Ceritasilat Novel Online

Prahara Di Bukit Lumbung 1

Rajawali Emas 48. Prahara Di Bukit Lumbung Bagian 1


SENJA telah datang. Sinar matahari yang semula ganas menyerang, kali ini terasa redup. Ditambah dengan angin yang berhembus agak sejuk, membuat siapa pun enggan untuk tinggalkan senja yang begitu indah barang sekejap. Apalagi, berada di hadapan sebuah lembah yang dipenuhi pepohonan. Lembah indah dan menilik keadaannya, belum pernah dijejaki siapa pun juga. - Dua sosok tubuh berdiri di tepi lembah. Mata masing-masing orang yang berbeda jenis memandang lembah itu tanpa kedip. Dan tanpa mereka sadari kekaguman membias di hati keduanya. Menyusul, yang lelaki, yang berdiri di sebelah kanan berkata,
"Betapa indahnya...." Si perempuan melirik. Kilatan cinta kasih terpampang jelas di matanya. Cinta kasih tulus yang terpancar di sanubarinya, dan membias hingga ke bola mata indah yang pesonanya sukar untuk ditepiskan. Masih melirik, si Perempuan menyahut,
"Ya, alam memang banyak menyimpan keindahan sekaligus misteri yang tak pernah terpecahkan...." - Ganti si lelaki melirik dan tersenyum.
"Kau benar, Rayi.... Bila keadaannya seperti ini, kujadi enggan untuk lakukan kegiatan apa-apa."
"Ya, kakang. rasanya, aku ingin terus bermandikan cahaya senja matahari yang menyejukkan pandangan dari kalbu..." . "Tapi, kita tak bisa lebih lama lagi berada disini. Kita harus segera ke Kaki Bukit Lumbung. Menurut perkiraanku, besok adalah hari yang ditentukan oleh Kiai Pituluh, yang mengundang kita ke Kaki Bukit H.unubung...." Mendengarkata-kata si lelaki yang ternyata suaminya, perempuan yang mengenakan pakaian kulit ular itu terdiam. Bola matanya yang tadi pancarkan keceriaan, kini perlahan-lahan meredup. Wajahnya nampak murung. Jelas sekali kalau ada sesuatu yang dipikirkan dan tak akan pernah berhenti dipikirkannya sampai kapan pun juga. Lamat-lamat si perempuan yang memiliki rambut indah dikuncir kuda ini hela napas panjang. Di punggungnya terdapat sebilah pedang dengan warangka yang dibalut kulit ular pula. Perempuan ini diperkirakan berusia sekitar tiga puluh tahun. Sementara itu, mendengarhelaan napas istrinya, lelaki yang juga mengenakan pakaian terbuat dari kulit ular palingkan kepala. Dia sangat tahu arti dari helaan napas istrinya, terutama setelah melihat wajah istrinya yang mendadak murung. Lalu dengan lembut, lelaki berparas tampan yang memiliki postur gagah dan diperkirakan berusia sekitar tiga puluh lima tahun, merangkul bahu istrinya. Pakaian kulit ularnya terbuka di dada dan perlihatkan dada yang bidang. Rambutnya panjang acak-acakan. Mereka
.dikenal dengan julukan Sepasang Ular Karimun.
"Rayi... apakah kau memikirkan bayi kita yang dibunuh oleh Hantu Jala Sutera?" tanya suaminya pelan, yang bernama Gala Sulang. Istrinya menghelanapas lagi. Lalu katanya pelan,
"Iya, Kakang. Kejadian yang tak menyenangkan itu, selalu terbayang di mataku..."
"Begitu pula denganku, Rayi. Bila saja aku tidak. mendapat undangan dari Kiai Pitutuh, sudah kuteruskan langkahku untuk mencari si Durjana Hantu Jala Sutera...." Harum Murti, istrinya itu, terdiam. Mencoba untuk melupakan bayangan yang tak mengenakkannya. Lalu tanyanya,
"Kakang... apakah kau tahu apa yang akan terjadi di sana?"
"Maksudmu, di Kaki Bukit Lumbung?"tegas suaminya. Setelah melihat istrinya mengangguk, Gala Sulang lanjutkan kata-katanya sambil gelengkan kepala.
"Kiai Pituluh tak mengatakannya saat mengundangkita ke Kaki Bukit Lumbung. Dan tentunya kau tahu, kebiasaan Kiai Pituluh. Rayi. Dia tak akan pe rnah menceritakan secara rinci sesuatu yang nampak m asih dirahasiakannya. Tidak dirahasiakannya pun tak ak an pernah dia lakukan tindakan itu."
"Kakang... kita sama-sama tidak mengetahui apa maksud Kiai Pituluh mengundang kita menjumpainya di Kaki Bukit Lumbung. Apakah kau merasa bukan lebih baik kita meneruskan buruan terhadap hantu Jala Sutera, ketimbang memenuhi undangan Kiai Pituluh yang belum kita ketahui apa maksudnya?" Mendengar pertanyaan istrinya, Gala Sulang tak segera menjawab. Biar bagaimanapun juga, dia tak mau membuang waktu untuk mencari Hantu Jala Sutera, orang yang telah memunahkan segala
kebahagiaannya dan membuat istrinya selalu murung bila teringat pada bayi mereka yang dibunuh oleh lelaki itu. Tetapi, biar bagaimanapun juga pedih di hatinya, dia tetap menghargai Kiai Pituluh.
"Aku pun memikirkan soal itu, Rayi. Hanya saja... aku tak bisa menolak undangan Kiai Pituluh."
"Tapi kita tidak tahu apa maksudnya mengundang kita ke sana, Kakang," kala Harum Murti, suaranya agak keras.
"Padahal kita harus mencari Hantu Jala Sutera!" - Gala Sulang anggukkan kepala. Suara keras istrinya tidak membuatnya tersinggung. Karena dia maklum apa yang dirasakan oleh perempuan yang sangat dicintainya ini. Di dasar hatinya yang terdalam pun ada keinginan untuk tidak indahkan undangan Kiai Pituluh. Mencari orang yang telah menghancurkan segala kebahagiaannya lebih baik ketimbang memenuhi undangan Kiai Pitutuh yang belum diketahui apa maksudnya. Tetapi, biar bagaimanapun juga, dia tak bisa menolak undangan Ketua Padepokan Sang Kurdi itu. Lalu hati-hati dia berkata,
"Rayi... kita sama sama telah mendengar, kalau Padepokan Sang Kurdi yang dipimpin oleh Kiai Pituluh telah dihancurkan oleh sahabatnya sendiri, Kiai Hanum Biru. Ini hanya
satu dugaan. Mungkin Kiai Pituluh mengundang kita untuk membicarakan soal itu, mengingat kita juga termasuk salah seorang sahabatnya. Tapi tak memungkiri kemungkinan lain...." Harum Murti yang masih terbawa amarah di dada karena selalu terbayang akan kekejaman Hantu Jala Sutera yang telah membunuh bayi mereka, tak menjawab. Dia selalu menyesali mengapa tak bisa lindungi bayinya yang dibunuh oleh Hantu Jala Sutcra lima tahun yang lalu. Lagi-lagi Gala Sulang tak tersinggung melihat istrinya terdiam, seolah tak acuhkan apa yang dikatakannya. Bahkan seperti tak mendengar ucapannya. Dia berkata lagi,
"Kemungkinan lain yang kupikirkan, di rimba persilatan ini, tak akan bisa seseorang menyembunyikan sesuatu, karena akan selalu terdengar. Bahkan dedaunan ataupun angin seperti memiliki mata dan telinga, akan kabarkan kejadian yang tersembunyi meski pada siapa pun." Kali ini Harum Murti melirik.
"Mengapa, Kakang" Mengapa kau begitu merisaukan soal itu" Apakah kau menganggap undangan Kiai Pituluh lebih penting daripada mencari manusia keparat berjuluk Hantu Jala Sutera?"
"Sudah tentu tidak, Rayi. Dua-duanya sama-sama penting."
"Tapi kau nampaknya lebih memikirkan undangan Kiai Pituluh ketimbang mencari Hantu Jala Sutera," kata istrinya dengan nada tidak puas. Diam-diam Gala Sulang hela napas panjang. Apa
yang terjadi sekarang ini memang sangat membingungkan. Selama lima tahun mereka memburu Hantu jala Sutera, namun selama itu pula mereka - tak mendapatkan kabar berita di mana orang itu berada. Gala Sulang teringat, bagaimana tahun tahun sebelumnya istrinya berlaku seperti orang gila karena memikirkan bayi mereka yang telah dibunuh oleh Hantu Jala Sutcra. Dengan susah payah dan penuh kesabaran, dia berusaha untuk mengubah kehidupan mereka kembali pada tahun-tahun sebelum bayi mereka dibunuh oleh Hantu Jala Sutera. Apa yang dilakukannya tak sepenuhnya berhasil, karena bila ingatan pada bayi mereka tiba, maka istrinya akan kembali bersikap seperti yang lalu. Penuh amarah dan dendam. Namun di hatinya sendiri. Gala Sulang menyimpan kemarahan tinggi pada Hantu Jala Sutera. Lalu sambil memegang kedua bahu istrinya dan meremasnya lembut, lelaki gagah ini berkata,
"Tidak, Rayi... tak mungkin aku melupakan Hantu Jala Sutera. Biar bagaimanapun juga, aku selalu menunggu kesempatan untuk menemukannya."
"Dan kau membuang kesempatan serta waktu yang berharga hanya untuk memenuhi undangan Kiai Pituluh." Gala Sulang tarik napas pendek. Kedua tangannya yang masih memegang kedua bahu istrinya, digerakkan, menarik tubuh sintal istrinya kedalam pelukannya. Saat itu pula Harum Multi menangis sambil re
bahkan kepala didadanya. Di saat-saat seperti inilah, terkadrag Gala Sulang tak kuasa untuk menahan gelora kesedihan yang sekian lama dipendam. Namun dia lalu berusaha menindihnya kuat-kuat. Karena dia tak mau menambah duka di hati istrinya. Istrinya adalah seorang wanita tangguh yang memiliki kesaktian tinggi, yang hanya bertaut sedikit saja dengan kemampuan yang dimilikinya. Delapan tahun lalu, Gala Sulang yang waktu itu berjuluk Pendekar Ular berjumpa dengan Harum Murti yang berjuluk Dewi Ular. Percintaan mereka terjadi setelah mereka bersama-sama secara tak sengaja bahu membahu memberantas gerombolan Daeng Kukuk yang sedang hancurkan sebuah desa. Dan bahu membahu yang mereka lakukan terus berlangsung, hingga kemudian mereka dikenal dengan julukan Sepasang Utar Karimun. Karena pertemuan mereka bermula di desa yang terdapat di lereng Gunung Karimun. Karena kedekatan dan memiliki tujuan yang sama, rasa cinta akhirnya melekat di dada masing-masing orang. Dewi Ular penuh suka cita menerima lamaran Pendekar Ular. Sejak saat itulah Sepasang Ular Karimun dikenal sebagai pasangan suami-istri. Dan yang tak mereka sangka, Daeng Kukuk yang berhasil meloloskan diri telah muncul kembali. Kali ini dia seorang diri dan memakai julukan Hantu Jala Sutera. Orang itu berhasil membunuh bayi mereka secara keji. Kala itu, Dewi Ular alias Harum Murti, masih dalam keadaan lemah setelah melahirkan. Bayi mereka baru berusia empat puluh hari.
Di suatu pagi, kala Gala Sulang mencari makanan di hutan. Daeng Kukuk muncul. Orang itu memang mendendam pada Sepasang Ular Karimun. Dan dia berhasil melaksanakan dendamnya dengan cara membunuh bayi Sepasang Ular Karimun. Bila saja saat itu Harum Murti tidak dalam keadaan lemah, dia tentu akan dapat halau niat busuk Hantu Jala Sutera. Dia hanya bisa menyelamatkan dirinya saja tanpa berhasil selamatkan bayinya. Gala Sulang yang kemudian datang sungguh terkejut melihat istrinya sedang menangisi bayi mereka yang sudah tak bernyawa. Gala Sulang menarik napas panjang. Dia me rasakan dadanya basah oleh air mata istrinya.
"Bersabarlah, Rayi.... Suatu saat, kita pasti akan berhasil membalas perbuatan keji Hantu Jala Sutera...." Harum Murti masih merebahkan kepalanya pada dada bidang suaminya. Tak berkata apa-apa. Dari sikapnya, Gala Sulang sudah memahami apa yang bergelut di dada istrinya. Perlahan-lahan kepala istrinya terangkat dari dadanya. Sepasang mata indah yang kini berbalur air mata menatapnya lekat-lekat. Menyusul bibir ranum itu tersenyum. Lalu katanya manja,
"Ah, kenapa aku cengeng betul ya, Kakang" Memalukan saja." Suaminya balas tersenyum.
"Kalau ingat bayi kita, aku pun menjadi cengeng.?"Ah, kau ini...," desis Harum Murti sambil pandangi suaminya lekat-lekat. Menyusul dia berkata,
"Kau memang suami yang setia, Kakang. Aku beruntung mendapatkan lelaki seperti kau menjadi suamiku." "Apa yang kau rasakan juga kurasakan, Rayi. Siapa pun akan mengatakan nasibnya sangat beruntung bila mendapatkan seorang istri seperti kau...."
"Kakang... tadi kau mengatakan, kalau kemungkinan undangan Kiai Pituluh didengar oleh banyak orang. Apakah yang kau maksudkan, Kiai Pituluh bukan hanya mengundang kita saja?" Gala Sulang mengangguk.
"Kemungkinan itu besar terjadi. Dan kalau memang iya, berarti urusan ini sangat penting." Harum Murti terdiam sejenak. Sambil pandangi suaminya lagi dia teruskan ucapan,
"Kakang... bila memang demikian adanya, berarti bukan hanya orang-orang golongan putih yang diundang, bukan?"
"Kalau soal itu, aku tak bisa memastikan."
"Tetapi, berita ini tentunya telah tersebar luas. berarti..."
"Mengapa, Rayi?" tanya Gala Sulang menatap lekat lekat. Istrinya justru arahkan pandangan ke tempat lain. Mulutnya nampak berkemak-kemik tetapi tak ada suara yang keluar.
"Apa yang kau pikirkan, Rayi?" tanya Gala Sulamp lagi. Masih memandang ke kejauhan, Harum Murti
berkata, "Aku berharap... kalau urusan di Kaki Bukit Lumbung juga terlengar oleh Hantu Jala Sutera. Dan kuharap, manusia keparat itu akan hadir pula di sana..." Gala Sulang iak mau lagi membicarakan persoalan bayi mereka yang dibunuh oleh Hantu Jala Sutera. Karena dia tahu, itu akan kembali membuat istrinya sedih dan legang.
"Rayi... perjalanan ke Kaki Bukit Lumbung masih cukup jauh. Kita tak boleh membuang waktu untuk segera tiba di sana...."
"Kau benar, Kakang. Kita tak boleh buang waklu...."
"Dia tersenyum. Berarti dia sangat yakin kalau Hantu.Jala Sutcra akan muncul di Kaki Bukit Lumbung. Ah, rasanya, bila belum menyaksikan manusia itu tewas, istriku tak akan pernah melupakan tragedi mengerikan itu. Sama seperti diriku...." Habis membatin demikian, Gala Sulang berkala,
"Mudah-mudahan dia memang akan hadir di sana...."
"Dan aku tak akan melepaskan kesempatan untuk membunuhnya...." Gala Sulang mengangguk dan berkata,
"Demikian pula halnya denganku..." Lalu s uasana hening. Senja semakin menurun. Beberapa helai dedaunan berjatuhan. Sepasang suami-istri itu dibunca h jalan pikiran masing-masing. Pikiran Gala Sulang,
"Bila memang Hantu Jala Sutera hadir di Kaki Bukit Lumbung, aku harus jaga emosi. Paling tidak, aku akan menunggu kesempatan
yang tepat untuk membalas kematian bayiku. Berarti. aku harus menjaga agar jangan sampai emosi istriku meledak disana...." Jalan pikiran Harum Murti lain lagi,
"Ini kesempatan yang telah lama kutunggu. Hantu Jala Sutera harus mampus di tanganku. Peduli setan apakah dia akan mampus di hadapan yang lainnya atau tidak. Pokoknya, dia harus mampus!" Cukup lama masing-masing orang tak ada yang buka mulut. Sampai tiba-tiba terjadi perubahan angin yang cukup deras. Semula keduanya tak hiraukan perubahan angin yang terjadi. Namun tatkala perubahan angin itu kian terasa, masing-masing orang baru palingkan kepala. Menyusul mereka angkat kepala. Dan perubahan angin itu semakin deras mereka rasakan. Belum lagi mereka mengerti mengapa angin berubah secara tiba-tiba, mendadak saja terdengar suara yang keras, membahana dan seolah pecahkan langit,
"Kraaaggghhhh!!!"
Bab 2 "III.iiiii!!"berjingkat Gala Sulang tatkala melihat satu bayangan raksasa di angkasa, melesat sedemikian cepat diiringi teriakan yang membahana.
"Kraaaghhhh!!" Bayangan raksasa itu hanya selintas dilihatnya, lalu di kejap lain sudah lenyap dari pandangan. Bukan hanya Gala Sulang yang harus kerutkan kening tak mengerti, istrinya juga berbuat yang sama.
"Kakang!!" serunya tertahan dengan mulut menganga. Seruan tertahan itu sudah cukup bagi Gala Sulanguntuk berkata,
"Rayi! Akupun tak tahu makhluk apa yang berwarna keemasan itu yang barusan melintas sedemikian cepat"!"
"Nampaknya... seperti seekor burung rajawali!"
"Burung rajawali" Astaga: Apakah memang ada burung rajawali yang besarnya seperti apa yang kita lihat barusan?"
"Memang sulit untuk diterima oleh akal! Tapi pada nyatanya, apa yang kita lihat barusan bukanlah omong kosong atau mimpi belaka!"
"Tapi...." "Aku juga tak mengerti, Kakang. Tetapi itu memang burung rajawali raksasa berwarna keemasan."
Ucapan-ucapan yang dilakukan oleh Sepasang Ular Karimun itu sambil menengadah, padahal makhluk yang membuat mereka tanda tanya itu sudah lenyap sama sekali. Lamat-lamat Gala Sulang turunkan pandangannya dan membawanya pada istrinya.
"Perubahan angin yang datang secara tiba-tiba itu tentunya akibat kepakan kedua sayapnya. Dan suaranya tadi, laksana pekikan guntur di siang bolong. Rayi... kau yakin dengan apa yangkau katakan tadi?" - Istrinya mengangguk
"Sulit menduga hal lain kecuali mengatakan kalau apa yang kita lihat barusan itu adalah burung rajawali raksasa."
"Burung rajawali raksasa... sungguh mengherankan. Ya, ya... kita tak bisa memungkiri soal itu karena kita jelas melihatnya...,"sahut Gala Sulang. Lalu keduanya sama-sama terdiam. Tiba-tiba kepala Gala Sulang menegak. Istrinya memandang tak mengerti.
"Ada apa, Kakang?" "Rayi... apakah burung rajawali itu memang hanya kebetulan lewat?"
"Apa maksudmu, Kakang?" tanya istrinya dengan kening dikernyitkan.
"Burung rajawali itu... bukankah dia menuju ke arah timur" Ke arah.... Kaki Bukit Lumbung?" Mendengar ucapan suaminya, Harum Murti tak segera buka mulut. Peristiwa sejenak yang membingungkannya itu, membuatnya agak melupakan persoalan hantu Jala Sutera yang telah membunuh bayi mereka.
"Kalau begitu... tak mungkin burung rajawali keemasan itu seorang diri, Kakang...."
"Ya... aku juga berpikir demikian."
"Menurutmu... ada yang menunggangi burung rajawali raksasa itu?"
