Ceritasilat Novel Online

Seruling Haus Darah 3

Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah Bagian 3


Seruling Haus Darah!" batin si nenek. Sambil pandangi
Raja Dewa dia berkata, "Kau benar-benar telah terbenam dari keterasingan hingga tak banyak mengetahui
perubahan yang terjadi secara bergelombang dalam
kehidupan ini! Raja Dewa, kakak seperguruanmu si
Dewa Tanpa Nama telah tewas di tangan Seruling Haus
Darah!" Sesaat Raja Dewa mengangkat kepalanya dan balas
memandang Peri Gelang Rantai tak berkedip. Keningnya seketika berkernyit. Lalu dengan agak ragu dia berucap, "Apakah pendengaranku tidak salah?"
"Hhhh!" dengus Peri Gelang Rantai. "Bila selama ini kau terbiasa menutup kedua
telingamu, tak mustahil
kau sudah menjadi tuli!"
Kata-kata Peri Gelang Rantai cukup memberi penjelasan yang dibutuhkan oleh Raja Dewa hingga dia
tak sangsi lagi dengan berita yang barusan didengarnya. Untuk sesaat tak ada yang bersuara. Angin di puncak Bukit Kebombong semakin bertambah dingin. Dari
lereng bukit itu, tak akan kelihatan kalau ada dua
orang yang sedang bercakap-cakap. Dan tak akan ada
yang menyangka kalau bukit yang dipenuhi kabut hitam itu berpenghuni.
Dan keheningan itu dipecahkan oleh suara Peri Gelang Rantai, "Untuk apa sekarang berdiam diri lagi" Bila hendak segera menuju ke Lembah Iblis, saat inilah
yang tepat! Di samping itu, aku juga hendak mencari
pemuda yang berjuluk Rajawali Emas! Entah mengapa
aku punya firasat kalau pemuda itulah yang akan
mampu mengatasi sepak terjang Seruling Haus Darah!" Raja Dewa menarik napas. Masih dengan tangan
berada di balik pinggul, orang tua ini berkata, "Saat Iblis Cadas Siluman menyerahkan Anting Mustika Ratu
ini, dia bercerita tentang Rajawali Emas yang besar sekali peranannya dalam menghentikan sepak terjang
orang-orang serakah yang menginginkan Anting Mustika Ratu. Terus terang, aku hampir tak percaya mendengar cerita Iblis Cadas Siluman tentang Rajawali
Emas. Aku bisa membayangkan kesaktian yang dimiliki pemuda berusia muda itu."
"Dan apakah kau ingin bercakap-cakap seperti ini
terus?" dengus Peri Gelang Rantai jemu.
Raja Dewa memandang si nenek, lalu katanya,
"Baiklah! Kita segera berangkat sekarang!"
"Bagus! Rupanya kau mengerti gelagat! Ketimbang
membuang waktu untuk bercakap-cakap tiada guna
seperti ini, lebih baik kita segera bergerak!!" seru Peri Gelang Rantai.
Lalu tanpa menunggu jawaban Raja Dewa, si nenek
berpakaian hitam penuh tambalan ini sudah balikkan
tubuh. Kejap berikutnya, dia sudah berkelebat menuruni Bukit Kebombong.
Raja Dewa terdiam beberapa saat seperti memikirkan sesuatu. "Kakang Sawung Kerta, maafkan aku,
hingga aku tak tahu apa yang menimpa dirimu," desisnya pelan, menyebutkan nama asli Dewa Tanpa
Nama. Kejap lain, dia segera menyusul Peri Gelang Rantai
meninggalkan Bukit Kebombong yang kembali dibungkus sepi dan dihuni oleh gumpalan kabut hitam yang
sangat pekat. *** Bab 9 DUA orang yang menunggangi dua kuda warna hitam
menghentikan kuda masing-masing tatkala hujan turun menerpa bumi. Walau tidak deras namun hawa
tanah basah yang naik ke udara membuat liang hidung kedua orang itu seperti tersumbat. Sejurus kemudian terdengar makian mereka.
"Benar-benar sinting! Matahari begitu terik bersinar
tetapi hujan turun tiba-tiba!" maki orang yang menunggang kuda di sebelah kanan. Orang ini mengenakan pakaian hitam panjang yang kusut. Wajahnya persegi dengan pancaran mata bengis dan kejam. Kejap
lain, dia segera alihkan pandangan pada orang yang
menunggang kuda di sebelahnya, ' Lodra Jalang! Sebaiknya kita mencari tempat berteduh dulu atau meneruskan perjalanan"!"
Orang yang dipanggil Lodra Jalang tak menyahut
ataupun menoleh. Pandangannya tajam ke muka. Tubuhnya yang lebih gemuk dari kawannya kelihatan tak
mengganggu kuda yang ditungganginya. Perlahan mulutnya membuka, "Kupikir... kita tak sempat berteduh
dulu! Aku khawatir, Seruling Haus Darah akan murka
bila kita terlambat datang! Kematian Hantu Baju Kuning harus segera kita kabarkan padanya!"
"Kalau begitu, kita harus cepat! Apalagi aku yakin,
dia sedang menunggu kita di Bukit Watu Hatur untuk
menunggu laporan dari yang lainnya termasuk kita!!"
Kedua orang itu saling pandang sesaat.
Dan tanpa sepengetahuan keduanya, satu sosok
tubuh berpakaian keemasan yang tatkala hujan turun
sudah melompat naik ke sebuah pohon dan mencoba
menghindar dari derasnya air hujan, memicingkan sepasang matanya yang tajam.
'Tak salah dugaanku. Kedua cecunguk ini pasti kaki tangan Seruling Haus Darah. Tadi mereka menyebut
sebuah julukan, Hantu Baju Kuning, yang telah tewas.
Sudah tentu merekalah yang menurunkan tangan atas
perintah Seruling Haus Darah. Hmm... kulihat di tangan kanan yang agak gemuk itu seperti terdapat sebuah luka. Kalau memang keduanya hendak menjumpai Seruling Haus Darah, ini kesempatan bagiku untuk
mengikutinya!"
Sepasang mata tajam milik pemuda yang di punggungnya terdapat sebilah pedang berwarangka keemasan dan dipenuhi dengan untaian benang warna yang
sama, kembali memandang ke bawah.
Didengarnya yang kurus, yang bernama Lodra Jalang berkata, "Ayolah! Kita tak boleh buang waktu!"
Setelah mendapatkan anggukan dari temannya, si
kurus segera menggebrak kudanya, bersamaan si gemuk pun melakukan hal yang sama.
Kedua kuda hitam itu meringkik dan menggebah
dengan cepat di jalan becek, menembus derasnya air
hujan. Sementara itu, pemuda yang melihat keadaan di
bawahnya dan bukan lain Rajawali Emas adanya, segera melompat turun. Untuk sesaat si pemuda terdiam
seperti berpikir. Kejap berikutnya dia sudah menahan
napas. Sesuatu bergolak di bawah perutnya. Dan kejap
lain ada hawa yang cukup panas berpendar dalam tubuhnya. Bersamaan dengan itu pula, air hujan yang
menimpa tubuh si pemuda terus mengering! Begitu seterusnya hingga terlihat kalau si pemuda tak terganggu dengan derasnya air hujan.
"Tadi sebenarnya aku hendak mempergunakan tenaga surya untuk mengusir air hujan ini. Tetapi urung
kulakukan karena aku khawatir kedua orang itu bisa
merasakan perubahan hawa di sekitarnya! Hm, akan
kuikuti kedua orang itu sekarang!"
Dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya, pemuda dari Gunung Rajawali ini segera berkelebat. Dalam lima tarikan napas saja dia sudah berhasil mengikuti kedua orang itu yang ternyata sedang berhenti.
