Roro Centil 06 Lima Wajah Seribu Dendam Bagian 1
Lima Wajah Seribu Dendam * Copyright naskah ini di tangan penerbit LOKAJAYA,
hak cipta pengarang dilindungi undang-undang.
* Dilarang mengutip, tanpa seizin penerbit.
* Menterjemahkan karya ini dalam bahasa Asing, harus seizin penerbitnya lebih dahulu.
1 PELANGI di ujung bukit itu seperti melukis langit setengah lingkaran... Mega-mega telanjang memandang terpukau akan keindahannya. Mentari mengorak
senyum di lereng gunung, dengan sinarnya yang mulai
melemah. Sesaat lagi ia akan kembali keperaduannya... Sementara lenguh kerbau-kerbau pak tani terdengar di kejauhan. Beriring-iringan menuju pulang ke
kandang. Untuk esok kembali bekerja membajak sawah. Kerja keras yang hanya berupa seonggok rumput,
namun cukup membuat mereka senang. Dan bekerja
giat membantu sang majikan. Gembala-gembala kecil
itu dengan tubuh lesu dan penat tiduran di atas punggung kerbaunya. Sekali-kali masih terdengar canda
dan tawanya. Sementara jauh di belakang, orang-orang
tua mereka menyandang pacul, dan alat bajak, melangkah lunglai. Namun dengan semangat terpencang
di dada. Esok atau lusa kelak berharap panen akan lebih baik lagi. Sebuah telaga kecil berair jernih di sisi sungai
yang berbatu-batu itu masih terdengar suara beberapa
gadis bersenda gurau. seperti enggan untuk beranjak
dari tempat mandi yang berair sejuk itu.
"Aku sudah ah, nanti kemalaman sampai di
rumah. Bisa-bisa aku kena marah..!" Berkata salah seorang dari kelima gadis itu.
Dan serta merta beranjak untuk menyambar pakaiannya. Gadis itu bernama
Sekar Tanjung. Gadis yang paling cantik di antara mereka. Melihat itu, yang lainnya pun bergegas naik ke
darat. "Benar..! Terlalu asyik kita mandi sampai tak sadar hari hampir gelap..!"
Berkata salah seorang yang
terlihat lebih tua diantara mereka. Yang dua orang ternyata masih juga bercanda,
hingga salah seorang berteriak : "Awas, siapa yang paling belakang tentu akan digondol hantu Sendang.
Siapa yang dapat menolong?"
Terkejutlah keduanya, dan dengan berteriak sambil silih pegangan mereka cepat-cepat beranjak ke darat.
Sampai-sampai salah seorang lupa dimana menaruh
pakaiannya. Tentu saja gadis-gadis lainnya jadi tertawa cekikikan saking lucunya melihat sang kawan yang
bertelanjang bulat, sibuk kesana-kemari mencari bajunya. "Wah..! Pasti bajumu disembunyikan hantu
Sendang..!" Teriak kawannya.
"Ah, jangan main-main kau. Aku takut! Siapa
yang sembunyikan" Awas nanti kuhajar pantatnya..!"
Teriaknya sambil berjongkok kedinginan.
"Aku tidak tahu..!" Menyahut salah seorang.
"Aku juga tidak..! Berani sumpah. aku tidak
menyembunyikan! Berkata kawannya yang seorang lagi. Dan berturut-turut semuanya tak ada yang mengetahui dimana kawannya ini meletakkan pakaiannya.
Sekar Tanjung ternyata telah bergegas berangkat lebih
dulu setelah mengenakan pakaiannya. Empat pasang
mata segera beralih padanya.
"Eh... Sekar! Tunggu dulu. Apakah kau tahu
dimana Serandil meletakkan pakaiannya. Atau kau telah menyembunyikannya.."!" Teriak Siti Jenang, gadis yang paling tua itu. Sekar
Tanjung menoleh, dan hentikan tindakan kakinya.
"Aiii! Kalian jangan sembarangan menuduh
orang. Apa tidak terhanyut terbawa air..?" Menyahut Sekar Tanjung.
"Aku benar-benar tak menyembunyikannya..!"
Tambahnya lagi. Sementara itu Serandil sudah mau
menangis. Tubuhnya sudah menggigil kedinginan. Pada saat itulah terdengar suara benda tercebur ke dalam air telaga atau Sendang. Semuanya jadi terkesiap.
Dan salah seorang berbisik:
"Celaka..!" Jangan-jangan hantu Sendang yang
mengganggu..!" Dan ia sudah mendahului lari dengan wajah pucat bagai kertas.
Tentu saja yang lainpun berlari bubar ketakutan, tanpa menghiraukan lagi pada si
gadis yang masih bertelanjang bulat itu. Serandil berteriak-teriak sambil menangis, berlari kesana kemari
kebingungan. Sementara kawan-kawannya sudah tak
kelihatan lagi. Akhirnya Serandil cuma bisa menelungkup menutup wajahnya dengan terisak-isak. Tak tahu
akan apa yang harus diperbuatnya.
Senja terus merayap... Cuaca berangsur-angsur
menjadi gelap. Beberapa orang laki-laki termasuk seorang lelaki tua yang berada di bagian paling depan,
tampak berjalan dengan tubuh layu... Wajahnya menampilkan kebingungan. Lelaki tua itu membawa seperangkat pakaian wanita. Tampaknya ia ayah dari si
gadis bernama Serandil itu.
"Aku bukan mengkhawatirkan akan adanya
hantu Sendang itu." Berkata laki-laki tua bernama Ke-bo Pawon itu. Dan
lanjutnya: "Tapi yang ku khawatirkan adalah ulah perbuatan pemuda atau laki-laki iseng. Siapa tahu ia memang
bermaksud buruk terhadap anakku..!"
"Siapa kira-kira orang yang bapak curigai..!
Jangan khawatir, pasti akan kuberi hajaran dia.." Berkata salah seorang bertubuh
tegap. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Dialah yang bernama Telo Moyo. Boleh dikatakan juga seorang jagoan di desa Blimbing
Wuluh itu. Namun laki-laki tua itu hanya terdiam. Pikirannya telah terbenam dalam keruwetan. Serandil
tak dapat dijumpai di sisi telaga. Bahkan sudah sekeliling tempat itu diperiksa. Setiap semak lebat di singkap dan dibabat, oleh
keempat laki-laki muda yang turut serta bersamanya. Namun sosok tubuh Serandil
tak kelihatan. Ada dugaan ia tenggelam di telaga, namun tak ada yang berani untuk menyelam. Ditambah
hari sudah gelap, dan suasana di tepi Sendang itu
memang agak seram. Akhirnya mereka pulang dengan
tangan hampa. Serandil lenyap tak berbekas...
Sepekan sudah berita tentang lenyapnya seorang gadis di tepi telaga itu sudah menyebar ke pelbagai pelosok desa Blimbing Wuluh. Bahkan sampai pula
ke desa-desa lainnya. Serandil memang hilang secara
misterius. Bahkan mayatnya pun tak kelihatan. seandainya ia tenggelam ke dalam Sendang. Dugaan sementara orang adalah pada seorang pemuda bernama
Jembawan. Karena berbareng dengan lenyapnya Serandil. Pemuda bernama Jembawan, yang berasal dari
desa Nongko Jajar, yang tak berapa jauh dari desa
Blimbing Wuluh itupun ternyata lenyap. Beritanya baru diketahui oleh penduduk Blimbing Wuluh dua hari
kemudian... Telo Moyo beranggapan bahwa Jembawanlah yang telah membawa lari si gadis bernama Serandil
itu. Rasa simpatinya pada Kebo Pawon, membuat ia
bersama tiga orang kawannya segera melacak ke berbagai tempat. Mencari jejak Jembawan dan Serandil.
Hampir setiap desa yang di jumpai mereka. tentu ditanyakan akan adanya sepasang sejoli yang menghilang
itu. Namun hampir semua yang ditanyai menggelengkan kepala... Ketiga orang kawannya mengusulkan untuk kembali saja. Terpaksa Telo Moyo tak dapat menolak keputusan itu walaupun hatinya masih penasaran.
Namun ketika kembali ke desa Belimbing Wuluh. berita baru membuat mereka terkejut. Yaitu lenyapnya Sekar Tanjung, seorang gadis anak seorang Kuwu kembali lenyap dengan misterius... Gemparlah keadaan desa Belimbing Wuluh. Beberapa pemuda desa dikerahkan untuk melacak ke pelbagai tempat. Pak Kuwu
sendiri memimpin pelacakan itu. Pertama-tama yang
dituju adalah desa Nongko Jajar. Karena disana diketahui seorang laki-laki bernama Jembawan, yang juga
telah menghilang tak berbekas. Tentu saja kedatangan
pak Kuwu yang bernama Bendoro Kelud itu, mendapat
sambutan yang kurang baik dari orang tua Jembawan.
Walaupun Jembawan adalah anak angkat, namun tetap sudah menjadi bagian dari kehidupannya.
"Maaf. pak Kuwu..! Aku sendiri tak mengetahui
kemana anak itu pergi. Akupun tak mengetahui tentang hubungannya dengan gadis-gadis dari desa Belimbing Wuluh. Apakah ada hubungannya peristiwa
hilangnya dua gadis itu dengan anakku..?" Aku sendiri tak mengetahui..! Tapi
janganlah asal menuduh saja
pada anak orang. Karena biarpun aku orang miskin,
aku punya harga diri. Aku mengenal betul watak
anakku. Kalau dia bersalah pasti aku yang akan
menghajarnya. Aku sendiri telah mengirim orang untuk melacak kemana perginya si Jembawan itu..!" Demikianlah ujar Sugita. Tampak
wajah laki-laki tua
yang berumur lima puluhan tahun itu merah padam.
Bendoro Kelud tak dapat berbuat apa-apa. Memang ia
tak mempunyai tuduhan kuat untuk dapat menyangka
Jembawanlah yang telah melarikan kedua gadis dari
desa Belimbing Wuluh itu. Dengan agak malu, segera
Bendoro Kelud meninggalkan desa Nongko Jajar. di
ikuti pemuda-pemuda desanya. Disaksikan beberapa
penduduk dengan bibir mencibir.
"Enak saja menuduh anak orang. Memangnya
anak orang apaan..?" Berkata salah seorang tetua di desa itu sepeninggal pak
Kuwu. Sementara Sugita sendiri tercenung dengan wajah murung. Ia sendiri sedang
memikirkan nasib Jembawan. Kemanakah gerangan
perginya anak itu.." Gumamnya dalam hati.
2 Tiga pekan sudah berlalu. Dan pencarian ketiga
orang itupun menemui jalan buntu. Tak seorangpun
yang mengetahui kemana lenyapnya satu pemuda dan
dua gadis dari dua desa itu...
Puncak Mahameru yang tersembul dibalik
awan itu bagaikan kepala raksasa yang tegak menjulang dengan megahnya. Mentari pagi masih merah di
ufuk timur. Pancarkan sinarnya yang masih lemah.
Namun sesaat demi sesaat terus menggelinding ke atas
dengan sinarnya yang kuning keemasan. Kicau burung-burung tampak semarak menyambut munculnya
si Raja Siang itu. Petani mulai kembali berangkat ke
sawah memanggul paculnya. Walaupun kekalutan itu
masih menghantui desa itu. namun mereka tetap harus bekerja demi hidupnya. Di kejauhan tampak seorang gadis berjalan seenaknya. Pakaiannya berbeda
dengan pakaian gadis-gadis desa umumnya. Karena tidak umum dikenakan oleh seorang gadis biasa. Baju
atasannya berwarna merah jambu. berlengan panjang.
Dengan ikat kepala yang juga berwarna merah jambu.
melambai-lambai ditiup angin pegunungan. Sedang
kan bagian bawahnya memakai celana pangsi berwarna hitam. Dengan sabuk terbuat dari kulit ular. Pada
kedua belah pinggangnya tampak tergantung dua
buah benda berbentuk aneh. Yaitu bentuknya seperti
payudara, yang tergantung pada seutas rantai pada
kedua belah pinggangnya. Sepasang kakinya memakai
sepatu rumput yang terbelit dengan seutas tali menjalin betisnya hingga sampai ke ujung celana pangs hitam itu. Yang juga dibeliti oleh tali dari sepatu rumput itu. Sepintas saja
orang dapat mengenalnya, kalau gadis itu adalah orang dari kalangan Rimba
Persilatan. Wajah gadis itu ternyata amat cantik. Walaupun tanpa
dipulas oleh pupur atau gincu. Alisnya lentik menjulang ke atas. Melengkung bagai bulan sabit. Wajahnya
bulat telur, dengan sepasang mata yang bening. Hidung yang tak terlalu mancung. Sedangkan sepasang
bibirnya bagaikan gondawa. Dan seperti menampakkan senyuman menawan... Wajahnya menampilkan
seperti seorang gadis yang lugu. Namun ayu, dan
luwes. Sepintas saja orang memandang pasti tak akan
puas untuk memperhatikan lagi. Rambutnya panjang
terurai berwarna hitam legam. dan ikal bak mayang terurai... Ternyata dialah RORO CENTIL si Pendekar
Wanita Pantai Selatan. Yang telah menginjakkan kakinya didaerah itu. Langkahnya tidak terlalu cepat.
Bahkan kadang-kadang berhenti untuk melihat dan
mengagumi pemandangan alam disekitarnya. Angin
gunung yang lembut itu sesekali menyibak rambutnya,
membuat ikat kepala dan ujung bajunya melambailambai diterpa angin.
"Roroooo..!" Sebuah suara telah memanggilnya dari kejauhan. Segera ia palingkan
wajahnya ke arah
suara itu. Tampak alisnya agak menyatu melihat sesosok tubuh dikejauhan yang bergerak mendatangi. Dalam beberapa kejap saja orang itu telah tiba dihadapan Roro Centil. Dan sudah lantas berkata lagi.
"Roro,! Kau ada disini.." Ujarnya dengan wajah
berseri-seri. Pemuda itu berwajah tidak terlalu tampan.
Memakai pakaian warna putih, tapi berperawakan gagah. Sepasang matanya membersit tajam menatap Roro Centil. "Haii..! Kau rupanya Ginanjar..! Angin apa yang
meniupmu sampai kemari..?" Bertanya Roro dengan
menampilkan wajah terkejut, juga kelihatan senang
sekali. "Kaupun angin apa yang meniupmu sampai
kemari..?" Balik bertanya pemuda murid mendiang si Pendekar Bayangan Bayu Seta
itu, dengan mata tak
lepas menatap wajah ayu dihadapannya. Seperti ingin
rasanya ia untuk membelainya. Roro cuma tersenyum.
Diam-diam iapun menatap dan memperhatikan wajah
orang. Hingga dua pasang mata beradu saling tatap.
Ternyata sepasang mata si pemuda bernama Ginanjar
itu kalah dalam hal tatap-menatap. Karena sekonyongkonyong hatinya jadi berdebaran tak keruan rasa.
Tenggorokannya entah mengapa, tahu-tahu terasa se
Roro Centil 06 Lima Wajah Seribu Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perti kering. Ia cepat mengalihkan pandangannya ke
arah lain seraya alihkan pembicaraan.
"Pemandangan disini indah-indah, tentu saja
telah menarik perhatianmu untuk datang kemari, bukankah begitu Roro" Karena akupun amat mengagumi
keindahan, makanya juga datang kemari.." Ujar Ginanjar, memancing pembicaraan.
Karena ia tiba-tiba juga
kaku untuk bicara apa. Roro Centil kembali menampakkan senyumnya. Tapi kali ini bibirnya terbuka lebar hingga menampakkan sederetan gigi yang putih
bersih bak sederet mutiara. Roro Centil tertawa kecil
sambil manggut-manggut dan berkata:
"Benar! Aku memang tertarik melihat pemandangan indah didaerah ini. Tapi juga tertarik dengan
kisah aneh yang beritanya terdengar dari desa sekitar
Gunung Slamet ini..!" Ginanjar palingkan kepalanya
menatap lagi pada si cantik.
"Kisah apakah itu..?" Berkata si pemuda dengan wajah serius.
"Kisah hilangnya dua orang gadis dan seorang
pemuda secara misterius dari kedua desa..!" Ujar Roro.
Sementara sepasang matanya memandang sekitarnya.
"Nah..! Itu ada sebuah dangau tempat meneduh. Mari kita kesana untuk mengobrol..!" Katakatanya sudah dibarengi dengan gerakkan tubuhnya
yang melesat ke arah bawah. Ginanjar segera mengikutinya dengan rasa ingin tahu. Sebenarnya ia baru saja
tiba setelah berjalan semalam suntuk dari Lebak Barang mencari obat-obatan. Karena susahnya penginapan dan desa. Ia terpaksa menginap diperjalanan. Namun karena ingin cepat-cepat tiba di tempat yang dituju, ia telah melakukan perjalanan semalam suntuk.
Pagi subuh baru ia tiba di desa Baturaden. Beruntung
ada orang yang baik hingga ia bisa menumpang tidur
dalam beberapa kejap. Dan di saat ia keluar, matahari
baru menggelincir dari lereng Gunung Slamet. Saat ia
keluar untuk menghirup udara segar itulah, ia menjumpai Roro Centil.
Sebentar saja. kedua orang muda-mudi itu telah duduk berhadapan di bawah gubuk kecil tempat
beristirahat para petani atau peladang itu. Segera Roro Centil menuturkan apa
yang telah didengarnya dari
seorang penduduk di sebuah desa, mengenai peristiwa
aneh itu. "Aku beranggapan hal itu adalah bukan perbuatan pemuda bernama Jembawan itu. Pasti ada orang
lain yang memang sengaja memancing kekeruhan..!"
