Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong Bagian 2
erang kesakitan dan rintihan ngeri segera terdengar.
Darah berhamburan disusul djatuhnja beberapa sosok
tubuh bermandi darah! Tjian hong benar2 kalang kabut. Wadjahnja putjat
lesi, darahnja bergolak keras. Dalam keadaan terlukadalam jang parah ia harus melepaskan sebuah pukulan
dahsjat, benar2 membuat luka dalam tubuhnja makin
parah. Dadanja berlumuran darah dari mulutnja. Dan
bagaikan sebuah lajang-lajang putus tali, achirnja ia
djatuh terduduk ditanah....
Ketika melihat 3 orang anggauta badju hitam dan
lima orang djago pedang terkapar ditanah, puaslah hati
Tjian hong. Serunja riang: "Masih sepadan. Sebuah
njawaku ditukar dengan delapan djiwa..."
Ia mentjoba diri untuk merangkak bangun. Tetapi
ah... kakinja seberat dimuati seribu kati benda berat.
Setapakpun ia tak mampu berkisar.
Djusteru pada saat itu, beberapa anggauta badju
hitam dan ketudjuh djago pedang jang masih belum
terluka, pelahan-lahan menghampiri ketempatnja. Tetapi
mereka tak lekas2 lepaskan pukulan karena takut akan
kesaktian sipemuda. Sinona badju hitam melihati gerak gerik kawanan
Badju Hitam dan djago2 pedang dengan mata ber-api2.
Dengan menggigit gigi kentjang2 ia berseru: "Hai, orang
she Ko. Asal kau mau mengatakan tempat tinggal si
Malaekat-elmaut, saat ini djuga tentu kulepas kau pergi!"
"Dengarlah! Sekalipun aku mati tetap takkan
mengatakannja!" sahut Tjian hong dengan ngotot.
"Kebandelanmu itu djangan kau sesalkan nanti,"
seru sinona badju hitam. "Seorang lelaki tak nanti menjesal atas
perbuatannja!" sahut Tjian hong dengan tjongkak.
Seketika dahi sinona mengerut gelap. Seri
wadjahnja menampilkan sinar pembunuhan jang buas.
Dengan nada bengis segera ia memberi perintah kepada
kawanan Badju Hitam: "Silahkan kau turun tangan!"
Mendapat perintah itu kawanan Badju Hitam dan
beberapa djago pedang itu serempak madju menjerang
Tjian hong. Tak ampun lagi tubuh Tjian hong pasti
hantjur lebur... "Saat2 jang mengerikan telah menggugah hati sinona badju hitam. Ia merintih dalam batin: "Ah, tak
seharusnja dia kubunuh. Sajang sekali! Wadjahnja,
sikapnja dan segala gerak geriknja... benar benar
menawan hati, ah... Mengapa aku bertindak tegas itu
kepadanja" Ah, aku djatuh hati padanja..."
Walaupun hatinja telah me-rintih2 mengharap
kasih, namun ia tak bertindak mentjegah kawanan
Badju Hitam dan djago2 pedang. Benar2 hati seorang
dara itu tukar ditebak. Batinnja tjinta tetapi mulutnja
berat mentjegah pemuda itu dibunuh. Lebih2 ketika
melihat betapa tenang Tjian hong menghadapi bahaja
maut saat itu, sinona makin tersajat hatinja.
Pada detik djiwa Tjian hong terantjam
kemusnahan, tiba2 terdengarlah sebuah suitan njaring
menusuk ketelinga orang2 jang berada didalam Hutan
Merah. Lengking suitan itu benar2 menjerupai letusan
halilintar jang memekakkan telinga. Kawanan Badju
Hitam dan djago2 pedang, diluar kehendaknja sama
hentikan pukulannja ditengah djalan. Mereka sama
tegak termangu-wangu seperti patung...
Lapat2 dari kedjauhan terdengar suara orang
menjanjikan lagu duka tjita. Samar2 njanjian itu
mengumandangkan irama rintihan kalbu:
Matahari gilang gemilang Mau gelap gelita Kuhidup dalam neraka gelap
Hanja mengandal hati terang
Berkelana keseluruh gunung
Mentjuri djalan jang terang
Hai Thian ing-sin-gan, dimanakah kau
Keluarkan aku dari neraka djahanam
Mata terang Matahari pekat... Lagu jang aneh dengan kata2 jang sukar diketahui
artinja ialah menjelimuti hati setiap orang jang berada di
Hutan Merah. Entah siapakah gerangan penjanji itu"
Tetapi jang djelas, kemuntjulan njanjian aneh itu telah
menjelamatkan djiwa Tjian hong!
Lagu itu penuh bernada rintihan duka nestapa.
Baik kawanan Badju Hitam maupun djago2 pedang dari
barisan Hiat uh lok-hoa-kiam-tin seperti tertjengkam
perasaannja. Tindju jang sudah mengatjung pun
diturunkan lagi pe-lahan2. Pedang jang sudah ber-kilat2
diatas, ditukikkan kebawah lagi. Mereka seperti
tersentuh oleh getar rintihan sedih dari lagu itu.
Nona badju hitampun kerutkan sepasang alis.
Rupanja ia sedang berdjuang keras untuk menahan
serangan tenaga jang terhambur dalam njanjian.
Kebalikannja Tjian hong merasa bersimpati
(kasihan) dengan penjanji lagu sedih itu. Entah
bagaimana karena merasa kasihan, seketika timbullah
semangatnja. Setelah mentjari arah datangnja sipenjanji
aneh, segera ia menghampiri. Dia tegak ter-mangu2
dihadapan orang itu. Ia merasa suara njanjian orang itu
merdu sekali... Lama, lama sekali njanjian merdu itu menguasai
udara diatas. Dan sekalian orangpun diam semua.
Mereka merasa tenggelam dalam suasana hampa.
Tiba2 njanjian itu terputus. Kumandangnja bagai
bintang djatuh dari langit. Menimpali djantung sekalian
orang! Anakbuah badju hitam dan kawanan djago2
pedang mengerut kening. Wadjah mereka tampak
hampa, semangatnja lesu. Nona badju hitam itupun seperti ter-longong2. Ia
mundur beberapa langkah. Dan Tjian hongpun diluar
kehendaknja melangkah madju lima langkah tetapi pada
lain saat ia mundur lagi tiga langkah. Dipandangnja
angkasa raja dengan rasa hampa. Hatinja terasa kosong.
Dalam keadaan limbung, pemuda itu berdiri tidak,
dudukpun bukan. Entah tak tahu ia apa sebabnja. Jang
terasa hanjalah suatu kekosongan jang lelap.
Se-konjong2 telinganja tersusup sebuah suara
halus. Aneh, suara itu terus menjerap kedalam hati dan
menjegarkan semangatnja jang lojo. Demikian dengan
orang2 jang berada dihutan situ. Mereka serasa seperti
orang jang terbangun dari tidur.
Kini mereka menanti dengan penuh keheranan.
Suara aneh itu makin lama makin dekat tetapi siapa
orangnja belum djuga muntjul. Penjiksaan perasaan itu
membuat mereka tegang sekali sehingga sama menahan
napas... Tiba2 mata sekalian orang tersilau oleh suatu
tjahaja terang. Sekeliling pendjuru se-olah2 gemilang.
Apa jang disaksikan saat itu menjebabkan mereka
menghela napas. Puas dan legah...
6 Bidadari buta. "Ah, tak kusangka didunia terdapat gadis jang
sedemikian tjantiknja, "Tjian hong menumpah pudjian
untuk melonggarkan debur djantungnja jang ber-golak2.
Kiranja 10-an tombak dari tempat orang2 berdiri,
tampak seorang dara badju putih jang luar biasa
tjantiknja. Tubuhnja jang langsing semampai, wadjahnja
jang tjantik gilang gemilang, bagaikan seorang dewi jang
baru turun dari kahyangan.
Sekalian orang tak berani memandang. Mereka
seperti kena pesona sama menundukkan kepala. Tak
berani mereka mengawasi. Hanja nona badju hitam jang
berani memandangnja lekat2. Iapun kagum atas
ketjantikan dara badju putih itu. Tetapi pada lain saat, ia
menghela napas pandjang. Helaan napas jang bernada
sajang dan ketjewa. "Sajang, sajang. Gadis setjantik bidadari itu buta
matanja," gumamnja. Memang dara badju putih jang tjantik djelita itu,
ternjata kedua matanja buta. Sekalipun begitu,
ketjantikannja tak terpengaruh karenanja...
Demikian dengan sekalian orang jang berada disitu.
Bermula mereka mengagumi bahwa Tuhan telah
mentjiptakan seorang insan jang sedemikian sempurna
ketjantikannja. Tetapi dikala mereka mengetahui tjatjad
sidara, suatu perasaan iba dan sajang menjertai nasib
dara itu. Dara badju putih itu melangkah pe-lahan2.
"Saudara2, aku hendak mohon tanja. Dimanakah
terdapatnja burung Thian-eng itu?" serunja dengan
hambar. Pertanjaan jang diutjapkan dengan rasa iba itu
membuat sekalian orang tergetar hatinja. Mereka tak
berani sembarangan mendjawab karena kuatir memberi
penjahutan salah jang dapat melukai perasaan dara itu.
Beberapa saat kemudian dara itu kembali
mendengus : "O, tadi kalian berkelahi. Apakah
kedatanganku ini mengganggu kalian?"
Lagi sekalian orang membisu. Mereka hanja saling
berpandangan satu sama lain.
"Tetapi tjara berkelahi seorang dikerojok beberapa
orang tadi, kurasa tidaklah pada tempatnja. Kurang
lajak," kata dara itu pula.
Nona badju hitam terbeliak kaget. Dipandangnja
dara itu sekali lagi dengan seksama. Djelas bahwa dara
itu buta kedua matanja tetapi mengapa ia tahu apa jang
telah terdjadi tadi"
Dara badju putih itu mengangkat tangannja jang
halus dan mulai menghitung kawanan Badju hitam serta
ketudjuh djago pedang, udjarnja"Tigabelas orang
mengerubut satu orang, benar2 bukan ksatrya..." "
tiba2 ia menundjuk pada si nona badju hitam ia
mendamprat: "Dan kau nona, hatimu hitam sekali.
Memberi perintah pada mereka supaja melakukan
pengerojokan!" Bukan kepalang kedjut si nona badju hitam. Ia
termangu beberapa saat. Tiba2 wadjahnja menjembul
hawa pembunuhan. Dara badju putih itu alihkan kata2nja kepada Tjian
hong: "Kau lelaki ini, djuga tak berguna, sehingga kena
dihadjar babak belur. Kelak harus beladjar ilmu silat
jang tinggi dan harus giat berlatih. Djangan beladjar
dengan setengah hati dan meng-hambur2kan waktu!"
Wadjab Tjian hong merah padam mendengar
dampratan sidara. Malunja bukan kepalang. Djika
mampu ia hendak melarikan diri masuk kedalam tanah
sadja. Sinona badju hitam jang tak dapat mengendalikan
kemarahannja segera membentaknja: "Disini bukan
urusanmu, lekas enjah!"
"Ai, selama 16 tahun ini belum pernah ada orang
jang berani berkata sekasar begitu kepadaku. Kau
merupakan satu2nja orang jang berlaku kasar padaku.
Rupanja kau telah makan hati matjan. Djika tak
mengingat sesama kaum wanita hm..."
"Apa" Kau kira aku takut padamu?" sidara badju
hitam melengking sengit. "Tiada orang jang harus takut pada orang. Tetapi
barangsiapa bermulut lantjung tentu akan mendapat
peladjaran jang pahit!" sahut sidara badju putih.
"Setitikpun aku tak pertjaja seorang gadis buta
seperti kau dapat melakukan hal itu," djawab nona
badju hitam. Tak mau kalah rupanja sidara badju putih dalam
berdebat. Udjarnja: "Peladjaran ilmu silat, sukar
didjadjaki dalamnja. Sekalipun aku tak mempunjai
kepandaian jang mengagumkan orang tetapi kalau hanja
melajani ilmu pentjak tjakar kutjing dari kalian bertiga,
rasanja masih bisa!"
Ringan kedengarannja utjapan itu tetapi isinja
seperti sebuah martil jang memalu kepala nona badju
hitam. Nona badju hitam itu tergugah keangkuhannja. Dia
jang dimandjakan dalam keangkuhan ilmu silat warisan
keluarganja jang termasjhur mendjagoi dunia persilatan
mana dapat menerima damprat sematjam itu. Sepasang
alisnja tampak mengerut keatas.
"Kau sudah mengutjapkan kata2 takabur. Djika
aku tak dapat menghilangkan mukamu, aku bersumpah
tak mau djadi orang," serunja.
Sebagai sambutan, tampak wadjah dara badju
putih mengerut gelap. Tegak berdiri diantara tiupan
angin, tampak ketjantikannja makin menondjol djelas.
Diam-diam Tjian hong kuatir akan keselamatan
dara buta itu. Betapapun saktinja kepandaian jang
dimiliki namun dara itu buta kedua matanja. Mengandal
ketadjaman alat pendengarannja sadja tentu akan
mengurangkan kelihayannja.
Saat itu nona badju hitam memberi sjarat dengan
kitjupan mata lalu lontjat beberapa tombak kesamping.
Ia tak mau turun tangan tetapi memberi perintah kepada
anak buahnja. Keenam djago badju hitam dan 7 djago pedang
segera bergerak mengepung sidara badju putih
Tiba2 dara badju putih itu berseru njaring: "Dalam
perkelahian tentu sukar menghindari luka dan mati.
Untuk jang terachir kalinja, kuminta saudara mundur
sadja daripada menderita kematian setjara penasaran!"
Ketiga belas djago2 itu tertegun. Tanpa disadari
mereka hentikan langkah. "Gadis buta, djika takut mati lebih baik haturkan
maaf sadja. Aku tentu suka memberimu ampun !" tiba2
nona badju hitam berseru.
"Apakah kau tak mendengar djelas utjapanku?"
Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sahut sidara badju putih, "akulah jang kasihan pada
orang2nja. Bukan hendak menjombongkan kepandaian
tetapi aku benar ketjewa karena berhadapan dengan
lawan jang tak sepadan. Sekali aku turun tangan pasti
mereka binasa atau terluka parah. Itulah sebabnja aku
tak mau sembarangan menggerakkan tangan. Karena
sekali bergerak tentu tak mau memberi ampun lagi
kepada lawan!" "Ha, ha..." nona badju hitam tertawa gelak2."Kau
terlalu ber-lebih2an. Siapa jang akan mandi darah mana
dapat diketahui lebih dulu!"
"Memang sebelum bertempur tak dapat diketahui.
Tetapi kulihat ketigabelas anakbuahmu itu tak lebih dari
kantong2 nasi jang tak berguna. Mereka pasti mati.
Maka kuperingatkan dulu agar mereka djangan mati
setjara sia2." "Sudahlah, djangan banjak kekuatiran. Mati hidup
ditangan Jang Kuasa. Silahkan kau turun tangani!"
tukas nona badju hitam. "Jang mati bukan kau, sudah tentu kau tak
pusing!" "Benar2 gadis buta jang bawel... seru nona badju
hitam dengan marah. Karena merah padam wadjahnja
jang buruk tambah semakin djelek lagi.
"Ajo, mulailah!" serunja kepada anakbuah badju
hitam, "hadjar mulut sibuta itu dan remukkan tulang
belulangnja!" Perintah itu mendapat sambutan serempak. Enam
orang badju hitam dan 7 djago pedang segera bergerak.
Tudjuh batang pedang menghambur diudara dibarengi
oleh hudjan pukulan dari keenam anakbuah badju
hitam. Pada lain saat bertaburan sinar pedang
menghambur ketubuh sidara buta.
Dara badju putih tenang2 sadja menjungging
senjum. Udjung badjunja jang ber-kibar terhembus
angin makin makin menambah kawibawaannja.
Melihat itu bukan main gelisah Tjian hong
Nona badju hitam tertawa. Belum sirap nada
tertawanja tiba2 tjuatja matahari se-olah2 berobah gelap.
Tjian hong dan nona badju hitam merasa pandangannja
seperti tertutup oleh kabut gelap. Menjusul terdengar
lengking djeritan ngeri dari beberapa anakbuah badju
hitam. Mulut nona badju hitam terkatup seketika.
Tertawanja berganti dengan nganga mulut dan beliak
mata. Keringat dinginpun segera menurun deras dari
tubuhnja. Saking kedjutnja ia sampai menggigil
gemetar... Pemandangan jang tampak ditengah hutan
sungguh mengerikan buluroma. Kutungan anggauta
tubuh orang berserakan ditanah. Kutungan pedangpun
tersebar di-mana2. Tudjuh djago pedang dari barisan
Hiat-uh-lok-hoa-kiam-tin jang termasjhur dan keenam
anakbuah badju hitam sama menggeletak dengan djiwa
melajang... Tjian hong menjurut kaget sampai dua langkah.
Apa jang dilihatnja benar2 tak dapat dipertjaja.
Kebalikannja dara badju putih itu tetap tegak berdiri
ditempatnja dengan sikap jang tenang sekali.
Gerakannja membunuh kesebelas lawan tadi, hanja
berlangsung dalam sekedjab mata sadja. Baik Tjian hong
maupun sinona badju hitam sama sekali tak mengetahui
djurus permainan ilmu apa jang digunakan dara badju
putih itu tadi. Sinona badju hitam tegak seperti patung jang
kehilangan semangat. Sepatahpun ia tak dapat berkata.
Dara badju putih tertawa melengking : "Ih, kau
menjaksikan sendiri bukan" Aku benar2 tak mau
sembarang turun tangan. Tetapi sekali bergerak tentu
hebat akibatnja. Kuharap hal itu djangan menjalahkan
diriku tetapi harus menjalahkan mengapa mereka tak
dapat menjakinkan ilmu kesaktian sampai sempurna!"
Wadjah nona badju hitam membiru, serunja
dengan nada berat: "Ah, tak kira gadis sesutji kau
ternjata sedemikian ganas!"
"Kau menuduh aku ganas?" tanja sidara.
"Lalu bagaimana harus mengatakan?"
"Taruh kata benar, tetapi tetap kalah ganas dengan
kau." "Aku" Bagaimana keganasanku?" seru sinona
badju hitam. "Kau ber-pura2 kasihan untuk memikat simpati
orang. Agar dia... ia menundjuk kearah Tjian hong,
"terkena ratjun ganas dari kitab Tanpa-tulisan. Pada hal
maksudnja kau hendak mengkangkangi sendiri kitab itu.
Keganasan sematjam itu, djauh lebih hebat dari
tindakanku tadi!" Tjian hong seperti disadarkan. Dipandangnja
sinona badju hitam dengan dendam kebentjian."Wanita
berbisa!" dampratnja.
Dampratan itu membuat hati sinona badju hitam
seperti digujur air dingin. Tetapi setjepat itu djuga ia
segera mendjawab: "Djangan
"Bukan Aku jang membunuhnja!" teriak Tjian hong.
Nona badju hitam terkesiap. Serunja pula: "Tetapi
djelas dia mati ditanganmu!"
Tjian hong gelagapan tak dapat menjahut. Ia hanja
kepal2kan tindju erat2. Tubuhnja gemetar.
Tiba2 sinona badju hitam melangkah kehadapan
dara badju putih, bentaknja: "Tigabelas djiwa djuga
harus diperhitungkan!"
"Kau hendak membuat perhitungan bagaimana?"
tanja si dara buta. "Hutang djiwa bajar djiwa!"
"He, djika aku harus membajar djiwa, wah, aku
mesti menjediakan seratus djiwa untuk mengganti
korban-korban jang telah kubunuh...."
"Siapa kau!" bentak dara badju hitam."Djangan
undjuk keliaran!" "Kau tak tahu?"
"Katakanlah!" "Djika aku tak mau mengatakan?"
"Didalam hutan Merah sini mana kau dapat
membawa kemauanmu sendiri!"
Kata2 itu ditutup dengan melangkah madju dua
tindak kemuka dan lengan kanan nona badju hitam itu
segera diangkat keatas. Sebuah pukulan jang luar biasa
dahsjat dan luar biasa dibabatkan kedada si dara....
Pukulan ganas itupun dilantjarkan dengan ketjepatan
jang luar biasa. Namun dara badju putih tetap tenang2 sadja. Tidak
menghindar pun tidak menangkis.
Se-konjong2 terdengar suara suitan melengking
njaring. Seketika itu Tjian hong rasakan djantungnja
hampir putus. Semangatnjapun hilang.
Sinona badju hitampun terkedjut. Tjepat2 ia tarik
pulang pukulannja dan lontjat mundur sampai lima
tombak. "Eh, mengapa kau tak djadi memukul?" dara buta
itu berseru. Se-olah2 ia melihat apa jang dilakukan nona
badju hitam. "Hm, kuampuni selembar djiwamu andjing!"
"Lutju! Mau memukul tetapi sebelum buluroma-ku
tersentuh lalu buru2 ditarik lagi. Tetapi tak malu
menjangkal mau memukul. Ajo, djika kau memang
mempunjai kepandaian, kita tentukan siapa jang lebih
unggul kepandaiannja!" dara badju putih menantang.
"Dara brandal!" damprat nona badju hitam,
"djangan kau mengangkat dirimu setinggi langit. Djika
kau mampu keluar dari hutan Mer2h ini, aku tak mau
memakai she keluargaku Siangkwan lagi!"
"O, kau orang she Siangkwan" Tentulah keturunan
orang persilatan. Ja, ja, setiap orang persilatan takut
mendengar nama Hay-gwa-it-kiau Siangkwan Hoa-kunlho!"
"Karena tahu namaku, kau tentu djuga orang
persilatan. Mengapa tak mau menjebutkan namamu!"
seru sinona badju hitam. "Kalau kau sampai tak tahu itu menandakan
kebodohanmu!" "Gadis jang tak tahu malu, tjis... nona badju hitam
memaki. Saat itu suara suitan makin keras sehingga telinga
hampir petjah. Nona badju hitam lontjat menjingkir
beberapa tombak lagi. "Aku masih mempunjai urusan penting. Hari ini
kuampuni djiwamu. Tetapi lain kali aku tetap akan
minta ganti djiwa padamu!" serunja. Sekali endjot tubuh,
nona badju hitam itupun sudah lenjap.
Dara buta berbadju putih tak mau mengedjar. Ia
menghampiri kemuka Tjian hong. Tegurnja: "Siapakah
nama saudara" Tjian hong terbeliak, sahutnja: "Ko Tjian hong.
Siapa nama nona?" "Aku..." Ah, lebih baik tak kukatakan sadja!"
"Kau marah?" "Tidak!" "Mengapa tak mau mengatakan?" desak Tjian hong.
Sebenarnja ia tak pandai bitjara. Apalagi berhadapan
dengan seorang dara jang sedemikian tjantiknja. Namun
karena terdorong oleh rasa ingin tahu, terpaksa ia
membuka mulut djuga. Karena sidara diam sadja, iapun
tak mau mendesak terus. "Apakah nona benar2 buta?" achirnja lewat
beberapa djenak ia bertanja dengan ragu2.
"Tentu! sahut sidara, "kalau tidak masakan aku
sudi berpura-pura mendjadi orang buta" Ah, didunia
orang butalah jang paling menderita. Tak dapat
menikmati keindahan gunung dan alam jang indah
permai. Di-mana2 mendapat edjek tjemoohan. Ah,
benar2 menjedihkan sekali...!"
"Tetapi nona mendapat simpati orang2. Dan
apakah kiranja tiada obat jang dapat menjembuhkan
penglihatan nona?" tanpa disadari Tjian hong terbawa
dalam pertjakapan asjik. "Ada tetapi susahnja bukan kepalang!"
"Kalau tak keberatan silahkan nona mengatakan.
Mungkin aku dapat membantu!"
"Sungguh" Ah, kau baik sekali. Apakah kau pernah
mendengar tenang sedjenis burung jang disebut Thianeng?" seru sidara penuh harap.
"Belum pernah."
Dara itu menghela napas ketjewa: "Ah, asal bisa
mendapatkan burung Thian-eng itu, bidji matanja
dipindahkan kekelopakku, akupun tentu dapat melihat
dunia lagi!" Diam2 Tjian hong telah membulatkan tekad. Kelak
ia tentu akan mendjeladjahi seluruh pendjuru untuk
mentjari burung itu. "Biarlah nona jang setjantik bidadari itu dapat
menikmati sinar matahari lagi," pikirnja.
Nona badju putih itu kebutkan lengan badju,
udjarnja;"Dapatkah kau memberi bantuan padaku?"
"Mengenai hal apa?"
"Berdasarkan kepandaian, perawakan dan
perangaiku, tolong kau berikan sebuah nama untukku!"
"Eh... eh mana aku mampu..."
"Djanganlah merendah diri!" tukas sidara, "aku
jang minta tentu menerima dengan puas. Tak nantiku
menjesal!" Tjian hong memandang wadjah dara buta itu sepuas2nja. Ketjantikan jang gilang gemilang benar2
mempesonakan. Buru2 ia alihkan pandang ketanah.
Ah, ditanah tampak terkapar beberapa sosok majat.
Tiba2 terlintas sesuatu pada benaknja.
"Ja, ja, aku teringat sesuatu. Tetapi apakah nona
takkan marah kepadaku?" tanjanja.
"Katakan lekas! Mengapa aku marah?"
"Giok-lo-sat!" Habis mengutjap, Tjian hongpun menjurut mundur
tiga langkah. Ia ber-siap2 menghadapi kemungkinan
sinona marah. Giok-lo-sat artinja Dewi Kumala jang kedjam.
Tjantik wadjahnja tetapi ganas sepak terdjangnja.
Diluar dugaan sidara badju putih tertawa
gemerintjing. Serunja memudji: "Bagus, pilihan jang
bagus sekali! Pakaianku jang serba putih dan tubuhku
jang menurut orang tjantik gemulai, memang tepat
mandapat djulukan Giok (kumala). Dan Losat (ganas)
tentulah karena kau melihat pembunuhan jang
kulakukan tadi. Sekali turun tangan 13 djiwa melajang.
Bagus, bagus, sedjak saat ini aku akan memakai nama
Giok-lo-sat jang kau pilihkan itu...!"
7 Giok-lo-sat Dara badju putih merenung sedjenak lalu berkata
pula: "Tetapi perlulah kudjelaskan sedikit. Benar
memang aku ganas sekali terhadap lain orang,
membunuh dengan tak kenal kasihan. Tetapi terhadap
kau, aku merasa bersahabat dan takkan berlaku
kedjam!" Tjian hong terkesiap. "Tahukah kau dewasa ini siapa jang paling sakti
didunia persilatan?" tiba2 dara itu bertanja pula.
Ko Tjian hong berpikir sebentar. Sahutnja: "Sukar
dikata. Setiap aliran ilmusilat masing2 mempunjai
keistimewaan sendiri2. Untuk menundjuk siapa paling
sakti, itulah sukar!"
"Baik, katakan sadja siapa jang paling termasjhur?"
dengan tjerdik sidara berputar djalan.
"Termasjhur... Ko Tjian hong belum lama keluar
kedunia persilatan. Dalam anggapannja, manusia jang
paling menggidikkan buluroma adalah pemilik dari
Neraka- l9 lapis. Tetapi ia tak tahu siapa nama tokoh itu.
Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka tak dapat ia melandjutkan kata2nja.
"Siapakah?" desak sidara.
Tjian hong teringat seseorang: "Malaekat-elmaut...
Wi Tjo-tjhiu!" sahutnja serentak.
"Benarkah itu?"
"Kira2 begitulah!"
Tiba2 wadjah Giok-lo-sat berobah gelap. Serunja
dengan bengis: "Baik, dalam waktu jang singkat, akan
kubunuh orang itu!" Mendengar itu Tjian hong seperti dipagut ular. Ia
menggigil keras dan menjurut mundur beberapa
langkah. Wadjahnja merah padam.
Setelah memulihkan kegontjangan hatinja,
berkatalah Tjian hong: "Apa katamu?"
"Kukatakan dalam waktu singkat ini, Malaekatelmaut tentu kubunuh," djawab sidara.
"Hai, kiranja kau benar2 seorang Giok-lo-sat! Tak
ada hudjan tak ada angin kau gemar membunuh orang!"
seru Tjian hong. "Tepat!" sahut sidara, "utjapanmu itu jang separuh
bagian memang benar. Karena kau telah memberikan
nama Giok-lo-sat kepadaku, aku tak akan mentjelakai
dirimu. Tetapi tuduhanmu aku gemar membunuh orang
tanpa alasan, tidaklah benar!"
"O, kau mempunjai permusuhan dengan Malaekatelmaut?" Tjian hong agak kaget.
"Tidak!" "Tidak bermusuhan mengapa kau hendak
membunuhnja?" Tjian-hong benar2 tak mengerti kata2
dara buta itu. Tenang2 dara badju putih itu berkata: "Karena aku
hendak mendjadikan nama Giok-lo-sat mendjadi buah
bibir jang menggetarkan setiap sanubari orang
persilatan!" "Amboi.... !" Tjian hong mendjerit kaget, "kau
hendak membunuh Malaekat-elmaut supaja namamu
termasjhur?" "Tak salah!" djawab sidara, "untuk mengangkat
nama Giok-lo-sat aku terpaksa harus membunuhMalaekat-elmaut. Agar dunia persilatan tahu kesaktian
Giok-lo-sat. Rasanja tiada lain djalan ketjuali harus
mengorbankan Malaekat-elmaut!"
Tjian hong mengerut alis. Kemarahannja tak dapat
ditahan lagi, serunja sengit: "Djika kau tetap hendak
melandjutkan niatmu aku bersumpah mendjadi
musuhmu!" "Eh, mengapa?" Giok-lo-sat mengerut heran, "O,
Malaekat-elmaut itu gurumu" Atau bapakmu" Kalau
benar begitu, baiklah. Aku bersedia batalkan
rentjanaku!" "Bukan ajahku, djuga bukan guruku!" seru Tjian
hong. "Lalu apamu" Mengapa kau begitu marah ketika
aku hendak membunuhnja" Bukankah tindakanku itu
berarti akan mengangkat nama Giok-lo-sat tjemerlang
diangkasa persilatan?"
"Tjara itu keliwat ganas!"
"Tetapi aku harus berlaku seganas mungkin agar
sesuai dengan nama Giok-lo-sat jang kau berikan!"
Dan tanpa menunggu Tjian hong bitjara lagi, tiba2
Giok-lo-sat endjot tubuhnja. Bagai sebuah peluru
meluntjur, ia menerobos keluar dari Hutan-Merah dan
lari dengan pesat sekali.
Tjian hong tak mampu mentjegahnja. Ia
memandang bajangan gadis buta jang aneh itu dengan
suatu keputusan. "Aku akan berdaja menghalangi tindakannja
mentjelakai Malaekat-elmaut," diam2 ia bertekad.
Baru ia membulatkan keputusan, tiba2 terdengar
djeritan ngeri memetjah angkasa. Tjian hong
menengadah memandang keatas. Ah, sesosok bajangan
kelabu meluntjur kearahnja. Tanpa banjak pikir, Tjian
hong segera endjot tubuhnja keudara. Tjep....
disongsongnja tubuh orang itu. Orang itu tak melawan
ketika dibawa turun kebawah.
Setelah diletakkan ditanah, Tjian hong terbeliak.
Kiranja orang itu bukan lain adalah sitabib sakti Kangou-long-tiong. Tabib itu bergeliatan bangun.
"Ah, djika tak kau tolong, aku pasti binasa,"
katanja dengan pelahan. "Agaknja lo-tjianpwe menderita luka parah," kata
Tjian hong. "Hm..." "Kenapa?" "Apa lagi kalau bukan karena rusa Tjian-lian-hiatlok!" sahut sitabib.
Tjian-lian-hiat-lok artinja Rusa-darah jang sudah
berumur Seribu tahun. Tjian hong terkedjut sekali. Serunja dengan nada
penuh maaf, "Akulah jang mentjelakai lo-tjianpwe
sehingga djadi begini. Djika lo-tjianpwe tak memberi
pertolongan dengan perpindahan darah, masakan lotjianpwe akan menderita seperti sekarang?"
"Itu sudah kemauan takdir. Usah kau sesalkan!"
"Apakah rusa Tjian-lian-hiat-lok sudah lo-tjianpwe
peroleh?" tanja Tjian hong.
"Sudah!" "Lalu mengapa lo-tjianpwe tak lekas memakannja
untuk obat?" "Ah...," Kang-ou-long-tiong menghela napas.
"Kenapa lo-tjianpwe?"
Kang-ou-long-tiong mendjawab rawan: "Didalam
Hutan Merah ini aku beruntung mendapat seekor rusa
Tjian-lian-hiat-lok dan telah mendapatkan sebotol
darahnja. Tetapi ketika hendak kuminum tiba2
muntjullah seorang durdjana jang merebut-botol.
"Durdjana" Siapa?" Tjian hong kaget.
"Durdjana itu tjukup besar namanja. Tigapuluh
tahun berselang dia pernah mengaduk aduk dunia
persilatan. Tokoh2 golongan Putih maupun Hitam banjak
jang djatuh ditangannja. Setiap orang persilatan gentar
hatinja mendengar namanja..."
"Siapakah orang itu?" tukas Tjian hong.
"Su-hay mo-ong Siangkwan Yap!"
"Su-hay-mo-ong" Djadi darah rusa Tjian-lian-hiatlok dirampasnja?"
"Tidak!" "Lalu apa jang terdjadi dengan lo-tjianpwe tadi"
Mengapa lo-tjianpwe begitu ketakutan sekali" Mengapa
tak lekas meminumnja sadja?"
"Ah, darah rusa itu tak ada padaku!"
Bukan kepalang kedjut Tjian hong.
"Hilang?" ia menegas.
"Tidak!" "Lalu..." "Kusembunjikan disebuah tempat rahasia!"
"Biarlah kuambilkan untuk lo-tjianpwe."