"Lodra! Binatang keparat ini ternyata hanya membuang waktu kita saja! Sebaiknya, kita tinggalkan binatang-binatang keparat ini dan kita berlari!"
Si gemuk menganggukkan kepalanya.
"Aku pun hendak mengusulkan demikian!"
Di balik ranggasan semak Tirta berkata sendiri,
"Kalau begitu kalian jual saja kuda-kuda itu kepadaku?" Berjarak tiga tombak dari hadapannya, kedua
orang berpakaian hitam panjang kusut yang telah basah oleh air hujan ini sudah melompat turun.
Lodra Jalang sudah siap berkelebat, tetapi urung
tatkala mendengar suara kambratnya, "Binatang-binatang celaka ini sudah tak ada gunanya!!"
Lalu dengan sikap seolah baru berjumpa dengan
kawan lama, tangan kanan Sudra Jalang menepuk
leher kedua kuda itu. Gerakannya sangat ringan namun cepat luar biasa. Baru ditarik pulang tangannya,
terdengar ringkikan keras dari kedua kuda itu. Kemudian menyembur darah segar dari mulut masingmasing kuda. Kejap berikutnya kedua kuda itu ambruk dengan tubuh membiru.
Dari tempatnya, Rajawali Emas mengepalkan kedua
tangannya dengan wajah geram.. "Manusia-manusia
celaka!!" dengusnya gusar. Bila mengikuti kata hatinya, pemuda yang di kedua lengannya terdapat rajahan burung rajawali keemasan sudah tak sabar untuk
menghajar dua lelaki berpakaian hitam panjang kusut
itu. Tetapi yang diinginkannya adalah menemukan Seruling Haus Darah, manusia yang menjadi pangkal petaka dari semua ini.
Terpaksa dia menindih kegusarannya.
Di seberang, kedua orang berpakaian hitam itu sudah berkelebat. Dan tanpa menunggang kuda, ternyata
kelebatan mereka lebih cepat.
Tirta terus mengikuti dengan menjaga jarak.
Sampai hujan deras berhenti dan lintasan alam telah menjelma menjadi gulita, kedua orang itu masih
berkelebat. Dan baru menghentikan kelebatan mereka
tatkala sinar surya mulai membias di ufuk timur.
Berjarak sekitar lima puluh tombak, di hadapan
keduanya terbentang sebuah bukit yang dipenuhi batu-batu padas dan pepohonan. Bukit itu sangat tinggi,
seolah tak mungkin bisa didaki, karena tegak lurus
dengan langit! Dari balik sebuah batu padas Tirta menggelenggelengkan kepala kagum melihat ke depan.
"Luar biasa! Alam memang penuh dengan kejutan
demi kejutan yang menakjubkan!"
Lalu didengarnya suara Sudra Jalang bernada agak
kecut, "Sepertinya kita datang terlambat!"
"Aku pun menduga begitu! Tetapi, berita yang akan
kita sampaikan sesuai dengan keinginan Seruling
Haus Darah! Peduli setan dia akan marah atau tidak!
Yang pasti, kita telah menjalankan tugasnya untuk
mendapatkan tugas berikutnya! Ayolah! Kita jangan
buang waktu terlalu banyak!!"
Habis kata-katanya, Lodra Jalang sudah berkelebat
diikuti Sudra Jalang. Rajawali Emas kembali menjaga
jarak dan menyusul setelah keduanya cukup menjauh.
Saat dia mengikuti kedua orang itu yang semakin
lama semakin dekat, dari kejauhan dilihatnya dua sosok tubuh berdiri tegak di dekat Bukit Watu Hatur.
Yang seorang hanya mengenakan sebuah cawat dan
mengenakan jubah warna merah. Sedangkan yang di
sebelahnya, seorang perempuan yang mengenakan pakaian kuning cemerlang. Sosoknya tinggi semampai,
rambutnya hitam dan tergerai dipermainkan angin pagi. Perempuan satu ini tak kelihatan wajahnya karena
dia menghadap ke Bukit Watu Hatur.
Dua lelaki kurus dan gemuk yang berkelebat
menghentikan larinya di hadapan kedua orang itu. Perempuan berpakaian kuning cemerlang seolah tak
mempedulikan kehadiran mereka.
"Maafkan kedatangan kami yang terlambat!" Sudra
Jalang langsung membuka suara.
Lelaki berwajah mengerikan yang hanya mengenakan cawat namun mengenakan jubah warna merah
menggeram. "Dua Iblis Hitam pun belum muncul sampai saat
ini!!" "Bagaimana dengan Maut Tangan Satu dan Iblis
Lembah Ular?" tanya Sudra Jalang kemudian.
"Keduanya sudah berlalu dari sini!"
"Apakah Pimpinan sudah tiba di sini?" tanya Sudra
Jalang lagi. "Dia sudah pergi kembali sebelum Maut Tangan Satu dan Iblis Lembah Ular berlalu! Kami diperkenankan
menunggu kedatangan kalian dan Dua Iblis Hitam! Bila kalian tak membawa berita bagus, maka kami berhak mencabut nyawa kalian!"
Mengkelap wajah kedua orang berpakaian hitam
kusut itu. Namun masing-masing orang segera menindih kemarahan yang mulai naik.
Sementara Sudra Jalang mengatakan kalau tugas
yang diberikan Seruling Haus Darah telah berhasil mereka jalankan, Rajawali Emas yang melihat dari balik
batu padas mendesis geram sambil pandangi lelaki
berjubah merah, "Datuk Jubah Merah! Keparat! Rupanya dia masih hidup! Dan aku yakin, perempuan
berpakaian kuning cemerlang yang berdiri membelakangi itulah yang telah menyambar dan mengobatinya!
Seperti dugaanku semula, keduanya adalah cecungukcecunguk Seruling Haus Darah! Sayang, aku gagal untuk menemui manusia
sesat itu! Paling tidak, mengenali wajahnya!"
Lelaki berjubah merah yang memang tak lain Datuk
Jubah Merah menyeringai lebar.
"Bagus! Berarti kalian masih bisa hidup lebih lama!" "Manusia sialan ini benar-benar harus diajar adat!
Mulutnya meracau kacau yang membuat aku ingin
menamparnya hingga robek! Hhh! Suatu saat, itu akan


Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulakukan!" maki Sudra Jalang dalam hati. Lalu katanya seraya maju dua langkah, "Adakah kalian mendapatkan kabar tentang Dua Iblis Hitam?"
"Persoalan dan tugas yang diberi pimpinan dipikul
masing-masing orang! Dua Iblis Hitam sepertinya telah
melanggar batas waktu yang ditentukan Pimpinan! Bila
dia memang berhasil membunuh Pendekar Pedang,
terlambat sampai matahari nanti tergelincir di kaki barat, masih dapat dimaafkan! Tetapi bila mereka gagal
melakukan, maka kepalanya akan menjadi makanan
cacing tanah sementara tubuh mereka akan membusuk di dalam jurang yang paling dalam!"
Sudra Jalang tak menghiraukan jawaban itu. Dia
kembali bertanya dengan sorot mata angker, "Apakah
Pimpinan memberikan tugas kembali kepada kami?"
Kali ini Datuk Jubah Merah tak segera menjawab. Setelah beberapa kejap baru dia membuka mulut. "Tugas
yang diberikannya kali ini tidak dipikul oleh masingmasing orang! Dia menginginkan kita mencari orang
yang diinginkannya!"
"Siapa orang itu"!"
Sepasang mata Datuk Jubah Merah menyipit, seperti menekan geraman dalam dada, lelaki bercawat ini
menekan suaranya saat menjawab, "Rajawali Emas!!"
Tak ada yang bersuara setelah itu. Di tempatnya
Tirta memaki-maki dalam hati, "Sialan juga tuh manusia! Seenaknya saja membawa-bawa namaku! Rasanya
tak sabar untuk menjitak kepalanya!"
"Rajawali Emas. Aku juga pernah mendengar julukan itu. Adakah petunjuk dari Pimpinan untuk menemukan di mana dia berada?" tanya Sudra Jalang kemudian. "Pimpinan hanya menghendaki seperti itu! Dan dia
memberi batas waktu selama satu bulan bagi kita untuk mengabarkan berita itu! Berhasil atau tidak, Pimpinan kali ini tidak marah! Bila kita berhasil menemukan Rajawali Emas, kita hanya diperintah untuk membawanya dalam keadaan hidup! Karena dia sendiri
yang akan menjajal kesaktian pemuda sialan itu! Tetapi ingat, jangan coba-coba melanggar batas waktu yang
diberikan olehnya."
Saat berkata-kata, wajah Datuk Jubah Merah berubah kelap. Sorot matanya tajam dengan kedua tinju
dikepalkan. Dia teringat bagaimana saat dikalahkan
oleh Rajawali Emas. Bila saja perempuan berpakaian
kuning cemerlang yang masih menghadap ke Bukit
Watu Hatur tidak muncul, bisa dipastikan nyawanya
akan putus saat itu juga. Begitu dugaan Datuk Jubah
Merah. Dan perubahan wajah lelaki berjubah merah itu
tertangkap oleh pandangan Sudra Jalang yang tajam.
Sambil menyeringai, orang berwajah persegi dengan
sorot mata kejam ini berkata, "Apakah kau sudah bertemu dengan Rajawali Emas sebelumnya?"
Datuk Jubah Merah memaki dalam hati. Lalu menyahut, "Ya! Aku memang pernah bertemu dengannya!" Makin melebar seringaian Sudra Jalang saat melanjutkan kata, "Dan kau dikalahkan olehnya, bukan?"
"Setan! Jangan menghinaku!!" menghardik Datuk
Jubah Merah dengan pipi memerah.
Tanpa menghiraukan hardikan orang, Sudra Jalang
yang seolah mendapat kesempatan untuk membalas
perlakuan Datuk Jubah Merah sebelumnya berkata,
"Apakah bila kau sudah dikalahkannya aku patut
menghina" Sudah tentu tidak! Justru yang patut kulakukan... menertawaimu habis-habisan!"
Usai kata-katanya dia tertawa berderai, disusul
dengan tawa Lodra Jalang.
Bersamaan dengan tawa yang keras itu terdengar,
Datuk Jubah Merah menggeser kaki kanannya ke belakang dengan pandangan tepat menghujam ke mata
dua lelaki yang sedang tertawa. Kedua tangannya dikepalkan tanda dia siap melancarkan serangan.
Namun sebelum serangan dilakukannya, terdengar
bentakan dari perempuan berpakaian kuning cemerlang yang sejak tadi hanya memandang ke dinding Bukit Watu Hatur tanpa membalikkan tubuh.
"Diam kalian semua!! Dan kalian, Sudra Jalang dan
Lodra Jalang, jangan meremehkan Datuk Jubah Merah! Kalian pun akan merasakan betapa kalian akan
bersusah payah menghadapi Rajawali Emas!!"
Sudra Jalang langsung putuskan tawanya yang
disusul dengan ucapan tetap bernada mengejek, "Siapa
pun orang yang hendak kami bunuh, dia adalah orang
yang tak berarti sama sekali dalam soal kesaktian! Dari nada suaramu, kaulah yang sebenarnya merendahkan
kami!!" 'Tak ada yang kurendahkan dalam hal ini!" sahut
perempuan berpakaian kuning cemerlang tetap tak
membalikkan tubuh. Lalu menyambung, "Karena, bukan hanya Datuk Jubah Merah yang pernah bertarung
dengan pemuda dari Gunung Rajawali itu! Beberapa
bulan yang lalu, aku pun pernah bertarung dengannya!!" Di tempatnya Tirta membatin, "Bila melihat dari
pakaian yang dikenakannya aku sepertinya mengenal
perempuan ini. Dan kata-katanya barusan, rasanya
semakin memperkuat dugaanku. Hmm... siapa dia sebenarnya" Rasa-rasanya aku... hei!! Apakah memang
dia"!"
Sudra Jalang yang sudah kesal melihat sikap Datuk Jubah Merah tadi, tak mau pedulikan kata-kata
perempuan berambut panjang hitam tergerai.
"Apakah kau hendak menceritakan urusanmu dengan Rajawali Emas"!" tanyanya penuh ejekan.
Terdengar suara menggeram dari si perempuan.
Menyusul kata-katanya dingin, "Jangan campuri urusanku! Atau... coba-coba memancing amarahku! Mencabut nyawa kalian, semudah membalikkan telapak
tangan!!" Sudra Jalang mengertakkan rahangnya. Namun
kali ini dia tak berani berlaku lancang. Justru pandangannya dialihkan pada Lodra Jalang yang juga sudah
bersiaga sebenarnya.
"Apa yang akan kita lakukan?" bisiknya.
"Tanyakan, hadiah yang dijanjikan oleh Seruling
Haus Darah!"
Belum habis sahutan Lodra Jalang, mendadak saja
perempuan yang berpakaian kuning cemerlang melemparkan dua buah kantung terbuat dari kulit kambing
yang menimbulkan suara bergemerincing.
Kedua orang berpakaian hitam kusut itu segera
menyambarnya. Lalu membuka untuk melihat isi kantung kecil itu. Dan kejap lain terdengar tawa mereka.
"Bagus, bagus sekali!" seru Sudra Jalang seraya
me-masukkan kantung kecil yang berisi uang perak itu
ke balik pakaiannya. "Kami mohon diri untuk segera
mencari Rajawali Emas! Tetapi, kalian belum ada yang
mengatakan, hadiah apa yang akan kami dapatkan bila kami lebih dulu membawa Rajawali Emas ke hadapan Pimpinan"!"
"Pimpinan tak berkata apa-apa!" sahut si perempuan berpakaian kuning.
"Tak jadi masalah! Karena dengan uang ini, kami
cukup beristirahat selama seminggu! Lodra Jalang,
mari kita tinggalkan tempat ini!"
Lalu tanpa menghiraukan Datuk Jubah Merah yang
menindih amarahnya, kedua lelaki berpakaian hitam
kusut itu sudah membalikkan tubuh. Kejap berikutnya, keduanya sudah berkelebat ke arah timur.
"Benar-benar kapiran!" maki Datuk Jubah Merah.
"Satu saat, aku ingin menghajar keduanya!"
"Jangan cari urusan sesama teman! Bila Rajawali
Emas berhasil kita dapatkan, barulah membuka urusan! " sahut perempuan berpakaian kuning itu.
Datuk Jubah Merah alihkan pandangannya. Hatihati dia berkata, "Apakah kau hendak menceritakan
ada urusan apa kau sebenarnya dengan Rajawali
Emas?" "Tutup mulutmu!" menghardik si perempuan tanpa
alihkan pandangan pada Datuk Jubah Merah. Namun
menilik dari getaran tubuhnya, jelas sekali kalau dia
marah besar. "Urusanku dengan Rajawali Emas adalah
urusan pribadi! Dan jangan coba-coba campuri urusanku ini!!"
"Apakah kau hendak menunggu kedatangan Dua
Iblis Hitam?" Datuk Jubah Merah mengalihkan pertanyaan, kendati dia mulai geram.
"Itu bukan urusanku! Bila kau hendak melakukannya, silakan! Kedua manusia sesat itu boleh dikatakan
sudah mati karena berani melanggar perintah Seruling
Haus Darah!"
