Ceritasilat Novel Online

Prahara Di Bukit Lumbung 2

Rajawali Emas 48. Prahara Di Bukit Lumbung Bagian 2


"Bicara memang mudah!" dengus si nenek.
"Tapi pada nyatanya, aku telah tersinggung dengan caramu mengundang!"
"Sekali lagi aku mohon maaf!"
"Maaf, maaft! Sejak tadi kau hanya bisa bilang maaf dan maaf! Pituluh!Apakah kau tak memikirkan
satu kemungkinan, kalau undanganmu ini justru memancing rasa penasaran dari orang-orang sesat" Dan jangan membuang waktuku hanya untuk mendengarkan satu pembicaraan tak berguna!"
"Kau belum melihat kadar kegunaannya, Nyi! Sekarang, apakah kau berkenan bila kuminta kau berjajar dengan Sepasang Ular Karimun dan Dewi Alam Semesta?" Melotot sepasang mata Nyi Ageng Kalasan.
"Kau memintaku seperti itu, tetapi kau masih berdiri di atas batu" Keparat betul kau ini, Pituluh! Tindakanmu itu sudah membuatku muak, dan kau tambah lagi dengan permintaan yang kutangkap sebagai perintah!" Kiai Pituluh melompat turun.
"Bukankah sekarang kita sejajar?"
"Dan aku berdiri di belakangmu?" Kiai Pituluh tersenyum. .
"Maafkan aku. Silakan kau memilih tempat di mana kau suka sebelum pembicaraan ini kita mulai...." Kendati mulutnya masih mendumal, tetapi Nyi Ageng Kalasan berdiri pula berjajar dengan Sepasang Ular Karimun dan Dewi Alam Semesta. Tiga orang yang telah datang itu sama sekali tak tersinggung melihat sikap si nenek yang melecehkan Kiai Piluluh. Karena selain mereka tahu kalau Nyi Ageng Kalasan adalah sahabat dekat dengan Kiai Pituluh, mereka juga tahu sifat kasar dan pemarah si nenek. Padahal hatinya, begitu lembut.
Kembali suasana hening. Bias-bias matahari kini sudah membentuk sinar. Tak begitu menyengat. Namun udara dingin masih terjaga dan kabut-kabut tebal masih terbentuk. Tak lama kemudian, satu sosok tubuh berpakaian keemasan telah tiba ditempat itu. Kalau wajah Kiai Pituluh menjadi cerah, Nyi Ageng Kalasan justru mendengus. Si pendatang yang bukan lain adalah Tirta alias Rajawali Emas, rangkapkan kedua tangannya di depan dada. - "Kita berjumpa lagi, Kiai:."
"Anak muda... kupikir kau tak akan datang ke Kaki Bukit Lumbung...." Tirta tersenyum.
"Kendati aku tak mengerti maksud undanganmu ini, tetapi aku tetap akan datang."
"Berarti si Tangan Baja telah menyampaikan pesanku ini."
"Kau benar, Kiai."
"Kuucapkan terima kasih padamu." Tirta hanya anggukkan kepala. Lalu berkata,
"Kiai... benda sakti yang diinginkan oleh Kiai Hanum Biru yang saat ini entah berada di mana, ada pada sahabatku. Jadi, maafkan aku, kalau sekarang belum dapat kukembalikan kepadamu..."
"Kita lupakan dulu persoalan itu.... Anak muda. sudikah kau berjajar dengan yang lainnya?" Tirta anggukkan kepala dan melangkah. Nyi Ageng Kalasan keluarkan dengusan.
"Kupikir, kau tak akan tiba di tempat ini!"
"Nyatanya, kedua kakiku telah menginjak Kaki Bukit Lumbung, Nck!" sahut Tirta sambil berdiri di samping si nenek. Sebelum si nenek buka mulut lagi, mendadak saja terdengar dengusan yang sangat keras. Orang yang mendengus itu belum muncul, tetapi dengusannya seperti menyentak pagi. Menyentak orang-orang yang berada di sana termasuk Kiai Pituluh. Kalau yang lainnya harus kerutkan kening, Kiai Pituluh justru tersenyum.
"Siapa lagi orangnya yang suka mendengus seperti ini bila bukan Manusia Pemberang" Hemm... dari dengusannya yang terdengar, tentunya dia berang karena aku tak mengundangnya."
"Pituluh! Cepat kau katakan mengapa kau tidak mengundangku! Bila kau tak memiliki alasan yang tepat, akan kupatahkan kedua tanganmu!!" Kiai Pituluh menyahut,
"Maafkan tindakan itu. Tetapi, aku memang tak mengundangmu."
"Mengapa"!" sahut suara yang orangnya belum kelihatan.
"Aku tak ingin hanya membuang waktumu bila ternyata yang akan kubicarakan di sini tak ada gunanya bagimu!" - Dengusan keras terdengar.
"Alasan! Ayo, kau patahkan kedua lenganmu! Atau... aku yang akan mematahkannya!!" Bukannya Kiai Pituluh yang menyahut, Nyi Ageng Kalasan sudah bersuara gusar,"Kakek celaka!
Mau apa kau hadir di sini, hah"i Kalau kau tidak diundang, tak pantas kau hadir: Kalaupun kau mau hadir, tak sepantasnya kau menjadi berang seperti itu!"
"Nyi Ageng Kalasan! Sejak muda mulutmu sudah come!! Tapi sejak dulu aku selalu menahan untuk merobek mulutmu! Kali ini, sekali lagi kaucomel, aku tak segan-segan untuk robek mulutmu!!" Mengkelap wajah si nenek.
"Eh, setan betul kau omong! Kau pikir aku takut menghadapimu, hah"!"
"Eh, eh... kau tidak takut" Tidak takut" Betul betul ingin kurobek mulut comelmu itu"
"Jangan asal bicara! Tampakkan wajah jelekmu itu biar aku dapat menghajarmu!!" - Belum habis ucapan Nyi Ageng Kalasan terdengar, mendadak saja angin berhembus lebih kencang. Tahu-tahu, telah berdiri satu sosok tubuh berpakaian kuning yang langsung bicara.
"Ayo! Sini hajar aku! Hajar! Atau kau yang akan kuhajar:!" Nyi Ageng Kalasan sudah menerjang sebelum ucapan lelaki tua berpakaian kuning itu habis terdengar. Lesatan tubuhnya sedemikian cepat hingga yang nampak hanyalah bayangan putih belaka. Dalam jarak yang tak begitu jauh, kelihatannya si kakek berambut dikuncir kuda itu tak akan bisa menghindari serangan si nenek. Jangankan untuk menghindar, menahan saja tak mungkin dilakukan. Tapi dengan kecepatan yang benar-benar sukar
diikuti oleh mata, tangan kanan si kakek sudah bergerak ke depan. Buk: Buk: Benturan yang terjadi itu membuat Nyi Ageng Kalasan memekik tertahan sebelum surutkan langkah. Di seberang, si kakek yang pakaiannya terbuka di bagian dada dan memperlihatkan tonjolan tulang pun surut tiga tindak ke belakang.
"Brengsek! Kau masih tetap hebat rupanya!" dengusnya.
"Dan kau akan melihat lagi kehebatanku yang lain!"balas Nyi Ageng Kalasan keras. Sebelum dua tokoh kosen itu saling gebrak lagi, Kiai Pituluh sudah berkata,
"Aku mengundang kalian bukan untuk menyaksikan pertengkaran di antara kalian! Bila ternyata kalian tak berkenan dengan undanganku, tak mengapa bila kalian berlalu dari Kaki Bukii Lumbung." Ucapan itu bernada datar dan lembut, namun baik Nyi Ageng Kalasan dan Manusia Pemberang mendengarnya seperti satu sentakan! Mereka sama sama palingkan kepala pada Kiai Pitutuh yang sedang berkata,
"Pendekar. Buntung telah tiba.... Berarti, pembicaraan bisa kita mulai...."
Bab 6 - BuKAN hanya Nyi Ageng Kalasan dan Manusia Pemberang yang arahkan pandangan ke depan. Sepasang Ular Karimun, Dewi Alam Semesta dan Rajawali Emas pun lakukan hal yang sama. Anak muda dari Gunung Rajawali itu membatin,
"Ternyata... masih terlalu banyak aku harus mengenal para tokoh rimba persilatan. Sejak pengembaraanku setelah meninggalkan Gunung Rajawali, entah sudah berpuluh tokoh yang harus kukenal baik dari golongan putih maupun golongan hitam. Dan sekarang, seseorang berjuluk Pendekar Buntungpun harus kukenal pula...." - Suasana menjadi hening setelah Kiai Pituluh berucap tadi. Selang delapan kejapan mata, nampak satu sosok tubuh gerak sedemikian lincah. Dari gerakan yang dilakukannya, jelas-jelas orang yang baru datang itu tak menginjak tanah. Setelah dekat, memang jelas orang itu tak men ginjak tanah. Karena. kedua kakinya buntung! Hanya ce lana hitam yang menggelar tanpa isi. Orang yang baru datang itu berparas tampan tanpa kumis maupun jeng got. Di kedua ketiaknya, tersampir dua buah kayu ber warna hitam, sama dengan pakaian yang dikenakanny a. Pada kedua pergelangan tangannya terdapat dua bu ah gelang ter
buat dari akar pohon yang telah mengeras.
"Maafkan aku... mungkin akulah orang yang datang paling terakhir...," katanya sopan. Kata-katanya itu ditanggapi biasa saja oleh yang lainnya, karena jelas-jelas orang itu hanya menduga. Tetapi tidak halnya dengan Kiai Piluluh. Kakek yang di kepalanya terdapat sebuah sorban putih dan pada tengah sorban itu terdapat sebuah batu yang pancarkan sinar hijau tersenyum.
"Kau memang tetap hebat, Pendekar Buntung! Kau dapat mengetahui kalau kaulah yang memang terakhir sedang kami tunggu!"
"Ah, maafkan ucapanku tadi. Kiai...,"sahut Pendekar Buntung yang berdiri dengan bertumpu pada kedua tongkat hitamnya.
"Aku hanya menebak dan menyangka memang demikian adanya." Dari caranya berdiri yang begitu santai, sudah menandakan kalau orang itu memiliki keseimbangan yang tinggi Kiai Pituluh segera putar tubuh. Sambil perhatikan hadirin satu persatu dia berkata,
"Kini telah berkumpul para undanganku! Dan rasanya, kita tak boleh buang waktu lagi! Sebaiknya...."
"Tunggu!" putus Manusia Pemberang dengan mata inclotot.
"Apakah dengan ucapanmu barusan kau menganggap aku juga sebagai undangan"!" Kiai Pituluh tersenyum.
"Demikianlah adanya...."
"huh! Kau berlaku seperti itu karena tak ingin kedua tanganmu kupatahkan, Pituluh!"
Bukannya Kiai Pituluh yang menyahut, Nyi Ageng Kalasan yang membentak.
"Banyak omong! Kau sudah ditetapkan sebagai orang yang diundang pun masih banyak bicara! Tutup mulutmu! Dan dengarkan apa yang akan dikatakan Kiai Pituluh!" Seketika Manusia Pemberang arahkan pandangannya tajam-tajam pada Nyi Ageng Kalasan. Tetapi sebelum dia buka mulut, Rajawali Emas sudah berkata,
"Apakah tidak sebaiknya kita dengarkan dulu . sebab-sebab Kiai Pituluh mengundang kita" Kupikir, bukanlah pada tempat dan waktunya harus saling bersitegang!" Kalau Nyi Ageng Kalasan hanya melolot, Manusia Pemberang sudah keluarkan bentakan ,
"Anak muda celaka! Siapa kau yang berani banyak omong, hah"!" Tirta rangkapkan kedua tangannya.
"Namaku Tirta. Aku datang dari Gunung Rajawali. Dan orang-orang rimba persilatan menjulukiku Rajawali Emas. Manusia Pemberang... terimalah salam hormatku...." Ditempatnya, Manusia Pemberang terdiam. Hanya matanya yang melotot dan keningnya yang berkerut. Kiai Pituluh berkata lagi,"Sebaiknya... kita mulai saja untuk mengetahui mengapa aku mengundang kalian...." Kali ini tak ada yang keluarkan ucapan kendati sesekali terdengar dengusan dari mulut Manusia
Pemberang. "Aku yakin, kalian sangat penasaran mengapa aku mengundang kalian datang ke Kaki Bukit Lumbung," kata Kiai Pituluh.
"Mungkin pula ada yang menduga kalau undanganku ini berhubungan dengan hancurnya Paulepokan Sang Kurdi yang telah kupimpin. Tidak! Bukan itu yang akan kubicarakan!" Kiai Pituluh terdiam dengan edarkan pandangan. Setelah merasa tak ada yang buka suara, dia teruskan ucapan,
"Mungkin, tak seorang pun yang mengetahui kalau pada purnama mendatang, sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Sesuatu yang tak akan pernah kalian bayangkan sama sekali. Sesuatu yang benar-benar di luar akal! Sesuatu yang...."
"Jangan berbelit-belit!" putus Manusia Pemberang. Kiai Pituluh tetap bersikap sopan,
"Maafkan aku...," desisnya. Lalu melanjutkan,
"Telah kuhitung tahun demi tahun yang berlalu, semenjak aku berpisah dengan Kiai Biang Teruno. Kalian tentunya tahu, siapa Kiai Biang Teruno adanya. Dia adalah guruku, juga guru Kiai Hanum Biru yang entah berada di mana sekarang. Sebelum Kiai Biang Teruno menyerahkan Baju Antakesuma kepadaku, dia juga menceritakan sesuatu yang benar-benar sulit diterima oleh akal."
"Tunggu! Apakah kau juga akan berkata kalau Kiai Biang Teruno menceritakan masalah yang akan kau ceritakan ini, juga pada Hanum Biru?"
"Kau benar, Nyi.... Kiai Hanum Biru juga mengetahui persoalan ini. Itulah sebabnya, dia menginginkan Baju Antakesuma, yang kupikir akan dipergunakannya untuk mempertahankan diri. Tetapi tak mengurungkan kemungkinan kalau dia juga akan mempergunakannya untuk meneruskan ambisi kotor di benaknya...."
"Teruskan! Tak perlu bicara soal Hanum Biru!" seru Manusia Pemberang. Di pihak lain, Rajawali Emas membatin,
"Nampaknya... Kiai Hanum Biru akan muncul lagi. Aku ingat, bagaimana orang berjubah biru itu keluarkan ancaman sebelum melarikan diri...." Kiai Pituluh meneruskan,
"Masalah besar yang akan terjadi, akan dibawa oleh seorang anak laki-laki berusia sekitar dua belas tahun yang memiliki kulit aneh! Sebelah tubuhnya berwarna putih, sebelah lagi berwarna hitam...." Mendengar ucapan Kiai Pituluh, orang-orang yang berada di sana terdiam. Mereka tak berkedip memandang pada Kiai Pituluh. Kiai Pituluh melanjutkan ucapannya,
"Rasanya, memang sulit diterima oleh akal, kalau seorang anak laki-laki yang memiliki kulit berwarna putih dan hitam akan datang membawa petaka yang mengerikan. Tetapi, tak sekali pun aku pernah punya pikiran untuk tidak mempercayai apa yang dikatakan Kiai Biang Teruno!Setiap ucapannya kujunjung tinggi. Dan aku yakin, kalau purnama mendatang maka petaka itu akan terjadi." "Kiai Pituluh... tentunya bukan hanya aku yang
penasaran untuk membenarkan kata-katamu," kata Pendekar Buntung yang berdiri pada kedua tongkatnya.
"Bisakah kau menjelaskan. di mana bocah lelaki itu berada?" Kiai Pituluh gelengkan kepalanya.
"Itulah sebabnya aku mengundang kalian kesini. Karena, aku sendiri tidak tahu di mana bocah itu berada. Dan tentunya, kalian juga tak menginginkan petaka yang terjadi. Aku minta, kalian semua, orang orang yang kupercaya, termasuk kau Manusia Pemberang, untuk mencari bocah berkulit hitam putih itu. Menghentikan sepak terjangnya, bahkan kalau bisa, kita harus membunuhnya."
"Gila!" terdengar makian Nyi Ageng Kalasan.
"Membunuh seorang bocah" Pituluh! Kau terlalu mengada-ngada!"
"Perlu kalian ketahui, menurut Kiai Biang Teruno, bocah itu adalah kutukan setan. Mulai sekarang, kita boleh memanggilnya dengan sebutan, Bocah Kutukan Setan. Dan menghentikan atau Membunuhnya, merupakan sebuah kewajiban bagi kita."
"Bagaimana bila kita salah orang?"
"Nyi Ageng Kalasan... untuk salah mengenali orang rasanya tidak mungkin. Karena, didunia ini tak akan ada orang yang memiliki kulit dua warna. Sebelah putih, sebelah hitam." - Nyi Ageng Kalasan arahkan pandangannya pada Dewi Alam Sencsta yang barusan bicara. Dia mendengus.
"Kau benar!"desisnya. Lalu berpaling pada Kiai
Piluluh,"Kau sudah mengatakan ciri Bocah Kutukan Setan, tetapi kaubelum mengatakan petaka apa yang akan diturunkannya"!"
"Kalau soal itu, aku sama sekali tidak tahu. Kiai Biang Teruno hanya mengatakan, petaka mengerikan akan terjadi."
"Seberapa besarkah petaka mengerikan itu?"
"Itulah yang harus kita lacak." Rajawali Emas buka suara,
"Kiai... apa yang kau katakan sepenuhnya dapat kupercaya. Kau mengatakan bocah itu terkena kutukan setan. Apakah salah bila kukatakan, kalau sebelumnya bocah itu tak memiliki kesaktian apa pun mengingat kau mengatakan dia akan turunkan petaka?" Kiai Pituluh mengangguk.
"Maafkan aku, Anak muda. Terpaksa aku menjawab tidak seperti yang kau harapkan. Aku tahu, kau tak punya niatan untuk hentikan sepak terjang Bocah Kutukan Setan dengan cara membunuh. Tetapi perlu kukatakan, kalau bbocah itu telah memiliki kesaktian tinggi begitu dia dilahirkan. Karena... di saat ibu dari bocah itu mengandung, mendadak saja si Ibu berubah menjadi liar dan ganas. Bahkan membunuh suaminya sendiri. Juga para penduduk yang mencoba menenangkannya. Dan ketika sadar, si Ibu menjadi bingung sendiri dengan apa yang dilakukannya. Di saat dia masih kebingungan itulah, dirasakan perutnya mulas dan sakit. Karena rasa sakit tak terkira, akhirnya dia jatuh pingsan dan tak mengetahui kalau bayi yang dikandungnya telah dilahirkan. Saat dia siuman,
dia tak melihat di mana bayi itu berada." "Siapa yang telah mengambilnya?" tanya Tirta pula. "Aku tak tahu soal itu, karena Kiai Biang Teruno tak pernah menceritakannya."
"Berarti, peristiwa itu telah berpuluh tahun terjadi, bukan?"
"Tidak, Anak muda. Peristiwa itu baru terjadi dua belas tahun yang lalu. Tetapi Kiai Biang Teruno telah meramalkan kejadiannya sebelum itu..." Tak ada yang keluarkan suara. Diam-diam masing-masing orang mengagumi kehebatan Kiai Biang Teruno. Rajawali Emas sendiri segera timbul rasa penasaran untuk berjumpa dengan guru Kiai Pituluh itu. - Dan tak seorang pun yang berada di sana yang tak mempercayai sedikit pun juga ucapan Kiai Pituluh. - Pendekar Ular berbisik pada istrinya,
"Istriku... kau sudah mendengar bukan, apa maksud dari Kiai Pituluh mengundang kita" Ternyata, sesuatu yang tak pernah kubayangkan yang akan dikatakannya...." Dewi Ular anggukkan kepala.
"Kau benar, Suamiku. Kendati aku penasaran, mengapa bocah itu mendapat kutukan."
"Kita tak perlu mempersoalkannya sekarang. Yang harus kita lakukan, adalah mencari bocah itu sebelum petaka yang diturunkannya datang."
"Dan tepatnya, bocah itu akan muncul pada purnama bulan ini yang tinggal beberapa hari lagi...."
Tak lagi terdengar suara apa pun. Saat ini matahari sudah sepenggalah. Kabut telah berpencar pecah namun udara tetap dingin menggigit. Dewi Alam Semesta ajukan tanya,
"Kiai Pituluh... kau tak bisa mengatakan secara tepat di mana Bocah Kutukan Setan akan muncul?" Kiai Pituluh menggeleng.
"Aku tak bisa mengatakannya. Tetapi aku yakin, kalian yang hadir di sini akan turut membantu untuk mencari Bocah Kutukan Setan sekaligus hentikan petaka yang akan diturunkannya."
"Jadi yang akan kuhadapi hanyalah seorang bocah?" dengus Manusia Pemberang.
"Sungguh aneh rasanya! Aku yang sudah renta ini harus berhadapan dengan seorang bocah!"
"Jangan sombong!" maki Nyi Ageng Kalasan.
"Kakek bongkok! Kau pikir kau sudah hebat, hah"!" Manusia Pemberang tak sahuti ucapan si nenek kecuali keluarkan dengusan: Rajawali Emas berkata,
"Purnama bulan ini tinggal lima hari lagi. Sementara kita belum mengetahui di mana Bocah Kutukan Setan berada. Apakah tak sebaiknya kita segera bergerak sekarang?"
"Kau benar, Anak muda! Aku pun menginginkan hal itu! Dan mengingat kesaktian yang dimiliki Bocah Kutukan Setan, rasanya... kita tak bisa berjalan sendiri-sendiri."
"Maksudmu bagaimana, Kiai?"
"Bila kalian tak keberatan, aku bermaksud mengatur langkah. Sepasang Ular Karimun tetap bersama
sama. Sementara Nyi Ageng Kalasan kuminta bersama-sama dengan Manusia Pemberang. Sedangkan...."
"Tunggu! Mana sudi aku melangkah dengan kakek pemberang seperti dia, hah"!" putus Nyi Ageng Kalasan.
"Aku lebih baik melangkah sendiri!"
"Begitu pula denganku!" sambut Manusia Pemberang segera. Kiai Pituluh tersenyum. "Kalau begitu... kita akan mencari pada lima penjuru. Dan silakan kalian memilih langkah sendiri. Tujuan telah kita sepakat mencari Bocah Kutukan Setan. Ingat, purnama bulan ini, bocah itu akan muncul untuk...." Tiba-tiba saja Kiai Pituluh putuskan ucapan, karena mendadak saja terdengar suara keras menggema,
"Kupikir kita terlambat! Tetapi, kita masih bisa memaksanya untuk mengulangi apa yang dikatakannya!!"
Dua kejapan mata kemudian, telah muncul lima sosok tubuh di tempat itu. Berdiri berjajar dengan pandangan dingin dan senyuman penuh ejekan. Namun, yang seorang, yang mengenakan pakaian serba hijau, berjongkok dengan kepala mendongak. Dari mulutnya sesekali terdengarsuara kroook', kroook'.
Kehadiran kelima orang itu cukup mengejutkan
mereka. Namun sebelum ada yang buka suara, mendadak saja Dewi Ular sudah membentak,
"Manusia keparat! Akhirnya kau muncul juga di hadapanku!!" Saat itu pula Dewi Ular dengan kemarahan tinggi siap menerjang ke depan. Namun suaminya lebih cepat menangkap tangan kanannya hingga mau tak mau Dewi Ular urungkan niat. Dan menoleh gusar.
"Mengapa Kakang menahanku"!" serunya tak puas.
"Manusia dajal itu telah muncul! Ini kesempatan untuk membalas kematian bayi kita yang dibunuhnya!"
"Tahan, Rayi... ini bukan saat yang tepat...,"sahut Pendekar Ular padahal melihat salah seorang dari kelima orang yang baru muncul itu, darahnya seketika mendidih.
"Dia akan melarikan diri lagi, Kakang!"
"Tidak! Dia telah muncul, berarti kita tak akan pernah melepaskannya! Tetapi, kita tinggal menunggu beberapa saat saja...." Bab 7 ORANG yang tadi bersuara dan membuat Kiai Pituluh putuskan ucapan, buka suara lagi,
"Kiai Pituluh! Cukup santer berita kudengar kalau kau tengah mengundang beberapa orang rimba persilatan untuk hadir di Kaki Bukit Lumbung! Tentunya satu persoalan besar sedang kau bicarakan! Kami, orang-orang Perkumpulan Hitam, orang-orang yang telah saling mcngikat sumpah setia sampai mati, merasa tersinggung karena kau tak mengundang kami! Dengan kata lain, kau tak indahkan kehadiran kami di rimba persilatan ini! Tapi...." Lelaki bertubuh kurus yang mengenakan pakaian hitam penuh tambalan ini memutus ucapannya. Matanya yang tajam memperhatikan orang-orang di hadapannya. Wajahnya tirus dengan sepasang pipi mencekung dan saat dia berkata-kata seperti mengatup dan membuka. Orang yang ternyata adalah Setan Kaki Sepuluh ini teruskan lagi bicaranya,
"Kami akan menganggap semua persoalan yang membuat kami sakit hati karena tak kau undang. akan sirna dengan sendirinya, bila kau mau mengatakan sebab-sebab kau mengundang yang lainnya hadir di sini!" Kakek berpakaian putih panjang itu tersenyum. Tangan kanannya masih memainkan tasbih keperakannya.
"Setan Kaki Sepuluh... berita memang telah kudengar kau telah membentuk sebuah perkump ulan yang dinamakan Perkumpulan IIitam. Para tokoh yang bergabung pun sudah lama kudengar. Dan sekara ng semakin memperjelas berita yang kudengar. Ning A nggia, Manusia Katak, Ki Kaligi dan Hantu Jala Sutera... t elah bergabung denganmu. Tetapi, apakah memang su atu urusan besar bila aku tak mengundang Perkumpula n Hitam ke Kaki Bukit Lumbung?"
"Itu namanya kau telah lakukan satu penghinaan!"
"Bila kau merasa seperti itu, aku mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya."
"Peduli setan dengan ucapanmu! Kau tak mengundang kami, berarti kau cari penyakit. Kiai Pituluh!" tuding Setan Kaki Sepuluh geram. Kakek berpakaian putih panjang itu tetap tersenyum bijak. Di pihak lain, Rajawali Emas memperhatikan tajam-tajam lelaki bertubuh gemuk yang mengenakan pakaian warna hitam yang terbuka di bahu kanannya. Di belakang punggung orangitu, terdapat sebuah jala hitam yang tersampir pada lehernya.
"Perempuan berpakaian kulit ular itu nampak geram pada lelaki bertubuh gemuk itu. Hmm... aku yakin kalau orang itulah yang berjuluk Hantu Jala Sutera... orang yang telah membunuh bayinya lima tahun yang lalu...," desisnya dalam hati. Setelah hela napas perlahan, anak muda yang pada lengan kanan
kirinya terdapat rajahan burung rajawali keemasan itu melanjutkan,
"Nampaknya... kejadian yang tak enak akan segera terjadi. Di samping urusan Sepasang Ular Karimun dengan Hantu Jala Sutera... orang-yang dipanggil Kiai Pituluh dengan sebutan Setan Kaki Sepuluh, nampaknya pun akan membuat keributan." - Sementara itu, paras cekung Setan Kaki Sepuluh mengkelap. "Kiai Pituluh! Cepat kau katakan, mengapa kau mengundang yang lainnya untuk hadir disini"!" Kiai Pituluh tersenyum lagi. Kakek bijak ini benar-benar bersikap santun.
"Bukankah kau telah buka persoalan mengapa aku tak mengundangmu" Itulah yang seharusnya kujawab! Kau tak mau terima permohonan maafku, bukan" Kalau begitu, akan kukatakan mengapa kau dan yang lainnya tak kuundang. Karena, aku tnerasa kalian, Perkumpulan Hitam, tak memiliki kepentingan di sini...."
"Terkutuk: Kau benar-benar telah keterlaluan, Kiai Pituluh!" hardik Setan Kaki Sepuluh keras.
"Itu sama saja dengan menghina kami!!" Ning Anggia terkikik. Perempuan tua yang mengenakan pakaian luar berwarna merah dan pakaian dalam berwarna hitam itu terus terkikik.
"Kalau aku sih... mana sabar diperlakukan seperti itu" Setan Kaki Sepuluh... bukankah kau sebelumnya mengatakan, akan merobek mulut Kiai Pituluh bila dia tak bisa berikan alasan yang tepat" Lagipula,
dia juga tak mau mengatakan, ada urusan apa dia mengundang yang lainnya hadir di Kaki Bukit Lumbung ini" Bukankah itu seharusnya membuat kau semakin gusar"!" Kata-kata Ning Anggia makin membuat marah Setan Kaki Sepuluh. "Selama ini kita tak punya silang sengketa! Tetapi dari sikapmu yang benar-benar keterlaluan, kau secara tak langsung telah buka sengketa! Apakah..."
"... tidak sebaiknya kalian menyingkir dari sini?" Setan Kaki Sepuluh seketika arahkan pandangan pada orang yang memotong ucapannya sekaligus mengusirnya. Tatapan lelaki berwajah tirus ini tajam pada si pemuda yang tadi bicara. Setelah beberapa sa at terdiam, dia menghardik,
"Anak muda berpakaian keemasan! Tentunya, kaulah pemuda yang berjuluk Rajawali Emas! Pemuda yang telah membantu Kiai Pituluh untuk menghadapi serbuan dari Kiai Hanum Biru dan yang lainnya! Lantas, dengan berucap seperti itu, apakah kau sudah merasa hebat karena berhasil membantunya?" Rajawali Emas yang tadi memotong kata-kata Setan Kaki Sepuluh dan membuat orang itu bertambah geram, tersenyum. Masih tersenyum dia melangkah tiga tindak ke muka. Berdiri di samping kanan Kiai Pituluh yang tetap bersikap tenang seraya menghitung butiran tasbihnya.
