Ceritasilat Novel Online

Ratu Sihir Puri Ular 1

Raja Petir 08 Ratu Sihir Puri Ular Bagian 1


RATU SIHIR PURI ULAR Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Bondan Pramana
Serial Raja Petir dalam episode:
Ratu Sihir Purl Ular
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi terasa begitu sejuk. Matahari yang belum begitu tinggi mulai ber-sinar menghangatkan pagi.
Sehingga suasana pagi begitu indah untuk dinikmati.
Seorang lelaki tampan berusia sekitar enam belas tahun nampak mengayun langkahnya perlahan
menikmati suasana pagi. Sementara, tak jauh dari lelaki mu-da bernama Abimanyu
itu empat orang lelaki
yang usianya berkisar antara dua puluh delapan sampai tiga puluh tahun berjalan mengiringi di belakang.
"Ah, alangkah indahnya pagi ini, Paman Ludita," ujar Abimanyu sambil menebar pandangan ke sekeliling daerah yang tengah
dilewatinya. "Ya, Raden. Aku pun merasakan keindahan pagi ini," sahut lelaki berambut rapi dan berpakaian kuning gading. Mata lelaki
berusia tiga puluh tahun yang bernama Ludita juga mengitari daerah itu.
Dari kejauhan nampak sebuah bangunan berdiri kokoh. Dilihat dari bentuknya, bangunan yang cukup indah itu mirip sebuah
puri. Namun, keindahan
bangunan itu tak sepenuhnya dapat dinikmati lima lelaki yang tengah berjalan
perlahan, karena jarak mereka dengan bangunan itu cukup jauh.
Namun, ketika Abimanyu dan keempat pengawalnya tengah terlena dalam suasana keindahan pagi itu, tiba-tiba dari balik
semak-semak muncul tiga ekor ular belang menghadang perjalanan mereka, tentu
saja kelima lelaki itu terkejut. Ular-ular itu mendesis, bahkan mulai berdiri
seperti hendak menantang musuhnya untuk berkelahi.
Zzzssst... zzzssst... zzzssst.... Abimanyu nampak kesal menyaksikan tingkah tiga ekor ular yang
menghadang perjalanannya. Seketika tangan lelaki
berpakaian hijau itu bergerak cepat ke punggung.
"Hih!" Srat!
Sebatang pedang yang telah lolos dari warangka-nya kini tergenggam di tangan Abimanyu. Pedang
itu nampak berkilau-kilau tertimpa cahaya matahari.
"Untuk apa kau keluarkan pedangmu, Raden?"
tanya Ludita dengan tatapan mata lurus ke wajah putra bungsu Ki Suteja.
Abimanyu membalas tatapan mata Ludita.
"Tentu saja untuk mengusir ular-ular itu, Paman," sahut Abimanyu.
"Jangan, jangan bunuh ular-ular itu, Raden!
Kalau hanya mengusir, aku setuju," nasihat Ludita.
"Hmmm.... Aneh Paman Ludita ini," balas Abimanyu. "Ular-ular itu berbisa, Paman.
Aku harus membinasakannya," lanjutnya, seolah tidak setuju dengan nasihat
Ludita. "Jangan, Raden! Lebih baik usir saja ular-ular itu! Lihatlah, mereka nampak
hanya menakut-nakuti
kita," sekali lagi Ludita melarang tindakan Abimanyu.
"Tidak, Paman! Harus kubunuh mereka," tolak Abimanyu.
Tubuh Abimanyu seketika melompat begitu cepat. Pedangnya yang terhunus juga berkelebat cepat
menebas ular-ular yang mulai mendekatinya.
"Hiaaa...!"
Teriakan keras mengiringi sabetan pedang Abimanyu. Srat! Srat! Srat!
Kepala ketiga ular seketika putus terpenggal
pedang Abimanyu. Kepala ular-ular itu berpentalan ke tiga arah. Seketika itu
pula darah mengucur membasahi tanah dan pedang Abimanyu.
Setelah membersihkan dari darah ular, Abimanyu segera memasukkan kembali pedangnya ke warangka yang tersampir di punggung.
"Hei! Kenapa Paman sekalian terbengong seperti itu" Apa Paman kecewa atas kematian ular-ular berbisa itu?" tanya Abimanyu
ketika melihat keempat pengawalnya diam terpaku.
"Ah... tidak, Raden," jawab Ludita, meskipun ti-ba-tiba hatinya dijalari suatu
perasaan aneh. Jantungnya dirasakan berdetak lebih cepat. Seperti ada suatu firasat buruk bakal
terjadi, dirasakan dalam hatinya. "Kalau begitu, mari kita teruskan perjalanan
ini!" putus Abimanyu.
Abimanyu segera melangkah, diikuti Ludita dan
tiga lelaki lain yang berpakaian putih.
Namun, baru dua langkah mereka berjalan, tiba-tiba dari balik semak-semak yang berjejer di tepi jalan yang mereka lewati,
muncul seekor ular hijau lurik yang cukup besar.
Tentu saja Abimanyu sangat terkejut menyaksikan ular besar yang menghadang perjalanannya. Begitu juga dengan Ludita dan ketiga lelaki lainnya. Perasaan tak enak semakin
menjalari hati mereka.
"Rupanya kau juga ingin mampus!" teriak Abimanyu seraya meloloskan pedang dari
warangkanya. Srat! 'Tahan, Raden! Jangan bunuh ular itu!" larang
Ludita sambil mencekal pergelangan tangan Abimanyu
yang siap menebas leher ular hijau lurik di hadapannya. Abimanyu terkejut
mendengar larangan Ludita.
Namun lebih terkejut lagi, ketika menyaksikan kemunculan puluhan ular besar-besar yang diikuti ratusan ular kecil. Kini ratusan
ular. memenuhi jalan selebar dua batang tombak yang dilewatinya.
"Ah! Firasat buruk di hatiku benar-benar terbukti, Raden," ujar Ludita seperti menyadari kembali firasatnya yang tadi
mengganggu hatinya.
Abimanyu tak menghiraukan ucapan Ludita.
Matanya terbelalak menyaksikan ratusan ular yang
menghadang di depannya.
"Semenjak kemunculan tiga ular yang Raden
bunuh tadi, hatiku sudah merasa tak enak," tegas Ludita lagi. "Aku sudah
melarangmu membunuh ketiga ular tadi, Raden. Tapi kau menolaknya."
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang,
Paman?" tanya Abimanyu dengan suara bergetar. Abimanyu seperti tengah dicekam
rasa takut. "Kalau ular-ular itu menyerang, terpaksa kita
gunakan senjata untuk mengusir mereka," jawab Ludita.
"Aaah....".Abimanyu menarik napas dalamdalam setelah mendengar jawaban Ludita.
"Bersiaplah untuk menghadapi segala kemungkinan itu, Raden," saran Ludita sambil mengangkat golok besarnya.
Apa yang dilakukan Ludita juga dilakukan tiga
pengawal yang lain. Mereka telah bersiap-siap dengan senjata golok terhunus.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba beberapa ekor
ular yang berada di hadapannya bergerak menyerang.
"Hati-hati, Raden!" Ludita memperingatkan Abimanyu. Tubuh Ludita yang terbalut
pakaian kuning gading itu seketika bergerak cepat menebas-nebaskan golok besarnya ke arah
kepala ular yang hendak memagutnya. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Ludita, hingga dalam sekejap saja lima ular telah tergeletak tanpa kepala di atas
tanah yang masih agak basah karena embun.
Abimanyu dan tiga pengawalnya yang berpakaian putih juga melakukan hal yang sama. Gerakangerakan senjata mereka yang begitu cepat, tepat pada sasarannya. Sehingga dalam
sebentar saja, tanah di
sekitar tempat kejadian berubah merah. Tubuh-tubuh
ular tanpa kepala terlihat bergelimpangan.
"Hiyaaa...!"
Teriakan-teriakan masih terdengar mengiringi,
sabetan pedang dan golok mereka. Cras! Cras!
Ular-ular besar dan kecil kembali jatuh bergelimpangan, terhajar senjata lima lelaki yang terus bergerak cepat. Namun sekali
lagi, kelima lelaki itu terkejut bukan kepalang. Mereka menyaksikan sendiri,
ular-ular itu seperti tak berkurang jumlahnya. Pada hal, bangkai-bangkai ular
semakin bertumpuk.
"Ahhh...."
Ludita menarik napas panjang. Meski tubuhnya
terus bergerak, pikiran lelaki itu tetap bekerja keras mencari jalan keluar agar
terhindar dari marabahaya aneh yang tengah dihadapinya.
Tiba-tiba seekor ular bergerak hendak menyerang. Dan.... Tuk!
Mulut ular itu berhasil memagut mangsanya.
"Aaa...!" Lengking kematian seketika memecah suasana pagi itu, ketika salah
seorang pengawal Abimanyu terpagut seekor ular yang cukup besar.
Tubuh lelaki itu menggelinjang sesaat, tak lama
kemudian mengejang kaku. Seluruh permukaan kulit
lelaki berpakaian putih itu membiru. Namun segera disusul lagi keanehan yang tak
masuk akal. Blaaars! Tubuh pengawal yang mati terpagut ular meletus, menimbulkan bunyi yang cukup keras. Dari perut pengawal yang pecah itu
seketika bermunculan ular-ular sebesar lengan bocah berumur dua tahun. Ludita,
Abimanyu, dan dua pengawal yang menyaksikan kejadian itu, tertegun keheranan.
Hati mereka semakin
panik dan takut.
"Aaa...!"
Abimanyu terpekik menyaksikan kejadian itu.
Apalagi, ketika melihat tubuh pengawal yang mati itu tiba-tiba berubah menjadi
ular putih yang cukup besar. Ular jelmaan itu kini berdiri seperti menantang.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Raden! Ayo Kardala, Wiluji!" perintah Ludita pada Abimanyu dan dua pengawalnya.
Tanpa membuang waktu, Ludita, Abimanyu,
Kardala dan Wiluji membalikkan tubuh cepat, segera
kaki-kaki mereka menghentak tanah kuat-kuat.
Mereka melesat cepat meninggalkan ratusan
ular yang semakin ganas hendak menyerang. Namun,
ternyata ratusan ular ganas itu seolah-olah tidak
membiarkan musuhnya lolos. Mereka terus bergerak
memburu keempat lelaki itu.
"Heh"!"
Abimanyu, Ludita, Kardala, dan Wiluji tersentak bukan main. Serentak mereka terhenti. Pikiran
masing-masing masih diliputi keganjilan kejadian ini.
"Ini betul-betul aneh, Raden," ucap Ludita seperti berbisik. "Pasti ada orang
sakti yang mengendali-kan ular-ular itu."
"Maksud, Paman?" tanya Abimanyu.
"Orang sakti yang berniat membinasakan kita
dengan ular-ular itu," terka Ludita.
"Ahhh...!"
Abimanyu mendesah perlahan, wajahnya seketika berubah pucat. Baru kali ini lelaki berusia enam belas tahun itu dicekam
ketakutan yang teramat sangat.
"Rasanya kita tak mungkin dapat meloloskan
diri, Paman," ucapan bergetar keluar dari mulut putra bungsu Ki Suteja, Kepala
Desa Gatareja. "Entahlah," jawab Ludita pasrah.
Sesaat kemudian, tiba-tiba sekelompok. ular
besar yang telah menghadang, bergerak perlahan
menghampiri Abimanyu, Ludita, Kardala, dan Wiluji.
Abimanyu mencoba menoleh ke belakang, namun hatinya kembali tersentak menyaksikan segerombolan ular kecil dan tanggung juga tengah bergerak
mendekatinya. Lutut Abimanyu seketika bergetar hebat. Peluhnya dirasakan telah membasahi seluruh pakaiannya.
Zzzssst.. Zzzssst...
"Bersiaplah, Raden!" perintah Ludita sambil tangannya mengacungkan golok.
Ludita mulai bergerak cepat menebas-nebaskan
golok besarnya. Berkali-kali goloknya menghantam tepat ular-ular yang berada di
hadapannya. Namun,
usahanya itu hanya sia-sia. Tubuh ular-ular itu ternyata kebal terhadap sabetan
senjata. Apa yang dialami Ludita, dialami juga Abimanyu, Kardala, dan Wiluji. Mereka begitu tercengang menyaksikan kekebalan kulit
ular-ular itu. Dalam ke-tercengangan mereka, tiba-tiba seekor ular bergerak
begitu cepat. Bagaikan terbang ular itu memagut leher Kardala yang tak sempat
mengelak. Tuk! "Aaa...!"
Tubuh Kardala terpelanting ketika pagutan ular
itu mendarat tepat di lehernya. Seketika tubuhnya tak berkutik lagi.
Kejadian serupa kembali disaksikan Abimanyu.
Tubuh Kardala meletus, dan dari perutnya bermunculan ular-ular sebesar tangkai golok. Lalu tubuh Kardala berubah menjadi
ular yang cukup besar.
Zzzssst...; Ular jelmaan tubuh Kardala mendesis keras,
bergerak mendekati Ludita. Meskipun hanya gerakan
perlahan, ular itu menghampiri lelaki berpakaian ku ning gading, namun cukup
membuat keder hati Ludita.
Merasa jiwanya terancam marabahaya, dengan
segenap keberaniannya Ludita mencelat cepat sambil
mengayunkan senjatanya di udara.
"Hiyaaa...!"
*** 2 Tubuh Ludita yang seperti terbang, dengan cepat menebaskan senjatanya.
Trak! ' Golok besar Ludita mendarat di leher ular yang
paling besar. Tapi....
"Aaakh!"
Ludita terpekik keras. Tubuhnya seketika terlempar ketika golok besarnya mendarat telak di leher ular besar jelmaan tubuh
Kardala. Dengan kemampuannya, Ludita mampu mempertahankan tubuhnya
dan kembali melejit dengan senjata yang siap ditebaskan ke bagian mata ular besar itu.


Raja Petir 08 Ratu Sihir Puri Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiaaa...!"
Teriakan menggelegar mengiringi sabetan golok
Ludita. Crak! Golok Ludita yang ditebaskan ke mata ular besar itu tepat pada sasarannya. Tetapi di luar dugaan, golok yang menancap pada
mata ular tak dapat ditarik lagi. Ludita telah mengerahkan tenaga dalam untuk
mencabut senjatanya, tetapi tak berhasil juga.
Tubuh ular besar itu malah bergerak naik dan
membelit tubuh Ludita. Ludita mengerti gerakan ular yang semacam itu, tapi
karena kakinya juga tersang-kut ular lain. Seketika itu juga tubuh Ludita
terpelanting ke tanah. Dan ular yang jelmaan tubuh Kardala itu dengan leluasa
membelit tubuh Ludita. Begitu keras-nya belitan ular besar itu, Ludita merasakan
tubuh tergencet kuat.
Krrrk... krk...!
Tulang-tulang Ludita seketika bergemeretak ketika ular besar itu semakin merapatkan belitannya.
Lengking kematian dari mulut Ludita pun membumbung tinggi, membuat Abimanyu dan Wiluji semakin
tercekam ketakutan.
"Ular Setan!" Abimanyu mengumpat sebisanya.
Ratusan ular itu kini bergerak perlahan mendekati
Abimanyu. Lelaki berumur enam belas tahun itu kini
terpuruk ke tanah dengan dua kaki yang terlipat.
Sementara Wiluji berdiri dengan benak bertanya-tanya. Sungguh dirinya tak dapat mengerti men-gapa ular-ular yang
jumlahnya ratusan itu tak satu
pun yang menghampirinya, apalagi memagutnya.
Wiluji tersentak melihat ular-ular besar dan kecil telah mengelilingi tubuh Abimanyu. Apalagi ketika badan keempat ekor ular
yang besar bergerak mengangkat tubuh Abimanyu.
Abimanyu begitu ketakutan mendapatkan perlakuan aneh ular-ular itu. Dirinya juga merasa bingung dan tak mengerti, ketika tiba-tiba ada suatu pengaruh aneh merasuk ke
tubuhnya. Sehingga tak ada
sedikit pun upaya dari dirinya melompat dari tubuh
ular-ular besar itu, untuk membebaskan diri.
Sementara, Wiluji yang menyaksikan kejadian
itu tak dapat berbuat apa-apa, selain hanya menatap tubuh Abimanyu yang diusung
empat ekor ular besar
dan ratusan ular-ular tanggung dan kecil yang seperti menggiring dari belakang.
Bagaikan sebuah arak-arakan yang membawa suatu persembahan.
Akhirnya, tubuh Abimanyu lenyap di sebuah tikungan jalan bersama arak-arakan ular yang mengerikan itu. "Aaah...!"
Wiluji pun menghela napas, seperti merasa lega. Tatapan mata Wiluji kini beralih pada tubuh
Ludita yang terkulai lemas tak bernyawa. Tubuh lelaki kepercayaan Ki Suteja
seperti tak bertulang. Belitan ular besar telah menyebabkan seluruh tulang tubuh
Ludita remuk. Wiluji bergerak perlahan menghampiri tubuh
Ludita. Diangkatnya tubuh yang sudah remuk tulangbelulangnya itu.
Ah, kasihan kau, Ludita, batin Wiluji.
Lelaki berpakaian putih itu pun segera meninggalkan tempat kejadian yang penuh dengan bangkai
ular, serta darah yang berceceran di tanah.
Wiluji akan melaporkan kejadian aneh yang
sangat mengerikan tadi kepada Ki Suteja, Kepala Desa Gatareja yang juga ayah
Abimanyu. *** Sementara itu, arak-arakan ular yang membawa Abimanyu terus bergerak.
Abimanyu tak berdaya untuk berbuat banyak,
ketika ular-ular mengerikan itu terus mengusung tubuhnya menuju sebuah bangunan tua yang masih terlihat kokoh. Warna putih bangunan tua itu telah berubah kusam dan abu-abu.
Semakin dekat nampak jelas,
bangunan itu mirip sebuah puri pemujaan.
Keempat ular besar pengusung tubuh Abimanyu tiba-tiba merendahkan tubuh ketika mereka tiba di pintu gerbang utama bangunan itu. Perbuatan
yang dilakukan empat ekor ular besar itu ternyata diikuti semua ular yang turut
mengiringi arak-arakan
itu. Seperti ada yang memerintah binatang melata
itu, semua merunduk seolah-olah sedang memberikan
suatu penghormatan.
Zzzssst... Suara desisan yang panjang dari ratusan bahkan ribuan ular begitu berisik merasuk ke telinga.
"He he he...."
"Hik... hik... hik...!" tiba-tiba suara tawa aneh ter-dengar dari kejauhan.
"Bawa Bocah Bagus itu masuk!" seperti menggema dari jarak jauh suara itu
terdengar Abimanyu,
Abimanyu masih merasakan bingung dan aneh
di benaknya. Sejurus lamanya Abimanyu mencoba mencari
dari mana suara itu datang" Namun hanya sia-sia, Abimanyu tak menemukan tempat suara itu muncul.
Ular-ular besar yang mengusung tubuh Abimanyu, serempak menjalankan perintah itu. Binatangbinatang itu seolah benar-benar memahami ucapan
yang terdengar tanpa sosok yang memerintahnya.
Zzzssst... Suara-suara desisan panjang yang menggiriskan kembali terdengar. Zzzssst...
Tubuh Abimanyu kembali terangkat. Perlahan
ular-ular besar itu bergerak menaiki anak tangga bangunan puri yang cukup
tinggi. Di belakang mereka ba-risan panjang ular-ular kecil masih mengiringi.
"Hik... hik... hik! Selamat datang, Bocah Bagus.
Selamat menikmati keadaan puri yang indah ini," sapa seseorang seiring dengan
terbukanya pintu utama pu-ri.
Mata Abimanyu terbeliak menyaksikan dua
orang perempuan berpakaian cukup aneh, yang terbuat dari kulit ular. Di tangan kedua perempuan itu melilit dua ekor ular yang
lidahnya menjulur dan menimbulkan desis mengerikan.
Seorang perempuan tua berusia sekitar tujuh
puluh lima tahun menghampiri Abimanyu dengan tangan yang terulur. Karuan saja Abimanyu merasa takut bukan kepalang.
Ketika tangan perempuan tua menjulur hendak
menyambut Abimanyu, seekor ular besar yang melilit
pinggangnya, berpindah tempat. Kini ular besar itu
melilit di pinggang Abimanyu.
"Hik... hik... hik.... Kau tak perlu takut, Bocah Bagus. Dia tidak galak pada
orang yang disukainya,"
ucap perempuan tua itu mantap. "Ular itu malah akan menjadi gurumu," lanjut
perempuan yang seluruh kulit mukanya sudah keriput.
Abimanyu dapat menanggapi ucapan perempuan tua di hadapannya. Matanya sibuk melihat ular
hijau kemerahan yang melilit di pinggangnya.
"Hik.., hik... hik.... Ternyata kau masih takut juga, Bocah Bagus. Baiklah, nyai
akan memindahkan
ular itu dari pinggangmu."
Perempuan tua itu bergerak meraih ular yang
membelit pinggang Abimanyu.
"Bagaimana, kau sudah tidak takut lagi, bukan?" tanya perempuan tua itu.
Abimanyu diam tak menjawab pertanyaan perempuan di hadapannya. Mata lelaki berusia enam belas tahun itu hanya menatapi keadaan perempuan tua
penghuni puri. Perempuan itu sudah cukup tua. Rambutnya yang panjang memutih tergelung tak teratur.
Dan tangannya memakai gelang-gelang dari
akar pohon membuat keadaannya bertambah angker.
"Untuk apa kalian membawaku ke tempat ini?"
Tiba-tiba mulut Abimanyu yang sejak tadi bagaikan terkunci, melontarkan sebuah pertanyaan.
"Hik... hik... hik.... Itu yang ku maui, Bocah Bagus. Sejak tadi nyai menunggu.
suaramu keluar,
dan ternyata suaramu begitu gagah kedengarannya,"
ujar perempuan tua.
Wajah perempuan yang nampak sangat angker
itu, berubah agak cerah ketika mendengar suara Abimanyu. Abimanyu mengangkat alisnya sedikit mendengar pujian perempuan tua di hadapannya.
"Sebelum nyai menjawab pertanyaanmu, ada
baiknya nyai memperkenalkan diri. Hik... hik... hik....
Kau boleh memanggilku dengan sebutan Ratu Ular
atau boleh juga Nyi Kumalarani. Sebab julukan Ratu
Ular sebentar lagi akan berpindah pada cucu kesayangan ku," ujar perempuan yang bernama Nyi Kumalarani.
"Kemarilah kau, Ambar," Nyi Kumalarani memanggil seorang gadis berusia tak lebih
dari enam belas tahun.
Tanpa membantah, gadis cantik itu menghampiri Nyi Kumalarani. Ketika itulah Abimanyu melihat kalau gadis itu pun memiliki
keanehan yang serupa.
Kepala gadis cantik yang seharusnya ditumbuhi rambut, kini malah ditumbuhi ular-ular kecil hitam pekat.
Ular-ular kecil itu terus bergerak-gerak seperti rambut yang terhembus angin.
"Cucuku ini bernama Dewi Ambar Sari, Bocah
Bagus. Kelak dialah yang akan menyandang gelar Ratu Ular. Akan tetapi Dewi Ambar
Sari harus bersuami lebih dulu sebelum menyandang gelar itu," jelas Nyi
Kumalarani. Abimanyu mendengarkan penjelasan Nyi Kumalarani dengan perasaan tak menentu. Pikirannya
sudah dapat mengambil kesimpulan maksud Nyi Kumalarani membawanya ke tempat itu. Dirinya akan dijadikan suami Dewi Ambar Sari.
"Kau bersedia menjadi pendamping hidup Ambar, Bocah Bagus?" tanya Nyi Kumalarani.
Merah padam wajah Abimanyu mendengar pertanyaan itu, dirinya tak tahu harus menjawab apa.
"Nyai tak memaksa kalau kau tak mau menjawabnya, Bocah Bagus. Karena biar bagaimanapun kau
tetap akan kujadikan pendamping hidup cucuku," ujar Nyi Kumalarani. "O ya, nyai
hampir lupa menanyakan namamu, Bocah Bagus. Siapa, Heh?"
Abimanyu menatap wajah tua Nyi Kumalarani.
"Abimanyu, Nyi," jawab lelaki putra bungsu Ki Suteja.
"Abimanyu...?" ulang Nyi Kumalarani perlahan.
"Hik,.. hik... hik.... Namamu bagus sekali, sesuai dengan wajahmu yang tampan
dan tubuhmu yang padat
berisi." Abimanyu tak menghiraukan pujian Nyi Kumalarani Mata putra bungsu
Kepala Desa Gatareja itu
menatap wajah cantik Dewi Ambar Sari. Sungguh cantik wajah cucu Nyi Kumalarani, namun sayang, di balik kecantikannya tersembunyi keangkeran.
"Abimanyu, tinggallah kau di puri ular ini dengan tenang! Semua kebutuhan
hidupmu sudah tersedia di sini! Dan paman-pamanmu itu akan mengajarimu cara hidup di puri ular ini. Kelak, kalau kau sudah mampu menyesuaikan diri
dan mampu bersatu dengan kami di sini, barulah perayaan perkawinanmu
dengan Dewi Ambar Sari dilaksanakan," ucap Nyi Kumalarani, sambil tangannya
menunjuk ular yang ada
di puri itu. Abimanyu hanya tercenung mendengar ucapan
itu. Hatinya merasa kaget mendengar sebutan paman
terhadap empat ekor ular besar yang berada tak jauh darinya. Ular-ular itulah
yang tadi mengusungnya ke puri ular ini.
"Ambar! Nyai ingin istirahat Kau layani Abimanyu baik-baik!" perintah Nyi Kumalarani.
Dewi Ambar Sari menganggukkan kepalanya
perlahan, seketika ular-ular kecil di kepalanya pun seperti ikut mengangguk.
Perempuan tua yang juga berjuluk Ratu Ular
itu berlalu dari hadapan Abimanyu dan Dewi Ambar
Sari. Sejenak mata Abimanyu memandangi kepergian
Nyi Kumalarani.
"Ayo ikut aku, Abimanyu!" ajak Dewi Ambar Sa-ri setelah tubuh Nyi Kumalarani
hilang di balik pintu
kamarnya. Hati Abimanyu semula merasa enggan menuruti ajakan gadis berambut ular di hadapannya, tapi beberapa kali gadis itu terus
mendesak. Akhirnya dengan berat Abimanyu mengikuti langkah Dewi Ambar Sari.
*** Abimanyu terus melangkah di belakang gadis
berambut ular memasuki ruangan-ruangan besar dalam puri itu. Hatinya masih terasa bergetar melihat ruangan-ruangan yang tampak
angker. "Ini kamarmu, Abimanyu. Masuklah dan selamat beristirahat!" ucap Dewi Ambar Sari sambil membuka pintu kamar.
Abimanyu melempar pandang ke dalam kamar
yang remang-remang. Kamar itu hanya diterangi sebatang obor kecil yang menempel di dinding.
"Masuklah, Abi! Segala kebutuhan mu ada di
dalam," ucap Dewi Ambar Sari sambil menyodorkan tangannya ke kamar itu.
Abimanyu belum juga bergerak menuruti perintah gadis itu. Matanya masih tetap memperhatikan keremangan kamar.
"Jadi lelaki jangan pengecut seperti itu, Abimanyu!" sentak Dewi Ambar Sari.
Sesaat Dewi Ambar Sari memandang wajah Abimanyu dalam-dalam. Kemudian gadis berpakaian kulit ular hijau lurik itu beranjak meninggalkan Abimanyu. Abimanyu mendengar bentakan seperti itu tentu saja tak senang. Untuk membuktikan kalau dirinya bukanlah pengecut, seketika
itu juga Abimanyu masuk ke kamar yang remang-remang dan agak pengap itu.
Ketika kaki Abimanyu menginjak lantai kamar,
yang pertama dilihatnya sebuah tempat tidur terbuat dari kayu jati ukir. Alas
tempat tidur itu terbuat dari kulit ular. Hatinya kembali tergetar. Bulu
kuduknya berdiri, dan tubuhnya merinding.
Namun, karena rasa lelah terasa di tubuhnya,
Abimanyu bermaksud merebahkan diri di tempat tidur
itu. Akan tetapi, baru saja Abimanyu meletakkan tubuh, tiba-tiba dirasakan sesuatu yang bergerak-gerak di punggungnya, seperti
geliatan binatang yang tertin-dih.
Abimanyu terkejut dan bangkit. Sambil berdiri
diperhatikannya cermat-cermat alas tempat tidur itu.
"Ha... ah!"
Abimanyu tersentak melihat ular-ular yang ber

Raja Petir 08 Ratu Sihir Puri Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jejer rapi. Baru disadarinya ular-ular itulah yang menjadi alas tempat tidurnya.
Lalu, tiba-tiba terdengar suara....
"Tidurlah, Abimanyu! Jangan takut kepadanya!
Ular-ular itu telah menjadi abdi mu sekarang. Kau bisa memerintahkan mereka
keluar, kalau kau tak suka
ular-ular itu berada di kamarmu," ucap sebuah suara cukup tegas.
Abimanyu mengenali suara itu. Sebuah suara
yang tentu saja milik perempuan tua bernama Nyi
Kumalarani. Akan tetapi Abimanyu tak tahu harus
berbuat apa. Dirinya memang tak suka ular-ular itu
berada dalam kamarnya, tapi untuk mengusir mereka,
Abimanyu tak tahu harus berbuat apa.
"Keluarlah abdi-abdi Abimanyu!" perintah Nyi Kumalarani dari jauh.
Ular-ular yang semula berjejer di tempat tidur
seketika bergerak satu demi satu. Dengan teratur cara ular-ular itu turun dari
tempat tidur. Dan ketika semua sudah berada di bawah, ular-ular itu kembali
membuat Abimanyu tercengang.
Zzzssst... Suara-suara desisan terdengar. Zzzssst...
Ular-ular yang berjumlah lebih dari lima belas
ekor itu seketika merundukkan kepalanya seolah
memberi hormat dan salam pamit untuk meninggalkan
ruangan junjungannya.
Zzzssst... Zzzssst... Kembali ular-ular itu mendesis bersamaan dan
ketika Abimanyu menganggukkan kepala, serempak
ular-ular itu pergi meninggalkan kamar Abimanyu.
*** 3 Matahari senja yang tertutup mendung telah
turun di sebelah barat. Angin yang berhembus terasa begitu lembab. Barangkali
sebentar lagi akan hujan.
Sesekali guntur terdengar di kejauhan.
Di bawah langit yang mendung nampak seorang lelaki tengah berlari tidak begitu cepat. Di ba-hunya nampak terpanggul
sosok tubuh tak bergerak.
"Kakang Wiluji!" tegur seseorang ketika lelaki berpakaian putih itu masuk ke
pekarangan rumah
yang pantas disebut sebuah padepokan.
Wiluji tak mempedulikan teguran orang itu. Wiluji terus bergerak masuk ke ruang utama Ki Suteja, Kepala Desa Gatareja.
Ki Suteja yang menyaksikan kedatangan Wiluji
tanpa putra bungsunya, terkejut bukan main. Terlebih
ketika menyaksikan mayat Ludita yang mengenaskan.
"Perbuatan siapa ini, Wiluji?" tanya Ki Suteja keras. "Di mana Abimanyu"!"
Wajah Ki Suteja seketika berubah merah padam. Matanya terbelalak, dan suaranya bergetar seper-ti menahan amarah.
Langkahnya terburu-buru menyambut Wiluji.
Wiluji gelagapan mendengar pertanyaan Kepala
Desa Gatareja, tak mampu menjawabnya. Nafasnya
tersengal-sengal. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. "Ah, maaf Wiluji. Sesungguhnya apa yang terjadi?" tanya Ki Suteja kembali
setelah menenangkan hatinya.
Setelah hatinya mulai tenang dan nafasnya teratur, Wiluji segera menceritakan kejadian yang dialami. Diceritakan semua, mulai
dari awal Abimanyu
membunuh tiga ekor ular yang menghadang perjalanannya hingga tubuhnya diusung empat ekor ular besar. Beberapa lama Ki Suteja merenung setelah
mendengar cerita Wiluji. Kepala Desa Gatareja itu seolah tengah berusaha
mengingat sesuatu yang pernah
dialami puluhan tahun silam.
Mungkinkah Ratu Ular yang menculik putra
ku" Seperti yang pernah dilakukan terhadap anak perempuan Ki Rampal Lawu! Dan.... Apakah dia juga
akan melakukan hal yang sama dengan Desa Kemuningwaru" Meratakan seluruh isi Desa Gatareja dengan tanah, batin Ki Suteja.
Hati lelaki berusia setengah baya itu kembali
dicekam rasa khawatir dan kecemasan yang hebat.
Ki Suteja kembali menatap Wiluji yang nampak
masih ketakutan. Tangan Kepala Desa Gatareja itu seketika terulur lalu menepuk bahu Wiluji.
"Sekarang kau boleh pergi Wiluji, dan tolong
panggil anak-anakku yang lain ke mari," perintah Ki Suteja. Wiluji segera
menggeser duduknya sedikit, kemudian bangkit dan menjura hormat pada Ki Suteja.
"Baik, Ki. Saya akan panggilkan mereka," ucap Wiluji. Namun, baru saja Wiluji
membalikkan badannya, nampak orang yang hendak dipanggilnya sudah
datang tergopoh-gopoh diikuti beberapa orang lelaki Padepokan Gatareja.
"Di mana Adi Abimanyu, Wiluji?" tanya Wiranata.
"Kemarilah kalian bertiga, biarkan Wiluji pergi!"
sahut Ki Suteja memutus pertanyaan Wiranata.
Wiranata, Randu, dan Nalanda tak segera menuruti perintah ayahnya. Ketiga putra Ki Suteja itu malah menatap wajah Wiluji
yang nampak begitu pucat.
"Kau telah menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada ayah, Wiluji?" tanya Randu.
Wiluji menganggukkan kepalanya perlahan.
"Kau nampak begitu letih, beristirahatlah! Nanti kalau kuperlukan keterangan
yang lebih rinci, kau
akan kupanggil," lanjut Randu.
"Baik kang Randu," jawab Wiluji.
Randu, Wiranata, dan Nalanda tak lagi menghiraukan kepergian Wiluji. Mereka segera duduk menghadap ayahnya. "Bagaimana ceritanya, Ayah?" tanya Wiranata tak sabar.
Ki Suteja menatap wajah putra nomor dua itu,
wajah Kepala Desa Gatareja menampakkan segurat
senyum yang samar-samar.
"Kau belum juga meninggalkan kebiasaan buruk mu, Wira," ucap Ki Suteja pelan. "Kau selalu tergesa gesa jika ingin
mengetahui sesuatu. Biasakanlah
menghadapi segala persoalan dengan hati tenang. Tak ada persoalan yang tak dapat
diselesaikan dengan hati tenang. Seperti kejadian yang menimpa adikmu dan
Ludita, memerlukan ketenangan untuk menghadapinya," lanjut Ki Suteja.
"Sebenarnya apa yang terjadi atas Adi Abimanyu, Ayah?" tanya Randu hati-hati.
Ki Suteja menarik napas dalam-dalam, kemudian mulai menceritakan laporan yang didapat dari Wiluji. Sejenak mata lelaki
berusia setengah baya itu me-nerawang jauh ke luar jendela. Benaknya kembali
berputar mengingat kejadian belasan tahun silam, di ma-na seorang perempuan yang
mengaku berjuluk Ratu
Ular mengacau Desa Kemuningwaru dengan menculik
putri tunggal Ki Rampal Lawu.
Setelah beberapa lama pikirannya melayang ke
masa silam, lalu Ki Suteja menceritakan kejadian yang dialami Abimanyu pada
Randu, Wiranata, dan Nalanda.
"Sangat aneh kejadian ini, Ayah," ujar Nalanda dengan dahi berkerut.
"Apa mungkin ada orang yang mampu memerintahkan binatang-binatang berbisa itu?" timpal Wiranata. "Mungkin saja Adi
Wira. Di dunia persilatan ini banyak tokoh sakti mampu melakukan hal-hal yang di
luar jangkauan pikiran manusia," jawab Randu.
"Jadi, Kakang pun beranggapan, kejadian ini
ada yang mendalanginya?" tanya Nalanda.
"Kira-kira begitu," jawab Randu.
Ki Suteja mendengarkan saja apa yang tengah
dibicarakan ketiga anaknya. Namun begitu, pikirannya tetap berusaha mencari
jalan keluar untuk mengatasi persoalan yang cukup rumit itu.
Dalam pikiran Kepala Desa Gatareja muncul
sebuah keinginan untuk menemui Ki Caringin, sahabatnya yang tinggal di Bukit Beringin.
"Apakah Ayah bisa mengetahui siapa yang telah
menculik Adi Abimanyu?" tanya Wiranata memutus rencana yang terlintas di benak
Ki Suteja. Ki Suteja menatap wajah Wiranata sejenak, sebentar kemudian mulutnya menyebutkan sebuah nama yang membuat terkejut hati ketiga putranya.
"Ratu Ular...?" tanya ketiga putra Ki Suteja hampir bersamaan.
Ketiganya memang tak pernah mendengar, apalagi menyaksikan sepak-terjang Ratu Ular. Namun, da-ri kejadian aneh yang
dialami Abimanyu dan pengawalnya, mereka sudah dapat memastikan kesaktian
Ratu Ular. "Kejadian seperti ini juga pernah dialami sahabat ayah, Ki Rampal Lawu. Waktu
itu Ki Rampal Lawu
menjabat sebagai Kepala Desa Kemuningwaru. Anak
tunggalnya perempuan. Kalau sekarang hidup, umurnya kira-kira sebaya Abimanyu. Wajah anak itu begitu cantik. Alasan itu yang
mungkin membuat Ratu Ular
menculiknya, atau mungkin perempuan tua tokoh golongan hitam itu mempunyai niat lain terhadap putri tunggal Ki Rampal Lawu,"
cerita Ki Suteja.
"Lalu apa yang dilakukan Ki Rampal Lawu terhadap Ratu Ular yang telah menculik putrinya, Ayah?"
tanya Nalanda menyela cerita Ki Suteja.
"Rampal Lawu marah bukan main, namun
upayanya untuk membebaskan putrinya hanya sia-sia.
Kesaktian Ratu Ular yang jauh lebih tinggi membuat
Kepala Desa Kemuningwaru tak berkutik. Dan ketika
Ratu Ular membuat kekacauan yang lebih besar, Ki
Rampal Lawu tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, akhirnya dirinya tewas bersama penduduk dan desanya
yang rata dengan tanah," kisah Ki Suteja.
"Kejam!" ujar Wiranata dengan tangan terkepal.
"Kita harus mendahului sebelum iblis jahanam itu menjarah desa kita, Ayah! Kita
kerahkan seluruh murid Padepokan Gatareja untuk mengerahkan perempuan laknat itu!" lanjut Wiranata begitu marah.
"Benar Ayah, kita harus mencegah kejadian
yang telah dialami Desa Kemuningsewu pada desa kita. Kita harus bergerak mendahului, sebelum iblis itu mengacau di sini," timpal
Nalanda. "Menurutmu bagaimana, Randu?" tanya Ki Suteja setelah mendengar ucapan Wiranata
dan Nalanda yang ingin mengerahkan murid-murid Padepokan Gatareja untuk memusnahkan Ratu Ular.
"Aku rasa, Ayahlah yang lebih tahu bagaimana
cara menghadapi Ratu Ular," jawab Randu mantap.
Ki Suteja kembali menarik napas dalam-dalam.
"Aku tidak setuju dengan keinginan Wiranata
dan Nalanda," ucap Kepala Desa Gatareja. "Karena, sudah dapat dipastikan kalau
tindakan itu akan sia-sia. Ayah sudah dapat mengukur kemampuan muridmurid Padepokan Gatareja. Mereka tidak ada artinya
jika dibanding dengan kesaktian si Ratu Ular. Meskipun jumlahnya ditambah
sepuluh kali lipat," lanjut Ki Suteja. "Sebegitu hebatkah kesaktian Ratu Ular
itu, Ayah?" tanya Wiranata penasaran.
"Enam betas tahun silam Ratu Ular pernah
membuat geger dunia persilatan dengan membinasakan tokoh-tokoh sakti golongan putih. Sekarang bisa
kalian bayangkan, kesaktian si Ratu Ular itu sudah
pasti mengalami kemajuan pesat."
Ketiga putra Kepala Desa Gatareja tercenung
mendengar ucapan ayahnya. Nampak ketiga putra Ki
Suteja saling berpandangan. Tanpa sepatah kata pun
terlontar dari mulut mereka.
"Ayah akan membicarakan kejadian ini pada Ki
Caringin. Mudah-mudahan dia bisa membantu mencari jalan keluarnya," ucap Ki Suteja.
"Aku setuju," potong Nalanda. "Dengan bantuan Ki Caringin barangkali kita bisa
sama-sama melenyap-kan si Ratu Ular itu," lanjut Nalanda.
"Tiga lelaki tua macam Ki Caringin kita kumpulkan, kesaktian Ratu Ular belum tentu tertandingi, Nalanda," papar Ki Suteja.
"Jadi, percuma saja Ayah datang menemuinya,"
selak Wiranata.
Ki Suteja tersenyum mendengar ucapan anaknya yang tanpa pikir panjang.
"Apanya yang percuma, Wira?" balas Ki Suteja.
"Orang tua Ki Caringin amat kita butuhkan pendapatnya. Barangkali Ki Caringin
punya gagasan atau cara menghadapi si Ratu Ular itu."
Nalanda dan Wiranata terdiam mendengar ucapan ayahnya. Hanya Randu yang kini nampak memandang wajah ayahnya.
"Jadi Ayah akan berangkat ke tempat Ki Cari
ngin sekarang?" tanya Randu.
"Ya. Dan kau sebagai anakku yang paling tua
kuharap dapat mengawasi semuanya, selama kepergian ayah ke tempat Ki Caringin. Kau juga awasi gelagat kurang baik tiap tamu
yang cuma numpang lewat
atau berniat bermalam di desa kita ini!" pesan Ki Suteja seraya menepuk bahu
Randu, putra sulungnya.
"Baik, Ayah. Akan kulaksanakan pesan Ayah,"
jawab Randu. Ki Suteja pun berangkat ke kediaman Ki Cari
ngin setelah terlebih dulu berpesan pada Wiranata dan Nalanda. Kepala Desa
Gatareja itu terus bergerak, sementara hari sudah senja. Dan sebentar lagi malam
akan tiba. Sepeninggal ayahnya, Randu, Wiranata, dan
Nalanda belum juga beranjak dari ruangan Ki Suteja.
Mereka nampak sedang berpikir, mencari jalan keluar untuk menyelamatkan
Abimanyu. "Aku jadi semakin penasaran, Kakang Randu,"
ucap Wiranata. "Seperti apa hebatnya Ratu Ular itu hingga ayah melarang kita
menyatroni sarangnya,
meski kita membawa seluruh murid Padepokan Gatareja yang jumlahnya tidak sedikit. Hampir delapan puluh orang, kurasa itu jumlah
yang tidak sedikit."
"Betul. Aku setuju dengan pendapat Kakang
Wiranata. Delapan puluh orang jumlah yang cukup
banyak, apalagi mereka semua bukan orang-orang
yang tak kenal ilmu silat. Perkembangan ilmu mereka cukup cepat. Bukankah Kakang
Randu lebih tahu hal
itu?" timpal Nalanda.
"Ayah lebih tahu bagaimana kita sebaiknya
bersikap," tolak Randu halus.
"Huh! Aku lebih suka kita langsung menyerang
sarang si Ratu Ular itu," bantah Wiranata.


Raja Petir 08 Ratu Sihir Puri Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebaiknya, kita jangan bertindak sebelum ada
perintah dari ayah," larang Randu.
Lelaki putra tertua Ki Suteja itu berlalu meninggalkan kedua adiknya.
Langit di atas Desa Gatareja sudah mulai gelap
sebagai pertanda hari sebentar lagi malam.
Nalanda bergegas menyusul langkah Randu,
sementara Wiranata bergerak sambil mengepalkan tinju seperti tidak puas dengan keputusan Randu.
*** Lelaki tua berusia tak lebih dari enam puluh
tahun nampak mengerutkan dahinya. Lelaki berpakaian putih yang tak lain adalah Ki Caringin menatap wajah Ki Suteja lekatlekat. "Kau tidak bergurau, Adi Teja?" tandas Ki Caringin memastikan.
"Kakang pikir, aku mengunjungi tempat ini
hanya untuk bergurau?" jawab Ki Suteja pelan.
"Lalu, dari mana bisa kau pastikan kalau yang
menculik anak bungsu mu itu si Ratu Ular?" selidik Ki Caringin.
"Dari Wiluji, abdi setia ku dan dari mayat Ludi-ta yang tulang-belulangnya remuk
karena lilitan ular besar," jawab Ki Suteja.
"Hmmm.... Apa cerita Wiluji bisa dipercaya?"
"Kurasa begitu, Kakang. Sejauh pengamatanku,
Wiluji seorang yang setia dan jujur. Apa Kakang tidak yakin kalau Ratu Ular akan
muncul lagi mengacau
dunia persilatan seperti enam belas tahun silam?"
"Setelah belasan tahun tak terdengar namanya,
bukan hal yang tidak mungkin kalau Ratu Ular kini
muncul lagi untuk menyemarakkan dunia persilatan,"
ucap Ki Caringin. "Sudah enam belas tahun Ratu Ular menyepi di tempatnya,
setelah membawa lari anak perempuan Ki Rampal Lawu yang masih bayi. Sekarang
perempuan itu muncul lagi dan menculik Abimanyu.
Ah! Apakah usia Abimanyu sekarang ini enam belas
tahun, Adi Teja?"
"Betul, Kakang."
"Kau bisa menyimpulkan kejadian enam belas
tahun silam dengan kejadian sekarang?" tanya Ki Caringin seperti dapat gambaran
jelas. "Maksud Kakang Ki Caringin?"
"Dugaanku, anak Rampal Lawu yang diculik
enam belas tahun lalu kini masih berada di tangan si Ratu Ular. Sudah tentu
sifat anak Rampal Lawu sama
persis dengan sifat kebinatangan si Ratu Ular. Karena si Ratu Ular mungkin telah
menganggap anak Rampal
Lawu sebagai cucunya, bahkan sebagai anak. Dan sekarang Abimanyu diculiknya untuk mendampingi hidup anak Rampal Lawu. Sebelumnya, Abimanyu akan
dididik agar memiliki sifat kebinatangan seperti Ratu Ular dan anak Rampal Lawu.
Baru setelah itu, keduanya dijodohkan. Dengan demikian cita-citanya untuk
mengembangkan keturunan Ratu Ular akan tercapai.
Maka setiap tahun atau mungkin setiap bulan akan
lahir Ratu Ular yang baru," Ki Caringin menguraikan gagasan yang muncul dalam
benaknya. Dugaan Ki Caringin diterima Ki Suteja. Lelaki
setengah baya pimpinan Desa Gatareja itu nampak
termenung setelah mendengar penjelasan sahabatnya.
"Kita harus bertindak, Kakang. Aku tidak ingin Abimanyu dijodohkan dengan anak
Rampal Lawu itu,"
ucap Ki Suteja cemas.
"Itu baru dugaanku, Adi Teja. Kau jangan terla-lu cemas," cegah Ki Caringin.
"Dugaanmu masuk jalan pikiranku, Kakang
Caringin," tukas Ki Suteja.
"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Caringin.
"Aku tak tahu harus berbuat apa, karena itulah aku datang ke sini."
"Kesaktian Ratu Ular bukanlah tandingan
orang-orang macam kita yang hanya kenal ilmu olah
kanuragan secara kasar. Kalaupun kita mengadakan
perlawanan untuk merebut Abimanyu, kurasa itu
hanya hal yang sia-sia belaka. Ilmu yang dimiliki Ratu Ular sungguh luar biasa.
Tokoh-tokoh sakti sekalipun sulit untuk menandinginya. Sekarang tindakan yang
patut hanya-lah menunggu perkembangan. Kalau niat
Ratu Ular menculik Abimanyu hanya untuk dijodohkan dengan anak Rampal Lawu, kemungkinan besar
Desa Gatareja terhindar dari malapetaka seperti yang dialami Desa Kemuningwaru.
Dan untuk kau, Adi Teja.
Lebih baik relakan Abimanyu demi keselamatan penduduk dan Desa Gatareja," saran Ki Caringin.
Ki Suteja tak berusaha membantah saran Ki
Caringin. Kepala Desa Gatareja itu hanya memandangi wajah sahabatnya yang dulu
sama-sama menyaksikan
keganasan Ratu Ular membinasakan penduduk Desa
Kemuningwaru dan meratakannya dengan tanah.
"Hari telah larut, Adi Teja. Ada baiknya kau
menginap semalaman di tempatku. Besok pagi kau baru pulang," usul Ki Caringin.
Ki Suteja tak dapat membantah permintaan itu.
Meski pikirannya tengah dilanda kekalutan, kepalanya mengangguk juga memenuhi
permintaan Ki Caringin.
*** 4 Hari masih gelap, hawa dingin menusuk kulit
masih terasa begitu kuat. Suara serangga yang bersahutan menandakan alam belum
terbangun dari tidurnya. Dalam suasana seperti itu, nampak beberapa
sosok bayangan berlompatan secara bersamaan. Gerakan sosok bayangan yang berjumlah dua belas orang
itu terlihat begitu ringan dan hati-hati.
"Di sini tempat Abimanyu menghilang, dan diusung ular-ular besar itu, Adi Wiranata," suara salah satu sosok bayangan yang
ternyata Wiluji.
"Hmmm...." Wiranata hanya menarik napas
mendengar ucapan Wiluji.
"Apa mungkin ular-ular itu membawa Abimanyu menuju bangunan tua yang mirip puri itu, Kakang Wiluji?" tanya Wiranata dengan tatapan mata mengarah pada bangunan tua yang
terletak cukup jauh. "Dugaanku juga begitu, Adi Wira," sahut Wiluji.
"Kalau begitu, sekarang juga kita bergerak ke sana.
Moga-moga saja dugaan kita betul dan puri itu tak di-jaga ketat," putus Wiranata
seraya mendahului Wiluji dan sepuluh orang murid Padepokan Gatareja.
Menyaksikan Wiranata dan kesepuluh murid
Padepokan Garateja sudah bergerak, meski berat, Wiluji pun mengikuti gerakan mereka yang penuh hatihati dan waspada.
Sebenarnya berat hati Wiluji menuruti kemauan Wiranata untuk membebaskan Abimanyu. Wiluji sudah dapat memperkirakan bahaya yang akan
menghadang mereka. Puluhan ular besar dan ratusan
ular-ular kecil pasti akan menghadang dan mencabik
tubuh mereka, Bukan itu saja, yang membuat hati Wiluji kecut, ular-ular itu seperti tak pernah habis. Mati satu, datang sepuluh.
Mati sepuluh datang tiga puluh.
Namun, untuk menolak keinginan Wiranata,
merupakan hal yang berat bagi Wiluji. Di samping tidak ingin dicaci Wiranata
sebagai lelaki pengecut, dirinya juga ingin menunjukkan rasa tanggung jawab
atas lenyapnya Abimanyu.
Angin berhembus cukup kuat, ketika dua belas
sosok lelaki sudah berada di depan bangunan puri.
Dua belas lelaki itu sama-sama merasakan hembusan
angin yang menebar hawa aneh.
"Hembusan angin barusan membuat bulu kuduk ku berdiri, Kakang Wiluji," ujar Wiranata pelan.
"Aku juga merasakannya, Adi Wira. Seperti ada
hawa kematian," timpal Wiluji dengan tatapan mata yang membidik tepat bola mata
Wiranata. Tatapan Wiluji seolah tatapan penyesalan atas keinginan keras
Wiranata. "Apa kau merasakannya ketika kau mengawal
Abimanyu bersama Kakang Ludita?" tanya Wiranata menyelidik ucapan Wiluji.
Wiluji menggelengkan kepala. Namun, seiring
dengan gelengan kepala lelaki berpakaian warna putih itu terdengar suara desisan
yang cukup kuat.
Zzzssst...! Zzzssst...! Wiluji tersentak kemudian mundur satu langkah. Seraya meloloskan senjata dari tempatnya, Wiluji berteriak memperingatkan
Wiranata dan kesepuluh
murid Padepokan Gatareja yang berada di belakangnya. "Hati-hati, Adi Wira! Siapkan senjata kalian!"
perintah ucapan Wiluji.
Wiranata dan kesepuluh kawannya segera mematuhi perintah Wiluji. Dengan gerak cepat mereka
mencabut senjata masing-masing.
Srat! Srat! Wiranata dan kesepuluh murid Padepokan Gatareja terperanjat. Di keremangan cahaya bulan, nampak empat ekor ular sebesar
paha menghadang langkah Wiranata dan kesepuluh kawannya. Di belakang,
empat ular besar itu juga nampak puluhan ular kecil bergerombol.
Hati Wiranata dan kawan-kawannya semakin
terkejut menyaksikan ular-ular itu mendesis dan men-julurkan lidahnya.
"Hati-hati, Adi Wiranata. Binatang-binatang itu tak dapat habis meski kita mampu
membunuh satu per-satu!" tukas Wiluji. "Kalau kita mampu membunuh satu, maka sepuluh ekor lagi
akan muncul menyerang
mu." Wiranata sempat menghiraukan peringatan Wiluji ketika seekor ular sebesar
lengan menyerangnya dengan gerakan cepat. dan ganas. Kepala ular itu bergerak ke
paha Wiranata, namun rupanya langsung Wiranata mengetahui gerakan itu. Maka dengan gerak
cepat, Wiranata membabatkan pedangnya ke leher ular itu.
Cras! Tebasan itu tepat mengenai sasarannya.
Kepala ular seketika terputus. Darah pun muncrat dari tubuh ular yang tanpa kepala itu.
Belum sempat Wiranata menarik napas, lima
ekor ular yang lain kembali menyerangnya dengan cepat. "Uts!"
Serangan ular yang pertama berhasil dielakkan
Wiranata dengan sedikit mendoyongkan tubuhnya.
Dan gerakan berputar Wiranata berhasil menebas kepala ular yang menyerangnya, membuat kepala ular
itu pun terpental ke tanah.
"Awas, Wiranata!" teriak Wiluji.
Wiranata membalikkan badannya cepat ketika
mendengar teriakan Wiluji. Putra kedua Ki Suteja itu kembali menunjukkan
kehebatannya dalam permainan pedang. Sekali hentak saja, ular yang menyerangnya dari belakang seketika menggelepar dengan kepala terputus.
Zzzssst...! Suara desisan kembali terdengar. Zzzssst..!
Empat ular sebesar paha yang sejak tadi hanya
diam, mendesis bersahutan. Begitu kuat desisan yang dikeluarkan empat ekor ular
besar itu seperti suatu perintah pada ular-ular yang lain agar melakukan
penyerangan secara serentak.
Seiring dengan berhentinya desisan, sekawanan
ular sebesar tangan bocah serentak bergerak menyerang. Begitu cepat gerakan yang dilakukan ular-ular itu hingga membuat Wiranata,
Wiluji, dan sepuluh lelaki murid Padepokan Gatareja tak sempat menghindar. "Hih!"
Cras! Cras! Suara tebasan senjata Wiranata, Wiluji, dan kawan-kawannya menebasi ular-ular itu. Gerakan pedang mereka begitu cepat. Meskipun gerakan itu nampak serampangan, puluhan ekor ular terpenggal dan
bergeletakan menjadi bangkai. Darah pun mulai membasahi tanah sekitar daerah pertempuran.
Akan tetapi, semakin lama pertempuran itu,
semakin tak nampak sedikit pun tanda bakal selesai.
Sementara tenaga yang dimiliki Wiranata, Wiluji, dan sepuluh lelaki murid
Padepokan Gatareja sudah semakin terkuras.
"Jumlah binatang-binatang itu bukan berkurang, Kakang Wiluji," ujar Wiranata ketika kedua punggung mereka saling bertemu.
"Sudah ku jelaskan padamu, Adi Wira," sahut Wiluji. "Lalu apa yang harus kita
lakukan?" tanya Wiranata. Nampak ada nada kegentaran dari pertanyaan
Wiranata. "Sebisa mungkin kita menghindari binatangbinatang berbisa itu," tukas Wiluji.
"Aku setuju," ucap Wiranata.
Putra kedua Ki Suteja bermaksud mundur dari
arena pertarungan, namun niat itu nampak seperti
sudah tercium oleh ular-ular itu. Binatang-binatang melata itu malah memperhebat
serangannya. Tuk! Tuk! "Akh!"
"Aaa...!"
Dua lelaki murid Padepokan Gatareja seketika
rebah terpagut ular berbisa itu. Hanya beberapa saat kedua lelaki itu
menggelinjangkan tubuhnya, kemudian tubuh mereka berubah kaku dengan bagian
kulit membiru. "Ganas sekali racun ular itu, Kakang Wiluji,"
ujar Wiranata setelah menyaksikan kematian yang cukup mengerikan dua murid Padepokan Gatareja.
"Awas, Adi Wira!" teriak Wiluji sambil membabatkan pedangnya, ketika melihat
seekor ular menyerang Wiranata.
"Hih!"
Cras! Sabetan itu berhasil menggagalkan serangan
ular ganas itu.
Pertempuran antara manusia dengan binatang
melata terus berlanjut. Wiranata, Wiluji, dan murid Padepokan Gatareja yang
masih hidup harus berjuang
keras untuk dapat mempertahankan hidup. Mereka
tak menghiraukan kelelahan yang semakin terasa.
Senjata-senjata mereka terus berkelebat mencari sasaran. Akan tetapi, sampai
seberapa kekuatan mereka


Raja Petir 08 Ratu Sihir Puri Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk dapat bertahan, jika jumlah ular-ular berbisa itu semakin lama bukan
semakin berkurang. Dari ma-na datangnya binatang-binatang itu tak satu pun di
antara mereka yang tahu. Hati mereka mulai terasa
keder dan takut.
"Rasanya kita tak akan mampu bertahan, Kakang Wiluji," ucap Wiranata dengan napas tersengal, sementara keringat telah
membasahi sekujur tubuhnya. "Berusahalah terus untuk bertahan, Adi Wira,"
perintah Wiluji sambil mengayunkan pedang menebas
leher ular yang hendak memagutnya.
"Hih!"
Cras! Kembali seekor ular menggelepar terbabat tebasan senjata Wiluji. Namun, Wiluji tak melihat kalau dari samping kirinya, seekor
ular yang lain telah mengancamnya. Ular itu bergerak cepat memagut pinggang
Wiluji yang tengah sibuk menghindari pagutan ular
dari depan. Akibatnya....
Tuk! "Aaa...!"
Wiluji terpekik keras ketika pinggangnya terpagut ular sebesar paha. Dirasakan pinggangnya seolah patah. Kepalanya seperti
berputar hebat dan seluruh kulit tubuhnya terasa begitu gatal.
Tubuh Wiluji pun ambruk ke tanah. Di situlah
kejadian aneh terlihat oleh Wiranata. Dia benar-benar terkejut dan tak percaya,
menyaksikan tubuh Wiluji ti-ba-tiba berubah menjadi seekor ular besar dan
bergerak bergabung dengan empat ular besar yang lain.
Sungguh aneh kejadian ini, batin Wiranata.
Tiba-tiba terdengar teriakan dua orang kawannya. "Aaa...!"
"Aaa...!"
Wiranata kembali terhenyak menyaksikan kematian dua murid Padepokan Gatareja. Putra kedua Ki Suteja itu merasa dirinya
pun akan mendapat giliran.
Maut pun sebentar lagi akan menjemputnya. Namun,
dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Wiranata bertekad untuk tetap memberikan
perlawanan. Ketika beberapa ekor ular kembali menyerangnya, dengan kegeraman yang luar biasa Wiranata menebaskan pedangnya diiringi dengan pekikan menggelegar membumbung ke angkasa.
Cras! Cras! Beberapa ekor ular yang berusaha memagut
Wiranata seketika terpental dengan kepala terputus.
Begitu juga dua ular lain yang menyusul belakangan, ter-geletak di tanah menjadi
bangkai. Wiranata sempat menarik napas lega merasa
usahanya tak sia-sia. Namun, puluhan ular masih
dengan ganas mengancamnya. Mau tak mau Wiranata
masih harus lebih waspada dan berjuang jika tak ingin nyawanya melayang.
Beberapa saat lamanya Wiranata masih sempat
menebarkan pandangan ke sekeliling. Tak terasa fajar sudah menyingsing. Sinar
kemerahan di langit sebelah timur telah mulai menerangi bumi.
"Hhh...." Wiranata menarik napas dalam-dalam, secercah harapan seketika
terbersit di hatinya. Wiranata berharap ada orang yang melewati tempat
pertarungan itu. Zzzssst...! Zzzssst..!
Empat ekor ular besar kembali mendesis bersahutan. Ular-ular kecil yang lain kembali mengepung Wiranata.
Putra kedua Ki Suteja nampak menegangkan
seluruh otot-ototnya, jari-jari tangannya menggenggam pedang kuat-kuat. Dirinya
sudah siap menghadapi
keadaan yang seburuk apa pun.
Namun di luar dugaan Wiranata, tak satu pun
di antara puluhan ular berbisa itu yang bergerak menyerangnya. Wiranata bingung
dan merasa aneh melihat kelakuan binatang-binatang buas itu, apalagi ketika menyaksikan ular-ular
berbisa itu bergerak perlahan mendekati tubuhnya. Desisan-desisan yang keluar
seiring dengan lidah-lidah yang terjulur begitu teratur, hingga mengesankan
lantunan irama yang mengandung arti-arti tertentu.
Zzzssst... Desisan itu terdengar semakin teratur.
Zzzssst... Wiranata tak bergerak sedikit pun menyaksikan
tingkah ular-ular itu. Namun, di tengah keterpakuannya, pikiran Wiranata
berputar mencari kemungkinan
tindakan terbaik.
Apakah aku harus menunggu ular-ular berbisa
itu mendekat, atau bergerak cepat sekarang" Bisik hati Wiranata.
Sementara cekalan tangannya pada gagang pedang semakin dipererat.
Ah! Hati Wiranata berontak. Aku harus mendahului menerjang ular-ular ganas itu, sebelum tubuhku tercabik-cabik.
Setelah Wiranata betul-betul mantap dengan
pikirannya, segera mengangkat pedangnya tinggitinggi. Diiringi dengan lengking menggelegar, tubuh Wiranata melesat secepat
kilat. "Hiyaaa...!"
Pedang Wiranata seketika berputar hebat. Begitu cepat putaran pedang yang dilakukan Wiranata
dengan sekuat tenaga, hingga wujud pedang tak nampak, hanya sinar keperakan yang berpendar, membuyarkan kepungan ular-ular berbisa itu.
"Hiyaaa...!"
Wuuut! Cras! Cras! Beberapa ekor ular sebesar lengan seketika bertumbangan tertebas pedang. Wiranata mengamuk bagai banteng terluka.
Namun, seberapa pun kekuatan tenaga Wiranata, nampaknya tak akan mampu menandingi serangan
ular-ular yang jumlahnya bukan semakin berkurang.
Dan ketika Wiranata lengah karena terlampau lelah,
seketika itu juga serangan berbahaya seekor ular coklat kehitaman mengancam
jiwanya. Tuk! "lh"!"
Wiranata terkejut mendapatkan serangan yang
begitu cepat, tapi untung pagutan ular itu meleset dan hanya mengenai pakaian
Wiranata. Wiranata segera mengubah letak berdirinya, ketika lima ekor ular hendak menyerangnya. Namun puluhan ekor ular yang lain terlihat siap melancarkan serangan. Begitu pula dengan
beberapa ular yang berada di samping kirinya. Keadaan ini benar-benar membuat
kalut pikiran Wiranata.
