Ceritasilat Novel Online

Si Bungkuk Pendekar Aneh 3

Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Bagian 3


Si Bungkuk lalu nongkrong ditepi randjang. Ingin ia membudjuki terus, tetapi
ia chawatir isterinja bertambah sedih. Ia mengulur tangannja pelahan meraba2 badan Giok Im jang kulitnja putih dan halus, mengundjukkan rasa
kasih-sajangnja. Namun dalam djengkelnja Giok Im me-njingkir2kan
tangannja Loo Too-pek. Maka si Bungkuk menarik pula tangannja, ia
bertjokol terus ditepi pembaringan sambil memeluk lutut, diam2 ia
tersenjum! Sedjak itu Pek Giok Im terus ngambek. Ia enggan bertjakap lagi dengan
suaminja, melihat sadja pun segan. Setiap hari apabila keperluan
suaminja sudah disiapkan, ia segera memisahkan diri diemper rumah
atau menjekap diri didalam kamar tidur.
Keadaan jang sedemikian berlangsung sampai beberapa hari. Si
Bungkuk tetap seperti biasa, dingin dan beku, se-olah2 tak
menghiraukan isterinja jang berduka. Sikap aneh Loo Too-pek itu tak
dapat dimengerti dalam pikiran Pek Giok Im. Suatu hal jang amat
mustahil seorang suami dapat membiarkan begitu sadja seorang isteri
104 jang masib sangat muda lagi tjantik, jang dengan rela dan keichlasannja
menjerahkan segalanja padanja. Rasanja amat tak masuk diakal ada
seorang laki2 dapat membuang2 kesempatannja sebaik itu, jang setiap
hari dan malam disangding malah tidur serandjang. Ia tak pernah
mendengar ada seeorang laki2 matjam demikian, karena Loo Too-pek
itupun bukan manusia dari batu, bukan patung dan tanpa perasaan
maupun nafsu. Tetapi njatanja Too-pek-koay-hiap seorang manusia
jang lain daripada manusia seumumnja, sampai sekian lama tak pernah
menjentuh kesutjian isterinja. Djadi sampai pada detik itu, Pek Giok
masih seorang sadis bersih dan sutji!
Pek Giok Im tak mengerti semua itu. Jang ia tahu si Bungkuk adalah
seorang aneh, senang berburu, senang menolong simiskin, hatinja
dermawan. Demikian Pek Giok Im hidup dalam kesepian dan tawar hati. Sampai
pada satu hari muntjul suatu peristiwa. Pek Giok Im sedang duduk
bersendirian diserambi tengah memikirkan nasibnja, tiba2 datang
seorang anak muda tak dikenal. Tampan serta tjakap wadjah pemuda
itu, berkulit kuning, dandanannja menjerupai anak sekolah, seorang
prija amat menarik, siapa jang melihatnja. Sambil lalu Pek Giok Im
merasa pernah melihat wadjah dan potongan tubuh sematjam tamu itu,
namun ia lupa siapa dan dimana melihatnja. Pemuda itu lalu mendjura,
mendjura setjara sopan, maka guguplah Pek Giok Im membalasnja, lalu
menjilahkan tamunja berduduk.
"Terima kasih!" udjar tamu muda itu, gajanja indah. "Perkenalkan aku
Tjio Han Hiong dari Kang-souw!"
"Aku Pek Giok Im dari Thian-tay!" balas isteri si Bungkuk. "Dapatkah
aku mengetahui kedatangan Tjiokhee digubuk ini?"
"Biasa sadja, ingin berkenalan dan bersahabat?" djawab pemuda jang
mengaku bernama Tjio Han Hiong itu. "Itupun djika tak
mengetjewakan Kohnia!"
"Oh tidak! Terima kasih atas perhatian Tjiokhee", kata Pek Giok Im,
lalu ia menjuguhkan setjangkir air teh.
Sementara itu mata Tjio Han Hiong mengawasi njonja-rumah jang
masih muda itu, dari atas sampai kebawah.
105 Pek Giok Im jang tjerdas bukan tak mengetahui akan ketjeriwisannja
tamu asing jang baru dikenalnja itu. Tetapi ia menganggap itu satu hal
biasa, tidak laki2 tak berbuat seperti Tjio Han Hiong terhadap seorang
wanita, lebih2 gadis remadja dan rupawan seperti ia.
Ternjata pemuda itu dojan benar ngohrol, ada sadja bahan2 padanja
tentang peladjaran, kehidupan didesa dan dikota, tentang rumah tangga
dan lain2. Selama bertjakap Pek Giok Im ingat gaja-suara seseorang jang sama
dengan Tjio Han Hiong, njaring dan enak didengar, namun ia lupa akan
orang itu. Achirnja pertjakapan tamu muda itu mendjurus kepada dirinja Pek
Giok Im pribadi. Ia menjatakan senang dan simpati berkenalan dengan
seorang wanita sebagai Pek Giok Im.
"Hanja sajang aku terlambat mengenalinja, hingga ibarat orang hendak
berpergian, sudah ketinggalan kendaraan!" begitulah tjakapnja pemuda
itu selandjutnja. "Apa maksud utjapan Tji liee?" menegasi Pek Cipk Im tak mengerti.
"Aku terlambat mengenalimu, djika tidak, aku pasti seperti sang
kumbang dapat mengisap madu bunga jang menjerupai dirimu!"
Pek Giok Im memalingkan muka, bukan karena ia marah, tetapi malu.
Namun ia tidak menganggap Tjio Han Hiong seorang kurangadjar,
karena bitjaranja sangat lembut dan mengandung keketjewaan.
"Dimanakah kini suami Kohnio?" bertanja Tjio Han Hiong kemudian
matanja tak puas memandangi wadjahnja njonja rumah jang ditatapnja
setjara puas2an "Dia sedang berburu kelintji dihutan!" djawab isteri si Bungkuk. "Dia
memang gemar berburu!"
"Bilakah dia pulang?"
"Biasanja dekat santap tengah-hari dia kembali!?"
"Membawa kelintji?"
"Ja!" "Dan Kohnio jang memasaknja?"
"Ja!" "Tentunja dia senang dengan masakan hasil tanganmu bukan?"
106 "Begitulah rupanja!"
"Dia seorang suami jang beruntung, dan Kohnio seorang isteri jang
berbahagia djuga bukan?"
"Begitulah aku merasakannja............!"
"Tetapi............"
"Mengapa?" "Pada wadjah Kohnio tak tampak sama sekali akan kebenaran
pengakuanmu tadi! Aku tahu Kohnio tak pernah mendapat kepuasan
dalam hidupnja, bahkan menderita bathin! Memang isteri jang manakah
bisa mendapat apa jang diharapkan di masa mudanja djika bersuamikan
laki2 jang bukan idamannja!"
Pek Giok Im mendjadi terkedjut. Ia mendapat perasaan lain terhadap
tamunja itu. "Tidaklah Tjiokhee merasa berkelebihan akan kata2 Tjiokhee itu?" ia
bertanja, dahinja dikerutkan, tanda dari ketidak-senangan hatinja.
"Aku maksudkan, Kohnio djauh dari berbahagia hidup di samping laki2
jang Kohnia anggap suami itu!" pemuda itu melanljutkan dengan
seenaknja, dengan bebas. "Dia bukan seorang laki2 jang berhak
memiliki Kohnio, atau ibarat burung Hong, Kohnio salah memilih
ranting untuk hinggap, Kohnio masih sedemikian muda remadja,
sedang Loo Too-pek boleh dikata satu kakinja sudah mengindjak liang
kubur! Soal buruk mukanja tak usah diperbintjangkan lagi ngeri-seram
dan menakutkan! Itulah jang aku maksudkan, Kohnio salah pilih suami,
dan sebab itulah hidup Kohnio ingat tak beruntung!"
"Tetapi kenjataannja aku tjukup beruntung!"
"Itu hanja hiburan sadja! Kesan2 diwadjah Kohnio menggambarkan
kenjataan, bahwa Kohnio menderita lahir dan bathin salama I
pernikahanmu!" Mulailah Pek Giok Im memperlihatkan kemarahannja.
"Dengan tak tahu malu Tjiokhee usil rumah tangga orang dan
kepribadian seseorang!" katanja kemudian. "Sebagai seorang tamu,
Tjiokhee seharusnja dapat berlaku sopan dan mengindahi njonjarumah! Aku semula mengira Tjiokhee seorang terdidik baik, akan tetapi
menilik dari utjapanmu ini, njatalah Tjiokhee seorang tak tahu harga107
diri dan sopan santun!"
"Djanganlah keburu naik darah, Kohnio!" djawab tamu jang kurang
adjar itu. "Aku bermaksud baik, aku berkasihan padamu, karena kau
tidak beruntung dalam rumah-langga jang pintjang ini. Sebab itu aku
datang padamu, berhasrat memenuhi segala kekuranganmu!"
Makin gusarlah hati Pek Giok Im, karena tamu itu semakin njata
kekurang-adjarannja. "Aku tahu dengan maksud apa kau berkundjung kerumahku selagi
suamiku tak ada! Tak patut benar perbuatanmu, dan terlalu hina!
Ketahuilah, aku seorang wanita jang sudah bersuami, dan betapa adanja
suamiku, aku adalah isterinja jang harus menghargai dan
menjajanginja! Kau tak berhak mentjetuskan kata2 kotor, kau tak
pantas mendjadi tamuku! Sekarang ku persilahkan kau meninggalkan
rumah ini, dan djangan kembali lagi! Aku takut, bila suamiku dapat
mengetahuinja, kau takkan dapat keluar dari sini tanpa mengalami hal2
tak enak!" "Apakah kau kira si Bungkuk akan mempertjajai, kalau aku berbuat
sesuatu jang merugikan padanja?" djawab Tjio Han Hiong jang tak
menghiraukan kemarahan njonja rumah. 'Tetapi bagaimanapun djuga,
aku tetap menjatakan, aku tjinta padamu! Dan aku pertjaja tak lama lagi
kau akan berada diatas pangkuanku, karena ketuaan umur Loo Too-pek
akan mempertjepat adjalnja!"
Hampir2 Pek Giok Im menangis bahna gusarnja, karena tak tahan
mendengar hinaan2 tamunja jang tak diundang itu. Maka dengan
sengitnja ia membentak. Jilid III "Enjalah kau segera dari rumah ini! Aku djemu melihat mukamu,
djidjik mendengar utjapansmu jang kotor! Enjalah, atau aku nanti
berteriak minta tolong".
Tjio Han Hiong tersenjum, sekali ini pandangan matanja agak berapi.
"Hari ini kau tidak menjukai aku, tetapi aku chawatir kau akan
menjesal terlalu lekas!" katanja, mengedjek dan meninggalkan rumah
gubuk itu 108 Pek Giok Im membuang ludah dan menggaberukkan pintu dengan
keras. Tak lama kemudian, seberlalunja tamu berandalannja itu, tampak Toopek-koay-hiap pulang membawa 2 ekor kelintji. Ketika dilihatnja muka
isterinja amat muram dan ber-sungut2, ia mendjadi heran. Tetapi ia
tidak mau menanjakan sebab-musababnja, karena ia anggap sudahbiasa pada masa2 jang terachir ini isterinja marah2 sadja dan enggan
bertjakap, ia membiarkan isterinja uring2an.
Dilain pihak sang isteri pun tidak mau menuturkan apa jang telah
terdjadi dengan kedatangan tamu-muda jang tak tahu adat itu, bukan
disebabkan ia sedang segan ngomong, melainkan merasa tak ada
perlunja. Kemudian haripun mendjadi malam. Pek Giok Im sudah masuk
kekamar tidurnja, mungkin karena amat letih, atau ada sebab lain lagi,
tetapi tak njenjak tidurnja. Pada kentongan jang kesepuluh kali, ia
terbangun. Ia hendak berbangkit, ketika ia rasakan sebuah tangan ada
diatas dadanja benar. Baru pertama kali ia merasakan tangan suaminja
menjentuh badannja diwaktu tidur. Ia tidak berniat menjingkirkan
tangan suaminja, karena kuatir suami-nja kaget dan terbangun.
Namun alangkah terperandjatnja Pek Giok Im, ketika ia mengetahui,
bahwa itu bukanlah tangannja Loo Too-pek. Ia menjentak tangan itu,
dan melompat turun dari pembaringan, dan ditatapnja laki2 jang tidur
disisinja itu. Temjata dia adalah pemuda tjeriwis jang datang menamu
tadi pagi, Tjio Han Hiong. Ia heran mengapa pemuda badjingan itu bisa
ada didalam kamarnja, sedang Loo Too-pek tak tampak matahidungnja. Lantas ia mendjerit se-kuat2nja minta tolong, namun tiada
seorangpun mendengarnja, karena tetangga2 djauh benar rumah2nja.
Adalah Tjio Han Hiong djadi kaget terbangun, meng-kutjek2 kedua
matanja, kemudian ditatapnja wadjah Pek Giok Im jang bertambah
tjantik sehabis tidur. "Mengapa kau ber-teriak2 tengah malam buta seperti ini, hingga
tetangga akan mengira disini ada terdjadi perkara hebat?" bertanja
pemuda berandalan itu. Untuk sedjenak Pek Giok Im tak dapat membuka mulut, karena
109 terkedjutnja jang sangat.
"Sudahlah, manisku, tidur sadja lagi bersamaku, karena malam-pun
masih pandjang!" berkata pula Tjio Han Hiong sambil hendak menarik
tangan orang. Barulah Pek Giok Im dapat menetapkan hatinja, dan membentak:
"Hei, laki2 terkutuk, begitu berani kau masuk dalam kamar tidur orang
waktu malam begini! Hajo keluar, bedebah, keluar! Bila tidak, Loo
Too-pek nanti datang dan membunuhmu!"
"Djika Loo Too-pek membunuhku, berarti kau akan kehilangan
segala2nja, karena aku mati, Loo Too-pek pun mampus djuga!" djawab
Tjio Han Hiong. "Djangan kuatir, nona, Loo Too-pek takkan
mengetahui apa jang terdjadi dikamar ini! Dia baru sadja pergi kekota
untuk mentjuri dan itulah sebabnja aku datang kemari untuk menemani
kau! Bukankah kau butuh hiburan" Mungkin Loo Too-pek takkan
kembali pula kemari, karena kau telah membentjinja! "
"Kurang adjar!" mendamprat Pek Giok Im, marahnja mendjadi2. "Kau
satu2nja manusia busuk jang aku pernah djumpai! Sudahlah, pergi
dengan segera! Aku nanti lari dan memanggil orang2 untuk
melabrakmu!" "Aku tak pertjaja wanita selembut kau akan dapat menjelan laki2 jang
sangat menjintainja! Marilah, manis, tidur sadja lagi disebelahku ini!
Hari masih malam dan hawapun sangat dinginnja! Marilah kita
bersama memimpikan hal2 menjenangkan!"
Pek Giok Im tak dapat menguasai lagi dirinja. Dengan kalau ia
mengambil botol minjak-pelita dibawah medja. Tetapi sebelum ia
bergerak, Tjio Han Hiong sudah melompat turun dan menangkap
tangannja. "Tahan dahulu, manisku sajang, djangan mengutjurkan darah seorang
laki2 jang sungguh2 merindukanmu!" berkata Tjio Han Hiong.
"Tidakkah kau sajang akan kasihku, tidakkah kau dapat menjambut
tjintaku" Jakinlah, bahwa aku adalah satu2nja orang jang dapat
membahagiakan hidupmu!"
"Tutup mulutmu, lelaki busuk!" mendjerit Pek Giok Im. "Kau manusia
tak tahu malu dan kurang adjar! Lekas berlalu dari sini, bangsat! "
110 Tjio Han Hiong tersenjum. Sikapnja ini menambah kemurkaannja Pek
Giok Im, maka ia tjoba melepaskan tangannja jang memegang botol.
Ketika terlepas, digigitnja tangan pemuda itu. Kedengaran Tjio Han
Hiong berkaok karena gigitan keras itu, tetapi ia membetot badan Pek
Siotjia dan ditarik kedadanja, lalu didjatuhkan kepembaringan.
Pelukannjapun amat kentjang, hingga Pek Giok Im tak berdaja
lagi............ Pek Giok Im tak dapat berkutik sama sekali. Mukanja Tjio Han Hiong kini
mendekat benar kemukanja, hingga hampir ia tak dapat bernapas. Dalam
marah dan sedihnja kini Pek Giok Im berteriak2:
"Lelaki djahanam, lelaki bedebah! Kau telah menghina dan menista sehebat
ini padaku! Lebih baik kau bunuh aku daripada aku ternodai olehmu! Oh,
bunuhlah aku, bunuhlah............! dan ia menangis.
Tjio Han Hiong tak sampai hati djuga mendengar keluhan Pek Giok Im. Lantas
tiba2 ia berkata: "Djangan ter-gesaa ingin mati, manisku sajang! Kau tak perlu mati, dan tak
boleh mati! Sajangilah djiwamu, sajangilah keremadjaanmu dan
ketjantikanmu! " "Djangan banjak batjot!" bentak pula Pek Giok Im, air matanja bertjutjuran.
"Djangan membudjuk-raju! Aku tak dapat mendjalangkan diri! Sudahlah,
bunuh sadja aku, lekas!"
"Kau nanti menjesal! "
"Tidak! Lebih baik aku mati daripada hidup tjemar!"
"Kataku, kau nanti menjesal! Sekarang tjobalah tatap wadjah-ku, pandangi
dengan perhatian bentuk tubuhku! Dengarkan djuga suaraku! Ja jakinkanlah
segalaku! Tataplah benar2, siapakah aku ini sebenarnja!"
"Tak perlu! Aku djemu pada muka iblismu jang mendjidjikan! Kau manusia
paling kedji didunia!"
"Kau salah, Giok-moay! Kau salah terka! Lihatlah tadjam2, dan perhatikan


Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segalanja! Aku bukanlah lain orang, tetapi suamimu jang sedjati. Aku Too111
pek-koay-hiap, si Bungkuk jang sangat menjajangimu! Nah tataplah!"
Kini Pek Giok Im mau djuga memandangi wadjah laki2 jang telah memeluknja
itu. Ditatapnja tadjam2 dan penuh perhatian mata laki2 itu, dahinja,
mulutnja, punggungnja, terus kekaki. Memang mirip benar dengan Loo Toopek! Tetapi djauh benar perbedaan Too-pek-koay-hiap dengan Tjio Han
Hiong. Laki2 ini masih muda-belia, kulit-mukanja halus, wadjahnja tampan
dan manis, bentuk badannja lempang-luwes, dan gajanja tangkas, pendeknja
seorang prija jang amat menarik. Pek Giok Im mendjadi ragu2 dan bimbang,
ia masih tetap pertjaja pemuda ini adalah Tjio Han Hiong jang kedji!
"Bagaimana kesanmu sekarang terhadapku, Giok-moay?" bertanja pemuda
itu kemudian. "Bukankah kau menemui tanda2 njata, bahwa aku bukan
orang lain melainkan si Bungkuk" Masihkah belum djelas bahwa aku adalah
suamimu, si Bungkuk itu" Masihkah kau sangsi?"
"Aku tak pertjaja-katamu!" djawab Pek Giok Im. "Kau bukan suamiku! Djauh
bedanja si Bungkuk dengan kau, laki2 jang tak punja malu! Tak mudah kau
dapat menipu aku! Hajo lepaskan aku, dan segeralah kau keluar dari rumah
ini!" "Heran kau masih tak mempertjajainja aku, Giok-moay! Apa katamu bila kau
mendapat kenjataan akan kebenarannja " Tak ada seorang suami akan
menipu isterinja dan Too-pek-koay-hiap tak mungkin akan membuat malu
isteri jang sangat ditjintainja! Kau perlu buktikah?"
"Nah, buktikanlah! Tetapi awas bila kau mentjoba menipuku!"
"Mari ikut aku untuk melihat buktinja!"
Dengan laku jang sama sekali berubah, jaitu lunak dan penjajang, Tjio Han
Hiong mengadjak Pek Giok Im masuk keruang belakang. Dibukanja kuntji
pintu kamar-ketjil disudut dekat dapur. Sebuah peti-kaju dibukanja oleh Tjio
Han Hiong, dan diambilnja sesetel pakaian rombengan, sedikit alat daripada
bahan lunak dan sebuah bantal ketjil, dan rambut-palsu berwarna putih
sebagai kapas, dan sebatang tongkat butut. Barang2 itu dibawa masuk,
diletakkan diatas medja. Pelita dibesarkan apinja, hingga mendjadi lebih
terang. 112 "Lihatlah semua ini, Giok-moay!" berkata Tjio Han Hiong sambil menundjuk
barang2 itu. "Inilah pakaian si Bungkuk dengan rambut-palsunja, bantal-ketjil
jang membikin punggung djadi melengkung, alat2 lunak-tipis pengubah
muka mendjadi buruk dan mengerikan, dan ini tongkat kesajangannja.
Djelaskah sekarang dan pertjaja akan kebenarannja?"
Pek Giok Im terdiam. Otaknja berkelahi untuk mentjoba memahami, apakah
barang2 itu benar alat2 pengubah bentuk Tjio Han Hiong mendjadi seorang
bungkuk dengan muka iblis sebagai Too-pek-koay-hiap.
Menampak isterinja masih agak bersangsi, Tjio Han Hiong segera
mengenakan alat2 itu dan sekedjap sadja muntjullah suatu pemandangan
jang sangat menakdjubkan. Kini tiada lagi Tjio Han Hiong, melainkan si
Bungkuk. Benar2 si Bungkuk!
"Astaga!" berseru Pek Giok Im mendadak, sementara ia djadi terpesona
berdiri mematung. "Kau............?"
"Ja, Giok-moay, akulah suamimu, Loo Too-pek simuka hantu!" djawabnja Tjio
Han Hiong. Tubuhnja Pek Giok Im lemas seketika, hingga hampir terdjatuh. Maka buru2
Tjio Han Hiong menubruknja dan didudukkan ditempat tidur, sementara itu
ia sudah melepaskan kembali alat2 penjamarannja.
"Tentunja kau terlampau kaget, Giok-moay" udjar Too-pek-koay-hiap tak
melepas tangan jang menundjang badan isterinja, "tetapi aku pertjaja
sekarang kau mendjadi gembira, karena aku bukanlah benar2 seorang tua
dengan bentuk tubuh mendjidjikan, tetapi seorang muda dengan gambaran
lain, sesuai dengan keremadjaan dan kemolekanmu! Oh, Giok-moayku,
alangkah senang hatiku pada malam jang aneh ini, malam jang takkan
mungkin dialami pula seumur hidup!"
"Tetapi............" kata Pek Giok Im, tak dapat meneruskan kata2nja, ia tiba2
menangis. Memang rasa bahagia jang berlebihan dan datangnja sangat
mendadak pula itu, membikin seseorang djadi menangis sebaliknja dari
tertawa. "Tetapi............ mengapa kau menjamar sebagai si Bungkuk?" ia bertanja
113 kemudian. "Mengapa?"
"Itu adalah suatu kewadjaran dari tabiatku, suatu kegemaranku dikalangan
Kang-ouw!" menerangkan si Bungkuk. "Aku tak ingin dikenal sebagai seorang
pahlawan, karenanja aku memalsu diriku sebagai seorang tua-bungkuk,
bertongkat sebagai pengemis. Dengan tjara demikian, umum akan selalu
melihat aku sebagai seorang jang tak ada gunanja, sampah djalanan belaka,
mereka tak mungkin memperhatikan aku sebagaimana di Thian-tay dahulu
orang menganggapku. Tanah-tumpah darahku memanglah dilembah ini dan
gubuk ini adalah warisan nenekku. Aku sebatang-kara, dengan demikian, aku
bebas berkelana, atau bertualang, mengembangkan bakat2ku sebagai
pengabdi perikebenaran. Namaku sendiri memang Tjio Han Hiong".
"Oh............!"
"Ja, Tjio Han Hiong, saudara sepupu dari Tjio Han Boe jang mendjadi kurban
keganasan Tong Hong Hweeshio dikaki bukit Goe-thauw-nia dahulu hari itu!"
"Astaga! Djadi ia berkurban untuk aku" Binasa lantaran aku?"
"Itupun sudah selajaknja! Barang siapa tak dapat berkurban, dia tak berhak
disebut Enghiong, dan tak berhak pula menempati dunia Kang-ouw!"
Disitulah Pek Giok Im teringat akan Tjio Han Hiong jang kasar, jang memiliki
kemiripan dengan seseorang jang ia telah lupa. Tak tahunja Tjio Han Hiong
itu adalah si Bungkuk djuga, suaminja. Ia mimpipun tidak tahu bahwa si tuabungkuk itu, sebenarnja adalah seorang muda-belia, tampan dan tjakap,
seorang djago perkasa dalam dunia persilatan, dan telah mendjadi
termasjhur karena menumpas kedjahatan di Thian-tay jang dilakukan Tong
Hong Hweeshio. "Djadi............?"
"Ja, sekali lagi aku katakan, aku suamimu asli, Loo Toopek!" Tjio Han Hiong
memotongnja. "Aku ketahui, bahwa saudara sepupuku Tjio Han Boe sedang
berada di Thian-tay mentjoba memerangi Harimau-hantu di Goe-thauw-nia.
Tetapi aku terlambat datang, setibaku disana, dia sudah meninggal!"
"Alangkah sedihku karena kematian ntjek Han Boe itu.!"
Tjio Han Hiong menganggukkan kepala
114 "Sekarang kau tentu tidak sangsi lagi bahwa aku benar2 suamimu, tetapi
bukan lagi Loo Too-pek, hanja Tjio Han Hiong jang masih muda, umurku baru
duapuluh empat, djadi enam tahun lebih tua daripada mu! Dan kini aku ingin
mendengar dari mulutmu, bagaimana anggapanmu tentang aku sekarang"
Masih mendjemukankah?"
"Sudah tentu tidak! Karena Tjio Han Hiong adalah Loo Too-djuga. suamiku!"
"Kau semula berbohong, Moay-moay. Sebenarnja kau tak rela mendjadi
isteriku! Mustahil seorang gadis muda dan semolek kau mau mendjadi
isteriku, sedangkan banjaklah pemuda2 jang sederadjat dan sama mudanja,
selalu merindukan kau dan ingin menjuntingnja!"
"Mengapa Koko mengatakan demikian" Tidakkah senantiasa aku
memperhatikan tjintaku jang se-besar2nja, hingga aku mau dibawanja
kelembah sunji dan gubuk jang tak ada apa2nja ini"#"
"Tetapi buktinja aku tak pernah mendapat apa jang seorang isteri seharusnja
memberikan! " "Heran mengapa Koko bisa mengutjapkan kata2 demikian. Adalah Koko
sendiri jang tak mengenal kewadjiban! Koko agaknja tak tahu, atau pura2 tak
tahu, bahwa hatiku sebenarnja menderita, sanubariku menangis............!"
Djawaban Pek Giok Im mau tak mau membikin si Bungkuk jang kini tak
bungkuk lagi mendjadi tersenjum. Ia tak sampai hati untuk terus2an
membuat isterinja berduka.
"Ja, memang akulah jang bersalah, Moay-moay! Akulah jang tak pernah
menunaikan kewadjibanku, dan sebagai isteri, benar2 kau tersiksa! Sudilah
kiranja kau memaafkan, Moay-moay?"
Pek Giok Im tak mendjawab, tetapi menatap wadjah suaminja. "Tetapi apa
sebabnja selama itu Koko berlaku aneh padaku" Koko memandang sepi sadja
padaku, se-olah2 aku hanja sebuah patung belaka. Sedangkan aku senantiasa
seperti mengharap djatuhnja rembulan dari atas langit jang tinggi?"
"Maksudku, Moay-moay, berterus-terang ialah aku ingin mengudji sampai
dimana sebenarnja kesetiaanmu terhadapku!" djawab Tjio Han Hiong.
"Sebab aku masih sadja bimbang, dan ber-tanja2: mungkinkah kau berkurban
115 padaku dengan sungguh2 ataukah karena dipaksa oleh rasa harga-diri dan
keluarga!" "Oh, djadi demikian halnja!" kata sesal Pek Giok Im. "Djika aku tahu itu,
tentunja aku sudah membunuh diri, karena kesutjian-ku diragukan oleh
seorang suami! Dan selain itu, apa pula maksud Koko kemarin menggodaku
dengan bentuk seorang muda sebagai Tjio Han Hiong sekarang ini?"
"Itu pula satu udjian bagimu, Moay-moay! Dan kemarinlah mendjadi hari
terachir akan kebulatan kepertjajaanku, karena kau benar2 bersetia dan
ichlas mempersuamikan seorang tua-bungkuk dan mendjidjikan, karena
wadjah menarik dari seorang pemuda tak membikin kau djadi silau atau
djatuh! Dan itulah sebabnja malam ini aku sudah tak mendjadi lagi Loo Toopek tetapi Tjio Han Hiong jang sebenarnja!"
Senang bati Pek Giok Im mendengar pengakuan suaminja. Senang bukan
kepalang, karena mulai saat itu, ia tak bersuamikan lagi seorang bungkuk dan
mengerikan, tetapi seorang muda-belia jang tampan. Ia menundukkan
kepalanja, takut senjum gembiranja dilihat oleh Tjio Han Hiong. Tetapi suami
itu bukan tak tahu perasaan apa sedang dibajangkan isterinja jang molek itu.
"Aku harap malam ini kau gembira benar2, Moay-moay, seperti djuga aku
gembirdamemperoleh seorang isteri jang setia!"
Pek Giok Im menganguk, senjumnja membajang njata.
"Kau akan mendjadi lebih gembira pula, bilakah tahu, bahwa aku telah
membalaskan dendam-malumu pada pemuda tjeriwis Go Thian Po di Thiantay!"
"Bila Koko berbuat demikian?" bertanja Pek Giok Im.
"Pada malam itu djuga, setelah selesai perundingan perdjodohan kita!" Lalu
Tjio Han Hiong menuturkan segala jang telah diperbuat atas diri Go Thian Po
dahulu, hingga memaksa pemuda ugal2an itu harus mengawini seorang
budaknja, Lauw Pan. "Uang jang aku gasak dirumah Go Thian Po aku pergunakan utuk persiapan2
hari-kawinku, jaitu membeli tempat tidur baru dan perabotan seperlunja,
dan pakaian2 pengantin djuga!" ia melandjutkan. "Tetapi sebagian terbesar
116 aku telah sebar untuk menlong tetangga2 jang menderita!"
Pek Giok Im berdiam sedjenak. Ia heran dan mengagumi suaminja mengenai
peristiwa dalam rumah Go Wan-gwee.
"Seorang tetangga mengatakan padaku, bahwa Koko tidak djarang
mengamal pada kaum miskin. Dan seringkali Koko membawa pulang uang
banjak, sedang Koko bukan seorang pedagang. Dari mana Koko sebenarnja
mendapat uang itu?" "Mentjuri tentu!" djawab Tjio Han Hiong.
"Mentjuri?" mengulangi istrinja kaget.
"Ja, tetapi kau djangan salah faham! Mentjuri ada dua matjam. Mentjuri
untuk keperluan sendiri adalah perbuatan djahat, tetapi aku mentjuri bukan
sembarang mentjuri! Jang aku tjuri adalah kekajaan seseorang jang diperoleh
dengan djalan menghisap darah orang miskin, hasil pentjurian itu aku
gunakan untuk kaum melarat djuga. Djika aku berbuat demikian untuk
kepentingan sendiri, bukan mustahil aku sudah mendjadi satu Wan-gwee
dengan rumah gedung jang besar dan tinggi. Ketahuilah, djiwa dan pendirian
seorang Kang-ouw memang demikian, Moay-moay!"
Barulah Pek Giok Im mengerti, dari mana suaminja senantiasa memperoleh
banjak uang dan untuk apa uang-kotor itu dipergunakan! Hal itu menambah
kekagumannja terhadap suaminja jang berdjiwa besar.
Pada suatu hari ia teringat akan orang tuanja di Thian-tay.
Lalu ia menjatakan kepada suaminja.
"Bagaimana pikiran Koko, kalau besok pagi kita pergi mendjenguk ajah dan
ibu di Thian-tay" Sudah sekian lama kita tak pernah menengoki sedjak hari
perkawinan kita. Aku sudah merasa rindu, dan ajah serta ibupun mestinja
rindu pula pada kita!"
"Akupun sudah rindu pada mereka!" djawab suaminja. "Baiklah, besok pagi
kita mendjenguk Gak-hu dan Gak-bo! Tetapi eh...... bagaimana anggapan
ajah dan ibu nanti mendapatkan aku bukan sebagai Loo Too-pek, tetapi
dengan bentuk aku jang sebenarnja?"
"Sudah tentu bukan dengan si Bungkuk lagi! Aku lebih senang bersamaanmu
117 dengan bentuk jang sekarang!"
"Tetapi aku ada satu pikiran baru, sekiranja kau pun akan menjetudjuinja".
"Pikiran apakah itu?"
Tjio Han Hiong lalu membisik telinga isterinja. Pek Giok Im tampaknja girang,
lalu menjatakan setudju. Lantas............ tak terdengar lagi suami-isteri itu ber-tjakap2.
Sunjilah didalam gubuk. Dan keesokan paginja mereka bangun kesiangan.
Hanja sajup2 terdengar pertanjaan lirih Pek Giok Im: "Berapa lama Koko
menjamar sebagai si Bungkuk?"
"Sedjak tiga tahun jang lalu" sahut suaminja. "Hanja mulai malam pengantin
itu sadja aku tak pernah melepaskan pakaian samaranku siang dan malamhari."
"Mengapa begitu?"
"Untuk gunamu, sengadja aku menderita!"
"Ah, adakah aku sedang bermimpi, Koko?"
"Tjukup sadar! Tiada orang bermimpi dapat bertanja demikian! Jang dapat
bertanja bukan sedang bermimpi!"
Pek Giok Im tersenjum manis. Ja, barulah pada malam itu mereka benar2
mengalami malam-pengantinnja. Dan bahwa ke-dua2nja merasa sangat
berbahagia, tak perlu diperbintjangkan pula!
Keesokan paginja gemparlah segenap penduduk lembah Siang-jang-kok
karena peristiwa sangat luar biasa didalam gubuk si Bungkuk. Hampir mereka
tidak pertjaja, bahwa anak muda tampan dan manis jang sekarang diakui
suami oleh Pek Giok Im adalah sebenarnja Too-pek-koay-hiap sendiri, jang
selama beberapa tahun mereka kenal. Mereka datang kegubuk untuk
menjaksikannja. Demikianlah keheranan mereka, pemuda tjakap itu betul2 si
Bungkuk adanja. Mereka sangat takdjub dan terpesona.
Tetapi gempar atau tidak Thio Han Hiong berdua Pek Giok Im sudah
meninggalkan gubuknja menudju ke Thian-tay. Sebagai oleh2 dari udik
dibawanja mereka apa2 jang tak terdapat dikota, dalam sebuah kerandjang118
bambu, jang didjindjing oleh satu tangan masing2 berdjadjaran. Itulah apa
jang dinamakan berat sama dipikul, ringan sama didjindjing.
Kegemparan terdjadi pula dirumah keluarga Pek Wan-gwee, lebih2 orang2
didjalan, ketika melihat Pek Giok Im tak lagi berdua dengan suami jang
bungkuk dan menakutkan, tetapi dengan seorang muda-belia, tampan serta
gagah. Dan Pek Wan-gwee berdua Hudjin melihat mereka dengan mulut
ternganga dan mata terbelalak, karena terkedjut.
Bukan terkedjut melihat ketampanan pemuda Tjio, melainkan karena
anaknja bukan dengan suami si Bungkuk tetapi dengan seorang muda tjakap
dan menarik. Dan mereka lebih terpesona ketika Pek Giok Im berdua Tjio
Han Hiong berlutut sambil ke-dua2nja mengutjap begini:
"Ajah dan ibu, terimalah hormat anak dan menantumu! Sudi dimaafkan bila
baru hari ini kami mendjenguk orang tua!"
Pek Wan-gwee tinggal terpaku, adalah isterinja tak sabar bertanja:
"Inikah suamimu. Giok Im" Bagaimana mungkin! Suamimu adalah Loo Toopek! Dimana dia?"
"Aku tak mau dengan si Bungkuk lagi, ibu!" djawab Giok Im terus berlutut.
"Ketjewa aku mendjadi isteri orang tua seburuk dia! Suamiku jang sekarang
adalah ini, Koko Tjio Han Hiong!"
"Kau gila, Giok Im!" bentak ibunja. "Terlalu gila! Bagaimana kau bisa berbuat
begini busuk dan memalukan! Kau mengapakan Loo Too-pek?"
"Tjeraikan, ibu!"
"Aduh, benar2 kau anak tjelaka! Dahulu kau berkeras mempersuamikan dia,
sekarang kau mentjeraikannja untuk ganti suami baru! Tak ada perempuan
lebih kotor daripada kau! Kau bukan anakku lagi, aku tak sudi melihatmu;
anak tjelaka! Pergilah dari sini, kau tak boleh lagi mengindjak rumah ini!"
"Sabarlah, ibu! Aku memilih suami baru jang dapat membahagiakan hidupku,
bukan si Bungkuk jang sudah tak ada gunanja itu. Terlalu tua dan djelek dia!
Ibu harus merasa ketjewa mempunjai menantu Loo Too-pek, tetapi dengan
baba-mantu baru, ibu boleh merasa bangga, karena dia setimpal benar
mendjadi suamiku!" 119 "Apa katamu, hah" Hei, Giok Im, aku tak mengira kau bisa mendjadi begini


Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesat, mendjadi perempuan paling hina! Nenek-mojang kita bisa bangun dari
kuburnja bila tahu perbuatanmu jang amat memalukan ini! "
"Ibu salah............"
"Apa" Salah?"
Bukan main gusarnja Pek Hudjin, hingga hampir ia djadi semaput. Adalah Pek
Wan-gwee tak dapat menguasai kehantjuran menghadapi peristiwa sehebat
itu, maka dengan bengisnja ia mengusir anak dan menantunja setelah
ditjatji-maki habiskan. Melihat kehebatan suasana, barulah Tjio Han Hiong membuka mulut.
"Gak-hu dan Gak-bo sebenarnja sedang dibohongi oleh Giok-moay! Dia
bermaksud akan menggembirakan segenap keluarga dengan sapi tjina jang
menakdjubkan, namun perbuatan Moay-moay sebetulnja terlalu kurang
adjar!" "Apa katamu, laki2 bedjat perampok isteri orang, hah?" bentak Pek Wangwee keras. "Djangan banjak mulut! Djangan panggil aku Gak-hu! Pergilah
sekarang, aku tak sudi melihat lebih lama manusia2 busuk seperti kalian
berdua!" "Aku mohon Gak-hu sedikit tenang!" udjar Tjio Han Hiong tetap berlutut.
"Jakinlah, Gak-hu, bahwa aku adalah djuga menantu Gak-hu jang dahulu itu,
si Bungkuk! Memang namaku Tjio Han Hiong! Djika Gak-hu tidak pertjaja,
sebentar lagi Loo Too-pek akan undjukkan diri, dan boleh ditonton orang
seisi rumah!" Pek Wan-gwee terdiam. Ia tak mengerti permainan apa sebenarnja sedang
dibawakan oleh anak dan menantunja itu. Sekarang Tjio Han Hiong masuk
kedalam kamar Pek Giok Im jang dahulu, sementara isterinja membawa
kerandjang jang didalamnja terisi alat2 penjamaran suaminja. Dan sebentar
kemudian benar2 muntjullah Loo Too-pek dengan tongkat-bututnja, tiada
perbedaan sedikitpun baik tjiri2 mukanja, maupun bungkuk punggungnja.
Maka bisa dimengerti, semua orang djadi terpesona. Lantas diundangnja
Kam Tihu untuk menjaksikan peristiwa jang menakdjubkan dan aneh itu. Atas
120 pertanjaan Pek Wan-gwee, maka ditjeritakan Tjio Han Hiong segala kisah
hidupnja, nama para leluhur, perdjuangannja sebagai orang Kang-ouw dari
Siao-lim-sie, sampai pada saat sekarang ia harus memperlihatkan keaslian
dirinja dan pulang ke Thian-tay bersama isterinja. Ia menambahkan, untuk
kekurang-adjaran Pek Giok Im tadi sehingga ibu dan ajahnja mendjadi murka,
ia memintakan maafnja. "Djadi demikian hal jang sebenarnja?" bertanja Pek Wan-gwee seperti
bermimpi. "Semua seperti dongeng sadja, dongeng jang sangat luar biasa!
Tak perlu kau meminta maaf untuk isterimu! Kami takkan marah lagi, malah
djadi gembira! Ja, luar biasa gembiranja!"
"Aih, bagaimana si Giok Im djadi bisa membikin heboh begini hah?" berkata
Pek Hudjin berlinang air mata kegirangan. "Ada2 sadja kau. Giok Im!"
Anaknja tertawa. Ibunjapun tertawa. Malah semua orang gelak tertawa!
Tjio Han Hiong menambahkan, bahwa isterinja telah menjuruh ia untuk
menimbulkan kekatjauan itu tadi, meskipun ia sebenarnja telah
mentjegahnja, karena ajah dan ibunja bisa mendjadi salah faham dan gusar.
Mendengar itu, Pek Giok Im membantah dan mengatakan, bahwa
suaminjalah jang sebetulnja memberi pikiran untuk menggoda ajah dan
ibunja. Maka lalu kedua suami-isteri itu djadi bertengkar.
"Sudah, sudahlah, djangan ribut!", kata Pek Wan-gwee, "ke-dua2nja benar,
dan ke-dua2njapun salah! Tak baik kau tuduh-menuduh, tetapi jang benar
kita harus bergembira sekarang!"
Begitulah hari itu luar biasa suka-tjitanja keluarga Pek. Untuk tanda girang
bahwa menantunja bukan seorang tua dan bobrok tetapi seorang muda
tjantik dan menarik, lalu diadakan djamuan besar2an. Mendjelang petang
djamuan baru bubaran. Sementara Kam Tihu tak lupa memberi selamat pada
keluarga jang berbahagia itu.
Kini timbul keheranan lain bagi umum, jang menjatakan takdjubnja akan Tjio
Han Hiong jang masih begitu muda telah memiliki ilmu silat jang tinggi, satu
hal jang tak sembarang orang dapat mentjapainja dalam usia semuda itu! Hal
itu dibuktikan dalam perdjuangannja dahulu digua Goe-thauw-nia
121 menempur Tong Hong Hweeshio dan kambrat2nja.
Menurut keinginan Pek Wan-gwee dengan isteri, anak dan menantunja
diminta bertinggal di Thian-tay barang satu atau dua malam, karena kedua
orang tua itu sangat rindu dan bangga. Tjio Han Hiong tidak berkeberatan,
malah ia mengatakan hendak berdiam lebih lama lagi, misalnja beberapa
bulan. "Hari ini bukan kepalang kegirangan kita, Moay-moay" berkata Tjio Han
Hiong ketika berada berdua dengan isterinja, "tetapi disamping itu tak boleh
tidak kita harus selalu ingat tentang musuh kita, Tong Hong Hweeshio. Dia
seorang manusia djahat, mungkin kelak dia akan membalas dendam padaku
karena bukan sadja maksud buruknja telah digagalkan, malah diapun kena
dilukai". Pek Giok Im mendjadi chawatir.
"Lalu bagaimana nanti, Koko, kalau kepala-gundul itu menuntut balas?"
"Kau tidak perlu merasa tjemas!"
"Tetapi hati perempuan lain dengan hati lelaki, Koko! Satu hal ketjil tjukup
menimbulkan ketakutan!"
"Ah, mengapa lekas benar kau mendjadi takut, moay-moay?" kata Tjio Han
Hiong sambil mendekati isterinja dan di-belai2 ram-butnja jang indah dengan
penuh kasih-sajang. Pek Giok Im tak mengatakan lagi kekuatiran hatinja, karena ketjintaan
suaminja sudah lebih dari obat penawar paling mudjarab!
Apa jang dikatakan Tjio Han Hiong benar terdjadi, malah demikian tjepatnja
diluar sangkaan. Enam bulan sudah Tjio Han Hiong tinggal dirumah mertuanja. Pada suatu
hari, ia minta idjin pulang untuk menengoki gubuknja, karena ia chawatir ada
jang rusak2. Ketika hendak berangkat dengan kuda tunggangnja, Pek Giok Im
dengan sangat mandjsnja berkata:
"Djangan Koko bermalam dilembah ja?"
"Sudah enam bulan aku tak menikmati malam dilembah, moay-moay! Aku
bermaksud tinggal disana sedikitnja satu bulan!" djawab Tjio Han Hiong
122 menggoda. "Satu bulan?" mengulangi isterinja sambil memegangi badjunja. "Satu hari
sadja tak kuberi perkenan! Nanti malam Koko harus pulang!"
"Satu bulan tidaklah lama, moay-moay!"
"Tidak, aku tidak mau ditinggal sendirian disini, atau aku ikut pergi kelembah
bersama!" "Nanti Gak-hu dan Gak-bo bisa djadi marah?"
"Nah, kalau takut dimarahi, Koko harap kembali nanti sore!"
"Sudahlah, dua malam sadja!" kata Tjio Han Hiong terus menggoda.
"Tidak dua malam atau satu malam! Pendeknja aku tidak mau ditinggal
sendirian! Aku harus ikuti"
"Ja, ja, sudahlah, sebentar sore aku kembali!"
Barulah Pek Giok Im melepaskan suaminja pergi sesudah memesan lagi, agar
Tjio Han Hiong tjepat2 pulang.
Demikianlah Tjio Han Hiong dengan menunggang kuda pergi menudju
kelembah jang telah 6 bulan tak pernah ditengoki itu.
Tetapi apa jang ia dapatkan disana" Bukan kepalang terperandjatnja, hingga
ia tertegun. Ternjata gubuknja kini sudah tak ada lagi dilembah. Gubuk itu
sudah dibumi-hanguskan, baru sadja habis dibakar rupanja, karena asapnja
masih me-ngepul2. Tak ada apa2 lagi jang dapat dipungut, semuanja telah
mendjadi abu, dan tempat itu telah mendjadi lapangan gundul. Salah
seorang tetangganja jang kebetulan ada disitu segera mentjeritakan, bahwa
gubuknja baru sadja dibakar orang.
"Siapakah jang membakarnja?" bertanja Tjio Han Hiong.
"Seorang Hweeshio!" djawabnja tetangga itu. "Rupanja dia seorang
Hweeshio djahat, tampak njata wadjahnja jang tak menjenangkan, dan
tingkah-lakunja galak sekali!"
"Hm seorang Hweeshio!" menggerutu Tjio Han Hiong, dan ia segera
menduga kepada Tong Hong Hweeshio! "Apa sebabnja dia melakukan
perbuatan djahat ini" Bukankah seorang Hweeshio mestinja berlaku baik,
penolong dan penjajang sesamanja?"
123 "Akupun tidak mengerti mengapa ada seorang kepala-gundul dapat
melakukan perbuatan sedjahat itu. Semula dia nanjakan dimana rumahnja
Too-pek-koay-hiap, kami jang tak menjangka djelek kepadanja telah
menundjukkan keletakannja rumahmu, tetap tak disangkanja dia lantas
membakarnja. Kami mentjoba untuk mentjegahnja, namun Hweeshio itu
sunggub sangat2 buas dia telah memukul kami hingga dua kawan terluka,
untung lukanja tak parah. Setelah gubuk mendjadi hangus seluruhnja,
barulah kepala gundul itu ngelojor pergi!"
"Peristiwa ini diluar dugaanku!" udjar Tjio Han Hiong. "Tetapi biarlah, mau
diapakan lagi dengan gubuk jang sudah mendjadi hangus ini?"
Seorang mengadjukan pertanjaan, adakah Tjio Han Hiong kenal dengan
Hweeshio djahat itu. Tjio Han Hiong mendjawabnja, ia kenal Hweeshio itu
adalah sikepala-gundul jang dahulu pernah dilabraknja karena melakukan
kedjahatan2 besar di Thian-tay.
"Oh, si Harimau-hantu itu" Rupanja dia datang untuk membalas dendam".
Sekarang Tjio Han Hiong kembali ke Thian-tay. Isterinja jang tadi ber-seri2
menjambut kedatangannja, mendjadi terkedjut setelah mendengar
penuturan tentang dibakarnja gubuknja, hingga ia diam tak berkata.
Demikianpun kedua mertuanja tak ketjuali mendjadi kaget.
"Djika demikian", udjar Pek Wan-gwee, "Hian-say tak usah mendjadi
bingung, kau boleh tinggal bersama disini berapa lama kau suka!"
"Tetapi Gak-hu tak tahu apa jang aku pikirkan disaat ini!" berkata Tjio Han
Hiong. "Aku bukan merisaukan soal kediamanku, melainkan perbuatannja
Tong Hong Hweeshio jang kurang adjar itu! Dia jang berdendam dan hendak
menuntut balas bukan menghadapi aku setjara laki2, tetapi rumahlah jang
dimusnahkannja. Manusia sematjam dia harus disingkirkan dari muka bumi
dengan segera!" "Hian-say menurut pendapatku, Tong Hong Hweeshio itu seorang pengetjut,
guna apa Hian-say harus meladeninja?" kata sang mertua.
"Gak-hu masih tak jakin maksudku jang sebenarnja! Memang tidak perlu aku
berurusan dengan seorang pengetjut, namun djika dia dibiarkan hidup,
124 akibatnja akan ada dua matjam bentjana. Kesatu dia akan terus
menimbulkan gangguan bagi kita, kedua kedjahatan jang dibuatnja tambah
men-djadi2. Aku merasa pasti dilain tempat dimana tak ada orang jang
merintanginja, dia akan meneruskan rentjananja pembuatan pedang-iblis
hingga empat-puluh anak gadis akan mendjadi korbannja Dapatkah
perbuatannja jang kedjam itu dibiarkan?"
Sekarang Pek Wan-gwee tak dapat berkata2 pula, begitupun isterinja,
mereka membenarkan pendirian menantunja jang mengandung kebaikan
bagi nasib anak2-gadis atau keamanan umumnja. Begitulah kemudian Pek
Wan-gwee memberikan perkenannja sambil memesan agar sang menantu
senantiasa ber-hati2 dan waspada dalam setiap langkahnja.
Demikianlah pada malam itu Tjio Han Hiong berkemas untuk mentjari
musuhnja, Tong Hong Hweeshio. Ia belum tahu dimana persembunjian
manusia-gundul itu, akan tetapi walaupun bagaimana ia harus
mendapatkannja. "Sebenarnja aku sangat chawatirkan keselamatan Koko menghadapi seorang
musuh sedjahat Tong Hong itu" berkata Pek Giok Im, sang isteri, tatkala
berada berduaan didalam kamar. "Menurut Koko, bukankah dia seorang jang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, jang tak sembarang orang dapat
melawannja" Buktinja tiga orang musuh jakni entjek Tjio Han Boe bersama
dua orang kawannja dengan mudahnja sekaligus telah dibunuh mati
olehnja?" "Bahwa Tong Hong Hweeshio seorang jang berbahaja, memang benar,
djawab Tjio Han Hiong. "Tetapi bagiku dia belum begitu perlu dimalui. Pada
malam itu dimana kau hampir sadja mendjadi kurbannja, dia sudah lari
tunggang langgang dengan menderita luka. Dengan demikian djadi tak
usahlah Moay-moay berchawatir!"
"Tetapi apabila Tong Hong sekarang mempunjai kawan umpamanja, tentunja
Koko tak dapat memandang enteng lagi padanja bukan?", berkata Pek Giok
Im dengan tjaranja jang sangat teliti.
"Sudah tentu aku takkan bertindak sembarangan djika benar dia berkawan!
125 Sudahlah, tabahkan sadja hatimu., Moay-moay, dan pertjaja kepada Thian,
bahwa orang jang bermaksud baik selalu dilindunginja!"
Pek Giok Im berdiam sedjenak, kemudian sambil penuh pandangan berarti ia
berkata pula: "Tetapi, Koko masih ada sesuatu jang aku merasa keberatan ditinggal Koko".
"Soal apa pula?" tanja suaminja sambil balas memandang.
"Sebenarnja sekarang............"
"Mengapa" Katakan sadja langsung, Moay-moay. agar aku tak mendjadi
bimbang!" Kini Pek Giok Im membisiki telinga suaminja, maka sesaat itu djuga Tjio Han
Hiong agak kaget. Tetapi rasa kagetnja berubah mendjadi kegirangan.
"Benarkah itu, Moay-moay?" ia bertanja, menatap makin tadjam.
"Benar, Koko! sahut Pek Giok Im agak ke-malu2an. "Sedjak bulan jang
terachir aku mulai merasakannja!"
"Kita harus mengutjap sjukur kepada Thian. Berbahagialah kita akan
dikarunia seorang putera dan puteri".
Pek Giok Im tersenjum. "Selama kepergianku, Moay-moay, baik2 kau mendjaga dirimu, djangan
mengerdjakan sesuatu jang agak berat. Dengarlah selalu adjaran2 Gak-bo
mengenai keadaanmu jang sekarang, agar tidak mengganggu anak jang akan
terlahir kelak!" "Baiklah, Koko!" djawab isterinja. "Tetapi kuharap Koko tak kan lama
meninggalkan aku". "Belum lagi aku dapat menentukan, Moay-moay! Semua bergantung pada
lambat atau tjepatnja aku menemui Tong Hong Hweeshio. Tetapi aku harap
kau tak usah tjemas atau kesal, sebab biarpun bagaimana, aku pasti kembali
lagi!" "Kemana jang Koko hendak tudju?"
"Ke An-hwie. Sikepala gundul membakar gubuk kita dilembah, dengan
demikian aku menduga dia berada tak djauh disekitar propinsi tersebut".
126 Pek Giok Im tak berkata pula, suaminja pun menjuruh ia pergi tidur, karena
malampun telah berlarut. Tjio Han Hiong tetap menjamar sebagai Too pek-koay-hiap, nama gelar jang
pada sehari2 ini mendjadi termahur, berhubung peristiwa di Thian tay.
Tetapi selama diperdjalanan, ia tak mau mendjadi si Bungkuk, melainkan
berupa seorang pemuda tampan dan menarik. Ia menunggangi kuda jang
bagus. Di Sim teng ia tak menemui sesuatu tentang Paderi pendjahat Tong
Hong, maka ia menudju kekota lainnja. Ia selalu mengambil rumah pondokan
sederhana untuk singgah dan menginap. Setelah hari mendjadi malam
dengan menjamar sebagai si Bungkuk diam2 ia keluar untuk melakukan
pengusutan. Sudah banjak daerah ia telah datangi, hingga hampir diseluruh propinsi Tjiat
kang sebelah Barat dan Barat laut, namun selama itu usahanja tetap sia-sia.
Kemudian ia melintasi propinsi An-hwie. Dari Tjeng yang terus sampai ke
Tong-shia, namun tak pernah ia mendengar tentang sikepala-gundul, djuga
tak ada berita2 adanja satu dan lain kedjahatan jang menimbulkan perhatian.
Setengah tahun sudah ia merantau dalam penjelidikannja. Kota terachir jang
ditjapai adalah Liok-an, sebuah kota jang tak terlalu besar tapi padat dengan
penduduk, perdagangan makmur dan banjak orang2 kaja.
Sebagian besar penduduk Liok-an, sama halnja dengan daerah2 lain, masih
tebal kepertjajaannja akan berhala2 atau Sinbeng2 jang dianggapnja keramat
dan sutji. Hanja sebagian ketjil sadja mereka jang sudah lebih madju, sudah
banjak berkurang kejakinannja akan segala patung atau Toapekong.
Dikota Liok-an itu terdapat sebuah klenteng Hong-lian-sie namanja,
dipelihara sangat mentereng, patungnja banjak, setiap hari banjak orang
datang berziarah untuk membajar kaul atau minta berkah keselamatan.
Hweeshio2nja gemuk2 dan keuangan Hong-lian-sie sangat menjenangkan.
Untuk pertama kali Tjio Han Hiong melihat sebuah kota demikian indah, dan
penduduknja sangat mengesankan. Mereka sangat memperhatikan tentang


Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal pakaian, malah pihak wanita selalu suka dengan pakaian jang indah2,
127 pandai bersolek. Tertarik akan kepermaian kota Liok-an, Tjio Han Hiong memasuki sebuah
kedai minuman diatas loteng, ia minta teh panas. Sambil menikmati teh jang
wangi, ia melepaskan pandangan matanja kedjalan2 raya jang senantiasa
ramai-berisik dengan orang2 jang hilir-mudik dan kendaraan-kendaraan jang
berlalu-lintas. Kemudian tampak 2 orang tamu naik keatas loteng, mereka minta arak. Dari
nada suaranja diketahui mereka penduduk daerah setempat, karena
berdialek chas Liok-an. Sambil minum arak mereka ngobrol dengan asjiknja.
"Bagaimana kesanmu terhadap Hweeshio jang datang disini belum lama
berselang itu?" "Kau maksudkan Sin Khong Toodjin?" bertanja temannja. "Dia agaknja
seorang pertapa jang sudah tebal akan azas2 kepertjajaannja, disamping itu
pun memiliki kepandaian ilmu silat."
"Dan bagaimana pula kejakinanmu terhadap Niekoh jang datang bersama dia
dan kini menempati Hong lian-sie?"
"Tentang Gwat In Niekoh aku tak dapat mengatakan sesuatu, karena dia
djarang menampakkan diri. Akan tetapi menilik dari romannja dan tindaktanduknja jang sesekali aku melihatnja di Hong-lian-sie baru2 ini, dia tiada
bedanja dengan pertapa2 perempuan lainnja."
"Kau sependapat dengan aku! Memang ke-dua2nja, Sin Khong Toodjin
dengan Gwat Im Niekoh merupakan pertapa2 jang sudah mentjapai puntjak
kesempurnaan. Barangkali dengan kedatangan mereka akan menambah
kemakmuran penduduk Liok-an. Dan bagaimana pula pendapatmu mengenai
maksud mereka untuk membangun sebuah geredja-wanita" Sebab pada
hakekatnja, dengan kaum perempuan memiliki bidang chusus untuk
kepentingan mereka, adalah sangat baik. Menjesal aku tak punja keluarga
perempuan, ketjuali isteri jang hidupnja selalu sibuk dengan pekerdjaan
dirumah. Akan tetapi melihat djedjak kedua pertapa itu, aku setudju sebulat2nja. Oleh karena itulah aku sudah memberikan bantuan uang tjukup
lumajan, dengan kejakinan bahwa dari bidang kegeredjaan akan
128 memperoleh djuga manfaatnja".
Kawannja berdiam sebentar.
"Apakah kau sudah menindjau bangunan Gwat-im-am itu?" tanjanja
kemudian kawan itu "Ja, tjukup pantas untuk keperluan kaum perempuan berziarah! Dan dilihat
dari bentuknja, geredja-wanita itu benar2 mengesankan. Tjuma satu hal aku
agak kurang setudju, jalah keletakannja tempat jang djauh dari kota, pula
dikaki bukit jang djalannja sangat sukar ditempuh wanita!"
"Menurut katanja Sin Khong Toodjin dahulu, tempat itu sudah
diperhitungkan masak2 tentang hong-swienja dan merupakan udjian bagi
kebulatan tekad seseorang. Apabila setiap pengikut Buddha benar2 sutji dan
ichlas terhadap adjaran2 jang dipeluknja, maka ia takkan mengeluh untuk
menempuhnja, tetapi tetap gembira dan berseri2! Bilakah Gwat-im-am akan
diresmikan pembukaannja?"
"Hari lusa, tanggal 15 bulan tudjuh. Aku akan ikut menjaksikan
pembukaannja, dan untuk pertama kali bersudjud pada pertapa perempuan
itu!" "Sesudah itu, lalu kemana Sin Khong Toodjin akan pergi?"
"Kabarnja akan berlalu setelah peresmian Gwat-im-am. Ia bermaksud
menjebarkan agamanja di-daerah2 lain dimana adjaran2 Buddha belum
berkembang atau belum luas".
"Dengan demikian, dia seorang pertapa jang benar2 bersemangat dan patuh
kepada adjaran buddha!"
Kawannja menganggukkan kepala, tanda setudju. Dan tak lama kemudian kedua2nja meninggalkan rumah minum.
Bagi Tjio Han Hiong soal Sin Khong Toodjin dan Gwat Im Niekoh itu tak
mempunjai sangkut-paut dengan tudjuannja mentjari Tong Hong Hweeshio,
akan tetapi pikirnja tidaklah halangan untuk iseng2 menjaksikan upatjara
pembukaan geredja-wanita jang baru dibangun itu. Ia beranggapan, betapa
djiwa umat-wanita di liok-an terhadap sesuatu jang dianutnja.
Satu hari ia akan membuang waktu untuk menanti hari lusa. Pada malamnja
129 pemuda pamuda itu ber-djalan2 disepandjang djalan raya, dan segala jang
didjumpainja benar2 sangat mengesankan. Keesokan harinja ia mendengar,
digeredja Hong-lian-sie diselenggarakan upatjara chusus bagi penganut2
Buddha, laki2 dan wanita. Para pembhakti diminta perhatiannja untuk
bersembahjang pada semua Sinbeng. Kaum perempuan diharuskan minta
perkenan pada berhala2 jang selama itu disudjudi, untuk minta diri, bahwa
sedjak hari itu mereka tak lagi berziarah ke Hong-lian-sie, namun tak berarti
mereka melupakan berkah2 jang pernah dilimpahkan para Sinbeng. Upatjara
perpisahan itu dipimpin oleh seorang pertapa wanita jang masih muda sekali,
dikira umurnja belum 25 tahun. Walau muda, namun pada wadjahnja Gwat
Im memiliki sifat2 lembut dan penuh kesutjian, ramah-tamah dan walas-asih,
membikin setiap orang, terutama golongan wanita, sangat terpengaruh
karenanja. Diantara lain Gwat Im Suthay memberitahukan pada umum, bahwa Sin
Khong Toodjin sudah meninggalkan Liok-an untuk menunaikan tugas2
sutjinja di-daerah2 lain, kewadjibannja di Liok-an hanja membantu
menjelenggarakan pembangunan Gwat-im-am, dia takkan kembali pula,
karena dia telah mempertjajai padanja untuk memimpin Gwat-im-am dari
awal pembukaan hingga saat terachir.
"Dan beliau berpesan, agar para penundjang agama Buddha disini tak usah
meng-ingat2 lagi tentang beliau ataupun djasa2nja karena beliau tak
mengingini semua itu!" Gwat Im Niekoh menambahkan. "Beliau menjatakan
sudah tjukup puas melihat keprihatinan para penganut, dan berharap
mereka takkan kundjung-dingin dalam menunaikan bhaktinja terhadap
Hong-lian-sie maupun Gwat-im-am".
Kemudian upatjara berachirlah.
Tjio Han Hiong pulang kepondoknja. Ia ingin tidur, tetapi mata tak mau
merapat. Otaknja tak tenang setelah melihat Hong-lian-sie siang tadi. Ia
memikirkan berapa perempuan jang masih sangat muda itu, Gwat Im
Niekoh. Bukan sadja masih muda, tetapipun amat tjantik. Hal ini
menimbulkan keheranar Tjio Han Hiong.
130 Benar, tak sedikit pertapa2-wanita jang masih berumur muda dan elok,
disebabkan karena dasar keluhuran pribadinja, atau mendjadi pertapa
setjara wadjar karena berbakat, ataupun sebab2 jang memaksa dalam
hidupnja. Malah tak kurang djumlahnja pertapa-wanita jang berasal dari
pelatjur jang telah bertobat dan ingin menebus dosa2nja, lalu memasuki
biara mentjukur rambutnja.
Akan tetapi Gwat Im Niekoh jang masih sangat muda dan elok itu agaknja
ada apa2 jang menarik perhatian Tjio Han Hiong untuk menjelidikinja.
Begitulah keesokan harinja ia mengikuti rombongan orang pergi kekaki bukit,
dimana Gwat-im-am diresmikan pembukaannja.
Geredja itu agak baik bangunannja, memiliki bagian2 dan ruangan2 jang
tersendiri, ada kamar2 chusus untuk para tamu wanita, baik pelantjong biasa
maupun jang sengadja berziarah. Sedjumlah patung, tentu sadja patung2
Malaikat-perempuan, diatas medja sembahjang dipendopo besar. Tetapi
Pendetanja baru hanja seorang sadja, jaitu Gwat Im Niekoh, jang sedjak hari
itu bertindak sebagai pemimpin. Diharapkan oleh Paderi-wanita itu agar tak
seberapa lama lagi Gwat-im-am memperoleh bantuan dari pertapa2-wanita
lain. Tjio Han Hiong tak mendapat kesan apa2 dari penindjauannja, maka pada
sore harinja ia pergi ke Hong-lian-sie pula untuk memperoleh keterangan. Ia
berlaku sebagai seorang pelantjong jang ingin berziarah jang sjarat2nja ia
dapat penuhi. Pada Paderi-kepala, Tju Gwan Hoosiang, ia menjatakan
kekagumannja pada Hong-lian-sie jang teratur dan menarik. Dan sebentar
sadja ia dapat berkenalan dengan segenap Hweeshio. Lantas ia mulai pada
titik atjara, mendjnrus kepada tudjuan penjelidikannja.
Atas pertanjaannja, Tju Gwan Hoosiang menerangkan, bahwa Gwat Im
Niekoh mula2 datang bersama Sin Khong Toodjin dari Utara. Ke-dua2nja
tampaknja pertapa2 jang sudah mentjapai batas terbaik, sekalipun pertapa
perempuan itu masih berumur muda sekali. Mereka penganut2 adjaran
Buddha jang taat. Gwat Im Niekoh bermaksud memimpin sebuah geredja
chusus untuk kaum wanita, adalah Sin Khong Toodjin seorang Paderi jang
131 gemar mengembangkan keagamaannja di-pelosok2. Demikianlah atas
kegiatan mereka, dan dibantu oleh hweeshio2 dari Hong-lian-sie,
dikumpulkannja bantuan2 uang dari segenap penduduk untuk pembangunan
Gwat-im-am. Geredja-wanita itu kini sudah selesai dan diresmikan
pembukaannja, maka dengan demikian berarti satu kebaikan tak ketjil bagi
masjarakat di Liok-an teristimewa pemeluk2 agama Buddha, jang pada
hakekatnja membutuhkan sebuah biara chusus bagi golongan wanita.
Tjio Han Hiong sangat memperhatikan semua keterangan jang diberikan Tju
Gwan Hoosiang itu. "Lalu kemana perginja Sin Khong Toodjin itu, Toa-Hoosiang?"
"Dia pergi ke Hong-yang-hu untuk memperkembangkan lebih djauh
agamanja", mendjawab Tju Gwan Hweeshio. "Djedjak seorang Pertapa
sebagai Sin Khong Toodjin benar2 patut mendapat sokongan setiap orang
lahir dan bathin!" "Tetapi mengapa Sin Khong Toodjin tak menghadiri djuga peresmian Gwatim-am sebagai hasil djerih-pajahnja jang diusahakan selama itu?"
"Seharusnja dia berbuat demikian, akan tetapi djiwa jang berlainan dengan
kebanjakan kaum Pertapa, Sin Khong Toodjin tidak menghendaki
penghargaan untuk djasa2nja! Hal itu menambah pudjaan setiap orang akan
kemurnian pendiriannja!"
Tjio Han Hiong mengutjapkan terima kasih akan kebaikan Paderi-kepala jang
memberikan keterangan banjak itu, kemudian ia mohon diri. Pada
pendapatnja, berdasar pendjelasan Tju Gwan Hweeshio, Sin Khong Toodjin
dan Gwat Im Niekoh adalah kaum Pertapa jang berdjiwa besar, penganut2
Buddha jang patuh dan taat. Oleh karena itu ia tak ada minat untuk berdiam
lebih lama dikota Liok-an, karena kenjataannja tak menemukan apa jang
ditjari. Kemana akan ia melandjutkan penjelidikannja, ia tak tahu. Tetapi ia telah
berkeputusan, takkan kembali ke Thian-tay bila belum menemukan Tong
Hong Hweehsio uutuk membalas dendamnja.
132 Keesokan harinja ia meninggalkan Liok-an dan menudju ke Lim-koan.
Didaerah ini ia telah berdiam 6 hari lamanja, tak ada mendengar berita
sesuatu tentang Tong Hong Hweeshio. Keesokan paginja ia berniat
meninggalkan kota itu, atau tiba2 ia mendengar berita2 menggemparkan
dari Liok-an. Berita itu mengagetkan, bahwa pada malam pertama peresmian
geredja-wanita Gwat-im-am. di Liok-an telah terdjadi kehilangan seorang
anak-gadis remadja dan malam ketiga peristiwa itu terulang pula.
Kehilangan 2 orang gadis dan 2 orang djedjaka itu tidak meninggalkan bekas2
dari terdjadinja peristiwa, tak tahu bagaimana atau kemana mereka
menghilang. Pada mulanja orang menduga, gadis dan pemuda jang hilang
dimalam pertama tentunja berhubungan dengan urusan pertjintaan. Tetapi
orang banjak umumnja mengenal baik keadaan mereka sebagai orang2
terpeladjar dan tak ada terdjadi hubungan asmara. Sampai pada tiga malam
berikutnja kembali seorang anak-gadis dan seorang pemuda lenjap dari
rumahnja, dengan tak pula diperoleh tanda2 terdjadinja kehilangan.
Satu2nja hal jang dapat dikemukakan jalah, pada malam2 timbulnja peristiwa
aneh itu, kira2 lewat pukul 12, ada bertiup angin dingin disertai bau amat
busuk, dan sajup2 terdengar bunji raung binatang harimau.
Maka alangkah terkedjutnja Tjio Han Hiong seketika. Ia teringat akan
peranan Tong Hong Hweeshio. Peristiwa di Liok-an sama dan serupa seperti
jang terdjadi di Thian-tay dahulu, maka timbullah persangkaannja mungkin
Tong Hong Hweeshio kini berada di Liok-an mengulangi kedjahatannja. Jang
berbeda hanja sekarang bukan anak2-gadis melulu jang didjadikan kurban,
tetapi pemuda djuga. Apa maksudnja pentjulikan pada pemuda2 itu" Adakah
sekarang Tong Hong Hweeshio tak hanja membuat sebuah pedang-maut,
tetapi sepasang" Tak tenang hati Tjio Han Hiong untuk berdiam lebih lama di Lim-koan. Ia
harus segera kembali ke Liok-an dan bertindak. Sekali ini ia mesti membasmi
Tong Hong Hweeshio sampai di-akar2nja, untuk menjelamatkan nasib gadis2
serta pemuda2 disana. Disaat itu djuga ia berangkat menudju ke Liok-an
dengan menunggang kudanja. Ia sampai dikala sendja, dan benar sadja,
133 suasana telah berubah banjak sekali. Penduduk sama gelisah dan ketakutan.
Dan keterangan2 jang dihimpun menundjukkan, bahwa pada malam
pertama peresmian geredja Goat-im-am dan malam ketiga berikutnja ada 2
orang gadis dan 2 pemuda hilang dari masing2 rumahnja.
Dalam hal ini alat2 negara telah dikerahkan untuk melakukan pendjagaan ditempat2 jang penting dan menangkap pendjahatnja. Tetapi Tjio Han Hiong
tahu, tindakan pemerintah takkan peroleh hasil.
Ia memulai penjelidikannja dengan tidak menjamar sebagai Too-pek-koayhiap. Di-rumah2 korban jang kehilangan gadis2 ia dapatkan bekas tapak2
kaki matjan dan pada rumah2 pemudaa jang hilang, tak terdapat tanda apa2,
tidak tapak kaki matjan ataupun tanda2 lainnja.
Pikiran Tjio Han Hiong sekarang ditudjukan pada Hong-lian-sie, karena ia
menduga, mungkin didalam geredja itu pendjahat gundul Tong Hong
memusatkan operasinja seperti dahulu. Mungkin kini bekerdja-sama dengan
Hweeshio2 di sana sekalipun kelihatannja Paderi2 di Hong-lian-sie baik2
semua. Tetapi usaha Tjio Han Hiong hampa belaka, tak ada suatu tanda
paling ketjil pun jang bisa disimpulkan adanja perbuatan djahat.
"Mesti ada pula lain pangkal jang dirahasiakan!" demikian terlintas pendapat
Tjio Han Hiong. Lantas ia memulai lagi pengusutannja. Ia tidak mendjadi putus asa dan
semangatnja tak kundjung padam dalam usaha menjelamatkan penduduk.
Namun selama 2 hari tetap ia tak memperoleh hasil jang diharapkan.
Sekarang tiba malam ketiga, dan menurut dugaannja, mungkin malam itu
akan timbul lagi pentjulikan sebagai telah terdjadi di Thian-tay. Maka ia harus
mempergunakan siasat seperti dahulu pula, jaitu turun tangan disaat
Harimau-iblis bekerdja. Ketika malam sudah datang, ia sudah menjalin rupa
sebagai Loo Too-pek. Dilihatnja petugas2 negara membuat pengawasan
dengan sangat radjin, dan regu2 jang dibentuk agaknja sangat kuat. Tetapi
Tjio Han Hiong sama sekali tidak mau menghubungi pemerintah dalam
pekerdjaannja jang ia tahu takkan ada faedahnja. Ia bekerdja sendiri.
Begitulah ia ber-djaga2, hingga kemudian lewat djam 12 tengah malam.
134 Benar sadja, tak lama kemudian angin bertiup dari djurusan Selatan, makin
lama makin santer men-deru2 diiring bau anjir, diantar bunji raung harimau.
Malam jang tadinja sunji sekarang berubah menjeramkan, suasana diliputi
bajang2 hantu menakutkan. Dengan tidak membuang waktu lagi Tjio Han
Hiong mentjari sebuah rumah jang tertinggi wuwungannja, kesana ia
melompat untuk sambil mengumpat melepaskan pandangan matanja
mengikuti arah datangnja angin.
Malam itu sungguh amat gelap, tetapi Tjio Han Hiong memiliki daja-lihat luar
biasa tadjamnja. Dalam djarak djauh, dari semak2 dipinggir kota samar2 ia
tampak muntjul bajang2 tak njata, namun makin lama makin djelas, bahwa
bajang2 itu adalah 2 sosok tubuh. Jang satu benar2 seekor harimau
berukuran besar, jang lain sesosok tubuh ketjil langsing, mungkin seorang
perempuan. Gerakan mereka sama2 tjepatnja, dengan sang matjan bergerak
diatas 2 kaki belakangnja, madju makin dekat kekota.
Tjio Han Hiong segera melompat turun, djalan memutar, dan kini mengambil
tempat dibelakang 2 sosok bajangan itu, dengan hati2 sekali ia mengikutinja
kemana 2 sosok itu hendak menudju. Kini terlihat lebih njata lagi, bahwa
Matjan-iblis itu adalah Matjan-tutul, sementara kawannja adalah seorang
perempuan berbadan sangat ketjil, tetapi djelas kegesitannja.
"Hm, sekarang pendjahat terkutuk itu tak bekerdja sendirian, melainkan
berkawan seorang wanita!" menggerutu Tjio Han Hiong. "Tentulah
pendjahat-wanita ini jang mentjulik pemuda2. Entahlah pendjahat-wanita
dari mana, dan sedang merentjanakan sendjata apa pula dengan kurban2
pemudanja!" Tjio Han Hiong tak memperdulikan tiup angin jang men-deru2, dengan
tjermatnja diikutinja djedjak kedua pendjahat itu, menudju kepinggir kota
sebelah Barat, dimana padat dengan rumah2 penduduk. Petugas2 jang
mungkin tadinja ber-djaga2, pada saat itu tempat sudah bergeletakan lupa
diri. Sampai disuatu djalan lorong ketjil pendjahat-wanita itu memisahkan
diri, melompat kesuatu wuwungan rumah dengan gerakannja jang ringan
sekali menudju ke Utara, kemudian menghilang.


Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

135 Tjio Han Hiong agak ragu2. Ia ingin mengikuti djedjak pendjahat-wanita itu,
tetapi sebaliknja ia chawatir Matjan-tutul nanti merenggut kurbannja. Dalam
waktu jang demikian mendesak tak mengidjinkan ia lambat mengambil
ketetapan. Oleh karena demikian ia segera berkeputusan menjelesaikan
dahulu kedjahatan jang ada didepan mata. Ia ingin tahu tjara bagaimana
Matjan-tutul itu bekerdja, maka ia menjembunjikan diri disatu tempat gelap.
Dalam hatinja berpikir, sebagai seorang pendjahat, Tong Hong Hweeshio
belum memiliki kemampuan sempurna, misalnja pendengaran tadjam. Sebab
di Thian-tay dahulu pendjahat gundul itu tak mengetahui orang
menguntitnja, dan sekarangpun tidak lagi. Hanja sendjata rahasianja Samsek-hwee sudah mentjapai kehebatan. Namun tak urung sendjata-maut itu
sudah pula dimusnahkan. Si Matjan-tutul rupanja sudah menentukan rumah dimana ada tjalon
kurbannja. Setelah ditemukan sebuah djendela loteng, dengan pemuda jang
berparas tjakap dari masing2 rumahnja. Dan pada sekali melontjat ia telah
melajang keatas, dan kedua kaki-belakang-nja menggantung pada kasau,
kaki-depannja bekerdja Akan tetapi sekali ini Tjio Han Hiong tak mau bermurah hati seperti dahulu, ia
harus menjelesaikannja seketika itu djuga. Demikianlah dengan sebuah batu
ketjil, Too-pek-koay-hiap menjambut tangan Harimau jang sedang hendak
membuka daun djendela, hingga Matjan-palsu itu mendjadi kaget sekali.
Matjan-palsu itu insjaf ada orang jang merintangi pekerdjaannja. Lalu dengan
tjepat ia melajang turun, agaknja ia hendak mentjari tahu, dari mana dan
siapa jang berlaku iseng tadi.
"Setelah diubrak-abrik di Thian tay setahun jang lalu, sekarang kau
memindahkan pusat kedjahatannja di Liok-an, njatalah kau seorang keraskepala!", tiba2 ia dengar suara orang ber-kata2 kepadanja. "Kau tak
mendjadi kapok dengan rentjana durhakamu, maka sekaranglah kau harus
menghadapi malam terachir dari hidupmu jang penuh lumuran darah dan
dosa!" Segera Too-pek-koay-hiap menampilkan diri, maka terperandjatlah Matjan136
tutul itu, hingga langkah kakinja ditarik mundur. Sama sekali ia tidak mengira
disini kembali akan menghadapi musuh lamanja itu, si Bungkuk jang tangkas
dan perkasa. "Lagi2 kau, orang she Tjio jang merintanginja!" tegur Matjan-tutul, atau
sebenarnja Tong Hong Hweeshio. "Benar2 kau musuh besarku, padahal
pekerdjaanku tak ada sangkut-pautnja dengan kau ataupun merugikan
kepentinganmu! Mengapa kau selalu mengedjar2 aku?"
"Sebab seorang pendjahat sebagai kau tak perlu diberi hidup lebih lama lagi",
djawab Tjio Han Hiong. "Dahulu aku memberi kelonggaran padamu, karena
aku pikir kau akan mendjadi kapok dengan perbuatanmu. Tetapi njatanja
tidak! Kau meneruskan rentjana pedang-iblismu dan hendak mengurbankan
pula djiwa gadis2 jang tak berdosa! Oleh karena itulah sekarang kau takkan
diberi ampun lagi, dan hukuman itu tidak hanja terhadap kedjahatan'mu,
djuga terhadap perbuatanmu memusnahkan gubukku di Siang-yang-kok.
Pendjahat pengetjut, untuk membalas dendam kau tidak berani berhadapan
muka dengan aku hanja membakar pondokku jang tak punja dosa apa2! Nah,
sekaranglah pedangku akan mendjadi hakim!"
Kata2nja itu ia barengi dengan serangannja menusuk perut musuh dengan
penuh kesengitan. Dengan tak keburu melepaskan kulit-matjannja, Tong Hong Hweeshio
melompat mengelakkan pedang jang datang menusuk seperti kilat, lalu ia
mentjabut sendjata piannja dari balik kulit-matjan. Dengan itu ia balas
menjerang. Begitulah kedua lawan itu berhantam dengan seru, sementara angin
berhenti bertiup karena tak dapat dikuasai lagi chasiatnja. Tong Hong
Hweeshio, Si kepala-gundul ini sudah tahu kelihayannja musuhnja ini, iapun
telah ketahui bahwa musuhnja sebenarnja adalah seorang muda tampan
jang memiliki ilmu silat luar biasa. Maka ia berkelahi dengan hati2 sekali, ia
mainkan sendjatanja terlebih baik dari jang dahulu. Tiap2 terdjangan musuh
ia dapat sambuti se-baik2nja, ia mampu memberikan perlawanan tjukup
sengit, hingga pertarungan itu berlangsung seru dan dahsjat.
137 Sekali ini Tjio Han Hiong tak ingin melepaskan musuhnja dengan masih
bernjawa, karena ia insjaf selama Hweeshio djahat itu belum mati, maka
kedjahatan akan terus meradjalela. Maka ia menjerang dengan gempurangempuran hebat.
Tong Hong Hweeshio pun merasakan, djauh benar kesengitannja musuh
dibanding dengan digua Goe-thauw-nia. Djusteru ia tidak begitu leluasa
dalam gerakannja karena kulit-matjan jang masih melekat dibadannja, hal
mana membuat ia mendjadi sangat cbawatir, kalau2 bahaja akan segera
mengachiri djiwanja. Ia mentjoba menggerakkan seluruh kepandaiannja
dengan melakukan perlawanan tak kurang serunja, hingga untuk beberapa
lama ia masih dapat mempertahankan namanja sebagai Tjabang atas dari
Sungai-hitam. Demikianlah, mereka bergebrak dengan sama sengitnja, hingga berlangsung
hampir satu djam lamanja. Kedua belah pihak mempergunakan siasat2 jang
mendjadi kebanggakan masing2. Tetapi kenjataannja Tjio Han Hiong berada
diatas angin. Hal itu tidak mengherankan, karena disamping memang ia
menang setingkat dalam ilmu gisiauw daripada lawannja, kulit-matjan jang
berat sangat mengganggu gerakan musuhnja, hingga dalam babak2
selandjutnja kepala-gundul itu tampak ketiada-seimbangannja.
"Pertjuma sadja kau berusaha melawannja, pedangku takkan memberi
kelonggaran pula!" mengedjek Tjio Han Hiong. "Kau harus mati ditanganku
malam ini. Oleh karena demikian, maka sebaiknja kau menjerah sadja, hingga
kau tak mem-buang2 tenaga untuk tjuma2!"
"Tak mungkin Hek-liong-kang Kim Liong akan menjerah ditangan seorang
jang tidak ternama sebagai kau!" djawab Tong Hong Hweeshio dengan
gusarnja. "Djanganlah kau memandang enteng sekali padaku!"
"Nah, perlihatkanlah seluruh kebisaanmu, Paderi terkutuk!" mengedjek pula
Tjio Han Hiong. Benar djuga, Tong Hong Hweeshio mengubah sama sekali gaja-tempurnja.
Tiada satu bagian jang lemah atau berlambat, semuanja dilakukan setjara
tjepat dan gesit, baik serangan dengan pian ataupun serangan kaki dan
138 tangannja, tampak benar2 hebat. Namun demikian, Tjio Han Hiong tak
mendjadi gentar sedikit djuga. Kemampuan berkelahinja masih tinggal utuh
dan bersemangat ia sanggup menguasai sikepala-gundul.
Achirnja tenaga Tong Hong Hweeshio tampak mulai berkurang, dajatempurnja tak seulet lawannja jang masih muda dan perkasa. Kelemahannja
segera tampak dari gerak tindakan kakinja jang makin lambat, dan napasnja
pun terdengar njata. Di-saat2 itulah Tjio Han Hiong memperhebat serangan2nja.
Kemudian satu dupakan tak dapat dielakkan lagi, hingga Tong Hong
Hweeshio djatuh terguling. Musuhnja datang menubruk, tetapi ia masih
sempat bangkit kembali, dan balas mengemplang dengan piannja.
Untunglah Tjio Han Hiong tjukup awas dan gesit, ditangkisnja kemplangajna
musuh dan sebelum pian Tong Hong Hweeshio disusulkan kedua kali, ia
sudah menusukkan pedangnja keperut musuh, hingga berteriaklah sikepalagundul dengan hebatnja, dan seketika djuga roboh ketanah.
Tjio Han Hiong dengan penuh kesengitan hendak membatjok pula badan
Tong Hong Hweeshio, tetapi musuh itu ternjata sudah tak bergerak.
Mampus! "Hm, kuat benar pendjahat gundul ini! Djika dia tak memakai kulit-matjan,
belum tentu malam ini dia dapat dibunuh!" kata Tjio Han Hiong puas.
Tjio Han Hiong ingat pendjahat-wanita jang tentunja sedang hendak
merenggut kurbannja, seorang pemuda, entah siapa dan dimana. Untuk
mentjegah hilangnja satu kurban, ia harus bertindak tjepat. Lantas ia tjoba
mentjari djedjaknja pendjahat-wanita jang belum dikenal itu" mentjari dari
atas wuwungan rumah2, agar dapat melihat dimana ada gerakan jang
mentjurigakan. Akan tetapi sampai hampir pagi ia tak berhasil dengan
usahanja. Tidak ada suatu gerakan maupun bajangan dapat ditemukan. Ia
jakin, malam itu tentu ada pula seorang pemuda mendjadi kurbannja
pendjahat-wanita itu. Tjio Han Hiong mengambil keputusan untuk bertindak pula esok pagi.
139 Sekarang ia perlu mengurus majat Tong Hong Hweesio. Beberapa petugas
masih didalam lupa-diri akibat pengaruh obat-bius sipendjahat-gundul. Ia
lalu menjadarkan mereka dengan disiramnja dengan air dingin, dua orang
dari mereka disuruh mengangkut bangkai Matjan-tutul kekantor kepaladaerah.
Dua orang petugas itu mendjadi terkedjut bukan kepalang. Mereka tak
mengerti mengapa disitu ada bangkai seekor matjan sebesar itu, dan seorang
tua bungkuk tak dikenal menghunus pedang. Too-pek-koay-hiap
menerangkan, bahwa Matjan-tutul itu adalah jang telah melarikan dua orang
gadis dari masing2 rumahnja, dan bahwa Matjan ganas itu sekarang mati
dibawah pedangnja. "Astaga, djadi binatang inilah pendjahatnja?" bertanja mereka tertjengang.
Dan ke-dua2nja bertambah kaget apabila mendengar, bahwa orang tua
bungkuk itu jang telah membunuhnja. Tetapi Loo Too-pek tak mau
membuang waktu, dengan segera menjuruh dua petugas itu mengangkat
bangkai matjan kekantor Tihu.
Sudah tentu orang banjak mendjadi keheranan mendengar peristiwa itu, dan
mereka agaknja tidak pertjaja orang setua itu mempunjai kesanggupan
membinasakan seekor matjan jang bukan main besarnja itu. Tihu sendiri
hampir tertawa mendengarnja. Dengan hati mendongkol Tjio Han Hiong
menerangkan, bahwa Matjan-tutul itu bukan matjan sewadjarnja, tetapi
seorang manusia-djahat. Iapun mentjeritakan djuga peristiwa digua Goethauw-nia di Thian-tay setahun jang lalu. Maka orang bertambah mendjadi
takdjub. "Oh, djika demikian, Loo Enghiong ini sebenarnja Too-pek-koay-hiap?"
bertanja Tihu menatap bentuk tubuh orang.
"Begitulah kalau orang mau menamakan aku si Bungkuk jang gelo!" djawab
Tjio Han Hiong sambil menjusuti darah dipedangnja. "Bagi penduduk Liok-an
boleh dikata masih besar rezekinja, sebab baru dua gadis sadja jang
mendjadi kurbannja. Tetapi masih ada pula seorang kawannja Tong Hong
Hweeshio ini, pendjahat-perempuan, jang djuga telah menggondol dua
140 orang pemuda. Malam ini belum diketahui ada kurban pemuda lagi atau
tidak, karena tadi aku tak sempat membuntuti pendjahat wanita itu. Aku
akan segera mentjari padanja dan bila mungkin akan dibekuk hidup2.
Sekarang tjobalah orang menanggalkan kulit matjan itu agar umum
mengetahui matjamnja sigundul itu!"
Tatkala perintah itu dikerdjakan, njata orang mendjadi kaget, karena njatanja
majat kepala-gundul itu adalah Sin Khong Toodjin!
"Sin Khong Toodjin?" bertanja Tjio Han Hiong jang pun keheranan.
Tihu menjatakan, bahwa majat Hweeshio itu benar Sin Khong Toodjin jang
melenjapkan diri pada saat peresmian geredja-wanita Goat-im-am.
Tjio Han Hiong mengatakan, dia bukan Sin Khong, tetapi Tong Hong.
Sekarang Too-pek-koay-hiap telah mengerti, bahwa Tong Hong Hweeshio
telah mengubah nama pertapaannja mendjadi Sin Khong Toodjin, dan
dengan siasat litjinnja berhasil menarik perhatian penduduk Liok-an sebagai
Pendeta benar2 Pendeta sutji, hingga sangat dipertjajai dan didewakan.
Lantas Tjio Han Hiong pergi ketempat pondokkannja. Otaknja bekerdja keras,
kemudian ia berkesimpulan, bahwa bukan mustahil kedjahatan Tong Hong
Hweeshio dipusatkan di Goat-im-am jang letaknja didaerah terpentjil dan
tersembunji, satu hal jang sengadja diperbuat untuk melakukan rentjana
pembuatan pedang-iblisnja.
"Dan apabila dia membuat pusat di Goat-im-am, tentunja Goat Im Niekoh
pun bukan Paderi-wanita benar2!" ia berpikir lebih djauh. "Sekalipun tak ada
sesuatu kesan buruk pada wadjah atau gerak-geriknja, namun soalnja tak
mungkin mendjadi keliru, bahwa dia seorang pendjahat-perempuan jang
berselimut djubah-sutji dan bekerdja-sama dengan Tong Hong Hweeshio.
Pendjahat-wanita semalam nistjaja Goat Im adanja. Dia mentjuliki pemuda2
untuk rentjana sama dengan Tong Hong, ataukah untuk melakukan
kemesuman?" Lalu diniat oleh Tjio Han Hiong untuk pagi-hari itu djuga ia pergi ke Goat-imam membuat penjelidikan. Sudah ada satu rentjana pasti padanja. Sekarang
ia tak menjamar lagi sebagai Loo Too-pek, tetapi sebagai Tjio Han Hiong jang
141 lembut dan menarik. Begitulah ia sampai didalam geredja jang masih baru dan indah dikaki bukit.
Ia tidak berani masuk kedalam klenteng-wanita, karena tak lajak, djadi tjukup
diserambi depan sadja. Dengan gajanja jang memikat hati ia me-lihat2
perhiasan dinding, beberapa lukisan2 aneka-warna, dan tulisan2 jang
mengandung banjak arti indah2. Ia berharap ada seorang Niekoh atau
muridnja keluar dan menjapa, untuk mempersilahkan berduduk didalam.
Lama harapannja tak terkabulkan, kemudian ia berdjalan2 dengan tindakan2
kaki agak diberatkan disertai batuk2 djuga.
Betul sadja, tak seberapa lama kemudian terdengar langkah kaki lunak dari
sebelah dalam, lalu muntjul Niekoh diambang pintu, seorang Paderi-wanita
jang masih sangat muda lagi elok rupanja, dengan pakaian djubahnja
berwarna kuning-muda mengandung kesutjian, dan seuntai tasbih
ditangannja. Loo Too-pek menoleh dengan tjepat dan............ bertumbuklah empat mata
seketika djuga. Rasa kaget membajang diwadjah Pendeta-wanita itu jang
bukan lain Goat Im Niekoh adanja; dengan terkedjut, hingga ia diam
menatap wadjahnja pemuda asing jang tjakap ganteng itu. Djusteru Tjio Han
Hiong dengan sengadja tidak memalingkan pandangan matanja.
"Astaga, tjakap nian pemuda tak dikenal ini, seumur hidupku baru pertama
kali ini aku melihatnja!" demikian terpikir dalam hatinja Goat Im.
Tjio Han Hiong lalu mendjura sambil madju beberapa langkah. "Maafkan
kelantjangan seorang pengembara mengindjak lantai geredja jang tak
seharusnja kaum pria memasukinja, Suthay!" kata pemuda kita dengan
gajanja jang di-buat2 dan nada suaranja jang menarik hati. "Tadinja aku menanti2 ada seorang Niekoh keluar, untuk diminta perkenannja menikmati
keindahan lukisan2 didinding jang demikian memikatnja, namun karena kesal
menantinja, maka aku djadi lantjang............"
"Oh tidak!" demikian djawabnja Goat Im Niekoh, kakinja jang bersepatu ketjil
melangkah keluar ambang pintu. "Goat-im-am tak mengadakan larangan
demikian keras, setiap kaum prija dapat hak mengindjak lantai geredja
142 bahkan bersudjud djuga pada Sinbeng2, asalkan dia seorang sopan dan tidak
mengandung maksud2 bertentangan dengan hukum2 jang berlaku. Bahkan
adakalanja seorang laki2 mendapat atau diberi hak istimewa bila diperlukan.
Perkataan terachir itu rupanja dinantikan Tjio Han Hiong, maka tjepat2 ia
bertanja: "Hak istimewa apakah itu, Suthay?"
"Oh............ itu soal nanti!" djawab Goat Im tersenjum, hingga tambah
menggiurkan. "Eh............ aku tahu, Kongtju seorang sopan lagi terpeladjar.
Rupanja datang dari lain daerah. Djika mataku belum kabur, sekiranja
Kongtju peladjar jang gemar ilmu sastera, terutama sjair, bukankah?"
"Sekedar sadja aku tertarik kepada kesusasteraan dan sjair, Suthay, tetapi
pengetahuanku tentang itu masih sangat terbatas!"
"Sudikah Kongtju memperkenalkan she dan namanja jang terhormat, dan
dari mana asalnja?" "Aku she Pek bernama Han Hiong, berasal dari Kang-souw".
"Terima kasih! Nama buddhaku disebut Goat Im! Nah, silahkan Pek Kongtju
masuk untuk istirahat sebentar, Kongtju tentunja letih. Lebih disukai lagi bila
Kongtju suka d juga bersembahjang!"
"Terima kasih, Suthay! Aku tidak berani memberabekan........."
"Tak ada larangan Kongtju bersudjud pada Sinbeng dalam Goat-im-am!"
"Dan itukah jang Suthay katakan hak-istimewa?"
"Bukan! Bukan itu! Masih ada lainnja! Nah marilah Kongtju masuk, dan
Kongtju nanti mendapat pendjelasan!"
Tak membuang waktu lagi Tjio Han Hiong berdjalan masuk mengikuti Goat
Im, jang membawanja kesebuah kamar, dimana dikatakan kamar-tamu
chusus. Dengan tjermat dan ramahnja tapi menondjol djuga gajamemikatnja, Paderi-wanita itu menjuguhkan air teh diatas medja. Dan tak
diundang pula Goat Im berduduk di-depan tamunja benar, lalu menjatakan,
bahwa untuk pertama kali Goat-im-am mendapat kehormatan kundjungan
seorana pemuda terpeladjar jang besar minatnja pada sjair2-geredja. Lantas
ia ngobrol djuga soal2 lain jang berhubungan dengan agama jang dipeluknja,
143 keindahannja, hukum2nja dan sebagainja. Pandai benar ngobrolnja, makin
lama makin memikat gaja-suara dan matanja jang indah, disertai senjum2
malahan. Maka sadar sudah Tjio Han Hiong kepada orang matjam apa ia sedang
berhadapan. Benar Goat Im berwadjah indah dan sutji, dan bagi mata biasa


Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menjangka dia seorang pendukung geredja jang benar2 kudus
meskipun masih muda sekali umurnja, namun bagi mata seorang Kang-ouw,
segala sifat jang ada pada Goat Im tak dapat membohongi kewadjarannja,
ialah............ palsu! Maka mulai ia mendapat rabaan, bahwa disinilah ia akan
menemukan apa jang ditjari, bahwa disinilah tempat kedjahatan jang sedang
dilantjarkan dimana 3 orang pemuda telah hilang ditjulik. Iapun sudah dapat
memastikan, bahwa Goat Im adalah Pendeta-perempuan tjabul. Akan tetapi,
apabila Tjio Han Hiong melihat kedua lengan tangan Goat Im jang lurus
dengan urat2nja jang tertampak njata, iapun mengetahui bahwa Goat Im
sebenarnja seorang wanita dari kalangan persilatan djuga. Hal itu membuat
ia agak kaget, sebab diluar dugaan, ia menghadapi seorang ahli silat wanita.
Tetapi Too-pek-koay-hiap tak menghiraukan semua itu, sekalipun ia
mengerti, bahwa sesuatu kekuatan tak selamanja berada pada tubuh jang
kokoh kuat, namun ia tak gentar menghadapi musuh, lebih2 musuh wanita
dan tak berkawan. Ia harus madju terus, dan untuk dapat menggulungnja,
maka rentjananja mesti diperdjuangkan sebaik mungkin.
Peranan menimbulkan nafsu Goat Im harus dibawakan setjara teratur.
Begitulah ia sengadja bergaja memikat, selalu menatap wadiah Niekoh itu
,kadang2 dilepaskannja kata2 jang bersifat kelemahan hingga menimbulkan
nafsu sang Niekoh untuk menjampaikan maksudnja jang benar.
"Bolehkah aku mengadjukan pertanjaan sesuatu, Suthay?"
"Tiada hukum melarang orang bertanja sesuatu, Kongtju!" djawabnja Goat
Im. "Silahkan sebutkan!"
"Apakah nama jang benar Suthay dan asalnja?"
"Namaku asli Kie Poo Tju, asal Kang-say"
"Sedjak kapan Suthay mendjadi Niekoh?"
144 "Empat tahun jang lalu".
"Berapa umurmu sekarang?"
"Baru duapuluh dua!"
"Sebaja dengan aku!" Masih muda! Mengapa Suthay memasuki bidang hidup
kebiaraan jang sepi ini?"
"Karena panggilan bakat!"
Tjio Han Hiong mengatakan, bahwa ia sangat mengagumi djiwa seorang
wanita, jang ichlas membuang masa mudanja dan hidup dalam biara. Selama
bertjakap ia memperhatikan suasana disekitarnja. Kemudian ia mengalihkan
pembitjaraannja, dengan pertanjaan: "Agaknja didalam geredja tak ada
Niekoh lainnja, Suthay?"
"Memang belum ada", sahut Goat Im. "Belum dapat seseorang Niekoh untuk
bantu memadjukan Goat-im-am. Tetapi bila nama geredja ini sudah meluas,
diharapkan tak lama lagi ada peminat2 dari daerah lain untuk bersama
mengembangkan agama Buddha dalam kalangan wanita di Liok-an".
"Djadi selama ini Suthay berada sendirian disini?"
"Ja". "Tentunja Suthay lebih banjak mendapatkan sari kebiaraan asli daripada
dengan ada teman lain, tidakkah demikian?"
"Bukan demikian. Aku memerlukan seorang teman atau lebih......."
Perkataan itu tak diteruskan, dan Tjio Han Hiong-pun tak menanjakan lebih
landjut. Kemudian ia minta perkenan untuk boleh me-lihat2 isi geredja lebih
mendalam. Ia mengira, Goat Im akan berkeberatan, tetapi sebaliknja dengan
manis memberikan perkenannja, malah diantarnja djuga. Pemandangan atau
hiasan didalam geredja bagus2, dan Tjio Han Hiong dengan undjuk sikap
terbaik selalu mengadjukan pertanjaan2. Oleh sang Niekoh ini dilajani
dengan sangat tjermatnja. Dan sesuatu jang sangat terasa oleh Loo Too-pek
adalah, selama mengawal, selain selalu diiring tertawa atau senjum, Goat Im
tak djarang me-njentuh2 badannja. Perbuatan itu terang disengadja, satu hal
jang melanggar adat kebiaraan. Tetapi djusteru Tjio Han Hiong sudah tahu,
Niekoh sematjam Kie Poo Tju tentu tak berbuat lain daripada begitu.
145 Makin lama makin berani Kie Poo Tju, kegenitannja bertambah
menondjol, bukan sadja me-njentuh2, malah sesekali tangan Tjio Han
Hiong dipegangnja djuga untuk menundjuk sebuah gambar jang
ditanjakan setjara meliat. Namun segala kegenitan dibiarkan sadja
berlangsung. Achirnja Tjio Han Hiong minta diri untuk pulang
kepondok. "Buat apa pulang kepondok" Bermalam disini sadja, digeredja, tjukup
kamar tidur. Dan segala keperluan akan disiapkan se-baik2-nja" kata
Goat Im tidak malu2 lagi.
Mula2 Tjio Han Hiong memperlihatkan keheranannja, sambil
mengatakan bahwa tak lajak benar seorang laki2 menginap digeredjaperempuan, sedang mertamu sadja dan mengindjak disebelah dalam,
sudah bertentangan dengan hukum.
"Ah, Kongtju ini agaknja masih panatik dengan adat kolot!" udjar Goat
Im. "Pendidikan sadja rupanja belum tjukup menjadarkan Kongtju akan
kemadjuan masjarakat dan pergaulan. Kini sudah tak ada perbedaan
lagi antara kedua djenis kelamin, baik dalam kalangan apapun Paderiwanita boleh bertinggal setempat dengan Hweeshio, sama halnja
dengan aku selama berdiam di Hong-lian-sie itu. Begitu pula tak ada
hukum melarang Kongtju berada di Goat-im-am maupun untuk
bermalam, lebih2 azas kebiaraan adalah memberi bantuan kepada
sesamanja, misalnja menumpang hidup sampai beberapa lamanja.
Pokoknja ialah, asal tak melanggar susila dan adjaran2 agama.
Alangkah senang hatiku, bila Kongtju mengerti uraianku !"
Itulah kesempatan Tjio Han Hiong tunggu2. Dengan bersikap sebagai
seorang jang tak menjadari hal sesuatu, ia menjatakan hendak
bermalam djuga di Goat-im-am bila hal demikian tak disalahkan oleh
hukum kegeredjaan. Begitulah Goat Im tundjukkan sebuah kamar tidur untuk tamu
mudanja. Pada mendjelang petang, disebuah medja dalam ruang-makan
sudah menanti hidangan sederhana, jaitu bubur dengan sajur-majur
belaka. "Maklumlah, Kongtju, didalam geredja tak ada hidangan seperti
dirumah makan umum, jaitu daging2!" udjar Goat Im jang kini sudah
146 berganti djubah berkembang. "Tetapi ada djuga arak sekedarnja untuk
penambah napsu makan!"
"Suthay suka djuga minum arak?" bertanja Tjio Han Hiong pura2
bodoh. "Aku hanja suka dengan arak kelas satu, tapi djarang meminumnja!"
djawab si Niekoh genit. Dalam satu hal jang paling dapat dirasakan Tjio Han Hiong adalah
djubah Goat Im berbau wangi, hingga Loo Too-pek djadi tertjengang
djuga. Namun ia djadi tambah mengerti akan djiwa si Niekoh jang
sebenarnja. Demikianlah ia makan bubur dan sajur sedikit demi sedikit, djuga
minum arak jang disuguhinja. Ia sebenarnja tidak dojan arak, namun
untuk kepentingan tugasnja, ia memaksakan diri meminumnja djuga.
Sekali mengetjap sudah ia merasakan arak itu terlalu keras, dan ia
jakin, 2 tjangkir sadja tjukup akan membikin ia lupa daratan. Berbeda
dengan Goat Im, 4 tjangkir belum apa2, pada tjangkir keenam baru
kelihatan perubahan, agak sinting, namun belum lupa daratan.
Tjio Han Hiong harus mempergunakan siasat "mabuk". Tetapi
bagaimana" Setiap Goat Im mengadjak minum, mata Niekoh itu selalu
menatap padanja tadjam2. "Ah gampang!" pikir Too-pek koay-hiap.
Saputangan dapat menolongnja. Begitulah setiap meneguk arak,
saputangannja dibuat menutupi mulut, sambil pura2 berbatuk. pada hal
arak beralih semua kesaputangannja. Dengan demikian ia "kuat"
meneguk sampai 3 tjawan, dan sampai pada tjawan keempat, ia sudah
mendjadi "sinting". Ia menolak untuk minum lagi.
"Kepalaku sudah berputar, Moay-moay............" katanja sengadja tak
memanggil Suthay. "Berat rasanja seperti ditimpah gunung.......... Aduh
sakitnja............!"
"Baru empat tjangkir sudah tak berdaja! Ah sajang, tak ada orang
menemani lagi aku minum............! " katanja jang mengandung
kesintingan. Mulutnja mengutjap demikian, padahal bukan kepalang senang hatinja.
Lalu ia berbangkit mendekati pemuda jang merebahkan kepalanja
147 diatas medja tak berdaja. Wadjah menarik Tjio Han Hiong
membangkitkan terlalu tjepat nafsunja si Niekoh jang lalu mentjiumnja
seketika. Loo Too-pek merasakan ketjupan jang penuh kesengitan, lalu ia
mengangkat muka, mengulurkan tangan keleher orang se-olah2 hendak
memeluk. Tetapi bukan pelukan mesra, hanja satu tjekikan, hingga
Goat Im Niekoh mendjadi terperandjat dan tjoba memberontak. Ia
hendak berteriak, namun snaranja tak dapat keluar. Terdengar gelaktertawa Tjio Han Hiong.
"Sudah aku tahu dengan siapa aku berhadapan! Kaulah pendjahatwanita jang berselimut djubah-sutji, pengumbar nafsu! Dengan
bekerdja-sama Sin Khong Toodjin jang merentjanakan pedang-iblis
hingga mengurbankan djiwa gadis2 tak berdosa seperti terdjadi di
Thian-tay, kau mentjulik pemuda2 tjantik untuk maksud kedjimu,
untuk melampiaskan nafsu2 binatangmu! Kedjahatan2 jang sedemikian
tak dapat dibiarkan meradjalela, oleh karena itulah mendjadi tugasku
untuk memusnahkannja. Tetapi kau tahu, Sin Khong Toodjin adalah
Tong Hong Hweeshio jang di Thian-tay diubrak-abrik oleh Too-pekkoay-hiap dan semalam telah aku bunuhnja! Sekarang giliranmu!"
Goat Im Niekoh tak berdaja. Ia tak tahu harus berbuat bagaimana,
tjekikan Tjio Han Hiong terlalu keras dan ia merasakan, betapa kuat
tangan pemuda itu. Ia tak mengira pemuda jang menjerupai satu Siutjay sebenarnja seorang ahli silat.
Tjio Han Hiong mengerti, bukan satu tindakan berharga seorang Kangouw membunuh musuh setjara begitu sadja, lebih2 musuh wanita. Ia
harus bertindak setjara djantan dan bidjaksana. Demikianlah ia
memberi kesempatan untuk Goat Im Niekoh melawan, maka
dilepaskan tjekikannja. "Seorang Kang-ouw malu berbuat pengetjut, oleh karena itu sekarang
kau mendapat kesempatan untuk mempertundjukkan kemampuanmu!"
ia berkata, sedikitpun tak gentar. "Tetapi menurut aku, sebaiknja kau
mengakui kesalahan dan dosa2mu, untuk kembali kedjalan jang benar.
Mungkin aku dapat mengampuni djiwa-mu!"
Goat Im me raba2 lehernja jang bekas ditjekik, sakitnja bukan
148 kepalang. Tetapi sekarang ia dapat bernapa2 lebih lega. Ia insjaf telah
berlaku bodoh masuk dalam paras tjakap dan menarik. Mendengar disebut2nja nama Tong Hong Hweeshio dan peristiwa di Thian-tay, maka
mengertilah ia, bahwa pemuda itu djadinja Too-pek-koay-hiap jang
terkenal itu. Dan sekarang ia tahu, Pek Han Hiong seorang djantan asli,
seorang Kang-ouw jang berdjiwa tinggi. Ia merasa sangat malu dan
ketjewa, karena dipermainkan orang setjara mentah2.
Lantas timbul kegusarannja. Penghinaan itu tak dapat ditelan begitu
sadja, biarpun ia seharusnja berterima kasih karena kebidjaksanaan
orang. Sebagai seorang jang merasa dirinja sudah memiliki kedudukan
baik dalam kalangan Kang-ouw, dan ilmu kepandaiannja pun tidak
rendah, ia harus mempertahankan harga-dirinja dan membalas nistaan
orang. "Itu satu dosa besar bukankah?" ia bertanja, lagaknja sombong. "Akan
tetapi itu adalah urusanku sendiri. Aku tak ingin dan tak suka orang
tjampur-tangan biarpun atas nama keadilan dan kemanusiaan dalam
kalangan Kang-ouw. Dan aku sebagai seorang wanita bukan lemah, tak
dapat menelan begitu sadja penghinaan-mu! "
"Aku menghargai keberanianmu, Poo Tju!" mendjawab Tjio Han
Hiong. "Tetapi apakah benar2 kau tak dapat dikembalikan pada
duniamu jang semula, dunia jang bersih?"
"Aku tak butuh nasihatmu!" bentak Kie Poo Tju. "Aku sudah tjukup
dewasa!" Dengan kata2 itu Goat Im tiba2 mengirim satu pukulan kemuka Tjio
Han Hiong. Serangan itu tak di-duga2, dan gerakannja terlalu tjepat. Tetapi Toopek-koay-hiap bukan seorang jang mudah dapat dirubuhkan. Sama
tjepatnja ia mengetahui pukulan sebelum digerakkan, maka dengan
tenang ia menjambut dengan kedua djari tangan menolak tangan haluskeras dari si Niekoh jang mendatang, tepat pada nadinja, hingga
seketika djuga Kie Poo Tju mendjerit kesakitan, dan tangannja segera
mendjadi lumpuh. Pukulan itu tak terlalu keras, namun beratnja sangat
terasa, membikin Goat Im jakin, musuh muda itu sudah digembleng
sempurna. Namun demikian ia tak mengakui kelemahannja, ia harus
149 menuntut balas. "Tunggulah sebentar!" ia berkata, lalu lari kedalam dan menjambar
sebuah pedang. Dengan sendjata itu ia menjerang tanpa kata2 lagi. Pedang menudju
keulu-hati. Akan tetapi Tjio Han Hiong sudah ber-siap2, maka begitu
lekas udjung sendjata sampai, ia memiringkan sedikit badannja, hingga
serangan itu lewat ketempat kosong.
Kini Tjio Han Hiong tahu, pendjahat-wanita gundul ini tak seberapa
kemampuannja, djadi ia tak perlu berlaku keras. Tatkala serangan Goat
Im disusulkan pula dengan lebih sengit, Tjio Han Hiong sekali lagi
mengelak, dan pedang itu membatjok kursi. Djusteru dengan tjepat
kursi itu ditendang Tjio Han Hiong, maka Goat Im tak kuasa menahan
badannja jang terus menudju kemuka, hingga kesempatan itu
dipergunakan Loo Too-pek menangkap pinggangnja jang tjeking lalu
dikempitnja. Sang Niekoh tjoba meronta tanpa hasil, malah kempitan
makin keras hingga terasa benar sakit di pinggangnja, membikin ia
sekarang men-djerit2. Tjio Han Hiong telah berniat memberi ampun pada Paderi-tjabul jang
terkutuk itu, maka dilepaskannja udjung angkin Goat Im untuk
mengikat kedua tangannja, hingga tak berdaja.
Dengan air mata bertjutjuran Kie Poo Tju berkata:
"Ampuni aku, Hohan, aku menjesal dan bertobat!"
"Sudah terlambat!" djawab Tjio Han Hiong. "Pengadilan negerilah jang
akan mengadili kedosaanmu nanti! Sekarang dimana tiga pemuda jang
kau tjulik itu dan kurban2 Tong Hong Hweeshio!"
"Tiga pemuda itu aku taruh dikamar samping kanan geredja," sahut
Goat Im. "Dua pemuda jang pertama dikamar sebelah Barat, jang
seorang disebelah Timur. Sementara dua gadis kurban Tong Hong
Hweeshio sudah meninggal, majatnja dikamar paling Barat Goat-imam! "
Dengan tidak kuatir Niekoh itu akan dapat merat, Tjio Han Hiong
mendatangi kamar2 jang diundjuk. Ia menemukan dua pemuda jang
hilang pada malam pertama, keadaannja lebih pajah dari pada jang
hilang semalam, namun kedua-duanja, sebagai kurban nafsu binatang
150 Goat Im, masih ada harapan ditolong. Sementara dua gadis kurban
kebuasan Tong Hong Hweeshio, seperti halnja kurban2 di Thian-tay,
ke-dua2nja sudah mendjadi majat ,
Tjio Han Hiong mengerti, Goat Im tidak melakukan pentjulikan anak2
muda untuk rentjana pembuatan sendjata-maut apapun sebagai
dilakukan Tong Hong Hweeshio, tetapi melulu untuk memuaskan
nafsu2 binatangnja sebagai wanita-tjabul.
Dalam penjelidikaunja, Too-pek-koay-hiap berhasil mendapatkan
tempat pekerdjaan buas sikepala-gundul, jaitu sebuah ruangan agak
besar dibelakang geredja, lengkap dengan alat2 seperti didjumpai digua
Goe-thauw-nia dahulu. Maka alat2 itu dihantjurkan seluruhnja.
"Hm, dengan kedok sutjinja Pendeta2-palsu laki2 dan perempuan itu
sengadja membangun geredja dikaki bukit hanja untuk maksud2
terkutuknja!" dampratnja dengan hati sangat mendongkol. "Penduduk
ditipu dan diperas uangnja untuk pembangunan rumah-sutji, jang
sebenarnja untuk maksud2 djahat. Dahulupun aku mendapat kesan
tentu ada apa2 jang kurang beres dibalik djubah Goat Im, kenjataannja
benar, dia bukan Niekoh sungguh2, tetapi Pendeta-wanita jang sangat
berbahaja. Sedangkan Tong Hong dengan memakai nama lain
menghilang pada saat peresmian geredja-perempuan, padahal ia
bersembunji di Goat-im-am, dan memperalat Kie Poo Tju untuk
menjiarkan berita, bahwa dia telah berlalu kedaerah lain urtuk
memperkembangkan agamanja. Untunglah hari itu dia tidak melihat
aku, hingga dia tak menduga ada maut mengintainja!"
Sekarang Tjio Han Hiong menemui Kie Poo Tju jang masih terikat,
jang masih menangis minta diampuni djiwanja. Tetapi pemuda jang
keras hati itu tak menghiraukan, lalu dengan begitu sadja badan


Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Niekoh-palsu itu dikempit dan dibawa lari bagaikan terbang kekantor
Tihu. Waktu itu sudah djauh malam. Kantor pembesar-daerah sudah ditutup,
tetapi sedjumlah pengawal-bersendjata tampak dalam tugasnja. Mereka
mendjadi sangat kaget melihat kedatangan seorang pemuda tak dikenal
sambil mengempit seeorang wanita berdjubah dan terikat kedua
tangannja, jang mereka kemudian kenali adalah Goat Im Niekoh.
151 "Aku mau mendjumpai Tihu!" berkata Tjio Han Hiong.
"Tak peduli, aku harus mendjumpainja malam ini djuga!" berSeorang pengawal mengatakan, Tihu masih tidur, kata pula pemuda
kita, "ada urusan sangat penting. Kau tidak lihatkah aku membawa
Paderi-wanita dari Goat-im-am ini" Tolong beritahukan padanja!"
"Tetapi mengapakah Goat Im Suthay itu?"
"Djangan tanja, hajo lekas panggil madjikanmu!"
Pengawal tak berani ajal2an lagi melihat kemarahan orang. Segera
dibanguninja Tihu, jang lantas keluar mendapatkan Tjio Han Hiong.
Sudah tentu iapun mendjadi terkedjut melihat Goat Im Niekoh
diringkus oleh seorang pemuda tak dikenal. Dengan tak menunggu
pertanjaan Tjio Han Hiong mentjeritakan sebab2nja Goat Im dibekuk.
Ia mengatakan, Goat Im adalah seorang Paderi-perempuan palsu, atau
lebih betul pendjahat-wanita jang sangat berbahaja bagi keselamatan
anak2 muda tjakap-lemah. Djuga dituturkan adanja pemuda2 kurbannja
jang sekarang ada di Goat-im-am, sedang 2 gadis kurban Tong Hong
Hweeshio sudah meninggal.
"Aku harap segera dititahkan beberapa orang untuk mendjemput
kurban2 pemuda jang keadaannja sangat mengchawatirkan untuk
segera diberikan pertolongan", berkata Tjio Han Hiong lebih djauh.
"Majat kedua gadis supaja diserahkan pada keluarganja, sedang soal2
lain mendjadi tugas negara untuk mengurusnja, terutama Niekoh tjabul
itu harus dihukum gantung!"
Tihu menjuruh orang memendjarakan Goat Im, dan ia berdjandji
hendak segera bertindak. Ia menjatakan keheranannja, bagaimana
seorang Paderi-wanita jang tampaknja demikian sutji hingga penduduk
sangat menaruh penghargaan, sebenarnja adalah seorang wanita
terkutuk. "Sedang peristiwa Sin Khong Toodjin sadja sudah sangat
menakdjubkan, tidaklah diduga2 dia sebenarnja Tong Hong Hweeshio
jang sangat menggemparkan itu. Sekarang ditambah muntjulnja Goat
Im Niekoh jang perbuatannja mesum ini!" berkata Tihu itu. "Untunglah
dalam tempo singkat ada orang2 gagah jang dapat menghabiskan djiwa
pendjahat-gundul itu dan membekuk hantu wanita penjebar malapetaka
152 ini. Dengan demikian penduduk Liok-an seumumnja berhutang budi
sangat besar pada Too-pek koay-hiap dan Siao Hohan! Oh ja, sedjak
pagi tadi si Bungkuk tak tampak lagi mata-hidungnja, entah kemana.
Dia rupanja tidak mau menondjol2-kan djasanja, tidak mau orang
menghargai perbuatannja. Benar2 djarang ditemui seorang seaneh dia!"
Tjio Han Hiong tersenjum. Kini ia merasa tak punja persoalan lagi, dan
segera pikirannja membajang wadjah Pek Giok Im jang telah
ditinggalkan hampir satu tahun dan sedang mengandung. Ia sudah amat
rindu, maka serentak djuga ia minta diri. Kepala daerah itu menahan
untuk sementara waktu, untuk diperkenalkan pada rakjat sebagai
seorang budiman penghindar malapetaka hingga kebahagiaan
masjarakat dapat dipulihkan. Akan tetapi Tjio Han Hiong hanja
mengutjap terima kasih, sambil berkata, tiada perlunja orang mendewa2kan padanja.
Tihu bertanja gugup: "Djika demikian, tiada djeleknja Siao Enghiong memperkenalkan nama
padaku, untuk sekedar ditjatat didalam hati !"
"Tjatatlah namaku dengan empat huruf: Too pek-koay-hiap! djawab
Tjio Han Hiong jang didalam kabut-pagi segera melenjapkan diri.
Maka makin heranlah Tihu dan orang2 jang ada disitu, karena tak disangka2, pemuda-gagah itu adalah djuga si Bungkuk jang termashur.
Dengan demikian mereka pun mengetahui dan mendjadi terang siapa
Too-pek-koay-hiap jang sebenarnja, jalah seorang ahli silat muda jang
gemar menjamar mendjadi Loo Too-pek, dan namanja jang benar
adalah Tjio Han Hiong. Dengan demikian maka di Liok-an timbul rupa2 kegemparan dalam
tempo singkat sekali, ialah peristiwa Sin Khong Toodjin dengan
rentjana pembuatan pedang-hantunja, Goat Im Niekoh dengan nafsu
asmaranja, dan pemuntjulan Tjio Han Hiong sebagai pahlawan
Bungkuk Too-pek koay hiap!
Sementara itu Tjio Han Hiong telah tiba di Thian-tay dengan sangat
tjepat. Kegembiraan jang dibajangkan ternjata mendjadi 2 matjam
kebahagiaan, ialah selain isteri dan keluarga dalam selamat, pun djuga
sekarang sudah punja Bungkuk-ketjil, seorang anak laki2 berbadan
153 sehat, manis, tetapi kuat tangisnja. Bukan kepalang bangganja Tjio Han
Hiong. Setelah mentjeritakan kesan merantaunja selama hampir setahun itu,
kemudian bertanjalah ia pada isterinja:
"Bagaimana pada saat2 kau hendak melahirkan, Moay-moay?"
"Takut..........takut melulu aku merasakan, Koko!" sahut Pek Giok Im
"Mengapa takut" Bukankah ibu selalu mendampingimu?"
"Ja, ada ibu selalu memang, tetapi tanpa Koko, terasa benar
perbedaannja! Aku tak lebih tabah dengan hanja ditemani ibu!"
Tjio Han Hiong tersenjum. Ia merasa gembira akan pernjataan isterinja,
jang menundjukkan besarnja tjintanja pada suami, karena seorang ibu
tak lebih besar memberikan ketabahan pada saat2 mendjelang kelahiran
seorang anak baji. "Dan nama apakah sudah diberikan pada anak kita, Moay-moay?"
bertanja pula Loo Too-pek.
"Belum" djawab isterinja
"Mengapa belum" Bukankah Gak-hu pantas memberikan nama untuk
tjutjunja?" "Ajah tidak berani! Ajah tidak berhak!"
"Kalau begitu, baiklah aku beri nama Liok Tju!"
"Apa maksud maknanja?"
"Artinja Liok ialah kota Liok-an, dan Tju anak. Aku maksudkan, anak
kita dilahirkan selagi aku berdjuang dikota itu, djadi aku maksudkan
satu kenangan semasa aku tengah membasmi Hweeshio-hantu dan
Niekoh-iblis!" Pek Giok Im setudju. Selandjutnja mereka lewatkan hari2 dengan bahagia sehingga anaknja
mendjadi besar dan diadjarkan ilmu silat untuk kelak melakukan
perbuatan2 sebagai pendekar budiman, menjambung tjita2 ajahnja.
TAMAT 154 Cheng Hoa Kiam 7 Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong Petualang Malam 3

Cari Blog Ini