Di depan, Tirta berkata sendiri, "Lodang Kumayang
sudah mampus! Dan Maung Kumayang sudah tak
akan mampu mempergunakan ilmunya! Mungkin dia
sudah berlalu dan mengubur diri di satu tempat yang
tak pernah dikunjungi orang, ketimbang akan mampus
akhirnya di tangan Seruling Haus Darah!"
Di seberang, Perempuan berpakaian kuning berkata
lagi, kali ini lebih dingin, "Pergilah kau menuju ke selatan! Sementara aku ke
utara!" "Setan keparat! Bukan hanya dua manusia celaka
itu tadi yang bikin aku geram, tetapi juga perempuan
sialan ini! Tetapi karena dia telah menyelamatkan
nyawa ku, untuk saat ini aku bisa melupakan sikap
kurang ajarnya!" maki Datuk Jubah Merah dalam hati.
Lalu berkata dengan nada ditekan, "Kita bertemu lagi
satu bulan kemudian!"
Habis kata-katanya, lelaki berjubah merah itu segera berkelebat ke arah selatan.
Sementara itu diam-diam si perempuan menarik
napas panjang. "Urusanku dengan Rajawali Emas harus dituntaskan! Pemuda itu memang memiliki kesaktian yang cukup tinggi! Tetapi bukan jadi patokan
hingga aku tak bisa mengalahkannya! Bergabung dengan Seruling Haus Darah sebenarnya enggan kulakukan, tetapi karena kupikir seluruh rencanaku akan
berjalan mulus berkat bantuannya, makanya aku mau
bergabung! Apalagi sekarang dia menginginkan pemuda keparat itu!"
Di balik batu padas, Rajawali Emas yang memang
penasaran untuk mengetahui siapa adanya perempuan
yang belum membalikkan tubuhnya itu, tak beranjak
dari tempatnya. Kepergian Sudra Jalang, Lodra Jalang
dan Datuk Jubah Merah tak terlalu menarik perhatiannya. Dan mendadak saja pemuda dari Gunung Rajawali
ini menahan napas tatkala melihat wajah perempuan
berpakaian kuning cemerlang yang sudah membalikkan tubuh. Wajah si perempuan tertutup oleh sebuah
topeng warna perak yang terbuka di bagian hidung dan
bibirnya yang indah bergincu!
Cukup sesak napas Rajawali Emas sesaat. Lalu perlahan-lahan terdengar ucapannya dengan sorot tak
berkedip ke depan, "Dewi Topeng Perak!" Kejap lain, kembali Rajawali Emas
terdiam seolah tak percaya melihat siapa perempuan itu. "Kendati aku sudah bisa
menduganya, tetapi cukup terkejut karena dugaanku
benar dan perempuan itu adalah Dewi Topeng Perak!"
Di depan sana, perempuan berpakaian kuning cemerlang yang menutupi wajahnya dengan topeng berwarna
perak, memandang arah yang ditempuh oleh Datuk
Jubah Merah tadi.
"Bagus! Secara tak langsung aku mendapat bantuan dari orang-orang semacammu, Datuk Jubah Merah!" katanya dengan bibir berbentuk seringaian. Sepasang mata jernih namun tajam yang terdapat di balik topeng warna perak yang membentuk seraut wajah
dengan hidung mancung yang lancip, berputar liar.
"Kesempatan yang baik ini memang harus kupergunakan! Tetapi, aku hendak menjumpai dulu seseorang
sebelum membunuh Rajawali Emas! Pemuda yang di
lengan kanan dan kirinya itu terdapat rajahan rajawali
berwarna keemasan jelas tak bisa dipandang remeh!
Aku pernah merasakan pula kehebatannya! Kali ini,
orang yang hendak kukunjungi akan kuajak bergabung! Bukan menjadi bawahan Seruling Haus Darah!
Melainkan, menjalankan tujuanku untuk membunuh
Rajawali Emas! Apalagi, dia sudah berjanji memenuhinya!" Setelah mengumbar segala amarah dan dendam dalam tadi, perempuan bertopeng perak ini menarik napas. Kejap berikutnya, dia sudah berkelebat ke arah
utara. Setelah beberapa saat Rajawali Emas segera muncul dari balik batu cadas. Dipandanginya kelebatan
tubuh perempuan berpakaian kuning cemerlang.
"Benar-benar tak kusangka kalau perempuan bertopeng perak itu hadir kembali dalam kehidupanku.
Hmmm, masih ada dua orang lagi yang belum kukenal.
Maut Tangan Satu dan Iblis Lembah Ular yang juga
menjadi kaki tangan Seruling Haus Darah. Tetapi.. ketimbang dengan yang lainnya, Dewi Topeng Perak cukup berbahaya! Perempuan yang memiliki dendam pada Mata Malaikat karena cintanya ditolak oleh kakek
yang selalu memejamkan kedua matanya, dan mendendam dalam pada Dewi Segala Impian karena telah
mendahului merebut cinta Mata Malaikat yang akhirnya justru mengkhianatinya itu, jelas tak bisa dibiar

Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan! Sebaiknya, dia saja yang kuikuti sekarang!"
Habis berpikir demikian, pemuda yang bersenjatakan Pedang Batu Bintang ini segera melesatkan tubuh
mengikuti ke mana perginya Dewi Topeng Perak (Untuk mengetahui siapa Dewi Topeng Perak sesungguhnya, silakan baca: "Keranda Maut Perenggut Nyawa"
sampai "Hantu Seribu Tangan").
*** Bab 10 KITA tinggalkan dulu Rajawali Emas yang sedang
mengikuti Dewi Topeng Perak. Sekarang kita ikuti perjalanan Raja Dewa dan Peri Gelang Rantai menuju ke
Lembah Iblis. Kedua tokoh rimba persilatan ini menghentikan
langkah masing-masing tatkala tiba di sebuah hutan
yang dipenuhi jajaran pepohonan tinggi dan ranggasan
semak belukar. Di hadapan mereka jalan setapak malang melintang. Saat ini matahari sudah berada dalam
tiga perempat perjalanannya menuju malam. Biasbiasnya yang merona merah begitu indah dibayangi
oleh burung-burung yang terbang membentuk siluet.
"Raja Dewa! Apakah kau tidak salah ingat, di mana
Lembah Iblis berada"! Sejak tadi kupikir kita hanya
berputar-putar saja!" maki Peri Gelang Rantai dengan
suaranya yang nyaring.
Raja Dewa yang sejak mulai melangkah meninggalkan Bukit Kebombong selalu dengan kedua tangan berada di belakang, tak menjawab makian si nenek berpakaian hitam penuh tambalan. Sepasang matanya
yang memancarkan ketenangan memandang ke depan.
"Rasa-rasanya... aku memang telah salah jalan...,"
sahutnya kemudian yang semakin membuat Peri Gelang Rantai tambah memaki-maki.
"Kurang asem! Ingatanmu benar-benar sudah sangat payah!" semburnya kemudian. Lalu dengan pandangan tak berkedip pada Raja Dewa, si nenek yang di
kedua tangan hingga siku terdapat puluhan gelang
warna hitam ini berkata, "Kalau sudah begini, mau apa
kita berhenti, hah"!!"
Lagi-lagi tanpa alihkan pandangan pada Peri Gelang
Rantai, Raja Dewa menyahut, "Sudah tentu aku ingin
meneruskan langkah. Tetapi kedua kakiku terasa lelah. Tubuhku linu. Dan mataku kasat oleh satu pandangan yang tak nampak."
Kalau tadi si nenek mendelik gusar, kali ini dia terdiam dengan kening dikernyitkan. Hati-hati sepasang
matanya diedarkan.
"Sikap manusia yang satu ini memang rada-rada
aneh. Hampir mirip dengan sikap Raja Lihai Langit Bumi. Kata-katanya yang pertama dan kedua jelas sebagai pancingan belaka. Tetapi kata-katanya yang terakhir, seolah mengisyaratkan ada seseorang yang mengintip. Apakah ini sebabnya sejak tadi dia hanya berputar-putar di sini saja?" batin si nenek dalam hati.
Karena berpikir demikian, dia berkata, "Pandangan
kasat mata hanya bisa dibuktikan dengan kedua mata
terbuka! Barangkali dengan cara beristirahat pandanganmu tidak lagi nanar!"
"Aku pun berpikir begitu! Hingga rasa penasaranku
tak nampak lagi! Peri Gelang Rantai, apakah kau bisa
membantuku menangkap seekor burung?"
"Ke mana harus kutangkap?"
"Pergilah ke arah mana saja lalu pancing burung itu
kemari sementara aku hendak... Oh! Aku tahu di mana
burung itu sekarang" Dia bergerak-gerak karena mendengar percakapan kita!"
Sepasang mata yang berada di balik ranggasan semak belukar terbuka lebih lebar. Tangan kanan orang
ini mengepal sementara tangan kiri orang ini buntung
dan hanya dihiasi dengan lengan baju panjang tanpa
isi. "Sialan! Seruling Haus Darah memerintahkan untuk mencari dan membawa Rajawali Emas kepadanya!
Bila saja aku diperintahkan untuk membinasakan Raja Dewa atau Peri Gelang Rantai, ini kesempatan besar!
Tetapi, untuk menghadapi keduanya sekaligus, jelas
aku tak mampu melakukannya!" maki orang yang berambut tegak laksana iblis.
"Di mana burung itu?" tanya Peri Gelang Rantai
yang mulai mengerti maksud Raja Dewa.
"Kelihatannya burung itu sedang bingung! Baiknya
kita tunggu saja! Bila burung itu tidak terbang juga,
berarti kita memang harus menangkapnya!" sahut Raja
Dewa yang saat ini memakai kata-kata kiasan untuk
menyatakan maksud.
"Berapa lama kita menunggu?" tanya Peri Gelang
Rantai lagi yang sekarang sudah bisa menebak di mana orang yang mengintip mereka berada.
"Aku tidak tahu. Tetapi apa yang hendak kau lakukan, lakukanlah!"
"Bagus kalau begitu!"
Di balik ranggasan semak belukar, lelaki berambut
hitam tegak lurus itu memicingkan sepasang matanya.
Dilihatnya bagaimana si nenek berpakaian hitam penuh tambalan sedang mengangkat tangan kanannya.
Dan mendadak saja orang ini menarik kepalanya ke
belakang. Kedua matanya yang dihiasai alis menukik
ke bawah dan seperti bertemu itu membeliak lebar.
Kejap lain, dia segera melompat tatkala satu hamparan angin yang dilepaskan oleh Peri Gelang Rantai
menderu ke arahnya!
Blaaarrr!! Sekejap saja orang ini terlambat bergerak, tak mustahil tubuhnya akan mengalami nasib sial seperti
ranggasan semak belukar yang pecah dan berhamburan. Dan karena merasa kehadirannya sudah diketahui
kedua orang itu, begitu kedua kakinya hinggap kembali di tanah, lelaki berpakaian hitam sambung menyambung itu sudah berdiri tegak dengan pandangan tajam
pada kedua orang di hadapannya.
Peri Gelang Rantai tertawa. "Kau rupanya sudah
sinting, Raja Dewa! Masa' yang seperti beginian kau bilang burung"!"
Raja Dewa yang kedua tangannya masih berada di
belakang pinggulnya memicingkan sepasang matanya.
Lalu tanpa alihkan pandangan dari lelaki berlengan satu itu dia berkata, "Kalau kau pikir aku salah, apakah
makhluk ini ternyata seekor monyet?"
"Busyet!" sambar Peri Gelang Rantai sambil tertawa. "Kurang asem sekali ucapanmu itu! Kalau monyet
penuh bulu, tetapi makhluk ini tidak!"
"Lho"! Bisa jadi dia monyet gundul!"
Makin keras tawa Peri Gelang Rantai mendengar
sahutan Raja Dewa yang diucapkan seperti orang lugu.
Sementara itu, wajah lelaki yang berdiri dua tombak
dari hadapan mereka mengelam. Kembali dia mengepalkan tinju kanannya hingga terlihat beberapa urat
yang ada di punggung tangannya menonjol, keluar.
Kejap lain, dia sudah keluarkan suara sarat kemarahan, "Manusia-manusia tak berguna! Jangan bicara
sembarangan bila masih sayang nyawa!"
Peri Gelang Rantai menghentikan tawanya. Lalu
ikutan-ikutan seperti Raja Dewa yang memandang takjub padahal sedang mengejek, si nenek berkata, "Rasarasanya... aku mengenal monyet gundul yang berciri
seperti ini?"
"Begitu pula denganku!" sahut Raja Dewa.
Lelaki berambut tegak yang wajahnya dihiasi dengan keriput itu menyeringai lebar.
"Bagus kalau kalian mengenali siapa aku! Lebih
baik kalian membunuh diri untuk membayar kelancangan yang telah kalian lakukan tadi!"
Peri Gelang Rantai mengangguk-angguk. Lalu dengan sikap serius dia berkata, "Benar dugaanku, kalau
orang inilah yang berjuluk Monyet Gundul Kelaparan!"
"Kau salah! Dialah yang berjuluk Monyet Lapar Cacingan!!" sambar Raja Dewa.
Seringaian lelaki bertangan satu itu putus seketika.
"Keparat! Kedua manusia celaka ini sengaja mempermainkanku! Huh! Tanganku sudah gatal sekarang!"
Seraya maju dua tindak dengan sepasang mata dijerengkan, orang ini berkata jumawa, "Hari ini, kalian
berjumpa dengan Maut Tangan Satu!"
Kedua tokoh rimba persilatan itu saling pandang.
Lalu seperti disepakati keduanya berkata dengan nada
dilagukan, "O... jadi ini toh manusianya yang berjuluk
Maut Tangan Satu?"
Raja Dewa segera menyambung, "Peri Gelang Rantai... aku jadi ketakutan!"
"Begitu pula denganku," sahut Peri Gelang Rantai.
"Tetapi kalau dia mau mengatakan di mana Seruling
Haus Darah berada, aku justru makin ketakutan!"
"Bagaimana kau bisa yakin dia tahu di mana Seruling Monyet-monyetan itu berada?"
"Dari tampangnya, manusia monyet semacam ini jelas akan patuh dan bersedia menjadi cecunguk Raja
Monyet-monyetan!"
"Hmm... kalau begitu pasti wajah pimpinannya tak
lebih dari seekor monyet!"
"Ya! Apalagi...."
Kata-kata Peri Gelang Rantai terputus tatkala Maut
Tangan Satu sudah menggebrak ke arahnya dikawal
teriakan mengguntur. Rupanya, lelaki ini sudah tak
tahan mendengar ejekan dari keduanya.
Seketika tangan kanannya melabrak dahsyat dengan timbulkan suara bergemuruh.
Peri Gelang Rantai cuma menoleh. Kejap lain dia
sudah mengangkat tangan kanannya pula.
Des!! Saat itu terjadi benturan keras. Sosok Maut Tangan
Satu terlempar ke belakang, namun begitu sepasang
kakinya menginjak tanah, tubuhnya sudah melabrak
maju. Kali ini dia menggerakkan bahu kirinya. Seketika baju lengan kirinya yang tanpa tangan, bergerak
laksana pecut. Claaarr...! Terdengar suara keras dan kejap itu pula menderu
lima cahaya berwarna merah yang menebarkan hawa
panas. Sesaat tempat itu menjadi agak terang. Rupanya, tangan kirinya yang buntung lebih dahsyat dari
tangan kanannya.
Kalau tadi Peri Gelang Rantai menahan serangan
lawan tanpa bergeser dari tempatnya, kali ini dia mundur dua tindak dan bersamaan dengan itu kedua tangannya didorong ke depan.
Wutttt! Wuttt! Angin deras yang menebarkan hawa dingin menderu. Hawa panas yang keluar dari serangan Maut Tangan Satu langsung tertindih. Sementara dengan cara
yang sangat aneh, dari tangan kanan si nenek terlepas
tiga buah gelang hitamnya sedangkan dari tangan kirinya terlepas gelang hitamnya dua buah.
Lima gelang hitam itu menderu menimbulkan suara
membeset. Dan melabrak lima sinar merah yang dilepaskan Maut Tangan Satu. Seketika terdengar suara
letupan cukup keras dengan muncratnya lima cahaya
merah tadi ke atas.
Peri Gelang Rantai hanya terhuyung dua tindak ke
belakang. Di seberang, Maut Tangan Satu terdorong
dua tombak. Cepat lelaki berambut berdiri kaku itu
kuasai keseimbangannya, dan berdiri dengan kaki terpentang. Pandangannya tak berkedip pada Peri Gelang
Rantai yang sedang menunjukkan kelasnya yang patut
dicemaskan lawan.
Karena begitu lima buah gelang hitamnya memupus serangan lima cahaya merah dari Maut Tangan
Satu, seperti memiliki mata, lima buah gelang itu kembali lagi dan masuk kembali ke kedua tangan si nenek
yang terangkat. Seperti saat keluar tadi tiga buah gelang masuk ke tangan kanan dan dua buah masuk ke
tangan kiri! Sesaat Maut Tangan Satu tergetar hatinya melihat
apa yang dilakukan Peri Gelang Rantai yang saat ini
sedang berkata pada Raja Dewa seolah tak menghiraukan beliakkan sepasang mata Maut Tangan Satu, "Hebat juga, Monyet Lapar Cacingan ini! Tetapi dia telah
mengusik hatiku! Bila dia tak juga mau mengatakan di
mana Seruling Haus Darah berada, apakah aku patut
menurunkan tangan padanya?"
"Untuk manusia semacam ini, kau kentuti pun
sangat layak! Aku yakin, dia akan senang mencium
kentutmu yang kendati jarang makan ubi tapi bisa bikin mabuk orang sekampung!" sahut Raja Dewa tetap
dengan kedua tangan berada di belakang.
"Jadi aku boleh...."
"Nenek jahanam! Terimalah kematianmu!!" menggeram Maut Tangan Satu dengan hati dibuncah kemarahan tinggi. Dan kejap berikutnya ia sudah melabrak
kembali Saat baju lengan kirinya yang tanpa lengan digerakkan, kembali lima larik cahaya merah yang menebarkan hawa panas menderu. Lalu disusul dengan
tendangan kaki kanan yang mengarah pada kepala si
nenek. Peri Gelang Rantai segera menjejak tanah, saat itu
pula tubuhnya indenting di udara. Serangan lawan lolos dengan sendirinya dan menghantam lima buah pohon di belakang si nenek tadi yang seketika hangus.
Sementara itu, masih berada di udara, kedua kaki


Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peri Gelang Rantai bergerak seperti menjejak, tepat ke
arah punggung Maut Tangan Satu.
Seketika lelaki berambut hitam kaku berdiri itu
menjatuhkan tubuh, lalu bergulingan.
Brak! Brak! Tanah di mana Maut Tangan Satu menjatuhkan
tubuh tadi langsung rengkah terkena jejakkan kedua
kaki Peri Gelang Rantai. Bersamaan kedua kakinya
hingga lutut amblas dalam tanah, si nenek menggerakkan tangan kanannya.
Wuutt! Wuuttt! Dua buah gelang hitamnya meluncur deras dengan
suara membeset ke arah Maut Tangan Satu, yang bukan hanya terkesiap tetapi juga keluarkan pekikan
ngeri. Sebisanya dia langsung melompat dengan pencalan
satu kaki yang tertumpu pada sebatang pohon.
Sebuah gelang Peri Gelang Rantai berhasil dihindari, tetapi yang sebuah lagi telah menyambar paha kanannya. Hingga kali ini Maut Tangan Satu ambruk bukan karena sengaja menjatuhkan diri! Dari luka paha
kanannya, segera mengalirkan darah segar.
Sementara dua buah gelang hitam tadi, kembali
masuk ke tangan kanan Peri Gelang Rantai.
Seperti tak mengetahui apa yang terjadi, si nenek
berseru pada Raja Dewa, "Apakah sekarang saatnya
yang tepat untuk mengentutinya?"
"Wah! Kau jangan ambil hati ucapanku tadi! Bisabisa bukan hanya dia yang akan mabuk! Tetapi aku
pun akan mengalami kesialan juga!" sahut Raja Dewa
tanpa tawa. "Jadi apa yang akan kulakukan?"
"Aku tak suka membunuh orang! Tetapi kalau kau
mau melakukannya, silakan saja!"
"Apakah sebaiknya tidak kutanyai dulu di mana Seruling Haus Darah berada?" tanya Peri Gelang Rantai
seperti orang lugu seraya maju tiga tindak.
"Kalau kau memang dapat mengorek keterangan
darinya, ya bagus sekali!"
"Kalau dia tidak mau mengatakannya, bagaimana
bila kumasukkan semut-semut merah ke dalam kantong menyannya?"
"Wah! Itu tontonan yang sangat menarik! Tetapi...
huh! Dasar kau saja yang keganjenan!!"
"Namanya juga usaha!"
Lalu dengan langkah santai, si nenek berpakaian
hitam penuh tambalan ini mendekati Maut Tangan Satu yang diam-diam sudah mengerahkan tenaga dalamnya pada tangan kanannya dan siap dipukulkan pada
Peri Gelang Rantai.
"Hei! Tangan buntung! Ayo, kau katakan di mana
Seruling Haus Darah berada"! Kalau tidak... hik...
hik... hik... kantong menyanmu akan bengkak digeragoti semut-semut merah!"
Mengkelap wajah Maut Tangan Satu kendati hatinya mulai dibaluri rasa ngeri. Dengan pandangan tajam dia berseru, "Pergilah kau ke neraka!"
Seperti tak menggubris kata-kata itu, Peri Gelang
Rantai alihkan pandangan pada Raja Dewa.
"Kalau dia bilang begitu, berarti manusia celaka itu
sudah mampus, bukan?"
"Wah! Tidak rame kalau ternyata manusia sesat itu
sudah mampus! Peri Gelang Rantai, coba kau tanyakan padanya, di mana alamat manusia celaka itu di
Neraka"! Dan naik apa kita ke sana"!"
Lagi-lagi dengan sikap yang membuat Maut Tangan
Satu makin dibuncah kemarahan tinggi, Peri Gelang
Rantai melakukan yang dikatakan Raja Dewa.
Dan sebagai jawaban atas sikapnya itu, Maut Tangan Satu sudah melompat dengan agak terhuyung.
Tangan kanannya yang mengandung tenaga dalam
tinggi dihantamkan ke arah pinggang si nenek.
Peri Gelang Rantai yang sejak tadi sudah menduga
akan hal itu, melompat ke samping kanan. Lalu bergerak dengan tangan kanan seperti menepuk pinggang
Maut Tangan Satu, yang sesaat merasa heran karena
dia tak merasakan apa-apa kecuali tepukan belaka.
Padahal kalau si nenek hendak menghabisinya, maka
dengan mudah pinggangnya akan dibuat patah.