Tutur Roro Centil dengan pasti. Sementara Ginanjar
manggut-manggut dengan penuh perhatian. Tampaknya ia serius benar untuk mendengarkan penuturan
Roro itu namun sesungguhnya fikirannya entah menerawang kemana. Karena bukan cerita itu yang ia dalami, namun ia cuma memperhatikan gerak-gerik gadis
ayu dihadapannya. Dan bibir mungil itu yang terbuka
dan terkatup mempesonakan... Bahkan sekali-sekali
Ginanjar menelan ludah saking terpesonanya. Entah
dari mana tahu-tahu seekor lalat telah mampir ke mulut pemuda itu, yang agak setengah terbuka.
"Ahk! Ahk!... Kurang ajar..!" Setan alas..!" Memaki Ginanjar sambil terbatukbatuk. Namun rupanya
sang lalat telah masuk tertelan kedalam tenggorokannya. Karuan saja Roro Centil jadi mengikik geli, hingga terpingkal-pingkal
saking lucunya. Wajah Ginanjar jadi tampak merah karena malunya. Dan tiba-tiba
saja ia telah muntah-muntah karena tak tahan menahan rasa
mual diperutnya.
"Hi hi hi... hi hi.. Lucu sekali..! Makanya jangan terlalu lebar buka mulutnya,
jadi.. jadi... Hi hi hi... hi hi...." Kembali Roro terpingkal-pingkal. Hingga
gubuk kecil itu bergoyang-goyang. Dasar memangnya dangau
itu sudah tua, maka tiba-tiba saja terdengar suara
berkreotan. Dan...
Brruaaak..! Robohlah dangau tua itu dengan
seketika. Roro Centil sudah melompat keluar. Namun
Ginanjar yang sedang mengurut-ngurut perutnya itu,
tak sempat lagi untuk memikirkan akan kejadian
mendadak itu. Hingga tak ampun lagi ia sudah tertindih oleh tiang-tiang bambu dan atap alang-alang.
"Celaka..!?" Terpekik pemuda itu. Namun sudah terlambat. Tubuhnya sudah teruruk
oleh alang-alang.
Ketika muncul lagi wajahnya hampir tak terlihat karena penuh dengan jerami. Karuan saja Roro Centil terpingkal-pingkal saking lucunya. Menyadari akan kebodohannya. tiba-tiba Ginanjar melesat cepat dari tempat
itu. Hingga sebentar saja ia sudah tak kelihatan. Roro Centil segera hentikan
tertawanya Mendadak kelucuan
itu segera sirna, melihat kepergian laki-laki dihadapannya. "Aih. Roro..! Kau terlalu sekali sih menertawakannya..!" Gumam Roro Centil.
Habis lucu sekali..! Aku terpaksa tak dapat menahan tertawa..! Bantah hatinya. Akhirnya Roro cuma
bisa menatap ke arah mana kepergian pemuda yang
masih saudara seperguruannya itu ketika di lereng Rogojembangan. Roro Centil menduga bahwa Ginanjar
pasti akan marah atau malu untuk menjumpai dia lagi, karena ditertawakan sampai keterlaluan. Sampai
nasib sial pagi-pagi sudah menyambangi. Sudah tertelan lalat, kerobohan atap gubuk lagi... Biarlah, nanti aku akan cari dimana ia
menginap. Aku yakin ia tidak
pergi buru-buru dari sekitar daerah ini. Dan aku akan
minta maaf..! Berfikir Roro Centil. Memikir demikian
Roro segera beranjak dari tempat itu.
Hari sudah menjelang tengah hari ketika Roro
tiba disebuah pasar. Sengaja ia berputar-putar di sekitar daerah itu untuk
menyelidiki keadaan. Entah beberapa desa ia masuki. Untuk mencari dengar adanya
tanda-tanda yang dapat memberi petunjuk tentang hilangnya ketiga orang desa yang misterius itu. Ketika
menampak adanya sebuah rumah makan. Ia segera
memasuki. Rumah makan itu cukup besar. Dan agaknya hari itu banyak pengunjungnya. Sepasang mata
Roro mencari-cari tempat yang masih kosong. Tampak
ia tersenyum, karena disudut ruangan itu, masih ada
sebuah meja dengan dua kursi yang masih kosong. Segera ia sudah beranjak kesana. Menampak adanya
pengunjung yang berwajah ayu ini, beberapa pasang
mata sudah lantas melotot kagum. Sampai-sampai
terdengar suara orang batuk-batuk, karena terselak
oleh sayur pedas yang masuk hidung. Keruan saja beberapa lelaki jadi berceloteh dengan kata-kata yang tak enak. "Hati-hati
bung..!" Makanya mata jangan terlalu lebar kalau melihat orang..!" Dan bermacam
kata-kata lainnya lagi, yang diselingi gelak tawa. Sedang kan Ro-ro Centil sudah
menggeser bangku untuk duduk, dengan diiringi seorang pelayan yang segera mendatangi
mejanya. "Mau pesan apa nona..?" Berkata sang pelayan.
Tapi belum lagi Roro menyahut telah terdengar suara
dari meja sebelah depan.
"Eh, pelayan, kau keterlaluan... Coba kesini dulu..!" Pelayan tua itu cepat menoleh. Ternyata seorang laki-laki brewok tengah
menggapainya. Karena yang
menggapainya itu tampak melotot, tentu saja ia buruburu meninggalkan meja tamunya, untuk segera terburu-buru beranjak. Namun masih sempat juga berkata: "Maaf, nona... Sebentar aku datang lagi..!"
"Coba kau lihat meja ini! Masak kotornya bukan main. Apa begini caranya kau melayani tamu... ?"
Berkata si brewok dengan keras, sambil menunjuk pada mejanya. Tentu saja tiga lelaki disekelilingnya jadi senyum-senyum ditahan.
Karena mereka tahu, si brewok sengaja menumpahkan nasi dan sedikit sayur
yang diacak-acak di atas meja. "Apakah tadi kau tak mengelap mejanya" Kalau aku
tidak merasa lapar sekali sejak tadi aku tak mau duduk disini..!" Sambungnya
lagi. "Oh, maaf... Dan, aku tak melihatnya..!" Berkata si pelayan, dan cepat-cepat
mengambil kain untuk
mengelapnya. Tapi diam-diam hatinya memikir: Rasanya ada sesuatu yang aneh" Sementara si brewok
sudah lantas beranjak dari bangkunya.
"Biarlah aku pindah saja ke tempat yang lebih
baik..!" Berkata si brewok seraya berpesan untuk
membawakan minuman baru lagi ke pada sang pelayan. Tentu saja kata-kata itu dengan bisikan perlahan. Roro tak palingkan wajahnya sedikitpun. Tapi diam-diam ia tersenyum. la sudah mengetahui akal
orang. Dan benar saja ternyata saat itu si brewok tampak mendatangi mejanya. Menyeret kursi dan duduk
dibangku kosong dihadapan Roro Centil.
"Boleh aku duduk disini, ngng... nona..?" Berkata si brewok sambil tersenyumsenyum. Sementara
sepasang matanya merayapi wajah orang dihadapannya. Roro anggukkan kepala sambil matanya menatap
tajam pada si brewok. Laki-laki ini walaupun tampangnya kasar, tapi cukup hormat juga dan tidak kurang ajar." Berfikir Roro.
"Pesan apa..?" Bertanya lagi si brewok setelah berfikir sebentar.
"Belum sempat..!"
"Ooooh..!?" Laki-laki brewok itu menyongkan
mulutnya, hingga kumisnya yang berbulu kasar itu jadi ikut terbawa kedepan. Roro sengaja menahan dari
rasa gelinya, karena ia melihat orang itu agak lucu.
"Pelayan..!" Ia sudah keluarkan bentakannya
dengan suara keras. Hingga semua orang jadi menoleh
padanya. Tergopoh-gopoh sang pelayan yang memang
tengah melangkah kesana, jadi mempercepat jalannya
seperti setengah berlari. Namun kembali memperlambat jalannya, kalau tak ingin gelas yang berisi kopi panas itu menjadi tumpah.
Tampak si brewok gelenggelengkan kepala. seraya berkata:
"Kalau jadi jongos harus kerja dengan cepat
dan gesit. Jadi pengunjung tak kecewa..!" Si pelayan tua itu hanya angguk
anggukkan kepala.
"Non... nona pesan apa..?" Berkata si pelayan setelah meletakkan segelas kopi
yang dibawanya itu
dihadapan si lelaki brewok.
"Pesanlah apa saja yang kau mau, nona. Biar
nanti aku yang bayar..!" Si brewok sudah mendahului berkata. Sementara tiga
orang kawannya dimeja depan
terdengar tertawa geli tertahan. Tiba-tiba entah dari
mana telah terdengar suara suitan. Si brewok ini agak
melengak dan wajahnya berubah merah. Belum lagi ia
berbuat sesuatu telah terdengar tepukan ramai dari
meja disudut kanan, disertai teriakan...
"Hidup, Warok Brengos, si Pisau Terbang dari
Madura...!" Dan suara riuh tepukan tangan pun kembali terdengar.
"Sayang pisaunya cuma tinggal satu..! Tumpul
lagi..!" Terdengar suara teriakan santar dengan suara nyaring, dibarengi dengan
suara mengikik tawa dari
dua orang wanita yang baru turun dari ruang atas. Keruan saja semua mata tertuju pada kedua wanita itu.
Mata Warok Brengos seperti mau melompat keluar melihat siapa adanya kedua wanita itu.
"Perempuan-perempuan tengik itu selalu cari
gara-gara..." Menggumam si brewok, tapi ia kembali duduk. Walaupun banyak orang
tertawa mendengar
kata-kata yang agak kurang sopan itu.
"Maaf, nona... Rupanya disini banyak kecoakecoanya yang mengganggu aku. Nanti selesai minum
akan kuberi pelajaran orang yang telah kurang ajar
itu..!" Eh.. Mana pelayan itu.." Apakah kau sudah pesan makanan, nona..?"
Bertanya Warok Brengos dengan terkejut. Karena ia tak melihat ada pelayan disitu.
"Sudah..! Aku sudah pesan sejak tadi!" Menyahut Roro. Rupanya di saat suara teriakan den tepukan
macam-macam itu. Roro sudah bisiki ditelinga si pelayan untuk membawakan pesanannya. Dan sang pelayan segera pergi. Namun karena merasa mendongkol
pada para pengunjung di dalam kedai itu, ia sampai
tak melihat lagi kalau si pelayan sudah ngeloyor lewat dihadapannya. Sementara
itu, begitu dua wanita itu
turun. Segera saja dua buah kursi dikosongkan orang.
Dan seorang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian mewah, tampak mengajaknya
bercakap-cakap. Diselingi gelak tawa cekikikan kedua
wanita itu... Dua orang yang ternyata adalah murid laki-laki itu segera beranjak keluar. Diam-diam Roro
Centil terkejut juga. Sekilas saja ia sudah dapat perhatikan bahwa para
pengunjung restoran atau boleh dibilang kedai besar itu, adalah kebanyakan dari orangorang kaum Rimba Persilatan. Ada apakah mereka bisa berkumpul di tempat ini.." Membatin Roro Centil.
Sambil menunggu hidangan, Warok Brengos sengaja
mengajak bercakap-cakap pada Roro dengan suara
agak keras. Dan lagak si laki-laki brewok ini mendadak berubah seperti tak
perduli pada semua orang yang
berada di situ.
"Nona pesan apa" Ko' lama sekali.." Berkata
Warok Brengos. "Tentu saja, aku pesan seratus tusuk sate... Satu gelas kopi susu, dan dua piring nasi putih..!"
"Ha..! ?" Seratus tusuk.. "! Apakah kau bisa habiskan sebanyak itu... atau kau
mau bawa pulang,
nona..?" Berkata Warok Brengos dengan kaget, hingga sampai terlonjak dari
kursinya. Diam-diam ia menghi-tung uang dalam saku di benaknya. Mati aku..! Uangku tak cukup untuk membayar sebanyak itu..! Berkata ia dalam hati. Roro agaknya telah memaklumi
akan kegelisahan orang. Maka ia sudah lantas mau
berkata.. tapi sudah terdengar suara orang yang berkata: "Jangan khawatir nona..! Aku yang bayar se
Roro Centil 06 Lima Wajah Seribu Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mua termasuk kawanmu itu. Ha ha ha... baru seratus
tusuk sate sih bukan apa-apa..!" Dan terdengar geme-rincing bunyi uang dalam
kantung yang diguncangguncang. Ternyata yang berkata adalah laki-laki berpakaian mewah disudut dekat tangga itu. Yang duduk
bertiga dengan dua wanita tadi. Wajah Warok Brengos
merah padam. Ia merasa terhina sekali. Apalagi didengarnya suara dua orang wanita yang tertawa cekikikan.
Membuat telinga si brewok jadi panas. Saat itu si pelayan telah datang dengan tergopoh-gopoh membawa
pesanannya. Dan dengan cepat segala pesanan Roro
sudah terhidang di atas meja.
Warok Brengos menelan ludahnya. Bau sate
kambing yang sedap itu telah merangsang hidungnya,
hingga terlihat kembang-kempis.
Roro meneguk sedikit kopi susunya. Lalu berkata berbisik pada si brewok:
"Eh, sobat Warok..! Ayo kau santap makanan
gratis ini. Aku memang sengaja memesan sebanyak ini
untuk kita berdua.." Tentu saja suara Roro tak terdengar oleh siapa-siapa,
karena Roro telah mempergunakan tenaga dalamnya, hingga cuma si brewok itu yang
mendengarnya. Mata si brewok jadi mendelik kaget,
karena hal itu di luar dugaannya. Tapi Roro sudah kedipkan mata untuk jangan sungkan-sungkan. Tampaknya si brewok ini mengerti dengan tanda itu. Dan
tanpa komentar lagi ia sudah seret kursinya lebih dekat. Mencuci tangannya. Mengelapnya dengan serbet.
Dan tak ayal lagi langsung mengganyang santapan itu
tanpa malu-malu. Terdengarlah suara riuh tepuk tangan, dan teriakan-teriakan Disertai oleh gelak tawa
terpingkal-pingkal dari sekelilingnya. Namun Warok
Brengos sudah tak perduli lagi.
Setelah kenyang sampai beberapa kali bertahak. Warok Brengos mengurut-urut perutnya yang
buncit, terdengar ia berkata keras:
"He he he... Terimakasih sobat Guriswara..! Kalau tidak karena nona ini, tak nantinya kau mentraktir aku. Ha ha he he he..!"
Terdengar beberapa orang memuji pada sikap si Brewok itu yang tanpa malu-malu
menyantap makanan yang justru tadinya ia yang mau
mentraktir orang... malah kini berbalik di traktir oleh si laki-laki berpakaian
mewah itu. Sementara ketiga
kawan si Brewok yang tadi semeja dengannya, tampak
seperti mengiri akan nasib orang. Yang sebentar saja
tampak sudah akrab dengan gadis cantik yang lugu
itu. "Eh, terimakasih atas jasamu itu, nona..! Ngng..
kau sudah tahu namaku, tapi aku sendiri belum mengenalmu. Kalau boleh tahu siapakah nona ini" Dan
akan kemana tujuannya?" Berbisik Warok Brengos.
"Ah, namaku sangat jelek. Apa perlu diberitahu..?" Berkata. Roro. Sementara suara teriakan yang hingar bingar itu sudah
lenyap lagi. Dan beberapa
orang sudah tampak keluar dari kedai besar itu.
"Memangnya kenapa ?" Apa khawatir aku
mengkambing hitamkan namamu " Aku tak ada bermaksud jahat padamu nona. Percayalah! Aku orang
baik-baik..!" Berbisik si Brewok. Sementara sudut matanya menatap ke arah lakilaki bernama Guriswara.
yang mentraktir sate itu.
"Tapi kau harus hati-hati pada orang yang
membayarkan makananmu. Dia sudah kesohor hidung
belang terhadap wanita cantik..!" Bisik lagi Warok
Brengos. Roro cuma mengangguk-anggukkan kepala
sambil leletkan lidah. Dan basahkan bibirnya dengan
beberapa teguk air putih. Lalu keluarkan sapu tangannya, untuk mengelap sepasang bibir mungil itu.
"Namaku Roro Centil..!" Segera Roro perkenalkan namanya dengan singkat.
"Tujuanku adalah mencari tahu tentang peristiwa lenyapnya dua orang gadis dan satu pemuda bernama Jembawan. Ketiga orang itu telah hilang secara
misterius... Sambung Roro dengan perlahan. Tampak
wajah Warok Brengos berubah kaget, dan tampaknya
ia terkejut sekali.
"Hah" Ja.. jadi nona adalah si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu.." Oh... Maafkan aku yang bodoh
ini, nona Pendekar. Tak tahu kalau Gunung Mahameru berada didepan mata..!" Berkata Warok Brengos
sambil menjura hormat.
"Aih... sobat Warok, mengapa kau terlalu menyanjung namaku" Aku jadi malu hati menerima hormatmu..! Tukas Roro dengan wajah tersenyum, namun
diam-diam ia terkejut juga karena nama Roro Centil
ternyata telah dikenal disetiap pelosok. Pada saat itu ketiga dari kawan Warok
Brengos telah menghampiri.
Sambil cenger-cengir merubung di kiri kanan dan belakang si Brewok.
"He..Warok! Bagi-bagi aku kalau dapat rejeki,
jangan dimakan sendiri..!" Berbisik yang dibelakang.
Sementara yang dua orang tampak melihat Roro dengan kagum, seperti memandang sebuah boneka saja.
Tiba-tiba saja si Brewok bangkit dari kursinya, seraya memberi isyarat untuk
segera mengikutinya. Tentu sa-ja ketiganya jadi terheran, dan dengan cepat
mengiku- tinya. Ketika tiba-tiba diluar...
"Hm, dengarlah kalian sobat-sobatku. Bicaramu jangan terlalu kurang ajar. Apakah kau tak mengetahui kalau nona yang ada didekatku itu adalah si
Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil.."!" Ternyata Warok Brengos telah
bicara dengan suara keras.
"Hayo, segera kau minta maaf padanya..! Berkata Warok lagi. Adapun ketiga orang kawannya jadi
terkejut bukan main mendengar penjelasan itu. Dan
tak lama kemudian mereka segera kembali ketempat
duduk Roro... Akan tetapi mereka jadi terkejut, karena tahu-tahu bangku disudut
itu telah tak ada orangnya.
Alias kosong. Sang Pendekar Wanita Pantai Selatan itu
ternyata telah lenyap tak berbekas.
"Heh.."! Kemana nona Pendekar itu.." Wah!
Wah! Tentu sudah pergi dengan diam-diam. Agaknya
tak ingin banyak orang melakukan penghormatan padanya. Enam orang yang berada dimeja sebelah kanan,
juga telah menghampiri. Ternyata keenamnya juga
termasuk kawan-kawan Warok Brengos.
"Apa kalian tak lihat kemana perginya Pendekar
Roro Centil, yang tadi duduk bersamaku..?" Bertanya si Brewok.
"Entahlah... Tadi begitu kau keluar kami semua
melihat kearahmu. Ketika kami berpaling lagi, nona itu telah lenyap..!"
Menuturkan salah seorang.
"Hah.." Jadi dia Pendekar Wanita yang kesohor
aneh dan berkepandaian tinggi itu.." Menyesal tak sedari tadi kami tahu..." Berkata kedua dari enam orang kawan si Warok Brengos.
Gemparlah semua orang
yang berada direstoran. Masing-masing membicarakan
nona pengunjung yang telah lenyap itu. Bahkan ada
juga yang bercerita sempai berlebih-lebihan mengenai
kehebatan si Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro
Centil. Kemanakah perginya Roro Centil.." Ternyata di
saat Warok Brengos meninggalkan mejanya. Sebuah
benda melayang cepat sekali ke arah Roro Centil, dari
arah jendela. Dengan terkejut Roro menyambar cepat
dengan gerakan tangannya. Ternyata benda itu adalah
segulung kertas kecil yang bertulisan. Roro belum
membuka seluruhnya, tapi tubuhnya telah bergerak
melesat keluar dari jendela. Masih terlihat siapa yang telah melemparkan benda
itu. Yaitu sesosok tubuh
yang berkelebat cepat ke ujung pasar. Dan membaur
dengan simpang siurnya manusia yang berbelanja. Roro agak susah untuk menyusulnya. Dan ia benarbenar telah kehilangan jejak. ketika lorong-lorong bun-tu membuatnya kikuk untuk
mengambil arah. Akhirnya ia melompat ke atas genting sebuah bangunan.
Dari sana ia dapat memandang ke sekelilingnya. Namun tak ada tanda-tanda mencurigakan. Segera ia melompat lagi kebawah. Dan berkelebat ketempat yang
agak sunyi. Disana ia perhatikan dulu keadaan sekitarnya. Baru ia membuka kertas kecil bertulisan itu.
Dan apa yang tertulis dikertas itu membuat ia terkejut.
RORO...! Aku telah menemui jejak tiga orang
aneh yang mencurigakan.
Pergilah ke arah sebelah barat. Disana dapat kau jumpai sebuah kuburan kuno yang
besar. Dihadapannya ada terdapat patung katak raksasa.
Hati-hatilah...!
GINANJAR Demikianlah isi surat dikertas kecil itu. Roro
kerutkan keningnya. Dan segera remas surat kecil itu.
Hatinya membatin: Hm... Kiranya Ginanjar masih mau
juga turut membantuku. walaupun tak mau bertemu
muka. Tampak wajah Roro menampilkan senyumannya. Dan tiba-tiba ia sudah berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
3 Kuburan kuno di lereng Mahameru itu memang
sebuah tempat yang tersembunyi. Rimba belantara
dan bukit terjal terdapat disekelilingnya. Pelataran kuburan kuno itu ternyata
amat luas. Berlantai putih.
namun agak kotor tak terawat. Sedang pada sisi sebelah kanan terdapat patung seekor katak besar yang
tengah mengangakan mulutnya. Tiga sosok tubuh
tampak duduk bersila dihadapan patung katak yang
tampak menyeramkan itu. Dua orang wanita, yang satu adalah seperti seorang gadis yang sudah kadaluwarsa, alias perawan tua. Sedang yang seorang lagi
adalah seorang gadis yang berwajah pucat. Sedangkan
orang ketiga adalah seorang pemuda yang cukup tampan, umurnya sekitar dua puluh lima tahun. Ketiganya
tampak tengah bersemadi dengan khusuknya... Sementara itu dari kejauhan tampak terlihat dua orang
telah berkelebat mendatangi kuburan kuno itu. Hebat..! Ternyata kedua orang itu adalah orang cacad.
Yang seorang sebelah kakinya putus sebatas paha.
Dan pergunakan sebuah tongkat kayu untuk menyangga tubuhnya. Namun ternyata dapat berlari dengan cepat seperti itu adalah luar biasa. Sedangkan
yang seorang lagi kedua belah lengannya yang buntung. Tapi gerakan larinya tidak merasa menjadi hambatan baginya. Sebentar saja kedua sosok tubuh itu
telah tiba di pelataran makam yang luas itu. Ternyata
kedua manusia itu berwajah amat buruk, seperti bekas
terluka, Atau terkena goresan goresan senjata tajam.
Bahkan yang seorang lebih menyeramkan lagi. Karena
lubang hidungnya sudah growong. dan bibirnya terbelah dua. Mendengar ada orang mendatangi, ketiga
orang yang tengah bersemadi itu segera membuka matanya. Si gadis kadaluwarsa itu terlebih dulu berdiri dan menjura hormat pada
kedua pendatang itu. Serta
beranjak menghampiri seraya berkata:
"Ah! Kakang Kala Munget dan Kala Wesi..! Bagaimana dengan pengintai si pencari rumput itu" Apakah kalian berhasil membunuhnya?" Salah seorang
tampilkan wajah kecewa, dan berkata dengan kesal:
"Bocah keparat itu berhasil lolos! Dia telah menerjunkan dirinya ke sungai, hingga kami yang tak dapat berenang, terpaksa membiarkan ia melarikan diri
keseberang. Huh! Setan alas..!"
Tampak si gadis kedaluwarsa itu naikkan alisnya, dan menghela napas.
"Sayang..! Aku khawatir dia dapat membocorkan tempat rahasia kita... sebelum waktunya!" Berkata si gadis kedaluwarsa itu.
"Hm, kapan kau bisa dapatkan kulit yang cocok
dengan kami" Rasanya aku sudah tak sabar lagi..!"
Berkata si bibir terbelah alias Kala Wesi. Tampak si
gadis kedaluwarsa itu tersenyum, dan sahutnya:
"Sabarlah, kakang! Tidak terlalu mudah mencari ukuran wajah, dan darah yang sama seperti yang di
inginkan! Hari ini aku akan pergi mencarinya. Tapi aku harus menunggu perintah
ketua dulu..!"
"Aku harus segera menghadap beliau. Hal ini
harus kulaporkan dengan segera!" Berkata Kala Munget yang berwajah seperti
dicakar kuku-kuku tajam
tak keruan rupa.
"Ah! " Jangan dulu, kakang Kala Munget..! Beliau sedang.. sedang.." Si gadis kadaluwarsa ini tak teruskan kata-katanya,
karena sekonyong-konyong wajahnya berubah merah.
"Sedang apa..?" Bertanya Kala Munget. Sementara si bibir terbelah Kala Wesi tampak menyeringai
mulutnya. dan berkata:
"Sudahlah! Aku tahu..! Pokoknya sedang "Bersemadi". begitu! Iya kan..?" Si gadis kadaluwarsa ini manggut-manggut dan
menjelaskan lebih jauh bahwa
sang Ketua tidak mau diganggu. Pada saat itu kedua
laki-laki dan wanita yang duduk bersemadi itu telah
melompat menghampiri. Keduanya memang cukup
tampan dan cantik. Membuat Kala Munget dan Kale
Wesi jadi mengiri.
"Hm! Siti Jenang..! Kau harus dapatkan wajah
yang tampan untuk aku, dan adik Kala Wesi ini..! Berkata Kala Munget.
"Hi hi hi... Jangan khawatir. Pasti tak lama lagi akan kudapatkan. Asal kalian
mau bersabar menunggu..!" Menyahuti si gadis kadaluwarsa, yang bernama Siti
Jenang. Selanjutnya mereka duduk bercakap-cakap dengan suara perlahan. Entah apa
yang dibica- rakan. Namun sekali sekali Siti Jenang selalu merah
mukanya. Dan ketiga orang itu tertawa. Sementara itu
dibalik semak, enam sosok tubuh tengah mengintai
keempat orang yang sedang duduk bercakap-cakap
itu. Ternyata tak lain dari Telo Moyo. Jagoan dari desa Belimbing Wuluh, bersama
lima orang lainnya. Tapi
Roro Centil 06 Lima Wajah Seribu Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kedua orang tampaknya bukan orang sembarangan. Karena kedua laki-laki itu memang dua tokoh
persilatan yang cukup punya nama dikalangan Rimba
persilatan. Sedangkan yang tiga orang lagi adalah
Bendoro Kelud. alias pak Kuwu desa Belimbing Wuluh.
Kebo Pawon. Dan Sugita, dari desa Nongko Jajar. Ternyata pelacakan tentang lenyapnya tiga orang penduduk desa Belimbing Wuluh dan desa Nongko Jajar terus dilakukan. Dua tokoh persilatan yang berilmu
tinggi itu adalah sahabat baik Telo Moyo. Yang sengaja disambangi untuk mencari
jejak ketiga orang yang hilang secara misterius itu. Karena adanya berita baru
dari seorang penduduk yang membuka dua mayat terapung disungai. Sayang mayat itu kulit mukanya telah terkelupas mengerikan. Hingga tak dapat dipastikan siapa adanya...
Telo Moyo yang penasaran segera mengajak tiga
orang yang kehilangan anak itu untuk membuktikan
siapa kedua mayat tersebut. Tapi dengan terlebih dulu
menghubungi kedua tokoh persilatan itu. Sayang, mereka tak dapat menemukan kedua mayat tersebut,
yang mungkin telah terhanyut. Namun pelacakan terus dilakukan hingga ke hulu sungai, di lereng Gunung. Kedua laki-laki tokoh Rimba Persilatan itu ternyata mempunyai pendengaran yang hebat. Ia dapat
mengetahui adanya orang yang tengah berlari tak jauh
dihadapannya. Ternyata benarlah. Ketika ia berkelebat
untuk melihat. Ternyata seorang laki-laki dengan pakaian basah kuyup tengah berlari tidak terlalu cepat
mendatangi. Orang itu ternyata Ginanjar adanya. Yang
baru saja berhasil meloloskan diri dari kejaran Kala
Munget dan Kala Wesi. Mengetahui orang-orang itu
adalah hendak mencari jejak tiga orang penduduk desa
yang hilang misterius, Ginanjar jadi terkejut. Karena ia memang telah melihat
ciri-ciri yang diberitahukan Ro-ro mengenai ketiga orang yang hilang itu. Dan
dua di- antaranya ia dapat mengenali. Sayang pengintaiannya
telah diketahui oleh Kala Munget dan Kala Wesi... Ginanjar yang memang tengah mencari rumput-rumput
obat-obatan di lereng Gunung itu. secara tak sengaja
telah menemukan sebuah kuburan kuno di tempat
tersembunyi itu. Kedua tokoh persilatan itu yang ternyata berjulukan Pendekar Kembar, jadi terkejut mendengar penuturan Ginanjar. Dan tanpa dapat dicegah
lagi. mereka berniat menyelidiki. Sedangkan Ginanjar
yang memang berniat menghapus malu terhadap Roro
Centil, menemukan jalan yang bagus. Ia segera mencari si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Dan berhasil menjumpainya. Dan melalui
jendela rumah makan itu,
ia melemparkan surat petunjuk padanya.
Demikianlah... Hingga keenam orang itu berhasil menemukan kuburan kuno di tempat yang tersembunyi itu. Dan beberapa pasang mata segera meneliti
wajah-wajah kelima orang yang tengah duduk bercakap-cakap dipelataran makam kuno itu, dekat sebuah
patung seekor katak besar. Yang terlebih dulu bicara
adalah Kebo Pawon.
Sepasang matanya tak lepas dari wajah seorang
wanita yang duduk dekat si gadis kadaluwarsa itu.
"Ah..! " Benar, tak salah. Gadis itu wajahnya
mirip benar dengan Serandil anak gadisku yang hilang
itu... Tapi, apakah benar dia..?" Desis Kebo Pawon perlahan. Sedangkan Sugita
yang dari desa Nongko Jajar,
ternganga mulutnya karena ia telah melihat adanya
Jembawan. Anak laki-lakinya yang duduk bercakapcakap. Adapun Telo Moyo terkejut bukan main, karena
melihat adanya Siti Jenang, si gadis kadaluwarsa alias perawan tua. Yang
ternyata juga berada diantara mereka. Dan pak Kuwu alias Bendoro Kelud tampak
ke- cewa, karena tak dapat melihat adanya anak gadisnya
yang bernama Sekar Tanjung, di antara kelima orang
itu. Pendekar Dewa Kembar memberi isyarat pada
keempat orang kawannya agar hati-hati berbisik. dan
tidak terlalu gaduh. Akan tetapi Kebo Pawon sudah tak
dapat menahan sabarnya lagi... Tiba-tiba ia telah melompat keluar dari tempat persembunyiannya seraya
berteriak: "Serandiiiil! Oh! Serandil anakku..!" Dan dengan berlari-lari jatuh bangun ia
merosot turun dari
tempat ketinggian itu untuk mendatangi kelima orang
itu. Pendekar Dewa Kembar dan yang lainnya jadi terkejut. Namun sudah terlambat. Kebo Pawon telah tiba
di pelataran Kuburan Kuno itu. Tentu saja kelima wajah yang sedang bercakap-cakap itu jadi terkesiap.
Dan serentak sudah melompat bangun.
"He!" Orang tua dari mana kau bisa datang ke
tempat ini"!" Bentak Kala Wesi. Namun Kebo Pawon
tak menghiraukan bentakan itu. Ia sudah berlari untuk menubruk gadis disebelahnya Siti Jenang, berteriak dengan air mata bercucuran.
"Serandil..! Kau ada disini anakku..?" Tapi tiba-tiba laki-laki tua itu jadi
terhenyak. Dan menahan
langkahnya. Wajahnya menampakkan keraguan.
"Tubuhmu tampak berbeda anakku.." Dan muka mu agak pucat! Apakah kau bukan Serandil" Tapi..
tapi.." Kebo Pawon tak dapat meneruskan katakatanya. karena satu tendangan keras membuat tubuhnya terjungkal keluar pelataran. dengan teriakan
ngeri... Kurang ajar! Kau harus dibunuh mampus, berani menginjakkan kaki ketempat ini..!" Bentak Kala Wesi. Ternyata ia telah
mengayunkan kakinya ke arah
dada laki-laki tua itu. Akibatnya ternyata amat mengerikan. Kebo Pawon terkapar ditanah dengan darah menyembur dari mulutnya. Namun ia masih berusaha
bangkit. Bibirnya menyeringai menahan sakit sepasang
matanya mendelik menatap kelima orang di hadapannya. Namun tak berapa lama ia sudah roboh kembali
ke bumi, untuk melepaskan nyawanya. Terkejutlah si
Pendekar Kembar dan ketiga orang di tempat persembunyiannya. Perbuatan keji yang berlangsung didepan
mata itu, benar-benar membuat mereka tersentak kaget. Tentu saja hal demikian membuat kelima orang di
pelataran makam itu segera mengetahui adanya beberapa orang yang mengintai. Terdengarlah bentakan dari Kala Munget. Tubuhnya sudah berkelebat cepat ke
arah tempat persembunyian mereka. Tidak itu saja.
Keempat orang kawannya sudah berkelebatan ketempat itu. Kini lima pasang mata dari penghuni Kuburan
Kuno itu telah menatap dan menyapu wajah wajah
orang dihadapannya. Melihat Kala Munget dan Kala
Wesi yang bertubuh cacad, dan bertampang buruk itu,
terkejutlah si Pendekar Kembar. Sedari tadi iapun tengah mengingat-ingat akan siapa adanya kedua orang
bertampak buruk yang menyeramkan itu. Adapun Sugita, laki-laki tua berbaju putih dari desa Nongko Jajar segera terpekik melihat
adanya Jembawan ditempat
itu. "Jembawan..! Apakah kau tidak mengenali ayah
mu lagi, anakku..?" Teriaknya, walaupun sepintas ia agak aneh menatap sikap anak
laki-lakinya yang tampak pucat itu. Lengannya menunjuk pada laki-laki
berbaju hitam yang tampan itu. Yang ditanya tersenyum kaku. Terdengar dengusan dari hidungnya.
Agaknya ia tak mau memberikan jawaban. Tapi palingkan wajahnya pada Siti Jenang disebelahnya.
"Hi hi hi... Agaknya kau orang tuanya laki-laki
yang bernama Jembawan..!" Berkata Siti Jenang. Dan sambungnya lagi:
"Wajah kawanku ini memang mirip dan sama
dengan Jembawan anakmu, orang tua. Tapi sayang..
dia bukan Jembawan!" Telo Moyo melompat kedepan
dengan menghunus golok besar yang dibawanya. Wajahnya menampilkan kemarahan Dan ia sudah membentak dengan suara keras...
"Siti Jenang..! Jangan kau main sandiwara. Apa
artinya semua ini.." Kau kira aku tak dapat mengenalimu! Aku memang agak curiga dengan tindak tandukmu..! Bukankah kau anak angkatnya Manguni "
Asal-usulmu tidak jelas. Kau pernah akrab dengan para gadis remaja. Dan sering mengajak mandi di Sendang, di desa Belimbing Wuluh. Aku yakin kau pasti
terlibat dengan hilangnya tiga orang penduduk dari
kedua desa. Kini dua diantara orang yang hilang itu
ada disini..! Tapi adalah aneh kalau sampai keduanya
tak mengenali lagi kedua orang tuanya. Apakah artinya
semua ini..?"" Mulut Telo Moyo nyerocos tak terben-dung. Memang orangnya
berwatak kasar, dan bekas
seorang penjahat yang sudah kembali sadar. Siti Jenang tampak perlihatkan wajah tenang. Namun Kala
Wesi sudah membentak dan melangkah tiga tindak.
Clik! Clik! Dua buah pisau berkilatan telah tersembul dari masing-masing ujung sepatunya, yang
terbuat dari besi. Tapi Siti Jenang telah cepat-cepat
berkata: "Biarlah kuberikan penjelasan pada manusia
manusia yang bakal mampus ini, Kala Wesi.." Kala
Wesi palingkan kepala pada Siti Jenang. Terdengar ia
mendengus, namun segera melangkah lagi mundur
dua tindak. "Hm. baik..! Aku akan jelaskan kalau kalian ingin mengetahui..! Aku memang telah menculik ketiga
orang dari dua desa di bawah bukit itu. Dua diantaranya telah ku kuliti mukanya. Dan seperti kalian lihat. Kulit-kulit wajah kedua laki-laki dan wanita itu telah terpasang pada
orang-orang disebelahku.! Hi hi
hi.." Tutur Siti Jenang dengan suara tegas. Penjelasan itu membuat semua orang
dari pihak pelacak itu jadi
terkesiap. Adapun Sugita, orang tua Jembawan dari
desa Nongko Jajar itu seketika jadi mendeprok lemas.
Lututnya gemetaran. Sepasang matanya memancar berapi-api. Dan tampak air bening mengalir turun dari
sepasang matanya yang sudah mulai menggayut kebawah. Bendoro Kelud alias pak Kuwu tiba-tiba berteriak: "Perempuan iblis..! Kau.. kau apakan anakku Sekar Tanjung.."! Kau juga
telah menguliti wajahnya.."!" Tubuh laki-laki yang masih tampak keker ini
tergetar hebat. Ia sudah melangkah dua tindak menatap Siti Jenang.
"Hi hi hi... Sekar Tanjung tak akan dikuliti. Karena ia teramat cantik, dan diingini Ketua kami! kin selama beliau masih
menyukai, akan tetap hidup. Entah
kalau sudah bosan... Mungkin segera menyusul yang
lainnya ke Akhirat..!"
"Keparat..! Jadi dua mayat yang mengambang
di sungai itu adalah mayat dari Jembawan dan Serandil.."!" Teriak si Pendekar Kembar hampir serentak.
"Hm..! Sudah kuduga. Aku memang mencurigai
asal-usulmu Siti Jenang. Entah kau ini sebangsa manusia ataukah iblis, dapat berbuat sekeji itu..!" Berkata Telo Moyo. Dan ia
sudah memberi isyarat pada si Pendekar Kembar untuk menerjang.
"Hi hi hi... Aku hanya menjalankan perintah..!
Kami memang para iblis yang sebentar lagi akan mencabut nyawa kalian..!" Ujar Siti Jenang dengan wajah sinis. Telo Moyo tak dapat
menahan kemarahannya,
Dengan menggerung bagai harimau ia telah menerjang
si gadis kedaluwarsa itu. Disertai teriakannya...
"Kucincang tubuhmu perempuan setan..!" Dan
golok besarnya berkelebat membabat pinggang Siti Jenang. Namun sepasang tangan dari laki-laki berwajah
Jembawan itu telah bergerak menangkap. Terdengarlah suara berdenting keras.
Trang..! Golok besar Telo Moyo bagai menghantam benda keras. Hingga pada bagian yang tajamnya
telah gompal alias somplak lebar.
"Hah!?" Telo Moyo tersentak kaget. Dan mundur dua tindakan. Sepasang matanya berganti-ganti
menatap senjatanya dan sepasang tangan laki-laki
berwajah Jembawan itu. Segera dapat diketahui kalau
sepasang tangan lawan, sebatas sikunya terbuat dari
besi. Yang memang mirip dengan tangan manusia,
namun agak kaku.
"He he he... Aku dijuluki si Kelelawar Besi! Dulu kedua lenganku ini telah
dihancurkan orang dari golongan putih. Aku tak dibunuh, tapi telah disiksa setengah mati, yang menjadikan aku orang cacad seumur hidup..! Dendamku takkan pernah habis sebelum
melenyapkan setiap golongan kaum putih. Dan orang
pertama akan kubunuh adalah kau Telo Moyo. Aku
mengenalmu dulu sebagai seorang perampok. Tapi
nyatanya kau telah berpindah golongan. Bagus.! Aku
akan buat kau menderita terlebih dulu seperti aku,
yang telah kehilangan kedua lenganku, dan rusaknya
wajahku..! He he he.." Berkata si laki-laki berwajah Jembawan. Adapun Telo Moyo
jadi terperanjat. Seketika wajahnya berubah pias.
"Hah!?" Apakah kau Sawunggeni..?" Teriak Telo Moyo dengan suara tertahan.
"He he he... Benar! Nah! Bersiaplah kau untuk
segera merasakan saat sekaratmu!" Dan kali ini si kelelawar Besi telah
mendahului menerjang Telo Moyo
dengan terjangan ganas. Kakinya menjejak tanah, dan
tubuhnya melesat dengan lengan terpentang menyambar tubuh laki-laki bekas perampok itu.
Trang! Trang! Telo Moyo melompat kesisi sambil
hantamkan dua serangan goloknya sekaligus Namun
lagi-lagi goloknya terpental balik. Dan kembali bertambah gompalnya.
Saat ia gugup itu, tiba-tiba sebuah kepalan tinju besi telah menghantam dadanya. Terbeliak Telo
Moyo bagaikan tak percaya, karena lengan si Kelelawar
Besi itu dapat mulur satu setengah depa. Ia tak sempat berkelit lagi. Dan roboh terjungkal. Telo Moyo perdengarkan keluhannya.
Namun sekejap ia telah bangkit lagi dengan terhuyung-huyung... Dan otot-ototnya
kembali tegang. Ia telah. dapat menahan dan memulihkan lagi kekuatannya. Walau terasa dadanya agak
nyeri sedikit. "He he he... Telo Moyo! Lebih baik kau serahkan
saja sepasang lenganmu itu untuk kuhancurkan..! Ke
Roro Centil 06 Lima Wajah Seribu Dendam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lelawar Besi mengejek dengan senyum iblis.
"Keparraaat!" Teriak Telo Moyo. Dan kembali ia menerjang bagel kemasukan setan.
Goloknya membabat kiri dan kanan menabas pinggang lawan. Namun
kemana saja senjatanya berkelebat, selalu dapat tertangkis oleh sepasang lengan besi si Kelelawar. Sementara itu Pendekar Kembar telah mencabut pedangnya
dengan serentak. Dua sinar hijau segera terlihat dari
kedua benda ditangan si Pendekar Kembar. Kedua
manusia cacad berwajah buruk itu melompat mundur
tiga tumbak. Sepasang matanya menatap kedua pedang bersinar hijau ditangan laki-laki berwajah hampir serupa itu.
"Heh! Pedang Mustika Hijau..!" Desis Kala Munget yang berkaki satu.
"Benar..! Sepasang pedang itulah yang telah
membuat cacad kaki dan tangan kita..! Desis Kala Wesi yang kedua tangannya buntung.
"He he he... bagus! Kalian pasti murid si Sepasang Rajawali Putih. Pucuk di cinta ulam tiba..! Kami tak jauh-jauh lagi mencari
musuh yang telah membuat
kami cacad seumur hidup!" Teriak Kala Wesi dengan wajah semakin seram. Saat itu
terdengar desisan suara Siti Jenang: dibarengi dengan gerakan tubuhnya
yang melompat mendekati kedua orang cacad itu.
"Awas hati-hati dengan lawanmu, kakang Kala
Munget dan Kala Wesi. Aku dapat lihat sepintas. tampaknya kedua wajah pendekar ini cocok dengan ukuran wajah kalian. Hati-hati jangan sampai rusak. Dan
jangan sampai terbunuh. Siapa tahu darahnya cocok
dengan darah kalian. Hi hi hi... Aku jadi tak payahpayah mencarinya..!" Kala Munget dan Kala Wesi
manggut-manggut, dan tampak tersenyum menyeringai. "Ha ha ha... Boleh juga! Cukup tampan dan kelihatan gagah!" Bisik Kala Munget pada saudaranya.
"Dan sepasang Padang Mustika Hijau itu bisa
jatuh ketangan kita..!" Bisik Kala Munget lagi. Wajahnya berseri girang.
"Betul! Hayo kita menangkapnya hidup-hidup!"
Berkata Kala Wesi. Dan ia sudah tarik keluar kedua
lengan jubahnya, yang terbelit dipinggang. Sementara
si Pendekar Kembar telah melompat dua tombak kehadapannya. "Dua Siluman buntung..! Kiranya kalianlah
yang telah membantai habis orang-orang perguruan
Rajawali di Gunung Suket. Kami Gambir Anom dan
Gambir Sepuh memang murid dari Sepasang Rajawali
putih. Sayang kau terlalu pengecut. Dan bertindak keji selagi tak ada kedua
Guruku. Bagus..! Hari ini jangan
harap kau berdua dapat meloloskan diri..!" Akan tetapi kata-kata si Pendekar
Kembar tersebut telah disambut
dengan gelak tawa terpingkal-pingkal oleh Kala Munget dan Kala Wesi.
Sementara itu telah terdengar teriakan dari Telo
Moyo disebelah sana. Keadaan amat mengerikan. Karena kedua lengannya telah hancur terkena cekalan telapak tangan besi si Kelelawar Besi.
"He he he... Kini biji matamu akan kukorek keluar. Biar kau rasakan sakitnya..!" Teriak Sawunggeni yang berwajah Jembawan
itu. Dan kedua lengan besinya terjulur ke arah Telo Moyo yang terkapar mengerang kesakitan. Tapi pada saat itu, telah berkelebat sinar hijau menyambar
sepasang lengan keji itu.
Whusss! Sambaran pedang salah seorang dari si Pendekar kembar itu menemui tempat kosong. Karena si
Kelelawar Besi telah menarik lagi sepasang lengannya.
Di lain pihak, Kala Wesi dan Kala Munget masingmasing telah bergerak ke arah Pendekar Kembar. Mendengar bersyiurnya angin dibelakang punggung, Gambir Anom yang baru saja menggagalkan niat keji si Kelelawar Besi itu, segera balikkan tubuh. Ternyata Kala Wesi telah pergunakan
lengan jubahnya menyambar
pinggang. Dengan berteriak keras ia menghantam dengan pedang Hijaunya.
"Wesss! Kilatan sinar hijau berkelebat bagai
bayangan kilat. Namun lengan jubah Kala Wesi telah
berubah arah menyambar kaki. Kembali Gambir Anom
sambarkan pedangnya, sambil melompat tiga tombak.
Sebelah lengannya telah ia arahkan ke kepala Kale
Wesi. Segera menyambar angin keras yang disertai tenaga dalam hebat. Kala Wesi cuma perdengarkan dengusan di hidung. Dan gunakan lengan jubahnya mengebut ke arah serangan pukulan lawan. Akibatnya terdengar teriak tertahan Gambir Anom. Tenaga dalamnya ternyata jauh di bawah Kala Wesi dua tingkat. Tak
ampun lagi tubuhnya terlempar beberapa tombak.
Namun dengan berjumpalitan di udara, ia berhasil
menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Sementara itu
Gambir Sepuh telah menyambuti serangan tongkat
bercagak Kala Munget. Hebat serangan Kala Munget.
Karena nyaris saja kedua kaki Gambir Sepuh terbabat
putus, kalau ia tak cepat menyelamatkan diri. Demikianlah... sebentar saja suasana pertarungan berjalan
dengan seru dan tegang. Akan halnya Sugita dan Bendoro Kelud, mengetahui keadaan gawat. Segera diamdiam menyelinap untuk menyelamatkan diri. Tak ada
keberanian dari kedua penduduk desa itu untuk maju
turut menempur. Karena tanpa kepandaian yang berarti, samalah dengan mengantarkan nyawa saja. Akan
tetapi tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh kurus langsing ke arah mereka. Dan kedua laki-laki tua itu perdengarkan teriakan ngeri... Tubuhnya terjungkal dua
tombak. Dan saat berikutnya kedua orang yang malang itu telah tewas seketika. Dengan kulit punggung
hangus bergambar telapak tangan. Ternyata si gadis
berwajah Serandil itu yang telah menghantamnya dari
belakang. "Bagus adik Rimba Wengi.! Hi hi hi... Kalau tak
dibinasakan akan bertambah wabah ditempat kita ini."
Berkata Siti Jenang, yang juga telah kelebatkan tubuhnya ke tempat itu.
Sementara itu di dalam sebuah ruangan yang
remang-remang. Tampak dua sosok tubuh manusia
bergerak-gerak di atas sebuah batu persegi, beralas tikar pandan. Yang berada di
bagian atas ternyata adalah sesosok tubuh wanita, berambut panjang. Walaupun keadaannya tidak begitu terang. Namun dapat terlihat kalau wanita itu bertubuh padat dan berparas
cantik. Rambutnya terjuntai ke bawah. Ketika menggerek-gerakkan kepala dan tubuhnya... Sementara yang
berada di bagian bawah adalah sesosok tubuh laki-laki
yang boleh dikatakan seperti orang tak berdaya. Karena hanya tampak menggeliat geliat saja bagai merasakan sesuatu. Sementara keluhan-keluhan terlontar dari mulutnya dengan suara yang samar tidak begitu jelas. Akan tetapi anehnya wanita di atasnya itu terisak-isak hingga air matanya
sampai bercucuran menetes
deras. Selang beberapa saat tampak gerakan tubuhnya
semakin perlahan... Dan jatuhlah ia terjerembab disertai keluhannya. Sekonyong-konyong sepasang lengan
telah mendekapnya erat, hingga ia terasa sukar bernapas. Dan detik selanjutnya kedua tubuh itu telah sama-sama terdiam. Hanya desah menggebu itu yang
terdengar kian melirih.
Semilir angin dari lubang dinding ruangan yang
agak pengap itu menyeruak masuk. Hawa pengap itu
berubah agak sejuk. Perlahan-lahan wanita itu merosot dari tubuh yang tergolek seperti mati itu. Seonggok pakaian yang berada
disudut batu persegi itu telah
disambarnya. Dan dengan cepat telah dikenakannya
kembali. "He he he... Hebat! Jarang aku menjumpai kehebatan semacam ini..! Kau cukup memuaskan hatiku
bocah ayu..!" Terdengar suara serak bercampur tawa terkekeh. Dan laki-laki
berkumis serta berjanggut yang hampir semuanya memutih itu. bangkit dari batu
persegi. Ternyata sepasang kakinya buntung sebatas lutut. Tapi lebih aneh lagi adalah sepasang matanya mirip mata Serigala. Dengan pinggiran yang cekung menyipit. Melihat laki-laki itu telah bangun duduk. Si
wanita cepat mendekati. Tampak ia sempat menyeka
air matanya, dengan lengan bajunya.
"Sudahlah... Jangan menangis! Aku tak akan
membunuhmu selama kau mau melayaniku. Kelak
kau boleh tinggalkan tempat ini kalau aku sudah tak
membutuhkanmu lagi..!" Berkata laki-laki itu dengan suara dingin. Sementara
dengan menahan isaknya si
wanita memakaikan jubah si laki-laki itu, yang seperti manja saja. Suara
teriakan dan bentakan dari orang
yang bertarung diluar ruangan seperti tak dihiraukannya. Kiranya mereka berada didalam ruangan bawah
tanah di Kuburan Kuno itu. Laki-laki ini adalah yang
berjulukan si Mata Iblis. Ketua dari kelima orang yang tengah bertarung diluar
itu. "Heh heh heh... Murid-muridku dalam beberapa
gebrakan saja akan dapat menumpas tikus-tikus busuk yang coba menyatroni kemari..!" Terdengar gumamnya seorang diri.
4 Beralih sejenak pada perjalanan Roro Centil,
yang setelah mendapat petunjuk dari Ginanjar telah
berkelebat pergi dengan cepat. Namun baru antara tiga
puluhan kali kakinya menyentuh tanah. Pada sebuah
tempat yang datar. sesosok tubuh telah berkelebat
menghadang. Terpaksa Roro Centil hentikan tindakannya. Dan segera dapat melihat siapa yang menghadang. Ternyata tak lain dari si orang yang berpakaian
mewah, yang telah mentraktirnya makan sate bersama
Warok Brengos. Dari kata-kata si Brewok tadi ia dapat
mengetahui orang ini bernama Guriswara. Baru ia dapat menegasi wajahnya. Yang ternyata ia seorang lakilaki seusia 40 tahun. Berkulit putih. Wajahnya licin
tanpa cambang bauk. Namun alisnya hitam tebal.
Dengan sepasang mata yang agak kemerahan menyorot tajam. Bibirnya agak lebar. Dan wajahnya hampir
persegi empat. Anehnya laki-laki ini memakai kalung
mutiara seperti wanita. Bahkan juga sebelah anting
anting di telinganya. Ketika membuka ,segera tampak
barisan giginya yang besar-besar. Walau usianya sudah cukup larut. namun ia kelihatan masih sangat
muda. "Ha ha ha... Kita belum sempat berkenalan, mengapa anda terburu-buru untuk
pergi nona Pendekar Pantai Selatan..?" Berkata Guriswara.
"Aku Guriswara..! Kaum persilatan memberiku
gelar si Pemabuk Dermawan..!" Boleh aku mengenalmu lebih dekat, nona.. ngng...
Senopati Pamungkas I 4 Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung Anak Pendekar 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama