Ceritasilat Novel Online

Mustika Gaib 1

Mustika Gaib Karya Buyung Hok Bagian 1


Mustika Gaib Saduran : Buyung Hok Sumber DJVU : Dewi KZ & Aditya (Buku Sumbangan anelinda-store.com , trims yee) Editor Text : Lynx & Mukhdan Final Editor & Ebook oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website JILID 1 Bab 1 GERIMIS SALJU LAKSANA benang-benang sutera melayang turun ke bumi.
Daun-daun pohon memutih tak bergoyang bagaikan kembang-kembang kapas menghiasi lereng gunung.
Angin tiada berhembus, dunia laksana hampa tiada isi.
Hawa udara dingin beku. Sejauh mata memandang, di sana-sini salju belaka, putih bertebaran dimuka bumi.
Tiada perduli daun atau ranting dan batang-batang pohon, tiada perduli jalan liku pegunungan di lamping-lamping gunung, semua memutih ditebali timbunan salju yang terus turun tiada hentinya.
Diantara kehampaan angin lereng gunung dalam gerimis salju itu tampak berlari mendaki lima orang berseragam hitam.
Gerakan mereka sangat gesit, bagai bayang-bayang setan gentayangan di atas salju.
Jenis lima bayangan tadi, sulit diketahui laki-laki atau perempuan, wajah mereka ditu?tupi selubung hitam, hampir menutupi seluruh mukanya, hanya bagian mata mereka tak tertutup selubung, sinar-sinar mata mereka memancarkan cahaya dingin menembusi gerimis salju di lereng gunung Pada dada kiri setiap seragam yang dikenakan lima orang itu tampak terlukis sebuah gambar.
Itulah lukisan Kalong putih mementangkan kedua sayap.
Mereka meluncur mendaki berliku di atas jalan bersalju berseliweran melewati batang-batang pohon di lereng itu, pandangan mata mereka dingin penuh kemisteriusan di bawah gerimis salju.
Jauh di sana di atas puncak gunung hanya salju memutih bagaikan kapas.
Selagi lima orang seragam hitam berselu?bung muka itu meluncur di atas salju, sayup-sayup terdengar suara bunyi kentrongan.
Suara kentrongan itu sayup berirama panjang pendek, kemudian tak lama lenyap tiada terdengar lagi, ditelan kehampaan gerimis salju.
Haripun merayap gelap men?jelang malam.
Berbarengan dengan sirapnya suara ken?trongan berirama tadi, mulai terdengar suara teriakan orang yang keluar dari atau lereng gunung.
Suara teriakan itu berirama membawakan lagu bersifat seakan memang?gil-manggil kalbu.
Mendengar suara aneh sayup-sayup itu, lima orang seragam hitam menghentikan gerakan?nya, dari balik-balik putihnya batang pohon mereka saling pandang satu sama lain.
Mereka tidak mengerti apa maksud irama teriakan suara itu, tapi mereka tahu, itulah serangkaian kata bernada gelombang tinggi, rendah, panjang dan pendek, meskipun mereka tak mengerti apa arti dari suara itu.
Lima orang itu berdiri seperti patung, tubuh-tubuh mereka disirami gerimis salju, kepala mereka menengadah ke atas memandang jauh dimana suara sayup-sayup tadi berkumandang datang.
Kalau tadi, lima orang itu bisa berjalan di atas salju dengan ringannya kini mereka berdiri tegak.
kaki- kaki mereka yang mengena?kan sepatu khusus jalan di salju itu mulai terbenam, perlahan-lahan amblas ditelan timbun an salju seakan suara sayup-sayup itu mengan?dung kekuatan magnit menekan diri mereka ambles ke dalam bumi.
Suara irama teriakan sayup-sayup itu masih berkumandang terus menerobos rintikan gerimis salju, bertebaran keempat penjuru dunia dan lima orang seragam dan selubung hitam masih berdiri memaku mendengarkan suara teriakan irama lagu itu, yang mereka tidak mengerti apa maksudnya, mereka seperti ingin mengartikan apa maksud dari irama teriakan lagu terdengar sayup-itu yang masih memasuki telinga mereka, jelas bagaimana suara nada irama itu memasuki pendengaran mereka, dari mulai bergemanya......
"Allahu akbar Allahu akbar, Allahu akbar, Asyhadu alla ilaha illallah............." Ayat demi ayat suara tadi sayup-sayup meng?gema mengumandang ke setiap pelosok per?mukaan bumi, hingga ayat terakhir.
Tiada lama kemudian, suara itu lenyap tak terdengar lagi, haripun bertambah gelap.
Lima orang tadi yang sejak mulai mende?ngar suara itu, berdiri mematung, kaki-kaki mereka sedikit demi sedikit terbenam ke dalam salju, dan begitu suara tadi sirap ditelan kegelapan gerimis salju itu mereka terjengkit kaget, mereka sadar kalau sudah dibuat bingung dengan bunyi suara tadi.
Dengan serentak mereka lompat ke atas mengangkat kaki-kaki mereka yang terbenam di salju kemudian melanjutkan perjalanannya meluncur ke arah suara sayup-sayup tadi.
Suara asing apakah itu sebenarnya" Itu adalah suara adzan magrib dari balik-balik rimba di atas pegunungan.
Meluapnya semangat Islam menerobos dari barat memasuki perbatasan Tiongkok gelombang serangan semangat Islam itu, tak dapat dibendung oleh kerajaan Byzantium dan kerajaan Iran.
Untuk menghadapi arus meluapnya semangat gelombang Islam itu pada tahun 640, kerajaan Iran meminta bantuan pada Kaisar Tang Tai Tsung dari Tiongkok, tapi kaisar Tang Tai Tsung tidak memberikan bantuan itu, hingga akhirnya kerajaan Iran tak berhasil membendung masuknya gelombang semangat Islam yang menyerang negerinya.
Maka kerajaan itu jatuh dibawah pemerintah orang-orang Islam.
Kerajaan Islam yang timbul pada tahun itu berbatasan dengan daerah kekuasaan Tiongkok, dan perlahan demi perlahan pengaruh Islam mulai merembes masuk ke dataran Tiongkok.
Di bawah rintiknya gerimis salju, lima orang berselubung dan berseragam hitam itu, meluncur terus ke arah datangnya suara adzan magrib tadi.
Gerakan mereka terlalu cepat, sebentar saja mereka telah lenyap di balik bukit ber?salju.
Di bawah bukit itu tampak satu per?kampungan terdiri dari enam buah wuwungan rumah.
Dan di utara perkampungan ter?dapat sebuah bangunan yang lebih besar dan memiliki sebuah menara.
Lima orang jubah hitam tadi memperhati?kan perkampungan itu dari atas bukit, tampak atap- atap rumah tadi memutih dipenuhi salju.
Kemudian salah seorang menunjuk ke arah bangunan yang bermenara, katanya dingin, "Aku masuk kesana, kalian yang bunuh manusia- manusia penghuni perkampungan ini.
Ingat jangan seorangpun dikasi hidup!" Setelah memberi perintah tadi, dua orang seragam hitam meluncur turun menuju ke arah bangunan bermenara, dan tiga lainnya berpencaran ke pelosok perkampungan.
Begitu dua orang seragam hitam tadi memasuki pintu rumah bermenara berlantai papan mereka menampak di dalam ruangan besar itu, belasan orang duduk berjejer menghadap ke barat, kepala-kepala mereka memakai pici.
Di depan deretan jejeran orang-orang itu, tepat di tengah tampak duduk seseorang me?ngenakan pakaian putih, kepalanya memakai sebuah pici putih.
Menyaksikan pemandangan itu, dua orang seragam hitam menghentikan langkah mereka di depan pintu, mereka saling pandang, lalu masing- masing mengeluarkan pedang, dan terdengar suara sreett......dari pedang yang dicabut dari serangkanya.
Sementara itu, orang-yang duduk berderet di dalam ruangan itu terdengar suara, "Assalam mualaikum......" Berbarengan mana kepala mereka menoleh ke kanan, dan ujung jari mereka yang terletak ditekukkan lutut itu menunjuk ke muka.
Dua orang berjubah hitam di belakang mereka dengan pedang terhunus mendengar suara ucapan itu, mereka tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kalimat tadi, dengan serentak mereka sudah maju, mengayun pedang mengarah pada batang leher orang-orang yang sedang duduk menghadap barat, yang belum lagi menyelesaikan ucapan kalimatnya.
Berbarengan dengan kelebatan sinar pedang, di dalam ruangan tadi terdengar suara keka?getan dari orang-orang yang masih duduk berjejer, tapi mereka tak sempat melihat apa yang terjadi karena secepat itu kepala mereka telah pada menggelinding jatuh di atas lantai papan.
Darah mengambang di sana, lantai papan itupun jadi merah.
Orang berbaju dan berpici putih yang duduk sendiri di paling depan ini, begitu mendengar suara keributan di belakangnya, ia menggosok wajahnya dengan dua tapak tangannya kemudian menoleh ke belakang, tapi begitu cepat sebuah pedang dari salah seorang seragam hitam itu telah menembusi dadanya, darah bermuncratan membasahi baju putihnya.
Maka tak ampun lagi tubuh orang itupun terguling rebah di atas lantai papan tadi.
Dari mulut orang itu terdengar sesuatu ucapan lemah, "Asyhadualla illaha illallah, Wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah .
. . ." Setelah mengakhiri kalimatnya orang itu?pun menghembuskan napasnya yang ter?akhir.
Ucapan itu juga tidak dimengerti oleh kedua orang jubah hitam tadi.
Setelah mereka membereskan orang-orang itu, mereka berjalan keluar, di depan pintu mereka berdiri memandang kearah rumah-rumah dalam perkampungan.
Dari pintu-pintu rumah perkampungan tadi terdengar beberapa kali suara jeritan kematian disusul dengan suara menyebutkan kalimat seperti diucapkan oleh orang jubah putih berpici putih.
Mendengar suara itu, kedua orang jubah hitam tadi yang baru saja membunuh belasan orang di dalam ruang bangunan bermenara pada menoleh ke belakang, memperhatikan mayat laki-laki berjubah putih berpici putih.
Dari gerak-gerak mimik muka dua orang sera?gam hitam itu yang tertutup oleh selubung hitamnya, tampak rasa ketakutan yang mencekam bathin mereka mendengar suara ucapan kalimat tadi.
Setelah memandang mayat-mayat tadi sesaat mereka memasukkan pedang ke dalam serangka, dua orang itu lari keluar.
Menyusul mana tiga orang lainnya, mereka berkumpul kembali berdiri saling pandang di tengah perkampungan.
"Sudah kalian bunuh semua?" tanya si jubah hitam.
Yang menjadi pimpinan dengan suara tergetar.
Tiga orang jubah hitam tadi mengangguk kepala.
Kemudian mereka meluncur mening?galkan perkampungan tadi.
Malam pun tambah kelam, gerimis salju masih turun terus, seakan tetesan-tetesan air mata malaikat turun ke bumi, menyaksikan kematian umat-umat Tuhan yang taat padaNya.
Dunia berputar terus hari berganti, musim berganti musim, meninggalkan tahun-tahun yang lewat.
Bab 2 "HAI-YAAAAA............!!!" Berbarengan dengan suara teriakan dari dalam gerombolan pohon di bawah kaki bukit melesat sesosok bayangan putih melambung berputaran di tengah udara.
Baru saja bayangan putih tadi melambung ke udara dibarengi dengan suara teriakannya, dari dalam gerombolan pohon kembali melesat ke udara sesosok bayangan kurus mengeluarkan suara desingan bagai suara tawon, mengejar sosok tubuh putih yang melambung indah di atas.
Sejenak terjadi gerak-gerak serangan beberapa jurus di tengah udara, kaki dan tangan bayangan putih yang melambung lebih dulu itu menyambut datangnya bayangan kurus men?desing.
Suara desingan itu keluar dari tangan kanan bayangan kurus tadi yang berputar laksana kitiran.
Kesiuran angin yang ditim?bulkan dari gerak tempur beberapa jurus itu, membuat daun-daun gerombolan pohon di bawah mereka bergoyang- goyang.
Setelah terjadi benturan jurus-jurus yang keluar dari masing-masing kepandaian mereka, kedua bayangan itu mengeluarkan suara keluhan, keduanya berpentalan mundur dan jatuh kembali di antara gerombolan pohon.
Di bawah naungan lebatnya daun-daun pohon bayangan putih yang melambung lebih dulu ke udara tadi sudah berdiri dengan gagahnya ternyata ia adalah seorang pemuda, wajahnya bundar, sepasang matanya jeli keningnya lebar, bertubuh kekar.
Tampak beberapa tetes keringat menetes di keningnya, melelehan di atas wajah tampannya.
Napas pemuda itu agak tersengal- sengal, ia berdiri dengan sikap siap tempur menerima serangan dari lawan kurus yang juga sedang berdiri di depannya di bawah naungan ranting pohon.
Bayangan kurus itu adalah seorang tua berumur limapuluh tahunan, wajah kurusnya keriput, dari sinar matanya dapat diketahui bahwa ia memiliki ilmu silat, dan dari wajahnya bisa dipastikan bahwa ia bukan semba?rang orang.
Karena wajah itu mencerminkan kecerdikan dan kepandaiannya dalam ilmu Bun (surat) maupun ilmu Bu (silat) Di tangan kanan orang tua kurus itu men?cekal sebatang tongkat bambu beruas tujuh, tongkat bambu tadi diputarnya perlahan di depan dirinya.
Angin yang keluar dari kesiuran putaran bambu itu, mengeluarkan suara desingan bagaikan suara tawon, membuat semak-semak di sekitarnya bergoyang.
Orang tua kurus itu terdengar menggereng diantara suara desingan putaran bambunya, kemudian kaki kanannya maju kemuka di?susul dengan gerakan kaki kiri mengikuti gerak kaki kanannya, mendekati pemuda baju putih yang siap menerima serangan.
Diantara kesiurannya angin, terdengar kibaran baju putihnya si pemuda.
Kedua kaki pemuda itu memasang kuda-kuda kuat seakan tiang batu menjulang di permukaan bumi, kedua tangan pemuda tadi berkembang lurus sejajar dengan bahunya.
Itulah gerak jurus Garuda mementangkan sayap.
Melihat sikap jurus pemuda itu seakan ia menyerahkan badannya dihajar oleh orang tua bertongkat bambu, karena tangan yang terentang itu bagaimana bisa dengan cepat melindungi dadanya bila ia mendapat se?rangan maut.
Pemuda tadi begitu melihat orang tua kurus sudah merangsak maju sambil memu?tarkan tongkat bambunya.
Ia juga sudah turut maju, kedua kakinya digeser ke depan sedang kedua tangannya masih tetap ter?pentang lebat.
Saat itu mendadak saja berbarengan dengan suara desingan tongkat bambu yang diputar di tangan.
Si orang tua berteriak keras menyerbu si pemuda.
"Huaaaaaeeeeeeeeeetttt............" Mendengar lawan sudah menyerang sambil mengeluarkan suara teriakannya, pemuda baju putih tidak mau kalah gertak, ia ber?teriak keras maju ke depan.
Sambil mengeluarkan suara teriakannya.
"Haaaaaaahhhhhhh............." Berbarengan dengan terdengarnya suara teriakan- teriakan tadi, serangan bambu tujuh ruas yang berputar mendesing itu, sudah mem?bentur tubuh si pemuda.
Pemuda baju putih tidak kalah ampuh gerakannya, begitu kitiran bambu itu da?tang membentur dirinya, kedua tangannya yang dipentang itu, berputar seperti me?ngikuti gerak arah putaran bambu tujuh ruas di tangan laki-laki tua itu.
Berbarengan dengan gerak putaran tangannya, mengikuti arah kitiran bambu, tubuh pemuda itupun turut berputar, kedua kakinya naik ke atas, dan kepalanya jumpalit miring ke samping.
Pemuda itu melakukan dua kali gerak putaran tubuh demikian rupa, ternyata gerakan aneh itu berhasil mengelakkan da?tangnya serangan kitiran (putaran) bambu tujuh ruas yang mendesing.
Orang tua berbambu tujuh ruas, terus merangsak maju, agaknya ia tak menduga kalau lawan muda itu dapat mengelakkan serangan kitiran bambu tujuh ruasnya.
Ketika pemuda itu berhasil berputar diri mengelak ke samping, tubuh orang tua ber?bambu tujuh ruas itu, sempoyongan ke depan.
Kehilangan sasarannya. Sedang pe?muda tadi telah berdiri lagi dengan gagahnya.
Kesiuran angin dingin, membuat tubuh pemuda yang sudah basah dengan keringat itu menjadi sedikit sejuk.
Ia menyusut te?tesan keringat di keningnya, napasnya ter?sengal.
Kakinya kembali membuat posisi kuda-kuda.
Orang tua berbambu tujuh ruas menjadi kaget, mengetahui lawan telah berhasil mengelakkan serangannya, cepat ia membalik badan, putaran bambu tujuh ruasnya berhenti, bambu itu disilang di depan dada sepasang matanya menatap tajam mata pemuda di depannya.
"Anak tolol. Ayo kau serang! Seranglah sepuas hatimu.
Jangan main petak seperti itu.
Keluarkan jurus-jurus pukulan ilmu silat?mu.
Kalau tidak . . . huuuh ... . jangan sesalkan aku terlalu kejam, bambu tujuh ruas ini akan segera memecahkan batok kepalanya." Berbarengan dengan akhir ucapannya, benar saja orang tua berbambu tujuh ruas itu sudah mengayun tongkat bambu me?ngemplang ke atas batok kepala si pemuda.
Gerak serangan tadi sangat luar biasa cepatnya, angin yang keluar dari pukulan bambu tujuh ruas itu mendesing menggencet atas kepala si pemuda.
Pemuda tadi kaget, ia tidak menyangka kalau datangnya serangan begitu cepat dari yang sudah- sudah, dan berbarengan dengan suara desingan menyambar batok kepalanya, badan pemuda itu miring ke kiri mengelakkan datangnya sambaran rambu tujuh ruas, sedang tangan kanannya cepat bergerak menyambar pergelangan tangan kanan lawan yang mencekal senjata aneh itu berbarengan mana, kaki kanan pemuda tadi digeser maju menyilang membentur betis lawan dari belakang, disusul dengan gerakkan badan pemuda tadi yang menjatuhkan diri di atas semak belukar.
Orang tua berbambu tujuh ruas, menda?pat balasan serangan demikian ia jadi ka?get, karena kalau saja benturan tangan kanan si pemuda berhasil membentur pergelangan tangannya yang memegang bambu yang sedang melayang mengemplang batok kepala anak muda itu berhasil mengenai sasaran, maka senjata andalannya yang merupakan senjata istimewa itu akan segera terpental ke udara.
Karena kegetnya orang tua tadi menarik serangan bambunya, guna mengelakkan benturan tangan si pemuda yang mengarah pergelangan.
Karena gerakan tarikan tangan itu, mesti diikuti oleh gerak mundurnya kaki kanan maka kaki orang tua itu juga bergerak mundur.
Tapi saat itu, kaki kanan si pemuda telah bergeser menyilang menghajar betss kaki si orang tua.
Oang tua itu lagi-lagi kaget, ia sadar, kalau gerak jurus yang digunakan si pemuda adalah gerak jurus menggunting, tapi kesadarannya terlambat, karena kedua kaki pemuda itu telah berhasil membentur dan melipat kaki orang tua tadi meskipun serangan pada pergelangan tangannya berhasil dielakkan.
Dan berbarengan dengan mana tubuh orang tua berbambu tujuh ruas itu doyong ke depan.
Pemuda baju putih jadi girang yang se?rangannya berhasil merobohkan lawan.
Tapi rasa girang itu sebentar saja, karena lawan yang baru berhasil digunting kakinya dan seperti mau ambruk ke depan, mendadak saja, entah bagaimana, berhasil meloloskan sepasang kakinya dari jepitan guntingan kaki pemuda itu.
Ternyata orang tus itu memang bukan sembarang lawan, tadi ketika ia menarik kemplangannya, kesalahan menarik mundur kaki kanannya hingga kaki itu berhasil digunting oleh jurus ilmu silat lawan.
Maka cepat ia memperbaiki posisi dirinya, tubuhnya yang sudah doyong ke depan hampir roboh ambruk itu, sedikit diputar ke kiri, dan bambu tujuh ruas di tangan kanannya yang baru ditarik dari serangannya, ditotolkan di atas tanah, berbarengan mana, badan orangtua tadi melambung ke atas dengan kedua tangan menunjang ujung bambu tujuh ruas tadi.
Maka ia berhasil melepaskan serangan guntingan kaki si pemuda.
Begitu orang tua bersenjata bambu itu berhasil lolos dari serangan guntingan kaki tubuhnya kembali berdiri di atas tanah, ia tidak mau membuang kesempatan, selagi si pemuda masih rebah di tanah, bambu tujuh ruas tadi bergerak lagi menghajar kepala pemuda itu.
Pemuda itu kaget, dengan jurus "Ikan gabus meletik", badannya menggelepar kemu?dian lompat bangun mengelakkan serangan bambu tujuh ruas yang ganas mengeluarkan desingan.
Hingga senjata orangtua itu kembali mengenakan tempat kosong.
Kembali kedua lawan itu saling berpandangan, membuat posisi kuda-kuda siap menyerang atau menerima serangan.
Kesiuran angin dingin membuat suara berisik daun- daun pohon yang beradu bergesekan, satu sama lain.
Situasi tegang mencekam perasaan masing- masing.
Mata mereka saling bersinar menatap wajah lawan.
Diantara kesiuran angin dingin di kaki bukit yang membawakan lagu gesekan daun-daun pohon itu meniup-niup kedua sosok tubuh yang siap bertempur mendadak terdengar sayup suara orang berteriak-teriak, " .
. . Kang Hoo . . . Kang Hoo . . ." Suara teriakan itu terbawa angin, memasuki kedua lubang telinga dua lawan yang siap bertempur.
Tampak wajah kedua orang berubah kaget, berbareng mereka memandang ke arah suara teriakan-teriakan tadi.
Dan kuda-kuda si pemuda kian mengendur.
Begitu pula si orang tua berbambu mendengar suara teriakan itu, ia menyurutkan tangkah kuda- kudanya dan sambi! menghela napas lemah berkata, "Ayahmu! Kita hentikan latihan sampai di sini!" Pemuda tadi ternyata bernama Kang Hoo, begitu ia mendengar panggilan sang ayah segera juga berlari menghampiri.
Mereka menangguhkan latihan! Orang yang berteriak memanggil tadi adalah ayah si pemuda Kang Hoo, she Lie usia?nya telah mencapai lima enam puluh tahunan, dia adalah pensiunan pemerintah, dari daerah Tiong-ciu pernah memangku pang?kat Peng-pouw-sie-long.
Sedang ibu si pe?muda lama telah menutup mata.
Semenjak ayah Kang Hoo menjalani masa pensiunannya ia tinggal di Lam-touw, sengaja ia memilih tempat di bawah kaki pegunungan.
Guna melewati hari tuanya dengan tenang.
Kang Hoo adalah putra satu-satunya, untuk memberikan pelajaran surat, sang ayah telah memanggil seorang guru surat.
Angin yang bertiup dari atas gunung, menerpa wajah tua orang she Lie tadi, begitu ia melihat sang putra berlari dating dengan badan basah berkeringat, kening?nya mengkerut dan bertanya, "Kang Hoo, apa saja yang kau kerjakan di atas sana sejak tagi tadi.
Bagaimana pakaianmu bisa basah begitu rupa.
Apa kau telah melatih ilmu suratmu untuk mempersiapkan diri guna mengikuti ujian luar biasa di kota raja?" Mendapat pertanyaan sang ayah, Kang Hoo gelagapan, beruntung waktu itu si orangtua bersenjata tongkat bambu juga sudah tiba di depan orangtua she Lie tadi, tampak gerak gerik orangtua bertongkat bambu tujuh ruas itu sangat lemah.
Ia menalangi Kang Hoo menjawab pertanyaan sang ayah, "Tai-jin, ia baru saja hamba bawa berlari di atas bukit-bukit guna melemaskan ototnya yang selama ini duduk terus belajar surat agar kesehatannya bisa terjamin dalam perjalanan ke kota raja nanti." Orangtua she Lie tadi manggut-manggut, lalu katanya, "Hari sudah siang., sudah waktunya kalian pulang, untuk apa terus-terusan mesti berlari-lari." "Ayah .
. . pulanglah dulu," seru Kang Hoo "Kami segera menyusul " "Kalian guru dan murid memang sangat cocok!" kata si orangtua she Lie tadi sambil membalik badan meninggalkan mereka.
Setelah sang ayah berlalu Kang Hoo bertanya pada gurunya, "Kita berlatih lagi!" Orangtua bertongkat bambu tujuh ruas menggeleng kepala, katanya, "Cukup, ilmu silatmu sulah dapat diandalkan untuk menjaga diri dalam perjalanan.
Nah mari kita pulang." "Tunggu dulu." kata Kang Hoo "Aku ingin mempelajari jurus yang baru saja suhu perlihatkan!" "Jurus apa?" tanya sang suhu.
"Tali ketika suhu melejit membebaskan diri dari jurus menggunting itu," jawab Kang Hoo.
"Ouwvvw ....." seru si orang tua sambil manggut "Ayo hanya satu jurus itu saja setelah itu kau harus pulang." Setelah berkata begitu, orangtua bertongkat bambu tujuh ruas itu melejit ke kaki bukit yang terdapat gerombolan pohon.
Gerakannya diikuti oleh Kang Hoo.
******0dwkz0lynx0mukhdan0******** Sejak umur sembilan tahun, Kang Hoo mendapat didikan silat dari orang tua bertongkat bambu tujuh ruas.
Orangtua itu dikenal dengan nama Beng Cie sianseng, sebe?narnya ia mendapat tugas untuk mengajar ilmu surat pada Kang Hoo, tetapi secara diam-diam diluar sepengetahuan ayah anak itu, Beng Cie sianseng memberikan pelajaran ilmu silat.
Dasar otak Kang Hoo yang cerdas, ketika ia berusia 14 tahun, ia telah lulus dalam ujian mendapatkan gelar Siu-cai.
Kini usianya sudah enam belas tahun.
Dan kaisar telah mengeluarkan maklumat, mengadakan ujian luar biasa.
Ayah Kang Hoo sendiri tidak tahu kalau Beng Cie sianseng guru surat yang diberi tugas mengajarkan ilmu surat pada anaknya itu sejak beberapa tahun yang lalu, juga seorang berkepandaian silat.
Karena ia memang sengaja mencari guru surat untuk mendidik anaknya, bahkan ia pernah melarang Kang Hoo untuk mempelajari ilmu silat.
Yang katanya hanya mendatangkan mara bahaya bagi dirinya.
Tapi dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi, Beng Cie sianseng, telah mendidik Kang Hoo di samping ilmu surat juga ilmu silat warisan leluhurnya.
Karena menurut pendapat sang guru ilmu itu juga berguna untuk bekal hidup guna menjaga diri dari ganggu?an orang jahat.
Hari itu bagaimana biasanya Kang Hoo bersama gurunya Beng Cie sianseng, mela?tih ilmu silat yang selama ini diturunkan oleh sang guru.
Karena mengingat Kang Hoo harus berangkat ke kota raja guna mengikuti ujian luar biasa itu, maka latihan silat tadi memakan waktu hampir setengah hari.
Ti?dak seperti hari biasa, mereka melatih satu atau dua jam.
Karena mereka kuatir diketahui oleh ayah Kang Hoo.
Latihan hari itu berlangsung sampai siang mereka belum juga pulang, maka sang ayah telah mencarinya.
Tapi Kang Hoo masih ingin mempelajari satu jurus ilmu silat yang ia belum latih, itulah jurus letikan untuk membuka kunci jurus guntingan kaki.
Setelah Kang Hoo, berhasil melatih jurus itu dengan baik.
Maka keduanyapun berjalan pulang.
Matahari sudah berada tepat di atas kepala mereka.
Begitu mereka masuki pintu pekarangan rumah, mereka jadi melengak kaget, memandang ke atas kusen pintu.
"Eh, siapa yang melukis gambar itu?" Tanya Kang Hoo sambil menunjuk ke atas kusen pintu.
Beng Cie sianseng juga menatap lukisan gambar di atas kusen pintu tadi.
Matanya tidak berkedip mengawasi lukisan itu.
"Kalong putih....." gumam Beng Cie sianseng, berubah wajah.
Kang Hoo menolehkan kepala meman?dang sang guru, tampak wajah guru itu begitu serius memandang gambar lukisan di atas kusen pintu iiu, ia tidak mengerti akan sikap gurunya yang mendadak beru?bah.
Terlihat jelas bagaimana kening sang suhu mengkerut seperti sedang berpikir keras.
"Itu memang lukisan kalong putih." kata Kang Hoo, "Memang aneh, mana ada kalong putih, siapa yang telah melukis gambar binatang itu." Kepala Beng Cie sianseng masih mendongak ke atas dengan kening berkerut, ia seakan mengingat-ingat lukisan gambar itu lam?bang dari golongan mana.
Ketika Kang Hoo mengajukan pertanyaan, mendadak saja, Beng Cie sianseng, berteriak, "Cepat ayahmu.....!" Kang Hoo masih belum mengerti dengan teriakan Beng Cie Sianseng tadi, tapi ia tidak sempat bertanya, karena badan sang guru sudah melejit masuk ke dalam peka?rangan lalu menerobos pintu depan, langsung menuju kamar.
Kang Hoo yang menyaksikan gerakan sang guru yang gesit luar biasa, ia juga sudah lompat melejit mengikuti di belakang gurunya memasuki kamar sang ayah.
Begitu mereka menerobos masuk, yang pertama kali tampak, di atas lantai berceceran darah.
Kang Hoo kaget, begitu ia menampak tubuh sang ayah rebah menggeletak di atas banjir darah tadi, ia menjerit keras, tapi sepasang kakinya tak dapat digerakkan ia berdiri mematung dengan tangan menutupi wajahnya, Kang Hoo terkesima memandang keadaan sang ayah yang menggeletak di atas banjir darah.
Beng Cie sianseng yang penuh pengalaman lebih tenang, orang tua kurus itu me?meriksa keadaan tubuh sang majikan.
Ternyata orang tua pensiunan itu telah tak bernyawa, darah masih menetes keluar dari lehernya yang terkoyak hampir putus itu.
"Sabetan pedang......." gumam Beng Cie sianseng.
Setelah bergumam begitu Beng Cie sianseng memandang Kang Hoo yang berdiri mematung terkesima.
Serunya, "Kang Hoo ....
Kang Hoo......!" Mendengar namanya disebut orang, Kang Hoo kaget, serunya setengah menjerit, "Ayah ....!! Ayah.....!!" berbarengan dengan seruan itu Kang Hoo lari menubruk tubuh sang ayah yang telah jadi mayat, ia memeluk erat mayat sang ayah, tapi tak terdengar suara tangisnya.
Mulut?nya mengucap beberapa kalimat, itulah sesuatu ayat pengantar kematian ayahnya.
Berbarengan dengan akhir ucapan kali?mat yang keluar dari mulut Kang Hoo, dari luar pintu pekarangan terdengar suara ringkik kuda.
Beng Cie sianseng kaget, ia segera lompat ke depan pintu untuk melihat siapa yang datang, tapi baru saja ia berada di ambang pintu mendadak berkelebat angin dingin menyambar tenggorokannya.
"Ngggg." dengus Beng Cie sianseng, mundur ke belakang satu tindak, tongkat bam?bu tujuh ruasnya menyambuti sambaran hawa dingin tadi, yang ternyata keluar dari sebilah pedang.
Mata pedang berbenturan dengan tong?kat bambu tujuh ruas.
Terdengar suara pletak. Kemudian Beng Cie sianseng mun?dur lagi selangkah.
Si penyerang bersenjata pedang berseragam dan berselubung muka hitam ia juga mundur keluar pintu, ia kaget.