"Ya! Tapi... tak memungkiri kemungkinan kalau burung rajawali raksasa keemasan itu memang hanya sendiri. Tak ada yang menungganginya. Dan burung itu hanya kebetulan saja melintas di atas kepala kita menuju ke arah timur. Tapi...." - "Kenapa, Kakang" Kau tidak yakin dengan ucapanmu sendiri?" Gala Sulang terdiam sesaat sebelum berkata pelan,
"Aku lebih cenderung, kalau burung rajawali raksasa keemasan itu memang ada yang menungganginya. Dan perginya burung itu ke arah timur, bukan suatu kebetulan. Hanya saja, bila memang ada yang menungganginya, apakah orang itu sedang memenuhi undangan Kiai Pituluh, ataukah hanya mendengar berita undangan Kiai Pituluh hingga dia menuju ke Kaki Bukit Lumbung?" Kembali tak ada yang buka suara. Sepasang Ular Karimun terdiam. Masing-masing orang mencoba memikirkan kemungkinan demi kemungkinan. Sampai terdengar suara Gala Sulang,
"Istriku... kita tak perlu memikirkan soal burung rajawali raksasa keemasan itu. Sebaiknya, kita segera teruskan langkah. Aku tak ingin terlambat untuk tiba di Kaki Bukit Lumbung. Harapanku, tepat matahari terbit besok pagi, kita telah berada disana...." Istrinya mengangguk.
"Ya, sebaiknya memang begitu, Kakang. Aku tak sabar untuk meyakini apakah Hantu Jala Sutera hadir di sana atau tidak...." Sesaat Gala Sulang hela napas pendek, mendengar ucapan istrinya.
"Tak ada yang bisa mengubah keinginan istriku untuk membunuh Hantu Jala Sutera. Sama... seperti diriku...." Tiga kejapan mata berikutnya, kedua orang gagah ini sudah teruskan langkah menuju kearah timur.
Pada jarak yang jauh, burung rajawali raksasa keemasan itu terus melesat cepat. Seiiap kali dia gerakkan kedua sayapnya, serta-merta menderu gelombang angin yang hebat dan bergebyar-gebyar. Pekikannya membahana mengerikan.
Apa yang diduga oleh Gala Sulang ternyata memang benar. Karena di atas punggung burung rajawuli keemasan itu, terdapat satu sosok tubuh berpakaian keemasan pula. Sosok seorang pemuda yang jelas jelas sedang kerahkan tenaga dalamnya untuk halau desiran angin yang deras di saat burung tunggangannya melesat. Karena bila tidak, lesatan burung rajawali yang sedemikian cepat itu, akan melontarkan tubuhnya. Kendati demikian, dari sikapnya, si pemuda jelas sudah terbiasa menunggang burung rajawali raksasa berwarna keemasan itu.
"Bwana! Sebaiknya kita beristirahat dulu!" serunya keras.
"Menurut perkiraanku, besoklah saatnya kita harus tiba di Kaki Bukit Lumbung!" Burung rajawali raksasa keemasan itu memekik keras,
"Kraaaghhh!!" Saat itu mereka sedang melintasi sebuah padang luas yang dipenuhi oleh rerumputan. Menyusul burung rajawali raksasa berwarna keemasan itu menukik. Wrrrrr!! Tukikan yang dilakukannya sedemikian cepat. Gelombang angin menggebah tinggi. Menyusul gelombang angin yang keluar dari kedua sayapnya. Berjarak lima puluh kaki dari udara, rerumputan rebah terkena gelombang angin dari kedua sayapnya. Begitu berada pada jarak sekitar dua puluh lima tombak, rerumputan itu tercabut dan beterbangan.
"Bwana!" seru si pemuda keras.
"Aku akan melompat!! Perlahan gerakan tubuhmu!"
"Kraaaggghhh!!" Pada jarak lima belas kaki, si pemuda mendadak saja melompat dari burung rajawali keemasan itu. Sungguh menakjubkan. Pada ketinggian yang cukup menggigit itu, si pemuda berputar di udara tiga kali sebelum akhirnya hinggap di atas tanah dengan kedudukan tegak.Sementara itu, burung rajawali keemasan yang tadi ditungganginya sudah hinggap di atas tanah. Memekik dan kepakkan kedua sayapnya. Serta-merta rerumputan tercabut dan memburai di udara. Si pemuda pandangi sekelilingnya yang sepi. Lalu diperhatikannya burung rajawali yang tadi ditungganginya. Menyusul dia melangkah mendekat.
"Bwana... apakah kau tidak melihat dua orang yang tentunya keheranan melihat kehadiranmu tadi?" tanyanya begitu mendekat. Dengan lembut diusap-usapnya bulu-bulu besar namun halus yang terdapat di leher burung rajawali raksasa itu. Burung rajawali itu keluarkan kirikan.
"Nah! Kau melihatnya juga, bukan" Bwana... kalau tidak salah ingat, sebelumnya aku pernah melihat keduanya. Kala itu, aku sedang memikirkan bagaimana caraku untuk menemukan Pangeran Liang Lahat alias Penghuni Tingkat ke Dua alias Pelarian Pulau Neraka. Dan secara tak sengaja, aku melihat seseorang berpakaian kuning berkelebat cepat. Menyusul seorang nenek berpakaian putih yang hentikan kelebatannya saat aku berteriak tertahan. Memang, pandangan si nenek begitu tajam dan tak menyukai pertemuan sejenak denganku. Tapi, dia tak lakukan apa-apa kecuali teruskan langkah. Saat itu uku berpikir, kalau orang berpakaian kuning yang tak kuketahui apakah dia seorang lelaki atau perempuan, tua atau muda, dan si nenek sedang dalam urusan yang penting. Hingga masing-masing orang nampaknya tak mau membuang waktu. Dan aku puntak ingin campuri urusan mercka...." Si pemuda terdiam sejenak. Lalu dicabutnya sebatang rumput yang kemudian dihisap-hisapnya. Saat tangannya tadi turun untuk mencabut sebatang rumput dan membawanya ke mulutnya, terlihat rajahan burung rajawali keemasan di lengan kanannya. Rajahan yang sama juga terdapat di lengan kirinya. Sambil menghisap-hisap sari manis dari rumput yang dicabutnya, si pemuda yang di punggungnya terdapai sebilah pedang berwarangka dan dipenuhi untaian benang keemasan teruskan kata,
"Tak lama kemudian, muncullah dua orang berpakaian terbuat dari kulit ular seperti yang kita lihat tadi. Saat itu, aku terpaksa bersembunyi karena tak ingin terlibat urusan. Di samping karena sebelumnya kulihat satu bayangan kuning dan si nenek berpakaian putih, juga saat itu aku masih harus mencari Pangeran Liang Lahat, Pelarian Pulau Neraka yang banyak membuat onar di rimba persilatan ini...." Burung rajawali keemasan itu mengkirik pelan. Mendengar kirikan burung rajawali raksasa itu, si pemuda anggukkan kepalanya. Dan melihat ciri yang melekat padanya, sudah jelas siapa anak muda itu adanya. Dia bukan lain Tirta alias Rajawali Emas, pemuda yang datang dari Gunung Rajawali. Pendekar muda yang julukannya akhir-akhir ini semakin santer dibicarakan orang. Lalu sambil memandang burung rajawali raksasa kesayangannya, anak muda tampan ini berkata,"Ya... kau benar. Urusanku di Pulau Neraka untuk hen
tikan sepak terjang Pelarian Pulau Neraka memang sudah berakhir. Pangeran Liang Lahat sudah tewas di tempat asalnya." (Untuk mengetahui persoalan Rajawali Emas dengan Pelarian Pulau Neraka, silahkan baca episode :
"Pelarian Pulau Neraka" sampai
"Siulan Berdarah").
Bwana mengkirik lagi. Tirta yang sangat paham arti setiap kirikan maupun gerak-gerik yang diperlihatkan Bwana, segera lanjutkan ucapan,
"Dan secara tak sengaja, aku mencuri dengar apa yang dikatakan oleh sepasang anak manusia berpakaian terbuat dari kulit ular itu. Mcreka adalah orang-orang yang diundang oleh Kiai Pituluh ke Kaki Bukit Lumbung. Dan secara tak sengaja pula, aku mengetahuikalau keduanya saat ini juga sedang mencari orang yang berjuluk Hantu.Jala Sutera, orang yang telah membunuh bayi mereka lima tahun yang lalu." (Untuk mengetahui di mana dan pada saat bagaimana Tirta melihat kehadiran Sepasang Ular Karimun dan tak sengaja mencuri dengar percakapannya, silakan pembaca setia blog cerita-silat.mywapblog.com baca episode :
"Perjalanan Maut").
Tirta terdiam sejenak. Lalu berkata,
"Bwana... ternyata bukan hanya aku, yang tentunya juga kau, yang diundang oleh Kiai Pituluh. Tetapi kedua suatui-istri itu pun diundang ke sana. Menurut keyakinanku, masih banyak orang-orang yang diundang Kiai Piluluh...."
Bwana mengkirik. Tirta gelengkan kepala. "Kalau soal tepatnya mengapa Kiai Pituluh, bekas Ketua Padepokan Sang Kurdi yang dihancurkan oleh kakak seperguruannya sendiri, mengundangku yang tentunya bukan hanya aku yang diundang menjumpainya di Kaki Bukit Lumbung, aku belum mengetahui secara pasti. Ini juga membuatku penasaran." Burung rajawali keemasan itu mengkirik. Sepasang bola matanya yang besar tak bergerak. Tirta teruskan ucapan,
"Di samping itu, aku tak begitu yakin, apakah undangan Kiai Pituluh ini tidak terdengar oleh yang lainnya" Maksudku... bila yang mendengar adalah orang-orang golongan lurus yang mengambil segi bagu snya, tentunya ini bukan masalah yang besar. Tetapi, bil a yang mendengar adalah : orang-orang golongan sesat yang merasa memiliki kepentingan untuk mengetahui undangan Kiai Pituluh, atau juga merasa jengkel karena tak mendapatkan undangan itu, tentunya urusan akan menjadi lebih besar. Karena aku sendiri belum mengeta hui mengapa Kiai Pituluh mengundang kita kesana?" B wana tak keluarkan kirikan apa-apa. Hanya bola matan ya yang besar itu yang memandang majikannya. Anak muda dari Gunung Rajawali itu sendiri terdiam. Dia terus mencoba menemukan sebab-sebab Kiai Pituluh mengundangnya ke Kaki Bukit Lumbung.
"Apakah ini berkaitan dengan peristiwa penyerbuan Kiai Hanum Biru kepadepokan yang dibimbingnya" Atau... ada peristiwa lain yang memang harus dibicarakan dan tentunya sangat penting" Mengingat, ternyata bukan hanya aku yang diundangnya...," kata anak muda ini dalam hati.
"Aku ingat, sebelumnya si Tangan Baja yang telah insyaf mengatakan kalau Kiai Pituluh memintaku untuk menjumpainya di Kaki Bukit Lumbung. Si Tangan Baja pula yang kemudian menyerahkan Baju Antakesuma milik Kiai Pituluh kepadaku...." Sesaat anak muda itu memandang Bwana. Lalu katanya,
"Bwana... apakah Baju Antakesuma masih berada padamu?" - Burung rajawali raksasa keemasan itu anggukkan kepala dan mengkirik. Tirta segera meraba bulubulu halus di bagian ekor Bwana. Dirasakannya sesuatu mengganjal di sana.
"Setelah benda sakti itu diserahkan si T angan Baja kepadaku, aku telah meletakkannya pada ekor Bwana. Biar bagaimanapun juga, benda itu adalah kepunyaan Kiai Pituluh. Aku tak berhak mempergunak annya, dan aku harus menyerahkan padanya," katanya dalam hati. Kemudian katanya,
"Jagalah benda itu baik-baik, Bwana. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain." Bwana anggukkan kepala lagi. Tirta terdiam dan berpikir,
"Sepasang suami-istri berpakaian kulit ular yang pernah kulihat secara tak sengaja itu, berharap kalau orang yang telah membunuh bayi mereka akan hadir di sana. Terutama istrinya yang tak bisa menahan amarah. Ah, siapapun
orangnya pasti akan mendendam. Dan kalau memang orang berjuluk Hantu Jala Sutera yang belum kuketahui siapa orang itu sebenarnya hadir di sana, bukankah urusan akan membentang besar" Belum lagi orang-orang golongan sesat yang akan datang ke sana dengan tujuan mengacau" Celaka! Ini tak bisa dibiarkan...." Suasana tetap hening. Hanya hewan-hewan malam yang terdengar suaranya. Beberapa ekor burung gagak melintas dengan suaranya yang serak dan tak sedap didengar. Lalu menjauh setelah melihat Bwana. Mungkin, mereka tak habis mengerti melihat makhluk sejenis yang sedemikian besar. Tirta berkata.
"Bwaya... kemungkinan sepasang suami-istri yang melihat kita dan sekarang tentunya sedang teruskan langkah menuju ke Kaki Bukit Lumbung, akan membawa satu persoalan baru bila memang Hantu Jala Sutera hadir di sana. Dan tak menutup kemungkinan kalau orang-orang golongan sesat akan mengacau. Ah, padahal aku tidak tahu apa maksud Kiai Pituluh mengundang kita...." Bwana keluarkan kirikan. Kali ini kepala Tirta menegak. Sepasang matanya membuka lebih lebar.
"Kau tidak mengada-ngada, bukan?" desisnya agak terkejut. Kepala burung rajawali raksasa itu menggeleng. Serta-merta Tirta palingkan kepalanya ke kanan. Sepasang matanya dipicingkan. Untuk melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Tak jauh dari padang
rumput itu terdapat sebuah hutan yang lebat. Dan ke arah hutan itulah pandangan anak muda dari Gunung Rajawali ini tertuju. Sambil membuang rumput yang sejak tadi dihisapnya, anak muda ini mendesis,
"Bwana mengatakan, ada yang mengintip kehadiran kami disini. Dan kalau orang itu tak kuketahui kehadirannya, tentunya dia bukan orang sembarangan. Hemmm... aku jadi penasaran sekarang." Kemudian Tirta berkata pada Bwana,
"Bwana... aku tidak tahu siapa orang itu. Sebaiknya, kau tinggalkan tempat ini dulu. Nanti kau kupanggil kembali." Burung rajawali raksasa keemasan itu mengangguk patuh. Lalu segera mengangkasa diiringi teriakannya yang membahana. Tanah di mana tadi sosoknya mendekam, kini telah terbentuk dua cakar yang sangat besar! Tirta yang begitu Bwana melompat terbang ke angkasa, segera menjauh dan kerahkan tenaga dalamnya agar tidak terpelanting akibat sentakan kedua sayap Bwana, masih arahkan pandangannya ke hutan yang dilihatnya. "Apakah aku harus menunggu kehadiran orang itu" Atau... aku menjumpainya?" Anak muda ini terus mempertimbangkan apa yang dipikirkannya. Otaknya nampak dikernyitkan. Tanpa sadar hatinya agak bergetar. Karena dia.merasakan sesuatu yang tak diinginkannya terjadi. Namun segera ditindih rasa khawatirnya dengan terus mempertimbangkan apakah dia akan menjumpai orang yang berada di hutan itu, ataukah menunggu sampai orang itu muncul dan menjumpainya.
Akan tetapi, sebelum dia memutuskan sesuatu, dari hutan yang dilihatnya telah berkelebat satu bayangan putih yang begitu cepat.
Dari jarak dua belas langkah, si Bayangan Putih sudah bersuara, serak dan agak sengau,
"Tak kusangka, kalau kita akan berjumpa lagi, Anak muda! Mungkin kau sudah melupakanku, tetapi aku masih ingat siapa kau adanya!"
Bab 3 SEBELUM kita ikuti apa yang akan terjadi dan siapa bayangan putih yang melesat dari hutan tak jauh dari tempat berdirinya Rajawali Emas, sebaiknya kita lihat apa yang sedang terjadi di sebuah lembah yang jauh dari tempat Rajawali Emas berada. Lembah yang cukup curam dan dipenuhi bebatuan serta pepohonan itu, nampak gelap. Karena di samping saat ini rembulan sedang dihalangi oleh arakan gumpalan awan hitam yang mendadak muncul, tingginya pepohonan yang tumbuh di sana pun tak akan mampu ditembusi oleh sinar rcmbulan. Dari lembah itu hanya terdengar suara hewan-hewan malam. Liar dan mengerikan. Pertanda tak seorang pun yang pernah memasuki lembah itu. Namun dugaan itu salah. Karena tepat ditengah tengah lembah itu, di atas empat buah batu yang tersusun seperti melingkar, nampak empat sosok tuhuh sedang duduk disana. Masing-masing orang yang duduk, tegakkan tubuh dan lebarkan pandangan. Seolah hendak tunjukkan kekuatan dan kehebatan yang mereka miliki. Tak ada yang buka suara. Hanya mata masing-masing orang yang mengisyaratkan kalau mereka sudah tak sabar untuk membuka pembiaraan. Dan masih ada sebuah batu besar yang belum duduki oleh siapa pun juga.
Dalam kegelapan seperti itu, sulit untuk melihat ciri-ciri orang-orang yang berada di sana. Terdengar suara yang paling kiri mendehem. Menyusul dia bersuara, cempreng dan terdengar ngak geram,
"Tengah malam tak lama lagi akan tiba, tetapi Hantu Jala Sutera belum juga hadir! Tak seperti biasanya dia terlambat seperti ini bila menerima undangan! Dan rasanya, kita tak perlu menunggu lagi! Dengan kata lain, Hantu Jala Sutera sudah membelot dari Perkumpulan Hitam!" Ucapan si Cempreng yang ternyata seorang lakilaki disahuti kikikan yang keras, menggema disekitar tempat itu dan membuat hewan-hewan malam berlarian masuk kembali ke sarang. "Setan Kaki Sepuluh! Boleh-boleh saja kau berkata seperti itu karena, Hantu jala Sutera memang tak ada tepat pada waktunya! Tapi, apakah hanya karena kesalahan seperti itu saja kita sudah memutuskan, kalau dia telah membelot dari Perkumpulan Hitam" Hik hik hik... terlalu tergesa-gesa!" Si Cempreng yang dipanggil dengan julukan Setan Kaki Sepuluh mendengus keras. Tatapannya tajam pada orang yang tadi bicara. Seorang perempuan tua yang berusia sekitar tujuh puluh tahun yang sekarang sedang menyeringai. Setelah mendengus sekali lagi, dia berkata,
"Perkumpulan Hitam telah terbentuk sekitar sepuluh tahun yang lalu! Dan tak pernah sekali pun bila undangan telah disebar ada anggota yang terlambat datang! Tindakan Hantu Jala Sutera yang hingga saat ini belum muncul, memang seharusnya dapat diterima! Mungkin, dia mengalami hambatan di perjalanan! Tetapi, apakah itu bukan berarti menunjukkan, kalau dia tidak disiplin sebagai anggota Perkumpulan Hitam" Bagaimana kau menjawab pertanyaanku ini, Ning Anggia"!" Si nenek yang bernama Ning Anggia terkikik lagi. "Kau bertanya bagaimana aku menjawab pertanyaanmu" Hik hik hik.... Setan Kaki Sepuluh... kau nampaknya sudah bodoh sekarang! Ya sudah tentu aku akan menjawab dengan ucapan pula!" Mendengar ucapan Ning Anggia, paras Setan Kaki Sepuluh merah padam. Kedua tangannya mengepal kuat pertanda diajengkel mendengar ucapan si nenek.
"Ucapkan apa yang kau bisa katakan!" Ning Anggia terkikik lagi.
"Jawabannya, memang betul apa yang kau katakan: Hantu Jala Sutera tidak disiplin sebagai anggota Perkumpulan Hitam! Tapi, apakah selama ini kita pernah membicarakan suatu masalah tanpa kehadiran salah seorang di antara kita" Hik hik hik... seingatku, belum pernah! Apakah kau tetap tak mau menunggu kehadirannya barang sejenak lagi?"
"Sampai kapan?"
"Bila rembulan telah bergeser dari ujung kepala hantu Jala Sutera belum hadir juga, terpaksa kita buka pembicaraan ini tanpa kehadirannya! Tapi ya... tidak perlu menganggapnya membelot dari Perkumpulan Hitam!"
Sebelum Setan Kaki Sepuluh menyahut, terdengar suara dari samping kanannya,
"Apa yang dikatakan Ning Anggia benar! Dan yang kau katakan itu juga benar, Setan Kaki Sepuluh! Berarti, kita tak perlu memperdebatkan persoalan keterlambatan Hantu Jala Sutera! Kita tetap menunggu kehadirannya sebelum membicarakan persoalan yang akan kita bahas!"
"Kau benar, Ki Kaligi!" terdengar suara di samping kanan Ning Anggia. Kalau yang lainnya nampak duduk bersila di atas batu masing-masing, orang ini kelihatan berjongkok.
"Sebaiknya, kita memang menunggu kehadiran Hantu.JalaSutera! Karena... tunggu! Aku mena ngkap satu kelebatan menuju kemari!" Kata-kata orang yang duduk di sebelah Ning Anggia, membuat yang lai nnya segera pasang telinga tajam-tajam. Masing-masin g orang segera membenarkan apa yang dikatakan ora ng itu. Orang itu berkata lagi,
"Mudah-mudahan... orang yang datang ini adalah Hantu Jala Sutera! Setelah Perkumpulan Hitam terbentuk, tak seorang pun yang mengetahui tempat ini selain kita! Tempat di mana kita selalu berkumpul guna membicarakan setiap masalah penting! Sebaiknya, kita tunggu!" Masing-masing orang tak ada yang buka suara. Keheningan semakin dalam, karena sekarang tak terdengar lagi suara hewan-hewan malam. Mereka diam menunggu. Tiga kejapan mata kemudian, terdengar tawa
yang sangat keras. "Maaf, maaf! Aku datang terlambat! Ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan!" Menyusul suara yang terdengar itu, nampak satu sosok tubuh gemuk melesat di atas ranggasan semak setinggi dada. Saat sosok gemuk itu melompat, tak nampak ada sehelai daun pada semak itu yang bergerak. Kaki kanannya menjejak tanah sekali sebelum akhirnya duduk di atas sebuah batu yang masih kosong. Begitu duduk di sana, orang yang baru datang ini tertawa lagi. Di bahunya nampak sesuatu yang tersampir, yang ternyata sebuah jala terbuat dari sutera.
"Aku tahu, aku tahu kalian telah gusar dan tak sabar menunggu! Dan aku juga tahu, kalau kalian akan tetap menunggu! Karena, tanpa kehadiranku, Tak layak kita disebut sebagai Perkumpulan Hitam!" Lelaki yang pertama kali mendengar kelebatan orang yang baru datang yang memang mereka sedang tunggu angkat bicara,
"Hantu Jala Sutera! Lepas telu bulan dari ubun-ubun kepala, kau sudah dianggup sebagai pembelot!"
"Tapi nyatanya. aku masih tetap hadir sebelum batas yang diberikan, Manusia Katak!"sahut si pendatang yang berjuluk Hantu Jala Sutcra. lelaki yang duduk berjongkok di atas batu itu berkata,
"Setan Kaki Sepuluh... kini telah hadir orang yang kita tunggu! Berarti, anggota Perkumpulan Hilain telah berkumpul semuanya! Apakah kau akan tunda lagi pembicaraan yang akan kita bahas sampai
matahari terbit?" Setan Kaki Sepuluh keluarkan dengusan pelan. Matanya yang tajam menatap satu per satu orang-orang yang berada di sana. Lalu keluarlah kata-katanya,
"Tiga minggu yang lalu... aku menangkap sebuah kabar, kalau Kiai Pituluh telah mengundang beberapa tokoh rimba persilatan untuk berkumpul di Kaki Bukit Lumbung: Dan kita tentunya sama-sama tahu, kalau Kiai Pituluh yang sebelumnya memimpin Padepokan Sang Kurdi, telah dihancurkan oleh saudaranya sendiri, Kiai Hanum Biru! Namun pada kenyataannya, dia masih dapat hidup hingga saat ini sementara Kiai Hanum Biru entah ke mana melarikan diri." - Setan Kaki Sepuluh tak lanjutkan ucapan. Dia seperti menunggu apakah ada yang hendak keluarkan komentar. Setelah tak ada yang bukasuara, dia melanjutkan,
"Kemenangan Kiai Pituluh dari Kiai Hanum Biru, telah dibantu oleh seorang pemuda dari Gunung Rajawali, yang julukannya akhir-akhir ini cukup memanaskan telinga kita! Rajawali Emas! Tapi lepas dari semua itu, bukan kehadiran pemuda itulah yang jadi persoalan!Tetapi, mengenai undangan Kiai Pituluh terhadap beberapa tokoh rimba persilatan ke Kaki Bukit Lumbung! Dalam hal ini, kalian kecuali Hantu Jala Sutera, telah menyatakan kalau tak seorang pun yang mendapat undangan dari Kiai Pituluh! Sekarang... bagaimana dengan kau sendiri, Hantu.Jala Sutera"!" Orang bertubuh gemuk itu gelengkan kepala.
"Tidak! Aku tidak tahu menahu soal itu! Bahkan, aku baru mendengar tentang undangan Kiai Pituluh terhadap beberapa tokoh rimba persilatan!" Setan Kaki Sepuluh mendengus.
"Huh! Ke mana saja kau selama ini hingga tidak mendengar kabar itu, hah"!" Hantu Jala Sutera terbahak-bahak.
"Aku punya urusan sendiri yang tentunya tak akan kukatakan padamu!" "Bodoh! Apakah kau pikir aku tidak tahu. kalau saat ini kau sedang bersembunyi dari kejaran Sepasang Ular Karimun, di mana kau telah membunuh bayi mereka lima tahun yang lalu?" Memerah paras Hantu Jala Sutera mendengar kata-kata yang sarat dengan ejekan. Setelah kertakkan rahang dia berkata,
"Mulutmu terlalu lancang berucap! Dan aku tak pernah menyukai siapa pun yang mengejekku!"
"Dari ucapanmu, berarti kau membenarkan kata-kataku!"
"Tutup mulutmu!!"
"Tahan!"seru Ki Kaligi yang merasa kalau kedua orang itu mulai bersilegang.
"Untuk saat ini, kita tak perlu berbeda pendapat! Diluar masing-masing urusan, masih ada urusan penting yang harus dibicarakan! Setan Kaki Sepuluh, lanjutkan lagi pemberitahuanmu tentang undangan Kiai Pituluh! Aku pun telah mendengar kabar itu, tetapi tidak terlalu banyak!" Setan Kaki Sepuluh mendengus sebentar sebeluin berkata,
"Berarti, kita semua tak mendapatkan
undangan dari Kiai Pituluh! Nah! Apakah itu bukan berarti, kalau Kiai Pituitih mengeyampingkan kita" Tentunya dia telah mengetahui kalau kita berlima telah membentuk sebuah perkumpulan yang dinamakan Perkumpulan Hitam! Tetapi dia tak mengundang kita! Dengan kata lain, dia tidak mengindahkan kita sama sekali!"
"Lantas... apa yang akan kita lakukan?" tanya Ki Kaligi.
"Berita yang kudengar, besok adalah hari di mama para undangan Kiai Pituluh akan hadir! Dan aku tak ingin melewatkan kesempatan untuk turut hadir disana pula: Diundang atau tidak, sama saja bagiku! Aku akan tetap datang! Perlu kalian ketahui, keinginanku ini lebih banyak disebabkan, karena dia tak indahkan kehadiran kita di rimba persilatan!" Tak ada yang buka suara. Namun jelas terlihat kalau masing-masing orang nampak jengkel terhadap Kiai Pituluh. Selain ingin mengetahui apa yang akan terjadi di Kaki Bukit Lumbung, mereka juga hendak unjuk gigi di sana. Tiba-tiba terdengar suara Hantu Jala Sutera,
"Aku ingat, kalau Sepasang Ular Karimun bersahabat dengan Kiai Pituluh! Kemungkinan mereka akan diundang olehnya, sudah pasti! Bagus! Aku pun akan hadir di Kaki Bukit Lumbung besok!"
"Kau hadir ke sana, karena urusan pribadi, atau kebersamaan kita sebagai anggota Perkumpulan Hitam yang sakit hati karena tak diundang olehnya?" seru Setan Kaki Sepuluh sambil menyeringai, penuh
ejekan. Kali ini Hantu Jala Sutera tak hiraukan ejekan itu. Dia berkata,
"Sudah tentu aku hadir karena merasa kesal tak diindahkan oleh Kiai Pituluh!"
"Dan kau berharap Sepasang Ular Karimun hadir pula di sana"!"
"Sudah tentu ya!"
"Dengan harapan kau bisa membunuh mereka selagi kita bersama-sama?".
"Setan Kaki Sepuluh!" menggelegar suara Hantu Jala Sutera yang sesaat pecahkan kesepian di sana. Telunjuknya menuding dan agak bergetar pertanda dia sudah marah.
"Ucapanmu benar-benar tak sedap didengar! Kau berlaku seperti ini karena kau iri padaku, atau ada sebab lain?" Setan Kaki Sepuluh mengangkat kedua bahunya.
"Selama lima tahun kau tak lakukan tindakan apa-apa terhadap musuh bebuyutanmu itu, Sepasang Ular Karimun! Kau lakukan pembalasan atas tindakan mereka terhadapmu, selagi Dewi Ular dalam keadaan lemah karena baru melahirkan! Juga saat itu Pendekar Ular sedang tidak berada di tempat: Dan setelah keduanya berkumpul untuk membalas kematian bayi mereka yang kau bunuh, kau bersembunyi seperti seekor siput! Sekarang, kau nampak bersikap jumawa dan sedang coba perlihatkan taringmu! Tentunya, karena Perkumpulan Hitam akan hadir di sana dan kau akan mendapatkan keuntungan banyak selagi yang lainnya berkumpul! Dengan
harapan, kami akan membantumu, bukan?" Hantu Jala Sutera sudah tak dapat kuasai lagi amarahnya. Dengan gerakan yang tak terlihat, orang bertubuh gemuk ini sudah melesat ke arah Setan Kaki Sepuluh. "Siapapun kau adanya, aku tak peduli! Aku akan tetap merobek mulutmu!!" Wrrrr!! Gelombang angin mendahului jotosan yang diarahkannya pada wajah Setan Kaki Sepuluh. Dari gempuran yang pertama itu saja sudah terlihat kalau Hantu Jala Sutera tak mau bertindak ayal. Dia tak bisa lagi kuasai amarahnya mendengar setiap ejekan Setan Kaki Sepuluh. Di pihak lain, Setan Kaki Sepuluh sendiri tak mau bertindak bodoh. Membiarkan dirinya diserang seperti itu. Mendadak saja kedua tangannya bertumpu pada batu yang didudukinya. Bersamaan dengan itu, kedua kakinya digerakkan ke depan. Dalam satu kejapan, kedua kakinya sudah bergerak sedemikian cepat hingga terlihat menjadi banyak. Blaaammm!! Dorongan angin yang berasal dari jotosan Hantu Jala Sutera terhenti begitu berbenturan dengan gelombang angin yang keluar dari kaki Setan Kaki Sepuluh. Menyusul.... Buk! Buk! Jotosan Hantu Jala Sutera dapat ditahan kaki Setan Kaki Sepuluh. Tindakan Setan Kaki Sepuluh
membuat Hantu.Jala Sutera menjadi panas. Dia mundur sesaat di atas tanah berumput. Di pihak lain, Setan Kaki Sepuluh telah duduk bersila kembali di batu yang didudukinya. Sebelum kedua orang itu buka serangan lagi, Ki Kaligi berkata,
"Kita telah membentuk suatu kesepakatan untuk tetap bersama! Bahkan kita telah membentuk s ebuah perkumpulan, di mana setiap anggotanya saling bantu! Sebagai orang-orang golongan hitam, lawan kita adalah orang-orang golongan putih yang terkadang so k suci untuk selalu ikut campur menghalangi apa yang kita inginkan! Tetapi, bila kalian merasa lebih baik untuk saling menghancurkan, tak ada yang bisa kami lakukan kecuali menganggap telah mendapat satu hiburan!" Kata-kata Ki Kaligi bukan hanya membuat rasa penasaran Hantu Jala Sutera semakin menggunung. Juga membuat Setan Kaki Sepuluh yang sedang men unggu serangan berikutnya menjadi geram.
"Ki Kaligi! Jangan campuri urusanku!"
"lho, lho... bukankah tadi kukatakan, bila kalian ingin terus bertarung silakan! Padahal, aku penasaran untuk mengetahui apa yang akan terjadi di Kaki Bukit Lumbung! Atau... kalian sama-sama melupakan soal itu karena urusan yang tak seberapa ini" Aneh!" Kata-kata Ki Kaligi membuat keduanya tak ada yang buka suara. Namun tatapan masing-masing orang tetap dipenuhi kejengkelan. Hantu.Jala Sutera berkata,
"Setan Kaki Sepuluh!
Untuk saat ini segala urusan kita tunda sampai kita mengetahui apa yang terjadi di Kaki Bukit Lumbung! Setelah itu, kita teruskan lagi masalah ini! Hatiku tidak tenang bila belum melihat mulut rewelmu itu kurobek!" Setan Kaki Sepuluh tak menyahuti ucapan Hantu Jala Sutera. Dia justru berkata,
"Ya! Kita masih akan menghadapi urusan yang belum kita ketahui di Kaki Bukit Lumbung! Di samping itu, aku juga ingin melihat kehebatan Rajawali Emas, yang mudah-mudahan juga datang kesana!" Lalu sambungnya sambil memperhatikan orang-orang disana satu persatu,
"Satu hal yang mungkin kalian tidak ketahui, kalau pemuda celaka itu telah mengalahkan sahabatku, Manusia Tiga Gunung yang ketika beberapa minggu lalu kutemui, dia seperti orang dungu yang tak mau melakukan apapun juga. Terutama kebiasaannya berbuat makar seperti yang biasa kita lakukan. Itu dikarenakan, dia sudah ketakutan bila mengingat Rajawali Emas! Berulang kali pula dia mengatakan, kala u dia sudah berjanji pada pemuda keparat itu, yang bil a dilanggar tentunya akan menghajarnya lagi!" (Bagi ka wan-kawan pembaca yang ingin mengetahui siapa ada nya Manusia Tiga Gunung dan apa yang dilakukan Raja wali Emas terhadapnya, silakan baca :
"Padepokan Keramat" sampai
"Rahasia Baju Antakesuma").
"Berarti... kau juga mempunyai kepentingan lain sebenarnya ketimbang keingintahuanmu ada apa di balik undangan Kiai Pituluh terhadap orang-orang
yang diundangnya?" kata Ki Kaligi, tanpa nada ejekan. Kali ini Setan Kaki Sepuluh rapatkan mulutnya. Matanya mendelik pada Ki Kaligi yang sedang teruskan ucapan,
"Itu artinya... kau memiliki keinginan yang sama dengan Hantu Jala Sutera! Kalau dia berharap Sepasang Ular Karimun hadir disana, kau juga berhadap Rajawali Emas hadir disana pula! Mungkin aku salah bila kuucapkan, kau juga mencoba mengambil kesempatan selagi kami juga hadir di sana. Paling tidak, kau berharap kami tak akan tinggal diam bila terjadi sesuatu antara dirimu dengan Rajawali Emas?" Dari mulut yang mengatup rapat itu, terdengar suara rahang dikertakkan.
"Terkutuk! Seharusnya tak kukatakan soal itu! Huh! Memang itulah yang sebenarnya kuinginkan! Kalau Rajawali Emas berhasil mengalahkan dan membuat Manusia Tiga Gunung seperti orang yang tak memiliki keberanian lagi, berarti dia memiliki ilmu yang tak bisa dipandang sebelah mata!" geram Setan Kaki Sepuluh dalam hati. Dia lebih geram lagi setelah melih at senyuman mengejek di bibir tebal Hantu Jala Sutera. Ning Anggia terkikik seraya berkata,
"Tak perlu lagi kita persoalkan urusan apa yang akan dilakukan masing masing orang di Kaki Bukit Lumbung: Pada nyatanya, kita sama-sama sakit hati karena tak dipandang oleh Kiai Pituluh! Berarti, urusan yang barusan terjadi telah selesai. Sekarang... untuk apa membuang waktu lagi" Bukankan lebih baik kita segeri berangkat menuju Kaki Bukit Lumbung" Kalau tak salah ingat, tempat itu cukup jauh dari sini sementa ra waktu sangat mendesak!" Manusia Katak berkata,
"Kau benar, Ning Anggia! Ayo, apa lagi yang kita tunggu"!" Habis ucapannya, orang yang duduk berjongkok ini melompat ke atas tanah. Lompatannya sangat ringan dan tak ubahnya seperti katak. Bila Manusia Katak yang mengenakan pakaian serba hijau ini mau, dia dapat melompat sejauh delapan tombak tanpa kerahkan ilmu peringan tubuh. Apa yang dilakukan oleh Manusia Katak pun diikuti oleh yang lainnya. Hantu.Jala Sutera menetap tajam-tajam pada Setan Kaki Sepuluh yang membalas tak kalah tajamnya. Keduanya tak ada yang buka suara. Dengan kerahkan ilmu peringan tubuh, masing masing orang keluar dari lembah yang sunyi itu. Laksana berlomba agar tiba di Kaki Bukit Lumbung tepat pada waktunya. Bab 4 Mal AM semakin beranjak. Keheningan tetap terjaga. Arakan awan hitam telah lalui rembulan hingga saat ini sang Penguasa Malam bebas bersinar. Kembali ke tempat semula, pemuda berpakaian keemasan yang dilengan kanan kirinya terdapat rajahan burung rajawali menatap tak berkedip pada perempuan tua yang telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari hadapannya. Karena saat ini rembulan bersinar cukup terang, Rajawali Emas dapat melihat dengan jelas sosok perempuan di hadapannya. Perempuan itu diperkirakan berusia sekitar enam puluh lima tahun. Parasnya dipenuhi keriput. Rambutnya putih panjang tak beraturan. Mengenakan pakaian putih agak kusam. Di pinggangnya melilit selendang berwarna kuning. Bibirnya yang keriput, mampak tersaput gincu yang cukup tebal. Sejenak anak muda dari Gunung Rajawali tak keluarkan ucapan apa-apa. Hanya memandang tak berkedip. Si nenek sendiri tak angkat bicara, hingga suasana semakin sepi. - Setelah beberapa saat keheningan itu terjadi, si nenek buka mulut,
"Sejak pertama, aku melihatmu tadi, aku sudah yakin kalau kau adalah pemuda yang kulihat beberapa hari lalu"! Pemuda yang sejenak
membuat perjalananku terhenti! Anak muda... apakah kau mau memungkiri keadaan itu?" Rajawali Emas kembangkan senyum. Seraya mengangguk dia berkata,
"Tak mungkin aku memungkirinya, Nek. Aku pun ingat soal itu. Kau sedang berkelebat dan cukup mengejutkanku yang kala itu sedang memikirkan seseorang yang juga berkelebat tak jauh dari tempatku. Lalu kau hentikan kelebatanmu. Setelab itu langsung berkelebat lagi tanpa berucap apa-apa. Mana mungkin aku lupa soal itu?" Si nenek mendengus.
"Kala itu kau hadir seorang diri. Dan sekarang kau bersama dengan burung rajawali raksasa berwarma keemasan yang tentunya kau perintahkan pergi setelah mengetahui kehadiranku! Telah lama aku mendengar kabar tentang seekor burung rajawali : raksasa berwarna keemasan yang dimiliki oleh seorang pemuda dari Gunung Rajawali: Bila kau bukan orang yang pandai menyamar, apakah salah bila kukatakan kau adalah Rajawali Emas"!" Sekali lagi Tirta mengangguk.
"Kau tak salah, Nek," sahutnya sopan lalu menyambung dalam hati,
"Setiap kali dia berucap, tak pernah terdengar ramah, lembut atau sopan. Selalu keras dan penuh ancaman. Tetapi nampaknya, dia juga termasuk orang yang mau mempergunakan otaknya. Siapakah si nenek yang nampaknya memiliki sifat pemarah ini?"