"Sebelumnya, kuucapkan salam kenal denganmu, Setan Kaki Sepuluh, juga dengan kawan-kawanmu yang lainnya. Dan maafkan bila aku lancang bicara sekarang. Ada pun yang hendak kubicarakan, mungkin tak berkenan di hatimu. Sebelum kubicarakan, ada satu yang hendak kutanyakan padamu...."
"Jangan berbelit-belit! Dan perlu kau ketahui. kau adalah orang pertama yang akan kubunuh!" Mendengar ancaman orang, anak muda dari Gunung Rajawali itu cuma tersenyum.
"Mengapa kau menjadi gusar karena tidak diundang oleh Kiai Pituluh" Aku yakin, Kiai Pituluh mempunyai satu pikiran sendiri dengan tidak mengundang Perkumpulan Hitam. Lagi pula, apa alasannya hingga kau menjadi marah tak karuan seperti itu?" Setan Kaki Sepuluh kertakkan rahangnya. Tatapan matanya laksana anak panah yang menghujam tepat ke jantung. Dengan suara tinggi dia keluarkan bentakan,
"Pemuda celaka! Kau terlalu banyak berucap!"
"Bila seseorang tak diundang dalam satu pertemuan, apa perlunya harus menjadi gusar, marah dan berang" Bukankah itu sebuah tindakan yang justru mengundang tawa" Dan bila seseorang tak mau mengatakan sesuatu pada orang lain, Mengapa orang lain itu harus menjadi marah pula?" Bergetar tubuh Setan Kaki Sepuluh mendengar kata-kata si pemuda. Lebih jengkel lagi setelah mendengar kikikan Ning Anggia yang disusul oleh katakata si nenek,
"Kalau tak salah ingat, kau juga mengatakan untuk membunuh pemuda berjuluk Rajawali Emas!
Kau juga bilang, kalau pemuda itulah yang telah membual sahabatmu, si Manusia Tiga Gunung, menjadi dungu setelah dikalahkannya" Sekarang, untuk apa menahan diri lagi?" Kali ini Setan Kaki Sepuluh tak kuasa lagi tahan amarahnya. Ucapan pemuda berpakaian keemasan itu telah membuat kedua telinganya memerah, ditingkahi lagi dengan kata-kata Ning Anggia. Tanpa buang waktu lagi, orang berpakaian hitam penuh tambalan ini sudah menerjang ke depan. Tangan kanan kirinya membentuk jotosan yang siap dihajarkan pada wajah dan dada Rajawali Emas. Melihat tindakan orang, Tirta cuma tersenyum. Dia bermaksud memapaki serangan itu tanpa bergeser dari tempatnya. Namun mendadak pula anak muda itu surutkan langkah ke belakang. Karena dua jotosan yang dipikirnya akan segera menghajarnya, justru dilempar ke belakang oleh si pemiliknya sendiri. Dan saat itu pula kedua kaki lawan digerakkan. Tindakan yang dilakukan oleh Setan Kaki Sepuluh sungguh menggetarkan hati si pemuda. Memang, lelaki berwajah tirus itu tak mau bertindak ayal. Dia ingin jatuhkan si pemuda dalam satu gebrak. Tirta yang semula tak ingin bergeser dari kedudukannya, mau tak mau harus melompat ke kiri seraya gerakkan tangan kanan kirinya. Buk! Buk! Tendangan kedua kaki lawan yang dilakukan secara bersamaan, berbentur dengan kedua tangannya. Dan yang mengejutkan Tirta, karena dengan
gerakan menumpu pada tangan sekali, sosok Setan Kaki Sepuluh sudah melayang lagi. Kedua kakinya mendadak terlihat menjadi banyak dan angin yang terdorong begitu keras.
"Hemm... dia hendak unjuk gigi rupanya. Sebaiknya, aku mengalah saja ketimbang bila kuhadapi urusan akan menjadi panjang." Dengan gerakan yang terlihal lamban, anak mu-- da itu coba surutkan langkah. Namun sudah tentu lebih cepat gerakan Setan Kaki Sepuluh. Maka.... Buk! Buk! Buk! Sebanyak tiga kali dadanya terhajar tendangan kaki kanan kiri Setan Kaki Sepuluh, hingga tubuh pemuda berpakaian keemasan itu terjajar. Apa yang terjadi barusan membuat orang-o rang yang berada disana terkesiap kaget. Tetapi lain hal nya dengan orang-orang Perkumpulan Hitam. Mereka t ertawa keras. Hanya seorang yang mengerti apa yang dilakukan oleh Tirta.
"Ah, anak muda itu sungguh cerdik. Dia sengaja membiarkan dirinya dihajar olch Setan Kaki Sepuluh, tentunya dengan maksud agar urusan tidak menjadi panjang...," kata orang ini dalam hati. Lalu katanya pada Setan Kaki Sepuluh yang telah berdiri tegak dengan penuh seringaian, "Setan Kaki Sepuluh... memang sebaiknya kita tak perlu perpanjang urusan ini. Anak muda itu telah berhasil kau tendang, itu artinya dia telah kalah. Apakah kau masih belum puas juga?"
Setan Kaki Sepuluh mendelik.
"Kiai Pituluh! Tadi kukatakan, pemuda itulah orang pertama yang akan kubunuh! Tapi tentunya, bila kau mau mengatakan apa yang telah kalian bicarakan di Kaki Bukit Lumbung ini, maka nyawanya akan kuampuni!" Kiai Pituluh tersenyum.
"Untuk apa kau membunuhnya, padahal dia hanyalah seorang undangan" Seharusnya, kau lakukan itu padaku...."
"Kau adalah orang kedua yang akan mampus di tanganku!!" Sebelum ada yang buka mulut, Dewi Ular sudah membentak,
"Bila kau ingin lakukan satu pertarungan, lebih baik hadapi kami!!" Seinentara Pendekar Ular terkesiap mendengar seruan istrinya. Setan Kaki Sepuluh melotot gusar.
"Keparat kau, Dewi Ular!"hardiknya keras. Lalu berseru lagi,
"Hantu Jala Sutera! Kau mengatakan, kalau kau ingin membunuh Sepasang Ular Karimun! Me ngapa kau tak lakukan sekarang mumpung ada kesem patan"!" Memang yang dituju oleh Dewi Ular adalah Ha ntu Jala Sutera. Perempuan jelita ini sudah tak mampu l agi menahan amarahnya begitu melihat kehadiran oran g yang lima tahun lalu telah membunuh bayinya, dan t elah membuatnya seperti orang yang kehilangan akal. Seraya maju tiga langkah ke muka, Dewi Ular berseru, menuding pada Hantu Jala Sutera yang ter
diam, "Bagus! Kau telah hadir di hadapanku sekarang! Dan tak akan pernah kulepaskan lagi dirimu, Manusia keparat!!" - Hantu Jala Sutera memperhitungkan keadaan. Biar bagaimanapun juga, setelah membunuh bayi Sepasang Ular Karimun, orang bertubuh gemuk ini tak mau menampakkan diri. Karena dia tahu betul kalau kedua orangitu akan mencarinya. Menghadapi Sepasang Ular Karimun secara bersamaan, dia memang agak ngeri juga. Tetapi saat ini, sudah tentu kengeriannya akan menjadi bahan tertawaan. terutama dari Setan Kaki Sepuluh, bila dia menampakkannya. Jalan satu-satunya memang harus bersikap jumawa dan sombong. Lalu katanya dengan kepala ditengadahkan,"Lima tahun lalu, kau seharusnya berterimakasih padaku karena nyawamu tidak kucabut! Hanya nyawa bayimu yang kuambil! Tetapi melihat sikapmu sekarang, tak ada salahnya bila nyawamu kucabut sekarang juga!!"
"Bagus! Berarti penantian kami telah berakhir!" bentakan itu terdengar dari mulut Pendekar Ular. Orangnya sudah melangkah dan berdiri di samping kanan istrinya. Biar bagaimanapun juga, Gala Sulang tak mau melepaskan Hantu.Jala Sutera. Hanya karema merasa itu adalah urusan pribadi saja, dia tadi menahan keinginan istrinya untuk menyerang orang bertubuh gemuk itu. Tetapi sekarang, dia tak mampu lagi menahan amarahnya. Dewi Ular tersenyum melihat apa yang dilakukan suaminya. Lalu menatap tajam-tajam pada Hantu Jala Sutera yang menjadi agak keder.
"Seumur hidupmu, pasti kau telah membayangkan, suatu hari akan mampus di tangan Sepasang Ular Karimun! Terbukti selama lima tahun kau tak berani tampakkan diri! Dan satu hal yang tentunya tak pernah kau bayangkan, kalau Kaki Bukit Lumbung akan menjadi tempat kehidupanmu yang terakhir!" Hantu Jala Sutera menggeram.
"Celaka! Nampaknya ini meniang hari terakhir bagiku! Sepasang Ular Karimun jelas-jelas tak akan melepaskan diriku lagi. Keparat betu!! Tapi.... Manusia Katak bisa kuhasut untuk membantuku...." Memutus kata batinnya sendiri, Hantu Jala Sutera mendadak saja terbabak-bahak.
"Ucapanmu benar-benar penuh keyakinan, Dewi Ular!Tapi sayangnya, kau tak akan mampu melakukannya kendati dibantu oleh suamimu!"
"Kau akan melihat buktinya nanti!"
"Dan kau akan melihat bukti dari ucapanku!" balas Hantu Jala Sutera keras. Lalu berkata pada Manusia Katak,
"Manusia Katak... hukankah kauselama ini dikenal sebagai orang yang paling setia terhadap sesama orang Perkumpulan Hitam" Sekarang... apakah kau tak ingin mengambil bagian dari kegembiraan ini?" Orang berpakaian hijau yang berjongkok itu keluarkan suara,
"Kroook! Kroook! Sudah tentu aku akan turut mengambil bagian dari kegembiraan ini....
- Kroook.... Kiai Pituluh pangkal dari semuanya.... Setelah ini dia akan mampus di tanganku...." Sebelum ada yang keluarkan suara, seseorang sudah berkata,
"Kalau Manusia Katak turut ambil bagian, apakah aku akan diam saja tidak mengambil bagian?" Seketika Hantu Jala Sutera memandang ke depan. Lalu tersenyum sinis.
"Dewi Alam Semesta... rupanya kau gatal juga bila tidak ikut campur"!" Orang yang tadi bicara dan bukan lain Dewi Alam Semesta adanya berkata,
"Bukankah ini sebuah acara yang menggembirakan" Rajawali Emas secara tak langsung juga telah diajak mengikuti kegembiraan ini oleh Setan Kaki Sepuluh! Sepasang Ular Karimun akan bergembira bersamamu! Dan aku" Ya sudah tentu akan mengambil bagian pula dengan menghadapi Kodok itu!"
"Hik hik hik... kalau yang lainnya ikut bagian, mengapa aku tidak" Nah, nah... kalau begitu biarlah aku yang memilih lawan!" seru Ning Anggia. Lalu terkikik pada Nyi Ageng Kalasan,"Nenek peot! Apakah kau tak ingin ambil bagian?" Nyi Ageng Kalasan melotot.
"Busyet betul! Kau rupanya masih penasaran denganku, Ning Anggia"!Apakah kau tidak ingat, tujuh tahun yang lalu kau kugebuk seperti anjing di Pesisir Timur?""
"Hik hikhik...rupanya bukan hanya akusaja yang masih ingat soal itu, tetapi kau juga ingat! Dan aku
yakin, bukan hanya aku saja yang selama bertahun tahun memendam urusan itu hingga tak ada yang mengetahui urusan kita! Kau tentunya juga lakukan hal yang sama, bukan"!" "Ya! Dan sudah tentu kali ini kau bukan hanya kugebuk seperti anjing! Tapi kupatahkan seluruh tulang dalam tubuhmu!" Pendekar Buntung yang berdiri di samping Kiai Pituluh berkata,
"Kulihat gelagat kalau Manusia Pemberang akan turut ambil bagian. Jelas lawannya adalah Ki Kaligi karena tinggal dia seorang. Kiai... biarlah untuk saat ini aku tak ambil bagian. Aku akan mencoba untuk melacak jejak Bocah Kutukan Setan." Kiai Pituluh tersenyum.
"Terimakasih atas kesediaanmu, Pendekar Buntung...." Pendekar Buntung anggukkan kepala, lalu berlalu dengan gerakan cepat. Dan apa yang diperkirakannya memang benar, karena Manusia Pemberang sudah berseru,
"Brengsek! Brengsek semuanya! Pertama, Pituluh sudah brengsek tidak mau mengundangku! Sekarang, kalian lagi, orang-orang Perkumpulan Hitam yang brengsek! Ayo, sini! Siapa lawan aku"! Kaligi, tinggal kau yang belum dapat lawan! Ayo, lawan aku!" Ki Kaligi menggeram. Dia sebenarnya ingin menahan kepergian Pendekar Buntung tadi. Tapi ditahannya setelah mendengar bentakan Manusia Pemberang.
"Aku juga sedang berpikir! Apakah Kiai Pituluh yang akan kuambil sebagai kawan bersenang-senang, ataukah dirimu?" "Ya sudah tentu aku! Karena Pituluh nanti akan kujitak kepalanya! Ayo, lawan aku!!"
Habis ucapannya, Manusia Pemberang sudah menerjang ke arah Ki Kaligi.
Bab 8 TiNDAKAN yang dilakukan oleh Manusia Pemberang, segera disusul oleh Dewi Ular yang lancarkan serangannya pada Hantu Jala Sutera. Orang bertubuh gemuk yang gagal mendapatkan bantuan dari Manusia Katak karena akan dihadapi oleh Dewi Alam Semesta, kertakkan rahangnya kuat-kuat menerima serangan itu. Terlebih lagi tatkala melihat Pendekar Ular juga tak mau buang waktu. Di pihak lain, Manusia Katak dengan gerakan anehnya sudah menerjang Dewi Alam Semesta. Demikian pula halnya dengan Ning Anggia yang menyerang ganas Nyi Ageng Kalasan. Sementara itu, Setan Kaki Sepuluh sudah menghambur ke arah Rajawali Emas. Kalau sebelumnya anak muda dari Gunung Rajawali itu berusaha mengalah, kali ini dia tak mau membiarkan dirinya dihajar seperti tadi.
"Aku tadi sengaja mengalah agar pertikaian ini terhenti. Tetapi sekarang, nampaknya harapanku itu gagal. Sesungguhnya, kejadian seperti ini sudah kubayangkan sejak lama. Karena aku yakin, akan munculnya orang-orang dari golongan sesat yang ingin tahu masalah apa yang akan dibicarakan oleh Kiai Pituluh yang akhirnya akan lakukan perbuatan makar," katanya dalam hati seraya menghindari setiap
serangan ganas Setan Kaki Sepuluh.
"Ah, urusan yang kuketahui sungguh menggetarkan hati. Bocah Kutukan Setan. Tapi... urusan yang terjadi sekarang ini harus segera dihentikan...." - Dan dalam waktu yang sedemikian singkat, keindahan Kaki Bukit Lumbung telah ternodai oleh pertarungan yang terjadi. Gelombang angin silih berganti terdengar dan makin keras tatkala terjadi benturan. Ranggasan semak dan bebatuan yang ada di sana, sudah pecah berhamburan. Kiai Pituluh geleng-gelengkan kepalanya.
"Tak seharusnya hal ini terjadi. Aku memang sengaja tak mengundang Perkumpulan Hitam. Yang kuundang pun hanyalah orang-orang yang bisa mengerti keadaan. Karena, bila orang-orang golongan sesat kuundang dan mengetahui persoalan yang kubawa, bisa jadi mereka bukannya hendak hentikan sepak terjang Bocah Kutukan Setan yang akan muncul pada purnama bulan ini. Melainkan akan menangkap, memeliharanya atau menjadikan sekutu untuk menjalankan seluruh rencana busuk. Ah, sekarang ini sulit untuk hentikan pertarungan yang terjadi..." Dari ganasnya setiap serangan yang datang silih berganti, adalah yang dilancarkan olch Sepasang Ular Karimun terhadap Hantu Jala Sutera. Kedua suami-istri itu benar-benar tak mau menghilangkan kesempatan barang sekejap pun untuk membalas kematian bayi mereka yang dibunuh lelaki gemukitu. Hantu Jala Sutera menggeram keras-keras seraya buang tubuh ke sana kemari. Sekali pun dia tak
mendapat kesempatan untuk membalas. Dan bobot tubuh yang berat tak halanginya untuk bergerak lincah.
"Terkutuk!!"makinya keras seraya melompat ke belakang disaat Dewi Ular dengan liukan tubuh dan serangan laksana seekor ular menerjang ke arahnya Menyusul Hantu Jala Sutera silangkan kedua tangannya di depan dada, karena secara tiba-tiba Pendekar Ular sudah meluruk siap menghantam dadanya. Bukf! Serangan Pendekar Ular berhasil ditahannya. Namun sepakan kaki Pendekar Ular yang menyusur tanah, membuat sosoknya ambruk tanpa dapat dikendalikan. Belum lagi lelaki gemuk itu berdiri, Dewi Ular sudah melesat dengan kedua tangan bergerak cepat. "Heiii!!" sentak Hantu Jala Sutera sambil bergulingan. Dan dengan gerakan yang aneh, mendadak saja orang ini telah melompat ke atas. Menyusul terlihat sesuatu yang berwarna hitam menebar ke arah Dewi Ular. - Yang memekik justru Pendekar Ular. Cepat dia meluruk untuk menyambar tubuh istrinya dari jala kedot milik Hantu Jala Sutera. Bersamaan dengan itu, tangan kanannya menepak. Plak! Jala hitam yang ditebarkan lelaki gemuk itu tersingkir. Dan itulah saat yang dipergunakan oleh Hantu Jala Sutera untuk terus lancarkan serangan. De. ngan senjata di tangan, dia seperti mendapatkan kesempatan bernapas lebih lega. Di pihak lain, Rajawali Emas sedang hindari serangan ganas dari Sclan Kaki Sepuluh. Setiap kali lelaki berwajah tirus itu lancarkan tendangannya, setiap kali pula menggebah gelombang angin dahsyat ke arahnya. Sampai saat ini Tirta memang belum mau lancarkan serangan balasan. Dia hanya menghindar dan memapaki. Itu dilakukan dengan maksud, agar Setan Kaki Sepuluh mengerti kalau dia tak ingin terjadi silang sengketa. Namun orang seperti Setan Kaki Scpuluh, mana mau mengerti dengan tindakan yang dilakukan pendekar muda itu. Dia justru semakin ganas menyerang dan mencecar.
"Brengsek betul!" maki Tirta dalam hati.
"Kalau kubiarkan begini terus, justru aku yang akan kena sasaran serangannya dengan mudah. Tapi kalau kubalas, dia justru akan semakin berang dan pertikaian ini tak akan segera berhenti Kalau begitu, biar kubalas saja dia...." Lalu dengan pergunakan jurus Sentakkan Ekor Pecahkan Gunung', anak muda berpakaian keemasan ini segera mendesak Setan Kaki Sepuluh yang sesaat melengak. Dipikirnya tadi, kalau pemuda berjuluk Rajawali Emas, hanya julukannya saja yang menebar keempat penjuru. Terutama mengingat dia berhasil memukulnya sebelumnya. Dan diteruskan dengan setiap serangannya yang kacaukan kedudukan Rajawali Emas. Namun gelombang angin deras yang menyeret rerumputan itu membuatnya tersentak. Secepat itu
pula Setan Kaki Sepuluh membuang tubuh ke samping kanan. Lalu dengan kedua tangan bertumpu pada tanah, kedua kakinya digerak-gerakkan. Lagilagi terlihat menjadi banyak dan gelombang angin yang keluar begitu ganas dan mengerikan.
Tetapi Tirta yang sudah berniat untuk menjatuhkan lawannya, tak hindari serangan itu. Dengan pergunakan tenaga surya dan jurus Sentakkan Ekor Pecahkan Gunung'anak muda itu berhasil mendesak Setan Kaki Sepuluh. Bahkan tiba-tiba saja tangan kanannya telah mendarat di dada Setan Kaki Sepuluh.
"Hciiiiggkk!!" orang itu mengerang kaget dan terjajar lima langkah ke belakang sambil pegang dadanya kuat-kuat dengan tangan kanan. Bila saja Tirta berniat untuk teruskan serangan, sudah barang tentu dengan mudah dia akan menjatuhkan Setan Kaki Sepuluh. Tetapi anak muda itu justru berdiri di tempatnya. Tenang. Dan tersenyum
- lembut. Sikapnya malah membuat Setan Kaki Sepuluh berang dan murka.
"Pemuda celaka! Kau telah permalukanku dengan tindakanmu itu! Kau akan benar-benar mampus di tanganku!" Sedikit banyaknya Rajawali Emas menjadi jengkel melihat kekeraskepalaan orang di hadapannya. | Makanya dia berkata,
"Bukan main! Jadi sejak tadi itu kau hanya main-main saja" Pantas kalau kau begitu mudah dipukul! Tapi ya... sudahlah. Lebih baik disudahi saja, bukan"!" Mengkelap wajah tirus Setan Kaki Sepuluh. Sepasang matanya tak berkedip, tajam dan berkilat kilat penuh bahaya.
"Kau akan menyesali ucapanmu!!" Menyusul bentakannya, dia sudah menerjang ke depan dengan gebrakan ganas. Kedua kakinya kembali digerakkan dengan kekuatan penuh. Kalau gelombang angin yang keluar tadi lurus mengarah pada lawan, kali ini melingkar-lingkar. Tirta cuma tersenyum dan memapaki serangan 1tu. Di pihak lain, Ning Anggia sedang mencoba untuk mencecar Nyi Ageng Kalasan. Kedua nenek itu tak mau bertindak ayal. Masing-masing orang berusaha untuk jatuhkan lawan. Gebrakan demi gebrakan yang mereka lakukan benar-benar mengerikan. Gelombang angin silih berganti datang dan meletup keras. Hingga tanah di tempat itu banyak yang terbongkar disertai rerumputan yang beterbangan. Batu-batu pecah berantakan dan pecahannya melesat laksana meteor. Lepas lima belas jurus, nampak Nyi Ageng Kalasan mulai berhasil mendesak Ning Anggia. Namun Ning Anggia malah tertawa-tawa seolah tak hiraukan setiap jotosan maupun tendangan yang mendarat pada bagian-bagian tubuhnya.
"Apakah kau sudah tak memiliki tenaga lagi" Atau... hik hik hik... karena kau sudah terlalu tua"!" ejeknya yang membuat Nyi Ageng Kalasan menjadi kalap. Dia terus mencecar dan berkali-kali berhasil hajar tubuh Ning Anggia. Namun semakin dihajarnya, lawannya makin keras kikikannya. Setelah beberapa saat, terlihat kepala Nyi Ageng Kalasan menegak. Menyusul terburu-buru dia mundur ke belakang.
"Astaga!" serunya kaget.
"Semakin kuhajar, dia nampak semakin gembira! Semakin... ohkhh!!" Mendadak saja seperti kehabisan tenaga, Nyi Ageng Kalasan terhuyung ke belakang. Bersamaan dengan itu, terdengar ejekan Ning Anggia,
"Hik hik hik... kau memang sudah terlalu tua untuk ikut campur dalam urusan ini! Dan rasanya...ya, ya...aku yakin kalau kau sayang pada nyawamu. Sudah tentu aku juga merasa kasihan melihatmu dalam keadaan seperti itu...."
"Tutup mulutmu!!" bentak Nyi Ageng Kalasan: sambil kertakkan rahangnya kuat-kuat. Makin keras kikikan Ning Anggia.
"Aku bukanlah orang yang kejam sebenarnya, bahkan orang-orang mengenalku sebagai orang terbaik di dunia," katanya sambil terkikik lagi, merasa geli dengan ucapannya sendiri.
"Dan aku tak akan membunuhmu! Tapi... hik hik hik... tentunya dengan syarat yang harus kau penuhi!"
"Terkutuk!" maki Nyi Ageng Kalasan dengan tubuh yang bertambah lemah. Diam-diam si nenek menyadari kalau Ning Anggia sengaja membiarkan dirinya dihajar. Dan di balimyk semua itu, Ning Angga justru menyedot tenaga dari setiap serang an yang dilakukannya! Hal inilah yang membuat Nyi Ag eng Kalasan menjadi berang pada dirinya sendiri.
"Terkutuk atau bukan, yang pasti aku adalah
orang baik-baik! Dan sebagai orang baik-baik, aku akan mengampuni nyawamu bila kau mau mengatakan, apa yang dikatakan oleh Kiai Pituluh mengundangmu dan yang lainnya ke tempat ini?"
"Keparat hina! Dia mencoba mendesakku dengan muslihat licik! Tapi ini adalah kesalahanku! Aku begitu yakin kalau tadi dapat mendesak sekaligus mengalahkannya! Tapi nyatanya, justru tenagaku telah tersedot masuk ke tubuhnya! Keparat Ilmu apa yang dimilikinya!" maki Nyi Ageng Kalasan dalam hati.
"Dari wajahmu, tersirat keheranan luar biasa! Ah, sungguh kasihan dan malangnya rasa penasaranmu itu, Nyi! Tapi sebagai orang baik-baik, sudah tentu aku mau mengatakannya! Ilmu yang kupergunakan untuk menyedot seluruh-tenagamu itu kunamakan ilmu 'Peras Jasad'! Nah! Kau sudah tidak penasaran lagi"! Atau, kau masih ingin merasakan kehebatan ilmu yang telah lima tahun kumiliki itu"!" Nyi Ageng Kalasan tak buka mulut. Dia harus berhati-hati sekarang. Menyerang Ning Anggia yang mempergunakan ilmu'Peras Jasad seperti yang dikatakannya, justru akan mencelakakannya sendiri. Tetapi dia juga sadar, bila dia tidak segera melawan bisa-bisa dirinyalah yang akan menjadi serangan lawan.
"Keparat hina! Aku ikan mengadu jiwa denganmu!"bentaknya tiba-tiba.
"Dan aku selalu memberimu kesempatan untuk menghajarku!" sambut Ning Anggia sambil terkikik. Setelah melihat agak lama kalau Nyi Ageng Kalasan tak lakukan serangan, perempuan tua yang mengenakan pakaian luar berwarna merah dan pakaian dalam berwarna hitam itu terkikik lagi.
"Wah! Kau terlalu berhati-hati sekarang! Dan kau terlalu keras kepala rupanya! Yasudah, biar aku bertindak baik hati dengan mencabut nyawamu sekarang!!"
Habis bentakannya, perempuan tua itu sudah menerjang ganas ke arah Nyi Ageng Kalasan. Yang diserang mencoba mundur, tetapi kedua kakinya seperti tak miliki tenaga lagi. Dia bukannya lakukan gerakan mundur, justru ambruk berlutut!
Dan parasnya menegang tatkala serangan Ning Anggia sudah mendekat!
: : : Namun mendadak saja satu gelombang angin yang menyeret tanah menggebrak ke arahnya. Merasa datangnya satu serangan, Ning Anggia memaki keras sambil gerakkan tangan kanannya.
Wuusss!! Blaaammmm!! Gelombang angin itu pecah bermuncratan tatkala terhalang oleh papakan serangannya. Saat itu pula si nenek yang kenakan pakaian luar berwarna merah ini kertakkan rahang setelah kedua kakinya hinggap di atas tanah. Tatapannya nyalang, tajam tak berkedip pada pemuda berpakaian keemasan yang telah berada di sisi kanan Nyi Ageng Kalasan."Rajawali Emas!"hardik Ning Anggia sambil menuding.
"Rupanya kau tak sabar untuk menerima kematian!!" Rajawali Emas yang sebelumnya berada tak jauh dari sosok Nyi Ageng Kalasan dan terpaksa harus mengurungkan serangannya pada Setan Kaki Sepuluh, hanya tersenyum. Anak muda dari Gunung Rajawali ini tak pedulikan bentakan Ning Anggia. Dia memang terpaksa harus urungkan setiap serangannya pada Setan Kaki Sepuluh yang mulai didesaknya, karena dilihatnya bagaimana Nyi Ageng Kalasan berada dalam kedudukan yang tak menguntungkan. Sesungguhnya, Tirta tak mau mendesak Setan Kaki Sepuluh. Tetapi orang itu begitu keras kepala hingga memaksanya lakukan serangan. Rajawali Emas bersyukur karena dia masih dapat bertindak cepat. Bila saja dia terlambat, mungkin nasib sial akan diterima oleh Nyi Ageng Kalasan. Tindakan yang dilakukannya makin membuat Ning Anggia mengkelap.
"Terkutuk! Kau akan mampus juga di tanganku!" Sementara Nyi Ageng Kalasan pergunakan kesempatan itu untuk pulihkan lagi tenaga dalamnya yang telah tersedot ketubuh Ning Anggia, anak muda yang pada lengan kanan kirinya terdapat rajahan burung rajawali keemasan tetap tersenyum.
"Kau terlalu yakin dengan ucapanmu itu, Ning...."
"Dan kau akan melihat bukti dari ucapankut!"
"Ah... biasanya, orang yang hendak tutupi rasa takutnyalah yang selalu berucap demikian! Begitu yakin dengan kemampuan yang dimiliki, padahal sedang berpikir kerus apakah mampu melakukannya atau tidak!" Ucapan tenang yang dilakukan Rajawali Emas, makin membuat kalap Ning Anggia. Si nenek sudah tak kuasa lagi menahan amarahnya.Terbukti dia hentakkan kaki kanannya hingga amblas sebatas lutut di tanah!
"Dia telah lecehkan kehebatanku! Biar dia tetap mampus di tanganku!" satu bayangan hitam telah melompat ke sisi kanan Ning Anggia yang sekaligus urungkan niatnya untuk lancarkan serangan.
Bab 9 NING Anggia melirik, lalu mendengus.
"Kau terlalu bodoh karena dapat didesaknya!" makinya.
"Sekarang, kau coba ambil keuntungan dari apa yang kulakukan!" - Setan Kaki Sepuluh yang telah berdiri disamping si nenek, sesaat menggeram. Tatapannya tajam. Dia merasa muak, tersinggung dan gusar luar biasa mendengar ucapan si nenek. Namun di kejap lain, dia tak pedulikan bentakan itu. Karena biar bagaimanapun, dia memang merasa mendapat kesempatan untuk membalas tindakan yang dilakukan Rajawali Emas. Diam-diam Setan Kaki Sepuluh sesungguhnya merasa jeri. Karena kini terbukti kalau pemuda berpakaian keemasan itu dapat mengunggulinya. Dan yang menyakitkan hatinya, kalau sejak semula anak muda itu berlagak mengalah!
"Nyi Ageng Kalasan sudah tinggal menunggu ajal! Kita hajar pemuda celaka berjuluk Rajawali Emas itu bersama-sama!!" serunya dengan suara dibesarkan. Habis seruannya, Setan Kaki Sepuluh sudah melompat ke depan seraya keluarkan bentakan,
"Kau akan mampus di tanganku, Keparat!" Melihat tindakan Setan Kaki Sepuluh, sejenak Ning Anggia menggeram.
"Jahanam setan! Setan Kaki Sepuluh benar-benar mendapat kunci dari semua ini! Dia bermaksud untuk membalas perbuatan Rajawali Emas terhadap sahabatnya, si Manusia Tiga Gunung yang kini telah menjadi orang dungu karena tak berani lakukan tindakan apa-apa. Entah di mana sebenarnnya Manusia Tiga Gunung berada sekarang. Jahanam sia!! Dia sengaja berbuat seperti yang dilakukannya, dengan harapan aku akan membantunya membunuh pemuda keparat yang gagalkan niatku untuk membunuh Nyi Ageng Kalasan!" Mendadaksi nenek kertakkan rahangnya.
"Peduli setan! Baik Nyi Ageng Kalasan maupun Rajawali Emas, harus mampus!!" Mcmutuskan demikian, si nenek yang kenakan pakaian luar berwarna merah ini sudah melompat ke depan. Menggebrak dengan lancarkan serangan pada Rajawali Emas yang begitu Setan Kaki Sepuluh menerjang dengan kedua kaki yang seolah menjadi banyak, anak muda itu segera menyingkir. Ada dua tujuan dari gerakan yang dilakukannya. Pertama, menghindari serangan Setan Kaki Sepuluh. Kedua, menjauhi dan memberi kesempatan pada Nyi Ageng Kalasan untuk pulihkan tenaganya kembali. Dan kali ini anak muda itu memang tak mat bertindak ayal. Perbuatan orang-orang Perkumpulan Hitam telah membuatnya geram. Dengan ilmu Lima Kepakan Pemusnah Rajawali yang dipadu dengan tenaga surya, dia telah membuat Setan Kaki Sepuluh
pingsan! "Ning Anggia... apakah kau tetap tak mau me
ngerti, kalau tindakan kau dan kawan-kawanmu ini justru timbulkan silang sengketa?" desisnya dengan kedua kaki tegak di atas tanah. Matanya tak berkedip pada si nenek yang sedang mendelik padanya. Di tempatnya, Ning Anggia menggeram dalam hati.
"Pamor Rajawali Emas memang tak bisa dipandang sebelah mata. Tiga gebrakan saja Setan Kaki Sepuluh dapat dibikin pingsan. Apakah... setan terkutuk! Kalau tadi dia kelihatan begitu lemah hingga mudah dihajar oleh Setan Kaki Sepuluh, tentunya dia hanya be rpura-pura saja! Terkutuk!!" - Mempunyai pikiran yang membuatnya gusar, si nenek berseru keras,
"Anak muda celaka! Rupanya kau inemang ditakdirkan untuk mampus di tanganku! Tapi, aku akan mengampuni nyawamu bila kau mau mengatakan apa yang dikatakan Kiai Pitu!uh!"
"Sejak kau hadir bersama kawan-kawanmu, kalianselalu ingin tahu persoalan itu! Padahal, bila kau mau pergunakan sedikit otakmu, seharusnya tak perlu gusar! Tidak diberitahu dalam persoalan ini pun tak harus membuat kau gusar! Tetapi... orang-orang seperti kau, sudah barang tentu tak akan mau pedulikan soal itu!"
"Bagus bila kau mengerti maksudku!" Sebelum Rajawali Emas menyahut, Kiai Pituluh yang sejak tadi terdiam dan hanya sesekali menyingkir bila ada serangan yang melenceng ke arahnya berkata,
"Apa yang dikatakan anak muda itu memang benar, Ning Anggia. Sudah seharusnya kau dan kawan-kawanmu yang lain mempergunakan otak agar tidak salah jalan. Sebaiknya, ajak yang lain untuk menyingkir dari sini...." Seketika Ning Anggia arahkan pandangannya pada kakek bijak yang pada sorban putih yang dikenakannya terdapat sebuah batu yang pancarkan sinar hijau.


Rajawali Emas 48. Prahara Di Bukit Lumbung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pituluh! Justru kau yang harus pergunakan otakmu! Bila sejak semula kau mengundang kami, sudah tentu urusan ini tak akan berkepanjangan!" Kiai Pituluh tersenyum bijak.
"Diundang atau tidak, itu adalah urusanku. Aku bisa berpikir lebih jernih, siapa yang harus kuundang dan siapa yang tidak. Dalam hal ini, aku tak melihat satu kepentingan yang sama, antara aku dengan orang-orang Perkumpulan Hitam. Hingga kuputuskan, untuk tidak mengundang kalian. Apakah itu sudah jelas?"
"Semakin jelas dan semakin menambah kegusaranku dengan penjelasanmu!"
"Bukankah itu berarti, kau tidak bisa menerima apa yang kulakukan?"
"Sama artinya dengan kau yang tak bisa menerima apa yang telah aku dan kawan-kawanku lakukan!"
"Jadi apa...." "Tutup mulutmu. Pituluh!" Habis ucapannya, dengan kegusaran tinggi, Ning Anggia dorong kedua tangannya ke arah Kiai Pituluh. wanita itu
Serta-merta menggebah gelombang angin deras yang timbulkan suara bergemuruh. Sebelum gelombang angin itu menerjang sasarannya, satu gelombang angin lainnya telah patahkan serangan Ning Anggia.
Menyusul suara nyaring terdengar,
"Ning Anggia! Mengapa harus menghadapi Kiai Pituluh" Bukankah aku bersedia menemanimu bermain-main beberapa gebrak"!"
"Anak muda celaka! Kau akan tanggung akibat perbuatanmu!!" geram si nenek dan segera melesat ke arah Rajawali Emas yang tadi halangi serangannya. Ilmu 'Peras Jasad sudah dipergunakannya.
Sementara itu, kendati mempergunakan senjatanya yang berupa sebuah jala, Hantu Jala Sutera tak kuasa lagi menghadapi gempuran-gempuran dahsyat yang dilakukan Sepasang Ular Karimun. Berulang kali tubuhnya terkena hajaran jurus-jurus ular yang dilakukan sepasang suami-istri itu.
Dewi Ular benar-benar tak mau lepaskan kesempatan, Kematian bayinya lima tahun lalu tak akan pernah dilupakan. Itu artinya, dia ingin melihat pembunuh bayinya tewas saat ini juga.
Demikian pula halnya dengan Gala Sulang alias Pendekar Ular. Lelaki gagah berpakaian terbuat dari kulit ular, mencecar bagian bawah lawan sementara sang istri menyerang bagian atas. Hingga kemudian
terlihat, bagaimana Hantu Jala Sutera menjadi kalang kabut dengan setiap serangan yang datang.
"Celaka! Aku bisa celaka!!" serunya berulang kali dalam hati. Wajahnya sudah sangat pias. Getaran tubuhnya antara ngilu dan ketakutan nampak jelas terlihat. Jala hitam yang dipergunakannya sudah sulit digerakkan karena gempuran yang datang secara beruntun.
"Ke mana kau mau lari, Keparat"!"geram Dewi Ular terus lancarkan serangannya. Buk! Buk! Kembali kedua tangannya yang membentuk seperti moncong ular menghajar dada lelaki tambun itu hingga sempoyongan. Menyusul sapuan kaki kanan Pendekar Ular, membuat Hantu Jala Sutera ambruk di atas tanah!
"Celaka!!" teriak lelaki gemuk itu sambil bergulingan tatkala Dewi Ular sudah meluruk ke arahnya. Hanya keinginan untuk hiduplah yang memaksa Hantu Jala Sutera terus berjuang keras mempertahankan selembar nyawanya. Dan secara tiba-tiba, masih bergulingan dia menebarkan jala hitamnya. Wrrrrr!! Jala itu langsung memerangkap Dewi Ular yang sedang meluruk dan harus sempoyongan begitu Hantu Jala Sutcra membetot ke arahnya. Kaki kanannya siap ditendangkan pada tubuh Dewi Ular yan g sedang kehilangan keseimbangan. Melihat hal itu, Pen dekar Ular segera meluncur. Dengan gerakan aneh dan liukan tubuh yang cepat, dia berhasil membebaskan ist rinya dari jeratan jala lawan.
Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Hantu Jala Sutera untuk meloloskan diri.