Yang ada dalam pikiran Maut Tangan Satu sekarang, kalau si nenek memang gagal melancarkan serangan. Maka dengan gerakan yang cepat Maut Tangan Satu melompat terus ke muka. Dengan kerahkan
sisa-sisa tenaganya dia berlari terbirit-birit.
Raja Dewa yang tahu apa yang dilakukan Peri Gelang Rantai berkata, "Kupikir selama ini kau hanya bisa mengumbar kemarahan dan menurunkan tangan!"
Kalau sejak tadi Peri Gelang Rantai berkata-kata
begitu lugu, kali ini dia membentak, "Jangan bicara
sembarangan! Yang kita tuju bukan cecunguk itu, melainkan Seruling Haus Darah!"
"Kau sudah memasukkan Kuntum Bunga Malam,
apakah kau akan mengikutinya sekarang?"
Kali ini Peri Gelang Rantai terdiam seraya membatin, "Lelaki ini memang hebat sejak dulu. Bahkan dia
bisa melihat gerakan tanganku yang sangat cepat memasukkan Kuntum Bunga Malam."
Memang, saat si nenek menepuk pinggang Maut
Tangan Satu, sebenarnya dia memasukkan sebuah
bunga warna hitam yang diberi nama Kuntum Bunga
Malam ke balik pinggang Maut Tangan Satu. Dengan
keahlian khusus yang dimilikinya, Peri Gelang Rantai
dapat membaui Kuntum Bunga Malam yang diletakkan di mana saja. Bahkan Kuntum Bunga Malam yang
berada di balik pinggang Maut Tangan Satu, beberapa
pun jauh jaraknya, si nenek dapat membauinya hingga
tahu di mana orang itu berada.
Perlahan-lahan si nenek palingkan kepala.
"Tujuan kita semula tetap menuju ke Lembah Iblis.
Berarti, itulah yang harus kita jalani dulu."
"Apakah kau tak menduga kalau Maut Tangan Satu
akan menemui Seruling Haus Darah?"
'Yang kucemaskan dari Seruling Haus Darah adalah Seruling Gading - seruling berlubang tujuh - milik;
Raja Seruling yang dibunuhnya!"
"Aku pun berpikir demikian! Kalau memang tak ada
lagi urusan, kita teruskan langkah sekarang!"
Setelah mendapati anggukan dari Peri Gelang Rantai, Raja Dewa segera berkelebat disusul Peri Gelang
Rantai meninggalkan tempat itu.
*** Bab 11 TEMPAT yang dituju oleh perempuan berpakaian kuning cemerlang yang mengenakan topeng perak adalah
sebuah hutan yang jauh terletak dari Bukit Watu Hatur. Setelah menempuh perjalanan dua hari dua malam tanpa berhenti, perempuan yang tak lain Dewi Topeng Perak mulai menghentikan langkahnya tatkala tiba di pinggiran sebuah hutan lebat.
"Hmm... orang itu mengatakan akan menunggu di
hutan ini. Rasanya tak sabar untuk segera bergabung
dan membunuh Rajawali Emas. Pemuda keparat itulah
yang menggagalkan seluruh rencanaku untuk membunuh Mata Malaikat," gumamnya sambil memperhatikan sekitarnya yang direjam sepi. Lalu terdengar perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menyambung, "Mudah-mudahan, orang yang hendak kutemui
menepati janji...."
Pagi kembali menghampar dalam biasan matahari
yang tak terlalu menyengat. Suara burung-burung terdengar cukup merdu sebenarnya, namun tak dihiraukan sama sekali oleh perempuan bertopeng perak ini.
Dari balik ranggasan semak yang cukup lebat, Rajawali Emas yang juga menghentikan larinya, memperhatikan ke depan dengan seksama.
"Siapa sebenarnya orang yang hendak ditemui perempuan ini" Menilik sikapnya, dia benar-benar berharap bisa bertemu dengan orang yang hendak dijumpainya. Aku jadi makin penasaran. Apakah sebenarnya
dia masih mendendam pada Mata Malaikat yang kini
bersatu dengan Dewi Bulan" Atau... dia masih berkeinginan mencabut nyawa Dewi Segala Impian?"
Banyak pertanyaan-pertanyaan di hati pemuda dari
Gunung Rajawali ini yang belum menemukan jawabannya melihat sikap Dewi Topeng Perak.
Lalu didengarnya lagi gumaman Dewi Topeng Perak, "Orang yang hendak kutemui juga mempunyai
dendam pada Rajawali Emas. Demikian pula denganku. Bila saling membantu, aku yakin Rajawali Emas
akan mampus dengan cepat."
Tirta terkesiap mendengar gumaman perempuan
bertopeng perak barusan. Perlahan-lahan dia membatin, "Jadi yang membuatnya mendendam justru diriku
sendiri" Kurang asem! Lalu siapa orang yang hendak
ditemui yang katanya mempunyai dendam pula denganku" Ah, aku tidak tahu apakah aku masuk ke sarang harimau atau ke mulut buaya. Peduli setan! Semuanya membuatku makin penasaran untuk mengetahui lebih jelas!"
Lalu dilihatnya Dewi Topeng Perak sudah berkelebat masuk ke dalam hutan itu. Setelah menunggu beberapa saat, dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang digabungkan dengan tenaga surya yang
diubah fungsinya sebagai ilmu peringan tubuh, pemuda dari Gunung Rajawali ini segera menyusul.
Kelebatan tubuh Dewi Topeng Perak sebenarnya
sukar diikuti, karena di samping begitu cepat juga banyaknya pepohonan yang dapat menghalangi pandangan. Namun pakaian kuning cemerlang yang dipakainya bisa dijadikan patokan.
Tepat di tengah hutan itu, terdapat sebuah gubuk
kecil yang sudah doyong ke kanan. Di samping kanan
dan kiri gubuk itu terdapat ranggasan semak belukar
yang cukup tinggi Sinar matahari tak dapat menembus
tempat itu hingga suasana agak temaram.
Di depan gubuk itulah Dewi Topeng Perak menghentikan langkahnya. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang matanya yang jernih namun tajam, memandang gubuk itu dengan seksama.
Entah apa yang dipikirkannya karena untuk beberapa lama dia masih terdiam.
Perlahan-lahan terdengar perempuan ini berkata,
"Satu-satunya gubuk yang berada di Hutan Kalimati,
adalah gubuk yang berada di hadapanku ini. Orang itu
berjanji untuk menjumpaiku di sini. Tetapi, tak ada
tanda-tanda orang itu berada di sini. Apakah dia sesungguhnya belum mendapatkan apa yang dia cari"
Aku memang pernah mendengar urusan itu setelah
kutinggalkan Mata Malaikat. Dan tak kusangka aku
bertemu dengan orang yang berjanji denganku dan
mengatakan dia harus menunaikan urusannya dalam
tempo sekitar satu bulan. Apakah orang itu belum merampungkan keinginannya" Hmmm... sebaiknya kupanggil saja."
Berpikir demikian, Dewi Topeng Perak berseru.
"Aku telah tiba di sini, Kawan! Tampakkan sosokmu di hadapanku!!"
Tak ada sahutan apa-apa kecuali sisa suara Dewi
Topeng Perak yang terdengar. Berulang kali perempuan itu memanggil, namun orang yang dicarinya tak
nampak batang hidungnya.
Dewi Topeng Perak kembali terdiam. Pandangannya tetap lekat pada gubuk di hadapannya.
"Apakah... dia sebenarnya hendak menjebakku"
Atau... sengaja menyembunyikan diri?" batin perempuan ini lagi. Lalu berseru, "Kawan yang hendak kujumpai, aku telah tiba di sini!!"
Lagi-lagi tak ada sahutan apa-apa. Perasaan jengkel
mulai membuncah di dada Dewi Topeng Perak.
"Sebaiknya, biar kuperiksa ke dalam gubuk."
Perempuan bertopeng perak ini segera mengalirkan
tenaga dalam pada kedua tangannya sebelum melangkah. Langkahnya berhati-hati dan penuh perhitungan. Cukup lama dia berada di dalam gubuk itu, lalu keluar lagi dengan berucap, "Sialan! Manusia itu
benar-benar tak ada di sini" Urusan sudah kadung basah! Biarlah kutunggu sampai orang itu muncul!"
Dari tempatnya, Rajawali Emas yang sangat penasaran ingin mengetahui siapa orang yang hendak ditemui Dewi Topeng Perak, harus bersabar menunggu
pula. Waktu sepenanakan nasi pun berlalu. Mendadak
saja terdengar suara bergeresek dari balik semak sebelah kanan' Dewi Topeng Perak berada, berarti dari sebelah kiri Rajawali Emas.
Dewi Topeng Perak segera tolehkan kepala. Dilihatnya satu sosok tubuh sintal muncul dari balik ranggasan semak. Sosok seorang gadis berusia sekitar tujuh
belas tahun. Raut wajah gadis ini bulat telur dengan kulit kuning langsat. Alisnya hitam legam dan dihiasi bulu mata
yang lentik. Bibirnya tipis memerah basah. Hidungnya
bangir. Rambutnya tergerai indah hitam mengkilat.
Tubuh gadis yang sintal ini dibungkus pakaian berwarna hijau muda dengan renda-renda warna putih di
sepanjang kedua lengannya.
Rajawali Emas yang juga melihatnya bergumam pelan, "Apakah gadis itu yang ditunggu oleh Dewi Topeng
Perak" Tetapi menilik sikap perempuan berpakaian
kuning itu, rasanya bukan gadis ini yang sedang di

Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tunggunya."
Sementara itu, dari balik topeng perak yang dikenakan untuk menutupi wajahnya, Dewi Topeng Perak
memicingkan mata.
"Hmm... yang ditunggu belum muncul, justru orang
yang tidak diharapkan datang ke sini," batinnya sesaat
lalu segera berucap, "Anak gadis! Apakah kau kesasar
di tempat ini atau kau memang sengaja mendatanginya?" Gadis jelita berpakaian hijau muda penuh renda
putih pada kedua lengannya, menghentikan langkah.
Keningnya berkerut. Pandangannya pun lekat pada perempuan berpakaian kuning cemerlang yang berdiri tiga tombak dari hadapannya.
"Perempuan bertopeng perak!" sahutnya kemudian
dengan kedua kaki sedikit dipentangkan. "Bila kau
hendaki jawaban, lebih baik kau katakan dulu siapa
kau sebenarnya"!"
Mendelik sepasang mata Dewi Topeng Perak mendengar kata-kata itu. "Setan laknat! Ingin kurengkah
pecah kepalanya sekarang juga!"
Tetapi perempuan ini segera menindih amarah yang
mendadak muncul, di samping juga dikarenakan kejemuannya menunggu orang yang hendak ditemuinya.
Lalu dengan suara dingin dia berucap, "Mulutmu ternyata cukup lancang! Dan kau cukup memiliki nyali
pula! Baik! Orang-orang memanggilku dengan julukan
Dewi Topeng Perak! Nah! Katakan sekarang siapa kau
adanya"!"
Si gadis terdiam dengan sorot mata yang tetap tajam. Di lain kejap, dengan suara yang tak kalah dinginnya dia berucap, "Mungkin kau belum terlalu banyak mendengar julukanku! Tetapi kau boleh memanggilku Putri Lebah!"
"Putri Lebah" Baru kali ini kudengar julukan yang
cukup mengerikan itu. Seperti yang dikatakannya barusan, rupanya dia salah seorang gadis yang terjun ke
rimba persilatan ini," gumam Dewi Topeng Perak. Seraya maju dua tindak dia berkata, "Katakan, ada keperluan apa kau ke sini?"
"Suaramu sangat tidak menyenangkan untuk didengar, Perempuan Bertopeng Perak! Dan caramu bertanya membuatku hendak muntah!" sahut si gadis
yang berjuluk Putri Lebah dengan wajah kaku. "Apakah kau tak bisa bersikap santun"!"
Mengkelap sudah Dewi Topeng Perak mendengar
kata-kata orang. Kali ini tangan kanannya diangkat ke
atas. "Jangan coba pancing kemarahanku! Lebih baik
tinggalkan tempat ini sebelum urusan jadi kapiran!"
Bukannya keder mendengar ancaman orang, si gadis justru bersuara lantang, "Aku baru turun gunung!
Dan sudah tentu aku hendak mencari nama agar aku
cukup diperhitungkan oleh orang-orang rimba persilatan! Kupikir, kau cukup sepadan menghadapiku!"
Sampai tertarik ke belakang kepala Dewi Topeng
Perak mendengar ucapan Putri Lebah.
Sementara itu, Rajawali Emas mengeluh dalam hati, "Bukan gadis itu yang ditunggu rupanya oleh Dewi
Topeng Perak. Dan sikap si gadis sungguh tak menyenangkan. Kelihatan sekali kalau dia tak mengenal siapa Dewi Topeng Perak sesungguhnya. Rasanya, pertarungan tak akan bisa dihindari. Justru aku yang bisa
repot sekarang. Dalam bayanganku, Putri Lebah bukanlah tandingan Dewi Topeng Perak. Dan sudah tentu bila si gadis kenapa-napa aku tak bisa berdiam diri.
Dengan kata lain, kehadiranku di sini pasti akan ketahuan dan upayaku untuk mengetahui siapa orang
yang hendak dijumpai Dewi Topeng Perak bisa terganggu." Pemuda dari Gunung Rajawali ini terdiam sejenak
sebelum melanjutkan, "Dengan cara mengetahui siapa
saja cecunguk dari Seruling Haus Darah, berarti bisa
dibedakan yang mana kawan dan yang mana lawan."
Di depan sana, Dewi Topeng Perak yang sudah tak kuasa menahan amarah, segera mengibaskan tangan kanannya yang sejak tadi terangkat.
"Benar-benar tak tahu diuntung!!" geram perempuan bertopeng perak itu murka.
Saat itu pula menghampar angin berkekuatan tinggi melabrak ke arah Putri Lebah. Namun rupanya, si
gadis berpakaian hijau muda penuh renda putih pada
kedua lengannya memang patut menjual lagak.
Sambil berteriak mengejek, dia menghindari serangan itu, "Apakah tidak terbalik, justru kaulah yang benar-benar tak tahu diuntung, Perempuan Bertopeng
Perak"!"
Blaaarrr! Hamparan angin deras yang dilepaskan dari tangan
kanan Dewi Topeng Perak menghantam sebatang pohon di belakang Putri Lebah berdiri tadi.
Terdengar suara berderak bersamaan dedaunan
pohon itu yang segera meranggas. Kejap berikutnya,
suara berderak tadi terdengar kembali. Menyusul tumbangnya pohon itu yang menimbulkan suara berdebam, menimpa ranggasan semak belukar yang beterbangan. Di tempatnya, Dewi Topeng Perak memicingkan kedua matanya tajam-tajam, "Gadis ini benar-benar harus diajar adat! Dia cukup bisa buktikan sesumbarnya!
Tetapi sekarang... jangan harap dia bisa hidup lebih
lama!" Habis membatin demikian, dengan pencalan satu
kaki, sosok perempuan berpakaian kuning cemerlang
itu sudah menggebrak ke arah Putri Lebah dengan kedua tangan didorong ke depan....
SELESAI Segera menyusul!!!
Serial Rajawali Emas
dalam episode: MEMBURU NYAWA SANG PENDEKAR Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Dendam Rara Anting 2 Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo Pengelana Rimba Persilatan 1

Cari Blog Ini