"Ah!"
Wiranata bingung, tak tahu mana yang harus
dibabat lebih dulu. Sedangkan untuk menebas semua
secara bersamaan dengan mengandalkan kecepatan
gerak, hal yang mustahil. Kekuatan tenaganya kini
sangat terbatas. Lagi pula, jumlah ular-ular itu terlalu banyak. Di tengah
kebingungan, Wiranata akhirnya
memutuskan menyerang binatang yang lebih dekat
dan yang lebih dulu menyerangnya.
Zzzssst..! Suara desisan masih terdengar bersahutan.
"Hiyaaa...!"
Wiranata berteriak menggelegar sambil mengayunkan pedang.
Namun, tiba-tiba....
Slaps.... Wiranata terkejut ketika melihat kelebat bayangan kuning keemasan melesat. Begitu cepat gerakan
sosok kuning keemasan itu mendekati tubuhnya. Sehingga, Wiranata tak menyadari kalau tiba-tiba saja tubuhnya sudah berada dalam
bopongan lelaki berpakaian kuning keemasan itu. Lelaki yang membopong
tubuhnya melompat beberapa batang tombak dari binatang-binatang berbisa yang mengepungnya.
Lelaki berpakaian kuning keemasan yang ternyata adalah Jaka segera menurunkan tubuh Wiranata. Wiranata sempat mengagumi kehebatan pemuda
itu. Namun Wiranata menoleh ketika disaksikannya
ular-ular berbisa itu bergerak mengejarnya.
"Binatang-binatang itu bukanlah jenis binatang sembarangan, mereka seperti ada
yang mengendali-kan," ucap Jaka.
"Aku juga menduga begitu, Kisanak," timpal Wiranata. "Hati-hatilah menghadapi
mereka!" "Aku tak berniat menghadapi ular-ular itu, Kisanak," bantah Jaka. "Aku hanya ingin memberi pela-jaran sedikit pada binatangbinatang itu," lanjutnya.
"Apa yang akan kau lakukan, Kisanak?" tanya Wiranata penasaran.
"Kau lihatlah nanti," jawab Jaka seraya me-nyiapkan jurus 'Pukulan Pengacau
Arah' yang didapatnya dari Eyang Putra Selasih.
Jaka, lelaki muda usia berjuluk Raja Petir segera memundurkan langkah hingga membentuk kudakuda rendah. Tangannya yang diletakkan di pinggang
membentuk kepalan dengan otot-otot yang menegang
kaku. Dan ketika puluhan ular berbisa itu meluruk ke arahnya, Jaka segera
melepaskan pukulan dengan telapak tangan terbuka lebar. Wusss...!
Hembusan angin keras seketika terlepas dari
telapak tangan Raja Petir. Pusaran angin itu meluruk cepat, menghadang serbuan
binatang-binatang berbisa.
Bresss! Puluhan ular yang menuju Jaka seketika berpentalan ketika hembusan angin bergulung menerjang.
Wiranata tak berkedip menyaksikan kehebatan
pukulan jarak jauh yang dilakukan Jaka. Sekilas tatapannya tertuju pada
binatang-binatang berbisa yang
tak berkutik lagi. Kemudian segera menatap kembali
wajah tampan lelaki yang menolongnya.
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Kisanak," ajak Jaka mencoba melepas tatapan Wiranata yang terkagum-kagum. 'Tak akan
ada habisnya menghadapi binatang-binatang suruhan itu."
Wiranata tak mempedulikan ajakan Jaka. Namun, ketika Jaka betul-betul berlalu dari hadapannya, seketika itu Wiranata
menghentakkan kakinya ke tanah. "Hup?"
*** 5 "Aku kagum dengan kedahsyatan pukulan jarak jauh milikmu, Kisanak," ujar Wiranata setelah berada di samping Jaka.
Lelaki muda berpakaian kuning keemasan yang
berjuluk Raja Petir tak mempedulikan pujian Wiranata.
Tetapi matanya melirik sekilas ke wajah Wiranata.
"Ada urusan apa dengan binatang-binatang melata itu, Kisanak?" tanya Raja Petir datar seraya mem-perlambat larinya.
Wiranata tak segera menjawab pertanyaan Jaka. Putra Ki Suteja itu nampak sibuk mengatur nafasnya yang terengah-engah.
"Namaku Wiranata. Aku sampai lupa berterima
kasih atas pertolonganmu. Kalau kau tidak keberatan aku ingin tahu namamu," ujar
Wiranata. "Namaku Jaka," jawab Raja Petir.
Wiranata nampak tak tergugah sedikit pun ketika Raja Petir menyebutkan namanya. Mulutnya diam, tetapi matanya terus menatap
tajam wajah Jaka.
"Kalau tidak ada Kakang Jaka, mungkin aku
sudah jadi bangkai, atau mungkin ditawan seperti Abimanyu," ucap Wiranata dengan
tatapan mata yang tak lepas dari wajah Raja Petir.
"Jangan panggil aku 'Kakang', Wira. Kurasa
usia kita sebaya," sahut Raja Petir. "Dan pertolongan tadi hanyalah semata
berkat kasih sayang sang Pencipta Alam ini. Aku sendiri tak akan mampu berbuat
apa-apa tanpa seizin-Nya."
Kini ganti Raja Petir yang menatap wajah Wiranata. "Sebenarnya apa yang tengah terjadi atas dirimu" Siapa itu Abimanyu yang
tadi kau katakan ditawan?" selidik Jaka.
"Ini semua memang kesalahanku sendiri, Jaka.
Aku telah melanggar larangan yang telah ditetapkan
ayahku," tukas Wiranata.
Putra Ki Suteja pun menceritakan kejadian sesungguhnya. "Jadi menurut kalian, sekarang ini Abimanyu
berada dalam Puri Ular?" tanya Jaka.
"Ayahku memperkirakannya begitu, Jaka. Sesuai dengan laporan yang didapatnya dari Wiluji," jelas Wiranata.
"Begitulah, Jaka. Hingga sebelum fajar tadi aku nekat hendak menyelamatkan
Adikku Abimanyu, namun kenyataannya" Satu orang kepercayaan ayahku
tewas bersama dengan sepuluh orang murid Padepokan Gatareja," lanjut Wiranata sambil melempar pandang ke sekeliling.
Jaka menganggukkan kepalanya perlahan
mendengar cerita Wiranata.
Sebuah kejadian yang aneh dan cukup menarik
untuk kuikuti, batin Jaka.
Raja Petir bergerak tiga langkah dari hadapan
Wiranata, tapi sebentar kemudian sudah mendekati
kembali Wiranata.
"Apa kau masih punya niat untuk membebaskan Abimanyu?" tanya Jaka.
Wiranata menggelengkan kepala perlahan. "Entahlah," jawab Wiranata pelan. "Sekarang aku ingin menuruti apa saja kata
ayahku. Kalau memang ayahku ingin menyatroni Puri Ular itu, aku akan mengikutinya. Kuharap kau juga bersedia membantu kami,
Jaka. Ku saksikan kemampuanmu begitu hebat."
Jaka alias Raja Petir cuma tersenyum mendengar ucapan Wiranata.
"Kemampuanku sebetulnya tak berbeda terlalu
jauh dengan kemampuanmu, Wira. Aku juga masih
menyangsikan apakah aku dapat membantu kalian,"
ucap Jaka merendah. "Tapi, karena aku tertarik dengan kejadian ini, aku bersedia
berdiri di belakang
ayahmu," lanjutnya.
Wiranata tersenyum mendengar kesanggupan
Jaka. Tangannya seketika terulur menjabat tangan Ra-ja Petir. "Terima kasih atas
kebaikanmu, Jaka. Dengan bantuanmu, semoga Ratu Ular dapat tersingkir dari
muka bumi ini," ujar Wiranata sambil menggenggam telapak tangan Raja Petir.
"Ratu Ular...?" tanya Jaka terkejut.
"Ya, Ratu Ular. Kau pernah bertemu dengan tokoh itu?" selidik Wiranata.
"Tidak. Aku hanya pernah mendengar dari paman ku tentang kehebatan dan sepak terjangnya di
dunia persilatan," jawab Raja Petir.
Namun, hatinya masih ragu, apakah betul da

Raja Petir 08 Ratu Sihir Puri Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lang dari kejadian ini adalah si Ratu Ular" Seorang perempuan tua berusia lanjut
yang memiliki kesaktian
begitu tinggi dan ilmu sihir yang tak bisa dipandang remeh. "Sebaiknya kita
cepat menemui ayahku, Jaka.
Aku khawatir ayah cemas mencariku," ajak Wiranata.
"Ayolah!"
"Hup!"
"Hip!"
Kedua lelaki itu segera meninggalkan tempat
itu. *** Ki Suteja, Kepala Desa Gatareja begitu tercengang melihat kedatangan Wiranata bersama dengan
sosok lelaki muda yang namanya tengah santer dibicarakan tokoh-tokoh sakti rimba
persilatan. Ki Suteja sungguh tak menduga, tokoh muda yang digdaya itu
akan hadir di tengah-tengah kemelut yang dihadapinya. "Ah, selamat datang Raja Petir. Aku senang menerima kehadiranmu di
tengah-tengah kemelut ini,"
sambut Ki Suteja sambil merundukkan badannya.
Wiranata tentu saja terkejut mendengar ucapan
ayahnya, terlebih dengan sikap ayahnya yang begitu
menaruh hormat pada Jaka.
Raja Petir" Ulang Wiranata dalam hati. Apakah
lelaki semuda ini yang berjuluk Raja Petir"
Tiba-tiba saja ada rasa malu menyeruak masuk
ke hati Wiranata. Wajahnya berubah merah padam
mengingat kelakukannya terhadap Jaka tadi.
"Maafkan aku, Kakang Jaka. Aku sungguh tak
tahu kalau kau ternyata Raja Petir yang kesohor itu,"
ucap Wiranata seraya menjura memberi hormat.
Jaka tentu saja jadi tak enak hati mendapatkan
perlakuan seperti itu. Segera tangannya menyentuh
punggung Wiranata yang tengah menjura memberi
hormat. "Jangan berbuat seperti itu untukku, Wira," cegah Jaka pelan. "Apalah beda diriku dengan kau dan juga dirimu, Ki."
"Panggil aku Ki Suteja, Raja Petir," pinta Ki Suteja. "Dan panggil juga aku
Jaka, Ki Suteja. Jangan panggil aku dengan julukan itu!" balas Jaka.
"Kau terlalu merendah, Jaka," selak Ki Suteja.
"Namun, justru kerendahan hatimu itu yang mengangkat namamu di rimba persilatan
ini. Selain kesaktian mu, sikap itu pula yang telah membuat namamu
harum," lanjut Ki Suteja terus terang.