Tidak menyangka kalau tongkat bambu itu dapat menahan sabetan pedangnya.
Sejenak diperhatikan mata pedangnya ternyata pedang itu tidak rusak.
Tapi ia masih heran suara apakah yang tadi membeletak.
Kalau suara itu keluar dari tongkat bambu yang patah, tentunya bambu di tangan lawan sudah putus dua potong, tapi jelas mata orang tadi melihat kalau tongkat bambu tujuh ruas itu masih utuh di genggaman tangan Beng Cie sianseng, Kang Hoo mendengar suara gebrakan pertempuran singkat tadi ia mengangkat kepalanya memandang ke ambang pintu, sepasang matanya telah digenangi air mata.
Tapi ia berusaha menahan perasaan sedihnya agar tidak mengeluarkan suara tangisan.
Beng Cie sianseng mencekal tongkat bambu tujuh ruas berdiri dengan angker, tapi musuh yang datang tidak kalah angkernya, pedangnya melintang di depan dada.
Tapi orang berjubah hitam berselubung muka itu belum bergerak, ia masih diherankan dengan kekuatannya tongkat bambu tujuh ruas di tangan Beng Cie sianseng yang tak putus terbabat pedang.
"Kang Hoo, kau larilah! Tinggalkan tempat ini sebelum terlambat!" seru Beng Cie sianseng.
Mendengar perintah suhunya, Kang Hoo bukan meninggalkan kamar itu lompat keluar jendela, malah ia berdiri di samping suhu?nya, katanya, "Kita hadapi mereka bersama, mereka ini adalah orang-orang yang telah membunuh ayah." Orang berjubah hitam di depan pintu melintangkan pedang di depan dadanya ia tertawa berkakakan.
Tampak selubung hitam yang menutupi wajahnya bergerak-gerak.
"Anak sial." kata orang seragam hitam berselubung muka.
"Kamilah yang membunuh ayahmu.
Kami datang empat orang, setelah membunuh ayahmu, kami mencari jejak kalian, karena kami harus membunuh seluruh isi rumah tangga ini.
Tapi .... kini kau sudah balik ke dalam kamar, Eeee ....
heeee . . . kau rupanya anak tidak setia.
Mengapa melihat kematian ayahmu kau masih bisa pentang bacot, tidak me?nangis gegerungan menyatakan kesedihan hatimu." "Setan keparat!" bentak Kang Hoo, sambil mengeringkan genangan air mata dengan ujung lengan baju.
"Kau tahu apa" Orang yang mati sudah ditakdirkan Tuhan ia pulang kepangkuanNya.
Setiap manusia harus mati, Tuhan menarik kembali nyawa?nya.
Dan apa yang dilakukan Tuhan se?muanya Adil, kemauan itu tidak perlu di?tangisi, menangisi yang mati berarti kita menentang kehendak Tuhan.
Manusia tak bisa menentang kehendakNya, aku tidak perlu menangisi mayat ayah, tapi jiwa dan bathinku, mendoa agar arwah ayah menda?pat tempat di sisi Tuhan....." "Huaaaahaaahaaaa .
.." si orang jubah hitam tertawa berkakakan.
"Kau juga rupa?nya telah mempelajari ajaran agama baru itu, huahaaaa ...
... nah sekarang kau bersiaplah, aku akan mewakili Tuhanmu membetot sebatang roh busukmu, kemu?dian aku akan mendoakan kau agar men?dapat tempat di sisi Tuhanmu .
. . ." Berbarengan dengan akhir ucapannya orang berjubah berselubung muka hitam itu sudah menggerakkan pedang menusuk ke arah dada Kang Hoo.
Mendapat serangan demikian, dengan tenangnya Kang Hoo mengulur tangan ke depan menyambar pergelangan orang yang memegang pedang, badannya miring ke kiri sepasang kakinya menyambar kaki lawan, sambil menjatuhkan badan di lantai ia melakukan serangan guntingan.
Maka dengan berbareng ia dapat menyerang dan mengelak sekaligus.
Orang jubah hitam tadi tidak menyangka sama sekali kalau Kang Hoo dapat mengelakkan serangan pedangnya dengan begitu mudah, bahkan punggung tapak tangan kanan si pemuda, berhasil membentur per?gelangan tangannya.
Ia jadi kaget, cepat menarik serangan pedang itu guna menge?lakkan benturan punggung tapak tangan lawan pada pergelangan tangannya, tapi gerakannya terlambat, karena serangan benturan punggung tapak tangan Kang Hoo sudah berhasil membentur pergelangannya, dan sang pedang mencelat terpental berdentring jatuh di lantai.
Berbarengan mana kedua kaki Kang Hoo sudah melakukan serangan guntingan, maka tak ampun lagi tubuh orang seragam hitam tadi jatuh ter?telungkup di lantai.
Setelah berhasil merobohkan lawan, Kang Hoo meletik bangun, memperhatikan lawan yang jatuh tengkurap.
Beng Cie sianseng melihat kejadian itu membentak, "Bunuh! Kau bunuh! Ia membunuh ayahmu!" Setelah membentak begitu, kaki Beng Cie sianseng bergerak menendang iga orang jubah hitam yang masih tertelungkup.
Orang tadi yang belum dapat bangkit berdiri karena keningnya terbentur oleh lan?tai batu, kembali mendapat serangan ten?dangan pada iganya membuat ia lebih ti?dak dapat berkutik lagi.
Kang Hoo ber?diri bengong, di depan tubuh orang jubah hitam yang tengkurap di lantai, orang inilah tentunya yang membunuh ayahnya ia harus membalas dendam kematian itu, tapi perasaan bathinnya tidak mengizinkan.
Pembunuhan perbuatan dosa! Melanggar ajar?an agama.
"Eh. Hayo! Bunuh dia!!!!" bentak lagi Beng Cie sianseng.
Orang tua itu mengambil pedang si jubah hitam yang menggeletak di lantai disodorkannya di depan Kang Hoo "Nah, gunakan ini, bunuh dia!" Kang Hoo menerima pedang itu, tapi pedang tadi, ujungnya terjuntai di lantai, ia tak dapat melakukan pembunuhan.
Beng Cie sianseng menyaksikan sikap Kang Hoo demikian rupa ia jadi sengit, sambil mengeluarkan suara gerengan, me?langkah menghampiri tubuh si jubah hitam, kembali kaki Beng Cie sianseng bergerak, menghajar batok kepala belakangnya orang jubah hitam.


Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang jubah hitam tadi su?dah tak berkutik, begitu mendapat hajaran kaki pada batok kepala belakangnya, ia hanya mengeluarkan suara keluhan.
Sesudah Beng Cie sianseng menendang batok kepala orang itu, tongkat bambu tujuh ruasnya mendorong badan orang, hingga tubuh orang tadi terlentang.
Begitu tubuh orang tadi menghadap ke atas, tongkat bambu tujuh ruas Beng Cie sianseng bergerak ke muka orang itu yang tertutup oleh selubung hitamnya.
Ujung tongkat bambu tujuh ruas mencongkel kain hitam tutup kerudung tadi.
Tapi baru saja ujung tongkat bambu tujuh ruas itu baru berhasil membuka sedi?kit kain hitam yang menutupi wajah orang tadi, mendadak saja Beng Cie sianseng lompat mundur beberapa tindak, ia berdiri di samping Kang Hoo, sinar mata Beng Cie sianseng menatapi terus wajah orang berselubung hitam itu.
Yang membuat Beng Cie sianseng kaget adalah perobahan yang terjadi secara mendadak pada wajah orang jubah hitam.
Ba?gian mata orang tadi yang tak tertutup kain hitam berubah biru.
Itulah yang membuat guru tua itu lompat mundur.
Bukankah Beng Cie sianseng tadi meli?hat kalau bagian yang tak terselubung kain hitam itu tadi berwarna kuning halus, tapi bagaimana mendadak telah berubah menjadi biru.
Perobahan warna kulit itu, dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh orang tadi, tangan dan kakinya semua sudah berubah warna dari kekuningan kini menjadi biru matang.
Kemudian daging yang sudah berubah warna itu, perlahan-lahan mencair, cairan mana mengalir bercampur de?ngan darah yang membanjiri lantai.
"Aneh, ..... aneh ..." gumam Beng Cie sianseng.
"Mengapa orang ini bisa mati mendadak mengalami kehancuran da?ging....." Kang Hoo juga menyaksikan perobahan yang terjadi pada orang jubah hitam itu, matanya terbelalak lebar.
Ia tidak mengerti bagaimana badan orang tadi bisa berubah biru lalu mencair, cairan tadi juga berwarna biru.
"Awas, jangan sampai menyentuh cairan daging itu, air daging itu beracun ..." Beng Cie sianseng memperingatkan Kang Hoo.
Mendengar peringatan sang suhu, Kang Hoo mundur setindak.
Ia terus memperhatikan cairan badan itu, cairan mana mengalir bercampur darah sang ayah.
Lambat laun badan orang berjubah hitam berselubung tadi mengempis, karena daging- dagingnya telah berubah jadi cairan biru darah yang mengambang di atas lantai kini sudah turut berubah biru, begitu pula mayat ayah Kang Hoo juga sudah digenangi cairan biru.
Dan ketika tubuh orang itu suduh berubah seluruhnya menjadi cairan, tinggal hanya rambut kepalanya bergumpal diantara cairan biru tadi.
Mendadak saja mayat ayah Kang Hoo yang terkena cairan biru tadi, perlahan-lahan turut berubah menjadi biru.
Kang Hoo kaget, ia tidak ingin mayat sang ayah mengalami nasib seperti apa yang dialami orang jubah hitam tadi.
Ia lompat maju ke depan maksudnya untuk memindahkan mayat ayahnya menjauhi cairan biru dari daging-daging lawan yang mencair.
Selagi Kang Hoo lompat ke atas, mendadak badan Beng Cie sianseng sudah menubruk datang sambil berteriak, "Jangan sentuh ...!!" Kang Hoo yang lompat, tubuhnya masih di tengah udara mendadak dibentur oleh tubuh Beng Cie sianseng, ia tak dapat mengelakkan benturan tadi, maka tak ampun lagi badan Kang Hoo melayang ke samping, lalu nyeplos keluar jendela.
Sementara itu Beng Cie sianseng sudah meletik menjauhi cairan biru tadi.
Kemudian berdiri di ambang pintu.
Ia memperhatikan mayat sang majikan yang sudah mulai turut berubah biru mencair.
Kang Hoo yang mental nyeplos keluar jendela tubuhnya melayang kemudian am?bruk, secara kebetulan sekali jatuhnya tertelungkup di atas punggung seekor kuda milik manusia seragam hitam.
Kuda tadi yang dikejutkan oleh benda yang jatuh di punggungnya, ia jadi kaget, lalu lari sekeras mungkin, sedang tubuh Kang Hoo masih tertelungkup dibawa lari kuda tadi.
Ternyata si pemuda jatuh ping?san, akibat benturan badan gurunya.
Beng Cie sianseng merasa sangat kuatir akan keselamatan Kang Hoo, ketika tadi ia melihat Kang Hoo lompat ke arah mayat ayahnya, tanpa disadarinya, ia telah mengerahkan separuh dari tenaganya untuk membentur badan Kang Hoo yang lagi melom?pat, membuat badan si pemuda mental, dan akibat benturan yang keras itu Kang Hoo jadi pingsan jatuh di atas punggung kuda milik orang jubah hitam yang mati mencair secara mendadak.
Baru saja sang kuda lari melesat membawa Kang Hoo yang pingsan di atas punggungnya lenyap di balik balik gerombolan pohon, di luar pekarangan rumah itu terde?ngar beberapa ketoprakan kaki kuda.
Beng Cie sianseng sedang memperhatikan keadaan mayat majikannya mencair biru itu, jadi kaget, ia teringat pada Kang Hoo yang mental keluar jendela, hatinya heran bagaimana anak itu belum muncul lagi.
Tapi keheranannya itu sebentar saja, kare?na ia ingat bukankah tadi setelah Kang Hoo mental nyepplos keluar jendela telinganya juga mendengar langkah kuda lari.
Tapi karena ia sedikit kesima memandang mavat majikan itu ia tidak menghiraukan langkah kuda lari tadi.
Dan setelah mayat sang majikan sudah mengempes menjadi cairan biru baru ia teringat akan kejadian tadi.
Cepat-cepat ia lari keluar.
Yang pertama kali dilihatnya, beberapa tombak di depan pintu itu, berlompatan tiga orang seragam hitam dari atas kuda, mereka segera melakukan gerak siap tem?pur, dengan pedang di tangan.
Beng Cie sianseng mencekal erat-erat tong?kat bambu tujuh ruasnya dengan kanan, kepalanya menoleh ke samping rumah di mana tadi tubuh Kang Hoo mental keluar.
Tapi di sana tak kelihatan bayangan si pemuda.
Ia jadi mengkerutkan kening.
Pikirnya, "Biar kubereskan dulu tiga manusia busuk ini.
Si bocah tolol itu mungkin sudah kabur entah kemana." "Hmmmm.....aku ubek-ubekan mencari isi rumah ini ke setiap gerombolan pohon.
Tidak tahunya, kuya tua ini sudah ada di sini," seru salah seorang jubah hitam berselubung muka, "Mana si kuya kecil" Ayo, sekalian suruh keluar." Mendengar dan melihat sikap tengiknya ketiga orang jubah hitam berselubung muka itu, mendadak saja tongkat bambu tujuh ruas di tangan Beng Cie sianseng berputar mendesing, tubuhnyapun mencelat melam?bung menyambar ketiga orang jubah hitam berselubung itu.
Kedua orang tadi sudah siap menghadapi datangnya serangan dari udara itu, tiga sinar pedang berkelebat menyambut desingan tongkat bambu.
Di tengah udara terdengar suara peletak peletok dari hancurnya tongkat bambu tu?juh ruas yang berpentalan kian kemari.
Kemudian empat orang itu kembali mundur.
Masing-masing memasang kuda-kuda.
Tiga orang jubah hitam berselubung yang berhasil menghancurkan tongkat bambu, tujuh ruas di tangan Beng Cie sianseng, mereka pada berdiri melengak.
Di atas tanah tampak potongan- potongan batang tongkat bambu tujuh ruas milik Beng Cie sianseng, tapi kini di tangan kanan Beng Cie sianseng sudah menggenggam sebilah pedang.
Itulah pedang bergagang, seruas dari tongkat bam?bunya yang sudah hancur berkeping-keping.
Menyaksikan ketiga lawannya terheran-heran, Beng Cie sianseng mendengus, katanya sengit, "Kalian heran, di dalam tongkat bambu masih terdapat sebatang pedang." Setelah berkata begitu Beng Cie sianseng memutar pedang itu, gerakannya sebagaimana biasa ia memutar tongkat bambu tujuh ruas, maka di tengah udara berkeredepan sinar putih menyilaukan mata diiringi terdengarnya suara mendengung yang keras sekali.
Tiga orang jubah hitam jadi kaget, mereka serentak lompat mundur, sinar pedang yang berputar itu menyilaukan pandangan mata mereka, sedang bunyi dengungan pe?dang seperti menusuk daun telinga menga?caukan pikiran.
Mereka kini sadar, kalau sedang berhadapan dengan seorang ahli pedang.
Selagi mereka dibingungkan dengan suara dengungan dan kilatan-kilatan sinar pedang, ba?dan Beng Cie sianseng mencelat melakukan gerak serangan ke depan.
Tiga orang jubah hitam berselubung muka tadi kaget, mereka lompat lagi setindak, dengan senjata pedangnya menangkis se?rangan kilatan pedang.
Kembali terdengar suara beradunya empat senjata tajam dibarengi dengan terdengarnya tiga kali suara mendentring, tampak tiga potong logam putih melayang terbang kemudian masuk amblas ke dalam batang pohon.
Tiga potongan logam tadi adalah potongan pedang dari tiga orang jubah hitam, yang putus akibat dibentur oleh pedang Beng Cie sianseng.
Beng Cie sianseng tidak mau bergerak sampai di situ, setelah berhasil membuat pedang lawan putus jadi dua potong, putaran pedangnya diperlambat, melindungi ba?dan, tangan kirinya maju ke depan menye?rang dada salah seorang jubah hitam yang di sebelah kiri.
Mendapat serangan pukulan itu, orang jubah hitam lompat mundur.
Tapi gerakannya terlambat, karena pedang Beng Cie sianseng menyusul gerak mundur orang tadi, menyambar kaki kanannya.
Berbarengan dengan berlompatan sebuah potongan kaki di atas tanah.
Badan orang tadi ambruk jatuh.
Begitu tubuhnya am?bruk mendadak matanya mendelik, ia menghembuskan napasnya.
Mampus seketika. Beng Cie sianseng kembali dibuat heran karena korban pedangnya itu jatuh terus mampus saja.
Matanya mendelik, wajahnya yang tampak sedikit terlihat pada bagian matanya telah berubah biru.
Mengambil kesempatan Beng Cie sianseng dibingungkan oleh kejadian itu.
Dua orang jubah hitam lain yang mengetahui kalau lawan berpedang di depannya itu bukan tandingannya, mereka pada lompat ke atas kuda masing-masing.
"Nggg?"?" dengus Beng Cie sianseng segera lompat mengejar ke arah dua orang itu.
Tapi gerakan Beng Cie sianseng terlambat beberapa detik, karena orang jubah hitam itu dengan indahnya telah berhasil lompat ke atas punggung kuda masing-masing dan melesat lari.
Beng C?e sianseng ingin menangkap hidup-hidup manusia berselubung muka hitam tadi, ia segera lompat ke atas punggung kuda milik jubah hitam yang mampus.
Tapi secepat itu pula badan Beng Cis sianseng meletik ke atas lalu menjambret ranting pohon, dan tubuhnya gelayutan lalu lompat lagi ke atas, ia berdiri di atas dahan pohon.
"Sungguh berbahaya!" gumam Beng Cie Sianseng di atas pohon.
Memandang pada sang kuda, yang mendadak jatnh bertekuk kaki mengeluarkan suara ringkiknya! Ternyata ketika Beng Cie sianseng lompat ke atas kuda itu, matanya dapat meli?hat cairan biru dari tubuh orang jubah hi?tam tadi mengalir membentur kaki kuda.
Saat itu sang kuda belum merasakan sesuatu tapi setelah sekian saat, ia merasakan kakinya lemas hingga jatuh bertekuk kaki.
Ringkik kuda terdengar berulang-ulang, kuda itu seperti menderita kesakitan luar biasa kakinya mulai menjalar warna biru terus ke paha dan seluruh badan.
Kemudian da?lam sekejapan saja badan kuda itu sudah mulai mencair.
Diantara goyangan ranting-ranting pohon, Beng Cie sianseng di atas dahan memperhatikan jauh ke depan, ia mencari-cari bayangan Kang Hoo kemanakah lenyapnya sang mu?rid" Di atas dahan itu ia juga berpikir, dari golongan manakah orang-orang jubah hitam berselubung muka ini dengan lambang kalong putih" Bagaimana mereka tahu kalau di dalam rumah ini dihuni oleh tiga orang.
Dua orang tua dan seorang bocah.
Hingga setelah mereka membunuh majikannya, mereka masih perlu mencari jejak dirinya dan Kang Hoo.
Juga kematian orang ju?bah hitam ini sungguh aneh, mengapa mereka mendadak mati kemudian mencair" Kita tinggalkan keadaan Beng Cie Sianseng yang dibingungkan dengan munculnya tragedi dalam rumah pensiunan keluarga Lie, kita mengikuti jejak Kang Hoo yang dilarikan kuda dalam keadaan pingsan.
Bab 3 KANG HOO, dilarikan kuda melesat meninggalkan perkampungan.
Badan Kang Hoo tertelungkup di atas sadel kuda itu bergerak-gerak digoyang langkah lari kuda yang semakin keras.
Sang kuda yang merasa kedua samping perutnya terus-terusan dibentur-bentur oleh kepala dan kaki Kang Hoo, menyangka kalau si penunggang kuda itu menyuruhnya lari kabur lebih keras, sedang dua utas tali kekang kuda, laksana dua ekor ular lompat-lompatan di atas kepala kuda yang lari cepat itu.
Ketika Kang Hoo sadar dari pingsannya, hari sudah gelap ia jadi kaget, karena tubuhnya sedang menelungkup seakan di?bawa terbang.
Karena kekagetan itu hampir saja tubuh Kang Hoo jatuh dari sadel kuda, tapi ia seorang pemuda yang berkepandaian silat dengan cekatan ia bergerak bangun lalu duduk di atas sela kuda, kedua tangannya menjambret dua tali kekang yang seakan lompat-lompatan terbang di atas kepala kuda.
Se?telah itu ia menarik tali kekang kuda tadi.
Dan kuda yang ditarik meringkik keras, mengangkat kedua kaki depannya ke atas.
Lalu lompat lagi ke depan, kemudian ber?henti, menggoyang-goyangkan kepala.
Kang Hoo lompat dari atas punggung kuda, ia memperhatikan empat penjuru tempat itu, ternyata itulah sebuah rimba.
"Dimana ini?" pikir Kang Hoo.
Hari tambah gelap, Kang Hoo kehilangan arah, ia niat untuk pulang ke rumahnya tetapi ia tidak tahu kemana jalan harus di?tempuh.
Ia tiba ke tempat itu dibawa lari oleh kuda dalam keadaan pingsan.
Keadaan di tempat itu merupakan hutan belukar di sana sini hanya gerombolan-gerombolan pohon.
Selagi ia kebingungan, mendadak dari antara sela- sela gerombolan pohon di bawah bantuan cahaya bintang yang kelap-kelip matanya melihat berkelebatnya bayangan merah lari menuju ke arah utara.
Dalam keadaan bingung itu Kang Hoo tidak banyak pikir, ia lompat ke atas pung?gung kuda lalu mengejar ke arah berkele?batnya bayangan merah tadi, ia tidak perduli bayangan itu manusia, setan, atau binatang buas, yang perlu ia mesti mencari jalan untuk dapat keluar dari rimba gelap ini.
Melewati beberapa tombak Kang Hoo kehilangan jejak bayangan merah tadi.
Di bawah sinar bintang yang kelap kelip ia memacu kudanya menerobos semak-semak belukar, setelah berjalan sejauh lima enam lie, mendadak ia mengangkat kepalanya memandang ke depan, serunya dalam hati, "Di depan sana tampak mencorot sebatang sinar penerangan, menembusi sela-selanya ranting pohon tentu tidak jauh dari tempat ini terdapat sebuah perkampungan." Kang Hoo menggeprak kudanya, lari ke jurusan sinar api tadi.
Setelah melewati jarak dua lie betul saja diantara lebatnya gerombolan pohon terdapat sebuah rumah atap.
Sekeliling rumah atap itu, dipagari pa?gar bambu, sedang di bagian lainnya tak terdapat bangunan rumah lagi.
Sejenak Kang Hoo ragu-ragu, pikirnya, "Rumah itu terpencil di dalam hutan, apakah penghuninya tidak kuatir kalau diganggu binatang buas atau diganggu orang jahat" Apakah tidak mungkin kalau rumah atap itu merupakan sarangnya berandal?" Tapi mengingat keadaan dirinya yang sehari penuh itu belum makan atau minum, sedang sang perut sudah kerocokan.
Ia tidak lagi memperdulikan apakah itu rumah sarang penjahat atau rumah setan, ia jalan terus karena ia juga ingin menanyakan pada penghuni rumah atap itu tempat ini ber?ada dimana.
Kang Hoo lompat turun dari atas kuda?nya lalu jalan menghampiri pagar bambu.
Dengan bantuannya bintang di langit, Kang Hoo mengintip di sela-sela pagar bambu, dari sana ia bisa melihat dari daun kertas jen?dela rumah atap itu tampak menyorot ke luar sinarnya pelita.
Di depan pintu pagar rumah atap itu, Kang Hoo mengetuk pintu, dan baru saja ia mengetuk dua kali, suara ketukan mana membuat kaget seekor anjing, yang lantas lari menggonggong di dalam pagar.
Berbarengan dengan suara gonggongan anjing dari dalam rumah gubuk terdengar suara bertanya, "Siapa diluar pagar?" Itulah suara pertanyaan seorang perem?puan! "Aku orang liwat jalan, hendak menumpang nginap satu malam?" jawao Kang Hoo cepat.
Belum lagi jawaban Kang Hoo habis diucapkan pintu rumah atap itu sudah ter?buka, dari sana jalan keluar menghampiri pagar bambu seorang perempuan tua, dari balik pagar bambu perempuan tua itu memperhatikan dengan teliti perawakan Kang Hoo, setelah memandang penuh selidik perempuan tua tadi, tersenyum lalu meng?usir anjingnya yang terus-terusan menggong?gong.
Sang anjing mengerti, sambil menggoyang- goyangkan buntutnya ia lari pergi.
Perempuan tua tadi lalu membukakan pintu pagar dan berkata, "Bukankah kau ini bernama Kang Hoo?" Mendengar namanya disebut si nenek, Kang Hoo melengak, ia kaget memperhati?kan wajah keriput nenek itu, tapi seumur?nya ia belum pernah kenal dengan si nenek, maka dengan rasa heran bertanya, "Dari mana nenek tahu aku?" berkata sampai di situ Kang Hoo tidak berani meneruskan ucapannya.
Ia ingin me?rahasiakan siapa dirinya.
Si nenek jadi tertawa, katanya, "Kau tidak perlu takut menyebut namamu, masuklah, belum lama seorang tua dengan nama Beng Cie sianseng telah datang ke tempat ini, ia mengatakan kalau mene?mukan seorang pemuda bernama Kang Hoo supaya dapat memberikan bantuan, dan cepat-cepat suruh menyusulnya ke kota raja.
." "Aaah. . . . jadi suhu sudah sampai di sini." Tanya Kang Hoo, melangkah masuk, sambil jalan memasuki pekarangan, ia berkata lagi, "Kalau begitu, aku tidak bisa lama-lama tinggal di sini, hanya tolong beri tahu kemana jalan yang mesti kutempuh untuk menuju ke kota raja.
Dan tolong berikan aku sedikit air untuk menghilangkan rasa haus?ku....." "Mana bisa!" Kata si nenek sambil jalan di depan Kang Hoo, "Dalam keadaan malam gelap, bagaimana kau bisa menempuh perjalanan, lebih- lebih tempat yang akan kau lewati sangat berbahaya, belakangan ini kaum berandal merajalela, sebaiknya kau tunggu sampai fajar nanti baru kau melanjutkan perjalananmu.
Dan eh . . . ya, rumahku ini terlalu sempit, aku tinggal di sini seorang diri, maka tempat ini kurang terurus, kau boleh pilih tempat sendiri." "Tidak apa," jawab Kang Hoo "Kalau malam ini aku tidak bisa meneruskan perjalanan, aku bisa tidur di mana saja, asal ada tempat untuk membaringkan diri.
Begitupun aku sudah merasa berterima kasih." "Kalau begitu kau masuklah duduk di dalam." kata si nenek.
"Di luar masih ada kudaku," kata Kang Hoo "Kalau bisa aku minta sedikit rumput untuk makan binatang itu.
Ai . . . aku ha?nya membuat kau orangtua repot saja." "Jangan bilang begitu," kata si nenek, "Beng Cie sianseng tadi, telah berpesan kalau bertemu dengan kau ia minta tolong untuk memberikan bantuan padamu, ia juga telah menitipkan sejumlah uang untuk bekalmu dalam perjalanan.
Dan katanya, kau tidak perlu lagi kembali ke rumahmu ".." "Hmmm "." Kang Hoo bergumam mendadak saja tanpa disadari matanya digenangi air mata.
Teringat akan nasib sang ayah.
Sementara itu si nenek berlalu ke belakang rumah, lalu kembali lagi dengan membawa rumput, dan Kang Hoo, juga telah menarik masuk kudanya, yang terus dikasi makan.
Setelah mana si nenek menyilahkan Kang Hoo duduk di dalam kamar, lalu ia mengambil secangkir air teh.
Kang Hoo yang memang sudah merasa haus ia segera menyambut pemberian air teh itu dan sekali minum telah habis isinya, ia merasakan air teh itu sangat wangi sekali.
Si nenek kembali menuang teh ke dalam cawan, baru ia duduk di depan sang tamu muda, dan bertanya, "Sebenarnya kau she apa, bagaimana bisa kelayapan ke tempat ini.
Ada hubungan apa dirimu dengan Beng Cie sianseng." Kang Hoo menceritakan siapa dirinya, tapi ia tidak menyebutkan tragedi pembunuhan misterius yang dilakukan oleh orang-orang seragam hitam itu.
"Oh, kiranya kau satu kongcu bangsawan aku sungguh berlaku kurang hormat," kata si nenek, "Si tua Beng Cie sianseng itu ke?terlaluan, ia tidak menyebutkan asal usul dirimu, ia hanya berpesan agar aku mem?berikan bantuan pada kau bila kebetulan kau lewat ke tempat ini.
Kukira dalam per-jalanan kau telah mendapatkan sengsara, tentunya dalam perutmu sudah kerocokan kelaparan, tunggu sebentar aku akan ambil makanan, cuma di sini di dalam tempat yang terpencil tidak terdapat arak dan sayuran, yang mana sungguh kurang pantas untuk melayani kongcu." Setelah berkata demikian si nenek lalu masuk ke kamar belakang, dan tak berapa lama ia telah datang lagi dengan membawa satu nampan berisi nasi dan makanan yang terdiri dari dua macam sayur dan dua potong daging, yang masih mengepulkan asap lalu diletakkan di atas meja.
"Kongcu silahkan makan sedikit," kata si nenek.
Kang Hoo menghaturkan terima kasih, sebelum ia memakan hidangan yang dise?diakan si nenek, ia bertanya, "Nenek ini daging apa?" "Aaaah....." wajah si nenek sedikit berubah.
"Di tempat ini tak terdapat ma-kanan enak, inilah daging menjangan yang telah dikeringkan.
Binatang ini juga hasil buruanku sendiri dalam hutan.
Apakah kongcu merasa jijik dengan makanan ini." "Tidak! Tidak! Terima kasih sebenar?nya aku tak suka makan daging babi! Maka aku tanyakan pada nenek ....
." "Oh, ... .ini betul-betul daging menjangan, kongcu jangan ragu-ragu." jawab si nenek tersenyum.
Tapi hatinya merasa heran mengapa anak hartawan ini tidak doyan daging babi.
Kang Hoo yang mengetahui kalau daging itu daging menjangan, ia tidak ragu-ragu lagi memakan semua apa yang dihidangkan hingga perutnya dirasa kenyang.
Setelah Kang Hoo selesai makan, si nenek membereskan sisa makan itu.
Lalu ia kembali duduk di depan si pemuda.
"Numpang tanya," tanya Kang Hoo, "Kau orang tua mempunyai she apa, dan bagaimana bisa tinggal di dalam tempat yang begini sepi, cara bagaimana kau bisa tangkap seekor menjangan?" "Aku she Cu," jawab si nenek, "Almarhum suamiku she Hek, ia seorang pemburu, dari suamiku almarhum aku mempelajari bagai?mana membuat perangkap untuk menangkap binatang, dengan kepandaianku itu, aku menyambung hidup dalam gubuk terpencil ini di dalam rimba!" Mendengar kalau si nenek istri dari seorang pemburu, Kang Hoo cepat berkata, "Oh, .
. . kalau begitu nenek juga pandai ilmu silat." "Seorang perempuan sepertiku bagaimana pandai silat?" kata si nenek tertawa "Aku lihat kongcu yang begini muda dan gagah, dengan sendirian menunggang kuda melakukan perjalanan jauh, tentunya paham ilmu silat." Kang Hoo yang mendapat umpakan demikian ia merasa jengah, karena tibanya ia di tempat ini, ia sendiri tidak sadar dalam keadaan pingsan, maka cepat-cepat ia berkata, "Soal ilmu silat, cuma sedikit mengerti." jawab Kang Hoo "Beng Cie sianseng pernah mengajar aku beberapa jurus ilmu silat." Si nenek mengangguk kepala.
Kemudian berkata lagi, "Kongcu tentunya sudah lelah, nah pergilah istirahat." Baru saja si nenek menutup kata-katanya mendadak saja pintu rumah atap itu didobrak orang.
Di sana bermunculan lima orang seragam dan berselubung hitam.
Si nenek kaget, ia bangkit bangun, kemudian bentaknya, "Manusia liar dari mana berani main gila di sini!" "Nenek peot!" bentak salah seorang jubah hitam berselubung muka, "Serahkan bocah itu.
Kau jangan turut campur urusan!" "Hmmm ..
." si nenek mendengus "Kalian keluar, jangan ganggu orang dalam rumah ini!" Sementara itu Kang Hoo sudah bangkit berdiri, ia memperhatikan lima orang berseragam hitam itu.
Hatinya sedikit bingung bagaimana ia harus menghadapi manusia-manusia ini.
Kalau ia lari meninggalkan mereka ini tentunya mereka akan membuat susah si nenek, kalau ia melakukan perlawanan pastilah setidak-tidaknya ia mesti membunuh orang.
Sedangkan pembunuhan itu diharamkan menurut ajaran agama yang dianutnya.
Ia sendiri sebenarnya tidak mengerti mengapa orang-orang seragam hitam berselubung muka ini memusuhi keluarganya.
Selagi Kang Hoo masih bingung si nenek sudah berkata, "Kalian manusia-manusia liar, ayo cepat keluar tinggalkan gubuk ini!" Lima orang seragan hitam berselubung muka itu, pada tertawa, salah seorang membentak, "Nenek pikun, kalau kau ingin meneruskan daging- daging keriputmu di atas dunia ini sebagusnya kau minggir saja." "Nenek!" Seru Kang Hoo, menyelak ke depan.
"Menyingkirlah, biar kuhadapi manusia-manusia ini." Si nenek mundur, merapatkan tubuhnya pada dinding.
"Kita bertempur di luar." seru Kang Hoo, berbarengan dengan seruannya, tubuh si pemuda melambung ke atas, membentur atap gubuk rumah itu.
Disinari cahayanya bintang kelak kelik di langit, tampak beberapa sosok bayangan berlompatan menerobos keluar dari atas atap gubuk di dalam rimba itu.
Di dalam kegelapan malam enam bayang?an saling kejar, menerobos semak-semak belukar.
Kang Hoo yang paling depan, karena me?mang ia memancing orang-orang seragam hitam berselubung ini meninggalkan gubuk si nenek agar mereka tidak mencelakai jiwa nenek tak berdosa itu.
Setelah lari satu lie. Napas Kang Hoo sudah tersengal-sengal.
Bayangan-bayangan hitam yang mengejarnya masih terus lari ke arah diri?nya.
"Kalau lari terus begini, aku bisa kehabisan napas," pikir Kang Hoo, "Biar kuhadapi mereka, kalau perlu apa boleh buat aku harus melanggar larangan agama!" Setelah berpikir begitu, mendadak saja badan Kang Hoo melesat ke atas.
Lalu berdiri di atas dahan pohon.
Gerakan lesatan Kang Hoo sangat cepat luar biasa, lebih-lebih medan di situ merupa?kan semak belukar yang gelap, suasana malampun banyak membantu Kang Hoo melarikan diri maka kelima orang yang lari mengejar di belakangnya itu tak melihat kalau Kang Hoo sudah lompat ke atas.
Me?reka terus lari ke depan.
Di atas dahan pohon yang lebat itu Kang Hoo menunggu lima orang seragam hitam berselubung muka itu lewat.
Begitu mereka lewat di bawah dahan pohon tadi, Kang Hoo menunggu hingga orang terakhir berada di bawahnya, kemudian ia lompat turun me?nubruk seorang yang lari paling belakang.
Lompatan Kang Hoo dari atas dahan pohon itu merupakan jurus Pok-tee-houw, Macan menubruk tanah.
Kedua kaki Kang Hoo, tepat mengenai kedua tulang pundak orang seragam hitam berselubung itu, se?dang kepalan tangannya menghajar batok kepala orang tadi.
Tak ampun lagi tubuh orang itu, lantas jatuh ambruk di atas se?mak senak, pedangnya terpental.
Setelah berhasil merobohkan lawan, ia lompat ke arah terpentalnya pedang lawan.
Sementara itu empat orang seragam hi?tam berselubung mendengar suara berisik di belakang mereka, serentak menghentikan larinya membalik badan, tampak di atas semak belukar sang kawan telah roboh terjengkang.
Dalam kegelapan malam berbintang itu, badan si jubah hitam tadi mulai mencair.
Sedang pemuda yang dikejar te?lah berada di depannya dengan mencekal se-batang pedang.
Itulah pedang sang kawan yang telah binasa.
Menyaksikan kalau kawan mereka ber?hasil dirobohkan oleh Kang Hoo, keempat orang tadi jadi kaget, mereka tak menduga semula kalau pemuda yang sejak tadi lari kabur itu bisa merobohkan salah seorang kawan mereka, bahkan berhasil merebut senjata.
Mereka serentak lompat, membuat posisi mengurung di tiga segi.
Sinar bintang berkelap kelip di langit bulan masih belum nongol.
Lima orang da?lam kegelapan malam di tengah rimba siap bertempur mempertahankan nyawa masing masing.
Empat bilah pedang terhunus di tangan orang- orang seragam hitam berselubung, sinarnya berkeredap ditimpa cahaya bintang.
Mengurung Kang Hoo. Meskipun di tangan Kang Hoo telah memegang sebatang pedang, ia masih sedikit bingung, karena selama melatih ilmu silat di bawah asuhan Beng Cie sianseng ia hanya mempelajari jurus-jurus serangan tangan kosong.
Belum pernah melatih diri menggunakan senjata, meskipun sang guru sendiri dalam melakukan serangan latihan pada dirinya selalu menggunakan senjata tongkat bambu tujuh ruas.
******0dwkz0lynx0mukhdan0******** JILID 2 TERINGAT akan ilmu tongkat bambu tujuh ruas dari sang suhu, otak Kang Hoo mengingat-ingat, bagaimana gurunya selalu menggerakkan senjatanya untuk menyerang dan untuk mengelakkan serangan pukulannya.
Karena kecerdasan otak Kang Hoo, maka tanpa disadarinya, tangan kanannya yang mencekal pedang perlahan-lahan berputar.
Itulah gerak putaran yang selalu ia lihat kalau gurunya sedang melakukan serangan terhadap dirinya.
Kian lama, putaran pedang di tangan Kang Hoo kian cepat, dan kesiuran angin mulai terdengar berbunyi mendengung laksana ribuan tawon.
Rembulan sabit mulai menongolkan wajahnya di langit timur, laksana mata malaikat mengintip jalannya peristiwa malam di atas dunia.
Empat orang seragam hitam berselubung, menyaksikan lawan di depannya menggunakan gerak jurus ilmu pedang aneh itu, mereka rada ragu-ragu, selagi mereka dalam keraguan, mendadak saja badan Karg Hoo yang me?mutar pedang itu meluncur ke atas di bawah terangnya bulan sabit Empat orang seragam hitam kaget, serentak mereka melihat bagaimana gerak tubuh lawan muda itu di atas angkasa, dengan sen?jata siap di tangan mereka menunggu datangnya serangan lawan untuk melakukan serangan balasan.
Begitu serangan udara Kang Hoo tiba, empat pedang bergerak, menyabet membacok dan menusuk ke arah tubuh Kang Hoo yang mulai turun menerjang.
Terjadilah pertempuran singkat dimalam bulan sabit itu, terdengar beberapa kali suara berdentingan dari beradunya pedang-pedang yang digerakkan dalam jurus-jurus tempur tadi, diiringi dengan suara mendengungnya pedang yang diputar di tangan Kang Hoo.
Pertempuran tersebut hanya berlangsung tiga jurus, suara desingan yang keluar dari pedang Kang Hoo mendadak sirap, diganti?kan suara keluhan si pemuda yang lompat ke luar dari medan tempur.
Maka pertempuran itupun berhentilah sudah.
Empat orang seragam hitam berselubung saling pandang, di bawah terangnya keremangan cahaya bulan sabit, tampak salah seorang telah mengucurkan darah pada bahunya.
"Luka ringan!" bisik orang yang terluka.
"Bocah itu akan segera mampus, luka-luka akibat sabetan pedang kukira tidak ringan." Dengan bantuan sinar bulan sabit keempat orang seragam hitam itu memperhatikan keadaan Kang Hoo, si pemuda berdiri limbung, tangannya masih mencekal pedang, bajunya sudah pada robek- robek terkena sabetan pedang lawan dari koyakan baju itu mengucur darah.
Wajah Kang Hoo mengerinyit menahan sakit luka- lukanya, tubuhnya kini sudah berubah merah, itulah disebabkan dari darah yang mengucur keluar dari luka-luka sekujur badannya akibat serangan pedang lawan.
Lebih-lebih pada bahu kanannya terasa luka itu begitu perihnya.
Sampaipun untuk mencekal pedang saja terasa sudah tidak kuat.
Kang Hoo memang bukan tandingan em?pat orang seragam hitam itu, meskipun ia telah menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong diri Beng Cie sianseng, tapi selama itu ia hanya mempelajari gerak-gerak kasar, hanya mengandalkan kekuatan tenaga luar saja, ia sama sekali belum pernah melatih ilmu tenaga murni.
Juga serangan jurus ilmu pedang yang ia gunakan tadi, sebetulnya belum pernah ia latih, ia hanya meniru gerakan sang suhu yang selalu dilihatnya memutar tongkat bambu tujuh ruas.
Sedang empat orang jubah hitam itu adalah jago-jago rimba persilatan yang memiliki kepandaian tidak boleh dianggap enteng, pengalaman mereka bertumpuk lebih banyak dalam bidang pertempuran.
Boleh dikata mereka telah kenyang makan asam garamnya pertempuran.
Kedudukan mereka sebenarnya sejajar dengan kedudukan Beng Cie sian?seng.
Hanya disayangkan, dalam menurunkan ilmu silatnya, Beng Cie sianseng tidak sungguh- sungguh, ia hanya memberikan pelajaran serangan dan pembelaan tangan kosong, cukup untuk Kang Hoo membela diri dari serangan orang- orang jahat biasa, tapi tak cukup untuk menghadapi jago-jago rimba persi?latan.
Tindakan Beng Cie sianseng demikian itu, dikarenakan ia pernah mendapat peringatan dari ayah Kang Hoo, agar sang murid di?larang mempelajari ilmu silat, maka dari itu Beng Cie sianseng menyembunyikan pedangnya dalam tongkat bambu tujuh ruas.
Agar rahasia dirinya tak diketahui oleh ayah Kang Hoo.
Ia juga melatih ilmu silat itu dengan sembunyi.
Hingga hasilnya tidak bisa dikatakan memuaskan.
Kini di bawah cahaya remangnya bulan sabit Kang Hoo merasakan sendiri bagaimana kekurangan pada dirinya.
Hingga ia mesti menerima luka-luka pada tubuhnya akibat serangan pedang lawan.
Kalau saja Kang Hoo bertempur satu lawan satu, mungkin ia masih dapat menghadapi lawan misterius itu, tapi menghadapi ke?royokan empat orang sekaligus, itulah suatu pekerjaan yang sulit! Selagi Kang Hoo merasakan bagaimana sakitnya luka-luka berdarah pada tubuhnya itu mendadak saja empat orang seragam hitam berlompatan mengurung dirinya di empat penjuru.
"Nah, anak kuya," seru salah seorang seragam hitam.
"Berdoalah menurut ajaran agamamu.
Malam ini disaksikan rembulan sabit, arwahmu akan segera melayang ke akherat." Mendengar ancaman itu, Kang Hoo memindahkan pedang ke tangan kiri, karena tangan kanannya sudah tak dapat digerakkan lagi, perlahan-lahan pedang tadi diangkat ke atas, mulutnya berkata, "Bismillah.................." Belum lagi ucapan itu selesai keluar dari mulut Kang Hoo, empat orang jubah hitam mendadak tertawa berkakakan, suara tawa mereka menggema isi rimba.
"Bagus-bagus................" terdengar suara salah seorang seragam hitam sambil tertawa, "Nah untuk sekalian meramaikan pesta kematianmu, aku akan melepas tanda api ke udara!" Berbarengan dengan ucapan orang seragam hitam itu, dan saku bajunya ia mengeluarkan sebuah tabung, kemudian tabung tadi disentakkan ke atas.
Dari lubang tabung tadi me?luncur gumpalan warna merah terang ke udara, di tengah udara gumpalan merah itu pecah, berserakan menerangi jagat.
Hutan yang tadinya gelap, kini tampak terang benderang, sekilas tampak bagaimana wajah Kang Hoo yang pucat pasi, tubuhnya sudah merah penuh darah.
Di bawah penerangan sinar api yang keluar meluncur dari tabung orang seragum hitam tadi Kang Hoo berseru dalam hatinya, "Ya, Allah lindungilah diriku....
. ." Berbarengan dengan seruan doa dalam hati Kang Hoo, sinar api di tengah udara tadi sudah padam, keadaan hutan itu kem?bali menjadi gelap, hanya sinarnya rembulan sabit memberikan keremangan di malam itu.
"Kita bunuh perlahan-lahan," terdengar lain suara seragam hitam.
"Kau potong kedua kakinya." "Babat tangan berpedang itu." "Bagus, aku jaga bagian atas, kalau ia coba lompat ke atas, pastilah batang lehernya akan segera putus." Suara-suara itu terdengar jelas di telinga Kang Hoo.
Ia sadar kalau jalan keluar telah tertutup, sedang keadaan dirinya telah lemah demikian rupa, tangan kanannya lumpuh tak dapat digerakkan lagi.
Kini ia hanya mengandalkan kekuatan tangan kiri untuk menghadapi serangan maut yang sebentar lagi akan merenggut nyawanya.
Kang Hoo menyilangkan pedang di depan dada, ia tidak berani melakukan gerak berputar, maksudnya siap sedia untuk meng?hadapi serangan lawan, matanya dipentang lebar-lebar, agar bisa melihat dari bagian mana yang menyerang lebih dulu.
Jika lawan tidak melakukan serangan iapun tetap berdiri seperti itu, tanpa memperdulikan darah yang mengucur keluar dari luka-lukanya telah melelehan jatuh di atas tanah Dalam saat-saat kritis itu, mendadak saja daun pohon disekitar rimba bergoyang-goyang berisik diiringi terdengarnya suara siulan saling sambut, ditengah kegelapan malam.
Empat orang seragam hitam mendengar suara siulan itu mereka pada tersenyum salah seorang terdengar berkata, "Sudah kumpul semua!" Baru saja suara orang seragam hitam tadi ditelan angin malam, di sana sudah ber?tambah belasan orang seragam hitam ber?selubung muka, rupanya mereka melihat tanda api di udara yang dilepas oleh si orang seragam hitam yang mengurung Kang Hoo, maka mereka sudah pada lari berdatangan.
"Cincang ribuan keping!" terdengar suara teriakan dari salah seorang seragam hitam yang baru muncul itu.
Kang Hoo bisa melihat dari mana orang-orang seragam hitam itu datang, jumlahnya belasan orang, membuat posisi mengurung dirinya, berdiri diantara semak-semak belukar.
Ucapan orang tadi terdengar jelas di telinga Kang Hoo, hatinya menjadi ciut, harapan untuk dapat lolos dari kematian sangat tipis.
Dan sebentar lagi tubuhnya akan jadi daging-daging ribuan keping.
Bagaimana harus mengatasi kesulitan ini" Dalam keputus asaan itu kepala Kang Hoo menengadah ke langit memandang awan yang menggelusur menutupi rembulan sabit, keadaan hutanpun jadi gelap, kemudian ber?teriak keras, "Allahu akbar.........." Belasan orang seragam hitam yang mendengar suara teriakan Kang Hoo, serentak mereka tertawa berkakakan, suara tawa mereka menggetarkan isi rimba, malam hari itu.
Selagi suara gema tawa itu menggetarkan rimba ditengah kegelapan malam, mendadak di tengah udara terdengar suara menyebut nama Budha yang nyaring laksana bambu pecah, memecahkan suara tawa orang-orang seragam berselubung muka hitam itu.
"O . . . . mie . . .

Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. to . . . . hud . . ." Berbarengan dengan suara menyebu nama Budha itu, diantara suara gema tawa terdengar suara jeritan, disusul robohnya bebe?rapa sosok manusia seragam hitam.
Belasan orang seragam kaget, serentak suara tertawapun lenyap.
Beberapa diantara mereka telah roboh terguling.
Belum lagi rasa kaget orang-orang seragam hitam itu lenyap dari benak pikiran mereka, di tengah udara berkelebat bayangan merah, bayangan merah tadi turun bagaikan kupu-kupu di tengah- tengah kurungan mereka, berdiri di samping Kang Hoo, sejenak bayangan merah tadi memandang si pemuda, lalu berkata, "Aku dipihakmu!" Setelah berkata demikian, bayangan merah itu lompat ke belakang tubuh Kang Hoo ia berdiri di sana, tangannya mencekal sebilah pedang.
Kang Hoo heran, dari mana mendadak munculnya bantuan si misterius ini, lebih-lebih orang yang datang itu adalah seorang gadis usianya tidak lebih tua dari pada dirinya sendiri, dengan bantuannya sinar bulan sabit yang baru saja diliwati awan, sepintas ia dapat melihat wajah si nona yang cantik.
Kalau Kang Hoo diherankan oleh munculnya gadis aneh baju merah tadi, maka rombongan orang- orang berseragam hitam lebih bingung lagi.
Karena begitu berkelebat, gadis berpedang itu telah berhasil merobohkan empat orang kawan mereka.
Dan merekapun mendengar di tengah udara tadi itu suara menyebut nama Budha.
"Lagi-lagi sundel kecil bikin gangguan!" bentak salah seorang seragam hitam di depan si nona.
"Baiknya kau menyingkir, jangan turut ambil bagian dalam sengketa ini.
Golongan kami tidak bermusuhan dengan kaum Budha." Gadis baju merah mendengarkan perkataan orang seragam hitam di depannya, bulu matanya berkedip-kedip ditimpa sinarnya bin?tang, sedang permata anting-anting di daun telinganya berkeredepan memantulnya sinar rembulan sabit.
Tangan kirinya mengelus-elus batang pedang.
Ia tidak memperdulikan ucapan orang di depannya, dengan suara perlahan ia berbisik pada Kang Hoo di belakangnya, "Ingat! Tubuhmu sudah terluka! Kau harus segera lari dari tempat ini, Lihatlah bulan sabit di depanmu.
Bila bulan itu ter?tutup awan, kau boleh ucapkan sebutan nama kebesaran nama Tuhanmu, kemudian kau lempar pedang di tanganmu ke muka serang orang di depanmu.
Apabila kau mendengar sebutan nama Budha, kau balik badan, dan lari kabur ke belakang, kau jangan lari ke depan.
Dan berusahalah jangan sam?pai menyentuh mayat-mayat orang ini.
Sudah mengerti?" Suara bisikan si nona sayup-sayup terdengar di telinga Kang Hoo, meskipun ia agak sulit mendengarkan suara bisikan halus bagaikan suara semut itu diantara suara kesiuran angin, tapi Kang Hoo bisa mengerti apa maksud si nona.
Dalam hatinya jadi heran.
Bukankah nona ini dari golongan Budha, sedang dirinya sendiri menganut ajaran agama yang baru saja merembes masuk ke?dataran Tiongkok.
Mengapa gadis ini ber?sedia membantu dirinya.
Aneh! "Hai, apa kau paham!" bentak si nona menyikut iga Kang Hoo.
Kang Hoo kaget, serunya, "Ya, Tapi ....." "Jangan banyak bicara! Perhatikanlah! Nah mulai lihatlah apa yang kukatakan tadi." kata si gadis baju merah, Rombongan orang seragam hitam hanya mendengar dialog antara si gadis dan Kang Hoo yang terakhir, tapi mereka tidak me?ngerti kemana juntrungan maksud kata-kata tadi.
Selagi orang-orang itu dibingungkan oleh pem?bicaraan kedua anak muda itu, Kang Hoo terus memperhatikan awan yang beriring di langit bagian barat, awan-awan hitam mulai mengambang terbang mendekati rembulan sabit.
Pedang Kang Hoo mesti dilempar ke depan, maka dengan menggunakan kecerdikannya, ia mulai memutarkan pedangnya, maka di tengah malam itu terdengarlah suara desingan bagai ribuan tawon.
Para seragam hitam menyaksikan Kang Hoo memutar pedangnya, mereka telah bersiap-siap untuk menghadapi serangan nekad si pemuda.
Begitu sang awan beriring, menutupi rembulan, keadaan di dalam rimba itu menjadi gelap.
Berbarengan mana, Kang Hoo berteriak menyebutkan kebesaran nama Tuhannya.
"Allahu ?""..
akbar....!'' Berbarengan pedang yang berputar mendesing dilepas meluncur ke depan.
Suasana gelap sangat menguntungkan Kang Hoo, karena lawannya hanya bisa menampak sinar pedang berkelebat mendesing datang menyerbu, tentu saja mereka jadi kaget, disangkanya Kang Hoo telah maju menerjang.
Dan berbarengan de?ngan lemparan pedang dan berakhirnya suara menyebut kebesaran nama Tuhan itu, si nona yang berdiri di belakang mendadak berteriak menyebut kebesaran nama Budha, "Omi".....to?".hud........" Berbarengan dengan sebutan nama Budha itu, tangan kiri si nona bergerak ke arah depan, dan di sana terdengar suara keluhan tertahan beberapa orang seragam hitam mendadak roboh terguling.
Kang Hoo mendengar suara disebutnya nama Budha itu, cepat membalik belakang, dalam hatinya berkata, "Bismillah..........!" Maka kaburlah si pemuda menerobos semak belukar melompati mayat-mayat orang seragam hitam yang roboh menggeletak.
Ia tidak lagi memperdulikan rasa sakit luka-luka berdarah pada tubuhnya, dengan mengempos tenaganya, ia lari ngacir menyelamatkan diri.
Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik saja, awan beriring berlalu sang rem?bulan pun kembali sudah memancarkan sinarnya.
Orang-orang berkerudung hitam mendengar suara sebutan kebesaran nama Tuhan yang dicetuskan oleh Kang Hoo, mereka sudah merasa bingung, entah permainan apa yang akan dilakukan oleh dua anak gila ini di depan mereka, dalam kebingungan itu mendadak saja sinar bulan menjadi gelap, dan berbarengan mana pedang yang diputar di tangan kiri Kang Hoo, mendesing berke?lebat ke muka menyerang.
Beberapa orang seragam hitam kaget, waktu melihat pedang berputar itu melun?cur ke depan, serentak mereka maju untuk mengejar.
Tapi mendadak mereka sadar karena itu hanyalah pedang yang dilempar?kan, sedang pemiliknya tentu masih tetap berada di tempatnya.
Selagi mereka itu ke-bingungan, mendadak di bagian lain terde?ngar suara sebutan nama Budha dari mulut si nona baju merah dibarengi dengan suara keluhan dari beberapa orang seragam hitam yang mendadak roboh terguling.
Saat mana Kang Hoo telah membalik badan dan me?lesat kabur.
Begitu sang rembulan menongol lagi, di sana sudah tak tampak bayangan Kang Hoo.
Gadis baju merah dalam kurungan sisa orang orang seragam hitam itu tertawa cekikikan.
"Sundel kecil." bentak seorang seragam hitam gemuk pendek.
"Kau membantu bocah itu dengan senjata gelap.
Berarti kau telah melibatkan diri dalam sengketa ini!" Si nona baju merah masih cekikan, sambil tertawa ia berkata, "Kalian sebenarnya jurig dari mana" Kalian keberatan aku menggunakan senjata gelap bukan.
Nah, ini kuberi lagi hadiah untukmu." Berbarengan dengan akhir kata-kata si nona tangan kirinya bergerak, di bawah sinar bulan sabit meluncur lima titik hitam menyerang ke arah si seragam hitam berselubung muka bertubuh pendek itu.
Begitu melihat lima titik-titik hitam meluncur ke arah dirinya, orang tadi lompat ke udara, mengelakkan datangnya sambaran sinar hitam.
Dan senjata rahasia si nona berhasil dielakkan, lima titik bayangan hitam itu meluncur lewat di bawah kaki orang sera?gam hitam.
Berbarengan dengan lompatnya si pendek yang meletik ke udara, enam orang seragam hitam lainnya maju bergerak semua menyerang si nona.
Si nona baju merah tertawa dingin, tangan kirinya kembali bergerak, dari sana meluncur titik-titik hitam menyerang orang-orang yang tidak berani memperlihatkan wajah-wajah aslinya itu.
Gerakan enam orang-orang seragam itu ter?nyata cukup gesit, di bawah cahaya sinar bulan, mereka melihat titik-titik hitam berterbangan mengarah tubuh, mereka serentak berlompatan ke atas, dan dari udara itu mereka masing-masing mengayun pedang membabat kepala si nona baju merah.
Begitu enam orang berhasil mengelakkan serangan titik-titik hitam yang dilepas nona baju merah, tadi dua titik senjata rahasia itu berhasil membentur dua orang jubah hitam yang berdiri di belakang.
Kedua orang itu tidak menduga dan tidak sempat mengelakkan setelah mengeluarkan suara jeritan tertahan, mereka roboh terguling.
Sementara itu serangan enam pedang dari orang- orang seragam hitam yang berhasil lompat ke atas mengelakkan serangan senjata rahasia, batang- batang pedang mereka telah berkesiuran di atas kepalanya nona baju merah, tapi sambil tersenyum, si nona memutar pedangnya menyambuti serangan enam batang pedang dari udara, maka di tengah udara itu, terdengar suara berisik dari beradunya pedang-pedang mereka.
Nona baju merah memutar pedangnya di atas kepala ia berhasil mengusir pergi serangan enam pedang dari udara tadi, maka orang-orang seragam hitam itu kembali berlompatan di atas tanah.
Karena tidak mungkin mereka bisa bertahan lama di tengah udara, meskipun betapa tingginya ilmu kepandaian mereka.
Saat itu kembali rembulan sabit tertu?tup awan.
Keadaan dalam rimba tadi kembali jadi gelap.
"Awaaasss!!! Sembunyi!" Teriak salah seorang seragam dan berselubung hitam.
Mendengar suara peringatan itu, belasan orang seragam hitam sadar, cepat-cepat mereka lari ke belakang batang pohon.
Menunggu terangnya kembali sinar bulan yang ditutup awan.
Menyaksikan kecerdikan orang-orang seragam hitam itu, si nona baju merah jadi memuji dalam hati.
Bukankah dalam keadaan gelap itu, sen?jata rahasia yang merupakan maut kejam bisa merengut nyawa setiap waktu" Si nona tersenyum, menyaksikan kelakuan orang- orang seragam hitam itu yang sembunyi di balik batang pohon, menghindari serang?an senjata rahasianya, sambil bertolak pinggang, ia melejit ke atas menerobos ranting-ranting pohon, di dalam kegelapan itu berkelebatlah bayangan merah meninggalkan medan tempur tadi.
Begitu sang rembulan kembali memancar kan sinarnya, bayangan si nona sudah lenyap dari sana.
Para seragam dan selubung hitam melom?pongkan mulut, begitu rembulan memancarkan sinarnya lagi, merekapun pada ber?lompatan keluar dari balik batang pohon.
Tapi di sana si nona sudah lenyap.
Hanya yang tinggal cairan-cairan mayat dari kawan-kawan mereka yang membasahi tanah dalam rimba.
Siapakah gadis baju merah yang telah membantu Kang Hoo menyelamatkan diri dari kepungan orang-orang seragam hitam misterius itu" Untuk mengetahui siapa sebenarnya si nona baju merah, maka pada bab berikut cerita mundur beberapa tahun.
DI SEBUAH kampung, di bawah kaki gunung Hong-san yang sunyi, dilebati pepohonan, tinggallah sebuah keluarga, terdiri dan ayah ibu dan seorang anak perempuan kecil.
Lo Siauw Houw demikian nama kepala keluarganya, sedang nyonya rumah tangga bernama Lie Sian Nio dan anak perempuan nya bernama Siong In.
Ketika Siong In berusia sepuluh tahun, mendadak Lo Siauw Houw meninggalkan kampung halaman mereka, ayah itu menyatakan hendak pergi ke kotaraja.
Setahun kemudian dilewati, tapi sang ayah belum juga datang kembali, si putri meningkat usianya menjadi sebelas tahun.
Dalam mengisi waktu senggang, sang ibu selalu melatih putrinya itu ilmu silat warisan keluarga mereka.
Pada suatu hari setelah salju berhenti turun, Siong In yang baru saja selesai melatih silatnya, merasakan badannya kegerahan, maka ia berjalan ke belakang rumah untuk menghirup hawa segar.
Selagi ia menikmati kesegarannya udara di kaki gunung, dan menikmati pemandangan daun-daun yang memutih di siram salju, hidungnya mengendus harumnya bunga teratai, Siong In jadi heran, dari mana mendadak berkesiw bau harum bunga teratai itu" Setelah memperhatikan sejenak, hidungnya kembang kempis me-nyedot2 bau harum tadi, tahulah dia kalau wangi itu di bawa angin dari atas gunung.
Karena rasa tertarik, Siong In mulai mendaki gunung meneari sumber wangi itu, tapi setelah ia tiba di tengah2 lamping gunung di sana ia tidak menemukan sesuatu, belum juga ia mendapatkan itu bunga yang mengeluarkan bau harum, sedang sepatunya su?dah lepek karena terkena air salju.
Karena disekitar lauping gunung itu tidak menemukan bunga yang mengeluarkan bau harum tadi, sedang ia telah berada pada lamping gunung yang tinggi ia tidak berani mendaki terus.
Siong In lari turun kembali, tapi baru saja ia berlari beberapa kaki, mendadak tampak sepasang kupu- kupu merah terbang berputaran di atas ke?palanya.
Siong In menengadahkan kepala meman?dang sepasang kupu-kupu merah tadi, hatinya jadi girang, ia lompat ke atas untuk me?nangkap sang kupu-kupu, tapi sang kupu-kupu juga gesit, mereka melambung melayang ke udara, kemudian terbang rendah di atas lereng gunung.
Karena rasa girangnya, Siong In terus mengejar sepasang kupu-kupu merah yang terbang rendah di depannya, ternyata kupu-kupu tadi seperti jinak, tapi juga gesit, karena bilamana tangan Siong In yang mungil ingin menangkap kupu-kupu tadi mendadak saja kupu itu melesat dan terus terbang ke atas gunung.
Tanpa merasa lelah Siong In terus ber?larian mengejar terbangnya sepasang kupu-kupu merah tadi akhirnya tampak olehnya di atas lereng gunung itu sebuah kelenteng tua, dan sepasang kupu-kupu tadi menerobos memasuki lubang angin pada atas pintu kelenteng.
Siong In mengejar terus. Di depan pintu kelenteng, Siong In merandek, ia memandang ke atas, di atas pintu kelenteng tertulis dengan tinta emas yang sudah buram beberapa huruf yang ber?bunyi, "Kelenteng Ciok-lian-san." Membaca tulisan itu, hati Siong In jadi bergetar, ia memandang kebawah gunung, di sana tampak lereng gunung memutih di?lapisi salju.
Tanpa dirasa tubuhnyapun jadi gemetar.
"Bukankah, kelenteng ini, yang sering diceritakan orang-orang kampung di bawah gunung merupakan kelenteng aneh, sudah seratus tahun tidak pernah dikunjungi orang, karena di dalam kelenteng terdapat dua jurig yang menakutkan?" demikian pikir si gadis.
Cerita tentang kelenteng Ciok-lian-san diketahui benar oleh para penduduk desa di bawah kaki gunung Hong-san, kalau di? atas gunung, terdapat sebuah kelenteng tua yang angker, sejak seratus tahun yang lalu tak ada orang berani berkunjung kesana.
Karena di dalam kelenteng itu pernah terjadi suatu peristiwa aneh, yang amat menyeramkan.
******0dwkz0lynx0mukhdan0******** PADA seratus tahun yang lalu, di atas puncak gunung Hong-san yang sunyi sepi terdapat sebuah kelenteng.
Menurut Cerita turun temurun, di dalam kelenteng Ciok-lian san pernah terjadi satu kejadian aneh.
Di suatu hari, kelenteng Ciok-lian-san didatangi seorang gadis, gadis mana mene?rangkan maksud kedatangannya ke kelenteng tersebut, ia meminta obat untuk mengobati penyakit sang ibu yang telah lama diderita.
Tapi para nikho yang mendiami kelenteng tersebut mereka bukanlah tabib, mereka tak dapat memberikan obat pada si gadis.
Tapi si gadis masih tetap kukuh untuk me?minta obat dari kelenteng tersebut, karena berdasar mimpi yang dialami, hanyalah kelenteng itu yang dapat memberikan obat guna menyembuhkan penyakit sang ibu.
Para nikho dalam kelenteng itu jadi bingung atas desakan gadis aneh itu, dan ketika para nikho itu kebingungan, men?dadak seorang nikho tua berkata pada si gadis, "Di sini bukan rumah tabib, inilah sebuah kelenteng, kalau kau memang sungguhi hendak memberi pengobatan pada ibumu, nah kau boleh potong dagingmu sendiri, untuk digunakan sebagai obat." Mendengar perkataan nikho tua itu, si gadis segera menjura dan berkata, "Bilamana ibuku telah sembuh, aku akan segera bercukur rambut menjadi padri." Setelah berkala demikian gadis itu lalu turun gunung.
Beberapa hari kemudian gadis tadi naik kembali ke atas puncak gunung mendatangi kelenteng Ciok-lian san, ia menceritakan bagaimana ibuya telah dibikin sembuh dengan daging kulit pipinya yang diiris untuk memberi pengobatan pada sang ibu, hingga wajah gadis itu menjadi rusak.
Sejak hari itu gadis tadi bercukur ram?but menjadi pendeta, selama hidupnya dengan wajah yang rusak karena daging-daging kulit pipinya diberikan untuk sang ibu guna menyembuhkan penyakit yang diderita, ia melakukan pertapaan di dalam kelenteng, meninggalkan keramaian dunia.
Hari berjalan terlalu cepat, tanpa dirasa enampuluh sembilan tahun telah dilewati si gadis yang bertapa dalam kelenteng itu telah menjadi seorang nenek, dan para ni?kho penghuni kelenteng sudah mulai tua, di antara sudah ada yang menutup mata.
Suatu ketika si nenek yang telah bertapa selama enampuluh sembilan tahun dalam kelenteng itu berjalan keluar, lalu duduk bersila di atas sebuah batu di depan pintu kelenteng, memandang keindahannya lereng gunung.
Mendadak saja, terjadi keanehan, batu di mana bekas si nenek duduk tumbuh sekuntum kembang teratai, dan saat itu si nenek yang tua itu melayang ke langit.
Batu berbunga di depan kelenteng bekas diduduki si nenek, masih tampak di sana, batu itu sering dikunjungi sepasang kupu-kupu warna merah.
Kisah itu telah lewat seratus tahun berselang.
Orang tidak tahu kebenaran kisah sebenarnya, hanya di sana, di depan kelenteng tua yang sudah kosong itu masih terdapat sebuah batu berbunga.
Yang selalu dikitari oleh sepasang kupu-kupu merah.
Tiada seorangpun yang berani lagi ber?kunjung ke kelenteng tersebut, karena sejak terjadi peristiwa aneh itu, di dalam kelen?teng itu sering timbul kejadian aneh orang-orang yang berkunjung ke dalam kelenteng sering menemui hal-hal ganjil.
Lebih-lebih kalau orang yang datang ke kelenteng itu seorang berhati busuk, orang tadi akan menampak dua iblis bengis menakutkan dengan mata mendelik hendak menerkam orang tersebut.
Manusia manakah yang tidak mempunyai salah" Setiap pengunjung pasti menemukan iblis seram itu.
Lama kelamaan, tidak ada lagi orang berani berkunjung ke kelenteng Liok-lian-san.
Karena tak seorangpun berani lagi ber?kunjung ke kelenteng itu, hingga kelenteng menjadi sunyi, begitupun para nikho tak seorang yang bisa tahan tinggal di sana.
Akhirnya kelenteng itu ditinggalkan.
Merupakan sebuah kelenteng tua yang angker menyeramkan.
******0dwkz0lynx0mukhdan0******** Siong In juga pernah mendengar cerita tentang kelenteng itu, hatinya jadi ciut, bagaimanakah kalau sekiranya di dalam kelenteng ini benar- benar dihuni oleh dua iblis, dan iblis itu mungkin bisa mencelakai dirinya.
Maka mengingat akan cerita-cerita itu, Siong In membalikkan badan hendak berlalu, tapi sang kaki dirasa gemetar, dicekam oleh rasa takut yang muncul tiba-tiba.
Baru saja ia membalik badan dengan ka?ki gemetar, mendadak saja di belakangnya terdengar suara pintu dibuka.
Itulah suara pintu kelenteng yang mendadak menjeblak! Mendengar suara pintu terbuka itu, hati Siong In semakin berdebar keras, ia niat lari turun dari sana, lapi sang kaki sudah gemetar lemas, meskipun hatinya ingin lari kabur, tapi kakinya tak mau menurut pe?rintah sang kaki tetap bergemetaran di sana.
Mulutnya menganga lebar, ia berteriak, tapi suara teriakannya juga tak keluar.
Se?akan ia menjadi seorang gadis bisu.
Angin dingin pegunungan bersalju, me?nambah seramnya suasana.
Lama Siong In berdiri seperti itu, tapi setelah suara pintu kelenteng itu terbuka, ia tidak mendengar suara lain yang mecurigakan.
Maka rasa takutnyapun perlahan-lahan jadi lenyap, hati Siong In berkata, "Kalau di dalam kelenteng ini terdapat dua jurig, tentulah mereka telah mencekik diriku.
Mungkin suara tadi, akibat daun pintu kelenteng yang terbuka ditiup angin!" Setelah berkata sendiri demikian, per-lahan-lahan ia memberanikan dirinya, memba?lik badan untuk melihat apakah suara itu betul-betul dari suara pintu kelenteng yang di tiup angin.
Begitu badan Siong In menghadap pintu kelenteng, mendadak saja, ia mundur ke belakang, kemudian karena lemasnya, ia jadi jatuh duduk.
Sepasang matanya menatap dengan sinar ketakutan ke arah pintu kelenteng yang sudah terbuka lebar.
Di depan pintu kelenteng itu entah sejak kapan su- dah berdiri seorang niko, wajah niko itu begitu cantiknya, usianya tidak lebih dari tiga puluhan tahun, ia tersenyum berseri-seri memandang Siong In.
Siong In sudah dicekam oleh rasa takut, bayangan setan penghuni kelenteng itu menjelma sebagai wanita cantik" Begitu ia menampak seorang niko cantik itu, pikirannya sudah dipengaruhi oleh setan yang muncul mendadak, bukankah niko ini jelmaan setan penghuni kelenteng.
Selagi Siong In duduk numprah ketakutan, si niko dengan tersenyum berkata, "Anak, ....
kau jangan takut." Setelah berkata begitu niko tadi berja?lan maju mendapatkan Siong In.
Melihat si niko jalan mendatangi menda?dak saja Siong In berteriak keras, "Jangan! Jangan dekat! Jangan sentuh aku......aku akan segera me?ninggalkan tempat ini." Niko jadi bergoyang kepala.
Begitu Siong In berteriak, ia menghentikan lang?kahnya, kemudian mundur setindak, lalu katanya sambil tersenyum, "Anak, jangan takut, aku tidak akan mencelakaimu! Bukankah kedatangan-mu ke tempat ini karena tertarik oleh ha?rumnya bunga dan sepasang kupu-kupu merah?" Melihat si niko melangkah mundur, dan mengatakan tidak akan mencelakainya, de?ngan masih diliputi rasa takut, Siong In bertanya, "Kau .
..kau siapa. . . . orang apa setan ....?" Mendengar pertanyaan itu si niko terse?nyum lalu berkata, "Kau sangka aku setan, hmmm .
. . di mana ada setan bisa bicara dengan manu?sia ...
. o". mie ?". to . . . hud." Song In mendengar kalau niko ini me?nyebut nama Budha, rasa takutnya mulai lenyap separuh, pikirnya, "Kalau ia ini setan, tentunya tidak akan menyebutkan nama Budha." "Anak ........" kata lagi siniko, "Sam?painya kau ke tempat ini karena dibawa oleh sepasang kupu- kupu merah, dan kau juga mencari itu bau harumnya bunga.
Nah, batu dimana kau duduk, itulah batu ber?bunga bunga, batu itulah yang menge?luarkan bau harum." Siong In kaget, bukankah hidungnya sejak tadi sudah mencium baunya harum bunga itu, kini ia memperhatikan keadaan batu yang didudukinya, benar saja di belakang batu dimana ia duduk di sana tum?buh sekuntum kembang teratai yang me?mancarkan bau harum.
"Nah, kau sudah lihat," kata si nikho "Sekarang bangunlah, jangan takut!" "Apa kau ini betul-betul manusia?" tanya Siong In sambil bangun berdiri.
Nikho cantik itu tersenyum riang, kata?nya, "Jangan ragu-ragu lagi, aku manusia seperti juga dirimu.
Sudah lama aku senang denganmu, kau berbakat, maka hari ini se?ngaja sepasang kupu- kupu merah itu membimbingmu datang ke tempat ini.
Kau akan kuangkat jadi murid, apa kau suka?" Mendengar itu, Siong In cepat-meme?gangi kedua kepang rambutnya, dan ber?seru, "Aku tak mau.
Aku tidak mau jadi nikho.
Aku tidak mau cukur rambut." "Ahh! Aku bukan hendak menjadikan kau nikho," kata nikho sambil tertawa, "Tapi aku akan mengajarkan kau ilmu si?lat, karena aku tahu, selama ini kau me?latih ilmu silat warisan keluargamu, tapi semua latihan itu hanya mengandalkan te?naga luar saja, meskipun kekuatan tenaga luarmu dari hasil latihan silat itu boleh dikata lumayan, tapi tidak mungkin bisa me?ngalahkan orang yang berkepandaian tinggi, maka sungguh disayangkan bila mana kau hanya mempelajari ilmu luar saja, tanpa mendapat didikan tenaga dalam.
Bila kau suka maka di tempat ini aku akan berikan kau pelajaran ilmu iweekang juga beberapa kepandaian yang berguna untuk dirimu." Siong In berpikir sesaat lamanya, kemudian ia berkata, "Kukira kepandaian yang diberikan oleh ibuku juga sudah cukup.
Untuk apa mesti belajar lagi dari lain orang." "Hmmm.
Ucapanmu memang benar!" kata nikho itu tertawa.
"Tapi ilmu silat yang kau pelajari itu apa gunanya, untuk menangkap seekor kupu-kupu terbang rendah saja kau tak mampu." Siong In menganga mendengar ucapan si nikho hatinya berdesis, "Benar! Berulang kali sepasang kupu-kupu merah itu terbang rendah di depan diriku, tapi beberapa kali aku berusaha menangkapnya selalu tidak berhasil." Setelah berpikir demikian, ia bertanya pada si nikho, "Apakah setelah aku mendapatkan pela?jaran darimu, aku bisa menangkap kupu-kupu dengan mudah." "Jangankan kupu-kupu," kata nikho itu.
"Burung yang terbang setinggi duaratus kaki kau bisa jatuhkan." "Kalau begitu," kata Siong In girang.
"Aku akan pulang dulu memberitahukan pada ibuku di rumah." "Bagus, ucapanmu itu memang terpuji," kata nikho tadi.
"Hanya dalam urusan ini kau tidak boleh memberitahukan pada ibumu, bahkan siapapun kau tidak perlu beri tahu.
Kau harus pegang rahasia, kalau saja sampai ada orang tahu.
Maka gagallah semua cita-citamu." "Kalau begitu ..." kata Siong In.
"Baiklah! Aku akan merahasiakan ini.
Dan mulai hari ini aku mengangkat kau men?jadi suhu." Mendengar ucapan Siong In nikho tadi tertawa riang, katanya, "Kau memang anak aneh!" Sejak hari itu Siong In, setiap hari naik ke atas puncak gunung, ia melatih ilmu silat dan juga mendapat pelajaran agama Budha Dan tanpa dirasa lima tahun telah dilewati.
Dalam waktu lima tahun itu, Siong In telah mahir menggunakan senjata rahasia Kim-chi-hui-piauw, dan ilmu menotok jalan darah.
Begitupun ilmu tenaga dalam?nya boleh dikata sudah sempurna.
Lima tahun sudah dilewatkan pertumbuhan badan Siong In juga sudah berubah jauh, dari seorang gadis kecil lincah nakal, sudah berubah menjadi seorang gadis cantik gagah.
"ANAK GOBLOK," pada suatu hari sang ibu menegor Siong In di dalam kamarnya.
"Kau sekarang sudah berusia enambelas tahun dan badanmupun cukup besar, hingga kau boleh dikata bukan lagi seperti anak-anak, tapi sifatmu masih seperti anak kecil saja, setiap hari kau hanya bermain, kerjamu hanya pergi ke lain kampung keluyuran tidak keruan.
Apa kau tidak pernah memikirkan tentang ayahmu yang pergi tanpa juntrungan" Sudah sepuluh tahun lamanya tiada kabar berita." Berkata sampai di situ, sang ibu menghela napas, lalu katanya lagi, "Selama sepuluh tahun ini ayahmu tiada kabar berita.
Mati atau masih hidup" Aih, kalau kau ini anak laki-laki, tentunya sudah lama aku suruh kau mencari jejak ayahmu itu.
Tapi kau hanya seorang anak perempuan, meskipun kau telah mendapatkan pelajaran ilmu silat, tapi seorang anak perempuan mau sampai dimana kekuatannya bila menghadapi orang-orang jahat." Siong In yang mendengar perkataan sang ibu, berkata, "Oh, ibu, meskipun aku bukan anak laki-laki, tapi aku sanggup untuk pergi mencari ayah.
Lagi pula aku tokh bukan gadis pingitan yang hanya mengeram dalam rumah gedung, sejak kecil aku mendapat pelajaran ilmu silat, dan aku sendiri sering berlari-larian di ?atas gunung.
Hingga gunung dan hutan bukan lagi merupakan apa-apa bagiku, maka meskipun aku mengembara ke pelosok dunia juga tidak nanti takut pada orang." Sang ibu yang mendengar ucapan putri?nya berkata, "Anakku, kau tahu apa.
Itu beberapa macam ilmu silat yang aku ajarkan padamu, sama sekali tidak ada artinya sedikitpun! Tempo dulu ayahmu bilang hendak pergi ke kotaraja, sedang perjalanan dari Ho-lam ke kotaraja mesti memakan waktu paling sedikit satu bulan, sedang di tengah jalan banyak orang jahat berkepandaian tinggi dan kepandaian yang kau miliki, mana bisa untuk menandingi mereka, itu hanya cukup untuk sekedar kau menjaga diri." Mendengar ucapan ibunya itu, Siong In tertawa, "Oi, ibu," seru Siong In "Ibu belum tahu, anakmu telah memiliki kepandaian silat tinggi, saat ini kepandaianku tidak berada di bawah lain orang, ibu tidak percaya" Bo?leh coba! Agar ibu tidak merasa kuatir, dan mengizinkan aku mengembara mencari jejak ayah, mari kuperlihatkan kemajuan ilmu silatku." Setelah berkata begitu Siong In menga?jak ibunya keluar.
Di luar rumah ia memandang ke langit.
Kemudian sambil menunjuk ke arah seekor burung yang sedang terbang di udara ia berkata, "Ibu lihatlah burung itu.
Sebentar lagi ia akan segera jatuh ke bumi!" Sang ibu memandang burung yang ditunjuk Siong In, berbarengan mana tangan si nona melempar sebuah Kim-piauw, maka piauw itu berkelebat menyambar burung yang sedang terbang, tepat mengenai dadanya dan tak ampun lagi burung itupun bergelepar di udara, lalu jatuh tepat di depan mereka.
Sang ibu bisa menyaksikan, bagaimana putrinya memamerkan kepandaiannya, ia jadi melongo, dari mana anak ini belajar ilmu lempar piauw, ia sendiri belum per?nah mengajarkan ilmu itu.
Selagi sang ibu dibuat heran atas kepan?daian putrinya itu, Siong In sudah berge?rak lagi, kiat ia melakukan gerak-gerak ilmu silat yang pernah dilatihnya di atas puncak gunung.
Dan sebagai penutup gerakan kepalan si nona yang telah disaluri kekuatan tenaga murni menghajar sebatang pohon cemara sebesar pelukan tangan.
Pohon cemara sebesar pelukan tangan bergoyang keras, daun-daun pada rontok berguguran.
"Ibu!" seru Siong In, "Apa sudah lihat ilmu tenaga dalamku belum sempurna betul kalau saja pada lima tahun lagi, pastilah pohon ini akan roboh berikut akar-akarnya terkena pukulanku." Sang ibu yang menyaksikan kepandaian anaknya begitu hebat, ia bertambah heran, hingga karena herannya itu, ia berkata se?tengah berteriak, "Anak, kau telah melatih ilmu itu se?mua dari mana" Dengan kepandaian yang kau miliki itu, berarti kau memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari pada aku sen?diri, meskipun aku tidak tahu ilmu silat itu dari aliran mana, tapi aku dapat duga itulah ilmu silat dari aliran ternama dan bukan ilmu silat pasaran.
Tapi di tempat su?nyi ini, dari mana bisa muncul orang pandai" Dan bagaimana kau sampai mempelajari pelajaran itu secara diam- diam.
Ayo ceritakan pada ibumu." Siong In terpaksa menceritakan pada sang ibu, "Guruku seorang nikho, usianya mung?kin baru mencapai tiga puluh tahunan, wajahnya cantik, hanya sayang ia tidak mau memberitahukan nama dan gelarannya, pa?da lima tahun belakangan ini, aku sering bermain ke lain kampung, sebenarnya tidak lain pergi ke atas puncak gunung untuk melatih ilmu silat, anak terpaksa tidak memberitahu pada ibu karena begitulah kehendak suhu yang harus merahasiakan tentang anak belajar di dalam kelenteng Giok-lian-am, dan setelah tamat belajar barulah aku diijinkan untuk memberitahukan pada ibu, dan waktu itu sudah diliwati lima tahun, anak belajar secara diam-diam di bawah pimpinan suhu itu.
Sekarang lima tahun sudah dilewati, bahkan suhu juga pernah berkata kalau anak telah selesai mempelajari ilmu yang diturunkan.
Maka baru anak berani memberitahukan pada ibu.
Hanya suhu memiliki sifat aneh, kalau ada orang menanyakan nama dan gelarannya, ia selalu menggelengkan kepala, itulah yang mem?buat anak sampai hari ini tidak mengerti." Mendengar cerita sang anak, ibu Siong In sangat girang, ia mengijinkan anaknya untuk pergi mengembara mencari sang ayah.
Selanjutnya sang ibu juga memberikan sebilah pedang.
"Anakku," kata sang ibu ketika Siong In akan berangkat, "Pedang ini bukan pedang mustika tapi ketajamannva luar biasa, untuk menjaga diri guna menghadapi orang-orang jahat, dan ingat cepatlah kau kembali pulang, bertemu atau tidak dengan ayahmu." "Anak mengerti, aku juga tidak tega hati meninggalkan ibu terlalu lama." jawab Siong In, "Paling cepat anak akan pulang dalam satu atau dua bulan, dan paling lama dalam waktu setengah tahun, tentu anak, akan menengok ibu di sini." Setelah menerima pemberian pedang dari ibunya, Siong In lalu pamitan pergi, sebelum ia meneruskan perjalanannya, ia mendaki ke atas puncak gunung Hong-san untuk menemui sang suhu.
Tapi setelah ia tiba di atas sana keadaan kelenteng itu sudah kosong.
Suhunya sudah tak tampak lagi.
Siong In memeriksa ke setiap pelosok ke lenteng, di sana tak ditemui tanda-tanda kalau suhunya masih berdiam di situ, kemudian ia mencari kesekitar lereng gunung, kalau-kalau sang suhu pesiar kesana.
Tapi setelah mencari ubekan ia tidak juga menemukan ba?yangan suhunya.
"Aneh, suhu memiliki sifat-sifat aneh," pi?kir Siong In.
Kemudian ia melesat meninggalkan kelenteng Ciok-lian-am.
Ia langsung turun gunung menuju ke arah utara.
Demikianlah, hari demi hari dilewatinya, setelah memasuki daerah Kai-hong hu, keadaan jalan yang dilalui mulai menjadi sepi di sana sini hanya hutan belantara, karena baru pertama kali itulah Siong In keluar mengembara, tampak ia sedikit gugup.
Siong In mengenakan pakaian serba merah wajahnya cantik menarik, tidak heran kalau dalam perjalanan ia sering mendapat gangguan dari laki- laki hidung belang yang coba-coba mengganggu dirinya.
Tapi semua gangguan itu dengan mudahnya dapat di atasinya.
Tidak sedikit dari laki-laki hidung belang yang mesti terjungkal di bawah terjangannya ilmu silat Tai-kek-koan, atau Pat-kwa-koan dari si nona baju merah.
Pada suatu hari Siong In tiba di kampung Sip-lie-ho yang terletak di tepi sungai Hoang-ho.
Hari itu masih pagi, sang matahari baru saja memancarkan sinarnya, hawa perkampungan itu sangat sejuk.
Rumah-rumah penduduk berderetan di tepi jalan.
Orang-orang kampung ramai lalu lalang dengan urusanuya masing-masing, para pedagang sibuk menjajakan dagangannya.
Si nona baju merah Siong In melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang perkampungan yang dibangun dari pada kayu-kayu hutan.
Orang-orang kampung begitu menampak munculnya nona asing baju merah, mereka memperhatikan gerak gerik Siong In, ada beberapa diantaranya berbisik-bisik, kemudian bergegas-gegas menjauhi, seperti mereka itu ketakutan melihat munculnya setan di siang hari bolong.
Begitu memasuki pintu gerbang kam?pung itu, Siong In juga sudah melihat adanya keanehan pada penduduk kampung ini, mereka memandang si nona dengan sikap seperti menghadapi setan atau musuh besar.
Tak seorangpun yang mendekati dirinya.
Dimana ia mendekati seseorang, orang itu segera berlalu dengan langkah terburu-buru.
"Eh, apakah orang-orang ini takut karena aku membawa pedang?" pikir Siong In, tangannya meraba gagang pedang yang tersembul di belakang punggungnya.
Berbarengan dengan gerakan tangan Siong In meraba gagang pedang, terjadilah satu keganjilan orang-orang yang melihat si nona baju merah meraba gagang pedang itu* mereka sudah lari ngacir.
Kelakuan orang-orang itu ternyata telah membuat penduduk kampung lainnya lari serabutan.
Berbarengan pula, terdengar suara berisik dari pintu-pintu rumah yang terbanting ditutup.
Sebentar saja, kampung itu jadi sunyi sepi.
Bahkan seekor anjingpun tak tampak berkeliaran.
Di tengah jalan di dalam kampung itu Siong In judi berdiri mematung memper?hatikan keadaan sekelilingnya, pikirnya, "Mengapa orang-orang kampung ini begitu ke?takutan, melihat aku meraba gagang pedang" Aku toh bermaksud memasukkan gagang pedang ini ke dalam baju agar tak tampak, tapi mereka ini mengapa menyingkir pergi" Apakah anggap mereka aku seorang penjahat perempuan?" Jalan di dalam kampung ini jadi sunyi, angin pagi yang bertiup menerbangkan daun tua yang berserakan di jalan, bercampur kepulan debu.
Baju merahnya si nona sedikit berkibar dihembus angin pagi itu.
Siong In dengan membawa perasaan he?rannya, ia melangkah maju, tiba di depan sebuah kedai, ia berdiri sebentar di sana memperhatikan piatu rumah makan yang tertutup rapat.
Begitu Siong In berhenti dan memperhatikan keadaan kedai itu, dari dalam kedai terdengar suara berisik seperti ada bangku dan meja terbalik.
Siong In tambah heran, ia melangkah maju menaiki tangga pintu rumah makan itu.
Di depan pintu Siong In, berteriak, "Buka pintu! Buka pintu!" Berulang kali ia berteriak, tapi pintu itu belum ada orang membukanya.
Karena kesalnya Siong In mendorong pintu tadi, ternyata sang pintu dikunci dari dalam.
Ia jadi tertawa, lalu teriaknya lagi, "Hai, orang-orang di dalam sana, apa guna kalian mengunci pintu ini.
Kalau kalian tidak menghendaki aku masuk ke dalam de?ngan hanya mengunci pintu macam begini, inilah pekerjaan bodoh.
Dengan sekali do?brak saja pintu ini akan menjadi hancur berkeping-keping, nah pikirlah, dari pada pintu ini rusak kudobrak, sebaiknya buka sajalah, aku juga tidak akan berbuat jahat pada kalian, aku kebetulan saja lewat di? kampung ini.
Ayo bukalah." Setelah berkata demikian Siong In me?nunggu sejenak.
Kalau saja pintu itu masih belum juga dibuka apa boleh buat ia akan mendobraknya.
Tidak lama benar saja pintu dibuka orang.
Siong In tidak segera masuk, ia berdiri tentang di pintu, memperhatikan keadaan dalam kedai itu.
Di sana banyak orang duduk termenung menundukkan kepala, sedang di atas meja masih ada hidangan makanan dan minuman tapi mereka tak berani menggegares makanan yang telah tersedia.
Setelah memperhatikan keadaan aneh dalam kedai itu.
Siong In memandang pada orang yang membuka pintu.
Usia orang itu tiga puluh lima tahunan, wajahnya kurus, berjenggot, matanya sipit, karena terlalu sipitnya mata orang itu hampir tak kelihatan biji matanya.
Orang tadi menunduk?kan kepala sambil merangkapkan kedua tangannya di bawah jenggotnya yang hitam.
"Hmmm. Aneh" gerutu Siong In, melangkah memasuki kedai, ia duduk di satu meja di sudut belakang, menghadap ke depan pintu.
"Mana pelayan," seru Siong In.
Orang yang tadi membuka pintu, mendengar seruan tamu asingnya, ia segera lari menghampiri sambil membungkukkan badan berkata, "Nona mau pesan apa, makanan di sini kurang enak, harap maklum." "Bawa kemari makanan apa saja yang bisa bikin kenyang perut." kata Siong In tersenyum.
Orang berjenggot itu membungkuk ba?dan berlalu.
Tak lama ia sudah balik lagi dengan membawa senampan makanan dan minuman, serentak dihidangkan di atas meja di depan si nona baju merah.
Asap makanan masih mengepul, harum?nya merangsang hidung.
"Kau tukar saja arak ini dengan air teh hangat." seru Siong In ketika di atas meja itu terdapat sepoci arak.
Si pelayan berjenggot, membungkukkan badan, berulang kali ia mengucapkan maaf lalu mengangkat poci arak, ditukarnya dengan sepoci teh istimewa berikut cawan?nya.
"Silahkan nona . . . ." seru pelayan berjenggot.


Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siong In memandang pelayan itu, kemudian berkata sambil menunjuk ke arah tamu tamu lain yang duduk menundukkan ke?pala.
"Mereka itu bagaimana, mengapa hanya terpekur di depan meja menghadapi hidangan, tidak segera melahap makanannya yang sudah tersedia." Pelayan tua berjenggot kaget, mende?ngar pertanyaan si nona, matanya yang sipit memperhatikan ke arah meja-meja tamu lainnya, dengan suara gugup ia berkata, "Ini"...
ini". . dia orang ".." Siong In jadi tertawa geli, melihat sikap pelayan! tadi seperti ketakutan setengah mati.
"Dia orang itu bagaimana?" tanya Siong In, "Mengapa begitu?" Setelah berkata demikian, Siong In ba?ngun berdiri, lalu ia berteriak kepada para tamu, "Hai, kalian makanlah, jangan terpekur seperti itu!" Tamu-tamu tadi seperti tersentak bangun dari lamunannya, dengan rupa pucat, mereka memandan Siong In.
"Ayo makan! Mau tunggu apa" Makan?an kalian nanti keburu dingin." kata Siong In.
Setelah berkata begitu Siong In kem?bali duduk di bangkunya, lalu ia melahap makanan yang ada di depannya.
Sekali-sekali mata si nona melirik ke meja para tamu, kini mereka sudah mulai berani mengangkat sumpit menjejal makanan ke dalam mulut, tapi mata mereka sering-sering juga memandang si nona baju merah.
Bilamana kalau kebetulan pandargan mereka kebentrok dengan sinar mata si nona, orang itu segera menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil mengunyah makanannya perlahan-lahan.
Si pelayan berwajah kurus berjenggot ma?sih berdiri di pinggir meja Siong In ia belum berani berlalu sebelum sinoua baju merah memerintahkannya.
"Eh, duduk!" kata Siong In pada pela?yan tadi.
Si pelayan kurus membungkuk, "Terima kasih" ucapnya.
Siong In menarik bangku, menyuruh pelayan itu duduk.
"Ayo duduk. Aku mau bicara!" Dengan sedikit gemetar pelayan kurus tadi duduk di bangku di samping depan Siong In, ia menundukkan kepala.
"Kedai ini milik siapa?" tanya Siong In.
"Ini ... ini ..." kata pelayan tadi gugup, "Pemiliknya ......
biar hamba panggil dulu. Ia ada di dalam." "Tidak perlu." kata Siong In, sambil menuang teh ke dalam cawan.
Setelah menenggak isinya, ia memandang wajah kurus pelayan tadi, katanya, "Mengapa orang-orang di sini, tidak suka ke?hadiranku" Mengapa mereka menyingkir, kalau melihat aku memasuki perkampungan?" "Ah, ....
eh ...." kata si pelayan gugup.
"Ini "... eh.....apakah nona ini satu golongan dengan orang- orang itu?" "Golongan apa?" tanya Siong In mengkerutkan kening.
Menahan sumpit di depan mulutnya.
Mendapat pertanyaan demikian, pelayan menyipitkan matanya, memandang ke arah meja- meja di depan Siong In, ia memperhati?kan para tamu yang sudah kehilangan napsu makan.
Siong In mengikuti arah pandangan si pelayan tadi, ia mengkerutkan kening, tanyanya, "Ayo golongan apa" Mengapa kalian sampai ketakutan tidak keruan?" "Apa nona sudah lihat di depan pintu kedai?" kata pelayan rumah makan itu.
"Hmmm, ada apa di sana?" tanya Siong In heran.
"Nona lihat sendiri di atas pintu itu.
Nanti nona tahu." Jawab si pelayan perlahan Siong In menganggukkan kepala, meletakkan sumpit di atas meja, kemudian ia bangkit dan berjalan keluar.
Di luar rumah makan itu suasana masih sepi, belum ada orang yang berani lalu lalang.
Siong In memeriksa pada pintu kedai itu.
Tapi di sana tak terdapat sesuatu yang aneh.
Hanya di atas kusen pintu ia dapat melihat sebuah lukisan.
Itulah lukisan seekor kalong yang mementangkan sayapnya terlukis putih, tampak jelas ukiran urat- urat kalong putih itu.
Menampak lukisan itu Siong In mengge?leng kepala.
Dalam Derai Hujan 6 Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu 1224 Km 20 Hours 1

Cari Blog Ini