"Setan terkutuk!" maki Pendekar Ular sambil berkelebat, Tahu dirinya dikejar. Hantu Jala Sutera semakin lintang pukang dan kerahkan seluruh ilmu peringan tubuhnya untuk menjauhi Kaki Bukit Lumbung. Dewi Ular yang sejenak tertegun karena tak menyangka kalau orang yang telah membunuh bayinya berhasil lari, segera mengejar pula dengan makian keras,
"Kau tak akan lepas dari kematian yang akan kami turunkan!!" Di pihak lain, Manusia Katak yang semula dapat mendesak Dewi Alam Semesta namun kemudian berbalik terdesak, pun memutuskan untuk meloloskan diri. Karena, tindakan yang dilakukan Hantu.Jala Sutera tak begitu membuat dia kehilangan muka di antara teman-temannya. Ketimbang tewas disini tanpa mengetahui urusan apa Kiai Pituluh mengundang yang lainnya datang, adalah sebuah tindakan yang merugikan. Mendadak saja dia mclompat tinggi-tinggi, siap melewati kepala Dewi Alam Semesta dan siap pula untuk mencengkeram kepala itu kuat-kuat. Perempuan jelita yang pada lehernya melilit sebuah pita berwarna keperakan, segera merunduk. Dengan menjatuhkan tubuh ke tanah, kaki kanannya dicuatkan ke atas. Manusia Katak keluarkan suara,
"Kroook! Krroookk!" Seraya melompat tangan kanannya menepak dan begitu hinggap di atas tanah, dia sudah melompat jauh-jauh meninggalkan tempat itu.
Dewi Alam Semesta rupanya tak mau membiarkan lawannya lolos, maka, dia pun segera mengejarnya.
Bab 10 "Apakah kau akan melarikan diri seperti kedua kawanmu yang sudah berubah menjadi tikus got itu, Kaligi"!" geraman itu terdengar dari sebelah kiri. Disusul gelombang angin deras yang terjadi. Ki Kaligi yang sedang menghadapi Manusia Pemberang cuma mendengus. Lalu berkata seraya menangkis dan lancarkan serangan,
"Melarikan diri untuk saat ini bukanlah tindakan pengecut! Apalagi bila aku melakukannya! Ingat, kau belum mengalahkanku, Manusia Pemberang!"
"Demikian pula denganmu, hah! Apakah kau pikir sudah dapat mendesakku"!" Blaaammm! Blaaammm!! Di antara ucapan-ucapan keras itu terdengar letupan yang lebih keras. Dan membuat masing-masing orang harus mundur beberapa tindak. Pandangan keduanya sama-sama tajam, penuh bara amarah!
"Manusia Pemberang! Untuk saat ini, kita sudahi dulu pertikaian yang terjadil Ingat, aku akan tetap mencari tahu, apa yang telah kalian bicarakan! Atau, dengarkan dari mulut Kiai Piluluh!" Manusia Pemberang berseru gusar, "Huh! Ternyata nyalimu hanya sedemikian saja! Bilang saja kalau kau takut menghadapiku!!"
- "Kau belum mengalahkan aku!!"
"Apakah kau pikir aku tidak bisa mengalahkanmu"!"
"Buktikan bila kau memang mampu melakukannya!" Ditantang seperti itu, mengkelap wajah Manusia Pemberang. Dia tidak tahu, kalau saat ini Ki Kaligi sedang berusaha untuk meloloskan diri. Karena kakek sesat itu berpikir, tak ada gunanya teruskan pertarungan sebelum dia mengetahui secara jelas apa yang telah dibicarakan oleh orang-orang itu di Kaki Bukit Lumbung. Dan bila teruskan pertarungan, mcnurut Ki Kaligi hanya sebuah perbuatan sia-sia tanpa diketahui tujuan yang jelas. Di tempatnya, kedua tangan Manusia Pemberang sudah bergetar hebat tanda amarahnya semakin meninggi. Diiringi teriakan mengguntur, dia sudah menggebrak ke depan. Dan mendadak saja dia urungkan serangan karena kaki kanan Ki Kaligi mendadak menjejak tanah yang segera memuncratkan tanah ke arahnya.
"Keparat!!" maki Manusia Pemberang gusar seraya mundur. Dan begitu muncratan jadi luruh kembali ke asalnya, sosok Ki Kaligi sudah tak ada di tempat. Memaki-makilah Manusia Pemberang dengan kegusaran tiada tara.
"Kau tak akan bisa melarikan diri dari tanganku, Kaligi!!"geramnya dan segera tinggalkan tempat itu.
: :Rajawali Emas yang dapat merasakan kehebatan ilmu yang diperlihatkan Ning Anggia, tak mau lancarkan serangan. Dia hanya menghindar saja. Harapan yang diinginkan, dia dapat menguras tenaga Ning Anggia hingga sinenck menjadi kelelahan sendiri. Di pihak lain, Nyi Ageng Kalasan yang sudah pulih tena ganya kembali telah berdiri di sisi kanan Kiai Pituluh. Di a memandang Kiai Pituluh setelah sejenak perhatikan k e depan,
"Kiai Pituluh... urusan Ning Anggia biar anak muda itu yang menghadapi. Untuk saat ini, aku memang mengaku kalah terhadapnya. Dan aku akan segera tinggalkan tempat ini untuk menyusuri kehadiran Bocah Kutukan Setan." Kiai Pituluh mengangguk"Terima kasih atas kesediaanmu untuk membantuku menghentikan kehadiran Bocah Kutukan Setan yang dapat timbulkan petaka mengerikan...." Nyi Ageng Kalasan mendengus.
"Bila saja aku tak mendengar secara langsung dari mulutmu, sekali pun aku tak pernah mempercayai semua ini...." - "Dan aku beruntung karena kau hadir pula di sini.... Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas kesediaanmu, Nyi...." Lagi-lagi si nenek mendengus. Lalu perhatikan ke depan, bagaimana Rajawali Emas sedang mempemainkan Ning Anggia yang terus menerus memukul atau menendang tempat kosong.
"Tujuh tahun lalu aku berhasil mengalahkannya.
- -Tetapi sekarang, akulah yang dikalahkannya. Dan aku telah mengetahui kehebatan ilmu yang dimilikinya. Ilmu Peras Jasad'. Bertarung dengannya, tak perlu harus membentur bagian tubuhnya karena tenaga akan terperas masuk ketubuhnya. Hmmm...bila ada kesempatan lain, akan tiba giliranku untuk mengalahkannya kembali..." Lalu tanpa berkata apa-apa, Nyi Ageng Kalasan sudah meninggalkan tempat itu.
"Ning Anggia... apakah kau tetap bersikeras untuk bertarung terus?" seru Rajawali Emas sambil menghindar.
"Sebelum melihatmu mampus, aku tak akan pernah tenang!"balas Ning Anggia keras.
"Waduh! Bagaimana kau bisa menyaksikan aku mampus" Bukankah kau sendiri tak mampu untuk mengenaiku?" Mendengar ejekan itu, semakin murka Ning Anggia. Namun semakin ganas dia lancarkan serangan, tetap saja tak satu pun serangannya yang mengenai sasaran yang diinginkannya. Bankan lamhat-lambat dia merasakan justru tenaganya yang berkurang.
"Kurang ajar: Kalau biasanya aku bisa mengambil tenaga lawan, tetapi sekarang justru tenagaku yang terkuras akibat sia-sia setiap seranganku sendiri. Anak muda ini memiliki otak yang cerdik. Dia tahu kalau ilmu Peras Jasad yang kulancarkan tak akan banyak gunanya bila tak mengenai sasaran. Terku tuk!!" makinya dalam hati namun tak hentikan serangannya. Setelah beberapa lama dan dirasakan kalau serangannya tak secepat dan sehebat tadi, Ning Anggia akhirnya menghentikan setiap terjangannya. Dada tipisnya naik turun dengan napas terengah. Tatapannya masih garang, menyimpan kemarahan tinggi yang sesungguhnya tak kuasa ditahan lagi.
"Anak muda!"serunya pada Tirta yang telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari hadapannya.
"Untuk saat ini, aku mengaku kalah! Tetapi kelak, kau tak akan mendapat ampunan lagi!" Tirta tersenyun.
"Jadi kau mengalah seperti itu, karena mengampuniku" Wah, kuucapkan terima kasih deh kalau kau memang berbaik hati seperti itu!" Makin gusar Ning Anggia mendengar ucapan si anak muda. Tetapi dia tak teruskan kegusarannya. Mendadak dia berseru pada Kiai Pituluh,
"Kau adalah biang dari segala keributan yang terjadi! Terutama, karena kau tak indahkan kehadiran Perkumpulan Hitam! itu berarti, kau pun tak akan pernah kulepaskan!" Kiai Pituluh tak berkata apa-apa. Hanya sunggingkan senyuman yang membuat Ning Anggia membuang ludahnya dengan pandangan bengis.
"Aku akan mencari tahu apa yang kalian rahasiakan!! Dan kalian akan merasakan akibat dari semua yang telah kalian lakukan!" Habis ucapannya, si nenek segera melesat meminggalkan Kaki Bukit Lumbung. Tirta berseru,
"Heiii! Bagaimana dengan kawanmu yang pingsan ini"! Kok tidak dibawa" Atau... kau keberatan membawanya ya ." kasian deh lu...
Tetapi Ning Anggia sudah tak hiraukan seruan itu. Dia terus berlari dengan menyimpan bara dendam pada Rajawali Emas dan Kiai Pituluh. Di samping itu, dia juga geram melihat kepengecutan Hantu Jala Sutera dan Manusia Katak yang melarikan diri seperti seekor tikus. Sementara tindakan yang dilakukan oleh Ki Kaligi dapat diterimanya.
Namun yang paling membuatnya muak, adalah sikap Setan Kaki Sepuluh yang terlalu sesumbar namun kosong melompong. Bahkan kini jatuh pingsan setelah dikalahkan oleh Rajawali Emas.
"Aku tak peduli kalau orang itu mampus sekarang juga!!" geramnya dan terus berlari.
" segera terbit... RAJAWALI EMAS ASMARA MANUSA PEMBERANG ebook by novo edit teks by Saiful Bahri
http://cerita-silat.mywapblog.com
Tujuh Bunga Pandawa 3 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 5

Cari Blog Ini