Ceritasilat Novel Online

Setan Madat 2

Satria Gendeng 16 Setan Madat Bagian 2


tapi mereka juga merasa sudah terlalu tua untuk
menambah ilmu. Paling tidak membutuhkan waktu puluhan tahun, begitu kata mereka waktu itu.
Sementara usia mereka hanya tinggal sisa-sisa
saja. Itu pun kalau Tuhan berbaik hati dengan
memanjangkan usia mereka.
Tapi anehnya, walaupun sampai saat ini
Tuhan masih memanjangkan umur mereka, tetap
saja Jalak Merah dan Laba-laba Hijau tak pernah
berpikir untuk tobat.
Kedua lelaki bangkotan ini sebenarnya
saudara satu perguruan aliran putih. Karena keduanya kepergok berzina dengan beberapa gadis
desa, sang Guru mengusir mereka dari perguruan. Bahkan sang Guru sempat bersumpah, kedua murid bejadnya itu tak akan punya kejantanan lagi. Apalagi untuk mempunyai istri. Dan
nyatanya, sumpah itu terbukti. Dua bulan kemudian, burung milik Jalak Merah seolah seperti
mati. Sedangkan milik Laba-laba Hijau, masih
untung sedikit. Kendati bisa berkluruk, tapi cuma sesaat. Setelah itu, bocor....
Sejak itulah kedua lelaki ini memutuskan
untuk terjun ke dunia sesat....
* * * Arya Wadam pura-pura tertidur. Napasnya
diatur sedemikian rupa agar dengkurannya terdengar wajar. Sosok di luar kamar mulai membuka pintu.
Hati-hati sekali. Baru saja pintu terbuka sedikit, mendadak pintu tertutup
kembali. Mungkinkah
sosok itu tahu kalau Arya Wadam belum tidur"
Kenapa dia tidak jadi masuk" Padahal, Arya Wadam sudah siap mengempos tenaganya untuk
membekuk orang yang hendak memasuki kamarnya. Penasaran, Arya Wadam bangkit. Penuh
kehati-hatian, gadis ini segera mendekati pintu.
Telinganya dipasang tajam-tajam di daun pintu.
Tak ada suara mencurigakan, selain desah napas
di balik pintu.
Tangkas dan waspada, Arya Wadam membuka pintu. Wutt!!! "Eh"!"
* * * "Siapa kau"!" terabas Arya Wadam, langsung meringkus seorang wanita di depan pintu
kamarnya. "Ma..., maaf Nona Pendekar. A..., aku pelayan kedai yang petang tadi Nona Pendekar tolong," gagap si pelayan kedai.
"Ada apa kau ke sini" Mengapa sikapmu
begitu mencurigakan?" terjang Arya Wadam, namun segera melepas ringkusannya.
"Maaf, Nona Pendekar...."
"Panggil aku Arya Wadam!"
"Baik, Non, eh! Arya Wadam. Begini,
mmm.... Bolehkah kita berbincang-bincang di dalam?" pinta wanita pelayan itu.
Arya Wadam tercenung sejenak. Lalu,
"Baik. Masuklah."
Si wanita pelayan segera masuk kamar.
Arya Wadam mengikuti. Mereka sama-sama
menghenyakkan pantat di ranjang kamar, setelah
Arya Wadam menutup pintu rapat-rapat.
"Nah, sekarang ceritakan, apa maksudmu
datang ke kamarku secara mencurigakan?" todong Arya Wadam, langsung saja setelah menyalakan lampu minyak dengan pemantik api.
"Aku perlu hati-hati ke sini, Arya. Mereka
sangat berbahaya," jelas si pelayan.
"Mereka" Siapa mereka?" Kening Arya Wadam berkerut. "Anak buah Setan Madat. Mereka ada di
mana-mana."
"Lalu, apa urusannya denganku?"
"Kau adalah seorang pendekar, Arya. Aku
yakin itu. Setelah kau membuat pontang-panting
anak buah Setan Madat petang tadi, aku diamdiam mengikutimu, hingga aku tahu kau menginap di sini. Dan ketika aku kembali ke kedai telah ada orang-orang berpakaian
serba hitam lainnya
dan seorang lelaki setengah baya berpakaian panglima Kerajaan Demak. Untungnya mereka tak
tahu kalau lima orang teman mereka sebelumnya
habis kau lumpuhkan di kedai itu"
"Langsung saja ke pangkal persoalannya!"
ujar Arya Wadam, tak sabar.
"Baik. Ketika aku tiba di sana, aku mencuri
dengar pembicaraan mereka. Ternyata, panglima
Kerajaan Demak itu akan membuat pemberontakan terhadap Raja. Untuk itu, dia perlu dana untuk menyuap prajurit-prajurit Demak agar ikut
memberontak. Dan dana itu akan diperolehnya
dari Setan Madat. Sebab dari hasil penjualan madatnya, Setan Madat kini sudah seperti raja kecil saja," papar si pelayan.
Arya Wadam manggut-manggut. Tudungnya tak dikenakan lagi. Maka wajah cantiknya
pun jadi bahan kekaguman si pelayan. Dia tak
menyangka ada pendekar wanita begitu cantik.
Muda, lagi. Sepengetahuannya, seorang pendekar
telah berusia tua dan berwajah pas-pasan. Tapi
begitu melihat Arya Wadam, pendapatnya pun
tersapu begitu saja.
"Lantas, apakah panglima itu masih ada?"
tanya Arya Wadam, mulai tertarik.
"Kira-kira sudah sepeminum teh dia meninggalkan kedai bersama orang-orang berpakaian serba hitam itu," ungkap si pelayan.
"Ke mana mereka pergi?"
"Menurut yang kudengar, ke Hutan Sawangan." Arya Wadam tercenung kembali. Dia berusaha mengingat, di mana letak Hutan Sawangan.
Suasana hening dalam keremangan lampu
minyak. Mendadak.... Wusss!!! "Awass...!"
Arya Wadam langsung menubruk si pelayan. Suara angin menderu yang mengiringi luncuran sebuah benda berkilatan sempat dirasakan
Arya Wadam. Kepekaan nalurinya mengisyaratkan ada bahaya mengintai.
Clap! Benda berkilatan tadi langsung menancap
di pintu kamar. Arahnya dari dinding bilik tepat
di belakang mereka. Begitu jatuh di lantai bersama si pelayan, Arya Wadam langsung menghujamkan pandangannya ke arah benda berkilatan
tadi yang menancap di pintu. Sebuah belati.
Penuh kesigapan, Arya Wadam bangkit
berdiri. Lalu....
"Hiaaa...!"
Brosss...! Dinding bilik penginapan diterjang Arya
Wadam. Seketika tercipta lobang besar seukuran
tubuhnya. Si penerjang sendiri segera mendaratkan kakinya di luar kedai. Matanya nyalang
menyapu ke sekeliling. Sepi.
Penasaran, Arya Wadam berkelebat mengelilingi penginapan. Tetap tak ada seorang pun
yang ditemuinya. Hanya keremangan yang ada
dan tiupan angin yang mendengus-dengus. Arya
Wadam yakin, si pelempar pisau memiliki kepandaian tinggi. Buktinya, begitu cepat dia menghilang setelah melempar pisau. Tapi siapa"
Kelima lelaki yang kuhajar petang tadi" Tidak mungkin! Sanggah Arya Wadam dalam hati.
Kepandaian mereka belum seberapa. Gerakan silat mereka masih lambat dan kasar, walaupun
mempunyai tenaga dalam lumayan. Sedang si pelempar pisau, selain mempunyai indera pendengaran tinggi, juga mempunyai Ilmu meringankan
tubuh sempurna. Buktinya, dia bisa menentukan
di mana sosok manusia yang jadi sasarannya,
dan cepat bisa menghilang begitu habis melempar
pisau. Di depan kedai, Arya Wadam masih bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tapi sebelum semua pertanyaannya terjawab....
"Aaa...!"
Arya Wadam tercekat. Ingatannya langsung
tertuju pada si pelayan di kamarnya. Entah kenapa, dia begitu mencemaskannya. Maka cepat gadis ini masuk ke dalam kedai.
Apa yang terjadi pada diri si pelayan..."
*** ENAM AKU menugaskan pada kalian berdua untuk merebut Kail Naga Samudera dari Satria Gendeng!" titah Setan Madat kepada Jalak Merah dan Laba-laba Hijau.
Tercekat kedua lelaki bangkotan itu. Sekejapan mereka saling memandang, lalu beralih pada Setan Madat. Sinar mata mereka sarat akan
keragu-raguan. "Apa tidak salah pendengaran kami, Ketua?" Jalak Merah menyahuti.
"Apa kau sudah tuli, Jalak Merah?" balik
Setan Madat. "Kail Naga Samudera amat dahsyat, Ketua?" bela Laba-laba Hijau.
"Tapi pemiliknya hanya pemuda kemarin
sore, bukan?"
Memang, pemiliknya pemuda kemarin sore.
Tapi kepandaiannya" Jalak Merah dan Laba-laba
Hijau menggerutu dalam hati. Bisa jadi seenaknya Setan Madat berkata begitu, karena memang
belum menjajal kehebatan pendekar tengik murid
Dongdongka dan Ki Kusumo itu.
"Jangan khawatir. Kalian besok akan dibantu sahabatku dari Negeri Gajah Putih. Namanya Pratamp Shirapong. Dia ahli melempar pisau. Sekarang dia sedang berada di Desa Karangkemboja Wetan untuk membantu Sugiri yang katanya mempunyai persoalan dengan seorang pendekar bertudung. Sebentar lagi dia juga datang.
Mungkin bersamaan waktunya dengan kedatangan Panglima Ganang Laksono di istanaku ini,"
cetus Setan Madat.
Legalah hati kedua lelaki bangkotan itu.
Sesak napas yang mendadak menyerang dada
sirna sudah. Dan sebelum ada yang membuka
suara, dari arah pintu datang seorang pemuda
berpakaian serba hitam.
Si pemuda memberi hormat sejenak. Tubuhnya dibungkukkan sedikit. Lalu dibukanya
senyum lebar. "Ketua, tamu kehormatan telah tiba," lapor si pemuda.
"Suruh langsung masuk," sahut Setan Madat. "Baik," Si pemuda segera menghormat lagi.
Lalu dia berjalan gagah keluar.
Tak ada sepuluh hitungan, dari arah pintu
muncul seorang lelaki setengah baya. Pakaiannya
jelas menandakan kalau dia adalah seorang panglima kerajaan. Wajahnya kokoh dihiasi kumis
dan brewok. Pancaran matanya tajam. Di pinggangnya terselip sebuah pedang.
"Selamat datang di istana kecilku, Panglima Ganang Laksono," sambut Setan Madat. Sikapnya terkesan dibuat-buat.
"Terima kasih sobatku, Setan Madat.
