memperkenalkan diri
pula. Wajahnya menyiratkan ketidaksenangan. "Ada perlu apa Kisanak berdua, hingga
mencegat perja-lananku?"
"Kami hanya ingin tahu, siapa pembunuh
dua orang yang baru saja dimakamkan itu. Dan
juga tentang punggawa serta prajurit kerajaan
yang membawa dua orang bocah kecil?" tanya Ja-ka memancing jawaban Ki Amertagi.
"Untuk apa kau bertanya seperti itu?"
tanya Ki Amertagi tanpa menjawab pertanyaan
Jaka. "Hanya sekadar ingin tahu, Ki Amertagi,"
jawab Jaka sabar.
"Percuma."
Ki Amertagi segera melangkah cepat meninggalkan Jaka dan Mayang.
Mayang dan Jaka saling berpandangan setelah melihat sikap Ki Amertagi. Kemudian mereka sama-sama saling menganggukkan kepala,
dan cepat mengejar Ki Amertagi.
"Ki," panggil Jaka setelah langkahnya kembali sejajar dengan langkah Kepala Desa
Ganda- ras ini. "Dengan adanya pembunuhan terhadap dua orang yang baru saja dimakamkan,
itu berarti desa ini tengah terganggu ketenteramannya.
Dan kalau boleh kusimpulkan, Ki Amertagi sebagai kepala desa justru ingin berbuat sesuatu yang terbaik untuk menangani
masalah ini."
"Hhh...." Ki Amertagi menarik napas berat dengan langkah kaki terus terayun.
"Sebenarnya apa yang tengah terjadi di sini, Ki?" desak Jaka penasaran.
Sementara, Mayang dengan sabar menanti
jawaban lelaki berpakaian putih ini.
"Percuma saja bila ingin tahu persoalan
yang terjadi di desa ini, Jaka," jawab Ki Amertagi pelan. "Kau tak akan mampu
berbuat sesuatu untuk menangani persoalannya."
"Sedemikian beratnyakah?" selidik Jaka lebih jauh.
"Hm...," Ki Amertagi menggumam tak jelas.
"Aku sendiri sebagai Kepala Desa Gandaras hanya bisa pasrah menghadapi persoalan
yang teramat berat ini. Entah, dosa apa yang telah kulakukan hingga sang Pencipta Alam ini
mengazabku dengan persoalan ini."
"Kalau kami ingin meringankan bebanmu,
apakah kau memperkenankannya, Ki?" kali ini Mayang yang melemparkan pertanyaan
pada Ke- pala Desa Gandaras.
Ki Amertagi menatap lurus ke wajah
Mayang. Sepertinya, dia tak percaya mendengar
pertanyaan yang baru saja dilontarkan gadis cantik berambut panjang dikepang ke
belakang ini. "Apakah yang bisa kalian lakukan untuk
menghalangi keinginan Prabu Setyagara?" tukas Ki Amertagi, balik bertanya.
"Jadi persoalan yang tengah kau hadapi,
berhubungan langsung dengan kerajaan, Ki?"
Mayang memang tak menjawab pertanyaan
Kepala Desa Gandaras ini. Pertanyaan yang barusan dilontarkan hanya karena merasa senang dapat mengorek keterangan dari mulut Ki Amertagi.
"Ya.... Begitulah," desah Ki Amertagi.
"Kalau boleh tahu, apa yang telah diperbuat lelaki-lelaki berkuda yang mengenakan pakaian punggawa dan prajurit kerajaan itu, Ki?"
selidik Mayang agak berani.
"Sudahlah, Nisanak. Lupakan saja keingintahuanmu. Kalau kalian kuberitahu, kau tak
akan dapat berbuat banyak untuk dapat menyelamatkan desa ini, dan desa-desa di wilayah kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu. Lebih baik, pergilah dari desa ini. Dan, jangan
cari penyakit dengan mencampuri urusan yang mengandung bahaya besar."
Kata-kata yang diucapkan Ki Amertagi, sesungguhnya membuat hati Mayang tersinggung.
Wajah gadis cantik kekasih Raja Petir ini nampak bersemu merah, mendengar
dirinya dan kekasihnya direndahkan seperti itu.
"Ki," panggil Mayang. "Maaf, bukannya ka-mi bermaksud sombong. Ketahuilah, Ki.
Saha- batku yang bernama Jaka ini di kalangan rimba
persilatan dikenal dengan julukan Raja Petir."
Kata-kata itu sengaja dilontarkan Mayang,
untuk menutupi kekesalannya. Maka seketika itu
juga Ki Amertagi melempar pandangan ke arah
wajah Jaka. Kemudian tatapannya merambat ke
sekujur tubuh lelaki gagah dan tampan ini.
Sebenarnya bukan baru kali ini Ki Amertagi mendengar julukan Raja Petir yang tersohor
itu. Begitu juga kabar sepak terjang Raja Petir yang selalu membela orang-orang
lemah dan mengusir segala bentuk kebatilan. Tapi untuknya bertatap muka secara langsung"
Sungguh Ki Amertagi tak pernah membayangkannya.
"Kau.... Kau Ra...?" kata Ki Amertagi terga-gap, seraya membungkuk hormat
"Ah, Ki. Jangan memanggilku dengan julukan itu," selak Jaka melihat kegugupan Kepala Desa Gandaras ini. "Bukan maksud
sahabatku menyombongkan diriku. Dia hanya ingin Ki Amertagi mempercayai kami
untuk membantu kemelut
yang terjadi di desa ini."
Jaka segera mengulurkan tangan, mengangkat bahu Ki Amertagi yang membungkuk.
"Maafkan aku. Raja Petir," ujar Ki Amertagi setelah tegak kembali dengan wajah
memerah. "Sungguh aku tak bermaksud meremehkan kalian barusan."
"Lupakan saja persoalan itu, Ki. Yang pasti, kami senang kalau kau memberi izin
untuk ikut meringankan kemelut yang terjadi di desa ini," selak Mayang lemah lembut
"Tentu saja, Mayang. Tentu," jawab Ki Amertagi cepat
"Terima kasih, Ki," ucap Mayang.
"Sebaiknya, kalian ikut saja ke rumahku.
Di sana, nanti kuceritakan kejadian yang sebenarnya. Mari," ajak Ki Amertagi.
Langkah laki-laki setengah baya itu terayun sedikit gagah. Dia menemukan kegembiraan karena ada orang lain yang bersedia membantu meringankan bebannya. Sementara Raja
Petir dan Dewi Payung Emas tersenyum-senyum
sambil melangkah mengiringi langkah kaki Ki
Amertagi. *** "Kakang...!"
Kedatangan Ki Amertagi disambut perem

Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puan berusia empat puluh tahun dengan teriakan
begitu penuh kegembiraan. Perempuan berpakaian warna biru muda itu menghambur, kemudian merangkul tubuh kepala desa ini.
"Syukur kau selamat, Kakang...," ucap wanita yang tak lain Nyi Riwangni
perlahan. Air ma-ta terlihat bergulir turun dari kelopak matanya.
"Sudahlah, Nyi. Kau lihat, kita kedatangan tamu besar," ujar Ki Amertagi dengan
tangan be- rusaha melepaskan rangkulan istrinya.
Nyi Riwangni melepaskan rangkulannya di
tubuh Ki Amertagi. Kemudian tatapannya berpindah ke wajah tampan Jaka dan wajah cantik
Mayang. "Selamat datang Kisanak dan Nisanak,"
sambut Nyi Rawangni dengan kepala sedikit ditundukkan. "Panggil saja Jaka, Nyi. Dan sahabatku ini bernama Mayang," tukas Sembada
memperkenalkan diri.
"Baik Jaka dan Mayang. Mari silakan masuk," ujar Nyi Riwangni menyambut perkenalan Jaka. Langkah perempuan berusia
empat puluhan tahun itu bergerak mendahului langkah Ki
Amertagi. "Mari, Jaka, Mayang," ajak Ki Amertagi kemudian.
Jaka dan Mayang segera melangkah mengikuti Ki Amertagi memasuki rumah yang megah
dan terawat rapi.
"Silakan duduk," ujar Ki Amertagi sesam-painya Jaka dan Mayang di ruang tamu.
Sepasang pendekar muda itu segera duduk
berdampingan. Sementara di seberang meja, duduk Ki Amertagi.
"Kami ingin secepatnya mengetahui persoalan yang terjadi di desa ini. Paling tidak, agar bisa lebih cepat mengambil
keputusan untuk berbuat
sesuatu," Jaka membuka pembicaraan.
"Baik, Jaka," jawab Ki Amertagi menyetujui permintaan Raja Petir
Tatapan lelaki Kepala Desa Gandaras seketika terlempar ke pekarangan rumahnya yang banyak ditumbuhi pohon jambe berduri. Kemudian
dari mulutnya mengalir cerita tentang Prabu Setyagara yang menginginkan seribu pasang bocah
berusia sepuluh tahun untuk dijadikan persembahan selama seribu purnama.
"Sepasang bocah yang dilarikan punggawa
dan prajurit-prajurit kerajaan yang kau lihat itu, adalah anak kembar Ki Jagil
yang tadi dikubur-kan pendudukku. Dialah korban pertama dari
persembahan gila yang direncanakan Raja Sutera
Bayu," tutur Ki Amertagi, melanjutkan ceritanya.
"Sudah berapa lama Prabu Setyagara menjabat sebagai raja?" tanya Mayang ingin tahu.
"Baru dua bulan ini," jawab Ki Amertagi tegas. "Baru dua bulan" Hm...," Mayang
mengu-langi jawaban Ki Amertagi diiringi gumam tak jelas. "Apakah Prabu
Setyagara menduduki tampuk kekuasaan dengan merebut secara kasar, atau...."
"Yang Mulia Prabu Mulya Dewantara
mangkat karena suatu penyakit aneh. Kabar penyakit aneh yang diidapnya memang tersebar ke
seluruh pelosok desa yang berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu," selak Ki Amertagi.
"Apakah Prabu Mulya Dewantara tak memiliki seorang putra mahkota?" selidik Mayang lagi. "Punya. Usianya hampir.... Ah! Aku tak tahu pasti. Mungkin sudah tujuh belas tahunan,"
jawab Ki Amertagi.
"Kenapa tidak dia yang menggantikan kedudukan ayahandanya?" tanya Jaka, memancing cerita Ki Amertagi.
"Entahlah," jawab Ki Amertagi.
"Aneh," timpal Mayang.
"Lalu, apa hubungan keluarga Prabu Setyagara dengan mendiang Prabu Mulya Dewantara?" tanya Jaka lagi.
"Adik kandung," jawab Ki Amertagi tegas.
"Sepertinya ada teka-teki di balik keinginan Prabu Setyagara, Kakang," ucap
Mayang pada kekasihnya.
"Apa teka-teki itu menurutmu, Mayang?"
tanya Jaka ingin bukti dari ucapan kekasihnya
yang juga dirasakannya.
"Pertama, mengenai keanehan penyakit
Prabu Mulya Dewantara. Kedua, mengenai persembahan gila yang tak pernah terjadi semasa
kepemimpinan Prabu Mulya Dewantara," jelas Mayang gamblang.
"Kesimpulanmu?" cecar Jaka.
"Kematian sang Prabu Mulya Dewantara
kuduga memang sudah direncanakan. Lewat perantara seorang tokoh sakti, Prabu Mulya Dewantara disiksa melalui penyakit aneh itu. Dan rencana itu didalangi Prabu
Setyagara, adik kandungnya sendiri, yang juga menginginkan kedudukan sebagai seorang raja. Dan persembahan gila itu kusimpulkan bukanlah untuk memuja dewa
keselamatan dan dewa kesejahteraan. Itu bohong!
Jelas, itu hanya dalih untuk mengelabui penduduk. Padahal, sesungguhnya persembahan itu ditujukan untuk si tokoh yang membantu Prabu
Setyagara dalam rangka menyempurnakan ilmuilmu sesatnya," jelas Mayang panjang lebar.
Jaka tentu saja merasa kagum mendengar
kesimpulan cemerlang yang dipaparkan kekasihnya. Kesimpulan itu sungguh sesuai dengan apa
yang ada di benaknya.
Sementara itu Ki Amertagi hanya melongo
mendengar kesimpulan Mayang yang sama sekali
tak terduga. "Kakang...," panggil Mayang mengejutkan Jaka dan Ki Amertagi. "Bukankah nanti
malam purnama akan muncul" Berarti...?"
"Acara persembahan itu akan dilaksanakan
nanti malam, Ki?" tanya Jaka pada Ki Amertagi.
Perjodohan Busur Kumala 8 Dewi Ular 66 Misteri Anak Selir Badai Awan Angin 7

Cari Blog Ini