"Kau terlalu berlebihan memujiku, Ki," sahut Jaka. Kepala Desa Gatareja
tersenyum mendengar
ucapan lelaki muda berpakaian kuning keemasan itu.
Sekilas, mata Ki Suteja beralih menatap tajam wajah Wiranata.
"Apa yang telah kau lakukan di pagi buta itu,
Wira"!" sentak Ki Suteja berang. "Kau tahu kalau tindakan itu tak lebih dari
sekadar bunuh diri" Kemampuanmu dalam ilmu silat belum seberapa, Wira! Kenapa kau berani menyatroni Puri Ular itu" Seharusnya
kau sadari hal itu. Meski membawa sepuluh orang murid Padepokan Gatareja dan juga Wiluji, tindakanmu
itu tak ada artinya bagi Ratu Ular!"
Ki Suteja terus memarahi Wiranata yang dianggapnya telah lancang dengan tindakannya.
Wiranata tertunduk mendengar perkataan ayah
nya. Sungguh dirinya mengakui kebenaran kata-kata
ayahnya. Kini baru hatinya menyesal telah menerjang larangan ayahnya yang
mengakibatkan kematian sepuluh orang murid Padepokan Gatareja dan Wiluji.
"Aku sadar, Ayah," jawab Wiranata pelan.
"Hmmm...." Ki Suteja menarik napas dalamdalam. "Ah, maaf Jaka. Terpaksa sekali aku memarahi Wiranata di hadapanmu.
Anakku itu memang keras
kepala dan selalu gegabah dalam bertindak. Namun,
dengan kemarahanku barusan kuharap dia bisa berubah," ucap Ki Suteja merasa tak enak hati pada Raja Petir. 'Tak apa, Ki Suteja,"
balas Jaka. "Tinggalkan kami, Wira. Ayah ingin berbincangbincang dengan Jaka," pinta Ki Suteja kemudian.
Wiranata tentu saja tak menunggu perintah itu
terucap dua kali dari bibir ayahnya. Namun, sebelum beranjak meninggalkan
tempatnya, Wiranata terlebih
dulu menundukkan kepalanya pada Jaka.
"Saya tinggal, Kakang Jaka," ucap Wiranata seraya memberi hormat.
Jaka pun melakukan hal yang sama.
"Silakan, Adi Wira," balas Jaka.
*** "Bagaimana mulanya hingga kau bisa berjalan
seiring dengan Wiranata, Jaka?" tanya Ki Suteja setelah mengajak Jaka masuk ke
ruang pribadinya.
"Aku hanya kebetulan lewat di tempat itu, Ki.
Awalnya aku hanya mendengar suara teriakan nyaring, seperti suara pertempuran.
Kenyataannya memang begitu. Namun, aku sempat terkejut menyaksikan Wiranata bertarung melawan puluhan ular berbisa. Ah, untung Yang Kuasa masih
memberkati usahaku, Ki. Kalau tidak, mungkin aku dan Wiranata sama-sama sudah menjadi bangkai, disantap binatang-binatang berbisa itu," papar Jaka.
Kepala Desa Gatareja mengangguk-anggukkan
kepala mendengar cerita Jaka. Tiba-tiba di hatinya muncul perasaan tenang,
meskipun sebenarnya beban
berat masih bergayut di hatinya. Kedatangan Raja Petir dirasakan begitu tepat,
ketika sedang terjadi kemelut yang melanda desanya.
"Ku nyatakan terus terang Jaka, bahwa aku
sangat membutuhkan bantuan dari orang semacam
kau. Tak terpikirkan oleh ku, bagaimana nanti keadaan Desa Gatareja tanpa kehadiran tokoh sakti yang mampu mengatasi kesaktian
Ratu Ular. Aku tak ingin
menyaksikan Desa Gatareja mengalami nasib sama
dengan Desa Kemuningwaru, hancur dan rata dengan
tanah," ucap Ki Suteja dengan nada getir.
"Apa Ki Suteja yakin kalau Ratu Ular akan melakukan hal yang sama dengan Desa Kemuningwaru?"
"Itu dugaanku saja, Jaka. Karena kejadian ini
sama persis dengan kejadian enam belas tahun lalu
terhadap Desa Kemuningwaru," jawab Ki Suteja.
"Maksud Ki Suteja?" tanya Raja Petir belum memahami ucapan Ki Suteja.
"Beberapa had setelah Ratu Ular menculik anak
perempuan Ki Rampal Lawu, malapetaka bagi Kemuningwaru pun menyusul. Penduduk dan wilayah kekuasaan Ki Rampal Lawu menyatu dengan tanah. Tak
terkecuali Ki Rampal Lawu sendiri," jelas Ki Suteja.
"Maaf, Ki. Kalau aku boleh tahu, apa hubungan
Ki Suteja dengan Ki Rampal Lawu?"
"Ki Rampal Lawu sahabat sepermainan ku, Jaka. Namun di samping itu, kami sama-sama menuntut
ilmu silat di dalam perguruan yang sama," jelas Ki Suteja. "Lalu untuk apa Ratu
Ular menculik anak perempuan Ki Rampal Lawu dan juga Abimanyu" Apa
yang dilakukan Ratu Ular itu masih tetap berkaitan?"
tanya Jaka lebih jauh.
Sejenak Kepala Desa Gatareja menatap wajah
Jaka. Lelaki Kepala Desa Gatareja itu nampak kagum
dengan kejelian anak muda berpakaian kuning keemasan dalam mengajukan pertanyaan.
"Setelah aku menemui Ki Caringin, kami sependapat kalau peristiwa ini sating berkaitan," papar Ki Suteja.
"Ki Caringin," ulang Raja Petir perlahan. "Dia sahabatku, juga sahabat Rampal
Lawu," jelas Ki Suteja.
Kepala Desa Gatareja membuang sebentar tatapannya ke lain tempat, dari mulutnya seketika mengalir cerita tentang
perjumpaannya dengan Ki Caringin. Mereka berdua berkesimpulan, bahwa Abimanyu
akan dijodohkan dengan anak perempuan Ki Rampal
Lawu yang sampai saat ini masih dikuasai Ratu Ular.
"Kesimpulan kalian masuk akal, Ki Suteja. Dan
berarti, kita harus berhadapan dengan dua perempuan yang memiliki kesaktian tak
jauh berbeda. Sebab, bukan mustahil Ratu Ular telah menurunkan seluruh ilmunya pada anak Ki Rampal Lawu yang sudah dianggap sebagai cucu atau bahkan anaknya," ucap Ja-ka menyimpulkan cerita Ki
Suteja. "Apa mungkin ilmu sihir Ratu Ular juga diturunkan keseluruhan pada anak Ki Rampal Lawu?" ujar Ki Suteja seperti pada
dirinya sendiri.
Jaka bukan tidak mendengar perkataan Ki Suteja yang diucapkan begitu pelan. Pendengarannya
yang sudah cukup terlatih memungkinkan untuk menangkap suara sekecil apa pun.
"Kurasa ilmu sihir itu juga akan diturunkan secara keseluruhan," tanpa tekanan
kuat ucapan mulut Jaka, karena tak ingin kalau Ki Suteja menganggap dirinya lebih tahu akan hal itu.
"Bukankah Ki Suteja dan Ki Caringin berkesimpulan kalau si Ratu Ular berhajat mengembangkan
keturunan yang mampu mewarisi ilmunya dan melanjutkan cita-citanya?" lanjut Jaka se-raya menatap wajah Kepala Desa Gatareja.
"Aku tak setuju kalau Abimanyu dijodohkan
dengan anak Ki Rampal Lawu yang tidak mustahil
berwatak seperti si Ratu Ular," ucap Ki Suteja.
"Itu berarti Ki Suteja sudah siap mengalami nasib seperti Ki Rampal Lawu dan
desanya," selak Jaka mencoba mengorek keyakinan hati Kepala Desa Gatareja. "Aku
memang harus siap, Jaka. Apalagi sudah ku saksikan sendiri kekejaman Ratu Ular
terhadap Rampal Lawu. Dan kesiapan ku juga berkat kehadiranmu di sini," jawab Ki Suteja mantap.
Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir baru hendak menimpali ucapan Kepala Desa Gatareja ketika ti-ba-tiba seseorang datang
dengan tergopoh-gopoh menemui Ki Suteja.
"Ada apa Janing" Kenapa kau begitu tergesagesa seperti itu?" tanya Ki Suteja pada seorang lelaki yang juga murid Padepokan
Gatareja. 'Tiga orang lelaki mengamuk di depan padepokan, Ki," jawab lelaki yang bernama Janing.
"Mengamuk" Siapa mereka?"
"Bukan orang Desa Gatareja, Ki. Mereka mengaku dari Perguruan Jari Malaikat," jawab Janing.
"Perguruan Jari Malaikat?" tanya Ki Suteja dan Jaka hampir berbarengan.
"Aku tak pernah punya urusan dengan mereka,
kenapa mereka mengamuk di sini" Ah! Maaf, Jaka.
Kau kutinggal dulu, aku harus mengetahui duduk perkara ini secepatnya," ucap Ki Suteja pada Jaka.
"Aku juga ingin melihat orang-orang Perguruan
Jari Malaikat itu, Ki," pinta Jaka.
"Aku tak ingin tanganmu kotor karena urusan
sepele ini, Jaka," larang Ki Suteja halus.
"Tidak begitu, Ki. Aku nanya ingin mendampingi mu saja. Barangkali nanti kehadiranku dibutuhkan," tukas Jaka.
"Terserah kaulah, Jaka."
Ki Suteja segera melesat cepat, sesaat setelah
memandang wajah Jaka. Gerakan kaki yang ringan itu
menandakan kalau Ki Suteja bukan orang sembarangan. Sementara lelaki yang berjuluk Raja Petir hanya
mengekor perlahan di belakang.
*** Tidak lama kemudian Ki Suteja telah sampai di
depan Padepokan Gatareja.
"Ha ha ha.... Rupanya kau lelaki tua yang menjadi kepala desa dan sekaligus memimpin, Padepokan
Gatareja ini" Ha ha ha.... Tua Bangka! Apakah tak di-ajari murid-muridmu cara
membunuh orang lain dengan baik, hingga jejak pembunuhan itu tak tercium kerabat-kerabat terbunuh?"
ucap salah seorang dari tiga lelaki yang mengaku dari Perguruan Jari Malaikat,
Lelaki bertubuh tinggi besar dengan cambang
yang kasar kecoklatan itu menatap wajah Ki Suteja
cukup tajam. "Seharusnya kau berhati-hati dengan ucapan
dan tindakanmu itu, Kisanak," tegur Ki Suteja tenang.
Tongkat Rantai Kumala 1 Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai Titisan Dewi Kwan Im 1

Cari Blog Ini