Sungguh suatu kehormatan besar aku bisa bertemu denganmu, setelah sekian tahun kita tidak
berjumpa," ucap Panglima bernama Ganang Laksono ini. Kedua lelaki ini saling bersalaman. Setan
Madat lantas membawa sahabatnya ke kursi di
sebelahnya. "Tak perlu banyak beristiadatan di istanaku, Panglima. Kau dan aku sudah seperti saudara. Kalau tiada kau, mana mungkin aku berhasil
membawa bibit-bibit madat ke tanah Jawadwipa
ini. Walhasil, aku kini bagaikan raja kecil di Hutan Sawangan ini. Kekayaanku
sekarang melimpah. Dan itu berkat jasamu, Panglima," kata Setan Madat.
"Dan kau sekarang mengerti kepentinganku, bukan?" todong Panglima Ganang Laksono,
tanpa tedeng aling-aling.
"Oh, tentu. Tentu, Panglima. Berapa pun
biaya yang kau butuhkan, aku pasti akan membantu mewujudkan cita-citamu dalam merebut
takhta Kerajaan Demak. Dengan begitu, bukankah nantinya kita akan meningkatkan kerja sama?" Panglima Ganang Laksono tertawa terba-hak. Ada nada kepuasan dalam setiap
tarikan ta- wanya. "Oh, ya. Kuperkenalkan para pembantuku," lanjut Setan Madat. "Yang memakai pakaian serba merah bernama Jalak Merah.
Sedangkan yang berpakaian serba hijau bernama Laba-laba
Hijau." Kedua tokoh sesat yang disebut Setan Madat berdiri dari duduknya. Tubuh


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka mem- bungkuk sedikit, memberi hormat pada Panglima
Ganang Laksono. Sementara sang panglima
hanya mengangguk sedikit. Pelit kelihatannya untuk memberi balasan penghormatan lebih banyak.
Maklum, pejabat kerajaan rata-rata memang begitu. Terutama, mereka yang merasa dirinya dibutuhkan. "Aku juga mengundang sahabatku dari Negeri Gajah Putih. Sebentar lagi dia akan muncul.
Namanya, Pratamp Shirapong. Setelah dia menyelesaikan tugasku, dia bisa kau pinjam untuk
membantumu merebut takhta kerajaan. Dia ahli
melempar pisau. Kau pasti tertarik dengan kepandaiannya," tambah Setan Madat.
"Terima kasih, atas jerih payahmu, Setan
Madat. Aku tak akan melupakan budimu. Kelak
bila aku berhasil merebut takhta, kau akan kuangkat menjadi salah satu menteriku," sambut
Panglima Ganang Laksono.
"Ha ha ha.... Dan aku akan dikelilingi banyak selir. Ha ha ha.... Kalau begitu dari sekarang aku mesti rajin minum ramuan
obat kuat, biar
tak cepat loyo.... Ha ha ha...."
Tawa meledak di ruangan ini. Bahu masing-masing berguncang keras, seolah cita-cita mereka sudah tergenggam di telapak tangan. Ada
keyakinan kuat di hati sang Panglima. Betapa tidak" Kadipaten Kutowinangun dan Kadipaten
Purworejo telah siap mendukungnya dalam merebut takhta Kerajaan Demak. Apalagi sekarang dibantu beberapa tokoh hitam berkepandaian lumayan. Panglima Ganang Laksono adalah salah satu panglima yang tak puas dengan aturan kerajaan. Dia telah cukup lama mengabdi di kerajaan,
tapi tetap saja pangkatnya masih panglima. Dia
berharap, Raden Sutawijaya yang menjadi raja
saat itu mengangkatnya menjadi adipati di salah
satu wilayah kekuasaan Demak. Lelaki ini merasa
sudah sangat berjasa kepada kerajaan, tapi nasibnya tak masuk hitungan. Malah, kawankawannya yang waktu itu masih menjadi punggawa kini sudah berpangkat panglima. Bahkan
sudah ada yang diangkat menjadi adipati di wilayah timur Demak
Ketidakpuasan itu menimbulkan dendam.
Ibarat api tersiram minyak, dendam itu makin
membara ketika adik Panglima Ganang Laksono
dihukum mati karena dituduh melarikan istri
orang. Saat itu sang Panglima hanya pasrah. Tapi
dalam hatinya, dia merasa harus melaksanakan
dendamnya itu. Dalam suatu kesempatan, Panglima Ganang Laksono pergi ke Kadipaten Kutowinangun.
Sang Adipati yang masih kakak ipar Panglima
Ganang Laksono, gampang saja termakan bujuk
rayu. Demikian pula Adipati Purworejo yang masih sepupunya. Mereka semua termakan ucapan
berbisa sang Panglima, sehingga bersedia membantu untuk meruntuhkan takhta Kerajaan Demak. Tentu saja, untuk mewujudkan impiannya
itu Panglima Ganang Laksono butuh biaya banyak. Dasar nasibnya sedang bagus, di pantai
Demak dia bertemu seorang saudagar yang mengaku bernama Warengkeh. Ketika sang panglima
bermaksud menangkapnya karena si saudagar
membawa berkarung-karung bibit madat dalam
perahunya, timbullah dalam benaknya untuk
memanfaatkan saudagar itu.
Dari kesepakatan yang terjadi, Panglima
Ganang Laksono akan memperoleh biaya dari Warengkeh yang kemudian dikenal sebagai Setan
Madat. Sedangkan Setan Madat diberi perlindungan menanam bibit-bibit madat itu di tempat yang
tersembunyi. Bila panen, madat-madat itu akan
dijual ke seluruh pelosok lewat kaki-kaki tangan
Setan Madat. Dan hasilnya dibagi dua, antara Setan Madat dengan Panglima Ganang Laksono.
Sekian tahun, Setan Madat menjual madat
itu hanya sembunyi-sembunyi. Tapi beberapa
purnama belakangan ini, dia menjualnya secara
terang-terangan. Dan bila ada kaki tangannya
yang tertangkap, maka Panglima Ganang Laksonolah yang membebaskannya.
* * * Brakk! Arya Wadam mendobrak pintu kamar penginapannya. Tapi di tempat tidurnya telah tergolek si pelayan wanita yang menemuinya tadi. Tepat di dada kirinya tertancap sebilah belati. Cepat wanita itu menghampiri si
pelayan. Tak ada gerakan sedikit pun pada tubuh si
pelayan ketika Arya Wadam memeriksa. Si pelayan telah mati.
"Sialan! Rupanya si pelempar pisau menggunakan kesempatan selagi aku mencarinya.
Atau, si pelempar pisau ada beberapa orang. Satu
orang memancingku agar keluar, sementara yang
lainnya masuk melalui pintu" Ya, aku yakin begitu," bisik Arya Wadam berkata sendiri.
Selagi Arya Wadam membenahi mayat si
pelayan, dari arah pintu bermunculan beberapa
keamanan dan orang-orang yang menginap di
penginapan ini.
"Dia pembunuhnya, Kisanak. Aku melihatnya," tunjuk seorang lelaki berpakaian serba hitam pada Arya Wadam.
Arya Wadam mengenali orang yang menunjuknya. Dia adalah salah seorang lelaki anak
buah Setan Madat yang dibuat pontang-panting
olehnya petang tadi.
"Slompret! Jangan menuduh sembarangan,
Keparat! Aku sedang memeriksanya, tahu"!" bentak Arya Wadam, kalap.
"Bohong! Aku tadi melihatnya. Dia mengendap-endap masuk kamar ini lalu sekejap kemudian terdengar teriakan. Pasti dia pelakunya!
Ayo kita tangkap!"
"Wah, jadi gawat urusannya!" desis Arya Wadam perlahan dengan sikap waspada.
Percuma saja sepertinya Arya Wadam berusaha berkelit. Sebab, orang-orang di depan pintu mulai mengurungnya. Sejenak tatapannya
menghujam pada lelaki yang memfitnahnya. Dia
melihat, lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.
Arya Wadam tak ingin ada korban jatuh
dari orang-orang tak bersalah. Dia tahu pasti, pa-ra lelaki yang mulai bergerak
ke arahnya ini hanya terpengaruh ucapan lelaki berbaju hitam
itu. Untuk meladeni, rasanya tidak pada tempatnya. Untuk itu, Arya Wadam merasa lebih baik
menghindar. "Hap!"
Lewat satu teriakan, Arya Wadam melenting ke belakang. Langsung diterobosnya lobang
pada dinding yang dibuatnya tadi, ketika mengejar orang yang melempar pisau. Begitu mendarat,
tubuhnya segera melesat meninggalkan kedai.
Cepat sekali Arya Wadam berlari. Samarsamar telinganya masih mendengar seruan orangorang yang mengejarnya. Tapi dia tak peduli. Lesatannya makin cepat, menuju Desa Sedayu....
* * * "Tak kusangka, pendekar bertudung itu
ternyata seorang wanita. Dialah yang mempecundangi teman-temanku, Tuan Pratamp! Aku harus
mengejarnya!" kata seorang lelaki berpakaian serba hitam di depan penginapan di
Desa Karang- kemboja Wetan. "Tak perlu, Sugiri!" sergah lelaki setengah baya berpakaian dari kulit gajah
yang disamak halus. Di sekeliling pinggangnya berjejer barisan belati. Wajahnya lebar dengan
mata agak sipit.
Hidungnya mekar berlobang besar. Tanpa kumis
dan jenggot. Rambutnya sebahu, tapi botak pada
bagian atasnya. Celananya pangsi berwarna hitam. Dialah Pratamp Shirapong dari Negeri Gajah
Putih atau Campa (Negeri Gajah Putih atau Campa, sekarang dikenai sebagai Muangthai/Thailand di Semenanjung Malaka. Di negerinya dia dikenai sebagai Belati Iblis).
"Kenapa, Tuan Pratamp?" tukas lelaki bernama Sugiri. Nadanya kurang puas.
"Jangan terlalu buang tenaga, Sugiri," jelas
Pratamp Shirapong dengan logat Campa yang
kental. "Pertama kita harus cepat kembali ke Hutan Sawangan. Kedua, besok kita
harus menuju Desa Sedayu. Ketiga, pendekar wanita itu akan
berpikir dua kali jika kembali ke desa ini. Jelas penduduk desa ini telah
mengenalinya. Sehingga
ruang gerak wanita itu akan sangat ter-batas.
Dan kau sendiri akan bebas menjalankan tugas
Setan Madat dalam menyebar madat di desa ini.
Kau paham?"
"Wah, Tuan Pratamp ternyata sangat cerdik. Tak percuma Ketua mengundang Tuan ke
Jawadwipa ini," puji Sugiri.
Pratamp Shirapong makin membusungkan
dada dipuji begitu. Tarikan senyumnya justru
menyiratkan kalau dia sangat meremehkan kepandaian para penduduk pribumi. Termasuk, Sugiri. Baginya, Sugiri tak lebih dari kucing buduk.
Mengeong-ngeong terlalu keras, begitu digertak
lari terbirit-birit.
Bukan tanpa alasan Sugiri memuji Pratamp Shirapong begitu tinggi. Sewaktu kembali ke
Hutan Sawangan setelah dia dan empat kawannya petangnya dibuat pontang-panting oleh Arya
Wadam, Sugiri sudah melihat kehebatan Pratamp
Shirapong dalam melempar pisau.
Dengan mata tertutup, dari jarak sekitar
sepuluh tombak Pratamp Shirapong mampu
membidik sasaran yang hanya berupa sebiji buah
duku. Tak tanggung-tanggung, sebutir buah duku
sebesar kelereng itu diletakkan di atas kepala botak salah seorang anak buah Setan Madat. Begitu
pisau meleset....
Wesss....! Tak! Brukk! Bukan hanya buah duku yang terpental.
Lelaki botak yang kepalanya dijadikan tempat
menaruh duku pun ambruk pingsan. Betapa tidak" Semula dia dengan gagahnya menyediakan
kepalanya untuk ditaruh buah duku. Dipikirnya,
mata Pratamp Shirapong tak ditutup. Tapi begitu
salah seorang anak buah Setan Madat menutup
mata lelaki dari Negeri Campa itu, si lelaki botak mulai menggigil ketakutan.
Wajahnya pucat bukan main. Matanya melotot nyaris keluar dari
rongganya. Dengkulnya gemetar. Dan dari selangkangannya muncul mata air berbau pesing
bukan main. Ketika buah duku tersambar pisau, kesadaran lelaki botak itu telah lenyap bersama angin lalu. Kasihan dia. Maunya sih
sok gagah di depan
Setan Madat. Tak tahunya, malah disiram air satu ember untuk menyadarkannya.
Di malam itu, Sugiri tak kuat menahan tawanya melihat si lelaki botak menderita lahir batin begitu. Tapi. Justru tawanya mengundang
perhatian Pratamp Sharapong. Dan sekali lelaki
dari Campa ini mengebutkan tangannya....
Wess.... Clap! "Aaahh.... "
Sugiri mendesah lirih. Dia yang saat itu
berdiri bersender di bawah tiang soko guru kediaman Setan Madat melirik ke bawah. Dan jantungnya nyaris copot ketika melihat pisau yang
dilemparkan Pratamp Shirapong menancap di dekat selangkangannya, langsung menembus tiang
dari kayu berukir. Untung saja pisau itu hanya
menembus kain celana, hanya beberapa rambut
dari kantong menyannya. Tapi tak urung, ada
mata air berbau pesing pula yang tiba-tiba muncul dari situ...
Keyakinan makin bertambah, ketika di Desa Karangkemboja Wetan Pratamp Shirapong
membuktikan keahliannya dalam menentukan
sasaran. Hanya sayang, waktu itu yang jadi sasaran Arya Wadam. Sehingga tak mudah bagi si pisau menyentuh pendekar wanita itu.
Kepergian Pratamp Shirapong ke desa ini
juga berkat perintah Setan Madat, setelah Sugiri
melaporkan bahwa dia dan empat kawannya diganggu oleh seorang pendekar bertudung.
Selesai melaporkan, bersama Pratamp Shirapong, Sugiri kembali ke kedai, tepat ketika Panglima Ganang Laksono belum lama
meninggalkan kedai. Setelah bertanya-tanya, Sugiri mendapat
keterangan kalau pendekar bertudung itu menginap di seberang kedai tempat terjadi keributan
petang sebelumnya.
***

Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

TUJUH NANTI malam, purnama tiba.
Seperti peraturan yang dibuat Setan Madat, pada malam itu Kepala Desa Rengges harus
sudah menyiapkan upeti, seorang gadis, dan seorang lelaki yang akan dibawa ke Hutan Sawangan. Bila purnama-purnama sebelumnya Ki
Rengges akan penuh suka cita menyerahkan semua permintaan Setan Madat, kali ini nanti dulu.
Apalagi gadis yang akan diserahkan kali ini adalah anaknya sendiri. Ratih. Karena pada surat Setan Madat kemarin siang, Ki Rengges diharuskan
untuk menyerahkan anak gadis satu-satunya pada Setan Madat. Itu setelah beberapa hari yang
lalu, lelaki sesat itu melihat dengan mata kepala sendiri, betapa cantiknya anak
Ki Rengges. Selain sayang pada anak satu-satunya,
tentu saja Ki Rengges amat kecewa, karena Setan
Madat telah melanggar janjinya. Karena sebelum
Ki Rengges jadi pengikutnya, Setan Madat berjanji untuk tidak mengganggu
keluarga kepala desa
itu. Tapi, memang sia-sia bersepakat dengan tokoh sesat macam Setan Madat. Janji tinggal janji.
Soal dipenuhi, sampai berak kapur tak akan terjadi. Sejak itulah Ki Rengges sadar akan kekeliruannya. Apalagi setelah di desanya datang seorang pendekar muda bernama Satria. Lelaki tua
ini bertekad untuk menentang Setan Madat. Dan
untuk menebus dosa-dosanya pada para penduduk dia bertekad untuk ikut menghadang para
pengikut Setan Madat.
Tapi, Satria Gendeng punya siasat tersendiri. Si pemuda tengik ini cukup mengerti dengan
tekad Ki Rengges. Namun dia tak bisa membiarkan Ki Rengges bertarung dengan mengandalkan
kepandaian yang seadanya. Sebab dengan kejadian kemarin, si pemuda yakin kalau Setan Madat akan membawa kekuatan yang lebih kuat.
Siasat apakah yang akan dijalankan pemuda bertabiat tengik itu"
* * * Seperti biasa, Ki Rengges menyambut para
anak buah Setan Madat dengan pesta besar. Makanan dan minuman berlimpah ruah. Juga madat. Ruangan di rumah Ki Rengges bagaikan dipenuhi kabut. Semuanya menyesakkan dan memabukkan. "Bagaimana, Ki Rengges" Apakah kau sudah menyediakan semua permintaan Setan Madat?" tanya Jalak Merah. Lelaki berpakaian serba merah ini duduk berdampingan
dengan Laba-laba
Hijau. Sedangkan Pratamp Shirapong yang memang ditugasi untuk mengawal kedua lelaki
bangkotan itu duduk di sebelah Ki Rengges.
Di ruangan yang mereka tempati tak banyak dikepung oleh asap rokok berisi madat, karena berada paling dalam. Ki Rengges berusaha
untuk tidak mengundang kecurigaan dengan bersikap sewajarnya.
"Oh, itu. Semuanya sudah kusiapkan," sahut Ki Rengges, pendek.
"Lantas. Ke mana pemuda bernama Satria
yang kemarin menjadi tamu asing di desa ini?" cetus Laba-laba Hijau. Dia mana
sudi mengatakan,
mana pemuda yang mengalahkannya"
"Dia sudah pergi kemarin," sahut Ki
Rengges, pendek lagi.
"Kalau dia masih ada, pasti akan berlutut
minta ampun pada kami. Kau lihat. Di sebelahmu
duduk seorang tokoh tingkat tinggi dari Negeri
Campa. Dia ahli melempar pisau. Namanya, Pratamp Shirapong," kata Laba-laba Hijau bangga.
Matanya mengarah pada Pratamp Shirapong.
"Siapa" Macam Ompong?" Ki Rengges
mendekatkan telinga ke arah Laba-laba Hijau.
Mungkin karena di ruang depan sana suasana
terlalu dikepung kebisingan. Atau memang Ki
Rengges sendiri yang sudah rada tuli"
"Jangan sembarangan kau, Ki!" ledak Laba-laba Hijau. "Dia tak akan memberi ampun
pada setiap lawan!"
"Oh, maaf. Habis, di luar berisik sekali,"
ucap Ki Rengges buru-buru. "Siapa tadi?"
"Pratamp Shirapong."
Ki Rengges tak mau menyebut nama itu.
Takut salah. Kalau salah lagi, lelaki dari Negeri Campa di sebelahnya sudah
mengepalkan jari
tangannya. "Nah, sekarang, cepat keluarkan anak gadismu, Ki Rengges. Setan Madat sepertinya sudah
tak sabar untuk memilikinya," cetus Jalak Merah.
"Sabar, sabar. Nikmatilah makanan di
ruangan depan sana dulu. Istriku masak sangat
banyak tadi siang," ujar Ki Rengges.
"Tidak. Kami tidak lapar. Cukup tuak ini
saja yang menjadi hidangan kami," tolak Laba-laba Hijau.
Jawaban Laba-laba Hijau agaknya mewakili Jalak Merah dan Pratamp Shirapong. Buktinya,
kepala mereka mengangguk-angguk tanda setuju.
Tapi bagi Ki Rengges jawaban itu makin membuatnya gelisah.
Gawat! Bisa gagal rencana Satria! Gerutu
Ki Rengges dalam hati. Matanya sebentarsebentar melirik ke kamar Ratih. Lalu ke arah keramaian di depan sana. Keringat dingin mulai
membasahi tubuhnya.
"Kenapa kau, Ki" Kau gelisah sekali" Ada
yang mengkhawatirkanmu?" tanya Laba-laba Hijau, curiga. "Ah, tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya masuk angin sedikit," tangkis Ki Rengges.
"Apa kau keberatan anak gadismu dibawa
ke Hutan Sawangan" Kalau keberatan bilang saja.
Jadi kami gampang memberesimu sekarang juga,"
kali ini Pratamp Shirapong yang buka mulut setelah dari tadi diam saja. Mungkin manusia ini terlalu asyik dengan suguhan madat Ki Rengges.
Buktinya matanya memerah saat menatap nyalang pada lelaki tua kepala desa itu.
"Tid..., tidak. Ak..., aku tidak keberatan.
Tap..., tapi hanya merasa sedih harus berpisah
dari anakku," gagap Ki Rengges.
"Bagaimana kau ini, Ki. Kau kan salah satu
anggota Setan Madat. Dan kau bebas menengok
anakmu di Hutan Sawangan kapan saja. Nah, sekarang panggil anakmu," ujar Jalak Merah tegas.
Ki Rengges mulai beranjak ketika di ruangan depan suasana gaduh mulai agak reda. Suara
gelak tawa mulai menipis. Yang ada kini hanya
ocehan-ocehan tak beraturan dan gumamangumaman tak bermakna.
Tepat ketika Ki Rengges memasuki kamar
Ratih, beberapa orang berpakaian serba hitam
yang menjadi prajuritnya Setan Madat bertumbangan. Dan suasana pun senyap.
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau terpana
saling pandang. Sedang Pratamp Shirapong lebih
hebat lagi. Matanya mendelik seolah tak bakal
mengatup lagi. Giginya bergemelutuk seketika.
"Bajingaaaann! Kita dikelabui tua bangka
itu!" ledak Pratamp Shirapong langsung menyusul ke kamar Ratih, mengejar Ki
Rengges. Jalak Merah dan Laba-laba Hijau melompat ke arah ruangan depan. Di lantai, sepuluh
orang berpakaian serba hitam teman mereka telah terbujur nyenyak. Kedua tua bangka ini segera memeriksa makanan dan minuman yang terhidang. Mengendus-endus, mirip kucing dapur.
"Benar kata Pratamp Shirapong. Kita tertipu. Makanan dan minuman ini mengandung madat berkadar tinggi yang dicampur ramuan tertentu, sehingga membuat mereka mabuk sangat berat! Keparat tua bangka itu!" sumpah serapah terlontar dari bibir kendor Jalak
Merah. Tanpa menjawab kata-kata Jalak Merah,
Laba-laba Hijau segera kembali ke tempat semula,
lalu menyusul Pratamp Shirapong. Jalak Merah
segera mengikuti.
Sebenarnya, apa yang terjadi terhadap sepuluh orang berpakaian serba hitam itu"
Inilah sebagian dari siasat Satria. Tak percuma rupanya bocah tengik itu menjadi murid
Tabib Sakti Pulau Dedemit. Soal ramu meramu,
jangan tanya. Walau tak setaraf gurunya, paling
tidak si pemuda punya bekal tentang obatobatan. Maka ketika pemuda ini minta madat pada Ki Rengges, lelaki tua ini jadi mendelik tak
percaya. Tingkah apa lagi yang akan dibuatnya"
Apa Satria sudah keranjingan madat"
Tidak. Si pemuda justru meraciknya dengan beberapa getah tumbuhan yang juga mengandung zat-zat pelumpuh syaraf. Biasanya,
tumbuhan itu digunakan untuk menghilangkan
rasa sakit dalam pengobatan. Racik punya racik,
lalu ditambah jahe, kunyit, dan bawang putih,
Satria lantas mencampurkannya dengan masakan
yang dibuat istri Ki Rengges. Untuk minumannya,
Satria tinggal menambahkan sari jeruk nipis pada
tuak yang terhidang. Hasilnya, cukup memuaskan walau agak melenceng sedikit.
Sedianya, Satria mengharapkan Jalak Merah dan Laba-laba Hijau serta Pratamp Shirapong
ikut maka dan minum di rumah Ki Rengges. Tapi
ternyata mereka menolak. Padahal kalau mereka
mau, kan tinggal membekuk saja" Itu sebabnya,
mengapa Ki Rengges tampak demikian gelisah.
Setelah membubuhkan racikan pembius
pada makanan dan minuman, Satria menyuruh
istri dan anak Ki Rengges menyingkir dari rumahnya. Itu semata-mata demi keamanan mereka. * * * "Mana tua bangka itu, Tuan Pratamp?"
tanya Jalak Merah begitu lelaki dari Negeri Campa itu keluar dari kamar Ratih.
"Melarikan diri dari jendela. Kita telah diti-pu mentah-mentah. Rupanya lelaki
keparat itu telah berkhianat. Huh! Sejak datang ke tempat ini
sebenarnya aku sudah curiga!" dengus Pratamp Shirapong. "Dan ternyata, aku hanya
menemani dua kerbau tua berotak udang!"
"Kau jangan menyalahkan kami, Bangsat!
Mana kami tahu kalau tertipu begini"!" bentak Laba-laba Hijau. Terhina sekali
dia dikatakan kerbau tua. Berotak udang, lagi.
"Nyatanya" Kalian sebelum pergi ke tempat
ini sudah bercerita kalau ada seorang pemuda
yang memasuki wilayah ini. Lalu, pemuda itu
berseteru dengan kalian?" tukas Pratamp Shirapong. "Iya, tapi apa hubungannya
dengan kejadian ini"!" tuntut Jalak Merah. Tentu saja Jalak Merah juga merasa
harga dirinya terinjak-injak.
"Bisa saja pemuda itu mempengaruhi Ki
Rengges. Lalu lelaki tua keparat itu sadar, dan
Jadi berkhianat terhadap kita."
"Tidak bisa! Ki Rengges telah disumpah sebelum masuk menjadi pengikut Setan Madat!"
Laba-laba Hijau bersikeras.
"Apalah artinya sumpah kalau harus kehilangan orang yang disayangi?" balik Pratamp Shirapong.
"Maksudmu?"
"Ah, dasar kalian memang berotak bebal!
Putri Ki Rengges itu anak satu-satunya. Dan dia
diinginkan oleh Setan Madat. Lantas apakah Ki
Rengges membiarkan begitu saja anaknya diambil" Dan mumpung ada seorang pendekar di desanya, kenapa tidak dimanfaatkan tenaga si pendekar" Masihkah kalian belum mengerti?"
"Boleh jadi kami mengerti. Tapi cabut dulu
kata-kata penghinaanmu tadi!" ledak Jalak Merah. Makin merah wajah Laba-laba
Hijau dan Setan Merah. Dada mereka turun naik, siap meledakkan amarah. Mata mereka pun mendelik gusar. Untuk saat ini, mereka tak ingin memandang
Pratamp Shirapong sebagai kawan lagi. Tak pandang bahwa lelaki asal Negeri Campa itu adalah
kawan dekat Setan Madat. Kata-kata Pratamp tadi benar-benar menusuk dalam perasaan mereka.
Jangan dikira mentang-mentang mereka tokoh
sesat, lantas tak punya perasaan.
"Jadi kalian tersinggung dengan katakataku tadi?" balik lelaki berwajah lebar ini.
"Jelas kami tersinggung!"
"Lalu, apa mau kalian" Bertarung" Kutunggu kalian di luar!"
Di ujung kalimatnya, Pratamp Shirapong
melesat keluar rumah Ki Rengges. Sejenak Jalak
Merah dan Laba-laba Hijau saling memandang.
Lalu ketika kepala Laba-laba Hijau mengegos, keduanya segera menyusul Pratamp Shirapong.
Baru saja kedua kaki Jalak Merah dan Laba-laba Hijau mendarat....
Wuss...! Dua buah pisau milik lelaki asal Negeri


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Campa itu meluncur dahsyat. Angin menderu
mengiringi luncurannya, seperti hendak merobek
udara. Kalau kedua lelaki bangkotan itu tokoh
kemarin sore, pasti tak akan mampu berkelit.
"Hiaaah...."
Dua jengkal lagi dua pisau menggila itu
menyentuh sasaran, kedua lelaki uzur ini melentik tinggi. Di udara, mereka berputaran sejenak.
Lalu tak tanggung-tanggung, mereka segera melontarkan pukulan jarak jauh.
Bed! Bed! Tepat ketika kedua pisau tadi menghujam
dinding rumah Ki Rengges, dua pukulan jarak
jauh milik Jalak Merah dan Laba-laba Hijau meluncur menerabas udara. Saat bergesekan dengan
udara, hawa panas mengiringi. Liar dan dahsyat.
"Khaaa...!"
Tak mau kalah, Pratamp Shirapong mengerahkan pukulan jarak jauh andalan negerinya.
Tak percuma dia diundang ke Jawadwipa oleh Setan Madat kalau hanya punya kepandaian seujung kuku. Ganas, dua buah angin dahsyat melesat. Dipapaknya kedua angin menderu dari kedua
tangan lawan. Blaaggg! Masing-masing pihak terpental mundur.
Belum ada yang kalah. Ketiga orang yang saling
menjajal tingkat tenaga dalam itu bangkit kembali. Mata masing-masing menyorot tajam, berusaha
menilai satu sama lain.
Pratamp Shirapong menggeser langkahnya
ke kiri, tetap dengan kuda-kuda kokohnya. Sedang Jalak Merah lebih aneh lagi. Berlompatan
seperti burung jalak, dia memutari lawan. Juga
Laba-laba Hijau. Dengan gerakan seperti labalaba menjerat mangsa, dia memutari lawan dengan langkah mundur. Kedua tangannya membentuk cakar, menghadap ke dalam seperti orang
memeluk. Pertarungan dahsyat siap berkobar. Siapakah yang bakal jadi pemenang"
* * * Penduduk Desa Sedayu secara sembunyisembunyl tak ingin terlewat untuk menyaksikan
pertarungan dahsyat di depan halaman rumah Ki
Rengges yang cukup luas. Sebelumnya, Ki
Rengges dan Satria juga sudah memperingatkan
mereka untuk tidak dekat-dekat dengan rumah Ki
Rengges. Para penduduk mematuhi. Mereka
hanya menonton dari balik Jendela, pintu, kandang sapi, atau kubangan tanah. Itu pun dari jarak yang cukup jauh.
Sedangkan Satria dan Ki Rengges sendiri
tengah bersembunyi di balik semak yang diperkirakan cukup aman untuk berlindung. Dari sinar
mata maupun tarikan bibir si pemuda, bisa ditebak kalau Satria cukup puas dengan hasil siasatnya. "Apa yang mereka rebutkan, Pak Tua" Sepotong ayam masakan istrimu" He he
he.... See- kor anjing berkelahi dengan dua ekor kucing gara-gara sepotong ayam," oceh si pemuda berbisik.
"Ah, masa' gara-gara sepotong ayam?" tukas Ki Rengges, terbawa ocehan si bocah
tengik. "Ya, pasti gara-gara siasatmu! Mereka pasti saling tuduh, begitu melihat orangorang berpakaian
serba hitam itu ngejoprak tak berdaya!"
Aku juga sudah tahu, Pak Tua! Sambar si
pemuda dalam hati. Kalau sudah tahu, kenapa
tanya" Ah, tengik juga bocah ini. Satria lantas
mengalihkan perhatian ke arah pertarungan
kembali. "Taruhan, Pak Tua" Kau pegang siapa?"
ocehnya lagi. "Kelihatannya, lelaki berwajah lebar yang
tadi mengaku bernama Pratamp Shirapong yang
menang. Gerakan silatnya lebih cepat dan ganas.
Tapi, gerakannya kok sepertinya bukan seperti silat Jawa" Aneh sekali," cetus Ki Rengges.
"Lho" Kau sendiri yang tadi cerita, kalau lelaki itu dari Negeri Campa. Ya,
pasti silatnya bera-liran sana!" tukas Satria.
"Oh, iya. Aku lupa."
Hari kian merangkak menuju petang. Kegelapan mulai mengepung. Matahari kian lelah setelah seharian menertawakan isi dunia ini. Cuaca
mulai dirasuki hawa dingin. Tapi pertarungan justru kian memanas.
"Heaaa...!"
Di kawal satu bentakan yang menghentak
jantung, Laba-laba Hijau mendahului Jalak Merah dalam menyerang. Begitu tepat berada di depan Pratamp Shirapong tubuhnya mencelat dengan kaki kanan terjulur ke wajah lawan. Ganas
sekali. "Hiaaa...."
Jalak Merah tak mau kalah. Dari samping
kiri dia melompat bak seekor burung jalak melihat ular pohon. Kedua tangannya yang mengembang layaknya sayap menyambar-nyambar ganas.
Tenang, Pratamp Shirapong menanti serangan. Perhatiannya terpaksa harus dibagi dua.
Tapi dari tarikan wajahnya, bisa dipastikan kalau dia tak menganggap remeh kedua
serangan la- wan. "Chaaa...!"
Dua jari lagi tendangan Laba-laba Hijau
mendarat, Pratamp Shirapong memalangkan tangannya ke depan wajah. Sedangkan kaki kirinya
terangkat lurus, menghadang serangan Jalak Merah dari samping.
Krak! Cepat sekali Pratamp Shirapong menggunting kaki Laba-laba Hijau dengan kedua tangannya. Suara berderak tulang patah terdengar. Lelaki botak berbaju serba hijau itu langsung jatuh di tanah dan meringis serba
salah. Ringisannya
makin membuat wajahnya sulit di-gambarkan.
Jelek sekali. Tak! Pada saat yang sama, kaki Pratamp Shirapong terhantam kibasan tangan Jalak Merah. Sebuah hantaman bertenaga dalam tinggi. Tapi, apa
hasilnya" Malah tubuh Jalak Merah yang terjajar dua
tombak jauhnya. Dia tadi bagaikan menghantam
kaki baja yang kerasnya minta ampun. Jalak, Merah menganggap, sambaran tangannya tadi bakal
mematahkan kaki lawan. Tapi justru tangannya
yang berdenyar-denyar sampai ke lubuk hati.
Itulah kecerdikan lelaki dari Negeri Campa
itu. Ketika menghadang serangan Jalak Merah,
tentu saja kaki kirinya telah dilapisi dengan tena-ga dalam tinggi. Ketika adu
pukulan jarak jauh
tadi, sengaja lelaki berwajah lebar ini mengerahkan sedikit tenaga dalamnya di bawah kedua lawan. Karena dia tahu, kalau lawan sudah terpancing amarahnya, apalagi dari golongan sesat,
akan langsung mengerahkan tenaga dalam setinggi-tingginya. Apalagi, macam Jalak Merah dan
Laba-laba Hijau yang memang terlalu bodoh untuk dipecundangi. Kedua lelaki bangkotan itu tentu mengira kalau tenaga dalam Pratamp Shirapong hanya beda sedikit di bawah mereka. Maka
dengan keyakinan kuat, mereka memantapkan
serangan. Dan Pratamp Shirapong boleh berbangga
hati melihat hasil kerja otak cerdiknya. Kedua lawan tampak menderita lahir
batin. Tenaga dalamnya yang dikira lawan tak seberapa, ternyata
dahsyat bukan kepalang. Dan itu memang salah
kedua lelaki bangkotan itu sendiri. Terlalu ceroboh, dan gampang terbawa amarah.
"Bajingan! Kuhancurkan kepalamu, Orang
Campa!" robek Jalak Merah lewat suara sembernya. Tak sudi dia melihat sahabat
karibnya di- buat cedera seperti itu. Begitu bangkit, diterjangnya Pratamp Shirapongi!
Kali ini, lelaki berpakaian serba merah ini
tak mau main-main lagi. Begitu menerjang, golok
besarnya segera tercabut dari pinggang.
Wukh! Wukh! Dua tebasan menggila dibuat Jalak Merah.
Dalam hati, lelaki ini menyesali, kenapa tadi Laba-laba Hijau terlalu ceroboh sehingga lupa
menggunakan jaringnya. Tapi sebentar kemudian
dia juga merutuki kebodohannya sendiri, kenapa
tidak menggunakan golok dari tadi"
"Hup!"
Satu liukan manis dibuat Pratamp Shirapong. Ketika golok besar lawan menebas dari kanan ke kiri, lelaki dari Campa ini menarik tubuhnya ke belakang agak ke kiri. Dan ketika golok
menyabet dari kiri ke kanan, tubuhnya sudah
merendah. Lalu sekali menyentak kakinya ke depan, maka kepalanya sudah meluncur lurus ke
perut Jalak Merah.
Bekhh! "Heekkh!"
Jalak Merah melongo tak percaya. Bibir
kendornya lantas menjebik-jebik seperti orang berusaha buang hajat, tapi tak keluar-keluar. Kepala Pratamp Shirapong mantap sekali menghantam
ulu hatinya. Penderitaan luar biasa pun dialami
lelaki bangkotan itu. Bahkan saat sang kepalan
menghantam, angin dahsyat tak tahu malu ikut
keluar dari pantat teposnya. Soal sakit, jangan
tanya lagi. Buktinya saat jatuh terduduk, mulutnya langsung meringis dengan kedua tangan memegangi perut yang terasa diaduk-aduk. Sementara, golok-goloknya ngelayap entah ke mana.
"Sekarang, giliran kepalamu yang akan kuhancurkan. Hih!"
Seiring dengusannya, Pratamp Shirapong
melepas tendangan ke kepala lawan. Pelan sekali
kelihatannya. Tapi dari angin yang menderu terasa kalau tendangan itu tidak bisa dianggap mainmain. Sebodoh-bodohnya Jalak Merah, akan lebih bodoh lagi kalau tak cepat menghindar. Sesakit-sakit di perutnya, akan lebih sakit kalau kepalanya hancur. Jelas, dia
merasakan angin dahsyat
mengiringi tendangan lawan. Padahal, dia kini dalam keadaan terduduk, menikmati sakitnya.
"Uts...!"
Jalak Merah membuang tubuh ke kanan.
Dia cepat berguling-guling, sementara tendangan
lawan hanya memangkas angin.
"Jahanam! Masih alot juga kau rupanya!"
sembur Pratamp Shirapong.
Selagi Jalak Merah masih bergulingan, Pratamp Shirapong sudah memasang kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya menyatu pada bagian pergelangan tangan, membuka di depan pusar.
Bed! "Jalak Merah, awaaaass!"
Laba-laba Hijau berusaha memperingatkan
Jalak Merah yang bergulir ke arahnya. Tapi rasanya, teriakannya sia-sia saja. Untuk itu, semangatnya segera dikempos. Lalu sebisanya, dia
melompat sambil menghentakkan tangan, memapak pukulan jarak jauh ganas milik Pratamp Shirapong. Blakkk! Sebentuk angin bertenaga ribuan kati
menghentak dada Laba-laba Hijau. Sementara
angin pukulannya sendiri seperti ambyar begitu
saja, bahkan mungkin ikut menyatu dengan angin pukulan lawan. Akibatnya, lelaki botak itu
terpental jauh, lalu menabrak sebuah pohon besar tak jauh dari halaman rumah Ki Rengges.
Tetesan darah merah saat tubuh Laba-laba
Hijau meluncur mengisyaratkan kalau lelaki botak itu terluka dalam amat parah. Bahkan saat
tubuhnya menyentuh tanah, sudah tak bergerakgerak lagi. Jalak Merah yang baru saja bangkit berdiri
tercekat. Matanya memandang tak percaya ke
arah jasad sahabatnya. Liar, kini matanya menghujam ke tubuh Pratamp Shirapong yang tersenyum mengejek. "Kau harus bayar nyawa sahabatku, Keparat! Heaaa...!"
"Kau jangan bisa omong terus. Buktikan!
Hiaaa...!"
Dua teriakan terdengar saling susul. Bukan sekadar bersaing siapa paling keras, tapi juga bersaing nyawa siapa yang
bakal lepas. Mereka
sama-sama mengerahkan pukulan jarak jauh berisi tenaga dalam tinggi. Tak ada yang bisa mencegah pertarungan kecuali kematian. Kejap selanjutnya.... Blaamm! Benturan hebat terjadi di udara yang merambat malam. Begitu hebatnya, hingga menciptakan bunga api ke segala arah. Terangnya bulan


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

purnama makin diperterang lagi oleh bungabunga api tadi, walau hanya sekejap.
"Aahh...!"
Pekikan menyayat terdengar dari kerongkongan Jalak Merah. Pekikan asli tak dibuatbuat. Penuh penderitaan. Seiring pekikannya, tubuh lelaki bangkotan itu terpental. Melayang di
udara seperti dihempas kekuatan dahsyat.
Bruk! Keras, tubuh Jalak Merah mencium tanah.
Kedot juga nyawa manusia uzur ini. Walaupun
dari mulutnya mengalir darah berwarna kehitaman, tapi dia berusaha untuk bangkit.
Sebelum Jalak Merah berhasil dengan
usahanya, Pratamp Shirapong telah memasang
kuda-kuda kokohnya kembali. Agaknya dia bernafsu untuk segera mengakhiri umur lelaki tua
lawannya. Tapi sebelum hal itu terjadi, entah dari mana datangnya tahu-tahu di
belakang Pratamp
Shirapong telah berdiri seseorang.
"Tahan serangan. Tak sepantasnya kau
bertarung dengan lawan yang tak berdaya!"
Melengak, Pratamp Shirapong berbalik.
Matanya yang sipit dibukanya lebar-lebar. Siapa
perempuan cantik di depannya yang membentak
tadi" "Siapa kau"!"
*** DELAPAN ARYA Wadam"! Apa yang dilakukannya di
sini" Ah, pasti dia mencari aku. Dan itu pasti
berkat pertolongan Kakek Dongdongka. Tapi, wah
celaka! Kenapa dia malah ikut-ikutan menghadapi orang Campa itu"!" gerutu Satria masih di balik semak tempat
persembunyiannya.
"Kau kenal gadis yang baru datang itu, Satria?" tanya Ki Rengges.
"Dialah gadis yang kucari-cari, sehingga
aku sampai di desamu ini, Pak Tua," jawab Satria Jujur. "Kalau begitu, kenapa
kau masih saja bersembunyi di sini?"
Ya! Kenapa aku masih bersembunyi di sini" Sambar Satria merutuki keterpanaannya. Pemuda tengik ini segera keluar dari persembunyiannya. Enteng sekali langkahnya. Entah apa
penyebabnya. Karena ada Arya Wadam yang tengah dicari-carinya, atau karena siasat yang disusunnya berhasil dengan baik.
"Arya Wadam! Ke mana saja kau" Kucaricari, tak tahunya malah muncul di sini," kata Satria, nyerocos begitu saja.
Seolah dia tak menganggap kalau Pratamp Shirapong ada di situ.
Begitu berbalik, Arya Wadam tersentak. Satria" Jerit hatinya. Wajahnya yang semula tegang
menghadapi Pratamp Shirapong kontan berbalur
kebahagiaan. Walau sudah menduga kalau bocah
tengik itu ada di desa ini, tak urung gadis ini merasa bergetar bukan main.
"Apa yang kau lakukan di sini" Menghadapi kunyuk Campa itu" Ah, dia tak berarti buatmu.
Biar aku saja yang menghadapinya. Biar lebih cepat selesai urusan," ujar Satria seenaknya.
"Kau tanya apa yang kulakukan di sini, Satria" Kok pertanyaanmu begitu?" ucap Arya Wadam, galau.
Satria jadi blingsatan. Bodoh! Rutuknya.
Kenapa aku malah tanya begitu"
"Maksudku, kau di sini mencari aku, ya"
Eh, bukan. Maksudku, apa kau sudah bertemu
Kakek Dongdongka" Dan apakah dia su...."
"Bangsat!"
Bentakan berisi tenaga dalam merampas
suara Satria. Si pemuda melengak. Dadanya berguncang hebat. Untung dia cepat menguasai diri.
Ditatapnya tajam-tajam kedua bola mata Pratamp
Shirapong yang membentak tadi.
Dahsyat! Jahanam! Desis Pratamp Shirapong dalam
hati. Tatapan pemuda itu membuat sukmaku seolah bergetar! Tatapan guruku pun tak segarang
ini. Dan tanpa sadar, kaki lelaki ini bergerak
mundur. "Kau anggap aku apa, heh"!" bentak Pratamp Shirapong, tak segarang tadi.
"Kau mau kuanggap apa" Nyamuk" Lalat"
Kepinding" Atau, kecoak?" balik Satria tenang.
Dia sudah berdiri di samping Arya Wadam kini.
"Pemuda kemarin sore mau jual lagak. Siapa namamu, Bocah?" cibir Pratamp Shirapong.
"Satria."
"Melihat ciri-cirimu, menurut Setan Madat
kau adalah Satria Gendeng. Betul itu?"
"Tolong jangan sekadar melihat ciri-cirinya.
Bisa jadi Setan Madat tak lengkap menyebutkan
ciri-ciriku. Ada satu hal yang menjadi ciri-ciri
utamaku." "Apa itu?"
"Ketampanan wajahku. Jangan ngiri, ya.
Aku maklum, tampangmu tak lebih dari kunyuk
Campa," ejek Satria, habis-habisan.
"Jahanam! Mulut lancangmu perlu kurobek-robek sekarang juga! Heaaa...!"
"Minggir dulu, Arya. Nanti obrolan kita dilanjut lagi."
Arya Wadam menurut. Diberinya kesempatan buat Satria dalam menghadapi lawan.
Kemurkaan Pratamp Shirapong dibuktikan
dengan serangan pukulan bertubi-tubi. Kepala
dan dada lawan jadi sasaran. Kecepatannya luar
biasa, dikawal suara menggetarkan sukma.
Bed! Bed! Satria mengenyahkan tubuhnya ke samping kiri. Kaki kanannya bergerak maju secara
menyilang, lalu kaki kiri membuat sapuan ke perut lawan. Wutt! Lawan rupanya telah membaca gerakan
Satria. Ditahannya kaki kiri pemuda tengik itu
dengan tangan kanan.
Pak! Menggunakan tenaga benturan, Pratamp
Shirapong memutar tubuhnya. Kaki kirinya langsung melepas tendangan setengah lingkaran. Sasarannya, dada lawan yang hendak menegakkan
tubuhnya. Satria tercekat. Sungguh tak disangka lawan pun bergerak secepat itu. Kini baru terbukti
bahwa makhluk dari Campa ini mempunyai gerakan silat yang sangat cepat. Tapi bukan Satria
namanya kalau begitu saja sudah patah semangat. Secepatnya, si pemuda memalangkan kedua tangannya di depan dada.
Pak! Luar biasa. Tubuh Satria sampai terdongkel, lalu jatuh terduduk di tanah. Napasnya ngosngosan. Tangannya terasa nyeri bukan main
sampai ke tulang sumsum. Ringisan jeleknya
mengisyaratkan kalau tendangan tadi adalah sebuah peringatan baginya.
Pratamp Shirapong telah berada dalam sikap siap sedia. Kuda-kudanya dipasang kokoh.
Tatapannya nyalang, memandang lawan yang seperti kakek-kakek terserang encok.
Di dada Satria, kemarahan mulai merasuki
benaknya. Kendati tidak seharusnya kemarahan
itu kepada Pratamp Shirapong, karena urusannya
adalah dengan Setan Madat, tapi sudah cukup
beralasan baginya untuk sedikit melampiaskannya pada lelaki ini. Sebab, biar bagaimanapun,
Pratamp Shirapong termasuk kaki tangan Setan
Madat yang cukup berbahaya.
"Hup!"
Lewat satu sentakan perut, Satria Gendeng
bangkit. Tatapannya kian nyalang, hendak melahap tubuh lawan. Darahnya dibuat mendidih.
"Boleh juga kemampuanmu, Anak Muda,
Tapi kau akan kubuat mampus! Heaaa...!"
Kalap, Pratamp Shirapong menerjang. Tendangan lurus datang ke arah si pendekar muda.
Serangan yang demikian cepat, karena dilakukan
dalam jarak yang demikian dekat.
Deb! Deb! Hantaman kaki lelaki dari Campa itu
hanya menyambar angin, menampar-nampar
udara. Sementara si calon sasaran justru telah
berpindah tempat, berdiri satu tindak ke samping.
Meski cukup terkejut pada gerak bagai
bayangan lelaki Campa, Satria tak ingin mundur
barang setapak pun. Dikejarnya Pratamp Shirapong. "Hiaaa...!"
Tendangan lurus pula dibuat Satria. Tubuh
lawan yang baru mendarat hendak dijadikan sasaran. Dikawal teriakan naga muda murka, si
pemuda tengik tak mau menyia-nyiakan kesempatan, selagi lawan belum membuka jurus baru.
Sayang, Satria salah perhitungan. Karena
mendadak, tubuh Pratamp Shirapong berbalik
dengan tangan kanan menghentak. Tidak dengan
kuda-kuda, tapi hanya memutar tubuh. Maka
pukulan jarak jauh terlontar sudah. Akibatnya....
Splasssh.... Blangg...! Tubuh pendekar muda itu terlempar
jauh.... * * * "Satria...!"
Bebas dari tercekatnya, Arya Wadam
menghambur ke arah jatuhnya Satria Gendeng.
Langsung diraihnya bahu si pemuda, dan disandarkan di paha kirinya.
"Bagaimana, Satria?" tanya Arya Wadam,
khawatir. "Enak...," sahut Satria lirih. Darah mengalir di sudut-sudut bibir.
"Kau terluka dalam begini enak?"
"Maksudku, bersender di pahamu enak."
Arya Wadam serba salah. Mau marah keadaan Satria sedang begini. Mau tak marah, katakata si pemuda membuatnya jengkel setengah
mati. Entah, setan mana yang merasuki pemuda
tengik ini. "Biar dia kuhadapi, Satria!" cetus Arya Wadam, diletakkannya tubuh Satria di
tanah. Sial! Baru enak-enakan tidur di paha Arya
Wadam, sekarang malah tidur di samping kotoran
ayam! Satria memaki dalam hati.
Satria tak bisa menggerutu lebih banyak
lagi, karena harus memusatkan perhatian pada,
pertarungan antara Arya Wadam dengan Pratamp
Shirapong yang baru saja berlangsung.
Deb! Deb! Deb! Tiga sodokan sisi telapak kaki Arya Wadam
lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata Arya Wadam sendiri yang boleh dibilang cukup diperhitungkan dalam dunia persilatan. Kepala lelaki dari Campa itu seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sama sekali tak bergeming. Bila kaki gadis itu menohok
ke samping kiri, kepala lawan tahu-tahu sudah
condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya.
Di akhir serangan beruntun barusan, kaki
Arya Wadam membuat satu putaran dengan bertumpu pada sendi lututnya. Seakan hendak dipuntirnya Pratamp Shirapong.
Kecil kemungkinan selamat bila manusia
dari Campa itu hanya menggerakkan lehernya
kali ini. Sebab, putaran kaki lawan telah menutup ruang gerak otot lehernya.
Wutt! Kembali bergerak bagai bayangan, tangan
Pratamp Shirapong mendadak terangkat. Lalu
disambarnya kaki lancang si gadis.
Tap! Mata Arya Wadam membeliak. Cengkeraman tangan di kakinya bagai sebuah penjepit
raksasa yang sanggup meremukkan tulang-tulang
kaki si gadis. Keras. Kuat. Dan mengunci erat,
Arya Wadam berusaha melepaskan kakinya dengan mengerahkan tenaga dalam. Tidak bisa.
Perlahan tapi pasti, tangan kekar Pratamp
Shirapong mengangkat kaki Arya Wadam. Tentu
saja si gadis sadar, kalau tetap bertahan demikian, tangan jahil lelaki ini pasti akan menjalar ke daerah terlarangnya.
Untuk menyelamatkan miliknya yang paling berharga, Arya Wadam segera memanfaatkan
tenaga dorongan ke atas tangan lawan untuk
mengangkat tubuhnya ke udara.
Lalu.... "Hiaaa...!"
Dalam keadaan miring di udara, Arya Wadam memutar tubuhnya setengah lingkaran. Sebelah kakinya yang bebas diayunkan berbareng
dengan terangkatnya tubuh. Sasarannya, tangan
lawan yang mencengkeram kaki lainnya, sekaligus menghantam leher.


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayang, serangan Arya Wadam mudah dibaca Pratamp Shirapong. Sama sekali tak berbahaya. Apalagi sanggup menyetak nyali lawan. Sebelum serangannya sampai, lawan telah mencengkeram kaki dengan kedua tangannya, sekaligus memutar tubuh Arya Wadam di udara.
Dan... Shuuttt.... Tubuh Arya Wadam terlempar deras. Sangat deras. Brukkk! Luncuran tubuh si gadis baru berhenti ketika menabrak pohon mangga di halaman rumah
Ki Rengges. Dari mulut si gadis meleleh darah segar. Benturan antara badan dengan pohon yang
amat keras, membuatnya meringis-ringis.
Sebelum Arya Wadam bisa berbuat apaapa, Pratamp Shirapong telah melanjutkan serangannya. Lebih gila lagi, kali ini ditelapak tangan kanannya telah terdapat dua
buah pisau belati
sepanjang satu jengkal. Dan dalam sekejapan....
Wuss...! Wuss!!
Meluruklah dua buah pisau belati membawa angin keras.
Terkesiaplah wajah Arya Wadam, si calon
korban. Namun mendadak....
Cletarr! Trang! Trang! Gila! Sungguh gila! Pada saat yang gawat
itu tiba-tiba Satria Gendeng yang telah bisa mengobati dirinya dengan menyalurkan hawa murni
telah meluruk cepat.
Di tangan kanannya telah tergenggam senjata Kail Naga Samudera yang langsung dilecutkan. Hasilnya, kedua pisau belati itu tertahan, lalu mendadak meluncur ke si
pemilik. Luncurannya lebih hebat semula.
Melotot, Pratamp Shirapong membuang tubuhnya ke samping kalau tak mau jadi santapan
belatinya sendiri. Dengan wajah gusar, dia berusaha bangkit. Inikah senjata Kail Naga Samudera yang
diinginkan Setan Madat" Hati Pratamp Shirapong
berbisik lirih. Matanya tak lepas melekat pada
senjata di tangan lawan mudanya. Pantas, Setan
Madat begitu berminat. Senjata itu memang dahsyat, bisik hatinya lagi.
"Serahkan senjata itu baik-baik padaku,
Anak Muda. Maka nyawamu akan kuampuni," kata lelaki dari Negeri Campa itu, dingin.
"Kau mau benda ini?"
Satria melecutkan Kail Naga Samudera.
Sekaligus melampiaskan kekesalannya, karena
masih ada saja makhluk yang menginginkan senjata pusakanya. Malah dengan cara seenaknya,
tanpa susah payah. Meminta.
"Rebutlah dari tanganku?" tantangnya.
"Keparat laknat! Kau kira aku tak bisa merebut dari tanganmu! Lihat saja! Heaaa...!"
Bertubi-tubi, Pratamp Shirapong mengebutkan tangannya. Tahu-tahu beberapa pisau belati telah melesat. Amat cepat. Ganas. Lebih ganas dari sebelumnya.
Cekatan, si pemuda memutar Kail Naga
Samudera secepat mungkin. Secepat yang dia
mampu. Secepat kekuatan angin menghempaskan ombak di pantai karang.
Trang! Trang! Trang!
Tiga buah pisau belati terhantam ujung
Kail Naga Samudera yang berupa ekor naga. Dua
buah mental tak jelas ke mana. Sisanya memutar
balik, meluncur balik ke si pemilik tadi berdiri.
Wuss...! Namun Pratamp Shirapong telah lebih dulu
berpindah tempat. Tubuhnya telah meletik ke
udara. Dari ketinggian sekitar tiga tombak, lelaki sesat ini melepaskan pukulan
jarak jauh. Kuat.
Bertenaga dalam tinggi.
"Heaaa...!"
Splash! Suara menderu mengiring luncuran sebentuk angin keras mengancam keselamatan Satria.
Apa yang dilakukan si pemuda bertabiat sederhana namun ceplas-ceplos itu"
*** SEMBILAN JUSTRU Satria makin memutar Kail Naga
Samudera lebih ganas lagi. Hanya saja, kalau semula membentuk lingkaran ke depan, maka kali
ini membentuk lingkaran ke atas. Seakan gulungan putaran Kail Naga Samudera memayungi tubuhnya. Akibat putaran yang sangat kuat, tercipta
satu benteng kasat mata yang amat kokoh di atas
kepala Satria. Dan ketika angin pukulan Pratamp
Shirapong menghantam....
Cplashhh...! "Heh"!"
Masih di udara, Pratamp Shirapong mendelik. Pukulan jarak jauh miliknya justru berbalik
ke arahnya. Padahal, dikerahkan dengan tenaga
dalam tinggi. Malah luncurannya lebih cepat dari
sebelumnya. Tak bisa lagi dia menghindar dalam
keadaan di udara.
Lalu.... Blangg...! Pratamp Shirapong terpental. Melayang deras berkawal pekikan terlontar dari kerongkongan. Ketika jatuh di tanah, dia menggeliat sebentar. Kejap kemudian tubuhnya sudah mengejang
kaku. Mati di negeri orang.
Satria Gendeng telah memasukkan kembali
Kail Naga Samudera ke pinggangnya. Ditatapnya
sejenak mayat Pratamp Shirapong dari jarak sepuluh tombak. Lalu perhatiannya beralih pada Arya Wadam. "Kau tak apa-apa, Arya?" tanya Satria. Di-tolongnya Arya Wadam berdiri.
Ketika terjadi pertarungan antara Satria dengan Pratamp Shirapong tadi, si gadis berusaha menyembuhkan luka
dalamnya yang tak begitu parah dengan menyalurkan hawa murni.
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Arya
Wadam, tak ingin dikasihani.
"Untuk menjaga kesehatanmu, minumlah
obat ini," Satria mengambil sebutir obat dari balik kain di pinggangnya. Lalu
diserahkannya obat pulung pada Arya Wadam.
Tersenyum, Arya Wadam menggeleng. "Luka dalamku tak begitu parah, Satria. Dengan hawa murni, sebentar saja sudah sembuh," tolaknya. Satria kembali memasukkan obat
pulung itu ke dalam ikat kain di pinggangnya.
"Apa kabarmu, Arya. Wajahmu makin cantik saja," cetus Satria memberanikan diri. Entah kenapa, hanya pada Arya Wadam
pemuda tengik ini susah bersikap wajar. Sifat ceplas-ceplosnya
mendadak lenyap. Padahal kalau soal cinta, dia
tidak buta sama sekali. Artinya, Satria punya
pengalamanlah walau cuma sedikit. Tapi terhadap
Arya Wadam pengalamannya seperti tak berarti
sama sekali. Untung saja, Satria cukup pandai merubah
kekakuannya. Dia mampu mengendalikan diri
agar tidak keseleo lidah lagi. Kata-katanya mulai diatur rapi.
"Merayu, ya?" balik Arya Wadam.
"Kalau itu kau anggap merayu, memang
kenapa?" Kali ini Arya Wadam yang memerah dadu
wajahnya. Tak sanggup dia menatap balik Satria.
Si pemuda seolah hendak menelannya bulat-bulat
lewat tatapan matanya. Membuat si gadis tertunduk. Tersipu malu, tapi mau.
"Apakah kau bertemu Kakek Dongdongka,
Arya?" tanya Satria memecah kebisuan.
"Ya," jawab Arya Wadam pendek, tetap me-nunduk.
"Dia bilang apa?"
"Katanya kau menunggu di desa ini. Kau
mencari-cari aku, ya?"
"Ya. Aku memang mencari-carimu. Habis,
aku penasaran denganmu. Kenapa setelah kita
menumpas Tujuh Dewa Kematian di puncak Gunung Arjuna kau menghilang begitu saja?"
"Bukankah kau sudah membaca suratku?"
"Itulah yang membuatku makin penasaran
mencarimu, hingga ke desa ini. Untung Kakek
Dongdongka sudi menemuiku di sini, sekaligus
menolongku. Oh, ya. Di mana Kakek Dongdongka
menemuimu?"
"Di Desa Karangkemboja Wetan."
"Lho" Bukankah perjalanan ke desa ini
hanya setengah harian" Kenapa baru sampai malam ini?" "Aku ragu-ragu menemuimu. Masa' seorang gadis mendatangi pemuda?"
"Lho" Apa salahnya?" tukas Satria. "Setan mana yang membuat aturan seperti itu?"
"Menurut adat timur, seorang gadis tak boleh menghampiri pemuda. Pamali namanya. Memang aku gadis murahan?" jawab Arya Wadam
mantap. "Lho, kalau pemuda menghampiri gadis
namanya pemuda murahan dong. Memangnya
aku pemuda murahan?" balik Satria.
"Ah, ngomong denganmu sama saja ngomong dengan nenek-nenek kehilangan sirih. Malah kau lebih cerewet lagi," ledek Arya Wadam.
Kini keduanya tak ada yang membuka suara lagi. Dan tiba-tiba kening Satria Gendeng berkerut. Penuh tanda tanya.
"Eh, ke mana jasad Laba-laba Hijau tadi?"
tanya Satria. "Tadi ketika kau bertarung dengan lelaki
dari Campa itu, kakek yang berpakaian merah
dengan tertatih-tatih membawa pergi mayat kakek yang berkepala botak. Kasihan mereka," desah Arya Wadam.
"Ah, kau tak perlu kasihan pada mereka!
Kedua kakek itu setali tiga uang dengan lelaki da-ri Negeri Campa itu!" sahut
Satria. "Maksudmu?"
"Semula, mereka berkawan. Akrab sekali.
Tapi setelah kukadali, mereka jadi bertarung sengit dan akibatnya, kau lihat sendiri."
"Aku kurang mengerti ceritamu?"
"Nantilah kuceritakan panjang lebar. Sebaiknya kita masuk rumah Ki Rengges dulu. Aku
yakin dia berada di dalam, setelah bersamaku
bersembunyi tadi."
* * * Dengan kebesaran hati, para penduduk
Desa dayu telah memaafkan segala kesalahan Ki
Rengges. Itu pun berkat jasa Satria yang memberikan pengertian pada mereka. Bahkan si pemuda
bertabiat tengik itu ternyata juga bisa menyadarkan para penduduk yang sudah lama terbuai
asap madat. Hebat juga pengaruhnya bocah itu!
Di rumah Ki Rengges, para penduduk juga
telah menyatukan tekad untuk bergotong royong
melawan Setan Madat. Gotong royong mereka sebelumnya, dibuktikan dengan menguburkan
mayat Pratamp Shirapong dan memberesi sepuluh anak buah Setan Madat yang dibuat mabuk
oleh Satria. Kepada Arya Wadam, juga kepada para
penduduk Desa Sedayu, Satria Gendeng menjelaskan siasat yang dijalankan ketika melumpuhkan anak buah Setan Madat. Walaupun siasat itu
agak melenceng sedikit, tapi tetap berhasil gemilang. Maka semakin kagum saja Arya Wadam
terhadap otak encer Satria. Sungguh tak disangka, ternyata pemuda bertabiat sinting itu memiliki otak seencer bubur.
Malam itu pun di depan Arya Wadam, Ki
Rengges, Ki Rembang, dan para penduduk lainnya, Satria kembali memaparkan langkah selanjutnya. "Sekarang, langkah selanjutnya adalah menghadapi Setan Madat. Tapi aku
yakin, Setan Madat akan penasaran, lalu menyatroni desa ini,"
cetus Satria. "Dia pasti kebingungan, kenapa para pengikutnya tak kembali ke
markas." "Oh, ya. Bagaimana dengan sepuluh anak
buah Setan Madat yang kita tawan di gudang belakang rumahku?" tanya Ki Rengges.
"Tenang. Pak Tua. Totokan yang kuberikan
cukup untuk membuat mereka istirahat selama
empat hari. Dan dalam empat hari itu pula, kita
harus sudah menyelesaikan urusan dengan Setan
Madat," tegas Satria.
"Kalau kalian bicara soal Setan Madat, aku
baru ingat. Di Desa Karangkemboja Wetan pun
aku telah berurusan dengan anak buah Setan
Madat. Kelihatannya mereka mulai meluaskan
sayap ke desa itu pula," cetus Arya Wadam.
Semua mata langsung menghujam ke tu

Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buh Arya Wadam. Si gadis cantik ini bersemangat
bercerita. "Malahan menurut keterangan yang kudapat, Setan Madat juga bekerja sama dengan seorang panglima Kerajaan Demak. Aku tak tahu
namanya. Tapi yang jelas, usianya setengah baya.
Badannya gagah dengan kumis dan brewok," lanjut Arya Wadam.
Panglima Bagaspati" Sebut hati Satria, tiba-tiba. Tak mungkin" Sanggahnya.
"Kira-kira, apa tujuan panglima itu berkawan dengan Setan Madat, Arya?" susul Satria, penasaran.
"Pemberontakan."
"Apa"!"
Satria Gendeng tercekat. Matanya melebar
dengan mulut ternganga.
"Kau berkata sungguh-sungguh, Arya Wadam?" "Apa aku pernah berdusta padamu?"
Satria tercenung. Kusut sekali pikirannya.
Belum juga urusan dengan Setan Madat tuntas,
dia mendengar ada seorang panglima Kerajaan
Demak hendak memberontak. Maka saat itu juga
naluri kependekarannya terbangkit.
Panglima Bagaspati di Kerajaan Demak
adalah sahabat karib Satria. Bahkan si pemuda
tengik ini pernah mendapat penghargaan dari kerajaan berkat jasa-jasanya menumpas gerombolan perampok bernama Laskar Lawa Merah yang
dipimpin Dirgasura alias Tangan Seribu Dewa.
(Baca episode : "Geger Pesisir Jawa" dan "Kail Na-ga Samudera").
Tentu saja, Satria tak sudi ada seorang
panglima hendak berkhianat terhadap kerajaan
yang sekarang dipimpin oleh Kanjeng Sutawijaya.
Dia harus bertindak. Kalau berlarut-larut, makin
sulit untuk memadamkan. Ibarat api jangan dibiarkan menjalar. Kendalikan sejak masih kecil.
"Kalau begitu, kita harus bagi-bagi tugas...." *** SEPULUH BAJINGOAANNN...!" ledak Setan Madat
murka. Di hadapannya, terbujur dua sosok
mayat. Yang terbalut pakaian hijau adalah mayat
lelaki tua berkepala botak. Itulah mayat Labalaba Hijau. Di atasnya, dalam keadaan memeluk
adalah mayat Jalak Merah.
Sebelum Jalak Merah menghembuskan
napas yang terakhir, dia sempat bercerita kalau
luka dalamnya akibat perbuatan Pratamp Shirapong. Tapi bukan itu yang membuat teriakan Setan Madat begitu keras menggetarkan ruangan istana kecilnya. Juga bukan pula meneriaki kematian sahabatnya dari negeri se-berang itu. Tidak.
Setan Madat tak memiliki tabiat cengeng dengan
menyesali kematian sahabatnya. Apalagi kematian Jalak Merah dan Laba-laba Hijau yang baginya hanya dianggap dua kucing tua buduk.
Kemarahan Setan Madat disebabkan, kegagalan para anak buahnya dalam merebut Kail
Naga Samudera dari tangan Pendekar Gendeng.
Ini yang amat disesalkannya.
"Bangsat! Aku harus cepat menghubungi
kawan-kawan segolongan. Atau kalau perlu meminta bantuan Panglima Ganang Laksono untuk
menghantam Satria Gendeng! Hmm.... Dari cerita
Jalak Merah tadi aku menangkap isyarat kalau Ki
Rengges yang menjadi anak buahku telah berkhianat. Dengan begitu, dia telah bersekutu dengan pemuda asing itu. Berarti, mereka menyusun
kekuatan untuk menghadapiku. Aku mendahului
sebelum didahului!"
Tanpa menghiraukan kedua mayat Jalak
Men dan Laba-laba Hijau, Setan Madat melangkah keluar istananya. Kakinya mantap menjejak
lantai. Tiba di luar, matanya beredar ke sekeliling.
"Sugiri...!" teriaknya.
Salah seorang lelaki berpakaian serba hitam yang menggerombol di pojokan tergopohgopoh menghadap. Wajahnya kasar. Giginya ompong di tengah. Terlihat ketika dia tersenyum
yang lebih mirip seringai.
"Kumpulkan anak-anak! Kita serang Desa
Sedayu sekarang juga! Sekalian aku ingin menjajal kehebatan pemuda tengik bernama Satria Gendeng!" sabda Setan Madat.
"Baik, Tuan," sahut Sugiri mantap.
"Juga, sisakan beberapa orang untuk mengawasi para pekerja dan gadis-gadis di Kaputren.
Lekas pergi!" ledak Setan Madat.
Dada lelaki ini kian menggemuruh. Terutama bila mengingat pengkhianatan yang dilakukan Ki Rengges. Ingin direjamnya lelaki kepala
desa itu bila berada di depannya.
Sementara, matahari pagi mulai mengintip
malu-malu di ufuk timurnya. Tapi sinarnya tak
membuat cerah wajah Setan Madat. Wajahnya
kian mengelam dengan tatapan mata merah.
Baru saja para anak buah Setan Madat
berkumpul di halaman....
"Hoi! Ada apa ini rame-rame" Pembagian
jatah beras, ya" Aku ikut, dong!"
* * * Dari arah pagar halaman depan, tiba-tiba
melompat seorang pemuda berbaju rompi dari kulit binatang berwarna putih. Wajahnya tampan.
Bergaris rahang jantan. Tatapan matanya setajam
sembilu. Rambutnya panjang sebahu berwarna
kemerahan. Pada lilitan kain ikat pinggangnya
terselip semacam tongkat pendek. Berpangkal logam berbentuk kepala naga. Ujungnya menyerupai ekor naga. Dialah Satria. Wajahnya dipasang tenang. Senyum sumringahnya menghiasi bibirnya yang kemerahan.
"Siapa yang bernama Setan Madat tunjuk
tangan!" oceh si pemuda seenaknya. Matanya pu-ra-pura menyapu para anak buah
Setan Madat yang sudah mengelilinginya. Padahal, hatinya sudah yakin kalau yang berdiri dekat tiang soko
guru di istana kecil itu adalah Setan Madat
"Lagakmu memuakkan, Satria Gendeng!"
Bukan main bentakan Setan Madat. Langsung dikerahkannya tenaga dalam pada bentakannya. Akibatnya, beberapa anak buah Setan
Madat yang mempunyai tenaga dalam pas-pasan
langsung jatuh berlutut dengan telinga nyaris pecah. "Wah, di sini tak ada orang yang bernama Setan Madat, ya" Kok tak ada yang
mau tunjuk tangan, sih" Kalau begitu aku pulang saja, deh!"
kata Satria, tak terpengaruh bentakan Setan Madat yang terisi tenaga dalam tinggi tadi.
Sedikit kagum Setan Madat melihat ketangguhan si pemuda. Namun itu tak mengurangi
tekadnya untuk membunuh pemuda kemarin
sore yang kini suka rela mengantarkan nyawa ke
istananya. "Aku, Setan Madat!" sebut lelaki berwajah tirus itu.
"O, kau yang bernama Setan Madat" Dari
tadi, kek!"
"Jangan banyak lagak di depanku, Satria
Gendeng. Kau kini berada di kandang macan, tahu"!" "Yang ku tahu, aku berada di kandang bajingan-bajingan perusak masyarakat.
Kau tanam madat dan kau ramu dengan rokok-rokokmu, lalu
kau sebarkan ke masyarakat. Kau hancurkan
masa depan pemuda dan gadis desa hanya demi
nafsu iblismu!"
"Aku tak banyak waktu untuk mendengar
khotbahmu, Pemuda Tengik! Hadapi dulu prajurit-prajuritku. Baru kau boleh berhadapan denganku!" "Siapa pun yang menghalangi langkahku,
jangan salahkan kalau daku bertindak kejam!"
ancam Satria. "Jangan banyak bacot! Anak-anak! Serang...!" Begitu mendengar perintah Setan Madat,
sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam
di bawah pimpinan Sugiri menyerang Satria. Ganas dan menggetarkan. Apalagi, mereka telah
menghunus golok sejak tadi. Maka begitu menyerang, kilatan-kilatan golok akibat jilatan sinar
matahari bersliweran di seluruh penjuru mengurung si pemuda.
Pada saat yang sama, di kebun-kebun milik Setan Madat terdengar teriakan-teriakan
membahana. "Bakar...! Bakar...!"
Tahu-tahu, api telah mengepung kebunkebun madat milik Setan Madat. Perbuatan siapa
lagi kalau bukan Arya Wadam, Ki Rengges, dan
para penduduk Desa Sedayu yang selama ini menyimpan dendam pada Setan Madat. Tentu saja
tindakan mereka dibantu oleh para pekerja paksa
yang juga berasal dari Desa Sedayu. Malah beberapa pemuda yang selama ini dijadikan prajurit
oleh Setan Madat, begitu melihat orang tua mereka ikut menyerang tempat ini, jadi berbalik ikut
membantu. "Keparat! Mereka tak bisa didiamkan!" dengus Setan Madat
Sekali menghentakkan kakinya, tubuh Setan Madat telah meluncur keluar halaman. Tapi
baru saja menjejak tanah, seorang gadis telah
berdiri menghadang.
"Aku lawanmu, Keparat!"
"Siapa kau"!" bentak Setan Madat.
"Aku Arya Wadam," sahut gadis yang memang Arya Wadam.
"Apa urusanmu di sini" Kau tak perlu ikut
campur. Aku menyayangkan kulitmu yang putih
halus. Jangan-jangan nanti terkena cangklong
panjangku ini," Setan Madat mencabut cangklong dari kain ikat pinggangnya.
"Justru aku ingin merasakan kehebatan
cangklongmu itu, Setan Madat!" tantang Arya
Wadam. "Jahanam! Terima seranganku! Heaa...!"
Ganas, Setan Madat membabatkan
cangklongnya yang ternyata juga berguna sebagai
senjata mematikan. Keras. Sambarannya seolah
hendak merobek udara.
Sedikit menarik tubuhnya ke belakang,
Arya Wadam mengangkat tangan kirinya. Dipapaknya sabetan cangklong Setan Madat.
Pak! Tangan Arya Wadam tepat menghantam
tangan Setan Madat. Tapi justru tangan gadis
cantik itu sendiri yang berdenyut-denyut seperti
mau remuk tulangnya. Tubuhnya pun tergeser ke
kanan, seiring gerakan tangan Setan Madat.
Dari benturan barusan, Arya Wadam bisa
menilai kalau tenaga dalam lawan sedikit berada
di atasnya. Tapi bukan berarti dia kalah. Wanita
ini tak mau dibilang kalah, sebelum nyawa terputus dari badan.
Begitu menguasai keadaan, Arya Wadam
memutar tubuhnya. Kaki kanan cepat membuat
tendangan melingkar. Calon sasarannya adalah
rahang lawan. Bed! Bed! Bed! Tiga kali Arya Wadam mengibaskan sisi telapak kakinya. Tapi tak satu pun yang mengenai
sasaran. Karena, Setan Madat dengan cerdik merundukkan tubuhnya. Bahkan seketika dia berputar, melepas sapuan keras ke kaki Arya Wadam
yang satunya. Pak! Bruk! Arya Wadam jatuh terduduk. Keras sekali
pantatnya mencium tanah. Dan dia segera menggulingkan tubuhnya, menghindari hantaman
cangklong panjang milik Setan Madat.
Bluk! Mangkuk cangklong hanya menghantam
tanah kosong. Sedang yang jadi sasaran telah
berdiri sigap dengan sikap siap tarung kembali.
Di tempat lain, Satria Gendeng mulai mengerahkan jurus warisan Ki Kusumo. Dalam
menghadapi serbuan puluhan golok, tubuhnya
meliuk-liuk seperti pesut dengan tangan membentuk patuk, siap menghujam di tubuh lawan.
Agaknya, pemuda ini tengah mengerahkan Jurus
'Patukan Bunga Karang'.
* * * Mampukah Satria Gendeng dan Arya Wadam, serta penduduk Desa Sedayu menghancurkan markas Setan Madat" Bagaimanakah pemberontakan yang akan dibuat Panglima Ganang
Laksono" Bisakah Satria Gendeng menggagalkannya" Agar tidak penasaran, ikuti lanjutannya
di.... SELESAI

Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segera menyusul:
BADAI DI KERATON DEMAK
Scan/E-Book: Abu Keisel
Edited by Fujidenkikagawa
Tiga Maha Besar 20 Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu Pengantin Berdarah 2

Cari Blog Ini