"Kalau begitu, kau tentunya yang telah membantu Kiai Pituluh tatkala diserang oleh Kiai Hanum
Biru yang hendak mendapatkan Baju Antakesuma?"
"Sekali lagi, kubenarkan apa yang kau katakan, Nek!"
"Bagus! Itu artinya... kau juga diundang oleh Kiai Pituluh ke Kaki Bukit Lumbung?" Menegak kepala Rajawali Emas begitu mendengar pertanyaan sinenek. Sepasang matanya tak berkedip memandang pada si nenek yang sedang mendengus. "Ketika aku berjumpa dengannya walaupun hanya sekejap, aku menduga kalau dia ada satu urusan penting karena terlihat begitu terburu-buru. Dan dugaanku itu ternyata benar. Hanya aku tak menduga kalau dia juga diundang oleh Kiai Pituluh. Berarti, tak perlu menutupi apa yang hendak kulakukan sekarang...." - Berpikir demikian, anak muda tampan ini anggukkan kepala.
"Lagi-lagi kubenarkan apa yang kau katakan, Nek. Ya, sebelum aku berpisah dengannya di Padepokan Sang Kurdi, Kiai Pituluh memintaku untuk menjumpainya di Kaki Bukit Lumbung."
"Bagus! Berarti kini kuketahui, kalau bukan hanya aku yang diundang olehnya! Anak muda... apakah kau tahu sebab-sebab dia mengundangmu?" Tirta gelengkan kepala.
"Sayang, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu itu, Nek. Bagaimana dengan kau sendiri?" Gantisi nenek gelengkan kepala.
"Aku juga tidak tahu mengapa aki-aki itu mengundangku ke sana" Suatu hari mendadak saja dia muncul dihadapanku. Kemunculannya hanya singkat saja Tetapi jelas apa yang dikatakannya, kalau dia mengundangku ke Kaki Bukit Lumbung. Apakah kau tidak berpikir, kalau tindakannya itu menjengkelkanku" Mengundang tanpa basa-basi, setelah itu langsung pergi! Ini benar-benar keterlaluan! Bila saja aku tak mengenal kebiasaannya, sudah kukejar dia dan kuhajar habis-habisan!"
"Sekarang ini, apa yang akan kau lakukan?"
"Pertanyaan bodoh! Sudah tentu aku akan datang kesana!" bentaksi nenek keras. Tirta nyengir dibentak seperti itu. Padahal sebenarnya, dia mencoba mencari kejelasan dari apa yang diucapkan si nenek. Karena saat ini, anak muda dari Gunung Rajawali itu memiliki satu pikiran yang tidak enak. Dia mencurigai si nenek. Bisa jadi si nenek hanya mengaku-ngaku mendapatkan undangan dari Kiai Pituluh padahal memiliki maksud lain. Di rimba persilatan yang semakin kacau ini, segala sesuatu bisa saja terjadi. Tetapi sekarang, rasa curiga itu lenyap sudah. Tirta yakin kalau si nenek mengucapkan yang sebenarnya.
"Besok adalah waktu yang ditetapkan oleh Kiai Pituluh agar kita segera tiba di sana! Dan menurut keyakinanku, bukan hanya kita yang diundang olehnya! Masih ada beberapa orang yang mungkin cukup banyak jumlahnya! Nek! Pernahkah terlintas dalam pikiranmu, akan kehadiran tokoh-tokoh sesat yang
kemungkinan mengacaukan pertemuan itu?" Si nenek mendengus.
"Peduli setan apakah mereka memang akan hadir di sana atau tidak! Aku tak peduli sama sekali!"
"Selain memiliki sifat pemarah, nampaknya si nenek juga memiliki sifat tak mau peduli dengan sekelilingnya. Tapi... aku tak begitu yakin dengan kemungkinan kedua ini," kata Tirta dalam hati. Lalu katanya lagi,
"Mengingat waktu yang sudah mendesak, apakah tidak sebaiknya kita segera berangkau?"
"Kau benar! Tapi, aku tak ingin pergi bersama sama denganmu! Kita menempuh jalan masing-masing untuk tiba di Kaki Bukit Lumbung!" Tirta tertawa dalam hati.
"Lagi pula, siapa sih yang mau pergi bersama sama dengannya?" desisnya. Lalu berkata,
"Sebelum kita berpisah, sudikah kau mengatakan siapakah namamu?"
"Untuk saat ini kau tak perlu mengetahui siapa namaku! Karena, tak lama lagi tentunya kau akan tahu juga soal itu! Satu hal lagi yang masih kupikirkan! Tadi kau mengatakan, sebelum melihatku berkelebat waktu itu, kau melihat satu sosok tubuh berkelebat sedemikian cepat. Siapakah dia?" Tirta gelengkan kepalanya.
"Kelebatan orang itu begitu cepat hingga aku tak dapat mengenalinya. Jangankan mengenalinya, mengetahui lelaki atau perempuankah orang itu, tak bisa kulakukan."
"Berapa lamakah jaraknya antara kelebatan orang itu dengan pertemuan singkat kita?" .
"Tak begitu lama."
"Dan kau tak bisa mengatakan sesuatu te ntang orang yang berkelebat?" Pertanyaan si nenek ya ng terdengar agak mendesak, membuat Tirta harus ker utkan keningnya.
"Nampaknya si nenek mencurigai sesuatu. Atau mungkin seseorang. Nampaknya pula, kalau dia mengkhawatirkan orang yang kulihat sebelumnya," kata Tirta dalam hati. Lalu sambil tersenyum, anak. muda itu berkata,
"Yang bisa kukatakan, kalau orang itu kemungkinannya mengenakan pakaian berwarna kuning. Karena, hanya bayangan kuninglah yang kulihat. Dan dia berkelebat ke arah yang kemudian kau tempuh." Kali ini ganti si nenek yang kerutkan keningnya. Sepasang matanya yang celong ke dalam, memandang tak berkedip pada Tirta. Agak menyipit. Bibirny yang tersaput gincu tebal merapat. Mendadak dia mendengus.
"Huh! Bisa jadi dia adalah si kakek keparat berjuluk Manusia Pemberang! Setan terkutuk! Memilik keadaannya, dia nampaknya sedang menuju ke Kaki Bukit Lumbung!" Tirta segera menyambar,
"Siapakah orang berjuluk Manusia Pemberang itu, Nek"!" Sepasang mata si nenek melotot.
"Pemuda lancang! Jangan banyak tanya terhadapku! Lupakan soal Manusia Pemberang!" geramnya tiba-tiba. Lalu sambungnya setelah mendengus,
"Kita berjumpa di Kaki Bukit Lumbung!" Habis ucapannya, si nenek berpakaian putih kusam ini sudah berkelebat lagi. Kelebatannya sungguh cepat, membuat Rajawali Emas geleng-gelengkan kepalanya.
"Hebat!" desisnya kagum. Lalu dia terdiam seperti ada yang dipikirkannya. Menyusul kembali terdengar desisannya,
"Aku seperti menangkap, ada sesuatu yang disembunyikannya.... Terutama tentangsi Bayangan Kuning yang diduganya adalah orang berjuluk Manusia Pemberang...." Kembali dia terdiam sebelum terlihat geleng gelengkan kepalanya.
"Ah, aku tak boleh berprasangka dulu." Dibawanya pandangannya menatap angkasa yang agak redup,
"Bwana tak nampak lagi bayangannya. Sebaiknya... aku segera pergi ke Kaki Bukit Lumbung...." Tiga kejapan mata berikutnya, yang terlihat hanyalah satu bayangan keemasan yang berlari melintasi padang rumput yang luas itu. .
----- Di sebelah timur dari tempat bertemunya Rajawali Emas dengan sinenek berpakaian putih, seorang lelaki berpakaian kuning nampak sedang hentikan kelebatannya. Orang ini memiliki tubuh yang agak membungkuk. Pakaian kuning yang dikenakannya
terbuka di bagian dada, dan memperlihatkan dada tipis serta rangkaian tulang yang menonjol keluar. Di keningnya terdapat ikat kepala yang berwarna sama dengan pakaian yang dikenakannya. Mendadak kakek yang berusia sekitar tujuh puluh tiga tahun ini keluarkan dengusan bersamaan kepalanya ditolehkan ke kanan. Saat kepalanya digerakkan, rambut putihnya yang dikuncir ekor kuda bergerak.
"Huh! Kalau tak salah ingat, di sanalah Kaki Bukit Lumbung berada! Sebuah tempat yang sunyi dan dipenuhi bebatuan!Tempat dimana Kiai Pituluh selalu berada!" Kembali si kakek berpakaian kuning ini tutup mulutnya. Tetapi napasnya mendengus-dengus.
"Sungguh keparat si Pituluh! Berita yang kudengar saat ini, kalau dia telah mengundang beberapa orang untuk hadir di Kaki Bukit Lumbung! Tetapi dia tak mengundangku! Keparat betul! Bila berjumpa dengannya, aku akan tanyakan alasan mengapa dia tak mengundangku! Bila alasan itu tak berkenan, akan kupatahkan kedua tangannya!!" Kembalisi kakek yang sedang gusar ini terdiam. Tatapannya diarahkan lurus-lurus ke depan. Penuh kejengkelan. Lamat-lamat dia buka mulut lagi, tetapi tidak seperti semula yang mengandung kejengkelan,
"Di luar dia tidak mengundangku, aku sedikit penasaran, ada apa sebenarnya dia mengundang beberapa orang tokoh untuk hadir di Kaki Bukit Lumbung" Apakah
ini berkaitan dengan hancurnya Padepokan Sang Kurdi yang dipimpinnya" Atau ada hubungannya dengan Baju Antakesuma yang hendak direbut oleh Hanum Biru" Atau... busyet! Kebanyakan atau, hingga otakku jadi mau meledak! Huh! Dari pada bikin repot, mendingan aku langsung saja ke Kaki Bukit Lumbung!"
Terdengar selanjutnya si kakek bicara uring uringan sendiri, sebelum akhirnya tinggalkan tempat itu.
Bab 5 BEGitu ayam jantan berkokok, pagi pun telah tiba. Berulang kali suara kokokan ayam jantan terdengar, membangunkan matahari. membangunkan embun embun dan menebarkan segala kegiatan yang selalu dimulai sejak pagi. Pagi cerah. Sinar redup matahari yang masih merupakan bias merahindah diufuk timur, menyebar membayangi puncak sebuah bukit. Udara dingin seperti tak mau bergerak. Demikian pula dengan gumpalan kabut dibeberapa tempat. Terutama pada puncak bukit yang landai dan terjal. Di kaki bukit itu, nampak satu sosok tubuh berpakaian putih panjang sedang berdiri tegak di atas sebuah batu. Sikapnya gagah. Pakaiannya bergebyar gebyar tertiup angin pagi. Demikian pula dengan kumis dan jenggot putihnya. Tangan kirinya bersedekap di dada, sementara tangan kanannya memainkan butiran tasbih berwarna keperakan. Di udara yang sedemikian dingin seperti ini, lelaki tua itu nampak tak terpengaruh sedikit juga. Pancaran teduh sepasang mata si kakek, menatap tak berkedip ke depan. Dari caranya menatap, jelas dia sedang menunggu sesuatu yang diperkirakan bakal datang. Suasana hening,
Mendadak saja mulutnya mengembang membentuk senyuman. Menyusul si kakek yang di kepalanya terdapat sebuah sorban putih yang pada tengahnya terdapat sebuah batu yang pancarkan sinar hijau mendesis,
"Nampaknya sudah ada yang datang...." Senyuman pada bibir keriput si kakek masih ber- kembang. Makin berkembang tatkala sepasang matanya yang tajam menangkap kelebatan duasosok tubuh yang melompati beberapa buah batu dengan gerakan lincah. Semakin lama sosok dua orang yang baru datang ini semakin jelas.
"Sepasang Ular Karimun...," desis si kakek tetap tersenyum. Dua sosok tubuh yang dilihatnya, kini sudah berada pada jarak sekitar lima belas tombak. Dan dengan gerakan yang lincah, kedua orang itu pun hentikan langkah sejarak delapan langkah dari tempat si kakek. Masing-masing orang segera rangkapkan kedua langan di depan dada. Tak ada desah napas terengah. Tak ada gerakan dada naik turun,
"Salam hormat kami untukmu seorang, Kiai Piluluh...." Si kakek tertawa kecil.
"Selamat datang kuucapkan pada kalian, Sepasang Ular Karimun! Maaf, nampaknya sambutanku kurang pada tempatnya! Tetapi, aku yakin, Kaki Bukit Lumbung adalah sebuah tempat yang indah!"
Dua orang yang baru datang dan bukan lai: Sepasang Ular Karimun sama-sama tersenyum. Pendekar Ular segera berkata,
"Kami memang tak ingin terlambat sekejap pun juga untuk tiba di Kaki Bukit Lumbung! Hingga rasanya, kami terpaksa meniadi orang pertama yang datang ke tempat ini!"
"Dari ucapanmu, nampaknya kau begitu yakin, kalau bukan hanya kau dan istrimu yang kuundang ke sini, Pendekar Ular!" Sesaat wajah Gala Sulang alias Pendekar Ular memerah.
"Maafkan kelancanganku menebak...." "Dan rasanya... aku memang tak perlu menyembunyikan apa pun sekarang! Kau benar, Pendekar Ular! Memang masih ada beberapa orang yang kutunggu disini!"
"Apakah Hantu Jala Sutera juga kau undang?" pertanyaan itu keluar dari mulut Harum Murti alias Dewi UIar. Kiai Pituluh tak segera menjawab. Dia hanya memperhatikan bagaimana. Pendekar Ular melirik istrinya dengan pandangan masygul, sementara yang dilirik tak hiraukan lirikan itu. Malah memandang pada Kiai Pituluh lekat-lekat, penuh harap kalau si kakek menganggukkan kepalanya. Tetapi sayang si Kakek justru gelengkan kepalanya.
"Bila kau beranggapan, Hantu Jala Sutera kuundang... maafkan aku, Dewi Ular. Aku tidak mengundangnya untuk hadir di Kaki Bukit Lumbung...."
Dewi Ular mendesah pelan. Wajahnya menyiratkan sedikit kekecewaan. Kiai Pituluh berkala lagi, "Dari nada bicaramu, kau nampak sangat berharap kalau orang itu kutindas. Berarti, kemungkinan memang ada satu masalah yang sedang kau hadapi yang tentunya berkaitan dengan orang itu. Bila kau tak keberatan, sudikah kau mengatakannya kepadaku?" Bukannya Dewi Ular yang menyahut, justru suaminya yang buru-buru berkata,


Rajawali Emas 48. Prahara Di Bukit Lumbung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maafkan kelancangan istriku, Kiai! Tetapi tak kupungkiri kalau saat ini, kami memang sedang mencari Hantu Jala Sutera! Hanya saja, kupikir tak pantas rasanya diberitahukan kepadamu...." Kiai Pituluh tersenyum bijak.
"Bila kalian keberatan mengatakannya, aku tak pernah memaksa sedikit juga.... Sekali lagi kukatakan, aku tak mengadakan acara penyambutan. Apakah kalian sudi untuk berdiri disamping kananku?" Pendekar Ular mengangguk dan mengajak istrinya untuk memenuhi permintaan Kiai Pituluh. Dewi Ular sesaat masih terbawa rasa kecewanya mengingat orang yang telah membunuh bayinya kemungkinan tak hadir disini, karena tak diundang.Tetapi tiba-tiba saja senyum mengembang pada bibirnya. Hal itu tak luput dari perhatian suaminya.
"Hemmm... tentunya dia tetap berkeyakinan kalau berita mengenai undangan Kiai Pituluh telah menyebar. Dan kemungkinannya, Hantu Jala Sutera juga hadir di sini...."
Terdengar suara Kiai Pituluh berkata,
"Dewi Alam Semesta nampaknya telah datang...." Sepasang Ular Karimun segera picingkan mata. Mereka tak melihat satu sosok tubuh yang bergerak mendekat, namun setelah beberapa kejap mereka dapat mendengar satu kelebatan, cepat, ringan dan tangkas. Dua kejapan mata berikutnya, nampak satu sosok tubuh berpakaian kuning keperakan telah muncul. Langsung buka suara,
"Semula tak ingin kuindahkan undanganmu ini, Pituluh! Tetapi, aku jadi penasaran juga! Makanya aku datang!"
"Dewi Alam Semesta... kuucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena kau mau hadir pula di Kaki Bukit Lumbung!" sahut Kiai Pituluh.
"Tetapi aku yakin, kadar kepentingan yang akan kau dapatkan, dapat kau sisihkan dengan melihat keindahan di Kaki Bukit Lumbung!" Perempuan berpakaian kuning keperakan yang telah hentikan langkahnya tersenyum. Parasnya jelita dengan kulit segar agak kemerahan. Rambutnya hitam legam, tergerai hingga pinggang. Di lehernya melilit sebuah pita berwarna sama dengan pakaian yang dikenakannya. Melihat paras jelitanya dan bentuk tubuh indah menawan, orang akan menduga kalau perempuan berjuluk Dewi Alam Semesta ini berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Padahal tidak sama sekali. Perempuan jelita yang di kedua lengannya melilit tali berwarna kuning keperakan ini berusia sekitar enam puluh tahun!.
"Keindahan Kaki Bukit Lumbung telah terdengar sampai ke Ngarai Bulan! Dan tak kusangsikan lagi keindahannya sekarang! Kiai Pituluh... apakah kita masih harus menunggu seseorang atau beberapa orang?"
"Kau benar" "Berarti... kau belum akan mengatakan sebab sebab kau mengundang kami ke Kaki Bukit Lumbung, bukan?"
"Maafkan kalau aku membuatmu penasaran."
"Undanganmu ini tentunya untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting, karena tak biasanya kau lakukan tindakan seperti ini! Tapi sebelumnya, aku minta maaf, karena tak bisa membantumu disaat Padepokan Sang Kurdi diserang oleh orang-orang biadab seperti Kiai Hanum Biru, Kiai Buto Ireng, si Tangan Baja dan Manusia Tiga Gunung!"
"Tak perlu meminta maaf persoalan yang telah lalu Karena, kau pun tak ada sangkut pautnya dengan urusan itu! Sungguh malu rasanya bila kau mun cul untuk membantuku!" Perempuan jelita itu tersenyu m. Masih tersenyum dia melangkah ke tempat di mana Sepasang Ular Karimun berdiri. Tersenyum sejenak yan g dibalas oleh sepasang suami-istri berpakaian terbuat dari kulit ular itu. Kembali tak ada yang buka suara. Ter dengar lagi suara Kiai Pituluh,
"Hemmm.... Nyi Ageng Kalasan telah datang...." Bersamaan Kiai Pituluh berucap demikian, Dewi
Alam Semesta mendesis, "Dari caranya bergerak, tak salah bila kukatakan Nyi Ageng Kalasan yang datang sekarang...." Hanya Sepasang Ular Karimun yang terdiam, tetapi mendengar satu kelebatan yang semakin mendekat ke arah tempat itu. Lima kejapan mata kemudian, seorang nenek berpakaian putih telah hentikan langkahnya sejarak lima langkah dari hadapan Kiai Pituluh. Si nenek yang pada pinggangnya melilit selendang berwarna kuning itu belum apa-apa sudah keluarkan dengusan. Matanya menyorot tajam pada Kiai Pituluh. Bibir keriputnya yang tersaput gincu lebal membentuk senyuman mengejek.
"Kau terlalu lancang mengundangku dengan cara seperti ini tanpa sambutan apa-apa! Apakah kau sudah tak hargai aku lagi, hah"!" Kiai Pituluh tetap sedekapkan tangan kirinya di dada sementara tangan kanannya masih menghitung butiran tasbih keperakannya. "Nyi Ageng Kalasan... aku memohon beribu maaf bila kau lak berkenan dengan caraku mengundang. Tetapi, bukankah masalah itu tak perlu lagi kita pikirkan?"
Lentera Maut 4 Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah Relikui Kematian 10

Cari Blog Ini