Tabib Kang ou-long tiong memandang anakmuda
itu dari udjung kaki sampai keatas kepala. "Botol berisi
darah rusa itu berada di..." tiba2 ia hentikan utjapannja.
Tjian hong memandang sitabib dengan heran.
Tiba2 Kang-ou-long-tiong berkata pula: "Ah, mereka
datang..." "Siapa?" "Anak buah Su-hay-mo-ong!"
Baru Kang-ou-long-tiong mengutjap habis
kata2nja, terdengar suara berkeresek pohon terindjak.
Dan pada lain kedjab dihutan situ muntjul 2"5 puluh
orang berpakaian hitam. Melihat rombongan pendatang itu bukan kepalang
kedjut Thian hong. Kiranja anakbuah Su-hay mo-ong
serupa benar pakaiannja dengan anakbuah Hay-gwa-itkiau Siangkwan Hoa-kun tadi.
"Apakah Hay-gwa-it-kiau dengan Su-hay-mo-ong
mempunjai hubungan?" diam2 ia membatin.
Seorang anakbuah Su-hay-mo-ong madju
kehadapan Kang-ou-long-tiong dan menuding tabib itu:
"Dimana kau sembunjikan darah rusa. Lekas bilang!"
bentaknja. "Aku tak mempunjai alasan untuk mengatakan,"
sahut Kang-ou-long-tiong dengan dingin.
"Kalau membangkang, awas djiwamu!" orang itu
mengantjam. "Botol berisi darah rusa itu telah memeras djerih
pajahku. Dengan susah pajah baru kuberhasil
memperolehnja. Masakan enak sadja kau hendak
mengambilnja!" "Ngatjo! Kau mau mengatakan atau tidak!" bentak
orang itu. "Sampai mati aku tak sudi mengatakan!" sahut
sitabib tak gentar. "Rupanja kepalamu keras sekali. Lihat serangan!"
orang itu menutup kata2nja dengan ajunkan sebuah
pukulan. Tubuh Kang-ou-long-tiong penuh berlumuran lukaluka. Darahnja banjak hilang. Adalah karena ia
berkepandaian sakti maka sampai saat ia masih dapat
bertahan diri dan melajani bitjara. Ia gugup sekali
melihat orang itu menjerang. Buru2 ia menjingkir
mundur. Tetapi ia bukan lagi Kang-ou-long-tiong jang
dulu. Sambaran angin pukulan orang menjebabkan
tubuhnja ter-hujung2 beberapa langkah. Ia djatuh
terduduk ditanah. Orang badju hitam melangkah madju, menghardik:
"Bagaimana, apa kau masih tak mau mengatakan
tempat penjimpanan botol darah rusa itu?"
Kang-ou-long-tiong gusar sekali. "Tidak semudah
itu sahabat!" Sepasang mata sibadju hitam ber-api2. "Kau
benar2 bosan hidup!" serunja seraja lepaskan sebuah
pukulan kedada sitabib. Apabila kena dada tabib itu
pasti remuk bubuk. Melihat kebiadaban orang, Tjian hong tak dapat
berpeluk tangan lagi, serentak ia menerdjang dengan
sebuah pukulan dahsjat. Dar.... terdengar letupan keras
disusul hamburan debu keudara.
Anakbuah Su-hay-mo-ong itu terpental sampai tiga
tombak djauhnja. Ia memandang Tjian hong dengan
penuh dendam kebentjian. "Hai, anak liar mana ini berani turut tjampur....
plas!" belum ia menjelesaikan kata2nja, Tjian hong
sudah menampar mukanja. "Awas, kalau berani berkata kasar, aku tak
sungkan lagi!" bentak Tjian hong.
"Siapakah saudara?" orang itu segera merobah
nada dan kata2nja. "Ko Tjian hong," djawab Tjian hong, "dengan Haygwa-it-kiau Siangkwan Hoa-kun kau menjebut apa?"
"Siotjia!" sahut orang itu.
"Apakah ia anak perempuan Su-hay-mo-ong?"
"Ja," djawab orang badju hitam. Beberapa saat
kemudian ia mengeluh kaget, "...ih, apakah saudara
bukan puteranja Kang-ou-bi-djin jang telah membunuh
banjak saudara2 kita?"
"Ja, mau apa?" "Bagus, hari ini kau harus serahkan djiwamu di
Hutan Merah sini!" Beberapa sosok badju hitam berhamburan
menabur pukulan kearah Tjian hong. Angin pukulan
menderu-deru dari empat pendjuru. Perbawa dahsjat
sekali. Se-olah2 gunung rubuh...
Dengan kerutkan gigi, Thian-hong menangkis.
Terdengar ledakan keras. Debu dan pasir berhamburan.
Daun dan ranting berguguran. Darah dan anggauta
tubuh berserakan. Djerit dan tubuh susul menjusul
berdjatuhan ketanah... Kepala Tjian hong pening, matanja berkunangkunang dan ter-hujung2lah ia beberapa langkah kebelakang. Huak.... mulutnja menjembur segumpal darah
segar. Badjunja berlumuran semua.
Untung saat itu Kang-ou-long-tiong
menjanggapinja. Difihak kawanan Badju Hitam ada lima orang jang
mati. Jang lain2 segera madju menghampiri lagi. Dalam
keadaan seperti saat itu, mau tak mau gentar djuga
hatinja. "Ah, kau djuga menderita karenaku," Kang-ou-longtiong mengeluh.
"Tidak, lotjianpwe," sahut Tjian hong dengan tegas.
"Djika tempo hari lo-tjianpwe tak menolong diriku, tentu
tak perlu mentjari rusa Tjian-lian-hiat-lok dan sudah
tentu takkan menderita peristiwa seperti saat ini!"
Tjian hong kerahkan seluruh perhatikan karena
saat itu kawanan badju hitam sudah makin dekat.
"Kang-ou-long-tiong," teriak salah seorang badju
hitam jang rupanja mendjadi pemimpin, "lekas katakan
dimana kautaruh rusa itu. Nanti dapat kami bebaskan
djiwamu!" "Hm, djika kukatakan kalian tentu takkan lepaskan
kami berdua," sahut sitabib.
"Huh, manusia jang bosan hidup!" dengan geram
sekali orang itu memukulkan kedua tangannja.
Tiba2 Kang-ou-long-tiong tekankan tangannja
kanan kedjalan darah Leng-tay-hiat Tjian hong, serunja
pelahan: "Kita satukan sisa tenaga kita untuk
melawannja!" Seketika itu Tjian hong rasakan tubuhnja seperti
disaluri hawa panas dan semangatnja jang sudah letih
mendadak segar kembali. Tjepat ia menangkis dengan
sepenuh tenaga. Kembali terdengar letupan jang dahsjat dan
hamburan pasir jang membubung tinggi. Daun2
berhamburan, hudjan darah mulai turun dan djeritan
ngeri menusuk telinga. Pemandangan makin mengerikan. Tanah
berserakan tubuh2 jang sudah mendjadi majat. Tak
seorangpun dari kawanan badju hitam jang masih dapat
berdiri. Semua rubuh ditanah. Beberapa saat terdengar
suara rintihan me-njajat2...
Tiba2 salah seorang badju hitam menggeliat
bangun. Demikian seterusnja kawanan badju hitam itu
satu demi satu bangun lagi. Mereka berdjumlah 9 orang.
Kawanan badju hitam itu kembali menghampiri
Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tjian hong dan sitabib. Langkah2 kaki mereka terdengar
berat. Menandakan bahwa mereka telah menderita luka
parah. Tjian hongpun lontjat berdiri djuga. Ketika beradu
pandang dengan ke 9 badju hitam itu, keringat
dinginpun mengutjur. Suatu njeri kesakitan menusuk
uluhatinja. Sedemikian sakit sehingga ia terhujung lagi
dan djatuh... Ke 9 orang badju hitam itu serempak mengangkat
tangan mereka. Sedangkan kedua lengan Tjian hong
sudah lunglai. Men-deru2lah angin pukulan jang dihamburkan ke
9 Badju hitam. Tjian hong mengeluh, ia merapatkan
mata pasrah nasib. Ia pasti mati, pikirnja...
Tetapi alangkah kedjutnja ketika terdengar suitan
njaring disusul dengan djeritan ngeri. Tjepat ia membuka
mata. Ah, benar2 ia tak pertjaja pada matanja. Ke 9
djago badju hitam itu terpental mundur sampai 4-5
tombak. Mulut mereka berlumuran darah. Dan ada 3
orang jang menggeletak ditanah!
Kedjadian itu membuatnja menggigil. Terkedjut dan
ngeri ia melihat pertolongan jang tak terduga-duga itu.
Ngeri karena djatuhnja korban2 pada kawanan badju
hitam. Terkedjut karena jang memberi pertolongan itu
bukan lain ialah Tjeng-thian-it-kiau sinenek berambut
putih... Tjian hong memandang nenek itu dengan
pandangan berterima kasih. Tetapi ia tak mengutjapkan
sepatah kata. Rambut Tjeng-thian-it-kiau jang putih ber-kibar2
kibar, serunja tawar: "Ah, ketemu lagi dengan kau!"
Djawab Tjian hong dengan angkuh: "Tentu akan
kubalas budi pertolonganmu ini..."
"Tidak, aku tak mengharap balasanmu..."
"Tetapi aku tentu akan membalas budimu. Aku tak
senang hutang budi pada orang, baik hutang dendam
maupun budi," tukas Tjian hong.
"Kalau kau benar2 hendak membalas budi,
tjukuplah kau terangkan tempat tinggal si Malaekatelmaut itu sadja!"
"Tidak, akan kubalas budimu dengan lain tjara!"
Tjian hong tetap menolak.
"Aku tak kepingin!"
"Tetapi aku tak dapat memberitahukan alamat
Malaekat-elmaut. "Mengapa?" "Karena... dia tak mau melihatmu!"
Wadjah Tjeng-thian it-kiau mengombak kerut.
Tampak kerut itu tegang bagai orang jang tengah
dirundung pikiran keras. "Djadi kau pernah ketemu dengan dia?" serunja
tegang. "Sudah tentu!" "Dia masih hidup?"
"Masih. Tetapi sekalipun belum mati, hidupnja
lebih menderita dari orang mati!"
Mendengar itu Tjeng-thian-it-kiau terkesiap. Dia
seperti tertusuk perasaannja. Tetapi ia seorang jang
berpengalaman. Apapun jang dirasakan selalu dapat
dikendalikan. "Ah, seharusnja kau memberitahukan tempat
tinggalnja padaku," katanja membudjuk.
"Tidak bisa!" "Akan kubuatmu bitjara!"
Mendengar Tjeng-thian-it-kiau begitu nekad, Tjian
hong menduga tentu akan menggunakan kekerasan.
Tetapi dalam kekerasannja itu tertjampur djuga dengan
suatu permohonan. Kalau mengingat beberapa kali
wanita itu menjelamatkan djiwanja rasanja tiada alasan
untuk menolak permintaannja. Namun Malaekat-elmaut
telah memesannja wanti2 agar djangan memberitahukan
tempat tinggalnja kepada siapapun djuga. Ia tak berani
melanggar pesan itu. "Maaf, aku tak dapat," achirnja ia menjahut dengan
rawan. Tiba2 wadjah Tjeng-thian-it-kiau membesi. Tiba2 ia
berkelebat dan plak.... ditamparnja muka Tjian hong.
Tamparan itu membuat kepala Tjian hong pujeng,
mata ber-kunang2 dan ter-hujung2lah ia djatuh. Udjung
mulutnja mengumur darah...
"Kalau tetap tak mau bilang, terpaksa aku tak
sungkan!" kata Tjeng-thian-it-kiau.
Tjian hong memandang nenek itu dengan penuh
geram. Sahutnja: "Tamparanmu menghapus budimu.
Kita tak punja hutang piutang lagi!"
"Budak keras kepala, aku punja tjara menjuruhmu
bitjara," tiba2 Tjeng-thian-it-kiau melesat kesamping
Tjian hong. Tetapi serempak dengan itu terdengarlah suara
bentakan dari belakang: "Bu Peng tji, perhitungkan dulu
djiwa muridku jang kau bunuh!"
Rupanja nada suara orang itu tak asing bagi Tjengthian-it-kiau. Serentak meluaplah nafsu
pembunuhannja. Setjepat kilat ia berputar tubuh...
Tjian hong dapatkan pendatang itu seorang lelaki
bertubuh gemuk bermuka bundar. Pakaiannja aneh.
Djenggotnja jang hanja tumbuh beberapa lembar
bergontjangan mengikuti dagunja jang bergerak-gerak
bitjara. "Siangkwan Yap, berani membunuh muridmu tentu
berani bertanggung djawab!" sahut Tjeng-thian-it-kiau
dengan garang. "O, kiranja itulah Su-hay mo-ong Siangkwan Yap,"
pikir Tjian hong. Agak terkedjut djuga ia.
Mata Su-hay-mo-ong Siangkwan Yap jang besar
bundar berkeliaran. Dipandangnja nenek itu dengan
bengis : "nenek siluman, besar nian mulutmu!"
"Hm, djika mulutmu kotor, aku terpaksa..."
"Kau mau apa?" tantang Su-hay-mo-ong.
Mata Tjeng thian-it kiau ber-api2. Ia mengangkat
lengannja jang kurus. Serunja: "Kedua lenganku besi ini
tak dapat memberimu ampun..."
"Heh, heh... heh... Su-hay-mo ong tertawa
mengekeh. Nadanja berkumandang menembus udara.
Nafsu membunuh makin menebal didahi nenek
berambut putih itu. Se-konjong2 tubuhnja melesat dan
kedua lengannja berajun. Tjepatnja bagai kilat
menjambar. Su-hay-mo-ong serentak berhenti tertawa dan
menjelinap kesamping. Tjeng-thian it-kiau makin
bernafsu. Bagaikan seekor kupu2 ia menerdjang lagi.
Terdengar suara bergeletaran keras dan kedua sosok
tubuh itupun berkelebatan kian kemari.
Saat itu Kang-ou-long tiong jang menggeletak
ditanah berusaha untuk menggeliat bangun. Ia dapat
berdiri tetapi masih ter-hujung2. Melihat itu Ko Tjian
hong segera menghampiri. Ia tahu tabib itu tentu
menderita luka-dalam jang parah.
Dipapahnja tabib itu : "Lo-tjianpwe, apakah lukamu
parah?" Kang-ou-long-tiong gelengkan kepala. Ia menghela
napas tetapi setengah djalan berhenti.
"Akulah jang menjebabkan lo-tjianpwe menderita
Thian hong mengeluh seorang diri.
"Kau, kau... djangan berpikiran begitu, aku..."
"Bagaimana?" "Inilah nasib, sudah takdir. Siapapun tak dapat
menghindari lagi." "Apakah tiada daja lain" Lo-tjianpwe terluka karena
menolong aku. Bagaimanapun djuga aku harus berdaja
untuk menolong lotjianpwe. Kalau tidak, hatiku tak
tenteram!" kata Tjian hong dengan penuh kerawanan.
Kang-ou-long-tiong tertarik mendengar kata2
pemuda itu. Tiba2 ia teringat sesuatu, udjarnja: "Ah,
hampir aku lupa. Botol berisi darah rusa itu kutaruh..."
" Ia memandang Tjian hong. Pemuda itu tahu kalau
sitabib kuatir didengar orang. Buru2 ia dekatkan
telinganja. "Kutaruh dalam sebatang pohon kaju jang tak
djauh dari sini," bisik tabib itu.
Tjian hong girang sekali: "Biar kuambilkan untuk
lo-tjianpwe." "Tunggu, disamping pohon itu terdapat sebuah
batu besar sebagai tandanja. Hati2lah!"
"Djangan kuatir lo-tjianpwee," dalam berkata itu
Tjian hong sudah melesat beberapa langkah. Tetapi ia
terpaksa berhenti. Dihadapannja tampak 6 orang badju
hitam menghadang. Tjian hong kerutkan alis: "Apakah maksud
saudara?" Karena melihat Tjian hong dibisiki sitabib,
kawanan badju hitam itu menduga tentu diberitahu
apa.. Maka ditjegatnjalah pemuda itu.
"Kalau tiada urusan, harap saudara djangan
tinggalkan tempat ini!" kata salah seorang badju hitam.
Saat itu Su-hay mo-ong masih tarung seru dengan
Tjeng-thian-it kiau. Berulang-ulang terdengar mereka
beradu pukulan dengan dahsjat.
"Aku mau pergi atau tidak, itu sesukaku. Apa kau
berhak membatasi kebebasanku?" sahut Tjian hong.
"Kalau kau pergi, tidak mudah!"
Tjian hong insjaf bahwa kalau saat itu ia tak segera
menerobos, apabila Su-hay-mo-ong dan Tjeng-Thian-itkiau sudah selesai bertempur, tentu sukar sekali.
"Aku mau pergi!" serunja seraja melepas sebuah
pukulan keras. Sebenarnja saat itu karena terluka, tenaga Tjian
hong banjak berkurang. Tetapi didalam kemarahan
memang dapat menimbulkan hal2 jang diluar
kemampuan. Pukulan Tjian hong itu membangkitkan
arus tenaga jang dahsjat sekali. Anginnja terdengar
menderu-deru... Keenam badju hitam itupun terkedjut. Dengan
gugup mereka balas memukul. Dar, dar, dar... terdengar
letupan ber-kali2. Keenam badju hitam itu terpetjah
belah membuka sebuah djalan.
Tjian hong seperti orang kalap. Dilantjarkannja
hudjan pukulan. Achirnja keenam badju hitam itu
kewalahan. Mereka tertjengang menjaksikan kegagahan
sianak muda. Sesaat mereka tertegun, dengan ketjepatan seperti
kilat, Tjian hong menerdjang lolos terus lari sekentjang2nja. Setelah djauh barulah ia berhenti.
Disekelilingnja hanja pohon2 jang subur, tiada
sebatangpun jang laju. Ia men-tjari2 kian kemari dan
achirnja menemukan djuga pohon laju itu. Di-tepuk2-nja
batang pohon itu. Tengahnja seperti berlubang. Dengan
girang segera ia merogoh kedalam batang. Tetapi sampai
beberapa saat ia tak menjentuh benda apa2.
Ah... ia ketjewa dan putus asa. Keringat dingin
bertjutjuran membasahi tubuh. Kemanakah botol berisi
darah itu" Apakah telah ditjuri orang" Siapakah
pentjurinja?" Rasa tjemas dan lesu membuatnja lupa untuk
menarik tangannja dari lobang pohon. Pikirannja tak
keruan. "Apakah kau hendak mentjari benda ini?" tiba2
terdengar suara seseorang.
Tjian hong tersentak kaget....
Djilid 3 8 Su hay mo ong Seorang nona tegak ber-seri2 sepasang bola
matanja berkilat-kilat genit. Tangannja memegang
sebuah botol berisi darah.
Tjian hong terkesiap ia bersangsi apakah botol jang
dipegang sinona itu benar berisi darah Thian-lian-hiatlok jang dimaksud sitabib Kang-ou-long-tiong.
Tjian hong madju menghampiri, udjarnja: "Benar,
memang botol itulah jang hendak kutjari."
"Kau menghendakinja?" tanja sinona.
"Darah rusa itulah jang seorang lo tjianpwe
menjuruh aku mengambil kemari. Harap nona suka
berikan." Gadis itu mengerat kata2 Thian-hong dengan derai
tertawa melengking "Tjian-pwe atau wan-pwekah, aku tak peduli.
Benda jang berada ditanganku, akulah jang
memutuskan!" serunja.
"Bagaimana maksud nona?"
"Asal kau mau melakukan sebuah pekerdjaan
untukku, segera benda ini kuberikan padamu!"
"Pekerdjaan apa?"
Wadjah gadis genit itu ke-merah2an. Sepasang
matanja berkeliaran kotjak dan meluntjurlah utjapan
bernada tjabul: "Pekerdjaan jang enak dan nikmat..."
Sama sekali Tjian hong tak menjangka bahwa katakata mesum sematjam itu keluar dari mulut sigadis.
Merah padamlah wadjah Tjian hong. Seketika meluaplah
amarahnja. "Aku seorang djantan. Djangan harap aku mau
melakukan pekerdjaan sehina itu!" serunja.
Seketika wadjah sigadispun berobah bengis.
Senjum tawanja jang ber-seri2 lenjap laksana dilanda
prahara kemarahan. Air mukanja membengis.
"Apa" Kau menolak adjakanku?" lengkingnja.
"Ja, aku tak sudi melakukan perbuatan zinah!"
"Zinah" Kau katakan hal itu berzinah" Ha, ha, kau
benar2 seorang pemuda jang tak kenal dunia. Bukankah
alam ini terdiri dari siang dan malam, manusia terdiri
laki perempuan" Pergabungan antara laki dan
perempuan adalah sudah mendjadi kodrat alam.
Mengapa kau mengatakan hal itu perbuatan hina?"
Djawaban sigadis jang demikian lantjar dan penuh
alasan tepat, membuat Tjian hong meringis.
"Djangan mau menang sendiri... !" satu2nja
djawaban Tjian hong hanja begitu.
Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudahlah, kau mau melakukan atau tidak!"
"Tidak!" Gadis itu mengatjungkan botol berisi darah,
serunja: "Kau menghendaki barang ini atau tidak?"
Tjian hong deliki mata, berseru: "Itu memang
milikku, kau harus mengembalikan kepadaku."
"Benar barangmu tetapi berada ditanganku!"
"Lalu?" "Harus mendengar perintahku!"
"Tetapi bagaimanapun djuga aku harus merebutnja
kembali!" "Uh, apa kau mampu?"
Tjian hong memandang botol jang dipegang sinona
dengan seksama. Diam2 ia merentjanakan tjara untuk
merebutnja. Sinona atjuh tak atjuh. Sedikitpun ia tak kuatir
orang akan merampas botolnja. Malah ia tertawa
selepas-lepasnja. "Tahukah kau, aku siapa?" serunja.
"Perlu apa aku harus tahu?" balas Tjian hong.
Penjahutan itu membuat sinona terkesiap. Pada
lain kedjab berserulah ia dengan bangga: "Aku ini Siauhun-li...!"
Siau-hun-li artinja Nona-peraju-sukma. Meraju
sukma atau melipur lara sama dengan memuaskan
kehausan nafsu pria. Tjian hong terhenjak kaget. Ia menjurut mundur
dua langkah. Dipandangnja nona tjabul itu dengan
tadjam. Sekalipun belum lama mengembara didunia
persilatan, tetapi ia pernah dengar djuga tentang nama
Sian-hun-li. Menurut tjerita orang, Siau-hun-li itu
seorang wanita jang luar biasa tjantiknja tetapi luar
biasa pula nafsu sexnja. Tak pernah Siau-hun-li puas
dengan seorang pria. Setiap berdjumpa dengan pria
tjakap, tentu dirajunja supaja melajani kehausannja jang
tak kundjung padam itu. Apabila sudah bosan atau
lelaki itu berani menolak, tentu akan dibunuh. Benar2
seorang ular tjantik, habis menghisap sampai puas lalu
dibunuhnja. Setitikpun Tjian hong tak menjangka bahwa nona
jang tampaknja masih seperti seorang dara djelita itu
ternjata Siau hun li jang termasjhur. Keringat dingin
membasahi tubuh Tjian hong. Hatinja tergetar,
"Siau-hun-li?" ulangnja dengan gemetar.
"Benar! Mau meluluskan permintaan, semua
urusanmu tentu beres. Tetapi kalau menolak, njawamu
tentu amblas!" Tjian hong mengerenjutkan gigi kentjang2.
"Tidak! Aku tak mau melakukan perbuatan terhina
itu!" serunja tegas.
Siau-hun-li mendengus dingin. Tiba2 tubuhnja
tampak bergerak. Sebelum Tjian hong dapat
membajangkan apa jang akan terdjadi, tiba2 nona itu
sudah melesat dan mentjengkeram siku lengan Tjian
hong jang kanan. "Mau menurut atau tidak!" hardik Siau-hun-li.
"Tidak!" Siau-hun-li memelintir kentjang.
Tjian hong tak dapat berkutik. Ia gemetar, keringat
berhamburan didahinja. Sakitnja sampai menusuk ketulang2...
"Apakah kau masih berkeras kepala?" tegur Siauhun-li dengan dingin.
Dengan kerutkan gigi Tjian hong tetap
membangkang, "Biarpun mati aku tetap tak mau!"
Geram sekali Siau-hun li melihat kebandelan
pemuda itu. Diangkatnja tangan kiri dan dengan suara
makin membengis ia mengantjam: "Kalau tetap
membandel tentu kuremuk kepalamu!"
Tjian hong deliki mata. Ditatapnja Siau-hun-li
dengan marah. Tiba2 ia katupkan mata: "Bunuhlah!"
Pemuda itu tegak berdiri sambil busungkan dada
menantang kematian. Sikapnja tenang sekali. Sedikitpun ia tak gentar.
Tetapi sampai beberapa saat, tamparan Siau-hun-li
tak kundjung tiba. Heran, pikir Tjian hong. Dan ia pun
membuka mata. Se-konjong2 ia seperti didorong oleh
sebuah gelombang tenaga kuat hingga terpental sampai
5-6 langkah... "Minggat!" teriak Siau hun-li dengan geram. Tjian
hong tertegun, ia benar2 tertjengang dengan apa jang
diderita saat itu. Wadjah Siau-hun-li membeku dan dengan nada
sedingin es, ia berseru: "Sebelum pikiranku berobah,
lekaslah kau enjah dari sini. Kalau tidak, hm, djika
nafsuku membunuh setiap saat timbul, djangan harap
kau mampu lolos!" Tjian hong berputar diri dan ajunkan langkah.
Sekonjong-konjong ia berputar tubuh dan melajang
kehadapan Siau-hun-li. "Kau mau mati?" teriak Siau-hun-li marah.
"Aku hendak minta kembali darah rusa!"
"Kau tetap hendak mengambilnja?"
"Ja." "Kau tak sajang djiwamu?"
"Walaupun djiwa melajang, aku rela. Karena aku
sudah menjanggupi kepada seorang lo-tjianpwe untuk
mendapatkan darah Tjian-lian-lok itu. Djika sampai
gagal, bukan sadja kutelan lagi ludahku, pun lo-tjianpwe
itu pasti melajang djiwanja!"
"Kau pertjaja mampu mengambilnja?" edjek Siauhun-li.
"Mampu atau tidak mampu hanja tergantung pada
takdir. Tetapi usaha untuk mengambil adalah
kewadjiban manusia. Aku akan menunaikan kewadjiban
sebagai manusia dan taat pada kehendak takdir!"
Sesaat berobahlah seri wadjah Siau-hun-li.
Sebentar bengis sebentar terang. Dipandangnja Tjian
hong sampai lama. Dan pada lain saat suara helaan
napas menghambur dari mulutnja.
"Baik!" serunja tawar.
Ia mengangsurkan botol berisi darah rusa, serunja
pula: "Ambillah ini! Tetapi ingat, djika lain kali bertemu
deagan aku tandanja kau sudah tak berhak lagi hidup
didunia!" Saking kagetnja Tjian hong mundur dua langkah.
Sampai lama ia tak pertjaja apa jang dilihat dan
didengarnja saat itu. Seorang iblis wanita jang termasjhur ganas,
mengapa begitu gampang melepaskan korbannja" Bukan
sadja tidak dibunuh malah barang berharga darah Tjianlian-lok diserahkan kembali dengan mentah2...
"Apa kau edan" Djika tak lekas menerima hingga
aku sampai merobah keputusan, menjesalpun tak kan
berguna nanti!" Siau-hun-li berkata pula.
Tjian hong gelagapan. Tersipu-sipu ia madju
menjambuti, udjarnja serta merta: "Atas budi nona jang
besar ini, aku takkan lupa se-lama2nja!"
"Siapa butuh terima kasihmu" Sekali lagi ingatlah
baik2. Apabila kelak kau bertemu aku lagi... hm, kau
takkan melihat matahari. Maka djagalah dirimu baik2,
djangan sampai bertemu aku....!"
"Budi dan dendam selalu kuingat dan tentu
kubalas," sahut Tjian hong.
"Mengapa tak lekas enjah, heh...."
"Terima kasih, aku mohon diri!" serentak Tjian
hong berputar tubuh terus lari se-kentjang2nja. Namun
dalam hati ia masih memikiri nona jang misterius itu.
Seorang nona jang sukar diduga hatinja. Gerak geriknja
selalu menimbulkan keheranan orang. Tiba2 ia hentikan
larinja dan mendengus kaget. Kiranja ia sudah tiba
ditempat sitabib menunggu tadi. Tetapi aneh, tak
seorangpun jang berada disitu. Empat pendjuru
diperhatikan, Kang-ou-long-tiong tak tampak
bajangannja. Ketika diteliti lebih landjut, ia menemukan noda
darah bertjetjeran ditanah. Djelas bahwa telah terdjadi
pertempuran berdarah ditempat itu. Tetapi aneh,
mengapa disekeliling tempat itu tak terdapat barang
sesosok majat orang. Kemanakah gerangan lenjapnja Su-hay Mo-ong dan
Tjeng-thian It-kiau" Siapakah jang terbunuh dan
terluka" Tjian hong benar2 heran....
Tetapi pada lain saat segera ia teringat akan sitabib
Kang-ou-long-tiong. Apakah tabib itu djuga tertimpah
sesuatu. Dengan keras-kerasnja Tjian hong berteriak,
"Lotjianpwe, lo-tjianpwe..."
Empat pendjuru menggema kumandang
teriakannja, namun tiada suatu penjahutan apa2. Hati
Tjian hong mendebur berat. Tegang meregang sekali.
"Lo... tjian... pwe....!" ia mengulangi teriakannja.
Sengadja ia perpandjang setiap patah kata teriakannja
agar terdengar oleh jang barsangkutan. Tetapi lagi2
hanja keheningan jang diperolehnja. Empat pendjuru
sunji, hanja angin malam jang berhembus menampar
dirinja. Sunji senjap diempat keliling pendjuru.
Tiba-tiba ia mendengar suara lemah jang terbawa
angin dari belakang : "Ko... Tjian... hong..."
Tjepat Tjian hong berputar diri tetapi ah....sama
sekali tak tampak barang seorangpun djua. Hanja
keretek daun alang2 tertiup angin saling bergesekan satu
sama lain. Seketika berdirilah buluroma Tjian hong.
Tubuhnjapun menggigil. "Ko Tjian hong!" tiba2 suara lemah itu terdengar
pula. Tjian hong benar2 gemetar sekali.
"Setan!" seketika timbullah kesimpulan dalam
hatinja. Tak mungkin manusia jang mengutjapkan
karena djelas sudah diteliti dengan seksama bahwa
disekeliling pendjuru tak tampak barang sesosok
bajangan manusia. Kesimpulan itu membangkit keputusannja untuk
melarikan diri. Segera kakinja mulai bergerak untuk
melarikan tubuh. Tetapi se-konjong2 terdengar pula
suara orang memanggilnja: "Ko Tjian hong, aku disini!"
Kali ini ia dapat menemukan arah tepat datangnja
suara itu. Ja, suara itu berasal dari semak gerumbul
rumput disebelah sana. Buru2 ia lari menghampiri
gerumbul rumput. Ah, benarlah. Disitu terdapat seorang
bermandi darah tengik menggeletak ditanah.
"Lo-tjianpwe, kau...." buru2 ia berseru. Tak salah
lagi, orang itu adalah Kang-ou-long-tiong. Keadaan
sitabib menjedihkan sekali. Napasnja memburu lemah
sekali. Djenggotnja tampak berguntjang-guntjang, tetapi
tak sepatahpun terdengar meluntjur dari mulutnja.
"Lo-tjianpwe, siapakah jang menganiaja kau?"
serunja. Dengan paksakan diri, tabib itu berusaha untuk
mendjawab: "Darah Tjian-lian-lok, apakah kau sudah
mendapatkannja?" "Sudah," Tjian hong mengiakan. Buru2 ia
memberikan botol. Tetapi diluar dugaan, sitabib
menolak. "Simpanlah baik2, aku sudah tak ada harapan,"
kata sitabib. "Lo-tjianpwe, siapakah jang melukaimu.
Katakanlah, aku jang akan menuntutkan balas!"
Kang-ou-long-tiong menghela napas: "Tidak..."
Tiba2 ia membuka mata lebar2, serunja: "Apakah kau
sudah menikah?" "Belum." "Aku mempunjai seorang anak perempuan. Hoa
Ling-ling namanja. Kuharap kau suka melindunginja."
"Lo-tjianpwe...."
"Ini permintaanku jang terachir kalinja. Kuharap
kau djangan menolak. Dan darah Tjian-lian-lok itu kau
minumlah sendiri, tentu bermanfaat sekali bagimu. Agar
dalam mejakinkan ilmu silat, kau bisa lebih madju dan
mudah mempeladjari ilmu kesaktian jang luar biasa."
Tjian hong berkeras hendak menjerahkan botol
darah kepada sitabib. "Minumlah lo-tjianpwe, penjakitmu tentu sembuh."
"Tidak, aku benar2 sudah tiada harapan lagi..."
"Mengapa?" "Aku terkena pukulan Thjit-im-tok-hiat-tjiang."
"Thjit-im-tok-hiat-tjiang..." Tjian hong mengulang.
Tiba2 matanja terbelalak. Dilihatnja mulut sitabib
berlumuran darah hitam. Djiwanja sudah melajang...
9 Tak terduga Tjian hong mempunjai kesan mendalam kepada
tabib jang baik hati jang telah menolong djiwanja. Rasa
berhutang budi jang tak terhingga menjebabkan Tjian
hong mengutjurkan airmata menjaksikan kematian
Kang-ou-long-tiong jang sedemikian mengenaskan itu...
Ditanamnja djenazah sitabib dengan baik. Pada
makamnja dibuatnja sebuah batu nisan jang bertuliskan
nama sitabib "Kang-ou long-tiong Hoa Ya-bok" " Dan
dibawahnja ditulis "dipersembahkan oleh Ko Tjian hong."
Setelah puas menumpah kesedihannja, Tjian
hongpun tinggalkan hutan Tjek lim jang penuh peristiwa
itu. Hanja berlainan dengan beberapa waktu tadi, saat
itu ia membawa sebotol darah Tjian-lian hiat-lok.
Sekalipun Kang ou-long-tiong sudah memberikan barang
berharga itu kepadanja namun ia tak mau meminumnja.
Ia berdjalan tetapi tak tahu kemana langkah harus
ditudju. Achirnja ia memutuskan untuk mendjenguk
Malaekat-elmaut digoha. Ia hendak melaporkan bahwa
Sin-tjiu it kiam sudah meninggal karena menderita
penyakit aneh. Dia masih harus mengerdjakan perintah Malaekatelmaut untuk membunuh dua orang lagi dan barulah ia
akan menerima ilmu Pukulan Hitam sepenuhnja dari
Malaekat-elmaut. Tjian hong kentjangkan larinja. Achirnja setelah
Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menempuh perdjalanan sehari semalam, tibalah ia di
goha seram tempat kediaman tokoh aneh Malaekatelmaut.
Dengan ber-djungkat2 melangkah ia kedalam go-ha
jang pekat lembab itu. Untung ia sudah beberapa kali
masuk kesitu sehingga tjukup faham keadaan dalamnja.
Sekonjong-konjong serangkum hawa dingin
mentjengkam tulang membaur dirinja. Ia terkedjut dan
mundur beberapa langkah. Dipandangnja bagian dalam goha itu sampai
beberapa saat. Ia kuatir kalau2 ada seseorang jang
menamparnja. Tetapi sama sekali tak terdengar gerak
gerik suatu apa "Adakah Malaekat-elmaut tertimpa bahaja?" ia
mulai membajangkan kemungkinan2 jang tak diingini.
Ah, djika hal itu benar, ia putus asa. Apa guna ia
membunuh beberapa djiwa kalau achirnja toh ia bakal
tak menerima ilmu Pukulan Hitam dari Malaekatelmaut"
Tetapi siapakah gerangan jang mampu
mengalahkan Malaekat-elmaut jang sedemikian saktinja"
Tepat pada saat ia menimang-nimang, tiba2
didengarnja sebuah suara bernada berat. "Siapakah jang
berada diluar itu?" Tergeraklah semangat Tjian hong mendengar suara
itu. Dengan menengadahkan kepala, ia berdjalan masuk
sembari menjahut: "Setan tua, akulah!"
Suara itu makin lemah suaranja: "Setan tjilik,
kukira kau sudah mati!"
Tiba didalam Tjian hong terkesiap. Dilihatnja
Malaekat-elmaut menderita luka parah. Dia duduk
disudut goha. Semangatnja tampak lesu sekali.
"Setan tua, apakah kau terluka?" seru Tjian hong.
"Djangan banjak tanja?" bentak Malaekat-elmaut
dengan wadjah membengis, "Apakah kau sudah dapat
membunuh Sin tjiu-it-kiam?"
"Tentu sadja sudah!"
Mata Malaekat-elmaut jang tinggal sebelah itu
berkilat2 memandang wadjah Tjian hong. Serunja
dengan nada tak pertjaja: "Benarkah kau sudah
membunuhnja?" Tjian hong tertegun sedjenak. Tetapi pada lain
kedjab segera ia balas bertanja: "Apakah aku bohong?"
"Mengapa begitu lama kau pergi?"
"Mentjari orang!"
Malaekat-elmaut tampak merenung sampai
beberapa waktu. Keadaan dalam goha diliputi oleh
suasana keheningan. Djelas diperhatikan Tjian hong
bahwa tjahaja muka Malaekat-elmaut itu banjak sekali
perobahannja dengan ketika ia tinggalkan. Djelas bahwa
tokoh itu tentu menderita kehabisan hawa dalam
tubuhnja. "Setan tua, apakah ada orang jang memasuki goha
ini?" tanja Tjian hong.
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku..." Baru Tjian hong hendak memberi keterangan,
Malaekat-elmaut jang merasa terlalu mentjurigai orang,
segera menukasnja: "Djangan banjak omong dan tak
usah banjak tanja. Orang ke 4 jang harus kau bunuh
jalah musuh jang telah memotong pahaku kanan..."
"Siapa?" "Kang-ou long-tiong Hoa Ya-bok!"
"Hoa Ya-bok?" Tjian hong mengulang kaget.
"Ja! Hm, apakah tak boleh membunuhnja?"
"Masakan Hoa tjianpwe melakukan perbuatan
sekedjam itu?" teriak Tjian hong setengah tak pertjaja.
Benar2 ia tak pertjaja bahwa seorang tabib jang begitu
baik hati telah melakukan hal2 jang tak
berperikemanusiaan. "Apa katamu" Hoa Ya-bok tak mungkin melakukan
kekedjaman begitu?" Malaekat-elmaut sengit, "Walaupun
sudah berpuluh-puluh tahun berselang, tetapi peristiwa
itu masih melekat dibenakku!"
"Aku tak pertjaja Hoa tjianpwe melakukan hal itu!"
Tjian hong tetap menjanggah.
"Kau kenal padanja?"
"Tentu!" "Kau mau membunuhnja atau tidak?"
"Tidak!" Tjian hong tegas2 menolak, "aku tak mau
berlaku kurang adjar terhadap seorang tjianpwe jang
berbudi!" "Ha ha ha... tiba2 Malaekat-elmaut tertawa gelak2.
Nadanja bagai burung hantu mengukuh ditengah
malam. Goha se-olah2 tergetar. Dipandangnja Tjian hong
lekat2. Tiba2 ia berhenti tertawa dan berkata dengan
dingin : "Djika kau tak mau, akupun tak dapat
memaksamu." "Tentu," sahut Tjian hong angkuh.
"Kau telah membunuhkan 3 orang musuhku. Aku
pun harus menepati djandjiku. Akan kuberimu 3 buah
ilmu sakti. Bilanglah, apa jang hendak kau minta?"
Tjian hong tundukkan kepala tak menjahut.
Sebenarnja ia tak tahu ilmu apa jang harus dimintanja.
Ia anggap hanja ilmu Pukulan-hitam jang paling djempol
sendiri. Lain2 ilmu ia tak sudi.
"Katakan kau minta peladjaran ilmu apa, aku tentu
memberimu ketjuali Pukulan-hitam!"
Tjian hong tergetar hatinja. Kurang adjar, setan tua
benar2 pandai mengili hatiku, pikir Tjian hong.
"Kalau Kang-ou-long tiong sudah meninggal,
bukankah dia sudah dibebaskan?" serunya.
Dahi Malaekat-elmaut menggerenjut keras.
Mata2nja melotot: "Kau katakan Kang-ou long-tiong
sudah mati?" Tjian hong mengangguk. Wadjah Malaekat-elmaut tampak tegang. Sebentar
putjat sebentar merah. Hatinja girang dan geram, ia
memandang djauh kemuka. Beberapa saat kemudian ia
menundukkan kepala merenung. Beberapa djenak
kemudian ia menghela napas pandjang....
"Karena dia sudah mati, djika kau mau membunuh
musuhku jang penghabisan, musuh jang memotong
kakiku kiri, tetap akan kuberimu ilmu Pukulan-hitam!"
"Siapakah musuhmu jang kelima itu?" seru Tjian
hong dengan girang. "Jang ini djauh lebih lihay dari keempat musuhku
jang sudah mati itu. Namanja termasjhur sampai
diseberang lautan. Bukan sadja memiliki kesaktian jang
hebat pun seorang iblis jang djulig penuh tipu muslihat
litjin..." "Siapakah dia" Kubersumpah akan
membunuhnja1" seru Tjian hong.
"Djangan gegabah dulu. Dia bukan tonggak jang
mudah ditebang sekehendak hatimu. Kalau kau tak
hati2, mungkin kau akan tjelaka sendiri," seru Malaekatelmaut.
"Eh, apakah 2 Pukulan-hitam-untuk membunuhseorang tak dapat digunakan terhadapnja?"
"Sukar kukatakan karena kepandaianmu masih
kurang sempurna!" "Djadi aku tak dapat menang darinja?"
"Bukan begitu maksudku. Djika kau mau berlaku
tjermat dan hati2, masih ada harapan untuk berhasil."
Semangat Tjian hong terbangkit, keangkuhannja
menggelora: "Aku rela mengorbankan djiwa untuk
melaksanakan perintahmu!"
"Benarkah kau mau mendjual djiwa untukku?"
Malaekat-elmaut menegas. "Tentu! Demi untuk mentjapai tudjuanku beladjar
ilmu Pukulan-hitam!" sahut Tjian hong.
"Bagus, benar2 murid jang baik," Malaekat-elmaut
mengangguk. Kemudian ia suruh Tjian hong datang
kepadanja. Tjian hong menghampiri dan ulurkan tangannja
kanan. Malaekat-elmautpun mentjekal pergelangan
tangan anak itu dan mulai menjalurkan tenaga Pukulan
hitam. Tetapi kali ini berbeda dengan jang sudah2. Tjian
hong rasakan djalan-darah vital (utama) didadanja
terasa lapang sekali. Serangkum hawa panas menjalur
kedalam tubuhnja sehingga seluruh tubuhnja seperti
dibakar. Se-konjong2 Malaekat-elmaut ajunkan tangan
menampar Tjian hong. Karena saat itu Tjian hong
pedjamkan mata dan tak menduga sama sekali, ia
terpental djatuh disudut goha. Buru2 ia membuka mata
dan memandang kearah Malaekat-elmaut.
Ah, tokoh aneh itu sedang muntah darah. Dan
ketika mengawasi lengannja sendiri, didapatinja
lengannja kanan berwarna hitam legam dan berkilatkilat, ia terkedjut. Selama mendapat penjaluran ilmu
Pukulan-hitam dari Malaekat-elmaut, belum pernah
lengannja sehitam saat itu.
Tjian hong berbangkit bangun. Hai, ia rasakan
tubuhnja ringan sekali dan hawa dalam tubuh melantjar
longgar sekali. Ia menghampiri Malaekat-elmaut.
"Setan tjilik, apa jang berada dalam sakumu?"
tegur Malaekat-elmaut dengan geram.
Tjian hong tertegun. Diambilnja botol berisi darah
rusa, udjarnja: "Tjian lian-hiat-lok..."
Seketika wadjah Malaekat-elmaut berobah putjat
udjarnja dengan semangat lesu: "Ah, mnngkin sudah
kehendak takdir...."
"Apa?" seru Tjian hong.
"Hm, karena kau mengantongi darah Tjian-lian
hiat-lok, sebuah benda jang mendjadi pemunah tenaga
lima Pukulan-hitam, maka ketika kusalurkan tenaga
Pukulan-hitam tadi, tenagaku itu seperti tersedot keluar
sampai habis. Bujung, sekarang kau sudah memperoleh
semua tenaga Pukulan-hitam. Lihatlah tanganku ini!"
Malaekat-elmaut mengatjungkan tangannja kanan.
Ah, benarlah. Memang tangan kanan tokoh itu sudah tak
memantjarkan sinar hitam lagi.
Tjian hong ter-tjengang2. Entah merasa girang atau
harus bersedih. Sampai beberapa saat ia tak dapat
bitjara. "Pergilah!" kata Malaekat-elmaut dengan nada
putus asa. "Apa" Kau mengusir aku?" seru Tjian hong.
"Tudjuanmu sudah tertjapai. Perlu apa kau berada
disini?" "Tetapi kau belum mengatakan siapa musuhmu
jang nomer lima itu!"
Kali ini giliran Malaekat-elmaut jang terkedjut.
"Oh, kau masih mau melakukan perintahku?"
serunja kaget. Tjian hong terbeliak. "Mengapa tidak?" serunja, "kaulah jang telah
memberi ilmu kesaktian padaku. Akupun harus
melaksanakan djandjiku untuk membalaskan
sakithatimu. Masakan setelah tudjuanku tertjapai aku
lantas melupakan djandji?"
Terharu sekali Malaekat-elmaut mendengar
penjahutan sianakmuda. Serunja: "Seumur hidup baru
sekali ini aku berdjumpa dengan seorang anak jang
berbudi tinggi..." "Bukan begitu?" sahut Tjian hong, "kau
memperlakukan dengan baik. Walaupun sikapnja dingin
dan bengis tetapi kau mempertjajakan harapanmu
kepadaku. Masakan aku sampai hati membuat ketjewa
hati lo-tjianpwe?" Malaekat-elmaut benar2 tersentuh sanubarinja.
Sampai beberapa saat ia tak dapat bitjara karena
ditjengkam rasa haru jang tak terhingga besarnja.
"Kemarilah," katanja kemudian.
Tjian hong tertegun. Setelah memandang Malaekatelmaut beberapa saat iapun melangkah madju.
Tjret... tiba2 dengan ketjepatan jang tak diduga2
Malaekat-elmaut menjambar pergelangan tangan Tjian
hong. Tjian hong terkedjut tapi terlambat, ia tak
berkutik... "Lekas minum darah Tjian-lok hiat-lok!" bentak
Malaekat-elmaut. "Mau apa kau?" Tjian hong kaget. Diam2 ia
bersiap-siap, "Minum dulu baru nanti kuberitahu!"
Tjian hong terpaksa menurut. Diambilnja botol.
Sekali teguk ia habiskan darah Tjian-lian-hiat-lok.
Rasanja manis sekali. Beberapa saat kemudian ia
rasakan tubuhnja panas sekali.
Melihat itu Malaekat-elmaut segera memerintah:
"Lekas salurkan tenaga-dalammu untuk menghisap
darah rusa itu. Akan kubantumu dengan penjaluran
hawa-murniku. Akan kudjadikan kau seorang tunas
persilatan jang belum pernah terdapat selama seratus
tahun ini!" Kedjut Tjian hong bukan kepalang. Dengan terbata2 ia berkata: "Ah, tak usah! Bukankah nanti lotjianpwe akan..."
"Aku sudah tjatjad, tak berguna lagi. Dan musuhku
jang kelima itu benar2 seorang durdjana sakti. Dengan
kepandaian jang kaumiliki, djangan harap kau mampu
mengalahkan," kata Malaekat-elmaut dengan nada
bengis. "Djangan menolak perintahku ini. Lekas salurkan
tenaga-dalammu kalau tidak apabila tenaga-murni itu
sampai tak mendapat saluran lajak, djiwa kita berdua
tentu berbahaja!" Dalam pada berkata-kata itu, Malaekat-elmaut pun
sudah mulai menjalurkan hawa-murninja ketubuh Tjian
hong. Tjian hong terpaksa melakukan perintah aneh itu.
Berselang sepeminum teh lamanja, Malaekatelmautpun lepaskan tangannja. Ketika melihat Tjian
hong masih duduk menjalurkan tenaga-dalam, diam2
Malaekat-elmaut puas. Sekilas senjum menjungging
dibibirnja. Tiba2 Tjian hong lontjat bangun. Ia mendjurah
dihadapan Malaekat-elmaut: "Guru, terimalah hormat
murid!"
Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tjian hong mendjalankan hormat sebagai murid
terhadap gurunja. Malaekat-elmaut menghela napas.
"Sebenarnja aku telah bersumpah tak menerima
murid. Ah, tak njana dalam sisa hidupku jang tak berapa
lama ini, diluar keinginanku, aku menerima kau sebagai
murid. Ah, memang manusia didunia ini tidak sedjahat
jang kubajangkan!" "Guru, apakah kau masih mempunjai gandjalan
dalam hati?" seru Tjian hong.
Malaekat-elmaut menghela napas, udjarnja:
"Termasuk kau, aku dahulu telah menerima 4 orang
murid. Tetapi murid jang tiga dulu itu membuat aku
ketjewa. Murid jang kedua dan ketiga telah kubunuh
sendiri..." "Suhu..." seru Tjian hong.
"Harapanku satu2nja kutumpahkan pada toa-suhengmu (kakak seperguruan jang tertua). Tetapi murid
jang murtad itu telah kuusir dari perguruan. Tak perlu
kau akui dia sebagai toa suheng lagi.
Tjian hong mengangguk. Hatinja ikut bersedih atas
keketjewaan gurunja. Berkata Malaekat-elmaut pula: "Murid murtad itu
telah berhianat. Ketika aku dikepung musuh bukan
membela aku tetapi sebaliknja malah ikut ambil bagian
musuh2 ku menjiksa diriku. Mengutungi lenganku,
mengorek bidji mataku, memotong kakiku kanan,
mematahkan kakiku kiri. Setelah aku di-tjatjah2 tak
keruan, dia mentjuri kitabku!"
"Kitab" Kitab apa?"
"Salah sebuah dari 3-kitab pusaka didunia jalah
kitab Pukulan-hitam. Benar, ja, kau harus berdaja
untuk merebut kembali kitab itu. Lenjapkanlah murid
murtad jang berhati andjing itu!"
"Siapakah namanja?" tanja Tjian hong.
"Hek-sim-djin Thia Tat-hu!"
Hek-sim-djin artinja Manusia berhati hitam.
"Baik guru. Tentu akan kuhantjurkan manusia
jang tak kenal budi itu!" sahut Tjian hong dengan geram.
"Kelak kau harus mempeladjari Song-tjhiu-hektjiang (Pukulan-hitam dengan dua belah tangan). Untuk
itu perlulah kau berusaha untuk mendapatkan kitab
Pukulan-hitam itu. Tetapi ingatlah. Karena memiliki
kitab pusaka itu belasan tahun lamanja, murid murtad
itu tentu sudah memperoleh kesaktian jang hebat. Kau
harus hati2 manghadapinja!"
"Murid akan melakukan pesan guru se-baik2nja,"
Tjian hong memberikan djandji.
"Ja, didalam menghadapi apa sadja, berlakulah
waspada dan hati2," kata Malaekat-elmaut pula.
"Guru, siapakah musuh guru jang kelima itu?"
Malaekat-elmaut termenung sesaat, udjarnja
kemudian: "Musuhku jang nomor lima itu ialah Tangbun Kui si Sik-long (serigala kaum perempuan). Dia
selalu melalap wanita2 tjantik untuk dihisap hawa Im
guna memperkuat hawa Yang-nja. Kepandaiannja telah
mentjapai tingkat jang sukar ditandingi."
Mendengar itu berobahlah wadjah Tjian hong.
"Murid bersumpah tentu akan melenjapkan
durdjana itu!" serunja dengan tegas.
"Mudah2an kau berhasil nak agar aku dapat mati
dengan meram dialam baka," kata Malaekat-elmaut.
"Tetapi mengapa guru sampai dikerojok orang?"
Tjian hong ingin mengetahui sebabnja.
Wadjah Malaekat-elmaut meredup, udjarnja:
"Tjeritanja pandjang," ia berhenti sedjenak menghela
napas, "pernahkah kau mendengar tentang udjar2 orang
tua jang mengatakan bahwa " aku tak bersalah, tetapi
harta pusakaku jang menimbulkan kesalahan. ?""
Tjian hong mengiakan. Kata Malaekat-elmaut pula: "Adalah karena aku
memiliki kitab pusaka maka sampai menimbulkan nafsu
djahat orang2 jang berhati serigala itu. Pada saat aku
tengah bersemedhi, tiba2 mereka turun tangan."
Tjian hong kerutkan gigi kentjang. Matanja berapi2 menghambur kemarahan.
Malaekat-elmaut menghela napas: "Mereka berlima
menjerang berbareng. Adalah karena aku tak bersiap
sama sekali maka aku sampai menderita kekalahan!"
"Tetapi mereka tak membunuh guru?" tanja Tjian
hong. "Karena mereka tak berhasil mendapatkan kitab
pusaka itu. Biar mati aku tetap tak mau mengatakan
tempat penjimpanan kitab itu. Mereka marah dan gemas
sekali. Kaki tanganku dibuntungi semua." Malaekatelmaut berhenti sedjenak memandang muka Tjian hong.
"Kemudian aku melenjapkan diri bersembunji
dalam goha terpentjil ini. Siang malam kutjurahkan
seluruh perhatianku mejakinkan ilmu Pukulan-hitam
tanpa berhasil." "Sjukurlah murid telah menerima warisan
peladjaran guru. Murid berdjandji tentu akan membasmi
durdjana itu!" tertariklah hati Tjian hong mendengar
penuturan kisah-hidup Malaekat-elmaut jang
menjedihkan. "Muridku, djangan menjombongkan diri, djangan
suka memandang rendah lawan. Ingatlah, jang kuat
masih ada jang melebihi kuat lagi!" Malaekat-elmaut
kembali memberi wedjangan.
"Murid ingat baik2," kata Tjian hong. Tiba2 matanja
memandang tubuh gurunja, katanja: "apakah guru
idjinkan murid bertanja sebuah hal lagi?"
"Apa" Silahkan bertanja!"
"Guru, bukankah saat ini guru sedang menderita
luka parah?" Tiba2 mata Malaekat-elmaut ber-kilat2
memantjarkan api sehingga Tjian hong tergetar djuga
hatinja. Buru2 ia hentikan utjapan jang hendak
diutarakan, ia tundukkan kepala berdiam diri.
Wadjah Malaekat-elmaut penuh dengan berbagai
kerut perobahan. Banjak nian getaran2 hati jang
membajangkan peristiwa lampau.
"Benar, memang aku menderita luka," katanja
beberapa djenak kemudian.
Tjian hong terkedjut. Siapakah gerangan tokoh jang
mampu mengalahkan Malaekat-elmaut" Bukankah
tokoh itu seorang jang sakti sekali...!
Sampai beberapa saat Tjian hong ter-longong2.
"Memang suatu hal jang tak ku-duga2," kata
Malaekat-elmaut. "Tak ter-duga2?" ulang Tjian hong.
Tjian hong terkedjut. Hampir ia tak pertjaja akan
keterangan Malaekat-elmaut. Seorang tokoh jang begitu
termashjur dapat dilukai oleh seorang dara. Ah,
mustahil.... "Kau tak pertjaja?" kata Malaekat-elmaut;
"Aku pertjaja penuh pada guru. Tetapi hal itu
benar2 tak mungkin!" djawab Tjian hong.
Malaekat-elmaut menghela napas: "Tetapi memang
sebuah kenjataan!" "Benar2 hal jang tak ter-duga2."
"Tetapi bukan itu jang akan membuatmu heran."
"Eh, apakah dara itu mempunjai 3 kepala 6
tangan?" "Ah, tak sengeri itu. Tetapi sepasang matanja..."
"Buta?" tukas Tjian hong.
"Bagaimana kau tahu?" Malaekat-elmaut heran.
"Hai apakah benar dia?" tergetar hati Tjian hong
membajangkan sidara djelita jang buta matanja. Dara
jang diberikan nama Giok-lo-sat.
Tjian hong ber-debar2. "Kau kenal padanja?" seru Malaekat-elmaut pula.
"Ja," Tjian hong mengangguk.
"Siapakah dia?"
Tjian hong tertegun, sahutnja: "Giok-lo-sat!"
"Giok-lo-sat" Apakah itu namanja aseli?"
"Ini..." Tjian hong tergugu diam. Ia baru sadja
berkenalan dengan djelita buta itu. Siapakah namanja
jang aseli, ia tak tahu. Ia hanja tahu sidara memakai
nama Giok-lo-sat. Nama jang diberikan atas permintaan
dara itu sendiri. Malaekat-elmaut tertawa mendesis: "Giok-lo-sat
mungkin nama itu nama gelaran jang dipilihnja!"
Tjian hong ter-sipu2 tundukkan kepala.
"Guru, nama Giok-lo-sat itu murid jang
memberikan kepadanja!"
"O, kau jang memberikan?" seru Malaekat-elmaut
agak kaget. Tjian hong gelisah sekali. Dia ingin mati sadja.
Bukankah karena memberikan nama Giok-lo-sat itu
maka sidara itu mentjari Malaekat-elmaut" Bukankah
dara itu menjatakan bahwa agar nama Giok-lo-sat
menggetarkan dunia persilatan maka dara itu hendak
membunuh Malaekat-elmaut.
"Guru, murid bersalah pedamu," achirnja Tjian
hong berkata penuh sesal. Serta merta ia djatuhkan diri
berlutut dihadapan Malaekat-elmaut.
Malaekat-elmaut kaget. Buru2 ia berseru: "Lekas
bangun! Katakanlah apa jang hendak kau utarakan!"
Tjian hong tetap berlutut. Udjarnja: "Dara buta itu
karena mendapat nama Giok-lo-sat maka ia lantas mau
tjari gara2 agar namanja terangkat didunia persilatan.
Dia sengadja mentjari guru untuk mengadu kepandaian.
Dengan begitu setjara tak langsung akulah jang
mentjelakai guru." "Kau salah terka!" seru Malaekat-elmaut.
Tjian hong mengangkat muka memandang gurunja.
Mata Malaekat-elmaut ber-kilat2. Sikapnja aneh sekali.
"Bangunlah, nanti kutjeritakan," seru Malaekatelmaut.
Setelah Tjian hong bangun, Malaekat-elmaut
berkata pula: "Kau kira dara itu benar2 hanja untuk
mengangkat nama lalu mentjari aku?"
"Dia mengatakan begitu," sahut Tjian hong.
"Dalam laut dapat diukur, hati manusia sukar
diduga. Mengapa kau mudah pertjaja utjapannja" Jang
njata ia berbuat begitu karena mempunjai tudjuan
sendiri." "Tudjuan?" Tjian hong heran.
"Ja. Kalau hanja untuk tjari kemasjhuran maka tak
nanti seseorang menganiaja lain orang dengan sewenang2nja. Kuduga dia berbuat begitu karena untuk
mentjari kitab ilmu Pukulan-hitam!"
Kembali Tjian hong terbeliak kaget. Ia tertarik
benar dengan keterangan gurunja.
Belum Malaekat-elmaut melandjutkan kupasannja,
se-konjong2 dari arah belakang terdengar suara orang
berseru dengan nada dingin: "Setan tua, dugaanmu
memang tepat!" Tjian hong buru2 berpaling. Ah.... tak djauh
dibelakangnja tampak sesosok tubuh langsing dari
seorang dara djelita. Siapa lagi kalau bukan si-dara buta!
Dara itu tertawa gemerintjing. Tjian hong gelisah...
Sampai beberapa djenak, ia tegak tak bergerak.
"Bagus kebenaran kau datang," seru Malaekatelmaut, "katakanlah gurumu!"
Walaupun sepasang matanja buta tetapi dara itu
bergerak setjara wadjar dan leluasa. Tak ubah dengan
seorang jang melek. Dengan mengulum senjum berseriseri ia madju menghampiri.
"Perlu apa" Aku jalah aku, apa hubungannja
dengan guruku?" katanja pelahan.
"Kau sendiri siapa?" seru Malaekat-elmaut.
"Giok-lo-sat. Bukankah sudah kukatakan
kepadamu?" "Aku hendak mengetahui namamu aseli!"
"Nama hanja sebuah tanda sadja. Masakan ada
jang aseli ada jang palsu!" lengking sidara.
Malaekat-elmaut deliki mata. Ia batuk2 sedjenak,
udjarnja;"Lalu apa maksudmu sebenarnja datang
kemari?" "Maksud sebenarnja" Aku tak mengerti katakatamu," Giok-lo-sat gelengkan kepala dengan gerak
gerik jang nakal. Melihat tingkah laku sidara jang mengolok
Malaekat-elmaut, panaslah darah Tjian hong. Serentak
ia lontjat kehadapan sidara.
"Apa kau jang melukai guruku?" serunja geram.
Giok-lo-sat terkesiap, serunja: "Eh, apakah dia
gurumu?" "Djawab dulu pertanjaanku tadi!" kata Tjian hong
dengan tegas. Giok-lo-sat tertawa datar.
"Ih, mengapa kau galak sekali?" tegurnja.
Tjian hong ter-sipu2. Kemarahannja menurun.
Malu ia ditegur demikian.
"Djawablah! Apakah benar dia gurumu?" sidara
mengulangi pertanjaannja pula.
"Ja," sahut Tjian hong. Sesaat telingapun kemerahmerahan. Katanja pula: "Benarkah kau jang melukai
guruku?" "Melukainja" Eh, benar!" seru sidara.
"Kau djahat!" "Tetapi aku tak dapat berbuat apa2 lagi. Demi
djangan sampai mengetjewakan djerih pajahmu
memberikan nama Giok-lo-sat padaku, aku harus
memperkenalkan nama itu kepada dunia persilatan.
Maka terpaksa aku harus mengorbankan gurumu
dulu..." Dara itu berhenti sedjenak lalu katanja pula: "Dan
lagi kau tidak memberitahukan padaku bahwa dia
gurumu. Andaikata aku tahu tak nanti aku
mengganggunja!" Tjian hong tertjekat mendengar pendjelasan sidara.
Diam2 ia mengakui kebenarannja. Dipandangnja dara
itu dengan dingin. Giok-lo-sat tiba2 alihkan pembitjaraannja kepada
Malaekat-elmaut: "Dalam pertandingan kemarin,
sebenarnja aku tak dapat memenangkan kau. Apakah
kau sendiri jang menderita luka" Huh akupun djuga
mendapat luka-dalam hingga menghabiskan waktu
setengah hari baru kudapat menjalurkan kembali djalan
Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
darahku. Sekarang aku bersedia menerima sebuah
pukulanmu." Tenang dan wadjar sekali sidara berkata-kata.
Kebalikannya Malaekat-elmaut malah jang tertegun
beberapa djenak. Dalam pertempuran, Malaekat-elmaut dapatkan
kepandaian sidara itu berimbang. Dan jang
mengherankan dalam waktu setengah hari sadja dara itu
sudah sembuh dari lukanja. Benar ia tak mengerti...
Walaupun untuk beberapa pertimbangan,
Malaekat-elmaut belum mau gunakan tenaga pukulan
penuh, tetapi ditilik dari usianja jang masih begitu muda
belia sudah memiliki kesaktian jang sedemikian itu,
benar2 sukar dipertjaja. Dara itu dapat disedjadjarkan
dengan tokoh2 termasjhur didunia persilatan.
Beberapa saat kemudian barulah Malaekat-elmaut
berseru : "Djika kau tetap tak mau mengatakan dirimu
demi mendjaga kedudukanku, aku enggan berkelahi
dengan kau!" Sepasang pipi Giok-lo-sat ke-merah2an. Serunja
geram : "baik, kalau kau hendak mendjaga gengsimu,
biarlah aku jang mulai memukulmu dulu!"
Sidara menutup kata2nja dengan sebuah gerakan
melesat seraja ajunkan tangannja. Serangkum tenaga
dahsjat berhambur melanda Malaekat-elmaut...
Melihat kedashjatan sidara menjerang, Tjian hong
terkedjut sekali. Desss... terdengar letupan keras.
Tempat dimana Malaekat-elmaut duduk mengepul debu
tebal. Tubuh Malaekat-elmaut terbungkus debu.
Beberapa saat barulah tampak lagi.
Malaekat-elmaut tetap duduk ditempatnja.
Giok-lo-sat menjusuli lagi sebuah pukulan. Kali ini
lebih dahsjat dari jang tadi. Dan debu jang ditimbulkan
pukulanpun lebih tebal dari jang tadi. Tubuh Malaekatelmaut se-olah2 hilang terbungkus debu....
Tjian hong kebat kebit hatinja. Dengan menahan
napas ia menunggu hasil pertempuran dahsjat itu. Debu
bertebaran lenjap, Malaekat-elmaut tampak masih
duduk ditempatnja.... Tiba2 Giok-lo-sat melengking dan melontarkan
sebuah pukulan dahsjat lagi. Tepat pada saat Giok-lo-sat
menghantam, Tjian hongpun mendjerit. Hati anak muda
itu pilu sekali demi dilihatnja mulut Malaekat-elmaut
mengutjurkan darah. Tanpa berajal lagi, Tjian hongpun segera lontjat
diudara dan ajunkan sebuah pukulan kearah Giok-losat.
Gerakan tak terduga-duga itu menimbulkan akibat
jang tak terduga-duga pula. Giok-lo-sat serasa diterdjang
oleh serangkum tenaga dahsjat sehingga diluar
kehendaknja ia terpental mundur dua langkah.
Tetapi sebaliknja Tjian hongpun menderita lebih
hebat lagi. Ia rasakan tenaga pukulan sidara itu lunak
seperti kapas. Tetapi seketika itu djuga ia rasakan
tubuhnja menggigil kedinginan. Bluk, djatuh ia terduduk
ditanah... Malaekat-elmaut terkedjut: "Muridku, apakah kau
terluka?" Tjian hong gelengkan kepala. Tetapi ketika ia
hendak bangun ah... tenaganja lemah lunglai sekali
hingga tak dapat digerakkan.
Giok-lo-sat tak menjangka sama sekali bahwa Tjian
hong bakal turut tjampur. Lebih tak diduganja lagi
bahwa pemuda itu memiliki tenaga pukulan jang
sedemikian dahsjatnja. Bukan sadja mampu menerima
pukulannja, bahkan dapat djuga balas memukulnja
sampai tersurut dua langkah....
Penilaian Giok-lo-sat hanja berdasarkan apa jang
diketahuinja. Tetapi ia tak mengetahui bagaimana
keaadaan Tjian hong jang sebenarnja.
Malaekat-elmaut geleng2 kepala menghela napas:
"Tak dapat menjesalkan kau!"
Tjian hong tak mengerti apa jang dimasudkan
gurunja. Ia duduk termangu-mangu. Sampai beberapa
saat tak dapat bitjara apa2.
Tiba2 Giok-lo-sat menghampiri, udjarnja: "Ajo, kita
landjutkan lagi?" Segera dara buta itu mengangkat tindjunja hendak
dipukulkan. "Tak usah berkelahi lagi!" buru2 Malaekat-elmaut
mentjegahnja. "Eh, bukankah belum ada jang kalah dan
menang?" "Aku sudah tjukup merasakan pukulanmu Biankut-hong!"
Ketika mendengar Malaekat-elmaut mengutjapkan
kata Bian-kut-hong (angin-pelemas-tulang), putjatlah
wadjah Giok-lo-sat, ia menjurut mundur tiga langkah. Ia
tegak ter-longong2... Sabenarnja Malaekat-elmaut hanja menduga-duga
sadja. Siapa tahu dugaannja itu membuat sidara
terbeliak kesima. "Oh, kiranja kau djuga muridnja!" seru Malaekatelmaut pula. Sengadja ia tak mau menjebut nama tokoh
jang dianggap sebagai guru sidara itu.
Giok-lo-sat makin tertjengang. Beberapa saat
lamanja barulah ia berkata: "Siapa" Aku murid siapa?"
"Dikolong djagad siapa lagi orang kedua jang
memiliki ilmu pukulan Bian-kut-hong?" dengan tjerdik
Malaekat-elmaut mengatur kata2nja untuk menghindar
menjebut amajang tepat. "Maksudmu aku tak lajak memiliki pukulan Bian
kut hong?" Giok-lo-sat menegasi.
"Tidak. Maksudku hendak mengatakan kau tentu
muridnja!" djawab Malaekat-elmaut.
"Dia" Siapakah dia itu?" lengking Giok-lo-sat.
"Kau toh tahu sendiri mengapa harus suruh aku
mengatakan?" Malaekat-elmaut tetap berusaha
menghindari. Tetapi Giok lo-sat jang tjerdik segera mentjium bau.
"Aku tak tahu!" lengkingnja.
Malaekat-elmaut tertegun. Tak tahu ia bagaimana
harus menghadapi kematjetan itu.
Untung saat itu Tjian hong sudah berdiri. Dengan
pe-lahan2 ia menghampiri kehadapan Giok-lo-sat terus
hendak menamparnja. Tetapi kedua bahunja serasa linu
dan tak bertenaga. Ah, lemas sekali.....
Tjian hong kerutkan gerahamnja. Dipandangnja
dara itu dengan ber-api2, se-olah2 hendak ditelannja.
"Kau seorang dara iblis..." serunja geram.
Djarang benar ia me-maki2 orang. Maka tak
dapatlah ia menumpahkan kemarahannja dengan
makian. Giok-lo-sat tertawa hambar.
"Aku tak sengadja...." serunja.
"Hm, pada suatu hari aku tentu akan menagih
hutang ini dengan bunganja," dengus Tjian hong.
Kemarahannja tampak benar tetapi Giok-lo-sat atjuh tak
atjuh. Ia mengeluarkan sebutir pil warna hitam.
"Apapun jang terdjadi besok, aku tak peduli,"
udjarnja, "tetapi karena kau sekarang terluka maka
minumlah pil ini." "Tidak perlu!" seru Tjian hong dengan getas.
"Kepala batu bukan sikap jang baik," kata Giok-losat, "ketahuilah bahwa didunia hanja pil ini sadja jang
mampu menjembuhkan lukamu."
"Biar mati aku tak sudi menerima pemberianmu!"
Tjian hong tetap berkeras kepala.
"O, kau kelewat keras kepala!"
"Pada suatu hari aku tentu akan menjuruhmu
merssakan derita seperti aku saat ini."
"Soal besok kita bitjara besok. Baiklah kau minum
dulu pil ini," budjuk Giok-lo-sat.
"Djangan ber-pura2 seperti tiba2 menangisi
kutjing!" teriak Tjian hong.
Selagi kedua anakmuda itu berbantah, diam2
Malaekat-elmaut mengawasi pil ditangan Giok-lo-sat.
Beberapa saat kemudian, tiba2 wadjahnja berseri girang.
"Muridku, terimalah pemberiannja," serunja
pelahan kepada Tjian hong.
"Apa?" Tjian hong terkedjut. Mata membelalak
lebar, "Guru..."
"Djangan banjak tjuriga!" seru Malaekat elmaut.
"Tidak guru! Bukannja tjuriga tetapi memang aku
tak sudi menerimanja!" sahut Tjian hong.
"Tetapi tanpa pil itu kau akan tjatjad seumur
hidup!" Tjian hong terkedjut, menjurut mundur.
"Masakan begitu hebat?"
"Memang benar seperti jang gurumu katakan,"
sidara menjelutuk. "Djangan banjak mulut!" bentak Tjian hong.
Malaekat-elmaut geleng2 kepala melihat kekerasan,
hati muridnja. Namun ia tahu bagaimana akibat luka
jang diderita Tjian hong.
"Sudahlah, terima sadja," budjuknja, seorang lelaki
harus berani mengalah diwaktu harus mengalah dan
keras diwaktu harus keras!"
Tjian hong tertegun mendengar utjapan itu. Tak
tahu ia bagaimana harus bertindak. Ia pertjaja,
Malaekat-elmaut tak nanti mengandjurkan begitu,
andaikata tak mengetahui apa djadinja ia nanti. Sekilas
timbullah rasa tjemas dalam hati Tjian hong.
Giok-lo-sat tertawa melengking. "Masakan kau tak
mau melakukan perintah gurumu?"
Tjian hong memandang Malaekat-elmaut dengan
sorot meminta agar dia djangan dipaksa menerima
pemberian Giok-lo-sat. "Biarlah kali ini kau korbankan perasaanmu,"
rupanja Malaekat-elmaut tahu apa jang tersembul dalam
sorot mata muridnja. Walaupun dalam hati ketjilnja segan menerima
pemberian sidara, namun ia sungkan djuga membantah
perintab gurunja. Ia madju menghampiri untuk menjambuti pil dari
tangan Giok-lo-sat. Tetapi baru tangannja mengulur sekonjong2 tubuh Giok-lo-sat melesat beberapa tombak
djauhnja. Tjian hong melondjak kaget!
"Aku memikirkan dirimu," seru Giok-losat dengan
dingin. Wadjahnja membeku, sikapnja tawar. Udjarnja:
"dengan itikad baik kuberikan pil padamu tetapi rupanja
kau berlaku matjam andjing menggigit dewa Lu Tongpin. Tak mengerti kebaikan orang. Kau sengadja djual
mahal. Hm, sekarang djangan harap kau bisa
mendapatkan pil itu. Aku telah merobah putusanku
takkan memberikan pil itu kepadamu!"
Tjian hong ter-sipu2 malu. Seketika merah
padamlah wedjahnja, ia marah sekali.
"Kau, kau, kau tak mau memberi... akupun tak
kepingin..." serunja ter-sekat2 karena menahan amarah.
Habis berkata anakmuda itu terus berputar diri
dan melangkah pergi. Giok-lo-sat tertawa dingin: "Apakah aku jang
memberi harus me-rintih2 supaja kau suka
menerimanja?" Tjian hong berpaling, serunja : "Akupun tak
kepingin pada pilmu. Aku tak pertjaja bahwa tanpa
pilmu aku bakal mendjadi orang tjatjad!"
"Kalau kau menganggap begitu, tjobalah sadja
nanti." "Sekalipun mati, tak nanti aku minta
pertolonganmu!" sahut Tjian hong.
Tiba2 telinga Tjian hong mendenging-denging
seperti terngiang-ngiang njamuk. "Muridku, djangan
berkeras kepala. Kau harus mendapatkan obat pil itu!"
Djelas bahwa jang mengiangkan ilmu Menjusupsuara itu tentulah Malaekat-elmaut. Ia berpaling
memandang kearah gurunja. Tetapi hatinja angkuh
sekali. Tetap ia tak mau meminta pada Giok-lo-sat.
"Kalau menuruti kemarahan sesaat, kau tentu
akan menjesal selama-lamanja. Djanganlah berkeras
kepala!" kembali terdengar kata2 seperti njamuk mengiang-ngiang.
Tiba2 Tjian hong melihat Giok-lo-sat melesat keluar
kemulut goha, pada lain djenak bajangan dara itupun
lenjap. Tjian hong termangu-mangu. Ia kehilangan faham.
Mengedjar atau tidak. Adalah karena tak dapat
memutuskan, maka sampai beberapa saat ia tegak
termangu-mangu. "Muridku, adakah kau dapat melaksanakan
harapanku untuk menumpas musuh2ku hanja
tergantung pada sikapmu saat ini. Djika kau tak mau
mengedjar dara itu, sedjak saat ini putuslah hubungan
kita sebagai murid dan guru!"
Malaekat-elmaut mengutjapkan kata2nja dengan
nada tegas dan bengis. Tjian hong gelisah sekali.
Tetapi saat itu ia tak dapat berpikir lama. Ia harus
mengambil putusan dengan tjepat....
"Baik, akan kukedjar!" achirnja meluntjurlah
keputusan dari mulut Tjian hong. Serentak Tjian hong
berbalik diri dan menghadap kearah Malaekat-elmaut.
Setelah memberi hormat iapun ber-gegas2 melesat
keluar goha.... "Memandang kemuka tampak bajangan Giok-lo-sat
meluntjur bagaikan gulungan asap. Makin lama makin
djauh. Ilmu meringankan tubuh sidara itu benar2
mentakdjubkan sekali. Segera Tjian hong bersiap. Setelah menahan napas
maka larilah ia se-kuat2nja. So-konjong2 beberapa sosok
bajangan hitam berkelebatan dan dihadapannja muntjul
beberapa.., setan! Machluk2 jang rambutnja gimbal tak
keruan. Lidahnja jang merah darah mendjulur kebawah
sampai keperut. Tjian hong tersentak kaget, pikirnja: "Eh, aneh
benar. Mengapa disiang hari muntjul setan2."
Ia mendongak mengawasi tjakrawala. Saat itu hari
sudah mendjelang magrib. Matahari mulai masuk keperaduan. Empat pendjuru terselimut oleh sinar remangremang kabut.
Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Machluk2 aneh itu mirip dengan tengkorak hidup.
Mereka berdjalan menghampiri Tjian hong.
"Benarkah ini jang dikatakan setan?" batin Tjian
hong. Setan lidah pandjang itu makin mendekati. Dan
karena gentar, Tjian hong mundur beberapa langkah.
Dipandangnja kawanan setan itu dengan seksama.
Mereka terus madju menghampiri...
"Hai, kalian manusia atau setan?" teriaknja.
Utjapan itu hanja untuk meneguhkan njali. Karena
sambil berteriak, Tjian hongpun mundur lagi beberapa
langkah. Kawanan setan itu seperti tak mengatjuhkan.
Mereka tetap melangkah madju. Melihat itu marahlah
Tjian hong. Segera ia gerakkan kedua tindjunja. Dengan
se-kuat2nja ia menghantam.
Angin menderu hebat. Serangkum tenaga dahsjat
menghambur. Tetapi barisan setan lidah pandjang itu
tak kurang suatu apa. Mereka tetap melangkah madju.
Lidah mereka jang pandjang bergeliatan kian kemari.
Benar2 menjeramkan sekali.
Melihat itu Tjian hong ter-hujung2 mundur
beberapa langkah. Keringat dingin membasahi tubuhnja.
Dia mundur sampai kesebatang pohon besar.
"Hai. djangan ber-pura2 djadi setan. Kalau djantan,
tundjukkan mukamu!" setelah pulih dari kedjutnja Tjian
hong berseru njaring. Kawanan setan itu ber-tjuit2 riuh. Mereka ulurkan
tulang2 tangannja matjam tjakar, mengarah Tjian hong.
Mau tak mau ngeri djuga Tjian hong. Ia tak tahu apakah
setan2 itu benar setan atau hanja setan djedjadian.
Kawanan setan itu berhamburan mentjengkeram.
Terpaksa Tjian hong menghindar kesamping lalu
menghantam lagi. Pukulan kali ini dilantjarkan dengan
tenaga penuh. Dahsjatnja dapat menumbangkan pohon.
Tetapi anehnja, kawanan setan lidah pandjang itu
bandel sekali. Se-olah2 tak merasakan apa-apa.
Pukulan Tjian hong tak membawa akibat suatu
apa. Tjian hong benar2 terkedjut sekali. Kaki tangannja
serasa lentur tak bertenaga lagi. Se-konjong2 setan lidah
pandjang itu lontjat menerkam, Tjian hong masih dapat
menghindar. Saat itu bajangan2 putih berkelebatan. Debu dan
pasir2 berhamburan. Setan2 me-ringkik2 gempar. Tiba2
terdengar Tjian hong mendjerit ngeri. Tubuhnja
melambung bagai sebuah bola. Terlempar sampai 10-an
tombak dan djatuh kedalam semak. Matanja berkunangkunang, kepala pusing tudjuh keliling. Dia segera
hendak bangun tetapi gagal. Ia menggeletak lagi.
Saat itu ia benar2 putus asa. Mata sukar dibuka.
Tiba2 telinganja terngiang derai tertawa. Nadanja
bergemerintjing bagai mutiara ditumpahkan dalam
tampi. "Hi, ketawa itu seperti tak asing bagiku," ia
gelagapan dan dipusatkan seluruh pikirannja untuk
mendengarkannja. Aneh, suara tertawa itu djauh2 dekat,
seperti ber-alun2 diudara sukar diduga arahnja.
Pada saat ia tjurahkan perhatian mendengari,
suara tertawa itu terdengar djauh. Tetapi apabila ia
lepaskan pendengarannja, suara tertawa itupun dekat
sekali dengan telinganja.
Tjian hong diam2 mengadakan penilaian.
"Nadanja seperti seorang wanita, tetapi siapakah
gerangan dia?" sekilas benaknja terisi oleh bajang-bajang
sesosok tubuh langsing, tetapi ia tak berani memastikan,
benar atau bukan. Lalu lain sosok bajangan langsing
melintas pula. Ah, ia tetap bersangsi.
Djelas sebagai tertawa wanita. Djauh tetapi dekat.
Dekat tetapi djauh. Ingin ia hendak meretang mata
melihat siapakah jang menertawakannja. Tetapi matanja
terasa berat sekali. Betapapun ia rentang se-kuat2nja
namun tak dapat mata dibuka.
Se-konjong2 serangkum bau wangi membaur
kehidung terus menjusup kedalam uluhati. Seketika
kesadaran pikirannja melajang lenjap. Dan tak tahulah
ia apa jang terdjadi selandjutnja.
Ketika tersadar, ia dapatkan sekelilingnja gelap
gelita. Tiba2 terdengar suara mendengung-dengung.
Tjepat2 ia lontjat bangun, auh.....dahinja
membendjul dan djatuhlah ia lagi. Ia heran dan
memeriksa apa jang menjebabkan. Hai, ternjata ia
dikurung dalam sebuah peti besi! Tetapi mengapa ia
seperti dikotjok kian kemari dan suara bergerodakan tak
henti2nja mengiang. Dengan tenang ia memperhatikan apa jang terdjadi
sebenarnja. Wahai, ternjata ia berada dalam sebuah peti
besi jang dibawa sebuah gerobak. Karena djalanan tak
rata maka peti bergontjangan kian kemari. Terpaksa
Tjian hong hanja dapat menghela napas dan
membaringkan diri lagi. Tiba2 diluar didengarnja suara orang bertjakaptjakap dengan berbisik : "Djun-lan, tahukah kau apa
sebab nona menangkap budak lelaki itu?"
Tjian hong tergetar. Dia tahu jang dimaksudkan
sebagai budak lelaki itu tentulah dirinja. Ia marah tetapi
apa daja. Orang jang dipanggil "Djun-lan" itu menjahut:
"Djiu-kiok, masakan kau tak tahu?"
"Kalau tahu masakan bertanja.
"Kau tahu berapa umur nona tahun ini?" tanja jang
dipanggil Djun-lan. "Apa hubungannja dengan hal itu?" Djiu-kiok balas
bertanja, Djun-lan tertawa mengikik, serunja: "Erat sekali
hubungannja." "Bukankah nona baru berusia 18 tahun?" kata Djiu
kiok. "Apakah umur 18 tahun masih ketjil?" lengking
Djun-lan. Kini baru Djiu-kiok seperti disadarkan, serunja :
"Uh, usia 18 tahun memang tidak ketjil lagi!"
"Benar!" Dari lubang ketjil jang terdapat pada dinding peti
besi, dapatlah Tjian hong mendengarkan pertjakapan itu.
Seketika keringat hangat mengutjur ditubuhnja. Samar2
ia dapat menangkap maksud pambitjaraan kedua anak
perempuan itu. "Loya baru beberapa hari meninggal, mengapa nona
malah berbuat jang tidak2?" tanja Djun-lan pula.
"Eh, apakah kau pertjaja loya (madjikan tua)
benar2 meninggal?" balas Djiu-kiok.
Djun-lan terkedjut: "Apa" Apakah loya belum
meninggal" Apakah ada orang mati jang pura-pura?"
"Sungguh2 dan pura2, pura2 dan sungguh..."
Djiu-kiok berhenti sedjenak, katanja pula: "Hal itu,
kita hanja sebagai budjang tak perlu mengurusi agar
djangan bikin katjau. Setiap saat mungkin keadaan
berobah. Hai, sampai dimanakah kita sekarang?"
Kembali Tjian hong merenungkan pembitjaraan itu.
Diam2 ia makin memperhatikan mereka.
"Sudab lewat gunung Mo-san, segera kita akan
sampai!" sahut Djun-lan.
"Mo-san" Sebelum matahari terbenam kita akan
sampai!" seru Djiu-kiok.
"Ja, mudah2an."
"Tetapi gerobak harus kita larikan lebih tjepat.
Kalau tidak, tentu takkan tertjapai. Sekali nona marah2,
siapa jang berani mentjegahnja?"
Tjian hong heran. Selama ini tak pernah ia
mendengar tentang gunung Mo-san. Tak tahu ia sudah
berapa lama berada dalam gerobak dan hendak dibawa
kemana. Kedua budjang perempuan itupun diam. Tjian hong
merasa sesak dadanja. Kalau dapat ia hendak mendjebol
kurungan besi itu untuk menghirup udara segar.
Keinginan itu makin membesar dan serentak ia
ajunkan tindjunja menghantam dinding peti. Bunnng....
peti ber-guntjang2 keras, tetapi tak apa2. Tjian hong
terperandjat. Pada lain saat ia geram, putus asa. Kedua
matanja ber-linang2.... Ternjata ia sudah kerahkan seluruh tenaganja
memukul, tetapi apa jang didapatinja ternjata ia tak
memiliki tenaga-dalam lagi. Pukulannja kini seperti
pukulan orang biasa jang tak memiliki ilmu silat.
Pukulan dalam peti besi itu, membuat kedua
budjang terkedjut. "Eh, apakah budak dalam peti ini sudah tersadar?"
seru Djiu-kiok. Kata2 budjang itu benar2 kasar. Ia
mempersamakan seorang pemuda gagah matjam Tjian
hong hanja seperti seorang katjung sadja.
"Hai, budak dalam peti, apa kau sudah mampus?"
seru Djiu-kiok kepada Tjian hong.
Tjian hong diam sadja. "Hai, apakah kau tuli?" Djiu-kiok ulangi seruannja
lagi. "Tidak! Aku masih hidup!" sahut Tjian hong dengan
geram. "Mengapa kau tak mendjawab panggilanku?"
"Perlu apa aku harus mendjawab?"
"Baik, kalau kau tak mau mendjawab, tjobalah
siapa jang lebih tahan," habis berkata itu Djiu-kiok tak
mau mengganggunja lagi. Entah apa jang dikatakan.
Jang kedengarannja ia hanja menggerutu pandjang
pendek.... "Hai, apakah masih ada orang diluar?" beberapa
saat kemudian karena kesesakan, Tjian hong berseru.
Tetapi tiada penjahutan sama sekali.
"Apakah kalian mampus semua...," Tjian hong
berseru sekuat-kuatnja. Se-konjong2 terasa gontjangan berat sehingga
kepala pening mata berkunang-kunang dan terdengarlah
sibudjang Djiu-kiok berseru: " Budak, berbaringlah
sadja. Kalau ribut2 terus, awas, tahu rasa sendiri nanti!"
"Nona, tolong tanja. Kemanakah kau hendak
membawa aku?" menggunakan kesempatan itu Tjian
hongpun segera berseru dengan bisik2.
"Tak perlu kau tahu. Nanti pada waktunja kau
tentu tahu sendiri," sahut sibudjang.
"Siapakah namamu?"
"Aku Djiu-kiok."
Siapakah jang kau maksudkan dengan 'nona' itu"
Maukah kau memberitahu?" kata Tjian hong.
Djiu-kiok tertegun. Beberapa djenak baru ia
menjahut: "Tak usah kau banjak tanja. Tanjapun tak
ada gunanja. Tidur sadja nanti tentu tahu sendiri!"
"Nona, nona..." Tjian hong makin gugup. Tetapi
hanja mendapat sambutan tertawa dari kedua budjang
itu. Mereka tak mau mengatjuhkan. Tjian hong hampir
meledak dadanja. Ia marah dan geram sekali. Tetapi tak
dapat berbuat suatu apa. Entah berapa lama gerobak itu melandjutkan
perdjalanan. Tiba2 berhenti. Tjian hong tegang. Dengan
penuh perhatian ia pasang telinga. Terdengar suara
musik menggema, mengiang-ngiang ditelinga Tjian hong.
Hatinja gelisah tak keruan, dan entah bagaimana ia
merasa lemas. Terpaksa ia berbaring.
Beberapa saat kemudian terdengar derap kaki hilir
mudik. Tjian hong rasakan peti seperti diangkat,
digotong menjusur sebuah lorong pandjang. Lalu
diletakkan ditanah lagi. Berbagai perasaan mentjengkam hati Tjian hong.
Marah, geram, sedih dan putus asa. Apa jang dialami
benar2 membingungkan. Tengkorak2 djedjadian jang
menerkamnja, peti besi jang mengurungnja dan gerobak
jang mengangkutnja. Ah, siapakah gerangan jang
merentjanakan penangkapan dirinja itu. Kalau nanti
berhadapan dengan manusia djahat itu, ingin ia
meremuk-remuk kepalanja. Apabila membajangkan pada orang jang
menjiksanja, seketika menjalalah kemarahannja dan
dengan kedua tangannja segera ia menghantam peti
kurungannja. Bung, bung, bung....
"Apakah kau bosan hidup?" beberapa saat
kemudian terdengar orang menegurnja.
Sebenarnja Tjian hong kuatir kalau tiada orang
jang mengurusnja. Demi mendengar suara orang, ia
malah girang. "Siapakah kau?" serunja dari lubang hawa.
"Mengapa kau pelupa benar?"
"O, kau Djiu-kiok."
"Ja, benar. Djangan bikin ribut, akan kutinggal
dulu sebentar!" "Hai, djangan, djangan... keluarkan aku dululah!"
Tjian hong terkedjut dan me-mekik2 gugup. Tetapi Djiukiok tak mempedulikan. Pendengaran Tjian hong tadjam
sekali. Ia tak mendengar derap kaki sinona.
"Hm, apa dia besembunji disamping sengadja mau
menggoda aku?" pikirnja. Dengan se-kuat2nja ia berseru
lagi: "Nona Djiu kiok, Djiu... kiok..."
Tetapi sampai tenggorokan serasa petjah, tiada
terdengar penjahutan apa2. Huh.... karena mengkalnja
ia djatuhkan diri dengan lemas.
Beberapa saat kemudian, terdengar pula suara
budjang Djiu-kiok mengiang: "Heh, mengapa kau
berubah djinak?" Tjian hong tertegun, serunja: "Apakah kau tadi
pergi?" "Mengapa?" "Kukira kau tidak pergi."
"Mengapa" Aku tadi mengurus sedikit pekerdjaan.
Kau tak pertjaja padaku?"
Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ja, aku agak sangsi."
"Mengapa?" "Kau tentu tak pergi. Aku tak mendengar derap
kakimu sama sekali. Aku lebih pertjaja telingaku dari
keteranganmu!" Tjian hong ngotot tetapi Djiu-kiok hanja
tertawa mengikik. "Huh, mengapa kau tertawa" Apakah telingaku
rusuk?" Tjian hong terkedjut.
"Tidak, telingamu memang tadjam."
"Ho, djadi kau membohong?"
"Tidak." "Lalu..." tak tahu Tjian hong hendak mengatakan
apa lagi. "Pernahkah kau melihat setan?" tiba2 Djiu kiok
bertanja. Tersirap darah Tjian hong ketika mendengar kata2
tentang setan. Walaupun ia telah ditangkap oleh
kawanan jang menjerupai bangsa setan, tetapi seumur
hidup tak pernah ia melihat setan. Dan memang ia tak
pertjaja didunia terdapat bangsa iblis dan setan.
"Setan" Ja, memang aku pernah mendengar tetapi
aku tak pertjaja tentang hal itu," sahutnja setelah
berpikir sedjenak. "Bagus, tjukuplah kalau sudah pernah mendengar
tjeritanja. Dan apakah pernah djuga kau mendengar
tjerita bahwa bangsa setan itu kalau berdjalan kakinja
tak mengindjak tanah?" tanja Djiu-kiok.
"Ja, memang tjeritanja begitu. Tetapi apa perlunja
kau menanjakan hal itu?" Tjian hong heran.
"Tentu ada keperluannja, "Djiu kiok merenung
sedjenak, katanja pula: "karena aku ini djuga bangsa
setan perempuan!" Keterangan budjang itu daripada menggetarkan
njali Tjian hong kebalikannja malah menimbulkan
sambutan jang tak terduga. Tjian hong tertawa terbahak2 sampai lama sekali.
Djiu-kiok terkesiap, serunja: "Kenapa....?"
"Aku tak pertjaja....." sahut Tjian hong, "eh,
siapakah namamu?" "Djiu-kiok. Bukankah tadi telah kukatakan?"
"Ja. Namamu Djiu kiok jang berarti bunga Seruni
dimusim rontok itu tjukup mengatakan bagaimana
orangnja. Aku tak pertjaja bahwa kau bangsa machluk
halus!" "Oh, kau bersangsi hanja karena namaku itu"
Sebenarnja Djiu kiok itu nama jang kupakai sewaktu
aku masih djadi manusia biasa. Setelah meninggal dunia
karena dalam Neraka sini banjak djumlahnja setan2
perempuan maka untuk tanda pengenal diri, aku tetap
memakai nama itu!" Agak menggigil hati Tjian hong mendengar
keterangan itu. Udjarnja: "Kalau begitu, apakah kau ini
benar2 bangsa setan?"
"Perlu apa aku harus membohongimu?" balas Djiukiok, "dan lagi aku pun segera akan membebaskan kau.
Kau nanti dapat membuktikan benar tidaknja
keteranganku itu." Mendengar akan dibebaskan, bukan kepalang
girang Tjian hong, serunja: "Lekaslah bebaskan aku!"
"Djangan terburu nafsu," kata Djiu-kiok. Tjian hong
tak mau ber-kata2 lagi. Ia duduk menunggu Djiu-kiok
membuka peti kurungan. Tetapi sampai sekian lama
belum djuga terdengar suatu gerakan apa2.
"Nona Djiu-kiok, lekaslah buka peti ini!" serunja
tak sabar. "Keluarlah, aku toh sudah membukakan!"
Apa" Aku tak mendengar suara apa2!" Tjian hong
berseru heran. "Ingat aku ini setan perempuan. Bangsa setan
mempunjai kesaktian jang luar biasa!"
*** 10 Neraka Tjian hong termangu. Ia tak pertjaja. Namun
ditjobanja djuga untuk mendorong tutup peti. Ah, peti
terbuka seketika. Tetapi ketika memandang kesekeliling, ia terkedjut
lagi, serunja: "Nona Djiu-kiok, kau berada dimana?"
Terdengar suara tertawa mengikik dari seorang
anak perempuan: "Aku berada dibelakangmu!"
Tjian hong berpaling. Saking kagetnja hampir sadja
ia djatuh kedalam peti lagi. Ia mengusap dahinja jang
penuh keringat dingin. Kira2 setombak djauhnja, tampak sesosok tubuh
langsing. Tetapi jang tampak itu bukan berwudjud
seorang melainkan hanja seperti bajangan jang bergojang2 dalam permukaan air. Jang djelas hanjalah nona
itu berpakaian warna hitam, rambutnja terurai
memandjang sampai kebahu. Bagaimana air mukanja
sama sekali tak djelas...
"Bagaimana" Apakah kau masih tak pertjaja
keteranganku?" seru Djiu-kiok.
Tjian hong tabahkan njalinja. Ia lontjat keluar dari
peti. Dipandangnja dengan seksama, amboi... kaki nona
itu benar2 tak mengindjak tanah.
Serasa terbang semangat Tjian hong menjaksikan
pemandangan itu. Ia tegak seperti patung sampai
beberapa saat. "Ah, tak perlu takut," Djiu-kiok tertawa, "bangsa
setanpun bukan machluk jang djahat. Bukankah
didunia banjak terdapat manusia2 jang berhati djahat
melebihi bangsa setan?"
Utjapan budjang itu banjak membantu
memulihkan semangat Tjian hong. Ia membulatkan
tekad: "Untung tak dapat diraih, tjelaka tak dapat
dihindari. Asal aku selalu waspada, tak nanti dia begitu
mudah hendak mantjelakai diriku."
"Apakah namanja tempat ini?" serunja
memberanikan diri. "Lihatlah sendiri, apakah disini mirip dengan
tempat setan atau tidak?" Djiu-kiok balas bertanja.
Tjian hong memandang kesekeliling. Dilihatnja
empat pendjuru berdinding batu karang jang berwarna
hidjau ke-hitam2an. Dipuntjak karang tergantung dua
buah lentera warna kuning. Entah bagaimana tjaranja
lentera itu dipasang. Kesan jang didapat Tjian hong
tjukup menjeramkan. Namun tak mau ia mengundjuk kelemahan.
Dengan menggarangkan semangat, ia melangkah madju
dua langkah dan berseru. "Memang tempat ini tjukup
menjeramkan dan aneh. Tetapi menurut penilaian tetap
seperti suasana didunia."
"Benarkah?" "Aku mempunjai perasaan begini. Djika tempat ini
disebut tempat bangsa setan maka djarak perbedaannja
hanja sedikit. Ja, hampir sama!"
Walaupun mulut mengatakan begitu namun dalam
hati Tjian hong gemetar tak keruan.
"Tetapi kukira hatimu tak mengatakan begitu!"
"Ah, tak peduli bagaimana tolonglah kau
beritahukan tempat apa ini namanja?"
"Nanti kau tentu tahu sendiri!" sahut Djiu-kiok.
Tiba2 ia ulurkan tangan mengambil lentera kuning.
"Ikutlah aku, Nona hendak melihatmu!"
"Nona...?" "Sudahlah, djangan banjak tanja. Ikut aku sadja,"
tukas Djiu-kiok. Mereka menjusur sebuah lorong ketjil jang gelap
dan pandjang. Tjian hong tetap mengikuti dibelakang
budjang itu. Diperhatikannja setiap tempat jang dilalui.
Lebih2 perhentiannja tertumpah pada tumit nona itu.
Benarkah tumit nona itu tak mengindjak tanah seperti
bangsa setan" Atau apakah nona itu hanja
menggunakan ilmu kesaktian sadja.
Tetapi apa jang didapatinja, membuatnja putus
asa. Selama berdjalan itu benar2 tumit Djiu-kiok tak
mengindjak tanah. Tumitnja mengapung diatas terpisah
kira2 tiga dim dari tanah.
Hati pemuda itu makin gemetar.
"Sudah sampai, masuklah sendiri!" tiba2 Djiu-kiok
berkata. Tjian hong berhadapan dengan sebuah goha batu
jang gelap. Diluar goha itu penuh ditempeli mutiara2
gemerlapan. Indah dan menjilaukan, mirip dengan
kamar seorang gadis orang kaja.
Tjian hong tertegun, serunja. "Tempat apakah ini?"
Tiba2 Djiu-kiok meniup padam lenteranja dan
berkata dengan dingin : "Apakah kau tak dapat masuk
dan melihat sendiri?"
Utjapan budjang itu mengandung pengaruh adjaib.
Diluar kehendaknja, Tjian hongpun melangkah masuk.
Tetapi baru sadja sang kaki madju setengah langkah
hampir ia menjurut kembali.....
Mengapa" Apakah ia melihat momok atau setan
belang jang menjeramkan" Tidak! Tetapi karena
hidungnja terbaur oleh serangkum hawa harum. Hawa
harum jang biasanja dibaurkan oleh gadis2 remadja Ia
memandang lagi dengan seksama. Ah, tak salah.
Memang jang dimasukinja itu benar2 sebuah kamar
seorang gadis. Tiba2 tubuh Tjian hong serasa didorong dari
belakang. Ia terhujung-hujung kedalam kamar. Segera
matanja tertumbuk akan sebuah pemandangan jang
mengedjutkan! Dalam tebaran sehelai sutera putih, berdirilah
bajang2 seorang gadis tjantik. Ia tampak ber-gerak2
dengan gaja lemah gemulai.
Tjian hong ter-longong2 seperti patung.
Tiba2 dari sekuntum bibir merah gadis itu merekah
keta2: "Apakah kau jang bernama Ko Tjian hong?"
Merdu djuga nada pertanjaan itu. Namun wadjah
Tjian hong malah putjat, keringat dingin menghambur
keluar, ia tak pertjaja tentang bangsa setan. Tetapi apa
jang disaksikan saat itu, benar2 tak dapat disangkalnja.
"Mengapa kau tak mendjawab pertanjaanku?" gadis
tjantik itu mengulangi kata2nja.
Adalah saking kedjutnja maka Tjian hong sampai
lupa memberi djawaban. Dia benar2 tak berani
mempertjajai mata dan telinganja sendiri.
"Kau... kau... kau ini insan manusia atau... setan?"
serunja tergugu. "Seharusnja kau mendjawab pertanjaanku dulu!"
sahut sigadis. "Baik. Aku memang Ko Tjian hong dan siapakah
kau" Apakah kau benar bangsa setan?"
Gadis berselubung sutera putih itu tiba2 tertawa
Kampung Setan 2 Iblis Ular Hijau Karya Aryani W Pendekar Pemetik Harpa 23
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama