Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal Bagian 2
Mayang Sutera yang sudah
merah karena marah, kini semakin bertambah merah.
Gigi gadis itu gemeretakan, dan tangannya terkepal
kuat dengan otot-otot menegang keras.
Sementara Jaka hanya terkejut, melihat Kitab
Perguruan Gelang Emas berada di tangan Jatnika.
"Kau harus menyerahkan kitab itu padaku, Pendeta Gadungan!" bentak Mayang Sutera
geram. Ha ha ha... Garnika dan Jatnika tertawa keras mendengar
perintah gadis cantik di hadapannya.
"Tentu saja aku akan memberikan apa yang
menjadi hakmu, setelah kau memberikan dirimu untukku, Gadis Manis," ucap Garnika.
Jaka marah bukan main mendengar ucapan
Garnika yang tidak senonoh. Namun lelaki muda yang
matang pengalaman itu tidak segera mengambil tindakan. Dibiarkannya Mayang Sutera menyanggah perkataan kotor itu.
"Tak semudah kau mengeluarkan kata-kata kotor itu, Pendeta Busuk! Kurasa keinginanmu hanya
impian belaka," balas Mayang Sutera.
"Kita buktikan saja, Gadis Sombong," tukas Garnika yang terpancing ucapan Mayang
Sutera. Pendeta gadungan bernama Garnika melangkah maju dua langkah.
"Seranglah, Gadis Sombong! Aku risih jika harus memulai lebih dulu," tantang Garnika.
"Seharusnya kau risih mengenakan pakaian
itu, apalagi dengan biji-biji tasbih yang menggelantung di lehermu!" ejek Mayang
Sutera. Jaka tersenyum mendengar ucapan Mayang
Sutera yang dapat membuat wajah Jatnika dan Garnika merah padam.
"Ucapanmu semakin kurang ajar saja! Kau harus membayar mahal!" bentak Garnika sewot
Lelaki berpakaian merah darah itu segera bergerak cepat. Tangannya yang membentuk totokan, terarah menyilang ke pelipis Mayang Sutera. Angin bercericitan mengiringi serangan
Pendeta Kembar.
Mayang yang memang sudah terlatih membaca
kecepatan sebuah gerakan, tidak terkejut. Dengan ketenangan yang luar biasa,
tubuh gadis cantik yang terbalut pakaian jingga bergerak menghindari terjangan
tangan Garnika.
Cit! Wut! Serangan Garnika lolos ketika tubuh Mayang
Sutera melejit cepat seraya berputar dua kali di udara.
Namun lelaki yang berjuluk Pendeta Kembar itu tak
mau kalah, lelaki itu kembali melancarkan pukulan
susulan. Kali ini Garnika mempertajam pukulannya
dengan pengerahan tenaga dalam yang hampir dua
kali lipat. Itu bisa diketahui dari deru angin yang mengiringi serangan ke dada
Mayang Sutera. "Awas, Mayang!" teriak Jaka memperingatkan kedatangan serangan Garnika yang
cukup dahsyat. Mayang Sutera yang baru mendaratkan kaki di
tanah, tentu saja mendengar peringatan Jaka. Tetapi tanpa diberi tahu pun Mayang
Sutera sudah dapat
menduga serangan susulan yang akan dilancarkan
Garnika. Terbukti ketika baru saja kakinya menjejak tanah, kaki ramping itu
kembali menghentak kuat. Seketika itu juga tubuh Mayang Sutera mencelat,
menyilang ke kanan. Begitu cepat gerakan gadis cantik berpakaian jingga, hingga
serangan dahsyat yang dilancarkan Garnika kembali menemui tempat kosong.
"Kurang ajar!" maki Garnika dalam hati. Wajah lelaki yang berjuluk Pendeta
Kembar itu merah padam, merasa dipermainkan gadis yang berusia jauh lebih
muda darinya. "Ha ha ha.!..! Hi hi hi...!" Mayang Sutera sengaja melepaskan tawa mengejek
untuk memancing kemarahan Garnika lebih jauh. Sementara, Jaka sempat
terkejut mendengar tawa gadis cantik yang telah mengisi sudut kosong dalam
hatinya. "Sudah kuperingatkan padamu, Pendeta Gadungan!" ucap Mayang Sutera mencemooh. "Buang sa-ja mimpimu untuk dapat memiliki
ku. Dan kalau masih ingin menikmati sinar matahari pagi, serahkan Kitab Gelang-gelang Emas itu
padaku!" lanjut Mayang Sutera lantang.
"Edan!" bentak Garnika menimpali ucapan gadis berpakaian jingga.
"Keinginanmu yang edan, Pendeta Gila!" maki Mayang Sutera semakin membuat
Garnika marah "Kau harus mampus!"
"Hiaaa...!"
Tubuh Garnika kembali mencelat ke arah Mayang. Gerakan cepat yang dilakukannya merupakan
serangkaian serangan dalam jurus 'Totok Pemecah Kepala'. Mayang Sutera sedikit terkejut menyaksikan serangan lawan. Sesaat tangan
Garnika bergerak-gerak
cepat bagai tangan Malaikat Maut.
Gadis itu melihat jari tangan Garnika membentuk kerucut dan bergerak ke berbagai arah. Untuk sesaat Mayang Sutera tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Namun berkat ketenangannya, gadis itu mampu
mengambil keputusan untuk membentengi diri dengan
senjatanya yang berupa payung, terbuat dari logam keras kuning keemasan. Itulah
senjata ciri kas Mayang Sutera hingga dirinya dijuluki Dewi Payung Emas
Ketika serangan Garnika dua jengkal lagi mendarat di batok kepalanya. Mayang Sutera segera membentengi kepalanya dengan payung yang terkembang
dan berputaran cepat hingga menimbulkan deru yang
kuat "Heh"!"
Garnika terkejut bukan main melihat perbuatan lawan. Lelaki itu tahu senjata yang dipergunakan Mayang Sutera bukan senjata
biasa. Itu bisa diketahui dari ujung-ujung payung.
"Kau harus mampus!" teriak Garnika keras. Tubuhnya mencelat ke arah Dewi Payung
Emas. Ketika serangan itu sudah dekat, Mayang Sutera segera membentengi kepalanya dengan payung yang terkembang dan berputaran
cepat Drung! Benturan tangan Garnika dengan payung
milik Mayang Sutera terdengar amat keras!
Lelaki itu ingin mengurungkan serangannya,
namun rasanya tak mungkin dilakukan, karena luncuran tubuhnya sangat cepat dan tak mungkin dihentikan secara mendadak. Tanpa pikir panjang lagi, maka Garnika melanjutkan
serangannya. Drung! Benturan keras tak dapat dihindari. Tubuh
Garnika terdorong ke belakang sejauh satu tombak.
Garnika terkejut mendapatkan dirinya terhuyung seperti itu. Lelaki itu seakan tak percaya, karena tadi dirinya telah mengerahkan
hampir seluruh tenaga dalam yang dimiliki, tapi kenyataannya"
"Huh! Hebat juga anak Ketua Perguruan Gelang
Emas ini," kata hati Garnika.
Sementara Mayang Sutera yang juga sempat
terhuyung, bergumam dalam hati, hebat juga tenaga
dalam Pendeta Kembar itu. Tak dapat dibayangkan betapa besar kekuatan mereka jika bergabung.
Jaka melihat tubuh Mayang Sutera tergempur
mundur segera melejit menghampiri.
"Kau tidak apa-apa, Mayang?" tanya Jaka khawatir. Mayang Sutera hanya
menggelengkan kepala
mendengar pertanyaan Jaka.
"Hhh...!"
Jaka menarik napas lega melihat jawaban Mayang Sutera, meski hanya lewat anggukan.
6 Apa yang dilakukan Jaka, dilakukan pula oleh
Jatnika. Lelaki pasangan Garnika hingga mereka bergelar Pendeta Kembar, menghambur ke arah Garnika.
"Kau tidak apa-apa, Adi Garnika?" tanya Jatnika.
Seperti juga Mayang Sutera, Garnika melakukan hal yang sama untuk menanggapi pertanyaan Jatnika. Kepala Garnika menggeleng sebagai tanda dirinya tidak mengalami luka
akibat benturan keras tadi.
"Rasanya aku tak tertarik lagi mendapatkan
anak Ketua Perguruan Gelang Emas itu, Kakang. Kita
habisi saja gadis itu!" ajak Garnika.
"Ayo, aku juga tak ingin memperpanjang urusan dengannya," ujar Jatnika setuju.
Dua lelaki berkepala botak dengan pakaian
pendeta berwarna merah mencolok, menatap tajam
wajah Mayang Sutera.
"Kau tak akan melihat matahari esok pagi,
Anak Manis. Hari ini aku akan mengirimmu ke tempat
yang abadi!" gertak Jatnika angkuh.
"Kalau kalian ingin main keroyok, silakan. Namun jangan salahkan bila pemuda itu turut campur
tangan," ucap Mayang Sutera dengan jari telunjuk mengarah ke Jaka.
"Hei! Apa yang kau andalkan dari anak muda
itu?" tanya Garnika penuh ejekan. Wajahnya pun dito-lehkan sedemikian rupa ke
arah wajah Jaka seperti
mengejek. "Pendeta Gendeng! Jadi kau belum tahu siapa
kawanku ini?" tanya Mayang Sutera bernada meren-dahkan Pendeta Kembar.
Mata Jatnika dan Garnika serentak menelusuri
sekujur tubuh Jaka yang berdiri tenang.
"Amatilah baik-baik, Pendeta Kembar. Barangkali kalian kenal dengan kawanku. Jika mengenalnya, serahkan cepat-cepat Kitab
Gelang-gelang Emas milik-ku sebelum nyawa kalian melayang oleh kawanku ini!"
gertak Mayang Sutera.
"Aku bisa menebak siapa gerangan kawanmu
itu, Gadis Edan," ucap Jatnika.
"Ya. Sebutkanlah," putus Mayang Sutera.
"Mmm.... Kawanmu itu pasti...." Jatnika menggantung ucapannya, raut wajahnya dibuat seperti
orang ketakutan.
"Kusir sado, kan?" lanjut Jatnika setelah sekian lama menatap wajah Jaka.
Mayang Sutera terkejut mendengar jawaban
Jatnika yang di luar dugaan, gadis itu ingin menerjang Jatnika, namun tangan
Jaka telah lebih dulu mencegah gerakan Mayang Sutera.
"Jangan, Mayang," tahan Jaka sambil mengem-bangkan senyum. Kemudian tatapannya
dialihkan pa- da Jatnika. "Kisanak harus belajar lagi cara menilai seseorang," ujar Jaka tenang.
"Lalu kalau bukan kusir sado, kau ini siapa,
heh"!" tanya Garnika dengan raut wajah dibuat selucu mungkin.
"Kurang ajar! Kuberitahukan padamu, Pendeta
Gila! Kawanku ini yang berjuluk Raja Petir!" ucap Mayang Sutera keras.
"Raja Petir"!" ulang Garnika dan Jatnika se-rempak.
"Kalian takut dengan nama besar itu?" tanya Mayang Sutera.
"Ah, kupikir kawanmu itu Raja Doger!" jawab Jatnika.
Kembali wajah Mayang Sutera memerah mendengar hinaan itu.
"Biarkan mereka bicara seenaknya, Mayang,"
redam Jaka atas kemarahan Mayang Sutera.
"Mulutnya harus dibungkam, Kakang," kilah Mayang Sutera.
"Ayo! Bungkamlah mulutku, Raja Doger! Penuhi
keinginan gadis edan itu," sentak Jatnika lagi.
"Pendeta Nista, majulah kalau memang mulutmu ingin ku bungkam," tukas Jaka tenang.
"Kurang ajar! Ayo kita habisi saja, Kakang!"
ajak Garnika merasa jengkel dipanggil Pendeta Nista.
Jatnika yang mendengar ucapan Garnika segera menyambut dengan sebuah tanda untuk melakukan
serangan bersama. Sasaran serangan mereka adalah
lelaki muda yang mengenakan pakaian kuning keemasan. "Menyingkirlah, Mayang. Biar kuberi pelajaran dua Pendekar Gadungan itu,"
pinta Jaka. Mayang Sutera segera mematuhi permintaan lelaki muda yang telah diketahui ketinggian ilmunya dari Nyi Selasih. Baru sekitar
dua tombak Mayang Sutera
menjauhi tubuh Jaka, serangan dua lelaki yang berjuluk Pendeta Kembar sudah
datang. Jaka yang mengetahui arah gerakan Garnika
dan Jatnika, tetap berdiri tenang. Ditunggunya serangan kedua lelaki berpakaian
merah yang terpecah ke
dua arah. "Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Tubuh Jatnika yang terbang bagai elang menyambar, meluruk cepat dengan tangan membentuk
kerucut, berkelebat mencecar pelipis Jaka. Sedang
Garnika dengan sedikit membungkukkan tubuh bergerak cepat dengan sasaran lambung Jaka.
Mendapat serangan yang terpadu begitu cepat,
Raja Petir segera melayaninya dengan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
"Hop!"
"Hop!"
Tubuh Jaka berkelebatan cepat ke berbagai
arah, menghindari terjangan Garnika dan Jatnika yang susul-menyusul bagai
gelombang lautan. Ke mana pun
tubuh Jaka mencelat, Pendeta Kembar terus mencecar
dengan jurus-jurus yang mematikan. Sementara Jaka
terus menghindar dengan mengandalkan kecepatan
geraknya yang lebih unggul dari Pendeta Kembar.
Namun ketika Raja Petir melihat ketajaman serangan Pendekar Kembar tidak setajam serangan pertama, maka dicobanya memberikan serangan balasan
lewat jurus 'Menggiring Awan'. Tangan Jaka yang terentang berkelebat cepat ke arah dada Garnika, sedang kaki kanannya bergerak
menyilang ke bawah perut
Jatnika. Dua lelaki berjuluk Pendeta Kembar itu tersentak melihat serangan balasan Jaka yang tiba-tiba. Se-dapatnya Garnika dan
Jatnika melempar tubuh ke
arah yang berlawanan.
"Hip!"
"Hup!"
Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendeta Kembar segera melompat dan bergulingan di tanah beberapa kali. Kemudian dengan bertumpu pada tangan, mereka melenting ke udara.
Raja Petir yang sudah menduga gerakan yang
akan dilakukan Pendeta Kembar, segera memilih Jatnika sebagai sasaran serangan susulan. Maka ketika
tubuh Jatnika berada di udara, Jaka secepat kilat berkelebat dengan mengerahkan
jurus 'Petir Menyambar
Elang'. "Hiyaaa...!"
Jatnika melihat serangan susulan Jaka yang
datang begitu cepat, terkejut bukan main. Lelaki itu sebenarnya ingin melempar
tubuhnya ke arah yang
berlawanan, namun ketika dirasanya tidak mungkin,
maka akhirnya Jatnika terpaksa menangkis serangan
Raja Petir. Tlak! Bugkh!" "Hekh!"
Tubuh Jatnika terpental deras ketika tangan
kanannya menangkis sodokan tangan kiri Jaka, sedang tangan kanan Jaka menghantam telak perutnya.
Dengan dibarengi pekikan keras, tubuh Jatnika jatuh berdebum.
Bruk! Garnika yang melihat keadaan Jatnika seperti
itu, sempat tersentak. Namun tidak lama, karena tubuh Garnika sudah berkelebat menghampiri Jatnika
yang tergeletak sejauh enam tombak darinya.
"Kakang...."
Garnika memegang bahu Jatnika, kemudian
sebuah tatapan menusuk dilemparkan ke arah Jaka.
"Lebih baik kita tinggalkan pemuda itu, Adi
Garnika," ujar Jatnika, parau. "Pemuda itu sangat tangguh. Mungkin benar bahwa
pemuda itu yang berjuluk Raja Petir," sambung Jatnika sambil memegang punggung
tangan Garnika.
Garnika tidak menimpali ucapan Jatnika. Matanya masih tetap tertuju lurus, menatap wajah Jaka yang kini berdiri di samping
Mayang Sutera. "Bersiaplah, Adi Garnika. Aku masih sanggup
berlari," desak Jatnika.
"Hhh...."
Garnika menarik napas panjang karena masih
penasaran ingin menaklukkan Jaka.
"Pendeta Gadungan!" bentak Mayang Sutera ti-ba-tiba. "Berikan kitab ku jika
jasad kalian tidak ingin terkubur hari ini!"
Tatapan mata Garnika yang sejak tadi tertuju
ke wajah Jaka, kini beralih menatap wajah jelita
Mayang Sutera dengan raut muka bengis.
"Gadis Edan! Kau tak mungkin dapat mengambil kitab yang sudah berada di tangan Pendeta Kembar!" alas Garnika geram.
"Sesumbar mu saja yang besar, Pendeta Bejat!
Buktikan kalau kalian memang mampu mempertahankan kitab yang bukan milikmu itu!"
"Hiaaat..!"
Mayang Sutera segera berkelebat cepat. Karena
kemarahannya sudah tak dapat dibendung lagi, maka
gadis cantik itu langsung memainkan senjatanya yang berupa sepasang gelang
kuning keemasan, yang dikeluarkan dari balik pakaian. Ketika tubuh Mayang Sutera masih berada di udara, gadis cantik itu melepas sebuah gelang emas yang
berada di genggamannya.
Siiing...! Suara berdesing mengiringi datangnya luncuran gelang Mayang Sutera. Bukan hanya suara desingan yang membuat senjata itu terlihat dahsyat, tapi juga hawa dingin menyengat
yang terkandung dari
luncuran gelang emas Mayang Sutera.
"Cepat Garnika, kesempatan kita untuk meloloskan diri sempit sekali," ucapan yang ditekan kuat itu membuat Garnika sadar.
Garnika segera mengeluarkan sesuatu dari balik kantung pakaian.
Brrr...! Puluhan butir benda merah seketika meluruk
cepat ke arah gelang emas, diikuti oleh luncuran tubuh Garnika.
Jaka menyaksikan keadaan gawat itu segera
berteriak keras memperingatkan Mayang Sutera.
"Awas, Mayang!"
Bersamaan dengan suara peringatkan Jaka,
Mayang Sutera melempar tubuhnya ke kanan seraya
bergulingan di tanah. Sedang gelang emasnya terus
meluncur, menghadang puluhan butir benda merah.
Bresss! Sinar kemerahan seketika mengepul ketika gelang emas Mayang Sutera menghantam butiran merah.
Namun beberapa butir benda itu sempat lolos dan meledak di tempat lain. Asap berbau tak sedap itu mengepul, membuat suasana di
sekitar tempat pertarungan berubah menjadi panas luar biasa.
Menyadari senjata rahasia Pendeta Kembar
mengandung racun ganas, maka Jaka segera mengerahkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' untuk mengusir asap beracun yang mengepul.
Wrrr...! Angin bergulung-gulung keluar dari telapak tangan Jaka yang terbuka penuh. Sementara Jaka sendiri langsung memburu tubuh Mayang Sutera dan melarikannya untuk menjauhi dari kepulan asap yang
mengandung racun ganas.
"Uhuk!"
Mayang Sutera terbatuk ketika tubuhnya sudah menjauhi kepulan asap beracun yang timbul dari
senjata rahasia Pendeta Kembar. Namun batuk itu bukan karena gadis itu telah terkena racun, tapi Mayang Sutera sedang melepaskan
rasa sesak di dadanya karena menahan napas terlalu lama.
"Pendeta Keparat!" maki Mayang Sutera menyadari di hadapannya tak lagi nampak wajah Garnika dan Jatnika alias Pendeta
Kembar Jaka maklum dengan kejengkelan gadis jelita
yang telah membuat hatinya berdebar-debar saat tatapan mata mereka saling
bertemu. Maka Jaka berusaha
membujuk Mayang Sutera sebisanya.
"Kitab Gelang-gelang Emas itu pasti akan dapat kita rebut, Mayang Sutera. Meski
bukan sekarang,"
ucap Jaka lembut
Ucapan lembut Jaka ternyata berpengaruh pada diri Mayang Sutera. Terbukti raut muka gadis jelita itu kini berubah lunak
kembali. "Kita harus merebutnya, Kakang. Harus dapat,"
ucap Mayang Sutera perlahan.
"Tentu saja, Mayang Sutera. Aku akan berusaha mendapatkan Kitab Gelang-gelang Emas itu," balas Jaka sambil meraih tangan
gadis jelita berpakaian
jingga. "Tapi tidak sekarang."
Sebentuk perasaan lain yang membuat Jaka
bahagia menelusup kuat ke sudut hatinya, begitu juga yang dirasakan Mayang
Sutera. "Sekarang kita ke mana, Kakang?" tanya Mayang Sutera berusaha menenangkan debur
jantung- nya, sementara tangannya yang berkulit lembut membalas genggaman tangan Jaka.
"Kita lupakan dulu Pendekar Kembar yang telah melarikan kitab mu, Mayang. Sekarang kita lanjutkan perjalanan ini ke
Perguruan Hijau Kemuning,"
jawab Jaka sambil membimbing tubuh Mayang Sutera.
Angin berhembus sepoi-sepoi ketika Jaka dan
Mayang Sutera berjalan beriringan dengan telapak
tangan saling menggenggam erat. Dan dua insan berlainan jenis yang tengah memadu kasih itu terus berjalan, hingga tak sadar
mereka telah jauh meninggalkan bangunan Perguruan Gelang Emas yang kini menjadi
bangunan mati tak berpenghuni.
*** "Masih jauhkah Perguruan Hijau Kemuning
yang kau maksud itu, Kakang?" tanya Mayang Sutera dengan suara berkesan manja.
Jaka menatap wajah gadis jelita yang berambut
panjang dikepang kelabang.
"Setelah kita lewati Desa Serungsing ini, maka satu desa lagi kita akan tiba di
Perguruan Hijau Kemuning," jelas Jaka.
"Kalau begitu kita mencari penginapan di Desa
Serungsing ini saja, Kakang," pinta Mayang Sutera.
"Begitupun keinginanku, Mayang. Perutku sudah lapar dan tubuhku rasanya ingin segera berbaring," jawab Jaka.
Kedua insan berlainan jenis itu pun tersenyum,
dan melangkahkan kaki memasuki mulut Desa Serungsing, yang ditandai dengan sebuah batu bertuliskan nama desa itu.
Baru beberapa langkah memasuki mulut desa,
suara hingar-bingar terdengar Jaka dan Mayang Sutera. Tentu saja lelaki berpakaian kuning keemasan dan dara jelita berpakaian
jingga menghentikan langkah mereka. Suara hingar-bingar yang sempat menghentikan
langkah mereka semakin jelas terdengar, pertanda sumber suara itu semakin dekat
jaraknya. "Suara itu seperti suara orang-orang yang ketakutan, Kakang," ucap Mayang
Sutera. Jaka ingin menimpali ucapan Mayang Sutera,
tapi segera diurungkan, ketika dilihatnya puluhan lelaki dan perempuan lari
berbondong bondong. Suara
tangis anak kecil yang ditarik dengan paksa oleh perempuan yang mungkin ibunya
dan suara-suara yang
menyuruh agar lebih cepat berlari, membuat suasana
semakin bertambah ramai. Jaka dan Mayang Sutera
sempat melompat ke tepi untuk menghindari tubuhnya
tertabrak orang-orang yang berlarian.
"Kita harus mencari keterangan, apa yang sedang terjadi di Desa Serungsing ini," ujar Jaka.
"Kita hadang saja salah seorang di antara mereka, Kakang," timpal Mayang Sutera.
Jaka mengangguk setuju.
"Hop!"
Tubuh Jaka berkelebat menghadang seorang lelaki yang berteriak-teriak memberi perintah agar berlari cepat Lelaki berwajah
bulat dengan kumis tipis yang
membayang di bawah hidungnya nampak terkejut
"Heh"! Siapa kau" Pasti...." Lelaki berwajah bulat yang mengenakan pakaian hitam
menghentikan kalimatnya. Sesaat lelaki itu menatap wajah Jaka, lalu tangannya bergerak meraih
golok yang terselip di pinggang. Golok di tangan lelaki berwajah bulat langsung
terayun ke perut Jaka. Jaka maklum dengan tindakan
lelaki itu, maka untuk menunjukkan maksud baiknya,
Jaka hanya mengelakkan sambaran golok. Tubuh pemuda itu meliuk indah ketika berkali-kali sambaran
senjata lelaki berwajah bulat terarah ke perutnya. Dan dari mulut Jaka keluar
permintaan agar lelaki itu
menghentikan serangannya.
"Sabar, Kisanak. Aku tidak bermaksud jahat
terhadap kalian. Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kalian alami. Aku ingin membantu kalian. Percayalah," ucap Jaka lembut namun terkesan tegas.
Lelaki berpakaian hitam seketika menghentikan
setangan. Lalu matanya tertuju tajam ke wajah Jaka.
"Kalau kau bermaksud baik, jangan halangi
kami!" keras ucapan yang keluar dari lelaki berwajah bulat "Tentu saja aku tak
akan menghalangi kalian.
Namun jika kau tidak keberatan, aku ingin tahu apa
yang sedang terjadi di Desa Serungsing ini. Ah, ya.
Namaku Jaka," ucap Jaka sambil memperkenalkan di-ri.
Tatapan lelaki itu berubah sedikit lunak ketika
Jaka memperkenalkan diri. Hati lelaki itu mengatakan, Jaka betul-betul tak punya
niat jahat dengannya.
"Katakanlah Kisanak, aku justru ingin membantu kesulitan kalian," ucap Jaka lagi.
"Lima orang lelaki berkepandaian tinggi mengamuk di desa kami," ujar lelaki berwajah bulat
"Mengamuk?" ulang Jaka tak mengerti.
"Ya. Banyak penduduk tewas di tangan lima lelaki itu. Bahkan kepala desa kami sudah terpenggal
kepalanya."
"Apa alasan mereka membantai penduduk dan
Kepala Desa Serungsing?" tanya Jaka penasaran.
"Menurut kabar yang kudengar, mereka sedang
mencari seorang tokoh sakti berjuluk Raja Petir."
"Hmmm...."
Jaka bergumam dalam hati. Pemuda itu dapat
menebak, salah satu dari lima lelaki yang mengamuk
adalah Dewa Petir.
"Aku harus segera mencegahnya," kata hati Ja-ka.
"Apakah salah satu di antara mereka berjuluk
Dewa Petir?" tukas Jaka meyakinkan.
"Dari mana kau tahu?" tanya lelaki itu terkejut
"Sudahlah, Ki. Aku harus mencegah kekejaman
ini," ucap Jaka sambil menepuk punggung lelaki berpakaian hitam.
"Kurasa lebih baik kau tidak melakukan itu,
Jaka," tahan lelaki berwajah bulat.
"Kenapa?"
"Mereka terlalu berbahaya, kesaktian yang mereka miliki terlalu tinggi," jawab lelaki berwajah bulat.
"Aku harus mencegah mereka, Kisanak. Karena
yang mereka cari aku."
Lelaki berwajah bulat terkejut mendengar ucapan Jaka. Dalam hati lelaki itu tersimpan pertanyaan yang tak terjawab. Karena
Jaka telah melesat, diikuti oleh Mayang Sutera yang mengerahkan ilmu lari
cepatnya. 7 "Aaa...!"
Sebuah pekik kematian membubung ke langit,
membuat hati Jaka terasa bagai teriris sembilu. Lelaki muda yang berjuluk Raja
Petir semakin mempercepat
gerakannya. Dan ketika dirinya tiba di tempat pembantaian. "Setan! Hentikan
perbuatan terkutuk ini!" bentak Jaka sedikit dialiri tenaga dalam.
Tubuh sosok muda berpakaian kuning keemasan berdiri tegak, di sampingnya tak kalah tegap
Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri Mayang Sutera.
"Hmmm.... Lancang juga mulutmu itu!" bentak lelaki berpakaian serba biru ketika
tubuhnya berbalik ke belakang, menyaksikan sosok tubuh Jaka alias Raja Petir.
"Kau yang lancang mengganggu kehidupan penduduk Desa Serungsing, cucu Ki Durja
Kelada!" balas Jaka dengan suara tetap menggelegar.
Lelaki berpakaian serba biru yang memegang
sebilah pedang pusaka yang memancarkan sinar kemerahan membelalakkan mata. Raut wajahnya nampak dipenuhi pertanyaan yang membutuhkan jawaban
secepatnya. Jaka dengan sikap tenang membalas tatapan
mata lelaki berpakaian biru yang tak lain cucu Ki Durja Kelada. Itu diketahuinya
dari ciri-ciri pakaian dan sebilah pedang pusaka yang pernah diceritakan
Mayang Sutera dan Nyi Selasih.
"Siapa kau, Anak Muda. Dari mana kau tahu
mengenai guruku?" tanya lelaki berpakaian biru yang berjuluk Dewa Petir.
Jaka tersenyum mendengar pertanyaan itu. Lelaki muda nan digdaya yang berjuluk Raja Petir, menebar pandangan ke arah kawankawan Dewa Petir yang
bersiaga menunggu perintah pimpinannya.
"Tak sukar mengetahui nama seorang pencuri
ulung seperti Ki Durja Kelada, Dewa Petir"!" tukas Ja-ka tajam.
"Heh"!"
Dewa Petir kembali terhenyak mendengar ucapan Jaka. "Lancang sekali kau menghina kakekku! Kau
harus mampus!" hardik Dewa Petir geram.
"Aku tidak merasa melakukannya, Dewa Petir.
Aku hanya melakukan apa yang sepantasnya aku lakukan. Ucapanku hanya ingin memberitahukan kenyataan yang sesungguhnya padamu. Ketahuilah, Dewa Petir. Senjata pusaka yang dalam genggaman mu
dan sabuk biru yang melilit di pinggangmu, milik almarhum Raja Petir yang telah
dicuri sahabat sepermainannya sendiri. Sahabatnya itu, kakekmu. Sekarang, kau harus menyerahkan benda-benda peninggalan almarhum Raja Petir padaku selaku pewaris tunggalnya," papar Jaka panjang lebar.
"Ha ha ha...!"
Di luar dugaan Jaka, lelaki yang berjuluk Dewa
Petir terbahak mendengar ucapannya.
"Jadi, kaulah orang yang kucari selama ini. Ha ha ha....!"
Lelaki berusia tiga puluhan itu kembali tertawa.
Wajahnya yang berahang kuat dan ditumbuhi kumis
tipis bergerak-gerak lucu. Sementara rambutnya yang seperti tak terurus,
berguncang-guncang seiring dengan tawa yang bernada meremehkan.
Jaka dan Mayang Sutera dengan sikap penuh
waspada memandang lelaki bertubuh tegap yang tengah tertawa. "Raja Petir!" ucap Dewa Petir mantap sesaat setelah menghentikan tawanya. "Lebih
baik kau buang mimpimu untuk mendapatkan benda pusaka yang berada di
genggamanku. Dan sebaliknya, serahkan senjata pusaka yang di tanganmu kalau kau masih ingin
melihat matahari esok pagi," lanjut Dewa Petir dengan tatapan meremehkan.
Jaka mendengus mendengar ucapan cucu Ki
Durja Kelada yang sarat dengan kesombongan.
"Dan jangan coba-coba menggunakan julukan
Raja Petir, selagi Dewa Petir masih melanglang jagat di rimba persilatan,"
lanjut Dewa Petir.
"Dewa Petir!" balas Jaka menghardik. "Gertakan mu mungkin membuat tikus-tikus
comberan lari terbi-rit-birit. Tapi gertakan itu bagiku hanya penggelitik sa-ja,
sedikit pun aku tak melihat kekuatan dalam gertakan kosong itu."
"Kalau begitu kita buktikan sekarang. Siapa di antara kita yang lebih pantas
memiliki benda pusaka yang berada di genggaman masing-masing. Dan jangan
menyesal kalau aku keluar sebagai pemenang," tantang Dewa Petir sambil
mengangkat pedang pusaka ke
atas. Pedang pusaka yang bernama Pedang Petir itu
teracung ke udara, sinarnya yang kemerahan memendar-mendar, menimbulkan perbawa yang menggiriskan. Langit seketika berubah mendung. Dan sekali terdengar guntur di
kejauhan. "Kau dengar itu, Raja Petir?" tanya Dewa Petir sombong, "Gemuruh yang kau dengar
menandakan aku yang lebih pantas berjuluk Dewa Petir. Dengan
terdengarnya guntur yang bersahut-sahutan, maka
kekuatan senjataku akan berlipat. Kau tak akan
mungkin mampu menandingi ku," lanjut Dewa Petir dengan sikap jumawa.
"Pedang itu akan lebih sempurna lagi kedahsyatannya jika berada di tanganku, Dewa Petir!" balas Jaka. "Mari kita mulai!"
tantang Dewa Petir. "Kalian semua! Ringkus gadis cantik kawan Raja Petir itu.
Akan ku santap tubuhnya yang molek setelah nyawa
Raja Petir kukirim ke akhirat!" perintah Dewa Petir pa-da empat lelaki yang
masing-masing mengenakan pakaian hijau, merah, putih, dan coklat.
Empat lelaki yang memiliki ilmu kesaktian tinggi segera berlompatan mengurung Mayang Sutera.
"Lelaki banci!" hardik Mayang Sutera jengkel melihat keempat lelaki yang siap
menghadapinya. "Hati-hati, Mayang," ucap Jaka.
*** Pertarungan Raja Petir dan Dewa Petir yang
memperebutkan senjata-senjata pusaka peninggalan
almarhum Raja Petir pun segera berlangsung seru.
Kedua tokoh muda yang berbeda aliran, saling
menggempur dengan kelebihan ilmu silat yang mereka
miliki. Suara pekikan kegeraman dan suara menggelegar akibat pukulan dahsyat kedua tokoh itu, turut meramaikan jalannya
pertarungan. Jaka yang memiliki keunggulan dalam hal ketenangan diri, membuat dirinya berada di atas lawan.
Ketenangan pemuda itu sebenarnya mampu membuatnya menghindari setiap serangan yang dilancarkan Dewa Petir. Tetapi yang dihadapi Jaka seorang tokoh yang memiliki kesaktian
cukup tinggi. Tenaga dalamnya nyaris sempurna dan didukung senjata dan jurus-jurus silat yang cepat dan membahayakan.
Berkali-kali tebasan dan sodokan tangan Dewa
Petir hampir mengenai tubuh Raja Petir. Tapi dengan
menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang sekali-sekali digunakan bergantian
dengan aji 'Bayangbayang', sodokan dan tebasan tangan cucu Ki Durja
Kelada hanya membentur tempat kosong.
Dari keberhasilan Jaka menghindari setiap serangan Dewa Petir, sudah cukup membuktikan bahwa
Dewa Petir harus mengerahkan seluruh kemampuannya jika ingin menundukkan cucu angkat Nyi Selasih.
Dan itu dibuktikan Dewa Petir. dengan meloloskan sabuk biru yang melingkar di
pinggangnya. "Aku ingin tahu apa kau mampu menghadapi
Sabuk Petir ku, Raja Petir," tukas Dewa Petir.
Tatapan matanya mencorong tajam sebagai
tanda ilmu tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat
tinggi. "Sabuk curian itu bukan milikmu, Dewa Petir!"
sangkal Jaka mantap. "Namun aku akan berusaha
menghadapinya dengan sabukku yang sah ini!" lanjut Jaka seraya meloloskan sabuk
kuning keemasan yang
melilit pinggangnya.
Seberkas sinar kuning yang menyilaukan mata
memendar-mendar, dan hawa dingin yang menyengat
terasa menebar ke sekeliling sudut arena pertempuran.
Dewa Petir melihat wujud sabuk petir milik Raja Petir nampak lebih dahsyat, sedikit terkejut. Namun karena kepongahannya,
lelaki itu berusaha menutupi
keterkejutannya dengan lebih dulu mengambil tindakan menyerang. "Hiyaaa...!"
Tubuh lelaki berpakaian serba biru yang berjuluk Dewa Petir bergerak ke kanan. Tangan kanannya
yang mencekal sabuk berwarna biru seketika bergerak cepat Ctar!
Slats! Seberkas sinar keperakan seketika melesat cepat bagai petir menyambar. Sinar yang keluar dari le-cutan sabuk biru Dewa Petir
terus melesat memburu
tubuh Jaka. Raja Petir tentu saja tak ingin sinar keperakan
itu menerjang tubuhnya, maka dengan menggunakan
jurus 'Lejitan Lidah Petir', tubuh pemuda itu melesat cepat menghindari
terjangan sinar keperakan.
"Hop!"
Dengan menghentakkan kakinya kuat-kuat, tubuh Jaka melesat ke udara. Begitu ringan tubuh laki-laki berpakaian kuning
keemasan bergerak ke atas dan berputaran dua kali. Dan ketika tubuhnya mendarat
di tanah tanpa menimbulkan suara, Jaka segera menge-butkan sabuk kuning yang
berada di tangannya.
Star! Splash! Seberkas sinar keperakan bagai petir menyambar melesat dari sabuk kuning keemasan. Namun pada
saat yang bersamaan, Dewa Petir pun melecutkan sabuknya dari arah yang berlawanan. Dua sinar keperakan bagai petir saling melesat dari arah yang berlawanan. Dan ketika dua sinar
itu bertemu, suara menggelegar seperti gempa segera terdengar.
Glaaar...! Bumi di sekitar tempat pertarungan berguncang hebat. Empat lelaki mengenakan pakaian hijau,
merah, putih, dan coklat terpengaruh oleh guncangan itu. Begitu juga lawan
tanding empat lelaki anak buah Dewa Petir. Tubuh Mayang Sutera terhuyung meski
telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
mengimbangi suara ledakan. Pertarungan empat lelaki gagah melawan seorang dara
jelita bernama Mayang
Sutera kembali berlanjut, ketika bumi yang berguncang tak lagi dirasakan.
Mayang Sutera yang sudah menggunakan senjata andalannya berupa payung berukuran kecil yang
terbuat dari logam keras, berusaha sekuat tenaga me-nekan lawan-lawannya.
Tetapi, keempat lelaki yang berjuluk Empat Barong Muara Kulon, bukan orang-orang kemarin sore
yang mudah didesak lawan, terlebih Barong Hijau yang menjadi orang utama dari
Empat Barong Muara Kulon.
Lelaki yang mengenakan pakaian hijau itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari ketiga rekannya.
Permainan senjatanya yang berupa sebuah rencong
berukuran besar, amat membahayakan ke-selamatan
Mayang Sutera. Berkali-kali ujung senjata Barong Hijau mengancam tubuh Mayang
Sutera. Namun berkat
kecerdikan dan kecepatan gerak Dewi Payung Emas,
semua serangan ganas yang dilancarkan Barong Hijau
berhasil dimentahkannya.
Suatu ketika, dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya, Barong Hijau menusukkan senjatanya ke lambung Mayang. Angin bercericitan mengiringi tibanya serangan yang
mematikan itu. Dewi
Payung Emas tentu saja tak membiarkan senjata lawan melukai kulitnya, maka dengan kecepatan yang
luar biasa Dewi Payung Emas meliukkan tubuh. Indah
nian gerakan Mayang Sutera. Namun di balik keindahan itu tersembunyi sebuah serangan balasan yang
dahsyat. "Hih!"
Wuitt! Sambaran payung yang terkembang menuju
pangkal tangan Barong Hijau, membuat lelaki itu harm membuang diri ke kanan.
Barong Hijau melakukan gerakan yang tepat dengan bergulingan di tanah, hingga
serangan Dewi Payung Emas dapat dielakkan. Namun
karena kegeramannya, Mayang langsung melepaskan
senjatanya yang berupa gelang emas.
Siiing...! Suara berdesing terdengar, seiring dengan melesatnya gelang kuning yang meluruk ke arah Barong
Hijau yang sedang berguling-gulingan di tanah.
Tiga lelaki rekan Barong Hijau bernama Barong
Merah, Barong Putih, dan Barong Coklat terkejut bukan main. Salah satu di antara mereka segera bergerak cepat, mencegah luncuran
gelang emas yang mengancam punggung Barong Hijau.
"Hiaaa...!"
Tubuh Barong Merah melesat ke arah senjata
Mayang Sutera yang meluncur deras. Dan ketika dua
jengkal lagi senjata Dewi Payung Emas menghantam
punggung Barong Hijau, Barong Merah mengayunkan
senjatanya yang berupa sebilah golok besar.
Tring! Benturan keras tak dapat dielakkan lagi. Tubuh
Barong Merah terhuyung dua langkah ke belakang,
menandakan luncuran gelang emas Mayang Sutera dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi.
Empat Barong Muara Kulon seketika saling
berpandangan menyaksikan kehebatan serangan Dewi
Payung Emas. Maka ketika Barong Hijau mengedipkan
mata. Serempak keempat lelaki itu berloncatan menerjang Dewi Payung Emas secara
bersamaan Mayang Sutera menghadapi serangan gencar
empat lelaki yang berjuluk Empat Barong Muara Kulon merasa kerepotan. Serangan
empat lelaki gagah yang
bagai riak gelombang lautan itu mampu menutup
ruang geraknya. Namun bukan Mayang Sutera jika harus menyerah begitu saja di tangan empat pengeroyoknya. Dengan segenap kemampuan dan didukung
senjatanya yang berkelebatan cepat, membuat dirinya tak mampu ditundukkan lawan
dalam waktu yang
singkat Namun sekuat-kuatnya Dewi Payung Emas
yang dicecar serangan-serangan ganas yang beruntun
datangnya, maka bukan tidak mungkin jika salah satu serangan itu luput dari
tangkisannya. Sebuah tendangan menggeledek Barong Coklat tak kuasa dihindari
Mayang Sutera. Tendangan lurus yang mengarah ke
perut Dewi Payung Emas mendarat dengan telak.
Blukkk! "Hek!"
Tubuh Mayang Sutera terpental deras ketika telapak kaki Barong Coklat berhasil menghantam perutnya. Pekik tertahan keluar dari mulut Mayang Sutera.
Dan pekikan itu cukup membuat perhatian Raja Petir
Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpecah. "Mayaaang...!"
Jaka berteriak keras melihat tubuh gadis jelita
itu terpental deras. Karena rasa cemas yang luar biasa, Jaka bermaksud
menyongsong tubuh gadis jelita yang
begitu dikasihinya.
Namun rupanya Dewa Petir yang licik segera
memanfaatkan kesempatan yang ada. Sesaat ketika
Jaka lengah, tubuh lelaki cucu Ki Durja Kelada berkelebat cepat dengan kaki kanan terpentang lurus ke depan. "Hiaaa...!"
Blagkh! Tendangan lurus Dewa Petir mendarat telak di
punggung Jaka. Langsung saja tubuh Jaka terhuyung
jauh ke depan. Dan karena kerasnya tendangan Dewa
Petit, Maka Jaka tak kuasa menahan keseimbangan
tubuh, hingga pemuda itu jatuh bergulingan di tanah berdebu.
8 Memang pantas dipuji daya tahan tubuh Jaka.
Setelah mendapat terjangan keras, tubuh lelaki muda yang berjuluk Raja Petir itu
kembali bangkit. Setitik da rah nampak terlihat di sudut bibirnya. Dan ketika
Ja-ka bangkit, yang pertama dicarinya adalah sosok
Mayang Sutera yang tadi terpental deras terhajar tendangan lawan. Sedikit rasa
lega mengisi rongga dada Jaka ketika melihat tubuh Mayang Sutera berada dalam
perlindungan seorang lelaki berpakaian putih yang tidak dikenalnya.
Lelaki yang menyangga tubuh Mayang Sutera
berusia sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya
yang putih menampakkan rahang yang menonjol kuat,
dan kumisnya yang tebal hitam membuat wajah itu
nampak gagah. Tak berapa jauh dari lelaki itu, terlihat tiga lelaki lain berdiri
menentang empat orang lawan Mayang Sutera
Hati Jaka bertambah lega melihat salah seorang dari mereka itu dikenalnya sebagai murid utama Perguruan Partai Tameng
Kencana, yaitu Yaya Mayada
(Untuk mengetahui Yaya Mayada lebih jelas, silakan
baca serial Raja Petir dalam episode 'Pencuri Kita-kitab Pusaka').
"Aku akan membantumu, Raja Petir," ujar Yaya Mayada mantap.
Dewa Petir melihat kedatangan empat lelaki gagah yang diketahuinya berada di pihak Raja Petir merasa geram bukan main. Dan
kegeramannya dilampiaskan dengan menerjang Jaka.
"Hiaaa...!"
Sebuah serangan dahsyat berkelebat ke arah
Jaka yang sudah siap meneruskan pertarungan. Pikiran pemuda itu tak lagi tertuju pada Mayang Sutera
yang telah dilindungi empat lelaki penolongnya. Sambaran tangan Dewa Petir yang
tertuju lurus ke pelipis, mampu dielakkan dengan mengegoskan sedikit tubuhnya
dengan kedudukan kepala dimiringkan ke kanan.
Dewa Petir dengan kecepatan yang luar biasa
memutar balik serangannya yang mentah. Sambaran
tangannya kembali berkelebat ke dada Jaka.
Wuuut! "Uts!"
Raja Petir melompat mundur ke belakang sejauh tiga langkah. Kemudian melompat menjauh dengan melentingkan tubuh ke belakang seraya berputaran dua kali. Dan ketika mendarat ujung kakinya menotol permukaan tanah hingga tubuhnya kembali melesat semakin jauh.
Dewa Petir yang melihat tubuh Jaka semakin
menjauh segera mengejarnya. Sosok tubuh yang terbalut pakaian serba biru itu berlompatan memburu sosok Raja Petir.
"Jangan lari kau, Pengecut!" hardik Dewa Petir di tengah lompatannya.
Jaka tak menimpali umpatan Dewa Petir. Hatinya senang dapat memancing Dewa Petir menjauhi
pertempuran empat lelaki penolong Mayang Sutera dan empat lelaki anak buah Dewa
Petir. Itu dilakukan Jaka karena pemuda itu tak ingin mereka menjadi sasaran
kedahsyatan ilmu-ilmu andalannya yang akan segera
dikeluarkan. Ketika jarak dirinya dengan para penolong Mayang Sutera sudah cukup jauh, Jaka menghentikan
lentingan-lentingan tubuhnya yang cepat luar biasa.
Begitu juga yang dilakukan Dewa Petir, untuk sekadar menjaga jarak.
"Aku bukan pengecut, Dewa Petir!" ucap Jaka
keras. "Aku hanya ingin mencari tempat yang cocok untuk pertarungan kita.
Sekarang keluarkan seluruh
kemampuanmu. Aku sebagai pewaris tunggal senjata
yang berada di tanganmu akan berusaha menjatuhkan
mu!" lanjut Jaka mantap.
"Kau tak mungkin dapat melakukannya, Raja
Petir!" balas Dewa Petir tak kalah mantap.
"Buktikan ucapanmu!" kilah Jaka.
"Baik!"
Dewa Petir melangkah mundur satu langkah.
Dua telapak tangannya disatukan dan ditarik menempel dada. Bersamaan dengan kakinya yang membentuk
kuda-kuda rendah, mulut Dewa Petir bergerak-gerak
seperti membaca mantera.
"Aji 'Bayu Maut'!"
Seiring dengan ucapan Dewa Petir yang menyebut nama ajiannya dua telapak tangan yang saling merapat seketika terpentang ke
depan. Wresss...! Angin menderu yang menimbulkan hawa panas
menyengat seketika itu juga tercipta dari hentakan
tangan Dewa Petir. Angin kencang bagai angin puting beliung itu menyerbu tubuh
Jaka. Lelaki berpakaian kuning keemasan yang berjuluk Raja Petir tidak mencoba menghadapi serangan
Dewa Petir dengan jurus 'Pukulan Pengacau Arah' atau jurus 'Hembusan Maut' yang
dimilikinya. Raja Petir lebih memilih jurus 'Lejitan Lidah Petir' untuk
mementahkan serangan lawan.
"Hop! Hop!"
Tubuh Jaka berkali-kali mencelat dari tempat
yang satu ke tempat yang lain, menghindari terjangan angin berhawa panas yang
dilancarkan Dewa Petir dalam jurus aji 'Bayu Maut'.
"Hiaaa...!"
Wresss! "Hop!"
Kembali tubuh Jaka melejit ke kanan. Tapi kali
ini gerakan menghindar yang dilakukannya dibarengi
dengan gerakan tangan yang menghentak, memberikan serangan balasan dalam jurus 'Hembusan Maut!"
Hentakan tangan kanan Raja Petir menimbulkan serangkum angin deras yang meluruk, menerjang angin yang keluar dari aji 'Bayu Maut' Dewa Petir.
Plaaar! Suara menggelegar terdengar memekakkan telinga ketika dua angin dahsyat bertemu di udara. Bumi seketika bergetar saat
bunyi keras bagai tepukan dua tangan raksasa terdengar. Pohon-pohon kecil yang
berada di sekitar arena pertarungan bertumbangan. Suasana bising meramaikan
pertarungan yang berjalan a
lot "Julukanmu sebagai Raja Petir ternyata bukan
julukan kosong. Kau memang hebat Raja Petir. Namun
aku tak yakin kehebatanmu mampu menandingi kedahsyatan Pedang Petir yang kudapat dari Eyang Durja Kelada. Bersiaplah mencium
Liang lahat, Raja Petir!"
ucap Dewa Petir menggelegar.
Dewa Petir kemudian menghunus sebilah pedang pusaka yang diberi nama Pedang Petir. Pamor
pedang yang memendarkan cahaya kemerahan sanggup membuat hati Jaka bergetar hebat. Terlebih ketika pedang almarhum Raja Petir
itu teracung ke udara.
Langit di tempat pertarungan berubah gelap. Awan gelap bernaung di atas kepala
Jaka, sementara suara
guntur terdengar di kejauhan.
"Wroaaakh...!"
Dewa Petir memekik keras. Tubuhnya mencelat
cepat seiring dengan hentakan kaki yang kuat pada
permukaan bumi. Pedang pusaka yang berada di atas
kepala terayun-ayun mengerikan.
Terkejut hati Jaka mendapat serangan yang begitu dahsyat. Terlebih ketika dilihatnya seluruh tangan Dewa Petir menjadi
merah. Wuuung! Suara mengaung terdengar ketika pedang pusaka yang berada di genggaman Dewa Petir berkelebat menebas leher Jaka.
Raja Petir segera bergerak cepat menghindari
serangan. Jaka memang berhasil menghindari, namun
tak urung tubuhnya terpental deras, tersambar angin deras yang keluar dari
Pedang Pusaka Dewa Petir.
"Gila," ucap Jaka dalam hati setelah mampu menguasai diri.
Sementara Dewa Petir yang merasa berada di
atas Jaka, semakin gencar melakukan seranganserangan mematikan. Pedang Petir yang berada di
genggamannya terus berkelebat ke bagian-bagian mematikan tubuh Jaka. Sedang Jaka dengan sekuat tenaga berusaha menghindari terjangan Dewa Petir.
Meski untuk itu terpaksa harus jatuh bangun.
"Uts!"
Wuuung! Tubuh Raja Petir mencelat dua tombak ke udara, maka angin tebasan pedang pusaka Dewa Petir
menggetarkan ujung celananya, bahkan telapak kaki
Jaka merasakan getaran itu.
"Berbahaya sekali jika pedang itu terus berada di tangan cucu Ki Durja," kata
hati Jaka setelah tubuhnya mendarat dengan manis. "Aku harus merebutnya, bagaimanapun caranya."
Sementara Dewa Petir menghentikan serangan,
dan berdiri tegak memandang wajah Jaka. Namun dalam hati berbicara bahwa kalau dirinya harus memainkan jurus pedang tingkat terakhir untuk menjatuhkan Raja Petir.
"Hmmm.... Bocah ini harus ku gempur dengan
jurus 'Pedang Petir Mengguncang Selaksa Naga'," putus Dewa Petir dalam hati.
"Raja Petir!" panggil Dewa Petir menggelegar.
"Kali ini aku tak akan memberimu kesempatan lagi, sudah cukup aku mengetahui
sejauh mana ilmu yang
kau miliki. Sekarang bersiaplah menghadapi jurus pedang tingkat akhir. Jurus
'Pedang Petir Mengguncang Selaksa Naga' yang akan mengubur julukanmu yang
terkenal di seantero rimba persilatan," tegas Dewa Petir mantap.
"Lakukanlah kalau kau mampu, Dewa Petir,"
sahut Jaka tanpa gentar sedikit pun.
Begitu Dewa Petir mendengar ucapan Jaka, kedua kakinya segera direntangkan. Tangan kirinya yang diletakkan di depan dada,
bergeser ke hulu pedang.
Pedang pusaka peninggalan almarhum Raja Petir yang kini jadi sengketa, digenggam kuat-kuat oleh Dewa Petir dengan kedua
tangannya. Mata lelaki berpakaian biru itu terpejam. Tubuhnya berguncang hebat, dan ketika guncangan itu berhenti dengan sendirinya, tangan Dewa Petir yang
menggenggam pedang
pusaka terangkat ke atas.
"Wroaaakh...!"
Dewa Petir memekik keras seiring dengan terangkatnya pedang pusaka pada batas paling tinggi.
Langit seketika menjadi gelap. Dan bunyi bergemuruh terdengar di kejauhan.
Glar! Glar! Glar!
Lidah petir berjulur-julur menjilat pedang pusaka yang teracung tinggi-tinggi, begitu juga tubuh Dewa Petir. Berkali-kali
jilatan lidah Petir menghantam tubuhnya. Itulah ilmu inti Dewa Petir yang diberi
nama 'Pedang Petir Mengguncang Selaksa Naga'. Tubuh Dewa Petir sedikit pun tak goyang ketika lidah-lidah petir menyambarnya.
Langit kembali terang-benderang ketika suara
gemuruh itu mendadak hilang. Raja Petir melihat wajah Dewa Petir menjadi begitu keras. Dan matanya merah membara seperti mata
seekor naga yang terluka.
Pada saat-saat yang menentukan itu, Jaka
memutuskan akan menghadapi ilmu Dewa Petir dengan aji 'Kukuh Karang' tingkat terakhir. Dirinya akan menciptakan tenaga suci
yang pernah dikatakan Nyi
Selasih. Maka Raja Petir segera mundur satu langkah.
Dan pada kedudukan kaki membentuk kuda-kuda
rendah, Jaka menarik kedua tangannya ke atas kepala. Sementara tarikan napas halus, tercipta seiring dengan rentangan tangan yang
menimbulkan gemeretakan otot-otot tangan dengan jari terkepal.
Tangan yang terentang dengan jari-jari mengepal, ditarik menyilang ke depan dada. Dan semua gerakan yang dilakukan Jaka
dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam dan segenap kepekaannya,
membuahkan hasil yang amat menakjubkan. Tubuh
lelaki muda usia yang memiliki kesaktian tinggi kini terbungkus sinar kuning
keemasan. Sinar kuning
membungkus dari kepala hingga ujung kaki.
Dalam keadaan tubuh terbungkus ajian aji
'Kukuh Karang', Raja Petir masih memancing sebentuk kekuatan suci yang selalu
ada pada orang-orang yang berada di pihak kebenaran. Pemuda itu pun memejamkan
mata. Melihat kedudukan lawan seperti itu, Dewa Petir segera menghentakkan kaki ke tanah. Tubuhnya
melesat cepat ke arah Jaka dengan sebilah pedang teracung di atas kepala, yang
menimbulkan ledakanledakan bak gemuruh petir.
"Hiaaa...!"
Wuuung! Wuuung!
Suara petir menggelegar terdengar memekakkan telinga. Tanpa merubah kedudukannya dan dengan mata masih terpejam, tubuh Jaka bergeser dengan sendirinya dari satu tempat
ke tempat lain. Hingga tebasan pedang pusaka Dewa Petir berkali-kali membentur tempat kosong.
"Keparat!" maki Dewa Petir berang bukan main.
9 Kembali Dewa Petir menghentakkan kaki kuatkuat. Tubuhnya melesat cepat dengan pedang pusaka
yang memendarkan sinar kemerahan bergerak-gerak di
atas kepala. Gerakan menebas leher lawan akan dilancarkan Dewa Petir.
"Hiaaa...!"
Wuuung! Tap!
Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di luar dugaan Dewa Petir, telapak tangan Jaka
yang berada pada kedudukan menyilang, bergerak cepat menangkap sambaran pedang pusaka yang terarah
ke batang leher. Ujung pedang pusaka yang menjadi
sengketa, kini terjepit dua telapak tangan Jaka.
Dewi Petir tentu saja murka bukan main menerima kenyataan ini. Segala bentuk kemurkaannya dilampiaskan dengan menarik pulang senjata yang ditangkap dua telapak tangan Raja Petir.
"Hiaaa!"
Dengan amarah meluap serta segenap kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, Dewa Petir terus berusaha menarik pulang
senjatanya. Sementara Raja
Petir yang merasakan tubuhnya seperti sedang dialiri sebentuk kekuatan asing,
sedikit pun tak nampak
mengeluarkan tenaga untuk mempertahankan pedang
pusaka yang berhasil ditangkapnya.
Dengan kepekaan penuh dan dibantu kelebihan
aji 'Kukuh Karang' yang memiliki daya serap tinggi.
Jaka melakukan gerakan yang menurut Dewa Petir
akan mencelakakan dirinya sendiri. Tangan kiri Jaka perlahan ditarik ke samping
kiri, seolah hendak melepaskan jepitan pada ujung pedang pusaka, tapi
kenyataannya"
Setelah tangan kiri Jaka terpisah dari ujung pedang. Sedikit pun batang pedang pusaka itu tak bergeser dari tempatnya. Meski Dewa Petir dengan kekuatan tenaganya menarik pulang
pedang pusaka, namun
pedang itu seperti menempel kuat pada telapak tangan Jaka. "Maaf, Dewa Petir.
Terpaksa aku harus meng-hempaskan tubuhmu dan merebut kembali pedang
pusaka yang menjadi hakku," ucap Raja Petir dengan gema suara memantul ke
seluruh penjuru arena pertarungan. Dewa Petir tersentak mendengar ucapan Raja
Petir. Dengan kekuatan tenaganya, lelaki itu terus berusaha menarik pulang
senjata andalan yang selama
ini telah banyak membantunya. Namun ternyata perbuatan Dewa Petir hanya sia-sia belaka. Sedikit pun Pedang Petir tak bergerak
dari telapak tangan Jaka.
"Maaf sobat, aku terpaksa harus melakukannya!" tukas Raja Petir seraya memutar-mutar tangan kirinya memainkan jurus ampuh
'Hembusan Maut'
"Hih!"
Wruuus! Blargkh! Tubuh Dewa Petir terpental deras ketika sambaran jurus 'Hembusan Maut' menerpa dengan telak
dadanya. Tubuh tegap yang terbalut pakaian serba biru itu terus melayang bagai daun dihembus angin
kuat. Pekik kesakitan yang terdengar serasa memantul pada sudut-sudut arena
pertarungan. Brugkh! Tubuh cucu Ki Durja Kelada yang berjuluk Dewa Petir ambruk ke tanah, setelah melayang sejauh
empat tombak. Namun memang pantas dipuji daya tahan tubuh Dewa Petir. Meski dadanya telah terhantam pukulan sakti Jaka, tubuh
lelaki itu kembali bangkit berdiri walaupun terhuyung-huyung. Dewa Petir
meloloskan sabuk biru yang membelit pinggangnya. Dan
dengan mengandalkan tenaganya yang tinggal sedikit, Dewa Petir bergerak lamban
menyerang Jaka.
Lelaki muda yang berjuluk Raja Petir sebetulnya tak tega harus menggedor kembali tubuh lawan,
tapi karena serangan-serangan Dewa Petir masih mengandung ancaman maut, maka Raja Petir terpaksa
membendung gerakan Dewa Petir dengan pukulan jarak jauh. "Hiaaa...!"
"Hih!"
Bragkh! Tubuh Dewa Petir kembali terjerembab ketika
pukulan jarak jauh Jaka menerpa telak bagian perutnya. "Hoeeekh!"
Seiring dengan muncratnya cairan merah kental dari mulut cucu Ki Durja Kelada, nyawa Dewa Petir pun pergi meninggalkan
raga. Dan tubuh lelaki berpakaian biru itu terbujur kaku.
*** Dengan tatapan sedih Jaka memandang tubuh
Dewa Petir yang telah menjadi mayat Sementara Pedang Petir yang memiliki perbawa menggiriskan, tergeletak satu setengah tombak
di samping kanan Dewa
Petir. Jaka mengalihkan tatapannya pada pedang pusaka. Sebentuk perasaan asing yang amat kuat dirasakan Jaka menarik-narik
hasratnya untuk meraih pedang pusaka. Jaka pun meneliti pedang pusaka peninggalan
almarhum Raja Petir yang berada di genggamannya.
Secara seksama diperhatikannya tangkai pedang yang
begitu indah, tangkai itu berwarna kuning kemerahan-merahan seperti tembaga.
Jaka terkejut melihat batang pedang tiba-tiba
raib seiring dengan mengendurnya seluruh otot-otot
tubuhnya. Namun pikiran cerdik Jaka cepat menarik
kesimpulan, tubuh pedang yang berbentuk lidah petir yang memendarkan sinar
kemerahan, akan nampak ji-ka seseorang yang memegang senjata pusaka itu mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi.
Karena rasa penasaran akan keunikan Pedang
Petir, secara tak sengaja Jaka mengangkat senjata itu melewati batas kepala.
Keanehan seketika terjadi. Jaka merasakan tubuhnya seperti diputar-putar oleh
sebentuk kekuatan tak terlihat. Karena putaran tenaga aneh itu semakin kuat,
Jaka segera mengerahkan tenaga
dalamnya untuk mengimbangi kekuatan gaib itu. Akibatnya.... Langit seketika berubah gelap, bunyi guntur
menggelegar terdengar di kejauhan. Beberapa saat lamanya suara guntur terdengar
samar, namun pada
saat berikutnya suara itu terdengar jelas, seperti mele-dak-ledak di atas kepala
Jaka. Glarrr! Glarrr!
Prefs! Prefs! Sinar keperakan yang tak lain lidah petir, menyambar berkali-kali, menerpa tubuh Jaka dan pedang pusaka yang terangkat tinggi
di atas kepala. Hawa panas dirasakan Jaka menjalar dari bagian ujung pedang. Hawa panas yang membuat tubuh Jaka menggeletar terus merambat hingga ujung kakinya. Pada saat itu tubuh Jaka merasakan
sebuah kekuatan gaib dua
kali lipat besarnya. Dan ketika Jaka membawa turun
Pedang Petir yang teracung di atas kepala, sinar petir pun memancar dari ujung
pedang pusaka, dan langit
mendadak terang seperti semula.
"Aaah...."
Jaka menarik napas panjang, mengingat dirinya telah berhasil menjalankan amanat Nyi Selasih.
Seiring dengan tarikan napas yang terasa melonggarkan dada, mata Jaka tertumbuk pada sehelai sabuk
yang tergeletak di tanah.
Jaka menghampiri sabuk biru yang juga bagian
dari pusaka peninggalan almarhum Raja Petir. Diraihnya sabuk yang tergeletak itu
dengan dada berdebardebar. "Ah!"
Jaka terkejut menyaksikan keanehan yang terjadi. Sewaktu pemuda itu mengenakan sabuk biru, sabuk itu seakan menelusup masuk ke dalam sabuk
kuning keemasan yang melingkar di pinggangnya. Dan
yang membuat Jaka lebih tercengang, warna sabuk
yang kini membelit pinggangnya berubah menjadi hijau. "Heh"!"
Rasa penasaran rupanya membuat Jaka segera
menggerakkan tangannya, meloloskan sabuk yang kini
berwarna hijau.
"Ah, sungguh menakjubkan kejadian ini," ucap Jaka dalam hati. "Benar apa yang
diucapkan Nyi Selasih," lanjutnya dengan sepasang bola mata tak lepas
memandang wujud Sabuk Petir yang kini berubah
berwarna hijau.
"Aaakh...!"
Sebuah pekikan melengking tinggi ke angkasa,
menyadarkan Jaka akan keterpakuannya pada bendabenda pusaka peninggalan orangtua Nyi Selasih.
Seketika itu juga pikirannya teringat pada Mayang Sutera. Kekhawatiran pun menguasai hatinya.
Dengan gerakan cepat Jaka membelitkan sabuk hijau
pada pinggangnya, dan dengan memegang sebilah pedang bernama Pedang Petir, Jaka berlari cepat ke arah pertarungan berlangsung.
Lega hati Jaka melihat tubuh Mayang Sutera
berdiri tegak tanpa ada luka sedikit pun di tubuhnya.
Sementara seorang lelaki gagah yang dikenal Jaka sebagai anak buah Dewa Petir
nampak ter-kulai lemah di tanah. Dari mulut lelaki gagah yang bernama Barong
Merah, terlihat becak darah yang telah menghitam.
Pada tempat lain terlihat tiga mayat lelaki berpakaian hijau, putih, dan coklat
yang tak lain rekan Barong Merah, yang jika bersatu berjuluk Empat Barong Muara
Kulon. Tatapan mata Jaka terus berkeliling memandang empat lelaki penolong Mayang Sutera yang tengah berdiri menatap tubuh Barong Merah. Ketika tatapan mata Jaka menangkap sosok
tegap Yaya Mayada,
sebuah senyum pun tergurat di wajah Jaka. Senyum
yang mewakili ucapan Jaka yang bermaksud terimakasih. Mayang Sutera yang baru menyadari kehadiran
Jaka segera menghambur mendekati sosok muda yang
berjuluk Raja Petir.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Mayang Sutera khawatir.
"Seperti yang kau lihat, Mayang. Sedikit pun
aku tak berkurang. Malah sebaliknya, aku mendapatkan ini," jawab Jaka sambil mengacungkan Pedang Petir. "Hanya tangkainya
saja, Kakang?" tanya Mayang Sutera dengan bola mata terbelalak heran.
Jaka hanya tersenyum mendengar pertanyaan
gadis jelita itu. Kemudian tangan pemuda itu merang-kul bahu gadis yang
dikasihinya. "Nanti ku jelaskan pertanyaanmu itu, Mayang.
Sekarang mari kita temui empat lelaki yang telah me-nolongmu," ujar Jaka pelan.
"Ayo, Kakang," sambut Mayang Sutera seraya melangkahkan kaki ke arah Yaya
Mayada, murid utama Perguruan Partai Tameng Kencana.
"Terima kasih atas bantuan yang telah kalian
berikan," ucap Jaka setelah jarak mereka hanya tinggal setengah tombak. "Tanpa
bantuan kalian aku tak mungkin dapat menaklukkan Dewa Petir," lanjut Jaka.
Empat lelaki yang telah membantu Mayang Sutera menghadapi anak buah Dewa Petir hanya tersenyum mendengar perkataan merendah Jaka.
"Apa yang kami lakukan tidak berarti apa-apa,
jika dibandingkan dengan sepak terjang mu yang sela-lu mencegah
keangkaramurkaan," kilah lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun yang
mengenakan pakaian putih.
"Terima kasih, Kisanak. Bolehkah aku tahu
siapa kalian yang telah berjasa melindungi kawanku
ini?" tanya Jaka kemudian.
"Panggil aku Ki Suryadika," jawab lelaki berpakaian putih. "Sedang yang
berpakaian kelabu murid-muridku, Raja Petir. Nama mereka Tudawa dan Satagi," lanjut Ki Suryadika.
"Aku Yaya Mayada, Raja Petir. Kau masih mengingat nama itu bukan?" terdengar suara lelaki bertubuh tegap. "Tentu saja aku masih mengenalmu, Kakang
Yaya," sahut Jaka sopan. "Terima kasih atas ban-tuanmu," sambung Jaka.
"Ah, jangan berkata seperti itu, Raja Petir. Budi baikmu pada perguruanku tidak
setimpal dengan yang
kulakukan saat ini. Aku belum bisa membalas kebaikanmu itu," kilah Yaya Mayada.
Jaka tak menyanggah ucapan Yaya Mayada,
bola mata Jaka hanya merayapi wajah murid Perguruan Partai Tameng Kencana.
"Kalau begitu sampaikan salamku pada Ki Rantasanu, Kakang Yaya," ucap Jaka kemudian.
"Dengan senang hati akan kusampaikan salam
mu, Raja Petir," sahut Yaya Mayada.
Tatapan Mata Jaka kini beralih pada Ki Suryadika dan dua muridnya.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas bantuan kalian," ucap Jaka sambil menundukkan kepala.
"Mudah-mudahan aku dapat membalas budi baik yang telah kalian berikan. Dan jika
aku tak sempat, maka orang lain yang akan membalas kebaikanmu, Ki Suryadika,"
lanjut Jaka sopan.
"Apa yang kulakukan ini datang dari perasaan
hati yang ikhlas, Raja Petir," sambut Ki Suryadika.
"Terima kasih, Ki Suryadika. Aku dan kawanku
mohon permisi," tukas Jaka. "Masih ada keperluan lain yang harus kami
selesaikan."
"Silakan, Raja Petir. Silakan," tukas Ki Suryadika. Mata Jaka kembali menatap
wajah Yaya Mayada "Aku juga, Kakang Yaya, Ki Suryadika. Terima
kasih atas pertolongan kalian," tambah Mayang Sutera dengan suara lembut.
Ki Suryadika dan kedua muridnya, serta Yaya
Mayada bersamaan menganggukkan kepala.
Maka saat itu juga Jaka dan Mayang Sutera
menghentakkan kaki mereka. Cepat dan ringan gerakan yang dilakukan Raja Petir dan Dewi Payung Emas.
Hingga dalam sekejap mata, tubuh mereka sudah jauh
meninggalkan Ki Suryadika dan Yaya Mayada.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Gujidenkikagawa
Pendekar Panji Sakti 2 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Kemelut Rimba Hijau 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama